HUBUNGAN ANTARA INTENSI UNTUK MEMATUHI RAMBU

advertisement
Diah Setyowati Ayuningtyas, Guritnaningsih A. Santoso: Hubungan Antara Intensi
HUBUNGAN ANTARA INTENSI UNTUK MEMATUHI RAMBU-RAMBU
LALU LlNTAS DENGAN PERILAKU MELANGGAR LALU LlNTAS
PADA SUPIR BUS 01 JAKARTA
Diah Setyowati Avuningtyas, Guritnaningsih A, Santoso
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak
Berdasarkan fenomena sehari-hari dapat dilihat bahwa banyak
pengendara yang melanggar tanda-tanda lalu lintas. Tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas ini merupakan salah satu contoh dari tingkah laku
mengendara agresifyang dapat membahayakan penggunajalan lainnya. Salah
satu faktor internal yang menyebabkan munculnya tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas adalah tidak adanya intensi untuk mematuhi tanda­
tanda lalu lintas. Intensi merupakan indikasi mengenai besarnya usaha yang
dikeluarkan individu untuk melakukan suatu tingkah laku.
Responden penelitian berjumlah 55 orang pengendara bus di Jakarta
yang diambil secara insidental. Alat ukur yang digunakan adalah dua buah
kuesioner, yaitu (1) kuesioner intensi mematuhi tanda-tanda lalu lintas; (2)
kuesioner tingkah laku melanggar tanda-tanda lalu lintas. Kedua kuesioner ini
menggunakan skala dengan empat kategori respon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
dan terbalik antara intensi mematuhi tanda-tanda lalu lintas dan tingkah laku
melanggar tanda-tanda lalu Iintas, artinya semakin tinggi intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas maka semakin rendah tingkah laku melanggar tanda­
tanda lalu lintas.
Kata Kunci: Intensi, Tingkah Laku, Aggressive Driving, Kepatuhan
Pendahuluan
Oi usianya yang sudah lebih dari
400 tahun ini, Jakarta masih memiliki
permasalahan besar yang sampai saat
ini belum terselesaikan dengan baik,
yaitu kemacetan. Jakarta sebagai kota
metropolitan merupakan kota yang
menyediakan segala fasilitas yang
dibutuhkan oleh masyarakat, terutama
dalam bidang lapangan kerja, bisnis,
dan ekonomi. Tersedianya berbagai
macam fasilitas di Jakarta membuat
semua orang berbondong-bondong
datang ke Jakarta, baik untuk menetap
maupun mencari nafkah. Hal tersebut
menyebabkan mobilitas di Jakarta
sangat tinggi. Mobilitas tersebut tidak
hanya dilakukan oleh penduduk yang
menetap di Jakarta sendiri, melainkan
juga oleh penduduk yang tinggal di
kota satelit seperti Bekasi, Bogar,
dan Tangerang. Selain digunakan
untuk perjalanan dalam kota, Jakarta
juga dijadikan sebagai jembatan bagi
perjalanan luar kota ataupun distribusi
barang dari pulau Jawa ke pulau
Sumatra dan sebaliknya.
Jakarta, sebagai ibu kota Republik
Indonesia, merupakan kota yang memili­
ki penduduk terpadat dibandingkan
1
JPS VoL. 13 No. 01 Januari 2007
tanda (sen), tidak memperhatikan jarak
aman, melanggar rambu lalu lintas,
dan sebagainya (NYS Department of
Motor Vehicles, 2005). Joint (1995)
menyebutkan
bahwa
kepadatan
merupakan salah satu faktor lingkungan
yang mempengaruhi aggressive driving
pengendara. Kepadatan yang terjadi
di Jakarta menjadi salah satu pemicu
pengemudi untuk bertingkah laku agresi
pada saat ia mengendarai. Hal tersebut
semakin membuat kondisi jalan yang
sudah macet karena padat semakin
semrawut.
Salah satu tingkah laku agresi yang
paling sering dilakukan oleh pengendara
adalah melanggar tanda-tanda lalu
lintas ("Merlndukan," 2005). Pemerintah
melalui Departemen Perhubungan,
bekerja sama dengan Dinas Lalu Lintas
Jalan Raya dan Polisi Lalu Lintas telah
membuat berbagai macam tanda­
tanda lalu lintas yang berfungsi untuk
mengatur kelancaran dan ketertiban
serta keselamatan para pengguna jalan.
Semua ini diatur dalam sebuah Undang­
Undang no 14 tahun 1992 mengenai
lalu lintasdan angkutall jalall.
Berdasarkan undang-undang no 14
tahun 1992, tanda-tanda lalu Iintasdibagi
menjadi 3 golongan, yaitu isyarat lampu
lalu lintas, rambu-rambu lalu lintas, dan
marka jalan. Tiap-tiap golongan tanda­
tanda lalu Iintas memiliki berbagai
jenis. Kesemua jenis tanda-tanda lalu
lintas itu harus dipatuhi oleh semua
pengendara dan pejalan kaki lainnya.
Jika tidak dipatuhi, maka akan d;~erikan
sanksi oleh p~tugas yang berwenang.
Tata cara pemberian sanksi kepada
pengendara juga diatur dalam undang­
undang ini.
Tlngkah laku individu dipengaruhi
oleh besarnya intensi (niat) individu
untuk melakukan tingkah laku itu
(Fishbein dan Ajzen, 1975). Intensi
kota-kota lain di Indonesia. Hal ini
menyebabkan ruang gerak di Jakarta
menjadi terbatas (sempit). Kepadatan
penduduk dan tingginya mobilitas di
Jakarta, menimbulkan masalah lalu
Iintas.Jumlahkendaraanyangmeningkat
setiap harinya tidak diiringi dengan
tersedianya jalan di Jakarta. Akibatnya
kemacetan dan kesemrawutan lalu
lintas terjadi di berbagai tempat. Di sisi
lain, fasilitas umum yang disediakan
untuk bertransportasi di Jakarta tidak
memadai dan kondisinya pun sangat
memprihatinkan ("Kendaraan," 2003).
Tidak heran jika banyak penduduk
yang lebih memilih untuk menggunakan
kendaran pribadi dibandingkan dengan
kendaraan umum.
