Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 131 DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso* Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengkaji seberapa jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang mendorong restrukturisasi usaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. *) Noor Yudanto : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, email : [email protected] M. Setyawan Santoso : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ilham Ikhsan, Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Retno Muhardini dan Fadjar Majardi, keduanya Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI. 132 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Pendahuluan S ejak pertengahan 1997, Indonesia dan sebagian beberapa negara Asia Tenggara dan Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat eksternal maupun internal1 . Penarikan dana secara tiba-tiba dalam jumlah yang besar oleh para investor asing yang didorong oleh pesimisme prospek perekonomian regional dengan segera melemahkan mata uang rupiah secara drastis. Gelombang capital outflow tersebut kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang membuat nilai rupiah semakin terpuruk. Melemahnya nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan kepada sektor-sektor perekonomian dengan tingkat keseriusan yang berbeda-beda. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit diprediksi dan cenderung overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan pengetatan moneter dengan konsekwensi suku bunga tinggi. Meningkatnya suku bunga umum tersebut secara paralel kemudian mendorong keatas bunga pinjaman atau biaya modal bagi perusahaan-perusahaan sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi jangka panjang yang pada akhirnya berpengaruh pada menurunnya penawaran agregat. Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut dicerminkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi 1997 yang merosot menjadi 4,91% bahkan pada triwulan III tahun 1998 pertumbuhannya minus 17,13%, turun drastis dari rata-rata pertumbuhan selama tiga tahun terakhir sebesar 7,9%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi jika diamati dari sisi produksi tidak lepas dari kelemahan internal sektor usaha nasional disamping kondisi eksternal lainnya. Kelemahan internal atau lemahnya daya kompetensi tersebut pada umumnya bersumber dari inefisiensi manajemen yang secara riil tampak dari nilai ekuitas yang rendah, ketergantungan yang tinggi kepada pinjaman bank, intensitas penggunaan komponen impor yang tinggi, serta segmen pasar yang terbatas dan cenderung pasar domestik. Kelemahan struktural tersebut walaupun dimiliki dalam intensitas yang berbeda-beda oleh masingmasing jenis usaha namun secara umum merupakan karakteristik sektor usaha riil nasional. Berlatarbelang pada tingkat resistensi perusahaan yang berbeda-beda dalam mengakomodasi dampak krisis tersebut maka disamping ditemukan banyak usaha yang terpuruk dipihak lain terdapat juga jenis usaha tertentu yang tetap bertahan bahkan memperoleh keuntungan (blessing) selama krisis. Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan daya beli masyarakat 1 Secara umum dapat diidentifikasi lima penyebab esensial krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dewasa ini yaitu: unfavorable macroeconomics condition, excessive inflows and rapid outflows of short term capital, inappropriate exchange rate arrangements, financial system fragility, and regional contagions. (Kawai, Masahiro., The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary Economic Policy, Vol.XVI, April 1998) Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 133 karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga barang konsumsi yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi masyarakat secara luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat keuntungan usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi. Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit sektor usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara riil pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Dengan ditutupnya aktivitas sektor usaha yang selama ini mampu menyerap tenaga kerja menjadikan krisis telah berkembang baik skala maupun dimensinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi telah mendorong intensitas krisis politik dan sosial semakin cepat dan hal ini rupanya yang menyebabkan kinerja sektor riil Indonesia semakin terpuruk. Berlatarbelakang dari kondisi tersebut, sementara upaya untuk mengembalikan nilai tukar rupiah pada level yang dikehendaki melalui kebijakan moneter ketat2 belum memberikan hasil maka menarik untuk dikaji lebih jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Pendekatan analisa yang akan digunakan adalah tinjauan secara makro sektoral dan tinjauan mikro secara cross section berdasarkan data laporan keuangan perusahaan yang sudah listed di bursa saham Jakarta. Tinjauan Teoretis Fungsi Produksi Sesuai dengan konsep pendapatan nasional, total produksi suatu negara merupakan hasil dari kegiatan produksi faktor-faktor produksi yang secara sederhana dapat ditelaah melalui pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas seperti berikut: GDP = Y = A (cK)a (eL)(1-a) (1) dimana Y atau GDP adalah total produksi dari hasil kombinasi optimum dari faktor produksi modal (K) yang tingkat penggunaannya dipengaruhi oleh capacity utilisation rate ( c ) serta elastisitasnya terhadap perubahan total produksi itu sendiri (a), faktor produksi tenaga kerja (L) yang tingkat pemanfaatannya dipengaruhi oleh emplyoment rate (e) serta elastisitasnya terhadap prubahan total produksi (1-a), dan faktor teknologi atau produktivitas (A) yang besarnya cenderung konstan. Untuk memudahkan maka berdasarkan production rule differentiation, terhadap persamaan (1) tersebut dapat diturunkan menjadi: 2 Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala dolarisasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan, otoritas moneter menerapkan kebijakan uang ketat yang selama ini terbukti cukup ampuh dalam meredam gejolak spekulasi dollar (ingat Gebrakan Sumarlin). Namun kemajuan industri keuangan serta globalisasi sektor keuangan telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memindahkan uang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cepat dan aman, sehingga efektifitas kebijakan tersebut tampaknya menjadi berkurang. 134 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 dY = a(Y/K)[c(dK) + K(dc)] + (1-a)(Y/L)[e(dL) + L(de)] + Y(dA)/A (2) Dari persamaan (2) tersebut dapat diterjemahkan bahwa kenaikan total produksi (dY) adalah hasil dari perubahan naik atau turunnya variabel-variabel seperti berikut: dK atau perubahan total investasi yang akan menentukan kapasitas produksi (GDP), (dc) dan (de) yang mencerminkan perubahan sisi permintaan yang terdiri dari C (consumption expenditures), I (investment expenditures), G (government expenditures) dan X (export demand), dL atau pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang akan menentukan kapasitas produksi, dan dA yang mencerminkan tingkat efisiensi atau produktivitas. Sehubungan dengan ruang lingkup pembahasan, maka keterkaitan faktor-faktor yang bergejolak yaitu nilai kurs rupiah dan suku bunga yang tergolong sebagai biaya input diduga akan mempengaruhi total produksi dari sisi perubahan tingkat produktivitas usaha (dA). Tingkat produktivitas atau efisiensi yang diukur dari perbandingan antara harga output dengan harga input pasti akan berubah karena salah satu unsurnya berubah. Dengan asumsi bahwa melemahnya nilai rupiah serta kenaikan biaya bunga akan tertransmisi dalam struktur biaya maka produktivitas perusahaan akan terganggu dan secara agregat akan mempengaruhi total produksi nasional. Transmisi Sektor Moneter ke Sektor Riil Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan total produksi perekonomian merupakan salah satu ultimate target dari kebijakan moneter, yang secara operasional ditempuh lewat sasaran antara yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar. Jalur transmisi kebijakan moneter ke sektor riil yang diadopsi selama ini didasarkan pada paradigma jumlah uang beredar dan kredit. Otoritas moneter, dengan mengandalkan pada efektifitas operasi pasar terbuka, mengatur jumlah reserve money (M0) sebagai sasaran operasional yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah M1 dan M2 sebagai sasaran antara. Dalam sasaran antara tersebut turut diperhatikan faktor suku bunga dan kredit. Selanjutnya dengan mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka ultimate target diatas akan dapat dicapai. Namun munculnya fenomena kemajuan industri keuangan serta makin terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut menjadi kurang tepat. Sebagai alternatif, manajemen moneter dengan menggunakan indikator suku bunga atau nilai tukar sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar semakin mendapat perhatian. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena penggunaan dua indikator tersebut lebih unggul dari segi kecepatan informasi yang diterima serta besarnya (magnitude pass-through) yang sangat penting untuk feedback pengelolaan moneter (Iljas, 1997)3 . 3 Mengenai kemungkinan implementasi paradigma baru pengelolaan moneter ini, secara lengkap dan jelas diuraikan dalam Hartadi, A Sarwono, dan Warjiyo, Perry : Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No.1, Bank Indonesia, Juli 1998. Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 135 Dari berbagai jalur transmisi4 yang dikembangkan untuk memandu keakuratan kebijakan moneter, jalur suku bunga dan nilai tukar tampaknya yang relatif paling kuat kemampuannya dalam memprediksi kinerja sektor riil, disamping antara kedua jalur tersebut mempunyai keterkaitan cukup erat terutama dalam kondisi perekonomian terbuka. Kenaikan suku bunga domestik akan mendorong perbedaan suku bunga dengan suku bunga luar negeri yang cenderung stabil, daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak capital inflow yang mampu memberi tekanan apresiatif pada mata uang domestik. Perubahan nilai tukar dengan sendirinya akan mempengaruhi term of trade komoditi perdagangan. Berlatar belakang pada premis tersebut maka penentuan nilai tukar menjadi sangat fundamental bagi negara yang berorientasi ekspor. Hal ini menimbulkan kecenderungan untuk mempertahankan nilai tukar domestik yang overvalued. Kebijakan nilai tukar yang cenderung depresiatif tersebut, menurut hasil studi terbukti mampu mendorong ekspor non-migas Indonesia selama ini (Francisca, 1998). Meskipun kelemahannya adalah usaha sektor riil secara implisit menikmati kurs yang subsidized karena kebijakan depresiatif tersebut. Sehubungan dengan nilai kurs rupiah yang terus melemah, terutama sesudah ditentukan secara murni oleh pasar, semakin memberi tekanan yang serius pada cash flow usaha sektor riil. Besar kecilnya tekanan tersebut sangat tergantung dari struktur biaya yang timbul akibat transaksi dalam non-rupiah, meskipun tidak tertutup kemungkinan terdapat pelaku sektor riil yang justru diuntungkan oleh melemahnya nilai tukar tersebut. Secara makro fluktuasi kurs yang tidak menentu akan mempengaruhi inflasi melalui transmisi sederhana. Untuk melindungi exchange rate risk, eksportir atau importir akan membebankan hedging cost tersebut pada selling price yang selanjutnya akan mendorong harga umum naik. Sementara depresiasi tinggi seperti yang dialami oleh rupiah saat ini mendorong harga import menjadi mahal, in term of domestic currency, sehingga efeknya harga-harga umum akan terdorong naik. Dengan asumsi pengusaha cenderung untuk mempertahankan atau bahkan menaikkan margin keuntungan maka inflasi akan terus meningkat secara spiral dan harga yang sudah naik akan cenderung kaku (rigid) untuk turun kembali (ratcheteffect). Nilai tukar yang melemah dilain pihak akan menyebabkan menggelembungnya beban rupiah dari kewajiban non-rupiah (bubbling effect) seperti meningkatnya biaya bunga yang harus dibayar sehingga tekanan kepada arus kas perusahaan akan makin meningkat. Untuk mengetahui seberapa jauh dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi terhadap sektor riil tersebut akan ditinjau baik dari sisi makro maupun mikro. Sisi makro 4 Pada prinsipnya terdapat empat jalur dimana kebijakan moneter ditransmisikan kedalam perekonomian yaitu melalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga aset dan kredit. (Mishkin 1995, Boediono 1996 dan BIS 1995, dalam Warjiyo dan Zulverdi, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel, 1998). 136 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 yang dimaksud adalah yang diwakili oleh analisa PDB sektoral serta indikator makro lainnya yang mendukung. Sedangkan analisa mikro menitikberatkan pada kinerja perusahaan yang mewakili berbagai sektor usaha yang ada berdasarkan sampel perusahaan yang listed di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data untuk analisa mikro didasarkan dari sampel 57 perusahaan non-finansial dengan periode pengamatan dari tahun 1995 sampai dengan 1997. Diharapkan dari kedua sumber analisa tersebut dapat diperoleh potret yang lengkap tentang kinerja sektor riil domestik. Analisa Dampak Krisis Tinjauan Makro: Analisa Sektoral Pengaruh krisis ekonomi terhadap beberapa indikator makro ekonomi utama secara umum menunjukkan pergerakan pada level yang kurang menguntungkan (adverse movements) terutama pada periode setelah datangnya krisis yaitu paruh kedua 1997 hingga periode 1998. Nilai tukar rupiah pasar spot harian menunjukkan penurunan yang semakin tajam terutama sejak sistem band intervensi dihapus digantikan dengan sistem pasar murni (lihat grafik dibawah). Penurunan nilai kurs yang cukup cepat dan besar tersebut menjadi sulit diantisipasi oleh sektor usaha yang selama ini secara konsisten mendasarkan transaksi keuangan non-rupiah pada tingkat depresiasi rupiah yang relatif stabil. Pertumbuhan GDP selama tiga tahun terakhir terjaga pada rata-rata 7,9% telah merosot menjadi 4,91% pada tahun 1997, sedangkan pertumbuhan triwulanan 1998 menurun lebih tajam yaitu -7,58% (1998.Q1), -17,09% (1998.Q2), -17,13% (1998.Q3) dan sampai akhir 1998 diperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi -13,7%. Kontraksi tajam pertumbuhan ekonomi riil juga terefleksi dari pergerakan harga saham yang terus menurun terutama sejak pertengahan kedua 1997. Indeks harga saham sektoral yang mencerminkan kinerja sektor terwakili oleh perusahaan yang listed pada umumnya memperlihatkan pola penurunan yang hampir tipikal. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan, dan bangunan, tampaknya sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis. Indeks harga saham sektor pertanian selalu lebih besar dari sektor lainnya disamping memperlihatkan kenaikan sustainable sebelum terkena dampak krisis. Bahkan sejak triwulan akhir 1997 besarnya indeks harga saham gabungan cukup dipengaruhi besarnya indeks harga saham sektor pertanian. Secara historis terdapat tiga sektor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi tinggi Indonesia selama ini yaitu sektor bangunan, sektor listrik dan gas serta sektor industri pengolahan, dengan rata-rata pertumbuhan yang dihitung sejak 90-97, masing-masing sebesar 14,5%, 12,7% dan 11,27%. Sebaliknya sektor pertanian dan jasa cenderung tumbuh 1-Jan-96 0 15-Jan-97 23-Sep-97 28-Aug-1998 31-Jul-98 7-Jul-1998 9-Jun-1998 12-May-1998 8-Apr-1998 9-Mar-1998 11-Feb-98 13-Jan-98 10-Dec-1997 12-Nov-1997 17-Oct-1997 3-Jan-96 16-Sep-98 19-Aug-1998 21-Jul-98 22-Jun-98 25-May-1998 20-Apr-98 20-Mar-98 20-Feb-98 22-Jan-98 23-Dec-1997 24-Nov-1997 27-Oct-1997 29-Sep-97 1-Sep-1997 31-Jul-97 2-Jul-1997 4-Jun-1997 5-May-1997 3-Apr-1997 4-Mar-1997 31-Jan-97 3-Jan-1997 5-Dec-1996 7-Nov-1996 10-Oct-1996 12-Sep-96 15-Aug-96 18-Jul-96 20-Jun-96 23-May-96 25-Apr-96 27-Mar-96 28-Feb-96 31-Jan-96 6,000.0 28-Aug-1997 4-Aug-1997 7-Jul-1997 11-Jun-97 14-May-1997 14-Apr-97 12-Mar-97 14-Feb-97 TRADE 18-Nov-1996 PROP MANFC 12-Dec-1996 AGR FINAN 23-Oct-1996 IHSG 27-Sep-96 3-Sep-1996 8-Aug-1996 15-Jul-96 19-Jun-96 24-May-1996 26-Apr-96 700 27-Mar-96 28-Feb-96 16,000.0 25-Jan-96 Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 137 Grafik 1. PERKEMBANGAN KURS SPOT HARIAN RP/USD 2,000.0 4,000.0 pelepasan band 8,000.0 Krisis 10,000.0 12,000.0 14,000.0 Grafik 2. PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN HARIAN 800 600 500 400 300 200 100 138 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 rendah, rata-rata sebesar 3,5% dan 3%. Sedangkan dari segi sumbangan terhadap pertumbuhan PDB, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki rata-rata sumbangan tertinggi yaitu masing-masing sebesar angka persentase 2,5 dan 1,5 dari 8 % rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor-sektor lainnya yang juga memiliki potensi menjadi penggerak perekonomian domestik adalah sektor bangunan serta sektor keuangan. Sehubungan dengan datangnya krisis moneter pertumbuhan produksi riil sektorsektor perekonomian telah menunjukkan penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh tingkat resistensi sektor riil yang rendah disamping karena faktor non ekonomi lainnya. Sektor-sektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar dalam PDB seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, dan keuangan telah mengalami kontraksi sehingga mengakibatkan pertumbuhan 1997 dan estimasi 1998 secara agregat menurun (lihat grafik 3). Grafik 3. PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL P er tani an P er tambangan I ndus tr i L i s tr i k B angunan P er dagangan P engangkutan B ank 1996 J as a-j as a 1997 1998 P R ODU K DOM E ST I K B R U T O -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 S umber : B P S dan P r oyeks i B an k I n Sektor-sektor yang pertumbuhannya negatif pada umumnya mempunyai karakteristik kelemahan struktural seperti dikemukakan diatas, hal ini akan diulas kemudian. Khusus untuk sektor pertanian yang memiliki pangsa sekitar 14,8% dalam PDB, pengaruh gejala alam turut mempengaruhi penurunan hasil produksi secara luas. Dampak Depresiasi dan Suku Bunga Daya tahan setiap sektor dari tekanan melemahnya nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya yang cukup kuat Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 139 memberi tekanan pada kenaikan biaya produksi apabila terjadi fluktuasi. Untuk memperoleh gambaran seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi kedua faktor tersebut terhadap pertumbuhan produksi masing-masing sektor dilakukan uji korelasi, sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitasnya5 . Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup kuat dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, sektor industri, sektor transportasi dan sektor keuangan. Sedangkan tingkat elastisitasnya, sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya imported input dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku bunga, diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi, dan perdagangan merupakan sektor-sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Jika dilihat dari segi elastisitasnya, sektor yang paling elastis terhadap suku bunga adalah sektor bangunan dan keuangan (lihat tabel 1) Untuk melengkapi hasil uji korelasi maupun uji elastisitas dari pertumbuhan masingmasing sektor terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga maka telah dihitung kinerja masing-masing sektor pada periode pra krisis dan selama krisis (lihat tabel 2). Secara umum dari perbandingan antara dua periode tersebut dapat diketahui bahwa semua sektor mengalami penurunan pertumbuhan cukup besar, sementara peranannya (share) relatif Tabel 1. DAMPAK DEPRESIASI DAN SUKU BUNGA SECARA SEKTORAL No. Sektor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pertanian Pertambangan Industri Listrik Bangunan Perdagangan Pengangkutan Bank Jasa-jasa 9. 10. Produk Domestik Bruto Effect (+) (-) (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Depresiasi Bunga Corr. Coef. Elc. Coef. Effect 0,08 -0,12 -0,23 0,15 -0,52 -0,26 -0,29 -0,27 0,01 -0,06 -0,37 0,06 -0,29 -0,05 -0,09 -0,16 -0,17 -0,42 0,12 -0,03 (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Corr. Coef. Elc. Coef. -0,18 -0,23 -0,52 -0,41 -0,57 -0,56 -0,56 -0,51 -0,15 -0,60 -0,6 -1,8 -8,4 -3,7 -12,8 -6,9 -10,8 -12,6 -0,9 -5,7 *) diperkirakan dengan menggunakan metode korelasi dan ARIMA 5 Koefisien korelasi dihitung berdasarkan hasil correlation matrix peubah-peubah yang diamati, sementara koefisien elastisitas (b) dihitung sbb: g(PDB)i = a + b (depresiasi) + e g(PDB)i = a + b log (bunga) + e dimana g(PDB) adalah growth dari PDB sektor bersangkutan (i), dengan periode penghitungan : tahun 1970 s.d. 1996 140 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 2. KINERJA SEKTORAL SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS MONETER Pertumbuhan (%) LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan Industri Listrik Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan Jasa-jasa Produk Domestik Bruto Peranan (%) Sumbangan Pertumbuhan (%) Sebelum* Sesudah** +/- Sebelum* Sesudah** +/- Sebelum*Sesudah** 3,1 6,3 11,0 13,9 14,0 8,1 8,9 9,8 3,2 8,0 0,3 -4,0 -7,9 5,3 -24,2 -10,7 -3,2 -13,5 -1,7 -7,6 -2,9 -10,4 -18,9 -8,6 -38,2 -18,9 -12,1 -23,3 -4,9 -15,6 15,8 9,1 24,1 1,2 7,9 16,7 7,2 9,1 9,0 100,0 16,3 9,3 24,9 1,4 6,7 16,2 7,6 8,5 9,2 100,0 0,5 0,2 0,8 0,2 -1,2 -0,6 0,4 -0,6 0,3 0,0 0,5 0,6 2,7 0,2 1,1 1,4 0,6 0,9 0,3 8,0 0,0 -0,4 -2,0 0,1 -1,6 -1,7 -0,2 -1,1 -0,2 -7,6 +/- -0,5 -1,0 -4,6 -0,1 -2,7 -3,1 -0,9 -2,0 -0,4 -15,6 *) Dihitung dari rata-rata tahun 1995.1 sampai 1997.2 **) Dihitung dari rata-rata tahun 1997.3 sampai 1998.3 kurang mengalami perubahan, sehingga sebagai hasilnya sumbangan pertumbuhan masingmasing sektor berkurang secara signifikan. Berdasarkan hasil uji secara statistik (korelasi dan elastisitas) serta pengamatan empirik maka dapat disajikan beberapa temuan dari setiap sektor seperti berikut: (1). Sektor Pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan dampak negatif dari gejolak kurs bahkan mempunyai koefisien korealsi dan elastisitas yang positif meskipun sangat rendah (0,08 dan 0,01). Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian relatif steril dari penggunaan bahan impor, kecuali dalam hal pengadaan pupuk dan pakan ternak. Sementara produk hasil pertanian diluar beras dan tanaman pangan pada umumnya diekspor. Produk sub-sektor perkebunan seperti kelapa sawit, coklat, cengkeh dan coklat terbukti selama masa krisis semakin terbukti menjadi primadona, demikian pula sub sektor perikanan (udang dan ikan tuna). Depresiasi rupiah yang tajam secara mencolok telah meningkatkan penerimaan rupiah hasil ekspor bagi para petani maupun pengusaha agibisnis lainnya. Sehubungan dengan adanya windfall profit tersebut maka kebutuhan tenaga kerja dan ekspansi usaha di sektor pertanian justru semakin meningkat. Sebaliknya gejolak suku bunga memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan, meskipun rendah, terhadap pertumbuhan sektor pertanian seperti ditunjukkan dari koefisien korelasi (-0,18) dan tingkat elastisitasnya (-0,6). Dari perbandingan antar periode sebelum dan sesudah krisis, pertumbuhan sektor pertanian sesudah krisis merosot sebesar 2,9% (dari rata-rata 3,1% menjadi 0,3%), tampaknya penurunan tersebut disamping dipengaruhi oleh krisis moneter juga karena pengaruh kuat dari faktor gangguan Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 141 alam. Seperti diketahui faktor alam seperti kebakaran, kemarau panjang, serangan hama atau banjir justru lebih signifikan pengaruhnya terhadap produksi sektor pertanian. (2). Sektor Pertambangan Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor pertambangan terkena dampak negatif dari depresiasi namun dengan tingkat korelasi dan elastisitas yang rendah. Relatif lemahnya dampak tersebut diperkirakan karena hasil sektor pertambangan seperti minyak dan gas, sebagian besar diekspor. Pengaruh negatif kemungkinan berasal dari kebutuhan barang modal dan biaya perawatan alat-alat yang masih harus diimpor, sementara jasa konsultan asing masih sangat dominan. Pengaruh suku bunga dalam sektor pertambangan meskipun negatif namun tidak terlampau kuat karena peran perusahaan asing yang cukup besar sebagai operator penambangan sehingga suku bunga dalam negeri tampaknya kurang mempengaruhi portofolio pinjaman yang dominan hutang luar negeri. Namun kinerja sektor sesudah krisis memperlihatkan penurunan pertumbuhan, hal ini diduga disebabkan oleh turunnya permintaan pasar dunia terhadap produk pertambangan. Pengaruh faktor eksternal tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh faktor internal. (3). Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri pengolahan selama krisis merosot cukup tajam, termasuk dalam lima sektor yang mengalami kontraksi paling parah. Kelemahan dalam struktur produksi seperti ditunjukkan oleh tingginya persentase kandungan impor (lihat tabel 3) telah menyebabkan kegiatan produksi menjadi sangat mahal dalam kondisi lemahnya rupiah. Hal ini juga diperlihatkan dari kuatnya nilai korelasinya dengan faktor depresiasi (-0.23), serta tingkat elastisitasnya (-0,37). Sementara dengan faktor suku bunga keterkaitan pertumbuhan sektor industri pengolahan juga menunjukkan korelasi yang kuat (-0,52) serta elastisitas yang tinggi (-8,4). Ketergantungan yang tinggi terhadap pinjaman bank sebagai sumber pembiayaan menjadikan kinerja sektor ini cukup rentan terhadap perubahan bunga. Tekanan ganda baik dari jatuhnya nilai rupiah serta biaya bunga tampaknya menjadi kontributor utama melemahnya produksi atau ekspor sektor tersebut yang seharusnya justru meningkat seiring dengan makin murahnya rupiah. (4). Sektor Listrik Dari hasil tes korelasi dan elastisitas diketahui bahwa sektor listrik relatif kurang terpengaruh oleh dampak negatif gejolak depresiasi rupiah, namun masih terkena dampak negatif kenaikan suku bunga. Dampak dari depresiasi tersebut walaupun positif namun cukup lemah seperti diindikasikan oleh nilai korelasinya yang lemah (0,15) dan elastisitas yang rendah (0,06), sebaliknya pengaruh faktor suku bunga cukup kuat seperti tampak dari 142 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 3. KOEFISIEN INPUT IMPOR Sektor Import Industri Pengolahan Industri Industri Industri Industri Industri Industri Industri Industri pupuk 40,87% mesin dan perlengkapan listrik 35,33% alat pengangkutan 30,42% Kimia 24,32% barang logam 23,98% barang karet dan plastik 15,12% kertas, barang dari kertas dan 12,67% karton tekstil, pakaian dan kulit 12,09% T ransportasi da n Komunikasi Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Komunikasi 3,23% 10,71% 23,49% 8,17% Bangunan 8,22% S umber : diolah dari tabel I - O 1995 B PS . nilai korelasi (-0,52) dan elastisitasnya (-8,4). Fenomena menarik pada sektor listrik yaitu masih positifnya pertumbuhan produksi pada kondisi krisis dan hal ini diduga kuat disebabkan oleh stabilnya permintaan bahkan terjadi ekspansi terutama pada segmen listrik untuk rumah tangga. Data empirik menunjukkan bahwa jumlah pelanggan PLN dalam kurun lima tahun terakhir meningkat sangat besar yaitu menjadi 25,63 juta pelanggan (Juni 1998) dari 15,6 juta pelanggan (1993/94). Kenaikan pelanggan setiap periode terutama disebabkan oleh penambahan pelanggan baru dari segmen rumah tangga dan lain-lain, sementara jumlah pelanggan dari segmen industri sedikit menyusut menjadi 43.445 (Juni 1998) dari 51.571 pelanggan (1997/1998). Persentase kenaikan bersih yang masih positif tersebut tampaknya yang menyebabkan pengaruh negatif depresiasi menjadi tereduksi mengingat kebutuhan barang modal yang harus diimpor oleh sektor listrik (PLN maupun swasta) masih cukup besar. Sementara pinjaman dalam struktur pembiayaan sektor ini masih cukup dominan mengakibatkan kegiatan produksi menjadi sensitif dengan gejolak suku bunga. (5). Sektor Bangunan Sektor bangunan merupakan sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan paling besar selama krisis yaitu rata-rata sebesar -24,2% atau menurun 38,2% dari rata-rata pertumbuhan sebelum krisis. Krisis moneter memberi tekanan yang sangat serius seperti Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 143 halnya yang dialami oleh sektor industri pengolahan. Koefisien korelasi sektor bangunan dengan faktor depresiasi maupun dengan faktor suku bunga terbukti cukup tinggi, masingmasing sebesar -0.52 dan -0.57. Sementara dari tingkat elastisitasnya juga terlihat cukup tinggi yaitu -0.29 dengan fluktuasi depresiasi dan -12.8 dengan gejolak suku bunga. Seperti diketahui faktor suku bunga berperan sangat penting dalam sektor konstruksi (properti) karena sifat investasinya yang jangka panjang dan untuk kredit pembiayaan pemilikan rumah bagi konsumen. Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terpuruknya sektor bangunan adalah tingginya tingkat pemakaian bahan penolong dan perlengkapan pembangunan properti yang masih harus diimpor, pemakaian jasa konsultan asing, dominannya pinjaman non-rupiah, ditangguhkannya proyek-proyek pemerintah maupun swasta, serta menurunnya daya serap pasar. (6). Sektor Perdagangan Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor perdagangan memiliki koefisien korelasi yang cukup tinggi dengan faktor depresiasi (-0.26) maupun dengan faktor suku bunga (0.56). Sedangkan dari segi elastisitasnya, dengan faktor depresiasi cukup rendah (-0,05) namun cukup kuat dengan faktor suku bunga (-6,9). Faktor depresiasi berpengaruh terutama pada sub sektor perdagangan consumer goods, barang-barang mewah, peralatan elektronik, dan barang kebutuhan lainnya yang cukup tinggi kandungan impornya. Sedangkan elastisitas yang tinggi dengan faktor suku bunga terutama disebabkan karena sektor perdagangan cukup banyak memanfaatkan kredit dari perbankan untuk kegiatan usaha maupun dalam hal fasilitas kredit konsumsi bagi konsumen. Meningkatnya suku bunga (biaya pinjaman) tersebut tampaknya memberi sumbangan menurunnya omzet perdagangan maupun daya serap masyarakat sehingga pertumbuhan sektor ini menjadi rata-rata -10,7% dari 8,1% pada periode sebelum krisis. (7). Sektor Pengangkutan Hasil uji korelasi antara pertumbuhan sektor transportasi dengan faktor depresiasi adalah lumayan kuat (-0,29) sedangkan dengan faktor suku bunga berkorelasi cukup tinggi (-0,56). Depresiasi memberi pengaruh negatif terutama karena masih dominannya pembiayaan luar negeri untuk pengadaan spare part maupun pembelian alat transporatsi itu sendiri. Sampai dengan pertengahan tahun 1998, kenaikan harga spare part kendaraan bermotor rata-rata mengalami kenaikan hingga 300%. Hal ini membawa konsekuensi meningkatnya ongkos transportasi baik darat, laut maupun udara sehingga menurunkan mobilitas masyarakat. Sementara itu suku bunga memiliki korelasi tinggi karena dalam sektor transportasi, hutang memegang peranan yang cukup besar untuk pembelian saranasarana penunjang transportasi. Pertumbuhan sektor transportasi telah merosot sebesar 12,1% 144 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 yaitu dari rata-rata 8,9% (pra kirisis) menjadi rata-rata -3,2% (periode krisis). (8). Sektor Keuangan Sektor keuangan (sebagian besar sub-sektor bank) memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan faktor depresiasi (-0,27) maupun dengan faktor suku bunga (-0,51). Demikian juga tingkat elastisitas sektor keuangan terhadap perubahan depresiasi (-0,16) dan perubahan suku bunga (-12,6). Makin luasnya eksposure valas dari bank-bank baik berupa aktiva maupun kewajiban menyebabkan sektor keuangan semakin sensitif terhadap perubahan nilai kurs. Sebagai gambaran kerugian sub-sektor perbankan akibat gejolak kurs pada tahun berjalan 1998 telah mencapai Rp 40,38 triliun (tahun 1997 kerugian hanya Rp 6,2 triliun) atau rata-rata kerugian per bulan mencapai Rp 5,77 triliun6 . Sementara itu faktor suku bunga telah menjadi sumber kerugian lain dari sektor keuangan. Jika dibandingkan tingkat korelasi antara pertumbuhan sektor keuangan dengan depresiasi atau suku bunga, maka korelasi terhadap suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan depresiasi. Dampak pengaruh faktor-faktor kuat tersebut adalah terkontraksinya pertumbuhan sektor keuangan menjadi -13,5% (rata-rata selama krisis) atau menurun 23,3% dari 9,8% (rata-rata pra krisis). Penurunan tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena dari hasil pengamatan empirik menunjukkan bahwa kualitas kredit perbankan makin memburuk dan jumlah kredit bermasalah juga semakin tinggi. Jumlah kredit bemasalah (Non Performing Loan) sampai dengan bulan Juli 1998 telah mencapai Rp 320,05 triliun atau meningkat sebesar 895% dari bulan Desember 1997 (Rp 32,18 triliun). Meskipun NPL bulan Juli 1998 tersebut relatif lebih rendah dari bulan sebelumnya (Rp 320,66 triliun) namun belum mengindikasikan perbaikan kwalitas kredit perbankan sehubungan dengan terus meningkatnya cadangan penghapusan aktiva produktif7 . Sementara itu, kredit bermasalah per sektor ekonomi menunjukkan bahwa sektor perindustrian paling tinggi jumlahnya (Rp 99,68 triliun) sedangkan paling rendah sektor jasa sosial masyarakat (Rp 1,65 triliun). Jumlah kredit bermasalah tampaknya akan terus meningkat pada setiap sektor dan tekanan akibat kondisi pendapatan bunga defisit (akibat spread bunga negatif) juga akan memberi tekanan yang cukup berat terhadap kinerja sektor keuangan secara keseluruhan. (9). Sektor Jasa Imbas krisis moneter tampaknya turut mempengaruhi kinerja sektor jasa walau tidak terlalu kuat. Pada periode krisis rata-rata pertumbuhan sektor jasa menjadi - 1,7% atau turun sebesar 4,9% dari rata-rata 3,2% (pra krisis). Penurunan tersebut juga tercermin dari 6 Kondisi Perbankan Bulan Juli 1998, Bagian SPPK, Bank Indonesia 7 ibid Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 145 koefisien korelasinya terhadap depresiasi dan suku bunga masing-masing -0.17 dan -0.15 dengan koefisien elastisitas masing-masing -0.03 dan -0.9. Rendahnya semua koefisien dalam sektor ini belum memberi jaminan sektor jasa cukup resisten terhadap gejolak. Penurunan kinerja yang terjadi pada hampir semua sektor diluar sektor jasa diduga mempengaruhi produksi sektor jasa yang terdiri atas sub sektor pemerintah dan rumah tangga. Sub-sektor jasa pemerintah kegiatan produksinya sangat tergantung pada anggaran sehingga penyesuaian anggaran sehubungan dengan perubahan kurs pada akhirnya mempengaruhi kegiatan produksi sektor secara total karena pangsanya yang lebih besar dibandingkan sub sektor jasa rumah tangga. Tinjauan Mikro : Analisa Kinerja Perusahaan Secara signifikan telah terjadi perubahan-perubahan kinerja struktur keuangan unit usaha sektor riil yang damati selama periode sebelum dan sesudah krisis moneter. Peubahpeubah yang diduga mempunyai korelasi kuat dengan faktor-faktor dominan penyebab krisis seperti suku bunga dan nilai kurs menunjukkan penurunan atau kenaikan sesuai dengan sifat peubah tersebut. Penelitian dilakukan dengan analisa deskriptif dilengkapi tinjauan khusus tentang dampak fluktuasi suku bunga terhadap kinerja unit usaha secara umum. Pengamatan didasarkan pada 57 sample data perusahaan non-finansial yang sudah tercatat di BEJ (Bursa Efek Jakarta) dengan kriteria volume usahanya tergolong menengah besar dan sedapat mungkin mewakili sektor-sektor perekonomian. Periode pengamatan adalah tahun 1995, 1996 dan 1997 sedangkan data laporan keuangan tahun 1998 belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena kelengkapan data yang kurang memadai. Analisa Konsentrasi: Untuk mengetahui perubahan pos-pos struktur keuangan perusahaan yang diamati selama periode pengamtan secara deskriptif dilakukan analisa konsentrasi berdasarkan pembagian kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi tingkat nilai penjualan, beban biaya bunga, jumlah hutang usaha jangka pendek kepada bank, tingkat keuntungan sebelum dikurangi pajak penghasilan, serta jumlah ekuitas. 1. Nilai Penjualan Dari jumlah sampel yang diamati selama periode pengamatan, perkembangan nilai penjualan kurang menunjukkan perubahan yang cukup mendasar namun masih tetap dalam pertumbuhan positif. Konsentrasi jumlah perusahaan berdasarkan kriteria tingkat penjualan tahunan memperlihatkan bahwa perusahaan yang mampu mencapai ukuran penjualan diatas Rp 100 miliar masih menunjukkan kenaikan bahkan pada tahun 1997 mencapai 77%, demikian halnya pada masing-masing gradasi dibawahnya walaupun 146 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel. 4 KONSENTRASI A/D NILAI PENJUALAN (% kumulatif) Rp >100 miliar > 50 miliar > 25 miliar > 10 miliar 1995 70% 84% 93% 98% 1996 72% 89% 95% 100% 1997 77% 93% 98% 100% dengan tingkat yang berbeda-beda. Adanya kenaikan nilai penjualan tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor seperti misalnya kenaikan harga jual domestik, depresiasi rupiah bagi usaha yang berorientasi ekspor atau memang terdapat kenaikan riil dari segi output terjual. Untuk menemukan faktor yang paling dominan dari antara ketiga faktor dugaan tersebut sangat tergantung dari karakteristik perusahaan tersebut terutama dari segi target pasar, sifat produk, serta pricing policy. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja nilai penjualan unit usaha yang diamati pada tahun 1997 sedikit meningkat dari tahun 1996, sementara kinerja tahun 1996 masih lebih baik dari tahun 1995. Kondisi than 1998 diperkirakan akan memburuk mengingat kondisi makro secara keseluruhan juga menurun drastis. 2. Hutang Bank dan Biaya Bunga Dari salah satu komponen biaya yang diamati, diperkirakan biaya bunga mengalami perubahan yang cukup kuat sehubungan dengan krisis yang sedang berlangsung. Biaya bunga dimaksud adalah beban bunga yang timbul dari pinjaman bank dan bersifat jangka pendek. Dari tiga tahun pengamatan, kondisi tahun 1997 menunjukkan perubahan komposisi yang cukup besar sehubungan dengan pembengkakan beban bunga akibat krisis. Peningkatan beban bunga tersebut dapat bersumber dari peningkatan suku bunga maupun jumlah pinjaman pokoknya. Seperti diketahui pinjaman tersebut pada umumnya terdiri dari pinjaman rupiah dan pinjaman non-rupiah (terutama US dollar), sehingga munculnya depresiasi rupiah secara otomatis akan meningkatkan jumlah pinjaman non-rupiah yang dihitung dalam rupiah. Dari tabel 5 pada kolom hutang bank telah terjadi kenaikan jumlah hutang bank perusahaan pada semua gradasi, konsentrasi jumlah perusahaan dengan hutang bank antara Rp 0 s.d Rp 5 miliar telah meningkat dari 16% (1996) menjadi tinggal 9% (1997). Dengan latar belakang kondisi tersebut maka peta konsentrasi perusahaan dengan biaya bunga diatas Rp 50 miliar per tahun pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 19% dari 9% (1996). Konsentrasi tertinggi tampaknya terpusat pada rentang antara Rp 25 miliar dan Rp 50 Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 147 Tabel 5 KONSENTRASI A/D HUTANG BANK DAN BIAYA BUNGA (% kumulatif) Hutang Bank Rp 1995 1996 Biaya Bunga 1997 1995 1996 1997 > 50 miliar 47% 54% 63% 9% 9% 19% > 25 miliar > 10 miliar > 5 miliar 77% 77% 88% 81% 81% 84% 88% 88% 91% 19% 37% 53% 21% 42% 58% 44% 63% 75% 100% 100% 100% 100% 100% 100% > 0 miliar miliar yang meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi tahun sebelumnya. Sementara itu sebaran kedua tertinggi adalah antara Rp 10 miliar dan Rp 25 miliar. Pada tahun 1997, jumlah perusahaan yang pada tahun sebelumnya mempunyai biaya bunga dibawah Rp 5 miliar telah meningkat artinya terjadi peningkatan biaya bunga dibandingkan periode sebelumnya. Konsentrasi pada kategori dimaksud telah merosot menjadi 25% turun dari 42% (1996). Kenaikan biaya bunga tersebut tampaknya disebabkan oleh naiknya pinjaman pokok karena besarnya suku bunga pinjaman sebenarnya tidak terlalu bervariasi, suku bunga pinjaman rupiah pada tahun 1997 besarnya antara 19%-40% (Tahun 1996: 19%-21%) sementara pinjaman dalam dollar 9,68% - 10,9% (Tahun 1996: 8,06%9,28%). 3. Keuntungan Sebelum Pajak (Earning Before Tax) Tingkat keuntungan sebelum pajak (Earning Before Tax) sektor usaha pada tahun 1997 memperlihatkan penurunan yang luar biasa seperti diperlihatkan oleh lebih dari setengah jumlah sampel (51%) yang mencatat laba negatif. Tingginya jumlah perusahaan yang mempunyai laba negatif membuat konsentrasi berubah drastis dimana pada kelompok keuntungan diatas Rp 50 miliar pada tahun 1997 merosot menjadi 12% dibanding dua tahun sebelumnya sebesar 26% (1995), dan 30% (1996). Penurunan konsentrasi tersebut tampaknya juga berlangsung pada rentang-rentang dibawahnya dan mengumpul pada kelompok keuntungan negatif. Komposisi tahun 1997 menunjukkan bahwa konsentrasi terbesar terletak pada kategori antara Rp 25 - 50 miliar, sebesar 9% (21%-12%). Menyusutnya EBT dari obyek yang diamati terutama disebabkan oleh kerugian selisih kurs dan biaya bunga. Kerugian luar biasa akibat selisih kurs terutama dipicu setelah bank sentral melepaskan kebijakan managed floating exchange rate sehingga kurs rupiah melonjak dari Rp 4.650 menjadi Rp 8.325 per USD (per Maret 1998). 148 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 6 KONSENTRASI A/D KEUNTUNGAN SEBELUM PAJAK (% kumulatif) Rp 50 miliar 25 miliar 10 miliar 5 miliar 0 miliar 1995 26% 49% 63% 72% 98% 1996 30% 49% 74% 81% 95% 1997 12% 21% 28% 35% 49% < 0 miliar 2% 5% 51% > > > > > 4. Ekuitas Adanya ketidakseimbangan antara kenaikan nilai penjualan dengan biaya perusahaan telah membawa perusahaan dalam kondisi menyusutnya tingkat keuntungan, pengamatan empiris menunjukkan bahwa beberapa perusahaan sudah dalam kondisi keuntungan negatif (sekitar 51%). Menurunnya laba tahun berjalan mendorong terciptanya saldo laba negatif dan kondisi tersebut akan mempengaruhi jumlah ekuitas perusahaan. Kondisi ekuitas negatif yang ditemukan umumnya disebabkan oleh memburuknya saldo laba tanpa diimbangi oleh penyuntikan modal tambahan dari pemilik. Oleh karena itu seiring dengan semakin berkurangnya tingkat keuntungan usaha akibat krisis maka kinerja ekuitas perusahaan juga terus merosot bahkan pada tahun 1997 terdapat sekitar 9% yang sudah dalam kondisi ekuitas negatif. Penurunan kwalitas ekuitas terjadi pada semua gradasi seperti diperlihatkan konsentrasi jumlah perusahaan yang memiliki ekuitas diatas Rp 100 miliar pada tahun 1997 tinggal 49%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 58% (1995) dan 63% (1996). Tabel 7 KONSENTRASI A/D EKUITAS (% kumulatif) > > > > > Rp 500 miliar 250 miliar 100 miliar 50 miliar 0 miliar 1995 19% 30% 58% 81% 100% 1996 19% 37% 63% 81% 100% 1997 16% 32% 49% 72% 91% < 0 miliar 0% 0% 9% Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 149 Tinjauan Pengaruh Faktor Suku Bunga Dalam struktur biaya perusahaan faktor biaya bunga merupakan salah satu unsur biaya produksi yang timbul karena penarikan hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Dari kedua jenis hutang tersebut hutang jangka pendek seperti hutang modal kerja sering dikategorikan sebagai biaya variabel dalam menentukan harga jual dan dari pengamatan empiris menunjukkan bahwa sekitar 60% perusahaan sektor riil mempunyai porsi hutang jangka pendek yang lebih besar dalam struktur hutangnya. Jangka waktu pinjaman yang relatif pendek mengakibatkan hutang jangka pendek cukup sensitif terhadap perubahan suku bunga, dan meskipun bobotnya dalam struktur biaya cukup rendah namun dalam kenaikan suku bunga dikhawatirkan akan memberikan pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Dengan asumsi perusahaan cenderung mempertahankan margin keuntungannya maka menjadi menarik untuk mengukur seberapa jauh dampak kenaikan suku bunga terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan yang pada akhirnya tampak dari gejala ekspansi/kontraksi usaha. Model yang diestimasi Untuk mengetahui dampak dari pengaruh faktor suku bunga terhadap kinerja perusahaan maka akan dilakukan uji regresi sederhana terpisah masing-masing periode sebelaum krisis (1995 dan1996) dan selama krisis (1997). Dua persamaan yang diestimasi yaitu (i) persamaan biaya bunga yang dipengaruhi oleh hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang, (ii) persamaan kinerja perusahaan yang diwakili oleh peubah tingkat keuntungan sebelum pajak sebagai fungsi dari nilai penjualan, biaya harga pokok produksi dan biaya bunga. Mengingat sifat data terdiri dari banyak perusahaan yang berbeda serta diamati dalam jangka waktu relatif pendek maka untuk pengujian model digunakan uji cross-section. (INTEX)t =c+ α (BBRW)t + β (LTD)t + et (1) ( EBT)t =c+ α (INTEX)t + β (SALES)t + γ (CGS)t +et (2) keterangan: INTEX BBRW LTD EBT SALES CGS c e t = interest expense (biaya bunga) = bank borrowing (jumlah hutang jangka pendek pada bank) = long term debt (hutang jangka panjang pada bank, obligasi, cp, dsb.) = earning before tax (penerimaan perusahaan sebelum pajak) = tingkat penjualan perusahaan = cost of goods sold (biaya pokok perusahaan) = konstanta = residual = tahun: 1995, 1996, 1997. 150 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Hasil Analisa 1. Hasil estimated equation untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh hutang jangka pendek dan jangka panjang terhadap biaya bunga adalah sebagai berikut.: Dependent Var. Independent Var. C BBRW95 1995 INTEX95 1996 INTEX96 1997 INTEX97 Koefisien -2597.325 (-1.305) 0.136979 (15.538) Koefisien -5303.249 (-1.848) Koefisien -52452.37 (-4.277) BBRW96 0.153917 (16.088) BBRW97 LTD95 0.364382 (15.243) 0.052133 (6.701) LTD96 0.054502 (6.055) LTD97 R-squared 0.049804 (2.558) 0.97722 0.966223 0.911446 note:tstat.=(…) Hasil dari estimated equation masing-masing periode tersebut dapat disimpulkan bahwa: a. Dari pengamatan terhadap sampel yang sama untuk periode yang berbeda, 1995, 1996, dan 1997 menunjukkan bahwa koefisien hutang jangka pendek senantiasa lebih besar daripada koefisien hutang jangka panjang dengan kata lain biaya bunga perusahaan biaya yang timbul dari hutang jangka pendek lebih signifikan. Pangsa jumlah hutang jangka pendek yang selalu lebih besar dalam total hutang serta tingkat suku bunganya yang selalu diatas suku bunga hutang jangka panjang diduga menjadi penyebab komposisi koefisien tersebut. b. Sementara itu koefisien hutang jangka pendek pada tahun 1997 meningkat cukup besar (0,364) dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Membesarnya nilai koefisen tersebut mengindikasikan adanya kenaikan luar biasa jumlah hutang jangka pendek perusahaan. Dari sampel menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan hutang jangka pendek adalah sekitar 259%, dengan kenaikan maksimum sekitar Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 151 4222%. Sementara kondisi pada bulan Juni 1998 diperkirakan kenaikan tidak sebesar kenaikan dari tahun 1996 ke 1997. c . 2. Meningkatnya jumlah hutang jangka pendek pada 1997 disamping disebabkan oleh kenaikan penarikan hutang baru juga didorong oleh tingginya depresiasi rupiah. Seperti diungkapkan oleh hasil survey (lihat lampiran), bahwa jumlah hutang jangka pendek perusahaan telah menggelembung cepat akibat dari jatuhnya nilai rupiah. Konsekwensi dari pembengkakan jumlah hutang membawa akibat yang sangat serius bagi sementara perusahaan karena terdapat sekitar 9% sampel mempunyai ekuitas negatif sehingga perusahaan tersebut praktis sudah bangkrut. Rata-rata debt to equity ratio tahun 1997 mencapai 2,13 meningkat dari 1,05 pada tahun sebelumnya. Hasil dari persamaan kedua yaitu untuk mengetahui signifikansi pengaruh faktor suku bunga atau variabel lainnya terhadap keuntungan perusahaan adalah sebagai berikut.: Dependent Var. Independent Var. C INTEX95 1995 1996 1997 EBT95 EBT96 EBT97 koefisien 8032.726 (1.487) -1.765019 (-8.328) INTEX96 koefisien 2753.142 (0.267) -0.087872 (-0.204) INTEX97 SALE95 -0.985991 (-6.108) 0.642362 (-11.317) SALE96 0.00602 (2.223) SALE97 CGS95 0.446353 (2.161) -0.640341 (-9.312) CGS96 0.182756 (13.383) CGS97 R-squared note: t s tat = (…) koefisien -85995.25 (-4.227) -0.382266 (-1.374) 0.934801 0.881176 0.626213 152 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Dari hasil estimated equation diatas dapat ditarik kesimpulan berikut: a. Secara umum semua regressors menghasilkan tanda seperti yang dihipotesakan, artinya kenaikan biaya bunga dan biaya harga pokok akan mengurangi tingkat penerimaan perusaahaan dan sebaliknya apabila terjadi peningkatan penjualan akan menambah penerimaan perusahaan (earning before tax). Pengecualian hanya muncul pada persamaan untuk tahun 1996 karena koefisen biaya harga pokok penjualan (CGS) justru menunjukkan tanda positif. Cukup tingginya variasi nilai peubah antar perusahaan yang berbeda diperkirakan menyebabkan unexpected sign tersebut. b. Dari pengamatan sekilas berdasarkan nilai koefisien konstantanya menunjukkan suatu perubahan yang cukup mendasar, koefisien kontanta persamaan tahun 1997 menghasilkan tanda negatif berbeda dengan persamaan dua tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukkan adanya unsur biaya lain atau pengurang keuntungan pada tahun 1997 yang besarnya sangat signifikan dibandingkan dengan biaya bunga dan biaya harga pokok penjualan. Faktor dimaksud seperti sudah diduga sebelumnya adalah kerugian karena selisih kurs (foreign exchange loss), tekanan yang sangat kuat tersebut menyebabkan level minimum EBT berubah menjadi negatif. Secara riil kuatnya tekanan dimaksud tampak dari perubahan nilai kurs rupiah yang dijadikan patokan penghitungan laporan keuangan, dari rata-rata Rp. 4.650/ US$ (pra-krisis) menjadi Rp. 8.325/US$ (pasca penghapusan sistem band intervention) . Upaya untuk mencegah kerugian melalui hedging ternyata belum banyak dilakukan oleh perusahaan, dari survey diketahui pada umumnya terhadap hutang non-rupiah sebagian unit usaha sektor riil hanya melakukan unfully-hedging. Penelitian lebih jauh untuk mengetahui pengaruh gejolak kurs kiranya perlu dilakukan mengingat kerugian karena selisih kurs yang rata-rata sangat besar. c . Signifikansi peubah biaya bunga (INTEX) terhadap penerimaan keuntungan perusahaan sebelum pajak (EBT) agak berubah antar periode pengamatan, dimana pada tahun 1995 adalah terbesar (-1,76) kemudian menurun pada tahun 1995 (0.08) namun kembali meningkat pada tahun 1997 (-0,98). Pada tahun 1997 hasil estimated equation menunjukkan pengaruh peubah biaya (INTEX dan CGS) terhadap pendapatan (EBT) tampaknya semakin besar dibandingkan dari peubah nilai penjualan (SALE). Relatif melemahnya koefisien peubah biaya bunga dalam persamaan 1997 seperti diungkap sebelumnya diduga karena pengaruh kerugian akibat selisih kurs yang lebih besar namun belum dicakup dalam model. Sementara itu pengaruh peubah biaya harga pokok tampaknya relatif lebih lemah daripada peubah biaya bunga terhadap tingkat keuntungan perusahaan. Terjaganya pasokan Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 153 bahan baku, bahan penolong dan kontrak tenaga kerja yang relatif lebih rigid perubahannya membuat biaya harga pokok lebih stabil dan dapat diperkirakan lebih mudah. d. Koefisien tingkat nilai penjualan dalam persamaan tampak mulai meningkat pada tahun 1997 dibandingkan koefisien persamaan tahun 1996 dan 1995. Kenaikan nilai penjualan tampaknya disumbang oleh faktor seperti kenaikan harga akibat inflasi, faktor depresiasi terhadap penerimaan hasil ekspor maupun sebab lainnya, bukan disebabkan efisiensi biaya produksi. Namun dipihak lain, tingkat penjualan tersebut diimbangi dengan kenaikan biaya yang sangat besar sehingga tingkat keuntungan perusahaan sebelum pajak (EBT) mengecil cukup drastis. Antara tahun 1995 dan 1996 pada umumnya perusahaan masih mengalami kenaikan kenaikan EBT positif dengan rata-rata sebesar 43% sementara pada peiode krisis yaitu antara tahun 1996 dan 1997 justru terjadi penurunan tajam dengan rata-rata sebesar 287%. Pertumbuhan negatif EBT tersebut dialami oleh sekitar 82% dari total sampel. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Hasil analisa dampak krisis moneter terhadap kinerja sektor riil yang dipersempit pada area tinjauan sektoral serta tinjauan mikro unit usaha menghasilkan kesimpulan dan implikasi kebijakan seperti berikut: (1). Kegiatan produksi sektor riil selama krisis terbukti menurun apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator utama seperti pertumbuhan negatif produksi sektoral, sedangkan untuk perusahaan menengah/besar ditandai dengan menurunnya nilai penjualan riil, merosotnya keuntungan usaha, dan berkurangnya kwalitas indikator-indikator spesifik lainnya. Kelemahan struktural seperti inefisiensi manajemen internal, lemahnya tingkat competitiveness perusahaan terbukti sangat menentukan tingkat resistensi perusahaan terhadap dampak krisis. Sektor pertanian yang relatif steril dari kelemahan struktural terbukti paling resisten dari pengaruh negatif krisis. (2). Hasil pengamatan sektoral memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang selama ini menjadi sektor andalan penggerak pertumbuhan telah mengalami kontraksi cukup serius terutama sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor bangunan dan sektor keuangan. Analisa korelasi dan elastisitas menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan paling terkait dengan faktor nilai tukar dan suku bunga juga paling elastis terhadap fluktuasi kedua faktor tersebut. Demikian halnya dengan sektor bangunan, sektor keuangan serta sektor perdagangan. 154 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 (3). Dari hasil pengamatan empirik kinerja sample perusahaan menengah besar ditemukan bahwa setengah dari sample (51%) dalam kondisi keuntungan sebelum pajak negatif pada tahun 1997, sementara tahun sebelumnya konsentrasinya hanya 5%. Kondisi tersebut diduga menyebabkan menurunnya kwalitas ekuitas perusahaan seperti ditunjukkan oleh konsentrasi perusahaan yang mempunyai ekuitas negatif sebesar 9%. Faktor-faktor seperti kerugian karena selisih kurs, biaya bunga maupun biaya lainnya sehubungan dengan inflasi menyebabkan turunnya keuntungan, saldo laba dan akhirnya ekuitas. (4). Tinjauan pengaruh gejolak suku bunga membuktikan bahwa hutang jangka pendek pada umumnya lebih dominan dibandingkan jumlah hutang jangka panjang dan sekitar 60% dari total hutang jangka pendek dalam denominasi non-rupiah. Oleh karena itu elastisitas kenaikan biaya bunga hutang jangka pendek tidak sepenuhnya disebabkan oleh fluktuasi suku bunga namun juga disebabkan karena penggelembungan hutang melalui depresiasi rupiah. (5). Memburuknya kinerja sektor riil selama krisis adalah karena kelemahan-kelemahan struktural yang bersifat internal dari unit-unit usaha sektor riil dan faktor eksternal yaitu gejolak nilai tukar serta suku bunga tinggi. Sehubungan dengan masalah tersebut upaya menciptakan struktur usaha sektor riil yang relatif kuat terhadap gejolak kedua faktor tersebut maupun faktor lainya harus segera dilakukan secara komprehensif. Upaya untuk menghilangkan kelemahan struktural tersebut agar dilakukan, (i) dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang efisien, transparan sehingga pelaku usaha akan menyesuaikan dengan menciptakan kondisi internal perusahaan yang lebih efisien dan fleksibel. (ii) mendorong pertumbuhan sektor usaha yang bersifat resource base seperti agribisnis mengingat daya resistensi sektor terhadap gejolak, potensi sumber daya yang melimpah dan peluang ekspor yang senantiasa tinggi. (iii) mendorong perusahaan untuk lebih berorientasi ekspor melalui berbagai kebijakan yang mendukung. (6). Upaya jangka pendek saat ini yang tampaknya perlu segera ditempuh adalah mengurangi gejolak kurs rupiah dan membawa pada nilai kurs yang affordable bagi sektor riil mengingat snowball effect-nya yang sangat luas terhadap perekonomian. Dengan stabil dan wajarnya kurs maka diharapkan suku bunga akan lebih cepat turun karena unsur imported inflation akan cenderung berkurang sumbangannya terhadap inflasi umum. Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 155 Daftar Pustaka BPS, Tabel Input-Output Indonesia1995, Jilid I, Jakarta, Indonesia. Hastuti, Francisca., Pengaruh Kebijakan Kurs Terhadap Ekspor, Makalah yang tidak dipublikasikan, Bank Indonesia, 1998. Iljas, Achjar., The Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bahan yang disampaikan dalam salah satu meeting di luar negeri, 1997. Jepma, CJ., Jager, H., Kamphuis, E., Introduction to International Economics, Longman, New York 1996. Kawai, Masahiro., The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary Economic Policy, Vol. XVI, April 1998, pp 157-172 Sarwono, Hartadi, A., Warjiyo, Perry., Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli 1998. Warjiyo, Perry., Zulverdi, Doddy., Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli 1998. Lampiran 1 Hasil Survey Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Beberapa Sektor Usaha8 . Suvey terhadap beberapa leading companies yang dipilih berdasarkan ukuran usaha (size), tingkat penjualan, maupun status trendsetter perusahaan menghasilkan beberapa temuan seperti berikut: 1. Dampak Terhadap Tingkat Penjualan a. Penyebab kenaikan penjualan selama masa krisis antara lain disebabkan oleh kenaikan riil produksi (fisheries), inflasi dalam negeri (trading, food retailers) atau depresiasi rupiah (hampir semua sektor). Menurut data aktual penjualan 1998.Q1 serta estimasi sepanjang tahun 1998, dari 20 sektor yang disurvey hanya tiga sektor 8 Survey dilakukan oleh Richard Currey for Nathan Associates bekerjasama dengan Bappenas dan USAID, pelaksanaan survey adalah triwulan pertama 1998 dengan periode pengamatan sejak 1997 sampai dengan saat survey dilakukan. Sektor usaha yang disurvey meliputi Forestry, Fishery, Mining, Processed Food, Beverages, Tobacco, Textile, Garments, Footwear, Pulp and Paper, Chemicals, Cement, Heavy Equipment, Electronics, Wholesale, Retail, Hotel, Pharmaceuticals, dan Sea Transportation (tanker). 156 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 (trading, garment, dan food retailers) yang memiliki pertumbuhan penjualan yang konsisten posistif selama 1997 dan 1998. b. Pertumbuhan penjualan 1998 tertinggi diraih oleh sektor Fisheries (70%), Machinery (53%), Paperboard (46%) dan Garment (40%), kenaikan tersebut kecuali sektor machinery terutama didorong dari kenaikan perolehan ekspor. Depresiasi rupiah yang cukup besar telah mendongkrak ekspor produk yang bahan bakunya local based serta berorientasi pasar ekspor (sektor agribisnis, fisheries, dan sektor lainnya), penerimaan rupiah penjualan produk dengan pasar domestik yang harganya dipatok dalam dollar (sektor machinery). Sebaliknya sektor yang dalam struktur produksinya mempunyai kandungan impor tinggi namun dengan target pasar domestik menjadi sangat menderita oleh krisis seperti ditunjukkan oleh sektor Computer yang penjualannya menurun tajam (-60%). c . Inflasi dalam negeri yang mencapai sekitar 40% (1998.I) telah menyumbang kenaikan nilai penjualan sektor perdagangan barang-barang konsumsi dan obat-obatan, kenaikan penjualan riil relatif kecil sekali. Penurunan penjualan akibat melemahnya daya serap domestik sangat dirasakan oleh produsen consumer goods (Coca-Cola penjualannya menurun sebesar 35%) dan barang-barang elektronik (komputer). d. Resesi yang terjadi di negara lain turut memberi andil terhadap rendahnya penjualan sektor riil domestik. Sektor pertambangan yang menurut karaktersitik usahanya semestinya diuntungkan oleh depresiasi rupiah karena hampir semua produksinya diekspor, justru turun (-29%) seiring dengan turunnya permintaan dunia. Demikian halnya dengan industri tertentu seperti plywood (-15%) yang memiliki pasar utama Jepang dan Korea. 80% P ertumb uhan P enjualan 1997 dan 199 8 60% 40% 20% -40% s ales 97 N o te : Beb e rap a s e kto r tid a k m e m p u n ya i d a ta p e n ju a la n 1 99 7 -60% s ales 98 Supermarket Garment -20% Paperboard Chemicals Shoes Computer Kretek Cigarette Textile Mining Plywood Tanker Agribisnis Pharmacy Machinery Fisheries Trading Hotel Beverages Cement 0% 157 Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil 2. Dampak Terhadap Struktur Hutang Perusahaan a. Depresiasi rupiah dengan segera menggelembungkan jumlah kewajiban perusahaan baik yang short term debt (STD) maupun long term debt (LTD). Dari informasi yang diperoleh, kewajiban STD rata-rata meningkat 100% (atau jumlahnya menjadi dua kali), sementara LTD belum menjadi masalah serius karena jatuh temponya masih relatif lama. Kenaikan hutang tersebut akhirnya turut memperbesar D/E ratio. Upaya pengurangan beban hutang, perusahaan antara lain melakukan swap, reschedulling, restrukturisasi atau pengalihan bentuk hutang. 250% P e ru b a h a n S h o rt d a n L o n g T e rm D e b t 200% S TD LTD 150% 100% 50% Supermarket Paperboard Garment Chemicals Shoes Computer Kretek Cigarette Textile Plywood Mining Tanker Agribisnis Pharmacy Machinery Fisheries Trading Beverages Hotel Cement 0% -5 0 % b. 3. Dari informasi hasil survey menunjukkan bahwa kenaikan STD mencapai 230% (Machinery), 200% (Fishery) dan 155% (Trading). Tingginya kenaikan pinjaman terutama disebabkan oleh depresiasi (Machinery), kenaikan hutang kepada pihak ketiga bukan bank (Fisheries), dan kenaikan trade finance cost (Computer, Textile, Shoes) yang dihitung dalam dollar. Dari struktur hutang baik yang STD maupun LTD tidak semua sektor melakukan hedging atas hutang-hutangnya, misalnya yang fully unhedged (paperboard, consumer good trading), half unhedged (food retailers dan cement). Upaya hedging biasanya dilakukan melalui long term forward atau swap. Dampak Terhadap Pengurangan Tenaga Kerja a. Secara umum sampai dengan kwartal pertama 1998, tekanan krisis belum memaksa leading companies yang disurvey untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk menekan labor cost kebijakan yang dilakukan untuk sementara mengurangi tenaga kerja asing (expats), mengistirahatkan tenaga kerja (leave) atau mengurangi 158 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 jam kerja (attrition). Dipihak lain sektor yang “diuntungkan” oleh krisis justru memerlukan penambahan tenaga kerja (lihat tabel dibawah). b. Penambahan tenaga kerja pada sektor Agribisnis, Fisheries, dan Mining terutama disebabkan dari ekspansi areal usaha serta masa panen tanaman perkebunan yang hampir datang. Permintaan pasar dunia yang stabil serta tingginya penerimaan rupiah akibat depresiasi memberi kepastian upaya ekspansi sektor-sektor tersebut. Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja Akibat Krisis Cigarete, Shoes, Beverages, Paperboard, Kretek, Garment, Supermarket, Computer, Tanker, Plywood, Chemical, Pharmacy Tetap PHK Trading, Machinery Fisheries, Mining, Agribisnis Meningkat Hotel, Cement, Taxtile Mengurangi expats T.Kerja 0% 4. 10% 20% 30% 40% 50% 60% Action Plan (Outlook) Kebijakan spesifik yang dilakukan oleh leading companies untuk menyesuaikan maupun antisipasi krisis lebih lanjut adalah dengan meningkatkan pangsa ekspor, restrukturisasi production line, perbaikan manajemen, bantuan pemerintah berupa penjaminan LC serta trade financing. Disamping itu para pengusaha juga mengharapkan kebijakan pendukung lainnya seperti penghapusan atau keringanan pajak ekspor (produsen minyak goreng), pajak atas barang mewah (produsen minuman kaleng/coca cola), penerapan subsidised exchange rate (pengusaha food retailers, trading on consumer goods and pharmaceuticals) , serta dukungan promosi (sektor pariwisata).. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 93 EKSPEKTASI INFLASI DI MASA KRISIS Gantiah Wuryandani dan Reza Anglingkusumo*) Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis . Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan kebijakan moneter. Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang berlangsung (inertia), (2) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/ USD secara historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear tersebut selanjutnya di estimasi ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil simulasi ekspektasi inflasidimasakrisisterlihatbahwadalambulan-bulantertentuterdapatindikasideviasiyangcukupsignifikanyangmenunjukkan adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998. Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-milah faktor-faktor pembentuk inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan noise, otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dengan departemen terkait. *) Gantiah Wuryandani : Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI Reza Anglingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI, email : [email protected] Penulis mengucapkan terimakasih kepada Perry Warjiyo, Kepala Biro Gubernur - BI, atas kritik dan sarannya, serta Anggito Abimanyu atas komentarnya. 94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Pendahuluan K risis moneter telah menempatkan inflasi sebagai salah satu indikator strategis bagi upaya mengeluarkan perekonomian nasional dari resesi yang berkepanjangan. Sampai saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah baik itu melalui pengendalian inflasi dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter , maupun kebijakan disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh departemen-departemen yang terkait langsung dengan sisi produksi dan distribusi barang-barang konsumen. Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi, salah satu faktor terpenting bagi efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya oleh Bank Indonesia adalah pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi oleh para pelaku ekonomi. Dengan diperolehnya pemahaman tersebut maka dapat dilakukan taksiran ekpektasi inflasi yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai : (1) arahan bagi penentuan target inflasi moneter oleh Bank Indonesia, dan (2) masukan bagi kebijakan disinflasi non-moneter oleh pemerintah c.q. departemen terkait. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba memetakan proses pembentukan ekspektasi inflasi dengan berargumentasi bahwa ekspektasi inflasi dibentuk oleh ekpektasi backward dan forward looking para pelaku ekonomi1 . Ekspektasi inflasi backward looking didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk sebagai akibat dari observasi pelaku ekonomi terhadap dinamika inflasi dimasa lalu. Sedangkan ekspektasi inflasi forward loooking dilain pihak , didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk oleh antisipasi pelaku ekonomi di pasar keuangan domestik dan pasar forward Rp/USD. Dengan mengidentifikasikan ekspektasi inflasi kedepan sebagai proses evaluasi backward dan forward, selanjutnya dihitung suatu taksiran ekspektasi inflasi kedepan. Berdasarkan pendekatan seperti diatas kedua penulis berargumen bahwa dimasa krisis moneter upaya pengendalian inflasi oleh pemerintah tampaknya telah meredakan ketidakpastian dan menurunkan ekspektasi inflasi para pelaku ekonomi. Terdapat pula indikasi yang kuat bahwa dengan menurunnya ekspektasi inflasi tersebut, maka forward rate Rp/USD di pasar valas pun akan menguat. Dinamika Inflasi dan Pengendaliannya Sepanjang Krisis Moneter Kebijakan pengendalian inflasi dimasa krisis menuntut pemerintah untuk mampu mengkondisi penurunan level laju inflasi secara berkesinambungan , mengupayakan adanya 1 Dalam kaitannya dengan pembagian jenis ekspektasi pelaku ekonomi terhadap inflasi, penulis merujuk pada Gordon, Robert J. Macroeconomics. 1994. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 95 kepastian harga, dan mengatasi gejolak harga. Melihat prasyarat tersebut, maka pembentukan upward spiral ekspektasi inflasi di masa krisis selain disebabkan oleh faktor ekspansi moneter dan pass-through depresiasi nilai tukar Rp/USD , juga disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat struktural dan noise. Oleh karena itu kebijakan pengendalian inflasi di Indonesia harus mempertimbangan kebijakan disisi penawaran disamping kebijakan moneter. Ulasan dibawah ini akan memberi sedikit gambaran mengenai dinamika inflasi IHK dan kebijakan pengendaliannya oleh pemerintah sepanjang krisis moneter. Pada Grafik 1 dibawah, dapat diamati perkembangan beberapa indikator laju inflasi diluar inflasi IHK, yaitu laju inflasi yang disebabkan oleh tekanan apresiasi USD, laju inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar, laju inflasi sisi permintaan agregat atau underlying inflation, dan sebuah indikator yang disebut indicator of policy severity2 . Laju inflasi yang disebabkan oleh apresiasi USD ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags dari perubahan kurs Rp/USD terhadap laju inflasi IHK. Taksiran yang diperoleh kemudian digunakan untuk melakukan in-sample (static) forecast. Hasil yang diperoleh adalah taksiran laju inflasi yang disebabkan oleh persentase perubahan kurs Rp/USD bulanan. Sementara, laju inflasi yang disebabkan oleh uang beredar ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags dari perubahan bulanan base money terhadap laju inflasi IHK. Sedangkan, underlying inflation diukur sebagai keranjang IHK bulanan yang sudah dipangkas sebesar 17.5% pada masingmasing tails histogramnya3 . Selanjutnya, indicator of policy severity adalah selisih antara suku bunga SBI riil dan spread antara suku bunga deposito 1 bulan dan 24 bulan nominal (representasi dalam bentuk normalized)4 . Grafik 1. Perkembangan Beberapa Indikator Inflasi dan Indicator of Policy Severity Sepanjang Krisis Moneter 15 10 5 0 -5 97:07 97:09 97:11 98:01 Laju Inflasi IHK Inflasi Karena Uang Beredar Inflasi Karena Apresiasi USD 98:03 98:05 98:07 98:09 Indicator of Policy Severity Inflasi Sisi Permintaan Agregat 2 Metodologi pengukuran indikator-indikator ini dapat dilihat di Annex 1. 3 Roger, Scott. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1985 - 1996. RBNZ Discussion Paper, 1997. 4 Indicator of Policy Severity, Bank of Canada. 96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Dapat dilihat pada grafik diatas bahwa diawal krisis moneter yaitu pada triwulan IV/1997 laju inflasi karena apresiasi Rp/USD meningkat diatas laju inflasi IHK, yang menandakan menguatnya tekanan first stage passthrough apresiasi USD pada harga barangbarang tradeables. Sementara itu tekanan permintaan agregat yang masih cenderung kuat dalam perekonomian, juga menyumbang pada tekanan inflasi IHK. Di bulan November 1997, seiring dengan diumumkannya likuidasi 16 bank, terjadi bank run dalam sistem perbankan yang berakibat tingginya ekspansi moneter dalam perekonomian dan selanjutnya memberi tekanan inflatoir sepanjang triwulan IV / 1997. Dari sisi pasar keuangan, menurunnya grafik indicator of policy severity di triwulan IV/1997 mencerminkan bahwa tekanan inflatoir telah diikuti oleh meningkatnya suku bunga nominal perbankan . Memasuki triwulan I/1998 tekanan apresiasi kurs USD/Rp pada laju inflasi mencapai puncaknya yang terutama didorong oleh fenomena flight to currency 5 dan flight to quality 6 , serta meningkatnya spekulasi terhadap nilai tukar Rp/USD di kedua bulan tersebut. Ekspansi uang beredar juga tampak masih kuat di triwulan I/1998, terutama karena fenomena bank - run telah semakin meluas di bulan Januari 1998 sebagai akibat menurunnya kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Selain itu, terdapat pula tekanan musiman di bulan Januari 1998 berupa datangnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Di bulan Februari 1998, terjadi demand shock, ketika panic buying melanda pasar barang-barang konsumsi. Panic buying ini disebabkan oleh ketidakpastian harga karena adanya gejolak nilai tukar yang dahsyat di bulan Januari 1998. Tingginya ketidakpastian ditambah dengan besarnya jumlah uang yang beredar dalam perekonomian kemudian menjadi agregat demand shock melalui konsumsi. Hal ini terlihat di bulan Februari 1998 ketika inflasi karena tekanan agregat demand meningkat tajam. Di triwulan II/1998, laju inflasi karena tingginya tekanan apresiasi USD terhadap Rupiah mulai melemah, mencerminkan telah berakhirnya tekanan first stage pass through apresiasi USD terhadap harga barang-barang impor. Beberapa jenis barang dan jasa yang termasuk dalam kategori ini adalah harga bahan-bahan bangunan, harga makanan jadi dengan bahan baku impor, biaya sewa rumah, kenaikan upah disektor informal yang tidak terikat oleh ketentuan UMR, dan biaya jasa angkutan sebagai akibat meningkatnya harga suku cadang. Walaupun demikian, tekanan inflasi karena ekspansi uang beredar tampak 5 Fenomena flight to currency didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar domestik dengan menukar uang Rp ke USD karena menurunnya tingkat kepercayaan pada mata uang Rupiah. 6 Fenomena flight to quality didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar domestik dengan mengalihkan simpanan aset yang dimilikinya di bank-bank domestik ke simpanan di bank asing yang dirasa lebih berkualitas. Hal ini dilakukan karena merosotnya tingkat kepercayaan pelaku pasar terhadap kredibilitas bank-bank domestik. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 97 masih kuat, terutama disebabkan oleh bantuan likuiditas otoritas moneter sebagai the lender of last resort kepada perbankan yang terkena bank run. Tekanan inflasi moneter tersebut sedikit banyak dapat di off-set oleh menurunnya tekanan permintaan agregat pasca Ramadhan, Lebaran, dan panic buying. Penurunan tekanan permintaan agregat ini selain disebabkan oleh menurunnya konsumsi, juga disebabkan oleh mulai terasanya credit crunch dalam sistem perbankan sehingga dana tidak mengalir ke sektor riil. Bersamaan dengan itu pula otoritas moneter melakukan pengetatan moneter dengan melakukan adjustment tingkat suku bunga policy anchor (SBI) agar sesuai dengan ekspektasi inflasi di pasar keuangan. Di pertengahan triwulan II/1998 laju inflasi IHK diwarnai pula oleh tekanan inflatoir yang lebih bersifat struktural. Tekanan struktural pertama adalah energy price shock yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Tekanan struktural terus meningkat ketika perekonomian memasuki triwulan III/1998, terutama dibulan Juni dan Juli 1998 yang ditandai oleh harga-harga bahan kebutuhan pokok yang melonjak, terutama beras, gula, minyak goreng, dan komoditas derivatifnya. Kenaikan harga beras disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas produksi beras karena mahalnya harga pupuk dan pestisida yang merupakan komoditi impor. Kenaikan harga gula disebabkan oleh dinaikkannya harga perolehan gula di Bulog. Sedangkan kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak goreng domestik karena CPO banyak terserap ke pasar ekspor. Di bulan Agustus , tekanan inflatoir pada komoditas sembako masih tetap kuat, terutama karena permasalahan disisi distribusi yang diwarnai oleh tindakan spekulatif pelaku pasar. Untuk menurunkan tekanan struktural tadi, sepanjang bulan September 1998 pemerintah telah mencoba berbagai kebijakan proaktif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di sisi distribusi. Tampaknya kebijakan di sisi distribusi tersebut cukup berhasil, terutama dalam kaitannya dengan distribusi beras. Selain tekanan struktural, dinamika inflasi setelah triwulan I /1998 juga diwarnai oleh kuatnya tekanan noise inflation, yaitu gejolak temporer pada harga-harga. Noise terpenting terjadi di bulan Februari dan Mei 1998. Di bulan Februari demand shock berupa panic buying telah menyebabkan hilangnya berbagai stock barang dipasaran karena pengusaha retail tidak memperhitungkan panic buying dalam inventory ordernya. Di bulan Mei kerusuhan sosial yang melanda 5 kota industri utama di Indonesia menyebabkan terganggunya pasokan barang dengan rusaknya sebagian besar pusat-pusat kegiatan usaha. Di triwulan II dan III / 1998 laju inflasi yang disebabkan oleh ekspansi moneter tampak mulai menurun sebagai akibat konsistensi otoritas moneter dalam menerapkan tingkat suku bunga tinggi. Upaya tersebut mampu menurunkan laju inflasi secara bertahap seiring dengan ketatnya likuiditas di sektor riil. 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Proses Pembentukan Ekspektasi Inflasi A. Expectation Loops Ekspektasi inflasi merupakan dinamika interaksi antara laju inflasi, ketidakpastian dan gejolak harga. Dihipotesakan bahwa terdapat perubahan rangkaian jalinan interaksi antara laju inflasi, ketidakpastian , dan gejolak harga dalam masa sebelum dan sepanjang krisis. Berikut adalah pengujian dari masing-masing interaksi tersebut. Loop I : Interaksi antara Gejolak Harga dan Ketidakpastian Harga Analisa keterkaitan antara laju inflasi IHK dengan gejolak dan ketidakpastian harga menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi mengikuti pola tmbal balik yang self-reinforcing (expectation loops). Expectation loops ini diawali dengan adanya gejolak hargaharga yang ditunjukkan oleh conditional variance series inflasi IHK yang mengalami peningkatan karena meningkatnya weighted mean dan standard deviation7 . Pada grafik 2 dibawah dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis, pergerakan laju inflasi IHK cenderung berada di seputar kecenderung jangka panjangnya. Dimasa krisis, perilaku ini mengalami perubahan, dimana terlihat deviasi laju inflasi IHK yang cukup besar dari kecenderungannya. Gejolak mulai terlihat di bulan Januari 1998 ketika nilai tukar Rp/ USD terdepresiasi secara besar-besaran. Setelah itu terjadi panic buying yang menyebabkan terjadinya agregat demand shock melalui konsumsi di bulan Februari 1998. Laju inflasi kemudian menurun lebih dari setengahnya di bulan Maret 1998 yang menyebabkan terjadi gejolak harga berikutnya. Di bulan Juli, Agustus, dan September kenaikan harga Sembako Grafik 2. Laju Inflasi IHK, Gejolak Harga, dan Trend Inflasi IHK (12 MA) 16 12 8 4 0 -4 96:07 97:01 Laju Inflasi IHK 97:07 12 Moving Average 98:01 98:07 Gejolak Harga 7 Conditional variance diukur sebagai deviasi laju inflasi IHK bulanan terhadap angka inflasi IHK 12 Bulan Moving Average. 99 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis menyumbang pada gejolak harga fase berikutnya sehingga laju inflasi IHK cenderung masih menjauh dari kecenderungan jangka panjangnya. Peningkatan pada moments pertama dan kedua diatas, kemudian diikuti pula oleh peningkatan moments ketiga (skewness) dan moments keempat (kurtosis). Dengan membandingkan dua histogram pada grafik 3, terlihat bahwa laju inflasi dimasa krisis memiliki nilai kurtosis yang lebih tinggi dari pada sebelum krisis. Hal ini menandakan bahwa laju inflasi dimasa krisis cenderung berada pada rata-rata yang lebih tinggi dengan standar deviasi yang juga tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK di masa krisis cenderung bergejolak pada tingkat yang inflatoir. Grafik 3. Frekuensi Distribusi Conditional Variance Series Inflasi IHK Periode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998 Sebelum Krisis Sepanjang Krisis 30 20 Series: CONDVAR Sample 1990:07 1997:06 Observations 83 15 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 10 0.083768 -0.079362 2.513384 -1.443192 0.679748 1.019805 4.264144 Jarque-Bera 19.91331 Probability 0.000047 25 Series: CONDVAR Sample 1990:07 1998:09 Observations 98 20 15 10 5 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 0.426577 0.031697 11.35202 -1.788550 1.556924 4.243783 27.69573 Jarque-Bera Probability 2784.498 0.000000 5 0 0 -1 0 1 2 -2 0 2 4 6 8 10 Meningkatnya gejolak inflasi IHK diatas selanjutnya menyebabkan pula meningkatnya ketidapastian laju inflasi IHK8 . Ketidakpastian laju inflasi IHK ini ditaksir sebagai proses E-GARCH dari persamaan IHK dan unsur konstantanya dan disebut sebagai unconditional variance laju inflasi IHK9 . Meningkatnya unconditional variance mencerminkan ketidakpastian harga (price uncertainty) yang meningkat. Observasi grafis (grafik 4) sepanjang krisis moneter menunjukkan bahwa gejolak harga berjalan searah dengan ketidakpastian harga kecuali pada bulan April 1998 dimana gejolak harga yang cenderung menurun diikuti oleh ketidakpastian yang meningkat.. Penjelasan kualitatif mengenai kejanggalan ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya gejolak sosial-politik di berbagai daerah di Indonesia. 8 Kajian serupa dilakukan pula oleh Kearns, Jonathan. Behavior of Inflation. Internal Note, unpublished, RBA. 9 Unconditional variance ditaksir sebagai proses E-GARCH dengan 1 bulan lag dari residu persamaan CPI = Konstan + Residual, dimana CPI adalah laju inflasi bulanan IHK. Untuk referensi dapat dilihat Engle Robert F., dan Ng, K. Victor. Measuring and Testing The Impact of News on Volatility, The Journal of Finance, Vol. XLVIII, No.5, Dec. 1993. Proses serupa dilakukan oleh McTaggart, Doug. The Cost of Inflation in Australia, Proceedings of a Conference, RBA. 100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Grafik 4. Gejolak , Ketidakpastian Harga , dan Laju Inflasi IHK Sepanjang Krisis Moneter 16 12 8 4 0 -4 96:01 96:07 Ketidakpastian Harga 97:01 97:07 Gejolak Harga 98:01 98:07 Laju Inflasi IHK Uji Pairwise Granger Causality10 mengenai keterkaitan antara gejolak dan ketidakpastian harga menunjukkan bahwa hubungan kausalitas berlangsung dua arah antara gejolak dan ketidakpastian dalam dinamika laju inflasi IHK pada observasi yang memasukkan periode krisis moneter (lihat Tabel 1) . Hal ini bertolak-belakang dengan hasil pengujian pada observasi yang mengeluarkan bulan-bulan krisis moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian, dimana meningkatnya gejolak inflatoir pada laju inflasi IHK akan menyebabkan ketidakpastian harga yang selanjutnya akan menambah pada gejolak inflatoir, dan seterusnya berulang. Adapun besarnya kekuatan hubungan dalam expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian ditaksir dengan melakukan regresi linier sederhana antara keduanya ditambah dengan komponen persisten (lag) dari kedua variabel tersebut. Hasil regresi linier menunjukkan bahwa tekanan ketidakpastian harga ke gejolak harga cenderung lebih mendominasi expectation loop, dibandingkan dengan arus balik dari gejolak ke ketidakpastian. Hal ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase adjusted Rsquared dan net-effect dari koefisien pada persamaan (lihat tabel 2). 10 Metodologi Pairwise Granger Causality dapat ditemui pada Enders, Walter E. Applied Econometrics Time Series, hal. 315 , Granger Causality. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 101 Tabel 1. Pairwise Granger Causality Test antara Gejolak dan Ketidakpastian Harga Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter) Hipotesa Nol Ketidakpastian Gejolak Gejolak Obs F-Stat Prob. 79 0.34 0.71 0.85 0.43 Obs F-Stat Prob. 94 6.18 0.305 5.45 0.00585 Ketidakpastian Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter) Hipotesa Nol Ketidakpastian Gejolak Gejolak Ketidakpastian Tabel 2. Hasil Regresi Linier Kekuatan Pengaruh Antara Gejolak dan Ketidakpastian Harga (Model Persamaan dengan Persistensi) Variabel Endogen Gejolak Gejolak 0.36 (Lag -1) Ketidakpastian 1.01 Adj. R-Squared 90% Net Effect Koefisien 1.37 Ketidakpastian 0.85 -0.35 (Lag -1) 86% 0.5 Berdasarkan temuan diatas diperoleh tiga implikasi, yaitu (1) di masa krisis spiral ekspektasi inflasi akan lebih menggelembung jika terdapat ketidakpastian harga , dibandingkan jika spiral diawali oleh gejolak harga, (2) jika ekspektasi diawali oleh gejolak harga belum tentu terjadi penggelembungan laju inflasi, dan (3) ketidakpastian harga merupakan trigger point dalam upaya menghambat spiral inflasi. Loop II : Interaksi Antara Ketidakpastian dan Laju Inflasi Self-reinforcing expectation loop yang kedua adalah antara ketidakpastian harga-harga dan laju inflasi. Adanya ketidak pastian harga dimasa krisis menyebabkan para pelaku ekonomi menjadi sulit untuk menentukan harga, sehingga penyesuaian harga lintas industri (relative price adjustment) sulit dilakukan dan cenderung menjadi sangat bervariasi. Dalam ketidakpastian tersebut, pengusaha akan cenderung menimbun barang (commodity hoarding) atau menaikkan harga sehingga mendorong kenaikan laju inflasi lebih lanjut. Kenaikan laju inflasi kemudian akan kembali mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga terjadi self-reinforcing loop. 102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Hasil uji Granger Causality antara ketidakpastian harga dan laju inflasi memberi konfirmasi terhadap pernyataan-pernyataan diatas (lihat tabel 3) .Dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis moneter, laju inflasi yang tinggi dapat menyebabkan ketidakpastian harga-harga akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini antara lain disebabkan kurang sensitifnya daya beli konsumen terhadap tindakan spekulasi maupun penyesuaian kenaikan harga. Sehingga, ketidakpastian harga menjadi kurang berperan dalam proses looping. Akan tetapi dimasa krisis, terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa ketidakpastian harga-harga menyumbang pada tekanan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberi petunjuk adanya penyesuaian harga keatas yang kurang terkoordinasi secara lintas industri yang berakibat pada kegiatan spekulasi dan kelangkaan barang. Kemudian, seiring dengan meningkatnya laju inflasi terjadi akumulasi ketidakpastian harga yang selanjutnya diterjemahkan menjadi ketidakpastian harga yang berkelanjutan. Spiral yang terjadi kemudian membentuk selfreinforcing loop. Tabel 3. Pairwise Granger Causality Test antara Laju Inflasi dan Ketidakpastian Harga Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter) Hipotesa Nol Ketidakpastian Laju Inflasi Laju Inflasi Ketidakpastian Obs F-Stat Prob. 83 0.186 0.83 4.34 0.0163 Obs F-Stat Prob. 98 9.00 0.00027 7.79 0.00074 Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter) Hipotesa Nol Ketidakpastian Laju Inflasi Laju Inflasi Ketidakpastian Seperti yang juga telah dilakukan diatas, untuk melihat perbandingan tekanan antara laju inflasi dan ketidakpastian harga-harga dalam expectation loop, dilakukan regresi linier sederhana antara laju inflasi dan ketidakpastian harga, dan sebaliknya. Estimasi persamaan menunjukkan bahwa ketidakpastian harga-harga mendominasi expectation loop antara kedua variabel, dimana net-effect pengaruh kenaikan laju inflasi pada ketidakpastian harga adalah 0.33% untuk setiap 1% kenaikan laju inflasi, sebaliknya untuk setiap 1% kenaikan ketidakpastian harga akan diikuti oleh kenaikan laju inflasi sebesar 1.59% (lihat tabel 4) . Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 103 Tabel 4. Hasil Regresi Linier Kekuatan Pengaruh Antara Ketidakpastian Harga dan Laju Inflasi (Model Persamaan dengan Persistensi) Variabel Endogen Laju Inflasi Laju Inflasi Ketidakpastian 0.52 (Lag -1) 0.78 Ketidakpastian 1.07 -0.45 (Lag -1) Adj. R-Squared 98% 89% Net Effect Koefisien 1.59 0.33 Implikasi hasil statistik pada loop II ini dalam masa krisis ada tiga, yaitu: (1) ketidakpastian harga-harga akan meningkatkan laju inflasi, (2) laju inflasi yang didorong oleh ketidak pastian harga akan kembali menambah pada ketidakpastian harga, dan seterusnya, sehingga (3) spiral inflasi dapat melambat hanya jika ketidakpastian harga dikurangi. Interaksi Antara Laju Inflasi dan Gejolak Harga Hasil pengujian Pairwise Granger Causality pada bulan-bulan yang memasukkan krisis moneter, menunjukkan bahwa tidak terdapat self reinforcing loop antara laju inflasi dan gejolak harga. Pada observasi yang mengeluarkan krisis moneter terlihat bahwa hanya terdapat hubungan satu arah antara laju inflasi dan gejolak harga (lihat tabel 5)11 . Tabel 5. Pairwise Granger Causality Test antara Laju Inflasi dan Gejolak Harga Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter) Hipotesa Nol Gejolak Laju Inflasi Laju Inflasi Gejolak Obs F-Stat Prob. 79 0.37 0.69 2.78 0.06 Obs F-Stat Prob. 94 0.71 0.49 0.27 0.76 Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter) Hipotesa Nol Gejolak Laju Inflasi Laju Inflasi Gejolak 11 Mengingat hasil uji kausalitas yang menolak adanya self reinforcing loop dari inflasi ke gejolak harga dan sebaliknya, maka tidak dilakukan estimasi regresi linier . 104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Berdasarkan hasil pengujian-pengujian untuk melihat interaksi antara gejolak harga, ketidakpastian dan laju inflasi diatas, secara umum diperoleh gambaran bahwa proses pembentukan inflasi dalam periode sebelum krisis dan termasuk masa krisis mengalami perubahan. Sebelum terjadi krisis, tidak ditemui adanya self reinforcing expectation loops pembentukan ekspektasi inflasi, sebaliknya dimasa krisis hal tersebut ada (lihat diagram 1a dan 1b). Diagram 1a. Dinamika Ekspektasi Inflasi IHK Sebelum Krisis Laju Inflasi Ketidakpastian Harga Gejolak Harga Diagram 1b. Expectation Loops Dimasa Krisis G e jo la k H arg a- H a rga K e ti d a k p a sti an H a rga L a ju I B. Backward Looking Expectation Analisa mengenai dinamika ekspektasi inflasi backward didasarkan pada asumsi bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi secara umum bereaksi terhadap komponenkomponen berikut: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap laju inflasi bulan berjalan (inertia)12, (2) dinamika historis level kurs nilai tukar Rp/USD, dan (3) kredibilitas historis disinflationary policy pemerintah13 . Inertia di Masa Krisis Observasi sekilas terhadap data inflasi IHK Indonesia dengan menggunakan dua periode yaitu periode diluar krisis moneter (06/1990 - 06/1997) dan periode yang memasukkan krisis moneter (06/1990 - 09/1998) menunjukkan bahwa kadar inertia dalam series inflasi IHK telah meningkat sepanjang krisis moneter . Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya persistensi laju inflasi IHK pada periode observasi yang memasukkan krisis 12 Wignall, Adrian Blundell, Lowe P. , dan Tarditi, A. Inflation, Indicators, and Monetary Policy, dalam Inflation, Disinflation, dan Monetary Policy, Proceedings of a Conference, RBA, 1992. 13 Studi yang sama dilakukan pula of Bank of Canada hanya kredibilitas pada penelitian BoC dimasukkan sebagai komponen endogen dalam model forward looking , lihat: Maclean, Dinah. Incorporating Credibility in Forward Looking Models: Some Examples with QPM. Bank of Canada. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 105 Tabel 6 . Aucorrelation dalam Series Inflasi IHK Periode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998 Sebelum Krisis Sepanjang Krisis 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 AC PAC Q-Stat Prob 0.220 -0.086 0.067 -0.203 -0.258 0.009 -0.110 0.220 -0.140 0.128 -0.287 -0.120 0.038 -0.156 4.2425 4.8941 5.2982 9.0518 15.227 15.234 16.373 0.039 0.087 0.151 0.060 0.009 0.019 0.022 AC PAC Q-Stat Prob 0.731 0.521 0.474 0.409 0.420 0.359 0.181 0.731 -0.028 0.220 -0.021 0.212 -0.126 -0.207 55.045 83.331 106.91 124.73 143.70 157.69 161.28 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 moneter. Tabel 6 menampilkan angka-angka autocorrelation14 dalam dua periode observasi. Tujuh kelompok angka teratas menunjukkan bahwa sebelum krisis moneter persistensi inflasi IHK sangatlah lemah, dimana inertia inflasi hanya disebabkan oleh laju inflasi satu bulan yang lalu. Dilain pihak, pada observasi yang memasukkan krisis moneter terlihat bahwa persistensi (inertia) inflasi dapat diterangkan oleh laju inflasi itu sendiri sampai tujuh bulan lag. Selanjutnya, tekanan inflasi satu bulan yang lalu pada observasi yang memasukkan periode krisis moneter menunjukkan pula bahwa inertia setelah adanya krisis meningkat dari 0.22 ke 0.73. Hal ini berarti 73% dari inflasi dimasa krisis diterangkan oleh inflasi 1 bulan yang lalu, sedangkan dimasa sebelum krisis hanya 22% inflasi bulan berlangsung diterangkan oleh inflasi bulan sebelumnya. Observasi mengenai angka partial autocorrelation laju inflasi IHK sebelum dan sepanjang krisis moneter, memperlihatkan kuatnya inertia sampai tujuh bulan lags dimasa krisis dalam membentuk informasi dalam laju inflasi bulan berjalan, ceteris paribus. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya Q-Statistics correlogram pada periode ini. Sebaliknya, dimasa sebelum krisis perbedaan yang mendasar terlihat pada angka Q-Statistics yang cenderung jauh lebih rendah. Selain itu, di masa sebelum krisis, partial autocorrelation pada lag 3 bulan tidak relevan dalam menerangkan laju inflasi bulan berjalan. 14 Autocorrelation di definisikan sebagai keterkaitan secara statistik antara suatu angka terhadap angka-angka sebelumnya, yang sekaligus menandakan bahwa persentase tertentu pada angka saat ini terjadi karena informasi-informasi yang melekat pada angka masa lalu terbawa ke masa kini (inertia). Lihat Enders, W. E. Applied Econometrics Time Series, Bab. 2. Stationary Time Series Models, Sub-bab 5 Autocorrelation Function, Willey & Sons, New York, 1995. Lihat juga Sandy, R. Statistics for Business and Economics, McGraw Hill, New York, 1990, sub-bab 15.3 Autoregressive and Moving Average Models. 106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Fenomena kuatnya inertia dimasa krisis kiranya memberi penjelasan adanya perubahan dinamika ekspektasi inflasi dalam perekonomian. Dimasa krisis terlihat bahwa masyarakat lebih sensitif terhadap perkembangan inflasi (inflation conscious) sehingga laju inflasi historis dapat secara signifikan menyumbang pada pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat dimasa datang. Gambaran umum mengenai inertia dan sumbangannya dalam proses pembentukan ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi selanjutnya membawa analisa lebih jauh lagi pada proyeksi ekspektasi inflasi kedepan dengan model persamaan inertia. Dengan model persamaan ini ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dibentuk oleh proses autoregressive moving average, dimana pelaku ekonomi melihat pergerakan laju inflasi pada bulan-bulan yang lalu dan melakukan koreksi terhadap kesalahan prediksi yang mereka lakukan. Oleh karena itu untuk memperoleh angka-angka pembentuk taksiran ekspektasi inflasi pelaku ekonomi, maka dicari suatu persamaan univariate ARIMA yang best-fit.Dari penelitian diperoleh bahwa laju inflasi IHK (CPI, I(1)) dengan proses α + β1 CPI(t-1) + β2 CPI(t-2) + β3 CPI(t-3) + εt + MA(1) adalah model yang cukup baik dalam menerangkan perilaku laju inflasi pada bulan berlangsung15. Dapat dilihat pada grafik 7 bahwa inertia laju inflasi IHK masih sangat kuat. Oleh karena itu, walaupun terjadi penurunan laju inflasi IHK secara bertutur-turut di triwulan III / 98, ekspektasi laju inflasi bulanan yang terbentuk dari proses inertia ini cenderung masih tetap kuat sampai akhir 1999, dengan rata-rata kisaran laju inflasi bulanan sebesar kurang lebih 4 – 4.5%. Grafik 7. Laju Inflasi IHK Aktual dan Inertia Sampai dengan Desember 1999 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 93 94 95 96 Laju Inflasi IHK 15 Hasil ekonometri dari persamaan ini dapat dilihat pada Annex-2 97 98 Inertia 99 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 107 Ekspektasi Kurs Nilai Tukar Rp/USD Historis Komponen kedua dari ekspektasi inflasi backward looking adalah ekspektasi kurs nilai tukar yang didasarkan pada perilaku historis kurs nilai tukar Rupiah terhadap USD. Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian nasional, maka rentanitas laju inflasi terhadap gejolak eksternal menjadi lebih lebih tinggi. Sebagaimana telah diketahui bersama, dengan dilepasnya band intervensi maka pergerakan kurs nilai tukar Rp/USD menjadi tidak terbatas dan sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perkembangan ini merupakan gejolak terbuka yang langsung berpengaruh pada harga-harga barang impor dan selanjutnya meningkatkan sensitifitas imported inflation. Fluktuasi imported inflation tersebut selanjutnya akan tercermin sebagai first-stage pass through apresiasi USD pada harga-harga barang tradeables. Pada perkembangan berikutnya kenaikan harga karena first-stage pass-through akan memberi tekanan second - stage pass through yang tercermin dari pergerakan inflasi barangbarang nontradeables ( barang-barang yang diproduksi dan dikonsumsi secara domestik) . Second - stage pass through tersebut berasal dari dua arah, yaitu (1) upward price adjustment yang dilakukan oleh para pengusaha karena naiknya harga input yang terkait dengan nilai tukar, dan (2) upward wage adjustment yang dilakukan oleh para pekerja di sektor informal yang tidak terikat oleh ketentuan upah minimum regional (UMR), untuk menyesuaikan dengan kenaikan biaya hidup. Ekspektasi inflasi yang mempertimbangkan perilaku historis kurs nilai tukar Rp/ USD secara kuantitatif diukur sebagai proses distributed lags perubahan kurs Rp/USD bulanan dengan koreksi pelaku ekonomi terhadap kesalahan prediksi kursnya. Pembentukan ekspektasi kurs itu sendiri ditunjukkan oleh pelaku ekonomi yang terlibat dalam proses adaptive 1 bulan kebelakang dan learning sepanjang 2 bulan kebelakang16 . Sehingga, taksiran ekspektasi kurs Rp/USD secara backward looking adalah sama dengan proses ARMA (1,0,2). Hasil yang diperoleh berdasarkan taksiran dengan proses ARMA (1,0,2) tersebut adalah ekspektasi level kurs Rp/USD yang cenderung melemah pada bulanbulan kedepan. Sampai dengan akhir Semester II / 1999 kurs Rp/USD ditaksir mendekati Rp 7,000 / 1USD. Secara teoritis, seiring dengan ekpektasi akan melemahnya nilai tukar Rp/USD, tekanan first dan second stage pass-through juga diekspektasikan masih akan kuat sehingga ekspektasi inflasi dengan menggunakan ekspektasi kurs backward looking cenderung akan meningkat. Dengan berasumsi bahwa pelaku ekonomi akan melihat net-effects dari level nilai tukar Rp/USD dalam membentuk ekspektasi inflasinya, maka hasil estimasi 16 Hasil estimasi ekonometri dapat dilihat di Annex - 3 108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Grafik 8. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi dengan Ekspektasi Depresiasi Rp/USD Backward Looking 16 12 8 4 0 -4 93 94 95 96 97 Laju Inflasi IHK 98 99 Ekspektasi Inflasi menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi backward looking dibentuk oleh perubahan kurs nilai tukar sampai 4 bulan kebelakang17 . Grafik 8 menampilkan ilustrasi ekspektasi inflasi sampai akhir 1999 berdasarkan taksiran ekspektasi kurs backward looking tadi. Ternyata, walaupun terdapat ekspektasi depresiasi Rp/USD laju inflasi IHK tetap diramalkan akan menurun oleh pelaku pasar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh masih adanya built-in expectation pelaku pasar bahwa walaupun secara backward looking akan terjadi depresiasi kurs Rp/USD tapi pemerintah akan berupaya menstabilisasi gejolaknya, sehingga depresiasi tersebut akan predictable seperti pada masa masih ada band intervensi. Kredibilitas Kebijakan Disinflasi Pemerintah Kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi mencerminkan kredibilitas pemerintah yang selanjutnya dijadikan ukuran ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi. Ekspektasi inflasi berdasarkan kredibilitas pemerintah tersebut berasumsi bahwa: (1) pelaku ekonomi melihat sejarah keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi oleh pemerintah dan memantau policy stance pemerintah dalam mengendalikan inflasi, dan (2) pelaku ekonomi merevisi ekspektasi selaras dengan observasi historisnya mengenai keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Dengan asumsi demikian, maka dapat ditaksir suatu besaran yang mencerminkan kredibilitas disinflationary policy oleh pemerintah. Grafik 9 menyajikan 17 Hasil ekonometri lihat Annex-4 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 109 Grafik 9. Laju Inflasi IHK, Perceived Target Inflasi, dan Kredibilitas Pemerintah 16 12 8 4 0 -4 96:01 96:07 Kredibilitas Pemerintah 97:01 97:07 98:01 Laju Inflasi IHK 98:07 Target suatu ukuran kredibilitas disinflationary policy pemerintah, yang dihitung dengan mengurangi laju inflasi aktual dengan target inflasi pemerintah. Untuk periode 1990-1997 target inflasi adalah target Repelita sebesar rata-rata 5% per tahun yang dibagi secara merata selama 12 bulan dan untuk tahun 1998 digunakan target APBN 1998/1999 sebesar 47% per tahun yang didistribusikan sepanjang 12 bulan. Dapat dilihat pada grafik bahwa sepanjang periode yang memasukkan krisis moneter, kredibilitas pemerintah tampaknya menurun seiring dengan meningkatnya deviasi laju inflasi aktual dari target. Hal ini terutama terlihat di triwulan IV/1997 ketika laju inflasi IHK berada diatas target. Sepanjang semester I / 1998 kredibilitas pemerintah menurun tajam di bulan Februari 1998 ketika panic buying melanda pasar barang-barang konsumsi. Setelah itu kredibilitas pemerintah membaik. Ketika harga Sembako melonjak tajam sejak Juni 1998, kredibilitas pemerintah sempat memburuk di bulan Agustus, untuk kemudian membaik lagi di bulan Sempember 1998. Memasuki Triwulan IV/1998 kredibilitas pemerintah tampaknya akan semakin membaik seiring dengan menurunnya deviasi laju inflasi dari target. Berdasarkan ukuran kredibilitas diatas, taksiran terhadap efek kredibilitas pada ekspektasi inflasi backward looking dilakukan dengan berasumsi bahwa revisi ekpektasi pelaku ekonomi mengikuti observasi autoregressive terhadap kinerja pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya, berdasarkan ekspektasi pelaku ekonomi mengenai kemampuan pemerintah mengatasi krisis harga, ditaksir ekspektasi inflasi pelaku ekonomi kedepan. Persamaan liniear menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi terbentuk dari pengamatan historis pelaku ekonomi terhadap keberhasilan kebijakan disinflasi pemerintah sampai empat 110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 bulan kebelakang dan revisi kesalahan prediksi pelaku ekonomi. Dari grafik dibawah ini tampak bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi sepanjang triwulan IV/1998- I/1999 cenderung membaik yang menunjukkan bahwa pelaku ekonomi cenderung percaya bahwa pemerintah akan melakukan alloutefforts untuk menurunkan laju inflasi18 Grafik 10. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi Dimana Pelaku Ekonomi Melihat Disinflationary Policy Pemerintah 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 92 93 94 Laju Inflasi IHK 95 96 97 98 99 Ekspektasi Inflasi C. Forward Looking Expectation Dengan berasumsi bahwa ekspektasi inflasi forward looking dibentuk oleh para pelaku pasar di pasar keuangan domestik dan valuta asing, maka indikator yang digunakan sebagai proksimasi ekspektasi inflasi adalah yield spread dipasar keuangan dan forward rate Rp/USD di pasar valuta asing. Perkembangan yield spread di pasar keuangan menunjukkan ekspektasi pelaku pasar terhadap discount nilai asset karena ekspektasi inflasi. Sedangkan, perkembangan forward rate di pasar valuta asing menunjukkan selisih suku bunga dalam dan luar negeri serta menunjukkan adanya ekspektasi level nilai tukar dimasa yang akan datang. Dengan semakin meningkatnya peranan nilai tukar dalam perekonomian nasional, maka pelaku ekonomi cenderung mengkaitkan pergerakan inflasi dengan ekspektasi perkembangan nilai tukar. Untuk mentaksir besarnya koefisien pembentuk besarnya ekspektasi inflasi forward looking maka disusun dua persamaan linier yang menyatakan bahwa laju inflasi IHK aktual adalah fungsi dari forward rate Rp/USD 12 bulan yang berlaku dipasar forward saat ini dan fungsi dari yield spread 18 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-5 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 111 di pasar keuangan. Selanjutnya berdasarkan koefisien yang diperoleh dilakukan replikasi sampai September 1999 dengan menggunakan yield spread dan forward rate sejak Oktober 1997 sampai September 199819 . Pada grafik dibawah dapat dilihat ekspektasi inflasi yang terjadi di pasar keuangan (grafik 11a) dan pasar valas (grafik 11b), terlihat bahwa pada masa sebelum krisis moneter, ekspektasi inflasi tersebut cenderung dapat mentaksir dengan baik inflasi yang akan terjadi. Akan tetapi sepanjang krisis moneter, ekspektasi inflasi pada masing-masing pasar cenderung ikut bergejolak seiring dengan ketidakpastian harga-harga di pasar komoditas. Grafik 11a. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi di Pasar Keuangan 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 97:01 97:07 98:01 98:07 Laju Inflasi IHK 99:01 99:07 Ekspektasi Inflasi Grafik 11b. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi di Pasar Valas 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 97:01 97:07 98:01 Laju Inflasi IHK 19 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-6 98:07 99:01 Ekspektasi Inflasi 99:07 112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Selanjutnya, khusus untuk angka estimasi forward rate tampaknya masih terkandung unsur linear correlation dan multicolinierity dalam hasil ekonometri. Untuk itu dilakukan Pengujian Granger Causality guna melihat kenyataan empiris hubungan kausalitas antara laju inflasi dan forward rate di pasar valas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dimasa krisis hubungan kausalitas antara laju inflasi IHK dan forward rate dipasar valas berlangsung dua arah sampai 12 bulan lag. Walaupun begitu, hubungan kausalitas dari laju inflasi ke forward rate cenderung jauh lebih kuat. Pada masa sebelum krisis moneter hubungan kausalitas berlangsung dua arah dengan lag yang berbeda, yaitu pada lag 3, 4, dan 5 bulan dari forward rate ke laju inflasi dan kausalitas sebaliknya pada lag 10 dan 11 bulan. Hal ini berarti pula bahwa setiap upaya disinflationary yang berhasil akan mengalami proses feedthrough ke pasar valas yang menopang stabilisasi nilai tukar Rp/USD20 . D. Ekspektasi Inflasi Dengan hasil-hasil ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui forward dan backward looking dapat diperoleh suatu ukuran rata-rata tidak terbobot (unweighted average) dari kelima komponen pembentuk ekspektasi inflasi. Selanjutnya dilakukan proses pembobotan ulang dengan metode neural network untuk mengakomodasi bounded rationality para pelaku ekonomi dimasa krisis yang penuh ketidakpastian21.Setting neuron logsismoid dilakukan sebagai proses pengaruh kelima komponen pada rata-rata tidak terbobot ekspektasi inflation (Neuron Net CPI e = Neuron (Inertia, Kurs Rp/USD, Kredibilitas Pemerintah, Yield Spread, Forward Rate Rp/ U S D) Desain transformasi logsismoid ini mengikuti pola dimana setiap neuron akan masuk kedalam hidden neuron dimana terjadi backpropagation learning untuk menangkap euphoria pelaku pasar. Hasil yang diperoleh adalah bobot dari masing-masing komponen dalam menyumbang pada ketidakpastian harga-harga, sebagaimana yang ditunjukkan di tabel dan grafik berikut: Tabel 7. Bobot Setelah Melalui Proses Neural Network Bobot : Ekspektasi Inflasi Karena: Proses Backward Looking 0.26180 Kredibilitas Kebijakan Disinflasi 0.21305 Backward Exchange Rate Expectation 0.20608 Inertia Proses Forward Looking: 0.19691 Yield Spread 0.12216 Forward Rate 20 Hasil ekonometri dapat dilihat di Annex-7 21 Metodologi neural network dapat dilihat di Annex-8 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 113 Dapat dilihat pada tabel diatas, kredibilitas pemerintah memegang peranan penting dalam menentukan pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs Rp/USD secara historis dan inertia inflasi IHK. Kesemua komponen ini adalah komponen ekspektasi inflasi backward looking.Forward rate Rp/USD dan yield spread, yang merupakan komponen ekspektasi forward looking ternyata secara total hanya berperan sebesar 32% dalam pembentukan ekpektasi inflasi. Sehingga ekspektasi inflasi backward looking menyumbang 68% dalam proses pembentukan ekspektasi inflasi. Pada grafik 12 dapat dilihat pergerakan dari simulasi ekspektasi inflasi yang diperoleh dengan membobot ulang setiap komponen pembentuknya. Ekspektasi Inflasi cenderung mendekati laju inflasi aktual sebagaimana dicerminkan oleh besarnya adjusted r-squared sebesar 0.99, coefficient correlation r sebesar 0.99, dan rendahnya mean absolut error yaitu 0.087 (tabel 7). Tabel 8. Hasil - Hasil Proses Neural Network R squared: 0.9936 r squared: 0.9940 Mean squared error: 0.014 Mean absolute error: 0.087 Min. absolute error: 0.001 Max. absolute error: 0.426 Correlation coefficient r: 0.9970 Grafik 12. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi 14 12 10 Laju Inflasi IHK 8 Ekspektasi Inflasi (Weighted) 6 4 2 Jul-99 Apr-99 Jan-99 Oct-98 Jul-98 Apr-98 Jan-98 Oct-97 Jul-97 Apr-97 Jan-97 Oct-96 Jul-96 Apr-96 Jan-96 Oct-95 Jul-95 Apr-95 -2 Jan-95 0 Hasil neural network ini menunjukkan bahwa komponen-komponen pembentuk ekspektasi backward dan forward looking diatas dapat mewakili prediksi arah pembentukan ekspektasi inflasi di masyarakat. Ditinjau dari masing-masing komponen, kredibilitas pemerintah dalam upaya untuk mencapai target inflasi cenderung menjadi benchmark bagi pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi kedepan. Menurunnya kredibilitas pemerintah cenderung meningkatkan ekspektasi inflasi sebagaimana yang terilustrasi dalam periode Juli – Desember 1997 dan Januari serta Agustus 1998. 114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum: ♣ Perilaku pelaku ekonomi dalam pembentukan ekspektasi inflasi mengalami perubahan dari masa sebelum krisis dan sepanjang krisis. Dalam periode sebelum krisis, proses pembentukan ekspektasi tidak terdapat interaksi timbal balik antara gejolak harga, ketidakpastian harga, dan laju inflasi. Sementara itu, dalam periode sepanjang krisis terdapat interaksi timbal balik (loop ekspektasi) antara gejolak harga, ketidakpastian, dan laju inflasi yang bersifat self-reinforcing. Ketidakpastian harga merupakan faktor terpenting dalam proses loop ekspektasi dimasa krisis, yang merupakan faktor pemicu pembentukan ekspektasi inflasi. ♣ Ekspektasi inflasi juga dapat dibentuk oleh proses backward dan forward looking. Komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking adalah : kredibilitas pemerintah, inertia (inflasi secara historis), dan ekspektasi kurs Rp/USD. Sedangkan komponen pembentuk ekspektasi inflasi forward looking adalah yield spread dan forward rate RP/ USD. 68 % pembentukan ekspektasi inflasi dimasa krisis mengikuti pola backward looking, dimana pelaku ekonomi mempelajari dan merevisi ekspektasinya berdasarkan pengalaman di masa lalu. Sehingga, inflasi yang tinggi dimasa lalu cenderung membentuk ekspektasi inflasi yang masih tetap tinggi dimasa mendatang, demikian pula sebaliknya. ♣ Kredibilitas pemerintah merupakan komponen utama dalam menentukan ekspektasi inflasi masyarakat. Semakin tinggi deviasi keberhasilan disinflationary policy pemerintah dari inflasi yang ditargetkan, maka semakin tinggi ekspektasi inflasi masyarakat. Menurunnya kredibilitas pemerintah ditunjukkan oleh temuan bahwa dituntut adanya lima bulan konsistensi keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi dimasa krisis agar ekspektasi inflasi bisa menurun . ♣ Nilai tukar Rp/USD secara historis merupakan acuan masyarakat dalam mengantisipasi inflasi dimasa mendatang, walaupun demikian terdapat indikasi kuat bahwa ekspektasi depresiasi nilai tukar Rp/USD di pasar forward dibentuk dengan mempertimbangkan ekspektasi inflasi historis. ♣ Dimasa krisis laju inflasi secara historis kuat mempengaruhi pembentukan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi. Dengan demikian inflasi yang masih tetap tinggi akan cenderung membentuk ekspektasi inflasi yang masih tinggi. ♣ Jika pengendalian inflasi dimasa krisis dapat menurunkan harga secara berkelanjutan selama lima bulan berturut-turut, maka yang akan terjadi adalah downward spiral inflasi yang menurunkan tekanan laju inflasi dan selanjutnya dapat menopang perbaikan kurs nilai tukar Rp/USD dipasar valas. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 115 Implikasi Kebijakan Struktural Perkembangan pengendalian inflasi sampai dengan akhir triwulan III /1998 tampaknya menunjukkan arah yang membaik. Keberhasilan pengendalian inflasi tersebut telah meningkatkan kredibilitas pengendalian inflasi oleh pemerintah, sehingga ekspektasi inflasi backward looking dari sisi kredibilitas akan cenderung menurun. Jika pemerintah berhasil menurunkan laju inflasi lebih lanjut di bulan Oktober 1998 melalui kebijakan struktural yang lebih komprehensif seperti anatara lain memperbaiki sistem distribusi bahan pokok dalam jangka pendek dan stabilitas keamanan, maka kepastian harga akan lebih mudah tercapai. Oleh karena itu agenda pemerintah dalam jangka pendek (3-4 bulan kedepan) adalah mengutamakan perbaikan sisi distribusi bahan kebutuhan pokok. Selanjutnya di bulan November dan Desember 1998 seiring dengan datangnya bulan Ramadhan pemerintah perlu mempertahankan harga sembako agar tidak kembali bergejolak dengan meningkatkan supply produk-produk utama dalam kelompok sembako (beras, gula, minyak goreng, daging, telur, dan susu). Jika target jangka pendek diatas tercapai, maka dapat diantisipasi bahwa akan ada downward spiral inflasi diawal 1999 melalui self-reinforcing expectation loop karena penurunan laju inflasi dan meningkatnya kredibilitas pemerintah dimata masyarakat. Dalam jangka panjang pemerintah perlu terus mengupayakan pengembangan sektor pertanian, termasuk agribisnis baik yang berorientasi ekspor maupun untuk pasokan dalam negeri. Moneter Kendati dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa mendatang telah menunjukkan penurunan akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, otoritas moneter harus terus memantau inflasi khususnya yang bersumber dari fenomona moneter dalam perekonomian. Selanjutnya, mengingat pembentukan inflasi IHK dalam jangka pendek tidak semata-mata merupakan fenomena moneter, namun juga dibentuk oleh fenomena di sisi supply, maka otoritas moneter perlu memilah-milah sumber-sumber penyebab inflasi. Otoritas moneter dapat menggunakan simulasi ini sebagai salah satu alternatif benchmark dalam menetapkan target inflasi dan kebijakan moneter dimasa mendatang dengan mempertimbangkan lag kebijakan moneter ke inflasi. Disamping itu stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Secara umum, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan koordinasi penurunan ekspektasi inflasi backward looking melalui masukan-masukan untuk perbaikan struktural di sisi penawaran kepada pemerintah c.q departemen terkait. Penurunan ekspektasi inflasi 116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 tersebut selanjutnya akan ter-transmisi dalam forward rate Rp/USD dipasar valas yang kemudian dengan sendirinya akan menurunkan ekspektasi inflasi lebih lanjut. Jika terdapat indikasi bahwa feed through tersebut dapat mempertahankan nilai tukar Rp/USD pada level yang sustainable, maka untuk kedepannya Bank Indonesia perlu mengumumkan kepada masyarakat hal -hal berikut untuk preemptive disinflationary policy dalam mengendalikan inflasi: (1) jenis-jenis tekanan inflasi yang berada diluar jangkauan Bank Indonesia (escape clause) dalam pengendalian inflasi moneter yang perlu segera diambil alih oleh pemerintah c.q. departemen terkait melalui supply side policy, (2) menetapkan target band inflasi akibat fenomena moneter serta indikator pemantaunya (leading indicator), dan (3) jenis-jenis kebijakan moneter yang akan diambil oleh Bank Indonesia bila tekanan inflasi dari sisi moneter mulai mengarah keluar diatas band. Daftar Pustaka King, Marvyn, Do Inflation Targets Work?, Address to the Center for Economic Policy Research. Griliches, Zvi,Distribution Lags : A Survey, Econometrica, Vo. 35, No. 1, January 1967 Bomfim, A. dan Brayton, F., Long Run Inflation Expectation and Monetary Policy, BIS. Dillen, H. dan Hopkins, E., Forward Interest Rates and Inflation Expectations: The Role of Regime Shift Premia and Monetary Policy,BIS. H unt, B., Conway, P., dan Scott, A., Exchange Rate Effects and Inflation Targeting in A Small Open economy, a Stochastic Analysis Using FPS, BIS. Ireland, Peter N., Long Term Interest Rates and Inflation: A Fisherian Approach, FRB of Richmond. Kandel, S. , Ofer, A. dan Sarig, O., Real Interest Rates and Inflation: An Ex Ante Empirical Analysis, The Journal Of Finance, Vol 11, No. 1, March 1986. De Brouwer, G. dan Ericsson, N., Modelling Inflation in Australia, RBA. McKibbin, W., Which Monetary Policy Regime for Australia, RBA. Cecchetti, S., Distingushing Theories of The Monetary Transmission Mechanism, FRB of St. Louis. Cecchetti, S., Inflation Indicators and Inflation Policy, Ohio State Univ. Dwyer, J. dan Lam, R., Explaining Import Price Inflation: A Recent History of Second Stage Pass Through, RBA. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 117 Gruen, D. dan Dwyer, J., Are Terms of Trade Rises Inflationary?, RBA. Hakim, L. dan Solikin., Model Inflasi dengan Pendekatan Neural Network, Kertas Keja Staff, BI. Lin, W., Impulse Response Function for Conditional Volatility in GARCH Models, Journal of Business and Economic Statistics, January 1997. O’Connor , M. Hill, T., Neural Network Models for Time Series Forecast, Institute for Operation Research and Management Sciences. Romalis, J., Gruen, D. dan Chandra, N., The Lags of Monetary Policy, RBA. Santoso, W., Karakteristik Inflasi di Indonesia, UREM, BI. Haslag, J., Monetary Aggregates and The Rate of Inflation, FRB of Dallas. Simatupang, P., Diagnosa Penyebab Inflasi Dari Sisi Sektor Riil: Tinjauan Eksploratif, IPB. Annex I. Mengukur Taksiran Laju Inflasi Alternatif dan Indicator of Policy Severity 1. Inflasi Karena Kurs dan Uang Beredar Untuk mengukur taksiran laju inflasi alternatif digunakan metode regresi linier sederhana dengan persamaan-persamaan berikut: (1) CPI = FX(-1) + FX(-2) + FX(-3) + FX(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi yang disebabkan oleh perubahan bulanan kurs nilai tukar Rp/USD, dimana CPI adalah laju inflasi IHK bulanan , FX adalah perubahan kurs Rp/USD bulanan, (L) adalah lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi. (2) CPI = Base(-1) + Base(-2) + Base(-3) + Base(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan bulanan base money, dimana CPI adalah laju inflasi IHK bulanan, Base adalah pertumbuhan bulanan base money , (L) adalah lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi. Berdasarkan kedua persamaan diatas diperoleh hasil ekonometri sebagai berikut: 118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Persamaan (1) Persamaan (2) D e p e n d e n t V a ria b le : C P I M e th o d : L e a s t S q u a re s S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :1 1 1 9 9 8 :0 9 In c lu d e d o b s e rv a tio n s : 9 5 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts C o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 5 ite ra tio n s B a c k c a s t: 1 9 9 0 :1 0 V a ria b le C F X (-1 ) F X (-2 ) F X (-3 ) F X (-4 ) M A (1 ) R -s q u a re d A d ju s te d R -s q u a re d S .E . o f re g re s s io n S u m s q u a re d re s id L o g lik e lih o o d D u rb in -W a ts o n s ta t In v e rte d M A R o o ts D ep e n d e nt V a riab le : C P I M e th o d : Le a s t S q u a re s S a m p le (a djus te d): 1 9 90 :1 0 19 9 8 :0 9 In clu d e d ob s e rv a tion s : 96 a fte r a d ju stin g e nd p o in ts C on v e rg e n ce a ch ie v e d a fte r 8 ite ratio n s B a ck ca s t: 1 9 9 0 :09 C o e ffic ie n t S td . E rro r t-S ta tis tic P ro b . 0 .6 7 7 0 2 7 7 .9 8 1 0 2 4 5 .2 7 2 4 8 8 4 .0 6 3 0 7 1 4 .0 8 7 8 8 9 0 .5 8 0 6 2 0 0 .1 3 8 8 8 7 0 .6 3 2 3 1 6 0 .6 5 5 4 7 8 0 .6 6 3 9 1 3 0 .6 0 4 3 4 3 0 .0 9 4 4 2 7 4 .8 7 4 6 6 4 1 2 .6 2 1 8 8 8 .0 4 3 7 3 0 6 .1 1 9 8 8 7 6 .7 6 4 1 8 6 6 .1 4 8 8 9 6 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .8 4 0 6 9 7 0 .8 3 1 7 4 8 0 .8 1 2 0 3 9 5 8 .6 8 7 2 8 -1 1 1 .9 2 0 6 1 .9 5 8 7 4 6 M ean dependent var S .D . d e p e n d e n t v a r A k a ik e in fo c rite rio n S c h w a rz c rite rio n F -s ta tis tic P ro b (F -s ta tis tic ) V a ria b le C B A S E (-1 ) B A S E (-2 ) B A S E (-3 ) B A S E (-4 ) M A (1 ) 1 .2 3 1 7 3 2 1 .9 7 9 6 8 7 2 .4 8 2 5 3 9 2 .6 4 3 8 3 6 9 3 .9 3 7 0 2 0 .0 0 0 0 0 0 R -s q u are d A d ju ste d R -s qu a red S .E . o f re gre ss io n S u m s q ua re d re s id L o g like lih o o d D urb in -W a ts on s tat -.5 8 B re u s c h -G o d fre y S e ria l C o rre la tio n L M T e s t: F -s ta tis tic O b s *R -s q u a re d 0 .0 7 0 6 9 0 0 .0 7 6 2 4 2 P ro b a b ility P ro b a b ility In ve rte d M A R o o ts 0 .7 9 0 9 5 6 0 .7 8 2 4 5 6 C oe ffic ie nt S td . E rror t-S ta tis tic P rob . 0 .25 3 0 3 0 1 0 .0 5 9 4 8 1 5 .3 0 5 2 2 1 1 .5 5 2 0 7 7 .40 2 6 3 3 0 .77 4 2 3 7 0 .31 5 0 1 8 2 .31 3 9 9 7 3 .63 7 4 9 8 3 .64 4 1 9 9 2 .33 9 3 3 6 0 .06 7 0 7 6 0 .80 3 2 2 6 4 .34 7 2 3 1 4 .20 7 6 2 3 3 .16 9 9 9 0 3 .16 4 4 1 6 1 1 .5 4 2 6 4 0 .42 4 0 0 .00 0 0 0 .00 0 1 0 .00 2 1 0 .00 2 1 0 .00 0 0 0 .59 5 9 8 3 0 .57 3 5 3 8 1 .28 6 0 6 3 1 4 8.8 5 6 2 -1 57 .2 7 25 1 .86 5 5 6 7 M e a n de p e n d en t v ar S .D . d ep e n d e nt v a r A k a ik e in fo crite rion S c h w arz crite rio n F -s ta tis tic P ro b (F -sta tis tic) 1 .22 9 6 4 9 1 .96 9 3 4 6 3 .40 1 5 1 0 3 .56 1 7 8 1 2 6 .5 5 2 6 2 0 .00 0 0 0 0 -.7 7 B reu s ch -G o d frey S e ria l C o rre la tio n L M T e s t: F -s ta tistic O b s *R -s q ua re d 0 .64 4 1 3 5 0 .68 9 8 0 1 P ro b a bility P ro b a bility 0 .42 4 3 5 5 0 .40 6 2 3 2 Dengan diperolehnya parameter-parameter persamaan diatas selanjutnya ditaksir ukuran laju inflasi yang disebabkan oleh perubahan bulanan kurs Rp/USD dan pertumbuhan bulanan base money. Untuk itu dilakukan in-sample (static) forecast pada kedua persamaan. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: Laju Inflasi Karena Perubahan Bulanan Kurs Rp/USD (CPIKURS) 20 Forecast: CPIKURS Actual: CPI Sample: 1990:11 1998:09 Include observations: 95 15 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 10 5 0 0.785978 0.565180 167.3564 0.175155 0.000000 0.057874 0.942126 -5 91 92 93 94 95 CPIKURS 96 97 98 ± 2 S.E. Laju Inflasi Karena Pertumbuhan Bulanan Uang Beredar (CPIBASE) 12 Forecast: CPIBASE Actual: CPI Sample: 1990:10 1998:09 Include observations: 96 8 Root Mean Squared Error 1.245225 Mean Absolute Error 0.851097 Mean Abs. Percent Error 241.2239 Theil Inequality Coefficient 0.297043 Bias Proportion 0.000000 Variance Proportion 0.186663 Covariance Proportion 0.813337 4 0 -4 91 92 93 94 CPIBASE 95 96 ± 2 S.E. 97 98 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 119 2. Laju Inflasi Karena Permintaan Agregat (Underlying Inflation) Laju inflasi karena permintaan agregat (underlying inflation) di ukur dengan berasumsi bahwa outliers dalan histogram bulanan keranjang inflasi IHK adalah noise yang bersifat temporer dan tidak mencerminkan tekanan riil dari sisi permintaan ageregat. Oleh karena itu untuk mengukur laju underlying inflation, dilakukan pemangkasan terhadap keranjang inflasi IHK secara bulanan. Hasil uji statistik tentang ukuran underlying inflation yang paling efisien (robust) menunjukkan bahwa pemangkasan sebesar 17.5% pada kedua tails histogram bulanan keranjang inflasi IHK adalah nilai kritikal yang terbaik22 . Berdasarkan metode pemangkasan diperoleh suatu taksiran underlying inflation sebagaimana yang ditunjukkan oleh grafik berikut. Selisih antara laju inflasi aktual dengan underlying inflation adalah temporary disturbances (noise) dalam keranjang inflasi IHK. Noise, Underlying Inflation,dan Laju Inflasi IHK Aktual 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 1993 1994 1995 Noise 1996 Underlying Inflation 1997 1998 Laju Inflasi IHK Aktual 3. Indicator of Policy Severity Indicator of Policy Severity (IPS) adalah indikator yang menunjukkan stance kebijakan moneter sepanjang waktu. Grafik indikator yang meningkat menunjukkan stance kebijakan moneter yang ketat, sedangkan grafik yang menurun menunjukkan stance yang loose. Untuk menyusun indikator ini digunakan rumus berikut IPS = ((C - Mean C) / Stdev. C)-((D- Mean D) / Stdev. D), dimana IPS adalah indicator of policy severity, C adalah tingkat suku bunga riil jangka pendek, dan D adalah spread antara suku bunga jangka panjang dan pendek nominal. IPS Indonesia disusun dengan menggunakan policy anchor Bank Indonesia, yaitu SBI 30 hari sebagai proksi dari C, dan spread antara suku bunga deposito 1 dan 24 bulan sebagai proksi dari D. Masing komponen pembentuk IPS ini diilustrasikan pada grafik berikut. 22 Lihat hasil penelitian mengenai “Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter”, Program Kerja UREM 1997-1998. 120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Komponen-Komponen Pembentuk IPS 80 20 60 18 40 16 20 14 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 12 1993 1994 Suku Bunga Deposito 1 bln. 1995 1996 1997 1998 Suku Bunga Deposito 24 bln. 60 6 5 40 4 20 3 2 0 1 -20 1993 1994 1995 1996 1997 0 1993 1998 1994 1995 Spread Nominal 1996 1997 1998 Suku Bunga SBI Riil Dengan menggunakan komponen-komponen diatas dan rumus IPS, telah disusun IPS Indonesia sebagaimana yang diilustrasikan oleh grafik berikut: Indicator of Policy Severity 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 1993 1994 1995 1996 1997 1998 Indicator of Policy Severity Dapat dilihat pada grafik diatas pada periode 1990 - 1995 kebijakan moneter di Indonesia secara riil berada pada kondisi loose, kemudian memasuki 1996 sampai pertengahan 1997 stance kebijakan moneter adalah tight. Diera krisis, kebijakan moneter secara riil adalah sangat loose. Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 121 II. Mengukur Ekspektasi Dengan Inertia D e p e n d e n t V a r ia b le : C P I M e th o d : L e a s t S q u a r e s S a m p le ( a d ju s te d ) : 1 9 9 0 :0 9 1 9 9 8 :0 9 In c lu d e d o b s e r v a tio n s : 9 7 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts C o n v e r g e n c e a c h ie v e d a fte r 1 0 ite r a tio n s B a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 8 V a r ia b le C o e ffic ie n t S td . E r r o r t- S ta tis tic P ro b . C C P I( - 1 ) C P I( - 2 ) C P I( - 3 ) M A (1 ) 0 .1 1 2 4 9 4 1 .1 0 9 6 7 0 - 0 .4 4 7 5 2 1 0 .2 8 7 3 0 9 - 0 .4 2 6 4 7 0 0 .1 2 1 8 4 3 0 .2 9 0 6 8 6 0 .2 2 9 5 2 9 0 .1 1 7 0 9 2 0 .2 9 7 7 1 7 0 .9 2 3 2 6 6 3 .8 1 7 4 1 7 - 1 .9 4 9 7 3 4 2 .4 5 3 7 0 7 - 1 .4 3 2 4 6 8 0 .3 5 8 3 0 .0 0 0 2 0 .0 5 4 3 0 .0 1 6 0 0 .1 5 5 4 R - s q u a re d A d ju s te d R - s q u a r e d S .E . o f r e g r e s s io n S u m s q u a r e d r e s id L o g lik e lih o o d D u r b in - W a ts o n s ta t 0 .5 9 2 9 6 7 0 .5 7 5 2 7 0 1 .2 7 7 6 2 4 1 5 0 .1 7 3 8 - 1 5 8 .8 3 5 5 1 .9 7 1 2 6 3 In v e r te d M A R o o ts M ean dependent var S .D . d e p e n d e n t v a r A k a ik e in fo c r ite r io n S c h w a r z c r ite r io n F - s ta tis tic P r o b ( F - s ta tis tic ) 1 .2 2 2 2 7 3 1 .9 6 0 4 0 9 3 .3 7 8 0 5 2 3 .5 1 0 7 6 9 3 3 .5 0 6 4 7 0 .0 0 0 0 0 0 .4 3 B r e u s c h - G o d fr e y S e r ia l C o r r e la tio n L M T e s t: F - s ta tis tic O b s * R - s q u a re d 0 .5 1 2 2 6 5 0 .5 4 2 7 2 6 P r o b a b ility P r o b a b ility 0 .4 7 5 9 9 3 0 .4 6 1 3 0 5 Static (in-sample) Forecast Dynamic (out-sample) Forecast 15 10 Forecast: CPIINERTIA Actual: CPI Sample: 1990:09 1999:12 Include observations: 97 10 8 6 Root Mean Squared Error 1.244260 Mean Absolute Error 0.700671 Mean Abs. Percent Error 184.2119 Theil Inequality Coefficient0.293556 Bias Proportion 0.000003 Variance Proportion 0.130410 Covariance Proportion 0.869587 5 0 4 2 0 -5 -2 91 92 93 94 95 96 CPIINERTIA 97 98 98:11 99 99:01 99:03 ± 2 S.E. 99:05 CPIINERTIA 99:07 99:09 99:11 ± 2 S.E. III. Mengukur Ekspektasi Kurs Secara Backward Looking Dependent Variable: KURS Method: Least Squares 25000 Sample(adjusted): 1990:07 1998:09 Included observations: 99 after adjusting endpoints Convergence achieved after 5 iterations Backcast: 1990:05 1990:06 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. 15000 C KURS(-1) MA(2) -30.86472 1.044889 -0.351087 98.54914 0.029699 0.114627 -0.313191 35.18241 -3.062848 0.7548 0.0000 0.0028 10000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-W atson stat 0.899528 0.897435 812.7748 63417883 -802.2967 2.056268 Inverted MA Roots .59 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -.59 0.227553 0.236500 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 5000 2993.688 2537.881 16.26862 16.34726 429.7472 0.000000 0 5352.285 4073.550 41.65763 0.451403 0.572912 0.410126 0.016962 -5000 -10000 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared Forecast: KURSF Actual: KURS Sample: 1997:06 1999:12 Include observations: 16 20000 97:07 Probability Probability 98:01 0.634440 0.626746 98:07 99:01 KURSF 99:07 ± 2 S.E. IV. Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kurs Rp/USD Backward Looking D e p e n d e n t V a ria b le : C P I M e th o d : L e a s t S q u a re s 20 S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :1 1 1 9 9 8 :0 9 In c lu d e d o b s e rv a tio n s : 9 5 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts C o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 5 ite ra tio n s B a c k c a s t: 1 9 9 0 :1 0 V a ria b le C o e ffic ie n t S td . E rro r t-S ta tis tic P ro b . C FX F X (-1 ) F X (-2 ) F X (-3 ) F X (-4 ) M A (1 ) 0 .5 8 0 4 7 7 2 .3 3 0 3 6 9 9 .0 3 9 9 0 5 5 .4 3 2 3 6 9 4 .2 7 4 0 0 1 4 .1 5 6 7 9 9 0 .5 7 5 8 6 5 0 .1 2 8 5 2 8 0 .5 4 3 6 3 2 0 .5 9 6 2 6 2 0 .5 9 9 2 1 2 0 .6 0 7 4 9 2 0 .5 5 3 1 5 9 0 .0 8 7 1 6 6 4 .5 1 6 3 4 4 4 .2 8 6 6 6 5 1 5 .1 6 0 9 6 9 .0 6 5 8 5 9 7 .0 3 5 4 8 8 7 .5 1 4 6 5 3 6 .6 0 6 5 2 9 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 R -s q u a re d A d ju s te d R -s q u a re d S .E . o f re g re s s io n S u m s q u a re d re s id L o g lik e lih o o d D u rb in -W a ts o n s ta t In v e rte d M A R o o ts 0 .8 6 8 2 1 4 0 .8 5 9 2 2 9 0 .7 4 2 7 6 8 4 8 .5 5 0 0 1 -1 0 2 .9 1 3 2 1 .8 3 3 9 7 1 M ea n d e pe n d en t va r S .D . d e p e n d e n t v a r A k a ik e in fo c rite rio n S c h w a rz c rite rio n F -s ta tis tic P ro b (F -s ta tis tic ) 1 .2 3 1 7 3 2 1 .9 7 9 6 8 7 2 .3 1 3 9 6 3 2 .5 0 2 1 4 3 9 6 .6 2 5 1 3 0 .0 0 0 0 0 0 -.5 8 B re u s c h -G o d fre y S e ria l C o rre la tio n L M T e s t: F -s ta tis tic O b s *R -s q u a re d 1 .6 1 9 4 9 5 1 .7 3 6 0 9 4 P ro b a b ility P ro b a b ility Forecast: CPIKURS Actual: CPI Sample: 1990:11 1999:12 Include observations: 95 15 0 .2 0 6 5 5 3 0 .1 8 7 6 3 4 10 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 5 0 -5 91 92 93 94 95 CPIKURS 96 97 ± 2 S.E. 98 99 0.714880 0.518561 155.0220 0.158045 0.000000 0.041498 0.958502 122 V. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kredibilitas Kebijakan Disinflasi D e p e n d e n t V a r ia b le : C P I M e th o d : L e a s t S q u a r e s D a te : 1 0 /2 0 /9 8 T im e : 2 0 :5 3 16 In c lu d e d o b s e r v a tio n s : 9 6 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts C o n v e r g e n c e a c h ie v e d a fte r 8 ite r a tio n s B a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 9 V a r ia b le S td . E r r o r t- S ta tis tic P ro b . C C R E D M O N F 1 (-1 ) C R E D M O N F 1 (-2 ) C R E D M O N F 1 (-3 ) C R E D M O N F 1 (-4 ) CREDM O NF1 M A (1 ) 0 .2 4 8 7 7 7 0 .2 6 9 8 1 6 0 .1 9 1 0 4 1 0 .2 3 8 1 9 3 0 .1 9 4 1 6 7 1 .1 5 1 9 8 3 0 .6 1 7 2 8 5 0 .0 7 8 0 1 4 0 .0 4 1 7 8 2 0 .0 3 9 9 9 8 0 .0 4 3 2 5 0 0 .0 4 2 0 6 4 0 .0 5 0 7 8 2 0 .1 2 1 8 2 5 3 .1 8 8 8 8 4 6 .4 5 7 7 2 2 4 .7 7 6 2 9 7 5 .5 0 7 3 6 5 4 .6 1 6 0 2 4 2 2 .6 8 4 7 7 5 .0 6 6 9 6 1 0 .0 0 2 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 0 .0 0 0 0 R -s q u a re d A d ju s te d R - s q u a r e d S .E . o f r e g r e s s io n S u m s q u a r e d r e s id L o g lik e lih o o d D u r b in - W a ts o n s ta t 0 .9 6 0 2 8 8 0 .9 5 7 6 1 1 0 .4 0 5 4 6 0 1 4 .6 3 1 3 8 - 4 5 .9 2 1 4 7 1 .8 5 4 7 4 8 In v e r te d M A R o o ts Forecast: CPICREDIBLE Actual: CPI Sample: 1990:10 1999:12 Include observations: 96 12 C o e ffic ie n t M ean dependent var S .D . d e p e n d e n t v a r A k a ik e in fo c r ite r io n S c h w a r z c r ite r io n F - s ta tis tic P r o b ( F - s ta tis tic ) 1 .2 2 9 6 4 9 1 .9 6 9 3 4 6 1 .1 0 2 5 3 1 1 .2 8 9 5 1 4 3 5 8 .6 9 3 0 0 .0 0 0 0 0 0 8 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 4 0 0.472993 0.312808 85.87972 0.105513 0.000009 0.129717 0.870274 -4 91 92 93 94 95 96 97 CPICREDIBLE - .6 2 98 99 ± 2 S.E. B r e u s c h - G o d fr e y S e r ia l C o r r e la tio n L M T e s t: F - s ta tis tic O b s *R -s q u a re d 2 .0 7 4 6 2 2 2 .2 1 1 0 2 0 P r o b a b ility P r o b a b ility 0 .1 5 3 3 1 5 0 .1 3 7 0 2 8 VI. Mengukur Ekspektasi Inflasi Forward Looking 1. Ekspektasi di Pasar Valas Dependent Variable: CPI Method: Least Squares 10 Sample: 1990:06 1998:09 Included observations: 100 Convergence achieved after 8 iterations Backcast: 1990:05 6 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. 4 C MSWAP MA(1) 0.550246 0.719070 0.736816 0.430830 0.381734 0.069166 1.277179 1.883692 10.65293 0.2046 0.0626 0.0000 2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.484538 0.473910 1.401695 190.5806 -174.1391 1.614613 Inverted MA Roots Forecast: CPISWAP Actual: CPI Sample: 1990:06 1999:09 Include observations: 100 8 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 1.210365 1.932518 3.542782 3.620937 45.59043 0.000000 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion 0 -2 1.380509 0.780994 227.8152 0.350817 0.000001 0.322227 0.677772 -4 91 92 93 94 95 96 CPISWAP 97 98 99 ± 2 S.E. -.74 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 7.071280 6.860494 Probability Probability 0.009179 0.008812 2. Ekspektasi di Pasar Keuangan Dependent Variable: CPI Method: Least Squares 12 Sample: 1990:06 1998:09 Included observations: 100 Convergence achieved after 8 iterations Backcast: 1990:05 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C MYIELD MA(1) 0.896955 1.137229 0.610007 0.212049 0.207733 0.081762 4.229941 5.474462 7.460785 0.0001 0.0000 0.0000 4 1.210365 1.932518 3.341435 3.419590 66.57722 0.000000 0 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Inverted MA Roots 0.578544 0.569854 1.267452 155.8242 -164.0718 2.060648 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.306005 0.317549 Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion -4 91 92 93 94 CPIYIELD -.61 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared Forecast: CPIYIELD Actual: CPI Sample: 1990:06 1999:09 Include observations: 100 8 Probability Probability 0.581428 0.573085 95 96 97 ± 2 S.E. 98 99 1.248296 0.712391 199.3804 0.300050 0.000002 0.144799 0.855199 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis VII. Uji Granger Causality antara Inflasi dan Forward Rate Rp/USD 1. Sepanjang Krisis Lags: 1 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 87 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 86 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 3 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 85 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 4 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 84 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 5 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 83 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 82 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 7 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 81 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 8 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 80 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 9 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 79 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 10 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 78 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 11 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 77 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 12 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 76 ANCPI does not Granger Cause SWAP Probability 6.31689 0.01387 46.2037 1.4E-09 Probability 0.88659 0.41602 20.7925 5.2E-08 Probability 3.46644 0.02013 18.5885 3.4E-09 Probability 4.95316 0.00134 35.5097 1.3E-16 Probability 4.45891 0.00135 26.0828 6.2E-15 Probability 2.71644 0.01992 20.7315 1.0E-13 Probability 2.47840 0.02540 19.7172 5.6E-14 Probability 2.83510 0.00940 16.8733 4.5E-13 Probability 2.36934 0.02301 17.3929 1.0E-13 Probability 2.69482 0.00892 14.9881 1.2E-12 Probability 2.16061 0.03081 13.3469 8.4E-12 Probability 2.07661 0.03564 11.5781 9.6E-11 123 124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 2. Sebelum Krisis Lags: 1 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 72 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 71 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 3 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 70 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 4 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 69 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 5 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 68 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 67 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 7 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 66 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 8 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 65 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 9 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 64 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 10 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 63 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 11 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 62 ANCPI does not Granger Cause SWAP Lags: 12 Null Hypothesis: Obs F-Statistic SWAP does not Granger Cause ANCPI 61 ANCPI does not Granger Cause SWAP Probability 1.52656 0.22082 0.04721 0.82864 Probability 2.14832 0.12477 1.04455 0.35759 Probability 4.02132 0.01108 0.95555 0.41934 Probability 2.69675 0.03908 0.46232 0.76307 Probability 2.49129 0.04143 0.52412 0.75701 Probability 1.87108 0.10272 0.39039 0.88202 Probability 1.49085 0.19164 0.48897 0.83818 Probability 1.46798 0.19392 1.31446 0.25923 Probability 1.27529 0.27652 1.75684 0.10382 Probability 1.33496 0.24411 1.81888 0.08676 Probability 1.36203 0.22939 1.77294 0.09308 Probability 1.24285 0.29361 1.51623 0.16350 Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis 125 VIII. Metodologi Neural Network Neural network adalah alat analisa yang mereplikasi proses belajar otak manusia. Asumsi yang mendasari analisa neural network adalah bounded rationality para pelaku ekonomi, yaitu fakta bahwa kompleksitas lingkungan tidak dapat sepenuhnya dikalkulasi oleh rasionalitas. Akibat dari bounded rationality tersebut adalah kecemasan jika lingkungan dipenuhi oleh ketidakpastian yang kemudian diterjemahkan menjadi kepanikan (frentic euphoria). Analisa dengan neural network mencoba menangkap gejala-gejala non-linier tersebut. Desain analisa dengan neural network adalah sebagai berikut23 : Neuron Input X1 Output Neuron Input X2 Hidden Neuron Neuron Neuron Input X3 Transformasi Logsismoid Threshold (ambang batas) Fungsi Logistik Penjelasan dari desain diatas adalah sebagai berikut: • Neuron-neuron input, x1, x2, x3, dan seterusnya adalah kombinasi linear dengan koefisien dan bobot tertentu yang diperoleh dari estimasi secara linier. Dalam paper ini neuron23 Disadur dari : McNelis, Paul D. Money Demand, Finacial Distress, and Monetary Policy in Indonesia. Georgetown University, Department of Economics, April 1998. Unpublished research paper. 126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 neuron input adalah masing-masing ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui estimasi linier, yaitu eskpektasi inflasi karena: (1) inertia, (2) ekspektasi kurs Rp/USD, dan (3) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, untuk ekspektasi yang terbentuk secara backward looking. Untuk input neuron yang berasal dari ekspektasi inflasi yang terbentuk secara forward looking adalah ekpektasi inflasi di pasar keuangan dan di pasar valas. Sehingga, terdapat lima input neuron dalam desain neural network. • Neuron-neuron input diatas selanjutnya dimasukkan kedalam hidden neuron dimana terjadi transformasi logsismoid. Transformasi ini dimungkinkan oleh proses logistic squashing untuk membentuk fungsi logsismoid sebagaimana yang diilustrasikan diatas. • Setelah melalui proses transformasi, neuron input kemudian dikombinasikan dengan neuron output, yaitu unweighted average dari input-input neuron. Dalam pengkombinasian ini berlangsung proses backpropagation learning, yaitu proses belajar untuk menghasilkan persamaan dengan error terendah. Secara ekonomis proses belajar tersebut mengakomodir perilaku “Sargeant’s economic agent” yang dalam pilihan-pilihan perilakunya terikat oleh bounded rationality 24 . Langkah-langkah dalam proses backpropagation learning tersebut adalah sebagai berikut25 : ⇒ Penentuan bobot awal dengan mengambil suatu sampel test set yang memberi gambaran mengenai karakteristik awal hubungan antara neuron input dan output. ⇒ Melakukan training terhadap seluruh observasi sampai tercapai error terendah. ⇒ Melakukan pembobotan ulang berdasarkan bobot-bobot yang diperoleh dari training. ⇒ Menguji fitness dari persamaan. 24 Sargent, Thomas J. Bounded Rationality in Macroeconomics. Oxford University Press, New York, 1993. 25 Diproses dengan software NeuroShell 1.1. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 1 FUNDAMENTAL EKONOMI, CONTAGION EFFECT DAN KRISIS ASIA Endy Dwi Tjahjono* ) Tujuan dari paper ini meneliti faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya krisis Asia saat ini. Ada 2 faktor yang dibahas dalam paper ini, yaitu faktor fundamental ekonomi dan efek penularan (contagion effect). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan negara yang tidak terkena krisis. Perbedaan tersebut terutama terletak pada perilaku defisit transaksi berjalan, pinjaman luar negeri, financial account, cadangan devisa, perbankan, dan kegiatan ekspor-impor. Untuk memperkuat analisa kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut, dalam paper ini dicoba pendekatan ‘early warning system currency crisis’ yang dikembangkan oleh Kaminsky dan Reinhart. Hasilnya menunjukkan bahwa menjelang terjadinya krisis mata uang terjadi gejala overheating di kawasan Asia. Namun, pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi terjadinya krisis di Indonesia, serta terjadi banyak ‘bad-signal’ pada beberapa negara yang tidak terkena krisis, seperti Singapore dan Hongkong. Selanjutnya diteliti juga peranan dari contagion effect dalam menimbulkan krisis. Hasil pengujian membuktikan bahwa terjadinya suatu serangan mata uang di suatu negara secara signifikan mempengaruhi pelaku pasar untuk melakukan serangan pada mata uang negara lain. Dengan kata lain, contagion effect memegang peranan sebagai pemicu terjadinya krisis yang dialami negara-negara Asia saat ini. Hasil penelitian ini menggaris bawahi perlunya dilakukan kerja sama yang lebih erat antar negaranegara Asia dalam melakukan regional surveillance. Tujuan dari regional surveillance ini adalah untuk mendeteksi secara dini kemungkinan terjadi krisis di suatu negara dan mencegah terjadinya contagion effect. * ) Endy Dwi Tjahjono: Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, BI, email : [email protected] Penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai komentar dan tanggapan dari para peneliti di Bagian SEI-UREM BI, termasuk Sdr. Sjamsul Arifin, Ny. Hendy S., Sdr. Doddy Budi Waluyo, Sdr. Benny Siswanto dan Ny. Yati Kurniati. Penulis juga mendapatkan bantuan penyediaan data dari Sdr. Harmantha dan Sdr. Deddy Irianto. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 2 Pendahuluan Latar Belakang P ada bulan Juli 1997, perekonomian Thailand mengalami kesulitan sebagai dampak dari semakin membesarnya defisit transaksi berjalan selama 5 tahun terakhir. Kondisi ini semakin diperberat oleh memburuknya kinerja perbankan Thailand akibat dililit kredit macet yang semakin besar. Sebagai akibatnya, timbul krisis ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Baht terhadap USD, capital outflows, dan krisis cadangan devisa. Dalam waktu yang singkat, krisis ini ternyata merembet ke negara-negara ASEAN lainnya, terutama Philippines, Malaysia, dan Indonesia. Sementara untuk negara industri baru, yang dikenal dengan NIEs, walaupun mengalami serangan yang sama, ternyata dampaknya berbeda. Korea adalah negara NIEs yang paling parah terkena krisis. Sementara, negara NIEs lainnya, seperti Hongkong, Taiwan, dan Singapore, walaupun mengalami depresiasi dan harga sahamnya sempat jatuh namun tidak sampai mengalami krisis yang berkepanjangan. Dalam menyikapi krisis keuangan tersebut, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa krisis diakibatkan oleh tekanan dari para pelaku pasar keuangan internasional (spekulan). Sebagian yang lain menyatakan bahwa krisis lebih disebabkan oleh fundamental ekonomi yang buruk. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman krisis saat ini, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mendorong timbulnya krisis, agar kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari. Tujuan dan Metodologi Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengukur seberapa besar kontribusi dari sentimen pasar dan fundamental ekonomi dalam memicu terjadinya krisis mata uang. Pembahasan difokuskan pada negara-negara kawasan Asia, khususnya negara ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand), negara-negara NIEs (Singapore, Korea, Taiwan, dan Hongkong), dan Jepang menjelang dan selama terjadi krisis. Negaranegara tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu negara yang terkena krisis dan negara yang tidak terkena krisis. Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila nilai tukar riilnya (REER) mengalami perubahan yang sangat besar. Sebagai pembatas, dalam paper ini digunakan rata-rata perubahan ditambah 3 standar deviasi. Disamping itu, negara yang mengalami krisis mata uang umumnya ditandai dengan adanya perubahan kebijakan mengenai sistem penetapan nilai tukar. Dari data REER bulanan yang dihitung oleh J.P. Morgan selama 1970 - 1997 dengan indeks 1990=100 maka dapat disimpulkan bahwa negara- Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 3 negara yang terkena krisis meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philippines, dan Korea. Negara yang tidak terkena krisis meliputi Singapore, Taiwan, Hongkong, dan Jepang. Tabel 1 KLASIFIKASI EMERGING MARKET ASIA NEGARA PERUBAHAN REER ( % ) PERUBAHAN KEBIJAKAN rata-rata st. deviasi perubahan 1997 NILAI TUKAR NEGARA DALAM KRISIS THAILAND 0,60 7,00 -31,00 INDONESIA -0,30 12,50 -41,50 MALAYSIA -0,85 6,34 -24,00 PHILIPPINES 1,87 8,50 -25,00 KOREA -1,70 8,00 -33,00 -0,20 0,39 0,24 1,00 7,50 5,00 6,90 9,49 -3,30 12,00 -0,22 -0,80 NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN JEPANG Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free floating (Juli 97) Mula-mula band intervensi diperlonggar dan akhirnya diubah dari managed floating menjadi free floating (Ags 97) Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free floating (Juli 97) Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free floating (Juli 97) Mula-mula band nilai tukar diperlonggar dan akhirnya diubah dari managed floating menjadi free floating (Des 97) tidak tidak tidak tidak ada perubahan ada perubahan ada perubahan ada perubahan Catatan : angka positip berarti mengalami overvalue, sebaliknya angka negatip mengalami undervalue. Pembahasan diawali dengan mempelajari kondisi fundamental ekonomi, dengan menekankan pada perbedaan kondisi ekonomi negara-negara yang terkena krisis dengan negara-negara yang tidak terkena krisis. Untuk memperkuat analisis data, kondisi fundamental ekonomi negara-negera tersebut juga dievaluasi dengan menggunakan sistem deteksi dini yang dikembangkan oleh Kaminsky dkk. Pembahasan dilanjutkan dengan menyusun model probit untuk mengukur besarnya kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion dalam menimbulkan krisis mata uang yang terjadi saat ini. Paper diakhiri dengan Implikasi kebijakan. 4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Metodologi Penelitian Mempelajari Kondisi Fundamental Ekonomi 8 Emerging Market Asia ———————————————————————————————————1.Analisis Data Tujuan : mempelajari soundness dari fundamental ekonomi 8 negara tersebut. 