6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Kerjasama Kerjasama adalah sebuah sistem pekerjaan yang kerjakan oleh dua orang atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang direncanakan bersama. Kerja sama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung dalam kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi kesadaran tanggung jawab tiap anggota. Menurut Pamudji (1985:12-13) Kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian itu terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi dan unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak termuat dalam satu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek itu tidak terdapat kerjasama. Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama penting dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka hubungan yang dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama Suatu interaksi yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses interaksi, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras. Menurut Thomson dan Perry dalam Keban (2007:28), Kerjasama memiliki derajat yang berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi (cooperation) sampai pada derajat yang lebih tinggi yaitu collaboration. “Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak pada kedalaman interaksi, integrasi, 6 7 komitmen dan kompleksitas dimana cooperation terletak pada tingkatan yang paling rendah. Sedangkan collaboration pada tingkatan yang paling tinggi”. Menurut Rosen dalam Keban (2007:32) “Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan. Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian bersama misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih menguntungkan daripada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi misalnya, akan memberikan hasil yang memuaskan dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi dan sebagainya”. Berikut adalah definisi kerja sama menurut para ahli : 1. Moh. Jafar Hafsah menyebut kerjasama ini dengan istilah kemitraan, yang artinya adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. 2. H. Kusnadi mengartikan kerjasama sebagai dua orang atau lebih untuk melakukan aktivitas bersama yang dilakukan secara terpadu yang diarahkan kepada suatu target atau tujuan tertentu. 3. Zainudin memandang kerjasama sebagai kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai, dan adanya norma yang mengatur. Makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh anggota). Menurut Tangkilisan (2005:86) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Publik Lingkungan ekstern maupun intern, yaitu semua kekuatan yang timbul diluar batas-batas organisasi dapat mempengaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi. Karenanya perlu diadakan kerjasama dengan kekuatan yang 8 diperkirakan mungkin akan timbul. Kerjasama tersebut dapat didasarkan atas hak, kewajiban dan tanggungjawab masing-masing orang untuk mencapai tujuan. Dwight Waldo dalam Hamdi (2007:41) menyatakan bahwa “In general, the more knowledge that is necessary to run a contemporary society, and the more specializationnthat is a consequence, then the more need of and potential for horizontal rather than vertical cooperative arrangements” yang intinya menjelaskan bahwa pada umumnya suatu keadaan berimplikasi pada semakin banyaknya kebutuhan, dan juga semakin berkembangnya potensi, untuk tatanan kerjasama yang bersifat horizontal ketimbang kerjasama yang bersifat vertikal. Kerjasama dapat dilakukan dengan beberapa bentuk perjanjian dan pengaturan. Hal ini dijelaskan oleh Rosen dalam Keban (2007:33) bahwa bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas : 1. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis. 2. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis. Sedangkan pengaturan kerjasama terdiri atas beberapa bentuk yaitu : a. Consortia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal jika ditanggung sendiri-sendiri. b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar. c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan. d. Cooperative Construction, yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan. e. Joint services, yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik. f. Contract Services, yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengkontrak pihak lain untuk memberikan pelayanan tertentu. 