Sempitnya ruang gerak, tingginya
mobilitas
penduduk,
dan jumlah
kendaraan yang tidak sebanding
dengan jumlah jalan yang disediakan,
mengakibatkan kemacetan lalu Iintas
di Jakarta tidak dapat dihindarkan.
Kemacetan yang mLincul di berbagai
tempat
itu
memberikan
tekanan
tersendiri bagi pengemudi. Ketika macet
pengemudi harus lebih berkonsentrasi
karena jarak antar kendaraan sangat
sempit. Selain itu. pengemudijuga harus
siap siaga untuk selalu menginjak pedal
gas dan rem karena pengemudi tidak
.tahu kapan kendaraan di depannya
maju dan berhenti. Sementara itu,
tekanan lain di luar situasi jalan, seperti
tekanan waktu, juga menambah beban
pengemudi saat berkendara. Tekanan­
tekanan tersebut dapat membuat
pengemudi frustasi dan kemudian
menimbulkan agresi yang ditampilkan
dalam tingkah laku agresi ketika
mengendarai (aggressive driving).
Tingkah laku agresi yang dilakukan
pengemudi pada saat mengendarai
bermacam-macam, se-perti memotong
atau berpindah jalur tanpa memberi
2
Diah Setyowati Ayuningtyas. Guritnaningsih A. Santoso: HUbungan Antara Intensi
merupakan aspek motivasional individu
yang mempengaruhi terlaksananya
suatu perilaku. Intensi adalah indikasi
mengenai besarnya usaha yang
dikeluarkan individu untuk melakukan
suatu perilaku. Begitu pula dalam hal
berlalu lintas. Tingkah laku individu
untuk mematuhi tanda-tanda lalu Iintas
juga dipengaruhi oleh besarnya intensi
individu untuk melakukan tingkah laku
tersebut. Intensi memiliki korelasi yang
tinggi dengan tingkah laku (Ajzen, 1988).
Oleh karena itu, semakin besar intensi
pengendara untuk mematuhi tanda­
tanda lalu lintas, maka kecenderungan
individu untuk menampilkan tingkah
laku melanggar tanda-tanda lalu lintas
akan semakin kecil.
Ada tiga faktor yang saling berkaitan
dalam membentuk intensi individu untuk
bertingkah laku, yaitu sikap (Fishbein &
Ajzen, 1975), norma subyektif (Fishbein
&Ajzen, 1975) serta perceived behavior
control (Ajzen, 1988). Ketiga faktor ini
akan dipengaruhi oleh belief masing­
masing individu. Belief merujuk kepada
semua informasi yang dimiliki individu
mengenai suatu objek, yang dalam hal ini
adalah suatu perilaku (Fishbein &Ajzen,
1975). Dalam intensi untuk melakukan
tingkah laku, belief berperan sebagai
pembentuk sikap, norma subyektif dan
perceived behavior control.
FishbeindanAjzen (1975)mengatakan
bahwa individu akan melakukan
suatu perilaku jika ia memiliki intensi
untuk melakukan perilaku tersebut.
Jika keinginan untuk bertingkah ;aku
dikatakan sebagai tujuan (goal), maka
intensi dianggap sebagai rencana untuk
mencapai tujuan. yaitu melakukan
suatu tingkah laku (Ajzen, 1988).
Namun. memiliki intensi tidak menjamin
tujuan akan tercapai (Heckhausen dan
Gollwitzer dalam Gillholm, Erdeus &
Garling, 1996). Berarti, jika seorang
pengendara sudah memiliki intensi
untuk mematuhi tanda-tanda lalu Iintas
belum menjamin tingkah laku mematuhi
tanda-tanda lalu lintas akan muncul.
Hal ini dapat terjadi karena pada saat
individu merniliki suatu intensi untuk
bertingkah laku, individu terkadang
belum
menentukan
bagaimana,
kapan, dan dimana tingkah laku
akan dilaksanakan (Heckhausen dan
Gollwitzer dalam Gillholm, Erdeus &
Garling, 1996). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Gollwitzer (dalam
Gillholm, Erdeus & Garling, 1996),
kemungkinan
munculnya
tingkah
laku lebih besar pada individu yang
ketika ia memiliki intensi individu juga
menentukkan bagaimana, kapan, dan
dimana tingkah laku akan dilaksanakan
dibandingkan dengan individu yang
ketika ia memiliki intensi individu belum
menentukan cara, waktu, dan tempat
akan dilaksanakannya tingkah laku.
Mengingat memiliki intensi belum
menjamin munculnya tingkah laku,
peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan antara intensi dan tingkah
laku. Pertimbangan lain bagi penulis
untuk meneliti hal ini karena studi untuk
menganalisis kondisi lalu lintas selama
in; lebih banyak dilakukan dari sudut
pandang sistem transportasi, seperti
pengaturan lampu lalu lintas, rambu lalu
Iintas; gangguan di jalan raya berupa
po!usi lingkungan yang disebabkan oleh
asap kendaraan bermotor (kadar emisi),
dan lain sebagainya. Studi dari sudut
pengguna jalan sendiri, khususnya
pengemudi, belum banyak dilakukan.
Padahal kelancaran ataupun gangguan
yang terjadi di jalan merupakan hasil
perilaku manusia sebagai pengguna
jalan, baik pengemudi kendaraan
maupun pejalan kaki.
Responden dalam penelitian Inl
adalah pengendara (supir) bus kota di
3
JPS VoL. 13 No. 01 Januari 2007
memandang intensi sebagai suatu
kesatuan, bukan sesuatu yang terdiri dari
tiga faktor, yaitu sikap, norma subyektif,
dan perceivedbehaviorcontro/, sehingga
pengukuran terhadap tiga faktor tersebut
tidak dilakukan. Pengukuran tingkah
laku melanggar tanda-tanda lalu lintas
menggunakan kuesioner tingkah laku
didasarkan pada Undang-Undang No
14 tahun 1992 mengenai lalu lintas
dan angkutan jalan serta berdasarkan
hasil observasi langsung di jalan-jalan
protokol di Jakarta. Data yang didapat
dari penelitian ini akan diolah dengan
menggunakan metode korelasi untuk
mengetahui hubungan antara intensi
mematuhi tanda-tanda lalu lintas dan
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas pada pengendara bus kota di
Jakarta.
