1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengobatan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan
obat modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi
penyakit atau gejala penyakit. Masyarakat melakukan swamedikasi karena
berdasarkan pemikiran bahwa dengan melakukan pengobatan sendiri sudah cukup
untuk mengatasi gejala penyakit tanpa melibatkan tenaga medis (Hermawati,
2012)
Prevalensi swamedikasi cenderung mengalami peningkatan di kalangan
masyarakat untuk mengatasi gejala atau penyakit yang dianggap ringan (Widayati,
2013). Salah satu penyakit ringan yang bisa diatasi dengan swamedikasi adalah
penyakit maag. Penyakit maag atau gastritis adalah radang pada selaput lendir
lambung yang dapat disertai tukak lambung usus 12 jari atau tanpa tukak. Mukosa
lambung menghasilkan asam dan enzim yang berfungsi untuk membantu dalam
proses pencernaan makanan, dan lendir yang berfungsi untuk melindungi lapisan
perut dari asam. Ketika mukosa lambung meradang maka produksi asam, enzim
dan lendir akan berkurang sehingga menyebabkan keluhan-keluhan(Liou,etal.,
2008). Penyakit maag dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain makanan
dan minuman yang merangsang diproduksinya asam lambung lebih banyak
misalnya makanan pedas, asam dan alkohol, penggunaan obat-obatan tertentu
dalam jangka panjang, dan jadwal makan yang tidak teratur (Djunarko &
Yosephine, 2011)
Swamedikasi pada penyakit maag diperlukan ketepatan dalam pemilihan
obat juga ketepatan dalam dosis pemberian. Selain itu sedapat mungkin harus
memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional. Namun dalam prakteknya
kesalahan penggunaan obat dalam swamedikasi masih sering terjadi terutama
ketidaktepatan pemilihan obat dan dosis pemberian obat. Jika kesalahantersebut
terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan
memberikan dampak yang buruk pada kesehatan (Hermawati, 2012)
1
2
Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini dilakukan dengan tujuan
menganalisis ketepatan swamedikasi pada penyakit maag. Penelitian ini dilakukan
di Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan kota kecil dan berkembang
dengan masyarakatnya melakukan swamedikasi untuk mengatasi penyakit dengan
gejala yang ringan seperti penyakit maag. Oleh karena itu, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang ketepatan swamedikasi pada
penyakit maag di Kabupaten Pacitan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan
rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana ketepatan swamedikasi pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten
Pacitan?
2. Bagaimana hubungan pengetahuan dengan ketepatan tindakan swamedikasi
penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan?
3. Bagaimana hubungan tindakan swamedikasi penyakit maag dengan kerasionalan
pada swamedikasi penyakit maag?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ketepatan swamedikasi pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten
Pacitan.
2. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan ketepatan tindakan swamedikasi
penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan.
3. Mengetahui hubungan tindakan swamedikasi penyakit maag dengan kerasionalan
swamedikasi penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan.
3
D. Tinjauan Pustaka
1. Swamedikasi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan
obat modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi
penyakit atau gejala penyakit (Hermawati, 2012). Swamedikasi juga didefinisikan
sebagai penggunaan obat oleh pasien atas keinginan sendiri tanpa konsultasi
petugas medis. Swamedikasi harus dilakukan dengan tepat dan terkontrol karena
banyak permasalahan terkait swamedikasi seperti meningkatnya angka resistensi
pada penggunaan antibotik (Verma, 2010).Masyarakat melakukan swamedikasi
karena berdasarkan pemikiran bahwa dengan melakukan pengobatan sendiri
sudah cukup untuk mengatasi gejala penyakit tanpa melibatkan tenaga medis
(Hermawati, 2012). Sedangkan menurut The International Pharmaceutical
Federation (FIP) swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan penggunaan
obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri tanpa
konsultasi dari petugas medis (Nita et.al, 2008).
