1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. Masyarakat melakukan swamedikasi karena berdasarkan pemikiran bahwa dengan melakukan pengobatan sendiri sudah cukup untuk mengatasi gejala penyakit tanpa melibatkan tenaga medis (Hermawati, 2012) Prevalensi swamedikasi cenderung mengalami peningkatan di kalangan masyarakat untuk mengatasi gejala atau penyakit yang dianggap ringan (Widayati, 2013). Salah satu penyakit ringan yang bisa diatasi dengan swamedikasi adalah penyakit maag. Penyakit maag atau gastritis adalah radang pada selaput lendir lambung yang dapat disertai tukak lambung usus 12 jari atau tanpa tukak. Mukosa lambung menghasilkan asam dan enzim yang berfungsi untuk membantu dalam proses pencernaan makanan, dan lendir yang berfungsi untuk melindungi lapisan perut dari asam. Ketika mukosa lambung meradang maka produksi asam, enzim dan lendir akan berkurang sehingga menyebabkan keluhan-keluhan(Liou,etal., 2008). Penyakit maag dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain makanan dan minuman yang merangsang diproduksinya asam lambung lebih banyak misalnya makanan pedas, asam dan alkohol, penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka panjang, dan jadwal makan yang tidak teratur (Djunarko & Yosephine, 2011) Swamedikasi pada penyakit maag diperlukan ketepatan dalam pemilihan obat juga ketepatan dalam dosis pemberian. Selain itu sedapat mungkin harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional. Namun dalam prakteknya kesalahan penggunaan obat dalam swamedikasi masih sering terjadi terutama ketidaktepatan pemilihan obat dan dosis pemberian obat. Jika kesalahantersebut terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan memberikan dampak yang buruk pada kesehatan (Hermawati, 2012) 1 2 Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis ketepatan swamedikasi pada penyakit maag. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan kota kecil dan berkembang dengan masyarakatnya melakukan swamedikasi untuk mengatasi penyakit dengan gejala yang ringan seperti penyakit maag. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang ketepatan swamedikasi pada penyakit maag di Kabupaten Pacitan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana ketepatan swamedikasi pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan? 2. Bagaimana hubungan pengetahuan dengan ketepatan tindakan swamedikasi penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan? 3. Bagaimana hubungan tindakan swamedikasi penyakit maag dengan kerasionalan pada swamedikasi penyakit maag? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui ketepatan swamedikasi pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan. 2. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan ketepatan tindakan swamedikasi penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan. 3. Mengetahui hubungan tindakan swamedikasi penyakit maag dengan kerasionalan swamedikasi penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan. 3 D. Tinjauan Pustaka 1. Swamedikasi Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (Hermawati, 2012). Swamedikasi juga didefinisikan sebagai penggunaan obat oleh pasien atas keinginan sendiri tanpa konsultasi petugas medis. Swamedikasi harus dilakukan dengan tepat dan terkontrol karena banyak permasalahan terkait swamedikasi seperti meningkatnya angka resistensi pada penggunaan antibotik (Verma, 2010).Masyarakat melakukan swamedikasi karena berdasarkan pemikiran bahwa dengan melakukan pengobatan sendiri sudah cukup untuk mengatasi gejala penyakit tanpa melibatkan tenaga medis (Hermawati, 2012). Sedangkan menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri tanpa konsultasi dari petugas medis (Nita et.al, 2008). Persentase swamedikasi di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan swamedikasi di negara lain seperti Amerika Serikat yang mencapai angka 73%. Angka ini bahkan cenderung akan semakin meningkat karena enam dari sepuluh orang di Amerika mengatakan bahwa mereka akan melakukan swamedikasi di masa yang akan datang (Hermawati, 2012). Dalam fenomena swamedikasi, peresepan sendiri (termasuk pembelian obat tanpa resep) ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perkembangan teknologi