Barat - Repository | UNHAS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gerakan Tanah
Tanah longsor adalah gerakan menuruni atau keluar lereng oleh massa
tanah atau batuan penyusun lereng, ataupun percampuran keduanya sebagai bahan
rombakan, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut. ( Karnawati, 2005)
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)
menyatakan bahwa tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah.
Didefinisikan sebagai massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir,
dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau
keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Gerakan tanah adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian
atas atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak, mendatar atau
miring dari kedudukan semula. (Varnes, 1978 dalam Zakaria, 2009)
2.2
Faktor Penyebab Gerakan Tanah/ Longsoran
Karnawati, (2004 dalam Alhasanah 2006) menjelaskan bahwa terjadinya
longsor
karena
adanya
faktor-faktor
pengontrol
gerakan
di
antaranya
geomorfologi, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya proses-
6
7
proses pemicu gerakan seperti, infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, dan aktivitas
manusia.
Faktor Pengontrol
o
Kelerengan (slope)
Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting
dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait
dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih 15º perlu
mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya
dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya
sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan yang membentuk lahan miring.
Karnawati, (2001) menyebutkan terdapat tiga tipologi lereng yang rentan
untuk bergerak/longsor, yaitu :
1. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur di alasi oleh batuan
atau tanah yang lebih kompak
2. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng, dan
3. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
o
Kondisi Geologi
Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah
struktur geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami
(pelarutan). Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah:
8
kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan, perlapisan batuan,
dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang mengakibatkan kekuatan
batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan yang memudahkan air
meresap (Surono, 2003).
Struktur perlapisan batuan dapat bertindak sebagai bidang gelincir
sehingga kemiringan perlapisan batuan yang searah dengan kemiringan lereng
berpotensi mengalami gerakan tanah. Retakan batuan sering menjadi saluran air
masuk ke dalam lereng, semakin banyak air yang masuk melewati kekar, tekanan
air juga akan semakin meningkat, mengingat jalur tersebut merupakan bidang
dengan kuat geser lemah, maka kenaikan tekanan air sangat mudah menggerakkan
lereng melalui jalur tersebut.
Dalam mempelajari aspek kekuatan batuan dikenal istilah. RQD (rock
quality designation) yaitu suatu penandaan atau penilaian kualitas batuan
berdasarkan kerapatan kekar. RQD penting untuk digunakan dalam pembobotan
massa batuan (Rock Mass Rating, RMR) dan pembobotan massa lereng (Slope
Mass Rating, SMR). Perhitungan RQD biasa didapat dari perhitungan langsung
dari singkapan batuan yang mengalami retakan-retakan (baik lapisan batuan
maupun
kekar
atau
sesar)
berdasarkan
rumus
Hudson,
(1979
dalam
Djakamihardja & Soebowo, 1996) sebagai berikut:
RQD = 100 (0.1 l + 1) e- 0.1 l
(l) adalah rasio antara jumlah kekar dengan panjang scan-line (kekar/meter).
Makin besar nilai RQD, maka frekuensi retakannya kecil. Frekuensi retakannya
makin banyak, nilai RQD makin kecil.
9
Jika frekuensi retakan = 20 kekar/meter, maka RQD = 40,60 %
Jika frekuensi retakan = 11 kekar/meter, maka RQD = 69,90 %
Jika frekuensi retakan = 5 kekar/meter, maka RQD = 90,9 %
Jika frekuensi retakan = 2 kekar/meter, maka RQD = 98,2 %
Dalam menentukan kualitas batuan dapat di klasifikasikan berdasarkan
nilai prosentase dari hasil perhitungan nilai RQD. (Tabel 1) berikut:
Tabel 1. Klasifikasi kualitas batuan berdasarkan nilai RQD
(Bieniawski, 1973 dalam Zakaria, 2009)
RQD %
0-20%
21-40%
41-60%
61-80%
81-100%
o
Kualitas
Sangat buruk
Buruk
Sedang
Baik
Sangat Baik
Tata guna lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata guna lahan perkebunan,
pemukiman, dan pertanian yang berada pada lokasi lereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah
menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan
untuk daerah perkebunan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat
menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah
longsoran lama.