9 g. Pengaturan lainnya; yaitu pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan Bowo dan Andy menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kerjasama harus tercapai keuntungan bersama (2007:50-51) “Pelaksanaan kerjasama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat didalamnya (win-win). Apabila satu pihak dirugikan dalam proses kerjasama, maka kerjasama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai keuntungan atau manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik antara semua pihak dan pemahaman sama terhadap tujuan bersama” Agar dapat berhasil melaksanakan kerjasama maka dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana yang dijelaskan oleh Edralin dan Whitaker dalam Keban (2007:35) prinsip umum tersebut terdapat dalam prinsip good governance antara lain : 1.Transparansi 2.Akuntabilitas 3.Partisipatif 4.Efisiensi 5.Efektivitas 6.Konsensus 7.Saling menguntungkan dan memajukan 2.1.2 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan saat sebelum belajar. tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, psikomotor (Slameto, 2003: 6). Hasil belajar pada hakikatnya merupakan pencapaian kompetensi– kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai– nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi 10 tersebut dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Penilaian proses dan hasil belajar saling berkaitan satu dengan yang lainnya, hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar (Trianto, 2010: 124). Sudjana (2005: 5) menyatakan bahwa hasil belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar. Sanjaya (2005: 88) menjelaskan hasil belajar adalah hasil bukan proses. Keberhasilan belajar di ukur dari pembelajaran yang diperoleh. Semakin banyak informasi yang dapat dihafal maka semakin bagus hasil belajar. Bukan hanya itu kemampuan mengungkapkan hasil belajar juga ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan. Semakin cepat dan tepat individu mengungkapkan informasi yang dihafalnya, semakin bagus hasil belajar. Sehingga dengan demikian belajar lebih berorientasi pada hasil yang harus dicapai. Nasution (2003: 42) berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Menurut Nana Sudjana (2004: 14) hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Hasil belajar menurut Sudjana (2004: 22) dibagi menjadi tiga macam hasil belajar yaitu: (a) Keterampilan dan kebiasaan (b) Pengetahuan dan pengertian (c) Sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. Menurut penulis hasil belajar adalah perubahan yang terlihat pada diri siswa yang tidak hanya terlihat dalam segi kognitif tetapi juga dari segi afektif maupun psikomotor. Hasil belajar dapat terlihat setelah siswa melaksanakan pembelajaran dan dari pembelajaran itu dapat diketahui bagaimana perubahan yang di alami siswa, ada atau tidaknya peningkatan pada diri siswa diketahu dengan mengukur tingkat kemampuan penguasaan materi pembelajaran. Hasil belajar itu sebagai 11 tolak ukur dari keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan. Keberhasilan suatu pembelajaran dapat tercermin dari hasil belajar yang terlihat apakah sudah sesuai dengan tujuan pembelajaran atau belum. Untuk mengetahui hasil belajar dilakukan dengan melaksanakan tes. Ada beberapa jenis tes yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa disekolah. Diharapkan dengan perolehan hasil belajar siswa dapat dijadikan sebagai acuan dalam merancang pembelajaran pada pertemuan selanjutnya agar pelaksanaan pembelajaran semakin baik. Berdasarkan pendapat dari Slameto, Trianto, Sudjana, Sanjaya, dan Nasution serta penulis hasil belajar adalah perubahan yang terjadi dalam diri seseorang karena proses belajar dimana perubahan itu ditunjukkan dalam segi pengetahuan, sikap, ketrampilan. Peningkatan atau perubahan seseorang itu didasarkan atas informasi yang telah diterima melalui proses belajar. Apabila seseorang dengan cepat dan jelas dalam menyampaikan informasi yang telah didapat bearti telah terjadi peningkatan pemahaman pada diri orang tersebut. Peningkatan dan perubahan dari proses belajar sangat berorientasi pada hasil yang harus dicapai. Hasil yang dicapai tersebut dapat diukur keberhasilannya melalui kegiatan evaluasi dengan memberikan soal latihan yang dikerjakan secara individu. Kegiatan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui seberapa berhasil suatu proses pembelajaran yang dilakukan dengan teknik pengukuran baik dalam bentuk tes maupun non tes. Bentuk tes ini nantinya diterapkan setelah proses belajar selesai dilakukan dengan tujuan sebagai tolak ukur keberhasilan seseorang dalam belajar. Sehingga akan diketahui tujuan dari proses belajar itu sudah dapat tercapai atau belum dengan melihat hasil tes yang telah dilakukan. Hasil belajar pada kenyataannya memang menjadi sebuah patokan yang menjadi dasar suatu proses belajar itu dapat terlaksana dengan baik atau tidak karena pelaksanaan proses belajar yang baik atau buruk akan berpengaruh terhadap hasil belajar seorang siswa. 2.1.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa. Adapun faktor 12 yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Faktor-faktor tersebut menurut Sugihartono, dkk (2007: 76–78) adalah faktor internal dan faktor eksternal. Penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut: 1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor pendorong yang datangnya berasal dari dalam diri siswa, misalnya faktor jasmaniah dan psikologis. Bila kondisi jasmani dan psikologi siswa sedang tidak baik, maka semangat belajarnya juga akan terpengaruh. 