tinjauan yuridis atas pencemaran di laut timor berdasarkan hukum

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR
BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
NDARU ADJI TANDAYUNG
NIM. E0008195
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2 0 1to2user
commit
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. TINJAUAN YURIDIS ATAS
PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah di temukannya jawaban sementara atas
identifikasi pengaturan hukum internasional dan hukum nasional atas pencemaran
minyak di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP
Australasia (Thailand - Australia) dan negara yang bertanggung jawab atas
kejadian tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data
sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis data yang menggunakan
metode penalaran deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan
bahwa pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia yang
berlaku sudah cukup untuk mengatur pencemaran minyak di lingkungan laut.
Negara yang bertanggung jawab dalam kasus meledaknya ladang minyak Montara
milik PT TEP Australasia adalah Australia. Alasannya adalah Australia yang
memberi ijin PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
minyak di wilayah perairannya harus mengawasi dan bertanggung jawab atas
meledaknya ladang minyak Montara karena dampak yang ditimbulkan serta
penggunaan dispertan berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di
lautan berdasarkan ketentuan United Nation Convention on The Law of The Sea
1982 yang tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal 60
ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal 195.
Saran dari penelitian ini adalah perlu ada mekanisme dan pengaturan internasional
yang lebih komprehensif lagi karena pengaturan ganti rugi pencemaran minyak di
laut yang disebabkan oleh anjungan minyak lepas pantai belum diatur dalam
hukum internasional.
Kata kunci: Pencemaran Laut, Minyak Mentah, United Nation Convention on The
Law of The Sea 1982
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. LEGAL REVIEW OF POLLUTION
IN TIMOR SEA UNDER INTERNATIONAL LAW. Faculty of Law Sebelas
Maret University.
The aims of this research are found the temporary answer of the
regulation on international law and national law of Indonesia; and also state
responsibility of marine pollution in Timor Sea.
It is a normative research, using secondary data consist of primary,
secondary, and tertiary legal materials. The technique of collecting data is library
research. The technique of data analyzes is deductive method.
The conclusion of this research are the regulation of international law and
domestic law in Indonesia is sufficient to regulate oil pollution in the marine
environment. The state which has the responsibility of the marine pollution in
Timor Sea is Australia. It is becaused Australia gives permission PT TEP
Australasia to explore and exploit oil in its territorial waters shall supervise and
be responsible for the explosion of Montara oil field because of its impact and use
of hazardous dispertan in preventing oil pollution in the oceans under the
provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 listed in
Article 235 which is supported by the provisions of Article 60 Paragraph (1) and
(5), Article 79, Article 81, Article 139, Article 153 and Article 195. And there
needs to be mechanisms and a more comprehensive international arrangement
again in regulating the compensation of oil pollution at sea caused by offshore oil
platforms.
Keywords : pollution in the marine, crude oil, United Nations Convention on the
Law of the Sea 1982
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Man Jadda Wajada.
(Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)
Nil sine magno labore vita dedit mortalibus
(Tanpa kerja keras, kehidupan tak memberikan apapun kepada manusia)
“Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan lah yang berkehendak”
Nosce te ipsum
(Kenalilah dirimu sendiri)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada :
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi segala berkat kenikmatan dan
karunia-Nya, serta selalu memperlancar segala proses yang harus saya
tempuh dalam pembuatan skripsi ini.
Ayah dan Ibu yang saya cintai dan sayangi terima kasih doa, bimbingan, ,
kasih sayang, dan dukungannya.
Adik-adikku yang selalu memberikan semangat dan keceriaan kepadaku.
Sahabat-sahabat dan seluruh teman-teman almamater saya Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulisan hukum (skripsi) yang
berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR
BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL” ini dapat terselesaikan
dengan baik, lancar dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak semoga kebaikan pihak-pihak
yang telah membantu dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Bapak Handojo Leksono, S.H. selaku dosen pembimbing 1 yang telah
memberikan bimbingan dan masukan yang sangat membantu bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Emmy Latifah, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing 2 yang telah
memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta, terima kasih saya ucapkan atas semua ilmu dan kenangan
yang telah dibagi.
6. Ayah dan Ibu saya, yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan,
support, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Inilah salah
satu bentuk baktiku.
7. Kedua adik terkasih Diwan Adji Radityo dan Destio Adji Wiratama yang
selalu mendukung, memberikan semangat dan keceriaannya.
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kritik dan saran yang bersifat membangun mengenai penelitian ini sangat penulis
harapkan demi pengembangan ilmu lebih lanjut. Terima kasih.
Surakarta, 4 Juni 2012
Penulis
Ndaru Adji Tandayung
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..
iv
ABSTRAK………………………………………………………………
v
ABSTRACT……………………………………………………………..
vi
HALAMAN MOTTO...............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................
viii
KATA PENGANTAR………………………………………..................
ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR……….......………………....……
xiii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………
1
A. Latar Belakang………..……………………………………..
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………...
8
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
8
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..
8
E. Metode Penelitian…………………………………………...
9
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….
13
A. Kerangka Teori………..……………………………………..
13
1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional………....
13
2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara……....
17
3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional……….......
20
4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional….. 28
5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut………………....
30
B. Kerangka Pemikiran..............................................................
33
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………...
34
A. Hasil Penelitian……………………………………...…......
34
1. Pengaturan Hukum
Internasional
Maupun Hukum
commit
to user
Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor.....
Timor…………………………………………………...
xi
.
Pengaturan Tindak Pidana
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional……..
34
b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional………….
42
2. Pertanggungjawaban
Negara
yang
Terlibat
di
Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand
Exploration and Production Public Company Limited
(PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya
B.
Kilang Minyak Montara di Laut Timor………….........
53
Pembahasan Penelitian…………………………………...
60
1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum
Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor...
2. Pertanggungjawaban
Negara
yang
Terlibat
60
di
Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand
Exploration and Production Public Company Limited
(PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya
Kilang Minyak Montara di Laut Timor……………….
67
BAB IV. PENUTUP………………………………………………..….
77
A. Kesimpulan…………………………………………….......
77
B. Saran……………………………………………….....……
78
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….....……...
79
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel
1 ..................................................................................................
......
5
Gambar 1 ............................……………………………………..............
33
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bisa
digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam aktivitas hidup manusia. Hal
tersebut harus dilakukan secara tepat guna baik cara mengeksplorasinya dan cara
melestarikannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang bisa mengancam
keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Aktivitas pemanfaatan
sumber daya alam tersebut tentu saja semakin maju dan modern, namun dengan
kemajuan teknologi yang digunakan untuk mengeksplorasi sumber daya alam
tersebut tidak ada yang bisa menjamin ada atau tidaknya kerusakan lingkungan.
Kenyataannya bila kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas eksplorasi
sumber daya alam oleh manusia ini tentu saja menjadi tanggung jawab manusia
untuk segera mengatasinya.
Kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh dua faktor yakni yang pertama
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam misalnya letusan gunung
berapi, gempa bumi, angin topan, erosi dan sebagaianya. Faktor yang kedua yakni
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia misalnya penebangan hutan
secara liar baik untuk pembangunan kawasan industri atau pemanfaatan sumber
daya alam yang berlebihan, pembuangan sampah sembarangan, perburuan liar,
penggunaan dispertan berbahaya yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya.
Akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia sangat
merugikan, misalnya terjadi pencemaran akibat proses eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam. Terkait hal tersebut untuk mencegah, menanggulangi serta
mengatasi pencemaran lingkungan tersebut diperlukan mekanisme khusus yang
berupa hukum berbentuk undang-undang yang mengatur tentang lingkungan
hidup. Permasalahan pencemaran lingkungan ini harus mendapat perhatian yang
cukup dan penanganan yang serius dikarenakan lingkungan hidup sebagai tempat
hidup manusia dan mahluk hidup lainya perlu dijamin kelestariannya guna
menjamin kehidupan semua mahluk hidup di masa depan sehingga dengan adanya
userkelangsungan hidup manusia.
kerusakan lingkungan berarti ada commit
ancamantobagi
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tahun 1972 untuk pertama kalinya diadakan konferensi tentang
lingkungan hidup yang dikenal dengan Konferensi Stockholm. Konferensi ini
merupakan
titik
balik
dalam
perkembangan
politik
lingkungan
hidup
internasional. Konferensi tersebut dikatakan sebagai titik balik didasari karena
didalamnya termuat 26 prinsip dasar untuk mewujudkan upaya adanya pengaturan
lingkungan hidup yang lebih komprehensif baik di darat, di laut maupun di udara,
termasuk adanya konsep hanya ada satu bumi (only one earth) dalam artian bahwa
dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin banyak dan kompleks
kebutuhannya ini diperlukan suatu kesadaran akan pentingnya pengelolaan,
pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan hidup yang bijaksana secara menyeluruh
bagi keberlangsungan hidup manusia yang ada di bumi untuk masa yang akan
datang.
Berbagai permasalahan pencemaran terhadap lingkungan terus dibicarakan
dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Pencemaran atas laut
atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat
ini, dikarenakan semakin meningkatnya pola aktivitas penggunaan dan
pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di lautan. Pola aktivitas tersebut
bisa memberikan dampak berupa pelepasan zat-zat beracun dan berbahaya,
pembuangan kotoran dan sampah, kegiatan kapal, penggunaan instalasi dan
peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dari dasar
laut dan tanah yang dibawahnya serta instalasi dan peralatan lainnya yang
dioperasikan di lingkungan laut. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Laut
Timor salah satunya.
Pencemaran minyak di Laut Timor ini terjadi pada tanggal 21 Agustus
2009 akibat meledaknya ladang minyak Montara. Ladang minyak milik The
Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company
Limited (PT TEP) Australasia yang merupakan operator kilang minyak dari
Thailand yang berlokasi di Montara Well Head Platform, Laut Timor atau 200 km
dari Pantai Kimberley, Australia. Akibat dari ledakan tersebut berakibat pada
kebocoran pipa pada ujung sumur di kedalaman 3,6 kilometer sehingga minyak
commit tolaut.
userLedakan sumur minyak Montara
dan gas berhamburan keluar mencemari
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
tersebut menumpahkan sekitar 400 barrel liter minyak mentah bercampur gas,
kondensat dan zat timah hitam serta zat-zat kimia lainnya per hari ke perairan
Laut Timor dan dalam realitasnya telah menghancurkan kawasan seluas 16.420
kilo meter persegi. Kerusakan lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan
tersebut bisa dilihat dari sisi biofisik seperti terganggunya keseimbangan ekologi
laut dengan adanya zat-zat pencemar (pollutant) yang dapat meracuni kehidupan
binatang dan tumbuh-tumbuhan laut yang terkena langsung zat-zat pencemar
tersebut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 178). Dampak psikologis dan sosial
ekonomi yang dialami masyarakat terutama nelayan yang tinggal di sekitar pesisir
Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul. Hasil tangkapan ikan mereka turun
drastis dan banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di
laut mereka tercemar berat. Hal paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah
ancaman serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan
kepulauan sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar. Pada tanggal 30
Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah telah memasuki wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yg berbatasan dengan Zona Ekonomi
Eksklusif Australia. Selang sekitar 1 bulan kemudian tepatnya pada tanggal 3
November 2009, kebocoran minyak tersebut berhasil ditutup, namun minyak
mentah dan gas yang keluar telah mencemari kawasan di zona maritim seperti di
laut territorial, kawasan ZEEI, dan di wilayah laut landas kontinen Indonesia.
Dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak Montara oleh PT
TEP Australasia di Laut timor tersebut sangat besar dan merugikan Negara
Indonesia. Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional
Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut pada bulan
Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut.
1.
Bahwa kadar total senyawa PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut
berkisar antara 54,6 - 213.7 µg/l, dimana sudah menunjukkan nilai di atas
ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan komponen minyak
mentah sangat beracun, yang PAH bisa memberi dampak kronik yang
menahun, hingga dapat menyebabkan kanker (karsinogenik).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2.
4
digilib.uns.ac.id
Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung mematikan
insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih mudah terpapar.
Pada kondisi kronis bisa terjadi iritasi kulit dan mata. PAH juga
menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan system
reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya.
3.
PAH pada konsentrasi 10 - 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi dan
perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat
menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bioakumulasi maka
patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia yang
mengkonsumsi ikan.
4.
Dampak sosial, adalah mengakibatkan terancamnya 17.000 masyarakat
pesisir Pulau Timor yang berada di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu
Raijua. Bahkan, nelayan Kolbano di Timor Tengah Selatan tak dapat
menangkap ikan di pantai selatan Pulau Timor. Usaha nelayan di wilayah
perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara terancam gulung
tikar akibat meledaknya ladang minyak Montara di dekat gugusan Pulau Pasir
(ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lain oleh
nelayan tradisional.
5.
Survei sosial ekonomi oleh Tim Nasional pada tanggal 15-20 Februari 2010
di pesisir Nusa Tenggara Timur meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Kupang, Rote Ndao dan Sabu. Dari hasil survey menunjukan adanya
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat.
6.
Gas hydrocarbon dalam volume yang besar, mengakibatkan kerusakan
ekosistem perairan Laut Timor. Berbagai perubahan terjadi mengindikasikan
telah terjadi gangguan lingkungan perairan sebagai habitat ikan, alga dan
rumput laut. Jutaan ikan diduga bermigrasi akibat perubahan lingkungan
sekitarnya, dan populasi rumput laut menurun sebagai dampak pencemaran.
Menurut data yang dihimpun dari Laporan Komisi Penyelidik Montara,
dalam tindakan untuk menetralisir dampak pencemaran minyak montara, pihak
Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan 7 (tujuh) zat
to userLTSW, Tergo-R40, Shell VDC,
dispertan seperti Slickgone NS,commit
Slickgone
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Corexit EC9500, Corexit EC9527A dan Ardrox 6120 yang jumlah penggunaan
sebagai berikut.
Tabel 1
Dispertan
Jumlah yang Digunakan
(liter)
Tergo-R40
1000
Slick gone LTSW
38.000
Shell VDC
5000
Corexit EC9500
17000
Slickgone NS
63.415
Ardrox 6120
32.000
Corexit EC9527A
27.720
Sumber: West Timor Care Foundation
Dari data diatas yang paling berdampak signifikan adalah penggunaan
Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A yang dilarang di Inggris yang berlaku juga
di negara-negara persemakmurannya. Studi ekstensif mengenai Corexit EC9500
dan Corexit EC9527A dilakukan dan diperiksa oleh Marine Management
Organization (MMO) di Inggris dan gagal uji tes shore rocky. Uji shore rocky
merupakan standart yang menjamin bahwa dispersan tidak menyebabkan
"perubahan ekologis yang signifikan merusak," terutama di sepanjang daerah
garis
pantai
daerah
(http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval.htm diakses
pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB).
Dengan demikian, baik Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A telah
dihapus dari daftar produk yang disetujui untuk digunakan dalam kondisi apapun
di Negara Inggris sejak tanggal 21 Januari 1998. Australia yang notabene
merupakan negara persemakmuran Inggris, melalui Maritim Australia Safety
Authority (AMSA) lebih memilih untuk menggunakan dispertan dalam
menetralisir pada dampak pencemaran termasuk penggunaan Corexit 9500 dan
Corexit 9527 dalam kasus ledakan Montara. Menurut data West Timor Care
Foundation pada kasus Exxon Valdez
penggunaan Corexit dalam jumlah
commit1989
to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang banyak ternyata diketahui berdampak luas terhadap kesehatan manusia
seperti sakit pernapasan, gangguan saraf, hati, sistem ginjal dan darah.
