perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: NDARU ADJI TANDAYUNG NIM. E0008195 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2 0 1to2user commit i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah di temukannya jawaban sementara atas identifikasi pengaturan hukum internasional dan hukum nasional atas pencemaran minyak di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Thailand - Australia) dan negara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis data yang menggunakan metode penalaran deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia yang berlaku sudah cukup untuk mengatur pencemaran minyak di lingkungan laut. Negara yang bertanggung jawab dalam kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia adalah Australia. Alasannya adalah Australia yang memberi ijin PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak di wilayah perairannya harus mengawasi dan bertanggung jawab atas meledaknya ladang minyak Montara karena dampak yang ditimbulkan serta penggunaan dispertan berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di lautan berdasarkan ketentuan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 yang tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal 60 ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal 195. Saran dari penelitian ini adalah perlu ada mekanisme dan pengaturan internasional yang lebih komprehensif lagi karena pengaturan ganti rugi pencemaran minyak di laut yang disebabkan oleh anjungan minyak lepas pantai belum diatur dalam hukum internasional. Kata kunci: Pencemaran Laut, Minyak Mentah, United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. LEGAL REVIEW OF POLLUTION IN TIMOR SEA UNDER INTERNATIONAL LAW. Faculty of Law Sebelas Maret University. The aims of this research are found the temporary answer of the regulation on international law and national law of Indonesia; and also state responsibility of marine pollution in Timor Sea. It is a normative research, using secondary data consist of primary, secondary, and tertiary legal materials. The technique of collecting data is library research. The technique of data analyzes is deductive method. The conclusion of this research are the regulation of international law and domestic law in Indonesia is sufficient to regulate oil pollution in the marine environment. The state which has the responsibility of the marine pollution in Timor Sea is Australia. It is becaused Australia gives permission PT TEP Australasia to explore and exploit oil in its territorial waters shall supervise and be responsible for the explosion of Montara oil field because of its impact and use of hazardous dispertan in preventing oil pollution in the oceans under the provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 listed in Article 235 which is supported by the provisions of Article 60 Paragraph (1) and (5), Article 79, Article 81, Article 139, Article 153 and Article 195. And there needs to be mechanisms and a more comprehensive international arrangement again in regulating the compensation of oil pollution at sea caused by offshore oil platforms. Keywords : pollution in the marine, crude oil, United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Man Jadda Wajada. (Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil) Nil sine magno labore vita dedit mortalibus (Tanpa kerja keras, kehidupan tak memberikan apapun kepada manusia) “Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan lah yang berkehendak” Nosce te ipsum (Kenalilah dirimu sendiri) commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi segala berkat kenikmatan dan karunia-Nya, serta selalu memperlancar segala proses yang harus saya tempuh dalam pembuatan skripsi ini. Ayah dan Ibu yang saya cintai dan sayangi terima kasih doa, bimbingan, , kasih sayang, dan dukungannya. Adik-adikku yang selalu memberikan semangat dan keceriaan kepadaku. Sahabat-sahabat dan seluruh teman-teman almamater saya Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL” ini dapat terselesaikan dengan baik, lancar dan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis dengan ini mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. 3. Bapak Handojo Leksono, S.H. selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat membantu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Ibu Emmy Latifah, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih saya ucapkan atas semua ilmu dan kenangan yang telah dibagi. 6. Ayah dan Ibu saya, yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan, support, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Inilah salah satu bentuk baktiku. 7. Kedua adik terkasih Diwan Adji Radityo dan Destio Adji Wiratama yang selalu mendukung, memberikan semangat dan keceriaannya. commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun mengenai penelitian ini sangat penulis harapkan demi pengembangan ilmu lebih lanjut. Terima kasih. Surakarta, 4 Juni 2012 Penulis Ndaru Adji Tandayung commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN………………………………………….. iv ABSTRAK……………………………………………………………… v ABSTRACT…………………………………………………………….. vi HALAMAN MOTTO............................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... viii KATA PENGANTAR……………………………………….................. ix DAFTAR ISI……………………………………………………………. xi DAFTAR TABEL DAN GAMBAR……….......………………....…… xiii BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1 A. Latar Belakang………..…………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………... 8 C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 8 D. Manfaat Penelitian………………………………………….. 8 E. Metode Penelitian…………………………………………... 9 F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………… 11 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 13 A. Kerangka Teori………..…………………………………….. 13 1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional……….... 13 2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara…….... 17 3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional………....... 20 4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional….. 28 5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut……………….... 30 B. Kerangka Pemikiran.............................................................. 33 BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………... 34 A. Hasil Penelitian……………………………………...…...... 34 1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum commit to user Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor..... Timor…………………………………………………... xi . Pengaturan Tindak Pidana 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional…….. 34 b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional…………. 42 2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya B. Kilang Minyak Montara di Laut Timor…………......... 53 Pembahasan Penelitian…………………………………... 60 1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor... 2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat 60 di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor………………. 67 BAB IV. PENUTUP………………………………………………..…. 77 A. Kesimpulan……………………………………………....... 77 B. Saran……………………………………………….....…… 78 DAFTAR PUSTAKA……………………………………….....……... 79 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 1 .................................................................................................. ...... 5 Gambar 1 ............................…………………………………….............. 33 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam aktivitas hidup manusia. Hal tersebut harus dilakukan secara tepat guna baik cara mengeksplorasinya dan cara melestarikannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam tersebut tentu saja semakin maju dan modern, namun dengan kemajuan teknologi yang digunakan untuk mengeksplorasi sumber daya alam tersebut tidak ada yang bisa menjamin ada atau tidaknya kerusakan lingkungan. Kenyataannya bila kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas eksplorasi sumber daya alam oleh manusia ini tentu saja menjadi tanggung jawab manusia untuk segera mengatasinya. Kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh dua faktor yakni yang pertama kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam misalnya letusan gunung berapi, gempa bumi, angin topan, erosi dan sebagaianya. Faktor yang kedua yakni kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia misalnya penebangan hutan secara liar baik untuk pembangunan kawasan industri atau pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, pembuangan sampah sembarangan, perburuan liar, penggunaan dispertan berbahaya yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya. Akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia sangat merugikan, misalnya terjadi pencemaran akibat proses eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Terkait hal tersebut untuk mencegah, menanggulangi serta mengatasi pencemaran lingkungan tersebut diperlukan mekanisme khusus yang berupa hukum berbentuk undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup. Permasalahan pencemaran lingkungan ini harus mendapat perhatian yang cukup dan penanganan yang serius dikarenakan lingkungan hidup sebagai tempat hidup manusia dan mahluk hidup lainya perlu dijamin kelestariannya guna menjamin kehidupan semua mahluk hidup di masa depan sehingga dengan adanya userkelangsungan hidup manusia. kerusakan lingkungan berarti ada commit ancamantobagi 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada tahun 1972 untuk pertama kalinya diadakan konferensi tentang lingkungan hidup yang dikenal dengan Konferensi Stockholm. Konferensi ini merupakan titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup internasional. Konferensi tersebut dikatakan sebagai titik balik didasari karena didalamnya termuat 26 prinsip dasar untuk mewujudkan upaya adanya pengaturan lingkungan hidup yang lebih komprehensif baik di darat, di laut maupun di udara, termasuk adanya konsep hanya ada satu bumi (only one earth) dalam artian bahwa dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin banyak dan kompleks kebutuhannya ini diperlukan suatu kesadaran akan pentingnya pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan hidup yang bijaksana secara menyeluruh bagi keberlangsungan hidup manusia yang ada di bumi untuk masa yang akan datang. Berbagai permasalahan pencemaran terhadap lingkungan terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, dikarenakan semakin meningkatnya pola aktivitas penggunaan dan pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di lautan. Pola aktivitas tersebut bisa memberikan dampak berupa pelepasan zat-zat beracun dan berbahaya, pembuangan kotoran dan sampah, kegiatan kapal, penggunaan instalasi dan peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dari dasar laut dan tanah yang dibawahnya serta instalasi dan peralatan lainnya yang dioperasikan di lingkungan laut. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Laut Timor salah satunya. Pencemaran minyak di Laut Timor ini terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009 akibat meledaknya ladang minyak Montara. Ladang minyak milik The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia yang merupakan operator kilang minyak dari Thailand yang berlokasi di Montara Well Head Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley, Australia. Akibat dari ledakan tersebut berakibat pada kebocoran pipa pada ujung sumur di kedalaman 3,6 kilometer sehingga minyak commit tolaut. userLedakan sumur minyak Montara dan gas berhamburan keluar mencemari perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id tersebut menumpahkan sekitar 400 barrel liter minyak mentah bercampur gas, kondensat dan zat timah hitam serta zat-zat kimia lainnya per hari ke perairan Laut Timor dan dalam realitasnya telah menghancurkan kawasan seluas 16.420 kilo meter persegi. Kerusakan lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan tersebut bisa dilihat dari sisi biofisik seperti terganggunya keseimbangan ekologi laut dengan adanya zat-zat pencemar (pollutant) yang dapat meracuni kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan laut yang terkena langsung zat-zat pencemar tersebut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 178). Dampak psikologis dan sosial ekonomi yang dialami masyarakat terutama nelayan yang tinggal di sekitar pesisir Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul. Hasil tangkapan ikan mereka turun drastis dan banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di laut mereka tercemar berat. Hal paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan kepulauan sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar. Pada tanggal 30 Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah telah memasuki wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yg berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Australia. Selang sekitar 1 bulan kemudian tepatnya pada tanggal 3 November 2009, kebocoran minyak tersebut berhasil ditutup, namun minyak mentah dan gas yang keluar telah mencemari kawasan di zona maritim seperti di laut territorial, kawasan ZEEI, dan di wilayah laut landas kontinen Indonesia. Dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak Montara oleh PT TEP Australasia di Laut timor tersebut sangat besar dan merugikan Negara Indonesia. Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut pada bulan Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut. 1. Bahwa kadar total senyawa PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut berkisar antara 54,6 - 213.7 µg/l, dimana sudah menunjukkan nilai di atas ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan komponen minyak mentah sangat beracun, yang PAH bisa memberi dampak kronik yang menahun, hingga dapat menyebabkan kanker (karsinogenik). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 2. 4 digilib.uns.ac.id Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung mematikan insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih mudah terpapar. Pada kondisi kronis bisa terjadi iritasi kulit dan mata. PAH juga menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan system reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya. 3. PAH pada konsentrasi 10 - 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi dan perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bioakumulasi maka patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan. 4. Dampak sosial, adalah mengakibatkan terancamnya 17.000 masyarakat pesisir Pulau Timor yang berada di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua. Bahkan, nelayan Kolbano di Timor Tengah Selatan tak dapat menangkap ikan di pantai selatan Pulau Timor. Usaha nelayan di wilayah perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara terancam gulung tikar akibat meledaknya ladang minyak Montara di dekat gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lain oleh nelayan tradisional. 