informasi, dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat menjadi lebih mudah dalam mengakses informasi, termasuk di dalamnya informasi mengenai kesehatan. Masyarakat jadi lebih terbuka dengan adanya informasi di Internet mengenai pengobatan, termasuk juga pengobatan alternatif. Masyarakat jadi lebih berani untuk melakukan pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya berdasarkan aneka informasi yang didapatkan melalui internet (Kartajaya, et al., 2011). Swamedikasi yang dilakukan secara tidak tepat dapat menimbulkan kesalahan dalam penggunaan maupun pemilihan obat serta kurangnya kontrol 4 pada pelaksanaannya. Selain itu swamedikasi yang tidak tepat juga berdampak buruk bagi kesehatan seperti reaksi obat yang tidak di inginkan, perpanjangan masa sakit, reaksi kontraindikasi, dan ketergantungan obat (Hermawati, 2012). a. Swamedikasi pada penyakit maag Selain dengan obat, penderita maag juga harus memperhatikan cara untuk mencegah maag tersebut kambuh kembali. Tindakan yang dapat meringankan atau mencegah penyakit maag kambuh kembali diantaranya : 1) Membiasakan makan makanan sehat dengan jadwal teratur. 2) Makan sedikit, tetapi sering. 3) Berhenti merokok, mengurangi kopi, teh, alkohol, makanan pedas, dan asam (Djunarko & Yosephine, 2011). Keteraturan makan berkaitan dengan waktu makan setiap hari.Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Jika rata-rata lambung kosong antara 3-4 jam, maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Selain itu, Frekuensi makan juga berpengaruh terhadap pasien penderita maag. Frekuensi makan merupakan intensitas makan dalam sehari yang meliputi makanan lengkap (full meat) dan makanan selingan (snack). Bila frekuensi makan sehari-hari semakin kecil, tidak memenuhi makanan lengkap dan makanan selingan maka akan rentan untuk terkena penyakit maag. Hal ini disebabkan perut dibiarkan kosong selama lebih dari tiga jam, sehingga asam lambung pun semakin banyak diproduksi oleh lambung(Rahma, Dkk., 2012). Jenis makanan merupakan variasi dari beberapa komponen makanan, jenis makanan yang dimaksudkan adalah jenis makanan yang berisiko untuk penderita gastritis yang dikonsumsi selama ini. Beberapa jenis makanan tersebut berupa makanan yang mengandung gas (sawi, kol, kedondong), makanan yang bersantan, makanan yang pedas, asam, dan lain-lain. Mengonsumsi makanan berisiko, salah satunya makanan yang pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Bila kebiasaan mengonsumsi makanan tersebut lebih dari satu kali dalam seminggu dan dibiarkan 5 terus-menerus akan menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis (Rahma, Dkk., 2012). Selain dengan pola hidup yang teratur, sakit maag pada awalnya diobati secara simtomatik dengan pemberian obatyang menetralisasi atau menghambat produksi asam lambung berlebihan(jenis antasida) atau obat penghambat produksi asam yang memperbaikimotilitas usus (sistem gerakan usus). Apabila setelah dua minggu obat tidakmemberikan reaksi yang berarti, dokter akan memeriksa dengan bantuanperalatan khusus seperti USG, endoskopi, dll (Depkes RI, 2006). Obat antasida adalah basa lemah yang digunakan untuk mengikat secara kimiawi dan menetralkan asam lambung. Efeknya adalah peningkatan PH yang mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis dari pepsin. Obat ini mampu mengurangi rasa nyeri di lambung dengan cepat. Efeknya bertahan 20-60 menit bila diminum dalam keadaan perut kosong dan sampai 3 jam apabila diminum 1 jam setelah makan (Tjay & Rahardja, 2007). Obat maag golongan antasida banyak sekali beredar di pasaran obatobatan yang mengandung bahan aktif Al(OH)3 dan Mg(OH)2, atau dengan bahan tambahan lain seperti dimetilpolisiloksan dan simetikon yang berfungsi untuk mengurangi gas yang membuat rasa sebah di perut. Aturan dan cara pemakaian obat-obat tersebut sangat penting untuk menghindari pemakaian obat berlebih (Djunarko & Yosephine, 2011). Penggunaan tablet antasida yang mengandung 200 mg Al(OH)3 dan Mg(OH)2 aturan pakainya adalah 1-2 tablet, 3-4 kali sehari (untuk dewasa). Apabila mengonsumsi obat lain selain antasida, sebaiknya diberikan jarak minimal satu jam atau bisa dengan memberi jarak penggunaan sebelum dan sesudah makan (Djunarko & Yosephine, 2011). b. Cara Penggunaan Obat yang Benar Dalam swamedikasi, pengetahuan tentang obat yang harus digunakan pada kondisi tertentu merupakan salah satu faktor yang penting. Selain itu pengetahuan tentang cara penggunaan obat yang benar dan aman juga tidak kalah penting. Di pasaran obat-obatan yang dipakai dalam swanedikasi tersedia dalam berbagai bentuk diantaranya tablet, sirup, krim, salep, tetes mata, dll. Untuk obat maag, 6 biasanya berbentuk tablet, serbuk atau suspensi. Setiap bentuk sediaan memiliki cara pemakaian yang berbeda-beda (Djunarko & Yosephine, 2011). Salah satu contoh sediaan obat maag adalah tablet. Sediaan dalam bentuk tablet merupakan salah satu bentuk sediaan yang paling banyak dijumpai dan sering digunakan oleh konsumen dalam praktik swamedikasi. Penggunaannya sangat sederhana, yaitu dengan cara meminum. Namun, pada beberapa jenis obat seperti obat maag (antasida) tablet harus dikunyah terlebih dahulu baru kemudian ditelan (Djunarko & Yosephine, 2011). c. Waktu minum obat Obat memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang lebih mudah diserap apabila perut dalam keadaan kosong, ada yang harus makan terlebih dahulu sebelum mengonsumsi obat, ada yang berinteraksi dengan makanan, dan ada yang penyerapannya paling baik jika diminum di sela-sela makan.Pengertian minum obat sebelum dan sesudah makan bukanlah sesaat sebelum dan sesudah makan. Sebelum berarti setengah atau satu jam sebelum makan dan sesudah berarti dalam jangka waktu dua jam setelah makan. Sedangkan untuk obat yang digunakan di sela-sela makan dengan cara makan beberapa suap, diselingi minum obat, kemudian baru dilanjutkan makan kembali (Djunarko & Yosephine, 2011). Obat maag golongan antasida merupakan salah satu pilihan yang digunakan dalam swamedikasi penyakit maag. Pada beberapa pasien, antasida dianjurkan diminum sesuai dengan informasi pada leaflet yaitu sebelum makan. Namun, antasida yang digunakan dalam keadaan perut kosong lebih efektif karena akan mempercepat pengosongan dalam duodenum, maka dianjurkan menggunakan antasida 1 – 1,5 jam setelah makan atau sebelum tidur (Tomina, et al., 2014) 2. Pola Kerasionalan Obat Dalam swamedikasi diperlukan ketepatan dalam pemilihan obat dan dosis pemberian. Selain itu dalam swamedikasi harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional (Hermawati, 2012). Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan dan kondisi pasien penderita akan mendukung 7 upaya penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat terdiri dari beberapa aspek, diantaranya : a. Tepat obat, yaitu pemilihan obat dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti efektifitas, keamanan, mudah, dan murah. b. Tepat indikasi, yaitu pengobatan harus sesuai dengan dengan keluhan pasien. c. Tepat dosis, yaitu takaran obat harus sesuai dengan umur maupun kondisi pasien. d. Waspada efek samping dan interaksi dengan obat lain dan makanan, serta ada atau tidaknya polifarmasi dalam pengobatan (Cipolle, et al., 1998) 3. Penyakit Maag (Gastritis) Penyakit maag atau gastritis adalah radang pada selaput lendir lambung yang dapat disertai tukak lambung usus 12 jari atau tanpa tukak (Lee, et al., 2008). Gastritis didefinisikan berdasarkan pemeriksaan histologi pada biopsi mukosa lambung. Adanya infeksi Helicobacter Pylori yang berkaitan dengan tukak peptik dan kanker lambung menyebabkan kinerja yang berat pada mukosa lambung (Nordenstedt, et al., 2013). Mukosa lambung yang sering atau dalam waktu lama bersentuhan dengan aliran balik pada getah duodenum yang bersifat alkalis akan memungkinkan terjadi peradangan. Hal ini disebabkan karena mekanisme penutupan pylorus tidak bekerja dengan sempurna sehingga terjadi refluks tersebut. Mukosa lambung dikikis oleh garam-garam empedu dan lysolesitin. Akibatnya akan timbul luka-luka mikro sehingga getah lambung akan meresap ke jaringan dalam dan menyebabkan keluhan-keluhan (Tjay & Rahardja, 2007). Gejala gejala umum pada penyakit maag umumnya tidak ada atau kurang nyata, namun kadangkala dapat berupa gangguan pencernaan seperti indigesti dan dispepsia, nyeri lambung dan muntah-muntah akibat erosi kecil pada selaput lendir, bahkan ada juga yang mengalami pendarahan (Tjay & Rahardja, 2007). Penyakit maag atau gastritis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut merupakan inflamasi akut mukosa lambung yang sebagian besar merupakan penyakit ringan dan dapat sembuh 8 sempurna. Manifestasi klinis dari gastritis akut yang dapat berbentuk penyakit berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik (Fakultas kedokteran, 2011). Jenis gastritis yang kedua adalah gastritis kronik. Gastritis kronik merupakan infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria dan daerah intra epietal. Gastritis kronik biasanya disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling sering menyebabkan gastritis kronik adalah Helicobacter pylor (Fakultas kedokteran, 2011). Adanya infeksi Helicobacter pylori ini semakin meningkat karena beberapa faktor diantaranya status sosial yang rendah, sanitasi yang buruk dan air yang kotor (Konturek, 2006). 4. Obat yang Digunakan untuk Terapi pada Penyakit Maag (Gastritis) Tujuan pengobatan maag adalah mengurangi gejalaatau menghilangkan gejala yang dirasakan, menurunkan frekuensi kekambuhan dan durasi refluks gastroesofagus, mengobati mukosa yang terluka, dan mencegah adanya komplikasi. Pengobatan pada penyakit maag dikelompokkan menjadi beberapa bagian diantaranya antasida, antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton (Dipiro, et al., 2008). a. Antasida Antasida adalah senyawa yang memiliki kemampuan menetralkan asam lambung atau mengikatnya. Manfaat dari antasida adalah mengobati saluran cerna. Antasida dapat juga meringankan gejala-gejala yang muncul pada penyakit dispepsia tukak maupun non tukak, serta pada penyakit gastroesofageal tanpa erosi (Depkes RI, 2008). Antasida sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan obat lain karena dapat menggangu absorpsi dari obat lain. Selain itu antasida juga dapat merusak salut enterik yang dirancang untuk pelarutan obat dalam lambung (Depkes RI, 2008). Ada beberapa penggolongan antasida, diantaranya : 1) Antasida dengan kandungan alumunium dan magnesium. Antasida yang mengandung magnesium atau alumunium yang relatif tidak larut dalam air cenderung bekerja lebih lama bila berada di dalam lambung sehingga sebagian besar tujuan dari pemberian antasida tercapai (Depkes RI, 9 2008). Antasida dengan kandungan alumunium dan magnesium dapat mengurangi efek samping pada penggunaan obat jika obat digunakan sendiri-sendiri (Depkes RI, 2008). 2) Antasida dengan kandungan natrium bikarbonat Natrium bikarbonat adalah antasida yang larut dalam air dan dapat bekerja dengan cepat. Namun jika digunakan dalam dosis yang berlebih akan menyebabkan alkalosis. Terlepasnya karbondioksida pada antasida yang mengandung karbonat dapat menyebabkan sendawa. Pemberian natrium bikarbonat dan sediaan antasida yang mengandung natrium yang tinggi tidak dianjurkan untuk pasien yang sedang diet rendah garam (Depkes RI, 2008). 3) Antasida dengan kandungan bismut dan kalsium Antasida dengan kandungan bismut (kecuali kelat) sebaiknya dihindari karena bismut yang terabsorpsi bersifat ensefalopati dan dapat menyebabkan konstipasi. Selain itu antasida yang mengandung kalsium dapat menginduksi asam lambung (Depkes RI, 2008). 4) Antasida dengan kandungan simetikon Simetikon dikombinasikan dengan antasida berfungsi sebagai antibuih untuk meringankan kembung. Pada perawatan paliatif dapat menyebabkan cegukan (Depkes RI,2008). b. Antagonis reseptor H2 Antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat dari penghambatan reseptor histamin-H2 (Ioni, 2008). Terapi antagonis reseptor -H2 dapat membantu proses penyembuhan tukak yang disebabkan oleh AINS terutama duodenum (Depkes RI, 2008). Penggunaan antagonis reseptor H2 pada hematemesis dan melena tidak memberikan manfaat, namun pada penggunaan profilaksis dapat mengurangi frekuensi pendarahan dan erosi gastroendoduodenum (Depkes RI,2008). c. Penghambat pompa proton Omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, dan rabeprazol merupakan penghambat pompa proton yang menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat sistem enzim adenosin trifosfatehidrogen- 10 kalium(pompa proton) dari sel parietal lambung. Pompa proton efektif untuk pengobatan jangka pendek pada tukak lambung dan duodenum. Selain itu juga dapat digunakan dengan kombinasi antibiotik untuk pengobatan dengan infeksi Helicobacter pylori (Depkes RI, 2008) Efek samping penghambat pompa proton meliputi gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri lambung, kembung, diare, dan konstipasi. Efek samping yang jarang terjadi diantaranya mulut kering, insomnia, mengantung, malaise, penglihatan kabur, ruam kulit, dan pruritus. Sedangkan efek samping yang sangat jarang terjadi adalah gangguan pengecapan, disfungsi hati, udem perifer, reaksi hipersensitivitas, demam, berkeringat, dan depresi (Depkes RI, 2008). 