pengaruh karakteristik laut dan pantai terhadap

advertisement
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
PENGARUH KARAKTERISTIK LAUT DAN PANTAI TERHADAP
PERKEMBANGAN KAWASAN KOTA PANTAI
Dr. Ir. Wahyoe Soepri Hantoro APU
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI
Jl. Sangkuriang Bandung 40135
[email protected]
Sari: Pantai di Indonesia memiliki bentang dan ekosistim yang terbentuk oleh gejala alam yang
berbeda dalam kurun waktu lama, yang dengan demikian menghasilkan lingkungan yang sangat
berbeda. Proses geologi maupun perubahan garis pantai seiring perubahan paras muka laut
mengiringi perkembangan pantai di Indonesia. Maka, dapat dikatakan bahwa pantai merupakan
ekosistim dimana kondisi darat dan laut berinteraksi, menghasilkan lingkungan unik dan rentan
dari setiap perubahan.
Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia terletak di kawasan pantai - atau
dekat dengan laut - tumbuh dengan cepat sebagaimana kota besar di dunia lainnya seiring
perkembangan peradaban. Keberadaan dan perkembangan kota pantai tidak lepas dari
fungsinya saat awal pembukaan dan didirikannya, yaitu sebagai akses hubungan antara
pedalaman dengan dunia luar. Ciri utamanya adalah, diawali sebagai suatu pemukiman
atau pos yang tumbuh di pantai yang terlindung disekitar muara sungai – yang juga
rentan dari genangan banjir - sebagai tempat berlabuh kapal dan alur-alur jalan yang
menghubungkannya dengan pedalaman dari mana hasil bumi dihasilkan dari pertanian
atau perambahan hutan. Masing-masing kota pantai tumbuh di bentang alam yang
berbeda dengan gejala alam maupun sumberdaya pendukung yang tersedia, menyangkut:
lahan, air maupun bahan konstruksi (batuan, kayu, dll) untuk keperluan pertumbuhan
kota. Kebutuhan ruang yang meningkat tajam menyebabkan diabaikannya kapasitas daya
dukung maupun sifat asli dari kawasan pantai, demikian halnya gejala alam yang
sebetulnya memang sudah lazim terjadi, dapat berdampak negatif sebagai ancaman
bencana. Perambahan sumberdaya di luar kawasan kota menyebabkan terganggunya
keseimbangan alam yang berdampak pada timbulnya berbagai bencana (banjir, longsor,
erosi pantai, gelombang pasang, dll).
Setiap upaya mengembangkan kota pantai, haruslah mengenali potensi
sumberdaya maupun daya dukung lingkungan (karakteristik pantai) serta gejala alam di
sekitarnya, berdasar apa kemudian, dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil
biaya ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota.
1. PENDAHULUAN
Benua Maritim Indonesia terletak diantara benua Australia dan Asia serta membatasi
Samudra Pasifik dan Hindia (Gambar 1-1). Busur kepulauan Indonesia merupakan untaian
pulau di suatu perairan dalam maupun dangkal, terdiri dari 17.805 buah pulau yang
memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km. Kepulauan terbentuk oleh berbagai
proses geologi yang berpengaruh kuat pada pembentukan morfologi pantai, sementara
letaknya di kawasan iklim tropis memberi banyak ragam bentang rupa pantai dengan
banyak ragam pula tutupan biotanya.
Penggolongan pantai dirasakan tidak cukup dengan hanya berdasar bentang rupa dan
tutupan biotanya, namun perlu mempertimbangkan pula beberapa hal lain, seperti sumber
daya yang mendukung disekelilingnya, gejala alam yang mengendalikan pembentukan
Makalah dan Presentasi
5
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
(genesa)nya serta perubahan yang mengiringinya khususnya dari pengaruh kegiatan
manusia (antropogenik).
Pengenalan melalui penggolongan pantai dari berbagai alasan ini dapat membantu
pemahaman saling keterkaitan dari proses pembentukan pantai, biotanya sumberdaya
alamnya, peruntukan hingga usaha konservasi dan pengelolaan berkelanjutannya.
Memahami genesa seutuhnya suatu morfologi pantai, di atas mana kemudian kegiatan
manusia tumbuh, akan dapat membantu dalam penataannya lebih lanjut sebagai kota yang
bukan hanya saja nyaman dan aman karena terdukung kebutuhannya, namun juga tidak
menelan sumberdaya sekitarnya.
Gambar 1-1. Fisiografi Benua Maritim Indonesia
2. LATAR BELAKANG MASALAH
Pesatnya pertumbuhan kota pantai sejak 10 tahun terakhir diikuti oleh sejumlah
masalah, antara lain yang berkaitan dengan problem lingkungan dan keterbatasan
sumberdaya (lahan, air, bahan konstruksi, dll.).
Kota-kota pantai di Indonesia tumbuh dan berkembang dari awal dengan kesamaan
fungsi. Perkembangan berikutnya diwarnai oleh keragaman berdasar fungsi kota, sebagai
kota administratif, perdagangan, industri, atau campurannya. Perluasan kota mulai
melampaui batas daya dukung lahan, fungsi alami lingkungannya terabaikan dan
sumberdayanya terpakai berlebihan. Berlebihnya pengambilan sumber daya air tanah
menimbulkan penurunan muka tanah (kompaksi) dan air tanahnya sendiri, sementara
kemampuan resapan air meteorik jauh berkurang oleh tutupan bangunan dan jalan. Sedikit
penyimpangan gejala alam - bahkan tanpa penyimpanganpun - pada perioda tertentu,
gejala alam dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Rusaknya kawasan hulu tangkapan
hujan menyebabkan tidak terkendalinya aliran permukaan yang berdampak pada air bah
dan banjir. Saat bersamaan antara terjadinya curah hujan berlebih dengan saat terjadinya
Makalah dan Presentasi
6
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
pasang naik maksimum menyebabkan banjir, akibat tertahannya air sungai masuk ke laut,
atau saat pasang maksimum dengan badai musim (barat) menyebabkan erosi pada pantai
yang sudah tidak terlindungi (bakau) dan mengalami kekurangan asupan sedimen.
Pengerukan sedimen laut mengubah titik hempasan enersi maksimum gelombang yang
berdampak pada erosi pantai, terlebih bila tidak ada lagi pelindungnya, seperti bakau dan
atau terumbu karang. Kenaikan suhu atmosfer global yang akan diikuti oleh naiknya paras
muka laut adalah salah satu ancaman serius walau masih memerlukan waktu cukup lama
(skenario GCM: 1-4C) (Gambar 2-1).
Gambar 2-1. Model GCM untuk pemanasan global
3. FISIOGRAFI & IKLIM
Wilayah Indonesia memiliki perairan laut dalam yang dialasi kerak samudra dan
laut dangkal tepian dari paparan benua. Paparan tepian kontinen memiliki kedalaman
kurang dari 100 m, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai cekungan busur dalam
dan inti kraton yang relatif stabil. Sejumlah sungai besar bermuara ke perairan ini, dan
Makalah dan Presentasi
7
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
merupakan bagian dari sistim aliran sungai purba (Gambar 3-1). Kondisi demikian
memberi sifat dari kawasan ini berpantai landai, bahkan di pantai timur Sumatra dan
selatan Irian, ditandai oleh kawasan ber-rawa (wetland) limpahan banjir dengan rataan
tebal bakau yang berfungsi pula sebagai pelindung pantai. Hal sama ada pada pesisir barat
dan selatan Kalimantan, namun sedikit berbeda di pesisir utara Jawa yang umumnya
merupakan bagian dari kompleks sistim endapan volkanik kaki gunung api, kecuali jalur
Rembang-Tuban yang berupa perbukitan dengan pantai batu gamping. Pulau-pulau lebih
kecil di jalur Sunda Kecil (Bali-Flores), terbentuk oleh untaian gunung api, memiliki pantai
landai atau bertebing dari endapan volkanik di perairan laut dalam. Hal sama pada pulaupulau di Laut Banda, laut dalam yang beralas sisa dari kerak samudra. Perairan hangat
menunjang tumbuh luasnya terumbu karang di pulau-pulau tersebut, yang sama fungsinya
dengan bakau, melindungi pantai dari hempasan gelombang.
