ISOLATION AND IDENTIFICATION OF SOIL MOLD FROM WONOREJO AREAS, SURABAYA ABSTRACT Isolation and identification of soil mold along the Wonorejo, East Coast Surabaya was performed in the Mycology laboratory of the Biology department, ITS Surabaya in April 2010 to May 2011. The sediments were taken from 4 different areas; seaside (salinity 26‰), pond (salinity 9‰), riverside (salinity 3‰) and public settlement (salinity 1.7‰). The medium was Potato Dextrose Agar (PDA) containing 100 mg Chloramphenicol® with salinity referring to sample area. This study was successfully isolated 58 soil mold which were tended to fall into 18 genera of mold; Aspergillus, Fusarium, Penicillium, Paecylomyces, Verticillium, Trichoderma, Scopulariopsis, Curvularia, Stachybotrys, Papulospora, Gliocladium, Gliomastix, Acremonium, Chaetomium, Mortierella, Absidia, Exophiala and Cephaliophora. Key words: mold, isolation, identification ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG TANAH DARI KAWASAN WONOREJO, SURABAYA ABSTRAK Penelitian isolasi dan identifikasi kapang tanah dari sedimen sepanjang Wonorejo, Pantai Timur Surabaya telah dilakukan di laboratorium Mikologi, Biologi ITS Surabaya pada bulan April 2010 hingga Mei 2011. Sampling area dibagi menjadi 4 titik, yaitu pinggir pantai (salinitas 26‰), tambak (salinitas 9‰), pinggir sungai (salinitas 3‰), dan pemukiman (salinitas 1.7‰). Medium yang digunakan untuk isolasi adalah Potato Dextrose Agar (PDA) yang mengandung 100 mg Chloramphenicol® dengan salinitas sesuai titik sampling. Sepanjang Wonorejo, Pantai Timur Surabaya telah berhasil diisolasi 58 kapang tanah yang dapat dimasukkan ke dalam 18 genus kapang; yaitu Aspergillus, Fusarium, Penicillium, Paecylomyces, Verticillium, Trichoderma, Scopulariopsis, Curvularia, Stachybotrys, Papulospora, Gliocladium, Gliomastix, Acremonium, Chaetomium, Mortierella, Absidia, Exophiala dan Cephaliophora. Kata kunci : kapang, isolasi, identifikasi PENDAHULUAN Kapang (molds) adalah jamur berfilamen. Disebut berfilamen karena tersusun atas hifa yang berbentuk benang (Brock et al., 1994). Kapang di alam memiliki peranan yang besar dalam siklus nitrogen, fosfor dan karbon (Sonjak, 2009), bersimbiosis dengan akar tanaman (Boddy, 1999), biodegradasi (Valentin, 2006) dan bioremidiasi (Gadd and Sayer, 2000). Dalam kegiatan industri, kapang memiliki potensi yang berbeda karena setiap kapang memiliki keunikan sifat dan karakteristik. Ada kapang yang berperanan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan antibiotik (Akio, 2009), enzim (Palaniswamy, 2006 dan Luis, 2006), sebagai bahan pangan, obat-obatan, penyubur lahan, biopestisida, serta obyek dalam penelitian genetika (Alexopoulos et al., 1996). Lingkungan Indonesia yang tropik dan lembab merupakan lingkungan ideal untuk pertumbuhan kapang (Hawksworth, 1991), salah satunya adalah kawasan Wonorejo di Pantai Timur Surabaya. Daerah ini memiliki potensi keanekaragaman jenis burung-burung pantai (Widhi, 2008) dan keanekaragaman tumbuhan mangrove (Arisandi, 1996). Seresah daun dan hewan yang mati merupakan sumber bahan organik pada suatu habitat. Menurut Rao (1994), bahan organik tanah berasal dari sisa tumbuhan (seresah) dan sisa hewan yang terus menerus mengalami perubahan bentuk karena faktor biologi, fisika dan kimia. Bahan organik dibutuhkan mikroorganisme untuk melangsungkan metabolismenya (Rao, 1994). Sehingga tanah Wonorejo berpotensi sebagai substrat alami yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Studi keanekaragaman rhizobakteria dan profil protein tentang mikroorganisme dari kawasan Wonorejo, Pantai Timur Surabaya sudah pernah dilaporkan oleh Ashuri (2009) dan Purwati (2009). Sedangkan Retnowati (2009) menemukan spesies baru Streptomyces yang mampu menghasilkan antibiotik potensial