HIPERINSULINEMIA PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK I. PENDAHULUAN Sindroma ovarium polikistik (SOP) merupakan kelainan endokrin pada wanita usia reproduksi, di Amerika Serikat dan Eropa prevalensinya berkisar 4-6%.1,2 Kepustakaan lain melaporkan bahwa prevalensinya berkisar 5-10%.3,4,5,6 Selain ditandai dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronis, SOP juga disertai oleh perubahan metabolik berupa gangguan toleransi glukosa, hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama pada penderita SOP, penderita dengan penyakit ini mempunyai risiko 7 kali untuk terkena infark myocardium. Pada penderita SOP dijumpai peningkatan endotelin-1, yang merupakan produk yang dihasilkan dari perlukaan endothelium.1 Diagnosis SOP ditegakkan atas dasar hiperandrogenisme dan disfungsi ovulasi dengan menyingkirkan penyebab spesifik lain. Pemeriksaan sonografi saja tidak mempunyai nilai diagnostik.3,7,8 Sekarang diyakini bahwa resistensi insulin dan atau respon abnormal insulin terhadap stimuli glukosa merupakan principal underlying etiologic factors dari SOP.5,9 II. RESEPTOR DAN AKSI INSULIN A. Reseptor insulin 1. Reseptor insulin merupakan heterotetramer yang terdiri dari dua subunit α dan dua subunit β yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Gen untuk reseptor insulin terletak pada lengan pendek kromosom 19, mengandung 22 ekson. Subunit α bersifat ekstraseluler dan mengandung ligand binding domain dimana subunit β menembus membran sel, bagian sitoplasmik mengandung protein tirosin kinase yang akan diaktifkan oleh ligand-mediated autophosphorilation terhadap residu tirosin spesifik (gambar 1).3,10 2 2. Reseptor insulin pada ovarium Kadar insulin yang bersirkulasi di peredaran darah perifer pada wanita normal adalah 10 μU/ml dalam keadaan puasa dan lebih dari 50 μU/ml setelah 1 jam mengkonsumsi glukosa. Pada wanita gemuk kadar ini akan lebih tinggi, 15 μU/ml pada waktu puasa dan lebih dari 60 μU/ml setelah asupan glukosa oral. Pada keadaan resistensi insulin, kadarnya 120-180 μU/ml dalam keadaan puasa dan 1400-2000 μU/ml setelah asupan glukosa oral. Kadar insulin pada cairan folikel berkisar antara 2-65 μU/ml. Insulin dapat mencapai cairan folikel melalui proses transudasi. Reseptor insulin tersebar pada seluruh kompartemen ovarium: jaringan granulosa, teka dan stroma. Reseptor insulin pada ovarium sama seperti reseptor insulin pada organ lainnya.10 Gambar 1. The insulin receptor is a heterotetramer consisting of two α, β-dimers linked by disulfide bonds. The α-subunit contains the ligand-binding site, and the β-subunit contains a ligand-activated tyrosine kinase. Tyrosine autophosphorylation increase the receptor’s tyrosine kinase activity whereas serine phosphorylation inhibits it. Dikutip dari Dunaif A3 B. Aksi insulin Insulin akan mempengaruhi fungsi seluler setelah berikatan dan mengaktifasi reseptor pada membran sel. Seperti terlihat pada gambar 2, sekali insulin terikat pada resptor, terjadi autofosforilasi residu tirosin spesifik yang menyebabkan reseptor bagian intrasitoplasma akan memfosforilasi substrat seluler lain seperti 3 insulin reseptor substrate-1 (IRS-1). Ketika IRS-1 difosforilasi pada jaringan adiposa dan aktivasi fosfoinositol-3 kinase sel otot akan menyebabkan terbebasnya glucose transporter protein-4 (GLUT-4) dari vesikel intraseluler ke dalam membran sel untuk transpor glukosa. GLUT-4 transporter protein juga dapat dilepaskan keluar membran setelah aktivasi 5’AMP kinase melalui latihan. Pada keadaan tidak adanya insulin atau latihan, GLUT-4 transporter protein akan tetap berada dalam vesikel di dalam sel. Target utama uptake glukosa oleh insulin adalah jaringan otot, sedangkan jaringan lemak merupakan target sekunder.10,11 Gambar 2. The binding of insulin to its receptor, resulting in phosphorylation (P) of tyrosine (Tyr) residues of the intracytoplasmic portion of receptor. Serine (Ser) residue phosphorylation will prevent tyrosine residue phosphorylation and activation of the receptor. Within the cytoplasm, tumor necrosis factor-α (TNF-α) can inhibit downstream signally following insulin binding to its receptor. Glu=glucose; GLUT-4=glucose transporter protein-4; (+)=positive effect; (-)= negative effect. 