Sunda Land
Indian Ocean
Gambar 3-1. Pola aliran sungai purba di daratan
paparan tepian kontinen Sunda
Perairan laut dalam di jalur tunjaman dari Sumatra hingga Jawa-Bali, Irian Jaya
Utara, Sulawesi Utara dan Ceram memiliki bentang alam curam pada pesisirnya, namun
adakalanya memiliki pesisir landai yang sempit dan berpasir karbonat hasil rombakan
terumbu karang. Pesisir dan pantainya terbuka dari hempasan gelombang kuat perairan
samudra luas (Samudra Pasifik, Laut Zulu, Laut Banda, dll). Kawasan ini juga berada pada
pengaruh gerak tegak (vertikal) tektonik. Pesisir di bagian busur yang mengalami
tumbukan (Sumba-Timor) juga ditandai oleh pantai curam dari batuan keratan tektonik di
pesisir selatan, namun dicirikan pula oleh gerak pengangkatan (0,5 – 1 mm/th) yang
memberikan bentang alam teras terumbu karang terangkat di pesisir utara pulau-pulau.
Secara geografis, benua Maritim Indonesia terletak pada suatu kawasan yang rentan
namun berkaitan dengan mekanisme perubahan iklim global. West Pacific Warm Pool
(Perairan Hangat Pasisk Barat) dan pembubungan (upwelling) di Samudra Hindia saling
berpengaruh dengan cuaca di Indonesia. Arus lintas global (Arlindo) dari Pasifik ke
Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, memberi pengaruh timbal balik pada cuaca
lokal dan global. Mekanisme iklim antara Asia dan Australia mengatur musim kering dan
Makalah dan Presentasi
8
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
basah di Indonesia. Beberapa gejala dan regulator iklim dan cuaca penting global
melibatkan sistim cuaca di Indonesia, antara lain: La Nina, El Nino, ENSO dan yang juga
tak kurang penting adalah apa yang disebut sebagai "Indian Ocean Dipole" yang berdasar
data proksi, terbukti berperan cukup penting dalam mengontrol cuaca di lintas Samudra
Hindia Barat dan Timut (Gambar 3-2a.b)(Hantoro et.al., 2001). Gejala-gejala iklim
tersebut berikut penyimpangan (anomali) nya bersama dengan gejala geologi membentuk
dan menghasilkan bentang pantai sekarang melalui proses yang adakalanya di saat ini
diselingi oleh tekanan lingkungan akibat kegiatan manusia. Kawasan yang memiliki curah
hujan tinggi dalam waktu lama menghasilkan bentang pantai yang berbeda dibanding
dengan kawasan kering. Gelombang dan arus yang arah dan kekuatannya berubah seiring
putaran musim mengontrol sedientasi pantai dan pertumbuhan terumbu karang.
4. GEOLOGI INDONESIA
Benua Maritim Indonesia terletak pada dan terbentuk oleh pertemuan dari beberapa
kerak dan lempeng benua yang bergerak saling mendekat, yaitu lempeng Australia, Pasifik
dan Eurosia. Batas tumbukan antar lempeng menghasilkan evolusi geologi (Gambar 4-1),
antara lain ditandai oleh penunjaman lempeng Indo-Australia di jalur Sumatra hingga
1
Jawa-Bali (Moore et al., 1980) dengan kecepatan bervariasi (7-7,5 cm th- (McCaffrey,
1991). Tunjaman menyudut terhadap poros dan dangkal di sisi Sumatra menghasilkan
gugusan pulau busur luar (Nias, Menatawai, Enggano) dan sesar Semangko, sementara
tunjaman tegak lurus dan lebih terjal berlangsung di selatan Jawa-Bali. Penunjaman kerak
diikuti oleh penebalan magma yang menghasilkan kegiatan volkanisma dan gerak vertikal
(pengangkatan & penurunan).
Present Tectonic setting of SEA and its adjacent area (Hall R.,
1995)
WS
Hant
oro
Tectonic evolution of East Sunda Arc (Hantoro.,
1992)
Mo
200der
400 m
n 1000 m 100-200 m
>
reef
800-1000 m 50-100 m
600-800 m 25-50 m
Earthquacke
Epicenter
400-600 m < 25 m
Uplifred coral reef’s position of Indonesian Isl. Arc (Hantoro.,
1992)
Gambar 4-1. Geologi regional Asia Tenggara dan tektonik di Indonesia
Konvergensi lempeng dan kerak di busur Sunda timur (Flores-Sumba-Timor)
berbeda, ditandai dengan kerapatan kegempaan lebih dangkal (McCaffrey et al., 1985)
Makalah dan Presentasi
9
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
sebagai salah satu ciri konvergensi yang bersifat sebagai gerak tumbukan, yang
menghasilkan keratan-keratan struktur tektonik sangat kompleks. Kerak tertunjaman dari
batuan berkerapatan lebih kecil di bawah batuan berkerapatan lebih besar menghasilkan
(isostasi) gerak vertikal lebih kuat berupa pengangkatan dengan kecepatan mencapai 1
mm/th di Alor dan 0,5 mm/th di Sumba (Gambar 3-1).
Konvergensi yang melibatkan gerak lempeng pasifik dan Australia menghasilkan
sesar mendatar dan pengangkatan lemah di pesisir utara Papua, namun pengangkatan di
pegunungan Jayawijaya mencapai 2 mm/th. Konvergensi di bagian ini menghasilkan pula
bentuk jalur tunjaman yang berarah barat timur di Timor berbelok, setelah Tanimbar,
menuju utara dan ke barat di perairan Ceram. Di segmen ini, pengangkatan akibat gerak
tektonik menempatkan endapan gamping terumbu muncul menumpang diatas batuan
volkanik dan batuan terobosan di perairan Maluku.
5. VARIASI PARAS MUKA LAUT: GEJALA TEKTONIK DAN EUSTATIK
Garis pantai adalah rata-rata batas antara air dan darat saat pasang dan surut.
Wilayah pesisir adalah kawasan dimana proses laut dan darat masih saling berpengaruh.
Dengan demikian, garis atau wilayah ini, dapat bergeser seiring perubahan paras muka
laut. Pergeseran tersebut dapat terjadi oleh susutnya permukaan air laut atau gerak vertikal
dari darat (proses tektonik, dll). Sementara itu, perubahan paras muka laut disebabkan oleh
berubahnya volume air atau berubahnya volume cekungan samudra. Pelelehan atau
penumpukan (tudung) es di wilayah kutub (eustatik) adalah salah satu penyebab utama
berubahnya volume air laut seiring perubahan cuaca global (Gambar 5-1). Gejala
pemekaran samudra atau penurunan cekungan adalah penyebab perubahan volume
cekungan (Gambar 5-2).
