MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 SELEKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS ENZIM L-HISTIDINE DECARBOXYLASE DARI BAKTERI PEMBENTUK HISTAMIN Wibowo Mangunwardoyo1, Romauli Aya Sophia1, dan Endang Sri Heruwati2 1. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta 10260, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Enam isolat bekteri pembentuk histamin telah ditapis untuk melihat kemampuannya menghasilkan histamin pada medium Niven termodifikasi. Hasil penapisan menunjukkan ke enam isolat mampu menghasilkan histamin dengan ditandai terjadinya perubahan warna merah jambu/pink pada medium. Produksi histamin ke enam isolat pada medium Niven cair diukur menggunakan metoda Hardy & Smith. Hasil uji menunjukkan ke enam isolat menghasilkan histamin pada medium cair sebanyak 92,35 –305,49 mg/100 ml medium. Dari enam isolat tersebut, Enterobacter spp. menghasilkan aktivitas tertinggi (305,49 mg/100 ml). Medium sintetik digunakan untuk mempelajari pola pertumbuhan dan waktu optimum produksi enzim HDC pada Enterobacter spp and Morganella morganii (kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk kedua jenis bakteri tersebut, jam ke 8 merupakan waktu optimum untuk memproduksi enzim. Abstract Selection and test of L-histidine decarboxylase enzyme activity of six isolates of histamine forming bacteria. Six isolates of histamine forming bacteria were screened to see the degree of ability in producing histamine on modified Niven’s medium. The result showed that the six bacteria were able to produce histamine by giving a pinkish color on the medium, which could be used as a preliminary identification of histamine-forming bacteria (HFB). The isolates were grown in liquid modified Niven medium to measure the production of histamine. The histamine produced were determined by Hardy and Smith method. The result showed that all of the isolates produced high level of histamine (92.35 – 305.49 mg/100 ml of the medium). From all of them, Enterobacter spp. produced the highest level of histamine (305.49 mg/100 ml). A synthetic medium was used to measure the growth pattern and optimum time required by Enterobacter spp and Morganella morganii (as control bacteria) to produce the L-histidine decarboxylase enzyme (HDC) which is responsible for histamine production. The result showed that for both bacteria, the optimum enzim production was 8 hours after incubation. Keywords: histamine forming bacteria, L-histidine decarboxylase, Niven’s modified medium 1. Pendahuluan Keracunan yang disebabkan oleh histamin,yang dikenal dengan keracunan histamine fish poisoning (HFP) seringkali terjadi setelah mengkonsumsi ikan laut yang banyak mengandung histidin bebas (free histidine), yang merupakan prekursor histamin. Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491mg/100g daging, mahi-mahi 344mg/100g, cakalang 1192mg/100g, tuna ekor kuning 740mg/100g, kembung 600mg/100g, dan albakor yang tertinggi, sampai 2g/100g [1,2,3]. Menurut hasil penelitian [4], hanya yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100g daging yang mampu menghasilkan 104 105 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 histamin. Keracunan histamin mengakibatkan penyakit HFP disebabkan oleh akumulasi jumlah histamin yang dikonsumsi [5]. Gejala keracunan histamin ditandai dengan sakit kepala, pembengkakan lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah–muntah, gatal–gatal dan diare [6,7]. Gejala awal langsung terasa 10 menit sampai 2 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung histamin tinggi [7]. Histamin merupakan senyawa amin yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin bebas (α-amina-β-inidosal asam propionat) [8]. Proses pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktivitas enzim L-Histidine Decarboxylase (HDC) [9]. Berbagai jenis bakteri yang mampu menghasilkan enzim HDC, termasuk kelompok Enterobacteriaceae, misalnya: Enterobacter agglomerans, Enterobacter cloacae, Enterobacter intermedium, Hafnia alvei, Klebsiella pneumoniae, dan Morganella morganii [7]. Morganella morganii (Mm) merupakan bakteri yang sering digunakan dalam penelitian mengenai histamin dan enzim HDC. Beberapa penelitian yang menggunakan Morganella morganii, di antaranya: isolasi dan identifikasi Morganella morganii JD-37 sebagai bakteri pembentuk histamin dari ikan tongkol [10], produksi histamin oleh Morganella morganii pada ikan makerel, albakor, mahi – mahi, dan salmon pada berbagai variasi suhu penyimpanan [11], deteksi molekular pada bakteri penghasil histamin, Morganella morganii, pada ikan albakor, makerel, sarden, dan pada pabrik pengolahan [12]. Bakteri pembentuk histamin sulit dideteksi secara langsung, karena jumlahnya sedikit dibandingkan bakteri lain pada ikan segar yang ditangkap. Oleh karena itu, untuk mendeteksi bakteri-bakteri tersebut digunakan media khusus, yang disebut agar diferensial Niven. Bakteri pembentuk histamin akan membentuk koloni berwarna ungu dengan latar belakang medium berwarna kuning. Histamin yang terbentuk akan meningkatkan pH medium, sehingga terjadi perubahan warna kuning menjadi ungu [13]. Penggunaan medium Niven memiliki kelemahan karena mempunyai pH yang rendah, sehingga sulit mendeteksi bakteri pembentuk histamin yang tumbuh pada pH netral atau basa. Perubahan warna hanya terjadi apabila cukup banyak histamin yang dihasilkan, karena itu medium Niven hanya akan mampu mendeteksi bakteri yang membentuk histamin dalam jumlah yang banyak [10,14]. Oleh karena itu perlu digunakan medium lain yang mampu mendeteksi bakteri pembentuk histamin dengan lebih baik. Dalam penelitian ini akan digunakan medium Niven yang dimodifikasi [15]. Pengurangan kadar histamin lebih baik dilakukan secara enzimatis, karena meskipun bakteri pembentuk histamin telah mati, aktivitas enzim HDC akan tetap menghasilkan histamin. Oleh karena itu, perlu upaya untuk menghambat aktivitas enzim HDC, sehingga histamin tidak terbentuk [16]. Proses awal pengurangan histamin secara penghambatan enzim dilakukan dengan mengisolasi enzim tersebut dari bakteri yang membentuk kadar histamin tinggi, sehingga dapat diteliti aktivitas enzim tersebut. Penelitian tentang isolasi enzim HDC dari bakteri pembentuk histamin telah banyak dilakukan, namun penelitian tentang enzim HDC dari isolat –isolat bakteri indegenous dari ikan peda belum pernah dilakukan [17]. Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai seleksi bakteri, kemampuan memproduksi, serta pola pertumbuhan dan waktu optimum untuk produksi histamin enam isolat bakteri yang diteliti. 2. Metode Penelitian Bahan Kimia. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah Nutrient Broth, Tripton, Yeast extract bakto agar (Oxoid®), Nutrient Agar (Difco®), TCA, Na2CO3, larutan diazonium, KOH, HCl, CH3COOH, CH3COONa, L-Histidin-2HCl, NaCl, fenol merah, CaCO3, KH2PO4.3H2O, KH2PO4, glukosa,, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O), L-Sistin L-Histidin (Merck®), Ca-pantotenat, Niasin (Sigma®) Amberlite resin (Fluka®), dan bufer fosfat. Kultur Bakteri. Enam isolat bakteri yang diuji dalam penelitian adalah kultur koleksi Laboratorium Mikrobiologi BBRP2BKP, yaitu Raoultella terrigena, Enterobacter spp., Microbacterium testaceum, Brevibacterium mcbrellneri; Micrococcus diversus; Staphylococcus spp., yang diisolasi dai ikan kembung peda [13]. Sebagai pembanding (kontrol), pada penelitian ini digunakan Morganella morganii (FHCC.0122) yang diperoleh dari laboratorium Pascasarjana Fakultas