Perkembangan terkini terkait upaya penyelesaian masalah ini masih dalam
tahap perundingan, dalam rangka memastikan dan mendorong Pemerintah
Australia sebagai pemberi ijin Blok West Atlas, untuk turut menekan PT TEP
Australasia menjalankan tanggung jawabnya di Laut Timor. Upaya-upaya
penyelesaian untuk mengatasi dampak yang diakibatkan telah dilakukan.
Pemerintah Australia telah membentuk Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak
Montara, suatu tim khusus untuk menyelediki kasus pencemaran laut ini. Atas
permintaan Komisi ini, Leeders Consulting Australia melakukan uji analisis
sampel minyak dan air dari Laut Timor di perairan Indonesia dan membuktikan
bahwa kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia berasal dari ladang
Montara.
Masalah seperti ini menjadi penting dikarenakan perbatasan suatu negara
merupakan manifestasi utama kedaulatan suatu negara (sovereignty), termasuk
penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, serta
keamanan dan keutuhan wilayah. Kawasan Laut Timor disini memiliki nilai
strategis bagi perekonomian Indonesia yang menyimpan kekayaan alam baik
hayati dan kekayaan mineral. Kegunaan ekonomis lingkungan laut nusantara
dapat dilihat dari peranan lingkungan laut sebagai tempat atau lokasi pelbagai
kegiatan misalnya pelayaran, kegiatan di pelabuhan, pemasangan kabel, pipa laut
dan
tanki-tanki
penyimpanan,
tempat
mengadakan
penelitian
ilmiah,
pengembagan daerah pantai dan rekreasi dan tempat pembuangan sampah dan
kotoran (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 175).
Ketentuan mengenai pencemaran lingkungan laut dalam United Nation
Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) diatur di bagian XII
tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajibankewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan
lingkungan laut. Konvensi hukum laut 1982 tersebut meletakkan kewajiban
kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut
commit
user
yang notabene Indonesia, Thailand
dantoAustralia
menjadi bagian dari negara
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peserta yang turut serta dalam keanggotaaa UNCLOS 1982. Berdasarkan
terminologi Hukum Internasional, peristiwa pencemaran Laut Timor dapat
dikualifikasi sebagai suatu sengketa international public karena melibatkan
kepentingan dua negara atau lebih yakni pihak Indonesia dan Australia. Kaitannya
dengan kasus ini PT TEP Australasia perusahaan minyak asal Thailand yang
memiliki ijin mengeksplorasi minyak dari Australia telah mencemari laut
Indonesia atas meledaknya ladang minyak Montara, karena didalamnya terdapat
permasalahan pelanggaran wilayah atau kedaulatan teritorial suatu negara dan
kewajiban pemenuhan ganti rugi akibat tumpahnya minyak oleh anjungan lepas
pantai tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan sejenis. Suhaidi dalam
penelitiannya yang dimuat dalam Jurnal Equality (2005) mengkaji tentang
kedaulatan negara pantai dalam menjaga kawasan laut seperti ketentuan dalam
UNCLOS 1982 (Suhaidi, 2005:105-110). Thomas A. Mensah (2010) melakukan
penelitian yang dimuat dalam Aegean Rev Law Sea mengkaji tentang kasus
terbakar slops atau kargo yang sengaja dibuat untuk wadah minyak serta dapat
dipindahkan milik Piraeus Ships Registry yang meledak dan menimbulkan
pencemaran laut. Kasus tersebut mengaji apakah slops tersebut bisa dikategorikan
sebagai kapal menurut ketentuan International Oil Pollution Compensation Fund
1992 dan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage
1992 sehingga bisa diajukan klaim ganti rugi (Thomas A Mensah, 2010:145-155).
Hari M. Osofsky (2011) melakukan penelitian yang dimuat dalam Florida Law
Review mengaji tentang perlu adanya upaya pembentukan lembaga dan
pengembangan aturan khusus yang membantu negara dalam kasus pencemaran
lingkungan laut dalam studi kasus Deepwater Horizon karena meledaknya
anjungan minyak lepas pantai milik British Petroleum (Hari M. Osofsky,
2011:1077-1137).
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam mengenai pencemaran lingkungan laut yang melewati lintas batas
negara melalui penelitian hukum yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS ATAS
PENCEMARAN
DI
INTERNASIONAL.”
LAUT TIMOR BERDASARKAN
commit to user
HUKUM
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka
permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah
1.
Bagaimana pengaturan Hukum Internasional maupun Hukum Nasional terkait
dengan pencemaran di Laut Timor ?
2.
Negara manakah yang bertanggungjawab terhadap kejadian meledaknya
kilang minyak Montara di Laut Timor yang melibatkan PT TEP Australasia
(Thailand - Australia) tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Obyektif
a. Untuk menemukan kesesuaian pengaturan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor.
b. Untuk menemukan mekanisme pertanggung jawaban negara dan
penyelesaian pencemaran laut yang melewati lintas batas negara.
2.
Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri terutama
di bidang ilmu hukum internasional, khususnya di ruang lingkup hukum
laut internasional maupun hukum lingkungan internasional.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universias Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian ini ada dua,
yakni baik secara teoritis maupun praktis yang meliputi :
1.
Manfaat Teoritis
Penulisan
hukum
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum internasional pada
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya serta hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional
pada khususnya.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada pihakpihak terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas untuk
menyusun perundang-undangan nasional yang komprehensif terkait dengan
lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup yang bertugas untuk
menerapkan amanat undang-undang dalam pengimplementasian programprogram dan kebijakan terkait dengan lingkungan hidup, serta mampu
memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dalam upaya mempelajari
serta memahami ilmu hukum khususnya hukum laut internasional dan hukum
lingkungan internasional.
E. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder atau dengan kata lain metode doktrinal
yang bersaranakan terutama logika deduksi untuk membangun sistem
hukum positif. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara
sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
2.
Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analistis. Suatu penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, agar dapat membantu didalam
memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori
baru (Soerjono Soekanto, 2010:10).
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Pendekatan Penelitian
Suatu
penelitian
hukum
normatif
tentu
harus
menggunakan
pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian
(Johny Ibrahim, 2006:32).
4.
Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu :
a.
Bahan Hukum Primer
Penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer
sebagai berikut.
1) Convention on the High Seas 1958
2) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage 1969
3) International Convention on the Esta-bilishement of an International
Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971
4) Stockhlom Declaration 1972
5) United Nations Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982
6) Rio Declaration 1992
7) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
8) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
9) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999
Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
11) Peraturan Presiden Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1) Jurnal
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Dokumen
3) Pendapat ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti.
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.
5.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka
(library research) yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat
catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen, jurnal
tulisan-tulisan,
cybermedia,
serta
kumpulan
pendapat
ahli
yang
berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.
6.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif
yang didasarkan pada pengukuran dengan logika deduksi yakni dengan
menghimpun atau mengkaji data secara umum kemudian ditarik lebih khusus
terkait dengan objek penelitian sehingga data hasil penelitian berupa data
deskriptif (Soerjono Soekanto, 2010:32).
7.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan, dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut.
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional
2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara
3. Tinjuan Mengenai Sengketa Internasional
4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan
Internasional
5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut
B. Kerangka Pemikiran
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB IV
: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional
Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tidak lepas dari sejarah
pertumbuhan hukum laut internasional pada masa imperium Romawi yang
mengenal pertarungan antara dua konsepsi. Konsepsi yang pertama yaitu Res
Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama
masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh
masing-masing negara. Konsepsi kedua yaitu Res Nullius, yang menyatakan
bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan
dimiliki oleh masing-masing negara (Dikdik Mohamad Sodik, 2011: 1-2).
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan
perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya imperium Romawi
diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan atas
sebagaian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan
bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas berbagai
klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut (mare
liberum) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang
didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh siapapun.
Perbedaan 2 (dua) prisip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan
penganut mare clausum dengan mare liberum dengan diakuinya pembagian
laut ke dalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu
negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia.
Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut internasional semakin maju
hal ini bisa dilihat dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut
Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas
kontinen yang selanjutnya diatur dalam Konvensi IV Jenewa 1958, hingga
pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya
Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United
commit
userpada tahun 1982 di Montego Bay,
Nation Convention on the Law
of ThetoSea)
13
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
Jamaika. Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi
Majelis Umum PBB Nomer 2750 (XXV) tanggal 17 Desember 1970.
UNCLOS 1982 ini memuat 320 pasal, 9 buah lampiran serta beberapa
resolusi pendukung dalam perkembangannya (Didik Mohamad Sodik, 2011 :
1-15).
Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah
yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction). Dalam Konvensi Hukum Laut
1982, dibahas beberapa pembagian wilayah-wilayah laut, antara lain sebagai
berikut.
a.
Perairan Dalam (Internal Waters)
Internal Waters merupakan perairan bagian sisi dalam dari garis
pangkal. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut ini,
sehingga kapal asing tidak boleh melintas kecuali dalam keadaan yang
bersifat memaksa (Pasal 8 UNCLOS 1982). Garis Pangkal yang
dimaksud adalah garis yang ditarik melingkar sejauh 12 mil pada pantai
saat air laut surut yang dihitung dari pulau terluar. Ada tiga jenis garis
pangkal, yakni :
1) Garis Pangkal Normal
Garis pangkal yang ditarik pada pantai saat air laut surut mengikuti
lekukan pantai.
2) Garis Pangkal Lurus
Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik atau
ujung-ujung terluar dari pantai.
3) Garis Pangkal Kepulauan
Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau atau karang kering terluar dari kepulauan suatu negara.
b.
Laut Teritorial (Territorial Sea)
Territorial Sea diatur dalam Pasal 2-32 UNCLOS 1982. Definisi
laut territorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang
commit
to user dari garis pangkal. Negara pantai
tidak melebihi lebar 12 mil
laut diukur
perpustakaan.uns.ac.id
15
digilib.uns.ac.id
memiliki kedaulatan terbatas atas wilayah laut ini yang meliputi ruang
udara diatas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya (rights of
the coastal state over the territorial sea). Kapal-kapal Negara lain pun
memiliki hak lintas damai atau the right of innocent passage (Pasal 17-32
UNCLOS 1982) untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara
sebatas kapal tersebut dengan syarat :
1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan dalam atau singgah di
pelabuhan.
2) Lintasan tersebut harus cepat dan tidak terputus, kecuali situasi
overmacht.
3) Lintasan tersebut harus damai dan tidak melakukan kejahatan,
survei, pencemaran atau mengganggu sistem komunikasi di wilayah
teritorial Negara pantai tersebut.
c.
Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Perairan kepulauan berada pada sisi dalam garis pangkal untuk
mengukur laut territorial, tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya
pada pantai. Kedaulatan Negara pantai terbatas pada wilayah laut ini,
sehingga negara lain dapat menikamati hak lintas damai dan hak lintas
transit (Pasal 49 UNCLOS 1982).
d.
Zona Tambahan (Contiguous Zone)
Contiguous zone merupakan zona yang berbatasan dengan laut
teritorial. Negara pantai atau kepulauan dapat melakukan pengawasan di
zona ini untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi dan
kesehatan. Zona tambahan ini tidak boleh melebihi jarak 24 mil dari garis
pangkal. Diatur dalam Pasal 33 UNCLOS 1982.
e.
Selat (Straits)
Straits atau selat diatur dalam Pasal 34-44 UNCLOS 1982.
Wilayah ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional. Negaranegara yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan
yurisdiksi penuh atasnya. Selat dapat dbagi menjadi 2 (dua) yakni :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16
digilib.uns.ac.id
1) Selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan
perairan yang termasuk dalam yurisdiksi nasional (laut teritorial)
suatu negara.
2) Selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional yang
menghubungkan suatu laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau
ZEE lainnya.
f.
Landas Kontinen (Continental Shelf)
Landas Kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga
pinggiran luar tepi kontinen atau hingga berjarak 200 mil laut dari garis
pangkal. Wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang banyak
sehingga Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi
dan mengeksplorasi sumber daya alam didalamnya. Negara lain pun bisa
mengeksploitasi dan mengeksplorasi wilayah tersebut setelah mendapat
ijin dari negara pantai (Pasal 77 UNCLOS 1982).
g.
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zones)
Zona ekonomi eklusif adalah daerah marit di luar tersambung
dengan laut teritorial, yang luasnya tidak boleh melebihi 200 nautica
miles dari garis pangkal yang di pakai untuk mengatur laut teritorial.
Zona ekonomi eklusif berisi hak-hak negara pantai seperti riset ilmiah
kelautan, perlindungan dan pelestarian laut, serta pembuatan dan
pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan. ZEE diatur pada Pasal
55-75 UNCLOS 1982.
h.
Laut Lepas (High Seas)
Pengaturan laut lepas ada didalam Pasal 86-120 UNCLOS 1982.
High seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan
pedalaman, laut territorial, zona ekonomi eksklusif suatu negara dan
perairan kepulauan dalam suatu Negara kepulauan. Yurisdiksi suatu
negara tidak berlaku pada wilyah ini karena hal ini merupakan perairan
user 2 konvensi Jenewa tahun 1958
internasional. Laut lepascommit
pada to
Pasal
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua negara, tidak
ada satu pun negara secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari
padanya ke bawah kedaulatannya. Kebebasannya yaitu kebebasan
berlayar menangkap ikan, kebebasan menempatkan kabel dan pipa
bawah laut, serta kebebasan terbang di atas laut lepas. Dikenal juga
kebebasan dan aturan-aturan kapal di laut bebas (interference with ships
on the high seas) yang meliputi stateless ship (kapal berbendera
negaranya), hot persuit (pengejaran seketika), the right of approach (hak
untuk mendekat), treaties (melakukan perjanjian), piracy (perompakan di
laut), belligerent right (hak untuk negara yang sedang berperang dengan
memperbolehkan melakukan perdagangan dengan kapal dagang musuh),
self defense (pertahanan sendiri), dan action authorized by the united
nations (sanksi atau tindakan dari Persatuan bangsa-bangsa.
2.
Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara
Pertanggungjawaban negara memiliki dua pengertian yang pertama
adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan Negara yang melanggar
kewajiban
internasional
yang
telah
dibebankannya.
Kedua
yakni
pertanggungjawaban yang dimiliki negara atas pelanggaran terhadap orang
asing (Jawahir Thontowi, 2006: 193). Menurut Karl Zemanek, tanggung
jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara
internasional yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang
menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk
kewajiban-kewajiban baru terhadap korban (Andrey Sujatmoko, 2005: 29).
Pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas
hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara
tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar
kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai
perwakilan diplomatik negara lain atau memperlakukan warga asing dengan
seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda
kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar kerugian
commit
to user2006: 194).
yang telah ditimbulkan (Jawahir
Thontowi,
perpustakaan.uns.ac.id
18
digilib.uns.ac.id
Subjek pertanggungjawaban dalam hukum internasional menempatkan
negara sebagai subjek utama. Hal ini dikuatkan pada ketentuan Pasal 1 dari
rancangan pasal-pasal mengenai tanggungjawab dalam hukum internasional
oleh The Internasional Law Commission (ILC) yang menyatakan “setiap
tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara
bersangkutan”. Subjek pertanggungjawaban berikutnya adalah individu. Hal
ini ditandai ketika pembentukam peradilan internasional pasca Perang Dunia
(PD) II. Peradilan ini didirikan di Tokyo dan Nuremberg dalam upaya
memberi keadilan terhadap para korban kekejaman PD II yang ditujukan
untuk meminta pertanggungjawaban individual. Tanggal 1 Juli 2002 ketika
Statuta Roma mulai berlaku, maka pengakuan atas individu sebagai subjek
yang dibebani tanggungjawab dalam hukum internasional bersifat sangat
terbatas hanya dalam lapangan hukum pidana internasional dan hukum
perang (Jawahir Thontowi, 2006: 195-196). Ada beberapa pembenaran atas
adanya pelanggaran dalam rancangan pasal-pasal ILC dimasukan ke dalam
BAB V bagian satu yakni sebagai berikut.
a.
Persetujuan
Persetujuan yang sah (valid consent) oleh negara terhadap
tindakan negara lainnya yang bertentangan dengan yang seharusnya
merupakan salah satu alasan pemaaf. Persetujuan ini bisa dilaksanakan
asal tidak bertentangan dengan peremptory norms atau jus cogen.
b.
Bela Diri
Suatu negara diijinkan bertindak dalam cara yang bertentangan
dengan kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk
membela diri sebagaimana yang dinyatakan dalam Piagam PBB yang
berbunyi "nothing in this chapter precluded the wrongfulness of any act
of a state which not in conformity with an obligation arising under
peremptory norm general international law”.
c.
Force Majeure
Hukum Internasional mengenal alasan akibat dari keadaan yang
commit
user
berada diluar kemampuan.
Pasalto 23
(1) Draft ILC argumen ini hanya
perpustakaan.uns.ac.id
19
digilib.uns.ac.id
berlaku dalam hal "the occurence of an irresistible force or of an
unforceseen event, beyond the control of the state, it materially
impossible in the circumstance to perform the obligation". Pernyataan
ayat (1) tersebut menekankan pengecualian pengenaan tanggungjawab
internasional terhadap situasi yang benar-benar diluar kemampuan.
Pengertian force majeure dibatasi oleh ayat (2) dari pasal sama yang
berbunyi tidak akan berlaku dalam hal "either alone or in combination
with other factors, to the conduct of the state invoking it". Oleh karena
itu, penggunaan alasan ini tidak bisa digunakan dalam hal negara itu
sendiri yang menyebabkannya.
d.
Distress
Menurut Pasal 24 Draft ILC pengertian distress adalah sebuah
situasi dimana negara pelaku tidak memiliki cara lain yang lebih baik
(reasonable way) dalam upayanya untuk menyelamatkan hidupnya atau
orang-orang yang berada dalam tanggung-jawabnya. Alasan berdasarkan
pada distress tidak bisa digunakan menurut ayat (2) dalam hal keadaan
yang muncul merupakan akibat dari tindakan negara itu sendiri dan
perbuatan yang dilakukan malah akan menimbulkan kerugian yang sama
atau bahkan lebih besar.
e.
Necessity
Necessity merupakan alasan yang bisa digunakan dalam hal negara
tersebut menghadapi bahaya yang luar biasa bagi kepentingannya.
Tindakan yang tergolong necessity haruslah tidak menimbulkan bahaya
bagi negara-negara lain yang berkepentingan atas kewajiban yang
dilanggar. Pengecualian untuk tidak menggunakan necessity dinyatakan
oleh Pasal 25 ayat (2) dalam hal perjanjian itu sendiri secara terang tidak
memberikan kemungkinan bagi penggunaan necessity atau negara itu
sendiri.
Bentuk pertanggungjawaban negara yang diakui hukum internasional
menurut Brownlie menerapkan istilah reparation untuk ditujukan kepada
to useryang terkena pertanggungjawaban
semua tindakan yang diambilcommit
oleh negara
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti
pembayaran
kompensasi
atau
restitusi,
permintaan
maaf,
penghukuman atas individu yang bertanggung jawab, mengambil tindakan
supaya tidak terjadinya pengulangan, segala bentuk pembalasan (satisfaction)
lainnya. Kompensasi adalah reparasi dalam pengertian sempit yang
berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang sebagai nilai ganti atas
kerugian. Kompensasi dapat diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran
oleh suatu negara walaupun pelanggaran terhadap tersebut tidak berhubungan
dengan kerugian yang bersifat finansial, misalnya terhadap kekebalan
diplomatik atau konsuler. Ganti Rugi dalam kaitannya persoalan diatas
sebagai reparasi moral atau politis (Jawahir Thontowi, 2006: 204-205).
3.
Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional
Hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan
individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin
dengan baik atau timbul sengketa. Sengketa dapat bermula dari berbagai
sumber misalnya sengketa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan
lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Mahkamah Internasional Permanen
(PCIJ) dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concession (Preliminary
Objections) 1924 mendefinisikan pengertian sengketa sebagai berikut
“disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest
between two person” (Huala Adolf, 2004: 2). Menurut Mahkamah
internasional (ICJ), sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua
negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan
atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian, dan
secara lengkap mahkamah juga menyatakan sebagai berikut.
"...whether there exist an international dispute is a matter for
objective determination. The mere denial of the existence of a dispute
does not prove its nonexistence... There has thus arisen situation in
which the two sides hold clearly opposite views concerning the
questions of the performance or nonperformance of traety obligations.
Confronted with such a situation, the court must conclude that
international dispute has arisen...” (Martin Dixon and Robert
McCorquodale, 1991: 511).
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut M. Nicholson pengertian konflik adalah sebagai berikut.
“a conflict exists when two people wish to carry out acts which are
mutually inconsistent. They may both want to do the same thing, such
as eat the same apple, or they may want to do different things where
the different things are mutually incompatible, such as when they both
want to stay together but one wants to go to the cinema and the other
to stay at home. A conflict is resolved when some mutually compatible
set of actions is worked out. The definition of conflict can be extended
from individuals to groups (such as states or nations), and more than
two parties can be involved in the conflict. The principles remain the
same” (M.Nicholson, 1992: 11).
Sengketa antar negara internasional dapat merupakan sengketa yang
tidak dapat mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat pula merupakan
sengketa yang mengancam perdamaian dan ketertiban internasional. Peran
hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah
memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya menurut hukum internasional. Hukum Internasional membagi
sengketa internasional menjadi 2 (dua) yakni sengketa politik (political or
nonjusticiable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial disputes)
(Huala Adolf, 2004: 3).
a.
Sengketa Politik
Sengketa
politik
adalah
sengketa
ketika
suatu
negara
mendasarkan tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas
dasar politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat
hukum ini penyelesaiannya secara politik. Keputusan yang diambil dalam
penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat
negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan
negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan
hukum yang diambil.
b.
Sengketa Hukum
Sengketa
hukum
yaitu
sengketa
dimana
suatu
negara
mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum
commit to user
internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara hukum punya sifat yang memaksa kedaulatan negara yang
bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya
berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.
Dalam hal penyelesaian sengketa internasional, aturan dasar mengenai
penyelesaian sengketa tersebut diatur di piagam PBB, dalam Pasal 33 Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan :
" the parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintanance of international peace and security, shall,
first of all, seek asolution by negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional
agencies or arrangements, or other peaceful means of their own
choice”.
Implikasi yang terjadi hendaknya negara-negara anggota PBB
menyelesaikan sengketa intermasional yang terjadi melalui jalan damai, hal
ini juga diperkuat adanya Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 2625
24 Oktober 1970 mengenai General Assembly Declaration on Principles of
International law concerning Friendly Relations and Corporation among
States in accordance with the Charter of the United Nation, yang menyatakan
sebagai berikut "States shall accordingly seek early and just settlement of
their international disputes by negotiation, inquiry and mediation,
conciliation and arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies
or arrangements or other peaceful means of their choice”.
Negara dalam melaksanakan penyelesaian secara damai tersebut
hendaknya berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sebagai berikut (Huala
Adolf, 2004 : 15-18).
a.
Prinsip Itikad Baik
Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa antar negara, sehingga prinsip
ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak
dalam menyelesaikan sengketanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
b.
23
digilib.uns.ac.id
Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini juga sangat sentral dan penting karena melarang para
pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata
(kekerasan). Prinsip ini juga termuat dalam Pasal 13 Bali Concord dan
preambule ke 4 Deklarasi Manila.
c.
Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini membebaskan para pihak untuk menentukan dan
memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan
(principle of free choice of means).
d.
Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap
Pokok Sengketa
Prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini
termasuk kebebasan untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan
diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan.
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan
untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
e.
Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip ini menjadi dasar pelaksanaan prinsip ke tiga dan empat
yang disebutkan diatas sebagai realisasi manakala ada kesepakatan para
pihak.
f.
Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip ini mewajibkan bahwa sebelum para pihak mengajukan
sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah penyelesaian
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara, harus
terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
g.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan,
dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk
terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam
berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental
commit to user
integritas wilayah negara-negara.
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ada 7 (tujuh) cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara
damai yakni sebagai berikut (Huala Adolf, 2004: 19-25).
a.
Negoisasi
Negoisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar
dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Alasan utamanya adalah
dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian
sengketanya dan tiap penyelesaiannya didasarkan konsensus para pihak.
Namun dalam negoisasi juga ada kelemahannya antara lain, yang
pertama bilamana kedudukan para pihak yang tidak seimbang, salah satu
pihak yang kuat mengintervensi pihak yang lemah. Kedua, dalam proses
negoisasi memakan waktu yang lama dan berlangsung lambat. Ketiga,
apabila satu pihak terlalu keras dalam pendiriannya sehingga
menyebakan proses negoisasi menjadi tidak produktif.
b.
Pencarian Fakta (inquiry atau fact-finding)
Cara ini ditempuh bilamana cara konsultasi dan negoisasi telah
dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan demikian
ada campur tangan dari pihak ketiga untuk menyelidiki kedudukan fakta
yang sebenarnya serta berupaya melihat suatu permasalahan dari semua
sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing.
c.
Jasa-Jasa Baik
Menurut Bindschedler mendefinisikan jasa baik adalah "the
involvement of one or more states or an international organization in a
dispute between states with the aim of settling it or contributing to its
settlement”. Cara ini adalah melalui bantuan pihak ketiga dengan
mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau
bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi.
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengaturan mengenai jasa baik ini dapat ditemukan dalam
berbagai perjanjian multilateral dan bilateral yakni sebagai berikut.
1) The Hague Convention on the Pasific Settlement of International
Dispute tanggal 18 Oktober 1907
2) Bab 6 (Pasal 33-38) Piagam PBB
3) The American Treaty on Pasific Settlement tanggal 30 April 1948
d.
Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga,
dimana pihak ketiga ini disebut dengan mediator. Pihak ketiga ini bisa
berupa negara, organisasi internasional atau individu. Mereka berperan
secara aktif dalam proses negosiasi karena sebagai pihak yang netral,
maka mereka berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan
saran penyelesaian sengketa agar bisa dicapai kompromi yang diterima
para pihak. Pengaturan hukum mediasi ini bisa ditemukan dalam
ketentuan sebagai berikut.
1) Pasal 3 The Hague Convention on The
Peaceful Settlement of
Disputes tanggal 18 Oktober 1907 yang menyatakan sebagai berikut.
“Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it
expedient and desirable that one or more Powers, strangers to
the dispute, should, on their own initiative and as far as
circumstances may allow, offer their good offices or mediation
to the States at variance. Powers strangers to the dispute have
the right to offer good offices or mediation even during the
course of hostilities. The exercise of this right can never be
regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly
act.”
Pasal 4 menyatakan sebagai berikut “The part of the mediator
consists in reconciling the opposing claims and appeasing the
feelings of resentment which may have arisen between the States at
variance.”
2) Bab 6 Piagam PBB (Pasal 33 sampai 38)
commit to user
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) The General Act for The Pasific Settlement of International
Disputes, tanggal 26 September 1928 yang diubah tanggal 28 April
1949
4) The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes
e.
Konsiliasi
Menurut Bindschdler, penyelesaian ini juga melibatkan pihak
ketiga yang terdiri dari dua unsur, yakni unsur ketidakberpihakan dan
unsur kenetralan. Pengertian Konsiliasi juga diberikan ole Institut Hukum
Internasional yang dituangkan dalam Pasal 1 the Regulation on the
Procedure of International Conciliation tahun 1961 yang berbunyi
sebagai berikut.
"a method for the settlement of international disputes of any
nature according to which a commission set up by the parties,
either on a permanent basis or on an ad hoc basis to deal with a
dispute, proceeds, to the impartial examination of the disputes
and attemps to define the terms of a settlement susceptible of
being accepted by them or of affording the parties, with a view to
its settlement, such aid as they may have requested”.
Konsiliasi ini juga diatur dalam The Hague Convention for The
Pasific Settlement of International Dispute tahun 1899 dan 1907 yang
memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Komisi
konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang
berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh
para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (diuraikan
secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi, kemudian badan ini
akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat
hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh
kuasanya. Dalam putusan badan konsiliasi ini, sifatnya tidak mengikat
para pihak karena diterima tidaknya usulan tersebut bergantung
sepenuhnya kepada para pihak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
f.
27
digilib.uns.ac.id
Arbitrasi
Arbitrasi adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan
mengikat (binding). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat
dilakukan suatu pembuatan suatu Compromis, yaitu penyerahan kepada
arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu
klausul arbitrase dalam perjanjian, sebelum sengketanya lahir (clause
compromissoire).
Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau
arbiter. Arbitrator dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok
sengketa serta disyaratkan netral. Arbitrator yang sudah ditunjuk
selanjutnya menetapkan terms of reference atau aturan permainan
(hukum acara) yang menjadi patokan dan aturan yang harus disepakati
dalam upaya menyelesaikan sengketa para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian mengenai arbitrasi seperti ini dikenal sejak diatur dalam
The Hague Convention for The Pasific Settlement of International
Dispute of 1899 dan 1907, yang mana konvensi ini melahirkan suatu
badan arbitrase intermasional yaitu Permanent Court of Arbitration
(Mahkamah Permanen Arbitrase).
g.
Pengadilan Internasional
Penggunaan cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau
badan peradilan internasional ini biasanya ditempuh bila cara-cara
penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil atau prinsip exhaustion of
local remedies. Dalam pengadilan dikenal ada dua kategori, yaitu
pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
Pengadilan Permanen dapat ditempuh melalui berbagai cara atau
lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau
Mahkamah Permanen Internasional, International Court of Justice (ICJ)
atau Mahkamah Internasional, The International Tribunal for the Law of
the Sea maupun International Criminal Court (ICC). Dalam pengaturan
commit
user PBB yang menyatakan sebagai
ICJ ini terdapat dalam Pasal
92 topiagam
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berikut "The International Court of Justice shall be principal organ of
the United Nation, It shall function in accordance with the annexed
Statute, which is based upon the Statute of the Permanent Court of
International Justice and forms an Integral Part of the present Charter.”
