BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan pengembangan dirinya secara utuh sosial yang sebagaimana memungkinkan manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat) menyatakan bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Pada tahun 2004, DPR telah mensahkan UU No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut mengatur jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan bagi pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua dan pensiun serta jaminan kematian. Sejak tahun 2002 Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas (sebelumnya: Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan) telah melakukan 1 kajian awal mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial yang pada intinya berupaya untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Pada tahun 2003 juga melakukan kajian SPJS dengan keluaran suatu rekomendasi “Desain Sistem Perlindungan Sosial yang terpadu”. Pada tahun 2004 dilanjutkan dengan melakukan kajian Sistem Perlindungan Sosial termasuk strategi pelaksanaannya khusus bagi penduduk miskin. Dalam implementasi sistem SPS tersebut, pemerintah dan masyarakat (melalui kearifan lokal) diharapkan dapat bersama-sama menanggung pendanaan sistem tersebut. Kajian tersebut menyusun strategi dan kebijakan perlindungan sosial, prioritas pelayanan, serta skema bantuan sosial bagi penduduk miskin. Selanjutnya, pada tahun 2004, Bappenas memperoleh bantuan teknis melalui dana hibah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu Sustainable Sosial Protection Technical Assistance – SSPTA. Tujuan SSPTA adalah untuk membantu Pemerintah menyiapkan kerangka kebijakan dalam rangka pengembangan sistem perlindungan sosial yang terintegrasi, dengan berfokus pada penduduk miskin dan rentan. Keluaran yang diharapkan termasuk kebijakan jangka menengah dan jangka panjang, strategi, intervensi, dan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan prinsip desentralisasi. Upaya tersebut dilanjutkan pada tahun 2005 dengan melanjutkan kajian sistem perlindungan sosial tetapi dengan fokus bagi penduduk rentan. Dalam kajian ini akan dilakukan identifikasi penduduk rentan. Secara umum penduduk rentan dimaksudkan sebagai penduduk yang hampir miskin (near poor). Karakteristik penduduk rentan seperti itu memerlukan perlindungan sosial karena ada risiko-risiko sosial dan 2 ekonomi yang dapat mengakibatkan penduduk rentan menjadi miskin. Kebijakan dan strategi perlindungan sosial bagi penduduk rentan mencakup tiga aspek yaitu: - mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang telah dan layak secara ekonomis dilakukan oleh pemerintah; - mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal; dan - memperkuat dukungan keluarga dan masyarakat. Melalui kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan dalam menentukan arah Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial (SPS), khususnya skema jaminan sosial bagi penduduk rentan. 1.2 Tujuan Tujuan umum studi ini adalah memberikan rekomendasi tentang Sistem Perlindungan Sosial (SPS), khususnya bagi penduduk rentan yang dapat dan harus segera dilakukan dalam rangka mencegah penduduk rentan menjadi miskin akibat kejadian yang timbul seperti sakit, kehilangan pekerjaan, atau perubahan lingkunan ekonomi. Namun karena pada dasarnya sistem perlindungan sosial sifatnya adalah menyeluruh bagi semua penduduk maka uraian tentang sistem perlindungan sosial dalam kajian ini tetap memperhatikan aspek keseluruhan penduduk, dengan memberikan penekanan terhadap penduduk rentan. Secara khusus studi ini bertujuan untuk: (a) Menelaah konsep penduduk rentan; (b) Menelaah kebijakan perlindungan sosial baik dalam bentuk jaminan sosial secara luas, termasuk bantuan sosial, utamanya terkait dengan penduduk rentan; 3 (c) Menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindugan sosial bagi penduduk rentan; (d) Merumuskan dan merekomendasikan kebijakan dan programprogram perlindungan sosial dalam rangka mencegah dan melindungi penduduk rentan dari kehidupan yang lebih buruk; dan (e) Melakukan sosialisasi SPS bagi Penduduk Rentan di beberapa kabupaten/kota. 1.3 Metodologi a. Metode Penulisan Sistem Perlindungan Sosial bagi Penduduk Rentan ini dilaksanakan setelah dilakukan beberapa metode kajian antara lain berupa studi literatur dan diskusi kelompok terbatas (focus group discussion, FGD). Selanjutnya hasil studi literatur tersebut dikombinasikan dengan hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan secara bertahap. Agar hasil studi ini juga sesuai dengan kondisi di daerah maka konsep yang telah disusun melalui studi literatur dan FGD di tingkat pusat juga didiskusikan melalui FGD di tingkat daerah (kabupaten/kota). Dengan demikian diharapkan apa yang dihasilkan dalam studi ini juga mempertimbangkan kabupaten/kota. Hal aspek ini pengelolaan penting apalagi kebijakan jika di dikaitkan tingkat dengan desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini telah berlangsung. b. Tahap Kegiatan - Melakukan pengumpulan bahan berkaitan dengan kemiskinan, penduduk rentan, dan perlindungan sosial; - Melakukan identifikasi kriteria penduduk rentan dan penyusunan indikator tentang penentuan sasaran penerima 4 manfaat (target beneficiary) dan monitoring untuk penduduk rentan miskin; - Melakukan penyusunan Draf Kajian SPS Rentan; - Melakukan serangkaian Focused Group Discussion (FGD); - Melakukan penulisan draft laporan; - Melakukan lokakarya dan sosialisasi di beberapa kabupaten/kota terpilih. Tujuan dari lokakarya di daerah adalah untuk mendapatkan masukan yang lebih utuh mengenai: a. Program dan kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan atau direncanakan oleh pemerintah daerah yang berkaitan dengan perlindungan sosial bagi penduduk rentan; dan b. Sistem atau skema-skema “partisipasi masyarakat” yang telah berkembang di masyarakat untuk memberikan perlindungan sosial bagi penduduk rentan di sekitarnya. Sasaran yang akan dihasilkan melalui lokakarya ini adalah terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan publik tentang Sistim Perlindungan Sosial khususnya bagi penduduk rentan, dan – yang lebih penting lagi sesuai dengan era desentralisasi – kerangka kebijakan daerah (kabupaten/kota) termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal. 5 BAB II KONSEP DAN DATA PENDUDUK RENTAN 2.1 Konsep Penduduk Rentan Konsep penduduk rentan (vulnerable people) tidak terlepas dari konsep penduduk miskin karena pengertian rentan disini adalah rentan menjadi miskin. Konsep penduduk rentan pada dasarnya mengacu pada konsep risiko, yaitu risiko seseorang yang saat ini tidak miskin dan di kemudian hari akan jatuh menjadi miskin jika terjadi peristiwa yang dapat menurunkan derajat sosial ekonomi mereka. Sebagaimana sudah dikemukakan pada studi sebelumnya bahwa miskin disini diartikan sebagai ketidakmampuan ekonomis seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar fisiknya (baik kebutuhan makanan maupun non makanan). Dengan demikian penduduk rentan dapat diartikan sebagai penduduk yang memiliki risiko akan menjadi miskin (secara ekonomis tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar fisiknya) akibat berbagai peristiwa yang mereka alami. Dalam kaitan kebijakan perlindungan sosial, analisis terhadap penduduk rentan ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya penduduk yang memiliki risiko menjadi miskin yang perlu dicakup dalam kebijakan perlindungan sosial. Dengan mengetahui seberapa besar penduduk rentan, maka dapat dilakukan langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan perlindungan sosial, baik dari sisi program maupun pendanaannya. Risiko seseorang menjadi miskin disebabkan oleh berbagai faktor baik individual, sosial maupun faktor alamiah. Secara umum seseorang dapat menjadi miskin karena penghasilan (income) mereka mendadak 6 berkurang dalam jumlah yang signifikan jauh melebihi nilai pengeluaran kebutuhannya, atau pengeluarannya yang meningkat tinggi secara signifikan jauh melebihi penghasilan yang selama ini diperoleh. Singkatnya, guncangan finansial (financial shock) baik dari sisi penghasilan maupun dari sisi pengeluaran akan mengakibatkan seseorang jatuh miskin. Adapun faktor-faktor risiko yang mempengaruhi seseorang menjadi miskin antara lain hilangnya atau berkurangnya penghasilan atau pendapatan (baik karena PHK, rugi atau pailit usahanya, jatuh sakit berat, dan sebagainya), hilangnya atau berkurangnya aset yang dimiliki (akibat bencana alam maupun bencana sosial), atau meningkatnya pengeluaran (akibat tingginya biaya kesehatan, kecelakaan dan sebagainya). Jika seseorang tidak lagi memiliki pendapatan maka dalam jangka waktu tertentu besar kemungkinan orang tersebut akan jatuh miskin, tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Pekerja yang di-PHK dan dalam jangka waktu tertentu tidak lagi memiliki penghasilan akan berisiko menjadi miskin. Demikian pula pengusaha, pedagang, atau petani yang usahanya bangkrut atau gagal panen, tidak lagi mampu melunasi hutanghutangnya juga dapat berisiko menjadi miskin. Para korban bencana alam baik karena gempa bumi, banjir, kebakaran dan sebagainya dapat tiba-tiba menjadi miskin karena aset-aset yang dimiliki hilang dalam waktu seketika. Orang yang semula tidak mampu tetapi memiliki penyakit kronis (katastropik) yang memerlukan biaya pengobatan yang besar sangat berisiko menjadi miskin. Penduduk yang mengalami bencana tersebut di atas yang tidak memiliki aset sendiri sebagai cadangan atau tidak memiliki jaminan sosial, baik dari majikan atau dari sistem jaminan sosial lain seperti Askes dan Taspen (bagi pegawai negeri), memiliki risiko besar untuk jatuh miskin. 7 Dalam pengertian seperti itu maka pada dasarnya setiap orang rentan untuk menjadi miskin, akibat berbagai musibah yang menimpanya. Karena prinsip risiko yang dapat menimpa setiap orang itulah maka jaminan sosial sebagai bagian perlindungan sosial (yang antara lain diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial, tabungan, atau bantuan sosial) perlu bagi setiap orang. Mengapa? Karena pada dasarnya setiap orang itu rentan untuk menjadi miskin, setiap orang pada dasarnya rentan untuk tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Lagi pula setiap orang tidak mampu mengendalikan sepenuhnya berbagai faktor risiko yang menyebabkan dirinya jatuh menjadi miskin. Dalam kehidupan manusia terdapat banyak faktor-faktor yang di luar kendali orang tersebut. Meskipun setiap orang pada dasarnya rentan menjadi miskin -akibat berbagai faktor seperti PHK, pailit, bencana alam, bencana sosial, bencana kesehatan, kecelakaan dan sebagainya -- tetapi tingkat kerentanan masing-masing orang berbeda-beda. Orang yang memiliki aset, tabungan dan penghasilan yang besar memiliki tingkat kerentanan yang rendah dibandingkan dengan orang yang memiliki aset dan penghasilan terbatas. Orang yang memiliki penyakit kronis memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibanding orang yang sehat dan tidak berpotensi memiliki penyakit kronis. Penduduk yang berada di daerah rawan bencana alam (apakah itu banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan sebagainya) memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berada di daerah yang tidak rawan bencana. Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa penduduk rentan adalah penduduk yang sangat berisiko menjadi miskin karena berbagai faktor yang terjadi dalam jangka waktu relatif pendek. Mereka adalah orang yang penghasilannya menurun atau hilang, mereka yang memiliki 8 kemampuan ekononomis tidak tinggi, orang yang memiliki tingkat kesehatan rendah, dan orang yang berada di daerah bencana. Pertanyaannya kemudian adalah seberapa besarkah mereka dan berada dimana mereka? Inilah pertanyaan besar yang terkait dengan cara pengukuran penduduk rentan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum program dan anggaran untuk melindungi penduduk rentan dapat ditetapkan. 2.2 Pengukuran Penduduk Rentan Dalam analisis kebijakan perlindungan sosial, yang perlu mendapat perhatian lebih serius adalah orang-orang yang memiliki tingkat kerentanan tinggi menjadi miskin karena berbagai sebab. Karena kemiskinan disini diartikan sebagai miskin ekonomis yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, maka tingkat kerentanan juga diukur dari kemampuan ekonomis seseorang. Badan Pusat Statistik (BPS) membagi kategori kemiskinan menjadi: (a) sangat miskin (chronic poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 120.000,- per orang per bulan), (b) miskin (poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya setara Rp 150.000 per orang per bulan), dan (c) mendekati miskin (near poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya Rp 175.000 per orang per bulan). Dalam kaitan kategori itu maka secara teknis dapat dikatakan bahwa penduduk yang dalam kategori near poor atau di atasnya sedikit, meskipun dia saat ini tidak miskin (tidak berada di bawah garis kemiskinan) sangat rentan menjadi miskin apabila terjadi guncangan keuangan (financial shock) seberapapun kecilnya. Pengkategorian teknis seperti itu, sekali lagi didasarkan pada pertimbangan bahwa orang yang memiliki tingkat kemampuan ekonomis lebih rendah, cateris paribus, 9 memiliki kerentanan yang lebih tinggi menjadi miskin dibandingkan dengan orang yang memiliki kemampuan ekonomis lebih tinggi. Pengukuran yang ideal tentang kerentanan seseorang adalah yang memperhitungkan tidak saja kemampuan ekonomisnya (misalnya dilihat dari besarnya penghasilan/pengeluaran, tabungan dan aset) tetapi juga yang memperhitungkan risiko yang dihadapinya. Orang yang memiliki kemampuan ekonomis tinggi tetapi memiliki risiko yang tinggi juga, maka orang tersebut lebih rentan dibandingkan dengan orang yang memiliki kemampuan ekonomis di bawahnya tetapi faktor risikonya sangat kecil. Secara teoritis, pengukuran kerentanan seperti itu dapat dilakukan melalui model statistik (regresi logistik ataupun probit). Yang lebih menjadi masalah bukan pada bagaimana mengukurnya, tetapi lebih pada perumusan indikator dan ketersediaan datanya. Salah satu studi yang telah melakukan analisis kerentanan (vulnerability) untuk konteks data Indonesia adalah studi yang telah dilakukan oleh Sudarno dkk. 1 Dengan menggunakan analisis kerentanan tersebut, Sudarno mengelompokkan penduduk menjadi penduduk miskin kronis, penduduk miskin transien, dan penduduk rentan. Current Consumption Vulnerability V ≥ 0.5 to Poverty V < 0.5 C<ĉ C ≥ĉ A D E (c) < ĉ Expected B E E (c} ≥ ĉ Consumption C F Keterangan: C = current consumption Ĉ = poverty line E [c] = expected consumption V = vulnerability to poverty 10 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (ĉ) yang tingkat konsumsinya saat ini lebih rendah dari garis kemiskinan. Penduduk miskin tersebut dapat dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu: (a) Miskin kronis, yaitu penduduk yang memiliki tingkat konsumsi saat ini dan konsumsi ke depan (expected consumption) tetap yaitu di bawah garis kemikinan; (b) Miskin transien, yaitu penduduk yang meskin yang memiliki tingkat konsumsi saat ini dibawah garis kemiskinan tetapi memiliki probabilitas menjadi tidak miskin di masa yang akan datang karena memiliki potensi penghasilan dari usahanya. Sementara itu, penduduk tidak miskin (non poor) yaitu penduduk yang berada di atas garis kemiskinan menurut tingkat konsumsi saat ini. Penduduk tidak miskin dapat dikelompokkan lagi menjadi: (a) Penduduk rentan (low vulnerability); dan (b) Penduduk sangat rentan (high vulnerability). 