UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT SKRIPSI NINDYA NURFITRIANI AZHAR 1111102000095 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2015 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA UJI EFEKTIVITAS TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi NINDYA NURFITRIANI AZHAR 1111102000095 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2015 ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Nindya Nurfitriani Azhar NIM : 1111102000095 Tanda Tangan : Tanggal iii : September 2015 ABSTRAK Nama : Nindya Nurfitriani Azhar Program Studi : Farmasi Judul : Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Diabetes merupakan suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Selain dengan obat-obatan kimia, pengembangan teknologi dilakukan untuk penyembuhan berbagai macam penyakit termasuk penyakit diabetes yaitu terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi di mana pasien berada di ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal. Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pengobatan diabetes dengan menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Dalam penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan melakukan observasi pengendalian gula darah pada pasien diabetes yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien yang menggunakan obat sebesar 9,37±1,38% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 7,5± 1,109%. Dan rata-rata kadar GDS pasien yang menggunakan obat sebesar 249,21±39,71% sedangkan setelah terapi oksigen hiperbarik 158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan terapi DM Tipe 2 dengan OAD dan oksigen hiperbarik, kadar HbA1c dan kadar GDS pasien dapat dikendalikan mendekati normal. Kata Kunci hiperbarik. : Diabetes mellitus, kadar HbA1c, kadar GDS, terapi oksigen vi ABSTRACT Name : Nindya Nurfitriani Azhar Study Program : Pharmacy Title : Effectiveness Test of Hyperbaric Oxygen Therapy In Diabetes Mellitus Patient in Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Diabetes is a heterogeneous disease which characterized with the increased blood glucose that caused by the deficiency of relative insulin or absolute. Beside the use of chemical drug, the development of technology can be conducted to recover the several diseases particularly diabetes disease by using hyperbaric oxygen therapy. The hyperbaric oxygen therapy is a therapy in which the patient located in high pressure room and breathed with pure oxygen (100%) at the air pressure greater than the normal pressure atmosphere. The objective of this research is to study the effectiveness of diabetes treatment by using hyperbaric oxygen therapy. In this research is used cross sectional design that conducted the observation to control the blood glucose at the diabetes patient who used the hyperbaric oxygen therapy. The result in this research showed that the average of HbA1c patient that using the drug is 9,37±1,38%, while, after using the hyperbaric oxygen therapy is 7,5± 1,109%. The average of GDS patient by using the drug is 249,21±39,71%, whilst, after finishing the hyperbaric oxygen therapy is 158,7± 48,82%. The result indicated that the DM therapy type 2 with OAD and the hyperbaric oxygen therapy, the level of HbA1c and the level of GDS patient can be controlled related to the normal condition. Key words: Diabetes mellitus, HbA1c levels, levels of GDS, hyperbaric oxygen therapy. vii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs. Fakhren Kasim, MH.Kes., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi. 2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi. 5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. viii 6. Bapak Ari, dan seluruh civitas RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian. 7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haryanto dan Ibunda Sari Asri serta adik yang sangat saya sayangi Kayla Amira Azhar yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus di setiap waktu. 8. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Elsa, Puji,Ageng, Ani, Nova, Annisa, Anissa, Anis, Ices, Ika, Aditya, Andis, Tari, Miyadah, Happy, Aci, Brasti, Hala, Syaiful, serta teman-teman Farmasi 2011 beng-beng atas semangat dan kebersamaan kita selama 4 tahun kita bersama. 9. Randi Herlambang yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan menginspirasi. 10. Tiara, Erna, Rina,Agung, yang selalu menginspirasi dan menguatkan saya. Terima kasih atas persaudaraan dan pertemanan yang berkesan selama ini. 11. Linda, Mba Rica, Tia, Mba Ita, Mba Nun, Tisa, Mba Dani, Firdha, Yane, Henny, Karina, Kasa, Swara, Rani, Galih Fitri, Ari, Manda, Diah Ayu, terima kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan. Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ciputat, September 2015 Penulis ix HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nindya Nurfitriani Azhar NIM : 1111102000095 Program Studi : Farmasi Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul : UJI EFEKTIVITAS TERAPI HIPERBARIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Tanggal : September 2015 Yang menyatakan, (Nindya Nurfitriani Azhar) x DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ABSTRAK ............................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................. KATA PENGANTAR ............................................................................ HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................. DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR .............................................................................. DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... ii iii iv v vi vii viii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 1.4.1 Secara Teoritis ............................................................ 1.4.2 Secara Metodologi ...................................................... 1.4.3 Secara Aplikatif .......................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................... 1 1 4 4 4 4 5 5 5 5 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 2.1 Diabetes Melitus ………………..………………...……….... 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus …………………...……...... 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus …………….....…….….. 2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus …………………...……...... 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus ……………...……….. 2.1.5 Gejala Diabetes Melitus ……………………...……… 2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus ……………………… 2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus ……………………...…... 2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus …………………...…… 2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ………………...… 2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus ……………...... 2.2 Hiperbarik Oksigen …………………….......……………...... 6 6 6 6 10 11 12 13 14 15 18 21 28 xi x xi xiii xiv xv 2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...... 2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik …………...…….. 2.2.3 Indikasi-indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ……...… 2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik …...……... 2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik ………………...… 2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik ……………………....... Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo …….……. 28 30 35 35 36 39 40 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ............................................................................................. 3.1 Kerangka Konsep …………………………...……………..... 3.2 Definisi Operasional ………………………………………... 3.3 Hipotesis …………………………………………………..... 43 43 44 46 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……………………………. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………….. 4.2 Desain Penelitian …………………………………………… 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian …………………………….. 4.3.1 Populasi ………………………………………........... 4.3.2 Sampel …………………………………………......... 4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel …...... 4.4 Prosedur Penelitian ………………………………………..... 4.4.1 Pengumpulan Data …………………………….......... 4.4.2 Pengolahan Data …………………………………...... 4.4.3 Analisis Data ………………………………............... 47 47 47 47 47 48 48 48 48 49 49 BAB V HASIL …...........................................…………………………. 5.1 Hasil Penelitian ………………………………...................... 5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien ....... 5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan OAD dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik .............................. 51 51 51 BAB VI PEMBAHASAN ….........................…………………………. 6.1 Pembahasan ….....……………………………...................... 6.1.1 Karakteristik Pasien ..................................................... 6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik 59 59 59 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …........................…………. 7.1 Kesimpulan ….....……………………………....................... 7.2 Saran ….....……………………………................................. 65 65 65 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. LAMPIRAN ............................................................................................ 66 70 2.3 xii 52 60 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 .................................... Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.................................................... xiii Halaman 20 43 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 3.2. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 5.3. Tabel 5.4. Tabel 5.5. Tabel 5.6. Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa............................ Kriteria Pengendalian DM .............................................. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus ............................. Definisi Operasional ........................................................ Distribusi Pasien DM Tipe 2 Berdasarkan Karakteristik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014Maret 2015 ...................................................................... Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014Februari 2015 .................................................................... Distribusi kondisi pasien sebelum dan setelah terapi OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 ......................................................... Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 ................................................... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 …... Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014Februari 2015 ……………………………………………. xiv 15 15 19 44 51 52 54 56 56 58 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Farmasi ............................ 71 Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Dari RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat .............. 72 Pasien Diabetes yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat .............. 73 Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 ..... 76 xv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan global yang insidennya semakin meningkat. Diabetes adalah suatu penyakit heterogen yang gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut (Mycek, J. Mary, 2001). Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa (ADA, 2011). Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025 (WHO, 2011). Dan sekitar 60% jumlah pasien tersebut terdapat di Asia. Jumlah ini diasumsikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030 (Hilary King et al, 2004). Prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,4 persen (2013). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen (Rikesda, 2013). Peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. Hal ini terjadi terutama pada kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi (Zahtamal dkk, 2007). Penyakit diabetes melitus sering menimbulkan komplikasi berupa stroke, gagal jantung, nefropati, kebutaan dan bahkan harus menjalani amputasi jika 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 anggota badan menderita luka gangren (Nuh Huda, 2010). Prevalensi penyakit diabetes melitus yang terus menerus meningkat, mengharuskan pemerintah Indonesia untuk senantiasa tanggap dalam penanganan dan pengobatan untuk pasien diabetes melitus. Ada 4 hal penting yang perlu dijalankan agar pasien diabetes dapat hidup sehat kembali yang disebut dengan empat pilar pengendalian diabetes (Edukasi, pengaturan makan, olahraga, obat seperti tablet atau insulin) (Kariadi,2009). Namun pada kenyataannya angka kematian dan komplikasi dari penyakit diabetes melitus tetap saja tinggi. Upaya yang dilakukan yaitu memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang perawatan dan pengobatan penyakit diabetes melitus secara mandiri. Edukasi ini mencakup perencanaan makan (diet), kegiatan olah raga, pemakaian obat oral dan insulin secara tepat. Pemantauan kadar gula dalam darah dan urin serta meningkatnya motivasi penderita diabetes melitus untuk kontrol secara teratur yang bertujuan menghilangkan gejala, mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi komplikasi yang sudah ada, mengobati penyakit penyerta, menciptakan dan mempertahankan kesehatan tubuh, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (Soegondo, 1995). Kemajuan menghasilkan teknologi metode–metode dalam bidang ilmu baru dalam upaya pengetahuan penyembuhan kedokteran penyakit, termasuk penyakit diabetes. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah terapi oksigen hiperbarik. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap metode pengobatan terapi hiperbarik dalam bidang medis. Terapi oksigen hiperbarik diperkenalkan pertama kali oleh Behnke pada tahun 1930. Saat itu angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap terapi hiperbarik untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. Terapi oksigen hiperbarik hanya diberikan kepada para penyelam untuk menghilangkan gejala penyakit dekompresi yang timbul akibat perubahan tekanan udara saat menyelam, sehingga fasilitas terapi tersebut sebagian besar hanya dimiliki oleh beberapa Rumah Sakit TNI AL dan Rumah Sakit yang berhubungan dengan pertambangan (Nuh Huda, 2010). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Terapi hiperbarik oksigen adalah terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada udara atmosfir normal, yaitu sebesar 1 ATA (Atmosfir Absolut) sama dengan 760 mmHg. Pemberian oksigen tekanan tinggi untuk terapi dilaksanakan dalam chamber atau RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). Konsentrasi O 2 yang digunakan dalam terapi oksigen hiperbarik berbeda dengan O 2 yang digunakan dalam tabung oksigen yang biasa karena pada pemberian O 2 di hiperbarik disertai tekanan tinggi yaitu 2,4 atm yang akan membantu distribusi O 2 dengan cepat dan terpenuhi dengan baik pada organ tubuh. Sedangkan O 2 dalam tabung oksigen tidak disertai tekanan tinggi. Pada tahun 2003, The American Society of Hyperbaric Medicine (Underwater and Hyperbaric Medical Society, UHMS) mempublikasikan indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik yang disetujui oleh komite tersebut berdasarkan bukti ilmiah yang ada, seperti emboli udara, keracunan karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida, anemia karena pendarahan, penyakit dekompresi, abses intrakranial, infeksi nekrosis jaringan lunak, osteomyelitis refraktur, luka bakar dan lain-lain. Tahun 2010 Rady dwipayana, dkk meneliti tentang efek hiperbarik pada cedera otot pada tikus putih dan hasilnya hiperbarik oksigen meningkatkan terjadinya jaringan granulasi dan proliferasi fibroblas pada penyembuhan cedera otot fleksor pada tikus putih. Pada tahun yang sama T. Nuh Huda meneliti tentang pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren penderita diabetes melitus, hasilnya ada perubahan menjadi lebih baik pada tidak signifikan. Mayor Laut (K) Tituk Harnanik, dokter luka tetapi dan Kepala Subdepartemen Faal Penyelaman TNI AL Armada Timur mengatakan, terapi hiperbarik oksigen mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat yang diminum penderita diabetes. Secara teori terapi OHB dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes melitus, di mana terapi HBO pada 2,4 atmofir absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah (Ishihara, 2007). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 Salah satu Rumah Sakit yang memiliki fasilitas terapi hiperbarik ini adalah RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo ini terapi hiperbarik banyak digunakan untuk penyembuhan pada pasien diabetes. Walaupun sudah banyak digunakan dalam penyembuhan diabetes bagi pasien di Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, tetapi belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai efektivitas dari penggunaan terapi hiperbarik bagi pasien diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa pengobatan pada pasien diabetes melitus selama ini banyak menggunakan obat-obatan kimia. Sebagaimana diketahui obat-obatan kimia mempunyai banyak efek samping. Untuk menghindari efek samping dari penggunaan obat kimia dan mempercepat proses penyembuhan dapat dicari teknologi baru untuk pengobatan diabetes melitus. Teknologi hiperbarik sudah dikenal dapat menyembuhkan beberapa penyakit termasuk diabetes. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mempunyai alat hiperbarik yang sudah digunakan untuk pengobatan diabetes, tetapi belum diketahui lebih lanjut efektivitas pengobatan diabetes dengan terapi hiperbarik dibandingkan hanya dengan penggunaan obat kimia di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi hiperbarik pada pasien diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2014 hingga Maret 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengidentifikasi fungsi dari penggunaan terapi hiperbarik terhadap pasien diabetes. Untuk mengetahui apakah penggunaan terapi hiperbarik lebih efektif dibandingkan hanya penggunaan obat antidiabetes. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang penggunaan terapi hiperbarik, khususnya bagi pasien diabetes melitus. 1.4.2 Secara Metodologi Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis. 1.4.3 Secara Aplikatif Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun kebijakan dalam pengobatan diabetes melitus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Terapi Oksigen Hiperbarik pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta”, terbatas hanya membahas pada pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik dengan mengamati kadar HbA1c dan GDS dari data rekam medis pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, 2006). 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus WHO (World Health Association) membagi DM menjadi dua kelas, yaitu kelas klinis dan kelas risiko statistik. a) Kelas klinis Jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal. Kelas klinis dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut: 1) Diabetes Melitus, seseorang termasuk kelompok penderita Diabetes Melitus jika kadar glukosa darah dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/dl, atau dua jam sesudah makan (post prandial) kadarnya lebih dari 200 mg/dl. Diabetes Melitus sendiri terbagi lagi menjadi empat, yakni sebagai berikut: DM tipe 1 (DM tergantung insulin/DMTI) = insulin dependent DM/IDDM. Kelompok ini adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa anak–anak dan puncaknya pada usia remaja. Begitu penyakitnya terdiagnosis, karena penderita pankreasnya membentuk ketoasidosis langsung sangat insulin. memerlukan sedikit atau suntikan sama insulin sekali tidak Umumnya penyakit berkembang ke arah diabetik yang menyebabkan kematian. Tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi kekurangan produksi/sekresi insulin absolut. IDDM umumnya diderita oleh orang–orang di bawah umur 30 tahun, dan gejalanya mulai tampak pada usia 10–13 tahun. Penyebab IDDM belum begitu jelas, tetapi diduga kuat disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk membunuh virus. Akibatnya sel–sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi juga merusak sel–sel Langerhans. Faktor genetik juga menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap infeksi virus. DM tipe II (DM tidak tergantung insulin/DMTT) = non insulin dependent DM = NIDDM. Kelompok Diabetes Melitus tipe II tidak tergantung insulin. Kebanyakan timbul pada penderita berusia di atas 40 tahun. Penderita DM tipe II inilah yang terbanyak di Indonesia. Data sementara menyebabkan, hampir 90% penderita diabetes di Indonesia adalah penderita NIDDM dan umumnya disertai dengan kegemukan dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin) insulin. Pengobatannya untuk mengkompensasi resistensi diutamakan dengan perencanaan menu makanan yang baik dan latihan jasmani secara teratur. NIDDM diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat, tetapi munculnya terlambat. Dengan pola hidup modern saat ini, prevalensi NIDDM semakin meningkat dengan penderita yang berusia di bawah 40 tahun. DM tipe II dibagi lagi menjadi dua, penderita tidak gemuk (non obese), penderita gemuk (obese). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 DM terkait malnutrisi (DMTM) = malnutrition related DM (MRDM). Diabetes Melitus yang terkait dengan malnutrisi biasanya terjadi di negara–negara berkembang di kawasan tropis yang sebagian besar penduduknya masih berpendapat perkapita rendah sehingga terjadi gangguan atau kekurangan makan (malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis. DMTM dibagi lagi menjadi dua, yakni fibrocalculous pancreatic DM (FCPD) dan protein deficient pancreatic DM (PDRD). Diabetes Melitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu, misalnya penyakit pankreas, penyakit hormonal, obat-obatan atau bahan kimia lain, kelainan insulin atau reseptornya, sindrom genetik tertentu, dan penyebab lain yang belum diketahui. Diabetes Melitus tipe ini adalah penderita yang mengalami diabetes dideritanya. sehingga Misalnya, akibat komplikasi penyakit yang penderita mengidap penyakit fungsi organ tersebut terganggu dan tidak menghasilkan meningkat, melitus hormon efek insulin samping akibatnya pankreas mampu kadar gula darahnya konsumsi obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit lain, dan sebagainya. 2) Gangguan toleransi glukosa (GTG) Penderita GTG ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di daerah perbatasan, yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai diagnostik untuk diabetes melitus. Penderita GTG sangat berisiko untuk menjadi penderita diabetes melitus tidak tergantung insulin dan terserang penyakit kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner dan stroke. 3) DM pada kehamilan (Gestational DM) Gestational Diabetes Melitus merupakan penyakit diabetes melitus yang muncul pada saat mengalami kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu normal. Diabetes Melitus pada masa kehamilan dapat menimbulkan dampak yang buruk untuk janin dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar. Kelainan yang dapat timbul pada bayi, misalnya kelainan bawaan, gangguan pernafasan, bahkan kematian janin. Umumnya diabetes tipe ini akan diderita selama masa kehamilan dan kembali normal setelah melahirkan. Meski begitu, terdapat sejumlah kasus yang tidak terkendali sehingga diabetes melitus dapat berkembang lebih lanjut pasca melahirkan. Oleh karena bisa berkembang lebih lanjut, diabetes tipe ini harus ditangani secara ekstra. Caranya dengan berkonsultasi ke dokter ahli secara rutin, diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah yang tinggi, dan didukung perencanaan makan yang baik. Perencanaan makan harus memperhatikan kebutuhan kalori perhari, komposisi zat makanan, dan kebutuhan vitamin serta mineral. Penderita Gestational DM sebaiknya melakukan pengukuran HbA1c. Kadar HbA1c yang meningkat pada 12 minggu pertama kehamilan menandakan adanya kehamilan dengan diabetes melitus yang dapat meningkatkan risiko cacat lahir (kelainan kongenital). Jika pada kehamilan dini kadar HbA1c lebih besar dari 12% risiko keguguran (abortus) juga semakin meningkat. Keracunan kehamilan yang berat, air ketuban berlebih, hipertensi, janin tumbuh besar, kematian janin dalam kandungan, dan gawat janin adalah faktor yang mempersulit persalinan ibu hamil dengan diabetes melitus. Oleh karenanya, ibu hamil yang terkena diabetes melitus harus melahirkan di Rumah Sakit untuk mengurangi risiko kematian bayi dan ibu. b) Kelas Risiko Statistik Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas toleransi normal, tetapi mempunyai risiko lebih besar untuk mengidap diabetes melitus. Orang–orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain: Toleransi glukosa pernah abnormal, Kedua orang tua mengidap DM, dan Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 American Diabetes Association (ADA) juga menggolongkan penyakit Diabetes Melitus ke dalam klasifikasi sebagai berikut: DM tipe 1 (IDDM) DM tipe II (NIDDM) DM dengan kehamilan DM tipe lain, terdiri dari defek genetik fungsi sel beta (MODY, DNA mitokondria), defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, endokrinopati (akromegali, pankreatopati sindroma cushing, fibrokalkulus), feokromositoma, hipertiroideisme), obat zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM. 2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus Penyebab diabetes melitus menurut American College of Clinical Pharmacy berdasarkan klasifikasinya adalah: 1) Diabetes Melitus (DM) tipe 1 Diakibatkan oleh hancurnya sel β pankreas sehingga menyebabkan produksi insulin berkurang. Hampir 5%-10% yang menderita DM tipe 1. Dikenal sebagai insulin independent diabetes atau juvenile onset diabetes. Prevalensi di America 0,12% atau sekitar 340.000 penderita pasien DM. Biasanya diderita oleh anak-anak atau orang dewasa muda. Biasanya pada anak-anak, gejala onsetnya lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa tua. 2) Diabetes Melitus tipe 2 Diakibatkan karena adanya resistensi insulin akibat kerusakan eksresi insulin. Hampir 90%-95% yang mederita DM tipe 2. Dikenal sebagai insulin non insulin dependent diabetes atau adult onset diabetes. Prevalensi di Amerika 7,8% atau sekitar 23,6 juta. Penderita DM tipe 2 ini biasanya menderita obesitas. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 3) MODY ( Maturity-Onset Diabetes of the Young) Diakibatkan karena penyakit genetik yang disebabkan oleh melemahnya aksi insulin. Biasanya diderita pada umur dibawah 25 tahun dan termasuk DM tipe 1 dan tipe 2. 4) Diabetes Gestational Terjadi intoleransi glukosa selama masa kehamilan. Prevalensi 1%-14% pada wanita hamil. Hanya terjadi pada trimester ketiga. 5) Prediabetes Lemahnya toleransi glukosa. Lemahnya glukosa puasa. 6) Tipe DM lain Kerusakan genetik pada fungsi sel β atau aksi insulin. Penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis, neoplasia, dan cystic fibrosis). Induksi kimia atau obat (seperti, glukokortikoid, asam nikotinat, penghambat protease, dan antipsikosis atipikal). 2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Secara normal insulin dihasilkan oleh sel pankreas. Dalam keadaan sehat pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Proses awalnya adalah jika kadar gula darah rendah, maka glukagon akan dibebaskan oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan gula ke darah yang mengakibatkan kadar gula normal. Sebaliknya jika kadar gula darah tinggi, maka insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel lemak akan mengikat gula yang mengakibatkan gula darah kembali normal (Black & Hwak, 2005). Patofisiologi DM secara klinis dibagi 2 yaitu DM tipe 1 dan 2. DM tipe 1 disebabkan kurangnya sekresi insulin. Kelainan dasar pada DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan kegagalan pankreas mensekresi insulin (defisiensi insulin) untuk mengkompensasi resistensi insulin. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 2.1.5 Gejala Diabetes Melitus Gejala diabetes melitus tipe I dan tipe II tidak banyak berbeda. Hanya pada diabetes melitus tipe I, gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita diabetes melitus setelah timbul komplikasi, seperti penglihatan menjadi kabur atau bahkan mendadak buta, timbul penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan kulit dan saraf, atau bahkan terjadi pembusukan pada kaki (gangren). Berikut ini adalah gejala yang umumnya dirasakan penderita diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008): Sering buang air kecil. Tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan lewat ginjal selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh maka buang air kecil menjadi lebih banyak. Bahkan tidur di malam hari kerap terganggu karena harus bolak–balik ke kamar kecil. Haus dan banyak minum. Banyaknya urin yang keluar menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan akan air (minum) meningkat. Fatigue (lelah). Rasa lelah muncul karena energi menurun akibat berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar gula dalam darah yang tinggi tidak bisa optimal masuk dalam sel disebabkan oleh menurunnya fungsi insulin sehingga orang tersebut kekurangan energi. Rasa lelah, pusing, keringat dingin, ridak bisa konsentrasi, disebabkan oleh menurunnya kadar gula. Setelah seseorang mengonsumsi gula, reaksi pankreas meningkat (produksi insulin meningkat), menimbulkan hipoglikemik (kadar gula rendah). Meningkatnya berat badan. Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita tipe 2 seringkali mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu. Gatal. Gatal disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan gatal. Akibatnya, energi panas meningkat (damp heat) menyebabkan timbulnya iritasi di kulit (gatal). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 Gangguan immunitas. Meningginya kadar glukosa dalam darah menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel–sel darah putih. Infeksi yang sering muncul pada pasien diabetes melitus ialah infeksi kandung kemih, infeksi kulit (acne), infeksi jamur (candidiasis), dan infeksi saluran pernafasan. Gangguan mata. Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan dalam lensa mata. Pandangan akan tampak berbayang disebabkan adanya kelumpuhan pada otot mata. Polyneuropathy. Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan) di kaki dan tangan. 2.1.6 Faktor Risiko Diabetes Melitus Penyakit DM kebanyakan adalah penyakit keturunan, bukan penyakit menular. Meskipun demikian tidak berarti penyakit ini pasti menurun pada anak. Berikut ini adalah urutan yang menunjukan siapa saja yang mempunyai kemungkinan akan menderita penyakit DM yaitu (Misnadiarly, 2006): Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM. Salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit DM. Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu) mengidap DM. Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir >4 kg. Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa darah melebihi antara 140–200 mg/dl. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun). Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg). Kegemukan (BB(kg)) >120% BB idaman atau IMT >27 (kg/m2 )). Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl). Menderita penyakit lever (hati) kronik atau agak berat. Terlalu lama minum obat–obatan, mendapat suntikan atau minum tablet golongan kortikosteroid (sering digunakan oleh penderita asma, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 penyakit kulit, penyakit reumatik, dan lain–lain) misalnya, prednison, oradexon, kenacort, rheumacyl, kortison, hidrokortison. Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang menyerang kelenjar ludah, dan lain–lain. Terkena obat–obatan antiserangga (insektisida). 2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis klinis khas DM pada umumnya adalah bahwa terdapat keluhan khas DM yaitu, poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya, dan keluhan lainnya seperti, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, prioritis vulva pada wanita (Misnadiarly, 2006). Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa menurut ahli diabetes di Surabaya tahun 1987 merupakan modifikasi dari kriteria diagnosis diabetes melitus yang ditetapkan di WHO tahun 1985 seperti berikut: 1) Diagnosis diabetes melitus apabila: Terdapat gejala-gejala diabetes melitus ditambah dengan Salah satu dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL, atau glukosa darah acak > 200 mg/dL. 2) Diagnosis diabetes melitus apabila: Tidak terdapat gejala-gejala diabetes melitus, tetapi Terdapat 2 hasil dari, GDP 120 mg/dL, 2 jam PP 200 mg/dL atau random 200 mg/dL. 3) Diagnosis gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila, GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP 140-200 mg/dL. 4) Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP> 200 mg/dL, maka ulangi pemeriksaan laboratorium sekali lagi, dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari 150 gram perhari dan kegiatan fisik seperti biasa, kemungkinan hasilnya adalah: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 DM, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP< 120 mg/dL dan 2 jam PP 200 mg/dL, atau apabila hasilnya memenuhi kriteria I atau II. GTG, apabila hasilnya cocok dengan kriteria III. Tabel 2.1. Kadar gula darah sewaktu dan puasa Kadar gula darah sewaktu (mg/dl) Plasma vena darah kapiler Bukan DM <110 <90 Kadar gula darah puasa (mg/dl) Plasma vena darah kapiler <110 <90 Belum pasti DM 110 – 199 90 – 199 DM ≥200 ≥200 110 – 125 90 – 109 ≥126 ≥110 [Sumber : Hendromartono, 1999] Tabel 2.2. Kriteria pengendalian DM Pemeriksaan glukosa darah plasma vena (mg/dl) Puasa 2 jam pp HbA1c % Tekanan darah Baik 80 – 109 110 – 159 4–6 < 140 / 90 Sedang 110 – 139 160 – 199 6–8 < 160 / 95 Buruk 140 >200 >8 >160/95 [Sumber : Hendromartono, 1999] Hemoglobin A1c (HbA1c)/Glycosylated Haemoglobin adalah apabila hemoglobin dipisahkan secara kromatografi melalui perubahan kation akan berubah menjadi HbA0, HbAIa1, HbAIa2, HbA1b, HbA1c (Boucher, 1988 dalam Nuh Huda, 2010). Pengukuran HbA1c/Glycosylated Haemoglobin telah diterima secara obyektif dan menjadi indeks quantitative pengukuran kadar glukosa darah selama 6-10 minggu dan nilai pengukuran tersebut akan meningkat pada penderita Diabetes Melitus (Nuh Huda, 2010). 2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi penyakit diabetes melitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu komplikasi yang bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan komplikasi yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan segera. Adapun komplikasi kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah penderita mengindap diabetes melitus selama 5–10 tahun atau lebih (Tobing dr. Ade, 2008). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetika (DKA), koma nonketosis hiperglikemia. Sementara komplikasi kronis meliputi komplikasi mikrovaskuler (komplikasi di mana pembuluh–pembuluh rambut kaku atau menyempit sehingga organ yang seharusnya mendapatkan suplai darah dari pembuluh–pembuluh tersebut menjadi kekurangan suplai) dan komplikasi makrovaskuler (komplikasi yang mengenal pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklerosis) (Tobing dr. Ade, 2008). Berikut beberapa kerusakan dan gangguan yang terjadi akibat komplikasi penyakit diabetes melitus (Tobing dr. Ade, 2008): Kerusakan pada pembuluh darah (vasculopathy), kerusakan pada dinding pembuluh darah akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah di kaki. Akibatnya, makro dan mikrovaskuler sirkulasi akan terganggu, peningkatan tekanan darah, dan infark hati dan cerebral. Gangguan fungsi jantung, gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskemia (kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris (sakit di daerah dada, lengan, dan rahang), bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung. Gangguan fungsi pembuluh otak, pasien sering merasakan berat di belakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo), serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan oleh penyumbatan atau pendarahan. Tidak stabilnya tekanan darah, tidak stabilnya atau seimbangnya tekanan darah yakni kadang tinggi atau rendah banyak terjadi pada pasien diabetes melitus. Tekanan darah tinggi disebabkan oleh buruknya kondisi pembuluh darah dan memburuknya fungsi ginjal. Gangguan pada sistem saraf, neuropathy adalah salah satu komplikasi diabetes melitus. Kerusakan pada sistem saraf ini lebih mengacu pada saraf sensorik (saraf perasa), menimbulkan rasa sakit, kesemutan, serta baal (mati rasa) pada kaki dan tangan. Kerusakan pada sistem motorik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 memang lebih sedikit, gangguan ini termanefestasi pada berkurangnya tenaga otot dan volume dari jaringan otot. Gangguan mata (retinopathy), disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah satu penyebab kebutaan. Retinopathy sebenernya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain oleh gangguan mikrovaskuler, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat–zat tertentu pada jaringan retina. Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes. Gangguan ginjal (nefropathy), sebab utama gangguan ginjal pada pasien diabetes adalah buruknya mikrosirkulasi. Gangguan ini sering muncul paralel dengan gangguan pembuluh darah di mata. Penyebab lainnya adalah proses kronis dari hipertensi yang akhirnya merusak ginjal. Kebanyakan pasien sebelumnya tidak memiliki keluhan ginjal. Gangguan pada kaki karena diabetes melitus, kaki adalah bagian tubuh yang paling sensitif pada pasien diabetes melitus. Ada beberapa faktor yang berperan dalam perubahan ini, yaitu terhambatnya sirkulasi menimbulkan rasa sakit pada betis kaki sewaktu berjalan, gangren (gangguan makro dan mikrosirkulasi vasculopathy), gangguan pada saraf (neuropathy), yakni kerusakan pada saraf di otot, kulit, dan kerusakan saraf autonom yang mengganggu regulasi keringat, dan sensitif terhadap infeksi di kaki. Gangguan pada otot dan sendi–sendi, terhambatnya ruang gerak sendi dan otot banyak diderita pada orang tua. Namun, kini gejala tersebut juga kerap dirasakan pada pasien usia muda yang menderita diabetes melitus tipe 2. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 2.1.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Penilaian klinis pada pasien setelah menegakkan diagnosis diabetes melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan pada organ setiap 6–12 bulan penglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskuler (denyut nadi perifer, tanda–tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf otonom dan saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Fungsi ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa. Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus memungkinkan pasien menjalani hidup normal, hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan kepada pasien. Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol glukosa darah secara optimal dan menyingkirkan faktor–faktor risiko kardiovaskuler seperti merokok, hipertensi (usahakan tekanan darah <130/80 mmHg), dan hiperlipidemia. Kontrol kadar glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat memperbaiki kadar kolesterol, namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah ini, terapi penurunan lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir semua orang yang menderita diabetes dan memiliki penyakit vaskuler seharusnya mendapat terapi statin (Davey Patrick, 2005). Karena penting bagi pasien untuk pemeliharaan pola makan yang teratur, maka penatalaksanaan dapat dilakukan dengan perencanaan makanan. Tujuan perencanaan makanan dan dalam pengelolaan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal, menjamin nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan anak dan remaja, ibu hamil dan janinnya, dan mencapai dan mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, dkk, 2002). Latihan jasmani yang teratur memegang peran penting terutama pada DM tipe 2. Manfaatnya adalah memperbaiki metabolisme atau menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah, meningkatkan kerja insulin, membantu menurunkan berat badan, meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri, dan mengurangi risiko kardivaskuler (Waspadji, dkk, 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 Menggunakan obat hipoglikemik oral, dapat dijumpai dalam bentuk golongan sulfonilurea, golongan biguanida, dan inhibitor glukosidase alfa (Waspadji, dkk, 2002). Menurut American College of Clinical Pharmacy merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM. Tabel 2.3. Target Pelaksanaan Diabetes Melitus Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan Kadar plasma glukosa puasa 70 – 130 mg/dl Kadar plasma glukosa setelah makan < 180 mg/dl Kadar hemoglobin A1c <7% Kadar HDL >45 mg/dl = pria , >50 mg/dl = wanita Kadar LDL 100 – 129 mg/dl [Sumber: American College of Clinical Pharmacy, 2013] UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Gambar 2.1. Algoritma Penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro Et, al,2009) Awal Intervensi Target:HbA1c ≤ 6,5 – 7,0 % (penurunan 0,5-1,0%), GDS : 110 – 130 mg/dl, GDPP : 140 - 180 Edukasi/nutrisi/olahraga Monoterapi/kombinasi awal sulfonylurea dan atau metformin Target tercapai Di cek HbA 1 c tiap 3-6 bulan Target tercapai Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6 bulan Target tercapai Terapi dilanjutkan atau dicek HbA 1 c tiap 3-6 bulan Target tidak tercapai setelah 3 bulan Pilihan monoterapi lain: Pioglitazone, Rosiglitazone, Nateglinid, Akarbose/insulin, Insuln analog Kombinasi lain: Kombinasi sulfonilurea Metformin/sulfonilurea dengan pioglitazone/rosiglitazon atau akarbose/miglitol Metformin dengan nateglinid/insulin/insulin analog (monoterapi/kombinasi) Target tidak tercapai setelah 3-6 bulan Insulin kerja menengah atau 1x perhari glargin. Sebelum pemberian insulin kerja regular atau lispro/aspart tambah 3 kombinasi antidiabetik oral atau diganti untuk memisah dosis insulin/insulin analog terapi berkunjung ke endorinologis. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 2.1.10 Penggolongan Obat Diabetes Melitus Menurut American College of Clinical Pharmacy, 2013 dalam istiqomah, 2013, terdapat 9 golongan antidiabetes oral (ADO) DM tipe 2 dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, penghambat α-glukosidase, tiazolidindion, meglitinid, biguanid, penghambat dipeptidyl peptidase-4, sekuestran asam empedu, bromokriptin, dan produk kombinasi. Kesembilan golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja. 1) Sulfonilurea Mekanisme kerjanya dengan mengikat reseptor pada sel beta pankreas, insulin. membentuk membran depolarisasi dengan stimulasi sekresi Generasi pertama yaitu, tolbutamide, klorpropamid. Generasi kedua yaitu: a) Gliburid dengan dosis 2,5-5,0 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis maksimal per hari 20 mg, gliburid dengan dosis 1,5-3 mg 1 atau 2x sehari dengan dosis maksimal per hari 12 mg. Contoh sediaan seperti Glibenkamid Clamega (Emba Megafarma), (generik), Abenon (Heroic), Condiabet (Armoxindo), Daonil (Aventis). Memiliki diingatkan efek hipoglikemik untuk yang poten sehingga pasien melakukan jadwal makan yang ketat. perlu Gliburid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit di ekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja. Gliburid efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam. Diperkirakan memiliki efek terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal dan hati (Handoko dan Suharto, 1995). b) Glipizid dengan dosis 5 mg 1 atau 2x sehari (extended release) dengan dosis maksimal per hari 40 mg. Contoh sediaan seperti Diamicron (Darya Varia), Glibet (Dankos), Glicab, Glidabet. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 Mempunyai efek hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan efek hipoglikemik. Mempunyai efek antiagregasi trombosit yang lebih poten. Dapat diberikan pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995b). c) Glimepirid dengan dosis 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimal per hari 8 mg, contoh sediaan seperti Amaryl. Memiliki waktu mula kerja yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan dengan cara pemberian dosis tunggal. Untuk pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada awal pengobatan (Soegondo, 1995b). d) Glibenklamid dengan dosis 2,5-5 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 15 mg. e) Glikuidon dengan dosis 15 mg/hari dengan dosis maksimal perhari 60 mg. Contoh sediaan seperti Gluronerm (Boehringer ingelhem). Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan serangan hipoglikemik. Karena hampir seluruhnya diekskresi melalui empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien gangguan ginjal dan hati yang agak berat (Soegondo, 1995b). Efek merugikan secara umum seperti hipoglikemia, penambahan berat badan. Dan efek yang jarang terjadi seperti ruam kulit, sakit kepala, mual, muntah, dan fotosintesis. Kontraindikasinya seperti hipersensitivitas dengan sulfonamide, pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi, fungsi ginjal tidak berfungsi baik (glipizid merupakan pilihan yang lebih baik daripada gliburid atau glimepirid pada pasien yang geriatri atau memiliki kelemahan pada ginjal karena obat atau metabolit aktif tidak dapat dieliminasi di dalam ginjal). Efikasi dari sulfonamida ini seperti reduksi 1%-2% HbA1c, dan semua pengobatan untuk mengobati hiperglikemia. Interaksi obat yang terjadi dengan obat sulfonilurea dapat meningkatkan risiko hipoglikemia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 sewaktu pemberian obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain dengan: alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezide, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat. 2) Meglitinid Mekanisme kerja dari golongan meglitinid sama dengan sulfonilurea yaitu, meningkatkan sekresi insulin dari pankreas tetapi onset lebih cepat dan waktu durasi lama. Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karena itu harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara berhatihati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan. Efek dengan merugikan sulfonilurea), seperti hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan berat badan berkurang, infeksi pernapasan meningkat. Kontraindikasi seperti hipersensitivitas, penggunaan repaglinid dengan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi repaglinid. Efikasi seperti reduksi 0,5%-1,5% HbA1c (repaglinid menunjukan penurunan HbA1c lebih dari nateglinid), lebih efektif pada postprandial glukosa. Obat golongan meglitinid seperti: Repaglinid, dosis lazim 0,5-1 mg 15 menit sebelum makan. Dosis maksimum per hari 16 mg. Contoh sediaan, Prandin/NovoNorm/GlucoNorm (Novo Novdisk). Merupakan turunan asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo, 1995b). Nateglinid, dosis 120 mg sebelum makan. Dosis 60 mg jika HbA1c mendekati tujuan yang diinginkan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 Contoh sediaan, Starlix (Novartis Pharma AG). Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinid. Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (ISPA) (Soegondo, 1995b). 3) Biguanid (Metformin) Mekanisme menimbulkan kerjanya efek yang mereduksi glukoneogenesis menguntungkan sehingga hati, juga meningkatkan sensitivitas insulin. Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari, dengan dosis maksimum perhari 2250 mg. Dapat meningkatkan interval pemakaian mingguan. Menurunkan dosis lazim dan titrasi lambat pada gastrointestinal (GI). Efek merugikan secara umum seperti mual, muntah, dan diare. Efek yang jarang terjadi seperti menurunkan konsentrasi vitamin B12, asidosis laktat. Gejala asidosis laktat termasuk mual, muntah, meningkatkan laju respirasi, sakit perut, syok, dan takikaardia. Kontraindikasi seperti kelemahan pada ginjal, usia 80 tahun atau lebih, risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan hati. Efikasi yang terjadi seperti reduksi 1%-2% HbA1c, mereduksi TG dan kehilangan berat badan, dan menjadi pertimbangan terapi lini pertama karena kontraindikasi yang sedikit. Interaksi obat seperti mengganggu absorpsi vitamin B12, berinteraksi dengan simetidin dengan menurunkan klirens metformin di ginjal. Contoh sediaan, metformin (generik), benoformin (Benofarma), bestab (Yekatria). Metformin, satu-satunya golongan biguanid yang masih digunakan sebagai obat antidiabetes oral. Bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel otot. Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%. Menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis (Soegondo, 1995b). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 4) Penghambat α-glukosidase Mekanisme kerja obat ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan dan absorpsi buruk. Dua obat yang tergolong obat ini yaitu: a) Akarbose Akarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin, atau insulin. Interaksi obat yang terjadi seperti diperlemah oleh kolestiramin, absorben usus, enzim pencernaan. Contoh sediaan, Glucobay (Bayer), Precose. Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan hipoglikemia, pemberian golongan pemberian sukrosa, sulfonilurea, dan glukosa akan lebih polisakarida, dan maltosa menimbulkan baik daripada (Departemen Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007). b) Miglitol Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan obatobat antidiabetik oral golongan sulfonilurea. Contoh sediaan, Glycet. Dosis lazimnya 25 mg 3x sehari bersamaan dengan makan. Maksimal perhari 300 mg. Efek merugikan seperti diare dan sakit perut. Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa. Kontraindikasi seperti inflamasi pada perut, ulserasi usus kecil, obstruksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 pencernaan. Efikasi yang terjadi, reduksi 0,5%-0,8% HbA1c. Tidak efektif pada pasien dengan diet karbohidrat rendah. 5) Tiazolidindion Mekanisme kerjanya seperti proliferasi peroksisom mengaktifkan reseptor gamma antagonis. Dan meningkatkan sensitivitas insulin dan produksi metabolisme glukosa. Efek merugikan seperti kehilangan berat badan, retensi cairan, fraktur tulang, meningkatkan risiko gagal jantung, dan meningkatkan infark miokardia. Kontraindikasinya seperti kelemahan ginjal dan gagal jantung. Efikasi seperti reduksi 0,5-1,4% HbA1c. Keduanya meningkatkan HDL-C, tetapi pioglitazon mempunyai efek yang lebih baik untuk mereduksi LDL-C dan TG bila dibandingkan dengan rosiglitazon. Dua golongan obat ini adalah: Pioglitazon, dosis lazim 15 mg 1x sehari dengan dosis maksimum perhari 45 mg. Rosiglitazon, dosis lazim 1-2 mg 1x sehari dengan dosis maksimum perhari 8 mg. 6) Penghambat dipeptidyl peptidase-4 Mekanisme kerjanya seperti menghambat kerusakan glukagon like peptide (GLP 1), dapat meningkatkan sekresi insulin 1. Efek merugikan seperti infeksi saluran urin, sakit kepala, hipoglikemia. Kontraindikainya seperti hipersensitivitas dan memiliki riwayat pankreatitis. Efikasi pada reduksi 0,5-0,8% HbA1c. Ada 2 golongan obat ini: Sitagliptin, dosis 100 mg 1x sehari. Efek samping pada beberapa kondisi dapat menyebabkan pankreatitis akut, angioderma, sindrom steven johnson dan anafilaksis. 7) Saxagliptin, dosis 5 mg 1x sehari. Sekuestran asam empedu Mekanisme kerjanya menurunkan konsentrasi glukosa belum diketahui, selain itu asam empedu digunakan untuk managemen kolesterol. Dosisnya 625 mg 1x sehari atau 625 mg 2x sehari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 Efek merugikan dari obat ini seperti konstipasi, dispepsia, mual, dan muntah. Efikasi dari obat ini seperti reduksi 0,3%-0,5% HbA1c. Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien obstruksi perut, serum TG lebih besar dari 500 mg/dL. Pasien dengan keadaan tidak dapat menelan, disfasia, dan serum TG dengan konsentrasi lebih dari 300 mg/dL. 8) Bromokriptin Mekanisme kerja dari obat ini belum diketahui dengan pasti. Dosis lazimnya 0,8 mg 1x sehari, bersamaan dengan makanan. Dan dosis maksimumnya perhari 4,8 mg. Efek merugikan obat ini mual, muntah, malas, sakit kepala, hipotensi, dan kelaparan. Kontraindikasinya sebaiknya tidak digunakan pada pasien migrain. Efikasi obat ini reduksi 0,1%-0,6% HbA1c. 9) Produk kombinasi Metformin dengan gliburid, glipizid, sitagliptin, repaglinid, pioglitazon, dan rosiglitazon. Selain itu glimepirid dengan pioglitazon atau rosiglitazon. Insulin Kategori insulin menurut American College of Clinical Pharmacy dan Farmakologi & Terapi: Insulin kerja cepat, insulin regular, onsetnya 30-60 menit, dengan waktu injeksi sebelum makan 30 menit, puncak kerja obat 2-3 jam, dengan durasi 4-6 jam. Insulin kerja sangat cepat, insulin aspart/lispro/glulisin, onsetnya 5-20 menit, dengan waktu injeksi sebelum makan 15 menit, puncak kerja obat 1-3 jam, dengan durasi 3-5 jam. Insulin kerja menengah, NPH Lente, onsetnya 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 4-8 jam, dengan durasi 10-20 jam. Insulin kerja panjang, Detemir, Glargine, onsetnya 2-4 jam atau 1-2 jam, dengan waktu injeksi sebelum makan tidak tersedia, puncak kerja obat 6-8 jam, dengan durasi 6-24 jam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5–150 IU sehari, tergantung keadaan pasien. Selain faktor tersebut, untuk penetapan dosis perlu diketahui kadar glukosa darah puasa dan dua jam sesudah makan serta kadar glukosa dalam urin empat porsi, yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan jam 21-7. Dosis terbagi insulin digunakan pada DM: Tidak stabil dan sukar dikontrol Bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal perhari Pasien yang membutuhkan insulin lebih dari 1000 IU perhari. Pada pasien ini diet karbohidrat sebaiknya dibagi menjadi 6-7 kali pemberian. Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5 IU/kg berat badan. Untuk terapi awal, regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan dan diberikan 2 kali sehari. Untuk DM dewasa yang kurus 8-10 IU insulin kerja sedang diberikan 2030 menit sebelum makan pagi dan 4 IU sebelum makan malam. Dosis ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007). 2.2 Hiperbarik Oksigen (HBO) 2.2.1 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik Pada tahun 1921, Dr. Cunningham mulai mengemukakan teori dasar tentang penggunaan hiperbarik oksigen untuk mengobati keadaan hipoksia. Dr. Orville Cunningham, seorang professor dalam bidang anestesi, mendirikan sebuah bangunan bernama Steel Ball Hospital pada tahun 1928. Bangunan tersebut terdiri atas 6 lantai dan diameter 64 kaki. Bangunan tersebut mempunyai tekanan 3 atmosfer. Tetapi Rumah Sakit tersebut ditutup pada tahun 1930 karena tidak mempunyai bukti ilmiah yang cukup yang mengindikasikan terapi tersebut untuk memperingan penyakit (Neuman S Tom, 2008). Angkatan laut Amerika Serikat (US Navy) memulai penelitian terhadap terapi oksigen hiperbarik pada tahun 1930an untuk mengobati penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri yang dialami oleh para penyelam militer. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 Karena hasil yang baik pada tahun 1940, US Navy menetapkan terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi standar untuk para penyelam militer yang menderita penyakit dekompresi dan emboli udara pada arteri. Pada tahun yang sama, standar keamanan dan indikasi terapi oksigen hiperbarik dibuat. Pada tahun 1850an, Bertin dari Eropa membuat chamber hiperbariknya sendiri dan menulis buku pertama yang membahas tentang teknologi medik dengan oksigen hiperbarik. Pada tahun 1956, terapi oksigen hiperbarik pertama kali digunakan pada penyakit yang tidak berhubungan dengan penyelaman. Pada waktu yang bersamaan, banyak peneliti yang mulai tertarik dengan penelitian terapi dengan oksigen ini. Tetapi yang pertama kali menggunakan terapi oksigen hiperbarik dan disebut dengan bapak dari terapi oksigen hiperbarik adalah seorang dokter bedah berkebangsaan Belanda, Ita Boerema, yang melakukan operasi di dalam kamar bertekanan tinggi. Pada tahun 1960 dan 1970, terapi oksigen hiperbarik mulai digunakan untuk berbagai penyakit (Neuman S Tom, 2008). Pada tahun 1662, pendeta berkebangsaan Inggris bernama Henshaw mulai tertarik dengan pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik. Ia membangun sebuah struktur bernama domicillium yang digunakan untuk mengobati bermacam–macam penyakit. Kamar tersebut diberikan tekanan. Pada tahun 1875, Forlanini dari Itali yang pertama menemukan treatment oksigen hiperbarik untuk artificial pneumothotaks; tuberkulosis. Ide mengobati pasien dibawah tekanan tinggi dikembangkan lagi oleh dokter bedah berkebangsaan Perancis bernama Fontaine pada tahun 1879. Dia memperkenalkan ruang operasi hiperbarik mobile, muat untuk 12 orang (Neuman S Tom, 2008). Sejak saat itu, terapi hiperbarik terus dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk bidang kesehatan. Mengetahui besarnya manfaat terapi hiperbarik dalam penyembuhan berbagai penyakit sudah selayaknya terapi hiperbarik dijadikan salah satu terapi pengobatan baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Indonesia, perawatan untuk terapi oksigen hiperbarik ini masih sangat sedikit. Hanya daerah–daerah tertentu yang memiliki ruang hiperbarik. Dan masih banyak tenaga kesehatan khususnya di bidang kedokteran belum mengenal dan mengerti manfaat terapi hiperbarik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 Di Indonesia sendiri, terapi oksigen hiperbarik pertama kali dimanfaatkan pada tahun 1960 oleh Lakesla yang bekerjasama dengan RS AL Dr. Ramelan, Surabaya. Hingga saat ini fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di Indonesia. Adapun beberapa rumah sakit lain yang memiliki fasilitas terapi oksigen hiperbarik adalah (Nuh Huda, 2010): RS PT Arun, Aceh RS AL Dr. Midiyatos, Tanjung Pinang RS AL Dr. MINTOHARDJO, Jakarta RS Pertamina, Cilacap RS Panti Waluyo, Solo Lakesla TNI AL, Surabaya RSU Sanglah, Denpasar, dll 2.2.2 Definisi Terapi Oksigen Hiperbarik Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata lain terapi hiperarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya terapi hiperbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik dalam sel maupun di luar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap organ dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi bermacam–macam penyakit, beberapa diantaranya seperti, stroke, multiple sclerosis, cerebral edema, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertutup, gas ganggrene, peripheral neuropathy,osteomyelitis, sindroma kompartemen, diabetic neuropathy, migraine, myocardial infarction (Guyton. A. C. & Hall. JE, 2006). Hiperbarik oksigen (HBO) adalah suatu cara terapi di mana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (Atmosfer Absolute) (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi tergantung pada kondisi pasien dengan rentang satu sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida hingga enam puluh sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki. (Hanabe, 2004). Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dalam 10 hari untuk 1 sesi. Penentuan frekuensi terapi yang dilakukan pasien sesuai dengan pemeriksaan pada pasien setelah terapi. Apabila hasil pemeriksaan sudah sesuai target penyembuhan penyakit, maka terapi dapat dihentikan. Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi, pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). Oksigen 100% diberikan dengan menggunakan masker, sementara gas disekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompresi pada tekanan yang sama. Di dalam RUBT posisi penderita bisa duduk/tiduran (Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003). RUBT merupakan suatu tabung yang terbuat dari plat baja yang dibuat sedemikian rupa sehingga mampu diisi udara tekan mulai dari 1 ATA (Atmosfer Absolute) sampai beberapa ATA, tergantung jenis dan penggunaannya (Mahdi, 1999 dalam Samsudin, 2003). Aspek fisika Untuk praktisnya, komposisi udara disederhanakan menjadi 21% O 2 , 79% N2 . Tekanan total dari campuran gas ini pada permukaan air laut adalah 760 mmHg (Jain, 1999). Hukum Dalton mengatakan, tekanan gas pada suatu campuran gas berbanding lurus dengan proporsi gas tersebut terhadap total volume campuran gas itu, tekanan parsial suat gas = tekanan absolut x proporsi terhadap volume total gas. Jadi tekanan parsial oksigen (PO 2 ) di udara adalah 760 x 21 / 100 = 160 mmHg. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 Hukum boyle: Apabila temperatur tetap, volume gas berbanding terbalik dengan tekanannya. Oleh karena itu gas-gas yang terdapat pada rongga-rongga tubuh volumenya akan terpengaruh oleh keadaan hiperbarik. Aspek fisiologi Aspek fisiologi dari terapi HBO mencakup beberapa hal yaitu sebagai berikut: a. Fase Respirasi Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi, dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal. Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma (Mahdi, 2009). Seperti diketahui, kekurangan oksigen pada tingkat sel menyebabkan terjadinya gangguan kegiatan basal yang pokok untuk hidup suatu organisme. Untuk mengetahui kegunaan HBO dalam mengatasi hipoksia seluler, perlu dipelajari fase–fase pertukaran gas sebagai berikut: 1) Fase Ventilasi Fase ini merupakan penghubung antara fase transportasi dan lingkungan gas di luar. Fungsi dari saluran pernafasan adalah memberikan O 2 dan membuang CO 2 yang tidak diperlukan dalam metabolisme. Gangguan yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan hipoksia jaringan. alveoli, atelektasis, Gangguan tersebut meliputi gangguan membran penambahan ruang rugi, ketidakseimbangan ventilasi alveolar, dan perfusi kapiler paru (Pennefather, 2002). 2) Fase Transportasi Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-organ (sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang dibutuhkan dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses metabolisme. Gangguan dapat terjadi pada aliran darah lokal atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 umum, hemoglobin, dan shunt anatomis atau fisiologis. Hal ini dapat diatasi dengan merubah tekanan gas di saluran pernafasan (Kindwall & Whelan, 1999). 3) Fase Utilisasi Pada fase utilisasi terjadi metabolisme seluler, fase ini dapat terganggu apabila terjadi gangguan pada fase ventilasi maupun transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan hiperbarik oksigen, kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, dan cacat atau keracunan (Kindwall & Goldman, 1998). 4) Fase Difusi Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut dan dianggap pasif, namun gangguan pada pembatas ini akan mempengaruhi pertukaran gas. b. Pada Fase Transportasi dan Utilisasi Oksigen 1) Efek kelarutan oksigen dalam plasma Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam plasma sangat sedikit. Namun pada tekanan oksigen yang aman 3 ATA, dimana PO 2 arterial mencapai ±2000 mmHg, tekanan oksigen meningkat 10– 13 kali dari normal dalam plasma. Oksigen yang larut dalam plasma sebesar ±6 vol % (6 ml O 2 per 100 ml plasma) yang cukup untuk memberi hidup meskipun tidak ada darah (Grim et al, 2009). 2) Haemoglobin 1 gr Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2 , sedangkan konsentrasi normal dari Hb adalah ±15 gr per 100 ml darah. Bila saturasi Hb 100% maka 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O 2 yang terikat pada Hb (20,1 vol %). Pada tekanan normal setinggi permukaan laut, dimana PO 2 alveolar dan arteri ±100 mmHg, maka saturasi Hb dengan O 2 ±97% dimana kadar O 2 dalam darah adalah 19,5 vol %. Saturasi Hb akan mencapai 100% pada PO 2 arteri antara 100–200 mmHg (Grim et al, 2009). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 Saat terapi oksigen hiperbarik, hemoglobin pada pembuluh darah vena juga tersaturasi penuh sehingga tekanan oksigen meningkat pada pembuluh darah. Difusi oksigen bergantung pada perbedaan tekanan sehingga oksigen akan dialirkan ke jaringan dari pembuluh darah (Hanabe, 2004). Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk larut dalam cairan plasma dan bentuk ikatan dengan hemoglobin. Bagian terbesar berada dalam bentuk ikatan dengan hemoglobin dan hanya sebagian kecil dijumpai dalam bentuk larut. Dalam HBO, oksigen bentuk larut menjadi amat penting, hal ini disebabkan sifat dari oksigen bentuk larut lebih mudah dikonsumsi oleh jaringan lewat difusi langsung dari pada oksigen yang terikat oksigen lewat sistem hemoglobin (Guritno, 2005). 3) Utilisasi O 2 Utilisasi O 2 rata–rata tubuh manusia dapat diketahui dengan mengukur perbedaan antara jumlah O 2 yang ada dalam darah arteri waktu meninggalkan paru-paru dan jumlah O 2 yang ada dalam darah vena diarteri pulmonalis. Darah arteri mengandung ±20% oksigen, sedangkan darah vena mengandung ±14% vol oksigen sehingga 6 vol % oksigen dipakai oleh jaringan (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). 4) Efek kardiovaskuler Pada manusia, oksigen hiperbarik menyebabkan penurunan curah jantung sebesar 10–20%, yang disebabkan oleh terjadinya bradikardia. Tekanan darah umumnya tidak mengalami perubahan selama pemberian hiperbarik oksigen. Pada jaringan yang normal HBO dapat menyebabkan vasokonstriksi sebagai akibat naiknya PO 2 arteri. Efek vasokonstriksi ini kelihatannya merugikan, namun perlu diingat bahwa pada PO 2 ±2000 mmHg, oksigen yang tersedia dalam tubuh adalah 2 kali lebih besar daripada biasanya. Pada keadaan dimana terjadi edema, efek vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh hiperbarik oksigen justru dikehendaki karena dapat mengurangi edema (Hanabe, 2004). Hiperbarik pada jaringan normal akan menyebabkan vasokonstriksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 tetapi hal ini dikompensasi dengan peningkatan oksigen dalam plasma dan aliran darah mikrovaskular. Vasokonstriksi ini mempunyai efek mengurangi edema jaringan post trauma yang berkontribusi terhadap terapi crush injures, compartment syndromes, dan luka bakar (Hanabe, 2004). c. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan produksi oksigen radikal bebas yang mengoksidasi protein dan membran lipid, merusak DNA, dan menghambat fungsi metabolik bakteri. Terapi oksigen metabolik terutama efektif untuk kuman anaerob dan memfasilitasi sistem peroksidase yang tergantung pada oksigen dimana sel darah putih membunuh bakteri (Hanabe, 2004). 2.2.3 Indikasi-indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik Indikasi–indikasi untuk terapi oksigen hiperbarik (Moore E James, 2014): Keracunan karbon monoksida, keracunan karbon monoksida dan sianida Clostridial myositis dan myonecrosis (gas gangren) Crush injury compartment syndrome, dan iskemi traumatik akut lainnya Penyakit dekompresi Penyembuhan yang dipercepat pada beberapa luka yang bermasalah, dan lain-lain. Selain ada indikasi pada penggunaan terapi, terdapat efek samping dari terapi oksigen hiperbarik seperti barotrauma, intoksikasi oksigen. Intoksikasi oksigen seperti pucat, keringat dingin, twitching, mual, muntah, dan kejang (Lakesla, 2009). 2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik Kontraindikasi absolut, yaitu penyakit pneumothorak yang belum ditangani (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik >170 mmHg atau <90 mmHg. Diastole >110 mmHg atau <60 mmHg. Demam tinggi >38ᵒ C, ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), sinusitis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi CO 2 , infeksi virus, infeksi aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optic, riwayat operasi thorak dan telinga, wanita hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010). 2.2.5 Protap Terapi Oksigen Hiperbarik Persiapan Terapi Oksigen Hiperbarik (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010): a. Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan. b. Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik antara lain vitamin c, morfin, dan alkohol. c. Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik. d. Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau alkohol (yaitu, kosmetik, hair spray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik. e. Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruangan untuk mencegah goresan akrilik silinder dari ruang hiperbarik. f. Lensa kontak harus dilepas sebelum memasuki ruang karena pembentukan potensi gelembung antara lensa dan kornea. g. Pasien juga tidak diperbolehkan membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan kebakaran. h. Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 Evaluasi mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien. i. Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit 2 jam kemudian diselingi pasien keuar dari ruangan hiperbarik agar komplikasi oksigen hiperbarik dapat dihindari. j. Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerja sama multidisiplin sehingga satu pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran. k. Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat apakah terdapat komplikasi hiperbarik pada pasien. l. Untuk mencegah barotrauma GI, ajarkan pasien bernafas secara normal (jangan menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi gas atau minum sebelum perawatan. Prosedur penatalaksanaan hiperbarik oksigen adalah sebagai berikut (Lakesla, 2009 dalam T Nuh Huda, 2010): a. Sebelum terapi hiperbarik oksigen Dokter jaga HBO dan perawat (tender) melaksanakan: 1) Anamnesis: Identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, kontraindikasi absolut dan relatif untuk terapi HBO. Indikasi HBO: Beberapa indikasi penyakit yang bisa diterapi dengan HBO adalah penyakit dekompressi, emboli udara, keracunan gas CO, HCN, H2 S, infeksi seperti gas gangren, osteomyelitis, lepra, mikosis, pada bedah plastik, dan rekonstruksi seperti luka yang sulit sembuh, luka bakar, operasi reimplantasi dan operasi cangkok jaringan. Keadaan trauma seperti crush injury, compartment syndrome dan cidera olahraga. Gangguan pembuluh darah tepi, berupa shock dan lain-lain. Bypass jantung dan nyeri tungkai iskemik, bedah ortopedi seperti fracture non union, cangkok tulang, osteoradionekrosis. Keadaan neurologik seperti, stroke, multiple sclerosis, migrain, edema cerebri, multi infrak demensia, cedera medula spinalis, abses otak, dan neuropati perifer. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 Kondisi masa rehabilitasi seperti hemiplegi spastik stroke, paraplegi, miokard insufisiensi kronik dan penyakit pembuluh darah tepi. 2) Pemeriksaan fisik lengkap 3) X–foto thorak PA 4) Pemeriksaan tambahan bila dianggap perlu, yaitu: a) EKG b) Bubble detector untuk kasus penyelaman c) Perfusi dan PO 2 transcutaneus d) Laboratorium darah e) Konsultasi dokter spesialis 5) Menerangkan manfaat, efek samping, proses dan program terapi HBO, yaitu: a) Terapi dilaksanakan di dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi. b) Cara adaptasi terhadap perubahan tekanan, manuver valsava atau equalisasi. c) Bernafas menghirup O 2 100% melalui masker selama 3 x 30 menit untuk tabel terapi Kindwall atau sesuai tabel terapi kasus penyelaman. d) Efek samping seperti, barotrauma, intoksikasi oksigen, memodulasi nitrit oksida pada sel endotel untuk meningkatkan VEGF (vascular endothelial growth factor) sehingga memicu fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan yang akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling yaitu salah satu proses dalam penyembuhan luka. e) Selama terapi didampingi oleh seorang perawat. f) Menandatangani inform concern. b. Selama Terapi Hiperbarik Oksigen 1) Selama proses kompresi, Tender membantu adaptasi peserta terapi HBO terhadap peningkatan tekanan lingkungan. 2) Selama proses menghirup O 2 100% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 a) Observasi tanda–tanda intoksikasi oksigen seperti pucat, keringat dingin, twitching, mual, muntah, dan kejang. Bila terjadi hal demikian maka perawat akan memberitahukan kepada petugas di luar bahwa terapi dihentikan sementara sampai menunggu kondisi penderita baik kembali, kemudian penderita dikeluarkan dan diberikan perawatan sampai kondisi adekuat. b) Observasi tanda–tanda vital dan keluhan peserta terapi HBO. c) Untuk kasus penyelaman, observasi sesuai keluhan, yaitu gangguan motorik dan sensorik, rasa nyeri. d) Mengamati tanda–tanda dan gejala barotrauma, keracunan oksigen dan komplikasi atau efek samping yang ditemui dalam HBO. 3) Selama proses dekompresi perawat membantu adaptasi peserta terapi HBO terhadap pengurangan tekanan lingkungan dengan Valsava maneuver, menelan ludah atau minum air putih. a) Jika pasien mengalami nyeri ringan sampai sedang, hentikan dekompresi hingga nyeri reda. Jika nyeri ringan sampai sedang tidak lega, pasien harus dikeluarkan dari ruang dan diperiksa oleh dokter THT. b) Perlu diingatkan bahwa Valsava maneuver hanya untuk digunakan selama dekompresi dan mereka perlu bernafas normal selama terapi (tidak menahan nafas). c. Setelah Terapi Hiperbarik Oksigen Dokter dan perawat jaga HBO melaksanakan anamnesis setelah terapi, evaluasi penyakit, evaluasi ada tidaknya efek samping. Bila kondisi baik maka pasien akan dikembalikan ke ruang perawatan seperti semula. 