Faktor Pemicu
Gangguan yang merupakan pemicu tanah longsor merupakan proses
alamiah atau tidak alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif
mempercepat proses hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Jadi pemicu ini dapat
10
berperan dalam mempercepat peningkatan gaya penggerak/peluncur/driving force,
mempercepat pengurangan gaya penahan gerakan/resisting force, ataupun
sekaligus mengakibat keduanya. Secara umum ganguan yang memicu tanah
longsor adalah:
o
Hujan
Karnawati, (2003) menyatakan salah satu faktor penyebab terjadinya
bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah meresap ke dalam
tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih kompak dan
lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan semakin
meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini semakin
menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk
bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan
air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan
sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut.
Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin
cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah
tersebut meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin
tebal tumpukan tanah, maka juga semakin besar volume massa tanah yang
longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah
menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering menimbulkan suara
gemuruh. Hujan dapat memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng
dan menurunkan kuat geser tanah.
11
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah tertentu
dan berlangsung selama periode waktu tertentu, sehingga air yang di
curahkannya dapat meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk
longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu
tipe hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe hujan deras
misalnya adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari 100
mm per hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lerenglereng yang tanahnya mudah menyerap air misal pada tanah lempung pasiran dan
tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan awal
musim hujan, misalnya pada akhir Oktober atau awal November di Jawa. Tipe
hujan normal contohnya adalah hujan yang kurang dari 20 mm per hari. Hujan
tipe ini apabila berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan
dapat efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih
kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung (Karnawati, 2000). Pada lereng
ini longsoran terjadi mulai pada pertengahan musim hujan, misal pada bulan
Desember hingga Maret.
Curah hujan mempunyai satuan dalam millimeter. Curah hujan 1 mm
adalah air hujan yang jatuh pada setiap permukaan seluas 1 mm2 setinggi 1 mm
dengan tidak menguap, meresap, dan mengalir atau dengan kata lain sejumlah air
hujan yang jatuh sebanyak 1 liter pada setiap luasan 1 m2. (Badan Meteorologi
dan Geofisika, 2008). Adapun klasifikasi besar curah hujan sebulan yaitu:
12
Tabel 2. Klasifikasi besar curah hujan harian menurut Badan Meteorologi dan
Geofisika, 2008)
Klasifikasi
Hari hujan
Estimasi
Kumulatif
hujan harian
jumlah ch
ch bulanan
a. Sangat
<5 mm/24jam
5-6 hari
10-15 mm
10-15 mm
ringan
b. Ringan
5-20
6-7 hari
60-70 mm
70-85 mm
mm/24jam
c. Sedang
21-50mm/jam 6-7 hari
180-210 mm 250-295 mm
d. Lebat
512-4 hari
150-250 mm 400-545 mm
100mm/24jam
e. Sangat lebat >100
1-2 hari
110-300 mm 510-845 mm
mm/24jam
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, (2008) bahwa curah hujan
kumulatif 400 mm/bulan atau 51-100mm/24jam di kategorikan lebat dan mudah
untuk terjadi tanah longsor.
o
Getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/ batuan pada lereng. Jadi
getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi
gaya penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempabumi
yang diikuti dengan peristiwa liquefaction. Liquefaction terjadi apabila pada
lapisan pasir atau lempung jenuh air terjadi getaran yang periodik Pengaruh
getaran tersebut akan menyebabkan butiran-butiran pada lapisan akan saling
menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar terhadap
lapisan di atasnya. Akibat peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti
mengambang, dan dengan adanya getaran tersebut dapat mengakibatkan
perpindahan massa di atasnya dengan cepat.
