ETIKA POLITIK GLOBAL: Isu Hak-hak Asasi Manusia Oleh: Parluhutan Siregar A. Pendahuluan Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah lama menjadi wacana dan topik perdebatan para ahli. Pemikiran tentang HAM tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah panjang, mulai dari abad 13 di Inggris sampai abad 21 hari ini. Wacana HAM muncul dari semangat liberalisasi dan juga belakangan posmodern. Semangat liberalisasi yang mulai muncul pada abad 13, memunculkan isu-isu kebebasan dari kesewenangan para raja yang berkuasa. Ide yang sama juga boleh jadi muncul sebagai wujud ketidaksetujuan terhadap sistem-sistem sosial keagamaan yang cenderung religiofeodalistik. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 semangat liberalisasi menguat dengan menggaungkan isu kemerdekaan dari penjajahan kolonial Barat. Selanjutnya semangat posmodern yang muncul di abad-20 menebarkan isu humanisasi sebagai bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi yang timbul akibat modernisasi yang didukung oleh praktek kapitalisme dan industrialisasi. Pemikiran dan kesepakatan mengenai konsep hak asasi manusia pun terus bergulir, mulai dari pendapat pribadi, kesepatakan kelompok terbatas, sampai pada deklarasi berbagai bangsa. Sekalipun konsep HAM telah banyak disepakati atau dideklarasikan oleh bangsa-bangsa di sunia, namun sampai hari masih terus diperdebatkan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diekspos oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), misalnya, masih dikritik keuniversalannya oleh sebagian negara, terutama di belahan dunia bagian Timur, dan atas dasar itu kalangan tokoh Islam pun telah beberapa kali mengambil kesepakatan mengenai konsep HAM. Kini muncul pula pemikiran tokoh dari berbagai agama untuk merumuskan etika global, termasuk tentang HAM, yang digali dari ajaran agama-agama. Perkembangan pemikiran dan keputusan-keputusan yang diambil tentang HAM ini penting untuk diketahui. Makalah ini bermaksud untuk memaparkan isu Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu aturan normatif yang diterima sebagai landasan etis dalam berinteraksi sesama individu yang kemudian dijadikan sebagai etika politik global oleh bangsa-bangsa di dunia. Fokus pembahasan diarahkan pada perkembangan pemikiran dan konsensus tentang HAM yang didekati dari perspektif sejarah. Dari segi materi atau kontennya, domain analisis difokuskan pada pemikiran teoritik dan keputusan politik, sedangkan dari segi mazhabnya, sasaran analisis dibatasi pada konsep HAM yang dilembagakan di dunia Barat dan di dunia Islam, termasuk di dalamnya Indonesia. B. Teori-teori tentang Hak Asasi Manusia Dasar pemikiran mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory). Teori ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang, mulai dari zaman kuno dengan filsafat Stoika sampai ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Berkenaan dengan teori hak kodrati ini, John Locke, dalam bukunya The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipereteli oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.1 Dari perspektif ini, HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggugugat oleh siapa pun. Hak itu adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.2 Umumnya agama-agama mengamini definisi ini dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi itu diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta, di mana tidak ada kekuasaan apapun di bumi yang dapat mencabutnya. 1 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, (Oxford: Blackwell, 1964). 2 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, h. 7-21. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? (New York: Taplinger, 1973), h. 70. 2 Pemikiran hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.”3 Penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik mendasar Bentham terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya? Bentham mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil. Jadi, hukum kodrati adalah imaginasi belaka.4 Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali kritiknya pada teori hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”.5 Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme,6 yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Berdasarkan teori tersebut, pengertian tentang hak asasi manusia tidak lagi sebagai hak yang dibawa sejak lahir, melainkan suatu unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia karena adanya hukum yang penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antarindividu. Atas Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise O’Brien, London, 1968. 4 Hart, H.L.A., Essays on Bentham, (London: Oxford University Press, 1982), h. 82. 5 Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, dikutip dari Hart, Essays on Bentham, (London: Oxford University Press, 1982). 6 Mazhab positivisme adalah produk “Abad Pencerahan” yang kental dengan metodemetode empiris. Adalah David Hume yang pertama mengembangkannya. Lihat bukunya, A Treatise of Human Nature, (London: Fontana Collins, 1970). 3 3 dasar itu, hak-hak asasi manusia merupakan tolok ukur moralitas politik dan keberadaban sebuah negara. C. Sejarah dan Latar Belakang Konsensus tentang HAM di Barat HAM tidak lahir dengan sendirinya, melainkan sebagai capaian akhir dari proses evolusi sejarah serta kesadaran kolektif akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan. Menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran Barat tentang negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia.7 Di antaranya adalah Magna Charta (Piagam Agung 1215),8 yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John Lackland dari Inggris kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja tersebut.9 Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688 melakukan revolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan perlawanan terhadap raja James II.10 Di Prancis juga terdapat sejumlah deklarasi tentang HAM, di antaranya yang terkenal adalah Declaration Des Droits De l’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara.11 Demikian juga di Amerika Serika dijumpai beberapa Paparan dalam paragraf ini dikutip dari; Ni Wayan Dyta Diantari, “Sejarah Hak Asasi Manusia”, http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/ 8 Magna Charta adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tahun 1215 yang membatasi monarki Inggris, dari kekuasaan absolut. Magna Charta ini merupakan hasil konsiliasi atas perselisihan antara Paus, Raja John Lackland, dan baronnya atas hak-hak raja. 9 Isi Magna Charta adalah sebagai berikut: 1. Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris. 2. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut: (a) Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk; (b) Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah; (c) Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya; dan (d) Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya. 10 Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang: (1) Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen; (2) Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat; (3) Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen; (4) Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing; dan (5) Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja. 11 Declaration Des Droits De l’Homme Et Du Citoyen di Prancis mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite). 7 4 deklarasi, seperti The American Declaration of Independence 1776,12 dibarengi dengan Virginia Declaration of Right 1776, selanjutnya Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikat pada tahun 1789 (bersamaan dengan deklarasi di Prancis). Isi naskah-naskah ini kemudian dimasukkan atau ditambahkan sebagai bagian dari UndangUndang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791. Pada awal abad 20, ide-ide dan usaha-usaha untuk “menghargai kembali” nilainilai kemanusiaan, muncul ke permukaan sebagai upaya untuk mengeliminir perilaku deskriminatif negara-negara kolonialis terhadap dunia ketiga yang sedang berjuang memerdekakan diri. Puncak dari usaha-usaha ini menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disepakati oleh sejumlah negara melalui forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1948. Khusus mengenai kelahiran DUHAM, menurut analisis ahli sejarah berkaitan dengan Perang Dunia yang terjadi dua kali. Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa Deklarasi Universal HAM merupakan puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. “Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan rancangan instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia”. Melihat fakta memilukan itu, sekelompok negara pemenang perang setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu Amerika Serikat, Perancis dan Inggris mempelopori terbentuknya konsensus internasional tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948. Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu-isu hak asasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak asasi manusia, tetapi juga terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian dunia.13 12 Deklarasi ini seklaigus proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat yang diterima secara aklamasi oleh 13 negara bagian. Deklarasi ini memuat juga piagam hak–hak asasi manusia. Salah satu isi dari deklarasi ini adalah; “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan. 13 Deni K. Yusup, “Hukum Islam dan HAM”, http://dkyusup.blogspot.com/2008/04/ hukum-islam-dan-hak-asasi-manusia.html, Selasa, 15 April 2008 5 Lain hal dengan ide dan usaha yang mengemuka di era posmodern. Pada era posmodern, wacana ini bersamaan dengan kritik terhadap modernisme yang dirasakan semakin mengikis nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi) yang diikuti dengan semangat untuk memanusiakan manusia. Menurut Magnis Suseso, latar belakang munculnya wacana tentang HAM adalah kritik terhadap modernisasi. Modernisasi menghancurkan struktur masyarakat tradisional, mengisolasikan dan mengindividualisasikan manusia, menempatkan manusia individual maupun kelompok dan golongan ke alam persaingan keras di mana yang menang adalah yang kuat, serta melahirkan negara modern yang hampir adikuasa yang atas nama kepentingannya cenderung mengorbankan pihak lemah dan karena kedaulatannya merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenang.14 Menurut penilaian pemikir posmodern, modernisasi yang melahirkan gerakan developmentalisme –didukung oleh kapitalisme– telah menciptakan sistem sosial baru. Gerakan itu tidak jarang memerankan tindakan eksploitatif dari sekelompok kecil orang yang memiliki modal atau kekuasaan terhadap sekelompok besar rakyat tak berdaya. Era ini mengkritik habis-habisan modernisme yang telah mendesak mayoritas umat manusia menjadi semacam komponen dari sebuah pabrik besar, sehingga mereka hanya dapat bergerak dalam suatu sistem yang kaku, seolah-olah bagaikan sekrup mesin tanpa jiwa. Faktor-faktor inilah kemudian yang mendorong para penguasa yang masih memiliki kesadaran untuk merumuskan konsep Hak-hak Asasi Manusia. Ide dan gagasan itulah kemudian yang mengemuka yang secara berturut-turut melahirkan deklarasi PBB tentang HAM (1948), delaklarasi HAM Islam (1981), Deklarasi Etika Global (2009), yang kesemuanya mengkristal menjadi gerakan kemanusiaan yang berusaha memberi kemerdekaan kepada setiap individu, minimal yang berkenaan dengan hak-hak dasarnya. D. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia International Bill of Human Rights adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocol-nya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah: (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights); (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights); dan (3) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Franz Magnis Suseso, “Sepuluh Tahun Hak Asasi Manusia Di Indonesia Pasca Reformasi: Sebuah Refleksi (Butir-Butir Pokok Pembahasan)”, Makalah pada Peluncuran Buku Ajar “Hukum Hak Asasi Manusia” bagi Mahasiswa Fakultas Hukum, Yogyakarta, 19 April 2008 14 6 Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Sedangkan optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights” (Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik).15 Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian bersama”, karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua negara.16 Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Sebagai hasil konsensus internasional, HAM dikategorikan sebagai bagian dari hukum internasional, karena dibentuk melalui proses politik dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam aplikasinya, HAM dimasukkan dalam wilayah hukum tatenegara, karena aspek HAM merupakan norma fundamental yang harus dianut oleh semua konstitusi negara modern. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antarnegara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus Louis Henkin, “The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International Enforcement of Human Rights, 1987. 16 Louis Henkin, “The International.....” 15 7 senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya. Hak-hak asasi manusia merupakan jaminan yang diberikan oleh pihak kuat kepada pihak lemah dalam masyarakat: meskipun kau tidak punya kekuatan, tetapi kau tetap akan diperlakukan sebagai manusia dan tetap boleh hidup sesuai dengan harkatmu sebagi manusia. Maka jauh daripada individualisme, hak-hak asasi manusia merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah dalam masyarakat modern. Mengakui hak asasi manusia berarti, bahwa dalam masyarakat itu mereka yang lemah atau minoritas tetap merupakan warga masyarakat yang sama bebas dan terhormat dalam harkat kemanusiaannya dengan yang lain-lain. Semua kasus hak asasi manusia selalu menyangkut pihak yang lemah, yang terancam, yang tidak dapat membela diri, yang dianggap tidak berguna dan sebagainya.17 Pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam DUHAM:18 1. Hak asasi pribadi / personal Right; Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing 2. Hak asasi politik / Political Right; Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi 3. Hak asasi hukum / Legal Equality Right; Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum Franz Magnis Suseso, “Sepuluh Tahun Hak Asasi Manusia Di Indonesia Pasca Reformasi: Sebuah Refleksi (Butir-Butir Pokok Pembahasan)”, Makalah pada Peluncuran Buku Ajar “Hukum Hak Asasi Manusia” bagi Mahasiswa Fakultas Hukum, Yogyakarta, 19 April 2008. 18 Yusuf Bakri, HAM dan Demokrasi Dalam Islam, http://www.yusupbakri.co.cc/2009/ 12/ham- dan-demokrasi-dalam-islam.html, Senin, 28 Desember, 2009 17 8 4. Hak asasi Ekonomi / Property Rigths; Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll Hak kebebasan untuk memiliki susuatu Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak 5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights; Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum. 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right; Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat. E. Hak Asasi Manusia Menurut Islam Alquran tidak berbicara spesifik tentang HAM, namun spirit yang tertuang di dalamnya sarat dengan idiom-idiom yang berpihak pada kemanusiaan. Idiom-idiom itu ditafsirkan Nabi Muhammad saw ke dalam praktek nyata dan kemudian diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Pengungkapan Alquran mengenai HAM hanya terbatas pada tataran prinsip seperti: keadilan, musyawarah, saling menolong, anti diskriminasi, kedudukan kaum perempuan, kejujuran, dan sebagainya. Rincian atas konsep-konsep itu dinyatakan dalam sejumlah Hadis Rasullah dan teks-teks Tafsir Alquran. Karena itu, nilai-nilai HAM adalah kelanjutan dari prinsip-prinsip ajaran Islam di atas. Perbedaan antara Syari'ah dan konsep HAM, jika ada, hanya terjadi pada aspek-aspek rinci (furu'iyyah) sehingga secara prinsipal tidak ada problem. Hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam. Konsep hak asasi manusia telah digariskan di dalam prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks Alquran, Sunnah Rasulullah dan sahabat, maupun konstruksi pemikiran ulama. Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, dan sebagainya. Namun demikian, prinsip9 prinsip dasar yang bersifat umum tersebut sangat terbuka dengan perbedaan pada tingkat penafsiran dan implementasinya. Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik hukum dan situasi sosial-budaya dalam masyarakat Islam. Pada gilirannya muncullah corak keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal. Menurut Ismail Muhammad Djamil (1950),19 fakta telah membuktikan, bahwa risalah Islam (sejak permulaannya kota suci Mekah sudah memasukkan hak-hak asasi manusia dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan dengan penekanan masalah kewajiban manusia terhadap sesamanya. Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai surat dalam Alquran yang diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicata tentang pengutukan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada masa itu. Alquran tidak hanya mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi, tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai hak-hak tersebut. Di antara sejumlah pernyataan Alquran mengenai hak-hak dasar manusia ditemukan pada tiga ayat berikut: "Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh" (Q.S. At-Takwir : 8-9) "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin" (Q.S. Al-Ma`un: 1-3) "Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan" (Q.S. Al-Balad : 12-13) Dari perspektif sejarah, ada sejumlah pernyataan dan kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai dasar pijakan umat dalam kaitannya dengan HAM; 1. Piagam Madinah (mitsaq al-Madinah); Piagam Madinah yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Yasrib dapat disebut sebagai dokumen penting yang berkaitan dengan HAM. Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat Yahudi, umat Nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa20. 19 Djamil, Ismail Muhammad, Sedjarah Islam: Riwajat Nabi Muhammad, (Djakarta: Pustaka Rakjat, 1949). 20 Idrus, Junaidi, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia, (Yogjakarta: Logung Pustaka, 2004), h. 102 10 2. Khutbah pada Haji Wada’; Ketika Rasulullah melaknsakan haji yang terakhir (haji wada’), ia memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: "Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertakwalah kepada Allah dalam hal istri-istrimu dan perlakuan yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-penolongmu yang setia. Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas orang ‘ajam (bukan Arab) dan begitu juga bukan ‘ajam di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya"21 Pembicaraan tentang HAM dalam Islam umumnya dikaitkan dengan pemikiran asy-Syâtibi tentang maqâsid al-Syarî’ah. Asy-Syâtibi mengajukan proposisi utama sebagai acuan pembahasan mengenai hak asasi manusia, di mana sesungguhnya syari’ah itu bertujuan mewujudkan maslahah bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.22 Oleh karena itu, isu maslahah menjadi fokus analisis penting dalam rangka memahami maqâsid al-Syarî’ah. Lalu asy-Syatibi menguraikan tujuan-tujuan Syariah Islam itu pada tiga level kebutuhan (hajjiyyah) manusia, yaitu (1) darûriyyah, (2) hâjjiyyah, dan (3) tahsîniyyah.23 Pemikiran tentang hak asasi manusia itu terhimpun dalam hajjiyyah darûriyyah, karena ia merupakan sesuatu yang mesti ada demi tegaknya kehidupan, di mana manakala ia tidak terwujud, maka tidak dapat terwujud pula kehidupan, bahkan, akan rusak kehidupan secara keseluruhan.24 Hajjiyyah dlarûriyah itu, menurut asySyatibi, terbagi menjadi lima yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyât al-khams, yaitu hifdz al-dîn (perlindungan agama), hifdz al-nafs (perlindungan jiwa, hak hidup individu), hifdz al-áql (perlindungan akal budi), hifdz al-nasl (perlindungan keturunan), dan hifdz al-mâl (perlindungan harta kekayaan, termasuk sumber penghidupan).25 21 Hadis Riwayat Bukhary, Shahih Bukhary, Juz 13,Hadis 4054. Asy-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarî’ah, Buku I, Juz ke-2, h. 4. 23 Asy-Syâtibi, al-Muwâfaqât...., h. 7. 24 Asy-Syâtibi, al-Muwâfaqât...., h. 7. 25 Asy-Syâtibi, al-Muwâfaqât...., h. 8. 22 11 Betolak dari keterangan tersebut, HAM menurut Islam adalah hak dasar manusia yang diberikan oleh Allah sebelum manusia ada sekalipun. Manusia merupakan khalifah Allah, karena itu hak mereka diatur oleh Allah melalui wahyu. Dalam bahasa Arab, hak berasal dari kata haqq yang jamaknya huquq, yang berarti terciptanya fakta, kebenaran, keadilan, dan persamaan. Beberapa ulama seperti Ahmad Shalabi mengatakan bahwa haq artinya sesuatu yang sesuai dengan kebenaran. Dalam Islam, hak asazi didasarkan atas penghormatan (karamah), kebebasan (hurruriyah), humanisme (insaniah), persamaan (musawah), kemanfaatan (insaniah), pertanggungjawaban (mas’uliah), kerjasama (ta’awun), dan keadilan (justice). Mawdudi berpendapat bahwa hak manusia pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu hak pribadi dan hak yang menyangkut publik. Perbedaan keduanya terletak pada penekanan untuk apa hak tersebut ada, dominan pada kepentingan pribadi atau publik. Beberapa hal yang lebih dominan berkenaan dengan individu disebut sebagai hak pribadi, antaralain meliputi: a. hak hidup – dalam Islam dijelaskan bahwa janganlah kamu membunuh satu orang satu manusia tanpa alasan yang benar, karena sesungguhnya hal itu sama dengan membunuh semua manusia. Tapi jika kamu melindungi kehidupan seorang manusia saja, itu sama artinya dengan melindungi kehidupan semua manusia. Atau dalam Alquran ayat yang lain dikatakan jangan kamu membunuh orang-orang yang tidak dibolehkan kamu membunuhnya, kecuali kamu diperintahkan. b. hak keamanan – jaminan keamanan baik muslim maupun kafir dzimmi c. hak untuk dihargai – perintah saling menghargai d. hak persamaan – tidak ada yang lebih mulia dari orang arab atau bukan arab kecuali karena ukuran ketaqwaan. Semua manusia pada hakikatnya adalah khalifah Allah di muka bumi ini. e. hak persaudaraan – sesama orang beriman adalah bersaudara f. hak keadilan – seorang pemimpin haruslah seorang yang adil. Dalam cerita pengumpulan hadits, seorang yang membohongi ayam juga tidak bisa diterima haditsnya. Dalam alquran disebutkan, sesungguhnya penglihatanmu, pendengaranmu dan otakmu akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, jika diminta untuk menghakimi persoalan manusia, engkau harus bertindak adil. 12 Secara jelas, Abu A’la Al Maududi juga mengatakan, keadilan tidak hanya untuk masyarakat satu bangsa, satu suku, bangsa atau ras, melainkan keadilan untuk seluruh masyarakat islam seluruhnya, bahkan untuk semua manusia di muka bumi. g. hak memilih – islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih pekerjaannya, rekreasi, menikah, bahkan dalam menentukan agama. Misalnya firman Allah, silakan pergi ke penjuru bumi dan lihat bagaimana penciptaan Allah.26 Perspektif lain mengenai HAM dalam Islam dikemukakan oleh Syekh Syaukat Hussain. Seperti yang dikutip oleh Anas Urbaningrum, menurut Syekh Syaukat Hussain (1996), hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu: (1) HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia; dan (2) HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi dan lain-lainnya yang mereka miliki. Hak-hak asasi manusia khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya merupakan beberapa contoh dari kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.27 Abdullah Ahmed an-Na'im, pemikir dan aktivis HAM paling berpengaruh saat ini, telah memberikan pengertian umum bagi hukum Islam (syari’ah) sebagai sekumpulan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang memuat norma-norma hukum dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Menurutnya, syari’ah semacam ini sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena tidak membatasi keberlakuan hukum Islam hanya bagi orang Islam, tetapi juga melindungi hak orang lain di luar Islam. Ia berpandangan atas keuniversalan konsep HAM, sekurang-kurangnya dapat dipahami sebagai hak yang paling fundamental dan harus dimiliki oleh setiap manusia menyangkut hak untuk hidup dalam beragama, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan persamaan mendapatkan keadilan di Syed Abul A'la Maududi, Human Rights in Islam, Chapter Two: “Basic Human Rights” (Lahore: Islamic Publications: 1977). 27 Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), h, 92. 