Biologi UGM. Morganella morganii adalah jenis bakteri penghasil histamin yang paling potensial sehingga sering digunakan banyak peneliti di dunia untuk mengamati pembentukan histamin. Cara kerja 106 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 Medium Niven yang dimodifikasi. Komposisi medium Niven yang dimodifikasi terdiri dari: 0,1% Tripton; 0,3% Yeast extract; 1,8 % L-Histidin-2HCl; 0,5% NaCl; 0,1% CaCO3; 2,5 % Agar; dan 0,003% fenol merah, dilarutkan dalam 1 L akuades pada pH 6,4 [15]. Medium Sintetik. Komposisi medium sintetik tersusun dari: 2,0 g K2HPO4.3H2O; 2,0 g KH2PO4; 2,0 g (NH4)2SO4; 5,0 g NaCl; 0,1 g MgSO4.7H2O; 0,12 g L-Sistin; 100 µg Ca-pantotenat; 100 µg Niasin; 10,0 g glukosa; dan 1,0 g L-Histidin, dilarutkan dalam 1 L aquades pada pH 7,0. kemudian disterilisasi dengan autoklaf, kecuali Niacin dan Ca-pantotenat yang disterilisasi dengan milipor ukuran 0,45 µm [18]. Seleksi bakteri pembentuk histamin. Isolat – isolat bakteri ditumbuhkan dalam tabung berisi 5 ml Nutrient Broth (NB) diinkubasikan selama 18 jam pada suhu 37oC, 125 rpm. Satu ose isolat digores ke dalam cawan petri yang berisi Nutrient Agar (NA) dengan metode kuadran, sampai diperoleh koloni bakteri tunggal. Bakteri yang diperoleh kemudian diinokulasikan ke dalam tabung miring Nutrient Agar (NA) dan diinkubasikan lagi selama 18 jam. Isolat – isolat berumur 18 jam tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam cawan petri berisi medium Niven Agar termodifikasi pada pH 6,4 dengan 3 kali pengulangan, dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oC. Pengukuran kadar histamin yang dihasilkan bakteri yang diuji. Ke-enam isolat bakteri uji dan Morganella morganii (bakteri kontrol) ditumbuhkan pada 5 ml medium Niven cair termodifikasi dalam tabung, diinkubasikan selama 18 jam pada suhu 37oC, dengan pengocokan 125 g. Kadar histamin dianalisis menggunakan modifikasi metode spektrofotometri menurut Hardy & Smith, 1976 [19]. Pengukuran kadar histamin dilakukan dalam 2 tahap. Tahap 1 (persiapan): sebanyak 5 ml hasil fermentasi ditambahkan 70 ml asam trikloroasetat (TCA) 2,5 % lalu dinetralkan dengan larutan KOH 1 N. Tahap ke-2: sebanyak 1 g amberlite resin di masukkan ke dalam kolom sepanjang 30 cm, kemudian dicuci dengan 150 ml larutan bufer asetat 0,2 N pH 4,6 dijaga agar tidak kering. Setelah itu dimasukkan TCA yang sudah ditambah hasil fermentasi seperti diuraikan pada tahap 1 (diatur jumlah tetesan 9 -10 tetes/menit). Kemudian kolom dielusi dengan 25 ml HCl 0,2 N. Setelah itu 1 ml eluen ditambah dengan 15 ml larutan Na2CO3 5% dan 2 ml larutan diazonium dan didinginkan pada suhu 0oC selama 10 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 495 nm dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS. Blanko dibuat dengan prosedur yang sama menggunakan TCA 2,5% netral yang tidak ditambah hasil fermentasi. Isolasi enzim HDC dari bakteri pembentuk histamin tertinggi. Isolasi enzim dilakukan dengan menumbuhkan isolat bakteri pembentuk kadar histamin tertinggi dan Morganella morganii (sebagai kontrol) dalam media sintetik [18]. Sebanyak 2 ml inokulum (8,7 x 109 sel/ml), ditambahkan pada Erlenmeyer 100 ml berisi 20 ml medium sintetik, kemudian diinkubasi selama 18 jam dalam shaker dengan kecepatan 125 g pada 37oC. Pemisahan hasil fermentasi dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 15.000 g selama 15 menit, kemudian dicuci dengan bufer fosfat pH 6,8. Pasta sel yang diperoleh disuspensikan dengan bufer fosfat pH 6,8 (5 ml/g berat basah sel). Pemecahan dinding sel dilakukan dengan tissue homogenizer selama 5 menit dengan kecepatan 11.000 g. Ekstrak enzim kasar dipisahkan dari sel dengan sentrifugasi pada kecepatan 15.000 g selama 15 menit [10]. Penentuan aktivitas enzim HDC dilakukan