dampak krisis moneter terhadap sektor riil

advertisement
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
131
DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL
Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso*
Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang
menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat
tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga
menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan
diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk
mengkaji seberapa jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil.
Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan
empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan
kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung
dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat,
berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas
yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih
tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek
adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang
mendorong restrukturisasi usaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun
pasar ekspor.
*) Noor Yudanto
: Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, email : [email protected]
M. Setyawan Santoso : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI
Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ilham Ikhsan, Deputi Kepala Urusan Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Retno Muhardini dan Fadjar
Majardi, keduanya Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI.
132
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
S
ejak pertengahan 1997, Indonesia dan sebagian beberapa negara Asia Tenggara dan
Timur mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang
bersifat eksternal maupun internal1 . Penarikan dana secara tiba-tiba dalam jumlah yang
besar oleh para investor asing yang didorong oleh pesimisme prospek perekonomian regional
dengan segera melemahkan mata uang rupiah secara drastis. Gelombang capital outflow
tersebut kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang membuat nilai
rupiah semakin terpuruk. Melemahnya nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan
dampak yang kurang menguntungkan kepada sektor-sektor perekonomian dengan tingkat
keseriusan yang berbeda-beda. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit
diprediksi dan cenderung overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan
pengetatan moneter dengan konsekwensi suku bunga tinggi. Meningkatnya suku bunga
umum tersebut secara paralel kemudian mendorong keatas bunga pinjaman atau biaya
modal bagi perusahaan-perusahaan sektor riil. Kenaikan biaya modal tersebut dengan
sendirinya mengganggu perencanaan investasi maupun produksi jangka panjang yang
pada akhirnya berpengaruh pada menurunnya penawaran agregat.
Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut dicerminkan oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi 1997 yang merosot menjadi 4,91% bahkan pada triwulan III tahun
1998 pertumbuhannya minus 17,13%, turun drastis dari rata-rata pertumbuhan selama tiga
tahun terakhir sebesar 7,9%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi jika diamati dari sisi produksi
tidak lepas dari kelemahan internal sektor usaha nasional disamping kondisi eksternal
lainnya. Kelemahan internal atau lemahnya daya kompetensi tersebut pada umumnya
bersumber dari inefisiensi manajemen yang secara riil tampak dari nilai ekuitas yang rendah,
ketergantungan yang tinggi kepada pinjaman bank, intensitas penggunaan komponen impor
yang tinggi, serta segmen pasar yang terbatas dan cenderung pasar domestik. Kelemahan
struktural tersebut walaupun dimiliki dalam intensitas yang berbeda-beda oleh masingmasing jenis usaha namun secara umum merupakan karakteristik sektor usaha riil nasional.
Berlatarbelang pada tingkat resistensi perusahaan yang berbeda-beda dalam
mengakomodasi dampak krisis tersebut maka disamping ditemukan banyak usaha yang
terpuruk dipihak lain terdapat juga jenis usaha tertentu yang tetap bertahan bahkan
memperoleh keuntungan (blessing) selama krisis.
Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan daya beli masyarakat
1 Secara umum dapat diidentifikasi lima penyebab esensial krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dewasa
ini yaitu: unfavorable macroeconomics condition, excessive inflows and rapid outflows of short term capital,
inappropriate exchange rate arrangements, financial system fragility, and regional contagions. (Kawai, Masahiro.,
The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary Economic Policy, Vol.XVI, April 1998)
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
133
karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga barang konsumsi
yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi masyarakat secara
luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat keuntungan
usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi.
Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit
sektor usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara
riil pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Dengan ditutupnya aktivitas sektor usaha yang
selama ini mampu menyerap tenaga kerja menjadikan krisis telah berkembang baik skala
maupun dimensinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi telah mendorong
intensitas krisis politik dan sosial semakin cepat dan hal ini rupanya yang menyebabkan
kinerja sektor riil Indonesia semakin terpuruk. Berlatarbelakang dari kondisi tersebut,
sementara upaya untuk mengembalikan nilai tukar rupiah pada level yang dikehendaki
melalui kebijakan moneter ketat2 belum memberikan hasil maka menarik untuk dikaji lebih
jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Pendekatan analisa yang akan
digunakan adalah tinjauan secara makro sektoral dan tinjauan mikro secara cross section
berdasarkan data laporan keuangan perusahaan yang sudah listed di bursa saham Jakarta.
Tinjauan Teoretis
Fungsi Produksi
Sesuai dengan konsep pendapatan nasional, total produksi suatu negara merupakan
hasil dari kegiatan produksi faktor-faktor produksi yang secara sederhana dapat ditelaah
melalui pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas seperti berikut:
GDP = Y = A (cK)a (eL)(1-a)
(1)
dimana Y atau GDP adalah total produksi dari hasil kombinasi optimum dari faktor produksi
modal (K) yang tingkat penggunaannya dipengaruhi oleh capacity utilisation rate ( c ) serta
elastisitasnya terhadap perubahan total produksi itu sendiri (a), faktor produksi tenaga
kerja (L) yang tingkat pemanfaatannya dipengaruhi oleh emplyoment rate (e) serta
elastisitasnya terhadap prubahan total produksi (1-a), dan faktor teknologi atau
produktivitas (A) yang besarnya cenderung konstan. Untuk memudahkan maka berdasarkan
production rule differentiation, terhadap persamaan (1) tersebut dapat diturunkan menjadi:
2 Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala dolarisasi dan ekspektasi depresiasi rupiah yang berlebihan,
otoritas moneter menerapkan kebijakan uang ketat yang selama ini terbukti cukup ampuh dalam meredam gejolak
spekulasi dollar (ingat Gebrakan Sumarlin). Namun kemajuan industri keuangan serta globalisasi sektor keuangan
telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memindahkan uang dari suatu tempat ke tempat lain dengan
cepat dan aman, sehingga efektifitas kebijakan tersebut tampaknya menjadi berkurang.
134
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
dY = a(Y/K)[c(dK) + K(dc)] + (1-a)(Y/L)[e(dL) + L(de)] + Y(dA)/A
(2)
Dari persamaan (2) tersebut dapat diterjemahkan bahwa kenaikan total produksi (dY) adalah
hasil dari perubahan naik atau turunnya variabel-variabel seperti berikut:
dK atau perubahan total investasi yang akan menentukan kapasitas produksi (GDP), (dc)
dan (de) yang mencerminkan perubahan sisi permintaan yang terdiri dari C (consumption
expenditures), I (investment expenditures), G (government expenditures) dan X (export demand), dL
atau pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang akan menentukan kapasitas produksi, dan dA
yang mencerminkan tingkat efisiensi atau produktivitas.
Sehubungan dengan ruang lingkup pembahasan, maka keterkaitan faktor-faktor yang
bergejolak yaitu nilai kurs rupiah dan suku bunga yang tergolong sebagai biaya input diduga
akan mempengaruhi total produksi dari sisi perubahan tingkat produktivitas usaha (dA). Tingkat
produktivitas atau efisiensi yang diukur dari perbandingan antara harga output dengan harga
input pasti akan berubah karena salah satu unsurnya berubah. Dengan asumsi bahwa melemahnya
nilai rupiah serta kenaikan biaya bunga akan tertransmisi dalam struktur biaya maka produktivitas
perusahaan akan terganggu dan secara agregat akan mempengaruhi total produksi nasional.
Transmisi Sektor Moneter ke Sektor Riil
Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan total produksi
perekonomian merupakan salah satu ultimate target dari kebijakan moneter, yang secara
operasional ditempuh lewat sasaran antara yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar. Jalur
transmisi kebijakan moneter ke sektor riil yang diadopsi selama ini didasarkan pada
paradigma jumlah uang beredar dan kredit. Otoritas moneter, dengan mengandalkan pada
efektifitas operasi pasar terbuka, mengatur jumlah reserve money (M0) sebagai sasaran
operasional yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah M1 dan M2 sebagai sasaran antara.
Dalam sasaran antara tersebut turut diperhatikan faktor suku bunga dan kredit. Selanjutnya
dengan mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka ultimate target
diatas akan dapat dicapai. Namun munculnya fenomena kemajuan industri keuangan serta
makin terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut menjadi
kurang tepat. Sebagai alternatif, manajemen moneter dengan menggunakan indikator suku
bunga atau nilai tukar sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar semakin
mendapat perhatian. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena penggunaan dua indikator
tersebut lebih unggul dari segi kecepatan informasi yang diterima serta besarnya (magnitude
pass-through) yang sangat penting untuk feedback pengelolaan moneter (Iljas, 1997)3 .
3 Mengenai kemungkinan implementasi paradigma baru pengelolaan moneter ini, secara lengkap dan jelas diuraikan dalam Hartadi, A
Sarwono, dan Warjiyo, Perry : Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran
untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No.1, Bank Indonesia, Juli 1998.
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
135
Dari berbagai jalur transmisi4 yang dikembangkan untuk memandu keakuratan
kebijakan moneter, jalur suku bunga dan nilai tukar tampaknya yang relatif paling kuat
kemampuannya dalam memprediksi kinerja sektor riil, disamping antara kedua jalur tersebut
mempunyai keterkaitan cukup erat terutama dalam kondisi perekonomian terbuka. Kenaikan
suku bunga domestik akan mendorong perbedaan suku bunga dengan suku bunga luar
negeri yang cenderung stabil, daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak capital inflow
yang mampu memberi tekanan apresiatif pada mata uang domestik. Perubahan nilai tukar
dengan sendirinya akan mempengaruhi term of trade komoditi perdagangan. Berlatar belakang
pada premis tersebut maka penentuan nilai tukar menjadi sangat fundamental bagi negara
yang berorientasi ekspor. Hal ini menimbulkan kecenderungan untuk mempertahankan
nilai tukar domestik yang overvalued. Kebijakan nilai tukar yang cenderung depresiatif
tersebut, menurut hasil studi terbukti mampu mendorong ekspor non-migas Indonesia selama
ini (Francisca, 1998). Meskipun kelemahannya adalah usaha sektor riil secara implisit
menikmati kurs yang subsidized karena kebijakan depresiatif tersebut.
Sehubungan dengan nilai kurs rupiah yang terus melemah, terutama sesudah
ditentukan secara murni oleh pasar, semakin memberi tekanan yang serius pada cash flow
usaha sektor riil. Besar kecilnya tekanan tersebut sangat tergantung dari struktur biaya yang
timbul akibat transaksi dalam non-rupiah, meskipun tidak tertutup kemungkinan terdapat
pelaku sektor riil yang justru diuntungkan oleh melemahnya nilai tukar tersebut. Secara
makro fluktuasi kurs yang tidak menentu akan mempengaruhi inflasi melalui transmisi
sederhana. Untuk melindungi exchange rate risk, eksportir atau importir akan membebankan
hedging cost tersebut pada selling price yang selanjutnya akan mendorong harga umum naik.
Sementara depresiasi tinggi seperti yang dialami oleh rupiah saat ini mendorong harga
import menjadi mahal, in term of domestic currency, sehingga efeknya harga-harga umum
akan terdorong naik. Dengan asumsi pengusaha cenderung untuk mempertahankan atau
bahkan menaikkan margin keuntungan maka inflasi akan terus meningkat secara spiral
dan harga yang sudah naik akan cenderung kaku (rigid) untuk turun kembali (ratcheteffect).
Nilai tukar yang melemah dilain pihak akan menyebabkan menggelembungnya beban rupiah
dari kewajiban non-rupiah (bubbling effect) seperti meningkatnya biaya bunga yang harus
dibayar sehingga tekanan kepada arus kas perusahaan akan makin meningkat.
Untuk mengetahui seberapa jauh dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi
terhadap sektor riil tersebut akan ditinjau baik dari sisi makro maupun mikro. Sisi makro
4 Pada prinsipnya terdapat empat jalur dimana kebijakan moneter ditransmisikan kedalam perekonomian yaitu
melalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga aset dan kredit. (Mishkin 1995, Boediono 1996 dan BIS 1995, dalam
Warjiyo dan Zulverdi, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel, 1998).
136
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yang dimaksud adalah yang diwakili oleh analisa PDB sektoral serta indikator makro lainnya
yang mendukung. Sedangkan analisa mikro menitikberatkan pada kinerja perusahaan yang
mewakili berbagai sektor usaha yang ada berdasarkan sampel perusahaan yang listed di
Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data untuk analisa mikro didasarkan dari sampel 57 perusahaan
non-finansial dengan periode pengamatan dari tahun 1995 sampai dengan 1997.
Diharapkan dari kedua sumber analisa tersebut dapat diperoleh potret yang lengkap tentang
kinerja sektor riil domestik.
Analisa Dampak Krisis
Tinjauan Makro: Analisa Sektoral
Pengaruh krisis ekonomi terhadap beberapa indikator makro ekonomi utama secara
umum menunjukkan pergerakan pada level yang kurang menguntungkan (adverse movements)
terutama pada periode setelah datangnya krisis yaitu paruh kedua 1997 hingga periode
1998. Nilai tukar rupiah pasar spot harian menunjukkan penurunan yang semakin tajam
terutama sejak sistem band intervensi dihapus digantikan dengan sistem pasar murni (lihat
grafik dibawah). Penurunan nilai kurs yang cukup cepat dan besar tersebut menjadi sulit
diantisipasi oleh sektor usaha yang selama ini secara konsisten mendasarkan transaksi
keuangan non-rupiah pada tingkat depresiasi rupiah yang relatif stabil.
Pertumbuhan GDP selama tiga tahun terakhir terjaga pada rata-rata 7,9% telah merosot
menjadi 4,91% pada tahun 1997, sedangkan pertumbuhan triwulanan 1998 menurun lebih
tajam yaitu -7,58% (1998.Q1), -17,09% (1998.Q2), -17,13% (1998.Q3) dan sampai akhir 1998
diperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi -13,7%. Kontraksi tajam pertumbuhan ekonomi
riil juga terefleksi dari pergerakan harga saham yang terus menurun terutama sejak
pertengahan kedua 1997. Indeks harga saham sektoral yang mencerminkan kinerja sektor
terwakili oleh perusahaan yang listed pada umumnya memperlihatkan pola penurunan
yang hampir tipikal. Diantara lima sektor utama yaitu pertanian, industri, perdagangan,
keuangan, dan bangunan, tampaknya sektor pertanian terbukti cukup resisten terhadap
krisis. Indeks harga saham sektor pertanian selalu lebih besar dari sektor lainnya disamping
memperlihatkan kenaikan sustainable sebelum terkena dampak krisis. Bahkan sejak triwulan
akhir 1997 besarnya indeks harga saham gabungan cukup dipengaruhi besarnya indeks
harga saham sektor pertanian.
Secara historis terdapat tiga sektor utama sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi
tinggi Indonesia selama ini yaitu sektor bangunan, sektor listrik dan gas serta sektor industri
pengolahan, dengan rata-rata pertumbuhan yang dihitung sejak 90-97, masing-masing
sebesar 14,5%, 12,7% dan 11,27%. Sebaliknya sektor pertanian dan jasa cenderung tumbuh
1-Jan-96
0
15-Jan-97
23-Sep-97
28-Aug-1998
31-Jul-98
7-Jul-1998
9-Jun-1998
12-May-1998
8-Apr-1998
9-Mar-1998
11-Feb-98
13-Jan-98
10-Dec-1997
12-Nov-1997
17-Oct-1997
3-Jan-96
16-Sep-98
19-Aug-1998
21-Jul-98
22-Jun-98
25-May-1998
20-Apr-98
20-Mar-98
20-Feb-98
22-Jan-98
23-Dec-1997
24-Nov-1997
27-Oct-1997
29-Sep-97
1-Sep-1997
31-Jul-97
2-Jul-1997
4-Jun-1997
5-May-1997
3-Apr-1997
4-Mar-1997
31-Jan-97
3-Jan-1997
5-Dec-1996
7-Nov-1996
10-Oct-1996
12-Sep-96
15-Aug-96
18-Jul-96
20-Jun-96
23-May-96
25-Apr-96
27-Mar-96
28-Feb-96
31-Jan-96
6,000.0
28-Aug-1997
4-Aug-1997
7-Jul-1997
11-Jun-97
14-May-1997
14-Apr-97
12-Mar-97
14-Feb-97
TRADE
18-Nov-1996
PROP
MANFC
12-Dec-1996
AGR
FINAN
23-Oct-1996
IHSG
27-Sep-96
3-Sep-1996
8-Aug-1996
15-Jul-96
19-Jun-96
24-May-1996
26-Apr-96
700
27-Mar-96
28-Feb-96
16,000.0
25-Jan-96
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
137
Grafik 1.
PERKEMBANGAN KURS SPOT HARIAN RP/USD
2,000.0
4,000.0
pelepasan band
8,000.0
Krisis
10,000.0
12,000.0
14,000.0
Grafik 2.
PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN HARIAN
800
600
500
400
300
200
100
138
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
rendah, rata-rata sebesar 3,5% dan 3%. Sedangkan dari segi sumbangan terhadap
pertumbuhan PDB, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki rata-rata sumbangan
tertinggi yaitu masing-masing sebesar angka persentase 2,5 dan 1,5 dari 8 % rata-rata
pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor-sektor lainnya yang juga memiliki potensi menjadi
penggerak perekonomian domestik adalah sektor bangunan serta sektor keuangan.
Sehubungan dengan datangnya krisis moneter pertumbuhan produksi riil sektorsektor perekonomian telah menunjukkan penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
tingkat resistensi sektor riil yang rendah disamping karena faktor non ekonomi lainnya.
Sektor-sektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar dalam PDB seperti sektor industri
pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, dan keuangan telah mengalami
kontraksi sehingga mengakibatkan pertumbuhan 1997 dan estimasi 1998 secara agregat
menurun (lihat grafik 3).
Grafik 3.
PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL
P er tani an
P er tambangan
I ndus tr i
L i s tr i k
B angunan
P er dagangan
P engangkutan
B ank
1996
J as a-j as a
1997
1998
P R ODU K DOM E ST I K B R U T O
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
S umber : B P S dan P r oyeks i B an k I n
Sektor-sektor yang pertumbuhannya negatif pada umumnya mempunyai karakteristik
kelemahan struktural seperti dikemukakan diatas, hal ini akan diulas kemudian. Khusus
untuk sektor pertanian yang memiliki pangsa sekitar 14,8% dalam PDB, pengaruh gejala
alam turut mempengaruhi penurunan hasil produksi secara luas.
Dampak Depresiasi dan Suku Bunga
Daya tahan setiap sektor dari tekanan melemahnya nilai tukar dan tingginya suku
bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor dengan faktor
depresiasi dan suku bunga. Kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya yang cukup kuat
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
139
memberi tekanan pada kenaikan biaya produksi apabila terjadi fluktuasi. Untuk memperoleh
gambaran seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi kedua faktor tersebut terhadap
pertumbuhan produksi masing-masing sektor dilakukan uji korelasi, sedangkan untuk
menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitasnya5 .
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup kuat dengan faktor
depresiasi adalah sektor bangunan, sektor industri, sektor transportasi dan sektor keuangan.
Sedangkan tingkat elastisitasnya, sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap
perubahan nilai kurs. Saratnya imported input dan besarnya sumber pembiayaan dari luar
negeri dalam struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor
suku bunga, diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi, dan perdagangan
merupakan sektor-sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Jika
dilihat dari segi elastisitasnya, sektor yang paling elastis terhadap suku bunga adalah sektor
bangunan dan keuangan (lihat tabel 1)
Untuk melengkapi hasil uji korelasi maupun uji elastisitas dari pertumbuhan masingmasing sektor terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga maka telah dihitung kinerja
masing-masing sektor pada periode pra krisis dan selama krisis (lihat tabel 2). Secara umum
dari perbandingan antara dua periode tersebut dapat diketahui bahwa semua sektor
mengalami penurunan pertumbuhan cukup besar, sementara peranannya (share) relatif
Tabel 1.
DAMPAK DEPRESIASI DAN SUKU BUNGA SECARA SEKTORAL
No. Sektor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik
Bangunan
Perdagangan
Pengangkutan
Bank
Jasa-jasa
9.
10. Produk Domestik Bruto
Effect
(+)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Depresiasi
Bunga
Corr. Coef. Elc. Coef.
Effect
0,08
-0,12
-0,23
0,15
-0,52
-0,26
-0,29
-0,27
0,01
-0,06
-0,37
0,06
-0,29
-0,05
-0,09
-0,16
-0,17
-0,42
0,12
-0,03
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Corr. Coef. Elc. Coef.
-0,18
-0,23
-0,52
-0,41
-0,57
-0,56
-0,56
-0,51
-0,15
-0,60
-0,6
-1,8
-8,4
-3,7
-12,8
-6,9
-10,8
-12,6
-0,9
-5,7
*) diperkirakan dengan menggunakan metode korelasi dan ARIMA
5 Koefisien korelasi dihitung berdasarkan hasil correlation matrix peubah-peubah yang diamati, sementara koefisien
elastisitas (b) dihitung sbb:
g(PDB)i = a + b (depresiasi) + e
g(PDB)i = a + b log (bunga) + e
dimana g(PDB) adalah growth dari PDB sektor bersangkutan (i), dengan periode penghitungan : tahun 1970 s.d. 1996
140
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 2.
KINERJA SEKTORAL SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS MONETER
Pertumbuhan (%)
LAPANGAN USAHA
Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik
Bangunan
Perdagangan
Pengangkutan
Keuangan
Jasa-jasa
Produk Domestik Bruto
Peranan (%)
Sumbangan Pertumbuhan (%)
Sebelum*
Sesudah** +/- Sebelum*
Sesudah** +/- Sebelum*Sesudah**
3,1
6,3
11,0
13,9
14,0
8,1
8,9
9,8
3,2
8,0
0,3
-4,0
-7,9
5,3
-24,2
-10,7
-3,2
-13,5
-1,7
-7,6
-2,9
-10,4
-18,9
-8,6
-38,2
-18,9
-12,1
-23,3
-4,9
-15,6
15,8
9,1
24,1
1,2
7,9
16,7
7,2
9,1
9,0
100,0
16,3
9,3
24,9
1,4
6,7
16,2
7,6
8,5
9,2
100,0
0,5
0,2
0,8
0,2
-1,2
-0,6
0,4
-0,6
0,3
0,0
0,5
0,6
2,7
0,2
1,1
1,4
0,6
0,9
0,3
8,0
0,0
-0,4
-2,0
0,1
-1,6
-1,7
-0,2
-1,1
-0,2
-7,6
+/-
-0,5
-1,0
-4,6
-0,1
-2,7
-3,1
-0,9
-2,0
-0,4
-15,6
*) Dihitung dari rata-rata tahun 1995.1 sampai 1997.2
**) Dihitung dari rata-rata tahun 1997.3 sampai 1998.3
kurang mengalami perubahan, sehingga sebagai hasilnya sumbangan pertumbuhan masingmasing sektor berkurang secara signifikan.
Berdasarkan hasil uji secara statistik (korelasi dan elastisitas) serta pengamatan empirik
maka dapat disajikan beberapa temuan dari setiap sektor seperti berikut:
(1). Sektor Pertanian.
Pertumbuhan sektor pertanian memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat
dengan dampak negatif dari gejolak kurs bahkan mempunyai koefisien korealsi dan
elastisitas yang positif meskipun sangat rendah (0,08 dan 0,01). Hal ini dimungkinkan
karena sektor pertanian relatif steril dari penggunaan bahan impor, kecuali dalam hal
pengadaan pupuk dan pakan ternak. Sementara produk hasil pertanian diluar beras dan
tanaman pangan pada umumnya diekspor. Produk sub-sektor perkebunan seperti kelapa
sawit, coklat, cengkeh dan coklat terbukti selama masa krisis semakin terbukti menjadi
primadona, demikian pula sub sektor perikanan (udang dan ikan tuna). Depresiasi rupiah
yang tajam secara mencolok telah meningkatkan penerimaan rupiah hasil ekspor bagi para
petani maupun pengusaha agibisnis lainnya. Sehubungan dengan adanya windfall profit
tersebut maka kebutuhan tenaga kerja dan ekspansi usaha di sektor pertanian justru semakin
meningkat. Sebaliknya gejolak suku bunga memberikan pengaruh yang kurang
menguntungkan, meskipun rendah, terhadap pertumbuhan sektor pertanian seperti
ditunjukkan dari koefisien korelasi (-0,18) dan tingkat elastisitasnya (-0,6). Dari perbandingan
antar periode sebelum dan sesudah krisis, pertumbuhan sektor pertanian sesudah krisis
merosot sebesar 2,9% (dari rata-rata 3,1% menjadi 0,3%), tampaknya penurunan tersebut
disamping dipengaruhi oleh krisis moneter juga karena pengaruh kuat dari faktor gangguan
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
141
alam. Seperti diketahui faktor alam seperti kebakaran, kemarau panjang, serangan hama
atau banjir justru lebih signifikan pengaruhnya terhadap produksi sektor pertanian.
(2). Sektor Pertambangan
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor pertambangan terkena dampak negatif
dari depresiasi namun dengan tingkat korelasi dan elastisitas yang rendah. Relatif lemahnya
dampak tersebut diperkirakan karena hasil sektor pertambangan seperti minyak dan gas,
sebagian besar diekspor. Pengaruh negatif kemungkinan berasal dari kebutuhan barang
modal dan biaya perawatan alat-alat yang masih harus diimpor, sementara jasa konsultan
asing masih sangat dominan. Pengaruh suku bunga dalam sektor pertambangan meskipun
negatif namun tidak terlampau kuat karena peran perusahaan asing yang cukup besar
sebagai operator penambangan sehingga suku bunga dalam negeri tampaknya kurang
mempengaruhi portofolio pinjaman yang dominan hutang luar negeri. Namun kinerja sektor
sesudah krisis memperlihatkan penurunan pertumbuhan, hal ini diduga disebabkan oleh
turunnya permintaan pasar dunia terhadap produk pertambangan. Pengaruh faktor eksternal
tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh faktor internal.
(3). Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan selama krisis merosot cukup tajam, termasuk dalam
lima sektor yang mengalami kontraksi paling parah. Kelemahan dalam struktur produksi
seperti ditunjukkan oleh tingginya persentase kandungan impor (lihat tabel 3) telah
menyebabkan kegiatan produksi menjadi sangat mahal dalam kondisi lemahnya rupiah.
Hal ini juga diperlihatkan dari kuatnya nilai korelasinya dengan faktor depresiasi (-0.23),
serta tingkat elastisitasnya (-0,37). Sementara dengan faktor suku bunga keterkaitan
pertumbuhan sektor industri pengolahan juga menunjukkan korelasi yang kuat (-0,52) serta
elastisitas yang tinggi (-8,4). Ketergantungan yang tinggi terhadap pinjaman bank sebagai
sumber pembiayaan menjadikan kinerja sektor ini cukup rentan terhadap perubahan bunga.
Tekanan ganda baik dari jatuhnya nilai rupiah serta biaya bunga tampaknya menjadi
kontributor utama melemahnya produksi atau ekspor sektor tersebut yang seharusnya justru
meningkat seiring dengan makin murahnya rupiah.
(4). Sektor Listrik
Dari hasil tes korelasi dan elastisitas diketahui bahwa sektor listrik relatif kurang
terpengaruh oleh dampak negatif gejolak depresiasi rupiah, namun masih terkena dampak
negatif kenaikan suku bunga. Dampak dari depresiasi tersebut walaupun positif namun
cukup lemah seperti diindikasikan oleh nilai korelasinya yang lemah (0,15) dan elastisitas
yang rendah (0,06), sebaliknya pengaruh faktor suku bunga cukup kuat seperti tampak dari
142
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 3.
KOEFISIEN INPUT IMPOR
Sektor
Import
Industri Pengolahan
Industri
Industri
Industri
Industri
Industri
Industri
Industri
Industri
pupuk
40,87%
mesin dan perlengkapan listrik 35,33%
alat pengangkutan
30,42%
Kimia
24,32%
barang logam
23,98%
barang karet dan plastik
15,12%
kertas, barang dari kertas dan 12,67%
karton
tekstil, pakaian dan kulit
12,09%
T ransportasi da n Komunikasi
Angkutan darat
Angkutan air
Angkutan udara
Komunikasi
3,23%
10,71%
23,49%
8,17%
Bangunan
8,22%
S umber : diolah dari tabel I - O 1995 B PS .
nilai korelasi (-0,52) dan elastisitasnya (-8,4). Fenomena menarik pada sektor listrik yaitu
masih positifnya pertumbuhan produksi pada kondisi krisis dan hal ini diduga kuat
disebabkan oleh stabilnya permintaan bahkan terjadi ekspansi terutama pada segmen listrik
untuk rumah tangga. Data empirik menunjukkan bahwa jumlah pelanggan PLN dalam
kurun lima tahun terakhir meningkat sangat besar yaitu menjadi 25,63 juta pelanggan (Juni
1998) dari 15,6 juta pelanggan (1993/94). Kenaikan pelanggan setiap periode terutama
disebabkan oleh penambahan pelanggan baru dari segmen rumah tangga dan lain-lain,
sementara jumlah pelanggan dari segmen industri sedikit menyusut menjadi 43.445 (Juni
1998) dari 51.571 pelanggan (1997/1998). Persentase kenaikan bersih yang masih positif
tersebut tampaknya yang menyebabkan pengaruh negatif depresiasi menjadi tereduksi
mengingat kebutuhan barang modal yang harus diimpor oleh sektor listrik (PLN maupun
swasta) masih cukup besar. Sementara pinjaman dalam struktur pembiayaan sektor ini
masih cukup dominan mengakibatkan kegiatan produksi menjadi sensitif dengan gejolak
suku bunga.
(5). Sektor Bangunan
Sektor bangunan merupakan sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan paling
besar selama krisis yaitu rata-rata sebesar -24,2% atau menurun 38,2% dari rata-rata
pertumbuhan sebelum krisis. Krisis moneter memberi tekanan yang sangat serius seperti
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
143
halnya yang dialami oleh sektor industri pengolahan. Koefisien korelasi sektor bangunan
dengan faktor depresiasi maupun dengan faktor suku bunga terbukti cukup tinggi, masingmasing sebesar -0.52 dan -0.57. Sementara dari tingkat elastisitasnya juga terlihat cukup
tinggi yaitu -0.29 dengan fluktuasi depresiasi dan -12.8 dengan gejolak suku bunga. Seperti
diketahui faktor suku bunga berperan sangat penting dalam sektor konstruksi (properti)
karena sifat investasinya yang jangka panjang dan untuk kredit pembiayaan pemilikan
rumah bagi konsumen. Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terpuruknya
sektor bangunan adalah tingginya tingkat pemakaian bahan penolong dan perlengkapan
pembangunan properti yang masih harus diimpor, pemakaian jasa konsultan asing,
dominannya pinjaman non-rupiah, ditangguhkannya proyek-proyek pemerintah maupun
swasta, serta menurunnya daya serap pasar.
(6). Sektor Perdagangan
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sektor perdagangan memiliki koefisien korelasi
yang cukup tinggi dengan faktor depresiasi (-0.26) maupun dengan faktor suku bunga (0.56). Sedangkan dari segi elastisitasnya, dengan faktor depresiasi cukup rendah (-0,05)
namun cukup kuat dengan faktor suku bunga (-6,9). Faktor depresiasi berpengaruh terutama
pada sub sektor perdagangan consumer goods, barang-barang mewah, peralatan elektronik,
dan barang kebutuhan lainnya yang cukup tinggi kandungan impornya. Sedangkan
elastisitas yang tinggi dengan faktor suku bunga terutama disebabkan karena sektor
perdagangan cukup banyak memanfaatkan kredit dari perbankan untuk kegiatan usaha
maupun dalam hal fasilitas kredit konsumsi bagi konsumen. Meningkatnya suku bunga
(biaya pinjaman) tersebut tampaknya memberi sumbangan menurunnya omzet perdagangan
maupun daya serap masyarakat sehingga pertumbuhan sektor ini menjadi rata-rata -10,7%
dari 8,1% pada periode sebelum krisis.
(7). Sektor Pengangkutan
Hasil uji korelasi antara pertumbuhan sektor transportasi dengan faktor depresiasi
adalah lumayan kuat (-0,29) sedangkan dengan faktor suku bunga berkorelasi cukup tinggi
(-0,56). Depresiasi memberi pengaruh negatif terutama karena masih dominannya
pembiayaan luar negeri untuk pengadaan spare part maupun pembelian alat transporatsi
itu sendiri. Sampai dengan pertengahan tahun 1998, kenaikan harga spare part kendaraan
bermotor rata-rata mengalami kenaikan hingga 300%. Hal ini membawa konsekuensi
meningkatnya ongkos transportasi baik darat, laut maupun udara sehingga menurunkan
mobilitas masyarakat. Sementara itu suku bunga memiliki korelasi tinggi karena dalam
sektor transportasi, hutang memegang peranan yang cukup besar untuk pembelian saranasarana penunjang transportasi. Pertumbuhan sektor transportasi telah merosot sebesar 12,1%
144
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yaitu dari rata-rata 8,9% (pra kirisis) menjadi rata-rata -3,2% (periode krisis).
(8). Sektor Keuangan
Sektor keuangan (sebagian besar sub-sektor bank) memiliki korelasi yang cukup tinggi
dengan faktor depresiasi (-0,27) maupun dengan faktor suku bunga (-0,51). Demikian juga
tingkat elastisitas sektor keuangan terhadap perubahan depresiasi (-0,16) dan perubahan
suku bunga (-12,6). Makin luasnya eksposure valas dari bank-bank baik berupa aktiva
maupun kewajiban menyebabkan sektor keuangan semakin sensitif terhadap perubahan
nilai kurs. Sebagai gambaran kerugian sub-sektor perbankan akibat gejolak kurs pada tahun
berjalan 1998 telah mencapai Rp 40,38 triliun (tahun 1997 kerugian hanya Rp 6,2 triliun)
atau rata-rata kerugian per bulan mencapai Rp 5,77 triliun6 . Sementara itu faktor suku
bunga telah menjadi sumber kerugian lain dari sektor keuangan. Jika dibandingkan tingkat
korelasi antara pertumbuhan sektor keuangan dengan depresiasi atau suku bunga, maka
korelasi terhadap suku bunga lebih tinggi dibandingkan dengan depresiasi. Dampak
pengaruh faktor-faktor kuat tersebut adalah terkontraksinya pertumbuhan sektor keuangan
menjadi -13,5% (rata-rata selama krisis) atau menurun 23,3% dari 9,8% (rata-rata pra krisis).
Penurunan tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena dari hasil pengamatan empirik
menunjukkan bahwa kualitas kredit perbankan makin memburuk dan jumlah kredit
bermasalah juga semakin tinggi. Jumlah kredit bemasalah (Non Performing Loan) sampai
dengan bulan Juli 1998 telah mencapai Rp 320,05 triliun atau meningkat sebesar 895% dari
bulan Desember 1997 (Rp 32,18 triliun). Meskipun NPL bulan Juli 1998 tersebut relatif lebih
rendah dari bulan sebelumnya (Rp 320,66 triliun) namun belum mengindikasikan perbaikan
kwalitas kredit perbankan sehubungan dengan terus meningkatnya cadangan penghapusan
aktiva produktif7 . Sementara itu, kredit bermasalah per sektor ekonomi menunjukkan bahwa
sektor perindustrian paling tinggi jumlahnya (Rp 99,68 triliun) sedangkan paling rendah
sektor jasa sosial masyarakat (Rp 1,65 triliun). Jumlah kredit bermasalah tampaknya akan
terus meningkat pada setiap sektor dan tekanan akibat kondisi pendapatan bunga defisit
(akibat spread bunga negatif) juga akan memberi tekanan yang cukup berat terhadap kinerja
sektor keuangan secara keseluruhan.
(9). Sektor Jasa
Imbas krisis moneter tampaknya turut mempengaruhi kinerja sektor jasa walau tidak
terlalu kuat. Pada periode krisis rata-rata pertumbuhan sektor jasa menjadi - 1,7% atau
turun sebesar 4,9% dari rata-rata 3,2% (pra krisis). Penurunan tersebut juga tercermin dari
6 Kondisi Perbankan Bulan Juli 1998, Bagian SPPK, Bank Indonesia
7 ibid
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
145
koefisien korelasinya terhadap depresiasi dan suku bunga masing-masing -0.17 dan -0.15
dengan koefisien elastisitas masing-masing -0.03 dan -0.9. Rendahnya semua koefisien dalam
sektor ini belum memberi jaminan sektor jasa cukup resisten terhadap gejolak. Penurunan
kinerja yang terjadi pada hampir semua sektor diluar sektor jasa diduga mempengaruhi
produksi sektor jasa yang terdiri atas sub sektor pemerintah dan rumah tangga. Sub-sektor
jasa pemerintah kegiatan produksinya sangat tergantung pada anggaran sehingga
penyesuaian anggaran sehubungan dengan perubahan kurs pada akhirnya mempengaruhi
kegiatan produksi sektor secara total karena pangsanya yang lebih besar dibandingkan
sub sektor jasa rumah tangga.
Tinjauan Mikro : Analisa Kinerja Perusahaan
Secara signifikan telah terjadi perubahan-perubahan kinerja struktur keuangan unit
usaha sektor riil yang damati selama periode sebelum dan sesudah krisis moneter. Peubahpeubah yang diduga mempunyai korelasi kuat dengan faktor-faktor dominan penyebab
krisis seperti suku bunga dan nilai kurs menunjukkan penurunan atau kenaikan sesuai
dengan sifat peubah tersebut. Penelitian dilakukan dengan analisa deskriptif dilengkapi
tinjauan khusus tentang dampak fluktuasi suku bunga terhadap kinerja unit usaha secara
umum. Pengamatan didasarkan pada 57 sample data perusahaan non-finansial yang sudah
tercatat di BEJ (Bursa Efek Jakarta) dengan kriteria volume usahanya tergolong menengah
besar dan sedapat mungkin mewakili sektor-sektor perekonomian. Periode pengamatan
adalah tahun 1995, 1996 dan 1997 sedangkan data laporan keuangan tahun 1998 belum
dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena kelengkapan data yang kurang memadai.
Analisa Konsentrasi:
Untuk mengetahui perubahan pos-pos struktur keuangan perusahaan yang diamati
selama periode pengamtan secara deskriptif dilakukan analisa konsentrasi berdasarkan
pembagian kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi tingkat nilai penjualan, beban biaya
bunga, jumlah hutang usaha jangka pendek kepada bank, tingkat keuntungan sebelum
dikurangi pajak penghasilan, serta jumlah ekuitas.
1.
Nilai Penjualan
Dari jumlah sampel yang diamati selama periode pengamatan, perkembangan nilai
penjualan kurang menunjukkan perubahan yang cukup mendasar namun masih tetap
dalam pertumbuhan positif. Konsentrasi jumlah perusahaan berdasarkan kriteria tingkat
penjualan tahunan memperlihatkan bahwa perusahaan yang mampu mencapai ukuran
penjualan diatas Rp 100 miliar masih menunjukkan kenaikan bahkan pada tahun 1997
mencapai 77%, demikian halnya pada masing-masing gradasi dibawahnya walaupun
146
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel. 4
KONSENTRASI A/D NILAI PENJUALAN
(% kumulatif)
Rp
>100 miliar
> 50 miliar
> 25 miliar
> 10 miliar
1995
70%
84%
93%
98%
1996
72%
89%
95%
100%
1997
77%
93%
98%
100%
dengan tingkat yang berbeda-beda.
Adanya kenaikan nilai penjualan tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor seperti
misalnya kenaikan harga jual domestik, depresiasi rupiah bagi usaha yang berorientasi
ekspor atau memang terdapat kenaikan riil dari segi output terjual. Untuk menemukan
faktor yang paling dominan dari antara ketiga faktor dugaan tersebut sangat tergantung
dari karakteristik perusahaan tersebut terutama dari segi target pasar, sifat produk, serta
pricing policy. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja nilai penjualan unit usaha
yang diamati pada tahun 1997 sedikit meningkat dari tahun 1996, sementara kinerja tahun
1996 masih lebih baik dari tahun 1995. Kondisi than 1998 diperkirakan akan memburuk
mengingat kondisi makro secara keseluruhan juga menurun drastis.
2.
Hutang Bank dan Biaya Bunga
Dari salah satu komponen biaya yang diamati, diperkirakan biaya bunga mengalami
perubahan yang cukup kuat sehubungan dengan krisis yang sedang berlangsung. Biaya
bunga dimaksud adalah beban bunga yang timbul dari pinjaman bank dan bersifat jangka
pendek. Dari tiga tahun pengamatan, kondisi tahun 1997 menunjukkan perubahan
komposisi yang cukup besar sehubungan dengan pembengkakan beban bunga akibat krisis.
Peningkatan beban bunga tersebut dapat bersumber dari peningkatan suku bunga maupun
jumlah pinjaman pokoknya. Seperti diketahui pinjaman tersebut pada umumnya terdiri
dari pinjaman rupiah dan pinjaman non-rupiah (terutama US dollar), sehingga munculnya
depresiasi rupiah secara otomatis akan meningkatkan jumlah pinjaman non-rupiah yang
dihitung dalam rupiah.
Dari tabel 5 pada kolom hutang bank telah terjadi kenaikan jumlah hutang bank
perusahaan pada semua gradasi, konsentrasi jumlah perusahaan dengan hutang bank antara
Rp 0 s.d Rp 5 miliar telah meningkat dari 16% (1996) menjadi tinggal 9% (1997). Dengan
latar belakang kondisi tersebut maka peta konsentrasi perusahaan dengan biaya bunga
diatas Rp 50 miliar per tahun pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 19% dari 9% (1996).
Konsentrasi tertinggi tampaknya terpusat pada rentang antara Rp 25 miliar dan Rp 50
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
147
Tabel 5
KONSENTRASI A/D HUTANG BANK DAN BIAYA BUNGA
(% kumulatif)
Hutang Bank
Rp
1995
1996
Biaya Bunga
1997
1995
1996
1997
> 50 miliar
47%
54%
63%
9%
9%
19%
> 25 miliar
> 10 miliar
> 5 miliar
77%
77%
88%
81%
81%
84%
88%
88%
91%
19%
37%
53%
21%
42%
58%
44%
63%
75%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
>
0 miliar
miliar yang meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi tahun
sebelumnya. Sementara itu sebaran kedua tertinggi adalah antara Rp 10 miliar dan Rp 25
miliar. Pada tahun 1997, jumlah perusahaan yang pada tahun sebelumnya mempunyai
biaya bunga dibawah Rp 5 miliar telah meningkat artinya terjadi peningkatan biaya bunga
dibandingkan periode sebelumnya. Konsentrasi pada kategori dimaksud telah merosot
menjadi 25% turun dari 42% (1996). Kenaikan biaya bunga tersebut tampaknya disebabkan
oleh naiknya pinjaman pokok karena besarnya suku bunga pinjaman sebenarnya tidak
terlalu bervariasi, suku bunga pinjaman rupiah pada tahun 1997 besarnya antara 19%-40%
(Tahun 1996: 19%-21%) sementara pinjaman dalam dollar 9,68% - 10,9% (Tahun 1996: 8,06%9,28%).
3.
Keuntungan Sebelum Pajak (Earning Before Tax)
Tingkat keuntungan sebelum pajak (Earning Before Tax) sektor usaha pada tahun
1997 memperlihatkan penurunan yang luar biasa seperti diperlihatkan oleh lebih dari
setengah jumlah sampel (51%) yang mencatat laba negatif. Tingginya jumlah perusahaan
yang mempunyai laba negatif membuat konsentrasi berubah drastis dimana pada kelompok
keuntungan diatas Rp 50 miliar pada tahun 1997 merosot menjadi 12% dibanding dua
tahun sebelumnya sebesar 26% (1995), dan 30% (1996). Penurunan konsentrasi tersebut
tampaknya juga berlangsung pada rentang-rentang dibawahnya dan mengumpul pada
kelompok keuntungan negatif. Komposisi tahun 1997 menunjukkan bahwa konsentrasi
terbesar terletak pada kategori antara Rp 25 - 50 miliar, sebesar 9% (21%-12%). Menyusutnya
EBT dari obyek yang diamati terutama disebabkan oleh kerugian selisih kurs dan biaya
bunga. Kerugian luar biasa akibat selisih kurs terutama dipicu setelah bank sentral
melepaskan kebijakan managed floating exchange rate sehingga kurs rupiah melonjak dari Rp
4.650 menjadi Rp 8.325 per USD (per Maret 1998).
148
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 6
KONSENTRASI A/D KEUNTUNGAN SEBELUM PAJAK
(% kumulatif)
Rp
50 miliar
25 miliar
10 miliar
5 miliar
0 miliar
1995
26%
49%
63%
72%
98%
1996
30%
49%
74%
81%
95%
1997
12%
21%
28%
35%
49%
< 0 miliar
2%
5%
51%
>
>
>
>
>
4.
Ekuitas
Adanya ketidakseimbangan antara kenaikan nilai penjualan dengan biaya
perusahaan telah membawa perusahaan dalam kondisi menyusutnya tingkat keuntungan,
pengamatan empiris menunjukkan bahwa beberapa perusahaan sudah dalam kondisi
keuntungan negatif (sekitar 51%). Menurunnya laba tahun berjalan mendorong terciptanya
saldo laba negatif dan kondisi tersebut akan mempengaruhi jumlah ekuitas perusahaan.
Kondisi ekuitas negatif yang ditemukan umumnya disebabkan oleh memburuknya saldo
laba tanpa diimbangi oleh penyuntikan modal tambahan dari pemilik. Oleh karena itu
seiring dengan semakin berkurangnya tingkat keuntungan usaha akibat krisis maka kinerja
ekuitas perusahaan juga terus merosot bahkan pada tahun 1997 terdapat sekitar 9% yang
sudah dalam kondisi ekuitas negatif. Penurunan kwalitas ekuitas terjadi pada semua gradasi
seperti diperlihatkan konsentrasi jumlah perusahaan yang memiliki ekuitas diatas Rp 100
miliar pada tahun 1997 tinggal 49%, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 58%
(1995) dan 63% (1996).
Tabel 7
KONSENTRASI A/D EKUITAS
(% kumulatif)
>
>
>
>
>
Rp
500 miliar
250 miliar
100 miliar
50 miliar
0 miliar
1995
19%
30%
58%
81%
100%
1996
19%
37%
63%
81%
100%
1997
16%
32%
49%
72%
91%
<
0 miliar
0%
0%
9%
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
149
Tinjauan Pengaruh Faktor Suku Bunga
Dalam struktur biaya perusahaan faktor biaya bunga merupakan salah satu unsur
biaya produksi yang timbul karena penarikan hutang jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari kedua jenis hutang tersebut hutang jangka pendek seperti hutang modal kerja sering
dikategorikan sebagai biaya variabel dalam menentukan harga jual dan dari pengamatan
empiris menunjukkan bahwa sekitar 60% perusahaan sektor riil mempunyai porsi hutang
jangka pendek yang lebih besar dalam struktur hutangnya. Jangka waktu pinjaman yang
relatif pendek mengakibatkan hutang jangka pendek cukup sensitif terhadap perubahan
suku bunga, dan meskipun bobotnya dalam struktur biaya cukup rendah namun dalam
kenaikan suku bunga dikhawatirkan akan memberikan pengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Dengan asumsi perusahaan cenderung mempertahankan margin
keuntungannya maka menjadi menarik untuk mengukur seberapa jauh dampak kenaikan
suku bunga terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan yang pada akhirnya tampak
dari gejala ekspansi/kontraksi usaha.
Model yang diestimasi
Untuk mengetahui dampak dari pengaruh faktor suku bunga terhadap kinerja
perusahaan maka akan dilakukan uji regresi sederhana terpisah masing-masing periode
sebelaum krisis (1995 dan1996) dan selama krisis (1997). Dua persamaan yang diestimasi
yaitu (i) persamaan biaya bunga yang dipengaruhi oleh hutang jangka pendek dan hutang
jangka panjang, (ii) persamaan kinerja perusahaan yang diwakili oleh peubah tingkat
keuntungan sebelum pajak sebagai fungsi dari nilai penjualan, biaya harga pokok produksi
dan biaya bunga. Mengingat sifat data terdiri dari banyak perusahaan yang berbeda serta
diamati dalam jangka waktu relatif pendek maka untuk pengujian model digunakan uji
cross-section.
(INTEX)t =c+ α (BBRW)t + β (LTD)t + et
(1)
( EBT)t =c+ α (INTEX)t + β (SALES)t + γ (CGS)t +et
(2)
keterangan:
INTEX
BBRW
LTD
EBT
SALES
CGS
c
e
t
= interest expense (biaya bunga)
= bank borrowing (jumlah hutang jangka pendek pada bank)
= long term debt (hutang jangka panjang pada bank, obligasi, cp, dsb.)
= earning before tax (penerimaan perusahaan sebelum pajak)
= tingkat penjualan perusahaan
= cost of goods sold (biaya pokok perusahaan)
= konstanta
= residual
= tahun: 1995, 1996, 1997.
150
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Hasil Analisa
1.
Hasil estimated equation untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh hutang jangka
pendek dan jangka panjang terhadap biaya bunga adalah sebagai berikut.:
Dependent Var.
Independent Var.
C
BBRW95
1995
INTEX95
1996
INTEX96
1997
INTEX97
Koefisien
-2597.325
(-1.305)
0.136979
(15.538)
Koefisien
-5303.249
(-1.848)
Koefisien
-52452.37
(-4.277)
BBRW96
0.153917
(16.088)
BBRW97
LTD95
0.364382
(15.243)
0.052133
(6.701)
LTD96
0.054502
(6.055)
LTD97
R-squared
0.049804
(2.558)
0.97722
0.966223
0.911446
note:tstat.=(…)
Hasil dari estimated equation masing-masing periode tersebut dapat disimpulkan
bahwa:
a.
Dari pengamatan terhadap sampel yang sama untuk periode yang berbeda, 1995,
1996, dan 1997 menunjukkan bahwa koefisien hutang jangka pendek senantiasa
lebih besar daripada koefisien hutang jangka panjang dengan kata lain biaya bunga
perusahaan biaya yang timbul dari hutang jangka pendek lebih signifikan. Pangsa
jumlah hutang jangka pendek yang selalu lebih besar dalam total hutang serta
tingkat suku bunganya yang selalu diatas suku bunga hutang jangka panjang diduga
menjadi penyebab komposisi koefisien tersebut.
b.
Sementara itu koefisien hutang jangka pendek pada tahun 1997 meningkat cukup
besar (0,364) dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Membesarnya nilai
koefisen tersebut mengindikasikan adanya kenaikan luar biasa jumlah hutang
jangka pendek perusahaan. Dari sampel menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan
hutang jangka pendek adalah sekitar 259%, dengan kenaikan maksimum sekitar
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
151
4222%. Sementara kondisi pada bulan Juni 1998 diperkirakan kenaikan tidak sebesar
kenaikan dari tahun 1996 ke 1997.
c
.
2.
Meningkatnya jumlah hutang jangka pendek pada 1997 disamping disebabkan
oleh kenaikan penarikan hutang baru juga didorong oleh tingginya depresiasi
rupiah. Seperti diungkapkan oleh hasil survey (lihat lampiran), bahwa jumlah
hutang jangka pendek perusahaan telah menggelembung cepat akibat dari jatuhnya
nilai rupiah. Konsekwensi dari pembengkakan jumlah hutang membawa akibat
yang sangat serius bagi sementara perusahaan karena terdapat sekitar 9% sampel
mempunyai ekuitas negatif sehingga perusahaan tersebut praktis sudah bangkrut.
Rata-rata debt to equity ratio tahun 1997 mencapai 2,13 meningkat dari 1,05 pada
tahun sebelumnya.
Hasil dari persamaan kedua yaitu untuk mengetahui signifikansi pengaruh faktor suku
bunga atau variabel lainnya terhadap keuntungan perusahaan adalah sebagai berikut.:
Dependent Var.
Independent Var.
C
INTEX95
1995
1996
1997
EBT95
EBT96
EBT97
koefisien
8032.726
(1.487)
-1.765019
(-8.328)
INTEX96
koefisien
2753.142
(0.267)
-0.087872
(-0.204)
INTEX97
SALE95
-0.985991
(-6.108)
0.642362
(-11.317)
SALE96
0.00602
(2.223)
SALE97
CGS95
0.446353
(2.161)
-0.640341
(-9.312)
CGS96
0.182756
(13.383)
CGS97
R-squared
note: t s tat = (…)
koefisien
-85995.25
(-4.227)
-0.382266
(-1.374)
0.934801
0.881176
0.626213
152
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Dari hasil estimated equation diatas dapat ditarik kesimpulan berikut:
a.
Secara umum semua regressors menghasilkan tanda seperti yang dihipotesakan,
artinya kenaikan biaya bunga dan biaya harga pokok akan mengurangi tingkat
penerimaan perusaahaan dan sebaliknya apabila terjadi peningkatan penjualan
akan menambah penerimaan perusahaan (earning before tax). Pengecualian hanya
muncul pada persamaan untuk tahun 1996 karena koefisen biaya harga pokok
penjualan (CGS) justru menunjukkan tanda positif. Cukup tingginya variasi nilai
peubah antar perusahaan yang berbeda diperkirakan menyebabkan unexpected sign
tersebut.
b.
Dari pengamatan sekilas berdasarkan nilai koefisien konstantanya menunjukkan
suatu perubahan yang cukup mendasar, koefisien kontanta persamaan tahun 1997
menghasilkan tanda negatif berbeda dengan persamaan dua tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya unsur biaya lain atau pengurang keuntungan
pada tahun 1997 yang besarnya sangat signifikan dibandingkan dengan biaya
bunga dan biaya harga pokok penjualan. Faktor dimaksud seperti sudah diduga
sebelumnya adalah kerugian karena selisih kurs (foreign exchange loss), tekanan
yang sangat kuat tersebut menyebabkan level minimum EBT berubah menjadi negatif.
Secara riil kuatnya tekanan dimaksud tampak dari perubahan nilai kurs rupiah
yang dijadikan patokan penghitungan laporan keuangan, dari rata-rata Rp. 4.650/
US$ (pra-krisis) menjadi Rp. 8.325/US$ (pasca penghapusan sistem band intervention)
.
Upaya untuk mencegah kerugian melalui hedging ternyata belum banyak dilakukan
oleh perusahaan, dari survey diketahui pada umumnya terhadap hutang non-rupiah
sebagian unit usaha sektor riil hanya melakukan unfully-hedging. Penelitian lebih
jauh untuk mengetahui pengaruh gejolak kurs kiranya perlu dilakukan mengingat
kerugian karena selisih kurs yang rata-rata sangat besar.
c
.