5. Survei sosial ekonomi oleh Tim Nasional pada tanggal 15-20 Februari 2010 di pesisir Nusa Tenggara Timur meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote Ndao dan Sabu. Dari hasil survey menunjukan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat. 6. Gas hydrocarbon dalam volume yang besar, mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan Laut Timor. Berbagai perubahan terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan sebagai habitat ikan, alga dan rumput laut. Jutaan ikan diduga bermigrasi akibat perubahan lingkungan sekitarnya, dan populasi rumput laut menurun sebagai dampak pencemaran. Menurut data yang dihimpun dari Laporan Komisi Penyelidik Montara, dalam tindakan untuk menetralisir dampak pencemaran minyak montara, pihak Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan 7 (tujuh) zat to userLTSW, Tergo-R40, Shell VDC, dispertan seperti Slickgone NS,commit Slickgone 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Corexit EC9500, Corexit EC9527A dan Ardrox 6120 yang jumlah penggunaan sebagai berikut. Tabel 1 Dispertan Jumlah yang Digunakan (liter) Tergo-R40 1000 Slick gone LTSW 38.000 Shell VDC 5000 Corexit EC9500 17000 Slickgone NS 63.415 Ardrox 6120 32.000 Corexit EC9527A 27.720 Sumber: West Timor Care Foundation Dari data diatas yang paling berdampak signifikan adalah penggunaan Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A yang dilarang di Inggris yang berlaku juga di negara-negara persemakmurannya. Studi ekstensif mengenai Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A dilakukan dan diperiksa oleh Marine Management Organization (MMO) di Inggris dan gagal uji tes shore rocky. Uji shore rocky merupakan standart yang menjamin bahwa dispersan tidak menyebabkan "perubahan ekologis yang signifikan merusak," terutama di sepanjang daerah garis pantai daerah (http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval.htm diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB). Dengan demikian, baik Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A telah dihapus dari daftar produk yang disetujui untuk digunakan dalam kondisi apapun di Negara Inggris sejak tanggal 21 Januari 1998. Australia yang notabene merupakan negara persemakmuran Inggris, melalui Maritim Australia Safety Authority (AMSA) lebih memilih untuk menggunakan dispertan dalam menetralisir pada dampak pencemaran termasuk penggunaan Corexit 9500 dan Corexit 9527 dalam kasus ledakan Montara. Menurut data West Timor Care Foundation pada kasus Exxon Valdez penggunaan Corexit dalam jumlah commit1989 to user 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang banyak ternyata diketahui berdampak luas terhadap kesehatan manusia seperti sakit pernapasan, gangguan saraf, hati, sistem ginjal dan darah. Perkembangan terkini terkait upaya penyelesaian masalah ini masih dalam tahap perundingan, dalam rangka memastikan dan mendorong Pemerintah Australia sebagai pemberi ijin Blok West Atlas, untuk turut menekan PT TEP Australasia menjalankan tanggung jawabnya di Laut Timor. Upaya-upaya penyelesaian untuk mengatasi dampak yang diakibatkan telah dilakukan. Pemerintah Australia telah membentuk Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak Montara, suatu tim khusus untuk menyelediki kasus pencemaran laut ini. Atas permintaan Komisi ini, Leeders Consulting Australia melakukan uji analisis sampel minyak dan air dari Laut Timor di perairan Indonesia dan membuktikan bahwa kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia berasal dari ladang Montara. Masalah seperti ini menjadi penting dikarenakan perbatasan suatu negara merupakan manifestasi utama kedaulatan suatu negara (sovereignty), termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Kawasan Laut Timor disini memiliki nilai strategis bagi perekonomian Indonesia yang menyimpan kekayaan alam baik hayati dan kekayaan mineral. Kegunaan ekonomis lingkungan laut nusantara dapat dilihat dari peranan lingkungan laut sebagai tempat atau lokasi pelbagai kegiatan misalnya pelayaran, kegiatan di pelabuhan, pemasangan kabel, pipa laut dan tanki-tanki penyimpanan, tempat mengadakan penelitian ilmiah, pengembagan daerah pantai dan rekreasi dan tempat pembuangan sampah dan kotoran (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 175). Ketentuan mengenai pencemaran lingkungan laut dalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) diatur di bagian XII tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajibankewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut. Konvensi hukum laut 1982 tersebut meletakkan kewajiban kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut commit user yang notabene Indonesia, Thailand dantoAustralia menjadi bagian dari negara 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peserta yang turut serta dalam keanggotaaa UNCLOS 1982. Berdasarkan terminologi Hukum Internasional, peristiwa pencemaran Laut Timor dapat dikualifikasi sebagai suatu sengketa international public karena melibatkan kepentingan dua negara atau lebih yakni pihak Indonesia dan Australia. Kaitannya dengan kasus ini PT TEP Australasia perusahaan minyak asal Thailand yang memiliki ijin mengeksplorasi minyak dari Australia telah mencemari laut Indonesia atas meledaknya ladang minyak Montara, karena didalamnya terdapat permasalahan pelanggaran wilayah atau kedaulatan teritorial suatu negara dan kewajiban pemenuhan ganti rugi akibat tumpahnya minyak oleh anjungan lepas pantai tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan sejenis. Suhaidi dalam penelitiannya yang dimuat dalam Jurnal Equality (2005) mengkaji tentang kedaulatan negara pantai dalam menjaga kawasan laut seperti ketentuan dalam UNCLOS 1982 (Suhaidi, 2005:105-110). Thomas A. Mensah (2010) melakukan penelitian yang dimuat dalam Aegean Rev Law Sea mengkaji tentang kasus terbakar slops atau kargo yang sengaja dibuat untuk wadah minyak serta dapat dipindahkan milik Piraeus Ships Registry yang meledak dan menimbulkan pencemaran laut. Kasus tersebut mengaji apakah slops tersebut bisa dikategorikan sebagai kapal menurut ketentuan International Oil Pollution Compensation Fund 1992 dan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1992 sehingga bisa diajukan klaim ganti rugi (Thomas A Mensah, 2010:145-155). Hari M. Osofsky (2011) melakukan penelitian yang dimuat dalam Florida Law Review mengaji tentang perlu adanya upaya pembentukan lembaga dan pengembangan aturan khusus yang membantu negara dalam kasus pencemaran lingkungan laut dalam studi kasus Deepwater Horizon karena meledaknya anjungan minyak lepas pantai milik British Petroleum (Hari M. Osofsky, 2011:1077-1137). Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pencemaran lingkungan laut yang melewati lintas batas negara melalui penelitian hukum yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI INTERNASIONAL.” LAUT TIMOR BERDASARKAN commit to user HUKUM 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional maupun Hukum Nasional terkait dengan pencemaran di Laut Timor ? 2. Negara manakah yang bertanggungjawab terhadap kejadian meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor yang melibatkan PT TEP Australasia (Thailand - Australia) tersebut ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk menemukan kesesuaian pengaturan Hukum Internasional dan Hukum Nasional terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor. b. Untuk menemukan mekanisme pertanggung jawaban negara dan penyelesaian pencemaran laut yang melewati lintas batas negara. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri terutama di bidang ilmu hukum internasional, khususnya di ruang lingkup hukum laut internasional maupun hukum lingkungan internasional. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universias Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian ini ada dua, yakni baik secara teoritis maupun praktis yang meliputi : 1. Manfaat Teoritis Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum internasional pada commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id umumnya serta hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada pihakpihak terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas untuk menyusun perundang-undangan nasional yang komprehensif terkait dengan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup yang bertugas untuk menerapkan amanat undang-undang dalam pengimplementasian programprogram dan kebijakan terkait dengan lingkungan hidup, serta mampu memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dalam upaya mempelajari serta memahami ilmu hukum khususnya hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder atau dengan kata lain metode doktrinal yang bersaranakan terutama logika deduksi untuk membangun sistem hukum positif. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analistis. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2010:10). commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Pendekatan Penelitian Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Johny Ibrahim, 2006:32). 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer sebagai berikut. 1) Convention on the High Seas 1958 2) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 3) International Convention on the Esta-bilishement of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 4) Stockhlom Declaration 1972 5) United Nations Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 6) Rio Declaration 1992 7) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia 8) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 9) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut 11) Peraturan Presiden Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Jurnal commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2) Dokumen 3) Pendapat ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus. 5. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka (library research) yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen, jurnal tulisan-tulisan, cybermedia, serta kumpulan pendapat ahli yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian. 6. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang didasarkan pada pengukuran dengan logika deduksi yakni dengan menghimpun atau mengkaji data secara umum kemudian ditarik lebih khusus terkait dengan objek penelitian sehingga data hasil penelitian berupa data deskriptif (Soerjono Soekanto, 2010:32). 7. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret. F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun susunannya adalah sebagai berikut. commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan Hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional 2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara 3. Tinjuan Mengenai Sengketa Internasional 4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional 5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut B. Kerangka Pemikiran BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian B. Pembahasan BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tidak lepas dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional pada masa imperium Romawi yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi. Konsepsi yang pertama yaitu Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi kedua yaitu Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara (Dikdik Mohamad Sodik, 2011: 1-2). Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya imperium Romawi diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan atas sebagaian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas berbagai klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut (mare liberum) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh siapapun. Perbedaan 2 (dua) prisip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan penganut mare clausum dengan mare liberum dengan diakuinya pembagian laut ke dalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia. Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut internasional semakin maju hal ini bisa dilihat dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas kontinen yang selanjutnya diatur dalam Konvensi IV Jenewa 1958, hingga pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United commit userpada tahun 1982 di Montego Bay, Nation Convention on the Law of ThetoSea) 13 perpustakaan.uns.ac.id 14 digilib.uns.ac.id Jamaika. Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomer 2750 (XXV) tanggal 17 Desember 1970. UNCLOS 1982 ini memuat 320 pasal, 9 buah lampiran serta beberapa resolusi pendukung dalam perkembangannya (Didik Mohamad Sodik, 2011 : 1-15). Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction). Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, dibahas beberapa pembagian wilayah-wilayah laut, antara lain sebagai berikut. a. Perairan Dalam (Internal Waters) Internal Waters merupakan perairan bagian sisi dalam dari garis pangkal. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut ini, sehingga kapal asing tidak boleh melintas kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa (Pasal 8 UNCLOS 1982). Garis Pangkal yang dimaksud adalah garis yang ditarik melingkar sejauh 12 mil pada pantai saat air laut surut yang dihitung dari pulau terluar. Ada tiga jenis garis pangkal, yakni : 1) Garis Pangkal Normal Garis pangkal yang ditarik pada pantai saat air laut surut mengikuti lekukan pantai. 2) Garis Pangkal Lurus Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. 3) Garis Pangkal Kepulauan Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau atau karang kering terluar dari kepulauan suatu negara. b. Laut Teritorial (Territorial Sea) Territorial Sea diatur dalam Pasal 2-32 UNCLOS 1982. Definisi laut territorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang commit to user dari garis pangkal. Negara pantai tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur perpustakaan.uns.ac.id 15 digilib.uns.ac.id memiliki kedaulatan terbatas atas wilayah laut ini yang meliputi ruang udara diatas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya (rights of the coastal state over the territorial sea). Kapal-kapal Negara lain pun memiliki hak lintas damai atau the right of innocent passage (Pasal 17-32 UNCLOS 1982) untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara sebatas kapal tersebut dengan syarat : 1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan dalam atau singgah di pelabuhan. 2) Lintasan tersebut harus cepat dan tidak terputus, kecuali situasi overmacht. 3) Lintasan tersebut harus damai dan tidak melakukan kejahatan, survei, pencemaran atau mengganggu sistem komunikasi di wilayah teritorial Negara pantai tersebut. c. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) Perairan kepulauan berada pada sisi dalam garis pangkal untuk mengukur laut territorial, tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya pada pantai. Kedaulatan Negara pantai terbatas pada wilayah laut ini, sehingga negara lain dapat menikamati hak lintas damai dan hak lintas transit (Pasal 49 UNCLOS 1982). d. Zona Tambahan (Contiguous Zone) Contiguous zone merupakan zona yang berbatasan dengan laut teritorial. Negara pantai atau kepulauan dapat melakukan pengawasan di zona ini untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi dan kesehatan. Zona tambahan ini tidak boleh melebihi jarak 24 mil dari garis pangkal. Diatur dalam Pasal 33 UNCLOS 1982. e. Selat (Straits) Straits atau selat diatur dalam Pasal 34-44 UNCLOS 1982. Wilayah ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional. Negaranegara yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan yurisdiksi penuh atasnya. Selat dapat dbagi menjadi 2 (dua) yakni : commit to user perpustakaan.uns.ac.id 16 digilib.uns.ac.id 1) Selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan yang termasuk dalam yurisdiksi nasional (laut teritorial) suatu negara. 2) Selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional yang menghubungkan suatu laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau ZEE lainnya. f. Landas Kontinen (Continental Shelf) Landas Kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga berjarak 200 mil laut dari garis pangkal. Wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang banyak sehingga Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam didalamnya. Negara lain pun bisa mengeksploitasi dan mengeksplorasi wilayah tersebut setelah mendapat ijin dari negara pantai (Pasal 77 UNCLOS 1982). g. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zones) Zona ekonomi eklusif adalah daerah marit di luar tersambung dengan laut teritorial, yang luasnya tidak boleh melebihi 200 nautica miles dari garis pangkal yang di pakai untuk mengatur laut teritorial. Zona ekonomi eklusif berisi hak-hak negara pantai seperti riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian laut, serta pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan. ZEE diatur pada Pasal 55-75 UNCLOS 1982. h. Laut Lepas (High Seas) Pengaturan laut lepas ada didalam Pasal 86-120 UNCLOS 1982. High seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman, laut territorial, zona ekonomi eksklusif suatu negara dan perairan kepulauan dalam suatu Negara kepulauan. Yurisdiksi suatu negara tidak berlaku pada wilyah ini karena hal ini merupakan perairan user 2 konvensi Jenewa tahun 1958 internasional. Laut lepascommit pada to Pasal 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua negara, tidak ada satu pun negara secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari padanya ke bawah kedaulatannya. Kebebasannya yaitu kebebasan berlayar menangkap ikan, kebebasan menempatkan kabel dan pipa bawah laut, serta kebebasan terbang di atas laut lepas. Dikenal juga kebebasan dan aturan-aturan kapal di laut bebas (interference with ships on the high seas) yang meliputi stateless ship (kapal berbendera negaranya), hot persuit (pengejaran seketika), the right of approach (hak untuk mendekat), treaties (melakukan perjanjian), piracy (perompakan di laut), belligerent right (hak untuk negara yang sedang berperang dengan memperbolehkan melakukan perdagangan dengan kapal dagang musuh), self defense (pertahanan sendiri), dan action authorized by the united nations (sanksi atau tindakan dari Persatuan bangsa-bangsa. 