11 Dikuti dari Zacur HA Pada ovarium insulin akan memberikan beberapa pengaruh, tidak ada perbedaan antara manusia dan spesies lain (tabel 1). 4 Tabel 1. A summary of insulin effects related to ovarian function 10 Dikutip dari Poretsky L, Cataldo NA, Rosenwaks Z, et al Effect Organ Directly stimulates steroidogenesis Ovary Acts synergistically with LH and FSH to stimulate Ovary steroidogenesis Ovary Stimulates 17 α-hydroxylase Stimulates or inhibits aromatase Ovary, adipose Up-regulates LH receptors Ovary Promotes ovarian growth and cyst formation Ovary synergistically with LH/hCG Down regulates insulin receptors Ovary Up-regulates type I IGF receptors or hybrid Ovary insulin/type I IGF receptors Inhibits IGFBP-1 production Ovary, liver Potentiates the effect on GnRH on LH and FSH Hypothalamus/pituitary Inhibits SHBG production III. RESISTENSI INSULIN Resistensi insulin didefinisikan sebagai respon biologis terhadap insulin yang kurang dari normal. menentukan Teknik clamp sekarang digunakan sebagai baku emas untuk resistensi insulin. Hubungan antara resistensi insulin dan hiperandrogenisme pertama kali dilaporkan oleh Achard pada tahun 1921. Patofisiologi resistensi insulin pada wanita dengan SOP hingga sekarang belum jelas. Penurunan jumlah reseptor atau afinitas insulin pada penderita PCO nampaknya tidak terjadi. Dunaif dkk mengemukakan bahwa adanya defek postreseptor pada aksi insulin menyebabkan resistensi insulin. Ia menemukan bahawa sel fibroblas pada 50% penderita SOP menunjukkan pengurangan autofosforilasi reseptor insulin setelah berikatan dengan insulin. Defek spesifik terdapat pada fosforilasi serin pada reseptor insulin. Ketika residu serin pada resptor difosforilasi, akan menghambat kemampuan residu tirosin dalam resptor insulin untuk terfosforilasi. Peningkatan fosforilasi serin dari resptor insulin dapat terjadi oleh karenan defek genetis. Adanya defek pada transpor glukosa akibat berkurangnya produksi GLUT-4 telah dilaporkan sebagai penyebab resistensi secara umum dan khususnya pada SOP. Penyebab lain resistensi insulin pada wanita dengan SOP adalah peningkatan sekresi 5 insulin pankreas dikarenakan mutasi genetik pada gen insulin yang mengatur ekspresi insulin seperti yang dikemukakan oleh Waterworth dkk. Gambar 3. Insulin resistance in ~50% of PCOS women appears to be secondary to a cell membrane-associated factor, presumably a serine/threonine kinase, that serine phosphorilates the insulin receptor-inhibiting signaling. Serine phosphorylation of IRS-1 appears to be the mechanism for TNF α-mediated insulin resistance. The membrane glycoprotein PC-1 also inhibits insulin receptor kinase activity, but it does not cause serine phosphorylation of the receptor. These are examples of a recently appreciated mechanism for insulin resistance secondary to factor’s tyrosine kinase activity. Dikutip dari Dunaif A3 Miller dkk. mengemukakan bahwa fosforilasi serin dari P450c17 manusia, yang merupakan enzim kunci untuk sintesis androgen ovarium dan adrenal, meningkatkan aktivitas 17,20 lyase. Hal ini disebabkan oleh peningkatan sekresi androgen. Perubahan aktivitas enzin steroidogenesis dikarenakan fosforilasi serin juga disebabkan oleh 17 β-hidroksisteroid dehidrogenase. Hal ini menunjukkan adanya single genetic defect yang menghubungkan SOP dan resistensi insulin (gambar 4).3, 10, 11 6 Gambar 4. A proposed schema for the association of insulin resistance and PCOS. A single factor that causes serine phosphorilation of the insulin receptor and serine phosphorylation of P450c17, the key regulatory enzyme controlling androgen biosynthesis, could produce both the insulin resistance and the hyperandrogenism characteristic of PCOS. It is also possible that the insulin resistance and the reproductive abnormalities reflect separate genetic defects and that the insulin resistance unmasks the syndrome in genetically susceptible woman. Recent studies suggest that insulin acting through its own receptor augments steroidogenesis and LH release. Androgens amplify the associated insulin resistance. IV. HIPERANDROGENISME DAN RESISTENSI INSULIN A. Manakah yang lebih dulu: hiperinsulinemia ataukah hiperandogenisme ? Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa androgen dapat menyebabkan hiperinsulinemia. Bagaimanapun kebanyakan penelitian lebih menyokong bahwa sebenarnya hiperinsulinemialah yang merupakan faktor utamanya. Hal ini dibuktikan dengan cara “mematikan ovarium” memalui pemberian GnRH agonis, yang ternyata tidak mengubah insulinemia atau resistensi insulin. Hal ini mengindikasikan bahwa aksi insulin mendahului peningkatan kadar androgen. Setidaknya ada 6 alasan yang menyokong bahwa hiperinsulinemialah yang merupakan penyebab hiperandrogenisme:12 1. Pemberian insulin pada wanita SOP akan meningkatkan kadar androgen 2. Pemberian glukosa pada wanita hiperandrogenik meningkatkan kadar insulin dan androgen yang bersirkulasi 7 3. Pengurangan berat badan mengurangi kadar insulin dan androgen serta meningkatkan kadar IGFBP-1 4. Secara in vitro, insulin dapat merangsang pembentukan androgen 5. Pengurangan insulin pada wanita SOP akan mengurangi kadar androgen, tetapi tidak pada wanita normal 6. Setelah normalisasi andogen dengan GnRH agonis, respon hiperinsulinisme terhadap tes tolerasnsi glukosa tetap abnormal pada wanita gemuk dengan SOP. B. Mekanisme terjadinya hiperandrogenisme pada hiperinsulinemia Terdapat korelasi antara tingkat hiperinsulinemia dengan hiperandrogenisme. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, insulin berikatan dengan reseptor tipe IGF I (yang mirip dengan reseptor insulin; reseptor IGF dan reseptor insulin mentransmisikan sinyalnya melalui proses inisiasi autofosforilasi tirosin pada reseptornya). Jadi, ketika reseptor insulin terblokade atau kurang jumlahnya, insulin akan berikatan dengan reseptor tipe IGF I. Aktivasi reseptor IGF I menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel teka. Hiperandrogenisme juga dapat disebabkan oleh proses penghambatan sintesis sex hormone binding globulin (SHBG) dan pembentukan insulin like-growth factor binding protein1oleh hati. Studi in vitro menunjukkan bahwa insulin dan IGF I secara langsung menghambat sekresi SHBG oleh sel-sel hati. Hal inilah yang menerangkan terdapatnya hubungan terbalik antara berat badan dengan kadar SHBG yang bersirkulasi. Dikarenakan SHBG diregulasi oleh insulin, berkurangnya kadar SHBG pada wanita merupakan 3,12 dependent diabetus mellitus. faktor risiko independen untuk noninsulin- 8 V. IMPLIKASI KLINIS RESISTENSI INSULIN PADA SOP A. Diagnosis klinis resistensi insulin Membuat diagnosis resistensi insulin secara klinis merupakan suatu masalah. Pertama, lebarnya kisaran sensitivitas terhadap insulin pada individu normal. 