2. Faktor Eksternal Faktor selanjutnya yang mempengaruhi belajar adalah faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar siswa, misalnya dari keluarga, teman maupun dari lingkungan sekolah. Faktor eksternal ini akan sangat menentukan pembentukan sikap dan kepribadian siswa di kehidupannya. Dapat disimpulkan bahwa proses belajar tidak akan lepas dari faktor pendukung yang mempengaruhi ketercapaian hasil belajar. Faktor pendukung tersebut bisa berasal dari dalam diri siswa maupun dari luar siswa. Menurut penulis faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang ada dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Hasil belajar nantinya terpengaruh oleh bagaimana siswa dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kedua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa itu sendiri. Faktor internal itu dapat teramati dari segi bagaimana siswa mempersiapkan diri dengan baik untuk memperoleh suatu informasi dari proses belajar. Apabila siswa tersebut mampu mempersiapkan diri dengan baik dengan persiapan dari segi kesehatan badan atau jasmani dan kesehatan pikiran atau rohani tentunya hasil belajar akan terpengaruh karena siswa merasa mampu untuk mengikuti proses belajar yang dilaksanakan. Hasil belajar kemudian dipengaruhi juga oleh faktor dari luar siswa seperti keadaan sekolah yang ditempati. Keadaan sekolah itu apakah mendukung untuk kegiatan belajar atau tidak. Sekolah yang baik pasti sudah mendukung proses belajar dari segi keamanan, kenyamanan, dan kebersihan serta fasilitas pendukung yang dimiliki sebagai penunjang dari kegiatan belajar yang dilaksanakan. Jika sekolah sudah siap sebagai media belajar pasti peran dari keluarga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga 13 sangat penting sebagai faktor dari luar siswa yang berkewajiban menciptakan suasana belajar anak menjadi terpacu dan merasa dihargai serta selalu didukung dengan begitu hasil belajar yang meningkat dapat terwujud. Berdasarkan pendapat dari Sugihartono dan penulis bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu meliputi faktor internal dan eksternal, dimana kedua faktor tersebut sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Faktor internal berasal dari dalam diri siswa, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar siswa. Kedua faktor ini sangat perlu diperhatikan karena siswa nantinya akan dapat mengembangkan potensi yang ada dan dapat meminimalisir hambatanhambatan pembelajaran IPS dan hasil belajar siswa akan meningkat. Karena kedua faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu sendiri mempunyai pengaruh yang kuat akan ketercapaian hasil belajar. Siswa dengan mudah dapat mencapai hasil belajar sesuai kriteria yang telah ditentukan apabila siswa tersebut dapat memperhatikan dan sadar akan faktor yang ada dalam dirinya dan dari luar dirinya terkontrol dan disiapkan dengan baik guna kemajuan dalam belajar. Apabila kedua faktor yang berpengaruh pada hasil belajar siswa tidak dapat terkontrol dengan baik tentu konsekuensinya adalah hasil belajar siswa yang sulit tercapai tingkat keberhasilannya. Oleh karena itu baik faktor internal maupun eksternal yang menjadi pengaruh dalam hasil belajar siswa perlu mendapat perhatian yang serius. Supaya siswa lebih memperhatikan berbagai hal yang ada di dalam maupun diluar dirinya karena belajar bukan hanya duduk dan pasif sebagai penerima informasi tetapi bagaimana keadaan pembelajaran IPS lebih aktif dan berkesan dengan selalu mengoptimalkan berbagai faktor hasil belajar siswa. 2.1.2.2 Pengukuran Hasil Belajar Prinsip yang mendasari penilaian hasil belajar yaitu untuk memberi harapan bagi siswa dan guru untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas dalam arti siswa menjadi pembelajar yang efektif dan guru menjadi motivator yang baik. Dalam kaitan itu, guru dan pembelajar dapat menjadikan informasi hasil penilaian sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah pemecahan 14 masalah, sehingga mereka dapat memperbaiki dan meningkatkan belajarnya (Rasyid, 2008: 67). Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, tes hasil belajar dapat digolongkan ke dalam jenis penilaian, sebagai berikut: 1. Tes sebagai penilaian adalah pertanyaan pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan), atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Jenis tes yakni tes uraian atau tes esai dan tes objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas, dan uraian berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari benar salah, pilihan ganda, menjodohkan, isian pendek (Sudjana, 2005: 44). 