View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemilihan jodoh adalah hal yang sangat penting dalam perkawinan
karena pada dasarnya proses pemilihan jodoh tergantung dari sistem
yang dianut oleh masyarakat yang berbeda-beda dari masyarakat ke
masyarakat lainnya untuk membentuk suatu keluarga.
Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan
keluarga bermula dari peristiwa perjodohan atau perkawinan. Keluarga
adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat
oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Dan
setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di
dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus
dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi keluarga,
jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus
dilakukan di dalam atau di luar keluarga.
Selain fungsi keluarga adapula sistem keluarga, yang dimaksud
sistem keluarga di sini meliputi proses pembentukan keluarga (sistem
pelamaran dan perkawinan), membina kehidupan dalam keluarga (hak
1
dan kewajiban suami, istri, dan anak), pendidikan dan pengasuhan anak,
putusnya hubungan keluarga (perceraian).
Perjodohan merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah
perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik
secara sosial biologis, psikologis maupun secara sosial.
Demikian pula pengaruh keluarga sangat penting bagi kehidupan
sosial, bukan saja sebagai wadah hubungan suami istri atau anak-anak
maupun orang tua, juga sebagai rangkaian tali hubungan antara jaringan
sosial, anggota-anggota keluarga serta jaringan yang lebih besar lagi,
yaitu masyarakat, oleh karena itu masyarakat juga menaruh perhatian
pada masalah itu menyangkut perpaduan suatu keluarga yang akan
menikah dihubungan dengan jarigan-jarigan lain yang lebih jauh terkait,
kedua keluarga itu menpunyai kedudukan dalam sistem pelapisan yang
semuanya tergantung pada siapa, perkawinan keduanya adalah petunjuk
terbaik bahwa garis keturunan kelurga yang satu akan memandang yang
lainnya, secara sosial dan ekonomi. Oleh karena itu suatu perkawinan
menimbulkan berbagai macam akibat juga melibatkan anak keluarga
termasuk suami istri itu sendiri.
Selain itu manusia adalah mahkluk sosial yang selama hidupnya
banyak berinteraksi dengan orang lain dari pada menyendiri karena
kodratnya manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dengan kodrat
2
keterbatasan itu manusia mempunyai naluri yang kuat untuk saling
membutuhkan
sesamanya
dan
saling
mengisi,
melengkapi
dan
menyempurnakan keterbatasan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa
berhubungan dan berinteraksi antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya, maka dari itu adanya hubungan saling tergantung
dengan sesamanya ini di sebabkan kerana adanya interaksi sosial yang
merupakan proses sosial, dan syarat-syarat yang utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial, maka dari interaksi sosial tersebut lahirlah
reaksi-reaksi sosial sebagai akibat adanya hubungan-hubungan
yang
terjadi dan dari reaksi-reaksi itu mengakibatkan bertambah luasnya sikap
dan tindakan seseorang (Soerjono Soekanto, 1999: 114).
Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perjodohan atau perkawinan, mendefinisikan perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Handayani, 2005:41).
Dan pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun
sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia seperti ini secara fisik
maupun mental sudah mampu atau sudah ada kesiapan memikul
tanggung jawab sebagai suami isteri dalam rumah tangga.
3
Untuk itu dalam melangsungkan suatu perjodohan maka perlu
mempunyai persiapan dan kematangan baik secara biologis, psikologis
maupun sosial ekonomi.
Desa
paria
Namun masih ada sebagian masyarakat di
Kecamatan
duampanua
Kabupaten
pinrang
yang
melangsungkan perjodohan yang dipengaruhi karena adanya beberapa
faktor-faktor yang mendorong mereka, yaitu sebagai berikut :
a. Faktor ekonomi
Perjodohan ini terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Faktor kemauan sendiri
Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling
mencintai dan adanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau
media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai
pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan perjodohan di usia
muda untuk melangsunkan sebuah ikatan yaitu perkawinan.
c. Faktor pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua,
anak dan masyarakat, akan pentingnya pendidikan serta kurangnya
pengetahuaan akan makna dan tujuaan sebuah perjodohan sehingga
menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya.
4
d. Faktor keluarga
Biasanya orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk
berjodoh dengan kelurganya atau kerabat yang sangat dikenalnya untuk
melangsungkan sebuah perkawian
secepatnya padahal umur mereka
belum matang untuk melangsungkan perkawinan, karena orang tua dan
keluarga khawatir anaknya
melakukan hal-hal yang tidak di inginkan
karena anak laki-laki atau perempuannya berpacaran yang sangat
lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. Hal ini merupakan hal
yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai
anak tidak akan merasa tenang sebelum anak tersebut menikah.
Dalam proses pemilihan jodoh yang saling berkaitan adalah
keluarga calon pengantin. Kedua jaringan keluarga yang akan menikah di
hubungkan, oleh karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh
menyangkut kedua keluarga yang akan menikah dengan siapa karena
kedua keluarga itu saling membandingkan. Dimana ukurannya adalah
kira-kira sama. Baik secara ekonomi ataupun secara sosial.
Cara pemilihan jodoh dapat di ketahui melalui cara tawar –
menawar yang telah dikenal dalam sejarah perkawinan itu sendiri.
Perkawinan di maksudkan untuk mempererat hubungan keluarga, lebih
lagi kedua individu tersebut keluarga memikirkan bahwa perkawinan itu
suatu yang baik dan tujuannya bermanfaat bagi kedua belah pihak
5
maupun dari segi-segi lainnya yang berhubungan dengan tujuan
perkawinan. Seperti terpenting dalam perjanjian perkawinan oleh karena
itu dapat dipastikan bahwa semua system pemilihan jodoh anak
menunjukan kepada pernikahan homogeny sebagai hasil dari tawar –
menawar.
Artinya keluarga – keluarga yang kaya memandang dia sebagai
calon menantu yang baik bagi anak laki-laki mereka, sebaliknya begitu
juga jika keluarga yang kedudukannya lebih tinggi atau berkuasa.
Keluarga-keluarga lainnya pada tingkat itu memandang hal itu cocok.
Dan keluarga tidak perlu mengikat diri dengan keluarga yang serasi.
Dengan kata lain seperti yang disebut oleh William J.Goode dalam
bukunya : “Sosiologi Keluarga” dan memberi contoh orang tak berkerabat
dan miskin boleh saja menginginkan istri dengan kepribadian tinggi, tetapi
tak dapat menawarkan sesuatu yang cukup untuk menarik, baik gadis
maupun keluarganya agar menilai dia, karena mereka saja dapat mencari
suami dengan kualitas yang baik.
Meskipun disadari, perjodohan adalah hubungan yang permanen
antara laki-laki dan perempuan yang diikuti oleh masyarakat yang
bersangkutan berdsarkan atas peraturan perjodohan yang berlaku dalam
Suatu perkawinan untuk mewujudkan adanya keluarga dan memberikan
adanya keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka. Perjodohan
6
tidak hanya mewujudkan adanya hubungan antara mereka yang jodoh
saja tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan di antara kerabatkerabat dari masing-masing pasangan tersebut.
Perjodohan anak merupakan suatu peristiwa yang sangat penting
dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam
membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan
perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya
meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perjodohan akan
membentuk suatu perkawinan atau ikatan keluarga yang merupakan unit
terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan
perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara.
Tetapi pada masyarakat tertentu masalah pemilihan jodoh dan
perkawinan ini sangat sering dikaitkan dengan masalah agama,
keyakinan tertentu, adat istiadat tatacara dan kebudayaan tertentu, dan
sebagainya. Adapun proses pegaturan perkawinan menunjukkan lingkup
kemunkinan yang menarik. Beberapa masyarakat mengikuti suatu
peraturan tertentu dimana dua anak dari kelurga yang berbeda telah
ditentukan oleh kerabatnya menjadi pasangan suami istri, sehingga
pilihan-pilihan pribadi menjadi tidak perlu lagi. orang tua berhak mengatur
perkawinan
atau
tanpa
mempertimbangkan
keinginan
pasangan.
Khususnya didesa paria kecematan duampanua kabupaten pinrang,
7
dimana penduduknya sangat heterogen maka masalah pemilihan jodoh
dan perkawinan ini sangat menjadi kompleks.
Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga, suku bangsa
menpunyai khas sendiri dalam menpertahankan adat dan keluarga. Oleh
karena itu dirasa perlu adanya pelestarian norma lama atau hukum adat.
Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang Sistem
Perjodohan Anak di Desa Paria Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang Untuk itu penulis memperkecil ruang lingkup penelitian terbatas
pada lingkungan masyarakat yang bertempat tinggal di desa paria
kecamatan duampanua kabupaten pinrang.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang termuat pada latar belakang
masalah diatas. Maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut :
1.
Bagaimana peran orang tua dalam menentukan jodoh anak ?
2.
Faktor – faktor apa saja yang mendorong keluarga dalam
menentukan jodoh anak ?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas dan di landasi oleh
perasaan untuk memperaktekan ilmu yang telah di peroleh di bangku
8
kuliah dengan kenyataan di lapangan maka penulis menentukan tujuan
dan kegunaan sebagai berikut :
1.
Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui fungsi orang tua dalam menentukan
jodoh anak.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong
keluarga dalam menentukan jodoh anak.
2.
Manfaat Penelitian
a. Dapat menjadi bahan masukan bagi para keluarga dalam
menentukan jodoh anak.
b.
Dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi civitas
akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin khususnya oleh pengembang ilmu selanjutnya.
c.
Dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti yang lain yang
ingin mengetahui atau mengkaji obyek yang berkaitan
dengan penelitian ini.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.
Konsep sistem perjodohan dari sudut pandang sosiologi
Sebagai bahan pembahasan akan dibahas sistem perjodohan
dalam konteks ilmu-ilmu sosiologi. Seperti dalam buku sosiologi keluarga
oleh william J Goode (1985) di tuliskan bahwa pada dasarnya, proses
pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi, sistem
ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada
siapa yang mengatur transaksinya,bagaimana peraturan pertukarannya,
serta penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kwalitas.
Maksudnya adalah jika pihak keluarga kaya maka akan dinilai dengan
harga yang tinggi dan tawar- menawarpun dilakukan dari pihak keluarga
yang kaya juga. Sehingga tercipta suatu proses pernikahan. Bagitupun
sebaliknya, keluarga yang ekonomi menengah juga terjadi proses seperti
itu.
Dalam kebudayaan tiap masyarakat di dunia memiliki laranganlarangan terhadap pemilihan jodoh bagi aggota-anggotanya, perjodohan
dalam ilmu sosiologi termasuk dalam salah satu sistem kekerabatan yang
merupakan unsur kekeluargaan berupa organisasi sosial. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia arti jodoh adalah cocok, sesuai, pasangan,
sepadan, serasi dan setuju hatinya. Jadi yang dimaksud perjodohan
10
adalah suatu cara untuk mencari pasangan hidup seseorang dengan
landasan keserasian antara dua belah pihak. Di dalam masyarakat orang
bugis dari lapisan, terdapat pembatas dalam perjodohan. Yang
membatasi perjodohan tersebut adalah dilarangnya memilih jodoh
saudara kandung sendiri. Ada pendapat yang mengatakan kurang setuju
dalam masyarakat bugis untuk menikah dengan saudara sepupu dari
pihak ayah, saudara perempuan dari ayah atau ibu, atau wanita yang
lebih tua. Namun pantangan terhadap perkawinan seperti itu tidak ada.
Seperti yang di bahas oleh para sarjana sosiologi, A.W. Widjaya(1986)
menyebutkan bahwa “Keluarga adalah kelompok yang ada hubungan
darah atau perkawinan. Orang –orang yang termasuk keluarga itu ialah,
bapak dan anaknya”.
Dengan
kata
lain
keluarga
yang
dimaksud
disini
adalah
sekelompok manusia yang terdiri dari ibu, bapak, anak-anak, kakek dan
mencakup semua orang yang keturunan dari kakek nenekyang sama
termasuk keturunang masing-masing istri dan suami. Dalam arti kiasan,
istilah keluarga dipergunakan untuk sekelompok orang yang hidup
bersama atau sekelompok orang yang hidup bersama, atau sekelompok
orang yang hidup dalam suatu rumah besar (rumah keluarga).
Sedangkan dalam kamus sosiologi yang ditulis oleh Soerjono
Soekanto(2006) memberikan defenisi keluarga yaitu “Dua orang atau
11
lebih
yang
hidup
bersama
yang
mempunyai
hubungan
darah,
perkawinan, atau karena pengangkatan”. Berdasarkan penjelasan disini
dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah sekelompok manusia yang
sepakat hidup disuatu tempat dengan syarat-syarat berikut:
 Diikat oleh suatu perkawinan yang syah.
 Terdiri dari ayah, ibu, beberapa anak-anak dan biasa juga orangorang terdekat dengan
mereka.
 Menpunyai tempat tinggal sendiri yang menetap.
 Saling melakukan hubungan permanent.
 Ada terdapat perasaan saling melingdungi diantara anggotaanggotanya.
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa keluarga sebagai satu
kesatuan sosial terkecil
yang dipunyai oleh manusia sebagai mahluk
sosial. Sebuah kelurga adalah satuan kekerabatan yang juga merupakan
satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi,
dan mempunyai fungsi untuk bekembang baik, mensosialisasikan atau
mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya
merawat orang-orang tua mereka yang telah jompo. Umumnya sebuah
keluarga tersendiri atas seorang laki-laki dan seorang wanita dan
ditambahkan anak-anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah
yang sama.
