peranan disturbansi pada keanekaragaman jenis

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXII, Nomor 3, 1997 : 17 - 24
ISSN 0216- 1877
PERANAN DISTURBANSI PADA KEANEKARAGAMAN JENIS TERUMBU
KARANG PADA PERAIRAN DANGKAL
Oleh
Deddy Setiapermana 1)
ABSTRACT
CONNEL (1978), who examined several hypothesis concerning species
richness or diversity, reduced them to only 6 hypothesis which fall into 2 general
categories : i. non-equilibrium, and ii. equilibrium systems. Shallow water coral
reefs have been described as being non-equilibrium systems, where competitive
exclusion is prevented by frequent disturbances as predicted by the intermediate
disturbance hypothese. The hypotheses suggests that the highest diversity is
maintained at intermediate scales of disturbance. Literatures on two types of
disturbances, i.e. abiotic (tidal exposure, wave action, sedimentation) and biotic
(grazing), which can affect near surface coral diversity, are reviewed in the light of
the intermediate disturbance hypotheses.
PENDAHULUAN
JONES, 1945). Pendapat ini ada benarnya
karena perubahan iklim dengan skala besar
yang terjadi di muka bumi sering terulang
dengan selang waktu yang jauh lebih pendek
daripada waktu yang diperlukan oleh suatu
komunitas untuk mencapai 'equilibrium' atau
untuk merubah sebaran geografis dari jenis
(AMUNDSON & WRIGHT, 1979; BOTKIN
& SOBEL, 1975; HOLBROOK, 1977).
Variasi iklim dengan skala besar semacam ini
mempengaruhi pola ekologi pada wilayah
yang luas bahkan kadang-kadang mencakup
seluruh benua. dibandingkan dengan variasi
iklim, faktor-faktor lain yang mengakibatkan
perubahan pada komunitas alami umumnya
bekerja pada skala ruang yang lebih kecil.
Salah satu sifat yang menjadi ciri dari
semua komunitas biologi adalah dinamika
dari komponen-komponennya. Kerapatan dan
struktur dari populasi berubah dari waktu ke
waktu sebagaimana perubahan pada
kelimpahan relatif dan keragaman jenis. Pada
kebanyakan komunitas, tahap klimaks dari
perubahan tersebut yang merupakan keadaan
'equilibrium' hanya merupakan suatu keadaan
rata-rata yang ditemui pada skala ruang yang
relatif luas (CONNEL & SLATYER, 1977).
Pendapat bahwa 'equilibrium' sangat jarang
dicapai pada skala ruang yang kecil (lokal)
telah dikemukakan puluhan tahun yang lalu
oleh sejumlah ahli ekologi kehutanan (mis.
17
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Keanekaragaman jenis yang tinggi dari
terumbu karang pada skala lokal merupakan
hal yang telah diketahui sejak lama. Penjelasan
yang biasa diberikan dimulai dengan anggapan
bahwa komposisi jenis dari terumbu karang
berada pada tingkat mendekati 'equilibrium'
yang biasanya didefinisikan sbb. : 1) apabila
komposisi jenis mengalami gangguan sehingga
bergeser dari titik 'equilibrium', ia akan
kembali ke titik 'equilibrium' tersebut, dan 2)
tanpa gangguan, komposisi jenis tetap berada
pada tingkat 'equilibrium'.
Sebagaimana
telah
disinggung
sebelumnya, frekuensi terjadinya disturbansi
alami dan laju perubahan lingkungan
seringkali lebih cepat daripada laju 'recovery'
komunitas yang berubah akibat disturbansi.