2. Nontes sebagai alat penilaian hasil dan proses belajar mengajar masih sangat terbatas penggunaannya dibanding dengan penggunaan tes dalam menilai hasil dan proses belajar. Para guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan tes daripada bukan tes mengingat alatnya mudah dibuat, penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai terbatas pada aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Bentuk-bentuk teknik nontes berupa kuesioner atau wawancara, skala (skala penilaian, skala sikap, skala minat), observasi atau pengamatan, studi kasus dan sosiometri (Sudjana, 2005: 68). Menurut penulis, pengukuran hasil belajar adalah suatu dasar yang digunakan sebagai acuan dalam kegiatan mengukur tingkat keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh guru. Tingkat keberhasilan suatu pembelajaran itu dapat dilakukan melalui serangkaian pengukuran hasil belajar dengan teknik tes dan non tes. Pelaksanaan dari teknik tes dan non tes itu sendiri baiknya dilakukan selama pembelajaran berlangsung atau setelah siswa melaksanakan pembelajaran karena dapat menjadi bahan evaluasi apakah pembelajaran yang sudah dilakukan itu telah berjalan dengan baik atau belum. Walaupun bisa menggunakan kedua teknik ini secara bersamaan namun biasanya teknik tes yang sering dipakai karena lebih mudah dalam menggunakannya sebagai pengukuran hasil belajar. Teknik tes yang dilaksanakan nantinya dapat mencerminkan bagaimana tingkat keberhasilan ketika mengajar. Oleh sebab itu penyusunan instrumen tes harus berlandaskan validitas dan reliabilitas sehingga hasil daripada pengukukuran hasil belajar itu dapat membuahkan hasil evaluasi 15 yang dapat dijadikan cermin sebagai bentuk keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan. Berdasarkan pendapat para ahli yakni Rasyid dan Sudjana, serta pendapat penulis dapat kita ketahui bahwa teori yang melandasi pengukuran hasil belajar merupakan teori yang mempunyai peranan penting sebagai jawaban dari suatu proses pembelajaran karena dari teori tentang pengukuran hasil belajar ketercapaian akan peningkatan hasil belajar siswa akan dapat terlihat dan nampak keberhasilannya. Kemampuan siswa dari segi kognitif maupun segi afektif dan psikomotor akan dapat diketahui guru dengan teknik tes dan non tes yang berfungsi sebagai balikan tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa. Keberhasilan pembelajaran akan terlihat dari hasil kerja siswa yang terlihat dari serangkaian tes yang telah dikerjakan secara individu maupun kelompok. Melalui adanya teori pengukuran hasil belajar sebagai landasan dan pondasi yang kuat bahwa keberhasilan siswa dalam belajar itu tidak serta merta keberhasilannya ditentukan dengan cara yang seadanya namun memang sudah ada cara tersendiri yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan dari pelaksanaanya. Sehingga pembelajaran akan lebih sempurna jika dalam proses pembelajaran dan di akhir pembelajaran dilaksanakan kegiatan evaluasi yang sesuai dengan materi yang telah disampaikan dalam bentuk tes hasil belajar yang dapat digolongkan dalam jenis penilaian uraian misal tes soal uraian terbatas maupun uraian bebas dan ada juga tes objektif dalam bentuk soal pilihan ganda ditambah teknik non tes berupa observasi yang digunakan guru sebagai acuan pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung sehingga diketahui kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran Think Pairs and Share. Jenis tes uraian ataupun tes objektif sering digunakan guru untuk mengukur kemampuan kognitif siswa. Jenis tes ini lebih mudah digunakan karena setiap soal memiliki tingkat kesukaran yang berbeda dengan soal yang lainnya. Siswa dituntut bisa memahami soal dengan benar, karena meski setiap soal sudah tersedia jawaban yang tepat namun jika tidak menguasai materi dan soal siswa akan kesulitan ketika menjawab pertanyaan. Tes objektif yang sering digunakan 16 guru sering dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda karena dapat memuat pemahaman materi secara menyeluruh, tidak mempersulit siswa ketika menjawab pertanyaan karena siswa hanya diminta memilih salah satu jawaban yang paling tepat, memudahkan guru ketika mengoreksi jawaban siswa, jawaban juga sudah jelas sesuai kunci jawaban yang telah dibuat oleh guru. Adanya kelebihan pada jenis tes objektif dalam bentuk soal pilihan ganda maka guru harus pandai pula dalam menyusun soal pilihan ganda supaya soal yang telah dibuat guru tidak membingungkan siswa ketika menjawab, misal satu soal memiliki tingkat pemahaman yang beragam atau pilihan jawaban mempunyai bobot yang sama. Selain tes objektif dalam bentuk pilihan ganda siswa juga akan diberi soal evaluasi dalam bentuk soal uraian terbatas sehingga dengan soal uraian terbatas siswa akan terlihat kemampuan dalam menjelaskan suatu materi yang dipilih untuk dijadikan soal oleh guru namun dalam menjawab soal siswa diberi batasan ketika menulis jawaban sehingga siswa mencoba menuliskan hasil pemikirannya yang tetap mengacu pada materi yang telah dijelaskan dengan begitu pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru akan tercermin dari jawaban siswa dalam soal uraian terbatas yang telah diberikan. Jenis teknik non tes juga digunakan dalam pengukuran hasil