Meningkatkan Kerjasama dan Hasil Belajar Dengan Penerapkan

advertisement
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Kerjasama
Kerjasama adalah sebuah sistem pekerjaan yang kerjakan oleh dua orang
atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang direncanakan bersama. Kerja sama
dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan
kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya
dorong yang memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang
tergabung dalam kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi
kesadaran tanggung jawab tiap anggota.
Menurut
Pamudji
(1985:12-13)
Kerjasama
pada
hakekatnya
mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi secara dinamis
untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian itu terkandung tiga unsur
pokok yang melekat pada suatu kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau
lebih, unsur interaksi dan unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak
termuat dalam satu obyek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada obyek itu tidak
terdapat kerjasama. Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan
yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk mewujudkan
tujuan bersama penting dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak
ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka hubungan
yang dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Suatu interaksi meskipun bersifat
dinamis, tidak selalu berarti kerjasama Suatu interaksi yang ditujukan untuk
memenuhi kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses interaksi, juga
bukan suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang
berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi dan selaras.
Menurut Thomson dan Perry dalam Keban (2007:28), Kerjasama memiliki
derajat yang berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi (cooperation) sampai
pada derajat yang lebih tinggi yaitu collaboration. “Para ahli pada dasarnya
menyetujui bahwa perbedaan terletak pada kedalaman interaksi, integrasi,
6
7
komitmen dan kompleksitas dimana cooperation terletak pada tingkatan yang
paling rendah. Sedangkan collaboration pada tingkatan yang paling tinggi”.
Menurut Rosen dalam Keban (2007:32) “Secara teoritis, istilah kerjasama
(cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi
dan kualitas pelayanan. Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk
mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau
pembelian bersama misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana
pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih
menguntungkan daripada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya
overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing
dalam investasi misalnya, akan memberikan hasil yang memuaskan dalam
penyediaan fasilitas sarana dan prasarana. Kerjasama juga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana
masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas
pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama seperti pusat
rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi dan sebagainya”.
Berikut adalah definisi kerja sama menurut para ahli :
1. Moh. Jafar Hafsah menyebut kerjasama ini dengan istilah kemitraan,
yang artinya adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih
keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan.
2. H. Kusnadi mengartikan kerjasama sebagai dua orang atau lebih untuk
melakukan aktivitas bersama yang dilakukan secara terpadu yang
diarahkan kepada suatu target atau tujuan tertentu.
3. Zainudin memandang kerjasama sebagai kepedulian satu orang atau
satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu
kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling
percaya, menghargai, dan adanya norma yang mengatur. Makna
kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi,
yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
(seluruh anggota).
Menurut Tangkilisan (2005:86) dalam bukunya yang berjudul Manajemen
Publik Lingkungan ekstern maupun intern, yaitu semua kekuatan yang timbul
diluar batas-batas organisasi dapat mempengaruhi keputusan serta tindakan di
dalam organisasi. Karenanya perlu diadakan kerjasama dengan kekuatan yang
8
diperkirakan mungkin akan timbul. Kerjasama tersebut dapat didasarkan atas hak,
kewajiban dan tanggungjawab masing-masing orang untuk mencapai tujuan.
Dwight Waldo dalam Hamdi (2007:41) menyatakan bahwa “In general,
the more knowledge that is necessary to run a contemporary society, and the more
specializationnthat is a consequence, then the more need of and potential for
horizontal rather than vertical cooperative arrangements” yang intinya
menjelaskan bahwa pada umumnya suatu keadaan berimplikasi pada semakin
banyaknya kebutuhan, dan juga semakin berkembangnya potensi, untuk tatanan
kerjasama yang bersifat horizontal ketimbang kerjasama yang bersifat vertikal.
Kerjasama dapat dilakukan dengan beberapa bentuk perjanjian dan pengaturan.
Hal ini dijelaskan oleh Rosen dalam Keban (2007:33) bahwa bentuk perjanjian
(forms of agreement) dibedakan atas :
1.
Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas
perjanjian tertulis.
2.
Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas
perjanjian tertulis. Sedangkan pengaturan kerjasama terdiri atas beberapa
bentuk yaitu :
a. Consortia, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena
lebih mahal jika ditanggung sendiri-sendiri.
b. Joint Purchasing, yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian
barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar.
c. Equipment Sharing, yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan
yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.
d. Cooperative Construction, yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan
bangunan.
e. Joint services, yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan
publik.
f. Contract Services, yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu
mengkontrak pihak lain untuk memberikan pelayanan tertentu.
9
g. Pengaturan lainnya; yaitu pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan
selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan
pelatihan
Bowo dan Andy menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kerjasama harus
tercapai keuntungan bersama (2007:50-51) “Pelaksanaan kerjasama hanya dapat
tercapai apabila diperoleh manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat
didalamnya (win-win). Apabila satu pihak dirugikan dalam proses kerjasama,
maka kerjasama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai keuntungan atau
manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik antara semua pihak
dan pemahaman sama terhadap tujuan bersama” Agar dapat berhasil
melaksanakan kerjasama maka dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana
yang dijelaskan oleh Edralin dan Whitaker dalam Keban (2007:35) prinsip umum
tersebut terdapat dalam prinsip good governance antara lain :
1.Transparansi
2.Akuntabilitas
3.Partisipatif
4.Efisiensi
5.Efektivitas
6.Konsensus
7.Saling menguntungkan dan memajukan
2.1.2 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi
siswa dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan saat sebelum belajar.
tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif,
afektif, psikomotor (Slameto, 2003: 6).