Signifikansi peubah biaya bunga (INTEX) terhadap penerimaan keuntungan
perusahaan sebelum pajak (EBT) agak berubah antar periode pengamatan, dimana
pada tahun 1995 adalah terbesar (-1,76) kemudian menurun pada tahun 1995 (0.08) namun kembali meningkat pada tahun 1997 (-0,98). Pada tahun 1997 hasil
estimated equation menunjukkan pengaruh peubah biaya (INTEX dan CGS)
terhadap pendapatan (EBT) tampaknya semakin besar dibandingkan dari peubah
nilai penjualan (SALE). Relatif melemahnya koefisien peubah biaya bunga dalam
persamaan 1997 seperti diungkap sebelumnya diduga karena pengaruh kerugian
akibat selisih kurs yang lebih besar namun belum dicakup dalam model. Sementara
itu pengaruh peubah biaya harga pokok tampaknya relatif lebih lemah daripada
peubah biaya bunga terhadap tingkat keuntungan perusahaan. Terjaganya pasokan
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
153
bahan baku, bahan penolong dan kontrak tenaga kerja yang relatif lebih rigid
perubahannya membuat biaya harga pokok lebih stabil dan dapat diperkirakan
lebih mudah.
d. Koefisien tingkat nilai penjualan dalam persamaan tampak mulai meningkat pada
tahun 1997 dibandingkan koefisien persamaan tahun 1996 dan 1995. Kenaikan
nilai penjualan tampaknya disumbang oleh faktor seperti kenaikan harga akibat
inflasi, faktor depresiasi terhadap penerimaan hasil ekspor maupun sebab lainnya,
bukan disebabkan efisiensi biaya produksi. Namun dipihak lain, tingkat penjualan
tersebut diimbangi dengan kenaikan biaya yang sangat besar sehingga tingkat
keuntungan perusahaan sebelum pajak (EBT) mengecil cukup drastis. Antara tahun
1995 dan 1996 pada umumnya perusahaan masih mengalami kenaikan kenaikan
EBT positif dengan rata-rata sebesar 43% sementara pada peiode krisis yaitu antara
tahun 1996 dan 1997 justru terjadi penurunan tajam dengan rata-rata sebesar 287%. Pertumbuhan negatif EBT tersebut dialami oleh sekitar 82% dari total sampel.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Hasil analisa dampak krisis moneter terhadap kinerja sektor riil yang dipersempit
pada area tinjauan sektoral serta tinjauan mikro unit usaha menghasilkan kesimpulan dan
implikasi kebijakan seperti berikut:
(1). Kegiatan produksi sektor riil selama krisis terbukti menurun apabila dibandingkan
dengan kondisi sebelum krisis. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh beberapa indikator
utama seperti pertumbuhan negatif produksi sektoral, sedangkan untuk perusahaan
menengah/besar ditandai dengan menurunnya nilai penjualan riil, merosotnya
keuntungan usaha, dan berkurangnya kwalitas indikator-indikator spesifik lainnya.
Kelemahan struktural seperti inefisiensi manajemen internal, lemahnya tingkat
competitiveness perusahaan terbukti sangat menentukan tingkat resistensi perusahaan
terhadap dampak krisis. Sektor pertanian yang relatif steril dari kelemahan struktural
terbukti paling resisten dari pengaruh negatif krisis.
(2). Hasil pengamatan sektoral memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang selama ini
menjadi sektor andalan penggerak pertumbuhan telah mengalami kontraksi cukup
serius terutama sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor bangunan dan
sektor keuangan. Analisa korelasi dan elastisitas menunjukkan bahwa sektor industri
pengolahan paling terkait dengan faktor nilai tukar dan suku bunga juga paling elastis
terhadap fluktuasi kedua faktor tersebut. Demikian halnya dengan sektor bangunan,
sektor keuangan serta sektor perdagangan.
154
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
(3). Dari hasil pengamatan empirik kinerja sample perusahaan menengah besar ditemukan
bahwa setengah dari sample (51%) dalam kondisi keuntungan sebelum pajak negatif
pada tahun 1997, sementara tahun sebelumnya konsentrasinya hanya 5%. Kondisi
tersebut diduga menyebabkan menurunnya kwalitas ekuitas perusahaan seperti
ditunjukkan oleh konsentrasi perusahaan yang mempunyai ekuitas negatif sebesar
9%. Faktor-faktor seperti kerugian karena selisih kurs, biaya bunga maupun biaya
lainnya sehubungan dengan inflasi menyebabkan turunnya keuntungan, saldo laba
dan akhirnya ekuitas.
(4). Tinjauan pengaruh gejolak suku bunga membuktikan bahwa hutang jangka pendek
pada umumnya lebih dominan dibandingkan jumlah hutang jangka panjang dan sekitar
60% dari total hutang jangka pendek dalam denominasi non-rupiah. Oleh karena itu
elastisitas kenaikan biaya bunga hutang jangka pendek tidak sepenuhnya disebabkan
oleh fluktuasi suku bunga namun juga disebabkan karena penggelembungan hutang
melalui depresiasi rupiah.
(5). Memburuknya kinerja sektor riil selama krisis adalah karena kelemahan-kelemahan
struktural yang bersifat internal dari unit-unit usaha sektor riil dan faktor eksternal
yaitu gejolak nilai tukar serta suku bunga tinggi. Sehubungan dengan masalah tersebut
upaya menciptakan struktur usaha sektor riil yang relatif kuat terhadap gejolak kedua
faktor tersebut maupun faktor lainya harus segera dilakukan secara komprehensif.
Upaya untuk menghilangkan kelemahan struktural tersebut agar dilakukan, (i) dengan
mendorong terciptanya iklim usaha yang efisien, transparan sehingga pelaku usaha
akan menyesuaikan dengan menciptakan kondisi internal perusahaan yang lebih efisien
dan fleksibel. (ii) mendorong pertumbuhan sektor usaha yang bersifat resource base
seperti agribisnis mengingat daya resistensi sektor terhadap gejolak, potensi sumber
daya yang melimpah dan peluang ekspor yang senantiasa tinggi. (iii) mendorong
perusahaan untuk lebih berorientasi ekspor melalui berbagai kebijakan yang
mendukung.
(6). Upaya jangka pendek saat ini yang tampaknya perlu segera ditempuh adalah
mengurangi gejolak kurs rupiah dan membawa pada nilai kurs yang affordable bagi
sektor riil mengingat snowball effect-nya yang sangat luas terhadap perekonomian.
Dengan stabil dan wajarnya kurs maka diharapkan suku bunga akan lebih cepat turun
karena unsur imported inflation akan cenderung berkurang sumbangannya terhadap
inflasi umum.
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
155
Daftar Pustaka
BPS, Tabel Input-Output Indonesia1995, Jilid I, Jakarta, Indonesia.
Hastuti, Francisca., Pengaruh Kebijakan Kurs Terhadap Ekspor, Makalah yang tidak
dipublikasikan, Bank Indonesia, 1998.
Iljas, Achjar., The Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia, Bahan yang
disampaikan dalam salah satu meeting di luar negeri, 1997.
Jepma, CJ., Jager, H., Kamphuis, E., Introduction to International Economics, Longman,
New York 1996.
Kawai, Masahiro., The East Asian Currency Crisis: Causes and Lessons, Contemporary
Economic Policy, Vol. XVI, April 1998, pp 157-172
Sarwono, Hartadi, A., Warjiyo, Perry., Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam
Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli 1998.
Warjiyo, Perry., Zulverdi, Doddy., Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional
Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, Nomor 1, Juli
1998.
Lampiran 1
Hasil Survey Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Beberapa Sektor Usaha8 .
Suvey terhadap beberapa leading companies yang dipilih berdasarkan ukuran usaha
(size), tingkat penjualan, maupun status trendsetter perusahaan menghasilkan beberapa
temuan seperti berikut:
1.
Dampak Terhadap Tingkat Penjualan
a.
Penyebab kenaikan penjualan selama masa krisis antara lain disebabkan oleh
kenaikan riil produksi (fisheries), inflasi dalam negeri (trading, food retailers) atau
depresiasi rupiah (hampir semua sektor). Menurut data aktual penjualan 1998.Q1
serta estimasi sepanjang tahun 1998, dari 20 sektor yang disurvey hanya tiga sektor
8 Survey dilakukan oleh Richard Currey for Nathan Associates bekerjasama dengan Bappenas dan USAID, pelaksanaan
survey adalah triwulan pertama 1998 dengan periode pengamatan sejak 1997 sampai dengan saat survey dilakukan.
Sektor usaha yang disurvey meliputi Forestry, Fishery, Mining, Processed Food, Beverages, Tobacco, Textile,
Garments, Footwear, Pulp and Paper, Chemicals, Cement, Heavy Equipment, Electronics, Wholesale, Retail,
Hotel, Pharmaceuticals, dan Sea Transportation (tanker).
156
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
(trading, garment, dan food retailers) yang memiliki pertumbuhan penjualan yang
konsisten posistif selama 1997 dan 1998.
b.
Pertumbuhan penjualan 1998 tertinggi diraih oleh sektor Fisheries (70%), Machinery
(53%), Paperboard (46%) dan Garment (40%), kenaikan tersebut kecuali sektor
machinery terutama didorong dari kenaikan perolehan ekspor. Depresiasi rupiah
yang cukup besar telah mendongkrak ekspor produk yang bahan bakunya local
based serta berorientasi pasar ekspor (sektor agribisnis, fisheries, dan sektor lainnya),
penerimaan rupiah penjualan produk dengan pasar domestik yang harganya dipatok
dalam dollar (sektor machinery). Sebaliknya sektor yang dalam struktur produksinya
mempunyai kandungan impor tinggi namun dengan target pasar domestik menjadi
sangat menderita oleh krisis seperti ditunjukkan oleh sektor Computer yang
penjualannya menurun tajam (-60%).
c
.
Inflasi dalam negeri yang mencapai sekitar 40% (1998.I) telah menyumbang kenaikan
nilai penjualan sektor perdagangan barang-barang konsumsi dan obat-obatan,
kenaikan penjualan riil relatif kecil sekali. Penurunan penjualan akibat melemahnya
daya serap domestik sangat dirasakan oleh produsen consumer goods (Coca-Cola
penjualannya menurun sebesar 35%) dan barang-barang elektronik (komputer).
d. Resesi yang terjadi di negara lain turut memberi andil terhadap rendahnya penjualan
sektor riil domestik. Sektor pertambangan yang menurut karaktersitik usahanya
semestinya diuntungkan oleh depresiasi rupiah karena hampir semua produksinya
diekspor, justru turun (-29%) seiring dengan turunnya permintaan dunia. Demikian
halnya dengan industri tertentu seperti plywood (-15%) yang memiliki pasar utama
Jepang dan Korea.
80%
P ertumb uhan P enjualan 1997 dan 199 8
60%
40%
20%
-40%
s ales 97
N o te : Beb e rap a s e kto r tid a k m e m p u n ya i d a ta p e n ju a la n 1 99 7
-60%
s ales 98
Supermarket
Garment
-20%
Paperboard
Chemicals
Shoes
Computer
Kretek
Cigarette
Textile
Mining
Plywood
Tanker
Agribisnis
Pharmacy
Machinery
Fisheries
Trading
Hotel
Beverages
Cement
0%
157
Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil
2.
Dampak Terhadap Struktur Hutang Perusahaan
a.
Depresiasi rupiah dengan segera menggelembungkan jumlah kewajiban perusahaan
baik yang short term debt (STD) maupun long term debt (LTD). Dari informasi yang
diperoleh, kewajiban STD rata-rata meningkat 100% (atau jumlahnya menjadi dua
kali), sementara LTD belum menjadi masalah serius karena jatuh temponya masih
relatif lama. Kenaikan hutang tersebut akhirnya turut memperbesar D/E ratio. Upaya
pengurangan beban hutang, perusahaan antara lain melakukan swap,
reschedulling, restrukturisasi atau pengalihan bentuk hutang.
250%
P e ru b a h a n S h o rt d a n L o n g T e rm D e b t
200%
S TD
LTD
150%
100%
50%
Supermarket
Paperboard
Garment
Chemicals
Shoes
Computer
Kretek
Cigarette
Textile
Plywood
Mining
Tanker
Agribisnis
Pharmacy
Machinery
Fisheries
Trading
Beverages
Hotel
Cement
0%
-5 0 %
b.
3.
Dari informasi hasil survey menunjukkan bahwa kenaikan STD mencapai 230%
(Machinery), 200% (Fishery) dan 155% (Trading). Tingginya kenaikan pinjaman
terutama disebabkan oleh depresiasi (Machinery), kenaikan hutang kepada pihak
ketiga bukan bank (Fisheries), dan kenaikan trade finance cost (Computer, Textile,
Shoes) yang dihitung dalam dollar. Dari struktur hutang baik yang STD maupun
LTD tidak semua sektor melakukan hedging atas hutang-hutangnya, misalnya yang
fully unhedged (paperboard, consumer good trading), half unhedged (food retailers
dan cement). Upaya hedging biasanya dilakukan melalui long term forward atau
swap.
Dampak Terhadap Pengurangan Tenaga Kerja
a.
Secara umum sampai dengan kwartal pertama 1998, tekanan krisis belum memaksa
leading companies yang disurvey untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Untuk menekan labor cost kebijakan yang dilakukan untuk sementara mengurangi
tenaga kerja asing (expats), mengistirahatkan tenaga kerja (leave) atau mengurangi
158
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
jam kerja (attrition). Dipihak lain sektor yang “diuntungkan” oleh krisis justru
memerlukan penambahan tenaga kerja (lihat tabel dibawah).
b.
Penambahan tenaga kerja pada sektor Agribisnis, Fisheries, dan Mining terutama
disebabkan dari ekspansi areal usaha serta masa panen tanaman perkebunan yang
hampir datang. Permintaan pasar dunia yang stabil serta tingginya penerimaan
rupiah akibat depresiasi memberi kepastian upaya ekspansi sektor-sektor tersebut.
Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja Akibat Krisis
Cigarete, Shoes, Beverages, Paperboard, Kretek, Garment, Supermarket, Computer, Tanker, Plywood,
Chemical, Pharmacy
Tetap
PHK
Trading,
Machinery
Fisheries, Mining,
Agribisnis
Meningkat
Hotel, Cement, Taxtile
Mengurangi expats
T.Kerja
0%
4.
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Action Plan (Outlook)
Kebijakan spesifik yang dilakukan oleh leading companies untuk menyesuaikan maupun
antisipasi krisis lebih lanjut adalah dengan meningkatkan pangsa ekspor, restrukturisasi
production line, perbaikan manajemen, bantuan pemerintah berupa penjaminan LC serta
trade financing. Disamping itu para pengusaha juga mengharapkan kebijakan pendukung
lainnya seperti penghapusan atau keringanan pajak ekspor (produsen minyak goreng),
pajak atas barang mewah (produsen minuman kaleng/coca cola), penerapan subsidised
exchange rate (pengusaha food retailers, trading on consumer goods and pharmaceuticals)
,
serta dukungan promosi (sektor pariwisata)..
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
93
EKSPEKTASI INFLASI DI MASA KRISIS
Gantiah Wuryandani dan Reza Anglingkusumo*)
Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis
moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis .
Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda
taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan
dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan
kebijakan moneter.
Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses
backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang
digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk
ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang
berlangsung (inertia), (2) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/ USD secara
historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward
looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear
tersebut selanjutnya di estimasi ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality
para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi
aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi
inflasi, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil simulasi ekspektasi
inflasidimasakrisisterlihatbahwadalambulan-bulantertentuterdapatindikasideviasiyangcukupsignifikanyangmenunjukkan
adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic
buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya
menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya
diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998.
Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilah-milah faktor-faktor pembentuk
inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading
indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam
rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan noise, otoritas moneter perlu melakukan
koordinasi dengan departemen terkait.
*) Gantiah Wuryandani : Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI
Reza Anglingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI, email : [email protected]
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Perry Warjiyo, Kepala Biro Gubernur - BI, atas kritik dan sarannya, serta
Anggito Abimanyu atas komentarnya.
94
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
K
risis moneter telah menempatkan inflasi sebagai salah satu indikator strategis bagi
upaya mengeluarkan perekonomian nasional dari resesi yang berkepanjangan.
Sampai saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah baik itu melalui pengendalian
inflasi dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter , maupun kebijakan
disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh departemen-departemen yang terkait langsung
dengan sisi produksi dan distribusi barang-barang konsumen.
Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi, salah satu
faktor terpenting bagi efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya oleh Bank Indonesia adalah
pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi oleh para pelaku ekonomi. Dengan
diperolehnya pemahaman tersebut maka dapat dilakukan taksiran ekpektasi inflasi yang
selanjutnya dapat dijadikan sebagai : (1) arahan bagi penentuan target inflasi moneter oleh
Bank Indonesia, dan (2) masukan bagi kebijakan disinflasi non-moneter oleh pemerintah
c.q. departemen terkait.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba memetakan proses pembentukan
ekspektasi inflasi dengan berargumentasi bahwa ekspektasi inflasi dibentuk oleh ekpektasi
backward dan forward looking para pelaku ekonomi1 . Ekspektasi inflasi backward looking
didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk sebagai akibat dari observasi pelaku
ekonomi terhadap dinamika inflasi dimasa lalu. Sedangkan ekspektasi inflasi forward
loooking dilain pihak , didefinisikan sebagai ekspektasi inflasi yang terbentuk oleh antisipasi
pelaku ekonomi di pasar keuangan domestik dan pasar forward Rp/USD. Dengan
mengidentifikasikan ekspektasi inflasi kedepan sebagai proses evaluasi backward dan
forward, selanjutnya dihitung suatu taksiran ekspektasi inflasi kedepan.
Berdasarkan pendekatan seperti diatas kedua penulis berargumen bahwa dimasa
krisis moneter upaya pengendalian inflasi oleh pemerintah tampaknya telah meredakan
ketidakpastian dan menurunkan ekspektasi inflasi para pelaku ekonomi. Terdapat pula
indikasi yang kuat bahwa dengan menurunnya ekspektasi inflasi tersebut, maka
forward
rate Rp/USD di pasar valas pun akan menguat.
Dinamika Inflasi dan Pengendaliannya Sepanjang Krisis Moneter
Kebijakan pengendalian inflasi dimasa krisis menuntut pemerintah untuk mampu
mengkondisi penurunan level laju inflasi secara berkesinambungan , mengupayakan adanya
1 Dalam kaitannya dengan pembagian jenis ekspektasi pelaku ekonomi terhadap inflasi, penulis merujuk pada Gordon,
Robert J. Macroeconomics. 1994.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
95
kepastian harga, dan mengatasi gejolak harga. Melihat prasyarat tersebut, maka
pembentukan upward spiral ekspektasi inflasi di masa krisis selain disebabkan oleh faktor
ekspansi moneter dan pass-through depresiasi nilai tukar Rp/USD , juga disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersifat struktural dan noise. Oleh karena itu kebijakan pengendalian
inflasi di Indonesia harus mempertimbangan kebijakan disisi penawaran disamping
kebijakan moneter. Ulasan dibawah ini akan memberi sedikit gambaran mengenai dinamika
inflasi IHK dan kebijakan pengendaliannya oleh pemerintah sepanjang krisis moneter.
Pada Grafik 1 dibawah, dapat diamati perkembangan beberapa indikator laju inflasi
diluar inflasi IHK, yaitu laju inflasi yang disebabkan oleh tekanan apresiasi USD, laju
inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang beredar, laju inflasi sisi permintaan agregat
atau underlying inflation, dan sebuah indikator yang disebut indicator of policy severity2 . Laju
inflasi yang disebabkan oleh apresiasi USD ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags
dari perubahan kurs Rp/USD terhadap laju inflasi IHK. Taksiran yang diperoleh kemudian
digunakan untuk melakukan in-sample (static) forecast. Hasil yang diperoleh adalah taksiran
laju inflasi yang disebabkan oleh persentase perubahan kurs Rp/USD bulanan. Sementara,
laju inflasi yang disebabkan oleh uang beredar ditaksir dengan mengukur pengaruh 4 lags
dari perubahan bulanan base money terhadap laju inflasi IHK. Sedangkan, underlying inflation
diukur sebagai keranjang IHK bulanan yang sudah dipangkas sebesar 17.5% pada masingmasing tails histogramnya3 . Selanjutnya, indicator of policy severity adalah selisih antara
suku bunga SBI riil dan spread antara suku bunga deposito 1 bulan dan 24 bulan nominal
(representasi dalam bentuk normalized)4 .
Grafik 1. Perkembangan Beberapa Indikator Inflasi
dan Indicator of Policy Severity Sepanjang Krisis Moneter
15
10
5
0
-5
97:07
97:09
97:11
98:01
Laju Inflasi IHK
Inflasi Karena Uang Beredar
Inflasi Karena Apresiasi USD
98:03
98:05
98:07
98:09
Indicator of Policy Severity
Inflasi Sisi Permintaan Agregat
2 Metodologi pengukuran indikator-indikator ini dapat dilihat di Annex 1.
3 Roger, Scott. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1985 - 1996. RBNZ Discussion Paper, 1997.
4 Indicator of Policy Severity, Bank of Canada.
96
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Dapat dilihat pada grafik diatas bahwa diawal krisis moneter yaitu pada triwulan
IV/1997 laju inflasi karena apresiasi Rp/USD meningkat diatas laju inflasi IHK, yang
menandakan menguatnya tekanan first stage passthrough apresiasi USD pada harga barangbarang tradeables. Sementara itu tekanan permintaan agregat yang masih cenderung kuat
dalam perekonomian, juga menyumbang pada tekanan inflasi IHK. Di bulan November
1997, seiring dengan diumumkannya likuidasi 16 bank, terjadi bank run dalam sistem
perbankan yang berakibat tingginya ekspansi moneter dalam perekonomian dan selanjutnya
memberi tekanan inflatoir sepanjang triwulan IV / 1997. Dari sisi pasar keuangan,
menurunnya grafik indicator of policy severity di triwulan IV/1997 mencerminkan bahwa
tekanan inflatoir telah diikuti oleh meningkatnya suku bunga nominal perbankan .
Memasuki triwulan I/1998 tekanan apresiasi kurs USD/Rp pada laju inflasi mencapai
puncaknya yang terutama didorong oleh fenomena flight to currency 5 dan flight to quality 6 ,
serta meningkatnya spekulasi terhadap nilai tukar Rp/USD di kedua bulan tersebut.
Ekspansi uang beredar juga tampak masih kuat di triwulan I/1998, terutama karena
fenomena bank - run telah semakin meluas di bulan Januari 1998 sebagai akibat menurunnya
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Selain itu, terdapat pula tekanan musiman
di bulan Januari 1998 berupa datangnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Di
bulan Februari 1998, terjadi demand shock, ketika panic buying melanda pasar barang-barang
konsumsi. Panic buying ini disebabkan oleh ketidakpastian harga karena adanya gejolak
nilai tukar yang dahsyat di bulan Januari 1998. Tingginya ketidakpastian ditambah dengan
besarnya jumlah uang yang beredar dalam perekonomian kemudian menjadi agregat demand
shock melalui konsumsi. Hal ini terlihat di bulan Februari 1998 ketika inflasi karena tekanan
agregat demand meningkat tajam.
Di triwulan II/1998, laju inflasi karena tingginya tekanan apresiasi USD terhadap
Rupiah mulai melemah, mencerminkan telah berakhirnya tekanan first stage pass through
apresiasi USD terhadap harga barang-barang impor. Beberapa jenis barang dan jasa yang
termasuk dalam kategori ini adalah harga bahan-bahan bangunan, harga makanan jadi
dengan bahan baku impor, biaya sewa rumah, kenaikan upah disektor informal yang tidak
terikat oleh ketentuan UMR, dan biaya jasa angkutan sebagai akibat meningkatnya harga
suku cadang. Walaupun demikian, tekanan inflasi karena ekspansi uang beredar tampak
5 Fenomena flight to currency didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar
domestik dengan menukar uang Rp ke USD karena menurunnya tingkat kepercayaan pada mata uang Rupiah.
6 Fenomena flight to quality didefinisikan sebagai kegiatan lindung nilai (hedging) yang dilakukan oleh pelaku pasar
domestik dengan mengalihkan simpanan aset yang dimilikinya di bank-bank domestik ke simpanan di bank asing
yang dirasa lebih berkualitas. Hal ini dilakukan karena merosotnya tingkat kepercayaan pelaku pasar terhadap kredibilitas
bank-bank domestik.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
97
masih kuat, terutama disebabkan oleh bantuan likuiditas otoritas moneter sebagai the lender
of last resort kepada perbankan yang terkena bank run. Tekanan inflasi moneter tersebut
sedikit banyak dapat di off-set oleh menurunnya tekanan permintaan agregat pasca
Ramadhan, Lebaran, dan panic buying. Penurunan tekanan permintaan agregat ini selain
disebabkan oleh menurunnya konsumsi, juga disebabkan oleh mulai terasanya credit crunch
dalam sistem perbankan sehingga dana tidak mengalir ke sektor riil. Bersamaan dengan
itu pula otoritas moneter melakukan pengetatan moneter dengan melakukan adjustment
tingkat suku bunga policy anchor (SBI) agar sesuai dengan ekspektasi inflasi di pasar
keuangan.
Di pertengahan triwulan II/1998 laju inflasi IHK diwarnai pula oleh tekanan inflatoir
yang lebih bersifat struktural. Tekanan struktural pertama adalah energy price shock yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Tekanan struktural terus
meningkat ketika perekonomian memasuki triwulan III/1998, terutama dibulan Juni dan
Juli 1998 yang ditandai oleh harga-harga bahan kebutuhan pokok yang melonjak, terutama
beras, gula, minyak goreng, dan komoditas derivatifnya. Kenaikan harga beras disebabkan
oleh menurunnya kualitas dan kuantitas produksi beras karena mahalnya harga pupuk
dan pestisida yang merupakan komoditi impor. Kenaikan harga gula disebabkan oleh
dinaikkannya harga perolehan gula di Bulog. Sedangkan kenaikan harga minyak goreng
disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak goreng domestik karena CPO banyak
terserap ke pasar ekspor. Di bulan Agustus , tekanan inflatoir pada komoditas sembako
masih tetap kuat, terutama karena permasalahan disisi distribusi yang diwarnai oleh
tindakan spekulatif pelaku pasar. Untuk menurunkan tekanan struktural tadi, sepanjang
bulan September 1998 pemerintah telah mencoba berbagai kebijakan proaktif untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan di sisi distribusi. Tampaknya kebijakan di sisi distribusi
tersebut cukup berhasil, terutama dalam kaitannya dengan distribusi beras.
Selain tekanan struktural, dinamika inflasi setelah triwulan I /1998 juga diwarnai
oleh kuatnya tekanan noise inflation, yaitu gejolak temporer pada harga-harga.
Noise
terpenting terjadi di bulan Februari dan Mei 1998. Di bulan Februari demand shock berupa
panic buying telah menyebabkan hilangnya berbagai stock barang dipasaran karena
pengusaha retail tidak memperhitungkan panic buying dalam inventory ordernya. Di bulan
Mei kerusuhan sosial yang melanda 5 kota industri utama di Indonesia menyebabkan
terganggunya pasokan barang dengan rusaknya sebagian besar pusat-pusat kegiatan usaha.
Di triwulan II dan III / 1998 laju inflasi yang disebabkan oleh ekspansi moneter
tampak mulai menurun sebagai akibat konsistensi otoritas moneter dalam menerapkan
tingkat suku bunga tinggi. Upaya tersebut mampu menurunkan laju inflasi secara bertahap
seiring dengan ketatnya likuiditas di sektor riil.
98
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Proses Pembentukan Ekspektasi Inflasi
A. Expectation Loops
Ekspektasi inflasi merupakan dinamika interaksi antara laju inflasi, ketidakpastian dan gejolak
harga. Dihipotesakan bahwa terdapat perubahan rangkaian jalinan interaksi antara laju inflasi,
ketidakpastian , dan gejolak harga dalam masa sebelum dan sepanjang krisis. Berikut adalah pengujian
dari masing-masing interaksi tersebut.
Loop I : Interaksi antara Gejolak Harga dan Ketidakpastian Harga
Analisa keterkaitan antara laju inflasi IHK dengan gejolak dan ketidakpastian harga
menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi mengikuti pola tmbal balik yang
self-reinforcing (expectation loops). Expectation loops ini diawali dengan adanya gejolak hargaharga yang ditunjukkan oleh conditional variance series inflasi IHK yang mengalami
peningkatan karena meningkatnya weighted mean dan standard deviation7 . Pada grafik 2
dibawah dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis, pergerakan laju inflasi IHK
cenderung berada di seputar kecenderung jangka panjangnya. Dimasa krisis, perilaku ini
mengalami perubahan, dimana terlihat deviasi laju inflasi IHK yang cukup besar dari
kecenderungannya. Gejolak mulai terlihat di bulan Januari 1998 ketika nilai tukar Rp/
USD terdepresiasi secara besar-besaran. Setelah itu terjadi panic buying yang menyebabkan
terjadinya agregat demand shock melalui konsumsi di bulan Februari 1998. Laju inflasi
kemudian menurun lebih dari setengahnya di bulan Maret 1998 yang menyebabkan terjadi
gejolak harga berikutnya. Di bulan Juli, Agustus, dan September kenaikan harga Sembako
Grafik 2. Laju Inflasi IHK, Gejolak Harga,
dan Trend Inflasi IHK (12 MA)
16
12
8
4
0
-4
96:07
97:01
Laju Inflasi IHK
97:07
12 Moving Average
98:01
98:07
Gejolak Harga
7 Conditional variance diukur sebagai deviasi laju inflasi IHK bulanan terhadap angka inflasi IHK 12 Bulan Moving
Average.
99
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
menyumbang pada gejolak harga fase berikutnya sehingga laju inflasi IHK cenderung masih
menjauh dari kecenderungan jangka panjangnya.
Peningkatan pada moments pertama dan kedua diatas, kemudian diikuti pula oleh
peningkatan moments ketiga (skewness) dan moments keempat (kurtosis). Dengan
membandingkan dua histogram pada grafik 3, terlihat bahwa laju inflasi dimasa krisis
memiliki nilai kurtosis yang lebih tinggi dari pada sebelum krisis. Hal ini menandakan
bahwa laju inflasi dimasa krisis cenderung berada pada rata-rata yang lebih tinggi dengan
standar deviasi yang juga tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK di masa
krisis cenderung bergejolak pada tingkat yang inflatoir.
Grafik 3. Frekuensi Distribusi Conditional Variance Series Inflasi IHK
Periode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998
Sebelum Krisis
Sepanjang Krisis
30
20
Series: CONDVAR
Sample 1990:07 1997:06
Observations 83
15
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
10
0.083768
-0.079362
2.513384
-1.443192
0.679748
1.019805
4.264144
Jarque-Bera 19.91331
Probability 0.000047
25
Series: CONDVAR
Sample 1990:07 1998:09
Observations 98
20
15
10
5
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
0.426577
0.031697
11.35202
-1.788550
1.556924
4.243783
27.69573
Jarque-Bera
Probability
2784.498
0.000000
5
0
0
-1
0
1
2
-2
0
2
4
6
8
10
Meningkatnya gejolak inflasi IHK diatas selanjutnya menyebabkan pula meningkatnya
ketidapastian laju inflasi IHK8 . Ketidakpastian laju inflasi IHK ini ditaksir sebagai proses
E-GARCH dari persamaan IHK dan unsur konstantanya dan disebut sebagai unconditional
variance laju inflasi IHK9 . Meningkatnya unconditional variance mencerminkan ketidakpastian
harga (price uncertainty) yang meningkat. Observasi grafis (grafik 4) sepanjang krisis moneter
menunjukkan bahwa gejolak harga berjalan searah dengan ketidakpastian harga kecuali
pada bulan April 1998 dimana gejolak harga yang cenderung menurun diikuti oleh
ketidakpastian yang meningkat.. Penjelasan kualitatif mengenai kejanggalan ini antara lain
disebabkan oleh meningkatnya gejolak sosial-politik di berbagai daerah di Indonesia.
8 Kajian serupa dilakukan pula oleh Kearns, Jonathan. Behavior of Inflation. Internal Note, unpublished, RBA.
9 Unconditional variance ditaksir sebagai proses E-GARCH dengan 1 bulan lag dari residu persamaan CPI = Konstan +
Residual, dimana CPI adalah laju inflasi bulanan IHK. Untuk referensi dapat dilihat Engle Robert F., dan Ng, K.
Victor. Measuring and Testing The Impact of News on Volatility, The Journal of Finance, Vol. XLVIII, No.5, Dec.
1993. Proses serupa dilakukan oleh McTaggart, Doug. The Cost of Inflation in Australia, Proceedings of a Conference,
RBA.
100
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Grafik 4. Gejolak , Ketidakpastian Harga , dan Laju Inflasi IHK
Sepanjang Krisis Moneter
16
12
8
4
0
-4
96:01
96:07
Ketidakpastian Harga
97:01
97:07
Gejolak Harga
98:01
98:07
Laju Inflasi IHK
Uji Pairwise Granger Causality10 mengenai keterkaitan antara gejolak dan ketidakpastian
harga menunjukkan bahwa hubungan kausalitas berlangsung dua arah antara gejolak dan
ketidakpastian dalam dinamika laju inflasi IHK pada observasi yang memasukkan periode
krisis moneter (lihat Tabel 1) . Hal ini bertolak-belakang dengan hasil pengujian pada observasi
yang mengeluarkan bulan-bulan krisis moneter. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat
expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian, dimana meningkatnya gejolak inflatoir pada
laju inflasi IHK akan menyebabkan ketidakpastian harga yang selanjutnya akan menambah
pada gejolak inflatoir, dan seterusnya berulang. Adapun besarnya kekuatan hubungan dalam
expectation loop antara gejolak dan ketidakpastian ditaksir dengan melakukan regresi linier
sederhana antara keduanya ditambah dengan komponen persisten (lag) dari kedua variabel
tersebut. Hasil regresi linier menunjukkan bahwa tekanan ketidakpastian harga ke gejolak
harga cenderung lebih mendominasi expectation loop, dibandingkan dengan arus balik dari
gejolak ke ketidakpastian. Hal ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase adjusted Rsquared dan net-effect dari koefisien pada persamaan (lihat tabel 2).
10 Metodologi Pairwise Granger Causality dapat ditemui pada Enders, Walter E. Applied Econometrics Time Series, hal.
315 , Granger Causality.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
101
Tabel 1. Pairwise Granger Causality Test
antara Gejolak dan Ketidakpastian Harga
Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Ketidakpastian
Gejolak
Gejolak
Obs
F-Stat
Prob.
79
0.34
0.71
0.85
0.43
Obs
F-Stat
Prob.
94
6.18
0.305
5.45
0.00585
Ketidakpastian
Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Ketidakpastian
Gejolak
Gejolak
Ketidakpastian
Tabel 2. Hasil Regresi Linier Kekuatan Pengaruh
Antara Gejolak dan Ketidakpastian Harga
(Model Persamaan dengan Persistensi)
Variabel Endogen
Gejolak
Gejolak
0.36 (Lag -1)
Ketidakpastian
1.01
Adj. R-Squared
90%
Net Effect Koefisien
1.37
Ketidakpastian
0.85
-0.35 (Lag -1)
86%
0.5
Berdasarkan temuan diatas diperoleh tiga implikasi, yaitu (1) di masa krisis spiral
ekspektasi inflasi akan lebih menggelembung jika terdapat ketidakpastian harga ,
dibandingkan jika spiral diawali oleh gejolak harga, (2) jika ekspektasi diawali oleh gejolak
harga belum tentu terjadi penggelembungan laju inflasi, dan (3) ketidakpastian harga
merupakan trigger point dalam upaya menghambat spiral inflasi.
Loop II : Interaksi Antara Ketidakpastian dan Laju Inflasi
Self-reinforcing expectation loop yang kedua adalah antara ketidakpastian harga-harga
dan laju inflasi. Adanya ketidak pastian harga dimasa krisis menyebabkan para pelaku
ekonomi menjadi sulit untuk menentukan harga, sehingga penyesuaian harga lintas industri
(relative price adjustment) sulit dilakukan dan cenderung menjadi sangat bervariasi. Dalam
ketidakpastian tersebut, pengusaha akan cenderung menimbun barang (commodity hoarding)
atau menaikkan harga sehingga mendorong kenaikan laju inflasi lebih lanjut. Kenaikan
laju inflasi kemudian akan kembali mempengaruhi ketidakpastian harga sehingga terjadi
self-reinforcing loop.
102
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Hasil uji Granger Causality antara ketidakpastian harga dan laju inflasi memberi
konfirmasi terhadap pernyataan-pernyataan diatas (lihat tabel 3) .Dapat dilihat bahwa pada
periode sebelum krisis moneter, laju inflasi yang tinggi dapat menyebabkan ketidakpastian
harga-harga akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini antara lain disebabkan kurang sensitifnya
daya beli konsumen terhadap tindakan spekulasi maupun penyesuaian kenaikan harga.
Sehingga, ketidakpastian harga menjadi kurang berperan dalam proses looping. Akan tetapi
dimasa krisis, terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa ketidakpastian harga-harga
menyumbang pada tekanan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberi petunjuk adanya
penyesuaian harga keatas yang kurang terkoordinasi secara lintas industri yang berakibat
pada kegiatan spekulasi dan kelangkaan barang. Kemudian, seiring dengan meningkatnya
laju inflasi terjadi akumulasi ketidakpastian harga yang selanjutnya diterjemahkan menjadi
ketidakpastian harga yang berkelanjutan. Spiral yang terjadi kemudian membentuk selfreinforcing loop.
Tabel 3. Pairwise Granger Causality Test
antara Laju Inflasi dan Ketidakpastian Harga
Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Ketidakpastian
Laju Inflasi
Laju Inflasi
Ketidakpastian
Obs
F-Stat
Prob.
83
0.186
0.83
4.34
0.0163
Obs
F-Stat
Prob.
98
9.00
0.00027
7.79
0.00074
Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Ketidakpastian
Laju Inflasi
Laju Inflasi
Ketidakpastian
Seperti yang juga telah dilakukan diatas, untuk melihat perbandingan tekanan
antara laju inflasi dan ketidakpastian harga-harga dalam expectation loop, dilakukan regresi
linier sederhana antara laju inflasi dan ketidakpastian harga, dan sebaliknya. Estimasi
persamaan menunjukkan bahwa ketidakpastian harga-harga mendominasi expectation loop
antara kedua variabel, dimana net-effect pengaruh kenaikan laju inflasi pada ketidakpastian
harga adalah 0.33% untuk setiap 1% kenaikan laju inflasi, sebaliknya untuk setiap 1%
kenaikan ketidakpastian harga akan diikuti oleh kenaikan laju inflasi sebesar 1.59% (lihat
tabel 4) .
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
103
Tabel 4. Hasil Regresi Linier Kekuatan Pengaruh
Antara Ketidakpastian Harga dan Laju Inflasi
(Model Persamaan dengan Persistensi)
Variabel Endogen
Laju Inflasi
Laju Inflasi
Ketidakpastian
0.52 (Lag -1)
0.78
Ketidakpastian
1.07
-0.45 (Lag -1)
Adj. R-Squared
98%
89%
Net Effect Koefisien
1.59
0.33
Implikasi hasil statistik pada loop II ini dalam masa krisis ada tiga, yaitu: (1)
ketidakpastian harga-harga akan meningkatkan laju inflasi, (2) laju inflasi yang didorong oleh
ketidak pastian harga akan kembali menambah pada ketidakpastian harga, dan seterusnya,
sehingga (3) spiral inflasi dapat melambat hanya jika ketidakpastian harga dikurangi.
Interaksi Antara Laju Inflasi dan Gejolak Harga
Hasil pengujian Pairwise Granger Causality pada bulan-bulan yang memasukkan krisis
moneter, menunjukkan bahwa tidak terdapat self reinforcing loop antara laju inflasi dan
gejolak harga. Pada observasi yang mengeluarkan krisis moneter terlihat bahwa hanya
terdapat hubungan satu arah antara laju inflasi dan gejolak harga (lihat tabel 5)11 .
Tabel 5. Pairwise Granger Causality Test
antara Laju Inflasi dan Gejolak Harga
Sampel : 06/1990 - 06/1997 (Diluar Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Gejolak
Laju Inflasi
Laju Inflasi
Gejolak
Obs
F-Stat
Prob.
79
0.37
0.69
2.78
0.06
Obs
F-Stat
Prob.
94
0.71
0.49
0.27
0.76
Sampel : 06/1990 - 09/1998 (Ditambah Krisis Moneter)
Hipotesa Nol
Gejolak
Laju Inflasi
Laju Inflasi
Gejolak
11 Mengingat hasil uji kausalitas yang menolak adanya self reinforcing loop dari inflasi ke gejolak harga dan sebaliknya,
maka tidak dilakukan estimasi regresi linier .
104
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Berdasarkan hasil pengujian-pengujian untuk melihat interaksi antara gejolak harga,
ketidakpastian dan laju inflasi diatas, secara umum diperoleh gambaran bahwa proses
pembentukan inflasi dalam periode sebelum krisis dan termasuk masa krisis mengalami
perubahan. Sebelum terjadi krisis, tidak ditemui adanya self reinforcing expectation loops
pembentukan ekspektasi inflasi, sebaliknya dimasa krisis hal tersebut ada (lihat diagram
1a dan 1b).
Diagram 1a. Dinamika Ekspektasi Inflasi IHK Sebelum Krisis
Laju Inflasi
Ketidakpastian Harga
Gejolak Harga
Diagram 1b. Expectation Loops Dimasa Krisis
G e jo la k H arg a- H a rga
K e ti d a k p a sti an H a rga
L a ju I
B. Backward Looking Expectation
Analisa mengenai dinamika ekspektasi inflasi backward didasarkan pada asumsi
bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi secara umum bereaksi terhadap komponenkomponen berikut: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap laju inflasi bulan berjalan
(inertia)12, (2) dinamika historis level kurs nilai tukar Rp/USD, dan (3) kredibilitas historis
disinflationary policy pemerintah13 .
Inertia di Masa Krisis
Observasi sekilas terhadap data inflasi IHK Indonesia dengan menggunakan dua
periode yaitu periode diluar krisis moneter (06/1990 - 06/1997) dan periode yang
memasukkan krisis moneter (06/1990 - 09/1998) menunjukkan bahwa kadar inertia dalam
series inflasi IHK telah meningkat sepanjang krisis moneter . Hal ini ditunjukkan oleh
meningkatnya persistensi laju inflasi IHK pada periode observasi yang memasukkan krisis
12 Wignall, Adrian Blundell, Lowe P. , dan Tarditi, A. Inflation, Indicators, and Monetary Policy, dalam Inflation,
Disinflation, dan Monetary Policy, Proceedings of a Conference, RBA, 1992.
13 Studi yang sama dilakukan pula of Bank of Canada hanya kredibilitas pada penelitian BoC dimasukkan sebagai komponen
endogen dalam model forward looking , lihat: Maclean, Dinah. Incorporating Credibility in Forward Looking Models:
Some Examples with QPM. Bank of Canada.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
105
Tabel 6 . Aucorrelation dalam Series Inflasi IHK
Periode 06/1990 - 06/1997 vs. 06/1990 - 09/1998
Sebelum
Krisis
Sepanjang
Krisis
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
AC
PAC
Q-Stat
Prob
0.220
-0.086
0.067
-0.203
-0.258
0.009
-0.110
0.220
-0.140
0.128
-0.287
-0.120
0.038
-0.156
4.2425
4.8941
5.2982
9.0518
15.227
15.234
16.373
0.039
0.087
0.151
0.060
0.009
0.019
0.022
AC
PAC
Q-Stat
Prob
0.731
0.521
0.474
0.409
0.420
0.359
0.181
0.731
-0.028
0.220
-0.021
0.212
-0.126
-0.207
55.045
83.331
106.91
124.73
143.70
157.69
161.28
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
moneter. Tabel 6 menampilkan angka-angka autocorrelation14 dalam dua periode observasi.
Tujuh kelompok angka teratas menunjukkan bahwa sebelum krisis moneter persistensi
inflasi IHK sangatlah lemah, dimana inertia inflasi hanya disebabkan oleh laju inflasi satu
bulan yang lalu. Dilain pihak, pada observasi yang memasukkan krisis moneter terlihat
bahwa persistensi (inertia) inflasi dapat diterangkan oleh laju inflasi itu sendiri sampai
tujuh bulan lag. Selanjutnya, tekanan inflasi satu bulan yang lalu pada observasi yang
memasukkan periode krisis moneter menunjukkan pula bahwa inertia setelah adanya krisis
meningkat dari 0.22 ke 0.73. Hal ini berarti 73% dari inflasi dimasa krisis diterangkan oleh
inflasi 1 bulan yang lalu, sedangkan dimasa sebelum krisis hanya 22% inflasi bulan
berlangsung diterangkan oleh inflasi bulan sebelumnya.
Observasi mengenai angka partial autocorrelation laju inflasi IHK sebelum dan
sepanjang krisis moneter, memperlihatkan kuatnya inertia sampai tujuh bulan lags dimasa
krisis dalam membentuk informasi dalam laju inflasi bulan berjalan, ceteris paribus. Hal
ini ditunjukkan oleh tingginya Q-Statistics correlogram pada periode ini. Sebaliknya, dimasa
sebelum krisis perbedaan yang mendasar terlihat pada angka Q-Statistics yang cenderung
jauh lebih rendah. Selain itu, di masa sebelum krisis, partial autocorrelation pada lag 3 bulan
tidak relevan dalam menerangkan laju inflasi bulan berjalan.
14 Autocorrelation di definisikan sebagai keterkaitan secara statistik antara suatu angka terhadap angka-angka sebelumnya,
yang sekaligus menandakan bahwa persentase tertentu pada angka saat ini terjadi karena informasi-informasi yang
melekat pada angka masa lalu terbawa ke masa kini (inertia). Lihat Enders, W. E. Applied Econometrics Time Series,
Bab. 2. Stationary Time Series Models, Sub-bab 5 Autocorrelation Function, Willey & Sons, New York, 1995. Lihat
juga Sandy, R. Statistics for Business and Economics, McGraw Hill, New York, 1990, sub-bab 15.3 Autoregressive
and Moving Average Models.
106
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Fenomena kuatnya inertia dimasa krisis kiranya memberi penjelasan adanya
perubahan dinamika ekspektasi inflasi dalam perekonomian. Dimasa krisis terlihat bahwa
masyarakat lebih sensitif terhadap perkembangan inflasi (inflation conscious)
sehingga
laju inflasi historis dapat secara signifikan menyumbang pada pembentukan ekspektasi
inflasi masyarakat dimasa datang.
Gambaran umum mengenai inertia dan sumbangannya dalam proses pembentukan
ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi selanjutnya membawa analisa lebih jauh lagi pada
proyeksi ekspektasi inflasi kedepan dengan model persamaan inertia. Dengan model
persamaan ini ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dibentuk oleh proses autoregressive moving
average, dimana pelaku ekonomi melihat pergerakan laju inflasi pada bulan-bulan yang
lalu dan melakukan koreksi terhadap kesalahan prediksi yang mereka lakukan. Oleh karena
itu untuk memperoleh angka-angka pembentuk taksiran ekspektasi inflasi pelaku ekonomi,
maka dicari suatu persamaan univariate ARIMA yang best-fit.Dari penelitian diperoleh
bahwa laju inflasi IHK (CPI, I(1)) dengan proses α + β1 CPI(t-1) + β2 CPI(t-2) + β3 CPI(t-3)
+ εt + MA(1) adalah model yang cukup baik dalam menerangkan perilaku laju inflasi pada
bulan berlangsung15. Dapat dilihat pada grafik 7 bahwa inertia laju inflasi IHK masih sangat
kuat. Oleh karena itu, walaupun terjadi penurunan laju inflasi IHK secara bertutur-turut
di triwulan III / 98, ekspektasi laju inflasi bulanan yang terbentuk dari proses inertia ini
cenderung masih tetap kuat sampai akhir 1999, dengan rata-rata kisaran laju inflasi bulanan
sebesar kurang lebih 4 – 4.5%.
Grafik 7. Laju Inflasi IHK Aktual dan Inertia
Sampai dengan Desember 1999
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
93
94
95
96
Laju Inflasi IHK
15 Hasil ekonometri dari persamaan ini dapat dilihat pada Annex-2
97
98
Inertia
99
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
107
Ekspektasi Kurs Nilai Tukar Rp/USD Historis
Komponen kedua dari ekspektasi inflasi backward looking adalah ekspektasi kurs
nilai tukar yang didasarkan pada perilaku historis kurs nilai tukar Rupiah terhadap USD.
Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian nasional, maka rentanitas laju inflasi
terhadap gejolak eksternal menjadi lebih lebih tinggi. Sebagaimana telah diketahui bersama,
dengan dilepasnya band intervensi maka pergerakan kurs nilai tukar Rp/USD menjadi
tidak terbatas dan sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perkembangan ini merupakan
gejolak terbuka yang langsung berpengaruh pada harga-harga barang impor dan
selanjutnya meningkatkan sensitifitas imported inflation. Fluktuasi imported inflation tersebut
selanjutnya akan tercermin sebagai first-stage pass through apresiasi USD pada harga-harga
barang tradeables.
Pada perkembangan berikutnya kenaikan harga karena first-stage pass-through akan
memberi tekanan second - stage pass through yang tercermin dari pergerakan inflasi barangbarang nontradeables ( barang-barang yang diproduksi dan dikonsumsi secara domestik)
.
Second - stage pass through tersebut berasal dari dua arah, yaitu (1) upward price adjustment
yang dilakukan oleh para pengusaha karena naiknya harga input yang terkait dengan nilai
tukar, dan (2) upward wage adjustment yang dilakukan oleh para pekerja di sektor informal
yang tidak terikat oleh ketentuan upah minimum regional (UMR), untuk menyesuaikan
dengan kenaikan biaya hidup.
Ekspektasi inflasi yang mempertimbangkan perilaku historis kurs nilai tukar Rp/
USD secara kuantitatif diukur sebagai proses distributed lags perubahan kurs Rp/USD
bulanan dengan koreksi pelaku ekonomi terhadap kesalahan prediksi kursnya.
Pembentukan ekspektasi kurs itu sendiri ditunjukkan oleh pelaku ekonomi yang terlibat
dalam proses adaptive 1 bulan kebelakang dan learning sepanjang 2 bulan kebelakang16 .
Sehingga, taksiran ekspektasi kurs Rp/USD secara backward looking adalah sama dengan
proses ARMA (1,0,2). Hasil yang diperoleh berdasarkan taksiran dengan proses ARMA
(1,0,2) tersebut adalah ekspektasi level kurs Rp/USD yang cenderung melemah pada bulanbulan kedepan. Sampai dengan akhir Semester II / 1999 kurs Rp/USD ditaksir mendekati
Rp 7,000 / 1USD.
Secara teoritis, seiring dengan ekpektasi akan melemahnya nilai tukar Rp/USD,
tekanan first dan second stage pass-through juga diekspektasikan masih akan kuat sehingga
ekspektasi inflasi dengan menggunakan ekspektasi kurs backward looking cenderung akan
meningkat. Dengan berasumsi bahwa pelaku ekonomi akan melihat net-effects dari level
nilai tukar Rp/USD dalam membentuk ekspektasi inflasinya, maka hasil estimasi
16 Hasil estimasi ekonometri dapat dilihat di Annex - 3
108
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Grafik 8. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi
dengan Ekspektasi Depresiasi Rp/USD Backward Looking
16
12
8
4
0
-4
93
94
95
96
97
Laju Inflasi IHK
98
99
Ekspektasi Inflasi
menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi backward looking dibentuk oleh perubahan kurs nilai
tukar sampai 4 bulan kebelakang17 . Grafik 8 menampilkan ilustrasi ekspektasi inflasi sampai
akhir 1999 berdasarkan taksiran ekspektasi kurs backward looking tadi. Ternyata, walaupun
terdapat ekspektasi depresiasi Rp/USD laju inflasi IHK tetap diramalkan akan menurun
oleh pelaku pasar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh masih adanya built-in
expectation pelaku pasar bahwa walaupun secara backward looking akan terjadi depresiasi
kurs Rp/USD tapi pemerintah akan berupaya menstabilisasi gejolaknya, sehingga depresiasi
tersebut akan predictable seperti pada masa masih ada band intervensi.
Kredibilitas Kebijakan Disinflasi Pemerintah
Kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi mencerminkan kredibilitas
pemerintah yang selanjutnya dijadikan ukuran ekspektasi inflasi oleh pelaku ekonomi.
Ekspektasi inflasi berdasarkan kredibilitas pemerintah tersebut berasumsi bahwa: (1) pelaku
ekonomi melihat sejarah keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi oleh pemerintah dan
memantau policy stance pemerintah dalam mengendalikan inflasi, dan (2) pelaku ekonomi
merevisi ekspektasi selaras dengan observasi historisnya mengenai keberhasilan pemerintah
dalam mengendalikan inflasi. Dengan asumsi demikian, maka dapat ditaksir suatu besaran
yang mencerminkan kredibilitas disinflationary policy oleh pemerintah. Grafik 9 menyajikan
17 Hasil ekonometri lihat Annex-4
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
109
Grafik 9. Laju Inflasi IHK, Perceived Target Inflasi,
dan Kredibilitas Pemerintah
16
12
8
4
0
-4
96:01
96:07
Kredibilitas Pemerintah
97:01
97:07
98:01
Laju Inflasi IHK
98:07
Target
suatu ukuran kredibilitas disinflationary policy pemerintah, yang dihitung dengan
mengurangi laju inflasi aktual dengan target inflasi pemerintah. Untuk periode 1990-1997
target inflasi adalah target Repelita sebesar rata-rata 5% per tahun yang dibagi secara merata
selama 12 bulan dan untuk tahun 1998 digunakan target APBN 1998/1999 sebesar 47%
per tahun yang didistribusikan sepanjang 12 bulan.
Dapat dilihat pada grafik bahwa sepanjang periode yang memasukkan krisis moneter,
kredibilitas pemerintah tampaknya menurun seiring dengan meningkatnya deviasi laju
inflasi aktual dari target. Hal ini terutama terlihat di triwulan IV/1997 ketika laju inflasi
IHK berada diatas target. Sepanjang semester I / 1998 kredibilitas pemerintah menurun
tajam di bulan Februari 1998 ketika panic buying melanda pasar barang-barang konsumsi.