Jakarta. Penulis memilih pengendara
bus kota karena bus kota sebagai
angkutan massal, juga tidak terlepas dari
pelanggaran lalu Iintas. Berdasarkan
fenomena yang dapat dilihat setiap
harinya, bus kota merupakan kendaraan
yang secara nyata banyak melakukan
tindakan agresif saat berkendara.
Padahal,
pengendara
bus
kota
seharusnya menyadari bahwa ia memiliki
tanggung jawab yang besar terhadap
keselamatan penumpangnya. Namun,
hal itu sepertinya tidak diperhatikan
oleh sebagian besar pengendara bus di
Jakarta. Tingkah laku agresifyang secara
nyata dapat dilihat oleh pengendara
bus kota adalah melanggar tanda­
tanda lalu lintas. Pengendara bus kota
sering kali menurunkan penumpang di
bawah rambu larangan berhenti (stop).
Selain itu, pengendara bus kota juga
sering melanggar lampu lalu lintas. Bus
kota cenderung tetap berjalan ketika
lampu lalu lintas berwarna merah.
Tingkah laku-tingkah laku tersebut
dapat membahayakan pengendara lain
dan penumpang yang ada di dalamnya.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan
penulis memilih pengendara bus kota
sebagai responden dalam penelitian
ini.
Penelitian ini akan menggunakan
metode field study. Artinya, penelitian ini
dilaksanakan saat tingkah laku sedang
berlangsung. Alat ukur dalam penelitian
ini menggunakan kuesioner yang akan
mengukur intensi mematuhi tanda­
tanda lalu lintas serta kuesioner yang
akan mengukur tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas.
Pengukuruan intensi mematuhi tanda­
tanda lalu lintas dilakukan dengan
menggunakan kuesioner intensi yang
mengacu kepada teori Fishbein & Ajzen
(Fishbein & Ajzen. 1975; Ajzen, 1988).
Namun, pada kuesioner ini peneliti
Permasalahan Penelitian
Masalah dalam penelitian ini adalah
"Apakah terdapat hubungan antara
intensi mematuhi tanda-tanda lalu lintas
dan tingkah laku melanggar tanda­
tanda lalu lintas pada pengendara bus
di Jakarta?"
Tinjauan Kepustakaan
Aggressive Driving
Menurut NYS Departement of Motor
Vehicles Governor's Traffic Safety
Committee (2005) aggressive driver
adalah:
"Operates a motor vehicle in a selfish,
bold or pushy manner, without regard
for the rights or safety of other users of
the streets and highways."
(NYS Departement of Motor Vehicles
Committee, 2005)
Definisi ini merujuk kepada cara
seseorang mengendarai kendaraannya
tanpa
menghormati
keselamatan
pengguna jalan
lainnya.
Definisi
aggressive driving yang diberikan oleh
4
Diah Setyowati Ayuningtyas, Guritnaningsih A. Santoso: HUbungan Antara Intensi
Martinez (dalam Indriastuti, 1998)
tidak hanya memfokuskan kepada niat
pengendara untuk melukai pengendara
lain, tetapijuga berbagai macam tingkah
laku mengendarai yang dapat beresiko
bagi pengendara dan pengguna jalan
lainnya. Martinez (dalam Indriastuti,
1998) mendefinisikan aggressive driving
sebagai:
"driving behavior that endangers or is
likely to endanger people or property".
Including a broad spectrum of driving
behaviors, ranging from risky driving
and escalating to dueling and violence
on the road"
(Martinez dalam Indriastuti, 1998; hal
37)
Jadi, dari berbagai definisi yang
telah dijabarkan sebelumnya dapat
disirnpulkan bahwa aggressive driving
merupakan berbagai macam tingkah
laku yang dilakukan pengendara
pada saat mengemudi, yang dapat
mernbahayakan penggunajalan lainnya,
kendaraan lain atau berbagai macam
properti yang terdapat di jalan.
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya aggressive driving dapat
bersifat internal maupun eksternal.
Faktor internal merupakan faktor
yang
berasal
dari
dalam
diri
pengendara. Faktor internal yang dapat
menyebabkan munculnya aggressive
driving diantaranya mood, usia dan
jenis kelamin, kepribadian, gaya hidup,
sikap pengendara, dan intensi. Faktor
eksternal merupakan faktor yang
berasal dari luar pengendara atau
faktor yang berasal dari Iingkungan.
Cannel dan Joint (1996) menyebutkan
beberapa faktor lingkungan yang
dapat menimbulkan aggressive driving,
diantaranya: kebisingan, temperatur,
overcrowding, dan territoriality.
NYS Department of Motor Vehicles
Governor's Traffic Safety Committee
(2005) menjelaskan bahwa aggressive
driving dapat dikarakterisasikan dengan
berdasarkan pelanggaran lalu lintas,
seperti: pelanggaran batas kecepatan,
perpindahan jalur kendaraan secara
tidak aman, melanggar tanda-tanda
lalu lintas, jarak dengan kendaraan lain
yang terlalu dekat, tidak memberikan
sen ketika berpindah jalur, dan cara
mengendarai yang mengganggu.
Kepatuhan Terhadap Tanda-Tanda
Lalu Lintas
Menurut Baron & Byrne (2000),
kepatuhan merupakan bentuk dari
pengaruh sosial dimana individu dirninta
untuk melakukan sesuatu, dan individu
tersebut pun melakukannya. Sedangkan
Deaux, Dane & Sigelman (1993)
menyebutkan kepatuhan tnerupakan
bentuk khusus dari permintaan, dimana
respon dari permintaan ditunjukkan
secara langsung. Individu mematuhi
suatu perintah karena figur yang
memerintahkan
memiliki
otoritas
tertentu (Deaux, Dane & Sigelman,
1993; Corsini, 2002; Bartoli, 2003;
Bernstein, Penner, CI<;lrke-Stewart, &
Roy, 2004). Figur otoritas tidak hanya
berupa individu, tetapi juga dapat berupa
suatu aturan, seperti hukum, kitab suci
dan rambu-rambu lalu lintas Deaux,
Dane & Sigelman, 1993; Corsini, 2002;
Pritchard, 2003).
