Perubahan Sosial di Pedesaan Bali

advertisement
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
Tinjauan Teoritis Perubahan Sosial
• Dari Klasik Sampai Modern
“Anda tidak mungkin melangkah dua kali dalam sungai yang
sama”, demikian kata Heraclitus, filosof Yunani yang hidup pada masa
535-475 SM. Dengan kata-kata itu, Heraclitus ingin mengemukakan
pemikirannya bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya selalu
berubah: “Panta chōrei kai ouden menei” (semuanya berubah dan tidak
ada yang tetap). Pemikiran Heraclitus itu sendiri sebenarnya bukan
satu-satunya yang berkembang karena pada masa yang hampir
bersamaan, Permenides (520-450 SM), justru meyakini dan
mengemukakan pandangan yang sebaliknya. Menurut filosof dari Elea
itu, realitas dunia itu satu, eksistensinya tidak kenal waktu (timeless)
dan bentuknya satu (uniform). Sehingga perubahan itu, sulit
dibayangkan, atau bahkan tidak mungkin terjadi.
Dalam perkembangannya kemudian, pemikiran Heraclitus
sering dihubungkan dengan gagasan tentang perubahan masyarakat
dan sebaliknya pemikiran Permenides sering dikaitkan dengan gagasan
yang menyangkut kestabilan masyarakat. Tetapi terlepas dari adanya
perbedaan pandangan dari kedua filosof Yunani jaman Pra-Sokratik
itu, apa yang dikemukakan oleh Heraclitus ini menunjukkan bahwa
gagasan atau konsep perubahan sosial itu sesunguhnya memiliki akar
pemikiran sejarah yang sangat panjang, dan terus berkembang hingga
dewasa ini.
Tetapi dalam konteks pemikiran yang berkembang sekarang,
apa yang dimaksudkan dengan konsep perubahan sosial (social change)
itu sendiri? Wilbert Moore, sebagaimana dikutip oleh Laurer (2003),
mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur
sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola
perilaku dan interaksi sosial. Selanjutnya dalam pengertian struktur
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sosial dimasukkan pula ekspresi seperti norma, nilai dan fenomena
kultural. Sehingga dengan demikian pengertian perubahan sosial bisa
pula mencakup didalamnya pengertian perubahan kultural.
Soemardjan (2009: xxiv-xxvii), dalam bukunya berjudul
“Perubahan Sosial di Yogyakarta” mengemukakan pula bahwa
perubahan sosial pada dasarnya sulit dipisahkan dengan perubahan
kultural atau budaya. Menurut Soemardjan, perbedaan antara
perubahan sosial dengan perubahan budaya bahkan hanya mungkin
dilihat hanya pada tingkat analisa. Tetapi dalam praktiknya sangat sulit
untuk membedakan antara yang satu (perubahan sosial) dan yang
lainnya (perubahan budaya).
Sebagai tambahan, pengertian “penting” dari kata “perubahan
sosial yang penting” seperti disebutkan di atas, mengacu pada situasi
atau keadaan bahwa perubahan yang dimaksudkan membawa
konsekuensi tertentu yang dianggap atau dinilai penting terhadap
struktur sosial atau bahkan sistem sosial secara lebih luas. Oleh karena
itu pula pengertian penting di sini juga mengandung dimensi penilaian
dan pendapat (judgments) dari para pihak yang terlibat langsung atau
tidak langsung dengan proses perubahan yang bersangkutan. Termasuk
dalam hal ini adalah mereka yang mengamati, mengkaji, atau meneliti
proses perubahan sosial tersebut. Dengan pemahaman seperti ini maka
permasalahan perubahan sosial pada intinya bukanlah terutama
permasalahan “ada atau tidak ada” perubahan, tetapi yang lebih
penting adalah seberapa jauh perubahan sosial itu terjadi, bagaimana
arahnya, dan tentu saja pada akhirnya, apa konsekuensi dan hasilnya
terhadap perkembangan struktur sosial yang ada.
Sementara itu, sama seperti Wilbert Moore, Harper (1989),
dalam bukunya berjudul “Exploring Social Change”, juga mengartikan
perubahan sosial sebagai perubahan penting dalam struktur sosial.
Dalam hal ini, definisi tentang struktur sosial diartikan dalam
pengertian yang hampir sama bagi keduanya. Kalau Wilbert More,
misalnya, mengartikan struktur sosial sebagai pola-pola perilaku dan
interaksi sosial, maka Harper mengartikan struktur sosial sebagai satu
jaringan relasi sosial yang bersifat tetap di mana didalamnya terjadi
34
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
interaksi yang rutin dan berulang (a persistent network of social
relationships in which interaction has become routine and repetitive).
Di sini bisa dilihat bahwa yang dimaksud dengan satu jaringan relasi
sosial yang bersifat tetap hampir sepadan artinya dengan pola-pola
perilaku (yang bersifat tetap, tentunya); dan interaksi yang rutin dan
berulang hampir sama maksudnya dengan pengertian interaksi sosial
menurut Wilbert Moore.
Hampir sejalan dengan Haper, Schulte-Nordhlot (1971: 9-18)
memaknai struktur sosial pertama kali sebagai “sesuatu yang bersifat
permanen” (structure denotes something permanent). Sesuatu yang
bersifat permanen itu mengacu pada tindakan manusia (human
actions). Selanjutnya menurut Schulte-Nordhlot, “the essensial idea is
parts or components are arranged in an orderly way to constitute what
may be comprehended as some kind of systematic unity”. Atas dasar
pengertian ini, Schulte-Nordholt (1971: 11) dalam bukunya berjudul
“The Political System of Atony Timor”, memberikan definisi kata
struktur (mengikuti pengertian yang diberikan oleh Marion Levy Jr.)
sebagai “structure is a pattern, i.e. an observable uniformity of actions
or operations”.
Dalam hubungannya dengan masalah perubahan struktur sosial
ini (perubahan sosial), menurut Harper (1989) ada beberapa
tipologinya. Pertama, adanya perubahan dalam personal di dalam
struktur sosial yang ada, yaitu dengan hadirnya orang-orang (anggota)
baru dan/atau hilangnya orang-orang (anggota) lama dalam struktur
yang ada. Ini dalam pengertian bahwa keluar atau masuknya elemenelemen anggota dari suatu struktur sosial akan mendorong terjadinya
suatu perubahan sosial. Dalam konteks yang luas, misalnya, suatu
komunitas (community) atau masyarakat (society), bila komposisi
penduduknya berubah maka struktur sosialnya akan berubah. Kedua,
adanya perubahan relasi (hubungan) dalam struktur sosial. Dalam hal
ini termasuk, misalnya, perubahan dalam struktur kekuasaan (structure
of power), otoritas (authority), dan komunikasi dalam struktur sosial
yang ada. Ketiga, adanya perubahan fungsi dalam struktur, yaitu
menyangkut apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Keempat, adanya perubahan dalam hubungan (relationship) antara
35
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
struktur-struktur yang berbeda. Ini menyangkut hubungan antara
struktur sosial tertentu dengan struktur sosial lainnya di luar struktur
yang disebutkan pertama. Kelima, adanya perubahan dalam bentuk
munculnya suatu struktur sosial baru dari struktur sosial yang lama.
Struktur sosial lama ini mungkin pada akhirnya memudar atau hilang
sama sekali; atau dalam beberapa kasus malah terintegrasi dengan
struktur sosial yang baru terbentuk itu.
Selain tipologi perubahan sosial sebagaimana disebutkan di
atas, Harper dalam bukunya yang sama juga mengemukakan adanya
lima dimensi masalah perubahan sosial. Dimensi pertama berhubungan
dengan tingkatan perubahan (levels of change); dimensi kedua
berhubungan dengan kerangka waktu (time frames); dimensi ketiga
berhubungan dengan penyebab perubahan (causes of change); dimensi
keempat berhubungan dengan agensi (agency) atau bagaimana
perubahan yang terjadi itu dihubungkan dengan intensi atau niat
pelakunya atau aktor (manusia); dimensi kelima berhubungan dengan
beberapa istilah berbeda yang berkaitan erat dengan konsep perubahan
yaitu, misalnya, antara istilah proses, kemajuan (progress),
perkembangan (evolution) dan pembangunan (development).
Dimensi pertama, perubahan terjadi dalam berbagai tingkat. Di
sini pertanyaannya adalah apa dan unit struktural mana yang berubah?
Unit struktural ini bisa mencakup satuan unit yang kecil, seperti
misalnya kelompok kecil (small group), sampai sistem yang besar
seperti misalnya masyarakat (society), termasuk tatanan masyarakat
global. Dalam kaitannya dengan pengertian unit struktur dan sistem
ini, Schulte-Nordhlot (1971: 15) mengemukakan:” There are a large
number of structures within particular aspect of a culture, and they
combnine to form a system”. Jadi dengan demikian, sistem itu pada
dasarnya tersusun atas serangkaian struktur-struktur atau unit-unit
struktur. Berikut tabel yang mengilustrasikan berbagai tingkatan unit
struktur (dari struktur yang kecil hingga serangkaian struktur yang
membentuk sistem) dan perubahan yang mungkin terjadi.
36
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Tabel 3: Tingkatan Unit Struktur dan Kemungkina Perubahan
Unit Struktur
Kelompok Kecil (Small Grup)
Organisasi (Organizations)
Institusi (Institutions)
Masyarakat (Society)
Global (Global)
Kemungkinan Perubahan
Peranan,
struktur
komunikasi,
pengaruh,
persekongkolan
Struktur, hirarkis, otoritas, produktivitas
Ekonomi, agama, pendidikan, keluarga
Stratifikasi, demografi, kekuasaan
Evolusi, hubungan internasional, modernisasi,
pembangunan
Sumber: Harper, Charles L. Exploring Social Change. Prentice-Hall Inc. USA, New
Jersey, 1989. Halaman 6.
Sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Harper, Sztompka
(2005), menggambarkan tingkat perubahan sosial terjadi dalam tiga
realitas sosial: makro, meso, dan mikro. Proses makro terjadi di tingkat
yang paling luas, yakni tingkatan masyarakat global, bangsa, kawasan
atau kelompok etnik. Proses makro ini, menurut Sztompka, rentang
waktunya panjang (long-term). Proses meso mencakup kelompok
besar, komunitas, asosiasi, partai politik, birokrasi, dan lain sebagainya.
Proses mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life)
individu atau dalam kelompok kecil seperti keluarga dan lingkungan
keluarga.
Dimensi kedua, kerangka waktu (time frame) perubahan sosial.
Dalam konteks ini, setiap proses perubahan sosial memang harus
dibayangkan sebagai sesuatu hal yang terjadi dalam jangka kurun
waktu tertentu. Kerangka waktu dalam proses perubahan sosial itu bisa
berdimensi jangka pendek (short-term) hingga jangka panjang (longterm), tergantung dari sudut pandang apa dan mana proses perubahan
sosial itu diamati dan dicermati. Berkaitan dengan hal ini agaknya
perlu menggarisbawahi pendapat Harper (1989):
”To some extent whether we focus on the long term or short
term is a function of our interest. It is legitimate to focus on
short-term change, but we need to be aware of how this is
embedded in long-term change”.
Jadi soal jangka pendek atau jangka panjang lebih banyak menyangkut
masalah fokus perhatian saja, tetapi proses sosialnya secara keseluruhan
seringkali justru berhubungan. Namun, terlepas dari persoalan apakah
37
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
perubahan terjadi dalam jangka pendek atau jangka panjang, yang pasti
perubahan sosial selalu menyangkut perbedaan keadaan/kondisi yang
diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu; untuk
dapat menyatakan perbedaan tersebut maka ciri-ciri awal unit analisis
harus diketahui dengan cermat, meski keadaannya terus berubah
(Sztompka, 2005).
Disamping itu karena setiap proses perubahan sosial memiliki
kerangka waktu, maka keseluruhan prosesnya juga sering kali
dihubungkan dengan perspektif sejarah. Bahkan lebih dari itu,
seringkali kondisi perubahan sosial yang terjadi pada masa kini hanya
bisa dibaca secara lebih terang dan komprehensif bila dalam analisanya
secara keseluruhan melibatkan kajian dengan perspektif sejarah atau
historis (Holton, 2003: 27-38). Itulah sebabnya, studi sosiologi
perubahan sosial dalam praktiknya sering memanfaatkan analisa dari
sudut pandang sejarah atau historis. Menurut Neuman (2003: 402-437),
metodologi yang sering digunakan dalam hal ini adalah analisa
komparatif sejarah (historical comparative research).
Dimensi ketiga, yaitu berhubungan dengan sebab-sebab
perubahan. Dalam hal ini proses perubahan bisa disebabkan oleh:
faktor-faktor eksogen, yaitu faktor-faktor penyebab dari luar struktur;
atau faktor-faktor endogen, yaitu faktor-faktor penyebab dari dalam
struktur itu sendiri. Faktor eksogen dalam perubahan sosial, misalnya,
ide, pengetahuan, teknologi atau kebijakan sosial-politik dari luar
struktur, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen bisa saja
dalam bentuk kompetisi atau persaingan kekuasaan (power) yang
mempengaruhi kontrol terhadap kekuasaan dalam struktur sosial,
perubahan komposisi dan peran elemen-elemen anggota dalam
struktur sosial, dan lain sebagainya. Dalam mengkaji proses perubahan
sosial, seringkali penyebab-penyebab (causes) muncul dari dua faktor
sekaligus, yaitu eksogen dan endogen. Smelser (1992: 369-393,
misalnya, menyatakan bahwa proses endogen dan eksogen seringkali
berjalan secara serentak dan prosesnya berlangsung secara dialektis.
Dimensi keempat, bagaimana kaitan antara perubahan struktur
sosial dengan intensi/niat pelaku/aktor atau dalam sosiologis dikenal
38
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
dengan istilah atau konsep agensi (agency). Berkaitan dengan intensi
agensi ini maka dalam proses perubahan sosial dikenal dua hal, yaitu:
(1) perubahan sosial merupakan proses yang dikehendaki sejak awal
(intended) dan (2) perubahan sosial merupakan suatu proses yang tidak
dikehendaki (unintended) atau prosesnya cenderung terjadi secara
autonomous. Dalam realitanya, antara proses dikehendaki dan tidak
dikehendaki seringkali berlangsung secara tumpang tindih. Misalnya
awalnya dikehendaki tapi prosesnya berkembang ke arah yang tidak
dikehendaki, atau sebaliknya. Oleh karena itu tidak jarang kedua
proses tersebut fenomenanya muncul berbarengan dalam suatu proses
perubahan sosial, meski pada awal mungkin kelihatan jelas apakah
dikehendaki atau tidak dikehendaki.