Persentase
swamedikasi
di
Indonesia
masih
jauh
lebih
rendah
dibandingkan dengan swamedikasi di negara lain seperti Amerika Serikat yang
mencapai angka 73%. Angka ini bahkan cenderung akan semakin meningkat
karena enam dari sepuluh orang di Amerika mengatakan bahwa mereka akan
melakukan swamedikasi di masa yang akan datang (Hermawati, 2012). Dalam
fenomena swamedikasi, peresepan sendiri (termasuk pembelian obat tanpa resep)
ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perkembangan teknologi informasi,
dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat menjadi lebih mudah
dalam mengakses informasi, termasuk di dalamnya informasi mengenai
kesehatan. Masyarakat jadi lebih terbuka dengan adanya informasi di Internet
mengenai pengobatan, termasuk juga pengobatan alternatif. Masyarakat jadi lebih
berani untuk melakukan pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya
berdasarkan aneka informasi yang didapatkan melalui internet (Kartajaya, et al.,
2011).
Swamedikasi yang dilakukan secara tidak tepat dapat menimbulkan
kesalahan dalam penggunaan maupun pemilihan obat serta kurangnya kontrol
4
pada pelaksanaannya. Selain itu swamedikasi yang tidak tepat juga berdampak
buruk bagi kesehatan seperti reaksi obat yang tidak di inginkan, perpanjangan
masa sakit, reaksi kontraindikasi, dan ketergantungan obat (Hermawati, 2012).
a. Swamedikasi pada penyakit maag
Selain dengan obat, penderita maag juga harus memperhatikan cara untuk
mencegah maag tersebut kambuh kembali. Tindakan yang dapat meringankan
atau mencegah penyakit maag kambuh kembali diantaranya :
1) Membiasakan makan makanan sehat dengan jadwal teratur.
2) Makan sedikit, tetapi sering.
3) Berhenti merokok, mengurangi kopi, teh, alkohol, makanan pedas, dan asam
(Djunarko & Yosephine, 2011).
Keteraturan makan berkaitan dengan waktu makan setiap hari.Secara
alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari
mulut sampai usus halus. Jika rata-rata lambung kosong antara 3-4 jam, maka
jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Selain itu,
Frekuensi makan juga berpengaruh terhadap pasien penderita maag. Frekuensi
makan merupakan intensitas makan dalam sehari yang meliputi makanan lengkap
(full meat) dan makanan selingan (snack). Bila frekuensi makan sehari-hari
semakin kecil, tidak memenuhi makanan lengkap dan makanan selingan maka
akan rentan untuk terkena penyakit maag. Hal ini disebabkan perut dibiarkan
kosong selama lebih dari tiga jam, sehingga asam lambung pun semakin banyak
diproduksi oleh lambung(Rahma, Dkk., 2012).
Jenis makanan merupakan variasi dari beberapa komponen makanan, jenis
makanan yang dimaksudkan adalah jenis makanan yang berisiko untuk penderita
gastritis yang dikonsumsi selama ini. Beberapa jenis makanan tersebut berupa
makanan yang mengandung gas (sawi, kol, kedondong), makanan yang bersantan,
makanan yang pedas, asam, dan lain-lain. Mengonsumsi makanan berisiko, salah
satunya makanan yang pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Bila kebiasaan
mengonsumsi makanan tersebut lebih dari satu kali dalam seminggu dan dibiarkan
5
terus-menerus akan menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan
gastritis (Rahma, Dkk., 2012).
Selain dengan pola hidup yang teratur, sakit maag pada awalnya diobati
secara simtomatik dengan pemberian obatyang menetralisasi atau menghambat
produksi asam lambung berlebihan(jenis antasida) atau obat penghambat produksi
asam yang memperbaikimotilitas usus (sistem gerakan usus). Apabila setelah dua
minggu obat tidakmemberikan reaksi yang berarti, dokter akan memeriksa dengan
bantuanperalatan khusus seperti USG, endoskopi, dll (Depkes RI, 2006).
