View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
SIKAP MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP
PEMBAJAKAN MAVI MARMARA
Diajukan sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Hasanuddin
OLEH:
A. JULIASTRI
E 131 07063
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2011
ABSTRAKSI
A.Juliastri, Nomor Pokok, E13107063 dengan judul skripsi “SIKAP
MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN MAVI
MARMARA”, di bawah bimbingan
DR. Adi Suryadi Culla, MA, sebagai Konsultan I dan Pusparida Syahdan,
S.sos, M.Si sebagai Konsultan II
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab terjadinya
pembajakan Mavi Marmara di perairan internasional pada 31 Mei 2010 lalu.
Serta bertujuan untuk melihat sikap dan reaksi dari masyarakat internasional
terhadap peristiwa tersebut mengingat Mavi Marmara adalah kapal bantuan
kemanusiaan yang peserta konvoinya adalah warga dunia yang membawa
kedaulatan dari kewarganegaraannya.
Atas maksud tersebut, penulis melakukan penelitian dengan
metode deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan tentang peristiwa secara
jelas dan mengaitkannya dengan fenomena yang terjadi sebelumnya. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan penelitian pustaka melalui buku, jurnal,
surat kabar, majalah, dan internet. Kemudian, untukmemberi penjelasan dan
pemahaman lebih dalam menjawab tujuan penelitian, penulis melakukan
wawancara langsung dengan narasumber yang ahli dan kompeten di
bidangnya, yakni Kepala Pusat Kajian Asia Pasifik Kementrian Luar Negeri,
DR. Siswo Pramuno. Adapun jenis yang digunakan adalah data primer yang
merupakan data dari hasil wawancara kemudian digabungkan dengan data
sekunder yang dikumpulkan penulis melalui studi pustaka pada berbagai
literatur. Data tersebut kemudian dielaborasi dengan teknik analisis data
kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta dan
keterangan yang dihubungkan satu sama lain.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa insiden Mavi Marmara
terjadi akibat terdapatnya dua pihak yang saling bersikeras memenuhi
kepentingan masing-masing, namun dengan tidak terdapatnya perimbangan
kekuasaan, maka salah satu pihak yakni awak Mavi Marmara menjadi korban
intervensi Israel. Hal tersebut pun dianggap sebagai suatu tindakan yang
mengganggu konsep tatanan dunia dalam tradisi masyarakat internasional, di
mana, sistem yang berupa pola interaksi yang menjamin hak dari setiap
anggota masyarakat internasional telah dilanggar. Dengan begitu, negaranegara di dunia merasa perlu menyikapi insiden Mavi Marmara.
i
KATA PENGANTAR
Sebelum mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa
selama ini dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis terlebih dahulu
mengatakan bahwa semua ini tak akan terwujud tanpa adanya kerja keras,
prioritas dan cita-cita di masa depan yang merupakan motivasi utama bagi penulis
untuk menyelesaikan tugas belajarnya selama empat tahun di universitas. Adapun
pihak-pihak yang memiliki sumbangsih dalam mewujudkan hal itu adalah:
1. Allah S.W.T, atas berkat dan rahmatnya yang telah membimbing penulis
melalui berbagai pengalaman hidup yang dijadikan penulis sebagai
pondasi dan pegangan dalam menempuh perjalanan menyelesaikan skripsi
ini. Puji syukur yang sebesar-besarnya diucapkan penulis kepada pencipta
alam semesta yang telah membagi kebesarannya kepada penulis melalui
kemudahan dan mukjizat yang tidak pernah terduga sebelumnya.
2. Kepada orang tua penulis, Ir. A. Syafruddin, M.Si dan Noor Since, S.E
atas perhatian dan pengertian terhadap penulis bukan hanya dalam proses
penyelesaian skripsi tetapi juga semasa hidup penulis hingga seperti
sekarang ini.
3. Kepada keluarga besar penulis yang bersama-sama telah ikut mendukung
penulis mencapai cita-cita, tante penulis, A. Rahmawati, S.E, M.Si, A.
Rosdiatia, S.E, A. Suriati, S.E, M.S.i, Drs, A. Muniati, dan A. Hasmiati,
Om Penulis, A. Fahruddin, S.E, Dr. Drs, Idrus Taba, M.Si, terima kasih
atas perhatiannya selama ini.
ii
4. Saudara dan sepupu penulis, Ka Pipi, Ka Cece, Ka Lellung, Jen, Dio,
Caca, Ica, Alif, Yunan, Rijal, Tari, Michael (Ian), Cili, Ola, Tami, Irsyad,
dan adik terkecil penulis, Ais, terima kasih karena telah berada di
sekeliling penulis selama ini.
5. Sahabat penulis selama menjalani jenjang perkuliahan di Universitas
Hasanuddin, jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Shinthya Tegela, Dewi
Anggriani, dan Gladys Adelia Pontoh, Ceceu, we’re the best partners and
Junta Is the best sisterhood ever!.
6. Teman-teman seperjuangan penulis dalam mencapai gelar sebagai sarjana
politik, Bray, Icha, Jannah, Kiki, Linda, Mawardin, Dhiba, dan semua
anak-anak Empire 07
7. Teman-teman penulis di fakultas hukum yang telah berjasa membagi
sumber pengetahuan mereka, Ka Cici, Deki, dan Khalid.
8. Josh Klein, my best long distance friend, thank you for your knowledge
dan your willingness to share your family experience as an american Jew.
9. ELF, Eonni best everlasting friends, makasih yah karena kalian selalu bisa
membuat eonni tersenyum disaat-saat yang tersulit. Naneun Neoreul
Bogoshipoyo, SARANGHAMNIDA. 
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
ii
ABSTRAKSI ...................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian......................................................
7
D. Defenisi Operasional ........................................................................
8
E. Kerangka Konseptual .......................................................................
9
F. Metode Penelitian .............................................................................
14
1. Tipe Penelitian ............................................................................
14
2. Teknik Pengumpulan Data .........................................................
15
3. Jenis Data ...................................................................................
15
4. Teknik Analisis Data ..................................................................
16
5. Metode Penulisan .......................................................................
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Masyarakat Internasional .....................................................
17
B. Konsep Peran Media .........................................................................
32
C. Konsep Perjanjian .............................................................................
40
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI INSIDEN MAVI MARMARA
A. Kronologis Terjadinya Peristiwa Pembajakan Mavi Marmara .........
45
A.1 Sejarah Kedua Negara ................................................................
45
a. Israel .......................................................................................
46
b. Palestina .................................................................................
59
iv
c. Sejarah Konflik ......................................................................
64
A.2 Terjadinya Insiden Mavi Marmara ............................................
71
B. Sikap dan Tanggapan Masyarakat Internasional di Beberapa Negara
81
1. Turki ............................................................................................
85
2. Indonesia .....................................................................................
88
3. Jerman .........................................................................................
91
4. Mesir ...........................................................................................
92
C. Peran Media Dalam Meng-cover Peristiwa Mavi Marmara .............
93
BAB IV ANALISIS SIKAP MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP
PEMBAJAKAN MAVI MARMARA
A. Analisis Penyebab Pembajakan Mavi Marmara...............................
96
B. Sikap Masyarakat Internasional Dalam Menanggapi Peristiwa
Pembajakan Mavi Marmara .............................................................
101
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................
108
B. Saran ................................................................................................
109
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 27 Mei 2010, Al Jazeera mengabadikan keberangkatan
sebuah kapal bantuan kemanusiaan bernama Mavi Marmara untuk bergabung
bersama delapan kapal bantuan kemanusiaan lainnya yang membentuk sebuah
armada kecil yang disebut Freedom Flotilla. Melalui program berita Inside Story
yang mengudara pada tanggal 30 Mei 2010, ditayangkan para relawan dari
berbagai negara seperti Turki, Yunani, Inggris, Yordania, dan Irlandia, bergabung
di dalam kapal berjenis ferry, dibawah bentangan rangkaian bendera Turki,
Palestina, dan negara-negara asal para relawan. Kapal bantuan kemanusiaan
tersebut mulai berlayar dari Pelabuhan Antalya, Turki menuju Jalur Gaza,
Palestina, dan akan menempuh perjalanan lintas laut untuk diperkirakan mulai
memasuki perairan Gaza sekitar pukul 14.00 waktu setempat.
Tujuan dari misi kemanusiaan tersebut tidak pernah tercapai. Sebuah
insiden menimpa kapal ferry berwarna putih biru itu. Dalam perjalanannya, tepat
pada hari Senin tanggal 31 Mei 2010 pukul empat dini hari, kapal tersebut
diserang oleh komando militer angkatan laut Israel. Peristiwa tersebut
menggemparkan dunia, bukan hanya karena Israel menyerang sebuah kapal
bantuan kemanusiaan tetapi karena dalam pemberitaan yang disiarkan hampir di
berbagai jenis media massa, disebutkan juga bahwa tentara Zionis-Israel
menyerang kapal tersebut saat masih berada di wilayah perairan internasional,
1
sekitar 65 Km lepas pantai Gaza.1 Sehingga secara sepintas, Israel dianggap
melakukan kejahatan dan pelanggaran hukum internasional berlapis.
Terdapat berbagai versi mengenai jumlah korban pasca serangan yang
dilakukan Israel. Namun, yang dilaporkan kantor berita Al Jazeera, sebanyak 19
orang kehilangan nyawa dan 30 orang lainnya terluka parah. Militer Israel sendiri,
korban tewas akibat peristiwa itu hanya mencapai sembilan orang sementara
korban yang terluka diperkirakan antara 20 sampai 30 penumpang dan tujuh
prajurit Israel, dimana dua diantaranya disebut-sebut dalam kondisi serius. Korban
selamat sendiri, memiliki nasib yang tidak jauh lebih baik, bersama dengan kapal
Mavi Marmara, mereka diarak ke pelabuhan Ashdod untuk kemudian disandera di
penjara Ela. Beberapa relawan, menurut laporan Al Jazeera juga, dipaksa untuk
menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka telah melanggar
hukum Israel.2
Peristiwa yang oleh media massa diberi judul “Israely Deathly Raid”
itupun, dengan segera menarik perhatian dan memicu berbagai reaksi dari publik
internasional. Sebagaimana pemberitaan peristiwa bencana gempa dan tsunami
Jepang berhasil menarik perhatian, masyarakat internasional juga bereaksi secara
verbal terhadap pembajakan Mavi Marmara. Publik internasional yang terdiri dari
berbagai elemen masyarakat seperti warga sipil, mahasiswa, ataupun organisasi
penegak HAM, secara terpisah dengan petinggi negara mereka merespon tindakan
Israel. Baik itu berupa penggalangan kerjasama untuk meneruskan pelayaran
1
Harian Seputar Indonesia.com Diakses pada 09/03/2011 pukul: 21.57
‘Harian Republika’, Kamis, 3 Juni 2010, Hal.3
2
2
bantuan kemanusiaan ke Gaza hingga kerjasama untuk memberikan sanksi
maupun meminta pertanggung-jawaban dari pelakunya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dewasa ini masyarakat dunia menganggap media massa sebagai suatu
kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Media massa
sangat berperan untuk mengetahui berbagai kejadian penting di berbagai penjuru
dunia.
Reaksi tercepat ditunjukkan oleh warga Turki. Segera setelah berita
serangan terhadap konvoi tersebut tersebar, ribuan pengunjuk rasa Turki
menunjukkan kegeraman mereka dengan memprotes dan bergerak menuju
konsulat Israel di Istanbul.3 Setelah Turki, reaksi berupa respon negatif juga
terjadi di Indonesia. Dengan dasar solidaritas sesama muslim, tragedi Mavi
Marmara turut menghasilkan gelombang demonstrasi di beberapa kota lain seperti
di Bandung dan Malang. Bahkan, sebagai wakil presiden Dewan Hak Asasi
Manusia PBB, Pemerintah Indonesia mendorong dilangsungkannya urgen debate
agar dikeluarkan resolusi PBB atas tindakan militer Israel tersebut. 4 Perancis yang
selama ini selalu menjadi sekutu Amerika Serikat, yang merupakan pelindung
utama Israel, turut merespon tindakan Israel dengan mengutuk serangan yang
dilakukan. Bernard Kouchner, Menteri Luar Negeri Perancis, mengatakan Saya
terguncang oleh konsekuensi tragis operasi militer Israel terhadap konvoi
3
Http://Anton Hilman Blog.com/kronologis-serangan-tentara-israel-ke-kapal-mavi-marmarafreedom-flotilla.html Diakses pada 09/03/2011 21:30.
4
Log.Cit Harian Republika.
3
perdamaian untuk Gaza. Tidak ada yang bisa membenarkan penggunaan
kekerasan yang seperti itu, yang kami kutuk.5
Di lain pihak, kubu pro Israel berusaha untuk mengimbangi kecaman
dengan membenarkan serangan IDF ke Mavi Marmara. Sebelum melakukan
pelayaran kemanusiaannya menuju Palestina, Pemerintah Israel telah memberi
peringatan kepada pemerintah Turki dan kepada nakhoda Mavi Marmara untuk
tidak memasuki wilayah perairan Gaza. Dengan pemberlakuan blokade sejak
2008 silam, Pemerintah Israel menegosiasikan alternatif pengiriman bantuan
dengan mengubah arah tujuan kapal Mavi Marmara ke pelabuhan Ashdod. Namun
demikian, pihak Mavi Marmara yang tidak percaya terhadap Israel, menolak
pertimbangan itu dan bersikeras menembus blokade militer di Gaza. Sehingga,
jika melihat peristiwa penyerangan Mavi Marmara ini melalui paradigma Realis
untuk kebijakan atau politik luar negeri, maka insiden yang dipicu oleh Israel itu
merupakan tindakan yang legal. Hal tersebut disebabkan oleh, suatu Negara tidak
memiliki kewajiban Internasional yang datang sebelum kepentingan nasional
mereka;6 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan mengatakan bahwa
blokade ini dilakukan untuk melindungi Israel dan itu hak kami untuk membela
diri.7
Semenjak bangsa Israel mulai kembali berimigrasi ke tanah Palestina pada
tahun 1882 setelah terusir pada masa kekuasaan Romawi, etnis Yahudi tersebut
kerap kali memicu terjadi pertikaian dengan bangsa Palestina. Kedatangan mereka
5
TRIBUNNEWS.COM. Diakses Pada: 18/5/2011. Pukul: 11.57 Wita
Robert, J dan Georg, S. 2005, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Hal: 187 (terjemahan).
7
‘Harian Media Indonesia’, Kamis 3 Juni 2010, Hal: 18
6
4
yang secara perlahan membangun pemukiman di atas tanah perjanjian itu, lambat
laun semakin menyebar dan justru menyingkirkan bangsa Palestina yang lebih
dulu bermukim. Perselisihan menjadi semakin parah ketika pada tahun 1948,
Israel mencaplok Yerussalem dan mendirikan Negara Yahudi Israel. Pertikaian
semakin menjadi ketika Israel, di bawah perlindungan Amerika Serikat, mulai
bertindak di atas hukum. Pembakaran masjid Al Aqsa, agresi ke Mesir dan
perebutan hak milik terusan Seuz, serta invasinya ke Yordania, membuat Negaranegara Arab mengambil keputusan untuk bermusuhan dengan Israel.
Terlebih
lagi
ketika
Israel
mulai
melakukan
perluasan
daerah
kekuasaannya dengan mencaplok wilayah-wilayah pemukiman rakyat Palestina
hingga bangsa itu tersingkir ke wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza saja, sementara
yang lainnya terusir ke negara-negara tetangga seperti Libanon, Syria, dan
Yordania. Perang antara kedua Negara bangsa itu menjadi semakin alot mulai dari
peperangan memperebutkan wilayah Yerussalem pada tahun 1948, berlanjut
hingga tahun 1949, 1956, 1967, dan 1973, membuat masyarakat internasional
semakin merasa perlu menindaki tindakan Israel. Berbagai perjanjian yang
dimonitori oleh negara-negara adi kuasa seperti Amerika Serikat dan Inggris telah
dilaksanakan. Namun perjanjian itu hanya bertahan pada sebatas siapa kepala
Negara yang sedang menjabat saja. Ketika salah satu dari sistem itu berubah,
maka perang atau saling menghancurkan pangkalan militer serta aksi penembakan
warga sipil oleh kedua negara tetap tidak dapat terelakkan.
Berdasarkan latar belakang masalah itulah, penulis tertarik untuk mengkaji
peristiwa pembajakan Mavi Marmara ini lebih lanjut. Penulis tertarik pada alasan
5
masyarakat internasional yang serentak mengutuk penyerangan Israel terhadap
Mavi Marmara. Sementara, dengan melihat latar belakang atau sejarah konflik
antara kedua negara, penulis akan berusaha memperlihatkan keabsahan dari
tindakan masyarakat internasional dalam merespon insiden Mavi Marmara.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
Luasnya elemen kajian ataupun penelitian mengenai Mavi Marmara,
membuat penulis perlu menentukan batasan dari penelitian ini. Dengan begitu,
pembahasan inti kasus dapat lebih fokus dan tidak merembes ke berbagai ranah.
Sebagaimana yang dikatakan dalam sistem metodologi ilmu hubungan
internasional bahwa suatu peristiwa atau fenomena, akan menjadi sebuah isu atau
permasalahan yang layak untuk diteliti, apabila terdapat kesenjangan antara “das
sein” dan “das sollen”. Dalam kasus Mavi Marmara, harapan dari masyarakat
internasional pada umumnya dan IHH atau organisasi kemanusiaan milik Turki
pada khususnya adalah melakukan misi kemanusiaan ke Gaza namun pada
kenyataannya, misi tersebut tidak tercapai karena Israel mengintervensi kapal
yang membawa peralatan medis tersebut diluar laut teritorialnya, sehingga hal
tersebut memicu perdebatan di forum internasional .
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis beranggapan bahwa peristiwa
Mavi Marmara memenuhi syarat untuk menjadi sebuah bahan penelitian karena
terdapat kesenjangan antara realitas peristiwa dan visi yang berusaha untuk
dicapai. Menurut penulis juga, peristiwa yang tampaknya menjadi semakin parah
oleh pemberitaan media, cenderung mengekspos peristiwa Mavi Marmara melalui
satu sudut pandang saja. Hal itu menyebabkan Israel terlihat sebagai pelaku yang
6
patut dicekam oleh masyarakat internasional. Negara Yahudi tersebut dianggap
sebagai pelanggar hukum internasional bahkan sebelum Dewan Keamanan PBB
melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai kasus Mavi Marmara. Namun
demikian, dalam penelitian ini, penulis tidak menyatakan bahwa perbuatan Israel
menyerang Mavi Marmara adalah benar berdasarkan asas realisme. Akan tetapi,
penulis berusaha untuk memberikan gambaran umum tentang pembajakan Mavi
Marmara secara netral serta berusaha untuk menunjukkan sistem ataupun hukum
yang oleh masyarakat internasional dianggap telah dilanggar oleh Israel. Sehingga
memperkeruh suasana perpolitikan dunia atau interaksi internasional antar
Negara-negara yang terlibat.
Dengan demikian, didapatlah suatu rumusan masalah untuk menentukan
arah dan tujuan dari skripsi ini, yakni :
1. Bagaimana serangan terhadap Mavi Marmara dapat terjadi?
2. Bagaimana sikap masyarakat internasional dalam menanggapi peristiwa
pembajakan Mavi Marmara?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan penyebab terjadinya insiden Mavi Marmara.
2. Penelitian ini juga ditujukan untuk melihat tanggapan atau respon dari
masyarakat internasional terhadap peristiwa pembajakan Mavi
Marmara
7
Adapun Kegunaan Penelitian adalah :
1. Kegunaan penelitian ini adalah untuk menguji pemahaman penulis
dalam menganalisis suatu kasus internasional dengan menggunakan
paradigma ataupun teori ilmu hubungan internasional yang telah
dipelajari sejak tahun 2007.
2. Untuk
memberikan
pemahaman
lebih
mengenai
konflik
berkepanjangan yang terjadi antara Palestina dan Israel sehingga
berujung pada terjadinya insiden Mavi Marmara.
D. Kerangka Konseptual
Untuk
menjelaskan
bagaimana
arus
pemberitaan
media
mampu
mempengaruhi pembentukan opini publik internasional, maka dibutuhkan sebuah
konsep dan teori demi mendapatkan jawaban yang valid dan logis dari penelitian
ini. Dalam bagian ini, telah dikonsep beberapa teori yang saling relevan. Adapun
teori yang digunakan adalah :
Perang Dunia I menyisakan banyak kerugian di belahan bumi utara.
Negara-negara barat yang telah hancur dan porak-poranda, terpaksa harus
kehilangan prajurit-prajurit mereka yang gugur dalam peperangan. Horor akan
terjadinya perang lanjutan pun mencekam jiwa korban perang yang masih
selamat. Pada masa itu, dunia seakan kembali mengalami masa kegelapan yang
kedua sejak era Dark Age di abad pertengahan. Untuk membawa umat manusia
keluar dari situasi mencekam tersebut, para negarawan ataupun pemerintah
berikrar untuk mencegah terjadinya tragedy tersebut. Sebuah hukum atau institusi
yang dapat mereduksi sifat aggressor manusia akan kekuasaan sepertinya sangat
8
dibutuhkan. Jika tidak, maka dunia akan terus mengalami degenerasi ke arah
anarkisme politik internasional.
Pemikiran-pemikiran utopis yang kemudian dikenal dengan paham
Liberalis pun mulai menyeruak di dunia internasional, khususnya pada studi
hubungan internasional. Dalam idealisme paham ini, penduduk dunia baik itu
pemerintah, non-pemerintah, ataupun MNC, diharapkan dapat hidup secara
selaras dan damai. Di bawah payung organisasi Liga Bangsa-Bangsa pada masa
itu dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada masa sekarang, paham Liberalis
beranggapan bahwa perdamaian dunia dapat terwujud jika aktor-aktor hubungan
internasional di berbagai belahan dunia, bersedia mematuhi sebuah sistem yang
mengakui supremasi hukum universal atau lebih sering disebut hukum
internasional. Berasal dari sistem internasional tersebut di atas, kemudian muncul
suatu pendekatan yang disebut masyarakat internasional. Meskipun terdapat
perbedaan jenis aktor namun tujuan dari sistem dan masyarakat internasional
adalah sama yakni mengubah anarkisme politik internasional menjadi suatu
tatanan dunia yang hirau terhadap keadilan distributif atau keadilan yang berlaku
bagi seluruh anggota masyarakat negara di dunia.
Masyarakat
internasional
adalah
sebuah
pendekatan
hubungan
internasional yang lebih memfokuskan kajian pada kolaborasi peran negara dan
manusia yang menjalankan politik luar negeri demi menyelaraskan sistem tersebut
dengan politik internasional yang berlaku. Dengan demikian, masyarakat
internasional kemudian sering mengacu pada komunitas negara-negara berdaulat
yang hidup berdampingan dan terikat dalam suatu hukum yang disepakati demi
9
mencapai tujuan bersama. Adapun tujuan dari masyarakat internasional yaitu
menciptakan suasana kondusif bagi perdamaian abadi yang tidak terbatas dan
ketertiban dunia bagi seluruh negara-negara berdaulat. Meskipun begitu, tidak
semua negara mesti melakukan kewajibannya untuk menanggulangi suatu konflik
yang mungkin terjadi. Menurut Hedley Bull, tanggung jawab dalam
mempertahankan ketertiban internasional – ketertiban antara negara-negara –
dimiliki negara-negara berkekuatan besar, dan dicapai dengan “mengatur
hubungan mereka satu sama lain”.8
Dalam bukunya The Anarchical Society, Hedley Bull juga menambahkan
bahwa dalam tradisi masyarakat internasional, terdapat suatu konsep yang
eksistensinya perlu diobservasi, yakni order (tatanan). Tatanan tersebut kemudian
didefinisikan Bull sebagai sebuah pola aktivitas yang menyokong beberapa tujuan
sosial dasar di masyarakat, seperti menjaga rasa aman para anggotanya dari
kekerasan yang sewenang-wenang, dengan memastikan bahwa tujuan-tujuan itu
dicapai untuk melindungi hak milik. Kemudian mengadaptasikan tujuan-tujuan
tersebut kepada karakteristik khas masyarakat internasional, di mana tujuan-tujuan
itu ditetapkan untuk menjaga negara-negara berdaulat yang menjadi anggotanya,
dan di mana perdamaian dianggap sebagai kondisi normal bagi kehidupan
bersama di antara mereka.9
Dalam kondisi seperti itu, jika terjadi suatu isu yang berpotensi
menggangu tatanan dunia, maka masyarakat internasional akan menjalankan
perannya untuk menanggulangi masalah tersebut sebagai tanggung jawab moral
8
Ibid. Hal.199
Martin Griffiths, 2001, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Hal: 200
9
10
dan integritas akan perdamaian dunia. Hal tersebut ditempuh melalui berbagai
kebijakan politik luar negeri, baik yang bersifat kumulatif seperti sikap atau
keputusan PBB serta tindakan personal antar negara. Kecaman masyarakat
internasional terhadap Israel dalam insiden Mavi Marmara, tidak lebih merupakan
upaya masyarakat internasional untuk mempertahankan perimbangan kekuasaan
dalam tatanan dunia agar tidak terdapat suatu negara yang lebih berkuasa
dibandingkan negara lain. Terdapatnya negara adi daya pada praktek masyarakat
internasional semata untuk memenuhi fungsi manajerial dalam mewujudkan
berlangsungnya konsep tatanan dunia tersebut.
