KONSTRUKSI PUSTAKA GENOM HARENDONG (Melastoma malabathricum L.) HADISUNARSO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konstruksi Pustaka Genom Melastoma malabthricum L. adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang ditertibkan maupun tidak diterbitkan dari dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Hadisunarso NIM. G351040011 ABSTRACT HADISUNARSO. malabathricum L. JUSUF. Construction of Genomic Library of Melastoma Under direction of SUHARSONO and MUHAMMAD Melastoma malabathricum L. belongs to Melastomataceae. The plant is one of the Al accumulator plants that grow well and wide spread in acid soils as weed. The aim of this research is to construct genomic library of M. malabathricum. Total genomic DNA was isolated from young leaves, then partially digested with Sau3A I 0.01 unit/g DNA. The DNA fragments were successfully inserted into BlueSTAR-1 phage vector and packaged in 50 l Phage Marker extract protein. The recombinant λ phages were transvected into E.coli strain ER1647 and grown in agar plate containing ampicilin and X-gal. Phage titer was determined and gave result 1.9 x 105 pfu/ml, 11.4% of them was recombinant titer. Three samples of recombinant plaque were individually picked up and transvected into E. coli strain BM25.8, in order to allow excision and gave result recombinant plasmid. The recombinant plasmids were isolated and transformed into E.coli strain DH5α for multiplication. Recombinant plasmids of DH5α were isolated and analyzed for determination of inserted fragment size. Three samples were digested with EcoR I. They gave result 0.85, 1.2, and 11.5 kbp of inserted fragments that belongs to the plant DNA, and 2.1 kbp of vector DNA. Based on genomic DNA size of Dissotis canescens (member of Melastomataceae), the genomic library of M. malabathricum constructed contains only 12.6 % of any random DNA. Key words: Melastoma malabathricum, DNA, genomic library, phage RINGKASAN HADISUNARSO. Konstruksi Pustaka Genom Harendong (Melastoma malabathricum L.) (Dibimbing oleh SUHARSONO dan MUHAMMAD JUSUF. Tumbuhan harendong (Melastoma malabathricum L), anggota famili Melastomataceae, merupakan tumbuhan akumulator Al yang tumbuh baik dan tersebar luas di daerah tanah masam sebagai gulma. Karena ketahanannya, tumbuhan ini dapat digunakan sebagai sumber gen toleran Al. Untuk menyimpan seluruh informasi genetik yang dimiliki tumbuhan ini, maka pustaka genom tumbuhan ini perlu dikonstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi pustaka genom tumbuhan harendong (Melastoma malabathricum L.). DNA total tumbuhan diisolasi dari daun muda Melastoma malabathricum dengan menggunakan penyangga CTAB 2 % mengandung 2 % PVP mengikuti metode Chang yang dimodifikasi. Konstruksi pustaka genom memerlukan potongan DNA yang berukuran besar untuk disisipkan ke dalam vektor. Untuk mendapatkan potongan besar, DNA total dipotong secara parsial. Pemotongan o dengan 0.01 U tiap μg DNA total pada suhu 37 C selama 30 menit menghasilkan potongan besar. Kedua ujung fragmen DNA tumbuhan disisipi dengan nukleotida dATP dan dGTP (Novagen) lalu dicampur dengan vektor fage λ BlueSTAR-1 yang telah dipotong dengan enzim Xho I yang telah disisipi oleh dTTP dan dCTP, dengan menggunakan rasio molar sisipan:vektor = 2.9 : 0.5 g DNA genom. Setelah DNA diligasikan, DNA λ rekombinan dikemas di dalam mantel protein, lalu fage yang terbentuk ditransveksikan ke dalam E. coli galur ER 1647 dalam media yang mengandung X-gal dan ampisilin. 5 Jumlah titer yang terbentuk adalah sebanyak 1.9 x 10 pfu/ml, dengan persentase fage λ rekombinan yang berupa plak bening sebanyak 11.4% dan 4 besarnya titer rekombinan yang terbentuk adalah sebesar 2.2 x 10 pfu/ml. Selanjutnya fage λ rekombinan tersebut ditransveksikan ke dalam E.coli galur BM25.8 agar terjadi eksisi membentuk plasmid rekombinan. Plasmid rekombinan telah diisolasi dan diintroduksi ke dalam E. coli galur DH5α untuk perbanyakan. Selanjutnya plasmid rekombinan diisolasi untuk analisis restriksi dengan dipotong enzim restriksi EcoRI. Tiga sampel plasmid rekombinan dipotong dengan enzim restriksi EcoRI, ketiganya menghasilkan fragmen berukuran 2.1 kpb yang merupakan turunan fage λ BlueSTAR-1, dan masing-masing sampel menghasilkan fragmen berukuran 0.85 kpb (sampel I), 1.2 kpb (sampel II), serta 3.5 kpb + 8.0 kpb (sampel III) yang merupakan fragmen DNA sisipan yang berasal dari M. malabathricum. Besarnya DNA sisipan dari M. malabathricum di dalam vektor pBlueSTAR-1 adalah antara 8.5 – 11.5 kpb dengan rata-rata sisipan 4.52 kpb. Mengingat ukuran genom M. malabathricum belum diketahui, dan dengan mengacu pada ukuran genom Dissotic canescens yang termasuk anggota famili Melastomataceae, maka peluang sembarang gen terdapat pada pustaka genom yang dikonstruksi adalah sebesar 12.6 %. Kata kunci: Melastoma malabathricum, DNA, pustaka genom, fage ©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. KONSTRUKSI PUSTAKA GENOM HARENDONG (Melastoma malabathricum L.) HADISUNARSO Tesis sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Judul Tesis : Konstruksi Pustaka Genom Harendong (Melastoma malabathricum L.) Nama : Hadisunarso NIM : G351040011 Disetujui Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Muhammad Jusuf Anggota Dr. Ir. Suharsono, DEA Ketua Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Tanggal ujian: 27 Juli 2009 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal lulus: Penguji pada ujian tesis: Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono Staf Pengajar Departemen Biologi Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian berjudul “ Konstruksi Pustaka Genom Harendong (Melastoma malabathricum L.) ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dibiayai oleh Proyek DIPA BIOTROP Tahun 2005 atas nama Dr. Ir. Suharsono, DEA. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Suharsono, DEA, sebagai Ketua Tim sekaligus pembimbing Utama, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mengerjakan penelitian ini serta membimbing, memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan laporan ini. 2. Dr. Ir. Muhammad Jusuf, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing, memberikan saran, dan masukan selama penelitian dan penulisan ini. 3. Dr. Ir. Utut Widiastuti Suharsono, yang telah membimbing dalam pengerjaan penelitian ini di laboratorium Biorin, PPSHB-IPB. 4. SEAMEO-BIOTROP, selaku penyandang dana penelitian ini. 5. Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA selaku penguji, yang telah memberikan saran dan masukan. 6. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan beasiswa BPPS. 7. Ketua Departemen Biologi, Dekan Fakultas MIPA-IPB, Rektor IPB, yang telah memberikan izin dan penugasan dalam melanjutkan studi di Pascasarjana IPB, serta bantuannya. 8. Ketua Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 9. Seluruh Staf` Pengajar dan Staf Penunjang di Departemen Biologi, yang telah memberikan bantuan dan dukungannya 10. Seluruh karyawan PPSHB, khususnya: mbak Pepy, pak Mulya, ibu Ika, pak Adi, pak Pras, pak Rusna, pak Hery, pak Ery, pak Ichtar, pak Yusman, pak Yanto atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian. 11. Sdri Yasinta Ratna Wulandari, atas kerjasama selama penelitian dan berbagi pengetahuan program komputer. Rekan-rekan peneliti di Biorin lainnya: Pak Firdaus, Pak Muzuni, pak Ulung, ibu Yohana, ibu Sri Lis, Zendi, ibu Agustin ibu Hanum, ibu Ratna Yunita, Laela Sari, Rina, Yasier, Niken, Kiki, Nana, Muti, Rida, Bahrefi, Ade Kurniawan, Jaya, Rifqi, Nindya, Dona, Zahro, Uzi, Lulut, Lulu, dll atas bantuan dan kerjasamanya dalam penggunaan alat dan bahan. 12. Hilda Akmal dan Okkie Senna Maladi, ibu Umi Kalsum dan mama Damuniar, kakak-kakak dan adik-adik atas pengorbanan, dorongan semangat dan pengertiannya selama penulis menempuh studi. 13. Semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Pada kesempatan ini penulis memohon maaf kepada semua pihak, atas kesalahan, kekhilafan dan keterlambatan dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan ini. Harapan penulis, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan. Bogor, Agustus 2009 Hadisunarso RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 19 Februari 1955, merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara keluarga H. Nuryan (Almarhum) dan Ibu Siti Umi Kalsum. Pendidikan Dasar ditempuh dari tahun 1961 sampai 1967 di S.D. Negeri I Kajen, Pekalongan. Pendidikan menengah ditempuh dari tahun 1967 sampai 1970 di SMP Negeri 3 Pekalongan, dilanjutkan di SPMA Negeri Yogyakarta pada tahun 1971 sampai 1973. Pada tahun 1974 penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 1975 diterima di Jurusan Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian-IPB, dan lulus pada tanggal 15 April 1978. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian, penulis menjadi asisten mahasiswa pada mata kuliah Biologi Umum, dan Geologi Umum. Selesai kuliah, pada tahun 1978 penulis diterima sebagai Asisten Dosen di Departemen Botani, Fakultas Pertanian IPB, yang bersama Departemen Zoologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjadi Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, yang sekarang menjadi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi Staf pengajar di FMIPA-IPB, penulis memberikan kuliah Biologi Umum (di TPB dan Program Diploma) Botani Umum (di Fak. Pertanian, Program Diploma), Anatomi Tumbuhan, Fisiologi Tumbuhan, dan Pemuliaan tanaman (di Dept. Biologi), serta Penulisan Karya Ilmiah (di Program Diploma) Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Dra. Hilda Akmal. Pada tahun 1993 dikarunia seorang putra bernama Okki Senna Maladi. Pada akhir tahun 1989 hingga 1991 penulis berkesempatan belajar di Departmen of Crop Science and Plant Ecology , University of Saskatchewan, Canada. Pada tahun ajaran 2004/2005 penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Biologi, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………… xiii DAFTAR GAMBAR ………………………………………….. xiv PENDAHULUAN ………..…………………………………… 1 Latar Belakang …………………………………………… 1 Tujuan Penelitian ………………………………………... 2 TINJAUAN PUSTAKA ….…………………………………… 3 ..……………………………………. 3 Toleransi Tumbuhan terhadap Aluminium ………………. 4 Mekanisme Toleransi Tumbuhan terhadap Aluminium ….. 5 Melastoma sebagai Tumbuhan Akumulator Aluminium …. 6 Gen-gen Toleran Aluminium ………………………….. 7 ………………………………………… 9 Biologi Melastoma Pustaka Genom Fage λ BlueSTAR-1 sebagai vektor Pengklonan ……… 10 …………………………………….. 12 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………... 12 Bahan Penelitian ………………………………………... 12 Metode Penelitian ………………………………………. Isolasi DNA total tumbuhan ……………………. Pemotongan parsial DNA tumbuhan …………… Penyisipan nukleotida pada ujung fragmen DNA tumbuhan ………………………………… Penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor …… Pengemasan fage λ rekombinan ………………... Transveksi fage λ ke dalam E. coli .………………. Eksisi plasmid dari fage λ ………………………… Isolasi DNA plasmid rekombinan ……………… Transformasi bakteri …………………………….. 13 13 13 BAHAN DAN METODE 14 14 15 15 15 16 16 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….. 18 Isolasi DNA Total Tumbuhan …………………………… 18 Pemotongan DNA Total Tumbuhan secara Parsial ………. 18 Penyisipan Fragmen DNA ke dalam Vektor Fage λ …….. 20 Ukuran Fragmen DNA Sisipan …………………………… 24 SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 27 Simpulan …………………………………………………... 27 Saran ……………………………………………………….. 27 UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………. 27 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………… 28 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah titer dan persentase fage λ rekombinan …………………….. 22 2 Hasil analisis restriksi menggunakan enzim restriksi EcoRI ……… 25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Melastoma malabathricum L. ……………………………………………. 3 2 Vektor pengklonan fage BlueSTAR-1 …………………………… 12 3 Hasil pemotongan parsial terhadap 8 μg DNA M. malabathricum menggunakan enzim restriksi Sau3A I dengan berbagai konsentrasi pada suhu 37oC selama 30 menit. ……………. 19 4 Hasil pemotongan parsial terhadap 20 μg DNA M. malabathricum menggunakan enzim restriksi Sau3A I dengan konsentrasi 0.01 U pada suhu 37oC selama 30 menit. ………………….. 19 5 Fill in dATP dan dGTP pada fragmen DNA M. malabathricum hasil pemotongan parsial dengan Sau3A I ………………… 20 6 Fill in dTTP dan dCTP terhadap vektor λ BlueStar -1 yang dipoton XhoI ………………………………………………….. 20 7 Penyisipan fragmen DNA M. malabathricum ke dalam vektor λ BlueStar-1 ………………………………………………. 21 8 Koloni E. coli galur ER1647 non rekombinan (biru) dan plak putih (fage rekombinan) …………………………………… 21 9 Proses eksisi fage λ rekombinan menjadi plasmid rekombinan …… 23 10 Plasmid rekombinan hasil proses eksisi yang tidak dipotong dan yang dipotong dengan enzim EcoR1 ………………....... 24 PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dapat ditempuh melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Usaha ekstensifikasi terpaksa menggunakan lahan marjinal karena sebagian lahan subur telah beralih fungsi menjadi area komplek pemukiman, perkantoran, perdagangan, dll. Lahan marginal yang tersedia tersebut kurang cocok bagi pertumbuhan tanaman karena mempunyai tingkat keasaman yang tinggi. Lahan masam di dunia mencapai 3.95 x 109 ha (30% dari lahan bebas es), tersebar di daerah tropik dan subtropik (Matsumoto dalam Waisel et al. 2002). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002), lahan masam di Indonesia mencapai 102. 8 juta ha, terdiri dari lahan gambut pasang surut dan lahan kering. Lahan kering yang bersifat masam ini mencakup tanah podsolik atau tanah ultisol dan oxisol. Syarifuddin dan Abdurachman (1993) menyatakan bahwa tanah Podsolik Merah Kuning di Indonesia sekitar 47 600 000 ha. Menurut Subagyo et al. (2000) 32 % lahan di Indonesia (60 juta ha) merupakan tanah masam (Ultisols dan Oxisols). Tanah masam dicirikan oleh pH rendah dengan kandungan Al, Mn, dan Fe yang tinggi, kekurangan unsur hara Ca2+, Mg2+, K+; N, dan mempunyai kandungan P yang rendah; serta kapasitas pertukaran kation rendah (Matsumoto 2002). Al dan Mn yang tinggi pada tanah masam dapat meracuni tanaman. Ketersediaan unsur hara esensial yang rendah dapat mengurangi produksi tanaman. Tanah masam umumnya kurang baik bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis tumbuhan dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan tersebut. Salah satu jenis tumbuhan yang banyak dijumpai pada Tanah Podsolik Merah Kuning adalah tumbuhan harendong (Melastoma sp). Tumbuhan ini merupakan anggota famili Melastomataceae, tersebar di Asia tropis dan seluruh Indonesia sebagai gulma (Soerjani et al., 1987; Tjitrosoedirdjo, 1991). Banyaknya tumbuhan Melastoma di tanah masam ini menjadikan tumbuhan tersebut digunakan sebagai indikator tanah masam. Melastoma mampu tumbuh dengan baik di tanah masam dengan mengabsorpsi Al dalam 2 jumlah lebih dari 10000 mg/kg berat kering tumbuhan sehingga tergolong sebagai tumbuhan hiperakumulator Al. Menurut Gardner (1998) tumbuhan yang berevolusi di tanah masam bisa mempunyai mekanisme toleransi ganda terhadap Al tinggi. Sebagai tumbuhan yang toleran terhadap tanah masam dan Al tinggi, Melastoma tentu mempunyai mekanisme toleransi yang dikendalikan oleh gengen yang merupakan bagian dari genom tumbuhan tersebut. Apabila gen-gen toleran tersebut dapat diidentifikasi dan diisolasi, maka gen-gen tersebut dapat dimanfaatkan untuk rekayasa genetik, dan ditransfer ke tanaman budidaya. Informasi genetik yang dikandung oleh M. malabathricum sangat penting untuk dimanfaatkan dalam merakit tanaman yang toleran terhadap tanah masam dan keracunan Al. Informasi ini dapat dipertahankan secara lestari dengan disimpan di dalam pustaka genom walaupun tumbuhan ini sudah tidak terdapat di alam. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: tumbuhan Melastoma malabathricum L. mengkonstruksi pustaka genom dari 3 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Melastoma Melastoma merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di tanah masam, sehingga sering digunakan sebagai tumbuhan indikator untuk tanah masam. Tumbuhan ini termasuk genus Melastoma, famili Melastomataceae, ordo Myrtales, kelas Magnoliopsida, divisi Magnoliophyta (http://en.wikipedia.org ). Tumbuhan ini dikenal dengan nama senggani, kluruk (Jawa), harendong (Sunda), sendudok (Malaysia), singapore rhododendron (Singapura), strait rhododendron (Inggris) (Tjitrosoedirdjo 1991, Wong 2008). Melastoma merupakan tanaman asli Asia, tersebar luas di India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia sebagai gulma. Di Indonesia, tanaman tersebut merupakan gulma penting di perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, teh, hutan sekunder, tanah kosong, dan di sisi-sisi jalan (Tjitrosoedirdjo 1991). Melastoma malabathricum L. (Gambar 1) merupakan tumbuhan semak berkayu, dengan tinggi batang 0.5-4 meter. Batang muda berbentuk segi empat hingga agak silindris, berwarna ungu kemerahan, dengan sisik kasar meruncing menghadap ke atas. Gambar 1 Melastoma malabathricum L. Daun Melastoma letaknya berhadapan berbentuk lanset atau oblong- ovate oblong 5-20 x 1-8 cm, runcing pada kedua ujungnya. Pertulangan daun 3-5 dengan tiga pertulangan daun yang kasar. Tulang daun yang kasar ini di- sebabkan pada bagian bawah pertulangan daun tersebut terdapat bulu halus pendek (bristle). 