26 13 depan hukum.28 Namun demikian, dalam tulisan an-Na’im, ditemukan beberapa persoalan krusial mencakup konflik antara hukum Islam dan hak asasi manusia. Persoalan krusial semacam itu hanya mungkin dijawab jika digunakan metode baru dengan pendekatan evolusioner. Inti dari pendekatan yang dikutipnya dari gurunya Mahmoud Mohamed Taha, adalah pembedaan antara ayat-ayat Alquran dan hadits dari periode Mekkah dan periode Madinah. Menurutnya, pesan-pesan universal dan abadi Islam justru diwahyukan di masa Mekkah. Pada periode ini, selain pesan-pesan tawhid, yang sangat ditekankan adalah keadilan, kebebasan, kesetaraan dan martabat manusia. Namun, karena kesiapan kultural dan moral masyarakat Arabia kala itu belum memadai, secara berangsur di periode Madinah, pesan-pesan idealistik Mekkah itu digantikan oleh pesan-pesan Madinah yang lebih realistik dan dapat diterima oleh masyarakat saat itu. Meski demikian, aturan-aturan legal yang diwahyukan di Madinah dalam konteks waktu itu merupakan sebuah loncatan signifikan dalam penegakan HAM. Dalam konteks inilah an-Na’im menyebutnya “syari’ah historis”.29 Jika para sarjana hukum dan tafsir menerapkan konsep naskh ketika melihat inkonsistensi pada beberapa titik antara pesan-pesan Mekkah dan pesan-pesan Madinah, maka dalam perspektif evolusioner, naskh justru berlangsung terbalik. Evolusi syari’ah, menurutnya, adalah “perkembangan dengan cara bergerak dari satu teks (Alquran) pada teks yang lain, teks yang sesuai untuk menjadi aturan dan diterapkan di abad ke tujuh pada teks yang pada saat itu terlalu maju, sehingga teks tersebut di-naskh.”30 Ia kemudian mengemukakan gagasannya bagi upaya pembaharuan hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan konteks kemodernan agar relevan dengan hak asasi manusia dan sistem hukum lainnya di berbagai negara dunia. Ini bisa kita telaah lebih jauh dalam sejumlah tulisannya tentang hukum Islam dan hak asasi manusia. An-Na’im mendasarkan hukum Islam kepada prinsip resiprositas dalam HAM yakni adanya prinsip saling menghargai hak dan kebebasan individu sejajar dengan hak dan kebebasan individu lainnya. Ia menolak pemberlakuan syari’ah historis yang dibentuk melalui rekayasa sejarah dan harus dikembalikan kepada sumber asalnya yakni prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang universal. Secara ekstrim ia menyuarakan bagi perlunya 28 An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) h. 95. Bandingkan: David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam (New York: Journal Midstream, 1999) p. 1. 29 An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996) h. 3-4 30 An-Na’im, Toward an Islamic..., h. 59. 14 pembaharuan hukum Islam agar relevan dengan standar-standar hak asasi manusia dalam UDHR 1948. Pada level yang lebih konkrit, masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) yang dirumuskan oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam tahun 1990 yang disepakati oleh Organisasi Konfrensi Islam. 1. The Universal Islamic Declaration of Human Rights: Pada permulaan abad ke-15 Era Islam, bulan September 1981, di Paris (Perancis) Islamic-Council Eropa telah memproklamasikan Deklarasi HAM Islam. Deklarasi HAM Islam itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan, yang terdiri atas: hak hidup, hak kemerdekaan, hak persamaan dan larangan terhadap adanya diskriminasi yang tidak terizinkan, hak mendapat keadilan, hak mendapatkan proses hukum yang adil, hak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan, hak mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, hak mendapatkan perlindungan atau kehormatan dan nama baik, hak memperoleh suaka (asylum), hak-hak minoritas, hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dan manajemen urusan-urusan publik, hak kebebasan percaya, berpikir, dan berbicara, hak kebebasan beragama, hak berserikat, hak ekonomi dan hak berkembang darinya, hak mendapatkan perlindungan atas harta benda, hak status dan martabat pekerja dan buruh, hak membentuk sebuah keluarga dan masalah-masalahnya, hak-hak wanita yang sudah menikah, hak mendapatkan pendidikan, hak menikmati keleluasaan pribadi (privacy), hak mendapatkan kebebasan berpindah dan bertempat tinggal. 2. Cairo Declaration of Human Rights in Islam: Deklarasi HAM yang diprakarsai oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) ini merupakan rumusan akhir dari beberapa kali konferensi.31 Pembahasan pertama dimulai pada konferensi tingkat tinggi Islam ke-5 yang berlangsung pada tanggal 26-29 Januari 1987 di Kuwait.32 Konferensi ini menyepakati bahwa draft HAM Islam akan dibicarakan lebih lanjut pada konferensi ke-17, sedangkan sekretariat jenderal diberikan tugas untuk mempersiapkan sebuah 31 Konferensi-konferensi yang diselenggarakan OKI dihadiri oleh menteri-menteri luar negeri dari seluruh negara-negara Islam. 32 Dalam konferensi tersebut telah berhasil dibuat sebuah draft deklarasi HAM Islam yang dibuat oleh komite ahli dan dilaporkan kepada sekretaris jenderal OKI. Namun dalam deklarasi tersebut draft HAM Islam belum disahkan, tetapi harus dipelajari terlebih dahulu oleh konferensi menteri luar negeri Islam. 15 dokumen standar yang terdiri dari tiga bahasa resmi dari konferensi. Pembahasan kedua (konferensi OKI ke-17) berlangsung pada Maret 1988 di Jordania. Konferensi tersebut belum berhasil mengesahkan draft HAM Islam, tetapi memberikan tugas kepada negara-negara anggota untuk mempelajari dan finalisasi draft tersebut. Kepada sekjen OKI diberikan tugas untuk menindaklanjuti draft HAM Islam dan membahasnya pada konferensi menteri luar negeri selanjutnya. Pembahasan ketiga dilangsungkan pada konferensi OKI ke-18 pada Maret 1989 di Saudi Arabia. Konferensi ini juga belum berhasil membuat rumusan final HAM Islam, namun merekekomendasikan resolusi no. 41/18-P yang berisi pernyataan agar para negara anggota menyerahkan hasil observasinya atas rancangan HAM Islam kepada sekjen OKI secepatnya, dan membuat suatu pertemuan komite ahli untuk menyiapkan draft final HAM Islam untuk dibicarakan pada konferensi selanjutnya. Terakhir, pembahasan keempat kalinya berlangsung pada konferensi OKI ke-19 bulan JuliAgustus 1990 di Kairo, Mesir. Pada konferensi ini dilahirkan resolusi no. 49/19-P yang berisi deklarasi HAM Islam. Deklarasi tersebut bernama “Cairo Declaration on Human Rights in Islam”, yang terdiri dari 30 pasal.33 Deklarasi ini berisi muqaddimah dan 25 pasal berkenaan dengan HAM. Dari pendahuluan Deklarasi itu dapat disarikan menjadi beberapa poin diantaranya adalah bahwa 1) Islam mengakui persamaan semua orang tanpa membedakan asal-usul, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bahasa, 2) persamaan adalah basis untuk memperoleh hak dan kewajiban asasi manusia, 3) kebebasan manusia dalam masyarkat Islam consisten dengan esensi kehidupannya, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan bebas dari tekanan dan perbudakan, 4) Islam mengakui persamaan antara penguasa dan rakyat yang harus tunduk kepada hukum Allah tanpa diskrimasi, 5) warganegara adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak untuk menuntut siapapun yang mengganggu ketentraman masyarakat.34 Pokok-pokok isi deklarasi itu adalah; manusia satu keuarga tanpa diskriminasi, hak hidup dan keselamatan, larangan membunuh, perawatan orang tua, larangan merusak tanaman, hak mendapatkan nama baik, hak untuk menikah, hak wanita, hak anak-anak, hak menikmati perlindungan perundangan, hak memperoleh Eka An Aqimuddin, “Hak Kebebasan Beragama; Antara Universal Declaration of Human Rights (1948) dengan Cairo Declaration (1990)”, http://senandikahukum.wordpress. com/ 2009/03/13/ hak-kebebasan-beragama-antara-universal-declaration-of-human-rights-1948dengan-cairo-declaration-1990/, upload 13 Maret 2009. 34 Hamid Fahmi Zarkasy, “Hak dan Kebebasan Beragama”, http://www. Syababhidayatullah.or.id/artikel/opini?start=68, Friday, 11 December 2009 33 16 ilmu, larangan mempengaruhi muslim untuk pindah agama, larangan penjajahan dan penindasan, hak kebebasan bergerak, hak mendapatkan perkerjaan larangan diskriminasi antara pria-wanita dalam urusan kerja dan upah, hak untuk mendapat keuntungan tanpa monopoli, penipuan dan riba, hak kepemilikan, hak mendapatkan jaminan atas usaha, hak untuk hidup di dalam lingkungan yang bersih serta aman, hak memperoleh suasana aman, kesamaan di depan perundangan, larangan penahanan tanpa kuasa perundangan, larangan tebusan, hak untuk bersuara, larangan penyalahgunaan kuasa, hak dan kebebasan tunduk pada syariah Islam, dan syari'ah Islam sebagai satu-satunya sumber rujukan. Perbedaaan Prinsip Antara Deklarasi Universal HAM PBB dengan Deklarasi HAM Islam Kairo KATEGORI DEKLARASI HAM PBB DEKLARASI KAIRO Dasar Humanisme Sekular Alquran dan Alhadis Makna Pasal 2: Setiap orang berhak Muqaddimah: Percaya bahwa Kebebasan atas semua hak dan kebebasan hak-hak dasar dan kebebasan yang dicanangkan dalam universal dalam Islam merupakan Deklarasi, tanpa pembedaan bagian yang tidak terpisahkan dari apa pun ... Selanjutnya, tidak agama Islam dan bahwa tidak ada boleh ada pembedaan orang satu sebagai masalah prinsip berdasarkan status politik, memiliki hak untuk yurisdiksional, atau menangguhkan mereka secara internasional yang dimiliki keseluruhan atau sebagian atau negara asalnya, yang melanggar atau mengabaikan independen, yang berada mereka sepanjang mereka dibawah pemerintahan mengikat pada perintah ilahi, yang perwalian, atau yang berada terkandung dalam Kitab Allah dibawah pembatasan diwahyukan dan dikirim melalui kedaulatan lainnya. nabi-Nya terakhir untuk menyelesaikan pesan ilahi sebelumnya Kebebasan Pasal 18: Setiap orang berhak Pasal 10: Islam adalah agama 17 Beragama atas kebebasan berpikir, yang murni ciptaan alam (Allah berkeyakinan, dan beragama; SWT). Islam melarang melakukan hak ini meliputi kebebasan paksaan dalam bentuk apapun untuk mengubah agama atau atau untuk mengeksploitasi keyakinannya, ...... kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis. Kebebasan Pasal 16: (1) Laki-laki dan Pasal 5: (1) Keluarga adalah Perkawinan perempuan dewasa, tanpa fondasi masyarakat, dan pembatasan apapun menurut perkawinan adalah basis ras, kewarganegaran atau pembentukannya. Pria dan wanita agama, berhak untuk menikah memiliki hak untuk perkawinan, dan membentuk suatu dan tidak ada pembatasan yang keluarga. Mereka berhak atas berasal dari ras, warna kulit atau hak-hak yang sama pada saat kebangsaan akan mencegah pernikahan, selama mereka dari menikmati hak ini. pernikahan dan pada saat (2) Masyarakat dan Negara akan perceraian; (2) Pernikahan menghapus semua hambatan hanya boleh dilakukan dengan untuk perkawinan dan akan sukarela dan kesepakatan memfasilitasi prosedur bulat dari kedua mempelai perkawinan. Mereka harus menjamin perlindungan dan kesejahteraan keluarga. F. Wacana Kontemporer tentang Universalitas HAM Belakangan, klaim universalitas DUHAM banyak disoroti, dikritisi dan dipertanyakan oleh pemimpin negara dan pemikir kontemporer. Konsep human rights (hak asasi manusia) merupakan hasil perkembangan peradaban Barat. Ini merupakan produk historis Eropa sebagai bentuk perlawanan gerakan pluralisme terhadap feodalisme yang berkembang di Eropa ketika itu. Karenanya, penting untuk dicatat 18 bahwa, human rights bagi Heiner Bielefeldt (1995)35 mempunyai hubungan eksklusif dengan kultur dan filsafat hidup Barat. Sulit menyangkal fakta bahwa HAM mempunyai asal-usul Barat, dalam pengertian bahwa ia pertama kali muncul di Eropa dan Amerika Utara. Karena itu, deklarasi ini merupakan sebuah dokumen yang disepakati oleh sekelompok orang dalam konteks socio-historis yang spesifik yang lebih cocok diterapkan pada masyarakat Barat. Pendapat ini didukung oleh Honey (1999), yang menyatakan deklarasi itu merupakan hasil dari pergulatan politik, sosial, budaya dan ekonomi dalam suatu masa. Karena isu human rights merupakan respon politik terhadap munculnya modern-state di Eropa Barat maka menurut Afshari (1994)36 adalah sangat logis dan natural kalau konsep itu lebih mudah diterima dan diterapkan pada kultur masyarakat Barat. Dari penjelasan ini nampak dengan jelas bahwa adalah cukup sulit untuk menerapkan standar human rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada kultur non-Barat, termasuk pada masyarakat yang memegang etika religius yang ketat seperti pada umumnya masyarakat Timur. Sekalipun Bielefeldt melihat DUHAM sebagai oksidental-centris, namun ia menilai, fakta historis ini tidak lantas menegaskan bahwa HAM pada dasarnya terkait secara ekslusif dengan filsafat Barat dan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat Barat. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan Biefeldt untuk mendukung kebenaran pendapatnya. Pertama, konsep HAM secara politis muncul dalam suasana berbagai revolusi dan sering kali mendapatkan perlawanan hebat dari berbagai tradisi agama dan budaya Barat yang sudah mapan. Di masa lalu, kritikan konservatif terhadap HAM merupakan sikap umum di kalangan gereja-gereja Kristiani di Eropa Barat dan Tengah. Karena tergoncang hebat oleh radikalisme anti-kependetaan dalam fase Jacobine pada Revolusi Perancis, Gereja Katolik selama lebih dari seabad memainkan peran yang paling berpengaruh sebagai penentang HAM pada umumnya dan penentang kebebasan keagamaan pada khususnya. Gereja Katolik baru menerima kebebasan beragama pada tahun 1965 pada Konsili Vatican Kedua (Second Vatican Council). Fakta ini menunjukkan bahwa HAM sama sekali tidak bisa dengan tepat dianggap sebagai hasil "organik" dari budaya dan sejarah oksidental. HAM tidak berkembang sebagai "perkembangan alamiah" dari ide-ide kemanusiaan yang mengakar dalam-dalam pada 35 Bielefeldt, Heiner (February 2000). ""Western" versus "Islamic" Human Rights Conceptions?: A Critique of Cultural Essentialism in the Discussion on Human Rights". Political Theory: h. 90–121 36 Afshari, Reza, An Essay on Islamic Cultural Relativism in the Discourse of Human Rights, (The Johns Hopkins University Press. 