Kecaman internasional terhadap Israel menjadi semakin parah dengan
hadirnya media yang menjadi sumber massa dalam mendapatkan berita seputar
perkembangan insiden Mavi Marmara. Tak dapat dipungkiri bahwa sejak
terjadinya perkembangan arus berita internasional yang ditandai dengan
kerjasama regional dan internasional serta persetujuan pertukaran berita di antara
kantor-kantor berita, masyarakat internasional menggunakan media sebagai salah
satu sarana diplomatik. Media yang belakangan ini menjadi aktor keempat dalam
demokrasi setelah Trias Politica, berperan sebagai propaganda yang berfungsi
untuk memperjernih ataupun memperkeruh situasi perpolitikan dunia. Dengan
adanya jangkauan pemberitaan melalui jurnalis, koresponden, ataupun kantor
berita, media selalu memiliki akses menuju suatu isu secara langsung lebih dari
yang dimiliki para negarawan ataupun diplomat.10
10
Kristina Borjensson. 2006. Mesin Penindas Pers. Bandung: Q-Press. Hal.23 (Terjemahan)
11
Hal tersebut dapat dilihat pada kasus Mavi Marmara, jika saja pelayaran
kapal tersebut tidak diekspos dan tidak terdapat koresponden ataupun jurnalis
yang berpotensi menyebarkan berita, maka insiden pembajakan tersebut
kemungkinan besar tidak akan sampai kepada masyarakat internasional. Israel
bisa saja menyembunyikan peristiwa itu dari sepengetahuan negara-negara lain,
terlebih karena insiden Mavi Marmara terjadi pada dini hari di saat sebagian
belahan dunia masih gelap dan di tengah lautan yang jauh dari jangkauan
masyarakat. Akan tetapi, dengan hadirnya media yang dibantu dengan
kecanggihan sistem komunikasi internasional dan satelit, maka insiden
pembajakan Mavi Marmara bisa diberitakan saat itu juga melalui program berita
terkini atau Headline News. Hadirnya konsep arus berita internasional membuat
masyarakat internasional menunjukkan reaksi kontra atas tindakan Israel. Citra
Israel yang selama ini dianggap sering bertindak di atas hukum, menjadi semakin
buruk. Negara-negara di dunia pun merasa perlu untuk menindak lanjuti kasus
Mavi Marmara.
Berangkat dari tindakan masyarakat internasional yang menganggap Israel
melakukan
pelanggaran
hukum
internasional,
maka
konsep
perjanjian
internasional yang di dalamnya merangkum tentang Hukum Laut Internasional
PBB atau Unclose1982 dan Hukum Humaniter, menjadi bahan pertimbangan
untuk melihat dari segi mana Israel melanggar. Terdapatnya aturan pada hukum
laut tentang High Seas melarang masyarakat internasional untuk mengintervensi
sebuah kapal asing diluar hak teritorialnya sejauh 12 mil laut dan keharusan
sebuah negara untuk memberi akses kepada kapal kemanusiaan turut dijadikan
12
tolak ukur untuk mencari pengabsahan kecaman dunia terhadap Israel, sehingga
pengecaman itu tidak bersifat sepihak.
F. METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan untuk mendapatkan tujuan penelitian
adalah
tipe
penelitian
deskriptif,
yaitu
penelitian
yang
akan
menggambarkan secara jelas tentang kronologis peristiwa pembajakan
Mavi Marmara dan bagaimana sikap-sikap dari masyarakat internasional
yang dalam hal ini adalah Negara secara keseluruhan, bereaksi terhadap
isu tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana penelitian deskriptif kualitatif pada umumnya yang
membutuhkan beberapa sumber, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan ada dua jenis, yakni :
a. Studi Pustaka, dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang
diperlukan mengenai kasus Mavi Marmara melalui buku, artikel,
surat kabar, maupun internet. Selain itu, penulis juga melakukan
wawancara secara langsung dengan informan yang mengetahui
insiden Mavi Marmara serta memahami aturan dan hukum
internasional yang berlaku.
3. Jenis Data
Sesuai dengan aturan teknik pengumpulan data untuk penelitian deskriptif
kualitatif, jenis data yang akan digunakan terbagi menjadi dua jenis, yakni:
13
a. Data Primer adalah data yang berasal hasil wawancara dengan Kepala
Pusat Kajian Asia Pasifik Kementrian Luar Negeri : DR. Siswo
Pramuno.
b. Data Sekunder adalah data yang berasal dari buku-buku, artikel, surat
kabar, internet, maupun skripsi yang berhubungan dengan tujuan
penelitian. Di mana data tersebut diperoleh di perpustakaan umum
Unhas, perpustakaan nasional RI, perpustakaan Ali Alatas BPPK
Kementerian Luar Negeri, Ruang Baca FISIP Unhas, dan internet.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan adalah dengan teknik
analisis kualitatif. Teknik ini didukung oleh keberadaan data-data primer
yang dikumpulkan melalui studi lapangan yang dilakukan. Kemudian, data
primer ini dideskriptifkan dan dikombinasikan dengan data sekunder yang
diperoleh melalui studi pustaka, sehingga hasil analisa dari elaborasi data
tersebut diharapkan dapat menjawab tujuan dari penelitian ini.
5. Defenisi Operasional
Sebelum melangkah ke sub bab kerangka konseptual, maka penulis
akan memperjelas lebih dahulu defenisi dari masyarakat internasional
yang dibicarakan pada latar belakang maupun pada pembahasan ke depan.
Definisi operasional yang dimaksud pada bagian ini adalah menonjolkan
peran
negara.
internasional
Meskipun
yang
lebih
pada
perkembangan
jauh,
peran
tradisi
masyarakat
masyarakat
individu
juga
diperhitungkan, namun pada penelitian ini, penulis hanya akan fokus pada
14
peran masyarakat negara yang aktor utamanya adalah negarawan yang ahli
dalam praktek ketatanegaraan.11 Peran masyarakat individu hanya akan
dilihat pada bagaimana opini global dapat terbentuk akibat media. Tradisi
masyarakat internasional memang memandang ketatanegaraan sebagai
aktivitas manusia yang sangat penting yang mencakup kebijakan luar
negeri, kebijakan militer, kebijakan perdagangan, pengakuan politik,
komunikasi diplomatik, pengumpulan data intelejen dan mata-mata,
membentuk aliansi militer, mengancam atau terlibat dalam penggunaan
kekuatan
bersenjata,
perdamaian,
memasuki
bernegosiasi
perjanjian
dan
menandatangi
perdagangan,
perjanjian
bergabung
dan
berpartisipasi dalam organisasi internasional, dan terlibat dalam kontak,
interaksi, transaksi dan pertukaran internasional yang tak terhitung.12
Negara sebagaimana yang diterima secara umum, merujuk kepada
organisasi territorial sesuatu bangsa.13 Negara lazim diidentifikasikan
dengan pemerintah terutama jika dipergunakan dalam pengertian
kekuasaan negara atau kepentingan nasional suatu negara ataupun
kebijakan politik luar negerinya. Sementara dalam konsep hukum
internasional, negara adalah salah satu subjek hukum internasional karena
pembuat atau penyusun serta instrument yang menjalankan sistem itu
adalah negara sendiri. Namun terlepas dari itu, dalam tradisi masyarakat
internasional, hubungan internasional dijalankan oleh masyarakat negara
11
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen. Hal. 184
Ibid. Hal.185
13
F. Isjwara, 1999, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Putra Bardin, Hal.92
12
15
di
mana
aktor
utamanya
adalah
negarawan
yang
ahli
dalam
ketatanegaraan.14
6. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif,
yaitu metode yang memungkinkan penulis untuk terlebih dahulu
menggambarkan secara umum kasus penelitian lalu kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat khusus dalam menganalisis data.
14
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen. Hal.184
16
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Konsep Masyarakat Internasional
The world is a struggle for power adalah salah satu kutipan termahsyur
dari J. Hans Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nation yang
menggambarkan situasi politik internasional. Memang, tidak dapat dipungkiri
bahwa sejak eksistensi manusia di dunia, pertikaian atau perselisihan tidak dapat
dihindarkan. Adanya sifat alamiah manusia yang senantiasa berada dalam keadaan
bermusuhan, menurut Hobbes, merupakan dasar dari timbulnya anarkisme dunia.
Meskipun manusia memiliki sifat baik dan kesadaran untuk terlepas dari keadaan
alamiah tersebut, namun tuntutan kepentingan individu membuat cita-cita utopis
akan terdapatnya suatu keadaan kondusif, di mana umat manusia dapat hidup
berdampingan dan hidup secara rukun, bagaikan sebuah fantasi yang sulit untuk
menjadi kenyataan. Terciptanya komunitas antar sesama manusia pun terjadi atas
dasar perjanjian untuk saling mengamankan hak dan kepentingan masing-masing
individu.
Sejak komunitas tersebut beranjak menjadi sebuah organisasi dengan batas
wilayah, maka fantasi itu akan menjadi lebih utopia. Kepentingan yang bermain
disinibukan lagi milik satu atau dua individu tetapi milik dari suatu Negara yang
dalam artian materil Negara adalah masyarakat (staat-overheid) atau persekutuan
hidup,15 dimana kepentingan yang ada akan semakin kompleks. Dengan begitu,
perdamaian dunia di atas kepentingan nasional akan sulit tercapai. Tidak ada
15
Op.Cit. F. Isjwara. Hal. 95
17
kedaulatan lain di atas kedaulatan suatu negara bangsa sehingga perang maupun
invasi untuk mendapatkan kepentingan merupakan jawaban dari segala kebijakan
politik luar negeri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu tatanan yang mampu
mengakomodir aktivitas maupun interaksi antar negara atau bangsa sehingga
dunia tidak terjebak dalam suatu degenerasi hubungan internasional. Dunia
membutuhkan suatu reformasi sistem yang berlaku bagi semua negara yang
menjadi anggotanya.
Setelah sekian lamanya manusia dan negaranya berinteraksi di tengah
situasi “Realpolitik” atau lazimnya disebut dengan keadaan alamiah manusia, Di
mana Woodrow Wilson mengibaratkan negara adalah makhluk-makhluk
berbahaya yang dapat saling menyerang dan aturan licik diberlakukan, aktor-aktor
hubungan internasional kemudian menyadari untuk beranjak dari keadaan alamiah
tersebut, terlebih setelah Perang Dunia I terjadi di dataran Eropa dan Inggris Raya.
Negara-negara yang berhasil selamat dari keganasan senjata artileri dan granat,
bersepakat membuat suatu lembaga yang menjamin kemerdekaan politik dan
integrasi wilayah bangsa baik besar maupun kecil. Liga Bangsa-Bangsa kemudian
didirikan melalui Konferensi Perdamaian Paris 1919.16 Hubungan jangka panjang
tersebut pun perlu ditertibkan dan diatur dengan membuat suatu perjanjian atau
hukum yang bersifat universal dan dipatuhi oleh semua negara anggotanya.
Di bawah bendera PBB itu, ditentukan lima anggota tetap (Amerika
Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan RRC) yang berfungsi sebagai dewan
keamanan
yang
khusus
menangani
kekisruhan
hubungan
internasional.
16
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen. Hal.49
18
Berlandaskan pada piagam PBB yang merupakan interpretasi dari kesadaran
negara-negara besar, yang memiliki kepentingan, untuk menjaga perdamaian antar
sesama warga dunia, sistem atau hukum internasional baru dijalankan. Melalui
kesadaran itu pula, terwujudlah suatu konsep masyarakat internasional yang
dewasa ini saling terikat oleh tanggung jawab moral untuk menertibkan negaranegara yang cenderung tidak mematuhi aturan atau menjalankan kebijakan politik
luar negerinya di luar sistem yang telah disepakati fungsi dan keberlakuannya.
Salah satu bentuk perjanjian dari Piagam PBB (1945) itu adalah:
…Dewan keamanan akan menentukan keberadaan setiap ancaman
terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan
agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan langkahlangkah apa yang diambil (ayat 39)…
…Akan mengambil tindakan melalui kekuatan udara, laut, atau
darat sebagaimana yang diperlukan untuk memelihara atau
mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional
(ayat42)…
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, cikal bakal dari masyarakat
internasional beserta hukumnya, bermula dari awal masa negara modern pada
abad ke XVII, yakni pada masa suatu kerajaan besar terpecah-belah menjadi
beberapa negara kecil seperti Belanda, Luxamberg, dan Belgia atau ketika
sekumpulan negara kecil bersatu dan membentuk suatu negara besar seperti Italia,
yang kemudian berperang secara berlarut-larut selama tiga puluh tahun hingga
Perjanjian West Phalia ditandatangani.17 Fenomena masyarakat negara pada
akhirnya menjadi suatu pendekatan ketika beberapa ahli atau pemikir hadir untuk
memberikan teori mereka tentang eksistensi masyarakat internasional di tengah
aktivitas hubungan internasional, khususnya pada tatanan politik internasional.
17
Alma Manuputy, Hamid Awaluddin, Dkk. 2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-Ta Hal: 60
19
Konsep atau teori tradisi masyarakat internasional adalah sebuah paham atau
pemikiran yang berasal dari Inggris pada periode Perang Dingin 18. Pemikiran ini
sering juga disebut sebagai mazhab Inggris atau paham Grotian. Hal tersebut
disebabkan oleh para pemikir yang mempublikasikan teori ini adalah sarjanawan
yang berkiprah dan terlibat dalam perdebatan perkembangan ilmu hubungan
internasional di negara kerajaan tersebut, meskipun tidak semuanya merupakan
penduduk asli Inggris Raya. Aliran Grotian disebut hadir untuk mengimbangi
dominasi aliran hubungan internasional Amerika Serikat pada era 1970-1980 yang
cenderung berfokus pada perdebatan neoliberalisme dan neorealisme.
Terdapat beberapa tokoh atau filosof yang berjasa dalam perkembangan
teori masyarakat internasional, yakni Hedley Bull, Terry Nardin, John Vincent,
Michael Walzer, dan Martin Wright. Namun, di antara ke lima sarjanawan
tersebut, terdapat dua tokoh yang paling berpengaruh di bidangnya. Mereka
adalah Martin Wright dan Hedley Bull. Meskipun ke lima filosof tersebut
memiliki pemikiran dan orisinalitas masing-masing, namun hanya pemikiran
kedua ahli tersebut yang banyak dijadikan landasan ataupun pedoman dalam studi
ilmu hubungan internasional. Hal tersebut disebabkan oleh Martin Wright dan
Hedley Bull adalah penggagas tradisi masyarakat internasional, sementara ketiga
rekan sesama pemerhati teori masyarakat internasional itu, memaparkan
pemikirannya berdasarkan inspirasi dari kedua tokoh di atas.
Martin Wright yang pada dasarnya adalah seorang sejarahwan diplomatik
yang kemudian menjadi seorang pengajar dan teoritikus terkemuka Mazhab
18
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen. Hal: 70
20
Inggris, mengemukakan pemikirannya tentang masyarakat internasional pada
karya-karya seperti System Of States (1977), Power Politics (1978), dan
International Theory: The Three Traditions (1991). Dalam tiga karyanya tersebut,
Terutama pada salah satu artikelnya “Why Is There No International Theory?”
yang kemudian terangkum dalam buku terakhirnya International Theory: The
Three Traditions, Wright mulai mempertanyakan tentang eksistensi masyarakat
internasional di tengah anarkisme politik internasional sebagaimana teori politik
mempertanyakan eksistensi negara. Wright berpendapat bahwa teori internasional
adalah sebuah tradisi spekulatif mengenai masyarakat bangsa-bangsa, atau
keluarga bangsa-bangsa, atau komunitas internasional.19
Kemudian dalam bukunya tersebut, Wright juga menggambarkan bahwa
dalam melihat situasi hubungan internasional maka politik internasional
senantiasa dikuasai oleh tiga tradisi pola pemikiran teori yakni Realisme,
Revolusionisme, dan Rasionalisme. Pada setiap sudut pandang tersebut, Wright
menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat internasional berlangsung. Pada
sudut pandang pertama yaitu Realis, Wright melihat masyarakat internasional
sebagai sebuah kontradiksi dalam istilah-istilah. Ketika kontrak antar Negara tidak
ada, maka masyarakat internasional berada dalam kondisi pra-masyarakat. Seperti
halnya individu, masyarakat internasional berada dalam keadaan perang. Jika
dikaitkan dengan asumsi Hobbesian, tradisi ini melihat politik internasional
sebagai sebuah perjuangan zero-sum untuk mendapatkan kekuasaan; dan melihat
19
Op.Cit. Martin Griffiths, Hal. 231
21
perdamaian sebagai hasil yang ringkih dari rasa ketidakamanan dan gangguan
ekstensial.20
Sementara itu, pada sudut pandang yang kedua atau Revolusionisme,
Wright melihat bahwa dunia hanya terdiri dari masyarakat manusia internasional.
Revolusionisme menawarkan tatanan sebuah kosmopolitanisme di mana negara
berdaulat tidak ada dan yang ada hanyalah seperangkat keterikatan moral untuk
civitas maximum. Teori internasional aliran ini memiliki karakter yang progresif
dan bahkan karakter penganut dalam hal bertujuan mengubah dunia menjadi lebih
baik. Dalam tahap esktrim pemikiran ini, satu-satunya masyarakat internasional
yang nyata adalah masyarakat dunia yang terdiri dari manusia, yaitu peradaban
manusia.21 Manusia adalah pembentuk komunitas dunia primordial atau
komunitas manusia yang lebih fundamental daripada negara.
Tradisi pemikiran yang ketiga adalah Rasionalisme dimana Wright
mengatakan :
Rasionalis adalah mereka para teoritisi yang yakin bahwa manusia
selalu memakai akal pikiran, dapat mengenali hal yang benar untuk
dilakukan. Dan dapat belajar dari kesalahan dan dari yang lainnya.
Dalam bukunya, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Robert
Jackson dan Georg Sorensen mengatakan bahwa tradisi ketiga daripemikiran
Hedley Bull ini, sering disebut sebagai jalan tengah bagi kedua tradisi sebelumnya
dan sering diidentikkan sebagai bentuk teori masyarakat internasional yang hadir
untuk menjembatani perbedaan dari dua fokus perdebatan dunia, yakni Realisme
dan Liberalisme. Hal tersebut disebabkan oleh, teori ini berusaha berpikir rasional
20
Ibid. Hal 32
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen.Hal. 192
21
22
dan tidak terjebak pada satu radikalisme pemikiran. Rasionalisme menunjukkan
jalan tengah dari Realisme dan Liberalisme karena pengikut tradisi ini berupaya
untuk menghindari pandangan pesimis kaum realis yang luar biasa tentang negara
sebagai organisasi politik yang berdiri sendiri serta bangga pada diri sendiri yang
berhubungan dan berhadapan satu sama lain atas dasar instrumental dari
kepentingan diri yang sempit. Sementara di sisi lain, juga berusaha untuk menolak
pandangan kaum liberalis yang dalam bahasa Wright adalah kaum Revolusionis
yang menganggap hubungan internasional sebagai komunitas dunia yang
berkembang yang kondusif bagi kemajuan manusia dan perdamaian abadi yang
tidak terbatas.22
Berkaitan dengan pemikiran Wright tentang masyarakat internasional,
Hedley Bull dalam pemikirannya berfokus pada istilah tatanan (Order) dunia dan
mengkalim bahwa ‘lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat negara (perang,
negara adi daya, hukum internasional, diplomasi, dan perimbangan kekuasaan)
sangat krusial dalam memelihara tatanan internasional tersebut.23 Dalam bukunya
The Anarchical Society (1977) yang masih terinspirasi dari kuliah-kuliah Martin
Wright sewaktu menjadi muridnya, Bull menunjukkan bahwa dalam interaksi
masyarakat, diperlukan adanya suatu sistem yang mengatur anarkisme politik
internasional. Sistem itu dapat berupa perjanjian masyarakat yang bertujuan untuk
menjaga rasa aman serta menjaga hak kodrati setiap anggotanya dari keadaan realpolitik atau keadaan alami manusia. Kemudian Bull mengadaptasikan aturan itu
22
Ibid. Hal. 184
Op.Cit. Martin Griffiths. Hal: 200
23
23
pada level negara di mana suatu sistem atau tatanan dunia sengaja dibentuk untuk
menjamin hak dan kedaulatan sebuah negara merdeka.
Lebih lanjut Bull membedakan antara sistem internasional dan masyarakat
internasional. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kekeliruan dalam
memahami interaksi politik internasional ataupun hubungan internasional. Dalam
pandangan Bull, sistem internasional adalah bentuk fisik dari sebuah perjanjian
yang dibuat antara satu atau lebih negara berdaulat, sementara masyarakat
internasional adalah sebuah pola interaksi antar negara berdaulat yang dijalankan
atas kesadaran untuk hidup selaras demi tercapainya perdamaian dunia. Filosof
asal Australia itu juga berasumsi bahwa meskipun anggota dari masyarakat
internasional itu adalah negara, namun yang aktif berperan dalam perpolitikan
internasional adalah wakil dari suatu Negara yang dapat berupa negarawan,
presiden, menteri luar negeri, atau pada kasus tertentu adalah menteri pertahanan.
Itu juga sebabnya mengapa dalam aplikasinya, sering terdapat hal yang disebut
moralitas dan tanggung jawab seorang negarawan dalam mengambil sikap
maupun keputusan menyangkut suatu isu internasional sebagai akibat dari
keterlibatannya sebagai anggota masyarakat internasional maupun sebagai wakil
dari negara.
Hedley Bull beranggapan bahwa dalam teori masyarakat internasional
hanyalah negara-negara besar beserta negarawannya yang bertanggung jawab
untuk menjadi ‘polisi dunia’.24 Bull menyebutkan hal tersebut secara eksplisit
bahwa negara adidaya yang merupakan bagian dari lembaga internasional,
24
Op.Cit. Robert Jackson dan Georg Sorensen. Hal.199
24
memiliki funsi manajerial dan tanggung jawab moral untuk berupaya
mendistribusikan keadilan dan ketertiban dunia.
Adapun tingkat ketertiban yang hendak dicapai dalam bentuk ideal
Masyarakat Internasional adalah:
1. Ketertiban dalam kehidupan sosial adalah pondasi dari ketertiban masyarakat
internasional.
2. Ketertiban Internasional yang dimaksud oleh Bull adalah suatu bentuk
ketertiban individu-individu yang telah menjadi warga atau masyarakat suatu
Negara. Untuk melanjutkan eksistensi manusia, negara juga mutlak
melakukan hubungan internasional dalam keadaan yang kondusif.
3. Ketertiban Dunia adalah bentuk tertinggi dari ketertiban masyarakat
internasional yang merupakan tanggung jawab semua individu atau anggota
warga dunia. Negara hanyalah sebuah wadah atau simbol akan tetapi, aktor
yang betul berperan dan berusaha menjalankan ketertiban itu adalah individu
atau manusia itu sendiri.
Seperti yang disebutkan oleh Bull bahwa tatanan dunia akan selalu
berubah, memasuki akhir tahun 40-an, situasi perpolitikan dunia mengalami
perubahan yang ditandai dengan berlangsungnya Perang Dingin. Ketika itu,
pemikiran John Vincent (1943), yang juga merupakan murid dari Hedley Bull,
mulai menyertakan variable intervensi dan HAM dalam Mazhab Inggris ini.
Pemikiran Vincent didasarkan pada perdebatan panjang antara sesama pemikir
aliran Grotian mengenai progress masyarakat internasional atau yang dalam
istilah Bull disebut masyarakat negara. John Vincent juga mempertanyakan
25
tentang aktor-aktor dari masyarakat internasional bukan saja hanya negara tetapi
juga individu-individu suatu negara? Apakah perjanjian yang dibuat oleh para
negarawan saja adalah legal dan betul-betul mewakili kepentingan rakyat yang
merupakan kunci atau dasar fundamental dari terbentuknya suatu masyarakat
internasional? Apakah teori masyarakat internasional betul-betul merupakan
alternatif atau jalan tengah dari perdebatan teori klasik Realis dan Liberalis?
Apakah lembaga-lembaga yang sengaja dibuat dan dibutuhkan untuk mengisi
eksistensi masyarakat internasional dapat sejalan dengan perkembangan budaya
suatu negara anggota, serta apakah terdapat keseimbangan pluralisme dan
solidarisme dalam masyarakat internasional?
Lebih jauh lagi, Vincent menjelaskan kemungkinan adanya intervensi
sebuah negara terhadap negara lain yang berdaulat jika intervensi itu menyangkut
hak asasi manusia. PBB sebagai organisasi internasional bisa memiliki hak
intervensi itu, namun, negara lain, meskipun negara adidaya sekalipun, menurut
Vincent tidak diabsahkan melakukan intervensi sebagaimana yang sangat banyak
terlihat dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa perang dingin
pada negara-negara sekutunya. Selama kedaulatan adalah hal yang penting bagi
semua negara, maka tidak ada alternatif intervensi atas dasar sesama anggota
masyarakat internasional. Hukum internasional pun semata dibentuk berdasarkan
kesetaraan formal dengan mengabaikan ketidaksetaraan substansial dalam
distribusi kekuasaan militer dan ekonomi. Dengan begitu, keadilan distributif dan
komutatif yang dinyatakan Bull dalam tradisi rasionalisnya adalah absurd.25
25
Op.Cit. Martin Griffiths. Hal. 218
26
Seperti yang telah disebutkan oleh penulis pada paragraf awal tentang
pengaruh Hedley Bull dalam pemikiran filosofer lain mengenai masyarakat
internasional, Michael Walzer (1935) juga melihat eksistensi masyarakat
internasional memiliki hukum tersendiri dalam menetapkan nasib dan hak negara
anggotanya. Sebuah agresi ataupun perang merupakan sebuah lembaga yang tidak
perlu direduksi selama hal tersebut dilakukan secara adil. Sebuah agresi yang
mengarah pada bentuk intervensi negara berdaulat, terutama untuk mendukung
gerakan pembebasan nasional, pengimbangan intervensi negara lain, atau untuk
menyelamatkan penduduk yang terancam perbudakan, adalah sebuah hal yang sah
dalam interaksi masyarakat internasional.
Pada intinya, teori masyarakat internasional adalah sebuah paham atau
teori yang menyatakan perlunya sebuah sistem yang mengatur interaksi antar
negara agar hubungan internasional tidak terjerumus pada anarkisme politik
internasional. Sistem itu dibentuk melalui kesadaran dan beban moral dari anggota
masyarakat internasional seperti negara, organisasi internasional, dan individu
bernegara berdasarkan pendekatan sejarah, seperti mitos perjanjian atau batasanbatasan fundamental agama. Sebuah traktat yang bersifat Law Making adalah
sebuah keharusan bagi terciptanya keadilan kosmopolitan.
