36 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi Hasil pemeriksaan keadaan umum biawak ditemukan ektoparasit Aponomma sp. di sekujur tubuhnya. Hewan terlihat anemis dan ditemukan hematemesis, yaitu darah yang keluar dari rongga mulut. Pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan perubahan pada seluruh organ, namun perubahan paling mencolok ditemukan pada organ hati. Hati biawak terlihat membesar sehingga memenuhi rongga abdomen, berwarna pucat, dan dipenuhi oleh fokus-fokus radang berwarna putih dengan diameter bervariasi 0.1-2 cm. Fokus radang berbatas jelas dengan bidang sayatan kusam karena banyak jaringan nekrotik. Berdasarkan gambaran PA tersebut maka hati didiagnosa mengalami abses multifokal (Gambar 6). Abses tersebut juga ditemukan di ginjal dan limpa, namun dengan diameter yang lebih kecil. Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ biawak disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak Ambon Sistem Organ Respirasi Sirkulasi Digesti Urinaria Organ Trakea Paru-paru Jantung Limpa Lambung Usus Hati Peritoneum Ginjal Perubahan Hiperemia Kongesti Dilatasi ventrikel, kardiomiopati Splenitis dengan abses milier Gastritis kataralis Enteritis kataralis et nekrotikan Hepatitis nekrotikan,dipenuhi abses multifokal dengan ukuran 0.1-2 cm Ascites ± 1 ml Nefritis dengan abses milier Trakea dan paru-paru biawak berwarna kemerahan, dan ketika dilakukan pembukaan trakea hingga ke bronkus tidak ditemukan cairan atau busa. Sewaktu dilakukan uji apung hampir semua bagian paru-paru mengapung,sehingga paruparu didiagnosa hanya mengalami kongesti. Jantung biawak terdiri atas dua atrium dan satu ventrikel. Pada pemeriksaan jantung terlihat ruang ventrikel membesar dengan otot-otot jantung memucat. Gambaran jantung demikian dapat 37 didiagnosa mengalami dilatasi ventrikel dan kardiomiopati. Lambung biawak ditemukan kosong tidak berisi makanan namun dipenuhi oleh eksudat kataral dengan mukosa berwarna merah. Perubahan pada lambung tersebut mengindikasikan adanya gastritis kataralis. Mukosa usus dipenuhi eksudat kataralis bercampur darah, dan di beberapa lokasi terlihat mukosa mengalami pendarahan dan nekrotik, sedangkan di bagian kolon mengalami pendarahan. Berdasarkan gambaran PA tersebut makan usus didiagnosa mengalami enteritis hemoragis et nekrotikan dan kolitis hemoragika. Limpa dan ginjal hewan ini tampak membengkak dan pucat, ditemukan fokus-fokus nekrotik sama seperti di hati namun dengan diameter yang lebih kecil. Limpa dan ginjal didiagnosa menderita splenitis dan nefritis. Selain itu ditemukan cairan bening kemerahan di rongga abdomen sebanyak ± 1 ml, yang mengindikasikan biawak mengalami ascites. Gambar 6 Hati biawak ambon (V. indicus) yang dipenuhi oleh abses multifokal dengan diameter 0.1-2 cm. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi organ hati, struktur hati sulit dikenali karena parenkim dan interstitium hati mengalami kerusakan yang parah disebabkan oleh peradangan yang hebat. Hepatosit mengalami degenerasi lemak hebat dengan vakuola-vakuola besar dan banyak pula yang nekrosis bahkan lisis. Hati mengalami pendarahan dan kongesti, dan ditemukan trombus pada beberapa 38 kapiler hati. Fokus-fokus radang terdiri atas kumpulan sel-sel debri, sel radang limfosit, sel plasma, dan makrofag. Selain itu ditemukan pula sel raksasa tipe benda asing di tepi fokus radang. Di antara sel-sel radang dan sel debri ditemukan infeksi Entamoeba sp. (Gambar 7). Parasit ini tampak tersebar, berwarna ungu tua pada jaringan yang diwarnai dengan HE, dan hampir semuanya berinti tunggal. Menurut Fotedar et al. (2007), jika berinti tunggal maka parasit berada dalam fase tropozoit. Bentuk tropozoit juga ditemukan di dalam pembuluh vena yang lebih besar dan juga buluh empedu. Hepatosit biawak mengalami degenerasi lemak atau lipidosis hebat yaitu terakumulasinya lipid atau trigliserida pada sitoplasma hepatosit. Lipid tidak terwarnai dengan pewarnaan HE, sehingga tampak sitoplasma yang bervakuola. Degenerasi