2. Menerapkan early warning system Kaminsky : a. Mengumpulkan data-data 9 variabel ekonomi yang digunakan sebagai leading indikator oleh Kaminsky. Periode 1990 - 1996. b. Menghitung rata-rata dan standar deviasi selama masa tenang (1990 - 1994) dari tiap indikator untuk masing-masing negara. c . Menetapkan batas atas (=X + 3 s) dan batas bawah (=X - 3 s). d. Memisahkan batas kontrol yang tidak relevan terhadap terjadinya krisis, seperti batas atas untuk ekspor dan cadangan devisa. e . Menghitung signal yang dikeluarkan tiap indikator. Indikator dikatakan mengeluarkan signal apabila nilai indikator tersebut lebih besar dari batas atas atau lebih kecil dari batas bawah. . f Menganalisa signal-signal tersebut untuk mengetahui kondisi fundamental ekonomi masing-masing negara. Mengembangkan model probit untuk mengukur kontribusi dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pelaku pasar melakukan serangan atau tidak. A Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia A Mengubah Kondisi Fundamental Ekonomi Suatu Negara Menjadi Besaran Kuantitatif a Menetapkan leading indikator yang dapat menunjukkan ‘soundness’ dari kondisi fundamental ekonomi suatu negara, dalam kaitannya dengan resiko krisis mata uang. b. Menetapkan bobot dari masing-masing indikator. c . Membagi suatu indikator menjadi 4 golongan resiko dan menetapkan range nilai dari masing-masing golongan resiko. Untuk setiap golongan resiko diberikan angka kredit tersendiri. d. Mengelompokkan data perkembangan ekonomi suatu negara sesuai dengan tingkat resikonya. e . Menghitung total angka kredit dengan menggunakan bobot dari masingmasing indikator. Menyelesaikan model probit dengan menggunakan maksimum likelihood untuk menghitung kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion effect. selesai 5 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Faktor Fundamental Ekonomi Faktor fundamental ekonomi merupakan faktor kunci dalam kaitan dengan krisis mata uang. Para ahli sendiri dalam menyusun teori krisis mata uang mula-mula menduga fundamental ekonomi sebagai satu-satunya penyebab terjadinya krisis. Teori ini, dikenal sebagai teori generasi pertama, diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 dengan mengatakan bahwa krisis mata uang disebabkan oleh fundamental ekonomi yang memburuk. Setelah dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti lainnya, penelitian sampai pada generasi kedua dengan ‘self-fulfilling crises’ yang mengatakan bahwa krisis dapat muncul (pada negara yang fundamentalnya baik) apabila pengambil keputusan merasa biaya untuk mempertahankan nilai tukar jauh lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh. Teori terakhir, generasi ketiga, dikenal sebagai contagion effect theory. Teori ini mengatakan krisis dapat menular dari negara satu ke negara lainnya melalui hubungan perdagangan (trade link) ataupun kesamaan fundamental ekonomi. Analisis Data Krisis mata uang yang melanda negara-negara ASEAN-4 + Korea bagaimanapun juga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut yang menyimpan resiko terjadinya krisis. Untuk itu, perlu dilakukan analisis data, terutama terhadap beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan resiko krisis mata uang seperti current account balance, pinjaman luar negeri, dan tingkat kesehatan perbankan. 1. Current Account Balance Perkembangan transaksi berjalan suatu negara perlu diwaspadai dengan cermat, karena defisit transaksi berjalan yang berlangsung dalam jangka panjang dapat menekan cadangan devisa. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan sering kali dipandang sebagai signal ketidak-seimbangan makroekonomi yang memerlukan tindakan penyesuaian nilai tukar atau kebijakan makroekonomi yang lebih ketat. Negara-negara yang mengalami krisis ternyata semuanya mengalami defisit transaksi berjalan, sebaliknya negara yang tidak terkena krisis mengalami surplus. Besarnya defisit tersebut pada tahun 1995 berkisar dari yang terberat sebesar 8,43 % PDB untuk Malaysia sampai yang paling rendah sebesar 1,81 % PDB untuk Korea. Indonesia sendiri mengalami defisit sebesar 3,33 % PDB, suatu jumlah yang melebihi batas maksimum yang direkomendasi IMF sebesar 2 % PDB. Walaupun angka-angka diatas merupakan data tahun 1995, namun sebenarnya defisit transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang mengalami krisis tersebut sudah berlangsung sejak lama. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 7 Tabel 2 PROFILE NERACA PEMBAYARAN TAHUN 1995 dalam USD juta CURRENT ACCOUNT INVESTASI PORTFOLIO NEGARA (juta USD) % PDB 1 2 3 4 OTHER CADANGAN DEVISA INVESTMENT (juta USD) 6 7 5 NEGARA DALAM KRISIS THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA -13.554 -6.620 -7.362 -1.980 -8.251 -8,2 -3,3 -8,6 -2,7 -1,8 1.182 7.100 4.342 1.079 -1.753 4.081 1.700 -1.649 1.190 10.825 16.645 2.500 -1.405 3.040 8.149 24.206 16.000 15.994 4.287 21.983 NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN JEPANG 15.093 1.030 5.474 100.925 17,7 0,7 2,1 2,2 3.006 -19.296 -1.424 -20.648 -7.127 24.108 493 -29.902 -2.750 6.415 -7.259 -8.342 46.213 55.400 60.754 182.820 Sumber : Annual report 1996 HKMA untuk Hongk ong, CEIC untuk Taiwan; Laporan Tahunan BI tahun 1995/96 untuk Indonesia; IFS Yearbook 1997 untuk negara lainnya. Gra fik 1 Pe rke m ba nga n Curre nt Account Ba la nce US$ Ju ta 20000 Sin g ap u r a 15000 T aiw an 10000 Ho n gk o n g 5000 0 M alays ia -5000 -10000 T h ailan d -15000 In d o n e s ia -20000 Ph ilip in a Ko r e a -25000 1991 1992 1993 1994 1995 1996 Defisit transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang terkena krisis paling tidak telah berlangsung sejak 1991 yang terus berakumulasi dari tahun ke tahun. Bahkan Korea selama 3 tahun terakhir mengalami penurunan transaksi berjalan yang sangat tajam. Sementara, negara-negara yang terkena krisis lainnya, seperti Thailand dan Indonesia juga mengalami defisit yang semakin meningkat, walaupun tidak setajam Korea. 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Aspek Pembiayaan Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung secara persistent tersebut harus dapat dibiayai dari capital inflows agar tidak mengganggu cadangan devisa. Capital inflows dapat berupa Foreign Direct Investment (FDI), portfolio, ataupun pinjaman luar negeri (baik oleh Pemerintah maupun swasta). Pembiayaan defisit transaksi berjalan melalui FDI dipandang sebagai langkah yang paling aman dalam membiayai pembangunan, karena dana tersebut biasanya digunakan untuk kepemilikan dan kontrol atas pembangunan pabrik, peralatan, dan prasarana. Dengan demikian FDI tersebut meningkatkan kapasitas pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sementara capital inflows dalam bentuk pinjaman memungkinkan untuk digunakan membeli barang-barang konsumsi, bukan untuk barang investasi. Disamping itu, capital inflows melalui FDI bersifat tidak lancar, sehingga investor tidak dapat menarik dananya dengan segera. Hal ini berbeda dengan capital flows dalam bentuk portfolio yang dapat ditarik secara mendadak dan dalam jumlah besar. Dalam prakteknya, negara-negara yang terkena krisis ternyata lebih menggantungkan diri pada dana-dana jangka pendek melalui portfolio dan other investment (transfer langsung antar penduduk/perusahaan). Dana jangka pendek yang masuk pada tahun 1995 mencapai 2-3 kali lebih besar dari defisit transaksi berjalan. Dengan demikian jelas bahwa negaranegara yang terkena krisis tersebut sangat rentan terhadap krisis mata uang akibat defisit transaksi berjalan yang semakin membesar dan ketergantungan yang tinggi kepada danadana jangka pendek. Sementara itu, resiko terjadinya krisis mata uang tersebut ternyata dikover oleh cadangan devisa yang relatif kecil, yakni kurang dari USD 25 milyar. Sebaliknya, negaranegara yang tidak terkena krisis, dimana transaksi berjalannya mengalami surplus, justru Tabel 3 PROFILE PINJAMAN LUAR NEGERI 1997 TOTAL PINJAMAN NEGARA NEGARA DALAM KRISIS THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA JANGKA PENDEK *) PEMBAYARAN BUNGA ( JUTA USD) ( % gdp ) ( % Cad.Dev) ( % EKSPOR) 98368 127957 40053 56189 125152 58 53 38 62 24 164 181 76 196 360 4 12 2 6 4 33 - 2 - NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN 45447 15 JEPANG Sumber : Morgan, Emerging Markets : Economics Indicators, Oktober 1997 *) termasuk amortisasi pembayaran Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 9 memiliki cadangan devisa yang sangat besar. Disamping tergantung dengan dana jangka pendek melalui portfolio, negara-negara yang mengalami krisis juga menggantungkan diri pada utang luar negeri. Total pinjaman luar negeri negara-negara yang mengalami krisis ternyata sangat besar, yakni berkisar dari 24 % GDP (Korea) sampai 62 % GDP (Philippines). Sementara, dari negara-negara yang tidak terkena krisis, Taiwan mempunyai utang luar negeri sebesar 15 % GDP (Tabel 3). Dari jumlah pinjaman luar negeri yang sangat besar tersebut, sebagian besar ternyata berupa utang jangka pendek. Jika dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang dimiliki, pinjaman jangka pendek dari negara-negara yang terkena krisis besarnya mencapai 2 - 3 kali lipat dari cadangan devisanya, kecuali Malaysia yang ‘hanya’ sebesar 76 %. Aspek Perdagangan Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian dunia menuju global market, serta perkembangan di pasar keuangan yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan dunia, muncul pandangan baru mengenai defisit transaksi berjalan. Pandangan baru menyatakan bahwa dalam kondisi free capital mobility, current account imbalances merupakan suatu hal yang wajar sebagai hasil dari aliran modal menuju tempat-tempat yang paling produktif. Negara-negara yang memiliki kesempatan investasi dalam negeri yang relatif lebih menguntungkan akan mengalami defisit transaksi berjalan karena kesempatan tersebut akan dimanfaatkan sepenuhnya, baik dengan menggunakan dana investasi dalam negeri ataupun memanfaatkan dana-dana luar negeri untuk memperkuat dana investasi dalam negeri. Berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang dialami oleh negara-negara yang terkena krisis, apakah defisit tersebut mencerminkan macroeconomic imbalances yang membutuhkan kebijakan penyesuaian kurs ataukah akibat kesempatan investasi yang lebih baik ? Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung sejak lama pada negara-negara yang mengalami krisis ternyata disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang tidak sebanding dengan pertumbuhan impornya. Walaupun kegiatan ekspor semakin meningkat namun kegiatan impornya jauh lebih tinggi lagi. Tingginya kegiatan impor ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu pesatnya kegiatan investasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingginya kandungan barang impor pada produk-produk lokal. Selama periode 1991 - 1996, ekspor Indonesia menunjukkan kinerja yang paling buruk. Dari segi pertumbuhannya, ekspor Indonesia menunjukkan angka pertumbuhan yang terendah setelah Taiwan. Bahkan apabila diukur dengan kontribusinya terhadap PDB, maka ekspor Indonesia mengalami penurunan dari 25 % (1991) menjadi 22 % (1997). Hal ini 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 mengindikasikan bahwa kegiatan investasi yang dilakukan selama ini dengan banyak mengimpor barang modal ternyata lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri, bukan untuk kegiatan ekspor. Hal itulah yang menyebabkan defisit yang semakin besar. Sementara kegiatan ekspor tidak banyak berkembang karena masih mengandalkan pada produk-produk ekspor tradisional, seperti tekstil, sepatu, palm oil, dsb. Akibatnya ekspor kita selama ini pertumbuhannya sangat rendah karena produk-produk tersebut nilai tambahnya sangat kecil dan kurang elastis terhadap harga. Sementara itu, saingan bertambah banyak dengan reformasi ekonomi yang dijalankan negara-negara sosialis/eks sosialis, seperti China, Vietnam, Khazastan, dsb. Diantara negara ASEAN-4, Malaysia menunjukkan kinerja ekspor yang paling mengesankan. Kegiatan ekspornya pada tahun 1997 telah mencapai angka 80 % PDB dimana angka ini hanya kalah oleh ekspor Singapore dan Hongkong. Kebalikan dari Indonesia, investasi yang tinggi di Malaysia tampaknya benar-benar diarahkan untuk kegiatan ekspor. Hal ini terbukti dari pertumbuhan ekspornya yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonominya. Tabel 4 PERKEMBANGAN EKSPOR 1991 - 1996 EKSPOR 1991 NEGARA EKSPOR 1996 USD Juta % PDB USD Juta % PDB NEGARA DALAM KRISIS THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA 28.428 29.142 34.349 8.767 73.982 29 25 71 19 34 55.721 49.814 78.246 20.417 133.619 30 22 80 24 34 NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN JEPANG 59.025 98.577 76.115 338.201 135 115 42 9 125.014 180.745 115.726 385.679 133 117 42 9 Sumber : CEIC, IFS Year Book 1997 Prospek defisit transaksi berjalan negara-negara yang terkena krisis di masa mendatang dapat diprediksi dari komposisi impornya. Dilihat dari pengguna akhirnya (end-user), barang impor dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu barang konsumsi, bahan baku dan barang setengah jadi, dan barang modal. Impor barang konsumsi memiliki Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 11 kecenderungan untuk memperbesar defisit, karena volumenya terus meningkat sebanding dengan pertambahan penduduk. Sebaliknya, dalam jangka panjang impor barang modal dapat menurunkan defisit, terutama apabila dapat menghasilkan barang-barang ekspor. Sementara itu, impor bahan baku dan barang setengah jadi dapat memperbesar atau memperkecil defisit, tergantung kepada penggunaannya, yaitu untuk memproduksi barang ekspor atau barang-barang yang dikonsumsi didalam negeri. Berdasarkan data impor tahun 1990 - 1996, defisit transaksi berjalan negara-negara yang terkena krisis masih akan berlangsung terus, karena komposisi impornya tidak banyak berubah. Bahkan untuk Indonesia sendiri, komposisi barang modal mengalami penurunan (dari 28 % menjadi 22%), sebaliknya barang konsumsi mengalami kenaikan (dari 4 % menjadi 7 %). Negara-negara lain, seperti Thailand dan Malaysia, impor barang modal justru mengalami kenaikan yang tajam (dari 48 % menjadi 56%). Untuk jelasnya, lihat gambar dibawah ini. Untuk negara-negara yang tidak terkena krisis, pada umumnya impor barang modal mengalami kenaikan dan impor barang konsumsi mengalami penurunan. G RAFIK 2 P ERKEM BANG AN KOM P O S IS I IM P O R 1990 - 1996 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% TH A I IN D . MAL P H IL KOR S IN G 96 90 96 90 96 90 96 90 96 90 96 90 96 90 96 90 0% H O N G TW N B A RA NG MO DA L B A HA N B A K U K O NS UMS I 2. Kinerja Perbankan Goldfajn dan Valdes1 dalam penelitiannya menemukan keterkaitan antara krisis perbankan dengan krisis mata uang. Perbankan berfungsi sebagai lembaga intermediasi 1 Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, ‘Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity’ , IMF Working Paper No. WP/97/87, July 1997. 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 yang mentransformasikan/merubah aset tidak lancar menjadi aset lancar dan berjangka pendek. Pada satu sisi, tawaran aset yang lancar dan berjangka pendek ini sangat menarik perhatian investor asing sehingga perbankan dapat menarik capital inflows dalam jumlah besar. Namun disisi lain, pada saat terjadi shock ekonomi, intermediasi dapat menyebabkan terjadinya capital outflows dalam jumlah besar dan mendadak, sehingga perbankan tidak mampu memenuhi kewajibannya akibat asetnya sebagian besar tidak lancar. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan yang diikuti oleh krisis mata uang. Padahal apabila tidak ada jasa intermediasi perbankan, shock ekonomi tersebut belum tentu dapat menyebabkan terjadinya krisis. Penelitian yang dilakukan para peneliti yang lain, seperti Eichengreen, Rose, dan Wyplosz2 dan Kaminsky-Reinhart3 , menyimpulkan bahwa sebelum terjadi krisis mata uang biasanya didahului oleh aktivitas perbankan yang meningkat tajam dan segera menurun drastis setelah terjadi krisis. Peningkatan aktivitas perbankan tersebut ditandai oleh : a) Peningkatan capital flows. b) Peningkatan M2 Multiplier yang meningkat 20 % lebih tinggi dari masa-masa tenang. c) Pertumbuhan rasio domestik kredit/GDP yang meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada saat terjadi krisis (rata-rata mencapai 15 % lebih tinggi dari masa tenang). Hasil-hasil penelitian para ahli tersebut ternyata terbukti pada saat terjadi krisis di Asia baru-baru ini. Tabel 5 AKTIVITAS PERBANKAN 1995 - 1996 PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN NEGARA CAMPUR TANGAN KREDIT PADA KREDIT PROPERTI KREDIT M2 NEGARA DALAM KRISIS THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA GOV'T PADA KREDIT *) KELOMPOK *) ( % Total Kredit ) 88,60% 22,70% 29,50% 40,30% 17,40% 12,90% 29,60% 21,40% n.a. 17,80% BEBERAPA BANYAK BEBERAPA BEBERAPA BANYAK BANYAK BANYAK BEBERAPA BEBERAPA BANYAK 13,79 17,87 31,45 19,00 12,10 NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN JEPANG 17,30% 13,94% n.a. 0,45% 9,80% 9,30% 8,40% 3,16% n.a. TIDAK ADA n.a. n.a. n.a. TIDAK ADA n.a. n.a. 32,15 19,45 48,18 12,49 *) sumber : The Banker, Asian Meltdown , Desember 1997 ; data lainnya dari IFS Year Book 1997 dan CEIC. 2. Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, ‘Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates: An Empirical Investigation,’ NBER Working Paper No. 4898, 1994. 3. Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, ‘The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance of Payments Problems’, International Finance Discussion paper, 1996 Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 13 Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aktivitas perbankan negara-negara yang terkena krisis selama 1995-1996 telah meningkat dengan tajam. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan pemberian kredit dan pertumbuhan M2. Berkaitan dengan independensi perbankan dalam pemberian kredit, menurut hasil penelitian the Banker menyimpulkan bahwa sistem perbankan di negara-negara yang terkena krisis pada umumnya memiliki kualitas aset yang relatif kurang sehat dan beresiko tinggi akibat banyaknya campur tangan Pemerintah dalam pemberian kredit perbankan, serta tingginya konsentrasi kredit pada kelompok/group tertentu/terkait dengan bank. Disamping itu, selama 5 tahun terakhir, sebagai akibat dari pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi menyebabkan sistem perbankan semakin mudah mendapatkan sumber dana alternatif dari pasar luar negeri. Sebagai akibatnya, rasio antara foreign asset dan foreign liabilities menjadi tidak seimbang. Terutama bank-bank Thailand yang paling aktif melakukan pinjaman luar negeri, disamping Malaysia dan Indonesia sendiri. Tabel 6 PERKEMBANGAN RASIO FOREIGN LIABILITIES / FOREIGN ASSET PERBANKAN NEGARA 80 85 90 91 92 93 94 95 96 NEGARA DALAM KRISIS THAILAND INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA 1,49 0,57 1,49 2,23 1,53 1,36 0,67 2,12 1,16 2,75 1,95 1,16 1,22 0,61 1,07 1,71 1,04 2,14 0,52 1,29 2,16 1,25 3,56 0,64 1,14 2,24 1,62 3,00 0,61 0,91 4,61 1,83 1,61 0,77 1,01 4,93 1,79 1,54 1,00 1,13 6,94 1,69 n.a. 1,75 1,27 NEGARA TIDAK KRISIS SINGAPORE HONGKONG TAIWAN JEPANG 1,22 n.a. n.a. 0,25 1,34 0,99 n.a. 0,18 0,99 1,02 n.a. 0,11 0,95 1,01 n.a. 0,09 0,94 1,01 n.a. 0,08 1,02 1,01 n.a. 0,21 1,05 1,02 1,30 0,25 1,20 1,00 1,50 0,23 1,28 1,00 1,10 0,26 Sumber : CEIC untuk Hongk ong dan Taiwan, Laporan Tahunan BI untuk Indonesia, dan IFS Year book 1997 untuk negara lainnya. Kondisi perbankan yang sangat rapuh tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya krisis. IMF sendiri sudah lama mengamati keterkaitan antara krisis perbankan dengan krisis mata uang dan krisis ekonomi. Hasil penelitian IMF 4 menyimpulkan bahwa krisis mata uang yang diikuti/diawali dengan krisis perbankan akan memberikan dampak yang sangat besar kepada perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk recovery rata-rata mencapai dua kali lebih panjang dari currency crises, serta penurunan output sebesar 14,4 persen dari pertumbuhan normal (apabila hanya mengalami currency crises, penurunan output rata-rata mencapai 4,3 persen). 4 IMF : World Economic Outlook- Prospects and Policy Issues, March 1998. 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Kondisi Fundamental Ekonomi Menurut Leading Indicators Kaminsky Dengan mempelajari bukti-bukti empiris menjelang terjadinya krisis mata uang, Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart 5 telah menyusun Sistem Deteksi Dini Krisis Mata Uang berdasarkan beberapa indikator. Mengingat indikator-indikator yang digunakan merupakan variabel-variabel fundamental ekonomi maka metode ini dapat dipakai untuk menilai kondisi fundamental ekonomi suatu negara. Indikator Yang digunakan Dari 12 indikator yang diusulkan oleh Kaminsky (12 indikator ini terbukti menunjukkan kinerja yang baik sebagai indikator krisis mata uang), paper ini menggunakan 9 indikator. Tiga indikator yang tidak digunakan adalah Excess M1 balance, terms of trade, dan Real Interst Differential. Excess M1 balance dan terms of trade tidak digunakan karena kesulitan data, sedang interest differential dikarenakan variabel ini sudah terwakili oleh real interest rate. Indikator -indikator yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut. 1. Real Effective Exchange Rate REER merupakan salah satu variabel yang sering dipakai untuk menunjukkan daya saing produk di pasar internasional. REER menunjukkan kondisi nilai tukar apakah under valued atau overvalued. Pada REER diatas 100 berarti terjadi overvalued, yang berarti memperlemah daya saing produk ekspor, dan dibawah 100 berarti nilai tukar undervalued. Oleh karena itu, nilai REER yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi memberikan efek yang tidak baik (batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas). Golfajn dan Valdes6 memperkirakan variabel ini bersifat ‘summary variable’ dan memiliki predictive power dalam memprediksi krisis. 2. Pertumbuhan ekspor Kegiatan ekspor sangat penting bagi suatu negara dalam rangka mendapatkan devisa. Penurunan laju pertumbuhan ekspor menyebabkan transaksi berjalan semakin memburuk. Sebaliknya, laju pertumbuhan ekspor yang tinggi akan menghasilkan hard currency yang dapat memperkuat cadangan devisa, namun mengakibatkan apresiasi domestic currency, menambah uang beredar melalui NFA, dan mendorong inflasi. Dalam kaitannya dengan krisis, pertumbuhan ekspor yang tinggi dapat mencegah terjadinya krisis (batas atas tidak digunakan sebagai ambang batas). 5 Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Working Paper No. WP/97/79, 1997. 6 Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ? , IMF Working Paper No. WP/97/159, IMF. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 3. 15 Harga Saham Perkembangan harga saham dapat menunjukkan kondisi perekonomian suatu negara. Kecenderungan kenaikan harga saham dalam jangka panjang menunjukkan perekonomian sedang tumbuh dengan pesat, sebaliknya jatuhnya harga saham mengindikasikan perekonomian sedang mengalami kelesuan. Walaupun kenaikan harga saham bersifat positip bagi perekonomian, namun pertumbuhan yang terlalu tajam perlu diwaspadai, karena ada kemungkinan terjadi overheating. Dalam jangka pendek harga saham dapat berfluktuasi, karena pasar saham bersifat substitute bagi sistem perbankan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas. 4. M2/Reserve Rasio M2/reserve menunjukkan kemampuan cadangan devisa dalam menghadapi serangan terhadap mata uang domestik. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin lemah kemampuan cadangan devisa. Jadi, batas bawah tidak digunakan sebagai ambang batas. 5. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan perekonomian sedang tumbuh dengan pesat, namun pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan terjadi overheating. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ataupun negatif menunjukkan perekonomian mengalami kelesuan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas. 6. Pertumbuhan reserve Cadangan devisa sangat vital bagi kelangsungan hidup negara, terutama untuk keperluan impor, pembayaran utang, ataupun menghadapi serangan para spekulan. Tanpa ditopang oleh cadangan devisa yang kuat, perekonomian suatu negara dapat runtuh dalam seketika. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan cadangan devisa yang tinggi, dalam kaitannya dengan krisis bersifat positip, sehingga batas atas tidak digunakan sebagai ambang batas. 7. Multiplier M2 Multiplier M2 merupakan rasio antara uang beredar dalam arti luas (M2) dengan uang primer yang ada di bank sentral. Angka multiplier M2 yang besar menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian berjalan dengan cepat karena uang primer yang keluar dari bank sentral dengan cepat mengalami penggandaan (multiplier) oleh BPUG. Sebaliknya, angka multiplier M2 yang kecil menunjukkan kegiatan perbankan sedang mengalami kelesuan. Angka multiplier M2 yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 ada kemungkinan sistem perbankan over ekspansif yang dapat menyebabkan kejatuhan bank-bank dan mendorong timbulnya krisis. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas. 8. Kredit/GDP Rasio kredit domestik terhadap GDP menunjukkan seberapa besar aktivitas perkreditan. Volume kredit yang tinggi menunjukan kegiatan investasi berkembang dengan baik, dan hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sedang tumbuh pesat. Namun demikian, pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan kebangkrutan bank-bank (banking failure). Sebaliknya, aktivitas perkreditan yang rendah mengindikasikan perekonomian sedang melemah. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas. 9. Real Interest Rate Suku bunga riil sebaiknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Suku bunga riil yang terlalu tinggi menghambat kegiatan investasi dan mendorong capital inflows, sedang suku bunga riil yang terlalu rendah tidak mendorong masyarakat untuk menabung di bank. Indikator dikatakan mengeluarkan signal apabila nilainya melebihi ambang batas yang telah ditetapkan. Semakin banyak signal yang dikeluarkan berarti semakin besar kemungkinan terjadi krisis. Penetapan ambang batas didasarkan atas nilai rata-rata dan standar deviasi dari setiap indikator selama masa tenang (tranquil time). Hasil Pengujian Data yang digunakan adalah data triwulanan antara tahun 1990 - 1997, yang terbagi menjadi ‘masa tenang’ (meliputi periode 1990 - 1994) dan ‘menjelang krisis’ (periode 1995 1996). Dengan menggunakan tiga standar deviasi, yang berarti tingkat kepercayaan signal tersebut mencapai 99 %, ternyata diantara 8 negara tersebut, Singapore dan Philippines mengeluarkan signal yang paling banyak pada saat menjelang krisis (1995-96), yaitu sebanyak 23 kali, yang diikuti oleh Malaysia (12), Hongkong(12), dan Taiwan(12). Sedangkan pada saat kondisi normal, paling banyak ada 1 atau 2 signal. Hasil ini mengindikasikan bahwa menjelang krisis, fundamental ekonomi sebagian besar negara-negara tersebut semakin memburuk. Namun demikian, kondisi fundamental ekonomi yang memburuk tersebut berlaku tidak saja terhadap negara yang mengalami krisis, namun juga terjadi pada negara yang tidak mengalami krisis. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 17 Dilihat dari indikator yang mengeluarkan signal, menjelang krisis ( 2 tahun sebelum krisis terjadi), sebagian besar negara ASEAN-4 dan NIEs mengalami peningkatan pertumbuhan kredit dan multiplier M2 secara tajam (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi gajala overheating pada negara-negara tersebut. Indikasi ini diperkuat oleh harga saham yang juga melonjak tinggi, terutama di beberapa negara, seperti Philippines, Singapore, dan Hongkong. Tabel 7 JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN µ ± 2.σ NEG ARA µ ± 3.σ M AS A M ENJELANG M AS A M ENJELANG TENANG KRIS IS TENANG KRIS IS NEG ARA DALAM KRIS IS TH A ILA N D IN D O N E S IA M A LA Y S IA P H ILIP P IN E S K O RE A 3,6 2 3,6 7,2 5,4 22 10 21 30 13 0,8 0 0,4 1,6 0,8 9 0 12 23 3 NEG ARA TIDAK KRIS IS S IN G A P O R E HO NGK ONG TA IW A N JE P A N G 5,2 4 3,2 2 29 19 17 2,4 2,4 1,6 0,4 0 23 12 12 0 Untuk Indonesia, apabila menggunakan batas kontrol sebesar 3 kali standar deviasi (yang berarti tingkat kepercayaannya mencapai 99 %) maka baik selama masa tenang maupun menjelang krisis tidak ada signal yang keluar. Namun dengan menggunakan 2 standar deviasi (tingkat kepercayaan 95 %) ternyata ada 10 signal yang dikeluarkan menjelang krisis. Signal tersebut berasal dari lonjakan pemberian kredit, M2, dan REER. Hal ini mengindikasikan bahwa selama menjelang krisis Indonesia mengalami ekspansi ekonomi yang terlalu tinggi. Dibandingkan dengan selama masa tenang, jumlah signal yang dikeluarkan menjelang krisis mencapai 5 kali lebih banyak. Secara umum dapat dikatakan bahwa metode sistem deteksi dini yang dikembangkan oleh Kaminsky kurang berhasil mendeteksi krisis di kawasan Asia. Jumlah signal yang dikeluarkan oleh Singapore, Hongkong dan Taiwan ternyata lebih banyak dari Indonesia dan Korea, yang berarti menurut sistem tersebut fundamental Indonesia dan Korea lebih baik dari pada fundamental Singapore, Hongkong dan Taiwan. 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 8 JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN UNTUK INDONESIA µ ±σ INDIKATOR µ ± 2.σ µ ± 3.σ MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS REER D EKSPOR IHSG M2/RESERVE D OUTPUT D RESERVE 2 1,6 2,8 3,2 3,2 1,2 4 2 4 8 1 1 0,4 0 0 0,4 0,4 0,4 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 M2 MULTIPLIER CREDIT/GDP REAL INT. RATE 3,2 1,6 2 3 8 0 0 0,4 0 2 5 0 0 0 0 0 0 0 20,8 31 2 10 0 0 TOTAL Tabel 9 JUMLAH SIGNAL YANG DIKELUARKAN OLEH TIAP-TIAP INDIKATOR SELAMA 2 TAHUN *) THAILAND INDIKATOR INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES KOREA MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG MASA MENJELANG TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS TENANG KRISIS REER ∆ EKSPOR IHSG M2/RESERVE ∆ OUTPUT ∆ RESERVE 0 0 0,4 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0,4 0 0 0 4 0 3 0 0 0 0 0 0,8 0 0 0 0 0 1 0 0 0 M2 MULTIPLIER CREDIT/GDP REAL INT. RATE 0 0,4 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,4 5 6 0 1,2 0 0 8 8 0 0 0 0 1 0 1 TOTAL 0,8 9 0 0 0,4 12 1,6 23 0,8 3 Kegagalan tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemilihan leading indikator yang kurang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi kawasan Asia.7 Disamping itu, penggunaan sistem deteksi dini dalam meramalkan terjadinya krisis sangat diragukan keampuhannya, karena hasil dari sistem deteksi dini tersebut akan mempengaruhi perilaku 7 Kaminsky mendapatkan indikator-indikator tersebut dari analisisnya terhadap 25 negara yang pernah mengalami krisis selama 1970 - 1995. Meliputi 5 negara maju dan 15 negara berkembang. Selama periode tersebut terjadi 76 krisis mata uang dan 26 krisis perbankan. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 19 policy maker dan pelaku pasar, sehingga mengakibatkan indikator-indikator tersebut akan kehilangan daya prediksinya. Faktor Efek Penularan (Contagion Effect) Fenomena efek penularan saat ini merupakan suatu topik yang sedang hangat dibahas para ahli. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa efek penularan dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu karena ada hubungan dagang (trade links) dan kesamaan kondisi dan kebijakan makroekonomi. Gerlach dan Smets8 mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan mekanisme efek penularan melalui hubungan perdagangan. Didalam modelnya, serangan terhadap suatu mata uang menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat meningkatkan daya saing produknya. Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor bagi negara-negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya mengalami defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, dan pada akhirnya menghasilkan suatu serangan terhadap mata uangnya. Disamping memberikan efek penularan pada negara pesaingnya, krisis mata uang juga dapat memberikan efek penularan pada negara mitra dagangnya. Krisis yang melanda suatu negara mengakibatkan depresiasi, sehingga harga barang ekspornya menjadi turun. Bagi negara mitra dagangnya, hal ini berarti penurunan harga barang impor yang dapat mendorong penurunan tingkat inflasi dan permintaan uang beredar. Untuk melindungi mata uangnya, pelaku ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa yang dikuasai bank sentral. Dalam kondisi cadangan devisa yang menurun, krisis mata uang dapat timbul karena cadangan devisa tidak cukup kuat menyerap serangan spekulasi para pelaku pasar uang. Kesamaan kondisi makroekonomi juga dapat memunculkan efek penularan apabila salah satu negara mengalami krisis. Krisis yang diakibatkan oleh kesamaan makroekonomi ini pada umumnya dipicu oleh para pelaku pasar uang. Shiller9 pada tahun 1995 mengembangkan model untuk menjelaskan salah satu mekanisme efek penularan melalui kesamaan kondisi makroekonomi. Menurutnya, para pelaku pasar uang sebenarnya banyak menerima informasi yang sama (melalui alat komunikasi yang sama, seperti Reuter), sehingga suatu reaksi atas sepotong informasi yang baru dapat menyebar ke seluruh dunia dalam waktu yang singkat dan menyampaikan pesan pada pelaku pasar internasional untuk melakukan reaksi yang sama. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila respons yang ditempuh sebagian pelaku pasar mampu mengatasi keyakinan pasar dan merubah ekspektasi pasar. 8 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 11. 9 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 14. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 20 Jadi, serangan terhadap suatu mata uang dapat merangsang pelaku pasar internasional untuk melakukan langkah yang sama. Demikian pula sebaliknya, reaksi yang diambil pelaku pasar internasional dapat mendorong pelaku pasar lokal untuk melakukan langkah yang sama. Berkaitan dengan krisis yang saat ini sedang melanda Asia, walaupun fundamental ekonomi memegang peranan yang penting, sebagaimana tampak dari perbedaan fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan yang tidak terkena krisis, namun efek penularan diduga ikut berperan sebagai pemicu terjadinya krisis. Hal ini dapat dilihat dari tenggang waktu terjadinya serangan yang beruntun dalam waktu yang relatif sangat singkat, berturut-turut dari Thailand, Philippines, Malaysia, Indonesia, dan terakhir Korea. Sementara itu, serangan dari para pelaku pasar ini juga melanda negara-negara NIEs lainnya, namun serangan ini relatif dapat diredam dengan baik. Bentuk Model Probit Untuk membuktikan dugaan bahwa efek penularan ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya krisis, dalam paper ini digunakan model probit. Model probit banyak dipakai untuk data kualitatif yang mencerminkan suatu pilihan alternatif. Dalam model ini, model probit mencerminkan ada 2 alternatif bagi pelaku pasar uang, yaitu apakah akan melakukan serangan atau tidak, dengan mempertimbangkan data fundamental ekonomi dan data serangan pada mata uang lain. Untuk mentransformasikan alternatif pilihan dari bentuk kualitatif ke kuantitatif, model probit menggunakan fungsi distribusi normal kumulatif, sehingga nilainya berkisar dari 0 ke 1. Dengan kata lain, model probit tersebut menyatakan besarnya kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan. Bentuk umum model dapat dinotasikan : Yi,t = a0 + aiX i,t + bi Zi,t + e Yi,t Xi,t dimana = 1 apabila terjadi serangan pelaku pasar pada negara i pada periode t. = 0 apabila tidak. = Variabel yang mewakili Faktor Penularan, dengan nilai X i,t = 1 apabila ada negara lain yang mendapat serangan pelaku pasar pada periode t ( Yj,t =1,j≠ i) X i,t = 0 apabila tidak. Z i,t = Kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t. ai = Koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi efek penularan terhadap kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i. bi = koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi faktor fundamental terhadap Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 21 kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i. ε = variabel random dengan mean = 0. a0 = konstanta Variabel Zi,t diperoleh dengan menggunakan rumus berikut : Zi,t = S AKn,t .Bn n A dimana : Z i,t = kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t n = jumlah indikator A Kn,t = Angka Kredit dari indikator n pada periode t pada negara i. Bn bobot dari indikator n. = Untuk mengidentifikasi terjadinya serangan spekulasi dari pelaku pasar, dalam paper ini digunakan 3 indikator, yaitu perubahan nilai tukar nominal, perubahan suku bunga, dan perubahan cadangan devisa. Perubahan dari ketiga indikator tersebut diindek. Untuk menghindari salah satu indikator mendominasi indek, maka perubahan tiap-tiap indikator dibobot dengan menggunakan variance dari indikator lainnya. Untuk mengidentifikasi serangan digunakan pembatas 2 standar deviasi. Kuantifikasi Kondisi Fundamental Ekonomi Untuk mewakili/menggambarkan kondisi fundamental ekonomi, digunakan 10 indikator (variabel ekonomi) yang dianggap paling relevan bagi pelaku pasar dalam memutuskan untuk melakukan serangan atau tidak. Variabel-variabel ekonomi tersebut diperoleh dari hasil analisis data dan penelitian mengenai sistem deteksi dini krisis mata uang. Sesuai dengan hasil penelitian kaminsky dkk, ternyata setiap variabel ekonomi (indikator) mempunyai performance yang tidak sama dalam mendeteksi signal kemungkinan terjadi krisis dikemudian hari. Oleh karena itu, dalam paper ini setiap variabel diberikan bobot tersendiri. Semakin besar bobotnya berarti semakin besar pengaruhnya dalam menimbulkan krisis. Bobot setiap variabel diperoleh dari Vector Auto Regression (VAR) dengan mengukur varian dekomposisi nilai tukar terhadap varian setiap variabel tersebut dalam jangka panjang. Variabel ekonomi yang digunakan dalam model ini berikut satuan yang dipakai dan bobotnya adalah sebagai berikut : 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 No INDIKATOR SATUAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Transaksi berjalan Portfolio + other Investment Cadangan Devisa Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Jangka pendek Pertumbuhan Kredit Pertumbuhan M2 Kinerja Ekspor Pertumbuhan IHSG REER % % % % % % % % % % PDB Cad. Devisa PDB PDB Cad Devisa PDB BOBOT 7.6 3.5 8.6 5.4 9.5 11.7 2.6 4.5 5.2 34.7 Setiap indikator dibagi menjadi 4 tingkatan berdasarkan kriteria tertentu. Untuk setiap tingkatan diberikan angka kredit. Semakin besar angka kredit berarti semakin baik kondisi indikator tersebut. Besarnya angka kredit dan kriteria yang digunakan untuk membagi indikator adalah sebagai berikut. TINGKATAN 1 2 3 4 PREDIKAT ANGKA KREDIT kuat sedang beresiko lemah NO INDIKATOR kuat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Transaksi berjalan Portfolio + other Inv. Cadangan Devisa Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Jangka pendek Pertumbuhan Kredit Pertumbuhan M2 Kinerja Ekspor Pertumbuhan IHSG Pertumbuhan REER surplus negatif > 8 bulan tidak ada tidak ada < 20 % < 20 % > 70 % 0-5% negatif 4 3 2 1 PREDIKAT sedang beresiko 0-1% <5% 6 - 8 bulan < 80 % 0 - 50 % 20 - 40 % 20 - 40 % 70 - 50 % 5 - 10 % 0£ x < 5 % 1 %< x £ 2% 5 - 10% 3 £x <6 bln 80 - 160 % 50 - 75 % 40< x£60 % 40< x£60 % 50 <x£30 % 11 - 20 % 5 - 10 % lemah >2% > 10 % < 3 bulan > 160 % > 75 % > 60 % > 60 % < 30 % > 20 % > 10 % Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 23 H asil Pengujian Dengan menggunakan data triwulanan selama 1995:1 - 1997:3, kondisi fundamental ekonomi negara-negara ASEAN-4 dan NIEs dapat diwakili oleh angka kuantitatif tunggal sebagai berikut: Tabel 10 HASIL PERHITUNGAN KEKUATAN FUNDAMENTAL EKONOMI ASEAN-4 DAN NIEs Periode Malaysia Indonesia Philippines Thailand 96,1 238,6 220,7 174,3 198,6 Korea Singapore Taiwan Hongkong JEPANG 247,3 321,3 353,8 309,0 360,0 96,2 246,1 207,7 209,0 282,3 282,0 310,8 334,7 319,4 360,0 96,3 275,8 219,4 234,6 247,6 282,9 356,0 353,8 348,9 368,7 96,4 275,0 216,6 256,7 282,3 247,3 321,3 313,9 343,7 368,7 97,1 209,5 231,1 164,3 212,9 271,2 321,3 305,2 284,7 368,7 97,2 270,3 279,9 167,8 294,4 268,9 352,5 343,4 303,8 288,9 97,3 270,3 265,8 174,2 294,8 258,4 345,5 353,8 319,4 368,7 97,4 272,4 301,7 157,0 283,1 280,8 321,3 353,8 319,4 334,0 RATA-RATA 257,3 242,9 192,2 262,0 267,4 331,3 339,1 318,5 352,2 Data diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia merupakan yang terburuk setelah Philippines. Sementara Korea ternyata menunjukkan fundamental yang terbaik diantara negera-negara yang terkena krisis. Diantara negara-negara yang tidak terkena krisis, Jepang memiliki fundamental ekonomi yang terkuat. Dengan menggunakan maximum likelihood, model probit diatas menghasilkan output sebagai berikut : KRISIS = -0,01 FUNDA + 2,65 CONTA (-3,7) (3,13) Log likelihood = - 12,65 Hasil diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi dan faktor contagion secara signifikan memberikan kontribusi terhadap serangan para spekulan. Koefisien fundamental yang negatif menyatakan bahwa semakin kuat kondisi fundamental ekonomi suatu negara, semakin kecil kemungkinan spekulan melakukan serangan. Koefisien faktor contagion yang positip menyatakan bahwa adanya krisis di suatu negara mendorong spekulan melakukan serangan pada negara lain. Kesimpulan ini sesuai dengan data pada Tabel 10. Sejak awal 1996 sebenarnya kondisi fundamental negara-negara yang terkena 24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 krisis tidak lebih baik dari periode 1997:3. Tapi pada saat itu tidak terjadi serangan apapun. Serangan para spekulan ke negara-negara yang terkena krisis justru terjadi pada periode 1997:3 setelah kejatuhan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis di suatu negara (faktor contagion) menjadi trigger (faktor pemicu) bagi serangan para pelaku pasar uang. Analisa Sensitifitas Untuk memperkuat hasil perhitungan diatas, perlu dilakukan uji sensitifitas dengan mengubah kriteria penggolongan indikator fundamental ekonomi serta mengubah angka kredit untuk masing-masing klasifikasi sebagai berikut : INDIKATOR KRITERIA UJI I (longgar) UJI II (ketat) Transaksi berjalan surplus, 1 %, 2% surplus, 2 %, 4% surplus, 1/2 %, 1% Portfolio + other Inv. Negatif, 5% , 10% Negatif, 10% , 20% Negatif, 2,5% , 5% Cadangan Devisa 8, 6, 3 bulan 6, 4, 2 bulan 10, 8, 4 bulan Pinj. Luar Negeri tidak ada, 80 %, 160% tidak ada,120 %, 200% tidak ada, 40 %, 80% Pinjaman Jk pendek tidak ada, 50%, 75% tidak ada, 75%, 100% tidak ada, 25%, 50% Pertumbuhan Kredit 20%, 40%, 60% 40%, 60%, 80% 10%, 15%, 20% Pertumbuhan M2 20%, 40%, 60% 40%, 60%, 80% 10%, 15%, 20% Kinerja Ekspor 70%, 50%, 30% 60%, 40%, 20% 90%, 70%, 50% Pertumbuhan IHSG 5%, 10%, 20% 7%, 15%, 25% 3%, 5%, 10% Pertumbuhan REER negatif, 5%, 10% negatif, 7%, 15% negatif, 3%, 5% PREDIKAT KUAT SEDANG BERESIKO LEMAH ANGKA KREDIT 4 3 2 1 UJI III UJI IV 5 3 1 0 8 6 4 2 Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 25 Dari hasil perhitungan dapat diperoleh hasil sebagai berikut : HASIL AWAL UJII UJIII UJIIII UJI IV FAKTOR FUNDAMENTAL FAKTOR CONTAGION KOEF t-stat KOEF t-stat -0.0101 -0.0098 -0.0115 -0.0083 -0.0050 -3.705 -3.345 -4.167 -4.459 -3.705 2.650 2.706 2.679 2.364 2.650 3.133 2.868 3.473 3.551 3.133 LOG LIKELIHOOD -12.658 -12.427 -13.448 -14.993 -12.658 Hasil diatas menunjukkan bahwa faktor fundamental dan faktor contagion secara signifikan mempengaruhi keputusan pelaku pasar untuk melakukan serangan atau tidak. Dengan mengubah kriteria penggolongan ‘tingkat kesehatan’ faktor fundamental ekonomi menghasilkan faktor contagion yang robust . Demikian pula, dengan mengubah angka kredit untuk masing-masing predikat ternyata juga menghasilkan faktor contagion yang robust. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kesimpulan • Dari analisis data terlihat bahwa negara-negara yang mengalami krisis, yakni Thailand, Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Korea mengalami defisit transaksi berjalan secara persistence. Untuk membiayai defisit ini, mereka lebih mengandalkan pada dana jangka pendek terutama dalam bentuk portfolio dan utang luar negeri. Dari aspek perdagangan, defisit tersebut masih akan berlangsung di tahun-tahun mendatang, karena sebagian ekspornya masih mengandalkan produk manufaktur ringan, sebaliknya impor barangbarang konsumsi menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. • Kondisi diatas, semakin diperburuk oleh sistem perbankan yang tidak sehat. Adanya campur tangan pemerintah dalam pemberian kredit, pemberian kredit pada kelompok, pertumbuhan kredit dan M2 yang terlalu tinggi, serta pertumbuhan foreign liabilities yang sangat tinggi. • Adanya perbedaan fundamental ekonomi antara negara yang terkena krisis dengan yang tidak terkena krisis ternyata gagal dideteksi dengan baik oleh Sistem deteksi Dini yang dikembangkan oleh Kaminsky. Menurut hasil pengujian dengan metoda tersebut mengatakan kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari Singapore, Hongkong, dan Taiwan. 26 • Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Disamping kondisi fundamental ekonomi, efek penularan ternyata memberikan kontribusi yang signifikan terhadap krisis mata uang. Dari pengujian model probit ternyata efek penularan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan kondisi ekonomi. Implikasi Kebijakan • Dalam jangka pendek, Indonesia masih akan mengalami defisit transaksi berjalan akibat lemahnya daya saing produk, beban pembayaran utang yang terus membengkak, dan kebutuhan impor yang tinggi. Untuk memperbaiki defisit tersebut, perlu segera dilakukan reformasi ekonomi melalui langkah-langkah sebagai berikut: ◊ Merubah pola pikir dan menumbuhkan komitmen dari semua pihak untuk bertekad meningkatkan ekspor. ◊ Memperbaiki iklim investasi dengan memberikan insentif kepada PMA yang menguasai teknologi tinggi dan mampu menghasilkan produk-produk ekspor yang berdaya saing tinggi. ◊ Menghilangkan semua distorsi pasar dalam negeri untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan daya saing. • Mengingat defisit masih akan terus berlangsung, berarti Indonesia masih membutuhkan capital inflows. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan-kebijakan baru dengan memberikan insentif kepada dana-dana jangka panjang. Disamping itu, pasar keuangan dalam negeri perlu ditingkatkan kesehatannya melalui perbaikan struktur, kelembagaan, aspek hukum dan peraturan, serta infrastruktur. • Krisis yang saat ini terjadi di Indonesia sebagian juga disebabkan oleh sistem perbankan yang tidak sehat. Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah baru untuk memperkuat sistem perbankan sesuai dengan standar internasional. • Negara-negara di kawasan Asia perlu melakukan kerja sama yang lebih erat, terutama dalam melakukan regional surveillance. Dengan kerja sama ini diharapkan krisis dapat dicegah sejauh mungkin, sehingga menghindari terjadinya contagion effect yang dengan cepat dapat menyebar di seluruh kawasan. Daftar Pustaka Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity, IMF Working Paper No. WP/97/87, July 1997. Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates: An Empirical Investigation, NBER Working Paper No. 4898, 1994. Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia 27 Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance of Payments Problems, International Finance Discussion paper, 1996 Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Working Paper No. WP/97/79, 1997. Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ?, IMF Working Paper No. WP/97/159, IMF. MAS, Current Account Deficits in the ASEAN-3. Is there cause for concern ?, Occasional Paper No. 1, January 1997. The Banker, Asian Meltdown. Sumber Data IMF, International Financial Statistics, Yearbook dan Monthly. Morgan, J.P., Emerging Markets : Economic Indicators, berbagai edisi. Bank Indonesia, Laporan Tahunan dan Triwulanan, berbagai edisi. Bloomberg. HKMA, Annual report 1996. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 37 MANAJEMEN MONETER DALAM MASA KRISIS Doddy Zulverdi *) Krisis nilai tukar yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah berkembang menjadi krisis ekonomi akibat kerapuhan di sisi ekonomi mikro dan ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro. Permasalahan yang dihadapi dalam pemilihan strategi kebijakan ekonomi makro adalah adanya konflik (tradeoff) antarkebijakan akibat sifat krisis yang multidimensional. Kebijakan moneter sebagai salah satu elemen kebijakan ekonomi juga tidak terlepas dari kesulitan yang sama, yaitu dalam mengakomodasi berbagai sasaran kebijakan secara serentak. Kesulitan tersebut telah berlangsung sejak periode sebelum krisis dan berdampak negatif terhadap kondisi fundamental ekonomi makro yang berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidaklah sekuat yang diyakini semula. Kesulitan yang dihadapi oleh otoritas baik dalam memilih maupun mengimplementasikan strategi kebijakan moneter juga dialami oleh berbagai negara yang pernah mengalami krisis serupa. Tidak ada satu strategi pun yang cocok diterapkan di semua situasi dan di semua negara. Pemilihan strategi yang tepat ditentukan oleh jenis tekanan eksternal yang dihadapi, karakteristik struktur ekonomi, dan prioritas sasaran akhir yang dipilih. Berdasarkan kriteria tersebut dan mengingat masih rapuhnya sistem perbankan sebagai suatu jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal, maka penerapan strategi jangkar inflasi di dalam suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel kiranya layak untuk dipertimbangkan secara mendalam. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan latar belakang pentingnya memilih strategi kebijakan moneter (termasuk kebijakan nilai tukar) yang tepat untuk membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Dalam bagian kedua diulas beberapa alternatif strategi kebijakan ekonomi-moneter dari sisi teori. Selanjutnya, bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memicu dan memperdalam krisis di Indonesia dan kebijakan yang telah diambil termasuk konflik yang dihadapi dalam penerapan strategi kebijakan moneter. Di bagian keempat, dengan mengacu kepada konsep teori dan pengalaman negara-negara lain serta pengalaman Indonesia sendiri, diajukan beberapa alternatif strategi kebijakan moneter yang dapat diterapkan di Indonesia. Bagian kelima mengemukakan beberapa kesimpulan umum berikut rekomendasi kebijakan yang ditawarkan. *) Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Erwin Haryono dan Wahyu Agung Nugroho, keduanya adalah Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian APK, UREM-BI, atas bantuan riset yang diberikan dalam penyusunan tulisan ini. 