Khususnya, hilangnya jenis yang kurang
efisien atau kurang mampu beradaptasi sebagai
akibat dari terjadinya disturbansi bukan
merupakan hal yang dapat diramalkan
sebagaimana kita perkirakan. Sebalikya,
kekuatan lain, yang seringkali datang dengan
tiba-tiba dan tidak dapat diramalkan
sebelumnya dapat memundurkan, menyimpangkan atau memperlambat proses
kembalinya komposisi jenis ke titik 'equilibrium'. Apabila hal ini benar, maka kita dapat
mempertanyakan kegunaan dari penerapan
teori 'equilibrium' pada ekologi komunitas.
Berbagai hipotesis telah dikemukakan
untuk menjelaskan bagaimana keanekaragaman lokal dapat tercapai atau
terpelihara. CONNELL (1978) yang
mendalami berbagai hipotesis tentang
kekayaan jenis atau keanekaragaman
mengelompokkan mereka kedalam 6
kelompok hipotesis yang dapat dimasukkan
kedalam 2 kategori umum, yakni:
librium'. Keanekaragaman yang tinggi
dijumpai hanya pada komposisi jenis yang
secara terus menerus berubah. Hipotesishipotesis yang masuk dalam kategori ini
adalah: i) Keanekaragaman akan lebih tinggi
apabila frekuensi dan intensitas disturbansi
berada pada tingkat sedang (hipotesis
'disturbansi sedang'). ii) Jenis-jenis kurang
lebih setara dalam kemampuannya untuk
berkoloni, mempertahankan diri terhadap
serangan, dan menahan perubahan lingkungan. Keanekaragaman lokal tergantung
hanya pada jumlah jenis yang tersedia dalam
suatu area geografis dan pada kerapatan
populasi (hipotesis 'kesempatan setara'). iii)
Perubahan lingkungan gradual yang dapat
merubah urutan kemampuan berkompetisi
terjadi pada laju yang cukup tinggi sehingga
proses eliminasi kompetitif jarang terjadi
dengan sempurna (hipotesis 'perubahan
gradual').
2. Sistem yang bersifat 'equilibrium'.
Komposisi jenis dari suatu komunitas pada
umumnya berada pada keadaan' equilibrium';
sesudah terjadi disturbansi ia akan kembali ke
keadaan 'equilibrium'. Keanekaragaman yang
tinggi, dengan demikian, dapat terpelihara
tanpa perubahan terus menerus dari komposisi
jenis. Hipotesis-hipotesis yang termasuk dalam
kategori ini adalah: iv) Pada keadaan 'equilibrium', tiap jenis memiliki kelebihan dalam
memanfaatkan bagian tertentu dari habitat.
Keanekaragaman merupakan fungsi dari
keseluruhan habitat dan tingkat spesialisasi
jenis terhadap bagian-bagian dari habitat
(hipotesis 'diversifikasi niche'), v) Pada
keadaan 'equilibrium', tiap jenis menggunakan
suatu mekanisme pengganggu yang
menyebabkan ia mampu memenangkan
persaingan dengan beberapa pesaingnya, akan
tetapi di fihak lain ia mengalami kekalahan
dari pesaing lainnya (hipotesis 'jaringan
melingkar' - 'circular network'), vi) Mortalitas,
1. Sistem yang bersifat 'nonequilibrium'. Komposisi jenis dari suatu
komunitas jarang berada pada keadaan 'equi-
18
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak
berkaitan dengan interaksi kompetitif, tertinggi
pada jenis-jenis yang menduduki ranking
tertinggi dalam kemampuannya berkompetisi
(hipotesis 'mortalitas kompensasi' - compensatory mortality').
Menurut CONNEL (1978) terumbu
karang merupakan sistem yang bersifat 'nonequilibrium', dimana hilangnya suatu jenis
sebagai akibat kompetisi (competitive exclusion) dicegah oleh terjadinya disturbansi
dengan frekuensi yang tinggi, sebagaimana
diprediksi oleh hipotesis 'disturbansi sedang/
menengah' (intermediate distrubance).
Komponen-komponen terumbu mati ataupun
rusak berat oleh disturbansi yang terjadi
pada berbagai skala frekuensi dan intensitas.