Dari beberapa definisi yang telah
disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepatuhan merupakan perubahan
opini, penilaian, tingkah laku karena
adanya perintah atau permintaan dari
figur otoritas seperti individu dengan
kedudukan yang lebih tinggi, hukum,
peraturan, kitab suci, rambu-rambu lalu
lintas dan lain sebagainya.
Berdasarkan undang-undang no 14
tahun 1992 mengenai lalu lintas dan
angkutan jalan, tanda-tanda lalu Iintas
5
JPS VoL. 13 No. 01. Januari 2007
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu isyarat
lampu lalu Iintas, rambu-rambu lalu lin~as
dan marka jalan. Tanda-tanda lalu Iintas
merupakan perlengkapan jalan yang
berfungsi untuk menjaga keselamatan,
kelancaran dan ketertiban lalu lintas.
Tiap-tiap golongan tanda-tanda lalu
lintas memiliki berbagai jenis dan
pengguna jalan wajib mematuhi ketiga
golongan tanda-tanda lalu lintas ini.
dengan perilaku dan dapat memprediksi
perilaku tersebut dengan derajat
. ketepatan yang tinggi. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, intensi
untuk melakukan suatu perilaku dapat
berubah. Semakin lama waktu yang
berlalu semakin besar kemungkinan
terjadinya berbagai kejadian yang tidak
terduga yang dapat merubah intensi.
Pengukuran intensi yang dilakukan
setelah terjadinya perubahan intensi
tidak dapat menjadi prediktor yang baik
terhadap munculnya perilaku. Oleh
karena itu, dapat disimplJlkan bahwa
ketepatan prediksi terhadap perilaku
akan semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu antara pengukuran
intensi dengan dilaksanakannya suatu
perilaku.· Sebaliknya, derajat korelasi
yang tinggi antara perilaku dan intensi
dapat diharapkan jika rentang waktu
antara pengukuran dan waktu untuk
dilakukannya perilaku kecil (Ajzen,
1988).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi
intensi individu untuk bertingkah laku,
yaitu sikap, norma subyektif, dan
perceivedbehaviorcontrol. Sikapindividu
terhadap obyek perilaku ditentukan oleh
evaluasi individu terhadap konsekuensi
dari perilaku serta kuatnya asosiasi
diantara keduanya. Penilaian terhadap
setiap konsekuensi yang dipersepsikan
individu, dan persepsi individu terhadap
kemungkinan munculnya konsekuensi
yang dimaksud akan membentuk
sikap pada diri individu (Fishbein &
Ajzen, 1975). Norma subyektif individu
dipengaruhi oleh persepsi 3ubyektifnya
mengenai sejauh mana orang-orang
atau pihak yang dianggap penting
(yang disebut sebagai referents) akan
rnendukung atau lIlelarangnya dalam
melakukan suatu perilaku. Referents
penting karena pendapat atau anjuran
dari referents ini dapat memunculkan
Intensi
Allport (dalam Hall & Lindzey, 1978)
menjelaskan intensi sebagai hal yang
mengindikasikan besarnya usaha yang
dikeluarkan individu untuk melakukan
suatu tingkah laku. Da.lam Fishbein &
Ajzen (1975), intensi atau behavioral
intention didefinisikan sebagai:
"As a person location on subjective
probability dimention involving a relation
between himself and some action. A
behavioral intention therefore, refers to
a person's subjective probability that he
will perform some behavior."
(Fishbein & Ajzen, 1975; hal 288)
Berdasarkan definisi ini berarti
intensi menunjukkan kemungkinan
dilakukannya suatu perilaku oleh
individu. Jika belum menjadi perilaku
nyata,
intensi
masih
merupakan
suatu
disposisi
(kecenderungan)
untuk bertingkah laku. Namun, ketika
kesempatan atau situasi yang tepat
muncul, intensi berubah menjadi suatu
usaha untuk melakukan tingkah laku
tertentu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa seseorang akan melakukan
suatu perilaku jika ia memiliki intensi
untuk melakukan perilaku tersebut
(Ajzen, 1988). Jadi, dari kedua definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa intensi
menunjukkan besarnya usaha yang
memungkinkan dilakukannya suatu
tingkah laku.
Intensi memiliki hubungan yang erat
6
Diah Setyowati Ayuningtyas. Guritnaningsih A. Santoso: Hubungan Antara Intensi
internal pengendara untuk melakukan
tingkah laku agresi saat mengendarai.
Pengendara yang memiliki intensi untuk
mengendarai secara agresif, cenderung
bertingkah laku mengendara secara
agresif. Sebaliknya, pengendara yang
memiliki intensi untuk mengendara
dengan aman, maka ia cenderung
bertingkah laku mengendara yang
aman. Serkaitan dengan penelitian ini,
maka besarnya intensi pengendara bus
untuk mematuhi tanda-tanda lalu Iintas
akan berhubungan dengan besarnya
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintasnya.
motivasi dalam diri individu untuk
meng'ikuti pendapat atau anjuran
(motivation to comply) yang diberikan
referents. Motivasi untuk mengikuti
pendapat atau anjuran ini turut
berperan dalam pembentukan norma
subyektif individu (Fishbein & Ajzen,
1975). Perceived Behavior Control
(PSC) adalah persepsi mengenai sulit
tidaknya melakukan suatu perilaku dan
merupakan gambaran pengalaman
masa lalu individu dengan perilaku
bersangkutan dan sekaligus antisipasi
masa depan (Ajzen, 1988). Faktor ini
dianggap penting karena berkaitan
dengan kontrol persepsi dar; subyek
terhadap tingkah laku. Dengan kata lain,
sejauh mana subyek merasa memiliki
kontrol terhadap kondisi-kondisi yang
memungkinkannya untuk melakukan
suatu tingkah laku.
Metode
Penelitian ini menggunakan pende­
katan kuantitatif. Teknik pengambilan
sampel incidental sampling. Metode
korelasi yang digunakan adalah teknik
korelasi Pearson's Product Moment.