Hasil belajar pada hakikatnya merupakan pencapaian kompetensi–
kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai–
nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi
10
tersebut dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat
diukur dan diamati. Penilaian proses dan hasil belajar saling berkaitan satu dengan
yang lainnya, hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar (Trianto,
2010: 124). Sudjana (2005: 5) menyatakan bahwa hasil belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan
sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, ketrampilan,
kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada
individu belajar.
Sanjaya (2005: 88) menjelaskan hasil belajar adalah hasil bukan proses.
Keberhasilan belajar di ukur dari pembelajaran yang diperoleh. Semakin banyak
informasi yang dapat dihafal maka semakin bagus hasil belajar. Bukan hanya itu
kemampuan mengungkapkan hasil belajar juga ditentukan oleh kecepatan dan
ketepatan. Semakin cepat dan tepat individu mengungkapkan informasi yang
dihafalnya, semakin bagus hasil belajar. Sehingga dengan demikian belajar lebih
berorientasi pada hasil yang harus dicapai. Nasution (2003: 42) berpendapat
bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak
hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan
dalam diri pribadi individu yang belajar. Menurut Nana Sudjana (2004: 14) hasil
belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat
pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes
lisan maupun tes perbuatan. Hasil belajar menurut Sudjana (2004: 22) dibagi
menjadi tiga macam hasil belajar yaitu: (a) Keterampilan dan kebiasaan (b)
Pengetahuan dan pengertian (c) Sikap dan cita-cita, yang masing-masing
golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah.
Menurut penulis hasil belajar adalah perubahan yang terlihat pada diri siswa
yang tidak hanya terlihat dalam segi kognitif tetapi juga dari segi afektif maupun
psikomotor. Hasil belajar dapat terlihat setelah siswa melaksanakan pembelajaran
dan dari pembelajaran itu dapat diketahui bagaimana perubahan yang di alami
siswa, ada atau tidaknya peningkatan pada diri siswa diketahu dengan mengukur
tingkat kemampuan penguasaan materi pembelajaran. Hasil belajar itu sebagai
11
tolak ukur dari keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan.
Keberhasilan suatu pembelajaran dapat tercermin dari hasil belajar yang terlihat
apakah sudah sesuai dengan tujuan pembelajaran atau belum. Untuk mengetahui
hasil belajar dilakukan dengan melaksanakan tes. Ada beberapa jenis tes yang
dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa disekolah. Diharapkan
dengan perolehan hasil belajar siswa dapat dijadikan sebagai acuan dalam
merancang
pembelajaran pada
pertemuan selanjutnya
agar
pelaksanaan
pembelajaran semakin baik.
Berdasarkan pendapat dari Slameto, Trianto, Sudjana, Sanjaya, dan
Nasution serta penulis hasil belajar adalah perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang karena proses belajar dimana perubahan itu ditunjukkan dalam segi
pengetahuan, sikap, ketrampilan. Peningkatan atau perubahan seseorang itu
didasarkan atas informasi yang telah diterima melalui proses belajar. Apabila
seseorang dengan cepat dan jelas dalam menyampaikan informasi yang telah
didapat bearti telah terjadi peningkatan pemahaman pada diri orang tersebut.
Peningkatan dan perubahan dari proses belajar sangat berorientasi pada hasil yang
harus dicapai. Hasil yang dicapai tersebut dapat diukur keberhasilannya melalui
kegiatan evaluasi dengan memberikan soal latihan yang dikerjakan secara
individu. Kegiatan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui seberapa berhasil
suatu proses pembelajaran yang dilakukan dengan teknik pengukuran baik dalam
bentuk tes maupun non tes. Bentuk tes ini nantinya diterapkan setelah proses
belajar selesai dilakukan dengan tujuan sebagai tolak ukur keberhasilan seseorang
dalam belajar. Sehingga akan diketahui tujuan dari proses belajar itu sudah dapat
tercapai atau belum dengan melihat hasil tes yang telah dilakukan. Hasil belajar
pada kenyataannya memang menjadi sebuah patokan yang menjadi dasar suatu
proses belajar itu dapat terlaksana dengan baik atau tidak karena pelaksanaan
proses belajar yang baik atau buruk akan berpengaruh terhadap hasil belajar
seorang siswa.
2.1.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar
yang kondusif, hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar siswa. Adapun faktor
12
yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep,
keterampilan, dan pembentukan sikap.
Faktor-faktor tersebut menurut Sugihartono, dkk (2007: 76–78) adalah
faktor internal dan faktor eksternal. Penjelasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor pendorong yang datangnya berasal dari
dalam diri siswa, misalnya faktor jasmaniah dan psikologis. Bila
kondisi jasmani dan psikologi siswa sedang tidak baik, maka
semangat belajarnya juga akan terpengaruh.