Dalam putusannya Mahkamah Internasional mengikat para pihak
yang bersengketa, hal ini termuat dalam Pasal 59 Statuta Mahkamah,
yang menyatakan bahwa "the decision of the Court has no binding force
except between the parties and in respect of that particular case". Sifat
putusan Mahkamah adalah mengikat, final dan tidak ada banding seperti
yang tercantum dalam pasal "the judgement is final and without
appeal...”. Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus, biasanya
digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian
ekonomi internasional.
4.
Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional
Hukum Lingkungan Internasional adalah salah satu cabang ilmu yang
mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations Conference on the
Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang
diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan Konferensi dengan isu
lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan.
“While the United Nations Charter set out to improve conditions of
living for all people, promoting peace, stability and economic
development, this 1945 document was silent on environmental issues.
As evidence of an environmental crisis became apparent in the 1960s,
voice were raised for expanding UN activities into the environmental
field as crucial means for fulfilling the goals of the UN Charter.
Beginning with the 1972 Stockholm Conference on the Human
Environment (UNCHE) Continuing through the 1992 United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) and
culminating most recently with the 2002 World Summit on Sustainable
Development (WSSD) The United Nations has attempted to address
the connections between environmental protection and social and
economic development under UN auspices through global
conference” (Pamela S. Chasek, 2007: 368).
commit to user
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dasar rintisan hukum lingkungan internasional dimulai pada zaman
abad pertengahan dimana pada masyarakat Eropa mulai ada ketentuan yang
mempunyai tujuan khusus untuk melindungi lingkungan semisal peraturan
hukum tentang pengawasan terhadap pembakaran arang batu, yang disertai
dengan adanya hukuman yang berat (Lord Kennett, 1974: 465-475).
Hukum lingkungan atau environmental law dalam Black’s Law
Dictionary diartikan sebagai berikut.
“the field of law dealing with the maintenance and protection of the
environment, including preventive measures such as the requirements
of environmental impact statements, as well as measures to assign
liability and provide cleanup for incidents that harm the
environment.”
Hukum lingkungan internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja
adalah keseluruhan kaedah, azas-azas yang terkandung di dalam perjanjianperjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional yang
berobjek lingkungan hidup yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjeksubjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat melalui
lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan
internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1982:7).
Menurut Prinsip 21 Declaration of the United Nations Conference on
the Human Environment 1972 menyatakan “states have, in accordance with
the Charter of the United Nations and the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies”. Ketentuan tersebut memberikan hak dan kewajiban
bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi
bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau
pihak lain, prinsip tersebut secara lebih jauh menyatakan sebagai berikut.
“states have, in accordance with the Charter of the United Nations
and the principles of international law, the sovereign right to exploit
their own resources pursuant to their own environmental policies, and
the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or
control do not cause damage to the environment of other States or of
areas beyond the limits of national jurisdiction”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Hukum Lingkungan Internasional adalah hukum lingkungan, yang
dibentuk dan ditentukan kekuasaan internasional bagi warga atau anggota
serta masyarakat internasional berdasarkan cita-cita dan aspirasi hukum
masyarakat internasional.
5.
Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut
Laut adalah keseluruhan air asin yang menggenangi permukaan bumi.
Definisi ini bersifat fisik semata, sedangkan definisi laut menurut hukum
adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas diseluruh
permukaan bumi (Boer Mauna, 2011: 305).
Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah
“masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.”
Pencemaran laut menurut definisikan Pasal 1 ayat (4) Konvensi
Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut.
“Pollution of the marine environment means the introduction by man,
directly or indirectly, of substance or energy into the the marine
environment including estuaries, which results or is likely to result in
such deleterious effects as harm to living resources and marine life,
hazards to human health, hindrance to marine activities including
fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for
use of sea water and of armenities.”
Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah
dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan
manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang
menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan
bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut, kesehatan manusia, rintangan
melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan
lingkungan laut. Definisi pencemaran laut menurut The United States
commit to user
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA) dalam
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laporannya dalam kongres mengenai pembuangan limbah di samudra (ocean
dumping), menyimpulkan pencemaran samudera sebagai berikut “the
unfavourable alteration of the marine environment…thought direct or
indirect effect of changes in energy pattern, tradition and distribution,
abundance, and quality of organisms” yang bila diterjemahkan menyangkut
kondisi yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi lingkungan laut
termasuk bagi kesatuan pola, distribusi, dan kualitas organisme baik secara
langsung atau tidak langsung.
Pencemaran Laut dapat dibedakan dalam lima kategori utama, yakni
sebagai berikut (Melda Kamil Ariadno, 2007 : 24-25).
a.
Marine Pollution caused via the atmosphere by land based activities
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga penyebab utama
pencemaran laut golongan pertama ini, yaitu :
1) Penggunaan berbagai macam synthethic chemical khususnya
chlorinated hydrocarbons untuk pertanian.
2) Pelepasan logam-logam berat seperti merkuri akibat proses industri
atau lainnya.
3) Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan
oleh penggunaan minyak bumi untuk menghasilkan energi.
b.
The disposal of domestic and industrial wastes
Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah domestik
atau limbah industri dari pantai, baik melalui sungai sewage outlets atau
akibat dumping.
c.
Marine Pollution caused by radioactivity
Pencemaran laut karena adanya kegiatan-kegiatan radioaktif alam
ataupun dari kegiatan-kegiatan manusia. Dua penyebab utamanya adalah
percobaan senjata nuklir dan pembuangan limbah radioaktif, termasuk
pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut untuk kepentingan
militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
commit to user
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d.
Ship-borne Pollutants
Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari berbagai macam bentuk
kapal dan muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan
minyak di laut, yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti
pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut,
terutama apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
e.
Pollution from offshore mineral production
Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila terjadi
kebocoran pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang
tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Menurut ketentuan Pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 sumber-sumber
pencemaran laut bisa berasal dari udara (Pasal 212), perbuatan yang terjadi
didarat (Pasal 213), kegiatan penggalian sumber daya alam di dasar laut dan
tanah dibawahnya (Pasal 214), kapal-kapal atau instalasi-instalasi yang
beroperasi di kawasan dasar laut internasional (Pasal 215), dan pembuangan
kotoran dan sampah (dumping) yang diatur dalam Pasal 216.
commit to user
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pencemaran Laut Timor oleh PT TEP
Australasia di Ladang Montara
Hukum
Internasional
Hukum Nasional
Indonesia
Tanggung Jawab Negara
Gambar 1
Keterangan :
Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran dalam menelaah
dan menjabarkan untuk menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang
terkait dengan kejadian meledaknya sumur PT TEP Australasia di ladang Montara
sehingga berdampak pada pencemaran laut lintas batas negara (IndonesiaAustralia) yang ditinjau dari pengaturan dalam hukum internasional maupun
hukum nasional yang secara lebih spesifik, dan dalam pengkajiannya
menitikberatkan pada hukum laut internasional dan hukum lingkungan
internasional, serta dilihat apakah implementasi hukum internasional itu dalam
tata perundangan-undangan di Indonesia sudah sesuai.
Alur selanjutnya adalah dari identifikasi peraturan internasional maupun
nasional baik tentang kelautan dan lingkungan tersebut bagaimana bentuk
pertanggunganjawaban negara yang dalam hal ini adalah Australia dan Thailand
yang notabene merupakan pemilik sumur Montara yang meledak tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait
Dengan Pencemaran di Laut Timor
a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional
Pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap pencemaran
minyak di kawasan laut suatu Negara terkait dengan kasus meledaknya
ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Australia - Thailand)
yang terjadi di Laut Timor dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958
Bunyi Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan
sebagai berikut.
“Every State shall draw up regulations to prevent pollution of
the seas by the discharge of oil from ships or pipelines or
resulting from the exploitation and exploration of the seabed
and its subsoil, taking account of existing treaty provisions on
the subject.”
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib
mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut
yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut tau
yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah di
bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perjanjian
internasional yang terdapat mengenai masalah ini.
2) Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference
on the Human Environment 1972
Konferensi Stockhlom pada tahun 1972 juga menyepakati
beberapa dasar atau prinsip mengenai keberlangsungan lingkungan
hidup untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan seperti
yang terdapat dalam prinsip ke 7 yang menyatakan sebagai berikut
commit steps
to user
“States shall take all possible
to prevent pollution of the seas by
34
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
substances that are liable to create hazards to human health, to harm
living resources and marine life, to damage amenities or to interfere
with other legitimate uses of the sea.”
Prinsip tersebut memberikan kewajiban kepada semua negara
untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut
yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber
kekayaan hayati laut dan lain-lain penggunaan lingkungan laut. Prinsip
ke 13 Konferensi Stockhlom tersebut juga menyebutkan bahwa :
In order to achieve a more rational management of resources
and thus to improve the environment, States should adopt an
integrated and coordinated approach to their development
planning so as to ensure that development is compatible with the
need to protect and improve environment for the benefit of their
population.
Prinsip diatas menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya
persaingan atau perbenturan dari kepentingan yang berlainan dalam dan
penggunaan lingkungan hidup manusia termasuk lingkungan laut,
haruslah diadakan koordinasi dan harmonisasi di dalam usaha
penyusunan perencanaan pembangunan nasional. Prinsip nomor 17
berbunyi “Appropriate national institutions must be entrusted with the
task of planning, managing or controlling the environmental resources
of States with a view to enhancing environmental quality.”
Prinsip nomer 17 dalam Konferensi Stockhlom mewajibkan
dibentuknya suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk
mengadakan
perencanaan,
pengelolaan
atau
pemantauan
dari
pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang
berorientasi pada ekologi. Ketentuan dalam prinsip nomor 21 juga
terkait langsung dengan program lingkungan hidup yang menyatakan
sebagai berikut.
states have, in accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the sovereign
right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies,
commit toand
userthe responsibility to ensure that
activities within their jurisdiction or control do not cause
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
damage to the environment of other States or of areas beyond
the limits of national jurisdiction.
Ketentuan prinsip ke 21 tersebut memberikan hak dan kewajiban
bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi
bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara
atau pihak lain. Prinsip nomor 22 juga jelas menyatakan bahwa agar
dapat dilaksanakan secara efektif maka berdasarkan tanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran, haruslah ada kerja
sama antara negara untuk mengembangkan hukum internasional yang
mengatur ganti rugi yang disebabkan oleh pencemaran. Mengutip
prinsip nomor 22 Konferensi Stockhlom sebagai berikut.
States shall cooperate to develop further the international law
regarding liability and compensation for the victims of pollution
and other environmental damage caused by activities within the
jurisdiction or control of such States to areas beyond their
jurisdiction.
3) Pengaturan menurut United Nation Convention on The Law of The
Sea 1982
Pencemaran laut menurut definisi Pasal 1 ayat (4) Konvensi
Hukum Laut 1982 adalah
“Pollution of the marine environment means the introduction by
man, directly or indirectly, of substance or energy into the the
marine environment including estuaries, which results or is
likely to result in such deleterious effects as harm to living
resources and marine life, hazards to human health, hindrance
to marine activities including fishing and other legimate uses of
the sea, impairment of quality for use of sea water and of
armenities.”
Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut
adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh
perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam
lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut,
usersumber daya alam hayati di laut,
sehingga menyebabkancommit
bahayatobagi
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesehatan manusia, rintangan melakukan kegiatan di laut dan
mengurangi
pemanfaatan
dalam
penggunaan
lingkungan
laut.
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam UNCLOS 1982
diatur di bagian XII yang meliputi Pasal 192 yang berbunyi “States
have the obligation to protect and preserve the marine environment”.
Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya kewajiban kepada negaranegara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.
Pasal 193 UNCLOS 1982 juga menyatakan sebagai berikut
“States have the sovereign right to exploit their natural resources
pursuant to their environmental policies and in accordance with their
duty to protect and preserve the marine environment.” Pasal 193
tersebut mengatur tentang hak negara-negara peserta untuk mengelola
sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan
lingkungan serta sesuai pula dengan kewajiban melindungi dan
melestarikan lingkungan laut dari masing-masing negara.
Pengaturan
selanjutnya
adalah
dalam
Pasal
194
yang
menyatakan sebagai berikut.
1. States shall take, individually or jointly as appropriate, all
measures consistent with this Convention that are necessary
to prevent, reduce and control pollution of the marine
environment from any source, using for this purpose the best
practicable means at their disposal and in accordance with
their capabilities, and they shall endeavour to harmonize
their policies in this connection.
2. States shall take all measures necessary to ensure that
activities under their jurisdiction or control are so conducted
as not to cause damage by pollution to other States and their
environment, and that pollution arising from incidents or
activities under their jurisdiction or control does not spread
beyond the areas where they exercise sovereign rights in
accordance with this Convention.
3. The measures taken pursuant to this Part shall deal with all
sources of pollution of the marine environment. These
measures shall include, inter alia, those designed to minimize
to the fullest possible extent:
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) the release of toxic, harmful or noxious substances,
especially those which are persistent, from land-based
sources, from or through the atmosphere or by dumping.
(b) pollution from vessels, in particular measures for
preventing accidents and dealing with emergencies,
ensuring the safety of operations at sea, preventing
intentional and unintentional discharges, and regulating
the design, construction, equipment,operation and
manning of vessels.
(c) pollution from installations and devices used in
exploration or exploitation of the natural resources of
the seabed and subsoil, in particular measures for
preventing accidents and dealing with emergencies,
ensuring the safety of operations at sea, and regulating
the design, construction, equipment, operation and
manning of such installations or devices.
(d) pollution from other installations and devices operating
in the marine environment, in particular measures for
preventing accidents and dealing with emergencies,
ensuring the safety of operations at sea, and regulating
the design, construction,equipment, operation and
manning of such installations ordevices.
4. In taking measures to prevent, reduce or control pollution of
the marine environment, States shall refrain
from
unjustifiable interference with activities carried out by other
States in the exercise of their rights and in pursuance of their
duties in conformity with this Convention.
5. The measures taken in accordance with this Part shall
include those necessary to protect and preserve rare or
fragile ecosystems as well as the habitat of depleted,
threatened or endangered species and other forms of marine
life.
Pasal 194 tersebut secara ringkas dapat diterjemahkan bahwa
adanya kewajiban khusus dari negara di antaranya adalah tidak
memindahkan kerusakan atau bahaya atau untuk mengubah suatu jenis
pencemaran ke jenis pencemaran lain, memonitor resiko akibat
pencemaran dan tanggung jawab serta ganti rugi.
Pasal selanjutnya adalah Pasal 195 mengenai kewajiban untuk
tidak memindahkan bahaya atau kerusakan atau mengubah suatu
pencemaran ke jenis pencemaran lain, yang dinyatakan sebagai berikut
to user
“In taking measures tocommit
prevent,
reduce and control pollution of the
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
marine environment, States shall act so as not to transfer, directly or
indirectly,damage or hazards from one area to another or transform
one type of pollution into another.” Pasal 195 tersebut memberikan
pengertian dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, negara
harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara
langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu ke
daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam bentuk
pencemaran lain.