12
Dengan demikian, terjadi hubungan yang saling membutuhkan
satu sama lain yang erat dan terjadi setiap waktu. Keluarga yang
melingkupi pribadi sepanjang bagian terbesar waktu kehidupan sosial
individu dapat menjanjikan kekuatan dan berfungsi juga mengontrol
anggotanya dalam setiap situasi.
Keluarga itu terdiri dari pribadi-pribadi, tetapi merupakan jaringan
sosial yang besar. Hal ini dijelaskan oleh William J.Goode(1985) dalam
bukunya yang berjudul “Sosiologi Keluarga” bahwa hubungan keluarga
cenderung lebih dekat dikarenakan individu mereka dekat, dengan
keluarganya.
“Kita selalu berada di bawah pengawasan saudara-saudara
kita
yang
menyarankan,
merasakan
bebas
memerintah,
untuk
membujuk,
mengartikan,
memuji
atau
mengancam, agar kita melakukan kewajiban yang telah
dibebankan kepada kita”.
Dengan kata lain bahwa keluarga adalah bagian terkecil dari
masyarakat dan individu dapat belajar bermula dari keluarga. Hanya
melalui kelurgalah masyarakat itu dapat memperoleh dukungan yang
diperlukan dari pribadi-pribadi. Sebaliknya, keluarga hanya dapat terus
bertahan jika didukung oleh masyarakat yang lebih luas jika masyarakat
itu merupakan suatu sistem kelompok sosial yang lebih kecil atau
13
sebagai suatu syarat agar keluarga itu dapat bertahan maka kedua
system itu harus berhubungan dalam banyak hal yang penting.
Sebagai bahasan selanjutnya adalah pembagian keluarga dari
sudut ilmu sosiologi. Secara garis besar dikenal adanya sitem pokok
pembagian keluarga Di Indonesia sistem keluarga ini dapat dibedakan
menjadi 3 macam menurut Hardijito Notopuro(1997) yaitu:
a. Sistem patrilineal murni;
dalam
bukunya
“Peran
seorang
yang
dijodohkan
dalam
keluarganya pada masa pembangunan diindonesia” menyebutkan bahwa
sistem patrilineal murni ialah:
“Sistem kekeluargaan dimana hubungan kekeluargaan
seseorng
itu
dilacak/diperhitungkan
melalui
garis
perjodohan pria saja. Ini berakibat bahwa setiap keturunan
dari garis ayah termasuk dalam hubungan kekeluargaan”.
Sistem perjodohan dalam kekeluargaan dimana hubungan
kekeluargaan seseorang itu dilacak/diperhitunkan melalui garis laki-laki
atau wanita,tergantun dari bentuk perkawinan yang telah dilakukan oleh
orang tuanya. Contohnya adalah sistem perjodohan dalam kekeluargaan
yang dijumpai masyarakat lampung pepedon dimana masyarakat disitu
masih dianggap sebagai suatu masyarakat yang bersifat tradisional.
14
b. Sistem Matrilineal
Sistem ini dijelaskan dalam bukunya peranan perjodohan
wanita didalam kekeluargaan dimana beliu menyebutkan bahwa
‘’Sistem
Matrilineal
adalah
sistem
perjodohan
dalam
kekeluargaan dimana kekeluargaan seseorang itu dilacak /
diperhitungkan melalui garis wanita saja. Ini berakibat
bahwa setiap keturunan dari garis ibu termasuk dalam
batas hubungan kekeluargaan’’.
c. Sistem perjodohan parental
Sistem ini juga dijelaskan dalam bukunya peranan perjodohan
menyebutkan bahwa
‘’Sistem perjodohan parental adalah sistem perjodohan
dimana
hubungan
kekeluargaan
seseorang
dilacak
/
diperhitungkan melalui garis baik ayah maupun keturunan
ibu’’.
Sebagai contoh dari hal ini adalah terdapat pada masyarakat jawa.
Disini orang menarik garis keturunan keatas melalui ayahnya serta ibunya
yang demikian pula apa yang dilakukan oleh ayah dan ibunya itu dan
seterusnya.

Struktur prinsip perjodohan anak
Oleh karena itu, dalam memandang proses-proses percintaan
dalam pemilihan jodoh, kiat melihat lagi bahwa masyarakat luas juga
menaruh perhatian akan hasilnya. Selalu kedua jaringan keluarga yang
15
akan dijodohkan dihubungkan karenanya, dan oleh karena itu juga
jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga itu
menpunyai
semacam
kedudukan
dalam
sistem
lapisan,
yang
keseimbangannya sebagian juga tergantung kepada siapa dengan siapa
yang akan dijodohkan untuk menjalankan suatu perkawinan antara
keduanya adalah petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu
memandang yang lainya kira-kira sama secara social atau ekonomis.
Berbicara masalah jodoh yang ideal adalah gampang-gampang
susah. Ini disebabkan masalah jodoh adalah masalah yang tak bisa
dirumuskan. Masalah jodoh adalah misteri dan sulit diduga. Oleh karena
itu sulit rasanya menentukan masalah jodoh menjadi suatu hal yang
ideal. Namun memang ada beberapa hal yang bisa menjadi pegangan,
supaya kelangsungan perjodohan dan rumahtangganya menjadi lebih
nyaman dan tidak banyak menemui kendala yang berarti. Namun inipun,
tidak ada jaminan akan berlangsungnya rumah tangga yang mulus tanpa
lubang dan duri.
Hal di atas sangat bisa dipahami mengingat, sebuah perjodohan
akan menyangkut masalah perwatakan, kepribadian, kultur, dan cara
pandang dua insan yang berlainan jenis dan asal-usulnya. Nah.., akibat
berperannya banyak faktor, maka masalah perjodohan adalah masalah
yang cukup rumit dan pelik. Untuk itu kalau toh kami bisa sedikit banyak
16
menjabarkan permasalahan keidealan sebuah perjodohan, maka ini
bukanlah sebuah keharusan. Namun mungkin tidak ada salahnya
menjadi sebuah pilihan yang pantas untuk dipertimbangkan.
Yang pertama ialah kesamaan dalam hal kepercayaan yang
dianutnya (Agama, adat-istiadat ataupun kultur yang dianutnya). Ini kami
tekankan menjadi hal yang utama, oleh sebab kepercayaan yang sudah
dianutnya adalah bagian dari sistem yang sudah mengakar pada diri dan
keluarganya. Perbedaan kultur dan kepercayaan tidak sedikit banyak
menjadi ganguan dan ganjalan pada sebuah rumah tangga yang berdiri
diatas dua kultur dan kepercayaan yang cukup tajam perbedaannya.
Perbedaan yang cukup tajam inilah yang sering berperan
menggoyahkan rumah tangga seseorang. Dan dalam banyak kasus,
penyebab goyahnya sebuah rumah tangga dalam kaitannya dengan
masalah ini, justru disebabkan campur tangan pihak luar. Kedua belah
pihak yang berada diluar ini, sering memberi pandangan yang berbeda
terhadap dinamika rumah tangga tersebut. Dan kemudian pada akhirnya,
jika kedua insan yang berada dalam rumah tangga tersebut tidak
mempunyai prinsip dan sikap akan masa depan rumah tangganya
sendiri, maka jalannya rumah tangga itupun banyak mengalami
goncangan dan ujian. Dan selanjutnya, nasib rumah tangga merekapun
akan berada di ujung tanduk. Dan kemudian, kalau tidak segera
17
menemukan prinsip dan sikap terhadap rumahtangganya sendiri, maka
tidak mustahil rumah tangga itupun mudah ambruk berantakan..
Kedua adalah kematangan diri tentang pandangan mengenai
lawan jenisnya. Hal ini berhubungan dengan dasar dan alasan kenapa
seseorang memilih jodoh untuk calon pendampingnya. Pertimbangan ini
menjadi sangat penting mengingat banyak orang salah atau keliru dalam
menetapkan dasar dan alasan memilih calon pendampingnya.
Sebab banyak orang menjadi keliru ketika kekayaan dan harta
benda yang mendasarinya, ternyata telah menjadi menyakitkan dalam
hidupnya. Bagaimana tidak sakit dalam hidupnya, karena ternyata
pendampingnya tidak tahu atau tidak mengerti cara memperlakukan
dirinya. Begitu juga dengan kecantikan dan kegantengan yang sangat
semu itu, jika ternyata prilakunya dan sikap-sikapnya jauh dari wajahnya?
Bagaimana
tidak
menyakitkan,
jika
ternyata
kegagahan
dan
kemolekannya itu, tidak segagah dan semolek membina rumah
tangganya ? dan seterusnya.
Lalu
pada
akhirnya,
ternyata
kematangan
diri
dalam
mempersiapan berumah tangga itu berada dalam jiwanya. Dalam jiwa
yang sudah siap mengabdi dan melindungi. Dalam jiwa yang mengerti
cara memperlakukan dan memahami istri atau suami. Dalam jiwa yang
sangat tahu betul cara membangun kebahagian yang sejati. Dalam jiwa
18
yang segera bisa menyikapi dan segera menempatkan diri, suatu ketika
harus melewati jalan terjal yang penuh duri. Dalam jiwa yang tahu betul
kewajiban dan hak sebagai istri atau suami. Dalam jiwa yang sadar betul
cara menjalani rumah tangga yang sejati. Jiwa yang sudah matang untuk
memasuki dunia yang sudah bukan menjadi dirinya sendiri.
Yang ketiga atau yang terakhir adalah sebuah rumah tangga
haruslah menjadi semangat untuk belajar mandiri dan mencari
kehormatan diri. Semangat mandiri dan mencari kehormatan diri di sisni
adalah pandangan bahwa keluarga harus bisa menjadi inspirasi dan
semangat untuk mencari rejeki. Sebab harus disadari, bahwa dalam
rumah tangga akan banyak pelajaran yang akan dihadapi dan dilalui.
Pelajaran itu harus diarahkan untuk menuju rumah tangga yang produktif
dan berdaya guna. Produktif dalam meningkatkan rejeki yang sejati
(bukan pendapatan ketika masih sendiri). Berdaya guna untuk melahirkan
generasi yang mumpuni dan penuh prestasi. Berdaya guna ikut serta
membangun masyarakat yang produktif dan inovatif. Berdaya guna
sebagai lini depan yang akan menentukan nasib bangsa yang lebih pasti.
Berdaya guna menjadikan rumah tangga yang sejati, yaitu rumah tangga
yang mampu mendapatkan kemapanan dan kehormatan diri.
Sebelum melihat pada kenyataan, perlu kita tekankan bahwa
sebuah system pemilihan jodoh menuju pada pernikahan homogeny
19
sebagai proses tawar menawar. Secara umum ‘jenis cari jenis’ dengan
kemunkinan bermacam-macam ciri . jika si gadis berasal dari keluarga
kaya, keluarganya bergaul dengan keluarga-keluarga kaya lainnya, dan
karena kekayaannya ia menguasai ‘harga’ yang tinggi dalam pasaran
perkawinan. Maksudnya, keluarga-keluarga kaya lainnya memandang dia
sebagai calon menantu yang baik bagi anak laki mereka. Begitu juga jika
keluarganya berkedudukan tinggi atau berkuasa keluarga-keluarga
lainnya pada tingkat itu akan memadangnya cocok, dan keluarganya
tidak perlu mengikat diri dengan keluarga yang kedudukannya lebih
rendah guna mendapatkan suami yang serasi. Orang tak berbakat dan
miskin boleh saja menginginkan istri dengan kepribadian yang tinggi,
tatapi ia tak dapat menawarkan sesuatu yang cukup untuk menarik baik
si gadis maupun keluarganya agar memilih dia, karena mereka dapat
saja mencari calon suami dengan kwalitas yang lebih baik.
Oleh karena itu, suatu perjodohan menimbulkan berbagai macam
akibat, yang juga melibatkan bayak sanak keluarga termasuk suami istri
sendiri. Pada semua masyarakat, peraturan yang komplek mengatur
proses pemilihan pasangan dan akhirnya juga perkawinan. Upacara
perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan,
seorang pemuda dan pemudi dewasa secara ritual memasuki kedudukan
kedewasaan dengan hak-hak kewajiban baru. Ia juga menandakan
20
adanya
persetujuan
masyarakat
atas
suatu
ikatan
perkawinan.
Karenanya, jaringan sanak keluarga juga menerima kewajiban-kewajiban
peran baru. Pada bangsa-bangsa barat, berabat-abat yang lalu, Negara
telah mengambil peranan penting dalam undang-undang perkawinan
lebih banyak daripada bangsa-bangsa di timur, tetapi perkawinan
merupakan kepentingan umum di semua masyarakat, karena masyarakat
secara umum berkepentingan atas akibatnya.
Upacara perkawinan itu sendiri merupakan suatu yang jelas
tampak, tetapi lebih daripada itu merupakan puncak berbagai proses
halus yang mendasar. Memang, banyak pengantin menganggap pilihan
jodohnya sebagai yang terbenar dengan proses perkenalan, pacaran,
sebagai umpannya ke perkencanan. Orang yang berkencan dengan
pegertian bahwa intesitas kencan tidak perlu berarti sesuatu keseriusan
hubungan, dan tidak memerlukan Sesutu keputusan pasti mengenai arti
hubungan tersebut. Tetapi, sebaliknya penelitian yang lebih cermat atas
proses kencan dan pemilihan perkawinan akan mengungkapkan bahwa
banyak keputusan yang menyeluruh, pilihan-pilihan, atau alternative
sedang di pertimbangkan, dan bahwa semua itu menbentuk atau
menentukan penentuan terakhir mengenai pasangan pernikahan.