Implementasi dari teori masyarakat internasional telah banyak diuji selama
perkembangan hubungan internasional. Tercermin dari banyaknya kasus
peperangan yang melanda dunia, tradisi masyarakat internasional semakin dapat
digunakan sebagai paradigma untuk menganalisis sikap dari masyarakat
internasional. Salah satu contoh pentingnya pemeliharaan konsep tatanan dunia
27
dapat dilihat pada Perang Dunia II ketika sebagian negara ikut terlibat dalam
perang pemusnah massal tersebut demi menjaga perimbangan kekuasaan di dunia.
Peran masyarakat internasional dalam berusaha mewujudkan konsep tatanan
dunia yang ideal, dapat dilihat pada kasus perang antara Serbia, Kroasia, dan
Bosnia-Herzegovina di bekas Negara Yugoslavia pada dekade 90-an. Untuk itu,
berikut adalah kilas balik tentang bagaimana perang tersebut dapat terjadi.
Secara historis, Serbia, Kroasia dan Bosnia-Herzegovina adalah Negaranegara yang bersatu atas dasar-dasar primordial seperti kesamaan etnis dan
bahasa. Negara-negara ini hanya sempat terpisah sewaktu beberapa peradaban
besar seperti Bizantium, Romawi, dan Islam menduduki mereka dan mendistigasi
bangsa Slavia menjadi beberapa kelompok pada abad pertengahan. Negara-negara
itu kembali bersatu ketika berada di bawah Kerajaan Ottoman Turki sejak abad ke
15. Namun, pada tahun 1878, Serbia berhasil mendapatkan kemerdekaan dari
Kerajaan Ottoman sementara Bosnia-Herzegovina kembali diduduki oleh
Kerajaan Austria. Baru setelah Perang Dunia I akan berakhir dan Kerjaan AustroHongarian runtuh, kedua Negara itu, bersama dengan negara-negara Balkan
lainnya seperti Montenegro, Kroasia, Slovenia, dan Macedonia bersama-sama
mendirikan suatu negara baru yang disebut Yugoslavia. Pada awal berdiri,
sebagaimana negara multikultur pada umumnya, perbedaan pendapat dan
ketegangan situasi politik tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, dengan
munculnya seorang tokoh yang mampu mempersatukan pluralisme, Yosef
Brostito berhasil meredam perbedaan atau sentiment primordial yang muncul
antar negara bagian.
28
Perang saudara kemudian pecah setelah Yosef Brostito pergi. Dengan
tidak adanya lagi simbol yang dapat menyatukan perbedaan, situasi politik Negara
Yugoslavia kembali kisruh. Kecemburuan politik terhadap etnis Serbia yang
mendominasi pemerintahan, membuat etnis lainnya terutama Kroasia merasa
termarginalkan. Perang pun meletus ketika Serbia menyerang Kosovo dan Kroasia
pada akhirnya menyatakan kemerdekaannya. Dengan ketidakstabilan situasi
politik, maka Bosnia-Herzegovina ikut memutuskan untuk ikut memerdekakan
diri dari Yugoslavia pada tahun 1992. Namun nasib naas menimpa Bosnia,
dengan adanya perimbangan etnis antara Muslim Bosnia-Herzegovina 43 %,
Kristen Serbia 31.4%, Kroasia 17.3%, dan 6% etnis lainnya26, peperangan yang
awalnya adalah pertempuran politik antara Serbia dan Kroasia, bertransformasi
menjadi perang etnis antara Serbia dan Aliansi Kroasia Bosnia-Herzegovina. Pada
perkembangannya, Bosnia menjadi negara bagian yang mengalami pembantaian
paling besar. Hujan tembakan dan granat, menewaskan 10.000 warga di ibu kota
Sarajevo dan sebanyak 7000 umat muslim dibunuh pada tahun 1995 di kota
Srebrenica.27
Sebenarnya sangat banyak perang yang terjadi di dunia pasca Perang
Dunia II, seperti perang kemerdekaan Vietnam, Perang Korea, Perang Persia,
Perang Teluk I dan II, namun mengapa Perang Bosnia dipilih penulis untuk
menggambarkan sikap masyarakat internasional dalam menjalankan fungsinya, itu
karena Perang Bosnia tidak hanya sekedar bernuansa politik ataupun ekonomi
saja, tetapi unsur primordial seperti etnis, budaya, dan agama, juga turut menjadi
faktor yang memicu perang ini. Terlebih dengan adanya anggapan dunia yang
26
Aljazeera.net/English. Diakses pada: 3/4/2010. 1.19 Wita
Ibid.
27
29
menjustifikasi serangan Serbia ke Bosnia adalah sebuah agresi yang melanggar
hukum internasional dan hak asasi manusia. Hampir semua unsur yang berada
dalam perang ini menyinggung hal-hal yang sangat diperhatikan oleh pemikir
masyarakat internasional.
Terdapat kesamaan unsur yang terjadi antara Perang Bosnia dengan
Pembajakan Kapal Mavi Marmara yang dilakukan oleh Israel, Sehingga penulis
memilih perang ini sebagai perbandingan kasus dengan menggunakan paradigma
masyarakat internasional. Hal yang pertama yang diperbandingkan adalah pihak
yang menyerang sama-sama dianggap melakukan kejahatan atau pelanggaran
terhadap hukum internasional karena melakukan agresi terhadap negara berdaulat
dan kejahatan hak asasi manusia. Hal kedua adalah tentang bagaimana PBB dan
negara-negara adidaya ataupun negara besar yang merupakan anggota masyarakat
internasional, bekerjasama untuk memberi sanksi kepada pihak tertuduh atas
pertimbangan tanggung jawab moral dan penegakan ketertiban serta keadilan
dunia.
Salah satu bentuk kongkrit yang dapat dilihat adalah setelah Serbia
menyerang Bosnia-Herzegovina dan melakukan pembantaian besar-besaran,
masyarakat internasional merasa perlu melakukan intervensi untuk menghentikan
tindakan Serbia, baik itu melalui jalur diplomasi maupun militer. PBB yang
bertugas sebagai dewan keamanan dunia pun mengeluarkan resolusi untuk
menanggulangi masalah tersebut. Sementara masyarakat internasional ikut
menyelesaikan masalah tersebut dengan mengirimkan pasukan militer mereka ke
Bosnia demi melindungi bangsa slavia dari serbuan pasukan Serbia. Setelah
mengeluarkan resolusi terhadap konflik Bosnia, PBB mengirim utusannya yakni
30
Yasuki Akasi untuk memediasi kepentingan dari setiap pihak yang berselisih.
Amerika yang pada masa itu merupakan negara adi daya ikut mengambil bagian
dengan menempatkan mediasi itu di Dayton, Amerika Serikat pada 1 November
1995. Pada saat itu, negara bertikai yang masing-masing diwakili oleh kepala
negaranya, berhasil mencapai kesepakatan untuk gencatan senjata. Beberapa
bulan kemudian, tepatnya pada 14 Desember 1995 di Perancis, Presiden Bosnia
Alijah Izetbegovic, Presiden Serbia Slobodan Milozevic, dan Presiden Kroasia
Franjo Tujman, menandatangani perjanjian Daytona. Amerika Serikat yang
diwakili oleh Bill Clinton dan Perancis yang diwakili oleh Presiden Jaques Chirac,
dan Kanselir Jerman Victor Chernomyrdin, selaku mediator, juga ikut
menandatangani perjanjian tersebut.28 Meskipun perjanjian gencatan telah selesai,
namun sanksi yang diberikan dunia kepada Serbia tidak berhenti disitu saja.
Mengingat banyaknya individu yang telah dimusnahkan dan pelanggaran hak
asasi manusia dengan menyebabkan puluhan juta warga terusir dari negara
mereka, serta pelanggaran tatanan dunia, maka masyarakat internasional sepakat
membawa Serbia khususnya tokoh utama atau mainbrain dari agresi mematikan
Serbia, Karadziq dan Presiden Serbia sendiri, ke Mahkamah Internasional pada
tahun 2008 lalu untuk dimintai pertanggungjawaban.
Kurang lebih, hal seperti itulah yang akan dilihat pada kasus pembajakan
Mavi Marmara dengan menggunakan paradigma masyarakat internasional.
Tentang bagaimana dunia bereaksi terhadap serangan Israel kepada kapal bantuan
kemanusiaan berbendera Turki menuju Palestina. Israel dianggap melanggar
hukum internasional yang bukan saja hanya terhadap para relawan di atas kapal
28
Suparman, 2003, Sejarah Nasional dan Umum, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Hal.
34
31
tersebut tetapi juga pada warga Palestina yang telah menanti bantuan kemanusiaan
tersebut. Serta apakah sanksi yang diberikan oleh masyarakat internasional adalah
sah atau hanya sekedar tuduhan belaka?
B. Konsep Peran Media Massa
Interaksi adalah sebuah konsekuensi dari sifat sosial manusia. Tanpa
adanya interaksi maka manusia tidak akan mampu bertahan dan melewati seleksi
alam. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia tidak bisa stagnan pada
keadaan alamiahnya dan perlu bergerak kepada arah yang lebih beradab. Individu
yang serba terbatas perlu melakukan hubungan antar manusia misalnya dengan
membuat sebuah komunitas. Kemudian di dalam proses itu, manusia memerlukan
sarana demi menyatukan maksud dan tujuan mereka seperti komunikasi. Dalam
bukunya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Prof Widjaja bahkan
mengatakan bahwa komunikasi adalah inti dari semua hubungan sosial, apabila
orang telah melakukan hubungan tetap, maka sistem komunikasi yang mereka
lakukan akan menentukan apakah sistem tersebut dapat mempererat atau
mempersatukan mereka, mengurangi ketegangan atau melenyapkan persengketaan
apabila muncul.
Pada mulanya, komunikasi hanya terdapat pada masyarakat kecil. Namun
dengan adanya evolusi sosial dan sifat manusia yang selalu ingin tahu, ingin maju
dan berkembang, maka proses komunikasi mulai merambah kepada khalayak
yang lebih luas. Sejak saat itu, komunikasi tidak saja disampaikan secara lisan
tetapi melalui perantara yang disebut media. Secara harafiah, media berasal dari
bahasa Latin ‘medium’ atau dalam bentuk jamaknya ‘media’ yang berarti
‘perantara’. Hal itu kemudian dimodernisasi oleh oleh Heinich (1993) yang
32
menurutnya, media adalah alat saluran komunikasi. Sementara menurut Prof
Arifin, “Medium (tunggal) atau media (jamak) diartikan sebagai alat menyalurkan
gagasan isi jiwa dan kesadaran manusia”.29
Media primitif yang pertama digunakan adalah pamflet ataupun selebaran,
akan tetapi, ketika Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak pada awal abad
ke-15, surat kabar yang merupakan media massa pertama mulai menjadi sarana
bertukar informasi tentang apa yang terjadi di lingkungannya.30
Pada perkembangannya, media massa terbagi menjadi beberapa jenis,
yakni:
1. Pers (surat kabar),
2. Radio,
3. Televisi, dan
4. Film.
Kemudian setelah ditemukannya satelit dan perkembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi menjadi semakin canggih, muncul pula media baru
yakni media interaktif atau lebih dikenal dengan internet. Media yang merupakan
penggabungan dari telepon, televisi, dan komputer. Media yang sering juga
dikatakan sebagai terobosan yang mampu melintasi batas-batas negara ataupun
budaya.
Sebagaimana
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
berkembang,
komunikasi dan peran media juga mengalami pertumbuhan pesat. Seperti kata
Prof Widjaja bahwa komunikasi adalah inti dari semua hubungan sosial, peran
29
Prof. Dr. Anwar Arifin, 2010, Opini Publik, Depok: Gramata Publishing. Hal.115
Dedy Djamaluddin Dkk, 1993, Komunikasi Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Hal.3
30
33
media juga tidak dapat dilepaskan dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pada
awal rintisannya, media massa (pers) digunakan sebagai pelengkap kepentingan
informasi dari pengusaha, pemiliki modal, dan diplomat yang melakukan
hubungan luar negeri.31 Selanjutnya, pada abad ke 19, Negara-negara barat, yang
dipicu oleh semakin intensnya hubungan internasional, mulai mendirikan kantor
berita dan mulai saling menukar informasi sehingga sistem komunikasi
internasional mulai berjalan. Sejak saat itu, media mulai berperan sebagai sumber
dalam mendapatkan berita baik itu dari dalam negeri sendiri maupun dari dunia
internasional.
Sebagaimana kata Walter Lippmann (1946):
“In today’s mass society people are even more dependent
on the news because the have “nowhere else to turn for
information about public affairs and for cues on how to frame
and interpret that information”.
A.S Ahmad (1992) pun memberikan rinci dari peran media massa:
1. Media massa yang memberitahukan dan membantu kita untuk
mengalami dunia, dalam hal ini, media massa melakukan fungsi
pengawasan.
2. Media massa mengatur agenda kita dan membantu menyusun
kehidupan kita.
3. Media massa membantu kita untuk berhubungan dengan
bermacam-macam kelompok atau golongan dalam masyarakat.
31
Ibid. Hal:55
34
4. Media massa membantu kita mensosialisasikan diri, melalui media
massa manusia menambah apa yang sudah dipelajari mengenai
perilaku dan nilai-nilai di dalam berhubungan dengan masyarakat.
5. Media massa digunakan untuk mengajak dan memanfaatkan
sumber-sumber pesan.
Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa kehadiran media tidak dapat
dilepaskan oleh sifat manusia itu sendiri. Dilandasi oleh rasa ingin tahu dan
keinginan untuk berkembang, media selalu berusaha untuk menempatkan dirinya
sebabai lembaga yang berfungsi untuk menyediakan berbagai berita yang
dibutuhkan oleh khalayak. Tidak dapat dipungkiri bahwa, meskipun manusia
memiliki kegiatan sendiri dalam kehidupannya, tetapi apa yang terjadi seputar
lingkungan mereka merupakan suatu ‘concern’ yang mutlak dipenuhi. Manusia
selalu merasa penting untuk menjadi well-informed tentang berbagai peristiwa
baik dalam maupun luar negeri dan media hadir untuk memberikan kebutuhan itu.
Seorang diplomat bahkan menjadikan media sebagai bahan mentah untuk
menentukan strategi perundingan.32 Lebih jauh lagi, jika hubungan antar media
massa dengan pemerintah dan masyarakat dikaji berdasarkan ‘teori sistem’ atau
‘teori fungsionalisme strukutral’ yang dikembangkan oleh Talcott Parson (1951:
29-57) dan pengikutnya, maka meskipun media massa itu bersifat otonom sebagai
sebuah lembaga (dalam tambahan penulis: bahwa media massa dalam penyajiaan
berita selalu terpengaruh oleh yakni, tipe kepemilikan, tipe pengawasan, sumber
operasi, pengatur modal dan pendapatan, kompleksitas birokrasi media, tujuan
32
Dedy Djamaluddin Dkk, 1993, Komunikasi Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
Hal : viii
35
yang diterima, pesan-pesan, dan tipe isi), namun selalu berada dalam keadaan
saling ketergantungan dengan masyarakat dan negara (pemerintah) di mana media
massa itu bekerja. Hal ini berarti bahwa dalam keseluruhan sistem sosial dari
masyarakat, media massa adalah subkulturnya.33
Peran media massa tidak berhenti di situ saja, sistem perpolitikan baik
nasional maupun internasional yang semakin kompleks juga menggunakan media
sebagai sarana atau alat perjuangan politik. Tidak perlu diragukan lagi peran
media massa dalam sistem demokrasi, sejak munculnya istilah kebebasan pers dan
amandemen undang-undang Amerika Serikat menjamin hal itu, media massa
bahkan menjadi ‘power’ ke empat setelah Trias Politica. Sistem demokrasi adalah
‘pemerintahan opini publik’ merupakan kelakar politik yang dikeluarkan oleh H.L
Mencken atas subjektivitasnya melihat peran media dalam suatu negara.34
Wright (1985: 7-8) yang mengutip Laswell mengatakan bahwa fungsi
pokok media massa dalam bidang politik sebagai berikut:
1. Fungsi pengawasan lingkungan (Surveillance)
2. Fungsi hubungan (Correlation)
3. Fungsi transmisi warisan sosial (Sosial Heritage)
4. Fungsi pemberi status (Status Conferral)
Lebih jauh lagi, jika telah berbicara pada ranah komunikasi
internasional, peran media dapat dilihat melalui tiga perspektif. Pertama adalah
media sebagai sarana diplomatik, kedua media sebagai sarana jurnalistik, dan
ketiga sebagai sarana propaganda. Peran media sebagai sarana jurnalistik
33
Ibid. Hal: 142
Dan Nimmo. 2005. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. (Terjemahan) Hal.9
34
36
sepertinya sudah sangat jelas dari bagaimana tujuan dari komunikasi itu sendiri.
Namun peran media sebagai sarana diplomatik dan propaganda, disebabkan oleh
terdapatnya teknik agenda setting dalam sistem penyampaian berita oleh media
massa. Hal tersebut membuat media massa memiliki kekuatan dalam membentuk
opini publik. Ketidakhadiran khalayak (audience) dalam suatu peristiwa atau isu,
memberikan media hak istimewa untuk mengatur berita sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh media itu untuk ditampilkan. Entah itu sesuai dengan kepentingan
dari pemilik saham atau media tersebut, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, atau berdasarkan pada bagaimana masyarakat ingin menerima berita
itu. Dr. Siswo Pramuno mengatakan bahwa, dalam masyarakat cenderung terdapat
pilar yang menyekat khalayak untuk menerima berita sesuai dengan yang mereka
inginkan atau mereka harapkan dari suatu kasus ataupun isu yang sedang terjadi.
Hal itu juga diperkuat oleh pendapat Prof. Arifin dalam bukunya yang bertajuk
Opini Publik, Beliau mengkutip Pawito bahwa, Khalayak akan memilih media
massa yang sesuai dengan citra dirinya, visi, dan misinya dalam menjalankan
aktivitas sebagai warga masyarakat, sekali lagi memberikan peluang bagi media
untuk menjalankan perannya sebagai lembaga sosial yang mampu:
(1) mengkonstruksi dan mendekonstruksi realitas sehingga tercipta dan persepsipersepsi tertentu pada khalayak,
(2) mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan-tuntutan,
dan
(3) memproduksi dan mereproduksi identitas budaya.
37
Dengan begitu, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa media memiliki peran
besar dalam struktur sosial masyarakat. Media dapat membentuk pikiran
masyarakat melalui penyampaian pesan yang bersifat informatif, persuasif,
koersif, sehingga persepsi masyarakat yang pada awalnya positif sapat menjadi
lebih ekstrim, dari positif dapat berubah negatif, ataupun sebaliknya. Peran media
sebagai alat propaganda terlihat dari banyaknya kasus yang telah terjadi seputar
sejarah hubungan internasional yang melibatkan eksistensi media. Pada awal
dekade 90-an ketika Perang Teluk I terjadi, keberhasilan CNN internasional dalam
membingkai peristiwa tersebut membuat dunia terjangkit CNN effect khususnya
dalam pembentukan image Irak dan pemimpinnya Saddam Husein. Menjelang
Perang Irak pada tahun 2003, CNN menjadi saluran utama bagi Presiden George
W. Bush untuk menyatakan tudingan senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak
secara langsung dari kapal induk Amerika Serikat Abraham Lincoln. Kemudian,
secara berkala, Presiden Amerika tersebut hadir memberikan pidato atau
kebijakan terbarunya seputar perkembangan perang di stasiun tersebut. Bersama
dengan media CNN, Bush berusaha meyakinkan khalayak Amerika dan
masyarakat internasional bahwa Amerika dan sekutunya sudah sepatutnya
menyerang Irak demi mencegah terjadinya perang nuklir dan atas nama
perdamaian dunia.
Efektivitas peran CNN dalam mempengaruhi masyarakat internasional
sekali lagi dapat dilihat ketika peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade
Center atau yang lebih dikenal dengan Tragedi 9 September terjadi pada tahun
2001 lalu. Pada peristiwa itu, melalui pemberitaan CNN yang sangat cepat dan
38
aktual, Masyarakat dunia dapat dengan segera mengetahui siapa dalang dari
peristiwa itu. Dengan program berita utamanya, CNN dengan hebatnya
memperlihatkan bagaimana pesawat angkut milik Negara asing menabrak gedung
kembar tersebut secara beruntun hingga gedung itu rubuh dan hancur berkepingkeping. Pada saat yang sama, program berita itu juga menampilkan gambar
beberapa protester Anti-Amerika sedang merayakan peristiwa tersebut di
beberapa Negara-negara Timur-Tengah.
Pasca pemberitaan runtuhnya WTC, Umat muslim yang dijadikan aktor
antagonis dalam peristiwa itu menerima hujatan dari masyarakat luas. Banyaknya
korban jiwa yang dihasilkan, membuat umat islam yang lain yang tidak bersalah
terkena imbas. Mereka dikucilkan, dijarah, dan perlakukan tidak adil dalam
berbagai aspek kehidupan. New York Post menyajikan berita-berita anti-Islam
yang sangat pro-Israel dan menstereotipe laki-laki muslim sebagai pelaku
kekerasan dan perempuan muslim sebagai makhluk yang selalu patuh pada
perintah.35 Islamophobia berkembang dan meluas di Eropa sehingga, pemberitaan
superior CNN mampu memperparah teror lama yang telah hadir antar kedua umat
yang terjadi sejak zaman perang salib.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah berakhirnya perang dingin dan
Amerika Serikat keluar sebagai pemenang, sistem berita internasional juga
mengalami unilateralisasi, dimana CNN effect mendominasi hampir seluruh
jangkauan pemberitaan internasional. BBC yang merupakan stasiun berita
internasional tidak memberikan jangkauan berita sehebat yang diberikan oleh
35
Pippa Noris, Montague Kern, and Marion Just. 2003. Framing Terrorism The News Media, the
Government and the Public. New York: Routledge. Hal.134
39
CNN. Peran CNN baru kemudian melemah setelah Al Jazeera muncul untuk
memberikan pemberitaan yang berimbang pada perang Afghanistan setelah
peristiwa 9/11. Dengan begitu, masyarakat internasional tidak lagi terjebak dalam
satu kiblat berita dan mereka memiliki akses alternatif sebelum menentukan
persepsi mereka. Dengan kehadiran Al Jazeera, pemerintah dunia secara otomatis
diberi alternatif untuk memilih media mana yang menghadirkan berita sesuai
dengan citra mereka sebagai masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kehadiran media dalam berbagai
interaksi internasional dewasa ini, semakin menunjukkan superioritasnya.
Merupakan tindakan media-lah yang mengekspos berbagai isu yang terjadi
seputar hubungan internasional sehingga bukan masyarakat internasional yang
merupakan negara saja yang ikut terlibat dalam berbagai aktivitas hubungan
internasional, namun juga individu yang memiliki negara atau berbagai lembaga
baik itu lembaga internasional maupun lembaga internasional. Tanpa adanya
media, maka tidak mungkin suatu isu yang terjadi di belahan bumi lain dapat
diketahui oleh masyarakat luas. Dengan tidak membatasi oleh media mana yang
berperan besar maupun kecil namun, dalam insiden Mavi Marmara, dapat dilihat
bagaimana peran media dalam mengekspos isu tersebut menjadi sebuah peristiwa
yang menggemparkan dunia melalui arus berita internasional. Adanya sikap dari
pihak Mavi Marmara yang mengundang pers untuk meliput serta menggunakan
hal tersebut sebagai sarana propaganda untuk meminta dukungan dari masyarakat
internasional, membuat peran media sekali lagi tidak bisa disepelekan.
40
C. Konsep Perjanjian Internasional
Dengan demografi dunia yang sebagian besarnya (2/3 luas bumi)
didominasi oleh lautan, membuat aktivitas manusia khususnya hubungan
internasional juga tidak terlepas dari wilayah samudera. Meskipun lautan
dikatakan sebagai pemisah benua ataupun negara, namun untuk kasus tertentu,
lautan juga menjadi pemersatu wilayah khususnya bagi negara kepulauan.
Intensnya aktivitas manusia di wilayah perairan dirintis sejak manusia mengenal
sistem perdagangan lintas negara pada abad-abad pertengahan. Hal tersebut
semakin gencar dilakukan ketika bangsa Eropa mulai berlayar dan mengeksplorasi
bumi guna mencari dunia atau benua baru bagi kepentingan umat manusia
ataupun kepentingan kolonialisme. Perdebatan sengit dilakukan oleh negaranegara maritim Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Perjanjian Tordesillas yang
dibuat oleh kedua Negara akhirnya ditolak oleh Inggris setelah Elizabeth I
berkuasa. Tidak berhenti di perebutan wilayah kekuasaan laut saja, komersialisasi
hasil laut mulai dilakukan ketika pertambangan mulai ditemukan dilautan. Kapalkapal dagang yang telah bertransformasi menjadi kapal besi dan berbahan bakar
batu bara, mulai marak melintasi lautan.
Semakin kompleksnya aktivitas di atas lautan, mendesak manusia untuk
membuat hukum lautan yang berfungsi untuk menjaga ketertiban antar sesama
warga dunia. Hukum lautan pertama yang pernah dibuat oleh manusia adalah
Pasal 7 Konvensi Den Haag XII Internasional Perampasan Kapal di Laut.
Kemudian pada tahun 1930 pada Konferensi Kodifikasi Den Haag di bawah
naungan Liga Bangsa-Bangsa. Namun, hukum laut baru secara komperhensif
41
mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958.36 Di dalam konvensi
itu, mengatur tentang laut territorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi
sumber daya hayati di laut lepas, landas kontinen, dan laut lepas itu sendiri.
Hukum laut ini bertahan cukup lama sampai aktivitas manusia di lautan semakin
marak. Adanya kemajuan teknologi membuat lautan menjadi lahan bisnis baik
bagi perikanan maupun tambang. Selain itu, kemajuan pesat dalam bidang
teknologi militer membuat lautan menjadi sasaran latihan militer atau bahkan
peperangan itu sendiri. Baik disadari ataupun tidak, hal tersebut mempengaruhi
penurunan sumber daya kelautan sehingga kebutuhan manusia akan hasil laut
menjadi terbatas. Dengan banyaknya negara yang membutuhkan sumber daya
laut, maka mahkamah internasional yang memang bertanggung jawab sejak
dibentuknya hukum internasional pertama, kembali melakukan amandemen dan
membuat hukum laut yang mampu merangkul semua kepentingan Negara-negara
anggota masyarakat internasional.