Sebagai catatan perlu dikemukakan di sini perbedaan antara
konsep pelaku/aktor (actor), tindakan/aksi (action) dan agensi (agency).
Tindakan/aksi (action) mengacu pada tindakan dari manusia (practices
of human being), yaitu apa yang mereka lakukan. Manusia yang
bertindak itu adalah aktor, yang dalam hal ini tidak saja bisa sebagai
individual tetapi juga kolektif (collective actors). Sedangkan agensi
(agency) adalah elemen dinamis dalam diri aktor yang bisa
mewujudkan (translates) kapasitas potensi kedalam suatu tindakan
aktual (aktual practice). Konsep aksi/tindakan dan agensi ini dibedakan
dengan konsep struktur sosial dalam hal bahwa struktur sosial bisa
dilihat sebagai suatu kondisi sosial yang bisa menghambat
(constraining) dan/atau mendorong terjadinya suatu tindakan oleh
pelaku/aktor (Scot, 2006).
Dalam konteks ini, sebagaimana disinggung pada bagian
selanjutnya dari tulisan ini, ada beberapa pendapat dari para teoritisi
sosial tentang relasi antara agensi dan struktur, yaitu mulai dari yang
mendikotomikan konsep agensi dan struktur dengan mengedepankan
pada struktur ataupun agensi; atau yang mengintegrasikan konsep
agensi dan struktur dengan tidak melihat secara berat sebelah pada
struktur maupun agensi. Yang pertama bisa dilihat dari teori-teori yang
termasuk dalam aliran strukturalis (perspektif strukturalis) sampai
interaksionisme simbolik (perspektif intepretatif); yang kedua bisa
39
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dicontohkan dari teori strukturasi Anthony Giddens atau pemikiran
strukturalisme konstuktivis Pierre Bourdieu.
Dimensi kelima menyangkut hubungan antara konsep
perubahan sosial (social change) dengan konsep yang lain yang kurang
lebih bisa disepadankan (dengan konsep perubahan sosial) tetapi yang
secara instrinsik agak berbeda arti dan maknanya. Ini misalnya
mencakup perbedaan antara konsep perubahan (change) dengan proses
(process), kemajuan (progress), evolusi (evolution), dan pembangunan
(development). Seperti diketahui, dalam praktiknya konsep perubahan
seringkali dipakai atau muncul secara bersamaan dengan konsep
proses, kemajuan, evolusi dan pembangunan. Masalahnya, apa
perbedaan makna dari masing-masing konsep itu?
Konsep proses, misalnya, merujuk pada berbagai aspek perilaku
manusia (sebagai aktor), yang konotasinya lebih bersifat suatu tindakan
yang aktif dan dinamis. Tetapi kalau dengan konsep perubahan sosial,
suatu proses bisa arahnya berusaha untuk memelihara stabilitas sosial
atau sebaliknya mendorong perubahan sosial. Sementara konsep
kemajuan sering dihubungkan dengan perubahan sosial yang arahnya
menuju ke situasi sosial tertentu yang secara kualitatif dianggap lebih
baik. Tetapi kata “baik” di sini tentu saja mengandung suatu muatan
nilai (value laden). Persoalannya: baik menurut siapa? Tentu ini bisa
diperdebatkan karena kata “baik” adalah istilah yang normatif.
Begitupula konsep evolusi sering dihubungkan dengan suatu
proses perubahan sosial ke arah yang lebih maju (progress), dalam arti
kemajuan dari situasi yang sederhana menuju yang lebih komplek,
yang prosesnya sering dianggap berlangsung secara linier, searah.
Salah satu paradigma teori perubahan sosial sebagaimana nanti akan
diuraikan dalam bagian di bawah ini, bahkan menggunakan istilah
evolusi untuk menunjukkan suatu proses perubahan sosial ke arah
struktur sosial yang lebih maju, lebih komplek, lebih rumit tatanansosialnya. Misalnya, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat kota
(urban) yang berciri modern dari semula masyarakat desa (rural) yang
dianggap tradisional. Atau proses evolusi masyarakat di negara sedang
berkembang (developing countries) yang berciri tradisional menuju
40
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
masyarakat modern seperti di negara maju (developed countries). Hal
yang hampir sama berlaku untuk konsep pembangunan (development),
yang seringkali dikonotasikan dengan proses perubahan atau
transformasi sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung di negaranegara berkembang, yang prosesnya kerap mengacu pada keadaan
negara-negara maju Barat.
Ada catatan kritis yang perlu dikemukakan berkaitan dengan
konsep pembangunan (development) dihubungkan dengan proses
perubahan atau transformasi sosial, yang konsepnya seringkali
didasarkan pada asumsi bahwa semua masyarakat akan berubah
menuju ke arah yang sama. Masyarakat yang bersangkutan dianggap
akan menapak naik anak tangga yang sama meskipun dengan
kecepatan yang berbeda-beda. Di ujung akhir perjalanan menaiki anak
tangga itu terbayangkan sebuah tatanan masyarakat maju yang sukses
menjalankan pembangunannya, yaitu masyarakat Barat. Ini artinya
realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya heterogen akan berubah
menjadi homogen lantaran proses perubahan sosial dalam konteks
kemajuan (progress) atau pembangunan (development) seperti yang
dimaksudkan di atas itu. Pandangan homogenitas tunggal ini pada
dasarnya menggariskan urutan kemajuan masyarakat (di dunia) dari
yang paling sederhana hingga ke tahap yang paling maju. Suatu
pandangan, yang menurut Sztompka (2005), memiliki kecenderungan
etnosentrisme atau Barat-sentrisme, atau lebih khusus Eropasentrisme. Karena bagi orang Eropa Barat, tahap paling maju itu berarti
“mereka” sendiri. Tahap maju atau paling maju itu kerapkali
dipadankan dengan istilah modern, yang kemudian dari pengertiaan
ini, maka tidak jarang konsep modernisasi dianggap memiliki
kecenderungan etnosentrisme.
Pemikiran-pemikiran tentang perubahan sosial yang
berparadigma modernitas akhir (late modernity) atau post-modernitas
(post-modernity) mengkritik keras pandangan-pandangan tentang
perubahan sosial yang berkecenderungan etnosentris ini (Brian, 2007).
Mereka, secara umum menentang pandangan yang meniscayakan arah
tunggal atau homogen perkembangan masyarakat dalam proses
perubahan atau transformasi sosial. Sebaliknya mereka melihat bahwa
41
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
terbuka kemungkinan bahwa masyarakat akan berkembang ke arah
yang lebih heterogen karena potensi kekuatan otonomi dan identitas
yang dimilikinya (Johnson, 2009: 79-108).
Meskipun semua konsep yang disebutkan di atas sering
dihubungkan dengan konsep perubahan sosial, sesungguhnya konsep
perubahan sosial itu sendiri adalah suatu konsep yang luas dan
generik, sehingga tidak bisa dihubungkan secara khusus hanya dengan
salah satu konsep-konsep tersebut di atas. Posisinya tergantung pada
perspektif teoritiknya, sebagaimana akan diuraikan dalam bagian
berikut ini. Sebelum menguraikan pandangan mengenai beberapa
perspektif teori perubahan sosial, perlu dikemukakan di sini bahwa
secara garis besar ada dua pendekatan utama dalam melihat dan
menjelaskan proses perubahan sosial. Dua pendekatan itu adalah:
pertama, yang menekankan faktor-faktor materialistik; dan kedua,
yang menitikberatkan pada faktor-faktor idealistik.
Mereka yang menekankan pada faktor-faktor materialistik,
misalnya, melihat bahwa penyebab utama dari suatu proses perubahan
sosial (dan kebudayaan) adalah kondisi-kondisi material yang ada dan
berkembang dalam masyarakat yang sedang mengalami proses
perubahan tersebut. Kondisi-kondisi material ini bisa dalam bentuk
perkembangan ekonomi, khususnya relasi produksi ekonomi (mode of
economic) atau kemajuan teknologi yang berkembang di masyarakat.
Penganut pendekatan materialistik ini, misalnya, percaya bahwa
perubahan teknologi (baru) dan perubahan pola-pola hubungan
produksi (baru) akan merubah interaksi sosial, organisasi sosial, nilai,
sistem kepercayaan, norma, dan akhirnya perubahan masyarakat.
Tokoh paling depan yang menekankan faktor-faktor
materialistik sebagai penyebab utama perubahan sosial adalah Karl
Marx, yang menurut Harper (1989), antara lain pernah
mengemukakan,”the wind-mill gives you a society with the feudal
lord, the steam-mill gives the society with the industrial capitalist”.
Dengan kalimat itu, Marx ingin mengatakan bahwa teknologi dan pola
produksi ekonomi merupakan faktor paling penting dalam merubah
dan membentuk tatanan masyarakat baru. Karl Marx sendiri
42
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
berpendapat bahwa evolusi masyarakat berlangsung melalui beberapa
tahapan sejarah masyarakat, yaitu dari masyarakat komunis primitif,
masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, dan akhirnya masyarakat
sosialis/komunism modern. Terkecuali pada masyarakat komunis
primitif, semua sejarah masyarakat dimasa lalu, secara tak terelakkan,
mengandung benih-benih pertentangan atau antagonisme dan konflik,
yaitu antara kelas menindas dan kelas tertindas. Benih-benih
antagonisme itu sendiri ada karena pola hubungan produksi (mode of
production) yang terjadi dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan,
mulai dari masyarakat feodal hingga masyarakat kapitalis, adalah
eksploitatif. Konflik antara kelas, yang menindas dan yang ditindas itu
lah yang kemudian menjadi sumber dari proses perubahan sosial,
sampai akhirnya, dalam bayangan Marx, terbentuk masyarakat tanpa
kelas, yaitu masyarakat sosialis/komunis modern (Johnson, 2008).
Tokoh lain dalam sosiologi yang memiliki pandangan
materialistik adalah William Ogburn, yang pada tahun 1930-an pernah
mengulas secara luas dalam berbagai karyanya tentang pengaruh
perkembangan teknologi (baru) terhadap perubahan sosial yang
dialami masyarakat Amerika. Berkaitan dengan perkembangan
teknologi (baru) yang diberi istilah kebudayaan material ini, secara
umum Ogburn, sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1991),
berpendapat bahwa seringkali perubahan aspek-aspek kebudayaan
material ini berlangsung lebih cepat ketimbang perubahan aspek-aspek
kebudayaan immaterial, seperti ide, nilai, norma atau idiologi. Sebagai
akibatnya maka dalam proses perubahan sosial terjadi suatu gejala yang
oleh Ogburn disebut sebagai “cultural lag” atau ketinggalan budaya,
yaitu jarak ketinggalan antara budaya material dan budaya immaterial.
Dalam proses perubahan sosial, fenomena “cultural lag” atau
ketinggalan budaya sering menjadi sumber dari berbagai ketegangan
(tension) sosial di masyarakat, yang kalau tidak mampu diantisipasi
berpotensi menjadi konflik. Oleh karena itu, menurut Ogburn, perlu
dilakukan penyesuaian. Sebelumnya, Ogburn menjelaskan bahwa
proses perubahan sosial, tertutama yang didorong oleh hadirnya
kebudayaan material, berlangsung melalui empat tahapan: penemuan,
akumulasi (penumpukan), difusi (penyebaran), dan penyesuaian.
43
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Sementara itu mereka yang menekankan pada pada faktorfaktor idialistik melihat bahwa daya dorong proses perubahan sosial
terutama berasal dari kondisi-kondisi ideasional yang ada dan
berkembang di masyarakat. Kondisi-kondisi ideasional ini bisa
berbentuk, ide-ide baru, idiologi, atau sistem kepercayaan, yang
semuanya itu memberikan landasan atau legitimasi bagi tindakan
manusia sebagai aktor/pelaku perubahan sosial. Tokoh klasik paling
penting yang memiliki pandangan seperti ini adalah Max Weber.
Dalam karya monumentalnya tentang Etika Protestan, Weber
menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat modern kapitalis
terutama didorong oleh kekuatan ide yang terkandung dalam ajaran
etika Protestan. Dalam etika Protestan, masyarakat didorong untuk
hendaknya bersikap asketis, yaitu dalam hidup di dunia ini antara lain
harus bekerja keras, hemat, menjauhi konsumsi yang tidak perlu dan
produktif. Cara hidup yang disebut Weber, “wordly asceticism”, yang
kemudian mendorong perkembangan akumulasi kapital, memperkuat
investasi dan perkembangan ekonomi, hingga akhirnya mendorong
berkembangnya kapitalisme atau masyarakat kapitalis modern
(Johnson, 2008). Jadi perubahan sosial menuju masyarakat kapitalisme
modern mungkin terjadi karena berkembangnya sikap asketis yang
bersumber dari nilai-nilai etika (aspek ideasional).
Pemikiran Weber yang memandang agama (Protestan)
memiliki peranan besar dalam proses perubahan sosial ini kemudian
dielaborasi lebih lanjut oleh Guenter Lewy. Ia mendokumentasikan
contoh-contoh yang ada dalam sejarah, yang menunjukkan bagaimana
nilai-nilai (etis) yang diajarkan oleh berbagai agama ternyata juga
memiliki peranan penting dalam proses perubahan sosial. Dalam
dokumentasinya, ia menyebutkan antara lain contoh-contoh
pemberotakan kaum Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam
yang didorong oleh para pengikut Mahdi di Sudan pada era 1880-an,
pemberontakan Taiping dan Boxer di China awal abad 20. Seperti
halnya Weber, Lewy bukannya mengabaikan realitas kondisi material
dalam proses perbuahan sosial, tetapi sulit memahami dan menjelaskan
perubahan sosial tanpa mempertimbangkan peranan independen dari
nilai-nilai agama dan otoritas agama (Harper, 1989).
44
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Tentu saja dalam perkembangannya sekarang ini agak sulit
mendikotomikan secara kasar bahwa masing-masing faktor, materialis
atau ideasional, memiliki pengaruh dominan dibalik proses perubahan
sosial masyarakat. Seringkali yang terjadi justru kedua-duanya saling
berinteraksi menjadi pendorong dan/atau penyebab dari proses
perubahan sosial; yang prosesnya seringkali berjalan serentak ataupun
berkesinambungan sehingga susah dibedakan secara dikotomis.
