SOSIAL EKONOMI KEHIDUPAN MASYARAKAT

advertisement
6
SOSIAL EKONOMI KEHIDUPAN
MASYARAKAT
Sosio-economic Concerning The Community Life
Fajri dan Agussabti
Program Studi Magister Agribisnis,
Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Darussalam
Banda Aceh (Indonesia)
I. LATAR BELAKANG
Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang terdapat di Provinsi Aceh atau tepatnya
E kosistem
di Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Timur (Kabupaten Nagan Raya) dan
Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan hutan rawa gambut yang
mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan juga mempunyai kandungan karbon
yang cukup besar yang mencapai 50-100 juta ton (YEL, 2008). Di lihat dari sudut pandang
agroekologi, areal hutan rawa gambut ini disamping sebagai daerah penyangga dan tempat
penyimpan air bagi masyarakat dan juga sebagai pengatur untuk iklim lokal. Beberapa kajian
sebelumnya telah dilaporkan bahwa di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa juga terdapat
aneka satwa yang unik dan dilindungi yaitu tempat hidup satwa liar orang utan Sumatera
yang sudah masuk dalam kategori endemik. Rawa gambut ini juga merupakan suatu
ekosistem air yang sangat penting dalam menyangga perubahan iklim dan menjadi
sumberdaya air hayati yang di dalamnya terdapat aneka kehidupan akuatik yang selain
berfungsi sebagai sumber pencaharian penduduk (ikan Lele lokal atau ikan Limbek) juga bisa
menjadi plasma nutfah aneka organisme khususnya organisme perairan (akuatik).
Berdasarkan uraian singkat ini, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah ini menjadi sangat
penting bagi ekosistem hutan rawa gambut dan sumber ekonomi bagi masyarakat di sekitar
hutan.
Namun, dalam satu dekade terakhir ini, ternyata ekosistem ini dilaporkan telah mengalami
degradasi yang dikhawatirkan akan berdampak pada perubahan lingkungan lokal dan global.
Salah satu yang diduga menjadi penyebab degradasi adalah adanya kegiatan konversi areal
hutan rawa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan Kelapa Sawit yang dilakukan
oleh pihak swasta maupun oleh masyarakat perorangan/kelompok. Beberapa indikasi telah
menunjukkan bahwa hampir dua per tiga areal hutan ini telah dikonversi menjadi lahan
perkebunan/pertanian. Adanya konversi hutan ini maka akan terjadi perubahan pola
179
180| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
penggunaan lahan yang memberikan implikasi luas pada perubahan tata lingkungan dan
perubahan pola kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang ada di sekitarnya.
Di satu sisi, berdasarkan perhitungan ekonomi, konversi areal hutan menjadi lahan
pertanian mungkin akan mendatangkan manfaat ekonomi tertinggi sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, keuntungan bagi pengelola perusahaan, dan
pendapatan asli daerah (PAD). Namun di sisi lain, secara ekologis dalam jangka panjang,
konversi ini akan menjadi ancaman terhadap kelestarian alam yang pada akhirnya juga akan
berdampak pada kerugian secara materil bagi masyarakat setempat. Untuk itu perlu
dilakukan kajian sosial-ekonomi yang mendasar dan komprehensif terhadap dinamika
perubahan ekologis pada ekosistem TPSF ini dan menemukan solusi-solusi untuk melakukan
upaya-upaya konservasi atau merehabilitasinya.
II. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP STUDI
Kajian aspek sosial ekonomi masyarakat bertujuan untuk :
(1) Mengumpulkan dokumen dan data berkaitan dengan aspek kedidupan sosial, ekonomi
dan budaya di ekosistemHutan Rawa Gambut Tripa (TPSF),
(2) Mendeskripsikan penghidupan masyarakat di ekosistem TPSF dengan fokus
ketergantungan pada sumberdaya alam.
(3) Mengkaji pola hubungan sosial, persepsi, harapan dan masukan dari masyarakat TPSF
untuk mengelola dan merestorasi ekosistem TPSF.
(4) Mengembangkan beberapa skenario restorasi ekosistem TPSF berdasarkan hasil
perbandingan analisis sosial-ekonomi.
Ruang lingkup kegiatan studi Rawa Tipa ini adalah sebagai berikut :
(1) Menganalisis tata guna dan HGU yang didasarkan pada beberapa sumber, termasuk
pemetaan partisipasi masyarakat yang digabung dengan tata guna lahan melalui
keterlibatan mayarakat.
(2) Mengkaji-ulang beberapa potensi bencana terhadap ekosistem TPSF, termasuk
menganalisis beberapa kegiatan yang membahayakan kelangsungan restorasi, dan
merekomendasikan mitigasi bencana dan kegiatan.
(3) Menganalisis keterlibatan dan interaksi berbagai pihak di ekosistem TPSF, dan
memastikan kapasitas dan kemauan para pihak untuk berpartisipasi dalam program
restorasi TPSF, khususnya dalam hal:
- Perencanaan dan implementasi, dan
- Monitoring dan evaluasi
(4) Menentukan para pihak yang terkena pengaruh restorasi
(5) Menghimpun dan mengkaji ulang program/proyek yang telah dilaksanakan di
ekosistem TPSF, termasuk milik pemerintah kabupaten, dan menentukan suatu
kemungkinan sinergi antara program/proyek dengan kegiatan restorasi yang dirancang
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di ekosistem TPSF
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
181
(6) Mendeskripsikan secara rinci berbagai jenis mata pencaharian masyarakat yang hidup
di ekosistem TPSF.
(7) Mengkaji dan mencatat pemahaman dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan
ekosistem TPSF, antara lain hak terhadap lahan, dampak kerusakan lingkungan, mata
pencaharian yang berkelanjutan, kelembagaan, dan potensi bencana terhadap
lingkungan dan masyarakat.
(8) Melakukan analisis biaya sosial masyarakat (opportunity-cost analysis), termasuk
analisis ekonomi terhadap pengelolaan lahan gambut, misalnya, dari sisi perkebunan
sawit versus konservasi dan skenario lainnya.
(9) Membuat penaksiran kelangsungan program pengelolaan TPSF, termasuk simulasi
ouput/outcome kegiatan restorasi dalam 100 tahun dari sekarang berdasarkan
perhitungan analisis biaya sosial.
Output dari kegiatan ini adalah kajian sosial-ekonomi kehidupan masyarakat di ekosistem
TPSF.
III. METODOLOGI
A. Tempat dan Waktu
Kegiatan kajian dilakukan di areal yang menjadi ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)
Provinsi Aceh yang luasnya 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul
Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh
Barat Daya. Kecamatan Darul Makmur dipilih 9 gampong yang sangat berdekatan dengan
ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Alue Kuyun, (2) Pulo Kruet, (3) Sumber
Makmur, (4) Makarti Jaya, (5) Kuala Seumayam, (6) Blang Luah, (7) Alue Bateung Brok (8)
Ladang Baro, dan (9) Ujong Tanjong, Dalam Kecamatan Tripa Makmur dipilih 9 gampong
yang sangat berdekatan dengan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Babah
Lueng dan (2) Kuala Tripa. Dalam Kecamatan Babah Rot dipilih 3 gampong yang sangat
berdekatan dengan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu: (1) Cot Simantok, (2) Pante
Cermin dan (3) Ie Mirah. Kegiatan kajian ini dilaksanakan mulai Maret sampai dengan
Oktober 2013.
B. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah masyarakat dan tokoh masyarakat yang berdomisili di 11 gampong
lokasi penelitian, dan 5 perusahaan perkebunan Kelapa Sawit, yaitu: (1) PT. Cemerlang
Abadi, (2) PT. Patriot Guna Sakti Abadi-2, (3) PT. Surya Panen Subur-2, (4) PT. Kalista Alam,
dan (5) PT. Gelora Sawita Makmur. Masing-masing perusahaan dipilih 1 orang karyawan
yang ditunjuk oleh perusahaan untuk diwawancara/mengisi kuesioner.
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal dan kehidupan mereka tergantung pada
ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Populasi ini distrata menjadi 3 kelompok sampel,
yaitu anggota masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan karyawan perusahaan. Sampel
anggota masyarakat biasa dipilih 10 orang setiap gampong, Tokoh masyarakat adalah
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
182| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
geuchik dan Ketua Sineubok/Ketua Kelompok dari masing-masing gampong penelitian.
Sampel karyawan dari 5 perusahaan perkebunan besar masing-masing dipilih 1 orang.
Jumlah responden masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 1 berikut.
Metode pengambilan data yang dilakukan adalah melalui tiga cara yaitu : (a) melakukan
wawancara terhadap responden anggota masyarakat dan karyawan dengan menggunakan
kuesioner. (b) melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan tokoh-tokoh
masyarakat, (c) melalui pengumpulan data sekunder dari dokumen yang tersedia di
Lembaga-lembaga Pemerintah Kabupaten dan dari berbagai sumber lainnya.
Tabel 1. Jumlah Responden masing-masing Kelompok
No
Kelompok Responden
1 Anggota masyarakat
2 Tokoh masyarakat
3 Karyawan Perkebunan
Jumlah
# Gampong/
perusahaan
14
14
5
Responden per
gampong atau
per perusahaan
10
2
1
# Responden
52
21
5
78
Adapun data/parameter keadaan sosial ekonomi dan budaya yang dibutuhkan adalah:
(1)
Jumlah dan Nama Perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang terdapat
dalam Ekosistem TPSF yang telah dan/atau akan melakukan konversi lahan untuk
Perkebunan/Kelapa Sawit
(2)
Data keadaan masyarakat yang berada dalam dan sekitar Ekosistem TPSF yang
meliputi : Jumlah dan luas Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah
Tanggungan, Tingkat Pendidikan, Mata Pencaharian, Status Lahan, dan Tingkat
pendapatan per kapita,
(3)
Pola interaksi masyarakat dengan perkebunan perkebunan besar sawit dan sawit
rakyat
(4)
Persepsi masyarakat tentang perkebunan besar dan sawit rakyat;
(5)
Kelembagaan masyarakat lokal sekitar rawa tripa;
(6)
Budaya/tata nilai masyarakat setempat terkait pemanfaatan dan pelestarian hutan;
(7)
Pola pemanfaatan lahan serta pola mata pencaharian sektor kayu dan non-kayu;
(8)
Harapan masyarakat terhadap restorasi hutan gambut dan manajemen restorasinya;
(9)
Partisipasi apa yang dapat dilakukan masyarakat untuk restorasi hutan gambut
(tingkat partsipasi, faktor yg mempengaruhinya);
(10) Penggunaan dan kepemilikan lahan masyarakat dalam Ekosistem TPSF;
(11) Stakeholder yang terkena areal restorasi;
(12) Jenis produk, jumlah dan harga dari Ekosistem TPSF;
(13) Pembangunan masyarakat melalui penguatan kelembagaan lokal dan partisipasi
masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian gambut tripa dalam upaya
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
183
peningkatan peluang usaha, jaringan pasar dan pemasaran, pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat lokal.
(14) Analisis biaya sosial antara sawit dan non sawit
(15) Nama-nama tokoh sentral dalam masyarakat yang mungkin terlibat atau dapat
dilibatkan dalam kegiatan rehabilitasi lahan di areal TPSF.
(16) Data Luas Areal yang telah dikonversi menjadi Kelapa Sawit oleh Perusahaan HGU dan
Masyarakat
(17) Produk-produk yang mempunyai nilai pasar dan telah sangat berkurang atau hilang
sehubungan dengan konversi lahan ke perkebunan sawit
(18) Nilai konstribusi perusahaan HGU terhadap pendapatan masyarakat setempat dan
konstribusi terhadap upaya-upaya rehabilitasi lahan yang telah dan akan dilakukan.
(19) Keterlibatan pihak-pihak lain (NGO) yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam pembinaan masyarakat setempat dan keterlibatan dalam usaha-usaha
konservasi dan rehabilitasi lahan di areal TPSF.
D. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan kegiatan studi yang terkait dengan kajian-4 dibagi atas beberapa tahapan, yaitu
persiapan, pra-survai, survai lapangan dan tabulasi data, analisis data, dan penyusunan
laporan.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan
gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang
keahlian.Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai
permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan oleh
Koordinator Tim dan seluruh peneliti. Pada tahap ini, Tim juga menyusun draft kuesioner
dan guideline untuk in-depth interview.
Tahap Pra-survai
Tahap pra-survai yaitu melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi (TPSF) yang diikuti oleh
seluruh Tim Ahli dan Ketua/Koordinator Tim untuk melakukan orientasi lapangan agar
mendapatkan kepastian gampong sampel dan informasi untuk membuat kuesioner dan
guideline in-depth interview. Kegiatan Pra-survai ini telah dilaksanakan selama 5 hari yaitu
mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mai 2013.Hasil kegiatan pra-survai ini telah
didiskusikan kembali pada tanggal 3 Mai 2013 untuk perencanaan kegiatan selanjutnya
terutama persiapan untuk survai lapangan.Kuesioner dan petunjuk umum wawancara
mendalam disempurnakan setelah menerima masukan dari bidang kajian lainnya.
Survai Lapangan
Survai lapangan dilaksanakan untuk mewawancarai responnden secara langsung di lokasi
penelitian sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Tim ahli dan
enumerator yang telah dilatih secara khusus untuk melakukan wawancara dengan
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
184| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
responden yang akan dilaksanakan secara terpadu pada Minggu II bulan Mei 2013. Survai
lapangan bidang sosial ekonomi dan budaya serta legal lingkungan akan melibatkan 3
bidang keahlian yaitu (1) bidang sosial ekonomi, (2) bidang sosial budaya, dan (3) bidang
legal lingkungan. Dalam melaksanakan survai lapangan Tim Ahli dibantu oleh 5 orang
enumerator lapangan.
Analisis Data
Kuesioner yang telah diisi melalui wawancara dengan responden di lokasi penelitian,
kemudian dientri dan ditabulasi menjadi tabel-tabel.Tabel-tabel yang dibuat didasarkan
kepada indikator/parameter keadaan sosial ekonomi dan budaya yang yang telah
ditetapkan dalam ruang lingkup kajian dan juga didasarkan pada metode yang digunakan.
Penyusunan Laporan
Tahap terakhir adalah penyusunan laporan studi sosial ekonomi dan budaya kehidupan
masyarakat di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF). Dalam laporan, akan dideskripsikan
aspek sosial ekonomi masyarakat lokal, kondisi sarana dan prasarana, potensi sumberdaya
ekonomi lokal, analisis pengembangan komoditas ramah lingkungan, pendapatan masyarakat
dan daerah, persepsi masyarakat terhadap alih fungsi lahan rawa gambut Tripa, evaluasi biayamanfaat komoditas Kelapa Sawit, lembaga lokal dan lembaga kemitraan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal
Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa secara administratif terletak di Kecamatan Darul
Makmur, Kecamatan Tripa Makmur dalam Kabupaten Nagan Raya, dan Kecamatan Babah
Rot dalam Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Masyarakat dalam 3 kecamatan ini
memiliki interaksi sosial ekonomi cukup tinggi dengan ekosistem hutan rawa gambut Tripa.
Robert Thomas Malthus mengemukakan bahwa perkembangan penduduk akan mengikuti
deret ukur, sedangkan perkembangan subsisten (pangan) mengikuti deret hitung. Pendapat
ini dikenal dengan Teori Kependudukan Malthus. Jumlah penduduk di Kecamatan Darul
Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot pada Tahun 2011 adalah 66.853 jiwa. Sebagian
besar dari jumlah penduduk tersebut berada dalam kelompok usia produktif 43.351 jiwa
(64,85%), selebihnya usia tua 2.335 jiwa (3,49 %), serta usia balita dan sekolah 21.167 jiwa
(31.66 %). Jumlah penduduk dan perkembangan penduduk di tiga kecamatan tersebut
secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi penduduk di tiga kecamatan dalam ekosistem hutan
rawa gambut Tripa sangat tidak merata. Kecamatan Tripa Makmur merupakan kecamatan
pemekaran dari Kecamatan Darul Makmur, yang pemekarannya baru ditetapkan pada
Tahun 2011, sehingga pada tahun sebelum 2011 jumlah penduduk sudah termasuk dalam
Kecamatan Darul Makmur. Kecamatan Babah Rot yang terletak di Kabupaten Aceh Barat
Daya baru terbentuk pada Tahun 2008 bersamaan dengan terbentuk kabupaten
tersebut.Pertumbuhan penduduk yang tinggi pertahun (3,28%) disebabkan oleh tingginya
angka kelahiran dan lebih banyak penduduk yang masuk ke tiga kecamatan tersebut
dibandingkan dengan penduduk yang keluar.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
185
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Perkembangan Penduduk Menurut Kecamatan
Di Kecamatan Penelitian dari Tahun 2007-2011
Kecamatan
2007
2008
Penduduk Tahun
2009
2010
1. Darul Makmur
43.192
43.260
43.640
2. Tripa Makmur
3. Babah Rot
17.584
15.507
Jumlah
60.844
59.147
Tingkat pertumb. Penduduk
-2,79
Rerata tingkat pertumbuhan penduduk
Sumber:
Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012,
Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka Tahun 2012, dan
Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012
46.954
16.419
63.373
7,14
3.28 %
2011
39.944
8.085
18.824
66.853
5,49
Sehubungan dengan hal tersebut, maka kajian terhadap masalah kependudukan di daerah
ini menjadi penting karena berkaitan kebutuhan dan permintaan lahan serta peluang kerja.
Di satu pihak jumlah penduduk terus meningkat, namun di pihak lain jumlah lahan budidaya
yang tersedia semakin sempit, sehingga ekosistem hutan rawa gambut, yang seharusnya
dilindungi, terpaksa dikonversi baik untuk perkebunan rakyat maupun untuk perkebunan
besar.
Berdasarkan hasil penelitian Hayami dan Kikuchi (1987) menyatakan bahwa jika penduduk
terus-menerus bertambah dalam suasana teknologi yang konstan (tanpa irigasi, bibit
unggul, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit) maka batas-batas tanah yang
ditanami masyarakat akan meluas ke daerah-daerah yang merupakan areal yang seharusnya
dilindungi. Pendapat ini sesuai dengan kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa ada
kecenderungan sudah semakin luasnya masyarakat membuka lahan-lahan garapan baru di
Ekosistem TPSF.
Hasil survai di daerah penelitian menunjukkan bahwa pendatang yang masuk ke desa-desa
di ekosistem hutan rawa gambut Tripa sebagian besar berasal dari kecamatan di sekitar 3
kecamatan tersebut, dan sebagian kecil ada pendatang dari Sumatera Utara dan daerah
Jawa. Umumnya mereka datang ke kecamatan dalam ekosistem hutan gambur rawa Tripa
adalah untuk mencari pekerjaan, melakukan perdagangan atau melakukan hubungan
perkawinan. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
B. Kondisi Umum Kabupaten Nagan Raya
Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah Barat
Propinsi Aceh.Secara geografis Kabupaten Nagan Raya terletak antara 3o40’ Lintang Utara
sampai dengan 4o38' Lintang Utara dan 96o11’ Bujur Timur sampai dengan 96o48’ Bujur
Timur. Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Nagan Raya adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Sebelah Timur
: Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Tengah
: Samudera Indonesia
: Kabupaten Aceh Barat
: Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Barat Daya
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
186| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Berdasarkan data yang terdapat di dalam Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun
2012, Kabupaten Nagan Raya memiliki luas wilayah 3.544,90 Km2. Kabupaten Nagan Raya
terletak pada bagian Barat Provinsi Aceh. Kabupaten Nagan Raya beribukota di Suka
Makmue dan memiliki 10 kecamatan.Kecamatan Darul Makmur mempunyai luas wilayah
terluas yaitu 1.027,93 Km2 atau 29,00 persen dari luas wilayah kabupaten.Kemudian diikuti
oleh Kecamatan Beutong dengan luas wilayah 1.017,32 Km2 atau 28,70 persen. Sedangkan
8 kecamatan lainnya secara berurutan yaitu Beutong Ateuh Banggalang, Tadu Raya,
Seunagan Timur, Tripa Makmur, Kuala, Kuala Pesisir, Seunagan dan Suka Makmue
mempunyai luas wilayah masing-masing 11,45 persen, 9,79 persen, 7,10 persen, 5,34
persen, 3,41 persen, 2,15 persen, 1,60 persen dan 1,45 persen dari keseluruhan luas wilayah
Kabupaten Nagan Raya. Dari 10 kecamatan tersebut hanya Kecamatan Darul Makmur dan
Kecamatan Tripa Makmur yang terletak dalam Ekosistem TPSF.