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Pendahuluan B erbagai analisis menyimpulkan bahwa penyebab utama parahnya krisis di Asia adalah kerapuhan di sisi ekonomi mikro seperti sistem perbankan yang tidak sehat, ketergantungan sektor usaha pada hutang baik dari dalam maupun luar negeri (highly leveraged), dan sistem pasar yang dikuasai oleh segelintir monopolis yang menjadi kuat akibat praktek kolusi.1 Tidak sedikit yang menilai bahwa kondisi kerapuhan di sisi mikro tersebut kemudian diperburuk oleh ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro (policy mix) yang diambil pada awal dan selama krisis.2 Sebagai salah satu instrumen kebijakan ekonomi makro, kebijakan moneter memiliki peran yang sangat penting dalam penyelesaian krisis ekonomi yang sedang terjadi di Indonesia. Apalagi mengingat bahwa krisis ini telah berkembang menjadi fenomena yang dikenal sebagai financial distress, yaitu proses demonetisasi berupa penurunan permintaan akan likuiditas perekonomian (M2) sebagai akibat meningkatnya permintaan akan uang kartal. Apabila dibiarkan terus berlanjut, proses ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemicu terjadinya fenomena flight to currency yang begitu tiba-tiba adalah ketidakpastian nilai tukar rupiah (McNelis, 1988). Oleh karena itu, upaya pemulihan ekonomi sangat tergantung kepada ketepatan strategi kebijakan moneter yang diambil, khususnya dalam rangka mengembalikan kepastian nilai tukar. Tulisan ini bertujuan untuk menginventarisasi kemungkinan penyebab semakin parahnya krisis nilai tukar di Indonesia dilihat dari sisi kemungkinan ketidaktepatan kombinasi kebijakan moneter yang telah diambil selama ini. Dari hasil peninjauan ke belakang tersebut dan didukung oleh pengalaman negara-negara yang pernah atau sedang mengalami krisis yang mirip, diharapkan akan diperoleh gambaran arah kebijakan moneter dan nilai tukar yang tepat dalam mendukung proses pemulihan kegiatan ekonomi di masa datang. Dapat ditambahkan bahwa tulisan ini hanya membahas berbagai alternatif strategi kebijakan moneter di dalam suatu perekonomian yang terbuka (tidak ada pembatasan transaksi devisa). Alternatif Strategi Kebijakan di Masa Krisis: Tinjauan Teoritis Kebijakan moneter adalah salah satu elemen penting dari paket kebijakan ekonomi yang digunakan dalam mengatasi krisis ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan moneter itu sendiri sangat tergantung kepada ketepatan dan keharmonisan pembagian tugas di 1 Lihat misalnya World Bank (1998) dan IMF (1998). 2 Lihat misalnya Radelet dan Sachs (1998). Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 39 antara berbagai kebijakan yang tersedia. Oleh karena itu, bagian ini akan diawali dengan tinjauan singkat mengenai berbagai pilihan kebijakan yang terdapat di dalam paket tersebut. Selanjutnya, secara khusus akan dibahas peranan kebijakan moneter di dalam penyelesaian krisis disertai dengan alternatif strategi kebijakan moneter yang tersedia. Pilihan Kebijakan dalam Menghadapi Tekanan Eksternal Ada tiga jenjang pilihan kebijakan yang harus diputuskan oleh pemerintah dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal (Krugman, 1995), yaitu: • Apakah tekanan-tekanan eksternal tersebut harus dihadapi melalui kebijakan financing (yaitu dengan meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi penurunan penerimaan ekspor dan kenaikan biaya impor/biaya bunga) atau melalui kebijakan adjustment (yaitu dengan melakukan berbagai penyesuaian dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor). • Seandainya pilihan jatuh kepada kebijakan adjustment, seberapa besar bobot penyesuaian perlu dibebankan masing-masing kepada strategi pengurangan pengeluaran (expenditure reducing policy) dan strategi pengalihan pengeluaran (expenditure switching policy) . • Akhirnya, alternatif mana yang akan dipilih di antara dua pilihan strategi kebijakan pengalihan pengeluaran, yaitu antara kebijakan devaluasi dan kebijakan perdagangan. Kebijakan financing akan diambil apabila tekanan-tekanan yang terjadi diyakini hanya bersifat temporer dan dapat diatasi dengan menggunakan dana luar negeri dalam jumlah yang minimal. Sebaliknya, apabila tekanan-tekanan tersebut lebih bersifat jangka panjang maka harus dilakukan kebijakan adjustment. Namun, terdapat beberapa kondisi yang seringkali mendorong otoritas untuk menerapkan kedua kebijakan secara bersama-sama, yaitu: • Tekanan-tekanan sosial politik seringkali menghalangi otoritas dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian secara maksimal sehingga mau tidak mau harus dibantu dengan kebijakan financing. Hal ini karena kebijakan penyesuaian mengandung berbagai pilihan yang tidak menyenangkan seperti kenaikan pajak/penurunan subsidi, pengurangan konsumsi, dan sebagainya. • Sulitnya membedakan antara tekanan-tekanan yang bersifat temporer dan permanen menyebabkan otoritas seringkali memutuskan untuk menerapkan kedua kebijakan secara bersamaan untuk menghindari resiko salah pilih. • Dampak dari kebijakan penyesuaian biasanya baru dirasakan secara efektif setelah periode yang relatif panjang. Oleh karena itu, penggunaan sumber dana luar negeri 40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 seringkali diperlukan untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek dari krisis yang terjadi sambil menunggu hasil dari kebijakan penyesuaian. • Negara yang mengalami krisis seringkali mengalami kesulitan untuk memperoleh dana luar negeri, terutama dari pihak swasta, dalam jumlah yang memadai karena adanya krisis kepercayaan. Oleh karena itu, otoritas tidak dapat semata-mata menggantungkan diri kepada kebijakan financing. Kebijakan pengurangan pengeluaran bertujuan untuk mengurangi pengeluaran oleh penduduk suatu negara sehingga mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran, nilai tukar, dan laju inflasi. Terdapat tiga cara yang dapat diambil otoritas untuk mengurangi pengeluaran nasional, yaitu: • Mengurangi pengeluaran pemerintah. • Mengurangi pengeluaran masyarakat melalui peningkatan pajak atau pemotongan subsidi. • Membatasi hutang sektor swasta melalui pembatasan pemberian kredit oleh sistem perbankan (kebijakan ini berada di dalam ruang lingkup kebijakan moneter). Sementara itu, kebijakan pengalihan pengeluaran bertujuan untuk memperbaiki transaksi berjalan dengan cara mengalihkan pengeluaran masyarakat dari produk impor ke produk dalam negeri dan mendorong peningkatan ekspor. Terdapat dua instrumen utama yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengalihkan pengeluaran nasional, yaitu: devaluasi dan kebijakan perdagangan (perubahan tarif, pemberlakuan kuota, dan subsidi ekspor). Berbeda dengan kebijakan pengurangan pengeluaran, kebijakan pengalihan pengeluaran tidak secara langsung memaksa masyarakat untuk menurunkan pengeluarannya sehingga resiko kontraksi ekonomi dapat diminimalkan. Namun, kelemahan utama kebijakan pengalihan pengeluaran adalah cenderung mendorong kenaikan laju inflasi. Hal ini terjadi karena apabila perekonomian sudah berada pada tingkat penggunaan kapasitas penuh maka kenaikan permintaan domestik dan permintaan ekspor akan menimbulkan tekanan kenaikan harga-harga di dalam negeri. Kalau pun perekonomian masih berada di bawah kapasitas penuh, tekanan inflasi masih tetap akan timbul dalam bentuk imported inflation akibat depresiasi/devaluasi nilai tukar. Mengingat berbagai kelebihan dan kelemahan yang terkandung di dalam masingmasing kebijakan, berbagai negara seringkali menerapkan kombinasi kebijakan pengurangan dan pengalihan pengeluaran. Namun, karena begitu besarnya faktor ketidakpastian di dalam suatu perekonomian yang sedang mengalami krisis dan sangat tingginya tekanan imported inflation (akibat devaluasi/depresiasi), pemerintah seringkali terpaksa menerapkan kebijakan pengurangan pengeluaran secara drastis. Akibatnya, Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 41 minimal dalam jangka pendek, negara-negara tersebut mengalami fenomena stagflasi, yaitu tingginya laju inflasi yang diiringi oleh resesi ekonomi. Selanjutnya, di antara dua instrumen kebijakan pengalihan pengeluaran, pilihan yang diambil akan sangat tergantung kepada efisiensi birokrasi dan dukungan politik yang diberikan masyarakat kepada pemerintah. Kebijakan devaluasi memiliki keunggulan daripada kebijakan perdagangan karena tidak membutuhkan administrasi dan birokrasi yang rumit. Sebaliknya, kebijakan devaluasi memiliki kelemahan karena menimbulkan pergeseran distribusi pendapatan yang seringkali secara politik tidak menguntungkan bagi keberhasilan kebijakan tersebut. Alternatif Strategi Kebijakan Moneter Dari serangkaian pilihan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam mencoba mengatasi tekanan-tekanan eksternal, terlihat bahwa kebijakan moneter dan nilai tukar memiliki peran penting dalam penerapan kebijakan penyesuaian (adjustment) . Kebijakan moneter adalah salah satu instrumen kebijakan pengurangan pengeluaran sedangkan kebijakan nilai tukar adalah salah satu instrumen kebijakan pengalihan pengeluaran. Untuk itu, berikut ini akan diulas berbagai pilihan strategi kebijakan maupun kombinasi kebijakan yang dapat diambil oleh otoritas dalam menerapkan kebijakan moneter dan nilai tukar. William Poole (1970) mengidentifikasi tiga alternatif strategi kebijakan moneter, yaitu: strategi jangkar uang beredar (money stock targeting), strategi jangkar suku bunga (interest rate targeting), dan strategi kombinasi sistematis antara sasaran volume uang beredar dan tingkat suku bunga. Ketiga strategi tersebut lebih relevan diterapkan di dalam suatu perekonomian tertutup (derajat mobilitas modal rendah) atau di dalam suatu perekonomian terbuka yang menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang karena hanya di dalam kedua bentuk perekonomian tersebut otoritas moneter memiliki independensi penuh dalam mengendalikan jumlah uang beredar dan/atau suku bunga domestik. Dengan menggunakan kerangka model IS-LM, Poole menunjukkan bahwa di antara dua pilihan ekstrim: jangkar uang beredar dan jangkar suku bunga, strategi yang tepat tergantung kepada jenis tekanan ekonomi makro yang terjadi. Apabila suatu perekonomian mengalami tekanan-tekanan riil (real shocks) sehingga kurva IS mengalami pergeseran maka strategi jangkar uang beredar adalah pilihan yang lebih tepat karena perubahan suku bunga (bagi perekonomian tertutup) atau perubahan nilai tukar (bagi perekonomian terbuka) akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya, apabila yang terjadi adalah tekanan-tekanan moneter (monetary shocks) yang menggeser 42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 kurva LM maka yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga karena perubahan uang beredar atau neraca pembayaran akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Grafik 1 mengilustrasikan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan-tekanan riil yang bersifat random sehingga kurva IS bergeser di antara IS1 dan IS2.3 Dengan asumsi fungsi permintaan uang stabil, jika jumlah uang beredar dikendalikan pada level M* (strategi jangkar uang beredar) maka kurva LM yang terjadi adalah LM1 dan tingkat produksi/pendapatan akan berada di antara Y1 dan Y2. Namun, apabila suku bunga dikendalikan pada tingkat r* (strategi jangkar suku bunga) maka kurva LM yang terjadi adalah LM2 dan tingkat produksi/pendapatan dapat berada di antara Y0 dan Y3, suatu rentang yang lebih lebar daripada antara Y1 dan Y2. Dalam hal ini, strategi jangkar uang beredar adalah pilihan yang lebih tepat karena dapat lebih meminimalkan dampak negatif tekanan riil terhadap stabilitas produksi/pendapatan. Grafik 2 menggambarkan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan permintaan uang yang bersifat random. Apabila jumlah uang beredar dikendalikan pada level M* maka kurva LM akan bergerak antara LM1 dan LM2 dan tingkat produksi akan berada di antara Y1 dan Y2. Sebaliknya, apabila suku bunga dipertahankan pada tingkat r*, kurva LM dan tingkat produksi yang terjadi masing-masing adalah LM3 dan Yf(tingkat Grafik 1 Grafik 2 r r IS2 L M1 L M1 L M2 IS1 L M2 r* r* L M3 IS Y Y0 Y1 Yf Y2 Y3 Y1 Yf Y2 Y 3 Poole (1970, hal. 200) mengasumsikan tingkat harga konstan sehingga strategi kebijakan yang diambil diarahkan untuk mencapai sasaran stabilitas produksi pada tingkat full employment. Secara implisit, hal ini juga berarti bahwa sasaran yang dituju adalah stabilitas harga karena dengan mengupayakan perekonomian selalu berproduksi pada tingkat full employment berarti mengurangi tekanan perubahan harga-harga. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 43 produksi/pendapatan full employment). Dengan demikian, strategi yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga. Sebagaimana terlihat pada Grafik 1, strategi jangkar uang beredar dapat dibuat lebih optimal dengan mengubah elastisitas kurva LM terhadap perubahan suku bunga. Perubahan elastisitas tersebut dapat dilakukan dengan membuat suplai uang beredar sensitif terhadap suku bunga. Secara sederhana, hal ini dapat diilustrasikan oleh sistem persamaan deterministik berikut. (1) M (2) Ms = a0 + a1.Y + a2. r = b1 + b2. r (Kurva LM) (Suplai uang yang sensitif terhadap suku bunga) Substitusikan persamaan (2) ke dalam persamaan (1) : ⇔ b1 + b2. r = a0 + a1.Y + a2. r ⇔ a1.Y = b1 -a0 + (b2 -a2).r ⇔ Y = (b1 -a0)/ a1 + (b2 -a2)/ a1. r Persamaan yang terakhir adalah kurva LM dengan suplai uang sensitif terhadap suku bunga. Koefisien variabel r, yaitu (b2 -a2)/a1, adalah elastisitas kurva LM terhadap suku bunga. Elastisitas tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (a2), elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b2), dan suatu konstanta (a1. ) Karena elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (a2) tidak berada dalam kendali otoritas moneter maka upaya mengubah elastisitas kurva LM hanya dapat dilakukan dengan mengubah elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b 2). Dengan perkataan lain, kebijakan moneter yang lebih optimal dapat diperoleh dengan menerapkan strategi di mana sasaran jumlah uang beredar dan sasaran suku bunga ditetapkan berdasarkan suatu hubungan tertentu (dalam hal ini, hubungan tersebut dikuantifikasi dalam bentuk koefisien b2. ) Sekalipun strategi kombinasi tersebut secara teoritis dapat menghasilkan kebijakan yang lebih optimal, dalam praktek tidak selalu demikian. Alasannya, otoritas moneter dituntut mengetahui lebih banyak parameter daripada yang dituntut oleh strategi jangkar uang beredar maupun jangkar suku bunga (Poole, hal. 209). Di dalam situasi yang masih diliputi oleh ketidakpastian, semakin banyak parameter yang harus diestimasi, semakin tinggi resiko kegagalan strategi yang dipilih. Di samping ketiga alternatif strategi di atas, terdapat dua pilihan strategi lain, yaitu strategi jangkar nilai tukar dan jangkar laju inflasi (inflation targeting) (Houben, 1997). Sebagaimana halnya strategi jangkar suku bunga, strategi jangkar nilai tukar lebih cocok diterapkan pada perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan moneter khususnya 44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 dalam bentuk fluktuasi permintaan uang. Dalam hal ini, tekanan-tekanan tersebut akan diredam oleh penyesuaian yang terjadi pada neraca pembayaran sehingga dampak negatifnya terhadap stabilitas harga dan produksi dapat diminimalkan. Alternatif strategi jangkar laju inflasi terutama tepat untuk diterapkan di dalam perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan besar baik moneter maupun riil pada saat bersamaan. Keunggulan utama strategi ini terletak pada kemampuannya untuk secara langsung mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pada saat yang sama tetap memberikan keleluasaan kepada otoritas dalam menyusun respons yang tepat terhadap berbagai tekanan yang melanda perekonomian. Kondisi Indonesia Sebelum dan Selama Masa Krisis Penyebab Krisis yang Melanda Indonesia Tekanan-tekanan eksternal dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui dua jalur utama, yaitu pasar barang internasional dan pasar keuangan internasional. Tekanan-tekanan yang berasal dari pasar barang internasional dapat berbentuk penurunan permintaan ekspor atau gangguan suplai barang impor. Sedangkan tekanan yang berasal dari pasar keuangan internasional dapat berbentuk kenaikan suku bunga riil internasional dan terputusnya akses ke pasar keuangan internasional akibat anjloknya kepercayaan investor. Untuk kasus Indonesia, faktor yang disebutkan terakhir tampaknya lebih relevan dalam menjelaskan penyebab krisis yang terjadi. Yang kemudian sering menjadi bahan perdebatan adalah penyebab dari hilangnya kepercayaan tersebut. Secara ekstrim terdapat dua pendapat mengenai penyebab hilangnya kepercayaan investor terhadap Indonesia. Pendapat pertama meyakini bahwa kerapuhan sistem keuangan internasional telah membuat berbagai negara sangat rentan terhadap contagion effect (Radelet dan Sachs, 1998). Oleh karena itu, menurut kubu ini jalan keluarnya adalah dengan memperketat rambu-rambu yang mengatur bekerjanya sistem keuangan internasional serta meredifinisi peran dan tugas lembaga-lembaga Bretton-Woods agar lebih mampu mengemban misi utamanya sebagai penjaga stabilitas sistem moneter internasional. Sebaliknya, pendapat kedua meyakini bahwa kelemahan internal seperti kerapuhan sistem perbankan, sistem pasar yang monopolistik, dan ketidaktepatan kebijakan makro adalah faktor utama hilangnya kepercayaan investor. Faktor ketidaktepatan kebijakan ekonomi makro agaknya bertentangan dengan keyakinan kita dan berbagai lembaga keuangan internasional selama ini bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat karena didukung oleh kebijakan ekonomi makro yang Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 45 berhati-hati. Pertanyaannya adalah: apakah indikator-indikator ekonomi makro sebelum krisis memang bergerak normal dan tidak mengindikasikan kemungkinan timbulnya krisis? Indikator Krisis dari Sisi Ekonomi Makro Berdasarkan hasil studi Kaminsky-Reinhart (1996) dan Kaminsky (1998) terhadap 102 krisis keuangan yang terjadi di 20 negara, terdapat beberapa indikator ekonomi makro dan keuangan yang mampu memberikan peringatan secara dini akan kemungkinan timbulnya krisis. Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut terlihat adanya indikasi peningkatan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal. Dengan perkataan lain, kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia dalam periode sebelum krisis tidaklah sekuat yang diduga semula. Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator moneter dan keuangan yang mengindikasikan adanya peningkatan tekanan bubble economy dan masalah perbankan terutama sejak tahun 1996 (lihat Panel 1): • Pertumbuhan tahunan multiplier M2 kembali meningkat sejak awal tahun 1996 dan terus menunjukkan pertumbuhan positif hingga awal tahun 1997 setelah mengalami perlambatan secara tajam sejak tahun 1990. Pertumbuhan positif multiplier M2 telah meningkatkan kemampuan perbankan dalam menciptakan uang. • Rasio kredit terhadap PDB yang terus bergerak naik sejak akhir 1994, menunjukkan kenaikan yang semakin cepat sejak akhir 1996. • Rasio suku bunga kredit terhadap deposito (terutama deposito 1 bulan) cenderung meningkat sejak pertengahan 1995 hingga pertengahan 1997. Hal ini kemungkinan mencerminkan penurunan kualitas kredit perbankan. Dalam situasi ini, perbankan akan terpaksa menaikkan suku bunga kredit melebihi kenaikan suku bunga simpanan untuk menutupi kerugian atau potensi kerugian yang berasal dari kredit macet. • Sejak pertengahan tahun 1996 terdapat kecenderungan peningkatan pertumbuhan simpanan valas. Sebaliknya, pertumbuhan simpanan rupiah cenderung mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan ekspektasi depresiasi rupiah di masyarakat. • Sejak pertengahan tahun 1996 terjadi “excess supply” M1 riil. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan akibat ekspansi perbankan yang tidak berhati-hati atau dapat pula disebabkan oleh lebih rendahya permintaan riil daripada suplai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi. M ay-98 Des -97 J ul-97 Feb-97 S ep-96 A pr-96 Excess M1 Riil: Selisi h Antara Aktual dengan Estimasi Permintaan M1 Rii Perubahan 12 Bulanan Posisi Dana Pihak Ketiga (%) Excess total deposits 80 rupiah deposits 60 forex deposits (Rp Constant rat e) * 40 0 -20 -5 -40 J an-95 -40 20 15 20 Excess Actual Fitted -10 J an-98 rdep12 KMK/dep12 M ay-98 rdep1 -30 S ep-97 -20 KMK/dep1 M ay-97 J an-97 S ep-96 M ay-96 J an-96 S ep-95 0.40 M ay-95 0.60 S ep-94 1.00 J an-94 1.20 M ay-94 1.40 S ep-93 1.60 J an-93 Rasio Suku Bunga Pinjam an terhadap Deposito M ay-93 1.80 S ep-92 Apr-97 Jun-97 Aug-97 Oct-97 Dec-97 Feb- 98 Apr-98 Jun-98 Apr-95 Jun-95 Aug-95 Oct-95 Dec-95 Feb- 96 Apr-96 Jun-96 Aug-96 Oct-96 Dec-96 Feb- 97 -5 J an-92 Perubahan 12 bulanan m ultiplier M2 (MA 12) M ay-92 -10 S ep-91 0 Dec-93 Feb- 94 Apr-94 Jun-94 Aug-94 Oct-94 Dec-94 Feb- 95 10 M ay-91 25 J an-91 Jun-98 Mar-98 Sep-97 Dec-97 Dec-96 Mar-97 Jun-97 Sep-96 Mar-96 Jun-96 Dec-95 Sep-95 Mar-95 Jun-95 Jan-90 Apr-90 Jul-90 Okt-90 Jan-91 Apr-91 Jul-91 Okt-91 Jan-92 Apr-92 Jul-92 Okt-92 Jan-93 Apr-93 Jul-93 Okt-93 Jan-94 Apr-94 Jul-94 Okt-94 Jan-95 Apr-935 Jul-95 Okt-95 Jan-96 Apr-96 Jul-96 Okt-96 Jan-97 Apr-97 Jul-97 Okt-97 Jan-98 Apr-98 Jul-98 35 Feb-91 A pr-91 J un-91 A ug-91 Oc t-91 Dec -91 Feb-92 A pr-92 J un-92 A ug-92 Oc t-92 Dec -92 Feb-93 A pr-93 J un-93 A ug-93 Oc t-93 Dec -93 Feb-94 A pr-94 J un-94 A ug-94 Oc t-94 Dec -94 Feb-95 A pr-95 J un-95 A ug-95 Oc t-95 Dec -95 Feb-96 A pr-96 J un-96 A ug-96 Oc t-96 Dec -96 Feb-97 A pr-97 J un-97 A ug-97 Oc t-97 Dec -97 Feb-98 A pr-98 J un-98 Catat an: Forex depos it s dalam Rupiah dengan nilai tukar k onstan. (Jan '97: Rp 2.396/ USD) Nov -95 Sep-94 Dec-94 0.80 J un-95 100 J an-95 A gs-94 M ar-94 Ok t-93 M ay-93 Des -92 J ul-92 Mar-94 Jun-94 Dec-93 Sep-93 Jun-93 % Feb-92 S ep-91 120 A pr-91 Nov -90 J un-90 J an-90 46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Panel 1 9.0 Rasio kr edit ter hadap PDB Nominal (MA 6) 30 20 8.0 15 7.0 5 6.0 5.0 4.0 30 Suku Bunga Deposito Riil (%) 20 10 -10 0 -50 -60 Actual & Fitted 700 10 600 5 500 0 400 300 -60 200 -15 100 -20 0 Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 47 Beberapa indikator eksternal berikut juga memberikan indikasi semakin rentannya ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal (lihat Panel 2): • Pertumbuhan ekspor nonmigas menunjukkan kecenderungan menurun sejak pertengahan tahun 1995. Melambatnya pertumbuhan ekspor tersebut terkait dengan penguatan (apresiasi) nilai tukar riil sejak akhir tahun 1992, yaitu tahun dimulainya penerapan sistem nilai tukar crawling peg. Dalam periode tersebut terdapat indikasi kuat bahwa nilai tukar rupiah cenderung mengalami overvalued seperti diperlihatkan oleh semakin melebarnya selisih antara nilai tukar aktual dengan trend-nya. • Meskipun nilai tukar riil mengalami apresiasi dan overvalued, pertumbuhan impor nonmigas justru cenderung menurun sejak akhir tahun 1995. Sebagaimana akan dijelaskan berikut ini, melambatnya pertumbuhan impor nonmigas diperkirakan terkait dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator sektor riil dalam periode sebelum dan selama krisis (lihat Panel 2): • Setelah sempat mengalami lonjakan cukup tinggi dalam tahun 1994, pertumbuhan ekonomi menunjukkan trend menurun sejak pertengahan 1995. Selanjutnya, sejak triwulan terakhir 1997 pertumbuhan ekonomi menurun sangat tajam. • Agak sulit untuk memperoleh gambaran konklusif dari perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta. Dilihat dari trend jangka panjang, IHSG menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun sejak awal tahun 1990. Namun, perkembangan sejak awal 1996 hingga terjadinya krisis rupiah pada bulan Juli-Agustus 1997 memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kecenderungan peningkatan harga saham di tengah kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi menunjukkan kuatnya tekanan spekulatif selama periode sebelum krisis. Kebijakan yang Telah Diambil Pertanyaan lanjutan adalah: Kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah untuk meredam tekanan spekulatif dan sejauh mana efektivitasnya? Di samping itu, mengingat besarnya kemungkinan timbulnya konflik antarkebijakan dalam mencapai berbagai sasaran sehingga selalu terdapat resiko ketidaktepatan kombinasi kebijakan yang diambil maka satu pertanyaan lain juga relevan untuk diajukan, yaitu: Sejauh mana kemungkinan kombinasi kebijakan yang telah diambil, baik sebelum maupun selama krisis, justru menambah tekanan spekulatif dan mempersulit penyelesaian krisis? 8 7 5 3 2 0 Mar- 98 Sep-98 % Sep-97 Perubahan 12 Bulanan PDB Riil (MA 12) Sep-96 Mar- 97 10 Sep-95 Mar- 96 0% Mar- 94 50% Sep-94 Mar- 95 30 Mar- 93 Sep-93 10000 Mar- 92 Sep-92 -50% 12000 Mar- 91 Sep-91 Fit ted 40 Sep-90 200% 14000 Sep-89 Mar- 90 % Deviasi Nilai Tukar Terhadap Trend Actual & Fitted Sep-88 Mar- 89 16000 Mar- 87 -10 Jan-88 Apr- 88 Jul-88 Okt- 88 Jan-89 Apr- 89 Jul-89 Okt- 89 Jan-90 Apr- 90 Jul-90 Okt- 90 Jan-91 Apr- 91 Jul-91 Okt- 91 Jan-92 Apr- 92 Jul-92 Okt- 92 Jan-93 Apr- 93 Jul-93 Okt- 93 Jan-94 Apr- 94 Jul-94 Okt- 94 Jan-95 Apr- 95 Jul-95 Okt- 95 Jan-96 Apr- 96 Jul-96 Okt- 96 Jan-98 Apr- 98 Jul-98 0 Sep-87 Mar- 88 Deviasi Sep-85 Jan-86 May-86 Sep-86 Jan-87 May-87 Sep-87 Jan-88 May-88 Sep-88 Jan-89 Mey-89 Sep-89 Jan-90 May-90 Sep-90 Jan-91 May-91 Sep-91 Jan-92 May-92 Sep-92 Jan-93 May-93 Sep-93 Jan-94 May-94 Sep-94 Jan-95 May-95 Sep-95 Jan-96 May-96 Sep-96 Jan-97 May-97 Sep-97 Jan-98 May-98 50 Sep-85 Perubahan 12 Bulanan Nilai Ekspor (MA 12) Mar- 86 Sep-86 Sep-85 Jan-86 May-86 Sep-86 Jan-87 May-87 Sep-87 Jan-88 May-88 Sep-88 Jan-89 Mey-89 Sep-89 Jan-90 May-90 Sep-90 Jan-91 May-91 Sep-91 Jan-92 May-92 Sep-92 Jan-93 May-93 Sep-93 Jan-94 May-94 Sep-94 Jan-95 May-95 Sep-95 Jan-96 May-96 Sep-96 Jan-97 May-97 Sep-97 Jan-98 May-98 60 Mar- 85 Jan-98 Jun-98 Aug-97 Oct- 96 Mar- 97 Dec-95 May-96 Apr- 94 Sep-94 Feb- 95 Jul-95 Jan-93 Jun-93 Nov-93 250% Dec-97 Jun-98 Dec-96 Jun-97 Dec-95 Jun-96 Dec-94 Jun-95 Dec-93 Jun-94 Dec-92 Jun-93 Dec-91 Jun-92 Dec-90 Jun-91 Oct- 91 Mar- 92 Aug-92 100% Dec-89 Jun-90 Deviasi Dec-88 Jun-89 Feb- 90 Jul-90 Dec-90 May-91 Apr- 89 Sep-89 Jun-88 Nov-88 Jan-88 % Dec-87 Jun-88 % Dec-86 Jun-87 Dec-85 Jun-86 Dec-84 Jun-85 48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Panel 2 125 Indeks Nilai Tukar Riil Bilateral (Rp terhadap US$, Juni 19 120 40 115 30 20 110 10 105 100 95 50 Perubahan 12 Bulanan Nilai Impor (MA 12) 150% Actual 8000 20 6000 10 4000 0 2000 -10 0 -20 -30 250 Perubahan 12 Bulanan Indeks Pasar Modal (MA 12) 9 200 6 150 4 100 50 1 0 -50 Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 49 Kebijakan Pra-Krisis Otoritas moneter sudah lama menyadari resiko yang terkandung di dalam arus modal masuk yang terlampau deras, terutama yang berjangka pendek, terhadap perekonomian Indonesia. Upaya-upaya untuk menghambat derasnya arus modal jangka pendek telah banyak dilakukan, seperti: melebarkan rentang intervensi nilai tukar, menaikkan giro wajib minimum, dan membatasi ekspansi kredit perbankan ke sektor properti. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya tidak memberikan hasil yang memadai. Bahkan, sebagaimana tercermin pada berbagai indikator di atas, pasar seolah-olah mengesampingkan gejala melemahnya kondisi fundamental ekonomi makro serta mengabaikan peringatan yang terkandung di dalam berbagai kebijakan pemerintah. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab kurang efektifnya kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh otoritas moneter dalam meredam tekanan-tekanan spekulatif, yaitu: A. Sentimen positif terhadap prospek emerging markets, termasuk Indonesia, selama periode pra-krisis masih terlalu kuat dibandingkan dengan intensitas kebijakan yang diarahkan untuk membendung derasnya arus masuk modal. Kebijakan yang diterapkan dengan “dosis” yang tidak tepat justru dapat menimbulkan efek negatif. Hal ini diperlihatkan oleh ketidakberhasilan kebijakan pelebaran rentang intervensi dalam meredam arus masuk modal spekulatif. Dalam kondisi masih kuatnya sentimen positif terhadap ekonomi Indonesia, pelebaran rentang intervensi justru memberikan ruang gerak bagi penguatan (apresiasi) nilai rupiah (lihat grafik Perkembangan Rentang Intervensi dan Nilai Tukar Rp/US$).4 Apresiasi nilai tukar riil secara perlahan-lahan menggerogoti daya saing perekonomian domestik sehingga memperlemah kondisi fundamental ekonomi makro. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan satu instrumen kebijakan (dalam hal ini kebijakan nilai tukar) untuk mencapai lebih dari satu sasaran (yaitu mempertahankan daya saing produk dalam negeri sekaligus menghambat arus modal spekulatif) dapat berakhir pada kegagalan dalam mencapai semua sasaran. B. Kebijakan yang diarahkan untuk meredam tekanan spekulatif ketika sentimen pasar sudah berbalik arah menjadi negatif justru telah semakin memperparah sentimen negatif tersebut. Kebijakan pelebaran rentang intervensi terakhir tanggal 11 Juli 1997 yang dilakukan sebagai respons terhadap krisis nilai tukar di Thailand diperkirakan telah memberikan sinyal kepada para spekulan akan ketidaksiapan/ketidaksediaan otoritas moneter dalam mempertahankan kebijakan nilai tukarnya. Kondisi ini telah semakin 4. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa nilai tukar yang terjadi di pasar cenderung menempel pada batas bawah rentang intervensi (kecuali sejak pelebaran rentang intervensi terakhir tgl. 11 Juli 1997). Hal ini mencerminkan kuatnya tekanan apresiasi akibat derasnya arus masuk modal. 50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Perkembangan Rentang Intervensi dan Nilai Tukar Rp/US$ 2910 Kebj. Nilai tukar Free floating 14 Agustus '97 2810 2710 Pelebaran spread Rp 192 --- Rp 304 11 Juli '97 Pelebaran spread Rp 118 --- Rp 192 11 Sept. '96 2610 Pelebaran spread Rp 66--- Rp 118 13 Juni '96 2510 2410 2310 2210 15 28 9 18 29 7 16 1 12 22 2 12 23 2 13 23 3 12 21 2 11 22 31 9 20 29 9 18 27 8 17 28 6 15 26 5 16 26 8 17 28 6 19 28 11 20 2 14 24 5 15 27 5 16 25 4 15 25 5 14 25 Des '95 1996 1997 memperkuat tekanan depresiatif terhadap rupiah hingga akhirnya otoritas moneter terpaksa melepaskan rentang intervensi tersebut. Kebijakan Selama Krisis Kebijakan moneter adalah salah satu bagian dari paket kebijakan ekonomi yang diambil dalam rangka menyelesaikan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Paket kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia secara garis besar tidak berbeda dengan yang diterapkan oleh negara-negara lain yang memperoleh bantuan IMF.5 IMF menawarkan satu paket kebijakan yang mereka sebut langkah-langkah yang bersifat segera (immediate efforts) dalam rangka mengembalikan kepercayaan. Langkah-langkah tersebut mencakup:6 • Penerapan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) . • Penerapan kebijakan moneter ketat yang bersifat sementara untuk meredam tekanan terhadap neraca pembayaran. • Tindakan-tindakan terpadu untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem keuangan yang mencakup: penutupan dan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan yang tidak sehat, rekapitalisasi perbankan, dan peningkatan partisipasi asing dalam sistem keuangan domestik. 5 Rangkuman beberapa pokok kebijakan di bidang moneter dan perbankan yang diterapkan oleh Thailand dan Korea Selatan dapat dilihat dalam Lampiran. 6 Lihat IMF (1998) halaman 2 - 3. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 51 • Reformasi struktural untuk menghilangkan berbagai penghalang pertumbuhan ekonomi (seperti monopoli, hambatan perdagangan, dan praktek-praktek usaha yang tidak transparan) dan meningkatkan efisiensi fungsi intermediasi keuangan serta kesehatan sistem keuangan di masa mendatang. • Upaya-upaya untuk membuka kembali atau mempertahankan jalur-jalur sumber dana luar negeri. • Penerapan kebijakan fiskal yang berhati-hati termasuk dengan membiayai program restrukturisasi sektor keuangan dan mempertahankan/ meningkatkan pengeluaranpengeluaran untuk kepentingan sosial. Dimasukkannya kebijakan restrukturisasi sektor keuangan sebagai salah satu langkah pertama yang harus diambil oleh negara yang mengalami krisis mencerminkan keyakinan IMF bahwa unsur utama penyebab krisis adalah kelemahan di sektor tersebut. Namun, justru di sinilah fokus kritik yang dialamatkan kepada IMF. Penerapan kebijakan restrukturisasi sektor keuangan di saat kondisi kepercayaan berada pada titik terendah dianggap telah semakin memperparah krisis dan mempersulit penerapan kebijakan moneter.7 Hal ini diperkirakan telah mengakibatkan Indonesia mengalami apa yang dikenal sebagai krisis kembar, yaitu terjadinya krisis perbankan dan neraca pembayaran secara bersamaan. Kondisi ini telah mengakibatkan resep-resep kebijakan ortodoks seperti devaluasi (atau floating rate) atau kebijakan moneter ketat tidak dapat menyelesaikan kedua krisis secara bersamaan. Secara singkat, penyebab terjadinya krisis kembar dapat dijelaskan sebagai berikut.8 • Intervensi valas yang dilakukan oleh otoritas moneter di awal krisis untuk meredam tekanan depresiasi nilai rupiah telah menyedot likuiditas perbankan. Hal ini dapat mengarah kepada credit crunch dan selanjutnya krisis perbankan apabila tidak dilakukan kebijakan sterilisasi.Karena depresiasi nilai rupiah secara tajam akhirnya tidak dapat dihindari, bank-bank yang memiliki kewajiban valas dalam jumlah besar harus menanggung kerugian besar. Kondisi ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit macet akibat kesulitan yang dihadapi oleh para debitur dalam membayar kewajibannya yang semakin besar seiring dengan tingginya suku bunga. • Penekanan pada penyelesaian bank bermasalah (khususnya dalam bentuk likuidasi bankbank) sementara kepercayaan masyarakat kepada rupiah dan perbankan nasional sedang berada pada titik terendah telah menimbulkan fenomena flight to currency. Fenomena ini 7 Lihat misalnya Nananukool (1998) dan Radelet dan Sachs (1998). 8 Uraian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya krisis kembar dapat dilihat dalam Kaminsky dan Reinhart (1996) halaman 1-2. 52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 telah memaksa otoritas moneter untuk mengeluarkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam jumlah besar kepada bank-bank sehingga sangat mengurangi efektivitas kebijakan moneter. • Di samping kedua alasan di atas, terjadinya krisis perbankan maupun neraca pembayaran secara bersamaan dapat pula disebabkan oleh dampak negatif dari liberalisasi keuangan. Dalam hal ini, liberalisasi sektor keuangan telah mendorong timbulnya bubble economy dan ekspansi kredit yang tidak hati-hati di kalangan perbankan. Distorsi ekonomi mikro — seperti jaminan pemerintah secara implisit atas simpanan masyarakat tanpa disertai pengawasan bank yang ketat — yang menimbulkan lonjakan kredit perbankan, pada akhirnya akan berakhir pada kejatuhan sistem perbankan. Beberapa masalah lain dari sisi kebijakan moneter yang diduga telah memperlambat proses pemulihan kondisi ekonomi di Indonesia adalah: A. Perubahan arah kebijakan yang diambil akibat adanya tekanan-tekanan untuk mengakomodasi berbagai sasaran yang saling berlawanan (trade-off) telah menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Kenaikan suku bunga yang diberlakukan oleh otoritas moneter untuk meredam tekanan depresiasi rupiah pada awal krisis ternyata telah menimbulkan kesulitan pada sektor usaha sehingga memaksa otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga sejak September 1997. Perubahan arah kebijakan suku bunga ini telah mengurangi kredibilitas pemerintah karena memberikan kesan kepada pasar seolah-olah otoritas moneter tidak konsisten atau raguragu dalam menerapkan kebijakan uang ketat. Penurunan kredibilitas ini mengakibatkan tidak berjalannya proses built-in adjustment yang seharusnya menguatkan nilai tukar. Perkembangan Kurs (bid side) dan Suku Bunga SBI 1 Bulan ( Juni 1997 - Oktober 1998 ) ( Bunga SBI ) ( Kurs ) 80 16000 70 14000 12000 60 Nilai Tukar Rp/US$ 50 10000 40 8000 30 6000 4000 20 Suku Bunga SBI 1 Bulan 10 30 21 31 11 Aug 21 1 Sept 10 22 22 1 Jul 13 24 6 May 22 2 Jun 11 24 2 Apr 15 23 4 Marh 13 Jun 1997 22 Oct 31 11 Nov 20 2 Dec 11 0 22 2 Jan 13 1998 22 3 Feb 12 2000 0 Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 53 B. Kebijakan yang terlalu responsif terhadap perubahan sentimen pasar diduga telah semakin mendorong tekanan spekulatif. Untuk menstabilkan gejolak nilai tukar dan mengarahkannya ke tingkat yang terjangkau oleh perekonomian nasional, otoritas moneter telah beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga SBI. Namun, karena kenaikan-kenaikan suku bunga tersebut pada umumnya diawali atau dipicu oleh tekanan-tekanan depresiatif terhadap rupiah maka timbul kesan bahwa otoritas moneter sangat responsif terhadap tekanan depresiasi (lihat grafik Perkembangan Kurs dan Suku Bunga SBI). Hal ini diduga telah mendorong para spekulan untuk melontarkan rumor atau sentimen negatif di pasar valas yang seringkali tidak bersifat fundamental dengan harapan otoritas moneter akan menanggapinya dalam bentuk intervensi pasar atau kenaikan suku bunga lebih lanjut. C. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ketat di awal krisis telah memperburuk ekspektasi pasar akan prospek ekonomi dan nilai tukar. Meskipun kebijakan fiskal ketat telah dikoreksi oleh pemerintah dan IMF, namun kebijakan tersebut telah sempat memperlemah nilai tukar rupiah ke level yang cukup sulit untuk diturunkan kembali. D. Penetapan sasaran (indikatif) nilai tukar telah memberikan kesan bahwa otoritas tidak sepenuhnya committed pada sistem nilai tukar mengambang yang diberlakukan sejak 14 Agustus 1997. Apalagi sasaran indikatif tersebut telah beberapa kali direvisi ke atas (depresiasi) sehingga semakin memperkuat ekspektasi depresiasi sekaligus ekspektasi inflasi di pasar. Kondisi ini diduga telah mendorong semakin kerasnya tekanan-tekanan spekulatif terhadap rupiah sehingga mempersulit upaya memperkuat nilai tukar rupiah dan meredam laju inflasi. Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas, yaitu: • Sulit menemukan suatu kombinasi kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi berbagai sasaran secara bersamaan. Dalam hal ini, strategi yang lebih tepat tampaknya adalah dengan memberikan prioritas utama pada suatu sasaran akhir. • Krisis ekonomi Indonesia yang multidimensional telah menimbulkan konflik antarkebijakan sehingga kinerja masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal. • Kebijakan moneter tidak akan bekerja secara efektif apabila tidak terdapat kepercayaan kepada sistem perbankan domestik. Oleh karena itu, sembari mempertajam prioritas kebijakan dan meneruskan upaya penyehatan perbankan nasional agar kepercayaan masyarakat cepat pulih, otoritas moneter harus terus berupaya mencari cara guna memperbaiki efektivitas kebijakan moneter. Salah satu upaya tersebut adalah dengan memperbaiki sistem lelang SBI. Sebelum tanggal 29 Juli 1998, suku bunga SBI ditentukan oleh Bank Indonesia. Kondisi likuiditas yang ketat serta 54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 segmentasi di pasar uang antarbank (yang terkait dengan perbedaan tingkat kesehatan antarbank yang sangat mencolok) telah menyebabkan suku bunga PUAB jauh lebih tinggi daripada suku bunga SBI. Bahkan, seiring dengan tingginya laju inflasi, suku bunga SBI secara riil telah menjadi negatif. Akibatnya, lelang SBI tidak mampu menyedot kelebihan likuiditas di pasar uang. Situasi tersebut berubah sejak tanggal 29 Juli 1998 ketika Bank Indonesia menerapkan sistem lelang SBI yang baru. Dalam sistem tersebut, suku bunga SBI sepenuhnya ditentukan pasar sehingga SBI lebih efektif dalam menyerap likuiditas di pasar. Sementara proses restrukturisasi perbankan masih berjalan, peningkatan efektivitas kebijakan moneter telah berdampak positif terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah dan penurunan tekanan inflasi. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa sasaran akan lebih cepat tercapai apabila terdapat konsistensi kebijakan dan penugasan suatu kebijakan pada satu prioritas sasaran. Apabila hal ini terus berlanjut, dalam waktu yang tidak terlalu lama diperkirakan otoritas moneter akan memperoleh ruang gerak yang lebih luas untuk menurunkan suku bunga. Alternatif Strategi Kebijakan Moneter untuk Indonesia Uraian sebelumnya adalah hasil retrospeksi atas kombinasi kebijakan yang telah diambil selama ini. Tentunya yang relevan bagi kita sekarang adalah bentuk strategi kebijakan moneter apa yang tepat untuk diterapkan agar ekonomi Indonesia segera keluar dari krisis. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian II, pemilihan strategi kebijakan moneter dan nilai tukar yang tepat tergantung kepada tiga faktor, yaitu: • Jenis tekanan yang dihadapi. Apabila perekonomian mengalami tekanan moneter maka penggunaan patokan suku bunga (atau nilai tukar bagi perekonomian terbuka) adalah yang paling ideal karena fluktuasi permintaan uang yang terjadi akan diakomodasi oleh neraca pembayaran tanpa mengganggu stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya, apabila perekonomian menghadapi tekanan riil, sebaiknya menerapkan pengendalian besaran moneter (monetary rules atau money anchor) karena perubahan nilai tukar akan menyesuaikan tingkat pengeluaran luar negeri akan barang-barang domestik dan tingkat pengeluaran domestik akan barang-barang luar negeri — terutama ketika tingkat upah nominal dan harga-harga sulit bergerak turun — sehingga akan menstabilkan pertumbuhan produksi domestik. • Karakteristik struktur ekonomi suatu negara. Efektivitas pengendalian besaran moneter (money anchor) antara lain tergantung kepada adanya fleksibilitas tingkat upah riil (e.g. tidak ada indeksasi upah nominal) agar perubahan nilai tukar nominal berdampak jangka panjang terhadap tingkat upah riil dan produksi. Efektivitas pengendalian nilai tukar (exchange rate anchor) tergantung kepada derajat mobilitas modal. Pendekatan ini akan Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 55 lebih memberikan hasil yang memuaskan apabila diterapkan di dalam perekonomian yang lebih terbuka — karena stabilitas nilai tukar akan lebih terkait dengan stabilitas harga — dan memiliki sektor tradable yang cukup terdiversifikasi untuk meredam tekanan-tekanan pada industri-industri tertentu. • Prioritas sasaran ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya yang berkaitan dengan trade-off antara produksi, inflasi, dan neraca pembayaran. Bagi negara yang menerapkan pengendalian besaran moneter biasanya akan mengalami variabilitas inflasi jangka pendek yang lebih besar (karena tekanan permintaan uang tidak secara otomatis diakomodasi) namun mengalami variabilitas produksi dan neraca pembayaran yang lebih kecil (karena nilai tukar akan menjadi instrumen penyesuai). Di sisi lain, pendekatan pengendalian nilai tukar memberikan keuntungan berupa transparansi kebijakan, yang merupakan insentif bagi disiplin fiskal. Dengan menggunakan kriteria di atas, uraian berikut akan mencoba mengidentifikasi strategi kebijakan moneter dan nilai tukar yang tepat untuk diterapkan dalam menghadapi krisis di Indonesia. A. Jangkar Uang Beredar Cukup sulit untuk memilah secara akurat jenis tekanan eksternal yang melanda Indonesia. Dari uraian pada bagian III dijelaskan bahwa contagion effect telah menjadi memicu tekanan di neraca pembayaran dalam bentuk derasnya arus modal keluar. Dengan perkataan lain, tekanan dari sisi moneter adalah pemicu krisis ekonomi di Indonesia. Rata-rata Upah Riil Pekerja Mingguan hotel & mining manufacturing 0.90 0.30 0.80 0.25 0.70 hotel 0.60 0.20 mining manufacturing 0.50 0.15 0.40 0.30 0.10 0.20 0.05 0.00 Mar-98 Dec-97 Sep-97 Jun-97 Mar-97 Dec-96 Sep-96 Jun-96 Mar-96 Dec-95 Sep-95 Jun-95 Mar-95 Dec-94 Jun-94 Mar-94 0.00 Sep-94 0.10 56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Namun, karena adanya kelemahan di sisi mikro khususnya di sektor perbankan, tekanan dari sisi moneter tersebut secara cepat telah melahirkan gelombang tekanan baru berupa tekanan dari sektor riil, yaitu gangguan pasokan barang akibat terhambatnya impor dan kebangkrutan sektor usaha. Dalam kondisi ini, secara teoritis penerapan strategi jangkar uang beredar dengan sistem nilai tukar mengambang akan mampu mengembalikan stabilitas ekonomi. Apalagi kondisi pasar tenaga kerja tampaknya cukup fleksibel sebagaimana terlihat pada perkembangan tingkat upah riil terutama di sektor manufacturing dan mineral yang cukup responsif terhadap perubahan nilai tukar (lihat Grafik Rata-rata Upah Riil Mingguan). Namun, pengalaman beberapa negara yang menerapkan kebijakan floating rate dan diikuti oleh penggunaan base money sebagai nominal anchor (seperti Filipina di tahun 1984) menunjukkan bahwa kebijakan moneter seringkali diterapkan dengan tidak konsisten. Kombinasi kedua kebijakan seringkali mengandung beberapa kelemahan (Houben, 1997). Pertama, kombinasi floating rate dan sasaran base money diterapkan secara fleksibel sehingga membuat penugasan instrumen kebijakan kepada sasaran-sasaran ekonomi menjadi rancu (ambiguous). Dengan absennya suatu jangkar nominal yang mantap maka terdapat kecenderungan untuk menerapkan sasaran kebijakan moneter berganda seperti: mengendalikan pertumbuhan uang, menstabilkan nilai tukar, memupuk cadangan devisa, menjaga daya saing ekspor, dan menjaga tingkat suku bunga pada level yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesuai kenyataannya, trade-off di antara berbagai sasaran ini tidak selalu menghasilkan pencapaian sasaran inflasi. Kedua, tanpa komitmen yang jelas terhadap satu sasaran nominal, perekonomian kehilangan suatu piranti untuk mengendalikan ekspektasi inflasi. Ketiga, kebijakan nilai tukar dan intervensi valas seringkali diterapkan secara tidak simetris. Ketika terjadi tekanan apresiasi nilai tukar terutama akibat arus modal masuk otoritas kebanyakan menahan tekanan tersebut dengan membeli devisa sehingga menambah base money (sterilisasi hanya dilakukan secara parsial). Sebaliknya, ketika terjadi tekanan depresiasi otoritas cenderung membiarkannya dan membatasi penjualan devisa yang seharusnya dapat mendukung nilai tukar dan menyerap base money. Dengan demikian, asimetri kebijakan ini cenderung bias ke arah inflasi. Untuk kasus Indonesia, adanya sasaran indikatif nilai tukar rupiah dalam paket kebijakan stabilisasi ekonomi Indonesia sementara base money berperan sebagai nominal anchor dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas khususnya berupa kemungkinan timbulnya konflik di antara berbagai tujuan kebijakan dan ketiadaan jangkar nominal yang mantap. Di samping itu, di tengah suasana ketidakpastian, tingkat dan komposisi permintaan akan uang dapat secara mendadak berubah sehingga mengganggu kestabilan velocity dan multiplier. Akibatnya, otoritas moneter akan mengalami kesulitan dalam menyusun proyeksi Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 57 besaran-besaran moneter secara akurat dan dalam mengendalikan jumlah uang beredar.9 Dalam situasi ini, strategi jangkar uang beredar mengandung resiko yang cukup besar. Apabila terlalu ketat, kebijakan moneter dapat terlalu mengekang pertumbuhan produksi. Sebaliknya, apabila terlalu longgar akan mempersulit pencapaian sasaran inflasi. Faktor lain yang harus diperhitungkan adalah apabila arah kebijakan ekonomi ke depan berorientasi populis maka penerapan sasaran moneter akan semakin mengalami kesulitan. B. Jangkar Suku Bunga Strategi ini akan cocok diterapkan apabila Indonesia tetap mempertahankan kebijakan nilai tukar mengambang. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan nilai tukar mengambang bukanlah pilihan yang tepat bagi Indonesia untuk saat ini. Kesimpulan tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa struktur industri kita masih sarat dengan kandungan impor yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kestabilan tingkat harga (Waluyo dan Siswanto, 1998). Membiarkan mekanisme pasar menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya krisis di masa mendatang juga bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini karena meskipun mekanisme pasar (freefloating) dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai tukar riil dari nilai ekuilibriumnya (real exchange rate misalignment) namun berkurangnya resiko misalignment itu sendiri tidak menjamin terhindarnya suatu negara dari resiko krisis nilai tukar (Goldfajn, 1997). C. Jangkar Nilai Tukar Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan dalam poin B, faktor-faktor lain yang mendukung penerapan strategi jangkar nilai tukar adalah: • Perekonomian Indonesia telah berkembang menjadi relatif sangat terbuka. Dalam kondisi ini, nilai tukar telah menjadi indikator harga relatif terpenting dalam perekonomian sehingga menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai stabilitas harga. • Pasar tenaga kerja bersifat fleksibel karena suplai berlimpah dan tidak ada kekakuan tingkat upah yang disebabkan oleh faktor-faktor kelembagaan. Fleksibilitas pasar tenaga kerja, terutama dalam konteks peningkatan produktivitas, akan mengurangi kebutuhan akan penyesuaian nilai tukar nominal. • Tidak adanya pembatasan devisa telah mempermudah arus keluar masuk modal sehingga mampu mengakomodasi tekanan-tekanan moneter secara otonomus tanpa harus mengandalkan pada fleksibilitas nilai tukar. 9 Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan semakin tidak stabilnya income velocity of money dan money multiplier di Indonesia (Warjiyo dan Zulverdi, 1998). 