BAB I OVERVIEW ANLS Dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC Latar

advertisement
BAB I
OVERVIEW ANLS
Dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC
Latar belakang
Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan
maka terjadi pula pergeseran pola penyakit. Dahulu penyakit infeksi merupakan keadaan yang
menjadi stau masalah besar di bjdang kesehatan, pada saat sekarang penyakit degeneratif
merupakan masalah utama.
Di bidang neurologi terjadi juga hal yang sama walaupun masalah infeksi susunan saraf pusat
akhir-akhir ini mengalami peningkatan jumlah kasus (dengan banyaknya penyandang HIV).
Sebagaimana di negara berkembang lainnya stroke merupakan penyebab kematian utama ke 3
setelah kasus trauma dan jantung serta penyebab kecaactan utama. Bahkan dari data Depkes
(Riskesdas) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah
sakit di Indonesia. Selain itu kejadian trauma kepala dan trauma medula spinalis dengan segala
akibatnya memperlihatkan kecenderungan peningkatan, hal ini sejalan dengan semnakin
tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas.
Otak yang hanya dengan berat 2% dari berat badan merupakan organ tubuh yang terpenting
dengan tingkat metabolisme yang sangat tinggi. Metabolisme otak dangat tergantung pada
ketersediaan oksigen dan glukosa, dan otak tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan
cadangan oksigen da glukosa tersebut. Sehingga sewaktu terjadi gangguan terhadap suplai
maka dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas
kerusakan saraf sangatlah singkat.
Sampai saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan
regenerasi jaringan saraf sangat minimal dan apabila terjadi gangguan. Gangguan pada otak
bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat terjadinya kerusakan permanen yang
berakhir dengan kematian atau kecacatan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya penanganan
yang cepat dan segera. Sebagai contoh pada pasien trauma otak berat tingkat kematian akan
meningkat melebihi 3 kali lipat dan tingkat kecacatan yang berat akan meningkat melebihi dari
10 kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60% dibanding >90%.
Untuk itu tentunya
1
diperlukan ketepatan penanganan khususnya penanganan emergensi dan penegakkan diagnosis
yang tepat, atau paling tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel
saraf.
Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien dengan
kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter adalah rasa pesimistis
terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang
cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi
terhadap pasien secara langsung. Pada hal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus
segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin
besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan
kecacatan.
Tujuan
Tujuan umum ANLS
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan penatalaksanaan medis terhadap pasien
dengan kasus neuroemergensi.
Tujuan khusus ANLS
Setelah selesai mengikuti program ini diharapkan para peserta (dokter) mempunyai
kemampuan untuk :
1. Memahami konsep kegawatdaruratan primer dalam tatalaksana pasien neurologi.
2. Menguasai tatalaksana yang diprioritaskan pada kondisi emergensi pasien neurologi.
3. Mengetahui strategi awal selama
jam-jam pertama
pelayanan
pasien akut neuro-
emergensi.
4. Mengetahui dan mampu melakukan
tindakan terhadap pasien dengan kasus neurologi
yang memerlukan tindakan segera.
5. Merencanakan, memutuskan dan melakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai.
2
Konsep penting dalam ANLS
1. Keadaan yang sangat mengancam nyawa dan mengancam terhadap kecacatan neurologi
merupakan prioritas utama.
2. Pada kasus emergensi kegagalan dalam menegakkan diagnosis definitif jangan sampai
menghalangi penanganan awal.
3. Pada kasus emergensi keinginan untuk memperoleh riwayat penyakit yang rinci jangan
sampai menunda tindakan emergensi terhadap pasien dengan gangguan neurologi akut.
Ruang lingkup ANLS
Semua keadaan atau kondisi manifestasi klinis neurologi yang mengancam terjadinya
kecacatan atau kematian bila tidak segera diobati/ diatasi. Manifestasi klinis tersebut dapat
berupa :

Gangguan kesadaran dan pendekatannya.

Kejang dan status epileptikus

Peningkatan TIK

Kedaruratan stroke

Kedaruratan trauma kapitis

Kedaruratan neuro infeksi

Nyeri akut.

Vertigo dan sakit kepala emergensi.

Kegawatan neuromuskular.

Neruoimaging pada kedaruratan neurologi.
Metode kursus
Dilakukan dengan kuliah dan diskusi tatap muka dan dilanjutkan dengan skill station berupa
pembahasan kasus.
Sasaran
Dokter umum yang berkecimpung di bidang emergensi terutama kedaruratan neurologi.
3
Assesment Neurologi
Objektif
•
Tinjauan prinsip-prinsip injuri serebral primer dan sekunder dan mekanisme terjadinya
injuri sel-sel saraf tersebut.
•
Penerapan konsep umum dalam manajemen injuri serebral.
•
Penatalaksanaan umum injuri otak.
Latar belakang
Jaringan otak merupakan jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi, meskipun pada area
dengan densitas kapiler yang rendah. Otak dengan berat hanya 2% dari berat badan
membutuhkan sekitar 15% dari seluruh kardiak out put, 20% dari oksigen yang beredar serta
25% glukosa digunakan untuk metabolisme otak. Fungsi metabolisme sel otak sangat
tergantung pada ketersediaan secara terus menerus oksigen dan glukosa sebagai sumber energi.
Otak tidak dapat menyimpan cadangan oksigen dan glukosa sehingga kekurangan oksigen akan
terjadi metabolisme anaerob, sedangkan bila kekurangan glukosa akan terjadi
kegagalan
metabolisme serebral.
Pada stroke akut, trauma kepala, kejang, infeksi SSP, hipoksik-iskemik akan terjadi gangguan
metabolisme otak berupa ketidakseimbangan antara suplai & kebutuhan (demand).
Injuri primer dan injuri sekunder.
Injuri serebral dapat terjadi secara primer yaitu injuri yang terjadi kejadian (insult), pada injuri
primer ini pada umumnya hanya sedikit saja yang masih bisa diperbuat. Beberapa mekanisme
injuri primer ini adalah trauma kepala dan medulla spinalis, iskemia baik umum seperti pada
gagal jantung atau regional seperti pada stroke, inflamasi (meningitis, ensefalitis), kompressi
(tumor otak, perdarahan epidural, subdural) dan metabolisme seperti hipoglikemia.
Sedangkan injuri sekunder merupakan injuri yang terjadi sebagai akibat lanjut dari proses
injuri primer. Injuri sekunder meliputi hipoperfusi baik global seperti syok, gagal jantung
maupun regional pada perdarahan subarachnoid; hipoksia seperti gagal nafas, anemia;
perubahan elektrolit seperti hipo-hiper-natremia atau perubahan asam basa sepeti asidosis
4
berat. Selain itu injuri otak sekunder dapat terjadi akibat injuri reperfusi dengan dilepasnya
asam radikal bebas.
Aliran darah otak
Agar otak dapat berfungsi dengan baik diperlukan aliran darah otak yang optimal, dalam
keadaan normal 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Otak akan mengalami kerusakan permanen
apabila ADO turun sampai dengan dibawah 10 mmHg. Pada keadaan normal aliran darah otak
(ADO) yang optimal ini diperlihara oleh tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan rentang 40 –
140 mmHg. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya sistem autoregulasi serebral. Namun pada
kadaan patologi serebral, akan terjadi kegagalan mekanisme autoregulasi sehingga ADO
semata-mata tergantung dari CPP. Pada umumnya pada kondisi ini dibutuhkan CPP >
70mmHg. CPP merupakan selisih dari tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan
intracranial (TIK). Untuk menjaga ADO yang normal diperlukan keadaan MAP yang optimal
dan TIK yang rendah. Dengan demikian focus untuk menjaga agar metabolisme otak tetap
berjalan dengan baik diperlukan segala upaya untuk menjamin perfusi serebral yang optimal
dan menjaga tidak terjadi peninggian tekanan intrakranial.
Selain itu yang penting juga dijaga adalah deliveri oksigen kejaringan khususnya jaringan otak.
Deliveri oksigen tergantung dari kemampuan jantung (output kardiak) dan kandungan oksigen
dalam arteri yang ditentukan oleh kadar hemoglobin dan saturasi oksigen (kemampuan paru).
Prinsip dalam menjaga keseimbangan metabolism otak adalah menjaga balans oksigen yaitu
keseimbangan pemakaian (demand) dan suplai (delivery). Dalam kondisi patologi hendaknya
diusahakan menekan pemakaian oksigen yang tidak normal dan menjaga suplai tetap baik.
Beberapa upaya dalam menekan pemakaian oksigen di otak yang tidak normal antara lain
mengatasi kejang, menjaga tidak terjadi hipertermia, mengatasi nyeri, cemas dan agitasi,
mengatasi menggigil dan jangan lakukan stimulasi yang berlebihan seperti penyedotan lendir
pernafasan berlebihan.
Upaya dalam rangka menjaga suplai oksigen tetap optimal dapat dilakukan antara lain menjaga
transport oksigen sistemik, mejaga tekanan darah optimal, mencegah hiperventilasi rutin,
mengupayakan cairan tubuh dalam kondisi euvolemia.
5
Assessment
Dalam menghadapi kasus neuro-emergensi yang pertama harus diketahui apakah pasien dalam
keadaan injuri primer atau sekunder. Untuk itu diperlukan pemeriksaan neurologi yang tepat
dan seperlunya dalam rangka mengambil keputusan yang tepat.
Pemeriksaan tingkat
kesadaran, saraf kranialis dan pemeriksaan motrik serta sensorik yang diperlukan daalm
kondisi emergensi santalah diperlukan. Adakalanya diperlukan pemeriksaan penunjang yang