Memang, pengaruh kebudayaan material dan kebudayaan immaterial,
meminjam istilah Ogburn, sulit dibedakan, karena prosesnya dalam
perubahan sosial sangat mungkin tumpang tindih, saling jalin menjalin
satu dengan yang lainnya. Apalagi dalam perkembangan masyarakat
sekarang yang semakin komplek dan rumit jalinan struktur sosialnya,
sehingga menjadi sulit membedakan hal yang berciri material dan
immaterial.
Itulah sebabnya juga para pemikir teori sosial (social theory)
kontemporer, khususnya yang kritis terhadap teori sosial modern,
berusaha untuk mengitegrasikan dikotomi faktor penyebab perubahan
sosial tersebut. Para pemikir ini umumnya berasal dari mereka yang
condong mengikuti perspektif teori-teori sosial kontemporer seperti
modernitas akhir (late modernity) atau pada sisi yang lebih jauh, postmodern (post-modernity). Dalam konteks perkembangan teori
sosiologi, hal yang hampir sama juga terjadi, melalui integrasi
pendekatan teori makro-mikro/mikro-makro, termasuk di dalamnya
integrasi dari suatu dikotomi antara struktur dan agensi (Ritzer, 2003:
481- 483).
Di luar penjelasan mengenai faktor-faktor material dan
ideasional sebagaimana disebutkan di atas, teori perubahan sosial juga
mengenal beberapa perspektif model pola dan arah perubahan, yaitu:
model linier; model siklikal atau spiral; dan akhirnya model dialektik.
Model linier menekankan pada suatu argumentasi bahwa perubahan
sosial itu pada dasarnya memiliki sifat kumulatif, tidak berulang
(nonrepetitive), dan biasanya permanen dalam arti perubahan tidak
pernah kembali kepada titik semula. Model linier ini seringpula disebut
sebagai model evolusi, yaitu menjelaskan suatu proses perubahan sosial
dalam pengertian bahwa proses dan arahnya cenderung berlangsung
45
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
secara diakronik (historis) atau melewati suatu tahapan awal dan
tahapan akhir yang berjalan secara linier dan evolusionis. Pandangan
klasik teori perubahan sosial model linier atau evolusionis ini
tercermin dalam karya-karya para pemikir teori sosial seperti Auguste
Comte (1798-1857) dengan gagasan tentang evolusi masyarakat yang
melalui tahapan-tahapan berfikir yang kemudian mendasari
perkembangan masyarakat, yaitu mulai tahap teologis, metafisis dan
positivis. Menurut Comte, kekuatan pendorong perubahan sosial secara
historis terdapat dalam pikiran dan semangat manusia; dan dengan
semangat itulah manusia kemudian mampu memahami realitas
sosialnya (Laeyendecker, 1991: 143-156; Ritzer, 2003: 13-40).
Dalam tahap teologis manusia memohon bantuan kekuatan
gaib (supernatural) dan segala kejadian di dunia dianggap sebagai
kehendak kekuatan gaib itu. Pada tahap metafisik, keberadaan manusia
mulai menggantikan hal-hal yang dianggap sebagai kehendak gaib dan
mulai berfikir mengenai penyebab abstrak. Dalam tahap ini, prinsipprinsip fundamental tentang realitas dipahami dengan nalar yang
abstrak; dan gagasan-gagasan tentang kedaulatan, kekuasaan hukum
dan pemerintahan mulai muncul dalam kehidupan sosial-politik.
Tahap ketiga, tahap positivis, mulai muncul setelah manusia
menyerahkan diri pada hukum berdasarkan bukti empiris,
pengamatan, perbandingan dan eksperimen. Inilah jaman ilmu
pengetahuan dan industri yang hasil-hasilnya maju pesat bersamaan
dengan perkembangan masyarakat modern.
Pemikir klasik di luar Comte antara lain adalah Emile
Durkheim dan Ferdinand Tonies. Durkheim dikenal dengan
pemikirannya yang sangat terkenal tentang perkembangan masyarakat
yang berjalan secara linier dan evolusionis dari mulai tahap masyarakat
mekanis ke organis. Pembagian perkembangan masyarakat yang
dikotomis ini berdasarkan perbedaan kualitas ikatan sosial dalam
struktur sosial masyarakat, yaitu tahap mekanis karena adanya ikatan
solidaritas mekanis dalam masyarakat; dan munculnya tahap organis
karena tumbuhnya ikatan solidaritas organis dalam masyarakat.
Solidaritas mekanis berakar dalam kesamaan fungsi dan tugas yang
yang tidak dibeda-bedakan; solidaritas organis berakar dalam peran dan
46
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
pekerjaan yang sangat beragam, kerjasama, saling melengkapi dan
saling memerlukan (Sztompka, 2005: 115-131). Yang terakhir ini, oleh
Durkheim, dianggap menjadi ciri dari masyarakat yang sudah
berkembang menjadi modern.
Hampir sejajar dengan pemikiran Durkheim adalah pemikiran
Tonnies tentang perkembangan masyarakat yang evolusionis dari
Gemeinschaft ke Gesellschaft. Gemeinschaft atau sering dipadankan
dengan komunitas (community) ditandai oleh ikatan sosial yang
bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (hubungan primer). Oleh
karena proses perubahan sosial, ciri-ciri komunitas ini berubah
menjadi Gessellchaft atau masyarakat modern (society) yang cirinya
adalah impersonal, kurang akrab (hal ini karena tersedianya instrumen
mediasi dan komunikasi tidak lagi tatap muka tetapi sekunder).
Keunikan dari Tonnies adalah sikap kritisnya terhadap keberadaan
masyarakat modern, yang hal itu muncul karena sikap nostalgianya
setelah memudarnya kehidupan masyarakat komunitas. Dalam
bentuknya yang lain, orang sering mengasosiasikan kehidupan
masyarakat Gemeinschaft dengan kehidupan masyarakat desa dan
kehidupan Gesellschaft dengan kehidupan masyarakat kota. Dalam
konteks ini masyarakat kota dianggap sebagai perkembangan
evolusionis dari masyarakat desa.
Sekedar catatan, dalam hubungannya dengan perkembangan
masyarakat di Bali, tempat wilayah penelitian ini akan dilakukan, ciri
Gesselschaft dan Gemeinsschaft memang tidak jarang agak sulit
dibedakan. Dalam relasi masyarakat desa – kota di Bali, seringkali
kedua ciri itu sama-sama ada dan saling tumpang tindih, meskipun
memang masih tampak di sana sini sifat dominan dari masing-masing
ciri, yaitu apakah Gesselchaft untuk yang ada di kota ataupun
Gemeinschaft untuk yang ada di desa. Realitas ini kelihatan cukup
menonjol di Bali karena proses industrialisasi jasa pariwisata memang
sudah menembus dalam hingga ke wilayah-wilayah perdesaan di Bali.
Selain Durkheim dan Tonnies, teoritisi perubahan sosial lain
dari masa lebih kemudian, yang mungkin bisa digolongkan ke aliran
model linier atau evolusionis ini adalah Robert Redfield dan Gerhard
47
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Lenski. Redfield, misalnya, menggagas teori perubahan sosial yang
menggambarkan adanya transisi dari masyarakat “folk” ke masyarakat
“urban”; suatu pendekatan yang mirip dengan apa yang telah
dikemukakan Tonnies di atas. Kalau ditelusuri secara ringkas,
keduanya menggambarkan pola dan arah perubahan sosial yang terjadi
secara luas dalam masyarakat, yang dalam hal ini melibatkan suatu
proses transisi dari masyarakat sederhana yang belum “terdiferensiasi”
dan yang relatif homogen susunan sosialnya menuju dan menjadi
masyarakat yang modern dengan tingkat diferensiasi struktur yang
tinggi dengan susunan sosialnya yang heterogen.
Sedangkan Gerhard Lenski mengembangkan teori evolusi yang
luas, yang didalamnya menggambarkan tipe-tipe perkembangan
masyarakat dari masyarakat berburu dan pengumpul (hunting and
gathering), penggembala dan berkebun, pertanian, dan akhirnya
industri. Menurut Lenski, proses transisi dari masing-masing tipe
masyarakat itu didasarkan pada munculnya inovasi teknologi dan
perkembangan cara berproduksi. Yang semuanya itu didorong antara
lain oleh desakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat yang lebih luas; yang untuk itu memang
dibutuhkan lebih banyak lagi surplus produksi untuk bisa melayani
keperluan masyarakat yang menjadi lebih komplek. Dari tahapantahapan pekembangan (evolusi) masyarakat yang ada itu, Lenski
mengemukakan bahwa masyarakat industri, bagaimanapun lebih
menunjukkan sifat “kesamaan” (equalitarian) dibandingkan dengan
tipe masyarakat pertanian/agraris. Ini khususnya karena di dalam
masyarakat industri, hak-hak politik dan ekonomi umumnya
berkembang lebih maju, dibandingkan dengan yang ada di masyarakat
pertanian/agraris.
Perlu ditambahkan di sini bahwa model linier sebagaimana
dijelaskan di atas secara substansi memiliki dua variasi model, yaitu apa
yang disebut dengan unilinier dan multilinier. Disebut uniliner bila
proses perubahan sosial melewati serangkian rentetan untuk akhirnya
mengikuti sasaran tunggal. Ilustrasi perubahan sosial model linier yang
telah disebutkan di atas, lebih banyak mengikuti variasi model
uniliner, yaitu pada akhirnya masyarakat bergerak menuju ke satu pola
48
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
dan arah tertentu, yaitu masyarakat modern yang maju. Jadi menuju ke
satu pola dan arah yang hampir sama; hanya mungkin yang menjadi
persoalan adalah kecepatan (lamanya waktu) untuk bisa mencapai
tujuan yang sama tersebut. Sebaliknya bila prosesnya mengikuti
sejumlah jalan alternatif, melompati beberapa tahap, menggantikan
tahap-tahap lain atau menambahkan dengan tahap yang tak biasa
terjadi disebut multilinier. Dalam kenyataannya, terutama yang
berlangsung di masyarakat sedang berkembang yang umumnya
memiliki karakter plural, seperti misalnya Indonesia ini, variasi
multilinier ini mungkin lebih relevan untuk bisa menjelaskan
perkembangan realitas sosial yang ada.
Selain model linier, teori perubahan sosial juga mengenal
perspektif model siklikal atau spiral. History does repeat itself, sejarah
selalu berulang. Kata-kata ini mungkin bisa menggambarkan keadaan
bagaimana proses perubahan sosial berlangsung secara siklikal. Dalam
model siklikal ini, sejarah perkembangan masyarakat memang dilihat
sebagai suatu proses yang berulang, bukan garis lurus. Keadaan
perkembangannya dalam satu titik tertentu ada kalanya melemah,
sepertinya kembali ke proses yang mirip situasi awal dan bukan
berkembang (maju) secara linier tanpa batas. Sebagaimana
diungkapkan oleh Aristoteles: “Sesuatu yang telah ada adalah sesuatu
yang akan ada; sesuatu yang telah dilakukan adalah sesuatu yang akan
dilakukan; dan tidak ada sesuatu yang baru di dunia”. Maknanya:
sejarah memang berulang!
Teoritisi perubahan sosial yang mewakili perspektif model
siklikal ini, antara lain adalah Oswald Spengler (1880-1936), Arnold
Toynbee (1889-1975) dan Pitirim Sorokin (1889-1968). Mengikuti
model siklikal, Spengler dalam bukunya berjudul “The Decline of the
West” yang terbit tahun 1932, mengemukakan bahwa peradaban
masyarakat (civilization) di Eropa Barat pada saat itu sedang
menghadapi tahun-tahun senjakala dan sangat mungkin digantikan
oleh bentuk peradaban baru yang lebih kokoh. Pandangan Spengler
tentang merosotnya peradaban Barat ini dipengaruhi oleh situasi sosialpolitik pada waktu itu, di mana di Eropa Barat baru saja menghadapi
Perang Dunia I yang prosesnya telah meluruhkan peradaban yang ada.
49
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Pikiran Spengler ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh
Toynbee yang melihat kemungkinan terjadinya revitalisasi dari situasi
kemerosotan peradaban karena berlangsungnya penguatan kembali
daya kreatif para elit masyarakat. Penguatan kembali ini merespon
tantangan kemerosotan peradaban – inilah yang disebut teori
tantangan – respon, yang kecenderungannya memang siklikal.
Memang, Toynbe menganggap bahwa peradaban itu muncul
karena respon atas tantangan. Dan tantangan itu direspon oleh para elit
yang memimpin masyarakat; sehingga pertumbuhan peradaban
tergantung pada parilaku minoritas elit yang kreatif. Berkaitan dengan
ini, Toynbe (Laurer, 2003: 52), mengemukakan:
”Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu
pencipta, atau yang terbanyak karya minoritas (elit) kreatif. …
namun kebanyakan umat manusia cenderung tetap terperosok
ke dalam cara-cara hidup lama. Karena itu tugas minoritas
kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan
proses-proses sosial baru, tetapi menciptakan cara-cara
membawa ‘pasukan’ (mayoritas) yang kurang berdaya ini
bersama-sama mereka untuk mencapai kemajuan”.
Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan
respon atau tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang
berlanjut.
Sementara itu dalam kerangka model siklikal, Sorokin
berargumentasi bahwa yang utama dalam siklus sejarah perubahan
masyarakat adalah pergerakan bandul antara periode sejarah yang
didominasi oleh idealisme atau materialisme/hedonisme. Pergerakan
bandul itu seringkali diselingi oleh periode transisi, yang secara kreatif
mencampurkan (blended) dua keadaan dominan itu. Dalam konteks
ini, Sorokin, misalnya mencontohkan bahwa pada periode abad
pertengahan, Eropa didominasi oleh idealisme; masa pencerahan dan
reformasi dianggap sebagai periode transisi; dan masyarakat Barat
kontemporer di dominasi oleh materialisme atau hedonisme. Sorokin
kemudian memperingatkan kemungkinan ambruknya masyarakat
Barat kontemporer yang telah didominasi oleh materialisme atau
50
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
hedonisme untuk kembali akan didominasi oleh kultur idealisme
(Harper, 1989: 63).
