6 SOSIAL EKONOMI KEHIDUPAN MASYARAKAT Sosio-economic Concerning The Community Life Fajri dan Agussabti Program Studi Magister Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh (Indonesia) I. LATAR BELAKANG Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang terdapat di Provinsi Aceh atau tepatnya E kosistem di Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Timur (Kabupaten Nagan Raya) dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan hutan rawa gambut yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan juga mempunyai kandungan karbon yang cukup besar yang mencapai 50-100 juta ton (YEL, 2008). Di lihat dari sudut pandang agroekologi, areal hutan rawa gambut ini disamping sebagai daerah penyangga dan tempat penyimpan air bagi masyarakat dan juga sebagai pengatur untuk iklim lokal. Beberapa kajian sebelumnya telah dilaporkan bahwa di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa juga terdapat aneka satwa yang unik dan dilindungi yaitu tempat hidup satwa liar orang utan Sumatera yang sudah masuk dalam kategori endemik. Rawa gambut ini juga merupakan suatu ekosistem air yang sangat penting dalam menyangga perubahan iklim dan menjadi sumberdaya air hayati yang di dalamnya terdapat aneka kehidupan akuatik yang selain berfungsi sebagai sumber pencaharian penduduk (ikan Lele lokal atau ikan Limbek) juga bisa menjadi plasma nutfah aneka organisme khususnya organisme perairan (akuatik). Berdasarkan uraian singkat ini, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah ini menjadi sangat penting bagi ekosistem hutan rawa gambut dan sumber ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan. Namun, dalam satu dekade terakhir ini, ternyata ekosistem ini dilaporkan telah mengalami degradasi yang dikhawatirkan akan berdampak pada perubahan lingkungan lokal dan global. Salah satu yang diduga menjadi penyebab degradasi adalah adanya kegiatan konversi areal hutan rawa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan Kelapa Sawit yang dilakukan oleh pihak swasta maupun oleh masyarakat perorangan/kelompok. Beberapa indikasi telah menunjukkan bahwa hampir dua per tiga areal hutan ini telah dikonversi menjadi lahan perkebunan/pertanian. Adanya konversi hutan ini maka akan terjadi perubahan pola 179 180| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST penggunaan lahan yang memberikan implikasi luas pada perubahan tata lingkungan dan perubahan pola kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang ada di sekitarnya. Di satu sisi, berdasarkan perhitungan ekonomi, konversi areal hutan menjadi lahan pertanian mungkin akan mendatangkan manfaat ekonomi tertinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, keuntungan bagi pengelola perusahaan, dan pendapatan asli daerah (PAD). Namun di sisi lain, secara ekologis dalam jangka panjang, konversi ini akan menjadi ancaman terhadap kelestarian alam yang pada akhirnya juga akan berdampak pada kerugian secara materil bagi masyarakat setempat. Untuk itu perlu dilakukan kajian sosial-ekonomi yang mendasar dan komprehensif terhadap dinamika perubahan ekologis pada ekosistem TPSF ini dan menemukan solusi-solusi untuk melakukan upaya-upaya konservasi atau merehabilitasinya. II. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP STUDI Kajian aspek sosial ekonomi masyarakat bertujuan untuk : (1) Mengumpulkan dokumen dan data berkaitan dengan aspek kedidupan sosial, ekonomi dan budaya di ekosistemHutan Rawa Gambut Tripa (TPSF), (2) Mendeskripsikan penghidupan masyarakat di ekosistem TPSF dengan fokus ketergantungan pada sumberdaya alam. (3) Mengkaji pola hubungan sosial, persepsi, harapan dan masukan dari masyarakat TPSF untuk mengelola dan merestorasi ekosistem TPSF. (4) Mengembangkan beberapa skenario restorasi ekosistem TPSF berdasarkan hasil perbandingan analisis sosial-ekonomi. Ruang lingkup kegiatan studi Rawa Tipa ini adalah sebagai berikut : (1) Menganalisis tata guna dan HGU yang didasarkan pada beberapa sumber, termasuk pemetaan partisipasi masyarakat yang digabung dengan tata guna lahan melalui keterlibatan mayarakat. (2) Mengkaji-ulang beberapa potensi bencana terhadap ekosistem TPSF, termasuk menganalisis beberapa kegiatan yang membahayakan kelangsungan restorasi, dan merekomendasikan mitigasi bencana dan kegiatan. (3) Menganalisis keterlibatan dan interaksi berbagai pihak di ekosistem TPSF, dan memastikan kapasitas dan kemauan para pihak untuk berpartisipasi dalam program restorasi TPSF, khususnya dalam hal: - Perencanaan dan implementasi, dan - Monitoring dan evaluasi (4) Menentukan para pihak yang terkena pengaruh restorasi (5) Menghimpun dan mengkaji ulang program/proyek yang telah dilaksanakan di ekosistem TPSF, termasuk milik pemerintah kabupaten, dan menentukan suatu kemungkinan sinergi antara program/proyek dengan kegiatan restorasi yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di ekosistem TPSF LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 181 (6) Mendeskripsikan secara rinci berbagai jenis mata pencaharian masyarakat yang hidup di ekosistem TPSF. (7) Mengkaji dan mencatat pemahaman dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem TPSF, antara lain hak terhadap lahan, dampak kerusakan lingkungan, mata pencaharian yang berkelanjutan, kelembagaan, dan potensi bencana terhadap lingkungan dan masyarakat. (8) Melakukan analisis biaya sosial masyarakat (opportunity-cost analysis), termasuk analisis ekonomi terhadap pengelolaan lahan gambut, misalnya, dari sisi perkebunan sawit versus konservasi dan skenario lainnya. (9) Membuat penaksiran kelangsungan program pengelolaan TPSF, termasuk simulasi ouput/outcome kegiatan restorasi dalam 100 tahun dari sekarang berdasarkan perhitungan analisis biaya sosial. Output dari kegiatan ini adalah kajian sosial-ekonomi kehidupan masyarakat di ekosistem TPSF. III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Kegiatan kajian dilakukan di areal yang menjadi ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh yang luasnya 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya. Kecamatan Darul Makmur dipilih 9 gampong yang sangat berdekatan dengan ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Alue Kuyun, (2) Pulo Kruet, (3) Sumber Makmur, (4) Makarti Jaya, (5) Kuala Seumayam, (6) Blang Luah, (7) Alue Bateung Brok (8) Ladang Baro, dan (9) Ujong Tanjong, Dalam Kecamatan Tripa Makmur dipilih 9 gampong yang sangat berdekatan dengan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Babah Lueng dan (2) Kuala Tripa. Dalam Kecamatan Babah Rot dipilih 3 gampong yang sangat berdekatan dengan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Cot Simantok, (2) Pante Cermin dan (3) Ie Mirah. Kegiatan kajian ini dilaksanakan mulai Maret sampai dengan Oktober 2013. B. Objek Penelitian Objek penelitian adalah masyarakat dan tokoh masyarakat yang berdomisili di 11 gampong lokasi penelitian, dan 5 perusahaan perkebunan Kelapa Sawit, yaitu: (1) PT. Cemerlang Abadi, (2) PT. Patriot Guna Sakti Abadi-2, (3) PT. Surya Panen Subur-2, (4) PT. Kalista Alam, dan (5) PT. Gelora Sawita Makmur. Masing-masing perusahaan dipilih 1 orang karyawan yang ditunjuk oleh perusahaan untuk diwawancara/mengisi kuesioner. C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal dan kehidupan mereka tergantung pada ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Populasi ini distrata menjadi 3 kelompok sampel, yaitu anggota masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan karyawan perusahaan. Sampel anggota masyarakat biasa dipilih 10 orang setiap gampong, Tokoh masyarakat adalah Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 182| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST geuchik dan Ketua Sineubok/Ketua Kelompok dari masing-masing gampong penelitian. Sampel karyawan dari 5 perusahaan perkebunan besar masing-masing dipilih 1 orang. Jumlah responden masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 1 berikut. Metode pengambilan data yang dilakukan adalah melalui tiga cara yaitu : (a) melakukan wawancara terhadap responden anggota masyarakat dan karyawan dengan menggunakan kuesioner. (b) melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan tokoh-tokoh masyarakat, (c) melalui pengumpulan data sekunder dari dokumen yang tersedia di Lembaga-lembaga Pemerintah Kabupaten dan dari berbagai sumber lainnya. Tabel 1. Jumlah Responden masing-masing Kelompok No Kelompok Responden 1 Anggota masyarakat 2 Tokoh masyarakat 3 Karyawan Perkebunan Jumlah # Gampong/ perusahaan 14 14 5 Responden per gampong atau per perusahaan 10 2 1 # Responden 52 21 5 78 Adapun data/parameter keadaan sosial ekonomi dan budaya yang dibutuhkan adalah: (1) Jumlah dan Nama Perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang terdapat dalam Ekosistem TPSF yang telah dan/atau akan melakukan konversi lahan untuk Perkebunan/Kelapa Sawit (2) Data keadaan masyarakat yang berada dalam dan sekitar Ekosistem TPSF yang meliputi : Jumlah dan luas Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Tanggungan, Tingkat Pendidikan, Mata Pencaharian, Status Lahan, dan Tingkat pendapatan per kapita, (3) Pola interaksi masyarakat dengan perkebunan perkebunan besar sawit dan sawit rakyat (4) Persepsi masyarakat tentang perkebunan besar dan sawit rakyat; (5) Kelembagaan masyarakat lokal sekitar rawa tripa; (6) Budaya/tata nilai masyarakat setempat terkait pemanfaatan dan pelestarian hutan; (7) Pola pemanfaatan lahan serta pola mata pencaharian sektor kayu dan non-kayu; (8) Harapan masyarakat terhadap restorasi hutan gambut dan manajemen restorasinya; (9) Partisipasi apa yang dapat dilakukan masyarakat untuk restorasi hutan gambut (tingkat partsipasi, faktor yg mempengaruhinya); (10) Penggunaan dan kepemilikan lahan masyarakat dalam Ekosistem TPSF; (11) Stakeholder yang terkena areal restorasi; (12) Jenis produk, jumlah dan harga dari Ekosistem TPSF; (13) Pembangunan masyarakat melalui penguatan kelembagaan lokal dan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian gambut tripa dalam upaya LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 183 peningkatan peluang usaha, jaringan pasar dan pemasaran, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. (14) Analisis biaya sosial antara sawit dan non sawit (15) Nama-nama tokoh sentral dalam masyarakat yang mungkin terlibat atau dapat dilibatkan dalam kegiatan rehabilitasi lahan di areal TPSF. (16) Data Luas Areal yang telah dikonversi menjadi Kelapa Sawit oleh Perusahaan HGU dan Masyarakat (17) Produk-produk yang mempunyai nilai pasar dan telah sangat berkurang atau hilang sehubungan dengan konversi lahan ke perkebunan sawit (18) Nilai konstribusi perusahaan HGU terhadap pendapatan masyarakat setempat dan konstribusi terhadap upaya-upaya rehabilitasi lahan yang telah dan akan dilakukan. (19) Keterlibatan pihak-pihak lain (NGO) yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembinaan masyarakat setempat dan keterlibatan dalam usaha-usaha konservasi dan rehabilitasi lahan di areal TPSF. D. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan kegiatan studi yang terkait dengan kajian-4 dibagi atas beberapa tahapan, yaitu persiapan, pra-survai, survai lapangan dan tabulasi data, analisis data, dan penyusunan laporan. Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang keahlian.Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan oleh Koordinator Tim dan seluruh peneliti. Pada tahap ini, Tim juga menyusun draft kuesioner dan guideline untuk in-depth interview. Tahap Pra-survai Tahap pra-survai yaitu melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi (TPSF) yang diikuti oleh seluruh Tim Ahli dan Ketua/Koordinator Tim untuk melakukan orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian gampong sampel dan informasi untuk membuat kuesioner dan guideline in-depth interview. Kegiatan Pra-survai ini telah dilaksanakan selama 5 hari yaitu mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mai 2013.Hasil kegiatan pra-survai ini telah didiskusikan kembali pada tanggal 3 Mai 2013 untuk perencanaan kegiatan selanjutnya terutama persiapan untuk survai lapangan.Kuesioner dan petunjuk umum wawancara mendalam disempurnakan setelah menerima masukan dari bidang kajian lainnya. Survai Lapangan Survai lapangan dilaksanakan untuk mewawancarai responnden secara langsung di lokasi penelitian sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Tim ahli dan enumerator yang telah dilatih secara khusus untuk melakukan wawancara dengan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 184| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST responden yang akan dilaksanakan secara terpadu pada Minggu II bulan Mei 2013. Survai lapangan bidang sosial ekonomi dan budaya serta legal lingkungan akan melibatkan 3 bidang keahlian yaitu (1) bidang sosial ekonomi, (2) bidang sosial budaya, dan (3) bidang legal lingkungan. Dalam melaksanakan survai lapangan Tim Ahli dibantu oleh 5 orang enumerator lapangan. Analisis Data Kuesioner yang telah diisi melalui wawancara dengan responden di lokasi penelitian, kemudian dientri dan ditabulasi menjadi tabel-tabel.Tabel-tabel yang dibuat didasarkan kepada indikator/parameter keadaan sosial ekonomi dan budaya yang yang telah ditetapkan dalam ruang lingkup kajian dan juga didasarkan pada metode yang digunakan. Penyusunan Laporan Tahap terakhir adalah penyusunan laporan studi sosial ekonomi dan budaya kehidupan masyarakat di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF). Dalam laporan, akan dideskripsikan aspek sosial ekonomi masyarakat lokal, kondisi sarana dan prasarana, potensi sumberdaya ekonomi lokal, analisis pengembangan komoditas ramah lingkungan, pendapatan masyarakat dan daerah, persepsi masyarakat terhadap alih fungsi lahan rawa gambut Tripa, evaluasi biayamanfaat komoditas Kelapa Sawit, lembaga lokal dan lembaga kemitraan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa secara administratif terletak di Kecamatan Darul Makmur, Kecamatan Tripa Makmur dalam Kabupaten Nagan Raya, dan Kecamatan Babah Rot dalam Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Masyarakat dalam 3 kecamatan ini memiliki interaksi sosial ekonomi cukup tinggi dengan ekosistem hutan rawa gambut Tripa. Robert Thomas Malthus mengemukakan bahwa perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan subsisten (pangan) mengikuti deret hitung. Pendapat ini dikenal dengan Teori Kependudukan Malthus. Jumlah penduduk di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot pada Tahun 2011 adalah 66.853 jiwa. Sebagian besar dari jumlah penduduk tersebut berada dalam kelompok usia produktif 43.351 jiwa (64,85%), selebihnya usia tua 2.335 jiwa (3,49 %), serta usia balita dan sekolah 21.167 jiwa (31.66 %). Jumlah penduduk dan perkembangan penduduk di tiga kecamatan tersebut secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi penduduk di tiga kecamatan dalam ekosistem hutan rawa gambut Tripa sangat tidak merata. Kecamatan Tripa Makmur merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Darul Makmur, yang pemekarannya baru ditetapkan pada Tahun 2011, sehingga pada tahun sebelum 2011 jumlah penduduk sudah termasuk dalam Kecamatan Darul Makmur. Kecamatan Babah Rot yang terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya baru terbentuk pada Tahun 2008 bersamaan dengan terbentuk kabupaten tersebut.Pertumbuhan penduduk yang tinggi pertahun (3,28%) disebabkan oleh tingginya angka kelahiran dan lebih banyak penduduk yang masuk ke tiga kecamatan tersebut dibandingkan dengan penduduk yang keluar. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 185 Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Perkembangan Penduduk Menurut Kecamatan Di Kecamatan Penelitian dari Tahun 2007-2011 Kecamatan 2007 2008 Penduduk Tahun 2009 2010 1. Darul Makmur 43.192 43.260 43.640 2. Tripa Makmur 3. Babah Rot 17.584 15.507 Jumlah 60.844 59.147 Tingkat pertumb. Penduduk -2,79 Rerata tingkat pertumbuhan penduduk Sumber: Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 46.954 16.419 63.373 7,14 3.28 % 2011 39.944 8.085 18.824 66.853 5,49 Sehubungan dengan hal tersebut, maka kajian terhadap masalah kependudukan di daerah ini menjadi penting karena berkaitan kebutuhan dan permintaan lahan serta peluang kerja. Di satu pihak jumlah penduduk terus meningkat, namun di pihak lain jumlah lahan budidaya yang tersedia semakin sempit, sehingga ekosistem hutan rawa gambut, yang seharusnya dilindungi, terpaksa dikonversi baik untuk perkebunan rakyat maupun untuk perkebunan besar. Berdasarkan hasil penelitian Hayami dan Kikuchi (1987) menyatakan bahwa jika penduduk terus-menerus bertambah dalam suasana teknologi yang konstan (tanpa irigasi, bibit unggul, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit) maka batas-batas tanah yang ditanami masyarakat akan meluas ke daerah-daerah yang merupakan areal yang seharusnya dilindungi. Pendapat ini sesuai dengan kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan sudah semakin luasnya masyarakat membuka lahan-lahan garapan baru di Ekosistem TPSF. Hasil survai di daerah penelitian menunjukkan bahwa pendatang yang masuk ke desa-desa di ekosistem hutan rawa gambut Tripa sebagian besar berasal dari kecamatan di sekitar 3 kecamatan tersebut, dan sebagian kecil ada pendatang dari Sumatera Utara dan daerah Jawa. Umumnya mereka datang ke kecamatan dalam ekosistem hutan gambur rawa Tripa adalah untuk mencari pekerjaan, melakukan perdagangan atau melakukan hubungan perkawinan. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3. B. Kondisi Umum Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah Barat Propinsi Aceh.Secara geografis Kabupaten Nagan Raya terletak antara 3o40’ Lintang Utara sampai dengan 4o38' Lintang Utara dan 96o11’ Bujur Timur sampai dengan 96o48’ Bujur Timur. Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Nagan Raya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Tengah : Samudera Indonesia : Kabupaten Aceh Barat : Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Barat Daya Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 186| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Berdasarkan data yang terdapat di dalam Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012, Kabupaten Nagan Raya memiliki luas wilayah 3.544,90 Km2. Kabupaten Nagan Raya terletak pada bagian Barat Provinsi Aceh. Kabupaten Nagan Raya beribukota di Suka Makmue dan memiliki 10 kecamatan.Kecamatan Darul Makmur mempunyai luas wilayah terluas yaitu 1.027,93 Km2 atau 29,00 persen dari luas wilayah kabupaten.Kemudian diikuti oleh Kecamatan Beutong dengan luas wilayah 1.017,32 Km2 atau 28,70 persen. Sedangkan 8 kecamatan lainnya secara berurutan yaitu Beutong Ateuh Banggalang, Tadu Raya, Seunagan Timur, Tripa Makmur, Kuala, Kuala Pesisir, Seunagan dan Suka Makmue mempunyai luas wilayah masing-masing 11,45 persen, 9,79 persen, 7,10 persen, 5,34 persen, 3,41 persen, 2,15 persen, 1,60 persen dan 1,45 persen dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Nagan Raya. Dari 10 kecamatan tersebut hanya Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Makmur yang terletak dalam Ekosistem TPSF. Secara topografis, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Nagan Raya merupakan wilayah dataran. Sisanya merupakan desa yang memiliki topografi lembah/DAS dan lereng. Terdapat 17 desa yang berbatasan dengan laut tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur, Kuala Pesisir dan Tadu Raya Tabel 3. Asal Daerah Pendatang di Ekosistem TPSF dan Tujuan Mereka Datang No 1 2 3 Kecamatan Babah Rot Darul Makmur Tripa Makmur Asal daerah Tujuan datang Penduduk asli Krueng Batee Ikut orang tua, mencari kerja dan menuntut ilmu agama Blang Pidie Menikah, dan mencari kerja Jeuram Menikah, dan mencari kerja Manggeng Mencari Kerja Tapak Tuan Menikah, dan mencari kerja Penduduk asli Alue Bilie Transmigrasi Blang Pidie Mencari Kerja, menikah, ikut orang tua, transmigrasi Jeuram Pergantian tanah oleh sofindo (transmigrasi), mencari kerja, berdagang dan berkebun Meulaboh Ikut orang tua, mencari kerja Tapaktuan Mencari kerja Subulussalam Mencari kerja Lhokseumawe Mencari tempat kerja yang lebih aman Medan Mencari kerja dan transmigrasi Jawa Ikut orang tua dan bertani Penduduk asli Blang Pidie Ikut saudara, mencari kerja Jeuram Mencari kerja Manggeng Ikut saudara, mencari kerja Sumber: Data Primer LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 187 Kependudukan Penduduk atau masyarakat mempunyai peran besar di dalam menjalankan kehidupan ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011 sebesar 142.861 jiwa yang tersebar di 10 kecamatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Nagan Raya adalah 40 jiwa per Km2. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 72.223 jiwa, sedangkan penduduk perempuan adalah sebanyak 70.638 jiwa. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung rasio jenis kelamin Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011 adalah 102, angka ini berarti jika ada 102 penduduk laki-laki maka terdapat 100 penduduk perempuan. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kabupaten Nagan Raya Menurut Kecamatan, Rumah Tangga, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin Kecamatan 1. Darul Makmur 2. Tripa Makmur 3. Kuala 4. Kuala Pesisir 5. Tadu Raya 6. Beutong 7. Beutong Ateuh 8. Seunagan 9. Suka Makmue 10. Seunagan Timur Jumlah Rumah tangga 10.125 1.969 4.713 3.657 3.186 3.139 451 3.905 2.040 3.346 36.531 Laki-laki 20.481 4.031 9.620 7.333 5.909 6.433 888 7.338 4.119 6.071 72.223 Perempuan 19.463 4.054 9.345 7.100 5.532 6.391 842 7.457 4.087 6.367 70.638 Jumlah 39.944 8.085 18.965 14.433 11.441 12.824 1.730 14.795 8.206 12.438 142.861 Rasio Jenis Kelamin 105 99 103 103 107 101 105 98 101 95 102 Sumber: Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012 Jika jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan maka jumlah penduduk yang paling besar berada di Kecamatan Darul Makmur, sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Kecamatan Beutong Ateuh. Namun demikian, dilihat dari kepadatan penduduknya, Kecamatan Seunagan memiliki tingkat kepadatan paling tinggi, yaitu sebesar 260 jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kecamatan Beutong Ateuh memiliki tingkat kepadatan paling rendah, yaitu sebesar 4 jiwa per kilometer persegi. Penduduk Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam kelompok usia muda. Hal ini dilihat dari masih banyaknya penduduk yang masuk dalam kelompok usia muda atau dewasa (dibawah 20 tahun) yaitu sebesar 38,87 persen. Dari pembagian penduduk berdasarkan kelompok umur, dapat diperoleh rasio beban ketergantungannya (Dependcy Ratio). Rasio beban ketergantungan di Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011 adalah sebesar 35. Ini berarti Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 188| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung sekitar 35 penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). Pada tahun 2011, penduduk Kabupaten Nagan Raya menurut kelompok usia sekolah, sebagian besar masih pada kelompok usia sekolah dasar (38,87%). Presentase penduduk kelompok usia sekolah dasar dibandingkan dengan total penduduk adalah sebesar 30,11 persen, Selanjutnya, presentase penduduk untuk kelompok usia sekolah menengah pertama dan atas adalah sebesar 18,99 persen. Tabel 5 Penduduk Kabupaten Nagan Raya Berdasarkan Kelompok Umur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Jumlah Jenis Kelamin Lak-laki Perempuan 7.486 7.107 7.566 6.431 6.216 6.791 6.328 5.872 4.686 3.903 3.168 2.254 1.527 1.195 949 744 72.223 7.112 6.684 7.059 6.079 6.493 7.071 6.558 5.475 4.434 3.812 3.015 1.891 1.729 1.277 1.133 816 70.638 Jumlah 14.598 13.791 14.625 12.510 12.709 13.862 12.886 11.347 9.120 7.715 6.183 4.145 3.256 2.472 2.082 1.560 142.861 Sumber: BPS, Kabupaten Nagan Raya Tahun 2012 Ketenagakerjaan Secara garis besar, penduduk dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dibagi menjadi dua, yaitu, penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 15 tahun ke atas. Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas digolongkan menjadi penduduk angkatan kerja. Data persentase penduduk produktif menurut kegiatannya menggambarkan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Nagan Raya yang termasuk angkatan kerja berjumlah cukup banyak. Pada tahun 2011 presentase angkatan kerja sebesar 67,34%.Penduduk yang bukan angkatan kerja sebesar 32,6%. Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja sebesar 74,06 persen, mencari kerja sebesar 2,55 persen, sedangkan sekolah sebesar 7,42 persen, mengurus rumah tangga sebesar 13,11 persen, dan kegiatan lainnya sebesar 2,87 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase penduduk usia LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 189 kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi masih lebih besar dibanding dengan penduduk yang tidak aktif dalam kegiatan ekonomi. Tabel 6. Penduduk 15 Tahun ke atas di Kabupaten Nagan Raya Tahun 2011 No 1 1.a 1.b 2 2.a 2.b 2.c Kegiatan Seminggu Yang Lalu (Klasifikasi Kegiatan) Angkatan kerja Bekerja Mencari kerja Bukan angkatan kerja Sekolah Mengurus Rumah tangga Lainnya % 67.34 43.12 0.57 32.66 19.89 10.22 2.55 Sumber: BPS, Kabupaten Nagan Raya Tahun 2012 C. Kondisi Umum Kabupaten Aceh Barat Daya Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah Barat Propinsi Aceh. Secara geografis Kabupaten Aceh Barat Daya terletak pada 3o34’24” 4o05’37” Lintang Utara dan 96o34’57” - 97o09’19” Bujur Timur. Secara administratif, batasbatas wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Barat Sebelah Timur : Kabupaten Gayo Lues : Samudera Indonesia : Kabupaten Nagan Raya : Kabupaten Aceh Selatan Berdasarkan data yang terdapat di dalam Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012, Kabupaten Aceh Baratya memiliki luas wilayah 2.334,01 Km2. Kabupaten Aceh Barat Daya terletak pada bagian Barat Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Barat Daya beribukota di Blang Pidie dan memiliki 9 kecamatan, dan 134 desa.Kecamatan Babah Rot merupakan kecamatan yang terluas ke-tiga (548,00 Km2), setelah Kecamatan Kuala Bate (652,00 Km2) dan Kecamatan Blang Pidie (581.00 Km2). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Jeumpa (312,00 Km2), Kecamatan Tangan Tangan (63,00 Km2), Kecamatan Manggeng (55,00 Km2), Kecamatan Lembah Sabil (49,4 Km2), Kecamatan Setia (41,00 Km2), dan Kecamatan Susoh (32,01 Km2). Dari 9 kecamatan tersebut hanya Kecamatan Babah Rot yang terletak dalam Ekosistem TPSF.Secara topografis, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan wilayah dataran.Sisanya merupakan desa yang memiliki topografi lembah/DAS dan lereng. Kependudukan Penduduk atau masyarakat mempunyai peran besar dalam menjalankan kehidupan ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2011 sebesar 144.787 jiwa yang tersebar di 9 kecamatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Barat Daya adalah 62 jiwa per Km2. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 73.221 jiwa, sedangkan penduduk perempuan adalah sebanyak 71.566 jiwa. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 190| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Berdasarkan data tersebut dapat dihitung rasio jenis kelamin Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2011 adalah 102, angka ini berarti jika ada 102 penduduk laki-laki maka terdapat 100 penduduk perempuan. Tabel 7. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya Menurut Kecamatan, Rumah Tangga, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin Kecamatan 1. Manggeng 2. Lembah Sabil 3. Tangan-Tangan 4. Setia 5. Blangpidie 6. Jeumpa 7. Susoh 8. Kuala Batee 9. Babah Rot Jumlah Rumah tangga 3,952 2,980 3,491 2,406 6,034 2,870 6,259 5,541 4,963 38,496 Laki-laki 7,536 5,517 6,577 4,428 11,677 5,361 12,148 10,310 9,667 73,221 Perempuan 7,380 5,612 6,537 4,176 11,480 5,345 11,825 10,059 9,152 71,566 Jumlah 14,916 11,129 13,114 8,604 23,157 10,706 23,973 20,369 18,819 144,787 Rasio Jenis Kelamin 102 98 101 106 102 100 103 102 106 102 Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012 Jika jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan maka jumlah penduduk yang paling banyak berada di Kecamatan Kuala Batee, sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Kecamatan Setia. Namun demikian, dilihat dari kepadatan penduduknya, Kecamatan Susoh memiliki tingkat kepadatan paling tinggi, yaitu sebesar 749 jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kecamatan Kuala Batee memiliki tingkat kepadatan paling rendah, yaitu sebesar 31 jiwa per kilometer persegi. Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya termasuk dalam kelompok usia muda. Hal ini dilihat dari masih banyaknya penduduk yang masuk dalam kelompok usia muda atau dewasa (dibawah 20 tahun) yaitu sebesar 40,24 persen. Dari pembagian penduduk berdasarkan kelompok umur, dapat diperoleh rasio beban ketergantungannya (Dependcy Ratio).Rasio beban ketergantungan di Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2011 adalah sebesar 35. Ini berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung sekitar 35 penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) Pada tahun 2011, penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya menurut kelompok usia sekolah, sebagian besar masih pada kelompok usia sekolah dasar (51,29%). Persentase penduduk kelompok usia sekolah dasar dibandingkan dengan total penduduk adalah sebesar 20,64 persen. Selanjutnya, persentase penduduk untuk kelompok usia sekolah menengah pertama dan atas adalah sebesar 11,72 persen. Ketenagakerjaan Secara garis besar, penduduk dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dibagi menjadi dua, yaitu, penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 15 tahun ke atas. Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas digolongkan menjadi penduduk angkatan kerja. Data persentase penduduk produktif menurut kegiatannya menggambarkan persentase LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 191 penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Aceh Barat Daya yang termasuk angkatan kerja berjumlah cukup banyak. Pada tahun 2011 presentase angkatan kerja sebesar 57,86%.Penduduk yang bukan angkatan kerja sebesar 42,14%. Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang mencari kerja ada 148 orang, sebesar 0,17 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase penduduk usia kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi masih lebih besar dibanding dengan penduduk yang sedang mencari pekerjaan dalam kegiatan ekonomi. Tabel 8. Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya Berdasarkan Kelompok Umur Jenis Kelamin Lak-laki Perempuan 1 0-4 6,574 6,131 2 5-9 6,554 6,317 3 10-14 7,097 6,641 4 15-19 6,487 6,080 5 20-24 5,091 5,821 6 25-29 5,521 6,227 7 30-34 5,236 5,583 8 35-39 4,912 4,993 9 40-44 4,278 4,294 10 45-49 3,665 3,605 11 50-54 2,854 2,656 12 55-59 1,971 1,664 13 60-64 1,322 1,513 14 65-69 1,080 1,223 15 70-74 802 1,021 16 75+ 692 1,017 Jumlah 72.223 64,136 Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012 No Kelompok Umur Jumlah 12,705 12,871 13,738 12,567 10,912 11,748 10,819 9,905 8,572 7,270 5,510 3,635 2,835 2,303 1,823 1,709 64,786 D. Kondisi Sarana dan Prasarana Mosher (1987) mengemukakan bahwa pengangkutan merupakan salah satu dari lima syarat pokok pembangunan pertanian. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, maka keempat syarat pokok lainnya (pasar untuk hasil usahatani, teknologi yang sennatiasa berubah, tersedianya sarana produksi secara lokal, dan perangsang produksi bagi petani) tidak dapat diadakan secara efektif. Pentingnya pengangkutan yang efisien dan murah karena dapat menekan harga input pertanian yang akan dibeli petani dan dapat meningkatkan harga output produk pertanian yang akan dijual petani sehingga pada akhirnya akan memperbesar keuntungan usaha tani yang akan diterima petani. Dengan demikian kondisi prasarana dan sarana angkutan akan dapat mempengaruhi semangat petani dalam upaya meningkatkan produksi dan mengembangkan usahataninya. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 192| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Ada tiga faktor yang ikut mempengaruhi biaya pengangkutan, yaitu: (1) jarak pengangkutan, (2) jumlah barang yang diangkut, dan (3) jenis alat pengangkutan yang dipergunakan (Mosher, 1987). Di samping jarak tempuh, biaya pengangkutan lokal juga dipengaruhi oleh kondisi jalan atau prasarana angkutan yang tersedia.Semakin jelek kondisi jalan cenderung semakin mahal biaya pengangkutannya. Selain prasarana jalan dan sarana angkutan, prasarana publik lain juga akan mempengaruhi kenyamanan penduduk untuk tinggal dan bekerja baik di sektor pertanian maupun di sektor lainnya. Sarana dan prasarana publik tersebut antara lain, rumah sekolah, tempat pelayanan kesehatan, rumah ibadah, listrik dan air minum. Masing-masing prasaran akan diuraikan di setiap kecamatan penelitian. Kecamatan Darul Makmur Di lokasi penelitian kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat pasar terdekat sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, sungguhpun keadaan jalanya masih mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh (1) letak lokasi yang relatif jauh dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek, sehingga prasarana dan sarana yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung. Pada Tahun 2011, ada 8 desa yang telah memiliki jenis permukaan jalan aspal beton, yaitu Alue Waki, Krueng Alem, Alue Rambot, Krueng Seumayam, Pulo Teungoh, Alue Bili, Alue Jampak, dan Suka Mulia. Sementara, sebagian besar desa (32 desa lain) hanya memiliki jenis jalan tanah yang diperkeras. Desa terjauh dari Ibu Kota Kecamatan adalah Kuala Seumayam, yang jauhnya mencapai 41 Km, dan itupun melalui jalan perusahaan perkebunan besar sawit, yaitu Kalista Alam. Prasarana komunikasi di Kecamatan Darul Makmur sudah ada 2 warung telekomunikasi yang terletak di Ibu Kota kecamatan, yaitu Desa Alue Bili. Sementara itu, semua desa telah dapat dihubungi dengan HP, yang berbeda ada desa yang sinyal HP yang kuat dan ada desa yang mempunyai sinyal HP yang lemah. Pada tahun 2011, ada 27 desa yang mempunyai sinyal HP yang kuat, sementara sisanya memiliki sinyal HP yang lemah. Untuk penerangan, jaringan PLN telah tersambung ke semua desa. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat dan sanitasi lingkungan, Kecamatan Darul Makmur telah memiliki 3 unit Puskesmas, 13 unit Puskesmas Pembantu, 1 unit Poliklinik, 1 unit Balai Pengobatan, 5 unit Praktek Dokter, dan 4 unit Bidan Praktek. Semua desa dalam Kecamatan Darul Makmur telah memiliki Posyandu dan aktif. Ada 13 desa yang memiliki perusahaan air minum/ air isi ulang, 26 desa yang sumber air minum berasa dari sumur dan 1 desa menggunakan sungai/mata air sebagai sumber air minum. Bahan bakar yang digunakan rumah tangga untuk memasak, ada 9 desa menggunakan gas, 5 desa menggunakan minyak tanah, dan 26 desa menggunakan kayu bakar. Sampah rumah tangga dibuang di tanah pekarangan rumah atau dengan menggali lubang tanah terdapat di 39 desa, dan hanya Desa Alue Bili sampah rumah tangga diangkut ke tempat pembuangan akhir. Ada 19 desa yang masyarakatnya telah memiliki jamban sendiri, dan 21 desa tidak memiliki jamban. Untuk kepentingan ibadah, semua desa memiliki mesjid atau meunasah. Untuk kepentingan pendidikan, ada 33 unit sekolah dasar yang terletak hampir setiap desa, ada 9 unit SMP sederajad, dan 5 unit SMA sederajad. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 193 Kecamatan Tripa Makmur Di Kecamatan Tripa Makmur kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat pasar terdekat sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, sungguhpun keadaan jalanya masih mengalami kesulitan.Hal ini disebabkan oleh (1) letak lokasi yang relatif jauh dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek, sehingga prasarana dan sarana yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung kegiatan sosial dan ekonomi. Kecamatan Babah Rot Di Kecamatan Babah Rot kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat pasar terdekat sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, sungguhpun keadaan jalanya masih mengalami kesulitan.Hal ini disebabkan oleh (1) letak lokasi yang relatif jauh dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek, sehingga prasarana dan sarana yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung sosian dan ekonomi. E. Potensi Sumberdaya Ekonomi Lokal Pembangunan ekonomi lokal merupakan pembangunan dalam komunitas yang menitikberatkan pada penciptaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan nyata bagi penduduk pedesaan.Untuk itu, pembangunan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari potensi sumberdaya ekonomi lokal. Potensi sumber-daya lokal mencakup: lahan, tenaga kerja, dan modal. Luas Lahan dan Pemanfaatannya Lahan merupakan sumberdaya ekonomi yang paling dapat dikontrol oleh masyarakat.Akses lahan pada penduduk miskin di pedesaan dapat mendorong rumah tangga miskin tersebut untuk bekerja secara produktif, memperbaiki status gizi, dan meningkatkan kesejahteraan. Di Kecamatan Darul Makmur, Kecmatan Tripa Makmur dan Kecamatan Babah Rot, lahan sebagian besar lahan merupakan lahan rawa/gambut dan dipergunakan untuk tanaman pertanian khususnya padi sawah, tanaman hortikultura, dan perkebunan rakyat (Tabel 4.8). Lahan tersebut ada yang dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan rakyat dan ada pula untuk perkebunan besar yang mengusahakan tanaman kelapa sawit.Sementara tanaman perkebunan rakyat diusahkan pada lahan kering dalam bentuk tanaman campuran atau kebun campuran. Umumunya, pada perkebunan rakyat diusahakan kelapa sawit, karet, kakao, kelapa dalam, pala, kemiri dan tanaman buah-buahan. Sementara perkebunan besar hanya mengusahakan dalam sistem monokultur kelapa sawit. Di 3 kecamatan lokasi penelitian, penggunaan lahan terluas adalah lahan kering/tegalan, kemudian diikuti untuk penggunaan pemukiman dan sawah. Tinggi dan stabilnya harga sawit ditambah dengan masuknya perusahaan besar yang mengusakan tanaman kelapa sawit dapat mendesak penggunaan lahan sawit, yang sebenarnya sudah sangat sempit untuk mendukung ketahanan pangan khususnya beras.Ada sebagian masyarakat yang sebelumnya mengusahakan padi rawa di Kecamatan Darul Makmur, terpaksa mengalihkan lahannya untuk menanam sawit, karena lahan itu sudah kering dan tidak dapat ditanam padi lagi. Keadaan pengalihan lahan ini terjadi di Desa Blang Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 194| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Luah, Ladang Baro dan Ujong Tanjong. Rata-rata masyarakat mempunyai kebun sawit dengan luas 1-2 hektar. Desakan pengalihan penggunaan lahan tidak hanya terjadi pada sawah, pada tanaman kakao juga terjadi hal yang sama. Karena serangan busuk buah pada tanaman kakao, ada sebagian petani yang telah menggantikan tanaman kakao mereka dengan tanaman sawit.Keadaan ini terjadi di Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Makmur, sementara Kecamatan Babah Rot belum terjadi. Tabel 9. Penggunaan Lahan Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Babah Rot (Ha) Kecamatan Darul Makmur1) Babah Rot2) Jumlah Keterangan: Sumber: Pemukiman Lahan kering 4.785 44.270 3.035 37.193 7.820 81.463 Sawah Lainnya Jumlah 2.577 51.632 1.693 12.789 54.800 4.270 12.789 106.432 Penggunan lahan Kecamatan Tripa Makmur termasuk dalam Kecamatan Darul Makmur 1) Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012 dan Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012 2) Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 dan Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012 Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja berhubungan erat dengan tingkat penghasilan yang mereka terima. Tenaga kerja yang produktif cenderung akan menerima dan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang kurang produktif. Dalam kaitan tersebut, tenaga kerja merupakan sumberdaya ekonomi lokal keterampilan mereka dapat ditingkatkan. Namun pengelompokan tenaga kerja terampil, semi terampil, dan tidak terampil di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot masih sulit dilakukan dan belum tersedia cukup informasi untuk itu. Namun karena sebagian besar tenaga kerja di lokasi penelitian bekerja di sektor pertanian dan mereka adalah petani, maka mereka dapat digolongkan pada tenaga kerja tidak terampil atau semi terampil. Mereka yang mempunyai ketrampilan, dapat diterima pada perusahaan besar sawit, seperti PT Kalista Alam, PT Surya Panen Subur, dan PT. Gelora Sawita Makmur, PT. Cemerlang Abadi dan PT. Dua Perkasa Lestari. Desa Ujong Tanjong Kecamatan Darul Makmur banyak tenaga kerjanya bekerja pada PT. Surya Panen Subur, seperti diungkapkan oleh seorang tokoh desa ini. “Desa ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Surya Panen Subur, di mana sekitar 50% penduduknya bekerja pada perusahaan. Ada 4 orang desa ini yang mempunyai jabatan asisten kebun, 8 orang mandor, 3 orang kerani buah, 12 orang pekerja pabrik dan sisanya merupakan buruh harian lepas”. Modal Ekonomi dan Sosial Masyarakat Ahli Ekonomi menggunakan istilah modal untuk suatu sumberdaya yang tidak dihabiskan dalam proses produksi barang (Haviland, 1993). Konsep modal secara fungsional dapat LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 195 dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: (1) modal sebagai asset produktif, (2) modal sebagai kontrol terhadap daya beli, dan (3) modal sebagai dana untuk investasi. Namun pada perkembangan akhir-akhir ini sudah dikenal suatu konsep baru yang diposisikan setara dengan modal alam dan modal ekonomi, yaitu modal sosial. Modal sosial merujuk pada seperangkat norma, jaringan, dan organisasi yang melaluinya orang memperoleh akses pada kekuasaan dan sumberdaya. Menurut Serageldin dan Grootaert dalam Dasgupta (2000), ada tiga tingkatan modal sosial, yaitu: (1) meliputi semua hubungan kerja sama informal dan asosiasi horizontal di tingkat lokal; (2) asosiasi-asosiasi yang bersifat hirarki, vertikal dan supra lokal; dan (3) pandangan atas modal sosial yang lebih luas mencakup lingkungan sosial dan politik yang memungkinkan norma-norma berkembang dan membentuk struktur sosial. Berkaitan dengan aliran modal yang masuk ke daerah, khusus ke lokasi penelitian Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot, dapat dilihat melalui jumlah perusahaan dan organisasi ekonomi masyarakat. Menurut data yang diperoleh menunjukkan bahwa ada 5 perusahaan perkebunan besar swasta nasional yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, yaitu PT. Surya Panen Subur, PT. Kalista Alam, PT. Gelora Sawita Makmur, PT Cemerlang Abadi dan PT. Dua Perkasa Lestari. Dua perusahaan perkebunan besar pertama telah dilengkapi dengan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Di samping itu, di lokasi penelitian juga terdapat perusahaan-perusahaan kecil dan koperasi yang bergerak di sektor perindustrian dan perdagangan yang telah memiliki SIUPP dan terdaftar maupun yang belum.Di Kecamatan Babah Rot terdapat 62 perusahaan kecil yang bergerak pada jenis industri perabot, kilang padi, ketel nilam, dan anyaman rotan. Di samping itu, di kecamatan ini terdapat industri rumah tangga sebanyak 27 unit, yang bergerak pada jenis industri pandai besi, pembuatan kacang/kerupuk dan bordir/kasab. Di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur terdapat 149 industri rumah tangga dan 86 industri kecil. Industri rumah tangga terdiri dari jenis krupuk, roti, tempe, tahu, bordir, tukang kaleng, dan pandai besi. Industri kecil bergerak pada jenis jasa reperasi sepeda, sepeda motor, mobil, elektronik, pengelasan, tukang mas, fotokopi, dan percetakan. Kondisi di atas menggambarkan bahwa kecamatan lokasi penelitian memiliki potensi sumberdaya modal yang sangat besar untuk berkembang pada masa yang akan datang. Namun pembangunan tersebut perlu dilakukan secara terpadu dan seimbang antar berbagai sektor: sektor pertanian dan sektor non-pertanian; sektor ekonomi dan sektor sosial kelembagaan, serta pembangunan sumberdaya manusia itu sendiri. Sebagai kecamatan yang terdapat dalam Ekosistem TPSF, pembangunan diberbagai sektor juga harus mempertimbangkan kesinambungan pembangunan dengan tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian besar pada pembangunan yang telah dicapai. F. Pendapatan Daerah Secara umum sumberdaya potensi ekonomi suatu wilayah dapat juga dilihat berdasarkan nilai Produk Domestik Rgional Bruto (PDRB). PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya menurut lapangan usaha atas dasar harga yang berlaku tahun 2008-2011 (jutaan rupiah) secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 196| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Tabel 10 dan 11 di atas menunjukkan bahwa PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan PDRB terbesar disumbangkan dari sektor pertanian. Hal ini mengandung makna bahwa pembangunan di sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara menyeluruh di dua kabupaten tersebut untuk masa mendatang. Sehubungan dengan hal tersebut maka kesinambungan pembangunan sangat penting mempertimbangkan kelestaian lingkungan khususnya Ekosistem TPSF. Tabel 10. PDRB Kabupaten Nagan Raya Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga yang Berlaku Tahun 2008-2011 (Jutaan Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik dan Air Minum Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan Jasa-jasa Jumlah Tahun 2008 424 452,41 15 695,14 29 289,12 2 128,48 40 621,11 230 685,22 52 532,12 8 242,87 94 836,55 898 483,01 2009 429 820,83 17 611,67 29 995,82 2 437,92 45 011,94 237 591,40 57 424,27 8 608,33 101 090,87 929 593,05 2010 441 673,01 19 173,68 30 840,29 2 736,30 48 625,61 245 824,92 62 798,31 9 028,81 107 159,78 967 860,72 2011 455 818,68 20 577,68 32 594,10 3 036,39 52 355,00 255 509,02 68 295,70 9 521,96 114 319,22 1 012 027,74 Sumber: Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012 Tabel 11. PDRB Kabupaten Aceh Barat Daya Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga yang Berlaku Tahun 2008-2011 (Jutaan Rupiah) Lapangan Usaha Tahun 2008 2009 2010 Pertanian 416,356.16 436,283.04 467,161.88 Pertambangan 6,354.39 6,844.20 7,139.72 Industri Pengolahan 39,422.16 42,246.22 46,877.21 Listrik dan Air Minum 4,056.30 4,955.32 5,476.45 Bangunan 165,697.63 200,386.75 244,282.89 Perdagangan 223,108.15 258,186.71 296,648.58 Pengangkutan 53,500.27 65,658.51 72,006.01 Keuangan 25,097.66 36,222.16 44,662.31 Jasa-jasa 212,528.08 243,427.68 280,826.84 Jumlah 1,146,120.81 1,294,210.59 1,465,081.88 Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012 2011 506,856.10 7,505.20 49,670.07 5,850.41 276,049.58 364,876.05 86,333.51 58,565.78 322,840.10 1,678,546.80 LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 197 G. Analisis Pengembangan Komoditas Unggulan Komoditas unggulan merupakan komoditas yang mempunyai prospek pasar yang bagus baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun untuk memenuhi permintaan luar daerah. Oleh karena itu, komoditas unggulan dipilih sesuai dengan persyaratan agroklimat, kebiasaan dan keterampilan masyarakat lokal. Komoditas unggulan juga terlihat pada banyaknya kuantitas produksi yang diusahakan masyarakat. Ada 5 kelompok komoditas unggulan, yaitu tanaman pangan utama dan hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Tanaman Pangan dan Hortikultura Di 3 kecamatan lokasi penelitian, komoditas unggulan dari kelompok tanaman pangan adalah padi (Tabel 4.11). Dari 3 kecamatan tersebut, Kecamatan Babah Rot memiliki komoditas unggulan padi lebih bagus daripada dua kecamatan lainnya. Untuk memenuhi kebutahan pangan lokal, Kecamatan Babah Rot dapat menyediakan sendiri kebutuhan pangannya, sementara dua kecamtan lain untuk memenuhi kebutuhan lokal harus dipasok dari kecamatan lainnya di Kabupaten Nagan Raya. Untuk jenis tanaman sayur, komoditas unggulan di 3 kccamatan ini adalah kacang panjang yang umumnya diusahakan di lahan pekarangan. Di samping itu, dari jenis tanaman buah-buahan, komoditas unggulan adalah mangga dan durian. Tabel 12. Tanaman Pangan Utama yang diusahakan di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011 Tanaman Padi Kedele Jagung Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Sumber: Darul Makmur Tripa Makmur Luas panen Produksi Luas panen Produksi (Ha) (Ton) (Ha) (Ton) 2.087 9.000 2.087 9.000 452 633 452 633 432 908 432 908 250 403 250 403 66 66 66 66 76 1,102 76 1,102 Babah Rot Luas panen Produksi (Ha) (Ton) 6.452 39.035 11 20 7 21 252 554 73 112 3 32 Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 Tanaman Perkebunan Di 3 kecamatan lokasi penelitian, komoditas unggulan perkebunan adalah kelapa sawit, diikuti karet dan kakao (Tabel 13).Tidak seperti tanaman pangan yang seluruh pengusahaannya oleh rakyat, komoditas unggulan sawit juga diusahakan oleh perkebunan besar.Keberadaan sawit pada posisi komoditas unggulan utama di daerah ini didukung oleh agroklimat, perkembangan harga pasar, teknologi dan masyarakat yang mulai memahami cara budidayanya. Luas lahan sawit petani rata-rata 2 hektar, dan ada 2-3 petani yang meliliki lahan sawit 10-50 hektar, terutama petani yang telah memiliki modal besar. Di samping itu, lembaga keuangan juga mendukung pengembangan sawit dengan memberikan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 198| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST pinjaman bank yang jaminannya adalah sertifikat kebun sawit, sementara untuk komoditas perkebunan lain lembaga keuangan sangat membatasi penyaluran kreditnya. Peternakan Dalam bidang usaha peternakan, tidak komoditas unggulan yang diusahakan masyarakat di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot. Semua komoditas peternakan mempunyai kedudukan sama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber ekonomi rumah tangga. Masyarakat mengusahakan ternak untuk sumber pendapatan pada saat diperlukan sewaktu-waktu.Misalnya, pada saat menyelenggarakan pesta perkawinan anak, anak membutuhkan uang sekolah, atau berobat yang memerlukan biaya besar, mereka menjual seekor sapi atau kerbau.Untuk ternak besar, seperti sapi dan kerbau, rata-rata kepemilikannya 1-10 ekor. Sementara untuk ternak kecil, seperti kambing dan domba, rata-rata kepemilikan 4-30 ekor. Jenis ternak yang diusahkan secara rinci terdapat pada Tabel 14.Dengan jumlah ternak yang sedikit, tenaga kerja yang diperlukan tidak banyak.Pengembangan pesat tanaman kelapa sawit tidak berdampak pada usaha peternakan. Tabel 13. Komoditas Tanaman Perkebunan yang diusahakan di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011 Tanaman Karet Kelapa Sawit Kakao Pinang Kelapa Dalam Sagu Kapuk randu Kemiri Pala Kopi Aren Kunyit Sumber: Darul Makmur Produksi Luas (Ha) (Ton) 539 171 24.868 101.440 1.258 381 27 7 112 69 2 1 3 1 11 3 13 5 5 1 1 0 2 1 Kecamatan Tripa Makmur Luas Produksi (Ha) (Ton) 637 209 3.266 1.000 1.413 403 41 10 168 104 4 1 5 1 5 1 24 5 21 6 3 2 2 1 Babah Rot Luas Produksi (Ha) (Ton) 1.133 169 24.182 125.177 4.075 1.980 740 424 2.155 1.244 552 280 3.429 583 1,077 450 Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 Usaha peternakan tidak terdesak dan tidak pula terdorong untuk pengembangannya. Sebagai mana telah dicoba di Lampung, seyogyanya lahan sawit dapat dimanfaatkan lebih optimal bila diintegrasikan dengan pemeliharaan sapi, baik untuk pembibitan sapi maupun untuk penggemukan sapi. Harga daging sapi tinggi di Aceh belum mendorong petani untuk mengintegrasikan lahan sawitnya untuk memelihara sapi. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| Tabel 14. Jenis Ternak Kerbau Sapi Kambing Domba Ayam Buras Itik Ayam Ras Sumber: 199 Komoditas Peternakan yang diusahakan di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011 Darul Makmur 536 3,643 1,123 1,123 8,517 9,258 8,650 Tripa Makmur 529 3,643 1,123 2,118 4,658 4,558 755 Babah Rot 356 541 1,447 1,017 27,498 5,586 4,393 Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 Perikanan Komoditas perikanan masih didominasi oleh perikanan laut. Dengan demikian, hanya di desa-desa pesisir, terdapat nelayan yang mengusahakan perikanan tangkap. Kecamatan penelitian – Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot – mempunyai potensi alam rawa gambut yang terdapat di dalamnya jenis ikan limbek (lele lokal). Jenis ikan ini sangat diminati oleh masyarakat di Pantai Barat Selatan Aceh atau wisata lokal yang mengunjungi wilayah ini. Pasar utama lele lokal adalah pasar Simpang 4 Nagan, Alue Bili, Meulaboh, Blang Pidie dan Tapaktuan. Selain limbek, ikan yang juga sangat diminati adalah Kerling yang hidup di sungai-sungai besar di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya.Harga eceran limbek berkisar Rp 40.000-Rp 50.000, dan harga Kerling lebih mahal lagi. Sewaktu Ekosistem TPSF belum terganggu oleh pengembangan sawit, seorang individu dapat menangkap 30-50 kg per hari. Ada 20-30 orang yang melakukan penangkapan limbek. Dengan demikian dapat diperkirakan ada 600-1.500 kg limbek per hari.Angka ini memang sangat kasar, karena tidak ada informasi yang tercatat di pasar.Namun demikian, komoditas unggulan perikanan darat ini telah terdesak oleh pengembangan kelapa sawit yang sangt pesat. Dengan pengeringan lahan sawit oleh perusahaan perkebunan besar, jumlah tangkapan limbek sangat menurun. Sekarang menurut informasi salah satu rumah makan di Simpang Empat Nagan, tangkapan seorang hanya mencapai 1-3 kg, jumlah orang yang menangkap pun sudah sedikit, sehingga perusahaan rumah makan sudah sulit mendapatkan limbek tersebut. Kehutanan Bidang kehutanan di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot pada masa sekarang tidak menghasilkan produk, sebagaimana pada masa lalu yang menghasilkan kayu gelondongan dan kayu olahan. Melalui program pemerintah, masyarakat diajak dan diberikan bibit tanaman hutan untuk ditanam lahan hutan masyarakat dan hutan negara.Masyarakat piggir hutan diberikan modal dan keterampilan untuk membuka usaha Kebun Bibit Rakyat.Benih yang diberikan ada sengon, meranti, simantok, jabon, jati, pala, dan tanaman hutan lainnya. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 200| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Menurut penuturan seorang tokoh masyarakat di Desa Alue Bateung Brok Kecamtan Darul Makmur, di lokasi ini masyarakat juga mencari rotan dan madu alam pada saat hutan masih bagus. Sekarang kedua komoditas ini sudah tidak dijumpai lagi. H. Pola Hubungan Sosial, Persepsi dan Harapan Masyarakat terhadap Alih Fungsi Lahan Rawa Tripa Pola Hubungan Sosial dalam Pemanfaatan Ekosistem TPSF Gambaran perusahaan perkebunan di lokasi penelitian adalah ibarat rumah megah yang dipagari dengan besi, berdiri di tengah perkampungan kumuh dikelilingi gubuk-gubuk. Maknanya, ada dualisme ekonomi seperti yang dikemukakan J.H. Boeke (ekonom Belanda) bahwa sistem ekonomi dualistik adalah suatu masyarakat yang mengalami 2 macam sistem ekonomi yang saling berbeda dan berdampingan sama kuatnya, di mana sistem ekonomi yang satu adalah sistem ekonomi yang masih bersifat pra-kapitalistik yang dianut oleh penduduk asli dan sistem ekonomi yang diimpor dari Barat yang telah bersifat kapitalistik. Pendapat ini tergambar jelas di wilayah penelitian, (1) ada perkebunan sawit rakyat yang memiliki ciri pengelolaan tradisional dengan tingkat adopsi inovasi yang masih rendah dan lahan sempit; (2) berdampingan dengan perusahaan perkebunan sawit besar yang memiliki ciri pengelolaan modern dengan tingkat adopsi inovasi yang tinggi dan lahan luas. Dualisme ekonomi ada kecenderungan menempatkan perusahaan perkebunan sawit pada poisi kuat dan kemudian mengabaikan keberadaan perkebunan rakyat yang posisinya lemah.Akibatnya muncul disharmonisasi interaksi antara pemilik perkebunan rakyat dengan pemilik perusahaan perkebunan besar, yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik sosial yang dapat merugikan kedua belah pihak. Pola-pola interaksi sosial masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit sangat kompleks. Interaksi atau proses sosial (hubungan timbal-balik yang dinamis di antara unsurunsur sosial) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola interaksi asosiatif dan pola interaksi disosiatif. Pola interaksi asosiatif merupakan proses-proses yang mendorong dicapainya akomodasi, kerjasama dan asimilasi, yang pada giliran selanjutnya menciptakan keteraturan sosial.Pola interaksi disosiatif merupakan proses-proses yang mengarah kepada terciptanya bentuk-bentuk hubungan sosial yang berupa persaingan (kompetisi), kontravensi ataupun konflik (pertikaian), yang pada giliran berikutnya menghambat terjadinya keteraturan sosial (http://www.psychologymania.com).Berdasarkan dua pola interaksi yang disebutkan tadi, maka pola interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan di daerah penelitian umumnya bersifat pola interaksi diasosiatif.Hal ini diindikasikan oleh adanya konflik penguasaan lahan antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat sekitarnya. Termasuk lahan yang disengketakan dan dicabut izin pemanfaatannya seluas sekitar 1600 ha oleh pemerintah Aceh di areal Rawa Tripa. Sementara jarang terjadi kasus konflik atau kecemburuan sosial antara penduduk pribumi dan tenaga kerja pendatang. Penduduk asli berpendapat bahwa mereka tidak ada masalah dan terbuka dengan kedatangan tenaga kerja profesional dari luar, mereka menyadari kelemahan SDM lokal untuk menduduki posisi penting di perusahaan perkebunan. Namun mereka berharap seharusnya pihak perusahaan perkebunan bersedia melepaskan lahan-lahan di sekitar perkampungan untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat minimal 2 ha per Kepala Keluarga. Dengan demikian mereka dapat hidup berdampingan, saling mendukung dan saling menguntungkan LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 201 dengan perusahaan perkebunan besar. Namun fakta yang terjadi di lapangan menurut pengakuan sebagian besar responden adalah sebaliknya, perusahaan perkebunan besar dituduh sudah merambah HGUnya ke dalam areal perkebunan rakyat atau hutan adat yang secara UU diperuntukkan untuk masyarakat lokal dan tidak ada tanda-tanda mereka mau membina ekonomi masyarakat lokal sehingga kondisi ini memunculkan pola interaksi disosiatif. Pola interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan dapat dilihat dari sisi persepsi masyarakat dan perusahaan perkebunan, terkait dengan: (1) manfaat bantuan perusahaan kepada masyarakat, dan (2) konflik penguasaan lahan. Dilihat dari manfaat bantuan perusahaan perkebunan kepada masyarakat dipersepsikan positif, tetapi tidak banyak menyentuh langsung pada pembinaan dan peningkatan ekonomi masyarakat.Menurut masyarakat setempat bahwa salah satu manfaat yang dirasakan dari bantuan pihak perusahaan adalah dalam bentuk pasokan tenaga kerja kasar kepada perusahaan.Rekruetment tenaga kerja lokal oleh perusahaan perkebunan untuk sebagian masyarakat berdampak positif, karena diterima sebagai karyawan di perusahaan tersebut. Namun bagi sebagian masyarakat lain bisa menilai negatif, karena sering muncul konflik antara anggota masyarakat yang bekerja di perusahaan tersebut dengan masyarakat setempat lainnya, karena mereka dianggap terlalu membela kepentingan perusahaan. Fenomena ini diceritakan oleh salah seorang tokoh masyarakat di Desa Kuala Tripa Kecamatan Tripa Timur Kabuaten Nagan Raya: “Di desa kami ada seorang warga desa yang kerja pada perusahaan perkebunan dan dijadikan “cukong” oleh perusahaan untuk menakuti masyarakat setempat, akhirnya dia dipukul oleh anggota masyarakat lainnya sehingga muncul konflik antar sesama warga desa, meskipun pada akhirnya konflik tersebut dapat didamaikan oleh aparat desa setempat”. Di samping itu, di beberapa desa sekitar perusahaan juga merasakan manfaat adanya perusahaan perkebunan kerena mereka diperbolehkan untuk mengakses jalan proyek sehingga tingkat mobilitas masyarakat lebih tinggi. Gambaran ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat Kuala Seumanyam, Kecamatan Senaam Kabupaten Nagan Raya “pembangunan jalan proyek dapat membuka akses dan meningkatkan mobilitas masyarakat setempat”. Namun bantuan langsung berupa bantuan bibit atau modal usaha untuk meningkatkan penghidupan masyarakat masih rendah. Maknanya dana Coorporate Social Responsibility (CSR) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan belum disalurkan secara optimal. Karenanya, pola hubungan sosial yang terbentuk antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sebagian cenderung bersifat pasif. Maknanya bagi masyarakat yang merasakan manfaat langsung dari kehadiran perusahaan perkebunan menilai positif terhadap kehadiran perusahaan tersebut. Sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak merasakan manfaat langsung umumnya memiliki persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan karena kehadiran perusahaan dianggap penyebab hilangnya sebagian mata pencahariannya seperti mencari kerang dan ikan lele (leembek) di Ekosistem TPSF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 73 responden yang diwawancarai 21 orang (28,38%) menyatakan pernah menerima bantuan dari perusahaan perkebunan berupa bantuan untuk pembangunan mesjid, bantuan saat masyarakat memperingati hari-hari Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 202| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST besar Islam, bantuan input produksi seperti bibit tananman dan pupuk, serta bantuan ternak untuk masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Umumnya mereka mempersepsikan positif terhadap bantuan tersebut. Meskipun demikian, mereka juga berharap pihak perusahaan perkebunan agar menghindari konflik lahan dengan penduduk setempat. Sementara 52 responden (71, 23%) menyatakan tidak pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun dari perusahaan perkebunan sehingga mereka tidak merasakan adanya dampak langsung secara ekonomi sebagai akibat dari kehadiran perusahaan perkebunan di wilayahnya, bahkan mereka cenderung mempersepsikan negatif karena sering munculnya konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan perkebunan. Akibatnya, pola hubungan atau interaksi juga cenderung bersifat negatif antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Kasus yang umum ditemukan di lapangan adalah kliem penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan di sekitar pemukimam masyarakat berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) yang mereka miliki sehingga muncul protes dan konflik dengan masyarakat.Masuknya sebagian besar lahan sekitar perkampungan ke dalam HGU dinilai masyarakat sebagai tindakan pemerintah yang mengabaikan kepentingan ekonomi masyarakat lokal.Apalagi lahan di Ekosistem TPSF dinilai sebagai tempat bertumpunya sebagian ekonomi masyarakat serta wilayah yang didiami oleh sebagaian besar binatang langka.Masyarakat menilai pemerintah terlalu berpihakan kepada kepentingan perusahaan daripada masyarakat lokal. Hal ini senada dengan yang diceritakan oleh Tokoh Masyarakat Seumanyam Kecamatan Senaam Kabupaten Nagan Raya: “Untuk dapat menguasai lahan yang telah diusahakan masyarakat sekitar HGUnya, perusahaan menggunakan strategi yang ‘tidak sehat’. Pertama perusahaan membeli lahan yang akan dijadikan saluran drainase dengan harga yang mahal. Setelah lahan tersebut dibuat drainase, maka lahan sekitarnya akan menjadi kering sehingga masyarakat tidak bisa lagi memanfaatkan lahannya secara optimal untuk berusahatani. Akibatnya, lahan tersebut telantar dan akhirnya masyarakat terpaksa juga menjual lahan tersebut ke perusahaan perkebunan, meskipun dengan harga yang lebih murah”. Kasus lain juga diceritakan bahwa ketika masyarakat memperjuangkan penguasaan lahan yang mereka buka di areal yang diklaim sebagai HGU perusahaan perkebunan, mareka diusir dan diancam keselamatannya oleh oknum aparat keamaan yang dibayar oleh perusahaan. Kemudian ketika persoaalan konflik penguasaan lahan ini dilaporkan kepada pemerintahan lokal (Camat dan Bupati) persoalan ini mengambang dan tidak pernah selesai, dan mereka cenderung berpihakan kepada perusahaan perkebunan besar. Sementara masyarakat merasa sulit untuk mengembangkan ekonominya karena lahan yang berada di sekitar mereka sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar. Inilah ketidakadilan yang dirasakan masyarakat yang membuat mereka terus terjerat dalam kemiskinan. Berdasarkan kasus yang dikemukakan tadi menunjukkan bahwa pola hubungan antara masyarakat dengan perusahaan berbentuk asimetris (tidak seimbang). Pola hubungan yang terbangun cenderung perusahaan perkebunan berada pada pihak yang kuat mengabaikan hak dan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya muncul perilaku anarkis masyarakat terhadap fasilitas yang dimiliki pihak perkebunan. Persoalan utama yang dikeluhkan masyarakat sekitar HGU adalah HGU yang diberikan pemerintah kepada perusahaan perkebunan besar kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan ekonomi LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 203 dari masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik-konflik sosial yang merugikan pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat sebagai reaksi dari pola hubungan yang disharmonis ini. Seharusnya dalam pemberian HGU harus mempertimbangkan hak-hak adat dan nilai teritorial daerah yang berdekatan dengan pemukimam dan perkampungan. Oleh sebab itu, harapan masyarakat ke depan perlu dipikirkan upaya-upaya untuk membangun pola interaksi yang positif antara perusahaan dan masyarakat melalui pembangunan kebun plasma masyarakat seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Dalam Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa “Pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui Kemitraan Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat”. Hasil penelitian Rosyani (www.digilib.ui.ac.id) tentang Keberlanjutan masyarakat sekitar perusahaan perkebunan dan dampaknya pada keberlanjutan biodiversity (studi pada masyarakat sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi) menunjukkan: (1) pelaksanaan pemberian hak guna usaha pemanfaatan lahan perkebunan oleh pemerintah kabupaten, dan provinsi belum mempertimbangkan nilai teritorial wilayah, nilai sosial masyarakat desa. Disamping itu pemberian rekomendasi izin usaha perkebunan kelapa sawit belum melibatkan masyarakat desa dalam penentuannya; (2) pola interaksi antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat desa sekitar perusahaan perkebunan belum berkelanjutan; (3) hasil penelitian secara signifikan membuktikan bahwa pola interaksi antara perusahaan perkebunan kelapa sawit sangat berpengaruh terhadap kemandirian masyarakat desa sekitar perusahaan. Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keberlanjutan interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit serta kemandirian masyarakat berpengaruh terhadap keberlanjutan biodiversity. Berdasarkan pendapat responden di lapangan menunjukkan pola interaksi antara masyarakat dengan perusahaan cenderung lebih banyak bersifat disasosiatif (konflik) terutama terkait dengan klaim perusahaan terhadap lahan-lahan yang sudah dimanfaatkan penduduk sebagai bagian dari lahan HGU perusahaan. Salah satu penyebab terjadinya tumpang tindih hak atas pemanfaatan lahan adalah kurangnya mempertimbangkan nilai teritorial daerah dan nalai sosial masyarakat sekitarnya serta tidak terlibatnya tokoh masyarakat desa dalam pemberian hak guna usaha pemanfaatan lahan perkebunan tersebut.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (61 orang atau 82,43%) menyatakan pernah terjadi konflik sosial dengan pihak perusahaan perkebunan terkait dengan sengketa lahan. Selain itu, pola interaksi yang bersifat disasosiatif antara masyarakat dan perusahaan di Ekosistem TPSF juga disebabkan oleh kesenjangan ekonomi. Menurut pengakuan sebagian besar responden (70% lebih) tidak ada dana Coorporate Soceity Responsibility (CSR) yang mengalir untuk peningkatan kondisi sosial dan kemandirian ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Di samping itu, sedikit sekali CSR perusahaan yang diarahkan untuk kegiatan penguatan kelembagaan masyarakat lokal yang dibutuhkan dalam menjamin keberlanjutan interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, muncul perilaku Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 204| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST percepatan perambahan hutan, baik masyarakat maupun perusahaan, dalam upaya memperoleh klaim hak atas lahan tersebut. Kondisi ini sangat membahayakan keberlanjutan biodiversity yang ada di Ekosistem TPSF. Sehubungan dengan hal tersebut untuk menjamin keberlanjutan dan pelestarian hutan di Ekosistem TPSF yang kaya dengan biodiversity dengan cara menata kembali pola interaksi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang dahulunya bersifat disasosiatif ke pola interaksi yang bersifat asosiatif melalui: (1) pemberdayaan aspek sosial budaya masyarakat untuk membangun struktur sosial dan pola hidup yang mandiri dengan advokasi dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal; (2) pemberdayaan ekonomi yang berdampak positif terhadap perubahan mata pencaharian penduduk dan ekonomi lokal; dan (3) pemberdayaan aspek hukum yang mampu menjamin pelestarian hutan dan keberlanjutan biodiversity melalui partisipasi perusahaan perkebunan besar dan masyarakat di Ekosistem TPSF. Persepsi Masyarakat terhadap Alih Fungsi Ekosistem TPSF Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah penelitian ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Hal ini sangat tergantung pada wawasan dan pengalaman mereka dalam interaksi dengan perusahan perkebunan kelapa sawit. Persepsi positif umumnya diungkapkan oleh mereka yang merasa adanya keuntungan akibat kehadiran perusahaan perkebunan sawit, diterimanya sebagai karyawan, pekerja lepas, dan kemudahan akses ekonomi lainnya. Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan sawit umumnya diungkapkan oleh mereka tanahnya berdekatan dengan HGU dan berkonflik dengan perusahaan. Selain itu, persepsi negatif juga muncul dari mereka yang kurang puas terhadap ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya oleh perusahaan dan belum dapat ditampung sebagai karyawan perusahaan perkebunan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Dove (1986 dalam Sapardi, 1991) bahwa masyarakat pedalaman berusaha meminimkan resiko, yaitu menginginkan jaminan atas tersedianya pekerjaan tetap untuk mendapatkan sumber uang tunai secara teratur dan tetap. Namun dalam kenyataan mereka hanya dapat menjadi tenaga buruh perkebunan atau pekerja kasar, sementara itu tenaga karyawan banyak diisi oleh penduduk yang berasal dari daerah lain. Karena itu, sering muncul sikap antipatif terhadap perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah mereka.Persepsi masyarakat lokal terhadap perkebunan berdasarkan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 15. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| Tabel 15. Persepsi Masyarakat Terhadap Perusahaan Perkebunan Sawit dan Alih Fungsi Lahan Gambut Rawa Tripa Di Wilayah Penelitian No Indikator Persepsi 1. Hal yang sering menjadi ancaman terhadap tanaman pertanian di daerah ini a. Banjir/genangan b. Kekeringan c. Kebakaran d. Hama penyakit e. Gangguan Binatang/mamalia 2. 