13
o
Aktivitas manusia
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005),
tanah longsor dapat terjadi karena ulah manusia sebagai pemicu terjadinya tanah
longsor, seperti:
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang
menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah
menjadi lembek
e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin
terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing
i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu
beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material
urugan atau material longsoran lama pada tebing
j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran.
Pembukaan hutan untuk keperluan manusia, seperti misalnya untuk
perladangan, persawahan dengan irigasi, penanaman pohon kelapa, dan
14
penanaman tumbuhan yang berakar serabut dapat berakibat menggemburkan
tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan menambah daya resap tanah
terhadap air, akan tetapi air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat banyak
terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Akibatnya air hanya terakumulasi dalam
tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan ikatan-ikatan antar butir tanah.
Akhirnya karena besarnya curah hujan yang meresap, maka longsoran tanah akan
terjadi.
Pemotongan lereng untuk jalan dan pemukiman dapat mengakibatkan
hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya mengakibatkan
kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan massa tanah terlampaui oleh
tegangan penggerak massa tanah dan akhirnya longsoran tanah pada lereng akan
terjadi. (Karnawati, 2005)
2.3
Jenis-Jenis Longsor
Menurut Subowo (2003), ada enam (6) jenis tanah longsor, yaitu:
longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan
tanah, dan aliran bahan rombakan.
1.
Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau bergelombang landai.
15
Gambar 2. Jenis longsoran translasi
2.
Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
Gambar 3. Jenis longsoran rotasi
16
3.
Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah bergeraknya batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata. Longsoran ini disebut longsoran translasi blok batu.
Gambar 4. Pergerakan blok
4.
Runtuhan Batu
Runtuhan batu adalah runtuhnya sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng
yang terjal hingga menggantung.
Gambar 5. Runtuhan batu
17
5.
Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis gerakan tanah yang bergerak lambat. Jenis
gerakan tanah ini hampir tidak dapat dikenali. Rayapan tanah ini bias
menyebabkan tiang telepon, pohon, dan rumah miring.
Gambar 6. Rayapan Tanah
6.
Aliran Bahan Rombakan
Gerakan tanah ini terjadi karena massa tanah bergerak didorong oleh air.
Kecepatan aliran dipengaruhi kemiringan lereng, volume dan tekanan air,
serta jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan
mampu mencapai ribuan meter.
18
Gambar 7. Aliran bahan rombakan
Menurut Suranto, (2008) jenis longsor translasi dan rotasi paling banyak
terjadi di Indonesia, hal tersebut di karenakan tingkat pelapukan batuan yang
tinggi, sehingga tanah yang terbentuk cukup tebal. Sedangkan longsor yang paling
banyak menelan korban harta, benda dan jiwa manusia adalah aliran bahan
rombakan, hal tersebut di karenakan longsor jenis aliran bahan rombakan ini dapat
menempuh jarak yang cukup jauh yaitu bisa mencapai ratusan bahkan ribuan
meter, terutama pada daerah-daerah aliran sungai di daerah sekitar gunungapi.
Kecepatan longsor jenis ini sangat di pengaruhi oleh kemiringan lereng, volume
dan tekanan air, serta jenis materialnya.
19
Tabel 3. Klasifikasi gerakan tanah berdasarkan tipe gerakan dan jenis
materianya menurut Varnes, (1978 dalam Zakaria 2009)
20
2.4
Geologi Daerah Penelitian
Pembahasan mengenai geologi daerah penelitian mencakup kondisi
geomorfologi daerah penelitian, kondisi stratigrafi daerah penelitian, dan kondisi
struktur daerah penelitian.
2.4.1
Geomorfologi Daerah Penelitian
Pembahasan
mengenai
geomorfologi
daerah
penelitian
meliputi
penjelasan pembagian satuan geomorfologi, dan proses-proses geomorfologi yang
bekerja di daerah penelitian.
2.4.1.1 Satuan Geomorfologi
Menurut van Zuidam (1985), klasifikasi bentangalam dapat dibagi menjadi
satuan-satuan geomorfologi berdasarkan aspek relief morphology, aspek genetik
morpho-chronology dan aspek hubungan antara lahan dengan proses yang bekerja
morpho-arrangement.
Pembagian satuan bentangalam daerah penelitian di dasarkan pada aspek
relief. Aspek ini meliputi morfologi yang merupakan aspek deskriptif seperti
dataran, perbukitan dan pegunungan, dan aspek morfometri yang merupakan
aspek kuantitatif berupa besar kemiringan lereng, ketinggian maupun kekasaran
permukaan lahan. Pembagian relief daerah penelitian diklasifikasikan berdasarkan
ketinggian relief dari permukaan laut dan beda tinggi.
Kondisi morfometri daerah penelitian memiliki titik ketinggian tertinggi
yakni 780 mdpl yang berada pada sebelah barat peta meliputi daerah Kasuarang I,
21
Bontolambere, Tallea, dan Hulo serta bagian timur peta yakni daerah Kasuarang II
dengan ketinggian 730 mdpl. Sedangkan, titik terendah berada pada Salo Bintula
dengan ketinggian 550 mdpl. Selisih antara titik tertinggi dan terendah pada
daerah penelitian termasuk dalam kategori berbukit bergelombang/miring dengan
nilai beda tinggi antara (75- 200) m. (van Zuidam, 1985).
Tabel 5. Klasifikasi Relief menurut van Zuidam, 1985
Sudut Lereng
(%)
Beda Tinggi
(M)
Datar atau hampir datar
0–2
<5
Bergelombang/miring landai
3–7
5 – 50
Bergelombang/miring
8 – 13
50 – 75
Berbukit bergelombang/miring
14 – 20
75 – 200
Berbukit tersayat tajam/terjal
21 – 55
200 – 500
Pegunungan
tajam
56 – 140
500 – 1000
>140
>1000
Satuan Relief
tersayat
tajam/sangat
Pegunungan /sangat curam
2.4.1.2 Satuan bentangalam perbukitan bergelombang/miring
Satuan bentangalam bergelombang miring menempati sekitar 100% dari
keseluruhan luas daerah penelitian dengan luas ±2.08 km2. Dengan arah
penyebaran satuan ini relatif meliputi bagian barat dan bagian Timur daerah
penelitian.Bagian Barat meliputi Kasuarang I, Hulo, Tallea, Manipi, Arabika, dan
Bagian Timur adalah Kasuarang II.
22
Menurut van Zuidam, (1985) satuan bentangalam di daerah ini memiliki
pesentase kemiringan lereng yaitu 14% - 20% dan beda tinggi sekitar (75-200)
meter. Relief relatif bergelombang dengan bentuk lembah yang menyerupai
bentuk huruf “V” serta bentuk lerengnya relatif miring. Berdasarkan hasil
pengolahan data morfometri dan dari uraian karakteristik morfometri daerah ini,
maka satuan reliefnya berbukit bergelombang/miring.
Foto1. Kenampakan bentangalam berbuki bergelombang/miring
difoto relatif ke arah N 250E pada daerah Arabika
Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap
karakteristik bentukan alam
hasil proses-proses yang merubah bentuk muka
bumi. Jenis pelapukan yang bekerja didaerah penelitian adalah pelapukan fisika
dan kimia.Tingkat pelapukan yang terjadi didaerah penelitian adalah sedangtinggi (van Zuidam,1985). Hal ini dicirikan dengan tebal soil yang mencapai ±2m,
warna soil coklat dan jenis soil secara umum berupa residual soil yaitu soil yang
terbentuk dari hasil lapukan batuan yang ada di bawahnya (Foto 2).