Setelah itu kredibilitas pemerintah membaik. Ketika harga Sembako melonjak tajam sejak
Juni 1998, kredibilitas pemerintah sempat memburuk di bulan Agustus, untuk kemudian
membaik lagi di bulan Sempember 1998. Memasuki Triwulan IV/1998 kredibilitas
pemerintah tampaknya akan semakin membaik seiring dengan menurunnya deviasi laju
inflasi dari target.
Berdasarkan ukuran kredibilitas diatas, taksiran terhadap efek kredibilitas pada
ekspektasi inflasi backward looking dilakukan dengan berasumsi bahwa revisi ekpektasi
pelaku ekonomi mengikuti observasi autoregressive terhadap kinerja pemerintah dalam
mengendalikan inflasi. Selanjutnya, berdasarkan ekspektasi pelaku ekonomi mengenai
kemampuan pemerintah mengatasi krisis harga, ditaksir ekspektasi inflasi pelaku ekonomi
kedepan. Persamaan liniear menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi terbentuk dari pengamatan
historis pelaku ekonomi terhadap keberhasilan kebijakan disinflasi pemerintah sampai empat
110
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
bulan kebelakang dan revisi kesalahan prediksi pelaku ekonomi. Dari grafik dibawah ini tampak
bahwa ekspektasi inflasi pelaku ekonomi sepanjang triwulan IV/1998- I/1999 cenderung membaik
yang menunjukkan bahwa pelaku ekonomi cenderung percaya bahwa pemerintah akan
melakukan alloutefforts untuk menurunkan laju inflasi18
Grafik 10. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi
Dimana Pelaku Ekonomi Melihat Disinflationary Policy Pemerintah
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
92
93
94
Laju Inflasi IHK
95
96
97
98
99
Ekspektasi Inflasi
C. Forward Looking Expectation
Dengan berasumsi bahwa ekspektasi inflasi forward looking dibentuk oleh para pelaku pasar
di pasar keuangan domestik dan valuta asing, maka indikator yang digunakan sebagai proksimasi
ekspektasi inflasi adalah yield spread dipasar keuangan dan forward rate Rp/USD di pasar valuta
asing. Perkembangan yield spread di pasar keuangan menunjukkan ekspektasi pelaku pasar
terhadap discount nilai asset karena ekspektasi inflasi. Sedangkan, perkembangan forward rate di
pasar valuta asing menunjukkan selisih suku bunga dalam dan luar negeri serta menunjukkan
adanya ekspektasi level nilai tukar dimasa yang akan datang. Dengan semakin meningkatnya
peranan nilai tukar dalam perekonomian nasional, maka pelaku ekonomi cenderung mengkaitkan
pergerakan inflasi dengan ekspektasi perkembangan nilai tukar.
Untuk mentaksir besarnya koefisien pembentuk besarnya ekspektasi inflasi forward looking
maka disusun dua persamaan linier yang menyatakan bahwa laju inflasi IHK aktual adalah fungsi
dari forward rate Rp/USD 12 bulan yang berlaku dipasar forward saat ini dan fungsi dari yield spread
18 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-5
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
111
di pasar keuangan. Selanjutnya berdasarkan koefisien yang diperoleh dilakukan replikasi sampai
September 1999 dengan menggunakan yield spread dan forward rate sejak Oktober 1997 sampai
September 199819 .
Pada grafik dibawah dapat dilihat ekspektasi inflasi yang terjadi di pasar keuangan (grafik
11a) dan pasar valas (grafik 11b), terlihat bahwa pada masa sebelum krisis moneter, ekspektasi
inflasi tersebut cenderung dapat mentaksir dengan baik inflasi yang akan terjadi. Akan tetapi
sepanjang krisis moneter, ekspektasi inflasi pada masing-masing pasar cenderung ikut bergejolak
seiring dengan ketidakpastian harga-harga di pasar komoditas.
Grafik 11a. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi
di Pasar Keuangan
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
97:01
97:07
98:01
98:07
Laju Inflasi IHK
99:01
99:07
Ekspektasi Inflasi
Grafik 11b. Laju Inflasi IHK dan Ekspektasi Inflasi di Pasar Valas
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
97:01
97:07
98:01
Laju Inflasi IHK
19 Untuk hasil ekonometri lihat Annex-6
98:07
99:01
Ekspektasi Inflasi
99:07
112
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Selanjutnya, khusus untuk angka estimasi forward rate tampaknya masih terkandung
unsur linear correlation dan multicolinierity dalam hasil ekonometri. Untuk itu dilakukan
Pengujian Granger Causality guna melihat kenyataan empiris hubungan kausalitas antara
laju inflasi dan forward rate di pasar valas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dimasa
krisis hubungan kausalitas antara laju inflasi IHK dan forward rate dipasar valas berlangsung
dua arah sampai 12 bulan lag. Walaupun begitu, hubungan kausalitas dari laju inflasi ke
forward rate cenderung jauh lebih kuat. Pada masa sebelum krisis moneter hubungan
kausalitas berlangsung dua arah dengan lag yang berbeda, yaitu pada lag 3, 4, dan 5 bulan
dari forward rate ke laju inflasi dan kausalitas sebaliknya pada lag 10 dan 11 bulan. Hal ini
berarti pula bahwa setiap upaya disinflationary yang berhasil akan mengalami proses feedthrough ke pasar valas yang menopang stabilisasi nilai tukar Rp/USD20 .
D. Ekspektasi Inflasi
Dengan hasil-hasil ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui forward dan backward looking
dapat diperoleh suatu ukuran rata-rata tidak terbobot (unweighted average) dari kelima
komponen pembentuk ekspektasi inflasi. Selanjutnya dilakukan proses pembobotan ulang
dengan metode neural network untuk mengakomodasi bounded rationality para pelaku ekonomi
dimasa krisis yang penuh ketidakpastian21.Setting neuron logsismoid dilakukan sebagai proses
pengaruh kelima komponen pada rata-rata tidak terbobot ekspektasi inflation (Neuron Net
CPI e = Neuron (Inertia, Kurs Rp/USD, Kredibilitas Pemerintah, Yield Spread, Forward Rate Rp/
U S D) Desain transformasi logsismoid ini mengikuti pola dimana setiap neuron akan masuk
kedalam hidden neuron dimana terjadi backpropagation learning untuk menangkap euphoria pelaku
pasar. Hasil yang diperoleh adalah bobot dari masing-masing komponen dalam menyumbang
pada ketidakpastian harga-harga, sebagaimana yang ditunjukkan di tabel dan grafik berikut:
Tabel 7. Bobot Setelah Melalui Proses Neural Network
Bobot : Ekspektasi Inflasi Karena:
Proses Backward Looking
0.26180 Kredibilitas Kebijakan Disinflasi
0.21305 Backward Exchange Rate Expectation
0.20608 Inertia
Proses Forward Looking:
0.19691 Yield Spread
0.12216 Forward Rate
20 Hasil ekonometri dapat dilihat di Annex-7
21 Metodologi neural network dapat dilihat di Annex-8
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
113
Dapat dilihat pada tabel diatas, kredibilitas pemerintah memegang peranan penting
dalam menentukan pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat, disusul kemudian oleh
ekspektasi kurs Rp/USD secara historis dan inertia inflasi IHK. Kesemua komponen ini
adalah komponen ekspektasi inflasi backward looking.Forward rate Rp/USD dan yield spread,
yang merupakan komponen ekspektasi forward looking ternyata secara total hanya berperan
sebesar 32% dalam pembentukan ekpektasi inflasi. Sehingga ekspektasi inflasi backward
looking menyumbang 68% dalam proses pembentukan ekspektasi inflasi.
Pada grafik 12 dapat dilihat pergerakan dari simulasi ekspektasi inflasi yang diperoleh
dengan membobot ulang setiap komponen pembentuknya. Ekspektasi Inflasi cenderung
mendekati laju inflasi aktual sebagaimana dicerminkan oleh besarnya adjusted r-squared sebesar
0.99, coefficient correlation r sebesar 0.99, dan rendahnya mean absolut error yaitu 0.087 (tabel 7).
Tabel 8.
Hasil - Hasil Proses Neural Network
R squared:
0.9936
r squared:
0.9940
Mean squared error:
0.014
Mean absolute error:
0.087
Min. absolute error:
0.001
Max. absolute error:
0.426
Correlation coefficient r:
0.9970
Grafik 12. Laju Inflasi IHK Aktual dan Ekspektasi Inflasi
14
12
10
Laju Inflasi IHK
8
Ekspektasi Inflasi
(Weighted)
6
4
2
Jul-99
Apr-99
Jan-99
Oct-98
Jul-98
Apr-98
Jan-98
Oct-97
Jul-97
Apr-97
Jan-97
Oct-96
Jul-96
Apr-96
Jan-96
Oct-95
Jul-95
Apr-95
-2
Jan-95
0
Hasil neural network ini menunjukkan bahwa komponen-komponen pembentuk
ekspektasi backward dan forward looking diatas dapat mewakili prediksi arah pembentukan
ekspektasi inflasi di masyarakat. Ditinjau dari masing-masing komponen, kredibilitas
pemerintah dalam upaya untuk mencapai target inflasi cenderung menjadi benchmark bagi
pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi kedepan. Menurunnya kredibilitas
pemerintah cenderung meningkatkan ekspektasi inflasi sebagaimana yang terilustrasi dalam
periode Juli – Desember 1997 dan Januari serta Agustus 1998.
114
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum:
♣ Perilaku pelaku ekonomi dalam pembentukan ekspektasi inflasi mengalami perubahan
dari masa sebelum krisis dan sepanjang krisis. Dalam periode sebelum krisis, proses
pembentukan ekspektasi tidak terdapat interaksi timbal balik antara gejolak harga,
ketidakpastian harga, dan laju inflasi. Sementara itu, dalam periode sepanjang krisis
terdapat interaksi timbal balik (loop ekspektasi) antara gejolak harga, ketidakpastian,
dan laju inflasi yang bersifat self-reinforcing. Ketidakpastian harga merupakan faktor
terpenting dalam proses loop ekspektasi dimasa krisis, yang merupakan faktor pemicu
pembentukan ekspektasi inflasi.
♣ Ekspektasi inflasi juga dapat dibentuk oleh proses backward dan forward looking.
Komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking adalah : kredibilitas pemerintah,
inertia (inflasi secara historis), dan ekspektasi kurs Rp/USD. Sedangkan komponen
pembentuk ekspektasi inflasi forward looking adalah yield spread dan forward rate RP/
USD. 68 % pembentukan ekspektasi inflasi dimasa krisis mengikuti pola backward looking,
dimana pelaku ekonomi mempelajari dan merevisi ekspektasinya berdasarkan
pengalaman di masa lalu. Sehingga, inflasi yang tinggi dimasa lalu cenderung
membentuk ekspektasi inflasi yang masih tetap tinggi dimasa mendatang, demikian
pula sebaliknya.
♣ Kredibilitas pemerintah merupakan komponen utama dalam menentukan ekspektasi
inflasi masyarakat. Semakin tinggi deviasi keberhasilan disinflationary policy pemerintah
dari inflasi yang ditargetkan, maka semakin tinggi ekspektasi inflasi masyarakat.
Menurunnya kredibilitas pemerintah ditunjukkan oleh temuan bahwa dituntut adanya
lima bulan konsistensi keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi dimasa
krisis agar ekspektasi inflasi bisa menurun .
♣ Nilai tukar Rp/USD secara historis merupakan acuan masyarakat dalam mengantisipasi
inflasi dimasa mendatang, walaupun demikian terdapat indikasi kuat bahwa ekspektasi
depresiasi nilai tukar Rp/USD di pasar forward dibentuk dengan mempertimbangkan
ekspektasi inflasi historis.
♣ Dimasa krisis laju inflasi secara historis kuat mempengaruhi pembentukan ekspektasi
inflasi pelaku ekonomi. Dengan demikian inflasi yang masih tetap tinggi akan cenderung
membentuk ekspektasi inflasi yang masih tinggi.
♣ Jika pengendalian inflasi dimasa krisis dapat menurunkan harga secara berkelanjutan
selama lima bulan berturut-turut, maka yang akan terjadi adalah downward spiral inflasi
yang menurunkan tekanan laju inflasi dan selanjutnya dapat menopang perbaikan kurs
nilai tukar Rp/USD dipasar valas.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
115
Implikasi Kebijakan
Struktural
Perkembangan pengendalian inflasi sampai dengan akhir triwulan III /1998
tampaknya menunjukkan arah yang membaik. Keberhasilan pengendalian inflasi tersebut
telah meningkatkan kredibilitas pengendalian inflasi oleh pemerintah, sehingga ekspektasi
inflasi backward looking dari sisi kredibilitas akan cenderung menurun. Jika pemerintah
berhasil menurunkan laju inflasi lebih lanjut di bulan Oktober 1998 melalui kebijakan
struktural yang lebih komprehensif seperti anatara lain memperbaiki sistem distribusi bahan
pokok dalam jangka pendek dan stabilitas keamanan, maka kepastian harga akan lebih
mudah tercapai. Oleh karena itu agenda pemerintah dalam jangka pendek (3-4 bulan
kedepan) adalah mengutamakan perbaikan sisi distribusi bahan kebutuhan pokok.
Selanjutnya di bulan November dan Desember 1998 seiring dengan datangnya bulan
Ramadhan pemerintah perlu mempertahankan harga sembako agar tidak kembali
bergejolak dengan meningkatkan supply produk-produk utama dalam kelompok sembako
(beras, gula, minyak goreng, daging, telur, dan susu). Jika target jangka pendek diatas
tercapai, maka dapat diantisipasi bahwa akan ada downward spiral inflasi diawal 1999 melalui
self-reinforcing expectation loop karena penurunan laju inflasi dan meningkatnya kredibilitas
pemerintah dimata masyarakat. Dalam jangka panjang pemerintah perlu terus
mengupayakan pengembangan sektor pertanian, termasuk agribisnis baik yang berorientasi
ekspor maupun untuk pasokan dalam negeri.
Moneter
Kendati dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa mendatang telah menunjukkan
penurunan akan tetapi masih tetap berada pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, otoritas
moneter harus terus memantau inflasi khususnya yang bersumber dari fenomona moneter
dalam perekonomian.
Selanjutnya, mengingat pembentukan inflasi IHK dalam jangka
pendek tidak semata-mata merupakan fenomena moneter, namun juga dibentuk oleh
fenomena di sisi supply, maka otoritas moneter perlu memilah-milah sumber-sumber
penyebab inflasi. Otoritas moneter dapat menggunakan simulasi ini sebagai salah satu
alternatif benchmark dalam menetapkan target inflasi dan kebijakan moneter dimasa
mendatang dengan mempertimbangkan lag kebijakan moneter ke inflasi. Disamping itu
stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang
penurunan ekspektasi inflasi masyarakat.
Secara umum, Bank Indonesia perlu mempertimbangkan koordinasi penurunan
ekspektasi inflasi backward looking melalui masukan-masukan untuk perbaikan struktural
di sisi penawaran kepada pemerintah c.q departemen terkait. Penurunan ekspektasi inflasi
116
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
tersebut selanjutnya akan ter-transmisi dalam forward rate Rp/USD dipasar valas yang
kemudian dengan sendirinya akan menurunkan ekspektasi inflasi lebih lanjut. Jika terdapat
indikasi bahwa feed through tersebut dapat mempertahankan nilai tukar Rp/USD pada
level yang sustainable, maka untuk kedepannya Bank Indonesia perlu mengumumkan
kepada masyarakat hal -hal berikut untuk preemptive disinflationary policy dalam
mengendalikan inflasi: (1) jenis-jenis tekanan inflasi yang berada diluar jangkauan Bank
Indonesia (escape clause) dalam pengendalian inflasi moneter yang perlu segera diambil
alih oleh pemerintah c.q. departemen terkait melalui supply side policy, (2) menetapkan
target band inflasi akibat fenomena moneter serta indikator pemantaunya (leading indicator),
dan (3) jenis-jenis kebijakan moneter yang akan diambil oleh Bank Indonesia bila tekanan
inflasi dari sisi moneter mulai mengarah keluar diatas band.
Daftar Pustaka
King, Marvyn, Do Inflation Targets Work?, Address to the Center for Economic Policy
Research.
Griliches, Zvi,Distribution Lags : A Survey, Econometrica, Vo. 35, No. 1, January 1967
Bomfim, A. dan Brayton, F., Long Run Inflation Expectation and Monetary Policy, BIS.
Dillen, H. dan Hopkins, E., Forward Interest Rates and Inflation Expectations: The Role of
Regime Shift Premia and Monetary Policy,BIS.
H unt, B., Conway, P., dan Scott, A., Exchange Rate Effects and Inflation Targeting in A
Small Open economy, a Stochastic Analysis Using FPS, BIS.
Ireland, Peter N., Long Term Interest Rates and Inflation: A Fisherian Approach, FRB of
Richmond.
Kandel, S. , Ofer, A. dan Sarig, O., Real Interest Rates and Inflation: An Ex Ante Empirical
Analysis, The Journal Of Finance, Vol 11, No. 1, March 1986.
De Brouwer, G. dan Ericsson, N., Modelling Inflation in Australia, RBA.
McKibbin, W., Which Monetary Policy Regime for Australia, RBA.
Cecchetti, S., Distingushing Theories of The Monetary Transmission Mechanism, FRB of
St. Louis.
Cecchetti, S., Inflation Indicators and Inflation Policy, Ohio State Univ.
Dwyer, J. dan Lam, R., Explaining Import Price Inflation: A Recent History of Second
Stage Pass Through, RBA.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
117
Gruen, D. dan Dwyer, J., Are Terms of Trade Rises Inflationary?, RBA.
Hakim, L. dan Solikin., Model Inflasi dengan Pendekatan Neural Network, Kertas Keja
Staff, BI.
Lin, W., Impulse Response Function for Conditional Volatility in GARCH Models, Journal
of Business and Economic Statistics, January 1997.
O’Connor , M. Hill, T., Neural Network Models for Time Series Forecast, Institute for
Operation Research and Management Sciences.
Romalis, J., Gruen, D. dan Chandra, N., The Lags of Monetary Policy, RBA.
Santoso, W., Karakteristik Inflasi di Indonesia, UREM, BI.
Haslag, J., Monetary Aggregates and The Rate of Inflation, FRB of Dallas.
Simatupang, P.,
Diagnosa Penyebab Inflasi Dari Sisi Sektor Riil: Tinjauan Eksploratif,
IPB.
Annex
I. Mengukur Taksiran Laju Inflasi Alternatif dan Indicator of Policy Severity
1. Inflasi Karena Kurs dan Uang Beredar
Untuk mengukur taksiran laju inflasi alternatif digunakan metode regresi linier
sederhana dengan persamaan-persamaan berikut:
(1) CPI = FX(-1) + FX(-2) + FX(-3) + FX(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi yang
disebabkan oleh perubahan bulanan kurs nilai tukar Rp/USD, dimana CPI adalah
laju inflasi IHK bulanan , FX adalah perubahan kurs Rp/USD bulanan, (L) adalah
lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.
(2) CPI = Base(-1) + Base(-2) + Base(-3) + Base(-4) + MA(1) , untuk ukuran laju inflasi
yang disebabkan oleh pertumbuhan bulanan base money, dimana CPI adalah laju
inflasi IHK bulanan, Base adalah pertumbuhan bulanan base money , (L) adalah
lag operator, dan MA(1) adalah satu bulan koreksi terhadap kesalahan prediksi.
Berdasarkan kedua persamaan diatas diperoleh hasil ekonometri sebagai berikut:
118
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Persamaan (1)
Persamaan (2)
D e p e n d e n t V a ria b le : C P I
M e th o d : L e a s t S q u a re s
S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :1 1 1 9 9 8 :0 9
In c lu d e d o b s e rv a tio n s : 9 5 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts
C o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 5 ite ra tio n s
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :1 0
V a ria b le
C
F X (-1 )
F X (-2 )
F X (-3 )
F X (-4 )
M A (1 )
R -s q u a re d
A d ju s te d R -s q u a re d
S .E . o f re g re s s io n
S u m s q u a re d re s id
L o g lik e lih o o d
D u rb in -W a ts o n s ta t
In v e rte d M A R o o ts
D ep e n d e nt V a riab le : C P I
M e th o d : Le a s t S q u a re s
S a m p le (a djus te d): 1 9 90 :1 0 19 9 8 :0 9
In clu d e d ob s e rv a tion s : 96 a fte r a d ju stin g e nd p o in ts
C on v e rg e n ce a ch ie v e d a fte r 8 ite ratio n s
B a ck ca s t: 1 9 9 0 :09
C o e ffic ie n t
S td . E rro r
t-S ta tis tic
P ro b .
0 .6 7 7 0 2 7
7 .9 8 1 0 2 4
5 .2 7 2 4 8 8
4 .0 6 3 0 7 1
4 .0 8 7 8 8 9
0 .5 8 0 6 2 0
0 .1 3 8 8 8 7
0 .6 3 2 3 1 6
0 .6 5 5 4 7 8
0 .6 6 3 9 1 3
0 .6 0 4 3 4 3
0 .0 9 4 4 2 7
4 .8 7 4 6 6 4
1 2 .6 2 1 8 8
8 .0 4 3 7 3 0
6 .1 1 9 8 8 7
6 .7 6 4 1 8 6
6 .1 4 8 8 9 6
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .8 4 0 6 9 7
0 .8 3 1 7 4 8
0 .8 1 2 0 3 9
5 8 .6 8 7 2 8
-1 1 1 .9 2 0 6
1 .9 5 8 7 4 6
M ean dependent var
S .D . d e p e n d e n t v a r
A k a ik e in fo c rite rio n
S c h w a rz c rite rio n
F -s ta tis tic
P ro b (F -s ta tis tic )
V a ria b le
C
B A S E (-1 )
B A S E (-2 )
B A S E (-3 )
B A S E (-4 )
M A (1 )
1 .2 3 1 7 3 2
1 .9 7 9 6 8 7
2 .4 8 2 5 3 9
2 .6 4 3 8 3 6
9 3 .9 3 7 0 2
0 .0 0 0 0 0 0
R -s q u are d
A d ju ste d R -s qu a red
S .E . o f re gre ss io n
S u m s q ua re d re s id
L o g like lih o o d
D urb in -W a ts on s tat
-.5 8
B re u s c h -G o d fre y S e ria l C o rre la tio n L M T e s t:
F -s ta tis tic
O b s *R -s q u a re d
0 .0 7 0 6 9 0
0 .0 7 6 2 4 2
P ro b a b ility
P ro b a b ility
In ve rte d M A R o o ts
0 .7 9 0 9 5 6
0 .7 8 2 4 5 6
C oe ffic ie nt
S td . E rror
t-S ta tis tic
P rob .
0 .25 3 0 3 0
1 0 .0 5 9 4 8
1 5 .3 0 5 2 2
1 1 .5 5 2 0 7
7 .40 2 6 3 3
0 .77 4 2 3 7
0 .31 5 0 1 8
2 .31 3 9 9 7
3 .63 7 4 9 8
3 .64 4 1 9 9
2 .33 9 3 3 6
0 .06 7 0 7 6
0 .80 3 2 2 6
4 .34 7 2 3 1
4 .20 7 6 2 3
3 .16 9 9 9 0
3 .16 4 4 1 6
1 1 .5 4 2 6 4
0 .42 4 0
0 .00 0 0
0 .00 0 1
0 .00 2 1
0 .00 2 1
0 .00 0 0
0 .59 5 9 8 3
0 .57 3 5 3 8
1 .28 6 0 6 3
1 4 8.8 5 6 2
-1 57 .2 7 25
1 .86 5 5 6 7
M e a n de p e n d en t v ar
S .D . d ep e n d e nt v a r
A k a ik e in fo crite rion
S c h w arz crite rio n
F -s ta tis tic
P ro b (F -sta tis tic)
1 .22 9 6 4 9
1 .96 9 3 4 6
3 .40 1 5 1 0
3 .56 1 7 8 1
2 6 .5 5 2 6 2
0 .00 0 0 0 0
-.7 7
B reu s ch -G o d frey S e ria l C o rre la tio n L M T e s t:
F -s ta tistic
O b s *R -s q ua re d
0 .64 4 1 3 5
0 .68 9 8 0 1
P ro b a bility
P ro b a bility
0 .42 4 3 5 5
0 .40 6 2 3 2
Dengan diperolehnya parameter-parameter persamaan diatas selanjutnya ditaksir ukuran
laju inflasi yang disebabkan oleh perubahan bulanan kurs Rp/USD dan pertumbuhan
bulanan base money. Untuk itu dilakukan in-sample (static) forecast pada kedua persamaan.
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Laju Inflasi Karena Perubahan Bulanan Kurs Rp/USD (CPIKURS)
20
Forecast: CPIKURS
Actual: CPI
Sample: 1990:11 1998:09
Include observations: 95
15
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
10
5
0
0.785978
0.565180
167.3564
0.175155
0.000000
0.057874
0.942126
-5
91
92
93
94
95
CPIKURS
96
97
98
± 2 S.E.
Laju Inflasi Karena Pertumbuhan Bulanan Uang Beredar (CPIBASE)
12
Forecast: CPIBASE
Actual: CPI
Sample: 1990:10 1998:09
Include observations: 96
8
Root Mean Squared Error 1.245225
Mean Absolute Error
0.851097
Mean Abs. Percent Error
241.2239
Theil Inequality Coefficient 0.297043
Bias Proportion
0.000000
Variance Proportion
0.186663
Covariance Proportion 0.813337
4
0
-4
91
92
93
94
CPIBASE
95
96
± 2 S.E.
97
98
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
119
2. Laju Inflasi Karena Permintaan Agregat (Underlying Inflation)
Laju inflasi karena permintaan agregat (underlying inflation) di ukur dengan berasumsi
bahwa outliers dalan histogram bulanan keranjang inflasi IHK adalah noise yang bersifat
temporer dan tidak mencerminkan tekanan riil dari sisi permintaan ageregat. Oleh karena
itu untuk mengukur laju underlying inflation, dilakukan pemangkasan terhadap keranjang
inflasi IHK secara bulanan. Hasil uji statistik tentang ukuran underlying inflation yang paling
efisien (robust) menunjukkan bahwa pemangkasan sebesar 17.5% pada kedua tails histogram
bulanan keranjang inflasi IHK adalah nilai kritikal yang terbaik22 .
Berdasarkan metode pemangkasan diperoleh suatu taksiran underlying inflation
sebagaimana yang ditunjukkan oleh grafik berikut. Selisih antara laju inflasi aktual dengan
underlying inflation adalah temporary disturbances (noise) dalam keranjang inflasi IHK.
Noise, Underlying Inflation,dan Laju Inflasi IHK Aktual
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
1993
1994
1995
Noise
1996
Underlying Inflation
1997
1998
Laju Inflasi IHK Aktual
3. Indicator of Policy Severity
Indicator of Policy Severity (IPS) adalah indikator yang menunjukkan stance kebijakan
moneter sepanjang waktu. Grafik indikator yang meningkat menunjukkan stance kebijakan
moneter yang ketat, sedangkan grafik yang menurun menunjukkan stance yang loose. Untuk
menyusun indikator ini digunakan rumus berikut IPS = ((C - Mean C) / Stdev. C)-((D- Mean
D) / Stdev. D), dimana IPS adalah indicator of policy severity, C adalah tingkat suku bunga riil
jangka pendek, dan D adalah spread antara suku bunga jangka panjang dan pendek nominal.
IPS Indonesia disusun dengan menggunakan policy anchor Bank Indonesia, yaitu SBI
30 hari sebagai proksi dari C, dan spread antara suku bunga deposito 1 dan 24 bulan sebagai
proksi dari D. Masing komponen pembentuk IPS ini diilustrasikan pada grafik berikut.
22 Lihat hasil penelitian mengenai “Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter”, Program Kerja UREM
1997-1998.
120
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Komponen-Komponen Pembentuk IPS
80
20
60
18
40
16
20
14
0
1993
1994
1995
1996
1997
1998
12
1993
1994
Suku Bunga Deposito 1 bln.
1995
1996
1997
1998
Suku Bunga Deposito 24 bln.
60
6
5
40
4
20
3
2
0
1
-20
1993
1994
1995
1996
1997
0
1993
1998
1994
1995
Spread Nominal
1996
1997
1998
Suku Bunga SBI Riil
Dengan menggunakan komponen-komponen diatas dan rumus IPS, telah disusun
IPS Indonesia sebagaimana yang diilustrasikan oleh grafik berikut:
Indicator of Policy Severity
2
1
0
-1
-2
-3
-4
-5
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Indicator of Policy Severity
Dapat dilihat pada grafik diatas pada periode 1990 - 1995 kebijakan moneter di
Indonesia secara riil berada pada kondisi loose, kemudian memasuki 1996 sampai
pertengahan 1997 stance kebijakan moneter adalah tight. Diera krisis, kebijakan moneter
secara riil adalah sangat loose.
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
121
II. Mengukur Ekspektasi Dengan Inertia
D e p e n d e n t V a r ia b le : C P I
M e th o d : L e a s t S q u a r e s
S a m p le ( a d ju s te d ) : 1 9 9 0 :0 9 1 9 9 8 :0 9
In c lu d e d o b s e r v a tio n s : 9 7 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts
C o n v e r g e n c e a c h ie v e d a fte r 1 0 ite r a tio n s
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 8
V a r ia b le
C o e ffic ie n t
S td . E r r o r
t- S ta tis tic
P ro b .
C
C P I( - 1 )
C P I( - 2 )
C P I( - 3 )
M A (1 )
0 .1 1 2 4 9 4
1 .1 0 9 6 7 0
- 0 .4 4 7 5 2 1
0 .2 8 7 3 0 9
- 0 .4 2 6 4 7 0
0 .1 2 1 8 4 3
0 .2 9 0 6 8 6
0 .2 2 9 5 2 9
0 .1 1 7 0 9 2
0 .2 9 7 7 1 7
0 .9 2 3 2 6 6
3 .8 1 7 4 1 7
- 1 .9 4 9 7 3 4
2 .4 5 3 7 0 7
- 1 .4 3 2 4 6 8
0 .3 5 8 3
0 .0 0 0 2
0 .0 5 4 3
0 .0 1 6 0
0 .1 5 5 4
R - s q u a re d
A d ju s te d R - s q u a r e d
S .E . o f r e g r e s s io n
S u m s q u a r e d r e s id
L o g lik e lih o o d
D u r b in - W a ts o n s ta t
0 .5 9 2 9 6 7
0 .5 7 5 2 7 0
1 .2 7 7 6 2 4
1 5 0 .1 7 3 8
- 1 5 8 .8 3 5 5
1 .9 7 1 2 6 3
In v e r te d M A R o o ts
M ean dependent var
S .D . d e p e n d e n t v a r
A k a ik e in fo c r ite r io n
S c h w a r z c r ite r io n
F - s ta tis tic
P r o b ( F - s ta tis tic )
1 .2 2 2 2 7 3
1 .9 6 0 4 0 9
3 .3 7 8 0 5 2
3 .5 1 0 7 6 9
3 3 .5 0 6 4 7
0 .0 0 0 0 0 0
.4 3
B r e u s c h - G o d fr e y S e r ia l C o r r e la tio n L M T e s t:
F - s ta tis tic
O b s * R - s q u a re d
0 .5 1 2 2 6 5
0 .5 4 2 7 2 6
P r o b a b ility
P r o b a b ility
0 .4 7 5 9 9 3
0 .4 6 1 3 0 5
Static (in-sample) Forecast
Dynamic (out-sample) Forecast
15
10
Forecast: CPIINERTIA
Actual: CPI
Sample: 1990:09 1999:12
Include observations: 97
10
8
6
Root Mean Squared Error 1.244260
Mean Absolute Error
0.700671
Mean Abs. Percent Error 184.2119
Theil Inequality Coefficient0.293556
Bias Proportion
0.000003
Variance Proportion 0.130410
Covariance Proportion 0.869587
5
0
4
2
0
-5
-2
91
92
93
94
95
96
CPIINERTIA
97
98
98:11
99
99:01
99:03
± 2 S.E.
99:05
CPIINERTIA
99:07
99:09
99:11
± 2 S.E.
III. Mengukur Ekspektasi Kurs Secara Backward Looking
Dependent Variable: KURS
Method: Least Squares
25000
Sample(adjusted): 1990:07 1998:09
Included observations: 99 after adjusting endpoints
Convergence achieved after 5 iterations
Backcast: 1990:05 1990:06
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
15000
C
KURS(-1)
MA(2)
-30.86472
1.044889
-0.351087
98.54914
0.029699
0.114627
-0.313191
35.18241
-3.062848
0.7548
0.0000
0.0028
10000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-W atson stat
0.899528
0.897435
812.7748
63417883
-802.2967
2.056268
Inverted MA Roots
.59
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-.59
0.227553
0.236500
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
5000
2993.688
2537.881
16.26862
16.34726
429.7472
0.000000
0
5352.285
4073.550
41.65763
0.451403
0.572912
0.410126
0.016962
-5000
-10000
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
Forecast: KURSF
Actual: KURS
Sample: 1997:06 1999:12
Include observations: 16
20000
97:07
Probability
Probability
98:01
0.634440
0.626746
98:07
99:01
KURSF
99:07
± 2 S.E.
IV. Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kurs Rp/USD Backward Looking
D e p e n d e n t V a ria b le : C P I
M e th o d : L e a s t S q u a re s
20
S a m p le (a d ju s te d ): 1 9 9 0 :1 1 1 9 9 8 :0 9
In c lu d e d o b s e rv a tio n s : 9 5 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts
C o n v e rg e n c e a c h ie v e d a fte r 5 ite ra tio n s
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :1 0
V a ria b le
C o e ffic ie n t
S td . E rro r
t-S ta tis tic
P ro b .
C
FX
F X (-1 )
F X (-2 )
F X (-3 )
F X (-4 )
M A (1 )
0 .5 8 0 4 7 7
2 .3 3 0 3 6 9
9 .0 3 9 9 0 5
5 .4 3 2 3 6 9
4 .2 7 4 0 0 1
4 .1 5 6 7 9 9
0 .5 7 5 8 6 5
0 .1 2 8 5 2 8
0 .5 4 3 6 3 2
0 .5 9 6 2 6 2
0 .5 9 9 2 1 2
0 .6 0 7 4 9 2
0 .5 5 3 1 5 9
0 .0 8 7 1 6 6
4 .5 1 6 3 4 4
4 .2 8 6 6 6 5
1 5 .1 6 0 9 6
9 .0 6 5 8 5 9
7 .0 3 5 4 8 8
7 .5 1 4 6 5 3
6 .6 0 6 5 2 9
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
R -s q u a re d
A d ju s te d R -s q u a re d
S .E . o f re g re s s io n
S u m s q u a re d re s id
L o g lik e lih o o d
D u rb in -W a ts o n s ta t
In v e rte d M A R o o ts
0 .8 6 8 2 1 4
0 .8 5 9 2 2 9
0 .7 4 2 7 6 8
4 8 .5 5 0 0 1
-1 0 2 .9 1 3 2
1 .8 3 3 9 7 1
M ea n d e pe n d en t va r
S .D . d e p e n d e n t v a r
A k a ik e in fo c rite rio n
S c h w a rz c rite rio n
F -s ta tis tic
P ro b (F -s ta tis tic )
1 .2 3 1 7 3 2
1 .9 7 9 6 8 7
2 .3 1 3 9 6 3
2 .5 0 2 1 4 3
9 6 .6 2 5 1 3
0 .0 0 0 0 0 0
-.5 8
B re u s c h -G o d fre y S e ria l C o rre la tio n L M T e s t:
F -s ta tis tic
O b s *R -s q u a re d
1 .6 1 9 4 9 5
1 .7 3 6 0 9 4
P ro b a b ility
P ro b a b ility
Forecast: CPIKURS
Actual: CPI
Sample: 1990:11 1999:12
Include observations: 95
15
0 .2 0 6 5 5 3
0 .1 8 7 6 3 4
10
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
5
0
-5
91
92
93
94
95
CPIKURS
96
97
± 2 S.E.
98
99
0.714880
0.518561
155.0220
0.158045
0.000000
0.041498
0.958502
122
V.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Mengukur Ekspektasi Inflasi Dengan Kredibilitas Kebijakan Disinflasi
D e p e n d e n t V a r ia b le : C P I
M e th o d : L e a s t S q u a r e s
D a te : 1 0 /2 0 /9 8 T im e : 2 0 :5 3
16
In c lu d e d o b s e r v a tio n s : 9 6 a fte r a d ju s tin g e n d p o in ts
C o n v e r g e n c e a c h ie v e d a fte r 8 ite r a tio n s
B a c k c a s t: 1 9 9 0 :0 9
V a r ia b le
S td . E r r o r
t- S ta tis tic
P ro b .
C
C R E D M O N F 1 (-1 )
C R E D M O N F 1 (-2 )
C R E D M O N F 1 (-3 )
C R E D M O N F 1 (-4 )
CREDM O NF1
M A (1 )
0 .2 4 8 7 7 7
0 .2 6 9 8 1 6
0 .1 9 1 0 4 1
0 .2 3 8 1 9 3
0 .1 9 4 1 6 7
1 .1 5 1 9 8 3
0 .6 1 7 2 8 5
0 .0 7 8 0 1 4
0 .0 4 1 7 8 2
0 .0 3 9 9 9 8
0 .0 4 3 2 5 0
0 .0 4 2 0 6 4
0 .0 5 0 7 8 2
0 .1 2 1 8 2 5
3 .1 8 8 8 8 4
6 .4 5 7 7 2 2
4 .7 7 6 2 9 7
5 .5 0 7 3 6 5
4 .6 1 6 0 2 4
2 2 .6 8 4 7 7
5 .0 6 6 9 6 1
0 .0 0 2 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 0
R -s q u a re d
A d ju s te d R - s q u a r e d
S .E . o f r e g r e s s io n
S u m s q u a r e d r e s id
L o g lik e lih o o d
D u r b in - W a ts o n s ta t
0 .9 6 0 2 8 8
0 .9 5 7 6 1 1
0 .4 0 5 4 6 0
1 4 .6 3 1 3 8
- 4 5 .9 2 1 4 7
1 .8 5 4 7 4 8
In v e r te d M A R o o ts
Forecast: CPICREDIBLE
Actual: CPI
Sample: 1990:10 1999:12
Include observations: 96
12
C o e ffic ie n t
M ean dependent var
S .D . d e p e n d e n t v a r
A k a ik e in fo c r ite r io n
S c h w a r z c r ite r io n
F - s ta tis tic
P r o b ( F - s ta tis tic )
1 .2 2 9 6 4 9
1 .9 6 9 3 4 6
1 .1 0 2 5 3 1
1 .2 8 9 5 1 4
3 5 8 .6 9 3 0
0 .0 0 0 0 0 0
8
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
4
0
0.472993
0.312808
85.87972
0.105513
0.000009
0.129717
0.870274
-4
91
92
93
94
95
96
97
CPICREDIBLE
- .6 2
98
99
± 2 S.E.
B r e u s c h - G o d fr e y S e r ia l C o r r e la tio n L M T e s t:
F - s ta tis tic
O b s *R -s q u a re d
2 .0 7 4 6 2 2
2 .2 1 1 0 2 0
P r o b a b ility
P r o b a b ility
0 .1 5 3 3 1 5
0 .1 3 7 0 2 8
VI. Mengukur Ekspektasi Inflasi Forward Looking
1. Ekspektasi di Pasar Valas
Dependent Variable: CPI
Method: Least Squares
10
Sample: 1990:06 1998:09
Included observations: 100
Convergence achieved after 8 iterations
Backcast: 1990:05
6
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
4
C
MSWAP
MA(1)
0.550246
0.719070
0.736816
0.430830
0.381734
0.069166
1.277179
1.883692
10.65293
0.2046
0.0626
0.0000
2
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.484538
0.473910
1.401695
190.5806
-174.1391
1.614613
Inverted MA Roots
Forecast: CPISWAP
Actual: CPI
Sample: 1990:06 1999:09
Include observations: 100
8
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
1.210365
1.932518
3.542782
3.620937
45.59043
0.000000
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
0
-2
1.380509
0.780994
227.8152
0.350817
0.000001
0.322227
0.677772
-4
91
92
93
94
95
96
CPISWAP
97
98
99
± 2 S.E.
-.74
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
7.071280
6.860494
Probability
Probability
0.009179
0.008812
2. Ekspektasi di Pasar Keuangan
Dependent Variable: CPI
Method: Least Squares
12
Sample: 1990:06 1998:09
Included observations: 100
Convergence achieved after 8 iterations
Backcast: 1990:05
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
MYIELD
MA(1)
0.896955
1.137229
0.610007
0.212049
0.207733
0.081762
4.229941
5.474462
7.460785
0.0001
0.0000
0.0000
4
1.210365
1.932518
3.341435
3.419590
66.57722
0.000000
0
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
Inverted MA Roots
0.578544
0.569854
1.267452
155.8242
-164.0718
2.060648
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.306005
0.317549
Root Mean Squared Error
Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion
-4
91
92
93
94
CPIYIELD
-.61
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
Forecast: CPIYIELD
Actual: CPI
Sample: 1990:06 1999:09
Include observations: 100
8
Probability
Probability
0.581428
0.573085
95
96
97
± 2 S.E.
98
99
1.248296
0.712391
199.3804
0.300050
0.000002
0.144799
0.855199
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
VII. Uji Granger Causality antara Inflasi dan Forward Rate Rp/USD
1. Sepanjang Krisis
Lags: 1
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
87
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
86
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 3
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
85
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 4
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
84
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 5
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
83
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 6
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
82
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 7
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
81
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 8
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
80
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 9
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
79
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 10
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
78
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 11
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
77
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 12
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
76
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Probability
6.31689 0.01387
46.2037 1.4E-09
Probability
0.88659 0.41602
20.7925 5.2E-08
Probability
3.46644 0.02013
18.5885 3.4E-09
Probability
4.95316 0.00134
35.5097 1.3E-16
Probability
4.45891 0.00135
26.0828 6.2E-15
Probability
2.71644 0.01992
20.7315 1.0E-13
Probability
2.47840 0.02540
19.7172 5.6E-14
Probability
2.83510 0.00940
16.8733 4.5E-13
Probability
2.36934 0.02301
17.3929 1.0E-13
Probability
2.69482 0.00892
14.9881 1.2E-12
Probability
2.16061 0.03081
13.3469 8.4E-12
Probability
2.07661 0.03564
11.5781 9.6E-11
123
124
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
2. Sebelum Krisis
Lags: 1
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
72
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
71
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 3
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
70
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 4
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
69
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 5
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
68
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 6
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
67
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 7
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
66
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 8
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
65
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 9
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
64
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 10
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
63
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 11
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
62
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Lags: 12
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
SWAP does not Granger Cause ANCPI
61
ANCPI does not Granger Cause SWAP
Probability
1.52656 0.22082
0.04721 0.82864
Probability
2.14832 0.12477
1.04455 0.35759
Probability
4.02132 0.01108
0.95555 0.41934
Probability
2.69675 0.03908
0.46232 0.76307
Probability
2.49129 0.04143
0.52412 0.75701
Probability
1.87108 0.10272
0.39039 0.88202
Probability
1.49085 0.19164
0.48897 0.83818
Probability
1.46798 0.19392
1.31446 0.25923
Probability
1.27529 0.27652
1.75684 0.10382
Probability
1.33496 0.24411
1.81888 0.08676
Probability
1.36203 0.22939
1.77294 0.09308
Probability
1.24285 0.29361
1.51623 0.16350
Ekspektasi Inflasi di Masa Krisis
125
VIII. Metodologi Neural Network
Neural network adalah alat analisa yang mereplikasi proses belajar otak manusia.
Asumsi yang mendasari analisa neural network adalah bounded rationality para pelaku
ekonomi, yaitu fakta bahwa kompleksitas lingkungan tidak dapat sepenuhnya dikalkulasi
oleh rasionalitas. Akibat dari bounded rationality tersebut adalah kecemasan jika lingkungan
dipenuhi oleh ketidakpastian yang kemudian diterjemahkan menjadi kepanikan (frentic
euphoria). Analisa dengan neural network mencoba menangkap gejala-gejala non-linier
tersebut.
Desain analisa dengan neural network adalah sebagai berikut23 :
Neuron Input
X1
Output
Neuron Input
X2
Hidden Neuron
Neuron
Neuron Input
X3
Transformasi
Logsismoid
Threshold (ambang batas)
Fungsi
Logistik
Penjelasan dari desain diatas adalah sebagai berikut:
• Neuron-neuron input, x1, x2, x3, dan seterusnya adalah kombinasi linear dengan koefisien
dan bobot tertentu yang diperoleh dari estimasi secara linier. Dalam paper ini neuron23 Disadur dari : McNelis, Paul D. Money Demand, Finacial Distress, and Monetary Policy in Indonesia. Georgetown
University, Department of Economics, April 1998. Unpublished research paper.
126
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
neuron input adalah masing-masing ekspektasi inflasi yang diperoleh melalui estimasi
linier, yaitu eskpektasi inflasi karena: (1) inertia, (2) ekspektasi kurs Rp/USD, dan (3)
kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, untuk ekspektasi yang terbentuk secara
backward looking. Untuk input neuron yang berasal dari ekspektasi inflasi yang
terbentuk secara forward looking adalah ekpektasi inflasi di pasar keuangan dan di pasar
valas. Sehingga, terdapat lima input neuron dalam desain neural network.
• Neuron-neuron input diatas selanjutnya dimasukkan kedalam hidden neuron dimana
terjadi transformasi logsismoid. Transformasi ini dimungkinkan oleh proses logistic
squashing untuk membentuk fungsi logsismoid sebagaimana yang diilustrasikan diatas.
• Setelah melalui proses transformasi, neuron input kemudian dikombinasikan dengan
neuron output, yaitu unweighted average dari input-input neuron. Dalam
pengkombinasian ini berlangsung proses backpropagation learning, yaitu proses belajar
untuk menghasilkan persamaan dengan error terendah. Secara ekonomis proses belajar
tersebut mengakomodir perilaku “Sargeant’s economic agent” yang dalam pilihan-pilihan
perilakunya terikat oleh bounded rationality 24 . Langkah-langkah dalam proses
backpropagation learning tersebut adalah sebagai berikut25 :
⇒ Penentuan bobot awal dengan mengambil suatu sampel test set yang memberi
gambaran mengenai karakteristik awal hubungan antara neuron input dan
output.
⇒ Melakukan training terhadap seluruh observasi sampai tercapai error terendah.
⇒ Melakukan pembobotan ulang berdasarkan bobot-bobot yang diperoleh dari
training.
⇒ Menguji fitness dari persamaan.
24 Sargent, Thomas J. Bounded Rationality in Macroeconomics. Oxford University Press, New York, 1993.
25 Diproses dengan software NeuroShell 1.1.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
1
FUNDAMENTAL EKONOMI, CONTAGION EFFECT
DAN KRISIS ASIA
Endy Dwi Tjahjono* )
Tujuan dari paper ini meneliti faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya krisis Asia saat ini. Ada 2
faktor yang dibahas dalam paper ini, yaitu faktor fundamental ekonomi dan efek penularan (contagion effect).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara fundamental ekonomi negara yang
terkena krisis dengan negara yang tidak terkena krisis. Perbedaan tersebut terutama terletak pada perilaku
defisit transaksi berjalan, pinjaman luar negeri, financial account, cadangan devisa, perbankan, dan kegiatan
ekspor-impor.
Untuk memperkuat analisa kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut, dalam paper ini
dicoba pendekatan ‘early warning system currency crisis’ yang dikembangkan oleh Kaminsky dan Reinhart.
Hasilnya menunjukkan bahwa menjelang terjadinya krisis mata uang terjadi gejala overheating di kawasan
Asia. Namun, pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi terjadinya krisis di Indonesia, serta terjadi banyak
‘bad-signal’ pada beberapa negara yang tidak terkena krisis, seperti Singapore dan Hongkong.
Selanjutnya diteliti juga peranan dari contagion effect dalam menimbulkan krisis. Hasil pengujian
membuktikan bahwa terjadinya suatu serangan mata uang di suatu negara secara signifikan mempengaruhi
pelaku pasar untuk melakukan serangan pada mata uang negara lain. Dengan kata lain, contagion effect
memegang peranan sebagai pemicu terjadinya krisis yang dialami negara-negara Asia saat ini.
Hasil penelitian ini menggaris bawahi perlunya dilakukan kerja sama yang lebih erat antar negaranegara Asia dalam melakukan regional surveillance. Tujuan dari regional surveillance ini adalah untuk mendeteksi
secara dini kemungkinan terjadi krisis di suatu negara dan mencegah terjadinya contagion effect.
* ) Endy Dwi Tjahjono: Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, BI,
email : [email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai komentar dan tanggapan dari para peneliti di Bagian SEI-UREM BI,
termasuk Sdr. Sjamsul Arifin, Ny. Hendy S., Sdr. Doddy Budi Waluyo, Sdr. Benny Siswanto dan Ny. Yati Kurniati.
Penulis juga mendapatkan bantuan penyediaan data dari Sdr. Harmantha dan Sdr. Deddy Irianto.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
2
Pendahuluan
Latar Belakang
P
ada bulan Juli 1997, perekonomian Thailand mengalami kesulitan sebagai dampak
dari semakin membesarnya defisit transaksi berjalan selama 5 tahun terakhir. Kondisi
ini semakin diperberat oleh memburuknya kinerja perbankan Thailand akibat dililit kredit
macet yang semakin besar. Sebagai akibatnya, timbul krisis ekonomi yang ditandai dengan
jatuhnya nilai tukar Baht terhadap USD, capital outflows, dan krisis cadangan devisa.
Dalam waktu yang singkat, krisis ini ternyata merembet ke negara-negara ASEAN
lainnya, terutama Philippines, Malaysia, dan Indonesia. Sementara untuk negara industri
baru, yang dikenal dengan NIEs, walaupun mengalami serangan yang sama, ternyata
dampaknya berbeda. Korea adalah negara NIEs yang paling parah terkena krisis. Sementara,
negara NIEs lainnya, seperti Hongkong, Taiwan, dan Singapore, walaupun mengalami
depresiasi dan harga sahamnya sempat jatuh namun tidak sampai mengalami krisis yang
berkepanjangan.
Dalam menyikapi krisis keuangan tersebut, ada sebagian pendapat yang menyatakan
bahwa krisis diakibatkan oleh tekanan dari para pelaku pasar keuangan internasional
(spekulan). Sebagian yang lain menyatakan bahwa krisis lebih disebabkan oleh fundamental
ekonomi yang buruk.
Oleh karena itu, belajar dari pengalaman krisis saat ini, perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mendorong timbulnya krisis, agar kejadian
serupa tidak terulang lagi dikemudian hari.
Tujuan dan Metodologi
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengukur seberapa besar kontribusi dari
sentimen pasar dan fundamental ekonomi dalam memicu terjadinya krisis mata uang.
Pembahasan difokuskan pada negara-negara kawasan Asia, khususnya negara
ASEAN-4 (Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand), negara-negara NIEs (Singapore,
Korea, Taiwan, dan Hongkong), dan Jepang menjelang dan selama terjadi krisis. Negaranegara tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu negara yang terkena krisis dan negara
yang tidak terkena krisis. Suatu negara didefinisikan mengalami krisis mata uang apabila
nilai tukar riilnya (REER) mengalami perubahan yang sangat besar. Sebagai pembatas, dalam
paper ini digunakan rata-rata perubahan ditambah 3 standar deviasi. Disamping itu, negara
yang mengalami krisis mata uang umumnya ditandai dengan adanya perubahan kebijakan
mengenai sistem penetapan nilai tukar. Dari data REER bulanan yang dihitung oleh J.P.
Morgan selama 1970 - 1997 dengan indeks 1990=100 maka dapat disimpulkan bahwa negara-
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
3
negara yang terkena krisis meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philippines, dan Korea.
Negara yang tidak terkena krisis meliputi Singapore, Taiwan, Hongkong, dan Jepang.
Tabel 1
KLASIFIKASI EMERGING MARKET ASIA
NEGARA
PERUBAHAN REER ( % )
PERUBAHAN KEBIJAKAN
rata-rata st. deviasi perubahan 1997
NILAI TUKAR
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
0,60
7,00
-31,00
INDONESIA
-0,30
12,50
-41,50
MALAYSIA
-0,85
6,34
-24,00
PHILIPPINES
1,87
8,50
-25,00
KOREA
-1,70
8,00
-33,00
-0,20
0,39
0,24
1,00
7,50
5,00
6,90
9,49
-3,30
12,00
-0,22
-0,80
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
JEPANG
Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free
floating (Juli 97)
Mula-mula band intervensi diperlonggar dan akhirnya diubah
dari managed floating menjadi free floating (Ags 97)
Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free
floating (Juli 97)
Sistem nilai tukar diganti dari managed floating menjadi free
floating (Juli 97)
Mula-mula band nilai tukar diperlonggar dan akhirnya diubah
dari managed floating menjadi free floating (Des 97)
tidak
tidak
tidak
tidak
ada perubahan
ada perubahan
ada perubahan
ada perubahan
Catatan : angka positip berarti mengalami overvalue, sebaliknya angka negatip mengalami undervalue.
Pembahasan diawali dengan mempelajari kondisi fundamental ekonomi, dengan
menekankan pada perbedaan kondisi ekonomi negara-negara yang terkena krisis dengan
negara-negara yang tidak terkena krisis. Untuk memperkuat analisis data, kondisi
fundamental ekonomi negara-negera tersebut juga dievaluasi dengan menggunakan sistem
deteksi dini yang dikembangkan oleh Kaminsky dkk.
Pembahasan dilanjutkan dengan menyusun model probit untuk mengukur besarnya
kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion dalam menimbulkan krisis mata
uang yang terjadi saat ini.
Paper diakhiri dengan Implikasi kebijakan.
4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Metodologi
Penelitian
Mempelajari Kondisi Fundamental Ekonomi
8 Emerging Market Asia
———————————————————————————————————1.Analisis Data
Tujuan : mempelajari soundness dari fundamental ekonomi 8 negara tersebut.
2. Menerapkan early warning system Kaminsky :
a. Mengumpulkan data-data 9 variabel ekonomi yang digunakan sebagai leading
indikator oleh Kaminsky. Periode 1990 - 1996.
b. Menghitung rata-rata dan standar deviasi selama masa tenang (1990 - 1994)
dari tiap indikator untuk masing-masing negara.
c
. Menetapkan batas atas (=X + 3 s) dan batas bawah (=X - 3 s).
d. Memisahkan batas kontrol yang tidak relevan terhadap terjadinya krisis, seperti
batas atas untuk ekspor dan cadangan devisa.
e
. Menghitung signal yang dikeluarkan tiap indikator. Indikator dikatakan
mengeluarkan signal apabila nilai indikator tersebut lebih besar dari batas atas
atau lebih kecil dari batas bawah.