Dalam Konferensi Hukum Laut PBB yang pertama itu, Negara-negara
yang meratifikasi perjanjian, menyepakati hukum laut sebagai berikut:
1. Konvensi Tentang laut territorial dan jalur tambahan (convention
on the territorial sea and contiguous zone)
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) yaitu:
Kebebasan pelayaran, kebebasan menangkap ikan, kebebasan
meletakkan kabel dibawah laut, dan pipa-pipa, serta kebebasan
terbang di atas laut.
36
Mochtar Kusumatrnadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
P.T Alumni, Hal.170
42
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber
hayati di laut lepas (convention on fishing and conversation of the
living resources of the high seas).
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention of the continental
shelf).37
Konferensi Hukum Laut PBB yang pertama hanya mampu bertahan selama
dua tahun. Pada tahun 1960, Unclose II dilaksanakan dan setelah melalui beberapa
pertimbangan, peserta Negara peratifikasi konvensi Jenewa 1958 dan 1960
tersebut, pada akhirnya menyepakati konvensi PBB tentang Hukum Laut (United
Nation Convention on the Law of the Sea) PBB ke III, tahun 1982. Konvensi yang
terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex ini mengatur tentang segala aspek kegiatan
laut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut,
riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknologi, dan
penyelesaian sengketa tentang masalah-masalah kelautan.38 Dalam Unclose 1982
juga dijelaskan bahwa negara-negara yang pada awalnya memiliki ZEE seluas 3
mil dari garis pantai setiap pulau, kemudian berubah menjadi 12 mil dari garis
pantai rangkaian pulau terluar. Namun untuk beberapa kasus perairan yang
memiliki posisi strategis seperti Selat Malaka ataupun Selat Sunda di Indonesia
tetap menjadi bagian dari perairan internasional. Dengan begitu, segala sesuatu
yang dilakukan di perairan internasional, meskipun itu berada di sekitar wilayah
territorial suatu negara, kedaulatan dari negara tersebut tidak berlaku. Di atas
perairan nasional, hukum yang berlaku adalah hukum bendera kapal sehingga
‘Tabloid Diplomasi’ Edisi September 2010. Rabu, 15 September 2010. Sejarah Rezim Hukum.
Ibid. Hal: 171
37
38
43
tidak ada suatu Negara pun yang berhak melakukan intervensi pelayaran apalagi
agresi.
Pada tragedi Mavi Marmara, sebagaimana masyarakat internasional
menuding Israel melakukan kejahatan terhadap traktat Unclose 1982 yang
menjadi landasan hukum atas tuduhan penyerangan di atas perairan nasional,
perlu dilihat lebih jauh apakah Israel yang sejak kedaulatannya diakui secara
otomatis menjadi bagian dari masyarakat internasional, telah meratifikasi
perjanjian tersebut. Akan terdapat ketimpangan ketika warga dunia meminta
pertanggung jawaban dari salah satu pihak yang tidak mengesahkan hukum
internasional. Ini seperti yang terjadi pada kasus Irak 2003 silam ketika
masyarakat internasional menganggap Amerika Serikat telah melanggar hukum
internasional terutama Konvensi Jenewa mengenai hukum perang.
Hal itu
disebabkan oleh Amerika Serikat tidak meratifikasi perjanjian tersebut sehingga
akan tidak logis untuk memaksakan hukum kepada seseorang yang tidak
mengakui hukum tersebut.
44
BAB III
Gambaran Umum Mengenai Insiden Mavi Marmara
A. Kronologis Terjadinya Peristiwa Mavi Marmara
Insiden Mavi Marmara adalah sebuah peristiwa pembajakan yang
dilakukan oleh Israel kepada sebuah kapal berjenis ferry bernama Mavi Marmara
yang berlayar menuju perairan Gaza demi melakukan misi kemanusiaan bagi
bangsa Palestina. Jika orang awam bertanya, mengapa Israel sampai menyerang
kapal bantuan kemanusiaan?, maka rentetan peristiwa sejarah yang melibatkan
kedua negara adalah sebuah jawaban yang paling tepat untuk menjelaskan
perselisihan berkepanjangan itu. Beberapa orang yang telah hirau terhadap
masalah Israel dan Palestina bahkan pesimis terhadap masa depan cerah hubungan
antar negara Israel dan Palestina.
Terdapatnya sengketa wilayah yang oleh kedua pihak, menjadi dasar dari
permasalahan, yang kemudian merembes kepada persoalan-persoalan primordial
seperti agama maupun etnis. Di saat negara-negara di belahan dunia lain sedang
dalam progres hubungan masyarakat regional, kawasan Timur-Tengah masih
dicekam oleh terror perang antar negara tetangga yang tidak berkesudahan.
Namun, sebelum beranjak lebih jauh kearah perkembangan konflik dan isu utama
yang menjadi studi kasus dari penelitian ini, maka penulis akan lebih dulu
memberikan asal-usul dari dari kedua negara yang sedang berselisih tersebut,
benarkah konflik berkepanjangan yang hingga saat ini telah melanggar banyak
hukum internasional maupun hukum humaniter adalah beralasan atau konflik
yang sedang terjadi sekarang adalah kesalah-pahaman besar yang membawa
45
unsur-unsur teologis untuk mengesahkan aneksasi maupun invasi antar sesama
manusia.
a. Israel
Israel adalah sebuah negara, bangsa bagi orang-orang keturunan Yahudi.
Israel yang dalam bahasa Ibrani disebut Medinat Yisra‘el dan dalam bahasa Arab
disebut Dawlat Isrā'īl adalah sebuah negara di Timur Tengah yang dikelilingi Laut
Tengah, Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan gurun pasir39. Israel berdiri pada
14 Mei 1948 setelah PBB mengesahkan pembagian tanah Palestina, dengan ibu
kota Yerussalem yang sampai saat ini belum diakui secara internasional. Israel
adalah sebuah negara demokrasi yang menurut sensus penduduk tahun 2010,
berjumlah 7.587.0002 jiwa, dengan komposisi etnis Yahudi, Arab, Kristen, Druze,
dan Samaria.40 Meskipun telah menjadi sebuah negara berdaulat namun oleh
beberapa negara, kedaulatan Israel belum diakui. Hal itu disebabkan oleh asalusul dari pembentukan negara tersebut masih dianggap kontroversial. Beberapa
golongan ekstrim bahkan menganggap bahwa negara Israel didirikan dari tanah
rampasan bangsa Palestina. Alasan yang menjadi sumber konflik hingga saat ini.
Namun, sebelum lebih jauh berbicara tentang konflik Israel-Palestina, maka
penulis menyertakan rentetan peristiwa sejarah eksistensi bangsa Yahudi di dunia.
Keberadaan Israel di dunia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan agama
samawi yang turun ke bumi. Asal-usul terbentuknya etnis ini, tidak terlepas dari
sosok Ibrahim yang dalam sejarah keagamaan, merupakan tokoh yang disucikan
atau disebut nabi. Peran Ibrahim dalam sejarah dimulai sejak 3.700 tahun yang
39
Wikipedia.com/Israel Diakses pada 6/5/2011, 8.56 Wita
Ibid.
40
46
lalu.41 Dalam kitab-kitab suci agama samawi, dikatakan bahwa Ibrahim diberi
mukjizat oleh Tuhan untuk melepaskan manusia dari kebodohan dan kesesatan
dalam menyembah berhala. Bersama pengikutnya yang disebut Kaum Ibrani,
Ibrahim kemudian hijrah dari tanah kelahirannya, kota Azar di Babylonia, ke
daerah Kanaan, sebuah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan bagi pengikut Ibrahim
yang setia pada ajaran tauhid. Pada masa kedatangan Ibrahim, wilayah tersebut
telah dihuni oleh suku atau bangsa-bangsa anti-semit seperti Kanaan, Amori, Het,
Gergasi, Feris, Hewi, dan Jebus yang merupakan bangsa keturunan Ham yang
berasal dari Mesir. Bangsa-bangsa itu telah membangun peradaban yang cukup
maju di kota-kota seperti Megiddo, Hazor, dan Sikhem. Sementara kota
Yerussalem didirikan oleh suku-suku Jebus, yaitu cabang dari bangsa Kanaan
yang hidup sekitar 5000 tahun lalu.42 Pada masa awal kedatangannya, Ibrahim
dan pengikutnya berasimilasi dan hidup dengan penduduk asli Kanaan di dataran
tinggi Yudea. Pengikut Ibrahim menjadi semakin besar ketika sejumlah orangorang semit turut datang dan mendiami kawasan perbukitan di Kanaan Tengah
dan Selatan.
Ibrahim dianggap sebagai asal-usul dari bangsa Israel (Yahudi) karena dari
hasil perkawinan Ibrahim dan Sarah, lahirlah Ishaq (1897-1717 SM), ayah dari
Yaqub (1837-1690 SM) dan Yaqub sendiri adalah nenek moyang dari Bangsa
Yahudi karena bergelar Israel yang dalam bahasa Ibrani berarti “Hamba Allah”.
Dari Yaqub, yang oleh agama-agama samawi juga dianggap sebagai orang yang
disucikan atau nabi, hadirlah dua belas keturunan yakni Rubin, Simon, Lewi,
41
A. Maheswara, 2010, Rahasia Kecerdasan Yahudi, Yogyakarta: Pinus Book Publisher, Hal: 13
http://knrp.or.id/berita/lintasmedia/sejarah-palestina-dari-kanaan-menjadi-tanah-yangdijanjikan.htm. Diakses Pada: 14/6/2011. Pukul 2.07 P.M
42
47
Yahuda, Zebulon, Isakhar, Dan, Gad, Asyar, Naftali, Yusuf, dan Benyamin.43
Keturunan dari dua belas nama inilah yang nantinya membentuk bangsa Bani
Israil menjadi dua belas suku yang dikenal dalam etnis Yahudi. Untuk beberapa
waktu, cikal-bakal bangsa Israel tersebut tinggal di tanah Kanaan sebelah wilayah
Filistia, sebelum daerah itu terkena wabah panceklik dan mengharuskan suku
tersebut hijrah ke Mesir. Di Mesir, Bani Israil mendapatkan peran sosial yang
lebih baik sampaiterjadi perubahan situasi politik dan Firaun anti-semit yang baru
berkuasa, akhirnya berseteru dengan Bani Israil sehingga mendekandensi status
sosial mereka menjadi budak.
Bertahun-tahun, umat pengikut Ibrahim hidup dalam kesengsaraan sebagai
budak di Mesir. Sampai akhirnya, Musa (1200 SM – 1100 SM), yang juga
dianggap sebagai nabi dalam ketiga agama samawi, hadir sebagai penyelamat bagi
kaum Bani Israil. Menurut sejarah teologis, khususnya Judaisme, setelah
memperbaharui perjanjian tauhid dengan Tuhan, Musa bersama Bani Israil
menyeberangi Laut Merah dan tiba di pesisir pantai Filistia. Pada masa itu, Filistia
telah dihuni oleh orang-orang Filistin keturunan bangsa Pheonican. Sementara
tanah Kanaan yang merupakan tanah awal kedatangan Ibrahim bersama
pengikutnya, terbentang dibalik wilayah Filistia, sepanjang pesisir Pantai Kanaan
yang menghadap ke Laut Mediteranian hingga ke Sungai Yordan, dan dari
Dataran Tinggi Golan di Utara hingga Gurun Sinai di Selatan.
Musa bersama kaum Bani Israel, berusaha kembali ke Tanah Kanaan
namun hingga Musa wafat, kaum Bani Israel tidak pernah sampai ke Tanah
43
Op.Cit. A. Maheswara. Hal: 15
48
Perjanjian dan hidup terlunta-lunta selama empat puluh tahun di Gurun Sinai.
Dengan hilangnya pemimpin mereka, kaum Bani Israil kembali mengalami
dekandensi moral dan kepercayaan dari ajaran Musa, yakni Tauhid. Mereka mulai
kembali menjadi umat anti-semit yang menyembah sapi emas yang dikenal
dengan Baals.
Gambar 1: Alokasi Wilayah Suku Asli Kanaan Pra Pendudukan Israel
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:12_Tribes_of_Israel_Map.svg
Bani Israil baru memasuki wilayah Kanaan pada abad ke XI di bawah
pimpinan Joshua. Melalui peperangan selama enam tahun dengan penduduk tanah
tersebut, mereka kemudian merebut seluruh wilayah penduduk asli daerah itu,
mulai dari pesisir pantai Kanaan, melewati Sungai Yordan, dari kota pertama yang
ditaklukkan yakni Arahi hingga tumbangnya tembok benteng kota Jericho.
Joshua, pemimpin mereka lalu membagi negeri itu menjadi dua belas wilayah
bagi kedua belas suku-suku Bani Israil. Meskipun bangsa Israel telah menguasai
49
sebagian besar tanah Kanaan sebagaimana petunjuk “Tanah Perjanjian”, namun
terdapat suatu wilayah yang belum bisa dikuasai oleh Bani Israel yakni wilayah
Filistin.
Gambar 2: Peta Wilayah Kanaan Pasca Pendudukan Bangsa Israel
Sumber:http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Kingdom_of_Israel_1020_map.svg
Filistin yang terletak di sepanjang pantai timur Laut Tengah, memang
telah dihuni oleh orang-orang Filistia atau bangsa pra-Yunani yang berasal dari
Kaftor atau saat ini disamakan dengan Siprus dan pulau Kreta. Di sana, mereka
bermukim di beberapa kota seperti Gaza, Ashdod, Ashkelon, Gat, dan Gerar.
Bangsa ini menjadi musuh atau rival yang sering terlibat peperangan dengan
bangsa Israel. Setelah wafatnya Yoshua, Bangsa Israel kembali kehilangan sosok
pemersatu dan malah dipimpin oleh Samuel. Seorang Raja yang membawa bangsa
50
itu kembali pada kemerosotan dengan menyembah berhala seperti Baals dan
Astertes. Lemahnya supermasi yang melindungi wilayah kekuasaan suku-suku
Israel, membuat orang-orang Filistia memasuki dan menghancurkan kota-kota
Bani Israel serta menduduki kota Ark. Israel sempat tercerai-berai sebelum
territorial bangsa Israel berlindung di dalam kedaulatan Kerajaan Israel Raya
dibawah pimpinan Raja Saul 1020 SM.
Kerajaan Israel mendapatkan kejayaannya kembali, ketika berada di
bawah pemerintahan Raja David (1000 SM – 922 SM). Raja David akhirnya
berhasil mengalahkan Raja Goliath, raja dari orang-orang Fillistin dan menguasai
Filistia (Philistines seperti yang tertera pada peta) sehingga Kerajaan Israel Raya
membentang dari tepi sungai Nil hingga ke Lembah sungai Eufrat (sekarang
berada di dalam wilayah territorial Irak). Kegemilangan Israel semakin meningkat
ketika Raja Solomon (922 SM – 800 SM), putra Raja David, memegang tongkat
kekuasaan. Yerussalem dibangun di atas bukit Zion yang menjadi pusat kota pada
masa itu. Didirikan pula tempat ibadah yang megah yang dikenal dengan Kuil
Solomon. Kemajuan material dan kultural menandai pemerintahan Raja Solomon
yang damai bagi Kerajaan Israel. Armada niaga Solomon mengarungi samudera
sampai ke negeri-negeri yang jauh dan kembali ke Israel dengan membawa
kekayaan dari berbagai bangsa. Namun, selepas kepergian Raja Solomon,
Kerajaan Israel mengalami perpecahan.
Kerajaan Israel pecah menjadi dua bagian yakni sepuluh suku-bangsa yang
membentuk Kerajaan Israil dengan ibukota Samaria, sementara dua suku-bangsa,
Yudah dan Benjamin, membentuk Kerajaan Yudea dengan Yerussalem sebagai
51
ibukota.44 Akibat kemurtadan mereka dari ajaran tauhid serta pengingkaran
mereka terhadap nabi-nabi yang diutus. Tuhan menurunkan azab dan
menghancurkan Kerajaan Israil melalui serangan Kerajaan Assyria pada 738 SM.
Seluruh tentara Raja Assyria, Tiglath Pilesar III, menghancurkan kerajaan Bani
Israil dan menjadikannya sebagai jajahan. Pada 721 SM, Sargon II melihat adanya
tanda-tanda pembangkangan dan pemberontakan di kalangan Bani Israil yang
menjadi jajahannya, sehingga raja tersebut menghukum mereka dengan
memindahkan hampir seluruh penduduk ke bagian-bagian yang terjauh dari
kekuasaannya yang luas. Kerajaan Bani Israil pun hilang dari sejarah.45
Sementara Kerjaan Yudea masih bertahan meskipun serangan dari negaranegara lain juga tidak berhenti mengancam ketentraman Yerussalem. Namun,
ketika kerajaan Assyria runtuh, Babylonia muncul sebagai kerajaan baru dengan
imperium yang luas. Kerusakan agama dan dekandensi moral yang melanda
kerajaan Yudea, membuat Tuhan menarik malaikatnya dan membiarkan kerajaan
itu diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Babylonia pada 586 SM, dibawah
pimpinan Nebuchadnezzar. Bangsa Israel yang pernah mengalami penderitaan
sebagai budak Mesir, kembali menjadi budak dan tawanan Imperium Babylonia.
Tawanan dari negeri Yudea yang masih tersisa di Babylonia itu, kemudian disebut
sebagai Yahudi. Setelah lima puluh tahun menjadi tawanan dan budak, Raja Cyrus
dari Persia menghancurkan Babylonia dan Bangsa Yahudi diperbolehkan kembali
ke negeri mereka. Bangsa Yahudi pun membangun lagi sisa-sisa kerajaan yang
telah runtuh serta kembali beriman pada ajaran tauhid. Namun, kemalangan
44
Ibid. Hal 19
Ibid. Hal: 20.
45
52
akhirnya terjadi lagi, dengan berkembanganya peradaban dan imperium Yunani,
Alexander Agung berkuasa dan menyebrangi Laut Mediteranian hingga masuk ke
Asia Minor pada 334 SM. Setelah menguasai Persia, Alexander Agung juga
menjadikan Yudea sebagai daerah jajahannya. Kebudayaan Hellenisme pun
disebarkan dalam kehidupan umat Yahudi, kitab suci mereka bahkan diwajibkan
untuk ditulis dalam bahasa Yunani.
Pada masa pemerintahan Raja Seleucid, penerus Alexander Agung, bekas
wilayah kerajaan Yudea diganti menjadi Palestina. Sebuah katayang berasal dari
orang-orang Filistin, salah satu bangsa keturunan Yunani yang menjadi musuh
bangsa Yahudi sejak pendudukannya di daerah Kanaan. Nama Palestina menjadi
semakin melekat ketika kekuasaan Yunani dikalahkan oleh imperium Romawi
dan Palestina dijadikan sebagai salah satu provinsi imperium tersebut.
Menggunakan nama Palestina di atas bekas wilayah kerajaan Israel adalah
penghinaan bagi bangsa Yahudi, namun sebagai kolonial, bangsa tersebut tidak
dapat berbuat banyak selain menunggu datangnya seorang Messiah, keturunan
Raja David yang mereka harapkan dapat membebaskan mereka dari belenggu
Romawi sebagaimana Musa melepaskan mereka dari tirani Mesir. Akan tetapi,
ketika sang Messiah (1 Masehi) datang dan mengaku sebagai Almasih, utusan
Tuhan, Bangsa Yahudi menyerahkan Isa pada pemerintah Romawi sehingga
memicu kemarahan Tuhan. Azab kembali menimpa bangsa Yahudi, dengan dalih
pemberontakan terhadap supermasi Romawi, umat Yahudi dibinasakan ketika
Kaisar Titus dari Romawi memimpin penghancuran Yerusalem pada tahun 70
SM, serta mengusir semua bangsa Yahudi ke luar Palestina, yang pada masa itu
53
tidak lebih dari satu juta jiwa. Bangsa tercerai berai itupun kemudian mengungsi
ke berbagai belahan dunia, terutama negara-negara Eropa Timur dan Rusia.46
Pada masa pelariannya, bangsa Yahudi berusaha berasimilasi dengan
penduduk asli, meskipun begitu, mereka tetap menjadi masyarakat kelas dua yang
harus hidup dipemukiman khusus Yahudi yang disebut sebagai Ghetto. Pada
tahun 1290, Raja Edward I bahkan mengusir kaum Yahudi dari Inggris secara
besar-besaran. Untuk menghindari pengusiran tersebut, sebagian warga Yahudi
memilih agama Nasrani sebagai pelindung. Dalam buku "Sejarah Inggris"
disebutkan bahwa keluarga Cromwell adalah satu dari sekian banyak keluarga
yang mengumumkan kenasraniannya. Sebuah keluarga yang merupakan leluhur
dari Oliver Cromwell yang nantinya akan memimpin revolusi menentang Raja
Charles I dan menciptakan undang-undang pencabutan larangan masuknya warga
Yahudi ke Inggris serta mengizinkan keluarga Yahudi yang terusir untuk kembali
ke Inggris.
Hal serupa juga terjadi di Spanyol, ketika terjadi perang agama antara
Katholik dan Protestan sekitar tahun 1492, bangsa Yahudi kembali terkena
imbasnya. Pada kala itu, bangsa Yahudi dihadapkan pada pilihan yang rumit, jika
tidak berkonversi menjadi Khatolik maka mereka harus dibunuh. Beberapa
Yahudi yang berhasil keluar dari negeri tersebut pun memohon suaka politik di
negara-negara kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, seperti Bosnia, Maroko, Aljazair,
Mesir, dan Libya. Hingga saat ini, Maroko menjadi Negara Islam di Afrika yang
memiliki etnis Yahudi terbanyak yang hidup berdampingan dan tentram dengan
46
http://www.muchsir.co.cc/2011/03/akar-konflik-palestina-israel-tinjauan.html Diakses pada
Diakses pada 09/03/2011 pukul: 21.35 Wita
54
umat Muslim Maroko. Akhirnya, kisah pengusiran bangsa Yahudi meredamuntuk
beberapa saat. Etnis tersebut pun mulai tinggal dengan damai di negara-negara
migran mereka.
Perjalanan panjang bangsa Yahudi kembali terdengar ketika terjadi
revolusi di Eropa, antara tahun 1815 sekelompok Yahudi mulai datang ke
Palestina dan membeli tanah dari penduduknya kemudian membangun
pemukiman sendiri. Pada tahun 1881, di Rusia, terjadi diskriminasi rasial yang
berujung pada pembantaian orang-orang Yahudi secara besar-besaran akibat
kematian Tsar Alexander II dikait-kaitkan dengan orang Yahudi. Sehingga yang
berhasil selamat melarikan diri ke Eropa Utara dan sebagian berpulang ke
Palestina. Memasuki 1884, ribuan etnis Yahudi berimigrasi sendiri yang
berimigrasi ke benua baru, yang oleh beberapa kaum Yahudi dianggap sebagai
“Tanah Perjanjian” yang sebenarnya.47 Setelah melewati perjalanan transAtlantik, orang-orang Yahudi tiba di sebuah kawasan di Amerika Utara yang
disebut Nieuw Amsterdam, namun ketika Amerika dikolonisasi oleh Inggris, kota
itu berganti nama menjadi New York. Di kota tersebut, orang-orang Yahudi
memanfaatkan segala jenis cara dalam berinovasi. Dengan keterampilan mereka,
orang-orang Yahudi yang merupakan pendatang,lebih menguasai perdagangan
dan perekonomian dibandingkan kaum Puritan yang lebih dulu berimigrasi dari
Inggris pada tahun 1642. Meskipun Benjamin Franklin sendiri tidak menyukai
orang-orang Yahudi, namun pada akhirnya, Gubernur Stuyvesant membuka New
York sebagai Bandar perdagangan bagi orang-orang Yahudi. Hingga kini, New
47
http://bani-israil.blogspot.com, Diakses pada 15/6/2011 pukul 1:52 Wita
55
York menjadi salah satu basis kota dengan penduduk Yahudi terbesar di Amerika
dengan populasi yang mencapai 3 juta jiwa.48
Berbanding lurus dengan kesuksesan tersebut, kerabat Yahudi di Negaranegara Eropa Tengah dan Timur mulai menyusun ikatan persaudaraan dan
propaganda-propoganda yang memicu semangat nasionalisme Israel.Theodore
Herzl,seorang jurnalis Yahudi Austria,menerbitkan tulisannya tentang pendirian
negara Israel dalam buku yang berjudul Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi)
pada 1896 di Wina. Namun ide tentang “Tanah Air” bagi kaum Yahudi
menggelinding pertama kali dari tangan Leon Pinsker pada 1882, lewat buku
Auto-Emancipation. Sementara Istilah Zionis petama kali digunakan Nathan
Birnbaum dalam artikel pada 1886 yang maknanya kurang lebih dipahami sebagai
“Pendirian Kembali” tanah air Yahudi di Palestina.49 Dengan maraknya
propaganda tentang tanah air bagi orang Yahudi, pada 1897 kaum diasporis
menggelar sebuah kongres persaudaraan bangsa Yahudi di seluruh dunia, yang
dikenal dengan nama Zionis di Basel Swiss. Peserta dari kongres pertama Zionis
itu pun mengeluarkan resolusi, bahwa umat Yahudi tidaklah sekedar umat
beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa
dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi umat
Yahudi, Herzl bahkan menyebut, Zionisme sebagai jalan keluar dari “diskriminasi
dan penindasan” atas umat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Di
48
http://www.amanahland.com/2007/03/pesan-simbolik-yahudi-di-as.html Diakses pada:
11/2/2010 Pukul: 3.46 Wita
49
Yeyen Rostiani. 2009. Inside Gaza:Genosida Israel di Gaza dan Palestina. Jakarta: KinzaBooks.
Hal:56-57
56
depan kongres, Herzl berkata, “Dalam 50 tahun akan ada negara Yahudi!”