lemak umum ditemukan pada reptil di penangkaran karena terlalu banyak diberi pakan namun kurang exercise (Frye 1991). Menurut Frye (1991) serta Burrows & Tuboada (2010), degenerasi lemak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain obesitas, anoreksia dan stres. Adanya defek metabolik pada transpor lipid dan defisiensi faktor pembentuk lipoprotein juga menyebabkan terbentuknya degenerasi lemak. Gangguan fungsi hepatosit untuk mengoksidasi asam lemak akibat hipoksia, toksin, kegagalan sintesis apoprotein, kegagalan pembentukan dan sekresi lipoprotein dapat menyebabkan terakumulasinya trigliserida di hepatosit (Myers & McGavin, 2007). Berkurangnya metabolisme protein dan asam amino akibat kurangnya asupan protein menurunkan sintesis apoprotein sehingga tidak dapat mengikat lemak dan trigliserida yang terakumulasi di hepatosit (Burrows & Tuboada 2010; Turner et al. 2010). Selain itu produksi trigliserida yang melebihi produksi lipoprotein juga menyebabkan degenerasi lemak (Cheville 1999). Hipoksia hati dapat terjadi akibat obstruksi arteri hepatika atau vena porta (Cheville 1999). Hati biawak ini mengalami hipoksia karena adanya trombus di berbagai kapiler hati dan radang granuloma akibat infeksi Entamoeba sp.. Pada hepatosit yang rusak ditemukan pigmen yang berwarna hijau kecoklatan, yaitu pigmen empedu. Pigmen empedu terbentuk dari metabolisme hemoglobin melalui hemolisis lalu dimetabolisme menjadi biliverdin secara oksidatif oleh enzim heme oxygenase (Nakamura et al. 2006). Biliverdin adalah 39 pigmen empedu yang merupakan produk akhir dari katabolisme hemoglobin pada reptil. Akumulasi biliverdin menunjukkan adanya blokade sistem empedu di hati (Campbell 2004; Myers & McGavin 2007). Infeksi Entamoeba sp. menyebabkan kerusakan hepatosit sehingga tidak dapat melakukan metabolisme empedu (Cheville 1999). Pada biawak ini, adanya trombus pada buluh empedu menyebabkan gangguan aliran empedu. Berdasarkan temuan histopatologi hati didiagnosa mengalami hepatitis granulomatosa. Sel radang yang ditemukan di fokus radang selain sel raksasa tipe benda sing adalah heterofil, yang berfungsi sama dengan neutrofil pada mamalia. Heterofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bening, memiliki granul-granul berbentuk batang hingga oval dengan nukleus terletak di tepi sel (Kassab et al. 2009). Nukleus heterofil yang matang memiliki dua atau tiga lobus yang mengandung kromatin, sedangkan yang belum matang memiliki jumlah lobus lebih sedikit. Nukleus heterofil yang sudah matang berwarna biru muda pada kadal dan ungu pada spesies lain. Heterofil yang belum matang jarang ditemukan pada darah perifer reptil dan meningkat saat hewan mengalami inflamasi (Knotkova et al. 2002). Eosinofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bergranul dan nukleus bulat hingga oval dan berlobus (Kassab et al. 2009). Granul pada sitoplasma eosinofil lebih berbentuk bulat dari granul pada sitoplasma heterofil (Knotkova et al. 2002). Kadal memiliki eosinofil yang paling kecil di antara reptil lain (Oros et al. 2010). Makrofag berbentuk tidak teratur, memiliki nukleus di tengah sel dan berukuran lebih besar dari monosit. Makrofag berfungsi untuk memfagosit benda asing atau organisme dan jaringan nekrotik melalui enzim lisosim, protease dan lipase, serta memproduksi faktor koagulasi. Makrofag juga membantu penyembuhan jaringan dengan membentuk fibroblas yang berfungsi untuk memproduksi kolagen yang akan membentuk jaringan parut. Hasil pengamatan histopatologi ginjal tampak struktur parenkim dan intersitium yang jelas. Glomerulus mengalami edema dengan banyaknya protein yang mengendap di tepi-tepi kapiler dan di ruang Bowman (Gambar 8). Penyebab terjadinya edema adalah peningkatan permeabilitas vaskular, peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, penurunan tekanan osmotik protein plasma, dan penurunan drainase limfe. 