X
South China
Sea
Asia
X
PACIFIC OCEAN
Sunda Platform X
X
Sahul Platform
X
INDIAN OCEAN
X
X
X site of fauna’s fossils and artefacts
Australia
Gambar 5-1. Pola migrasi manusia purba dan fauna di perairan Indonesia
Makalah dan Presentasi
10
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Gambar 5-2. Pemekaran benua, ditandai oleh pegunungan bawah laut di tengah
samudra
Gejala estatik relatif berulang pada perioda lebih singkat dibanding kurun waktu geologi
yang mengubah volume cekungan lautan (pemekaran samudra). Semua hal tersebut adalah
gejala yang mengendalikan proses berubahnya posisi garis pantai.
Seiring dengan variasi paras muka laut eustasik, pada masa puncak perioda selang
zaman es (interglasial) dan zaman es (glasial), terjadi perubahan tutupan muka bumi yang
berada pada jangkauan amplitudo variasi tersebut. Posisi paras muka laut pada puncak
interglasial - sementara ini dapat diterima oleh para ahli - berada pada posisi 5 m di atas
posisi muka laut saat ini. Berdasar jejak yang ditinggalkan oleh lingkungan pantai yang
ditemukan berada pada kedalaman hingga -145 m, dapat diduga, paling tidak turunnya
paras muka laut sedikit kurang rendah dari posisi tersebut. Koreksi dapat dilakukan dengan
persamaan:
D = h (1 + w/m)
dimana
D
h
w
m
= kedalaman atau posisi terkoreksi paras muka laut
= tinggi kolom air
= densitas air
= densitas alas cekungan/ batuan dasar
Koreksi detil dengan variasi perubahan paras muka laut berdasar regresi linier data
isotop dari foram bentos Uvigerina senticosa: (Hantoro, 1992)
18
Y=  O =-0,01036 X + 3,742, dimana x = h,
-Y + 3,742
D = (1 + w/m —————
0,01036
Makalah dan Presentasi
11
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Dari padanya dapat diartikan bahwa jejak paras muka laut yang ditemukan pada
kedalaman tertentu saat genang laut seperti saat ini, pada dasarnya ketika susut laut
berlangsung, ia akan berada pada posisi lebih tinggi akibat oleh adanya mekanisme
pelentingan lithosfer (isostatic rebound) oleh terbebasnya pembebanan air.
Turunnya paras muka laut berakibat pada keringnya tepi paparan kontinen (Sahul dan
Banda). Luas daerah yang mengalami perubahan tersebut mencakup kurang lebih
2
4.074.836 km (Gambar 5-a)(Hantoro & Handayani, 1993, Wang et al., 1996).
Daratan baru tersebut diperkirakan segera ditutupi oleh tumbuhan hutan tropis dataran
rendah dan rawa. Sejumlah perubahan gejala alamiah segera menyusul kemudian akibat
perubahan tergenang dan keringnya paparan ini, antara lain menyangkut (Hantoro et al.,
1993):
- Evolusi wilayah pesisir membentuk karakter pantai
- Perubahan neraca geo-hidrologi yang mencakup wilayah luas paparan Sunda dan
Sahul
- Neraca produksi primer total di kawasan kepulauan maritim (lautan dan daratan)
- Energi total matahari yang terpantul atau terserap menjadi cadangan di darat atau
lautan
- Mekanisme putaran bahang antara lautan, atmosfer dan daratan
- Mekanisme putaran arus udara dan kelembabannya akibat perubahan mekanisme
putaran bahang.
- Mekanisme dan produksi proses pelapukan batuan, pengangkutan sedimen dan
penegndapan sedimen
- Mekanisme putaran arus samudra (permukaan maupun laut dalam)
- Produksi karbonat di paparan tepi kontinen
- Migrasi flora, fauna dan manusia purba di kepulauan maritim
- Dan lain-lain mekanisme proses alamiah berikut neracanya.
Suatu hal perlu dipikirkan seberapa besar perubahan beban (kolom) air hingga setinggi
100-150 m ini terhadap rheologi cekungan dan lebih jauh lagi; pengaruhnya kemudian
pada mekanisme dinamika kulit bumi antara lain proses pelentingan atau yang tercermin
kemudian pada pola struktur yang berkembang di kawasan pesisir.
6. EVOLUSI KOTA PANTAI DI INDONESIA
Puncak zaman es ditandai oleh susut laut yang mencapai – 145 m dibawah muka
laut sekarang, zaman ini berakhir pada  14.000 tahun lalu (BP), diikuti dengan mulai
naiknya paras muka laut (Gambar 6-1)(Hantoro W.S, 1992). Walaupun belum ditemukan
situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal
sementara manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju
lokasi berikutnya (Gambar 6-2)(Hantoro W.S., 2001). Tempat inilah yang dapat dianggap
sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang
mencapai puncaknya pada zaman Holosen  6.000 tahun (BP) pada  3 m lebih tinggi dari
muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk
ke dalam hilir sungai. Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan
meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta
menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan
menguasai navigasi samudra sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa
Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan
pengetahuan cuaca dan astronomi (Gambar 3-2b).
Makalah dan Presentasi
12
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Gambar 6-1. Kurva variasi paras muka laut Holosen-Resen di Indonesia.
Pemukiman di darat (pedalaman) lebih cepat berkembang dan menjadi penting
karena pertanian merupakan kegiatan terpenting disaat itu serta lebih aman dan nyamannya
pedalaman (kering), sementara pemukiman pantai masih belum dianggap penting karena
sifatnya hanya sebagai pemukiman sementara atau titik bertolak atau berniaga dan tidak
nyaman dihuni. Sebagai bandar niaga, ia menghubungkan kotaraja dengan perdagangan
Asia Tenggara (Cina, Campa, dll), menyisakan kemudian tinggalan tempat ibadah
(kelenteng, dll). Keadaan ini berlangsung hingga pada masa puncak zaman kerajaan Hindu,
disusul kemudian oleh lebih berkembangnya hubungan maritim di awal penyebaran Islam,
yang ikut pula mengembangkan pemukiman pantai sebagai bandar, pusat pendidikan
(pesantren) dan pasar yang lebih penting dari ibukota kerajaan, selain tumbuhnya bandar
baru diluar jangkauan naungan kekuasaan kerajaan. Masa penyebaran dan pemantapan
pengaruh kerajaan Islam saat tersebut dapat dianggap sebagai masa gemilang
perkembangan kota pesisir berikut kegiatannya seiring meningkatnya kegiatan pelayaran
dan perdagangan antar pulau (hasil bumi dan ternak, rempah-rempah, sutera, porselin, dll.).
Ruang kota memilih di sisi muara di perairan terlindung di tempat mana pusat niaga
dibangun berikut sarana ibadah (masjid, pesantren). Ciri demikian ditemukan di hampir
seluruh tempat di Indonesia.