2.2.6 Klasifikasi Ruang Hiperbarik Menurut klasifikasi dari National Fire protection Association (NFPA-99 Health care Facilities) United states, ruangan hiperbarik dibagi: a) Kelas A–untuk Manusia, (multiplace chamber) atau ruangan hiperbarik yang diperuntukan bagi manusia dengan jumlah lebih dari satu orang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 dimana ruangan tersebut lebih dari 1 ruangan bisa dua, tiga, atau lebih, sehingga jika terjadi kendala atau masalah pada salah satu pasien atau peserta terapi dapat dilakukan penanganan dengan baik tanpa mengganggu pasien yang lain. Selain itu juga masalah kontaminasi penyakit maupun hal lain dapat dipisahkan dengan baik. Alat hiperbarik seperti ini adalah yang terbaik jika akan melayani pasien lebih dari 1 orang dalam satu kali pelayanan, sehingga baik tenaga perawat yang menemani di dalam maupun di luar, paramedis maupun dokter ahli hiperbarik dapat memberikan bantuan langsung ke dalam jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Biasanya digunakan pada pasien dengan kondisi umum yang buruk atau yang menggunakan alat bantuan, multiplace chamber dipilih karena mempunyai keuntungan yaitu alat–alat bantu tersebut dapat dimasukan ke dalam chamber dan perawat dapat ikut memonitor kondisi pasien tersebut. Kamar tipe A dapat dimasuki oleh beberapa orang pasien sekaligus dan dapat disertai dengan perawat atau pendamping yang mengobservasi pasien dan membantu di saat gawat darurat. Pasien dalam multiplace chamber menghirup oksigen 100% melalui masker (Richard A. Neubauer, 1998). b) Kelas B-untuk Manusia, (monoplace chamber) dengan satu ruangan untuk satu pasien. Biasanya pasien sendiri di dalam ruangan dan tidak ditemani oleh tenaga medis. Tenaga medis hanya mengawasi dan memantau dari luar. Semua instruksi, peralatan pendukung, dan kendali ada di luar. Pada kamar tipe B pasien tidak menggunakan masker untuk menghirup oksigen 100% karena udara di dalam chamber tersebut telah dialiri oleh oksigen 100% (Richard A. Neubauer, 1998). c) Kelas C-untuk Binatang bukan untuk Manusia. 2.3 Hiperbarik Center RUMKITAL Dr. Mintohardjo Terapi memperkenalkan Oksigen kepada Hiperbarik masyarakat RUMKITAL umum dan Dr. sejawat Mintohardjo dokter tentang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 tersedianya fasilitas Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta. RUMKITAL Dr. Mintohardjo menjadi rumah sakit rujukan untuk angkatan laut walaupun begitu RUMKITAL Dr. Mintohardjo juga menerima pasien umum. Pelayanan Terapi Oksigen Hiperbarik RUMKITAL Dr. Mintohardjo dimulai pada pukul 07.30-15.00 dari hari Senin sampai hari Jumat kecuali hari libur nasional. Terapi dilakukan selama 10 hari dalam 1 sesi. Dalam 1 hari terapi dilakukan selama 90 menit dengan istirahat 5 menit tiap 30 menit terapi. Pada tahun 1969, RUMKITAL Dr. Mintohardjo memiliki chamber pertama yang bernama Kurimoto. Chamber ini digunakan untuk tes bagi calon penyelam. Pada tahun 1978, RUMKITAL Dr. Mintohardjo memiliki chamber Oceanering yang digunakan untuk terapi di bidang militer. Sekarang terdapat 4 buah multiple chamber tetapi yang digunakan terapi hanya 2 buah, sisanya masih dalam tahap persiapan. Multiple chamber tersebut ada yang memiliki AC (air conditioner) dan ada yang tanpa AC (air conditioner). Chamber dengan fasilitas AC bernama Ambalat dan yang non AC bernama Rote Island. Dokter yang bekerja di bagian terapi hiperbarik berjumlah 6 orang. Sebagian telah bergelar S2 hiperbarik, sisanya masih dalam pendidikan spesialisasi. Rata–rata jumlah kunjungan per hari adalah 72–78 orang. Pasien berasal dari seluruh Indonesia terutama Jakarta. Harga sekali terapi adalah 180 ribu Rupiah. Penyakit yang sering diterapi dengan terapi hiperbarik oksigen di RUMKITAL Dr. Mintohardjo diantaranya seperti, stroke, sudden deafness, diabetes melitus, gangrene akibat diabetes melitus, luka bekas operasi, luka yang sulit sembuh, ulkus yang sulit sembuh, fraktur terbuka, fraktur yang sulit sembuh, luka bakar, vertigo, autis, dan decompression sickness. Jumlah kasus dari masing– masing penyakit di atas berubah dari waktu ke waktu. Selain untuk terapi berbagai penyakit, fasilitas hiperbarik juga digunakan dalam bidang angkatan laut seperti, tes ketahanan tekanan pada anggota baru angkatan laut, tes ketahanan tekanan secara rutin pada anggota lama angkatan laut, dan res ketahanan tekanan pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 awak kapal selam. Fasilitas hiperbarik juga digunakan untuk kebugaran tubuh. Pasien dapat melakukan aktivitas fisik sewaktu di dalam chamber yang diberi tekanan hiperbarik. Untuk kasus emergensi, fasilitas hiperbarik dapat dilakukan 24 jam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep Rekam Medik Pasien Diabetes Melitus yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik Januari 2014-Februari 2015 Terapi Obat Diabetes Melitus Hemoglobin A1c/ hemoglobin terglikosilasi Memenuhi Kriteria Inklusi dan Ekslusi Terapi Oksigen Hiperbarik KadarGula darah Hemoglobin A1c/ hemoglobin terglikosilasi Kadar Gula darah Gambar3.1. Kerangka Konsep Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional N Nama Definisi Cara o. Variabel Operasional Pengukuran 1. Pasien Pasien rawat penderita Hasil Pengukuran inap Membaca data Pasien diabetes rekam mellitus menderita medis diabetes melitus di pasien RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta 2. Terapi Suatu Oksigen digunakan Hiperbarik terapi alat yang Pemberian Dilakukan terapi untuk oksigen 100% oksigen hiperbarik penyakit di dalam ruang diabetes melitus udara bertekanan tinggi pada 2,4 ATA 3x30 menit selama perawatan DM 3. Obat Obat-obatan Antidiabetes yang digunakan untuk rekam pengobatan kimiawi Membaca data medis Pasien mendapatkan obat antidiabetes penyakit pasien diabetes mellitus 4. Kadar HbA1c Kadar Hemoglobin Membaca data A1c pada pasien DM. rekam Terkendali medis 1. Terkendali 2. Tidak terkendali menurut pasien Dipiro et all, 2009: ≤6,5-7,0% 5. Kadar darah gula Kadar gula darah pada Membaca data pasien Terkendali DM. rekam medis 1. Terkendali 2. Tidak terkendali menurut pasien Dipiro et all, 2009: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 110-130 mg/dL 6. Usia Rentang usia penderita pasien Membaca data Usia menurut DEPKES diabetes rekam medis RI, 2009: melitus yang berobat pasien 1. 5-11 ke RUMKITAL Dr. tahun: masa kanak-kanak Mintohardjo Jakarta 2. 12-16 tahun: masa remaja awal 3. 17-25 tahun: masa remaja akhir 4. 25-35 tahun: masa dewasa awal 5. 36-45 tahun: masa dewasa akhir 6. 46-55 tahun: masa lansia awal 7. 55-65 tahun: masa lansia akhir 8. 65-sampai di atas: manula 7. Jeniskelamin Kondisi fisik yang Membaca data menentukan seseorang status rekam medis 1. Laki-laki 2. Perempuan laki-laki pasien atau perempuan 8. Efektivitas Seberapa baik terapi Mengamati 1. Efektif hiperbarik yang dan 2. Tidak efektif diberikan dapat status menyembuhkan dari mencatat pasien data pasien. Efektif apabila rekam medis HbA1c dan GDS terkendali. Keterangan: DM: diabetes mellitus, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS: guladarah sewaktu, ATA: atmosferabsolut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 3.3 Hipotesis Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah, yang didukung oleh kajian teoritis, maka hipotesis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30 menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat menurunkan kadar HbA1c. Penggunaan oksigen bertekanan tinggi (HBO) sebesar 2,4 ATA 3x30 menit/hari selama perawatan pasien diabetes melitus dapat menurunkan kadar gula darah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dengan alamat Jl. Bendungan Hilir No. 17 Jakarta Pusat 10210. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015. 5.2 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder, yakni berupa catatan rekam medis pasien diabetes melitus yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik dan menggunakan obat antidiabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada bulan Januari 2014 sampai Maret 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional, yaitu pengumpulan data variable untuk mendapatkan gambaran pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap diabetes, efektivitas penggunaan terapi oksigen hiperbarik dan lamanya penggunaan terapi oksigen hiperbarik untuk pengobatan diabetes melitus. Metode pendekatan yang digunakan adalah retrospektif yaitu penelitian berdasarkan rekam medis pasien, melihat kebelakang peristiwa yang terjadi di masa lalu, dalam hal ini dilihat dari rekam medis pasien periode 2014 sampai 2015. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan pengaruh terapi oksigen hiperbarik pasien diabetes melitus. 5.3 Populasi dan Sampel Penelitian 5.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien rawat inap penderita diabetes melitus yang menjalani terapi hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada periode Januari 2014 sampai Maret 2015 yaitu sebanyak 44 rekam medis pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 5.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua rekam medis pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian yaitu sebanyak 30 rekam medis pasien. 5.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel a) Kriteria inklusi penelitian ini adalah: 1) Pasien yang menderita diabetes melitus yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi hiperbarik. 2) Pasien dewasa, usia ≥ 25 tahun. b) Kriteria eksklusi penelitian ini adalah: 1) Pasien yang tidak memiliki data rekam medis lengkap dan jelas. Lengkap dan jelas, seperti terdapat nomor rekam medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan, kadar gula darah pasien, kadar HbA1c, data penggunaan obat (Jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan), data penggunaan terapi oksigen hiperbarik (Frekuensi, aturan penggunaan), dan hasil laboratorium di ruang Administrasi Medis. 2) Pasien rawat jalan (bukan pasien rawat inap) 4.4 Prosedur Penelitian 4.4.1 Pengumpulan Data a) Penelusuran data pasien diabetes melitus yang menggunakan terapi hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat dari bulan Januari 2014 sampai Februari 2015. b) Data dikumpulkan dengan melakukan observasi data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. c) Pengambilan dan pencatatan data hasil rekam medis berupa nomor rekam medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan usia), tanggal perawatan, kadar gula darah, HbA1c, diagnosa, dan lain-lain. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 4.4.2 Pengolahan Data Editing data Sebelum melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian. Coding data Peneliti melakukan coding terhadap data yang terpilih dari proses seleksi untuk mempermudah analisis di program Microsoft Excel. Coding berupa kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Entry data Peneliti memasukan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk tabel. Cleaning data Kegiatan pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali sebelum dilakukan analisis lebih lanjut. 4.4.3 Analisis Data Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Data-data yang telah dilakukan pengolahannya dengan benar selanjutnya dianalisis menggunakan program Microsoft Excel dan program SPSS versi 16.0 untuk memperoleh gambaran efektivitas dari terapi hiperbarik pada pasien diabetes melitus. Variabel dianalisis dengan analisa univariat dan bivariat. 1) Analisa univariat Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel penulis. Tujuannya untuk melihat sebaran data setiap variabel. Analisis univariat dilakukan terhadap variabel yang ikut dalam penelitian: Karakteristik pasien a) Jenis kelamin b) Usia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Penggunaan antidiabetik Penggunaan terapi oksigen hiperbarik 2) Analisa bivariat Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan/berkorelasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel. Analisis bivariat yang digunakan pada penelitian ini adalah uji T dependent/Paired samples T-Test karena sampel pada penelitian ini terdiri dari satu kelompok dan dilihat kadar HbA1c beserta kadar gula darahnya sebelum dan sesudah diberikan terapi hiperbarik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 BAB V HASIL 5.1 Hasil Penelitian Didapatkan 30 data rekam medis dari populasi total 44 rekam medis pasien diabetes rawat inap di RUMKITAL Dr Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014 sampai Maret 2015 yang menggunakan obat dan terapi hiperbarik dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. 5.1.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Karakteristik Pasien Hasil pengamatan data rekam medis berdasarkan karakteristik pasien, yaitu jenis kelamin dan usia pasien diabetes yang menggunakan obat dan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari 2014 sampai Maret 2015 dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1. Distribusi pasien DM Tipe 2 berdasarkan karakteristik pasien di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 No 1 2 Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 36-45 46-55 56-65 >65 N % 26 86,67 4 13,33 1 9 15 5 3,33 30 50 16,67 Keterangan:N: jumlah. Pembagian usia berdasarkan DEPKES RI, 2009 Pada tabel 5.1, terlihat bahwa pasien berkelamin laki-laki mempunyai persentase sebesar 86,67%, sedangkan pasien perempuan 13,33%. Pada kelompok usia, persentase usia 56-65 tahun mencapai 50%, usia 46-55 tahun mencapai 30%, usia >65 tahun mencapai 16,67%, dan persentase terkecil pada usia 36-45 yaitu 3,33%. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 5.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Setelah Terapi Oksigen Hiperbarik Hasil pengamatan data rekam medis tentang hasil kondisi pasien diabetes yang menggunakan obat dan telah menjalani terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat selama Januari 2014 sampai Maret 2015, dapat dilihat pada tabel 5.2 dan tabel 5.3. Tabel 5.2. Distribusi kondisi pasien selama menggunakan OAD di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 No Nama 1. Tini 2. Didi 3. Umar 4. Harto 5. 6. 7. 8. 9. Budhi Faruk Agus Iwan Sry 10. 11. 12. Teguh Radilah Djoko 13. Imlati 14. Bamban gP 15. 