40 Gambar 7 Struktur hati biawak yang rusak akibat infeksi Entamoeba sp. (panah hitam) dengan kumpulan sel debri (bintang), degenerasi lemak hepatosit (panah hijau) serta akumulasi pigmen empedu. Pewarnaan HE, bar 10 µm. Gambar 8 Edema glomerulus biawak yang dicirikan adanya endapan protein di tepi kapiler dan di ruang Bowman. Pewarnaan HE, bar 10 µm. 41 Tekanan hidrostatik intravaskular meningkat bila terjadi gangguan jantung yang lama kelamaan menyebabkan cairan keluar ke jaringan tubuh (Cheville 1999; Myers & McGavin 2007). Inflamasi mengakibatkan tekanan osmosis kapiler glomerulus meningkat sehingga cairan keluar dari kapiler dan menyebabkan edema di ruang Bowman. Peningkatan tekanan osmosis juga mengganggu proses filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan hipoksia sel-sel ginjal. Proses filtrasi di glomerulus yang terganggu menyebabkan ginjal tidak mampu untuk mengatur komposisi volume darah dan elektrolit. Selain itu, penyakit pada glomerulus merusak membran glomerulus sehingga protein dapat keluar ke ruang Bowman (Munson & Traister 2005). Tubulus biawak dijumpai banyak mengalami degenerasi dan nekrosa. Degenerasi tubulus berupa degenerasi hidropis yang ditandai dengan inti yang masih baik namun sitoplasma terlihat robek-robek. Degenerasi hidropis adalah pembesaran ukuran dan volume sel epitel yang terjadi karena masuknya cairan intraseluler akibat gagalnya sel untuk mempertahankan homeostasis, sehingga sitoplasma membesar dan bervakuola (Jones et al. 1997; Myers & McGavin 2007). Penyebab degenerasi hidropis yang paling penting adalah hipoksia (Myers & McGavin 2007). Pada keadaan hipoksia fungsi mitokondria terganggu sehingga ATP yang diperlukan untuk memompa natrium dan kalium tidak ada dan mekanisme tersebut gagal untuk mempertahankan tekanan osmosis di dalam sel. Cairan intraseluler meningkat karena transpor natrium ke luar sel meningkat. ATP yang berkurang juga menyebabkan penurunan sintesis protein sehingga membran sel dapat ditembus oleh air dan menyebabkan kebengkakan sel (Jones et al. 1997). Degenerasi hidropis merupakan tahap awal dari kematian sel namun masih bersifat reversible bila penyebabnya dihilangkan (Jones et al. 1997; Dancygier & Schirmacher 2010). Degenerasi hidropis dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya kerusakan hati akibat virus, radikal bebas, bahan kimia, iskemia, toksin bakteri atau tanaman, dan gangguan metabolisme (Frye 1991; Jones et al. 1997; Dancygier & Schirmacher 2010). Beberapa tubulus di sekitar fokus radang juga mengalami dilatasi. Tubulus dilatasi tersebut tersebar dan memiliki bentuk sederhana, yaitu diameter lumen meluas namun epitel masih terlihat normal. Tubulus yang berdilatasi disebabkan 42 oleh adanya peradangan di interstitium ginjal. Dilatasi tubulus dapat menyebabkan tubulus mengalami lisis, hipoksia dan kematian (Munson & Traister 2005). Ginjal biawak ini juga mengalami kongesti dan hemoragi pada interstitiumnya serta ditemukan fokus-fokus radang yang dikelilingi oleh banyak sel raksasa (Gambar 9). Banyaknya sel raksasa mengindikasikan fokus radang ini merupakan radang granuloma. Radang granuloma terbentuk jika agen terlalu besar atau tidak mampu didegradasi oleh makrofag (Zumla & James 1996). Selain kumpulan sel debri, fokus radang juga diinfiltrasi oleh sel limfosit, heterofil, makrofag dan terbanyak oleh sel plasma. Menurut Soldati et al. (2004), radang granuloma kronis ditandai oleh adanya limfosit, sel plasma dan sel raksasa di sekeliling lesionya. Sel raksasa adalah ciri lain dari granuloma selain adanya makrofag dan sel epiteloid (Spector & Spector 1993). Diantara sel-sel radang ditemukan infeksi Entamoeba sp. (Gambar 10). Pada radang granuloma, makrofag membentuk sel raksasa Langhans dan sel raksasa tipe benda asing. Sel raksasa Langhans memiliki nukleus di sekeliling tepi sel, sedangkan sel raksasa tipe benda asing memiliki nuklei-nuklei yang berkumpul di tengah sel (Jones et al. 1997). Sel ini ditemukan pada radang granuloma yang melibatkan lipid dalam jumlah besar. Sel raksasa dibentuk karena memiliki metabolisme yang lebih aktif dalam memproduksi enzim dan protein (Jones et al. 1997). Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi maka ginjal didiagnosa mengalami nefritis granulomatosa. Pada ginjal biawak ini ditemukan adanya ‘sexual segment’ karena banyak ditemukan tubulus yang hipertrofi dengan inti di tepi dan sitoplasma yang bergranul (Gambar 11). Dengan demikian dipastikan bahwa biawak ini berkelamin jantan. 43 Gambar 9. Radang granuloma pada ginjal biawak yang dicirikan oleh sel raksasa (bintang) yang mengelilingi lesio, dan disekitar lesio tampak beberapa tubulus berdilatasi (panah). Pewarnaan HE, bar 10 µm. Gambar 10 Entamoeba sp. (panah hitam) di tengah lesio yang dikelilingi sel raksasa (bintang) dan infiltrasi sel plasma pada organ ginjal. Tubulus di sekitar lesio radang mengalami degenerasi hidropis (panah merah). Pewarnaan HE, bar 10 µm. 44 Gambar 11 Perubahan histopatologi ginjal. Fokus radang dengan kumpulan sel debri (bintang hitam), infiltrasi sel heterofil (panah hitam), sel plasma serta infeksi Entamoeba sp. (panah biru). Tubulus dengan sitoplasma bergranul/sexual segment (bintang merah). Pewarnaan HE, bar 10 µm. Hasil pemeriksaan histopatologi limpa ditemukan deplesi folikel limfoid, peradangan pada pulpa putih dan kapsula limpa serta kongesti dan pendarahan di pulpa merah. Ditemukan juga lesio yang diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan dikelilingi oleh sel raksasa. Di antara pendarahan di pulpa merah, ditemukan infeksi Entamoeba sp.(Gambar 12). Entamoeba sp. ditemukan pula di dalam kapiler serta sinus-sinus limpa. Menurut Robertson & Newman (2006), infeksi protozoa dapat menimbulkan splenitis dan beberapa lesio pada limpa diantaranya nekrosa pulpa merah dan pulpa putih, deplesi folikel limfoid, hemoragi dan kongesti. Pada daerah pendarahan di pulpa merah banyak ditemukan endapan pigmen hemosiderin. Hemosiderin adalah pigmen yang berasal dari hemolisis eritrosit yang berlebihan. Hemosiderin terakumulasi di dalam makrofag akibat adanya kongesti pasif kronis dan mengindikasikan terjadinya anemia hemolitik (Jones et al. 1997). 45 Gambar 12 Infeksi Entamoeba sp. (panah) menyebabkan pendarahan dan nekrosa pulpa merah limpa. Pewarnaan HE, bar 10 µm. Gambar 13 Infeksi Entamoeba sp. pada mukosa usus menyebabkan enteritis hemoragis et nekrotikan. Pewarnaan HE, bar: 10 µm. 46 Entamoeba sp. mampu memfagosit dan meliliskan eritrosit dengan lisosom dan amoebapora, lalu terbentuk vakuola di sitoplasmanya (Lejeune & Gicquaud 1992; Ghosh et al. 1999). Sebuah penelitian tentang fagositosis eritrosit telah dilakukan pada E. invadens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82% tropozoit amoeba tersebut mampu memfagosit eritrosit dengan rata-rata 5.5 eritrosit per amoeba, dan setelah 15 jam eritrosit tersebut tidak ditemukan lagi pada sitoplasma amoeba (Ramírez-Córdova et al. 1990). Kemampuan Entamoeba sp. melisiskan eritrosit menyebabkan hemolisis eritrosit terjadi secara berlebihan sehingga mudah ditemukan pigmen coklat atau hemosiderin pada limpa. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi maka limpa didiagnosa mengalami splenitis granulomatosa. Hasil pemeriksaan histopatologis usus menunjukkan usus mengalami peradangan hebat. Sebagian besar vili usus rusak dengan deskuamasi epitel penutup, vili memendek, ditemukan infiltrasi sel radang pada bagian mukosa hingga serosa usus. Sel radang terdiri atas limfosit, heterofil, makrofag dan eosinofil. Selain itu mukosa hingga serosa usus mengalami kongesti, hiperemi, hemoragi dan edema.Di beberapa bagian usus juga ditemukan ulkus. Entamoeba sp. banyak ditemukan di semua bagian usus mulai dari mukosa, submukosa hingga ke serosa (Gambar 13). Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ biawak secara keseluruhan dirangkum dan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Biawak Sistem Organ Respirasi Sirkulasi Digesti Urinaria Organ Paru-paru Jantung Limpa Usus Hati Ginjal Perubahan Kongesti dan edema pulmonum Degenerasi miokard Splenitis granulomatosa Enteritis hemoragi et nekrotikan Hepatitis granulomatosa Nefritis granulomatosa Menurut Frye (1991) dan Chia et al. (2009), tropozoit amoeba dapat menginfeksi submukosa dan muskularis mukosa sehingga mengakibatkan enteritis granulomatosa, erosi mukosa dan inflamasi usus. Peradangan akibat infeksi amoeba menyebabkan dinding usus menebal dan nekrosa. Tropozoit memiliki 47 kemampuan melisiskan sel epitel dan mukosa saluran pencernaan karena menghasilkan enzim proteolitik dan amoebapora (Chia et al. 2009). Dengan enzim ini amoeba dapat menyebabkan perforasi usus sehingga usus mengalami inflamasi akut. Adanya perforasi usus mengundang infeksi bakteri sekunder sehingga kesehatan hewan terus menurun (Barnett 2003; Richter et al. 2008). Pada kasus biawak ini, usus didiagnosa mengalami enteritis hemoragis et nekrotikan. Amoeba bermigrasi ke dinding kolon dan menyebabkan inflamasi lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sirkulasi portal. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya amoeba di pembuluh darah di hati, dan hati mengalami kerusakan paling parah karena ditemukan banyak sekali tropozoit. Amoeba juga dapat bermigrasi ke hati melalui saluran empedu (Chia et al. 2009). Menurut Barnett (2003) dan Richter et al. (2008), Entamoeba sp. bermigrasi pertama kali ke hati dan menyebabkan nekrosa dan abses multifokal, lalu ke organ-organ lain yaitu ginjal, paru, jantung dan otak. Oleh karena itu, hati mengalami perubahan patologis yang paling hebat dibandingkan ginjal dan limpa. Entamoeba sp. dapat bermigrasi ke ginjal karena biawak memiliki sistem renal portal yaitu rute aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung. Parasit ini juga ditemukan di kapiler dan sinus-sinus limpa yang mengindikasikan penyebarannya melalui aliran darah (hematogen). Patogenesa amoebiasis dipengaruhi banyak faktor yaitu infeksi tropozoit, kegagalan banyak organ karena banyak sel yang rusak serta infeksi bakteri sekunder (Wilson 2010). Abses pada hati menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Fotedar et al. 2007). Pada pemeriksaan histopatologi jantung ditemukan degenerasi otot yang terlihat dari inti yang mengecil dan sitoplasma yang lebih merah. Pada organ paruparu ditemukan kelainan berupa kongesti, hemoragi serta edema pada parabronchus. Kematian pada biawak ini terjadi akibat infeksi Entamoeba sp. yang menyebabkan nekrosa pada usus, hati, ginjal, dan limpa. Nekrosa pada hati biawak ini bersifat kronis sehingga menyebabkan kegagalan multiorgan dan mengakibatkan kematian (Frye 1991). Radang granuloma akibat infeksi tropozoit Entamoeba sp. pada biawak ini menyebabkan sirkulasi intrahepatik maupun sirkulasi porta tidak lancar sehingga 48 menyebabkan kongesti vena porta. Kongesti yang kronis menyebabkan permeabilitas pembuluh darah rusak, sehingga plasma darah keluar dan menggenangi rongga abdomen. Infeksi Entamoeba sp. juga menyebabkan kerusakan hepatosit hebat. Kerusakan yang hebat ini mengurangi kemampuan hati untuk mensintesa protein, termasuk protein plasma. Akibatnya hewan mengalami hipoproteinemia. Rendahnya kadar protein dalam darah menyebabkan darah cair sehingga plasma mudah lolos dan membentuk ascites (Munson & Traister 2005). Adanya trombus dan peradangan di hati dan ginjal yang terbentuk akibat infeksi Entamoeba sp. menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk mengalirkan darah ke organ-organ tersebut. Peningkatan kerja dari jantung menyebabkan dinding miokardium mengalami hipertrofi. Hipertrofi jantung adalah peningkatan ukuran pada serat otot jantung. Otot jantung yang hipertrofi lama kelamaan mengalami kelelahan dan akhirnya menjadi dilatasi (Myers & McGavin 2007). Dilatasi otot jantung yang terlalu lama menyebabkan kelelahan otot jantung yang akhirnya jantung berhenti berkontraksi, sehingga atria mortis biawak Ambon ini disebabkan oleh gagal jantung. Causa mortis biawak ini diduga disebabkan oleh gagal fungsi hati serta infeksi usus akibat infeksi Entamoeba sp.