2.3 Sumber Data Penduduk Rentan Selama ini belum tersedia data yang secara jelas menyebutkan dan menjabarkan jumlah penduduk rentan. Badan Pusat Statistik juga tidak secara spesifik menyebutkan jumlah penduduk rentan dan bagaimana penyebarannya. Jika yang dipakai adalah pendekatan tingkat konsumsi, maka penduduk yang dikategorikan sebagai rentan, mendekati miskin (near poor) dapat digunakan sebagai estimasi untuk menentukan jumlah penduduk miskin. Data tersebut, oleh BPS, dihitung dari hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Sebagaimana telah diuraikan pada studi sebelumnya, BPS menyelenggarakan SUSENAS secara periodik, dengan demikian maka jumlah penduduk mendekati miskin (near poor, yang 11 diasumsikan sebagai penduduk sangat rentan) sesungguhnya dapat dihitung. Perkembagan terbaru adalah data hasil Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan. Tujuan Sensus Kemiskinan adalah membangun basis data rumah tangga miskin yang berisi: (a) direktori rumah tangga miskin berupa daftar nama, alamat dan jumlah anggota rumah tangga; (b) urutan rumah tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya (nilai skor tertinggi sampai yang terkecil) untuk masing-masing kabupaten/ kota; (c) pengelompokan rumah tangga miskin menurut katergori yang dibuat oleh BPS (mendekati miskin, miskin dan sangat miskin). Tujuan khusus dari pelaksanaan PSE05 adalah untuk memfasilitasi pemerintah dalam menyalurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rumah tangga miskin sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak oleh Pemerintah. Dalam PSE05 tersebut digunakan 14 variabel untuk menentukan apakah suatu rumahtangga layak atau tidak dikategorikan miskin, dan sekaligus menentukan skor tingkat keparahan kemiskinannya. Keempat belas variabel tersebut adalah: 1. luas bangunan, 2. jenis lantai, 3. jenis dinding, 4. fasilitas buang air besar, 5. sumber air minum, 6. sumber penerangan, 12 7. jenis bahan bakar untuk memasak, 8. frekuensi membeli daging ayam dan susu selama sepekan, 9. frekuensi makan sehari, 10. jumlah (stel) pakaian baru yang dibeli setahun, 11. akses ke pukesmas atau poliklinik, 12. lapangan pekerjaan, 13. pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan 14. kepemilikan beberapa aset. Di samping itu, terdapat 4 variabel yang merupakan target atau status penduduk dalam program intervensi pemerintah, yaitu: keberadaan balita, anak usia sekolah, kesertaan KB, dan penerima kredit usaha kecil dan menengah (UKM). Menurut BPS, berdasarkan uji statistik hasil survei BPS beberapa tahun sebelumnya, ke-14 variabel tersebut memenuhi hubungan sangat erat atau paling representif dalam menjelaskan garis kemiskinan. Jika dicermati lebih lanjut, dari 14 variabel yang dijadikan indikator dalam menentukan rumah tangga miskin, 7 (tujuh) diantaranya merupakan variabel yang terkait dengan tempat tinggal (luas bangunan, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan), 2 terkait dengan konsumsi pangan, dan 2 (dua) terkait dengan konsumsi non makanan (jenis bahan bakar dan pembelian pakaian). Banyaknya indikator tempat tinggal ini perlu dicermati secara hatihati sebab beberapa studi menunjukkan bahwa beberapa indikator tersebut tidak tepat untuk dijadikan sebagai dasar penentuan rumah tangga miskin secara nasional dan mempunyai tingkat kolineritas tinggi. Studi yang dilakukan Thabrany dan Mundiharno (20042) dari FKM UI di DKI Jakarta 13 menunjukkan bahwa beberapa indikator seperti kepemilikan jamban dan jenis lantai tidaklah menggambarkan bahwa rumah tangga tersebut adalah rumah tangga miskin yang perlu dibantu. Begitu juga dengan indikator frekuensi makan kurang dari 2 kali sehari. Sekitar 63 persen rumah tangga yang diidentifikasi miskin di DKI Jakarta memiliki WC/septic tank sendiri dan hampir semua rumah tangga miskin menyatakan dapat makan 2 kali lebih dalam sehari (47,3 persen makan dua kali, dan 52,4 persen makan tiga kali sehari). Studi tersebut mengisyaratkan bahwa kalau jenis jamban dijadikan sebagai indikator kemiskinan maka ada peluang 63 persen rumah tangga tidak tercakup sebagai keluarga miskin. Demikian pula dengan indikator frekuensi makan dalam sehari dijadikan indikator maka akan banyak rumah tangga miskin yang tidak terdata. Namun demikian meskipun masih terdapat kelemahan data, Sensus Kemiskinan 2005 yang dilakukan BPS merupakan satu-satunya data yang paling lengkap saat ini dalam mengidentifikasi keluarga miskin dengan indeks keparahannya. Dari data tersebut dapat disusun indeks kemiskinan dari yang tertinggi sampai yang terendah, dan dapat pula digunakan untuk mengestimasi banyaknya penduduk rentan. Rumah tangga yang indeksnya sedikit di atas titik batas (cut off) kemiskinan dapat dipertimbangkan sebagai penduduk rentan, yang sekali waktu jika ada guncangan keuangan (financial shock) dapat menjadi rumah tangga miskin. Mengingat data Sensus Kemiskinan 2005 belum mungkin diperoleh untuk dianalisis dalam studi ini, maka jumlah dan persebaran penduduk rentan belum disajikan dalam studi ini. 2.4 Jumlah dan Persebaran Penduduk Rentan Hasil sensus kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS menyajikan data bahwa keluarga miskin yang layak untuk menerima bantuan 14 langsung tunai (BLT, cash transfer) adalah sebanyak 15,6 juta keluarga miskin. 3 Sayangnya data publikasi BPS tidak menyajikan penyebaran jumlah keluarga miskin menurut indeks kemiskinan. Apakah dari 15,6 juta keluarga tersebut semua masuk dalam kategori miskin kronis dan miskin, atau ada sebagian dari mereka yang masuk kategori mendekati miskin (near poor) yang dalam studi ini didefinisikan sebagai penduduk rentan (vulnerable people). Studi yang dilakukan oleh Suryadi dan Sumarto4 mengemukakan bahwa jumlah penduduk rentan mengalami peningkatan dari 16,4 persen pada tahun 1996 menjadi 27,2 persen pada tahun 1999. Adapun persebaran penduduk miskin dan penduduk rentan menurut propinsi dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel. 1 Distribusi Penduduk Miskin dan Penduduk Rentan Menurut Propinsi, Tahun 1996 dan 1999 No Propinsi 1 Penduduk Penduduk Total Penduduk Miskin Rentan Rentan 1996 1999 1996 1999 1996 1999 DKI Jakarta 0,8 3,0 0,0 0,9 0,8 3,7 2 Sumatera Barat 2,8 9,4 0,1 5,3 2,9 12,9 3 Kalimantan Tengah 3,8 12,2 0,2 15,8 3,9 22,9 4 Riau 5,0 9,4 1,7 5,7 5,4 11,6 5 Kalimantan Timur 5,4 21,8 4,2 17,2 7,3 26,4 6 DI Aceh 7,4 13,6 1,1 3,1 7,7 15,1 7 Jambi 7,9 17,1 1,6 8,3 8,6 20,1 8 Sumatera Utara 8,4 15,1 1,1 4,5 8,8 16,8 9 Bali 8,4 13,9 2,8 7,1 9.2 16,7 15 No Propinsi 10 Penduduk Penduduk Total Penduduk Miskin Rentan Rentan 1996 1999 1996 1999 1996 1999 Kalimantan Selatan 7,6 20,0 2,9 11,9 9,8 23,9 11 Sumatera Selatan 9,2 23,5 3,9 15,8 11,7 31,4 12 Bengkulu 10,4 20,6 4,4 9,7 12,3 22,2 13 Jawa Barat 11,9 26,8 2,8 16,2 13,1 33,1 14 Sulawesi Selatan 14,4 23,0 5,8 11,2 16,3 27,1 15 DI Yogyakarta 16,0 26,9 5,1 20,0 18,3 33,6 16 Sulawesi Tengah 16,4 28,0 7,2 31,4 19,6 42,6 17 Lampung 17,3 38,1 5,3 31,8 20,0 48,1 18 Jawa Timur 18,8 33,6 6,3 21,9 21,2 41,0 19 Jawa Tengah 20,9 32,9 7,5 21,2 23,9 40,6 20 Sulawesi Utara 19,4 24,0 13,2 19,8 24,0 29,3 21 Kalimantan Barat 21,5 29,4 11,1 23,5 25,3 36,0 22 Sulawesi Tenggara 27,0 36,6 19,8 30,9 33,3 43,3 23 Maluku 34,4 48,2 34,6 48,0 44,5 59,2 24 NTB 36,4 41,6 27,0 36,6 45,9 52,7 25 Papua 47,2 58,0 54,1 58,4 58,9 62,0 26 NTT 53,2 62,0 58,3 66,7 68,6 75,4 Sumbe : Suryadi, & Sumarto, “The Chronic Poor, the Transient Poor, and the Vulnerable in Indonesia Before and After the Crisis”, working paper, SMERU, May 2001, Tabel 2 dan 3 16 BAB III TELAAH PERATURAN DAN KEBIJAKAN TENTANG PERLINDUNGAN SOSIAL 3.1 Pilar Perlindungan Sosial Dalam studi tahun sebelumnya Thabrany dan Mundiharno (2004)5 merumuskan bahwa sistem perlindungan sosial sebagai sebuah sistem yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, baik disebabkan karena terhentinya, turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil, kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun kerusuhan sosial. Dengan pengertian seperti tersebut di atas maka perlindungan sosial memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut: 1. Merupakan program publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Perlindungan, yang berarti bahwa memberikan perlindungan yang bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dalam berproduksi secara sosial dan ekonomi. 3. Risiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi risiko berbagai peristiwa sosial-ekonomis yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar fisik warga negara. 17 4. Berkelanjutan, dalam arti jika diperlukan, perlindungan bersifat jangka panjang maupun jangka pendek yang berkesinambungan 5. Lintas sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial perlu dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antarsektor, seperti ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan, kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor lainnya. Dari sisi jenis dan cara pendanaan, perlindungan sosial mencakup beberapa aspek sebagai berikut: A) Sistem Jaminan Sosial Formal, dengan ciri-ciri utama: (1) kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara, (2) jaminan bersifat kebutuhan fisik dasar seseorang yang sifatnya bukan bencana lokal atau masal, (3) didanai dari penduduk, dan (4) dikelola dengan tujuan bukan mencari keutungan bagi pengelola (not for profit). Sebuah Sistem Jaminan Sosial Formal biasanya didanai dengan mekanisme: a) Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara atau sekelompok penduduk membayar iuran yang bersifat wajib guna mendanai kebutuhan finansial masa depan akibat suatu risiko sosialekonomi yang dialami, TANPA memperhatikan besaran iuran atau kontribusi yang telah dibayarkan oleh seorang peserta. Kewajiban mengiur ini berlaku bagi warga negara yang telah mampu memenuhi kebutuhan fisik minimumnya, sehingga pembayaran iuran wajib tidak akan membuatnya menjadi miskin absolut. b) Bantuan Sosial, yaitu sebuah mekanisme pendanaan, baik pendanaan akibat risiko maupun pendanaan pembayaran iuran, penanggulangan risiko sosial-ekonomi yang BUKAN berasal 18 dari orang yang dijamin oleh sistem jaminan sosial. Umumnya negara memberikan bantuan sosial dalam bentuk subsidi sebagian atau sepenuhnya iuran jaminan sosial kepada warga negara yang sehari-hari tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. c) Tabungan, dimana warga negara yang memliki penghasilan diwajibkan untuk penghasilannya menabung untuk yang sejumlah biasanya tertentu ditujukan dari untuk tunjangan pasca karya dalam bentuk uang pensiun bulanan atau dana lump sum, yang dapat digunakan untuk modal atau pembelian rumah. Dalam mekanisme tabungan, peserta akan menerima jaminan SESUAI dengan besaran iuran yang telah disetorkannya ditambah dengan hasil pengembangan dana iuran tersebut. B) Sistem Bantuan Bersifat Sementara. Bentuk perlindungan sosial seperti ini sering juga disebut “bantuan sosial” bahkan tidak jarang yang menyebutnya ‘jaminan sosial”. Berbeda dengan Sistem Jaminan Sosial Formal yang biasanya diatur dengan undangundang yang mencakup mekanisme pendanaan, besaran jaminan, dan masa berlaku jaminan bagi seluruh penduduk atau sekelompok tertentu penduduk; Sistem Bantuan Bersifat Sementara biasanya bersifat ad hoc untuk mengatasi ketidak-berdayaan penduduk dalam mememenuhi kebutuhan dasarnya yang bersifat sementara akibat suatu bencana alam, epidemi, paceklik, atau hal-hal lain yang sifatnya sementara dan seringkali tidak terkait dengan status sosial dan ekonomi seseorang. Sumber dana bantuan ini dapat bersumber dari pemerintah ataupun masyarakat di lingkungan sekitar atau 19 bahkan dari negara-negara lain. Bantuan bagi penduduk yang tertimpa musibah tsunami Aceh di tahun 2004 merupakan salah satu contoh dari sistem bantuan bersifat sementara. Di samping kedua kelompok di atas (sistem jaminan sosial formal dan bantuan sementara), terdapat kategori lainnya yaitu Asuransi Komersial, yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pengelolaannya bersifat jual-beli/komersial (dapat betujuan mencari laba for-profit maupun tidak mencari laba—sekedar memenuhi biaya produksi). Kategori ini tidak dimasukkan ke dalam kerangka SPJS mengingat sifatnya yang sukarela jual-beli, dan sangat bergantung pada kemauan seseorang untuk mendapatkannya. Sasaran dari asuransi komersial pada umumnya adalah penduduk berpenghasilan tinggi dan karenanya diasumsikan hanya dibeli oleh mereka yang kebutuhan fisik dasarnya telah terpenuhi. Karena motif pengelolaan pada umumnya adalah for profit (mengambil keuntungan), maka pengelolaannya/perkembangannya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan pemerintah hanya mengeluarkan regulasi-regulasi guna menjaga kepentingan publik. Dengan demikian terdapat tiga pilar yang menopang terbentuknya sistem perlindungan sosial 1 . Pilar pertama, menggunakan mekanisme bantuan sosial (sosial assistance) kepada penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai, iuran kepesertaan jaminan sosial, 1 Naskah Akademis Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 20 maupun pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Pendanaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara dan atau dari masyarakat. Mekanisme bantuan sosial sementara biasanya diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti penduduk miskin, sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur. Pilar kedua, menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat, terjamin kesinambungannya dan profesionalisme penyelenggaraannya. Pesertanya adalah tenaga kerja di sektor formal, seperti pegawai negeri atau pegawai swasta. Iuran dibayarkan oleh setiap tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar persentase tertentu dari upah/gaji. Praktek yang umum di dunia adalah bahwa iuran ditanggung bersama antara pegawai dan majikan (pekerja dan pemberi kerja). Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial, dan merupakan tulang punggung pendanaan publik di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar layak penduduk dengan mewajibkan mereka secara aktif membayar iuran untuk mengatasi risiko di masa depan. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah masyarakat (biasanya persentase tertentu upah/gaji yang tidak memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa semua peserta mampu mengiur. 21 Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidakmampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidakdisiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian sistem jaminan sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan sebesar-besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh UU tersendiri. Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah, serta kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja), selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan akumulasi kemampuan dan pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak mampu. 22 Pilar ketiga menggunakan mekanisme asuransi komersial (voluntary insurance) atau mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial. Di Indonesia, penyelenggaraan asuransi komersial diatur dengan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi, dan pelaksanaannya diatur dan diawasi oleh Departemen Keuangan. Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial diarahkan pada jaminan sosial dengan pendanaan bersumber dari asuransi sosial, bantuan sosial dan tabungan. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengembangkan sistem jaminan sosial yang secara cepat mencakup sebanyak-banyak warga negara dan mengefektifkan bantuan sosial agar benar-benar dapat diterima oleh warga negara yang benar-benar membutuhkannya. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa perluasan ini memerlukan komitmen pemerintah, penegakan hukum yang konsisten, dan terdapatnya sejumlah pekerja di sektor formal yang memadai jumlahnya. Tujuan sistem perlindungan sosial pada akhirnya adalah mendorong sebanyak mungkin warga negara yang mau dan mampu menjadi peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak warga negara yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil kemungkinan warga negara tersebut jatuh ke jurang kemiskinan manakala pendapatannya berkurang atau hilang tiba-tiba akibat suatu penyakit, PHK, kecelakaan, pensiun, atau sebab lain. Selain itu, perlu terus diupayakan untuk mempertajam berbagai program bantuan sosial yang 23 dilakukan oleh berbagai sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat tepat sasaran, terkoordinasi, efisien dan efektif. Setiap warga negara yang berpenghasilan wajib menjadi peserta jaminan sosial yang dalam prakteknya dapat diprioritaskan pada hal-hal yang sangat mendesak dibutuhkan. Misalnya, program jaminan kesehatan dapat didahulukan daripada program jaminan kematian atau jaminan pensiun, sesuai dengan tingkat upah atau kemampuan ekonomi penduduk. Penduduk yang memiliki penghasilan tinggi di samping menjadi peserta jaminan sosial dapat menjadi peserta asuransi komersial yang memberikan manfaat lebih besar sesuai yang diinginkannya. Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya setelah memenuhi persyaratan tertentu (antara lain melalui tes kebutuhan --mean test) dapat memperoleh bantuan sosial yang bersifat subsidi iuran dari pemerintah agar dalam memberikan manfaat jaminan sosial, penyelenggara tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat memperoleh kehidupan yang layak untuk mampu berproduksi secara ekonomis dan hidup sejahtera sesuai dengan cita-cita pembangunan bangsa. 3.2 Telaah Kebijakan Bantuan Sosial Sebagaimana telah disampaikan pada laporan studi sebelumnya, bahwa bantuan sosial merupakan salah satu skema perlindungan sosial, di mana negara memberikan bantuan baik dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk non tunai kepada setiap warga negara yang mengalami risiko sosial-ekonomi yang menyebabkannya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan. Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini mulai 24 mencakup pemberdayaan penerima bantuan sosial untuk mandiri yang diberikan dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang bermuara pada kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka mampu membayar iuran untuk masuk mekanisme asuransi sosial. Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal berupa upaya-upaya kelompok masyarakat, baik secara mandiri, swadaya, maupun gotong-royong, untuk memenuhi kesejahteraan anggotanya melalui berbagai upaya gotong-royong, usaha bersama, arisan, dan sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem yang kuat, mencakup rakyat banyak, dan tidak terjamin kesinambungannya. Masyarakat harus diajak memahami akan kekurangan kearifan lokal dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar yang layak, sesuai standar kehidupan yang terus berkembang, dan memahami keterbatasan kearifan lokal untuk program jangka panjang dan bersaing dengan dunia internasional. Namun demikian, kerarifan lokal sangat bermanfaat sebelum terbentuknya sistem jaminan sosial formal yang kuat dan mencakup seluruh penduduk dan sebagai tambahan perlindungan bagi yang menghendaki manfaat yang lebih tinggi dari standar kebutuhan dasar layak nasional. Pemerintah mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat guna memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan berkembang. Namun demikian, pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat bahwa kearifan lokal saja tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam jangka panjang, agar tidak terjadi resistensi untuk mengikuti program nasional. Oleh karenanya, selain mendorong tumbuhnya upaya swadaya masyarakat, pemerintah memberikan insentif dan bimbingan 25 agar sistem lokal dapat diintegrasikan ke dalam sistem jaminan sosial nasional. Kebijakan bantuan sosial bagi penduduk miskin sudah lama dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut mencakup berbagai sektor dan dilakukan oleh berbagai instansi. Beberapa sektor yang selama ini terlibat dalam pemberian bantuan sosial kepada penduduk miskin antara lain adalah sektor sosial, sektor kesehatan, sektor pendidikan, dan sektor pertanian. Di samping itu, beberapa sektor lain juga memberikan bantuan bagi penduduk miskin yaitu sektor ketenagakerjaan, sektor kependudukan, sektor koperasi dan UKM. Dana yang diperlukan bagi pelaksanaan berbagai program bantuan sosial bagi penduduk miskin relatif cukup besar, mencapai belasan triliun rupiah setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2002-2004 belanja program pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan berkisar antara Rp 12,8 triliun sampai Rp 18,8 triliun per tahun untuk berbagai sektor. Jika dibandingkan dengan total belanja tahun 2004 maka pengeluaran untuk penduduk miskin mencapai 5% dari total belanja pemerintah, relatif tidak banyak. Dengan jumlah dana yang cukup besar nilainya, maka perlu dipikirkan agar dana tersebut dapat menurunkan jumlah penduduk yang miskin dengan cara pemberian kail ketimbang ikan. Selama ini, bentuk program bantuan sosial bervariasi dalam bentuk pemberian kartu sehat, subsidi tarif pelayanan kesehatan, bantuan penyediaan obat di fasilitas kesehatan, pemberian makanan tambahan, pemberian beasiswa kepada siswa SD-SLTA, pemberian dana bantuan operasional kepada sekolah, pemberantasan buta huruf, dan penanganan para penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti anak terlantar, lansia terlantar, tuna susila, korban NAPZA, penyandang cacat, korban bencana, 26 pemberian bantuan beras miskin dan sebagainya. Bantuan yang diberikan tersebut pada umumnya bersifat ad hoc untuk mengatasi masalah akut pemenuhan kebutuhan dasar fisik penduduk. Pemberian bantuan sosial yang bersifat pemberdayaan kemampuan ekonomi masih relatif sedikit, sehingga menimbulkan berbagai kritik dan kekhawatiran akan kesinambungan program dan kemampuan penduduk untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Selama ini program bantuan sosial yang menyeluruh belum dilakukan di Indonesia. Penanganan bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih terbatas, baik dalam cakupan sasaran maupun dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan. Menurut ILO, sebelum krisis tahun 1997 hanya sedikit pengeluaran pemerintah pusat Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial. Pengeluaran pemerintah di pembangunan bidang yang sosial tidak dikonsentrasikan langsung dinikmati pada pengeluaran penduduk yang memerlukan bantuan sosial, terutama dalam bentuk pembangunan pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, walaupun bidang-bidang yang dibiayai tersebut pada akhirnya memberikan keuntungan bagi kelompok-kelompok berpenghasilan rendah. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam bentuk Jaring Pengamanan Sosial (JPS) yang dimulai setelah krisis ekonomi tahun 1997 sebagian besar merupakan tanggapan yang bersifat ad hoc terhadap munculnya kembali kemiskinan secara “tiba-tiba” akibat krisis. Dalam beberapa aspek, langkah-langkah tersebut tampak dilaksanakan dengan persiapan manajemen yang kurang memadai dan penyelenggaraannya tidak merata. Masalah-masalah yang sering dilaporkan, misalnya mekanisme penyaluran administratif JPS, masalah tata kelola, dan 27 besarnya kebocoran dari bantuan yang diberikan kepada kelompokkelompok sasaran. Namun demikian, upaya responsif terhadap meningkatnya angka kemiskinan merupakan suatu upaya yang patut dihargai dan didukung agar pelaksanaanya terus diperbaiki dan menjadi suatu sistem yang bersifat tetap. Krisis tahun1997 dapat dikatakan merupakan suatu titik balik bagi keterlibatan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pelaksanaan bantuan sosial yang teridentifikasi diantaranya adalah: a) ketidaktepatan sasaran; b) pelaksanaan yang tidak sesuai prosedur; c) masyarakat yang tidak memahami hak dan tanggung-jawabnya; d) koordinasi dan sinkronisasi program antarinstansi; e) kerangka hukum yang melandasi; f) besarnya dana yang diperlukan; dan g) kesinambungan dan kecukupan pendanaan. Selanjutnya, pertanyaan yang muncul antara lain adalah: a) Apakah kebijakan bantuan sosial yang akan dilakukan ke depan tetap menggunakan mekanisme seperti sekarang yang lebih bersifat ad hoc (insidental) atau dilembagakan secara permanen setiap tahunnya? b) Apakah lembaga yang menangani bantuan sosial disebar menurut instansi sektoral atau disatukan dalam lembaga baru yang khusus menangani bantuan sosial? 28 c) Apakah dana bantuan sosial sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau ditanggung bersama dengan pemerintah daerah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas patut direnungkan mengingat, pertama, penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh banyak instansi sehingga sering terjadi tumpang tindih. Departemen Sosial yang tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki peran yang terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya yang dikategorikan sebagai PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat otonomi daerah telah merubah secara bermakna baik bentuk, fungsi maupun kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam mengelola berbagai program pembangunan yang berbentuk pelayanan langsung kepada masyarakat di daerahnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Sementara di sisi lain kemampuan daerah sangat bervariasi sehingga jika kewenangan dan tanggungjawab diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan terjadi ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan konstitusi dan tujuan pendirian negara. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan sosial khususnya bagi penduduk miskin perlu dibahas secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan daerah. 29 Selain itu, kelembagaan pengelolaan bantuan sosial perlu ditetapkan dan dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan utama mengelola bantuan sosial. Dalam hal ini, Departemen Sosial merupakan lembaga yang dinilai tepat. Namun demikian, kapasitas dan kemampuan aparat di lembaga tersebut perlu diperkuat sesuai dengan beban program yang semakin besar. Selanjutnya, koordinasasi dan sinkronisasi program antarinstansi juga perlu ditingkatkan untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya tumpang tindih antar satu instansi dengan instansi lain. Sebagai contoh, program pembinaan “kelompok usaha bersama” (KUBE) diselenggarakan oleh beberapa instansi seperi oleh Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan bantuan sosial harus ditetapkan satu kementrian (instansi) yang menjadi leading sector yang dapat melakukan sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Selama ini berbagai pelaksanaan program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing instansi mengacu pada undang-undang atau peraturan tertentu yang seolah-olah hanya berlaku bagi instansi masing-masing. Pelaksanaan program bantuan sosial di sektor kesehatan mengacu pada UU Kesehatan, bantuan sosial di sektor pendidikan mengacu ke UU Pendidikan, bantuan sosial di sektor sosial mengacu pada UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dan UU No 25 Tahun 2000, dan sebagainya. Belum ada UU yang mengatur secara keseluruhan tentang bagaimana perlindungan sosial dilaksanakan oleh semua instansi yang terkait. Sementara itu, program jaminan sosial yang bersifat formal telah mulai diatur oleh satu UU yang 30 mensikronkan pelaksanaannya yaitu dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penetapan apakah seluruh program bantuan sosial harus diatur oleh satu UU terpadu dan diselenggarakan atau dikoordinir oleh satu instansi harus melalui suatu kajian kelayakan, efisiensi, efektifitas, dan kesiapan daya dukung personil di berbagai daerah. 