23
Foto 2. Kenampakan soil dengan tebal ± 2m di foto ke
arah N 150° E pada daerah Arabika
Jenis erosi yang dijumpai pada daerah penelitian adalah erosi permukaan
yang berupa erosi rill dan erosi gully. Erosi rill dicirikan oleh alur cekungan yang
berbentuk relatif linear dan kedalaman lembahnya mengalami pendalaman tidak
lebih dari 50 cm dan belum mengalami pelebaran ke samping. Erosi gully
merupakan perluasan dari erosi riil. Erosi ini ditandai oleh pelebaran kearah
samping hingga membentuk lembah yang lebih besar.
Foto 3. Kenampakan erosi rill yang di foto ke arahN 2380 E
pada daerah Hulo
24
Foto 4. Kenampakan erosi gully yang difoto kearah
N 1450 E pada daerah Kasuarang II
Berdasarkan hasil analisis morfogenesa maka dapat di ketahui bahwa
proses yang dominan bekerja pada daerah penelitian adalah proses degradasi
(transported soil) yang terdiri dari
proses pelapukan, erosi dan pergerakan
material (van Zuidam, 1985). Kenampakan langsung di lapangan memperlihatkan
kondisi bukit dan lereng pada daerah penelitian telah mengalami proses
pengelupasan yang disebabkan oleh proses erosi dan pelapukan serta pergerakan
material.
Sungai yang mengalir pada satuan bentangalam ini adalah Salo Bintula.
Berdasarkan kuantitas air sungainya merupakan sungai periodik dengan bentuk
lembah sungai yang menyerupai bentuk “U”.
25
Foto 5. Kenampakan sungai periodik dengan bentuk
lembah menyerupai huruf ‘U’ pada Salo Bintula, di foto
relatif ke arah Timur (N 80° E)
Ditinjau dari aspek tata guna lahan, daerah-daerah yang tercakup dalam
satuan morfologi ini umumnya oleh penduduk setempat dimanfaatkan sebagai
areal pemukiman, persawahan, dan perkebunan coklat.
2.4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Pengelompokan dan penamaan satuan batuan di daerah penelitian
didasarkan litostratigrafi tidak resmi, dengan memperhatikan ciri-ciri fisik litologi
yang meliputi jenis batuan, kombinasi dan keseragaman jenis batuan, dan
dominasi batuan. (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).
Berdasarkan uraian di atas maka jenis batuan di daerah penelitian yaitu
satuan tufa kasar dan satuan basal. Pembahasan satuan batuan daerah penelitian
menyangkut dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi, lingkungan
pembentukan dan umur.
26
2.4.2.1 Satuan tufa kasar
Pembahasan satuan tufa kasar pada daerah penelitian meliputi uraian
mengenai dasar penamaan satuan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik
megaskopis.
Dasar Penamaan
Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas ciri litologi yang
penyebarannya mendominasi pada daerah penelitian.
Penamaan dari litologi penyusun satuan ini ditentukan berdasarkan
pengamatan secara megaskopis. Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara
langsung terhadap komposisi mineralnya secara spesifik dengan menggunakan
klasifikasi batuan vulkanik ( William,Turner & Gilbert,1957).
Tabel 6. Klasifikasi batuan pyroklastik menurut Williams, Turner & Gilbert,
1957
Size (mm)
Unconsolidated
Consolidated
> 32
Bomb
Block
Block and ash
Aglomerat
Volcanic breccia
Tuff breccia
4 – 32
Lapilli
Cinder (Vesiculer)
Lapilli tuffs
Cindery lapilli tuffs
¼-4
Coarse ash
Coarse tuffs
<¼
Ash of volcanic tuffs
Fine tuffs
27
Penyebaran dan ketebalan
Penyebaran satuan tufa kasar menempati seluruh luas daerah penelitian
yaitu ± 2 km2. Satuan ini menyebar dari bagian barat ke Timur daerah penelitian
dan tersingkap di sepanjang jalan poros Malino-Manipi.
Penentuan ketebalan satuan tufa kasar pada daerah penelitian didasarkan
atas kedudukan batuan, tebal satuan ini adalah 365 meter.