2. Faktor Eksternal
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi belajar adalah faktor eksternal
yaitu faktor yang berasal dari luar siswa, misalnya dari keluarga,
teman maupun dari lingkungan sekolah. Faktor eksternal ini akan
sangat menentukan pembentukan sikap dan kepribadian siswa di
kehidupannya. Dapat disimpulkan bahwa proses belajar tidak akan
lepas dari faktor pendukung yang mempengaruhi ketercapaian hasil
belajar. Faktor pendukung tersebut bisa berasal dari dalam diri siswa
maupun dari luar siswa.
Menurut penulis faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang
ada dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Hasil belajar
nantinya terpengaruh oleh bagaimana siswa dapat menyesuaikan diri dengan baik
terhadap kedua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa itu sendiri. Faktor
internal itu dapat teramati dari segi bagaimana siswa mempersiapkan diri dengan
baik untuk memperoleh suatu informasi dari proses belajar. Apabila siswa
tersebut mampu mempersiapkan diri dengan baik dengan persiapan dari segi
kesehatan badan atau jasmani dan kesehatan pikiran atau rohani tentunya hasil
belajar akan terpengaruh karena siswa merasa mampu untuk mengikuti proses
belajar yang dilaksanakan. Hasil belajar kemudian dipengaruhi juga oleh faktor
dari luar siswa seperti keadaan sekolah yang ditempati. Keadaan sekolah itu
apakah mendukung untuk kegiatan belajar atau tidak. Sekolah yang baik pasti
sudah mendukung proses belajar dari segi keamanan, kenyamanan, dan
kebersihan serta fasilitas pendukung yang dimiliki sebagai penunjang dari
kegiatan belajar yang dilaksanakan. Jika sekolah sudah siap sebagai media belajar
pasti peran dari keluarga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga
13
sangat penting sebagai faktor dari luar siswa yang berkewajiban menciptakan
suasana belajar anak menjadi terpacu dan merasa dihargai serta selalu didukung
dengan begitu hasil belajar yang meningkat dapat terwujud.
Berdasarkan pendapat dari Sugihartono dan penulis bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar itu meliputi faktor internal dan eksternal,
dimana kedua faktor tersebut sangat berpengaruh pada hasil belajar siswa. Faktor
internal berasal dari dalam diri siswa, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar
siswa. Kedua faktor ini sangat perlu diperhatikan karena siswa nantinya akan
dapat mengembangkan potensi yang ada dan dapat meminimalisir hambatanhambatan pembelajaran IPS dan hasil belajar siswa akan meningkat. Karena
kedua faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu sendiri mempunyai pengaruh
yang kuat akan ketercapaian hasil belajar. Siswa dengan mudah dapat mencapai
hasil belajar sesuai kriteria yang telah ditentukan apabila siswa tersebut dapat
memperhatikan dan sadar akan faktor yang ada dalam dirinya dan dari luar
dirinya terkontrol dan disiapkan dengan baik guna kemajuan dalam belajar.
Apabila kedua faktor yang berpengaruh pada hasil belajar siswa tidak dapat
terkontrol dengan baik tentu konsekuensinya adalah hasil belajar siswa yang sulit
tercapai tingkat keberhasilannya. Oleh karena itu baik faktor internal maupun
eksternal yang menjadi pengaruh dalam hasil belajar siswa perlu mendapat
perhatian yang serius. Supaya siswa lebih memperhatikan berbagai hal yang ada
di dalam maupun diluar dirinya karena belajar bukan hanya duduk dan pasif
sebagai penerima informasi tetapi bagaimana keadaan pembelajaran IPS lebih
aktif dan berkesan dengan selalu mengoptimalkan berbagai faktor hasil belajar
siswa.
2.1.2.2 Pengukuran Hasil Belajar
Prinsip yang mendasari penilaian hasil belajar yaitu untuk memberi harapan
bagi siswa dan guru untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas
dalam arti siswa menjadi pembelajar yang efektif dan guru menjadi motivator
yang baik. Dalam kaitan itu, guru dan pembelajar dapat menjadikan informasi
hasil penilaian sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah pemecahan
14
masalah, sehingga mereka dapat memperbaiki dan meningkatkan belajarnya
(Rasyid, 2008: 67).
Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, tes hasil belajar dapat
digolongkan ke dalam jenis penilaian, sebagai berikut:
1. Tes sebagai penilaian adalah pertanyaan pertanyaan yang diberikan
kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan
(tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan), atau dalam bentuk
perbuatan (tes tindakan). Jenis tes yakni tes uraian atau tes esai dan tes
objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas, dan uraian
berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari benar salah, pilihan
ganda, menjodohkan, isian pendek (Sudjana, 2005: 44).
2. Nontes sebagai alat penilaian hasil dan proses belajar mengajar masih
sangat terbatas penggunaannya dibanding dengan penggunaan tes
dalam menilai hasil dan proses belajar. Para guru di sekolah pada
umumnya lebih banyak menggunakan tes daripada bukan tes mengingat
alatnya mudah dibuat, penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai
terbatas pada aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh
siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Bentuk-bentuk
teknik nontes berupa kuesioner atau wawancara, skala (skala penilaian,
skala sikap, skala minat), observasi atau pengamatan, studi kasus dan
sosiometri (Sudjana, 2005: 68).