Kedatangan pedagang Eropa dengan cara pemaksaan monopoli memakai
kekerasan, mulai menekan atmosfer perdagangan bebas, berakibat pula berubahnya pola
sosial hingga perkembangan kota pantai. Retensi penduduk lokal dan pedagang lama
ditandai oleh penanganan represif perusahaan dagang Eropa yang kemudian
melanjutkannya dengan menguasai secara penuh kedaulatan kerajaan lokal. Pendirian
benteng yang dibuat di tempat strategis menandai pergeseran pola pengembangan kota
pesisir. Kota dengan dataran pantai luas lebih dianggap aman dengan kelengkapan benteng
sebagai pertahanan dari pada kota pantai berbukit (Jakarta, Makassar, Bengkulu, Cilacap,
dll). Di pulau-pulau kecil, sistim pertahanan benteng di bukit juga diterapkan untuk
menghadapi serangan dari laut (Ambon, Banda, Saparua, dll) sambil mempertahankan
monopoli dan menguasai perdagangan rempah (cengkeh, pala, dll.). Semakin kokohnya
Makalah dan Presentasi
13
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
kekuasan penjajah, dicirikan oleh perluasan kegiatan pembangunan kota keluar dari
lingkungan benteng seiring pembukan pertanian/perkebunan (tebu di dataran rendah dan
teh, kopi, kina, dll di dataran tinggi). Sejumlah kota besar pantai di Indonesia berkembang
dengan ciri kota Eropa dengan sedikit penyesuaian pada arsitektur dan tata ruang menurut
kondisi lingkungannya. Di sejumlah kota pantai berdataran sempit, perluasan mulai
merambah bukit, dicirikan oleh pendirian tempat ibadah (gereja) dan tempat tinggal,
sementara bandar dan kegiatan niaga masih berpusat di sekitar muara (Sibolga, Semarang,
Menado, Kupang, Ambon, dll). Bentuk kepulauan wilayah Indonesia dengan satu-satunya
transportasi laut yang dianggap aman dan efisien menyebabkan kota pantai lebih
berkembang di masa tersebut dan pendudukan kolonial Belanda dalam waktu sangat lama
memberi warna kuat ciri kota pantai. Masa pendudukan Jepang tidak memberikan
perubahan pada kota-kota pantai keciali meninggalkan bunker atau benteng kecil di
beberapa tempat di perbukitan sebagai upaya pertahanan.
Satu dua dekade setelah kemerdekaan, saat konsolidasi kedaulatan republik, tidak
banyak meninggalkan perubahan kota pantai yang masih kental dicirikan atmosfer kota
kolonial. Tiga dekade akhir abad 20 mulai terjadi perubahan pesat ruang wilayah kota
pantai. Terkesan terjadinya lepas kendali dalam pengelolaan kota pantai sehingga batas
daya dukung lingkungan kota pesisir sudah sangat jauh terlampaui, dengan rupa dan akibat
yang saat ini bisa kita lihat dan rasakan.
7. GENESA DAN TIPOLOGI PANTAI
Kepulauan Indonesia terbentuk oleh proses (endogen) rumit geologi dari gejala
konvergensi lempeng (litosfer) menghasilkan bentang alam (fisiografi) yang sangat
kompleks. Demikian halnya dengan pantai pulau-pulaunya, terbentuk seiring evolusi
geologi dengan ciri masing-masing berdasar proses dan mandala geologinya, yang
kemudian terlihat pada keragaman jenis batuan, struktur dan kelurusan, lereng pantai dan
perairan bentuk muara sungai dan lain-lain bagian bentang pantai. Kondisi iklim/cuava
(atmosfer) dan laut (biosfer) mengiringi evolusi tersebut memberi pengaruh (eksogen) pada
proses pembentukan bentang alam. Kegiatan manusia (biosfer) mulai ikut berpengaruh
pada proses evolusi mengubah bentang alam melalui upaya (anthropogenic) mengubah
lingkungan untuk kepentingannya sejak zaman Anthroposen.
Berdasar kenyataan demikian, klasifikasi wilayah pesisir dan pantai di Indonesia
akan lebih sempurna bila didasarkan atas beberapa hal yang menyangkut proses
pembentukan (genesa) dan perubahannya yang melibatkan unsur-unsur di atas. Berdasar
klasifikasi ini, dapat lebih mudah mengenali sifat dan potensi hingga kerawanan yang
dimilikinya, yang bermanfaat sebagai dasar dalam upaya pengelolaannya berdasar
keseimbangan dan kelestarian, di masa yang akan datang.
Suatu pengkelasan pantai berdasar genesa, morfologi serta kondisi perairannya
diusulkan sebagai berikut, mengikuti kriteria-kriteria:
7. 1.
Kendali Tektonik:
Proses tektonik akibat konvergensi gerak lempeng dan kerak adalah sebagai kendali
utama proses yang menghasilkan geologi dan bentang alam pesisir dan pantai saat ini.
a. Penunjaman (Subduction):
Gerak relatif kerak Samudra Hindia dan benua Australia ke utara menghasilkan
penunjaman di bawah Sumatra, Jawa dan sebagian Sunda Kecil (NTB). Penunjamann
Makalah dan Presentasi
14
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
dicirikan oleh palung dalam samudra, lereng depan curam, jalur busur luar dan jalur
volkanik. Pesisir dan pantai jalur ini umumnya dibentuk oleh perbukitan terjal dengan
tebing lereng depan curam tanpa tutupan tumbuhan. Pantai umumnya menerima
langsung hempasan gelombang dan erosi, sementara teluk terbentuk dikontrol oleh
struktur geologi yang rumit dan batas antar litologi. Pasir pantai terbentuk di dataran
sempit hasil akumulasi sedimen sungai. Terumbu karang tumbuh di perairan yang
terlindung di pantai pulau utama dan pulau-pulau kecil.
Ciri morfologi pantai dan pesisir lainnya adalah:
- Tebing curam perbukitan pantai
- Erosi dan abrasi kuat pada tebing curam
- Pantai datar berpasir relatif lurus dengan asupan sedimen dari sungai kadang
membentuk bukit pasir (sand dune) dengan selingan rawa.
- Pola aliran sungai hampir tegak lurus pantai dengan gradient tebing curam lambah
sungai
- Kegempaan kuat dan sering kejadiannya, adakalanya diikuti tsunami
- Penenggelaman bergantian dengan pengangkatan pantai atau terumbu karang
mengiringi proses penunjaman
Curah hujan tinggi dan gejala geologi di kawasan ini memberikan bentang
alam dengan tebing dan lereng curam. Contoh kota pantai di jalur ini adalah: Sibolga,
Padang, Bnegkulu, Cilacap, dll.
b. Tumbukan (collision):
Gerak lempeng yang saling bertumbukan menghasilkan batuan yang tercampur
aduk (chaotic) yang terkerat kuat oleh struktur geologi patahan dan rekahan. Proses
tumbukan dapat diamati hasilnya di kawasan antara Flores hingga Wetar sebagai sisa
jalur volkanik dengan ciri pantai kaki volkanik dengan tutupan batu gamping
terangkat, Sumba sebagai busur luarnya dengan morfologi pantai teras terumbu
terangkat, dan jalur Sabu-Rote dan Timor sebagai jalur tumbukan dengan ciri pantai
curam serta singkapan batu gamping terangkat dengan terobosan lumpur endapan tua.
Contoh kota di jalur ini adalah: Kupang, Waingapu, Baa, dll
c. Gerakan Lateral :
Jenis konvergensi yang menghasilkan batas pertemuan dari lempeng yang
saling geser ini di Indonesia tidak begitu mudah dilihat gejalanya di daratan, kecuali di
kepala burung Irian Jaya yang menghasilkan sesar geser Sorong dengan pegunungan
terjal menghadap langsung ke laut membentuk pantai curam berbukit. Patahan dan
rekahan menandai jalur ini menyebabkan batuan pantai bertebing curam bertambah
rentan longsor dan terabrasi. Pantai di jalur ini umumnya sangat labil dan rawan
bencana, mengingat kegempaan juga relatif tinggi (gempa dan tsunami di. P Biak).