.
f Menganalisa signal-signal tersebut untuk mengetahui kondisi fundamental
ekonomi masing-masing negara.
Mengembangkan model probit untuk mengukur kontribusi dari faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan pelaku pasar melakukan serangan atau tidak.
A
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
A
Mengubah Kondisi Fundamental Ekonomi Suatu Negara Menjadi Besaran
Kuantitatif
a
Menetapkan leading indikator yang dapat menunjukkan ‘soundness’ dari
kondisi fundamental ekonomi suatu negara, dalam kaitannya dengan resiko
krisis mata uang.
b.
Menetapkan bobot dari masing-masing indikator.
c
.
Membagi suatu indikator menjadi 4 golongan resiko dan menetapkan range
nilai dari masing-masing golongan resiko. Untuk setiap golongan resiko
diberikan angka kredit tersendiri.
d. Mengelompokkan data perkembangan ekonomi suatu negara sesuai dengan
tingkat resikonya.
e
.
Menghitung total angka kredit dengan menggunakan bobot dari masingmasing indikator.
Menyelesaikan model probit dengan menggunakan maksimum likelihood untuk
menghitung kontribusi dari faktor fundamental dan faktor contagion effect.
selesai
5
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Faktor Fundamental Ekonomi
Faktor fundamental ekonomi merupakan faktor kunci dalam kaitan dengan krisis
mata uang. Para ahli sendiri dalam menyusun teori krisis mata uang mula-mula menduga
fundamental ekonomi sebagai satu-satunya penyebab terjadinya krisis. Teori ini, dikenal
sebagai teori generasi pertama, diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 dengan
mengatakan bahwa krisis mata uang disebabkan oleh fundamental ekonomi yang memburuk.
Setelah dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti lainnya, penelitian sampai pada
generasi kedua dengan ‘self-fulfilling crises’ yang mengatakan bahwa krisis dapat muncul
(pada negara yang fundamentalnya baik) apabila pengambil keputusan merasa biaya untuk
mempertahankan nilai tukar jauh lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh. Teori
terakhir, generasi ketiga, dikenal sebagai contagion effect theory. Teori ini mengatakan krisis
dapat menular dari negara satu ke negara lainnya melalui hubungan perdagangan (trade
link) ataupun kesamaan fundamental ekonomi.
Analisis Data
Krisis mata uang yang melanda negara-negara ASEAN-4 + Korea bagaimanapun
juga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut yang
menyimpan resiko terjadinya krisis. Untuk itu, perlu dilakukan analisis data, terutama
terhadap beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan resiko krisis mata uang seperti
current account balance, pinjaman luar negeri, dan tingkat kesehatan perbankan.
1. Current Account Balance
Perkembangan transaksi berjalan suatu negara perlu diwaspadai dengan cermat,
karena defisit transaksi berjalan yang berlangsung dalam jangka panjang dapat menekan
cadangan devisa. Oleh karena itu, defisit transaksi berjalan sering kali dipandang sebagai
signal ketidak-seimbangan makroekonomi yang memerlukan tindakan penyesuaian nilai
tukar atau kebijakan makroekonomi yang lebih ketat.
Negara-negara yang mengalami krisis ternyata semuanya mengalami defisit transaksi
berjalan, sebaliknya negara yang tidak terkena krisis mengalami surplus. Besarnya defisit
tersebut pada tahun 1995 berkisar dari yang terberat sebesar 8,43 % PDB untuk Malaysia
sampai yang paling rendah sebesar 1,81 % PDB untuk Korea. Indonesia sendiri mengalami
defisit sebesar 3,33 % PDB, suatu jumlah yang melebihi batas maksimum yang direkomendasi
IMF sebesar 2 % PDB.
Walaupun angka-angka diatas merupakan data tahun 1995, namun sebenarnya defisit
transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang mengalami krisis tersebut sudah
berlangsung sejak lama.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
7
Tabel 2
PROFILE NERACA PEMBAYARAN TAHUN 1995
dalam USD juta
CURRENT ACCOUNT INVESTASI PORTFOLIO
NEGARA
(juta USD)
% PDB
1
2
3
4
OTHER
CADANGAN DEVISA
INVESTMENT
(juta USD)
6
7
5
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
-13.554
-6.620
-7.362
-1.980
-8.251
-8,2
-3,3
-8,6
-2,7
-1,8
1.182
7.100
4.342
1.079
-1.753
4.081
1.700
-1.649
1.190
10.825
16.645
2.500
-1.405
3.040
8.149
24.206
16.000
15.994
4.287
21.983
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
JEPANG
15.093
1.030
5.474
100.925
17,7
0,7
2,1
2,2
3.006
-19.296
-1.424
-20.648
-7.127
24.108
493
-29.902
-2.750
6.415
-7.259
-8.342
46.213
55.400
60.754
182.820
Sumber : Annual report 1996 HKMA untuk Hongk ong, CEIC untuk Taiwan; Laporan Tahunan BI tahun 1995/96
untuk Indonesia; IFS Yearbook 1997 untuk negara lainnya.
Gra fik 1
Pe rke m ba nga n Curre nt Account Ba la nce
US$ Ju ta
20000
Sin g ap u r a
15000
T aiw an
10000
Ho n gk o n g
5000
0
M alays ia
-5000
-10000
T h ailan d
-15000
In d o n e s ia
-20000
Ph ilip in a
Ko r e a
-25000
1991
1992
1993
1994
1995
1996
Defisit transaksi berjalan yang dialami negara-negara yang terkena krisis paling tidak
telah berlangsung sejak 1991 yang terus berakumulasi dari tahun ke tahun. Bahkan Korea
selama 3 tahun terakhir mengalami penurunan transaksi berjalan yang sangat tajam.
Sementara, negara-negara yang terkena krisis lainnya, seperti Thailand dan Indonesia juga
mengalami defisit yang semakin meningkat, walaupun tidak setajam Korea.
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Aspek Pembiayaan
Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung secara persistent tersebut harus
dapat dibiayai dari capital inflows agar tidak mengganggu cadangan devisa. Capital inflows
dapat berupa Foreign Direct Investment (FDI), portfolio, ataupun pinjaman luar negeri (baik
oleh Pemerintah maupun swasta). Pembiayaan defisit transaksi berjalan melalui FDI
dipandang sebagai langkah yang paling aman dalam membiayai pembangunan, karena
dana tersebut biasanya digunakan untuk kepemilikan dan kontrol atas pembangunan pabrik,
peralatan, dan prasarana. Dengan demikian FDI tersebut meningkatkan kapasitas
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sementara capital inflows dalam bentuk pinjaman
memungkinkan untuk digunakan membeli barang-barang konsumsi, bukan untuk barang
investasi. Disamping itu, capital inflows melalui FDI bersifat tidak lancar, sehingga investor
tidak dapat menarik dananya dengan segera. Hal ini berbeda dengan capital flows dalam
bentuk portfolio yang dapat ditarik secara mendadak dan dalam jumlah besar.
Dalam prakteknya, negara-negara yang terkena krisis ternyata lebih menggantungkan
diri pada dana-dana jangka pendek melalui portfolio dan other investment (transfer langsung
antar penduduk/perusahaan). Dana jangka pendek yang masuk pada tahun 1995 mencapai
2-3 kali lebih besar dari defisit transaksi berjalan. Dengan demikian jelas bahwa negaranegara yang terkena krisis tersebut sangat rentan terhadap krisis mata uang akibat defisit
transaksi berjalan yang semakin membesar dan ketergantungan yang tinggi kepada danadana jangka pendek.
Sementara itu, resiko terjadinya krisis mata uang tersebut ternyata dikover oleh
cadangan devisa yang relatif kecil, yakni kurang dari USD 25 milyar. Sebaliknya, negaranegara yang tidak terkena krisis, dimana transaksi berjalannya mengalami surplus, justru
Tabel 3
PROFILE PINJAMAN LUAR NEGERI 1997
TOTAL PINJAMAN
NEGARA
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
JANGKA PENDEK *)
PEMBAYARAN BUNGA
( JUTA USD)
( % gdp )
( % Cad.Dev)
( % EKSPOR)
98368
127957
40053
56189
125152
58
53
38
62
24
164
181
76
196
360
4
12
2
6
4
33
-
2
-
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
45447
15
JEPANG
Sumber : Morgan, Emerging Markets : Economics Indicators, Oktober 1997
*) termasuk amortisasi pembayaran
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
9
memiliki cadangan devisa yang sangat besar.
Disamping tergantung dengan dana jangka pendek melalui portfolio, negara-negara
yang mengalami krisis juga menggantungkan diri pada utang luar negeri. Total pinjaman
luar negeri negara-negara yang mengalami krisis ternyata sangat besar, yakni berkisar dari
24 % GDP (Korea) sampai 62 % GDP (Philippines). Sementara, dari negara-negara yang
tidak terkena krisis, Taiwan mempunyai utang luar negeri sebesar 15 % GDP (Tabel 3).
Dari jumlah pinjaman luar negeri yang sangat besar tersebut, sebagian besar ternyata
berupa utang jangka pendek. Jika dibandingkan dengan jumlah cadangan devisa yang
dimiliki, pinjaman jangka pendek dari negara-negara yang terkena krisis besarnya mencapai
2 - 3 kali lipat dari cadangan devisanya, kecuali Malaysia yang ‘hanya’ sebesar 76 %.
Aspek Perdagangan
Sejalan dengan semakin terbukanya perekonomian dunia menuju global market, serta
perkembangan di pasar keuangan yang semakin terintegrasi dengan pasar keuangan dunia,
muncul pandangan baru mengenai defisit transaksi berjalan. Pandangan baru menyatakan
bahwa dalam kondisi free capital mobility, current account imbalances merupakan suatu
hal yang wajar sebagai hasil dari aliran modal menuju tempat-tempat yang paling produktif.
Negara-negara yang memiliki kesempatan investasi dalam negeri yang relatif lebih
menguntungkan akan mengalami defisit transaksi berjalan karena kesempatan tersebut akan
dimanfaatkan sepenuhnya, baik dengan menggunakan dana investasi dalam negeri ataupun
memanfaatkan dana-dana luar negeri untuk memperkuat dana investasi dalam negeri.
Berkaitan dengan defisit transaksi berjalan yang dialami oleh negara-negara yang
terkena krisis, apakah defisit tersebut mencerminkan macroeconomic imbalances yang
membutuhkan kebijakan penyesuaian kurs ataukah akibat kesempatan investasi yang lebih
baik ?
Defisit transaksi berjalan yang telah berlangsung sejak lama pada negara-negara yang
mengalami krisis ternyata disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang tidak sebanding
dengan pertumbuhan impornya. Walaupun kegiatan ekspor semakin meningkat namun
kegiatan impornya jauh lebih tinggi lagi. Tingginya kegiatan impor ini disebabkan oleh 2
hal, yaitu pesatnya kegiatan investasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan tingginya kandungan barang impor pada produk-produk lokal.
Selama periode 1991 - 1996, ekspor Indonesia menunjukkan kinerja yang paling buruk.
Dari segi pertumbuhannya, ekspor Indonesia menunjukkan angka pertumbuhan yang
terendah setelah Taiwan. Bahkan apabila diukur dengan kontribusinya terhadap PDB, maka
ekspor Indonesia mengalami penurunan dari 25 % (1991) menjadi 22 % (1997). Hal ini
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
mengindikasikan bahwa kegiatan investasi yang dilakukan selama ini dengan banyak
mengimpor barang modal ternyata lebih diarahkan untuk memenuhi permintaan dalam
negeri, bukan untuk kegiatan ekspor. Hal itulah yang menyebabkan defisit yang semakin
besar. Sementara kegiatan ekspor tidak banyak berkembang karena masih mengandalkan
pada produk-produk ekspor tradisional, seperti tekstil, sepatu, palm oil, dsb. Akibatnya
ekspor kita selama ini pertumbuhannya sangat rendah karena produk-produk tersebut nilai
tambahnya sangat kecil dan kurang elastis terhadap harga. Sementara itu, saingan bertambah
banyak dengan reformasi ekonomi yang dijalankan negara-negara sosialis/eks sosialis,
seperti China, Vietnam, Khazastan, dsb.
Diantara negara ASEAN-4, Malaysia menunjukkan kinerja ekspor yang paling
mengesankan. Kegiatan ekspornya pada tahun 1997 telah mencapai angka 80 % PDB dimana
angka ini hanya kalah oleh ekspor Singapore dan Hongkong. Kebalikan dari Indonesia,
investasi yang tinggi di Malaysia tampaknya benar-benar diarahkan untuk kegiatan ekspor.
Hal ini terbukti dari pertumbuhan ekspornya yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonominya.
Tabel 4
PERKEMBANGAN EKSPOR 1991 - 1996
EKSPOR 1991
NEGARA
EKSPOR 1996
USD Juta
% PDB
USD Juta
% PDB
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
28.428
29.142
34.349
8.767
73.982
29
25
71
19
34
55.721
49.814
78.246
20.417
133.619
30
22
80
24
34
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
JEPANG
59.025
98.577
76.115
338.201
135
115
42
9
125.014
180.745
115.726
385.679
133
117
42
9
Sumber : CEIC, IFS Year Book 1997
Prospek defisit transaksi berjalan negara-negara yang terkena krisis di masa
mendatang dapat diprediksi dari komposisi impornya. Dilihat dari pengguna akhirnya
(end-user), barang impor dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu barang konsumsi,
bahan baku dan barang setengah jadi, dan barang modal. Impor barang konsumsi memiliki
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
11
kecenderungan untuk memperbesar defisit, karena volumenya terus meningkat sebanding
dengan pertambahan penduduk. Sebaliknya, dalam jangka panjang impor barang modal
dapat menurunkan defisit, terutama apabila dapat menghasilkan barang-barang ekspor.
Sementara itu, impor bahan baku dan barang setengah jadi dapat memperbesar atau
memperkecil defisit, tergantung kepada penggunaannya, yaitu untuk memproduksi barang
ekspor atau barang-barang yang dikonsumsi didalam negeri.
Berdasarkan data impor tahun 1990 - 1996, defisit transaksi berjalan negara-negara
yang terkena krisis masih akan berlangsung terus, karena komposisi impornya tidak banyak
berubah. Bahkan untuk Indonesia sendiri, komposisi barang modal mengalami penurunan
(dari 28 % menjadi 22%), sebaliknya barang konsumsi mengalami kenaikan (dari 4 % menjadi
7 %). Negara-negara lain, seperti Thailand dan Malaysia, impor barang modal justru
mengalami kenaikan yang tajam (dari 48 % menjadi 56%). Untuk jelasnya, lihat gambar
dibawah ini. Untuk negara-negara yang tidak terkena krisis, pada umumnya impor barang
modal mengalami kenaikan dan impor barang konsumsi mengalami penurunan.
G RAFIK 2
P ERKEM BANG AN KOM P O S IS I IM P O R
1990 - 1996
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
TH A I
IN D .
MAL
P H IL
KOR
S IN G
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
96
90
0%
H O N G TW N
B A RA NG MO DA L
B A HA N B A K U
K O NS UMS I
2. Kinerja Perbankan
Goldfajn dan Valdes1 dalam penelitiannya menemukan keterkaitan antara krisis
perbankan dengan krisis mata uang. Perbankan berfungsi sebagai lembaga intermediasi
1 Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, ‘Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity’ , IMF Working Paper
No. WP/97/87, July 1997.
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
yang mentransformasikan/merubah aset tidak lancar menjadi aset lancar dan berjangka
pendek. Pada satu sisi, tawaran aset yang lancar dan berjangka pendek ini sangat menarik
perhatian investor asing sehingga perbankan dapat menarik capital inflows dalam jumlah
besar. Namun disisi lain, pada saat terjadi shock ekonomi, intermediasi dapat menyebabkan
terjadinya capital outflows dalam jumlah besar dan mendadak, sehingga perbankan tidak
mampu memenuhi kewajibannya akibat asetnya sebagian besar tidak lancar. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan yang diikuti oleh krisis mata uang. Padahal
apabila tidak ada jasa intermediasi perbankan, shock ekonomi tersebut belum tentu dapat
menyebabkan terjadinya krisis.
Penelitian yang dilakukan para peneliti yang lain, seperti Eichengreen, Rose, dan
Wyplosz2 dan Kaminsky-Reinhart3 , menyimpulkan bahwa sebelum terjadi krisis mata uang
biasanya didahului oleh aktivitas perbankan yang meningkat tajam dan segera menurun
drastis setelah terjadi krisis. Peningkatan aktivitas perbankan tersebut ditandai oleh :
a) Peningkatan capital flows.
b) Peningkatan M2 Multiplier yang meningkat 20 % lebih tinggi dari masa-masa tenang.
c)
Pertumbuhan rasio domestik kredit/GDP yang meningkat tajam dan mencapai
puncaknya pada saat terjadi krisis (rata-rata mencapai 15 % lebih tinggi dari masa
tenang).
Hasil-hasil penelitian para ahli tersebut ternyata terbukti pada saat terjadi krisis di
Asia baru-baru ini.
Tabel 5
AKTIVITAS PERBANKAN 1995 - 1996
PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN
NEGARA
CAMPUR TANGAN
KREDIT PADA KREDIT PROPERTI
KREDIT
M2
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
GOV'T PADA KREDIT *) KELOMPOK *)
( % Total Kredit )
88,60%
22,70%
29,50%
40,30%
17,40%
12,90%
29,60%
21,40%
n.a.
17,80%
BEBERAPA
BANYAK
BEBERAPA
BEBERAPA
BANYAK
BANYAK
BANYAK
BEBERAPA
BEBERAPA
BANYAK
13,79
17,87
31,45
19,00
12,10
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
JEPANG
17,30%
13,94%
n.a.
0,45%
9,80%
9,30%
8,40%
3,16%
n.a.
TIDAK ADA
n.a.
n.a.
n.a.
TIDAK ADA
n.a.
n.a.
32,15
19,45
48,18
12,49
*) sumber : The Banker, Asian Meltdown , Desember 1997 ; data lainnya dari IFS Year Book 1997 dan CEIC.
2. Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, ‘Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates: An Empirical
Investigation,’ NBER Working Paper No. 4898, 1994.
3. Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, ‘The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance of Payments
Problems’, International Finance Discussion paper, 1996
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
13
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa aktivitas perbankan negara-negara yang
terkena krisis selama 1995-1996 telah meningkat dengan tajam. Hal ini dapat dilihat dari
pertumbuhan pemberian kredit dan pertumbuhan M2.
Berkaitan dengan independensi perbankan dalam pemberian kredit, menurut hasil
penelitian the Banker menyimpulkan bahwa sistem perbankan di negara-negara yang terkena
krisis pada umumnya memiliki kualitas aset yang relatif kurang sehat dan beresiko tinggi
akibat banyaknya campur tangan Pemerintah dalam pemberian kredit perbankan, serta
tingginya konsentrasi kredit pada kelompok/group tertentu/terkait dengan bank.
Disamping itu, selama 5 tahun terakhir, sebagai akibat dari pasar keuangan dunia
yang semakin terintegrasi menyebabkan sistem perbankan semakin mudah mendapatkan
sumber dana alternatif dari pasar luar negeri. Sebagai akibatnya, rasio antara foreign asset
dan foreign liabilities menjadi tidak seimbang. Terutama bank-bank Thailand yang paling
aktif melakukan pinjaman luar negeri, disamping Malaysia dan Indonesia sendiri.
Tabel 6
PERKEMBANGAN RASIO FOREIGN LIABILITIES /
FOREIGN ASSET PERBANKAN
NEGARA
80
85
90
91
92
93
94
95
96
NEGARA DALAM KRISIS
THAILAND
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
1,49
0,57
1,49
2,23
1,53
1,36
0,67
2,12
1,16
2,75
1,95
1,16
1,22
0,61
1,07
1,71
1,04
2,14
0,52
1,29
2,16
1,25
3,56
0,64
1,14
2,24
1,62
3,00
0,61
0,91
4,61
1,83
1,61
0,77
1,01
4,93
1,79
1,54
1,00
1,13
6,94
1,69
n.a.
1,75
1,27
NEGARA TIDAK KRISIS
SINGAPORE
HONGKONG
TAIWAN
JEPANG
1,22
n.a.
n.a.
0,25
1,34
0,99
n.a.
0,18
0,99
1,02
n.a.
0,11
0,95
1,01
n.a.
0,09
0,94
1,01
n.a.
0,08
1,02
1,01
n.a.
0,21
1,05
1,02
1,30
0,25
1,20
1,00
1,50
0,23
1,28
1,00
1,10
0,26
Sumber : CEIC untuk Hongk ong dan Taiwan, Laporan Tahunan BI untuk Indonesia,
dan IFS Year book 1997 untuk negara lainnya.
Kondisi perbankan yang sangat rapuh tersebut merupakan salah satu faktor yang
mendorong terjadinya krisis. IMF sendiri sudah lama mengamati keterkaitan antara krisis
perbankan dengan krisis mata uang dan krisis ekonomi. Hasil penelitian IMF 4
menyimpulkan bahwa krisis mata uang yang diikuti/diawali dengan krisis perbankan
akan memberikan dampak yang sangat besar kepada perekonomian nasional. Hal ini dapat
dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk recovery rata-rata mencapai dua kali lebih panjang
dari currency crises, serta penurunan output sebesar 14,4 persen dari pertumbuhan normal
(apabila hanya mengalami currency crises, penurunan output rata-rata mencapai 4,3 persen).
4 IMF : World Economic Outlook- Prospects and Policy Issues, March 1998.
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Kondisi Fundamental Ekonomi Menurut Leading Indicators Kaminsky
Dengan mempelajari bukti-bukti empiris menjelang terjadinya krisis mata uang,
Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart 5 telah menyusun Sistem Deteksi Dini Krisis Mata Uang
berdasarkan beberapa indikator. Mengingat indikator-indikator yang digunakan merupakan
variabel-variabel fundamental ekonomi maka metode ini dapat dipakai untuk menilai kondisi
fundamental ekonomi suatu negara.
Indikator Yang digunakan
Dari 12 indikator yang diusulkan oleh Kaminsky (12 indikator ini terbukti menunjukkan
kinerja yang baik sebagai indikator krisis mata uang), paper ini menggunakan 9 indikator.
Tiga indikator yang tidak digunakan adalah Excess M1 balance, terms of trade, dan Real
Interst Differential. Excess M1 balance dan terms of trade tidak digunakan karena kesulitan
data, sedang interest differential dikarenakan variabel ini sudah terwakili oleh real interest
rate. Indikator -indikator yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut.
1.
Real Effective Exchange Rate
REER merupakan salah satu variabel yang sering dipakai untuk menunjukkan daya
saing produk di pasar internasional. REER menunjukkan kondisi nilai tukar apakah
under valued atau overvalued. Pada REER diatas 100 berarti terjadi overvalued, yang
berarti memperlemah daya saing produk ekspor, dan dibawah 100 berarti nilai tukar
undervalued. Oleh karena itu, nilai REER yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi
memberikan efek yang tidak baik (batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang
batas). Golfajn dan Valdes6 memperkirakan variabel ini bersifat ‘summary variable’
dan memiliki predictive power dalam memprediksi krisis.
2.
Pertumbuhan ekspor
Kegiatan ekspor sangat penting bagi suatu negara dalam rangka mendapatkan
devisa. Penurunan laju pertumbuhan ekspor menyebabkan transaksi berjalan semakin
memburuk. Sebaliknya, laju pertumbuhan ekspor yang tinggi akan menghasilkan hard
currency yang dapat memperkuat cadangan devisa, namun mengakibatkan apresiasi
domestic currency, menambah uang beredar melalui NFA, dan mendorong inflasi. Dalam
kaitannya dengan krisis, pertumbuhan ekspor yang tinggi dapat mencegah terjadinya
krisis (batas atas tidak digunakan sebagai ambang batas).
5 Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Working
Paper No. WP/97/79, 1997.
6 Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ? , IMF Working Paper No. WP/97/159, IMF.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
3.
15
Harga Saham
Perkembangan harga saham dapat menunjukkan kondisi perekonomian suatu
negara. Kecenderungan kenaikan harga saham dalam jangka panjang menunjukkan
perekonomian sedang tumbuh dengan pesat, sebaliknya jatuhnya harga saham
mengindikasikan perekonomian sedang mengalami kelesuan. Walaupun kenaikan harga
saham bersifat positip bagi perekonomian, namun pertumbuhan yang terlalu tajam
perlu diwaspadai, karena ada kemungkinan terjadi overheating. Dalam jangka pendek
harga saham dapat berfluktuasi, karena pasar saham bersifat substitute bagi sistem
perbankan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas.
4.
M2/Reserve
Rasio M2/reserve menunjukkan kemampuan cadangan devisa dalam menghadapi
serangan terhadap mata uang domestik. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin lemah
kemampuan cadangan devisa. Jadi, batas bawah tidak digunakan sebagai ambang batas.
5.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan perekonomian sedang tumbuh
dengan pesat, namun pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan
terjadi overheating. Pertumbuhan ekonomi yang rendah ataupun negatif menunjukkan
perekonomian mengalami kelesuan. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan sebagai
ambang batas.
6.
Pertumbuhan reserve
Cadangan devisa sangat vital bagi kelangsungan hidup negara, terutama untuk
keperluan impor, pembayaran utang, ataupun menghadapi serangan para spekulan.
Tanpa ditopang oleh cadangan devisa yang kuat, perekonomian suatu negara dapat
runtuh dalam seketika. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan cadangan devisa yang tinggi,
dalam kaitannya dengan krisis bersifat positip, sehingga batas atas tidak digunakan
sebagai ambang batas.
7.
Multiplier M2
Multiplier M2 merupakan rasio antara uang beredar dalam arti luas (M2) dengan
uang primer yang ada di bank sentral. Angka multiplier M2 yang besar menunjukkan
bahwa kegiatan perekonomian berjalan dengan cepat karena uang primer yang keluar
dari bank sentral dengan cepat mengalami penggandaan (multiplier) oleh BPUG.
Sebaliknya, angka multiplier M2 yang kecil menunjukkan kegiatan perbankan sedang
mengalami kelesuan. Angka multiplier M2 yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
ada kemungkinan sistem perbankan over ekspansif yang dapat menyebabkan kejatuhan
bank-bank dan mendorong timbulnya krisis. Jadi, batas atas dan batas bawah digunakan
sebagai ambang batas.
8.
Kredit/GDP
Rasio kredit domestik terhadap GDP menunjukkan seberapa besar aktivitas
perkreditan. Volume kredit yang tinggi menunjukan kegiatan investasi berkembang
dengan baik, dan hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sedang tumbuh
pesat. Namun demikian, pertumbuhan kredit yang terlalu tinggi perlu diwaspadai karena
dapat menimbulkan kebangkrutan bank-bank (banking failure). Sebaliknya, aktivitas
perkreditan yang rendah mengindikasikan perekonomian sedang melemah. Jadi, batas
atas dan batas bawah digunakan sebagai ambang batas.
9.
Real Interest Rate
Suku bunga riil sebaiknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Suku bunga
riil yang terlalu tinggi menghambat kegiatan investasi dan mendorong capital inflows,
sedang suku bunga riil yang terlalu rendah tidak mendorong masyarakat untuk
menabung di bank.
Indikator dikatakan mengeluarkan signal apabila nilainya melebihi ambang batas
yang telah ditetapkan. Semakin banyak signal yang dikeluarkan berarti semakin besar
kemungkinan terjadi krisis. Penetapan ambang batas didasarkan atas nilai rata-rata dan
standar deviasi dari setiap indikator selama masa tenang (tranquil time).
Hasil Pengujian
Data yang digunakan adalah data triwulanan antara tahun 1990 - 1997, yang terbagi
menjadi ‘masa tenang’ (meliputi periode 1990 - 1994) dan ‘menjelang krisis’ (periode 1995 1996). Dengan menggunakan tiga standar deviasi, yang berarti tingkat kepercayaan signal
tersebut mencapai 99 %, ternyata diantara 8 negara tersebut, Singapore dan Philippines
mengeluarkan signal yang paling banyak pada saat menjelang krisis (1995-96), yaitu
sebanyak 23 kali, yang diikuti oleh Malaysia (12), Hongkong(12), dan Taiwan(12). Sedangkan
pada saat kondisi normal, paling banyak ada 1 atau 2 signal.
Hasil ini mengindikasikan bahwa menjelang krisis, fundamental ekonomi sebagian
besar negara-negara tersebut semakin memburuk. Namun demikian, kondisi fundamental
ekonomi yang memburuk tersebut berlaku tidak saja terhadap negara yang mengalami krisis,
namun juga terjadi pada negara yang tidak mengalami krisis.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
17
Dilihat dari indikator yang mengeluarkan signal, menjelang krisis ( 2 tahun sebelum
krisis terjadi), sebagian besar negara ASEAN-4 dan NIEs mengalami peningkatan
pertumbuhan kredit dan multiplier M2 secara tajam (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan
bahwa terjadi gajala overheating pada negara-negara tersebut. Indikasi ini diperkuat oleh
harga saham yang juga melonjak tinggi, terutama di beberapa negara, seperti Philippines,
Singapore, dan Hongkong.
Tabel 7
JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN
µ ± 2.σ
NEG ARA
µ ± 3.σ
M AS A
M ENJELANG
M AS A
M ENJELANG
TENANG
KRIS IS
TENANG
KRIS IS
NEG ARA DALAM KRIS IS
TH A ILA N D
IN D O N E S IA
M A LA Y S IA
P H ILIP P IN E S
K O RE A
3,6
2
3,6
7,2
5,4
22
10
21
30
13
0,8
0
0,4
1,6
0,8
9
0
12
23
3
NEG ARA TIDAK KRIS IS
S IN G A P O R E
HO NGK ONG
TA IW A N
JE P A N G
5,2
4
3,2
2
29
19
17
2,4
2,4
1,6
0,4
0
23
12
12
0
Untuk Indonesia, apabila menggunakan batas kontrol sebesar 3 kali standar deviasi
(yang berarti tingkat kepercayaannya mencapai 99 %) maka baik selama masa tenang
maupun menjelang krisis tidak ada signal yang keluar. Namun dengan menggunakan 2
standar deviasi (tingkat kepercayaan 95 %) ternyata ada 10 signal yang dikeluarkan menjelang
krisis. Signal tersebut berasal dari lonjakan pemberian kredit, M2, dan REER. Hal ini
mengindikasikan bahwa selama menjelang krisis Indonesia mengalami ekspansi ekonomi
yang terlalu tinggi. Dibandingkan dengan selama masa tenang, jumlah signal yang
dikeluarkan menjelang krisis mencapai 5 kali lebih banyak.
Secara umum dapat dikatakan bahwa metode sistem deteksi dini yang dikembangkan
oleh Kaminsky kurang berhasil mendeteksi krisis di kawasan Asia. Jumlah signal yang
dikeluarkan oleh Singapore, Hongkong dan Taiwan ternyata lebih banyak dari Indonesia
dan Korea, yang berarti menurut sistem tersebut fundamental Indonesia dan Korea lebih
baik dari pada fundamental Singapore, Hongkong dan Taiwan.
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 8
JUMLAH SIGNAL YANG MUNCUL SELAMA 2 TAHUN
UNTUK INDONESIA
µ ±σ
INDIKATOR
µ ± 2.σ
µ ± 3.σ
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
REER
D EKSPOR
IHSG
M2/RESERVE
D OUTPUT
D RESERVE
2
1,6
2,8
3,2
3,2
1,2
4
2
4
8
1
1
0,4
0
0
0,4
0,4
0,4
1
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
M2 MULTIPLIER
CREDIT/GDP
REAL INT. RATE
3,2
1,6
2
3
8
0
0
0,4
0
2
5
0
0
0
0
0
0
0
20,8
31
2
10
0
0
TOTAL
Tabel 9
JUMLAH SIGNAL YANG DIKELUARKAN
OLEH TIAP-TIAP INDIKATOR SELAMA 2 TAHUN *)
THAILAND
INDIKATOR
INDONESIA
MALAYSIA
PHILIPPINES
KOREA
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
MASA
MENJELANG
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
TENANG
KRISIS
REER
∆ EKSPOR
IHSG
M2/RESERVE
∆ OUTPUT
∆ RESERVE
0
0
0,4
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0,4
0
0
0
4
0
3
0
0
0
0
0
0,8
0
0
0
0
0
1
0
0
0
M2 MULTIPLIER
CREDIT/GDP
REAL INT. RATE
0
0,4
0
0
7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,4
5
6
0
1,2
0
0
8
8
0
0
0
0
1
0
1
TOTAL
0,8
9
0
0
0,4
12
1,6
23
0,8
3
Kegagalan tersebut kemungkinan disebabkan oleh pemilihan leading indikator yang
kurang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi kawasan Asia.7 Disamping itu,
penggunaan sistem deteksi dini dalam meramalkan terjadinya krisis sangat diragukan
keampuhannya, karena hasil dari sistem deteksi dini tersebut akan mempengaruhi perilaku
7 Kaminsky mendapatkan indikator-indikator tersebut dari analisisnya terhadap 25 negara yang pernah mengalami
krisis selama 1970 - 1995. Meliputi 5 negara maju dan 15 negara berkembang. Selama periode tersebut terjadi 76
krisis mata uang dan 26 krisis perbankan.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
19
policy maker dan pelaku pasar, sehingga mengakibatkan indikator-indikator tersebut akan
kehilangan daya prediksinya.
Faktor Efek Penularan (Contagion Effect)
Fenomena efek penularan saat ini merupakan suatu topik yang sedang hangat dibahas
para ahli. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa efek
penularan dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu karena ada hubungan dagang (trade links) dan
kesamaan kondisi dan kebijakan makroekonomi.
Gerlach dan Smets8 mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan mekanisme
efek penularan melalui hubungan perdagangan. Didalam modelnya, serangan terhadap
suatu mata uang menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat
meningkatkan daya saing produknya. Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor
bagi negara-negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya
mengalami defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, dan
pada akhirnya menghasilkan suatu serangan terhadap mata uangnya.
Disamping memberikan efek penularan pada negara pesaingnya, krisis mata uang
juga dapat memberikan efek penularan pada negara mitra dagangnya. Krisis yang melanda
suatu negara mengakibatkan depresiasi, sehingga harga barang ekspornya menjadi turun.
Bagi negara mitra dagangnya, hal ini berarti penurunan harga barang impor yang dapat
mendorong penurunan tingkat inflasi dan permintaan uang beredar. Untuk melindungi
mata uangnya, pelaku ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang
mengakibatkan terkurasnya cadangan devisa yang dikuasai bank sentral. Dalam kondisi
cadangan devisa yang menurun, krisis mata uang dapat timbul karena cadangan devisa
tidak cukup kuat menyerap serangan spekulasi para pelaku pasar uang.
Kesamaan kondisi makroekonomi juga dapat memunculkan efek penularan apabila
salah satu negara mengalami krisis. Krisis yang diakibatkan oleh kesamaan makroekonomi
ini pada umumnya dipicu oleh para pelaku pasar uang. Shiller9 pada tahun 1995
mengembangkan model untuk menjelaskan salah satu mekanisme efek penularan melalui
kesamaan kondisi makroekonomi. Menurutnya, para pelaku pasar uang sebenarnya banyak
menerima informasi yang sama (melalui alat komunikasi yang sama, seperti Reuter), sehingga
suatu reaksi atas sepotong informasi yang baru dapat menyebar ke seluruh dunia dalam
waktu yang singkat dan menyampaikan pesan pada pelaku pasar internasional untuk
melakukan reaksi yang sama. Kemungkinan ini dapat terjadi apabila respons yang ditempuh
sebagian pelaku pasar mampu mengatasi keyakinan pasar dan merubah ekspektasi pasar.
8 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 11.
9 Lihat Eichengreen, Rose, dan Wyplosz (1996) halaman 14.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
20
Jadi, serangan terhadap suatu mata uang dapat merangsang pelaku pasar internasional untuk
melakukan langkah yang sama. Demikian pula sebaliknya, reaksi yang diambil pelaku pasar
internasional dapat mendorong pelaku pasar lokal untuk melakukan langkah yang sama.
Berkaitan dengan krisis yang saat ini sedang melanda Asia, walaupun fundamental
ekonomi memegang peranan yang penting, sebagaimana tampak dari perbedaan
fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan yang tidak terkena krisis, namun
efek penularan diduga ikut berperan sebagai pemicu terjadinya krisis. Hal ini dapat dilihat
dari tenggang waktu terjadinya serangan yang beruntun dalam waktu yang relatif sangat
singkat, berturut-turut dari Thailand, Philippines, Malaysia, Indonesia, dan terakhir Korea.
Sementara itu, serangan dari para pelaku pasar ini juga melanda negara-negara NIEs lainnya,
namun serangan ini relatif dapat diredam dengan baik.
Bentuk Model Probit
Untuk membuktikan dugaan bahwa efek penularan ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya krisis, dalam paper ini digunakan model probit. Model probit banyak
dipakai untuk data kualitatif yang mencerminkan suatu pilihan alternatif. Dalam model ini,
model probit mencerminkan ada 2 alternatif bagi pelaku pasar uang, yaitu apakah akan
melakukan serangan atau tidak, dengan mempertimbangkan data fundamental ekonomi
dan data serangan pada mata uang lain. Untuk mentransformasikan alternatif pilihan dari
bentuk kualitatif ke kuantitatif, model probit menggunakan fungsi distribusi normal
kumulatif, sehingga nilainya berkisar dari 0 ke 1. Dengan kata lain, model probit tersebut
menyatakan besarnya kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan.
Bentuk umum model dapat dinotasikan :
Yi,t = a0 + aiX i,t + bi Zi,t + e
Yi,t
Xi,t
dimana
=
1 apabila terjadi serangan pelaku pasar pada negara i pada periode t.
=
0 apabila tidak.
=
Variabel yang mewakili Faktor Penularan, dengan nilai
X i,t
=
1 apabila ada negara lain yang mendapat serangan pelaku pasar
pada periode t ( Yj,t =1,j≠ i)
X i,t
=
0 apabila tidak.
Z i,t
=
Kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t.
ai
=
Koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi efek penularan terhadap
kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i.
bi
=
koefisien yang menggambarkan besarnya kontribusi faktor fundamental terhadap
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
21
kemungkinan pelaku pasar melakukan serangan pada negara i.
ε
=
variabel random dengan mean = 0.
a0
=
konstanta
Variabel Zi,t diperoleh dengan menggunakan rumus berikut :
Zi,t = S AKn,t .Bn
n
A
dimana :
Z i,t
=
kondisi fundamental ekonomi negara i pada periode t
n
=
jumlah indikator
A Kn,t =
Angka Kredit dari indikator n pada periode t pada negara i.
Bn
bobot dari indikator n.
=
Untuk mengidentifikasi terjadinya serangan spekulasi dari pelaku pasar, dalam
paper ini digunakan 3 indikator, yaitu perubahan nilai tukar nominal, perubahan suku
bunga, dan perubahan cadangan devisa. Perubahan dari ketiga indikator tersebut diindek. Untuk menghindari salah satu indikator mendominasi indek, maka perubahan
tiap-tiap indikator dibobot dengan menggunakan variance dari indikator lainnya. Untuk
mengidentifikasi serangan digunakan pembatas 2 standar deviasi.
Kuantifikasi Kondisi Fundamental Ekonomi
Untuk mewakili/menggambarkan kondisi fundamental ekonomi, digunakan 10
indikator (variabel ekonomi) yang dianggap paling relevan bagi pelaku pasar dalam
memutuskan untuk melakukan serangan atau tidak. Variabel-variabel ekonomi tersebut
diperoleh dari hasil analisis data dan penelitian mengenai sistem deteksi dini krisis
mata uang.
Sesuai dengan hasil penelitian kaminsky dkk, ternyata setiap variabel ekonomi
(indikator) mempunyai performance yang tidak sama dalam mendeteksi signal
kemungkinan terjadi krisis dikemudian hari. Oleh karena itu, dalam paper ini setiap
variabel diberikan bobot tersendiri. Semakin besar bobotnya berarti semakin besar
pengaruhnya dalam menimbulkan krisis. Bobot setiap variabel diperoleh dari Vector
Auto Regression (VAR) dengan mengukur varian dekomposisi nilai tukar terhadap varian
setiap variabel tersebut dalam jangka panjang.
Variabel ekonomi yang digunakan dalam model ini berikut satuan yang dipakai
dan bobotnya adalah sebagai berikut :
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
No
INDIKATOR
SATUAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Transaksi berjalan
Portfolio + other Investment
Cadangan Devisa
Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman Jangka pendek
Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan M2
Kinerja Ekspor
Pertumbuhan IHSG
REER
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
PDB
Cad. Devisa
PDB
PDB
Cad Devisa
PDB
BOBOT
7.6
3.5
8.6
5.4
9.5
11.7
2.6
4.5
5.2
34.7
Setiap indikator dibagi menjadi 4 tingkatan berdasarkan kriteria tertentu. Untuk setiap
tingkatan diberikan angka kredit. Semakin besar angka kredit berarti semakin baik kondisi
indikator tersebut. Besarnya angka kredit dan kriteria yang digunakan untuk membagi
indikator adalah sebagai berikut.
TINGKATAN
1
2
3
4
PREDIKAT
ANGKA KREDIT
kuat
sedang
beresiko
lemah
NO
INDIKATOR
kuat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Transaksi berjalan
Portfolio + other Inv.
Cadangan Devisa
Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman Jangka pendek
Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan M2
Kinerja Ekspor
Pertumbuhan IHSG
Pertumbuhan REER
surplus
negatif
> 8 bulan
tidak ada
tidak ada
< 20 %
< 20 %
> 70 %
0-5%
negatif
4
3
2
1
PREDIKAT
sedang
beresiko
0-1%
<5%
6 - 8 bulan
< 80 %
0 - 50 %
20 - 40 %
20 - 40 %
70 - 50 %
5 - 10 %
0£ x < 5 %
1 %< x £ 2%
5 - 10%
3 £x <6 bln
80 - 160 %
50 - 75 %
40< x£60 %
40< x£60 %
50 <x£30 %
11 - 20 %
5 - 10 %
lemah
>2%
> 10 %
< 3 bulan
> 160 %
> 75 %
> 60 %
> 60 %
< 30 %
> 20 %
> 10 %
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
23
H asil Pengujian
Dengan menggunakan data triwulanan selama 1995:1 - 1997:3, kondisi fundamental
ekonomi negara-negara ASEAN-4 dan NIEs dapat diwakili oleh angka kuantitatif tunggal
sebagai berikut:
Tabel 10
HASIL PERHITUNGAN KEKUATAN FUNDAMENTAL EKONOMI
ASEAN-4 DAN NIEs
Periode
Malaysia
Indonesia
Philippines
Thailand
96,1
238,6
220,7
174,3
198,6
Korea Singapore Taiwan Hongkong JEPANG
247,3
321,3
353,8
309,0
360,0
96,2
246,1
207,7
209,0
282,3
282,0
310,8
334,7
319,4
360,0
96,3
275,8
219,4
234,6
247,6
282,9
356,0
353,8
348,9
368,7
96,4
275,0
216,6
256,7
282,3
247,3
321,3
313,9
343,7
368,7
97,1
209,5
231,1
164,3
212,9
271,2
321,3
305,2
284,7
368,7
97,2
270,3
279,9
167,8
294,4
268,9
352,5
343,4
303,8
288,9
97,3
270,3
265,8
174,2
294,8
258,4
345,5
353,8
319,4
368,7
97,4
272,4
301,7
157,0
283,1
280,8
321,3
353,8
319,4
334,0
RATA-RATA
257,3
242,9
192,2
262,0
267,4
331,3
339,1
318,5
352,2
Data diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia merupakan
yang terburuk setelah Philippines. Sementara Korea ternyata menunjukkan fundamental
yang terbaik diantara negera-negara yang terkena krisis. Diantara negara-negara yang tidak
terkena krisis, Jepang memiliki fundamental ekonomi yang terkuat.
Dengan menggunakan maximum likelihood, model probit diatas menghasilkan output
sebagai berikut :
KRISIS = -0,01 FUNDA + 2,65 CONTA
(-3,7)
(3,13)
Log likelihood = - 12,65
Hasil diatas menunjukkan bahwa kondisi fundamental ekonomi dan faktor contagion
secara signifikan memberikan kontribusi terhadap serangan para spekulan. Koefisien
fundamental yang negatif menyatakan bahwa semakin kuat kondisi fundamental ekonomi
suatu negara, semakin kecil kemungkinan spekulan melakukan serangan. Koefisien faktor
contagion yang positip menyatakan bahwa adanya krisis di suatu negara mendorong
spekulan melakukan serangan pada negara lain. Kesimpulan ini sesuai dengan data pada
Tabel 10. Sejak awal 1996 sebenarnya kondisi fundamental negara-negara yang terkena
24
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
krisis tidak lebih baik dari periode 1997:3. Tapi pada saat itu tidak terjadi serangan apapun.
Serangan para spekulan ke negara-negara yang terkena krisis justru terjadi pada periode
1997:3 setelah kejatuhan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa adanya krisis di suatu
negara (faktor contagion) menjadi trigger (faktor pemicu) bagi serangan para pelaku pasar uang.
Analisa Sensitifitas
Untuk memperkuat hasil perhitungan diatas, perlu dilakukan uji sensitifitas dengan
mengubah kriteria penggolongan indikator fundamental ekonomi serta mengubah angka
kredit untuk masing-masing klasifikasi sebagai berikut :
INDIKATOR
KRITERIA
UJI I (longgar)
UJI II (ketat)
Transaksi berjalan
surplus, 1 %, 2%
surplus, 2 %, 4%
surplus, 1/2 %, 1%
Portfolio + other Inv.
Negatif, 5% , 10%
Negatif, 10% , 20%
Negatif, 2,5% , 5%
Cadangan Devisa
8, 6, 3 bulan
6, 4, 2 bulan
10, 8, 4 bulan
Pinj. Luar Negeri
tidak ada, 80 %, 160%
tidak ada,120 %, 200%
tidak ada, 40 %, 80%
Pinjaman Jk pendek
tidak ada, 50%, 75%
tidak ada, 75%, 100%
tidak ada, 25%, 50%
Pertumbuhan Kredit
20%, 40%, 60%
40%, 60%, 80%
10%, 15%, 20%
Pertumbuhan M2
20%, 40%, 60%
40%, 60%, 80%
10%, 15%, 20%
Kinerja Ekspor
70%, 50%, 30%
60%, 40%, 20%
90%, 70%, 50%
Pertumbuhan IHSG
5%, 10%, 20%
7%, 15%, 25%
3%, 5%, 10%
Pertumbuhan REER
negatif, 5%, 10%
negatif, 7%, 15%
negatif, 3%, 5%
PREDIKAT
KUAT
SEDANG
BERESIKO
LEMAH
ANGKA KREDIT
4
3
2
1
UJI III
UJI IV
5
3
1
0
8
6
4
2
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
25
Dari hasil perhitungan dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
HASIL AWAL
UJII
UJIII
UJIIII
UJI IV
FAKTOR
FUNDAMENTAL
FAKTOR
CONTAGION
KOEF
t-stat
KOEF
t-stat
-0.0101
-0.0098
-0.0115
-0.0083
-0.0050
-3.705
-3.345
-4.167
-4.459
-3.705
2.650
2.706
2.679
2.364
2.650
3.133
2.868
3.473
3.551
3.133
LOG
LIKELIHOOD
-12.658
-12.427
-13.448
-14.993
-12.658
Hasil diatas menunjukkan bahwa faktor fundamental dan faktor contagion secara
signifikan mempengaruhi keputusan pelaku pasar untuk melakukan serangan atau tidak.
Dengan mengubah kriteria penggolongan ‘tingkat kesehatan’ faktor fundamental ekonomi
menghasilkan faktor contagion yang robust . Demikian pula, dengan mengubah angka kredit
untuk masing-masing predikat ternyata juga menghasilkan faktor contagion yang robust.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan
•
Dari analisis data terlihat bahwa negara-negara yang mengalami krisis, yakni Thailand,
Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Korea mengalami defisit transaksi berjalan secara
persistence. Untuk membiayai defisit ini, mereka lebih mengandalkan pada dana jangka
pendek terutama dalam bentuk portfolio dan utang luar negeri. Dari aspek perdagangan,
defisit tersebut masih akan berlangsung di tahun-tahun mendatang, karena sebagian
ekspornya masih mengandalkan produk manufaktur ringan, sebaliknya impor barangbarang konsumsi menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
•
Kondisi diatas, semakin diperburuk oleh sistem perbankan yang tidak sehat. Adanya campur
tangan pemerintah dalam pemberian kredit, pemberian kredit pada kelompok, pertumbuhan
kredit dan M2 yang terlalu tinggi, serta pertumbuhan foreign liabilities yang sangat tinggi.
•
Adanya perbedaan fundamental ekonomi antara negara yang terkena krisis dengan
yang tidak terkena krisis ternyata gagal dideteksi dengan baik oleh Sistem deteksi Dini
yang dikembangkan oleh Kaminsky. Menurut hasil pengujian dengan metoda tersebut
mengatakan kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari Singapore,
Hongkong, dan Taiwan.
26
•
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Disamping kondisi fundamental ekonomi, efek penularan ternyata memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap krisis mata uang. Dari pengujian model probit ternyata efek
penularan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan kondisi ekonomi.
Implikasi Kebijakan
•
Dalam jangka pendek, Indonesia masih akan mengalami defisit transaksi berjalan akibat
lemahnya daya saing produk, beban pembayaran utang yang terus membengkak, dan
kebutuhan impor yang tinggi. Untuk memperbaiki defisit tersebut, perlu segera dilakukan
reformasi ekonomi melalui langkah-langkah sebagai berikut:
◊ Merubah pola pikir dan menumbuhkan komitmen dari semua pihak untuk bertekad
meningkatkan ekspor.
◊ Memperbaiki iklim investasi dengan memberikan insentif kepada PMA yang
menguasai teknologi tinggi dan mampu menghasilkan produk-produk ekspor yang
berdaya saing tinggi.
◊ Menghilangkan semua distorsi pasar dalam negeri untuk menghilangkan ekonomi
biaya tinggi dan meningkatkan daya saing.
•
Mengingat defisit masih akan terus berlangsung, berarti Indonesia masih membutuhkan
capital inflows. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan-kebijakan baru dengan
memberikan insentif kepada dana-dana jangka panjang. Disamping itu, pasar keuangan
dalam negeri perlu ditingkatkan kesehatannya melalui perbaikan struktur, kelembagaan,
aspek hukum dan peraturan, serta infrastruktur.
•
Krisis yang saat ini terjadi di Indonesia sebagian juga disebabkan oleh sistem perbankan
yang tidak sehat. Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah baru untuk
memperkuat sistem perbankan sesuai dengan standar internasional.
•
Negara-negara di kawasan Asia perlu melakukan kerja sama yang lebih erat, terutama
dalam melakukan regional surveillance. Dengan kerja sama ini diharapkan krisis dapat
dicegah sejauh mungkin, sehingga menghindari terjadinya contagion effect yang dengan
cepat dapat menyebar di seluruh kawasan.
Daftar Pustaka
Goldfajn, Ilan; valdes, Rodrigo, Capital Flows and the Twin Crises : The Role of Liquidity,
IMF Working Paper No. WP/97/87, July 1997.
Eichengreen,B.,Rose,A., and C. Wyplosz, Speculative Attacks on Pegged Exchange Rates:
An Empirical Investigation, NBER Working Paper No. 4898, 1994.
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect dan Krisis Asia
27
Kaminsky, G.L., and C.M. Reinhart, The Twin Crises : The Causes of Banking and Balance
of Payments Problems, International Finance Discussion paper, 1996
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of
Currency Crises, IMF Working Paper No. WP/97/79, 1997.
Goldfajn, Ilan, Valdes, Rodrigo O., Are Currency Crises Predictable ?, IMF Working
Paper No. WP/97/159, IMF.
MAS, Current Account Deficits in the ASEAN-3. Is there cause for concern ?, Occasional
Paper No. 1, January 1997.
The Banker, Asian Meltdown.
Sumber Data
IMF, International Financial Statistics, Yearbook dan Monthly.
Morgan, J.P., Emerging Markets : Economic Indicators, berbagai edisi.
Bank Indonesia, Laporan Tahunan dan Triwulanan, berbagai edisi.
Bloomberg.
HKMA, Annual report 1996.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
37
MANAJEMEN MONETER DALAM MASA KRISIS
Doddy Zulverdi *)
Krisis nilai tukar yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah berkembang menjadi
krisis ekonomi akibat kerapuhan di sisi ekonomi mikro dan ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro.
Permasalahan yang dihadapi dalam pemilihan strategi kebijakan ekonomi makro adalah adanya konflik (tradeoff) antarkebijakan akibat sifat krisis yang multidimensional.
Kebijakan moneter sebagai salah satu elemen kebijakan ekonomi juga tidak terlepas dari kesulitan
yang sama, yaitu dalam mengakomodasi berbagai sasaran kebijakan secara serentak. Kesulitan tersebut telah
berlangsung sejak periode sebelum krisis dan berdampak negatif terhadap kondisi fundamental ekonomi makro
yang berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidaklah sekuat yang diyakini semula.
Kesulitan yang dihadapi oleh otoritas baik dalam memilih maupun mengimplementasikan strategi
kebijakan moneter juga dialami oleh berbagai negara yang pernah mengalami krisis serupa. Tidak ada satu
strategi pun yang cocok diterapkan di semua situasi dan di semua negara. Pemilihan strategi yang tepat
ditentukan oleh jenis tekanan eksternal yang dihadapi, karakteristik struktur ekonomi, dan prioritas sasaran
akhir yang dipilih. Berdasarkan kriteria tersebut dan mengingat masih rapuhnya sistem perbankan sebagai
suatu jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia
terhadap tekanan-tekanan eksternal, maka penerapan strategi jangkar inflasi di dalam suatu sistem nilai tukar
yang agak fleksibel kiranya layak untuk dipertimbangkan secara mendalam.
Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan latar belakang pentingnya
memilih strategi kebijakan moneter (termasuk kebijakan nilai tukar) yang tepat untuk membawa Indonesia
keluar dari krisis ekonomi. Dalam bagian kedua diulas beberapa alternatif strategi kebijakan ekonomi-moneter
dari sisi teori. Selanjutnya, bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memicu dan memperdalam krisis di
Indonesia dan kebijakan yang telah diambil termasuk konflik yang dihadapi dalam penerapan strategi kebijakan
moneter. Di bagian keempat, dengan mengacu kepada konsep teori dan pengalaman negara-negara lain serta
pengalaman Indonesia sendiri, diajukan beberapa alternatif strategi kebijakan moneter yang dapat diterapkan
di Indonesia. Bagian kelima mengemukakan beberapa kesimpulan umum berikut rekomendasi kebijakan yang
ditawarkan.
*) Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI
Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Erwin Haryono dan Wahyu Agung Nugroho, keduanya adalah
Asisten Peneliti Ekonomi di Bagian APK, UREM-BI, atas bantuan riset yang diberikan dalam penyusunan tulisan ini.
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
B
erbagai analisis menyimpulkan bahwa penyebab utama parahnya krisis di Asia
adalah kerapuhan di sisi ekonomi mikro seperti sistem perbankan yang tidak sehat,
ketergantungan sektor usaha pada hutang baik dari dalam maupun luar negeri (highly
leveraged), dan sistem pasar yang dikuasai oleh segelintir monopolis yang menjadi kuat
akibat praktek kolusi.1 Tidak sedikit yang menilai bahwa kondisi kerapuhan di sisi mikro
tersebut kemudian diperburuk oleh ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro
(policy mix) yang diambil pada awal dan selama krisis.2
Sebagai salah satu instrumen kebijakan ekonomi makro, kebijakan moneter memiliki
peran yang sangat penting dalam penyelesaian krisis ekonomi yang sedang terjadi di
Indonesia. Apalagi mengingat bahwa krisis ini telah berkembang menjadi fenomena yang
dikenal sebagai financial distress, yaitu proses demonetisasi berupa penurunan permintaan
akan likuiditas perekonomian (M2) sebagai akibat meningkatnya permintaan akan uang
kartal. Apabila dibiarkan terus berlanjut, proses ini akan menimbulkan dampak negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemicu terjadinya fenomena flight to
currency yang begitu tiba-tiba adalah ketidakpastian nilai tukar rupiah (McNelis, 1988).
Oleh karena itu, upaya pemulihan ekonomi sangat tergantung kepada ketepatan strategi
kebijakan moneter yang diambil, khususnya dalam rangka mengembalikan kepastian nilai
tukar.
Tulisan ini bertujuan untuk menginventarisasi kemungkinan penyebab semakin
parahnya krisis nilai tukar di Indonesia dilihat dari sisi kemungkinan ketidaktepatan
kombinasi kebijakan moneter yang telah diambil selama ini. Dari hasil peninjauan ke
belakang tersebut dan didukung oleh pengalaman negara-negara yang pernah atau sedang
mengalami krisis yang mirip, diharapkan akan diperoleh gambaran arah kebijakan moneter
dan nilai tukar yang tepat dalam mendukung proses pemulihan kegiatan ekonomi di masa
datang. Dapat ditambahkan bahwa tulisan ini hanya membahas berbagai alternatif strategi
kebijakan moneter di dalam suatu perekonomian yang terbuka (tidak ada pembatasan
transaksi devisa).
Alternatif Strategi Kebijakan di Masa Krisis: Tinjauan Teoritis
Kebijakan moneter adalah salah satu elemen penting dari paket kebijakan ekonomi
yang digunakan dalam mengatasi krisis ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan moneter
itu sendiri sangat tergantung kepada ketepatan dan keharmonisan pembagian tugas di
1 Lihat misalnya World Bank (1998) dan IMF (1998).
2 Lihat misalnya Radelet dan Sachs (1998).
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
39
antara berbagai kebijakan yang tersedia. Oleh karena itu, bagian ini akan diawali dengan
tinjauan singkat mengenai berbagai pilihan kebijakan yang terdapat di dalam paket tersebut.
Selanjutnya, secara khusus akan dibahas peranan kebijakan moneter di dalam penyelesaian
krisis disertai dengan alternatif strategi kebijakan moneter yang tersedia.
Pilihan Kebijakan dalam Menghadapi Tekanan Eksternal
Ada tiga jenjang pilihan kebijakan yang harus diputuskan oleh pemerintah dalam
menghadapi tekanan-tekanan eksternal (Krugman, 1995), yaitu:
• Apakah tekanan-tekanan eksternal tersebut harus dihadapi melalui kebijakan financing
(yaitu dengan meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi penurunan penerimaan
ekspor dan kenaikan biaya impor/biaya bunga) atau melalui kebijakan adjustment (yaitu
dengan melakukan berbagai penyesuaian dalam rangka mendorong ekspor dan
mengurangi impor).
• Seandainya pilihan jatuh kepada kebijakan adjustment, seberapa besar bobot penyesuaian
perlu dibebankan masing-masing kepada strategi pengurangan pengeluaran (expenditure
reducing policy) dan strategi pengalihan pengeluaran (expenditure switching policy)
.
• Akhirnya, alternatif mana yang akan dipilih di antara dua pilihan strategi kebijakan
pengalihan pengeluaran, yaitu antara kebijakan devaluasi dan kebijakan perdagangan.
Kebijakan financing akan diambil apabila tekanan-tekanan yang terjadi diyakini hanya
bersifat temporer dan dapat diatasi dengan menggunakan dana luar negeri dalam jumlah
yang minimal. Sebaliknya, apabila tekanan-tekanan tersebut lebih bersifat jangka panjang
maka harus dilakukan kebijakan adjustment. Namun, terdapat beberapa kondisi yang
seringkali mendorong otoritas untuk menerapkan kedua kebijakan secara bersama-sama,
yaitu:
• Tekanan-tekanan sosial politik seringkali menghalangi otoritas dalam melakukan
penyesuaian-penyesuaian secara maksimal sehingga mau tidak mau harus dibantu
dengan kebijakan financing. Hal ini karena kebijakan penyesuaian mengandung berbagai
pilihan yang tidak menyenangkan seperti kenaikan pajak/penurunan subsidi,
pengurangan konsumsi, dan sebagainya.
• Sulitnya membedakan antara tekanan-tekanan yang bersifat temporer dan permanen
menyebabkan otoritas seringkali memutuskan untuk menerapkan kedua kebijakan secara
bersamaan untuk menghindari resiko salah pilih.
• Dampak dari kebijakan penyesuaian biasanya baru dirasakan secara efektif setelah
periode yang relatif panjang. Oleh karena itu, penggunaan sumber dana luar negeri
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
seringkali diperlukan untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek dari krisis yang
terjadi sambil menunggu hasil dari kebijakan penyesuaian.
• Negara yang mengalami krisis seringkali mengalami kesulitan untuk memperoleh dana
luar negeri, terutama dari pihak swasta, dalam jumlah yang memadai karena adanya
krisis kepercayaan. Oleh karena itu, otoritas tidak dapat semata-mata menggantungkan
diri kepada kebijakan financing.
Kebijakan pengurangan pengeluaran bertujuan untuk mengurangi pengeluaran oleh
penduduk suatu negara sehingga mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran, nilai
tukar, dan laju inflasi. Terdapat tiga cara yang dapat diambil otoritas untuk mengurangi
pengeluaran nasional, yaitu:
• Mengurangi pengeluaran pemerintah.
• Mengurangi pengeluaran masyarakat melalui peningkatan pajak atau pemotongan
subsidi.
• Membatasi hutang sektor swasta melalui pembatasan pemberian kredit oleh sistem
perbankan (kebijakan ini berada di dalam ruang lingkup kebijakan moneter).
Sementara itu, kebijakan pengalihan pengeluaran bertujuan untuk memperbaiki
transaksi berjalan dengan cara mengalihkan pengeluaran masyarakat dari produk impor
ke produk dalam negeri dan mendorong peningkatan ekspor. Terdapat dua instrumen
utama yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengalihkan pengeluaran nasional,
yaitu: devaluasi dan kebijakan perdagangan (perubahan tarif, pemberlakuan kuota, dan
subsidi ekspor). Berbeda dengan kebijakan pengurangan pengeluaran, kebijakan pengalihan
pengeluaran tidak secara langsung memaksa masyarakat untuk menurunkan
pengeluarannya sehingga resiko kontraksi ekonomi dapat diminimalkan. Namun,
kelemahan utama kebijakan pengalihan pengeluaran adalah cenderung mendorong
kenaikan laju inflasi. Hal ini terjadi karena apabila perekonomian sudah berada pada tingkat
penggunaan kapasitas penuh maka kenaikan permintaan domestik dan permintaan ekspor
akan menimbulkan tekanan kenaikan harga-harga di dalam negeri. Kalau pun
perekonomian masih berada di bawah kapasitas penuh, tekanan inflasi masih tetap akan
timbul dalam bentuk imported inflation akibat depresiasi/devaluasi nilai tukar.
Mengingat berbagai kelebihan dan kelemahan yang terkandung di dalam masingmasing kebijakan, berbagai negara seringkali menerapkan kombinasi kebijakan
pengurangan dan pengalihan pengeluaran. Namun, karena begitu besarnya faktor
ketidakpastian di dalam suatu perekonomian yang sedang mengalami krisis dan sangat
tingginya tekanan imported inflation (akibat devaluasi/depresiasi), pemerintah seringkali
terpaksa menerapkan kebijakan pengurangan pengeluaran secara drastis. Akibatnya,
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
41
minimal dalam jangka pendek, negara-negara tersebut mengalami fenomena stagflasi, yaitu
tingginya laju inflasi yang diiringi oleh resesi ekonomi.
Selanjutnya, di antara dua instrumen kebijakan pengalihan pengeluaran, pilihan yang
diambil akan sangat tergantung kepada efisiensi birokrasi dan dukungan politik yang
diberikan masyarakat kepada pemerintah. Kebijakan devaluasi memiliki keunggulan
daripada kebijakan perdagangan karena tidak membutuhkan administrasi dan birokrasi
yang rumit. Sebaliknya, kebijakan devaluasi memiliki kelemahan karena menimbulkan
pergeseran distribusi pendapatan yang seringkali secara politik tidak menguntungkan bagi
keberhasilan kebijakan tersebut.
Alternatif Strategi Kebijakan Moneter
Dari serangkaian pilihan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam
mencoba mengatasi tekanan-tekanan eksternal, terlihat bahwa kebijakan moneter dan nilai
tukar memiliki peran penting dalam penerapan kebijakan penyesuaian (adjustment)
.
Kebijakan moneter adalah salah satu instrumen kebijakan pengurangan pengeluaran
sedangkan kebijakan nilai tukar adalah salah satu instrumen kebijakan pengalihan
pengeluaran. Untuk itu, berikut ini akan diulas berbagai pilihan strategi kebijakan maupun
kombinasi kebijakan yang dapat diambil oleh otoritas dalam menerapkan kebijakan moneter
dan nilai tukar.
William Poole (1970) mengidentifikasi tiga alternatif strategi kebijakan moneter, yaitu:
strategi jangkar uang beredar (money stock targeting), strategi jangkar suku bunga (interest
rate targeting), dan strategi kombinasi sistematis antara sasaran volume uang beredar dan
tingkat suku bunga. Ketiga strategi tersebut lebih relevan diterapkan di dalam suatu
perekonomian tertutup (derajat mobilitas modal rendah) atau di dalam suatu perekonomian
terbuka yang menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang karena hanya di dalam kedua
bentuk perekonomian tersebut otoritas moneter memiliki independensi penuh dalam
mengendalikan jumlah uang beredar dan/atau suku bunga domestik.
Dengan menggunakan kerangka model IS-LM, Poole menunjukkan bahwa di antara
dua pilihan ekstrim: jangkar uang beredar dan jangkar suku bunga, strategi yang tepat
tergantung kepada jenis tekanan ekonomi makro yang terjadi. Apabila suatu
perekonomian mengalami tekanan-tekanan riil (real shocks) sehingga kurva IS
mengalami pergeseran maka strategi jangkar uang beredar adalah pilihan yang lebih
tepat karena perubahan suku bunga (bagi perekonomian tertutup) atau perubahan nilai
tukar (bagi perekonomian terbuka) akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan
meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya,
apabila yang terjadi adalah tekanan-tekanan moneter (monetary shocks) yang menggeser
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
kurva LM maka yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga karena perubahan
uang beredar atau neraca pembayaran akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan
meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi.
Grafik 1 mengilustrasikan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan-tekanan
riil yang bersifat random sehingga kurva IS bergeser di antara IS1 dan IS2.3 Dengan asumsi
fungsi permintaan uang stabil, jika jumlah uang beredar dikendalikan pada level M*
(strategi jangkar uang beredar) maka kurva LM yang terjadi adalah LM1 dan tingkat
produksi/pendapatan akan berada di antara Y1 dan Y2. Namun, apabila suku bunga
dikendalikan pada tingkat r* (strategi jangkar suku bunga) maka kurva LM yang terjadi
adalah LM2 dan tingkat produksi/pendapatan dapat berada di antara Y0 dan Y3, suatu
rentang yang lebih lebar daripada antara Y1 dan Y2. Dalam hal ini, strategi jangkar uang
beredar adalah pilihan yang lebih tepat karena dapat lebih meminimalkan dampak negatif
tekanan riil terhadap stabilitas produksi/pendapatan.
Grafik 2 menggambarkan suatu perekonomian sedang mengalami tekanan
permintaan uang yang bersifat random. Apabila jumlah uang beredar dikendalikan pada
level M* maka kurva LM akan bergerak antara LM1 dan LM2 dan tingkat produksi akan
berada di antara Y1 dan Y2. Sebaliknya, apabila suku bunga dipertahankan pada tingkat r*,
kurva LM dan tingkat produksi yang terjadi masing-masing adalah LM3 dan Yf(tingkat
Grafik 1
Grafik 2
r
r
IS2
L M1
L M1
L M2
IS1
L M2
r*
r*
L M3
IS
Y
Y0 Y1 Yf Y2 Y3
Y1 Yf Y2
Y
3 Poole (1970, hal. 200) mengasumsikan tingkat harga konstan sehingga strategi kebijakan yang diambil diarahkan untuk
mencapai sasaran stabilitas produksi pada tingkat full employment. Secara implisit, hal ini juga berarti bahwa sasaran
yang dituju adalah stabilitas harga karena dengan mengupayakan perekonomian selalu berproduksi pada tingkat full
employment berarti mengurangi tekanan perubahan harga-harga.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
43
produksi/pendapatan full employment). Dengan demikian, strategi yang lebih tepat adalah
strategi jangkar suku bunga.
Sebagaimana terlihat pada Grafik 1, strategi jangkar uang beredar dapat dibuat lebih
optimal dengan mengubah elastisitas kurva LM terhadap perubahan suku bunga.
Perubahan elastisitas tersebut dapat dilakukan dengan membuat suplai uang beredar sensitif
terhadap suku bunga. Secara sederhana, hal ini dapat diilustrasikan oleh sistem persamaan
deterministik berikut.
(1) M
(2) Ms
= a0 + a1.Y + a2.
r
= b1 + b2.
r
(Kurva LM)
(Suplai uang yang sensitif terhadap suku bunga)
Substitusikan persamaan (2) ke dalam persamaan (1) :
⇔ b1 + b2.
r = a0 + a1.Y + a2.
r
⇔ a1.Y
= b1 -a0 + (b2 -a2).r
⇔ Y
= (b1 -a0)/ a1 + (b2 -a2)/ a1.
r
Persamaan yang terakhir adalah kurva LM dengan suplai uang sensitif terhadap
suku bunga. Koefisien variabel r, yaitu (b2 -a2)/a1, adalah elastisitas kurva LM terhadap
suku bunga. Elastisitas tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan uang terhadap
suku bunga (a2), elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b2), dan suatu konstanta (a1.
)
Karena elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (a2) tidak berada dalam kendali
otoritas moneter maka upaya mengubah elastisitas kurva LM hanya dapat dilakukan dengan
mengubah elastisitas suplai uang terhadap suku bunga (b 2). Dengan perkataan lain,
kebijakan moneter yang lebih optimal dapat diperoleh dengan menerapkan strategi di
mana sasaran jumlah uang beredar dan sasaran suku bunga ditetapkan berdasarkan
suatu hubungan tertentu (dalam hal ini, hubungan tersebut dikuantifikasi dalam bentuk
koefisien b2.
)
Sekalipun strategi kombinasi tersebut secara teoritis dapat menghasilkan kebijakan
yang lebih optimal, dalam praktek tidak selalu demikian. Alasannya, otoritas moneter
dituntut mengetahui lebih banyak parameter daripada yang dituntut oleh strategi jangkar
uang beredar maupun jangkar suku bunga (Poole, hal. 209). Di dalam situasi yang masih
diliputi oleh ketidakpastian, semakin banyak parameter yang harus diestimasi, semakin
tinggi resiko kegagalan strategi yang dipilih.
Di samping ketiga alternatif strategi di atas, terdapat dua pilihan strategi lain, yaitu
strategi jangkar nilai tukar dan jangkar laju inflasi (inflation targeting) (Houben, 1997).
Sebagaimana halnya strategi jangkar suku bunga, strategi jangkar nilai tukar lebih cocok
diterapkan pada perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan moneter khususnya
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
dalam bentuk fluktuasi permintaan uang. Dalam hal ini, tekanan-tekanan tersebut akan
diredam oleh penyesuaian yang terjadi pada neraca pembayaran sehingga dampak
negatifnya terhadap stabilitas harga dan produksi dapat diminimalkan.
Alternatif strategi jangkar laju inflasi terutama tepat untuk diterapkan di dalam
perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan besar baik moneter maupun riil pada
saat bersamaan. Keunggulan utama strategi ini terletak pada kemampuannya untuk secara
langsung mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pada saat yang sama tetap memberikan
keleluasaan kepada otoritas dalam menyusun respons yang tepat terhadap berbagai tekanan
yang melanda perekonomian.
Kondisi Indonesia Sebelum dan Selama Masa Krisis
Penyebab Krisis yang Melanda Indonesia
Tekanan-tekanan eksternal dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui
dua jalur utama, yaitu pasar barang internasional dan pasar keuangan internasional.
Tekanan-tekanan yang berasal dari pasar barang internasional dapat berbentuk penurunan
permintaan ekspor atau gangguan suplai barang impor. Sedangkan tekanan yang berasal
dari pasar keuangan internasional dapat berbentuk kenaikan suku bunga riil internasional
dan terputusnya akses ke pasar keuangan internasional akibat anjloknya kepercayaan
investor. Untuk kasus Indonesia, faktor yang disebutkan terakhir tampaknya lebih relevan
dalam menjelaskan penyebab krisis yang terjadi. Yang kemudian sering menjadi bahan
perdebatan adalah penyebab dari hilangnya kepercayaan tersebut.
Secara ekstrim terdapat dua pendapat mengenai penyebab hilangnya kepercayaan
investor terhadap Indonesia. Pendapat pertama meyakini bahwa kerapuhan sistem
keuangan internasional telah membuat berbagai negara sangat rentan terhadap contagion
effect (Radelet dan Sachs, 1998). Oleh karena itu, menurut kubu ini jalan keluarnya adalah
dengan memperketat rambu-rambu yang mengatur bekerjanya sistem keuangan
internasional serta meredifinisi peran dan tugas lembaga-lembaga Bretton-Woods agar lebih
mampu mengemban misi utamanya sebagai penjaga stabilitas sistem moneter internasional.
Sebaliknya, pendapat kedua meyakini bahwa kelemahan internal seperti kerapuhan sistem
perbankan, sistem pasar yang monopolistik, dan ketidaktepatan kebijakan makro adalah
faktor utama hilangnya kepercayaan investor.
Faktor ketidaktepatan kebijakan ekonomi makro agaknya bertentangan dengan
keyakinan kita dan berbagai lembaga keuangan internasional selama ini bahwa fundamental
ekonomi Indonesia sangat kuat karena didukung oleh kebijakan ekonomi makro yang
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
45
berhati-hati. Pertanyaannya adalah: apakah indikator-indikator ekonomi makro sebelum
krisis memang bergerak normal dan tidak mengindikasikan kemungkinan timbulnya krisis?
Indikator Krisis dari Sisi Ekonomi Makro
Berdasarkan hasil studi Kaminsky-Reinhart (1996) dan Kaminsky (1998) terhadap
102 krisis keuangan yang terjadi di 20 negara, terdapat beberapa indikator ekonomi makro
dan keuangan yang mampu memberikan peringatan secara dini akan kemungkinan
timbulnya krisis. Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut terlihat adanya indikasi
peningkatan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal. Dengan
perkataan lain, kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia dalam periode sebelum
krisis tidaklah sekuat yang diduga semula.
Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator moneter dan keuangan yang
mengindikasikan adanya peningkatan tekanan bubble economy dan masalah perbankan
terutama sejak tahun 1996 (lihat Panel 1):
•
Pertumbuhan tahunan multiplier M2 kembali meningkat sejak awal tahun 1996 dan
terus menunjukkan pertumbuhan positif hingga awal tahun 1997 setelah mengalami
perlambatan secara tajam sejak tahun 1990. Pertumbuhan positif multiplier M2 telah
meningkatkan kemampuan perbankan dalam menciptakan uang.
•
Rasio kredit terhadap PDB yang terus bergerak naik sejak akhir 1994, menunjukkan
kenaikan yang semakin cepat sejak akhir 1996.
•
Rasio suku bunga kredit terhadap deposito (terutama deposito 1 bulan) cenderung
meningkat sejak pertengahan 1995 hingga pertengahan 1997. Hal ini kemungkinan
mencerminkan penurunan kualitas kredit perbankan. Dalam situasi ini, perbankan
akan terpaksa menaikkan suku bunga kredit melebihi kenaikan suku bunga simpanan
untuk menutupi kerugian atau potensi kerugian yang berasal dari kredit macet.
•
Sejak pertengahan tahun 1996 terdapat kecenderungan peningkatan pertumbuhan
simpanan valas. Sebaliknya, pertumbuhan simpanan rupiah cenderung mengalami
penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan ekspektasi depresiasi rupiah
di masyarakat.
•
Sejak pertengahan tahun 1996 terjadi “excess supply” M1 riil. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh penciptaan uang yang berlebihan akibat ekspansi perbankan yang
tidak berhati-hati atau dapat pula disebabkan oleh lebih rendahya permintaan riil
daripada suplai akibat meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi.
M ay-98
Des -97
J ul-97
Feb-97
S ep-96
A pr-96
Excess M1 Riil: Selisi h Antara Aktual dengan Estimasi Permintaan M1 Rii
Perubahan 12 Bulanan Posisi Dana Pihak Ketiga (%)
Excess
total deposits
80
rupiah deposits
60
forex deposits (Rp Constant rat e) *
40
0
-20
-5
-40
J an-95
-40
20
15
20
Excess
Actual
Fitted
-10
J an-98
rdep12
KMK/dep12
M ay-98
rdep1
-30
S ep-97
-20
KMK/dep1
M ay-97
J an-97
S ep-96
M ay-96
J an-96
S ep-95
0.40
M ay-95
0.60
S ep-94
1.00
J an-94
1.20
M ay-94
1.40
S ep-93
1.60
J an-93
Rasio Suku Bunga Pinjam an terhadap Deposito
M ay-93
1.80
S ep-92
Apr-97
Jun-97
Aug-97
Oct-97
Dec-97
Feb- 98
Apr-98
Jun-98
Apr-95
Jun-95
Aug-95
Oct-95
Dec-95
Feb- 96
Apr-96
Jun-96
Aug-96
Oct-96
Dec-96
Feb- 97
-5
J an-92
Perubahan 12 bulanan m ultiplier M2 (MA 12)
M ay-92
-10
S ep-91
0
Dec-93
Feb- 94
Apr-94
Jun-94
Aug-94
Oct-94
Dec-94
Feb- 95
10
M ay-91
25
J an-91
Jun-98
Mar-98
Sep-97
Dec-97
Dec-96
Mar-97
Jun-97
Sep-96
Mar-96
Jun-96
Dec-95
Sep-95
Mar-95
Jun-95
Jan-90
Apr-90
Jul-90
Okt-90
Jan-91
Apr-91
Jul-91
Okt-91
Jan-92
Apr-92
Jul-92
Okt-92
Jan-93
Apr-93
Jul-93
Okt-93
Jan-94
Apr-94
Jul-94
Okt-94
Jan-95
Apr-935
Jul-95
Okt-95
Jan-96
Apr-96
Jul-96
Okt-96
Jan-97
Apr-97
Jul-97
Okt-97
Jan-98
Apr-98
Jul-98
35
Feb-91
A pr-91
J un-91
A ug-91
Oc t-91
Dec -91
Feb-92
A pr-92
J un-92
A ug-92
Oc t-92
Dec -92
Feb-93
A pr-93
J un-93
A ug-93
Oc t-93
Dec -93
Feb-94
A pr-94
J un-94
A ug-94
Oc t-94
Dec -94
Feb-95
A pr-95
J un-95
A ug-95
Oc t-95
Dec -95
Feb-96
A pr-96
J un-96
A ug-96
Oc t-96
Dec -96
Feb-97
A pr-97
J un-97
A ug-97
Oc t-97
Dec -97
Feb-98
A pr-98
J un-98
Catat an: Forex depos it s dalam Rupiah dengan nilai tukar k onstan.
(Jan '97: Rp 2.396/ USD)
Nov -95
Sep-94
Dec-94
0.80
J un-95
100
J an-95
A gs-94
M ar-94
Ok t-93
M ay-93
Des -92
J ul-92
Mar-94
Jun-94
Dec-93
Sep-93
Jun-93
%
Feb-92
S ep-91
120
A pr-91
Nov -90
J un-90
J an-90
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Panel 1
9.0
Rasio kr edit ter hadap PDB Nominal (MA 6)
30
20
8.0
15
7.0
5
6.0
5.0
4.0
30
Suku Bunga Deposito Riil (%)
20
10
-10
0
-50
-60
Actual & Fitted
700
10
600
5
500
0
400
300
-60
200
-15
100
-20
0
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
47
Beberapa indikator eksternal berikut juga memberikan indikasi semakin rentannya
ekonomi Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal (lihat Panel 2):
• Pertumbuhan ekspor nonmigas menunjukkan kecenderungan menurun sejak
pertengahan tahun 1995. Melambatnya pertumbuhan ekspor tersebut terkait dengan
penguatan (apresiasi) nilai tukar riil sejak akhir tahun 1992, yaitu tahun dimulainya
penerapan sistem nilai tukar crawling peg. Dalam periode tersebut terdapat indikasi kuat
bahwa nilai tukar rupiah cenderung mengalami overvalued seperti diperlihatkan oleh
semakin melebarnya selisih antara nilai tukar aktual dengan trend-nya.
• Meskipun nilai tukar riil mengalami apresiasi dan overvalued, pertumbuhan impor
nonmigas justru cenderung menurun sejak akhir tahun 1995. Sebagaimana akan
dijelaskan berikut ini, melambatnya pertumbuhan impor nonmigas diperkirakan terkait
dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Berikut ini adalah gambaran beberapa indikator sektor riil dalam periode sebelum
dan selama krisis (lihat Panel 2):
• Setelah sempat mengalami lonjakan cukup tinggi dalam tahun 1994, pertumbuhan
ekonomi menunjukkan trend menurun sejak pertengahan 1995. Selanjutnya, sejak
triwulan terakhir 1997 pertumbuhan ekonomi menurun sangat tajam.
• Agak sulit untuk memperoleh gambaran konklusif dari perkembangan indeks harga
saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta. Dilihat dari trend jangka panjang, IHSG
menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun sejak awal tahun 1990. Namun,
perkembangan sejak awal 1996 hingga terjadinya krisis rupiah pada bulan Juli-Agustus
1997 memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kecenderungan
peningkatan harga saham di tengah kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi
menunjukkan kuatnya tekanan spekulatif selama periode sebelum krisis.
Kebijakan yang Telah Diambil
Pertanyaan lanjutan adalah: Kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah
untuk meredam tekanan spekulatif dan sejauh mana efektivitasnya? Di samping itu,
mengingat besarnya kemungkinan timbulnya konflik antarkebijakan dalam mencapai
berbagai sasaran sehingga selalu terdapat resiko ketidaktepatan kombinasi kebijakan yang
diambil maka satu pertanyaan lain juga relevan untuk diajukan, yaitu: Sejauh mana
kemungkinan kombinasi kebijakan yang telah diambil, baik sebelum maupun selama krisis,
justru menambah tekanan spekulatif dan mempersulit penyelesaian krisis?
8
7
5
3
2
0
Mar- 98
Sep-98
%
Sep-97
Perubahan 12 Bulanan PDB Riil (MA 12)
Sep-96
Mar- 97
10
Sep-95
Mar- 96
0%
Mar- 94
50%
Sep-94
Mar- 95
30
Mar- 93
Sep-93
10000
Mar- 92
Sep-92
-50%
12000
Mar- 91
Sep-91
Fit ted
40
Sep-90
200%
14000
Sep-89
Mar- 90
%
Deviasi Nilai Tukar Terhadap Trend
Actual & Fitted
Sep-88
Mar- 89
16000
Mar- 87
-10
Jan-88
Apr- 88
Jul-88
Okt- 88
Jan-89
Apr- 89
Jul-89
Okt- 89
Jan-90
Apr- 90
Jul-90
Okt- 90
Jan-91
Apr- 91
Jul-91
Okt- 91
Jan-92
Apr- 92
Jul-92
Okt- 92
Jan-93
Apr- 93
Jul-93
Okt- 93
Jan-94
Apr- 94
Jul-94
Okt- 94
Jan-95
Apr- 95
Jul-95
Okt- 95
Jan-96
Apr- 96
Jul-96
Okt- 96
Jan-98
Apr- 98
Jul-98
0
Sep-87
Mar- 88
Deviasi
Sep-85
Jan-86
May-86
Sep-86
Jan-87
May-87
Sep-87
Jan-88
May-88
Sep-88
Jan-89
Mey-89
Sep-89
Jan-90
May-90
Sep-90
Jan-91
May-91
Sep-91
Jan-92
May-92
Sep-92
Jan-93
May-93
Sep-93
Jan-94
May-94
Sep-94
Jan-95
May-95
Sep-95
Jan-96
May-96
Sep-96
Jan-97
May-97
Sep-97
Jan-98
May-98
50
Sep-85
Perubahan 12 Bulanan Nilai Ekspor (MA 12)
Mar- 86
Sep-86
Sep-85
Jan-86
May-86
Sep-86
Jan-87
May-87
Sep-87
Jan-88
May-88
Sep-88
Jan-89
Mey-89
Sep-89
Jan-90
May-90
Sep-90
Jan-91
May-91
Sep-91
Jan-92
May-92
Sep-92
Jan-93
May-93
Sep-93
Jan-94
May-94
Sep-94
Jan-95
May-95
Sep-95
Jan-96
May-96
Sep-96
Jan-97
May-97
Sep-97
Jan-98
May-98
60
Mar- 85
Jan-98
Jun-98
Aug-97
Oct- 96
Mar- 97
Dec-95
May-96
Apr- 94
Sep-94
Feb- 95
Jul-95
Jan-93
Jun-93
Nov-93
250%
Dec-97
Jun-98
Dec-96
Jun-97
Dec-95
Jun-96
Dec-94
Jun-95
Dec-93
Jun-94
Dec-92
Jun-93
Dec-91
Jun-92
Dec-90
Jun-91
Oct- 91
Mar- 92
Aug-92
100%
Dec-89
Jun-90
Deviasi
Dec-88
Jun-89
Feb- 90
Jul-90
Dec-90
May-91
Apr- 89
Sep-89
Jun-88
Nov-88
Jan-88
%
Dec-87
Jun-88
%
Dec-86
Jun-87
Dec-85
Jun-86
Dec-84
Jun-85
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Panel 2
125
Indeks Nilai Tukar Riil Bilateral (Rp terhadap US$, Juni 19
120
40
115
30
20
110
10
105
100
95
50
Perubahan 12 Bulanan Nilai Impor (MA 12)
150%
Actual
8000
20
6000
10
4000
0
2000
-10
0
-20
-30
250
Perubahan 12 Bulanan Indeks Pasar Modal (MA 12)
9
200
6
150
4
100
50
1
0
-50
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
49
Kebijakan Pra-Krisis
Otoritas moneter sudah lama menyadari resiko yang terkandung di dalam arus
modal masuk yang terlampau deras, terutama yang berjangka pendek, terhadap
perekonomian Indonesia. Upaya-upaya untuk menghambat derasnya arus modal jangka
pendek telah banyak dilakukan, seperti: melebarkan rentang intervensi nilai tukar,
menaikkan giro wajib minimum, dan membatasi ekspansi kredit perbankan ke sektor
properti. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya tidak memberikan hasil yang memadai.
Bahkan, sebagaimana tercermin pada berbagai indikator di atas, pasar seolah-olah
mengesampingkan gejala melemahnya kondisi fundamental ekonomi makro serta
mengabaikan peringatan yang terkandung di dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Terdapat beberapa kemungkinan penyebab kurang efektifnya kebijakan-kebijakan
yang telah diambil oleh otoritas moneter dalam meredam tekanan-tekanan spekulatif, yaitu:
A. Sentimen positif terhadap prospek emerging markets, termasuk Indonesia, selama periode
pra-krisis masih terlalu kuat dibandingkan dengan intensitas kebijakan yang diarahkan
untuk membendung derasnya arus masuk modal. Kebijakan yang diterapkan dengan
“dosis” yang tidak tepat justru dapat menimbulkan efek negatif. Hal ini diperlihatkan
oleh ketidakberhasilan kebijakan pelebaran rentang intervensi dalam meredam arus
masuk modal spekulatif. Dalam kondisi masih kuatnya sentimen positif terhadap
ekonomi Indonesia, pelebaran rentang intervensi justru memberikan ruang gerak bagi
penguatan (apresiasi) nilai rupiah (lihat grafik Perkembangan Rentang Intervensi dan
Nilai Tukar Rp/US$).4 Apresiasi nilai tukar riil secara perlahan-lahan menggerogoti
daya saing perekonomian domestik sehingga memperlemah kondisi fundamental
ekonomi makro. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan satu instrumen
kebijakan (dalam hal ini kebijakan nilai tukar) untuk mencapai lebih dari satu sasaran
(yaitu mempertahankan daya saing produk dalam negeri sekaligus menghambat arus
modal spekulatif) dapat berakhir pada kegagalan dalam mencapai semua sasaran.
B. Kebijakan yang diarahkan untuk meredam tekanan spekulatif ketika sentimen pasar
sudah berbalik arah menjadi negatif justru telah semakin memperparah sentimen negatif
tersebut. Kebijakan pelebaran rentang intervensi terakhir tanggal 11 Juli 1997 yang
dilakukan sebagai respons terhadap krisis nilai tukar di Thailand diperkirakan telah
memberikan sinyal kepada para spekulan akan ketidaksiapan/ketidaksediaan otoritas
moneter dalam mempertahankan kebijakan nilai tukarnya. Kondisi ini telah semakin
4. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa nilai tukar yang terjadi di pasar cenderung menempel pada batas bawah rentang
intervensi (kecuali sejak pelebaran rentang intervensi terakhir tgl. 11 Juli 1997). Hal ini mencerminkan kuatnya tekanan
apresiasi akibat derasnya arus masuk modal.
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Perkembangan Rentang Intervensi dan Nilai Tukar Rp/US$
2910
Kebj. Nilai tukar Free floating
14 Agustus '97
2810
2710
Pelebaran spread
Rp 192 --- Rp 304
11 Juli '97
Pelebaran spread
Rp 118 --- Rp 192
11 Sept. '96
2610
Pelebaran spread
Rp 66--- Rp 118
13 Juni '96
2510
2410
2310
2210
15 28 9 18 29 7 16 1 12 22 2 12 23 2 13 23 3 12 21 2 11 22 31 9 20 29 9 18 27 8 17 28 6 15 26 5 16 26 8 17 28 6 19 28 11 20 2 14 24 5 15 27 5 16 25 4 15 25 5 14 25
Des '95
1996
1997
memperkuat tekanan depresiatif terhadap rupiah hingga akhirnya otoritas moneter
terpaksa melepaskan rentang intervensi tersebut.
Kebijakan Selama Krisis
Kebijakan moneter adalah salah satu bagian dari paket kebijakan ekonomi yang
diambil dalam rangka menyelesaikan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Paket
kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia secara garis besar tidak berbeda dengan
yang diterapkan oleh negara-negara lain yang memperoleh bantuan IMF.5 IMF menawarkan
satu paket kebijakan yang mereka sebut langkah-langkah yang bersifat segera (immediate
efforts) dalam rangka mengembalikan kepercayaan. Langkah-langkah tersebut mencakup:6
• Penerapan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate)
.
• Penerapan kebijakan moneter ketat yang bersifat sementara untuk meredam tekanan
terhadap neraca pembayaran.
• Tindakan-tindakan terpadu untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem keuangan
yang mencakup: penutupan dan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan
yang tidak sehat, rekapitalisasi perbankan, dan peningkatan partisipasi asing dalam
sistem keuangan domestik.
5 Rangkuman beberapa pokok kebijakan di bidang moneter dan perbankan yang diterapkan oleh Thailand dan Korea
Selatan dapat dilihat dalam Lampiran.
6 Lihat IMF (1998) halaman 2 - 3.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
51
• Reformasi struktural untuk menghilangkan berbagai penghalang pertumbuhan ekonomi
(seperti monopoli, hambatan perdagangan, dan praktek-praktek usaha yang tidak
transparan) dan meningkatkan efisiensi fungsi intermediasi keuangan serta kesehatan
sistem keuangan di masa mendatang.
• Upaya-upaya untuk membuka kembali atau mempertahankan jalur-jalur sumber dana
luar negeri.
• Penerapan kebijakan fiskal yang berhati-hati termasuk dengan membiayai program
restrukturisasi sektor keuangan dan mempertahankan/ meningkatkan pengeluaranpengeluaran untuk kepentingan sosial.
Dimasukkannya kebijakan restrukturisasi sektor keuangan sebagai salah satu
langkah pertama yang harus diambil oleh negara yang mengalami krisis mencerminkan
keyakinan IMF bahwa unsur utama penyebab krisis adalah kelemahan di sektor tersebut.
Namun, justru di sinilah fokus kritik yang dialamatkan kepada IMF. Penerapan kebijakan
restrukturisasi sektor keuangan di saat kondisi kepercayaan berada pada titik terendah
dianggap telah semakin memperparah krisis dan mempersulit penerapan kebijakan
moneter.7 Hal ini diperkirakan telah mengakibatkan Indonesia mengalami apa yang dikenal
sebagai krisis kembar, yaitu terjadinya krisis perbankan dan neraca pembayaran secara
bersamaan. Kondisi ini telah mengakibatkan resep-resep kebijakan ortodoks seperti
devaluasi (atau floating rate) atau kebijakan moneter ketat tidak dapat menyelesaikan kedua
krisis secara bersamaan.
Secara singkat, penyebab terjadinya krisis kembar dapat dijelaskan sebagai berikut.8
• Intervensi valas yang dilakukan oleh otoritas moneter di awal krisis untuk meredam
tekanan depresiasi nilai rupiah telah menyedot likuiditas perbankan. Hal ini dapat
mengarah kepada credit crunch dan selanjutnya krisis perbankan apabila tidak dilakukan
kebijakan sterilisasi.Karena depresiasi nilai rupiah secara tajam akhirnya tidak dapat
dihindari, bank-bank yang memiliki kewajiban valas dalam jumlah besar harus
menanggung kerugian besar. Kondisi ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit
macet akibat kesulitan yang dihadapi oleh para debitur dalam membayar kewajibannya
yang semakin besar seiring dengan tingginya suku bunga.
• Penekanan pada penyelesaian bank bermasalah (khususnya dalam bentuk likuidasi bankbank) sementara kepercayaan masyarakat kepada rupiah dan perbankan nasional sedang
berada pada titik terendah telah menimbulkan fenomena flight to currency. Fenomena ini
7 Lihat misalnya Nananukool (1998) dan Radelet dan Sachs (1998).
8 Uraian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya krisis kembar dapat dilihat dalam
Kaminsky dan Reinhart (1996) halaman 1-2.
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
telah memaksa otoritas moneter untuk mengeluarkan bantuan likuiditas (BLBI) dalam
jumlah besar kepada bank-bank sehingga sangat mengurangi efektivitas kebijakan
moneter.
• Di samping kedua alasan di atas, terjadinya krisis perbankan maupun neraca pembayaran
secara bersamaan dapat pula disebabkan oleh dampak negatif dari liberalisasi keuangan.
Dalam hal ini, liberalisasi sektor keuangan telah mendorong timbulnya bubble economy
dan ekspansi kredit yang tidak hati-hati di kalangan perbankan. Distorsi ekonomi mikro
— seperti jaminan pemerintah secara implisit atas simpanan masyarakat tanpa disertai
pengawasan bank yang ketat — yang menimbulkan lonjakan kredit perbankan, pada
akhirnya akan berakhir pada kejatuhan sistem perbankan.
Beberapa masalah lain dari sisi kebijakan moneter yang diduga telah memperlambat
proses pemulihan kondisi ekonomi di Indonesia adalah:
A. Perubahan arah kebijakan yang diambil akibat adanya tekanan-tekanan untuk
mengakomodasi berbagai sasaran yang saling berlawanan (trade-off) telah menurunkan
kredibilitas kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Kenaikan suku bunga yang
diberlakukan oleh otoritas moneter untuk meredam tekanan depresiasi rupiah pada
awal krisis ternyata telah menimbulkan kesulitan pada sektor usaha sehingga memaksa
otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga sejak September 1997. Perubahan
arah kebijakan suku bunga ini telah mengurangi kredibilitas pemerintah karena
memberikan kesan kepada pasar seolah-olah otoritas moneter tidak konsisten atau raguragu dalam menerapkan kebijakan uang ketat. Penurunan kredibilitas ini mengakibatkan
tidak berjalannya proses built-in adjustment yang seharusnya menguatkan nilai tukar.
Perkembangan Kurs (bid side) dan Suku Bunga SBI 1 Bulan
( Juni 1997 - Oktober 1998 )
( Bunga SBI )
( Kurs )
80
16000
70
14000
12000
60
Nilai Tukar Rp/US$
50
10000
40
8000
30
6000
4000
20
Suku Bunga SBI 1 Bulan
10
30
21
31
11
Aug
21
1
Sept
10
22
22
1
Jul
13
24
6
May
22
2
Jun
11
24
2
Apr
15
23
4
Marh
13
Jun
1997
22
Oct
31
11
Nov
20
2
Dec
11
0
22
2
Jan
13
1998
22
3
Feb
12
2000
0
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
53
B. Kebijakan yang terlalu responsif terhadap perubahan sentimen pasar diduga telah
semakin mendorong tekanan spekulatif. Untuk menstabilkan gejolak nilai tukar dan
mengarahkannya ke tingkat yang terjangkau oleh perekonomian nasional, otoritas
moneter telah beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga SBI. Namun, karena
kenaikan-kenaikan suku bunga tersebut pada umumnya diawali atau dipicu oleh
tekanan-tekanan depresiatif terhadap rupiah maka timbul kesan bahwa otoritas moneter
sangat responsif terhadap tekanan depresiasi (lihat grafik Perkembangan Kurs dan Suku
Bunga SBI). Hal ini diduga telah mendorong para spekulan untuk melontarkan rumor
atau sentimen negatif di pasar valas yang seringkali tidak bersifat fundamental dengan
harapan otoritas moneter akan menanggapinya dalam bentuk intervensi pasar atau
kenaikan suku bunga lebih lanjut.
C. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ketat di awal krisis telah memperburuk
ekspektasi pasar akan prospek ekonomi dan nilai tukar. Meskipun kebijakan fiskal ketat
telah dikoreksi oleh pemerintah dan IMF, namun kebijakan tersebut telah sempat
memperlemah nilai tukar rupiah ke level yang cukup sulit untuk diturunkan kembali.
D. Penetapan sasaran (indikatif) nilai tukar telah memberikan kesan bahwa otoritas tidak
sepenuhnya committed pada sistem nilai tukar mengambang yang diberlakukan sejak 14
Agustus 1997. Apalagi sasaran indikatif tersebut telah beberapa kali direvisi ke atas (depresiasi)
sehingga semakin memperkuat ekspektasi depresiasi sekaligus ekspektasi inflasi di pasar.
Kondisi ini diduga telah mendorong semakin kerasnya tekanan-tekanan spekulatif terhadap
rupiah sehingga mempersulit upaya memperkuat nilai tukar rupiah dan meredam laju inflasi.
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas, yaitu:
• Sulit menemukan suatu kombinasi kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi berbagai
sasaran secara bersamaan. Dalam hal ini, strategi yang lebih tepat tampaknya adalah
dengan memberikan prioritas utama pada suatu sasaran akhir.
• Krisis ekonomi Indonesia yang multidimensional telah menimbulkan konflik
antarkebijakan sehingga kinerja masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal.
• Kebijakan moneter tidak akan bekerja secara efektif apabila tidak terdapat kepercayaan
kepada sistem perbankan domestik.
Oleh karena itu, sembari mempertajam prioritas kebijakan dan meneruskan upaya
penyehatan perbankan nasional agar kepercayaan masyarakat cepat pulih, otoritas moneter
harus terus berupaya mencari cara guna memperbaiki efektivitas kebijakan moneter. Salah
satu upaya tersebut adalah dengan memperbaiki sistem lelang SBI. Sebelum tanggal 29 Juli
1998, suku bunga SBI ditentukan oleh Bank Indonesia. Kondisi likuiditas yang ketat serta
54
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
segmentasi di pasar uang antarbank (yang terkait dengan perbedaan tingkat kesehatan
antarbank yang sangat mencolok) telah menyebabkan suku bunga PUAB jauh lebih tinggi
daripada suku bunga SBI. Bahkan, seiring dengan tingginya laju inflasi, suku bunga SBI
secara riil telah menjadi negatif. Akibatnya, lelang SBI tidak mampu menyedot kelebihan
likuiditas di pasar uang. Situasi tersebut berubah sejak tanggal 29 Juli 1998 ketika Bank
Indonesia menerapkan sistem lelang SBI yang baru. Dalam sistem tersebut, suku bunga SBI
sepenuhnya ditentukan pasar sehingga SBI lebih efektif dalam menyerap likuiditas di pasar.
Sementara proses restrukturisasi perbankan masih berjalan, peningkatan efektivitas
kebijakan moneter telah berdampak positif terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah dan
penurunan tekanan inflasi. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa sasaran akan
lebih cepat tercapai apabila terdapat konsistensi kebijakan dan penugasan suatu kebijakan
pada satu prioritas sasaran. Apabila hal ini terus berlanjut, dalam waktu yang tidak terlalu
lama diperkirakan otoritas moneter akan memperoleh ruang gerak yang lebih luas untuk
menurunkan suku bunga.
Alternatif Strategi Kebijakan Moneter untuk Indonesia
Uraian sebelumnya adalah hasil retrospeksi atas kombinasi kebijakan yang telah
diambil selama ini. Tentunya yang relevan bagi kita sekarang adalah bentuk strategi
kebijakan moneter apa yang tepat untuk diterapkan agar ekonomi Indonesia segera keluar
dari krisis. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian II, pemilihan strategi kebijakan
moneter dan nilai tukar yang tepat tergantung kepada tiga faktor, yaitu:
• Jenis tekanan yang dihadapi. Apabila perekonomian mengalami tekanan moneter maka
penggunaan patokan suku bunga (atau nilai tukar bagi perekonomian terbuka) adalah
yang paling ideal karena fluktuasi permintaan uang yang terjadi akan diakomodasi oleh
neraca pembayaran tanpa mengganggu stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya,
apabila perekonomian menghadapi tekanan riil, sebaiknya menerapkan pengendalian
besaran moneter (monetary rules atau money anchor) karena perubahan nilai tukar akan
menyesuaikan tingkat pengeluaran luar negeri akan barang-barang domestik dan tingkat
pengeluaran domestik akan barang-barang luar negeri — terutama ketika tingkat upah
nominal dan harga-harga sulit bergerak turun — sehingga akan menstabilkan
pertumbuhan produksi domestik.
• Karakteristik struktur ekonomi suatu negara. Efektivitas pengendalian besaran moneter
(money anchor) antara lain tergantung kepada adanya fleksibilitas tingkat upah riil (e.g.
tidak ada indeksasi upah nominal) agar perubahan nilai tukar nominal berdampak jangka
panjang terhadap tingkat upah riil dan produksi. Efektivitas pengendalian nilai tukar
(exchange rate anchor) tergantung kepada derajat mobilitas modal. Pendekatan ini akan
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
55
lebih memberikan hasil yang memuaskan apabila diterapkan di dalam perekonomian
yang lebih terbuka — karena stabilitas nilai tukar akan lebih terkait dengan stabilitas
harga — dan memiliki sektor tradable yang cukup terdiversifikasi untuk meredam
tekanan-tekanan pada industri-industri tertentu.
• Prioritas sasaran ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya yang berkaitan
dengan trade-off antara produksi, inflasi, dan neraca pembayaran. Bagi negara yang
menerapkan pengendalian besaran moneter biasanya akan mengalami variabilitas inflasi
jangka pendek yang lebih besar (karena tekanan permintaan uang tidak secara otomatis
diakomodasi) namun mengalami variabilitas produksi dan neraca pembayaran yang
lebih kecil (karena nilai tukar akan menjadi instrumen penyesuai). Di sisi lain, pendekatan
pengendalian nilai tukar memberikan keuntungan berupa transparansi kebijakan, yang
merupakan insentif bagi disiplin fiskal.
Dengan menggunakan kriteria di atas, uraian berikut akan mencoba mengidentifikasi
strategi kebijakan moneter dan nilai tukar yang tepat untuk diterapkan dalam menghadapi
krisis di Indonesia.
A. Jangkar Uang Beredar
Cukup sulit untuk memilah secara akurat jenis tekanan eksternal yang melanda
Indonesia. Dari uraian pada bagian III dijelaskan bahwa contagion effect telah menjadi
memicu tekanan di neraca pembayaran dalam bentuk derasnya arus modal keluar. Dengan
perkataan lain, tekanan dari sisi moneter adalah pemicu krisis ekonomi di Indonesia.
Rata-rata Upah Riil Pekerja Mingguan
hotel & mining
manufacturing
0.90
0.30
0.80
0.25
0.70
hotel
0.60
0.20
mining
manufacturing
0.50
0.15
0.40
0.30
0.10
0.20
0.05
0.00
Mar-98
Dec-97
Sep-97
Jun-97
Mar-97
Dec-96
Sep-96
Jun-96
Mar-96
Dec-95
Sep-95
Jun-95
Mar-95
Dec-94
Jun-94
Mar-94
0.00
Sep-94
0.10
56
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Namun, karena adanya kelemahan di sisi mikro khususnya di sektor perbankan, tekanan
dari sisi moneter tersebut secara cepat telah melahirkan gelombang tekanan baru berupa
tekanan dari sektor riil, yaitu gangguan pasokan barang akibat terhambatnya impor dan
kebangkrutan sektor usaha. Dalam kondisi ini, secara teoritis penerapan strategi jangkar
uang beredar dengan sistem nilai tukar mengambang akan mampu mengembalikan
stabilitas ekonomi. Apalagi kondisi pasar tenaga kerja tampaknya cukup fleksibel
sebagaimana terlihat pada perkembangan tingkat upah riil terutama di sektor manufacturing
dan mineral yang cukup responsif terhadap perubahan nilai tukar (lihat Grafik Rata-rata
Upah Riil Mingguan).
Namun, pengalaman beberapa negara yang menerapkan kebijakan floating rate dan
diikuti oleh penggunaan base money sebagai nominal anchor (seperti Filipina di tahun 1984)
menunjukkan bahwa kebijakan moneter seringkali diterapkan dengan tidak konsisten.
Kombinasi kedua kebijakan seringkali mengandung beberapa kelemahan (Houben, 1997).
Pertama, kombinasi floating rate dan sasaran base money diterapkan secara fleksibel sehingga
membuat penugasan instrumen kebijakan kepada sasaran-sasaran ekonomi menjadi rancu
(ambiguous). Dengan absennya suatu jangkar nominal yang mantap maka terdapat
kecenderungan untuk menerapkan sasaran kebijakan moneter berganda seperti:
mengendalikan pertumbuhan uang, menstabilkan nilai tukar, memupuk cadangan devisa,
menjaga daya saing ekspor, dan menjaga tingkat suku bunga pada level yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesuai kenyataannya, trade-off di antara berbagai
sasaran ini tidak selalu menghasilkan pencapaian sasaran inflasi. Kedua, tanpa komitmen
yang jelas terhadap satu sasaran nominal, perekonomian kehilangan suatu piranti untuk
mengendalikan ekspektasi inflasi. Ketiga, kebijakan nilai tukar dan intervensi valas
seringkali diterapkan secara tidak simetris. Ketika terjadi tekanan apresiasi nilai tukar
terutama akibat arus modal masuk otoritas kebanyakan menahan tekanan tersebut dengan
membeli devisa sehingga menambah base money (sterilisasi hanya dilakukan secara parsial).
Sebaliknya, ketika terjadi tekanan depresiasi otoritas cenderung membiarkannya dan
membatasi penjualan devisa yang seharusnya dapat mendukung nilai tukar dan menyerap
base money. Dengan demikian, asimetri kebijakan ini cenderung bias ke arah inflasi.
Untuk kasus Indonesia, adanya sasaran indikatif nilai tukar rupiah dalam paket
kebijakan stabilisasi ekonomi Indonesia sementara base money berperan sebagai nominal
anchor dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan seperti yang dijelaskan di atas
khususnya berupa kemungkinan timbulnya konflik di antara berbagai tujuan kebijakan
dan ketiadaan jangkar nominal yang mantap.
Di samping itu, di tengah suasana ketidakpastian, tingkat dan komposisi permintaan
akan uang dapat secara mendadak berubah sehingga mengganggu kestabilan velocity dan
multiplier. Akibatnya, otoritas moneter akan mengalami kesulitan dalam menyusun proyeksi
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
57
besaran-besaran moneter secara akurat dan dalam mengendalikan jumlah uang beredar.9
Dalam situasi ini, strategi jangkar uang beredar mengandung resiko yang cukup besar.
Apabila terlalu ketat, kebijakan moneter dapat terlalu mengekang pertumbuhan produksi.
Sebaliknya, apabila terlalu longgar akan mempersulit pencapaian sasaran inflasi. Faktor
lain yang harus diperhitungkan adalah apabila arah kebijakan ekonomi ke depan
berorientasi populis maka penerapan sasaran moneter akan semakin mengalami kesulitan.