21
Tentu saja, para pelaku dalam proses ini tidak berpendapat bahwa
mereka itu melakukan tawar menawar. Orang tuan pasti menganggap
bahwa mereka mencari sesuatu yang terbaik bagi anak-anak mereka
atau seorang pemuda menganggap dirinya melamar kekasihnya. Malah
banyak tidak memikirkan faktor-faktor yang jelas mempengaruhi pilihan
terakhirnya. Untuk lebih memahami proses ini, kita dapat melalui melihat
sistem pacaran dan pemilihan jodoh. Secara resmi memang bebas, dan
secara hukum setiap laki-laki dapat menikah dengan wanita manapun
juga. Tetapi sebaliknya, pola pemilihan jelas memperlihatkan bahwa
jumlah mereka yang siap menikah terbatas jumlahnya. Lagipula,
meskipun secara umum bahasa yang di kemukakan itu menggunakan
bahasa cinta, tetapi hampir semua ornang sewaktu-waktu menggunakan
bahasa tawar menawar. Seperti kita lihat cara berkencan popular di AS
begitu pula yang di kemukakan oleh Winch,(Sumber buku sosiologi
keluarga willian J. Goode 1985) hal itu mempunyai beberapa fungsi dan
akibat penting, pertama merupakan cara santai yang popular, jadi
merupakan bagian dari tujuan tersendiri. Kedua belah pihak tidak merasa
.adanya suatu keharusan untuk meneruskannya setelah pengalaman
pertama itu. Kedua merupakan bagian dari pengalaman proses
sosialisasi, terutama untuk memperkenalkan tiap individu dengan
rahasia-rahasia lawan jenisnya. Demikian itu juga, setiap individu
22
menyelidiki sendiri pribadi dan menguji kekuatannya dalam berkencan itu.
Berkencan pada akhirnya mencapai puncaknya pada pemilihan jodoh,
fungsi utama bagi pembicaraan sekarang. Dan terakhir, hal itu
menekankan pola stratifikasi dalam masyarakat. Sebenarnya, kedua hal
terakhir itu sangat erat kaitannya. Jika berkencan itu hanya sekedar
reaksi dan tidak ada sangkut pautnya dengan perkawinan, faktor kelas
mungkin tidak terlalu penting pada kencan orang yang meningkat
dewasa.
Tentu saja pola ini terjadi pada kencan yang mendahului
perjodohan maupun pernikahan, karena pada umumnya mereka yang
menikah itu berdekatan dalam usia. Pada tahun 1959 umur rata-rata
pengantin wanita untuk pertama kali dengan pria jejaka ialah 19,9 tahun.
Umur pengantin laki-laki 22,4 tahun. Pada perkawinan tipe semacam ini
dalam buku cacatan pernikahan, 16% para pria menuliskan umur 21
tahun ini mungkin sesuatu yang agak di besar-basarkan karena umur
sekian itu adalah umur yang di perkenakan menurut hukum banyak
Negara bagian dan ada saja yang memalsukan umurnya untuk dapat
menikah. Dengan gadis-gadis berumur 18 sampai 21 tahun. Jika
pengantin laki-laki lebih tua, umur pengantin perempuan tidak bertambah
sejajar dengan yang lelaki, tetapi tetap seperti biasa.
23
Hal ini menadaskan bahwa cinta adalah sebuah fakta suatu
hubungan
yang
umum
terjadi
dalam
suatu
kelompok
yang
menpertahankan penghalang-halangnya terhadap perjodohan. Dalam
menemukan pasangan yang baik dengan pengertian seorang yang
seperti dirinya atau kelompok yang sama seperti dalam kekayaan,
pendidikan dan sebagainya. Jelas, bahwa faktor-faktor ini mencakup baik
hal keluar dan ke dalam atau membentuk kelompok baru lagi. Anggota
suatu
kelompok
kecil
mempunyai
lebih
banyak
alasan
untuk
memperbolekan pernikahan keluar karena adanya kekurangan akan
anggota kelompok mereka yang cukup umur. Cinta dianggap sebagai
suatu ancaman terhadap sistem stratifikasi pada banyak masyarakat, dan
orang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan cinta sebagai dasar
pemilihan jodoh. Tetapi sudah jelas bahwa jika factor-faktor kekayaan,
pekerjaan, kasta, umur atau agama tidak dapat menggatikan cinta,
kesemuanya itu bagaimanapun juga tak akan mampu menciptakan
ukuran baru yang lebih menyenankan. Karena penduduk yang sudah
cukup untuk menikah.
24
 Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Orang Tua dalam Memilih
Jodoh Anak
Peristiwa pemilihan calon jodoh ini sekalipun disetujui oleh kedua
pihak, yaitu oleh anak gadis dan pemudanya, namun pada umumnya
diseluruh dunia ditentukan oleh pihak yang dominan atau berkuasa pada
saat itu. Pada zaman 100 tahun keatas sebelum masa sekarang, pilihan
calon suami atau isteri di Indonesia dilakukan oleh orang tua kedua belah
pihak. Khususnya oleh keluarga yang dominan berkuasa. Seleksi di
lakukan pertimbangan faktor keluarga dan keturunan, faktor ekonomis,
norma tradisional, persetujuan ekonomis dan beberapa persetujuan
lainnya. Kedua belah pihak yang melakukan perjodohan yaitu gadis dan
pemuda sama sekali tidak diberikan wewenang untuk melakukan pilihan
tersendiri. Bahkan tidak jarang kedua orang muda yang bersangkuatan
baru berjumpa untuk pertama kali pada saat bersanding bersama pada
upacara perkawinan resmi.
Control terhadap pemilihan jodoh dan perkawinan itu dilakukan
secara ketat oleh orang tua, dengan menekankan paksaan-paksaan
tertentu secara peraturan cukup keras. Hal ini sesuai dengan pola
keluarga yang patrenalistis dan otoriter, dimana orang tua terutama pihak
ayah dan kaum laki-laki (kakek, paman, puang, ambo, patta, abang atau
25
wali pria) memiliki kekuasaan sangat menentukan dalam proses
pemilihan jodoh.
Pada
suku
jawa,pilihan
jodoh
dilandaskan
atas
dasar
pertimbangan: bibit, bebet, bobot. Faktor bibit memperhitungkan benih
asalketurunan yaitu memilih sumber bibit keluarga yang sehat jasmani
dan rohaninya bersih dari khasus penyakit keturunan atau penyakit
mental tertentu. Sebab bibit yang baik akan menurunkan tanaman yang
baik, dalam hal ini akan menghasilkan anak keturunan yang baik dan
sehat. Bebet berarti keluarga, famili, keturunan zurriat, asal benih
keluarga, umumnya, orang mengharapkan seorang calon suami atau
isteri yang mempunyai darah biru atau keturunan bangsawan.
Keturunan darah satria kelak diharapkan bisa menurunkan anakanak yang memiliki sifat perwira, luhur, dan utama akan menerunkan
keturunan “Sarjana sudira betah atapa, kang patitis waskita ing nalar”,
artinya mencari keturunan yang pintar dan cerdik, yang mempunyai
martabak yang baik, berani dan suka menyusuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya atau besikap mandiri. Patitis artinya tepat, teliti,
akurat dalam menjalankan ibadah dan hukum, setra berkepribadian
terpuji. Waskita ing nalar artinya waspada –ingat -awas batingnya dan
tajam wawasan hatinya. Dengan faktor keturunan yang unggul itu
diharapkan sepasang suami istri memiliki atribut-atribut terpuji untuk
26
selanjutnya mampu membina keluarga bahagia dan mendapatkan anak
keturunan yang baik-baik.
Bobot disini diartiarkan sebagai timbangan yang atau berbobot.
Berbot
artinya
mempunyai
antara
lain:
harkat,
martabat,
ilmu
pengetahuan yang lenkap; memiliki harta kekayaan kekuasaan dan
status sosial yang cukup mantap, sehingga dihargai oleh masyarakat.
Berbobot itu tidak hanya diartikan sebagai mantap berbot kekayaan dan
kekuasaan duniawi saja, akan tetapi berbobot dengan memiliki kekayaan
spiritual dan nialai rohani serta akhirat. Sebelum membicarakan bobot
nilai tukar dalam perjodohan atau perkawiana yang sedemikian rupa
pada berbagai kebudayaan lain, beberapa prinsip umum yang terlibat
didalamnya perlu dikemukakan.
a. Kearah mana nilai yang lebih tinggi itu dicurahkan menunjukan
evaluasi relatif yang diberikan masyarakat terhadap kedua pasangan
tersebut.
b. Tidak menjadi soal kearah mana kekayaan terbesar itu dicurahakan,
semua macam nilai tukar itu tetap akan merata diantara keluargakeluarga atau garis-garis keluarga.
c. Keluarga yang menerima lebih banyak kekayaan selalu membalasnya
denga pemberian-pemberian dan diantara mereka yang kaya biasanya
27
menjadi suatu kebanggaan membuat pemberian kembalinya hampir
senilai dengan apa yang diterimanya.
d. Meskipun ada sistem mas kawin atau mahar, namun tetap ada
kesempatan
kompromi
dalam
pengaturan
perjodohan
atau
perkawinan.
Persyaratan-persyaratan yang cukup berat dan normative ini
dipegang oleh kebanyakan keluarga jawa, demi kelestarian dan
kebahagian kedua pasangan yang telah dinyatakan berjodoh atau kedua
calon mempelai yang akan membina mahligai rumah tangga. Lambat
laun peraturan tradisional yang sangat ketat itu mengalami perubahan
sedikit demi sedikit. Anak-anak muda mulai memdapatkan kebebasan
memilih pasanganya sendiri.
Hal tersebut
disebabkan oleh karena orang tua semakin
banyak di sibukan oleh macam-macam urusan kerja dan kesulitan hidup
sehari-hari, yang semakin menindis tajam. Sehubungan dengan hal ini
orang tua berangapan bahwa masalah perkawinan dan memilih jodoh itu,
bukan hanya merupakan tanggung jawab orang tua saja, akan tetapi
harus dipikul dan dipertanggung jawabkan oleh anak muda sendiri.
Dengan begitu anak muda mulai mendapatkan kelonggarang untuk
memilih pacar atau calon jodohnya. Lebih-lebih oleh pengaruh edukasi,
modernisasi dan demokratisasi dimana kemudian timbul banyak
28
perubahan sosial serba cepat pada zaman mutakhir ini, maka orang
muda (pria dan wanita) mendapatkan kebebasan lebih luas untuk
menentukan langkah-langkah hidupnya. Khususnya dalam menentukan
calon jodoh (pasangan hidupnya). Denagan demikian dominasi parental
yang berlangsung selama berabad-abad semakin berkurang.
Pada fase permulaan “Zaman bebas anak muda” pihak laki-lakilah
yang umumnya berkuasa memilih seorang gadis atau calon isterinya.
Peristiwa ini di dasarkan oleh beberapa faktor kelebihan dari pada
pemuda tersebut antara lain:
a. Secara fisik ia lebih kuat dan lebih perkasa
b. Secara ekonomis ia lebih mantap
c. Dia memiliki pendidika lebih tinggi
d. Dia menpunyai status sosial dalam masyarakat yang lebih tinggi, dll
Maka oleh beberapa kelebihan tersebut kaum laki-laki dianggap
lebih berkuasa untuk melakukan seleksi
terhadap kaum wanita, yaitu
menetukan calon isterinya. Sedang pihak perempuan “terima menyerah”
dipilih atau dibeli oleh pihak pria, disebabkan oleh faktor-faktor yang lebih
inferior pada dirinya. Namun oleh gerakan-gerakan feminis dan
perjuangan emansipatoris kaum wanita selama 5 dekade terakhir di
Indonesia, dengan mana kaum wanita menuntut persamaan stastus
sosial dengan kaum pria maka domonasi kaum pria menjadi semakin
29
berkurang. Wanita
Indonesia
pada
banyak hal kini mempunyai
kesempatan yang sama atau hampir sama untuk menentukan sendiri
calon kawan hidupnya. Dalam artian: mereka mampu menetukan calon
suaminya.
Pada masa sekarang, pilihan calon jodoh itu lebih banyak
berlandaskan faktor-faktor psikologisosial. Banyak peneliti menunjukan
bahwa kaum wanita jauh lebih banyak dan lebih sering dari pada kaum
laki-laki, memilih calon suaminya berdasarkan pertimbangan intelegensi:
yaitu memilih pria yang cukup intelegen atau intelegennya lebih dari pada
diri sendiri. Hal ini disebabkan karena pada masa sekarang faktor
intelegensi menjadi sarana utama untuk memperoleh sukses dalam
masyrakat modern.
Pilihan lainnya berdasarkan pada faktor-faktor sosial, misalnya:
agama
atau
afiliasi
religius,
latar
belakang
keluarga
(pribumi,
asli/campuran rural atau urban), dan status ekonomi orang tua. Pada
zaman modern sekarang dimana orang cenderung megejar yang
namanya kemewahan materil, maka status sosial dan kedudukan
ekonomi memegan peranang penting dalam proses seleksi jodoh (kawan
hidup). Khususnya hal ini dilakukan untuk menjaga gengsi dan martabat
kelas sosial dan tradisi-tradisi keluarga.