16. Aries Sutanmi wati Jenis OAD Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid Metformin+ Glimepirid Inj. novorapid Inj. novorapid Metformin Metformin Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Metformin Inj novorapid Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. Lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Inj novorapid Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + GDS (mg/dL) HbA1c (%) Awal Minggu 1 Minggu 2 Awal Minggu 1 Minggu 2 233 227 215 9,7 9,0 8,7 Keadaan Pasien (T/TT) TT 294 289 280 12,5 12,0 11,5 TT 241 236 230 10,0 9,8 9,5 TT 229 224 220 9,9 9,0 8,5 TT 247 223 235 226 311 240 215 215 220 297 211 218 - 9,5 10,2 120 10,5 10,9 8,9 9,5 11,2 10,0 10,5 10,6 9,7 - TT TT TT TT TT 254 325 380 219 318 375 200 309 360 10,5 13,7 11,7 9,5 13,0 10,8 9,1 12,8 10,2 TT TT TT 291 285 - 11,9 10,5 - TT 305 292 289 12,8 12,0 11,8 TT 312 323 228 319 - 10,4 123 9,5 11,9 - TT TT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Inj. lantus Sjafrie Metformin + 247 234 228 13,2 12,9 12,6 Glimepirid Milla Metformin + 309 300 285 10,9 10,3 9,7 Glimepirid + Inj. novorapid Niluh Metformin + 258 243 12,0 10,5 Glimepirid + Inj novorapid I gusti Metformin + 251 242 235 11,7 10,3 7,8 made glimepirid + Inj novorapid C. Budhi Metformin + 219 210 10,6 8,5 Glimepirid + Inj novorapid Haryono Metformin + 256 245 10,9 9,9 Glimepirid + Inj novorapid Eddy Metformin + 247 228 212 12,3 11,0 9,9 Glimepirid Bamban Inj novorapid + 301 285 11,5 8,0 g Inj lantus Adam Inj novorapid + 252 249 235 12,1 11,7 11,5 Inj lantus Risyof Inj novorapid + 230 272 11,5 9,0 Inj lantus Taufik Inj novorapid + 327 310 11,0 10,9 Inj lantus Bamban Metformin + 382 370 362 10,1 9,8 9,0 gW Glimepirid Saleh Inj novorapid + 328 320 11,7 11,5 Inj lantus Supri Inj novorapid + 317 298 280 9,9 8,9 8,0 Inj lantus Keterangan: HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, OAD: obat antidiabetes, Tidak ada GDS dan HbA1c yang terkendali selama penggunaan OAD. Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009). Pada tabel 5.2, terlihat bahwa tidak ada keadaan pasien yang terkendali yaitu kadar HbA1c >7% dan GDS >140mg/dL. Hal ini menunjukan penggunaan OAD belum dapat mengendalikan kadar HbA1c dan GDS pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT TT 54 Tabel 5.3. Distribusi kondisi pasien sebelum dan sesudah terapi OHB di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 No Nama 1 Tini Freku ensi OHB (sesi) 1 2 Didi 4 Jenis OAD Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid 3 Umar 2 4 Harto 2 5 Budhi 2 Metformin + Glimepirid Metformin+ Glimepirid Inj. novorapid 6 Faruk 2 Inj. novorapid 7 8 9 Agus Iwan Sry 1 1 2 Metformin Metformin Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Metformin Inj novorapid 10 11 12 13 14 15 16 Teguh Radila h 1 3 Djoko 2 Imlati 2 Bamba ng P 2 Aries Sutan miwati 1 5 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Inj novorapid Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Sebelum Terapi Hiperbarik HbA1c GDS (%) (mg/dL) 8,6 215 Sesudah Terapi Hiperbarik HbA1c GDS (%) (mg/dL) 6,4 130 Keadaan Pasien Keluar (T/TT) T 11,2 11,7 10,2 9,7 9,4 8,6 8,1 9,2 8,9 7,8 9,5 8,3 10,7 9,7 10,2 7,6 278 262 243 230 226 210 216 218 240 235 215 220 210 218 278 220 7,0 7,0 7,0 6,9 6,8 6,4 7,0 6,7 7,0 6,9 7,0 6,8 6,8 6,6 6,5 6,5 116 130 122 112 130 115 129 120 130 129 128 129 128 125 129 125 9,1 12,6 8,8 7,9 10,1 11,7 199 309 280 258 360 309 6,9 9,8 9,7 6,9 8,0 8,3 130 260 200 124 227 209 TT 10,7 8,9 284 207 9,6 7,0 219 118 T 11,8 7,8 288 209 7,8 6,5 232 130 T 9,2 11,8 10,5 9,7 8,1 8,1 226 319 288 254 220 209 6,9 8,2 8,5 8,9 7,0 6,8 128 251 250 200 127 115 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta T T T T T T T T T T T T 55 17 Sjafri 2 18 Milla 2 19 20 Niluh 1 I gusti made 2 C, budhi 2 Haryono 2 23 Eddy 2 24 2 25 Bamba ng W Adam 26 Risyof 2 27 Taufik 2 28 2 29 Bamba ng Saleh 30 Supri 2 21 22 2 2 Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid + Inj. novorapid Metformin + Glimepirid + Inj novorapid Metformin + glimepirid + Inj novorapid Metformin + Glimepirid + Injnovorapid Metformin + Glimepirid + Inj novorapid Metformin + Glimepirid Inj novorapid + Inj lantus Inj novorapid + Inj lantus Inj novorapid + Inj lantus Inj novorapid + Inj lantus Metformin + Glimepirid Inj novorapid + Inj lantus Inj novorapid + Inj lantus 12,6 8,1 9,5 8,1 226 208 284 207 9,7 6,9 8,9 6,7 200 118 200 120 10,4 243 7,0 130 T T 7,8 8,1 232 278 6,5 9,7 113 204 TT 8,4 7,7 207 211 6,4 6,7 129 117 T 9,9 8,9 245 277 8,8 8,7 210 212 TT 9,8 8,1 7,8 7,8 11,5 9,3 8,9 8,7 10,7 11,2 8,9 8,7 11,3 8,4 7,8 7,6 211 205 284 265 234 207 270 248 307 276 360 267 319 232 278 219 9,8 7,0 8,9 6,4 6,6 6,9 7,0 6,5 9,7 8,9 8,0 8,5 7,9 7,1 6,4 6,3 200 124 219 123 130 129 130 128 264 208 227 210 260 119 121 130 7,5 158,7 1,109 48,82 Keterangan: OHB: oksigen hiperbarik, atm:atmosfer absolut, wkt: waktu, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, T: terkendali, TT: tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009), Tekanan pada terapi OHB: 2,4 atm, Waktu terapi OHB: 90 menit/sesi. Rata-rata Standar Deviasi T 9,37 1,38 249,217 39,706 Dari tabel 5.3, terlihat bahwa rata-rata kadar HbA1c pasien sebelum terapi sebesar 9,37± 1,38% dan sesudah diterapi sebesar 7,5± 1,109%. Rata-rata GDS pasien sebelum terapi sebesar 249,21± 39,71% dan sesudah diterapi sebesar 158,7± 48,82%. Hal ini menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS yang mendekati normal setelah penggunaan terapi. Data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired samples T-Test UIN Syarif Hidayatullah Jakarta T T T T TT TT T T 56 (lihat pada lampiran 4), mendapatkan hasil yang bermakna yaitu (p≤0,05) yang menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS pada pasien diabetes sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik. Tabel 5.4. Rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Maret 2015 Penilaian Klinis Terkendali Tidak Terkendali Jumlah N 25 5 30 % 83,3 16,7 100 Keterangan Efektif Tidak Efektif Keterangan:N: jumlah, Efektif apabila penilaian klinis terkendali, Tidak efektif apabila penilaian klinis tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0% , GDS: 110130mg/dL (Dipiro et al, 2009) Dari tabel 5.4, terlihat bahwa keadaan pasien keluar yang terkendali adalah 83,3% dan 16,7% tidak terkendali. Tabel 5.5. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 Frekuensi Terapi Hiperbarik Jenis OAD 1 sesi 2 sesi Metformin + Glimepirid 4 sesi 2 sesi Inj. Novorapid + Inj. Lantus SebelumTerapi Hiperbarik HbA1c GDS (% ) (mg/dL) 8,6 215 Sesudah Terapi Hiperbarik HbA1c (% ) 6,4 GDS (mg/dL) 130 9,4 8,6 8,1 9,2 8,9 7,8 9,5 8,3 226 210 216 218 240 235 215 220 6,8 6,4 7,0 6,7 7,0 6,9 7,0 6,8 130 115 129 120 130 129 128 129 11,2 11,7 10,2 9,7 278 262 243 230 7,0 7,0 7,0 6,9 116 130 122 112 7,8 7,8 11,5 9,3 8,9 8,7 284 265 234 207 270 248 8,9 6,4 6,6 6,9 7,0 6,5 219 123 130 129 130 128 N % 1 4 4 16 1 4 5 20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 2 sesi Metformin + Glimepirid + Inj. Novorapid + Inj. Lantus 5 sesi 1 sesi 2 sesi Inj. Novorapid + Glimepirid + Metformin 11,3 8,4 7,8 7,6 10,2 7,6 10,3 8,9 11,8 7,8 11,8 10,5 9,7 8,1 8,1 10,4 9,5 8,1 319 232 278 219 278 220 284 207 288 209 319 288 254 220 209 243 284 207 8,4 207 7,7 211 1 sesi 9,2 226 Inj. Novorapid 8,9 240 2 sesi 7,8 235 9,5 215 8,3 220 3 sesi 12,6 309 8,8 280 7,9 258 10,7 210 1 sesi Metformin 9,7 218 9,1 199 Jumlah Keterangan:OAD: obat antidiabetes, HbA1c: GDS:glukosa darah sewaktu, N: jumlah 7,9 7,1 6,4 6,3 6,5 6,5 9,6 7,0 7,8 6,5 8,2 8,5 8,9 7,0 6,8 7,0 8,9 6,7 260 119 121 130 129 125 219 118 232 130 251 250 200 127 115 130 200 120 6,4 6,7 6,9 7,0 6,9 7,0 6,8 9,8 9,7 6,9 6,8 6,6 6,9 129 117 128 130 129 128 129 260 200 124 128 125 130 3 12 1 4 1 4 3 12 1 4 2 8 1 4 3 12 25 100 Hemoglobin terglikosilasi, Pada tabel 5.5, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang memiliki tingkat kesembuhan paling tinggi adalah pada frekuensi penggunaan terapi oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan Inj. Novorapid + Inj. Lantus sebesar 20 %. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 Tabel 5.6. Frekuensi terapi oksigen hiperbarik dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Periode Januari 2014-Februari 2015 Frekuensi Terapi Hiperbarik Jenis OAD 2 sesi Metformin + Glimepirid 2 sesi Inj. Novorapid + Inj. Lantus Metformin + Glimepirid + Inj. Novorapid + Inj. Lantus Inj. Novorapid + Glimepirid + Metformin 2 sesi SebelumTerapi Hiperbarik HbA1c GDS (% ) (mg/dL) 8,9 360 8,7 267 10,7 11,2 10,1 11,7 307 276 360 309 Sesudah Terapi Hiperbarik HbA1c (% ) 8,0 8,5 GDS (mg/dL) 227 210 9,7 8,9 8,0 8,3 264 208 227 209 N % 1 20 1 20 1 20 9,9 245 8,8 210 8,9 277 8,7 212 2 40 7,8 232 6,5 113 8,1 278 9,7 204 5 100 Jumlah Keterangan:OAD: obat antidiabetes, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, N: jumlah. 2 sesi Pada tabel 5.6, terlihat bahwa frekuensi penggunaan OHB dan jenis OAD pada keadaan pasien keluar yang tidak terkendali di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yaitu paling banyak terdapat pada frekuensi penggunaan terapi oksigen hiperbarik selama 2 sesi dengan injeksi novorapid + glimepirid + metformin sebesar 40%. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan data menggunakan metode retrospektif yaitu melihat data rekam medis pasien yang terjadi di masa lalu. Data penelitian ini dikumpulkan dari medical record pasien periode Januari 2014 sampai Maret 2015. Pencatatan data yang hanya diambil dari medical record sangat terbatas sehingga masih ada data yang diperlukan untuk mendukung analisis dalam penelitian ini tetapi tidak tercantum dalam medical record tersebut. Kedua hal di atas (desain penelitian deskriptif dan pengumpulan data secara retrospektif) merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. 6.1 Pembahasan 6.1.1 Karakteristik Pasien a. Jenis Kelamin Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien laki-laki lebih banyak menderita DM daripada pasien perempuan. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuh Huda di Surabaya tahun 2011, yang menyatakan diabetes lebih banyak diderita oleh laki-laki sebesar 65% pasien dan perempuan 35% pasien. Tidak ada hipotesa yang menyebutkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan angka kejadian diabetes, tetapi kecenderungan kearah laki-laki lebih benyak menderita diabetes lebih diakibatkan oleh pola makan yang susah diatur daripada perempuan (Tjokroprawiro, 2007). b. Usia Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi oksigen hiperbarik paling banyak terdapat pada kelompok usia 56-65 tahun. Terlihat bahwa penderita diabetes mulai rentan dan sering terjadi pada usia 46 tahun ke atas hingga 65 tahun. Pada usia ini, umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa (Goldberg dan Coon dalam Rochman, 2006). Menurut Waspadji 2008 dalam Sri Wahyuni 2010, dibandingkan dengan usia yang lebih muda, usia lanjut mengalami peningkatan produksi insulin glukosa dari hati, cenderung mengalami resistensi insulin, dan gangguan sekresi insulin akibat penuaan dan apoptosis sel beta pankreas. Proses penuaan juga menjadi penyebab akibat penyusutan sel-sel beta pankreas yang progresif sehingga sekresi insulin semakin berkurang dan kepekaan reseptornya turut menurun. Penyebab lain diduga akibat infeksi virus sewaktu muda (WHO, dalam istiqomah 2013). Menurut WHO setelah usia 30 tahun maka kadar glukosa akan naik 1-2 mg/dL pada saat puasa dan akan naik 5,6-13 pada 2 jam setelah makan (Sudoyo, 2006). 6.1.2 Kondisi Pasien yang Menggunakan Obat Antidiabetes dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik Data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired Samples T-Test (lihat pada lampiran 4) mendapatkan hasil yang bermakna yaitu (p≤0,05), ini menunjukan adanya perubahan kadar HbA1c dan GDS pada pasien diabetes sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perubahan berupa penurunan kadar HbA1c yang menandakan adanya perbaikan kadar glukosa darah pasien. Pada pasien diabetes yang terkontrol dengan baik (gula darah normal) akan terjadi penurunan proses glikosilasi hemoglobin, sehingga terjadi penurunan HbA1c UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 (Prihartini, 2001). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budhiarto tahun 1983 yang menyebutkan penurunan yang bermakna dari HbA1c pada pasien diabetes yang semula tidak baik dan menjadi lebih baik dengan menggunakan terapi HBO (Prihartini, 2001). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian indra, 2000 yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik pada pasien diabetes tanpa menggunakan obat antidiabetes yang hasilnya adalah terjadi penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c akibat efek oksigen bertekanan tinggi atau terjadi efek hipoglikemia pada penggunaan oksigen bertekanan tinggi. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menimbulkan hipoglikemik pada penderita diabetes, di mana terapi oksigen hiperbarik pada 2,4 atmosfer absolut menimbulkan penurunan kadar gula darah (Ishihara, 2007). Efek hipoglikemik tersebut dihipotesakan terjadi karena oksigen bertekanan tinggi menginhibisi hormon anti insulin, meningkatkan sekresi C-peptidase dan sensitivitas sel reseptor insulin di jaringan untuk mengoreksi keseimbangan asam basa (Ishihara, 2007). Pada penderita DM, terjadi gangguan keseimbangan antara glukosa ke dalam sel, glukosa yang disimpan di hati, dan glukosa yang dikeluarkan dari hati. Keadaan ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat dan kelebihannya akan keluar melalui urin. Jumlah urin banyak dan mengandung gula. Penyebab keadaan ini hanya 2. Pertama, pankreas tidak mampu lagi membuat insulin. Kedua, sel tubuh tidak memberi respon terhadap kerja insulin sebagai kunci untuk membuka pintu sel sehingga tidak dapat masuk ke dalam sel (Hans Tandra, 2008). Terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan jumlah molekul oksigen yang masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan maupun pori-pori atau jaringan luar tubuh. Dengan meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen yang terlarut di dalam darah semakin meningkat. Oksigen diangkut oleh darah ke seluruh sel-sel dan jaringan tubuh. Banyak fungsi-fungsi sel dan jaringan tubuh yang tergantung pada oksigen, sehingga meningkatkan kemampuan sel-sel dan jaringan tubuh untuk membelah atau bergenerasi, membunuh kuman penyakit, dan meningkatkan metabolisme pada sel yang akan menghasilkan banyak manfaat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 bagi tubuh (Samsudin, 2003). Pada penderita diabetes dimana terjadi penurunan sensitivitas atau kerusakan sel terkontrol, Langerhans yang menyebabkan gula darah tidak dengan adanya peningkatan suplai O 2 mengakibatkan perbaikan metabolisme pada sel Langerhans yang sekaligus meningkatkan sensitivitas sel Langerhans dalam merangsang pengeluaran insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Insulin meningkatkan transport glukosa dalam sel. Insulin meningkatkan transport glukosa dalam beberapa detik sampai beberapa menit yang menunjukan kerja langsung insulin pada membran sel sendiri (Indra, 2000). Penelitian Price tahun 1995 menyatakan penurunan kadar gula darah terjadi karena meningkatnya metabolisme tubuh sehingga kecepatan pemakaian glukosa juga meningkat. Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.4, tentang rekapitulasi pasien yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik didapatkan hasil paling banyak adalah keadaan pasien keluar yang terkendali. Penilaian dinyatakan terkendali apabila HbA1c ≤6,5-7,0% dan GDS 110-130 mg/dL. Penilaian tersebut sesuai dengan algoritma penatalaksanaan DM Tipe 2 menurut Dipiro et al, 2009. Berdasarkan pengamatan pada tabel 5.5, frekuensi penggunaan terapi oksigen hiperbarik dan obat antidiabetes yang memiliki tingkat kesembuhan yang paling banyak adalah lama penggunaan terapi 2 sesi dengan kombinasi obat Inj. Novorapid + Inj. Lantus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dedov tahun 1994 yang menjelaskan bahwa dalam penelitiannya pada penderita diabetes selama 1 tahun yang diukur kadar glukosa darahnya tiap 2 bulan menyatakan penggunaan oksigen tekanan tinggi secara berulang 2 kali dengan interval 6 bulan dapat mencegah kenaikan kadar glukosa darah kembali dan ini lebih efektif daripada hanya sekali (Prihartini, 2001). Pada penelitian Dedov, hasil yang lebih efektif akan terjadi bila penggunaan terapi oksigen hiperbarik dilakukan berulang, 2 atau 3 kali atau lebih dan untuk memperpanjang perbaikan kadar glukosa darah penderita diabetes dapat berhasil sampai setengah tahun pada 3 kali terapi dengan interval 4 bulan (Prihartini, 2001). Injeksi Novorapid termasuk ke dalam golongan insulin rapid acting (kerja cepat) dan injeksi lantus termasuk ke dalam golongan insulin long acting (kerja panjang). Penggunaan insulin kerja cepat dikarenakan efeknya yang dapat bekerja cepat, seringkali mulai menurunkan kadar glukosa darah 20 menit setelah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 penyuntikan. Namun efek insulin kerja cepat hanya sebentar, karena itu diperlukan insulin kerja panjang untuk membuat kadar glukosa darah menjadi stabil sepanjang hari. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil (Sudoyo, 2006). Obat Antidiabetes oral pada pasien diabetes melitus yang menggunakan terapi oksigen hiperbarik adalah metformin + glimepirid. Glimepirid merupakan obat yang termasuk ke dalam golongan sulfonilurea. Mekanisme kerja glimepirid yaitu dengan menstimulasi ekskresi insulin dan metformin pun bekerja untuk mengurangi glukoneogenesis hepatik, meningkatkan sensitifitas insulin, serta mengurangi absorbsi glukosa pada saluran cerna. Berdasarkan mekanisme kerjanya, kombinasi kedua obat tersebut merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja yang sinergis, sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan glukosa darah yang lebih banyak. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) hanya 50% pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal (Soegondo, 2005). Selain penggunaan beberapa obat antidiabetes oral dan insulin, pemakaian obat antidiabetes oral dengan injeksi juga dapat digunakan oleh pasien diabetes yang tidak berhasil dikelola dengan obat antidiabetes oral dosis maksimal atau terdapat kontraindikasi dari obat tersebut. Pemakaian obat antidiabetes oral dengan insulin yang paling banyak digunakan adalah kombinasi metformin + glimepirid dengan injeksi novorapid + injeksi lantus dengan pemberian 2 sesi terapi oksigen hiperbarik dan kombinasi injeksi novorapid dengan glimepirid + metformin dengan pemberian 2 sesi terapi oksigen hiperbarik. Kombinasi obat antidiabetes oral dengan insulin diberikan bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai. Kombinasi obat antidiabetes oral dengan insulin yang banyak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 dipergunakan adalah kombinasi antidiabetes oral dengan insulin basal (insulin kerja cepat atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Terapi diabetes melitus tipe 2 dengan menggunakan obat antidiabetes dan oksigen hiperbarik, kadar HbA1c pada pasien dapat dikendalikan mendekati normal. b. Terapi diabetes melitus tipe 2 dengan menggunakan obat antidiabetes dan oksigen hiperbarik, kadar GDS pada pasien dapat dikendalikan mendekati normal. 7.2 Saran a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas terapi oksigen hiperbarik yang digunakan pada pasien diabetes di RUMKITAL Dr. Mintohardjo dengan menggunakan metode prospektif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 DAFTAR PUSTAKA American College of Clinical Pharmacy. 2013. Pharmacotherapy Review Programfor Advanced Clinical Pharmacy Practice and Impaired Glucose Tolerance in Indonesia. American Diabetes Association Diagnosis and classification of diabetes. 2011. Diabetes Care, vol, Suppl 1. Anonim. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus, 8-76, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta. Black. J & Hawk. J. 2005. Medical Surgical Nursing. 7th ed. St. Louis. Elsevier Sounders. Black & Hawks, 2009; National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Davey, Patrick. 2005. At a glance Medicine. Erlangga. Jakarta. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Gaya Baru. Jakarta. Universitas Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20052025. Jakarta. Dwipayana rady. 2010. The effect of hyperbaric oxygen on the healing of rat’s flexor muscle injury. Surabaya. Grim. Et al. 2009. Hyperbaric Oxygen Therapie. Terdapat dalam http://www.hbotofaz.org/research/hbot.htm diakses pada 2 maret 2010 10.00 WIB. Guritno, M. 1997. Prosedur pengobatan oksigen hiperbarik. Lembaga Kesehatan Kelautan. Surabaya. GuytonAC, 1997. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Edisi 19, Ahli Bahasa: Iyan Darmawan, Jakarta: EGC, hlm 487-495. Guyton. A. C. & Hall. JE. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11 th ed. WB. Saunders. Philadelphia. Hanabe. I. 2004. Society for Safety of Hyperbaric Medicine in ECHM Proceeding of the 1st European Consensus Conference on Hyperbaric Medicine. Lille. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Hendromartono, 1999. Consensus in the management of diabetes mellitus (Perkeni 1998). Naskah Lengkap Surabaya Diabetes UPDATE-VI 1999, Surabaya Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD dr. Soetomo-FK Unair, hal 114. Surabaya. Hilary, King, Sicree Richard, Green Anders, Roglic Gojka, Wild Sarah. 2004. Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes care vol 27 number 5 : 1047 – 1053. Huda Nuh. T. 2010. Pengaruh Hiperbarik Oksigen terhadap Perfusi Perifer Luka Gangren pada penderita Diabetes Melitus di RS AL Dr. RAMELAN Surabaya. Balai PenerbitFK-UI. Depok. Ishihara. A. 2007. Hyperbarik Exposure in Rat Muscle and Nerve. Laboratory Of Metabolism. Graduate School of Human Genomic Drug Discovery Science. Kyoko University. Japan. Jain. KK. 1999. Oxsygen Toxicity. Textbook of Medicine 3 rd revised Edition. Hogrefe and Huber Publishing Inc. Joseph, T. Dipiro, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gry R. Matzkee, Barbara G. Wells, L. Michael Polsey (Eds.). 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Edisi ke-7, New York: Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. Kariadi, Sri Hartini. 2009. Diabetes? Siapa Takut!! Panduan Lengkap Untuk Diabetisi, Keuarganya dan Profesional Medis. Bandung. Kindwall. EP. & Goldman. RW. 1998. Hyperbaric Medicine Procedures. 6th ed. St. Luke Hospital. Mylwaukee. Kindwall. EP. & Whelan HT. 1999. The Physiologic Effect Of The Hyperbaric Oxygen. Hyperbaric Medicine Practice 2nd. Best Publishing Co. Mahdi, H. Et al. 2009. Ilmu Kesehatan Bawah Air dan Hiperbarik. Lembaga Kesehatan Keangkatan Lautan (LAKESLA). Surabaya. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus : Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal gejala, menanggulangi, dan mencegah komplikasi Ed. 1. Pustaka Populer Obor. Jakarta. Moore E James, dkk. 2014. Biomedical Technology and Devices. Second Edition. CRC Press. U.S. Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta. Neubauer, RA & Walker, M. 1998. Hyperbaric Oxygen Therapy. Avery Publishing Group Inc. New York. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Neuman S Tom & Stephen R. Thom. 2008. Physiology and medicine of hyperbaric oxygen therapy. United States of America. Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Pennefather, J. 2002. Hyperbaric Equipment; Diving & Subquatic Medicine. Oxford University Press. London. PERKENI. 2007. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Price ME, Stabler CM, Kemper GB, 1995. Evaluation of glucose monitoring devices in the hyperbaric chamber. Military Medicine, 1995, 160 (30): 1436. Samsudin Moh. 2003. Pengaruh Oksigen Hiperbarik terhadap tekanan intra okuler mata normal. Semarang. Soegondo. 1995. Penyuluhan Sebagai Komponen Terapi Diabetes, Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. Soegondo S. 2005. Prinsip Pengobatan Diabetes, Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin. Balai Penerbit FK UI. Depok. Sudoyo, Aru W, Dr.dr.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tandra Hans. 2008. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes: panduan lengkap mengenal & mengatasi diabetes dengan cepat dan mudah. PT: Gramedia. Jakarta. Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University Press. Surabaya. Tobing dr. Ade, dkk. 2008. Care Your Self : Diabetes Mellitus. PenebarPlus+. Jakarta. Wahyuni sri. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit diabetes melitus daerah perkotaan di Indonesia tahun 2007 (analisis data sekunder Rikesda 2007). Jakarta. Waspadji, S, dkk. 2002.Komplikasi Kronik Diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 Widiyanti Prihatini. 2001. Pengaruh Oksigen Hiperbarik Terhadap Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Surabaya. Wijayanto Indra. 2000. Pengaruh HBO pada diabetes melitus melalui pengukuran HbA1c. Surabaya. World Health Organization. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consultation Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva. World Health Organization. 2011. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications Report of a WHO Consltation. WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva. Zahtamal, Chandra, F., Suyanto, dan Restuastuti, T. 2007. Faktor-faktor Risiko Pasien Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat. Jakarta. Vol. 23, No. 3. Hal. 142-147. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 3. Pasien diabetes yang menggunakan obat antidiabetes dan terapi hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat L Usia / (thn) P No Nama 1 Tini P 77 2 Didi L 75 Freku ensi OHB (sesi) 1 Obat Antidiabetes Dosis Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid 3x500 mg 1x2 mg 3x500 mg 1x2 mg 3x500 mg 1x2 mg 3x500 mg 1x2 mg 3x8 ui 2 4 3 Umar L 70 4 Harto L 55 5 Budhi L 55 Metformin + Glimepirid Metformin+ Glimepirid Inj. novorapid 6 Faruk L 56 Inj. novorapid 3x8 ui 2 7 8 9 Agus Iwan Sry L L P 56 56 61 Metformin Metformin Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Metformin Inj novorapid 3x500 mg 3x500 mg 1x2 mg 3x500 mg 3x12 ui 1x12 ui 3x500 mg 3x12 ui 1 1 2 10 11 Teguh Radila L L 49 44 2 2 Sebelum Terapi Hiperbarik HbA1c (%) GDS(mg /dL) 8.6 215 11.2 11.7 10.2 9.7 9.4 8.6 8.1 9.2 8.9 7.8 9.5 8.3 10.7 9.7 10.2 278 262 243 230 226 210 216 218 240 235 215 220 210 218 278 Setelah Terapi Hiperbarik HbA1c (%) GDS(mg/ dL) 6,4 130 7,0 7,0 7,0 6,9 6,8 6,4 7,0 6,7 7,0 6,9 7,0 6,8 6,8 6,6 6,5 116 130 122 112 130 115 129 120 130 129 128 129 128 125 129 Keadaan Pasien Keluar (T/TT) T T T T T T T T T 1 3 73 7.6 220 6,5 125 9.1 12.6 199 309 6,9 9,8 130 260 T T UIN Syarif Hidayatullah Jakarta h 12 13 14 15 16 Djoko Imlati Bamba ng P Aries sutan miwati L P L L L 69 70 61 46 60 17 Sjafrie L 61 18 Milla P 55 19 Niluh L 50 20 I gusti made L 60 Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus Inj novorapid Glimepirid + Metformin + Inj. novorapid + Inj. lantus 1x2 mg 3x500 mg 3x12 ui 1x12 ui 1x2 mg 3x500 mg 3x12 ui 1x12 ui 1x2 mg 3x500 mg 3x12 ui 1x12 ui 3x8 ui 1x2 mg 3x500 mg 3x12 ui 1x12 ui 2 Metformin + Glimepirid Metformin + Glimepirid + Inj. novorapid Metformin + Glimepirid + Inj novorapid Metformin + glimepirid + 3x500 mg 1x2 mg 3x500 mg 1x2 mg 3x12 ui 3x500 mg 1x2 mg 3x8 ui 3x500 mg 1x2 mg 2 8.8 7.9 10.1 280 258 360 9,7 6,9 8,0 200 124 227 TT 11.7 309 8,3 209 10.7 284 9,6 219 8.9 207 7,0 118 11.8 288 7,8 232 7.8 209 6,5 130 9.2 11.8 10.5 9.7 8.1 8.1 12.6 8.1 9.5 226 319 288 254 220 209 226 208 284 6,9 8,2 8,5 8,9 7,0 6,8 9,7 6,9 8,9 128 251 250 200 127 115 200 118 200 T 8.1 207 6,7 120 T 1 10.4 243 7,0 130 T 2 7.8 232 6,5 113 TT 2 T 2 T 1 5 2 74 T T UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Inj novorapid 3x8 ui 8.1 278 9,7 204 Metformin + 3x500 mg 2 8.4 207 6,4 129 Glimepirid + 1x2 mg T 7.7 211 6,7 117 Inj novorapid 3x8 ui 22 Haryo- L 58 Metformin + 3x500 mg 2 9.9 245 8,8 210 no Glimepirid + 1x2 mg TT 8.9 277 8,7 212 Inj novorapid 3x8 ui 23 Eddy L 61 Metformin + 3x500 mg 2 9.8 211 9,8 200 T Glimepirid 1x2 mg 8.1 205 7,0 124 24 Bamba L 55 Inj novorapid + 3x10 ui 2 7.8 284 8,9 219 T ng W Inj lantus 1x12 ui 7.8 265 6,4 123 25 Adam L 58 Inj novorapid + 3x8 ui 2 11.5 234 6,6 130 T Inj lantus 1x12 ui 9.3 207 6,9 129 26 Risyof L 53 Inj novorapid + 3x8 ui 2 8.9 270 7,0 130 T Inj lantus 1x12 ui 8.7 248 6,5 128 27 Taufik L 60 Inj novorapid + 3x12 ui 2 10.7 307 9,7 264 TT Inj lantus 1x12 ui 11.2 276 8,9 208 28 Bamba L 61 Metformin + 3x500 mg 2 8.9 360 8,0 227 TT ng w Glimepirid 1x2 mg 8.7 267 8,5 210 29 Saleh L 57 Inj novorapid + 3x12 ui 2 11.3 319 7,9 260 T Inj lantus 1x12 ui 8.4 232 7,1 119 30 Supri L 52 Inj novorapid + 3x12 ui 2 7.8 278 6,4 121 T Inj lantus 1x12 ui 7.6 219 6,3 130 Rata-rata 9,37 249,214 7,5 158,7 Standar Deviasi 1,38 39,7 1,109 48,8 Keterangan:L: laki-laki, P: perempuan, OHB: oksigen hiperbarik, atm:atmosfer absolut, thn: tahun, wkt: waktu, HbA1c: Hemoglobin terglikosilasi, GDS:glukosa darah sewaktu, TK: terkendali, TTK: tidak terkendali, Terkendali apabila HbA1c: ≤6,5-7,0%, GDS: 110-130mg/dL (Dipiro et al, 2009) 21 C. budhi L 61 75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 4. Uji Paired Samples T-Test dari Hasil Data HbA1c dan GDS Pasien Sebelum dan Sesudah Terapi Oksigen Hiperbarik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat Periode Januari 2014-Februari 2015 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 GDS_sbl - GDS_ssd Std. Deviation 9.05167E1 Std. Error Mean 31.95415 Lower 4.12526 Upper 82.26204 t 98.77130 df 21.942 Sig. (2-tailed) 59 .000 Keterangan: p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik menunjukan terjadi perubahan kadar GDS pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1 HbA1c_sbl - HbA1c_ssd 1.87000 Std. Deviation Std. Error Mean 1.32873 .17154 Lower 1.52675 Upper t 2.21325 10.901 df Sig. (2-tailed) 59 Keterangan: p≤0,05 = menunjukan signifikan statistik kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik menunjukan terjadi perubahan kadar HbA1c pada pasien sebelum dan sesudah terapi oksigen hiperbarik 76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .000