Date : Friday, March 20, 2009 - Kebijakan Kesehatan Indonesia

advertisement
Publication : Thejakartapost.com
Date : Friday, March 20, 2009
Page : -
Circulation : -
Only 30% of RI pharmacists are certified
Yuli Tri Suwarni , The Jakarta Post , Bandung | Fri, 03/20/2009 1:12 PM | The
Archipelago
Only 30 percent of the at least 27,000 pharmacists working across Indonesia posses a
certificate declaring their competency, an official with the Association of Indonesian
Pharmacy Graduates (ISFI) has said.
Speaking to journalists here Thursday, secretary of the association, Arel ST Iskandar,
said this was mainly due to the fact that official certification for pharmacists had only
been available in the country since 2006.
Thanks to the certification program, he said, the gap in quality between certified and
uncertified pharmacists can now be clearly seen, Arel said on the sidelines of
celebrations to mark the 50th anniversary of the education of pharmacists in Indonesia,
at Padjadjaran University.
Arel added that in a bid to help improve the competence of the certified pharmacists his
association would also implement the so-called Pharmacist Professional Competence
Certification (SKPA) that could be obtained through joining seminars and tests of
competence.
"ISFI is to issue the certificates and provide (the recipients) with compulsory workshops
to make sure that they are really competent as pharmacists," Arel said.
Arel also said that apart from the competency of pharmacists, other problems include
the limited number of pharmacies possessing licenses by the ISFI which assure that the
drugs they sell meet the required standards.
He said only 20 percent of at least 10,100 pharmacies nationwide have the licenses. Most
of those without a license, he added, operate outside Java in places like Kalimantan and
Papua, or other regions where there are no pharmacy colleges.
"Pharmacies wanting to obtain licenses from the association must have certified
pharmacists working with them," Arel said.
Publication : Suara Karya
Date : Tuesday, March 24, 2009
Page : -
Circulation : -
KESEHATAN
Dokter Jangan Jadi "Komisioner"
Perusahaan Farmasi
Selasa, 24 Maret 2009
JAKARTA (Suara Karya): Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari meminta para
dokter untuk bersikap lebih profesional, dengan tidak menjadi "komisioner" dari
perusahaan farmasi dan alat kesehatan. Sikap menggunakan obat dan alat kesehatan
yang memberi komisi paling besar itulah yang membuat biaya pengobatan di Indonesia
menjadi sangat mahal.
"Saya sudah rekomendasikan, misalnya, alat stent untuk jantung yang murah dan
bermutu, loh kok banyak dokter yang pakai stent merek tertentu yang ternyata kasih
komisinya besar. Bahkan, ada perusahaan yang berani kasih komisi Rp 10 juta untuk
satu alat stent yang dipergunakan dokter. Sehingga harga yang harus dibayar
masyarakat menjadi mahal," kata Menkes dalam acara penyerahan bantuan alat
kesehatan balloon dan stent untuk 14 rumah sakit, di RS Jantung Harapan Kita, Senin
(23/3).
Menkes menjelaskan, sejak awal 2008 lalu pihaknya telah memberikan bantuan alat
stent untuk penderita jantung yang harganya sepertiga lebih murah dibandingkan
dengan stent yang dipakai selama ini, tetapi memiliki kualitas setara. Namun
kenyataannya, tetap banyak dokter yang menggunakan stent di luar bantuan tersebut
lantaran komisi yang diberikan sangat "menggiurkan".
"Bukannya saya tak suka para dokter menjadi kaya, tetapi jangan kebangetan. Sebab,
biaya pengobatan kan jadi mahal," ujarnya.
Program pembagian balonisasi (ballooning) dan pemasangan stent (stenting) bertujuan
selain untuk memberikan layanan kepada masyarakat, juga untuk menurunkan biaya
tindak nonbedah pada jantung. Sebab, biaya tindak nonbedah jantung di Indonesia,
menurut Menkes, paling mahal di Asia. Di Malaysia dan Singapura harganya lebih
murah.
Untuk itu, Menkes berharap rumah sakit melakukan kontrol lebih ketat atas alat-alat
kesehatan yang dipergunakan para dokternya sehingga biaya pengobatan bisa lebih
terkontrol. "Rumah sakit harus membuat renumerasi yang lebih adil agar dokter yang
benar-benar bekerja mendapatkan penghasilan yang sesuai, bukan dari komisi," kata
Menkes.
Publication : Suara Karya
Date : Tuesday, March 24, 2009
Page : -
Circulation : -
Belajar dari kejadian itu, Siti Fadilah Supari menilai, program bantuan ballooning dan
stenting pada pembuluh darah koroner untuk masyarakat pada 2008 terbilang gagal.
Pasalnya, tingkat serapan pemakaian alat bantuan masih sangat minim. "Sakit hati saya
melihat minimnya alat yang digunakan. RS minta alatnya banyak, tapi yang digunakan
sedikit," ucap Menkes.
Karena amat kecewa atas rendahnya utilisasi pelayanan dan pemanfaatan, Menkes
mengancam akan mengalihkan bantuan alat kesehatan jantung ke RS Cipto
Mangunkusumo saja, tidak lagi disimpan di RS Harapan Kita.
Dari paparan Direktur Penunjang Medis RS Harapan Kita, Nur Haryono, tingkat
utilisasi memang amat rendah. Dari lima rumah sakit yang meminta bantuan alat
kesehatan jantung pada 2008, baru dua RS yang memberikan laporan, yaitu RS Harapan
Kita dan RS Adam Malik. Tiga RS lainya, yakni RS Fatmawati, RSCM, dan RS Hasan
Sadikin Bandung, belum memberikan laporan.