30
Disaman modern sekarang, pada umumnya seorang akan
menjodohkan seorang pribadi karena orang tersebut telah dikenalnya. Ia
cenderung menolak perjodohan dengan seorang yang tidak dikenalnya
sama sekali. Cinta itu akan berkembang dengan berlalunya waktu.
Dengan kata lain : cinta itu semakin mengelopak kembangnya, jika kedua
belah pihak saling mengenal dalam jangka waktu lebih lama, dan
semakin terbiasa terhadap satu sama lain dalam satu periode tertentu.
Dalam peribahasa bugis mengatakan “ Duppa Ati Duppa Mata
(Permulaan cinta Kasih itu tumbuh karena terbiasa)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap sampel nasional dari
perjodohan/perkawinan
urban
di
daerah
pedesaan
para
peneliti
berkesimpulan bahwa ada kecenderungan sangat kuat untuk melakukan
perjodohan dengan lawan jenis dari strata sosial yang sama atau hampir
sama tingkatnya, juga dibuktikan bahwa di kalangan kaum wanita intelek
terdapat kecenderungan untuk berjodoh/kawin mengatas. Artinya ada
keinginan para wanita intelek untuk melakukan suatu perjodohan dengan
partner pria yang lain tetapi memiliki strata ekonominya yang lebih tinggi.
Sedangkan pihak kaum pria dengan propesi yang tinggi terdapat
tendensi untuk berjodoh “ Membantah” yaitu berjodoh atau mengawini
wanita dari strata intelektual dan ekonomi yang sedikit lebih rendah dari
pada strata sosial sendiri
31
 Peran Orang Tua Dalam Perjodohan
Dalam suatu rumah tangga yang kokoh terdapat kehidupan
sepasang suami istri dan putra-putri yang merupakan buah dari hasil
perkawinan atau perjodohan. Keluarga yang menghadirkan anak ke
dunia ini, secara kuadratnya bertugas mendidik anak saja. Sejak kecil,
sianak hidup, tumbuh dan berkembang didalam keluarga itu. Orang tua
secara tidak direncanakan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang
didasari oleh nenek moyang dan pengaruh-pengaruh lain yang
diterimanya dari masyarakat.
Dengan demikian tempat pertama anak mengenal kehidupan
adalah didalam lingkungan keluarganya, lebih tepatnya dikatakan oleh
J.B. AFF. Mayor Folak(1964) bahwa kelompok pertama yang dialami oleh
individu yang baru lahir ialah keluarga, dan antar hubungan (serta antar
aksi) pertama diadakan
olehnya dengan ibu-bapak. Di dalam hal ini,
tentu saja peranan ayah dan ibu sangat berpengaruh untuk menentukan,
justru mereka berdualah yang memegang tanggung jawab seluruh
keluarga. Merekalah yang menentukan kemana keluarga itu akan
dibawa, dan warna apa yang harus diberikan kepada keluarga itu untuk
menyatukan pendapat jadi sangatlah berpengaruh ditentukan oleh
mereka berdua.
32
Anak-anak sebelum dapat bertanggung jawab sendiri, masih
sangat menggantukan diri, masih memimta isi, bekal, cara bertindak
terhadap sesuatu, cara berfikir pula dari orang tuanya. Dengan demikian
maka jelas betapa mutlaknya kedua orang tua itu bertindak seia-sekata,
seas as, setuju seirama, dan bersama-sama terhadap anaknya.
Perbedaan sedikit saja akan menyebabkan anak itu ragu-ragu, dan
fungsi peranan orang tua didalam meletakan dasar kepribadian seperti
yang dikemukakan oleh Jean Pieget Mayor Polak(1964) bahwa:
“seandainya tidak ada generasi-generasi (tua dan muda),
seandainya manusia hidup abadi dengan tidak kenal orang
tua, maka sifat intelektual, efektif, moril, dan sebagainya,
akan sangat berlainan dengan masyarakat sekarang”
Maksudnya ialah bahwa sianak menerima berbagai hal yang
diajarkan kepadanya sebagai suatu kebenaran, bukan karena ia sudah
pandai mengadakan rekonstruksi intelektual tetapi ia percaya kepada
kebenarannya berdasarkan yang memberitahukannya. Didalam keluarga
inilah diletakan struktur dasar bagi kepribadian seorang anak dan
kemudian dalam kalangan kelompok teman-teman sepermainan, yang
biasanya terdiri dari kelompok teman-teman yang kira-kiara seumuran
atau sebaya. Begitu pentingnya peranan keluarga sebagai peletak dasar
seoarang anaka sehingga Agus Sujanto(2002) dkk, mengatakan bahwa:
33
“Dengan demikian dapat disadari
betapa
pentingnya
peranan keluarga sebagai peletak dasar pola pembentukan
kepribadian
anak
tersebut,
sedang
lembaga-lembaga
pendidikan yang lain, tinggal member isinya saja, untuk
selanjutnya akan ditentutukan bentuk dan warna oleh anak
bersangkutan, sesuai dengan kemampuan, kekuatan dan
kreasi sianak itu”
Dengan majunya umur, maka pula pengaruh kelompok-kelompok
teman-teman sepermainan dan seumur. Tadinya pendapat orang tua
adalah amat penting bagi si anak, tetapi kini mendapat kawan-kawan
menjadi penting pula. Apabila pola-pola tingkah laku sosial tidak
dikembangkan didalam keluarga, anak akan mengalami kesukaran
mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik diluar rumah. Di sinilah
perlunya dijalin hubungan yang harmonis baik antara ayah dan ibu
maupun orang tua dengan anak dan keluarga khususnya di dalam
rumah. Adanya hubungan yang harmonis ini dapat dikembangkan di luar
rumah, jadi untuk mencari teman di luar rumah tidaklah sulit. Anak yang
dibesarkan oleh orang yang otoriter misalnya sering kali memperlihatkan
sikap benci terhadap orang lain yang berkuasa.
Apabila di rumah anak tidak mendapatkan modal yang baik ditiru
(Ayah atau ibu tidak patut menjadi tokoh yang disegani, dan ditiru), maka
mereka akan mengalami kesulitan yang serius diluar rumah. Kepribadian
34
yang agresif serta tidak stabil yang ditujukan oleh anak yang ditolak oleh
orang tua, atau anak yang mengimitasikan (meniru) tingkah laku orang
tuanya yang menyimpan dari norma-norma yang sebenarnya. Keadaan
demikian akan menumbuhkan kejahatan setelah anak tersebut menjadi
dewasa.
Dalam pengertian yang lebih luas, menggambarkan betapa
kelakuan seseorang anak sangat tergantung dari sikap dan kemauan
kedua orang tuanya. Atau dengan kata lain, akan dijadikan apa anak itu
tergantung orang tuanya. Mungkin dari pengertian inilah Khalil Gibran,
(1999) salah seorang sastrawan mengatakan bahwa : Anakmu bukan
milikmu, mereka adalah putra-putri kerinduan sang hidup. Meskipun
beserta tetapi bukan hakmu, karena mereka punya pikiran sendiri. Kau
boleh menempatkan badannya tetapi bukan jiwanya.
Puisi di atas member ilustrasi kepada orang tua bahwa setiap
manusia mempunyai haknya sendiri terhadap dirinya dan menuntut
supaya
orangtua
memberikan
kebebasan
kepada
anak
untuk
menentukan pilihannya. Dalam arti orang tua hanya sebagai pengontrol.
Selanjutnya, seorang anak tidaklah layak menjadi kebebasan
sebagai modal untuk berbuat sesuatu dalam menentukan jodohnya
sendiri, tetapi dengan mengacu kepada nasehat-nasehat orang tua
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai
35
penentuan jodoh hal ini dianggap penting dikarenakan anak dan orang
tua harus memiliki sinergi sehingga dalam hubungan keluarga nantinya
akan tercipta iklim sosial yang harmonis baik dari kedua pasangan
maupun dari pihak keluarga. Oleh karena itu saya sebagai penulis
memberikan saran untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga
dalam hal ini orang tua dan anak :
1. Perlu adanya kewaspadaan orang tua dalam memberikan kebebasan
bergaul kepda anaknya yang berlainan jenis sehingga dapat membatu
anaknya dapat memilih calon pasangan hidupnya agar tidak salah
pilih serta tidak menyesal dikemudian hari.
2. Perlu adanya saling pegertian antara orang tua dan anak dalam
memimilih calon pendamping hidupnya, disamping mengutamakan
kepentingan orang tua jangan sampai melupakan kepentingankepentingan anak sebagai pelaku rumah tangga.
3. Kalau mau mencari jodoh untuk anak bisa (memaklumi, memaafkan
dan memotivasi) agar hubungan cinta dapat langgeng dan tidak
bercerai berai alias cepat cerai. Jadi jodoh itu jangan berdasarkan atas
nafsu saja (ganteng, kaya, cantik dsb) tapi haruslah berdasarkan
dengan keyakinan (kuat aqidahnya, rajin ibdahnya dan indah
akhlaknya)
36
 Penjelasan tentang Usia Kawin
Dalam kehidupan seseorang yang berlainan jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara
satu dengan lainya untuk dapat hidup secara bersama atau logis dapat
dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan
menciptakan suatu rumah tangga yang rukun dan bahagia Bagaimana
juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari mereka
yang masih kurang matang baik fisik maupun mental. Untuk itu suatu
perkawinan harus dimasuki dengan suatu persiapan matang serta
sejahtera dan abadi. Masalah perkawinan/perjodohan bukan sekedar
untuk memenuhi kebutuhan biologis atau kehendak kemanusian tetapi
lebih dari itu yaitu untuk ikatan lahir dan batin antara seseorang pria dan
wanita.
Dalam majalah nasehat perkawinan memandang :
“Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah
untuk
membina
rumah
tangga
dan
keluarga
sejahtera, bahagia dimana suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab, si istri oleh karenanya
akan mengalami suatu proses psikologis yang berat
yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta
pengorbanan” (109 : 15)
37
Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa
disertai oleh persiapan yang matang untuk melanjutkan proses
penelusuran kehidupan akan mengalami banyak kelemahan apalagi
kalau cinta yang menjadi dasar suatu perkawinan hanyalah cinta yang
bertolak dari pemikiran yang rasional dan dapat meletakkan dasar-dasar
yang lebih kokoh dari suatu perkawinan. Sedangkan perkawinan itu
sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk
kehidupan manusia.
Perkawinan diisyaratkan sejak dahulu hal ini dikemukakan oleh
H.Sastroadmojo,SH(2005) yaitu perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia
di dunia dan akhirat dibawah naungan cinta kasih dan diridhoi Ilahi.
Untuk melangsungkan suatu perkawinan/perlodohan batas umur
adalah hal yang sangat penting. Hal ini disamping dalam melakukan
perkawinan
menghendaki
kematangan
biologis
demikian
pula
kematangan psikologis. Sehubungan dengan itu, maka dalam penjelasan
umum, undang-undang menganut prinsip bahwa calon suami istri harus
telah masak jiwanya raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat.
38
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan calon suami yang
masih dibawah umur. Selain hal tersebut, batas umur (batas usia kawin)
juga mempunyai makna yang sangat penting, yaitu agar dicegah praktek
perkawinan dalam umur terlampau muda. Seperti halnya banyak terjadi di
desa-desa sehingga banyak juga yang mempunyai akibat yang bersifat
negative.
Dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat
1 dan 2 menyatakan :
“perkawinan
hanya
diizinkan
jika
pihak
pria
sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
16 tahun. Bahwa apabila pria dan wanita belum mencapai
umur
tersebut
maka
untuk
melangsungkan
suatu
perkawinan diperlukan dispensasi dari pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”. (1974 : 16)
Selanjutnya selain pembatasan umur setiap pria dan wanita yang belum
mencapai umur sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 ayat 1 undangundang perkawinan diharuskan pula mendapatkan izin dari kedua orang
tua mereka. Dan apabila izin tersebut tidak didapat dari orang tua maka
barulah pengadilan dapat memberikan suatu izin berdasarkan atas
permintaan orang-orang yang hendak melakukan perkawinan.
39
 Penjelasan tentang Pemilihan Jodoh Ditinjau dari Sudut Sosiologi
Dalam proses pemilihan jodoh yang selalu saling berkaitan adalah
keluarga dari pihak laki-laki dan wanita calon pasangan. Selalu kedua
jaringan keluarga yang akan menikah dihubungkan karenanya, oleh
karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh menyangkut kedua
keluarga
yang
akan
menikah
itu,
mempunyai
kedudukan
yang
keseimbanganya tergantung siapa yang akan menikah dengan siapa.
Karena kedua keluarga itu akan saling membandingkan dimana ukuranya
adalah kira-kira sama, baik secara ekonomis ataupun secara sosial.
Cara pemilihan jodoh dapat diketahui melalui cara tawar menawar
yang telah dikenal dalam sejarah perkawinan itu sendiri. Perkawinan
dimaksudkan untuk mempererat hubungan keluarga, lebih-lebih bagi
kedua individu tersebut. Keluarga memikirkan bahwa perkawinan itu
suatu yang baik dan tujuannya bermanfaat bagi kedua belah pihak,
maupun dari segi-segi lain yang berhubungan dengan tujuan perkawinan,
seperti ekonomi, mahar, harta pusaka, yang merupakan bagian
terpenting dalam perjanjian perkawinan. Oleh karena itulah dapat
dipastikan bahwa semua sistem pemilihan jodoh menunjuk kepada
pernikahan homogen sebagai hasil dari tawar menawar.