B. Jangkar Suku Bunga
Strategi ini akan cocok diterapkan apabila Indonesia tetap mempertahankan
kebijakan nilai tukar mengambang. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan nilai tukar mengambang bukanlah pilihan yang tepat bagi Indonesia untuk saat
ini. Kesimpulan tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa struktur industri kita masih
sarat dengan kandungan impor yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat
berpengaruh terhadap kestabilan tingkat harga (Waluyo dan Siswanto, 1998). Membiarkan
mekanisme pasar menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya krisis di masa
mendatang juga bukan merupakan solusi yang tepat. Hal ini karena meskipun mekanisme
pasar (freefloating) dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai tukar
riil dari nilai ekuilibriumnya (real exchange rate misalignment) namun berkurangnya resiko
misalignment itu sendiri tidak menjamin terhindarnya suatu negara dari resiko krisis nilai
tukar (Goldfajn, 1997).
C. Jangkar Nilai Tukar
Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan dalam poin B, faktor-faktor lain yang
mendukung penerapan strategi jangkar nilai tukar adalah:
• Perekonomian Indonesia telah berkembang menjadi relatif sangat terbuka. Dalam kondisi
ini, nilai tukar telah menjadi indikator harga relatif terpenting dalam perekonomian
sehingga menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai stabilitas harga.
• Pasar tenaga kerja bersifat fleksibel karena suplai berlimpah dan tidak ada kekakuan
tingkat upah yang disebabkan oleh faktor-faktor kelembagaan. Fleksibilitas pasar tenaga
kerja, terutama dalam konteks peningkatan produktivitas, akan mengurangi kebutuhan
akan penyesuaian nilai tukar nominal.
• Tidak adanya pembatasan devisa telah mempermudah arus keluar masuk modal
sehingga mampu mengakomodasi tekanan-tekanan moneter secara otonomus tanpa
harus mengandalkan pada fleksibilitas nilai tukar.
9 Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan semakin tidak stabilnya income velocity of money dan money
multiplier di Indonesia (Warjiyo dan Zulverdi, 1998).
58
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Posisi Hutang LN Total dan DSR Indonesia
140
120
100
80
Debt Outstanding/GDP
60
40
Debt Service Ratio
20
0
1993
1994
1995
1996
1997
35947
Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang kurang mendukung penerapan strategi jangkar
nilai tukar, yaitu:
• Beberapa sisi di neraca pembayaran masih sensitif terhadap tekanan-tekanan eksternal
sehingga masih membutuhkan nilai tukar yang fleksibel. Di sisi pembayaran, hutang
luar negeri yang sangat besar membuat Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
suku bunga internasional (lihat Grafik hutang/PDB, DSR). Di samping itu,
ketergantungan kepada impor komoditi-komoditi penting khususnya bahan pangan
membuat perekonomian sangat sensitif terhadap perubahan harga internasional. Di sisi
penerimaan, meskipun diversifikasi produk ekspor telah berlangsung cukup lama namun
akses ke pasar modal internasional belum pulih sehingga sistem nilai tukar yang lebih
fleksibel masih diperlukan untuk meredam berbagai tekanan eksternal.
• Prospek sisi fiskal masih belum menentu sebagai akibat turunnya potensi pajak dan
berkurangnya peranan swasta dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Dalam
situasi ini, pasar akan meragukan terjaganya disiplin fiskal sekaligus meragukan
kredibilitas jangkar nilai tukar.
Di samping itu, terdapat beberapa kelemahan strategi jangkar nilai tukar, yaitu:
• Hilangnya independensi kebijakan moneter dalam meredam tekanan-tekanan riil, baik
yang bersifat eksternal maupun internal. Hal ini terutama akan menjadi sangat relevan
ketika perekonomian sangat rentan terhadap perubahan sentimen pasar (faktor eksternal,
contagion effects) dan gangguan alam dan ketidakstabilan sosial politik (faktor internal).
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
59
• Apabila nilai tukar riil cenderung mengalami apresiasi yang disebabkan oleh perubahan
struktural yang cepat, kemajuan teknologi, liberalisasi perdagangan, dan meningkatnya
daya saing negara-negara pesaing, meskipun strategi jangkar nilai tukar kemungkinan
besar dapat menurunkan laju inflasi, namun kenaikan harga-harga masih tetap lebih
tinggi daripada kenaikan harga-harga di negara-negara partner dagang sehingga lambat
laun daya saing produk domestik akan semakin melemah.
D. Jangkar Laju Inflasi
Mengingat rapuhnya perekonomian Indonesia baik terhadap tekanan-tekanan
moneter maupun riil, keunggulan jangkar uang beredar maupun nilai tukar menjadi
dipertanyakan. Penerapan baik jangkar uang beredar maupun nilai tukar dapat
menimbulkan biaya-biaya yang besar dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.
Alternatif lain yang dapat diterapkan di Indonesia adalah jangkar laju inflasi. Terdapat
beberapa argumentasi yang mendukung penerapan jangkar laju inflasi di Indonesia, yaitu:
• Para pelaku ekonomi, terlebih di masa krisis, membutuhkan suatu jangkar nominal untuk
mengarahkan ekspektasi mereka. Mengingat jangkar nilai tukar (fixed exchange rate)
sulit diterapkan saat ini sementara disisi lain jumlah uang beredar adalah indikator yang
terlalu abtrak bagi para pelaku ekonomi maka jangkar laju inflasi dapat berperan secara
langsung dalam mengarahkan ekspektasi laju inflasi.
• Sistem perbankan nasional adalah jalur transmisi kebijakan moneter terpenting. Dalam
kondisi normal, sinyal-sinyal kebijakan moneter akan disalurkan melalui sistem
perbankan untuk akhirnya mempengaruhi ekpektasi inflasi di masyarakat. Masih sangat
rapuhnya kondisi perbankan nasional saat ini dengan sendirinya sangat mengurangi
efektifitas kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar maupun suku
bunga. Untuk itu, penggunaan jangkar laju inflasi diharapkan dapat membatasi
kelemahan sistem perbankan tersebut.
Agar efektif, penerapan sasaran laju inflasi sebagai jangkar nominal memerlukan
penyesuaian kerangka kelembagaan sebagai berikut:
• Pencapaian sasaran laju inflasi harus dijadikan tugas pokok bank sentral.
• Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan tugasnya dengan secara
eksplisit memberikan argumentasi-argumentasi logis atas berbagai perubahan kebijakan
yang mungkin dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian informasi yang
lengkap mengenai perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi
penetapan suatu sasaran laju inflasi. Beberapa variabel yang bersifat informasi (seperti
60
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
pertumbuhan uang beredar, perkembangan nilai tukar) yang konsisten dengan
pencapaian sasaran laju inflasi dapat pula dipublikasikan.
• Pelembagaan akuntabilitas bank sentral misalnya melalui pemberian laporan kepada
parlemen secara periodik mengenai pencapaian sasaran laju inflasi.
Sekalipun demikian, terdapat beberapa kesulitan dalam menerapkan laju inflasi
sebagai jangkar nominal khususnya apabila bank sentral menganggap bahwa laju inflasi
berada jauh di luar kendalinya. Hal ini dapat terjadi antara lain karena sulitnya
memperkirakan dampak dari tekanan-tekanan moneter dan riil terhadap harga-harga serta
sulitnya mengkuantifikasi secara akurat transmisi kebijakan moneter terhadap inflasi di
masa perubahan struktural yang cepat. Di samping itu, dengan sulitnya memperkirakan
dampak tekanan-tekanan tersebut, penggunaan sasaran laju inflasi secara ketat dapat
menimbulkan volatilitas instrumen (khususnya suku bunga) yang sangat tinggi melebihi
keuntungan yang diperoleh dari stabilitas inflasi. Permasalahan ini dapat diatasi melalui
penetapan rentang sasaran laju inflasi yang lebih lebar dan dengan mengeluarkan dampak
kebijakan pemerintah atau perubahan harga-harga barang tertentu dari penghitungan
sasaran inflasi. Namun, rentang sasaran laju inflasi terlalu lebar maka kredibilitas kebijakan
bank sentral akan sangat berkurang.
Bagaimana cara membangun kredibilitas?
Manfaat yang diperoleh dari masing-masing strategi sangat tergantung kepada
kredibilitas kebijakan. Di antara beberapa alternatif strategi kebijakan moneter di atas,
mungkin yang paling sulit adalah membangun kredibilitas kebijakan yang menggunakan
pendekatan jangkar uang beredar karena sasaran uang beredar bersifat abstrak. Sekalipun
demikian, keyakinan akan suatu sasaran moneter dapat dibangun melalui pemberian sinyal
yang transparan mengenai latar belakang penentuan sasaran dan pemberian penjelasan
yang logis mengenai berbagai perubahan arah kebijakan.
Dalam kasus jangkar nilai tukar, kredibilitas akan tergantung kepada dua syarat, yaitu:
• Sebelum menetapkan suatu level nilai tukar, laju inflasi harus bergerak pada trend
menurun ke arah laju inflasi negara-negara mitra dagang.
• Jumlah cadangan devisa harus meningkat dibandingkan dengan level yang ada sekarang
untuk menghadapi tekanan-tekanan spekulasi yang berniat menguji kemampuan otoritas
dalam menerapkan jangkar nilai tukar. Hal ini akan cukup sulit dipenuhi selama arus
masuk modal dan kepercayaan investor belum pulih kembali.
Kredibilitas jangkar laju inflasi sebagian besar akan ditentukan oleh transparansi
kelembagaan dan akuntabilitas bank sentral dalam memenuhi sasaran laju inflasi. Komitmen
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
61
pemerintah secara eksplisit terhadap pencapaian sasaran laju inflasi yang menjadi tanggung
jawab bank sentral akan sangat menentukan kredibilitas kebijakan ini.
Penutup
Berikut beberapa pokok pikiran dan satu rekomendasi kebijakan :
• Kondisi fundamental ekonomi makro Indonesia sebelum krisis memang menunjukkan
tekanan-tekanan yang berpotensi untuk menjadi krisis.
• Terdapat indikasi adanya ketidaktepatan kebijakan atau kombinasi kebijakan yang
diambil dalam periode sebelum, di awal, dan selama krisis yang diduga telah menjadi
faktor yang memperburuk krisis nilai tukar di Indonesia.
• Ketidaktepatan kebijakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kompleksitas masalah
yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia sehingga seringkali terjadi benturan di
antara berbagai kebijakan.
• Upaya stabilisasi ekonomi di dalam konteks sistem nilai tukar mengambang penuh
tampaknya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
• Penggunaan suatu jangkar nominal, baik berupa jangkar nilai tukar atau jangkar laju
inflasi, tampaknya layak untuk dipelajari lebih dalam kemungkinan penerapannya di
Indonesia. Mengingat masih rapuhnya sistem perbankan nasional sebagai jalur transmisi
kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia
terhadap tekanan-tekanan eksternal, suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel
tampaknya lebih cocok untuk dikombinasikan dengan strategi jangkar inflasi.
Daftar Pustaka
ADB Institute, Asia: Responding to Crisis,1998.
Bank Indonesia, Report for the Financial Year 1997/98, Jakarta, 1998.
Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, Kuala Lumpur,
September 1998.
_______________, Exchange Control Notices, Kuala Lumpur, 1998.
Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working
Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.
Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of
meeting in Jakarta, UCLA, September 1998.
62
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
___________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on
sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997.
Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the
Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and
Assessment, PPAA/97/4, Washington, D.C., 1997.
IMF, World Economic Outlook, May Edition, Washington, D.C., 1995.
_____________, The IMF’s Response to the Asian Crisis, External Relations Department,
Washington, D.C., Juli 1998.
Kaminsky, Graciela L., Currency and Banking Crisis: the Early Warnings of Distress,
Washington, D.C., 1998.
Kaminsky, Graciela L., dan Carmen M. Reinhart, The Twin Crisis: the Causes of Banking
and Balance of Payments Problems, Washington, D.C., 1996.
Krugman, Paul, External Shocks and Domestic Policy Responses, dalam The Open
Economy: Tools for Policymakers in Developing Countries, edited by Rudiger Dornbusch
and F. Leslie C.H. Helmers, p. 54-79, Oxford University Press, New York, 1995.
______________, Currency Crises, downloaded at http://www.mit.edu/krugman.
October.1998.
McNelis, Paul D., Money Demand, Financial Distress, and Exchange Rate Uncertainty in
Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta, April 1998.
________________, Financial Liberalization, Share Price Volatility and Monetary Policy:
The Experience of Indonesia, A Research Paper written at Bank Indonesia, unpublished, Jakarta,
Juli 1994.
Meigs, James, Lessons for Asia from Mexico, The Cato Journal Vol 17 No.3, 1998.
Nananukool, Surasak, Learning from the Asia Currency Curency Crisis - An Insider View
from Thailand, A paper presented at the Carnegie Mellon University, Graduate School of
Industrial Administration, March 1998.
Paderenga, Cayetano, Currency Crisis and Policy Response: The ASEAN and Philippine
Case, September 1998.
Pasadilla, Gloria, What Make Countries Vulnarable to Currency Crisis ?, ADB Institute
Seminar-Workshop on Asia’s Financial Crisis: Lessons and Policy Responses, September
1998.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
63
Poole, William, Optimal Choice of Monetary Policy Instruments in A Simple Stochastic
Macro Model, Quarterly Journal of Economics, Vol. 84, hal. 197 - 216, Mei 1970.
Radelet, Steven, dan Jeffrey Sachs, The Onset of the East Asian Financial Crisis, 1998.
Waluyo, Dody B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era
Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1, Juli 1998.
Warjiyo, Perry, dan Doddy Zulverdi, Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran
Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1,
No. 1, Juli 1998.
World Bank, Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update, Washington, D.C., 1998.
Lampiran
Langkah-langkah Kebijakan di Bidang Moneter dan Perbankan
yang Diambil oleh Thailand dan Korea Selatan
Thailand
Diawali dengan kinerja yang buruk dari lembaga-lembaga keuangan domestik dan
besarnya hutang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 1997, nilai baht mendapat
tekanan yang besar dari pasar (spekulan) agar terdepresiasi. Terpuruknya nilai baht pada
gilirannya memperparah keadaan lembaga keuangan yang sebagian mempunyai pinjaman
luar negeri yang tidak di- hedged.Bubble economy yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya
kredit pada sektor properti yang dibiayai oleh bank dengan sumber dana hutang luar negeri
turut memberikan andil atas kondisi tersebut.
Menghadapi masalah ini, pemerintah Thailand terpaksa mengalihkan sistem nilai
tukar menjadi sistem mengambang dan meminta kepada IMF untuk memberikan paket
pinjaman guna menghadapi krisis tersebut. Paket pinjaman tersebut disertai dengan
program restrukturisasi sektor keuangan, peningkatan tabungan pemerintah dengan
menaikkan pajak, perbaikan transaksi berjalan, dan pengetatan moneter. Namun beberapa
pengamat menilai paket tersebut tidak memadai karena: pertama, dari sisi jumlah bantuan
yang dianggap terlalu kecil bagi ukuran Thailand yang telah banyak kehilangan cadangan
devisa untuk mempertahankan nilai baht, dan yang kedua adalah tidak adanya rekomendasi
yang memadai untuk menyelesaikan masalah hutang sektor swasta yang akan jatuh tempo
tahun 1997 dan berpotensi untuk menekan nilai baht.
64
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
A. Kebijakan Moneter
Peningkatan suku bunga yang dilakukan untuk menarik arus modal masuk telah
menyebabkan mandeknya fungsi bank-bank komersial sehingga tekanan-tekanan baik
sebagai akibat penutupan perusahaan keuangan, peningkatan standar perbankan, maupun
dari kebijakan suku bunga tinggi telah menjadikan kondisi perbankan menjadi semakin
terpojok. Kondisi ini telah mengakibatkan krisis likuiditas di Thailand pada akhirnya
mengganggu kegiatan dunia usaha sehingga peluang peningkatan ekspor sektor industri
yang seharusnya terjadi karena depresiasi nilai baht menjadi hilang. Gambaran umum
kinerja ekspor yang tidak menguntungkan ini masih terselamatkan oleh ekspor dari sektor
pertanian yang mengalami peningkatan karena naiknya harga produk-produk pertanian
di pasar internasional.
Pada bulan Mei 1998 dalam usahanya untuk menghidupkan kembali sektor industri,
Thailand telah bersepakat dengan IMF untuk menurunkan tingkat bunga dan meningkatkan
pertumbuhan jumlah uang beredarnya seiring dengan meningkatnya permintaan uang.
B. Kebijakan Perbankan
Diawali dengan pendirian FRA (Financial Sector Restructuring Agency) yang
bertanggung jawab atas rencana rehabilitasi perusahaan keuangan dan assetnya dan
pendirian AMC (Asset Management Corporation) yang mengurusi dan menjual asset yang
tidak sehat, Thailand melakukan penyehatan sistem keuangan di Thailand, antara lain
dengan menutup 58 perusahaan keuangan, dengan dasar kriteria kondisi likuiditas
perusahaan yang bersangkutan. Dari sisi upaya penyehatan sistem keuangan hal tersebut
memang baik, hanya saja dalam jangka pendek penutupan perusahaan keuangan yang
dilakukan ini telah menimbulkan berbagai masalah dan menyebabkan semakin merosotnya
perekonomian. Timbulnya berbagai masalah tersebut disebabkan oleh: pertama adanya
keterkaitan yang erat antara perusahaan keuangan dengan sektor usaha yang lain sehingga
penutupan itu mengakibatkan macetnya kegiatan usaha yang bertumpu pada pinjaman
dari perusahaan keuangan; kedua karena sumber dana dari perusahaan keuangan adalah
dari bank, maka penutupan itu berakibat pada peningkatan non-performing loan bank-bank
yang mempunyai konsekuensi pada peningkatan cadangan aktiva yang pada gilirannya
menghambat ekspansi kredit dari perbankan; ketiga adalah masalah kriteria penutupan
yang dipakai di mana banyak perusahaan keuangan yang mempunyai modal lebih besar
dari standar internasional tentang rasio kecukupan modal, ternyata ditutup dengan alasan
jumlah pinjaman dari bank sudah melebihi modal perusahaan itu. Langkah penutupan
perusahaan keuangan tersebut dilanjutkan dengan meningkatkan secara bertahap peraturan
perbankan yang menyangkut akuntansi perbankan, keterbukaan, peningkatan CAR dan
pengetatan kriteria non performing loan dan penyediaan cadangan penyisihan aktiva.
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
65
Korea Selatan
Kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam menyikapi krisis yang terjadi tidak
berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang terkena krisis dan
mendapatkan bantuan dari IMF. Kebijakan tersebut pada umumnya mengarah pada
liberalisasi perekonomian dalam rangka meningkatkan efisiensi dan pengetatan kegiatan
ekonomi dalam jangka pendek. Secara garis besar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Korea Selatan antara lain adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan Moneter dan Nilai Tukar
Seperti halnya negara lain yang mengalami krisis nilai tukar, Korea Selatan telah
melakukan kebijakan uang ketat dalam rangka meredam gejolak nilai tukarnya. Kebijakan
ini dilakukan bersamaan dengan restrukturisasi perbankan, liberalisasi pasar modal dan
peningkatan transparansi perusahaan-perusahaan. Selain itu, dalam rangka mengeliminir
kelemahan dari sistem kurs yang lama sejak bulan Desember 1997 Korea telah
mengambangkan nilai tukar won (free floating) dan menghilangkan daily exchange rate band.
Disetujuinya restrukturisasi hutang luar negeri perbankan jangka pendek sebesar US$ 22
miliar dan diterbitkannya obligasi pemerintah dalam denominasi US$ di luar negeri turut
mendukung upaya stabilisasi nilai won. Perkembangan lain yang terjadi adalah adanya
pergeseran struktural dimana Korea Selatan sekarang mengalami surplus transaksi berjalan.
Hal ini disebabkan karena menurunnya impor sebagai akibat dari terkontraksinya
perekonomian dan juga meningkatnya daya saing barang produksi Korea akibat dari
terdepresiasinya nilai won.
B. Kebijakan Perbankan
Usaha pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dilakukan
Pemerintah dengan cara:
1. Dalam periode Januari s.d. April 1998 Pemerintah menutup 14 merchant bank dan
mewajibkan merchant bank yang lain untuk memenuhi CAR sebesar 6% di bulan April
1998 dan 8% akhir Juni 1999. Di samping itu, Pemerintah mendirikan Lembaga Perantara
Merchant Bank untuk membayar deposito nasabah, mengambil alih, mengumpulkan dan
melikuidasi asset merchant bank yang ditutup.
2. Memberikan bantuan likuiditas (dalam won) kepada bank-bank yang mempunyai kaitan
dengan merchant bank yang ditutup.
3. Bank-bank yang tidak memenuhi batas minimal CAR diwajibkan untuk menyampaikan
rencana rekapitalisasi kepada Otoritas Pengawas Perbankan.
66
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
4. Pengkonsolidasian pelaksanaan deposit insurance oleh Korean Deposit Insurance Cooperation
(KDIC) serta memperluas cakupan kewajiban institusi (commercial, merchant dan
institusi keuangan lain) yang dijamin dalam deposit insurance.
5. Pendirian Supervisory Commission yang bertanggung jawab atas pengawasan dan
restrukturisasi bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Upaya-upaya tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan kebijakankebijakan tambahan (Agustus 1998), antara lain:
1. Memberikan bantuan keuangan kepada Bank of Korea, melakukan penyertaan modal
pada bank, dan memberikan special funding facility kepada merchant bank yang hampir
bangkrut sebesar lebih dari 50% modal bank yang bersangkutan.
2. Menyediakan special fund yang dirancang dalam Korea Asset Management Corporation
(KAMC), yang merupakan suatu wadah dimana bank-bank dapat menjual non-performing
asset-nya.
3. Pemerintah memberikan jaminan atas hutang-hutang luar negeri lembaga keuangan
Korea Selatan, termasuk bank komersial dan merchant bank.
C. Kebijakan Pasar Modal dan Investasi Asing
Di bidang pasar modal dan investasi asing, Pemerintah Korea Selatan menempuh
kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1. Peningkatan batas maksimal kepemilikan asing atas perusahaan publik Korea Selatan
secara keseluruhan dari 26% menjadi 50%, dan secara individual dari 7% menjadi 50%;
menghilangkan pembatasan investasi asing pada non-guaranteed bond yang dikeluarkan
oleh perusahaan kecil dan menengah; mengijinkan investasi asing dalam pasar guaranteed
corporate bond market (maturity > 3 tahun) dengan batas maksimal 10% untuk individual
dan secara keseluruhan maksimal 30% (11 Desember 1997).
2. Menaikkan batas maksimal investasi asing di non-guaranteed corporate (convertible) bond
dari 30 % menjadi 50% (12 Desember 1997).
3. Mengijinkan asing untuk melakukan investasi pada government bond dan special bond
sampai dengan 30% dan menghilangkan pembatasan investasi asing individual pada
corporate bond (23 Desember 1997).
4. Memperlunak pembatasan kepemilikan asing di bank komersial dan menghapus
maksimal kepemilikan sebesar 4%. Penguasaan modal bank oleh bank asing tidak
dibatasi, akan tetapi harus bertahap, tahap pertama 10%, tahap kedua 25%, dan 31%
Manajemen Moneter dalam Masa Krisis
67
pada tahap ketiga. Kepemilikan oleh individu domestik di atas 4% diperbolehkan
sepanjang pihak bank asing juga mempunyai kepemilikan yang sama atau lebih besar
(29 Desember 1997).
5. Penghapusan semua batas maksimal investasi asing pada pasar government bond,special
bond, dan corporate bond. Memperketat aturan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo di
atas 3 tahun (30 Desember 1997).
6. Menghilangkan restriksi pinjaman luar negeri perusahaan sampai dengan 2 juta USD
untuk perusahaan modal ventura. Pemerintah mengijinkan lembaga nonkeuangan
mengeluarkan surat hutang di pasar uang kepada pihak asing tanpa batas jumlah (16
Februari 1998).
7. Bank Asing dan Broker diijinkan mendirikan cabang-cabang.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
69
MANAJEMEN NILAI TUKAR DI INDONESIA DAN
PERMASALAHANNYA
Miranda S. Goeltom dan Doddy Zulverdi *)
Pendahuluan
N
ilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi
sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia.
Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem
devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return
investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin. Namun sejak currency turnmoil
melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pada pertengahan Juli
1997, capital inflow tersebut telah menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus
balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar rupiah maupun terhadap perekonomian
nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena
besarnya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek
perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut diperberat lagi
dengan semakin maraknya kegiatan speculative bubble, sehingga sejak krisis berlangsung
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%.
Krisis nilai tukar yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga saat ini belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sehingga telah mempengaruhi kinerja perekonomian
nasional. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dan bahkan telah memasuki
masa resesi yang cukup dalam, inflasi meningkat pesat baik karena gangguan produksi maupun
karena imported inflation, tingkat pengangguran semakin meningkat dan penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan semakin banyak, serta permasalahan-permasalahan lainnya.
Disadari bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah hanya merupakan muara dari akumulasi
permasalahan ekonomi yang selama ini terpendam baik yang dialami di sektor moneter,
perbankan dan sektor riil. Dengan demikian usaha menstabilkan nilai tukar rupiah tidak
akan bermanfaat jika tidak didukung dengan usaha-usaha pembenahan seluruh kelemahan
aspek perkonomian nasional baik berupa sistem, perangkat dan peraturan. Sehubungan
dengan hal tersebut pembenahan di sektor mikro bersamaan dengan kebijakan makro untuk
*) Miranda S. Goeltom : Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Operasi Pengendalian Moneter, dan
Devisa, Bank Indonesia.
Doddy Zulverdi
: Peneliti Ekonomi Junior, Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI
70
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan langkah yang ideal untuk dilakukan agar
Indonesia dapat segera keluar dari krisis.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut serta permasalahan dan karakteristik
perekonomian nasional, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mempercepat
stabilitas nilai tukar rupiah guna mempercepat usaha pemulihan ekonomi nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut maka mendiskusikan manajemen moneter yang ideal untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan suatu topik yang menarik untuk dikaji pada
kesempatan ini. Berbagai pendapat masih diperdebatkan mengenai manajemen nilai tukar
yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Termasuk apakah sistem nilai tukar flexible cukup
memadai untuk perekonomian Indonesia, dan apakah langkah untuk mengisolasikan nilai
tukar suatu negara dari perekonomian global misalnya melalui capital control seperti yang
dilakukan oleh Malaysia, cukup memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
Kesemua hal tersebut akan dibahas dalam paper ini, yang pembahasannya dibagi
atas tujuh bagian. Bagian kedua akan membahas secara singkat aspek teoritis dari sistem
nilai tukar dikaitkan dengan sistem devisa yang dianut suatu negara. Bagian ketiga akan
mendiskusikan perkembangan manajemen nilai tukar di Indonesia. Bagian keempat akan
membahas perkembangan sistem devisa di Indonesia. Bagian lima akan membahas
permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia dalam era nilai
tukar mengambang (floating exchange rate). Bagian keenam akan mendiskusikan arah
kebijakan nilai tukar dan sistem devisa di masa yang akan datang. Sementara bagian terakhir
akan menyajikan kesimpulan dari tulisan ini.
Sistem Nilai Tukar dan Sistem Devisa: Tinjauan Teoritis
Sistem Nilai Tukar dan Kaitannya dengan Sistem Devisa
Model Mundell (1968) - Fleming (1962) merupakan alat analisis yang paling populer
dalam menjelaskan mekanisme transmisi moneter dalam suatu perekonomian terbuka yang
menerapkan salah satu dari dua pilihan ekstrim sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar
tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Model
tersebut mengasumsikan suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dengan skala
ekonomi yang relatif kecil. Hal ini mengandung implikasi bahwa, bagi negara tersebut, suku
bunga internasional, tingkat harga internasional, dan tingkat pendapatan internasional
merupakan variabel-variabel eksogen. Implikasi lain adalah suku bunga domestik akan
selalu bergerak searah dengan pergerakan suku bunga internasional.
Berdasarkan kerangka model tersebut, di suatu negara yang menerapkan sistem nilai
tukar tetap, otoritas moneter tidak memiliki keleluasaan dalam mengendalikan kondisi
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
71
moneter domestik. Suatu kebijakan ekspansi moneter melalui pembelian surat berharga pasar
uang, misalnya, hanya akan mendorong perubahan portofolio bank sentral dari devisa
menjadi surat berharga pasar uang domestik tanpa mengubah jumlah uang beredar.
Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Akibat kebijakan ekspansi moneter, suku
bunga domestik akan mengalami tekanan ke bawah. Karena surat-surat berharga di pasar
domestik merupakan substitusi sempurna dari surat-surat berharga di pasar internasional
maka tekanan penurunan suku bunga domestik akan mendorong para pemilik dana untuk
membeli surat-surat berharga luar negeri yang selanjutnya akan menimbulkan tekanan
depresiasi mata uang domestik. Bank sentral, dalam upayanya mempertahankan nilai tukar,
akan terpaksa melakukan intervensi di pasar valas dan mengurangi jumlah cadangan devisa
yang berarti akan mengurangi jumlah uang beredar dan mendorong kenaikan suku bunga
domestik, masing-masing kembali mendekati tingkat semula
Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar tetap adalah:
• Bank sentral tidak dapat mengendalikan jumlah uang beredar (endogen).
• Bank sentral harus memelihara cadangan devisa dalam jumlah yang memadai.
• Untuk mempertahankan kredibilitas kebijakan nilai tukar tetap dan menghindari
terkurasnya cadangan devisa, otoritas moneter dan otoritas fiskal harus menghindarkan
diri dari kebijakan yang bersifat inflasioner.
• Apabila terjadi tekanan inflasi domestik yang bersifat eksogen baik yang bersumber dari
dalam negeri (seperti gangguan pasokan pangan) maupun dari luar negeri (seperti kenaikan
harga-harga internasional), alternatif kebijakan devaluasi adalah pilihan yang berat namun
harus diambil selama kondisi cadangan devisa tidak memadai untuk mendukung nilai tukar.
Bagi suatu negara yang sangat rentan terhadap gangguan eksternal (misalnya karena
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor luar negeri) maupun gangguan internal
(misalnya karena sering mengalami gangguan alam), kebijakan nilai tukar tetap merupakan
kebijakan yang mengandung resiko tinggi. Resiko devaluasi akan selalu menghantui para
pelaku ekonomi domestik dan investor asing sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi
dan menyuburkan perilaku spekulasi.
Sementara itu, bagi suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang,
otoritas moneter memiliki keleluasaan untuk mengendalikan jumlah uang beredar karena ia
tidak memiliki kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. Apabila
tingkat harga-harga domestik bersifat rigid, suatu kebijakan ekspansi moneter akan
mendorong depresiasi nilai tukar dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri
sehingga produksi nasional akan terdorong naik.
72
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Dornbusch (1976) memperkenalkan pengembangan dari model Mundell-Fleming untuk
sistem nilai tukar mengambang dengan memasukkan konsep dinamik dan rational expectations.
Pengembangan tersebut memungkinkan adanya penyesuaian harga, suku bunga, dan
ekspektasi secara bertahap di pasar asset sehingga kebijakan moneter hanya akan memiliki
dampak sementara (transitory) terhadap tingkat produksi. Dengan perkataan lain, dalam
jangka panjang ketika tingkat harga sudah sepenuhnya menyesuaikan diri dengan perubahan
nilai tukar, kebijakan moneter akan bersifat netral terhadap tingkat produksi.
Implikasi kebijakan dari sistem nilai tukar mengambang adalah:
• Dalam jangka pendek, bank sentral memiliki keleluasaan dalam mengendalikan jumlah
uang beredar (eksogen).
• Bank sentral tidak perlu memelihara cadangan devisa dalam jumlah besar.
• Meskipun kebijakan ekspansioner akan mampu meningkatkan tingkat produksi namun
tetap harus memperhatikan daya dukung perekonomian domestik (kapasitas produksi
nasional). Jika tidak, kebijakan ekspansioner tersebut pada akhirnya akan mendorong
kenaikan laju inflasi.
Di antara dua kutub sistem nilai tukar, terdapat banyak varian sistem nilai tukar
yang merupakan kompromi dari kedua sistem tersebut. Perbedaan mendasar di antara
berbagai varian tersebut terletak pada tingkat intensitas intervensi yang dilakukan oleh
otoritas moneter di pasar valas. Salah satu sistem yang banyak dianut adalah sistem
mengambang terkendali (managed floating). Dalam sistem ini, target nilai tukar yang
ditetapkan oleh otoritas moneter seringkali tidak diumumkan kepada publik dan bersifat
fleksibel. Sasaran akhir dari sistem ini biasanya adalah mempertahankan nilai tukar riil
pada level yang mampu menjaga daya saing produk dalam negeri. Sistem ini cukup kredibel
apabila laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah dan pemerintah
menjalankan kebijakan ekonomi makro yang berhati-hati. Meskipun tidak sebesar yang
dibutuhkan untuk mempertahankan kebijakan nilai tukar tetap, sistem mengambang
terkendali masih membutuhkan tersedianya cadangan devisa.
Jenis Sistem Devisa
Pada umumnya sistem devisa dapat dibagi dua, yaitu sistem devisa kontrol dan
sistem devisa bebas. Dalam sistem devisa kontrol, kegiatan transaksi devisa baik residen
maupun nonresiden dibatasi oleh Pemerintah. Derajat tingkat pembatasan berbeda-beda
pada masing-masing negara tergantung pada ultimate target dari kebijakan tersebut.
Sementara pada sistem devisa bebas tidak ada pembatasan dalam melakukan transaksi
devisa baik yang dilakukan oleh residen maupun non residen.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
73
Kebijakan devisa suatu negara berkaitan erat dengan kebijakan nilai tukarnya.
Kebijakan devisa bebas biasanya diikuti dengan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel
baik managed floating maupun flexible exchange rate. Negara-negara yang menerapkan sistem
nilai tukar tetap umumnya menerapkan kebijakan devisa yang terkontrol, misalnya Cina,
Chili dan terakhir adalah Malaysia. Kontrol devisa dilakukan dalam rangka
mempertahankan nilai tukar dari tekanan-tekanan. Dengan kontrol devisa maka permintaan
devisa akan dapat dikendalikan, sementara penawaran devisa dapat ditingkatkan khususnya
yang berasal dari penerimaan ekspor. Kontrol devisa ini juga bermanfaat untuk
mengisolasikan mata uang suatu negara dari kegiatan speculative bubble. Namun, di sisi
lain kontrol devisa mempunyai implikasi negatif, seperti menciptakan black market, nilai
tukar yang overvalued, dan meningkatkan distorsi ekonomi dalam jangka pendek, serta
dalam hal birokrasi suatu negara tidak bersih maka dapat meningkatkan korupsi.
Fungsi Nilai Tukar
Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal penting bagi perekonomian suatu
negara karena hal tersebut merupakan satu alat yang dapat digunakan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak
perekonomian global. Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara
mempunyai beberapa fungsi utama. Pertama, berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan
devisa. Oleh karena itu, dalam menetapkan arah kebijakan nilai tukar tersebut diutamakan
untuk mendorong dan menjaga daya saing ekspor dalam upaya untuk memperkecil defisit
current account atau memperbesar surplus current account.Fungsi kedua adalah untuk menjaga
kestabilan pasar domestik. Fungsi ini untuk menjaga agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai
alat untuk spekulasi, dalam arti bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami
overvalued maka masyarakat akan terdorong membeli valuta asing, dan sebaliknya apabila
undervalued maka masyarakat akan terdorong menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar
domestik yang demikian dapat menimbulkan kegiatan spekulatif seperti perkembangan
akhir-akhir ini, yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan makro. Fungsi ketiga
sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang menerapkan suku bunga dan nilai
tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan
apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dan ekspansi jumlah uang
beredar. Fungsi keempat adalah sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai
tukar banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal
anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan mem-peg-kan nilai
tukar suatu negara dengan satu mata uang asing. Sebagai gambaran pada akhir tahun
1970an, orthodox programs dilaksanakan di Argentina, Chili dan Uruguay dan pada
74
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
pertengahan tahun 1980an, heterodox programs dilaksanakan di Argentina, Brazil, Israel
dan Mexico, selain itu juga pada tahun 1991 convertibility plan diterapkan di Argentina.
Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Tukar
Pemilihan rezim nilai tukar pada umumnya didasarkan atas beberapa pertimbangan,
seperti tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara terhadap perekonomian global,
tingkat kemandirian suatu negara dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi di dalam
negeri, dan aktivitas perekonomian suatu negara.1 Pertimbangan pertama adalah preferensi
suatu negara terhadap keterbukaan ekonominya, apakah suatu negara lebih cenderung
menerapkan kebijakan ekonomi yang terbuka atau tertutup. Dalam hal suatu negara lebih
cenderung menganut ekonomi yang lebih tertutup dan ingin mengisolasikan gejolak
keuangan dari negara lain (contagion effect) maka fixed exchange rate merupakan prioritas
utama. Sementara apabila suatu negara lebih condong terbuka maka pilihan nilai tukar
yang lebih fleksibel merupakan pilihan utama karena dengan sistem ini capital inflow dapat
disterilisasi melalui sistem tersebut.
Dari aspek kemandirian dalam melaksanakan kebijakan ekonomi, misalnya dalam
hal melaksanakan kebijakan moneter yang independen, maka sistem nilai tukar fleksibel
merupakan pilihan utama. Sementara apabila dilihat dari aspek aktivitas ekonomi maka
semakin besar skala ekonomi suatu negara berarti semakin besar kegiatan volume transaksi
ekonomi sehingga permintaan akan uang juga semakin meningkat. Dalam hal ini, sistem
yang tepat digunakan adalah sistem nilai tukar fleksibel karena jika negara tersebut memiliki
sistem nilai tukar tetap maka dibutuhkan cadangan devisa yang sangat besar untuk menjaga
kredibilitas sistem nilai tukar tersebut.
Sementara itu, dasar pertimbangan pemilihan nilai tukar dalam konteks terjadinya
underlying shock pada pasar uang dan pasar barang (LM dan IS) dikemukakan oleh Garber
dan Svenson (1994). Dalam hal gejolak yang terjadi di pasar uang (LM) relatif lebih besar
dari gejolak yang terjadi di pasar barang (IS) maka pilihan yang lebih baik adalah floating
exchange rate. Bila kasus sebaliknya, gejolak di pasar barang (IS) relatif lebih besar dari
gejolak di pasar uang (LM) maka pilihan yang lebih baik adalah fixed exchange rate. Dalam
hal keduanya tidak ada yang dominan maka kebijakan yang terbaik adalah managed floating.
1 Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai pertimbangan pemilihan sistem nilai tukar dapat dilihat pada
Manuel Guitian, The Choice of an Exchange Rate Regime dalam Approaches to Exchange Rate Policy, Washington,
D.C., International Monetary Fund.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
75
Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Sesuai dengan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu
tugas Bank Indonesia adalah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar
rupiah. Secara garis besar, sejak tahun 1970 Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai
tukar, yaitu:
a. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978)
♦ Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai
tukar tetap dengan kurs resmi Rp250 per 1 USD (sebelumnya Rp45 per 1 USD), sementara
kurs mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap USD di bursa
valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.
♦ Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para
eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya
dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia. Namun demikian, dalam rezim
ini tidak ada pembatasan dalam hal kepemilikan, penjualan maupun pembelian valuta
asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut maka Bank Indonesia
harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan valuta asing bank komersial untuk memenuhi
permintaan para importir maupun masyarakat yang membutuhkan valuta asing. Pada
masa tersebut, pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap US dollar, dimana penentuan
nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar kurs nilai tukar riil. Dengan
sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki wewenang penuh dalam mengawasi
transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah
ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
♦ Sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada awal tahun 1970-an masih
dimungkinkan karena lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa
masih relatif kecil dan belum ada pasar valuta asing serta mata uang rupiah belum menjadi
tradable good dan kegiatan spekulasi valas belum ada. Di samping itu, pemerintah masih
melakukan pembatasan-pembatasan dalam hal melakukan pinjaman luar negeri,
penanaman modal asing, dan portfolio investment, sehingga intervensi langsung yang
dilakukan oleh pemerintah dapat bekerja efektif.
♦ Disadari bahwa nilai tukar yang overvalued dapat mengurangi daya saing produk-produk
ekspor di pasar internasional. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah melakukan
devaluasi sebanyak 3 kali, masing-masing pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp378
per 1 USD, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 USD dan pada
tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 USD.
76
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
b. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997)
♦ Pada sistem ini nilai tukar rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket
of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Kebijakan ini
diimplementasikan bersamaan dengan dilakukannya devaluasi Rupiah pada tahun 1978
sebesar 33,6%. Dengan sistem tersebut, pemerintah menetapkan kurs indikasi dan
membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas
atas atau batas bawah dari spread.
♦ Perkembangan nilai tukar rupiah selama periode managed floating dapat dilihat dalam
grafik 1. Dalam pelaksanaannya, sistem ini mempunyai esensi yang berbeda-beda sesuai
dengan karakteristik perekonomian pada saat tersebut. Karakteristik tersebut berhubungan
erat dengan seberapa besar Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar tersebut dengan
melakukan penekanan pada unsur management atau floating-nya.
Grafik 1.
Perkembangan Nilai Tukar Rp/USD
1978:I - 1998:8
16 0 0 0
150 0 0
14 0 0 0
13 0 0 0
12 0 0 0
110 0 0
10 0 0 0
9000
8000
70 0 0
6000
50 0 0
4000
3000
2000
10 0 0
0
16 0 0 0
150 0 0
14 0 0 0
13 0 0 0
12 0 0 0
110 0 0
10 0 0 0
9000
8000
70 0 0
6000
C r awling
M anaged
M anaged F lo at ing I
50 0 0
B and
F lo at ing II
4000
3000
F lexible2 0 0 0
10 0 0
0
78 79 8 0 8 1 8 2 8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8
♦ Sesuai dengan karakteristiknya maka sistem nilai tukar mengambang terkendali pada
periode tersebut dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu managed floating I, managed
floating II,dan crawling band. Periode 1978 - 1986 dapat dianggap sebagai periode managed
floating I di mana unsur manajemen lebih besar dari floating. Kondisi tersebut terlihat
dari pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan relatif baru terjadi
pada tahun-tahun tertentu, yaitu pada saat Bank Indonesia melakukan devaluasi rupiah.
Cukup kuatnya unsur manajemen pada periode tersebut tidak terlepas dari kondisi
perekonomian yang relatif belum berkembang seperti saat ini, sehingga Bank Indonesia
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
77
tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan nilai tukar sesuai dengan target yang
diinginkan dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga daya saing produkproduk ekspor.
♦ Perkembangan selanjutnya dengan semakin terbukanya perekonomian nasional terhadap
perekonomian dunia yang ditandai dengan semakin besarnya capital inflow ke Indonesia,
serta semakin pesatnya perkembangan sektor keuangan dan dunia usaha maka kebijakan
nilai tukar managed floating, lebih ditekankan pada unsur floatingnya sementara unsur
pengendaliannya (managed) semakin mengecil (periode managed floating II /1987-1992).
Dalam periode ini, kekuatan pasar semakin besar sehingga unsur floating semakin
dirasakan perlu mengingat manajemen yang terlalu dominan dapat berakibat misalignment
pada nilai tukar riil. Dalam grafik 1 terlihat bahwa perubahan nilai tukar terjadi setiap
saat, dan ini merupakan gambaran dari upaya Bank Indonesia untuk menyesuaikan
nilai tukar rupiah dengan kondisi pasar atau daya saing perekonomian.
♦ Fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai
tukar crawling band sejak tahun 1992 hingga Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai
tukar tersebut telah mendorong perkembangan pasar valuta asing dalam negeri, yang
tercermin dari semakin berkurangnya ketergantungan bank-bank kepada Bank Indonesia
dalam melakukan transaksi devisa. Kegiatan transaksi valas yang sebelumnya dilakukan
bank dengan Bank Indonesia hampir seluruhnya telah bergeser ke pasar valas antarbank.
Di samping itu, jumlah pelaku transaksi juga semakin meningkat dan produk pasar valuta
asing semakin bervariasi. Hal ini terlihat dari transaksi swap Bank Indonesia yang menurun
tajam dari sebesar USD 13 miliar pada tahun 1991 menjadi sebesar USD 1 miliar tahun
1994. Sebaliknya transaksi swap antarbank meningkat dari USD 29 miliar pada tahun
1991 menjadi sebesar USD 596 miliar pada tahun 1997. Pada sisi lain, peningkatan
fleksibilitas melalui pelebaran rentang intervensi juga telah memberikan keleluasaan
kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter sehingga dapat
mempermudah perencanaan pelaksanaan operasi pasar terbuka.
c. Sistem nilai tukar mengambang bebas (sejak 14 Agustus 1997)
♦ Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah mengalami tekanan-tekanan yang
menyebabkan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Tekanan tersebut
berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke
Indonesia dan negara ASEAN sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang
mempunyai kemiripan. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia antara lain
dengan dengan melakukan intervensi baik secara spot maupun forward untuk sementara
memang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.
78
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
♦ Namun tekanan depresiatif tersebut semakin meningkat khususnya lagi sejak awal
Agustus 1997, di mana rupiah telah menembus Rp2.650 per 1 USD. Sehubungan dengan
itu dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pada
tanggal 14 Agustus, pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi dan
menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (flexible exchange rate)
.
♦ Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif
dari kegiatan spekulatif terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan
moneter dalam negeri. Walaupun Indonesia telah menganut flexible exchange rate, namun
kegiatan intervensi valas masih tetap dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghilangkan distorsi-distorsi di pasar valuta asing mengingat pasar ini belum
sempurna dan kurang rasional.
♦ Dalam perkembangannya pergerakan nilai tukar rupiah pada era floating tersebut
mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Fluktuasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor fundamental ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor non ekonomis yang umumnya
dimanfaatkan oleh para spekulan valas (lihat grafik 2). Beberapa faktor pendorong yang
mengakibatkan terus bergejolaknya nilai tukar rupiah tersebut sebenarnya berasal dari
banyaknya kelemahan faktor fundamental mikroekonomi, sedangkan efek menular
(contagion effect) dari krisis nilai tukar Thailand hanya merupakan pemicu saja. Beberapa
kelemahan faktor fundamental mikroekonomi tersebut adalah: Pertama, besarnya
ketergantungan swasta terhadap sektor luar negeri, sehingga dalam lima tahun terakhir
utang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% dibandingkan dengan utang
luar negeri pemerintah yang naik hanya sebesar 0,4% per tahun. Dengan demikian pangsa
utang luar negeri swasta meningkat dari sebesar 29% pada tahun 1993 menjadi sebesar
57% pada akhir tahun 1997. Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan banyaknya dana
tersebut diinvestasikan pada sektor usaha konsumtif, seperti properti, dan sektor usaha
lainnya yang rendah tingkat efisiensinya, disamping dana tersebut tidak dilindung nilai
(unhedged);Kedua, pertumbuhan ekspor yang melambat pada tahun terakhir sebagai akibat
rendahnya efisiensi sektor dunia usaha; Ketiga; kerapuhan (fragility) sektor keuangan
khususnya sektor perbankan sebagai akibat pengelolaan usaha yang lemah dan kurang
transparan serta pemberian kredit yang terkait dengan bank, sehingga meningkatkan non
performing loan dan resiko usaha bank. Kesemua hal tersebut telah menyebabkan capital
outflow akibat berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian
Indonesia.
♦ Melihat kecenderungan perkembangan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah telah mengalami,
turning point sejak tanggal 10 Juli 1998. Kecenderungan penguatan rupiah tersebut terlihat
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
79
Grafik 2
Perkembangan Kurs Rp/USD Jan. 1998 s.d. September 1998
17,000
IM F tetap commit utk mem bantu RI dan
gerakan Aku cinta Rupiah (12 Jan. '98)
16,000
Suku bunga Intervensi
dinaikkan menjadi 70%
Penanda t anganan Suplementary Let ter
of Inten II 1MF ( 24Juni 98)
15,000
Kebijakan OPT relatif
ketat dan intervensi valas
Pemerintah menjamin deposan & kreditur (27
Jan 98) &kenaik an suku bunga SBI (27jan 98)
14,000
13,000
12,000
IMF tdk setuju dgn Renc.
PenerapanCBS (16 Feb98)
11,000
M elemahnyaJPY
M g.I s/d M gIII Juni
10,000
9,000
Berbagai kerusuhan dan
demonstarsi mhs
M g II Sep 98
Berbagai kerusuhan
/Peristiwa Mei *98
8,000
7,000
Isu Penerapa CBS
(Mg I s/d IIFeb 98)
6,000
Penanda t anganan Suplementary
Let ter of Inten 1MF ( 8 Apr 98)
5,000
Reaksi negatif pasar terhadap RAPBN 98/ 99
yg dinilai ekspansif & kritik IMF thp
reformasi yg lambat7 s/d 8 Januari '98
4,000
3,000
Kenaikkan suku bunga
SBI (23 Mar 1998)
2,000
2
9 16 23 2
Jan98
9 16 23 2
Feb
9 16 23 30 6 15 22 30 7 15 25 1
Mar
Apr
Mei
8 15 22 29 7 14 21 28 4 11 19 26 2
Jun
Jul
Agt
9 16 23
Sept
jelas apabila kita mengurangi disturbances pada series nilai tukar Rupiah/USD, dengan
menggunakan metode moving average 20 hari (Grafik 3). Kebijakan moneter yang ketat
dan intervensi valuta asing yang tepat waktu merupakan faktor pendorong penguatan
nilai tukar rupiah tersebut.
Grafik 3
Perkembangan Kurs Tengah Antar Bank
(Moving 20 days)
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
1 11 24 5 15 27 8 18 30 10 22 3 13 25 8 18 31 13 23 5 17 27 11 23 2 16 29 12 25 4 16 26 9 21 31 12 25 4 16
July
Aug.
Sept
Oct. Nov.
Dec.
Jan. Feb
Mar. April
Mei June
Jul.
Aug Sept
1997
.
1998
80
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Perkembangan Kebijakan Devisa di Indonesia
a. Sistem Devisa Kontrol
♦ Hingga tahun 1967, Indonesia menerapkan sistem devisa kontrol yang cukup ketat, di
mana sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa
ditetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai
oleh negara. Eksportir wajib menjual devisa hasil ekspor kepada bank devisa yang
selanjutnya dijual kembali kepada Bank Indonesia. Di samping itu, warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat
berharga dalam valuta asing yang dimilikinya pada bank devisa pemerintah.
♦ Kebijakan ini cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap
pengaruh eksternal, namun di sisi lain kebijakan ini telah menciptakan pasar gelap valuta
asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh di atas harga yang ditetapkan oleh
pemerintah.
b. Sistem Devisa Bebas
♦ Sejak tahun 1967 secara berangsur-angsur kontrol devisa mulai dilepas dan sistem devisa
Indonesia mulai mengarah ke sistem devisa bebas khususnya lagi sejak dikeluarkannya
Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang
ini bertujuan untuk menarik masuknya modal asing dalam rangka pembiayaan investasi
di dalam negeri. Dalam perkembangannya ternyata masih ada keraguan investor asing
bahwa mereka tidak akan dapat mengirimkan keuntungan usaha ke negaranya (profit
transfer). Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 16 tahun 1970 tentang penyempurnaan pelaksanaan ekspor, impor dan
lalu lintas devisa. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan bahwa setiap orang dapat dengan
bebas memperoleh dan menggunakan devisa umum.
♦ Indonesia memasuki sistem devisa bebas murni sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 tentang penghapusan kewajiban penjualan devisa
hasil ekspor kepada Bank Indonesia. Penerapan sistem devisa bebas telah memberikan
implikasi positif dalam mendorong aliran modal masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk
penanaman modal asing, pinjaman, dan investasi portfolio di pasar modal. Aliran modal
masuk tersebut sangat diperlukan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan
yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri sekaligus menutup kesenjangan
antara investasi dan tabungan (saving-investment gap) yang selama 3 dasa warsa terakhir
mencapai sekitar 3% dari GDP. Arus modal tersebut telah memberikan kontribusi yang
cukup besar dalam mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi pada masa-masa tersebut.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
81
♦ Di sisi lain sistem devisa bebas juga mempunyai implikasi negatif karena dapat
menimbulkan kerawanan pada perekonomian nasional apabila tidak diikuti dengan sikap
kehati-hatian para pelaku ekonomi. Besarnya arus modal masuk khususnya dana-dana
yang berjangka pendek yang ditanamkan dalam bentuk portfolio investment, dapat
membahayakan perekonomian nasional apabila arus dana tersebut seketika berbalik
menjadi arus modal keluar. Krisis yang dialami negara Amerika Latin seperti Meksiko
pada tahun 1994, dan krisis ekonomi terakhir yang terjadi di Thailand, Indonesia dan
negara ASEAN lainnya merupakan bukti dari berbahayanya hot capital inflows tersebut.
Permasalahan yang Dihadapi Indonesia Saat Ini
Sistem nilai tukar mengambang terkendali yang berlaku di Indonesia sejak tahun
1978 s.d. 14 Agustus 1997 telah memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan
ekonomi. Terlepas dari itu, dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan yang
telah memaksa Indonesia untuk secara bertahap menyesuaikan kebijakan nilai tukar hingga
akhirnya beralih ke sistem nilai tukar mengambang.
Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam era nilai tukar
mengambang penuh (free floating rate), yaitu:
♦ Hilangnya kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap sistem perbankan dan prospek
ekonomi dalam negeri telah mendorong derasnya arus modal ke luar. Dalam kondisi
ini, built-in automatic adjustment yang seharusnya bekerja melalui pengaruh kenaikan
suku bunga domestik terhadap arus balik modal asing sehingga nilai tukar kembali stabil
ternyata tidak bekerja efektif karena tidak adanya faktor kepercayaan tersebut.
♦ Faktor rendahnya kepercayaan telah membuat harga dari instrumen-instrumen keuangan
yang lazim digunakan untuk melindungi nilai ekonomi dari pengaruh fluktuasi nilai
tukar (hedging) meningkat sedemikian tingginya sehingga secara ekonomis menjadi tidak
layak untuk digunakan.
♦ Kegiatan ekspor yang seharusnya meningkat tajam akibat depresiasi nilai tukar riil yang
sangat tajam (hampir 300% hingga bulan Agustus 1998), ternyata menunjukkan kinerja
yang tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar riil telah
menurunkan impor secara drastis sehingga semakin memperburuk kinerja sektor
produksi dan mengurangi pasokan barang di dalam negeri sehingga semakin menambah
tekanan inflasi.
♦ Jumlah hutang luar negeri yang sangat besar semakin menambah tekanan permintaan
terhadap valuta asing.