Secara topografis, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Nagan Raya merupakan
wilayah dataran. Sisanya merupakan desa yang memiliki topografi lembah/DAS dan lereng.
Terdapat 17 desa yang berbatasan dengan laut tersebar di empat kecamatan, yaitu
Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur, Kuala Pesisir dan Tadu Raya
Tabel 3. Asal Daerah Pendatang di Ekosistem TPSF dan Tujuan Mereka Datang
No
1
2
3
Kecamatan
Babah Rot
Darul
Makmur
Tripa
Makmur
Asal daerah
Tujuan datang
Penduduk asli
Krueng Batee
Ikut orang tua, mencari kerja dan menuntut ilmu agama
Blang Pidie
Menikah, dan mencari kerja
Jeuram
Menikah, dan mencari kerja
Manggeng
Mencari Kerja
Tapak Tuan
Menikah, dan mencari kerja
Penduduk asli
Alue Bilie
Transmigrasi
Blang Pidie
Mencari Kerja, menikah, ikut orang tua, transmigrasi
Jeuram
Pergantian tanah oleh sofindo (transmigrasi), mencari
kerja, berdagang dan berkebun
Meulaboh
Ikut orang tua, mencari kerja
Tapaktuan
Mencari kerja
Subulussalam
Mencari kerja
Lhokseumawe
Mencari tempat kerja yang lebih aman
Medan
Mencari kerja dan transmigrasi
Jawa
Ikut orang tua dan bertani
Penduduk asli
Blang Pidie
Ikut saudara, mencari kerja
Jeuram
Mencari kerja
Manggeng
Ikut saudara, mencari kerja
Sumber: Data Primer
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
187
Kependudukan
Penduduk atau masyarakat mempunyai peran besar di dalam menjalankan kehidupan
ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012,
jumlah penduduk Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011 sebesar 142.861 jiwa yang
tersebar di 10 kecamatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Nagan Raya adalah 40 jiwa
per Km2. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak
72.223 jiwa, sedangkan penduduk perempuan adalah sebanyak 70.638 jiwa. Berdasarkan
data tersebut dapat dihitung rasio jenis kelamin Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011
adalah 102, angka ini berarti jika ada 102 penduduk laki-laki maka terdapat 100 penduduk
perempuan.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kabupaten Nagan Raya Menurut Kecamatan,
Rumah Tangga, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
Kecamatan
1. Darul Makmur
2. Tripa Makmur
3. Kuala
4. Kuala Pesisir
5. Tadu Raya
6. Beutong
7. Beutong Ateuh
8. Seunagan
9. Suka Makmue
10. Seunagan Timur
Jumlah
Rumah
tangga
10.125
1.969
4.713
3.657
3.186
3.139
451
3.905
2.040
3.346
36.531
Laki-laki
20.481
4.031
9.620
7.333
5.909
6.433
888
7.338
4.119
6.071
72.223
Perempuan
19.463
4.054
9.345
7.100
5.532
6.391
842
7.457
4.087
6.367
70.638
Jumlah
39.944
8.085
18.965
14.433
11.441
12.824
1.730
14.795
8.206
12.438
142.861
Rasio Jenis
Kelamin
105
99
103
103
107
101
105
98
101
95
102
Sumber: Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012
Jika jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan maka jumlah penduduk yang paling besar
berada di Kecamatan Darul Makmur, sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit
berada di Kecamatan Beutong Ateuh. Namun demikian, dilihat dari kepadatan
penduduknya, Kecamatan Seunagan memiliki tingkat kepadatan paling tinggi, yaitu sebesar
260 jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kecamatan Beutong Ateuh memiliki tingkat
kepadatan paling rendah, yaitu sebesar 4 jiwa per kilometer persegi.
Penduduk Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam kelompok usia muda. Hal ini dilihat dari
masih banyaknya penduduk yang masuk dalam kelompok usia muda atau dewasa (dibawah
20 tahun) yaitu sebesar 38,87 persen. Dari pembagian penduduk berdasarkan kelompok
umur, dapat diperoleh rasio beban ketergantungannya (Dependcy Ratio). Rasio beban
ketergantungan di Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2011 adalah sebesar 35. Ini berarti
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
188| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung sekitar 35
penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Pada tahun 2011, penduduk Kabupaten Nagan Raya menurut kelompok usia sekolah,
sebagian besar masih pada kelompok usia sekolah dasar (38,87%). Presentase penduduk
kelompok usia sekolah dasar dibandingkan dengan total penduduk adalah sebesar 30,11
persen, Selanjutnya, presentase penduduk untuk kelompok usia sekolah menengah pertama
dan atas adalah sebesar 18,99 persen.
Tabel 5 Penduduk Kabupaten Nagan Raya Berdasarkan Kelompok Umur
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kelompok Umur
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65-69
70-74
75+
Jumlah
Jenis Kelamin
Lak-laki
Perempuan
7.486
7.107
7.566
6.431
6.216
6.791
6.328
5.872
4.686
3.903
3.168
2.254
1.527
1.195
949
744
72.223
7.112
6.684
7.059
6.079
6.493
7.071
6.558
5.475
4.434
3.812
3.015
1.891
1.729
1.277
1.133
816
70.638
Jumlah
14.598
13.791
14.625
12.510
12.709
13.862
12.886
11.347
9.120
7.715
6.183
4.145
3.256
2.472
2.082
1.560
142.861
Sumber: BPS, Kabupaten Nagan Raya Tahun 2012
Ketenagakerjaan
Secara garis besar, penduduk dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dibagi menjadi
dua, yaitu, penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 15 tahun ke atas.
Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas digolongkan menjadi penduduk angkatan kerja.
Data persentase penduduk produktif menurut kegiatannya menggambarkan persentase
penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Nagan Raya yang termasuk angkatan kerja
berjumlah cukup banyak. Pada tahun 2011 presentase angkatan kerja sebesar
67,34%.Penduduk yang bukan angkatan kerja sebesar 32,6%. Persentase penduduk usia 15
tahun ke atas yang bekerja sebesar 74,06 persen, mencari kerja sebesar 2,55 persen,
sedangkan sekolah sebesar 7,42 persen, mengurus rumah tangga sebesar 13,11 persen, dan
kegiatan lainnya sebesar 2,87 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase penduduk usia
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
189
kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi masih lebih besar dibanding dengan penduduk
yang tidak aktif dalam kegiatan ekonomi.
Tabel 6. Penduduk 15 Tahun ke atas di Kabupaten Nagan Raya Tahun 2011
No
1
1.a
1.b
2
2.a
2.b
2.c
Kegiatan Seminggu Yang Lalu (Klasifikasi Kegiatan)
Angkatan kerja
Bekerja
Mencari kerja
Bukan angkatan kerja
Sekolah
Mengurus Rumah tangga
Lainnya
%
67.34
43.12
0.57
32.66
19.89
10.22
2.55
Sumber: BPS, Kabupaten Nagan Raya Tahun 2012
C. Kondisi Umum Kabupaten Aceh Barat Daya
Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah Barat
Propinsi Aceh. Secara geografis Kabupaten Aceh Barat Daya terletak pada 3o34’24” 4o05’37” Lintang Utara dan 96o34’57” - 97o09’19” Bujur Timur. Secara administratif, batasbatas wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
Sebelah Timur
: Kabupaten Gayo Lues
: Samudera Indonesia
: Kabupaten Nagan Raya
: Kabupaten Aceh Selatan
Berdasarkan data yang terdapat di dalam Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun
2012, Kabupaten Aceh Baratya memiliki luas wilayah 2.334,01 Km2. Kabupaten Aceh Barat
Daya terletak pada bagian Barat Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Barat Daya beribukota di
Blang Pidie dan memiliki 9 kecamatan, dan 134 desa.Kecamatan Babah Rot merupakan
kecamatan yang terluas ke-tiga (548,00 Km2), setelah Kecamatan Kuala Bate (652,00 Km2)
dan Kecamatan Blang Pidie (581.00 Km2). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Jeumpa (312,00
Km2), Kecamatan Tangan Tangan (63,00 Km2), Kecamatan Manggeng (55,00 Km2),
Kecamatan Lembah Sabil (49,4 Km2), Kecamatan Setia (41,00 Km2), dan Kecamatan Susoh
(32,01 Km2). Dari 9 kecamatan tersebut hanya Kecamatan Babah Rot yang terletak dalam
Ekosistem TPSF.Secara topografis, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Aceh
Barat Daya merupakan wilayah dataran.Sisanya merupakan desa yang memiliki topografi
lembah/DAS dan lereng.
Kependudukan
Penduduk atau masyarakat mempunyai peran besar dalam menjalankan kehidupan
ekonomi dan pemerintahan. Berdasarkan Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun
2012, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2011 sebesar 144.787 jiwa
yang tersebar di 9 kecamatan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Barat Daya adalah
62 jiwa per Km2. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 73.221 jiwa, sedangkan penduduk perempuan adalah sebanyak 71.566 jiwa.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
190| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Berdasarkan data tersebut dapat dihitung rasio jenis kelamin Kabupaten Aceh Barat Daya
pada tahun 2011 adalah 102, angka ini berarti jika ada 102 penduduk laki-laki maka terdapat
100 penduduk perempuan.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya Menurut Kecamatan,
Rumah Tangga, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
Kecamatan
1. Manggeng
2. Lembah Sabil
3. Tangan-Tangan
4. Setia
5. Blangpidie
6. Jeumpa
7. Susoh
8. Kuala Batee
9. Babah Rot
Jumlah
Rumah
tangga
3,952
2,980
3,491
2,406
6,034
2,870
6,259
5,541
4,963
38,496
Laki-laki
7,536
5,517
6,577
4,428
11,677
5,361
12,148
10,310
9,667
73,221
Perempuan
7,380
5,612
6,537
4,176
11,480
5,345
11,825
10,059
9,152
71,566
Jumlah
14,916
11,129
13,114
8,604
23,157
10,706
23,973
20,369
18,819
144,787
Rasio Jenis
Kelamin
102
98
101
106
102
100
103
102
106
102
Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012
Jika jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan maka jumlah penduduk yang paling
banyak berada di Kecamatan Kuala Batee, sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit
berada di Kecamatan Setia. Namun demikian, dilihat dari kepadatan penduduknya,
Kecamatan Susoh memiliki tingkat kepadatan paling tinggi, yaitu sebesar 749 jiwa per
kilometer persegi, sedangkan Kecamatan Kuala Batee memiliki tingkat kepadatan paling
rendah, yaitu sebesar 31 jiwa per kilometer persegi.
Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya termasuk dalam kelompok usia muda. Hal ini dilihat
dari masih banyaknya penduduk yang masuk dalam kelompok usia muda atau dewasa
(dibawah 20 tahun) yaitu sebesar 40,24 persen. Dari pembagian penduduk berdasarkan
kelompok umur, dapat diperoleh rasio beban ketergantungannya (Dependcy Ratio).Rasio
beban ketergantungan di Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2011 adalah sebesar 35.
Ini berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung
sekitar 35 penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas)
Pada tahun 2011, penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya menurut kelompok usia sekolah,
sebagian besar masih pada kelompok usia sekolah dasar (51,29%). Persentase penduduk
kelompok usia sekolah dasar dibandingkan dengan total penduduk adalah sebesar 20,64
persen. Selanjutnya, persentase penduduk untuk kelompok usia sekolah menengah pertama
dan atas adalah sebesar 11,72 persen.
Ketenagakerjaan
Secara garis besar, penduduk dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dibagi menjadi
dua, yaitu, penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 15 tahun ke atas.
Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas digolongkan menjadi penduduk angkatan kerja.
Data persentase penduduk produktif menurut kegiatannya menggambarkan persentase
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
191
penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Aceh Barat Daya yang termasuk angkatan
kerja berjumlah cukup banyak. Pada tahun 2011 presentase angkatan kerja sebesar
57,86%.Penduduk yang bukan angkatan kerja sebesar 42,14%. Persentase penduduk usia 15
tahun ke atas yang mencari kerja ada 148 orang, sebesar 0,17 persen. Hal ini menunjukan
bahwa persentase penduduk usia kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi masih lebih
besar dibanding dengan penduduk yang sedang mencari pekerjaan dalam kegiatan
ekonomi.
Tabel 8. Penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya Berdasarkan Kelompok Umur
Jenis Kelamin
Lak-laki
Perempuan
1
0-4
6,574
6,131
2
5-9
6,554
6,317
3
10-14
7,097
6,641
4
15-19
6,487
6,080
5
20-24
5,091
5,821
6
25-29
5,521
6,227
7
30-34
5,236
5,583
8
35-39
4,912
4,993
9
40-44
4,278
4,294
10
45-49
3,665
3,605
11
50-54
2,854
2,656
12
55-59
1,971
1,664
13
60-64
1,322
1,513
14
65-69
1,080
1,223
15
70-74
802
1,021
16
75+
692
1,017
Jumlah
72.223
64,136
Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012
No
Kelompok Umur
Jumlah
12,705
12,871
13,738
12,567
10,912
11,748
10,819
9,905
8,572
7,270
5,510
3,635
2,835
2,303
1,823
1,709
64,786
D. Kondisi Sarana dan Prasarana
Mosher (1987) mengemukakan bahwa pengangkutan merupakan salah satu dari lima syarat
pokok pembangunan pertanian. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, maka
keempat syarat pokok lainnya (pasar untuk hasil usahatani, teknologi yang sennatiasa
berubah, tersedianya sarana produksi secara lokal, dan perangsang produksi bagi petani)
tidak dapat diadakan secara efektif. Pentingnya pengangkutan yang efisien dan murah
karena dapat menekan harga input pertanian yang akan dibeli petani dan dapat
meningkatkan harga output produk pertanian yang akan dijual petani sehingga pada
akhirnya akan memperbesar keuntungan usaha tani yang akan diterima petani. Dengan
demikian kondisi prasarana dan sarana angkutan akan dapat mempengaruhi semangat
petani dalam upaya meningkatkan produksi dan mengembangkan usahataninya.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
192| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Ada tiga faktor yang ikut mempengaruhi biaya pengangkutan, yaitu: (1) jarak pengangkutan,
(2) jumlah barang yang diangkut, dan (3) jenis alat pengangkutan yang dipergunakan
(Mosher, 1987). Di samping jarak tempuh, biaya pengangkutan lokal juga dipengaruhi oleh
kondisi jalan atau prasarana angkutan yang tersedia.Semakin jelek kondisi jalan cenderung
semakin mahal biaya pengangkutannya.
Selain prasarana jalan dan sarana angkutan, prasarana publik lain juga akan mempengaruhi
kenyamanan penduduk untuk tinggal dan bekerja baik di sektor pertanian maupun di sektor
lainnya. Sarana dan prasarana publik tersebut antara lain, rumah sekolah, tempat pelayanan
kesehatan, rumah ibadah, listrik dan air minum. Masing-masing prasaran akan diuraikan di
setiap kecamatan penelitian.
Kecamatan Darul Makmur
Di lokasi penelitian kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat pasar terdekat
sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, sungguhpun keadaan
jalanya masih mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh (1) letak lokasi yang relatif jauh
dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek, sehingga prasarana dan sarana
yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung. Pada Tahun 2011, ada 8 desa
yang telah memiliki jenis permukaan jalan aspal beton, yaitu Alue Waki, Krueng Alem, Alue
Rambot, Krueng Seumayam, Pulo Teungoh, Alue Bili, Alue Jampak, dan Suka Mulia.
Sementara, sebagian besar desa (32 desa lain) hanya memiliki jenis jalan tanah yang
diperkeras. Desa terjauh dari Ibu Kota Kecamatan adalah Kuala Seumayam, yang jauhnya
mencapai 41 Km, dan itupun melalui jalan perusahaan perkebunan besar sawit, yaitu Kalista
Alam.
Prasarana komunikasi di Kecamatan Darul Makmur sudah ada 2 warung telekomunikasi
yang terletak di Ibu Kota kecamatan, yaitu Desa Alue Bili. Sementara itu, semua desa telah
dapat dihubungi dengan HP, yang berbeda ada desa yang sinyal HP yang kuat dan ada desa
yang mempunyai sinyal HP yang lemah. Pada tahun 2011, ada 27 desa yang mempunyai
sinyal HP yang kuat, sementara sisanya memiliki sinyal HP yang lemah. Untuk penerangan,
jaringan PLN telah tersambung ke semua desa.
Untuk kepentingan kesehatan masyarakat dan sanitasi lingkungan, Kecamatan Darul
Makmur telah memiliki 3 unit Puskesmas, 13 unit Puskesmas Pembantu, 1 unit Poliklinik, 1
unit Balai Pengobatan, 5 unit Praktek Dokter, dan 4 unit Bidan Praktek. Semua desa dalam
Kecamatan Darul Makmur telah memiliki Posyandu dan aktif. Ada 13 desa yang memiliki
perusahaan air minum/ air isi ulang, 26 desa yang sumber air minum berasa dari sumur dan
1 desa menggunakan sungai/mata air sebagai sumber air minum. Bahan bakar yang
digunakan rumah tangga untuk memasak, ada 9 desa menggunakan gas, 5 desa
menggunakan minyak tanah, dan 26 desa menggunakan kayu bakar. Sampah rumah tangga
dibuang di tanah pekarangan rumah atau dengan menggali lubang tanah terdapat di 39
desa, dan hanya Desa Alue Bili sampah rumah tangga diangkut ke tempat pembuangan
akhir. Ada 19 desa yang masyarakatnya telah memiliki jamban sendiri, dan 21 desa tidak
memiliki jamban.
Untuk kepentingan ibadah, semua desa memiliki mesjid atau meunasah. Untuk kepentingan
pendidikan, ada 33 unit sekolah dasar yang terletak hampir setiap desa, ada 9 unit SMP
sederajad, dan 5 unit SMA sederajad.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
193
Kecamatan Tripa Makmur
Di Kecamatan Tripa Makmur kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat
pasar terdekat sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4,
sungguhpun keadaan jalanya masih mengalami kesulitan.Hal ini disebabkan oleh (1) letak
lokasi yang relatif jauh dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek,
sehingga prasarana dan sarana yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung
kegiatan sosial dan ekonomi.
