Analisa Aliran Sosiologi Hukum terhadap “Quo Vadis” Kasus Bibit

advertisement
Analisa Aliran Sosiologi Hukum terhadap “Quo Vadis” Kasus Bibit-Chandra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah
semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan
nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan dalam hukum untuk mewujudkan nilai
hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada.
Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta
terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta
menjadi barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.1
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara konsisten dan
berksinambungan adalah kunci utama untuk memberantas koruptor-koruptor yang
telah merugikan negara. Namun ditengah perjalanan dalam membarantas korupsi,
lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan berbagai rintangan dan
halangan salah satunya berupa upaya mengkriminalisasi beberapa pimpinan KPK,
namun counter attack yang dilakukan oleh koruptor-koruptor untuk melemahkan
gerakan KPK harus kandas ditengah jalan karena mendapatkan dukungan yang luar
biasa dari masyarakat, sehingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK terpaksa
dihentikan dengan alasan Sosiologis.
1
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,
2009, Hal. viii
1
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah kembali menjadi tersangka
menyusul putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima permohonan
praperadilan Anggoro Widjojo. Putusan tersebut menyatakan bahwa Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan tidak sah dan
memerintahkan agar perkara Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan.2
Secara yuridis formal dan dengan menggunakan kaca mata kuda, tidak ada
yang salah dengan putusan pra peradilan tersebut. Sejak awal, penerbitan SKPP telah
menimbulkan pertentangan logika berpikir hukum. Disatu sisi, dalam kasus
kriminalisasi Bibit-Chandra Kejaksaan telah mengeluarkan P-21, yang berarti perkara
telah lengkap, termasuk bukti-buktinya, dan siap dilimpahkan ke Pengadilan. Namun
disisi yang lain, Kejaksaan menerbitkan SKPP. 3
Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, SKPP diterbitkan jika
perkara tersebut tidak cukup bukti, perkara tersebut bukan merupakan perbuatan
pidana atau perkara ditutup demi hukum. Sementara itu, perkara ditutup demi hukum
bila perkara tersebut nebis in idem, kadaluarsa atau meninggal dunia.
Pertanyaan kemudian, apakah dalam penanganan kasus Bibit-Chandra
hakim hanya mempertimbangkan yuridis formal semata? Sudah menjadi rahasia
umum
bahwa
penetapan
Bibit-Chandra
sebagai
tersangka
pemerasan
dan
penyalahgunaan wewenang dalam kasus Direktur PT. Masaro Anggoro Widjojo
penuh dengan rekayasa. Indikasi ini diperkuat dengan adanya rekaman pembicaraan
yang diperdengarkan dalam siding MK, 3 November 2009. selain itu, juga pengakuan
2
Eddy Os Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo Vadis” Kasus
Bibit-Chandra? Opini Harian Kompas, 28 April 2010, Hal. 7
3
Ibid
2
ulang disampaikan oleh mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji bahwa ada dugaan
kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK tersebut.4
Proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto menjadi
isu strategis di masyarakat karena menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa terhadap
proses hukum tersebut.5 Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan
dampak yang sangat besar seperti hilangnya public trust terhadap lembaga penegak
hukum yang ada. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Bibit-Chandra
harus bertindak hati-hati dan tidak hanya berkutat pada formal legalistik. Tetapi juga
harus memerhatikan kasus tersebut dari berbagai aspek, termasuk aspek sosiologis.
Terlabih dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materil dan bukan
kebenaran formal.
Upaya lainnya untuk menyelamatkan lembaga KPK dari praktek kriminalisasi
adalah dengan menggunakan hak pengesampingan perkara (depooner) oleh Jaksa
Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI yang
berbunyi :
Jaksa agung mempunyai wewenang mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum
Hal ini merupakan asas oppurtunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan
suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Suatu pemahaman serta pengkajian secara sosiologis terhadap hukum,
termasuk penegakannya, merupakan suatu kebutuhan yang minta dipenuhi untuk saatsaat seperti sekarang ini. Yang dimaksud “saat-saat seperti sekarang” ini adalah masa
4
Ibid
5
Laporan dan rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas Kasus Chandra
M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
3
suatu masyarakat, dalam hal ini Indonesia, tengah mengalami perubahan-perubahan,
suatu kurun zaman yang ditandai oleh perubahan sosial.6
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana pandangan aliran sosiologi terhadap hukum?