Responden dalam penelitian ini adalah
pengendara bus dengan karakteristik
sudah memiliki 81M S1 Umum, trayek
bus yang dikendarainya merupakan
trayek Jakarta untuk pergi dan pulang
(Jakarta PP) atau trayek Jakarta dan
daerah sate/it untuk pergi dan pulang,
dan respond en harus mengendarai bus
secara rutin atau setidaknya 3 kali dalam
seminggu. Penelitian ini melibatkan 55
responden.
Dinamika Hubungan Antara Intensi
Mematuhi Tanda-Tanda Lalu Lintas
Dan Tingkah
Laku
Melanggar
Tanda-Tanda Lalu Lintas
Intensi atau niat dapat dikatakan
sebagai usaha awal individu untuk
melakukan sesuatu. Allport (dalam
Hall-& Lindzey, 1978) menggambarkan
intensi sebagai harapan, keinginan,
ambisi, aspirasi, rencana seseorang
untuk melakukan sesuatu. Fishbein
dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa
intensi menunjukkan kemungkinan
dilakukannya tingkah laku. Dari kedua
pendapat ini dapat disimpulkan bahwa
intensi merupakan besarnya usaha
yang memungkinkan individu untuk
memunculkan suatu perilaku. Jadi
dapat dikatakan bahwa individu akan
melakukan suatu perilaku jika ia memiliki
intensi untuk melakukan perilaku
tersebut (Ajzen, 1988).
Segitu pula dalam hal mengendarai.
Intensi juga merupakan salah satu faktor
Instrumen
Alat ukur dalam penelitian ini terdiri
dari 2 jenis kuesioner, yaitu kuesioner
in+~nsi mematuhi tanda-tanda lalu Iintas
dan kuesioner tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas. Kedua kuesioner
ini menggunakan skala dengan empat
kategori respon. Skoring diberikan
untuk setiap itemnya berdasarkan
respon yang diberikan subyek. Skoring
positif diberikan untuk setiap pernyataan
favorable dan skoring negatif diberikan
7
JPS Vol. 13 No. 01 Januari 2007
melanggar tanda-tanda lalu lintas. Hal
ini menunjukkan, ada hubungan antara
variabel intensi mematuhi tanda-tanda
lalu lintas dengan variabel tingkah
laku melanggar tanda-tanda lalu Iintas.
Hubungan yang dimiliki oleh kedua
variabel adalah hubungan terbalik, yaitu
semakin tinggi skor intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas maka semakin
rendah skor tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas, begitu pula
sebaliknya.
Kecenderungan belief responden
dilihat dari nilai rata-rata tiap item.
Semakin tinggi rata-rata item, maka
peran beliefpada item tersebut semakin
besar, dan sebaliknya.
untuk setiap pernyataan unfavorable.
Uji reliabilitas dilakukan dengan
metode Cronbach-Alpha. Koefisien
Alpha untuk kuesioner intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas sebesar 0.8840,
sedangkan koefisien Alpha untuk
kuesioner tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu Iintas sebesar 0.9207.
Dari hasil uji reliabilitas diketahui bahwa
kedua alat ukur memiliki reliabilitas yang
baik.
Hasil Penelitian
Dari hasil pengolahan dan perhitungan
Pearson's Product Moment, diperoleh
Ililai koefisien korelasi sebesar -.561
dengan tingkat signifikansi 0.00 (I.o.s
TABEL 1.1 Gambaran Mean Belief Mematuhi Tanda-Tanda Lalu Lintas Subyek
FAKTOR
Salient
Belief
Sig.
Others
Belief
Control
PERNYATAAN
Mean
item
Mematuhi tanda-tanda lalu lintas pada malam hari
Menjaga ketertiban
Tidak mengambil penumpang pada tempat yang terdapat rambu
dilarang STOP
Mematuhi walau setoran tidak terpenuhi
Tidak mengambil penumpang yang menunggu di sembarang tempat
Agar disiplin
Mengendarai dengan penuh kesadaran
Menghindari tilang/denda dari petugas
Agar lancar
Mengendarai bus dengan hati-hati
Harus dipatuhi
Penumpang berkurang
Menjaga keselamatan pengguna jalan
Mempedulikan anjuran keluarga
Mengikuti anjuran perusahaan
Menolak permintaan penumpang untuk diturunkan sembarang tempat
Mengikuti anjuran petugas
Mengikuti saran teman supir lain
Yang menentukan untuk melanggar adalah diri sendiri
Menjaga keseJamatan penumpang
Mudah, karena di:: :ldiakan fasilitas mengambil penumpang
Paluh walau tidak ada pelugas
Tidak pedulikan pnumpang yang nunggu di sembarang tempat
Setoran yang harus terpenuhi tidak menyulitkan untuk mematuhi tanda
tanda lalu lintas
3.67
3.45
3.40
3.44
3.28
3.28
2.96
3.06
2.78
2.75
2.69
2.22
2.18
3.65
3.25
3.17
3.04
3.02
2.75
3.60
3.46
3.05
2.89
2.51
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa
hampir semua belief yang berperan
dalam intensi mematuhi tanda-tanda
0.01). Berarti, terdapat korelasi yang
signifikan antara intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas dan tingkah laku
8
Diah Setyowati Ayuningtyas, Guritnaningsih A. Santoso: HUbungan Antara (ntensi
yang memiliki nilai terendah, yaitu
mematuhi tanda-tanda lalu lintas untuk
menjaga keselamatan penurnpang
(mean
2.18) dan belief mematuhi
tanda-tanda lalu Iintas walaupun
penumpang berkurang (mean =2.22).
Padasignificantothers, mempedulikan
anjuran keluarga untuk selalu mematuhi
tanda-tanda lalu Iintas dengan memiliki
rata-rata paling tinggi (3.65) dan yang
menentukan untuk melanggar tanda­
tanda lalu lintas adalah diri sendiri
memiliki
rata-rata
paling
rendah
lalu lintas memiliki rata-rata diatas nilai
tengah (2.5). Hal ini menunjukkan peran
beliefs dalam pembentukkan intensi
tanda-tanda lalu Iintas tergolong tinggi.