Menurut penulis, pengukuran hasil belajar adalah suatu dasar yang
digunakan sebagai acuan dalam kegiatan mengukur tingkat keberhasilan suatu
kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh guru. Tingkat keberhasilan
suatu pembelajaran itu dapat dilakukan melalui serangkaian pengukuran hasil
belajar dengan teknik tes dan non tes. Pelaksanaan dari teknik tes dan non tes itu
sendiri baiknya dilakukan selama pembelajaran berlangsung atau setelah siswa
melaksanakan pembelajaran karena dapat menjadi bahan evaluasi apakah
pembelajaran yang sudah dilakukan itu telah berjalan dengan baik atau belum.
Walaupun bisa menggunakan kedua teknik ini secara bersamaan namun biasanya
teknik tes yang sering dipakai karena lebih mudah dalam menggunakannya
sebagai pengukuran hasil belajar. Teknik tes yang dilaksanakan nantinya dapat
mencerminkan bagaimana tingkat keberhasilan ketika mengajar. Oleh sebab itu
penyusunan instrumen tes harus berlandaskan validitas dan reliabilitas sehingga
hasil daripada pengukukuran hasil belajar itu dapat membuahkan hasil evaluasi
15
yang dapat dijadikan cermin sebagai bentuk keberhasilan pelaksanaan
pembelajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan pendapat para ahli yakni Rasyid dan Sudjana, serta pendapat
penulis dapat kita ketahui bahwa teori yang melandasi pengukuran hasil belajar
merupakan teori yang mempunyai peranan penting sebagai jawaban dari suatu
proses pembelajaran karena dari teori tentang pengukuran hasil belajar
ketercapaian akan peningkatan hasil belajar siswa akan dapat terlihat dan nampak
keberhasilannya. Kemampuan siswa dari segi kognitif maupun segi afektif dan
psikomotor akan dapat diketahui guru dengan teknik tes dan non tes yang
berfungsi sebagai balikan tolak ukur keberhasilan pembelajaran yang dilakukan
oleh guru kepada siswa. Keberhasilan pembelajaran akan terlihat dari hasil kerja
siswa yang terlihat dari serangkaian tes yang telah dikerjakan secara individu
maupun kelompok. Melalui adanya teori pengukuran hasil belajar sebagai
landasan dan pondasi yang kuat bahwa keberhasilan siswa dalam belajar itu tidak
serta merta keberhasilannya ditentukan dengan cara yang seadanya namun
memang sudah ada cara tersendiri yang terukur dan dapat dipertanggung
jawabkan dari pelaksanaanya. Sehingga pembelajaran akan lebih sempurna jika
dalam proses pembelajaran dan di akhir pembelajaran dilaksanakan kegiatan
evaluasi yang sesuai dengan materi yang telah disampaikan dalam bentuk tes hasil
belajar yang dapat digolongkan dalam jenis penilaian uraian misal tes soal uraian
terbatas maupun uraian bebas dan ada juga tes objektif dalam bentuk soal pilihan
ganda ditambah teknik non tes berupa observasi yang digunakan guru sebagai
acuan pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung sehingga diketahui
kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan
pembelajaran Think Pairs and Share.
Jenis tes uraian ataupun tes objektif sering digunakan guru untuk mengukur
kemampuan kognitif siswa. Jenis tes ini lebih mudah digunakan karena setiap soal
memiliki tingkat kesukaran yang berbeda dengan soal yang lainnya. Siswa
dituntut bisa memahami soal dengan benar, karena meski setiap soal sudah
tersedia jawaban yang tepat namun jika tidak menguasai materi dan soal siswa
akan kesulitan ketika menjawab pertanyaan. Tes objektif yang sering digunakan
16
guru sering dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda karena dapat memuat
pemahaman materi secara menyeluruh, tidak mempersulit siswa ketika menjawab
pertanyaan karena siswa hanya diminta memilih salah satu jawaban yang paling
tepat, memudahkan guru ketika mengoreksi jawaban siswa, jawaban juga sudah
jelas sesuai kunci jawaban yang telah dibuat oleh guru. Adanya kelebihan pada
jenis tes objektif dalam bentuk soal pilihan ganda maka guru harus pandai pula
dalam menyusun soal pilihan ganda supaya soal yang telah dibuat guru tidak
membingungkan siswa ketika menjawab, misal satu soal memiliki tingkat
pemahaman yang beragam atau pilihan jawaban mempunyai bobot yang sama.