Kecamatan Babah Rot
Di Kecamatan Babah Rot kondisi prasarana dan sarana angkutan dari desa ke pusat pasar
terdekat sebagian besar daerah sudah dapat dilalui dengan kenderaan roda 4, sungguhpun
keadaan jalanya masih mengalami kesulitan.Hal ini disebabkan oleh (1) letak lokasi yang
relatif jauh dari pusat pasar dan (2) kondisi jalan yang masih relatif jelek, sehingga prasarana
dan sarana yang ada dinilai masih kurang memadai dalam mendukung sosian dan ekonomi.
E. Potensi Sumberdaya Ekonomi Lokal
Pembangunan ekonomi lokal merupakan pembangunan dalam komunitas yang
menitikberatkan pada penciptaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan nyata
bagi penduduk pedesaan.Untuk itu, pembangunan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari
potensi sumberdaya ekonomi lokal. Potensi sumber-daya lokal mencakup: lahan, tenaga
kerja, dan modal.
Luas Lahan dan Pemanfaatannya
Lahan merupakan sumberdaya ekonomi yang paling dapat dikontrol oleh masyarakat.Akses
lahan pada penduduk miskin di pedesaan dapat mendorong rumah tangga miskin tersebut
untuk bekerja secara produktif, memperbaiki status gizi, dan meningkatkan kesejahteraan.
Di Kecamatan Darul Makmur, Kecmatan Tripa Makmur dan Kecamatan Babah Rot, lahan
sebagian besar lahan merupakan lahan rawa/gambut dan dipergunakan untuk tanaman
pertanian khususnya padi sawah, tanaman hortikultura, dan perkebunan rakyat (Tabel 4.8).
Lahan tersebut ada yang dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan rakyat dan ada pula
untuk perkebunan besar yang mengusahakan tanaman kelapa sawit.Sementara tanaman
perkebunan rakyat diusahkan pada lahan kering dalam bentuk tanaman campuran atau
kebun campuran.
Umumunya, pada perkebunan rakyat diusahakan kelapa sawit, karet, kakao, kelapa dalam,
pala, kemiri dan tanaman buah-buahan. Sementara perkebunan besar hanya mengusahakan
dalam sistem monokultur kelapa sawit. Di 3 kecamatan lokasi penelitian, penggunaan lahan
terluas adalah lahan kering/tegalan, kemudian diikuti untuk penggunaan pemukiman dan
sawah. Tinggi dan stabilnya harga sawit ditambah dengan masuknya perusahaan besar yang
mengusakan tanaman kelapa sawit dapat mendesak penggunaan lahan sawit, yang
sebenarnya sudah sangat sempit untuk mendukung ketahanan pangan khususnya beras.Ada
sebagian masyarakat yang sebelumnya mengusahakan padi rawa di Kecamatan Darul
Makmur, terpaksa mengalihkan lahannya untuk menanam sawit, karena lahan itu sudah
kering dan tidak dapat ditanam padi lagi. Keadaan pengalihan lahan ini terjadi di Desa Blang
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
194| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Luah, Ladang Baro dan Ujong Tanjong. Rata-rata masyarakat mempunyai kebun sawit
dengan luas 1-2 hektar.
Desakan pengalihan penggunaan lahan tidak hanya terjadi pada sawah, pada tanaman
kakao juga terjadi hal yang sama. Karena serangan busuk buah pada tanaman kakao, ada
sebagian petani yang telah menggantikan tanaman kakao mereka dengan tanaman
sawit.Keadaan ini terjadi di Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Makmur,
sementara Kecamatan Babah Rot belum terjadi.
Tabel 9. Penggunaan Lahan Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Babah Rot (Ha)
Kecamatan
Darul Makmur1)
Babah Rot2)
Jumlah
Keterangan:
Sumber:
Pemukiman Lahan kering
4.785
44.270
3.035
37.193
7.820
81.463
Sawah
Lainnya
Jumlah
2.577
51.632
1.693
12.789
54.800
4.270
12.789
106.432
Penggunan lahan Kecamatan Tripa Makmur termasuk dalam
Kecamatan
Darul Makmur
1) Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012 dan Kabupaten Nagan Raya
Dalam Angka Tahun 2012
2) Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012 dan Kabupaten Aceh Barat Daya
Dalam Angka Tahun 2012
Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja berhubungan erat dengan tingkat penghasilan yang mereka
terima. Tenaga kerja yang produktif cenderung akan menerima dan memperoleh
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang kurang produktif.
Dalam kaitan tersebut, tenaga kerja merupakan sumberdaya ekonomi lokal keterampilan
mereka dapat ditingkatkan. Namun pengelompokan tenaga kerja terampil, semi terampil,
dan tidak terampil di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot masih sulit
dilakukan dan belum tersedia cukup informasi untuk itu. Namun karena sebagian besar
tenaga kerja di lokasi penelitian bekerja di sektor pertanian dan mereka adalah petani,
maka mereka dapat digolongkan pada tenaga kerja tidak terampil atau semi terampil.
Mereka yang mempunyai ketrampilan, dapat diterima pada perusahaan besar sawit, seperti
PT Kalista Alam, PT Surya Panen Subur, dan PT. Gelora Sawita Makmur, PT. Cemerlang Abadi
dan PT. Dua Perkasa Lestari.
Desa Ujong Tanjong Kecamatan Darul Makmur banyak tenaga kerjanya bekerja pada PT.
Surya Panen Subur, seperti diungkapkan oleh seorang tokoh desa ini. “Desa ini mempunyai
hubungan yang paling dekat dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Surya Panen Subur,
di mana sekitar 50% penduduknya bekerja pada perusahaan. Ada 4 orang desa ini yang
mempunyai jabatan asisten kebun, 8 orang mandor, 3 orang kerani buah, 12 orang pekerja
pabrik dan sisanya merupakan buruh harian lepas”.
Modal Ekonomi dan Sosial Masyarakat
Ahli Ekonomi menggunakan istilah modal untuk suatu sumberdaya yang tidak dihabiskan
dalam proses produksi barang (Haviland, 1993). Konsep modal secara fungsional dapat
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
195
dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: (1) modal sebagai asset produktif, (2) modal sebagai
kontrol terhadap daya beli, dan (3) modal sebagai dana untuk investasi.
Namun pada perkembangan akhir-akhir ini sudah dikenal suatu konsep baru yang
diposisikan setara dengan modal alam dan modal ekonomi, yaitu modal sosial. Modal sosial
merujuk pada seperangkat norma, jaringan, dan organisasi yang melaluinya orang
memperoleh akses pada kekuasaan dan sumberdaya. Menurut Serageldin dan Grootaert
dalam Dasgupta (2000), ada tiga tingkatan modal sosial, yaitu: (1) meliputi semua hubungan
kerja sama informal dan asosiasi horizontal di tingkat lokal; (2) asosiasi-asosiasi yang bersifat
hirarki, vertikal dan supra lokal; dan (3) pandangan atas modal sosial yang lebih luas
mencakup lingkungan sosial dan politik yang memungkinkan norma-norma berkembang dan
membentuk struktur sosial.
Berkaitan dengan aliran modal yang masuk ke daerah, khusus ke lokasi penelitian
Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot, dapat dilihat melalui jumlah
perusahaan dan organisasi ekonomi masyarakat.
Menurut data yang diperoleh
menunjukkan bahwa ada 5 perusahaan perkebunan besar swasta nasional yang bergerak di
bidang perkebunan kelapa sawit, yaitu PT. Surya Panen Subur, PT. Kalista Alam, PT. Gelora
Sawita Makmur, PT Cemerlang Abadi dan PT. Dua Perkasa Lestari. Dua perusahaan
perkebunan besar pertama telah dilengkapi dengan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS).
Di samping itu, di lokasi penelitian juga terdapat perusahaan-perusahaan kecil dan koperasi
yang bergerak di sektor perindustrian dan perdagangan yang telah memiliki SIUPP dan
terdaftar maupun yang belum.Di Kecamatan Babah Rot terdapat 62 perusahaan kecil yang
bergerak pada jenis industri perabot, kilang padi, ketel nilam, dan anyaman rotan. Di
samping itu, di kecamatan ini terdapat industri rumah tangga sebanyak 27 unit, yang
bergerak pada jenis industri pandai besi, pembuatan kacang/kerupuk dan bordir/kasab. Di
Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur terdapat 149 industri rumah tangga dan 86
industri kecil. Industri rumah tangga terdiri dari jenis krupuk, roti, tempe, tahu, bordir,
tukang kaleng, dan pandai besi. Industri kecil bergerak pada jenis jasa reperasi sepeda,
sepeda motor, mobil, elektronik, pengelasan, tukang mas, fotokopi, dan percetakan.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa kecamatan lokasi penelitian memiliki potensi
sumberdaya modal yang sangat besar untuk berkembang pada masa yang akan datang.
Namun pembangunan tersebut perlu dilakukan secara terpadu dan seimbang antar
berbagai sektor: sektor pertanian dan sektor non-pertanian; sektor ekonomi dan sektor
sosial kelembagaan, serta pembangunan sumberdaya manusia itu sendiri. Sebagai
kecamatan yang terdapat dalam Ekosistem TPSF, pembangunan diberbagai sektor juga
harus mempertimbangkan kesinambungan pembangunan dengan tidak merusak lingkungan
yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian besar pada pembangunan yang telah
dicapai.
F. Pendapatan Daerah
Secara umum sumberdaya potensi ekonomi suatu wilayah dapat juga dilihat berdasarkan
nilai Produk Domestik Rgional Bruto (PDRB). PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten
Aceh Barat Daya menurut lapangan usaha atas dasar harga yang berlaku tahun 2008-2011
(jutaan rupiah) secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
196| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Tabel 10 dan 11 di atas menunjukkan bahwa PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat
Daya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan PDRB terbesar disumbangkan
dari sektor pertanian. Hal ini mengandung makna bahwa pembangunan di sektor pertanian
memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara menyeluruh di dua
kabupaten tersebut untuk masa mendatang. Sehubungan dengan hal tersebut maka
kesinambungan pembangunan sangat penting mempertimbangkan kelestaian lingkungan
khususnya Ekosistem TPSF.
Tabel 10.
PDRB Kabupaten Nagan Raya Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar
Harga yang Berlaku Tahun 2008-2011 (Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik dan Air Minum
Bangunan
Perdagangan
Pengangkutan
Keuangan
Jasa-jasa
Jumlah
Tahun
2008
424 452,41
15 695,14
29 289,12
2 128,48
40 621,11
230 685,22
52 532,12
8 242,87
94 836,55
898 483,01
2009
429 820,83
17 611,67
29 995,82
2 437,92
45 011,94
237 591,40
57 424,27
8 608,33
101 090,87
929 593,05
2010
441 673,01
19 173,68
30 840,29
2 736,30
48 625,61
245 824,92
62 798,31
9 028,81
107 159,78
967 860,72
2011
455 818,68
20 577,68
32 594,10
3 036,39
52 355,00
255 509,02
68 295,70
9 521,96
114 319,22
1 012 027,74
Sumber: Kabupaten Nagan Raya Dalam Angka Tahun 2012
Tabel 11. PDRB Kabupaten Aceh Barat Daya Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar
Harga yang Berlaku Tahun 2008-2011 (Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha
Tahun
2008
2009
2010
Pertanian
416,356.16
436,283.04
467,161.88
Pertambangan
6,354.39
6,844.20
7,139.72
Industri Pengolahan
39,422.16
42,246.22
46,877.21
Listrik dan Air Minum
4,056.30
4,955.32
5,476.45
Bangunan
165,697.63
200,386.75
244,282.89
Perdagangan
223,108.15
258,186.71
296,648.58
Pengangkutan
53,500.27
65,658.51
72,006.01
Keuangan
25,097.66
36,222.16
44,662.31
Jasa-jasa
212,528.08
243,427.68
280,826.84
Jumlah
1,146,120.81
1,294,210.59 1,465,081.88
Sumber: Kabupaten Aceh Barat Daya Dalam Angka Tahun 2012
2011
506,856.10
7,505.20
49,670.07
5,850.41
276,049.58
364,876.05
86,333.51
58,565.78
322,840.10
1,678,546.80
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
197
G. Analisis Pengembangan Komoditas Unggulan
Komoditas unggulan merupakan komoditas yang mempunyai prospek pasar yang bagus baik
untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun untuk memenuhi permintaan luar daerah. Oleh
karena itu, komoditas unggulan dipilih sesuai dengan persyaratan agroklimat, kebiasaan dan
keterampilan masyarakat lokal. Komoditas unggulan juga terlihat pada banyaknya kuantitas
produksi yang diusahakan masyarakat. Ada 5 kelompok komoditas unggulan, yaitu tanaman
pangan utama dan hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan.
Tanaman Pangan dan Hortikultura
Di 3 kecamatan lokasi penelitian, komoditas unggulan dari kelompok tanaman pangan
adalah padi (Tabel 4.11). Dari 3 kecamatan tersebut, Kecamatan Babah Rot memiliki
komoditas unggulan padi lebih bagus daripada dua kecamatan lainnya. Untuk memenuhi
kebutahan pangan lokal, Kecamatan Babah Rot dapat menyediakan sendiri kebutuhan
pangannya, sementara dua kecamtan lain untuk memenuhi kebutuhan lokal harus dipasok
dari kecamatan lainnya di Kabupaten Nagan Raya. Untuk jenis tanaman sayur, komoditas
unggulan di 3 kccamatan ini adalah kacang panjang yang umumnya diusahakan di lahan
pekarangan. Di samping itu, dari jenis tanaman buah-buahan, komoditas unggulan adalah
mangga dan durian.
Tabel 12. Tanaman Pangan Utama yang diusahakan di Kecamatan Darul Makmur,
Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011
Tanaman
Padi
Kedele
Jagung
Kacang Tanah
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Sumber:
Darul Makmur
Tripa Makmur
Luas panen Produksi Luas panen Produksi
(Ha)
(Ton)
(Ha)
(Ton)
2.087
9.000
2.087
9.000
452
633
452
633
432
908
432
908
250
403
250
403
66
66
66
66
76
1,102
76
1,102
Babah Rot
Luas panen Produksi
(Ha)
(Ton)
6.452
39.035
11
20
7
21
252
554
73
112
3
32
Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam
Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012
Tanaman Perkebunan
Di 3 kecamatan lokasi penelitian, komoditas unggulan perkebunan adalah kelapa sawit,
diikuti karet dan kakao (Tabel 13).Tidak seperti tanaman pangan yang seluruh
pengusahaannya oleh rakyat, komoditas unggulan sawit juga diusahakan oleh perkebunan
besar.Keberadaan sawit pada posisi komoditas unggulan utama di daerah ini didukung oleh
agroklimat, perkembangan harga pasar, teknologi dan masyarakat yang mulai memahami
cara budidayanya. Luas lahan sawit petani rata-rata 2 hektar, dan ada 2-3 petani yang
meliliki lahan sawit 10-50 hektar, terutama petani yang telah memiliki modal besar. Di
samping itu, lembaga keuangan juga mendukung pengembangan sawit dengan memberikan
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
198| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
pinjaman bank yang jaminannya adalah sertifikat kebun sawit, sementara untuk komoditas
perkebunan lain lembaga keuangan sangat membatasi penyaluran kreditnya.
Peternakan
Dalam bidang usaha peternakan, tidak komoditas unggulan yang diusahakan masyarakat di
Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot. Semua komoditas peternakan
mempunyai kedudukan sama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber ekonomi
rumah tangga. Masyarakat mengusahakan ternak untuk sumber pendapatan pada saat
diperlukan sewaktu-waktu.Misalnya, pada saat menyelenggarakan pesta perkawinan anak,
anak membutuhkan uang sekolah, atau berobat yang memerlukan biaya besar, mereka
menjual seekor sapi atau kerbau.Untuk ternak besar, seperti sapi dan kerbau, rata-rata
kepemilikannya 1-10 ekor. Sementara untuk ternak kecil, seperti kambing dan domba,
rata-rata kepemilikan 4-30 ekor. Jenis ternak yang diusahkan secara rinci terdapat pada
Tabel 14.Dengan jumlah ternak yang sedikit, tenaga kerja yang diperlukan tidak
banyak.Pengembangan pesat tanaman kelapa sawit tidak berdampak pada usaha
peternakan.
Tabel 13. Komoditas Tanaman Perkebunan yang diusahakan di Kecamatan
Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011
Tanaman
Karet
Kelapa Sawit
Kakao
Pinang
Kelapa Dalam
Sagu
Kapuk randu
Kemiri
Pala
Kopi
Aren
Kunyit
Sumber:
Darul Makmur
Produksi
Luas (Ha)
(Ton)
539
171
24.868
101.440
1.258
381
27
7
112
69
2
1
3
1
11
3
13
5
5
1
1
0
2
1
Kecamatan
Tripa Makmur
Luas
Produksi
(Ha)
(Ton)
637
209
3.266
1.000
1.413
403
41
10
168
104
4
1
5
1
5
1
24
5
21
6
3
2
2
1
Babah Rot
Luas
Produksi
(Ha)
(Ton)
1.133
169
24.182
125.177
4.075
1.980
740
424
2.155
1.244
552
280
3.429
583
1,077
450
Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur Dalam
Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012
Usaha peternakan tidak terdesak dan tidak pula terdorong untuk pengembangannya.
Sebagai mana telah dicoba di Lampung, seyogyanya lahan sawit dapat dimanfaatkan lebih
optimal bila diintegrasikan dengan pemeliharaan sapi, baik untuk pembibitan sapi maupun
untuk penggemukan sapi. Harga daging sapi tinggi di Aceh belum mendorong petani untuk
mengintegrasikan lahan sawitnya untuk memelihara sapi.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
Tabel 14.
Jenis Ternak
Kerbau
Sapi
Kambing
Domba
Ayam Buras
Itik
Ayam Ras
Sumber:
199
Komoditas Peternakan yang diusahakan di Kecamatan
Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot Tahun 2011
Darul Makmur
536
3,643
1,123
1,123
8,517
9,258
8,650
Tripa Makmur
529
3,643
1,123
2,118
4,658
4,558
755
Babah Rot
356
541
1,447
1,017
27,498
5,586
4,393
Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka Tahun 2012, Kecamatan Tripa Makmur
Dalam Angka Tahun 2012, dan Kecamatan Babah Rot Dalam Angka Tahun 2012
Perikanan
Komoditas perikanan masih didominasi oleh perikanan laut. Dengan demikian, hanya di
desa-desa pesisir, terdapat nelayan yang mengusahakan perikanan tangkap. Kecamatan
penelitian – Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot – mempunyai potensi
alam rawa gambut yang terdapat di dalamnya jenis ikan limbek (lele lokal). Jenis ikan ini
sangat diminati oleh masyarakat di Pantai Barat Selatan Aceh atau wisata lokal yang
mengunjungi wilayah ini. Pasar utama lele lokal adalah pasar Simpang 4 Nagan, Alue Bili,
Meulaboh, Blang Pidie dan Tapaktuan. Selain limbek, ikan yang juga sangat diminati adalah
Kerling yang hidup di sungai-sungai besar di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh
Barat Daya.Harga eceran limbek berkisar Rp 40.000-Rp 50.000, dan harga Kerling lebih
mahal lagi.
Sewaktu Ekosistem TPSF belum terganggu oleh pengembangan sawit, seorang individu
dapat menangkap 30-50 kg per hari. Ada 20-30 orang yang melakukan penangkapan limbek.