Inilah perjalanan siklus sejarah yang berputar terus. Dalam
konteks ini menarik untuk membandingkan, misalnya, ide tentang ajeg
Bali yang akhir-akhir ini berkembang semakin luas di Bali. Kalau kita
cermati maknanya, dalam ide ajeg Bali itu mencuat gagasan untuk
mengembalikan masyarakat Bali yang sekarang dianggap telah
mengalami kemerosotan budaya karena pengaruh modernisasi (antara
lain oleh industri pariwisata). Selanjutnya dengan gagasan ajeg Bali itu
mereka ingin kembali ke akarnya semula, yaitu masyarakat Bali yang
kembali teguh menjalankan adat istiadat dan agamanya. Ajeg Bali (atau
Bali Ajeg) ini sekarang menjadi satu gerakan sosial yang menonjol,
khususnya karena gerakannya didukung secara masif oleh kekuatan
konglomerat media Bali, khususnya dari kelompok bisnis Bali Post.1
Di luar model linier dan siklikal adalah model dialektik. Model
dialektik ini lebih komplek ketimbang ke dua model sebelumnya, dan
memiliki asumsi bahwa perubahan itu terjadi secara kumulatif dan
berkembang dalam jangka panjang. Perubahan dalam model dialektik
biasanya melibatkan suatu proses pertentangan karena adanya
kontradiksi internal dalam struktur sosial, seperti halnya yang
digambarkan oleh perspektif Marxian; atau pertentangan antara
kelompok karena masing-masing kelompok dalam masyarakat itu
memiliki kepentingan yang saling kontradiktif satu dan yang lainnya.
Kontradiksi dalam struktur sosial itu sendiri dianggap sebagai “mesin
perubahan” dalam pandangan model dialektik.
Di luar model-model perubahan sosial sebagaimana dijelaskan
di atas, muncul suatu pertanyaan lagi: apa faktor dominan yang
menentukan perubahan struktur sosial? Untuk bisa menjawab
pertanyaan ini, paling sedikit ada tiga hal yang perlu dikemukakan.
Pertama, perubahan sosial itu terjadi karena adanya kebutuhan sistem
sosial untuk tetap bertahan hidup; kedua, perubahan sosial itu terjadi
Untuk melihat gagasan lebih jauh apa sesungguhnya yang terjadi dibalik ide Ajeg
Bali, lihat Schulte-Nordholt, Henk. Bali An Open Fortress, 1995-2005.
National
University of Singapore Press. Singapore, 2007. Halaman 54-60. Juga lihat pula:
Wingarta, Putu Sastra. Bali Ajeg. Pensil 324. Jakarta, 2006.
1
51
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
karena adanya perebutan untuk mengontrol sumberdaya yang terbatas,
baik itu sumberdaya politik (kekuasaan/power) atau sumberdaya
ekonomi (kontrol ekonomi); ketiga, perubahan itu terjadi karena
munculnya definisi dan makna baru dalam proses interaksi di antara
berbagai pelaku/aktor dalam struktur sosial. Ketiga hal yang disebutkan
di atas selanjutnya membawa kita kepada tiga perspektif teori
perubahan sosial yang bisa menjawab pertanyaan tentang faktor
dominan yang menentukan perubahan struktur sosial, yaitu masingmasing: perspektif struktural fungsional; perspektif konflik dan yang
terakhir perspektif interaksionisme simbolik.
Perspektif teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa
masyarakat adalah suatu sistem, yang antar bagian dari sistem (atau
subsistemnya) saling berinterelasi secara fungsional, yang tujuannya
untuk mempertahankan kelangsungan dari sistem yang bersangkutan.
Untuk menjaga kelangsungan sistem maka menurut Talcot Parson,
tokoh utama perspektif teori struktural fungsional, paling tidak ada
empat basis fungsi sistem sosial yang bersifat memaksa, yaitu: adaptasi
(adaptation); pencapaian tujuan (goal attainment); integrasi
(integration); dan pemeliharaan pola (latency). Secara bersama
keempatnya sering disingkat menjadi AGIL, yang pengertiannya adalah
sebagai berikut (Ritzer dan Goodman, 2003: 231 – 241). Adaptasi (A):
suatu sistem harus siap dengan situasi darurat dari luar. Sistem itu
harus mampu mengadaptasi lingkungannya sesuai kebutuhan.
Pencapaian tujuan (G): suatu sistem harus mampu mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. Integrasi (I): suatu sistem harus mampu
mengatur pola hubungan (interrelationship) dari seluruh bagian yang
menjadi komponennya. Pemeliharaan pola (L): suatu sistem harus
melengkapi, memelihara, dan memperbarui terus motivasi individual
dan pola kebudayaannya yang berfungsi menciptakan dan
mempertahankan motivasi individual tersebut.
Dengan pandangannya yang secara sistematis dituangkan
dalam konsep AGIL itu, memang kelihatan jelas bahwa dalam
pandangan Parson, perubahan sosial itu terutama lebih banyak berasal
dan menjadi bagian dari sistem sosial itu sendiri, yang arahnya pada
akhirnya adalah situasi kestabilan kembali sistem itu. Di sini Parson
52
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
banyak dikritik karena teorinya dianggap kurang mampu menjelaskan
proses perubahan sosial; sehingga kelak kemudian ia merevisi teorinya
kembali, dan pada tahun 1960-an mengembangkan apa yang
disebutnya sebagai paradigma perubahan evolusioner (a paradigm of
evolution change). Inti dari paradigmanya yang baru itu bisa dijelaskan
secara singkat sebagai berikut. Komponen pertama dari paradigma itu
adalah proses diferensiasi. Di sini diasumsikan bahwa setiap masyarakat
(society) tersusun dari serangkaian subsistem yang berbeda dalam hal
strukturnya dan fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
masyarakat berkembang, subsistem barunya terdiferensiasi, dan pada
saat yang sama, subsistem yang baru itu juga harus lebih adaptif
dibandingkan subsistem yang lama. Jadi di sini muncul apa yang
disebut peningkatan adaptasi (adaptation upgrading); yang dalam hal
ini berarti Parson cenderung memfokuskan pada aspek positif dari
perubahan sosial dalam realitas sosial modern ketimbang sisi
negatifnya.
Selanjutnya Parson berargumentasi bahwa proses diferensiasi
membawa berbagai masalah baru berkaitan dengan integrasi. Jadi
ketika subsistem berkembang biak, masyarakat dihadapkan dengan
masalah baru dalam hal koordinasi unit-unit barunya tersebut.
Misalnya, ketika masyarakat mengalami perkembangan maka sistem
askripsi (ascription) mau tidak mau harus digantikan dengan sistem
prestasi (achievement). Ini menyebabkan subsistem yang baru harus
meningkatkan kemampuannya agar penggantian itu tidak
menimbulkan masalah. Yang terakhir, sistem nilai masyarakat sebagai
kesatuan harus berubah sejalan dengan berkembangnya diferensiasi
struktur sosial dan fungsinya. Oleh karena sistem sosial baru semakin
beragam maka semakin sulit bagi sistem nilai yang ada untuk mampu
menaungi sistem sosial baru itu. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan
sistem nilai yang lebih general sifatnya agar bisa melegitimasi tujuan
dan fungsi baru yang lebih luas itu. Tetapi proses ini tidak mudah,
karena
harus
menghadapi
elemen-elemen
yang
masih
mempertahankan sistem nilai lama.
Meskipun mengakui adanya proses perubahan sosial, teori
struktural fungsional pada dasarnya adalah teori stabilitas yang
53
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dimodifikasi untuk bisa menjelaskan perubahan (revisi teori Parson).
Sebaliknya dengan perpektif teori konflik yang pada dasarnya melihat
perubahan sosial itu sebagai sesuatu keniscayaan karena potensi konflik
yang dianggap melekat (inheren) dalam struktur sosial cepat atau
lambat memang akan mendorong proses perubahan sosial. Secara garis
besar, perspektif konflik menganggap bahwa benih-benih
ketidakadilan (inequality) yang inheren dalam struktur sosial
masyarakat merupakan sumber ketegangan dan konflik. Dalam konteks
ini, ketegangan dan konflik malah dianggap merupakan “mesin” dari
perubahan itu sendiri. Tokoh utama perspektif konflik adalah Karl
Marx, yang pemikirannya tidak habis-habisnya mengilhami para
pemikir teori konflik, yang salah satunya adalah Ralp Dahrendorf .
Mengikuti tradisi Marxian, Dahrendorf mengemukakan
beberapa asumsi berkaitan dengan proses perubahan sosial (Harper,
1989: 84 – 85). Pertama, konflik dan “mal-integrasi” adalah hal yang
normal terjadi dalam masyarakat. Ini berbalikan dengan asumsi
kestabilan dan keseimbangan yang ada dalam perspektif teori
struktural fungsional. Kedua, konflik tersebut disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan yang saling bertubrukan, yang secara tidak
terelakan terjadi dalam struktur sosial masyarakat. Ketiga, tubrukan
kepentingan itu digambarkan sebagai “refleksi” dari perbedaan dalam
distribusi kekuasaan di antara mereka yang mendominasi dan yang
didominasi. Keempat, kepentingan-kepentingan yang muncul itu
cenderung terpolarisasi dalam dua kekuatan yang saling berkonflik.
Kelima, konflik berlangsung secara dialektik sehingga resolusi atas satu
konflik menciptakan kembali perbedaan kepentingan, yang pada suatu
kondisi tertentu semuanya itu akan membangkitkan konflik lebih jauh.
Dan akhirnya, perubahan sosial merupakan gambaran yang nyata
dalam suatu sistem sosial, yang hal itu dihasilkan dari konflik dialektik
di antara kelompok kepentingan dalam sistem yang bersangkutan.
Sementara itu, perspektif interaksionisme simbol memiliki
basis asumsi bahwa realitas struktur sosial dan tatanan sosial (social
order) dimungkinkan oleh karena adanya simbol bermakna yang
diakui bersama, yang hal itu merupakan hasil dari suatu proses
interaksi antara orang-orang dan kelompok-kelompok (sebagai aktor
54
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
tunggal atau kolektif). Jadi simbol yang bermakna dan bukannya
struktur obyektif yang ada di luar (eksternal) aktivitas manusia yang
menjadi basis riil dari masyarakat. Di sini kapasitas untuk membuat
makna bersama, lalu tidak hanya memungkinkan para aktor individual
berpartisipasi, tetapi juga melakukan tindakan bersama dalam
masyarakat. Berdasarkan kondisi ini maka perubahan dalam makna
bersama lantas dianggap menjadi kunci bagi berlangsungnya proses
perubahan sosial.
Dalam kaitannya dengan makna bersama ini, Peter Berger dan
Thomas Luckman berpendapat bahwa masyarakat pada dasarnya
dianggap merupakan hasil konstruksi sosial, yang dalam hal ini
merupakan produk historis dari proses interaksi di antara para aktor
sosial, baik sebagai individu maupun korporasi (Berger dan Luckman,
1990). Dalam masyarakat modern, konstruksi sosial atas realita itu
menjadi semakin komplek, yang prosesnya membutuhkan konsensus
bersama. Sehingga proses perubahan sosialpun – sebagai hasil dari
konstruksi (dan rekonstruksi) atas realitas sosial – dalam masyarakat
modern (yang demokratis) dalam dirinya dituntut untuk melibatkan
aspek-aspek konsensus sosial dalam masyarakat.
• Pemikiran Modernis Akhir
Kalau dirunut kembali, berbagai perspektif teori perubahan
sosial sebagaimana diuraikan di atas, secara umum berada dalam satu
koridor paradigma teori yang sama, yaitu modernisasi. Pengertian
modernisasi di sini dipadankan dengan suatu proses mencapai kondisi
modernitas, yang berarti suatu perubahan atau transformasi sosial,
politik, ekonomi dan kultural serta mental yang terjadi di Barat sejak
abad ke 16, dan mencapai puncaknya di abad 19 dan 20. Proses
modernitas itu sendiri meliputi proses industrialisasi, urbanisasi,
rasionalisasi, birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme,
perkembangan individualism dan motivasi untuk berprestasi,
diferensiasi serta meningkatnya pengaruh akal dan sains (Sztompka,
2005: 149 – 164). Hampir semua pemikiran para teoritisi perubahan
sosial yang disajikan di atas, mulai dari Comte, Marx, Weber,
Durkheim, Tonies atau Parson, misalnya, menganalisa proses
55
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
modernisasi di Eropa dan Amerika yang terjadi dijamannya, tetapi
dengan perspektif yang berbeda-beda.
Namun, dalam konteks perubahan sosial, apa inti asumsi dari
paradigma teori modernisasi? Wolfgang Knõbl, dalam tulisannya
berjudul “Theories that Won’t Past Away: Never Ending Story of
Modernization”, mengemukakan intisari dari asumsi teori modernisasi
(Delanty, Gerard dan Isin Engin, 2003: 96-107). Pertama, modernisasi
adalah proses global yang tidak bisa dibalik (irreversible), yang dimulai
pada masa Revolusi Industri di pertengahan abad 18 di Eropa dan terus
berkembang khususnya sejak Perang Dunia II. Kedua, modernisasi
adalah suatu proses sejarah yang membawa perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern. Ini mengimplikasikan adanya
antithesis yang tajam antara tradisional dan modern. Ketiga, di
masyarakat tradisional dan di negara-negara yang digolongkan sebagai
“Third World” atau dunia ketiga, ada suatu dominasi sikap personal,
nilai-nilai dan struktur peran yang dicirikan oleh apa yang disebut
sebagai askripsi (ascription), partikularisme, dan kekaburan fungsi;
yang semuanya itu dianggap menjadi penghambat besar bagi
pembangunan sosial, ekonomi dan politik (sejalan dengan proses
modernisasi). Keempat, sekularisme, individualisme, dan nilai-nilai
sains mendominasi kehidupan masyarakat sipil modern di EropaAmerika. Kelima, modernisasi harus lebih banyak didorong menjadi
proses yang endogen dalam masyarakat lokal (yang mengalami
perubahan sosial) yang bersangkutan. Ini sejalan dengan instrumen
teoritik perspektif struktural fungsional. Dan keenam, perubahan sosial
menuju modernitas di masyarakat yang berbeda-beda lebih banyak
berlangsung secara seragam (uniform) dan linier.
Sejak akhir tahun 1970-an, paradigma modernisasi tersebut
banyak mendapatkan kritikan tajam dari berbagai pemikir teori sosial.