4 Melastoma mempunyai bunga majemuk (inflorescence) yang terdapat di ujung cabang atau ranting, bergerombol (membentuk cluster). Diameter bunga dapat mencapai 7 cm. Setiap bunga terdiri dari: 5 sepal, 5 petal, 10 benangsari, dan putik. Benangsari tersusun dalam dua lingkaran, masing masing lingkaran tersusun oleh lima benangsari. Lima benang sari yang tersusun di lingkaran sebelah luar mempunyai ukuran lebih besar, membengkok, dan berwarna ungu. Lima benangsari di lingkaran dalam mempunyai ukuran yang lebih kecil, tegak dan berwarna kuning. Toleransi Tumbuhan terhadap Aluminium Pada tanah masam banyak dijumpai Al terlarut, yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pada umumnya. Namun demikian, ada jenis-jenis tumbuhan yang hidup secara normal di tanah asam dengan kadar Al tinggi. Studi ekologi terhadap karakteristik nutrisi tumbuhan berkayu yang hidup secara alami di daerah tanah masam mengungkapkan bahwa kadar Al pada daun bervariasi sekali di antara spesies tumbuhan. Di Sumatra Barat, Masunaga et al. (1998) melaporkan konsentrasi Al dalam daun tumbuhan berkayu bervariasi dari 6 hingga 36920 mg/kg. Secara umum spesies tumbuhan yang mengandung lebih dari 1000 mg/kg berat kering daun diklasifikasikan sebagai tumbuhan akumulator Al. Tumbuhan yang mengandung Al lebih dari 10000 mg/kg diklasifikasikan sebagai spesies hiper akumulator Al. Tumbuhan akumulator Al tersebar di berbagai kelompok tumbuhan, baik tumbuhan dikotil, monokotil, Gimnospermae, maupun Cryptogamae. Tumbuhan akumulator Al umum dijumpai dalam famili Leguminosae, Asteraceae, Rubiaceae, Melastomataceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, Malpighiaceae dan Guttiferae. Tumbuhan Melastoma malabathricum dan Melaleuca cajuputi hidup secara alami di tanah yang mempunyai pH rendah (sulfat asam dan gambut) tanpa menunjukkan gejala defisiensi mineral (Osaki et al. 1998). Di bawah konsentrasi Al dan Na yang tinggi, kedua tanaman tersebut mengembangkan strategi yang berlawanan. Tanaman Melaleuca cajuputi mengakumulasi Na dan mengeksklusi Al; sebaliknya Melastoma malabathricum mengakumulasi Al dan mengeksklusi Na. Melastoma malabathricum mampu mengandung Al lebih dari 10000 mg/kg berat kering daun dewasa. Tanaman teh (Camellia sinensis L) 5 mampu mengakumulasi Al hingga 30000 mg/kg pada daun dewasa . Absorbsi Al oleh akar teh meningkat dengan meningkatnya pH dari 3.2 ke pH 4.8 sebesar 2.5 hingga 3.5 kali lipat (Ruan & Wong 2004). Mekanisme Toleransi Tumbuhan terhadap Aluminium Taylor (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa toleransi tumbuhan terhadap aluminium dapat melalui dua mekanisme, yaitu: a) mekanisme eksklusi (eksternal) dan b) mekanisme detoksifikasi atau imobilisasi Al dalam sitosol (internal). Mekanisme eksklusi mencegah Al masuk ke dalam simplas melalui enam cara, yaitu: imobilisasi Al pada dinding sel, permebilitas selektif membran plasma, pembentukan penghalang yang diinduksi pH tumbuhan dalam rizosfer dan apoplas akar, eksudasi ligan pengkelat, eksudasi fosfat, dan efluks Al. Mekanisme detoksifikasi atau imobilisasi Al dalam sitosol melalui lima cara, yaitu: pengkelatan dalam sitosol, kompartementasi dalam vakuola, protein pengikat Al, evolusi enzim toleran Al, dan meningkatkan aktivitas enzim. Asam organik memainkan peranan penting dalam detoksifikasi Al baik secara internal maupun eksternal. Beberapa tumbuhan mengeluarkan asam-asam organik yang dapat mengkelat Al di rizosfer. Tanaman gandum mengeluarkan asam malat dalam mengurangi keracunan Al (Delhaize et al. 1993), sedangkan tanaman jagung mengeluarkan asam sitrat. Mekanisme eksklusi ini melibatkan ABA maupun fosforilasi protein dalam aktivasi saluran anion (Ma 2005). Asam organik intraselular berperan dalam toleransi terhadap Al (Ma et al. 1997). Daun Hydrangea mengandung Al hingga 15.66 mmol/kg daun segar, dan 77% dari total Al tersebut terdapat dalam cairan sel. Aluminium tersebut terdapat dalam kompleks Al-sitrat yang tidak beracun bagi tumbuhan. Buckwheat juga mengandung Al dalam jumlah banyak dan tumbuh normal di bawah cekaman Al. Al dalam akar dan daun buckwheat terdapat sebagai kompleks Al-oksalat (1:3) (Ma et al. 1998) Meristem dan tudung akar merupakan daerah utama yang keracunan Al. Beberapa tanaman yang tahan terhadap cekaman Al, memperlihatkan ketebalan lendir pada daerah tersebut antara 50 μm hingga 1 mm. Lendir (mucilage) terdiri dari polisakarida, gula glukosa, galaktosa, dan arabinos, serta asam-asam uronat. Lendir tersebut mempunyai berbagai fungsi perlindungan terhadap logam-logam 6 toksik dalam tanah dan mempunyai kapasitas yang tinggi dalam mengikat Al, sehingga memblokir masuknya Al ke dalam sel-sel akar. Setengah dari total Al di ujung akar cowpea berasosiasi dengan lendir tersebut (Horst et al. 1982). Pengikatan Al oleh lendir berkurang dengan menurunnya kadar asam uronat (Li et al. 2000) Melastoma sebagai Tumbuhan Akumulator Aluminium Melastoma malabathricum L., merupakan tumbuhan berkayu yang mengakumulasi Al, tumbuh di tanah-tanah asam di daerah Asia tropika yang lembab. Tanaman ini mengakumulasi Al lebih dari 10000 mg/kg Al dalam daun dewasa dan lebih dari 7000 mg/kg dalam daun muda (Watanabe et al. 1997). Aplikasi Al dapat meningkatkan pertumbuhan Melastoma (Osaki et al. 1997). Peningkatan pertumbuhan yang diinduksi Al tersebut disertai dengan kenaikan konsentrasi hara, terutama konsentrasi P. Tanaman ini mempunyai kemampuan mengambil Al dan memobilisasinya secara internal. Dalam tanaman ini, aluminium terdapat dalam seluruh jaringan akar, terutama dalam jaringan epidermis dan endodermis, juga dalam xilem akar. Di daun, Al dijumpai dalam jaringan epidermis atas dan tersebar dalam jaringan mesofil (Watanabe et al. 1998; 2003). Konsentrasi Al pada daun muda, daun dewasa, daun tua, dan akar secara berurutan adalah : 8.0, 9.2, 14.4, dan 10.1 mg/g berat daun kering (Watanabe et al. 1998). Bentuk-bentuk Al larut yang terdapat dalam jaringan Melastoma telah diidentifikasi sebagai Al monomerik, Al-oksalat, Al-(oksalat)2, dan Al-(oksalat)3 (Watanabe et al. 1998). Al pada tanaman Melastoma malabathricum mengubah metabolisme asam organik, yaitu meningkatkan sintesis asam sitrat (Watanabe et al. 2001). Aluminium ditranslokasi dari akar ke daun dalam bentuk kompleks aluminium sitrat. Al-sitrat lebih stabil dibandingkan Al-oksalat. Selanjutnya dalam daun Al disimpan dalam bentuk Al-oksalat, terdapat dalam vakuola dan apoplas. Penambahan Al juga menginduksi pengeluaran lendir (mucilage) di akar. Lendir tersebut akan mengadsorpsi Al, sehingga meningkatkan Penghilangan lendir ternyata akan menurunkan absorbsi Al, absorbsi Al. sedangkan absorbsi K, Ca, dan Mg tidak terpengaruh oleh adanya lendir tersebut (Watanabe et al. 2008). 