Dengan demikian dapat diperkirakan ada 600-1.500 kg limbek per hari.Angka ini memang
sangat kasar, karena tidak ada informasi yang tercatat di pasar.Namun demikian, komoditas
unggulan perikanan darat ini telah terdesak oleh pengembangan kelapa sawit yang sangt
pesat. Dengan pengeringan lahan sawit oleh perusahaan perkebunan besar, jumlah
tangkapan limbek sangat menurun. Sekarang menurut informasi salah satu rumah makan di
Simpang Empat Nagan, tangkapan seorang hanya mencapai 1-3 kg, jumlah orang yang
menangkap pun sudah sedikit, sehingga perusahaan rumah makan sudah sulit mendapatkan
limbek tersebut.
Kehutanan
Bidang kehutanan di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot pada masa
sekarang tidak menghasilkan produk, sebagaimana pada masa lalu yang menghasilkan kayu
gelondongan dan kayu olahan. Melalui program pemerintah, masyarakat diajak dan
diberikan bibit tanaman hutan untuk ditanam lahan hutan masyarakat dan hutan
negara.Masyarakat piggir hutan diberikan modal dan keterampilan untuk membuka usaha
Kebun Bibit Rakyat.Benih yang diberikan ada sengon, meranti, simantok, jabon, jati, pala,
dan tanaman hutan lainnya.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
200| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Menurut penuturan seorang tokoh masyarakat di Desa Alue Bateung Brok Kecamtan Darul
Makmur, di lokasi ini masyarakat juga mencari rotan dan madu alam pada saat hutan masih
bagus. Sekarang kedua komoditas ini sudah tidak dijumpai lagi.
H. Pola Hubungan Sosial, Persepsi dan Harapan Masyarakat terhadap
Alih Fungsi Lahan Rawa Tripa
Pola Hubungan Sosial dalam Pemanfaatan Ekosistem TPSF
Gambaran perusahaan perkebunan di lokasi penelitian adalah ibarat rumah megah yang
dipagari dengan besi, berdiri di tengah perkampungan kumuh dikelilingi gubuk-gubuk.
Maknanya, ada dualisme ekonomi seperti yang dikemukakan J.H. Boeke (ekonom Belanda)
bahwa sistem ekonomi dualistik adalah suatu masyarakat yang mengalami 2 macam sistem
ekonomi yang saling berbeda dan berdampingan sama kuatnya, di mana sistem ekonomi
yang satu adalah sistem ekonomi yang masih bersifat pra-kapitalistik yang dianut oleh
penduduk asli dan sistem ekonomi yang diimpor dari Barat yang telah bersifat kapitalistik.
Pendapat ini tergambar jelas di wilayah penelitian, (1) ada perkebunan sawit rakyat yang
memiliki ciri pengelolaan tradisional dengan tingkat adopsi inovasi yang masih rendah dan
lahan sempit; (2) berdampingan dengan perusahaan perkebunan sawit besar yang memiliki
ciri pengelolaan modern dengan tingkat adopsi inovasi yang tinggi dan lahan luas. Dualisme
ekonomi ada kecenderungan menempatkan perusahaan perkebunan sawit pada poisi kuat
dan kemudian mengabaikan keberadaan perkebunan rakyat yang posisinya
lemah.Akibatnya muncul disharmonisasi interaksi antara pemilik perkebunan rakyat dengan
pemilik perusahaan perkebunan besar, yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik
sosial yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Pola-pola interaksi sosial masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit sangat
kompleks. Interaksi atau proses sosial (hubungan timbal-balik yang dinamis di antara unsurunsur sosial) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola interaksi asosiatif dan pola interaksi
disosiatif. Pola interaksi asosiatif merupakan proses-proses yang mendorong dicapainya
akomodasi, kerjasama dan asimilasi, yang pada giliran selanjutnya menciptakan keteraturan
sosial.Pola interaksi disosiatif merupakan proses-proses yang mengarah kepada terciptanya
bentuk-bentuk hubungan sosial yang berupa persaingan (kompetisi), kontravensi ataupun
konflik (pertikaian), yang pada giliran berikutnya menghambat terjadinya keteraturan sosial
(http://www.psychologymania.com).Berdasarkan dua pola interaksi yang disebutkan tadi,
maka pola interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan di daerah penelitian umumnya
bersifat pola interaksi diasosiatif.Hal ini diindikasikan oleh adanya konflik penguasaan lahan
antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat sekitarnya. Termasuk lahan yang disengketakan
dan dicabut izin pemanfaatannya seluas sekitar 1600 ha oleh pemerintah Aceh di areal
Rawa Tripa. Sementara jarang terjadi kasus konflik atau kecemburuan sosial antara
penduduk pribumi dan tenaga kerja pendatang. Penduduk asli berpendapat bahwa mereka
tidak ada masalah dan terbuka dengan kedatangan tenaga kerja profesional dari luar,
mereka menyadari kelemahan SDM lokal untuk menduduki posisi penting di perusahaan
perkebunan. Namun mereka berharap seharusnya pihak perusahaan perkebunan bersedia
melepaskan lahan-lahan di sekitar perkampungan untuk mendukung peningkatan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat setempat minimal 2 ha per Kepala Keluarga. Dengan
demikian mereka dapat hidup berdampingan, saling mendukung dan saling menguntungkan
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
201
dengan perusahaan perkebunan besar. Namun fakta yang terjadi di lapangan menurut
pengakuan sebagian besar responden adalah sebaliknya, perusahaan perkebunan besar
dituduh sudah merambah HGUnya ke dalam areal perkebunan rakyat atau hutan adat yang
secara UU diperuntukkan untuk masyarakat lokal dan tidak ada tanda-tanda mereka mau
membina ekonomi masyarakat lokal sehingga kondisi ini memunculkan pola interaksi
disosiatif.
Pola interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan dapat dilihat dari sisi persepsi
masyarakat dan perusahaan perkebunan, terkait dengan: (1) manfaat bantuan perusahaan
kepada masyarakat, dan (2) konflik penguasaan lahan. Dilihat dari manfaat bantuan
perusahaan perkebunan kepada masyarakat dipersepsikan positif, tetapi tidak banyak
menyentuh langsung pada pembinaan dan peningkatan ekonomi masyarakat.Menurut
masyarakat setempat bahwa salah satu manfaat yang dirasakan dari bantuan pihak
perusahaan adalah dalam bentuk pasokan tenaga kerja kasar kepada
perusahaan.Rekruetment tenaga kerja lokal oleh perusahaan perkebunan untuk sebagian
masyarakat berdampak positif, karena diterima sebagai karyawan di perusahaan tersebut.
Namun bagi sebagian masyarakat lain bisa menilai negatif, karena sering muncul konflik
antara anggota masyarakat yang bekerja di perusahaan tersebut dengan masyarakat
setempat lainnya, karena mereka dianggap terlalu membela kepentingan perusahaan.
Fenomena ini diceritakan oleh salah seorang tokoh masyarakat di Desa Kuala Tripa
Kecamatan Tripa Timur Kabuaten Nagan Raya:
“Di desa kami ada seorang warga desa yang kerja pada perusahaan perkebunan
dan dijadikan “cukong” oleh perusahaan untuk menakuti masyarakat setempat,
akhirnya dia dipukul oleh anggota masyarakat lainnya sehingga muncul konflik
antar sesama warga desa, meskipun pada akhirnya konflik tersebut dapat
didamaikan oleh aparat desa setempat”.
Di samping itu, di beberapa desa sekitar perusahaan juga merasakan manfaat adanya
perusahaan perkebunan kerena mereka diperbolehkan untuk mengakses jalan proyek
sehingga tingkat mobilitas masyarakat lebih tinggi. Gambaran ini seperti yang diungkapkan
oleh salah seorang tokoh masyarakat Kuala Seumanyam, Kecamatan Senaam Kabupaten
Nagan Raya “pembangunan jalan proyek dapat membuka akses dan meningkatkan
mobilitas masyarakat setempat”. Namun bantuan langsung berupa bantuan bibit atau
modal usaha untuk meningkatkan penghidupan masyarakat masih rendah. Maknanya dana
Coorporate Social Responsibility (CSR) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar perusahaan belum disalurkan secara optimal. Karenanya, pola hubungan sosial yang
terbentuk antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sebagian cenderung bersifat
pasif. Maknanya bagi masyarakat yang merasakan manfaat langsung dari kehadiran
perusahaan perkebunan menilai positif terhadap kehadiran perusahaan tersebut.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak merasakan manfaat langsung umumnya memiliki
persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan karena kehadiran perusahaan dianggap
penyebab hilangnya sebagian mata pencahariannya seperti mencari kerang dan ikan lele
(leembek) di Ekosistem TPSF.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 73 responden yang diwawancarai 21 orang
(28,38%) menyatakan pernah menerima bantuan dari perusahaan perkebunan berupa
bantuan untuk pembangunan mesjid, bantuan saat masyarakat memperingati hari-hari
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
202| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
besar Islam, bantuan input produksi seperti bibit tananman dan pupuk, serta bantuan
ternak untuk masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Umumnya mereka mempersepsikan
positif terhadap bantuan tersebut. Meskipun demikian, mereka juga berharap pihak
perusahaan perkebunan agar menghindari konflik lahan dengan penduduk setempat.
Sementara 52 responden (71, 23%) menyatakan tidak pernah menerima bantuan dalam
bentuk apapun dari perusahaan perkebunan sehingga mereka tidak merasakan adanya
dampak langsung secara ekonomi sebagai akibat dari kehadiran perusahaan perkebunan di
wilayahnya, bahkan mereka cenderung mempersepsikan negatif karena sering munculnya
konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan perkebunan.
Akibatnya, pola hubungan atau interaksi juga cenderung bersifat negatif antara masyarakat
dengan perusahaan perkebunan. Kasus yang umum ditemukan di lapangan adalah kliem
penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan di sekitar pemukimam masyarakat
berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) yang mereka miliki sehingga muncul protes dan konflik
dengan masyarakat.Masuknya sebagian besar lahan sekitar perkampungan ke dalam HGU
dinilai masyarakat sebagai tindakan pemerintah yang mengabaikan kepentingan ekonomi
masyarakat lokal.Apalagi lahan di Ekosistem TPSF dinilai sebagai tempat bertumpunya
sebagian ekonomi masyarakat serta wilayah yang didiami oleh sebagaian besar binatang
langka.Masyarakat menilai pemerintah terlalu berpihakan kepada kepentingan perusahaan
daripada masyarakat lokal. Hal ini senada dengan yang diceritakan oleh Tokoh Masyarakat
Seumanyam Kecamatan Senaam Kabupaten Nagan Raya:
“Untuk dapat menguasai lahan yang telah diusahakan masyarakat sekitar
HGUnya, perusahaan menggunakan strategi yang ‘tidak sehat’. Pertama
perusahaan membeli lahan yang akan dijadikan saluran drainase dengan harga
yang mahal. Setelah lahan tersebut dibuat drainase, maka lahan sekitarnya
akan menjadi kering sehingga masyarakat tidak bisa lagi memanfaatkan
lahannya secara optimal untuk berusahatani. Akibatnya, lahan tersebut
telantar dan akhirnya masyarakat terpaksa juga menjual lahan tersebut ke
perusahaan perkebunan, meskipun dengan harga yang lebih murah”.
Kasus lain juga diceritakan bahwa ketika masyarakat memperjuangkan penguasaan lahan
yang mereka buka di areal yang diklaim sebagai HGU perusahaan perkebunan, mareka diusir
dan diancam keselamatannya oleh oknum aparat keamaan yang dibayar oleh perusahaan.
Kemudian ketika persoaalan konflik penguasaan lahan ini dilaporkan kepada pemerintahan
lokal (Camat dan Bupati) persoalan ini mengambang dan tidak pernah selesai, dan mereka
cenderung berpihakan kepada perusahaan perkebunan besar. Sementara masyarakat
merasa sulit untuk mengembangkan ekonominya karena lahan yang berada di sekitar
mereka sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar. Inilah ketidakadilan yang
dirasakan masyarakat yang membuat mereka terus terjerat dalam kemiskinan.
Berdasarkan kasus yang dikemukakan tadi menunjukkan bahwa pola hubungan antara
masyarakat dengan perusahaan berbentuk asimetris (tidak seimbang). Pola hubungan yang
terbangun cenderung perusahaan perkebunan berada pada pihak yang kuat mengabaikan
hak dan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya muncul perilaku anarkis
masyarakat terhadap fasilitas yang dimiliki pihak perkebunan. Persoalan utama yang
dikeluhkan masyarakat sekitar HGU adalah HGU yang diberikan pemerintah kepada
perusahaan perkebunan besar kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan ekonomi
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
203
dari masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik-konflik sosial yang merugikan
pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat sebagai reaksi dari pola hubungan yang
disharmonis ini. Seharusnya dalam pemberian HGU harus mempertimbangkan hak-hak adat
dan nilai teritorial daerah yang berdekatan dengan pemukimam dan perkampungan. Oleh
sebab itu, harapan masyarakat ke depan perlu dipikirkan upaya-upaya untuk membangun
pola interaksi yang positif antara perusahaan dan masyarakat melalui pembangunan kebun
plasma masyarakat seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.
39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat Melalui Kemitraan
Kehutanan. Dalam Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa “Pemberdayaan masyarakat setempat
melalui Kemitraan Kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara
optimal dan adil melalui Kemitraan Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat”.
Hasil penelitian Rosyani (www.digilib.ui.ac.id) tentang Keberlanjutan masyarakat sekitar
perusahaan perkebunan dan dampaknya pada keberlanjutan biodiversity (studi pada
masyarakat sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi) menunjukkan: (1)
pelaksanaan pemberian hak guna usaha pemanfaatan lahan perkebunan oleh pemerintah
kabupaten, dan provinsi belum mempertimbangkan nilai teritorial wilayah, nilai sosial
masyarakat desa. Disamping itu pemberian rekomendasi izin usaha perkebunan kelapa
sawit belum melibatkan masyarakat desa dalam penentuannya; (2) pola interaksi antara
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat desa sekitar perusahaan perkebunan
belum berkelanjutan; (3) hasil penelitian secara signifikan membuktikan bahwa pola
interaksi antara perusahaan perkebunan kelapa sawit sangat berpengaruh terhadap
kemandirian masyarakat desa sekitar perusahaan. Selanjutnya hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa keberlanjutan interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan
kelapa sawit serta kemandirian masyarakat berpengaruh terhadap keberlanjutan
biodiversity.
Berdasarkan pendapat responden di lapangan menunjukkan pola interaksi antara
masyarakat dengan perusahaan cenderung lebih banyak bersifat disasosiatif (konflik)
terutama terkait dengan klaim perusahaan terhadap lahan-lahan yang sudah dimanfaatkan
penduduk sebagai bagian dari lahan HGU perusahaan. Salah satu penyebab terjadinya
tumpang tindih hak atas pemanfaatan lahan adalah kurangnya mempertimbangkan nilai
teritorial daerah dan nalai sosial masyarakat sekitarnya serta tidak terlibatnya tokoh
masyarakat desa dalam pemberian hak guna usaha pemanfaatan lahan perkebunan
tersebut.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (61 orang atau
82,43%) menyatakan pernah terjadi konflik sosial dengan pihak perusahaan perkebunan
terkait dengan sengketa lahan.
Selain itu, pola interaksi yang bersifat disasosiatif antara masyarakat dan perusahaan di
Ekosistem TPSF juga disebabkan oleh kesenjangan ekonomi. Menurut pengakuan sebagian
besar responden (70% lebih) tidak ada dana Coorporate Soceity Responsibility (CSR) yang
mengalir untuk peningkatan kondisi sosial dan kemandirian ekonomi bagi masyarakat
sekitarnya. Di samping itu, sedikit sekali CSR perusahaan yang diarahkan untuk kegiatan
penguatan kelembagaan masyarakat lokal yang dibutuhkan dalam menjamin keberlanjutan
interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, muncul perilaku
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
204| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
percepatan perambahan hutan, baik masyarakat maupun perusahaan, dalam upaya
memperoleh klaim hak atas lahan tersebut. Kondisi ini sangat membahayakan keberlanjutan
biodiversity yang ada di Ekosistem TPSF.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk menjamin keberlanjutan dan pelestarian hutan di
Ekosistem TPSF yang kaya dengan biodiversity dengan cara menata kembali pola interaksi
antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang dahulunya bersifat disasosiatif ke
pola interaksi yang bersifat asosiatif melalui: (1) pemberdayaan aspek sosial budaya
masyarakat untuk membangun struktur sosial dan pola hidup yang mandiri dengan advokasi
dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal; (2) pemberdayaan ekonomi yang
berdampak positif terhadap perubahan mata pencaharian penduduk dan ekonomi lokal;
dan (3) pemberdayaan aspek hukum yang mampu menjamin pelestarian hutan dan
keberlanjutan biodiversity melalui partisipasi perusahaan perkebunan besar dan masyarakat
di Ekosistem TPSF.
Persepsi Masyarakat terhadap Alih Fungsi Ekosistem TPSF
Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi
terhadap stimulus. Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa
sawit di daerah penelitian ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Hal ini
sangat tergantung pada wawasan dan pengalaman mereka dalam interaksi dengan
perusahan perkebunan kelapa sawit. Persepsi positif umumnya diungkapkan oleh mereka
yang merasa adanya keuntungan akibat kehadiran perusahaan perkebunan sawit,
diterimanya sebagai karyawan, pekerja lepas, dan kemudahan akses ekonomi lainnya.
Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan sawit umumnya
diungkapkan oleh mereka tanahnya berdekatan dengan HGU dan berkonflik dengan
perusahaan. Selain itu, persepsi negatif juga muncul dari mereka yang kurang puas terhadap
ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya oleh perusahaan dan belum
dapat ditampung sebagai karyawan perusahaan perkebunan. Hal tersebut sesuai dengan
ungkapan Dove (1986 dalam Sapardi, 1991) bahwa masyarakat pedalaman berusaha
meminimkan resiko, yaitu menginginkan jaminan atas tersedianya pekerjaan tetap untuk
mendapatkan sumber uang tunai secara teratur dan tetap. Namun dalam kenyataan
mereka hanya dapat menjadi tenaga buruh perkebunan atau pekerja kasar, sementara itu
tenaga karyawan banyak diisi oleh penduduk yang berasal dari daerah lain. Karena itu,
sering muncul sikap antipatif terhadap perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah
mereka.Persepsi masyarakat lokal terhadap perkebunan berdasarkan indikator yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 15.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
Tabel 15. Persepsi Masyarakat Terhadap Perusahaan Perkebunan Sawit dan
Alih Fungsi Lahan Gambut Rawa Tripa Di Wilayah Penelitian
No
Indikator Persepsi
1.
Hal yang sering menjadi ancaman terhadap
tanaman pertanian di daerah ini
a. Banjir/genangan
b. Kekeringan
c. Kebakaran
d. Hama penyakit
e. Gangguan Binatang/mamalia
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Lahan usaha bapak merupakan bagian dari plasma
Perusahaan HGU
a. Ya
b. Bukan
c. Lainnya
Dampak operasionalisasi perusahaan sawit di
daerah penelitian
a. Membantu masyarakat
b. Merugikan masyarakat
c. Merusak lingkungan
d. Mitra usaha
Dampak positif adanya perusahaan sawit thd
masyarakat
a. Menampung tenaga kerja lokal
b. Menambah pendapatan masyarakat
c. Membuka isolasi daerah
Dampak negatif adanya perusahaan sawit thd
masyarakat
a. Terjadinya persaingan lahan
b. Merusak/degradasi lahan
c. Mengancam keselamatan ekologi
d. Lainnya (tidak tahu)
Dalam
pengelolaan
lahan
senantiasa
memperhatikan kaedah-kaedah konservasi tanah
dan air/lingkungan
a. Ya
b. Tidak/tidak tau
c. Lainnya
Pihak-pihak luar yang mengajak untuk melakukan
rehabilitasi lahan
a. Pemda
b. NGO
c. Perusahaan HGU
d. Tidak/belum ada
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
Jumlah
(orang)
Persentase (%)
16
5
7
1
44
21,91
6,85
9,59
1,37
60,28
3
62
8
4,11
84,93
10,96
54
9
9
1
73,98
12,34
12,62
1,36
44
20
9
60,27
27,4
12,33
39
8
22
4
53,42
10,96
30,14
5,48
17
48
8
23,29
65,75
10,96
30
16
0
27
41,09
21,92
0
36,99
205
206| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Tanggapan jika ada yang mengajak untuk
melakukan program rehabilitasi lahan
a. Saya senang dan bersedia
b. Menolak/Tdk bersedia
c. Tidak tahu.