82
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
INDONESIA'S BALANCE OF PAYMENT
in million of US$
Items
NON OIL/GAS (net)
Exports, fob
Imports, fob
Services, net
Q1
-3724
9771
-10795
-2700
1996/97
Q2
Q3
-3068
-2430
9965
10073
-10410
-9822
-2623
-2681
Q4
-3384
9458
-10099
-2743
Q1
-1634
11980
-10168
-3446
1997/98
Q2
Q3
-1779
-599
11782
11356
-11157
-10023
-2404
-1932
Q4
795
10806
-7271
-2740
OIL(net)
Exports, fob
Imports, fob
Services, net
489
1687
-756
-442
286
1709
-995
-428
368
2147
-1313
-466
116
1970
-1359
-495
82
1650
-1019
-549
48
1527
-963
-516
-86
1624
-1164
-546
-113
1053
-668
-498
GAS(net)
Exports, fob
Imports, fob
Services, net
647
1070
-67
-356
656
1142
-68
-418
1009
1512
-68
-435
966
1534
-67
-501
450
1107
-68
-589
336
1055
-68
-651
483
1254
-68
-703
318
968
-67
-583
-2588
12528
-11618
-3498
-2126
12816
-11473
-3469
-1053
13732
-11203
-3582
-2302
12962
-11525
-3739
-1102
14737
-11255
-4584
-1395
14364
-12188
-3571
-202
14234
-11255
-3181
1000
12827
-8006
-3821
OFFICIAL CAPITAL
PRIVATE CAPITAL (net)
-434
2427
7
2832
56
3812
-449
4417
362
1864
-191
1981
3158
-8600
870
-7072
CAPITAL ACCOUNT
1993
2839
3868
3968
2226
1790
-5442
-6202
TOTAL
-595
713
2815
1666
1124
395
-5644
-5202
ERROR & OMISSIONS
1103
-781
-105
-918
1119
-1691
-496
374
MONETARY MOVEMENTS
-508
68
-2710
-748
-2243
1296
6140
4828
16483
-
16415
-
19125
-
19873
-
28854
27559
21418
16590
CURRENT ACCOUNT
Exports, fob
Imports, fob
Services, net
MEMORANDUM ITEMS
Official Reserves
Gross Foreign Assets Outstanding
Sumber : Bank Indonesia
♦ Pada awalnya, anjloknya nilai tukar rupah lebih banyak berdampak negatif terhadap
kinerja keuangan perusahaan-perusahaan yang memiliki beban hutang, khususnya
hutang luar negeri, yang besar. Namun, seiring dengan kontraksi permintaan domestik
yang sangat tajam, kinerja perusahaan-perusahaan lain juga ikut memburuk.
♦ Cukup cepatnya proses pass-through perubahan nilai tukar terhadap harga-harga di dalam
negeri telah memicu lonjakan laju inflasi di dalam negeri. Hasil penelitian Bank Indonesia
(1998) menunjukkan bahwa suatu tekanan depresiasi nilai tukar akan segera
meningkatkan laju inflasi dalam periode 1 - 2 bulan sejak terjadinya tekanan tersebut.
Pengaruhnya baru akan benar-benar hilang setelah 9 - 10 bulan sejak awal terjadinya
tekanan depresiasi.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
83
Manajemen Nilai Tukar Mendatang
Kebijakan Nilai Tukar
Sejak diterapkannya kebijakan nilai tukar mengambang penuh (freefloatingrate) tanggal
14 Agustus 1997, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan-tekanan yang berat baik dari
faktor ekonomi maupun non-ekonomi serta faktor internal maupun non-eksternal. Semua
faktor ini datang dalam waktu yang bersamaan dan semua memberikan tekanan yang kuat
pada rupiah untuk terus mengalami depresiasi. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah
berfluktuasi secara tajam sehingga sulit untuk menilai efektivitas sistem nilai tukar
mengambang yang telah diterapkan dan sejauh mana kebijakan ini lebih baik dibandingkan
dengan kebijakan sebelumnya yaitu sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dengan
kata lain, timing dalam menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang memang tidak
menguntungkan meskipun keputusan tersebut kemungkinan merupakan pilihan yang
terbaik ketika itu.
Sampai saat ini kita masih menganut kebijakan nilai tukar mengambang karena
diyakini bahwa sistem ini masih yang terbaik dalam situasi perekonomian Indonesia yang
masih mengalami berbagai permasalahan seperti capital outflows,loss of confidence dari
investor asing, besarnya corporate foreign debt, dan menurunnya nilai ekspor. Seluruh masalah
tersebut membuat penerapan kebijakan nilai tukar terkendali atau tetap menjadi terlalu
riskan, apalagi jumlah cadangan devisa yang dikuasai pemerintah relatif kecil. Sistem ini
dikatakan masih terbaik mengingat bahwa bank sentral tidak memiliki kewajiban untuk
melakukan intervensi di pasar valuta asing karena tidak terikat pada satu target nilai tukar
rupiah.
Di dalam sistem nilai tukar mengambang, penguatan nilai rupiah diharapkan akan
secara bertahap terjadi melalui penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati,
restrukturisasi perbankan, penyelesaian hutang luar negeri, dan perbaikan sektor riil.
Dukungan baik dalam bentuk dana maupun keahlian dari berbagai lembaga keuangan
internasional dan negara-negara sahabat diharapkan akan lebih menjamin keberhasilan
berbagai upaya tersebut. Namun, kenyataannya prospek keberhasilan masih diselimuti
kabut akibat:
(i)
Masih adanya keraguan pasar terhadap kestabilan politik Indonesia dan/atau
kemampuan Pemerintah menjamin keamanan warganya.
(ii) Masih adanya keraguan terhadap kemampuan ekonomi Indonesia dalam memikul
beban hutang luar negeri di masa-masa yang akan datang. Keraguan tersebut terutama
berkaitan dengan ketidakyakinan pasar akan kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
(iii) Keraguan terhadap kecepatan pemulihan kondisi perbankan.
84
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Selama keragu-raguan pasar tersebut masih belum berhasil dihilangkan maka upaya
penguatan nilai tukar rupiah akan memakan waktu yang lebih lama daripada yang dapat
ditanggung oleh ketahanan sosial ekonomi bangsa ini. Oleh karena itu, sangat beralasan
apabila muncul desakan untuk mencari alternatif kebijakan yang dapat mempercepat proses
penguatan rupiah. Salah satu alternatif kebijakan yang diusulkan adalah kembali
menerapkan sistem rentang intervensi atau crawling peg (salah satu varian dari sistem
managed floating). Rentang intervensi tersebut harus dipertahankan dengan disiplin moneter
yang ketat yang mengandung implikasi bahwa apabila jumlah cadangan devisa tidak
memadai untuk mempertahankan rentang intervensi maka pilihan kebijakan suku bunga
tinggi harus diterapkan.
Kemungkinan timbulnya dampak berupa penerapan kebijakan suku bunga tinggi
tentunya akan menimbulkan keberatan dari dunia usaha. Akan tetapi pilihannya bukanlah
antara suku bunga tinggi atau rendah melainkan antara:
(i) keadaan seperti sekarang ini yang serba tidak pasti kapan nilai tukar akan menguat,
dan dengan demikian kapan suku bunga dapat mulai turun, dan;
(ii) keadaan yang lebih pasti mengarah pada penguatan nilai tukar, walaupun dengan resiko
suku bunga yang sangat tinggi untuk sementara, dan lebih pasti pula waktunya dapat
mengarah pada penurunan suku bunga;
atau pilihan lain antara:
(i) nilai tukar yang berfluktuasi dan dapat melemah secara tajam apabila terjadi tekanan
yang besar terhadap rupiah, dengan suku bunga yang diupayakan tidak terlalu tinggi
namun tidak tertutup kemungkinan harus naik pada tingkat yang cukup tinggi, dan;
(ii) nilai tukar yang relatif tetap dengan resiko suku bunga yang kadang-kadang harus
tinggi untuk mempertahankan nilai tukar tersebut.
Pilihan (i) dari dua set pilihan di atas kiranya bukanlah pilihan yang ideal mengingat:
• perubahan nilai tukar berdampak secara langsung pada unit usaha yang di dalam
neracanya terkandung resiko kurs; dan perubahan nilai tukar secara tajam dapat dengan
seketika menyebabkan bangkrutnya unit usaha tersebut (tidak demikian halnya dengan
perubahan suku bunga);
• perubahan nilai tukar secara langsung berdampak pada inflasi melalui kenaikan harga
barang-barang impor dan ekspor, dan pelemahan nilai tukar yang besar akan
menyebabkan perubahan distribusi pendapatan yang besar pula. Kelompok
berpenghasilan tetap akan menderita dampak pemiskinan yang hebat;
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
85
• apabila tekanan yang dihadapi cukup berat maka dapat terjadi bahwa, selain nilai tukar
yang melemah, suku bunga pun harus dinaikkan, sehingga perekonomian mendapat
pukulan dari dua sisi sekaligus; dalam hal ini tujuan sistem nilai tukar mengambang
secara bebas dapat dikatakan menjadi tidak tercapai mengingat suku bunga pun pada
akhirnya harus mengalami penyesuaian yang cukup besar.
Satu penelitian yang dilakukan oleh para peneliti ekonomi di Bank Indonesia juga
memperoleh kesimpulan bahwa — sepanjang sasaran akhir pengendalian moneter adalah
kestabilan harga (single target) — maka pengelolaan sistem nilai tukar mengambang terkendali
(managed floating) adalah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa struktur industri kita sarat dengan kandungan impor
yang tinggi sehingga perubahan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kestabilan tingkat
harga, sementara di sisi lain perubahan nilai tukar hanya berdampak terbatas terhadap
kinerja ekspor. Dalam perkataan lain, nilai tukar yang terlalu berfluktuatif lebih banyak
berdampak negatif terhadap perekonomian domestik.
Perhitungan berdasarkan pendekatan NATREX (Natural Real Exchange Rate)
memberikan wawasan bahwa dalam jangka panjang beberapa variabel fundamental (seperti
terms of trade, produktivitas, rasio tabungan terhadap PDB) secara signifikan mempengaruhi
pergerakan nilai tukar riil (lihat persamaan di bawah). Dalam periode tertentu NATREX
sebagai pencerminan faktor fundamental mampu menjelaskan pergerakan nilai tukar riil.
Namun, pada periode mengambang (free floating) terlihat adanya perbedaan arah antara
NATREX dengan nilai tukar riil (REER). Ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa
dalam kurun waktu tersebut gerakan nilai tukar riil juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
non-fundamental sehingga sulit untuk mengharapkan mekanisme pasar dapat menstabilkan
nilai tukar secara otomatis.
LREER = 4,83 + 1,25 LTOT - 0,12 LPRDVT - 0,03 GNS - 0,02 RDIFF
(11,5) (9,2)
(-2,5)
(-5,2)
(-2,6)
R2
=0,81
DW-stats
= 1,52
R2 adjusted = 0,79
F-stat
Angka dalam tanda kurung adalah t-statistic.
=54,4
Keterangan:
LREER = log nilai tukar riil efektif
LTOT
= log terms of trade
LPRDVT = log produktivitas (PDB riil dibagi jumlah tenaga kerja)
GNS
= rasio tabungan nasional tehadap PDB
RDIFF
= perbedaan suku bunga deposito 3 bulan dengan LIBOR
86
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pada prinsipnya penelitian tersebut menyimpulkan bahwa target riil semakin sulit
dicapai dalam era freefloating sehingga selama rentang intervensi nilai tukar tidak digunakan
maka intervensi otoritas moneter secara berkala ke pasar masih diperlukan, dengan syarat
mempertimbangkan ketepatan timing, sifat, dan batas acuan intervensi yang didukung
oleh keberadaan suatu Market Intelligence Unit.
Membiarkan nilai tukar ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tampaknya bukan
merupakan solusi yang tepat untuk menstabilkan nilai tukar dan menghindarkan terulangnya
krisis nilai tukar di masa datang. Suatu penelitian dengan menggunakan data 26 negara
menyimpulkan bahwa, meskipun penyimpangan nilai tukar riil dari nilai ekuilibriumnya (real
exchange rate misalignment) merupakan komponen penting dalam membentuk ekspektasi nilai
tukar di pasar, namun ekspektasi nilai tukar itu sendiri tidak dapat memperkirakan terjadinya
krisis. Dengan perkataan lain, sebagian besar krisis nilai tukar adalah peristiwa-peristiwa yang
unpredictable.2 Oleh karena itu, penerapan sistem nilai tukar mengambang pun tidak dapat
menjamin bahwa — apabila terjadi suatu exogenous shock yang menimbulkan real exchange rate
misalignment — pasar akan segera mengantisipasi kemungkinan timbulnya krisis dan
melakukan berbagai penyesuaian sehingga krisis dapat dihindari.
Pengalaman di Filipina sebagai salah satu negara yang terkena dampak krisis nilai
tukar di Asia juga menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian nilai tukar merupakan
pilihan kebijakan yang tepat.3 Meskipun penerapan sistem nilai tukar fleksibel adalah sangat
penting guna mengembalikan keseimbangan eksternal dan mendorong pertumbuhan sektor
ekonomi berorientasi ekspor, namun ketidakseragaman kinerja pencapaian sasaran-sasaran
moneter dan tidak simetrisnya reaksi kebijakan terhadap tekanan nilai tukar telah
menimbulkan kinerja inflasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena penerapan
jangkar nominal dalam kebijakan moneter akan meningkatkan efektivitas pengendalian
inflasi dan menghasilkan prospek pertumbuhan yang ekonomi yang lebih mantap maka
penerapan patokan nilai tukar (exchange rate peg) — di samping penerapan rule dalam
pengendalian uang beredar dan sasaran inflasi — menjadi pilihan yang lebih tepat.
Terdapat dua alternatif timing dimulainya penerapan alternatif kebijakan rentang
intervensi tersebut, yaitu:
(i) menunggu sampai nilai tukar mencapai tingkat yang wajar, kemudian baru sistem
tersebut diterapkan;
2 Ilan Goldfajn dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working Paper No. 159 tahun 1997.
3 Aerdt Houben, Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the Philippines - the Search for Stability and
Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and Assessment, Washington, D.C., 1997.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
87
(ii) mulai menerapkan sistem tersebut sekarang, dimulai dengan nilai tukar yang berlaku
untuk kemudian diturunkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target.
Dalam hal alternatif (ii), target akhir nilai tukar tersebut sebaiknya diumumkan untuk
mempengaruhi psikologi pasar. Dalam keadaan di mana nilai tukar yang wajar sukar untuk
dicapai (karena faktor politik, spekulasi, dsb.) maka pilihan akan cenderung jatuh pada
alternatif (ii).
Berikut ini adalah ilustrasi dari penerapan sistem nilai tukar menggunakan rentang
intervensi :
Pada waktu diterapkan (misalnya hari ini, ketika kurs tengah di pasar sekitar Rp10.700 per
dolar AS).
• Terapkan dan umumkan rentang intervensi nilai tukar, misalnya terendah Rp10.200
tertinggi Rp11.200.
dan
• Umumkan bahwa Bank Indonesia akan menurunkan rentang intervensi tersebut sedikit
demi sedikit, sehingga dalam waktu 3 bulan menjadi, misalnya, terendah Rp8.200 dan
tertinggi Rp9.200. (Pengumuman ini diperkirakan akan membentuk psikologi pasar
bahwa nilai tukar akan menguat, sehingga para peserta pasar akan mulai membeli
rupiah.) Sudah tentu bahwa para peserta pasar tidak dengan serta merta percaya bahwa
Bank Indonesia akan berhasil menurunkan rentang intervensi tersebut, dan pasar pasti
akan mencoba kekuatan dan kekukuhan kebijakan Bank Indonesia. Akan tetapi dengan
disiplin moneter yang ketat untuk mempertahankan rentang intervensi, diperkirakan
pasar akan segera yakin akan kekuatan dan kekukuhan tersebut.
• Pertahankan batas tertinggi rentang intervensi dengan kebijakan (disiplin) moneter yang
ketat. Dalam hal ini Bank Indonesia menyediakan devisa ($) bagi bank-bank yang ingin
membeli $ tersebut pada batas tertinggi rentang intervensi. Bank-bank yang berhak
membeli $ dari Bank Indonesia dapat dibatasi hanya bank-bank yang mempunyai saldo
giro positif pada Bank Indonesia.
• Apabila nilai tukar mendekati batas terendah rentang intervensi, Bank Indonesia dapat
mempertahankan batas terendah tersebut dengan membeli valuta asing, akan tetapi dapat
pula menggeser rentang intervensi ke bawah apabila dipandang sudah waktunya untuk
menggeser rentang intervensi tersebut.
Untuk selanjutnya:
• Rentang intervensi sedikit demi sedikit diturunkan hingga mencapai target yang
diumumkan, yaitu Rp8.200 - Rp9.200.
88
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target yang diumumkan, Bank Indonesia
dapat mengumumkan bahwa target selanjutnya yang ingin dicapai adalah rentang
intervensi Rp6.200 - Rp7.200, apabila nilai tukar pada tingkat tersebut dipandang sebagai
nilai tukar yang wajar, dan akan menurunkan rentang intervensi sedikit demi sedikit
sampai mencapai target tersebut misalnya dalam waktu tiga bulan.
• Apabila rentang intervensi sudah mencapai target akhir (misalnya Rp6.200 - Rp7.200)
maka rentang intervensi tersebut akan dipertahankan untuk seterusnya. Perubahan hanya
akan dilakukan apabila terjadi perubahan mendasar pada faktor-faktor yang
melatarbelakanginya (seperti perubahan yang besar pada nilai tukar antara US$ dan
matauang-matauang utama lainnya).
Berkaitan dengan timing dari penerapan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali,
Prof. Arnold Harberger mengajukan skenario “Tiga Fase” yang dapat dijelaskan sebagai berikut.4
Fase I
Dalam fase ini, otoritas moneter sebaiknya tetap mempertahankan kebijakan nilai
tukar mengambang. Tindakan yang perlu dilakukan adalah menerapkan kebijakan yang
berhati-hati (kebijakan yang tidak menimbulkan tambahan tekanan inflasioner) tanpa secara
Perkembangan Nilai Tukar Riil (Bilateral USD/Rp)
Periode 1996 - Juli 1998
100.00
2.00
80.00
1.80
1.60
60.00
CP I Ina/CP I USA
Index Nom . USD/Rp
1.40
40.00
1.20
20.00
1.00
0.00
0.80
-20.00
0.60
-40.00
0.40
P ert umbuhan Nilai t ukar Riil USD/Rp
-60.00
0.20
0.00
-80.00
1
3
5
1996
7
9
11
1
3
5
1997
7
9
11
1
3
5
7
1998
4 Lihat dua tulisan Arnold C. Harberger yang disampaikan pada serangkaian pertemuan yang disponsori USAID di
Universitas Indonesia dan di Bank Indonesia. Kedua tulisan tersebut masing-masing berjudul “The Anatomy of
Crisis” dan “Notes on the Indonesian Crisis.”
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
89
kaku menetapkan sasaran inflasi. Biarkan nilai tukar nominal menguat secara perlahanlahan dan tingkat harga bergerak naik sehingga mendorong penguatan nilai tukar riil.
Kebijakan yang bersifat pasif ini sebaiknya dipertahankan hingga nilai tukar riil mendekati
satu level sebelum krisis (Harberger mengusulkan untuk mengakhiri penerapan fase I ketika
nilai tukar riil mencapai sekitar 1,3 kali level sebelum krisis. Sebagai catatan, saat ini nilai
tukar riil rupiah telah melemah sekitar 2 kali level sebelum krisis.)
Terdapat beberapa alasan penguatan nilai tukar secara perlahan meskipun nilai
tukar rupiah dibiarkan mengambang, yaitu: (i) arus modal keluar yang dipicu oleh
kepanikan para pemilik dana sudah mulai berkurang, (ii) permintaan impor menurun tajam
sejalan dengan menurunnya aktivitas ekonomi yang diperkuat lagi dengan adanya efek
substitusi barang impor dengan barang lokal, (iii) masuknya dana bantuan dan pinjaman
luar negeri menambah jumlah cadangan devisa yang dikuasai oleh pemerintah.
Sementara itu, tingkat harga-harga domestik akan terus bergerak naik karena: (i)
efek tidak langsung dari akumulasi depresiasi sejak awal krisis terhadap kenaikan hargaharga belum sepenuhnya berakhir (incomplete pass-through), (ii) tingkat keseimbangan upah
nominal akan bergerak naik, (iii) keinginan untuk meningkatkan volume kredit ke sektor
swasta dan akumulasi tambahan devisa akan mendorong kenaikan jumlah uang beredar.
Fase II
Ketika nilai tukar riil telah menguat hingga mencapai level yang diinginkan, otoritas
dapat beralih ke fase kedua. Dalam fase ini, otoritas menerapkan kebijakan yang bersifat
“adaptif”, yaitu berupaya mengendalikan/menyesuaikan nilai tukar nominal secara harian
dengan sasaran mempertahankan nilai tukar riil pada level tertentu (constant real exchange
rate targeting) yang tidak lain merupakan esensi dari kebijakan nilai tukar mengambang
terkendali (managed floating rate). Kebijakan ini diharapkan akan menimbulkan surplus
neraca pembayaran dan memupuk cadangan devisa. Berdasarkan skenario yang optimistis,
kebijakan ini akan mendorong ekspor dan meningkatkan PMA dan arus modal masuk
lainnya untuk selanjutnya mendorong kenaikan PDB riil dan penurunan laju inflasi. Apabila
sasaran kenaikan cadangan devisa tidak berhasil, kebijakan ini dapat dimodifikasi dengan
menaikkan sasaran nilai tukar riil (depresiasi). Sebaliknya, apabila kenaikan cadangan
devisa terjadi terlalu cepat atau jumlah cadangan devisa telah mencapai level yang tinggi,
sasaran nilai tukar riil dapat diturunkan (apresiasi).
Fase III
Ketika jumlah cadangan devisa sudah mencapai level yang diperkirakan dapat meredam
tekanan spekulatif dan PDB telah kembali mencatat pertumbuhan positif yang cukup memadai,
prioritas kebijakan dapat dialihkan ke arah penurunan laju inflasi. Untukitu, otoritas perlu
90
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
beralih dari kebijakan “adaptif” menjadi kebijakan yang secara aktif berupaya menurunkan laju
depresiasi nilai tukar nominal. Setelah nilai tukar nominal menguat pada level tertentu, pada
akhirnya otoritas akan dihadapkan pada tiga pilihan sistem nilai tukar yang lebih bersifat
permanen, yaitu sistem mengambang, sistem rentang intervensi, atau sistem nilai tukar tetap.
Kebijakan Lalu Lintas Devisa
Pada prinsipnya sistem devisa bebas yang kita terapkan sejak tahun 1982 masih relevan
kita pertahankan walaupun perekonomian Indonesia masih menghadapi permasalahanpermasalahan berat seperti tersebut di atas. Beberapa pertimbangan yang mendasari alasan
penerapan sistem devisa bebas di Indonesia:
• Indonesia saat ini sangat membutuhkan modal asing. Dalam situasi seperti sekarang, upaya
pembatasan lalu lintas devisa hanya akan menghilangkan minat investor asing untuk masuk
ke Indonesia.
• Sistem kontrol devisa membutuhkan kelengkapan birokrasi yang bersih dan efisien.
• Sistem kontrol devisa mengandung beberapa kelemahan seperti dapat mendorong perilaku
manipulatif di kalangan eksportir dan importir serta menimbulkan misalokasi sumber daya.
Kebijakan devisa bebas memerlukan sistem monitoring lalu lintas devisa yang disiplin,
konsisten, dan efektif serta dalam coverage yang memadai agar kebijakan nilai tukar rupiah fleksibel
lebih compatible dengan kebijakan devisa bebas. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penyempurnaan
sistem pelaporan lalu lintas devisa. Saat ini Bank Indonesia tengah melakukan upaya penyusunan
sistem pelaporan dalam rangka penyusunan statistik neraca pembayaran cash basis. Sistem
pencatatan cash basis ini diharapkan akan mampu menggambarkan flow of fund transaksi luar
negeri secara akurat dan terinci dan melengkapi statistik neraca pembayaran khususnya untuk
transaksi-transaksi jasa dan modal swasta, sehingga pada akhirnya ikut membantu peningkatan
efektivitas kebijakan moneter. Di samping itu, Bank Indonesia juga tengah mengupayakan
peningkatan monitoring terhadap rekening vostro milik nonresiden serta monitoring transaksi
valas di pasar uang baik secara on line maupun paper based. Melalui upaya ini diharapkan akan
diperoleh gambaran mengenai perkembangan internasionalisasi rupiah dan potensi tekanantekanan spekulatif terhadap nilai tukar rupiah secara lebih dini.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, semua sumber devisa termasuk hasil ekspor
harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, Bank Indonesia akan berupaya mengoptimalkan
berbagai fasilitas/insentif yang selama ini telah disediakan dan menciptakan fasilitas/insentif
baru agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank
Indonesia.
Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya
91
Kesimpulan
Berdasarkan kondisi objektif saat ini maka alternatif sistem nilai tukar crawling peg
mungkin dapat dipertimbangkan, tentunya dengan komitmen untuk tetap mengendalikan
besaran-besaran moneter secara konsisten.
Di tengah kebutuhan kita akan modal asing dan cadangan devisa, sistem devisa
bebas masih merupakan pilihan terbaik. Namun, sistem devisa tersebut memerlukan sistem
monitoring lalu lintas devisa yang komprehensif dan akurat.
Sistem devisa bebas yang diarahkan untuk mendukung penerapan sistem crawling
peg perlu didukung dengan upaya-upaya tambahan untuk meningkatkan cadangan devisa
yang berasal dari ekspor. Hal ini dilakukan dengan memberikan fasilitas/insentif kepada
para eksportir.
Daftar Pustaka
Dornbusch, Rudiger, dan F. Leslie C.H. Helmers, eds., The Open Economy: Tools for
Policymakers in Developing Countries, Oxford University Presss, New York, 1995.
Friedman, B.M., dan F.H. Hahn, eds., Handbook of Monetary Economics, Volume 2,
North-Holland, Amsterdam, 1993.
Goldfajn, Ilan, dan Rodrigo O. Valdes, Are Currency Crisis Predictable?, IMF Working
Paper No. 97/159, Washington, D.C., 1997.
Guitian, Manuel, The Choice of an Exchange Rate Regime, Approaches to Exchange Rate
Policy, IMF, Washington, D.C.
Harberger, Arnold C., Notes on the Indonesian Crisis, An Aide-memoire on a series of
meetings in Jakarta, UCLA, September 1998.
_________________, The Anatomy of Crisis, Keynote Address at a conference on
sustaining economic growth in Indonesia, UCLA, Desember 1997.
Houben, Aerdt C.F.J., Exchange Rate Policy and Monetary Strategy Options in the
Philippines - the Search for Stability and Sustainability, IMF Paper on Policy Analysis and
Assessment, Washington, D.C., 1997.
Waluyo, Doddy B., dan Benny Siswanto, Peranan Kebijakan Nilai Tukar dalam Era
Deregulasi dan Globalisasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1, No. 1, Bank
Indonesia, Jakarta, 1998.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
169
MEMPREDIKSI KONDISI PERBANKAN
MELALUI PENDEKATAN SOLVENCY SECARA DINAMIS
Indira & Dadang Muljawan *)
Munculnya krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di suatu negara ditandai oleh beberapa indikator
seperti tingginya kredit bermasalah, kesulitan likuiditas serta insolvensi dari lembaga keuangan maupun
perbankan. Terdapat beberapa konsep yang menerangkan definisi krisis perbankan, pertama adalah penilaian
terhadap negative net present value dari cashflow dan kedua adalah penilaian terhadap net worth dari lembaga
keuangan atau perbankan. Apabila otoritas pengawasan perbankan dapat mengetahui secara akurat dan
bahkan memprediksi tingkat solvency untuk masa yang akan datang akan sangat membantu dalam menentukan
tindakan-tindakan yang harus diambil agar sistem perbankan selalu berada dalam kondisi solvent.
Insolvency dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas aktiva perbankan, buruknya
permodalan serta sebab-sebab secara makro yang tidak secara langsung mempengaruhi kondisi perbankan.
Namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal perbankan melalui penghitungan rasio-rasio keuangan
yang dapat dianggap sebagai proxies dari kesehatan bank serta dengan menggunakan metoda Discriminant
Analysis diperoleh beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kondisi solvency. Faktor-faktor
tersebut adalah kualitas aktiva produktif, kecukupan modal (CAR) dan likuiditas.
Faktor-faktor penentu tersebut tidak berdiri sendiri, namun memiliki interkorelasi antara satu dengan
lainnya dalam satu jangka waktu tertentu. Interkorelasi antar variabel berdasarkan fungsi waktu dinyatakan
dalam matrix system. Berdasarkan matrix system dapat diprediksi kondisi faktor-faktor penentu satu periode
yang akan datang dan kondisi solvency perbankan baik secara individual maupun global.
Melalui pengembangan lebih lanjut dengan mengidentifikasi variabel-variable mikro serta makro yang
memiliki korelasi dengan kondisi solvency perbankan, metode ini dapat digunanakan sebagai dasar dalam
membangun sistem pengawasan dini (early warning model) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya
krisis perbankan dimasa mendatang.
*) Gusti Ayu Indira
: Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected]
Dadang Muljawan : Peneliti Bank Junior, Tim 2, UPPB, BI, email : [email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Ibu Miranda S.Gultom (Direktur BI), Bp. Erman
Munzir (Kepala UPPB), Bp. Ardhayadi (Deputi Kepala UPwB2), Bp. Muliaman D.Hadad (Peneliti Ekonomi, Biro
Gubernur), dan bantuan dalam perolehan data kepada Tim 4-UPPB
170
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tinjauan Singkat Krisis Keuangan dan Perbankan
D
ewasa ini krisis keuangan dan perbankan sudah menjadi suatu fenomena umum
yang terjadi tidak hanya di negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, namun
juga melanda negara-negara berkembang di belahan dunia bagian Timur, misalnya negaranegara kawasan Asia Pasifik. Krisis yang melanda sistem keuangan tidak hanya menjadi
beban bagi perekonomian suatu negara tetapi juga berpotensi mempengaruhi efektivitas
kebijaksanaan moneter. Dalam hal ini, beban ekonomi yang harus ditanggung adalah
berkurangnya volume dan efisiensi lembaga intermediasi sebagai akibat ditutupnya operasi
sejumlah bank maupun gencarnya upaya bank merestrukturisasi portofolionya. Krisis
keuangan juga menempatkan pemerintah pada posisi yang dilematis dalam menuangkan
suatu kebijakan. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk berhati-hati dalam menerapkan
kebijakan moneter agar tidak memperburuk sistem perbankan, namun disisi lain sistem
perbankan yang tidak sehat dapat menjadi faktor penghambat pencapaian target kebijakan
moneter.
Secara global, krisis keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal
yang terdapat dalam sistem keuangan suatu negara. Beberapa pakar keuangan, melalui
latar belakang dan sudut pandangnya masing-masing, berupaya memberikan penjelasan
logis terhadap latar belakang krisis tersebut. Diantaranya adalah Stanley Fischer yang
mengemukakan tiga hal mendasar yang dapat menjelaskan latar belakang terjadinya krisis
tersebut1. Pertama, walaupun tidak ada kaitan langsung antara deregulasi dan krisis
keuangan, sistem perbankan di beberapa negara banyak yang menghadapi problema setelah
pemerintah melancarkan kebijakan deregulasi, khususnya jika kerangka ketentuan (regulatory
framework) serta perangkat sistem pengawasan (prudential supervision) tidak mampu
mengakomodasi tuntutan deregulasi tersebut2.
Kedua, perkembangan financial market yang demikian marak dan diikuti oleh berbagai
inovasi produk-produk keuangan yang bercirikan inherent risk yang relatif tinggi, namun
ironisnya substansi produk-produk tersebut belum dipahami sepenuhnya oleh otoritas
pengawasan bank. Apabila dianalogikan, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan
industri keuangan, khususnya perbankan bergerak dalam deret ukur, sementara kemampuan
otoritas pengawas bergerak dalam deret hitung.
Ketiga, Pemerintah melakukan liberalisasi di sektor keuangan tanpa memastikan
apakah sistem keuangan domestik dalam kondisi sehat dan stabil, serta kebijakan makro
1. Stanley Fischer, Central Banking : The Challenges Ahead - Financial System Soundness, Finance & Development,
March 1997.
2. Misalnya, Argentina, Finlandia, Thailand dan Venezuela.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
171
ekonomi berjalan dengan efektif. Sementara itu, Mark Gertler & Andrew Rose (1994)
berargumentasi bahwa liberalisasi tidak perlu ditunda sampai kondisi makroekonomi
sempurna, namun paling tidak liberalisasi tersebut didukung oleh kebijakan yang secara
langsung mempromosikan pertumbuhan dan stabilitas sektor riil. Berdasarkan pengamatan
secara historis di beberapa negara, dapat disimpulkan bahwa liberalisasi di sektor keuangan
pada umumnya didahului oleh suatu masa dimana institusi keuangan mengalami 'tekanan'
(financial repression) melalui berbagai kebijakan pemerintah yang membatasi ruang gerak.
Misalnya kebijakan penyaluran kredit yang diprioritaskan kepada sektor-sektor pemerintah
(dictated/directed lending), kebijakan pemeliharaan reserve requirement dengan persentase yang
cukup tinggi3, kebijakan penetapan suku bunga baik terhadap produk-produk keuangan
yang ada disisi assets maupun liabilities, dan sebagainya. Pada masa tersebut, pemerintah
memposisikan perbankan sebagai instrumen untuk mempromosikan kegiatan investasi
dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi. Beranjak dari konsepsi dasar tersebut,
pengawasan yang dilakukan terhadap sistem perbankan lebih difokuskan pada kepatuhan
bank dalam menunjang kebijakan ekonomi dan moneter (macro economic supervision), sementara
pengawasan terhadap kesehatan (prudential supervision) kurang mendapatkan perhatian.
Dengan adanya kebijakan pagu suku bunga menyebabkan masyarakat lebih tertarik
menanamkan uangnya dalam bentuk aset yang mampu memberi perlidungan terhadap
inflasi (inflation hedges), misalnya tanah dan emas, yang tentu saja tidak dapat berperan
secara efisien sebagai financial intermediation. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan iklim
ekonomi yang kurang kondusif, sehingga pada akhirnya Pemerintah mengambil tindakan
represif melalui kebijakan liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini selanjutnya membawa
dampak pada pertumbuhan aset bank yang pesat, peningkatan hutang (over-indebtedness)
serta asset price bubbles. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paul Krugman, penyebab
krisis yang terjadi di kawasan Asia lebih disebabkan oleh asset price bubles yang dikemudian
hari mengalami kemerosotan nilai (collapse)4. Problem berawal dari moral hazard yang terjadi
pada financial intermediation dimana dianggap bahwa pemerintah baik secara nyata maupun
implisit akan memberikan jaminan terhadap dana masyarakat karena berpegang pada
anggapan too big to fail. Pola pikir demikian mendasari financial intermediation melakukan
aktivitas lending yang cenderung berisiko tinggi, sehingga pada gilirannya memacu inflasi
atas asset prices5. Untuk sementara waktu peningkatan asset prices akan membuat kinerja
3. Penelitian yang dilakukan oleh Maxwell J. Fry menunjukkan bahwa selama periode 1978-1987, rata-rata rasio
reserve requirement di 91 negara berkembang mencapai 21,2% dibandingkan dengan 7,1% rasio di negara maju.
4. Krugman memformulasikan suatu model yang menjelaskan bahwa krisis Asia diawali oleh financial excess yang
kemudian diikuti oleh financial collapse. Pandangan ini memberikan interpretasi bahwa currency crisis bukan
menyebabkan krisis melainkan merupakan gejala awal (symptom) terjadinya krisis.
5. Jepang merupakan salah satu negara yang menghadapi masalah asset prices bubles, dan saat ini sedang melakukan
restrukturisasi setelah berupaya keras mengatasi masalah tersebut selama 10 tahun terakhir.
172
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
neraca lebih baik daripada kenyataannya. Namun pada saat terjadi asset prices burst, financial
intermediation akan menghadapi masalah insolvency. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
financial liberalization dapat menjadi faktor yang meningkatkan kerentanan sistem perbankan
(banking fragility).
Krisis Perbankan di Indonesia
Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama 3 dekade terakhir,
Indonesia dilanda krisis keuangan yang berawal pada semester ke-2 tahun 1997, yang secara
aggregat membuat pertumbuhan yang telah dicapai menjadi tidak berarti. Dengan meminjam
istilah yang digunakan World Bank, krisis di Indonesia dapat dianalogikan dengan "the
dog that didn't bark", karena tidak ada yang memprediksi bahwa Indonesia akan dilanda
krisis yang berkepanjangan.
Sejauh ini belum ada satu sumber yang menetapkan suatu patokan yang bersifat baku
yang dapat menandakan bahwa kondisi perbankan berada dalam keadaan krisis. Suatu
studi empiris yang dilakukan oleh Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache6 untuk
menentukan faktor determinan krisis perbankan menggariskan bahwa suatu periode
kemerosotan perbankan dapat dikategorikan sebagai krisis apabila memenuhi paling sedikit
satu dari empat kondisi berikut, yaitu (i) rasio non-performing assets terhadap total assets
dalam sistem perbankan telah melampaui 10%, (ii) biaya penyelamatan bank paling tidak
mencapai 2% dari GDP, (iii) masalah perbankan telah menyebabkan terjadinya nasionalisasi
bank-bank, dan (iv) penarikan dana besar-besaran (bank runs) atau pembekuan dana nasabah
(deposit freezes) atau penjaminan simpanan masyarakat secara merata yang diberlakukan
oleh pemerintah.
Apabila studi tersebut dikaitkan dengan kondisi perbankan di Indonesia, maka
dapat dikatakan bahwa perbankan Indonesia sudah masuk dalam kategori krisis,
sebagaimana tercermin pada indikator berikut, yaitu (i) pada bulan Mei 1998, rasio aktiva
produktif yang non-performing terhadap total asset mencapai 23,8%, (dengan proporsi pada
setiap jenis bank terlihat pada Grafik 1); (ii) estimasi biaya penyelamatan bank diperkirakan
mencapai kurang lebih Rp. 320 triliun, yang berarti + 51% dari total GDP; (iii) pada bulan
Agustus 1998, pemerintah mengumumkan beberapa bank yang dinasionalisasikan; (iv)
karena berbagai isu yang menerpa, beberapa bank diserbu oleh para nasabah yang hendak
menarik simpanan mereka walaupun pemerintah telah memberlakukan program
penjaminan terhadap seluruh dana masyarakat yang disimpan di bank.
6. Studi tersebut didasarkan atas studi yang dilakukan oleh Caprio & Klingebiel (1996), Drees & Pazarbasioglu
(1995), Kaminsky & Reinhart (1996), Lindgren et al. (1996), dan Sheng (1995) melalui survey terhadap bangking
sector fragility diseluruh dunia dalam periode 1980-1994.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
173
Grafik 1
(22.5%) BUSN Devisa
(21.4%) Bank Persero
(11.4%) BUSN Non Devisa
(14.2%) Bank Asing
(9.5%) BPD
(21.0%) Bank Campuran
Sebagaimana halnya sektor-sektor perindustrian lainnya, industri perbankan
Indonesia juga dikelilingi oleh berbagai lingkungan, baik internal maupun eksternal, yang
dapat membentuk, mengarahkan serta mempengaruhi keberadaan industri tersebut. CarlJohn Lindgren, Gillian Garcia dan Matthew I. Saal (1996) mengidentifikasi 3 faktor yang
mempengaruhi perilaku dan kondisi kesehatan sistem perbankan, yaitu lingkungan
operasional, pengaturan internal dan pengaturan eksternal. Ketiga faktor tersebut tidak
dapat dipisah-pisahkan, namun harus secara bersama-sama dibangun dan dikondisikan
agar dapat mendukung keberadaan sistem perbankan yang dikehendaki.
Dikaitkan dengan krisis perbankan di Indonesia, keberadaan faktor-faktor tersebut
sedikit banyak dapat membantu memberikan pemahaman terhadap penyebab awal
terjadinya krisis. Pertama, lingkungan operasional (operating environment) yang kurang
kondusif dalam membangun serta mempertahankan sistem perbankan yang mapan,
sebagaimana tercermin dari infrastruktur ekonomi, kondisi ekonomi dan non-ekonomi serta
liberalisasi sektor keuangan. Infrastruktur ekonomi itu sendiri terdiri dari kerangka
kelembagaan (institutional framework) dan wadah dimana lembaga tersebut berkiprah, yaitu
pasar keuangan (financial market). Dalam konteks industri perbankan, institutional framework
yang berperan cukup penting adalah struktur hukum dan politik yang memberikan kepastian
dan jaminan untuk melindungi aset dan operasional bank, misalnya perundangan kepailitan,
anti monopoli, kompetisi dan lain sebagainya.
Faktor kedua dari infrastruktur ekonomi adalah liberalisasi sektor keuangan. Apabila
tidak dilandasi dengan infrastuktur yang diperlukan dan disertai dengan penyesuaian
yang tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, maka dapat dipastikan
liberalisasi hanya akan menjadi cikal bakal munculnya permasalahan yang kompleks.
Contoh dari ekses negatif program liberalisasi perbankan dapat dilihat pada sejarah
perjalanan perbankan Indonesia, dimana melalui kebijakan tahun 1988 pemerintah memberi
kemudahan bagi pendirian bank. Kebijakan ini pada akhirnya membawa dampak pada
174
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas kompetisi yang tinggi dan
berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan perbankan dalam jangka panjang.
Secara teoritis, keberadaan pasar perbankan yang terbuka, kompetitif dan berfungsi dengan
baik dapat menjadi social control dalam melakukan seleksi alam bagi bank yang tidak efisien
dan efektif, serta dapat membentuk suatu disiplin pasar (market discipline) yang mendukung
terciptanya sistem perbankan yang sehat. Dalam prakteknya tidak demikian yang terjadi.
Market discipline tidak dapat ditegakkan dengan mudah karena dilema yang harus dihadapi
pemerintah, yaitu antara systemic risk vs liquidity support. Dengan membiarkan bank
berguguran, pemerintah khawatir akan risiko yang ditimbulkan apabila masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan yang secara filosofi dibangun atas
dasar kepercayaan masyarakat. Beranjak dari kekhawatiran tersebut, pemerintah memilih
untuk memberikan bantuan bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas.
Faktor ketiga dari infrastruktur ekonomi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi.
Sebagai institusi yang berperan penting dalam dunia perekonomian, sistem perbankan dapat
merefleksikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pada saat perekonomian
mengalami kelesuan maupun resesi, maka perbankan akan berpotensi menghadapi masalah
dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Secara umum sistem perbankan yang
sehat akan memiliki struktur permodalan dan cadangan yang memadai untuk mendukung
aktivitas bisnis dalam kondisi normal, namun kasus-kasus yang terjadi dibeberapa negara
membuktikan bahwa standar permodalan minimun yang ditetapkan tidak memadai dalam
kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal inipun terjadi di Indonesia, dimana krisis
perekonomian, yang diawali dengan depresiasi mata uang domestik terhadap US dollar
(currency crisis), mengakibatkan banyak bank-bank menjadi insolvent, dimana (i) sisi liabilities
yang didominasi valuta asing membengkak, (ii) asets yang non-performing meningkat karena
banyak debitur yang default, (iii) kepanikan para deposan sehingga banyak yang menarik
dananya, (iv) depresiasi yang berkepanjangan menyebabkan kredit dalam valuta asing
meningkat sehingga rasio CAR menjadi turun. Namun perlu diingat bahwa currency crisis
sebaiknya tidak dipandang sebagai faktor penyebab terjadinya krisis perbankan, melainkan
lebih merupakan suatu momentum yang membuktikan betapa rapuhnya (fragile) industri
perbankan di Indonesia, karena cepat atau lambat dengan kondisi yang rapuh, perbankan
akan berpotensi mengalami stagnasi.
Disamping itu, sistem perbankan di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh kondisi
non-ekonomi, misalnya stabilitas dan campur tangan politik ataupun bencana alam.
Goncangan politik yang terjadi saat ini secara langsung menurunkan kepercayaan terhadap
ekonomi dan sistem keuangan sehingga mengakibatkan meningkatnya arus modal ke luar
negeri (capitalflight), kenaikan harga-harga serta turbulensi nilai tukar. Sementara itu, campur
tangan politik menyebabkan tidak efektifnya implementasi kebijakan intern perbankan
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
175
maupun sistem pengawasan oleh otoritas. Misalnya kewajiban penyaluran kredit kepada
sektor ataupun industri tertentu yang sebenarnya tidak menciptakan nilai tambah dalam
rantai produksi nasional, yang dikucurkan tanpa penilaian terhadap kelayakan proyek
tersebut.
Kedua, pengaturan internal (internal governance). Kesehatan suatu bank sangat
bergantung pada pemilik dan pengelola bank. Pemilik bertanggungjawab terhadap
kecukupan modal bank untuk dapat mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi,
sementara pengelola membangun dan mempertahankan bank agar tetap sehat,
mempertahankan nilai bank dengan memastikan portfolio asset yang sehat dan dapat
menghasilkan income yang memadai serta menilai struktur kewajiban (liabilities) dalam
rangka mengelola likuiditas bank. Pada kenyataannya, banyak pemilik yang menjadikan
bank sebagai sumber pembiayaan (cash cow) bagi kepentingan usahanya, dan bahkan kredit
yang dikucurkan melampui Batas Maksimum Pemberian Kredit. Apabila motivasi memiliki
bank didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan bank bagi kepentingan sendiri, maka
internal governance secanggih apapun tidak dapat menjamin kesehatan bank. Disamping
itu, seringkali terjadi benturan kepentingan (conflictofinterest) antara pemilik dan pengelola.
Masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya dan mencapai tujuannya
sehingga pada akhirnya mengabaikan tujuan semula, yaitu memaksimalkan the value of the
bank.
Ketiga, pengaturan eksternal (external governance) melalui pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh bank sentral. Sejauh ini, salah satu kelemahan dalam
pengaturan perbankan di Indonesia adalah penciptaan market discipline yang memastikan
bahwa bank yang tidak sehat tidak dapat melanjutkan usahanya. Untuk menunjang
berfungsinya pengaturan dan pengawasan perbankan yang kredibel, otoritas pengawasan
harus berada dalam suatu struktur institusi yang memiliki kapasitas, otoritas dan
independensi.
Menyadari bahwa krisis perbankan akan membebani perekonomian nasional, maka
pemahaman mengenai konsep solvency menjadi sangat strategis di dalam mengantisipasi
terjadinya krisis, yaitu melalui proyeksi kondisi di masa yang akan datang yang dapat
memberikan indikasi awal terhadap kecenderungan banking fragility yang pada akhirnya
dapat membawa perbankan pada kondisi krisis.
Analisis Solvency
Pengklasifikasian secara tepat apakah suatu sistem perbankan berada dalam kondisi
sehat atau tidak sehat bukan merupakan hal yang mudah karena tidak ada suatu patokan
(benchmark) yang dapat menentukan kapan sistem perbankan tidak sehat atau kapan krisis
perbankan akan terjadi. Disamping itu, tingkat kerentanan (vulnerable) sistem perbankan
176
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
dari waktu ke waktu berubah-ubah. Pada saat tertentu sistem perbankan dapat berfungsi
dengan baik namun pada lain kesempatan menunjukkan tanda/gejala adanya masalah di
masa mendatang (potential problem). Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka sebagai
langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis perbankan., otoritas pengawasan
di berbagai negara telah merancang suatu early warning system yang berfungsi sebagai
indikator dalam menentukan kemungkinan suatu bank mengalami kesulitan. Pada dasarnya
indikator-indikator tersebut bersumber dari laporan-laporan periodik yang disampaikan
bank kepada otoritas pengawasan. Semakin banyak data yang tersedia, maka model yang
dapat dikembangkan menjadi semakin komprehensif.
Salah satu faktor penting yang mendukung terciptanya sistem perbankan yang
sehat adalah bank yang sehat. Sampai saat ini pendekatan yang digunakan secara luas
untuk menentukan kesehatan suatu sistem perbankan adalah konsep solvency. Carl-Johan
Lindgren, Gillian Garcia dan Mathew Saal mendefinisikan sistem perbankan yang sehat
sebagai "one in which most banks (those accounting for most of the system's assets and liabilities) are
solvent and are likely to remain so. Solvency is reflected in the positive net worth of a bank, as
measured by the difference between the assets and liabilities in its balance sheet. The likelihood of
remaining solvent will depend on banks' being profitable, well managed, and sufficiently well
capitalized to withstand adverse events".
Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa suatu sistem perbankan dikatakan
sehat apabila bank-bank dalam sistem tersebut berada dalam kondisi solvent, yang dalam
hal ini sangat erat dipengaruhi oleh kondisi profitabilitas, manajemen dan modal yang
memadai. Suatu bank dapat dikatakan solvent apabila nilai aset yang dimiliki lebih besar
dibandingkan dengan nilai kewajibannya kepada deposan maupun kreditur, dengan kata
lain, bank tersebut masih memiliki net worth. Bank dengan net worth yang relatif rendah
(undercapitalized bank) akan sangat rentan, dalam arti mudah collapse jika terjadi kerugian
maupun shock, misalnya perubahan kebijakan, assets price collapse dan sebagainya. Dalam
kondisi pasar yang dinamis dan kompetitif, profitabilitas bank sangat bergantung pada
tingkat efisiensi, sehingga apabila suatu bank tidak dikelola secara efisien maka bank tersebut
akan menderita kerugian sampai pada tingkat tertentu dimana bank akan menjadi insolvent
dan selanjutnya illiquid.
Dari beberapa literatur IMF yang mengetengahkan mengenai masalah perbankan,
diantaranya yang ditulis oleh Lindgren, Garcia and Saal (1996), dapat dikemukakan bahwa
dalam kondisi normal, illiquidity selalu didahului oleh insolvency, artinya bank yang
mengalami kesulitan likuiditas umumnya adalah bank yang insolvent, kecuali jika kesulitan
likuiditas tesebut disebabkan penarikan dana secara besar-besaran yang disebabkan oleh
factor panic. Dalam prakteknya, masalah yang seringkali dihadapi bank yang muncul
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
177
kepermukaan adalah masalah kesulitan likuiditas (illiquidity). Hal ini disebabkan bank
yang mengalami kerugian karena tidak dapat beroperasi secara efisien ataupun tidak dikelola
secara profesional dan berhati-hati, dapat menyembunyikan ataupun tidak membukukan
kerugian tersebut dalam income statement, baik dengan melakukan plafondering maupun accrue
bunga kredit yang non-performing. Untuk sementara waktu kerugian tersebut dapat diatasi
dengan mencari sumber dana dari nasabah-nasabah baru ataupun pinjaman lainnya, namun
pada saat sumber dana sulit diperoleh maka kesulitan likuiditas tidak dapat dihindari.
Selain itu, tidak tertutup kemungkinan suatu bank dapat tetap liquid meskipun secara
finansial sudah insolvent karena memperoleh bantuan likuiditas dari bank sentral dalam
kapasitasnya sebagai lender-of last resort. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 hal, pertama, bank
sentral menghidari terjadinya systemic risk yang disebabkan oleh bank panic karena bank
yang insolvent terpaksa harus dilikuidasi, walaupun kemungkinan beban kumulatif yang
harus ditanggung pemerintah melampaui beban yang timbul jika pemerintah melikuidasi
ataupun merestrukturisasi bank-bank tersebut. Kedua, keterbatasan dalam sistem informasi
perbankan serta early warning system yang belum mampu memberikan indikasi serta prediksi
terhadap bank yang insolvent maupun berpotensi menjadi insolvent.
Konsep solvency pada dasarnya bersifat statis karena pengukuran hanya dilakukan
pada suatu titik waktu tertentu sehingga belum sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi
bank yang sebenarnya. Untuk menyempurnakan pendekatan solvency ini diperlukan suatu
penilaian yang lebih berorientasi kedepan (forward-looking) yang mencakup faktor penentu
insolvency, yaitu antara lain meliputi kualitas aset dan rentabilitas yang buruk, faktor-faktor
kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan ekstern
serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal. Dalam salah satu artikelnya
mengenai ketentuan permodalan, Allan Greenspan menyatakan bahwa the likelihood of
insolvency is determined by the level of capital a bank holds, the maturities of its assets and liabilities,
and the riskiness of its portfolio7. Pandangan ini menyatakan bahwa insolvency terkait erat
dengan struktur permodalan bank, pengelolaan likuiditas yang tercermin dari profil maturitas
sumber dan penanaman dana serta pengelolaan risiko penanaman dana. Sementara itu,
dari sudut pandang ekonomi, kondisi insolvency terjadi jika present value dari aliran net cash
flow yang diharapkan bernilai negatif dan melampaui jumlah modal bank. Pengukuran
insolvency melalui pendekatan-pendekatan tersebut diatas harus didukung oleh sistem
informasi perbankan yang komprehensif, misalnya tersedianya laporan maturity profile,
laporan cash flow serta penilaian risiko portfolio. Saat ini sistem pelaporan perbankan belum
sepenuhnya dapat mencerminkan kondisi perbankan yang sebenarnya, sehingga dapat
7. Allan Greenspan, dalam sudut pandangnya mengenai ketentuan permodalan yang harus mencakup insolvency
probability
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
178
menjelaskan mengapa masalah perbankan yang muncul tidak dapat dideteksi lebih dini
bahkan dinegara-negara maju sekalipun.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa bank yang mengalami masalah
likuiditas umumnya merupakan bank yang insolvent ataupun berpotensi menjadi insolvent.
Beranjak dari pemahaman demikian, maka dalam penelitian ini akan dianggap bahwa
bank-bank dibawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah
bank yang sudah dan/atau berpotensi menjadi insolvent. Berdasarkan ketentuan berlaku,
kriteria suatu bank harus dimasukkan dalam pengawasan BPPN adalah apabila bank
tersebut telah menggunakan dana likuiditas Bank Indonesia lebih dari 200% modal disetor
dan rasio kecukupan modal (CAR) lebih kecil atau sama dengan 5%, serta gagal melunasi
fasilitas diskonto maksimal 21 hari setelah jatuh tempo. Dari kriteria tersebut dapat
disimpulkan bahwa bank yang masuk dalam pengawasan BPPN adalah bank yang memiliki
net worth yang cenderung menurun, atau mengarah pada insolvent serta menghadapi masalah
likuiditas.
Apabila sudah diketahui karakteristik bank-bank yang insolvent tersebut maka melalui
metode kuantitatif Discriminant Analysis dapat diperkirakan faktor-faktor yang paling
membedakan (the most discriminating factor) antara bank yang solvent dan insolvent8. Adapun
persamaan fungsi Discriminant Analysis adalah :
Z = V 1 X 1 + V 2 X 2 + ...... + V n X n ,
dimana
V 1 , V 2 , ......... , V n = koefisien discriminant
X 1 , X 2, ......... , X n = variable independen.