William J. Goode(1985) dalam bukunya, sosiologi keluarga,
memandang bahwa dalam pemilihan jodoh itu adalah secara :
40
“jenis cara kemungkinan bermacam-macam ciri. Jika sigadis
berasal dari keluarga kaya, keluarganya bergaul dengan
keluarga lainya, dan karena kekayaannya ia menguasai harta
yang tinggi dalam pasar perkawinan”.
Artinya keluarga-keluarga yang kaya lainnya memandang ia
sebagai calon menantu yang baik bagi anak laki-laki mereka, sebaliknya
begitu juga jika keluarga berkedudukan tinggi atau berkuasa, keluargakeluarga lainnya pada tingkat itu memandang cocok, dan keluarganya
tidak perlu mengikat diri dengan keluarga yang kedudukanya lebih
rendah untuk mendapatkan suami yang serasi. Dengan kata lain, seperti
yang disebutkan oleh William J. Goode(1985) dalam bukunya “sosiologi
keluarga, dan member contoh : “orang tak berkerabat dan miskin boleh
saja menginginkan istri dengan kepribadian yang tinggi, tetapi tak dapat
menawarkan sesuatu yang cukup untuk manarik baik gadis maupun
keluarganya agar memilih dia, karena mereka dapat saja mencari suami
dengan kualitas yang lebih baik”.
Hal inilah yang membuat pengantin wanita harus berusaha untuk
memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang tinggi untuk mengimbangi calon
suami yang potensial. Perkawinan suami atau istri yang sebanding, baik
dari segi sosial ekonomi, maupun dari segi lingkungan yang dikenal
dengan istilah Homogami, ini sudah menjadi ketentuan yang berlaku
41
dalam masyarakat luas, bahkan masyarakat yang sudah berkembang
pesat. Ini disebabkan oleh dukungan berbagai macam peraturan
endogamy, dan hasil menyingkirkan beberapa hukum eksogami.
Endogamy yang berarti menikah dengan kelompok misalnya
dalam kelompok agama yang sama, kasta yang sama atau golongan
yang sama, perkawinan endogamy adalah mungkin dilakukan oleh
karena pihak-pihak calon mempelai merasakan adanya kecocokan antara
keduanya.
Lagi
pula
pernikahan
endogamy
adalah
umumnya
dilaksanakan antar kerabat yang sama.
Sebaliknya eksogami adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh
suami atau istri diluar kelompok tertentu. Semua masyarakat mempunyai
kedua hukum ini, tetapi tentu saja berlaku bagi kelompok-kelompok yang
berbeda penilaian
terhadap hukum perkawinan yang berlaku pada
masing-masing masyarakat.
Meskipun disadari, perkawinan/perjodohan adalah hubungan
permanen antara lelaki dan perempuan yang diikuti sah oleh masyarakat
yang bersangkutan yang berdasar atas peraturan perkawinan yang
berlaku.
Suatu
perkawinan
mewujudkan
adanya
keluarga
dan
memberikan adanya keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka.
Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya hubungan diantara mereka
yang kawin saja tetapi melibatkan juga hubungan-hubungan diantara
42
mereka yang kawin saja tetapi melibatkan juga hubungan-hubungan
diantara kerabat-kerabat dari masing-masing pasangan tersebut.
Seperti penjelasan A.W Widjaya(1985) menyatakan bahwa
“walaupun dasar atau landasan mereka yang kawin adalah hubungan
kelamin, tetapi hubungan itu melibatkan hubunga-hubungan emosi dan
persaan kasih saying, hubungan politik dan hubungan sosial”.
Dengan kata lain, perkawinan itu membuat suami atau istri
merubah fungsi dasar mereka yaitu kenyataan bahwa sebuah keluarga
adalah suatu satuan keterlibatan yang juga merupakan satuan tempat
tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi, dan mempunyai
fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasikan atau mendidik anak
dan menolong serta melindungi yang lemah, khususnya merawat orangorang tua mereka yang telah jompo. Dengan kata lain pemilihan jodoh itu
bertujuan untuk membentuk perkawinan, dimana perkawinan itu sendiri
akan berpengaruh baik pada suami atau istri dan juga kepala keluarga
mereka.
Dalam pemilihan jodoh ada larangan yang jarang dipertimbankan
kembali karena paling tua dan juga satu-satunya larangan yang umum,
yaitu kawin sumbang yakni larangan mutlak hubungan seksual dalam
keluarga langsung. Larangan ini berupa ketentuan yang oleh ahli ilmu
43
sosial yang disebut eksogami yaitu kewajiban untuk berjodoh atau kawin
antara hubungan-hubungan tertentu yang telah digariskan secara ketat.
Penalarang mengenai asal usul serta dipertahankannya larangan
kawin sumbang itu merupakan salah satu masalah yang sama sekali
belum terpecahkan. Pendapat bahwa ketentuan eksogami dimaksudkan
untuk mencegah perjodoahan antar kerabat dekat yang menimbulkan
cacat genetik kini dikesampingkan, larangan ini sudah ada mungkin
jutaan tahun sebelum orang mengetahuinya perjodohan seperti itu
terhadap kelainan bawaan atau keturunan. Yang lebih penting berlaku
menurut Robert Warnick (1987) dikatakan bahwa didalam perjodohan
eksogami yang terpenting adalah bahwa eksogami lebih menjamin
stbilitas sosial.
Persaingan asmara antara laki-lakinya atau sesama saudara lakilaki tentu akan membuat keluarga sumbang ini dalam keadaan kacau ,
barangkali
akan
mengakibatkan
pertumpahan
darah,
juga
akan
menghalangi kerjasama serta menguras tenaga yang mestinya akan
dapat
digunakan
bagi
pengembangan
kebudayaan.
Lebih-lebih
seandainya keluarga manusia pertama semua melakukan perjodohan
diantara mereka sendiri, barangkali tidak ada alasan bagi mereka untuk
menbangun hubungan damai dengan keluarga tetangga. Larangan kawin
44
sumbang menyebabkan hidup bersahabat dengan orang luar itu perlu,
paling tidak untuk sementara agar dapat saling bertukar jodoh.
Manusia adalah manusia pembawa senjata yang tidak memiliki
kendali bawaan, sedangkan anjing, singa dan harimau serta binatang
lainnya memiliki kendali seperti sehingga tidak saling membunuh diantara
sesama jenis. Maka andaikata tidak dikendalikan oleh larangan kawin
sumbang, keluarga manusia barangkali sejak dari dahulu memusnakan
diri sendiri akibat saling membunuh. Laragan kawin sumbang demikian
mendarah daging sehingga bagi kebanyakan orang mempersoalkan asal
usulnya tidaklah relevan, orang akan berkata bawha ia membenci kawin
sumbang karena perbuatan ini bertentangan dengan hukum tuhan dan
hukum kodrat, dan biarlah demikian.
Barangkali memang demikian tetapi kalu benar begitu maka tuhan
dan kodrat telah berbicara berbeda-beda kepada berbagai orang. Hampir
setiap orang melarang keras hubungan sex antara laki-laki dan ibunya.
Mengenai antara hubungan ayah dan anak perempuannya ada sedikit
kekurangan
kesepakatan.
Maka
peraturan
eksogami
hanya
memperlihatkan satu sisi saja dari keseluruhan larangan dalam pemilihan
jodoh. Jika setiap perkawinan atau perjodohan bersifat eksogami, maka
pula ada salah satu pegertian bahwa setiap perkawinan juga bersifat
45
endogamy, artinya diikat dalam suatu kelompok atau himpunan yang
ditetapkan batas-batasnya secara kurang lebih ketat.
Kalau peraturan eksogami hamper selalu ketat, maka peraturan
endogamy cenderung agak luas, dan penunjang biasanya bukan hukum
melaikan lebih sering adat kebiasaan, kelayakan serta pilihan pribadi.
Peraturan tentang endogamy dan eksogami dibentuk oleh masyarakat
untuk mengatur perkawinan sedemikian rupa sehingga membetuk
tercapainya tujuan masyarakat itu sendiri.
Orang tua dari tiap pasangan laki-laki maupun wanita pasti
mempunyai maksud tersendiri dalam kepentingannya, kepentigan
mereka biasanya kepentingan keluarga. Memang nama baik maupun
kekayaan kedua keluarga dipertaruhkan dalam setiap perjodohan.
Terkadang perjodohan atau perkawinan merupakan lankah penting
dalam mengangkat suatu keluarga kejejang sosial yang lebih tinggi
seperti bila seorang gadis yang kaya tetapi kastanya lebih rendah dapat
mengaet pemuda dari kasta yang lebih tinggi begitu pula sebaliknya.
 Yang Diharapkan Orang Tua dalam Menentukan Jodoh Anak
Kehadiran anak ditengah-tengah keluarga bagi sebagian orang
merupakan faktor yang menguntungkan orang tua secara psikologis,
ekonomis, dan sosial. Pertama, anak dapat lebih mengikat perkawinan
karena
pasangan
suami
isteri
merasa
puas
dengan
melihat
46
perkembangan emosi dan fisik anak. Kedua, anak merupakan simbol
yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Ketiga, orang tua
memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak. Keempat, anak
dapat meningkatkan status seseorang. Kelima, anak merupakan pewaris
keturunan. Keenam, anak mempunyai nilai ekonomis.
Pada saat usia anak berangjak dewasa, kemudian membentuk
keluarga sendiri, kewajiban mengasuh, membiayai dan mendidik anaknya
telah terlepas dari orang tuanya. Kebebasan diperoleh kembali orng
tuanya seperti saat-saat mereka belum mempunyai anak diawal
perkawinannya. Namun pada saat kebiasaan itu diperoleh, orang tua
sudah berada pada kondisi kemunduran fisik. Orang tua tidak gagah lagi,
fungsi penglihatan dan pendengarannya menjadi terganggu, dan sering
terserang penyakit.
Memasuki usia lanjut, ketegasan hubungan anak dan orang tua
menjadi sangat penting. Dewasa ini, hubungan orang tua dan anaknya
yang sudah menikah banyak tergantung pada sistem keluarga yang
dianut, status sosial orang tua dan anak , serta norma yang dimiliki anak
terhadap orang tuanya. Didalam sistem keluarga luas, usia lanjut bagi
orang tua bukan masalah. Mereka cukup aman karena anak dan
saudara-saudaranya masih merupakan jaminan yang paling baik bagi
oaring tuanya.
47
Orang
tua
yang
mengajarkarkan
norma
kepada
anaknya,
menekakan bahwa anak harus membalas kebaikan orang tuanya. Oleh
karena itu, hubungan orang tua dan anak merupakan hubungan timbale
balik yang satu sama lain saling memberikan dukungan dan bantuan.
Sebagai orang tua ia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
dalam menggiring atau mengarahkan anaknya kearah yang lebih baik.
Orang tua mengiginkan anaknya kelak bisa mendapatkan kebahagian
disaat mereka telah berkeluarga atau membina keluarga baru inilah yang
merupakan keiginan besar dari para orang tua sehingga dari awal
penentuan jodoh itu dilakukan.
Menurut pendapat sebagian orang tua untuk menciptakan
kebahagiaan dan kesejahteraan dalam keluarga diperlukan adanya
beberapa faktor:
a. Faktor keturunan
b. Faktor agama
c. Faktor pendidikan
d. Faktor ekonomi
Keempat faktor inilah yang dijadikan sandaran oleh orang tua
ketika ia menentukan jodoh anaknya, mereka yakin dengan hal ini maka
calon menantu yang ia dapatkan nantinya adalah calon menantu yang
mampu melahirkan kebahagiaan dalam rumah tangga sianak.
48
B.
Kerangka konseptual
Skema Kerangka konseptual
SISTEM PERJODOHAN ANAK
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
KERABAT/
SAUDARA



EKONOMI
PENDIDIKAN
KELUARGA
AGAMA
KESEHATAN
KEMAUAN ANAK
KEPUTUSAN BERSAMA
(Orang Tua, Anak &
keluarga)
49
C.
Definisi operasional
Untuk
menghindari
ketidaksepahaman
antara
penulis
dan
pembaca, maka penulis mendeskripsikan defenisi operasional.
a. Perjodohan ialah ikatan lahir batin membentuk perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (pasal 1 Undang-Undang
No 1 Tahun 1974).
b. Rumah tangga adalah
suatu kumpulan dari masyarakat terkecil,
yang terdiri dari pasangan suami istri, anak-anak, mertua dan
sebagainya.
c. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta
tinggal bersama.
d. Keluarga luas(extended family) adalah keluarga dimana didalamnya
terdapat anggota-anggota yang memiliki hubungan sedarah dan
mendapatkan pengakuan didalam keluarga.
50
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan dalam pengumpulang data ada
beberapa uraian dibawah ini
1. Tipe Penelitan
Tipe penelitian yang diguanakan adalah desktiftif yaitu dengan
menggambarkan fenomena dan kateristik dari suatu populasi dan
dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena
atau kenyataan sosial.
2. Dasar Penelitian
Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey
dengan unit analisa masyarakat secara individu dari sebagian populasi
yang dianggap dapat mewakili dari seluruh populasi.
3. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan berlangsung selama 2 bulan yaitu dari awal
bulan februari, dimana lokasi penelitian berada di desa paria kecamatan
duampanua kabupaten pinrang
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat
penting dalam suatu penelitian, karena langkah ini sangat menentukan
51
kwalitas, keabsahan dan validitas hasil penelitian ini digunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut :
 Data primer
1. Observasi
Observasi ialah pengamatan dan pencatatan
yang sistematis terhadap masalah-masalah yang di
teliti.
2. Kuesioner
Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk
memperoleh
data
responden
dengan
sejumlah
pertanyaan tertulis, yang sifatnya terbuka yang nantinya
akan
di
jadikan
sebagai
pegangan
untuk
menggambarkan fenomena yang ada sesuai dengan
data yang di peroleh.
 Data sekunder
- Dokumentasi Penelitian
Dokumentasi penelitian yaitu membuat Foto-foto dan
keterangan tentang aktifitas yang di lakukan pada saat
meneliti.
52
5. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelian ini adalah kepala keluarga sedangkan
jumlah kepala keluarga yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
sebanyak 659 kepala keluarga (sumber : Data jumlah penduduk di desa
Paria kec. duampanua).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sampel acak sederhana (simple random sampling) yaitu
penarikan sampel dengan cara purposional. Objek penelitian sehingga
dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai
sampel. Dari jumlah populasi 659 kepala keluarga di desa paria ditarik
sample sebasar 10% maka jumlah sample yang ditetapkan sebanyak 66
kepala keluarga.
6. Analisis Data
Metode yang dipergunakan dalam menganalisa data adalah
metode analisa kuantitatif yaitu deskriptif statistik dengan menggunakan
table frekuensi dalam persentase.
53
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Bentuk Perjodohan
Desa Paria Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang didasarkan
pada anggapan bahwa masyarakat
berasal dari satu rumpun yang
Telah saling terikat dalam perjodohan, sehingga ikatan hubungan
kekeluargaan semakin erat. Pada tahap perjodohan di Desa tersebut
proses perjodohan paling awal menuju suatu perkawianan dalam adat
bugis yang umumnya mempunyai kecenderungan penentuan jodoh dari
lingkungan keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan
perkawinan atau perjodohan yang ideal yang dimaksud adalah siala
massaposiseng
massapokedua
(perjodohan
(perjodohan
antara
antara
sepupu
sepupu
satu
kali),
siala
dan
siala
duakali),
massapoketallu (perjodohan antara sepupu ketiga kali). Ketiga jenis
perjodohan tersebut adalah suatu hal yang di wajibkan.
Adapun perjodohan yang terjadi di Desa Paria Kecematan
Duampanua Kabupaten Pinrang yaitu perjodohan anak yang didasarkan
oleh kedudukan yang dijodohkan memiliki stratifikasi sosial yang
sederajat
didalam
masyarakat,
baik
dilihat
dari
segi
keturunan
(Bangsawan atau orang biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur
pemerintah, maupun harta kekayaan.
54
B. Keadaan Geografis
Desa paria merupakan salah satu dari 14 desa dan kelurahan
diwilayah kecamatan duampanua kabupaten pinrang yang terbagi atas
tiga dusun yaitu: Dusun Paria, Dusun Manggolo, dan Dusun Pallameang.
Yang daerahnya meliputi daerah pegunungan, dataran rendah, dan
pesisir.
Luas wilayah Desa Paria Kecamatan Duampanua adalah + 1.990
Hektar yang terbagi atas tiga dusun tersebut.
C. Keadaan Demografi
Jumlah Penduduk pada bulan Agustus 2010 mencapai 3671 jiwa
yang tersebar kedalam tiga wilayah Dusun Desa Paria dengan perincian
sebagaimana tabel di bawah ini:
Tabel 1
Distribusi jumlah Penduduk Menurut Dusun
No Dusun
Penduduk
1.
Paria
1.236
2.
Mangolo
604
3.
Pallameang
1.831
Jumlah
3.671
Sumber : Kantor Desa Paria 2010
55
Berdasarkan Tabel diatas menunjukkan bahwa Dusun Pallameang
jumlah penduduk lebih banyak disbanding dengan Dusun Paria, dan
Dusun Mangolo.
Selanjutnya untuk mengetahui jumlah penduduk menurut jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2
Keadaan penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
No
Dusun
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1.
Paria
587
649
1.236
2.
Mangolo
343
261
604
3.
pallameang 825
1.006
1.831
1916
3.671
Total
1755
Sumber : Kantor Desa Paria 2010
Dari angka-angka yang tertera pada tabel diatas menunjukkan
bahwa dari 3.671 jumlah penduduk desa Paria, terdapat 1.831 jiwa
penduduk di Dusun Pallameang yang terdiri dari 825 jiwa laki-laki dan
1.006 jiwa perempuan. Selain itu juga terlihat bahwa dusun yang paling
sedikit penduduknya adalah Dusun mangolo yaitu sebanyak 604 jiwa
yang terdiri dari 343 jiwa laki-laki dan 261 jiwa perempuan. Sedangkan
56
Dusun Paria tidak terlalu padat dan tidak terlalu sedikit penduduknya
yaitu 1.236 jiwa yang terdiri dari 587 jiwa laki-laki dan 649 jiwa
perempuan.
Jumlah penduduk Desa Paria seperti yang disebutkan diatas
semakin mengalami perubahan dari tahun ke tahun dikarenakan adanya
pertambahan secara alamiah dan juga tingginya arus imigrasi. Untuk
mengetahui keadaan dan komposisi menurut umur penduduk yang
mendiami wilayah Desa Paria dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.
Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur
Kelompok
Jumlah Jiwa
Umur
Dusun
Dusun
Dusun
(Tahun)
Paria
Mangolo
Pallameang
1.
0-4
126
67
319
512
2.
5-6
178
69
295
542
3.
7-15
263
143
533
939
4.
16-58
565
276
488
1.329
5.
59 keatas
104
49
196
349
1.236
604
1.831
3.671
No
Jumlah
Total
Sumber : Kantor Desa Paria 2010.
57
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 3.671 penduduk Desa
Paria komposisi penduduk yang
berumur antara 16-58 tahun yang
terbanyak, dengan jumlah penduduk di Dusun Paria sebanyak 565 jiwa,
Dusun Mangolo sebanyak 276 jiwa, Dusun Pallameang sebanyak 488
jiwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komposisi yang
mendiami
Desa
Paria
Kec.
Duampanua
Kab.
Pinrang
adalah
dikategorikan sebagai usia pekerja (produktif) adalah sebanyak 1.329
jiwa.
D. Keadaan Pendidikan
Untuk mengetahui keadaan penduduk wilayahn Desa Paria Kec.
Duampanua Kab. Pinrang, dilihat dari segi pendidikan formal yang
mereka tempuh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
58
Tabel 4.
Komposisi penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Jumlah Jiwa
No
Tingkat pendidikan
Total
Dusun
Dusun
Dusun
Paria
Mangolo
Pallameang
221
74
288
583
-
-
-
-
1.
Belum Sekolah
2.
Tidak pernah sekolah
3.
Tidak tamat SD
118
68
208
394
4.
Tamat SD/sederajat
235
136
275
646
5.
Tamat SLTP/sederajat
223
89
437
749
6.
Tamat SLTA/sederajat
307
132
486
925
7.
D1,D2,& D3
74
43
77
194
8.
S1 & S2
58
62
60
180
1.236
604
1.831
3.671
Total
Sumber : Kantor Desa Paria 2010.
Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ternyata tingkat
pendidikan yang mendiami wilayah Desa Paria Kec.Duampanua Kab.
Pinrang sangat bervariasi mulai dari tingkat sekolah sampai dengan
tingkat pendidikan tertinggi. Dari 3.671 penduduk Desa Paria Kec.
Duampanua Kab. Pinrang tingkat pendidikan terbanyak diperoleh adalah
tamat SLTA/Sederajat yaitu sebanyak 925 Jiwa dan yang paling sedikit
59
tingkat pendidikan Starata 1 (S1) dan Strata 2 (S2) yaitu hanya sebanyak
180 jiwa.
E. Mata Pencaharian Penduduk
Selanjutnya tabel berikut ini akan menggambarkan tetang
lapangan kerja penduduk Desa Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang
pada tabel dibawah ini
Tabel 5.
Komposisi penduduk Menurut Tingkat Pekerjaan.
No
Jenis Lapangan Kerja
Jumlah
1
Pertanian
310
2
Budi Daya Tambak
272
3
Nelayan
25
4
Perkebunan
31
5
PNS
42
6
Polri
6
7
TNI
5
8
Perdagangan
125
9
Pertukangan
19
10
Peternak
37
Jumlah
872
Sumber : Kantor Desa Paria 2010.
60
Tabel 5 diatas angka-angka yang tertera menunjukkan bahwa
penduduk Desa Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang didominasi oleh
Pertanian dan Budi Daya Tambak ini dikarenakan salah satu Desa yang
dijadikan pusat perairan yang memiliki sungai saddang maka dari itu
pengembangan sektor Pertanian dan Budi Daya Tambak, biasa
dikatakan pusat perairang yang cukup besar di Desa tersebut.
Sedangkan perdagangan
hanya mencapai 125 jiwa untuk memenuhi
dari beberapa sektor khususnya sektor Pertanian dan Budi Daya
Tambak.
61
BAB V
Hasil Penilitian dan Pembahasan
A. Identitas respondent
1. Jumlah responden
Berdasarkan judul penulisan, maka melakukan penelitian penulis
memilih responden yaitu kepala rumah tangga yang berada diwilayah
penelitian (desa paria). Adapun lankah-lankah penelitian telah dipilih
secara acak atau sample random sampling. Bahkan sebagian besar
kepala rumah tangga yang ada diwilayah penelitian yaitu dalam jumlah
559 yang diambil dari 10% kepala rumah tangga dari dalam tiga dusun di
lokasi penelitian tersebut. Untuk lebih mengetahui, atau lebih jelas jumlah
responden dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut ini:
Tabel 1
Distribusi menurut kepala rumah tangga dilokasi penelitian (desa
paria) dalam tiga dusun.
No
Lokasi penelitian
(Desa Paria)
Frekuensi
Peresentase
(%)
1
Dusun Paria
21
31,8
2
Dusun Mangolo
20
30,3
3
Dusun Pallameang
25
37,9
66
100
Jumlah Responden
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
62
Tabel diatas menunjukkan bahwa respoden yaitu para kepala
rumah tangga yang berada di Desa Paria dimana terbagi kedalam tiga
dusun yaitu Dusun Paria (31,8%), Dusun Mangolo ((30,3%), dan Dusun
pallameang (37.9%).
2. Umur Responden
Umur merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, karena
sebagai
batasan
kemampuan
dalam
melakukan
kegiatan.
Umur
menentukan seseorang pernah mengalaminya bahkan itu bisa dijadikan
sebuah pengalamannya yang khususnya mengenai perjodohan. Umur
juga merupakan modal besar dalam kehidupan menuju atau membina
rumah tangga setelah mengalami perjodohan, dalam banyak standar usia
menjadi syarat penerimaan dan menjadi batas bagi seseorang dalam
kehidupan membina rumah tangga, apalagi memiliki anak yang akan
dijodohkan.
Perbedaan
umur
seseorang
kematangan dalam berfikir,
selalu
menunjukkan
adanya
kekuatan fisik dalam beraktivitas dalam
membina kehidupan rumah tangga
Bahkan pernah mengalami perjodohan yang berada diwilayah
penelitian Desa Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang dilihat dari
pengelompokan umumnya umur responden dapat dilihat pada tabel 2
dibawah ini:
63
Tabel 2
Distribusi responden menurut kelompok umur
No
Usia rata-rata
frekuensi
Persentase
(%)
1
35-40
4
6,0
2
41-45
9
13,7
3
46-50
18
27,2
4
51-55
16
24,2
5
56-60
10
15,2
6
60 tahun keatas
9
13,7
66
100
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Pada tabel diatas menunjukan bahwa frekuensi terbanyak
terdapat pada kategori 46-50 tahun sebanyak 18 responden dengan
persentase (27,2%). Selanjutnya yang berumur 51-55 tahun dengan
frekuensi 16 responden (24,2%), di umur 56-60 mencapai frekuensi 10
dengan persentase (15,2%), adapun pada umur 41-45 tahun dan 60
tahun keatas dalam jumlah frekuensi yang sama banyak 9 responden
dengan peresentase (13,7%), dan pada umur 35-40 tahun dalam kategori
frekuensi jumlah terkecil yaitu 4 responden dengan peresentase (6,0%).
3. Agama
Dalam
kehidupan
sehari-hari,agama
merupakan
indikator
seseorang dalam bertingkah laku. Sesorang yang beragama merupakan
pencerminan keseluruhan jiwa seseorang dalam kehidupannnya. Tabel
64
berikut ini dapat menjelaskan tentang agama yang dianut oleh para
responden di Desa Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang.
Tabel 3
Distribusi responden menurut Agama Yang Dianut.
No
Agama
Frekuensi
Persentase (%)
1
Islam
65
98,5
2
Kristen
1
1,5
66
100
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Pada tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa hampir seluruh
Responden beragama islam dengan persentase 98,5% (65 responden),
dan hanya 1 responden beragama Kristen (1,5%). Ini berarti bahwa
hampir dari keseluruhan kepala rumah tangga (responden) Didesa Paria
Kec. Duampanua kab. Pinrang beragama islam.
4. Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan, pemahamam tingkah laku dalam menentukan jodoh. Adapun
variasi tingkat pendidikan responden dapat dilihat sebagagai berikut:
65
Tabel 4
Distribusi Responden Menurut Pendidikan
No
Tingkat pendidikan
Frekuensi
Persentase
(%)
1
SD
8
12,2
2
SLTP
17
25,7
3
SLTA
30
45,5
4
Perguruan Tinggi
11
16,6
Jumlah
66
100
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel diatas menunjukan bahwa tingkat pendidikan yang paling
banyak adalah SLTA dengan 30 responden (45,5 %) dan yang
mempunyai tingkat pendidikan paling rendah adalah SD dengan 8
responden (12,2 %) hal ini dapat membuktikan bahwa pendidikan di Desa
Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang sangat diperhatikan. Ini berarti
kesadaran tentang pendidikan formal sudah masukdalam skala prioritas
sebagian besar masyarakatnya.
5. Distribusi Responden Menurut Pekerjaannya.
Tingkat kesejateraan responden sangat ditentukan oleh sejauh
mana hasil yang diperoleh melalui pekerjaan sekaligus turut berpengaruh
dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga termasuk juga
dalam penentuan jodoh di lingkungan Desa Paria Kec. Duampanua Kab.
Pinrang seperti kita lihat tabel dibawah ini:
66
Tabel 5
Distribusi Responden Menurut Pekerjaanya
No
Tingkat Pekerjaan
Frekuensi
Persentase (%)
1
Petani
15
22,7
2
Budi Daya Tambak
10
15,2
3
Nelayan
6
9,2
4
Wiraswasta
15
22,7
5
TNI/POLRI
5
7,5
6
PNS
10
15,2
7
Perdagangan
5
7,5
Jumlah
66
100
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel
diatas,
pengambaran
dari
sebuah
ilustrasi
bahwa
masyarakat Desa paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang bervariasi dalam
hal pekerjaan, namun sebagian masyarakat lebih banyak memilih
pekerjaan sebagai Petani dan Wiraswasta dengan 15 responden (22,7
%) dibandingkan dengan yang lainnya seperti pekerjaan Budi Daya
Tambak dan PNS yang mencapai 10 responden (15,2%), begitu pula
selanjutnya pekerjaan Nelayan yang memcapai 6 responden (9,2%),
bahkan pekerjaan yang paling kecil jumlahnya yaitu TNI/POLRI dan
perdagangan yang mencapai 5 responden (7,5%).
B. Peran Responden Berdasarkan Cara Menentukan Jodoh Anak.
suatu kebiasaan umum yang melekat pada keluarga maupun
masyarakat, yakni perjodohan sebagai suatu lembaga dan tiap
67
kebudayaan menetapkan sejumlah peraturan yang biasanya kaku dan
rumit. Untuk mempertemukan pasangan pria dan wanita secara pantas.
Pada umumnya kebudayaan menetapkan semacam pertukaran hadiah
sebagai pendahuluan penting. Ditetapkan pula tata cara tertentu,
tindakan
atau
kata-kata
yang
membuat
khalayak
umum
untuk
mengetahui dan menerima kenyataan bahwa seorang pria dan seorang
wanita bermaksud hidup bersama dan mulai membangun keluarga,
seperti telah dikemukakan diatas bahwa perjodohan adalah ajang
didalam membentuk keluarga baru, dimana bukan saja sebagai suatu
rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial antara anggotaanggotanya.
Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa
anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betul-betul
unik. Mereka belum banyak memiliki sejarah masa lalu dan Pengalaman
mereka sangat terbatas apalagi mengenai tentang penentuan dalam
pasangan hidupnya. Di sinilah peran orang tua yang memiliki
pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan
mendidik anaknya. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar
di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta
berkepribadian baik.
68
Untuk
mengetahui
sejauh
mana
peran
orang
tua
dalam
memberikan hak kepada anaknya memilih pasangan hidup, dapat kita
lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 6.
Distribusi Respoden yang Memberikan Hak Kepada Anak Untuk Mimilih
pasangan Hidupnya
No
Memberikan Hak
Kepada Anak
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Tidak
34
51,5
2.
Ya
32
48,5
66
100
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Bedasarkan tabel 6 diatas dari 66 responden menunjukkan bahwa
34 responden (51,5%) tidak memberikan hak kepada anaknya dalam
memilih pasangan hidupnya dan 32 responden (48,5%) memberikan hak
kepada anaknya untuk memilih pasangan hidupnya. Hal ini menujukkan
bahwa tidak semua orang tua
memberikan hak sepenuhnya kepada
anaknya dalam menetukan pasangan hidup.
69
Tabel 6.1
Distribusi Responden Berdasarkan Siapa Sajakah yang Terlibat Dalam
Pemilihan Pasangan Hidup Anak
Pihak pihak yang
No
terlibat dalam
pemilihan pasangan
Frekuensi
Persentase (%)
18
56,2
8
25
3
9,4
3
9,4
32
100%
hidup anak
1.
Anak bersama orang
tua (ayah dan ibu)
2.
Orang tua (ayah dan
ibu) saja
3.
Orang tua bersama
keluarga lain yang
dituakan
4.
Anak, Orang tua
bersama keluarga lain
yang dituakan
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan tabel 6.1 diatas menunjukkan bahwa 18 responden
(56,2%) pemilihan jodoh anaknya melibatkan anak bersama orang tua
(ayah dan ibu), 8 responden (25%) melibatkan orang tua (ayah ibu) saja,
3 responden (9,4)
melibatkan orang tua, anak, dan keluarga yang
dituakan. Hal ini menunjukkan bahwa selain orang tua (ayah dan ibu) dan
anak,pemilihan pasangan hidup anak juga melibatkan keluarga lain yang
di tuakan.
70
agama merupakan salah satu penentu dalam perjodohan karena
merupakan sesuatu pemahaman yang behubungan dengan keyakinan,
keimanan dan kepercayaan seseorang dalam memilih pasangan hidup.
Tabel berikut ini akan memperlihatkan distribusi responden berdasarkan
perjodohan anak sesuai dengan keyakinan atau agama yang sama:
Tabel 7
Distribusi Respoden Berdasarkan Pemilihan Jodoh Harus Sesuai
Dengan Agama Yang Sama
No
Sesuai
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Ya
66
100
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa 66 responden (100%) bahwa
pemilihan jodoh anak harus sesuai dengan agama atau keyakinan yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jodoh anak harus sesuai
dengan agama atau keyakinan yang sama.
71
Tabel 7.1
Distribusi Respoden Berdasarkan Pertimbangan Pemilihan Jodoh Anak
Harus Sesuai Dengan Agama Atau Keyakinan Yang Sama
No
Memberikan Hak Kepada
Anak
1.
Calon pasangan memiliki
Frekuensi
Persentase (%)
17
25,7
32
48,5
4
6,2
13
19,6
66
100%
pemahaman agama yang baik
2.
Calon pasangan taat
menjalankan agama
3.
Calon pasanagan memiliki
status dalam keagamaan
(uztas,kiyai,pendeta,pastur,dsb)
4.
Calon pasangan adalah
keturunan dari keluarga
relegius
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 7.1 di atas menujukkan bahwa 32 responden (48,5%)
menjawab bahwa pertimbagan pemilihan jodoh anak harus dari
keyakinan atau agama yang sama karena calon pasangan taat
menjalankan agama, 17 responden (25,7%) karena calon pasangan
memiliki pemahaman agama yang baik, 13 responden (19,6%) karena
calon pasangan adalah keturunan dari keluarga religious, 4 responden
(6,2%) karena calon pasangan memiliki status dalam keagamaan
(uztads,kiai,pendeta,pastur).
72
Tabel 8
Distribusi Respoden Berdasarkan Momotivasi Anak Untuk Memilih
Pasangan Hidup Yang Terbaik
No
Memotivasi
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Ya
66
100
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 8 di atas menujukkan bahwa semua reponden (100%)
momotivasi anaknya untuk memilih pasangan hidup yang terbaik. Hal ini
menujukkan bahwa semua orang tua pasti menginnginkan pasangan
hidup yang terbaik untuk anaknya.
73
Tabel 8.1
Distribusi Respoden Berdasarkan Alasan Memotivasi Anak Dalam hal
Pemilihan jodoh
No
Alasan
1.
Agar anak mendapatkan
Frekuensi
Persentase (%)
29
43,9
25
37,8
2
3,1
10
15,2
66
100%
pasangan yang baik
2.
Agar anak dan
pasangan dapat
menjalin rumah tangga
yang harmonis
3.
Agar hubungan anak
dengan mertua saling
pengertian
4.
Agar anak dan calon
pasangannya mendapat
keturunan yang religius
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 8.1 di atas menujukkan bahwa dari 66 responden 29
respionden (43,9%) reponden memotivasi anaknya dalam pemilihan
jodoh agar anaknya mendapatkan pasangan yang baik, 25 responden
(37,8%) agar anak dan pasangan dapat menjalin rumah tangga yang
harmonis, 10 responden (15,2%) agar anak dan calon pasangan
mendapat keterunan yang religious, dan sisanya 2 responden (3,1%)
agar hubungan anak dan mertua saling pengertian. Hal ini menunjukkan
74
alas an responden memotivasi anaknya agar mendapatkan jodoh yang
terbaik ke depannya.
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada
calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar
ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun
sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan
Nilai Nominal. Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab
mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya
seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar
yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan
bahwa mahar dimasa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai
nominal tinggi.
Ada
kalanya
sebagian
dari
para
orang
tua
yang
akan
melangsungkan pernikahan atau perjodohan, salah satu diantara mereka
membuat persyaratan-persyaratan tertentu (janji pernikahan) kepada
calon menantu, dan sesuatu hal tidak bisa dipungkiri dan mungkin saja
terjadi, kadangkala sebagian dari persyaratan-persyaratan itu justru
memberatkan
atau
membebani
dan
mungkin
juga
ada
yang
melanggarnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat tabel di bawah ini:
75
Tabel 9
Distribusi Respoden Berdasarkan Penekanan Hal Mahar Pernikahan
Terhadap Calon Menantu
No
Menekan
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Ya
52
78,7
2.
Tidak
14
21,3
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 9 di atas dari 66 responden menujukkan bahwa sebagian
besar responden yaitu 52 rsponden (78,7%) menekankan hal mahar
pada calon menatu, dan 14 responden (21,3%) tidak menekan calon
menantu dalam hal mahar. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata orang
tua masih memprioritaskan mahar dalam hal mejodohkan anaknya. Pada
tabel selanjutnya akan menujukkan beberapa penekanan orang tua
dalam hal mahar dapat kita ketahui sebagai berikut :
76
Tabel 9.1
Distribusi Respoden Berdasarkan Yang Menjadi Pertimbangan
Dalam Hal Mahar
No
1.
Pertimbangan
Menyesuaikan
Frekuensi
Persentase (%)
28
53,9
8
15,4
16
30,7
52
100%
dengan adat keluarga
yang disepakati
2.
Menyesuaikan
dengan tingkat
pendidikan menantu
3.
Menyesuaikan
dengan tingkat latar
belakang keluarga
menantu
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 9.1 di atas menujukkan bahwa 28 responden (53,9%)
menekankan masalah mahar karena ingin menyesuaikan dengan adat
keluarga yang di sepakati, 16 responden (30,7%) karena ingin
menyesuaikan dengan tingkat latar belakang keluarga calon menantu,
dan 8 responden (15,4%) karena ingin menyesuaikan dengan tingkat
pendidikan calon menantu. Hal ini menunjukkan bahwa penekanan hal
mahar identik dengan adat keluarga.
77
Orang tua merupakan pendidik utama bagi anak-anak mereka,
karna pembelajaran yang didapatkan seorang anak berasal dari orang
tuanya. Corak pendidikan dalam rumah tangga secara umum tidak
berpangkal
pengetahuan
tolak
dari
mendidik,
kesadaran
melainkan
dan
pengertian
secara
kodrati
yang
lahirkan
suasana
dan
strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi atau
iklim pendidikan.
Timbulnya iklim atau suasana tersebut, karena adanya interaksi
yaitu hubungan pengaruh secara timbal balik antara orang tua dan anak.
Sebagai peletak pertama pendidikan, orang tua memegang peranan
penting bagi pembentukan watak dan kepribadian anak, maksudnya
bahwa watak dan kepribadian tergantung kepada pendidikan awal yang
berasal dari orang tua terhadap anaknya. Maka begitu penting peran
orang tua terhadap anaknya untuk mengajarkan masalah tanggung
jawab sebelum mereka para anak yang berumah tangga. Pada tabel di
bawah ini beberapa orang tua yang mengajarkan anaknya masalah
tanggung jawab sebelum berumah tangga.
78
Tabel 10
Distribusi Respoden Mengajarkan Masalah Tanggug Jawab Kepada
Anak Sebelum Berumah Tangga
No
Mengajarkan
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Selalu
26
39,4 %
2.
Kadang kadang
34
51,5 %
3.
Tidak pernah
6
9,1 %
66
100 %
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Tabel 10 di atas dari 66 responden menujukkan bahwa 34
responden (51,5%) kadang-kadang
mengajarkan masalah tanggung
jawab kepada anaknya sebelum berumah tangga, 26 responden (39,4%)
selalu mengajarkan, dan 6 responden (9,1%) tidak pernah mengajarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pengajaran masalah tanggung
jawab ketika ingin berumah tangga kepada anak.