Ciri Litologi
Jenis material yang dijumpai dilokasi ini yakni tufa kasar dengan ciri fisik
segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat kehitaman tekstur klastik kasar,
struktur berlapis (N 2400 E/300), ukuran butir (¼-4) mm, komposisi mineral terdiri
dari mineral biotit, feldspar, dan kuarsa, komposisi kimia silika.
Foto 6. Kenampakan tufa kasar, di foto ke arah N 3000E pada
daerah Arabika
28
Lingkungan Pengendapan dan Umur
Penentuan lingkungan pengendapan dan umur satuan tufa kasar ini
ditentukan secara relatif dengan berdasarkan pada ciri fisik litologi dan
penyebaran geografisnya yang disebandingkan dengan umur batuan secara
regional.
Berdasarkan pengamatan megaskopik ciri fisik dari tufa kasar pada daerah
penelitian memperlihatkan kenampakan segar berwarna abu-abu dan lapuk
berwarna coklat kehitaman, tersusun sebagian besar oleh fragmen basal berbentuk
angular – subangular, berukuran (¼-4) mm, komposisi kimia silika, komposisi
mineral biotit, feldsfar dan kuarsa. Sedangkan ciri fisik dari tufa kasar pada
batuan regional berwarna abu-abu kehitaman, litologi tufa umumnya disusun oleh
mineral biotit (Sukamto & Supriatna,1982).
Umur dan lingkungan pengendapan tufa dapat disebandingkan dengan
satuan batuan Gunungapi Lompobattang yang berumur Plistosen dan terendapkan
di darat.
Hubungan Stratigrafi
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan tertua di daerah penelitian.
Hubungan stratigrafi antara satuan batuan ini dengan satuan batuan yang lainnya
di daerah penelitian ditentukan berdasarkan kenampakan kontak antara masingmasing satuan batuan tersebut di lapangan.
Hubungan stratigrafi satuan tufa kasar dengan satuan yang lebih muda
adalah kontak lelehan.
29
2.4.2.2 Satuan basal
Pembahasan satuan basal pada daerah penelitian meliputi uraian mengenai
dasar penamaan satuan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik
megaskopis dan petrografis, lingkungan pembentukan, umur satuan batuan dan
hubungan stratigrafi dengan satuan lain pada daerah penelitian.
Dasar Penamaan
Penamaan satuan ini didasarkan atas ciri litologi, dominasi litologi dari
penyebaran secara lateral dan komposisi mineral yang dapat teramati di lapangan.
Secara keseluruhan satuan ini di identifikasi secara megaskopis yaitu penamaan
yang ditentukan berdasarkan komposisi mineral dan teksturnya dengan
menggunakan klasifikasi (Travis, 1955).
Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menyebar di bagian Barat Laut dan di bagian Tenggara daerah
penelitian dan tersingkap di Salo Bintula.
Penentuan ketebalan satuan basal pada daerah penelitian tidak diketahui
karena, tidak dijumpai adanya kedudukan batuan.
Ciri Litologi
Kenampakan megaskopis satuan basal porpiri memperlihatkan ciri fisik
segar berwarna hitam dan lapuk berwarna coklat dengan tekstur berupa
kristalinitas hypokristalin, granularitas porpiritik, relasi inequigranular , komposisi
mineral piroksin, plagioklas dan massa dasar, struktur massive menampakan
30
adanya struktur bantal. Diihat dari kenampakan lapangannya memberikan kesan
aliran. Nama lapangan basal porpiri (Travis,1955)
Foto 7. Kenampakan basal porfiri yang menyerupai
lava bantal pillow lava pada Salo Bintula di
foto ke arah N 315 0 E.
1.
Lingkungan Pembentukan
dan Umur
Penentuan lingkungan pengendapan dan umur satuan basal ini ditentukan
secara relatif dengan berdasarkan pada ciri fisik litologi dan penyebaran
geografisnya yang disebandingkan dengan umur batuan secara regional.