Pasal 196 UNCLOS 1982 juga secara jelas menyatakan sebagai
berikut.
1. States shall take all measures necessary to prevent, reduce
and control pollution of the marine environment resulting
from the use of technologies under their jurisdiction or
control, or the intentional or accidental introduction of
species, alien or new, to a particular part of the marine
environment, which may cause significant and harmful
changes there to.
2. This article does not affect the application of this Convention
regarding the prevention, reduction and control of pollution
of the marine environment.
Pasal 196 tersebut menyatakan bahwa Negara peserta harus
melakukan pengawasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan
laut, sebagai akibat dari penggunaan teknologi, memasukan zat secara
sengaja atau tidak kedalam lingkungan laut yang dapat merusak
lingkungan laut.
Mengenai kerja sama global dan regional dalam menanggulangi
pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 197 sampai dengan
Pasal 201. Bunyi Pasal 197 UNCLOS 1982 menyatakan sebagai
berikut.
“States shall cooperate on a global basis and, as appropriate,
on a regional basis, directly or through competent international
organizations, in formulating and elaborating international
rules, standardscommit
and recommended
practices and procedures
to user
consistent with this Convention, for the protection and
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
preservation of the marine environment, taking into account
characteristic regional features.”
Pasal 197 tersebut menjelaskan bahwa Negara-negara peserta
harus bekerja sama secara global maupun regional yang perlu untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Terkait dengan ketentuan
selanjutnya yakni Pasal 198 menyatakan sebagai berikut.
“When a State becomes aware of cases in which the marine
environment is in imminent danger of being damaged or has
been damaged by pollution,it shall immediately notify other
States it deems likely to be affected by such damage, as well as
the competent international organizations.”
Pasal 198 diatas menyebutkan bahwa apabila suatu negara
menyadari adanya keadaan dimana lingkungan laut berada dalam
ancaman bahaya mendesak akan kerusakan atau telah rusak akibat
pencemaran Negara termaksud harus segera memberitahu Negara
negara lain yang menurut perkiraannya sangat mungkin akan terancam
oleh kerusakan tersebut demikian pula kepada organisasi organisasi
internasional yang kompeten.
Pasal 199 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa hal-hal yang
termuat dalam Pasal 198 maka mewajiban kepada Negara-negara yang
terkena dampak pencemaran harus saling bekerja sama antara satu
dengan yang lain untuk mengurangi kerusakan yang timbul dan
meningkatkan pola penanggulangan darurat pencemaran dalam
lingkungan laut. Kutipan Pasal 199 tersebut adalah sebagai berikut.
“In the cases referred to in article 198, States in the area
affected, in accordance with their capabilities, and the
competent international organizations shall cooperate, to the
extent possible, in eliminating the effects of pollution and
preventing or minimizing the damage. To this end, States shall
jointly develop and promote contingency plans for responding to
pollution incidents in the marine environment.”
Pasal 200 ketentuan UNCLOS 1982 mengenai kerja sama antar
commit to user
negara dalam menanggulangi pencemaran menyatakan sebagai berikut.
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
States shall cooperate, directly or through competent
international organizations, for the purpose of promoting
studies, undertaking programmes of scientific research and
encouraging the exchange of information and data acquired
about pollution of the marine environment. They shall
endeavour to participate actively in regional and global
programmes to acquire knowledge for the assessment of the
nature and extent of pollution, exposure to it, and its pathways,
risks and remedies.
Pasal tersebut bila diterjemahkan menyatakan bahwa Negaranegara harus saling bertukar informasi dalam usaha untuk mengetahui
besarnya pencemaran, bahaya pencemaran, resiko dan cara mengatasi
pencemaran lingkungan laut tersebut. Ketentuan Pasal 201 sebagai
implementasi Pasal 201 menyatakan sebagai berikut.
“In the light of the information and data acquired pursuant to
article 200, States shall cooperate, directly or through
competent international organizations, in establishing
appropriate scientific criteria for the formulation and
elaboration of rules, standards and recommended practices and
procedures for the prevention, reduction and control of
pollution of the marine environment.”
Pasal tersebut mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan
ketentuan pasal 200, negara-negara,organisasi-organisasi terkait harus
saling bekerja sama untuk menetapkan kriteria ilmiah guna pencegahan,
penanggulangan dan pengendalian lingkungan laut.
Pengaturan mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian
lingkungan laut terdapat dalam Pasal 204 sampai dengan Pasal 206
UNCLOS 1982. Pasal 204 tersebut berbunyi sebagai berikut.
1. States shall, consistent with the rights of other States,
endeavour, as far as practicable, directly or through the
competent international organizations, to observe, measure,
evaluate and analyse, by recognized scientific methods, the
risks or effects of pollution of the marine environment.
2. In particular, States shall keep under surveillance the effects
of any activities which they permit or in which they engage in
order to determine
commit towhether
user these activities are likely to
pollute the marine environment.
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketentuan pasal 204 tersebut menyebutkan bahwa Negaranegara harus berusaha sedapat mungkin konsisten dengan hak-hak
negara-negara lain, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi
internasional yang kompeten, untuk mengamati, mengatur, menilai, dan
menganalisa berdasarkan metode ilmiah yang dibakukan mengenai
resiko atau akibat pencemaran lingkungan laut. Secara Khusus Negaranegara pun harus tetap mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang
mereka ijinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung
kemungkinan mencemarkan lingkungan laut.
Bunyi Pasal 205 UNCLOS 1982 adalah “States shall publish
reports of the results obtained pursuant to article 204 or provide such
reports at appropriate intervals to the competent international
organizations, which should make them available to all States.” Pasal
tersebut mengemukakan bahwa Negara-negara harus melaporkan segala
informasi yang terkait dengan pencemaran laut yang terjadi.
Pengaturan Pasal 206 UNCLOS 1982 berisi bahwa manakala
negara-negara mempunyai alasan yang kuat bahwa kegiatan-kegiatan
dibawah yurisdiksinya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
laut, maka mereka harus dapat menilai efek yang ditimbulkan dari
kegiatan-kegiatan tersebut. Kutipan Pasal 206 tersebut sebagai berikut.
“When States have reasonable grounds for believing that
planned activities under their jurisdiction or control may cause
substantial pollution of or significant and harmful changes to
the marine environment, they shall,as far as practicable, assess
the potential effects of such activities on the marine environment
and shall communicate reports of the results of such
assessments in the manner provided in article 205.”
b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional
Pengaturan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982
Pasal 207 sampai dengan Pasal 212 juga mewajibkan Negara-negara
peserta konvensi untuk membuat peraturan atau undang-undang nasional
untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan
commit to user
laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam beberapa undang-undang
43
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang terkait dengan pengaturan tersebut yang diatur dalam, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UndangUndang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres
Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Maka terkait dengan pencemaran
minyak yang terjadi di Laut Timor tersebut maka dari perundanganundangan nasional tersebut dapat diidentifikasi beberapa pasal yang yang
mengatur tentang pencemaran laut yang terjadi yakni sebagai berikut.
1) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-undang ini yang menyebutkan tentang perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi
sebagai berikut.
(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan
hukum internasional.
(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan,
pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan
perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
2) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hakhak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya
yang tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia
memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi
commit to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional.”
Pengaturan Pasal 8 juga mengatur mengenai perbatasan wilayah
Indonesia dengan wilayah yurisdiksi negara lain yang secara lengkap
menyatakan sebagai berikut.
(1) Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah
yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua
Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
(2) Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan
perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
(3) Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan
negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah
Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
3) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam Undang-undang ini pengaturan tentang asas yang
digunakan dan pengaturan pencemaran lingkungan hidup yang
tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi :
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 53 Undang-Undang Lingkungan Hidup ini menyatakan
bahwa :
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan
lingkungan
hidup
wajib
melakukan
penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dan/atau;
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bunyi Pasal 54 juga menyatakan bahwa pencemar yang dalam
hal ini adalah orang wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan
hidup. Kutipan Pasal ini secara lengkap sebagai berikut.
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tahap:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur
pencemar;
b. remidiasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 terutama pada ayat (2)
commit to user
dan ayat (3) terkait dengan kewajiban memberikan sistem informasi
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lingkungan hidup kepada masyarakat. Bunyi Pasal 62 ayat (2) dan ayat
(3) tersebut menyatakan sebagai berikut.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara
terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada
masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat
informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
Pasal 63 ayat (1) huruf l dan huruf m Undang-Undang ini juga
menjamin kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
apa yang bisa diambil terkait dengan pencemaran yang terjadi yang
berbunyi :
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah bertugas dan berwenang:
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas
batas negara;
Cara
penyelesaian
sengketa
mengenai
pencemaran
atau
pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut diatur dalam
pasal 84 yang berbunyi :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan
secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa.
Ketentuan penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau
pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut bila yang
ditempuh di luar pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa
kesepakatan yang diatur dalam pasal 85 ayat (1) yang berbunyi :
commit to user
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau;
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
Setiap penanggungjawab kegiatan yang bisa mengakibatkan
kerusakan lingkungan wajib membayar ganti rugi yang diatur dalam
pasal 87 ayat (1) yang berbunyi :
“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Ketentuan berikutnya apabila terjadi pencemaran lingkungan
maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui instansinya
berwenang mengajukan gugatan terhdap pihak terkait yang melakukan
pencemaran lingkungan. Pasal 90 ayat (1) secara lengkap menyatakan
sebagai berikut.
“Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan
gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan
hidup.”
Pasal
99
ayat
(1)
Undang-Undang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mengatur tentang ketentuan pidana
dan denda bagi orang yang melakukan pencemaran lingkungan hidup
akibat kelalaiannya yang bunyi lengkapnya sebagai berikut.
“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku
mutu
udara ambien, baku mutu air, baku
commit
to user
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
Peraturan Pemerintah ini terdapat pengaturan yang berhubungan
mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau perusakan
laut seperti yang terdapat dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa
“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang
melakukan perbuatan yang dapat menimbutkan pencemaran laut.”
Pengaturan Pasal 13 PP ini juga menyatakan bahwa “Setiap orang atau
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan
perbuatan yang dapat menimbutkan kerusakan laut.” Mengenai
pencegahan perusakan lingkungan laut dinyatakan dalam Pasal 14
sebagai berikut”Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan
perusakan laut.”
Pada bunyi Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengenai kewajiban apa
saja yang harus dipenuhi penanggung jawab kegiatan agar tidak terjadi
pencemaran lingkungan. Ketentuan ini secara lengkap dinyatakan
sebagai berikut.
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan
pencegahan terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan
mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku
mutu emisi dan ketentuan ketentuan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan
dalam
PP
ini
bila
dalam
suatu
kegiatan
mengakibatkan pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 15 yang
commit “Setiap
to user orang atau penanggung jawab
menyatakan sebagai berikut
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.” Pemulihan akibat
pencemaran ini diatur selanjutnya dalam Pasal 16 yang berbunyi
“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan
pemulihan mutu laut.” Mengenai kewajiban tanggungan biaya yang
harus ditanggung dalam usaha pemulihan kerusakan lingkungan diatur
dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan
pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya
pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak tambahan,
akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib
membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
5) Peraturan
Presiden
Nomor
109
Tahun
2006
tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
(PKDTML)
Ketentuan berikut yang dikemukakan adalah Pasal-pasal yang
mengacu pada hal-hal yang terkait dengan adanya kasus pencemaran
minyak yang terjadi di Laut Timor. Bunyi Pasal 2 ayat (3) dan (4)
menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab kegiatan yang bisa
menyebabakan pencemaran minyak di laut secara lengkap berbunyi
sebagai berikut.
(3) Setiap pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi
atau penanggungjawab unit kegiatan pengusahaan minyak
lepas pantai wajib menanggulangi terjadinya keadaan
darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha
dan/atau kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut
kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(4) Setiap pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain wajib
menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan
to userbersumber dari usaha dan/atau
minyak di commit
laut yang
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Perihal telah terjadi keadaan darurat pencemaran minyak yang
mencemari di wilayah laut Indonesia maka dapat dibentuk tim khusus
untuk menanggulanginya seperti yang tercantum dalam Pasal 3 yang
secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
(1) Dalam
rangka
keterpaduan
penyelenggaraan
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut
tingkatan tier 3, dibentuk Tim Nasional Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang
selanjutnya disebut Tim Nasional.
(2) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
(3) Ketua Tim Nasional wajib melaporkan secara berkala
pelaksanaan hasil tugasnya kepada Presiden.
(4) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
Ketua
: Menteri Perhubungan;
Wakil Ketua : Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Anggota
: 1. Menteri Energi dan Sumberdaya
Mineral;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Luar Negeri;
4. Menteri Kelautan dan Perikanan;
5. Menteri Kesehatan;
6. Menteri Kehutanan;
7. Menteri Keuangan;
8. Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia;
9. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
10. Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
11. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi;
12. Kepala Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak
dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas
Bumi melalui Pipa;
13. Gubernur, Bupati/Walikota yang
sebagian wilayahnya mencakup laut.
(5) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
bertanggungjawab atas penyelenggaraan penanggulangan
keadaan darurat
tumpahan
commit
to user minyak di laut tingkatan tier 3.
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(6) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas
:
a. melaksanakan
koordinasi
penyelenggaraan
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di
laut tingkatan tier 3;
b. memberikan dukungan advokasi kepada setiap orang
yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak di
laut.
(7) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), Tim Nasional berfungsi menetapkan pedoman
pengembangan sistem kesiagaan dan penyelenggaraan
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut,
meliputi:
a. menetapkan PROTAP Tier 3;
b. menjamin ketersediaan sarana, prasarana, dan personil
terlatih untuk mendukung pelaksanaan operasi
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di
laut;
c. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana,
prasarana, dan personil di pelabuhan, terminal atau
platform untuk penanggulangan tumpahan minyak di
laut;
d. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana,
prasarana, dan personil di daerah untuk penanggulangan
dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.
(8) Untuk
membantu
terlaksananya
penyelenggaraan
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut
tingkatan tier 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Tim
Nasional membentuk dan membina PUSKODALNAS.
Pasal 8 dalam Perpres ini juga mengatur kewajiban bagi setiap
orang yang mengetahui bila terjadi pencemaran minyak di laut yang
secara lengkap bunyinya :
(1) Setiap orang yang mengetahui terjadinya tumpahan minyak
di laut wajib segera menginformasikan kepada:
a. PUSKODALNAS;
b. Kantor pelabuhan;
c. Direktorat yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
teknik dan lingkungan minyak dan gas bumi, pada
departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang
kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
d. Pemerintah Daerah; atau
e. Unsur pemerintah lain yang terdekat.
commit to user
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pejabat dari instansi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib segera
menginformasikan kepada :
a. ADPEL;
b. KAKANPEL; atau
c. Kepala PUSKODALNAS.
(3) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2), maka ADPEL atau KAKANPEL
wajib segera menginformasikan kepada Kepala
PUSKODALNAS.
(4) ADPEL, KAKANPEL, atau PUSKODALNAS setelah
menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) wajib segera melakukan pengecekan atas
kebenaran laporan yang diterima.