Paradigma modernisasi dikritik dari sudut landasan teori karena
asumsinya tidak lagi dapat dipertahankan, dan terutama, dari sisi
empiris dianggap tidak sejalan dengan fakta sejarah. Yang paling nyata,
misalnya, dari sisi empiris, perubahan sosial sebagai bagian dari proses
modernisasi seringkali tidak menciptakan hasil seperti yang
“dijanjikan”. Di banyak negara berkembang yang paling bersemangat
56
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
menjalankan perubahan atau transformasi sosial dalam kerangka
modernisasi, misalnya, perbaikan kehidupan sosial seperti yang
dijanjikan tidak kunjung datang; dan malahan kemiskinan yang terus
merajalela. Sementara pada saat yang berbarengan, bukannya proses
demokratisasi yang berkembang, sebaliknya rezim politik otoritarian
semakin terus bercokol. Perang etnis terus terjadi di mana-mana;
sakralisasi kehidupan dan bentuk baru fundamentalis agama juga
berkembang; kefanatikan idiologis terus berlanjut, termasuk jenis
nasionalisme baru yang sempit; faham-faham kedaerahan dan golongan
yang sempit semakin semarak; dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, Inglehart dan Welzel (2005: 15), dalam
bukunya berjudul “Modernization, Cultural Change and Democracy”,
misalnya, mengungkapkan:
“Rather than modernizing, most of the new nations remained
poor and ruled by corrupt regimes. Although these regimes gave
lip service to capitalist, communist, or “nonaligned” vision of
modernization, in reality most of them were run by rent-seeking
elite who created “rogue states” to enrich themselves, doing little
to modernize their country”.
Meskipun menghadapi kritikan-kritikan semacam ini, tetapi para
teoritisi modernisasi sejak semula tetap bersikukuh, dan malahan versi
baru
dari
teori
modernisasi
menggambarkan
bahwa
“underdevelopment” yang masih terjadi justru adalah konsekuensi
langsung dari karakteristik negara-negara sedang berkembang yang
bersangkutan. Ini terutama menyangkut kondisi perekonomiannya
yang masih tradisional, perilaku budaya dan mental psikologis yang
masih tradisional, dan tentu saja kelembagaan-kelembagaan
masyarakatnya yang juga masih tradisional.
Berangkat dari pandangan seperti itu, maka para teoritisi
modernisasi menyarankan agar nilai-nilai tradisional mutlak harus
dirubah dan digantikan dengan nilai-nilai modern, sehingga
memungkinkan masyarakat yang bersangkutan mengikuti langkah
negara maju Barat. Tentu saja argumen teori modernisasi versi baru ini
ditolak karena dianggap “menyalahkan korban”. Sekali lagi karena para
teoritisi
modernisasi
berasumsi,
bahwa
masyarakat
yang
57
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
“underdeveloped” perlu mengadopsi nilai-nilai dan institusi-institusi
modern seperti yang ada di negara maju Barat. Dalam konteks ini,
Emmanuel Wallerstein, sebagaimana dikutip oleh Inglehart et all
(2005: 15), menyatakan bahwa “modernization theory was not only
criticed; it was pronounced dead”.
Bersamaan dengan itu menguat pula gagasan-gagasan alternatif
yang berusaha menawarkan perspektif baru dalam teori sosial,
termasuk didalamnya teori perubahan sosial. Perspektif baru itu,
muncul dalam pendekatan-pendekatan teori sosial, misalnya teori
modernitas akhir (late modernity) sebagaimana dikembangkan oleh
Anthony Giddens, atau dalam perspektif yang sedikit agak berbeda,
Pierre Bourdieu. Atau pendekatan teori lain yang lebih radikal lagi,
yaitu yang termasuk dalam jajaran teori post-modernitas.
Lalu apa pengertian modernitas akhir itu sendiri? Apa bedanya
dengan post-modernitas? Modernitas akhir, yang terutama dikenalkan
oleh Giddens, pada awalnya berkembang sebagai teori kritis yang
menentang secara tajam pendekatan teori modernitas. Sebagaimana
diungkapkan di atas, teori modernisasi dianggap lemah dan gagal, baik
dari sisi asumsi teori maupun praktik empirik. Dalam pandangan
Giddens, kegagalan itu terutama disebabkan oleh karena beberapa
alasan. Pertama, karena kesalahan rencana dalam dunia modern; atau
orang yang merencanakan unsur-unsur dunia modern membuat
kesalahan; kedua, kegagalan operatornya.
Yang terakhir ini masalahnya bisa ditelusuri bukan dari
perencana tetapi mereka yang menjalankan dunia modern. Dalam hal
ini Giddens memberikan kepentingan utamanya pada dua faktor:
konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequences) dan
refleksifitas dari pengetahuan sosial (reflexivity of social knowledge).
Yang pertama menyangkut konsekuensi tindakan dari sistem yang
tidak bisa diramalkan sepenuhnya; dan yang kedua, timbul karena
pengetahuan baru secara terus menerus mengirimkan sistem ke arah
yang baru sehingga karena itu kita tidak bisa mengontrol penuh
“juggernaut” dunia modern (Ritzer dan Goodman, 2003: 548 – 549).
58
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Juggernaut adalah istilah yang dikemukakan oleh Giddens
untuk menggambarkan suatu keadaan dari tahapan lebih lanjut proses
modernitas yang mencapai tingkatan radikal, tinggi atau modernitas
akhir (late modernity). Suatu keadaan modernitas yang penuh dengan
ketidakpastian dan yang membawa konsekuensi risiko tinggi. Berikut
gambaran Giddens tentang modernitas “juggernaut” sebagaimana
diungkapkan oleh Ritzer (1996: 431 - 432):
“ a run away engine of enormous power which, collectively as
human beings, we can drive to some extent but which also
threatens to rush out of our control and which could rend it self
asunder. The juggernaut crushes those whose resist it, and while
it sometimes seems to have a steady path, there are times when
it veers away erratically in direction we can not forsee. The ride
is by no means wholly un pleasant or unrewarding; it can often
be exhilarating and charge with hopeful anticipation. But, so
long as the institution of modernity endure, we shall never be
able to control completely either the path or the pace of the
journey. In turn, we shall never be able to feel entirely secure,
because the terrain across which it runs is fraught with risks of
high consequence”.
Meskipun dianggap gagal, tapi Giddens tidak menyerah
terhadap dunia modern. Ia mengusulkan pandangan yang paradox,
yang disebut utopian realism. Dengan pandangan ini, ia berusaha
mencari keseimbangan antara ide-ide yang utopia (janji-janji
modernitas) dan realitas dunia modern. Dengan itu ia juga setuju
terhadap pentingnya peranan gerakan sosial untuk ikut mengatasi
resiko-resiko (kegagalan) modernitas sehingga resiko-resiko tersebut
pada akhirnya bisa diperkecil. Dengan sikap ini berarti Giddens tidak
melepaskan sama sekali gagasan besar modernisme, tetapi mengkritisi
dan berusaha menunjukkan jalan baru modernisme yang kurang lebih
resikonya menjadi semakin kecil. Ini hampir sama dengan sikap kritis
Jurgen Habermas, yang mengkritisi modernisme tanpa membuang
sama sekali gagasan dasarnya tentang humanisme dan emansipasi, dan
menyatakan proyek emansipasi dalam dunia modernitas memang
belum selesai (Hardiman, 2009).
Bedanya dengan teoritisi post-modern adalah bahwa mereka
menyatakan bahwa proyek modernisme telah gagal, dan karena itu
59
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
harus ditinggalkan sama sekali untuk kemudian masuk dalam era baru,
post-modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (2008: 550):
“Postmodern theorist reject the notion of an overarching
narrative of linier change and progress that is governed by single
masters trend. Instead of single dominant story of human
progress, there are multiple narratives that can be told, no one of
which should be seen as more authoritative than other”.
Pandangan yang bernuansa “relatif” ini benar-benar menohok gagasan
modern, seperti dikemukakan sebelumnya, gagasan dalam melihat
perubahan sosial, antara lain, cenderung linier dan etnosentris. Seolaholah perubahan itu hanya akan bergerak ke satu tujuan yang tidak
terelakkan, dan arahnya mengikuti pengalaman negara-negara maju
Barat. Sebagai suatu pendekatan kritis, pandangan teori postmodernisme tentang perubahan sosial, tentu saja patut untuk
dipertimbangkan. Khususnya perpektifnya tentang masyarakat yang
plural dan pergerakan perubahan sosial yang tidak hanya menuju satu
arah saja, tentu bermanfaat dalam melihat realitas perubahan sosial di
masyarakat sedang berkembang, seperti halnya yang ada di Bali,
misalnya.
Perspektif Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu
• Perspektif Anthony Giddens
Sejajar dengan gagasan utopian realism, pandangan Giddens
tentang teori strukturasi juga menarik untuk dilihat, terutama kalau
dihubungkan agen perubahan dalam teori perubahan sosial. Seperti
kita ketahui, teori modernisasi, pada umumnya melihat gejala sosial
secara dikotomi. Misalnya, dalam melihat sejarah perkembangan
masyarakat, teori modernisasi terjebak dalam dikotomi atau dualisme
antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern; masyarakat
terkebelakang (underdeveloped) dan masyarakat maju (developed);
mentalitas askripsi (ascription) dan prestasi (achievement); komunitas
(Gemeinschaft) dan masyarakat (Gessellschaft); desa (rural) dan kota
(urban).
60
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Di luar itu, juga terjadi dikotomi atau dualisme antara konsep
subyektivisme dan obyektivisme serta voluntarisme dan determinisme.
Di sini subyektivisme dan voluntarisme diartikan sebagai cara pandang
yang memprioritaskan pengalaman atau tindakan individu di atas
gejala keseluruhan. Sedangkan obyektivisme dan determinisme
merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala
keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu. Dalam
prakteknya sehari-hari, sebagaimana dikemukakan oleh Priyono
(2002), dualisme itu tercermin, misalnya, dari pertanyaan: masalahnya
mentalitas atau struktur?
Atau ketika melihat agen proses perubahan sosial, teori-teori
modernisme cenderung memandangnya secara dikotomis, terjebak
dalam dualisme. Misalnya, dalam konteks perubahan sosial, agen
perubahannya lebih diprioritaskan ke struktur atau aktor; dan
begitupula sebaliknya. Ini sebagaimana pandangan yang ada dalam
pemikiran Karl Marx dan Durkheim atau pun Parsons, dengan gagasan
strutural fungsionalnya, yang menekankan pada peranan struktur; atau
sebaliknya pandangan yang terdapat dalam teori interaksionisme
simbolik atau teori pilihan rasional, yang menekankan pada peranan
aktor.
Menghadapi realitas dualisme itu, Giddens jelas-jelas menolak
keduanya. Ia menyatakan bahwa hubungan antara aktor dan struktur
bukan dikotomis atau dualisme, tetapi hubungan atau relasi dualitas.
Dengan relasi dualitas maka hubungan antara aktor dan struktur adalah
saling mengandaikan: aktor/agensi dan struktur ibarat dua sisi mata
uang yang sama. Giddens (1984: 25), dalam bukunya berjudul “The
Constitution of Society” menyatakan:
“The constitution of agents and structures are not two
independently givens sets of phenomena, a dualism, but
represent a duality. According to the notion of duality of
structure, the structural property of social system are both
medium and outcome of the practice they recursively organize.
Structure is not ‘external’ to individuals: as memory traces, and
as instantiated in social practices, it is in a certain sense more
‘internal’ than exterior to their activities in Durkheimian sense.
61
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Structure is not to be equated with constraint but is always both
constraining and enabling”.
Selanjutnya Giddens mengelaborasi pandangannya ini dalam
suatu teori yang disebut sebagai teori strukturasi, yang subtansinya
menggambarkan suatu sudut pandang tentang relasi antara agensi
(agency) dan struktur (structure). Agensi merefleksikan aktivitas
sengaja individu yang berusaha memenuhi kebutuhannya dan
tujuannya; sedangkan struktur mengacu pada aturan-aturan (rules) dan
sumberdaya (resources) yang digunakan dalam tindakan itu.
Dalam pandangan Giddens, struktur memang tidak mungkin
eksis terkecuali bila dimanifetasikan dalam tindakan (action) dan
interelasi individu. Ini karena sifat dualitas agen dan struktur itu.
Dalam konteks ini maka struktur itu bisa diibaratkan mirip aturan
(rules) dalam suatu permainan (game) ketimbang permainan itu
sendiri. Meskipun aturan itu dicatat dalam buku aturan, tetapi aturan
itu hanya relevan bagi perilaku manusia sejauh aturan itu sendiri
digunakan melalui suatu tindakan dalam permainan. Konsep Giddens
tentang “struktur” ini seperti sejenis “realitas virtual” (virtual reality);
yang hal ini bisa dibedakan dengan konsep “sistem sosial” yang
merupakan pula hubungan aktual (aktual relationship), atau interaksi
di antara orang-orang. Konsep struktur menurut Giddens ini jelas
berbeda dengan perspektif struktur yang melihat bahwa struktur itu
eksis sebagai suatu realitas obyektif yang mempengaruhi tindakan
individu-individu secara independen dari pengetahuan dan maksud
atau tujuan individu-individu yang bersangkutan (Johnson, 2008: 459 –
470).
Jadi pengertian “aturan baru” (the new rules) yang
dimaksudkan Giddens secara eksplisit berbeda dengan aturan bagi
analisa sosiologi dari Durkheim yang lebih memfokuskan pada fakta
sosial yang bersifat eksternal (berada di luar individu-individu).
Sebagai catatan, menurut Sunarto (2004: 4-5), Durkheim dalam
bukunya berjudul “Rules of Sociology Method”, menawarkan
definisinya mengenai sosiologi. Menurut Durkheim, bidang yang
dipelajari sosiologi adalah fakta sosial, yaitu “fakta yang berisikan cara
62
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
bertindak, berfikir dan merasakan yang mengendalikan individu
tersebut”.
Fakta sosial itu sendiri didefinisikan sebagai “setiap cara
bertindak, yang telah baku ataupun tidak, yang dapat melakukan
pemaksaan dari luar terhadap individu. Fakta sosial seperti inilah yang
menurut Durkheim, menjadi pokok perhatian sosiologi. Bedakan
dengan pengertian Giddens, sebagaimana dikutip oleh Ritzer (1996:
392), yang menyatakan bahwa
“every research investigation in the social sciences or history is
involve relating action (often used synonymously with agency)
to structure…there is no sense in which structure determines
action or vice versa”.