Hipotesis ini berpendapat bahwa keanekaragaman tertinggi terjadi pada skala
menengah dari disturbansi (Gambar 1).
Pada terumbu karang perairan dangkal,
keanekaragaman di dekat permukaan sangat
bervariasi dan menunjukkan pola yang
berkaitan dengan terjadinya disturbansi, suatu
keadaan yang konsisten dengan hipotesis
'disturbansi sedang/menengah' (CONNEL,
1978). Pengamatan yang dilakukan oleh
DITLEV (1978), FISHELSON (1973), dan
GLYNN (1976) menunjukkan bahwa
keanekaragaman yang tinggi dapat ditemui
pada bagian atas terumbu dan rataan terumbu
perairan dangkal yang mengalami disturbansi
yang mematikan.
19
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Disturbansi secara tradisional
dipandang sebagai kejadian yang tidak normal dan tidak teratur terjadinya yang
menyebabkan perubahan struktur yang
dramatis pada komunitas alami dan
menjauhkan komunitas tersebut dari keadaan
statis, dekat 'equilibrium' (KARR &
FREEMARK, 1984); WHITE, 1979). Pada
terumbu karang, banyak tipe disturbansi yang
mempengaruhi keanekaragaman. Secara
umum, disturbansi dapat dibagi kedalam 2
tipe : abiotik (pasang surut, gelombang,
sedimentasi) dan biotik (grazing). Disturbansi
yang mengakibatkan kematian seringkali
terjadi di dekat permukaan terumbu, dan
frekuensi serta intensitas kematian menurun
dengan kedalaman air. Frekuensi disturbansi
yang bervariasi di dekat permukaan
mengakibatkan tingginya keanekaragaman
jenis pada bagian atas terumbu.
kronis maupun efek ekstrim dari badai yang
bersifat destruktif. CONNELL (1978) dan
GRIGG & MARAGOS (1974) mengamati
bahwa seberapa jauh suatu terumbu terkena
badai ataupun gelombang sangat
mempengaruhi tingkat keanekaragaman
karang pada terumbu tersebut. Tingkat
keanekaragaman pada umumnya tinggi pada
tempat-tempat yang sering terkena badai.
Meskipun demikian, sebaliknya tingkat
keanekaragaman dapat menurun drastis
sebagai akibat dari frekuensi dan intensitas
disturbansi yang ekstrim, yang tidak
memungkinkan jenis-jenis karang untuk
bertahan hidup. Bagian Atas Terumbu yang
sering terkena gelombang yang ekstrim
cenderung tidak ditumbuhi oleh karang, akan
tetapi tempatnya digantikan oleh gundukan
yang ditumbuhi algae (algal ridges), suatu
struktur masif yang ditutupi oleh algae
berkapur yang membentuk lapisan keras
(encrusting calcareous algae). Terumbu seperti
ini dapat dengan mudah dijumpai di kawasan
Indo-Pasifik pada perairan yang bergelombang, di bagian pulau yang
menyongsong arah datangnya angin
(windwarad crest) (WELLS, 1957) dan juga
di kawasan Karibia (GLYNN, 1973). Pada
keadaan intensitas gelombang yang lebih
rendah, komunitas terumbu dengan tingkat
keanekaragaman dan struktur yang kompleks
dapat berkembang dengan baik. WELLS
(1957) melaporkan pertumbuhan karang yang
lebih subur pada perairan yang relatif tenang
(leeward crest), dimana gundukan yang
ditumbuhi algae (algal ridges) sulit
berkembang atau absen sama sekali. GEISTER
(1977) yang mengamati zone-zone terumbu
dengan kekuatan gelombang yang berbeda,
menemukan tingkat keanekaragaman tertinggi
pada zone dengan tingkat kekuatan gelombang
yang sedang/menengah dan tingkat
DISTURBANSI ABIOTIK
Dalam kaitan dengan pasang surut
sebagai suatu disturbansi abiotik, kematian
karang yang disebabkan oleh surut yang
ekstrim telah dilaporkan oleh para pakar
(FISHELSON, 1973; GLYNN, 1976;
CONNELL, 1978; DITLEV, 1978). Jenisjenis karang bercabang (Acropora, Stylopora,
Pocillopora) yang memiliki kecepatan tumbuh
yang tinggi (10-15 cm/tahun) sangat peka
terhadap pasang surut. Kematian massal yang
sering terjadi pada jenis-jenis ini diduga
merupakan faktor yang dapat memelihara
tingkat keanekaragaman yang tinggi dari
paparan terumbu, karena kematian tersebut
mencegah terjadinya monopoli ruang tumbuh
oleh jenis-jenis tersebut.