Contoh kota di mandala ini: Biak, Manokwari, Sorong.
d. Kraton Stabil :
Inti atau kraton di Indonesia ditandai oleh hampir absennya kegempaan,
sebagaimana dicatat di Kalimantan (barat dan selatan) yang dianggap sebagai kraton
dari busur kepulauan Indonesia saat ini. Stabilnya kawasan ini dari kerjaan gejala
geologi menyebabkan gaya eksogen (cuaca, dll) mengontrol lebih jauh dengan gejala
denudasi atau pendataran (peneplain) dari bentang alam pegunungan tua menghasilkan
wilayah pesisir sangat luas yang ditempati rawa dataran (lahan) basah (wet land) dari
bentang alam hilir yang telah lanjut. Dataran basah ditutupi rawa atau hutan tropis
Makalah dan Presentasi
15
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
basah. Estuari terbentuk lebar di bagian yang memiliki beda pasang tinggi, yang
pasang naiknya dapat dirasakan di pedalaman jauh dari muara. Rataan tebal bakau
menutup pantai, menahan gempuran gelombang dan menangkap sedimen dari muara
yang menyebar, menghasilkan akresi pantai. Contoh kota di jalur ini adalah:
Pontianak, Banjarmasin.
e. Pantai terangkat dan tenggelam :
Jenis pantai yang mengalami pengangkatan dan penuruan dapat ditemukan di
berbagai pulau di kawasan yang saat ini berada pada jalur aktif tektonik yang
menghasilkan gerak tegak, di jalur tumbukan atau penunjaman. Di darat, gejala ini
terlihat di pantai yang bertutupan tumbuhan adalah tenggelamnya sebagian tumbuhan
(Cassuarina sp, mangrove, dll) atau bentuk khusus terumbu karang yang menandai
gejala ini (out side stepping) dan gejala erosi pantai. Adanya pengangkatan dapat
terlihat dari bentuk undak teras pantai dan adanya akresi pantai sementara munculnya
terumbu karang membentuk daratan merupakan tanda di bagian perairan. Penurunan
daratan dapat diakibatkan oleh adamya kompaksi endapan di pesisir, atau memang ada
gejala kenaikan permukaan air laut. Contoh kota di pulau ini adalah: Waingapu
(Sumba), Tuah Pejat (Mentawai)
f. Volkanik:
Jalur gunung api menempati suatu kelurusan, yang di pulau besar seperti
Sumatra dan Jawa, hasil kegiatannya membentuk kerucut yang kakinya tidak
mencapai pesisir (kecuali beberapa: Muria, Rajabasa, dll), namun di Sunda Kecil,
pulau volkanik relatif kecil dan memiliki gugusan gunung api yang muntahan
kegiatannya mencapai pesisir dan masuk ke laut (Bali-Flores, Alor).
Batuan padat dan keras hasil kegiatan volkanik membentuk tebing curam pantai
pulau gunung api, diseling lereng landai kaki gunung berbatuan lepas dan pasir
membentuk pantai sempit datar. Aliran lava atau lahar seringkali langsung masuk ke
laut, membentuk lereng dasar laut dengan kemiringan dan jenis batuannya tergantung
dari komposisi magmanya. Pantai sempit landai dengan sungai kecil disekitarnya
memungkinkan bakau tumbuh, adakalanya bersisian atau menumpang di atas substrat
pasiran dan terumbu karang. Kota-kota pantai di mintakat ini antara lain: Jepara,
Denpasar, Larantuka, dll.
7. 2.
Pantai dan pesisir berdasar fisiografi kepulauan:
a. Pulau/daratan menghadap ke arah samudera lepas :
Pantai dan pesisir yang menghadap ke arah laut/samudera lepas ditandai oleh
tebing perbukitan curam, pantai berbentang alam kasar, berbukit terjal menerima
hempasan kuat gelombang. Pantai datar berpasir adakalanya menyelingi pesisir ini,
terbentuk oleh endapan sedimen sungai. Jalur ini umumnya erat kaitannya dengan
jalur tumbukan atau penunjaman. Gelombang besar merupakan bagian dari sistim
gelombang samudra, namun tsunami adakalanya terjadi menyusul gempa kuat yang
sering terjadi di jalur ini. Contoh kota di pesisir ini antara lain: Sibolga, Padang,
Bengkulu, Cilacap, dst.
b. Pantai – pesisir yang menghadap cekungan belakang (tepian paparan)
Cekungan belakang dari jalur konvergensi tektonik ditandai oleh paparan landai
luas dengan alur sungai (dendritic) panjang dan dataran tangkapan hujan luas,
Makalah dan Presentasi
16
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan dataran limpahan banjir, ke pantai berawa
dan ber tutupan tebal bakau membentuk muara delta luas dengan pulau pulau delta di
depannya. Jenis pesisir ini dijumpai di perairan timur Sumatra utara Jawa dan selatan
Irian. Contoh kota yang mewakili dan berada di mintakat ini adalah: Lhokseumawe,
Palembang, Jakarta, Semarang, dll.
c. Pesisir menghadap tepian kontinen.
Indonesia memiliki dua tepian kontinen, Sunda dan Sahul yang ke arah mana
beberapa pulau menghadapnya dengan ciri pantai landai dan sangat stabil dari gejala
geologi. Dua paparan tersebut menyisakan bentang alam dataran saat sempat kering
ketika susut laut hingga –145 m dari muka laut sekarang. Bentang alam saat susut laut
memiliki kemiripan dengan bentang pesisir sekarang, ditandai oleh daerah limpahan
banjir, rataan terumbu karang dan bakau serta endapan pasir pantai. Beberapa sisa
bentang alam tinggian masih terlihat berupa pulau pulau di perairan ini (SenayangLingga-Bangka-Natuna-Karimata dll). Landai dan dangkalnya perairan seringkali
menyebabkan kekeruhan akibat agitasi laut saat musim barat sulit hilang. Rataan tipis
bakau menutup pesisir perairan. Sisa pematang pantai purba membentuk rataan tipis
oleh endapan pasir kuarsa. Terumbu karang kurang pertumbuhannya di perairan ini
yang umumnya ditandai oleh air keruh siltasi sedimen agitasi gelombang. Kota-kota
yang mewakili antara lain: Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, dll.
d. Jalur pulau busur luar:
Jalur pulau non volkanik busur luar terbentuk hampir menerus di barat dari
pulau Sumatra menghadap ke lepas Samudra Hindia. Di bagian timur busur Sunda,
busur luar terbentuk kembali sebagai pulau Sumba dan Sabu. Pulau-pulau tersebut
terbentuk dari terangkatnya sedimen laut oleh proses penunjaman dan tumbukan
lepeng, dicirikan oleh lapisan batuan yang terlipat membentuk perbukitan dan
terpotong patahan. Adakalanya batu gamping terumbu karang ikut terangkat keluar
membentuk perbukitan di pantai bertebing curam. Teluk terbentuk oleh struktur
geologi, umumnya padanya bermuara sungai membentuk endapan pasir
disekelilingnya atau tutupan bakau. Dangkalan akibat terangkatnya batuan, ditumbuhi
terumbu karang yang di atasnya seringkali kemudian tumbuh bakau. Sedimen lepas
atau keras terkomkakan dari endapan karbonat di pantai terbentuk dari hasil rombakan
terumbu karang. Pulau-pulau di barat Sumatra mengalami gerak pengangkatan
mengiringi kegempaan yang adakalanya diikuti tsunami, namun ditengarai pula
adanya penurunan. Di Sumba dan Sabu, pengangkatan lebih dominan dan menerus
menghasilkan undak teras. Kota-kota yang mewakili, antara lain: Muara Siberut,
Waingapu, Seba, Baa, dll.