25% individu normal memiliki nilai aksi insulin yang tumpang tindih dengan individu yang resisten insulin. Kedua, perangkat pengukur aksi insulin secara klinis yang tersedia seperti nilai glukosa puasa atau nilai glukosa setelah stimulasi insulin tidak berkorelasi baik dengan sensitivitas insulin dalam setting penelitian. Dengan kenyataan yang seperti ini, kiranya penting untuk menganggap setiap wanita penderita SOP mempunyai risiko untuk terjadinya resistensi insulin dan kelainan metabolik yang berkaitan dengan sindroma resistensi insulin.3 Benarto dkk. Dalam penelitian yang melibatkan 22 kasus wanita dengan SOP menilai resistensi insulin dengan kadar insulin puasa ≥ 10 μU/mL dan atau area di bawah kurva insulin ≥ 800 μU menit/mL. Sedangkan Craig dkk. Menilai resistensi insulin jika kadar insulin puasa ≥ 20 μU/mL. B. Gangguan metabolik pada SOP 1. Dislipidemia, disfibrinolisis dan penyakit arteri koroner Wanita dengan SOP berisiko untuk terjadinya dislipidemia dikaranakan tingginya kadar androgen dan biasanya mereka memiliki postur yang gemuk. Dikarenakan mereka juga hiperinsulinemia dan resisten terhadap insulin, mereka juga berpotensi untuk menjadi dislipidemia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan SOP memiliki kadar HDL yang rendah, LDL serta trigliserida yang lebih tinggi pada kelompok kontrol yang sudah dimatching umur, seks dan beratnya. Wanita dengan SOP juga mengalami perubahan aktivitas fibrinolisis dengan meningkatnya kadar inhibitor palsminogen aktivator, PAI-1. Peningkatan PAI-1 berkaitan dengan resistensi insulin, kadar ini akan menurun seiring dengan perbaikan sensitivitas insulin melaui pengurangan berat badan dan pemberian insulin sensitizing agents. Wanita dengan SOP mmemiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengidap 9 penyakit kardiovaskuler. Penderita dengan SOP yang menjalani kateterisasi jantung yang memiliki riwayat hiperandrogenisme memiliki peningkatan prevalensi penyakit arteri koroner.3 2. Hipertensi Satu penelitian melaporkan peningkatan tekanan darah sistolik secara signifikan terjadi pada penderita SOP, tetapi pada penelitian tidak dilakukan matching terhadap berat badannya. Sedangkan pada wanita penderita SOP yang kurus tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya hipertensi lebih berkaitan dengan berat badan dibandimngkan dengan SOP-nya sendiri.3 VI. TERAPI Dahulu pengobatan standar untuk SOP adalah dengan pemberian pil kontrasepsi dengan atau tanpa disertai pemberian androgen blocking agent seperti spironolakton. Banyak sensitizing hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obat insulin dapat mengembalikan siklus menstruasi, memperbaiki ovulasi, menurunkan androgen yang bersirkulasi dan memperbaiki gambaran sindroma X. HDL rendah dan obesitas. Individu dengan sindroma ini memiliki risiko besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler. Penderita SOP seringkali memiliki gambaran sindroma X ini. Penggunaan terapi konvensional seperti pemberian pil kontrasepsi dan androgen blocking agent tidak mengarah kepada sindroma X ini.13,14 A. Metformin Metformin termasuk golongan biguanid yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1957 untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Memiliki efek penting yang menurunkan kadar insulin pada penderita diabetes melitus tanpa menyebabkan hipoglikemia. Tidak seperti golongan sulfonilurea atau insulin, 10 metformin tidak meningkatkan kadar insulin. Metformin juga memperbaiki sensitivitas insulin perifer dengan mekanisme yang belum jelas.13 Tabel 2. Current and potential treatments for polycystic ovary syndrome Dikutip dari Hopkinson ZE, Sattar N, Fleming R et al5 Treatment Current treatments Oral contraceptives Clomiphene Ovarian diathermy or laser treatment Assisted coseption techniques Cyproterone acetate+ethinylestradiol Spironolactone Weight loss Potential treatment Insulin sensitizing agents Problem addressed Menstrual disturbance Anovulatory infertility Hirsutism and acne Menstrual disturbance and anovulatory infertility, but also improvement of metabolic perturbances and thus risk of coronary heart disease Obesity and central obesity Androgen excess