2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara Pertanggungjawaban negara memiliki dua pengertian yang pertama adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan Negara yang melanggar kewajiban internasional yang telah dibebankannya. Kedua yakni pertanggungjawaban yang dimiliki negara atas pelanggaran terhadap orang asing (Jawahir Thontowi, 2006: 193). Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban (Andrey Sujatmoko, 2005: 29). Pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai perwakilan diplomatik negara lain atau memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar kerugian commit to user2006: 194). yang telah ditimbulkan (Jawahir Thontowi, perpustakaan.uns.ac.id 18 digilib.uns.ac.id Subjek pertanggungjawaban dalam hukum internasional menempatkan negara sebagai subjek utama. Hal ini dikuatkan pada ketentuan Pasal 1 dari rancangan pasal-pasal mengenai tanggungjawab dalam hukum internasional oleh The Internasional Law Commission (ILC) yang menyatakan “setiap tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara bersangkutan”. Subjek pertanggungjawaban berikutnya adalah individu. Hal ini ditandai ketika pembentukam peradilan internasional pasca Perang Dunia (PD) II. Peradilan ini didirikan di Tokyo dan Nuremberg dalam upaya memberi keadilan terhadap para korban kekejaman PD II yang ditujukan untuk meminta pertanggungjawaban individual. Tanggal 1 Juli 2002 ketika Statuta Roma mulai berlaku, maka pengakuan atas individu sebagai subjek yang dibebani tanggungjawab dalam hukum internasional bersifat sangat terbatas hanya dalam lapangan hukum pidana internasional dan hukum perang (Jawahir Thontowi, 2006: 195-196). Ada beberapa pembenaran atas adanya pelanggaran dalam rancangan pasal-pasal ILC dimasukan ke dalam BAB V bagian satu yakni sebagai berikut. a. Persetujuan Persetujuan yang sah (valid consent) oleh negara terhadap tindakan negara lainnya yang bertentangan dengan yang seharusnya merupakan salah satu alasan pemaaf. Persetujuan ini bisa dilaksanakan asal tidak bertentangan dengan peremptory norms atau jus cogen. b. Bela Diri Suatu negara diijinkan bertindak dalam cara yang bertentangan dengan kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk membela diri sebagaimana yang dinyatakan dalam Piagam PBB yang berbunyi "nothing in this chapter precluded the wrongfulness of any act of a state which not in conformity with an obligation arising under peremptory norm general international law”. c. Force Majeure Hukum Internasional mengenal alasan akibat dari keadaan yang commit user berada diluar kemampuan. Pasalto 23 (1) Draft ILC argumen ini hanya perpustakaan.uns.ac.id 19 digilib.uns.ac.id berlaku dalam hal "the occurence of an irresistible force or of an unforceseen event, beyond the control of the state, it materially impossible in the circumstance to perform the obligation". Pernyataan ayat (1) tersebut menekankan pengecualian pengenaan tanggungjawab internasional terhadap situasi yang benar-benar diluar kemampuan. Pengertian force majeure dibatasi oleh ayat (2) dari pasal sama yang berbunyi tidak akan berlaku dalam hal "either alone or in combination with other factors, to the conduct of the state invoking it". Oleh karena itu, penggunaan alasan ini tidak bisa digunakan dalam hal negara itu sendiri yang menyebabkannya. d. Distress Menurut Pasal 24 Draft ILC pengertian distress adalah sebuah situasi dimana negara pelaku tidak memiliki cara lain yang lebih baik (reasonable way) dalam upayanya untuk menyelamatkan hidupnya atau orang-orang yang berada dalam tanggung-jawabnya. Alasan berdasarkan pada distress tidak bisa digunakan menurut ayat (2) dalam hal keadaan yang muncul merupakan akibat dari tindakan negara itu sendiri dan perbuatan yang dilakukan malah akan menimbulkan kerugian yang sama atau bahkan lebih besar. e. Necessity Necessity merupakan alasan yang bisa digunakan dalam hal negara tersebut menghadapi bahaya yang luar biasa bagi kepentingannya. Tindakan yang tergolong necessity haruslah tidak menimbulkan bahaya bagi negara-negara lain yang berkepentingan atas kewajiban yang dilanggar. Pengecualian untuk tidak menggunakan necessity dinyatakan oleh Pasal 25 ayat (2) dalam hal perjanjian itu sendiri secara terang tidak memberikan kemungkinan bagi penggunaan necessity atau negara itu sendiri. Bentuk pertanggungjawaban negara yang diakui hukum internasional menurut Brownlie menerapkan istilah reparation untuk ditujukan kepada to useryang terkena pertanggungjawaban semua tindakan yang diambilcommit oleh negara 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seperti pembayaran kompensasi atau restitusi, permintaan maaf, penghukuman atas individu yang bertanggung jawab, mengambil tindakan supaya tidak terjadinya pengulangan, segala bentuk pembalasan (satisfaction) lainnya. Kompensasi adalah reparasi dalam pengertian sempit yang berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang sebagai nilai ganti atas kerugian. Kompensasi dapat diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh suatu negara walaupun pelanggaran terhadap tersebut tidak berhubungan dengan kerugian yang bersifat finansial, misalnya terhadap kekebalan diplomatik atau konsuler. Ganti Rugi dalam kaitannya persoalan diatas sebagai reparasi moral atau politis (Jawahir Thontowi, 2006: 204-205). 3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional Hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan baik atau timbul sengketa. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber misalnya sengketa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Mahkamah Internasional Permanen (PCIJ) dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concession (Preliminary Objections) 1924 mendefinisikan pengertian sengketa sebagai berikut “disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two person” (Huala Adolf, 2004: 2). Menurut Mahkamah internasional (ICJ), sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian, dan secara lengkap mahkamah juga menyatakan sebagai berikut. "...whether there exist an international dispute is a matter for objective determination. The mere denial of the existence of a dispute does not prove its nonexistence... There has thus arisen situation in which the two sides hold clearly opposite views concerning the questions of the performance or nonperformance of traety obligations. Confronted with such a situation, the court must conclude that international dispute has arisen...” (Martin Dixon and Robert McCorquodale, 1991: 511). commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut M. Nicholson pengertian konflik adalah sebagai berikut. “a conflict exists when two people wish to carry out acts which are mutually inconsistent. They may both want to do the same thing, such as eat the same apple, or they may want to do different things where the different things are mutually incompatible, such as when they both want to stay together but one wants to go to the cinema and the other to stay at home. A conflict is resolved when some mutually compatible set of actions is worked out. The definition of conflict can be extended from individuals to groups (such as states or nations), and more than two parties can be involved in the conflict. The principles remain the same” (M.Nicholson, 1992: 11). Sengketa antar negara internasional dapat merupakan sengketa yang tidak dapat mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat pula merupakan sengketa yang mengancam perdamaian dan ketertiban internasional. Peran hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Hukum Internasional membagi sengketa internasional menjadi 2 (dua) yakni sengketa politik (political or nonjusticiable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial disputes) (Huala Adolf, 2004: 3). a. Sengketa Politik Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya secara politik. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan hukum yang diambil. b. Sengketa Hukum Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum commit to user internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id secara hukum punya sifat yang memaksa kedaulatan negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam hal penyelesaian sengketa internasional, aturan dasar mengenai penyelesaian sengketa tersebut diatur di piagam PBB, dalam Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan : " the parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintanance of international peace and security, shall, first of all, seek asolution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice”. Implikasi yang terjadi hendaknya negara-negara anggota PBB menyelesaikan sengketa intermasional yang terjadi melalui jalan damai, hal ini juga diperkuat adanya Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 2625 24 Oktober 1970 mengenai General Assembly Declaration on Principles of International law concerning Friendly Relations and Corporation among States in accordance with the Charter of the United Nation, yang menyatakan sebagai berikut "States shall accordingly seek early and just settlement of their international disputes by negotiation, inquiry and mediation, conciliation and arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements or other peaceful means of their choice”. Negara dalam melaksanakan penyelesaian secara damai tersebut hendaknya berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sebagai berikut (Huala Adolf, 2004 : 15-18). a. Prinsip Itikad Baik Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antar negara, sehingga prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id b. 23 digilib.uns.ac.id Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa Prinsip ini juga sangat sentral dan penting karena melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini juga termuat dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke 4 Deklarasi Manila. c. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini membebaskan para pihak untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). d. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa Prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). e. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus) Prinsip ini menjadi dasar pelaksanaan prinsip ke tiga dan empat yang disebutkan diatas sebagai realisasi manakala ada kesepakatan para pihak. f. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip ini mewajibkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara, harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). g. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental commit to user integritas wilayah negara-negara. 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ada 7 (tujuh) cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai yakni sebagai berikut (Huala Adolf, 2004: 19-25). a. Negoisasi Negoisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Alasan utamanya adalah dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan tiap penyelesaiannya didasarkan konsensus para pihak. Namun dalam negoisasi juga ada kelemahannya antara lain, yang pertama bilamana kedudukan para pihak yang tidak seimbang, salah satu pihak yang kuat mengintervensi pihak yang lemah. Kedua, dalam proses negoisasi memakan waktu yang lama dan berlangsung lambat. Ketiga, apabila satu pihak terlalu keras dalam pendiriannya sehingga menyebakan proses negoisasi menjadi tidak produktif. b. Pencarian Fakta (inquiry atau fact-finding) Cara ini ditempuh bilamana cara konsultasi dan negoisasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan demikian ada campur tangan dari pihak ketiga untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya serta berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing. c. Jasa-Jasa Baik Menurut Bindschedler mendefinisikan jasa baik adalah "the involvement of one or more states or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement”. Cara ini adalah melalui bantuan pihak ketiga dengan mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi. commit to user 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pengaturan mengenai jasa baik ini dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian multilateral dan bilateral yakni sebagai berikut. 1) The Hague Convention on the Pasific Settlement of International Dispute tanggal 18 Oktober 1907 2) Bab 6 (Pasal 33-38) Piagam PBB 3) The American Treaty on Pasific Settlement tanggal 30 April 1948 d. Mediasi Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga, dimana pihak ketiga ini disebut dengan mediator. Pihak ketiga ini bisa berupa negara, organisasi internasional atau individu. Mereka berperan secara aktif dalam proses negosiasi karena sebagai pihak yang netral, maka mereka berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa agar bisa dicapai kompromi yang diterima para pihak. Pengaturan hukum mediasi ini bisa ditemukan dalam ketentuan sebagai berikut. 1) Pasal 3 The Hague Convention on The Peaceful Settlement of Disputes tanggal 18 Oktober 1907 yang menyatakan sebagai berikut. “Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may allow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Powers strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act.” Pasal 4 menyatakan sebagai berikut “The part of the mediator consists in reconciling the opposing claims and appeasing the feelings of resentment which may have arisen between the States at variance.” 2) Bab 6 Piagam PBB (Pasal 33 sampai 38) commit to user 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3) The General Act for The Pasific Settlement of International Disputes, tanggal 26 September 1928 yang diubah tanggal 28 April 1949 4) The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes e. Konsiliasi Menurut Bindschdler, penyelesaian ini juga melibatkan pihak ketiga yang terdiri dari dua unsur, yakni unsur ketidakberpihakan dan unsur kenetralan. Pengertian Konsiliasi juga diberikan ole Institut Hukum Internasional yang dituangkan dalam Pasal 1 the Regulation on the Procedure of International Conciliation tahun 1961 yang berbunyi sebagai berikut. "a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a commission set up by the parties, either on a permanent basis or on an ad hoc basis to deal with a dispute, proceeds, to the impartial examination of the disputes and attemps to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them or of affording the parties, with a view to its settlement, such aid as they may have requested”. Konsiliasi ini juga diatur dalam The Hague Convention for The Pasific Settlement of International Dispute tahun 1899 dan 1907 yang memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi, kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Dalam putusan badan konsiliasi ini, sifatnya tidak mengikat para pihak karena diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak. commit to user perpustakaan.uns.ac.id f. 27 digilib.uns.ac.id Arbitrasi Arbitrasi adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan suatu pembuatan suatu Compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam perjanjian, sebelum sengketanya lahir (clause compromissoire). Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter. Arbitrator dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral. Arbitrator yang sudah ditunjuk selanjutnya menetapkan terms of reference atau aturan permainan (hukum acara) yang menjadi patokan dan aturan yang harus disepakati dalam upaya menyelesaikan sengketa para pihak yang bersengketa. Penyelesaian mengenai arbitrasi seperti ini dikenal sejak diatur dalam The Hague Convention for The Pasific Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907, yang mana konvensi ini melahirkan suatu badan arbitrase intermasional yaitu Permanent Court of Arbitration (Mahkamah Permanen Arbitrase). g. Pengadilan Internasional Penggunaan cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau badan peradilan internasional ini biasanya ditempuh bila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil atau prinsip exhaustion of local remedies. Dalam pengadilan dikenal ada dua kategori, yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Pengadilan Permanen dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau Mahkamah Permanen Internasional, International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, The International Tribunal for the Law of the Sea maupun International Criminal Court (ICC). Dalam pengaturan commit user PBB yang menyatakan sebagai ICJ ini terdapat dalam Pasal 92 topiagam 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berikut "The International Court of Justice shall be principal organ of the United Nation, It shall function in accordance with the annexed Statute, which is based upon the Statute of the Permanent Court of International Justice and forms an Integral Part of the present Charter.” Dalam putusannya Mahkamah Internasional mengikat para pihak yang bersengketa, hal ini termuat dalam Pasal 59 Statuta Mahkamah, yang menyatakan bahwa "the decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case". Sifat putusan Mahkamah adalah mengikat, final dan tidak ada banding seperti yang tercantum dalam pasal "the judgement is final and without appeal...”. Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus, biasanya digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian ekonomi internasional. 4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional Hukum Lingkungan Internasional adalah salah satu cabang ilmu yang mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations Conference on the Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan Konferensi dengan isu lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan. “While the United Nations Charter set out to improve conditions of living for all people, promoting peace, stability and economic development, this 1945 document was silent on environmental issues. As evidence of an environmental crisis became apparent in the 1960s, voice were raised for expanding UN activities into the environmental field as crucial means for fulfilling the goals of the UN Charter. Beginning with the 1972 Stockholm Conference on the Human Environment (UNCHE) Continuing through the 1992 United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) and culminating most recently with the 2002 World Summit on Sustainable Development (WSSD) The United Nations has attempted to address the connections between environmental protection and social and economic development under UN auspices through global conference” (Pamela S. Chasek, 2007: 368). commit to user 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dasar rintisan hukum lingkungan internasional dimulai pada zaman abad pertengahan dimana pada masyarakat Eropa mulai ada ketentuan yang mempunyai tujuan khusus untuk melindungi lingkungan semisal peraturan hukum tentang pengawasan terhadap pembakaran arang batu, yang disertai dengan adanya hukuman yang berat (Lord Kennett, 1974: 465-475). Hukum lingkungan atau environmental law dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai berikut. “the field of law dealing with the maintenance and protection of the environment, including preventive measures such as the requirements of environmental impact statements, as well as measures to assign liability and provide cleanup for incidents that harm the environment.” Hukum lingkungan internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan kaedah, azas-azas yang terkandung di dalam perjanjianperjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional yang berobjek lingkungan hidup yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjeksubjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1982:7). Menurut Prinsip 21 Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 1972 menyatakan “states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies”. Ketentuan tersebut memberikan hak dan kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain, prinsip tersebut secara lebih jauh menyatakan sebagai berikut. “states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction”. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Hukum Lingkungan Internasional adalah hukum lingkungan, yang dibentuk dan ditentukan kekuasaan internasional bagi warga atau anggota serta masyarakat internasional berdasarkan cita-cita dan aspirasi hukum masyarakat internasional. 5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut Laut adalah keseluruhan air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi ini bersifat fisik semata, sedangkan definisi laut menurut hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas diseluruh permukaan bumi (Boer Mauna, 2011: 305). Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.” Pencemaran laut menurut definisikan Pasal 1 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut. “Pollution of the marine environment means the introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine environment including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and of armenities.” Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut, kesehatan manusia, rintangan melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan laut. Definisi pencemaran laut menurut The United States commit to user National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA) dalam 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id laporannya dalam kongres mengenai pembuangan limbah di samudra (ocean dumping), menyimpulkan pencemaran samudera sebagai berikut “the unfavourable alteration of the marine environment…thought direct or indirect effect of changes in energy pattern, tradition and distribution, abundance, and quality of organisms” yang bila diterjemahkan menyangkut kondisi yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi lingkungan laut termasuk bagi kesatuan pola, distribusi, dan kualitas organisme baik secara langsung atau tidak langsung. Pencemaran Laut dapat dibedakan dalam lima kategori utama, yakni sebagai berikut (Melda Kamil Ariadno, 2007 : 24-25). a. Marine Pollution caused via the atmosphere by land based activities Bukti-bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga penyebab utama pencemaran laut golongan pertama ini, yaitu : 1) Penggunaan berbagai macam synthethic chemical khususnya chlorinated hydrocarbons untuk pertanian. 2) Pelepasan logam-logam berat seperti merkuri akibat proses industri atau lainnya. 3) Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan oleh penggunaan minyak bumi untuk menghasilkan energi. b. The disposal of domestic and industrial wastes Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah domestik atau limbah industri dari pantai, baik melalui sungai sewage outlets atau akibat dumping. c. Marine Pollution caused by radioactivity Pencemaran laut karena adanya kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun dari kegiatan-kegiatan manusia. Dua penyebab utamanya adalah percobaan senjata nuklir dan pembuangan limbah radioaktif, termasuk pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut untuk kepentingan militer atau pembuangan alat-alat militer di laut. commit to user 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. Ship-borne Pollutants Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari berbagai macam bentuk kapal dan muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan minyak di laut, yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker. e. Pollution from offshore mineral production Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila terjadi kebocoran pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Menurut ketentuan Pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 sumber-sumber pencemaran laut bisa berasal dari udara (Pasal 212), perbuatan yang terjadi didarat (Pasal 213), kegiatan penggalian sumber daya alam di dasar laut dan tanah dibawahnya (Pasal 214), kapal-kapal atau instalasi-instalasi yang beroperasi di kawasan dasar laut internasional (Pasal 215), dan pembuangan kotoran dan sampah (dumping) yang diatur dalam Pasal 216. commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Kerangka Pemikiran Pencemaran Laut Timor oleh PT TEP Australasia di Ladang Montara Hukum Internasional Hukum Nasional Indonesia Tanggung Jawab Negara Gambar 1 Keterangan : Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran dalam menelaah dan menjabarkan untuk menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang terkait dengan kejadian meledaknya sumur PT TEP Australasia di ladang Montara sehingga berdampak pada pencemaran laut lintas batas negara (IndonesiaAustralia) yang ditinjau dari pengaturan dalam hukum internasional maupun hukum nasional yang secara lebih spesifik, dan dalam pengkajiannya menitikberatkan pada hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional, serta dilihat apakah implementasi hukum internasional itu dalam tata perundangan-undangan di Indonesia sudah sesuai. Alur selanjutnya adalah dari identifikasi peraturan internasional maupun nasional baik tentang kelautan dan lingkungan tersebut bagaimana bentuk pertanggunganjawaban negara yang dalam hal ini adalah Australia dan Thailand yang notabene merupakan pemilik sumur Montara yang meledak tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional Pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap pencemaran minyak di kawasan laut suatu Negara terkait dengan kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Australia - Thailand) yang terjadi di Laut Timor dapat dijabarkan sebagai berikut. 1) Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958 Bunyi Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan sebagai berikut. “Every State shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by the discharge of oil from ships or pipelines or resulting from the exploitation and exploration of the seabed and its subsoil, taking account of existing treaty provisions on the subject.” Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut tau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah di bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang terdapat mengenai masalah ini. 2) Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 1972 Konferensi Stockhlom pada tahun 1972 juga menyepakati beberapa dasar atau prinsip mengenai keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang terdapat dalam prinsip ke 7 yang menyatakan sebagai berikut commit steps to user “States shall take all possible to prevent pollution of the seas by 34 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id substances that are liable to create hazards to human health, to harm living resources and marine life, to damage amenities or to interfere with other legitimate uses of the sea.” Prinsip tersebut memberikan kewajiban kepada semua negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut dan lain-lain penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke 13 Konferensi Stockhlom tersebut juga menyebutkan bahwa : In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, States should adopt an integrated and coordinated approach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the benefit of their population. Prinsip diatas menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya persaingan atau perbenturan dari kepentingan yang berlainan dalam dan penggunaan lingkungan hidup manusia termasuk lingkungan laut, haruslah diadakan koordinasi dan harmonisasi di dalam usaha penyusunan perencanaan pembangunan nasional. Prinsip nomor 17 berbunyi “Appropriate national institutions must be entrusted with the task of planning, managing or controlling the environmental resources of States with a view to enhancing environmental quality.” Prinsip nomer 17 dalam Konferensi Stockhlom mewajibkan dibentuknya suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi. Ketentuan dalam prinsip nomor 21 juga terkait langsung dengan program lingkungan hidup yang menyatakan sebagai berikut. states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, commit toand userthe responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction. Ketentuan prinsip ke 21 tersebut memberikan hak dan kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain. Prinsip nomor 22 juga jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan secara efektif maka berdasarkan tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran, haruslah ada kerja sama antara negara untuk mengembangkan hukum internasional yang mengatur ganti rugi yang disebabkan oleh pencemaran. Mengutip prinsip nomor 22 Konferensi Stockhlom sebagai berikut. States shall cooperate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such States to areas beyond their jurisdiction. 3) Pengaturan menurut United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Pencemaran laut menurut definisi Pasal 1 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982 adalah “Pollution of the marine environment means the introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine environment including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and of armenities.” Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, usersumber daya alam hayati di laut, sehingga menyebabkancommit bahayatobagi 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kesehatan manusia, rintangan melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam UNCLOS 1982 diatur di bagian XII yang meliputi Pasal 192 yang berbunyi “States have the obligation to protect and preserve the marine environment”. Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya kewajiban kepada negaranegara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut. Pasal 193 UNCLOS 1982 juga menyatakan sebagai berikut “States have the sovereign right to exploit their natural resources pursuant to their environmental policies and in accordance with their duty to protect and preserve the marine environment.” Pasal 193 tersebut mengatur tentang hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan serta sesuai pula dengan kewajiban melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari masing-masing negara. Pengaturan selanjutnya adalah dalam Pasal 194 yang menyatakan sebagai berikut. 1. States shall take, individually or jointly as appropriate, all measures consistent with this Convention that are necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment from any source, using for this purpose the best practicable means at their disposal and in accordance with their capabilities, and they shall endeavour to harmonize their policies in this connection. 2. States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention. 3. The measures taken pursuant to this Part shall deal with all sources of pollution of the marine environment. These measures shall include, inter alia, those designed to minimize to the fullest possible extent: commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (a) the release of toxic, harmful or noxious substances, especially those which are persistent, from land-based sources, from or through the atmosphere or by dumping. (b) pollution from vessels, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, preventing intentional and unintentional discharges, and regulating the design, construction, equipment,operation and manning of vessels. (c) pollution from installations and devices used in exploration or exploitation of the natural resources of the seabed and subsoil, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of such installations or devices. (d) pollution from other installations and devices operating in the marine environment, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction,equipment, operation and manning of such installations ordevices. 4. In taking measures to prevent, reduce or control pollution of the marine environment, States shall refrain from unjustifiable interference with activities carried out by other States in the exercise of their rights and in pursuance of their duties in conformity with this Convention. 5. The measures taken in accordance with this Part shall include those necessary to protect and preserve rare or fragile ecosystems as well as the habitat of depleted, threatened or endangered species and other forms of marine life. Pasal 194 tersebut secara ringkas dapat diterjemahkan bahwa adanya kewajiban khusus dari negara di antaranya adalah tidak memindahkan kerusakan atau bahaya atau untuk mengubah suatu jenis pencemaran ke jenis pencemaran lain, memonitor resiko akibat pencemaran dan tanggung jawab serta ganti rugi. Pasal selanjutnya adalah Pasal 195 mengenai kewajiban untuk tidak memindahkan bahaya atau kerusakan atau mengubah suatu pencemaran ke jenis pencemaran lain, yang dinyatakan sebagai berikut to user “In taking measures tocommit prevent, reduce and control pollution of the 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id marine environment, States shall act so as not to transfer, directly or indirectly,damage or hazards from one area to another or transform one type of pollution into another.” Pasal 195 tersebut memberikan pengertian dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu ke daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam bentuk pencemaran lain. Pasal 196 UNCLOS 1982 juga secara jelas menyatakan sebagai berikut. 