Tanggapan terhadap upaya pengembalian lahan
pertanian di Rawa Tripa menjadi hutan
a. Setuju
b. Terserah
c. Tidak setuju
Tanggapan thd pohon yg cocok dlm upaya vegetasi
di Ekosistem TPSF
a. Tanaman pohon hutan asli
b. Jati, Jabon, Sentang
c. Tanaman perkebunan
Pendapat tentang semakin maraknya pemanfaatan
lahan rawa tripa untuk kegiatan pertanian
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
Pendapat tentang adanya perusahaan pertanian
yang menggunakan lahan di rawa tripa
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
Pendapat tentang adanya pemanfaatan lahan di
rawa tripa oleh masyarakat
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
Pendapat terhadap kelangsungan hutan rawatripa
a. Setuju
b. Kurang setuju
c. Tidak setuju
Nilai yang dipandang penting dalam memelihara
Ekosistem TPSF
a. Ekosistem dan habitat di areal kuala Tripa
b. Menjaga kelestarian lingkungan dan
sumber air
c. Nilai ekonomi Ekosistem TPSF cukup tinggi
59
6
8
80,82
8,22
10,96
14
6
53
19,18
8,22
72,6
24
47
2
32,88
64,38
2,74
25
36
12
34,25
49,31
16,44
39
15
19
53,42
20,55
26,03
68
2
3
93,15
2,74
4,11
57
9
7
78,08
12,33
9,59
54
73,97
12
16,44
7
9,59
Nilai yang dipandang mulai rusak dan diabaikan
akibat pemanfaatan Ekosistem TPSF
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
a. Habitat, Lingkungan, lahan masyarakat
b. Mengeringnya air disekitar Ekosistem TPSF
36
37
207
49,31
50,69
Sumber: Data Primer
Persepsi masyarakat terhadap perusahaan perkebunan sawit dan alih fungsi lahan Gambut
Rawa Tripa terkait dengan ancaman terhadap kerusakan tanaman pertaniannya yang sering
mereka hadapi adalah berasal dari gangguan binatang mamalia (60,28%). Kondisi ini
menunjukkan bahwa alih fungsi lahan Gambut Rawa Tripa ke pengembangan perkebunan
sawit sudah menganggu persediaan makanan atau kehidupan mamalia, yang hidup di
Ekosistem TPSF seperti beruang, harimau, babi hutan dan lainnya,sehingga binatangbinatang tersebut sudah turun ke kebun-kebun masyarakat untuk memperoleh makanan
yang akhirnya menimbulkan konflik manusia-binatang. Maknanya, apabila perluasan
pemanfaatan lahan gambut Rawa Tripa ini tidak bisa dihentikan, maka akan mengancam
kehidupan biodiversity yang ada di Ekosistem TPSF yang pada akhirnya menyebabkan
banyak jenis binatang dan tumbuhan langka di Ekosistem TPSF tersebut akan punah. Selain
itu, ancaman banjir dan kekeringan juga meningkat terhadap kerusakan tanaman pertanian
yang dirasakan masyarakat sebagai akibat semakin meluasnya pemanfaatan lahan Gambut
Rawa Tripa (16,91%). Hal ini senada dengan ungkapan salah satu tokoh masyarakat di
daerah penelitian bahwa “setelah meluasnya pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa,
terutama oleh perusahaan perkebunan besar, daerah mereka sering sekali dilanda banjir
ketika hujan minimal 2-3 kali per tahun dan peningkatan suhu atau kekeringan ketika tiba
musim kemarau.
Dilihat dari kepemilikan lahan, sebagian besar responden (84,93%) mempersepsikan bahwa
lahan mereka berada di luar HGU perusahaan. Maknanya, kerusakan lahan akibat adanya
perusahaan pemilik HGU jauh lebih besar dibandingkan oleh masyarakat setempat. Hasil
wawancara menunjukkan sebagian besar masyarakat (73,98%) mempersepsikan positif
secara ekonomi akibat kehadiran perusahaan perkebunan, seperti: menampung tenaga
kerja (60,27%), menambah pendapatan (27,4%) dan membuka isolasi (12,33%). Namun
sedikit sekali (1,36%) adanya kemauan perusahaan perkebunan yang membangun mitra
dengan masyarakat lokal.Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan
juga dipicu oleh perbedaan pemahaman dan pandangan terhadap hak atas penguasaan dan
pemanfaatan lahan antara hak adat dengan HGU perusahaan.Di satu pihak, masyarakat
lokal berpendapat bahwa mereka berhak memanfaatkan lahan yang mereka garap karena
ada aturan-aturan hukum adat yang masih berlaku dan diatur dalam Undang Undang (UUPA
No. 5 Tahun 1960). Di pihak lain, perusahaan perkebunan berpendapat bahwa mereka
berhak mendapatkan lahan. Kondisi ini pada akhirnya memicu terjadinya persaingan dalam
pemanfaatan lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan (53,42%). Selain itu,
persepsi negatif juga muncul karena kekhuatiran masyarakat bahwa pemanfaatan lahan
Gambut Rawa Tripa dapat mengancam kelestarian ekologis (30, 14%). Berdasarkan data
yang telah dipaparkan, maka ke depan diperlukan pemikiran dan langkah-langkah strategis
untuk penyelamatan lahan Gambut Rawa Tripa sehingga dapat melestarikan lingkungan dan
menyelamatkan biodiversity di Gambut Rawa Tripa.
Berdasarkan data hasil penelitian Tabel 15, ada persoalan lain yang perlu diperhatikan
bahwa sebagian besar masyarakat di daerah penelitian tidak memahami kaedah-kaedah
konservasi (65,75%), hanya sebagian kecil (23,29%) yang menyatakan memahami kaedah-
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
208| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
kaedah konservasi. Selain itu, sebagian masyarakat (36,99%) merasa masih sedikit pihakpihak yang mengajak dan memberi kesadaran untuk memperhatikan kaedah-kaedah
konservasi. Saat ini Pemda dinilai sebagai komponen penting dalam mendukung masyakat
untuk rehabilitasi lahan gambut Rawa Tripa (41,09%) dan NGO hanya (21,92%), meskipun
frekwensinya masih kurang. Padahal jika dilihat dari data Tabel 1 sebagian besar petani
(80,82) menyatakan sangat senang jika diajak untuk ikut melakukan konservasi lahan
Gambut Rawa Tripa. Maknanya, kurangnya perhatian masyarakat terhadap upaya
rehabilitasi lahan Gambut Rawa Tripa lebih disebabkan oleh ketidaktahuan mereka (10,96%)
dan tiadanya sosialisasi dan pelopor untuk mengajak masyarakat untuk melakukan
rehabilitasi lahan Gambut Rawa Tripa yang dipadukan dengan program-program
pemberdayaan ekonomi secara berkelanjutan. Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian
yang serius dari pihak terkait, maka dikuatirkan dalam waktu singkat kerusakan lahan
gambut Rawa Tripa akan semakin meluas.
Tanggapan yang kontradiktif dari masyarakat ketika diminta tanggapannya terhadap upaya
pengembalian lahan pertanian di Rawa Tripa menjadi hutan. Sebagian besar masyarakat
menyatakan tidak setuju (72,6%), hanya sebagian kecil yang menyatakan setuju (19,18%),
dan selebihnya menyatakan terserah. Hal ini dikarenakan semakin sulitnya memperoleh
lahan disekitar wilayah mereka untuk kegiatan ekonominya, sementara sebagian besar
lahan sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan pemilik HGU. Karenanya untuk
kepentingan ekonomi dalam jangka pendek, sebagian besar mereka tidak ada pilihan lain
kecuali ikut memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, makanya sebagian
besar masyarakat (93,15% ) menyatakan setuju jika lahan di Ekosistem TPSF dimanfaatkan
untuk kegiatan pertanian, terutama pemanfaatan oleh masyarakat itu sendiri, dan sebagian
masyarakat (53,42%) juga setuju jika lahan rawa Tripa tersebut dimanfaat oleh perusahaan
pertanian kerena dapat membantu terbukanya akses mereka untuk ikut memanfaatkan
lahan tersebut menjadi lahan pertanian. Namun ketika ditanyakan tanaman apa yang cocok
untuk rehabilitasi Ekosistem TPSF, sebagian besar masyarakat mengusulkan tanaman Jati,
Jabon, Sentang (64,38%) dan tanaman asli hutan (32,88%), dan sebagian kecilnya tanaman
perkebunan. Di samping itu, sebagian besar pendapat masyarakat (78,08%) menyatakan
setuju tentang pentingnya menjaga kelangsungan Ekosistem TPSF. Fenomena ini yang
kontradiktif ini dapat dimaknai bahwa jika lahan pertanian dialihkan kembali menjadi
Ekosistem TPSF, maka harus ada unsur pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat
sekitarnya berupa penguasaan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tanam
kembali di lahan Gambut Rawa Tripa sehingga memberi harapan ekonomi baru yang lebih
baik bagi masyarakat sekitarnya di masa yang akan datang.
Sehubungan hal yang telah dipaparkan, maka solusi untuk memperbaiki persepsi
masyarakat terkait dengan pemanfaatan lahan Gambut Rawa Tripa, yaitu: (1) perlu adanya
dialog dan komunikasi antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan perkebunan dalam
mengatasi persoalan konflik lahan, (2) perlu peningkatan optimalisasi pemberdayaan
ekonomi melalui dana CSR perusahaan kepada masyarakat sekitarnya yang difasilitasi oleh
Pemda setempat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang independen, (3) perlu ada
ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat sebagai kompensasi dari upaya menjaga dan
melestarikan hutan dan ekosistem di lahan Gambut Rawa Tripa, dan (4) perlu adanya
komitmen pemerintah untuk membatasi perluasan HGU perusahaan pertanian di Ekosistem
TPSF.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
209
Harapan Masyarakat terhadap Alih Fungsi Lahan Ekosistem TPSF
Snyder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki
individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan
motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Harapan akan menjadi lebih
kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki
kemungkinan untuk dapat dicapai. Ada 3 komponen yang terkandung dalam teori harapan:
(1) tujuan, yaitu sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen
kognitif yang dapat berupa positif atau negatif; (2) pathway thinking, yaitu kemampuan
untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan; dan (3) Agency Thinking,
kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Harapan
merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati tidak ada kemungkinan
hingga satu yang berarti kepastian. Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, orang akan
cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai, maka
oramg akan menjadi malas (Victor Vroom dalam Robbin 2003). Kondisi harapan masyarakat
terhadap restorasi Ekosistem TPSF dapat dilihat pada Tabel 16.
Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi masyarakat karena sumber
penghidupan masyarakat hampir seluruhnya bertumpu di sektor pertanian. Ketika
ketersediaan lahan semakin terbatas, maka eksploitasi terhadap lahan tidak bisa dihindari,
termasuk pemanfaatan lahan Ekosistem TPSF oleh masyarakat maupun perusahaan
perkebunan, meskipun sebagian Ekosistem TPSF ini dinyatakan termasuk areal yang perlu
dilindungi berdasarkan kriteria peraturan. Dilihat dari cara memperoleh lahan, sebagian
masyarakat (39,72%) mendapatkan lahan di Ekosistem TPSF tersebut dengan membuka
lahan berdasarkan surat adat, sebagian lagi mereka memperoleh lahan karena adanya
bantuan pemerintah untuk membangkit ekonomi masyarakat (27,4%), dan sebagian kecil
mereka mendapatkan lahan di Ekosistem TPSF tersebut melalui harta warisan (23,29%) dan
membeli lahan dari sesama anggota masyarakat. Ketika ada pertanyaan, apakah mereka
bersedia melepaskan lahannya untuk merestorasi hutan di lahan gambut di Rawa Tripa,
sebagian mereka setuju (46,57%) tetapi harus ada lahan pengantinya karena lahan
merupakan sumber ekonomi bagi penghidupan keluarganya .Kesediaan mereka ini dilandasi
dari adanya kesadaran dan harapan supaya lahan tersebut bahwa perlunya tetap menjaga
dan memelihara habitat makhluk hidup yang ada di Ekosistem TPSF tersebut (36,99%).
Tabel 16. Harapan Masyarakat Terhadap Restorasi Hutan di Lokasi Penelitian
No. Indikator Harapan Alih Fungsi Lahan
1.
Cara memperoleh lahan di Ekosistem TPSF
a. Buka lahan (Surat adat)
b. Warisan
c. Beli
d. Bantuan Pemda/Pemerintah
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
Jumlah
(orang)
29
17
7
20
Persentase
(%)
39,72
23,29
9,59
27,4
210| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
2.
3.
4.
Cara merestorasi lahan Ekosistem TPSF dengan
melibatkan masyarakat
a. Lahan boleh dirubah menjadi hutan, tapi
harus ada lahan penganti
b. Ekosistem dan habitat makhluk hidup tetap
terjaga
c. Penanaman hutan yang cocok buat gambut
tapi punya nilai ekonomi
d. Bantuan Modal, Penataan kembali HGU
perusahaan
Manajemen restorasi lahan Rawa Tripa (diharapkan
terlibat untuk melakukan perbaikan hutan dan lahan
gambut di rawa tripa)
a. Pemerintah,
perusahaan,
kelompok
masyarakat
b. Lembaga Mitra
Langkah2 yang harus dilakukan dalam perbaikan
hutan dan lahan gambut di rawa tripa
a. Sosialisasi dari pemerintah secara lebih
serius
b. Konservasi lahan, penanaman pohon
c. Menata ulang HGU dan mencabut HGU pada
perusahaan yang melanggar peraturan yang
ada
Harapan dari upaya menyelamatkan dan pelestarian
hutan dan lahan gambut di rawa tripa
a. Lingkungan dan hutan terjaga tanpa
mengganggu perekonomian masyarakat
b. mendorong terbentuknya hutan rakyat,
meninjau dan penataan kembali HGU
perusahaan.
Sumber: Data Primer
34
46,57
27
36,99
4
5,48
8
10,96
44
60,27
29
39,73
27
36,98
29
17
39,73
23,29
30
41,09
43
58,91
5.
Sebagian besar responden (60,27%) mengharapkan pemerintah dan perusahaan bersama
masyarakat merupakan elemen penting yang harus dilibatkan dalam manajemen restorasi
hutan di lahan gambut Rawa Tripa. Meskipun sebagian responden (39,73%) juga
memandang penting keterlibatan lembaga mitra, seperti YEL dalam upaya mendukung
restorasi hutan di lahan gambut Rawa Tripa. Ada beberapa alasan penting kerjasama antara
pemerintah, perusahaan dan masyarakat, antara lain: (1) menghindari munculnya konflik,
(2) adanya persepsi yang sama tentang pentingnya pelestarian Ekosistem TPSF dalam
menyelamatkan biodiversity, dan (3) adanya gerakan yang sinergis dalam menyelamatkan
hutan dan biodiversity di Ekosistem TPSF.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
211
Berdasarkan hasil penelitian dan tanggapan responden terhadap langkah-langkah yang
harus diperhatikan dalam upaya perbaikan hutan di Ekosistem TPSF secara berurutan
adalah sebagai berikut: (1) melakukan konservasi lahan melalui penanaman pohon hutan
(39,73 %) yang secara ekonomi juga memberikan keuntungan kepada masyarakat, untuk itu
perlu ada kegiatan pembagian bibit tanaman hutan yang adaptif dengan kondisi Ekosistem
TPSF. Namun mereka bersedia menyerahkan lahannya untuk konservasi tersebut jika ada
kompensasinya, terutama penyediaan lahan di tempat lain atau ganti rugi lahan; (2) adanya
sosialisasi dari pemerintah secara lebih serius (36,98%). Sebagian besar masyarakat
menganggap pemerintah juga kurang serius dalam upaya rehabilitasi lahan Ekosistem TPSF,
karena yang memberikan izin pemanfaatan lahan gambut di Ekosistem TPSF adalah
pemerintah itu sendiri, tanpa melibatkan tokoh atau lembaga lokal. Oleh sebab itu, mereka
juga menilai selama pemerintah tidak serius, maka upaya rehabilitasi dan konservasi lahan
gambut Rawa Tripa tidak akan pernah optimal; dan (3) menata ulang HGU dan mencabut
HGU pada perusahaan yang melanggar peraturan yang ada (23,29%). Menurut responden
inilah beberapa langkah dan tantangan jika ingin melakukan upaya untuk upaya rehabilitasi
dan pelestarian Ekosistem TPSF.
Masyarakat setempat sebenarnya memiliki harapan yang besar dari upaya menyelamatkan
dan pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa. Di antara harapan tersebut yang
terungkap jika upaya rehabilitas dan pelestarian hutan di Ekosistem TPSF dilakukan adalah
(1) mereka akan mendukung terjaganya lingkungan dan hutan, tatapi tanpa mengganggu
perekonomian masyarakat (41,09%), dan (2) perlu dilakukan upaya-upaya untuk mendorong
terbentuknya hutan rakyat, kemudian meninjau dan penataan kembali HGU perusahaan
(58,91%). Dengan demikian diharapkan adanya rasa keadilan dalam hal penguasaan lahan di
Ekosistem TPSF tersebut. Menurut salah seorang tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa
“jangan sampai masyarakat disuruh melakukan konservasi, sementara perusahaan
perkebunan seenaknya merambah dan merusak Ekosistem TPSF yang dapat mengancam
kelangsungan kehidupan biodiversity. Sehubungan dengan harapan masyarakat tersebut,
maka perlu adanya persepsi dan kerjasama yang sinergys antara ketiga elemen yang
terlibat (pemerintah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat lokal) dalam rehabilitas dan
pelestarian hutan di Ekosistem TPSF melalui langkah-langkah yang telah disebutkan tadi.
I. Pemberdayaan Masyarakat dan Skenario Restorasi dalam
Mempertahankan Ekosistem TPSF
Pemberdayaan Masyarakat
Perkembangan perkebunan sawit di Belahan Pantai Barat Aceh berkembang sangat cepat,
terutama Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).Perkembangan
perkebunan sawit tersebut selain bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi ternyata juga
berpengaruh terhadap permasalahan ekologi dan sosial budaya masyarakat.Permasalahan
ekonomi, ekologi dan sosial perlu dilakukan pengelolaan secara integratif dengan
mempertimbangkan komponen sumberdaya lokal pada ekosistem setempat, agar
pengembangan agroekologi perkebunan kelapa sawit pada berbagai lahan yang ada dapat
dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, terjadi kekurangsiapan masyarakat lokal yang
berpotensi menimbulkan kerawanan dan konflik sosial pada level individual, kelompok
sosial, masyarakat maupun wilayah penelitian. Konflik sosial yang bersumber dari berbagai
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
212| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
sebab, antara lain : (1) alih hak atas tanah yang kurang didukung oleh klarifikasi
pembebasan lahan dan hak hukum atas lahan baik antara masyarakat sendiri, maupun
dengan pihak perusahaan perkebunan besar dan pemerintah, (2) alih fungsi lahan yang
kurang disertai kejelasan atas hak atas tanah, (3) kesenjangan akses ekonomi antara
masyarakat lokal dengan pendatang serta dengan perusahaan perkebunan.