Menstrual disturbances Anovulatory infertility Metabolic perturbances 1. Penggunaan pada wanita gemuk13 Penggunaan metformin pertama kali dipublikasikan pada tahun 1994 oleh Velazquez dkk. Penelitian uncontrolled ini melibatkan 26 wanita gemuk yang diterapi dengan pemberian metformin 1500 mg/hari selama 8 minggu. Secara bermakna metformin menurunkan konsentrasi insulin serum dan juga testosteron serum bebas sebesar 52%. Sedangkan 3 dari 26 penderita mengalami kehamilan. Nestler dan Jacubowicz (1996) dalam sebuah penelitian placebo-controlled trial yang menggunakan metformin 1500 mg/hari untuk 4-8 minggu pada 24 wanita gemuk dengan SOP, mendapatkan hasil berupa insuli dalam sirkulasi berkurang pada wanita yang diterapi dengan metformin. Juga didapati penurunan LH yang distimulasi oleh GnRH, berkurangnya produksi androgen ovarium dan konsentrasi serum testosteron bebas sebesar 44%. 11 Sedangkan delapan penelitian lainnya menggunakan metformin menunjukkan perbaikan menstruasi atau pengurangan androgen pada wanita dengan SOP. 2. Wanita kurus Walaupun wanita dengan SOP biasanya gemuk, setidaknya 20% dari penderita tersebut kurus. Pada penelitian dengan wanita SOP yang kurus, didapatkan hasil yang sama seperti pada wanita yang gemuk, metformin menurunkan kadar glucose puasa, menueunkan LH basal dan yang distimulasi oleh GnRH, mengurangi konsentrasi testosteron bebas dan total serta meningkatkan SHBG.13 3. Efek terhadap ovulasi, pola menstrusi dan kehamilan Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nestler dkk. yang melibatkan 66 orang wanita gemuk dengan SOP, menggunakan metformin selama 5minggu dan dilanjutkan dengan pemberian 50 mg klomifen sitrat. Ia mendapatkan hasil berupa peningkatan 8 kali ovulasi spontan dibandingkan dengan kelompok plasebo.13 Pada penelitian lain, wanita dengan SOP yang sudah resisten dengan pemberian klomifen sitrat diterapi dengan metformin selama 1 bulan sebelum dilakukan pemberian FSH. Didapatkan hasil bahwa banyaknya folikel yang berukuran >15 mm pada hari pemeberian HCG secara signifikan lebih rendah pada wanita yang sebelumnya menerima metformin, hal ini menunjukkan bahwa pemeberian metformin akan mengurangi kejadian hiperstimulasi ovarium selama pemberian FSH. Benarto mendapatkan hasil membaikknya perkembangan folikel pada 22 kasus SOP yang resisten insulin setelah menerima metformin 2 kali 250 mg/hari selama 2 siklus (70 hari).14 Ibanez dkk dalam penelitian yang melibatkan 18 wanita SOP non-obese dengan anovulasi persisten, setelah pemberian 1275 mg/hari metformin selama 6 bulan mendapatkan hasil kembali teraturnya menstruasi pada 16 12 wanita dalam 4 bulan terapi. Ia berkesimpulan bahwa pemberian insulin sensitizing agents adalah penedektan yang efektif untuk meninduksi ovulasi pada wanita SOP non-obese.15 Papunen dkk. berkesimpulan bahwa pemberian metformin 1500 mg/hari selama 6 bulan pada wanita gemuk dengan gangguan menstruasi akan memberikan hasil yang baik, dimana 68,8% penderita mengalami menstruasi yang lebih teratur setelah terapi. Sedangkan Velazquez mendapatkan angka perbaikan siklus menstruasi sebesar 95,7%.16 Penelitian in vitro menunjukkan bahwa penggunaan metformin selama kehamilan tidak menunjukkan efek teratogenitas. Pemberian metformin pada kehamilan trimester I tidak menunjukkan efek teratogen, seperti yang dilaporkan oleh Glueck.16 Penggunaannya pada trimester I akan menurunkan kejadian abortus spontan pada trimester pertama pada wanita hamil dengan SOP dibandingkan dengan kelompok kontrol.4,17,18,19 Sedangkan pemberian pada trimester II dan tiga yang melibatkan 60 wanita hamil menunjukkan peningkatan ringan kejadian neonatal jaundice, sedangkan abnormalitas neonatus dikatakan tidak berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol.13 Kenaikan serum testosteron pada