3.3 Telaah Kebijakan Jaminan Sosial Dari tiga pilar perlindungan sosial, jaminan sosial yang bertumpu pada asuransi sosial dan tabungan wajib merupakan prioritas dalam mengembangkan perlindungan sosial secara menyeluruh. Pengalaman berbagai negara menunjukan bahwa, program jaminan sosial selain dapat memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat, jaminan sosial juga menjadi penggerak pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan kesadaran baru yang membuktikan bahwa jaminan sosial makin diperlukan mengingat kondisi perekonomian global maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan dan produktivitas rakyat. Krisis telah mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang menjadi haknya. Di samping itu, penghasilan masyarakat akan berkurang karena menderita penyakit atau memasuki usia lanjut. Jaminan sosial dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko tersebut bagi rakyat secara individu dan bagi negara. Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dapat mengurangi beban negara (APBN) dalam penyedian dana bantuan sosial yang dapat digunakan untuk menyediakan sarana dan program yang lebih produktif. Melalui prinsip kegotong-royongan, mekanisme asuransi sosial merupakan sebuah instrumen negara yang kuat 31 dan digunakan di seluruh negara maju dalam menanggulangi risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada setiap warga negaranya. Dari aspek ekonomi makro, program jaminan sosial nasional adalah suatu instrumen yang efektif untuk memobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar dan berlangsung terus-menerus, yang sangat bermanfaat untuk membiayai program pembangunan dan masyarakat itu sendiri. Selain memberikan kesejahteraan bagi perlindungan melalui mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang terkumpul dapat menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini merupakan suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip solidaritas sosial atau kegotong-royongan. Banyak negara memulai penyelengaraan jamian sosial setelah mengalami krisis ekonomi yang berat dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat dibutuhkan. Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa pemerintahan presiden Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami depresi ekonomi yang sangat hebat pada tahun 1932. Jerman memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintahan Otto Von Bismarck (1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk menjamin produksi berjalan lancar di era awal industrialisasi Jerman. Kedua negara maju tesebut memperoleh manfaat besar dari penyelenggaraan jaminan sosial yang dikembangkan pada waktu kedua negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi. Manfaat besar dari dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh pekerjaan sektor formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan Nasional dari Dana Jaminan Sosial (Employee Provident Fund, EPF) senilai 32 US$ 90 miliar. Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang menyelamatkan Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998. Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial. Namun kepesertaan program tersebut baru mencakup sebagian kecil dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar lainnya, belum memperoleh perlindungan sosial karena berbagai faktor seperti kesadaran pengusaha, penegakan hukum, kesadaran pegawai, manajemen yang belum meyakinkan, dan kondisi makro ekonomi, hukum dan sosial yang belum menunjang. Selain itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil bagi peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai untuk menjamin kesejahteraan mereka. Di sektor informal, penyelenggaraan jaminan sosial formal memang sulit dilakukan. Karenanya, tidak heran jika saat ini program jaminan sosial formal belum menyentuh penduduk di sektor informal. Tenaga kerja di sektor informal yaitu tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan, petani dan pedagang sayur, kios, pedagang sate, baso, gado-gado, warteg, dll, sampai saat ini belum mempunyai sistem perlindungan yang handal. Hanya sebagian kecil dari mereka yang telah memperoleh perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial. Pada tahun 2005 Pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan, yang merupakan kebutuhan paling mendasar untuk berproduksi, bagi sekitar 60 juta penduduk—yang umumnya adalah mereka yang berada di sektor informal. Sebelum tahun 2004, undang-undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial dan mencakup program yang lebih lengkap adalah UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Program 33 Jamsostek mencakup empat perlindungan yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan santunan akibat kematian alamiah. Program tersebut dikelola oleh PT Jamsosotek. Sampai saat ini penyelenggaraan Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif dari sekitar 31 juta tenaga kerja di sektor formal (Standing, 2000). Selain PT Jamsostek, beberapa Badan Penyelenggara telah melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi khususnya. Program Jaminan Kesehatan Pegawai Negeri dikelola oleh PT Askes. Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-POLRI, Veteran, dan anggota keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang dikelola oleh PT Askes berdasarkan PP No. 69 Tahun 1991. Selain jaminan kesehatan, pegawai negeri sipil juga memperoleh Jaminan Hari Tua dan Pensiunan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT Taspen. Program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981. Anggota TNI-POLRI dan PNS Departemen Pertahanan mendapat jaminan hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI berdasarkan PP No. 67 Tahun 1991. Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, anggota POLRI dan PNS Departemen Pertahanan memperoleh jaminan pensiun melalui anggaran negara (pay as you go). Dengan demikian sebagian besar program pensiunan pegawai negeri, TNI, dan POLRI tidak didanai dari tabungan pegawai sehingga sangat bergantung pada anggaran belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari APBN, untuk dana pensiun pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi yang merupakan suatu bentuk tunjangan pegawai atau employment benefits—akan terus membengkak dan memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari pegawai. Selain itu, tidak adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan tersedot dalam jumlah besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri, 34 tentara dan anggota polisi saja. Penyelenggara dana pensiun yang adil dan memadai yang didanai bersama (bipartite) antara pekerja sendiri dan pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta atau usaha sendiri (self employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan lebih terjamin kesinambungannya. Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Akses, Taspen, Asabri, Jamsostek) baru dinikmati oleh 12 juta tenaga kerja yang kini aktif sebagai peserta PT Jamsostek dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS,2003). Sedangkan jaminan kesehatan berbasis dana peserta melalui iuran wajib baru mencakup 7,8 juta tenaga kerja formal yang mencakup sekitar 19 juta penduduk, termasuk anggota keluarga. Di negara-negara tentangga, kepesertaan tenaga kerja yang memperoleh jaminan sosial sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal. Dalam program asuransi kesehatan sosial dengan pendanaan publik, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Philipina karena baru menjamini 9 (sembilan) persen dari jumlah penduduknya. Sedangkan dalam program jaminan hari tua/asuransi, jaminan sosial di Indonesia baru mencapai maksimal 20 persen dari total pekerja di sektor formal. Thailand telah menjamin seluruh penduduknya, sehingga tidak ada lagi penduduk rentan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa rendahnya cakupan kepesertaan program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil bagi para peserta, dan manfaat yang diberikan kepada peserta juga belum memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak (Thabrany dkk, 2000). Selain itu, program jaminan sosial di Indonesia belum mampu 35 meningkatkan pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena porsi dana jaminan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih sangat kecil, yaitu sekitar 1 (satu) persen PDB (Purwoko, 2001). Dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, kendala utama pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat diidentifikasi sebagai berikut: a) pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada belum berjalan sebagai mana mestinya, baik dari segi besaran manfaat yang diterima maupun dari segi prosedur perolehan manfaat oleh peserta; b) pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efesien dan kurang baik yang menyebabkan sering terjadinya keluhan peserta dan rendahnya kepuasan peserta; c) program jaminan sosial belum didukung oleh perangkat penegak hukum yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum semua tenaga kerja memperoleh perlindungan yang optimal; d) adanya intervensi pejabat pemerintah, bahkan partai politik, terhadap penggunaan dana program jaminan sosial yang ada yang berdampak pada kurang optimalnya manfaat program dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan para peserta; dan e) seluruh badan penyelenggara jaminan sosial yang ada merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero yang harus mencari laba dan menyetorkan deviden ke Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta. 36 Untuk menjawab kendala tersebut di atas, sesungguhnya sudah dimulai upaya perbaikan yaitu melalui Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004) yang sudah disahkan tanggal 19 Oktober 2004. Dalam UU tersebut program jaminan sosial diperluas menjadi lima program yaitu: (a) jaminan kesehatan; (b) jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18). Tonggak penting yang mengubah tatanan perlindungan sosial di Indonesia adalah upaya perluasan jaminan kepada penduduk rentan dan penduduk miskin yang secara tegas dinyatakan, bahwa Pemerintah membayar iuran untuk penduduk miskin dan tidak mampu (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan yang di tahun 2005 sudah diberikan kepada 60 juta penduduk, yang terdiri atas 34,1 juta penduduk miskin dan sisanya diberikan kepada penduduk rentan. Pada hakikatnya UU SJSN telah meletakan dasar untuk penataan sistem perlindungan sosial yang menyeluruh dan menyatu dengan tidak membedakan pelayanan (non diskriminasi) atas dasar status sosialekonomi. Sebagai contoh, dengan mengintegrasikan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan penduduk rentan melalui PT Askes dengan penyelenggaraan nirlaba, seperti tercantum dalam SK Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2005 yang sesuai dengan perintah UU SJSN, maka dalam melayani peserta, fasilitas kesehatan tidak perlu lagi membedakan pasien atas dasar kemampuan membayar. Akan tetapi dalam prakteknya, kehendak UU untuk pelayanan non-diskriminatif belum dijalankan sebagaimana diharapkan. Namun demikian implementasi UU SJSN untuk perlindungan lima program bagi penduduk miskin dan rentan memerlukan waktu yang 37 cukup lama. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden perlu disusun agar UU tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan rakyat banyak. Pada saat ini (akhir tahun 2005) satu Peraturan Pemerintah dan satu Peraturan Presiden yang mengatur jaminan kesehatan, termasuk bagi penduduk miskin dan rentan, sedang dalam tahap sosialisasi draf untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak di pusat maupun di daerah. Yang perlu disadari oleh pemerintah di pusat dan di daerah adalah bahwa program perlindungan sosial selain jaminan kesehatan, harus dikembangkan agar penduduk rentan tidak jatuh menjadi penduduk miskin. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah telah mewajibkan pemerintah daerah untuk ‘mengembangkan sistem jaminan sosial’ tanpa menjelaskan rincian apa yang dimaksud dengan ‘jaminan sosial’. Dengan prinsip penyelenggaraan terkoordinasi dan bersifat saling melengkapi antara pusat dan daerah, maka salah satu upaya yang perlu dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menutupi kekosongan perlindungan sosial yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah pusat. Hal ini harus disadari pemerintah daerah, bukan dengan menuntut agar program yang diselenggarakan oleh pusat dikelola oleh daerah. Sebagi contoh, jika jaminan kesehatan sudah diberikan oleh Pemerintah pusat, maka pemerintah daerah yang mampu sebaiknya memberikan bantuan sosial, salah satu bentuk jaminan sosial, berupa pemberdayaan kemampuan ekonomi, misalnya membuka lapangan kerja yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive). Sebagai contoh, jika penduduk rentan sudah tidak lagi memiliki risiko jatuh miskin apabila ia sakit, karena telah dijamin oleh Pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat memfokuskan bantuan dana untuk 38 meningkatkan program perbaikan mutu pelayanan di puskesmas dan rumah sakit. Selain itu, pemerintah daerah dapat membuat program yang labor intensive, misalnya membuka jalan yang memungkinkan produk hasil hutan, perkebunan, dan pertanian oleh masyarakat rentan di daerah terpencil dapat dijual ke kota dengan biaya transportasi yang relatif murah. Pemerintah daerah juga dapat menyediakan gudang pendingin dengan sewa murah bagi nelayan atau peternak kecil yang dapat memelihara produknya tetap segar dan memiliki harga jual yang baik. Pemerintah Daerah juga dapat membuka pertanian atau perkebunan percontohan dengan bantuan ijin pengolahan lahan tidur, bibit, pupuk, dan bantuan teknis serta bantuan manajemen kepada penduduk rentan yang menganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 12 juta angkatan kerja pada akhir tahun 2005. 