Pada salient belief, ada 3 belief yang
memiliki nilai rata-rata paling tinggi,
yaitu belief mematuhi tanda-tanda lalu
lintas pada malam hari (mean = 3.67),
belief mematuhi tanda-tanda lalu lintas
untuk menjaga ketertiban (mean =
3.45) dan belief mematuhi tanda-tanda
lalu lintas walau setoran tidak terpenuhi
(mean = 3.44). Selain itu, ada 2 belief
=
TABEL 1.2 Gambaran Mean Tiap Tingkah Laku Melanggar Tanda-Tanda Lalu Lintas Subyek
GOL
MARKA
JALAN
LAMPU
LALU
L1NTAS
RAMBU
LALU
L1NTAS
PERNYATAAN
Menggunakn jalur lambat untuk ambil penumpang saat jalan lancar
Menggunakan bahu jalan saat jalan padat
Mengurangi kecepatan saat melewati zebra cross
Melewati garis lurus saat tidak ada petugas
Melewati garis lurus saat jalan padat
Melewati garis putih pertemuan 2 jalur saat jalan lancar
Menggunakan bahu jalan saat tidak ada petugas
Melewati garis putih pertemuan 2 jalur saat tidak ada petugas
Melewati gans putih pertemuan dua jalur
Menggunakan bahu jalan saat jalan lancar
Melewati garis lurus saat ada petugas
Menggunakan bahu jalan saat ada petugas
Berhenti di persimpangan saat lampu hijau kondisi jalan padat
Berhenti di persimpangan saat lampu hijau & tdk ada petugas
Tetap berjalan saatlampu pejalan kaki hijau & ada petugas
Menambah kecepatan saat lampu kuning dan ada petugas
Tetap belok saat lampu belok merah ketika ada petugas
Melambatkan kecepatan saat lampu hijau dan ada petugas
Tetap berbelok saatlampu belok merah kondisi jalan padat
Menerobos lampu merah saat tidak ada petugas
Berhenti saat lampu hijClu saat tidak ada petugas
Menerobos lampu merah saat jalan padat
Menerobos lampu merah saat jalan lancar
Menerobos lampu merah saat ada petugas
Melewati batas kecepatam maksimum saat tidak ada petugas
Menurunkan penumpang di jalur cepat saat jalall padat
Ngetem di perimpangan jalan
Ambil penumpang di persimpangan sa at tidak ada petugas
Ngetem di tikungan
Mengambil penumpang di persimpangan saat jalan lancar
Mengurangi kecepatan saat akan melewati persimpangan
Ambil penumpang di jalur cepat saat tidak ada petugas
Mengambil penumpang di ramiJu STOP saat ada petugas
Menurunkan penumpang di jalan tol saat jalan padat
Menurunkan penumpang di jalan lol saat tidak ada petugas
Menurunkan penumpang di jalur cepat saat jalan lancar
Menurunkan penumpang di jalur cepat saal ada petugas
9
Mean
item
2.65
2.38
2.18
2.05
1.98
1.89
1.84
1.80
1.73
1.69
1.64
1.45
1.89
1.69
1.65
1.62
1.62
1.56
1.56
1.49
1.47
1.43
1.31
1.20
1.98
1.98
1.94
1.93
1.85
1.82
1.69
1.60
1.58
1.58
1.43
1.41
1.18
JPS VoL. 13 No. 01 Januari 2007
laku melanggar tanda-tanda lalu
lintas. Hal ini sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh Fishbein dan
Ajzen (1975) yang menyatakan bahwa
individu akan melakukan tingkah laku
jika ia memiliki intensi untuk melakukan
hal itu. Hasil penelitian ini sama dengan
hasil penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh Ajzen (1988) dan
Manstead (dalam Ajzen, 1988), yang
juga mencari hubungan antara intensi
dan tingkah laku namun dalam tema
yang berbeda.
Dari perhitungan mean tiap-tiap belief
didapatkan bahwa salient belief yang
paling berperan dalam pembentukan
intensi adalah mematuhi tanda-tanda
lalu lintas pada malam hari, mematuhi
tanda-tanda lalu linta$ untuk menjaga
ketertiban dan mematuhi tanda-tanda
lalu lintas walau setoran tidak terpenuhi.
Significant others yang paling berperan
dalam pembentukan intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas adalah keluarga.
Belief control yang paling berperan
adalah mematuhi tanda-tanda lalu
lintas untuk menjaga keselamatan
penumpang. Dari ketiga hal di atas
dapat dilihat bahwa belief-belief yang
paling berperan dalam pembentukan
intensi pengendara bus lebih bersifat
eksternal. Berarti, intensi pengendara
bus untuk mematuhi tanda-tanda lalu
Iintas lebih dipengaruhi oleh faktor­
faktor yang berada di luar dirinya
dibandingkan faktor-faktor yang berada
di dalam diri pengendara sendiri.
Berdasarkan teori belajarinstrumental,
hal ini dapat terjadi karena faktor­
faktor eksternal lebih memberikan
reinforcement sebagai konsekuensi dari
respon yang diberikan. Contohnya, dari
belief mematuhi tanda-tanda lalu lintas
agartidak kena tilang dapat dilihat bahwa
pengendara bus memiliki keyakinan
mematuhi tanda-tanda lalu
jika ia
(2.75). Pada belief control, mematuhi
tanda-tanda lalu lintas untuk menjaga
keselamatan penumpang merupakan
belief control yang paling berperan
dalam pembentukan intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas karena mean
yang dimiliki tinggi, yaitu 3.60. Belief
yang paling sulit dikontrol pengendara
bus adalah setoran yang harus
terpenuhi, karena memiliki nilai mean
yang paling kedl yaitu, 2.51.
Kecenderungan
sering
tidaknya
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu Iintas dilihat dari nilai rata-rata tiap
item. Semakin tinggi rata-rata item,
maka tingkah laku pada item tersebut
semakin sering dilakukan, dan semakin
rendah rata-rata item, maka tingkah
laku pada item tersebut semakin jarang
dilakukan
Dari tabel 1.2 dapat dilihat bahwa
hampir semua tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu Iintas berada dibawah
nilai median (2.5). Hal ini menunjukkan
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas tersebut tergolong rendah.