penderita SOP yang hamil dapat menyebabkan virilisasi fetus perempuan. Sarlis dkk. melaporkan sebuah kasus wanita dengan SOP dimana kadar testosteron total dan bebasnya mencapai 550 ng/dL dan 80 ng/dL pada kehamilan 10 minggu. Wanita ini diterapi dengan metformin selama kehamilannya dimulai dari usia kehamilan 14 minggu. Selama pemberian metformin, kadar testosteron total dan bebasnya kembali normal. Penderita mengalami seksio sesaria pada usia kehamilan 30 minggu atas indikasi preeklampsia, melahirkan bayi laki-laki sehat dengan berat 1335 dan tidak disertai virilisasi.13 13 B. Troglitazone Dikarenakan obat ini menyebabkan toksisitas terhadap hati janin, maka pada tahun 1999 FDA melarang peredarannya di pasaran. Troglitazone akan menyebabkan perbaikan sensitivitas insulin perifer dan akan menueunkan kadar insulin sirkulasi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dan pada penderita obese non diabetik. Seperti mertformin, tidak meningkatkan sekresi insulin, oleh karenanya tidak akan mnyebabklan hipoglikemia jika diguinakan sebagai monoterapi. Empat penelitian yang telah dilakukan pada wanita SOP menunjukkan bahwa triglitazone menurunkan insulin sirkulasi, LH dan hiperandrogenemia. Satu penelitian yang mengkombinasikan penggunaannya dengan klomifen sitrat secara signifikan meningkatkan tingkat ovulasi dari 34,9 hingga 72,7%. Tidak ada penelitian yang membandingkan penggunaan metformin dan triglitazone untuk terapi SOP.13 C. D-Chiro-Inositol Nestler dkk. pada suatu penelitian yang melibatkan 22 orang wanita obese dengan SOP memberikan obat ini dalan jangka waktu 6 hingga 8 minggu. Hasilnya berupa penurunan serum testosteron bebas sebesar 55%, 86% wanita dalam kelompok d-chiro inositol mengalami ovulasi dibandingkan 27% wanita pada kelompok plasebo.13 D. Efek obat insulin-sensitizing terhadap sindroma X pada SOP13 Salah satu keuntungan unik dari obat insulin-sensitizing pada terapi SOP adalah kemampuannya untuk mengoreksi abnormalitas yang berhubungan dengan sindroma X: hiperinsulinemia, hiperlipidemia dan hipertensi. Dislipidemia yang berhubungan dengan SOP adalah rendahnya kadar HDL plasma dan tingginya kadar trigliserida. Sebagai tambahan, wamita dengan SOP memiliki risiko tinggi untuk menderita diabetes melitus tipe 2 atau intoleransi glukosa pada saat berusia 30 tahun. 14 Velazquez dkk. melaporkan penurunan 10 mmHg rata-rata tekanan darah sistolik ketika wanita obese penderita SOP menerima metformin. Pada penelitian ini ternyata metformin tidak menurunkan serum trigliserida atau menaikkan serum HDL. Pada penelitian berdurasi singkat lain oleh Morin-Papunen dkk. tidak dijumpai perubahan pada tekanan darah dan kolesterol. Moghetti dkk. menggunakan metformin selama lebih dari 12 bulan pada wanita SOP yang moderately obese, didapatkan kenaikan 10% serum HDL secara signifikan (p<0,03). Tidak seperti metformin, troglitazone tidak meningkatkan HDL plasma atau menurunkan trigliserida plasma pada penderita SOP atau diabetes melitus tipe 2. Dalam sebuah penelitian uncontrolled oleh Ehrmann dkk, troglitazone diberikan selama 2 bulan kepada wanita SOP yang obese. Tidak terdapat perubahan yang bermakna pada kolesterol serum, kolesterol LDL, kolesterol HDL atau trigliserida plasma. Tabel 3. Comparison of the effects of insulin-sensitizing drugs on polycystic ovary syndrome Dikutip dari Iuorno MJ, Nestler JE13 Parameter Metformin Troglitazone D-chiro-Inositol Teratogenicity Category B Category B ? Ovulation ↑ ↑ ↑ Androgens ↓ ↓ ↓ Weight ↓ or ↔ ↔ ↑ Blood pressure ↓ ↓ ↓ LDL cholesterol ↓ or ↔ ↔ ↑ Triglycerides ? ↔ ↓ PAI-1 ↓ ↓ ? ↑ = increases; ↓ = decreases; ↔ = no changes; ? = unknown; LDL = low density lipoprotein; PAI-1 = plasminogen activator inhibitor-1. 