1994). 19 tradisi keagamaan dan kebudayaan Eropa. Kedua, HAM tidak mengakar dan bergantung pada filsafat atau ideologi Barat tertentu. Meskipun HAM adalah konsep yang mempunyai asal-usul Barat, ia secara historis terkait dengan pengalaman pluralisme radikal yang telah menjadi realitas yang tak terhindarkan dalam banyak masyarakat di seluruh dunia. Pluralisme dan multikulturalisme, baik di dalam maupun antarnegara, tidak bisa dihapuskan kecuali dengan munculnya bencana politik seperti perang saudara, "pembersihan etnis" dan putusnya komunikasi dan kerjasama. Menghadapi kemungkinan bencana politik seperti itu, gagasan HAM menawarkan kesempatan untuk menciptakan konsensus normatif dasar yang melintasi batas-batas etnik, budaya dan agama. 37 Kritik lain mencul dari Antonio Cassese. Menurut Cassese dalam Human Rights in a Changing World (1994), ada banyak perbedaan filosofi yang fundamental dalam memandang konsep hak asasi. Cassese memberi contoh tentang adanya perbedaan konsep hak asasi antara negara-negara Barat kapitalis dengan negara-negara Sosialis. Bagi Barat, hak asasi adalah sesuatu yang melekat pada setiap individu dan merupakan faktor intrinsik setiap manusia, sehingga negara harus menghargai hak asasi rakyatnya. Sementara bagi negara-negara sosialis, hak asasi hanya ada dan melekat pada masyarakat dan negara sebagai suatu kelompok, bukan sebagai individu.38 Perbedaan lain yang juga perlu diperhatikan adalah perbedaan culture. Adalah perlu untuk dicatat bahwa hampir tidak ada sistem nilai yang bisa disebut universal. Sistem nilai biasanya adalah sesuatu yang dibatasi oleh persepsi budaya. Dalam kaitan ini, Tharoor (1999) menulis: “…if there is no universal culture, there can be no universal human rights” (Jika tidak ada kultur yang universal, maka tidak ada HAM universal). Sebagai contoh, bagi kultur masyarakat Barat, hak asasi individu adalah di atas segala-galanya dan setiap individu harus mendapatkan perlindungan dan kebebasan menghadapi penyalahgunaan kekuasaan dari pemerintah yang sewenang-wenang. Sementara bagi kultur Yunani, kebebasan itu adalah hak kolektif suatu masyarakat yang dibentuk berdasarkan kesepakatan kelompok. Perbedaan cara pandang dan kultur seperti ini mempunyai implikasi praktis dalam penerapan nilai-nilai asasi bagi masyarakat. Lebih tajam lagi kritik yang dilontarkan para agamawan tentang definisi universalitas hak asasi. Bagi mereka, tidak ada sesuatu yang universal, termasuk human rights, tatkala sesuatu itu Supriyanto Abdi, “Memikirkan (Kembali) Hubungan Islam dan HAM”, http://www. rahmatan.org/artikel/opini/15-memikirkan-kembali-hubungan-islam-dan-ham-, Jumat 20 Februari 2009 38 Antonio Cassese, Human Rights In A Changing World, (Cambridge: Polity Press, 1990). 37 20 bukan berasal dari Tuhan dan tidak mempunyai nilai-nilai transenden (transcendent values). Karenanya adalah tidak pas untuk menempatkan human rights sebagai manifestasi tertinggi dari spiritual etik sejarah kemanusiaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam deklarasi itu belum bisa menggantikan, misalnya nilai-nilai kasih universal dalam etika Kristen, nilai solidaritas dalam Islam atau etika rasa ikut menanggung penderitaan orang lain dalam agama Budha. Deklarasi itu tidak lebih hanya berkonsentrasi pada political justice dengan cara mengakomodasi beberapa standar normatif dalam kehidupan manusia. Secara historis, DUHAM dirumuskan oleh delegasi negara-negara anggota PBB yang nyaris seluruhnya bangsa-bangsa Barat. Sementara mayoritas negara-negara Asia dan Afrika pada saat itu berada di bawah penjajahan Barat. Dengan demikian, sejak semula standar HAM dalam DUHAM tidak memadai secara prosedural dan tidak memiliki justifikasi kultural yang kokoh. Karena itu, tidaklah mengherankan jika ada tuduhan di kalangan bangsa-bangsa non-Barat bahwa universalisasi HAM versi DUHAM adalah sebentuk westernisasi dan pemaksaan kultural. Selain itu, mengingat hubungan antar-negara yang asimetris secara politis, ekonomi, dan militer, proses perumusan standar HAM pasca-UDHR pun kerap berlangsung pincang. 39 Cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu relativisme budaya dan HAM secara garis besar terbagi kepada dua kelompok. Afshari (1994) menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan new-traditionalist, sementara Bielefeldt (1995) menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal. Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standard Barat diterapkan pada masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Karenanya bagi kelompok ini, universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim. Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta merta menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan framework yang Islami. Menurut Afshari, artikulasi awal konsep HAM modern lahir dari pengalaman bangsa Eropa dan Amerika sejak abad ke-18. Namun demikian, sebagaimana diakui 39 An-Na’im, “Human Rights”, h. 93-5 dan “Universality of Human Rights...”, h. 316. 21 secara umum, pengalaman-pengalaman tersebut lebih didasarkan pada ide-ide pencerahan ketimbang ajaran-ajaran teologis Yahudi dan Kristen, meskipun yang terakhir kemudian mencoba menyesuaikan diri dengan yang pertama. Meskipun premis dasar konsep HAM adalah gagasan tentang hak-hak konstitusional fundamental yang dikembangkan negara-negara Barat, rumusan HAM yang muncul sejak tahun 1948 melampaui apa yang dijumpai dalam sistem konstitusional negara-negara itu. Dengan kata lain, asal-usul Barat dalam konsep HAM kemudian disusul dan dilengkapi oleh berbagai perkembangan yang mencerminkan pengalaman dan harapan masyarakat dari berbagai belahan dunia. Bielefeldt juga membuat tipologi sikap kalangan muslim terhadap HAM ke dalam tiga kelompok. Pertama, kalangan konservatif. Kelompok ini menampakkan kecenderungan sama sekali menolak HAM internasional sebagai sesuatu yang asing dan bertentangan dengan Islam atau sebaliknya merumuskan ulang HAM dalam konteks Islam. Kecenderungan pertama terlihat, misalnya, ketika delegasi Arab Saudi menolak memberi suara dalam penetapan UDHR pada tahun 1948. Sementara kecenderungan kedua muncul di kalangan para pemikir semacam Mawdudi dan para perumus Deklarasi Kairo. Mereka sama sekali tidak mempedulikan adanya pertentangan antara HAM dan syari’ah. Mereka begitu saja memadukan keduanya sembari mengklaim bahwa asal-usul HAM yang sebenarnya adalah Islam, bahwa Islam sudah memperkenalkan HAM jauh sebelum Barat menemukannya.40 Kedua, kelompok liberal. Kalangan ini menganggap HAM sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan serius. Mereka melihat adanya pertentangan pada beberapa poin syari’ah dan HAM dan berusaha melakukan penafsiran ulang terhadap syari’ah melalui persppektif HAM kontemporer. Bielefeldt meletakkan an-Na’im dalam kelompok ini.41 Lebih jauh, kelompok liberal memandang pasal-pasal dalam DUHAM sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Untuk mendukung pandangan ini mereka melangkah jauh dengan mencoba menafsirkan teks-teks sakral agama dengan metodologi penafsiran baru. Kelompok ini memerlukan reinterpretasi baru atas nilainilai Islam untuk memenuhi tuntunan norma global. Ahmed an-Na’im (1994), seorang cendekiawan hukum Islam yang konsern dengan HAM, mengatakan bahwa secara substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan sejalan dengan norma legal HAM Bielefeldt, Heiner, “Muslim Voices in the Human Rights Debate”, dalam Human Rights Quarterly Vol. 17.4 (1995), h. 601-606 41 Bielefeldt, Heiner, “Muslim........, h. 606-10. 40 22 yang dikembangkan Barat, jika nilai-nilai Islam ditafsirkan secara akurat. Untuk mendukung pernyataannya, an-Na’im menunjuk elastisitas Islam yang mempunyai kapabilitas tinggi dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks. Lebih jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada kontradiksi yang prinsipil antara nilai-nilai Islam dan standard HAM internasional yang dikembangkan PBB. Ide-ide Alquran tentang tingginya martabat manusia, perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM.42 Dalam pandangan kelompok muslim liberal, DUHAM merupakan pencapaian HAM yang luar biasa. An-Na’im sendiri, mewakili kelompok ini, mengaku bahwa pedoman dasar dalam HAM adalah Aturan Emas (Golden Rule) atau prinsip resiprositas: perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Namun demikian, kelompok ini tetap mengharap adanya proses negosiasi berkelanjutan yang bersifat global untuk mengembangkannya karena standar DUHAM bukanlah sesuatu yang final. Untuk maksud ini diperlukan adanya dialog interkultural untuk mencapai overlapping consensus maupun intrakultural untuk merumuskan justifikasi kultural terhadap standar HAM tertentu. Hal ini dicapai dengan mencoba menempatkan diri di posisi orang lain— sebuah prosedur yang mirip dengan kontraktarianisme liberal Rawlsian dalam original position. Dalam pandangannya, prinsip ini prinsip normatif paling mendasar yang dimiliki bersama oleh seluruh tradisi kultural utama di dunia, termasuk agama-agama.43 Dengan prinsip ini, orang tidak akan membatasi aturan, kewajiban, dan hak hanya pada dirinya dan orang-orang yang sama dengan dirinya, baik dalam hal ras, gender, agama, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Selain dua kelompok tadi, ada pula reaksi kelompok ketiga yang disebut Bielefeldt dengan rekonsiliasi “pragmatis”. Kelompok ini berusaha mencari jalan tengah yang bersifat pragmatis untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang dipandang tidak sejalan dengan standar HAM tanpa menghadapi secara langsung hal-hal tersebut. Semisal mendefinisikan secara ketat tindak “pencurian” sehingga penerapan hadd potong tangan ditekan seminimal mungkin atau bahkan ditiadakan sembari tetap mengakui bahwa hukuman tersebut adalah bagian dari hukum Islam.44 Kelompok Alinur, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, http://alinur.wordpress.com/ 2008/02/03/ islam-dan-hak-asasi-manusia/, Sunday, 3 February 2008. 43 An-Na’im, Toward an Islamic..., h. 162-3. 44 An-Na’im, Toward an Islamic..., h. 610-4. 42 23 konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Karenanya bagi kelompok ini, universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim. Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta merta menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan framework yang Islami. G. Posisi Agama dalam Wacana HAM sebagai Etika Global Konsep HAM yang dirumuskan oleh PBB dan kelompok-kelompok keagamaan merupakan pernyataan visi etis yang paling nyata dan secara hukum mengikat. Rumusan-rumusan HAM itu seharusnya menjadi etika bersama yang berlaku universal dan diterapkan secara global. Ini bermakna bahwa sejatinya esensi dari konsep HAM adalah etika global.45 Konsep-konsep universal serupa tentu amat dibutuhkan bangsabangsa di dunia untuk membangun kepercayaan di antara manusia dan memperkuat perhatian dan tindakan dalam melindungi dunia ini. Karena itu, etika global menyangkut HAM merupakan sesuatu yang mesti ada untuk mendorong kepekaan dan kesadaran publik akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar. Implikasinya adalah, konsep HAM harus benar-benar bersifat universal yang diindikasikan oleh penerimaan semua bangsa, penganut agama, dan pemangku budaya. Umumnya tokoh-tokoh dari berbagai agama menyadari bahwa HAM adalah khazanah kemanusiaan universal yang ditemukan juga dalam berbagai doktrin dan tradisi agama. Hari ini upaya untuk menemukan konsep HAM yang universal yang digali dari berbagai doktrin agama telah mulai menjadi kesadaran bersama. Pendapat dan usaha dua tokoh agama (yang berbeda), patut dicatat di sini, yaitu Hans Kung dan An-Na’im. Hans Kung berpendapat bahwa masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan 45 President of Global Ethic Foundation, Prof. Hans Kung mengatakan, istilah global ethic atau etika global bukanlah sebuah ideologi atau suprastruktur baru dalam kehidupan umat beragama. Global ethic menurut Hans Kung “standar umum atau standar minimum yang harus dimiliki dalam kehidupan umat beragama”. Presentasi Hans Kung dalam kuliah umum bertajuk “Pluralism, A Global Ethic; Searching a Common Ground” di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Selasa, 27 April 2010 24 cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Menurut pandangan ini, perlu ada kesepakatan tentang nilai-nilai yang umum diterima sekaligus akan nilai-nilai dan norma yang berbeda dalam tiap konteksnya. Ini tentu membutuhkan dialog lintas budaya dan agama. Ketika