1. States shall take all measures necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment resulting from the use of technologies under their jurisdiction or control, or the intentional or accidental introduction of species, alien or new, to a particular part of the marine environment, which may cause significant and harmful changes there to. 2. This article does not affect the application of this Convention regarding the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment. Pasal 196 tersebut menyatakan bahwa Negara peserta harus melakukan pengawasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, sebagai akibat dari penggunaan teknologi, memasukan zat secara sengaja atau tidak kedalam lingkungan laut yang dapat merusak lingkungan laut. Mengenai kerja sama global dan regional dalam menanggulangi pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 197 sampai dengan Pasal 201. Bunyi Pasal 197 UNCLOS 1982 menyatakan sebagai berikut. “States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standardscommit and recommended practices and procedures to user consistent with this Convention, for the protection and 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features.” Pasal 197 tersebut menjelaskan bahwa Negara-negara peserta harus bekerja sama secara global maupun regional yang perlu untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Terkait dengan ketentuan selanjutnya yakni Pasal 198 menyatakan sebagai berikut. “When a State becomes aware of cases in which the marine environment is in imminent danger of being damaged or has been damaged by pollution,it shall immediately notify other States it deems likely to be affected by such damage, as well as the competent international organizations.” Pasal 198 diatas menyebutkan bahwa apabila suatu negara menyadari adanya keadaan dimana lingkungan laut berada dalam ancaman bahaya mendesak akan kerusakan atau telah rusak akibat pencemaran Negara termaksud harus segera memberitahu Negara negara lain yang menurut perkiraannya sangat mungkin akan terancam oleh kerusakan tersebut demikian pula kepada organisasi organisasi internasional yang kompeten. Pasal 199 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa hal-hal yang termuat dalam Pasal 198 maka mewajiban kepada Negara-negara yang terkena dampak pencemaran harus saling bekerja sama antara satu dengan yang lain untuk mengurangi kerusakan yang timbul dan meningkatkan pola penanggulangan darurat pencemaran dalam lingkungan laut. Kutipan Pasal 199 tersebut adalah sebagai berikut. “In the cases referred to in article 198, States in the area affected, in accordance with their capabilities, and the competent international organizations shall cooperate, to the extent possible, in eliminating the effects of pollution and preventing or minimizing the damage. To this end, States shall jointly develop and promote contingency plans for responding to pollution incidents in the marine environment.” Pasal 200 ketentuan UNCLOS 1982 mengenai kerja sama antar commit to user negara dalam menanggulangi pencemaran menyatakan sebagai berikut. 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id States shall cooperate, directly or through competent international organizations, for the purpose of promoting studies, undertaking programmes of scientific research and encouraging the exchange of information and data acquired about pollution of the marine environment. They shall endeavour to participate actively in regional and global programmes to acquire knowledge for the assessment of the nature and extent of pollution, exposure to it, and its pathways, risks and remedies. Pasal tersebut bila diterjemahkan menyatakan bahwa Negaranegara harus saling bertukar informasi dalam usaha untuk mengetahui besarnya pencemaran, bahaya pencemaran, resiko dan cara mengatasi pencemaran lingkungan laut tersebut. Ketentuan Pasal 201 sebagai implementasi Pasal 201 menyatakan sebagai berikut. “In the light of the information and data acquired pursuant to article 200, States shall cooperate, directly or through competent international organizations, in establishing appropriate scientific criteria for the formulation and elaboration of rules, standards and recommended practices and procedures for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment.” Pasal tersebut mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 200, negara-negara,organisasi-organisasi terkait harus saling bekerja sama untuk menetapkan kriteria ilmiah guna pencegahan, penanggulangan dan pengendalian lingkungan laut. Pengaturan mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian lingkungan laut terdapat dalam Pasal 204 sampai dengan Pasal 206 UNCLOS 1982. Pasal 204 tersebut berbunyi sebagai berikut. 1. States shall, consistent with the rights of other States, endeavour, as far as practicable, directly or through the competent international organizations, to observe, measure, evaluate and analyse, by recognized scientific methods, the risks or effects of pollution of the marine environment. 2. In particular, States shall keep under surveillance the effects of any activities which they permit or in which they engage in order to determine commit towhether user these activities are likely to pollute the marine environment. 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ketentuan pasal 204 tersebut menyebutkan bahwa Negaranegara harus berusaha sedapat mungkin konsisten dengan hak-hak negara-negara lain, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, untuk mengamati, mengatur, menilai, dan menganalisa berdasarkan metode ilmiah yang dibakukan mengenai resiko atau akibat pencemaran lingkungan laut. Secara Khusus Negaranegara pun harus tetap mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang mereka ijinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung kemungkinan mencemarkan lingkungan laut. Bunyi Pasal 205 UNCLOS 1982 adalah “States shall publish reports of the results obtained pursuant to article 204 or provide such reports at appropriate intervals to the competent international organizations, which should make them available to all States.” Pasal tersebut mengemukakan bahwa Negara-negara harus melaporkan segala informasi yang terkait dengan pencemaran laut yang terjadi. Pengaturan Pasal 206 UNCLOS 1982 berisi bahwa manakala negara-negara mempunyai alasan yang kuat bahwa kegiatan-kegiatan dibawah yurisdiksinya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, maka mereka harus dapat menilai efek yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Kutipan Pasal 206 tersebut sebagai berikut. “When States have reasonable grounds for believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine environment, they shall,as far as practicable, assess the potential effects of such activities on the marine environment and shall communicate reports of the results of such assessments in the manner provided in article 205.” b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional Pengaturan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Pasal 207 sampai dengan Pasal 212 juga mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau undang-undang nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan commit to user laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam beberapa undang-undang 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang terkait dengan pengaturan tersebut yang diatur dalam, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UndangUndang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor tersebut maka dari perundanganundangan nasional tersebut dapat diidentifikasi beberapa pasal yang yang mengatur tentang pencemaran laut yang terjadi yakni sebagai berikut. 1) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Undang-undang ini yang menyebutkan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut. (1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. (2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 2) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hakhak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya yang tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional.” Pengaturan Pasal 8 juga mengatur mengenai perbatasan wilayah Indonesia dengan wilayah yurisdiksi negara lain yang secara lengkap menyatakan sebagai berikut. (1) Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. (2) Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral. (3) Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. 3) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Undang-undang ini pengaturan tentang asas yang digunakan dan pengaturan pencemaran lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. commit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pasal 53 Undang-Undang Lingkungan Hidup ini menyatakan bahwa : (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat; b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan/atau; d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bunyi Pasal 54 juga menyatakan bahwa pencemar yang dalam hal ini adalah orang wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Kutipan Pasal ini secara lengkap sebagai berikut. (1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahap: a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remidiasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 terutama pada ayat (2) commit to user dan ayat (3) terkait dengan kewajiban memberikan sistem informasi 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lingkungan hidup kepada masyarakat. Bunyi Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3) tersebut menyatakan sebagai berikut. (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat. (3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. Pasal 63 ayat (1) huruf l dan huruf m Undang-Undang ini juga menjamin kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan apa yang bisa diambil terkait dengan pencemaran yang terjadi yang berbunyi : (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara; Cara penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut diatur dalam pasal 84 yang berbunyi : (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Ketentuan penyelesaian sengketa mengenai pencemaran atau pengerusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut bila yang ditempuh di luar pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa kesepakatan yang diatur dalam pasal 85 ayat (1) yang berbunyi : commit to user 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau; d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Setiap penanggungjawab kegiatan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan wajib membayar ganti rugi yang diatur dalam pasal 87 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.” Ketentuan berikutnya apabila terjadi pencemaran lingkungan maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui instansinya berwenang mengajukan gugatan terhdap pihak terkait yang melakukan pencemaran lingkungan. Pasal 90 ayat (1) secara lengkap menyatakan sebagai berikut. “Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.” Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mengatur tentang ketentuan pidana dan denda bagi orang yang melakukan pencemaran lingkungan hidup akibat kelalaiannya yang bunyi lengkapnya sebagai berikut. “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku commit to user mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” 4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Peraturan Pemerintah ini terdapat pengaturan yang berhubungan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau perusakan laut seperti yang terdapat dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbutkan pencemaran laut.” Pengaturan Pasal 13 PP ini juga menyatakan bahwa “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbutkan kerusakan laut.” Mengenai pencegahan perusakan lingkungan laut dinyatakan dalam Pasal 14 sebagai berikut”Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut.” Pada bunyi Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengenai kewajiban apa saja yang harus dipenuhi penanggung jawab kegiatan agar tidak terjadi pencemaran lingkungan. Ketentuan ini secara lengkap dinyatakan sebagai berikut. (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dalam PP ini bila dalam suatu kegiatan mengakibatkan pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 15 yang commit “Setiap to user orang atau penanggung jawab menyatakan sebagai berikut 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.” Pemulihan akibat pencemaran ini diatur selanjutnya dalam Pasal 16 yang berbunyi “Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.” Mengenai kewajiban tanggungan biaya yang harus ditanggung dalam usaha pemulihan kerusakan lingkungan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut. (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya. (2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak tambahan, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. 5) Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) Ketentuan berikut yang dikemukakan adalah Pasal-pasal yang mengacu pada hal-hal yang terkait dengan adanya kasus pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor. Bunyi Pasal 2 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab kegiatan yang bisa menyebabakan pencemaran minyak di laut secara lengkap berbunyi sebagai berikut. (3) Setiap pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab unit kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari usaha dan/atau kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (4) Setiap pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan to userbersumber dari usaha dan/atau minyak di commit laut yang 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kegiatannya serta melaporkan kejadian tersebut kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Perihal telah terjadi keadaan darurat pencemaran minyak yang mencemari di wilayah laut Indonesia maka dapat dibentuk tim khusus untuk menanggulanginya seperti yang tercantum dalam Pasal 3 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut. (1) Dalam rangka keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut, yang selanjutnya disebut Tim Nasional. (2) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. (3) Ketua Tim Nasional wajib melaporkan secara berkala pelaksanaan hasil tugasnya kepada Presiden. (4) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: Ketua : Menteri Perhubungan; Wakil Ketua : Menteri Negara Lingkungan Hidup; Anggota : 1. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Luar Negeri; 4. Menteri Kelautan dan Perikanan; 5. Menteri Kesehatan; 6. Menteri Kehutanan; 7. Menteri Keuangan; 8. Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia; 9. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 11. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; 12. Kepala Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa; 13. Gubernur, Bupati/Walikota yang sebagian wilayahnya mencakup laut. (5) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertanggungjawab atas penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan commit to user minyak di laut tingkatan tier 3. 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (6) Tim Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas : a. melaksanakan koordinasi penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3; b. memberikan dukungan advokasi kepada setiap orang yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak di laut. (7) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Tim Nasional berfungsi menetapkan pedoman pengembangan sistem kesiagaan dan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, meliputi: a. menetapkan PROTAP Tier 3; b. menjamin ketersediaan sarana, prasarana, dan personil terlatih untuk mendukung pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut; c. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di pelabuhan, terminal atau platform untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut; d. menetapkan persyaratan minimal kesiagaan sarana, prasarana, dan personil di daerah untuk penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut. (8) Untuk membantu terlaksananya penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Tim Nasional membentuk dan membina PUSKODALNAS. Pasal 8 dalam Perpres ini juga mengatur kewajiban bagi setiap orang yang mengetahui bila terjadi pencemaran minyak di laut yang secara lengkap bunyinya : (1) Setiap orang yang mengetahui terjadinya tumpahan minyak di laut wajib segera menginformasikan kepada: a. PUSKODALNAS; b. Kantor pelabuhan; c. Direktorat yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang teknik dan lingkungan minyak dan gas bumi, pada departemen yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi; d. Pemerintah Daerah; atau e. Unsur pemerintah lain yang terdekat. commit to user 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (2) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat dari instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e wajib segera menginformasikan kepada : a. ADPEL; b. KAKANPEL; atau c. Kepala PUSKODALNAS. (3) Setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), maka ADPEL atau KAKANPEL wajib segera menginformasikan kepada Kepala PUSKODALNAS. (4) ADPEL, KAKANPEL, atau PUSKODALNAS setelah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) wajib segera melakukan pengecekan atas kebenaran laporan yang diterima. (7) Dalam hal tumpahan minyak yang terjadi masuk dalam kategori tier 3, PUSKODALNAS wajib segera melakukan koordinasi pelaksanaan operasi penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut dan Kepala PUSKODALNAS bertindak selaku koordinator misi tier 3. Terkait dengan adanya kerjasama internasional yang bisa dilakukan untuk menanggulangi pencemaran minyak di laut diatur dalam Pasal 9 yang berbunyi “Dalam hal sumber daya nasional tidak memadai dalam penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut tingkatan tier 3, maka Ketua Tim Nasional dapat meminta bantuan internasional.” Pertanggungjawaban juga terdapat pada pimpinan suatu perusahaan eksplorasi minyak dan gas bila dalam kegiatan usahanya terjadi pencemaran di laut yang secara jelas diatur dalam Pasal 11 yang berbunyi : Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggungjawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan atau penanggungjawab kegiatan lain, yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggungjawab mutlak atas biaya: a. penanggulangan tumpahan minyak di laut; b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut; c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan d. kerugian lingkungan akibat commit to usertumpahan minyak di laut. perpustakaan.uns.ac.id 2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di 53 digilib.uns.ac.id Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor Dalam kaitannya dengan permasalahan yang dibahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban negara yang terlibat di perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia dalam kejadian meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor tersebut dilihat dari tiga konvensi Internasional yakni International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 dapat dijelaskan sebagai berikut. a. International Convention on Civil Liability for Oil Pullution Damage 1969 Tanggung jawab tersebut jika ditinjau dari Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). Konvensi ini mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini juga bersifat terbatas karena hanya berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta berupa kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil) yang tertumpah dari muatan kapal tangki. Kerusakan yang disebabkan oleh non-presistent oil seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dsb, juga tidak termasuk dalam Civil Liability Convention 1969. Dalam Civil Liability Convention 1969 ini mengharuskan kapal tangki yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian (damage) pada negara pantai untuk memberikan ganti kerugian yang diderita oleh orang atau kepentingan yang telah menjadi korban dari pengotoran laut yang commit to tersebut user disebabkan. Kewajiban ganti rugi didasarkan atas prinsip strict 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id liability artinya kewajiban membayar ganti rugi itu timbul sesegera terjadinya kerugian itu, dengan tidak mempersoalkan salah atau tidak kapal tangki yang bersangkutan. b. International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 Pada konvensi ini sebenarnya adalah melengkapi atau menciptakan suatu “Compensation Scheme” yang akan menyediakan pembayaran ganti rugi kepada korban di satu pihak dan pembebasan pemilik kapal dari beban keuangan yang diakibatkan oleh Civil Liability Convention 1969 (Syahmin A.K, 1988: 152). Ruang lingkup yang diatur pada konvensi ini bersifat terbatas, dalam artian yang bisa diajukan klaim ganti rugi atau yang bisa dibayarkan hanya akibat dari tumpahan minyak bumi (crude oil and fuel oil) yang di angkut kapal. Ketentuan tersebut ada dalam Pasal 1 ayat (3) yang bunyinya sebagai berikut. Contributing Oil means crude oil and fuel oil as defined in subparagraphs (a) and (b) below: a. Crude Oil means any liquid hydrocarbon mixture occurring naturally in the earth whether or not treated to render it suitable for transportation. It also includes crude oils from which certain distillate fractions have been removed (sometimes referred to as topped crudes) or to which certain distillate fractions have been added (sometimes referred to as spiked or reconstituted crudes). b. Fuel Oil means heavy distillates or residues from crude oil or blends of such materials intended for use as a fuel for the production of heat or power of a quality equivalent to the American Society for Testing and Materials Specification for Number Four Fuel Oil (Designation D 396-69), or heavier. c. United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Ketentuan Pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat dikenakan pertanggungjawaban Negara atas pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 139 yang menyatakan sebagai berikut. commit to user 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1. 2. 3. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations. Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability; States Parties or international organizations acting together shall bear joint and several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored under article 153, paragraph 2(b), if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153, paragraph 4, and Annex III, article 4, paragraph 4. States Parties that are members of international organizations shall take appropriate measures to ensure the implementation of this article with respect to such organizations. Pasal 139 ayat (1) diatas menjelaskan bahwa Negara Peserta harus bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan, baik dilakukan oleh Negara peserta atau perusahaan perusahaan negara atau badan hukum atau orang perorangan yang memiliki kebangsaan Negara Peserta atau yang dikuasai secara efektif oleh mereka atau oleh warga negara-warga negara mereka, tanggung jawab yang sama berlaku pula bagi organisasi-organisasi internasional untuk kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi di kawasan tersebut. Ayat (2) menjelaskan dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan hukum internasional dan pada lampiran III Pasal 22 kerugian yang disebabkan oleh kelalaian suatu Negara Peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajiban untuk ganti rugi, Negara Peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak, memikul secara bersama-sama harus memikul commit to user secara bersama dan tanggung 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id renteng kewajiban untuk ganti rugi. Akan tetapi suatu Negara Peserta tidak berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan pasal 153 ayat (2) apabila Negara Peserta tersebut telah mengambil segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara efektif menurut pasal 153 ayat (4), lampiran III Pasal 4 ayat (4). Pasal 139 ayat (3) ini bila diterjemahkan maka memberikan ketentuan Negara Peserta yang menjadi anggota organisasi internasional harus mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin pelakasanaan Pasal ini yang berkenaan dengan organisasi-organisasi tersebut. Terkait dengan pengaturan sistem eksplorasi dan eksploitasi lautan UNCLOS mengaturnya dalam Pasal 153 yang berbunyi : 1. 2. 3. 4. Activities in the Area shall be organized, carried out and controlled by the Authority on behalf of mankind as a whole in accordance with this article as well as other relevant provisions of this Part and the Relevant Annexes, and the rules, regulations and procedures of the Authority. Activities in the Area shall be carried out as prescribed in paragraph 3: (a) by the Enterprise, and (b) in association with the Authority by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, when sponsored by such States, or any group of the foregoing which meets the requirements provided in this Part and in Annex III. Activities in the Area shall be carried out in accordance with a formal written plan of work drawn up in accordance with Annex III and approved by the Council after review by the Legal and Technical Commission. In the case of activities in the Area carried out as authorized by the Authority by the entities specified in paragraph 2 (b), the plan of work shall, in accordance with Annex III, article 3, be in the form of a contract. Such contracts may provide for joint arrangements in accordance with Annex III, article 11. The Authority shall exercise such control over activities in the Areaas is necessary for the purpose of securing compliance with the relevant provisions of this Part and the committhere to user Annexes relating to, and the rules,regulations and 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. 6. procedures of the Authority, and the plans of work approved in accordance with paragraph 3. States Parties shall assist the Authority by taking all measures necessary to ensure such compliance in accordance with article 139. The Authority shall have the right to take at any time any measures provided for under this Part to ensure compliance with its provisions and the exercise of the functions of control and regulation assigned to it thereunder or under any contract. The Authority shall have the right to inspect all installations in the Area used in connection with activities in the Area. A contract under paragraph 3 shall provide for security of tenure. Accordingly, the contract shall not be revised, suspended or terminated except in accordance with Annex III, articles 18 and 19. Dalam pasal tersebut mengatur tentang sistem kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh perusahaan maupun perusahaan dengan otorita oleh Negara Peserta atau perusahaan negara atau badan hukum atau perorangan yang memiliki kebangsaan negara peserta atau secara aktif dikendalikan oleh mereka atau warga negara mereka jika disponsori oleh negara-negara tersebut. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi itu harus dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tertulis yang resmi dan telah mendapat ijin dari otoritas negara yang bersangkutan. Otoritas Negara Peserta harus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut dikawasannya dan memiliki hak untuk mengambil tindakan apapun guna menjamin dipenuhinya peraturan-peraturannya serta mempunyai hak untuk memeriksa semua instalasi dalam segala kegiatan yang dilakukan di kawasan negaranya. Pasal 235 UNCLOS 1982 mengatur tentang tanggungjawab dan kewajiban ganti rugi Negara Peserta yang melakukan pencemaran dan secara lengkap dinyatakan sebagai berikut. 1. States are responsible for the fulfilment of their international obligations concerning the protection and preservation of the marine environment. They shall be liable in accordance with international law. commit to user 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. 3. States shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems for prompt and adequate compensation or other relief in respectof damage caused by pollution of the marine environment by natural or juridical persons under their jurisdiction. With the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development of criteria and procedures for payment of adequate compensation, such as compulsory insurance or compensation funds. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Mereka harus memikul kewajiban ganti-rugi sesuai dengan hukum internasional. Ayat (2) menyatakan bahwa Negara harus menjamin tersedianya upaya menurut sistem perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti rugi segera memadai atau bantuan lainnya berkaitan dengan kerusakan yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau oleh badan hukum di bawah yurisdiksi mereka, dengan tujuan untuk menjamin ganti rugi yang segera dan memadai berkaitan dengan segala kerugian yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut. Negara-negara peserta konvensi pun harus bekerja sama berdasarkan hukum internasional yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk penaksiran mengenai kompensasi untuk kerusakan serta penyelesaian sengketa yang timbul, demikian pula, dimana perlu, mengembangkan kriteria dan prosedur pembayaran ganti rugi yang memadai seperti halnya asuransi wajib atau dana kompensasi. commit to user 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ketentuan Pasal 237 UNCLOS 1982 juga menguatkan apa yang diatur dalam Pasal 235. Pasal 237 ini secara lengkap berbunyi sebagai berikut. 1. 2. The provisions of this Part are without prejudice to the specific obligations assumed by States under special conventions and agreements concluded previously which relate to the protection and preservation of the marine environment and to agreements which may be concluded in furtherance of the general principles set forth in this Convention. Specific obligations assumed by States under special conventions, with respect to the protection and preservation of the marine environment, should be carried out in a manner consistent with the general principles and objectives of this Convention. Menurut Pasal 237 tersebut menyatakan bahwa ketentuan bab ini tidak mengurangi kewajiban khusus yang diterima Negara-negara berdasarkan konvensi-konvensi khusus dan persetujuan yang telah tercapai sebelumnya yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta persetujuan-persetujuan yang mungkin dicapai sebagai kelanjutan asas-asas umum yang tercantum dalam konvensi ini. Kewajiban khusus yang diterima negara berdasarkan konvensi khusus yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan asas umum dan tujuan konvensi ini. commit to user 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Pembahasan Penelitian 1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor Dari hasil penelitian di atas, telah dipaparkan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terhadap pencemaran minyak yang terjadi di lautan baik dari hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia. Pembahasan dari hasil penelitian tersebut sebagai dasar hukum dalam kaitannya dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor oleh anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia. Tumpahan minyak dari ladang Montara yang mencemari wilayah perairan laut Indonesia sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang permasalahan diatas telah bertentangan dengan ketentuan untuk memelihara lingkungan hidup manusia termasuk juga lingkungan laut yang telah ditetapkan dalam prinsip pertama dari Konferensi Stockhlom 1972 yang menyatakan : “Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generations. In this respect, policies promoting or perpetuating apartheid, racial segregation, discrimination, colonial and other forms of oppression and foreign domination stand condemned and must be eliminated.” Prinsip tersebut mengakui bahwa adanya hak asasi manusia atau setiap orang untuk hidup di suatu lingkungan yang baik dan sehat serta juga mewajibkan untuk memelihara lingkungan hidup manusia tersebut sedemikian rupa hingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi yang akan datang. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan adanya prinsip ke 7 dan prinsip ke 13 yang mengutarakan agar dilakukan upaya pencegahan yang harus dilakukan negara untuk mengatasi pencemaran laut. Dalam fakta yang didapat sebenarnya Pemerintah Australia sudah membentuk badan nasional yang bertugas untuk melakukan kajian analisa commit to user serta dampak pencemaran tersebut terhadap negara lain akibat dari terjadinya perpustakaan.uns.ac.id 61 digilib.uns.ac.id ledakan di ladang minyak Montara. Badan tersebut dibentuk oleh Menteri sumber daya dan energi Australia pada tanggal 5 november 2009 yang disebut Montara Commission of Inquiry atau komisi penyelidikan Montara. Dengan Pembentukan badan ini sebenarnya ada itikad baik dari Australia untuk mengatasi pencemaran minyak dari ladang Montara ini. Kebijakan ini sejalan dengan prinsip ke 17 dan prinsip ke 21 Konferensi Stockhlom yang pada intinya setiap Negara wajib membentuk suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi agar tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain. Upaya Pemerintah Australia dengan membentuk komisi penyelidikan Montara juga sejalan dengan Rio Declaration pada tahun 1992 menghasilkan dokumen berupa Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang salah satunya terdapat dalam pengertian lingkungan laut sebagai berikut. “marine environment including the oceans and all seas and adjacent coastal areas forms an integrated whole that is an essential component of the global life-support system and a positive asset that presents opportunities for sustainable development. Sustainable development means development that meets the needs of the present generation withoutcompromising the ability of future generation to meet their own needs.” Pernyataan diatas menyatakan bahwa lingkungan laut termasuk samudera, semua laut, dan kawasan pantai membentuk satu kesatuan komponen penting sistem yang mendukung kehidupan global dan kekayaan yang memberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Dampak dari pencemaran ini tidak hanya dari sekedar pencemaran lingkungan laut tapi juga mengganggu kedaulatan wilayah laut Indonesia sebagai negara pantai yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dimana hak dan kedaulatan suatu Negara pantai tidak hanya terbatas pada wilayah daratan maupun perairan pedalaman saja melainkan juga hak dan kedaulatan meliputi wilayah laut territorial yang diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai commit to user berikut. perpustakaan.uns.ac.id 62 digilib.uns.ac.id 1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea. 2. This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil. 3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law. Pasal diatas menjelaskan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan, perairan pedalaman, dalam hal suatu negara kepulauan meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara diatas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya serta kedaulatan atas laut territorial ini dilaksanakan dengan ketentuan hukum internasional lainnya. Ketentuan Pasal 56 menunjukan hak yurisdiksi Negara pantai dalam wilayah zona ekonomi eksklusif lautannya, yang selengkapnya berbunyi. 1. In the exclusive economic zone, the coastal State has: a. sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds; b. jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this Convention with regard to: i. the establishment and use of artificial islands, installations and structures; ii. marine scientific research; iii. the protection and preservation of the marine environment; c. other rights and duties provided for in this Convention. 2. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the rights and duties of other States and shall act in a manner compatible with the provisions of this Convention. 3. The rights set out in this article with respect to the seabed and subsoil shall be exercised in accordance with Part VI. Pasal tersebut memberikan pengertian bahwa dalam zona ekonomi eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi, commit to user mengelola sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati di perairan di perpustakaan.uns.ac.id 63 digilib.uns.ac.id atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya, termasuk yurisdiksi berkenaan untuk membuat pulau buatan, instalasi bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Negara Pantai dalam melakukan hak-hak tersebut juga harus memperhatikan hak-hak negara lain sesuai dengan tata cara dalam konvensi ini. Pengaturan Pasal 77 UNCLOS 1982 semakin menguatkan hak Negara pantai pada landas kontinennya yang berbunyi : 1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources. 2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities without the express consent of the coastal State. 3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation. 4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil. Pasal diatas menjelaskan bahwa Negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan kegiatan mengeksplorasi dan mengeksploitasi landas kontinennya. Apabila negara pantai tidak melakukannya, maka tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai. Hak negara pantai tidak tergantung pada okupasi atau pendudukan, baik secara efektif atau tidak. Sumberdaya laut yang ada di landas kontinen ini terdiri dari sumber mineral dan kekayaan non hayati. Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia telah mencemari laut dan meluas masuk ke zona wilayah perairan teritorial, zee dan landas kontinen Negara Indonesia dan tentu saja pencemaran ini mengganggu hak berdaulat atas wilayah laut Negara Indonesia. Kedaulatan commit to user dalam hal ini sering diartikan sebagai the pride of the nation atau harga diri perpustakaan.uns.ac.id 64 digilib.uns.ac.id suatu bangsa, yang mengandung pengertian bahwa dalam suatu negara merdeka memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk secara ekslusif dan bebas melakukan berbagai kegiatan kenegaraan sesuai kepentingannya, asalkan kegiatan atau kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan negara lain dan hukum internasional (Mirza Satria Buana, 2007: 32). Yurisdiksi Indonesia jika menurut pengaturan UNCLOS 1982 diatas tentu saja juga telah diabaikan oleh Negara Australia selaku pemberi ijin pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi PT TEP Australasia di kawasan perairan laut Australia tersebut selaku pemegang jurisdiksi wilayahnya. Yurisdiksi territorial yang dimiliki Indonesia memberikan kewenangan untuk melaksanakan kedaulatannya terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung di wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 158-159). Implementasi pengaturan dalam hukum internasional mengenai kedaulatan lingkungan laut pun harus diwujudkan kedalam undang-undang nasional masing-masing negara. Terkait dengan pelanggaran kedaulatan yang terjadi akibat pencemaran di lingkungan laut tersebut Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia permasalahan tentang kedaulatan diatur dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut. “Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.” Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut juga menegaskan kembali bahwa penegakan kedaulatan yang dimiliki Indonesia dijamin oleh hukum nasional maupun hukum internasional. Bunyi lengkap Pasal 24 sebagai berikut. (1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas commit to user pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang ber-laku. (2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Masalah tentang hak kedaulatan negara terhadap wilayah lautnya juga dipertegas dalam Deklarasi Rio di prinsip nomer 2 yang berbunyi sebagai berikut. “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.” Prinsip tersebut menyatakan bahwa sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, Negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya lingkungan mereka sendiri sesuai dengan perkembangan kebijakan lingkungan mereka, dan Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam jurisdiksinya atau kendalinya tidak menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas-batas nasional yurisdiksinya. Kerja sama regional dan global juga diperlukan dalam upaya melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap lingkungan laut. Kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat commit to user kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di kawasan (pollution from activities in the area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere). Menyoroti hal tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini telah melakukan implementasi perlindungan lingkungan laut dari pencemaran melalui lima peraturan yang terdapat dalam, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Secara hukum tindakan Indonesia sebagai negara pantai tersebut telah melaksanakan hak yuridisnya untuk mengimplementasikan konvensikonvensi internasional yang berkaitan dengan lingkungan laut ke dalam perundang-undangan nasional telah jelas menegaskan bahwa adanya komitmen Indonesia untuk menyusun konsepsi pengelolaan lingkungan laut nusantara yang mampu mengamankan kepentingan nasional dan mengayomi keserasian penggunaan lingkungan laut secara rasional. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 67 digilib.uns.ac.id B. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor Polusi yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi di anjungan lepas pantai saat ini hanya menyumbang satu sampai dua persen dari total polusi laut, yang cukup rendah dibandingkan dari sumber-sumber polusi yang mengakibatkan pencemaran laut. The offshore oil and gas industry currently accounts for only one to two per cent of totalmarine pollution, which is quite low compared to other sources of marine pollution. However, there is a risk that pollution levels will increase due to the rapid expansion of offshore operations. Although the industry has main-tained a relatively good pollution record to date, it still remains a high-risk industry with potential to cause serious damage to the marine environment. In fact, marine pollution can be linked to all activities at any stage of an offshore oil and gas development (Mikhail Kashubsky, 2006: 2). Menyikapi dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak dari lading Montara oleh PT TEP Australasia di Laut Timor yang besar dan merugikan Indonesia yang dikemukakan dalam sub bab latar belakang masalah diatas maka Pemerintah Indonesia mengajukan klaim ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban dari PT TEP Australasia selaku operator lading minyak Montara maupun pemerintah Australia selaku pemberi ijin perusahaan tersebut. Pertanggungjawaban yang dimaksud ditinjau dari beberapa konvensi Internasional yakni International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 yang telah dipaparkan di dalam sub bab hasil penelitian diatas. Klaim ganti rugi Indonesia kepada PT TEP Australasia dan Pemerintahan Australia jika berdasarkan ketentuan dalam CLC 1969 tidak akan berpengaruh karena menurut hasil penelitian diatas menyatakan bahwa “ships” atau akapal disini terbatas kapal tanker atau kapal kargo yang commithanya to user perpustakaan.uns.ac.id 68 digilib.uns.ac.id dibuat untuk membawa minyak mentah dan kenyataannya ladang minyak Montara ini merupakan anjungan minyak lepas pantai. Indonesia merupakan negara yang ikut menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage pada tanggal 18 Desember 1971. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini menyatakan bahwa “konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.” Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan berbagai permasalahan baru seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Indonesia atas diratifikasinya konvensi tersebut yang dinyatakan sebagai berikut. “bahwa karena lalu lintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas.” Implementasi ratifikasi konvensi tersebut akhirnya pada tanggal 10 Maret 1998 dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan yang menyatakan “bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang memberatkan Anggaran Negara.” Dengan demikian alasan pokok atas commit to user pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of perpustakaan.uns.ac.id 69 digilib.uns.ac.id an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi. Pengaturan selanjutnya yang bisa ditempuh untuk mengajukan klaim ganti rugi akibat pencemaran minyak di Laut Timor tersebut, Pemerintah Indonesia mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam United Nation Convention on The Law of The Sea 1982. Australia sebagai Negara yang telah memberikan ijin kepada PT TEP Australasia sesuai dengan pengaturan dalam UNCLOS 1982 Pasal 79 ayat (3) yang berbunyi “the delineation of the course for the laying of such pipelines on the continental shelf is subject to the consent of the coastal State” dan juga ketentuan Pasal 81 yang berbunyi “the coastal State shall have the exclusive right to authorize and regulate drilling on the continental shelf for all purposes” untuk melakukan pemasangan objek-objek berupa kabel, pipa saluran, maupun instalasi guna mengeksplorasi minyak dan gas diwilayah perairannya hendaknya berkewajiban untuk melakukan pengawasan agar PT TEP Australasia merawat, memeliharanya ataupun memperbaikinya bila ada kerusakan. Apabila objek yang terpasang itu kemudian menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya karena pipa saluran itu bocor ataupun instalasi itu ambruk sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada lingkungan laut yang bisa membuat kegiatankegiatan pihak lain yang terhalang olehnya, maka pihak yang menjadi penyebab itu haruslah bertanggung jawab atas semua akibatnya (I Wayan Parthiana, 2005: 63). Australia sebagai pemberi ijin usaha PT TEP Australasia pun berkewajiban menetapkan zona keselamatan seperti yang diatur dalam Pasal 60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982 yang berbunyi sebagai berikut. 4. The coastal State may, where necessary, establish reasonable safetyzones around such artificial islands, installations and structures in which it may take appropriate measures to ensure the safety both of navigation and of the artificial islands, installations and structures. 5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal State, taking into account international standards. Such commit applicable to user zones shall be designed to ensure that they are reasonably related 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id to the nature and function of the artificial islands, installations or structures, and shall not exceed a distance of 500 metres around them, measured from each point of their outer edge, except as authorized by generally accepted international standards or as recommended by the competent international organization.Due notice shall be given of the extent of safety zones. Meskipun pengaturan hal tersebut berkenaan dengan hak negara pantai pada zona ekonomi eksklusif, namun karena kaki atau dasar dari instalasi-instalasi dan struktur yang didirikan itu melekat pada landas kontinen, maka hak untuk menetapkan zona keselamatan (safety zone) ini tentu saja berhimpit dengan hak serupa pada landas kontinen. Dalam hal ini zona keselamatan tersebut meliputi perairan laut sekitarnya dan juga perairan laut di bawah permukaannya hingga sampai pada landas kontinen itu sendiri (I Wayan Parthiana, 2005: 58). Pasal 195 UNCLOS yang mengatur bahwa dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, Negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya. Hal tersebut mengacu pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi tumpahan minyak Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A. Penggunaan dispertan ini dilarang oleh Kerajaan Inggris sejak tahun 1998 sehingga Australia sebagai Negara Persemakmuran Inggris juga harus taat pada aturan ini, karena hingga liris terbaru pada tanggal 2010 dalam website Marine Management Organisation jenis dispertan tersebut masih dilarang oleh Kerajaan Inggris dalam penggunaannya untuk menanggulangi pencemaran minyak mentah di laut (http://marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/documents/approval_a pproved_products.pdf. diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 20.48WIB). commit to user 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hal tersebut juga dikuatkan dalam Pasal 5 ayat (7) Convention on the Continental Shelf 1958 yang berbunyi sebagai berikut “the coastal State is obliged to undertake, in the safety zones, all appropriate measures for the protection of the living resources of the sea from harmful agents.” Negara pantai wajib untuk mengadakan tindakan-tindakan seperlunya dalam zona keselamatan yang dianggap perlu untuk perlindungan kekayaan hayati laut dari zat-zat yang berbahaya. Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional. Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Negara peserta juga harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi. Prinsip 13 Deklarasi Rio juga menjelaskan hal tersebut yakni sebagai berikut. “States shall develop national law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage. States shall also cooperate in an expeditious and more determined manner to develop further international law regarding liability and compensation for adverse effects of environmental damage caused by activities within their jurisdiction or control to areas beyond their jurisdiction.” Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental commit to user dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban perpustakaan.uns.ac.id 72 digilib.uns.ac.id internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional yang dimaksud misalnya seperti tidak melaksanakan ketentuanketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Perkembangan Hukum Internasional yang terkait dengan pertanggungjawaban terhadap lingkungan, Negara tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Penuntutan pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh hukum kebiasaan (Jawahir Thontowi, 2006: 211). Advisory Opinion dari ICJ untuk majelis umum PBB dalam Legality of the Treat or Use of Nuclear Weapons, juga yang menyatakan bahwa terdapat sebuah kewajiban umum yang dimiliki oleh negara-negara untuk menjaga agar segala aktivitasnya yang berada dalam yurisdiksinya dan dituntut untuk melakukan kontrol terhadap wilayah-wilayah yang berada di luar wilayahnya (Jawahir Thontowi, 2006: 212). Negara harus bertanggungjawab bisa karena melanggar traktat, berkaitan dengan tidak dilaksanakanya kewajiban-kewajiban kontraktual, kerugian terhadap warga negara lain dan sebagainya. Pelanggaran kewajiban dapat berupa suatu tindakan atau kelalaian (J.G. Starke, 1988: 392). Australia dalam kasus ini telah melakukan kelalaian dalam menerapkan safety zone terhadap pencemaran yang terjadi di anjungan minyak lepas pantai milik PT TEP Australasia sesuai dengan pasal 60 ayat (4) dan (5) UNCLOS 1982. Pelanggaran tindakan juga dilakukan oleh Australia yang dalam hal ini melakukan pemindahan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam pencemaran yang lain dan penggunaan zat-zat yang berbahaya lainnya sesuai dengan Pasal 195 UNCLOS. Hal tersebut mengacu pada penggunaan beberapa dispertan yang berbahaya oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dalam menanggulangi tumpahan minyak Montara di Laut Timor seperti jenis Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A. Suatu negara juga tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya to user suatu kewajiban internasional. sebagai dasar alasan untukcommit menghindari perpustakaan.uns.ac.id 73 digilib.uns.ac.id Pelanggaran terhadap traktat dapat menimbulkan tanggung jawab. Hal ini menurut Permanent Court of International Justice dalam Chorzow Factory Case, yang menjadi prinsip hukum internasional adalah bahwa setiap pelanggaran atas perjanjian menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan ganti rugi (J.G. Starke, 1988: 398). Berdasarkan pasal-pasal diatas maka Australia adalah Negara yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Kasus pencemaran minyak dalam meledaknya anjungan lepas pantai milik PT TEP Australasia ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan kasus terdamparnya kapal tanker Torrey Canyon dalam hal pencemaran minyak yang terjadi di lingkungan laut dan penggunaan dispertan berbahaya yang mengancam kerusakan lingkungan laut yang lebih parah. Perbedaan yang mendasar dari keduanya kasus tersebut adalah dari segi objek yang dapat dikenai pertanggungjawaban mutlak, yakni pada kasus Torrey Canyon adalah kapal yang membawa minyak sedangkan pada kasus PT TEP Australasia adalah anjungan minyak lepas pantai. Kapal tanker minyak Torrey Canyon yang terdampar di Steven Stones Reef di muka pantai Inggris pada 18 Maret tahun 1967 menumpahkan minyak yang mencemari pantai Inggris menyebabkan matinya banyak ikan dan mahluk hidup lainnya dikawasan perairan tersebut. Penanggulangan pencemaran dengan penggunaan dispertan berupa detergen untuk memecah konsentrat minyak di laut justru menimbulkan kerusakan lingkungan laut yang lebih besar dan memerlukan biaya yang juga besar. Masalah hokum yang ditimbulkan dari kasus Torrey Canyon tersebut adalah mengenai ganti rugi atau kompensasi bagi pihak yang dirugikan oleh pencemaran laut tersebut. Kejadian Torrey Canyon tersebut mempengaruhi lahirnya International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 dan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971. Kedua Konvensi tersebut juga menerapkan strict liability atau tangggung jawab mutlak atau langsung, yang mewajibkan membayar ganti rugi kepada negara pantai timbul seketika pada saat tumpahnya minyak di laut dan commit to user 74 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id timbulnya kerugian tanpa mempersoalkan bersalah atau tidaknya kapal tangki yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa dalam International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969, International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971, dan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 tidak ada pengaturan yang komprehensif terkait yang secara khusus mengatur tentang pertanggungjawaban terhadap pertambangan minyak bumi di anjungan lepas pantai atau offshore oil exploration and exploitation jika terjadi pencemaran lingkungan laut. Terkait dengan hal ini, perkembangan terakhir Pemerintah Republik Indonesia telah menyampaikan Proposal untuk mengatur bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) dalam Marine Environmental Protection Committee (MPC)-nya International Maritime Organization (IMO). Dalam pembahasan di dalam MPC IMO, proposal tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam Legal Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London. Ruang Lingkup secara singkat dari Proposal Pemerintah Republik Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: 1. There are no treaties addressing the consequences of transborderpollution caused by offshore exploration and exploitation. Indonesiabelieves that developing an international instrument to address the questionof liability and compensation in such cases is the best way of responding to similar problems occuring in the future. 2. In this connection, the Legal Committee is also requested to consider the possibility of establishing a supplementary fund regime. The mainelements that could be included in the proposed liability and compensation regime for oil pollution damage resulting from offshore oil exploration and exploitation activities Indonesia dalam proposalnya tersebut memandang perlu dibentuknya commit to userjawab dan skema kompensasi atas suatu instrumen yang mengatur tanggung 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di kemudian hari. Indonesia juga mendesak Legal Committee IMO untuk membentuk suatu skema sumber dana atau dana talangan yang dapat digunakan apabila pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai atau offshore oil exploration and exploitation. Indonesia menegaskan kembali Polluters Pay Principle dimana strict liability atas tanggung jawab insiden pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation) berada pada pemilik kilang migas lepas pantai yang menyebabkan pencemaran minyak tersebut. Hal ini juga dikuatkan dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio yang menyatakan sebagai berikut. “National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade and investment.” Prinsip tersebut mewajibkan setiap negara yang melakukan pengerusakan lingkungan dengan polusi diwajibkan membayar ganti kerugian atas kerusakan yang ditimbulkan. Langkah Indonesia mengajukan proposal tersebut kepada IMO akan dapat menjamin dibentuknya mekanisme hukum Internasional melalui konvensi-konvensi baru yang terkait dengan ruang lingkup yang dicantumkan dalam proposal tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai dibentuknya suatu hukum internasional yang baru terkait dengan perkembangan kembali ditegaskan dalam Pasal 304 United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 menyebutkan sebagai berikut. The provisions of this Convention regarding responsibility and liability for damage are without prejudice to the application of existing rules and the development of further rules regarding responsibility and liability under international law. Pasal tersebut mengemukakan bahwa ketentuan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi tidak commitperaturan to user yang ada dan pengembangan mengurangi berlakunya peraturan 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peraturan peraturan lebih lanjut perihal tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi berdasarkan hukum internasional. Hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai pertanggungan jawaban negara yang terlibat di Perusahaan PT TEP Australasia dalam pencemaran minyak di Laut Timor berdasarkan hukum internasional masih menunjukkan belum adanya kelengkapan secara menyeluruh. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan : 1) Pengaturan terhadap pencegahan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terhadap terkait dengan pencemaran di Laut Timor di tinjau dari United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 diatur dalam Bab XII pada bagian 1 ketentuan umum yang diatur di Pasal 193 - Pasal 196, bagian 2 mengenai kerjasama global dan regional yang diatur di Pasal 197 - Pasal 201, bagian 4 mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian lingkungan yang diatur di Pasal 204 – Pasal 206, bagian 5 mengenai peraturan-peraturan internasional dan perundang-undangan nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, diatur di Pasal 207 – Pasal 212. Pengaturan dalam hukum nasional Indonesia mengenai pencemaran di wilayah laut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 23, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 2, Pasal 53, pasal 54, Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 63 huruf l dan huruf m. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Pasal 9 – Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14 - Pasal 16, dan Pasal 24. Di Peraturan Presiden Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 9. 2. Negara yang bertanggungjawab terhadap meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor milik The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PT TEP) Australasia adalah Australia. Hal ini didasarkan pada ketentuan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal 60 ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal 195. Hal tersebut secara langsung Australia yang memberi ijin commitmewajibkan to user 77 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak di wilayah perairannya ikut serta mengawasi dan bertanggung jawab atas kegiatan apapun yang dilakukan PT TEP Australasia dan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut serta terhadap penggunaan dispertan berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di lautan. Dasar hukum klaim tanggung jawab ini logis di karenakan belum adanya pengaturan yang secara spesifik mengatur mengenai tanggung jawab atas pencemaran laut yang berasal dari anjungan minyak lepas pantai. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan untuk mengatur lebih lanjut mekanisme mengenai tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and exploitation), dan PBB maupun IMO segera menindaklanjutinya dengan membuat ketentuan mengenai hal tersebut karena belum adanya pengaturan internasional yang komprehensif tentang pertanggungjawaban dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR PUSTAKA Buku Adji Samekto. 2009. Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti. Andrey Sujatmoko. 2005. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste, dan Lainnya. 2005. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional-Pengertioan, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. Dikdik Mohamad Sodik. 2011. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Frans E. Likadja dan Daniel F Bessie. 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Bryan A. Garner. 1999. Black’s Law Dictionary (7Th Edition). St. Paul, Minn: West Publishing Co. Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional : Perspektif Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama. I Wayan Parthiana. 2005. Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional. Bandung: Mandar Maju. Jawahir Thontowi. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama. J.G. Starke. 1988. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media. Marhaeni Ria Siombo. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. commit to user 79 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Mirza Satria Buana. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung: Nusamedia. Mochtar Kusumaatmadja. 1976. Pengantar Hukum Internasional - Buku I Bagian Umum. Bandung: Putra Abardin. Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta Mochtar Kusumaatmadja. 1992. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut. Dilihat dari Sudut Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara. Munadjat Danusaputro. 1981. Hukum Lingkungan - Buku III Regional. Bandung: Binacipta. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syahmin. 1988. Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta. Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Perjanjian Internasional Convention on the Continental Shelf 1958 Convention on the High Seas 1958 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 International Convention on the Esta-bilishement of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 Stockhlom Declaration 1972 United Nations Convention on Law Of The Sea 1982 Rio Declaration 1992 Peraturan Perundang-undangan Nasional Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan commit to user Lingkungan Hidup 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML) Jurnal dan Makalah Hari M. Osofsky. 2011. “Multidimensional Governance and The BP Deepwater Horizon Oil Spill”. Florida Law Review. Volume 63:1077-1137. Louis B. Sohn. 1973. “The Stockholm Declaration on The Human Environment”. Harvard International Law. Volume 14, Number 3 Summer 1973. Mikhail Kashubsky. 2006. Marine Pollution from the Offshore Oil and Gas Industry: Review of Major Conventions and Russian Law (Part I). Maritime Studies Pamela S. Chasek. 2007. “U.S policy in the UN environmental arena: powerful langard or constructive leader?”. International Environmental Agreements, (2007) 7:363-387. Suhaidi. 2005. “Aspek Yuridis Atas Perlindungan Lingkungan Laut dari Pencemaran Pada Wilayah Laut yang Berbeda di Suatu Negara”. Jurnal Equality. Volume 10, Nomor 2:105-110. Thomas A. Mensah. “Can the SLOPS be considered as a ship for the purposes of the 1992 Civil Liability Convention and the 1992 Fund Convention ?. Aegean Rev Law Sea. (2010) 1:145-155 Internet Anonim. 2010. http://amsa.gov.au/marine_environment_protection/national_plan/ Incident_and_Exercise_Reports/documents/Montara_IAT_Report.pdf. (diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.30WIB) _____.2010.http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval. htm diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB) commit to user 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id _____.2010.http://marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/documents/appr oval_approved_products.pdf. (diakses pada tanggal 28 Februari 2012 jam 20.48WIB). _____. 2011. http://medanbisnisdaily.com/news/read/2011/09/14/54879/pttep_ belum_mau_ganti_rugi_pencemaran_laut_timor/ (diakses pada tanggal 11 November 2011 jam 09.17WIB) _____. 2011. http://migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/260034/ Montara-Agar-Cantumkan-Klaim-Ganti-Rugi-PENCEMARAN-LAUTTIMOR (diakses pada tanggal 11 November 2011 jam 09.07WIB) _____. 2011. http://m.kompas.com/news/read/2011/07/27/03521277/ Kesepakatan.Akan.Ditandatangani.Agustus (diakses pada tanggal 28 Oktober 2011 jam 19.28WIB) _____. 2012. http:// http://maritimeworld.web.id/ (diakses pada tanggal 1 November 2011 jam 21.08WIB) Ganewati Wuryandari. 2010. Petaka di Laut Timor.http://www.politik.lipi.go.id/ index.php/in/kolom/politik-internasional/277-petaka-di-laut-timor?format =pdf (diakses pada tanggal 8 Oktober 2011 jam 12.10WIB) commit to user