dari kawasan tersebut. Pada kawasan pantai lainnya, yaitu kawasan Pantai Utara Surabaya, telah dilakukan studi keanekaragaman kapang di kawasan tersebut dan berhasil diidentifikasi 7 genus kapang, yaitu; Aspergillus, Penicillium, Paecylomyces, Trichoderma, Gliocladiurn, Gonatobotryum dan Syncephalastrum (Affandi, 2000). Kawasan Wonorejo berpotensi sebagai substrat alami untuk pertumbuhan mikroorganisme, khususnya kapang tanah. Akan tetapi belum diketahui genus-genus kapang tanah di daerah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui genus-genus kapang tanah dari kawasan Wonorejo, Pantai Timur Surabaya. BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan pada bulan April 2010 di sepanjang kawasan Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur. Pengambilan sampel tanah Tanah diambil dengan menggunakan bor tanah (correr) berdiameter ± 5 cm pada kedalaman 0-10 cm. Sampel tanah diambil dari 4 titik sampling yang berbeda, yaitu ; pinggir pantai, pinggir sungai, pertambakan dan pemukiman. Sampel tanah dimasukkan ke dalam plastik steril, diikat rapat dan dimasukkan ke dalam ice box dengan suhu sekitar 40C. Uji fisik lingkungan dilakukan dengan pengukuran kelembaban, pH, salinitas dan suhu tanah saat pengambilan sampel. Pengkayaan dan Isolasi Pengkayaan dilakukan dengan memodifikasi Boldu (2001). Secara aseptik 5 gram tanah dari masing-masing titik sampling ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmeryer berisi 100 ml medium cair dan dihomogenkan. Kemudian diinkubasi di rotary shaker 130 rpm pada suhu ruang selama 7 hari. Isolasi dilakukan secara aseptik dan dilakukan duplo. Suspensi hasil pengkayaan sebanyak 1 ml dilarutkan ke dalam 9 ml akuades steril yang kemudian suspensi ini disebut sebagai pengenceran 10-1. Selanjutnya 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 dilarutkan ke dalam 9 ml akuades steril dan disebut sebagai pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan secara bertingkat sampai diperoleh pengenceran 10-4. Hasil pengenceran diambil 0,1 ml dan diinokulasikan ke bagian tengah cawan Petri dan ditambahkan 15 ml medium PDA steril yang masih cair dengan suhu sekitar 400C. Kemudian cawan Petri ditutup dan digerakkan membentuk angka delapan (8) untuk menghomogenkan medium dengan inokulum. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 4 hari (Siswanto, 2006). Pemurnian Koloni kapang yang tumbuh dimurnikan dengan propagasi koloni, yaitu memotong dan memindahkan secara aseptik sebagian miselium kapang ke dalam medium biakan padat baru (Alexopoulos et al., 1996) dan diinkubasi pada suhu ruang sampai tumbuh koloni. Pemindahan koloni dilakukan secara bertingkat sebanyak 3 kali sampai diperoleh isolat murni. Isolat murni kemudian diinokulasi ke dalam tabung reaksi berisi medium padat miring secara duplo. Satu tabung untuk proses identifikasi dan karakterisasi, sedangkan satu tabung lainnya untuk sediaan biakan yang disimpan dalam lemari es pada suhu 40C. Identifikasi Kapang Identifikasi berdasarkan panduan kunci identifikasi Pengenalan Kapang Tropik Umum (Gandjar, 1999), Illustrated Genera of Imperfecti Fungi (Barnett, 1969) dan Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi (Watanabe, 1994). Identifikasi kapang dilakukan dengan mengamati beberapa karakter morfologi baik secara makroskopis maupun secara mikroskopis. Secara makroskopis karakter yang diamati meliputi; warna koloni dan warna sebalik koloni (reverse side), permukaan koloni: berupa granular, seperti tepung, menggunung, licin. tetes-tetes eksudat, garis-garis radial dari pusat koloni ke arah tepi dan lingkaran-lingkaran konsentris. Pengamatan secara mikroskopis dengan cara membuat preparat biakan di atas kaca objek kemudian dilihat karakternya meliputi; hifa, pigmentasi hifa, bentuk dan ornamentasi