7 Gen-gen Toleran Aluminium Toleransi terhadap aluminium tidak saja tersebar di berbagai jenis tanaman yang berbeda, tetapi juga di antara tanaman dalam spesies yang sama. Pada jenis tumbuhan sama terdapat varietas toleran maupun varietas peka terhadap kadar Al tinggi. Toleransi tumbuhan terhadap Al tinggi dikontrol oleh gen-gen yang terkandung di dalam genomnya. Pada beberapa tumbuhan, gen-gen toleran Al dikontrol oleh gen tunggal. Rhue et al. (1978) menyatakan bahwa toleransi Al pada tanaman jagung dikontrol oleh alel ganda yang terdapat dalam satu lokus. Stolen & Anderson (1978) juga menyatakan bahwa pada Hordeum vulgare diploid, gen toleran Al dikontrol oleh satu gen dominan yang terletak pada kromosom 4. Pendapat tersebut didukung oleh Riede & Andersen (1996) yang mengemukakan bahwa toleransi Al pada gandum dikontrol oleh gen tunggal yang bersifat dominan. Pada penelitian lebih lanjut, terungkap bahwa tanaman gandum mempunyai beberapa gen yang mengontrol toleransi terhadap Al. Snowden et al. (1995) mengisolasi tujuh cDNA (Wali 1-7) dalam gandum (wheat) di bawah perlakuan Al. Salah satu klon cDNA tersebut menyandi 1,3 glukanase, cDNA lainnya menyandi protein serupa fimbin sitoskeleton. gandum tersebut diberi nama Alt BH Gen toleran Al pada yang terletak pada kromosom 4DL dalam kultivar BH1146. Demikian juga Luo & Dvorak (1996) melaporkan bahwa toleransi Al pada gandum Chinese spring dikontrol oleh gen Alt2 yang terletak pada kromosom 4DL yang kurang toleran dibandingkan gen Alt BH . Sedangkan Tang et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa gen major mungkin terlibat pengontrolan toleransi Al pada genotipe tertentu dalam Sasaki et al. (2004) telah berhasil mengklonkan gen tanaman gandum. ALMT1 (Al-malate transporter gene) pada gandum. Lokus gen ALMT1 tersebut terdapat pada kromosom 4DL pada varietas Atlas 66 (Ma et al. 2005). Beberapa gen pengontrol toleransi Al juga terdapat pada tanaman rye (Secale cereal). Matos et al. (2005) telah melaporkan ada empat gen yang mengontrol toleransi Al pada tanaman rye, yaitu : gen Alt1, Alt2, dan Alt3 yang secara berurutan terdapat pada kromosom 6RS, 3RS dan 4RL serta gen Alt4 yang terdapat pada kromosom 7RS. 8 Pada beberapa tumbuhan, toleransi terhadap Al dikendalikan oleh banyak gen (poligen). Kochian et al. (2004) meyatakan bahwa toleransi Al pada padi, jagung, dan arabidopsis dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat kuantitatif. Selain adanya gen-gen toleran Al yang tinggi, tumbuhan juga mempunyai gen-gen yang ekspresinya diinduksi oleh cekaman Al. Richard et al. (1998) melaporkan bahwa Al menginduksi gen-gen cekaman oksidatif. Delhaize et al. (1999) membuat klon cDNA (TaPSS1) yang menyandi fosfatidil serina sintetase. Dalam khamir, ekspresi gen tersebut meningkatkan toleransi terhadap Al. Cekaman Al berhubungan dengan cekaman oksidatif. Ezaki et al. (2000) menggunakan arabidopsis transgenik, gen protein pengikat blue copper, gen transferase S glutation tembakau, gen peroksidase tembakau, gen penghambat disosiasi GDP tembakau mengubah suatu derajat tertentu resistensi terhadap Al. Sivaguru et al. (2003) melaporkan bahwa Al menginduksi ekspresi gen WAK1 (cell wall-associated receptor kinase 1) pada akar Arabidopsis. Tanaman transgenik yang mengekspresikan gen tersebut secara berlebihan, menunjukkan peningkatan toleransi terhadap Al. Beberapa asam-asam organik dapat mengurangi toksisitas Al dengan cara membentuk senyawa komplek Al-asam organik, seperti Al-sitrat, Al-oksalat, Almalat. Fuente et al. (1997) mengintroduksi gen sitrat sintetase (CS) ke dalam tembakau dan pepaya yang terekspresi meningkatkan konsentrasi sitrat dalam sitoplasma dan laju sitrat. Ligaba et al. (2006) telah berhasil mengisolasi gen BnALMT1 dan BnALMT2 (B. napus Al-activated malate transporter). Ekspresi gen tersebut dalam akar diinduksi oleh Al. Dalam sel-sel tembakau transgenik, gen ini meningkatkan toleransi terhadap cekaman Al melalui peningkatan efluks malat. Dalam rangka memanipulasi gen toleran Al melalui transfer gen, Gardner (1998) mengemukakan tiga strategi dalam mengisolasi gen, yaitu: a. isolasi dan karakterisasi gen-gen yang diinduksi oleh Al; b. Isolasi gen-gen toleran Al dari tanaman toleran; c. Seleksi fungsional gen-gen toleran Al dalam organisme model melalui pendekatan shotgun. 9 Pustaka Genom Informasi genetik dari suatu spesies dapat disimpan dalam bentuk pustaka cDNA atau pustaka DNA. Beberapa penelitian tentang pustaka genom telah berhasil dilakukan di Indonesia. Pustaka cDNA dari kedelai yang mendapat cekaman kekeringan (Miftahudin et al. 1998) dan cekaman Al (Elfawati 1999) telah dikonstruksi. Konstruksi pustaka cDNA didahului dengan sintesis cDNA menggunakan enzim transkriptase balik dan mRNA sebagai cetakan. Messenger RNA total diisolasi dari tanaman yang mengekspresikan gen-gen tertentu. Dalam hal di atas mRNA diisolasi dari tanaman kedelai yang terpapar oleh cekaman kekeringan atau cekaman Al. Miftahudin et al. (1998) berhasil mengkonstruksi pustaka cDNA dari kedelai yang tercekam kekeringan disimpan dalam plasmid pSPORTI dengan ukuran sisipan antara 745 hingga 1930 pb. Pustaka cDNA dari kedelai galur Yellow Biloxi yang tercekam Al sebanyak 3.23 x 104 plak rekombinan dengan ukuran sisipan antara 200-400 pb tersimpan dalam fage lambda gt11. Pustaka cDNA hanya mencakup sekuens DNA yang terekspresi (ekson) tanpa intron. Metode cDNA merupakan metode umum untuk memperoleh gengen eukariotik. Kesukaran metode ini adalah bahwa molekul mRNA yang panjang mungkin tidak sempurna ditranskripsikan balik sehingga hanya menghasilkan sebagian dari DNA yang diinginkan (Tortora et al. 2007). Pustaka genom (genomic library) atau pustaka DNA adalah seperangkat segmen DNA dari suatu genom organisme, yang disimpan dalam plasmid, fage, atau vektor klon lainnya (Campbell & Reece 2005). Pustaka genom sangat penting untuk menyimpan seluruh informasi genetik yang dipunyai oleh suatu organisme, karena mengandung semua gen yang dimiliki oleh suatu organisme termasuk DNA yang bukan penyandi (Suharsono 2002). Pustaka genom kedelai yang toleran Al (Suharsono 2002) dan peka Al (Suharsono 2007) telah dikonstruksi. Pustaka genom kedelai varietas Slamet toleran Al tersimpan dalam 4.25 x 105 pfu dengan ukuran sisipan rata-rata 15 kpb (Suharsono 2002). Pembuatan pustaka genom kedelai varietas Lumut peka Al menggunakan ekstrak protein yang berbeda menghasilkan titer rekombinan 4 5 berkisar antara 2 x 10 pfu dan 3.3 x 10 pfu, dengan ukuran sisipan 15-20 kpb. 10 Fage λ BlueSTAR-1 sebagai Vektor Pengklonan Vektor pengklonan adalah sepotong DNA tempat menyisipkan DNA asing. Vektor yang diperlukan dalam pembuatan pustaka genom dapat berupa bakteriofage P1, P1 artificial chromosome (PAC), yeast artificial chromosome (YAC), bacterial artificial chromosome (BAC), atau kosmid, bergantung pada ukuran panjang fragmen DNA yang akan disisipkan (Wahyudi 2001). Fage atau bakteriofage adalah virus yang menginfeksi bakteri. Salah satu jenis bakteriofage adalah bakteriofage lambda. Fage ini telah digunakan sebagai vektor pengklonan dengan E. coli sebagai inangnya. Beberapa keuntungan vektor lambda adalah : (1) mempunyai kapasitas pengklonan relatif besar (20-25 kpb), dan (2) mempunyai efisiensi yang tinggi dalam pengepakan DNA dan proses infeksi (Promega 1996). Kapasitas pengklonan yang besar ini penting ketika mempertimbangan jumlah total fage rekombinan yang akan diperlukan untuk merepresentasikan populasi seluruh genom. Sistem vektor λ BlueSTAR-1 merupakan sistem vektor yang diproduksi oleh Novagen, terdiri dari dua daerah polilinker mengandung sembilan situs pengklonan yang diapit oleh promoter fage T7 dan T3 untuk sintesis RNA yang tepat (Novagen 1996). Sistem vektor ini didisain untuk produksi pustaka DNA genom dengan fragmen DNA sisipan berukuran 7-20 kpb. Sistem vektor λ BlueSTAR-1 mempunyai beberapa keuntungan antara lain : (1) dapat dilakukan penapisan secara visual melalui pembentukan koloni plak bening dan koloni biru, (2) autosubkloning yang dimediasi cre-loxP, dan (3) melindungi DNA genom sisipan dari enzim restriksi inangnya dengan menggunakan EcoK, ekstrak PhageMaker mcr, dan galur inang ER 1647 (Novagen 1996). Penapisan biru/bening diperoleh dengan adanya gen lacZ E. coli komplit dan daerah kontrol dalam fragmen pengisi berukuran 13kpb. Vektor asli maupun lengan-lengan T7 dan T3 yang berligasi kembali dengan fragmen pengisi menghasilkan fage non rekombinan, akan memproduksi β-galaktosidase aktif dalam sel yang terinfeksi. β-galaktosidase akan memecah/menghidrolisis X-gal dan membebaskan β-D-galaktosida yang akan berwarna biru. Adanya fragmen DNA genom sisipan pada fage rekombinan menyebabkan β-galaktosidase tidak 11 terbentuk sehingga β-D-galaktosida tidak dibebaskan dari X-gal sehingga tidak terbentuk warna biru dan terbentuk plak bening/tidak berwarna. Fage λ non rekombinan ini mudah diidentifikasi sebagai plak biru pada media yang mengandung X-gal, sedangkan fage λ rekombinan yang mengandung sisipan fragmen DNA genom akan menghasilkan plak bening. Ada beberapa macam vektor λ BlueSTAR, yaitu ; vektor yang belum dipotong dan vektor yang sudah dipotong siap untuk pengklonan sisipan DNA dengan efisiensi tinggi dan latar belakang non rekombinan