3. 4. 5. 6. 7. Lahan usaha bapak merupakan bagian dari plasma Perusahaan HGU a. Ya b. Bukan c. Lainnya Dampak operasionalisasi perusahaan sawit di daerah penelitian a. Membantu masyarakat b. Merugikan masyarakat c. Merusak lingkungan d. Mitra usaha Dampak positif adanya perusahaan sawit thd masyarakat a. Menampung tenaga kerja lokal b. Menambah pendapatan masyarakat c. Membuka isolasi daerah Dampak negatif adanya perusahaan sawit thd masyarakat a. Terjadinya persaingan lahan b. Merusak/degradasi lahan c. Mengancam keselamatan ekologi d. Lainnya (tidak tahu) Dalam pengelolaan lahan senantiasa memperhatikan kaedah-kaedah konservasi tanah dan air/lingkungan a. Ya b. Tidak/tidak tau c. Lainnya Pihak-pihak luar yang mengajak untuk melakukan rehabilitasi lahan a. Pemda b. NGO c. Perusahaan HGU d. Tidak/belum ada Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala Jumlah (orang) Persentase (%) 16 5 7 1 44 21,91 6,85 9,59 1,37 60,28 3 62 8 4,11 84,93 10,96 54 9 9 1 73,98 12,34 12,62 1,36 44 20 9 60,27 27,4 12,33 39 8 22 4 53,42 10,96 30,14 5,48 17 48 8 23,29 65,75 10,96 30 16 0 27 41,09 21,92 0 36,99 205 206| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Tanggapan jika ada yang mengajak untuk melakukan program rehabilitasi lahan a. Saya senang dan bersedia b. Menolak/Tdk bersedia c. Tidak tahu. Tanggapan terhadap upaya pengembalian lahan pertanian di Rawa Tripa menjadi hutan a. Setuju b. Terserah c. Tidak setuju Tanggapan thd pohon yg cocok dlm upaya vegetasi di Ekosistem TPSF a. Tanaman pohon hutan asli b. Jati, Jabon, Sentang c. Tanaman perkebunan Pendapat tentang semakin maraknya pemanfaatan lahan rawa tripa untuk kegiatan pertanian a. Setuju b. Kurang setuju c. Tidak setuju Pendapat tentang adanya perusahaan pertanian yang menggunakan lahan di rawa tripa a. Setuju b. Kurang setuju c. Tidak setuju Pendapat tentang adanya pemanfaatan lahan di rawa tripa oleh masyarakat a. Setuju b. Kurang setuju c. Tidak setuju Pendapat terhadap kelangsungan hutan rawatripa a. Setuju b. Kurang setuju c. Tidak setuju Nilai yang dipandang penting dalam memelihara Ekosistem TPSF a. Ekosistem dan habitat di areal kuala Tripa b. Menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air c. Nilai ekonomi Ekosistem TPSF cukup tinggi 59 6 8 80,82 8,22 10,96 14 6 53 19,18 8,22 72,6 24 47 2 32,88 64,38 2,74 25 36 12 34,25 49,31 16,44 39 15 19 53,42 20,55 26,03 68 2 3 93,15 2,74 4,11 57 9 7 78,08 12,33 9,59 54 73,97 12 16,44 7 9,59 Nilai yang dipandang mulai rusak dan diabaikan akibat pemanfaatan Ekosistem TPSF LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| a. Habitat, Lingkungan, lahan masyarakat b. Mengeringnya air disekitar Ekosistem TPSF 36 37 207 49,31 50,69 Sumber: Data Primer Persepsi masyarakat terhadap perusahaan perkebunan sawit dan alih fungsi lahan Gambut Rawa Tripa terkait dengan ancaman terhadap kerusakan tanaman pertaniannya yang sering mereka hadapi adalah berasal dari gangguan binatang mamalia (60,28%). Kondisi ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan Gambut Rawa Tripa ke pengembangan perkebunan sawit sudah menganggu persediaan makanan atau kehidupan mamalia, yang hidup di Ekosistem TPSF seperti beruang, harimau, babi hutan dan lainnya,sehingga binatangbinatang tersebut sudah turun ke kebun-kebun masyarakat untuk memperoleh makanan yang akhirnya menimbulkan konflik manusia-binatang. Maknanya, apabila perluasan pemanfaatan lahan gambut Rawa Tripa ini tidak bisa dihentikan, maka akan mengancam kehidupan biodiversity yang ada di Ekosistem TPSF yang pada akhirnya menyebabkan banyak jenis binatang dan tumbuhan langka di Ekosistem TPSF tersebut akan punah. Selain itu, ancaman banjir dan kekeringan juga meningkat terhadap kerusakan tanaman pertanian yang dirasakan masyarakat sebagai akibat semakin meluasnya pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa (16,91%). Hal ini senada dengan ungkapan salah satu tokoh masyarakat di daerah penelitian bahwa “setelah meluasnya pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa, terutama oleh perusahaan perkebunan besar, daerah mereka sering sekali dilanda banjir ketika hujan minimal 2-3 kali per tahun dan peningkatan suhu atau kekeringan ketika tiba musim kemarau. Dilihat dari kepemilikan lahan, sebagian besar responden (84,93%) mempersepsikan bahwa lahan mereka berada di luar HGU perusahaan. Maknanya, kerusakan lahan akibat adanya perusahaan pemilik HGU jauh lebih besar dibandingkan oleh masyarakat setempat. Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar masyarakat (73,98%) mempersepsikan positif secara ekonomi akibat kehadiran perusahaan perkebunan, seperti: menampung tenaga kerja (60,27%), menambah pendapatan (27,4%) dan membuka isolasi (12,33%). Namun sedikit sekali (1,36%) adanya kemauan perusahaan perkebunan yang membangun mitra dengan masyarakat lokal.Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan juga dipicu oleh perbedaan pemahaman dan pandangan terhadap hak atas penguasaan dan pemanfaatan lahan antara hak adat dengan HGU perusahaan.Di satu pihak, masyarakat lokal berpendapat bahwa mereka berhak memanfaatkan lahan yang mereka garap karena ada aturan-aturan hukum adat yang masih berlaku dan diatur dalam Undang Undang (UUPA No. 5 Tahun 1960). Di pihak lain, perusahaan perkebunan berpendapat bahwa mereka berhak mendapatkan lahan. Kondisi ini pada akhirnya memicu terjadinya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan (53,42%). Selain itu, persepsi negatif juga muncul karena kekhuatiran masyarakat bahwa pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa dapat mengancam kelestarian ekologis (30, 14%). Berdasarkan data yang telah dipaparkan, maka ke depan diperlukan pemikiran dan langkah-langkah strategis untuk penyelamatan lahan Gambut Rawa Tripa sehingga dapat melestarikan lingkungan dan menyelamatkan biodiversity di Gambut Rawa Tripa. Berdasarkan data hasil penelitian Tabel 15, ada persoalan lain yang perlu diperhatikan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah penelitian tidak memahami kaedah-kaedah konservasi (65,75%), hanya sebagian kecil (23,29%) yang menyatakan memahami kaedah- Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 208| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST kaedah konservasi. Selain itu, sebagian masyarakat (36,99%) merasa masih sedikit pihakpihak yang mengajak dan memberi kesadaran untuk memperhatikan kaedah-kaedah konservasi. Saat ini Pemda dinilai sebagai komponen penting dalam mendukung masyakat untuk rehabilitasi lahan gambut Rawa Tripa (41,09%) dan NGO hanya (21,92%), meskipun frekwensinya masih kurang. Padahal jika dilihat dari data Tabel 1 sebagian besar petani (80,82) menyatakan sangat senang jika diajak untuk ikut melakukan konservasi lahan Gambut Rawa Tripa. Maknanya, kurangnya perhatian masyarakat terhadap upaya rehabilitasi lahan Gambut Rawa Tripa lebih disebabkan oleh ketidaktahuan mereka (10,96%) dan tiadanya sosialisasi dan pelopor untuk mengajak masyarakat untuk melakukan rehabilitasi lahan Gambut Rawa Tripa yang dipadukan dengan program-program pemberdayaan ekonomi secara berkelanjutan. Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian yang serius dari pihak terkait, maka dikuatirkan dalam waktu singkat kerusakan lahan gambut Rawa Tripa akan semakin meluas. Tanggapan yang kontradiktif dari masyarakat ketika diminta tanggapannya terhadap upaya pengembalian lahan pertanian di Rawa Tripa menjadi hutan. Sebagian besar masyarakat menyatakan tidak setuju (72,6%), hanya sebagian kecil yang menyatakan setuju (19,18%), dan selebihnya menyatakan terserah. Hal ini dikarenakan semakin sulitnya memperoleh lahan disekitar wilayah mereka untuk kegiatan ekonominya, sementara sebagian besar lahan sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan pemilik HGU. Karenanya untuk kepentingan ekonomi dalam jangka pendek, sebagian besar mereka tidak ada pilihan lain kecuali ikut memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, makanya sebagian besar masyarakat (93,15% ) menyatakan setuju jika lahan di Ekosistem TPSF dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, terutama pemanfaatan oleh masyarakat itu sendiri, dan sebagian masyarakat (53,42%) juga setuju jika lahan rawa Tripa tersebut dimanfaat oleh perusahaan pertanian kerena dapat membantu terbukanya akses mereka untuk ikut memanfaatkan lahan tersebut menjadi lahan pertanian. Namun ketika ditanyakan tanaman apa yang cocok untuk rehabilitasi Ekosistem TPSF, sebagian besar masyarakat mengusulkan tanaman Jati, Jabon, Sentang (64,38%) dan tanaman asli hutan (32,88%), dan sebagian kecilnya tanaman perkebunan. Di samping itu, sebagian besar pendapat masyarakat (78,08%) menyatakan setuju tentang pentingnya menjaga kelangsungan Ekosistem TPSF. Fenomena ini yang kontradiktif ini dapat dimaknai bahwa jika lahan pertanian dialihkan kembali menjadi Ekosistem TPSF, maka harus ada unsur pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat sekitarnya berupa penguasaan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tanam kembali di lahan Gambut Rawa Tripa sehingga memberi harapan ekonomi baru yang lebih baik bagi masyarakat sekitarnya di masa yang akan datang. Sehubungan hal yang telah dipaparkan, maka solusi untuk memperbaiki persepsi masyarakat terkait dengan pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa, yaitu: (1) perlu adanya dialog dan komunikasi antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan perkebunan dalam mengatasi persoalan konflik lahan, (2) perlu peningkatan optimalisasi pemberdayaan ekonomi melalui dana CSR perusahaan kepada masyarakat sekitarnya yang difasilitasi oleh Pemda setempat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang independen, (3) perlu ada ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat sebagai kompensasi dari upaya menjaga dan melestarikan hutan dan ekosistem di lahan Gambut Rawa Tripa, dan (4) perlu adanya komitmen pemerintah untuk membatasi perluasan HGU perusahaan pertanian di Ekosistem TPSF. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 209 Harapan Masyarakat terhadap Alih Fungsi Lahan Ekosistem TPSF Snyder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai. Ada 3 komponen yang terkandung dalam teori harapan: (1) tujuan, yaitu sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif yang dapat berupa positif atau negatif; (2) pathway thinking, yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan; dan (3) Agency Thinking, kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian. Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, orang akan cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, maka oramg akan menjadi malas (Victor Vroom dalam Robbin 2003). Kondisi harapan masyarakat terhadap restorasi Ekosistem TPSF dapat dilihat pada Tabel 16. Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi masyarakat karena sumber penghidupan masyarakat hampir seluruhnya bertumpu di sektor pertanian. Ketika ketersediaan lahan semakin terbatas, maka eksploitasi terhadap lahan tidak bisa dihindari, termasuk pemanfaatan lahan Ekosistem TPSF oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan, meskipun sebagian Ekosistem TPSF ini dinyatakan termasuk areal yang perlu dilindungi berdasarkan kriteria peraturan. Dilihat dari cara memperoleh lahan, sebagian masyarakat (39,72%) mendapatkan lahan di Ekosistem TPSF tersebut dengan membuka lahan berdasarkan surat adat, sebagian lagi mereka memperoleh lahan karena adanya bantuan pemerintah untuk membangkit ekonomi masyarakat (27,4%), dan sebagian kecil mereka mendapatkan lahan di Ekosistem TPSF tersebut melalui harta warisan (23,29%) dan membeli lahan dari sesama anggota masyarakat. Ketika ada pertanyaan, apakah mereka bersedia melepaskan lahannya untuk merestorasi hutan di lahan gambut di Rawa Tripa, sebagian mereka setuju (46,57%) tetapi harus ada lahan pengantinya karena lahan merupakan sumber ekonomi bagi penghidupan keluarganya .Kesediaan mereka ini dilandasi dari adanya kesadaran dan harapan supaya lahan tersebut bahwa perlunya tetap menjaga dan memelihara habitat makhluk hidup yang ada di Ekosistem TPSF tersebut (36,99%). Tabel 16. Harapan Masyarakat Terhadap Restorasi Hutan di Lokasi Penelitian No. Indikator Harapan Alih Fungsi Lahan 1. Cara memperoleh lahan di Ekosistem TPSF a. Buka lahan (Surat adat) b. Warisan c. Beli d. Bantuan Pemda/Pemerintah Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala Jumlah (orang) 29 17 7 20 Persentase (%) 39,72 23,29 9,59 27,4 210| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST 2. 3. 4. Cara merestorasi lahan Ekosistem TPSF dengan melibatkan masyarakat a. Lahan boleh dirubah menjadi hutan, tapi harus ada lahan penganti b. Ekosistem dan habitat makhluk hidup tetap terjaga c. Penanaman hutan yang cocok buat gambut tapi punya nilai ekonomi d. Bantuan Modal, Penataan kembali HGU perusahaan Manajemen restorasi lahan Rawa Tripa (diharapkan terlibat untuk melakukan perbaikan hutan dan lahan gambut di rawa tripa) a. Pemerintah, perusahaan, kelompok masyarakat b. Lembaga Mitra Langkah2 yang harus dilakukan dalam perbaikan hutan dan lahan gambut di rawa tripa a. Sosialisasi dari pemerintah secara lebih serius b. Konservasi lahan, penanaman pohon c. Menata ulang HGU dan mencabut HGU pada perusahaan yang melanggar peraturan yang ada Harapan dari upaya menyelamatkan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa a. Lingkungan dan hutan terjaga tanpa mengganggu perekonomian masyarakat b. mendorong terbentuknya hutan rakyat, meninjau dan penataan kembali HGU perusahaan. Sumber: Data Primer 34 46,57 27 36,99 4 5,48 8 10,96 44 60,27 29 39,73 27 36,98 29 17 39,73 23,29 30 41,09 43 58,91 5. Sebagian besar responden (60,27%) mengharapkan pemerintah dan perusahaan bersama masyarakat merupakan elemen penting yang harus dilibatkan dalam manajemen restorasi hutan di lahan gambut Rawa Tripa. Meskipun sebagian responden (39,73%) juga memandang penting keterlibatan lembaga mitra, seperti YEL dalam upaya mendukung restorasi hutan di lahan gambut Rawa Tripa. Ada beberapa alasan penting kerjasama antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat, antara lain: (1) menghindari munculnya konflik, (2) adanya persepsi yang sama tentang pentingnya pelestarian Ekosistem TPSF dalam menyelamatkan biodiversity, dan (3) adanya gerakan yang sinergis dalam menyelamatkan hutan dan biodiversity di Ekosistem TPSF. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 211 Berdasarkan hasil penelitian dan tanggapan responden terhadap langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam upaya perbaikan hutan di Ekosistem TPSF secara berurutan adalah sebagai berikut: (1) melakukan konservasi lahan melalui penanaman pohon hutan (39,73 %) yang secara ekonomi juga memberikan keuntungan kepada masyarakat, untuk itu perlu ada kegiatan pembagian bibit tanaman hutan yang adaptif dengan kondisi Ekosistem TPSF. Namun mereka bersedia menyerahkan lahannya untuk konservasi tersebut jika ada kompensasinya, terutama penyediaan lahan di tempat lain atau ganti rugi lahan; (2) adanya sosialisasi dari pemerintah secara lebih serius (36,98%). Sebagian besar masyarakat menganggap pemerintah juga kurang serius dalam upaya rehabilitasi lahan Ekosistem TPSF, karena yang memberikan izin pemanfaatan lahan gambut di Ekosistem TPSF adalah pemerintah itu sendiri, tanpa melibatkan tokoh atau lembaga lokal. Oleh sebab itu, mereka juga menilai selama pemerintah tidak serius, maka upaya rehabilitasi dan konservasi lahan gambut Rawa Tripa tidak akan pernah optimal; dan (3) menata ulang HGU dan mencabut HGU pada perusahaan yang melanggar peraturan yang ada (23,29%). Menurut responden inilah beberapa langkah dan tantangan jika ingin melakukan upaya untuk upaya rehabilitasi dan pelestarian Ekosistem TPSF. Masyarakat setempat sebenarnya memiliki harapan yang besar dari upaya menyelamatkan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa. Di antara harapan tersebut yang terungkap jika upaya rehabilitas dan pelestarian hutan di Ekosistem TPSF dilakukan adalah (1) mereka akan mendukung terjaganya lingkungan dan hutan, tatapi tanpa mengganggu perekonomian masyarakat (41,09%), dan (2) perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong terbentuknya hutan rakyat, kemudian meninjau dan penataan kembali HGU perusahaan (58,91%). Dengan demikian diharapkan adanya rasa keadilan dalam hal penguasaan lahan di Ekosistem TPSF tersebut. Menurut salah seorang tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa “jangan sampai masyarakat disuruh melakukan konservasi, sementara perusahaan perkebunan seenaknya merambah dan merusak Ekosistem TPSF yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan biodiversity. Sehubungan dengan harapan masyarakat tersebut, maka perlu adanya persepsi dan kerjasama yang sinergys antara ketiga elemen yang terlibat (pemerintah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat lokal) dalam rehabilitas dan pelestarian hutan di Ekosistem TPSF melalui langkah-langkah yang telah disebutkan tadi. I. Pemberdayaan Masyarakat dan Skenario Restorasi dalam Mempertahankan Ekosistem TPSF Pemberdayaan Masyarakat Perkembangan perkebunan sawit di Belahan Pantai Barat Aceh berkembang sangat cepat, terutama Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).Perkembangan perkebunan sawit tersebut selain bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi ternyata juga berpengaruh terhadap permasalahan ekologi dan sosial budaya masyarakat.Permasalahan ekonomi, ekologi dan sosial perlu dilakukan pengelolaan secara integratif dengan mempertimbangkan komponen sumberdaya lokal pada ekosistem setempat, agar pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada berbagai lahan yang ada dapat dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, terjadi kekurangsiapan masyarakat lokal yang berpotensi menimbulkan kerawanan dan konflik sosial pada level individual, kelompok sosial, masyarakat maupun wilayah penelitian. Konflik sosial yang bersumber dari berbagai Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 212| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST sebab, antara lain : (1) alih hak atas tanah yang kurang didukung oleh klarifikasi pembebasan lahan dan hak hukum atas lahan baik antara masyarakat sendiri, maupun dengan pihak perusahaan perkebunan besar dan pemerintah, (2) alih fungsi lahan yang kurang disertai kejelasan atas hak atas tanah, (3) kesenjangan akses ekonomi antara masyarakat lokal dengan pendatang serta dengan perusahaan perkebunan. Hasil penelitian lapangan dan publikasi media massa diperoleh informasi bahwa salah satu konflik lahan yang masih terjadi antara pemilik perusahaan perkebunan sawit Kalista Alam dengan pemerintah Provinsi Aceh adalah terkait dengan pencabutan izin pemanfaatan lahan seluas 1.600 ha untuk penanam kelapa sawit di Ekosistem TPSF. Areal yang dipersengketakan tersebut menurut aturan tidak boleh dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan maupun masyarakat setempat karena termasuk dalam areal yang perlu dilindungi.Menurut informasi dari responden dan pihak manager perusahaan, sudah ada sebagian masyarakat yang mulai merambah sebagian lahan tersebut untuk penanaman kelapa sawit, meskipun dilarang secara hukum.Menurut beberapa anggota masyarakat hal ini dilakukan karena saat ini mereka sulit memperoleh lahan untuk meningkatkan kegiatan ekonominya, hampir seluruh lahan di Ekosistem TPSF tersebut sudah dikuasai oleh PT. Kalista Alam. Mereka bertanya di mana “hak mereka untuk mendapatkan lahan dan penghidupan yang layak?” Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat di Desa Ladang Baru Kecamatan Darul Makmur/Senaam Timur Nagan Raya: “Konflik masyarakat dengan PT. Kalista Alam hanya terkait masalah penguasaan lahan kerena masyarakat tidak ada lagi lahan untuk berusaha. Sepengetahuan masyarakat di sini HGU PT Kalista Alam pada tahap I hanya memiliki lahan seluas 4775 ha. Batas-batas lahannya dibuat sendiri oleh pihak perusahaan dan tidak diketahui oleh kepala desa setempat. Sementara sekarang menurut tuduhan masyarakat luas lahan PT. Kalista Alam sudah melebihi 10.000 ha dengan cara mengurus HGU tambahan dan membeli lahan-lahan masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik sosial”. Konflik sosial yang terjadi apabila tidak terkelola secara baik akan dapat berdampak pada lemahnya produktivitas masyarakat, perusahaan maupun pihak terkait, karena tidak kondusifnya iklim lingkungan sosial. Sebaliknya bila potensi konflik sosial dapat dikelola dengan baik dapat berdampak positif bagi upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, kedamaian, keserasian kehidupan sosial ekonomi di Ekosistem TPSF tersebut. Karena itu, untuk mengelola konflik sosial sehingga menghasilkan energi sosial yang berdampak positif bagi penghidupan masyarakat lokal dan saling membangun kepercayaan antar elemen masyarakat, swasta dan pemerintah; maka dibutuhkan upaya pemberdayaan masyarakat berbasiskan permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sumardjo (2010) bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu pendekatan yang dinilai tepat untuk mengantisipasi kemungkinan berkembangnya konflik sosial di perkebunan sawit, yang ditempuh dengan pendekatan secara damai, baik secara preventif maupun kuratif. Berdasarkan hasil penelitian lapangan menunjukkan salah satu ketidakberdayaan petani karena sempitnya lahan dan ketidakjelasan status lahan sehingga daya tawarnya terhadap perusahaan perkebunan besar lemah.Akibatnya, dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi masyarakat selalu terkalahkan. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 213 Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui, walaupun dalam UUP Agraria mengakui hak ulayat, namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan (Frasetiandy, 2009). Selanjutnya Frasetiandy juga mengemukakan bahwa konflik sosial yang terjadi terkait dengan perkebunan sawit salah satunya karena untuk membangun sebuah perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik CPO dibutuhkan minimal 6.000 hektare lahan.Kondisi ini menyebabkan lahan hutan dan juga lahan-lahan produktif yang diambil secara paksa oleh perusahaan walau dengan berbagai macam motif dan perilaku. Hal inilah sebagai titik awal pemicu terjadinya konflik. Konflik antara manajemen perkebunan dengan komunitas muncul dalam empat tipe: (1) kriminalitas, (2) bandit sosial, (3) reclaiming lahan, dan (4) konflik berbasis kesenjangan ekonomi (Ivan dan Fajar, 2010). Konflik tipe kriminalitas yang ditemukan di lapangan dapat berupa pencurian sawit perusahaan perkebunan dan pembakaran kamp-kamp pekerja kebun sebagai bentuk tindakan ketidakpuasan masyarakat sekitarnya terhadap perusahaan perkebunan. Konflik tipe bandit sosial yang ditemukan di lapangan dapat berupa rekruetmen preman desa oleh perusahaan yang nantinya digunakan sebagai “bodygard atau pagar hidup” sehingga sering muncul konflik antara bandit sosial yang cenderung berpihakan kepada perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitarnya. Konflik tipe reclaiming lahan biasanya berbasis argument sejarah dan argument hukum, fenomena yang ditemukan di lapangan umumnya terjadi akibat klaim lahan oleh perusahaan perkebunan terhadap lahan-lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat sekitarnya sebagai lahan yang masuk ke dalam HGU mereka, sehingga muncul sengketa lahan yang berujung pada konflik berkelanjutan. Konflik tipe kesenjangan akses ekonomi hubungan asimetris inti plasma dan antara pendatang dan penduduk lokal. Fenomena yang ditemukan di lapangan ada dualisme ekonomi antara perusahaan perkebunan dengan adopsi teknologi yang tinggi, lahan luas, dan keuntungan yang besar, kemudian dihadapkan dengan kondisi perkebunan rakyat dengan adopsi inovasi yang rendah, lahan sempit dan keuntungan yang kecil. Akhirnya kondisi ini akan memuncul kesenjangan ekonomi yang dapat mengundang kesenjangan dan kecemburuan serta konflik sosial antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka dibutuhkan pemberdayaan masyarakat berbasis masingmasing tipe konflik, yaitu melalui kekuasaan pemaksa, kekuasaan hukum, gerakan sosial dan program program ekonomi yang berpihakan kepada masyarakat. Dilihat dari perspektif pemberdayaan masyarakat pengelolaan potensi konflik dan resolusi konflik perlu dilihat secara proporsional dan secara kontekstual.Tindakan yang dipilih dalam pemberdayaan masyarakat bisa mencakup pengembangan kapasitas individu petani, kelompok atau organisasi masyarakat, masyarakat dan pengembangan koordinasi lintas instansi sektoral maupun kopordinasi horisontal dan vertikal dalam instansi Kepemerintahan.Secara rinci atas kaitan antar pihak yang berpotensi konflik, sumber masalah dan alternatif sosluasi dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 1. Dilihat dari sumber konflik dan masalah yang paling banyak dan yang paling sering adalah terkait dengan persoalan penguasaan hak atas lahan.Konflik lahan di wilayah penelitian dapat terjadi antara individu dengan perusahaan, kelompok masyarakat tertentu dengan perusahaan, masyarakat dengan perusahaan, bahkan pemerintah dengan perusahaan. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 214| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Konflik antara individu dengan perusahaan bersumber dari adanya beberapa tanah milik individu anggota masyarakat yang dituduh berada dalam HGU perusahaan sehingga muncul berbagai upaya perusahaan perkebunan untuk mengambil alih hak atas lahan tersebut, seperti ganti rugi lahan yang kurang adil, munculnya teror melalui bandit-bandit sosial, yang akhirnya memaksa individu menyerah dan menerima tawaran ganti rugi lahan yang tidak adil tadi, tetapi ada juga pemaksaan pengambil alihan hak atas lahan yang dilakukan melalui teror sosial oleh sekelompok oknum kaki tangan perusahaan sehingga individu tadi tidak mendapat kompensasi apapun atas lahannya yang telah dialihkan haknya. Karena itu solusi yang harus dilakukan untuk pemberdayaan individu tadi adalah advokasi hak, pengembangan kapasitas/ kompetensi individu sehingga mereka lebih berdaya dalam membela hak-haknya terhadap perusahaan perkebunan sawit. Konflik lahan juga terjadi antara kelompok masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit.Konflik ini dipicu oleh adanya pengambil alihan lahan yang sudah dimanfaatkan kelompok tani oleh perusahaan dengan dalih lahan tersebut sudah berada dalam wilayah HGU perusahaan.Sementara kelompok masyarakat juga berdalih bahwa pemanfaatan lahan tersebut dibenar secara hukum adat. Konflik ini biasanya bila tidak cepat ditangani akan meluas pada munculnya konflik sosial, seperti pembakaran kamp perusahaan dan lainnya. Solusi pemberdayaan yang perlu dilakukan untuk penanganannya antara lain: penguatan posisi tawar petani, advokasi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, penguatan kapasitas organisasi dan kelembagaan petani, pengembangan trust dan forum komunikasi stakehorder sawit, pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan kelembagaan usaha ekonomi masyarakat, seperti koperasi. Konflik lahan lainnya juga muncul antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan sawit.Umumnya konflik ini muncul berasal dari adanya tumpang tindih hak atas lahan yang telah dikeluarkan dan peruntukan lahan untuk lebih dari satu perusahaan.Selain itu, persoaalan kesepakan tentang pengembangan Perkebunan Inti Rakyat juga masih ditemukan perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan pihak pemerintah setempat. Perbedaan pendapat ini tergantung pada cara menafsirkan Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007, menurut penafsiran pemerintah daerah seperti yang diungkapkan oleh seorang pejabat perkebunan di Nagan Raya: “Ada kewajiban pihak perkebunan terhadap rakyat sekitar kebun untuk melakukan kemitraan, seperti (1) penguatan lembaga lokal (koperasi) dan pembelian buah tandan segar dari masyarakat; dan (2) kemitraan membangun kebun plasma sebesar 20 % dari luas kebun inti. Menurut dia, kebun plasma ini lahannya disediaakan dari HGU perusahaan.Kemitraan ini mengharuskan adanya keterlibatan pemerintah daerah, tetapi kenyataannya perusahaan jarang melaporkan kegiatan tersebut, apalagi melibatkan pemerintah daerah.Karenanya pemerintah daerah tidak mengetahui secara tepat sejauhmana kemitraan tersebut diimplementasikan di lapangan.Contohnya, pembangunan kebun plasma dengan Sofindo, dulu hampir berjalan tapi sekarang tidak berjalan lagi karena ada tuntutan ganti rugi lahan plasma sehingga perusahaan tidak melanjutkannya. Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan kebun plasma dengan PT Fajar Baizuri seluas 1500 ha. Jadi belum ada kebun plasma yang sudah terimplementasi di Nagan Raya.Persoaalan lain LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 215 yang kami hadapi perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Nagan Raya adalah mereka yang telah memiliki HGU lama, sehingga aturan tentang syarat kemitraan kebun plasma, sifatnya adalah himbauan, bukan kewajiban sehingga kami tidak bisa memaksakannya”. SUMBER KONFLIK DAN MASALAH Sumber Konflik: pengembalian hak milik, ganti rugi lahan, kesenjangan akses usaha ekonomi, dan persaingan meraih kesempatan kerja Sumber Konflik: Sumber Konflik: Pengembalian tanah Pengembalian tanah adat, pengembalian adat, pengembalian lahan garapan,ganti lahan garapan, ganti rugi lahan garapan, rugi pembelian perusakan tanaman, lahan, perambahan ketiadaan ijin dari dan perusakan pihak yang tanaman, lemahnya berwenang, posisi tawar petani dlm pemasaran partisipasi inti plasma PIHAK YANG BERKONFLIK blm berjalan Sumber Konflik: Tumpang tindih hak atas lahan, kompetisi pemasaran produk sawit rakyat, peruntukan lahan untuk lebih dari satu perusahaan Konflik Konflik kelompok Konflik Konflik instansi Individu masyarakat pemerintah dg dengan Perusahaan dengan dengan Perusahaan PerusahaanALTERNATIF SOLUSI DALAMPEMBERDAYAAN Perusahaan MASYARAKAT Advokasi hak, pelatihan ketrampilan, pengembangan kapasitas/komp etensi Penguatan posisi Pemberdayaan masyarakat, forum tawarpetani, komunikasistakehor Advokasi hak dan der sawit, kewajiban, pengembangan, penguatan kapasitas kelembagaan usaha organisasi petani, ekonomi (misal pengembangan trust koperasi) dankelembagaan koperasi OUTPUT Good Governance, penegakan hukum, koordinasi lintas sector/instansi vertikal dan horizontal ï‚· Menguatnya pola interaksi yang asosiatif dan melemahnya pola interaksi disasosiatif masyarakat-perusahaan-pemerintah daerah ï‚· Meningkatnya kapasiatas individu petani, kelompok, dan kelembagaan masyarakat ï‚· Kemadirian dan keberlanjutan ekonomi masyarakat meningkat ï‚· Kelestarian hutan kawan Rawa Tripa lebih terjamin Gambar 1. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Konflik dan Permasalahan Lokal Sementara itu, menurut pihak perusahaan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang manager dan pemilik perusahaan perkebunaan adalah: Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 216| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST “Menurut pemahaman kami plasma itu melibatkan perusahaan kebun, Bank, Pemerintah Daerah dan Masyarakat Calon Penerima. Lahannya disediakan oleh pemerintah daerah, tidak mungkin dari lahan HGU kami karena kami bayar pajak untuk 100% lahan, tetapi hanya memanfaatkan hanya 80%. Kemudian modalnya disalurkan oleh Bank, penanggung jawabnya adalah perusahaan perkebunan, dan jika sudah Break Even Point (pulang pokok), maka kebun tersebut diserahkan kembali kepada petani calon penerima sesuai dengan akad yang telah disepakati”. Tapi pada kenyataannya pemerintah daerah belum menyiapkan lahan tersebut dan calon petani penerima program.Selain itu, persoalan di lapangan juga tidak sehat karena adanya tuntutan ganti rugi dari Rp 500.000 per hektar sampai 5.000.000 per hektar. Akibatnya, program plasma ini tidak jadi dilanjutkan. Untuk itu, saya mengusulkan perlu adanya keseriusan pemerintah daerah jika program plasma ini mau dilanjutkan, kami dari pihak perusahaan akan mendukung dan mengikuti aturan yang ada”. Apabila dilihat dari pernyataan kedua belah pihak tadi, ada kesalahan dalam menafsirkan Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 tentang tatacara pelaksanaan kebun plasma. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk solusi dalam upaya pengurangan konflik antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan maka perlu terciptanya Good Governance, penegakan hukum, koordinasi lintas sektor/instansi vertikal dan horizontal. Apabila sumber konflik dapat dicarikan alternatif solusinya dari pihak-pihak yang berkonflik, maka akan berdampak pada: (1) menguatnya pola interaksi yang asosiatif dan melemahnya pola interaksi disasosiatif masyarakat-perusahaan-pemerintah daerah; (2) meningkatnya kapasiatas individu petani, kelompok, dan kelembagaan masyarakat; (3) meningkatnya kemadirian dan keberlanjutan ekonomi masyarakat; dan (4) lebih terjaminnya kelestarian hutan gambut Rawa Tripa. Berdasarkan sisi pandangan masyarakat dapat diidentifikasi kebutuhan dan kompensasi ekonomi yang diharapkan, kendala dan saran dalam kerangka menyusun model pemberdayaan masyarakat di wilayah penelitian. Selanjutnya model pemberdayaan masyarakat ini diharapkan dapat menjadi acuan hipotetik dalam implementasi nantinya di lapangan. Beberapa indikator kebutuhan, kompensasi ekonomi dan pemberdayaan masyarakat dilihat pada Tabel 17. Apabila dilihat dari prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, maka hal yang penting diperhatikan adalah berbasis kebutuhan dan potensi lokal. Berdasarkan sisi pandang masyarakat ada beberapa kebutuhan yang diharapkan dari upaya pemberdayaan masyarakat, antara lain: (1) pemenuhan kebutuhan terhadap faktor produksi, seperti modal usaha dan bibit tanaman (67,12%); (2) pembentukan dan penguatan kelembagaan dan pedampingan masyarakat secara berkelanjutan (20,55 %); dan (3) dalam bantuan dalam bentuk penunjang lainnya tergantung pada saat implementasi pemberdayaannya. Selanjutnya menurut responden, ada sejumlah potensi lokal yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan, yaitu (1) peternakan dan perkebunan (79,45%); (2) lembaga adat; dan (3) ketersediaan potensi lahan yang cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan, hortikultura, dan kehutanaan dalam konservasi Rawa Tripa. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 217 Tabel 17. Kebutuhan, Kompensasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat No. Indikator Kebutuhan, Kompensasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat 1. Kompensasi ekonomi dan kebutuhan yg diharapkan bagi masyarakat yg ikut konservasi lahan gambut Rawa Tripa a. Bantuan modal usaha, bibit peternakan, perikanan dan perkebunan b. Membentuk UKM dan pendampingan bagi masyarakat dalam waktu yang lama c. Bantuan lainnya 2. Potensi (SDM, SDA, Lembaga) yang dapat dimanfaatkan untuk areal restorasi hutan dan Ekosistem TPSF a. Peternakan,perkebunan dan lembaga adat pengawas pemanfaatan hutan b. Adanya kelompok masyarakat dan lahan yang cocok 3. Dampak upaya menyelamatkan dan pelestarian hutan di rawa tripa thd penghidupan masyarakat a. Terjaganya ekosistem di lahan gambut rawa tripa b. Meningkatkan ekonomi karena lahan kembali kepada rakyat 4. Langkahyang tepat dalam pemberdayaan masyarakat yg berdampak pada upaya menyelamatkan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa a. Membentuk kelompok usaha kecil dan menengah baik dibidang peternakan dan perkebunan b. Ada sosialisasi, pelatihan dan penyuluhan tentang pentingnya hutan gambut c. Budidaya tanaman perkebunan (Jabon, mahoni dll), peternakan, palawija dan padi Sumber: Data Primer Jumlah (orang) Persentase (%) 49 67,12 15 20,55 9 12,33 58 79,45 15 20,55 58 79,45 15 20,55 32 43,83 13 17,81 28 38,36 Masyarakat menilai apabila pemberdayaan berbasis kebutuhan dan potensi lokal dapat dilakukan secara optimal, maka akan berdampak pada terjaganya ekosistem di lahan gambut rawa tripa dan meningkatkan ekonomi karena lahan kembali kepada rakyat. Untuk terwujudnya harapan tersebut, ada beberapa langkah yang disarankan responden: (1) membentuk kelompok usaha kecil dan menengah baik di bidang peternakan dan perkebunan, (2) adanya pelatihan, sosialisasi, dan penyuluhan tentang pentingnya hutan gambut; dan (3) dikembangkannya budidaya tanaman perkebunan berbasis tanaman hutan seperti: jabon, mahoni sehingga dapat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan di Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 218| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Ekosistem TPSF. Berdasarkan kebutuhan, potensi dan harapan masyarakat maka dapat dirumuskan suatu model pemberdayaan masyarakat di Ekosistem TPSF (Gambar 2). Skenario Restorasi dalam Mempertahankan Ekosistem TPSF Pesatnya perkembangan perkebunan sawit di wilayah pantai barat Aceh, di satu pihak telah membangkitkan gairah ekonomi masyarakat yang bergerak diperkebunan sawit.Banyak lahan-lahan tidur yang dahulunya terbengkalai, namun sekarang sudah menjadi lahan produktif untuk perkebunan sawit. Persoalan kemudian muncul ketika kebanyakan pengembangan perkebunan kelapa sawit telah mengorbankan hutan di lahan dataran rendah yang kaya biodiversity, temasuk hutan rawa gambut (World Bank, 2006; Koh L.P. dan Ghazoul J., 2010). Perusakan hutan-hutan dataran rendah berkontribusi terhadap perubahan iklim karena hutan-hutan tersebut menyimpan cadangan karbon sebesar antara 170 hingga 250 ton karbon per hektar (Malhi Y., et al, 2006; Chave J., et al, 2008; Lewis, et al, 2009). Hutan-hutan tersebut juga sangat penting bagi keanekaragaman hayati, khususnya orangutan. Luas hutan gambut Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Kasus Rawa Tripa menjadi dikenal di dalam dan luar negeri setelah PT. Kalista Alam, sebuah perusahaan besar diberikan konsesi tanah atau Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah Aceh untuk perkebunan kelapa sawit di Rawa Tripa termasuk ke dalam zona konservasi. Di samping itu, ada beberapa perusahaan lain yang diberikan konsesi, seperti PT. Patriot Guna Sakti Abadi, PT. Agra Para Citra, Glora Sawita Makmur, PT. Cemerlang Abadi, PT. Surya Panen Subur II, dan PT Dua Perkasa Lestari. Menurut Irsadi Aristora (Deputi Manajer dari Transparency International) bahwa pemberian konsesi lahan di Rawa Tripa untuk perusahaan kelapa sawit dimulai sejak tahun 1980. Masalah dimulai ketika pemerintah Aceh memberikan konsesi kepada PT. Kalista Alam untuk mengeksploitasi tanah melebihi daya dukung hutan rawa gambut.Persoalan inilah kemudian mendorong sejumlah organisasi non-pemerintah membentuk jaringan yang disebut TKPRT (Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa). Koalisi ini dimulai pada tahun 2009 saat BPKEL (Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser) diberitahu tentang konflik di Rawa Tripa dari For Trust (Forum Tata Ruang Sumatra) dan TKPRT. Forum ini menjadi media berbagi informasi mengenai kondisi hutan dan masalah di Rawa Tripa dengan tujuan untuk membantu melindungi hutan dan mengatasi masalah yang ada. Pemberian izin pemanfaatan lahan di Ekosistem TPSF telah memberikan dampak negatif terhadap pelestarian hutan dan keberlangsungan kehidupan biodiversity. Seperti yang diungkapkan salah satu tokoh masyarakat di Kuala Semanyam: “akibat pembukaan hutan gambut Rawa Tripa, kami telah kehilangan sebagian mata pencarian, seperti populasi kerang dan lembek (lele lokal) yang sudah menurun drastis. Kemudian apabila hujan lebat sedikit sudah banjir, sebaliknya begitu beberapa minggu tidak hujan kami kekeringan. Penghidupan kami menjadi lebih susah, rotan yang dahulu banyak tersedia, sekarang sudah sulit mendapatkannya.” Menurut dia, salah satunya adalah sebagai akibat dari semakin maraknya pembukaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan sawit, baik oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan, dan yang paling luas rusaknya hutan gambut rawa tripa itu adalah akibat pembukaan lahan oleh perkebunan besar di wilayah tersebut. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 219 Untuk itu, diperlukan skenario sebagai upaya menyelaraskan antara pengembangan perkebunan sawit untuk peningkatan ekonomi masyarakat dengan pelestarian hutan gambut Rawa Tripa yang kaya akan biodiversity. Ekosistem TPSF merupakan wilayah yang terintegrasi dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan salah satu dari tiga hutan rawa gambut penting yang tersisa di Aceh. Restorasi dalam mempertahankan Ekosistem TPSF dapat dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur sebagai perkebunan kelapa sawit menggantikan lahan gambut di Ekosistem TPSF.Dengan demikian, pengembangan perkebunan sawit maupun pelestarian hutan untuk tujuan-tujuan pemeliharaan iklim dan keanekaragaman hayati dapat berjalan secara sinergys dan saling menguntungkan.Dari sisi pandangan responden tentang skenario dalam mempertahankan Gambut Rawa Tripa dapat dilhat pada Tabel 18. Penelitian ini melihat ada 4 indikator dalam upaya mempertahankan lahan gambut Rawa Tripa, yaitu: kebutuhan bagi masyarakat yang terkena dampak, kemudian ukuran keberhasilan keterlibatan stakeholder dalam mengkonservasi lahan menjadi hutan gambut di Ekosistem TPSF, kendala dan saran dalam mempertahankan lahan gambut Rawa Tripa. Menurut sisi pandang responden hal yang mereka butuhkan dalam upaya mempertahankan hutan di Ekosistem TPSF antara lain memberi modal usaha untuk membuka lahan baru di luar kawasan lahan gambut Rawa Tripa (58,91%), sehingga perambahan lahan gambut dapat dikurangi. Namun hal ini akan dapat terwujud jika beriringan dengan upaya penataan kembali lahan HGU perusahaan dan mendorong adanya hutan adat masyarakat (41,09%). Apabila HGU tidak ditata kembali, maka menurut masyarakat perambahan dan kerusakan hutan akibat perkebunan besar jauh lebih parah daripada yang dilakukan masyarakat. Masyarakat hanya butuh 2-3 ha untuk penghidupannya, sementara perusahaan perkebunan besar butuh ribuan hektar untuk mencari keuntungan. Karena itu, kalau HGU tidak ditata kembali maka kerusakan hutan gambut Rawa Tripa juga tidak terbendungkan. Tabel 18. Skenario dalam Mempertahankan Lahan Gambut Rawa Tripa No. Indikator Skenario dalam Mempertahankan Lahan Gambut Rawa Tripa 1. Kebutuhan masyarakat/stakeholder yg terkena dampak restorasi hutan gambut rawa-tripa a. Memberi modal usaha dan membuka lahan baru b. Penataan kembali HGU lahan perusahaan, mendorong adanya hutan adat masyarakat Indikator keberhasilan keterlibatan stakeholder dan masyarakat dalam mengkonservasi rawa tripa a. Pengurangan HGU dan tidak mengeluarkan izin HGU baru bagi perusahaan b. Berkurangnya pembukaan lahan baru oleh masyarakat dan perusahaan c. Meningkatnya penanaman tanaman hutan 2. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala Jumlah (orang) Persentase (%) 43 58,91 30 41,09 20 27,39 32 43,84 21 28,77 220| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST 3. 4. Kendala dalam restorasi di Lahan Rawa Tripa a. Peran pemerintah kurang b. Ketidakjelasan hukum, modal, Pengetahuan Saranuntuk menyelamatkan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa a. Perbaikan sistem manajemen pemerintah agar teratur dan komitmen dalam menjaga ekosistem di Ekosistem TPSF b. Ada sosisalisasi dan penyuluhan tentang rawa tripa (pentingnya hutan gambut bagi masyarakat) 38 35 52,05 47,95 40 54,8 33 45,2 Sumber: Data Primer Dilihat indikator keterlibatan masyarakat dalam mempertahankan lahan gambut Rawa Tripa adalah semakin berkurangnya pembukaan lahan baru oleh masyarakat dan perusahaan (43,84%) dan semakin meningkatnya penanaman tanaman hutan (28,77%). Makna dari data ini, hal yang paling penting dilakukan adalah pencegahan dengan menghindari pembukaan lahan gambut yang ada akibat sudah dimanfaatkan, terutama untuk perkebunan sawit. Menurut sudut pandang masyarakat kendala yang dihadapi dalam restorasi lahan gambut di Ekosistem TPSF antara lain: kurangnya peran pemerintah (52,05%), dan ketidakjelasan hukum bagi pelanggarnya (47,95%). Pemerintah daerah dinilai agak pasif dalam mensosialisasi dan mengemukakan akan petingnya pemeliharaan lahan gambut. Begitu juga, lemahnya penegakan hukum mengakibat tidak ada efek jera bagi pelanggarnya.akhirnya mereka berani merambah Ekosistem TPSF meskipun belum mendapatkan hak secara hukum. Sehubungan dengan kebutuhan dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan adanya langkah langkah dalam upaya mempertahankan Ekosistem TPSF. Menurut pendapat responden langkah-langkah yang diperlukan dalam mempertahankan Ekosistem TPSF, antara lain: (1) perbaikan sistem manajemen pemerintah agar teratur dan komitmen dalam menjaga ekosistem di Ekosistem TPSF (54,8%); (2) perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan tentang rawa Tripa (pentingnya hutan gambut bagi masyarakat). Berdasarkan kebutuhan dan kendala dalam upaya mempertahan hutan gambut Rawa Tripa, maka disusun sebuah model pemberdayaan dan skenario restorasi dalam mempertahankan Ekosistem TPSF (lihat Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan bahwa model pemberdayaan masyarakat dan skenario restorasi dalam mempertahankan hutan gambut rawa tripa yang dikembangkan ke depan dengan melibatkan petani, pemerintah daerah dan pihak swasta (perusahaan perkebunan sawit). Apabila hanya melibatkan petani, sementara tidak melibatkan pemerintah dan perusahaan perkebunan maka upaya mempertahankan hutan gambut rawa tripa tetap tidak akan optimal. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem inti-plasma merupakan salah strategi yang melibatkan petani, pemerintah, perusahaan perkebunan, lembaga mitra/LSM, dan perbankan sebagai pendukung pendanaan. Supaya pengembangan perkebunan sistem inti-plasma dapat dilaksanakan secara optimal, maka perlu terlebih dahulu mengidentifikasi: (1) permasalahan, meliputi: ketersediaan LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 221 lahan, modal usaha, mekanisme pemberdayaan yang dapat menawarkan solusi tertentu untuk memecahkan masalah tertentu, (2) transfer inovasi dan manajemen bidang perkebunan sawit dari perusahaan ke petani sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal, dan (3) penguatan lembaga lokal, seperti koperasi untuk mendukung keberlanjutan dan kerjasama dengan lembaga mitra. UU, Aturan, Kebijakan Dan Program Pemerintah Kondisi Eksisting: Perbenunan Sawit Rakyat dan Perusahaan Besar Aspek Penguasaan Lahan Aspek Potensi Perkebunan Aspek Tekhnologi Aspek Kelembagaan dan Sosial Budaya - Aspek Ekonomi, Agroindistri dan Pemasaran - Aspek Sumberdaya Manusia Petani - Lembaga mitra/LSM Pemerintah Pemberdayaan Masy melalui Sistem Inti-Plasma Petani lokal Kebutuhan dan potensi lokal Natural Resource Manajemen - Collective Management - Individu Management Perkebun an sawit Out Comes - Menguatnya Pola interaksi asosiatif masyarakatperusahaan perkebunan sawit - Produktivitas Perkebunan Sawit Rakyat Meningkat - Kemandirian Ekonomi Lokal dan Petani Meningkat - Terperbaikinya konservasi dan degradasi hutan di ekosistem gambut Rawa Tripa Orientasi Perusahaan dan Keberlanjutan Usaha Gambar 2. Model Pemberdayaan Masyarakat dan Skenario Restorasi Gambut Rawa Tripa Setelah mengindentifikasi berbagai masalah dan potensi, maka selanjutnya perlu koordinasi dan sinergysitas antara pihak-pihak yang terlibat, yaitu: petani, LSM, pemerintah, dan perusahaan perkebunan sawit peningkatan ekonomi tanpa mengorbankan pelestarian hutan lahan gambut Rawa Tripa dan biodiversity. Terkait dengan hal tersebut, perubahan perilaku petani dan perusahaan perkebunan sawit harus diarahkan untuk mengubah kondisi eksisting perkebunan sawit (aspek penguasaan lahan, aspek potensi perkebunan, aspek tekhnologi, aspek kelembagaan dan sosial budaya, aspek ekonomi, agroindistri dan pemasaran, dan aspek sumberdaya manusia) untuk peningkatan produktivitas hasil perkebunan sawit yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani dan ekonomi lokal, dan perbaikan degradasi sumberdaya alam (pelestarian hutan lahan gambut Rawa Tripa dan biodiversity). Pemberdayaan sistem perkebunan inti-plasma akan optimal harus didukung oleh kebijakan dan peraturan pemerintah yang kondusif di sektor perkebunan sawit, oleh orientasi perusahaan perkebunan sawit, dukungan LSM, dukungan perbankan, dan perubahan perilaku petani. Kebijakan pemerintah yang memberi peluang investor di sektor perkebunan besar tanpa mempertimbangkan daya tgampung lahan, maka akan menimbulkan kekuatiran terhadap dampak lingkungan berupa perubahan iklim. Oleh sebab itu, strategi pemberdayaan yang harus dikembangkan ke depan adalah bagaimana mengadvokasi pemerintah supaya kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan berpihakan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 222| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST pada upaya-upaya pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan, yaitu untung secara ekonomi, terhindar dari konflik sosial dan tidak merusak kelestarian lingkungan. Di sisi lain, strategi pemberdayaan juga harus mendorong pihak perusahaan perkebunan untuk mencapai outcome yang diharapkan. Pihak swasta memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan ekonomi petani. Apabila pihak perusahaan perkebunan hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, maka akan terancam pelestarian hutan dan biodiversity. Oleh sebab itu, pemberdayaan yang dilakukan harus mampu mengubah perilaku pihak perusahaan perkebunan untuk berorientasi keuntungan jangka panjang dan keberlanjutan usaha melalui sharing keuntungan yang adil dengan petani dan pelestarian hutan gambut di Rawa Tripa dengan menyisakan luasan lahan untuk dikonservasi menjadi hutan gambut. Apabila pemberdayaan terhadap petani, pemerintah dan perkebunan sawit dapat dilakukan secara seimbang dan didukung dengan pihak perbankan dan lembaga mitra/LSM, maka akan dapat mengubah kondisi eksisting pertanian Aceh menuju pencapaian outcome yang lebih baik, yaitu: (1) menguatnya pola interaksi asosiatif masyarakat-perusahaan perkebunan sawit, (2) produktivitas perkebunan sawit rakyat meningkat, (3) kemandirian ekonomi lokal dan petani meningkat, dan (4)terperbaikinya konservasi dan degradasi hutan di Ekosistem TPSF. Sehubungan dengan hal tersebut, peran lembaga mitra (LSM) dan perguruan tinggi seperti Unsyiah sangat diharapkan dalam upaya ikut serta dalam upaya restorasi dan mempertahankan hutan gambut Rawa Tripa untuk terpeliharanya pelestarian hutan dan biodiversity guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan pada masa mendatang. J. Lembaga Lokal dan Lembaga Kemitraan dalam Konservasi Ekosistem HutanRawa Gambut Tripa Masyarakat Aceh memiliki lembaga fungsional adat yang berfungsi untuk mengatur tata cara pembukaan hutan dan pemanfaatannya untuk kegiatan pertanian, yaitu Pawang Uteun.Pada masa dahulu lembaga ini sangat berperan untuk menentukan di mana saja hutan yang boleh dibuka dan dimanfaatan dan bagaimana tata cara pemanfaatannya dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Namun setelah pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.5 Tahun 1979 tentang Penyeragaman Pemerintahan Desa, maka fungsi lembaga Pawang Uteun ini mulai melemah dan kurang mendapat pengakuan di tengah kuatnya hukum positif. Akibatnya, tidak ada lagi tata aturan pemanfaatan hutan yang diputuhi bersama oleh masyarakat lokal.Kondisi ini diperparah dengan keluarnya sejumlah HGU pada masa Orde Baru yang mengabaikan keterlibatan lembaga lokal sehingga banyak terjadi tumpah tindih hak dalam pemanfaatan lahan.Hak-hak adat diakui tapi diabaikan, sementara yang diacu adalah hak berdasarkan hukum positif.Semakin lemahnya lembaga adat lokal ini menyebabkan eksploitasi sumberdaya hutan kurang terkendali, terutama oleh orang luar yang hak pemanfaatan hutan diperoleh dari pemerintah pusat, tanpa melibatkan lembaga lokal.Berbagai peristiwa bencana alam akibat kerusakan lingkungan menyadarkan pemerintah dan pihak terkait bahwa perlunya menguatkan kembali lembaga lokal dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Selain itu, seringnya muncul konflik antara komponen masyarakat lokal dengan pihak perusahaan perkebunan akibat ketimpangan ekonomi antara masyarakat dengan perkebunan dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah telah melahirkan LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 223 gagasan akan pentingnya lembaga mitra untuk membantu mengatasi konflik dan kerusakan likungan di Ekosistem TPSF. Hasil penelitian dan informasi dari lapangan bahwa sudah berkurang keberadaan lembaga lokal dan lembaga kemitraan yang benar-benar fokus dalam upaya rehabilitasi Ekosistem TPSF. Ada beberapa lembaga mitra yang bergerak untuk menyelamatkan lahan Gambut di Ekosistem TPSF atas dukungan pendanaan dari luar negeri. Salah satunya adalah Yayasan Ekosistem Lestari sebagai lembaga implementasi proyek yang didanai oleh PanEco Fondation dan didukung oleh Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) serta pemangku kepentingan lainnya. Proyek tersebut dimulai Mai 2009 dengan nama “Studi percontohan untuk Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Tidur Sesuai dengan Pedoman RSPO, dalam Konteks Pengalihan Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit yang Mengancam Hutan Rawa Gambut Pesisir yang Terakhir yang Tersisa di Aceh”. Proyek ini melibatkan lembaga mitra Biodiversity and Agricultural Communities Program (BACP), The World Agro Forestry Center (ICRAF), PT Sofin Indonesia, Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (Lesos), dan PanEco dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Disamping itu, ada juga melibatkan beberapa organisasi lain untuk penyelamatan Rawa Tripa yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TPKRT) yang terdiri dari Walhi Aceh (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), TII Aceh (Transparency International Indonesia), KuALA (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh), Green Journalists, Yayasan Pena (Peduli Nanggroe Aceh), Uno Itam, JKMA (Jaringan Komunitas Masyarakat Adat), YEL (Yayasan Ekosistem Lestari), dan Koalisi NGO HAM. Tanggapan masyarakat terhadap keberadaan lembaga lokal dan lembaga kemitraan yang terlibat dalam perbaikan pelestarian Ekosistem TPSF dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Lembaga Lokal dan Lembaga Mitra di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa No. Indikator Pengembangan Kelembagaan Lokal dan Lembaga Kemitraan Pengembangan kelembagaan yang dapat berkontribusi dalam mengkonservasi rawa tripa a. Penguatan pawang hutan dan hukum adat hutan b. Pembentukan kelompok masyarakat 2. Lembaga lokal/lembaga mitra yang dilibatkan untuk ikut serta dalam perbaikan hutan dan lahan gambut rawa tripa a. Pawang uteun, kelompok tani, aparat desa b. YEL (yayasan ekosistem lauser) c. PNPM, Lembaga Kepemudaan Sumber: Data Primer Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. 