58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Posisi Hutang LN Total dan DSR Indonesia 140 120 100 80 Debt Outstanding/GDP 60 40 Debt Service Ratio 20 0 1993 1994 1995 1996 1997 35947 Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang kurang mendukung penerapan strategi jangkar nilai tukar, yaitu: • Beberapa sisi di neraca pembayaran masih sensitif terhadap tekanan-tekanan eksternal sehingga masih membutuhkan nilai tukar yang fleksibel. Di sisi pembayaran, hutang luar negeri yang sangat besar membuat Indonesia sangat rentan terhadap perubahan suku bunga internasional (lihat Grafik hutang/PDB, DSR). Di samping itu, ketergantungan kepada impor komoditi-komoditi penting khususnya bahan pangan membuat perekonomian sangat sensitif terhadap perubahan harga internasional. Di sisi penerimaan, meskipun diversifikasi produk ekspor telah berlangsung cukup lama namun akses ke pasar modal internasional belum pulih sehingga sistem nilai tukar yang lebih fleksibel masih diperlukan untuk meredam berbagai tekanan eksternal. • Prospek sisi fiskal masih belum menentu sebagai akibat turunnya potensi pajak dan berkurangnya peranan swasta dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam situasi ini, pasar akan meragukan terjaganya disiplin fiskal sekaligus meragukan kredibilitas jangkar nilai tukar. Di samping itu, terdapat beberapa kelemahan strategi jangkar nilai tukar, yaitu: • Hilangnya independensi kebijakan moneter dalam meredam tekanan-tekanan riil, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Hal ini terutama akan menjadi sangat relevan ketika perekonomian sangat rentan terhadap perubahan sentimen pasar (faktor eksternal, contagion effects) dan gangguan alam dan ketidakstabilan sosial politik (faktor internal). Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 59 • Apabila nilai tukar riil cenderung mengalami apresiasi yang disebabkan oleh perubahan struktural yang cepat, kemajuan teknologi, liberalisasi perdagangan, dan meningkatnya daya saing negara-negara pesaing, meskipun strategi jangkar nilai tukar kemungkinan besar dapat menurunkan laju inflasi, namun kenaikan harga-harga masih tetap lebih tinggi daripada kenaikan harga-harga di negara-negara partner dagang sehingga lambat laun daya saing produk domestik akan semakin melemah. D. Jangkar Laju Inflasi Mengingat rapuhnya perekonomian Indonesia baik terhadap tekanan-tekanan moneter maupun riil, keunggulan jangkar uang beredar maupun nilai tukar menjadi dipertanyakan. Penerapan baik jangkar uang beredar maupun nilai tukar dapat menimbulkan biaya-biaya yang besar dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Alternatif lain yang dapat diterapkan di Indonesia adalah jangkar laju inflasi. Terdapat beberapa argumentasi yang mendukung penerapan jangkar laju inflasi di Indonesia, yaitu: • Para pelaku ekonomi, terlebih di masa krisis, membutuhkan suatu jangkar nominal untuk mengarahkan ekspektasi mereka. Mengingat jangkar nilai tukar (fixed exchange rate) sulit diterapkan saat ini sementara disisi lain jumlah uang beredar adalah indikator yang terlalu abtrak bagi para pelaku ekonomi maka jangkar laju inflasi dapat berperan secara langsung dalam mengarahkan ekspektasi laju inflasi. • Sistem perbankan nasional adalah jalur transmisi kebijakan moneter terpenting. Dalam kondisi normal, sinyal-sinyal kebijakan moneter akan disalurkan melalui sistem perbankan untuk akhirnya mempengaruhi ekpektasi inflasi di masyarakat. Masih sangat rapuhnya kondisi perbankan nasional saat ini dengan sendirinya sangat mengurangi efektifitas kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar maupun suku bunga. Untuk itu, penggunaan jangkar laju inflasi diharapkan dapat membatasi kelemahan sistem perbankan tersebut. Agar efektif, penerapan sasaran laju inflasi sebagai jangkar nominal memerlukan penyesuaian kerangka kelembagaan sebagai berikut: • Pencapaian sasaran laju inflasi harus dijadikan tugas pokok bank sentral. • Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan tugasnya dengan secara eksplisit memberikan argumentasi-argumentasi logis atas berbagai perubahan kebijakan yang mungkin dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian informasi yang lengkap mengenai perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi penetapan suatu sasaran laju inflasi. Beberapa variabel yang bersifat informasi (seperti 60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 pertumbuhan uang beredar, perkembangan nilai tukar) yang konsisten dengan pencapaian sasaran laju inflasi dapat pula dipublikasikan. • Pelembagaan akuntabilitas bank sentral misalnya melalui pemberian laporan kepada parlemen secara periodik mengenai pencapaian sasaran laju inflasi. Sekalipun demikian, terdapat beberapa kesulitan dalam menerapkan laju inflasi sebagai jangkar nominal khususnya apabila bank sentral menganggap bahwa laju inflasi berada jauh di luar kendalinya. Hal ini dapat terjadi antara lain karena sulitnya memperkirakan dampak dari tekanan-tekanan moneter dan riil terhadap harga-harga serta sulitnya mengkuantifikasi secara akurat transmisi kebijakan moneter terhadap inflasi di masa perubahan struktural yang cepat. Di samping itu, dengan sulitnya memperkirakan dampak tekanan-tekanan tersebut, penggunaan sasaran laju inflasi secara ketat dapat menimbulkan volatilitas instrumen (khususnya suku bunga) yang sangat tinggi melebihi keuntungan yang diperoleh dari stabilitas inflasi. Permasalahan ini dapat diatasi melalui penetapan rentang sasaran laju inflasi yang lebih lebar dan dengan mengeluarkan dampak kebijakan pemerintah atau perubahan harga-harga barang tertentu dari penghitungan sasaran inflasi. Namun, rentang sasaran laju inflasi terlalu lebar maka kredibilitas kebijakan bank sentral akan sangat berkurang. Bagaimana cara membangun kredibilitas? Manfaat yang diperoleh dari masing-masing strategi sangat tergantung kepada kredibilitas kebijakan. Di antara beberapa alternatif strategi kebijakan moneter di atas, mungkin yang paling sulit adalah membangun kredibilitas kebijakan yang menggunakan pendekatan jangkar uang beredar karena sasaran uang beredar bersifat abstrak. Sekalipun demikian, keyakinan akan suatu sasaran moneter dapat dibangun melalui pemberian sinyal yang transparan mengenai latar belakang penentuan sasaran dan pemberian penjelasan yang logis mengenai berbagai perubahan arah kebijakan. Dalam kasus jangkar nilai tukar, kredibilitas akan tergantung kepada dua syarat, yaitu: • Sebelum menetapkan suatu level nilai tukar, laju inflasi harus bergerak pada trend menurun ke arah laju inflasi negara-negara mitra dagang. • Jumlah cadangan devisa harus meningkat dibandingkan dengan level yang ada sekarang untuk menghadapi tekanan-tekanan spekulasi yang berniat menguji kemampuan otoritas dalam menerapkan jangkar nilai tukar. Hal ini akan cukup sulit dipenuhi selama arus masuk modal dan kepercayaan investor belum pulih kembali. Kredibilitas jangkar laju inflasi sebagian besar akan ditentukan oleh transparansi kelembagaan dan akuntabilitas bank sentral dalam memenuhi sasaran laju inflasi. Komitmen Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 61 pemerintah secara eksplisit terhadap pencapaian sasaran laju inflasi yang menjadi tanggung jawab bank sentral akan sangat menentukan kredibilitas kebijakan ini. Penutup Berikut beberapa pokok pikiran dan satu rekomendasi kebijakan : • Kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia sebelum krisis memang menunjukkan tekanan-tekanan yang berpotensi untuk menjadi krisis. • Terdapat indikasi adanya ketidaktepatan kebijakan atau kombinasi kebijakan yang diambil dalam periode sebelum, di awal, dan selama krisis yang diduga telah menjadi faktor yang memperburuk krisis nilai tukar di Indonesia. • Ketidaktepatan kebijakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia sehingga seringkali terjadi benturan di antara berbagai kebijakan. • Upaya stabilisasi ekonomi di dalam konteks sistem nilai tukar mengambang penuh tampaknya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. • Penggunaan suatu jangkar nominal, baik berupa jangkar nilai tukar atau jangkar laju inflasi, tampaknya layak untuk dipelajari lebih dalam kemungkinan penerapannya di Indonesia. Mengingat masih rapuhnya sistem perbankan nasional sebagai jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal, suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel tampaknya lebih cocok untuk dikombinasikan dengan strategi jangkar inflasi. Daftar Pustaka ADB Institute, Asia: Responding to Crisis,1998. Bank Indonesia, Report for the Financial Year 1997/98, Jakarta, 1998. Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, Kuala Lumpur, September 1998. _______________, Exchange Control Notices, Kuala Lumpur, 1998. Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997. Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of meeting in Jakarta, UCLA, September 1998. 62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 ___________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997. Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, PPAA/97/4, Washington, D.C., 1997. IMF, World Economic Outlook, May Edition, Washington, D.C., 1995. _____________, The IMF’s Response to the Asian Crisis, External Relations Department, Washington, D.C., Juli 1998. Kaminsky, Graciela L., Currency and Banking Crisis: the Early Warnings of Distress, Washington, D.C., 1998. Kaminsky, Graciela L., dan Carmen M. Reinhart, The Twin Crisis: the Causes of Banking and Balance of Payments Problems, Washington, D.C., 1996. Krugman, Paul, External Shocks and Domestic Policy Responses, dalam The Open Economy: Tools for Policymakers in Developing Countries, edited by Rudiger Dornbusch and F. Leslie C.H. Helmers, p. 54-79, Oxford University Press, New York, 1995. ______________, Currency Crises, downloaded at http://www.mit.edu/krugman. October.1998. McNelis, Paul D., Money Demand, Financial Distress, and Exchange Rate Uncertainty in Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta, April 1998. ________________, Financial Liberalization, Share Price Volatility and Monetary Policy: The Experience of Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta, Juli 1994. Meigs, James, Lessons for Asia from Mexico, The Cato Journal Vol 17 No.3, 1998. Nananukool, Surasak, Learning from the Asia Currency Curency Crisis - An Insider View from Thailand, A paper presented at the Carnegie Mellon University, Graduate School of Industrial Administration, March 1998. Paderenga, Cayetano, Currency Crisis and Policy Response: The ASEAN and Philippine Case, September 1998. Pasadilla, Gloria, What Make Countries Vulnarable to Currency Crisis ?, ADB Institute Seminar-Workshop on Asia’s Financial Crisis: Lessons and Policy Responses, September 1998. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 63 Poole, William, Optimal Choice of Monetary Policy Instruments in A Simple Stochastic Macro Model, Quarterly Journal of Economics, Vol. 84, hal. 197 - 216, Mei 1970. Radelet, Steven, dan Jeffrey Sachs, The Onset of the East Asian Financial Crisis, 1998. Waluyo, Dody B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Juli 1998. Warjiyo, Perry, dan Doddy Zulverdi, Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Juli 1998. World Bank, Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update, Washington, D.C., 1998. Lampiran Langkah-langkah Kebijakan di Bidang Moneter dan Perbankan yang Diambil oleh Thailand dan Korea Selatan Thailand Diawali dengan kinerja yang buruk dari lembaga-lembaga keuangan domestik dan besarnya hutang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 1997, nilai baht mendapat tekanan yang besar dari pasar (spekulan) agar terdepresiasi. Terpuruknya nilai baht pada gilirannya memperparah keadaan lembaga keuangan yang sebagian mempunyai pinjaman luar negeri yang tidak di- hedged.Bubble economy yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya kredit pada sektor properti yang dibiayai oleh bank dengan sumber dana hutang luar negeri turut memberikan andil atas kondisi tersebut. Menghadapi masalah ini, pemerintah Thailand terpaksa mengalihkan sistem nilai tukar menjadi sistem mengambang dan meminta kepada IMF untuk memberikan paket pinjaman guna menghadapi krisis tersebut. Paket pinjaman tersebut disertai dengan program restrukturisasi sektor keuangan, peningkatan tabungan pemerintah dengan menaikkan pajak, perbaikan transaksi berjalan, dan pengetatan moneter. Namun beberapa pengamat menilai paket tersebut tidak memadai karena: pertama, dari sisi jumlah bantuan yang dianggap terlalu kecil bagi ukuran Thailand yang telah banyak kehilangan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai baht, dan yang kedua adalah tidak adanya rekomendasi yang memadai untuk menyelesaikan masalah hutang sektor swasta yang akan jatuh tempo tahun 1997 dan berpotensi untuk menekan nilai baht. 64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 A. Kebijakan Moneter Peningkatan suku bunga yang dilakukan untuk menarik arus modal masuk telah menyebabkan mandeknya fungsi bank-bank komersial sehingga tekanan-tekanan baik sebagai akibat penutupan perusahaan keuangan, peningkatan standar perbankan, maupun dari kebijakan suku bunga tinggi telah menjadikan kondisi perbankan menjadi semakin terpojok. Kondisi ini telah mengakibatkan krisis likuiditas di Thailand pada akhirnya mengganggu kegiatan dunia usaha sehingga peluang peningkatan ekspor sektor industri yang seharusnya terjadi karena depresiasi nilai baht menjadi hilang. Gambaran umum kinerja ekspor yang tidak menguntungkan ini masih terselamatkan oleh ekspor dari sektor pertanian yang mengalami peningkatan karena naiknya harga produk-produk pertanian di pasar internasional. Pada bulan Mei 1998 dalam usahanya untuk menghidupkan kembali sektor industri, Thailand telah bersepakat dengan IMF untuk menurunkan tingkat bunga dan meningkatkan pertumbuhan jumlah uang beredarnya seiring dengan meningkatnya permintaan uang. B. Kebijakan Perbankan Diawali dengan pendirian FRA (Financial Sector Restructuring Agency) yang bertanggung jawab atas rencana rehabilitasi perusahaan keuangan dan assetnya dan pendirian AMC (Asset Management Corporation) yang mengurusi dan menjual asset yang tidak sehat, Thailand melakukan penyehatan sistem keuangan di Thailand, antara lain dengan menutup 58 perusahaan keuangan, dengan dasar kriteria kondisi likuiditas perusahaan yang bersangkutan. Dari sisi upaya penyehatan sistem keuangan hal tersebut memang baik, hanya saja dalam jangka pendek penutupan perusahaan keuangan yang dilakukan ini telah menimbulkan berbagai masalah dan menyebabkan semakin merosotnya perekonomian. Timbulnya berbagai masalah tersebut disebabkan oleh: pertama adanya keterkaitan yang erat antara perusahaan keuangan dengan sektor usaha yang lain sehingga penutupan itu mengakibatkan macetnya kegiatan usaha yang bertumpu pada pinjaman dari perusahaan keuangan; kedua karena sumber dana dari perusahaan keuangan adalah dari bank, maka penutupan itu berakibat pada peningkatan non-performing loan bank-bank yang mempunyai konsekuensi pada peningkatan cadangan aktiva yang pada gilirannya menghambat ekspansi kredit dari perbankan; ketiga adalah masalah kriteria penutupan yang dipakai di mana banyak perusahaan keuangan yang mempunyai modal lebih besar dari standar internasional tentang rasio kecukupan modal, ternyata ditutup dengan alasan jumlah pinjaman dari bank sudah melebihi modal perusahaan itu. Langkah penutupan perusahaan keuangan tersebut dilanjutkan dengan meningkatkan secara bertahap peraturan perbankan yang menyangkut akuntansi perbankan, keterbukaan, peningkatan CAR dan pengetatan kriteria non performing loan dan penyediaan cadangan penyisihan aktiva. Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 65 Korea Selatan Kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam menyikapi krisis yang terjadi tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang terkena krisis dan mendapatkan bantuan dari IMF. Kebijakan tersebut pada umumnya mengarah pada liberalisasi perekonomian dalam rangka meningkatkan efisiensi dan pengetatan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Secara garis besar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Korea Selatan antara lain adalah sebagai berikut: A. Kebijakan Moneter dan Nilai Tukar Seperti halnya negara lain yang mengalami krisis nilai tukar, Korea Selatan telah melakukan kebijakan uang ketat dalam rangka meredam gejolak nilai tukarnya. Kebijakan ini dilakukan bersamaan dengan restrukturisasi perbankan, liberalisasi pasar modal dan peningkatan transparansi perusahaan-perusahaan. Selain itu, dalam rangka mengeliminir kelemahan dari sistem kurs yang lama sejak bulan Desember 1997 Korea telah mengambangkan nilai tukar won (free floating) dan menghilangkan daily exchange rate band. Disetujuinya restrukturisasi hutang luar negeri perbankan jangka pendek sebesar US$ 22 miliar dan diterbitkannya obligasi pemerintah dalam denominasi US$ di luar negeri turut mendukung upaya stabilisasi nilai won. Perkembangan lain yang terjadi adalah adanya pergeseran struktural dimana Korea Selatan sekarang mengalami surplus transaksi berjalan. Hal ini disebabkan karena menurunnya impor sebagai akibat dari terkontraksinya perekonomian dan juga meningkatnya daya saing barang produksi Korea akibat dari terdepresiasinya nilai won. B. Kebijakan Perbankan Usaha pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dilakukan Pemerintah dengan cara: 1. Dalam periode Januari s.d. April 1998 Pemerintah menutup 14 merchant bank dan mewajibkan merchant bank yang lain untuk memenuhi CAR sebesar 6% di bulan April 1998 dan 8% akhir Juni 1999. Di samping itu, Pemerintah mendirikan Lembaga Perantara Merchant Bank untuk membayar deposito nasabah, mengambil alih, mengumpulkan dan melikuidasi asset merchant bank yang ditutup. 2. Memberikan bantuan likuiditas (dalam won) kepada bank-bank yang mempunyai kaitan dengan merchant bank yang ditutup. 3. Bank-bank yang tidak memenuhi batas minimal CAR diwajibkan untuk menyampaikan rencana rekapitalisasi kepada Otoritas Pengawas Perbankan. 66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 4. Pengkonsolidasian pelaksanaan deposit insurance oleh Korean Deposit Insurance Cooperation (KDIC) serta memperluas cakupan kewajiban institusi (commercial, merchant dan institusi keuangan lain) yang dijamin dalam deposit insurance. 5. Pendirian Supervisory Commission yang bertanggung jawab atas pengawasan dan restrukturisasi bank dan lembaga keuangan bukan bank. Upaya-upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan kebijakankebijakan tambahan (Agustus 1998), antara lain: 1. Memberikan bantuan keuangan kepada Bank of Korea, melakukan penyertaan modal pada bank, dan memberikan special funding facility kepada merchant bank yang hampir bangkrut sebesar lebih dari 50% modal bank yang bersangkutan. 2. Menyediakan special fund yang dirancang dalam Korea Asset Management Corporation (KAMC), yang merupakan suatu wadah dimana bank-bank dapat menjual non-performing asset-nya. 3. Pemerintah memberikan jaminan atas hutang-hutang luar negeri lembaga keuangan Korea Selatan, termasuk bank komersial dan merchant bank. C. Kebijakan Pasar Modal dan Investasi Asing Di bidang pasar modal dan investasi asing, Pemerintah Korea Selatan menempuh kebijakan-kebijakan sebagai berikut: 1. Peningkatan batas maksimal kepemilikan asing atas perusahaan publik Korea Selatan secara keseluruhan dari 26% menjadi 50%, dan secara individual dari 7% menjadi 50%; menghilangkan pembatasan investasi asing pada non-guaranteed bond yang dikeluarkan oleh perusahaan kecil dan menengah; mengijinkan investasi asing dalam pasar guaranteed corporate bond market (maturity > 3 tahun) dengan batas maksimal 10% untuk individual dan secara keseluruhan maksimal 30% (11 Desember 1997). 2. Menaikkan batas maksimal investasi asing di non-guaranteed corporate (convertible) bond dari 30 % menjadi 50% (12 Desember 1997). 3. Mengijinkan asing untuk melakukan investasi pada government bond dan special bond sampai dengan 30% dan menghilangkan pembatasan investasi asing individual pada corporate bond (23 Desember 1997). 4. Memperlunak pembatasan kepemilikan asing di bank komersial dan menghapus maksimal kepemilikan sebesar 4%. Penguasaan modal bank oleh bank asing tidak dibatasi, akan tetapi harus bertahap, tahap pertama 10%, tahap kedua 25%, dan 31% Manajemen Moneter dalam Masa Krisis 67 pada tahap ketiga. Kepemilikan oleh individu domestik di atas 4% diperbolehkan sepanjang pihak bank asing juga mempunyai kepemilikan yang sama atau lebih besar (29 Desember 1997). 5. Penghapusan semua batas maksimal investasi asing pada pasar government bond,special bond, dan corporate bond. Memperketat aturan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo di atas 3 tahun (30 Desember 1997). 6. Menghilangkan restriksi pinjaman luar negeri perusahaan sampai dengan 2 juta USD untuk perusahaan modal ventura. Pemerintah mengijinkan lembaga nonkeuangan mengeluarkan surat hutang di pasar uang kepada pihak asing tanpa batas jumlah (16 Februari 1998). 7. Bank Asing dan Broker diijinkan mendirikan cabang-cabang. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 69 MANAJEMEN NILAI TUKAR DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Miranda S. Goeltom dan Doddy Zulverdi *) Pendahuluan N ilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia. Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin. Namun sejak currency turnmoil melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pada pertengahan Juli 1997, capital inflow tersebut telah menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar rupiah maupun terhadap perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena besarnya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut diperberat lagi dengan semakin maraknya kegiatan speculative bubble, sehingga sejak krisis berlangsung nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%. Krisis nilai tukar yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sehingga telah mempengaruhi kinerja perekonomian nasional. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dan bahkan telah memasuki masa resesi yang cukup dalam, inflasi meningkat pesat baik karena gangguan produksi maupun karena imported inflation, tingkat pengangguran semakin meningkat dan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin banyak, serta permasalahan-permasalahan lainnya. Disadari bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah hanya merupakan muara dari akumulasi permasalahan ekonomi yang selama ini terpendam baik yang dialami di sektor moneter, perbankan dan sektor riil. Dengan demikian usaha menstabilkan nilai tukar rupiah tidak akan bermanfaat jika tidak didukung dengan usaha-usaha pembenahan seluruh kelemahan aspek perkonomian nasional baik berupa sistem, perangkat dan peraturan. Sehubungan dengan hal tersebut pembenahan di sektor mikro bersamaan dengan kebijakan makro untuk *) Miranda S. Goeltom : Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Operasi Pengendalian Moneter, dan Devisa, Bank Indonesia. Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI 70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan langkah yang ideal untuk dilakukan agar Indonesia dapat segera keluar dari krisis. Dengan memperhatikan kondisi tersebut serta permasalahan dan karakteristik perekonomian nasional, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mempercepat stabilitas nilai tukar rupiah guna mempercepat usaha pemulihan ekonomi nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka mendiskusikan manajemen moneter yang ideal untuk menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan suatu topik yang menarik untuk dikaji pada kesempatan ini. Berbagai pendapat masih diperdebatkan mengenai manajemen nilai tukar yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Termasuk apakah sistem nilai tukar flexible cukup memadai untuk perekonomian Indonesia, dan apakah langkah untuk mengisolasikan nilai tukar suatu negara dari perekonomian global misalnya melalui capital control seperti yang dilakukan oleh Malaysia, cukup memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Kesemua hal tersebut akan dibahas dalam paper ini, yang pembahasannya dibagi atas tujuh bagian. Bagian kedua akan membahas secara singkat aspek teoritis dari sistem nilai tukar dikaitkan dengan sistem devisa yang dianut suatu negara. Bagian ketiga akan mendiskusikan perkembangan manajemen nilai tukar di Indonesia. Bagian keempat akan membahas perkembangan sistem devisa di Indonesia. Bagian lima akan membahas permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia dalam era nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Bagian keenam akan mendiskusikan arah kebijakan nilai tukar dan sistem devisa di masa yang akan datang. Sementara bagian terakhir akan menyajikan kesimpulan dari tulisan ini. Sistem Nilai Tukar dan Sistem Devisa: Tinjauan Teoritis Sistem Nilai Tukar dan Kaitannya dengan Sistem Devisa Model Mundell (1968) - Fleming (1962) merupakan alat analisis yang paling populer dalam menjelaskan mekanisme transmisi moneter dalam suatu perekonomian terbuka yang menerapkan salah satu dari dua pilihan ekstrim sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Model tersebut mengasumsikan suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dengan skala ekonomi yang relatif kecil. Hal ini mengandung implikasi bahwa, bagi negara tersebut, suku bunga internasional, tingkat harga internasional, dan tingkat pendapatan internasional merupakan variabel-variabel eksogen. Implikasi lain adalah suku bunga domestik akan selalu bergerak searah dengan pergerakan suku bunga internasional. Berdasarkan kerangka model tersebut, di suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar tetap, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam mengendalikan kondisi Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 71 moneter domestik. Suatu kebijakan ekspansi moneter melalui pembelian surat berharga pasar uang, misalnya, hanya akan mendorong perubahan portofolio bank sentral dari devisa menjadi surat berharga pasar uang domestik tanpa mengubah jumlah uang beredar. Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat kebijakan ekspansi moneter, suku bunga domestik akan mengalami tekanan ke bawah. Karena surat-surat berharga di pasar domestik merupakan substitusi sempurna dari surat-surat berharga di pasar internasional maka tekanan penurunan suku bunga domestik akan mendorong para pemilik dana untuk membeli surat-surat berharga luar negeri yang selanjutnya akan menimbulkan tekanan depresiasi mata uang domestik. Bank sentral, dalam upayanya mempertahankan nilai tukar, akan terpaksa melakukan intervensi di pasar valas dan mengurangi jumlah cadangan devisa yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga domestik, masing-masing kembali mendekati tingkat semula Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar tetap adalah: • Bank sentral tidak dapat mengendalikan jumlah uang beredar (endogen). • Bank sentral harus memelihara cadangan devisa dalam jumlah yang memadai. • Untuk mempertahankan kredibilitas kebijakan nilai tukar tetap dan menghindari terkurasnya cadangan devisa, otoritas moneter dan otoritas fiskal harus menghindarkan diri dari kebijakan yang bersifat inflasioner. • Apabila terjadi tekanan inflasi domestik yang bersifat eksogen baik yang bersumber dari dalam negeri (seperti gangguan pasokan pangan) maupun dari luar negeri (seperti kenaikan harga-harga internasional), alternatif kebijakan devaluasi adalah pilihan yang berat namun harus diambil selama kondisi cadangan devisa tidak memadai untuk mendukung nilai tukar. Bagi suatu negara yang sangat rentan terhadap gangguan eksternal (misalnya karena memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor luar negeri) maupun gangguan internal (misalnya karena sering mengalami gangguan alam), kebijakan nilai tukar tetap merupakan kebijakan yang mengandung resiko tinggi. Resiko devaluasi akan selalu menghantui para pelaku ekonomi domestik dan investor asing sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyuburkan perilaku spekulasi. Sementara itu, bagi suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang, otoritas moneter memiliki keleluasaan untuk mengendalikan jumlah uang beredar karena ia tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. Apabila tingkat harga-harga domestik bersifat rigid, suatu kebijakan ekspansi moneter akan mendorong depresiasi nilai tukar dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri sehingga produksi nasional akan terdorong naik. 72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Dornbusch (1976) memperkenalkan pengembangan dari model Mundell-Fleming untuk sistem nilai tukar mengambang dengan memasukkan konsep dinamik dan rational expectations. Pengembangan tersebut memungkinkan adanya penyesuaian harga, suku bunga, dan ekspektasi secara bertahap di pasar asset sehingga kebijakan moneter hanya akan memiliki dampak sementara (transitory) terhadap tingkat produksi. Dengan perkataan lain, dalam jangka panjang ketika tingkat harga sudah sepenuhnya menyesuaikan diri dengan perubahan nilai tukar, kebijakan moneter akan bersifat netral terhadap tingkat produksi. Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar mengambang adalah: • Dalam jangka pendek, bank sentral memiliki keleluasaan dalam mengendalikan jumlah uang beredar (eksogen). • Bank sentral tidak perlu memelihara cadangan devisa dalam jumlah besar. • Meskipun kebijakan ekspansioner akan mampu meningkatkan tingkat produksi namun tetap harus memperhatikan daya dukung perekonomian domestik (kapasitas produksi nasional). Jika tidak, kebijakan ekspansioner tersebut pada akhirnya akan mendorong kenaikan laju inflasi. Di antara dua kutub sistem nilai tukar, terdapat banyak varian sistem nilai tukar yang merupakan kompromi dari kedua sistem tersebut. Perbedaan mendasar di antara berbagai varian tersebut terletak pada tingkat intensitas intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter di pasar valas. Salah satu sistem yang banyak dianut adalah sistem mengambang terkendali (managed floating). Dalam sistem ini, target nilai tukar yang ditetapkan oleh otoritas moneter seringkali tidak diumumkan kepada publik dan bersifat fleksibel. Sasaran akhir dari sistem ini biasanya adalah mempertahankan nilai tukar riil pada level yang mampu menjaga daya saing produk dalam negeri. Sistem ini cukup kredibel apabila laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah dan pemerintah menjalankan kebijakan ekonomi makro yang berhati-hati. Meskipun tidak sebesar yang dibutuhkan untuk mempertahankan kebijakan nilai tukar tetap, sistem mengambang terkendali masih membutuhkan tersedianya cadangan devisa. Jenis Sistem Devisa Pada umumnya sistem devisa dapat dibagi dua, yaitu sistem devisa kontrol dan sistem devisa bebas. Dalam sistem devisa kontrol, kegiatan transaksi devisa baik residen maupun nonresiden dibatasi oleh Pemerintah. Derajat tingkat pembatasan berbeda-beda pada masing-masing negara tergantung pada ultimate target dari kebijakan tersebut. Sementara pada sistem devisa bebas tidak ada pembatasan dalam melakukan transaksi devisa baik yang dilakukan oleh residen maupun non residen. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 73 Kebijakan devisa suatu negara berkaitan erat dengan kebijakan nilai tukarnya. Kebijakan devisa bebas biasanya diikuti dengan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel baik managed floating maupun flexible exchange rate. Negara-negara yang menerapkan sistem nilai tukar tetap umumnya menerapkan kebijakan devisa yang terkontrol, misalnya Cina, Chili dan terakhir adalah Malaysia. Kontrol devisa dilakukan dalam rangka mempertahankan nilai tukar dari tekanan-tekanan. Dengan kontrol devisa maka permintaan devisa akan dapat dikendalikan, sementara penawaran devisa dapat ditingkatkan khususnya yang berasal dari penerimaan ekspor. Kontrol devisa ini juga bermanfaat untuk mengisolasikan mata uang suatu negara dari kegiatan speculative bubble. Namun, di sisi lain kontrol devisa mempunyai implikasi negatif, seperti menciptakan black market, nilai tukar yang overvalued, dan meningkatkan distorsi ekonomi dalam jangka pendek, serta dalam hal birokrasi suatu negara tidak bersih maka dapat meningkatkan korupsi. Fungsi Nilai Tukar Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global. Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara mempunyai beberapa fungsi utama. Pertama, berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan devisa. Oleh karena itu, dalam menetapkan arah kebijakan nilai tukar tersebut diutamakan untuk mendorong dan menjaga daya saing ekspor dalam upaya untuk memperkecil defisit current account atau memperbesar surplus current account.Fungsi kedua adalah untuk menjaga kestabilan pasar domestik. Fungsi ini untuk menjaga agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai alat untuk spekulasi, dalam arti bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami overvalued maka masyarakat akan terdorong membeli valuta asing, dan sebaliknya apabila undervalued maka masyarakat akan terdorong menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar domestik yang demikian dapat menimbulkan kegiatan spekulatif seperti perkembangan akhir-akhir ini, yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan makro. Fungsi ketiga sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang menerapkan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dan ekspansi jumlah uang beredar. Fungsi keempat adalah sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai tukar banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan mem-peg-kan nilai tukar suatu negara dengan satu mata uang asing. Sebagai gambaran pada akhir tahun 1970an, orthodox programs dilaksanakan di Argentina, Chili dan Uruguay dan pada 74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 pertengahan tahun 1980an, heterodox programs dilaksanakan di Argentina, Brazil, Israel dan Mexico, selain itu juga pada tahun 1991 convertibility plan diterapkan di Argentina. Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa pertimbangan, seperti tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perekonomian global, tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi di dalam negeri, dan aktivitas perekonomian suatu negara.1 Pertimbangan pertama adalah preferensi suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Dalam hal suatu negara lebih cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan ingin mengisolasikan gejolak keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas utama. Sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka maka pilihan nilai tukar yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat disterilisasi melalui sistem tersebut. Dari aspek kemandirian dalam melaksanakan kebijakan ekonomi, misalnya dalam hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen, maka sistem nilai tukar fleksibel merupakan pilihan utama. Sementara apabila dilihat dari aspek aktivitas ekonomi maka semakin besar skala ekonomi suatu negara berarti semakin besar kegiatan volume transaksi ekonomi sehingga permintaan akan uang juga semakin meningkat. Dalam hal ini, sistem yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga kredibilitas sistem nilai tukar tersebut. Sementara itu, dasar pertimbangan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya underlying shock pada pasar uang dan pasar barang (LM dan IS) dikemukakan oleh Garber dan Svenson (1994). Dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar dari gejolak yang terjadi di pasar barang (IS) maka pilihan yang lebih baik adalah floating exchange rate. Bila kasus sebaliknya, gejolak di pasar barang (IS) relatif lebih besar dari gejolak di pasar uang (LM) maka pilihan yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating. 1 Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai pertimbangan pemilihan sistem nilai tukar dapat dilihat pada Manuel Guitian, The Choice of an Exchange Rate Regime dalam Approaches to Exchange Rate Policy, Washington, D.C., International Monetary Fund. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 75 Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia Sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu: a. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978) ♦ Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp250 per 1 USD (sebelumnya Rp45 per 1 USD), sementara kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional. ♦ Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada masa tersebut, pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap US dollar, dimana penentuan nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar kurs nilai tukar riil. Dengan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. ♦ Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih dimungkinkan karena lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi tradable good dan kegiatan spekulasi valas belum ada. Di samping itu, pemerintah masih melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, dan portfolio investment, sehingga intervensi langsung yang dilakukan oleh pemerintah dapat bekerja efektif. ♦ Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah melakukan devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp378 per 1 USD, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 USD dan pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 USD. 76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 b. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997) ♦ Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini diimplementasikan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33,6%. Dengan sistem tersebut, pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spread. ♦ Perkembangan nilai tukar rupiah selama periode managed floating dapat dilihat dalam grafik 1. Dalam pelaksanaannya, sistem ini mempunyai esensi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik perekonomian pada saat tersebut. Karakteristik tersebut berhubungan erat dengan seberapa besar Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar tersebut dengan melakukan penekanan pada unsur management atau floating-nya. Grafik 1. Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD 1978:I - 1998:8 16 0 0 0 150 0 0 14 0 0 0 13 0 0 0 12 0 0 0 110 0 0 10 0 0 0 9000 8000 70 0 0 6000 50 0 0 4000 3000 2000 10 0 0 0 16 0 0 0 150 0 0 14 0 0 0 13 0 0 0 12 0 0 0 110 0 0 10 0 0 0 9000 8000 70 0 0 6000 C r awling M anaged M anaged F lo at ing I 50 0 0 B and F lo at ing II 4000 3000 F lexible2 0 0 0 10 0 0 0 78 79 8 0 8 1 8 2 8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8 ♦ Sesuai dengan karakteristiknya maka sistem nilai tukar mengambang terkendali pada periode tersebut dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu managed floating I, managed floating II,dan crawling band. Periode 1978 - 1986 dapat dianggap sebagai periode managed floating I di mana unsur manajemen lebih besar dari floating. Kondisi tersebut terlihat dari pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia melakukan devaluasi rupiah. Cukup kuatnya unsur manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 77 tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga daya saing produkproduk ekspor. ♦ Perkembangan selanjutnya dengan semakin terbukanya perekonomian nasional terhadap perekonomian dunia yang ditandai dengan semakin besarnya capital inflow ke Indonesia, serta semakin pesatnya perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha maka kebijakan nilai tukar managed floating, lebih ditekankan pada unsur floatingnya sementara unsur pengendaliannya (managed) semakin mengecil (periode managed floating II /1987-1992). Dalam periode ini, kekuatan pasar semakin besar sehingga unsur floating semakin dirasakan perlu mengingat manajemen yang terlalu dominan dapat berakibat misalignment pada nilai tukar riil. Dalam grafik 1 terlihat bahwa perubahan nilai tukar terjadi setiap saat, dan ini merupakan gambaran dari upaya Bank Indonesia untuk menyesuaikan nilai tukar rupiah dengan kondisi pasar atau daya saing perekonomian. ♦ Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar tersebut telah mendorong perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia dalam melakukan transaksi devisa. Kegiatan transaksi valas yang sebelumnya dilakukan bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya telah bergeser ke pasar valas antarbank. Di samping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta asing semakin bervariasi. Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang menurun tajam dari sebesar USD 13 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 1 miliar tahun 1994. Sebaliknya transaksi swap antarbank meningkat dari USD 29 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 596 miliar pada tahun 1997. Pada sisi lain, peningkatan fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka. c. Sistem nilai tukar mengambang bebas (sejak 14 Agustus 1997) ♦ Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah mengalami tekanan-tekanan yang menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mempunyai kemiripan. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain dengan dengan melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. 78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 ♦ Namun tekanan depresiatif tersebut semakin meningkat khususnya lagi sejak awal Agustus 1997, di mana rupiah telah menembus Rp2.650 per 1 USD. Sehubungan dengan itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pada tanggal 14 Agustus, pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (flexible exchange rate) . ♦ Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan spekulatif terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri. Walaupun Indonesia telah menganut flexible exchange rate, namun kegiatan intervensi valas masih tetap dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing mengingat pasar ini belum sempurna dan kurang rasional. ♦ Dalam perkembangannya pergerakan nilai tukar rupiah pada era floating tersebut mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Fluktuasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor non ekonomis yang umumnya dimanfaatkan oleh para spekulan valas (lihat grafik 2). Beberapa faktor pendorong yang mengakibatkan terus bergejolaknya nilai tukar rupiah tersebut sebenarnya berasal dari banyaknya kelemahan faktor fundamental mikroekonomi, sedangkan efek menular (contagion effect) dari krisis nilai tukar Thailand hanya merupakan pemicu saja. Beberapa kelemahan faktor fundamental mikroekonomi tersebut adalah: Pertama, besarnya ketergantungan swasta terhadap sektor luar negeri, sehingga dalam lima tahun terakhir utang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% dibandingkan dengan utang luar negeri pemerintah yang naik hanya sebesar 0,4% per tahun. Dengan demikian pangsa utang luar negeri swasta meningkat dari sebesar 29% pada tahun 1993 menjadi sebesar 57% pada akhir tahun 1997. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan banyaknya dana tersebut diinvestasikan pada sektor usaha konsumtif, seperti properti, dan sektor usaha lainnya yang rendah tingkat efisiensinya, disamping dana tersebut tidak dilindung nilai (unhedged);Kedua, pertumbuhan ekspor yang melambat pada tahun terakhir sebagai akibat rendahnya efisiensi sektor dunia usaha; Ketiga; kerapuhan (fragility) sektor keuangan khususnya sektor perbankan sebagai akibat pengelolaan usaha yang lemah dan kurang transparan serta pemberian kredit yang terkait dengan bank, sehingga meningkatkan non performing loan dan resiko usaha bank. Kesemua hal tersebut telah menyebabkan capital outflow akibat berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia. ♦ Melihat kecenderungan perkembangan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah telah mengalami, turning point sejak tanggal 10 Juli 1998. Kecenderungan penguatan rupiah tersebut terlihat Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 79 Grafik 2 Perkembangan Kurs Rp/USD Jan. 1998 s.d. September 1998 17,000 IM F tetap commit utk mem bantu RI dan gerakan Aku cinta Rupiah (12 Jan. '98) 16,000 Suku bunga Intervensi dinaikkan menjadi 70% Penanda t anganan Suplementary Let ter of Inten II 1MF ( 24Juni 98) 15,000 Kebijakan OPT relatif ketat dan intervensi valas Pemerintah menjamin deposan & kreditur (27 Jan 98) &kenaik an suku bunga SBI (27jan 98) 14,000 13,000 12,000 IMF tdk setuju dgn Renc. PenerapanCBS (16 Feb98) 11,000 M elemahnyaJPY M g.I s/d M gIII Juni 10,000 9,000 Berbagai kerusuhan dan demonstarsi mhs M g II Sep 98 Berbagai kerusuhan /Peristiwa Mei *98 8,000 7,000 Isu Penerapa CBS (Mg I s/d IIFeb 98) 6,000 Penanda t anganan Suplementary Let ter of Inten 1MF ( 8 Apr 98) 5,000 Reaksi negatif pasar terhadap RAPBN 98/ 99 yg dinilai ekspansif & kritik IMF thp reformasi yg lambat7 s/d 8 Januari '98 4,000 3,000 Kenaikkan suku bunga SBI (23 Mar 1998) 2,000 2 9 16 23 2 Jan98 9 16 23 2 Feb 9 16 23 30 6 15 22 30 7 15 25 1 Mar Apr Mei 8 15 22 29 7 14 21 28 4 11 19 26 2 Jun Jul Agt 9 16 23 Sept jelas apabila kita mengurangi disturbances pada series nilai tukar Rupiah/USD, dengan menggunakan metode moving average 20 hari (Grafik 3). Kebijakan moneter yang ketat dan intervensi valuta asing yang tepat waktu merupakan faktor pendorong penguatan nilai tukar rupiah tersebut. Grafik 3 Perkembangan Kurs Tengah Antar Bank (Moving 20 days) 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0 1 11 24 5 15 27 8 18 30 10 22 3 13 25 8 18 31 13 23 5 17 27 11 23 2 16 29 12 25 4 16 26 9 21 31 12 25 4 16 July Aug. Sept Oct. Nov. Dec. Jan. Feb Mar. April Mei June Jul. Aug Sept 1997 . 1998 80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Perkembangan Kebijakan Devisa di Indonesia a. Sistem Devisa Kontrol ♦ Hingga tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem devisa kontrol yang cukup ketat, di mana sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa ditetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai oleh negara. Eksportir wajib menjual devisa hasil ekspor kepada bank devisa yang selanjutnya dijual kembali kepada Bank Indonesia. Di samping itu, warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat berharga dalam valuta asing yang dimilikinya pada bank devisa pemerintah. ♦ Kebijakan ini cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap pengaruh eksternal, namun di sisi lain kebijakan ini telah menciptakan pasar gelap valuta asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh di atas harga yang ditetapkan oleh pemerintah. b. Sistem Devisa Bebas ♦ Sejak tahun 1967 secara berangsur-angsur kontrol devisa mulai dilepas dan sistem devisa Indonesia mulai mengarah ke sistem devisa bebas khususnya lagi sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang ini bertujuan untuk menarik masuknya modal asing dalam rangka pembiayaan investasi di dalam negeri. Dalam perkembangannya ternyata masih ada keraguan investor asing bahwa mereka tidak akan dapat mengirimkan keuntungan usaha ke negaranya (profit transfer). Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1970 tentang penyempurnaan pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa setiap orang dapat dengan bebas memperoleh dan menggunakan devisa umum. ♦ Indonesia memasuki sistem devisa bebas murni sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 tentang penghapusan kewajiban penjualan devisa hasil ekspor kepada Bank Indonesia. Penerapan sistem devisa bebas telah memberikan implikasi positif dalam mendorong aliran modal masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk penanaman modal asing, pinjaman, dan investasi portfolio di pasar modal. Aliran modal masuk tersebut sangat diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri sekaligus menutup kesenjangan antara investasi dan tabungan (saving-investment gap) yang selama 3 dasa warsa terakhir mencapai sekitar 3% dari GDP. Arus modal tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi pada masa-masa tersebut. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 81 ♦ Di sisi lain sistem devisa bebas juga mempunyai implikasi negatif karena dapat menimbulkan kerawanan pada perekonomian nasional apabila tidak diikuti dengan sikap kehati-hatian para pelaku ekonomi. Besarnya arus modal masuk khususnya dana-dana yang berjangka pendek yang ditanamkan dalam bentuk portfolio investment, dapat membahayakan perekonomian nasional apabila arus dana tersebut seketika berbalik menjadi arus modal keluar. Krisis yang dialami negara Amerika Latin seperti Meksiko pada tahun 1994, dan krisis ekonomi terakhir yang terjadi di Thailand, Indonesia dan negara ASEAN lainnya merupakan bukti dari berbahayanya hot capital inflows tersebut. Permasalahan yang Dihadapi Indonesia Saat Ini Sistem nilai tukar mengambang terkendali yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1978 s.d. 14 Agustus 1997 telah memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan ekonomi. Terlepas dari itu, dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan yang telah memaksa Indonesia untuk secara bertahap menyesuaikan kebijakan nilai tukar hingga akhirnya beralih ke sistem nilai tukar mengambang. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam era nilai tukar mengambang penuh (free floating rate), yaitu: ♦ Hilangnya kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap sistem perbankan dan prospek ekonomi dalam negeri telah mendorong derasnya arus modal ke luar. Dalam kondisi ini, built-in automatic adjustment yang seharusnya bekerja melalui pengaruh kenaikan suku bunga domestik terhadap arus balik modal asing sehingga nilai tukar kembali stabil ternyata tidak bekerja efektif karena tidak adanya faktor kepercayaan tersebut. ♦ Faktor rendahnya kepercayaan telah membuat harga dari instrumen-instrumen keuangan yang lazim digunakan untuk melindungi nilai ekonomi dari pengaruh fluktuasi nilai tukar (hedging) meningkat sedemikian tingginya sehingga secara ekonomis menjadi tidak layak untuk digunakan. ♦ Kegiatan ekspor yang seharusnya meningkat tajam akibat depresiasi nilai tukar riil yang sangat tajam (hampir 300% hingga bulan Agustus 1998), ternyata menunjukkan kinerja yang tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar riil telah menurunkan impor secara drastis sehingga semakin memperburuk kinerja sektor produksi dan mengurangi pasokan barang di dalam negeri sehingga semakin menambah tekanan inflasi. ♦ Jumlah hutang luar negeri yang sangat besar semakin menambah tekanan permintaan terhadap valuta asing. 82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 INDONESIA'S BALANCE OF PAYMENT in million of US$ Items NON OIL/GAS (net) Exports, fob Imports, fob Services, net Q1 -3724 9771 -10795 -2700 1996/97 Q2 Q3 -3068 -2430 9965 10073 -10410 -9822 -2623 -2681 Q4 -3384 9458 -10099 -2743 Q1 -1634 11980 -10168 -3446 1997/98 Q2 Q3 -1779 -599 11782 11356 -11157 -10023 -2404 -1932 Q4 795 10806 -7271 -2740 OIL(net) Exports, fob Imports, fob Services, net 489 1687 -756 -442 286 1709 -995 -428 368 2147 -1313 -466 116 1970 -1359 -495 82 1650 -1019 -549 48 1527 -963 -516 -86 1624 -1164 -546 -113 1053 -668 -498 GAS(net) Exports, fob Imports, fob Services, net 647 1070 -67 -356 656 1142 -68 -418 1009 1512 -68 -435 966 1534 -67 -501 450 1107 -68 -589 336 1055 -68 -651 483 1254 -68 -703 318 968 -67 -583 -2588 12528 -11618 -3498 -2126 12816 -11473 -3469 -1053 13732 -11203 -3582 -2302 12962 -11525 -3739 -1102 14737 -11255 -4584 -1395 14364 -12188 -3571 -202 14234 -11255 -3181 1000 12827 -8006 -3821 OFFICIAL CAPITAL PRIVATE CAPITAL (net) -434 2427 7 2832 56 3812 -449 4417 362 1864 -191 1981 3158 -8600 870 -7072 CAPITAL ACCOUNT 1993 2839 3868 3968 2226 1790 -5442 -6202 TOTAL -595 713 2815 1666 1124 395 -5644 -5202 ERROR & OMISSIONS 1103 -781 -105 -918 1119 -1691 -496 374 MONETARY MOVEMENTS -508 68 -2710 -748 -2243 1296 6140 4828 16483 - 16415 - 19125 - 19873 - 28854 27559 21418 16590 CURRENT ACCOUNT Exports, fob Imports, fob Services, net MEMORANDUM ITEMS Official Reserves Gross Foreign Assets Outstanding Sumber : Bank Indonesia ♦ Pada awalnya, anjloknya nilai tukar rupah lebih banyak berdampak negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang memiliki beban hutang, khususnya hutang luar negeri, yang besar. Namun, seiring dengan kontraksi permintaan domestik yang sangat tajam, kinerja perusahaan-perusahaan lain juga ikut memburuk. ♦ Cukup cepatnya proses pass-through perubahan nilai tukar terhadap harga-harga di dalam negeri telah memicu lonjakan laju inflasi di dalam negeri. Hasil penelitian Bank Indonesia (1998) menunjukkan bahwa suatu tekanan depresiasi nilai tukar akan segera meningkatkan laju inflasi dalam periode 1 - 2 bulan sejak terjadinya tekanan tersebut. Pengaruhnya baru akan benar-benar hilang setelah 9 - 10 bulan sejak awal terjadinya tekanan depresiasi. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 83 Manajemen Nilai Tukar Mendatang Kebijakan Nilai Tukar Sejak diterapkannya kebijakan nilai tukar mengambang penuh (freefloatingrate) tanggal 14 Agustus 1997, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan-tekanan yang berat baik dari faktor ekonomi maupun non-ekonomi serta faktor internal maupun non-eksternal. Semua faktor ini datang dalam waktu yang bersamaan dan semua memberikan tekanan yang kuat pada rupiah untuk terus mengalami depresiasi. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah berfluktuasi secara tajam sehingga sulit untuk menilai efektivitas sistem nilai tukar mengambang yang telah diterapkan dan sejauh mana kebijakan ini lebih baik dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya yaitu sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dengan kata lain, timing dalam menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang memang tidak menguntungkan meskipun keputusan tersebut kemungkinan merupakan pilihan yang terbaik ketika itu. Sampai saat ini kita masih menganut kebijakan nilai tukar mengambang karena diyakini bahwa sistem ini masih yang terbaik dalam situasi perekonomian Indonesia yang masih mengalami berbagai permasalahan seperti capital outflows,loss of confidence dari investor asing, besarnya corporate foreign debt, dan menurunnya nilai ekspor. Seluruh masalah tersebut membuat penerapan kebijakan nilai tukar terkendali atau tetap menjadi terlalu riskan, apalagi jumlah cadangan devisa yang dikuasai pemerintah relatif kecil. Sistem ini dikatakan masih terbaik mengingat bahwa bank sentral tidak memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing karena tidak terikat pada satu target nilai tukar rupiah. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, penguatan nilai rupiah diharapkan akan secara bertahap terjadi melalui penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati, restrukturisasi perbankan, penyelesaian hutang luar negeri, dan perbaikan sektor riil. Dukungan baik dalam bentuk dana maupun keahlian dari berbagai lembaga keuangan internasional dan negara-negara sahabat diharapkan akan lebih menjamin keberhasilan berbagai upaya tersebut. Namun, kenyataannya prospek keberhasilan masih diselimuti kabut akibat: (i) Masih adanya keraguan pasar terhadap kestabilan politik Indonesia dan/atau kemampuan Pemerintah menjamin keamanan warganya. (ii) Masih adanya keraguan terhadap kemampuan ekonomi Indonesia dalam memikul beban hutang luar negeri di masa-masa yang akan datang. Keraguan tersebut terutama berkaitan dengan ketidakyakinan pasar akan kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia. (iii) Keraguan terhadap kecepatan pemulihan kondisi perbankan. 84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Selama keragu-raguan pasar tersebut masih belum berhasil dihilangkan maka upaya penguatan nilai tukar rupiah akan memakan waktu yang lebih lama daripada yang dapat ditanggung oleh ketahanan sosial ekonomi bangsa ini. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila muncul desakan untuk mencari alternatif kebijakan yang dapat mempercepat proses penguatan rupiah. Salah satu alternatif kebijakan yang diusulkan adalah kembali menerapkan sistem rentang intervensi atau crawling peg (salah satu varian dari sistem managed floating). Rentang intervensi tersebut harus dipertahankan dengan disiplin moneter yang ketat yang mengandung implikasi bahwa apabila jumlah cadangan devisa tidak memadai untuk mempertahankan rentang intervensi maka pilihan kebijakan suku bunga tinggi harus diterapkan. Kemungkinan timbulnya dampak berupa penerapan kebijakan suku bunga tinggi tentunya akan menimbulkan keberatan dari dunia usaha. Akan tetapi pilihannya bukanlah antara suku bunga tinggi atau rendah melainkan antara: (i) keadaan seperti sekarang ini yang serba tidak pasti kapan nilai tukar akan menguat, dan dengan demikian kapan suku bunga dapat mulai turun, dan; (ii) keadaan yang lebih pasti mengarah pada penguatan nilai tukar, walaupun dengan resiko suku bunga yang sangat tinggi untuk sementara, dan lebih pasti pula waktunya dapat mengarah pada penurunan suku bunga; atau pilihan lain antara: (i) nilai tukar yang berfluktuasi dan dapat melemah secara tajam apabila terjadi tekanan yang besar terhadap rupiah, dengan suku bunga yang diupayakan tidak terlalu tinggi namun tidak tertutup kemungkinan harus naik pada tingkat yang cukup tinggi, dan; (ii) nilai tukar yang relatif tetap dengan resiko suku bunga yang kadang-kadang harus tinggi untuk mempertahankan nilai tukar tersebut. Pilihan (i) dari dua set pilihan di atas kiranya bukanlah pilihan yang ideal mengingat: • perubahan nilai tukar berdampak secara langsung pada unit usaha yang di dalam neracanya terkandung resiko kurs; dan perubahan nilai tukar secara tajam dapat dengan seketika menyebabkan bangkrutnya unit usaha tersebut (tidak demikian halnya dengan perubahan suku bunga); • perubahan nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi melalui kenaikan harga barang-barang impor dan ekspor, dan pelemahan nilai tukar yang besar akan menyebabkan perubahan distribusi pendapatan yang besar pula. Kelompok berpenghasilan tetap akan menderita dampak pemiskinan yang hebat; Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 85 • apabila tekanan yang dihadapi cukup berat maka dapat terjadi bahwa, selain nilai tukar yang melemah, suku bunga pun harus dinaikkan, sehingga perekonomian mendapat pukulan dari dua sisi sekaligus; dalam hal ini tujuan sistem nilai tukar mengambang secara bebas dapat dikatakan menjadi tidak tercapai mengingat suku bunga pun pada akhirnya harus mengalami penyesuaian yang cukup besar. Satu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti ekonomi di Bank Indonesia juga memperoleh kesimpulan bahwa — sepanjang sasaran akhir pengendalian moneter adalah kestabilan harga (single target) — maka pengelolaan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) adalah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur industri kita sarat dengan kandungan impor yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kestabilan tingkat harga, sementara di sisi lain perubahan nilai tukar hanya berdampak terbatas terhadap kinerja ekspor. Dalam perkataan lain, nilai tukar yang terlalu berfluktuatif lebih banyak berdampak negatif terhadap perekonomian domestik. Perhitungan berdasarkan pendekatan NATREX (Natural Real Exchange Rate) memberikan wawasan bahwa dalam jangka panjang beberapa variabel fundamental (seperti terms of trade, produktivitas, rasio tabungan terhadap PDB) secara signifikan mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil (lihat persamaan di bawah). Dalam periode tertentu NATREX sebagai pencerminan faktor fundamental mampu menjelaskan pergerakan nilai tukar riil. Namun, pada periode mengambang (free floating) terlihat adanya perbedaan arah antara NATREX dengan nilai tukar riil (REER). Ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa dalam kurun waktu tersebut gerakan nilai tukar riil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non-fundamental sehingga sulit untuk mengharapkan mekanisme pasar dapat menstabilkan nilai tukar secara otomatis. LREER = 4,83 + 1,25 LTOT - 0,12 LPRDVT - 0,03 GNS - 0,02 RDIFF (11,5) (9,2) (-2,5) (-5,2) (-2,6) R2 =0,81 DW-stats = 1,52 R2 adjusted = 0,79 F-stat Angka dalam tanda kurung adalah t-statistic. =54,4 Keterangan: LREER = log nilai tukar riil efektif LTOT = log terms of trade LPRDVT = log produktivitas (PDB riil dibagi jumlah tenaga kerja) GNS = rasio tabungan nasional tehadap PDB RDIFF = perbedaan suku bunga deposito 3 bulan dengan LIBOR 86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Pada prinsipnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa target riil semakin sulit dicapai dalam era freefloating sehingga selama rentang intervensi nilai tukar tidak digunakan maka intervensi otoritas moneter secara berkala ke pasar masih diperlukan, dengan syarat mempertimbangkan ketepatan timing, sifat, dan batas acuan intervensi yang didukung oleh keberadaan suatu Market Intelligence Unit. Membiarkan nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tampaknya bukan merupakan solusi yang tepat untuk menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya krisis nilai tukar di masa datang. Suatu penelitian dengan menggunakan data 26 negara menyimpulkan bahwa, meskipun penyimpangan nilai tukar riil dari nilai ekuilibriumnya (real exchange rate misalignment) merupakan komponen penting dalam membentuk ekspektasi nilai tukar di pasar, namun ekspektasi nilai tukar itu sendiri tidak dapat memperkirakan terjadinya krisis. Dengan perkataan lain, sebagian besar krisis nilai tukar adalah peristiwa-peristiwa yang unpredictable.2 Oleh karena itu, penerapan sistem nilai tukar mengambang pun tidak dapat menjamin bahwa — apabila terjadi suatu exogenous shock yang menimbulkan real exchange rate misalignment — pasar akan segera mengantisipasi kemungkinan timbulnya krisis dan melakukan berbagai penyesuaian sehingga krisis dapat dihindari. Pengalaman di Filipina sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis nilai tukar di Asia juga menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian nilai tukar merupakan pilihan kebijakan yang tepat.3 Meskipun penerapan sistem nilai tukar fleksibel adalah sangat penting guna mengembalikan keseimbangan eksternal dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi berorientasi ekspor, namun ketidakseragaman kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter dan tidak simetrisnya reaksi kebijakan terhadap tekanan nilai tukar telah menimbulkan kinerja inflasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena penerapan jangkar nominal dalam kebijakan moneter akan meningkatkan efektivitas pengendalian inflasi dan menghasilkan prospek pertumbuhan yang ekonomi yang lebih mantap maka penerapan patokan nilai tukar (exchange rate peg) — di samping penerapan rule dalam pengendalian uang beredar dan sasaran inflasi — menjadi pilihan yang lebih tepat. Terdapat dua alternatif timing dimulainya penerapan alternatif kebijakan rentang intervensi tersebut, yaitu: (i) menunggu sampai nilai tukar mencapai tingkat yang wajar, kemudian baru sistem tersebut diterapkan; 2 Ilan Goldfajn dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 159 tahun 1997. 3 Aerdt Houben, Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, Washington, D.C., 1997. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 87 (ii) mulai menerapkan sistem tersebut sekarang, dimulai dengan nilai tukar yang berlaku untuk kemudian diturunkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target. Dalam hal alternatif (ii), target akhir nilai tukar tersebut sebaiknya diumumkan untuk mempengaruhi psikologi pasar. Dalam keadaan di mana nilai tukar yang wajar sukar untuk dicapai (karena faktor politik, spekulasi, dsb.) maka pilihan akan cenderung jatuh pada alternatif (ii). Berikut ini adalah ilustrasi dari penerapan sistem nilai tukar menggunakan rentang intervensi : Pada waktu diterapkan (misalnya hari ini, ketika kurs tengah di pasar sekitar Rp10.700 per dolar AS). • Terapkan dan umumkan rentang intervensi nilai tukar, misalnya terendah Rp10.200 tertinggi Rp11.200. dan • Umumkan bahwa Bank Indonesia akan menurunkan rentang intervensi tersebut sedikit demi sedikit, sehingga dalam waktu 3 bulan menjadi, misalnya, terendah Rp8.200 dan tertinggi Rp9.200. (Pengumuman ini diperkirakan akan membentuk psikologi pasar bahwa nilai tukar akan menguat, sehingga para peserta pasar akan mulai membeli rupiah.) Sudah tentu bahwa para peserta pasar tidak dengan serta merta percaya bahwa Bank Indonesia akan berhasil menurunkan rentang intervensi tersebut, dan pasar pasti akan mencoba kekuatan dan kekukuhan kebijakan Bank Indonesia. Akan tetapi dengan disiplin moneter yang ketat untuk mempertahankan rentang intervensi, diperkirakan pasar akan segera yakin akan kekuatan dan kekukuhan tersebut. • Pertahankan batas tertinggi rentang intervensi dengan kebijakan (disiplin) moneter yang ketat. Dalam hal ini Bank Indonesia menyediakan devisa ($) bagi bank-bank yang ingin membeli $ tersebut pada batas tertinggi rentang intervensi. Bank-bank yang berhak membeli $ dari Bank Indonesia dapat dibatasi hanya bank-bank yang mempunyai saldo giro positif pada Bank Indonesia. • Apabila nilai tukar mendekati batas terendah rentang intervensi, Bank Indonesia dapat mempertahankan batas terendah tersebut dengan membeli valuta asing, akan tetapi dapat pula menggeser rentang intervensi ke bawah apabila dipandang sudah waktunya untuk menggeser rentang intervensi tersebut. Untuk selanjutnya: • Rentang intervensi sedikit demi sedikit diturunkan hingga mencapai target yang diumumkan, yaitu Rp8.200 - Rp9.200. 88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 • Apabila rentang intervensi sudah mencapai target yang diumumkan, Bank Indonesia dapat mengumumkan bahwa target selanjutnya yang ingin dicapai adalah rentang intervensi Rp6.200 - Rp7.200, apabila nilai tukar pada tingkat tersebut dipandang sebagai nilai tukar yang wajar, dan akan menurunkan rentang intervensi sedikit demi sedikit sampai mencapai target tersebut misalnya dalam waktu tiga bulan. • Apabila rentang intervensi sudah mencapai target akhir (misalnya Rp6.200 - Rp7.200) maka rentang intervensi tersebut akan dipertahankan untuk seterusnya. Perubahan hanya akan dilakukan apabila terjadi perubahan mendasar pada faktor-faktor yang melatarbelakanginya (seperti perubahan yang besar pada nilai tukar antara US$ dan matauang-matauang utama lainnya). Berkaitan dengan timing dari penerapan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali, Prof. Arnold Harberger mengajukan skenario “Tiga Fase” yang dapat dijelaskan sebagai berikut.4 Fase I Dalam fase ini, otoritas moneter sebaiknya tetap mempertahankan kebijakan nilai tukar mengambang. Tindakan yang perlu dilakukan adalah menerapkan kebijakan yang berhati-hati (kebijakan yang tidak menimbulkan tambahan tekanan inflasioner) tanpa secara Perkembangan Nilai Tukar Riil (Bilateral USD/Rp) Periode 1996 - Juli 1998 100.00 2.00 80.00 1.80 1.60 60.00 CP I Ina/CP I USA Index Nom . USD/Rp 1.40 40.00 1.20 20.00 1.00 0.00 0.80 -20.00 0.60 -40.00 0.40 P ert umbuhan Nilai t ukar Riil USD/Rp -60.00 0.20 0.00 -80.00 1 3 5 1996 7 9 11 1 3 5 1997 7 9 11 1 3 5 7 1998 4 Lihat dua tulisan Arnold C. Harberger yang disampaikan pada serangkaian pertemuan yang disponsori USAID di Universitas Indonesia dan di Bank Indonesia. Kedua tulisan tersebut masing-masing berjudul “The Anatomy of Crisis” dan “Notes on the Indonesian Crisis.” Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 89 kaku menetapkan sasaran inflasi. Biarkan nilai tukar nominal menguat secara perlahanlahan dan tingkat harga bergerak naik sehingga mendorong penguatan nilai tukar riil. Kebijakan yang bersifat pasif ini sebaiknya dipertahankan hingga nilai tukar riil mendekati satu level sebelum krisis (Harberger mengusulkan untuk mengakhiri penerapan fase I ketika nilai tukar riil mencapai sekitar 1,3 kali level sebelum krisis. Sebagai catatan, saat ini nilai tukar riil rupiah telah melemah sekitar 2 kali level sebelum krisis.) Terdapat beberapa alasan penguatan nilai tukar secara perlahan meskipun nilai tukar rupiah dibiarkan mengambang, yaitu: (i) arus modal keluar yang dipicu oleh kepanikan para pemilik dana sudah mulai berkurang, (ii) permintaan impor menurun tajam sejalan dengan menurunnya aktivitas ekonomi yang diperkuat lagi dengan adanya efek substitusi barang impor dengan barang lokal, (iii) masuknya dana bantuan dan pinjaman luar negeri menambah jumlah cadangan devisa yang dikuasai oleh pemerintah. Sementara itu, tingkat harga-harga domestik akan terus bergerak naik karena: (i) efek tidak langsung dari akumulasi depresiasi sejak awal krisis terhadap kenaikan hargaharga belum sepenuhnya berakhir (incomplete pass-through), (ii) tingkat keseimbangan upah nominal akan bergerak naik, (iii) keinginan untuk meningkatkan volume kredit ke sektor swasta dan akumulasi tambahan devisa akan mendorong kenaikan jumlah uang beredar. Fase II Ketika nilai tukar riil telah menguat hingga mencapai level yang diinginkan, otoritas dapat beralih ke fase kedua. Dalam fase ini, otoritas menerapkan kebijakan yang bersifat “adaptif”, yaitu berupaya mengendalikan/menyesuaikan nilai tukar nominal secara harian dengan sasaran mempertahankan nilai tukar riil pada level tertentu (constant real exchange rate targeting) yang tidak lain merupakan esensi dari kebijakan nilai tukar mengambang terkendali (managed floating rate). Kebijakan ini diharapkan akan menimbulkan surplus neraca pembayaran dan memupuk cadangan devisa. Berdasarkan skenario yang optimistis, kebijakan ini akan mendorong ekspor dan meningkatkan PMA dan arus modal masuk lainnya untuk selanjutnya mendorong kenaikan PDB riil dan penurunan laju inflasi. Apabila sasaran kenaikan cadangan devisa tidak berhasil, kebijakan ini dapat dimodifikasi dengan menaikkan sasaran nilai tukar riil (depresiasi). Sebaliknya, apabila kenaikan cadangan devisa terjadi terlalu cepat atau jumlah cadangan devisa telah mencapai level yang tinggi, sasaran nilai tukar riil dapat diturunkan (apresiasi). Fase III Ketika jumlah cadangan devisa sudah mencapai level yang diperkirakan dapat meredam tekanan spekulatif dan PDB telah kembali mencatat pertumbuhan positif yang cukup memadai, prioritas kebijakan dapat dialihkan ke arah penurunan laju inflasi. Untukitu, otoritas perlu 90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 beralih dari kebijakan “adaptif” menjadi kebijakan yang secara aktif berupaya menurunkan laju depresiasi nilai tukar nominal. Setelah nilai tukar nominal menguat pada level tertentu, pada akhirnya otoritas akan dihadapkan pada tiga pilihan sistem nilai tukar yang lebih bersifat permanen, yaitu sistem mengambang, sistem rentang intervensi, atau sistem nilai tukar tetap. Kebijakan Lalu Lintas Devisa Pada prinsipnya sistem devisa bebas yang kita terapkan sejak tahun 1982 masih relevan kita pertahankan walaupun perekonomian Indonesia masih menghadapi permasalahanpermasalahan berat seperti tersebut di atas. Beberapa pertimbangan yang mendasari alasan penerapan sistem devisa bebas di Indonesia: • Indonesia saat ini sangat membutuhkan modal asing. Dalam situasi seperti sekarang, upaya pembatasan lalu lintas devisa hanya akan menghilangkan minat investor asing untuk masuk ke Indonesia. • Sistem kontrol devisa membutuhkan kelengkapan birokrasi yang bersih dan efisien. • Sistem kontrol devisa mengandung beberapa kelemahan seperti dapat mendorong perilaku manipulatif di kalangan eksportir dan importir serta menimbulkan misalokasi sumber daya. Kebijakan devisa bebas memerlukan sistem monitoring lalu lintas devisa yang disiplin, konsisten, dan efektif serta dalam coverage yang memadai agar kebijakan nilai tukar rupiah fleksibel lebih compatible dengan kebijakan devisa bebas. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penyempurnaan sistem pelaporan lalu lintas devisa. Saat ini Bank Indonesia tengah melakukan upaya penyusunan sistem pelaporan dalam rangka penyusunan statistik neraca pembayaran cash basis. Sistem pencatatan cash basis ini diharapkan akan mampu menggambarkan flow of fund transaksi luar negeri secara akurat dan terinci dan melengkapi statistik neraca pembayaran khususnya untuk transaksi-transaksi jasa dan modal swasta, sehingga pada akhirnya ikut membantu peningkatan efektivitas kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga tengah mengupayakan peningkatan monitoring terhadap rekening vostro milik nonresiden serta monitoring transaksi valas di pasar uang baik secara on line maupun paper based. Melalui upaya ini diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai perkembangan internasionalisasi rupiah dan potensi tekanantekanan spekulatif terhadap nilai tukar rupiah secara lebih dini. Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, semua sumber devisa termasuk hasil ekspor harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, Bank Indonesia akan berupaya mengoptimalkan berbagai fasilitas/insentif yang selama ini telah disediakan dan menciptakan fasilitas/insentif baru agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank Indonesia. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya 91 Kesimpulan Berdasarkan kondisi objektif saat ini maka alternatif sistem nilai tukar crawling peg mungkin dapat dipertimbangkan, tentunya dengan komitmen untuk tetap mengendalikan besaran-besaran moneter secara konsisten. Di tengah kebutuhan kita akan modal asing dan cadangan devisa, sistem devisa bebas masih merupakan pilihan terbaik. Namun, sistem devisa tersebut memerlukan sistem monitoring lalu lintas devisa yang komprehensif dan akurat. Sistem devisa bebas yang diarahkan untuk mendukung penerapan sistem crawling peg perlu didukung dengan upaya-upaya tambahan untuk meningkatkan cadangan devisa yang berasal dari ekspor. Hal ini dilakukan dengan memberikan fasilitas/insentif kepada para eksportir. Daftar Pustaka Dornbusch, Rudiger, dan F. Leslie C.H. Helmers, eds., The Open Economy: Tools for Policymakers in Developing Countries, Oxford University Presss, New York, 1995. Friedman, B.M., dan F.H. Hahn, eds., Handbook of Monetary Economics, Volume 2, North-Holland, Amsterdam, 1993. Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997. Guitian, Manuel, The Choice of an Exchange Rate Regime, Approaches to Exchange Rate Policy, IMF, Washington, D.C. Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of meetings in Jakarta, UCLA, September 1998. _________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997. Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, Washington, D.C., 1997. Waluyo, Doddy B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No. 1, Bank Indonesia, Jakarta, 1998. Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 169 MEMPREDIKSI KONDISI PERBANKAN MELALUI PENDEKATAN SOLVENCY SECARA DINAMIS Indira & Dadang Muljawan *) Munculnya krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di suatu negara ditandai oleh beberapa indikator seperti tingginya kredit bermasalah, kesulitan likuiditas serta insolvensi dari lembaga keuangan maupun perbankan. Terdapat beberapa konsep yang menerangkan definisi krisis perbankan, pertama adalah penilaian terhadap negative net present value dari cashflow dan kedua adalah penilaian terhadap net worth dari lembaga keuangan atau perbankan. Apabila otoritas pengawasan perbankan dapat mengetahui secara akurat dan bahkan memprediksi tingkat solvency untuk masa yang akan datang akan sangat membantu dalam menentukan tindakan-tindakan yang harus diambil agar sistem perbankan selalu berada dalam kondisi solvent. Insolvency dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas aktiva perbankan, buruknya permodalan serta sebab-sebab secara makro yang tidak secara langsung mempengaruhi kondisi perbankan. Namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal perbankan melalui penghitungan rasio-rasio keuangan yang dapat dianggap sebagai proxies dari kesehatan bank serta dengan menggunakan metoda Discriminant Analysis diperoleh beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kondisi solvency. Faktor-faktor tersebut adalah kualitas aktiva produktif, kecukupan modal (CAR) dan likuiditas. Faktor-faktor penentu tersebut tidak berdiri sendiri, namun memiliki interkorelasi antara satu dengan lainnya dalam satu jangka waktu tertentu. Interkorelasi antar variabel berdasarkan fungsi waktu dinyatakan dalam matrix system. Berdasarkan matrix system dapat diprediksi kondisi faktor-faktor penentu satu periode yang akan datang dan kondisi solvency perbankan baik secara individual maupun global. Melalui pengembangan lebih lanjut dengan mengidentifikasi variabel-variable mikro serta makro yang memiliki korelasi dengan kondisi solvency perbankan, metode ini dapat digunanakan sebagai dasar dalam membangun sistem pengawasan dini (early warning model) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis perbankan dimasa mendatang. *) Gusti Ayu Indira : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected] Dadang Muljawan : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected] Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ibu Miranda S.Gultom (Direktur BI), Bp. Erman Munzir (Kepala UPPB), Bp. Ardhayadi (Deputi Kepala UPwB2), Bp. Muliaman D.Hadad (Peneliti Ekonomi, Biro Gubernur), dan bantuan dalam perolehan data kepada Tim 4-UPPB 170 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tinjauan Singkat Krisis Keuangan dan Perbankan D ewasa ini krisis keuangan dan perbankan sudah menjadi suatu fenomena umum yang terjadi tidak hanya di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, namun juga melanda negara-negara berkembang di belahan dunia bagian Timur, misalnya negaranegara kawasan Asia Pasifik. Krisis yang melanda sistem keuangan tidak hanya menjadi beban bagi perekonomian suatu negara tetapi juga berpotensi mempengaruhi efektivitas kebijaksanaan moneter. Dalam hal ini, beban ekonomi yang harus ditanggung adalah berkurangnya volume dan efisiensi lembaga intermediasi sebagai akibat ditutupnya operasi sejumlah bank maupun gencarnya upaya bank merestrukturisasi portofolionya. Krisis keuangan juga menempatkan pemerintah pada posisi yang dilematis dalam menuangkan suatu kebijakan. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan moneter agar tidak memperburuk sistem perbankan, namun disisi lain sistem perbankan yang tidak sehat dapat menjadi faktor penghambat pencapaian target kebijakan moneter. Secara global, krisis keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal yang terdapat dalam sistem keuangan suatu negara. Beberapa pakar keuangan, melalui latar belakang dan sudut pandangnya masing-masing, berupaya memberikan penjelasan logis terhadap latar belakang krisis tersebut. Diantaranya adalah Stanley Fischer yang mengemukakan tiga hal mendasar yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya krisis tersebut1. Pertama, walaupun tidak ada kaitan langsung antara deregulasi dan krisis keuangan, sistem perbankan di beberapa negara banyak yang menghadapi problema setelah pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory framework) serta perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu mengakomodasi tuntutan deregulasi tersebut2. Kedua, perkembangan financial market yang demikian marak dan diikuti oleh berbagai inovasi produk-produk keuangan yang bercirikan inherent risk yang relatif tinggi, namun ironisnya substansi produk-produk tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh otoritas pengawasan bank. Apabila dianalogikan, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan industri keuangan, khususnya perbankan bergerak dalam deret ukur, sementara kemampuan otoritas pengawas bergerak dalam deret hitung. Ketiga, Pemerintah melakukan liberalisasi di sektor keuangan tanpa memastikan apakah sistem keuangan domestik dalam kondisi sehat dan stabil, serta kebijakan makro 1. Stanley Fischer, Central Banking : The Challenges Ahead - Financial System Soundness, Finance & Development, March 1997. 2. Misalnya, Argentina, Finlandia, Thailand dan Venezuela. Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 171 ekonomi berjalan dengan efektif. Sementara itu, Mark Gertler & Andrew Rose (1994) berargumentasi bahwa liberalisasi tidak perlu ditunda sampai kondisi makroekonomi sempurna, namun paling tidak liberalisasi tersebut didukung oleh kebijakan yang secara langsung mempromosikan pertumbuhan dan stabilitas sektor riil. Berdasarkan pengamatan secara historis di beberapa negara, dapat disimpulkan bahwa liberalisasi di sektor keuangan pada umumnya didahului oleh suatu masa dimana institusi keuangan mengalami 'tekanan' (financial repression) melalui berbagai kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak. Misalnya kebijakan penyaluran kredit yang diprioritaskan kepada sektor-sektor pemerintah (dictated/directed lending), kebijakan pemeliharaan reserve requirement dengan persentase yang cukup tinggi3, kebijakan penetapan suku bunga baik terhadap produk-produk keuangan yang ada disisi assets maupun liabilities, dan sebagainya. Pada masa tersebut, pemerintah memposisikan perbankan sebagai instrumen untuk mempromosikan kegiatan investasi dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi. Beranjak dari konsepsi dasar tersebut, pengawasan yang dilakukan terhadap sistem perbankan lebih difokuskan pada kepatuhan bank dalam menunjang kebijakan ekonomi dan moneter (macro economic supervision), sementara pengawasan terhadap kesehatan (prudential supervision) kurang mendapatkan perhatian. Dengan adanya kebijakan pagu suku bunga menyebabkan masyarakat lebih tertarik menanamkan uangnya dalam bentuk aset yang mampu memberi perlidungan terhadap inflasi (inflation hedges), misalnya tanah dan emas, yang tentu saja tidak dapat berperan secara efisien sebagai financial intermediation. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan iklim ekonomi yang kurang kondusif, sehingga pada akhirnya Pemerintah mengambil tindakan represif melalui kebijakan liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini selanjutnya membawa dampak pada pertumbuhan aset bank yang pesat, peningkatan hutang (over-indebtedness) serta asset price bubbles. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Krugman, penyebab krisis yang terjadi di kawasan Asia lebih disebabkan oleh asset price bubles yang dikemudian hari mengalami kemerosotan nilai (collapse)4. Problem berawal dari moral hazard yang terjadi pada financial intermediation dimana dianggap bahwa pemerintah baik secara nyata maupun implisit akan memberikan jaminan terhadap dana masyarakat karena berpegang pada anggapan too big to fail. Pola pikir demikian mendasari financial intermediation melakukan aktivitas lending yang cenderung berisiko tinggi, sehingga pada gilirannya memacu inflasi atas asset prices5. Untuk sementara waktu peningkatan asset prices akan membuat kinerja 3. Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell J. Fry menunjukkan bahwa selama periode 1978-1987, rata-rata rasio reserve requirement di 91 negara berkembang mencapai 21,2% dibandingkan dengan 7,1% rasio di negara maju. 4. Krugman memformulasikan suatu model yang menjelaskan bahwa krisis Asia diawali oleh financial excess yang kemudian diikuti oleh financial collapse. Pandangan ini memberikan interpretasi bahwa currency crisis bukan menyebabkan krisis melainkan merupakan gejala awal (symptom) terjadinya krisis. 5. Jepang merupakan salah satu negara yang menghadapi masalah asset prices bubles, dan saat ini sedang melakukan restrukturisasi setelah berupaya keras mengatasi masalah tersebut selama 10 tahun terakhir. 172 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 neraca lebih baik daripada kenyataannya. Namun pada saat terjadi asset prices burst, financial intermediation akan menghadapi masalah insolvency. Secara umum dapat disimpulkan bahwa financial liberalization dapat menjadi faktor yang meningkatkan kerentanan sistem perbankan (banking fragility). Krisis Perbankan di Indonesia Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama 3 dekade terakhir, Indonesia dilanda krisis keuangan yang berawal pada semester ke-2 tahun 1997, yang secara aggregat membuat pertumbuhan yang telah dicapai menjadi tidak berarti. Dengan meminjam istilah yang digunakan World Bank, krisis di Indonesia dapat dianalogikan dengan "the dog that didn't bark", karena tidak ada yang memprediksi bahwa Indonesia akan dilanda krisis yang berkepanjangan. Sejauh ini belum ada satu sumber yang menetapkan suatu patokan yang bersifat baku yang dapat menandakan bahwa kondisi perbankan berada dalam keadaan krisis. Suatu studi empiris yang dilakukan oleh Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache6 untuk menentukan faktor determinan krisis perbankan menggariskan bahwa suatu periode kemerosotan perbankan dapat dikategorikan sebagai krisis apabila memenuhi paling sedikit satu dari empat kondisi berikut, yaitu (i) rasio non-performing assets terhadap total assets dalam sistem perbankan telah melampaui 10%, (ii) biaya penyelamatan bank paling tidak mencapai 2% dari GDP, (iii) masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi bank-bank, dan (iv) penarikan dana besar-besaran (bank runs) atau pembekuan dana nasabah (deposit freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat secara merata yang diberlakukan oleh pemerintah. Apabila studi tersebut dikaitkan dengan kondisi perbankan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa perbankan Indonesia sudah masuk dalam kategori krisis, sebagaimana tercermin pada indikator berikut, yaitu (i) pada bulan Mei 1998, rasio aktiva produktif yang non-performing terhadap total asset mencapai 23,8%, (dengan proporsi pada setiap jenis bank terlihat pada Grafik 1); (ii) estimasi biaya penyelamatan bank diperkirakan mencapai kurang lebih Rp. 320 triliun, yang berarti + 51% dari total GDP; (iii) pada bulan Agustus 1998, pemerintah mengumumkan beberapa bank yang dinasionalisasikan; (iv) karena berbagai isu yang menerpa, beberapa bank diserbu oleh para nasabah yang hendak menarik simpanan mereka walaupun pemerintah telah memberlakukan program penjaminan terhadap seluruh dana masyarakat yang disimpan di bank. 6. Studi tersebut didasarkan atas studi yang dilakukan oleh Caprio & Klingebiel (1996), Drees & Pazarbasioglu (1995), Kaminsky & Reinhart (1996), Lindgren et al. (1996), dan Sheng (1995) melalui survey terhadap bangking sector fragility diseluruh dunia dalam periode 1980-1994. Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 173 Grafik 1 (22.5%) BUSN Devisa (21.4%) Bank Persero (11.4%) BUSN Non Devisa (14.2%) Bank Asing (9.5%) BPD (21.0%) Bank Campuran Sebagaimana halnya sektor-sektor perindustrian lainnya, industri perbankan Indonesia juga dikelilingi oleh berbagai lingkungan, baik internal maupun eksternal, yang dapat membentuk, mengarahkan serta mempengaruhi keberadaan industri tersebut. CarlJohn Lindgren, Gillian Garcia dan Matthew I. Saal (1996) mengidentifikasi 3 faktor yang mempengaruhi perilaku dan kondisi kesehatan sistem perbankan, yaitu lingkungan operasional, pengaturan internal dan pengaturan eksternal. Ketiga faktor tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, namun harus secara bersama-sama dibangun dan dikondisikan agar dapat mendukung keberadaan sistem perbankan yang dikehendaki. Dikaitkan dengan krisis perbankan di Indonesia, keberadaan faktor-faktor tersebut sedikit banyak dapat membantu memberikan pemahaman terhadap penyebab awal terjadinya krisis. Pertama, lingkungan operasional (operating environment) yang kurang kondusif dalam membangun serta mempertahankan sistem perbankan yang mapan, sebagaimana tercermin dari infrastruktur ekonomi, kondisi ekonomi dan non-ekonomi serta liberalisasi sektor keuangan. Infrastruktur ekonomi itu sendiri terdiri dari kerangka kelembagaan (institutional framework) dan wadah dimana lembaga tersebut berkiprah, yaitu pasar keuangan (financial market). Dalam konteks industri perbankan, institutional framework yang berperan cukup penting adalah struktur hukum dan politik yang memberikan kepastian dan jaminan untuk melindungi aset dan operasional bank, misalnya perundangan kepailitan, anti monopoli, kompetisi dan lain sebagainya. Faktor kedua dari infrastruktur ekonomi adalah liberalisasi sektor keuangan. Apabila tidak dilandasi dengan infrastuktur yang diperlukan dan disertai dengan penyesuaian yang tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, maka dapat dipastikan liberalisasi hanya akan menjadi cikal bakal munculnya permasalahan yang kompleks. Contoh dari ekses negatif program liberalisasi perbankan dapat dilihat pada sejarah perjalanan perbankan Indonesia, dimana melalui kebijakan tahun 1988 pemerintah memberi kemudahan bagi pendirian bank. Kebijakan ini pada akhirnya membawa dampak pada 174 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas kompetisi yang tinggi dan berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang. Secara teoritis, keberadaan pasar perbankan yang terbuka, kompetitif dan berfungsi dengan baik dapat menjadi social control dalam melakukan seleksi alam bagi bank yang tidak efisien dan efektif, serta dapat membentuk suatu disiplin pasar (market discipline) yang mendukung terciptanya sistem perbankan yang sehat. Dalam prakteknya tidak demikian yang terjadi. Market discipline tidak dapat ditegakkan dengan mudah karena dilema yang harus dihadapi pemerintah, yaitu antara systemic risk vs liquidity support. Dengan membiarkan bank berguguran, pemerintah khawatir akan risiko yang ditimbulkan apabila masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan yang secara filosofi dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat. Beranjak dari kekhawatiran tersebut, pemerintah memilih untuk memberikan bantuan bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas. Faktor ketiga dari infrastruktur ekonomi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi. Sebagai institusi yang berperan penting dalam dunia perekonomian, sistem perbankan dapat merefleksikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pada saat perekonomian mengalami kelesuan maupun resesi, maka perbankan akan berpotensi menghadapi masalah dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Secara umum sistem perbankan yang sehat akan memiliki struktur permodalan dan cadangan yang memadai untuk mendukung aktivitas bisnis dalam kondisi normal, namun kasus-kasus yang terjadi dibeberapa negara membuktikan bahwa standar permodalan minimun yang ditetapkan tidak memadai dalam kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal inipun terjadi di Indonesia, dimana krisis perekonomian, yang diawali dengan depresiasi mata uang domestik terhadap US dollar (currency crisis), mengakibatkan banyak bank-bank menjadi insolvent, dimana (i) sisi liabilities yang didominasi valuta asing membengkak, (ii) asets yang non-performing meningkat karena banyak debitur yang default, (iii) kepanikan para deposan sehingga banyak yang menarik dananya, (iv) depresiasi yang berkepanjangan menyebabkan kredit dalam valuta asing meningkat sehingga rasio CAR menjadi turun. Namun perlu diingat bahwa currency crisis sebaiknya tidak dipandang sebagai faktor penyebab terjadinya krisis perbankan, melainkan lebih merupakan suatu momentum yang membuktikan betapa rapuhnya (fragile) industri perbankan di Indonesia, karena cepat atau lambat dengan kondisi yang rapuh, perbankan akan berpotensi mengalami stagnasi. Disamping itu, sistem perbankan di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh kondisi non-ekonomi, misalnya stabilitas dan campur tangan politik ataupun bencana alam. Goncangan politik yang terjadi saat ini secara langsung menurunkan kepercayaan terhadap ekonomi dan sistem keuangan sehingga mengakibatkan meningkatnya arus modal ke luar negeri (capitalflight), kenaikan harga-harga serta turbulensi nilai tukar. Sementara itu, campur tangan politik menyebabkan tidak efektifnya implementasi kebijakan intern perbankan Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 175 maupun sistem pengawasan oleh otoritas. Misalnya kewajiban penyaluran kredit kepada sektor ataupun industri tertentu yang sebenarnya tidak menciptakan nilai tambah dalam rantai produksi nasional, yang dikucurkan tanpa penilaian terhadap kelayakan proyek tersebut. Kedua, pengaturan internal (internal governance). Kesehatan suatu bank sangat bergantung pada pemilik dan pengelola bank. Pemilik bertanggungjawab terhadap kecukupan modal bank untuk dapat mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi, sementara pengelola membangun dan mempertahankan bank agar tetap sehat, mempertahankan nilai bank dengan memastikan portfolio asset yang sehat dan dapat menghasilkan income yang memadai serta menilai struktur kewajiban (liabilities) dalam rangka mengelola likuiditas bank. Pada kenyataannya, banyak pemilik yang menjadikan bank sebagai sumber pembiayaan (cash cow) bagi kepentingan usahanya, dan bahkan kredit yang dikucurkan melampui Batas Maksimum Pemberian Kredit. Apabila motivasi memiliki bank didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan bank bagi kepentingan sendiri, maka internal governance secanggih apapun tidak dapat menjamin kesehatan bank. Disamping itu, seringkali terjadi benturan kepentingan (conflictofinterest) antara pemilik dan pengelola. Masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya dan mencapai tujuannya sehingga pada akhirnya mengabaikan tujuan semula, yaitu memaksimalkan the value of the bank. Ketiga, pengaturan eksternal (external governance) melalui pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral. Sejauh ini, salah satu kelemahan dalam pengaturan perbankan di Indonesia adalah penciptaan market discipline yang memastikan bahwa bank yang tidak sehat tidak dapat melanjutkan usahanya. Untuk menunjang berfungsinya pengaturan dan pengawasan perbankan yang kredibel, otoritas pengawasan harus berada dalam suatu struktur institusi yang memiliki kapasitas, otoritas dan independensi. Menyadari bahwa krisis perbankan akan membebani perekonomian nasional, maka pemahaman mengenai konsep solvency menjadi sangat strategis di dalam mengantisipasi terjadinya krisis, yaitu melalui proyeksi kondisi di masa yang akan datang yang dapat memberikan indikasi awal terhadap kecenderungan banking fragility yang pada akhirnya dapat membawa perbankan pada kondisi krisis. Analisis Solvency Pengklasifikasian secara tepat apakah suatu sistem perbankan berada dalam kondisi sehat atau tidak sehat bukan merupakan hal yang mudah karena tidak ada suatu patokan (benchmark) yang dapat menentukan kapan sistem perbankan tidak sehat atau kapan krisis perbankan akan terjadi. Disamping itu, tingkat kerentanan (vulnerable) sistem perbankan 176 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 dari waktu ke waktu berubah-ubah. Pada saat tertentu sistem perbankan dapat berfungsi dengan baik namun pada lain kesempatan menunjukkan tanda/gejala adanya masalah di masa mendatang (potential problem). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis perbankan., otoritas pengawasan di berbagai negara telah merancang suatu early warning system yang berfungsi sebagai indikator dalam menentukan kemungkinan suatu bank mengalami kesulitan. Pada dasarnya indikator-indikator tersebut bersumber dari laporan-laporan periodik yang disampaikan bank kepada otoritas pengawasan. Semakin banyak data yang tersedia, maka model yang dapat dikembangkan menjadi semakin komprehensif. Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya sistem perbankan yang sehat adalah bank yang sehat. Sampai saat ini pendekatan yang digunakan secara luas untuk menentukan kesehatan suatu sistem perbankan adalah konsep solvency. Carl-Johan Lindgren, Gillian Garcia dan Mathew Saal mendefinisikan sistem perbankan yang sehat sebagai "one in which most banks (those accounting for most of the system's assets and liabilities) are solvent and are likely to remain so. Solvency is reflected in the positive net worth of a bank, as measured by the difference between the assets and liabilities in its balance sheet. The likelihood of remaining solvent will depend on banks' being profitable, well managed, and sufficiently well capitalized to withstand adverse events". Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa suatu sistem perbankan dikatakan sehat apabila bank-bank dalam sistem tersebut berada dalam kondisi solvent, yang dalam hal ini sangat erat dipengaruhi oleh kondisi profitabilitas, manajemen dan modal yang memadai. Suatu bank dapat dikatakan solvent apabila nilai aset yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan nilai kewajibannya kepada deposan maupun kreditur, dengan kata lain, bank tersebut masih memiliki net worth. Bank dengan net worth yang relatif rendah (undercapitalized bank) akan sangat rentan, dalam arti mudah collapse jika terjadi kerugian maupun shock, misalnya perubahan kebijakan, assets price collapse dan sebagainya. Dalam kondisi pasar yang dinamis dan kompetitif, profitabilitas bank sangat bergantung pada tingkat efisiensi, sehingga apabila suatu bank tidak dikelola secara efisien maka bank tersebut akan menderita kerugian sampai pada tingkat tertentu dimana bank akan menjadi insolvent dan selanjutnya illiquid. Dari beberapa literatur IMF yang mengetengahkan mengenai masalah perbankan, diantaranya yang ditulis oleh Lindgren, Garcia and Saal (1996), dapat dikemukakan bahwa dalam kondisi normal, illiquidity selalu didahului oleh insolvency, artinya bank yang mengalami kesulitan likuiditas umumnya adalah bank yang insolvent, kecuali jika kesulitan likuiditas tesebut disebabkan penarikan dana secara besar-besaran yang disebabkan oleh factor panic. Dalam prakteknya, masalah yang seringkali dihadapi bank yang muncul Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 177 kepermukaan adalah masalah kesulitan likuiditas (illiquidity). Hal ini disebabkan bank yang mengalami kerugian karena tidak dapat beroperasi secara efisien ataupun tidak dikelola secara profesional dan berhati-hati, dapat menyembunyikan ataupun tidak membukukan kerugian tersebut dalam income statement, baik dengan melakukan plafondering maupun accrue bunga kredit yang non-performing. Untuk sementara waktu kerugian tersebut dapat diatasi dengan mencari sumber dana dari nasabah-nasabah baru ataupun pinjaman lainnya, namun pada saat sumber dana sulit diperoleh maka kesulitan likuiditas tidak dapat dihindari. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan suatu bank dapat tetap liquid meskipun secara finansial sudah insolvent karena memperoleh bantuan likuiditas dari bank sentral dalam kapasitasnya sebagai lender-of last resort. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 hal, pertama, bank sentral menghidari terjadinya systemic risk yang disebabkan oleh bank panic karena bank yang insolvent terpaksa harus dilikuidasi, walaupun kemungkinan beban kumulatif yang harus ditanggung pemerintah melampaui beban yang timbul jika pemerintah melikuidasi ataupun merestrukturisasi bank-bank tersebut. Kedua, keterbatasan dalam sistem informasi perbankan serta early warning system yang belum mampu memberikan indikasi serta prediksi terhadap bank yang insolvent maupun berpotensi menjadi insolvent. Konsep solvency pada dasarnya bersifat statis karena pengukuran hanya dilakukan pada suatu titik waktu tertentu sehingga belum sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi bank yang sebenarnya. Untuk menyempurnakan pendekatan solvency ini diperlukan suatu penilaian yang lebih berorientasi kedepan (forward-looking) yang mencakup faktor penentu insolvency, yaitu antara lain meliputi kualitas aset dan rentabilitas yang buruk, faktor-faktor kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan ekstern serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal. Dalam salah satu artikelnya mengenai ketentuan permodalan, Allan Greenspan menyatakan bahwa the likelihood of insolvency is determined by the level of capital a bank holds, the maturities of its assets and liabilities, and the riskiness of its portfolio7. Pandangan ini menyatakan bahwa insolvency terkait erat dengan struktur permodalan bank, pengelolaan likuiditas yang tercermin dari profil maturitas sumber dan penanaman dana serta pengelolaan risiko penanaman dana. Sementara itu, dari sudut pandang ekonomi, kondisi insolvency terjadi jika present value dari aliran net cash flow yang diharapkan bernilai negatif dan melampaui jumlah modal bank. Pengukuran insolvency melalui pendekatan-pendekatan tersebut diatas harus didukung oleh sistem informasi perbankan yang komprehensif, misalnya tersedianya laporan maturity profile, laporan cash flow serta penilaian risiko portfolio. Saat ini sistem pelaporan perbankan belum sepenuhnya dapat mencerminkan kondisi perbankan yang sebenarnya, sehingga dapat 7. Allan Greenspan, dalam sudut pandangnya mengenai ketentuan permodalan yang harus mencakup insolvency probability Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 178 menjelaskan mengapa masalah perbankan yang muncul tidak dapat dideteksi lebih dini bahkan dinegara-negara maju sekalipun. Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa bank yang mengalami masalah likuiditas umumnya merupakan bank yang insolvent ataupun berpotensi menjadi insolvent. Beranjak dari pemahaman demikian, maka dalam penelitian ini akan dianggap bahwa bank-bank dibawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah bank yang sudah dan/atau berpotensi menjadi insolvent. Berdasarkan ketentuan berlaku, kriteria suatu bank harus dimasukkan dalam pengawasan BPPN adalah apabila bank tersebut telah menggunakan dana likuiditas Bank Indonesia lebih dari 200% modal disetor dan rasio kecukupan modal (CAR) lebih kecil atau sama dengan 5%, serta gagal melunasi fasilitas diskonto maksimal 21 hari setelah jatuh tempo. Dari kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa bank yang masuk dalam pengawasan BPPN adalah bank yang memiliki net worth yang cenderung menurun, atau mengarah pada insolvent serta menghadapi masalah likuiditas. Apabila sudah diketahui karakteristik bank-bank yang insolvent tersebut maka melalui metode kuantitatif Discriminant Analysis dapat diperkirakan faktor-faktor yang paling membedakan (the most discriminating factor) antara bank yang solvent dan insolvent8. Adapun persamaan fungsi Discriminant Analysis adalah : Z = V 1 X 1 + V 2 X 2 + ...... + V n X n , dimana V 1 , V 2 , ......... , V n = koefisien discriminant X 1 , X 2, ......... , X n = variable independen. Model Z score ini merupakan analisa linear dimana variabel independen diberi timbangan secara obyektif dan dijumlahkan untuk memperoleh nilai keseluruhan, yang kemudian akan dijadikan basis dalam mengklasifikasikan bank kedalam salah satu kelompok a priori tersebut. Disamping itu, melalui model ini dapat diketahui bank-bank yang berpotensi menjadi insolvent karena memiliki karakteristik yang mendekati bank yang insolvent. Apabila dikembangkan lebih lanjut, metode ini dapat digunakan sebagai early warning system yang membantu pelaksanaan fungsi pengawasan bank. Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor penentu insolvency juga mencakup faktorfaktor kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan 8. Model ini sebenarnya pernah digunakan oleh Sinkey (1975) dalam memformulasi early- warning model untuk memprediksi bank failures, dan juga oleh Altman & Sametz (1977) untuk membedakan antara perusahaan yang sehat dan bangkrut. Discriminant Analysis digunakan untuk mengklasifikasi suatu obyek observasi kedalam beberapa grup a priori berdasarkan karakteristik obyek observasi tersebut. Utamanya digunakan untuk mengelompokkan dan/atau memprediksi obyek observasi, dalam hal variabel dependen berbentuk kualitatif, misalnya bangkrut atau tidak bangkrut, sehat atau tidak sehat. Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 179 ekstern serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal, misalnya perubahan kebijakan makroekonomi dan sebagainya. Namun demikian mengingat belum tersedianya informasi yang komprehensif mengenai kuantifikasi faktor-faktor kualitatif tersebut maka sebagai variabel independen dalam model ini dapat digunakan faktor penilaian tingkat kesehatan, yaitu CAMEL (Capital adequacy, Asset quality, Management, Earning dan Liquidity), ataupun rasio-rasio keuangan lainnya sebagai proxies dari CAMEL. Dalam tulisan ini akan digunakan 8 rasio keuangan yang dianggap cukup dapat mewakili penilaian CAMEL (lihat tabel 1). Selanjutnya dengan menggunakan 8 rasio tersebut sebagai variable independen dalam Discriminant Analysis yang diseleksi secara bertahap (stepwise procedure) diketahui bahwa terdapat 3 variabel independen yang cukup signifikan untuk dapat diaplikasikan kedalam model discriminant function, yaitu X1, X3 dan X8. Apabila diurut secara ranking berdasarkan angka discriminant loadings, variabel yang paling signifikan dalam membedakan antara 2 dependen variabel adalah faktor Asset Quality, Capital dan Liquidity, dan yang merupakan the most discriminating factor, adalah Asset Quality yang dalam hal ini diwakili oleh rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP). Melalui model tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan kemungkinan insolvency adalah kualitas aktiva produktif. Disamping itu, analisis ini juga menghasilkan suatu persentase ketepatan klasifikasi antara grup solvent dan insolvent sebesar 77,9%, sedangkan ketidaktepatan sebesar 22,1% dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain data rasio-rasio bank yang tidak konsiten, misalnya rasio KAP tinggi namun CAR baik atau sebaliknya. Dari hasil analisis tersebut juga diperoleh discriminant coefficient yang digunakan untuk memformulasikan discriminant function dan menghitung Z score,yaitu: Z = 0,519 X1 - 0,748 X3 + 0,353 X8 Persamaan tersebut dapat diaplikasikan untuk menentukan kondisi bank secara individual dengan memasukan rasio-rasio variabel independen. Proses selanjutnya adalah menentukan cutting score yang merupakan kriteria penentu dalam pengelompokkan, yaitu : Z CU dimana : ZCU = Z CU N A N B Z A ZB = NAZA +NBZB NA+NB = Critical cutting score = jumlah anggota grup A = jumlah anggota grup B = Centroid grup A = Centroid grup B [(55) x (-0,966)] + [(167) x (0,318)] (55) + (167) = 0 180 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Berdasarkan hasil penghitungan cutting score tersebut dapat ditentukan klasifikasi bank, yaitu insolvent jika discriminant score negatif dan solvent jika discriminant score positif. Tabel 1 Beberapa rasio keuangan sebagai indikator dalam early warning model Var. Rasio Definisi X1 Capital Capital adequacy ratio X2 Equity capital to assets X3 X4 X5 X6 X7 X8 Total Modal (sesuai penghitungan KPMM) dibagi Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Modal equity (modal disetor + agio + modal pinjaman) dibagi total aset Asset Quality Classified loans to total loans Loans to assets Management Operating expense to total revenue Earning Loan revenue to total revenue Return on assets Liquidity Liquid assets to total assets Total kredit yang diklasifikasikan dibagi total kredit Total kredit dibagi total aset Total biaya operasional dibagi total pendapatan Total pendapatan bunga kredit dibagi total pendapatan Total pendapatan bersih dibagi total aset Total aset lancar dibagi total aset Untuk memprediksi kondisi, perlu dilakukan identifikasi perilaku antara satu variabel dengan variabel lainnya dalam satu matrix system (A). Melalui metode ini, prediksi tidak hanya didasarkan pada kondisi satu variabel saja, akan tetapi juga interdependency antara satu variabel dengan lainnya. Identifikasi matrix system dilakukan secara moving average karena perilaku matrix system akan berbeda dari waktu ke waktu, sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut : o X X X=A X A X1 X3 X8 Dengan fungsi solusi : Y = K X o dalam persamaan = a11 a1 2 a1 3 a21 a2 2 a2 3 a31 a3 2 a3 3 o X1 o X3 o X8 Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 181 Dalam tulisan ini akan dilakukan prediksi terhadap 18 bank yang dipilih secara random, yang mewakili seluruh jenis bank baik yang dianggap sebagai bank yang solvent maupun bank yang dianggap insolvent. Proses selanjutnya adalah menetapkan rasio-rasio variable X1, X3 dan X8 dari 18 bank tersebut pada bulan Januari-Juli 1998. Dengan menggunakan regresi dalam periode Januari sampai Juli 1998 didapatkan koefisien pendekatan yang membentuk matrix system dan koefisien konstanta untuk ke-18 bank tersebut. Matrik-matriks tersebut merupakan matrixs system dari bank-bank secara individual yang diharapkan akan dapat memberikan respon yang mendekati keadaan sebenarnya jika diberikan input. Prediksi untuk kondisi solvency bulan Agustus [solvency (t)] dengan memasukkan input kondisi bulan Juli [KAP(t+1), CAR(t+1), LIQ(t+1)]. Selanjutnya setelah didapatkan [KAP(t), CAR(t), LIQ(t)] fungsi dimasukkan ke dalam fungsi solvency umum sehingga menghasilkan prediksi solvency di bulan Agustus. Sebagai contoh, apabila fungsi ini dimasukkan kedalam 4 bank maka akan diperoleh gambaran sebagaimana dalam Grafik 2. Grafik tersebut menunjukkan bahwa solvency merupakan fungsi dari faktor kualitas aktiva produktif, capital adequacy ratio dan likuiditas. Pergerakan dari faktor-faktor tersebut untuk selanjutnya dapat menerangkan arah kecenderungan solvency. Grafik 2 Kualitas Aktiva Produktif Capital Adequacy Ratio 50 20 15 Bank A 30 Bank B Bank C 20 Bank D Percentage Percentage 40 10 Bank A Bank B 10 Bank C Bank D 5 0 jan feb mar apr may jun jul 0 aug jan Liquidity mar apr may jun jul aug Solvency 0.08 10 0.06 Bank A Bank B 0.04 Bank D Data D 0.02 0 Percentage Percentage feb Bank A Bank B -10 Bank C Bank D -20 0 -30 jan feb mar apr may jun jul aug jan feb mar apr may jun jul aug 182 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Selanjutnya, hasil uji akurasi terhadap nilai prediksi diketahui bahwa matrik sistem cukup dapat memberikan hasil prediksi yang cukup baik meskipun tingkat akurasi yang ditunjukkan dalam standar deviasi menunjukkan angka sebaran yang cukup lebar. Hal ini disebabkan oleh kondisi perbankan yang tidak berada dalam kondisi yang normal. Terdapat lonjakan-lonjakan besaran yang tidak dengan cepat dapat terekam oleh matrik sistem karena sistem yang teridentifikasi disusun berdasarkan metoda moving average sehingga efek smoothing menyebabkan sistem lambat untuk mengadaptasi perilaku sistem secara cepat. Analisis secara statistik terhadap hasil prediksi digambarkan dalam grafik berikut : Kurva Sebaran CAR 8 8 6 6 Frek uens i F rek uens i K urva Sebaran KAP 4 2 4 2 0 0 >- 0.4 >- 0.2 -0.2- 0.2 <0 .4 <0 .6 >-0.4 In terva l <0 .4 <0 .6 In terva l Mean simpangan : 6.9% Standar deviasi : 58% Mean simpangan : -10% Standar deviasi : 80% K urva S ebaran Solvensi K urva S ebaran Likuiditas 5 4 3 Fr eku ens i Fre kue ns i >-0.2 -0.2-0.2 2 1 4 3 2 1 0 0 >-0.4 >-0.2 -0 .2-0.2 <0.4 Inte rval Mean simpangan : -24% Standar deviasi : 53% <0.6 >-0.4 >-0.2 -0.2-0.2 <0.4 <0.6 Inte rval Mean simpangan : 13,6% Standar deviasi : 33,9% Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis 183 Kesimpulan Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara membawa dampak yang merugikan terhadap perekonomian secara umum dan sistem keuangan secara khusus. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dikembangkan suatu early warning system yang dapat memprediksi kondisi kesehatan suatu bank secara individu maupun sistem perbankan secara keseluruhan dengan menggunakan konsep solvency dan faktor-faktor yang mewakili probabilitas terjadinya insolvency. Dalam hal ini penggunaan Discriminant Analysis akan sangat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor utama (crucial) yang dapat menjelaskan perbedaan antara bank yang solvent dan insolvent. Selanjutnya, melalui identifikasi matrix system yang dikembangkan dari variabel-variabel yang diperoleh dari Discriminant Analysis, dapat diprediksi perilaku sistem baik secara individual maupun sistemik serta respons yang akan dihasilkan oleh sistem terhadap suatu variabel endogen maupun eksogen. Hasil pengujian terhadap 18 bank dengan metode tersebut menunjukkan nilai proyeksi yang cukup mendekati nilai nyata yang ditunjukkan dengan mean simpangan yang kecil. Walaupun demikian, matrix system yang terbentuk tidak dapat secara segera mengadaptasi perubahan yang cepat. Hal ini disebabkan efek dari moving average yang bersifat menghaluskan (smoothing) variabel-variabel yang terekam. Untuk membangun suatu model yang dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya, diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai : 1. Variabel-variabel endogen lainnya, khususnya yang bersifat kualitatif yang perlu dikuantifikasi untuk menyempurnakan model early warning, misalnya kelemahan dalam manajemen dan internal control, risk portfolio, fluktuasi nilai tukar dan sebagainya. 2. Pengembangan suatu matrix system yang mendekati kondisi sebenarnya sehingga dapat digunakan untuk mengantisipasi respon perbankan terhadap perubahan-perubahan yang bersifat eksogen seperti variabel-variabel ekonomi seperti economic growth. Daftar Pustaka Hooks, Linda M, Bank Asset Risk : Evidence From Early Warning Models, Contemporary Economic Policy Vol. XIII, October 1995 Lindgren, Carl-Johan, Gillian Garcia, and Matthew Saal, Bank Soundness and Macroeconomic Policy, International Monetary Fund, Washington, 1996 184 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Fischer, Stanley, Financial System Soundness, Finance & Development, March 1997 Mishkin, Frederic S., Understanding Financial Crises : A Developing Country Perspective, National Bureau of Economic Research, Inc., May 1996. Demirguc-Kunt, Asli & Enrica Detragiache, The Determinants of Banking Crises : Evidence from Developing and Developed Countries, IMF Working Paper, 1997 Mark Gertler & Andrew Rose, Finance, Public Policy, and Growth, Financial Reform, Theory and Experience, 1994. Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 185 SETAHUN KRISIS ASIA : BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI KRISIS TERSEBUT Mahdi Mahmudy *) Krisis keuangan Asia yang pertama kali dipicu oleh devaluasi Thai Baht pada pertengahan tahun lalu telah menyeret jatuhnya nilai mata uang dan pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Phillipina, Korea, dan Indonesia. Semakin terpuruknya perekonomian, mengakibatkan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, world Bank dan ADB. Berbagai kebijakan ekonomi makro baik moneter, fiskal, keuangan dan sektor riil telah dicoba untuk mengatasi krisis tersebut. Namun, karena kompleks faktor penyebab, serta munculnya permasalahan sosial dan politik akibat krisis tersebut, kebijakan makro yang konvensional berupa pengetatan moneter dan fiskal belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Krisis tersebut diperburuk oleh kondisi perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami berbagai permasalahan internal. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua didunia, merupakan lokomotif yang penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Terpuruknya perekonomian Asia telah membawa pengaruh contagion terhadap Russia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Bila tidak segera diatasi secara menyeluruh dan bersama-sama, krisis tersebut diduga akan mengakibatkan krisis global dan membawa perekonomian dunia kearah depresi. *) Mahdi Mahmudy : Peneliti Ekonomi Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, Bank Indonesia, Email : [email protected] 186 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Pendahuluan M eskipun telah memasuki usia setahun, krisis ekonomi dan keuangan Asia belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, krisis tersebut cenderung mengglobal. Hal ini diperburuk oleh perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami sakit yang cukup parah akibat besarnya non-performing loan sektor perbankan dan hambatanhambatan struktural lainnya. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar di dunia, merupakan salah satu lokomotif penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Suramnya kondisi perekonomian Asia mempunyai pengaruh contagion terhadap kawasan lainnya. Tulisan ini akan memaparkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan krisis tersebut, baik faktor-faktor penyebab, pengaruh pada perkembangan ekonomi kawasan lainnya, kebijakan yang telah diambil, serta kritikan terhadap kebijakan IMF dalam upaya-upaya penanganan krisis selama ini. Struktur organisasi penulisan akan sebagai berikut. Krisis ekonomi dan keuangan Asia serta dampaknya terhadap kawasan lainnya serta perekonomian dunia dikemukan pada bagian II. Bagian III akan menjelaskan beberapa faktor penyebab krisis muncul. Kebijakan yang diambil dalam mengatasi krisis serta kritikkritik terhadap kebijakan yang disarankan IMF dikemukan pada bagian IV. Tulisan ini akan diakhiri dengan rangkuman yang merupakan bagian V. Krisis Asia serta dampaknya terhadap perekonomian kawasan lainnya Krisis Asia yang dipicu pertama kali oleh devaluasi Thai Baht pada awal Juli tahun 1997 yang lalu, kemudian dikenal dengan “Tom Yum Effect”, telah membawa gelombang jatuhnya mata uang, serta melemahnya pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Korea, Phillipina, serta Indonesia. Bahkan negara-negara Asia yang kuat perekonomiannya seperti Singapura dan Hongkong juga tidak luput dari goncangan badai krisis tersebut. (lihat Grafik 1 dan 2) Lebih lanjut krisis Asia tersebut terus menggelinding dan membesar seperti bergulirnya snow ball. Sakitnya perekonomian Asia telah menyebar ke Russia dan Eropa Timur . Melemahnya nilai tukar Rubel menyebabkan melemahnya mata uang serta pasar modal negara-negara yang perekonomiannya sangat terkait erat dengan Russia seperti Ukraine, Belarus, Czech Republic, Polandia, serta Rumania. Bagaikan domino principle, epidemi krisis menelan korban berikutnya negara-negara Amerika Latin. Brazil yang perekonomiannya cukup besar dan berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian di kawasan Amerika latin mulai terkena imbas krisis ekonomi Russia dan Asia. Ketergantungan Brazil yang sangat besar terhadap capital inflow Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 187 Grafik 1 Perkembangan Nilai Tukar Beberapa Mata Uang Asia Terhadap Dolar AS Rupiah/Dolar BahtThailand/Dolar 20 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 800 25 2,800 30 4,800 35 6,800 40 8,800 45 10,800 50 12,800 55 14,800 60 16,800 Trw IV/97 800 Trw II/98 Trw II/98 Trw III/98 Yen Jepang/D olar W on Korean/D olar Trw IV/97 Trw I/98 Trw I/98 Trw III/98 1,000 100 T rw IV/97 T rw I/98 Trw II/98 Trw III/98 110 1,200 120 1,400 1,600 130 1,800 140 2,000 150 2,200 Grafik 2. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara 25000 20000 Nikkei 225 (Jepang) 15000 Hang Seng (Hong Kong) 10000 5000 0 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 188 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 untuk membiayai anggaran defisit, sekitar 7% dari GDP, mengakibatkan negara tersebut terpaksa membayar mahal terhadap gejala capital outflow dengan menaikkan suku bunga secara drastis mendekati 50% pada bulan September 1998. Melemahnya perekonomian Brazil diduga akan membawa pengaruh yang buruk terhadap negara Amerika latinnya seperti Venezeula, Argentina, Columbia, Chili dan Mexico. Krisis keuangan Asia mengakibatkan anjloknya pertumbuhan perekonomian negaranegara Asia dan Asean khususnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan GDP mereka. Pertumbuhan real GDP kawasan Asia dan khususnya negara-negara ASEAN-41 pada tahun 1997 masing masing melambat menjadi 6,6% dan 3,7% dari 8,2% dan 7,1% pada tahun sebelumnya. Dalam tahun 1997 krisis keuangan Asia secara langsung belum berdampak terhadap negara-negara industri utama. Pertumbuhan Domestik Bruto riil negara-negara industri utama tersebut secara umum (kecuali Jepang) sedikit meningkat menjadi 2,9% dibandingkan sebesar 2,8% pada tahun 19962 . Namun, secara tidak langsung negara-negara industri mulai merasakan pengaruh krisis. Pengaruh tidak langsung tersebut antara lain terlihat dari jatuhnya harga-harga komoditi yang diperdagangkan. Terpuruknya perekonomian negara-negara di kawasan yang terkena krisis disertai dengan melemahnya mata uang mereka, menyebabkan jatuhnya harga tradable goods serta melambatnya perdagangan dengan negara-negara industri yang dekat dengan Asia seperti, New Zealand dan Australia. Majalah Economist3 menyebutkan dampak krisis menyebabkan commodity price index turun sebesar 30% sejak pertengahan tahun 1997. Penurunan ini merupakan yang tertinggi sejak 25 tahun terakhir. Bahkan harga-harga industrial commodities secara riil berada pada posisi yang paling rendah sejak tahun 1930-an. Memasuki tahun 1998, perekonomian negara-negara Asia dan Amerika Latin masih melambat. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi, investasi, serta belum pulihnya capital inflow ke kawasan tersebut4 . Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia dan Amerika Latin tersebut, mulai mengkhawatirkan negara-negara maju. Mereka menyadari kalau tidak segera diatasi, krisis Asia, Rusia, Eropa Timur, serta Amerika Latin bisa mengarah ke krisis global terutama karena kepanikan pelaku pasar keuangan dan menurunnya volume perdagangan dunia. Terpuruknya pasar modal dinegara-negara yang mengalami krisis mulai menunjukkan psychology effect terhadap pasar saham Wall Street dan pasar modal negara industri lainya. Krisis Russia dan Brazil sempat 1 2 3 4 Indonesia, Malaysia, Phillipina, dan Thailand IMF Annual Report tahun 1998 Edisi 5 September 1998 Berdasarkan World Economic and Finanacial Surveys 1998(IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital inflows tahun 1997 ke Asia anjlok menjadi US$13,9 miliar dari US$110,4 miliar tahun 1996. Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 189 Grafik 3. Indeks Harga Saham di Negara Maju 3200 3000 Dow Jones (Am erika) 2800 2600 2400 FT (Inggris) 2200 2000 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 membuat panik pelaku pasar atau investor Amerika, sehingga mereka mulai menjual saham yang mereka miliki. (lihat Grafik 3). Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, IMF memperkirakan pertumbuhan world ouput dalam tahun 1998 hanya 2,0%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1997 sebesar 4,1%. Amerika pada mulanya menganggap dan yakin krisis Asia tidak akan mempunyai dampak terhadap perekonomian mereka. Namun, setelah melihat Rusia, Eropa Timur dan Amerika Latin juga terkena, serta perekonomian Jepang yang masih terpuruk, mulai khawatir terhadap perekonomian mereka. Hal ini terlihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika pada tahun 1998 menjadi 3,5% dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya 3,9%. Faktor-faktor penyebab krisis Secara garis besar ada beberapa faktor pemicu krisis keuangan dan ekonomi tersebut. Pertama, karena besarnya hutang perusahaan swasta seperti Indonesia, Korea, dan Thailand. Disamping besar jumlahnya, pada negara-negara tertentu (Thailand, Korea dan Indonesia) hutang swasta tersebut cenderung tidak di hedge, berjangka pendek, serta digunakan untuk pembiayaan investasi di realestate serta non-tradable goods lainnya. Kedua, free capital mobility terutama yang berjangka pendek. Dengan adanya globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan dunia, perubahan persepsi pasar atau adanya upaya spekulasi hedge fund akan mengakibatkan berbaliknya arus aliran modal secara massive yang lebih lanjut akan 190 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 menekan nilai tukar dan mempengaruhi inflasi5. Ketiga, karena lemahnya sektor keuangan. Liberalisasi sektor keuangan mengakibatkan cepatnya pertumbuhan sistem keuangan. Pertumbuhan yang cepat tersebut cenderung tidak diikuti dengan rambu-rambu pengaman serta sistem pengawasan yang handal. Besarnya pinjaman luar negeri dari sektor keuangan yang tanpa di hedge dan berjangka pendek banyak dijumpai pada negara-negara Asia. Financial panic merupakan faktor keempat penyebab krisis. Situasi bank run karena masyarakat panik terhadap anjloknya nilai tukar serta adanya beberapa bank yang collapse dan ditutup, mengakibatkan masyarakat menarik dananya dari sistem perbankan untuk di simpan di rumah, dibelikan hard currencies, atau ditransfer ke luar negeri. Kondisi krisis ini pada negara tertentu, seperti Indonesia, mengakibatkan pergantian pemerintahan yang diikuti oleh munculnya masalah-masalah non-ekonomi seperti social unrest, serta tekanan-tekanan politik terhadap pemerintah. Keadaan ini telah membuat kegiatan pemulihan ekonomi menjadi semakin lama. Kebijakan yang diambil serta beberapa kritik terhadap kebijakan IMF Melemahnya mata uang negara-negara Asia disertai dengan menurunnya cadangan devisa, baik dalam rangka intervensi untuk memperkuat nilai tukar, maupun karena adanya capital ouflow, membuat negara yang terkena krisis tersebut meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, World Bank, ADB, serta pinjaman bilateral lainnya. Resep kebijakan yang disepakati IMF untuk mengatasi permasalahan krisis tersebut, meliputi berbagai langkah kebijakan ekonomi makro baik dibidang moneter dan fiskal, keuangan, serta sektor riil. Dibidang moneter, dilakukan upaya-upaya pengetatan antara lain dengan menaikkan suku bunga dan pengetatan kredit. Tujuan dari kebijakan tersebut antara lain untuk memperkuat nilai tukar dan mengatasi inflasi yang tinggi. Disamping itu, kebijakan moneter yang ketat juga diharapkan akan mengembalikan kepercayaan pasar. Dalam hal kebijakan nilai tukar, dianjurkan untuk menerapkan nilai tukar yang fleksibel. Thailand dan Phillipines sejak krisis mengambangkan nilai tukar mereka, sementara Indonesia menghapuskan intervention band dan membiarkan rupiah mengambang sejak tanggal 14 Agustus 1998 untuk mengurangi upaya spekulasi dan mempertahankan cadangan devisa. Dibidang fiskal, pada tahap awal IMF menekankan perlunya pelaksanaan kebijakan fiskal yang ketat untuk membantu kontraksi moneter dan memperkuat nilai tukar. Namun, kemudian IMF merubah stance kebijakan fiskal dari ketat menjadi longgar, karena keadaan yang tidak memungkinkan. Sebagai contoh, IMF menyetujui perubahan kebijakan fiskal yang semula ketat menjadi sedikit longgar pada Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia negara 5 Berdasarkan “World Economic and Finacial Surveys 1998” (IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital inflows tahun 1997 ke Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand menjadi negatif US$ 11 miliar dari US$ 72,9 miliar tahun 1996 Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 191 yang paling parah terkena krisis keuangan di Asia. Krisis di Indonesia mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan yang berdasarkan perkiran Bank dunia sekitar 45 juta atau 21% dari total penduduk. Disamping itu, dalam tahun 1998 perekonomian Indonesia diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif 13%-15% . Untuk mengurangi dampak negatif dan munculnya social unrest dari krisis tersebut, program jaringan pengaman sosial (social safety nets) dan pemberian subsidi untuk beberapa komoditas disepakati untuk dilaksanakan. Untuk TA 1998/99 fiskal defisit Indonesia diperkirakan 8,5% dari GDP yang seluruhnya akan dibiayai dari luar negeri. Disektor perbankan, IMF menyarankan untuk meningkatkan pengawasan , serta melakukan restrukturisasi perbankan antara lain dengan melakukan penutupan bank-bank yang tidak sehat seperti penutupan 16 bank di Indonesia, 58 finance companies di Thailand, serta 14 merchant banks di Korea. Disamping itu, perbankan nasional juga diminta untuk meningkatkan kemampuan mereka dengan mengacu kepada standard perbankan internasional seperti mengenai perluasan cakupan asset-asset produktif, penyediaan loan loss provision (penyisihan penghapusan aktiva produktif), serta ketentuan Capital Adequacy Ratio. Disamping itu, dalam upaya mengurangi tekanan permintaan terhadap USD yang lebih lanjut bisa memperlemah nilai tukar, kebijakan untuk menjadwalkan kembali hutang swasta dan pemerintah juga dilaksanakan oleh Korea dan Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia berhasil melakukan rescheduling hutang swasta melalui berbagai pertemuan yaitu di New York pada bulan April 1998, Tokyo pada bulan Mei 1998, serta disepakatinya Frankfurt Agreement, pada bulan Juni 1998, antara swasta dan lender luar negeri. Kemudian dilanjuti dengan Paris Club Meeting untuk menjadwalkan kembali hutang-hutang Pemerintah yang jatuh tempo pada TA 1998/99 - sekitar US$ 1,8 miliar. Di sektor rill dilakukan berbagai kebijakan deregulasi dan restrukturisasi dalam rangka meningkatkan efisiensi perekonomian nasional. Berbagai hambatan perdagangan termasuk monopoli dan oligopoli dalam kegiatan ekonomi dihapuskan. Demikian pula hambatan-hambatan terhadap kegiatan investasi asing dikurangi. Berbagai subsidi secara bertahap akan dihapus. Reformasi struktural dilakukan diberbagai bidang, misalnya, pada perdagangan dalam dan luar negeri. Disamping itu, Korea dan Indonesia berupaya untuk mempercepat privatisasi perusahaan-perusahaan Pemerintah. Kritikan-kritikan terhadap kebijakan IMF dalam mengatasi krisis Penanganan krisis oleh IMF melalui kebijakan pengetatan atau demand restraint mendapat kritik banyak pakar ekonomi seperti Jeffrey Sachs (The Head of Harvard Institute for International Development ) dan Paul Krugman. 192 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Sach, misalnya, mengkritik kebijakan IMF mengenai penutupan bank di beberapa negara. Penutupan bank-bank yang tidak sehat di Thailand dan Indonesia dalam kondisi normal mungkin akan membawa dampak positif. Namun, dalam kondisi keuangan yang tidak normal, dan belum adanya skim deposit insurance, penutupan bank bank tersebut semakin memacu kepanikan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem keuangan. Hal ini mengakibatkan masyarakat menarik dananya secara besar-besaran dari perbankan. Di Indonesia, kondisi bank run ini lebih lanjut mengakibatkan flighttosafety yaitu perpindahan dana dari bank-bank swasta ke bank pemerintah dan bank asing. Selanjutnya hal ini mengakibatkan liquidity squeeze yang mengakibatkan perbankan sulit untuk melakukan penghimpunan maupun penyaluran dana. Perkembangan tersebut mengakibatkan kreditor luar negeri juga enggan untuk memperpanjang kembali hutang mereka ke perbankan yang mengakibatkan semakin ketatnya likuiditas dan tingginya suku bunga. Sachs juga mengkritik saran IMF yang menganjurkan negara-negara Asia yang mengalami krisis untuk mentargetkan surplus budget sebesar 1% dari GDP. Hal ini karena negara-negara tersebut selama ini umumnya telah melaksanakan kebijakan fiskal yang berhati-hati dan inti permasalahan krisis bukan bersumber dari fiskal. Pengetatan fiskal dalam kondisi perekonomian yang sudah kontraksi akan mengakibatkan perekonomian semakin dalam terpuruk. IMF kelihatannya menyadari kondisi ini, dan akhirnya mengizinkan negara-negara yang terkena krisis untuk melaksanakan deficit budget. Mengenai kebijakan moneter yang ketat dalam hal ekspansi kredit dan peningkatan suku bunga untuk mengurangi likuiditas perekonomian guna memperkuat nilai tukar, menurut Sach tidak banyak bermanfaat dalam kondisi financial panic. Tingginya suku bunga dan ketatnya penyaluran kredit mengakibatkan bank mengalami negatif spread, nonperforming loan meningkat, serta cenderung merugi. Ketatnya pemberian kredit, diikuti dengan tingginya suku bunga mengakibatkan pasar modal dan sektor real semakin terpuruk, serta meningkatkan unemployment. (lihat Grafik 4a dan 4b). Paul Krugman6 , menulis dalam berbagai artikel di majalah Fortune dan Far Eastern Economic Review, yakin bahwa upaya temporary currency control disertai dengan penurunan suku bunga atau dikenal dengan “Plan B” merupakan bagian upaya yang penting untuk mengatasi krisis Asia. Hal ini berhubung kebijakan-kebijakan IMF (Plan A) dalam mengatasi krisis Asia selama ini tidak hanya gagal tetapi telah memperburuk situasi. Lebih jauh Krugman menyatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan kontrol devisa tersebut, suatu negara harus selalu mengacu pada upaya menekan hambatan-hambatan pelaksanaan kegiatan usaha seminimal mungkin. Pertama, pelaksanaan kontrol sebagus 6 Professor of economics at the Massachusetts Institute of Technology Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 193 Grafik 4a. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara 800 KLSE (Malaysia) 600 JSX (Indonesia) 400 SET (Thailand) 200 0 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 apapun akan menimbulkan distorsi yang dapat memperparah kondisi perekonomian. Sehubungan dengan itu, kebijakan pengendalian nilai tukar ini hendaknya bersifat sementara untuk memberikan ruang gerak bagi pemulihan ekonomi. Kedua, kontrol devisa dan pemberlakuan nilai tukar tetap hendaknya ditujukan untuk mempertahankan nilai tukar yang tinggi semata karena yang diperlukan adalah nilai tukar real yang kompetitif untuk menunjang ekspor. Ketiga, kebijakan pengendalian nilai tukar hendaknya digunakan sebagai alat bantu reformasi ekonomi sehingga memberikan ruang gerak bagi pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif untuk memacu kegiatan sektor real. Namun, upaya lainnya menyangkut pembenahan sektor keuangan tetap harus dipercepat. Negara Asia yang menerapkan ide Krugman tersebut adalah Malaysia7 dengan memberlakukan selective exchange control (ECM) pada tanggal 1 september 1998 yang baru Grafik 4b. Indeks Harga Saham di Korea 80 70 60 KOSPI (Korea) 50 40 30 20 Trw IV/97 Trw I/98 Trw II/98 Trw III/98 7 Bank Negara Malaysia,””Measures to Regain Monetary Independence”, press release, September 1998 194 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 lalu. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan nilai tukar Malaysian Ringgit(RM) yang melemah, menghambat spekulasi terhadap RM, dan meminimumkan dampak negatif dari arus modal jangka pendek terhadap perekonomian domestik. Kebijakan ECM tersebut diikuti dengan kebijakan kurs tetap dan pelonggaran kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga untuk mendorong kegiatan sektor real. Kebijakan ECM yang drastis ini diambil Malaysia karena menilai kebijakan moneter yang ketat dan restrukturisasi keuangan yang dilakukan selama ini tidak menolong banyak dalam mengatasi krisis selama ini, bahkan telah memperburuk kondisi yang ada. Negara Asia lain yang cukup berhati-hati dan bertahap dalam meliberalisasi transaksi devisa adalah RRC. Sampai saat ini RRC masih membatasi eksportir dalam kepemilikan devisa yaitu sekitar 15% dari hasil penerimaan ekspor. Mata uang Ren Min Bi (RMB) diupayakan tidak menjadi convertible currency . Namun, untuk investasi jangka panjang, negara tersebut relatif terbuka terutama untuk sektor high-tech industry dan prasarana8 . Kritik yang keras terhadap IMF juga dilontarkan oleh PM Inggris, Tony Blair. Dalam debat tahunan di Majelis umum PBB pada tanggal 21 September yang baru lalu ia mengatakan bahwa IMF dan World Bank sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengelola perekonomian dunia tidak bisa lagi dipertahankan karena adanya gejolak pasar uang global. Untuk itu perlu new Bretton Wood System untuk menghadapi millenium yang akan datang. Penutup • Dengan adanya globalisasi disektor keuangan, pengaruh contagion terhadap negara lain menjadi semakin besar. Oleh karena itu setiap negara harus mempunyai sistem keuangan yang handal, kebijakan ekonomi makro yang solid dan berhati-hati, serta kestabilan politik, guna mengurangi dampak negatif globalisasi. • Perlu ditingkatkan kerja sama ekonomi intra kawasan yang lebih erat dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan stabilitas mata uang di kawasan. Disamping itu, perlu dipercepat upaya pembentukan pengawasan regional (ASEAN Monitoring Mechanism) yang merupakan early warning system untuk mengetahui permasalahan di masing-masing negara dan kawasan guna mencari kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. ASEAN Monitoring Mechanism ini diharapkan dapat melengkapi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh IMF selama ini. 8 Berdasarkan data the 1998 APEC Economic Outlook, Foreign Direct investment ke China pada tahun 1997 mencapai US$45,3 miliar. Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 195 • Guna mengantisipasi permasalahan ekonomi pada abad 21 mendatang, dan menghindari seringnya terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang negara-negara anggota di kawasan ASEAN, perlu dirintis upaya untuk menciptakan satu mata uang tunggal di Asia atau khususnya ASEAN seperti mata tunggal uang Eropa (EMU). EMU yang akan diberlakukan pada Januari 1999 yang akan datang, persiapan pembentukannya dilakukan lebih dari 20 tahun. • Krisis Asia yang telah menyebar ke Russia dan Eropa Timur, serta Amerika latin, bila tidak diatasi secara menyeluruh dan sungguh-sungguh oleh lembaga-lembaga internasional dan negara G7 bisa mengakibatkan krisis global dan membawa perekonomian ke arah depresi. • Free capital mobility khususnya yang berjangka pendek perlu dilakukan pengaturannya secara internasional, sebab arus modal tersebut yang dari tahun ketahun semakin besar volumenya disertai dengan transaksi derivative yang cukup kompleks mempunyai andil yang besar dalam menciptakan krisis terutama pada emerging markets. • Lembaga internasional perlu menyusun suatu early warning system terhadap kondisi ekonomi makro negara-negara anggota untuk menghindari krisis perekonomian yang lebih luas. Disamping itu perlu ditingkatkan transpararancy, akurasi serta timely data ekonomi makro dan keuangan setiap negara. • Berdasarkan pengalaman negara yang menganut sistem keuangannya yang lebih tertutup disertai adanya rambu-rambu dalam prudential regulation atas arus modal jangka pendek, seperti China, kelihatannya tidak mudah terkena imbas krisis ekonomi yang terjadi. • Last but not least cukup menarik pendapat Stiglitz9 (World Bank) mengenai negara yang menganut sistem ekonomi terbuka dalam kaitannya dengan capital flows “Small open economies are like rowing boats on an open sea. One can not predict when they might capsize; bad steering increases the chances of disaster and a leaky boat makes it inevitable. But their chances of being broadsided by a wave are significant no matter how well they are steered and no matter how seaworthy they are. The financial movements of the past few years are like the sea ”. Daftar Pustaka APEC Economic Outlook , August 1998. ASEAN Central Bank Forum, Meeting of Deputies, Kuala Lumpur, September 6, 1998. 9 Joseph Stiglitz dalam artikel Boats, planes and capital flows 196 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Bank Indonesia, UREM -Bagian SEI, Catatan Perihal Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar Malaysia, September 1998. Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, press release, September 1998 Camdessus, Michael, From the Asian Crisis Toward a New global Architecture. Economist, edisi 5 September 1998. Graciela L. Kaminsky and Carmen M. Reinhart, Financial Crises in Asia and Latin America : Then and Now, January 1998. International Monetary Fund, Annual Report 1998. International Monetary Fund, World Economic Outlook, September 1998. Krugman, Paul, Far Eastern Economic review dan Fortune, . Report of the Subcommitte on Asian Financial and Capital Market of the Committee on Foreign Exchange and Other Transaction, Lessons from the Asian Currency Crises. Reuters Sach, Jeffrey, IMF is a power unto itself, December 1997. Steven Radelet and Jeffrey Sachs, The Onset of the Asian Financial Crisis, February 1998. Stiglitz, Joseph, Boat Planes , and Capital Flows, March 1998. 197 Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut Lampiran Tabel 1 *) Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan Negara Berkembang dalam persen Proyeksi Dunia Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat Inggeris Italia Jepang Jerman Kanada New Zealand Negara-negara berkembang Berdasarkan kawasan Afrika Asia ASEAN-4 China Eropa dan Timur Tengah Amerika Latin Argentina Brazilia Chile Columbia Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong SAR Korea Singapura Taiwan Negara-negara AS EAN Brunei Darussalam Indonesia Philipina M alaysia Thailand Negara-negara dalam transisi Eropa Tengah dan Timur di luar Belarus dan Ukraina Rusia 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2.6 1.2 1.0 2.3 2.1 -1.2 0.3 -1.2 2.2 5.1 6.5 3.9 3.2 2.8 3.5 4.3 2.2 0.6 2.7 4.1 6.0 6.8 3.6 2.5 2.0 2.0 2.7 2.9 1.5 1.8 2.3 3.9 5.9 4,2 3.0 2.8 3.4 2.2 0.7 3.9 1.3 1.2 3.1 6.6 4.1 3.1 2.9 3.9 3.4 1.5 0.8 2.2 3.7 2.3 5.8 2.0 2.0 2.1 3.5 2.3 2.1 -2.5 2.6 3.0 -0.5 2.3 2.5 1.9 1.9 2.0 1.2 2.5 0.5 2.5 2.5 1.7 3.6 1.0 9.3 n.a. 13.5 3.9 3.6 6.3 4.9 7.0 5.4 6.3 6.1 5.8 10.4 6.3 2.6 9.6 n.a. 12.6 0.7 5.0 8.5 5.9 5.7 5.8 7.6 5.4 8.6 10.5 6.5 2.9 8.9 n.a. 10.5 3.5 1.2 -4.6 4.2 10.6 5.8 7.3 3.9 8.9 8.8 6.0 5.8 8.2 7.1 9.6 4.7 3.5 4.8 2.8 7.4 2.1 6.3 4.6 7.1 6.9 5.7 3.2 6.6 3.7 8.8 4.5 5.1 8.6 3.2 7.1 3.1 6.1 5.3 5.5 7.8 6.9 3.7 1.8 -10.4 5.5 3.2 2.8 5.0 1.5 4.5 2.7 -1.6 -5.0 -7.0 0.0 4.0 4.7 3.9 -0.1 n.a 3.9 2.7 n.a n.a n.a n.a 1.7 0.0 -1.0 0.2 3.9 0.5 6.5 2.1 8.3 8.5 -6.7 -4.1 -0.2 -8.7 1.8 7.5 4.4 9.2 8.9 -7.6 -2.6 3.5 -12.6 2.0 8.2 4.8 9.5 8.7 -1.3 1.3 5.1 -4.0 2.8 8.0 5.7 8.6 5.5 -0.1 1.6 3.7 -5.0 3.5 4.6 5.1 7.8 -0.4 2.0 2.8 3.2 0.9 n.a. -13.8 -0.6 -6.4 -8.0 1.8 3.5 3.9 -6.0 n.a. -2.3 n.a n.a n.a 3.0 4.1 4.4 1.0 *) Produk Domestik Bruto riil. Sumber : - IMF, World Econom ic Outlook , August 1998 - IMF, International Financial Statistics , September 1998 - Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia) 198 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 2 Laju Inflasi Negara Maju dan Negara Berkembang dalam persen Proyeksi Negara-negara maju Negara-negara industri utama Amerika Serikat *) Inggeris Italia Jepang Jerman Kanada New Zealand Negara-negara berkembang Berdasarkan kawasan Afrika Asia Eropa dan Timur Tengah Amerika Latin Argentina Brazilia Chile Columbia Negara industri baru Asia (NIEs) Hong Kong SAR Korea Singapura Taiwan Negara-negara ASEAN Brunei Darussalam Indonesia Philipina Malaysia Thailand Negara-negara dalam transisi Eropa Tengah dan Timur Di luar Belarus dan Ukraina Rusia 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2.6 2.2 2.6 2.5 2.3 2.8 2.4 2.2 2.9 2.1 2.0 2.3 1.7 1.4 1.6 1.7 1.6 2.3 2.4 4.1 0.7 2.7 0.2 2.8 5.2 -0.1 1.8 2.2 51.0 22.7 2.9 3.9 0.1 1.5 1.6 2.3 13.4 2.8 1.7 1.7 1.8 1.4 1.7 8.5 2.8 1.8 0.4 1.0 1.3 1.4 10.5 2.8 1.7 -0.5 1.4 1.9 1.6 7.7 39.3 14.8 31.9 208.5 4.2 2123.7 11.4 22.8 5.6 9.5 6.2 3.0 2.6 32.9 11.9 35.7 41.6 3.4 59.6 8.2 20.9 4.6 7.1 4.5 1.8 4.6 26.7 7.9 24.6 20.8 0.2 11.1 7.4 20.8 4.2 6.0 4.9 1.4 3.1 11.0 4.7 22.6 13.9 0.8 7.9 6.1 18.5 3.2 5.7 4.4 2.0 2.1 7.7 8.3 22.6 10.8 1.3 5.0 5.4 19.5 5.6 3.0 8.5 1.8 2.0 7.0 6.7 13.7 8.0 n.a n.a n.a n.a 3.2 -3.8 4.3 2.0 2.0 2.4 9.2 9.0 3.7 5.1 268.4 153.3 45.1 302.0 6.0 8.6 8.1 3.4 5.8 128.6 75.3 25.1 190.1 2.0 6.6 8.4 3.5 5.9 41.0 32.0 23.0 48.0 3.0 10.3 6.0 2.7 5.6 28.0 38.0 41.0 15.0 n.a. 89.4 10.0 6.0 9.0 30.0 18.0 17.0 48.0 n.a. 39.6 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. *) Indeks harga eceran di luar bunga hipotik. Sumber: - IMF, World Economic Outlook , August 1998. - Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia) - J.P. Morgan. Emerging Markets: Economics Indicators, Juli 1998 Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut 199 Tabel 3 Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Primer Nonminyak *) 1994 1995 1996 1997 1998 Kopi (sen $/pound) Dari Brasil (di New York) 143.32 145.98 120.29 166.8 96.23 Emas ($/fine ounce) Inggeris 384.22 384.16 387.82 331.1 292.75 Nikel (sen $/pound) Inggeris 287.21 373.02 340.38 314.1 196.52 Karet (sen $/pound) Semua jenis (di New York) 48.93 56.65 54.83 53.54 52.63 Timah (sen $/pound) London 247.66 281.11 279.36 255.85 256.33 Tembaga (sen $/pound) Inggeris 104.58 133 104.03 103.2 75.1 Jenis Komoditas *) Sampai dengan Juli 1998. Sumber : IMF, International Financial Statistics , September 1998 200 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998 Tabel 4 Private Capital Flows ke Emerging Market (dalam miliar US$) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 31 17.6 17.1 -3.7 126.9 31.3 37.3 58.4 120.9 37.2 59.9 23.8 164.7 60.6 103.5 0.7 160.5 84.3 87.8 -11.7 192 96 23.5 72.5 240.8 114.9 49.7 76.2 173.7 138.2 42.9 -7.3 Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others 19.1 8.9 -1.4 11.6 35.8 14.5 1.8 19.5 21.7 16.5 9.3 -4.1 57.6 35.9 21.6 0.1 66.2 46.8 9.5 9.9 95.8 49.5 10.5 35.8 110.4 57 13.4 39.9 13.9 57.8 -8.6 -35.4 Amerika Latin Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others 10.1 6.7 17.5 -14 26.1 11 14.7 0.3 56 13.6 30.4 12 64.3 12.8 61.1 -9.5 47.4 24.3 60.6 -37.5 35.7 25.3 -0.1 10.5 80.5 36.9 25.2 18.5 91.1 51.2 33.5 6.5 Negara Asia yang mengalami krisis2) Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others 24.9 6.2 1.3 17.4 29 7.2 3.3 18.5 30.3 8.6 6.3 15.4 32.6 8.6 17.9 6.1 35.1 7.4 10.6 17.1 62.9 9.5 14.4 39 72.9 12 20.3 40.6 -11 9.6 11.8 -32.3 Timur Tengah dan Eropa Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others 0.2 1 2.6 -3.4 65.7 1.3 22.3 42.2 38 1 20.9 16.1 26.6 3.9 15.4 7.3 17.9 4.3 13.2 0.5 16.9 3.7 8.8 4.4 24.4 2.6 9.2 12.4 25.4 3.3 8.2 13.9 Negara-negara dalam transisi Total Net Private Capital Inflows Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others 3.5 -0.3 0 3.7 -2.4 2.4 0 -4.8 7.2 4.2 0.1 2.9 12.2 6 4.5 1.7 18.4 5.4 4.1 8.9 29.8 13.2 2.9 13.6 21.3 13.1 2.2 5.9 34.5 18.2 7.3 9 Emerging Market Total Net Private Capital Inflows 1) Net Foreign Direct Investment Net Portfolio Investment Others Asia Sumber : International Monetary Fund, International Financial Statistics and World Economic Outlook database. 1) Net Foreign Direct Investment ditambah Net Portfolio Investment dan Net Other Investment 2) Indonesia, Korea, Malaysia, Philipines, Thailand Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut Tabe l 5 H arga dan V olume Pe rdagang an D unia p e rse n p e ru b a h a n P ro y e k s i P e rda g a n g a n ba ra n g da n ja s a P e rda g a n g a n du n i a 1) Vo lum e D e f la t o r h ar ga D a la m do la r A S D a la m SD R V o l u m e p e rd a g a n g a n E k sp o r N ega r a - n e ga r a m a ju 1994 1995 1996 1997 1998 1999 9 .3 9 .5 6 .7 9 .8 4 .6 5 .6 2 .3 - 0 .2 8 .3 2 .2 - 1 .1 3 .3 - 5 .8 - 0 .6 - 4 .1 - 0 .6 1 .3 1 .8 8 .8 8 .8 5 .9 1 0 .1 4 .1 5 .2 N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g Im p o r N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g N i l a i tu k a r da g a n g N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g P e rda g a n g a n ba ra n g P e rda g a n g a n du n i a Vo lum e D e f la t o r h ar ga D a la m do la r A S D a la m SD R H a rg a da l a m do l a r A S M an uf a k t ur M in y a k K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s H a rg a da l a m do l a r S D R M an uf a k t ur M in y a k K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s V ol u m e pe rda g a n g a n E k sp o r N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g P e n ge k sp o r m iga s B uk an p e n ge k sp o r m iga s Im p o r 1 3 .0 1 0 .5 8 .8 1 0 .6 4 .8 6 .1 9 .7 7 .0 8 .9 1 1 .9 6 .4 8 .2 8 .8 1 2 .4 5 .2 3 .6 5 .3 6 .5 0 .0 - 0 .2 0 .1 1 .8 0 .0 1 .9 - 0 .7 0 .6 0 .5 - 2 .3 - 0 .3 1 .0 1 0 .2 1 0 .2 6 .5 1 0 .3 4 .8 5 .6 2 .5 0 .0 8 .5 2 .4 - 1 .2 3 .2 - 6 .2 - 1 .0 - 4 .5 - 2 .3 1 .4 1 .9 3 .1 - 5 .5 1 3 .6 1 0 .3 8 .0 8 .2 - 3 .2 1 8 .4 - 1 .2 - 9 .4 - 5 .4 - 3 .3 - 3 .2 - 2 8 .0 - 1 3 .4 0 .7 1 3 .0 0 .9 0 .5 - 7 .8 1 0 .8 4 .1 1 .9 2 .1 1 .2 2 3 .7 3 .3 - 4 .4 - 0 .2 2 .0 - 1 .0 - 2 6 .4 - 1 1 .5 1 .2 1 3 .6 1 .3 9 .4 1 4 .3 8 .1 1 6 .5 9 .4 1 1 .9 2 .6 1 4 .7 5 .9 8 .3 6 .3 8 .9 1 0 .7 1 1 .2 6 .9 1 2 .4 4 .4 4 .9 1 .2 6 .0 5 .1 6 .3 5 .0 6 .6 N ega r a - n e ga r a m a ju 1 1 .0 9 .4 5 .7 9 .7 5 .6 5 .4 N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g 7 .6 1 2 .6 9 .1 1 0 .5 3 .0 6 .8 P e n ge k sp o r m iga s B uk an p e n ge k sp o r m iga s D e fl a to r h a rg a da l a m S D R E k sp o r N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g P e n ge k sp o r m iga s B uk an p e n ge k sp o r m iga s Im p o r N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g P e n ge k sp o r m iga s B uk an p e n ge k sp o r m iga s N i l a i tu k a r da g a n g N ega r a - n e ga r a m a ju N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g - 1 1 .1 4 .5 1 .1 1 5 .5 3 .7 6 .5 1 1 .9 1 4 .1 1 0 .5 9 .7 2 .8 6 .9 0 .4 - 0 .8 - 7 .9 1 .7 3 .0 1 .1 2 .1 0 .8 1 .7 8 .0 1 5 .8 5 .8 - 2 .4 3 .0 2 .8 3 .1 - 2 .4 - 4 .0 - 1 3 .9 - 1 .2 1 .4 3 .0 7 .7 1 .9 - 0 .2 - 0 .3 - 1 .1 - 0 .1 2 .8 - 1 .1 0 .6 - 1 .4 2 .6 5 .0 4 .0 5 .2 - 1 .6 2 .5 2 .6 2 .5 - 2 .8 - 0 .6 1 .3 - 1 .0 2 .2 1 .9 1 .5 1 .9 0 .5 - 0 .5 0 .2 2 .2 - 1 .0 2 .8 - 0 .8 0 .5 0 .4 - 3 .4 - 0 .7 1 .1 P e n ge k sp o r m iga s - 6 .8 1 .4 1 1 .3 0 .2 - 1 5 .1 6 .1 B uk an p e n ge k sp o r m iga s 1 .9 2 .2 0 .6 0 .6 - 0 .3 - 0 .1 Sum be r : I M F , Wo rld E c o n o m ic O u tlo o k , A ugust 1 9 9 8 201