3.4 Telaah Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Sosial Upaya mengembangkan sistem perlindungan sosial telah memiliki pijakan hukum yang kuat di dalam konsititusi negara Indonesia. Beberapa pasal dalam UUD 1945 hasil amendemen ke-empat telah secara tegas menyatakan tentang perlunya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Amendemen ke-dua UUD 1945 telah mengamanatkan kepada Negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara. Lebih lanjut, Pasal 34 ayat 2 Perubahan UUD 45 tahun 2002 lebih tegas menjabarkan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Jelas, perintah dan kemauan rakyat yang tertuang dalam konstitusi adalah menyediakan 39 jaminan sosial, secara umum, kepada seluruh rakyat—termasuk penduduk miskin dan rentan dan bukan hanya penduduk yang memperoleh penghasilan dari hubungan kerja formal. Di tingkat internasional, deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa “… setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial … dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua …”. Konvensi ILO No.102 tahun 1952 meminta negara-negara para pihak (yang meratifikasi Konvensi—termasuk Indonesia) agar memberi perlindungan dasar kepada setiap tenaga kerja di negaranya masingmasing dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial. Pertanyaannya adalah apakah mandat konstitusi, deklarasi HAM PBB dan konvensi ILO tersebut sudah dijabarkan lebih lanjut ke dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaanya. Undang-undang apa saja yang terkait dengan perlindungan sosial? Apakah undang-undang yang ada sudah cukup memadai untuk dijadikan pijakan hukum dalam mengembangkan sistem perlindungan sosial di Indonesia? Harus diakui bahwa secara keseluruhan, peraturan perundangan yang dimiliki Indonesia belum mencakup seluruh penduduk dan belum mencakup seluruh program perlindungan seperti yang diharapkan oleh Deklarasi HAM PBB. Upaya penerbitan peraturan perundangan memang masih terbatas pada penduduk di sektor formal atau bantuan sosial yang sifatnya masih terbatas. Berikut ini adalah peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan sosial, baik yang terkait dengan jaminan sosial, bantuan sosial maupun asuransi komersial. 40 A. Peraturan Perundangan Jaminan Sosial a) Undang-undang No. 11 Tahun1992 tentang Dana Pensiun, yang mengatur penyelenggaraan dana pensiun pemberi kerja dan dana pensiun lembaga keuangan. b) Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK yang mengatur empat program jaminan sosial bagi tenaga kerja, yang dalam prakteknya masih terbatas pada tenaga kerja di sektor formal. c) Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai Negeri yang prateknya telah dilaksanakan untuk seluruh pegawai. Namun demikian, jumlah dan sumber dananya belum menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar layak secara adil dan merata bagi seluruh penduduk. d) Undang-undang No. 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun Presiden RI yang tidak mengatur perlidungan bagi rakyat. e) Peraturan Pemerintah. No. 6 Tahun 1992 tentang ASKES yang mengatur Badan Penyelenggara PT ASKES (Persero) untuk mengelola jaminan kesehatan bagi pegawai negeri sipil, pensiunan pegawai negeri, veteran dan anggota keluarganya. f) Peratuaran Pemerintah No. 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiunan, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarga. g) Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial ABRI menjadi Perusahaan Persero (PERSERO) yang mengatur penyelenggara jaminan sosial bagi TNI-POLRI. 41 h) Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI yang mengatur jaminan sosial bagi TNI-POLRI. i) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981 tentang TASPEN yang mengatur badan penyelenggara PT TASPEN dalam mengelola jaminan hari tua dan jaminan pensiun pegawai negeri. j) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil RI. k) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1971 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial ABRI. l) Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1971 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI. m) Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya Iuran-iuran yang dipungut dari Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. n) Surat Keputusan Mentri Pertahanan No: SKEP/1212/M/XII/2000 tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI. o) Surat Keputusan Mentri Pertahanan No: Skep/1212a/M/XII/2000 tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI. B. Peraturan Perundangan yang Terkait dengan Bantuan Sosial a) Undang-undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. b) Undang-undang No. 4 Tahun 1977 tentang Penyandang Cacat. c) Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. 42 d) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. C. Peraturan Perundangan yang terkait Asuransi Komersial a) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi. b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perasuransian. c) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. d) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. e) Keputusan Menteri Keuangan No. 303/KMK.017/2000 tentang Perubahan atas Kep.Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. D. Peraturan Lainnya a) Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara No. 70, 2003 dan Tambahan Lembaran Negara No.4297). b) Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Mentri Keuangan pada Perusahaan Persero (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahan Jawatan (PERJAN) kepada Mentri Negara Badan Usaha Milik Negara. 43 c) Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. d) Peraturan Pemerintah No. 89 Tahun 2000 tentang Pencabutan PP No. 98 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Mentri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUSP) atau Pemegang Saham pada Perusahaan Persero (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 48 Tahun 2000. e) Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan Tugas dan Kewenangan Mentri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang sebagian Sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara. f) Peraturan Pemerintahan No. 96 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara. g) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 44 h) Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. i) Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 1994 dan UU No.6 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. j) Undang-undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. k) Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara. l) Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya UU Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari RI untuk seluruh Indonesia. m) Keputusan Menteri Kehakiman No. C2-2749.HT.01.Tahun 98 tentang Perseroan Terbatas. 45 BAB IV ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI PENDUDUK RENTAN 4.1 Perlunya Sistem Perlindungan Sosial Bagi Seluruh Penduduk Kebutuhan akan pengembangan sistem perlindungan sosial sudah sangat mendesak bagi Indonesia. Hal itu didasari bukan saja karena adanya mandat konstitusi yang mengharuskan hal tersebut–sebagaimana telah dikemukakan di atas— tetapi juga karena beberapa kondisi obyektif yang mengharuskan hal tersebut. Pertama, jumlah penduduk yang memerlukan bantuan sosial masih sangat banyak. Mereka umumnya adalah penduduk miskin dan penduduk rentan miskin, yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak agar mereka bisa berproduksi dan keluar dari kemiskinan. Kondisi kehidupan mereka selama ini ditopang oleh jaringan sosial (keluarga, kerabat dan lingkungan) dan bantuan sosial dari pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Kedua, banyaknya jumlah penduduk yang memerlukan bantuan sosial dari pemerintah tidak diimbangi dengan kemampuan keuangan pemerintah secara memadai. Kesalahan kebijakan masa lalu menyebabkan beban APBN yang sangat besar untuk hal-hal yang di luar pos bantuan sosial, seperti untuk pembayaran hutang dan subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor. Dalam beberapa hal pos pengeluaran pemerintah bahkan masih harus ditutupi dengan hutang luar negeri. 46 Ketiga, jumlah penduduk yang sudah dicakup oleh jaminan sosial – sebagaimana sudah diuraikan di atas—masih sangat kecil dibanding dengan angkatan kerja yang ada. Rendahnya cakupan kepesertaan jaminan sosial ini mengharuskan upaya mengembangkan sistem perlindungan sosial. Upaya perluasan perlindungan sosial akan mencegah penganggur dan penduduk rentan terjun pada dunia kriminalitas guna memenuhi kebutuhan dasar hidup dirinya dan keluarganya. Keempat, tekanan demografis dengan peningkatan penduduk lanjut usia dan memasuki usia pensiun tanpa pensiun mengharuskan dikembangkannya sistem perlindungan sosial. Sementara dukungan kelembagaan yang ada masih rendah. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, bahwa saat ini sedang terjadi pergeseran struktur penduduk Indonesia yang mengarah kepada struktur penduduk tua (ageing population) yaitu makin banyaknya penduduk lanjut usia (lansia), baik secara absolut maupun secara nisbi. Peningkatan jumlah penduduk lansia jauh lebih besar dibanding dengan peningkatan jumlah penduduk balita. Post-war baby boom di Indonesia yang terjadi pada dekade '60-'70-an diperkirakan akan mengakibatkan aged-population boom pada tiga dekade permulaan abad ke-21. Generasi yang lahir pada tahun '60-'70-an, di tahun 90-an memasuki kehidupan keluarga dan di tahun 2015-2030-an akan memasuki usia pensiun. Tanpa pembentukan dana pensiun yang luas dan kuat saat ini, maka baby boomers tersebut akan menjadi beban masyarkat dalam 15-25 tahun ke depan. Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi maupun tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Sebagian besar penduduk lansia belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik berupa pensiun 47 maupun asuransi. Di samping cakupan jaminan sosial yang masih rendah, dukungan institusi, seperti rumah jompo, pelayanan rumah sakit gratis, bantuan pangan rutin, dll yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk lansia juga masih belum memadai. Jumlah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang ada relatif dibanding dengan jumlah lansia yang membutuhkannya masih jauh dari memadai. Kemampuan pemerintah untuk menangani permasalahan lansia – bahkan lansia terlantar yang merupakan keharusan ditangani oleh pemerintah sesuai amanat konstitusi— juga masih rendah. Rendahnya kemampuan negara dalam memberikan dukungan institusional dan rendahnya kemampuan keluarga dan masyarakat memberikan bantuan sosial, menyebabkan beban berat bagi orang tua kita yang telah ikut serta membangun negeri ini. Amat terbatasnya dukungan pemerintah terhadap keberadaan lansia baik dalam bentuk bantuan sosial (seperti melalui panti jompo dsb) maupun asuransi sosial (asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, pensiun dan sejenisnya) membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan keluarga (familial support) terhadap keberadaan lansia. Sayangnya, dukungan keluarga juga belum memadai. Program yang dapat meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga muda, yang pada akhirnya dapat mendukung penduduk lansia, akan sangat membantu. Memang, solusi terbaik untuk memberikan perlindungan sosial bagi lansia adalah dukungan keluarga yang dapat memberikan dukungan kebutuhan fisik sekaligus dukungan psiko-sosial. Namun perlu disadari bahwa mengandalkan semata-mata dari dukungan informal terhadap keberadaan lansia dan juga terhadap keberadaan penduduk miskin tidak cukup. Bukan saja karena sifat penanganannya yang tidak permanen tetapi 48 juga karena nilai-nilai sosial yang dapat mendukung mereka juga terus mengalami perubahan. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem perlindungan sosial yang mencakup seluruh penduduk, termasuk penduduk rentan, yang saling melengkapi antara sistem yang dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan oleh masyarakat atau keluarga sendiri. Peta dan rencana strategis untuk mengantisipasi kebutuhan perlindungan sosial bagi penduduk lansia harus segera dibuat untuk menghadapi window of opportunity dalam menghadapi transisi demografis. 4.2 Tantangan yang Dihadapi dalam Mengembangkan Sistem Perlindungan Sosial Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa kebutuhan akan pengembangan sistem jaminan sosial formal yang mencakup seluruh penduduk, sudah sangat mendesak. Namun sistem jaminan sosial formal akan dapat berkembang sistemik dan permanen jika didukung oleh jumlah dan kemampuan ekonomi penduduk usia produktif/angkatan kerja yang secara proporsional lebih besar dari penduduk dependen. Hal ini disebabkan karena penduduk usia kerjalah yang berkontribusi pada sistem jaminan sosial, sebagai salah satu sistem perlindungan sosial yang handal dan permanen. Jika kemampuan ekonomi penduduk dan kondisi ketenagakerjaan masih relatif kecil, sistem perlindungan sosial akan diwarnai dengan besarnya bantuan sosial dan jaringan sosial informal yang temporer dan ad hoc. Pertanyaannya, “apakah kemampuan ekonomi penduduk rendah dan kondisi ketenagakerjaan sudah memadai untuk sebuah sistem jaminan sosial formal permanen?” Sayangnya, kondisi ketenagakerjaan yang ada saat ini masih menjadi tantangan utama dalam upaya mengembangkan sistem jaminan 49 sosial. Masalah ketenagakerjaan dan sosial ekonomi yang dihadapi Indonesia, diantaranya: a) Tingginya angka penganguran yang mencapai 12% dari angkatan kerja, dan tingginya sektor informal yaitu lebih dari 60% angkatan kerja berimplikasi pada sulitnya memobilisasi dana kontribusi mereka untuk sebuah sistem jaminan sosial yang kuat. b) Rendahnya kualitas tenaga kerja yang disebabkan oleh lebih dari dua pertiga tenaga kerja Indonesia berpendidikan kurang dari sekolah lanjutan tingkat pertama. Tingkat pendidikan rendah sangat kemampuan berhubungan meningkatkan dengan nilai produktifitas tambah produk dan yang dihasilkan. c) Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas tenaga kerja menghasilkan tenaga kerja dengan upah rendah, yaitu hanya sedikit di atas kebutuhan fisik minimum (KFM). Upah rendah akan menimbulkan kesulitan pekerja untuk berkontribusi dalam sistem jaminan (asuransi) sosial yang akan dikembangkan. d) Kurang difahaminya oleh pejabat pemerintah, pemberi kerja, pekerja, akademisi, dan masyarakat pada umumnya, bahwa sebuah sistem jaminan sosial yang baik dan kuat merupakan faktor amat penting dalam ketahanan ekonomi negara di kemudian hari. e) Masih lemahnya manajemen dan kinerja badan penyelenggara jaminan sosial, akibat struktur badan penyelenggara, status badan hukum, dan kurangnya kesadaran tenaga-tenaga penyelenggara dalam mengemban misi publik. 