Hasil penelitian lapangan dan publikasi media massa diperoleh informasi bahwa salah satu
konflik lahan yang masih terjadi antara pemilik perusahaan perkebunan sawit Kalista Alam
dengan pemerintah Provinsi Aceh adalah terkait dengan pencabutan izin pemanfaatan
lahan seluas 1.600 ha untuk penanam kelapa sawit di Ekosistem TPSF. Areal yang
dipersengketakan tersebut menurut aturan tidak boleh dimanfaatkan oleh perusahaan
perkebunan maupun masyarakat setempat karena termasuk dalam areal yang perlu
dilindungi.Menurut informasi dari responden dan pihak manager perusahaan, sudah ada
sebagian masyarakat yang mulai merambah sebagian lahan tersebut untuk penanaman
kelapa sawit, meskipun dilarang secara hukum.Menurut beberapa anggota masyarakat hal
ini dilakukan karena saat ini mereka sulit memperoleh lahan untuk meningkatkan kegiatan
ekonominya, hampir seluruh lahan di Ekosistem TPSF tersebut sudah dikuasai oleh PT.
Kalista Alam. Mereka bertanya di mana “hak mereka untuk mendapatkan lahan dan
penghidupan yang layak?” Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat
di Desa Ladang Baru Kecamatan Darul Makmur/Senaam Timur Nagan Raya:
“Konflik masyarakat dengan PT. Kalista Alam hanya terkait masalah
penguasaan lahan kerena masyarakat tidak ada lagi lahan untuk berusaha.
Sepengetahuan masyarakat di sini HGU PT Kalista Alam pada tahap I hanya
memiliki lahan seluas 4775 ha. Batas-batas lahannya dibuat sendiri oleh pihak
perusahaan dan tidak diketahui oleh kepala desa setempat. Sementara
sekarang menurut tuduhan masyarakat luas lahan PT. Kalista Alam sudah
melebihi 10.000 ha dengan cara mengurus HGU tambahan dan membeli
lahan-lahan masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik sosial”.
Konflik sosial yang terjadi apabila tidak terkelola secara baik akan dapat berdampak pada
lemahnya produktivitas masyarakat, perusahaan maupun pihak terkait, karena tidak
kondusifnya iklim lingkungan sosial. Sebaliknya bila potensi konflik sosial dapat dikelola
dengan baik dapat berdampak positif bagi upaya mewujudkan kesejahteraan sosial,
kedamaian, keserasian kehidupan sosial ekonomi di Ekosistem TPSF tersebut. Karena itu,
untuk mengelola konflik sosial sehingga menghasilkan energi sosial yang berdampak positif
bagi penghidupan masyarakat lokal dan saling membangun kepercayaan antar elemen
masyarakat, swasta dan pemerintah; maka dibutuhkan upaya pemberdayaan masyarakat
berbasiskan permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Sumardjo (2010) bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu pendekatan yang dinilai tepat untuk mengantisipasi kemungkinan berkembangnya
konflik sosial di perkebunan sawit, yang ditempuh dengan pendekatan secara damai, baik
secara preventif maupun kuratif.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan menunjukkan salah satu ketidakberdayaan petani
karena sempitnya lahan dan ketidakjelasan status lahan sehingga daya tawarnya terhadap
perusahaan perkebunan besar lemah.Akibatnya, dalam setiap konflik lahan yang terjadi
antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi masyarakat selalu terkalahkan.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
213
Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara
hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui, walaupun
dalam UUP Agraria mengakui hak ulayat, namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan
(Frasetiandy, 2009). Selanjutnya Frasetiandy juga mengemukakan bahwa konflik sosial yang
terjadi terkait dengan perkebunan sawit salah satunya karena untuk membangun sebuah
perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik CPO dibutuhkan minimal 6.000
hektare lahan.Kondisi ini menyebabkan lahan hutan dan juga lahan-lahan produktif yang
diambil secara paksa oleh perusahaan walau dengan berbagai macam motif dan perilaku.
Hal inilah sebagai titik awal pemicu terjadinya konflik.
Konflik antara manajemen perkebunan dengan komunitas muncul dalam empat tipe: (1)
kriminalitas, (2) bandit sosial, (3) reclaiming lahan, dan (4) konflik berbasis kesenjangan
ekonomi (Ivan dan Fajar, 2010). Konflik tipe kriminalitas yang ditemukan di lapangan dapat
berupa pencurian sawit perusahaan perkebunan dan pembakaran kamp-kamp pekerja
kebun sebagai bentuk tindakan ketidakpuasan masyarakat sekitarnya terhadap perusahaan
perkebunan. Konflik tipe bandit sosial yang ditemukan di lapangan dapat berupa
rekruetmen preman desa oleh perusahaan yang nantinya digunakan sebagai “bodygard
atau pagar hidup” sehingga sering muncul konflik antara bandit sosial yang cenderung
berpihakan kepada perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitarnya. Konflik tipe
reclaiming lahan biasanya berbasis argument sejarah dan argument hukum, fenomena yang
ditemukan di lapangan umumnya terjadi akibat klaim lahan oleh perusahaan perkebunan
terhadap lahan-lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat sekitarnya sebagai lahan yang
masuk ke dalam HGU mereka, sehingga muncul sengketa lahan yang berujung pada konflik
berkelanjutan. Konflik tipe kesenjangan akses ekonomi hubungan asimetris inti plasma dan
antara pendatang dan penduduk lokal. Fenomena yang ditemukan di lapangan ada dualisme
ekonomi antara perusahaan perkebunan dengan adopsi teknologi yang tinggi, lahan luas,
dan keuntungan yang besar, kemudian dihadapkan dengan kondisi perkebunan rakyat
dengan adopsi inovasi yang rendah, lahan sempit dan keuntungan yang kecil. Akhirnya
kondisi ini akan memuncul kesenjangan ekonomi yang dapat mengundang kesenjangan dan
kecemburuan serta konflik sosial antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan
permasalahan tersebut maka dibutuhkan pemberdayaan masyarakat berbasis masingmasing tipe konflik, yaitu melalui kekuasaan pemaksa, kekuasaan hukum, gerakan sosial dan
program program ekonomi yang berpihakan kepada masyarakat.
Dilihat dari perspektif pemberdayaan masyarakat pengelolaan potensi konflik dan resolusi
konflik perlu dilihat secara proporsional dan secara kontekstual.Tindakan yang dipilih dalam
pemberdayaan masyarakat bisa mencakup pengembangan kapasitas individu petani,
kelompok atau organisasi masyarakat, masyarakat dan pengembangan koordinasi lintas
instansi sektoral maupun kopordinasi horisontal dan vertikal dalam instansi
Kepemerintahan.Secara rinci atas kaitan antar pihak yang berpotensi konflik, sumber
masalah dan alternatif sosluasi dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat pada
Gambar 1.
Dilihat dari sumber konflik dan masalah yang paling banyak dan yang paling sering adalah
terkait dengan persoalan penguasaan hak atas lahan.Konflik lahan di wilayah penelitian
dapat terjadi antara individu dengan perusahaan, kelompok masyarakat tertentu dengan
perusahaan, masyarakat dengan perusahaan, bahkan pemerintah dengan perusahaan.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
214| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Konflik antara individu dengan perusahaan bersumber dari adanya beberapa tanah milik
individu anggota masyarakat yang dituduh berada dalam HGU perusahaan sehingga muncul
berbagai upaya perusahaan perkebunan untuk mengambil alih hak atas lahan tersebut,
seperti ganti rugi lahan yang kurang adil, munculnya teror melalui bandit-bandit sosial, yang
akhirnya memaksa individu menyerah dan menerima tawaran ganti rugi lahan yang tidak
adil tadi, tetapi ada juga pemaksaan pengambil alihan hak atas lahan yang dilakukan melalui
teror sosial oleh sekelompok oknum kaki tangan perusahaan sehingga individu tadi tidak
mendapat kompensasi apapun atas lahannya yang telah dialihkan haknya. Karena itu solusi
yang harus dilakukan untuk pemberdayaan individu tadi adalah advokasi hak,
pengembangan kapasitas/ kompetensi individu sehingga mereka lebih berdaya dalam
membela hak-haknya terhadap perusahaan perkebunan sawit.
Konflik lahan juga terjadi antara kelompok masyarakat dan perusahaan perkebunan
sawit.Konflik ini dipicu oleh adanya pengambil alihan lahan yang sudah dimanfaatkan
kelompok tani oleh perusahaan dengan dalih lahan tersebut sudah berada dalam wilayah
HGU perusahaan.Sementara kelompok masyarakat juga berdalih bahwa pemanfaatan lahan
tersebut dibenar secara hukum adat. Konflik ini biasanya bila tidak cepat ditangani akan
meluas pada munculnya konflik sosial, seperti pembakaran kamp perusahaan dan lainnya.
Solusi pemberdayaan yang perlu dilakukan untuk penanganannya antara lain: penguatan
posisi tawar petani, advokasi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, penguatan
kapasitas organisasi dan kelembagaan petani, pengembangan trust dan forum komunikasi
stakehorder sawit, pemberdayaan ekonomi melalui pengembangan kelembagaan usaha
ekonomi masyarakat, seperti koperasi.
Konflik lahan lainnya juga muncul antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan
sawit.Umumnya konflik ini muncul berasal dari adanya tumpang tindih hak atas lahan yang
telah dikeluarkan dan peruntukan lahan untuk lebih dari satu perusahaan.Selain itu,
persoaalan kesepakan tentang pengembangan Perkebunan Inti Rakyat juga masih
ditemukan perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan pihak pemerintah
setempat. Perbedaan pendapat ini tergantung pada cara menafsirkan Peraturan Menteri
Pertanian No. 26 Tahun 2007, menurut penafsiran pemerintah daerah seperti yang
diungkapkan oleh seorang pejabat perkebunan di Nagan Raya:
“Ada kewajiban pihak perkebunan terhadap rakyat sekitar kebun untuk
melakukan kemitraan, seperti (1) penguatan lembaga lokal (koperasi) dan
pembelian buah tandan segar dari masyarakat; dan (2) kemitraan membangun
kebun plasma sebesar 20 % dari luas kebun inti. Menurut dia, kebun plasma ini
lahannya disediaakan dari HGU perusahaan.Kemitraan ini mengharuskan
adanya keterlibatan pemerintah daerah, tetapi kenyataannya perusahaan
jarang melaporkan kegiatan tersebut, apalagi melibatkan pemerintah
daerah.Karenanya pemerintah daerah tidak mengetahui secara tepat
sejauhmana kemitraan tersebut diimplementasikan di lapangan.Contohnya,
pembangunan kebun plasma dengan Sofindo, dulu hampir berjalan tapi
sekarang tidak berjalan lagi karena ada tuntutan ganti rugi lahan plasma
sehingga perusahaan tidak melanjutkannya. Hal yang sama juga terjadi pada
pembangunan kebun plasma dengan PT Fajar Baizuri seluas 1500 ha. Jadi belum
ada kebun plasma yang sudah terimplementasi di Nagan Raya.Persoaalan lain
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
215
yang kami hadapi perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Nagan
Raya adalah mereka yang telah memiliki HGU lama, sehingga aturan tentang
syarat kemitraan kebun plasma, sifatnya adalah himbauan, bukan kewajiban
sehingga kami tidak bisa memaksakannya”.
SUMBER KONFLIK DAN MASALAH
Sumber
Konflik:
pengembalian
hak milik, ganti
rugi lahan,
kesenjangan
akses usaha
ekonomi, dan
persaingan
meraih
kesempatan
kerja
Sumber Konflik:
Sumber Konflik:
Pengembalian tanah
Pengembalian tanah
adat, pengembalian
adat, pengembalian
lahan garapan,ganti
lahan garapan, ganti
rugi lahan garapan,
rugi pembelian
perusakan tanaman,
lahan, perambahan
ketiadaan ijin dari
dan perusakan
pihak yang
tanaman, lemahnya
berwenang,
posisi tawar petani
dlm pemasaran
partisipasi inti plasma
PIHAK YANG BERKONFLIK
blm berjalan
Sumber Konflik:
Tumpang tindih
hak atas lahan,
kompetisi
pemasaran
produk sawit
rakyat,
peruntukan lahan
untuk lebih dari
satu perusahaan
Konflik
Konflik kelompok
Konflik
Konflik instansi
Individu
masyarakat
pemerintah dg
dengan Perusahaan
dengan
dengan
Perusahaan
PerusahaanALTERNATIF SOLUSI DALAMPEMBERDAYAAN
Perusahaan MASYARAKAT
Advokasi hak,
pelatihan
ketrampilan,
pengembangan
kapasitas/komp
etensi
Penguatan posisi
Pemberdayaan
masyarakat, forum
tawarpetani,
komunikasistakehor
Advokasi hak dan
der sawit,
kewajiban,
pengembangan,
penguatan kapasitas
kelembagaan usaha
organisasi petani,
ekonomi (misal
pengembangan trust
koperasi)
dankelembagaan
koperasi
OUTPUT
Good
Governance,
penegakan
hukum,
koordinasi lintas
sector/instansi
vertikal dan
horizontal
 Menguatnya pola interaksi yang asosiatif dan
melemahnya pola interaksi disasosiatif
masyarakat-perusahaan-pemerintah daerah
 Meningkatnya kapasiatas individu petani,
kelompok, dan kelembagaan masyarakat
 Kemadirian dan keberlanjutan ekonomi
masyarakat meningkat
 Kelestarian hutan kawan Rawa Tripa lebih
terjamin
Gambar 1. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Konflik dan Permasalahan Lokal
Sementara itu, menurut pihak perusahaan seperti yang diungkapkan oleh salah seorang
manager dan pemilik perusahaan perkebunaan adalah:
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
216| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
“Menurut pemahaman kami plasma itu melibatkan perusahaan kebun, Bank,
Pemerintah Daerah dan Masyarakat Calon Penerima. Lahannya disediakan oleh
pemerintah daerah, tidak mungkin dari lahan HGU kami karena kami bayar
pajak untuk 100% lahan, tetapi hanya memanfaatkan hanya 80%. Kemudian
modalnya disalurkan oleh Bank, penanggung jawabnya adalah perusahaan
perkebunan, dan jika sudah Break Even Point (pulang pokok), maka kebun
tersebut diserahkan kembali kepada petani calon penerima sesuai dengan akad
yang telah disepakati”. Tapi pada kenyataannya pemerintah daerah belum
menyiapkan lahan tersebut dan calon petani penerima program.Selain itu,
persoalan di lapangan juga tidak sehat karena adanya tuntutan ganti rugi dari
Rp 500.000 per hektar sampai 5.000.000 per hektar. Akibatnya, program plasma
ini tidak jadi dilanjutkan. Untuk itu, saya mengusulkan perlu adanya keseriusan
pemerintah daerah jika program plasma ini mau dilanjutkan, kami dari pihak
perusahaan akan mendukung dan mengikuti aturan yang ada”.
Apabila dilihat dari pernyataan kedua belah pihak tadi, ada kesalahan dalam menafsirkan
Peraturan Menteri Pertanian No. 26 Tahun 2007 tentang tatacara pelaksanaan kebun
plasma. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk solusi dalam upaya pengurangan konflik
antara pemerintah dengan perusahaan perkebunan maka perlu terciptanya Good
Governance, penegakan hukum, koordinasi lintas sektor/instansi vertikal dan horizontal.
Apabila sumber konflik dapat dicarikan alternatif solusinya dari pihak-pihak yang berkonflik,
maka akan berdampak pada: (1) menguatnya pola interaksi yang asosiatif dan melemahnya
pola interaksi disasosiatif masyarakat-perusahaan-pemerintah daerah; (2) meningkatnya
kapasiatas individu petani, kelompok, dan kelembagaan masyarakat; (3) meningkatnya
kemadirian dan keberlanjutan ekonomi masyarakat; dan (4) lebih terjaminnya kelestarian
hutan gambut Rawa Tripa.
Berdasarkan sisi pandangan masyarakat dapat diidentifikasi kebutuhan dan kompensasi
ekonomi yang diharapkan, kendala dan saran dalam kerangka menyusun model
pemberdayaan masyarakat di wilayah penelitian. Selanjutnya model pemberdayaan
masyarakat ini diharapkan dapat menjadi acuan hipotetik dalam implementasi nantinya di
lapangan. Beberapa indikator kebutuhan, kompensasi ekonomi dan pemberdayaan
masyarakat dilihat pada Tabel 17.
Apabila dilihat dari prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, maka hal yang penting
diperhatikan adalah berbasis kebutuhan dan potensi lokal. Berdasarkan sisi pandang
masyarakat ada beberapa kebutuhan yang diharapkan dari upaya pemberdayaan
masyarakat, antara lain: (1) pemenuhan kebutuhan terhadap faktor produksi, seperti modal
usaha dan bibit tanaman (67,12%); (2) pembentukan dan penguatan kelembagaan dan
pedampingan masyarakat secara berkelanjutan (20,55 %); dan (3) dalam bantuan dalam
bentuk penunjang lainnya tergantung pada saat implementasi pemberdayaannya.
Selanjutnya menurut responden, ada sejumlah potensi lokal yang perlu diperhatikan dalam
pemberdayaan, yaitu (1) peternakan dan perkebunan (79,45%); (2) lembaga adat; dan (3)
ketersediaan potensi lahan yang cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan,
hortikultura, dan kehutanaan dalam konservasi Rawa Tripa.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
217
Tabel 17. Kebutuhan, Kompensasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat
No.
Indikator Kebutuhan, Kompensasi Ekonomi dan
Pemberdayaan Masyarakat
1.
Kompensasi ekonomi dan kebutuhan yg diharapkan
bagi masyarakat yg ikut konservasi lahan gambut
Rawa Tripa
a. Bantuan modal usaha, bibit peternakan,
perikanan dan perkebunan
b. Membentuk UKM dan pendampingan bagi
masyarakat dalam waktu yang lama
c. Bantuan lainnya
2.
Potensi (SDM, SDA, Lembaga) yang dapat
dimanfaatkan untuk areal restorasi hutan dan
Ekosistem TPSF
a. Peternakan,perkebunan dan lembaga adat
pengawas pemanfaatan hutan
b. Adanya kelompok masyarakat dan lahan yang
cocok
3.
Dampak upaya menyelamatkan dan pelestarian hutan
di rawa tripa thd penghidupan masyarakat
a. Terjaganya ekosistem di lahan gambut rawa
tripa
b. Meningkatkan ekonomi karena lahan kembali
kepada rakyat
4.