belajar, misalnya teknik non tes yang digunakan dalam bentuk observasi atau pengamatan, guru harus membuat kisi-kisi pertanyaan mengenai respon siswa ketika mengikuti pembelajaran. Dari hasil pengamatan nantinya guru dapat mengetahui keadaan kelas selama proses pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan perbaikan persiapan pembelajaran pada pertemuan selanjutnya supaya hasil belajar siswa meningkat. Pembelajaran yang baik pastinya selalu menerapkan teori tentang pengukuran hasil belajar disetiap akhir pembelajaran sebagai tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang sudah dilaksanakan sebagai refleksi guru dan siswa untuk persiapan pembelajaran selanjutnya supaya lebih baik dari pembelajaran sebelumnya sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. 17 2.1.3 Pembelajaran Think Pairs and Share Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman. Belajar untuk mencapai tujuan belajar. Suatu pembelajaran dikatakan aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan tergantung dari pembelajaran yang dikelola guru. Pembelajaran akan dikatakan efektif jika siswa memperoleh penglaman baru dan erilakunya berubah menjadi kompetensi yang dikehendaki. Ada tujuh langkah peningkatan pembelajaran yang efektif dumulai dari perencanaan, perumusan berbagai tujuan, pemaparan perencanaan, penggunaan berbagai strategi, penutupan proses pembelajaran dan evaluasi yang akan memberikan feed back untuk perencanaan berikutnya. Model pembelajaran Think-Pair- Share (TPS) dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Model pembelajaran Think-Pair Share (TPS) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana. Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa (Lie, 2004). Think Pair Share (TPS) merupakan suatu teknik sederhana dengan keuntungan besar. Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think Pair Share (TPS) juga dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. Think Pair Share (TPS) sebagai salah satu metode pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thinking, pairing, dan sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami konsep-konsep baru (student oriented). Model pembelajaran Think-Pair Share (TPS) adalah salah satu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi kepada orang lain. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, tipe Think-Pair-Share (TPS) ini 18 memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Lie, 2004). Arends (Komalasari, 2010: 84) mengemukakan bahwa: “Model pembelajaran Think Pair and Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam Think Pair and Share dapat memberi murid lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon dan saling membantu.” Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan dalam model pembelajaran Think Pair and Share antara lain; berfikir ( thinking ), berpasangan ( pairing ), dan berbagi ( share ). Alternatif proses belajar mengajar dengan model pembelajaran Think Pair and Share merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi murid. Hal ini dapat dilihat dalam langkah langkah dalam model pembelajaran ini, yaitu murid melakukan diskusi dalam dua tahap yaitu tahap diskusi dengan teman sebangkunya kemudian dilanjutkan diskusi dengan keseluruhan kelas pada tahap berbagi (sharing). 2.1.3.1 Langkah-langkah Pembelajaran Think Pair and Share Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Pair- Share (TPS) adalah: (1) guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok, (2) setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri, (3) siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya, (4) kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat (Lie, 2004). Think-PairShare (TPS) memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk member siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Sebagai contoh, guru baru saja menyajikan suatu topik atau siswa baru saja selesai membaca suatu tugas, selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan permasalahan yang ada dalam topik/bacaan tersebut. Langkah- 19 langkah dalam pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) sederhana, namun penting terutama dalam menghindari kesalahan-kesalahan kerja kelompok. Dalam model ini, guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa lain dan mendiskusikannya, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Tahap utama dalam pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) menurut Ibrahim (2000) adalah sebagai berikut: Tahap 1 : Thingking (berpikir) Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran. Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Tahap 2 : Pairing (berpasangan) Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, setiap anggota pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan mendefinisikan jawaban yang dianggap paling benar, paling meyakinkan, atau paling unik. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. Tahap 3 : Sharing (berbagi) Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Keterampilan berbagi dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan demi pasangan hingga sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan. Tahapan-tahapan dalam pembelajaran think-pair-share sederhana, namun penting terutama dalam menghindari kesalahan dalam kerja kelompok. Dalam model ini guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa lain, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Adanya kegiatan berpikirberpasangan-berbagi dalam metode thinkpair-share memberi banyak keuntungan. Siswa secara individual dapat mengembangkan pemikirannya masing-masing karena adanya waktu berpikir (think time) sehingga kualitas jawaban siswa juga dapat meningkat. Menurut Nurhadi (2003: 65), akuntabilitas berkembang karena setiap siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran masing-masing dan berbagi dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang kecil mendorong setiap 20 anggota untuk terlibat secara aktif, sehingga siswa yang jarang atau bahkan tidak pernah berbicara di depan kelas paling tidak memberi ide atau jawaban kepada pasangannya. Langkah-langkah atau alur pembelajaran dalam model Think-PairShare (TPS) adalah: Langkah ke 1 : Guru menyampaikan pertanyaan Aktifitas : Guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Langkah ke 2 : Siswa berpikir secara individual Aktifitas : Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang disampaikan guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk menuliskan hasil pemikirannya masing-masing. Langkah ke 3 : Setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan pasangan Aktifitas : Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka paling benar atau paling meyakinkan. Guru memotivasi siswa untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi dengan LKS sehingga kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan secara kelompok. Langkah ke 4 : Siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas Aktifitas : Siswa mempresentasikan jawaban atau pemecahan masalah secara individual atau kelompok didepan kelas. Langkah ke 5 : Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah Aktifitas : Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan. 2.1.3.2 Kelebihan Model Pembelajaran Think Pair and Share Model Pembelajaran TPS merupakan salah satu model pembelajaran Kooperatif yang bias menjadi pilihan bagi Anda yang berprofesi sebagai Guru ketika nantinya mengajar di dalam kelas. Semoga lewat model pembelajaran ini, 21 murid tidak lagi merasa bosan ketika belajar di dalam Kelas dan kompetensi dasar yang diharapkan bisa tercapai Fadholi (2009:1) mengemukakan 5 Kelebihan Model Pembelajaran Think Pair and Share ( TPS ) sebagai berikut: 1. Memberi murid waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain 2. Lebih mudah dan cepat membentuk kelompoknya 3. Murid lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang 4. Murid memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh murid sehingga ide yang ada menyebar 5. Memungkinkan murid untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaanpertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan Menurut Spencer Kagan (dalam Maesuri, 2002:37) manfaat Think Pair and Share adalah: 1. Para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain ketika mereka terlibat dalam kegiatan Think Pair and Share lebih banyak siswa yang mengangkat tangan mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan kualitas jawaban mungkin menjadi lebih baik, dan 2. Para guru juga mungkin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir ketika menggunakan Think Pair and Share. Mereka dapat berkonsentrasi mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan pertanyaaan tingkat tinggi. 2.1.3.3 Kelemahan Model Pembelajaran Think Pair Share Model Pembelajaran TPS merupakan salah saru model pembelajaran kooperatif yang pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan Koleganya di 22 Universitas Maryland. Model Pembelajaran ini bisa menjadi pilihan bagi Guru kelas yang memiliki jumlah murid yang sedikit karena dalam penyusunan kelompok nantinya membentuk pasangan berkelompok 2 orang saja. Fadholi (2009: 1) mengemukakan 5 Kelemahan Atau Kekurangan Model Pembelajaran Think Pair and Share ( TPS ) sebagai berikut: 1. Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok, karena ada satu murid tidak mempunyai pasangan 2. Jika ada perselisihan,tidak ada penengah 3. Jumlah kelompok yang terbentuk banyak 4. Menggantungkan pada pasangan 5. Sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan muridnya rendah. Terdapat beberapa alasan mengapa perlu menggunakan Think Pair Share diantaranya. 1. Think Pair Share membantu menstrukturkan diskusi. Siswa mengikuti proses yang telah tertentu sehingga membatasi kesempatan berfikirnya melantur dan tingkah lakunya menyimpang karena mereka harus berfikir dan melaporkan hasil pemikirannya ke mitranya (Jones,2002 dalam Susilo,2005). 