yang rendah. Pengklonan sisipan DNA dapat dilakukan dengan pemotongan vektor menggunakan enzim restriksi Xho-I dan fill in parsial yang dipadukan dengan pemotongan DNA genom secara parsial menggunakan enzim restriksi Sau3AI atau Mbo I atau enzim lainnya yang sesuai, disertai dengan fill in parsial, dilanjutkan dengan ligasi antara lengan-lengan vektor dengan fragmen DNA genom sisipan. Cara lain adalah memotong vektor dengan enzim restriksi BamH I tanpa fill in, dipadukan dengan pemotongan DNA genom menggunakan enzim restriksi Sau3AI, dilanjutkan dengan ligasi. Beberapa keuntungan pengklonan menggunakan enzim restriksi Xho-I fill in parsial dibandingkan enzim restriksi BamH adalah : 1. Mengurangi terjadinya sisipan secara tandem, karena penggabungan dua fragmen DNA dapat dicegah, 2. Sedikit DNA genom yang diperlukan dibandingkan dengan metode pemotongan dengan BamH I (Novagen 1996) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kerjasama Bioteknologi IndonesiaBelanda (BIORIN) dan Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman (BMST), Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, dari bulan Maret 2006 sampai dengan Desember 2008 Bahan Penelitian Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber DNA adalah daun muda M. malabathricum. Vektor yang digunakan untuk pengklonan adalah fage BlueSTAR-1 (Novagen) (Gambar 2). Fage tersebut telah dipotong dengan XhoI dan mengalami penyisipan (fill-in) dengan nukleotida deoksisitosina trifosfat (dCTP) dan deoksitiminosina trifosfat (dTTP) sehingga menghasilkan potongan vektor yang mempunyai ujung menggantung (overhang) TC pada situs penyisipan. Gambar 1 Vektor pengklonan fage BlueSTAR-1. Gambar 2. Vektor pengklonan fage BlueSTAR-1 Escherichia coli (E. coli) galur ER1647 digunakan sebagai inang untuk mengamplifikasi fage rekombinan. E. coli galur BM25.8 digunakan sebagai inang untuk memproses eksisi dari fage rekombinan menjadi plasmid rekombinan. E. coli galur DH5 digunakan sebagai inang untuk memperbanyak plasmid rekombinan. 13 Metode Penelitian Isolasi DNA total tumbuhan Isolasi DNA total tumbuhan dilakukan dengan mengikuti prosedur Chang et al. (1993) yang dimodifikasi, yaitu LiCl diganti dengan isopropranol/etanol absolut. Sampel diambil dari daun muda yang masih segar, dibuang bagian tulang daunnya, lalu dipotong-potong. Dua gram potongan daun dimasukkan ke dalam mortal, ditambah nitrogen cair secukupnya, dan digerus hingga halus. Bubuk sampel tersebut kemudian dimasukkan ke tabung falcon, dilarutkan dalam 6 ml 2x larutan penyangga cetyltrimethyl-ammonium bromide (CTAB) (2% CTAB, 0.1 M Tris-HCl pH 9.5, 20 mM EDTA, 1.4 M NaCl, 2% PVP) lalu ditambahkan 0.2% merkaptoetanol. Larutan tersebut dibolak-balik sampai rata, kemudian diinkubasikan dalam pemanas bergoyang pada suhu 65oC selama 60 menit. Selanjutnya larutan tersebut ditambah 6 ml larutan kloroform: isoamilalkohol (CI) (24:1), dibolak-balik selama 1.5 menit, kemudian disentrifugasi dengan swing-out rotor (Jouan, BR4i) pada suhu 4°C dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Setelah terpisah, cairan di bagian atas dipindahkan ke tabung falcon baru dan ditambah isopropanol sebanyak 0.7x volume awal, kemudian diinkubasi pada suhu -20C selama 2 jam. Campuran disentrifugasi pada suhu 4C dengan kecepatan 4000 rpm, selama 20 menit. Setelah sentrifugasi, endapan kemudian dibilas dengan alkohol 70% lalu disentrifugasi kembali pada suhu 4C, dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Endapan yang diperoleh lalu dikeringkan dengan vakum dan disuspensikan dalam TE (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA, pH 8.0). Suspensi DNA dimasukkan ke dalam tabung ependorf, kemudian ditambah RNAse dengan konsentrasi akhir 100 g/ml dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama satu malam untuk menghilangkan RNA. Suspensi DNA dicampur secara merata dengan 1 x volume fenol : kloroform : isoamilalkohol (PCI) (25:24:1), dan disentrifugasi dengan fix-angle rotor (Jouan, BR4i) pada suhu ruang dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Cairan bagian atas dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambah 0.1x volume 3 M Na-asetat pH 5.2 dan 2x volume etanol absolut dingin, dibolak-balik pelan lalu diinkubasi pada suhu -20C selama 2 jam. 14 Setelah diinkubasi, larutan tersebut lalu disentrifugasi kembali pada suhu 4oC dengan kecepatan 14000 rpm selama 10 menit. Endapan DNA dibilas dengan etanol 70% dingin dan disentrifugasi kembali pada suhu 4C, dengan kecepatan 14000 rpm selama 30 menit. Endapan DNA tersebut dikeringkan dengan vakum kemudian disuspensikan di dalam TE pH 8. Pemotongan parsial DNA tumbuhan DNA total tumbuhan hasil isolasi dipotong secara parsial dengan cara mencampurkannya dengan enzim Sau3AI (Takara) pada suhu 37ºC selama 30 menit dengan berbagai konsentrasi [0.01, 0.015, 0.02 dan 0.04 unit (U) tiap µg DNA], sehingga diperoleh fragmen DNA berbagai ukuran dan tumpang tindih (overlap). Penyisipan nukleotida pada ujung fragmen DNA tumbuhan Kedua ujung fragmen DNA tumbuhan hasil pemotongan secara parsial terlebih dahulu disisipi dengan dua nukleotida untuk mencegah terjadinya penyambungan kembali di antara fragmen tersebut sesuai dengan prosedur Novagen (1997). Fragmen DNA sebanyak 20 g dicampur dengan larutan penyangga yang mengandung 50 mM Tris-HCl pH 7.3, 10 mM MgCl2, 50 g/ml bovin serum albumin (BSA), 1 mM deoksiadenosina trifosfat (dATP), 1 mM deoksiguanosina trifosfat (dGTP) (Novagen), 4 µl 100 mM ditiotreitol (DTT), dan 20 unit Klenow DNA polimerase (Takara) dalam volume total 400 l. Campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 30oC selama 30 menit. Selanjutnya campuran tersebut dipanaskan pada suhu 70oC selama 10 menit untuk menghentikan reaksi tersebut. Fragmen DNA yang berukuran 7-20 kb diisolasi dengan menggunakan kolom Chroma Spin 1000 (Clontech 1999). Penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor Fragmen DNA yang ujungnya telah disisipi nukleotida (fill-in) tersebut selanjutnya disisipkan ke dalam vektor fage dengan cara mencampur 0.5 g fragmen DNA (fill in) dengan 0.5 g BlueSTAR-1 (Novagen), 4.5 unit T4 DNA ligase (Takara), dan buffer ligasi [30 mM Tris-HCl pH 7.8, 10 mM MgCl2, 10 mM DTT, 1 mM ATP, 5% polietilen glikol (PEG) 8000], dalam volume total 10 l. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 4oC selama 24 jam. 15 Pengemasan fage rekombinan DNA fage rekombinan hasil ligasi, selanjutnya dikemas dalam protein mantel. Sebanyak 10 l hasil reaksi ligasi dicampur dengan 50 l protein ekstrak pengemas (Gigapack III, Stratagene) sesuai prosedur Stratagene (2003). Campuran diinkubasikan pada suhu 22oC selama dua jam. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 440 l bufer SM (5.8 g/l NaCl, 2 g/l MgSO47H2O, 0.01% gelatin, dan 50 mM Tris-HCl, pH 7.5). Jumlah titer ditentukan dengan melakukan transveksi ke E. coli galur ER1647. Transveksi fage ke dalam E coli Transveksi fage ke dalam E. coli dilakukan mengikuti prosedur Suharsono (2002). Sebanyak 100 l E. coli galur ER1647 (OD600=1) dicampur dengan 100 l fage . Fage hasil pengemasandiencerkan 100 kali agar memudahkan penghitungan. Campuran diinkubasi dalam balok pemanas (heat block) pada suhu 37oC selama 30 menit, kemudian ditambah 4 ml molten top agarose (10 g/l bacto-tryptone, 5 g/l NaCl, 6 g/l agarosa) bersuhu 47oC dan telah ditambah X-gal dengan konsentrasi akhir 500 ppm untuk mengidentifikasi rekombinan. Campuran tersebut disebar dalam cawan petri yang mengandung 15 ml media luria bertani (LB) padat (10 g/l bacto-tryptone, 5 g/l ekstrak khamir, 10 g/l NaCl, 15 g/l bacto-agar) sesuai prosedur Novagen (1997). Setelah agarosa yang berada di atas media LB padat tersebut membeku, cawan ditutup, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama satu malam. Jumlah plak (plaque) putih (rekombinan) dan koloni biru (bukan rekombinan) dihitung guna menentukan persentase rekombinan dan penentuan jumlah titer. Eksisi plasmid dari fage Transveksi fage rekombinan dari plak bening dilakukan ke dalam E. coli galur BM25.8 (OD600=1) untuk melakukan eksisi dari bentuk fage rekombinan menjadi plasmid rekombinan. Eksisi dilakukan dengan mencampurkan 100 l E. coli galur BM25.8 (OD600=1) dengan 100 l fage rekombinan tersebut. Campuran tersebut diinkubasikan di dalam balok pemanas pada suhu 37oC selama 30 menit. Sebanyak 100 l campuran disebar di atas media LB padat yang mengandung ampisilin 100 ppm dengan menggunakan batang kaca bengkok. 