Dengan pengertian struktur menurut Giddens tersebut, maka
manusia (human beings) bukanlah robot yang pasif atau tidak
berefleksi (unreflexive), dikontrol oleh kekuatan struktur sosial, lepas
dari pengetahuan dan kendali manusia/individu itu sendiri.
Sebaliknya, manusia sebagai individu adalah agen yang aktif, memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan secara terus
menerus dalam proses produksi dan reproduksi dari dunia sosial (social
world).
Kata Giddens, seperti dikutip oleh Johnson (2008): ”The
production and reproduction of society thus has to be treated as a
skilled performance on the part of its members, not as merely a
mechanical series of procceses…”. Dampak dari tindakan orang-orang
ini tidak terbatas pada hubungan tatap muka pada tingkatan mikro saja,
tetapi juga bisa meluas di luar itu dan di luar tujuan subjektif mereka,
terutama berkaitan dengan tindakan tingkat mikro lainnya. Dengan
demikian tindakan individu menjadi dasar bagi institusi tingkat makro
dari struktur masyarakat (structure of society). Di sinilah apa yang
disebut dengan relasi dualitas mulai terjadi.
Selanjutnya Giddens mengemukakan bahwa kemampuan yang
ditunjukkan secara aktual oleh individu mencerminkan “agensi
manusia” (human agency), sementara hasilnya (dari kemampuan itu)
adalah reproduksi masyarakat dan struktur sosial yang lain. Dan dalam
63
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
proses reproduksi ini, manusia adalah makluk yang mampu melakukan
tindakan inovatif, yang kadangkala mendorong (sengaja atau tidak
sengaja) ke arah suatu transformasi struktural, terutama bila tindakan
inovasi itu berkembang meluas. Proses transformasi struktural ini tidak
lain adalah juga proses perubahan sosial. Di sini jelas posisi Giddens
yang meyakini bahwa tindakan inovatif manusia sebagai individuindividu bisa menjadi sumber perubahan sosial.
Dalam bukunya berjudul “The Constitution of Society”,
Giddens (1984), mengelaborasi lebih lanjut teori strukturasi. Di sini
Giddens mengkritik perspektif teori sosiologi tingkat mikro seperti
fenomenologi, dramarturgi dan interaksionisme simbolik, yang
menurutnya lemah menjelaskan hubungan antara proses yang terjadi
di tingkat mikro dengan struktur institusional di tingkat makro.
Begitupula dia mengkritik perspektif teori sosiologi tingkat
makro, termasuk perspektif struktural fungsional dan berbagai varian
dari perspektif Marxisme, yang dinilainya gagal dalam menerangkan
kaitan antara proses-proses yang berlangsung di tingkat makro dengan
peranan agensi manusia (human agency) dalam mereproduksi struktur.
Berangkat dari kritik-kritik tersebut, Giddens mengusulkan untuk
menyingkirkan
pembedaan
makro-mikro;
dan
sebaliknya
menggunakan pembedaan agensi-struktur.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, struktur terdiri dari
aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang digunakan oleh
manusia sebagai individu ketika mereka terlibat dalam suatu praktik
(practices) sosial yang rutin, yang dalam proses itu aturan dan
sumberdaya yang ada terus direproduksi. Semua tindakan
itu
melibatkan pengetahuan dan ketrampilan manusia sebagai agen, dan
mereka merefleksikan kemampuan itu untuk mempengaruhi rangkaian
kejadian di dunia sosialnya. Di sini manusia tidak dianggap sebagai
makluk yang pasif dalam merespon kekuatan struktur yang
bersangkutan. Berikut rangkaian hubungan agensi, praktik, dan
struktur (Johnson, 2008: 461):
64
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Gambar 4: Rangkaian Hubungan Agensi, Praktik dan Struktur
Agency
Praktik
Struktur
Menurut Giddens, praktik rutin dari kehidupan sosial seharihari (everyday life) bisa mereproduksi (kadangkala menstransformasi)
struktur. Sedangkan stuktur menyediakan aturan dan sumberdaya yang
digunakan dalam praktik. Sementara sistem sosial (social system),
apakah mikro, meso, atau makro, terdiri dari relasi sosial aktual yang
manusia-manusianya terlibat dalam proses strukturasi. Jadi dengan
demikian struktur adalah “medium” sekaligus “outcome” dari praktik
rutin. Ini berarti juga struktur selain “membatasi” tindakan manusia
(adanya aturan), pada sisi lain juga memberdayakan (adanya
sumberdaya). Oleh karena itu manusia, meskipun tidak selalu bisa
memilih semua kondisi (struktur) yang mereka hadapi, tetapi mereka
tetap memiliki kemampuan, sebagai agen, untuk mengintervensi
pilihan-pilihan yang tersedia itu. “Struktur tidak bisa disamakan
dengan hambatan, tetapi mencakup keduanya, hambatan sekaligus
pemberdayaan,” demikian menurut Giddens.
Selanjutnya Giddens melihat bahwa ada tiga hal penting yang
muncul dari proses interaksi sosial: pertama apa yang disebut dengan
reflexive monitoring of action; kedua, rationalization of action; ketiga,
motivation of action. Tiga tindakan itu terjadi secara bertingkat atau
terstratifikasi menurut tingkatan kesadaran (conscious) yang berbeda
(Allan, 2006: 263-284). Berdasarkan stratifikasi tingkat kesadaran ini,
maka perilaku yang mencerminkan tingkat kesadaran yang paling
tinggi adalah reflexive monitoring of action. Contohnya: dalam proses
interaksi sosial, orang harus memperhatikan perilaku orang lain,
memonitor arus komunikasi, dan menjaga kelangsungan tindakan65
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
tindakannya. Selanjutnya, dari proses interaksi tersebut, orang yang
bersangkutan bisa memberikan alasan yang menjelaskan mengapa
mereka melakukan tindakan tertentu tersebut. Ini artinya orang yang
bersangkutan memberikan rasionalisasi dari tindakannya itu. Inilah
yang disebut sebagai tingkat kesadaran rasionalisasi tindakan
(rationalization of action).
Tingkat kesadaran rasionalisasi tindakan itu sendiri terbagi
menjadi dua kesadaran yang berbeda, yaitu kesadaran diskursif
(discursive consciousness) dan praktis (practical consciousness). Kata
diskursif dalam hal ini dihubungkan dengan wacana (discourse) atau
pembicaraan (conversation); tetapi dalam pengertian yang lebih dalam,
yaitu wacana yang memiliki landasan analitis. Sehingga dengan
demikian kesadaran diskursif mengacu pada kemampuan untuk
memberikan alasan verbal dari suatu tindakan (actions).
Sedangkan kesadaran praktis mengacu pada pengetahuan yang
dimiliki berkaitan dengan bagaimana kita eksis dan berperilaku secara
sosial. Dalam soal ini, tentu saja orang sulit atau tidak bisa
mengekspresikan secara verbal pengetahuan seperti ini. Sebab
bagaimanapun, sebagaimana dikemukakan Giddens, situasi dan praktik
(practices) sosial terlalu kompleks, sehingga dalam bertindak kita lebih
banyak menggunakan intuisi ketimbang pemikiran rasional. Sebagai
contoh, misalnya, orang mungkin memiliki pengetahuan tentang
penampilan suatu upacara ritual, tetapi hampir sebagian besar orang
tidak bisa menjelaskan mengapa orang menyelenggarakan upacara
ritual tersebut. Di sini ada sesuatu yang sulit dijelaskan secara rasional
melalui apa yang disebut kesadaran diskursif itu; walaupun semuanya
bisa dipahami dalam konteks kesadaran praktis. Situasi seperti ini
sering terjadi di Bali, khususnya terkait berbagai praktik ritual adat
atau agama (yang seringkali saling tumpang tindih dan sulit untuk
dipilah), dan orang atau masyarakat Bali menamakan hal semacam ini
sebagai “mula keto”, yang artinya kira-kira “sejak dulu begitu”, dan
mereka tinggal mengikuti saja apa adanya.
Kesadaran praktis seringkali diperoleh melalui observasi
seseorang terhadap orang yang lain, atau bisa juga merupakan hasil dari
66
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
suatu pengalaman seseorang. Kesadaran praktis itu termanifestasi
dalam bentuk ketrampilan (skill), yang prosesnya terbentuk melalui
suatu aktivitas rutin yang dijalankan tanpa perlu suatu penjelasan
rasional verbal. Aktivitas seperti mengendarai sepeda atau memainkan
instrumen musik, misalnya, tentu sulit dipelajari hanya melalui
instruksi verbal. Orang harus mempelajarinya melalui praktik. Bagi
mereka yang baru belajar, instruksi verbal mungkin menyertai aktivitas
praktis; tetapi sekali pengetahuan dan ketrampilan praktis dikuasai,
mereka menjadikan aktivitas itu sebagai perilaku “everyday life” yang
tidak terlalu membutuhkan lagi diskursus – tetapi yang sudah dipahami
secara implisit. Atas dasar ini maka kesadaran diskursif mungkin saja
secara gradual ditransformasikan kedalam kesadaran praktis yang
termanifestasikan dalam kebiasaan atau rutinitas sehari-hari.
Sebaliknya, kesadaran praktis mungkin menjadi topik dari suatu
diskursus, misalnya ketika sesuatu hal yang baru mulai tersosialisasi.
Di sini batas-batas antara kesadaran diskursif dengan kesadaran rutin
lantas bisa saling tembus (Johnson, 2008: 463-464).
Yang juga penting untuk dicatat adalah bahwa menurut
Giddens, semua perilaku – bahkan sampai praktik sehari-hari yang
paling rutin – berpotensi untuk ditransformasikan. Jadi, misalnya,
suatu aktivitas aktor yang dinilai merupakan suatu inovasi, dan yang
kemudian inovasi itu diterima dan dilakukan terus menerus secara
berulang (rutin) oleh orang yang lain, maka mungkin saja hasilnya
adalah transformasi struktural. Dalam konteks teori perubahan sosial,
proses transformasi struktural ini merupakan satu bentuk dari proses
perubahan sosial. Namun demikian perlu juga dicermati bahwa
meskipun suatu aktivitas rutin memiliki potensi transformatif, banyak
praktik rutin dari kehidupan sehari-hari dalam realitanya hanya
berperan mereproduksi struktur yang sudah ada.
Dalam konteks ini, Giddens melihat bahwa orang memang
cenderung memiliki kepentingan yang kuat untuk mempertahankan
praktik rutinnya. Ini karena praktik rutin dari kehidupan sehari-hari
memberikan semacam rasa stabilitas dan keteraturan (a sense of
stability and orderliness); yang pada gilirannya, semuanya itu secara
tidak sadar (unconscious) memenuhi kebutuhan terhadap rasa
67
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
keamanan. Di sini muncul apa yang oleh Giddens disebut sebagai
motivasi tidak sadar (unconscious motivations), yaitu tingkatan ketiga
setelah reflexive monitoring of action dan rationalization of action.
Seperti sudah disinggung di atas, struktur sosial, bagi Giddens
terdiri atas berbagai aturan (rules) dan sumberdaya (resources).
Tentang aturan itu sendiri ada dua tipe, yaitu yang disebut dengan
konstitutif (constitutive) dan regulatif (regulative). Aturan konstitutif
merupakan aturan tentang sesuatu hal yang pada dasarnya sudah ada
dan terdefinisikan. Misalnya, dalam permainan basket, ketentuannya
bola harus di dribbling dan bukan di tendang; karena kalau ditendang
permainannya bukan basket lagi tetapi sepakbola. Sementara aturan
regulatif adalah aturan yang memuat ketentuan bagaimana tatacara
harus dipatuhi, di mana didalamnya terdapat sanksi bagi yang
melanggar. Misalnya dalam permainan bola basket, dilarang bagi para
pemain untuk menabrak dengan sengaja pemain lain yang sedang
membawa bola – yang diperbolehkan merebut. Yang menabrak dengan
sengaja akan dikenakan hukuman oleh wasit. Tetapi memang
kehidupan sosial berbeda dengan permainan, karena dalam kehidupan
sosial, aturan (rules) seringkali tidak didefinisikan secara tepat, atau
sering bisa diintepretasikan secara berbeda. Oleh karena itu tidak
jarang dalam kehidupan sosial, terdapat inkonsistensi atau ambigu
dalam penerapan aturan yang menjadi bagian dari keberadaan stuktur
menurut Giddens tersebut (Priyono, 2002).
Sementara itu sumberdaya (resources) dalam struktur juga
terbagi atas dua tipe, yaitu alokatif (allocative) dan otoritatif
(authoritative). Sumberdaya alokatif adalah asset material yang
digunakan dalam produksi maupun konsumsi. Sumberdaya otoritatif
terdiri dari kemampuan atau hak untuk mempengaruhi perilaku orang
lain. Baik sumberdaya alokatif maupun otoritatif, dalam konteks teori
strukturasi, terikat dan didasarkan pada aturan-aturan (rules). Dengan
demikian struktur bisa dilihat terdiri dari aturan konstitutif dan
otoritatif, plus aturan yang memberikan hak untuk mengontrol obyek
material dan/atau perilaku orang lain dalam peranannya sebagai
subordinat di dalam berbagai tipe struktur kekuasaaan (power).
68
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
Meskipun menurut Giddens struktur bisa membatasi
(constraint) sekaligus juga bisa memberdayakan (enabling), tetapi
keseimbangan antara membatasi dan memberdayakan berbeda-beda
untuk masing-masing orang dalam segmen sosial yang berbeda. Dalam
hal ini perbedaan distribusi sumberdaya, menggambarkan konflik dan
kontradiksi yang inheren dalam struktur kelas sosial-ekonomi dalam
masyarakat kapitalis modern. Menyangkut hal ini, Giddens
menekankan bahwa meskipun orang mungkin memiliki kekuasaan
(power) yang bisa digunakan untuk mewujudkan sesuatu, tetapi
kekuasaan yang ada jelas berbeda-beda di antara orang-orang dalam
kelas sosial ekonomi yang berbeda atau yang berbeda tingkat struktur
hirarkinya. Begitu pula menurut Giddens, kekuasaan koersif tidak sama
dengan otoritas yang sah (legitimate), misalnya, kekuasaan koersif
penjahat berbeda dengan polisi.