dengan mereaksikan sebanyak 1,0 ml ekstrak enzim dengan 1,0 ml L-Histidin 0,05 M dan 2,0 ml bufer fosfat 0,1 M (pH 6,8) selama 1 jam pada suhu 30oC. Semua pekerjaan yang berhubungan dengan enzim dilakukan pada suhu 4oC. Setelah itu, aktivitas enzim tersebut dihentikan dengan cara pemanasan pada suhu 90oC selama 15 menit [10]. Penghitungan kadar histamin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri berdasarkan metode Hardy & Smith, 1976 [19]. Satu unit (U) aktivitas enzim HDC adalah jumlah histamin yang dihasilkan oleh setiap ml larutan enzim per jam pada kondisi pengujian. Penentuan Aktivitas Optimum Enzim HDC. Penentuan aktivitas optimum enzim HDC dilakukan dengan menumbuhkan isolat pembentuk histamin tertinggi seperti pada penentuan produksi enzim. Kurva pertumbuhan bakteri ditentukan dengan spektofotometer, dan densitas optik diukur pada l 600 nm dengan interval: 4, 8, 12, 18, 24, dan 30 jam. Kurva aktivitas enzim HDC ditentukan dengan mengisolasi enzim HDC dan pengukuran aktivitas berdasarkan metode Hardy & Smith, 1976 [19] dengan interval: 4, 8, 12, 18, 24, dan 30 jam. Selanjutnya aktivitas spesifik enzim ditentukan dengan cara membagi nilai aktivitas enzim dengan densitas optik dari bakteri pada setiap waktu pengamatan. 3. Hasil dan Pembahasan 107 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 Seleksi bakteri pembentuk histamin. Hasil seleksi menunjukkan bahwa semua bakteri yang diuji mempunyai kemampuan membentuk histamin. Hal tersebut dapat diketahui dari perubahan warna medium Niven yang dimodifikasi dari warna kuning menjadi merah jambu atau pink (Gambar 1). Perubahan warna diakibatkan bakteri pembentuk histamin pada medium Niven termodifikasi dapat dijadikan acuan identifikasi awal bakteri pembentuk histamin [14]. Histamin yang terbentuk pada medium Niven termodifikasi dapat meningkatkan pH medium, sehingga terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah jambu/pink dengan adanya indikator fenol merah [16]. Komposisi medium Niven yang dimodifikasi telah diubah secara signifikan dengan mengurangi jumlah tripton dari 0,5% menjadi 0,1% dan Yeast extract dari 0,5% menjadi 0,3%, untuk mengurangi jumlah asam amino (yang bukan histidin) dalam medium, yang dapat diubah oleh bakteri menjadi produk alkalin. Dengan demikian perubahan warna hanya terjadi karena asam amino histidin yang diubah oleh bakteri [15]. Gambar 1. Perubahan warna medium dari kuning menjadi merah jambu pada medium Niven termodifikasi oleh koloni bakteri pembentuk histamin pH medium Niven termodifikasi juga dinaikkan dari 5,3 menjadi 6,5 (± 1) agar semua mikroorganisme dapat tumbuh. Fenol merah digunakan sebagai indikator karena umum digunakan pada pH 6,4 – 8,2. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian [20] yang memodifikasi pH medium menjadi 6,5 dan menggunakan fenol merah sebagai indikator untuk mendeteksi Clostridia yang sensitif terhadap suasana asam. 1 cm Hasil pengujian kadar histamin yang diproduksi oleh ke enam bakteri dan Morganella morganii (kontrol) pada medium sintetik ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa keseluruhan isolat bakteri mampu memproduksi histamin dengan kadar yang tinggi yaitu antara 92,35 – 305,49 mg/100ml. Kadar histamin yang dibentuk R. terrigena sebesar 132,49 mg/100ml; M. testaceum sebesar 189,56 mg/100ml; B. mcbrellneri sebesar 163,09 mg/100ml; M. diversus sebesar 102,52 mg/100ml; Staphylococcus spp. sebesar 124,37 mg/100ml; dan M. morganii sebesar 92,49 mg/100ml. Terlihat bahwa keenam isolat bakteri uji, yang diisolasi dari ikan kembung peda [17], mempunyai kemampuan memproduksi histamin yang lebih tinggi, dibandingkan dengan M. morganii, yang selama ini dijadikan acuan untuk pembentuk histamin oleh banyak peneliti di