Selain tes objektif dalam bentuk pilihan ganda siswa juga akan diberi soal
evaluasi dalam bentuk soal uraian terbatas sehingga dengan soal uraian terbatas
siswa akan terlihat kemampuan dalam menjelaskan suatu materi yang dipilih
untuk dijadikan soal oleh guru namun dalam menjawab soal siswa diberi batasan
ketika menulis jawaban sehingga siswa mencoba menuliskan hasil pemikirannya
yang tetap mengacu pada materi yang telah dijelaskan dengan begitu pemahaman
siswa terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru akan tercermin dari
jawaban siswa dalam soal uraian terbatas yang telah diberikan. Jenis teknik non
tes juga digunakan dalam pengukuran hasil belajar, misalnya teknik non tes yang
digunakan dalam bentuk observasi atau pengamatan, guru harus membuat kisi-kisi
pertanyaan mengenai respon siswa ketika mengikuti pembelajaran. Dari hasil
pengamatan nantinya guru dapat mengetahui keadaan kelas selama proses
pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai acuan perbaikan persiapan
pembelajaran pada pertemuan selanjutnya supaya hasil belajar siswa meningkat.
Pembelajaran yang baik pastinya selalu menerapkan teori tentang pengukuran
hasil belajar disetiap akhir pembelajaran sebagai tolak ukur keberhasilan
pembelajaran yang sudah dilaksanakan sebagai refleksi guru dan siswa untuk
persiapan pembelajaran selanjutnya supaya lebih baik dari pembelajaran
sebelumnya sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
17
2.1.3 Pembelajaran Think Pairs and Share
Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman. Belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Suatu pembelajaran dikatakan aktif, inovatif, kreatif,
efektif dan menyenangkan tergantung dari pembelajaran yang dikelola guru.
Pembelajaran akan dikatakan efektif jika siswa memperoleh penglaman baru dan
erilakunya berubah menjadi kompetensi yang dikehendaki. Ada tujuh langkah
peningkatan pembelajaran yang efektif dumulai dari perencanaan, perumusan
berbagai tujuan, pemaparan perencanaan, penggunaan berbagai strategi,
penutupan proses pembelajaran dan evaluasi yang akan memberikan feed back
untuk perencanaan berikutnya.
Model pembelajaran Think-Pair- Share (TPS) dikembangkan oleh Frank
Lyman
dkk
dari
Universitas
Maryland
pada
tahun
1985.
Model
pembelajaran Think-Pair Share (TPS) merupakan salah satu model pembelajaran
kooperatif sederhana. Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja
sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan teknik ini adalah
optimalisasi partisipasi siswa (Lie, 2004). Think Pair Share (TPS) merupakan
suatu teknik sederhana dengan keuntungan besar. Think Pair Share (TPS) dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang
siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk
didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think Pair Share
(TPS) juga dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas. Think Pair Share (TPS) sebagai
salah satu metode pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu
thinking, pairing, dan sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber
pembelajaran (teacher oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat
menemukan dan memahami konsep-konsep baru (student oriented). Model
pembelajaran Think-Pair Share (TPS) adalah salah satu model pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi kepada
orang lain. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju
dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, tipe Think-Pair-Share (TPS) ini
18
memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk
dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Lie, 2004).
Arends
(Komalasari, 2010:
84)
mengemukakan
bahwa:
“Model
pembelajaran Think Pair and Share merupakan suatu cara yang efektif untuk
membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi
atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara
keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam Think Pair and Share dapat
memberi murid lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon dan saling
membantu.” Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan dalam model pembelajaran Think
Pair and Share antara lain; berfikir ( thinking ), berpasangan ( pairing ), dan
berbagi ( share ). Alternatif proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
Think Pair and Share merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi murid. Hal ini dapat dilihat dalam langkah
langkah dalam model pembelajaran ini, yaitu murid melakukan diskusi dalam dua
tahap yaitu tahap diskusi dengan teman sebangkunya kemudian dilanjutkan
diskusi dengan keseluruhan kelas pada tahap berbagi (sharing).
2.1.3.1 Langkah-langkah Pembelajaran Think Pair and Share
Adapun
langkah-langkah
dalam
pembelajaran Think-Pair-
Share (TPS) adalah: (1) guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan
memberikan tugas kepada semua kelompok, (2) setiap siswa memikirkan dan
mengerjakan tugas tersebut sendiri, (3) siswa berpasangan dengan salah satu
rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya, (4) kedua pasangan
bertemu kembali dalam kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk
membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat (Lie, 2004). Think-PairShare (TPS) memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk member
siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu
sama lain. Sebagai contoh, guru baru saja menyajikan suatu topik atau siswa baru
saja selesai membaca suatu tugas, selanjutnya guru meminta siswa untuk
memikirkan permasalahan yang ada dalam topik/bacaan tersebut. Langkah-
19
langkah dalam pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) sederhana, namun penting
terutama dalam menghindari kesalahan-kesalahan kerja kelompok. Dalam model
ini, guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa
lain dan mendiskusikannya, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Tahap
utama dalam pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) menurut Ibrahim (2000)
adalah sebagai berikut: Tahap 1 : Thingking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran.
Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara
mandiri untuk beberapa saat. Tahap 2 : Pairing (berpasangan)
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa
yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, setiap anggota
pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan
mendefinisikan jawaban yang dianggap paling benar, paling meyakinkan, atau
paling unik. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
Tahap 3 : Sharing (berbagi)
Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh
kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Keterampilan berbagi dalam
seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela
bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan demi
pasangan hingga sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk
melaporkan.