Rencana dari pertemuan itupun terwujud pada tahun 1948.50
Terjadi pro dan kontra seputar berdirinya Negara Israel diantara orangorang Yahudi tersebut. Penganut agama Yahudi yang berpegang teguh pada
Judaisme dan ajaran Taurat, menolak berdirinya Negara Israel di atas tanah
Palestina. Terlebih dengan cara melakukan pengusiran, pencaplokan, dan
pembunuhan seperti yang dilakukan saudara se-etnis mereka pada penduduk
Palestina. Moshe Manuhin, seorang kritikus beragama Yahudi yang anti Zionisme
bahkan menyalakan Inggris dan Negara-negara Eropa yang menggunakan bangsa
Yahudi sebagai boneka untuk mengamankan “power” dan kepentingan
politikmereka di Timur Tengah. Tak dapat dipungkiri bahwa sejak dahulu hingga
saat ini, kawasan Timur-Tengah, khususnya wilayah-wilayah strategis seperti
Palestina, merupakan daerah perhubungan antara Mediteranian dan terusan Suez.
Wilayah itu merupakan jalur alternatif bagi kapal-kapal dagang Eropa yang
hendak berlayar ke Asia ataupun sebaliknya. Adanya kepentingan atas minyak
dunia Arab juga membuat Inggris berpikir mengenai kehadiran Zionisme di
Palestina.51 Terdapatnya perjanjian Sykes-Picot 1916 antara Inggris dan Prancis,
yang salah satu butir perjanjiannya adalah penetapan Palestina sebagai wilayah
internasional, juga ditengarai sebagai pemicu Pemerintah Inggris yang diwakili
oleh Menteri Luar Negeri Arthur James Balfour pada tahun 1917, menyatakan
pengesahan dan pengakuan pengakuan Inggris akan hak-hak Yahudi yang
bersejarah di Palestina.
50
http://www.timestory.tk/2011/06/sejarah-pendudukan-zionis-di-tanah-yerusalem/ Diakses pada:
15/6/2011, pukul: 2.27 Wita
51
Op.Cit, Yeyen Rostiani. Hal: 60
57
Di sisi lain, terdapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa, pengaruh
lobi Yahudi-lah yang mendesak pemerintah Inggris untuk segera memberikan
tanah protektorat Palestina sebagai tempat tinggal orang Yahudi. Khususnya pada
awal pemerintahan Raja Edward VII pada tahun 1901. Sudah banyak orang-orang
Yahudi yang menduduki jabatan politik di pemerintahan Inggris. Benjamin
Disraeli menduduki posisi di parlemen. Gold Schmid yang akhirnya berhasil
menjabat sebagai Kepala Staf Komando Angkatan Bersenjata Inggris dan
bertanggung jawab atas keamanan Afrika. Beberapa orang Yahudi Sdipercaya
untuk menjadi walikota London, penguasa tanah jajahan di Hongkong, direktur
jenderal pos tanah jajahan di India, penguasa tanah jajahan di Australia, walikota
Capetown di Afrika Selatan, hingga jaksa agung di Inggris. Pengaruh itu berlanjut
hingga pemerintahan Raja George dan Ratu Maria, saat Devid Levi menjadi
rektor Universitas Oxford tahun 1935 dan Darwin
sebagai inspektur pada
Akademi Seni di Inggris. Tokoh Yahudi lainnya yang menduduki jabatan vital
untuk melancarkan program Zionis adalah Khaem Wiseman yang kelak menjadi
presiden Zionis pertama di tanah Palestina.52
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dahulu, bangsa Yahudi tidak pernah
betul-betul meninggalkan tanah Kanaan bekas Kerajaan Israel. Sejumlah Yahudi
yang masih tersisa sekitar 24.000 jiwa tetap tinggal di Palestina. Mereka hidup
dan membaur dengan warga setempat. Sebagian besar dari mereka tinggal di
Yerussalem, Safad, Tiberias, dan Hebron. Penduduk Yahudi tersebut hidup damai
dengan warga Arab Palestina yang mendiami wilayah tersebut selama berabad52
http://anirahma.wordpress.com/2010/06/16/helen-thomas-dan-mereka-berani-bicara. Diakses
pada 09/14/2010. Pukul: 10.05 Wita.
58
abad. Pertambahan jumlah penduduk Yahudi di Palestina baru terdengar pada
akhir abad ke 19 dan awal abad 20.
b. Palestina
Palestina adalah sebuah daerah di Timur Tengah antara Laut Tengah dan
Sungai Yordan.53 Luas wilayah Palestina saat ini belum mendapat penjelasan.
Status politiknya pun masih menjadi perdebatan. Beberapa negara-negara Islam,
mengakui kedaulatan negara Palestina begitu pula dengan kepresidenannya.
Namun tidak sedikit juga negara yang tidak mengakui eksistensi negara Palestina.
Dalam berbagai jenis peta dunia saja, lokasi Palsetina tidak dicantumkan
disebelah Israel. Keberadaan wilayah ini, seakan-akan hanya terdengar pada kisah
konflik yang dihadapi rakyatnya melawan negara tetangganya. Padahal, layaknya
negara-negara presidensial pada umumnya, Palestina juga memiliki kepala negara,
pemerintahan, undang-undang, rakyat, bendera, dan wilayah territorial yang
sayangnya, sedikit demi sedikit dianeksasi oleh Israel.
Nasib Palestina memang tidak sebaik negara Israel yang asal-usul
bangsanya juga adalah pendatang di tanah Kanaan dan sekitarnya. Jika melihat
kembali ke sejarah, penduduk asli Palestina terbagi-bagi menjadi beberapa suku
baik yang semit maupun anti-semit. Suku-suku semit adalah mereka yang berasal
dari Jazirah Arab dan datang ke kawasan utara disebabkan tekanan musim
kemarau yang berkelanjutan dan iklim yang panas dari padang pasir pada 3000
tahun SM.54 Adapula suku yang lebih awal menempati tanah Palestina masa
lampau merupakan keturunan Ham, anak kedua dari Nuh yang ikut bersama
ayahnya dalam bahtera ketika air bah membanjiri Mesir lebih dari 2000 tahun
53
Wikipedia.com/Palestina. Diakses pada 6/6/2011 pukul: 4.42 Wita
A. Monica Adriana, B. “Suatu Analisis tentang Prospek perdamaian Israel-Palestina Pasca
Yasser Arafat”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Perpustakaan Umum Unhas. Hal: 38
54
59
sebelum kedatangan Musa bersama pengikutnya. Anak keturunan Ham salah
satunya bernama Kanaan, kemudian Kanaan memperanakkan Sidon, Het, Jebusi,
Amori, Girgasi, Hewi, Arki, Sini, Arwadi, Semari dan Hamati, kemudian
berseraklah kaum-kaum orang Kanaan itu, menempati tanah di pesisir Laut
Tengah hingga ke Timur sehingga tanah itu disebut tanah orang Kanaan.55
Dengan kedatangan suku-suku tersebut, peradaban di tanah Palestina mulai
terbangun. Suku-suku Semit seperti orang Kanaan, mulai membangun kuil-kuil
untuk tempat beribadah pada dewa-dewa. Mereka juga mempunyai kebudayaan
yang cukup maju, hal itu dibuktikan melalui penggalian arkeologis di beberapa
Kota Kanaan, seperti Megiddo, Hazor, dan Sikhem yang menemukan situs-situs,
perabotan, keramik, dan permata. Benda-benda itu diperkirakan dibuat sebelum
abad 1700 SM. Kota-kota di Kanaan berisi rumah-rumah yang nyaman dan
mewah. Kota yang mengetahui perdagangan, industri, dan tulisan.56
Orang-orang Kanaan juga meyakini gunung-gunung di Kanaan merupakan
tempat bersemayam para dewa mereka. Mereka mengkeramatkan Gunung Ophel,
Zaphon, Hermon, Karmel, dan Tabol. Dalam bukunya, Satu Kota Tiga Iman,
Karen Armstrong, mempertegas hipotesa itu dengan mengatakan bahwa
penyembah berhala Kanaan kuno punya tradisi mendaki tempat-tempat yang
tinggi, untuk dapat merasakan bahwa mereka seolah telah berada di tengah-tengah
antara langit dan bumi. Mereka membayangkan bertemu dengan dewa-dewa,
seperti Dewa Shalem, Baal, dan El. Selain itu, mereka juga menciptakan seni dan
55
http://agama.kompasiana.com/2010/10/06/tanah-kanaan-asal-sulnya-menurut-alkitab/Diakses
pada: 6/6/2011. Pukul: 7.42 Wita
56
Fawzy Al-Ghadiry. 2010. Sejarah Palestina: Asal Muasal Konflik Palestina-Israel. Jogjakarta;
Bookmarks. Hal.33
60
musik yang mereka kutip dari orang-orang Timur Dekat. Seni dan musik itu
kemudian dijadikan himne-himne dalam ritual pemujaan dewa-dewa yang
instrumennya kemudian disebarkan ke seluruh wilayah Kanaan.
Sementara suku lainnya adalah suku anti-semit yang bermukin di wilayah
selatan pantai Kanaan. Mereka adalah orang-orang yang juga datang dari Jazirah
Arabbagian selatan ke tanah tersebut sekitar 2300 SM tahun yang lalu. Charles
Foster Kent, mengatakan bahwa suku itu adalah orang-orang Pheonician yang
mendapati pesisir Laut tengah lalu bermukim di daerah itu. Suatu daerah yang
sempit di tepi pantai, dibatasi oleh lautan di sebelah barat dan dari sebelah timur
yang dikelilingi deretan kaki bukit batu. Di bagian Selatan, suku-suku anti semit
Palestina, yakni bangsa Pheonician hidup dengan cara berniaga. Mereka berlayar
dan membuka jalur-jalur perdagangan di sepanjang Laut Mediterania hingga ke
Yunani.Mereka menggunakan Galley, sejenis kapal bertenaga manusia dalam
menjalankan
pelayaran
dagangnya
menuju
Yunani.57
Meskipun
hidup
berdampingan dengan penduduk Kanaan, namun mereka memiliki kebudayaan
dan bahasa yang berbeda dengan orang Kanaan pada umumnya. Orang-orang
Pheonician tinggal secara terpisah di negara-kota yang serupa dengan negara-kota
Yunani pada masa Aristoteles. Bahkan dapat dikatakan bahwa, kebudayaan orangorang Pheonician yang mereka bawa melalui perdagangan, diadaptasi dalam
kebudayaan Yunani Kuno.
Untuk beberapa waktu, orang-orang Pheonician yang berlayar ke
sepanjang Laut Mediterania, datang dan menetap di negara-negara Eropa Selatan
57
http://en.wikipedia.org/wiki/Phoenicia, Diakses pada 20/6/2011 Pukul; 22.47 Wita
61
dan Afrika Utara saat ini.Dr. Pierre Zalloua and Dr. Spencer Wells, Ilmuan
Genetika dari Universitas Harvard mengidentifikasi bahwa setiap satu dari tujuh
belas orang di Malta, Spanyol, Tunisia, dan Syria merupakan keturunan orang
Pheonician. Sementara itu, dalam bukunya Belus and the Danaids, Robert Graves
mencatat kedatangan pertama kali koloni pra-helledic atau orang Pheonician dari
Palestina ke Yunani melalui jalan Rhodes kemudian menetap sebagai orang
Arcadia. Pada masa perkembangan bangsa Yunani, sebuah bangsa pra-Hellenian
lainnya atau disebut dengan orang-orang Filistin yang berasal dari pulau Kreta,
berlayar melalui Laut Aegean, melewati laut lepas Mediterania menuju pesisir
pantai tempat orang-orang Pheonician dahulu tinggal. Ketika mereka mulai
bermukim dan membaur dengan sisa orang-orang Pheonician, daerah itupun
kemudian disebut sebagai tanah Filistia. Lambat laun, orang-orang Filistia
membaur dengan orang-orang Kanaan hingga timbullah suatu generasi yang
disebut bangsa Palestina.
Hadirnya Islam di tanah Kanaan adalah pada masa Muhammad SAW,
seorang yang disucikan dan dimuliakan oleh pemeluk Islam. Jauh setelah Kanaan
berganti nama menjadi Palestina dan telah menyaksikan berbagai rentetan
peristiwa sejarah kehausan manusia akan kekuasaan di dunia. Mulai dari
pengkolonian Mesir, penyerbuan bangsa Yahudi, Syiria, Babylonia, Cyrus,
Yunani, dan Romawi. Muhammad SAW yang merupakan pemimpin umat muslim
yang pada masa hidupnya menjalankan hijrah demi menyebarkan agama Islam,
datang ke Palestina pada 621 Masehi, setelah bangsa Palestina telah eksis bersama
sisa-sisa bangsa Yahudi dan juga umat Nasrani pengikut ajaran Isa Almasih.
62
Kehadiran Islam pun kemudian berlanjut dengan berdiri dan menyebarnya
kekuasaan Khilafah Ustmaniyyah di sepanjang Asia Minor seperti Irak, Iran,
Yordania, dan Palestina. Ekspansi Islam dimulai pada 636 M dan pada 637 M,
namun di bawah pimpinan Umar Bin Khattab, pengaruh Islam berkembang di
Yerussalem. Orang-Orang muslim dari Arab turut berdatangan ke Palestina
mengikuti raja mereka dan Kekhilafaan itu menandai peradaban Islam di
Palestina. Suku bangsa asli Palestina akhirnya mulai terarabisasi sehingga
berganti nama menjadi bangsa Arab-Palestina. Beberapa umat Yahudi pun bahkan
berkonversi menjadi umat muslim tanpa adanya paksaan dari penguasa Islam.
Perjalanan panjang tanah Palestina terus berlanjut di bawah kekuasaan
Arab hingga 1072 M, lalu Turki, kemudian kekuasaan itu berpindah pemerintahan
di bawah kekuasaan Kristen ketika tentara Salib merobohkan tembok Yerussalem
dan mengkritenisasi peninggalan kebudayaan Islam pada 1095-1291. Umat Islam
yang tinggal di wilayah Palestina khususnya Yerussalem mengungsi ke
perbatasan. Bangsa Arab-Palestina baru kembali ke tanah air mereka ketika
Palestina dan Yerussalem kembali dikuasai oleh Arab di bawah pimpinan Sultan
Saladin pada perang Salib II dan bertahan hingga kekuasaan Ottoman Turki pada
1517-1917. Di awal abad 20, kekuasaan Ottoman Turki mulai meredup dan
kekuatan Eropa kembali bangkit di bawah Imperium Kerajaan Inggris. Sejak saat
itu, Palestina menjadi wilayah koloni Inggris. Namun dengan letak geografisnya
yang strategis, khususnya yang berdekatan dengan Sungai Nil, Palestina menjadi
wilayah internasional bagi negara-negara Eropa khususnya bagi Inggris dan
Perancis.
63
c. Sejarah Konflik
Berdasarkan pemaparan di atas, sekiranya jelas terlihat bahwa asal-usul
dari kedua negara yang sedang berkonflik tersebut adalah sama-sama bangsa
pendatang. Jika berbicara masalah waktu siapa yang lebih dulu menempati
wilayah di tanah Kanaan yang sekarang adalah Palestina, maka, itu adalah orangorang Kanaan sendiri, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, jika
berbicara tentang siapa yang paling berhak atas tanah Kanaan berdasarkan
penelusuran pedigri? maka yang paling berhak atas tanah Kanaan adalah bangsa
Palestina awal dan keturunannya yakni orang-orang asal Mesir, Syiria, dan
Yunani. Sebuah bangsa yang tidak pernah betul-betul pergi ataupun terusir ketika
kerajaan-kerjaan atau kekuasaan dari luar datang untuk mengkolonisasi Palestina.
Dengan kata lain, bukan bangsa Yahudi keturunan Babylonia atapun Umat Islam
keturunan Arab yang datang pada masa penguasaan Khilafah Ustmaniyyah yang
harusnya bersitegang memperebutkan wilayah. Sehingga tidak benar jika orangorang Yahudi mengklaim tanah Palestina sebagai tanah mereka berdasarkan asas
sejarah ataupun teologis. Di sisi lain, tidak benar pula jika tanah itu adalah milik
muslim Arab yang baru menghuni dataran Kanaan setelah berubah nama menjadi
Palestina. Akan tetapi, jika memang terjadi percampuran atau pembauran etnis
Palestina dan Arab pada masa kekuasaan Ustmaniyyah, kemudian jika merujuk
pada terjadinya Arabisasi pada masa itu, maka benarlah jika keturunan dari ArabPalestina yang berhak atas tanah tersebut.
Terdengar tidak logis memang, jika bangsa Yahudi khususnya orangorang Israel kontemporer,bersikeras mengklaim wilayah Palestina atas dasar
64
teologis. Namun, pada kenyataannya, negara Israel tetap berdiri di atas atas
Palestina. Dukungan Inggris yang mengkolonisasi Palestina, ditengarai sebagai
salah satu faktor keberhasilan bangsa Yahudi membangun kembali Israel. Pada
mulanya, Bangsa Arab-Palestina tidak pernah keberatan dengan pemukiman
Yahudi, hal itu terbukti dengan adanya 24.000 etnis Yahudi yang hidup di
Palestina. Satu hal yang menjadi permasalahan adalah ketika diaspora bangsa itu
berimigrasi dari negara-negara Eropa baik secara legal maupun ilegal dan
mendirikan perdaban Yahudi tanpa memegang nasionalitas Ustmaniyyah dan
mematuhi hukum Islam yang berlaku di wilayah itu. Khilafah Ustmaniyyah telah
menegaskan sikap atas penolakan imigrasi tersebut. Ironisnya, polulasi Yahudi
terus berkembang. Jumlah penduduk Yahudi di Palestina mulai bertambah,
terutama pada tahun 1882, saat kaum diaspora Yahudi mulai kembali dari
pengungsian mereka di Rusia. Perkembangan penduduk Yahudi di Palestina
mengalami perkembangan ke arah yang tidak terkontrol saat Deklarasi Balfour
ditandatangani. Bangsa Yahudi yang menjadi warga Negara Eropa, mulai
berbondong-bondong berimigrasi ke Palestina. Tercatat antara tahun 1920-1924
jumlah migran Yahudi berjumlah 42.784 orang, kemudian meningkat menjadi
57.022 orang pada tahun 1925-1929, dan meningkat lagi menjadi 91.258 orang
pada tahun 1930-1934. Pada tahun 1940 jumlah migran Israel di Palestina telah
berjumlah 456.743 orang.
Dalam buku Sejarah Nasional dan Umum, Drs. Suparman akhirnya,
membagi tahap Imigrasi bangsa Yahudi ke Wilayah Palestina sejak 1882 sampai
65
sekarang secara lebih sistematis. Adapun eskalasi itu terbagi menjadi empat
kategori, yakni:
1.
Tahun 1882-1924 sebagai Masa Pertumbuhan;
2.
Tahun 1925-1948 sebagai Masa Generasi Mandat;
3.
Tahun 1948-1954 sebagai Masa Pendudukan Tanah yang Dijanjikan;
4.
Tahun 1954-sekarang sebagai Masa Perluasan.
Sejak imigrasi pertama itu, hubungan antara orang Yahudi, Inggris, dan
penduduk Palestina mulai merenggang. Benih-benih konflik mulai muncul ketika
Arthur James Balfour pada tahun 1925, mengunjungi Jerussalem dalam rangka
berpartisipasi dalam peresmian Universitas Hebrew di wilayah Gunung AlZytoun. Sebuah lokasi bekas perkebunan yang diberikan Inggris pada Yahudi
tahun 1981. Rakyat Palestina yang tidak setuju dengan aksi bangsa Yahudi,
mengadakan demostrasi dan pemogokan atas kedatangan menteri luar negeri
Inggris itu.58 Revolusi akhirnya meletus ketika orang-orang Yahudi mulai
bertindak lebih dengan berusaha melebarkan kekuasaannya di dinding timur
Masjid Al-Aqsa. Umat Islam Palestina yang tidak terima dengan tindakan lancang
itu, lantas menyerang pemukiman umat Yahudi di Hebron, Nablus, Bysan, dan
Safad. Yahudi berhasil selamat akibat perlindungan militer Inggris.Tidak bisa
menerima hal tersebut, rakyat Palestina meminta bantuan Mesir. Mereka mulai
menyerang dan menghancurkan desa-desa seperti Desir Yasin, Lifta, dan yang
lainnya. Sebagai akibat dari revolusi tersebut, pemerintah Inggris yang saat itu
berwenang, memenjarakan lebih dari 1000 orang yang sebagian besar adalah
58
Op.Cit Fawzy Al-Ghadiry. Hal: 66
66
warga Arab-Palestina, 26 orang dihukum mati, diantaranya 25 warga Arab dan 1
warga Yahudi.59
Konflik antara Arab-Palestina dan Isreael kembali mencuat ketika populasi
Yahudi di Palestina berkembang menjadi penduduk mayoritas.Munculnya isu
pembangunan rumah nasional bagi Yahudi di atas wilayah Palestina, memicu
kembali terjadinya revolusi Sheikh Eiz Al-Din Al-Qasam. Bersama dengan
sekelompok pejuang mujahidin, Sheikh Al-Qasam mendedikasikan hidupnya
untuk mempertahankan tanah Palestina, namun dia gugur di Jenin dalam
menjalankan misinya. Hal itupun mengakibatkan situasi di Palestina memanas.
Dewan partai-partai politik di Palestina meminta kepada pemerintah Inggris
tentang pelarangan pembelian tanah oleh kaum Yahudi terhadap pemukiman
Palestina, serta pengontrolan terhadap imigrasi Yahudi setiap menitnyasebagai
kompensasi. Selepas pertemuan itu, perseteruan sempat meredam, akan tetapi,
toleransi umat muslim tidak dapat bertahan lagi ketika sebuah perusahaan
konstruksi Yahudi menolak untuk mempekerjakan buruh Arab pada pembanguna
tiga sekolah Yahudi di Yafah. Sebagai konsekuensinya, buruh Arab memblokade
akses bagi buruh Yahudi untuk mencapai lokasi pembangunan sekolah. Bentrokan
tidak dapat dihindari dan satu buruh Yahudi menjadi korban dalam peristiwa itu.
Sebagai tindakan balasan, pihak Yahudi membunuh petani-petani Arab di rumah
mereka. Ketidak-harmonisan interaksi antar etnis tersebut pun semakin intens.
Pihak Inggris yang mendukung Yahudi menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan
perlawanan nasional yang berasal dari semua kelas.
59
Ibid. Hal: 67
67
Pada 7 Juni 1937, Komite Kerajaan yang dipimpin oleh Lord Bill menerbitkan
sebuah laporan yang intinya adalah konflik Israel-Palestina hanya dapat
diselesaikan melalui pembagian wilayah. Melalui mandat itu, tanah Palestina
bagian utara, mulai dari pesisir yang berbatasan dengan Libanon hingga selatan
Jaffa yang meliputi daerah Acre, Haifa, Safad, Typerias, Nazaret, dan Tel Aviv,
diberikan kepada etnis Yahudi. Sementara etnis Arab-Palestina menetap di bagian
selatan dan timur Palestina yang terbentang dari kota Jaffah hingga timur
Yordania. Kota-kota penting seperti Jerussalem dan Betlehem berada dibawah
otoritas pemerintah Inggris. Undang-undang perpajakan antara kedua etnis yang
akan hidup berdampingan itu juga turut dibuat. Dengan adanya pemberlakuan
pajak dan keharusan bagi warga Yahudi untuk membayar biaya finansial
pemukiman, membuat rakyat Palestina masih bisa menerima keberadaan etnis
Yahudi di wilayah utara.
Konflik Israel-Palestina kembali mencuat ketika Perang Dunia II terjadi,
keputusan Jerman dan Nazi untuk membinasakan etnis Yahudi, membuat imigrasi
ke Palestina semakin melambung. Etnis Yahudi yang merasa tercekam oleh teror
Nazi merasa semakin perlu untuk mendirikan negara yang aman bagi kaumnya.
Namun, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Inggris kehilangan “power” nya di
dunia internasional, sementara Amerika Serikat tampil sebagai pemenang perang.
Hasilnya, Yahudi beralih dengan melobi Amerika Serikat untuk membantu
mereka mewujudkan Negeri Israel. Dengan kompleksnya permasalahan, Inggris
memberikan wewenangnya kepada PBB. Komite PBB yang disebut UNSCOP
atau komite khusus PBB mengenai Palestina, pada akhirnya mengeluarkan
68
resolusi No. 181 tahun 1947 tentang Partition Plan yang memberikan 56 % dari
wilayah Palestina untuk bangsa Yahudi.
Resolusi PBB itu mengundang perhatian dari seluruh negara-negara Arab.
Di bawah bendera Liga Arab, mereka menolak secara tegas pembagian wilayah
yang dianggap menguntungkan Israel. Di pihak lain, Israel, melaui Golda
Mayerson, secara eksplisit menerima pembagian wilayah tersebut. Satu tahun
setelah resolusi tersebut, Pada 14 Mei 1948, pukul 6 pagi waktu setempat. Israel,
melalui David Ben Gurion, memproklamirkan kemerdekaan negara Israel.
Sepuluh menit kemudian, Amerika Serikat mengakui kedaulatan Israel sebagai
negara merdeka. Penulis berasumsi bahwa, dengan banyaknya populasi di
Amerika dan betapa berpengaruhnya peran etnis tersebut, menjadi salah satu
faktor Amerika Serikat menerima kemerdekaan Israel. Perseteruan sengit pun
terjadi dengan saling menyerang antara kedua etnis. Perang antar kedua bangsa
terjadi berulang kali mulai dari tahun 1948, 1949, 1956, 1967, dan 1973. Namun,
perseteruan itu dimenangkan oleh Israel.
Sebagaian besar lahan Palestina direbut oleh Israel melalui aksi militer
sehingga Rakyat Palestina tidak lagi menempati setengah wilayah tanah Kanaan
di bagian selatan melainkan tersudut pada beberapa kantong-kantong wilayah saja
seperti di Gaza, Tepi Barat, dan Yerussalem Timur. Ratusan warga Palestina
kehilangan pekerjaan dan keluarga mereka menjadi terpisah oleh tembok-tembok
pembatas yang dibangun oleh Israel di sepanjang wilayah pencaplokannya.