50 Jelaslah, bahwa sistem jaminan sosial formal permanen yang mencakup seluruh penduduk belum mungkin terbentuk dalam waktu dekat. Hal ini tidak berarti bahwa kita harus menunggu agar dependensi rasio menjadi minimum untuk memulai. Semua negara memulai sejak dini, sejak jumlah pekerja di sektor formal yang mampu berkontribusi masih relatif sedikit. Secara bertahap, sistem jaminan sosial akan tumbuh menjadi kuat, permanen, dan handal untuk menangkal berbagai risiko sosialekonomi penduduk. Kondisi di atas mengindikasikan bahwa sistem perlindungan sosial lain, yang berbasis bantuan sosial dari sektor publik dan swasta dan bersifat mendorong tumbuhnya lapangan pekerjaan, sangat dibutuhkan saat ini dan harus terus dikembangkan. Masih relatif sedikitnya pekerja yang telah secara aktif menjadi peserta jaminan sosial dalam kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas menggambarkan situasi yang dilematik. Di satu sisi, rendahnya cakupan mengharuskan perluasan kepesertaan ke seluruh pekerja. Di sisi lain, tingginya pengangguran, rendahnya upah, banyaknya pekerja informal merupakan kendala besar dalam mengembangkan sistem jaminan sosial yang ada. Dari mana kita mulai? Membenahi kondisi ketenagakerjaan terlebih dahulu atau mengembangkan sistem jaminan sosial tenaga kerja terlebih dahulu. Jawabannya adalah bahwa keduanya tentu perlu dilakukan secara paralel. Memberdayakan angkatan kerja yang menganggur dan yang berusaha dalam sektor informal secara kecil-kecilan merupakan prioritas penting agar seluruh tenaga kerja nantinya mampu menolong dirinya sendiri dalam menghadapi risiko sosial-ekonomi di masa datang. Selain itu, tenaga kerja tersebut pada akhirnya mampu menolong keluarganya, ketika penghasilannya berkurang atau hilang sama sekali akibat suatu 51 penyakit, kecelakaan, atau memasuki hari tua yang tidak lagi produktif secara ekonomis. Pemberdayaan ini mutlak diperlukan, agar mereka yang secara ekonomis tidak atau kurang produktif dan sangat rentan terhadap kemiskinan, apabila suatu risiko berimplikasi finansial terjadi, menjadi angkatan kerja yang produktif dan mempunyai kemampuan ekonomis yang memadai. Untuk itu, diperlukan satu komando dan penyelenggaraan yang terpadu baik di sektor sosial, tenaga kerja, industri kecil, pertanian, kelautan, perikanan, dan bahkan kehutanan. Segala potensi yang memungkinkan angkatan kerja terserap dan meningkatkan kualitas dan produktifitas tenaga kerja harus dipetakan, digerakkan, dipantau, dikembangkan, dan dimobilisasi untuk membentuk sebuah sistem perlindungan sosial, kombinasi sistem jaminan sosial formal dan bentuk perlindungan sosial lain. 4.3 Pokok-Pokok Kebijakan Perlindungan Sosial Bagi Penduduk Rentan Seperti diuraikan di atas, suatu upaya terpadu dan lintas sektor harus disiapkan, mulai dari perencanaan, penciptaan perangkat hukum, perencanaan strategis, koordinasi pelaksanaan, evaluasi dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang kuat. Berikut ini disajikan pokok-pokok kebijakan yang harus dikoordinasikan dan dipadukan agar terbentuk sistem perlindungan sosial yang kuat. A. Kerangka Hukum: UU SJSN dan UU Kesejahteraan Sosial Kebijakan tentang pengembangan sistem perlindungan sosial harus didasari pada peraturan perundangan yang mendasari, yang jelas, yang memudahkan semua pihak memahami sistem tersebut. Sebuah undangundang, UU No 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 52 telah dihasilkan dan memuat skema sistem jaminan sosial formal terpadu dan terkoordinasi. Namun demikian, rincian lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (PerPres) masih harus dirumuskan. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, upaya yang harus dilakukan adalah merumuskan implementasi dan menerbitkan beberapa PP dan PerPres yang sinkron dan terpadu, yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya, berdasarkan skema-skema yang telah dirumuskan secara garis besar dalam UU SJSN. Dalam bidang perlindungan sosial yang bukan permanen, berbentuk bantuan sosial, diatur dengan sangat sederhana dalam Undangundang No.6 tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-undang ini sudah berusia 30 tahun dan masih sangat sederhana serta belum menunjukan skema terarah dan terpadu antara para pelaku perlindungan sosial. Oleh karenanya, dalam waktu dekat, UU ini harus diamendemen atau disusun UU baru yang mencakup bantuan sosial, di luar keadaan darurat bencana, yang kini naskah RUU nya telah siap dibahas oleh DPR RI. Yang harus diantisipasi oleh semua pihak adalah koordinasi dan sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Naskah RUU Penanganan Bencana yang dibahas atas inisiatif DPR RI, setelah kejadian tsunami, harus sinkron dengan UU SJSN dan RUU pengganti UU Kesejahteraan Sosial. Untuk memudahkan perumusan, berikut ini disajikan pokok-pokok skema yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). 1. Kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib bagi seluruh penduduk yang dilaksanakan secara bertahap (Pasal 4). 53 Ketentuan penahapan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. 2. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. (Pasal 17). 3. Bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, Pemerintah secara bertahap memberikan bantuan iuran (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17). 4. Jenis program jaminan sosial meliputi (a) jaminan kesehatan; (b) jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18). Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial. Salah satu ciri menonjol dari UU SJSN tersebut adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk dan adanya subsidi (bantuan) iuran bagi penduduk miskin dan kurang mampu (rentan). Dengan ketentuan itu maka penduduk miskin tetap memperoleh jaminan sosial meskipun mereka tidak mampu membayar iuran sebab 54 iuran bagi penduduk miskin disubsidi oleh pemerintah. Pada tahap awal bantuan iuran yang diberikan pemerintah kepada penduduk miskin masih terbatas pada jaminan kesehatan. Oleh karena itu, sebuah perlindungan sosial lain yang memungkin penduduk rentan berproduksi dan tercegah dari kemiskinan, bantuan sosial atau pemberdayaan lain, baik oleh sektor lain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, harus diupayakan. Yang penting adalah juga harus dicegah terjadinya duplikasi program perlindungan sosial kepada penduduk yang sama. Di akhir tahun 2005 dan akan diteruskan di tahun 2006 dan seterusnya, 60 juta penduduk miskin dan penduduk rentan sudah mendapat jaminan kesehatan yang disalurkan melalui PT Askes, sesuai dengan skema UU SJSN. Dengan penduduk miskin memperoleh jaminan pelayanan, maka subsidi bantuan sosial pemerintah kepada penduduk miskin harus diarahkan untuk program lain yang menjamin kecukupan kebutuhan gizi dan kemampuan bekerja produktif. B. Penentuan Sasaran Salah satu masalah kritis yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan sosial adalah berkaitan dengan penentuan sasaran. Masalah penentuan sasaran terjadi pertama-tama karena ada keterbatasan dana di satu sisi, sementara jumlah sasaran yang harus dilindungi demikian besar di sisi lain. Jika pemerintah memiliki dana cukup besar untuk memberikan bantuan sosial kepada seluruh penduduk miskin dan cakupan sistem jaminan sosial nasional sudah mencakup sebagian besar penduduk maka masalah penentuan sasaran barangkali tidak begitu menjadi masalah. Namun demikian, kondisi saat ini belum memungkinkan untuk itu sehingga masalah penentuan sasaran masih menjadi hal yang sangat kritis 55 dalam pemberian bantuan sosial. Masalah lain dalam penentuan sasaran ini adalah terkait dengan kriteria dan mekanisme pendataan. Salah satu masalah kritis yang dihadapi selama ini, termasuk juga dalam menentukan penduduk miskin dan penduduk rentan, antara lain adalah berkaitan dengan penentuan batas (cut of point) penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Penghitungan numerik tentang batas penduduk miskin dalam praktek di lapangan sangat sensitif. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang mendalam tentang bagaimana formula penentuan batas tersebut, agar tidak semata-mata numerik tetapi juga mempertimbangkan persepsi keadilan dan kewajaran yang berkembang di masyarakat. Berkaitan dengan penduduk rentan, masalah kriteria selama ini belum ada data yang secara tegas menyatakan berapa besar jumlah penduduk rentan dan dimana saja distribusinya. Ada beberapa kajian teoritik yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berkaitan dengan penduduk rentan. Namun tentu saja hasil kajian tersebut tidak bisa serta merta dapat digunakan untuk dijadikan dasar dalam menentukan sasaran penduduk rentan di lapangan. Data yang paling besar yang dapat digunakan untuk menentukan penduduk rentan adalah data yang dikumpulkan oleh BPS melalui Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan. Namun simulasi lebih mendalam terhadap berapa besar penduduk rentan dengan menggunakan hasil sensus kemiskinan belum dapat dilakukan mengingat proses verifikasi terhadap data tersebut masih terus berlangsung. Sementara pengertian penduduk rentan dari perspektif legal daat ditemui setidaknya di dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 39 56 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembinaan Keluarga Sejahtera. Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dinyatakan, bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Dalam UU No. 10 Tahun 1992 dinyatakan, bahwa masyarakat rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fisiknya. Termasuk di dalamnya adalah komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar, dan remaja bermasalah. Sehubungan dengan penduduk rentan tersebut Direktorat Pendaftaran Penduduk, Ditjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Sistem Prosedur dan Standar Pelayanan Pendaftaran Penduduk Rentan. Dalam pedoman tersebut yang dimaksud dengan penduduk rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak balita, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat (UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) serta komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar dan remaja bermasalah (UU No. 10 Tahun 1992). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud penduduk lanjut usia adalah penduduk berusia lebih dari 60 tahun dan termasuk kategori prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 (satu) karena alasan ekonomi. Wanita hamil adalah wanita yang termasuk penduduk rentan kesehatan. Anak balita adalah anak dengan usia di bawah 5 tahun yang rentan terhadap 57 penyakit dan kemampuan potensi inteligensianya yang terkait pemenuhan gizi masih dapat dikembangkan. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan pekerjaan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik (tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna daksa), dan penyandang cacat mental. Fakir miskin adalah keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera tahap 1 (KS 1). Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab, orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Remaja bermasalah adalah remaja yang terlibat narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan tindak kriminal. Komunitas adat terpencil adalah penduduk yang bertempat tinggal dan atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografis terpencil, terisolir dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan penduduk pada umumnya. Jika pendaftaran penduduk rentan yang dilakukan oleh Ditjen Administrasi Kependudukan dapat berjalan dengan baik maka seharusnya jumlah penduduk rentan (sebagaimana digariskan pada dua undangundang tersebut) dapat diketahui dengan baik. Namun karena pendaftaran penduduk yang ada selama ini masih belum efektif maka jumlah penduduk rentan sesuai pengertian kedua undang-undang tersebut belum dapat diketahui dengan baik. C. Kelembagaan Kelembagaan pengelola dan penyelenggara perlindungan sosial secara garis besar dipilah menjadi dua, yaitu kelembagaan yang menangani jaminan sosial dan kelembagaan yang menangani bantuan sosial lain. 58 Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional lembaga yang menangani jaminan sosial disebut sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Selama ini sudah ada empat BPJS yang dikenali dan disebutkan dalam UU SJSN, yang penyelenggaraannya harus menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Selain empat BPJS tersebut, dapat dibentuk BPJS baru dengan UU. Pasal 5 ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (baru) harus dibentuk dengan Undang-Undang. Semula Pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa yang dimaksud BPJS dalam Undang-Undang ini adalah PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT ASABRI (Persero) dan PT Askes (Persero). Namun dalam judicial review, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak mengikat dan penetapan empat badan penyelenggara untuk program jaminan sosial nasional sudah cukup diatur oleh Pasal 52 UU SJSN. Jadi, esensinya keempat BPJS yang telah ada sah dan sesuai dengan amanat konstitusi. Dalam pengaturan lebih lanjut, sebaiknya diatur agar satu BPJS menyelenggarakan satu program secara nasional agar tidak terjadi tumpang tindih, baik programnya maupun penduduk yang dilayaninya. Sementara itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan program jaminan sosial bagi penduduk atau program yang belum atau tidak dilayani oleh BPJS nasional. Dengan demikian, akan terjadi harmoni dan keterpaduan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk dan untuk berbagai kebutuhan dasar yang layak, dalam rangka mencegah bertambahnya penduduk miskin dan atau rentan. Kalau menilik kelembagaan jaminan sosial di berbagai negara memang tampak bervariasi dari banyak lembaga/badan penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional yang mengelola 59 berbagai program jaminan sosial. Banyaknya badan penyelenggara tersebut mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program jaminan sosial. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan adanya kecenderungan mengarah kepada kelembagaan yang semakin kecil jumlahnya, bahkan ada negara yang jaminan sosialnya hanya dikelola oleh satu badan untuk seluruh program. Di samping itu, tampak adanya suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi) pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan penting dan di dalam pengelolaan dana. Pengelolaan bersifat nirlaba, artinya setiap sisa hasil usaha akan dikembalikan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta dan bukan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham atau pemerintah, memang sejalan dengan falsafah, visi-misi, dan tujuan jaminan sosial sebagai upaya perlindungan dan bukan upaya mencari dana. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebijakan ke depan tampaknya perlu mengarah kepada kelembagaan jaminan sosial yang mampu memberikan kepastian jaminan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan hidup layak bagi setiap penduduk, secara berkelanjutan sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Penyelenggaraan program perlindungan sosial harus bertumpu kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi seluruh rakyat, kegotong royongan, memberikan perlindungan yang adil dan merata pada setiap peserta, peserta membayar iuran, dikelola secara nasional agar 60 terpenuhi hukum angka besar (law of the large numbers) yang efisien dan efektif, transparan dan dapat dipercaya. Kelembagaan jaminan sosial haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral, terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial haruslah kelembagaan yang independen, menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para stakeholders yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Lembaga tersebut merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian amanah dari dana yang terkumpul. Penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh banyak instansi, sementara Departemen Sosial yang sesuai tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki cakupan yang amat terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya yang tergolong PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah telah merubah secara signifikan bentuk, fungsi, dan kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam mengelola berbagai program pembangunan jauh lebih besar dari sebelumnya, sementara di sisi lain kemampuan antar daerah juga sangat bervariasi. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan sosial utamanya bagi penduduk miskin dan penduduk rentan harus 61 dijabarkan secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Studi ini belum menganalisis secara lengkap dan rinci tentang bagaimana bentuk kelembagaan yang ideal untuk mengelola bantuan sosial. Namun studi ini merekomendasikan bahwa kelembagaan pengelolaan bantuan sosial, yang sifatnya sementara di luar program jaminan sosial yang diatur UU SJSN, sebaiknya dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan mengelola bantuan sosial, yang dalam hal ini, misalnya, adalah Departemen Sosial. Sementara itu, pengelola di lapangan dapat diserahkan kepada masing-masing daerah yang didanai bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan bantuan masyakarat. Dalam hal penentuan sasaran (siapa penduduk miskin dan rentan yang memang berhak dan pantas memperoleh bantuan sosial) diatur standar nasional yang ditetapkan, misalnya, oleh Departemen Sosial sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sementara daerah yang mampu dapat meningkatkan standar tersebut, dengan konsekuensi penambahan dana oleh pemda terkait. Mengingat masalah penentuan penduduk miskin dan rentan sebagai sasaran bantuan seringkali mengalami banyak kendala di tingkat pelaksanaan di lapangan maka Departemen Sosial berangkat dari data penduduk miskin dan rentan yang ada perlu mengembangkan instrumen yang tepat dan mudah diterapkan dalam melakukan seleksi siapa sebenarnya penduduk miskin dan rentan yang benar-benar layak untuk diberikan bantuan sosial. Selanjutnya instrumen tersebut disosialisikan ke setiap daerah untuk melaksanakannya. Sedangkan database-nya dibangun secara terpusat secara nasional. Pengembangan database penduduk miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial hendaknya mengacu pada Nomor Induk Kependudukan 62 (NIK) yang saat ini sedang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri. Siapa yang perlu mendapat bantuan sosial secara permanen dan siapa yang cukup diberikan secara insidental juga perlu dicakup dalam pendataan ini, termasuk pula jenis atau bentuk bantuan apa yang perlu diberikan (uang tunai, barang atau pelayanan, pangan, papan dan sebagainya). Dengan kelembagaan yang kuat dan terkoordinir di satu pintu maka diharapkan pelaksanaan bantuan sosial ke depan dapat dilakukan secara lebih baik. D. Skema Pendanaan Pendanaan program sistem perlindungan sosial yang bersumber dari bantuan sosial masih bertumpu pada sumber utama APBN-APBD, paling tidak untuk 10 tahun ke depan. Kontribusi pemerintah daerah yang secara umum selama ini masih rendah harus ditingkatkan secara bertahap. Namun demikian, perlu dihargai upaya beberapa pemda seperti di Tabanan, Jimbaran, Lebak, Musi Banyuasin, Kutai Kertanegara, dll, yang dari segi alokasi APBD telah mengalokasikan dana cukup signifikan untuk program-program perlindungan sosial, baik yang disalurkan kepada fasilitas pelayanan pemerintah maupun yang disalurkan melalui bantuan iuran program jaminan kesehatan. Sumber dana kedua harus berasal dari iuran atau kontribusi setiap penduduk, baik yang dipotong langsung dari gaji/upah, yang dibayarkan oleh majikan sebagai tanggungjawab majikan dan investasi majikan terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Yang menjadi tantangan terbesar dan memerlukan studi serta eksperimen yang seksama adalah pengumpulan dana dari tenaga kerja di sektor informal, seperti pedagang eceran, warung-rumah, usaha rumah tangga, petani mandiri dan nelayan 63 mandiri. Kelompok sektor informal tidak memiliki penghasilan tetap sebagaimana gaji atau upah yang diterima karyawan setiap bulan. Kesadaran kelompok ini untuk menabung atau membayar iuran juga umumnya rendah, sehingga kesadaran sendiri akan sulit diharapkan. Pemaksaan atau penegakan hukum kepada kelompok ini sangat sulit dan sangat berbeda bila dibandingkan dengan pemaksaan majikan untuk memotong gaji dan menambahkan kewajibannya dalam membayar iuran. Uji coba dan penelitian seksama di berbagai daerah, dengan memberdayakan kearifan lokal, namun tetap pada koridor sistem nasional untuk perlindungan dasar, harus terus dilakukan dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Selain kedua sumber yang dapat dijamin keberlanjutannya di atas, bantuan solidaritas sosial dari masyarakat, baik berupa zakat, infak, sedekah, karitas, ataupun sumbangan yang dapat mengurangi pajak yang diberi insentif sistem perpajakan, harus terus dikembangkan. Meskipun pada umumnya pendanaan bersumber eksternal seperti ini tidak menjamin kecukupan dan ketepatan sasaran, peran sumber dana ini cukup besar di kemudian hari. Bantuan dana berupa pinjaman luar negeri untuk program yang bersifat konsumtif, pemberian bantuan langsung, harus dikurangi sehingga menjadi tidak ada sama sekali. Sesungguhnya, potensi di dalam negeri dari mereka yang mampu juga cukup besar. Selain itu, dana yang terkumpul dari program jaminan sosial jangka panjang, seperti jaminan hari tua dan jaminan pensiun, yang terkumpul dan terakumulasi untuk jangka panjang, juga dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pendanaan lokal. 64 E. Kebijakan dan Program Untuk itu, kebijakan dan strategi SPS penduduk rentan dijabarkan ke dalam indikasi program-program untuk mencapai sasaran penduduk rentan yaitu: a) Kegiatan-kegiatan pokok pada program pembangunan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah yang berkaitan dengan pelaksanaan bantuan sosial harus diarahkan pada pemberdayaan kemampuan ekonomi dan ilmu pengetahuan penduduk rentan. b) Program pembangunan yang mendukung pengembangan kearifan lokal dalam koridor program nasional harus terus dikembangkan, diteliti, dan dikembangkan secara seksama. c) Program-program pembangunan yang berkaitan dengan upaya memperkuat dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat, termasuk pemasaran sosial kehidupan bergotong-royong (solidaritas sosial) harus terus digalakkan secara nasional. d) Program pembangunan yang mendukung pengembangan nomor induk kependudukan (NIK) – Basis Data Kepesertaan harus terus dikembangkan dan diintegrasikan agar manfaat dan perkembangan penduduk rentan dapat dipantau secara reguler setiap tahun. Pembentukan suatu SPS yang mapan dan berkesinambungan memerlukan waktu yang panjang dan lama bergantung pada kesiapan perangkat peraturan perundangan, kelembagaan, pendanaan serta mekanisme penyaluran dan sistem monitoring. Tahap awal adalah membentuk SPS bagi Penduduk Rentan berikut perangkat pendukung baik dari aspek substansi (termasuk kebijakan, program, pendanaan, penentuan 65 sasaran, dan sistem monitoring), aspek peraturan perundangan, dan kelembagaan. F. Penyelenggaraan Perlindungan Sosial di Daerah Tiap-tiap daerah perlu membuat rencana strategis pengalihan pendanaan perlindungan sosial secara transisional dari pemberian ‘ikan’ kepada pemberian ‘pancing’ atau pemberdayaan. Rencana strategis SPS lokal, yang merupakan komplemen dari program nasional, harus dituangkan dalam sebuah Perda. Pada akhirnya nanti, pemberian bantuan lansung berbentuk pelayanan ataupun bantuan iuran hanya diberikan kepada yang benar-benar miskin atau yang dalam keadaan miskin sementara. Pemberian bantuan langsung tunai seperti yang dalam beberapa bulan terakhir ini dilakukan, harus sangat dibatasi kepada penduduk yang secara fisik tidak memiliki potensi untuk berusaha guna mendapatkan penghasilan. Penduduk lansia dan cacat total/tetap merupakan penduduk yang berhak atas dana bantuan langsung tunai. G. Program Kerja yang Direkomendasikan Secara operasional, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi penyelenggaraan perlindungan sosial bagi penduduk rentan yang merupakan program sinergis antara pusat dan daerah dan antarsektor. Perhitungan kebutuhan dana program ini belum dikaji dan dihitung. Perhitungan tersebut dapat dilakukan setelah pendataan jumlah penduduk rentan dengan indikator yang sensitif telah dilakukan. Selain penyedia dana stimulan, Pemerintah pusat melakukan pengawasan dan penyediaan bantuan teknis tenaga ahli untuk berbagai program yang dijalankan sesuai 66 dengan kondisi daerah yang memungkinkan suatu program dijalankan. Program-program yang direkomendasikan antara lain adalah: a. Peningkatan pendapatan pengganti Bantuan Langsung Tunai (BLT) Setiap Pemda pendamping perlu dirangsang pembukaan untuk lapangan kerja menyediakan ekstensif dana dengan meyediakan sekitar 10-50% dana, tergantung dari kapasitas fiskal daerah. Pemda yang mempunyai kapasitas fiskal terendah menyediakan 10% dana yang dibutuhkan, sedangkan Pemda dengan kapasitas fiskal tinggi menyediakan 50% dana yang dibutuhkan. Sisanya ditanggung oleh Pemerintah pusat sebagai kompensasi kenaikan harga BBM untuk empat (4) tahun ke depan. Program yang dibuka misalnya berupa: 1) Penanaman pohon dalam rangka reboisasi hutan produktif di lahan tidur yang tersedia di daerah, atau penghijauan sepanjang tepi jalan negara, provinsi, kabupaten, bahkan jalan desa dengan kayu bernilai jual baik seperti kayu jati dan mahoni untuk kebutuhan 15-40 tahun di masa datang. Setiap penduduk rentan di daerah yang telah diidentifikasi ditawari bekerja menanam pohon tersebut dengan upah harian. Tergantung dari jumlah dana yang tersedia, pekerjaan tersebut dapat ditawarkan setiap hari atau beberapa hari dalam se minggu. Besarnya upah dibayarkan sebesar upah minimum kota/kabupaten. 2) Pembersihan saluran air buangan dalam rangka pencegahan banjir dan penyebaran penyakit menular melalui air. Pola yang dilakukan sama yaitu menawarkan kepada penduduk rentan dan miskin untuk bekerja harian, dengan pengawasan yang 67 memadai, secara teratur untuk empat tahun ke depan. Besarnya upah dibayarkan sebesar upah minimum kota/kabupaten. 3) Penyediaan sumber air bersih publik seperti pembuatan sumur bor, pembangunan waduk kecil di daerah untuk pengairan rakyat berskala desa atau kecamatan, pembangunan irigasi lahan pertanian, pembangunan penampungan air hujan di daerah sulit air tanah, pembangunan penyaringan air tanah payau atau air tanah bermineral tinggi di daerah rawa-rawa, dan pengaliran air rawa yang menjadi sumber pembiakan nyamuk penyebar penyakit malaria, filaria, demam berdarah, dan sebagainya. 