2. Think Pair Share meningkatkan partisipasi siswa dan meningkatkan banyaknya informasi yamg diingat siswa (Gunter, Ester dan Schwab,1999 dalam Susilo,2005), dengan Think Pair Share siswa belajar dari satu sama lain dan berupaya bertukar ide dalam konteks yang tidak mendebarkan hati sebelum mengemukakan idenya ke dalam kelompok yang lebih besar. Rasa percaya diri siswa meningkat dan semua siswa mempunyai kesempatan berpartisipasi di kelas karena sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan guru, tidak seperti biasanya hanya siswa siswa tertentu saja yang menjawab. 3. Think Pair Share meningkatkan lamanya “time on task” dalam kelas dan kualitas kontribusi siswa dalam diskusi kelas. 4. Siswa dapat mengembangkan kecakapan hidup sosial mereka. Dalam Think Pair Share mereka juga merasakan (a) saling ketergantungan positif karena mereka belajar dari satu sama lain, (b) menjunjung akuntabilitas individu karena mau tidak mau mereka harus saling berbagi ide, dan wakil kelompok 23 harus berbagi ide pasangannya dan pasangan yang lain atau keseluruh kelas, (c) punya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi karena seyogyanya tidak boleh ada siswa yang mencoba mendominasi dan (d) interaksi antar siswa cukup tinggi karena akan terlibat secara aktif dalam sengaja berbicara atau mendengarkan (Anonim, tanpa tahun) 2.1.4 Pengertian IPS IPS merupakan konsep pembelajaran sosial dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan peristiwa kehidupan manusia. Pembelajaran IPS berperan dalam proses pendidikan, kehidupan bermasyarakat dan nilai-nilai sosial. IPS memiliki upaya membangun interaksi antar manusia yang memungkinkan manusia memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan berdemokrasi. Menurut Sapriya (2009:7) “istilah IPS di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1970-an sebagai hasil kesepakatan komunitas akademik dan secara formal mulai digunakan dalam sistem pendidikan nasional dalam kurikulum 1975. IPS merupakan sebuah nama mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran sejarah, ekonomi, dan geografi”. Menurut Sa’dun (2010:77) “IPS merupakan mata pelajaran yang disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan”. Menurut Nurhadi (2003:24) “IPS secara terminologi diambil dari istilah social studies yang telah berkembang di Amerika Serikat dan Inggris. IPS merupakan perwujudan dari pendekatan interdipliner dari beberapa konsep ilmuilmu sosial yang dipsdukan dan disederhanakan untuk tujuan pengjaran di sekolah”. Menurut Somantri (2001:101) “IPS adalah suatu synthitic diciplineyang berusaha untuk mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. 24 Menurut Sriwiyana (2010:78) mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan maslah, dan keterapilan dalam kehidupan sosial; 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Menurut Somantri (2001:199) “IPS bertujuan diantaranya untuk membantu tumbuhnya berpikir ilmu sosial dan memahami konsep-konsepnya, serta membantu tumbuhnya warga negara yang baik”. Selanjutnya Somantri (2001:75) “Tujuan IPS bisa bervariasi mulai penekanan pada : (a) pendidikan kewarganegaraan, (b) pemahaman dan penguasaan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial, (c) bahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat yang dikembangkan secara reflektif”. Pendapat tersebut senada dengan tujuan IPS menurut penjelasan pasal UU 37 No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:86) bahwa : “Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain : ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagaimana dimaksudkan untuk mengembangkan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat”. Secara umum beberapa pendapat tentang tujuan IPS sebagaiman diuraikan diatas sesuai denga tujuan pendidikan nasiaonal berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:11) yaitu : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, 25 kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. 2.1.4.1 Pembelajaran IPS di SD Untuk jenjang SD, pengorganisasian materi mata pelajaran IPS menganut pendekatan terpadu (integrated), artinya materi pelajaran dikembangkan dan disusun tidak mengacu pada disiplin ilmu yang terpisah melainkan mengacu pada aspek kehidupan nyata peserta didik sesuai dengan karakteristik usia, tingkat perkembangan berpikir, dan kebiasaan bersikap dan berperilakunya. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pelajaran IPS di SD harus memperhatikan kebutuhan anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget (1963) berada pada tingkatan kongkret operasional. Merekam memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang adalah sekarang (kongkret), dan bukan masa depan yang belum mereka pahami (abstrak). Padahal, bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsepkonsep seperti waktu, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan, atau kelangkaan adlah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD. Arah pembelajaran IPS ini dilatar belakangi oleh pertimbangan bahwa masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh karena itu, mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. 