dunia. Jenis-jenis bakteri yang diuji tersebut juga telah dilaporkan sebagai bakteri pembentuk histamin [7,17,22]. Bakteri R. terrigena dan M. testaceum belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai bakteri pembentuk histamin, akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Indriati et al. [17], membuktikan bahwa kedua bakteri Tabel 1. Kadar histamin yang diproduksi ke enam jenis bakteri uji dan Morganella morganii sebagai kontrol. No Nama bakteri Kadar histamin (mg/100ml) 132,49 1 Raoultella terrigena 2 Microbacterium testaceum 189,56 3 Enterobacter spp. 305,49 4 Brevibacterium mcbrellneri 163,09 5 Micrococcus diversus 102,52 6 Staphylococcus spp. 124,37 108 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 7 Morganella morganii (kontrol) 92,35 tersebut mampu membentuk histamin. Meskipun tidak disebutkan dengan jelas spesiesnya, Kanki et al.[23] juga melaporkan bahwa genus Raoultella juga dapat memproduksi histamin dalam jumlah besar. Bakteri Staphylococcus spp. merupakan bakteri penghasil histamin yang dominan pada ikan bergaram, seperti ikan teri [21]. Dari Tabel 1 terlihat bahwa Enterobacter spp. menghasilkan kadar histamin yang tinggi (305,49 mg/100ml) dibandingkan dengan M. morganii (92,49 mg/100ml) sebagai kontrol. Bakteri Enterobacter spp. merupakan bakteri kelompok Enterobacteriaceae yang memiliki kemampuan membentuk histamin dalam jumlah besar dan umum diketahui membentuk histamin pada ikan dan kultur cair [11,24]. Beberapa jenis genus Enterobacter yang diketahui memiliki kemampuan membentuk histamin adalah: Enterobacter aerogenes, Enterobacter agglomerans, Enterobacter amnigenus, Enterobacter cloacae, dan Enterobacter intermedium [6,7,11,20,23,24,26]. Penelitian lain [24] juga melaporkan bahwa beberapa strain bakteri M. morganii memiliki kadar histamin yang lebih rendah dibandingkan dengan strain bakteri E. aerogenes dan E. amnigenus. Penentuan aktivitas optimum enzim HDC. Isolasi enzim HDC dilakukan pada Enterobacter spp. yang membentuk kadar histamin tertinggi. Proses pembentukan histamin sangat dipengaruhi oleh aktivitas enzim L-Histidine Decarboxylase (HDC) [9], sehingga tingginya kadar histamin pada bakteri diharapkan akan mencerminkan tingginya produksi enzim HDC. Hasil pengamatan kurva pertumbuhan dan aktivitas enzim HDC Enterobacter spp. seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan bahwa aktivitas enzim HDC tidak berkaitan dengan pertumbuhan sel Enterobacter spp. (non growth – associated). Gambar 2. Perubahan aktivitas spesifik enzim L-Histidine Decarboxylase (HDC) yang dihasilkan oleh Enterobacter spp. dan Morganella morganii Gambar 3. Kurva pertumbuhan Enterobacter spp. dan Morganella morganii Kurva pertumbuhan mikroorganisme terdiri dari 4 fase yang berbeda, yaitu: fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian [25]. Fase eksponensial pertumbuhan Enterobacter spp. terjadi pada 30 jam (Gambar 3), akan tetapi pada jam tersebut aktivitas spesifik enzim HDC telah menurun (Gambar 2). Penurunan aktivitas enzim HDC sudah terjadi sampai saat bakteri mencapai pertengahan fase eksponensial pada jam ke-12 dan pada puncak pertumbuhan 109 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 bakteri pada jam ke-30, aktivitas enzim HDC sudah sangat rendah. Enzim HDC Enterobacter spp. memiliki aktivitas spesifik tertinggi pada awal fase eksponensial, yaitu jam ke-8, sehingga pemanenan enzim HDC terbaik dilakukan pada waktu tersebut. Hasil pengamatan kurva pertumbuhan dan aktivitas enzim HDC Morganella morganii (Gambar 3) juga menunjukkan bahwa produksi enzim HDC tidak berkaitan dengan pertumbuhan Morganella morganii (non growth – associated). Fase eksponensial awal terjadi pada 8 jam pertumbuhan, akan tetapi aktivitas enzim HDC telah mencapai