4) Penanaman pohon buah atau pohon penghasil komoditas ekspor di lahan-lahan tidur atau di sepanjang pantai, aliran sungai, danau dan sebagainya dengan pohon produktif seperti pohon kayu putih, pohon damar, pohon jarak, dan sebagainya yang sesuai dan subur tumbuh di suatu daerah. b. Menanggulangi risiko fisik yang menurunkan produktivitas dan mencegah jatuh miskin Penduduk miskin dan rentan sangat mudah jatuh sakit yang menyebabkan mereka kehilangan penghasilan atau kehilangan potensi bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Secara nasional Pemerintah telah menganggarkan program jaminan kesehatan sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, namun demikian tidak semua penduduk dapat terlindungi secara memadai. Untuk itu, perlu skema khusus di daerah yang memperkuat program nasional tersebut seperti: 1.) Memberikan jaminan kepada setiap penduduk rentan yang belum dijamin Askes dalam perawatan di rumah sakit, misalnya 68 dengan menambah iuran kepada Askes atau memberikan penggantian biaya ke rumah sakit pemerintah maupun swasta di daerah. Dana untuk ini disiapkan oleh daerah sebagai dana pendamping program Askes dan sebagai suatu upaya pengembangan jaminan sosial oleh daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 22 ayat h. Beberapa daerah telah menyediakan pelayanan puskesmas gratis untuk seluruh penduduk. Perlu diingat bahwa pelayanan rawat jalan seperti yang dilayani di puskesmas, tidaklah mengancam ekonomi penduduk rentan. Namun demikian, kebutuhan rawat inap dapat menjadikan penduduk rentan jatuh miskin. Oleh karenanya yang harus dijamin Pemda, sebagai pendamping program nasional, haruslah menjamin pendanaan rawat inap, pembedahan, perawatan intensif, atau pemberian dana transportasi untuk perawatan di rumah sakit yang tidak dijamin oleh Askes. Prinsip dasar program ini adalah menolong penduduk yang tidak mampu menolong dirinya sendiri, yaitu ketika mereka membutuhkan perawatan di rumah sakit yang mahal. Besarnya bantuan sosial dapat disyaratkan bagi biaya perawatan yang besarnya lebih dari 40% upah minimum provinsi (UMP), sesuai dengan standar biaya katastropik WHO. Pemberian pelayanan puskesmas gratis ke semua penduduk kurang tepat, karena sesungguhnya sebagian besar penduduk sanggup membayar biaya puskesmas yang kecil. 2.) Pemberian jaminan biaya rawat inap penduduk lanjut usia (berusia lebih dari 60 tahun) yang tidak memenuhi syarat atau tidak dijamin program nasional melalui Askes. Ini merupakan 69 program penghargaan anak kepada orang tua yang telah membesarkan mereka di suatu daerah. Penduduk lansia tidak lagi mampu mencari penghasilan yang memadai sementara risiko sakit kronis maupun sakit akut akibat infeksi atau tertular penyakit sangat tinggi. Sumber dana dari APBD sebagai pendamping program SJSN pusat yang didanai APBN. Apabila seluruh penduduk lansia sudah terjamin melalui Askes, maka pemda dapat memberikan jaminan uang tunai, untuk memenuhi kebutuhan transpor atau makan pasangan lansia yang sedang dirawat di rumah sakit. Contoh yang baik dilakukan oleh Pemda Lebak, yang relatif miskin, dengan memberikan jaminan kesehatan kepada rakyat miskin dan PNS yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun karena Pemda menambahkan iuran kepada Askes dan menanggung semua biaya yang tidak termasuk dalam paket yang dijamin Askes. Bahkan keluarga miskin yang anaknya dirawat karena kurang gizi mendapat tambahan uang tunai sebesar Rp 20.000 per hari perawatan untuk biaya makan orang tua selama menunggu dan biaya makan anggota keluarga di rumah. Jumlah tersebut masih ditambah Rp 50.000,- per hari dari Perhimpunan Masyarakat Banten yang dihimbau dan dipancing oleh Pemda melalui dana bantuan uang tunai tersebut. 3.) Pemda mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Daerah dengan membentuk Dana Amanat Daerah, seperti Dana Amanat dalam SJSN, yang dapat dikumpulkan dari iuran wajib setiap penduduk ditambah hibah dari APBD setiap tahun, yang diatur dengan Perda. Dana Amanat Daerah ini digunakan untuk 70 mengganti penghasilan penduduk, tidak hanya penduduk rentan, yang hilang atau tidak lagi memperoleh penghasilan karena suatu kecelakaan, penyakit kronis atau cacat akibat suatu penyakit berat seperti jantung, stroke, polio, dan sebagainya. Program ini juga merupakan pengembangan sistem jaminan sosial oleh Pemda seperti diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Hanya saja, jaminannya berupa uang tunai bulanan sebesar 60-70% dari penghasilan sebelumnya. Program ini dikenal dengan Asuransi Disabilitas Penghasilan yang diperuntukkan bagi mereka yang kehilangan penghasilan akibat suatu penyakit atau kecelakaan, baik di tempat kerja maupun kecelakaan lalu lintas atau di laut ketika nelayan mencari ikan. Asuransi ini juga memberikan penggantian penghasilan kepada ahli waris, ketika pencari nafkah keluarga meninggal dunia akibat penyakit atau kecelakaan tersebut. c. Program peningkatan kapasitas kerja penduduk rentan Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi dan produktivitas penduduk rentan yang telah memiliki pekerjaan bebas atau bekerja mandiri, bukan sebagai pegawai suatu badan usaha pemerintah atau swasta, akan tetapi hasil pekerjaannya tidak memadai. Contohnya misalnya petani, nelayan, pedagang eceran, industri rumah tangga yang dikelola oleh anggota rumah tangga sendiri tanpa melibatkan tenaga kerja dari keluarga lain, atau pemilik toko atau warung yang dikelola oleh rumah tangga. Program-program ini sebaiknya dikelola secara terpadu lintas sektor dan melibatkan pengusaha besar nasional, yang bergerak dalam bidang retail, produksi, atau distribusi bahan. Pengawasan ketat oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota 71 merupakan keharusan dalam rangka melindungi penduduk rentan dari eksploitasi untuk membayar biaya yang akan menghambat peningkatan kapasitasnya. Program-program yang dijalankan antara lain: 1.) Menghidupkan kembali tabungan keluarga atau kredit usaha keluarga guna meningkatkan volume usaha, yang pernah dijalankan di jaman Orde Baru oleh program kependudukan yang kemudian dikelola oleh Yayasan Mandiri. Penduduk yang memiliki usaha diwajibkan menyediakan dana pendamping sebesar 20-30% dari modal pengembangan usaha yang dibutuhkan. Jaminan atau kolateral tidak boleh diwajibkan, namun demikian, penduduk wajib membuka rekening di BPR atau di kantor bank atau kantor pos atau kantor desa yang tersedia di daerah. Karena program ini akan melibatkan dana bergulir yang besar, maka pengawasan dana dan bantuan teknis pemerintah pusat atau pemerintah provinsi agar dana bergulir menjadi besar, mutlak diperlukan. Penegakan hukum atas penyimpangan, yang dirumuskan dan dilakukan secara terbuka oleh para anggota, harus dijalankan dengan tegas, agar program dapat berjalan untuk masa puluhan atau ratusan tahun. Penduduk rentan harus diberdayakan dan dibudayakan memberikan sangsi efektif dan tegas atas pelanggaran yang merugikan kelompok. 2.) Menyediakan pelatihan manajemen uang, manajemen industri kecil, manajemen pemasaran, manajemen teknis (misalnya pertanian tertentu, beternak udang, menanam rumput latu, atau teknik menangkap ikan), dan manajemen masa depan yang 72 membuka pandangan penduduk rentan terhadap pasar luas dunia. 3.) Menyediakan subsidi sarana peningkatan daya jual produk, seperti penyediaan mesin pendingin bagi nelayan atau mesin pengolah padi bagi petani padi. d. Program pemantauan dan penanggulangan dini penduduk dengan potensi masalah sosial Program pemantauan dan penanggulangan dini penduduk dengan potensi masalah sosial dapat dilakukan antara lain melalui: 1.) Tiap Pemda kota/kabupaten diwajibkan untuk membentuk Badan Perlindungan Sosial Terpadu (BAPESDU), yang bertugas untuk memantau dan mengkoordinasikan berbagai manfaat (benefit) dari program bantuan sosial, SJSN, perlindungan sosial lain—baik dari pemerintah maupun dari swasta. BAPESDU bukanlah badan operasional, akan tetapi badan koordinasi yang berfungsi menggariskan kebijakan dan memantau keterpaduan berbagai program perlindungan sosial, baik yang dikelola secara nasional seperti Askes dan Jamsostek maupun yang dikelola oleh Pemda dan LSM. BAPESDU ini berbeda dengan Dinas Sosial yang bersifat operasional. Anggota BAPESDU adalah wakil tokoh masyarakat dan para kepala/manajer kantor daerah program kepala/manajer SJSN badan yang sejenis bersifat yang nasional, mengelola dan program perlindungan sosial yang berskala lokal kota/kabupaten. 2.) Dengan sistem dana pancingan, matching fund, dari Pusat yang dapat dialokasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang memerlukan perkuatan peraturan, Pemda diminta menghidupkan kembali dan memperluas pelayanan Posyandu. 73 Posyandu “baru” mempunyai fungsi pemantauan, pelaporan kepada pihak Badan Perlindungan Sosial Daerah, dan pengawasan terhadap program perlindungan sosial bagi anggota keluarga Posyandu dalam hal perlindungan sosial luas. Termasuk perlindungan sosial tersebut adalah programprogram yang disebutkan di atas dan termasuk melaporkan penduduk yang terkena PHK, terkena musibah berat, kurang makan yang ditandai dari menurunnya berat badan balita yang ditimbang rutin di Posyandu, dan melaporkan berbagai risiko sosial lain yang memerlukan perlindungan sosial. 74 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Perlindungan sosial saat ini masih dikelola secara terpecah-pecah (fragmented) baik karena peraturan perundangan yang hanya dibuat secara sektoral dan sub sektoral, maupun karena secara sosial-ekonomis penyelenggaraan terpadu belum dilaksanakan. Selain itu, fokus program perlindungan sosial masih kepada dua kelompok besar penduduk, yaitu penduduk pekerja di sektor formal yang memiliki penghasilan relatif baik, dan penduduk miskin absolut yang kriterianya digunakan seragam secara nasional. Penduduk yang bekerja di sektor informal dan memiliki penghasilan hanya sedikit di atas garis kemiskinan masih luput dari program perlindungan sosial. Di lain pihak, penduduk marjinal tersebut, yang disebut penduduk rentan, yang memiliki potensi besar jatuh kepada kemiskinan berjumlah lebih besar. Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) telah merumuskan suatu program yang lebih menjamin sinkronisasi dan menghilangkan tumpang tindih program jaminan sosial yang bersifat permanen dan formal. Namun demikian, penjabaran operasional lebih lanjut harus segera dilakukan dalam bentuk penerbitan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Selain itu, program bantuan sosial yang tidak mencakup program dan penduduk yang sama yang dicakup oleh UU SJSN untuk sementara waktu masih harus segera dijabarkan dan dilaksanakan secara terpisah dari pengelola SJSN. 75 5.2 Saran Pemerintah (pusat dan daerah) perlu menyadari sepenuhnya bahwa program perlindungan sosial selain jaminan kesehatan, harus dikembangkan agar penduduk rentan tidak jatuh menjadi penduduk miskin. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah telah mewajibkan pemerintah daerah untuk ‘mengembangkan sistem jaminan sosial’ tanpa menjelaskan rincian apa yang dimaksud dengan ‘jaminan sosial’. Dengan prinsip penyelenggaraan terkoordinasi dan bersifat saling melengkapi antara pusat dan daerah, maka salah satu upaya yang perlu dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menutupi kekosongan perlindungan sosial yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah pusat. Hal ini harus disadari pemerintah daerah, bukan dengan menuntut agar program yang diselenggarakan oleh pusat dikelola oleh daerah. Sebagai contoh, jika jaminan kesehatan sudah diberikan oleh Pemerintah pusat, maka pemerintah daerah yang mampu sebaiknya memberikan bantuan sosial, salah satu bentuk jaminan sosial, berupa pemberdayaan kemampuan ekonomi, misalnya melalui pembukaan lapangan kerja yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive). Contoh lainnya adalah jika penduduk rentan sudah tidak lagi memiliki risiko jatuh miskin apabila ia sakit, karena telah dijamin oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat memfokuskan bantuan dana untuk meningkatkan program perbaikan mutu pelayanan di puskesmas dan rumah sakit. Selain itu, pemda dapat membuat program yang labor intensive misalnya membuka jalan yang memungkinkan produk hasil hutan, perkebunan, dan pertanian oleh masyarakat rentan di daerah terpencil dapat dijual ke kota dengan biaya transportasi yang relatif murah. Pemda juga dapat menyediakan gudang pendingin dengan sewa murah bagi nelayan atau peternak kecil yang dapat memelihara produknya tetap 76 segar dan memiliki harga jual yang baik. Pemda juga dapat membuka pertanian atau perkebunan percontohan dengan bantuan ijin pengolahan lahan tidur, bibit, pupuk, dan bantuan teknis serta bantuan manajemen kepada penduduk rentan yang menganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 12 juta angkatan kerja pada akhir tahun 2005. 77 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, BPS, Jakarta, Juni 2004 Badan Pusat Statistik dan World Bank Institute, Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan, BPS, Jakarta, Januari 2002 Badan Pusat Statistik, Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS, Buku I, BPS, Jakarta -------------, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial-Ekonominya 1996-1999: Sebuah Kajian Sederhana, BPS, Jakarta -------------, Penyempurnaan Metodologi Penghitungan Penduduk Miskin dan ProfilKemiskinan 1999, BPS, Jakarta -------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta -------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2: Kabupaten, BPS, Jakarta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Peta Kemiskinan di Indonesia, BAPPENAS, Mei 2003 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Sosial Bagi Masyarakat Miskin, BAPPENAS, Jakarta, 2004 --------------, Sustainable Sosial Protection Technical Assistance. Inception Report, Bapenas, ADB and UK Department for Internastional Development, Jakarta, 2004 Surhayadi, Asep & Sumarto, Sudarno. The Chronic Poor, The Transient Poor and the Vulnarable in Indonesia Before and After the Crisis, SMERU, Jakarta, Mei 2001 78 Jalan, Joyotsna & Martin Ravallion, Is Transient Poverty Dfferent?, World Bank, Washington, DC, 1999 Poppele, Jessica, Sudarno Sumarto & Lant Pritchett, Sosial Impact of the Indonesian Crisis: New Data and Policy Implications, SMERU Report, Jakarta, 1999 Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Pembangunan Keluarga Sejahtera di Indonesia Berdasarkan UU No 10 Tahun 1992 dan GBHN 1993, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1994 --------------, Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1996 1 Sudarno 2 FKMUI, 3 BPS, Data Kemiskinan untuk BLT 4 Suryadi, Asep & Sudarno Sumarto, “The Chronic Poor, the Transient Poor, and the Vulnerable in Indonesia Before and After the Crisis”, working paper, SMERU, May 2001 5 Thabrany dan Mundiharno. 79