2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Waluyo, dengan judul Peningkatan Kerja Sama Melalui Model Pembelajaran Think Pairs and Share pada siswa kelas X SMK Negeri 1 Sragen menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model ini dapat meningkatkan kerja sama pada siswa. Hal ini dapat 26 dilihat dari peningkatan prosentase ketuntasan belajar siswa pada pra tindakan hanya sebesar 12,9% pada siklus I pertemuan I sebesar 28% pada siklus I pertemuan II sebesar 59% dan pada siklus I pertemuan III meningkat menjadi 87%. Sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan terdapat persamaan dan perbedaan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Bambang Waluyo, SMK Negeri 1 Sragen dengan judul Peningkatan Kerja Sama Melalui Model Pembelajaran Think Pairs and Share pada siswa kelas X SMK Negeri 1 Sragen. Adapun letak persamaannya tedapat pada kenaikan prosentase ketuntasan belajar siswa pada setiap pertemuan. Sedangkan perbedaannya terdapat pada jumlah prosentase ketuntasan siswa. 2.3 Kerangka Berpikir Dalam meningkatkan kerja sama siswa, adanya variasi model pembelajran dan pemanfaatan media sangat berpengaruh dalam proses bejalar-mengajar. Oleh karena itu dimungkinkan guru sedikit bervariasi dengan menggunakan metode diskusi dalam pembelajarannya. Diupayakan dalam diskusi akan terjadi interaksi dan akan memperlihatkan kerja sama siswa dalam menyelasaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Tabel. 1 Kerangka Berpikir Kondisi awal • Siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01 Kecamatan Semarang Getasan kurang Kabupaten memahami dan Hasil • Siswa kurang memahami dan menguasai konsep pelajaran IPS yang menguasai konsep pelajaran IPS yang disajikan.dan kerjasama disajikan.dan kerjasama siswa pada siswa mata pelajaran IPS masih rendah pelajaran pada mata IPS masih rendah Siklus 1 • Tahap perencanaan Peningkatan kerjasama siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01pada 27 - Mengidentifikasi masalah Mata Pelajaran IPS - Merencanakan tindakan - Merencanakan perangkat pembelajaran - Mengembangkan bahan ajar - Mengembangkan media dan alat pembelajaran - Membuat lembar pengamatan • Tahap pelaksanaan tindakan - Mengajukan pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran - Meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir - Meminta siswa berpasangan untuk berdiskusi - Meminta pasangan-pasangan untuk berbagi • Tahap observasi - Mengamati kegiatan belajar mengajar • Tahap refleksi - Mengkaji proses pembelajaran Siklus II • Tahap perencanaan - Memecahkan masalah yang dihadapi pada siklus I - Membuat perencanaan pembelajaran • Tahap pelaksanaan - Melaksanakan rencana yang telah disusun • Tahap observasi Peningkatan hasil belajar siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01pada Mata Pelajaran IPS 28 - Mengamati kegiatan belajar mengajar • Tahap refleksi - Menarik kesimpulan - Mengetahui peningkatan yang terjadi Pelaksanaan dari pembelajaran TPS ini dengan memaksimalkan pemikiran siswa dalam berpasangan untuk menjawab karakteristik gaya belajar siswa yang beragam karena selama ini guru hanya mengandalkan metode ceramah dalam penyampaian materi dan ini berakibat siswa kesulitan memahami materi yang disampaikan.Pelaksanaan pembelajaran TPS dengan pemanfaatan pemikiran siswa (think), siswa berdiskusi berpasangan dengan teman sebangku (pairs) dan presentasi atau berbagi hasil pembelajaran (share). Meskipun pelaksanaan pembelajaran selalu mengkolaborasikan ketiga gaya belajar namun setiap siswa pasti cenderung memiliki satu ciri gaya belajar. Berdasarkan kelebihan pembelajaran TPS yang sesuai dengan pokok permasalahan hasil belajar IPS pada kelas 5 di SD Negeri Sumogawe 01 diharapkan penerapan pembelajaran TPS pada mata pelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas 5 SD Negeri Negeri Sumogawe 01 semester II tahun pelajaran 2013/2014. 2.4 Hipotesa Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, maka hipotesa penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Model pembelajaran Think Pairs and Share diduga dapat meningkatkan kerja sama siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01 Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang dalam pembelajaran IPS. Karena model pembelajaran ini membuat siswa aktif dalam setiap pembelajaran yang dilalui. Model pembelajaran Think Pairs and Share meningkatkan hasil belajar siswa kelas 5 pada mata pelajaran IPS karena siswa dituntut untuk berpikir dengan teman sebangkunya yang selanjutnya dibagikan keseluruh kelas yang di dalamnya terjadi pelatihan-pelatihan yang memungkinkan mereka berinteraksi dan menjadikan rasa solid.