Salah satu kenyataan yang membuktikan masih adanya pengaruh
hubungan keluarga terhadap perkawinan anak wanitanya dapat dilihat
melalui tabel berikut :
Tabel 11
Peran orang tua terhadap perjodohaan antar keluarga
No.
Sikap
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Setuju
39
59,1 %
2.
Tidak Setuju
13
19,6 %
3.
Tergantung Jodoh
14
21,3 %
66
100 %
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
79
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden
setuju terhadap perjodohan antar keluarga dengan frekuensi 39 (59,1 %)
dengan alas an mereka ingin mengawinkan anaknya dengan orang yang
sudah kenal asal usulnya, yang menyatakan tidak setuju 13 responden
(19,6 %) mereka beranggapan bahwa perkawinan antar keluarga tidak
akan menambah keluarga baru dan 14 responden (21,3 %) yang
menyatakan tergantung jodoh. Hal ini menunjukkan sikap orang tua
cenderung memilih keluarganya sendiri dibanding memilih bukan bagian
dari keluarga.
Didalam satu keluarga sering kita ketemukan orang tua yang
berperan dalam pencarian jodoh anak khususnya anak wanitanya,
semua ini di lakukan tidak lain hanya untuk untuk kebaikan sang anak.
Orang tua adalah pemimpin dalam keluarga yang mempunyai peran
besar dalam menentukan kearah mana keluarga itu nantinya. Oleh karena
itu
orang
tua
sering
ingin
melihat
keluarganya
hidup
dalam
kebahagiaan,ketetenraman, dan kesejahteraan serta jauh dari keresahan
terlebuh lagi ketika hal itu berpindah dan dirasakan oleh anaknya kelak
sewaktu berkeluarga, oleh sebab itu disetiap penentuan jodoh anak sering
dicampuri dan ditetukan oleh orang tua.
80
Tabel 12
Peran orang tua dalam pencarian, penentuan, dan pemberi nasehat
pada anak
No
Status
Freekuensi
Persentase (%)
1.
Sebagai pencari jodoh
21
31,8 %
2.
Sebagai penentu jodoh
18
27,3 %
3
Sebagai pemberi nasehat
27
40,9 %
66
100 %
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berangkat dari tebel diatas dapat di lihat bahwa orang tua masih
berperan dalam pencarian jodoh anak, hal ini dapat di lihat dari tabel di
atas bahwa 21 Responden (31,8 %), dan begitu pula 18 responden (27,3
%) yang mengambil peran sebagai penentu jodoh, serta 27 responden
(40,9 %) yang menjadi / berperan penasehat , hal ini memberikan
penjelasan kepada kita bahwa ternyata orang tua masih mempunyai
peran yang sangat besar dalam memberikan naasehat terhadap
penentuan jodoh anak, semua itu dikarenakan orang tua masih di
pandang selaku kiblat dalam hal pengambilan keputusan.
C. Faktor – faktor yang mempengaruhi orang tua dalam menentukan jodoh
anak
Perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan
perempuan yang diakui oleh masyarakat yang berdaasarkan atas
peraturan perkatinan yang berlaku. Suatu perkawinan mewujudkan
81
adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status keabsahan
anak mereka.
Perkawinan tidak hanya mewujudkan antara hubungan meraka
saja, tetapi juga melibatkan hubungan diantara kerabat-kerabat dimasingmasing pasangan tersebut. Perjodohan antara laki dan perempuan, jika
hal itu yang di ingainkan oleh orang tuanya pasti berdasarkan menurut
kebudayaannya masing-masing. Seringkali orang tidak dapat berbuat
apa apa dalam hal ini orang tua pada umumnya lebih memikirkan sosial
ekonomi keluarga masing-masing dari pada mengusahakan kebahgian
perjodohan anak mereka. Untuk mengetahui factor-faktor apa sajakah
yang mempengaruhi orang tua dalam memilih calon menantu dapat
dilihat melalui tabel berikut ini ;
Tabel 13
Distribusi responden menurut faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan jodoh anak
No.
Factor-faktor yang
Frekuensi
mempengaruhi
Persentase
(%)
1
Keturunan
25
37,8 %
2
Pendidikan
12
18,4 %
3
Status sosial/ ekonomi
11
16,6 %
4
Pekerjaan
18
27,2%
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
82
Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa 25 responden
(37,8%) mengiginkan calon menantu berdasarkan faktor keturunan, 12
responden (18,4%) berdasarkan faktor pendidikan sedangkan yang
berdasarkan faktor pekerjaan sebanyak 18 responden (27,2%) dan 11
respoden (16,6%) yang berdasarkan status sosial. Hal ini orang tua lebih
tertarik dari asal usul keturunan.
Mengenai asal usul keturunan calon menantu yang di kehendaki
orang tua dapat dilihat melalui tabel berikut ini :
Tabel 14
Sikap orang tua terhadap asal usul keturunan calon menantu
No
Asal usul keturunan
Frekuensi
Persentase
(sikap)
1
Setuju
43
65,1%
2
Tidak Setuju
23
34,9%
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden
dengan frekuensi 43 responden (65,1%) yang menyatakan setuju dan 23
responden(34,9%) menyatakan tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa
sikap orang tua menilai asal usul keturunan calon menantu.
Mengenai tingkat pendidikan calon menantu yang di inginkan
terhadap perkawinan anak dapat melihat melalui tabel berikut ini:
83
Tabel 15
Tingkat pendidikan calon menantu yang diinginkan dalam perkawinan.
No
Tingkat pendidikan
Frekuensi
Persentase
1.
Diatas pendidikan orang tua
41
62,2%
2.
Sama/ sederajat
23
34,8%
3.
Di bawah pendidikan orang
2
3%
66
100%
tua
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan
tabel
diatas
dapat
dilihat
bahwa
orang
tua
mengiginkan calon menantu yang mempunyai tingkat pendidikan diatas
pedidikannya dengan frekuensi 41 responden (62,2%) dengan alasan
beranggapan bahwa jika mempunyai menantu yang lebih tinggi tingkat
pendidikannya
dipandang
lebih
bergengsi.
Yang
meginginkan
sama/sederajat tingkat pendidikannya 23 responden (34,8%) serta hanya
2 responden (3%) yang meginginkan calon menantu yang menpunyai
tingkat pendidikan dibawah pendidikannya.
Selain faktor pendidikan, juga tak kalah pentingnya adalah status
sosial calon menantu. Adapun yang dimaksudkan status sosial disini
adalah
posisi
seseorang
secara
umum
dalam
masyarakatnya
sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulanya,
prestasinya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
84
Dengan alasan bahwa jika status sosial calon menantu berdasar
dari status sosial yang tinggi akan menjaga gensi dan martabak keluarga.
Untuk mengetahui status sosial yang diinginkan terhadap calon menantu
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 16
Status Sosial yang Di Harapkan Terhadap Calon Menantu
No
Status Sosial
Frekuensi
Presentase
1.
Tinggi
45
68,3%
2.
Sedang
17
25,7%
3.
Rendah
4
6%
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden
menginginkan calon menantu mempunyai status sosial yang tinggi dengan
frekuensi 45 responden (68,3%), dan selebihnya tidak mempermasalahkan
status sosial yang dimiliki oleh calon menantunya ini dilihat dari frekuensi
jawaban yang diberikan oleh responden yaitu 17 responden (25,7%), dan
4 responden (6%). Hal ini menunjukka bahwa orang tua sangat
menginginkan calon menantu yang berstatus tinggi.
Mengenai sangat pentingnya faktor pekerjaan dari calon menantu
dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
85
Tabel 17
Siakap Orang Tua Terhadap Calon Menantu yang Sudah Bekerja
No
Proses yang dilalui
Frekuensi
Persentase
1.
Sangat setuju
42
63,6%
2.
Setuju
17
25,7%
3.
Biasa saja
7
10,7%
66
100%
Jumlah
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar
responden sangat setuju terhadap calon menantu yang sudah bekerja
dengan frekuensi 42 responden (63,6%) dengan alasan kehidupan
rumah tangga anaknya akan terjamin nantinya jika mempunyai menantu
yang sudah bekerja, sedangkan yang menyatakan biasa saja terhadap
calon menantu yang sudah bekerja 7 responden (10,7%), karena mereka
beranggapan bahwa kebahagiaan anaknya tidak terletak pada, ada dan
tidaknya pekerjaan yang dimiliki oleh calon menantunya.
Mengenai kenal tidaknya anak dengan calon menantu dapat dilihat
melalui tabel berikut ini:
86
Tabel 18
Proses yang Dilalui Anak Sebelum menikah
No
Proses yang dilalui
Frekuensi
Presentase
1.
Pacaran
39
59,1 %
2.
Tidak pacaran
27
40,9 %
Jumlah
66
100 %
Sumber: Hasil Tabulasi Data Primer 2012
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ada 39 responden
(59,1%) yang menyatakan anaknya dengan melakukan proses pacaran
sembelum menikah dan 27 responden (40,9%) menyatakan tidak melalui
proses pacaran sebelum menikah. Hal ini menunjukkan proses perjodohan
sebelum menikah orang tua masih memberi kesempatan kepada anaknya
untuk pacaran dengan calon pasangan yang telah dijodokannya.
87
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dalam menentukan jodoh anak tidak didominasi lagi oleh orang tua
melainkan anak itu sudah di beri kebebasan untuk memilih jodohnya,
karna anak yang menjadi pemeran utama dalam menentukan
pasangan hidupnya.
2. Beberapa faktor yang berpengaruh besar terhadap orang tua dalam
menentukan jodoh anaknya yaitu:
a. Pekerjaan merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan
jodoh anak hingga kelak berumah tangga kedepannya.
b. Status sosial yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap orang
tua dalam menentukan jodoh anak, hal ini sangat jelas untuk
memperbaiki derajat keluarganya.
c. Tingkat pendidikan juga menjadi faktor terjadinya perjodohan,
dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki maka tidak
menutup kemunkinan pola pikir mereka akan sempit.
88
B. Saran
penulis
memberikan
beberapa
sumbangan
saran
untuk
pertimbangan dalam hal sistem perjodohan anak, bahwa kewenangan
orang tua anak tidak seharusnya dijadikan sebagai alat penekanan
(paksaan) terhadap anak. Oleh karena itu penulis memberikan saran
untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga dalam hal ini antara
orang tua dan anak:
1. Perlu adanya kewaspadaan orang tua dalam memberikan kebebasan
bergaul kepada anaknya yang berlainan jenis sehingga dapat
membatu anaknya dapat memilih calon
pasangan hidupnya agar
tidak salah pilih serta tidak menyesal dikemudian hari.
2. Perlu adanya saling pegertian antara orang tua dan anak dalam
memimilih calon pendamping hidupnya, disamping mengutamakan
kepentingan orang tua jangan sampai melupakan kepentingankepentingan anak sebagai pelaku rumah tangga.
3. Perlu ditingkatkan usaha- usaha pemerintah yang ada sekarang yaitu
meningkatkan usaha perjodohan/ perkawinan anak.
89
DAFTAR PUSTAKA
Adji,S Surato Phil. 1979. Kawin Lari dan Kawin Antara Agama.
Liberti. Jogjakarta
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya, CV Pelangi Jakarta.
Bungin, Burhan (2005). Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta. Kencana.
Dwi Narwoko. J. Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Kencana Jakarta.
Folak. Mayor. J. B. A. F. 1964. Sosiologi Pengantar Rinkas. Ichtiar Jakarta.
Goode, William J. 1985. Sosiologi Keluarga, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Handayani, 2005. Rumah Tangga Ideal. Kencana Jakarta
KoentjaraNingrat, 1988. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Djambatan
Indonesia.
Mardalis. 1999. Metode Penelitian suatu pendekatan proposal.
Bumi Aksara Jakarta.
Mardiya. 2000. Kiat-kiat Khusus Membangun Keluarga Sejahtera. Jakarta
: BKKBN Pusat.
Noor Siswanto. 2002. “Konvensi Hak Anak Sebagai Prinsip Perlindungan
Anak”. Yogyakarta : Dinas Sosial Propinsi DIY..
90
Sri Mirmaningtyas. 2005. “Pendidikan Karakter Anak dan Masa Depan
Bangsa”. Kedaulatan Rakyat 21 Juli 2005.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
pers.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi. Ed. 1964 Metode Penelitian Survei.
LP3ES. jakarta
Suhendi Hendi, Wahyu Ramdani. 2001. Pengantar Study Sosiologi
Keluarga. Pustaka setia. Bandung .
Sunartini. 2001. Peran Orang Tua Dalam Tumbuh Kembang Anak yang
Berkualitas dan Berbudaya. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran
UGM.
Vredenbert, J. 1984. Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta.
Warnich, Robert.1981. Prilaku Manusia dan Keluarga. Tata Pustaka.
Jakarta.
Widjaya. A. W. 1986. Individu Keluarga dan Masyarakat. Akademika
Pressindo. Jakarta.
91
Sumber Lain (Data Internet, Artikel, dan Data Kantor Desa Paria 2010)
www.Google.com, Defenisi keluarga luas(extended family) di akses bulan
desember 2011
www. Google. com, Cara penentuan jodoh anak. Di akses bulan januari
2012.
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/juridic/article/d. Di akses bulan April
2012.
92
Download