Obat antasida adalah basa lemah yang digunakan untuk mengikat secara
kimiawi dan menetralkan asam lambung. Efeknya adalah peningkatan PH yang
mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis dari pepsin. Obat ini mampu
mengurangi rasa nyeri di lambung dengan cepat. Efeknya bertahan 20-60 menit
bila diminum dalam keadaan perut kosong dan sampai 3 jam apabila diminum 1
jam setelah makan (Tjay & Rahardja, 2007).
Obat maag golongan antasida banyak sekali beredar di pasaran obatobatan yang mengandung bahan aktif Al(OH)3 dan Mg(OH)2, atau dengan bahan
tambahan lain seperti dimetilpolisiloksan dan simetikon yang berfungsi untuk
mengurangi gas yang membuat rasa sebah di perut. Aturan dan cara pemakaian
obat-obat tersebut sangat penting untuk menghindari pemakaian obat berlebih
(Djunarko & Yosephine, 2011).
Penggunaan tablet antasida yang mengandung 200 mg Al(OH)3 dan
Mg(OH)2 aturan pakainya adalah 1-2 tablet, 3-4 kali sehari (untuk dewasa).
Apabila mengonsumsi obat lain selain antasida, sebaiknya diberikan jarak
minimal satu jam atau bisa dengan memberi jarak penggunaan sebelum dan
sesudah makan (Djunarko & Yosephine, 2011).
b. Cara Penggunaan Obat yang Benar
Dalam swamedikasi, pengetahuan tentang obat yang harus digunakan pada
kondisi tertentu merupakan salah satu faktor yang penting. Selain itu pengetahuan
tentang cara penggunaan obat yang benar dan aman juga tidak kalah penting. Di
pasaran obat-obatan yang dipakai dalam swanedikasi tersedia dalam berbagai
bentuk diantaranya tablet, sirup, krim, salep, tetes mata, dll. Untuk obat maag,
6
biasanya berbentuk tablet, serbuk atau suspensi. Setiap bentuk sediaan memiliki
cara pemakaian yang berbeda-beda (Djunarko & Yosephine, 2011).
Salah satu contoh sediaan obat maag adalah tablet. Sediaan dalam bentuk
tablet merupakan salah satu bentuk sediaan yang paling banyak dijumpai dan
sering digunakan oleh konsumen dalam praktik swamedikasi. Penggunaannya
sangat sederhana, yaitu dengan cara meminum. Namun, pada beberapa jenis obat
seperti obat maag (antasida) tablet harus dikunyah terlebih dahulu baru kemudian
ditelan (Djunarko & Yosephine, 2011).
c. Waktu minum obat
Obat memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang lebih mudah
diserap apabila perut dalam keadaan kosong, ada yang harus makan terlebih
dahulu sebelum mengonsumsi obat, ada yang berinteraksi dengan makanan, dan
ada yang penyerapannya paling baik jika diminum di sela-sela makan.Pengertian
minum obat sebelum dan sesudah makan bukanlah sesaat sebelum dan sesudah
makan. Sebelum berarti setengah atau satu jam sebelum makan dan sesudah
berarti dalam jangka waktu dua jam setelah makan. Sedangkan untuk obat yang
digunakan di sela-sela makan dengan cara makan beberapa suap, diselingi minum
obat, kemudian baru dilanjutkan makan kembali (Djunarko & Yosephine, 2011).
Obat maag golongan antasida merupakan salah satu pilihan yang
digunakan dalam swamedikasi penyakit maag. Pada beberapa pasien, antasida
dianjurkan diminum sesuai dengan informasi pada leaflet yaitu sebelum makan.