Tahapan-tahapan dalam pembelajaran think-pair-share sederhana, namun
penting terutama dalam menghindari kesalahan dalam kerja kelompok. Dalam
model ini guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan
siswa lain, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Adanya kegiatan berpikirberpasangan-berbagi dalam metode thinkpair-share memberi banyak keuntungan.
Siswa secara individual dapat mengembangkan pemikirannya masing-masing
karena adanya waktu berpikir (think time) sehingga kualitas jawaban siswa juga
dapat meningkat. Menurut Nurhadi (2003: 65), akuntabilitas berkembang karena
setiap siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran masing-masing dan berbagi
dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang kecil mendorong setiap
20
anggota untuk terlibat secara aktif, sehingga siswa yang jarang atau bahkan tidak
pernah berbicara di depan kelas paling tidak memberi ide atau jawaban kepada
pasangannya.
Langkah-langkah atau alur pembelajaran dalam model Think-PairShare (TPS) adalah:
Langkah ke 1 : Guru menyampaikan pertanyaan
Aktifitas :
Guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan pembelajaran, dan
menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan
disampaikan. Langkah ke 2 : Siswa berpikir secara individual
Aktifitas :
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan
jawaban dari permasalahan yang disampaikan guru. Langkah ini dapat
dikembangkan dengan meminta siswa untuk menuliskan hasil pemikirannya
masing-masing.
Langkah ke 3 : Setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing
dengan pasangan Aktifitas : Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan
dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang
menurut mereka paling benar atau paling meyakinkan. Guru memotivasi siswa
untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi
dengan LKS sehingga kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan
secara kelompok.
Langkah ke 4 : Siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas
Aktifitas : Siswa mempresentasikan jawaban atau pemecahan masalah secara
individual atau kelompok didepan kelas.
Langkah ke 5 : Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah
Aktifitas :
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan.
2.1.3.2 Kelebihan Model Pembelajaran Think Pair and Share
Model Pembelajaran TPS merupakan salah satu model pembelajaran
Kooperatif yang bias menjadi pilihan bagi Anda yang berprofesi sebagai Guru
ketika nantinya mengajar di dalam kelas. Semoga lewat model pembelajaran ini,
21
murid tidak lagi merasa bosan ketika belajar di dalam Kelas dan kompetensi dasar
yang diharapkan bisa tercapai
Fadholi (2009:1) mengemukakan 5 Kelebihan Model Pembelajaran Think
Pair and Share ( TPS ) sebagai berikut:
1. Memberi murid waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling
membantu satu sama lain
2. Lebih mudah dan cepat membentuk kelompoknya
3. Murid lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam
kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang
4. Murid memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya
dengan seluruh murid sehingga ide yang ada menyebar
5. Memungkinkan murid untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaanpertanyaan mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung
memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh
kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan
Menurut Spencer Kagan (dalam Maesuri, 2002:37) manfaat Think Pair
and Share adalah:
1. Para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan
tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain ketika mereka terlibat dalam
kegiatan Think Pair and Share lebih banyak siswa yang mengangkat tangan
mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa
mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan
kualitas jawaban mungkin menjadi lebih baik, dan
2. Para guru juga mungkin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir
ketika menggunakan Think Pair and Share. Mereka dapat berkonsentrasi
mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan
pertanyaaan tingkat tinggi.
2.1.3.3 Kelemahan Model Pembelajaran Think Pair Share
Model Pembelajaran TPS merupakan salah saru model pembelajaran
kooperatif yang pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan Koleganya di
22
Universitas Maryland. Model Pembelajaran ini bisa menjadi pilihan bagi Guru
kelas yang memiliki jumlah murid yang sedikit karena dalam penyusunan
kelompok nantinya membentuk pasangan berkelompok 2 orang saja.
Fadholi (2009: 1) mengemukakan 5 Kelemahan Atau Kekurangan Model
Pembelajaran Think Pair and Share ( TPS ) sebagai berikut:
1. Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok,
karena ada satu murid tidak mempunyai pasangan
2. Jika ada perselisihan,tidak ada penengah
3. Jumlah kelompok yang terbentuk banyak
4. Menggantungkan pada pasangan
5. Sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan muridnya rendah.
Terdapat beberapa alasan mengapa perlu menggunakan Think Pair Share
diantaranya.
1. Think Pair Share membantu menstrukturkan diskusi. Siswa mengikuti proses
yang telah tertentu sehingga membatasi kesempatan berfikirnya melantur dan
tingkah lakunya menyimpang karena mereka harus berfikir dan melaporkan
hasil pemikirannya ke mitranya (Jones,2002 dalam Susilo,2005).
2. Think Pair Share meningkatkan partisipasi siswa dan meningkatkan banyaknya
informasi yamg diingat siswa (Gunter, Ester dan Schwab,1999 dalam
Susilo,2005), dengan Think Pair Share siswa belajar dari satu sama lain dan
berupaya bertukar ide dalam konteks yang tidak mendebarkan hati sebelum
mengemukakan idenya ke dalam kelompok yang lebih besar. Rasa percaya diri
siswa meningkat dan semua siswa mempunyai kesempatan berpartisipasi di
kelas karena sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan guru, tidak seperti
biasanya hanya siswa siswa tertentu saja yang menjawab.