69
Adapun wilayah territorial Israel sejak masa perluasan seperti yang tertera
di bawah ini:
Gambar 3 : Peta Pendudukan Israel Sejak Aneksasi Pertama Pasca
Resolusi No. 181 Tahun 1947
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Palestine_Map.svg
Masih teringat jelas dalam ingatan penulis sewaktu menonton berita
mancanegara di stasiun televisi nasional TVRI bertahun-tahun lalu, ketika siaran
tersebut menayangkan gerombolan orang Arab-Palestina berdesak-desakan
melewati pagar berduri untuk mengungsi ke Yordania maupun Lebanon akibat
Israel mulai mencaplok tempat tinggal mereka dengan menggunakan tenaga
militer. Lebih ekstrimnya lagi, Israel membangun sebuah tembok pembatas untuk
memisahkan pemukiman antara warga Arab-Palestina dan Israel. Dengan begitu,
70
warga Palestina semakin terotak-kotak dan secara tidak langsung lapangan kerja
atau perkebunan mereka terampas. Blokade tersebut juga disertai dengan
didirikannya pangkalan militer yang dapat dengan mudah menarik bentrok
maupun pertikaian antar militer Israel dengan warga sipil atau pejuang nasional.
Namun, keadaan yang oleh PBB sendiri dianggap sebagai pelanggaran hak asasi
manusia, belum dapat diredam. Terdapatnya kekuatan besar yang melindungi
Israel, membuat Israel selalu bertindak diatas hukum internasional yang berlaku.
A.2 Terjadinya Insiden Mavi Marmara.
Meningkatnya aktivitas konflik di atas tanah Palestina, sudah jelas
mengundang banyak perhatian dari negara-negara di dunia yang tergabung dalam
suatu ikatan masyarakat internasional. PBB pada umumnya dan Dewan
Keamanan pada khususnya, telah berusaha menjalankan tugasnya sebagai “polisi
dunia” dengan berkali-kali mengeluarkan resolusi untuk melerai tensi antara
Palestina-Israel. Masyarakat Internasional pun berharap terjadinya “Stalemate”
dari kedua pihak. Meski begitu, Israel tetap saja mempertahankan blokade di
wilayah-wilayah aneksasinya. Sementara rakyat Palestina terus dianggap memicu
bentrokan dari penjuang nasional. Perjanjian Palestina-Israel sempat disepakati
pada masa pemerintahan Yasser Arafat di tahun 1993. Perjanjian itu juga menjadi
awal perdamaian bagi negara-negara Arab dan Israel dimana Mesir, Bahrain,
Oman, dan Arab Saudi membuka blokade perdagangan ke Israel. Namun,
peristiwa serangan Hamas ke pemukiman Israel pada Desember 2008 lalu,
kembali memicu ketegangan di jalur Gaza. Israel yang merasa diserang,
membalasnya dengan tembakan senjata artileri dan roket dari pesawat jet F-16.
71
Hubungan antara Palestina dan Mesir pun turut merenggang. Negara Arab yang
satu itu, lebih memilih memelihara hubungan bilateralnya dengan Israel daripada
membantu rekan seanggota Liga Arabnya.
Tanpa adanya dukungan dari dari negara tetangga, Israel kembali
memblokade Gaza. Jalur-jalur penerbangan ataupun jalur pelayaran yang
berhubungan dengan dunia luar, dihalangi oleh militer Israel. Pengisolasian itu
menyebabkan kekurangan bahan pangan dan obata-obatan di dalam wilayah Gaza.
Bencana kelaparan terjadi di Gaza, sementara infrastruktur yang vital bagi
masyarakat tidak layak untuk digunakan lagi. Masyarakat internasional pun
menganggap Israel telah melanggar hukum internasional mengenai hak asasi
manusia dan perlindungan korban perang. Banyaknya korban jiwa, khususnya
anak-anak yang dikomunikasian oleh media kepada seluruh lapisan masyarakat
internasional, mengundang simpati dan maupun kecaman. Tiga tahun kemudian
iring-iringan kapal yang tergabung dalam armada “Freedom Flotilla”, berlayar
untuk menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia di Gaza.
Kapal pertama yang bernama “Lifeline for Gaza”, berangkat dari
pelabuhan Sarayburnu, Istanbul, Turki pada 22 Mei 2010. Bersama dengan
seluruh peserta armada, “Freedom Flotilla”, kapal tersebut berharap dapat
menyelesaikan misi kemanusiaan yang merupakan akumulasi donasi dari
masyarakat internasional pada umumnya dan simpatisan Palestina pada
khususnya. Armada yang terdiri dari delapan kapal ferry tersebut, akan berlayar
melalui Laut Tengah menuju perairan Gaza dengan membawa peralatan medis,
bahan bangunan, dan bantuan lainnya termasuk bahan sandang dan pangan.
72
Sebelum berangkat, konvoi yang penumpangnya merupakan gabungan aktivis,
negarawan, jurnalis, serta jenis ulama, dan diprakarsai oleh IHH (lembaga
kemanusiaan internasional terbesar di Turki), telah memberi konferensi pers
bahwa mereka tidak akan mengikuti tawaran negosiasi yang diberikan Israel
untuk mengubah arah tujuan armada tersebut ke pelabuhan Ashdod dan
memberikan bantuan tersebut kepada pihak Israel untuk disalurkan ke lokasi
blokade Gaza. Presiden IHH, Bullent Yildirim, bahkan menegaskan bahwa,
pihaknya tidak akan mematuhi perintah dari manapun untuk membelokkan arah
perjalanan. Tujuan mereka sudah sangat jelas yakni Jalur Gaza dan akan bersamasama mengatasi rintangan yang dibuat oleh pihak Israel untuk menghalanghalangi masuknya bantuan kemanusiaan bagi bangsa Palestina ini. Pernyataan
tersebut diperkuat melalui dukungan Perdana Menteri Turki Recep Tayyib
Erdogan yang membalas ultimatum Israel dengan peringatan untuk tidak
menyerang iring-iringan bantuan kemanusiaan “Freedom Flotilla”. Bahkan,
Perdana Menteri Turki menyatakan akan mengerahkan helikopter untuk
mengawal kapal bantuan, bila Israel mencoba mengintervensi kapal-kapal bantuan
yang bertolak dari Turki.60
Pada 27 Mei 2010, sebuah kapal ferry yang merupakan peserta terakhir
dari rombongan, bernama Mavi Marmara, berlayar dari pelabuhan Antalya Turki
pukul 02.00 waktu setempat. Kapal berbendera Turki tersebut, ditumpangi oleh
lebih dari 600 orang aktivis kemanusiaan, anggota parlemen, dan wartawan dari
42 negara. Dari Indonesia, telah hadir di Istanbul tim dari KISPA (Komite
60
Budi Susanto, 2011, Bukti Kekejaman Israel di Palestina, Yogyakarta: IRCiSoD Hal.280
73
Indonesia untuk Solidaritas Palestina), MER-C (Medical Emergency Rescue
Committee) dan Sahabat Al-Aqsha. Dengan membawa bantuan yang serupa,
yakni sekitar 10.000 ton bantuan berupa bahan makanan, material bangunan,
peralatan medis dan perelngkapan sekolah.
Bertolaknya Kapal Mavi Marmara diiringi perayaan pelepasan yang begitu
meriah. Berdasarkan liputan pers, khususnya Al Jazeera, kapal tersebut dilepas
dengan dentuman puluhan mercon berukuran besar yang diledakkan di dekat
buritan kapal. Di atas kapal, beberapa peserta konvoi turut menyalakan asap-asap
pengirim sinyal darurat beraneka warna. Di dek belakang kapal, ratusan balon
berwarna merah-hitam-putih-hijau seperti bendera Palestina dilepas. Sementara,
ratusan warga yang memenuhi pelabuhan Antalya, mengibarkan bendera-bendera
Palestina, Turki, bendera Tauhid dan bendera negara-negara yang diwakili oleh
para peserta konvoi.
Mavi Marmara diharapkan akan bergabung bersama dengan aramada
Freedom Flotilla yang lebih dulu berangkat untuk menembus kepungan Angkatan
Laut Israel ke Gaza. Namun, sebagaimana istilah “Das Solen” yang terkadang
tidak sesuai dengan “Das Sein” Harapan Mavi Marmara terbentur kenyataan yang
menyebabkan kapal tersebut tidak pernah sampai di Gaza. Dalam perjalanannya,
pada tanggal 31 Mei 2010 dini hari, terjadi kontak yang berpotensi memicu
bentrokan. Radar dari militer angkatan Laut Israel, mengidentifikasi keberadaan
Mavi Marmara di sekitar perairan Gaza yang dikuasai Israel. Militer Israel
memang telah disiagakan oleh pemerintah Israel menyangkut sikap blokade Israel
terhadap Gaza. Tercatat, sebanyak 2 atau 3 kapal berisi Navi IDF yang bersenjata,
74
telah siaga untuk mengarahkan Mavi Marmara menuju Ashdod. Beberapa sumber
menjelaskan bahwa sempat terjadi kontak negosiasi antara radar Israel dengan
nakhoda Mavi Marmara. Namun dengan tidak ditemukannya kesepakatan antara
kedua pihak, kapal-kapal Israel akhirnya berlayar mendekati Mavi Marmara.
Berikut adalah kronologis detik-detik sebelum insiden tersebut terjadi, seperti
yang disaksikan oleh penulis melalui tayangan berita Al Jazeera dan Metro TV:
1. Dari kejauhan, tampak sebuah kapal militer berlayar mendekati sebuah
kapal pesiar Mavi Marmara, kapal pemimpin misi kemanusiaan Freedom
Flotilla (Armada Kebebasan). Angkatan Laut Israel lalu menghubungi
kapten
kapal
Mavi
Marmara.
Mereka
meminta
sang
nakhoda
mengindentifikasi dirinya dan menanyakan hendak ke mana kapal itu
pergi.
2. Beberapa saat kemudian, dua kapal laut Israel merapat ke kapal Mavi di
kedua sisi. Namun mereka tetap mengambil jarak dari sasaran.
3. Melihat situasi seperti itu, aktivis kemanusiaan di Mavi Marmara
mengalihkan arah kapal dan berjalan pelan dengan harapan konfrontasi
dapat
dihindari.
Mereka
juga
menyerukan
semua
penumpang
menggunakan pelampung dan meminta agar tetap berada di bawah dek.
4. Tampak di buritan, beberapa aktifis maupun jurnalis, berusaha merekam
sebuah helikopter yang sedang terbang jauh mengintari kapal mereka.
5. Sejumlah speed boat yang berisikan tentara Israel pun mendekat dan
mengintari kapal terbesar dari misi Freedom Flotilla (Armada Kebebasan)
yang berjumlah 9 kapal itu.
75
6. Tentara Israel menggunakan pakaian lengkap dengan disertai senjata dan
rompi anti peluru serta helm pengaman. Mereka memasuki bagian kapal.
Para awak kapal dan penumpang tampak berkumpul di satu lokasi.
7. Video bergerak mengekspos Mavi Marmara dari luar kapal, dan dari
kejauhan, terlihat seorang tentara Israel yang mengenakan penutup kepala,
memukul seseorang dengan menggunakan benda keras yang terbuat dari
besi. Kemudian, sebuah helikopter terbang rendah di atas kapal Mavi
Marmara. Dari perut heli itu, keluar tentara Israel menggunakan seutas tali.
Sesekali dalam tayangan video juga terdengar suara rentetan senjata. Tidak
diperoleh informasi dari mana suara tembakan berasal dan diarahkan ke
mana tembakan tersebut. Huru-hara tidak dapat dihindarkan dan sekilas,
tentara Israel seakan sedang menganiaya awak kapal.
8. Beberapa penumpang kapal tampak menolong rekannya yang terluka
akibat terkena tembakan.
Seperti yang telah disebutkan pada Bab I dari penelitian ini bahwa terdapat
berbagai versi mengenai jumlah korban dari insiden Mavi Marmara. Awalnya,
Militer Israel menyatakan, korban tewas dalam serangan angkatan laut negara itu
terhadap konvoi kapal yang membawa bantuan ke Jalur Gaza, Senin pagi, hanya
sembilan orang. Pernyataan itu merevisi sebuah pernyataan sebelumnya yang
menyebutkan, korban tewas sebanyak 10 orang. Di sisi lain, televisi swasta Israel
Saluran 10, menyebut jumlah kematian mencapai 19 orang. Televisi Israel itu
kemudian menurunkan angka kematian menjadi 10, sesuai denga jumlah yang
diumumkan militer sebelumnya. Dari kesimpangsiuran mengenai korban jiwa
76
tersebut, dapat dilihat bahwa Israel sedang berusaha meminimalisir jumlah korban
yang disebabkan oleh aksi militernya. Sebagaimana yang telah diketahui bersama,
khususnya bagi para pemerhati konflik Timur-Tengah bahwa Israel kerap kali
melakukan manipulasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan
militernya, baik itu melalui media ataupun melalui pemerintahnya. Pada kasus
serangan ke Gaza 2008 silam, Israel kerap kali membenarkan serangannya
terhadap warga sipil Palestina sehingga apa yang disampaikan oleh pemerintah
cenderung berbeda dengan apa yang disampaikan oleh media.
Sementara itu, cabang Gaza LSM Turki IHH, yang memiliki sebuah kapal
penumpang berukuran besar dalam armada kapal yang mengangkut lebih dari 600
orang itu, mengatakan kepada AFP, pihaknya mengetahui ada 15 orang yang
tewas, sebagian besar warga negara Turki.61 Namun, dari kesimpangsiuran itu,
penulis cenderung mempercayai jumlah korban sesuai yang dilaporkan kantor
berita Al Jazeera, dengan bahan pertimbangan bahwa Al Jazeera memiliki
jangkauan pemberitaan yang paling komprehensif dan netral terhadap komunikan
serta menjadi sumber lansiran oleh kantor berita lainnya di berbagai negeri di
dunia, maka korban tewas diyakini sebanyak 19 orang kehilangan nyawa dan 30
orang lainnya terluka parah.
Setelah terjadinya konfrontasi tersebut, sisa armada kapal yang tidak
mengalami konfrontasi dengan tentara Israel, diarak menuju pelabuhan Ashdod.
Sementara penumpangnya disandera oleh militer Israel di penjara Ela, Beersheba.
Menurut laporan dari kantor berita Al Jazeera, mereka disandera untuk
61
http://Anton Hilman Blog.com/kronologis-serangan-tentara-israel-ke-kapal-mavi-marmarafreedom-flotilla.html Diakses pada 09/03/2011 21:30.
77
diinterogasi. Mereka bahkan dipaksa untuk menandatangi sebuah dokumen yang
menyatakan bahwa mereka telah melanggar hukum Israel. Jika tawanan tidak
bersedia untuk bekerja sama, maka tawanan tersebut akan disandera lebih lama.
Adapun, jumlah korban yang selamat berdasarkan laporan Reuters:
Gambar 4 : Daftar Penumpang Selamat Konvoi Freedom Flotilla
Sumber: “Harian Republik” Edisi Kamis 3 Juni 2010. Hal: 4
Merujuk dari data di atas, diketahui bahwa komposisi awak dari Mavi
Marmara bukan saja berasal dari negara-negara yang kontra dengan Israel namun
berasal dari berbagai negara di dunia yang merupakan berbagai lapisan anggota
masyarakat yang perduli terhadap nasib saudara mereka di Palestina. Dapat dilihat
bahwa Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat masing-masing memiliki warga
negara yang berjumlah, 11 dan 9 orang. Tidak ada unsur etnis maupun teologis
78
dalam pelayaran tersebut melainkan unsur kemanusiaan, sehingga berdasarkan
perjanjian dari hukum laut, kapal tersebut seharusnya diberi akses masuk ke Jalur
Gaza. Jika Israel beralasan bahwa peserta misi tersebut paling banyak berasal dari
Turki yakni 380, hal itu semata karena konvoi tersebut diawali di Turki dan
diprakarsai oleh organisasi kemanusiaan terbesar di negara tersebut. Terdapatnya
kecurigaan mengenai teroris yang tergabung dalam kapal tersebut mungkin saja
beralasan namun terkesan terlalu paranoid sehingga yang terjadi adalah
pertumpahan darah dari korban yang telah bersedia untuk berjihad.
Hampir serupa dengan nasib penumpang kapal, nasib dari bantuan
kemanusiaan yang telah dikumpulkan sebelum konvoi dimulai ikut disandera oleh
pihak Israel.Segala isi dari kapal tersebut, berada ditangan Israel segera setelah
kejadian. Hingga beberapa hari pasca serangan pun, tidak diketahui apakah
bantuan kemanusiaan untuk Gaza akan dikembalikan atau tidak. Dana kontan
yang dibawa oleh dua tim solidaritas Palestina milik Indonesia, yakni Mer-C
sebesar 600 juta dan Sahabat Al Aqsha sebesar 650 juta pun belum diketahui masa
depannya.Radikalisme sistem penyanderaan Israel bahkan menyita seluruh
pakaian dan alat komunikasi dari penumpang kapal.Dalam bukunya tentang
Kisah-Kisah Kekejaman Israel di Palestina, Budi Susanto mengatakan, bahwa
bantuan untuk Gaza sering ditumpuk oleh Israel di sejumlah titik sehingga
bantuan tersebut, meskipun akan disalurkan, akan memakan waktu yang cukup
lama.
Terlepas dari radikalisme sistem penyanderaan Israel, pemerintah negara
tersebut masih bertanggung jawab terhadap beberapa relawan yang menjadi
79
korban luka dalam insiden. Rumah sakit Barzilai dan Raubah di Ashkelon serta
rumah sakit London Hospital di Haifa, menjadi wadah bagi pertanggung-jawaban
Israel terhadap pertikaian yang mereka picu. Sementara, korban selamat yang
disandera, secara bergilir dilepaskan satu hari kemudian. Menurut laporan Al
Jazeera, setelah dibebaskan dari penjara Ela di Bersheeba, para tawanan
gelombang pertama dideportasi keluar Israel menuju Amman,Yordania. Dengan
menggunakan beberapa bus, pemerintah Israel membawa tawanan dari berbagai
negara tersebut kesebuah daerah di perbatasan Israel dan Yordania, yakni King
Husein Bridge, tempat di mana para duta besar telah menunggu kepulangan warga
negara mereka.62 Alternatif Yordania, pada akhirnya harus dipilih sebagai pintu
deportasi bagi relawan yang disandera. Itu disebabkan oleh Mesir menolak unruk
membuka rafah sebagai jalur alternative yang lain. Dengan menegangnya
hubungan Mesir dan Palestina, negara firaun tersebut kurang memberi perhatian
terhadap nasib Gaza dan korban Mavi Marmara.
Sehari berselang yakni Rabu siang, sebanyak 130 aktivis warga Turki
sudah berada di bandara David Ben Gurion, di dekat Tel Aviv, kemudian
menyusul 74 aktivis lainnya.63 Selebihnya, menurut laporan dari Associated Press,
sebanyak 100 relawan masih berada di penjara Ela. Meskipun sempat terjadi
penundaan waktu, namun hingga kamis, atau tiga hari setelah peristiwa Mavi
Marmara menggeparkan dunia perpolitikan internasional, Israel telah melepaskan
lebih dari 574 tawanan dan jumlah itu sudah hampir mencapai seluruh jumlah
penumpang dari Mavi Marmara.
‘Harian Republika’ Edisi Kamis, 3 Juni 2010. Hal:7
‘Harian Kompas’ Edisi Kamis, 3 Juni 2010. Hal: 11
62
63
80
B. Sikap dan Tanggapan Masyarakat Internasional di Beberapa Negara
Tidak perlu diragukan lagi bagaimana reaksi dunia dalam menanggapi hal
insiden Mavi Marmara. Masyarakat internasional, khususnya negara-negara
anggota Dewan Keamanan PBB, baik yang pro Israel maupun yang kontra dengan
negara Yahudi tersebut, mengecam tindakan Israel. Faktor terlibatnya warga
negara bersangkutan dalam insiden, entah itu menjadi korban ataupun pelaku,
membuat negara-negara yang dulunya sering membela Israel jadi berbalik arah
menentang Israel. Melalui wakil negara masing-masing, masyarakat internasional
memberikan kecaman atau tanggapan negatif perihal keputusan negara itu
menyerang kapal bantuan kemanusiaan. Hanya berselang beberapa waktu pasca
insiden, duta besar dari 27 negara anggota Uni, menggelar rapat guna membahas
insiden Mavi Marmara di perairan Gaza. Seluruh diplomat maupun wakil Israel di
negara-negara yang melakukan hubungan bilateral dengan negara tersebut,
dipanggil untuk menjelaskan perihal tindakan pemerintah mereka.Wakil Menteri
Luar Negeri Israel, Danny Ayalon mengatakan bahwa ini adalah krisis diplomatik
yang sangat besar. Kami sedang bekerja sama untuk mengatasi situasi darurat
ini.64
Di pihak lain, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut serangan itu
sebagai ''Pembunuhan Massal atau Pembantaian''. Presiden Abbas juga
mengumumkan masa berkabung selama tiga hari bagi korban yang telah
gugur.Bersama otoritas Palestina, dia menyerukan Dewan Keamanan (DK) PBB
untuk mengadakan pertemuan darurat dan berniat untuk mendesak Presiden
‘Harian Republika’ Kamis, 3 Juni 2010. Hal 7
64
81
Amerika Serikat Barack Obama untuk mengambil sikap tegas terhadap
permasalahan Timur-Tengah. Sedangkan Perdana Menteri Palestina, Ismail
Haniyah, menyeru seluruh negara Arab untuk tidak menunggu lama dan segera
mengutuk serangan tersebut serta mengusir para duta besar Israel dari negara
mereka. Meskipun selama ini menjadi kambing hitam dari keputusan Israel
memblokade Gaza, namun Dr. Sami Abu Zuhri, juru bicara Hamas, turut
menyatakan bahwa pencegahan kapal bantuan ke Gaza adalah salah satu bentuk
terorisme negara. Sami Abu Zuhri memandang serangan Israel atas konvoi
kebebasan sebagai kejahatan besar dan pelanggaran serius terhadap hukum
internasional.65 Selama ini, suara Palestina memang sering tidak terdengar di
forum internasional. Keruhnya suasana perpolitikan di Timur-Tengah dan
bermainnya faktor kepentingan, menurut penulis, membuat negara-negara
bersahabat melupakan identitas dari integrasi mereka. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Mesir yang membuat Israel semakin leluasa memblokade
Palestina. Namun dengan terjadinya peristiwa ini, masyarakat internasional pun
membalikkan badan mereka dan bereaksi terhadap Israel, berikut adalah
pernyataan beberapa pihak, baik wakil organisasi regional ataupun negarawan
perihal Mavi Marmara sebagaimana yang dikutip penulis dari Tribunnews.com
pada senin, 31 Mei 2010, pukul 19.12 WIB:
1. Sekjen PBB, Ban Ki-moon, menyatakan shock atas serangan Israel atas
konvoi kapal yang mengangkut bantuan serta para aktivis pro-Palestina,
jurnalis, dan anggota parlemen di perairan internasional tersebut. Ban Ki-
65
TRIBUNNEWS.COM. Diakses Pada: 18/5/2011. Pukul: 11.57 Wita.
82
Moon berpendapat bahwa perlu investigasi menyeluruh untuk menyelidiki
bagaimana tragedi berdarah tersebut bisa terjadi. Dia juga mendesak Israel
menjelaskan soal serangan tersebut. Sementara utusan dan pakar hak asasi
manusia PBB malah meminta masyarakat dunia mengadili para pembuat
kebijakan Israel.
2. Greta Berlin, Juru bicara Free Gaza Movement mengatakan bahwa
memuakkan mereka menaiki kapal dan menyerang warga sipil. Kami
orang sipil. Bagaimana bisa militer Israel menyerang warga seperti itu?,
Apakah karena mereka memandang bisa menyerang bangsa Palestina
secara semena-mena, mereka bisa menyerang siapa saja.
3. Catherine Ashton, Wakil Tinggi Uni Eropa Urusan Luar Negeri
menyatakan penyesalan mendalam atas kabar jatuhnya korban jiwa dan
tindak kekerasan, dan kami menyampaikan simpati kepada keluarga
korban jiwa dan cedera. Atas nama Uni Eropa, dia menuntut penyelidikan
tuntas atas konteks kejadian. Dia pun menyerukan pembukaan segera,
berkesinambungan, dan tanpa syarat penyeberangan untuk arus bantuan
kemanusiaan, barang komersial, dan orang-orang dari Gaza.
4. AMR Moussa, Sekjen Liga Arab, menyerukan pertemuan mendesak di
tingkat duta besar untuk mencermati kejahatan keji yang dilakukan oleh
pasukan Israel terhadap warga sipil tak bersenjata dan menyebabkan
puluhan korban jiwa dan terluka. Serta mengutuk keras aksi teroris ini.
5. Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad menyatakan bahwa tindakan tidak
manusiawi rezim Zionis terhadap bangsa Palestina yang mencegah
83
bantuan kemanusiaan mencapai warga Gaza, tidak memperlihatkan
kekuatan rezim ini tapi pertanda kelemahannya, dan ini membawa rezim
yang jahat dan palsu tersebut lebih dekat ke akhir riwayatnya.
6. Filippo Grandi dan Robert Sherry, pejabat senior PBB, menegaskan bahwa
tragedi semacam ini sepenuhnya bisa dihindari jika Israel memperhatikan
seruan berulang-ulang masyarakat internasional untuk mengakhiri blokade
kontraproduktifnya yang tidak bisa diterima terhadap Gaza. Dengan
begitu, mereka mengutuk dan menyerukan agar tindakan kekerasan itu
dihentikan.
7. Perdana
Menteri
Lebanon,
Saad
Hariri
menyerukan
agar
diselenggarakannya pertemuan darurat DK PBB juga dilontarkan
8. Bernard Kouchner, Menlu Perancis mengungkapkan: Saya terguncang
oleh konsekuensi tragis operasi militer Israel terhadap konvoi perdamaian
untuk Gaza. Tidak yang bisa membenarkan penggunaan kekerasan yang
seperti itu, yang kami kutuk.
9. Menteri Luar Negeri Italia, Franco Fratinni, menyerukan kutukan sekeraskerasnya terhadap pembunuhan warga sipil oleh Israel.
Terlepas dari kumpulan kecaman menyangkut masyarakat internasional di
atas, terdapat beberapa negara yang paling verbal dalam menggencarkan kutukan
terhadap Isreal, beberapa dari negera itu adalah mereka yang menganggap pihak
paling dirugikan dari serangan Israel, sementara beberapa negara lainnya adalah
negara yang mengalami perubahan sikap baik itu terhadap Israel maupun
Palestina setelah terjadi Insiden Mavi Marmara.