16 Isolasi DNA plasmid rekombinan Isolasi DNA plasmid dilakukan terhadap kedua galur E. Coli baik dari galur BM25.8 maupun galur DH5. Masing-masing plak bening dari galur tersebut secara terpisah diambil sampelnya. Satu koloni plak bening diambil dari biakan dalam cawan dengan menggunakan tip kuning yang ujungnya telah dipotong. Masing-masing koloni plak bening ditumbuhkan di dalam 2 ml media LB cair yang mengandung 100 mg/l ampisilin yang diletakkan dalam inkubator bergoyang dengan kecepatan 250 rpm, pada suhu 37oC selama semalam. Bakteri diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm (Jouan, BR4i), pada suhu 4oC selama 10 menit. Endapan bakteri selanjutnya disuspensikan dalam 300 l larutan penyangga suspensi sel (10 mM EDTA, 50 mM Tris-HCl pH 7.5), kemudian ditambah 300 l larutan penyangga lisis (0.2 M NaOH, 1% SDS). Setelah bakteri tersebut mengalami lisis, ditambah 300 l larutan penyangga netralisasi (1.32 M Na-asetat pH 4.8). Campuran tersebut disentrifugasi pada suhu 4oC dengan kecepatan 14000 rpm selama 20 menit. Cairan yang mengandung DNA plasmid diekstraksi dengan larutan PCI, kemudian divorteks dan disentrifugasi pada suhu 4ºC, kecepatan 14000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan diperlakukan dengan RNAse (100 µg/ml) pada suhu 37oC selama semalam. Protein RNAse dipisahkan dari DNA plasmid dengan menambahkan larutan PCI. Cairan kemudian ditambah dengan 0.1x volume 3 M Na-asetat pH 5.2 dan 2x volume etanol absolut, diinkubasikan pada suhu -20oC selama dua jam. DNA plasmid selanjutnya diendapkan dengan sentrifugasi pada suhu 4oC, kecepatan 14000 rpm selama 20 menit. Endapan DNA plasmid dibilas dengan etanol 70% dan dikeringkan dengan vakum. DNA plasmid tersebut disuspensikan di dalam H2O. Transformasi bakteri Pembuatan bakteri kompeten mengikuti prosedur Nakayama dan Nishikata (1995) dalam Suharsono (2002). Satu koloni bakteri E. coli galur DH5 dikulturkan dalam 2 ml media LB cair pada inkubator bergoyang pada suhu 37oC, dengan kecepatan 250 rpm selama semalam. Kemudian bakteri tersebut disubkultur dalam 100 ml media LB cair dengan kondisi yang sama hingga OD600=0.6. Bakteri diendapkan dengan disentrifugasikan pada suhu 4oC 17 dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Endapan bakteri disuspensikan dalam 3.3 ml larutan penyangga transformasi (TFB) (10 mM MES pH 6.3, 45 mM MnCl2.4H2O, 10 mM CaCl2.2H2O, 3 mM [Co(NH3)6]Cl3, 100 mM KCl, gliserol 10%, pH 7.5) dan diinkubasikan di dalam es selama 10 menit. Kemudian suspensi tersebut disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm. Endapan bakteri disuspensikan dalam 0.83 ml TFB dan ditambah 58.1 µl DMSO 99.9%, lalu diinkubasikan di dalam es selama 10 menit sehingga didapat bakteri kompeten E. coli galur DH5. Sebanyak 50 l bakteri kompeten E. coli galur DH5 dicampur dengan 10 l (50-100 ng) DNA plasmid rekombinan yang diisolasi dari E. coli galur BM25.8 dan diinkubasikan di dalam es selama 25 menit. Campuran ini kemudian diinkubasi pada suhu 42oC selama 45 detik, dimasukkan kembali ke dalam es selama 5 menit. Campuran ini ditambah 100 l media 2x YT (16 g/l tripton, 10 g/l ekstrak khamir, 5 g/l NaCl, pH 7.0) dan diinkubasikan pada inkubator bergoyang 250 rpm, 37oC selama 20 menit. Selanjutnya bakteri disebar pada media LB padat yang mengandung ampisilin 100 ppm dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama semalam. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Total Tumbuhan Isolasi DNA total merupakan tahap awal dari pembuatan pustaka genom. DNA dipisahkan dari bahan-bahan lain yang ada dalam sel. DNA total yang diperlukan untuk pembuatan genom, kualitas maupun harus bagus dalam kuantitas. DNA harus utuh, sedikit mengandung fragmen DNA yang berukuran kecil. Selain utuh, DNA yang diperlukan juga harus mempunyai konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi yang tinggi ini dapat dicapai dengan cara pemekatan atau dengan mengurangi jumlah pelarut. Konsentrasi DNA yang rendah dapat dipekatkan dengan pengendapan kembali menggunakan isopropanol sebanyak 0.7 x volume. Pengendapan kadang dapat menurunkan kualitas DNA. Tingkat kemurnian DNA dari kontaminan protein diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280nm. digunakan harus DNA yang murni dengan nilai 260/280 > 1.75 (Promega 1996). Sementara hasil perhitungan 260/280 nm dari DNA tumbuhan yang telah diisolasi adalah sebesar 1.2 yang berarti bahwa DNA tersebut kurang murni, dan masih terdapat adanya kontaminan yang berupa protein. Selain protein, DNA M. malabathricum banyak terkontaminasi oleh polisakarida yang cukup tinggi. Adanya kontaminan polisakarida menyebabkan rendemen isolasi DNA menjadi rendah. Usaha yang telah dilakukan dalam mengurangi kontaminan antara lain: dengan penambahan PVP (poly vinil pirolidon) sebanyak 2 % pada saat isolasi, dan isolasi dengan DNA mini kit yang menggunakan saringan berbahan resin. Pemotongan DNA Tumbuhan secara Parsial Hasil pemotongan 8 μg DNA M. malabathricum L. secara parsial menggunakan enzim restriksi Sau3A I pada konsentrasi 0.01 hingga 0.04 unit untuk setiap g DNA menunjukkan bahwa pemotongan dengan 0.01 unit menghasilkan potongan yang berukuran besar (Gambar 3). Konstruksi pustaka genom memerlukan DNA yang cukup banyak, sehingga untuk mendapatkan potongan DNA besar dalam jumlah banyak dilakukan pemotongan dengan skala besar. Pemotongan skala besar menggunakan 20 μg DNA total yang dipotong secara parsial dengan enzim restriksi Sau3A I pada konsentrasi 0.01 unit tiap µg DNA, 19 menghasilkan fragmen DNA yang sebagian besar terdapat pada ukuran 2 - 15 kpb (Gambar 4). pb M 1 2 3 4 15000 - 5000 4000 3000 -2000 1000 - Gambar 3 Hasil pemotongan parsial terhadap 8 μg DNA M. malabathricum menggunakan enzim restriksi Sau3A I dengan berbagai konsentrasi pada suhu 37oC selama 30 menit. M=marker, 1=0.010 U, 2=0.015 U 3=0.020 U, 4=0.040 U. pb M 1 15000 80004000300020001000- Gambar 4 Hasil pemotongan parsial terhadap 20 μg DNA M. Malabathricum menggunakan enzim restriksi Sau3A I dengan konsentrasi 0.010 U pada suhu 37oC selama 30 menit. M= marker, 1= fragmen DNA hasil pemotongan. Enzim Sau3A I mengenali situs spesifik NGATC yang memotong antara N dan G sehingga pemotongan dengan Sau3A I menghasilkan fragmen yang berujung kohesif dengan nukleotida GATC. Setelah disisipi dengan nukleotida dATP dan dGTP menghasilkan ujung 5’GA3’ yang tidak dapat berpasangan dengan ujung 3’AG5’ dari fragmen DNA yang lain sehingga penyambungan kembali di antara fragmen dapat dicegah (Gambar 5) 20 Potong dg Sau3A I Gambar 5 Fill in dATP dan dGTP pada fragmen DNA M. malabathricum hasil pemotongan parsial dengan Sau3A I. Penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor fage Enzim restriksi Xho I mengenali situs spesifik 5’CTCGAG3’ yang memotong antara C dan T sehingga vektor fage yang dipotong dengan enzim restriksi Xho I menghasilkan fragmen DNA menggantung yang menyisakan basa nitrogen 5’TCGA3’di ujung yang satu dan 3’AGCT5’ di ujung lainnya. Kedua ujung tersebut dapat berpasangan kembali bila tidak dicegah. Penambahan dTTP dan dCTP menyisakan 5’TC3’di satu ujung dan 3’CT5’ di ujung lain yang menyebabkan kedua ujung tersebut tidak dapat berpasangan secara`komplementer (Gambar 6) Potong dg C GAGCT TCGAG C Pengisi lac Xho I C GAGCT TCGAG C Tambah dTTP & dCTP C TC GAGCT TCGAG CT C Pengisi Kedua lengan dan pengisi lac C TC GAGCT TCGAG CT C tidak cocok Gambar 6 Fill in dTTP dan dCTP terhadap vektor λ BlueSTAR-1 yang dipotong XhoI. 21 Setelah vektor fage dicampur dengan potongan DNA M. malabathricum dalam satu tabung, maka potongan DNA fage berujung basa 5’TC3’ akan berpasangan dengan basa 3’AG5’ yang terdapat pada ujung potongan DNA M. malabathricum. Pasangan kedua fragmen DNA tersebut selanjutnya diligasi oleh DNA T4 ligase (Gambar 7). λ BlueSTAR-1 λ CTC GATC GAGCTAG M.malabathricum GATCGAG λ BlueSTAR-1 CT AGCTC Gambar 7 Penyisipan fragmen DNA M. malabathricum ke dalam vektor λ BlueSTAR-1. Penyisipan 0.5 g DNA M. malabathricum ke dalam vektor fage dengan perbandingan 2.9 : 1 berdasarkan molaritas, menghasilkan DNA rekombinan. Setelah dikemas dalam mantel protein, fage rekombinan ini ditransveksikan ke dalam E coli galur ER1647. Dalam media yang mengandung IPTG dan X-gal, fage rekombinan membentuk plak bening yang terdapat di antara koloni biru (non rekombinan) (Gambar 8). Konstruksi pustaka genom dilakukan dua kali. non rekombinan rekombinan Gambar 8 Koloni E. coli galur ER1647 non rekombinan (biru) dan plak putih (fage rekombinan). 