3. Think Pair Share meningkatkan lamanya “time on task” dalam kelas dan
kualitas kontribusi siswa dalam diskusi kelas.
4. Siswa dapat mengembangkan kecakapan hidup sosial mereka. Dalam Think
Pair Share mereka juga merasakan (a) saling ketergantungan positif karena
mereka belajar dari satu sama lain, (b) menjunjung akuntabilitas individu
karena mau tidak mau mereka harus saling berbagi ide, dan wakil kelompok
23
harus berbagi ide pasangannya dan pasangan yang lain atau keseluruh kelas, (c)
punya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi karena seyogyanya tidak
boleh ada siswa yang mencoba mendominasi dan (d) interaksi antar siswa
cukup tinggi karena akan terlibat secara aktif dalam sengaja berbicara atau
mendengarkan (Anonim, tanpa tahun)
2.1.4 Pengertian IPS
IPS merupakan konsep pembelajaran sosial dan mempunyai hubungan
yang sangat luas terkait dengan peristiwa kehidupan manusia. Pembelajaran IPS
berperan dalam proses pendidikan, kehidupan bermasyarakat dan nilai-nilai sosial.
IPS memiliki upaya membangun interaksi antar manusia yang memungkinkan
manusia memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai
untuk berperan serta dalam kehidupan berdemokrasi.
Menurut Sapriya (2009:7) “istilah IPS di Indonesia mulai dikenal sejak
tahun 1970-an sebagai hasil kesepakatan komunitas akademik dan secara formal
mulai digunakan dalam sistem pendidikan nasional dalam kurikulum 1975. IPS
merupakan sebuah nama mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran sejarah,
ekonomi, dan geografi”.
Menurut Sa’dun (2010:77) “IPS merupakan mata pelajaran yang disusun
secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju
kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan
pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang
lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan”.
Menurut Nurhadi (2003:24) “IPS secara terminologi diambil dari istilah
social studies yang telah berkembang di Amerika Serikat dan Inggris. IPS
merupakan perwujudan dari pendekatan interdipliner dari beberapa konsep ilmuilmu sosial yang dipsdukan dan disederhanakan untuk tujuan pengjaran di
sekolah”.
Menurut Somantri (2001:101) “IPS adalah suatu synthitic diciplineyang
berusaha untuk mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu
sosial secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
24
Menurut Sriwiyana (2010:78) mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
1.
Mengenal konsep-konsep
yang
berkaitan
dengan
kehidupan
masyarakat dan lingkungannya;
2.
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa
ingin tahu, inkuiri, memecahkan maslah, dan keterapilan dalam
kehidupan sosial;
3.
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan;
4.
Memiliki
kemampuan
berkomunikasi,
bekerjasama,
dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Menurut
Somantri (2001:199)
“IPS
bertujuan diantaranya untuk
membantu tumbuhnya berpikir ilmu sosial dan memahami konsep-konsepnya,
serta membantu tumbuhnya warga negara yang baik”. Selanjutnya Somantri
(2001:75) “Tujuan IPS bisa bervariasi mulai penekanan pada : (a) pendidikan
kewarganegaraan, (b) pemahaman dan penguasaan konsep-konsep ilmu-ilmu
sosial, (c) bahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat yang dikembangkan
secara reflektif”.
Pendapat tersebut senada dengan tujuan IPS menurut penjelasan pasal UU
37 No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:86) bahwa : “Bahan kajian ilmu
pengetahuan sosial, antara lain : ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan
sebagaimana dimaksudkan untuk mengembangkan analisis peserta didik terhadap
kondisi sosial masyarakat”.
Secara umum beberapa pendapat tentang tujuan IPS sebagaiman diuraikan
diatas sesuai denga tujuan pendidikan nasiaonal berdasarkan UU No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas (2003:11) yaitu : ”Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
25
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
2.1.4.1 Pembelajaran IPS di SD
Untuk jenjang SD, pengorganisasian materi mata pelajaran IPS menganut
pendekatan terpadu (integrated), artinya materi pelajaran dikembangkan dan
disusun tidak mengacu pada disiplin ilmu yang terpisah melainkan mengacu pada
aspek kehidupan nyata peserta didik sesuai dengan karakteristik usia, tingkat
perkembangan berpikir, dan kebiasaan bersikap dan berperilakunya. IPS mengkaji
seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu
sosial.
Pelajaran IPS di SD harus memperhatikan kebutuhan anak yang berusia
antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget (1963)
berada pada tingkatan kongkret operasional. Merekam memandang dunia dalam
keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang adalah sekarang
(kongkret), dan bukan masa depan yang belum mereka pahami (abstrak). Padahal,
bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsepkonsep seperti waktu, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan,
permintaan, atau kelangkaan adlah konsep-konsep abstrak yang dalam program
studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.