84
1 Turki
Dalam kasus Freedom Flotilla khususnya Mavi Marmara, tidak ada yang
berhak untuk menyalahkan atau merintangi segala tindakan ataupun sikap yang
diambil Turki dalam menanggapi keputusan Israel menyerang konvoi bantuan
kemanusiaan itu. Hal itu disebabkan oleh kapal Mavi Marmara yang menjadi
pusat serangan, merupakan kapal berbendera Turki yang membawa penumpang
terbanyak berkewarga-negaraan Turki. Korban yang berjatuhan pun, khususnya
korban jiwa, sebagian besar adalah warga Turki. Dalam kasus Mavi Marmara,
harga diri dan bargaining posisition dari pemerintah Turki seakan tidak
diindahkan oleh pemerintah Israel.
Berangkatnya iring-iringan Freedom Flotilla dari negara bekas kekuasaan
Khilafah Ottoman tersebut, merupakan tanggung jawab tersendiri bagi pemerintah
Turki yang mendukung tindakan IHH dan rakyatnya dalam memprakarsai
akumulasi bantuan kemanusiaan untuk Gaza itu. Perdana Menteri Turki, Recep
Tayyib Erdogan, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah mewanti Israel
untuk tidak menyerang bantuan kemanusiaan itu. Namun, apa yang diharapkan
oleh perdana menteri itu tidak terwujud karena Israel tetap menunjukkan
arogansinya dan mengabaikan peringatan dari rekan kerja-samanya. Ironisnya,
Perdana Menteri Erdogan disalahkan karena telah membiarkan kapal tersebut
berlayar, yang oleh pihak pendukung Israel dianggap sebagai faktor utama yang
memicu atau menyebabkan terjadinya insiden Mavi Marmara. Dalam Harian Wall
Street Journal, pada 4 Juli lalu, Erdogan disebut-sebut lebih bertanggung jawab
terhadap korban Mavi Marmara dibandingakan Perdana Menteri Israel Benjamin
85
Netanyahu. Perdana Menteri Turki tersebut bahkan dituding memiliki hubungan
dengan IHH yang berkesutu dengan Hamas, sebuah gerakan yang dianggap teroris
dan dapat membahayakan nasib Israel. Akibatnya, Perdana Menteri Erdogan
tepaksa membatalkan sejumlah pertemuan diplomatisnya di negara-negara
Amerika Latin. Kecurigaan dari pihak pro-Israel tersebut sepertinya agak
berlebihan. Memang penulis tidak pernah melakukan penelitian langsung terhadap
adanya hubungan perdana menteri Turki dengan Hamas sebab itu berarti harus
menelusuri latar belakang hidup seorang Recep Tayyib Erdogan, namun jika
melihat pada posisi Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki dan terjalinnya kerja
sama antara negara tersebut dengan Israel, maka penulis dapat mengatakan bahwa
tudingan kerja sama Erdogan dengan Hamas yang menyelundupkan aktivis
separatis muslim adalah sebuah akumulasi dari paranoia terhadap islamophobia.
Berbanding terbalik dengan sikap pendukung Israel, warga negara Turki
mendukung sikap perdana menteri mereka dan menunjukkan sikap frontal
terhadap Israel terhadap serangan itu terjadi. Segera setelah berita serangan
terhadap konvoi tersebut, ribuan pengunjuk rasa Turki menunjukkan kegeraman
mereka dengan memprotes dan bergerak menuju konsulat Israel di Istanbul.
Jargon-jargon anti Israel seperti "Mampus Israel” menggema di jalan-jalan besar
sekitar konsulat Israel.66 Turki bahkan telah menarik duta besarnya dari Tel Aviv
dan secara sepihak membatalkan rencana latihan militer bersama antara angkatan
bersenjata kedua negara. Hubungan bilateral dan perjanjian kerjasama militer
yang telah terjalin sejak 1996 pun memburuk pasca serangan tersebut. Dalam
66
Http://Anton Hilman Blog.com/kronologis-serangan-tentara-israel-ke-kapal-mavi-marmarafreedom-flotilla.htmlDiakses pada 09/03/2011 21:30.
86
pidatonya yang berapi-api, Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan menyalahkan
serangan militer Israel sebagai “pembantaian berdarah” dan mendesak dunia
untuk menghukum Israel atas pelanggaran hukum yang dilakukannya itu.67
Sikap ekstrim Turki tidak berhenti sampai di situ, dalam pembicaraannya
dengan Presiden Barack Obama, sebagaimana yang dirilis oleh Kantor Perdana
Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan mengecam dan menyatakan bahwa Israel
akan kehilangan satu-satunya kawan di Timur Tengah. Hal tersebut akan
diputuskan melalui sikap-sikap Israel kedepannya dalam menanggulangi insiden
Mavi Marmara tersebut. Prediksi Erdogan benar, Pada akhirnya, Perdana Menteri
Israel, Benyamin Netanyahu, mengajukan kompensasi sebesar 100.000 Dollar
kepada setiap keluarga yang menjadi korban penembakan militer Israel.
Pemerintah Israel juga menawarkan rasa “penyesalan” terhadap insiden Mavi
Marmara demi memperbaiki kembali hubungan bilateral antara kedua negara.
Namun, hal tersebut belum menyetuh persyaratan Pemerintah Turki yakni
“perminta-maafan” secara resmi bagi seluruh rakyat dan pemerintahan Turki.
Sehingga, Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu menyatakan bahwa
penawaran Israel bersifat spekulatif dan permintaan dari pemerintah Turki sampai
saat ini belum berubah.68
Hingga hasil dari penelitian PBB didapatkan, maka Pemerintah Turki tidak
akan memperbaiki hubungan diplomatik antar kedua negara. Pada pertemuan
Genewa yang sengaja digelar untuk memediasi kedua negara, Turki, melalui
perdana menterinya juga menegaskan bahwa tidak ada fleksibilitas dalam sikap
‘Harian Suara Karya’ Edisi Kamis, 3 Juni 2010. Hal: 2
Al Jazeera.Net/English Diakses pada: 3/9/2011 pada 21.57 Wita.
67
68
87
Turki perihal Insiden Mavi Marmara. Recep Tayyib Erdogan juga menambahkan,
"If there are those who want to start a new period, I repeat: They must accept
their guilt, apologise and pay compensation. I say too that the embargoes, which
have been eased but not enough, should be lifted,"69
2 Indonesia
Selain Turki, terdapat satu negara lagi yang bersikap sangat frontal
terhadap insiden Mavi Marmara yang dilakukan oleh Israel. Negara tersebut
adalah Indonesia, wakil presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan ketua
ASEAN periode 2010. Sikap Indonesia sendiri bukan semata dilandaskan oleh
kewajiban Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional ataupun sebagai
konsekuensi dari kedua jabatan yang sedang diembannya, namun terlibatnya
warga negara Indonesia dalam peristiwa tersebut, turut menjadi faktor lantangnya
suara Indonesia terdengar dalam berbagai forum internasional perihal Mavi
Marmara.
Seperti yang telah diketahui bahwa, pada saat tregedi Mavi Marmara
terjadi, 12 warga negara Indonesia berada di dalam kapal tersebut. Bahkan, dua
dari korban luka-luka adalah warga negara Indonesia, sedangkan sepuluh lainnya
ikut disandera di Bersheeba. Dengan demikian, jelas sudah alasan Indonesia
mengutuk serangan Israel yang menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, Martin
Natalegawa telah melanggar hukum internasional. Beliau juga menjelaskan bahwa
pada dasarnya, blokade Israel terhadap Gaza pun itu semdiri merupakan suatu
69
Ibid.
88
pelanggaran hukum internasional. Jadi tak ada dasar untuk menyergap dan
memblokade kapal.70
Kementerian Luar Negeri Indonesia secara resmi mengeluarkan statement
anti-Israel menyusul serangan brutal atas konvoi kapal pengangkut bantuan yang
bersandi Freedom Frotilla. Pernyataan yang dikutip dari situs resmi Deplu RI
berisi sebagai berikut:
Pemerintah Indonesia mengutuk penyergapan dan aksi kekerasan Israel
terhadap Kapal Mavi Marmara yang membawa misi bantuan kemanusiaan
internasional ke Jalur Gaza, Palestina, pada tanggal 31 Mei 2010 yang dikabarkan
telah menimbulkan sejumlah korban jiwa dan cedera. Pemerintah Indonesia akan
bekerjasama dengan masyarakat internasional guna memastikan agar Israel
mempertanggung-jawabkan tindakannya sesuai dengan hukum internasional.
Secara
khusus,
Indonesia
mendesak
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
untuk
menunaikan kewajibannya sesuai dengan Piagam PBB, termasuk melalui
investigasi atas insiden penyerangan Israel dimaksud guna memastikan
pertanggung-jawaban Israel.
Presiden Indonesia, sebagai kepala negara, yang tentunya juga mendapat
tekanan dari rakyat Indonesia pada umumnya dan keluarga korban Mavi Marmara
pada khususnya, menunjukkan sikap tegas terhadap serangan Israel. Langkahlangkah yang paling dapat diperhitungkan adalah ketika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia sebagai wakil presiden dewan HAM
PBB juga mendesak adanya debat penting terkait insiden Mavi Marmara.
Indonesia akan berupaya mendorong lahirnya resolusi dewan HAM atas
70
‘Harian Republika’ Edisi Senin, 7 Juni 2010, Hal.34
89
penyerangan tersebut.71 Di samping itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
juga akan berusaha untuk menggalang dukungan internasional untuk meminta
Israel menghentikan pembangunan permukiman baru yang dikhawatirkan akan
memunculkan permasalahan baru yang tidak dikehendaki.72 Sebagai tambahan
bukti bagi keseriusan Indonesia dalam menangani konflik Palestina-Israel,
Presiden RI tersebut juga menyatakan kesediannya untuk mengirimkan
kontigennya dalam tugas pemeliharaan di wilayah Palestina di bawah bendera
PBB.73
Mengenai keadaan warga negara Indonesia yang terlibat insiden Mavi
Marmara, Pemerintah memilih alternatif yang memanfaatkan kedutaan besar
Indonesia di Yordania. Mulai dari diplomasi pembebasan sepuluh warga
Indonesia yang disandera Israel hingga evakuasi korban luka dari rumah sakit
Israel ke Yordania. Hal tersebut ditempuh mengingat status Indonesia dan Israel
yang tidak mengadakan hubungan diplomatis atas dasar soldaritas negara muslim
dengan Palestina. Duta besar Indonesia untuk Yordania, Zainul Bahar Noor
sendiri yang akan menangani kepulangan warga Indonesia mulai dari
penjemputan relawan di Amman hingga perjalanan ke Indonesia. Sebelumnya,
Indonesia sempat melobi Mesir melalui kedutaan besar Indonesia untuk
menjadikan negara itu sebagai pintu masuk ke Gaza perihal serangan Israel,
namun dengan sikap Mesir yang sedang berkoalisi dengan Israel dan justru
bersiteru dengan Palestina hal tersebut tidak dapat dilaksanakan.
‘Harian Sinar Harapan’ Edisi Rabu, 2 Juni 2010. Hal: 5
‘Harian Republika’ Edisi Kamis, 3 Juni 2010. Hal:8
73
Ibid.
71
72
90
3 Jerman
Jerman, sebagai negara yang selama ini dikenal selalu mendukung
tindakan Israel di Palestina, Melalui Kanselirnya Angela Merkel, menegaskan
bahwa,
meskipun
selama
ini
Jerman
selalu
mendukung
Israel
untuk
mempertahankan diri, namun apa yang dilakukan Isreal tempo hari sudah diluar
batas.74 Jerman bahkan mengecam Israel ketika mencegah Dirk Niebel masuk ke
jalur Gaza untuk menemui pengungsi Palestina serta wakil Kepala bantuan dan
pekerjaan PBB untuk pengungsi Palestina. Sejak terjadinya peristiwa Mavi
Marmara, Jerman menjadi sedikit lunak terhadap Palestina, melalui menterinya
pula, Jerman berusaha untuk mengubah strategi politik Israel terhadap Gaza.
Sebelumnya, Jerman merasa bertanggung jawab untuk mendukung aksi
“Detterance” Israel melalui jalan militer. Hal itu didasarkan pada beban moral
dari sejarah masa lampau antara Nazi dan etnis Yahudi. Jika peristiwa holocaust
betul-betul terjadi dan bukannya sekedar konspirasi sejarah oleh pihak-pihak
tertentu, maka sikap Jerman untuk membenarkan blokade Gaza dapat dimaklumi.
Namun, karena aksi Israel sudah dianggap berlebihan dan dengan adanya faktor
warga negara Jerman yang juga terlibat dalam insiden Mavi Marmara, maka
Jerman untuk sejenak melupakan aksi politik etisnya dan berbalik untuk membela
pengungsi Gaza yang selama tiga tahun lebih diperlakukan tidak adil oleh Israel.
Jika berangkat dari sikap Jerman dalam merespon insiden Mavi Marmara, dapat
dilihat bahwa kebijakan Israel mengintervensi kapal bantuan kemanusiaan
74
Global Future Institute.Com/Dunia_kutuk-Israel,AS-Basa_Basi. Diakses pada: 26/6/2011
pukul:1.55 Wita
91
tersebut, memang telah melewati batas. Hal itu disebabkan oleh, negara
pendukung politik luar negeri Israel seperti Jerman saja dapat bereaksi negatif atas
serangan tersebut.
4 Mesir
Di benua Afrika, Mesir merupakan negara islam terbesar yang juga masih
menjalankan syariat Islam. Peran Mesir di Liga Arab juga tidak perlu diragukan
lagi. Ketika tanah Palestina digrogoti invasi Israel, Mesir menjadi salah satu
negara yang bersikap frontal. Keputusan Israel yang menyerang Mesir demi
memperebutkan otoritas Sungai Nil pada tahun 1967 yang dikenal dengan konflik
Arab-Israel, membuat Mesir semakin berpihak pada Palestina.75 Namun, sejak
hadirnya Amerika Serikat yang melobi Mesir melalui Harry Kissinger untuk
berdamai dengan Israel, membuat konflik kedua negara meredah. Hubungan
diplomatis antara Israel pun ditandai dengan ditanda-tanganinya perjanjian Camp
David pada 26 Maret 1979.
Sejak saat itu, hubungan Mesir-Israel menjadi terlewat dekat, sementara
hubungan Mesir dengan Palestina menjadi renggang akibat terdapatnya perbedaan
pendapat antara pemerintah Mesir dengan Hamas. Penolakan Hamas untuk
bertemu dengan Mesir bahkan membuat negara gurun itu, menyalahkan Hamas
dan menganggapnya sebagai teroris yang berpotensi memicu konflik dengan
Israel sehingga Mesirpun membenarkan blokade Gaza. Pada saat terjadinya
Insiden Mavi Marmara pun, Mesir menolak untuk membuka Rafah sebagai jalur
alternatif untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan tersebut. Mesir bahkan tidak
75
Op.Cit. Suparman. Hal.21
92
menerima relawan di deportasi ke negaranya, sehingga sebagian besar relawan
yang ditawan oleh Israel, dideportasi ke Yordania. Dari sini penulis dapat melihat
sikap Mesir yang pada akhirnya mulai mengaplikasikan konsep realis Machievelli
yang menyatakan bahwa, suatu negara hanya akan melakukan hubungan
internasional terhadap negara lain jika dalam hubungan tersebut dapat memenuhi
kepentingan nasional dari setiap negara, namun jika suatu negara berpotensi
merintangi hal tersebut maka negara yang bersangkutan dapat dengan sepihak
memutuskan hubungan
bilateral
tersebut.
Meskipun begitu, pada misi
kemanusiaan Flotilla II yang berangkat 1 Juni 2011 lalu dari perairan internasional
Cyprus, Mesir telah menyatakan kesediannya untuk membuka Rafah sebagai jalan
masuk ke Gaza.
C.
Pemberitaan Media Mengenai Peristiwa Mavi Marmara
Sebagaimana perannya di negara-negara penganut demokrasi, yang berada
di urutam ke empat setelah Trias Politica, peran media dalam dunia perpolitikan
internasional juga telah mendapatkan posisi yang kuat dalam mempengaruhi
situasi yang ada. Menyebar luasnya perisitwa Mavi Marmara hingga kepada
entitas masyarakat internasional, tidak diragukan lagi merupakan hasil kerja dari
sistem komunikasi internasional. Terbentuknya sikap masyarakat internasional
yang dalam hal ini adalah individu warga dunia, juga sebagian besar juga
merupakan konsekuensi dari respon mereka terhadap apa yang ditampilkan oleh
agenda setting suatu kiblat kantor berita dunia.
Sebagian besar pemberitaan yang selalu menggambarkan Israel sebagai
penyerang yang tidak berprikemanusiaan, membuat berbagai anggota masyarakat
93
internasional yang dalam hal ini adalah individu yang memiliki negara dan
berbagai lembaga internasional, terjebak dalam satu koridor yang sama, yakni
mengutuk serangan Israel. Tidak hanya di stasiun televisi, tetapi juga pada
pemberitaan surat kabar atau media online, Peristiwa Mavi Marmara selalu
disebutkan sebagai “Insiden Berdarah” atau “Serangan Mematikan” yang
dilakukan Israel. Hal tersebut dapat dilihat pada pemberitaan Al Jazeera yang
berjudul “Israel attack was unlawful” yang mengatakan bahwa “…since Gaza
was suffering from a humanitarian crisis on the day of the deadly raid, for this
reason alone, Israel's blockade is unlawful and cannot be sustained in law.” Pada
program Metro-Highlight yang menayangkan rekaman video insiden Mavi
Marmara dengan tajuk Mavi Marmara Berdarah, dan juga pada salah satu
Koran Suara Karya edisi Rabu, 2 Juni 2010 yang menyebutkan “…serangan Israel
sebagai serangan Komando mematikan terhadap kapal yang membawa bantuan
kemanusiaan ke jalur Gaza.” Serta pada website straitstimes.com yang
menyebutkan “Indonesia and Malaysia yesterday condemned the deadly Israeli
raid on a ship carrying activist and aid to the Gaza Strip.”
Serangkaian pemberitaan yang dianggap pihak Israel sebagai “biased” dan
“one-sided” ini, dapat dikatakan cukup berjasa membuat mereka yang sudah jelas
terpisah oleh keadaan gegografis negara masing-masing, dapat menjadi satu
melalui keseragaman opini yang tersusun melalui apa yang mereka terima dari
pemberitaan media. Warga Turki, Yunani, dan Washington DC bersama-sama
melakukan demonstrasi mengutuk serangan Israel. Terdapatnya desakan dari
warga negara-negara yang bersangkutan dengan Mavi Marmara, membuat
94
pemerintah semakin gencar untuk mendesak Israel segera mempertanggungjawabkan serangan militernya ataupun mengadakan sebuah forum yang
membahas sikap masyarakat internasional dalam menanggulangi aksi Israel. Salah
contoh yang dapat dilihat mengenai peran media yang ekuivalen dengan
keseriusan pemerintah dalam menangani warga negaranya adalah situasi di
Indonesia pasca serangan yang melibatkan 12 belas WNI. Dengan adanya
pemberitaan yang memenuhi headline news ataupun program highlights dari
berbagai stasiun televisi swasta, membuat pemerintah Indonesia tidak dapat lagi
menyembunyikan apa yang terjadi seputar Mavi Marmara. Hasilnya, transparansi
kebijakan politik luar negeri pun tidak dapat lagi dihindari.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pemberitaan dari
beberapa media seperti Al Jazeera dan Reuters yang menjadikan Israel sebagai
pelaku kekerasan terhadap 9 relawan yang tewas pada peristiwa Mavi Marmara,
dianggap biased oleh Israel. Beberapa media yang pro Israel seperti CNN dan
FOX News menunjukkan framing berita melalui sisi yang berbeda. Pada
pemberitaan CNN sejak insiden Mavi Marmara terjadi, tidak pernah sekalipun
penulis menemukan kata-kata seperti “Israely Death Raid”, dalam setiap artikel
CNN, peristiwa Mavi Marmara lebih sering disebut sebagai “May 31 Gaza
flotilla incident” atau bentrokan militer antara militer dan aktivis yang sayangnya
menyebabkan korban jiwa. Kantor berita yang berbasis di Atlanta, Georgia,
Amerika Serikat ini, pada pemberitaan online yang disadur penulis melalui
melalui CNN.com lebih menonjolkan sumber atau dasar dari keputusan Israel
“mencegat” Mavi Marmara di perairan internasional, yakni terdapatnya
95
kecurigaan pemerintah Israel mengenai senjata bagi militant Hamas yang
diselundupkan ke dalam bantuan kemanusiaan yang dibawa oleh Mavi Marmara.
Pada pemberitaan media CNN mengenai peristiwa Mavi Marmara, selalu
disebutkan bahwa konfrontasi terjadi akibat aktivis yang menumpang Mavi
Marmara, menyerang tentara Israel lebih dulu dengan menggunakan ketapel,
pisau, kapak, dan tongkat besi. Pada konferensi pers perilah serangan terhadap
bantuan kemanusiaan, di Yerussalem 2 Juni lalu, Benjamin Netanyahu
menyatakan kecurigaannya terhadap bantuan persenjataan bagi militan Hamas,
"Who stood behind the extremist group on the boat? Who subsidized them? How
did axes, knives, bars and other weapons get on the ship?"76 Lebih lanjut lagi,
pada pemberitaan CNN, dikatakan bahwa intervensi Israel ke Mavi Marmara
adalah legal. Israel tidak pernah bersalah akibat berusaha mempertahankan diri
dari teroris bukan berusaha mencegat bantuan kemanusiaan terhadap Gaza,
sebagaimana yang ditulis oleh CNN wire staff pada 9 Juni 2010 lalu, The Prime
Minister defended Israel's actions in setting up a naval blockade of Gaza, saying
it was legal. Netanyahu said there was no humanitarian crisis in the Palestinian
territory, because goods were able to enter through land-based access points.
Netanyahu said Israel still allows humanitarian aid into Gaza despite what he
called "war crimes" committed by Hamas, which does not recognize Israel's right
to exist.77
76
http://edition.cnn.com/2010/WORLD/meast/06/09/israel.flotilla.investigation/index.html?iref=all
search. Diakses pada 8/9/2011. 16.42 Wita
77
http://edition.cnn.com/2010/WORLD/meast/08/09/israel.flotilla.inquiry/index.html?iref=allsearc
h. Diakses pada 8/9/2011. 16.32 Wita
96
Sebelumnya telah disebutkan pada harian Wall Street Journal bahwa pihak
pro-Israel lebih menyalahkan peran Perdana Menteri Reccep Tayyib Erdogan
dibandingkan keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dalam salah satu
edisi CNN mengenai permintaan penyelidikan terhadap Mavi Marmara, CNN
menyertakan pernyataan Tony Blair, sebagai anggota Quartet, yang mendukung
peran pemerintah Israel. Mantan Perdana Menteri Inggris itu menyatakan "I hope
this will enable us to move decisively to a policy on Gaza which keeps out
weapons and other combat-related material but lets in, as a matter of course,
those items that Gazan people need to improve their lives. This also will enable
the U.N. projects for re-construction to go ahead,"78
Pernyataan dari Tony Blair tersebut tampaknya sengaja ditampilkan untuk
mengimbangi berbagai kecaman yang ditujukan oleh berbagai media proPalestina. Sebagaimana, negara-negara besar yang selalu mendukung politik luar
negeri Israel yang cenderung anarkis, media-media yang memiliki effect besar
dalam arus berita internasional, juga selalu hadir untuk merekayasa tindakan Israel
sehingga tidak terlihat bersalah di mata publik internasional. Bukan hanya CNN,
FOX News, yang merupakan salah satu korporasi media terbesar di dunia, juga
hadir mengekspos peristiwa Mavi Marmara dengan kerangka yang berlawanan
dengan media pro-Palestina. Jika dalam video yang disiarkan oleh Al Jazeera,
militer Israel sebagai pelaku aktif dalam konfrontasi Mavi Marmara, FOX News
menampilkan video yang lebih mengekspos tindakan beberapa relawan yang
menyerang tentara Israel dengan menggunakan pisau sewaktu mencoba
78
Ibid.
97
mengintervensi kapal. Pada video tersebut, kalimat propaganda yang menjadikan
aktivis sebagai pelaku penyerangan sengaja ditambahkan. Dengan begitu, dalam
konfrontasi Mavi Marmara, kedua pihak menjadi bersalah. FOX News,
memperlihatkan sisi benar dari keputusan Israel mencegat, sebagaimana kata yang
selalu digunakan oleh CNN dan FOX News, pelayaran Mavi Marmara memasuki
Jalur Gaza yakni untuk melindungi diri dari serangan teroris Hamas, seperti yang
disadur penulis, Prime Minister Benjamin Netanyahu defended the blockade in
remarks following the takeover, saying it was meant to keep weapons out of the
hands of the Iranian-backed Hamas and he would "not allow the establishment of
an Iranian port in Gaza."79 Intinya, framing berita CNN dan FOX selalu berusaha
untuk meluruskan segala pemberitaan miring yang diekspos oleh media lain.
Mengenai peristiwa Mavi Marmara, Israel dianggap berusaha mempertahankan
kedaulatanannya dari ancaman senjata illegal untuk separatis Hamas yang
diselundupkan bersama bantuan kemanusiaan yang diangkut oleh Mavi Marmara
pada pelayarannya 31 Mei 2010 lalu.
Memang, keterlibatan media dalam berbagai aktivitas dunia sudah tidak
perlu diragukan lagi. Keberadaan jurnalis maupun koresponden di lokasi kejadian
dan kinerja kantor berita multinasional yang selama 24 jam memantau
perkembangan segala peristiwa di dunia melalui koresponden mereka, membuat
sebuah kantor berita bahkan lebih cepat menyatakan suatu pendapat atau
pernyataan seputar kejadian peristiwa dibandingkan pernyataan dari negara yang
terlibat perseteruan. Pada kasus Irak saja, satu-satunya yang memiliki akses tak
79
http://www.foxnews.com/world/2010/06/05/israeli-forces-board-gaza-bound-aid-vessel/ Diakses
pada 9/8/2011, 17.14 Wita
98
terbatas menuju lokasi-lokasi sensitif ataupun rawan konflik adalah mililter,
pemerintah rezim, dan jurnalis.80 Dengan berkembangnya sistem informasi dan
teknologi, suatu berita yang menyangkut khalayak orang banyak, sudah tidak bisa
lagi disembunyikan atau ditutup-tutupi.