Dari semua tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu Iintas itu, tingkah laku
menurunkan penumpang di jalur cepat
saat ada petugas merupakan tingkah
laku yang paling jarang dilakukan oleh
pengendara bus (mean =1.18). Diantara
tingkah laku yang berada dibawah nilai
median, hanya ada satu tingkah laku
yang berada diatas nilai median yaitu
tingkah laku menggunakan jalur lambat
untuk mengambil penumpang saatjalan
lancar (mean = 2.65). Berarti tingkah laku
ini merlJpakan tingkah laku yang paling
sering dilakukan oleh pengendara bus.
Diskusi
Hasil utama dari penelitian Inl
menu~ukkan adanya hubungan yang
signifikan antara intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas dan tingkah
10
Diah Setyowati Ayuningtyas, Guritnaningsih A. Santoso: HUbungan Antara Intensi
t
I.;.•
f
t
I.'.·
..
•
Iintas maka ia akan mendapat negative
reinforcement berupa terhindar dari
tilang petugas. Sebaliknya, pengendara
bus juga memiliki keyakinan bahwa jika
ia melanggar tanda-tanda lalu lintas,
maka ia akan terkena tilang petugas.
Dari hasil penelitian juga didapatkan
bahwa tingkah laku melanggar tanda­
tanda lalu lintas pada pengendara
tergolong rendah. Pada masing-masing
jenis tanda-tanda lalu lintas juga
didapatkan nilai mean yang lebih rendah
dari nilai median. Dengan demikian,
pelanggaran tanda-tanda lalu lintas
yang dilakukan pengendara bus pada
setiap jenisnya juga tergolong rendah.
Namun, rata-rata pelanggaran terhadap
marka jalan lebih tinggi dibandingkan
pelanggaran terhadap larilpu lalu Iintas
dan rambu lalu lintas. Maka dapat
disimpulkan bahwa pelanggaran yang
paling sering dilakukan oleh pengendara
bus adalah pelanggaran marka jalan.
Menurut asumsi peneliti, berdasarkan
fenomena yang ada, hal ini dapat terjadi
karena pengendara yang melanggar
marka jalan jarang diberikan sanksi
dibandingkan dengan pengendara yang
melanggar lampu lalu lintas ataupun
rambu lalu Iintas.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas yang paling sering dilakukan
adalah
tingkah
laku
mengambil
penumpang di jalur lambat saat
jalan lancar. Menurut informasi yang
diperoleh peneliti melalui wawancara,
tingkah laku mengambil penumpang di
jalur lambat saat jalan lancar banyak
dilakukan oleh pengendara bus karena
pengendara bus mempersepsikan jalur
lambat sebagai jalur untuk menaikan
dan
menurunkan
penumpang.
Padahal, menaikkan dan menurunkan
penumpang seharusnya dilakukan di
halte. Selain itu, pelanggaran ini sering
terjadi karena banyak penumpang yang
menunggu di sepanjang jalur lambat
akibat jarak antar halte sangat jauh.
Sampai saat ini, halte-halte banyak
dibangun hanya pada jalan-jalan
protokol saja, sedangkan untuk jalan­
jalan arteri biasa jarak antara satu halte
dengan halte lainnya sangat jauh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa intensi mematuhi tanda-tanda
lalu Iintas pengendara bus tergolong
tinggi dan tingkah laku melanggar
tanda-tanda lalu lintas pengendara bus
tergolong rendah. Hasil penelitian ini
bertentangan dengan fenomena yang
terjadi setiap harinya. Berdasarkan
fenomena yang teramati, secara umum,
pengendara bus banyak melakukan
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas.
Menurut peneliti, perbedaan hasil
penelitian ini dengan fenomena yang
teramati setiap hari dapat terjadi karena
beberapa hal. Pertama, pengendara
bus sudah memiliki cukup kesadaran
bahwa tanda-tanda lalu lintas harus
dipatuhi dan mereka sudah memiliki
intensi untuk mematuhinya, namun
pengendara bus terpaksa melanggar
karena ada hal-hal yang bersifat
eksternal yang mendorong mereka
untuk melakukan pelanggaran tanda­
tanda lalu Iintas. Salah satu contoh
hal-hal yang mendorong pengendara
bus untuk melakukan pe!anggaran
tanda-tanda lalu lintas adalah setoran
yang harus terpenuhi setiap harinya.
Tingginya setor....n yang harus terpenuhi
setiap harinya memicu pengendara bus
untuk melakukan pelanggaran tanda­
tanda lalu lintas.
Kedua,
kurang
konsistennya
punishment yang diberikan oleh polisi
atau dinas perhubungan kepada
pengendara bus yang melanggar tanda­
tanda lalu lintas. Pengendara bus yang
11
JPS VoL. 13 No. 01 Januari 2007
yang lengkap. Alat ukur yang digunakan
sebaiknya benar-benar berdasarkan
kerangka teori intensi dari Fishbein
dan Ajzen. Karena terbatasnya waktu,
penelitian ini hanya mengacu kepada
teori intensi Fishbein dan Ajzen,
sehingga besarnya pengaruh faktor­
faktbr pembentuk intensi tidak dapat
diketahui. Dengan berdasarkan kepada
kerangka teori intensi dari Fishbein dan
Ajzen, akan diperoleh gambaran yang
lebih komprehensif.
Kedua, agarlebih mendapatgambaran
kontribusi·dan interaksi dari faktor-faktor
pembentuk intensi mematuhi tanda­
tanda lalu Iintas yang lebih berpengaruh
terhadap tingkah laku melanggar tanda­
tanda lalu lintas pengendara, sebaiknya
dilakukan pengukuran terhadap tiga
faktor pernbentuk intensi, yaitu sikap,
norma subyektif dan perceived behavior
control.
Ketiga, penelitian ini tidak menggali
lebih
dalam
mengenai
intensi
pengendara bus untuk mematuhi
tanda-tanda lalu lintas dan tingkah laku
melanggar tanda-tanda lalu lintas yang
dilakukan pengendara bus. Sebaiknya,
pada penelitian selanjutnya, intensi
mematuhi tanda-tanda lalu lintas dan
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas harus lebih digali lagi. Untuk
dapat
menggali
jawaban-jawaban
respondent perlu ditambahkan metode
lain seperti wawancara dan partisipant
observation.
Selain saran teoritis, ada beberapa
saran praktis yang dapat diberikan.
Pertama, alat ukur intensi in; dapat
dijadikan sebagai prediktor tingkah
laku melanggar tanda-tanda lalu lintas.