Sementara itu berkaitan dengan tindakan-tindakan sosial para
aktor, Giddens menyatakan bahwa semuanya itu menyandarkan diri
pada difinisi subyektif mereka; sehingga karena itu menjadi penting
bagi para sosiolog untuk mempertimbangkan definisi tersebut ketika
ingin menjelaskan dunia sosial (social world). Selanjutnya hubungan
resiprokal antara definisi yang dibangun dalam kehidupan sehari-hari
(everyday life) dan analisa sosiologis ini mencerminkan perbedaan
antra ilmu sosial dengan ilmu alam.
Di sini perlu dicatat bahwa dunia sosial itu sendiri mungkin
berubah sebagai hasil dari diseminasi konsep-konsep sosiologis,
pengembangan wawasan, riset, dan lain sebagainya. Interdependensi
antara definisi kehidupan sosial sehari-hari dan definisi sosiologis oleh
Giddens dinamakan sebagai “hermeneutik ganda (double
hermeneutic). Pada dasarnya konsep ini mengacu pada pengertian
bahwa cara suatu analisa sosiologis memasukkan definisi kehidupan
sosial sehari-hari menjadikan analisa sosiologi yang bersangkutan
berpotensi mempengaruhi – dan karena itu mengubah – definisi yang
ada tersebut, begitupula praktik sosialnya. Dalam konteks ini bisa
terjadi apa yang disebut proses perubahan sosial.
69
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
• Perspektif Pierre Bourdieu
Akhirnya perlu disinggung tentang pemikiran Pierre Bourdieu,
khususnya dalam konteks teori perubahan sosial, yang kalau ditelusuri
sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan Giddens, yaitu keduanya
sama-sama menolak dikotomi antara agen dan struktur. Kalau Giddens
memberikan label “strukturasi” atas pemikiran tentang relasi agen dan
struktur, Bourdieu memberikan label “strukturalisme konstruktivis”,
atau sering pula disebut “strukturalisme genetik”, atas orientasi
teoritisnya dalam melihat hubungan dialektik antara struktur obyektif
dan fenomena obyektif. Tetapi apa pengertian dari strukturalisme
konstruktivis (constructivist structuralism)? Bourdieu (1986), dalam
salah satu tulisannya berjudul “Social Space and Symbolic Power”,
antara lain mengemukakan:
“… I would speak of constructivist structuralism or structuralist
constructivism, taking the word structuralism in a sense very
different from the one it has acquired in Saussurean or LéviStraussian tradition. By structuralism or structuralist, I mean
that there exist, within the social world it self and not only
within the symbolic system (language, myth,etc.), obyective
structures independent of the consciousness and will of agents,
which are capable of guiding and constraining their practices of
their representations. By constructivism, I mean that there is a
twofold social genesis, on the one hand of schemes of
perception, thought, and action which are constitutive of what I
call habitus, and on the other hand of social structures, and
particularly of what I call fields and of groups, notably those we
ordinarily call social class”.
Kalau ditelusuri, perspektif “strukturalisme konstruktivis” itu
sendiri lahir karena dijiwai oleh keinginan untuk mengatasi kesalahan
dalam ilmu sosial karena mempertentangkan subyektivisme dan
obyektivisme, atau menurut istilah Bourdieu, oposisi absurd antara
individu (individual) dan masyarakat (society). Sebagaimana
dikemukakan oleh Bourdieu (1990: 25):
”Of all the oppositions that artificially divide social science,
the most fundamental, and the most ruinous, is the one that
is set up between subjectivism and objectivism. The very fact
70
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
that this division constantly reappears in virtually the same
form would suffice to indicate that the modes of knowledge
which it distinguishes are equally indispensable to a science
of the social world that cannot be reduced either to a social
phenomenology or to a social physics”.
Dan di sini Bourdieu memang berusaha untuk “mengatasi” antinomi
obyektivisme dan subyektivisme, yang menurutnya telah membatasi
perkembangan dan kemajuan ilmu sosial.
Obyektivisme adalah suatu pandangan yang menganggap
bahwa realitas sosial itu terdiri dari suatu rangkaian relasi-relasi serta
kekuatan-kekuatan yang mampu memaksa agen-agen, yang hal itu
terjadi di luar kesadaran dan kemauan agen-agen yang bersangkutan.
Anggapan ini sejalan dengan perspektif Durkheim yang melihat
realitas sosial itu sebagai “fakta sosial” yang ada “di luar dan bersifat
memaksa agen atau individu”, dan karena itu fakta sosial bisa
diperlakukan sebagai benda (treat social facs as things). Sebaliknya,
subyektivisme melihat bahwa individu-individu atau agen-agen itu
adalah basis dari realitas sosial. Ini karena realitas sosial itu sendiri
adalah konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan persepsi dan
intepretrasi dari individu-individu atau agen-agen yang bersangkutan
lewat suatu proses interelasi sosial (Wacquant, 2006).
Maka untuk mengelakkan dilemma – sekaligus “mengatasi” –
antara obyektivisme dan subyektivisme, Bourdieu memusatkan
perhatiannya pada apa yang disebut sebagai praktik (practice), yang
dalam hal ini dilihatnya sebagai hasil dari hubungan dialektik antara
struktur dan agen. Dari sudut pandang ini, maka pemikiran Bourdieu
cenderung sejalan dengan teori strukturasi Giddens. Meskipun dalam
karya-karya yang lain, kecenderungan strukturalisnya kadangkala
menonjol sehingga Bourdieu sering digolongkan sebagai sosiolog yang
beraliran post-strukturalis – untuk menunjukkan kecenderungan
strukturalisnya yang baru itu. Pada titik ini Giddens agak berbeda
dengan Bourdieu karena pandangannya yang sedikit lebih condong
pada perspektif subyektivisme.
Namun demikian, sama halnya dengan Anthony Giddens,
orientasi teoritis Bourdieu sebagaimana disinggung di atas, bisa
71
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
digunakan untuk menjelaskan proses perubahan sosial. Dalam konteks
pemikiran Bourdieu ini, maka perubahan sosial, terutama dipandang
sebagai suatu proses perubahan yang melibatkan secara serentak dan
berkesinambungan dimensi struktur maupun agen, yang prosesnya
berlangsung secara dialektis. Dalam konteks untuk menjelaskan proses
perubahan sosial ini, maka paling tidak ada tiga konsep penting dari
Bourdieu yang bisa dimanfaatkan, yaitu konsep habitus (habitus), field
(arena), dan capital (modal/kapital). Tiga konsep ini bisa digunakan
secara serentak karena ketiganya adalah konsep yang saling terhubung
dan saling menjelaskan. Karena kedudukannya yang seperti ini, maka
Wacquant (2006) menyebutnya sebagai Triad.
Tetapi bagaimana pengertian dari habitus? Habitus bisa
dipahami sebagai struktur mental atau kognitif, yang melalui struktur
itu orang berhubungan dengan dunia sosial. Atau dengan kata lain
bahwa setiap orang memiliki atau membawa dalam dirinya suatu
skema tertentu (struktur mental atau kognitif) yang terinternalisasi,
yang melalui skema tertentu itu orang mempersepsikan, memahami,
mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosialnya. Skema tertentu ini
disebut habitus, dan melalui habitus itu – setelah melewati proses
mempersepsikan, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi – orang
menghasilkan suatu praktek (tindakan); yang selanjutnya secara
dialektis akan dipersepsikan dan dievaluasi kembali.
Jadi, menurut Bourdieu, seperti yang dikutip dari Ritzer (1996:
404-407), secara dialektis habitus adalah: “the product of the
internalization of the structures of the social world”; atau dengan kata
lain habitus merupakan “struktur sosial yang terinternalisasi” dalam
diri seseorang. Habitus juga merupakan hasil dari suatu proses panjang,
berkaitan dengan disposisi yang ditempati seseorang dalam suatu dunia
sosial. Oleh karena itu, habitus sifatnya juga berbeda-beda, tergantung
pada disposisi seseorang dalam dunia sosialnya; dan inilah yang
menjelaskan mengapa tidak semua orang memiliki habitus yang sama.
Walaupun kecenderungan dari mereka yang memiliki disposisi yang
sama dalam satu dunia sosial yang sama akan memiliki habitus yang
(relatif) sama. Dalam konteks yang terakhir ini maka habitus bisa
merupakan suatu fenomena kolektif. Dalam pengertian ini maka orang
72
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
mungkin atau bisa memiliki suatu pengertian yang sama, meski tidak
berarti seragam, tentang dunia sosial. Pengertian yang sama ini
mengacu pada adanya habitus yang sama yang dimiliki secara kolektif
oleh sekelompok orang.
Selain itu, habitus yang ada dalam suatu kurun waktu tertentu
bisa mewujud menjadi sejarah kolektif. Sebagaimana dikemukakan
oleh Bourdieu (1990: 54):
“The Habitus, a product of history, produces individual and
collective practices – more history - in accordance with the
schemes generated by history”. It ensures the active presence
of past experience, which, deposited in each organism in the
form of schemes of perception, thought and action, tend to
guarantee the ‘correctness’ of practices and their constancy
over time, more reliably than all formal rules and explicit
norms”.
Di sini berarti habitus, apakah itu yang melekat pada individu atau
kolektif, memiliki dimensi sejarah, lebih dari sekedar aturan-aturan
formal dan norma-norma eksplisit yang dipahami oleh individu
maupun kolektif.
Selain merupakan fenomena kolektif dan memiliki dimensi
historis, habitus juga memiliki sifat durable dan transporable, yaitu bisa
dipindah-pindahkan dari satu field (arena) ke field yang lain. Dalam
konteks perpindahan habitus ini, mungkin saja terjadi apa yang disebut
“ketidaksesuaian habitus”. Hal ini terjadi bila suatu habitus tertentu
ternyata tidak sesuai dengan field yang ada. Hasilnya adalah apa yang
disebut Bourdieu dengan hysterisis. Contohnya, seorang petani yang
memiliki suatu habitus yang erat hubungannya dengan kehidupan
pertanian desa sekonyong-konyong harus berpindah secara mendadak
dalam suatu kehidupan industri perkotaan. Akibatnya, orang ini bisa
mengalami hysterisis.
Sejalan dengan pemikiran bahwa selalu terdapat hubungan
yang dialektis yang berkesinambungan antara unsur subyektif (agen)
dan obyektif (struktur), maka dalam konteks habitus berlangsung pula
suatu proses saling mempengaruhi secara timbal balik antara habitus
dan dunia sosial. Proses saling mempengaruhi itu dijelaskan oleh
73
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Bourdieu dalam suatu konsep yang disebut “structuring structure”,
yaitu struktur yang menstrukturkan dunia sosial; dan juga “structured
structure”, yaitu struktur yang distrukturkan oleh dunia sosial.
Pengertian struktur dalam konteks ini adalah struktur mental/kognitif
atau yang disebut habitus. Dari hubungan ke duanya itu, Bourdieu,
sebagaimana dikutip oleh Ritzer (1996), lantas menggambarkan habitus
sebagai: “dialectic of the internalization of externality and
externalization of internality”.
Lalu apa yang menghubungkan antara habitus yang merupakan
struktur mental/kognitif itu dengan dunia sosial (social world)?
Bourdieu mengemukakan suatu konsep yang disebut practice atau
praktek. Dengan praktek ini maka habitus (melalui praktek)
menstrukturkan dunia sosial (externalization of internality); dan
sebaliknya melalui praktek pula, habitus distrukturkan oleh dunia
sosial (internalization of externality). Proses menstrukturkan dan
distrukturkan itu, sekali lagi, berlangsung secara dialektis; dan proses
seperti inilah yang mendorong terjadinya proses perubahan sosial.
Berkaitan dengan proses perubahan sosial ini, Craig Calhoun dalam
Ritzer (2003: 275-309), mengemukakan bahwa dalam pandangan
Bourdieu, “the most fundamental social changes have to appears not
only changes in formal structures but as changes in habitual
orientations to action”. Di sini jelas bahwa perubahan dalam orientasi
“habitual”, yang tidak lain adalah perubahan habitus, sesungguhnya
adalah bagian dari proses perubahan sosial itu sendiri, yang prosesnya
berjalan melalui proses menstrukturkan dan distrukturkan
sebagaimana dijelaskan di atas.
Selanjutnya meskipun habitus merupakan hasil dari suatu
internalisasi struktur yang membatasi (constraint) pikiran dan pilihan
tindakan, tetapi tidak menentukan (not determine) pikiran dan pilihan
tindakan. Penolakannya terhadap determinisme ini adalah salah satu
yang membedakan posisi Bourdieu dengan para pemikir strukturalis
lainnya. Dalam pemikiran Bourdieu, habitus hanya “menyarankan”
(suggest) tentang apa yang harus dipikirkan dan strategi pilihan
tindakan yang harus diambil dalam suatu dunia sosial. Tetapi menurut
Bourdieu, orang atau agen adalah sosok yang tidak bodoh, meskipun
74
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
orang atau agen yang sama juga tidak sepenuh-penuhnya rasional.
Oleh karena itu orang lebih cenderung bertindak dalam cara yang
rasional menurut pandangan praktisnya. Pendeknya ada logika dibalik
semua tindakan mereka. Tindakan logis ini oleh Bourdieu dinamakan
“logic of practice”.
Selanjutnya apa yang dimaksudkan field atau arena? Dan juga
apa hubungannya dengan kapital? Pertama-tama harus dipahami
bahwa Bourdieu mamahami arena lebih sebagai suatu hubungan
relational ketimbang suatu keadaan struktural (relationally rather than
structurally). Hubungan ini eksis terpisah dari kesadaran ataupun
keinginan individual. Dan yang dimaksudkan hubungan relasi itu
bukanlah interaksi atau ikatan intersubyektif di antara individual.
Posisi-posisi yang ada dan berelasi itu bisa saja merupakan agen atau
institusi, yang keberadaannya dibatasi (constrained) oleh struktur dari
arena itu sendiri (Ritzer, 1996: 407).
Dengan demikian, konsep field atau arena bisa dipahami
sebagai jaringan (networks) dari relasi di antara posisi-posisi obyektif,
yang keberadaannya terpisah dari kesadaran dan keinginan individual.
Mereka yang menempati posisi-posisi obyektif itu bisa agen atau
institusi, dan posisi-posisinya tersebut dibatasi oleh struktur dari arena
itu sendiri. Dalam dunia sosial ada beberapa contoh arena yang semiotonom, yaitu antara lain arena kesenian, arena agama, arena ekonomi,
dan lain sebagainya. Masing-masing arena itu memiliki logika
tersendiri, termasuk dalam hal aturan-aturan (rules), yang semuanya
itu membangkitkan suatu keyakinan bagi para aktornya tentang
sesuatu yang ada dalam arena yang bersangkutan.