Langkahyang tepat dalam pemberdayaan masyarakat
yg berdampak pada upaya menyelamatkan dan
pelestarian hutan dan lahan gambut di rawa tripa
a. Membentuk kelompok usaha kecil dan
menengah baik dibidang peternakan dan
perkebunan
b. Ada sosialisasi, pelatihan dan penyuluhan
tentang pentingnya hutan gambut
c. Budidaya tanaman perkebunan (Jabon,
mahoni dll), peternakan, palawija dan padi
Sumber: Data Primer
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
49
67,12
15
20,55
9
12,33
58
79,45
15
20,55
58
79,45
15
20,55
32
43,83
13
17,81
28
38,36
Masyarakat menilai apabila pemberdayaan berbasis kebutuhan dan potensi lokal dapat
dilakukan secara optimal, maka akan berdampak pada terjaganya ekosistem di lahan
gambut rawa tripa dan meningkatkan ekonomi karena lahan kembali kepada rakyat. Untuk
terwujudnya harapan tersebut, ada beberapa langkah yang disarankan responden: (1)
membentuk kelompok usaha kecil dan menengah baik di bidang peternakan dan
perkebunan, (2) adanya pelatihan, sosialisasi, dan penyuluhan tentang pentingnya hutan
gambut; dan (3) dikembangkannya budidaya tanaman perkebunan berbasis tanaman hutan
seperti: jabon, mahoni sehingga dapat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan di
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
218| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Ekosistem TPSF. Berdasarkan kebutuhan, potensi dan harapan masyarakat maka dapat
dirumuskan suatu model pemberdayaan masyarakat di Ekosistem TPSF (Gambar 2).
Skenario Restorasi dalam Mempertahankan Ekosistem TPSF
Pesatnya perkembangan perkebunan sawit di wilayah pantai barat Aceh, di satu pihak telah
membangkitkan gairah ekonomi masyarakat yang bergerak diperkebunan sawit.Banyak
lahan-lahan tidur yang dahulunya terbengkalai, namun sekarang sudah menjadi lahan
produktif untuk perkebunan sawit. Persoalan kemudian muncul ketika kebanyakan
pengembangan perkebunan kelapa sawit telah mengorbankan hutan di lahan dataran
rendah yang kaya biodiversity, temasuk hutan rawa gambut (World Bank, 2006; Koh L.P. dan
Ghazoul J., 2010). Perusakan hutan-hutan dataran rendah berkontribusi terhadap
perubahan iklim karena hutan-hutan tersebut menyimpan cadangan karbon sebesar antara
170 hingga 250 ton karbon per hektar (Malhi Y., et al, 2006; Chave J., et al, 2008; Lewis, et
al, 2009). Hutan-hutan tersebut juga sangat penting bagi keanekaragaman hayati,
khususnya orangutan.
Luas hutan gambut Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Kasus Rawa Tripa menjadi
dikenal di dalam dan luar negeri setelah PT. Kalista Alam, sebuah perusahaan besar
diberikan konsesi tanah atau Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah Aceh untuk
perkebunan kelapa sawit di Rawa Tripa termasuk ke dalam zona konservasi. Di samping itu,
ada beberapa perusahaan lain yang diberikan konsesi, seperti PT. Patriot Guna Sakti Abadi,
PT. Agra Para Citra, Glora Sawita Makmur, PT. Cemerlang Abadi, PT. Surya Panen Subur II,
dan PT Dua Perkasa Lestari. Menurut Irsadi Aristora (Deputi Manajer dari Transparency
International) bahwa pemberian konsesi lahan di Rawa Tripa untuk perusahaan kelapa sawit
dimulai sejak tahun 1980. Masalah dimulai ketika pemerintah Aceh memberikan konsesi
kepada PT. Kalista Alam untuk mengeksploitasi tanah melebihi daya dukung hutan rawa
gambut.Persoalan inilah kemudian mendorong sejumlah organisasi non-pemerintah
membentuk jaringan yang disebut TKPRT (Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa). Koalisi ini
dimulai pada tahun 2009 saat BPKEL (Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser)
diberitahu tentang konflik di Rawa Tripa dari For Trust (Forum Tata Ruang Sumatra) dan
TKPRT. Forum ini menjadi media berbagi informasi mengenai kondisi hutan dan masalah di
Rawa Tripa dengan tujuan untuk membantu melindungi hutan dan mengatasi masalah yang
ada.
Pemberian izin pemanfaatan lahan di Ekosistem TPSF telah memberikan dampak negatif
terhadap pelestarian hutan dan keberlangsungan kehidupan biodiversity. Seperti yang
diungkapkan salah satu tokoh masyarakat di Kuala Semanyam: “akibat pembukaan hutan
gambut Rawa Tripa, kami telah kehilangan sebagian mata pencarian, seperti populasi
kerang dan lembek (lele lokal) yang sudah menurun drastis. Kemudian apabila hujan lebat
sedikit sudah banjir, sebaliknya begitu beberapa minggu tidak hujan kami kekeringan.
Penghidupan kami menjadi lebih susah, rotan yang dahulu banyak tersedia, sekarang sudah
sulit mendapatkannya.” Menurut dia, salah satunya adalah sebagai akibat dari semakin
maraknya pembukaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan sawit, baik oleh
masyarakat maupun perusahaan perkebunan, dan yang paling luas rusaknya hutan gambut
rawa tripa itu adalah akibat pembukaan lahan oleh perkebunan besar di wilayah tersebut.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
219
Untuk itu, diperlukan skenario sebagai upaya menyelaraskan antara pengembangan
perkebunan sawit untuk peningkatan ekonomi masyarakat dengan pelestarian hutan
gambut Rawa Tripa yang kaya akan biodiversity. Ekosistem TPSF merupakan wilayah yang
terintegrasi dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang kaya akan keanekaragaman hayati dan
merupakan salah satu dari tiga hutan rawa gambut penting yang tersisa di Aceh. Restorasi
dalam mempertahankan Ekosistem TPSF dapat dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan
lahan-lahan tidur sebagai perkebunan kelapa sawit menggantikan lahan gambut di
Ekosistem TPSF.Dengan demikian, pengembangan perkebunan sawit maupun pelestarian
hutan untuk tujuan-tujuan pemeliharaan iklim dan keanekaragaman hayati dapat berjalan
secara sinergys dan saling menguntungkan.Dari sisi pandangan responden tentang skenario
dalam mempertahankan Gambut Rawa Tripa dapat dilhat pada Tabel 18.
Penelitian ini melihat ada 4 indikator dalam upaya mempertahankan lahan gambut Rawa
Tripa, yaitu: kebutuhan bagi masyarakat yang terkena dampak, kemudian ukuran
keberhasilan keterlibatan stakeholder dalam mengkonservasi lahan menjadi hutan gambut
di Ekosistem TPSF, kendala dan saran dalam mempertahankan lahan gambut Rawa Tripa.
Menurut sisi pandang responden hal yang mereka butuhkan dalam upaya mempertahankan
hutan di Ekosistem TPSF antara lain memberi modal usaha untuk membuka lahan baru di
luar kawasan lahan gambut Rawa Tripa (58,91%), sehingga perambahan lahan gambut dapat
dikurangi. Namun hal ini akan dapat terwujud jika beriringan dengan upaya penataan
kembali lahan HGU perusahaan dan mendorong adanya hutan adat masyarakat (41,09%).
Apabila HGU tidak ditata kembali, maka menurut masyarakat perambahan dan kerusakan
hutan akibat perkebunan besar jauh lebih parah daripada yang dilakukan masyarakat.
Masyarakat hanya butuh 2-3 ha untuk penghidupannya, sementara perusahaan perkebunan
besar butuh ribuan hektar untuk mencari keuntungan. Karena itu, kalau HGU tidak ditata
kembali maka kerusakan hutan gambut Rawa Tripa juga tidak terbendungkan.
Tabel 18. Skenario dalam Mempertahankan Lahan Gambut Rawa Tripa
No.
Indikator Skenario dalam Mempertahankan Lahan
Gambut Rawa Tripa
1.
Kebutuhan masyarakat/stakeholder yg terkena
dampak restorasi hutan gambut rawa-tripa
a. Memberi modal usaha dan membuka lahan
baru
b. Penataan kembali HGU lahan perusahaan,
mendorong adanya hutan adat masyarakat
Indikator keberhasilan keterlibatan stakeholder dan
masyarakat dalam mengkonservasi rawa tripa
a. Pengurangan HGU dan tidak mengeluarkan
izin HGU baru bagi perusahaan
b. Berkurangnya pembukaan lahan baru oleh
masyarakat dan perusahaan
c. Meningkatnya penanaman tanaman hutan
2.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
43
58,91
30
41,09
20
27,39
32
43,84
21
28,77
220| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
3.
4.
Kendala dalam restorasi di Lahan Rawa Tripa
a. Peran pemerintah kurang
b. Ketidakjelasan hukum, modal, Pengetahuan
Saranuntuk menyelamatkan dan pelestarian hutan
dan lahan gambut di rawa tripa
a. Perbaikan sistem manajemen pemerintah
agar teratur dan komitmen dalam menjaga
ekosistem di Ekosistem TPSF
b. Ada sosisalisasi dan penyuluhan tentang rawa
tripa (pentingnya hutan gambut bagi
masyarakat)
38
35
52,05
47,95
40
54,8
33
45,2
Sumber: Data Primer
Dilihat indikator keterlibatan masyarakat dalam mempertahankan lahan gambut Rawa Tripa
adalah semakin berkurangnya pembukaan lahan baru oleh masyarakat dan perusahaan
(43,84%) dan semakin meningkatnya penanaman tanaman hutan (28,77%). Makna dari data
ini, hal yang paling penting dilakukan adalah pencegahan dengan menghindari pembukaan
lahan gambut yang ada akibat sudah dimanfaatkan, terutama untuk perkebunan sawit.
Menurut sudut pandang masyarakat kendala yang dihadapi dalam restorasi lahan gambut di
Ekosistem TPSF antara lain: kurangnya peran pemerintah (52,05%), dan ketidakjelasan
hukum bagi pelanggarnya (47,95%). Pemerintah daerah dinilai agak pasif dalam
mensosialisasi dan mengemukakan akan petingnya pemeliharaan lahan gambut. Begitu
juga, lemahnya penegakan hukum mengakibat tidak ada efek jera bagi
pelanggarnya.akhirnya mereka berani merambah Ekosistem TPSF meskipun belum
mendapatkan hak secara hukum.
Sehubungan dengan kebutuhan dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan adanya
langkah langkah dalam upaya mempertahankan Ekosistem TPSF. Menurut pendapat
responden langkah-langkah yang diperlukan dalam mempertahankan Ekosistem TPSF,
antara lain: (1) perbaikan sistem manajemen pemerintah agar teratur dan komitmen dalam
menjaga ekosistem di Ekosistem TPSF (54,8%); (2) perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan
tentang rawa Tripa (pentingnya hutan gambut bagi masyarakat). Berdasarkan kebutuhan
dan kendala dalam upaya mempertahan hutan gambut Rawa Tripa, maka disusun sebuah
model pemberdayaan dan skenario restorasi dalam mempertahankan Ekosistem TPSF (lihat
Gambar 2).
Gambar 2 menunjukkan bahwa model pemberdayaan masyarakat dan skenario restorasi
dalam mempertahankan hutan gambut rawa tripa yang dikembangkan ke depan dengan
melibatkan petani, pemerintah daerah dan pihak swasta (perusahaan perkebunan sawit).
Apabila hanya melibatkan petani, sementara tidak melibatkan pemerintah dan perusahaan
perkebunan maka upaya mempertahankan hutan gambut rawa tripa tetap tidak akan
optimal. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem inti-plasma merupakan salah strategi
yang melibatkan petani, pemerintah, perusahaan perkebunan, lembaga mitra/LSM, dan
perbankan sebagai pendukung pendanaan.
Supaya pengembangan perkebunan sistem inti-plasma dapat dilaksanakan secara optimal,
maka perlu terlebih dahulu mengidentifikasi: (1) permasalahan, meliputi: ketersediaan
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
221
lahan, modal usaha, mekanisme pemberdayaan yang dapat menawarkan solusi tertentu
untuk memecahkan masalah tertentu, (2) transfer inovasi dan manajemen bidang
perkebunan sawit dari perusahaan ke petani sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal,
dan (3) penguatan lembaga lokal, seperti koperasi untuk mendukung keberlanjutan dan
kerjasama dengan lembaga mitra.
UU, Aturan, Kebijakan Dan Program
Pemerintah
Kondisi Eksisting: Perbenunan
Sawit Rakyat dan Perusahaan
Besar
Aspek Penguasaan Lahan
Aspek Potensi Perkebunan
Aspek Tekhnologi
Aspek Kelembagaan dan Sosial
Budaya
- Aspek Ekonomi, Agroindistri dan
Pemasaran
- Aspek Sumberdaya Manusia
Petani
-
Lembaga
mitra/LSM
Pemerintah
Pemberdayaan Masy
melalui Sistem
Inti-Plasma
Petani
lokal
Kebutuhan
dan potensi
lokal
Natural Resource Manajemen
- Collective Management
- Individu Management
Perkebun
an sawit
Out Comes
- Menguatnya Pola interaksi
asosiatif masyarakatperusahaan perkebunan
sawit
- Produktivitas Perkebunan
Sawit Rakyat Meningkat
- Kemandirian Ekonomi Lokal
dan Petani Meningkat
- Terperbaikinya konservasi
dan degradasi hutan di
ekosistem gambut Rawa
Tripa
Orientasi
Perusahaan dan
Keberlanjutan Usaha
Gambar 2. Model Pemberdayaan Masyarakat dan Skenario Restorasi Gambut Rawa Tripa
Setelah mengindentifikasi berbagai masalah dan potensi, maka selanjutnya perlu koordinasi
dan sinergysitas antara pihak-pihak yang terlibat, yaitu: petani, LSM, pemerintah, dan
perusahaan perkebunan sawit peningkatan ekonomi tanpa mengorbankan pelestarian
hutan lahan gambut Rawa Tripa dan biodiversity. Terkait dengan hal tersebut, perubahan
perilaku petani dan perusahaan perkebunan sawit harus diarahkan untuk mengubah kondisi
eksisting perkebunan sawit (aspek penguasaan lahan, aspek potensi perkebunan, aspek
tekhnologi, aspek kelembagaan dan sosial budaya, aspek ekonomi, agroindistri dan
pemasaran, dan aspek sumberdaya manusia) untuk peningkatan produktivitas hasil
perkebunan sawit yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani dan ekonomi
lokal, dan perbaikan degradasi sumberdaya alam (pelestarian hutan lahan gambut Rawa
Tripa dan biodiversity).
Pemberdayaan sistem perkebunan inti-plasma akan optimal harus didukung oleh kebijakan
dan peraturan pemerintah yang kondusif di sektor perkebunan sawit, oleh orientasi
perusahaan perkebunan sawit, dukungan LSM, dukungan perbankan, dan perubahan
perilaku petani. Kebijakan pemerintah yang memberi peluang investor di sektor
perkebunan besar tanpa mempertimbangkan daya tgampung lahan, maka akan
menimbulkan kekuatiran terhadap dampak lingkungan berupa perubahan iklim. Oleh sebab
itu, strategi pemberdayaan yang harus dikembangkan ke depan adalah bagaimana
mengadvokasi pemerintah supaya kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan berpihakan
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
222| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
pada upaya-upaya pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan, yaitu untung secara
ekonomi, terhindar dari konflik sosial dan tidak merusak kelestarian lingkungan.
Di sisi lain, strategi pemberdayaan juga harus mendorong pihak perusahaan perkebunan
untuk mencapai outcome yang diharapkan. Pihak swasta memiliki pengaruh besar terhadap
kemajuan ekonomi petani. Apabila pihak perusahaan perkebunan hanya berorientasi pada
keuntungan jangka pendek, maka akan terancam pelestarian hutan dan biodiversity. Oleh
sebab itu, pemberdayaan yang dilakukan harus mampu mengubah perilaku pihak
perusahaan perkebunan untuk berorientasi keuntungan jangka panjang dan keberlanjutan
usaha melalui sharing keuntungan yang adil dengan petani dan pelestarian hutan gambut di
Rawa Tripa dengan menyisakan luasan lahan untuk dikonservasi menjadi hutan gambut.
Apabila pemberdayaan terhadap petani, pemerintah dan perkebunan sawit dapat dilakukan
secara seimbang dan didukung dengan pihak perbankan dan lembaga mitra/LSM, maka
akan dapat mengubah kondisi eksisting pertanian Aceh menuju pencapaian outcome yang
lebih baik, yaitu: (1) menguatnya pola interaksi asosiatif masyarakat-perusahaan
perkebunan sawit, (2) produktivitas perkebunan sawit rakyat meningkat, (3) kemandirian
ekonomi lokal dan petani meningkat, dan (4)terperbaikinya konservasi dan degradasi
hutan di Ekosistem TPSF. Sehubungan dengan hal tersebut, peran lembaga mitra (LSM) dan
perguruan tinggi seperti Unsyiah sangat diharapkan dalam upaya ikut serta dalam upaya
restorasi dan mempertahankan hutan gambut Rawa Tripa untuk terpeliharanya pelestarian
hutan dan biodiversity guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan pada
masa mendatang.
J. Lembaga Lokal dan Lembaga Kemitraan dalam Konservasi Ekosistem
HutanRawa Gambut Tripa
Masyarakat Aceh memiliki lembaga fungsional adat yang berfungsi untuk mengatur tata
cara pembukaan hutan dan pemanfaatannya untuk kegiatan pertanian, yaitu Pawang
Uteun.Pada masa dahulu lembaga ini sangat berperan untuk menentukan di mana saja
hutan yang boleh dibuka dan dimanfaatan dan bagaimana tata cara pemanfaatannya
dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Namun setelah pemerintah
Orde Baru memberlakukan UU No.5 Tahun 1979 tentang Penyeragaman Pemerintahan
Desa, maka fungsi lembaga Pawang Uteun ini mulai melemah dan kurang mendapat
pengakuan di tengah kuatnya hukum positif. Akibatnya, tidak ada lagi tata aturan
pemanfaatan hutan yang diputuhi bersama oleh masyarakat lokal.Kondisi ini diperparah
dengan keluarnya sejumlah HGU pada masa Orde Baru yang mengabaikan keterlibatan
lembaga lokal sehingga banyak terjadi tumpah tindih hak dalam pemanfaatan lahan.Hak-hak
adat diakui tapi diabaikan, sementara yang diacu adalah hak berdasarkan hukum
positif.Semakin lemahnya lembaga adat lokal ini menyebabkan eksploitasi sumberdaya
hutan kurang terkendali, terutama oleh orang luar yang hak pemanfaatan hutan diperoleh
dari pemerintah pusat, tanpa melibatkan lembaga lokal.Berbagai peristiwa bencana alam
akibat kerusakan lingkungan menyadarkan pemerintah dan pihak terkait bahwa perlunya
menguatkan kembali lembaga lokal dalam mengurangi kerusakan lingkungan.
Selain itu, seringnya muncul konflik antara komponen masyarakat lokal dengan pihak
perusahaan perkebunan akibat ketimpangan ekonomi antara masyarakat dengan
perkebunan dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah telah melahirkan
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
223
gagasan akan pentingnya lembaga mitra untuk membantu mengatasi konflik dan kerusakan
likungan di Ekosistem TPSF. Hasil penelitian dan informasi dari lapangan bahwa sudah
berkurang keberadaan lembaga lokal dan lembaga kemitraan yang benar-benar fokus dalam
upaya rehabilitasi Ekosistem TPSF.