Namun, antasida yang digunakan dalam keadaan perut kosong lebih efektif karena
akan
mempercepat
pengosongan
dalam
duodenum,
maka
dianjurkan
menggunakan antasida 1 – 1,5 jam setelah makan atau sebelum tidur (Tomina, et
al., 2014)
2. Pola Kerasionalan Obat
Dalam swamedikasi diperlukan ketepatan dalam pemilihan obat dan dosis
pemberian. Selain itu dalam swamedikasi harus memenuhi kriteria penggunaan
obat yang rasional (Hermawati, 2012). Penggunaan obat bebas dan obat bebas
terbatas yang sesuai dengan aturan dan kondisi pasien penderita akan mendukung
7
upaya penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat terdiri dari
beberapa aspek, diantaranya :
a. Tepat obat, yaitu pemilihan obat dengan mempertimbangkan beberapa faktor
seperti efektifitas, keamanan, mudah, dan murah.
b. Tepat indikasi, yaitu pengobatan harus sesuai dengan dengan keluhan pasien.
c. Tepat dosis, yaitu takaran obat harus sesuai dengan umur maupun kondisi
pasien.
d. Waspada efek samping dan interaksi dengan obat lain dan makanan, serta ada
atau tidaknya polifarmasi dalam pengobatan
(Cipolle, et al., 1998)
3. Penyakit Maag (Gastritis)
Penyakit maag atau gastritis adalah radang pada selaput lendir lambung
yang dapat disertai tukak lambung usus 12 jari atau tanpa tukak (Lee, et al.,
2008). Gastritis didefinisikan berdasarkan pemeriksaan histologi pada biopsi
mukosa lambung. Adanya infeksi Helicobacter Pylori yang berkaitan dengan
tukak peptik dan kanker lambung menyebabkan kinerja yang berat pada mukosa
lambung (Nordenstedt, et al., 2013). Mukosa lambung yang sering atau dalam
waktu lama bersentuhan dengan aliran balik pada getah duodenum yang bersifat
alkalis akan memungkinkan terjadi peradangan. Hal ini disebabkan karena
mekanisme penutupan pylorus tidak bekerja dengan sempurna sehingga terjadi
refluks tersebut. Mukosa lambung dikikis oleh garam-garam empedu dan
lysolesitin. Akibatnya akan timbul luka-luka mikro sehingga getah lambung akan
meresap ke jaringan dalam dan menyebabkan keluhan-keluhan (Tjay & Rahardja,
2007).
Gejala gejala umum pada penyakit maag umumnya tidak ada atau kurang
nyata, namun kadangkala dapat berupa gangguan pencernaan seperti indigesti dan
dispepsia, nyeri lambung dan muntah-muntah akibat erosi kecil pada selaput
lendir, bahkan ada juga yang mengalami pendarahan (Tjay & Rahardja, 2007).
Penyakit maag atau gastritis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut merupakan inflamasi akut mukosa
lambung yang sebagian besar merupakan penyakit ringan dan dapat sembuh
8
sempurna. Manifestasi klinis dari gastritis akut yang dapat berbentuk penyakit
berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik (Fakultas kedokteran, 2011).
Jenis gastritis yang kedua adalah gastritis kronik. Gastritis kronik merupakan
infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria dan daerah intra epietal.
Gastritis kronik biasanya disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling sering
menyebabkan gastritis kronik adalah Helicobacter pylor (Fakultas kedokteran,
2011). Adanya infeksi Helicobacter pylori ini semakin meningkat karena
beberapa faktor diantaranya status sosial yang rendah, sanitasi yang buruk dan air
yang kotor (Konturek, 2006).
4. Obat yang Digunakan untuk Terapi pada Penyakit Maag (Gastritis)
Tujuan pengobatan maag adalah mengurangi gejalaatau menghilangkan
gejala yang dirasakan, menurunkan frekuensi kekambuhan dan durasi refluks
gastroesofagus, mengobati mukosa yang terluka, dan mencegah adanya
komplikasi. Pengobatan pada penyakit maag dikelompokkan menjadi beberapa
bagian diantaranya antasida, antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton
(Dipiro, et al., 2008).
a. Antasida
Antasida adalah senyawa yang memiliki kemampuan menetralkan asam
lambung atau mengikatnya. Manfaat dari antasida adalah mengobati saluran
cerna. Antasida dapat juga meringankan gejala-gejala yang muncul pada penyakit
dispepsia tukak maupun non tukak, serta pada penyakit gastroesofageal tanpa
erosi (Depkes RI, 2008).