Kerusakan akibat gelombang dapat
pula mempengaruhi tingkat keanekaragaman
terumbu, baik melalui gelombang yang bersifat
20
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
keanekaragaman terendah pada tingkat
kekuatan gelombang yang ekstrim,
sebagaimana diprakirakan oleh hipotesis
'disturbansi sedang/menengah.
Baik pasang surut maupun gelombang
memberikan efek pada lapisan permukaan
laut. Sedangkan sedimentasi dapat
memberikan efek pada semua kedalaman
laut, seperti misalnya sedimentasi kalsium
karbonat. Kalsium karbonat yang diproduksi
oleh karang dan algae berkapur (calcareous
algae) secara terus menerus dipecahkan oleh
proses biologis dan fisika dan dibawa keluar
dari terumbu oleh gaya tank burni dan gerakan
air (GOREAU & GOREAU, 1973).
Sedimentasi pada karang berpengaruh buruk dan
mengganggu proses fotosintesis dan 'feeding';
mengurangi jumlah substrat yang cocok bagi
pertumbuhan karang dengan menutupi substrat
yang keras dengan pasir kalsium karbonat yang
mudah bergerak. Sedimen yang dialirkan oleh
sungai dapat pula berpengaruh buruk bagi
terumbu. Baik sedimen yang dibentuk oleh
terumbu maupun sedimen alluvial dapat
mengakibatkan
kekeruhan
yang
amat
berpengaruh
terhadap
penetrasi
cahaya.
Sedimentasi bisa bekerja sebagai disturbansi
maupun sebagai pengatur laju pertumbuhan
karang (DODGE dkk., 1974).
Jenis-jenis karang memiliki kemampuan memindahkan sedimen yang
berbeda-beda. Kemampuan tersebut berkorelasi dengan ukuran dan morfologi polip
(HUBBARD & POCOCK, 1972). Hal ini
berakibat pada pola sebaran jenis-jenis karang
dan komposisi jenis dari komunitas terumbu.
Di Puerto Rico, LOYA (1976) mengamati
penurunan tutupan dan keanekaragaman
karang pada suatu wilayah yang menerima
150 g/m2/hari sedimen alluvial, dibandingkan
dengan wilayah yang hanya menerima 30 g/
nvVhari. Montastrea cavernosa, sejenis karang
yang sangat efisien dalam memindahkan
sedimen, ditemui dalam jumlah yang amat
melimpah pada tempat dengan laju
sedimentasi yang tinggi. Sedangkan Agaricia,
sejenis
karang
dengan
kemampuan
memindahkan sedimen yang rendah, lebih
sering ditemui pada tempat dengan laju
sedimentasi yang rendah.
Walaupun keanekaragaman karang
yang tinggi dapat ditemui pada keadaan
tutupan karang yang rendah, berkurangnya
substrat bagi pertumbuhan karang biasanya
berkaitan dengan sedikitnya jenis karang yang
dapat ditemui. Pada paparan terumbu di
sepanjang pantai India, jumlah jenis karang
meningkat dari 4 menjadi 22 per 30 m2
seiring dengan berkurangnya tutupan pasir dan
'debris' karang dari 90% menjadi 15%
(MERGNER & SCHEER, 1974). LOYA
(1972) mengamati bahwa keanekaragaman
jenis karang tidak mempunyai kaitan sama
sekali dengan tutupan karang di Eilat, Israel.