15 VII. RINGKASAN Sindroma ovarium polikistik merupakan kelainan endokrin tersering pada wanita usia reproduksi. Hiperinsulinemia yang terjadi pada wanita dengan SOP merupakan dasar patogenesis penyakit ini. Hiperinsulinemia menyebabkan terjadinya peningkatan androgen sirkulasi. Terapi yang rasional adalah dengan pemberian obat-obat insulin sensitizing. Metformin sering digunakan pada terapi SOP dengan hasil yang baik. 16 VIII. RUJUKAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Kandarakis ED, Spina G, Kouli C, et al. Increased endothelin-1 levels in Woman with polycystic ovary syndrome and the beneficial effect of metformin therapy. J Clin Endocrinol Metab 2001; 86: 4666-73. Velazquez E, Acosta A, Mendoza SG. Menstrual cyclicity after metformin therapy in polycystic ovary syndrome. Obstet Gynecol 1997; 90: 392-5. Dunaif A. Insulin resistance and the polycystic ovary syndrome: mechanism and implications for pathogenesis. Endocr Rev 1997; 18: 774-800. Jakubowicz DJ, Iuorno MJ, Jakubowicz S. Effects of metformin on early pregnancy loss in the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87: 524-29. Hopkinson ZE, Sattar N, Fleming R et al. Polycystic ovarian syndrome: the metabolic syndrome comes to gynaecology. BMJ 1998;317: 329-33. Fleming R, Hopkinson ZE, Wallace AM, et al. Ovarian function and metabolic factors inj woman with oligomenorrhea treated with metformin in a randomized double blind placebocontrolled trial. J Clin Endocrinol Metab 2002; 87: 569-74. Ehrman DA, Barnes RB, Rosenfield RL. Polycystic ovary syndrome as a form of functional ovarian hyperandrogenism due to dysregulation of androgen secretion. Endocr Rev 1995; 16:322349 Junter MH, Sterrett JJ. Polycystic ovary syndrome: it’s not just infertility. American family phycian 2000. Legro RS. Diabetes prevalence and risk factors in polycystic ovary syndrome. Obstetrics and Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 99-109. Poretsky L, Cataldo NA, Rosenwaks Z, et al. The insulin-related ovarian regulatory system in helath and disease. Endocr Rev 1999; 20: 535-82. Zacur HA. Polycystic ovary syndrome, hiperandrogenism, and insulin resistance. Obstetrics and Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 21-33 Speroff L, Glass RH, Kase NG. Anovulation and the polycystic ovary. In: clinical gynecologic endocrinology and infertility, 5th ed. Baltimore: The Williams and Wilkind Company, 1999, 487521. Iuorno MJ, Nestler JE. Insulin-lowering drugs in polycystic ovary syndrome. Obstetrics and Gynecology Clinics of North America 2001; 28: 153-64. Benarto J, Kadarusman Y, Jacoeb TZ. Pengaruh metformin terhadap perkembangan folikel ovarium dan siklus haid pada kasus sindrom ovarium polikistik resisten insulin. Kumpulan Makalah PIT FER 2002. Papunen LCM, Koivunen RM, Ruokonen A, et al. Metformin therapy improves the menstrual pattern with minimal endocrine and metabolic effects in women with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 1998; 69: 691-701. Ibanez L, Valls C, Ferrer A, et al. Sensitization to insulin induces ovulation in nonobese adolescents with anovulatory hyperandrogenism. J Clin Endocrinol Metab 2001; 86: 3595-98. Glueck CJ, Phillips H, Cameron D, et al. Continuing metformin throughout pregnancy in woman with polycystic ovary syndrome appears to safely reduce first-trimester spontaneous abortion: a pilot study. Fertil Steril 2001; 75: 46-52. Craig LB, Ke RW, Kutteh WH. Increased prevalence on insulin resistance in women with a history of recurrent pregnancy loss. Fertil Steril 2002; 78: 487-490 Jakubowcz DJ, Seppala M, Jakubowcz S, et al. Insulin reduction with metformin increases luteal phase serum glycodelin and insulin-like growth factor-binding protein 1 consentrations and enhances uterine vascularity and blood flow in the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab; 86: 1126-33. 17