Arah pembelajaran IPS ini dilatar belakangi oleh pertimbangan bahwa
masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat karena
kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh
karena itu, mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam
memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Waluyo, dengan judul
Peningkatan Kerja Sama Melalui Model Pembelajaran Think Pairs and Share
pada siswa kelas X SMK Negeri 1 Sragen menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan model ini dapat meningkatkan kerja sama pada siswa. Hal ini dapat
26
dilihat dari peningkatan prosentase ketuntasan belajar siswa pada pra tindakan
hanya sebesar 12,9% pada siklus I pertemuan I sebesar 28% pada siklus I
pertemuan II sebesar 59% dan pada siklus I pertemuan III meningkat menjadi
87%. Sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan terdapat persamaan dan
perbedaan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Bambang Waluyo, SMK
Negeri 1 Sragen dengan judul Peningkatan Kerja Sama Melalui Model
Pembelajaran Think Pairs and Share pada siswa kelas X SMK Negeri 1 Sragen.
Adapun letak persamaannya tedapat pada kenaikan prosentase ketuntasan belajar
siswa pada setiap pertemuan. Sedangkan perbedaannya terdapat pada jumlah
prosentase ketuntasan siswa.
2.3
Kerangka Berpikir
Dalam meningkatkan kerja sama siswa, adanya variasi model pembelajran
dan pemanfaatan media sangat berpengaruh dalam proses bejalar-mengajar. Oleh
karena itu dimungkinkan guru sedikit bervariasi dengan menggunakan metode
diskusi dalam pembelajarannya. Diupayakan dalam diskusi akan terjadi interaksi
dan akan memperlihatkan kerja sama siswa dalam menyelasaikan masalah yang
sedang mereka hadapi.
Tabel. 1
Kerangka Berpikir
Kondisi awal
• Siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01
Kecamatan
Semarang
Getasan
kurang
Kabupaten
memahami
dan
Hasil
• Siswa kurang memahami
dan menguasai konsep
pelajaran
IPS
yang
menguasai konsep pelajaran IPS yang
disajikan.dan kerjasama
disajikan.dan kerjasama siswa pada
siswa
mata pelajaran IPS masih rendah
pelajaran
pada
mata
IPS
masih
rendah
Siklus 1
• Tahap perencanaan
Peningkatan kerjasama siswa
kelas 5 SDN Sumogawe 01pada
27
- Mengidentifikasi masalah
Mata Pelajaran IPS
- Merencanakan tindakan
- Merencanakan
perangkat
pembelajaran
- Mengembangkan bahan ajar
- Mengembangkan
media
dan
alat
pembelajaran
- Membuat lembar pengamatan
• Tahap pelaksanaan tindakan
- Mengajukan pertanyaan atau masalah
yang dikaitkan dengan pelajaran
- Meminta siswa menggunakan waktu
beberapa menit untuk berpikir
- Meminta siswa berpasangan untuk
berdiskusi
- Meminta
pasangan-pasangan untuk
berbagi
• Tahap observasi
- Mengamati kegiatan belajar mengajar
• Tahap refleksi
- Mengkaji proses pembelajaran
Siklus II
• Tahap perencanaan
- Memecahkan masalah yang dihadapi
pada siklus I
- Membuat perencanaan pembelajaran
• Tahap pelaksanaan
- Melaksanakan rencana yang telah
disusun
• Tahap observasi
Peningkatan hasil belajar siswa
kelas 5 SDN Sumogawe 01pada
Mata Pelajaran IPS
28
- Mengamati kegiatan belajar mengajar
• Tahap refleksi
- Menarik kesimpulan
- Mengetahui peningkatan yang terjadi
Pelaksanaan dari pembelajaran TPS ini dengan memaksimalkan pemikiran
siswa dalam berpasangan untuk menjawab karakteristik gaya belajar siswa yang
beragam karena selama ini guru hanya mengandalkan metode ceramah dalam
penyampaian materi dan ini berakibat siswa kesulitan memahami materi yang
disampaikan.Pelaksanaan pembelajaran TPS dengan pemanfaatan pemikiran
siswa (think), siswa berdiskusi berpasangan dengan teman sebangku (pairs) dan
presentasi atau berbagi hasil pembelajaran (share). Meskipun pelaksanaan
pembelajaran selalu mengkolaborasikan ketiga gaya belajar namun setiap siswa
pasti cenderung memiliki satu ciri gaya belajar. Berdasarkan kelebihan
pembelajaran TPS yang sesuai dengan pokok permasalahan hasil belajar IPS pada
kelas 5 di SD Negeri Sumogawe 01 diharapkan penerapan pembelajaran TPS
pada mata pelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas 5 SD
Negeri Negeri Sumogawe 01 semester II tahun pelajaran 2013/2014.
2.4
Hipotesa Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir, maka hipotesa
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Model pembelajaran Think Pairs and Share diduga dapat meningkatkan
kerja sama siswa kelas 5 SDN Sumogawe 01 Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang dalam pembelajaran IPS. Karena model pembelajaran ini membuat
siswa aktif dalam setiap pembelajaran yang dilalui.
Model pembelajaran Think Pairs and Share meningkatkan hasil belajar
siswa kelas 5 pada mata pelajaran IPS karena siswa dituntut untuk berpikir dengan
teman sebangkunya yang selanjutnya dibagikan keseluruh kelas yang di dalamnya
terjadi pelatihan-pelatihan yang memungkinkan mereka berinteraksi dan
menjadikan rasa solid.
Download