e. Pulau gunung api:
Pantai pulau ini dicirikan oleh endapan bahan volkanik yang dimuntahkan
hingga ke perairan membentuk pesisir pantai landai di bagian mana sering ditumbuhi
bakau dan terumbu karang di perairannya. Endapan lahar atau lava sering mencapai
rataan bakau dan terumbu, namun dapat segera tumbuh pulih kembali setelah 5-6
tahun kemudian. Pulau-pulau ini membentuk jajaran dari Bali hingga Flores. Pantai
curam terbentuk oleh terobosan batuan volkanik atau batuan tufa lelehan dan lahar
konglomeratan yang tersemenkan. Lembah sungai dalam di hulu berakhir pada muara
yang berpantai landai pada pesisir datar, namun sering berupa muara sempit. Contoh
kota yang mewakili mintakat ini antara lain: Denpasar, Mataram, Bima, Banda,
Maumere, dll.
Makalah dan Presentasi
17
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
f. Pulau kecil di laut dalam:
Guyot dan kerucut gunung api aktif banyak ditemukan di perairan Laut Banda,
membubung naik dari kedalaman membentuk pulau yang terisolasi. Pulau-pulau ini
dicirikan oleh lereng perairan curam, namun lereng atas dekat permukaannya sering
dikelilingi oleh terumbu karang yang menempel pada batuan volkanik. Terumbu
karang adakalanya terangkat membentuk undak sempit batu gamping karang dengan
takik ombak, sebagai bukti adanya pengangkatan. Pantai sempit landai adakalanya
ditumbuhi bakau. Contoh kota yang mewakili pemukiman di pulau ini antara lain
adalah Banda.
g. Pulau-pulau kecil di paparan tepian kontinen.
Pulau terbentuk oleh tinggian batuan yang resistan dari kerjaan cuaca di
kawasan geologi yang stabil bagian dari paparan kontinen. Perubahan paras muka laut
lebih mengontrol evolusi morfologi perairan ini membentuk alur perairan dangkal
yang ditutupi endapan pantai dan sungai purba. Dangkalnya perairan menyebabkan
kekeruhan tidak mudah hilang, menyebabkan kualitas terumbu karang kurang baik
namun endapan pantai di perairan tenang mengalasi rataan tebal bakau. Pantai purba
sempit terbentuk di pesisir yang menghadap ke periaran bebas yang bergelombang
kuat yang membantu pembentukan endapan pasir kuarsa putih. Contoh kota yang
menempati gugusan pulau ini adalah: Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, dll.
h. Pulau Delta:
Pulau-pulau delta terbentuk di bagian perairan landai di muara sungai yang
mengalir jauh dari pedalaman mengangkut sedimen yang diendapkan dan membentuk
pulau-pulau ini. Hampir seluruh pulau umumnya ditutupi bakau atau hutan tropis
dataran basah pada kisaran supra tidal atau intertidal. Kota-kota di pesisir timur
Sumatra dari Riau hingga Jambi menempati kawasan ini (Rumbai, dst).
7. 3.
Morfologi:
Kerjaan langsung dari proses geologi (endogen), laut dan cuaca (eksogen)
menghasilkan bentang (morfologi) lanjut pantai dan pesisir. Kenampakannya di lapangan
dapat dibedakan dalam beberapa kelompok, antara lain:
a. Pantai curam singkapan batuan :
Jenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap laut lepas dan
merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curam singkapan batuan
volkanik, terobosan, malihan atau sedimen. Jenis pantai ditemukan pantai barat
Sumatra, Pulau Simeuleule hingga Enggano, Pantai Selatan Jawa, Nusa Dua-Bali,
Pantai selatan Lombok - Flores, Sumba, Sabu, Rote, Timor, Solor - Wetar, Pantai
timur Tanimbar, Pantai utara Ceram Irian Jaya.
b.
Pantai landai atau datar:
Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat kraton stabil atau
cekungan belakang. Absennya gejala geologi berupa pengangkatan dan perlipatan atau
volkanisme, pembentukan pantai dikendalikan oleh proses eksogen cuaca dan
hidrologi.
Makalah dan Presentasi
18
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
Estuari lebar menandai muara dengan tutupan tebal bakau. Bagian pesisir dalam
ditandai dataran rawa atau lahan basah. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di
hulu mengalami erosi. Progradasi pantai atau pembentukan delta sangat lazim.
Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar
sulit ditemukan.
c. Pantai dengan bukit atau paparan pasir:
Pantai menghadap perairan bergelombang dan angin kuat dengan asupan
sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan perbukitan pasir. Kondisi
kering dan berangin kuat dapat membentuk perbukitan pasir. Air tanah seringkali
terkumpul dari air meteorik yang terjebak. Sementasi sedimen terbentuk bila terdapat
cukup kelembaban dari air laut (spray) dan terik matahari. Jenis pantai ini berkembang
baik di perairan yang menghadap samudra Hindia (Sumatra pantai barat, Jawa, dst.).
Paparan pasir juga terbentuk di perairan yang menghadap cekungan dalam di
pulau kecil atau gunung api sejauh cukup landai lereng pantai dan sedimen sungai
serta agitasi gelombangnya.
d. Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar:
Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah
muara sungai kecil berjajar padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis
lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidak seimbangan lereng
dasar perairan dan asupan sedimen.
e. Pantai berbukit dan tebing terjal:
Bentang pantai ini ditemukan di berbagai mintakat berbeda, yaitu di jalur
tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau sisa tinggian di paparan tepi kontinen,
jalur busur luar atau jalur tektonik geser. Batuan keras yang terkerat patahan dan
rekahan umun dijumpai di kawasan yang gejala tektoniknya kuat. Batuan terobosan
atau bekuan tufa dapat membentuk tebing terjal di pantai pulau volkanik. Di kawasan
dengan proses pengangkatan dan pelipatan, kecuraman lereng pantai atau bukit
adakalanya tergantung arah lipatan dan kemiringan perlapisan dan kekerasan maupun
kestabilan batuannya. Terjalnya tebing pantai dan kuatnya agitasi gelombang
meniadakan peluang terumbu karang tumbuh, demikian halnya dengan bakau.
Tutupan tumbuhan masih mampu tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan
dengan curah hujan memadai.
f. Pantai erosi
Terjadinya erosi terhadap pantai disebabkan oleh adanya: batuan atau endapan
yang mudah tererosi, agen erosi berupa air oleh berbagai bentuk gerak air. Gerak air
dalam hal ini bisa berupa arus yang mengikis endapan atau agitasi gelombang yang
menyebabkan abrasi pada batuan. Erosi tidak hanya berlangsung di permukaan, namun
juga yang terjadi di permukaan sedimen dasar perairan.
Erosi maksimum terjadi bila enersi dari agen erosi mencapai titik paling lemah
materi tererosi. Pada sedimen lepas di pantai, arus sejajar pantai oleh adanya
gelombang atau arus pasang surut sudah mampu menjadi penyebab erosi. Erosi yang
terjadi pada dasar perairan akan mengubah lereng yang berdampak pada perubahan
posisi jatuhnya enersi gelombang pada pantai. Berikutnya, agitasi gelombang dapat
merusak titik terlemah dari apapun yang ditemukan dengan enersi maksimal.