5 Proses pengemasan menghasilkan titer sebesar antara 1.4 x 10 dan 2.3 x 10 5 5 dengan rata-rata 1.9 x 10 pfu/ml (Tabel 1). Persentase fage rekombinan yang terbentuk adalah berkisar antara 5.4% dan 17.3% dengan rata-rata 11.4%, 22 4 sehingga besarnya titer rekombinan yang terbentuk adalah 2.2 x 10 pfu/ml. Persentase fage rekombinan ini lebih rendah dibandingkan dengan persentase fage rekombinan pada konstruksi pustaka genom kedelai yang dilakukan oleh Suharsono (2002). Tabel 1. Jumlah titer dan persentase fage λ rekombinan Perco baan I II Pengenceran (x) 100 1000 100 1000 Jumlah plak (pfu) Biru Bening Total 83 13 96 15 4 19 Rata-rata I 226 15 21 1 % plak rekombinan 13.5 21.1 241 22 Rata-rata II Rata-rata I dan II 17.3 6.2 4.5 5.4 11.4 Konsentrasi fage (pfu /ml) 5 0.96 x 10 5 1.9 x 10 5 1.4 x 10 5 2.41 x 10 5 2.2 x 10 5 2.3 x 10 5 1.9 x 10 Persentase fage rekombinan yang rendah disebabkan oleh DNA M. malabathricum yang digunakan kurang murni. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminan, terutama oleh polisakarida. Polisakarida ini dapat menghambat proses pemotongan DNA oleh enzim restriksi. Masalah lain adalah adanya DNA yang tidak utuh (smear). Hal ini dapat terjadi jika DNA disimpan terlalu lama, atau diendapkan beberapa kali untuk pemekatan. Selain itu proses isolasi DNA dapat menyebabkan terpotongnya DNA secara fisik. Untuk mengetahui ukuran DNA M. malabathricum yang menyisip ke dalam fage , fage rekombinan (Gambar 9A) dari plak putih hasil lisis E coli galur ER1647 selanjutnya ditransveksikan ke E. coli galur BM 25.8. Di dalam E. coli galur BM 25.8, fage rekombinan mengalami proses eksisi dan berubah menjadi plasmid rekombinan (Gambar 9B, 9C). Hal ini terjadi karena galur BM25.8 dapat mensintesis rekombinase cre yang dapat menginduksi proses rekombinasi pada dua situs loxP yang saling berpasangan yang ada pada fage tersebut. Dua situs loxP tersebut mengapit situs pengklonan, titik asal replikasi (ori) dan gen resistensi terhadap ampisilin (Ap) (Gambar 2 & 9). Rekombinasi pada loxP ini menyebabkan kedua ujung λ BlueSTAR-1 sebelum loxP pertama dan setelah loxP kedua hilang, dan daerah yang diapit dua loxP tersebut membentuk molekul sirkuler berupa plasmid (Gambar 9B, 9C). Setelah diisolasi, 23 Lox P Lox P A Ori Ap OriAp B Lox P Plasmid rekombinan Ori Ap C Hilang D Fragmen DNA M. malabathricum Gambar 9 Proses eksisi fage λ rekombinan menjadi plasmid rekombinan A, Fage λ rekombinan (linear), B.Pindah silang pada situs Lox P C. Plasmid rekombinan mengandung Ori & Ap, dan fragmen turunan DNA tanpa Ori (hilang), D. Plasmid rekombinan & situs penyisipan. 24 plasmid rekombinan diintroduksikan ke dalam E. coli galur DH5 agar mudah diperbanyak. Ukuran fragmen DNA sisipan Setelah diintroduksikan ke dalam E. coli galur DH5plasmid rekombinan diisolasi, kemudian dipotong dengan enzim EcoRI untuk memastikan bahwa DNA plasmid tersebut merupakan DNA rekombinan, sekaligus mengetahui ukuran dari fragmen DNA yang disisipkan ke dalam plasmid tersebut. Tiga sampel plasmid rekombinan berhasil diisolasi. Hasil isolasi ini dipotong dengan EcoR1, kemudian dimigrasikan pada gel elektroforesis yang menghasilkan dua fragmen atau lebih (Gambar 10) Plasmid rekombinan I (No.1, Gambar 10) setelah dipotong dengan EcoR1 menghasilkan fragmen DNA berukuran 2100 pb (pasangan basa) dan 1200 pb (No.4, Gambar 10). Plasmid rekombinan II (No.2, Gambar 10) setelah dipotong dengan Eco R1 menghasilkan fragmen DNA berukuran 2100 pb dan 850 pb (No.5, Gambar 10). Plasmid rekombinan III (No.3, Gambar 10) setelah dipotong dengan EcoR1 menghasilkan fragmen DNA sebesar 8000 pb, 3500 pb dan 2100 pb (No. 6, Gambar 10). pb M 1 2 3 4 5 6 pb -8000 -3500 -2100 -1200 - 850 Gambar 10 Plasmid rekombinan hasil proses eksisi yang tidak dipotong dan yang dipotong dengan enzim EcoR1. M=marker; 1, 2, 3 = plasmid rekombinan I, II, III yang tidak dipotong; 4, 5, 6 = plasmid rekombinan I, II, III yang dipotong Eco R1. Ketiga plasmid ini (No. 4, 5, 6, Gambar 10) mengandung fragmen DNA berukuran 2100 pb, yang merupakan plasmid pengklonan turunan dari λ Blue 25 STAR-1 , sedangkan fragmen DNA yang berukuran 1200 pb (plasmid No. 4), 850 pb (plasmid No. 5), serta 8000 pb dan 3500 pb (plasmid No. 6) merupakan fragmen DNA sisipan yang berasal dari M. malabathricum. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya DNA M. malabathricum yang menyisip ke dalam fage adalah antara 850 pb dan 11500 pb (Tabel 2). Tabel 2 Hasil analisis restriksi menggunakan enzim restriksi EcoRI Sampel Ukuran fragmen (kpb) Ukuran sisipan Rata-rata sisipan DNA total plasmid total DNA Turunan Sisipan DNA tumbuhan (kpb) rekombinan fage λ tumbuhan tumbuhan (kpb) 1 2.1 1.2 1.2 4.52 2 2.1 0.85 0.85 3 2.1 8.0 & 11.5 3.5 Panjang gen pada tumbuhan telah diketahui oleh beberapa peneliti, khususnya panjang cDNA. Mao et al. (2004) telah mengidentifikasi 20 fragmen yang berasal dari transkripsi (Transcript derived fragments =TDFs) gen OsAR (Oryza sativa Al- regulated) yang diregulasi oleh Al dengan cDNA-AFLP pada padi yang berukuran antara 112 pb dan 572 pb. Zang et al. (2007) menggunakan Differensial Display Reverse Transcription- Poly Chain Reaction (DDRT-PCR) telah mencatat lebih dari 140 cDNA responsif terhadap Al pada tanaman padi, dengan ukuran antara 141-624 pb serta 12 gen asimilasi sulfur berukuran antara 319-1090 pb. Kovermann et al. (2007) melaporkan bahwa cDNA AtALMT9 (Arabidopsis thaliana Aluminum-Activated Malate Transporter) berukuran 1797 pb mempunyai enam ekson, yang ditranskripsi dari gen yang panjangnya sekitar 3000 pb. Berdasarkan ukuran gen cDNA dan perkiraan ukuran intronnya, maka dengan rata-rata besarnya sisipan fragmen DNA M. malabathricum sebesar 4.52 kpb kemungkinan bisa mengandung gen utuh. Mengingat ukuran genom M. malabathricum belum diketahui, maka untuk mengetahui kelengkapan pustaka genomnya harus dibandingkan dengan genom dari spesies yang terdekat. M. malabathricum dan Dissotis canescens termasuk anggota famili Melastomataceae. Genom haploid Dissotic canescens berukuran 1.81 x 105 kpb (Hanson et al. 2001), sehingga ukuran genom diploidnya adalah 5 3.62 x 10 kpb. Dengan ukuran DNA sisipan rata-rata M. malabathricum sebesar 26 4.52 kpb, maka diperlukan klon rekombinan minimal sebesar 8 x 104 agar mencakup seluruh pustaka genom. Dalam penelitian ini, titer rekombinan yang terbentuk sebesar 2.2 x 10 4 4 pfu/ml, sehingga dalam 0.5 ml fage rekombinan terdapat 1.1 x 10 pfu. Dengan menggunakan rumus N = ln(1-p)/ln(1-f), dimana N = jumlah fage rekombinan, p = peluang sembarang gen terdapat dalam pustaka genom, dan f = rasio ukuran DNA sisipan terhadap ukuran genom (Sambrook et al. 1989), maka peluang sembarang gen yang terdapat di dalam pustaka genom M. malabathricum adalah sebesar 12.6 %. 27 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280nm, kemurnian DNA total hasil isolasi dari daun M. malabathricum tergolong rendah (nilai absorbansi pada 260 nm/280 = 1.2). Fragmen DNA M. malabathricum berukuran besar diperoleh dari pemotongan parsial menggunakan 0.01 U Sau3A I tiap μg DNA yang o diinkubasikan pada 37 C selama 30 menit. Jumlah titer yang terbentuk sebesar 1.9 x 105 pfu/ml. Persentase fage rekombinan yang terbentuk sebesar 11.4%. Telah berhasil dilakukan konstruksi pustaka genom M. malabathricum dengan jumlah titer rekombinan yang terbentuk sebesar 2.2 x 104 pfu/ml. Ukuran DNA M. malabathricum yang berhasil disisipkan berkisar antara 0.85, dan 11.5 kpb dengan rata-rata sisipan sebesar 4.52 kpb. Dengan mengacu pada genom Dissotis canescens, peluang mendapatkan sembarang gen pada pustaka genom yang terbentuk adalah sebesar 12.6 %. Saran Penelitian pustaka genom memerlukan tingkat kemurnian dan konsentrasi DNA yang tinggi, sehingga perlu dilakukan pengujian terhadap berbagai metode isolasi DNA yang efektif, khususnya terhadap sampel yang mengandung karbohidrat tinggi atau bahan pengganggu lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai oleh Proyek DIPA BIOTROP Tahun 2005 atas nama Dr. Ir. Suharsono, DEA. DAFTAR PUSTAKA Campbell NA, Reece JB. 2005. Biology. 