DISTURBANSI BIOTIK
Efek disturbansi biotik melalui grazing' oleh hewan herbivor dan koralivor tidak
begitu terlihat apabila dibandingkan dengan
perubahan dramatis yang disebabkan oleh
disturbansi abiotik pada bagian atas terumbu.
Efek hewan herbivor pada terumbu sukar
dideteksi karena sedikitnya kontrol alamiah
pembanding untuk menunjukkan efek tersebut,
Efek ini baru terlihat apabila hewan herbivor
dicegah untuk melakukan 'grazing', baik oleh
sebab-sebab alamiah seperti misalnya
turbulensi maupun dicegah secara sengaja
dalam suatu percobaan, maka terlihat jelas
bahwa tanpa hewan herbivor, karang akan
ditumbuhi oleh algae dengan sangat cepat
yang pada akhirnya menyebabkan kematian
karang tersebut. Jenis hewan 'grazer' yang
dominan adalah bulu babi dan ikan khususnya
21
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ikan kakaktua (parrotfish, Scaridae). Dean dan
bulu babi herbivor memiliki efek langsung
pada algae dan efek tidak langsung pada
karang. Semua bulu babi dan ikan herbivor
terutama memakan algae; hanya beberapa
jenis
ikan
yang
memakan
karang
(RANDALL, 1974). Efek yang terlihat
biasanya adalah pengurangan biomasa
algae, meskipun algae umumnya memiliki
kemampuan untuk memproduksi kembali
biomasa yang berkurang tersebut. 'Grazing'
oleh bulu babi dapat menghasilkan efek
diversiflkasi pada komunitas algae seperti
yang dilaporkan oleh PAINE & VADAS
(1969). Di Virgin Islands, keanekaragaman
algae yang lebih tinggi ditemui pada
terumbu yang mengalami 'grazing', sedangkan
terumbu yang tidak mengalami 'grazing'
didominasi
oleh
satu
jenis
algae
(SAMMARCO dkk., 1974).
Hewan herbivor dapat pula mematikan
anakan karang muda yang baru saja
menempel pada substrat. BIRKELAND
(1977) dan BROCK (1979) mengamati
bahwa ikan-ikan herbivor menghindari
memakan koloni-koloni karang yang kecil
akan tetapi bulu babi tidak membedabedakan ukuran koloni karang, dan mereka
menghancurkan anakan karang pada saat
melakukan 'grazing' (SAMMARCO, 1980,
1982). Pada permukaan substrat dengan
sedikit tempat berlindung bagi anakan
karang, kelulus-hidupan karang tertinggi
ditemui pada kerapatan bulu babi yang
sedang/menengah.
Pada
keadaan
ini,
sejumlah algae yang dimakan oleh hewan
herbivor mengurangi kemampuan kompetisi
algae sehingga dengan demikian dapat
mencegah musnahnya karang, dan kerusakan
yang ditimbulkan oleh hewan herbivor dan
koralivor pada karang tidak cukup parah
untuk dapat memusnahkan seluruh karang.
Ikan betok laut (Pomacentride) yang
memiliki kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan 'kebun' algae yang tumbuh
di atas karang yang mati merupakan kasus
yang menarik untuk diamati. Jenis-jenis ikan
ini dapat membunuh karang dengan cara
merusak jaringan (tissue) karang yang hidup
(VINE, 1974), dan bahkan memiliki
kemampuan untuk 'menyiangi' kebun
algaenya untuk mengontrol komposisi jenis
algae yang tumbuh di kebun tersebut
(OGDEN & LOBEL, 1978). Jenis ikan ini
dapat menguasai bagian yang cukup luas
dari permukaan terumbu, sampai dengan
60% dari paparan terumbu (WELLINGTON,
1982), dan dapat memberikan efek yang
nyata terhadap komposisi jenis karang.