Pencapaian titik terlemah dapat terjadi bila saat badai dengan gelombang kuat terjadi
bersamaan dengan posisi paras muka laut jatuh pada sisi paling lemah, yaitu
Makalah dan Presentasi
19
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
permukaan rataan pasir pantai. Erosi diperparah bila sedimen sungai yang menjadi
penyeimbang tidak cukup mengganti sedimen yang tererosi.
Jenis pantai dengan ancaman seperti ini terdapat di pesisir barat Sumatra,
selatan Jawa dan beberapa tempat yang menghadap perairan dengan agitasi gelombang
kuat.
Pada tebing pantai batuan keras, abrasi terjadi pula namun memerlukan waktu
lama untuk menghasilkan dampak yang terlihat. Takik pada batuan di ketinggian
tertentu diakibatkan kerjaan abrasi ini, bila takik terlalu dalam dan beban tidak dapat
tertahan lagi, bagian atas tebing runtuh. Pada beberapa kejadian, takik juga dipercepat
dalamnya oleh kegiatan pelubangan biota.
g. Pantai akresi:
Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen lebih dari jumlah
yang kemudian dierosi oleh laut. Dengan demikian, akresi merupakan kebalikan dari
proses erosi. Keseimbangan yang menyebabkan dua proses tersebut berlangsung
bergantian adalah kondisi: berubahnya paras muka laut, perubahan enersi agen erosi,
perubahan jumlah sedimen yang tersedia, dan lereng dari dasar perairan. Akresi pantai
oleh sedimen halus sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai
penguat endapan baru dari erosi atau longsor. Kecepatan akresi di beberapa pantai
dikendalikan oleh intensifnya sedimentasi hasil erosi di hulu.
7.4.
Ekosistem tutupan biota:
a. Bakau
Tutupan bakau memerlukan pesisir landai dengan substrat lumpur atau sedimen
halus, serta dekat muara sungai agar tersedia cukup air tawar. Bakau dapat membentuk
rataan sangat luas di pesisir tepian pulau kraton atau cekungan belakang yang landai
dan luas. Bakau juga tumbuh di pulau-pulau kecil bila menemukan pantai landai dan
cukup air tawar. Adakalanya bakau tumbuh di atas rataan terumbu karang.
b. Terumbu karang
Terumbu karang tumbuh di perairan hangat, jernih dan terlindung dari agitasi
kuat gelombang. Sifat tumbuhnya yang memerlukan sinar matahari, ia selalu berusaha
dekat dengan permukaan air laut. Tingkat keragaman komponen terumbu dan kualitas
individunya tergantung dari kualitas lingkungan yang dikontrol oleh kondisi fisikokimia perairan dan, saat ini, kualitas terumbu karang menurun akibat dampak kegiatan
manusia dalam penangkapan ikan. Terumbu karang memiliki banyak fungsi, antara
lain: secara fisis melindungi pesisir dari agitasi gelombang, menghasilkan sedimen
karbonat penyeimbang dasar perairan dan perlindungan bagi biota laut.
c. Bakau di atas terumbu karang:
Dinamika perubahan relatif paras muka laut, suplai air tawar dan kemampuan
adaptasi biota laut menghasilkan gejala simbiosa antara bakau dan terumbu karang
(dan ikan) yang tumbuh di satu ekosistim.
d. Rumput laut :
Rataan luas pasir karbonat di terumbu karang pada perairan intertidal
memberi peluang tumbuhnya rumput laut (segrass dan seaweed) memperkaya
Makalah dan Presentasi
20
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
keragaman habitat wilayah perairan. Perairan relatif jernih dengan substrat pasir halus
karbonat disukai oleh biota ini.
e. Estuari dan paparan intertidalnya:
Pasang naik dan pasang surut tinggi membentuk estuari, namun meninggalkan
juga endapan lumpur luas yang tebal namun muncul saat surut. Rataan ini merupakan
habitat subur bagi jenis kerang-kerangan (bivalve)
f. Pantai kering batu gamping:
Di kawasan dengan curah hujan tahunan tipis, lembah dalam sungai mengiris
perbukitan undak pantai dengan aliran air hanya saat hujan tiba. Akresi pantai hanya
terjadi oleh terangkatnya rataan terumbu membentuk undak pantai baru. Sedimen hasil
rombakan terumbu karang terakumulasi di bagian cerukan pantai atau pantai landai
membentuk paparan datar. Terbatasnya suplai air tawar dan sedimen sungai
menyebabkan perairan terjaga bersih, namun membatasi bakau di periaran yang
memperoleh air tawar dari sungai yang lebih teratur aliran air tawarnya. Pantai kering
dapat terbentuk pulau dari batuan volkanik di kawasan bercurah hujan rendah. Jatuhan
batu di tebing sering menandai jenis pantai ini.
g. Lahan basah (wetland):
Dapat berupa delta atau pesisir berawa bagian pulau yang menghadap mintakat
stabil geologi. Kawasan pesisir ini dicirikan oleh dataran berawa tumbuhan tropis di
limpahan banjir sungai yang alirannya berkelok hingga dataran supratidal-intertidal di
mintakat bakau.
7.5.
Pantai dengan pengaruh kegiatan manusia:
a. Pemukiman Tradisional:
Pantai dan pesisir telah terubah dari bentang dan bentuk semula oleh kebutuhan
manusia yang dibangun sepanjang pantai atau pesisir. Pemukiman dan pelabuhan
merupakan perubahan yang paling awal dilakukan di pantai.
- Diatas perairan:
Manusia yang kehidupannya tergantung pada laut merasa nyaman tinggal
dan membangun pemukimannya di atas air (Suku Bajo, Orang Laut, dll). Pemukiman
dibangun dan disangga oleh tiang kayu di atas batas pasut tertinggi.
- Diatas pematang pantai :
Pemukiman dapat juga dibangun diatas rataan pasir pantai yang terbebas
dari pasang tertinggi, di tempat mana manusia dapat memperoleh air tawar dari
sumber atau dengan membuat sumur. Kegiatan meramu hutan dan bercocok ringan
mulai dilakukan.
b. Pemukiman baru
Pembangunan pemukiman baru dilakukan di pesisir dengan memperkuat pantai,
membuat perlindungan dari erosi dan limpasan gelombang. Pembuatan turap
pelindung mengubah sama sekali bentang pantai. Bakau dihilangkan untuk
memperoleh pandangan ke laut lepas.
Makalah dan Presentasi
21
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
c. Pelabuhan
Tempat berlabuh memerlukan perairan tenang terbebas setiap saat dari
kesulitan sandar dan memrlukan perairan dalam. Perluasan pelabuhan untuk ukuran
kapal lebih besar mengubah bentang alam, yang semula hanya terbuat dari dermaga
kayu sederhana menjadi demikian masif terbuat dari bangunan beton dengan turap.
Pembangunan pelabuhan mengubah bentang pantai.
d. Kota Besar Pesisir
Pembangunan pemukiman berskala besar dari perluasan kota cenderung
berdampak pada terubahnya bentang alam wilayah pesisir menjadi blok-blok
perumahan yang penataannya lebih didasarkan pada efisiensi ruang semaksimal
mungkin. Kondisi demikian tidak lagi mengindahkan keperluan keseimbangan estetika
mupun daya dukung lingkungan. Adakalanya pengelolaan limbah pemukiman juga
terabaikan dengan dampak semakin buruknya kualitas pantai dan perairan.
e. Pantai Reklamasi:
Reklamasi pantai demi memperoleh lahan lebih luas merupakan kegiatan
palingburuk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah pesisir.