nilai-nilai umum dapat ditegaskan melalui dialog ia menjadi dasar bagi komunitas-komunitas untuk dapat saling terlibat dalam tindakan menuju resolusi konflik, rekonsiliasi dan perdamaian. Di pihak lain, an-Na’im berpendapat bahwa dalam konteks masyarakat internasional kontemporer, dibutuhkan suatu standar normatif yang diakui secara universal. Untuk memecahkan polemik tentang universalitas HAM diperlukan upaya deliberatif dalam skala global untuk mencapai hal-hal yang disepakati bersama (overlapping consensus) sehingga standar yang dihasilkan nantinya mendapatkan justifikasi yang kokoh dari masing-masing kultur di mana standar tersebut akan diterapkan. Pada konteks inilah kelemahan DUHAM yang diklaim sebagai standar HAM universal, tetapi tidak dirumuskan melalui proses deliberatif kolektif ini, dan karenanya tidak memiliki justifikasi kultural yang memadai.46 Jadi, perumusan HAM sebagai etika global, tentu, bukanlah semata-mata tanggung jawab politik, melainkan juga keagamaan. Dalam hal terakhir ini dibutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. HAM seyogyanya dipahami dan diterima sebagai khazanah kemanusiaan universal yang landasan normatif dan filosofisnya bisa dilacak dan dijumpai dalam berbagai sistem nilai dan tradisi. Etika global semacam itu tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan agama. Hans Kung sangat menyadari ini. Menurut dia, etika yang berasal dari rumusan rasio manusia tidak bisa menjamin nilai etika seperti itu karena manusia terbatas. Manusia yang terbatas dan tindakannya ditentukan oleh kebutuhankebutuhannya mustahil melahirkan norma etis yang bersifat universal dan tidak bersyarat. Karenanya hanya satu penjamin nilai-nilai itu, yakni zat yang tidak terbatas dan tidak bersyarat: Tuhan atau Realitas Ultim. Lebih lanjut, Hans Kung menegaskan bahwa agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Argumen Hans Kung diletakkan pada tiga dasar; (1) setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru An-Na’im, “Universality of Human Rights: An Islamic Perspective”, dalam Nisuke Ando (Ed.), Japan and International Law: Past, Present, and Future, (The Hague: Kluwer Law International, 1999), h. 314-6. 46 25 ia bisa dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini.47 (2) agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun;48 dan (3) etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang Absolut.49 Jadi, Hans Kung berupaya mencari landasan etika bersama yang bersifat universal, memiliki kepastian absolut dan mengandung tuntutan yang mengharuskan. Ide yang bisa menghubungkan HAM dengan tradisi-tradisi keagamaan, kefilsafatan, dan kebudayaan yang berlainan ialah ide martabat manusia karena wawasan tentang martabat semua insan yang tak bisa diambil oleh orang lain merupakan prinsip etis dasar HAM dan unsur sentral ajaran-ajaran dari berbagai agama dan filsafat. Sebuah proyek studi tentang "Religion and Human Rights", yang bermarkas di New York, sampai pada kesimpulan bahwa "terdapat unsur-unsur dalam semua tradisi keagamaan yang sebenarnya mendukung perdamaian, toleransi, kemerdekaan hatinurani, martabat dan kesetaraan orang per orang, dan keadilan sosial.” Menurut Aswanto bahwa dasar atau cikal bakal HAM dewasa ini dapat ditemukan pada setiap kebudayaan, agama dan tradisi. Sejak kehadiran Nabi Musa yang memerdekakan umat Israel dari perbudakan di Mesir, manusia menyadari pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan.50 Dalam banyak literatur, para pakar dan penulis masing-masing agama mengakui bahwa dalam masing-masing agama ada konsep yang sangat fundamental yang menjadi dasar pengembangan HAM. Penghormatan atas HAM adalah cita-cita luhur semua agama manusia, tidak hanya Islam. Seperti disimpulkan Jack Donelly, salah satu fakta yang menarik tentang HAM di dunia kontemporer adalah konsensus yang sangat luas dalam norma-norma dasarnya di antara berbagai peradaban. Perbedaan kontemporer dalam HAM lebih pada perinciannya dan bukan pada norma-norma dasarnya. HAM merupakan konsensus lintas agama dan budaya dalam upaya penegakan keadilan politik di tengah-tengah ancaman yang sangat nyata dewasa ini, yakni kemungkinan eksploitasi kekuasaan negara dan pasar modern. Usaha-usaha ke arah perumusan global ethics HAM telah dilakukan oleh sejumlah pemikir dari berbagai agama dan lembaga-lembaga keagamaan. Di antara 47 Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, (New York: Crossroad Publishing Company, 1991), h. 91. 48 Hans Kung, Global..., h. 52. 49 Hans Kung, Global..., h. 44-5. 50 Aswanto, “RefleksiI HAM”, Pedoman Rakyat, Senin 11 Desember 2006. 26 lembaga yang konsern terhadap proyek ini adalah; Global Ethic Foundation, The Parliament of the World's Religions, dan Globethics.net. 1. Global Ethic Foundation; adalah sebuah lembaga didirikan pada tahun 1995 yang berfokus pada proyek dialog antar-agama sebagai usaha untuk menemukan persamaan atau dasar-dasar fundamental yang dimiliki oleh agama-agama di dunia. Lembaga bertujuan untuk melaksanakan dan mendorong penelitian lintas budaya dan antaragama, merangsang dan melaksanakan pendidikan antar budaya dan antaragama, dan untuk memungkinkan dan mendukung pertemuan tokoh agama-agama. Kegiatan lembaga ini berkenaan dengan riset, kuliah umum, pertemuan tokoh antaragama, dan penerbitan. Buku-buku yang diterbitkan, antara lain; World religions, universal peace, global ethic (2005); Hans Küng, Global Responsibility, London 1991, Hans Küng, Judaism (1992); Hans Küng and Karl-Josef Kuschel (eds), A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions, (1993); Hans Küng, Christianity: Its Essence and History (1995); Karl-Josef Kuschel, Abraham: A Symbol of Hope for Jews, Christians and Muslims (1995); Hans Küng (ed), Yes to a Global Ethic (1996); Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics (1998); Hans Küng, The Catholic Church: A Short History (2001); Crossing the Divide: Dialogue among Civilizations, New York 2001; Hans Küng, Islam (2005).51 2. The Parliament of World Religions (PWR) telah dimulai usaha ini tahun 90-an dan telah beberapa kali melaksanakan konferensi. Pada tahun 1993, Parliament of World Religions mendeklarasikan Global Ethics, yang didokumentasikan Hans Kung dan Karl-Joseph Kuschel (Continuum, NY: 1993). Tujuh tahun kemudian tema yang lebih spesifik dibahas kembali oleh PWR dalam A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997). Hasilnya, lahirlah Universal Declaration of Human Duty (Deklarasi Universal tentang Tanggungjawab Manusia). Kesimpulan penting dari deklarasi ini antara lain adalah;52 a. every human being must be treated humanely; b. commitment to a culture of non-violence; c. commitment to a culture of solidarity and a just economic order; “Global Ethic Foundation; History”, http://www.globalethicpenang.net/ webpages/org_04.htm 51 Stefan Bucher, “Clash or Dialogue?”; KATHA – The Official Journal of the Centre for Civilisational Dialogue, Vol 3, 2007; dalam http_myais.fsktm.um.edu.my_ 5429_1_3_ clash or dialogue? 52 27 d. commitment to a culture of toleration and a life of truthfulness; e. commitment to a culture of equal rights and partnership between men and women. 3. Globethics.net; Perhatian lembaga ini terhadap usaha perumusan etika global tidak diragukan lagi. Hari ini lembaga ini sedangkan mepersiapkan sebuah konferensi bertema “Conference Business and Human Rights” yang akan dilaksanakan pada 19 Oktober, 2010 nanti di Lisbon, Portugal. Sebelumnya, lembaga ini telah melaksanakan beberapa kali konferensi, di antaranya konferensi Internasional yang ketiga (Third International Conference of Globethics.net) yang diselenggarakan pada tanggal 25-29 Januari 2009 di Nairobi, Kenya. Sekitar enampuluh pemerhati etika, tokoh agama dan pakar ekonomi dari 18 negara di lima benua berkumpul bersama. Tema yang diangkat adalah “Care and Compassion. Sharing Values across Cultures and Religions” (Perhatian dan Kasih. Berbagi nilai Lintas Budaya dan Agama). Butir-butir penting yang berkenaan dengan nilai-nilai bersama yang menjadi kesimpulan konferensi ini adalah; a. Perhatian dan kasih (Care and compassion); adalah kemampuan untuk berempati, menghormati dan mendukung orang lain. Semangat ini mengarah pada solidaritas. b. Berbagi (Sharing); Berbagi kekuasaan akan mengarah pada penggunaan kekuasaan yang bertanggung jawab serta berpusat pada komunitas. c. Partisipasi (Participation); adalah suatu ekspresi penghormatan harkat manusia dan penguatan komunitas dengan cara yang inklusif. Berbagi nilai-nilai dalam dialog adalah proses yang berbasiskan partisipasi. d. Keadilan (Justice/equity); adalah harkat yang paling asasi dari setiap manusia dan tanda hak mereka yang setara dengan orang lain. Keadilan lahir ketika manusia mulai membangun nilai saling menghormati. Hal ini jelas dinyatakan dalam nilai keutamaan (golden rule) tentang asas kebersamaan dan asas timbal balik sebagai dasar norma keadilan: “perbuatlah kepada orang lain sebagaimana yang kamu inginkan orang lain perbuat padamu.” Keadilan adalah dasar dari solidaritas dan sikap seimbang (fairness). Semua tradisi agama menjunjung salah satu versi nilai keutamaan ini, yaitu nilai yang berdasarkan timbal balik, empati, penyangkalan diri, dan gagasan tentang 28 otonomi moral. Semua ini akan memberi jalan pada kerjasama, tidak saja di kalangan sendiri tetapi juga di antara semua anggota kelompok, orang asing, dan seluruh umat manusia. e. Perdamaian (Peace); adalah syarat keadilan dan pada saat yang bersamaan, buah dari keadilan. Mengejar perdamaian yang menghantarkan juga pada rasa aman adalah motivasi untuk dan tujuan dari berbagi (sharing values). f. Rekonsiliasi (Reconciliation); adalah daya penyembuh yang memungkinkan untuk menanggulangi luka, kekerasaan dan konflik masa lalu dan masa kini, serta daya yang memampukan untuk memban-gun kembali relasi dan ikatan komunitas. g. Tanggung jawab (Responsibility); adalah akuntabilitas dari tindakan seseorang. Tingkat tanggung jawab harus berkaitan dengan tingkat kekuasaan, kapasitas dan kapabilitas. Mereka yang menguasai sumber daya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menyelesaikan persoalan.53 F. Penutup HAM merupakan isu penting yang cukup banyak dikaji, didiskusikan, dan diperdebatkan oleh bangsa-bangsa di dunia. Selain ketercakupan materi dari rumusanrumusan HAM yang ada, seperti DUHAM dan HAM Islam, universalitas dari rumusanrumusan itu juga masih menjadi konten polemik berkepanjangan. Tiga kelompok besar yang terlibat dalam perdebatan ini adalah Dunia Barat yang didukung PBB, Dunia Timur, dan Agama-agama. Gagasan dan usaha kontemporer untuk melahirkan konsep HAM yang bernilai universal telah muncul dari kalangan agama yang melibatkan ahli agama dari berbagai belahan dunia. Goal akhir yang diharapkan dari gagasan dan usaha ini ialah adanya rumusan etika global yang dapat diterima dan diadopsi oleh semua agama dan budaya di dunia. Semoga! Leonard C. Epafras, “Prinsip-prinsip Globethics.net Berbagi nilai Lintas Budaya dan Agama;” tulisan dikutip dari www.globethics.net yang diadopsi dari Globethics.net International Conference 25-29 Januari 2009 di Nairobi. Dikonsep dan direvisi oleh Dr. Shanta Premawardhana, Direktur Dialog dan Kerjasama Antar-agama pada Dewan Gereja Sedunia, dan oleh Prof. Dr. Christoph Stueckelberger, Pendiri dan Direktur Eksekutif Globethics.net. Upload November 2009 53 29 Daftar Bacaaan Afshari, Reza, An Essay on Islamic Cultural Relativism in the Discourse of Human Rights, (The Johns Hopkins University Press. 1994). Alinur, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, http://alinur.wordpress.com/ 2008/02/03/ islamdan-hak-asasi-manusia/, Sunday, 3 February, 2008 An-Na’im, “Universality of Human Rights: An Islamic Perspective”, dalam Nisuke Ando (Ed.), Japan and International Law: Past, Present, and Future, (The Hague: Kluwer Law International, 1999). An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) hal. 95. Bandingkan dengan David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam (New York: Journal Midstream, 1999). An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996). Antonio Cassese, Human rights in a changing world, (Cambridge: Polity Press, 1990) Aswanto, RefleksiI HAM, Pedoman Rakyat, Senin 11 Desember 2006. Asy-Syâtibi, Abu Ishâq Ibrâhîm, al-Muwâfaqât fi Usul al-Syarî’ah, Buku I, Juz ke-2 Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation, Oxford University Press, London, 1982. Bielefeldt, Heiner (February 2000). ""Western" versus "Islamic" Human Rights Conceptions?: A Critique of Cultural Essentialism in the Discussion on Human Rights". Political Theory. David Hume, A Treatise of Human Nature, Fontana Collins, London, 1970. Deni K. Yusup, “Hukum Islam dan HAM”, http://dkyusup.blogspot.com/2008/04/ hukum-islam-dan-hak-asasi-manusia.html, Selasa, 15 April 2008 Djamil, Ismail Muhammad. Sedjarah Islam: Riwajat Nabi Muhammad. Djakarta : Pustaka Rakjat, 1949. Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor Cruise O’Brien, London, 1968. Eka An Aqimuddin, “Hak Kebebasan Beragama; Antara Universal Declaration of Human Rights (1948) dengan Cairo Declaration (1990)”, http://senandikahukum.wordpress. com/ 2009/03/13/ hak-kebebasan-beragama-antara- 30 universal-declaration-of-human-rights-1948-dengan-cairo-declaration-1990/, upload 13 Maret 2009. Franz Magnis Suseso, “Sepuluh Tahun Hak Asasi Manusia Di Indonesia Pasca Reformasi: Sebuah Refleksi (Butir-Butir Pokok Pembahasan)”, Makalah pada “Peluncuran Buku Ajar Hukum Hak Asasi Manusia” bagi Mahasiswa Fakultas Hukum, Yogyakarta, 19 April 2008. “Global Ethic Foundation; History”, http://www.globalethicpenang.net/ webpages/ org_04.htm Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, (New York: Crossroad Publishing Company, 1991) Hart, H.L.A., Essays on Bentham, Oxford University Press, London, 1982. Heiner Bielefeldt, “Muslim Voices in the Human Rights Debate”, dalam Human Rights Quarterly Vol. 17.4 (1995). Idrus, Junaidi, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia, (Yogjakarta: Logung Pustaka, 2004). Ismail al-Hasany, Nadlriyyahy al-Maqashid ‘inda al-Imam Muhammad ath-Thahir bin ‘Ashur, IIIT,1995. Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964. Leonard C. Epafras, “Prinsip-prinsip Globethics.net Berbagi nilai Lintas Budaya dan Agama;” tulisan dikutip dari www.globethics.net Upload November 2009 Louis Henkin, “The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International Enforcement of Human Rights, 1987. Maurice Cranston, What are Human Rights? Taplinger, New York, 1973. Stefan Bucher, “Clash or Dialogue?”; KATHA – The Official Journal of the Centre for Civilisational Dialogue, Vol 3, 2007; dalam http_myais.fsktm.um.edu.my_ 5429_1_3_ clash or dialogue? Supriyanto Abdi, Memikirkan (Kembali) Hubungan Islam dan HAM, http://www. rahmatan.org/artikel/opini/15-memikirkan-kembali-hubungan-islam-dan-ham, Jumat,20 Februari 2009. 31 Urbaningrum, Anas, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004). Yusuf Bakri, “HAM dan Demokrasi Dalam Islam”, http://www.yusupbakri.co.cc/2009/ 12/ham- dan-demokrasi-dalam-islam.html, Senin, Desember 28, 2009 32 Lampiran 1: DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 Melalui Resolusi 217 A (III) Mukadimah Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia, Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa, Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan, Menimbang, bahwa pembangunan hubungan persahabatan di antara negara-negara perlu ditingkatkan, Menimbang, bahwa bangsa bangsa dari Perserikatan Bangsa Bangsa di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas, Menimbang, bahwa Negara negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan kebebesan yang asasi, dalam kerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 33 Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut, maka dengan ini, memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka. Pasal 1 Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain. Pasal 3 Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu. Pasal 4 34 Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang. Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina. Pasal 6 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Pasal 7 Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini. Pasal 8 Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum. Pasal 9 Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Pasal 10 Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajibankewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya. Pasal 11 (1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan 35 yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya. (2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan. Pasal 12 Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. Pasal 13 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara. (2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya. Pasal 14 (1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran. (2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 15 (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan. (2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya. Pasal 16 36 (1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai. (3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Pasal 17 (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. (2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena. Pasal 18 Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Pasal 19 Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. Pasal 20 (1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Pasal 21 37 (1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya. (3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Pasal 22 Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara. Pasal 23 (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran. (2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. (3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya. (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. Pasal 24 Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah. Pasal 25 38 (1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anakanak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. Pasal 26 (1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. (2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian. (3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Pasal 27 (1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. (2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya. Pasal 28 39 Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pasal 29 (1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh. (2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. (3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan BangsaBangsa. Pasal 30 Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini. 40 Lampiran 2: Universal Islamic Declaration of Human Rights Paris, 21 Dhul Qaidah 1401/19 September 1981 Mukadimah BAHWA sudah lama aspirasi kemanusiaan untuk sebuah tatanan dunia baru dimana manusia dapat hidup, berkembang dan sejahtera dalam lingkungan yang bebas dari rasa takut, penindasan, eksploitasi dan perampasan, sebagian besar masih terpenuhi; BAHWA pesan Ilahi kepada manusia tercermin dalam telah dikaruniai rezeki yang berlimpah ekonomi-super disia-siakan, atau tidak adil atau tidak adil dipotong dari penduduk bumi; BAHWA Allah telah menyampaikan umat manusia melalui ayat-ayat-Nya dalam Alquran dan Sunnah Nabi-Nya Muhammad Berbahagialah kerangka hukum dan moral yang taat dalam mendirikan dan mengatur lembaga-lembaga manusia dan hubungan; BAHWA hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Undang-Undang tujuan Ilahi di berunding martabat dan kehormatan bagi umat manusia dan dirancang untuk menghilangkan penindasan dan ketidakadilan; BAHWA berdasarkan sumber Ilahi mereka dan sanksi hak-hak ini tidak dapat dibatasi, dibatalkan atau diabaikan oleh pihak berwenang, rakitan atau lembaga lain, ataupun mereka dapat menyerah atau terasing; Oleh karena itu kita, sebagai Muslim, yang beriman a. kepada Allah, Pemurah lagi Maha Penyayang, Pencipta, Pemelihara, Sovereign, Panduan tunggal umat manusia dan Sumber dari semua Hukum; b. dalam Vicegerency (Khilafah) manusia yang telah diciptakan untuk memenuhi kehendak Allah di bumi; 41 c. dalam kebijaksanaan bimbingan Tuhan yang dibawa oleh para nabi, yang misinya menemukan titik puncaknya di akhir pesan Ilahi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad (SAW) bagi seluruh umat manusia; d. bahwa rasionalitas dengan sendirinya tanpa cahaya wahyu dari Allah tidak dapat menjadi panduan yakin dalam urusan manusia atau menyediakan makanan rohani untuk jiwa manusia, dan, mengetahui bahwa ajaran-ajaran Islam merupakan intisari dari bimbingan Tuhan melalui akhir dan bentuk yang sempurna, merasa berkewajiban untuk mengingatkan manusia tentang status dan martabat yang tinggi diberikan kepadanya oleh Allah; e. mengundang seluruh umat manusia ke pesan Islam; f. yang oleh ketentuan perjanjian purba kita dengan Allah tugas kita dan kewajiban memiliki prioritas atas hak-hak kami, dan bahwa masing-masing kita berada di bawah tugas bounden untuk menyebarkan ajaran Islam dengan perkataan, perbuatan, dan memang dalam semua cara lembut , dan untuk membuat mereka efektif tidak hanya dalam kehidupan individu kita, tetapi juga di masyarakat sekitar kita; g. dalam kewajiban kami untuk mendirikan perintah Islam: 1) dimana semua umat manusia harus sama dan tidak akan menikmati hak istimewa atau menderita kerugian atau diskriminasi dengan alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, asal atau bahasa; 2) dimana semua umat manusia dilahirkan bebas; 3) dimana perbudakan dan kerja paksa yang disukai; 4) kondisi dimana harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga institusi keluarga harus disimpan, dilindungi dan dihormati sebagai dasar dari semua kehidupan sosial; 5) dimana para penguasa dan memerintah sama-sama tunduk pada, dan sama sebelumnya, UU; 6) dimana ketaatan akan diberikan hanya kepada mereka perintah yang sejalan dengan UU; 7) dimana semua kekuasaan dunia dianggap sebagai kepercayaan yang suci, yang akan dilaksanakan dalam batas yang ditentukan oleh UU dan dengan cara yang disetujui oleh itu, dan dengan memperhatikan prioritas yang ditetapkan oleh itu; 42 8) dimana semua sumber daya ekonomi akan diperlakukan sebagai berkat Ilahi diberikan kepada manusia, untuk dinikmati oleh semua sesuai dengan aturan dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah; 9) dimana semua urusan publik akan ditentukan dan dilakukan, dan kewenangan untuk mengelola itu harus dilakukan setelah konsultasi bersama (Syura) antara orang beriman yang memenuhi syarat untuk berkontribusi pada sebuah keputusan yang baik akan sesuai dengan Hukum dan kepentingan umum; 10) dimana setiap orang akan melaksanakan kewajiban proporsional dengan kapasitas dan bertanggung jawab atas perbuatannya; 11) dimana setiap orang harus, dalam kasus pelanggaran atas hak-haknya, yakinlah langkah-langkah perbaikan yang tepat sesuai dengan UU; 12) dimana tidak ada seorang pun akan kehilangan hak meyakinkan kepadanya oleh Undang-Undang kecuali dengan kewenangannya dan sejauh yang diijinkan oleh itu; 13) dimana setiap individu berhak untuk mengambil tindakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan kejahatan terhadap masyarakat secara keseluruhan atau terhadap salah satu anggotanya; 14) dimana setiap usaha harus dibuat untuk a) pembebasan aman kepada manusia dari setiap jenis eksploitasi, ketidakadilan dan penindasan, b) menjamin keamanan semua orang, martabat dan kebebasan dalam jangka waktu yang ditetapkan dan dengan metode yang disetujui dan dalam batasbatas yang ditetapkan oleh UU; Dengan ini, sebagai hamba Allah dan sebagai anggota Persaudaraan Universal Islam, pada awal abad kelima belas dari era Islam, menegaskan komitmen kami untuk menegakkan hak asasi manusia diganggu gugat mutlak dan berikut yang dipertimbangkan adalah kita diperintahkan oleh Islam. I. Hak untuk Hidup a) Kehidupan manusia adalah suci dan segala upaya diganggu gugat dan harus dibuat untuk melindunginya. Secara khusus tidak ada yang akan terkena cedera atau kematian, kecuali di bawah wewenang hukum. 43 b) Sama seperti dalam hidup, demikian pula setelah kematian, kesucian tubuh seseorang akan diganggu gugat. Ini adalah kewajiban orang percaya untuk melihat bahwa almarhum orang tubuh ditangani dengan kesungguhan jatuh tempo. II. Hak Kebebasan a) Manusia dilahirkan bebas. Tidak ada terobosan harus dilakukan di sebelah kanannya untuk kebebasan kecuali dalam kekuasaan dan dalam proses hukum. b) Setiap individu dan setiap orang memiliki hak asasi untuk kebebasan dalam segala ben - dan berhak untuk berjuang dengan segala cara yang tersedia terhadap setiap pelanggaran atau pembatalan hak ini, dan setiap individu atau tertindas orang memiliki klaim yang sah untuk mendukung orang lain dan / atau masyarakat sedemikian perjuangan. III. Hak Kesetaraan dan Larangan Diskriminasi a) Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas kesempatan yang sama dan perlindungan hukum. b) Semua orang berhak untuk upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. c) Tidak seorang akan menolak kesempatan untuk bekerja atau didiskriminasi dalam segala cara atau menghadapi risiko fisik yang lebih besar dengan alasan keyakinan agama, warna, ras, asal, jenis kelamin atau bahasa. IV. Hak Keadilan a) Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sesuai dengan hukum, dan hanya sesuai dengan Hukum. b) Setiap orang tidak hanya hak tetapi juga kewajiban untuk memprotes ketidakadilan, untuk jalan lain untuk obat yang diberikan oleh hukum sehubungan dengan cedera pribadi yang tidak beralasan atau rugi, untuk membela diri terhadap setiap tuduhan yang lebih disukai terhadap dirinya dan wajar mendapatkan ajudikasi sebelum pengadilan peradilan independen dalam setiap perselisihan dengan otoritas publik atau orang lain. c) hak dan kewajiban setiap orang untuk membela hak-hak orang lain dan masyarakat pada umumnya (Hisbah). 