Dengan demikian, alat ukur ini dapat
digunakan sebagai suatu alat untuk
melakukan assessment berkala bagi
pengendara mengenai tingkah laku
melanggar tanda-tanda lalu Iintas yang
melakukan pelanggaran tanda-tanda
lalu Iintas terkadang tidak diberikan
punishment berupa tilang dari petugas.
Akibatnya, pengendara bus tidak belajar
bahwa jika ia melakukan pelanggaran
tanda-tanda lalu lintas, maka ia akan
mendapatkan hukuman berl.lpa tilang.
Ketiga, faktor yang lebih bersifat
teknis penelitian, pada. saat penelitian
berlangsung. Ada kemungkinan subyek
ingin memberi kesan yang sebaik­
baiknya (faking good) dalam mengisi
kuesioner yang diberikan. Pengendara
merasa dirinya akan dinilai oleh peneliti
sehingga pengendara memberikan
jawaban yang ideal bukan jawaban
yang mencerminkan dirinya sendiri.
Kesimpulan
Permasalahan yang hendak dijawab
pada penelitian ini adalah apakah
terdapat hubungan antara intensi
mematuhi tanda-tanda lalu lintas dan
tingkah laku melanggar tanda-tanda
lalu lintas pada pengendara bus kota di
Jakarta? Berdasarkan hasil pengolahan
data, didapatkan hubungan antara
intensi mematuhi tanda-tanda lalu lintas
dan tingkah laku melanggartanda-tanda
lalu Iintas. Hal in; berarti Ho ditolak dan
Ha diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang terbalik antara intensi mematuhi
tanda-tanda lalu lintas dan tingkah
laku melanggar tanda-tanda lalu Iintas,
artinya semakin tinggi intensi mematuhi
tanda-tanda lalu Iintas maka semakin
rendah tingkah laku melanggar tanda­
tanda lalu lintas.
Saran
Ada beberapa saran teoritis yang
dapat dipertimbangkan untuk penelitian
selanjutnya. Pertama, agar lebih
mendapat
gambaran
menyeluruh
sebaiknya menggunakan model teoritik
12
Diah Setyowati Ayuningtyas, Guritnaningsih A. Santoso: Hubungan Antara Intensi
ia lakukan selama ia mengemudi.
Kedua, pemerintah, melalui DLLAJ
dan departemen perhubungan, harus
segera memperbaiki kondisi fisik tanda­
tanda lalu lintas, terutama marka jalan,
yang sudah kusam dan rusak. Selain
itu, rambu-rambu lalu lintas juga harus
diletakkan di tempat-tempat yang
tidak terhalang oleh benda-benda
disekitarnya, sehingga pengendara
dapat dengan jelas melihatnya. Hal
ini perlu dilakukan agar pengguna
jalan dapat dengan mudah melakukan
sensasi terhadap tanda-tanda lalu Iintas,
sehingga persepsi terhadap tanda­
tanda lalu Iintas juga dapat dengan
mudah dilakukan.
Routledge.
Deaux, Kay., Francis C. Dane, Lawrence
S. Wrightsman. (1993). Social
Psychology in the '90s. California:
Brooks/Cole Publishing Company.
Fishbein M., Ajzen, I. (1975). Belief,
Attitude, Intention and Behavior:
An introduction to Theory and
Research.
Addison-Wesley:
Reading Massachusetts.
Gillholm, Robert., Johan Erdeus,
Tommty Garling. (1996) The Effect
of Choice on Intention-Behavior
Consistency [on-line], vol. 9: 26.
Diambil dari http://www.psy.gu.se/
download/gpr969.pdf tanggal 31
Mei 2006.
Daftar Pustaka
Attitudes,
Ajzen,
leek.
(1988).
Personality and Behavior. Milton
Keynes: Open University Press.
Hall,
Baron, Robert A., Donn Byrne. (2000).
Social Psychology 9th Edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Calvin S., Gardner Lindzey.
(1985). Introduction to Theories of
Personality. New York: John Wiley
& Sons.
Indriastuti, Aryani. (1998). Perilaku
Agresif pengemudi Kendaraan
Pribadi. Depok: Fakultas Psikologi
UI.
Bartoli, Angela M. (2003). Sociai
Psychology. Diambil dari http:/L
www.ship.edu/-ambartlPSY 220/
conformoutline.htm tanggal 20
Januari 2006
Joint, Matthew. (1995). Road Rage.
Diambil
dari
http://www.
aaafou ndation .org/resource/
index.cfm?button=agdrtexttanggal
17 Juni 2005.
Bernstein, Douglas A., Louis A. Penner,
Alison Clarke-Stewart & Edward
J. Roy. (2004). Social Influences.
Diambil dari http://psyc.queensu.
ca/courses/psyc399/SociaIPart3.
htm tanggal 20 Januari 2006.
Kendaraan Pribadi,
Biang Macet
Jakarta. Warta Kota, 30 April 2003.
Diambil dar; http://www.pelangi.
or.id/media.php?mid=83 tanggal
20 Juni 2005.
Connel, Dominic & Joint Matthew
(1996). Driver Aggression. Diambil
dari
http://www.aaafolJndation.
org/resource/index.
cfm?button=agdrtext tanggal 17
Juni 2005.
Kesehatan Pengemudi Faktor Utama
Kecelakaan Lalu Lintas. Kompas,
30 September 2003. Diambil dari
http://www.kompas.co.id/kompas
cetak/0309/30/iptek/591298.htm
diambil tanggal 27 Januari 2006.
Corsini. (2002) The Dictionary of
Psychology. New York: Brunner-
Merindukan
13
Jakarta
Tertib
Berlalu
JPS VoL. 13 No. 01 Januarl2007
Lintas. Liputan 6, 15 Januari 2005.
Diambil dari http://www.liputan6.
com/view/0.93791.1 ,0,113831817
4.html tanggal 27 Januari 2006
NYS Departement of Motor Vehicles
Governor's
Traffic
Safety
Committee. (2005). Aggressive
Driving. Diambil dari http://www.
nysgtsc.state.ny.us/aggr-ndx.htm
tanggal 17 Juni 2005.
14
Download