Model Z score ini merupakan analisa linear dimana variabel independen diberi
timbangan secara obyektif dan dijumlahkan untuk memperoleh nilai keseluruhan, yang
kemudian akan dijadikan basis dalam mengklasifikasikan bank kedalam salah satu
kelompok a priori tersebut. Disamping itu, melalui model ini dapat diketahui bank-bank
yang berpotensi menjadi insolvent karena memiliki karakteristik yang mendekati bank yang
insolvent. Apabila dikembangkan lebih lanjut, metode ini dapat digunakan sebagai early
warning system yang membantu pelaksanaan fungsi pengawasan bank.
Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor penentu insolvency juga mencakup faktorfaktor kualitatif, misalnya kelemahan manajemen, kegagalan pengendalian intern dan
8. Model ini sebenarnya pernah digunakan oleh Sinkey (1975) dalam memformulasi early- warning model untuk
memprediksi bank failures, dan juga oleh Altman & Sametz (1977) untuk membedakan antara perusahaan yang
sehat dan bangkrut. Discriminant Analysis digunakan untuk mengklasifikasi suatu obyek observasi kedalam
beberapa grup a priori berdasarkan karakteristik obyek observasi tersebut. Utamanya digunakan untuk
mengelompokkan dan/atau memprediksi obyek observasi, dalam hal variabel dependen berbentuk kualitatif,
misalnya bangkrut atau tidak bangkrut, sehat atau tidak sehat.
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
179
ekstern serta dampak potensial dari kejadian/fenomena eksternal, misalnya perubahan
kebijakan makroekonomi dan sebagainya. Namun demikian mengingat belum tersedianya
informasi yang komprehensif mengenai kuantifikasi faktor-faktor kualitatif tersebut maka
sebagai variabel independen dalam model ini dapat digunakan faktor penilaian tingkat
kesehatan, yaitu CAMEL (Capital adequacy, Asset quality, Management, Earning dan Liquidity),
ataupun rasio-rasio keuangan lainnya sebagai proxies dari CAMEL. Dalam tulisan ini
akan digunakan 8 rasio keuangan yang dianggap cukup dapat mewakili penilaian CAMEL
(lihat tabel 1). Selanjutnya dengan menggunakan 8 rasio tersebut sebagai variable independen
dalam Discriminant Analysis yang diseleksi secara bertahap (stepwise procedure) diketahui
bahwa terdapat 3 variabel independen yang cukup signifikan untuk dapat diaplikasikan
kedalam model discriminant function, yaitu X1, X3 dan X8. Apabila diurut secara ranking
berdasarkan angka discriminant loadings, variabel yang paling signifikan dalam membedakan
antara 2 dependen variabel adalah faktor Asset Quality, Capital dan Liquidity, dan yang
merupakan the most discriminating factor, adalah Asset Quality yang dalam hal ini diwakili
oleh rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP). Melalui model tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan kemungkinan insolvency adalah kualitas
aktiva produktif. Disamping itu, analisis ini juga menghasilkan suatu persentase ketepatan
klasifikasi antara grup solvent dan insolvent sebesar 77,9%, sedangkan ketidaktepatan sebesar
22,1% dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain data rasio-rasio bank yang tidak
konsiten, misalnya rasio KAP tinggi namun CAR baik atau sebaliknya.
Dari hasil analisis tersebut juga diperoleh discriminant coefficient yang digunakan untuk
memformulasikan discriminant function dan menghitung Z score,yaitu:
Z
=
0,519 X1 - 0,748 X3 + 0,353 X8
Persamaan tersebut dapat diaplikasikan untuk menentukan kondisi bank secara
individual dengan memasukan rasio-rasio variabel independen. Proses selanjutnya adalah
menentukan cutting score yang merupakan kriteria penentu dalam pengelompokkan, yaitu :
Z CU
dimana :
ZCU
=
Z CU
N A
N B
Z A
ZB
=
NAZA +NBZB
NA+NB
= Critical cutting score
= jumlah anggota grup A
= jumlah anggota grup B
= Centroid grup A
= Centroid grup B
[(55) x (-0,966)] + [(167) x (0,318)]
(55) + (167)
=
0
180
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Berdasarkan hasil penghitungan cutting score tersebut dapat ditentukan klasifikasi
bank, yaitu insolvent jika discriminant score negatif dan solvent jika discriminant score positif.
Tabel 1
Beberapa rasio keuangan sebagai indikator dalam early warning model
Var.
Rasio
Definisi
X1
Capital
Capital adequacy ratio
X2
Equity capital to assets
X3
X4
X5
X6
X7
X8
Total Modal (sesuai penghitungan KPMM) dibagi Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
Modal equity (modal disetor + agio + modal pinjaman) dibagi
total aset
Asset Quality
Classified loans to total loans
Loans to assets
Management
Operating expense to total
revenue
Earning
Loan revenue to total
revenue
Return on assets
Liquidity
Liquid assets to total assets
Total kredit yang diklasifikasikan dibagi total kredit
Total kredit dibagi total aset
Total biaya operasional dibagi total pendapatan
Total pendapatan bunga kredit dibagi total pendapatan
Total pendapatan bersih dibagi total aset
Total aset lancar dibagi total aset
Untuk memprediksi kondisi, perlu dilakukan identifikasi perilaku antara satu variabel
dengan variabel lainnya dalam satu matrix system (A). Melalui metode ini, prediksi tidak
hanya didasarkan pada kondisi satu variabel saja, akan tetapi juga interdependency antara
satu variabel dengan lainnya. Identifikasi matrix system dilakukan secara moving average
karena perilaku matrix system akan berbeda dari waktu ke waktu, sebagaimana digambarkan
dalam diagram berikut :
o
X
X
X=A X
A
X1
X3
X8
Dengan fungsi solusi : Y = K X
o
dalam persamaan
=
a11
a1 2
a1 3
a21
a2 2
a2 3
a31
a3 2
a3 3
o
X1
o
X3
o
X8
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
181
Dalam tulisan ini akan dilakukan prediksi terhadap 18 bank yang dipilih secara
random, yang mewakili seluruh jenis bank baik yang dianggap sebagai bank yang solvent
maupun bank yang dianggap insolvent. Proses selanjutnya adalah menetapkan rasio-rasio
variable X1, X3 dan X8 dari 18 bank tersebut pada bulan Januari-Juli 1998. Dengan
menggunakan regresi dalam periode Januari sampai Juli 1998 didapatkan koefisien
pendekatan yang membentuk matrix system dan koefisien konstanta untuk ke-18 bank tersebut.
Matrik-matriks tersebut merupakan matrixs system dari bank-bank secara individual yang
diharapkan akan dapat memberikan respon yang mendekati keadaan sebenarnya jika
diberikan input. Prediksi untuk kondisi solvency bulan Agustus [solvency (t)] dengan
memasukkan input kondisi bulan Juli [KAP(t+1), CAR(t+1), LIQ(t+1)]. Selanjutnya setelah
didapatkan [KAP(t), CAR(t), LIQ(t)] fungsi dimasukkan ke dalam fungsi solvency umum
sehingga menghasilkan prediksi solvency di bulan Agustus. Sebagai contoh, apabila fungsi
ini dimasukkan kedalam 4 bank maka akan diperoleh gambaran sebagaimana dalam Grafik
2. Grafik tersebut menunjukkan bahwa solvency merupakan fungsi dari faktor kualitas aktiva
produktif, capital adequacy ratio dan likuiditas. Pergerakan dari faktor-faktor tersebut untuk
selanjutnya dapat menerangkan arah kecenderungan solvency.
Grafik 2
Kualitas Aktiva Produktif
Capital Adequacy Ratio
50
20
15
Bank A
30
Bank B
Bank C
20
Bank D
Percentage
Percentage
40
10
Bank A
Bank B
10
Bank C
Bank D
5
0
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
0
aug
jan
Liquidity
mar
apr
may
jun
jul
aug
Solvency
0.08
10
0.06
Bank A
Bank B
0.04
Bank D
Data D
0.02
0
Percentage
Percentage
feb
Bank A
Bank B
-10
Bank C
Bank D
-20
0
-30
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
aug
jan
feb
mar
apr
may
jun
jul
aug
182
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Selanjutnya, hasil uji akurasi terhadap nilai prediksi diketahui bahwa matrik sistem
cukup dapat memberikan hasil prediksi yang cukup baik meskipun tingkat akurasi yang
ditunjukkan dalam standar deviasi menunjukkan angka sebaran yang cukup lebar. Hal ini
disebabkan oleh kondisi perbankan yang tidak berada dalam kondisi yang normal. Terdapat
lonjakan-lonjakan besaran yang tidak dengan cepat dapat terekam oleh matrik sistem karena
sistem yang teridentifikasi disusun berdasarkan metoda moving average sehingga efek
smoothing menyebabkan sistem lambat untuk mengadaptasi perilaku sistem secara cepat.
Analisis secara statistik terhadap hasil prediksi digambarkan dalam grafik berikut :
Kurva Sebaran CAR
8
8
6
6
Frek uens i
F rek uens i
K urva Sebaran KAP
4
2
4
2
0
0
>- 0.4
>- 0.2 -0.2- 0.2
<0 .4
<0 .6
>-0.4
In terva l
<0 .4
<0 .6
In terva l
Mean simpangan : 6.9%
Standar deviasi
: 58%
Mean simpangan : -10%
Standar deviasi
: 80%
K urva S ebaran Solvensi
K urva S ebaran Likuiditas
5
4
3
Fr eku ens i
Fre kue ns i
>-0.2 -0.2-0.2
2
1
4
3
2
1
0
0
>-0.4
>-0.2
-0 .2-0.2
<0.4
Inte rval
Mean simpangan : -24%
Standar deviasi
: 53%
<0.6
>-0.4
>-0.2 -0.2-0.2
<0.4
<0.6
Inte rval
Mean simpangan : 13,6%
Standar deviasi
: 33,9%
Memprediksi Kondisi Perbankan melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis
183
Kesimpulan
Krisis perbankan yang terjadi di setiap negara membawa dampak yang merugikan
terhadap perekonomian secara umum dan sistem keuangan secara khusus. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, perlu dikembangkan suatu early warning system yang dapat
memprediksi kondisi kesehatan suatu bank secara individu maupun sistem perbankan
secara keseluruhan dengan menggunakan konsep solvency dan faktor-faktor yang mewakili
probabilitas terjadinya insolvency. Dalam hal ini penggunaan Discriminant Analysis akan
sangat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor utama (crucial) yang dapat
menjelaskan perbedaan antara bank yang solvent dan insolvent. Selanjutnya, melalui
identifikasi matrix system yang dikembangkan dari variabel-variabel yang diperoleh dari
Discriminant Analysis, dapat diprediksi perilaku sistem baik secara individual maupun
sistemik serta respons yang akan dihasilkan oleh sistem terhadap suatu variabel endogen
maupun eksogen.
Hasil pengujian terhadap 18 bank dengan metode tersebut menunjukkan nilai proyeksi
yang cukup mendekati nilai nyata yang ditunjukkan dengan mean simpangan yang kecil.
Walaupun demikian, matrix system yang terbentuk tidak dapat secara segera mengadaptasi
perubahan yang cepat. Hal ini disebabkan efek dari moving average yang bersifat
menghaluskan (smoothing) variabel-variabel yang terekam.
Untuk membangun suatu model yang dapat menggambarkan kondisi yang
sebenarnya, diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai :
1.
Variabel-variabel endogen lainnya, khususnya yang bersifat kualitatif yang perlu
dikuantifikasi untuk menyempurnakan model early warning, misalnya kelemahan
dalam manajemen dan internal control, risk portfolio, fluktuasi nilai tukar dan
sebagainya.
2.
Pengembangan suatu matrix system yang mendekati kondisi sebenarnya sehingga dapat
digunakan untuk mengantisipasi respon perbankan terhadap perubahan-perubahan
yang bersifat eksogen seperti variabel-variabel ekonomi seperti economic growth.
Daftar Pustaka
Hooks, Linda M, Bank Asset Risk : Evidence From Early Warning Models, Contemporary
Economic Policy Vol. XIII, October 1995
Lindgren, Carl-Johan, Gillian Garcia, and Matthew Saal, Bank Soundness and
Macroeconomic Policy, International Monetary Fund, Washington, 1996
184
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Fischer, Stanley, Financial System Soundness, Finance & Development, March 1997
Mishkin, Frederic S., Understanding Financial Crises : A Developing Country Perspective,
National Bureau of Economic Research, Inc., May 1996.
Demirguc-Kunt, Asli & Enrica Detragiache, The Determinants of Banking Crises : Evidence
from Developing and Developed Countries, IMF Working Paper, 1997
Mark Gertler & Andrew Rose, Finance, Public Policy, and Growth, Financial Reform,
Theory and Experience, 1994.
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
185
SETAHUN KRISIS ASIA : BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT
DIAMBIL DARI KRISIS TERSEBUT
Mahdi Mahmudy *)
Krisis keuangan Asia yang pertama kali dipicu oleh devaluasi Thai Baht pada pertengahan tahun lalu
telah menyeret jatuhnya nilai mata uang dan pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia,
Phillipina, Korea, dan Indonesia. Semakin terpuruknya perekonomian, mengakibatkan negara-negara yang
terkena krisis untuk meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, world Bank dan ADB. Berbagai
kebijakan ekonomi makro baik moneter, fiskal, keuangan dan sektor riil telah dicoba untuk mengatasi krisis
tersebut. Namun, karena kompleks faktor penyebab, serta munculnya permasalahan sosial dan politik akibat
krisis tersebut, kebijakan makro yang konvensional berupa pengetatan moneter dan fiskal belum menunjukkan
hasil seperti yang diharapkan.
Krisis tersebut diperburuk oleh kondisi perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami berbagai
permasalahan internal. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua didunia, merupakan
lokomotif yang penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Terpuruknya perekonomian Asia
telah membawa pengaruh contagion terhadap Russia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Bila tidak segera diatasi
secara menyeluruh dan bersama-sama, krisis tersebut diduga akan mengakibatkan krisis global dan membawa
perekonomian dunia kearah depresi.
*) Mahdi Mahmudy : Peneliti Ekonomi Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, UREM, Bank Indonesia,
Email : [email protected]
186
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Pendahuluan
M
eskipun telah memasuki usia setahun, krisis ekonomi dan keuangan Asia belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, krisis tersebut cenderung
mengglobal. Hal ini diperburuk oleh perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami
sakit yang cukup parah akibat besarnya non-performing loan sektor perbankan dan hambatanhambatan struktural lainnya. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar di
dunia, merupakan salah satu lokomotif penting dalam mendorong perekonomian Asia
dan dunia. Suramnya kondisi perekonomian Asia mempunyai pengaruh contagion terhadap
kawasan lainnya.
Tulisan ini akan memaparkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan krisis tersebut,
baik faktor-faktor penyebab, pengaruh pada perkembangan ekonomi kawasan lainnya,
kebijakan yang telah diambil, serta kritikan terhadap kebijakan IMF dalam upaya-upaya
penanganan krisis selama ini. Struktur organisasi penulisan akan sebagai berikut. Krisis
ekonomi dan keuangan Asia serta dampaknya terhadap kawasan lainnya serta
perekonomian dunia dikemukan pada bagian II. Bagian III akan menjelaskan beberapa
faktor penyebab krisis muncul. Kebijakan yang diambil dalam mengatasi krisis serta kritikkritik terhadap kebijakan yang disarankan IMF dikemukan pada bagian IV. Tulisan ini
akan diakhiri dengan rangkuman yang merupakan bagian V.
Krisis Asia serta dampaknya terhadap perekonomian kawasan lainnya
Krisis Asia yang dipicu pertama kali oleh devaluasi Thai Baht pada awal Juli tahun
1997 yang lalu, kemudian dikenal dengan “Tom Yum Effect”, telah membawa gelombang
jatuhnya mata uang, serta melemahnya pasar modal negara-negara tetangganya seperti
Malaysia, Korea, Phillipina, serta Indonesia. Bahkan negara-negara Asia yang kuat
perekonomiannya seperti Singapura dan Hongkong juga tidak luput dari goncangan badai
krisis tersebut. (lihat Grafik 1 dan 2)
Lebih lanjut krisis Asia tersebut terus menggelinding dan membesar seperti
bergulirnya snow ball. Sakitnya perekonomian Asia telah menyebar ke Russia dan Eropa
Timur . Melemahnya nilai tukar Rubel menyebabkan melemahnya mata uang serta pasar
modal negara-negara yang perekonomiannya sangat terkait erat dengan Russia seperti
Ukraine, Belarus, Czech Republic, Polandia, serta Rumania.
Bagaikan domino principle, epidemi krisis menelan korban berikutnya negara-negara
Amerika Latin. Brazil yang perekonomiannya cukup besar dan berpengaruh terhadap
perkembangan perekonomian di kawasan Amerika latin mulai terkena imbas krisis
ekonomi Russia dan Asia. Ketergantungan Brazil yang sangat besar terhadap capital inflow
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
187
Grafik 1 Perkembangan Nilai Tukar
Beberapa Mata Uang Asia Terhadap Dolar AS
Rupiah/Dolar
BahtThailand/Dolar
20
Trw IV/97
Trw I/98
Trw II/98
Trw III/98
800
25
2,800
30
4,800
35
6,800
40
8,800
45
10,800
50
12,800
55
14,800
60
16,800
Trw IV/97
800
Trw II/98
Trw II/98 Trw III/98
Yen Jepang/D olar
W on Korean/D olar
Trw IV/97 Trw I/98
Trw I/98
Trw III/98
1,000
100
T rw IV/97
T rw I/98
Trw II/98 Trw III/98
110
1,200
120
1,400
1,600
130
1,800
140
2,000
150
2,200
Grafik 2. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara
25000
20000
Nikkei 225 (Jepang)
15000
Hang Seng (Hong Kong)
10000
5000
0
Trw IV/97
Trw I/98
Trw II/98
Trw III/98
188
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
untuk membiayai anggaran defisit, sekitar 7% dari GDP, mengakibatkan negara tersebut
terpaksa membayar mahal terhadap gejala capital outflow dengan menaikkan suku bunga
secara drastis mendekati 50% pada bulan September 1998. Melemahnya perekonomian
Brazil diduga akan membawa pengaruh yang buruk terhadap negara Amerika latinnya
seperti Venezeula, Argentina, Columbia, Chili dan Mexico.
Krisis keuangan Asia mengakibatkan anjloknya pertumbuhan perekonomian negaranegara Asia dan Asean khususnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan GDP mereka.
Pertumbuhan real GDP kawasan Asia dan khususnya negara-negara ASEAN-41 pada tahun
1997 masing masing melambat menjadi 6,6% dan 3,7% dari 8,2% dan 7,1% pada tahun
sebelumnya. Dalam tahun 1997 krisis keuangan Asia secara langsung belum berdampak
terhadap negara-negara industri utama. Pertumbuhan Domestik Bruto riil negara-negara
industri utama tersebut secara umum (kecuali Jepang) sedikit meningkat menjadi 2,9%
dibandingkan sebesar 2,8% pada tahun 19962 .
Namun, secara tidak langsung negara-negara industri mulai merasakan pengaruh krisis.
Pengaruh tidak langsung tersebut antara lain terlihat dari jatuhnya harga-harga komoditi
yang diperdagangkan. Terpuruknya perekonomian negara-negara di kawasan yang terkena
krisis disertai dengan melemahnya mata uang mereka, menyebabkan jatuhnya harga tradable
goods serta melambatnya perdagangan dengan negara-negara industri yang dekat dengan
Asia seperti, New Zealand dan Australia. Majalah Economist3 menyebutkan dampak krisis
menyebabkan commodity price index turun sebesar 30% sejak pertengahan tahun 1997.
Penurunan ini merupakan yang tertinggi sejak 25 tahun terakhir. Bahkan harga-harga
industrial commodities secara riil berada pada posisi yang paling rendah sejak tahun 1930-an.
Memasuki tahun 1998, perekonomian negara-negara Asia dan Amerika Latin masih
melambat. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi, investasi, serta
belum pulihnya capital inflow ke kawasan tersebut4 . Melambatnya pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia dan Amerika Latin tersebut, mulai mengkhawatirkan negara-negara
maju. Mereka menyadari kalau tidak segera diatasi, krisis Asia, Rusia, Eropa Timur, serta
Amerika Latin bisa mengarah ke krisis global terutama karena kepanikan pelaku pasar
keuangan dan menurunnya volume perdagangan dunia. Terpuruknya pasar modal
dinegara-negara yang mengalami krisis mulai menunjukkan psychology effect terhadap pasar
saham Wall Street dan pasar modal negara industri lainya. Krisis Russia dan Brazil sempat
1
2
3
4
Indonesia, Malaysia, Phillipina, dan Thailand
IMF Annual Report tahun 1998
Edisi 5 September 1998
Berdasarkan World Economic and Finanacial Surveys 1998(IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital
inflows tahun 1997 ke Asia anjlok menjadi US$13,9 miliar dari US$110,4 miliar tahun 1996.
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
189
Grafik 3. Indeks Harga Saham di Negara Maju
3200
3000
Dow Jones (Am erika)
2800
2600
2400
FT (Inggris)
2200
2000
Trw IV/97
Trw I/98
Trw II/98
Trw III/98
membuat panik pelaku pasar atau investor Amerika, sehingga mereka mulai menjual saham
yang mereka miliki. (lihat Grafik 3).
Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, IMF memperkirakan pertumbuhan
world ouput dalam tahun 1998 hanya 2,0%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan
tahun 1997 sebesar 4,1%. Amerika pada mulanya menganggap dan yakin krisis Asia tidak
akan mempunyai dampak terhadap perekonomian mereka. Namun, setelah melihat Rusia,
Eropa Timur dan Amerika Latin juga terkena, serta perekonomian Jepang yang masih
terpuruk, mulai khawatir terhadap perekonomian mereka. Hal ini terlihat dari proyeksi
pertumbuhan ekonomi Amerika pada tahun 1998 menjadi 3,5% dibandingkan pertumbuhan
tahun sebelumnya 3,9%.
Faktor-faktor penyebab krisis
Secara garis besar ada beberapa faktor pemicu krisis keuangan dan ekonomi tersebut.
Pertama, karena besarnya hutang perusahaan swasta seperti Indonesia, Korea, dan Thailand.
Disamping besar jumlahnya, pada negara-negara tertentu (Thailand, Korea dan Indonesia)
hutang swasta tersebut cenderung tidak di hedge, berjangka pendek, serta digunakan untuk
pembiayaan investasi di realestate serta non-tradable goods lainnya. Kedua, free capital mobility
terutama yang berjangka pendek. Dengan adanya globalisasi dan semakin terintegrasinya
pasar keuangan dunia, perubahan persepsi pasar atau adanya upaya spekulasi hedge fund
akan mengakibatkan berbaliknya arus aliran modal secara massive yang lebih lanjut akan
190
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
menekan nilai tukar dan mempengaruhi inflasi5. Ketiga, karena lemahnya sektor keuangan.
Liberalisasi sektor keuangan mengakibatkan cepatnya pertumbuhan sistem keuangan.
Pertumbuhan yang cepat tersebut cenderung tidak diikuti dengan rambu-rambu pengaman
serta sistem pengawasan yang handal. Besarnya pinjaman luar negeri dari sektor keuangan
yang tanpa di hedge dan berjangka pendek banyak dijumpai pada negara-negara Asia. Financial
panic merupakan faktor keempat penyebab krisis. Situasi bank run karena masyarakat panik
terhadap anjloknya nilai tukar serta adanya beberapa bank yang collapse dan ditutup,
mengakibatkan masyarakat menarik dananya dari sistem perbankan untuk di simpan di rumah,
dibelikan hard currencies, atau ditransfer ke luar negeri. Kondisi krisis ini pada negara tertentu,
seperti Indonesia, mengakibatkan pergantian pemerintahan yang diikuti oleh munculnya
masalah-masalah non-ekonomi seperti social unrest, serta tekanan-tekanan politik terhadap
pemerintah. Keadaan ini telah membuat kegiatan pemulihan ekonomi menjadi semakin lama.
Kebijakan yang diambil serta beberapa kritik terhadap kebijakan IMF
Melemahnya mata uang negara-negara Asia disertai dengan menurunnya cadangan
devisa, baik dalam rangka intervensi untuk memperkuat nilai tukar, maupun karena adanya
capital ouflow, membuat negara yang terkena krisis tersebut meminta bantuan lembaga
internasional seperti IMF, World Bank, ADB, serta pinjaman bilateral lainnya. Resep kebijakan
yang disepakati IMF untuk mengatasi permasalahan krisis tersebut, meliputi berbagai langkah
kebijakan ekonomi makro baik dibidang moneter dan fiskal, keuangan, serta sektor riil.
Dibidang moneter, dilakukan upaya-upaya pengetatan antara lain dengan menaikkan
suku bunga dan pengetatan kredit. Tujuan dari kebijakan tersebut antara lain untuk
memperkuat nilai tukar dan mengatasi inflasi yang tinggi. Disamping itu, kebijakan moneter
yang ketat juga diharapkan akan mengembalikan kepercayaan pasar. Dalam hal kebijakan
nilai tukar, dianjurkan untuk menerapkan nilai tukar yang fleksibel. Thailand dan Phillipines
sejak krisis mengambangkan nilai tukar mereka, sementara Indonesia menghapuskan
intervention band dan membiarkan rupiah mengambang sejak tanggal 14 Agustus 1998 untuk
mengurangi upaya spekulasi dan mempertahankan cadangan devisa.
Dibidang fiskal, pada tahap awal IMF menekankan perlunya pelaksanaan kebijakan
fiskal yang ketat untuk membantu kontraksi moneter dan memperkuat nilai tukar. Namun,
kemudian IMF merubah stance kebijakan fiskal dari ketat menjadi longgar, karena keadaan
yang tidak memungkinkan. Sebagai contoh, IMF menyetujui perubahan kebijakan fiskal yang
semula ketat menjadi sedikit longgar pada Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia negara
5 Berdasarkan “World Economic and Finacial Surveys 1998” (IMF), krisis Asia mengakibatkan total net private capital
inflows tahun 1997 ke Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand menjadi negatif US$ 11 miliar dari US$ 72,9 miliar
tahun 1996
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
191
yang paling parah terkena krisis keuangan di Asia. Krisis di Indonesia mengakibatkan
tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya jumlah orang yang berada dibawah garis
kemiskinan yang berdasarkan perkiran Bank dunia sekitar 45 juta atau 21% dari total
penduduk. Disamping itu, dalam tahun 1998 perekonomian Indonesia diperkirakan
mengalami pertumbuhan negatif 13%-15% . Untuk mengurangi dampak negatif dan
munculnya social unrest dari krisis tersebut, program jaringan pengaman sosial (social safety
nets) dan pemberian subsidi untuk beberapa komoditas disepakati untuk dilaksanakan. Untuk
TA 1998/99 fiskal defisit Indonesia diperkirakan 8,5% dari GDP yang seluruhnya akan dibiayai
dari luar negeri.
Disektor perbankan, IMF menyarankan untuk meningkatkan pengawasan , serta
melakukan restrukturisasi perbankan antara lain dengan melakukan penutupan bank-bank
yang tidak sehat seperti penutupan 16 bank di Indonesia, 58 finance companies di Thailand,
serta 14 merchant banks di Korea. Disamping itu, perbankan nasional juga diminta untuk
meningkatkan kemampuan mereka dengan mengacu kepada standard perbankan
internasional seperti mengenai perluasan cakupan asset-asset produktif, penyediaan loan
loss provision (penyisihan penghapusan aktiva produktif), serta ketentuan Capital Adequacy Ratio.
Disamping itu, dalam upaya mengurangi tekanan permintaan terhadap USD yang
lebih lanjut bisa memperlemah nilai tukar, kebijakan untuk menjadwalkan kembali hutang
swasta dan pemerintah juga dilaksanakan oleh Korea dan Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia
berhasil melakukan rescheduling hutang swasta melalui berbagai pertemuan yaitu di New
York pada bulan April 1998, Tokyo pada bulan Mei 1998, serta disepakatinya Frankfurt
Agreement, pada bulan Juni 1998, antara swasta dan lender luar negeri. Kemudian dilanjuti
dengan Paris Club Meeting untuk menjadwalkan kembali hutang-hutang Pemerintah yang
jatuh tempo pada TA 1998/99 - sekitar US$ 1,8 miliar.
Di sektor rill dilakukan berbagai kebijakan deregulasi dan restrukturisasi dalam
rangka meningkatkan efisiensi perekonomian nasional. Berbagai hambatan perdagangan
termasuk monopoli dan oligopoli dalam kegiatan ekonomi dihapuskan. Demikian pula
hambatan-hambatan terhadap kegiatan investasi asing dikurangi. Berbagai subsidi secara
bertahap akan dihapus. Reformasi struktural dilakukan diberbagai bidang, misalnya, pada
perdagangan dalam dan luar negeri. Disamping itu, Korea dan Indonesia berupaya untuk
mempercepat privatisasi perusahaan-perusahaan Pemerintah.
Kritikan-kritikan terhadap kebijakan IMF dalam mengatasi krisis
Penanganan krisis oleh IMF melalui kebijakan pengetatan atau demand restraint
mendapat kritik banyak pakar ekonomi seperti Jeffrey Sachs (The Head of Harvard Institute
for International Development ) dan Paul Krugman.
192
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Sach, misalnya, mengkritik kebijakan IMF mengenai penutupan bank di beberapa
negara. Penutupan bank-bank yang tidak sehat di Thailand dan Indonesia dalam kondisi
normal mungkin akan membawa dampak positif. Namun, dalam kondisi keuangan yang
tidak normal, dan belum adanya skim deposit insurance, penutupan bank bank tersebut
semakin memacu kepanikan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.
Hal ini mengakibatkan masyarakat menarik dananya secara besar-besaran dari perbankan.
Di Indonesia, kondisi bank run ini lebih lanjut mengakibatkan flighttosafety yaitu perpindahan
dana dari bank-bank swasta ke bank pemerintah dan bank asing. Selanjutnya hal ini
mengakibatkan liquidity squeeze yang mengakibatkan perbankan sulit untuk melakukan
penghimpunan maupun penyaluran dana. Perkembangan tersebut mengakibatkan kreditor
luar negeri juga enggan untuk memperpanjang kembali hutang mereka ke perbankan yang
mengakibatkan semakin ketatnya likuiditas dan tingginya suku bunga.
Sachs juga mengkritik saran IMF yang menganjurkan negara-negara Asia yang
mengalami krisis untuk mentargetkan surplus budget sebesar 1% dari GDP. Hal ini karena
negara-negara tersebut selama ini umumnya telah melaksanakan kebijakan fiskal yang
berhati-hati dan inti permasalahan krisis bukan bersumber dari fiskal. Pengetatan fiskal
dalam kondisi perekonomian yang sudah kontraksi akan mengakibatkan perekonomian
semakin dalam terpuruk. IMF kelihatannya menyadari kondisi ini, dan akhirnya
mengizinkan negara-negara yang terkena krisis untuk melaksanakan deficit budget.
Mengenai kebijakan moneter yang ketat dalam hal ekspansi kredit dan peningkatan
suku bunga untuk mengurangi likuiditas perekonomian guna memperkuat nilai tukar,
menurut Sach tidak banyak bermanfaat dalam kondisi financial panic. Tingginya suku bunga
dan ketatnya penyaluran kredit mengakibatkan bank mengalami negatif spread, nonperforming loan meningkat, serta cenderung merugi. Ketatnya pemberian kredit, diikuti
dengan tingginya suku bunga mengakibatkan pasar modal dan sektor real semakin
terpuruk, serta meningkatkan unemployment. (lihat Grafik 4a dan 4b).
Paul Krugman6 , menulis dalam berbagai artikel di majalah Fortune dan Far Eastern
Economic Review, yakin bahwa upaya temporary currency control disertai dengan penurunan
suku bunga atau dikenal dengan “Plan B” merupakan bagian upaya yang penting untuk
mengatasi krisis Asia. Hal ini berhubung kebijakan-kebijakan IMF (Plan A) dalam mengatasi
krisis Asia selama ini tidak hanya gagal tetapi telah memperburuk situasi.
Lebih jauh Krugman menyatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan kontrol devisa
tersebut, suatu negara harus selalu mengacu pada upaya menekan hambatan-hambatan
pelaksanaan kegiatan usaha seminimal mungkin. Pertama, pelaksanaan kontrol sebagus
6 Professor of economics at the Massachusetts Institute of Technology
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
193
Grafik 4a. Indeks Harga Saham di Beberapa Negara
800
KLSE (Malaysia)
600
JSX (Indonesia)
400
SET (Thailand)
200
0
Trw IV/97
Trw I/98
Trw II/98
Trw III/98
apapun akan menimbulkan distorsi yang dapat memperparah kondisi perekonomian.
Sehubungan dengan itu, kebijakan pengendalian nilai tukar ini hendaknya bersifat
sementara untuk memberikan ruang gerak bagi pemulihan ekonomi. Kedua, kontrol devisa
dan pemberlakuan nilai tukar tetap hendaknya ditujukan untuk mempertahankan nilai
tukar yang tinggi semata karena yang diperlukan adalah nilai tukar real yang kompetitif
untuk menunjang ekspor. Ketiga, kebijakan pengendalian nilai tukar hendaknya digunakan
sebagai alat bantu reformasi ekonomi sehingga memberikan ruang gerak bagi pelaksanaan
kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif untuk memacu kegiatan sektor real. Namun,
upaya lainnya menyangkut pembenahan sektor keuangan tetap harus dipercepat.
Negara Asia yang menerapkan ide Krugman tersebut adalah Malaysia7 dengan
memberlakukan selective exchange control (ECM) pada tanggal 1 september 1998 yang baru
Grafik 4b. Indeks Harga Saham di Korea
80
70
60
KOSPI (Korea)
50
40
30
20
Trw IV/97
Trw I/98
Trw II/98
Trw III/98
7 Bank Negara Malaysia,””Measures to Regain Monetary Independence”, press release, September 1998
194
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
lalu. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan nilai tukar Malaysian Ringgit(RM) yang
melemah, menghambat spekulasi terhadap RM, dan meminimumkan dampak negatif dari
arus modal jangka pendek terhadap perekonomian domestik. Kebijakan ECM tersebut
diikuti dengan kebijakan kurs tetap dan pelonggaran kebijakan moneter dengan penurunan
suku bunga untuk mendorong kegiatan sektor real. Kebijakan ECM yang drastis ini diambil
Malaysia karena menilai kebijakan moneter yang ketat dan restrukturisasi keuangan yang
dilakukan selama ini tidak menolong banyak dalam mengatasi krisis selama ini, bahkan
telah memperburuk kondisi yang ada.
Negara Asia lain yang cukup berhati-hati dan bertahap dalam meliberalisasi transaksi
devisa adalah RRC. Sampai saat ini RRC masih membatasi eksportir dalam kepemilikan
devisa yaitu sekitar 15% dari hasil penerimaan ekspor. Mata uang Ren Min Bi (RMB)
diupayakan tidak menjadi convertible currency . Namun, untuk investasi jangka panjang,
negara tersebut relatif terbuka terutama untuk sektor high-tech industry dan prasarana8 .
Kritik yang keras terhadap IMF juga dilontarkan oleh PM Inggris, Tony Blair. Dalam
debat tahunan di Majelis umum PBB pada tanggal 21 September yang baru lalu ia mengatakan
bahwa IMF dan World Bank sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengelola perekonomian
dunia tidak bisa lagi dipertahankan karena adanya gejolak pasar uang global. Untuk itu
perlu new Bretton Wood System untuk menghadapi millenium yang akan datang.
Penutup
• Dengan adanya globalisasi disektor keuangan, pengaruh contagion terhadap negara lain
menjadi semakin besar. Oleh karena itu setiap negara harus mempunyai sistem keuangan
yang handal, kebijakan ekonomi makro yang solid dan berhati-hati, serta kestabilan
politik, guna mengurangi dampak negatif globalisasi.
• Perlu ditingkatkan kerja sama ekonomi intra kawasan yang lebih erat dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan stabilitas mata uang di
kawasan. Disamping itu, perlu dipercepat upaya pembentukan pengawasan regional
(ASEAN Monitoring Mechanism) yang merupakan early warning system untuk
mengetahui permasalahan di masing-masing negara dan kawasan guna mencari
kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. ASEAN Monitoring Mechanism ini diharapkan
dapat melengkapi bentuk pengawasan yang dilakukan oleh IMF selama ini.
8 Berdasarkan data the 1998 APEC Economic Outlook, Foreign Direct investment ke China pada tahun 1997 mencapai
US$45,3 miliar.
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
195
• Guna mengantisipasi permasalahan ekonomi pada abad 21 mendatang, dan menghindari
seringnya terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang negara-negara anggota di kawasan
ASEAN, perlu dirintis upaya untuk menciptakan satu mata uang tunggal di Asia atau
khususnya ASEAN seperti mata tunggal uang Eropa (EMU). EMU yang akan
diberlakukan pada Januari 1999 yang akan datang, persiapan pembentukannya dilakukan
lebih dari 20 tahun.
• Krisis Asia yang telah menyebar ke Russia dan Eropa Timur, serta Amerika latin, bila
tidak diatasi secara menyeluruh dan sungguh-sungguh oleh lembaga-lembaga
internasional dan negara G7 bisa mengakibatkan krisis global dan membawa
perekonomian ke arah depresi.
• Free capital mobility khususnya yang berjangka pendek perlu dilakukan pengaturannya
secara internasional, sebab arus modal tersebut yang dari tahun ketahun semakin besar
volumenya disertai dengan transaksi derivative yang cukup kompleks mempunyai andil
yang besar dalam menciptakan krisis terutama pada emerging markets.
• Lembaga internasional perlu menyusun suatu early warning system terhadap kondisi
ekonomi makro negara-negara anggota untuk menghindari krisis perekonomian yang
lebih luas. Disamping itu perlu ditingkatkan transpararancy, akurasi serta timely data
ekonomi makro dan keuangan setiap negara.
• Berdasarkan pengalaman negara yang menganut sistem keuangannya yang lebih tertutup
disertai adanya rambu-rambu dalam prudential regulation atas arus modal jangka pendek,
seperti China, kelihatannya tidak mudah terkena imbas krisis ekonomi yang terjadi.
• Last but not least cukup menarik pendapat Stiglitz9 (World Bank) mengenai negara yang
menganut sistem ekonomi terbuka dalam kaitannya dengan capital flows “Small open
economies are like rowing boats on an open sea. One can not predict when they might capsize; bad
steering increases the chances of disaster and a leaky boat makes it inevitable. But their chances of
being broadsided by a wave are significant no matter how well they are steered and no matter how
seaworthy they are. The financial movements of the past few years are like the sea ”.
Daftar Pustaka
APEC Economic Outlook , August 1998.
ASEAN Central Bank Forum, Meeting of Deputies, Kuala Lumpur, September 6, 1998.
9 Joseph Stiglitz dalam artikel Boats, planes and capital flows
196
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Bank Indonesia, UREM -Bagian SEI, Catatan Perihal Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar
Malaysia, September 1998.
Bank Negara Malaysia, Measures to Regain Monetary Independence, press release,
September 1998
Camdessus, Michael, From the Asian Crisis Toward a New global Architecture.
Economist, edisi 5 September 1998.
Graciela L. Kaminsky and Carmen M. Reinhart, Financial Crises in Asia and Latin
America : Then and Now, January 1998.
International Monetary Fund, Annual Report 1998.
International Monetary Fund, World Economic Outlook, September 1998.
Krugman, Paul, Far Eastern Economic review dan Fortune,
.
Report of the Subcommitte on Asian Financial and Capital Market of the Committee
on Foreign Exchange and Other Transaction, Lessons from the Asian Currency Crises.
Reuters
Sach, Jeffrey, IMF is a power unto itself, December 1997.
Steven Radelet and Jeffrey Sachs, The Onset of the Asian Financial Crisis, February
1998.
Stiglitz, Joseph, Boat Planes , and Capital Flows, March 1998.
197
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
Lampiran
Tabel 1
*)
Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen
Proyeksi
Dunia
Negara-negara maju
Negara-negara industri utama
Amerika Serikat
Inggeris
Italia
Jepang
Jerman
Kanada
New Zealand
Negara-negara berkembang
Berdasarkan kawasan
Afrika
Asia
ASEAN-4
China
Eropa dan Timur Tengah
Amerika Latin
Argentina
Brazilia
Chile
Columbia
Negara industri baru Asia (NIEs)
Hong Kong SAR
Korea
Singapura
Taiwan
Negara-negara AS EAN
Brunei Darussalam
Indonesia
Philipina
M alaysia
Thailand
Negara-negara dalam transisi
Eropa Tengah dan Timur
di luar Belarus dan Ukraina
Rusia
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2.6
1.2
1.0
2.3
2.1
-1.2
0.3
-1.2
2.2
5.1
6.5
3.9
3.2
2.8
3.5
4.3
2.2
0.6
2.7
4.1
6.0
6.8
3.6
2.5
2.0
2.0
2.7
2.9
1.5
1.8
2.3
3.9
5.9
4,2
3.0
2.8
3.4
2.2
0.7
3.9
1.3
1.2
3.1
6.6
4.1
3.1
2.9
3.9
3.4
1.5
0.8
2.2
3.7
2.3
5.8
2.0
2.0
2.1
3.5
2.3
2.1
-2.5
2.6
3.0
-0.5
2.3
2.5
1.9
1.9
2.0
1.2
2.5
0.5
2.5
2.5
1.7
3.6
1.0
9.3
n.a.
13.5
3.9
3.6
6.3
4.9
7.0
5.4
6.3
6.1
5.8
10.4
6.3
2.6
9.6
n.a.
12.6
0.7
5.0
8.5
5.9
5.7
5.8
7.6
5.4
8.6
10.5
6.5
2.9
8.9
n.a.
10.5
3.5
1.2
-4.6
4.2
10.6
5.8
7.3
3.9
8.9
8.8
6.0
5.8
8.2
7.1
9.6
4.7
3.5
4.8
2.8
7.4
2.1
6.3
4.6
7.1
6.9
5.7
3.2
6.6
3.7
8.8
4.5
5.1
8.6
3.2
7.1
3.1
6.1
5.3
5.5
7.8
6.9
3.7
1.8
-10.4
5.5
3.2
2.8
5.0
1.5
4.5
2.7
-1.6
-5.0
-7.0
0.0
4.0
4.7
3.9
-0.1
n.a
3.9
2.7
n.a
n.a
n.a
n.a
1.7
0.0
-1.0
0.2
3.9
0.5
6.5
2.1
8.3
8.5
-6.7
-4.1
-0.2
-8.7
1.8
7.5
4.4
9.2
8.9
-7.6
-2.6
3.5
-12.6
2.0
8.2
4.8
9.5
8.7
-1.3
1.3
5.1
-4.0
2.8
8.0
5.7
8.6
5.5
-0.1
1.6
3.7
-5.0
3.5
4.6
5.1
7.8
-0.4
2.0
2.8
3.2
0.9
n.a.
-13.8
-0.6
-6.4
-8.0
1.8
3.5
3.9
-6.0
n.a.
-2.3
n.a
n.a
n.a
3.0
4.1
4.4
1.0
*) Produk Domestik Bruto riil.
Sumber :
- IMF, World Econom ic Outlook , August 1998
- IMF, International Financial Statistics , September 1998
- Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia)
198
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 2
Laju Inflasi Negara Maju dan Negara Berkembang
dalam persen
Proyeksi
Negara-negara maju
Negara-negara industri utama
Amerika Serikat
*)
Inggeris
Italia
Jepang
Jerman
Kanada
New Zealand
Negara-negara berkembang
Berdasarkan kawasan
Afrika
Asia
Eropa dan Timur Tengah
Amerika Latin
Argentina
Brazilia
Chile
Columbia
Negara industri baru Asia (NIEs)
Hong Kong SAR
Korea
Singapura
Taiwan
Negara-negara ASEAN
Brunei Darussalam
Indonesia
Philipina
Malaysia
Thailand
Negara-negara dalam transisi
Eropa Tengah dan Timur
Di luar Belarus dan Ukraina
Rusia
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2.6
2.2
2.6
2.5
2.3
2.8
2.4
2.2
2.9
2.1
2.0
2.3
1.7
1.4
1.6
1.7
1.6
2.3
2.4
4.1
0.7
2.7
0.2
2.8
5.2
-0.1
1.8
2.2
51.0
22.7
2.9
3.9
0.1
1.5
1.6
2.3
13.4
2.8
1.7
1.7
1.8
1.4
1.7
8.5
2.8
1.8
0.4
1.0
1.3
1.4
10.5
2.8
1.7
-0.5
1.4
1.9
1.6
7.7
39.3
14.8
31.9
208.5
4.2
2123.7
11.4
22.8
5.6
9.5
6.2
3.0
2.6
32.9
11.9
35.7
41.6
3.4
59.6
8.2
20.9
4.6
7.1
4.5
1.8
4.6
26.7
7.9
24.6
20.8
0.2
11.1
7.4
20.8
4.2
6.0
4.9
1.4
3.1
11.0
4.7
22.6
13.9
0.8
7.9
6.1
18.5
3.2
5.7
4.4
2.0
2.1
7.7
8.3
22.6
10.8
1.3
5.0
5.4
19.5
5.6
3.0
8.5
1.8
2.0
7.0
6.7
13.7
8.0
n.a
n.a
n.a
n.a
3.2
-3.8
4.3
2.0
2.0
2.4
9.2
9.0
3.7
5.1
268.4
153.3
45.1
302.0
6.0
8.6
8.1
3.4
5.8
128.6
75.3
25.1
190.1
2.0
6.6
8.4
3.5
5.9
41.0
32.0
23.0
48.0
3.0
10.3
6.0
2.7
5.6
28.0
38.0
41.0
15.0
n.a.
89.4
10.0
6.0
9.0
30.0
18.0
17.0
48.0
n.a.
39.6
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
*) Indeks harga eceran di luar bunga hipotik.
Sumber: - IMF, World Economic Outlook , August 1998.
- Bank Indonesia, Laporan Tahunan (untuk data Indonesia)
- J.P. Morgan. Emerging Markets: Economics Indicators, Juli 1998
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
199
Tabel 3
Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Primer Nonminyak
*)
1994
1995
1996
1997
1998
Kopi (sen $/pound)
Dari Brasil (di New York)
143.32
145.98
120.29
166.8
96.23
Emas ($/fine ounce)
Inggeris
384.22
384.16
387.82
331.1
292.75
Nikel (sen $/pound)
Inggeris
287.21
373.02
340.38
314.1
196.52
Karet (sen $/pound)
Semua jenis (di New York)
48.93
56.65
54.83
53.54
52.63
Timah (sen $/pound)
London
247.66
281.11
279.36
255.85
256.33
Tembaga (sen $/pound)
Inggeris
104.58
133
104.03
103.2
75.1
Jenis Komoditas
*) Sampai dengan Juli 1998.
Sumber : IMF, International Financial Statistics , September 1998
200
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 1998
Tabel 4
Private Capital Flows ke Emerging Market
(dalam miliar US$)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
31
17.6
17.1
-3.7
126.9
31.3
37.3
58.4
120.9
37.2
59.9
23.8
164.7
60.6
103.5
0.7
160.5
84.3
87.8
-11.7
192
96
23.5
72.5
240.8
114.9
49.7
76.2
173.7
138.2
42.9
-7.3
Total Net Private Capital Inflows
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
19.1
8.9
-1.4
11.6
35.8
14.5
1.8
19.5
21.7
16.5
9.3
-4.1
57.6
35.9
21.6
0.1
66.2
46.8
9.5
9.9
95.8
49.5
10.5
35.8
110.4
57
13.4
39.9
13.9
57.8
-8.6
-35.4
Amerika Latin
Total Net Private Capital Inflows
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
10.1
6.7
17.5
-14
26.1
11
14.7
0.3
56
13.6
30.4
12
64.3
12.8
61.1
-9.5
47.4
24.3
60.6
-37.5
35.7
25.3
-0.1
10.5
80.5
36.9
25.2
18.5
91.1
51.2
33.5
6.5
Negara Asia yang mengalami krisis2)
Total Net Private Capital Inflows
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
24.9
6.2
1.3
17.4
29
7.2
3.3
18.5
30.3
8.6
6.3
15.4
32.6
8.6
17.9
6.1
35.1
7.4
10.6
17.1
62.9
9.5
14.4
39
72.9
12
20.3
40.6
-11
9.6
11.8
-32.3
Timur Tengah dan Eropa
Total Net Private Capital Inflows
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
0.2
1
2.6
-3.4
65.7
1.3
22.3
42.2
38
1
20.9
16.1
26.6
3.9
15.4
7.3
17.9
4.3
13.2
0.5
16.9
3.7
8.8
4.4
24.4
2.6
9.2
12.4
25.4
3.3
8.2
13.9
Negara-negara dalam transisi
Total Net Private Capital Inflows
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
3.5
-0.3
0
3.7
-2.4
2.4
0
-4.8
7.2
4.2
0.1
2.9
12.2
6
4.5
1.7
18.4
5.4
4.1
8.9
29.8
13.2
2.9
13.6
21.3
13.1
2.2
5.9
34.5
18.2
7.3
9
Emerging Market
Total Net Private Capital Inflows 1)
Net Foreign Direct Investment
Net Portfolio Investment
Others
Asia
Sumber : International Monetary Fund, International Financial Statistics and World Economic Outlook database.
1)
Net Foreign Direct Investment ditambah Net Portfolio Investment dan Net Other Investment
2)
Indonesia, Korea, Malaysia, Philipines, Thailand
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis tersebut
Tabe l 5
H arga dan V olume Pe rdagang an D unia
p e rse n p e ru b a h a n
P ro y e k s i
P e rda g a n g a n ba ra n g da n ja s a
P e rda g a n g a n du n i a 1)
Vo lum e
D e f la t o r h ar ga
D a la m do la r A S
D a la m SD R
V o l u m e p e rd a g a n g a n
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju
1994
1995
1996
1997
1998
1999
9 .3
9 .5
6 .7
9 .8
4 .6
5 .6
2 .3
- 0 .2
8 .3
2 .2
- 1 .1
3 .3
- 5 .8
- 0 .6
- 4 .1
- 0 .6
1 .3
1 .8
8 .8
8 .8
5 .9
1 0 .1
4 .1
5 .2
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
Im p o r
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
N i l a i tu k a r da g a n g
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
P e rda g a n g a n ba ra n g
P e rda g a n g a n du n i a
Vo lum e
D e f la t o r h ar ga
D a la m do la r A S
D a la m SD R
H a rg a da l a m do l a r A S
M an uf a k t ur
M in y a k
K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s
H a rg a da l a m do l a r S D R
M an uf a k t ur
M in y a k
K o m o dit a s p r im e r n o n m iga s
V ol u m e pe rda g a n g a n
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
P e n ge k sp o r m iga s
B uk an p e n ge k sp o r m iga s
Im p o r
1 3 .0
1 0 .5
8 .8
1 0 .6
4 .8
6 .1
9 .7
7 .0
8 .9
1 1 .9
6 .4
8 .2
8 .8
1 2 .4
5 .2
3 .6
5 .3
6 .5
0 .0
- 0 .2
0 .1
1 .8
0 .0
1 .9
- 0 .7
0 .6
0 .5
- 2 .3
- 0 .3
1 .0
1 0 .2
1 0 .2
6 .5
1 0 .3
4 .8
5 .6
2 .5
0 .0
8 .5
2 .4
- 1 .2
3 .2
- 6 .2
- 1 .0
- 4 .5
- 2 .3
1 .4
1 .9
3 .1
- 5 .5
1 3 .6
1 0 .3
8 .0
8 .2
- 3 .2
1 8 .4
- 1 .2
- 9 .4
- 5 .4
- 3 .3
- 3 .2
- 2 8 .0
- 1 3 .4
0 .7
1 3 .0
0 .9
0 .5
- 7 .8
1 0 .8
4 .1
1 .9
2 .1
1 .2
2 3 .7
3 .3
- 4 .4
- 0 .2
2 .0
- 1 .0
- 2 6 .4
- 1 1 .5
1 .2
1 3 .6
1 .3
9 .4
1 4 .3
8 .1
1 6 .5
9 .4
1 1 .9
2 .6
1 4 .7
5 .9
8 .3
6 .3
8 .9
1 0 .7
1 1 .2
6 .9
1 2 .4
4 .4
4 .9
1 .2
6 .0
5 .1
6 .3
5 .0
6 .6
N ega r a - n e ga r a m a ju
1 1 .0
9 .4
5 .7
9 .7
5 .6
5 .4
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
7 .6
1 2 .6
9 .1
1 0 .5
3 .0
6 .8
P e n ge k sp o r m iga s
B uk an p e n ge k sp o r m iga s
D e fl a to r h a rg a da l a m S D R
E k sp o r
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
P e n ge k sp o r m iga s
B uk an p e n ge k sp o r m iga s
Im p o r
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
P e n ge k sp o r m iga s
B uk an p e n ge k sp o r m iga s
N i l a i tu k a r da g a n g
N ega r a - n e ga r a m a ju
N ega r a - n e ga r a be r k e m ba n g
- 1 1 .1
4 .5
1 .1
1 5 .5
3 .7
6 .5
1 1 .9
1 4 .1
1 0 .5
9 .7
2 .8
6 .9
0 .4
- 0 .8
- 7 .9
1 .7
3 .0
1 .1
2 .1
0 .8
1 .7
8 .0
1 5 .8
5 .8
- 2 .4
3 .0
2 .8
3 .1
- 2 .4
- 4 .0
- 1 3 .9
- 1 .2
1 .4
3 .0
7 .7
1 .9
- 0 .2
- 0 .3
- 1 .1
- 0 .1
2 .8
- 1 .1
0 .6
- 1 .4
2 .6
5 .0
4 .0
5 .2
- 1 .6
2 .5
2 .6
2 .5
- 2 .8
- 0 .6
1 .3
- 1 .0
2 .2
1 .9
1 .5
1 .9
0 .5
- 0 .5
0 .2
2 .2
- 1 .0
2 .8
- 0 .8
0 .5
0 .4
- 3 .4
- 0 .7
1 .1
P e n ge k sp o r m iga s
- 6 .8
1 .4
1 1 .3
0 .2
- 1 5 .1
6 .1
B uk an p e n ge k sp o r m iga s
1 .9
2 .2
0 .6
0 .6
- 0 .3
- 0 .1
Sum be r : I M F , Wo rld E c o n o m ic O u tlo o k , A ugust 1 9 9 8
201
Download