Arena itu sendiri, dalam bayangan Bourdieu adalah semacam
arena pertempuran (battlefield), yang dalam arena itu berbagai jenis
kapital saling digunakan untuk dikonversikan dan dikompetisikan. Di
konvesikan dalam pengertian bahwa jenis-jenis kapital tertentu bisa
digunakan dan diubah menjadi jenis-jenis capital lainnya. Seperti
misalnya, kapital ekonomi bisa saja dikonversikan menjadi kapital
sosial. Sehingga orang yang memiliki kekuatan ekonomi bisa memiliki
peluang untuk memperoleh kekuatan sosial dalam wujudnya seperti
75
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
misalnya kehormatan atau prestise; dan dalam konteks tertentu bisa
pula sebaliknya. Atau agen yang memiliki kapital budaya, dapat
mengkonversikan menjadi kapital ekonomi; dan sebaliknya pula.
Lalu dalam soal kapital ini, Bourdieu mengemukakan paling
tidak ada empat macam kapital. Pertama, kapital ekonomi, yang
mencakup bentuk-bentuk modal ekonomi seperti yang layaknya kita
kenal; kedua, kapital kultural yang antara lain mencakup berbagai
jenis pengetahuan yang memiliki keabsahan (legitimate); ketiga,
kapital sosial, yang antara lain menyangkut relasi sosial yang bernilai di
antara orang-orang; dan keempat, kapital simbolik, yang
keberadaannya muncul dari kehormatan, status dan prestise yang ada
pada diri seseorang. Yang perlu digarisbawahi, keempat jenis kapital itu
tidak akan bisa nyata keberadaan dan fungsinya terkecuali dalam
hubungannya dengan field atau arena.
Proses konversi ini tentu tidak hanya bisa terjadi dalam ukuran
dimensi waktu jangka pendek (tahunan) tetapi juga dalam jangka
panjang yang melibatkan antar generasi (puluhan tahun). Inilah yang
disebut sebagai reproduksi intergenerasional. Contohnya, orang-orang
kaya seringkali berusaha mengkonversikan kekayaannya itu (kapital
ekonomi) dengan mendorong anak-anaknya untuk memperoleh
tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik (kapital kultural).
Ini berarti mengkonversikan kekuatan kapital ekonomi menjadi kapital
kultural. Proses sebaliknya juga bisa saja terjadi; begitupula dengan
proses konversi yang melibatkan kapital-kapital yang lain. Semua
proses konversi ini hasilnya akan bisa dilihat atau terwujud dalam
jangka panjang. Misalnya dalam kasus pendidikan di atas, modal
ekonomi dari orang-orang kaya tersebut di atas bisa mewujud menjadi
kekuatan kapital budaya (ilmu) dalam bentuk tingkat pendidikan yang
tinggi hanya dalam jangka panjang.
Perlu dicatat bahwa posisi berbagai agen dalam suatu arena
ditentukan oleh banyak dan/atau kuatnya kapital yang mereka miliki.
Semakin banyak atau kuat kapital yang dimiliki oleh suatu agen maka
semakin kuat disposisinya dalam suatu arena, dan karena itu,
memungkinkan terjadinya kontrol atau bahkan hegemoni dari agen
76
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
yang bersangkutan atas agen-agen yang lain. Begitu pula sebaliknya,
mereka yang kapitalnya lemah maka disposisinya dalam suatu arena
juga menjadi kurang kuat, dan arena itu memiliki peluang untuk
didominasi oleh mereka yang memiliki disposisi yang lebih kuat dalam
suatu arena tertentu. Proses ini mengacu pada pengertian bahwa
kapital tertentu dalam suatu arena bisa dikompetisikan, selain di
konversikan seperti disinggung di atas.
Dalam konteks kompetisi kapital, sejalan dengan pemikiran
Bourdieu, tidak hanya besar atau kuatnya kapital yang menentukan
disposisi agen, tetapi jenis kapital yang dimiliki juga ikut menentukan.
Sebab dalam suatu kompetisi kapital di suatu arena, kepemilikan suatu
jenis kapital tertentu dalam suatu arena tertentu seringkali memiliki
pengaruh lebih kuat dibandingkan dengan jenis kapital yang lain.
Misalnya saja, dalam arena pendidikan (contohnya: universitas),
kepemilikan kapital kultural seringkali lebih kuat pengaruhnya
dibandingkan kapital ekonomi atau kapital sosial. Sebaliknya dalam
arena ekonomi (contohnya: dunia bisnis), kepemilikan kapital ekonomi
dapat dipastikan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan jenis kapitalkapital yang lainnya. Pendeknya kapital tertentu dalam arena tertentu
sering dinilai lebih kuat bobotnya dibandingkan kapital yang lain
dalam arena yang sama.
Selanjutnya kalau kontrol dan hegemoni dalam suatu arena
tertentu telah terjadi, biasanya melibatkan suatu proses yang oleh
Bourdieu disebut sebagai “kekerasan simbolik” (symbolic violence).
Kekerasan simbolik itu sendiri merupakan praktek tidak langsung dari
suatu kontrol sosial yang sifatnya mendominasi, dan yang prosesnya
terutama terjadi melalui mekanisme kultural. Dalam soal kekerasan
simbolik ini, Bourdieu (2001: 1-3) menyatakan:
“…I call symbolic violence a gentle violence, imperceptible
and invisible even to its victims exerted for the most part
through the purely symbolic channels of communication and
cognition (more precisely, misrecognition), recognition, or
even feeling. This extraordinarily ordinary social relation
thus offers a privileged opportunity to grasp the logic of the
domination exerted in the name of a symbolic principle
known and recognized both by the dominant and by the
77
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dominated - a language (or a pronunciation), a lifestyle (or a
way of thinking, speaking and acting) - and, more generally,
a distinctive property, whether emblem or stigma, the
symbolically most powerful of which is that perfectly
arbitrary and non-predictive bodily property, skin colour”.
Di sini memang kekerasan simbolik yang lebih banyak
memiliki dimensi kultural itu tidak harus melibatkan suatu kontrol dan
dominasi fisik secara langsung, misalnya melalui kekerasan fisik.
Tetapi suatu kontrol melalui komunikasi sosial yang mempengaruhi
kognisi, yang pada tingkat tertentu mereka yang dikontrol atau
didominasi tidak merasakannya, atau bahkan mempersepsikan
dominasi itu sebagai bentuk wajar dari tanggungjawab dan
kewajibannya. Mereka seolah-olah menyadarinya bahwa memang
demikianlah disposisinya dalam suatu dunia sosialnya (struktur sosial)
yang lebih luas. Dikaitkan dengan gagasan Marx, proses seperti ini
mirip dengan konsep Marx tentang alienasi kesadaran.
Proses terjadinya hegemoni atau dominasi yang melibatkan
kekerasan simbolik itu sendiri kerapkali diawali oleh suatu situasi yang
oleh Bourdieu disebut sebagai misrecognition. Di sini bahkan bisa
dikatakan misrecognition adalah kunci dari fungsi (terjadinya)
kekerasan simbolik (symbolic violence) itu sendiri. Bourdieu sendiri,
sebagaimana dikemukakan oleh Webb dan Danaher (2002: 23-25),
mengartikan misrecognition sebagai “a form of forgetting that agent
are caught up in, and produced by”. Di sini agen mengalami suatu
situasi “dilupakan” atau “dikecilkan” posisinya oleh karena beberapa
sebab (misalnya, diperlakukan sebagai inferior, tidak diakui atau
diingkari kemampuannya, dibatasi aspirasi dan mobilitas sosialnya, dan
lain-lain). Dalam keadaan seperti itu, si agen menerima begitu saja
situasi yang dihadapi dan merasakan semuanya ini sebagai sesuatu
yang wajar. Alhasil, terjadilah apa yang disebut kekerasan simbolik
seperti yang dikemukan di atas.
Lalu dalam soal hubungan antara arena dengan habitus, bisa
dikemukakan bahwa arena bisa mengkondisikan habitus; dan
sebaliknya habitus mampu membentuk arena sebagai sesuatu yang
bermakna dan bernilai. Sedangkan proses interelasi antara habitus dan
78
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
arena itu sendiri dijembatani oleh apa yang disebut sebagai “praktik”.
Jadi di sini memang ada hubungan yang bersifat timbal balik secara
dialektis. Di sini memang akhirnya hubungan antara habitus dan arena
ini, secara sederhana juga bisa menggambarkan hubungan antara
individu (agen) dan masyarakat (stuktur). Dalam hubungan seperti itu,
habitus atau arena (field) tidak memiliki kapasitas secara sepihak
(unilateral) untuk menentukan tindakan sosial (social action). Namun
sebaliknya, tindakan sosial ditentukan oleh proses relasi dialektis dari
keduanya, yaitu: habitus – yang juga bisa dikatakan merupakan
struktur mental – dan arena (field), yang bisa dikatakan sebagai
struktur sosial.
Jadi pada akhirnya bagi Bourdieu, menyangkut konsep habitus
dan arena, yang paling penting adalah hubungan dialektik di antara
keduanya (habitus dan arena). Lebih dari itu, dalam hubungan
dialektik itu, baik habitus maupun arena, keduanya saling
mendefinisikan satu sama lain. Kata Bourdieu, dalam Ritzer (1996:
409):
“The disposition constituting the cultivated habitus are only
formed, only function and are only valid in a field, in a
relationship with a field…. Which is itself a’field of possible
forces,’ a ‘dynamic’ situation in which forces are only manifested
in their relationship with certain dispositions. This is why the
same practices may receive opposite meaning and values in the
different fields, in different configuration, or in opposing sectors
of the same field”.
RANGKUMAN
Dari apa yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa teori
perubahan sosial sesungguhnya sudah mulai berkembang sejak lama,
hampir sama lamanya dengan lahirnya pemikiran-pemikiran tentang
teori sosial, termasuk di dalamnya sosiologi. Bapak sosiologi, Auguste
Comte (1798-1857), misalnya, sejak awal bahkan menawarkan satu
perspektif teori perubahan sosial yang keseluruhan substansinya
didasarkan pada pekembangan cara berfikir masyarakat, yaitu sejak
79
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dari cara berfikir teologis, metafisis dan positivis. Para “raksasa” di
bidang teori sosial lainnya, hampir semua juga mengembangkan
perspektif tertentu tentang perubahan sosial, katakanlah mulai dari
pemikir klasik seperti Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim sampai
ke pemikir kontemporer seperti Talcot Parson atau Anthony Giddens.
Sebagai bagian dari teori sosial, perspektif-perspektif teori
perubahan sosial dalam perjalanan sejarahnya mengalami interaksi
dengan gagasan besar tentang modernisasi. Interaksi ini bahkan
semakin dalam terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pada
kurun waktu itu perspektif teori perubahan sosial malah sering
dijadikan dasar bagi pengambilan kebijakan pembangunan di negaranegara berkembang, yang umumnya baru mendapatkan kemerdekaan
atau baru membentuk menjadi negara setelah selesainya Perang Dunia
II tersebut. Di antara perspektif teori yang paling menonjol dan sering
dijadikan acuan dalam proses pembangunan di Negara-negara
berkembang adalah teori struktural fungsional.
Dari sejak lepas Perang Dunia II hingga dekade 1970-an,
perspektif Parsonian ini boleh dikatakan mendominasi pemikiran para
elit pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara berkembang.
Begitu dominannya posisinya, bahkan pengertian tentang modernisasi
itu sendiri sering diidentikkan dengan perspektif teori struktural
fungsional. Namun demikian, perjalanan pemikiran struktural
fungsional ini tidaklah sepi kritik. Meskipun nantinya, justru dari
kritik-kritik ini kemudian lahir pemikiran baru di bidang teori
perubahan sosial, sebagai alternatif dari teori-teori yang sudah ada
sebelumnya. Pemikiran baru itu di antaranya adalah teori strukturasi
dari Anthony Giddens dan teori strukturalis konstruktivisme dari
Pierre Bourdieu.
Dalam konteks pengkajian tentang perubahan sosial di
perdesaan di Bali, penulis condong untuk memanfaatkan perspektif
teori strukturasi ataupun strukturalis konstruktivisme sebagai landasan
teoritisnya. Alasannya yang umum adalah, bahwa ke dua perspektif itu
tampaknya lebih bisa menjelaskan proses perubahan sosial yang
berlangsung di perdesaan di Bali, karena pendekatannya yang berusaha
80
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
mengintegrasikan secara dialektik peran agen (individu maupun
kolektif) dan struktur dalam proses perubahan sosial. Termasuk dalam
hal ini adalah konsep-konsep dari Giddens dan Bourdieu yang agaknya
tepat untuk membantu menerangkan fenomena perubahan sosial yang
terjadi di Perdesaan di Bali.
Konsep-konsep itu antara lain, misalnya, konsep struktur
menurut Giddens dan Bourdieu yang cakupannya tidak hanya struktur
dalam pengertian sempit sebagai suatu “fakta sosial” menurut versi
Durkheim, tetapi lebih dari itu adalah struktur yang ada dan melekat
dalam pikiran (sistem kognitif) dan simbolik. Bourdieu menyebut yang
terakhir ini dengan kata struktur mental (mental structures). Ini untuk
membedakan dengan penyebutan struktur dalam pengertian pertama
yang mengacu pada kata struktur sosial (social structure).
Oleh karena pengertian struktur yang seperti ini maka
pemahaman tentang struktur sosial di sini menjadi lebih dinamis, dan
kalau mengacu pada Giddens, struktur sosial itu berarti tidak hanya
bisa “membatasi” (constraint) tetapi sekaligus juga memiliki potensi
untuk “memberdayakan” (enabling). Juga konsep-konsep penting
Bourdieu, seperti habitus, arena (field) dan kapital – baik dalam
bentuknya sebagai kapital ekonomi, kapital sosial, kapital budaya dan
capital simbolik. Tiga konsep penting Bourdieu, yang oleh Loïc
Wacquant disebut sebagai triad, akan banyak membantu dalam
menjelaskan fenomena perubahan sosial yang terjadi di Pedesaan di
Bali, khususnya di Desa Adat Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten
Karangasem, Bali.
81
Download