Mereka sangat aktif pada bagian atas
terumbu, mulai dari daerah dekat lapisan
permukaan sampai dengan kedalaman 12
meter dimana produktivitas algae sangat
tinggi (VINE, 1974). Mereka cenderung
mematikan jenis karang masif dari bagian
terumbu ini yang kemudian diikuti dengan
dominasi oleh jenis karang bercabang yang
mampu tumbuh dengan cepat (KAUFMAN,
1977,; WELLINGTON, 1982). Dengan
demikian jenis ikan ini dapat mengurangi
keanekaragaman pada daerah terumbu ini
dengan cara meningkatkan dominasi jenis
karang bercabang.
Beberapa jenis ikan pemakan karang
antara
lain
adalah
ikan
buntal
(Tetraodontidae), ikan pakol (Balistidae),
ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan
kupas-kupas (Monacanthidae) dan beberapa
ikan kakaktua berukuran besar (Scaridae)
(RANDALL, 1974). Beberapa jenis dari
ikan-ikan ini hanya merusak polip sehingga
memungkinkan karang untuk beregenerasi.
Ikan-ikan koralivor yang meremukkan dan
memakan skeleton karang terutama
memangsa jenis karang bercabang. Pada
bagian atas terumbu di dekat permukaan, ikan
koralivor dapat meningkatkan keanekaragaman dengan merusak jenis-jenis karang
bercabang secara selektif. Sedangkan pada
bagian terumbu di tempat yang lebih
22
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dalam dimana jenis karang bercabang lebih
sedikit, ikan koralivor dapat menurunkan
keanekaragaman. Hal ini berlawanan dengan
efek dari ikan betok laut (Pomacentridae)
pada karang seperti telah diuraikan di atas.
Hewan koralivor yang sangat
berpotensi menghancurkan terumbu adalah
'crown-of thorns' (Acanthaster planci) yang
dapat mengakibatkan penurunan keanekaragaman secara drastis. GLYNN (1976)
yang mengamati terumbu di pantai Samudera
Pasifik, Panama melaporkan bahwa
Acanthaster memangsa jenis-jenis karang yang
tidak bercabang yang terdapat dalam jumlah
tidak begitu banyak, dan menghindari jenis
Pocillopora yang terdapat dalam jumlah
melimpah. Jenis Pocillopora hidup
bersimbiose dengan sejenis krustasea yang
tidak disukai oleh Acanthaster. Pemangsaan
secara selektif dari jenis yang lebih jarang
ditemui menghasilkan penurunan secara nyata
keanekaragaman jenis, suatu efek yang
berlawanan dengan kematian yang tidak
tergantung pada kerapatan (density-independent mortality) atau dengan pemangsaan
selektif dari jenis yang paling melimpah
jumlahnya.
sedangkan gerakan sedimen memberi efek
paling besar di dekat permukaan meskipun
dapat pula mempengaruhi karang yang
terdapat pada kedalaman. Dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara disturbansi abiotik
dengan keanekaragaman jenis menunjukkan
konsistensi dengan hipotesis disturbansi
sedang/menengah.
Efek disturbansi biotik pada
keanekaragaman algae juga konsisten dengan
hipotesis disturbansi sedang/menengah.
Sedangkan efeknya terhadap keanekaragaman
karang lebih kompleks, karena efek yang
berlawanan dari hewan koralivor dan ikan
betok laut dari famili Pomacentridae yang
herbivor. Karena efek yang diperkirakan dan
hewan koralivor ternyata berlawanan dengan
efek yang diamati pada terumbu, diduga
mereka tidak mempunyai pengaruh yang dapat
mengontrol keanekaragaman jenis karang.