Antasida sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan obat lain karena
dapat menggangu absorpsi dari obat lain. Selain itu antasida juga dapat merusak
salut enterik yang dirancang untuk pelarutan obat dalam lambung (Depkes RI,
2008).
Ada beberapa penggolongan antasida, diantaranya :
1) Antasida dengan kandungan alumunium dan magnesium.
Antasida yang mengandung magnesium atau alumunium yang relatif tidak
larut dalam air cenderung bekerja lebih lama bila berada di dalam lambung
sehingga sebagian besar tujuan dari pemberian antasida tercapai (Depkes RI,
9
2008). Antasida dengan kandungan alumunium dan magnesium dapat mengurangi
efek samping pada penggunaan obat jika obat digunakan sendiri-sendiri (Depkes
RI, 2008).
2) Antasida dengan kandungan natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat adalah antasida yang larut dalam air dan dapat bekerja
dengan cepat. Namun jika digunakan dalam dosis yang berlebih akan
menyebabkan alkalosis. Terlepasnya karbondioksida pada antasida yang
mengandung karbonat dapat menyebabkan sendawa. Pemberian natrium
bikarbonat dan sediaan antasida yang mengandung natrium yang tinggi tidak
dianjurkan untuk pasien yang sedang diet rendah garam (Depkes RI, 2008).
3) Antasida dengan kandungan bismut dan kalsium
Antasida dengan kandungan bismut (kecuali kelat) sebaiknya dihindari
karena bismut yang terabsorpsi bersifat ensefalopati dan dapat menyebabkan
konstipasi. Selain itu antasida yang mengandung kalsium dapat menginduksi asam
lambung (Depkes RI, 2008).
4) Antasida dengan kandungan simetikon
Simetikon dikombinasikan dengan antasida berfungsi sebagai antibuih
untuk meringankan kembung. Pada perawatan paliatif dapat menyebabkan
cegukan (Depkes RI,2008).
b. Antagonis reseptor H2
Antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan
cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat dari penghambatan reseptor
histamin-H2 (Ioni, 2008). Terapi antagonis reseptor -H2 dapat membantu proses
penyembuhan tukak yang disebabkan oleh AINS terutama duodenum (Depkes RI,
2008). Penggunaan antagonis reseptor H2 pada hematemesis dan melena tidak
memberikan manfaat, namun pada penggunaan profilaksis dapat mengurangi
frekuensi pendarahan dan erosi gastroendoduodenum (Depkes RI,2008).
c. Penghambat pompa proton
Omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dan rabeprazol
merupakan penghambat pompa proton yang menghambat sekresi asam lambung
dengan
cara
menghambat
sistem
enzim
adenosin
trifosfatehidrogen-
10
kalium(pompa proton) dari sel parietal lambung. Pompa proton efektif untuk
pengobatan jangka pendek pada tukak lambung dan duodenum. Selain itu juga
dapat digunakan dengan kombinasi antibiotik untuk pengobatan dengan infeksi
Helicobacter pylori (Depkes RI, 2008)
Efek samping penghambat pompa proton meliputi gangguan saluran cerna
seperti mual, muntah, nyeri lambung, kembung, diare, dan konstipasi. Efek
samping yang jarang terjadi diantaranya mulut kering, insomnia, mengantung,
malaise, penglihatan kabur, ruam kulit, dan pruritus. Sedangkan efek samping
yang sangat jarang terjadi adalah gangguan pengecapan, disfungsi hati, udem
perifer, reaksi hipersensitivitas, demam, berkeringat, dan depresi (Depkes RI,
2008).