44 d) Tidak seorang akan didiskriminasikan sementara mencari untuk membela hak-hak pribadi dan publik. e) Ini adalah hak dan kewajiban setiap muslim untuk menolak untuk mematuhi perintah yang bertentangan dengan UU, tidak peduli dengan siapa mungkin diterbitkan. V. Hak di depan Hukum a) Tidak seorang akan divonis bersalah dan membuat dikenakan hukuman kecuali setelah bukti bersalah sebelum pengadilan yudisial yang independen. b) Tidak seorang akan divonis bersalah kecuali setelah sebuah pengadilan yang adil dan setelah kesempatan yang wajar untuk pertahanan telah diberikan kepadanya. c) Hukuman harus diberikan sesuai dengan hukum, secara proporsional dengan keseriusan pelanggaran dan dengan memperhatikan keadaan di mana hal tersebut dilakukan. d) Tidak ada tindakan dianggap kejahatan kecuali jika ditetapkan seperti dalam katakata yang jelas Hukum itu. e) Setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya. Tanggung jawab untuk kejahatan yang tidak dapat dialami sendiri diperpanjang dengan anggota lain dari keluarga atau kelompok, yang tidak dinyatakan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan kejahatan tersebut. VI. Hak Perlindungan Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan Setiap orang berhak atas perlindungan terhadap pelecehan oleh agen-agen resmi. Dia tidak bertanggung jawab untuk account untuk dirinya sendiri kecuali untuk membuat pembelaan dengan tuduhan yang dibuat terhadap dirinya atau di mana ia ditemukan dalam suatu situasi dimana pertanyaan tentang dugaan keterlibatannya dalam kejahatan bisa cukup mengangkat VII. Perlindungan Hak untuk Menentang Penyiksaan Tidak seorang akan mengalami penyiksaan dalam pikiran atau badan, atau rusak, atau terancam dengan cedera baik untuk dirinya sendiri atau siapa pun yang berhubungan dengan atau dimiliki sayang olehnya, atau secara paksa dibuat untuk mengakui komisi 45 dari kejahatan, atau terpaksa untuk menyetujui suatu tindakan yang membahayakan kepentingannya. VIII. Perlindungan Hak untuk Kehormatan dan Reputasi Setiap orang memiliki hak untuk melindungi kehormatan dan reputasi terhadap fitnah, tuduhan tak berdasar atau upaya yang disengaja pada pencemaran nama baik dan pemerasan. IX. Hak Asylum (Suaka) a) Setiap menganiaya atau menindas orang berhak untuk mencari perlindungan dan suaka. Hak ini dijamin untuk setiap manusia terlepas dari ras, agama, warna dan jenis kelamin. b) Al Masjid Al Haram (rumah suci Allah) di Mekah adalah tempat perlindungan bagi semua Muslim. X. Hak Kaum Minoritas a) Prinsip Al-Quran "Tidak ada paksaan dalam agama" harus mengatur hak-hak agama minoritas non-Muslim. b) Di negara Islam agama minoritas akan memiliki pilihan yang akan diatur mengenai hal-hal sipil dan pribadi mereka dengan Hukum Islam, atau oleh hukum-hukum mereka sendiri. XI. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Perilaku dan Pengelolaan Urusan Umum a) Berdasarkan UU, setiap individu dalam masyarakat (umat) berhak untuk memangku jabatan publik. b) Proses konsultasi bebas (Syura) adalah dasar dari hubungan administratif antara pemerintah dan masyarakat. Orang-orang juga memiliki hak untuk memilih dan menghapus pemimpin mereka sesuai dengan prinsip ini. XII. Hak atas Kebebasan Keyakinan, Pemikiran dan Ucapan a) Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan pikiran dan keyakinan selama dia masih dalam batas yang ditentukan oleh Hukum. Tidak satu, bagaimanapun, berhak untuk menyebarkan dusta atau menyebarkan laporan yang mungkin 46 kesopanan kemarahan publik, atau untuk memanjakan diri dalam fitnah, sindiran atau mengata-ngatai memfitnah pada orang lain. b) Mengejar pengetahuan dan pencarian kebenaran setelah tidak hanya hak tapi kewajiban setiap Muslim. c) Hak dan kewajiban setiap Muslim untuk memprotes dan berjuang (dalam batasbatas yang ditetapkan oleh Undang-Undang) melawan penindasan bahkan jika ia melibatkan menantang kekuasaan tertinggi dalam negara. d) Tidak akan ada bar di penyebarluasan informasi yang diberikan tidak membahayakan keamanan masyarakat atau negara dan hanya terbatas dalam batasbatas yang dikenakan oleh Hukum. e) Tidak seorang pun akan terus menghina atau mengejek keyakinan agama orang lain atau publik menghasut permusuhan terhadap mereka, menghormati perasaan keagamaan orang lain merupakan kewajiban bagi semua Muslim. XIII. Hak Kebebasan Beragama Setiap orang berhak atas kebebasan hati nurani dan ibadah sesuai dengan keyakinan keagamaannya. XIV Hak Asosiasi Gratis a) Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara individual dan kolektif di bidang sosial, budaya dan politik kehidupan keagamaan masyarakat dan untuk membentuk lembaga dan badan-badan yang dimaksudkan untuk memerintahkan apa yang benar (ma'roof) dan untuk mencegah apa yang salah (munkar) . b) Setiap orang berhak untuk memperjuangkan pembentukan lembaga whereunder suatu menikmati hak-hak ini akan dimungkinkan. Secara keseluruhan, masyarakat berkewajiban menetapkan kondisi sehingga memungkinkan anggotanya pengembangan penuh kepribadian mereka. XV.Urusan Ekonomi dan Hak Berkembang daripadanya a) Dalam pencarian ekonomi mereka, semua orang berhak atas manfaat penuh dari alam dan semua sumber dayanya. Ini adalah berkat yang diberikan oleh Allah untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan. b) Semua manusia berhak mencari nafkah sesuai dengan UU No. 47 c) Setiap orang berhak memiliki harta, baik secara individual atau sama dengan orang lain kepemilikan Negara. sumber daya ekonomi tertentu untuk kepentingan publik adalah sah. d) Orang miskin memiliki hak untuk mendapatkan saham yang diatur dalam kekayaan orang kaya, sebagaimana ditetapkan oleh zakat, dipungut dan dikumpulkan sesuai dengan Hukum. e) Semua alat-alat produksi harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat (umat) secara keseluruhan, dan tidak dapat diabaikan atau disalahgunakan. f) Dalam rangka untuk mempromosikan pembangunan ekonomi seimbang dan untuk melindungi masyarakat dari eksploitasi, Hukum Islam melarang monopoli, praktek perdagangan restriktif tidak masuk akal, riba, penggunaan paksaan dalam pembuatan kontrak dan penerbitan iklan menyesatkan. g) Semua kegiatan ekonomi yang diijinkan dengan syarat tidak merugikan kepentingan masyarakat (umat) dan tidak melanggar hukum Islam dan nilai-nilai. XVI. Hak untuk Perlindungan Properti Tidak properti dapat disita kecuali untuk kepentingan publik dan pembayaran kompensasi yang adil dan memadai. XVII Status dan Martabat Pekerja Islam menghormati kerja dan pekerja dan memerintahkan Muslim tidak hanya memperlakukan pekerja dengan adil tetapi juga murah hati. Dia tidak hanya harus dibayar segera mendapatkan upahnya, tetapi juga berhak untuk istirahat yang cukup dan rekreasi. XVIII Hak atas Jaminan Sosial Setiap orang memiliki hak untuk makanan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan dan perawatan medis sesuai dengan sumber daya masyarakat. Kewajiban ini meluas di masyarakat tertentu untuk semua individu yang tidak bisa mengurus diri sendiri karena beberapa cacat sementara atau permanen. XIX. Hak Berkeluarga dan Masalah Terkait 48 a) Setiap orang berhak untuk menikah, untuk menemukan keluarga dan untuk membawa anak-anak sesuai dengan agama, tradisi dan budaya. Setiap pasangan berhak untuk hak dan hak istimewa dan menjalankan kewajiban seperti yang ditetapkan oleh UU. b) Setiap mitra dalam perkawinan berhak untuk menghormati dan pertimbangan dari yang lain. c) Setiap suami wajib menjaga istri dan anak-anak sesuai dengan cara nya. d) Setiap anak memiliki hak untuk dipelihara dan dibesarkan dengan baik oleh orang tua, ia terlarang bahwa anak-anak yang dibuat untuk bekerja pada usia dini atau yang beban apapun diletakkan pada mereka yang akan ditangkap atau merugikan perkembangan alamiah mereka. e) Jika orang tua untuk beberapa alasan tidak dapat melaksanakan kewajiban mereka terhadap anak-anak itu menjadi tanggung jawab masyarakat untuk memenuhi kewajiban dengan biaya umum. f) Setiap orang berhak untuk mendukung materi, serta perawatan dan perlindungan, dari keluarganya selama masa kecilnya, usia tua atau ketidakmampuan. Orang tua berhak atas dukungan material maupun perawatan dan perlindungan dari anak-anak mereka. g) Keibuan berhak untuk menghormati khusus, perawatan dan bantuan dari pihak keluarga dan organ-organ publik masyarakat (umat). h) Dalam keluarga, pria dan wanita untuk berbagi dalam kewajiban mereka dan tanggung jawab sesuai dengan seks mereka, sumbangan alam, bakat dan kecenderungan, mengingat tanggung jawab bersama mereka terhadap anak mereka dan keluarga mereka. i) Tidak ada orang dapat menikah atau dia akan melawan, atau kehilangan atau menderita dimunition kepribadian hukum karena perkawinan. XX. Hak-hak Perempuan Menikah Setiap wanita yang sudah menikah berhak untuk: a) tinggal di rumah tempat tinggal suaminya; b) menerima berarti diperlukan untuk mempertahankan standar hidup yang tidak kalah dengan pasangan, dan, dalam hal perceraian, terima selama periode yang wajib dimiliki tunggu (iddah) berarti pemeliharaan sepadan dengan suami 49 sumber daya-nya, untuk dirinya sendiri dan juga untuk anak-anak dia perawat atau terus, terlepas dari status finansial, penghasilan, atau properti yang ia dapat memegang hak sendiri; c) mencari dan memperoleh perceraian (khulu ') sesuai dengan ketentuan Undangundang. Hak ini merupakan tambahan di sebelah kanannya untuk mencari perceraian melalui pengadilan. d) mewarisi dari suaminya, orangtuanya, anak-anaknya dan kerabat lainnya sesuai dengan UU; e) kerahasiaan yang ketat dari suaminya, atau mantan pasangan jika bercerai, sehubungan dengan informasi bahwa ia mungkin telah mendapatkan tentang dia, pengungkapan yang bisa membuktikan merugikan kepentingan nya. Tanggung jawab serupa terletak di atas sehubungan dengan suaminya atau mantan pasangan. XXI Hak untuk Pendidikan a) Setiap orang berhak untuk menerima pendidikan sesuai dengan kemampuan alami. b) Setiap orang berhak untuk memilih dengan bebas profesi dan karir serta kesempatan untuk pengembangan penuh hibah alam nya. XXII Hak Privasi Setiap orang berhak atas perlindungan privasi nya. XXIII Hak Kebebasan Gerakan dan Residence a) Mengingat fakta bahwa Dunia Islam adalah umat veritably Islamia, setiap Muslim akan memiliki hak untuk bebas bergerak masuk dan keluar dari setiap negara Muslim. b) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk meninggalkan negara tempat tinggalnya, atau sewenang-wenang dideportasi daripadanya tanpa bantuan proses Hukum. Catatan Penjelasan 1. Dalam formulasi di atas Hak Asasi Manusia, kecuali dalam konteks tertentu dinyatakan: 50 a) Istilah “persoan” merujuk pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. b) Istilah 'Hukum' menunjukkan Shari'ah, yaitu totalitas tata berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah dan setiap undang-undang lain yang dideduksi dari dua sumber ini dengan metode dianggap sah dalam hukum Islam. 2. Setiap salah satu Hak Asasi Manusia tercantum dalam deklarasi ini membawa tugas yang sesuai. 