(7) Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam
kategori tier 3, PUSKODALNAS wajib segera melakukan
koordinasi pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan
darurat tumpahan minyak di laut dan Kepala
PUSKODALNAS bertindak selaku koordinator misi tier 3.
Terkait dengan adanya kerjasama internasional yang bisa
dilakukan untuk menanggulangi pencemaran minyak di laut diatur
dalam Pasal 9 yang berbunyi “Dalam hal sumber daya nasional tidak
memadai dalam penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di
laut tingkatan tier 3, maka Ketua Tim Nasional dapat meminta bantuan
internasional.” Pertanggungjawaban juga terdapat pada pimpinan suatu
perusahaan eksplorasi minyak dan gas bila dalam kegiatan usahanya
terjadi pencemaran di laut yang secara jelas diatur dalam Pasal 11 yang
berbunyi :
Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi
pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab
tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau
pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain, yang karena
kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut,
bertanggungjawab mutlak atas biaya:
a. penanggulangan tumpahan minyak di laut;
b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan
minyak di laut;
c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan
d. kerugian lingkungan
akibat
commit to
usertumpahan minyak di laut.
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di
53
digilib.uns.ac.id
Perusahaan The
Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public
Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya
Kilang Minyak Montara di Laut Timor
Dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas mengenai
bagaimana pertanggung jawaban negara yang terlibat di perusahaan The
Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public
Company Limited (PT TEP) Australasia dalam kejadian meledaknya kilang
minyak Montara di Laut Timor tersebut dilihat dari tiga konvensi
Internasional yakni International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan
United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a.
International Convention on Civil Liability for Oil Pullution Damage
1969
Tanggung jawab tersebut jika ditinjau dari Konvensi Internasional
Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di
Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage). Konvensi ini mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh
minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini juga bersifat
terbatas karena hanya berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut
territorial Negara peserta berupa kerusakan pencemaran minyak mentah
(persistent oil) yang tertumpah dari muatan kapal tangki. Kerusakan yang
disebabkan oleh non-presistent oil seperti gasoline, kerosene, light diesel
oil, dsb, juga tidak termasuk dalam Civil Liability Convention 1969.
Dalam Civil Liability Convention 1969 ini mengharuskan kapal
tangki yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian (damage) pada
negara pantai untuk memberikan ganti kerugian yang diderita oleh orang
atau kepentingan yang telah menjadi korban dari pengotoran laut yang
commit
to tersebut
user
disebabkan. Kewajiban ganti
rugi
didasarkan atas prinsip strict
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
liability artinya kewajiban membayar ganti rugi itu timbul sesegera
terjadinya kerugian itu, dengan tidak mempersoalkan salah atau tidak
kapal tangki yang bersangkutan.
b. International Convention on the Establishment of an International
Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971
Pada
konvensi
ini
sebenarnya
adalah
melengkapi
atau
menciptakan suatu “Compensation Scheme” yang akan menyediakan
pembayaran ganti rugi kepada korban di satu pihak dan pembebasan
pemilik kapal dari beban keuangan yang diakibatkan oleh Civil Liability
Convention 1969 (Syahmin A.K, 1988: 152).
Ruang lingkup yang diatur pada konvensi ini bersifat terbatas,
dalam artian yang bisa diajukan klaim ganti rugi atau yang bisa
dibayarkan hanya akibat dari tumpahan minyak bumi (crude oil and fuel
oil) yang di angkut kapal. Ketentuan tersebut ada dalam Pasal 1 ayat (3)
yang bunyinya sebagai berikut.
Contributing Oil means crude oil and fuel oil as defined in subparagraphs (a) and (b) below:
a. Crude Oil means any liquid hydrocarbon mixture occurring
naturally in the earth whether or not treated to render it
suitable for transportation. It also includes crude oils from
which certain distillate fractions have been removed
(sometimes referred to as topped crudes) or to which certain
distillate fractions have been added (sometimes referred to as
spiked or reconstituted crudes).
b. Fuel Oil means heavy distillates or residues from crude oil or
blends of such materials intended for use as a fuel for the
production of heat or power of a quality equivalent to the
American Society for Testing and Materials Specification for
Number Four Fuel Oil (Designation D 396-69), or heavier.
c.
United Nation Convention on The Law of The Sea 1982
Ketentuan Pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat dikenakan
pertanggungjawaban Negara atas pencemaran laut yang terjadi diatur
dalam Pasal 139 yang menyatakan sebagai berikut.
commit to user
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
2.
3.
States Parties shall have the responsibility to ensure that
activities in the Area, whether carried out by States Parties,
or state enterprises or natural or juridical persons which
possess the nationality of States Parties or are effectively
controlled by them or their nationals, shall be carried out in
conformity with this Part. The same responsibility applies to
international organizations for activities in the Area carried
out by such organizations.
Without prejudice to the rules of international law and Annex
III, article 22, damage caused by the failure of a State Party
or international organization to carry out its responsibilities
under this Part shall entail liability; States Parties or
international organizations acting together shall bear joint
and several liability. A State Party shall not however be
liable for damage caused by any failure to comply with this
Part by a person whom it has sponsored under article 153,
paragraph 2(b), if the State Party has taken all necessary and
appropriate measures to secure effective compliance under
article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4, paragraph
4.
States Parties that are members of international
organizations shall take appropriate measures to ensure the
implementation of this article with respect to such
organizations.
Pasal 139 ayat (1) diatas menjelaskan bahwa Negara Peserta harus
bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan, baik
dilakukan oleh Negara peserta atau perusahaan perusahaan negara atau
badan hukum atau orang perorangan yang memiliki kebangsaan Negara
Peserta atau yang dikuasai secara efektif oleh mereka atau oleh warga
negara-warga negara mereka, tanggung jawab yang sama berlaku pula
bagi organisasi-organisasi internasional untuk kegiatan kegiatan yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi di kawasan tersebut.
Ayat (2) menjelaskan dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan hukum internasional dan pada lampiran III Pasal 22 kerugian
yang disebabkan oleh kelalaian suatu Negara Peserta atau organisasi
internasional untuk melaksanakan kewajiban untuk ganti rugi, Negara
Peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak, memikul
secara bersama-sama harus
memikul
commit
to user secara bersama dan tanggung
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
renteng kewajiban untuk ganti rugi. Akan tetapi suatu Negara Peserta
tidak berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh suatu
kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan
pasal 153 ayat (2) apabila Negara Peserta tersebut telah mengambil
segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara
efektif menurut pasal 153 ayat (4), lampiran III Pasal 4 ayat (4). Pasal
139 ayat (3) ini bila diterjemahkan maka memberikan ketentuan Negara
Peserta yang menjadi anggota organisasi internasional harus mengambil
tindakan yang tepat untuk menjamin pelakasanaan Pasal ini yang
berkenaan dengan organisasi-organisasi tersebut.
Terkait dengan pengaturan sistem eksplorasi dan eksploitasi
lautan UNCLOS mengaturnya dalam Pasal 153 yang berbunyi :
1.
2.
3.
4.
Activities in the Area shall be organized, carried out and
controlled by the Authority on behalf of mankind as a whole
in accordance with this article as well as other relevant
provisions of this Part and the Relevant Annexes, and the
rules, regulations and procedures of the Authority.
Activities in the Area shall be carried out as prescribed in
paragraph 3:
(a) by the Enterprise, and
(b) in association with the Authority by States Parties, or
state enterprises or natural or juridical persons which
possess the nationality of States Parties or are effectively
controlled by them or their nationals, when sponsored by
such States, or any group of the foregoing which meets
the requirements provided in this Part and in Annex III.
Activities in the Area shall be carried out in accordance with
a formal written plan of work drawn up in accordance with
Annex III and approved by the Council after review by the
Legal and Technical Commission. In the case of activities in
the Area carried out as authorized by the Authority by the
entities specified in paragraph 2 (b), the plan of work shall,
in accordance with Annex III, article 3, be in the form of a
contract. Such contracts may provide for joint arrangements
in accordance with Annex III, article 11.
The Authority shall exercise such control over activities in
the Areaas is necessary for the purpose of securing
compliance with the relevant provisions of this Part and the
committhere
to user
Annexes relating
to, and the rules,regulations and
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5.
6.
procedures of the Authority, and the plans of work approved
in accordance with paragraph 3. States Parties shall assist
the Authority by taking all measures necessary to ensure such
compliance in accordance with article 139.
The Authority shall have the right to take at any time any
measures provided for under this Part to ensure compliance
with its provisions and the exercise of the functions of control
and regulation assigned to it thereunder or under any
contract. The Authority shall have the right to inspect all
installations in the Area used in connection with activities in
the Area.
A contract under paragraph 3 shall provide for security of
tenure. Accordingly, the contract shall not be revised,
suspended or terminated except in accordance with Annex
III, articles 18 and 19.
Dalam pasal tersebut mengatur tentang sistem kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi oleh perusahaan maupun perusahaan dengan otorita oleh
Negara Peserta atau perusahaan negara atau badan hukum atau
perorangan yang memiliki kebangsaan negara peserta atau secara aktif
dikendalikan oleh mereka atau warga negara mereka jika disponsori oleh
negara-negara tersebut. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi itu harus
dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tertulis yang resmi dan telah
mendapat ijin dari otoritas negara yang bersangkutan. Otoritas Negara
Peserta harus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan
tersebut dikawasannya dan memiliki hak untuk mengambil tindakan
apapun guna menjamin dipenuhinya peraturan-peraturannya serta
mempunyai hak untuk memeriksa semua instalasi dalam segala kegiatan
yang dilakukan di kawasan negaranya.
Pasal 235 UNCLOS 1982 mengatur tentang tanggungjawab dan
kewajiban ganti rugi Negara Peserta yang melakukan pencemaran dan
secara lengkap dinyatakan sebagai berikut.
1.
States are responsible for the fulfilment of their international
obligations concerning the protection and preservation of the
marine environment. They shall be liable in accordance with
international law.
commit to user
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
3.
States shall ensure that recourse is available in accordance
with their legal systems for prompt and adequate
compensation or other relief in respectof damage caused by
pollution of the marine environment by natural or juridical
persons under their jurisdiction.
With the objective of assuring prompt and adequate
compensation in respect of all damage caused by pollution of
the marine environment, States shall cooperate in the
implementation of existing international law and the further
development of international law relating to responsibility
and liability for the assessment of and compensation for
damage and the settlement of related disputes, as well as,
where appropriate, development of criteria and procedures
for payment of adequate compensation, such as compulsory
insurance or compensation funds.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Negara bertanggung
jawab untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Mereka
harus memikul kewajiban ganti-rugi sesuai dengan hukum internasional.
Ayat (2) menyatakan bahwa Negara harus menjamin tersedianya
upaya menurut sistem perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti
rugi segera memadai atau bantuan lainnya berkaitan dengan kerusakan
yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau
oleh badan hukum di bawah yurisdiksi mereka, dengan tujuan untuk
menjamin ganti rugi yang segera dan memadai berkaitan dengan segala
kerugian yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut.
Negara-negara peserta konvensi pun harus bekerja sama
berdasarkan hukum internasional yang berkenaan dengan tanggung
jawab dan kewajiban ganti rugi untuk penaksiran mengenai kompensasi
untuk kerusakan serta penyelesaian sengketa yang timbul, demikian pula,
dimana perlu, mengembangkan kriteria dan prosedur pembayaran ganti
rugi yang memadai seperti halnya asuransi wajib atau dana kompensasi.
commit to user
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketentuan Pasal 237 UNCLOS 1982 juga menguatkan apa yang
diatur dalam Pasal 235. Pasal 237 ini secara lengkap berbunyi sebagai
berikut.
1.
2.
The provisions of this Part are without prejudice to the
specific obligations assumed by States under special
conventions and agreements concluded previously which
relate to the protection and preservation of the marine
environment and to agreements which may be concluded in
furtherance of the general principles set forth in this
Convention.
Specific obligations assumed by States under special
conventions, with respect to the protection and preservation
of the marine environment, should be carried out in a manner
consistent with the general principles and objectives of this
Convention.
Menurut Pasal 237 tersebut menyatakan bahwa ketentuan bab ini
tidak mengurangi kewajiban khusus yang diterima Negara-negara
berdasarkan konvensi-konvensi khusus dan persetujuan yang telah
tercapai sebelumnya yang berhubungan dengan perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut serta persetujuan-persetujuan yang mungkin
dicapai sebagai kelanjutan asas-asas umum yang tercantum dalam
konvensi ini. Kewajiban khusus yang diterima negara berdasarkan
konvensi khusus yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan
asas umum dan tujuan konvensi ini.
commit to user
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Pembahasan Penelitian
1.
Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait
Dengan Pencemaran di Laut Timor
Dari hasil penelitian di atas, telah dipaparkan mengenai perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut terhadap pencemaran minyak yang terjadi di
lautan baik dari hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia.
Pembahasan dari hasil penelitian tersebut sebagai dasar hukum dalam
kaitannya dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor oleh
anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia.
Tumpahan minyak dari ladang Montara yang mencemari wilayah
perairan laut Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar
belakang permasalahan diatas telah bertentangan dengan ketentuan untuk
memelihara lingkungan hidup manusia termasuk juga lingkungan laut yang
telah ditetapkan dalam prinsip pertama dari Konferensi Stockhlom 1972 yang
menyatakan :
“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate
conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of
dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect
and improve the environment for present and future generations. In
this respect, policies promoting or perpetuating apartheid, racial
segregation, discrimination, colonial and other forms of oppression
and foreign domination stand condemned and must be eliminated.”
Prinsip tersebut mengakui bahwa adanya hak asasi manusia atau setiap
orang untuk hidup di suatu lingkungan yang baik dan sehat serta juga
mewajibkan
untuk
memelihara
lingkungan
hidup
manusia
tersebut
sedemikian rupa hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan
datang. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan adanya prinsip ke 7 dan
prinsip ke 13 yang mengutarakan agar dilakukan upaya pencegahan yang
harus dilakukan negara untuk mengatasi pencemaran laut.
Dalam fakta yang didapat sebenarnya Pemerintah Australia sudah
membentuk badan nasional yang bertugas untuk melakukan kajian analisa
commit to user
serta dampak pencemaran tersebut terhadap negara lain akibat dari terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id
61
digilib.uns.ac.id
ledakan di ladang minyak Montara. Badan tersebut dibentuk oleh Menteri
sumber daya dan energi Australia pada tanggal 5 november 2009 yang
disebut Montara Commission of Inquiry atau komisi penyelidikan Montara.
Dengan Pembentukan badan ini sebenarnya ada itikad baik dari Australia
untuk mengatasi pencemaran minyak dari ladang Montara ini. Kebijakan ini
sejalan dengan prinsip ke 17 dan prinsip ke 21 Konferensi Stockhlom yang
pada intinya setiap Negara wajib membentuk suatu badan nasional yang
mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau
pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam
dengan cara yang berorientasi pada ekologi agar tidak menimbulkan kerugian
terhadap negara atau pihak lain.
Upaya Pemerintah Australia dengan membentuk komisi penyelidikan
Montara juga sejalan dengan Rio Declaration pada tahun 1992 menghasilkan
dokumen berupa Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang
salah satunya terdapat dalam pengertian lingkungan laut sebagai berikut.