Penataan
ruang bentang alam yang diperoleh harus dilakukan dengan perhitungan dan
perencanaan yang matang sehingga ruang baru dapat menyatu dengan bentang alam
asli disekelilingnya.
f. Tambak (ponds):
Tambak dibangun diperairan intertidal dengan membuka tutupan lahan asli
berupa bakau dan lahan rawa. Kegiatan ini mengubah bentang alam dalam skala luas
di pesisir datar dengan kisaran pasut tidak terlalu kuat. Seringkali tambak dibuat
langsung di perairan pinggir laut, namun seringkali menyisakan rataan tipis bakau
sebagai pelindung dan penangkap sedimen. Pertambakan luas dikembangkan di
perairan tepian kontinen.
g. Hunian wisata:
Beberapa tempat terpilih sebagai kegiatan hunian wisata, dalam format besar
dan modern maupun kecil bernuansa ekowisata. Bentang alam umumnya terubah pada
hunian wisata masif dan modern berupa hotel atau bungalow, sementara nuansa asli
seringkali justru dipertahankan pada hunian ekowisata.
8. KESIMPULAN DAN SARAN
Menutup ulasan mengenai karakeristik pantai dan pengaruhnya pada perkembangan
kota, dapat disampaikan beberapa catatan, saran dan kesimpulan, antara lain:
1. Bentang alam wilayah pesisir dan pantai dibentuk oleh gejala endogen geologi.
Tiga gejala utama tektonik yang mengontrol awal bentang alam adalah tunjaman
dan tumbukan lempeng, gerak geser antar lempeng, gunung api dengan komponen
gerak tegaknya. Cekungan belakang busur ditandai oleh penurunan yang
membentuk sedimen tebal. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan
kemampuan bertahan dari kerjaan laut dan cuaca.
2. Di perairan stabil tanpa gejala geologi (endogen), di bagian yang mengalami
pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai, selanjutnya
Makalah dan Presentasi
22
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut
(erosi, sedimentasi).
Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai
yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari pemukiman dan pelabuhan
sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun
sebagai awal pemukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di dataran alluvial,
di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di
pantai dataran limpah banjir.
Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari saat ke saat
melalui beberapa perioda masa penjajahan dan kemudian masa setelah
kemerdekaan. Perkembangan dan perluasan kota yang berstatus kota pusat
pemerintahan terlihat lebih pesat.
Perluasan kota untuk pemukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian
halnya dengan pembangunan sarana pelabuhan dan transportasi lain.
Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi
perniagaan, pertanian/perkebunan dan industri, sementara marikultur dan industri
hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai saja atau hanya sebagai
suplemen kecil usaha ekonomi. Perlu peningkatan usaha ekonomi kelautan di
segala lini (industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, wisata, dll)
Pertumbuhan kota-kota pantai di akhir abad 20 an cenderung mangabaikan daya
dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi
merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan
merambah lingkungan yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga, antara
lain yang berada di hulu, hilir, pantai dan perairan dengan pulau-pulau di depannya.
Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang mengontrol bentang
alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini. Mengingat demikian kuat
pengaruhnya hingga saat ini seiring perkembangan kota, maka gejala tersbut harus
diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan kelestarian
lingkungan kota pantai.
Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam tergantung pada gejala alam
apa saja yang mengontrolnya. Namun secara regional, ancaman kenaikan muka air
laut estatik - walaupun akan dirasakan hampir semua kota pantai dengan besaran
dampak berbeda tergantung bentang alam dan gelogi di atas mana kota dibangun.
Kota pantai berbukit hampir tidak terpengaruh oleh gejala ini sementara kota di
pesisir delta atau pulau kecil, akan merasakan akibat gejala ini dengan ancaman
sangat serius pada kerusakan langsung pada pantai oleh erosi dan penenggelaman.
Ucapan Terima kasih:
Penyiapan tulisan ini tidak lepas dari bantuan teknis pengadaan sejumlah data,
antara lain data citra satelit oleh beberapa kolega: Ir Suwijanto dan Ir. Tjoek Azis
Soeprapto Msc, data pustaka lain oleh rekan-rekan yang tidak tersebutkan di sini. Untuk itu
diucapkan terima kasih atas bantuannya.
Makalah dan Presentasi
23
Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Hantoro W.S.,1992 : Etude des terrasses récifales quaternaires soulevées entre le
détroit de la Sonde et l'”le de Timor, Indonésie Mouvements Verticaux de la Croûte
terrestre et variations du niveau de la mer. Ph.D Thesis Univ. d'Aix Marseille II.
France. Vol I 761p et Vol. II 225p. Published.
Hantoro W.S., Handayani L., (1993) The post glacial carbonate production of the lost
epicontinental
platform
in
the
Pacific-Indian
Ocean
Gateways.
In:
Proceedings of the CLIP Unesco IUGS Meeting, Mombasa, Kenya, December 1320, 1993. (g)
Hantoro W.S., Faure H., Djuwansah R., Faure-Denard L.,Pirazzoli P.A., 1993. The
Sunda and Sahul Continental platform: Lost land of the last glacial continent in
S.E. Asia. Extended Abstract In: IGCP 253-274 workshop, Dakar, Senegal, May 3-5,
1993.
Hantoro W.S. 2001. Low stand sea level and landform changes: climatic changes
consequence to epicontinental shelf and fauna migration through Indonesian
Archipelago. In Preceeding of: “The environmental and Cultural History and
Dynamics of the Australian-Southeast Asian Region” seminar, Melbourne, December
10-12, 1996.
Moore G.F., Curray J.R., Moore D.G., Karig D.E., 1980. Variations in geologic
structure along the Sunda fore-arc, northern Indian Ocean. In: D.E. Hayes (Editor),
The Tectonics and Geologic Evolution of the Southeast, Asian Seas and Basins.
Geophys. Monographs, 23, Am. Geophys. Union, Washington, D.C., pp. 145-160.
Mc Caffrey R., Molnar P., Roecker S.W., Joyodiwiryo Y.S., 1985. Microearthquacke
seismicity and fault plane solution related to arc-continent collision in the eastern
Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, 90: 4511-4528.
McCaffrey R., 1991. Slip vectors and stretching of Sumatran fore arc. Geology 19,
881-884.
McCaffrey R., Abers G.A., 1991. Orogeny in arc-continent collision: The Banda arc and
Western New Guinea. Geology, v.19, p.563-566 ,June 1991.
Wang P.X., Bradshaw M., Ganzei S., Tsukawaki S., Hantoro W.S. Hassan K., Poobrasert,
1996. Paleogeographical Map of The Last Glacial Maximum 1:20 000 000, Westpac
Intergovernmental
Oceanographic
Commission,
IOC/Westpac
SubCommission publication. 1996.
Daftar Gambar:
Gambar 1-1
Gambar 2-1
Gambar 3-1
Gambar 3-2a.b
Gambar 4-1
Gambar 5-1
Gambar 5-2
Gambar 6-1
Makalah dan Presentasi
:Fisiografi Benua Maritim Indonesia
: Model GCM untuk pemanasan global
: Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen Sunda.
: Gambaran gejala iklim lokal dan global
: Geologi regional Indonesia dan Asia Tenggara
: Pola migrasi manusia purba, flora dan fauna saat susut laut
: Pemekaran samudra
: Kurva perubahan paras muka laut Holosen di perairan Indonesia
24
Download