Cerminan rendahnya utilisasi bisa terlihat dalam laporan penggunaan alat kesehatan
tahun 2008. Di RS Jantung Harapan Kita, dari 500 gazele stent yang diminta ke Depkes,
hanya 32 yang dipakai sepanjang tahun 2008. Begitu juga dengan power line balloon.
Dari 350 yang diminta, hanya 18 yang dipakai. Pada alat biometrix des, dari 147 yang
diminta, hanya 3 yang digunakan. Data kurang lebih serupa juga tercantum dalam
laporan RS Adam Malik.
Bagi Menkes, laporan itu amat janggal. Dia menilai, seharusnya tidak wajar apabila
utilisasi alat kesehatan dilaporkan amat rendah. Pasalnya, penderita jantung koroner di
masyarakat yang membutuhkan intervensi nonbedah dengan ballooning dan stenting
melonjak tajam dari tahun ke tahun.
"Saat ini penyakit jantung dan pembuluh darah menjadi penyebab kematian nomor satu
di Indonesia dan penyebab kecacatan utama pada usia produktif," ujar Menkes
menambahkan. (Tri Wahyuni)
Publication : Okezone.com
Date : Tuesday, March 24, 2009
Page : -
Circulation : -
Menkes Kritik Dokter yang Hanya Cari Untung
03.24.09
JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari mengkritik kebijakan para
dokter yang masih mengambil keuntungan dari penjualan alat-alat kesehatan kepada
pasien.
Hal tersebut akhirnya dapat memberatkan pasien dari segi keuangan.”Para dokter
harus profesional,bukan komisioner yang selalu meminta komisi,” katanya dalam
pengarahan dalam acara ”Revitalisasi Program Bantuan Alat Kesehatan Balloon and
Stent” di Rumah Sakit (RS) Jantung Harapan Kita,Jakarta kemarin.
Selain itu, lanjut Siti Fadilah, dokter harus memberikan keterangan yang jujur pada
pasien, termasuk soal berapa biaya yang harus mereka bayar.Para dokter juga harus
menyampaikan hak-hak masyarakat miskin dengan memberikan pilihan-pilihan harga
sesuai kemampuan pasien.
”Yang jelas kalau saya berikan gratis, ya … gratis.Jangan sengaja menutup- nutupinya
biar pasien membayar lebih,”tandasnya. Jika alat gratis yang diberikan pemerintah, kata
Menkes, dokter dilarang keras menggunakan produk selain kemasan dari pemerintah.
Apalagi mengejar komisi dari produk dari perusahaan lain.”Ngono ya ngono tapi ojo
ngono (begitu ya begitu, tapi jangan sebegitunya).
Kalau rakyat tidak mampu jangan diberikan itu (produk mahal),”ujarnya. Hal itu yang
membuat biaya berobat di dalam negeri terhitung mahal. Pasien mampu asal Indonesia
akhirnya memilih berobat di luar negeri,semisal pengobatan penyakit jantung
koroner.”Program ini lebih mahal di Indonesia dibandingkan negara lain, itu (yang
membuat) kenapa pasien banyak ke luar negeri,”ungkap Siti Fadilah.
Pemerintah kemarin memberikan bantuan alat kesehatan balloon dan stent bagi pasien
penderita penyakit jantung koroner di 14 rumah sakit. Program ini sebagai salah satu
upaya penanggulangan penyakit jantung koroner melalui tindakan intervensi nonbedah
(balloning),dan pemasangan stent pada pembuluh darah koroner.
Rumah sakit (RS) penerima bantuan, yaitu RS Jantung Harapan Kita, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo,RSUP Fatmawati, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Adam Malik
Medan,RS Dr Soetomo Surabaya,RS Dr Kariadi Semarang, RS Sardjito Yogyakarta,dan
RS Sanglah Denpasar.
Lainnya adalah RS Wahidin Sudirohusodo Makassar,RS Dr M Djamil Padang,RS Dr
Moh Hoesin Palembang,RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru,dan RSU HA Wahab Sjahranie
Publication : Okezone.com
Date : Tuesday, March 24, 2009
Page : -
Circulation : -
Samarinda. Menurut Siti Fadilah, dengan adanya bantuan balloon dan stent dari
pemerintah, prosedur penanganan penyakit jantung dengan cara melebarkan
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah diharapkan akan lebih terjangkau.
Untuk rakyat miskin bahkan gratis.Saat ini stent dan balloon masih diimpor dan merek
yang beredar di Indonesia, jumlahnya ratusan.”Harganya mahal,bisa Rp100 juta,kalau
dipasang lima bisa Rp500 juta,”kata Siti Fadilah.Harga alat yang tidak terjangkau,
menyebabkan angka kematian akibat jantung koroner sangat tinggi.
Maka itu,pemerintah membuat kebijakan dengan mengemas alat itu sehingga harganya
lebih murah dan kualitasnya tetap bermutu. Sementara itu, Direktur Penunjang Medis
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Nur Haryono mengatakan, program
bantuan alat stent dan balloon bagi penderita penyakit jantung perlu lebih
disosialisasikan kepada dokter- dokter kardiologi.
Alasannya, masih terdapat banyak kesalahpahaman mengenai bantuan ini, apakah
hanya ditujukan untuk masyarakat miskin saja, atau juga dapat digunakan untuk pasien
umum lainnya baik masyarakat miskin maupun menengah.
SINDO (rendra hanggara)
Download