peningkatan tertinggi. Pada fase eksponensial pertumbuhan jam ke-8 sampai jam ke-12, aktivitas enzim HDC telah mulai mengalami penurunan (Gambar 2). Pada fase stasioner jam ke-12 sampai jam ke-30, aktivitas enzim HDC sudah sangat menurun. Meskipun nilai aktivitas spesifiknya lebih rendah dari Enterobacter spp., enzim HDC pada Morganella morganii memiliki aktivitas tertinggi pada waktu yang sama, yaitu jam ke-8. Laporan Allen [6] menyatakan bahwa aktivitas enzim HDC dari kultur yang diisolasi dari ikan mahi-mahi dan tuna ekor kuning telah menurun aktivitasnya setelah 10–21 jam diinkubasikan pada suhu 30oC dan pH 6,5 Aktivitas enzim HDC semakin turun, pada saat terjadi pertambahan umur kultur. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan kultur tidak berasosiasi dengan aktivitas enzim HDC. 4. Kesimpulan Hasil seleksi dengan menggunakan medium Niven yang dimodifikasi menunjukkan bahwa ke-enam bakteri mempunyai kemampuan membentuk histamin. Enterobacter spp. merupakan bakteri pembentuk histamin terbesar (305,49 U). Kurva pertumbuhan dan produksi enzim HDC pada Enterobacter spp. dan Morganella morganii bersifat non growth–associated dan produksi optimum enzim HDC adalah pada jam ke-8 setelah inkubasi. Daftar Acuan [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] F.R. Antoine, C.I. Wei, R.C. Little, M.R. Marshall, J. of Agric. And Fc Chem. 47(12) (1999) 5100-5107. A. Lukton, H.S. Olcott, J. of Fd Res. 23 (1958) 518-611. R.I. Perez-Martin, J.M. Franco, S.Aubourg, J.M. Gallardo, European Fd Res. And Tech. 187(5) (1988) 678-682. Z. Gonowiak, R. Gajevska, E. Lipka, Pantstw Zokl Hiq. 41(1-2) (1990) 50-57. J. Wonggo, Tesis. Program Pascasarjana KPK IPB-UNSRAT, 1995. R.R. Eitenmiller, J.H. Orr, W.W. Wallis, In: R.E. Martin, G.J. Flick, C.E. Hebard. (Eds.), AVI Publishing. Co. (1982) 39 – 50. D.G. Allen Jr, Tesis Graduated Faculty of North Carolina State University, Raleigh, 2004. L. Lehane, J. Olley, National Office of Animal and Plant Health, Canberra, 1999, p.80. M. Bennour, A.E. Marrakchi, N. Bouchriti, A. Hamama, M.E. Ouadaa, J. Food Prot. 54 (1991) 789–792. J.S. Atmadjaja, Tesis PPS-UGM, 1994. S.H. Kim, R.J. Price, M.T. Morrisey, K.G. Field, C.I. Wei, H. An. J. Food. Sci. 67(4) (2002) 1522–1528. S.H Kim, H. An, C.I. Wei, W. Visessanguan, S. Benjakul, M.T. Morrisey, Y.C. Su, T.P. Pitta, J. Food Sci. 68(2) (2003) 453 – 457. C.F. Niven Jr, M.B. Jeffrey, D.A. Corlett Jr, App. Environ. Microbiol. 41(1) (1981) 321– 322. P. Mavromatis, P.C. Quantick, J. Food. Prot. 65(3) (2002) 546 – 551. Poerwadi, N. Indriati, Hobart (1984) 10. H.A. Sally, R.S. Price, W. Brown, Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries 46 (1980) 991 – 995. N. Indriati, Rispayeni, E.S. Heruwati, J. Pascapanen & Biotek Kelautan dan Perikanan 1(2) (2006) 117 – 172. Y.Omura, R.J. Price, H.S. Olcott, J. Food. Sci. 43 (1978) 1779 – 1781. R. Hardy, J.G.M. Smith, J. Sci. Food. 27 (1976) 595 – 599. D.H. Yoshinaga, H.A. Frank, App. Environ. Microbiol 44(2) (1982) 447 – 452. M.M. Hernandez-herrero, R. Sagues, X. Artur, J.J. Rodriguez-jeres, M.T. Moraventura, J. Food Prot. 62(5) (1999) 509 – 514. T.A. Lorca, I.M. Gingerich, M.D. Pierson, G.J. Flick, C.R. Hackney, S.S. Sumner, J. Food. Prot. 64(12) (2001) 2015 – 2019. M. Kanki, T.Yoda, T.T Sukamoto, T.Shibata, App. Environ. Microbiol. 68(7) (2002) 3462 – 3466. H.Takahashi, B. Kimura, M. Yoshikawa, T. Fujii, App. Environ. Microbiol. 69(5) (2003) 2568 – 2579. 110 MAKARA, SAINS, VOL. 11, NO. 2, NOVEMBER 2007: 104-109 [25] M.T. Madigan, J.M. Martinko, J. Parker, Brock biology of microorganism, 9th ed., Prentice Hall International, Inc., New Jersey, 2000, p.991. [26] S.H. Kim, K.G. Field, M.T. Morrisey, R.J. Price, C.I. Wei, H. An, J. Food Prot. 64(7) (2001) 1035–1044.