Satuan basal pada daerah penelitian memperlihatkan kenampakan ciri fisik
segar berwarna abu-abu kehitaman dan lapuk warna abu-abu kecoklatan, struktur
bantal. Basal pada batuan regional memiliki ciri adanya lubang-lubang dan
struktur bantal (Sukamto & Supriatna, 1982).
Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi dan letak geografis yang relatif
dekat dengan lokasi tipe maka satuan basal mempunyai nilai kesebandingan yang
sama dengan Satuan Batuan Gunungapi Lompobatang (Qlv) (Sukamto &
31
Supriatna,1982). Umur dan Lingkungan pembentukan basal dapat disebandingkan
dengan Satuan Batuan Gunungapi Lompobatang yang berumur Plistosen dan
terbentuk didarat.
Hubungan Stratigrafi
Satuan batuan ini merupakan satuan batuan paling muda pada daerah
penelitian. Hubungan stratigrafi antara satuan batuan ini dengan satuan batuan
yang lainnya di daerah penelitian ditentukan berdasarkan kenampakan kontak
antara masing-masing satuan batuan di lapangan.
Hubungan stratigrafi satuan basal dengan satuan tertua dibawahnya adalah
kontak lelehan.
2.4.3
Struktur Geologi Daerah Penelitian
Pembahasan mengenai struktur geologi daerah penelitian meliputi
pembahasan mengenai indikasi pola struktur geologi yang dijumpai di lapangan,
jenis struktur, umur struktur geologi yang di hubungkan dengan kronologi urutan
pembentukan struktur dan stratigrafi daerah penelitian, serta pada kondisi fisik
bagaimana struktur tersebut terbentuk (mekanisme struktur geologi).
Keberadaan struktur geologi di daerah penelitian di indikasikan oleh
adanya ciri-ciri yakni cermin sesar, kedudukan batuan, pelurusan punggungan
bukit, dan zona hancuran.
Berdasarkan bentuk, jenis dan indikasi terhadap unsur-unsur struktur
geologi yang dijumpai di lapangan, maka dapat diinterpretasikan bahwa struktur
geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah:
32
1.
struktur kekar dan
2. struktur sesar
Struktur Kekar
Kekar atau joint merupakan rekahan pada batuan dimana tidak ada atau
sedikit sekali mengalami pergeseran (Billings, 1968). Kekar atau rekahan pada
umumnya sangat sulit di bedakan jenisnya di lapangan. Banyak kekar terletak
simetris terhdap gejala – gejala struktur lainnya, misalnya terhadap lipatan dan
sesar yang dijadikan alasan untuk menunjukkan bahwa kekar – kekar itu secara
genetik berkaitan dengan lipatan dan sesar tersebut.
Pengelompokan kekar berdasarkan parameter tertentu digunakan untuk
mengetahui jenis kekar yang berkembang pada daerah penelitian. Adapun kriteria
penentuan jenis kekar pada daerah penelitian umumnya berdasarkan genesanya.
Klasifikasi kekar berdasarkan bentuknya, terdiri atas:
a. Kekar Sistematik yaitu kekar yang umumnya selalu di jumpai dalam bentuk
pasangan. Tiap pasangannya ditandai oleh arahnya yang serba sejajar atau
hampir sejajar jika dilihat dari kenampakan di atas permukaan.
b. Kekar Tak Sistematik yaitu kekar yang tidak teratur susunannya, dan biasanya
tidak memotong kekar yang lainnya dan permukaannya selalu lengkung dan
berakhir pada bidang perlapisan.
Kekar di daerah penelitian dijumpai pada anak Sungai yaitu pada Salo
Bintula pada litologi basal. Pengukuran kekar yang berada di daerah penelitian di
lakukan pada litologi basal, kemudian dianalisis dengan menggunakan diagram
33
roset dan diperoleh arah umum kekar adalah
tegasan utama
minimum (  3) pada
arah
N 285oE yang di bentuk oleh
(N 310oE) dan tegasan utama
maksimum (  1) pada arah N 40o E. Arah tegasan utama maksimum (  1) relatif
berarah Timur Laut – Barat Daya.