Ada beberapa lembaga mitra yang bergerak untuk menyelamatkan lahan Gambut di
Ekosistem TPSF atas dukungan pendanaan dari luar negeri. Salah satunya adalah Yayasan
Ekosistem Lestari sebagai lembaga implementasi proyek yang didanai oleh PanEco
Fondation dan didukung oleh Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) serta pemangku
kepentingan lainnya. Proyek tersebut dimulai Mai 2009 dengan nama “Studi percontohan
untuk Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Tidur Sesuai dengan Pedoman RSPO, dalam Konteks
Pengalihan Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit yang Mengancam Hutan Rawa Gambut Pesisir
yang Terakhir yang Tersisa di Aceh”. Proyek ini melibatkan lembaga mitra Biodiversity and
Agricultural Communities Program (BACP), The World Agro Forestry Center (ICRAF), PT Sofin
Indonesia, Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (Lesos), dan PanEco dan Yayasan
Ekosistem Lestari (YEL). Disamping itu, ada juga melibatkan beberapa organisasi lain untuk
penyelamatan Rawa Tripa yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa
(TPKRT) yang terdiri dari Walhi Aceh (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), TII Aceh
(Transparency International Indonesia), KuALA (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh), Green
Journalists, Yayasan Pena (Peduli Nanggroe Aceh), Uno Itam, JKMA (Jaringan Komunitas
Masyarakat Adat), YEL (Yayasan Ekosistem Lestari), dan Koalisi NGO HAM. Tanggapan
masyarakat terhadap keberadaan lembaga lokal dan lembaga kemitraan yang terlibat dalam
perbaikan pelestarian Ekosistem TPSF dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Lembaga Lokal dan Lembaga Mitra di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa
No.
Indikator Pengembangan Kelembagaan Lokal dan
Lembaga Kemitraan
Pengembangan
kelembagaan
yang
dapat
berkontribusi dalam mengkonservasi rawa tripa
a. Penguatan pawang hutan dan hukum adat hutan
b. Pembentukan kelompok masyarakat
2.
Lembaga lokal/lembaga mitra yang dilibatkan untuk
ikut serta dalam perbaikan hutan dan lahan gambut
rawa tripa
a. Pawang uteun, kelompok tani, aparat desa
b. YEL (yayasan ekosistem lauser)
c. PNPM, Lembaga Kepemudaan
Sumber: Data Primer
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1.
42
31
57,53
42,47
47
11
15
64,39
15,06
20,55
Keberadaaan lembaga lokal fungsional adat masih diharapkan masyarakat dalam upaya
konservasi lahan Rawa Tripa.Hasil penelitian menunjukkan 57,53% responden menyatakan
perlunya penguatan Pawang Uteun dan hukum adat hutan dalam upaya pelestarian dan
konservasi hutan di Ekosistem TPSF. Sementara itu, lembaga yang dinilai responden ikut
berperan terlibat dalam perbaikan hutan dilahan Rawa Tripa sebagian besarnya masih
berasal dari lembaga lokal, seperti pawang uteun atau kelompok tani (64,39%) dan lembaga
yang didirikan untuk pembangunan desa PNPM dan Lembaga Kepemudaan (20,55%).
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
224| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Sementara lembaga mitra dari luar yang dinilai ikut terlibat adalah Yayasan Ekosistem
Leuser (YEL). Salah satu hasil advokasi yang dilakukan YEL bersama lembaga lokal adalah
dicabutnya izin pemanfaatan lahan di Ekosistem TPSF dari PT. Kalista Alam sekitar seluas
1.600 ha. Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat melalui lembaga lokal
dapat membuahkan hasil yang optimal apabila didukung oleh lembaga mitra yang
kuat.Karena itu, perlu secara berkelanjutan dibangun kemitraan yang sinergi antara
lembaga lokal dan lembaga mitra dalam upaya memperbaiki dan mengkonservasi kembali
lahan Ekosistem TPSF.
K. Evaluasi Kelayakan Perkebunan Kelapa Sawit versus Restorasi Hutan
Pada saat ini, keadaan penerapan teknologi yang ada, harga pasar, kemampuan dan
ketrampilan masyarakat dalam budidaya sawit, berubahnya kecendrungan usaha pertanian
ke monokultur sawit, dukungan lembaga keuangan, pengembangan kelapa sawit sulit
dibatasi baik yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar, maupun perkebunan
rakyat. Analisis finansial studi kelayakan sawit menunjukkan bahwa tingkat pengembalian
modal atas investasi (IRR) di atas 30%, benefit cost rasio di atas 2,5, payback period pada
tahun ke 12, investor akan bersedia menanamkan modalnya pada sawit. Banjir yang
menggenangi kebun sampai 12 hari belum begitu berbahaya bagi tanaman sawit,
dibandigkan dengan tanaman pangan atau tanaman kakao. Keunggulan kriteria investasi
dan rendahnya risiko serangan hama, penyakit dan banjir, serta harga CPO yang terus
meningkat membuat investor besar maupun kecil terus berupaya mencari lahan untuk
membuka kebun sawit. Lahan gambut di bawah 3 meter lebih baik diusahkan tanaman
kelapa sawit dari pada tanaman lain, secara agroklimat. Bahkan lahan gambut di atas 3
meter, investor masih bersedia mengusahkan sawit, sungguhpun di lapangan secara faktual
terlihat banyak pohon sawit yang tumbuh miring akibat dukungan tegakannya tidak kuat,
sehingga produksi TBS per pohon berkurang.
Sungguhpun sawit baru berproduksi pada tahun keempat, petani dengan modal tidak besar
pun telah bersedia mengusahakan sawit di sekitar perkebunan besar.Mereka bersedia
menjadi buruh harian lepas di perusahan untuk memperoleh pendapatan sambil menunggu
tanaman sawit menghasilkan. Keinginan masyarakat dan perusahaan untuk
mengembangkan sawit tersebut tentu akan mendesak dan melenyapkan keberadaan
Ekosistem TPSF.
Penggunaan lahan gambut di atas 3 meter, dalam jangka sangat panjang, misalnya 100
tahun lebih, di mana lapisan gambut akan terus menipis sampai mencapai dasar tanah. Jika
lahan gambut tempat pengusahan sawit sekarang tergenang permanen, barulah sawit tidak
dapat diusahakan lagi.Keadaan klimaks inilah yang secara finansial, ekonomi, dan prospek
pasar dapat mengalahkan investasi sawit. Kalau genangan permanen di kebun sawit ini tidak
jadi, maka usaha sawit akan tetap lebih menguntungkan dari pada mengusahakan tanaman
lain.
Hasil Kajian 2 mengusulkan hutan diperluas dari 13.447,81 Ha menjadi 30,455.45 Ha,
kebun sawit diusulkan pengurangan luas dari 32.484,96 Ha menjadi 20.477,32 Ha,
sementara kebun campuran, tanaman pangan dan pemukiman luasnya tetap, yaitu
14,724.51 Ha. Kajian 2 juga menjelaskan bahwa Benefit-Cost ratio dengan pendekatan TEV
adalah 143,1 sementara dengan pendekatan DUV menghasilkan Benefit-Cost ratio 0,7.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
225
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian sosial ekonomi kehidupan masyarakat di Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Tripa (TPSF), maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Masyarakat yang menetap di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa terdiri dari
penduduk asli dan pendatang. Pendatang sebagian besar berasal dari daerah yang
berdekatan dengan Ekosistem TPSF, seperti dari dari kecamatan-kecamatan yang di
Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Barat, dan sebagian
kecil ada pendatang dari Sumatera Utara dan daerah Jawa. Umumnya mereka datang
ke kecamatan dalam Ekosistem TPSF adalah untuk mencari pekerjaan, melakukan
perdagangan atau melakukan hubungan perkawinan.
2.
Penduduk angkatan kerja di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya
relatif lebih banyak, masing-masing 67,34%, dan 57,86%. Sebahagian besar mereka
mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian dan perkebunan.
3.
PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya terbesar disumbangkan ole sektor
pertanian, masing-masing 45,04% dan 30,20%.
4.
Kondisi prasarana dan sarana di lokasi penelitian relatif baik. Jalan sudah dapat dilalui
dengan kenderaan roda 4, dan jenis jalan aspal beton lebih sedikit dibandingkan
dengan jenis jalan tanah yang diperkeras. Prasarana komunikasi sudah ada warung
telekomunikasi, semua desa telah dapat dihubungi dengan HP. Jaringan PLN telah
tersambung ke semua desa untuk memenuhi penerangan di rumah tangga. Prasarana
dan sarana kesehatan sudah tersedia yang terdiri dari Puskesman, Puskesmas
Pembantu, Poliklinik, Balai Pengobatan, Praktek Dokter, dan Bidan serta Posyandu. Air
minum minum masyarakat sebagian besar berasal dari sumur dan sebagian kecil sudah
ada perusahaan air minum/air isi ulang. Bahan bakar yang digunakan rumah tangga
untuk memasak sebagian besar menggunakan kayu bakar, diikuti oleh penggunaan gas
dan minyak tanah. Umumnya penanganan sampah rumah tangga dibuang di tanah
pekarangan.Untuk kepentingan pendidikan, sekolah dasar tersedia hampir setiap desa.
5.
Penggunaan lahan di Ekosistem TPSF terluas adalah lahan kering/tegalan, kemudian
diikuti untuk penggunaan pemukiman dan sawah. Tinggi dan stabilnya harga sawit
ditambah dengan masuknya perusahaan besar yang mengusahakan tanaman kelapa
sawit sudah mendesak penggunaan lahan pertanian lainnya, seperti sawah,
perkebunan kakao dan karet.
6.
Komoditas unggulan dari kelompok perkebunan adalah kelapa sawit, diikuti karet dan
kakao. Komoditas unggulan dari kelompok tanaman pangan adalah padi, diikuti oleh
kedelai dan jagung di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur, sementara di
Kecamatan Babah Rot adalah padi, kacang tanah dan kacang hijau. Untuk kelompok
tanaman sayur, komoditas unggulannya adalah kacang panjang, dan kelompok buahbuahan, komoditas unggulan adalah mangga dan durian. Komoditas unggulan dari
kelompok peternakan adalah sapi, diikuti oleh kambing/domba dan kerbau.Komoditas
unggulan dari kelompok perikanan didominasi oleh perikanan tangkap.Lele alam
sebagai produk unggulan dari kelompok perikanan darat di Ekosistem TPSF menurun
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
226| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
drastis sehubungan dengan pesatnya perluasan kebun kelapa sawit.Produk ikutan dari
kelompok kehutanan, seperti madu alam dan rotan tidak terdapat lagi sehubungan alih
fungsi lahan dari hutan ke perkebunan sawit.
7.
Pola Interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit di daerah penelitian
umumnya bersifat pola interaksi diasosiatif, yang diindikasikan oleh adanya konflik
penguasaan lahan antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat sekitarnya, termasuk
lahan yang disengketakan dan dicabut izin pemanfaatannya seluas sekitar 1600 ha oleh
Pemerintah Aceh di Ekosistem TPSF. Sementara jarang terjadi kasus konflik atau
kecemburuan sosial antara penduduk pribumi dan tenaga kerja pendatang. Penduduk
asli berpendapat bahwa mereka tidak ada masalah dan terbuka dengan kedatangan
tenaga kerja profesional dari luar, mereka menyadari kelemahan SDM lokal untuk
menduduki posisi penting di perusahaan perkebunan. Namun mereka berharap
seharusnya pihak perusahaan perkebunan bersedia melepaskan lahan-lahan di sekitar
perkampungan untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
setempat minimal 2 ha per Kepala Keluarga. Dengan demikian mereka dapat hidup
berdampingan, saling mendukung dan saling menguntungkan dengan perusahaan
perkebunan besar.
8.
Pola hubungan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit juga
berbentuk asimetris (tidak seimbang) yang diindikasikan dengan perusahaan
perkebunan berada pada pihak yang kuat mengabaikan hak dan kepentingan ekonomi
masyarakat setempat. Akibatnya muncul perilaku anarkis masyarakat terhadap fasilitas
yang dimiliki pihak perkebunan.Persoalan utama yang dikeluhkan masyarakat sekitar
HGU adalah HGU yang diberikan pemerintah kepada perusahaan perkebunan besar
kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan ekonomi dari masyarakat sekitarnya
sehingga muncul konflik sosial yang merugikan pembangunan ekonomi daerah dan
masyarakat.
9.
Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di
daerah penelitian ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Persepsi
positif umumnya diungkapkan oleh mereka yang merasa adanya keuntungan akibat
kehadiran perusahaan perkebunan sawit, diterimanya sebagai karyawan, pekerja lepas,
dan kemudahan akses ekonomi lainnya. Sementara itu, persepsi negatif terhadap
perusahaan perkebunan sawit umumnya diungkapkan oleh mereka tanahnya
berdekatan dengan HGU dan berkonflik dengan perusahaan, kurang puas terhadap
ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Kegiatan pertanian
tanaman pangan terganggu oleh serangan hama babi dan hama lainnya. Persepsi
masyarakat adanya gangguan hama ini disebabkan oleh kerusakan Ekosistem TPSF,
sehigga hama tersebut masuk lahan pertanian masyarakat.
10. Lahan sebagai salah satu faktor produksi yang penting untuk mendukung penghidupan,
masyarakat memperolehnya dengan cara membuka lahan berdasarkan surat adat,
adanya bantuan pemerintah untuk membangkit ekonomi masyarakat, melalui harta
warisan, dan membeli lahan dari sesama anggota masyarakat.
LAPORAN UTAMA
SOSIAL EKONOMI KEHIIDUPAN MASYARAKAT|
227
11. Kesediaan melepaskan lahan untuk merestorasi hutan di Ekosistem TPSF, sebagian
mereka setuju kalau ada lahan pengganti sebagai tempat penghidupan, dan mereka
berpartisipasi langsung dalam program restorasi.
12. Analisis finansial studi kelayakan sawit pada Ekosistem TPSF menunjukkan bahwa
tingkat pengembalian modal atas investasi (IRR) di atas 30%, benefit cost rasio di atas
2,5, payback period pada tahun ke 12, investor lebih bersedia menanamkan modalnya
pada perkebunan kelapa sawit. Harga CPO yang cenderung terus meningkat membuat
pengusahaan tanaman kelapa sawit lebih menguntungkan daripada pengusahaan
tanaman lainnya. Penggunaan lahan gambut di atas 3 meter, dalam jangka waktu
sangat panjang, misalnya 100 tahun lebih atau setelah 3 periode pemberian izin HGU
untuk kelapa sawit, di mana lapisan gambut akan terus menipis sampai mencapai dasar
tanah. Sewaktu lahan gambut tempat pengusahaan tanaman kelapa sawit sekarang
tergenang permanen, barulah sawit tidak dapat diusahakan lagi, dan mulai saat itu
tidak ada lagi nilai ekonomi dari lahan tersebut.
13. Dalam skenario memperluas areal hutan, perbandiangan manfaat-biaya dengan
pendekatan TEV adalah 143,1 dan pendekatan DUV adalah 0,7
B. Rekomendasi
1. Aspek ekonomi, ekologi dan sosial perlu dilakukan pengelolaan secara integratif dengan
mempertimbangkan komponen sumberdaya lokal pada ekosistem setempat, agar
pengembangan perkebunan kelapa sawit pada berbagai lahan yang ada dapat dilakukan
secara berkelanjutan, tanpa merusak kelestarian lingkungan dan menggangu
pengusahaan pertanian pangan rakyat setempat.
2. Pemberian atau perpanjangan HGU kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit ke
depan harus mempertimbangkan hak-hak adat dan nilai teritorial daerah yang
berdekatan dengan pemukimam dan perkampungan untuk membangun pola interaksi
yang positif/asosiatif antara perusahaan dan masyarakat. Sangat dianjurkan
pelakasanaan pembangunan kebun plasma masyarakat seperti yang diisyaratkan oleh
Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan
Masyarakat setempat Melalui Kemitraan Kehutanan.Untuk itu, perlu dilakukan
sosialisasi dan advokasi kepada stakeholder sehingga pemberdayaan masyarakat
setempat sesuai Peraturan Menteri Kehutanan RI tersebut.
3. Upaya konservasi lahan Gambut Rawa Tripa harus melibatkan ketiga komponen utama
secara simetris (seimbang), yaitu Pemerintah Daerah Nagan Raya; Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit yang beroperasi di daerah penelitian; dan masyarakat lokal.
Kemudian membentuk lembaga mitra pengawasan bersama untuk memastikan bahwa
upaya konservasi dapat diimplementasikan dan dipatuhi oleh semua pihak terkait.
4. Perlu dilakukan penguatan dan pembinaan terhadap lembaga lokal “Pawang Uteun”
sebagai lembaga fungsional adat lokal dan “Lembaga Mitra (LSM) terpilih” berdasarkan
indikator yang disepakati untuk memastikan bahwa pelaksanaan kesepakatan
pemerintah daerah, perusahaan perkebunan sawit, dan masyarakat lokal dalam
konservasi lahan Gambut Rawa Tripa dapat diimplementasikan secara optimal.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa
Universitas Syiah Kuala
228| SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
5. Pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di atas 3 meter harus
mempertimbangkan nilai ekonomi lahan dalam jangka waktu yang sangat panjang, yaitu
di atas 100 tahun, atau setelah 3 periode pemberian HGU tanaman kelapa sawit. Karena
mengembalikan lahan tersebut ke keadaan semula atau mengalihkan lahan tersebut ke
usaha lain sudah tidak memungkinkan lagi (irreversible).
DAFTAR PUSTAKA
Assili, N.M, and James H.F. 1982. Planning Communication Support for Rural Development
Campaigns. Thailand: UNDP/DTCP Publication.
Blanchard, K., P.C. John, dan R. Alan. 1998. Pemberdayaan Memerlukan Waktu Lebih Dari
Semenit (terjemahan oleh Zoelkifli Kasip). Jakarta: Penerbit Interaksara.
Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku. Jakarta:
Penerbit Arcon.
Cooley, G. Social Organization, New York: Charles Scriber’s Sons
Dasgupta, P., dan I. Serageldin, 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington
D.C.: The World Bank.
Doyal, L. and Ian G. 1991. A Theory of Human Need. London: MacMillan Education, Ltd.
Eriklane, J. 1995. The Public Sector: Concept, Models, and Approach. SAGE.
Herbert, P. 2001. The DAC Guidelines Poverty Reduction.
Hjelle, L.A., dan D.J.Ziegler., 1992. Personality Theories: Basic Assumptions, Research, and
Applications. (Third Edition). New York: McGraw-Hill, Inc.
Iskandar, A. 2007.Model dan Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin di kabupaten
Bogor.Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan sosial.
Just, R.E., dan R.D. Pope. 1979. “Production Function Estimation and Related Risk
Considerations.” Amirican Journal of Agricultural Economics. 61 (2).
Kartasasmita. 1996. Bias Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Bappenas.
Kerlinger, F. N. 1973.Fondatiaons of Behavioral Research (Edisi Kedua). New York: Holt.
Renehart and Winston, Inc.
Krech, D., S.C.Richard, dan L.B. Egerton., 1962. Individual in Siciety. New York: McGraw-Hill
Book Company, Inc.
Maslow, A. H. 1984.Motivasi dan Kepribadian (terjemahan). Jakarta: PT. Pustaka Binaman
Pressindo.
Rogers, E.M and F.F. Shoemaker, 1971. Communication of Innovation, New York: Free Press.
Schramm, W. 1977. Azas-Azas Komunikasi Antar Manusia, Jakarta: LP3ES
UNDP dan Unsyiah, 2007. Assessment Pelaksanaan Program Livelihoods Oleh Beberapa
Mitra UNDP. Banda Aceh (Laporan Internal).
World Bank (Aceh Public Expenditure Analysis Update-APEA). 2008. Managing Reources for
Better Outcomes in a Special Autonomy Region. World Bank.
LAPORAN UTAMA
Download