“marine environment including the oceans and all seas and adjacent
coastal areas forms an integrated whole that is an essential
component of the global life-support system and a positive asset that
presents opportunities for sustainable development. Sustainable
development means development that meets the needs of the present
generation withoutcompromising the ability of future generation to
meet their own needs.”
Pernyataan diatas menyatakan bahwa lingkungan laut termasuk
samudera, semua laut, dan kawasan pantai membentuk satu kesatuan
komponen penting sistem yang mendukung kehidupan global dan kekayaan
yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.
Dampak dari pencemaran ini tidak hanya dari sekedar pencemaran
lingkungan laut tapi juga mengganggu kedaulatan wilayah laut Indonesia
sebagai negara pantai yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dimana hak dan
kedaulatan suatu Negara pantai tidak hanya terbatas pada wilayah daratan
maupun perairan pedalaman saja melainkan juga hak dan kedaulatan meliputi
wilayah laut territorial yang diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai
commit to user
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
62
digilib.uns.ac.id
1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory
and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its
archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the
territorial sea.
2. This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as
well as to its bed and subsoil.
3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this
Convention and to other rules of international law.
Pasal diatas menjelaskan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain
wilayah daratan, perairan pedalaman, dalam hal suatu negara kepulauan
meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut
territorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut teritorial serta dasar
laut dan tanah di bawahnya serta kedaulatan atas laut territorial ini
dilaksanakan dengan ketentuan hukum internasional lainnya.
Ketentuan Pasal 56 menunjukan hak yurisdiksi Negara pantai dalam
wilayah zona ekonomi eksklusif lautannya, yang selengkapnya berbunyi.
1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
a. sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting,
conserving and managing the natural resources, whether living
or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the
seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the
economic exploitation and exploration of the zone, such as the
production of energy from the water, currents and winds;
b. jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
i. the establishment and use of artificial islands, installations
and structures;
ii. marine scientific research;
iii. the protection and preservation of the marine environment;
c. other rights and duties provided for in this Convention.
2. In exercising its rights and performing its duties under this
Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall
have due regard to the rights and duties of other States and shall
act in a manner compatible with the provisions of this Convention.
3. The rights set out in this article with respect to the seabed and
subsoil shall be exercised in accordance with Part VI.
Pasal tersebut memberikan pengertian bahwa dalam zona ekonomi
eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi,
commit to user
mengelola sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati di perairan di
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya, termasuk yurisdiksi
berkenaan untuk membuat pulau buatan, instalasi bangunan, riset ilmiah
kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Negara Pantai dalam
melakukan hak-hak tersebut juga harus memperhatikan hak-hak negara lain
sesuai dengan tata cara dalam konvensi ini.
Pengaturan Pasal 77 UNCLOS 1982 semakin menguatkan hak Negara
pantai pada landas kontinennya yang berbunyi :
1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign
rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural
resources.
2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that
if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit
its natural resources, no one may undertake these activities without
the express consent of the coastal State.
3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not
depend on occupation, effective or notional, or on any express
proclamation.
4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral
and other non-living resources of the seabed and subsoil together
with living organisms belonging to sedentary species, that is to say,
organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on
or under the seabed or are unable to move except in constant
physical contact with the seabed or the subsoil.
Pasal diatas menjelaskan bahwa Negara pantai mempunyai hak
berdaulat untuk melakukan kegiatan mengeksplorasi dan mengeksploitasi
landas kontinennya. Apabila negara pantai tidak melakukannya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai.
Hak negara pantai tidak tergantung pada okupasi atau pendudukan, baik
secara efektif atau tidak. Sumberdaya laut yang ada di landas kontinen ini
terdiri dari sumber mineral dan kekayaan non hayati.
Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor
karena meledaknya ladang minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia
telah mencemari laut dan meluas masuk ke zona wilayah perairan teritorial,
zee dan landas kontinen Negara Indonesia dan tentu saja pencemaran ini
mengganggu hak berdaulat atas wilayah laut Negara Indonesia. Kedaulatan
commit to user
dalam hal ini sering diartikan sebagai the pride of the nation atau harga diri
perpustakaan.uns.ac.id
64
digilib.uns.ac.id
suatu bangsa, yang mengandung pengertian bahwa dalam suatu negara
merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk secara ekslusif dan
bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya,
asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan
kepentingan negara lain dan hukum internasional (Mirza Satria Buana, 2007:
32).
Yurisdiksi Indonesia jika menurut pengaturan UNCLOS 1982 diatas
tentu saja juga telah diabaikan oleh Negara Australia selaku pemberi ijin
pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi PT TEP Australasia di
kawasan perairan laut Australia tersebut selaku pemegang jurisdiksi
wilayahnya. Yurisdiksi territorial yang dimiliki Indonesia memberikan
kewenangan untuk melaksanakan kedaulatannya terhadap kejadian-kejadian
yang berlangsung di wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 158-159).
Implementasi pengaturan dalam hukum internasional mengenai
kedaulatan lingkungan laut pun harus diwujudkan kedalam undang-undang
nasional masing-masing negara. Terkait dengan pelanggaran kedaulatan yang
terjadi akibat pencemaran di lingkungan laut tersebut Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia permasalahan tentang kedaulatan diatur dalam Pasal 3 yang
berbunyi sebagai berikut.
“Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia
meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman
serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan
perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk
sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”
Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut juga
menegaskan kembali bahwa penegakan kedaulatan yang dimiliki Indonesia
dijamin oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Bunyi lengkap
Pasal 24 sebagai berikut.
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang
udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas
commit to user
pelanggarannya, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Konvensi
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan
yang ber-laku.
(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap
kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat
dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Masalah tentang hak kedaulatan negara terhadap wilayah lautnya juga
dipertegas dalam Deklarasi Rio di prinsip nomer 2 yang berbunyi sebagai
berikut.
“States have, in accordance with the Charter of the United Nations
and the principles of international law, the sovereign right to exploit
their own resources pursuant to their own environmental and
developmental policies, and the responsibility to ensure that activities
within their jurisdiction or control do not cause damage to the
environment of other States or of areas beyond the limits of national
jurisdiction.”
Prinsip
tersebut
menyatakan
bahwa
sesuai
dengan
Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, Negara
memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya lingkungan
mereka sendiri sesuai dengan perkembangan kebijakan lingkungan mereka,
dan Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan
dalam jurisdiksinya atau kendalinya tidak menyebabkan kerusakan terhadap
lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas-batas nasional
yurisdiksinya.
Kerja sama regional dan global juga diperlukan dalam upaya
melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap lingkungan laut. Kerja
sama tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya
pencemaran
laut,
penanggulangan
bersama
bahaya
atas
terjadinya
pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans
against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat
commit to user
kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut
sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982.
Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982
mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai
sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based
sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya
(pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari
kegiatan di kawasan (pollution from activities in the area), pencemaran dari
dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from
vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the
atmosphere).
Menyoroti hal tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini telah melakukan
implementasi perlindungan lingkungan laut dari pencemaran melalui lima
peraturan yang terdapat dalam, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomer 109 tahun 2006 tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML).
Secara hukum tindakan Indonesia sebagai negara pantai tersebut telah
melaksanakan hak yuridisnya untuk mengimplementasikan konvensikonvensi internasional yang berkaitan dengan lingkungan laut ke dalam
perundang-undangan nasional telah jelas menegaskan bahwa adanya
komitmen Indonesia untuk menyusun konsepsi pengelolaan lingkungan laut
nusantara yang mampu mengamankan kepentingan nasional dan mengayomi
keserasian penggunaan lingkungan laut secara rasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67
digilib.uns.ac.id
B. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum
Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited
(PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak
Montara di Laut Timor
Polusi yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan minyak dan
gas bumi di anjungan lepas pantai saat ini hanya menyumbang satu sampai
dua persen dari total polusi laut, yang cukup rendah dibandingkan dari
sumber-sumber polusi yang mengakibatkan pencemaran laut.
The offshore oil and gas industry currently accounts for only one to
two per cent of totalmarine pollution, which is quite low compared to
other sources of marine pollution. However, there is a risk that
pollution levels will increase due to the rapid expansion of offshore
operations. Although the industry has main-tained a relatively good
pollution record to date, it still remains a high-risk industry with
potential to cause serious damage to the marine environment. In fact,
marine pollution can be linked to all activities at any stage of an
offshore oil and gas development (Mikhail Kashubsky, 2006: 2).
Menyikapi dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak dari
lading Montara oleh PT TEP Australasia di Laut Timor yang besar dan
merugikan Indonesia yang dikemukakan dalam sub bab latar belakang
masalah diatas maka Pemerintah Indonesia mengajukan klaim ganti rugi
sebagai bentuk pertanggungjawaban dari PT TEP Australasia selaku operator
lading minyak Montara maupun pemerintah Australia selaku pemberi ijin
perusahaan tersebut. Pertanggungjawaban yang dimaksud ditinjau dari
beberapa konvensi Internasional yakni International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the
Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution
Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982
yang telah dipaparkan di dalam sub bab hasil penelitian diatas.
Klaim ganti rugi Indonesia kepada PT TEP Australasia dan
Pemerintahan Australia jika berdasarkan ketentuan dalam CLC 1969 tidak
akan berpengaruh karena menurut hasil penelitian diatas menyatakan bahwa
“ships” atau akapal disini terbatas
kapal tanker atau kapal kargo yang
commithanya
to user
perpustakaan.uns.ac.id
68
digilib.uns.ac.id
dibuat untuk membawa minyak mentah dan kenyataannya ladang minyak
Montara ini merupakan anjungan minyak lepas pantai.
Indonesia merupakan negara yang ikut menandatangani International
Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation
for Oil Pollution Damage pada tanggal 18 Desember 1971. Konvensi ini juga
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the
Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution
Damage. Dalam Keputusan Presiden ini menyatakan bahwa “konvensi
tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan
kepada pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di
sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.”
Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan
minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan berbagai permasalahan
baru seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas
kapal-kapal tanker yang melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah
menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Indonesia atas diratifikasinya
konvensi tersebut yang dinyatakan sebagai berikut.
“bahwa karena lalu lintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan
Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat menimbulkan
pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka
Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan
konvensi tersebut pada huruf a di atas.”
Implementasi ratifikasi konvensi tersebut akhirnya pada tanggal 10
Maret 1998 dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah
Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu
bagian pertimbangan yang menyatakan “bahwa keanggotaan Pemerintah
Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi
yang memberatkan Anggaran Negara.” Dengan demikian alasan pokok atas
commit to user
pengunduran diri terhadap International
Convention on the Establishment of
perpustakaan.uns.ac.id
69
digilib.uns.ac.id
an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971
adalah alasan ekonomi.
Pengaturan selanjutnya yang bisa ditempuh untuk mengajukan klaim
ganti rugi akibat pencemaran minyak di Laut Timor tersebut, Pemerintah
Indonesia mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam United Nation
Convention on The Law of The Sea 1982. Australia sebagai Negara yang telah
memberikan ijin kepada PT TEP Australasia sesuai dengan pengaturan dalam
UNCLOS 1982 Pasal 79 ayat (3) yang berbunyi “the delineation of the course
for the laying of such pipelines on the continental shelf is subject to the
consent of the coastal State” dan juga ketentuan Pasal 81 yang berbunyi “the
coastal State shall have the exclusive right to authorize and regulate drilling
on the continental shelf for all purposes” untuk melakukan pemasangan
objek-objek berupa kabel, pipa saluran, maupun instalasi guna mengeksplorasi
minyak dan gas diwilayah perairannya hendaknya berkewajiban untuk
melakukan pengawasan agar PT TEP Australasia merawat, memeliharanya
ataupun memperbaikinya bila ada kerusakan. Apabila objek yang terpasang itu
kemudian menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya karena pipa
saluran itu bocor ataupun instalasi itu ambruk sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan pada lingkungan laut yang bisa membuat kegiatankegiatan pihak lain yang terhalang olehnya, maka pihak yang menjadi
penyebab itu haruslah bertanggung jawab atas semua akibatnya (I Wayan
Parthiana, 2005: 63).
Australia sebagai pemberi ijin usaha PT TEP Australasia pun
berkewajiban menetapkan zona keselamatan seperti yang diatur dalam Pasal
60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982 yang berbunyi sebagai berikut.
4. The coastal State may, where necessary, establish reasonable
safetyzones around such artificial islands, installations and
structures in which it may take appropriate measures to ensure the
safety both of navigation and of the artificial islands, installations
and structures.
5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal
State, taking into account
international standards. Such
commit applicable
to user
zones shall be designed to ensure that they are reasonably related
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
to the nature and function of the artificial islands, installations or
structures, and shall not exceed a distance of 500 metres around
them, measured from each point of their outer edge, except as
authorized by generally accepted international standards or as
recommended by the competent international organization.Due
notice shall be given of the extent of safety zones.
Meskipun pengaturan hal tersebut berkenaan dengan hak negara
pantai pada zona ekonomi eksklusif, namun karena kaki atau dasar dari
instalasi-instalasi dan struktur yang didirikan itu melekat pada landas
kontinen, maka hak untuk menetapkan zona keselamatan (safety zone) ini
tentu saja berhimpit dengan hak serupa pada landas kontinen. Dalam hal ini
zona keselamatan tersebut meliputi perairan laut sekitarnya dan juga perairan
laut di bawah permukaannya hingga sampai pada landas kontinen itu sendiri
(I Wayan Parthiana, 2005: 58).
Pasal 195 UNCLOS yang mengatur bahwa dalam menanggulangi
pencemaran lingkungan laut, Negara harus bertindak sedemikian rupa agar
tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan
atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam
pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya. Hal
tersebut mengacu pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh
Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi
tumpahan minyak Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan
Corexit EC9527A. Penggunaan dispertan ini dilarang oleh Kerajaan Inggris
sejak tahun 1998 sehingga Australia sebagai Negara Persemakmuran Inggris
juga harus taat pada aturan ini, karena hingga liris terbaru pada tanggal 2010
dalam website Marine Management Organisation jenis dispertan tersebut
masih dilarang oleh Kerajaan Inggris dalam penggunaannya untuk
menanggulangi
pencemaran
minyak
mentah
di
laut
(http://marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/documents/approval_a
pproved_products.pdf. diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam
20.48WIB).
commit to user
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal tersebut juga dikuatkan dalam Pasal 5 ayat (7) Convention on the
Continental Shelf 1958 yang berbunyi sebagai berikut “the coastal State is
obliged to undertake, in the safety zones, all appropriate measures for the
protection of the living resources of the sea from harmful agents.” Negara
pantai wajib untuk mengadakan tindakan-tindakan seperlunya dalam zona
keselamatan yang dianggap perlu untuk perlindungan kekayaan hayati laut
dari zat-zat yang berbahaya.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan
kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara
bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus
memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.
Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan
tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang
disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural
person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam
jurisdiksinya.
Negara
peserta
juga
harus
bekerja
sama
dalam
mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab
dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran
lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan
adanya asuransi wajib atau dana kompensasi. Prinsip 13 Deklarasi Rio juga
menjelaskan hal tersebut yakni sebagai berikut.
“States shall develop national law regarding liability and
compensation for the victims of pollution and other environmental
damage. States shall also cooperate in an expeditious and more
determined manner to develop further international law regarding
liability and compensation for adverse effects of environmental
damage caused by activities within their jurisdiction or control to
areas beyond their jurisdiction.”
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut
tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental
commit to user
dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban
perpustakaan.uns.ac.id
72
digilib.uns.ac.id
internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban
internasional yang dimaksud misalnya seperti tidak melaksanakan ketentuanketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah
mengikat negaranya. Perkembangan Hukum Internasional yang terkait
dengan pertanggungjawaban terhadap lingkungan, Negara tidak dapat
melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan
yang terjadi. Penuntutan pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan
lingkungan sangat dipengaruhi oleh hukum kebiasaan (Jawahir Thontowi,
2006: 211). Advisory Opinion dari ICJ untuk majelis umum PBB dalam
Legality of the Treat or Use of Nuclear Weapons, juga yang menyatakan
bahwa terdapat sebuah kewajiban umum yang dimiliki oleh negara-negara
untuk menjaga agar segala aktivitasnya yang berada dalam yurisdiksinya dan
dituntut untuk melakukan kontrol terhadap wilayah-wilayah yang berada di
luar wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 212).
Negara harus bertanggungjawab bisa karena melanggar traktat,
berkaitan dengan tidak dilaksanakanya kewajiban-kewajiban kontraktual,
kerugian terhadap warga negara lain dan sebagainya. Pelanggaran kewajiban
dapat berupa suatu tindakan atau kelalaian (J.G. Starke, 1988: 392). Australia
dalam kasus ini telah melakukan kelalaian dalam menerapkan safety zone
terhadap pencemaran yang terjadi di anjungan minyak lepas pantai milik PT
TEP Australasia sesuai dengan pasal 60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982.
Pelanggaran tindakan juga dilakukan oleh Australia yang dalam hal ini
melakukan pemindahan baik secara langsung maupun tidak langsung,
kerusakan atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk
pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang
berbahaya lainnya sesuai dengan Pasal 195 UNCLOS. Hal tersebut mengacu
pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh Australian
Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi tumpahan minyak
Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A.
Suatu negara juga tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya
to user suatu kewajiban internasional.
sebagai dasar alasan untukcommit
menghindari
perpustakaan.uns.ac.id
73
digilib.uns.ac.id
Pelanggaran terhadap traktat dapat menimbulkan tanggung jawab. Hal ini
menurut Permanent Court of International Justice dalam Chorzow Factory
Case, yang menjadi prinsip hukum internasional adalah bahwa setiap
pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan
ganti rugi (J.G. Starke, 1988: 398). Berdasarkan pasal-pasal diatas maka
Australia adalah Negara yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Kasus pencemaran minyak dalam meledaknya anjungan lepas pantai
milik PT TEP Australasia ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan kasus
terdamparnya kapal tanker Torrey Canyon dalam hal pencemaran minyak
yang terjadi di lingkungan laut dan penggunaan dispertan berbahaya yang
mengancam kerusakan lingkungan laut yang lebih parah. Perbedaan yang
mendasar dari keduanya kasus tersebut adalah dari segi objek yang dapat
dikenai pertanggungjawaban mutlak, yakni pada kasus Torrey Canyon adalah
kapal yang membawa minyak sedangkan pada kasus PT TEP Australasia
adalah anjungan minyak lepas pantai. Kapal tanker minyak Torrey Canyon
yang terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris pada 18 Maret
tahun 1967 menumpahkan minyak yang mencemari pantai Inggris
menyebabkan matinya banyak ikan dan mahluk hidup lainnya dikawasan
perairan tersebut. Penanggulangan pencemaran dengan penggunaan dispertan
berupa detergen untuk memecah konsentrat minyak di laut justru
menimbulkan kerusakan lingkungan laut yang lebih besar dan memerlukan
biaya yang juga besar. Masalah hokum yang ditimbulkan dari kasus Torrey
Canyon tersebut adalah mengenai ganti rugi atau kompensasi bagi pihak yang
dirugikan oleh pencemaran laut tersebut. Kejadian Torrey Canyon tersebut
mempengaruhi lahirnya International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969 dan International Convention on the Establishment of
an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971.
Kedua Konvensi tersebut juga menerapkan strict liability atau tangggung
jawab mutlak atau langsung, yang mewajibkan membayar ganti rugi kepada
negara pantai timbul seketika pada saat tumpahnya minyak di laut dan
commit to user
74
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
timbulnya kerugian tanpa mempersoalkan bersalah atau tidaknya kapal tangki
yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan
dapat diketahui bahwa dalam International Convention on Civil Liability for
Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of
an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan
United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 tidak ada pengaturan
yang
komprehensif
terkait
yang
secara
khusus
mengatur
tentang
pertanggungjawaban terhadap pertambangan minyak bumi di anjungan lepas
pantai atau offshore oil exploration and exploitation jika terjadi pencemaran
lingkungan laut.
Terkait dengan hal ini, perkembangan terakhir Pemerintah Republik
Indonesia telah menyampaikan Proposal untuk mengatur bentuk tanggung
jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari
anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) dalam
Marine Environmental Protection Committee (MPC)-nya International
Maritime Organization (IMO). Dalam pembahasan di dalam MPC IMO,
proposal tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam
Legal Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London.
Ruang Lingkup secara singkat dari Proposal Pemerintah Republik
Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:
1. There are no treaties addressing the consequences of transborderpollution caused by offshore exploration and exploitation.
Indonesiabelieves that developing an international instrument to
address the questionof liability and compensation in such cases is
the best way of responding to similar problems occuring in the
future.
2. In this connection, the Legal Committee is also requested to
consider the possibility of establishing a supplementary fund
regime. The mainelements that could be included in the proposed
liability and compensation regime for oil pollution damage
resulting from offshore oil exploration and exploitation activities
Indonesia dalam proposalnya tersebut memandang perlu dibentuknya
commit
to userjawab dan skema kompensasi atas
suatu instrumen yang mengatur
tanggung
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai
(offshore oil exploration and exploitation) untuk menghindari terulangnya
kejadian serupa di kemudian hari. Indonesia juga mendesak Legal Committee
IMO untuk membentuk suatu skema sumber dana atau dana talangan yang
dapat digunakan apabila pencemaran minyak di laut yang berasal dari
anjungan migas lepas pantai atau offshore oil exploration and exploitation.
Indonesia menegaskan kembali Polluters Pay Principle dimana strict
liability atas tanggung jawab insiden pencemaran minyak di laut yang berasal
dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation)
berada pada pemilik kilang migas lepas pantai yang menyebabkan
pencemaran minyak tersebut. Hal ini juga dikuatkan dalam Prinsip 16
Deklarasi Rio yang menyatakan sebagai berikut.
“National authorities should endeavour to promote the internalization
of environmental costs and the use of economic instruments, taking
into account the approach that the polluter should, in principle, bear
the cost of pollution, with due regard to the public interest and
without distorting international trade and investment.”
Prinsip
tersebut
mewajibkan
setiap
negara
yang
melakukan
pengerusakan lingkungan dengan polusi diwajibkan membayar ganti kerugian
atas kerusakan yang ditimbulkan. Langkah Indonesia mengajukan proposal
tersebut kepada IMO akan dapat menjamin dibentuknya mekanisme hukum
Internasional melalui konvensi-konvensi baru yang terkait dengan ruang
lingkup yang dicantumkan dalam proposal tersebut. Pengaturan lebih lanjut
mengenai dibentuknya suatu hukum internasional yang baru terkait dengan
perkembangan kembali ditegaskan dalam Pasal 304 United Nation
Convention on The Law of The Sea 1982 menyebutkan sebagai berikut.
The provisions of this Convention regarding responsibility and
liability for damage are without prejudice to the application of
existing rules and the development of further rules regarding
responsibility and liability under international law.
Pasal tersebut mengemukakan bahwa ketentuan dalam UNCLOS 1982
yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi tidak
commitperaturan
to user yang ada dan pengembangan
mengurangi berlakunya peraturan
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan peraturan lebih lanjut perihal tanggung jawab dan kewajiban untuk
ganti rugi berdasarkan hukum internasional. Hasil penelitian dan pembahasan
diatas mengenai pertanggungan jawaban negara yang terlibat di Perusahaan
PT TEP Australasia dalam pencemaran minyak di Laut Timor berdasarkan
hukum internasional masih menunjukkan belum adanya kelengkapan secara
menyeluruh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan :
1) Pengaturan terhadap pencegahan, perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut terhadap terkait dengan pencemaran di Laut Timor di tinjau dari United
Nation Convention on The Law of The Sea 1982 diatur dalam Bab XII pada
bagian 1 ketentuan umum yang diatur di Pasal 193 - Pasal 196, bagian 2
mengenai kerjasama global dan regional yang diatur di Pasal 197 - Pasal 201,
bagian 4 mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian lingkungan yang
diatur di Pasal 204 – Pasal 206, bagian 5 mengenai peraturan-peraturan
internasional dan perundang-undangan nasional untuk mencegah, mengurangi
dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, diatur di Pasal 207 – Pasal
212. Pengaturan dalam hukum nasional Indonesia mengenai pencemaran di
wilayah laut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia Pasal 23, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 2, Pasal
53, pasal 54, Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 63 huruf l dan huruf
m. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Pasal 9 – Pasal 10, Pasal
13, Pasal 14 - Pasal 16, dan Pasal 24. Di Peraturan Presiden Nomer 109 tahun
2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
(PKDTML) Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 9.
2.
Negara yang bertanggungjawab terhadap meledaknya kilang minyak Montara
di Laut Timor milik The Petroleum Authority of Thailand Exploration and
Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia adalah Australia.
Hal ini didasarkan pada ketentuan United Nation Convention on The Law of
The Sea 1982 tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal
60 ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal
195. Hal tersebut secara langsung
Australia yang memberi ijin
commitmewajibkan
to user
77
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak di
wilayah perairannya ikut serta mengawasi dan bertanggung jawab atas
kegiatan apapun yang dilakukan PT TEP Australasia dan dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan tersebut serta terhadap penggunaan dispertan
berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di lautan. Dasar hukum
klaim tanggung jawab ini logis di karenakan belum adanya pengaturan yang
secara spesifik mengatur mengenai tanggung jawab atas pencemaran laut
yang berasal dari anjungan minyak lepas pantai.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan untuk mengatur lebih lanjut
mekanisme mengenai tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak
dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and
exploitation), dan PBB maupun IMO segera menindaklanjutinya dengan membuat
ketentuan mengenai hal tersebut karena belum adanya pengaturan internasional
yang komprehensif tentang pertanggungjawaban dan kompensasi dari pencemaran
minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji Samekto. 2009. Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Andrey Sujatmoko. 2005. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat
HAM Indonesia, Timor Leste, dan Lainnya. 2005. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional-Pengertioan, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni.
Dikdik Mohamad Sodik. 2011. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Frans E. Likadja dan Daniel F Bessie. 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang
Perikanan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar
Grafika.
Bryan A. Garner. 1999. Black’s Law Dictionary (7Th Edition). St. Paul, Minn:
West Publishing Co.
Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional : Perspektif
Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama.
I Wayan Parthiana. 2005. Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional.
Bandung: Mandar Maju.
Jawahir Thontowi. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika
Aditama.
J.G. Starke. 1988. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta:
Sinar Grafika.
Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayu Media.
Marhaeni Ria Siombo. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
commit to user
79
80
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mirza Satria Buana. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung:
Nusamedia.
Mochtar Kusumaatmadja. 1976. Pengantar Hukum Internasional - Buku I Bagian
Umum. Bandung: Putra Abardin.
Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta
Mochtar Kusumaatmadja. 1992. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut.
Dilihat dari Sudut Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika dan Pusat
Studi Wawasan Nusantara.
Munadjat Danusaputro. 1981. Hukum Lingkungan - Buku III Regional. Bandung:
Binacipta.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Syahmin.
1988.
Beberapa
Perkembangan
dan
Masalah
Hukum
Laut
Internasional. Bandung: Bina Cipta.
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Perjanjian Internasional
Convention on the Continental Shelf 1958
Convention on the High Seas 1958
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969
International Convention on the Esta-bilishement of an International Fund for
Compensation for Oil Pollution Damage 1971
Stockhlom Declaration 1972
United Nations Convention on Law Of The Sea 1982
Rio Declaration 1992
Peraturan Perundang-undangan Nasional
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
commit to user
Lingkungan Hidup
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML)
Jurnal dan Makalah
Hari M. Osofsky. 2011. “Multidimensional Governance and The BP Deepwater
Horizon Oil Spill”. Florida Law Review. Volume 63:1077-1137.
Louis B. Sohn. 1973. “The Stockholm Declaration on The Human Environment”.
Harvard International Law. Volume 14, Number 3 Summer 1973.
Mikhail Kashubsky. 2006. Marine Pollution from the Offshore Oil and Gas
Industry: Review of Major Conventions and Russian Law (Part I).
Maritime Studies
Pamela S. Chasek. 2007. “U.S policy in the UN environmental arena: powerful
langard or constructive leader?”. International Environmental Agreements,
(2007) 7:363-387.
Suhaidi. 2005. “Aspek Yuridis Atas Perlindungan Lingkungan Laut dari
Pencemaran Pada Wilayah Laut yang Berbeda di Suatu Negara”. Jurnal
Equality. Volume 10, Nomor 2:105-110.
Thomas A. Mensah. “Can the SLOPS be considered as a ship for the purposes of
the 1992 Civil Liability Convention and the 1992 Fund Convention ?.
Aegean Rev Law Sea. (2010) 1:145-155
Internet
Anonim. 2010. http://amsa.gov.au/marine_environment_protection/national_plan/
Incident_and_Exercise_Reports/documents/Montara_IAT_Report.pdf.
(diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.30WIB)
_____.2010.http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval.
htm diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB)
commit to user
82
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
_____.2010.http://marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/documents/appr
oval_approved_products.pdf. (diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam
20.48WIB).
_____. 2011. http://medanbisnisdaily.com/news/read/2011/09/14/54879/pttep_
belum_mau_ganti_rugi_pencemaran_laut_timor/ (diakses pada tanggal 11
November 2011 jam 09.17WIB)
_____. 2011. http://migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/260034/
Montara-Agar-Cantumkan-Klaim-Ganti-Rugi-PENCEMARAN-LAUTTIMOR (diakses pada tanggal 11 November 2011 jam 09.07WIB)
_____. 2011. http://m.kompas.com/news/read/2011/07/27/03521277/
Kesepakatan.Akan.Ditandatangani.Agustus (diakses pada tanggal 28
Oktober 2011 jam 19.28WIB)
_____. 2012. http:// http://maritimeworld.web.id/ (diakses pada tanggal 1
November 2011 jam 21.08WIB)
Ganewati Wuryandari. 2010. Petaka di Laut Timor.http://www.politik.lipi.go.id/
index.php/in/kolom/politik-internasional/277-petaka-di-laut-timor?format
=pdf (diakses pada tanggal 8 Oktober 2011 jam 12.10WIB)
commit to user
Download