42 31 57,53 42,47 47 11 15 64,39 15,06 20,55 Keberadaaan lembaga lokal fungsional adat masih diharapkan masyarakat dalam upaya konservasi lahan Rawa Tripa.Hasil penelitian menunjukkan 57,53% responden menyatakan perlunya penguatan Pawang Uteun dan hukum adat hutan dalam upaya pelestarian dan konservasi hutan di Ekosistem TPSF. Sementara itu, lembaga yang dinilai responden ikut berperan terlibat dalam perbaikan hutan dilahan Rawa Tripa sebagian besarnya masih berasal dari lembaga lokal, seperti pawang uteun atau kelompok tani (64,39%) dan lembaga yang didirikan untuk pembangunan desa PNPM dan Lembaga Kepemudaan (20,55%). Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 224| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Sementara lembaga mitra dari luar yang dinilai ikut terlibat adalah Yayasan Ekosistem Leuser (YEL). Salah satu hasil advokasi yang dilakukan YEL bersama lembaga lokal adalah dicabutnya izin pemanfaatan lahan di Ekosistem TPSF dari PT. Kalista Alam sekitar seluas 1.600 ha. Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat melalui lembaga lokal dapat membuahkan hasil yang optimal apabila didukung oleh lembaga mitra yang kuat.Karena itu, perlu secara berkelanjutan dibangun kemitraan yang sinergi antara lembaga lokal dan lembaga mitra dalam upaya memperbaiki dan mengkonservasi kembali lahan Ekosistem TPSF. K. Evaluasi Kelayakan Perkebunan Kelapa Sawit versus Restorasi Hutan Pada saat ini, keadaan penerapan teknologi yang ada, harga pasar, kemampuan dan ketrampilan masyarakat dalam budidaya sawit, berubahnya kecendrungan usaha pertanian ke monokultur sawit, dukungan lembaga keuangan, pengembangan kelapa sawit sulit dibatasi baik yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar, maupun perkebunan rakyat. Analisis finansial studi kelayakan sawit menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal atas investasi (IRR) di atas 30%, benefit cost rasio di atas 2,5, payback period pada tahun ke 12, investor akan bersedia menanamkan modalnya pada sawit. Banjir yang menggenangi kebun sampai 12 hari belum begitu berbahaya bagi tanaman sawit, dibandigkan dengan tanaman pangan atau tanaman kakao. Keunggulan kriteria investasi dan rendahnya risiko serangan hama, penyakit dan banjir, serta harga CPO yang terus meningkat membuat investor besar maupun kecil terus berupaya mencari lahan untuk membuka kebun sawit. Lahan gambut di bawah 3 meter lebih baik diusahkan tanaman kelapa sawit dari pada tanaman lain, secara agroklimat. Bahkan lahan gambut di atas 3 meter, investor masih bersedia mengusahkan sawit, sungguhpun di lapangan secara faktual terlihat banyak pohon sawit yang tumbuh miring akibat dukungan tegakannya tidak kuat, sehingga produksi TBS per pohon berkurang. Sungguhpun sawit baru berproduksi pada tahun keempat, petani dengan modal tidak besar pun telah bersedia mengusahakan sawit di sekitar perkebunan besar.Mereka bersedia menjadi buruh harian lepas di perusahan untuk memperoleh pendapatan sambil menunggu tanaman sawit menghasilkan. Keinginan masyarakat dan perusahaan untuk mengembangkan sawit tersebut tentu akan mendesak dan melenyapkan keberadaan Ekosistem TPSF. Penggunaan lahan gambut di atas 3 meter, dalam jangka sangat panjang, misalnya 100 tahun lebih, di mana lapisan gambut akan terus menipis sampai mencapai dasar tanah. Jika lahan gambut tempat pengusahan sawit sekarang tergenang permanen, barulah sawit tidak dapat diusahakan lagi.Keadaan klimaks inilah yang secara finansial, ekonomi, dan prospek pasar dapat mengalahkan investasi sawit. Kalau genangan permanen di kebun sawit ini tidak jadi, maka usaha sawit akan tetap lebih menguntungkan dari pada mengusahakan tanaman lain. Hasil Kajian 2 mengusulkan hutan diperluas dari 13.447,81 Ha menjadi 30,455.45 Ha, kebun sawit diusulkan pengurangan luas dari 32.484,96 Ha menjadi 20.477,32 Ha, sementara kebun campuran, tanaman pangan dan pemukiman luasnya tetap, yaitu 14,724.51 Ha. Kajian 2 juga menjelaskan bahwa Benefit-Cost ratio dengan pendekatan TEV adalah 143,1 sementara dengan pendekatan DUV menghasilkan Benefit-Cost ratio 0,7. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 225 V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil kajian sosial ekonomi kehidupan masyarakat di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF), maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Masyarakat yang menetap di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Pendatang sebagian besar berasal dari daerah yang berdekatan dengan Ekosistem TPSF, seperti dari dari kecamatan-kecamatan yang di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Barat, dan sebagian kecil ada pendatang dari Sumatera Utara dan daerah Jawa. Umumnya mereka datang ke kecamatan dalam Ekosistem TPSF adalah untuk mencari pekerjaan, melakukan perdagangan atau melakukan hubungan perkawinan. 2. Penduduk angkatan kerja di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya relatif lebih banyak, masing-masing 67,34%, dan 57,86%. Sebahagian besar mereka mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian dan perkebunan. 3. PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya terbesar disumbangkan ole sektor pertanian, masing-masing 45,04% dan 30,20%. 4. Kondisi prasarana dan sarana di lokasi penelitian relatif baik. Jalan sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, dan jenis jalan aspal beton lebih sedikit dibandingkan dengan jenis jalan tanah yang diperkeras. Prasarana komunikasi sudah ada warung telekomunikasi, semua desa telah dapat dihubungi dengan HP. Jaringan PLN telah tersambung ke semua desa untuk memenuhi penerangan di rumah tangga. Prasarana dan sarana kesehatan sudah tersedia yang terdiri dari Puskesman, Puskesmas Pembantu, Poliklinik, Balai Pengobatan, Praktek Dokter, dan Bidan serta Posyandu. Air minum minum masyarakat sebagian besar berasal dari sumur dan sebagian kecil sudah ada perusahaan air minum/air isi ulang. Bahan bakar yang digunakan rumah tangga untuk memasak sebagian besar menggunakan kayu bakar, diikuti oleh penggunaan gas dan minyak tanah. Umumnya penanganan sampah rumah tangga dibuang di tanah pekarangan.Untuk kepentingan pendidikan, sekolah dasar tersedia hampir setiap desa. 5. Penggunaan lahan di Ekosistem TPSF terluas adalah lahan kering/tegalan, kemudian diikuti untuk penggunaan pemukiman dan sawah. Tinggi dan stabilnya harga sawit ditambah dengan masuknya perusahaan besar yang mengusahakan tanaman kelapa sawit sudah mendesak penggunaan lahan pertanian lainnya, seperti sawah, perkebunan kakao dan karet. 6. Komoditas unggulan dari kelompok perkebunan adalah kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Komoditas unggulan dari kelompok tanaman pangan adalah padi, diikuti oleh kedelai dan jagung di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur, sementara di Kecamatan Babah Rot adalah padi, kacang tanah dan kacang hijau. Untuk kelompok tanaman sayur, komoditas unggulannya adalah kacang panjang, dan kelompok buahbuahan, komoditas unggulan adalah mangga dan durian. Komoditas unggulan dari kelompok peternakan adalah sapi, diikuti oleh kambing/domba dan kerbau.Komoditas unggulan dari kelompok perikanan didominasi oleh perikanan tangkap.Lele alam sebagai produk unggulan dari kelompok perikanan darat di Ekosistem TPSF menurun Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 226| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST drastis sehubungan dengan pesatnya perluasan kebun kelapa sawit.Produk ikutan dari kelompok kehutanan, seperti madu alam dan rotan tidak terdapat lagi sehubungan alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan sawit. 7. Pola Interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit di daerah penelitian umumnya bersifat pola interaksi diasosiatif, yang diindikasikan oleh adanya konflik penguasaan lahan antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat sekitarnya, termasuk lahan yang disengketakan dan dicabut izin pemanfaatannya seluas sekitar 1600 ha oleh Pemerintah Aceh di Ekosistem TPSF. Sementara jarang terjadi kasus konflik atau kecemburuan sosial antara penduduk pribumi dan tenaga kerja pendatang. Penduduk asli berpendapat bahwa mereka tidak ada masalah dan terbuka dengan kedatangan tenaga kerja profesional dari luar, mereka menyadari kelemahan SDM lokal untuk menduduki posisi penting di perusahaan perkebunan. Namun mereka berharap seharusnya pihak perusahaan perkebunan bersedia melepaskan lahan-lahan di sekitar perkampungan untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat minimal 2 ha per Kepala Keluarga. Dengan demikian mereka dapat hidup berdampingan, saling mendukung dan saling menguntungkan dengan perusahaan perkebunan besar. 8. Pola hubungan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit juga berbentuk asimetris (tidak seimbang) yang diindikasikan dengan perusahaan perkebunan berada pada pihak yang kuat mengabaikan hak dan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya muncul perilaku anarkis masyarakat terhadap fasilitas yang dimiliki pihak perkebunan.Persoalan utama yang dikeluhkan masyarakat sekitar HGU adalah HGU yang diberikan pemerintah kepada perusahaan perkebunan besar kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan ekonomi dari masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik sosial yang merugikan pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat. 9. Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah penelitian ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Persepsi positif umumnya diungkapkan oleh mereka yang merasa adanya keuntungan akibat kehadiran perusahaan perkebunan sawit, diterimanya sebagai karyawan, pekerja lepas, dan kemudahan akses ekonomi lainnya. Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan sawit umumnya diungkapkan oleh mereka tanahnya berdekatan dengan HGU dan berkonflik dengan perusahaan, kurang puas terhadap ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Kegiatan pertanian tanaman pangan terganggu oleh serangan hama babi dan hama lainnya. Persepsi masyarakat adanya gangguan hama ini disebabkan oleh kerusakan Ekosistem TPSF, sehigga hama tersebut masuk lahan pertanian masyarakat. 10. Lahan sebagai salah satu faktor produksi yang penting untuk mendukung penghidupan, masyarakat memperolehnya dengan cara membuka lahan berdasarkan surat adat, adanya bantuan pemerintah untuk membangkit ekonomi masyarakat, melalui harta warisan, dan membeli lahan dari sesama anggota masyarakat. LAPORAN UTAMA SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT| 227 11. Kesediaan melepaskan lahan untuk merestorasi hutan di Ekosistem TPSF, sebagian mereka setuju kalau ada lahan pengganti sebagai tempat penghidupan, dan mereka berpartisipasi langsung dalam program restorasi. 12. Analisis finansial studi kelayakan sawit pada Ekosistem TPSF menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal atas investasi (IRR) di atas 30%, benefit cost rasio di atas 2,5, payback period pada tahun ke 12, investor lebih bersedia menanamkan modalnya pada perkebunan kelapa sawit. Harga CPO yang cenderung terus meningkat membuat pengusahaan tanaman kelapa sawit lebih menguntungkan daripada pengusahaan tanaman lainnya. Penggunaan lahan gambut di atas 3 meter, dalam jangka waktu sangat panjang, misalnya 100 tahun lebih atau setelah 3 periode pemberian izin HGU untuk kelapa sawit, di mana lapisan gambut akan terus menipis sampai mencapai dasar tanah. Sewaktu lahan gambut tempat pengusahaan tanaman kelapa sawit sekarang tergenang permanen, barulah sawit tidak dapat diusahakan lagi, dan mulai saat itu tidak ada lagi nilai ekonomi dari lahan tersebut. 13. Dalam skenario memperluas areal hutan, perbandiangan manfaat-biaya dengan pendekatan TEV adalah 143,1 dan pendekatan DUV adalah 0,7 B. Rekomendasi 1. Aspek ekonomi, ekologi dan sosial perlu dilakukan pengelolaan secara integratif dengan mempertimbangkan komponen sumberdaya lokal pada ekosistem setempat, agar pengembangan perkebunan kelapa sawit pada berbagai lahan yang ada dapat dilakukan secara berkelanjutan, tanpa merusak kelestarian lingkungan dan menggangu pengusahaan pertanian pangan rakyat setempat. 2. Pemberian atau perpanjangan HGU kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit ke depan harus mempertimbangkan hak-hak adat dan nilai teritorial daerah yang berdekatan dengan pemukimam dan perkampungan untuk membangun pola interaksi yang positif/asosiatif antara perusahaan dan masyarakat. Sangat dianjurkan pelakasanaan pembangunan kebun plasma masyarakat seperti yang diisyaratkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat Melalui Kemitraan Kehutanan.Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi kepada stakeholder sehingga pemberdayaan masyarakat setempat sesuai Peraturan Menteri Kehutanan RI tersebut. 3. Upaya konservasi lahan Gambut Rawa Tripa harus melibatkan ketiga komponen utama secara simetris (seimbang), yaitu Pemerintah Daerah Nagan Raya; Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang beroperasi di daerah penelitian; dan masyarakat lokal. Kemudian membentuk lembaga mitra pengawasan bersama untuk memastikan bahwa upaya konservasi dapat diimplementasikan dan dipatuhi oleh semua pihak terkait. 4. Perlu dilakukan penguatan dan pembinaan terhadap lembaga lokal “Pawang Uteun” sebagai lembaga fungsional adat lokal dan “Lembaga Mitra (LSM) terpilih” berdasarkan indikator yang disepakati untuk memastikan bahwa pelaksanaan kesepakatan pemerintah daerah, perusahaan perkebunan sawit, dan masyarakat lokal dalam konservasi lahan Gambut Rawa Tripa dapat diimplementasikan secara optimal. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 228| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST 5. Pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di atas 3 meter harus mempertimbangkan nilai ekonomi lahan dalam jangka waktu yang sangat panjang, yaitu di atas 100 tahun, atau setelah 3 periode pemberian HGU tanaman kelapa sawit. Karena mengembalikan lahan tersebut ke keadaan semula atau mengalihkan lahan tersebut ke usaha lain sudah tidak memungkinkan lagi (irreversible). DAFTAR PUSTAKA Assili, N.M, and James H.F. 1982. Planning Communication Support for Rural Development Campaigns. Thailand: UNDP/DTCP Publication. Blanchard, K., P.C. John, dan R. Alan. 1998. Pemberdayaan Memerlukan Waktu Lebih Dari Semenit (terjemahan oleh Zoelkifli Kasip). Jakarta: Penerbit Interaksara. Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. Jakarta: Penerbit Arcon. Cooley, G. Social Organization, New York: Charles Scriber’s Sons Dasgupta, P., dan I. Serageldin, 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington D.C.: The World Bank. Doyal, L. and Ian G. 1991. A Theory of Human Need. London: MacMillan Education, Ltd. Eriklane, J. 1995. The Public Sector: Concept, Models, and Approach. SAGE. Herbert, P. 2001. The DAC Guidelines Poverty Reduction. Hjelle, L.A., dan D.J.Ziegler., 1992. Personality Theories: Basic Assumptions, Research, and Applications. (Third Edition). New York: McGraw-Hill, Inc. Iskandar, A. 2007.Model dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin di kabupaten Bogor.Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan sosial. Just, R.E., dan R.D. Pope. 1979. “Production Function Estimation and Related Risk Considerations.” Amirican Journal of Agricultural Economics. 61 (2). Kartasasmita. 1996. Bias Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Bappenas. Kerlinger, F. N. 1973.Fondatiaons of Behavioral Research (Edisi Kedua). New York: Holt. Renehart and Winston, Inc. Krech, D., S.C.Richard, dan L.B. Egerton., 1962. Individual in Siciety. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc. Maslow, A. H. 1984.Motivasi dan Kepribadian (terjemahan). Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Rogers, E.M and F.F. Shoemaker, 1971. Communication of Innovation, New York: Free Press. Schramm, W. 1977. Azas-Azas Komunikasi Antar Manusia, Jakarta: LP3ES UNDP dan Unsyiah, 2007. Assessment Pelaksanaan Program Livelihoods Oleh Beberapa Mitra UNDP. Banda Aceh (Laporan Internal). World Bank (Aceh Public Expenditure Analysis Update-APEA). 2008. Managing Reources for Better Outcomes in a Special Autonomy Region. World Bank. LAPORAN UTAMA