Foto 8. Kenampakan kekar pada sungai Bintula di foto
ke arah N 1250 E.
Tabel 7. Data hasil pengukuran kekar pada litologi basal
No.
1
Strike/dip
345/38
No.
14
Strike/dip
315/43
No
27
Strike/dip
335/37
2
3
321/55
1.
265/61
15
16
35/62
110/58
28
29
315/54
337/55
4
5
320/45
345/67
17
18
164/52
144/56
30
31
275/40
200/54
6
7
8
165/32
340/50
351/56
19
20
21
140/53
185/64
355/47
32
33
34
352/46
345/44
347/55
9
10
150/25
301/65
22
23
303/55
352/51
35
36
352/43
348/56
11
12
325/47
300/55
24
25
110/46
352/57
37
38
335/34
125/50
13
350/57
26
314/45
34
Tabel 8. Frekuensi pengukuran kekar
Utara – Barat
(N….0W)
Interval
Bar Frekuensi
0 – 10
6
11 – 20 at
9
21 – 30
3
31 – 40
4
41 - 50
5
51 - 60
3
61 – 70
1
71 – 80
2
81 - 90
1
Utara – Timur
Interval
0 – 10
11 – 20
21 – 30
31 – 40
41 - 50
51 - 60
61 – 70
71 – 80
81 - 90
(N….0E)
Frekuensi
1
1
1
1
σ3
σ1
N 400E
N 3100E
E
W
Gambar 9.
Diagram Roset Frekuensi Jurus Kekar.
Struktur Sesar
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data lapangan, baik berupa data
primer ataupun data sekunder serta korelasi terhadap tektonik regional maka sesar
yang bekerja pada daerah penelitian adalah sesar geser (wrench fault). Untuk
mempermudah pembahasan maka sesar ini diberi nama belakang berdasarkan
nama geografis daerah yang dilalui sesar tersebut.
35
Sesar Geser Salo Bintula
Penentuan struktur sesar yang berkembang pada daerah penelitian di
dasarkan pada keterdapatan data primer dan data sekunder yang dijumpai di
lapangan. Adapun penciri sesar yang di jumpai di lapangan yang dapat di
identifikasikan adanya struktur sesar geser pada daerah penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Dijumpai zona hancuran yang merupakan jalur sesar.
2. Adanya breksi sesar
3. Adanya kekar pada Salo Bintula, dan
4. Pelurusan punggungan bukit.
36
Tabel 8. Jenis-jenis longsor menurut (Subowo, 2003)
No Jenis Longsoran
1
Longsoran
Translasi
Sketsa
Keterangan
Bergeraknya massa
tanah dan batuan pada
bidang gelincir
berbentuk hampir rata
atau bergelombang
lemah.
2
Longsoran Rotasi
Bergeraknya massa
tanah dan batuan pada
bidang gelincir
berbentuk cekung.
3
Pergerakan Blok
Bergeraknya blok
batuan pada bidang
gelincir berbentuk
hamper rata atau
bergelombang lemah.
4
Runtuhan Batu
Runtuhnya sejumlah
besar batuan atau
material lain bergerak
ke bawah dengan cara
jatuh bebas. Umumnya
terjadi pada lereng yang
terjal.
5
Rayapan Tanah
Jenis gerakan tanah
yang bergerak lambat.
Rayapan tanah ini biasa
menyebabkan tiang
telepon, pohon, dan
rumah miring.
6
Aliran Bahan
Rombakan
Gerakan tanah ini
terjadi karena massa
tanah bergerak didorong
oleh air. Kecepatan
aliran dipengaruhi
kemiringan lereng,
volume dan tekanan air,
serta jenis materialnya.
Download