5.
Obat yang Rasional untuk Swamedikasi Penyakit Maag
Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Dalam
penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu
agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error).Apoteker sebagai salah
satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberiinformasi
(drug informer)khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif
aman digunakan untuk pengobatan sendiri (Depkes RI, 2007).
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter.Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran
hijau dengan garis tepi berwarna hitam, sedangkan obat bebas terbatas adalah obat
yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas
tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan.Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam (Depkes RI, 2007).
Obat yang digunakan untuk swamedikasi penyakit maag merupakan obat
bebas dan obat bebas terbatas yang bisa didapatkan tanpa menggunakan resep
dokter, yaitu golongan antasida.
11
a. Kegunaan obat
Semua obat antasida mempunyai fungsi untuk mengurangi gejala yang
berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, gastritis, tukak
usus dua belas jari, dengan gejala seperti mual, nyeri lambung, nyeri ulu hati dan
perasaan penuh pada lambung.
b. Bentuk sediaan dan aturan pemakaian
1) Tablet kombinasi yang mengandung:
Aluminium hidroksida 250 mg
Magnesium hidroksida 250 mg
Dimetilpoliksilosan 50 mg
Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, diminum 2 jam setelah makan atau
sebelum tidur, dan saat gejala timbul.
2) Tablet kombinasi yang mengandung:
Magnesium trisilikat 250 mg
Aluminium hidroksida 250 mg
Simetikon
50 mg
Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam)
3) Tablet kunyah yang mengandung:
Aluminium hidroksida 30 mg
Magnesium hidroksida 300 mg
Simetikon
30 mg
Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam)
dan sebelum tidur.
Perhatian : Tablet harus dikunyah.
4) Larutan yang mengandung:
Aluminium hidroksida 30 mg
Magnesium hidroksida 300 mg
Simetikon
Dosis :
30 mg
Dewasa : 1 – 2 sendok takar (5 ml), 3 – 4 kali sehari
(setiap 6 – 8 jam) dan sebelum tidur
12
5) Tablet kunyah yang mengandung:
Aluminium hidroksida 200 mg
Magnesium hidroksida 200 mg
Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam).
Perhatian : Tablet harus dikunyah
(Depkes RI, 2007)
E. Keterangan Empiris
Penyakit maag merupakan penyakit ringan yang sering diderita oleh
masyarakat Kabupaten Pacitan. Sebagian besar masyarakat memilih untuk
melakukan pengobatan sendiri untuk mengatasi penyakit yang dianggap ringan
seperti penyakit maag. Tentunya dalam swamedikasi diperlukan ketepatan dalam
pengobatan.
Menurut Lestari (2014), penelitian yang dilakukan pada mahasiswa bidang
kesehatan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menunjukkan rata-rata
nilai tingkat pengetahuan pada mahasiswa bidang kesehatan di UMS memiliki
tingkat pengetahuan dalam kategori baik sebesar 7,45 ± 0,99, rata-rata nilai
ketepatan tindakan swamedikasi dalam kategori cukup sebesar 6,49 ± 1,72 dan
kerasionalan penggunaan obat maag sebesar 77,59% yaitu sebanyak 270
responden dari 348 responden rasional dalam memilih obat maag. Data yang telah
diperoleh dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada responden
mahasiswa, penelitian ini dilakukan pada respondenyang merupakan masyarakat
umum dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.Dilihat dari segi sasaran
penelitian, hasil yang didapatkan tentunya memberikan gambaran yang berbeda
dari penelitian sebelumnya, sehingga data yang telah didapatkan dari penelitian
sebelumnya dapat dijadikan perbandingan pada penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran ketepatan
swamedikasi pada penyakit maag meliputi ketepatan tindakan swamedikasi,
ketepatan penggunaan obat, tingkat pengetahuan dan kerasionalan penggunaan
obat pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan.
Download