Diperlukan pengamatan dan penelitian lanjutan
mengenai efek interaksi dari hewan koralivor
dan jenis-jenis ikan betok laut dari famili
Pomacentridae.
KEPUSTAKAAN
AMUNDSON, D.C. and H.E. WRIGHT Jr.
1979. Ecol Monogr. 49: 1-16.
BIRKELAND, C. 1977. Proc. Third Int.
Coral Reef Symp. 1: 15-21.
BOTKIN, D.B. and M.J. SOBEL. 1975. Am.
Nat. 109: 625-646.
BROCK, R.E. 1979. Mar. Biol 51: 181-388.
CONNELL, J.H. 1978. Science 199: 13021309.
CONNELL, J.H. and R.O. SLAYTIER. 1977.
Am. Nat. 121: 789-824.
DITLEV, H. 1978. Mar. Biol 47: 29-39.
DODGE, R.E.; R.C.
ALLEN and
J.THOMPSON. 1974 Nature 247: 574577.
PENUTUP
Dari uraian mengenai efek disturbansi
pada keanekaragaman jenis karang, dapat
diturunkan beberapa catatan penutup sebagai
berikut:
Efek disturbansi fisik terkonsentrasi
pada perairan dangkal dan menurun dengan
kedalaman. Meskipun energi gelombang dapat
memberikan efek pada terumbu yang terdapat
di kedalaman pada waktu terjadi badai, efek
terbesar terjadi pada terumbu di dekat
permukaan. Padang surut memberi efek hanya
pada bagian karang yang paling dangkal,
23
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
FISHELSON, L. 1973. Mar. Biol. 19: 183196.
GLYN, P.W. 1973. Mar. Biol. 22: 1-21.
GLYNN, P.W. 1976. Ecol. Monogr. 46: 431456.
GOREAU, T.F. and N.I. GOREAU. 1973.
Bull Mar. Sci. 23: 399-464.
GRIGG, R.W. and J.E. MARAGOS. 1974.
Ecology 55: 387-395.
HOLBROOK, S.J. 1977. Am. Nat. I l l : 11951208.
HUBBARD, J.A.E.B. and Y.R. POCOCK.
1972. Geol. Rundschau 61: 598-626.
JONES, E.W. 1945. New Phytol. 44:130-148.
KARR, J.R. and K.E. FREEMARK. 1984.
In: PICKET, S.T.A. and P.S.
WHITE (eds) Natural disturbance:
the patch dynamic perspective,
Academic Press.
KAUFMAN, L. 1977. Proc. Third Int. Coral
Reef Symp. 1: 559-564.
LOYA, Y. 1972. Mar. Biol 13: 100-123.
LOYA, Y. 1976. Bull Mar. Sci. 26: 450-466.
MERGNER, H. and G. SCHEER. 1974.
Proc. Second Int. Coral Reef Symp. 2:
3-31.
OGDEN, J.C. and P.S. LOBEL. 1978.
Environ. Bull Fish. 3: 49-63.
PAINE, R.T. and R.L. VADAS. 1969. Limnol
Oceanogr. 14: 710-719.
RANDALL, J.E. 1974. Proc. Second Int.
Coral Reef Symp. 1: 159-166.
SAMMARCO, P.W. 1980. J. Exp. Mar. Biol.
Ecol 45: 245-272.
SAMMARCO, P.W. 1982. J. Exp. Mar.
Biol. Ecol. 61: 31-55.
SAMMARCO, P.W.; J.S. LEVINTON and
J.C. OGDEN. 1974. J. Mar. Res,
32: 47-53.
VINE, P.F. 1974. Mar. Biol. 24: 131-136.
WELLINGTON, G.M. 1982. Ecol Monogr.
52: 223-241.
WELLS, J.W. 1957. Mem. Geol. Soc. Am.
67: 609-631.
WHITE, P.S. 1979. Bot. Rev. 45: 229-299.
24
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
Download