ABSTRAK PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PENJUALAN TANAH PARTIKELIR YANG BUKAN MILIKNYA (Studi Putusan Nomor 923/Pid.B/2012/PN.TK) Oleh Rommy Primatama, Tri Andrisman, Diah Gustiniati email: [email protected] Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguraikan secara jelas mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya yaitu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 385 ke-1 KUHP dan dihukum selama 10 (sepuluh) bulan, yang didasarkan pada unsurunsur pidana yang melekat pada perbuatannya, selain itu tidak terdapat adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi terdakwa atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dasar hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya terdiri dari beberapa aspek yuridis dan non yuridis. Selain itu, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kata kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Penjualan Tanah, Partikelir ABSTRACT THE LIABILITY CRIME OF PLAYERS THE SALE OF PRIVATE LAND THAT IS NOT HIS (Study of Decision Number 923/Pid.B/2012/PN.TK) By Rommy Primatama, Tri Andrisman, Diah Gustiniati email: [email protected] The purpose of this study is to clearly outline the responsibilities of the criminal sale of private land that is not his judge and basic considerations in decisions to criminal sale of private land that is not his. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the accountability of criminal sale of private land that is not his is proven legally and convincingly guilty of violating Article 385 of the Criminal Code to - 1 and sentenced to ten (10) months, which is based on the elements of criminal attached to his actions, other than that there has been no justification or an excuse for the accused to the criminal deeds he has done , so that the defendant accountable for his actions. Basic judges convict on criminal sale of private land that does not belong consists of several aspects of judicial and non-judicial. In addition, the judge should not be dropped unless a criminal to the at least two valid evidence he gained confidence that a crime actually occurred and that the defendant is guilty of doing it. Keywords: Criminal Liability, Land Sales, Private. I. Pendahuluan Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hakhak tersebut di atas akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Permasalahan pertanahan di Indonesia tidak hanya terjadi pada sengketa lahan antara penduduk dengan badan usaha ataupun sebaliknya, akan tetapi penjualan dan pengakuan tanah yang nyata-nyata secara hukum adalah milik orang lain masih sering terjadi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh terdakwa Sahala Lumban Gaol yang menjual dan mengakui tanah milik saksi korban Hermine Hutabarat sebagai miliknya walaupun tanah tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Terdakwa Sahala Lumban Gaol didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar ketentuan Pasal 385 ke-1 KUHP, yang menentukan bahwa “Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak tanah yang telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain”, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Terdakwa dalam perkara ini dinyatakan bersalah melanggar ketentuan Pasal 385 ke-1 KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Penjatuhan pidana penjara terhadap terdakwa selama 10 (sepuluh) bulan terlihat belum optimal apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 385 ke-1 KUHP serta lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan. Hal ini disebabkan karena dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, bahwa majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pidana selalu menggunakan sistem undangundang secara negative, sedangkan dalam undang-undang sendiri yaitu Pasal 385 ke-1 KUHP pidana penjara yang diancam paling lama empat tahun, mengandung pengertian bahwa terdakwa tidak boleh dihukum melebihi empat tahun. Ringannya putusan pidana oleh majelis hakim bila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum merupakan fenomena yang sering dijumpai dalam setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pidana penjara yang harus dijalani oleh terdakwa tersebut dirasakan belum mampu memberikan rasa keadilan terutama dilihat dari kerugian saksi korban akibat perbuatan terdakwa selama tanah tersebut dikuasai dan dimanfaatkan oleh terdakwa, hal tersebut ternyata tidak menjadi pertimbangan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka peneliti ingin mengetahui secara lebih mendalam mengenai tindak pidana penjualan tanah orang lain yang dituangkan dalam judul penelitian “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Penjualan Tanah Partikelir yang Bukan Miliknya (Studi Putusan Nomor 923/Pid.B/2012/PN.TK)”. II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Penjualan Tanah Partikelir yang Bukan Miliknya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pertanggungjawaban menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat, melawan hukum dan kesalahan adalah unsurunsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat dan saling terkait.1 Berdasarkan pendapat di atas, dapat diberikan suatu batasan pengertian mengenai kesalahan yaitu kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap si pelaku karena telah melakukan tindak pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan mengandung unsur pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Tentang kesalahan itu terdapat dua macam bentuk atau corak yaitu kesengajaan dan kealpaan, dalam hal kesengajaan dapat dikaji dengan dua teori yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan. Berkaitan dengan dipertanggungjawabkannya 1 dapat Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 1995. hlm. 96. seseorang yang melakukan tindak pidana khususnya dalam penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya, bahwa di dalam KUHP, secara umum ditentukan dengan cara negatif, yaitu dalam ketentuan mengenai pengecualian hukuman. Pengecualian hukuman itu sendiri berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana, tidak dijatuhi hukuman atau dikecualikan dari hukuman. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan tertentu, dengan adanya alasan-alasan tertentu ini hukuman pidana seseorang menjadi hapus/ditiadakan walaupun sebenarnya ia telah terbukti melakukan suatu tindak pidana. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, yaitu wawancara dengan Fx. Supriyadi mengemukakan bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut dan kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh perbuatan tersebut.2 2 Fx. Supriyadi. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. Hasil wawancara pada tanggal 9 Desember 2013. Ditambahkan oleh Fx. Supriyadi, bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan perbuatannya yang dilarang undangundang, secara melawan hukum dan tidak dibenarkan menurut pandangan masyarakat. Kesalahan adalah unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat.3 Berdasarkan hasil wawancara dengan Supriyati, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Penjatuhan sanksi pidana masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya didasarkan pada ketentuan Pasal 385 ke-1 KUHP, hal ini didasarkan pada unsur-unsur pidana yang melekat pada perbuatan terdakwa.4 Berkenaan pertanggungjawaban pidana dalam perkara ini, maka menurut Eddy Rifai bahwa 3 Fx. Supriyadi. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. Hasil wawancara pada tanggal 9 Desember 2013. 4 Supriyati. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Wawancara pada tanggal 10 Desember 2013. pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya, merupakan bentuk penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela. Sehingga dijalaninya pidana oleh pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang harus diterima oleh pelaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan yang berlaku dan oleh karena itu, bagi pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan pelaku tindak pidana tersebut nyata-nyata mempunyai maksud menguasai hak milik atas tanah kepunyaan orang lain demi menguntungkan diri sendiri dengan cara menyerobot.5 Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya yaitu dengan sanksi pidana dan upaya penghukuman terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan supaya jera dan tidak melakukan lagi kejahatan tersebut. Penghukuman terhadap pelaku tindak pidana dilakukan juga dimaksudkan memberikan kepastian 5 Eddy Rifai. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2013. hukum dan perlindungan hukum hak milik atas tanah. Dalam putusan Majelis Hakim tersebut di atas, dapat dilihat bahwa terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penjualan tanah dan menjualnya sebagaimana diatur dalam Pasal 385 ke-1 KUHP dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang tersebut dirasakan kurang optimal apabila dibandingkan dengan ancaman pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 385 ke-1 KUHP yaitu dengan pidana penjara kurang dari 4 (empat) tahun. Kurang optimalnya pidana penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang diderita korban, baik dari segi materi maupun non materi, sedangkan Majelis Hakim sendiri tidak menetapkan terdakwa untuk mengganti kerugian materi yang telah diderita korban dengan pidana denda. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya dinyatakan terbukti secara sah dan bersalah, karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku nyata-nyata bertentangan dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Dengan demikian, nyata bahwa adanya kaitan psikis antara pelaku dan perbuatan, yaitu adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku, di mana pelaku dengan sengaja menyerobot dan menjual tanah milik orang lain dengan maksud menguntungkan diri sendiri, sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain. Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Tanah Partikelir yang Bukan Miliknya Fx. Supriyadi7, menerangkan mengenai beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor : 923/Pid.B/2012/ PN.TK yaitu didasarkan pada keterangan saksi, keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan adanya barang bukti yang satu dengan lainnya saling bersesuaian, maka dapatlah diperoleh fakta hukum sebagai berikut : a. Bahwa pada tahun 1987 terdakwa pernah digugat ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang oleh Ny. Hermine Hutabarat atas kepemilikan tanah di Jl. Durian 2 Kelurahan Waydadi Kecamatan Sukarame Bandar Lampung seluas 2000 m2. b. Bahwa Ny. Hermine Hutabarat menggugat terdakwa karena terdakwa mengklaim bahwa tanah seluas 2000 m2 yang diakui milik Ny. Hermine Hutabarat adalah bagian dari tanah milik terdakwa sesuai dengan sertifikat Nomor: M.4298/Kd atas nama Karto Bejo yang dikuasai oleh terdakwa. c. Bahwa atas gugatan tersebut pada pengadilan tingkat pertama terdakwa dimenangkan sebagai pemiliknya, kemudian penggugat banding dan putusan banding Soedarto menyatakan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobyektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut : 1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya; 2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya; 3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.6 Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48 6 Sudarto. Loc cit. 7 Fx. Supriyadi. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. Hasil wawancara pada tanggal 9 Desember 2013. terdakwa dikalahkan, dan atas putusan banding tersebut kemudian terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi dan putusan kasasi menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dengan kata lain terdakwa kalah. d. Bahwa atas dasar putusan atas gugatan perdata pada tingkat Pengadilan Negeri Tanjungkarang kemudian dilakukan eksekusi penyerahan obyek sengketa kepada terdakwa hingga saat ini tanah obyek sengketa masih terdakwa kuasai. e. Bahwa setelah mengetahui kasasinya ditolah oleh Mahkamah Agung, terdakwa tetap menguasai tanah obyek sengketa bahkan pada tahun 2007 sebagian dan tanah obyek sengketa tersebut oleh terdakwa dijual/diganti garapan kepada Sdr. Aris seluas 400 m2 dengan harga Rp. 14.000.000,- dan kepada istrinya saksi Hendriansyah seluas kurang lebih 400 m2 seharga Rp. 40.000.000,padahal terdakwa mengetahui bahwa seharusnya tanah seluas 2000 m2 yang menjadi obyek sengketa seharusnya diserahkan kepada Ny. Hermine Hutabarat. Menurut Supriyati bahwa pertimbangan hakim dalam perkara ini didasarkan pada dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam perkara ini terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara tunggal, yakni suatu teknik dakwaan yang disusun dengan satu pasal yang didakwakan, maka dipertimbangkan terlebih dahulu sesuai dengan faktafakta yuridis yang diketemukan di depan persidangan.8 Eddy Rifai menyatakan berdasarkan pertimbangan hakim dalam perkara ini, bahwa pertimbangan tersebut sudah tepat, hal ini terlihat bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan alat bukti yang sah, hal ini dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Melihat alat bukti yang dihadirkan di persidangan dan dinyatakan sah menurut ketentuan undang-undang yang berlaku, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Selain alat bukti, maka Majelis Hakim harus mengaitkan runtutan peristiwa yang terjadi dan membuktikannya berdasarkan keterangan saksi serta dikaitkan dengan unsur-unsur yang melekat dan memenuhi dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Apabila semua unsur terpenuhi, maka tidak ada alasan bagi Majelis Hakim untuk menuntut bebas terdakwa dari jeratan hukum.9 Pertimbangan hukum oleh digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara yang dilakukan oleh 8 Supriyati. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Wawancara pada tanggal 10 Desember 2013. 9 Eddy Rifai. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2013. terdakwa Sahala Lumban Gaol, yaitu terbukti melanggar 385 ke-1 KUHP, memang sudah tepat apabila terdakwa dijerat dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya, karena unsur-unsur pidana yang termuat dalam pasal tersebut telah terpenuhi dan sesuai dengan perbuatan terdakwa. Pertimbangan hakim dalam perkara pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya oleh terdakwa Sahala Lumban Gaol, menurut penulis bahwa secara prosedural telah mencakup aspek antara lain mengenai peristiwanya, yaitu terdakwa Sahala Lumban Gaol melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya. Selanjutnya, dilihat dari aspek hukumnya, yaitu perbuatan yang dilakukan terdakwa Sahala Lumban Gaol merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa dinyatakan bersalah dan dapat dipidana; serta mengenai pidananya, yaitu bahwa terdakwa Sahala Lumban Gaol memang dapat dipidana sesuai dengan unsur-unsur yang didakwakan. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bagi pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya yaitu dengan cara meruntut peristiwa yang terjadi dan membuktikannya dengan alat bukti yang diajukan dalam persidangan, apabila peristiwa yang terjadi tersebut telah sesuai dengan alat bukti dan unsur-unsur pidana yang didakwakan sebagai aspek hukumnya, maka tidak ditemukan alasan hukum sebagai alasan pemaaf atas perbuatan terdakwa, dan terdakwa ternyata mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, karenanya terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa dasar hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya terdiri dari beberapa aspek yuridis dan non yuridis. Aspek yuridis yaitu tuntutan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, alat bukti, serta fakta hukum yang terungkap selama proses pemeriksaan persidangan. Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek yuridis, namun hakim juga menentukan perkara berdasarkan pada hal-hal non yuridis sebagaimana hakim dalam menjatuhkan perkara berdasarkan pada instink dan instuisi dianggap oleh hakim putusan 10 (sepuluh) bulan merupakan putusan yang cukup bagi pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir dengan melihat pada keadaan terdakwa dan tuntutan Jaksa yaitu 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan, dengan demikian pertimbangan hakim berdasarkan pada teori pendekatan seni dan instuisi, karena putusan ini menurut hakim sudah sesuai dengan pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir dan hakim hanya melihat kepentingan terdakwa semata. Hakim dalam menjatuhkan putusan ini bersifat diskresi, karena berdasarkan kebebasan hakim mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Lebih lanjut, hakim juga melihat dari sudut lain bahwa bila terbukti bersalah, maka putusan tidak boleh ½ (setengah) dari tuntutan Jaksa, dan hal ini tampaklah putusan hakim berdasarkan pada teori pengetahuan yang ada padanya. Penjatuhan pidana kepada terdakwa bukanlah dimaksudkan untuk balas dendam dari negara melainkan bertujuan untuk preventif, represif dan edukatif, di mana pada akhirnya diharapkan setelah terdakwa selesai menjalani pidananya dapat memperbaiki dirinya sehingga dapat diterima dan menyesuaikan diri kembali dalam pergaulan di masyarakat sehari-hari. Selain itu, dalam proses pembuktian terlihat bahwa hakim tidak menemukan halhal yang dapat menangguhkan penahanan atas diri terdakwa, sehingga perlu diperintahkan supaya terdakwa tetap ditahan. III. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya yaitu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 385 ke-1 KUHP dan dihukum selama 10 (sepuluh) bulan, yang didasarkan pada unsur-unsur pidana yang melekat pada perbuatannya, selain itu tidak terdapat adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi terdakwa atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. 2. Dasar hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan tanah partikelir yang bukan miliknya terdiri dari beberapa aspek yuridis dan non yuridis. Aspek yuridis yaitu tuntutan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, alat bukti, serta fakta hukum, sedangkan aspek non yuridis dapat dilihat dari instink dan instuisi hakim berupa keyakinan dan pengetahuan yang ada padanya, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat diberikan saran dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Kasus penjualan tanah dari tahun ke tahun masih menjadi dilema bagi masyarakat di Indonesia, untuk itu Pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia hendaknya segera melakukan revisi atau membuat ketentuan hukum pertanahan yang lebih bersifat lex specialis, sehingga dijadikan sebagai senjata yang ampuh untuk meminimalkan kasus pertanahan di Indonesia. 2. Para Pemilik tanah pun disarankan agar melakukan penguasaan atas tanah yang dimiliki, seperti memagari tanah tersebut dan mengolahnya sesuai yang direncanakan. Hal tersebut terkandung maksud agar apabila ada orang atau pihak-pihak yang bukan pemilik akan mengurungkan niatnya untuk masuk dan atau mengklaim tanah tersebut miliknya. DAFTAR PUSTAKA Afif, Adi Zakaria. 2001. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta. Bandung. Arief, Barda Nawawi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Prenhalindo. Jakarta. Dewantara, Nanda Agung. 1997. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. Aksara Persada Indonesia. Jakarta. Hamzah, Andi. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. PT Yarsif Watampone. Jakarta. Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 923/Pid.B/2012/ PN.TK. Prayitno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung. Projodikoro, Wirjono. 2003. Asasasas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Jakarta. Poernomo, Bambang. 1997. Asasasas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1997. DasarDasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta. Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Gema Insani Press. Jakarta. Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Soimin, Soedharyo. 2001. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika. Jakarta. Murod, Rusmadi. 2007. Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan. CV Mandar Maju. Bandung. Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Press. Jakarta. Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Sinar Grafika. Jakarta. Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. UII Press. Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.