2. Bagaimana pandangan aliran sosiologi hukum terhadap perkara Bibit-Chandra?
6
Op. Cit. Satjipto Rahardjo, Hal. 156
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran Sosiologi Terhadap Hukum
Aliran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan Max Weber. Menurut
aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum
adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya
dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkambangan hukum
merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.7
Oleh sebab itu menurut aliran sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada
dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan
orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat.
Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum
itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang
memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan
peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan
orang lain didalam masyarakat itu.8
Menurut Soekanto, aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh
Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Asutria, bukunya yang terkenal
“Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Erlich mengatakan bahwa
7
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2008, Hal. 9
8
Ibid, Hal. 10
5
ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah
hukum) dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa
pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,
keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah
justru terletak didalam masyarakat itu sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di
masyarakat dilaksanakan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.9
Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari
Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan
sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhankebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. 10
Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai
suatu proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis
(law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi
semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah
sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi
hukum itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu
peraturan dengan efek-efek nyatanya.11
Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas Sosial’
menyatakan
bahwa berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia yang
9
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009. Hal. 155
10
11
Ibid
Ibid, Hal. 157
6
hidup bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa,
tetapi bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas
dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum
apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Menurut Duguity,
pembentuk
undang-undang
tidak
menciptakan
hukum,
tetapi
hanya
mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk
yang bersifat teknis yuridis.12
B. Pandangan Aliran Sosiologi Hukum Terhadap Perkara Bibit-Chandra.
Dengan dikabulkannya putusan praperadilan atas SKPP Bibit-Chandra
membawa dampak yang buruk terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Runtutan panjang skenario kriminalisasi pimpinan KPK rupanya masih berlanjut,
yang dulu sempat terhenti karena mendapat jutaan protes dari masyarakat.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan bangsa mengekpresikan penolakannya
terhadap upaya kriminalisasi dengan berbagai cara dan yang paling popular adalah
dengan gerakan sejuta rakyat Indonesia menolak upaya kriminalisasi KPK melalui
Facebook. Yang mana pada akhirnya pemerintah mendapatkan tekanan yang cukup
kuat dari masyarakat untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap BibitChandra.
Tekanan publik (public pressur) terhadap pemerintah dalam perkara
kriminalisasi KPK adalah bentuk ketidaksetujuan masyarakat terhadap proses hukum
yang sedang berlanjut, karena proses hukum yang sedang berlansung tersebut sangat
jauh dari nilai-nilai keadilan yang ada ditengah masyarakat. Menurut aliran
12
Op. Cit. Muhammad Siddiq Tgk. Armia, hal. 10
7
Sosiologis, hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi bergantung
kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota
masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat
dukungan dari masyarakat secara efektif. Upaya kriminalisasi KPK menurut aliran
sosiologis adalah sebuah upaya untuk memisahkan hukum dari masyarakat.
Menganai dikabulkannya praperadilan terhadap SKPP Bibit- Chandra di
Pengadilan, memberikan gambaran bahwasanya para hakim di Indonesia masih
terjebak didalam pemikiran legal-formalistik. Konsep hukum hanya dipahami sebatas
peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya terutama
aspek sosiologis. Maraknya penolakan dari masyarakat terhadap upaya kriminalisasi
KPK tidak mendapatkan perhatian dari hakim yang memutuskan praperadilan SKPP
Bibit-Chandra. Menurut Satjipto Rahardjo Penegakan hukum bukanlah merupakan
suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik
yang erat dengan masyarakatnya.13
Hal ini menjadi bukti ketidakmampuan hakim Indonesia untuk bertindak
mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi pembaharuan hukum nasional itu
sesungguhnya tidak hanya bersebab pada status para hakim (sebagai pegawai negeri)
yang sebenarnya kurang menjamin kemandiriannya, akan tetapi juga oleh sebab lain.
Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia telah
mengkonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum yang harus mereka
temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara
doktrinal. Pendidikan kehakiman dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat
menekankan cara berpikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa mencoba
13
Op.Cit., Satjipto Rahardjo, Hal. 31
8
mendedah mahasiswa juga kecara berpikir induktif yang diperlukan untuk
menganalisis dari kasus-kasus itu untuk mengembangkan case law.14
Dalam realitas kemasyarakatan Indonesia saat ini, kita melihat begitu banyak
penyelesaian kasus-kasus yang lebih berorientasi pada hukum yang formal
(positivisme hukum), telah banyak kegagalan dan telah menimbulkan kesewenangwenangan dan ketidakadilan, pembacaan ulang terhadap hukum kita merupakan
sesuatu yang harus dilakukan15 dan dengan aliran sosiologis, hukum mendapatkan
tempat ditengah-tengah masyarakat.
Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial mengalami perubahan dalam
hal pengaturan dan penerapan hukuman. Hukum yang diharapkan bisa mewujudkan
hubungan yang seimbang, humanis dalam memecahkan persoalan siapa yang benar
dan siapa yang salah, ternyata berubah dalam kenyataannya kearah pengaturan dan
penerapan hukuman bagi siapa yang kuat dialah yang menang. Inilah fenomena yang
mewarnai penerapan hukum dalam konteks sosial. Anggodo yang mencoba
melakukan penyuapan terhadap KPK dan menjadi salah satu sutradara untuk
mengkriminalisasi KPK masih bisa menghirup udara segar, hal ini di asumsikan
bahwa Anggodo memiliki kekuatan materi yang bisa mempengaruhi para aparat
penegak hukum.
Studi perubahan hukum sangat lekat dengan cara mengarahkan peran negara
sebagaimana yang diharapkan, yang tidak lepas dengan ketertiban sosial dimana
anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Disinilah posisi hukum
menjadi multi dimensi dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam perubahan
14
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pres, Jakarta,
1993, Hal. 244
15
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hal. 314
9
hukum juga menyangkut secara lansung terhadap keperluan ketertiban sosial yang
meliputi nilai dan norma sosial, sistem kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial
yang belum maupun yang sudah mapan, dan sistem kelembagaan sehingga meskipun
ada pergerseran tetapi pranata hukum tetap terjaga.16
16
Bambang Widodo Umar, Paradigma Sosiologi Hukum, Jakarta, 2010, Hal. 1
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hukum dan masyarakat merupakan sebuah entitas yang tidak dapat
dipisahkan. Hukum lahir dari adanya interaksi antar masyarakat dan masyarakat
dalam menjalani kehidupannya sangat memerlukan hukum agar terciptanya
kedamaian dan ketertiban. Norma-norma yang hidup ditengah masyarakat
mengkristal dalam wujud hukum, hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa
menjawab semua permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran
sosiologis berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu
hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
Dengan diterimanya putusan praperadilan SKPP Bibit-Chandra menjadi bukti
bahwa Hakim di Indonesia dalam memutuskan suatu perkara masih menggunakan
konsep legal-formalitik. Hakim hanya memandang dari sisi yuridis semata,
sedangkan aspek yang lainnya seperti aspek sosiologis tidak mendapatkan tempat
dalam memutus sebuah perkara. Padahal esensinya hukum dan masyarakat adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya putusan ini menjadi bukti bahwa
keadilan menurut hukum berbeda dengan keadilan yang hidup ditengah masyarakat.
Untuk itu diperlukan perubahan menuju kepada hukum yang lebih mencerminkan
keadilan ditengah masyarakat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Bambang Widodo Umar, Paradigma Sosiologi Hukum, Jakarta, 2010
Eddy Os Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo
Vadis” Kasus Bibit-Chandra? Opini Harian Kompas, 28 April 2010
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Laporan dan rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas
Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali
Pres, Jakarta, 1993
12
Download