80
Op.Cit. Kristina Borjesson. Hal.23
99
BAB IV
ANALISIS SIKAP MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP
PEMBAJAKAN MAVI MARMARA
A. Analisis Penyebab Pembajakan Mavi Marmara
Palestina-Israel, dua nama negara yang kerap kali menarik perhatian dunia
oleh berbagai kisah maupun konflik yang terjadi antara dua belak pihak.
Sepanjang sejarah Timur-Tengah, konflik Israel-Palestina adalah konflik
terpanjang dan terpanas. Tidak terdapatnya perimbangan kekuatan antara kedua
negara, membuat satu pihak terus menganeksasi wilayah pihak lain yang
kemudian dibalas dengan aksi separatis pihak yang lainnya lagi. Bentuk
anarkisme dari mempertahankan diri pun dilakukan oleh pihak Israel untuk
menjawab segala bunga api yang berpotensi membakar perang selanjutnya dengan
Palestina. Meluncurnya serangan roket dari markas besar Hamas ke pemukiman
Yahudi, tak pelak lagi mengundang agresi militer Israel ke Jalur Gaza. Hasilnya,
Israel mengumumkan secara internasional bahwa negara Yahudi tersebut
memblokade Gaza, tembok pembatas yang dibangun setinggi delapan meter,
membatasi gerak-gerik rakyat Palestina, dan apa yang oleh PBB dan sejumlah
lembaga kemanusiaan internasional disebut sebagai “Bencana Kemanusiaan” pun
terjadi yang terjadi di dalam Gaza.
Pelanggaran gencatan senjata tersebut terjadi sekitar hampir tiga tahun lalu
pada 27 Desember 2008, ketika pesawat-pesawat pengebom Israel terbang di atas
Jalur Gaza dan melepaskan sasarannya pada pemukiman warga Palestina. Tidak
ada pihak yang menyangka bahwa agreasi tersebut berbuntut panjang. Meskipun
100
dewasa ini telah terjadi pelonggaran blokade oleh pihak Israel, namun saat ini,
kebijakan deterensi Israel tersebut belum dilepaskan dan puncak dari kebijakan
blokade tersebut adalah dengan terjadinya insiden Mavi Marmara. Sebuah
bentrokan antara pasukan patroli IDF dengan aktivis yang menyebabkan korban
jiwa.
Insiden yang sempat menjadi sangat bahan pembicaraan masyarakat
internasional tersebut, menurut penulis adalah sebuah titik kulminasi dari blokade
Israel di Gaza. Terdapatnya pemberitaan yang tidak menyenangkan tentang
perilaku militer Israel di Gaza, tentang bagaimana rakyat Palestina dihujani bom
ataupun ditembak oleh peluru nyasar oleh tentara Israel, menarik perhatian
sekawanan relawan kemanusiaan yang tergabung dari berbagai negara untuk
menunjukkan simpati mereka melalui pemberian donasi kemanusiaan, terutama
oleh sang pelopor yakni IHH yang tergerak atas dasar solidaritas sesama muslim.
Tidak ada yang salah dengan tujuan tersebut, misi kemanusiaan itu adalah benar,
namun bagaimana misi kemanusiaan itu dilakukan, merupakan suatu hal yang
perlu dipertanyakan kembali, terutama jika misi kemanusiaan tersebut malah
berakhir dengan insiden. Oleh karena itu, marilah melihat kembali pada detikdetik sebelum kapal tersebut lepas jangkar.
Jauh hari, sebelum Mavi Marmara diberangkatkan menuju Gaza, pelopor
dari terlaksananya misi kemanusiaan ini, yakni IHH telah membuat konferensi
pers kepada dunia bahwa mereka akan berlayar dari perairan nasional menuju
Gaza yang selama ini telah diblokade oleh pemerintah Israel. Mendengar hal
tersebut, Israel yang juga sedang dalam misi melindungi rakyatnya dari terror
101
Hamas, membalas berita tersebut dengan ultimatum untuk tidak memasuki
perairan Gaza. Namun, dengan solidaritas sesama manusia dan juga sesama
saudara muslim (untuk aktivis tertentu), ratusan relawan tersebut rela berjihad.
Mavi Marmara berlayar meninggalkan pelabuhan Antalya, Turki pada 27 Mei
2010. Beberapa hari berlayar menyisir Laut Tengah, Iringan kapal tersebut pun
semakin mendekati perairan Gaza. Sewaktu masih berada di perairan
internasional, radar Israel yang telah menangkap keberadaan kapal asing di dekat
perairan mereka, berusaha mengadakan kontak dengan pihak yang bersangkutan.
Salah satu bentuk kontak militer Israel dengan kapal terbesar dari aramada
tersebut adalah sebagai berikut:
“Mavi Marmara, you are approaching an area of hostilities which is
under a naval blockade. The Gaza area coastal region and Gaza harbor are
closed to all maritime traffic. The Israeli government supports delivery of
humanitarian supplies to the civilian population in the Gaza Strip and invites you
to enter the Ashdod port. Delivery of supplies in accordance with the authorities’
regulations will be through the formal land crossings and under your observation,
after which you can return to your home ports on the vessels on which you have
arrived.”
Jika mengacu pada manuskrip di atas, maka jelas terlihat bahwa, Israel
telah dua kali melakukan peringatan terhadap Freedom Flotilla untuk tidak
memasuki perairan Gaza. Pertama melalui ultimatum atas konferensi pers IHH
dan kedua melalui kontak tersebut. Pihak Israel pun telah berusaha bernegosiasi
dengan memberikan alternatif penyaluran bantuan kemanusiaan melalui jalur
102
darat di bawah “pengawasan yang bersangkutan”. Namun, keteguhan hati dari
para aktivis yang berada di atas kapal tersebut untuk tidak mengindahkan
peringatan serta pertimbangan dari Israel. Mavi Marmara tetap saja menerobos
perairan yang telah dinetralisir dari pihak asing oleh militer Israel sejak tiga tahun
lalu. Satu-satunya langkah yang ditempuh oleh pihak Israel semi menanggulangi
hal itu adalah mengerahkan pasukan mereka untuk mendekati Mavi Marmara
dengan speedboat yang bertujuan untuk mengarak kapal tersebut berbalik arah
dan meninggalkan perairan Gaza menuju Ashdod. Namun, sekali lagi, keteguhan
hati sang nakhoda tetap membawa Mavi Marmara menuju perairan Gaza. Sebuah
tindakan yang pada akhirnya dijawab Israel dengan menurunkan dua tentaranya
ke kapal tersebut yang berakhir dengan insiden berdarah.
Gambar 5 : Lokasi Terjadinya Insiden Mavi Marmara
Sumber: http://internasional.kompas.com
103
Gambar di atas adalah jalur pelayaran Mavi Marmara dari Turki menuju
Perairan Gaza. Sudut tumpul yang terbentuk pada garis hijau di gambar tersebut
merupakan titik di mana Mavi Marmara diintervensi oleh Israel sebelum
memasuki perairan Gaza dan seharusnya berlabu di Gaza.
Mengacu pada paragraf dan gambar di atas, kiranya dapat dilihat
bagaimana Insiden Mavi Marmara dapat terjadi. Menurut penulis, terlepas dari
benar tidaknya tindakan Israel terhadap Mavi Marmara yang akan dibahas lebih
lanjut pada sub Bab berikutnya, dalam menghadapi Mavi Marmara, pihak Israel
telah berusaha menggunakan strategi bertahap demi menghindari terjadinya
konfrontasi. Dengan berkibarnya bendera Turki di atas buritan kapal yang
merupakan satu-satunya partner Israel Timur-Tengah dan mengingat bahwa
sebagian dari penumpang kapal adalah warga negara Eropa yang merupakan
negara-negara pendukung kedaulatan Israel, maka pemerintah negara Yahudi
tersebut, tentu saja berusaha untuk tidak menyerang Mavi Marmara. Andai kata,
pihak Mavi Marmara bersedia menerima tawaran Israel dan melupakan
pernyataan yang telah disebutkan dalam konferensi pers demi kebaikan kedua
belah pihak, maka pelayaran Mavi Marmara ke Gaza tidak akan berakhir dengan
insiden yang menelan korban jiwa. Akan tetapi, dengan sikap dari pihak Mavi
Marmara yang dianggap pihak Israel sebagai ancaman, Bagaimanapun sebuah
keputusan harus diambil dan Israel memilih untuk mengerahkan aksi militer.
104
B. Sikap
Masyarakat
Internasional
Dalam
Menanggapi
Peristiwa
Pembajakan Mavi Marmara
Keberadaan Israel yang melalui berbagai sejarah, membuat rakyatnya
yakni bangsa Yahudi lebih mengutamakan kedaulatan negara di atas segalanya.
Demi menyelamatkan 7.587.0002 jiwa dari segala sesuatu yang dianggap sebagai
ancaman oleh pemerintahnya, Israel rela merintangi sistem masyarakat
internasional maupun kaidah hukum yang berlaku. Meskipun Israel selalu
berusaha melakukan hubungan bilateral dengan berbagai negara sebagai syarat
diakuinya
kedaulatan
negara
itu,
namun
Israel
dapat
dengan
mudah
mengabaikankannya jika hal itu berpotensi membahayakan kepentingan
nasionalnya. Seperti halnya hubungan bilateral antara Israel dan Turki yang harus
merenggang akibat kasus Mavi Marmara. Aksi militer Israel yang dianggap Turki
sebagai pencorengan kedaulatan Turki, membuat negara bekas kekuasaan
Khilafah terbesar di jagad raya itu melupakan kerjasama mereka selama ini.
Bukan hanya Turki, insiden Mavi Marmara juga memicu berekasinya
dunia atas nama masyarakat internasional yang berlandaskan pada nilai-nilai
hukum internasional. Negara-negara di dunia secara serentak menunjukkan
ketidak-setujuan mereka dan mencekaman sikap Israel yang sering dianggap
melampaui batas kemanusiaan. Pihak-pihak kontra Israel sekali lagi menyerukan
kearogansian Israel yang dianggap selalu bertindak di atas hukum. Beberapa
negara bahkan mendesak PBB untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut
terhadap insiden tersebut. Sementara warga negara di berbagai belahan dunia pun
turun ke jalan dan berdemonstrasi meminta Israel segera diseret ke mahkamah
105
internasional untuk dimintai pertanggung-jawababn. Meskipun penulis sangat
menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut dan tidak dapat mengingkari bahwa
tindakan Israel di atas tanah Palestina untuk beberapa hal tertentu telah melanggar
hak asasi manusia. Namun, untuk kasus Mavi Marmara, penulis perlu mencermati
dulu latar belakang landasan hukumnya.
Pada aksi invasi dan aneksasi Israel ke tanah Palestina untuk kepentingan
pemukiman warga Yahudi, tidak dapat dipungkiri lagi telah melanggar resolusi
PBB No. 181 tahun 1947 tentang Partition Plan dan Perjanjian Israel-Palestina
tahun 1993. Sehingga sudah sepantasnya Liga Arab memboikot arus
perekonomian mereka ke negara itu atau negara yang tidak setuju dengan
perbuatan Israel, memilih untuk tidak melakukan hubungan diplomatis. Perbuatan
Israel yang menembaki warga sipil serta menghujani pemukiman serta
infrastruktur vital bagi rakyat Palestina dengan bom pada Perang Gaza, dapat
dikatakan telah melanggar Konvensi Jenewa tahun 1954 tentang perlindungan
terhadap korban perang. Apabila Israel telah meratifikasi keberlakuan traktat
tersebut Israel berhak dibawah ke mahkamah internasional.Lalu bagaimana
dengan insiden Mavi Marmara, masyarakat internasional kerap kali mengatakan
bahwa Israel telah melanggar hukum internasional. Pada pemberitaan media
massa pun, sering kali pelanggaran hukum internasional oleh Israel dijadikan
sebagai tajuk pemberitaan. Namun, tidak diberi spesifikasi perjanjian yang
menimbulkan hukum apa yang telah dilanggar oleh Israel. Hanya secara implisit
disebutkan bahwa karena insiden Mavi Marmara dilakukan di perairan
internasional atau di laut lepas pantai Gaza maka secara otomatis, hukum yang
106
dilanggar adalah perjanjian Unclose 1982 yang di dalamnya mengatur tentang
berbagai aktivitas pelayaran di laut lepas. Kemudian, karena menyerang warga
sipil dan bantuan kemanusiaan, maka Israel secara otomatis dianggap melanggar
Humanitarian Law atau hukum hak asasi manusia. Hal tersebut pula yang
menyebabkan insiden Mavi Marmara disamakan dengan pembajakan. Namun,
seperti yang telah disinggung sebelumnya tentang ratifikasi, apakah Israel sebagai
negara tertuduh, telah meratifikasi traktat tersebut sehingga negara itu terikat oleh
hukumnya.
Eksistensi masyarakat internasional di dunia memang sangat kompleks.
Demi menciptakan terwujudnya seuatu perdamaian dunia yang adil, maka negaranegara yang ada di dunia, bersepakat untuk membuat suatu perjanjian yang
mampu mengakomodir benturan perdamaian dunia dengan kepentingan nasional
dari tiap negara. Namun, tidak semua dari perjanjian internasional dapat diterima
oleh negara anggota dari masyarakat internasional itu sendiri. Sehingga dengan
begitu, tidak semua traktat internasional dapat digunakan sebagai sesuatu yang
menimbulkan hukum terhadap semua anggota masyarakat. Hanya anggota
masyarakat internasional yang mencapai lima tahap perjanjian internasional
sajayang terikat pertanggung-jawaban dan tahap itu adalah:
1. Perundingan
2. Penandatanganan
3. Penerimaan Naskah (Adoption of The Text)
4. Pengesahan Bunyi Naskah (Authentication of The Text)
5. Pengesahan/Ratifikasi (Ratification)
107
Seperti halnya Indonesia, meskipun Indonesia merupakan anggota
masyarakat internasional dan aktif di berbagai forum PBB, tidak semua dari
traktat yang dibuat diratifikasi oleh negara kepulauan ini. Hanya dalam beberapa
hal saja Indonesia turut serta dalam Konvensi Internasional dengan mengajukan
persyaratan-persyaratan seperti dalam Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang
Hukum Laut.81 Dari empat traktat yang diperundingkan, hanya tiga yang bersedia
diratifikasi oleh Indonesia, dengan begitu, Indonesia hanya terikat dan bisa
disanksi pada ketiga perjanjian internasional saja, sementara traktat ke empat,
tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum jika saja Indonesia melanggarnya.
Lalu bagaimana dengan kasus Mavi Marmara, apakah Israel benar telah
melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional sehingga masyarakat
internasional berhak menganggap bahwa Israel telah menggangu ketertiban dunia
dan oleh karena layak diadili?. Untuk menjawab hal itu, penulis melakukan
wawancara dengan Kepala Pusat Kajian Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri,
DR. Siswo Pramuno. Beliau mengatakan bahwa sebelum menuding apakah Israel
melanggar hukum internasional melalui insiden Mavi Marmara, perlu dilihat
terlebih dahulu beberapa substansi penting, pertama dari segi lokasi peristiwa
kemudian berlanjut kepada perjanjian apa yang menimbulkan hukum, dan apakah
Israel menjadi bagian dari perjanjian itu?.
Mengenai di mana lokasi terjadinya peristiwa, Beliau mengatkan apabila
insiden Mavi Marmara terjadi di luar 24 mil wilayah territorial Israel, maka aksi
militer Israel perlu diperhitungkan. Pada kenyataannya, konfrontasi Mavi
81
Op.Cit. Alma Manuputy, Hamid Awaluddin, et. Al. Hal. 60
108
Marmara dengan militer Israel terjadi pada 65 km dari lepas pantai Gaza yang
setara dengan 40.36 mil dari zona eksklusif suatu negara mengintervensi kapal
asing. Dengan dasar itu, tindakan Israel dapat dikatakan ilegal.
Kedua, dari segi perjanjian apa yang dilanggar, Andai kata Mavi Marmara
dibajak di dalam zona eksklusif perairan Gaza yang di blokade Israel yakni 250
mil dari garis pantai, maka perjanjian internasional yang dilanggar adalah Unclose
1982. Dalam perjanjian Unclose 1982 yang merupakan penyempurnaan dari
Konvensi Jenewa 1958, dibahas mengenai aturan di laut lepas yang memberi hak
istimewa bagi negara-negara yang berbatasan dengan laut hingga 300 mil jauhnya.
Akan tetapi, Israel tidak meratifikasi Unclose 1982, sehingga masyarakat
internasional, khususnya IIFM atau Misi Pencari Fakta Independen Internasional
yang sengaja dibuat oleh Dewan HAM PBB, dapat merujuk pada Konvensi
Jenewa 1958, di mana Israel merupakan anggota yang meratifikasi hukum laut,
terutama pasal 9 Konvensi Jenewa yang berbunyi sebagai berikut:
Ship owned or operated by a state and used only on
government non-commercial service shall on the high seas,
have a complete immunity from the jurisdiction of any state
other than the flag state.
Perjanjian Hukum Laut PBB, merupakan traktat yang telah lama berlaku.
Telah menjadi kebiasaan oleh masyarakat internasional untuk menggunakan
perjanjian tersebut sebagai pondasi hukum. Secara tidak langsung, hukum tersebut
mengikat siapa saja yang menjadi anggota masyarakat internasional.
Hal serupa juga dikatakan Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum
UI, Hadi Rahmat Purnama yang penulis sadur dari Koran Kompas. Dalam
pendapatnya, beliau mengutip United Nations Convention on Law of the Sea
109
(UNCLOS) 1982 yang menyatakan bahwa tidak ada kedaulatan negara di perairan
internasional. Laut internasional itu sendiri dibagi menjadi beberapa zona
maritim.0-12 mil dari pantai merupakan laut teritorial yang merupakan kedaulatan
negara. Kemudian ada zona tambahan sepanjang 12 mil. Di zona ini, ada
tambahan kewenangan negara. Tetapi hal ini lebih pada masalah imigrasi
kesehatan, sanitari, bea cukai, fiskal. Negara yang bersangkutan bisa melarang
kapal asing untuk masuk. Selain itu, karena tindakan ini berada dalam perairan
internasional, maka yang hukum yang berlaku adalah hukum bendera kapal.
Dalam kasus ini, kapal yang diserang berbendera Turki. Jadi, yang berlaku adalah
hukum Turki di atas kapal tersebut, tidak ada yuridiksi negara lain. Kalau Israel
memasuki kapal tersebut, ini sama saja melanggar kedaulatan Turki. Jika Israel
mengakui juridiksi dari International Court of Justice atau Mahkamah
Internasional maka Turki sebagai pihak yang diserang, bisa membawa kasus
tersebut ke hadapan Mahkamah Internasional.
Berdasarkan kedua pemaparan tersebut, maka penulis berpendapat bahwa
sikap masyarakat internasional yang mencekam Israel akibat pembajakan Mavi
Marmara adalah benar. Atas nama perdamaian dunia, masyarakat internasional
menganggap bahwa tindakan Israel telah melanggar hukum laut atau lebih
tepatnya Unclose 1982 yang mengatur tentang peraturan di laut lepas. Dalam
perjanjian itu telah disepakati bahwa jika sebuah kapal berlayar di perairan
internasional baik niaga ataupun perang menyebabkan intervensi, maka hukum
yang berlaku adalah hukum bendera kapal. Sehingga anggota masyarakat
internasional yang paling berhak bersikap dalam kasus Mavi Marmara ini adalah
110
adalah negara Turki karena keputusan Israel menyerang Mavi Marmara telah
mengingkari kedaulatan Turki. Akan tetapi, Israel tidak saja melanggar satu
perjanjian melainkan dua perjanjian tentang hukum kemanusiaan atau HAM PBB
dengan tidak memberikan akses kepada kapal bantuan kemanusiaan dan
menyerang awak kapalnya. Dengan begitu, masyarakat internasional berhak
menganggap Israel telah mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia. Meskipun
Israel tidak meratifikasi perjanjian tersebut, namun sebagaimana yang disebutkan
oleh DR. Siswo Pramuno bahwa traktat yang telah berlaku lama akan menjadi
kebiasaan yang mengikat setiap anggota masyarakat yang tentu saja dalam hal ini
juga termasuk Israel.
Israel dapat saja terus menggunakan sikap realisnya yang menganggap
negara lain adalah teman selama tindakan negara itu tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional Israel. Selain itu, dengan adanya blokade di perairan Gaza
dan ultimatum sebelum menyerang Mavi Marmara, Israel bisa saja membuat buku
putih. Namun, status keanggotaan Israel di PBB, yang telah menjadi bagian
masyarakat internasional, mengharuskan Israel mengakui supermasi hukum
traktat internasional. Di mana, menurut Michael Walzer, dalam aturan masyarakat
internasional intervensi atau agresi militer antar sesama anggota masyarakat
internasional adalah ilegal, kecuali jika intervensi itu adalah intervensi yang
menyangkut hak asasi manusia, yang keberlakuannya telah dilindungi dalam
undang-undang PBB.82
82
Op.Cit. Martin Griffiths, Hal.224
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk dari pembahasan pada Bab IV, maka ditariklah kesimpulan
sebagai berikut:
1. Mavi Marmara adalah sebuah kapal bantuan kemanusiaan berbendera
Turki yang dipelopori oleh IHH untuk berlayar ke wilayah Gaza demi
membantu rakyat Palestina.
2. Terdapatnya blokade militer yang diberlakukan oleh Israel di sekitar
wilayah Gaza membuat Israel melarang berbagai aktivitas kelautan di
perairan Gaza sehingga pelayaran Mavi Marmara menjadi terhambat dan
berakhir dengan sebuah insiden.
3. Kurang berfungsinya lembaga ataupun organisasi internasional seperti
PBB dalam menyikapi sikap “Detterence” Israel, membuat negara Yahudi
tersebut terus saja bertindak di atas hukum internasional demi
mewujudkan negara Israel Raya di atas tanah Palestina.
4. Salah satu faktor mengapa hingga kini, Israel masih bisa melakukan
tindakan ilegal terhadap rakyat Palestina adalah terdapatnya negara-negara
besar yang kerap kali membantu Israel menyiasati supermasi perjanjian
internasional yang keabsahannya diakui oleh Masyarakat internasional.
112
5. Pada kasus Mavi Marmara, insiden tersebut melibatkan warga negara yang
berasal dari negara-negara di seluruh dunia baik yang pro maupun yang
kontra terhadap Israel, sehingga kebijakan Israel mengintervensi kapal
tersebut pada akhirnya memicu kemarahan masyarakat internasional.
6. Tindakan Israel mengintervensi bantuan kemanusiaan di perairan
internasional dianggap telah mengganggu konsep tatanan dunia yang
merupakan sebuah pola dalam sistem masyarakat internasional dalam
menyebarkan keadilan bagi setiap negara di dunia, sehingga pada
peristiwa Mavi Marmara, masyarakat internasional menganggap bahwa
tindakan Israel yang telah melanggar pola interaksi masyarakat
internasional, perlu ditindak-lanjuti dengan jalan membawa Israel ke
Mahkamah Internasional.
7. Akibat aksi militer Israel terhadap Mavi Marmara, hubungan bilateral
antara Turki dan Israel menjadi renggang. Sementara situasi politik di
Timur-Tengah yang melibatkan Palestina, Israel, Mesir, menjadi semakin
renggang, khususnya dalam hal hubungan regional ketiga negara.
Saran-Saran
1. Dengan adanya blokade Israel di Gaza dan sikap pemerintah negara
tersebut yang menolak kedatangan Mavi Marmara, pihak IHH sebagai
pelopor dan pemerintah Turki sebagai pendukung aksi tersebut,
seharusnya memberi perlindungan ataupun perlawanan lebih terhadap
113
Mavi Marmara hingga mencapai Jalur Gaza dari pada sekedar peringatan
kepada Israel untuk tidak menyerang kapal tersebut.
2. Faktanya, pelayaran Mavi Marmara telah berakhir dengan sebuah insiden
yang merenggut korban jiwa, sehingga untuk menanggulangi hal tersebut,
pihak-pihak yang berwajib, seperti PBB pada umumnya dan Dewan
Keamanan pada khususnya, harus mengambil sikap tegas terhadap
tindakan Israel, seperti melakukan investigasi yang berimbang dan
mengeluarkan sanksi yang kongkrit jika Israel betul terbukti bersalah.
Bukannya sekedar mengatakan bahwa Israel mengerahkan kekuatan
berlebihan dalam mengintervensi Mavi Marmara.
3. Jika masyarakat internasional betul merasa bahwa Israel telah melakukan
banyak pelanggaran terhadap perjanjian internasional dan memang berniat
untuk menyelesaikan konflik antara Israel-Palestina, khususnya Mavi
Marmara, maka sikap masyarakat internasional harus lebih dari sekedar
kecaman melainkan mendesak pertanggung-jawaban dan perminta-maafan
dari Israel khususnya kepada korban insiden Mavi Marmara dan kepada
warga dunia pada umumnya.
4. Jika masyarakat internasional betul perduli dengan nasib rakyat Palestina,
maka diharapkan PBB menerima usul dari wakil presiden HAM Dewan
Keamanan untuk menghentikan aksi Israel membangun pemukiman
Yahudi di wilayah aneksasi milik Palestina.
5. Masyarakat internasional juga harus bersikap netral dalam menyikapi
setiap permasalahan yang timbul antara kedua pihak.
114
6. Tidak perlu dipungkiri lagi bahwa Israel selalu mendapatkan dukungan
dari negara-negara besar yang berperan seperti Amerika-Serikat. Jika
masyarakat internasional ingin Israel berhenti menyebabkan kericuhan
terhadap ketertiban dan perdamaian dunia, Amerika Serikat harus berhenti
memveto segala keputusan PBB yang memberatkan Israel. Hal itu
disebabkan oleh, jika segenap anggota masyarakat bekerja sama menegur
Israel, pada akhirnya, negara Yahudi tersebut pun akan berhenti bertindak
anarkis terhadap rakyat Palestina.
115
Download