3. Dalam ujicoba dan pelaksanaan hak-hak tersebut di atas setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan seperti yang diperintahkan oleh UU untuk tujuan menjamin pengakuan tempo, dan menghormati, hak-hak dan kebebasan orang lain dan hanya memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum Komunitas (umat). Teks Arab Deklarasi ini adalah asli. 51 Lampiran 3: Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam Diadopsi dan ditempatkan pada Konferensi Islam ke-19 Menteri Luar Negeri di Kairo Pada tanggal 5 Agustus 1990. Negara-negara Anggota Organisasi Konferensi Islam, Menegaskan kembali peran peradaban dan sejarah dari umat Islam yang Allah membuat bangsa terbaik yang telah diberikan manusia dan seimbang peradaban universal yang harmoni didirikan antara hidup dan akhirat dan pengetahuan yang dikombinasikan dengan iman, dan peran yang ini Umat harus bermain untuk membimbing kemanusiaan yang bingung oleh tren bersaing dan ideologi dan memberikan solusi terhadap masalahmasalah kronis peradaban materialistik ini. Ingin menyumbang usaha manusia untuk menegaskan hak asasi manusia, untuk melindungi manusia dari eksploitasi dan penganiayaan, dan untuk menegaskan kebebasan dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat sesuai dengan Syariah Islam Yakin bahwa manusia yang telah mencapai stadium lanjut dalam sains materialistis masih, dan akan tetap, sangat membutuhkan iman untuk mendukung peradaban dan dari kekuatan-memotivasi diri untuk menjaga hak-hak tersebut; Percaya bahwa hak-hak dasar dan kebebasan universal dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama Islam dan bahwa tidak ada satu sebagai masalah prinsip memiliki hak untuk menangguhkan mereka secara keseluruhan atau sebagian atau melanggar atau mengabaikan mereka sebanyak mereka mengikat ilahi perintah, yang terkandung dalam Kitab Allah diwahyukan dan dikirim melalui nabi-Nya terakhir untuk menyelesaikan pesan ilahi sebelumnya sehingga membuat mereka memperhatikan ibadah dan mengabaikan atau melanggar sebuah dosa keji, dan karenanya setiap orang bertanggung jawab secara individu - dan umat secara kolektif bertanggung jawab - untuk melindungi mereka. Proceeding dari prinsip-prinsip tersebut di atas, Menyatakan sebagai berikut: Pasal 1 52 1. Semua manusia membentuk satu keluarga yang anggotanya dipersatukan oleh penyerahan kepada Allah dan keturunan dari Adam. Semua manusia adalah sama dalam hal dasar martabat manusia dan kewajiban dasar dan tanggung jawab, tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bahasa , jenis kelamin, kepercayaan agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lain. Iman yang benar adalah jaminan untuk meningkatkan martabat seperti di sepanjang jalan menuju kesempurnaan manusia. 2. Semua manusia itu subyek Allah, dan yang paling dicintai olehnya adalah orang yang paling berguna untuk seluruh mata pelajaran-Nya, dan tak seorang pun memiliki keunggulan atas yang lain kecuali atas dasar kesalehan dan perbuatan baik. Pasal 2 1. Kehidupan adalah hadiah yang diberikan Allah dan hak untuk hidup dijamin untuk setiap manusia. Ini adalah tugas individu, masyarakat dan negara untuk melindungi hak ini dari pelanggaran apapun, dan dilarang untuk mengambil nyawa kecuali alasan Syariah-resep. 2. Dilarang untuk menggunakan sarana seperti bisa mengakibatkan kehancuran umat manusia genosida. 3. Pelestarian kehidupan manusia selama jangka waktu yang dikehendaki Tuhan adalah tugas yang ditetapkan oleh Syariah. 4. Keselamatan dari bahaya tubuh adalah hak yang dijamin. Ini adalah tugas negara untuk melindungi, dan dilarang untuk melanggar hal-resep tanpa alasan syariah. Pasal 3 1. Dalam hal penggunaan kekuatan dan dalam hal konflik bersenjata, tidak boleh membunuh non-belligerents seperti orang tua, wanita dan anak-anak;. The luka dan orang sakit berhak medis untuk pengobatan dan tawanan perang berhak untuk diberi makan, terlindung dan berpakaian.. Hal ini dilarang untuk mati memuntungkan tubuh Ini adalah tugas untuk pertukaran tawanan perang dan untuk mengatur kunjungan atau reuni keluarga dipisahkan oleh keadaan perang. 2. Dilarang untuk menebang pohon, untuk tanaman kerusakan atau ternak, dan untuk menghancurkan bangunan musuh's sipil dan instalasi oleh pemboman, peledakan atau cara lainnya. 53 Pasal 4 Setiap manusia berhak untuk tidak dapat diganggu gugat dan perlindungan nama baik dan kehormatan selama hidupnya dan setelah kematiannya. The negara dan masyarakat wajib melindungi tetap dan tempat pemakaman. Pasal 5 1. Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan perkawinan adalah basis pembentukannya. Pria dan wanita memiliki hak untuk perkawinan, dan tidak ada pembatasan yang berasal dari ras, warna kulit atau kebangsaan akan mencegah mereka dari menikmati hak ini. 2. Masyarakat dan Negara akan menghapus semua hambatan untuk perkawinan dan akan memfasilitasi prosedur perkawinan. Mereka harus menjamin perlindungan dan kesejahteraan keluarga. Pasal 6 1. Perempuan adalah sama dengan manusia dalam martabat manusia, dan memiliki hak untuk menikmati serta tugas untuk melakukan, dia sipil badan sendiri dan kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan keturunan. 2. Suami bertanggung jawab atas dukungan dan kesejahteraan keluarga. Pasal 7 1. Pada saat lahir, setiap anak memiliki hak karena dari orang tua, masyarakat dan negara dapat diberikan perawatan yang tepat, pendidikan dan materi, dan moral perawatan higienis. Kedua janin dan ibunya harus dilindungi dan diberikan khusus peduli. 2. Orang tua dan orang-orang dalam kapasitas seperti tersebut memiliki hak untuk memilih jenis pendidikan yang mereka inginkan untuk anak-anak mereka, asalkan mereka mempertimbangkan kepentingan dan masa depan anak-anak sesuai dengan nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip syariah. 3. Kedua orang tua berhak atas hak-hak tertentu dari anak-anak mereka, dan keluarga berhak untuk hak-hak dari keluarga mereka, sesuai dengan prinsip-prinsip dari Syariah. 54 Pasal 8 Setiap manusia memiliki hak untuk menikmati kapasitas hukum nya dalam hal kewajiban dan komitmen. Apakah kapasitas ini akan hilang atau terganggu, ia akan diwakili oleh walinya. Pasal 9 1. Pencarian pengetahuan adalah suatu kewajiban, dan penyediaan pendidikan merupakan kewajiban bagi masyarakat dan Negara cara. Negara harus menjamin ketersediaan dan sarana untuk memperoleh pendidikan dan harus menjamin keanekaragaman pendidikan untuk kepentingan masyarakat sehingga untuk memungkinkan manusia untuk berkenalan dengan agama Islam dan fakta-fakta alam semesta untuk kepentingan umat manusia. 2. Setiap manusia memiliki hak untuk menerima kedua agama dunia pendidikan dan dari berbagai lembaga pendidikan dan bimbingan, termasuk keluarga, sekolah, universitas, media, dll, dan dalam seperti dan seimbang secara terpadu sebagai untuk mengembangkan kepribadiannya, memperkuat imannya kepada Allah dan menghormati-Nya untuk mempromosikan dan membela hak-hak dan kewajiban kedua. Pasal 10 Islam adalah agama alam murni. Hal ini dilarang untuk menjalankan bentuk paksaan pada manusia atau untuk mengeksploitasi kemiskinannya atau kebodohan untuk mengkonversi ke agama lain atau ateisme. Pasal 11 1. Manusia dilahirkan bebas, dan tak seorang pun memiliki hak untuk memperbudak, mempermalukan, menindas atau mengeksploitasi mereka, dan tidak ada penaklukan tetapi kepada Tuhan Yang Maha-Tinggi. 2. Kolonialisme semua jenis menjadi salah satu bentuk yang paling jahat dari perbudakan sama sekali dilarang. Masyarakat menderita dari penjajahan memiliki hak penuh untuk kebebasan dan penentuan nasib sendiri,. Ini adalah tugas dari semua Negara dan masyarakat untuk mendukung perjuangan bangsa terjajah untuk 55 likuidasi semua bentuk kolonialisme dan pendudukan dan semua Negara dan masyarakat berhak mempertahankan identitas independen mereka dan menjalankan kontrol atas kekayaan dan sumber daya alam. Pasal 12 Setiap orang berhak, dalam kerangka syariat, untuk gerakan bebas dan untuk memilih tempat tinggalnya baik di dalam maupun di luar negeri dan, jika dianiaya, berhak untuk mencari suaka di negara lain. The negara akan perlindungan memastikan perlindungan sampai ia mencapai keselamatan, kecuali suaka dimotivasi oleh tindakan yang menganggap syariat sebagai suatu kejahatan. Pasal 13 Pekerjaan adalah hak yang dijamin oleh Negara dan Masyarakat untuk setiap orang mampu bekerja.. Setiap orang bebas untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan dia yang terbaik dan melayani kepentingan-Nya dan orang-orang masyarakat karyawan harus mempunyai hak untuk keselamatan dan keamanan sebagai serta semua jaminan sosial lainnya. Dia tidak mungkin ditugaskan bekerja melebihi kapasitasnya atau dikenakan paksaan atau dieksploitasi atau dirugikan dengan cara apapun harus. Dia berhak - tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan - untuk upah yang adil untuk bekerja tanpa delay, serta hari libur, tunjangan dan promosi yang layak. Sementara itu, ia akan diminta untuk berdedikasi dan teliti dalam pekerjaannya majikan. Haruskah pekerja dan tidak setuju mengenai hal apapun, Negara harus campur tangan untuk menyelesaikan sengketa dan memiliki keluhan redressed, hak-hak dan keadilan ditegakkan dikonfirmasi tanpa bias. Pasal 14 Setiap orang berhak untuk keuntungan yang sah tanpa monopoli, penipuan atau merugikan diri sendiri atau orang lain. Riba (riba) adalah benar-benar dilarang. Pasal 15 1. Setiap orang berhak untuk memiliki harta yang diperoleh dengan cara yang sah, dan harus berhak atas hak-hak kepemilikan, tanpa merugikan diri sendiri, orang lain atau 56 masyarakat pada umumnya. Ekspropriasi tidak boleh kecuali untuk persyaratan kepentingan publik dan atas pembayaran kompensasi segera dan adil; 2. Peristiwa dan penyitaan properti adalah dilarang kecuali untuk suatu kebutuhan ditentukan oleh hukum. Pasal 16 Setiap orang berhak untuk menikmati buah dari ilmiahnya,, artistik atau teknis produksi sastra dan hak untuk melindungi kepentingan moral dan material yang berasal daripadanya, asalkan produksi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Pasal 17 1. Setiap orang berhak untuk hidup dalam lingkungan yang bersih, jauh dari wakil dan korupsi moral, sebuah lingkungan yang akan mendorong pengembangan dirinya, dan, adalah tugas Negara dan masyarakat pada umumnya untuk mampu benar. 2. Setiap orang berhak untuk perawatan medis dan sosial, dan untuk segala fasilitasnya umum yang disediakan oleh masyarakat dan Negara dalam keterbatasan sumber daya yang tersedia mereka. 3. Negara harus menjamin hak individu untuk hidup layak yang akan memungkinkan dia untuk memenuhi semua persyaratan dan tanggungan mereka, termasuk pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, perawatan medis dan semua kebutuhan dasar lainnya. Pasal 18 1. Setiap orang berhak untuk hidup aman untuk dirinya sendiri, agamanya, tanggungannya, kehormatan dan harta miliknya. 2. Setiap orang berhak atas privasi dalam urusan pribadinya, di rumahnya, di antara keluarganya, berkaitan dengan properti dan hubungannya. Hal ini tidak diijinkan untuk memata-matai dia, untuk menempatkan dirinya di bawah pengawasan atau menjelekkan nama baiknya gangguan. Negara harus melindungi dia sewenangwenang dari. 3. Tempat tinggal pribadi adalah diganggu gugat dalam semua kasus,. Akan itu tidak dimasukkan tanpa izin dari penduduk atau melanggar hukum dengan cara apapun tidak lagi akan dihancurkan atau disita dan penduduk yang digusur. 57 Pasal 19 1. Semua individu adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan antara penguasa dan memerintah. 2. Hak untuk resor untuk keadilan dijamin untuk semua orang. 3. Kewajiban pada dasarnya pribadi. 4. Tidak akan ada kejahatan atau hukuman kecuali seperti yang diatur dalam Syariah. 5. terdakwa adalah bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu pengadilan yang adil di mana ia akan diberi semua jaminan pertahanan. Pasal 20 Karena itu tidak dibolehkan tanpa alasan yang sah untuk menangkap seorang individu, atau membatasi kebebasannya, untuk mengasingkan atau untuk menghukum dia.. Hal ini tidak diizinkan untuk tunduk ke penyiksaan fisik atau psikologis atau untuk setiap bentuk penghinaan, kekejaman atau penghinaan Juga tidak diizinkan untuk subjek individu untuk eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuannya atau risiko kesehatan atau tindakan hidupnya. Juga tidak diijinkan untuk menyebarluaskan undang-undang darurat yang akan memberikan wewenang seperti eksekutif untuk. Pasal 21 Mengambil sandera di bawah bentuk apapun atau untuk tujuan apapun secara tegas dilarang. Pasal 22 1. Setiap orang berhak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara seperti tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. 2. Setiap orang berhak untuk mendukung apa yang benar, dan menyebarkan apa yang baik, dan memperingatkan terhadap apa yang salah dan jahat sesuai dengan normanorma syariah Islam. 3. Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ini mungkin tidak dieksploitasi atau disalahgunakan sedemikian rupa mungkin melanggar kesucian dan martabat nabi, merusak nilai-nilai moral dan etika atau hancur, rusak atau merugikan masyarakat atau melemahkan iman. 58 4. tidak diizinkan untuk membangkitkan kebencian atau doktrinal nasionalis atau melakukan sesuatu yang mungkin menjadi hasutan untuk segala bentuk diskriminasi rasial. Pasal 23 1. Authority adalah sebuah kepercayaan, dan pelecehan atau eksploitasi jahat daripadanya adalah mutlak dilarang, sehingga hak-hak asasi manusia dapat terjamin. 2. Setiap orang berhak untuk berpartisipasi, secara langsung atau tidak langsung dalam penyelenggaraan urusan publik negaranya. Ia juga berhak untuk menganggap jabatan publik sesuai dengan ketentuan Syariah. Pasal 24 Semua hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini tunduk pada Syariah Islam. Pasal 25 Shari'ah Islam adalah satu-satunya sumber referensi untuk penjelasan atau klarifikasi ke salah satu artikel dari Deklarasi ini. Kairo, 14 Muharram 1411H 5 Agustus 1990 59