7th ed. San Francisco: PEARSONBenjamin Cummings. Chang S, Puryear J, Cairney J. 1993. A simple method for isolating RNA from pine trees. Plant Mol Biol Rep 11:113-116 Clontech. 1999. Chroma Spin Columns. [Produk protocol]. California: Clontech. Delhaize E, et al. 1999. Cloning and expression of a wheat (Triticum aestivum L.) phosphatidyl-serine synthase cDNA. J. Biol Chem 274:7082-7088. Delhaize E, Ryan PR, Randall PJ. 1993. Aluminum tolerance in wheat II. Aluminum-stimulated excretion of malic acid from root apices. Plant Physiol 103:685-693 Elfawati, 1999. Konstruksi pustaka cDNA tanaman kedelai (varietas Yellow Biloxy) yang diinduksi cekaman aluminum menggunakan vector λ. [tesis S2]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ezaki B, Gardner RC, Ezaki Y, Matsumoto H. 2000. Expression of aluminuminduced gene in transgenic Arabidopsis plants can ameliored aluminum stress and/or oxidative stress. Plant Physiol 122:657-665. Fuente JM, R-Rodriguez V, C-Ponce JL, H-Estrella L. 1997. Aluminum tolerance in transgenic plants by alteration of citrate synthesis. Science 278:1566-1568. Gardner RC. 1998. Manipulation of Aluminium Tolerance by Gene Transfer. Hayati 5(2):29-33 Hanson L, McMahon KA, Johnson MT. 2001. First Nuclear DNA C- values for 25 Angiosperm families. Annal of Botany 87:251-258. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Di dalam Mappaona et al. eds. Buku pengelolaan lahan kering untuk mening-katkan produksi pertanian berkelanjutan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklonial. Horst WJ, Wagner A, Marschner H. 1982. Mucilage protects roots from aluminum injury. Z. Pflantzenphysiol 105: 435-444. http://wikipedia.org/wiki/melastoma [6Maret 2009] Kochian LV, Pineros MA, Hoekenga OA. 2005. The physiology, genetics, and molecular biology of plant aluminum resistance and toxicity. Plant and soil. 274:175-1955. 29 Kovermann P, et al. 2007. The Arabodopsis vacuolar malate channel is a member of the ALMT family. Plant J. 52:1169-1180 Ligaba A, Katsuhara M, Ryan PR, Shibasaka M, Matsumoto H. 2006. The BnALMT1 and BnALMT2 Genes from Rape Encode Aluminum-Activated Malate Transporters That Enhance the Aluminum Resistance of Plant Cells. Plant Physiology 142:1294-1303. http://www.plantphysiol.org/cgi/content/abstract/142/3/1294 [6Maret 2009] Li XF, Ma JF, Hiradate S, Matsumoto H. 2000. Mucilage strongly binds aluminum but does not prevent root from aluminum injury in Zea mays. Physiol Plant. 108:152-160. Luo M, Dvorak J. 1998. Molecular mapping of an aluminum tolerance locus on chromosome 4D of Chinese spring wheat. Euphytica 91:31-35. Ma HX, Bai GH, Carver BF, Zhou LL. 2005. Molecular mapping of a quantitative trait locus in wheat cultivar Atlas 66. Theor Appl. Genet. 112:51-57. Ma JF. 2005. Physiological Mechanisms of Al Resistance in Higher Plants. Jap. Soc. of Soil Sci. and Plant Nutr. Ma JF, Hiradate S, Matsumoto H 1998. High aluminum resistance in buckwheat . II. Oxalic acid detoxifies aluminum internally. Plant Physiol 117:753-759. Ma JF, Hiradate S, Namoto K, Iwashita T, Matsumoto H. 1997. Internal detoxification mechanism of Al in Hydrangea. Identification of Al form in the leaves. Plant Physiol 113:1033-1039. Mao C, Yi K. 2004. Identification of Aluminium-regulated genes by cDNAAFLP in rice (Oryza sativa L) : Aluminium –regulated genes for the metabolism of cell wall componens. J of Exp. Bot. Vol 55 (394):137143. DOI:10.1093/jxb/erh030 Masunaga T. Kubota D, Hotta M, Wakatsuki E. 1998. Nutritional characteristics of mineral elements in leaves of tree species in tropical rain forest, West Sumatra, Indonesia. Soil Sci. Plant Nutr. 44: 315-329 Matos M, Camacho MV, Perez-Flores V, Pernaute-Carnide O, Benito C. 2005. A new aluminum tolerance gene located on rey chromosome arms 7RS. Theor Appl Genet. 111: 360-369 Matsumoto H. 2002. Plant roots under aluminum stress: Toxicity and tolerance. Di dalam Waisel J, Eshel A, Kafkafi U, editors. Plant Root 2. The hiden Half. Third ed. New York: Marcel Dekker. Page: 821-838. 30 Miftahudin, Widiastuti U, Suwanto A, Jusuf M, Aswidinoor H. 1988. Construction of cDNA library from drought-stressed soybean. Hayati 5:34-37. Novagen. 1997. λ BlueStar Vector System. Madison: Novagen. Osaki M, et.al. 1998. Nutritional characteristics in leaves of native plans grown in acid sulfate, pest, sandy podzolic, and saline soils distributed in Peninsular Thailand. Plant Soil 201: 175-182 Osaki M, Watanabe T, Tadano T. 1997. Beneficial effect of aluminum on growth of plants adapted to low pH soils. Soil Sci. Plant Nutr. 43:551-563. Promega. 1996. Protocols and Applications Guide. USA:Third Ed. Promega Co. Rhue RD, Grogan CO, Stockmeyer EW, Everett HL. 1978. Genetic control of aluminium tolerance in corn. Crop Sci. 1063-1067. Richards KD, Schott EJ, Sharma YK, Davis KR, Gardner RC. 1998. Aluminum induced oxidative stress genes in Arabidopsis thaliana. Plant Physiol. 116:409-418. Riede CR, Andersen JA. 1996. Linkage RFLP markers to an aluminum tolerance gene in wheat. Crop Sci. 19 : 1259-1272. Ruan J, Wong M H. 2004. Aluminium absorption by intact roots of the Alaccumulating plant Camelli sinensis L. Agronomie 24:137-142. Sambrook J, Frisch EF, Kochian LV, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory. Sasaki T. et al. 2004. A wheat gene encoding an aluminum-activated malate transporter. Plant J. 37:645-653. Sivaguru M, et al. 2003. Aluminum-induced gene expression and protein localization of a cell wall-associated receptor kinase in Arabidopsis. Plant Physiol. 132:2256-2266. Snowden KC, Richards KD, Gardner RC. 1995. Aluminum-induced genes. Induction of toxic metals, low calcium, and wounding and pattern of expression in root tips. Plant Physiol 107: 341-348 Soerjani M, Kostermans A.J.G.H., Tjitrosoepomo G. 1987. Weeds of rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Stolen O and Anderson S. 1978. Inheritance of tolerance to low soil pH in barley. Hereditas 88: 101-105. 31 Stratagene. 2003. Gigapack III Gold Packaging Extract, Gigapack III Plus Packaging Extract, Gigapack III XL Packaging Extract. Instruction Manual. California: Stratagene Cloning System. Suharsono. 2002. Konstruksi pustaka genom kedelai kultivar Slamet. Hayati : 67-70. Suharsono . 2007. Pembuatan Perpustakaan genom kedelai (Glycine max (L.) Merrill ) kultivar Lumut di dalam fage lambda. Biosfera 24(2):83-89 Syarifuddin A, Abdurachman A. 1993. Optimasi pemanfaatan sumber daya lahan berwawasan lingkungan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Badan LitbangDeptan. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993. Tang Y, Garvin DF, Kochian LV, Sorrells ME, Carver BF. 2002. Physiology genetics of aluminum tolerance in the wheat cultivar Atlas 66. Crop Sci. 42: 1541-1546. Taylor G J. 1991. Current views of the aluminum stress response; The physiological basis of tolerance. Curr Topics Plant Biochem Physiol 10:57-59. Tjitrosoedirdjo S S. 1991. Melastoma affine Linn. Weed Info Sheet. Bogor, Indonesia: SEAWIC SEAMEO BIOTROP. Tortora GT, Funke BR, Case CL. 2007. Microbiology. An Introduction. ed. San Francisco: Pearson Benjamin Cummings. 9th Watanabe T. and Osaki M. 2001. Influence of aluminum and phosphorus on growth and xylem sap composition in Melastoma malabathricum L. Plant and Soil 237 : 63-70). Watanabe T, Jansen S, Osaki M. 2003. A physiological study of Melastoma malabathricum, an aluminium accumulating woody plant. Fifth Keele Meeting on Aluminium 22nd-25th February 2003. Watanabe T, Osaki M, Tadano T. 1997. Aluminum-induced growth stimulation in relation to calcium, magnesium, and silicate nutrition in Melastoma malabathricum L. Soil Sci. Plant Nutr. 43: 827-837. Watanabe T, Osaki M, Yoshihara T and Tadano T. 1998. Distribution and chemical speciation of aluminum in the Al accumulator plant, Melastoma malabathricum L. Plant Soil 201 : 165-173 Watanabe T, Misawa S, Hiradate S, Osaki M. 2008. Characterization of root mucilage from Melastoma malabathricum, with emphasis on its roles in aluminum accumulation. New Phytol.178:581–589. 32 Wong W. 2008. Melastoma malabathricum: Too beautiful to be called a weed. Green culture Singapore. http://www.greenculturesg.com [6 Maret 2009] Zang J, He Z, Tian H, Zhu G, and Peng X. 2007. Identificationof aluminiumresponsive genes in rice cultivars with different aluminium sensitivities. J. of Exp. Bot. 58(8):2269-2278