5. Obat yang Rasional untuk Swamedikasi Penyakit Maag Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error).Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberiinformasi (drug informer)khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri (Depkes RI, 2007). Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter.Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam, sedangkan obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan.Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Depkes RI, 2007). Obat yang digunakan untuk swamedikasi penyakit maag merupakan obat bebas dan obat bebas terbatas yang bisa didapatkan tanpa menggunakan resep dokter, yaitu golongan antasida. 11 a. Kegunaan obat Semua obat antasida mempunyai fungsi untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, tukak lambung, gastritis, tukak usus dua belas jari, dengan gejala seperti mual, nyeri lambung, nyeri ulu hati dan perasaan penuh pada lambung. b. Bentuk sediaan dan aturan pemakaian 1) Tablet kombinasi yang mengandung: Aluminium hidroksida 250 mg Magnesium hidroksida 250 mg Dimetilpoliksilosan 50 mg Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, diminum 2 jam setelah makan atau sebelum tidur, dan saat gejala timbul. 2) Tablet kombinasi yang mengandung: Magnesium trisilikat 250 mg Aluminium hidroksida 250 mg Simetikon 50 mg Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam) 3) Tablet kunyah yang mengandung: Aluminium hidroksida 30 mg Magnesium hidroksida 300 mg Simetikon 30 mg Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam) dan sebelum tidur. Perhatian : Tablet harus dikunyah. 4) Larutan yang mengandung: Aluminium hidroksida 30 mg Magnesium hidroksida 300 mg Simetikon Dosis : 30 mg Dewasa : 1 – 2 sendok takar (5 ml), 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam) dan sebelum tidur 12 5) Tablet kunyah yang mengandung: Aluminium hidroksida 200 mg Magnesium hidroksida 200 mg Dosis : Dewasa : 1 – 2 tablet, 3 – 4 kali sehari (setiap 6 – 8 jam). Perhatian : Tablet harus dikunyah (Depkes RI, 2007) E. Keterangan Empiris Penyakit maag merupakan penyakit ringan yang sering diderita oleh masyarakat Kabupaten Pacitan. Sebagian besar masyarakat memilih untuk melakukan pengobatan sendiri untuk mengatasi penyakit yang dianggap ringan seperti penyakit maag. Tentunya dalam swamedikasi diperlukan ketepatan dalam pengobatan. Menurut Lestari (2014), penelitian yang dilakukan pada mahasiswa bidang kesehatan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menunjukkan rata-rata nilai tingkat pengetahuan pada mahasiswa bidang kesehatan di UMS memiliki tingkat pengetahuan dalam kategori baik sebesar 7,45 ± 0,99, rata-rata nilai ketepatan tindakan swamedikasi dalam kategori cukup sebesar 6,49 ± 1,72 dan kerasionalan penggunaan obat maag sebesar 77,59% yaitu sebanyak 270 responden dari 348 responden rasional dalam memilih obat maag. Data yang telah diperoleh dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada responden mahasiswa, penelitian ini dilakukan pada respondenyang merupakan masyarakat umum dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.Dilihat dari segi sasaran penelitian, hasil yang didapatkan tentunya memberikan gambaran yang berbeda dari penelitian sebelumnya, sehingga data yang telah didapatkan dari penelitian sebelumnya dapat dijadikan perbandingan pada penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran ketepatan swamedikasi pada penyakit maag meliputi ketepatan tindakan swamedikasi, ketepatan penggunaan obat, tingkat pengetahuan dan kerasionalan penggunaan obat pada penyakit maag di masyarakat Kabupaten Pacitan.