spora (vegetatif dan generatif), bentuk dan ornamentasi tangkai spora, dan lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengkaji keanekaragaman kapang yang ditemukan di sepanjang kawasan Wonorejo. Titik sampling adalah empat titik berbeda yang mewakili kawasan tersebut, yaitu pinggir pantai (salinitas 26‰), tambak (salinitas 9‰), pinggir sungai (salinitas 3‰), dan pemukiman (salinitas 1.7‰). Isolasi kapang dilakukan menggunakan medium padat PDA bersalinitas tertentu, sesuai dengan habitat kapang. Dari total 58 isolat kapang yang berhasil diisolasi, ternyata diidentifikasi ke dalam 18 genus kapang, yaitu Aspergillus, Fusarium, Penicillium, Paecylomyces, Verticillium, Trichoderma, Scopulariopsis, Curvularia, Stachybotrys, Papulospora, Gliocladium, Gliomastix, Acremonium, Chaetomium, Mortierella, Absidia, Exophiala dan Cephaliophora. Isolat yang ditemukan merupakan kapang yang tidak diketahui siklus reproduksi seksualnya. Menurut McKane dan Kandel (1985), reproduksi seksual yang belum diketahui merupakan karakteristik jamur dari filum Deuteromycetes, dan biasa disebut jamur imperfek. Berdasarkan Tabel 1, dapat terlihat bahwa genus Aspergillus mempunyai frekuensi kehadiran paling tinggi yaitu 100%, yang menandakan bahwa genus tersebut hadir di tiap titik pengambilan sampel. Kemudian terdapat 4 genus yang mempunyai frekuensi kehadiran sebesar 75%, yaitu Paecylomyces, Penicillium, Verticillium dan Fusarium. Genus Paecylomyces dan Verticillium menempati titik yang sama, yaitu pertambakan, pinggir sungai dan pemukiman. Fusarium terdapat pada pinggir pantai, pertambakan dan pinggir sungai. Sedangkan Penicillium ditemukan di pinggir pantai, pinggir sungai dan pemukiman. Frekuensi 50% dimiliki genus Scopulariopsis dan Trichoderma yang sama-sama menempati pertambakan dan pinggir sungai. Terakhir adalah persentase 25% dengan rincian genus Curvularia terdapat di titik 1 saja (pinggir pantai), genus Cephaliophora hanya di pemukiman, tiga genus (Gliocladium, Stachybotrys, Papulospora) di pertambakan, dan enam genus (Gliomastix, Acremonium, Chaetomium, Mortierella, Absidia dan Exophiala) di pinggir sungai. Selain 18 genus yang telah ditemukan, terdapat 4 isolat yang masuk dalam Mycelia Sterilia. Menurut Barnett (1969), Mycelia Sterilia menghasilkan sporodocium somatik, sklerotia, atau bulbil. Tidak ditemukan adanya struktur seksual maupun aseksual pada kapang tersebut, oleh karenanya pengidentifikasian hanya diketahui karakteristik miselianya. Mycelia Sterilia memiliki frekuensi kehadiran 50% (Tabel 2), dengan menempati titik 1 dan titik 4. Di titik 1 atau daerah pantai ditemukan 13 isolat yang terdiri dari 4 genus, yaitu Aspergillus, Fusarium, Penicillium dan Curvularia. Sedikitnya jumlah isolat dan genus yang ditemukan menunjukkan bahwa di dalam air laut terdapat senyawa mikostatik yang menghambat pertumbuhan spora fungi terrestrial, akan tetapi tidak untuk fungi laut (Kohlemeyer, 1979). Sehingga diduga sedikitnya genus kapang terestrial yang ditemukan di lokasi estuarin ini, karena lokasi ini masih dipengaruhi genangan air laut. Disisi lain daerah pantai tersebut terdapat hutan mangrove yang merupakan ekosistem penghubung antara dua ekosistem, yaitu ekosistem laut dan ekosistem darat. Informasi mengenai mikroorganisme di daerah mangrove belum banyak diketahui (Gandjar, 2006). Seresah dari dedaunan tumbuh-tumbuhan mangrove menyumbang nutrien ke tanah yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme setempat. Mengingat lingkungan mangrove pada waktu pasang digenangi air laut, maka mikroorganisme yang hidup di daerah tersebut harus memiliki ketahanan terhadap lingkungan berkadar garam tinggi (Gandjar. 2006). Pada titik 2 (pertambakan) ditemukan 20 isolat yang terdiri dari 9 genus, yaitu Aspergillus, Fusarium, Paecylomyces,