sesuai seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan CT Scan pada stroke, trauma kepala
atau lesi desak ruang, punksi lumbal untuk analisa cairan serebrospinal dalam kasus infeksi
susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus tertentu mungkin memerlukan konsultasi ke bedah saraf
segera seperti pada kasus perdarahan epidural atau subdural dengan derajat tertentu, fraktur
terbuka atau impressi tulang cranium, hidrosefalus akut, perdarahan serebelum atau adanya
kebocoran cairan serebrospinal.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan awal, maka selanjutnya diperlukan pemantauan
dan pemeriksaan neurologi lengkap yang mengarah ke terapi definitif.
Kesimpulan
Injuri susunan saraf pusat meliputi injuri primer dan injuri sekunder. Dengan penanganan
yang tepat dan segera akan mencegah terjadinya kerusakan otak yang lebih berat. Upaya utama
dalam penanganan injuri serebral ini adalah menjaga agar tidak terjadi hipoksia dan hipotensi.
Selain dari itu juga penting mengontrol konsumsi oksigen serebral dan mengoptimalkan
deliveri oksigen ke jaringan khususnya serebral dan medulla spinalis.
6
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Susunan Saraf Pusat
Dr. Salim Harris SpS, (K)
Pendahuluan
Dalam melakukan diagnosa penyakit susunan saraf diperlukan penetapan topis kelainan yang
ada. Penentuan topis didasarkan atas temuan-temuan baik secara anamnesis maupun dalam
pemeriksaan fisik. Dengan mengetahui fungsi anatomi dan susunan saraf akan memudahkan
dalam diagnosis dan dapat melakukan satu anjuran dalam menentukan pola pemeriksaan
penunjang yang akan dilakukan selanjutnya. Pengetahuan topografis ini di samping untuk
menentukan diagnosis juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis kasus yang
bersangkutan. Kemampuan menentukan letak topis suatu penyakit saraf harus didasarkan
pengetahuan tentang neuroanatomi dan neurofisiologi yang tepat. Susunan saraf terdiri dari 3
bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan otonom. Ketiga susunan saraf ini saling
terkaitan satu dengan yang lain nya.
Adanya gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang
berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan tetapi
keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan manifestasi
klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan bermanifestasi lebih dari satu
topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan manifestasi klinik yang berbeda-beda dari
satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit
yang topisnya berbeda sehingga ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan
yang berbeda pula atau memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena
nya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya
dalam melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf.
Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex, peningkatan
tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang menurun dan reflex
yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis penyakit secara bersamaan
misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya seorang penderita polineuropati
diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka akan ditemukan manifestasi kelainan yang
bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu kita dalam menegakkan diagnose apabila
pengetahuan mengenai neuroanatomi dan neurofisiologi.
Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan neurotransmitter
sebagai mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls tersebut. Diketahui
neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam susunan saraf ada kalanya
neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang sama pada tempat yang berbeda.
Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah norepineprin, tetapi untuk produksi
7
keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian
keberadaan neurotransmitter mempunyai peran yang sangat penting untuk dapat diketahui
dengan jelas sehingga gangguan manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat
mungkin.
Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui suatu
sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak merupakan suatu
sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan strukturnya dengan pembuluh
darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia.
Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif yang
merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi kerja berlebih
sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik, sensorik maupun otonom
yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik yang memberikan respon
kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik, motorik maupun otonom.
Untuk mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan mengenai neuroanatomi tersebut
selanjutnya akan dijelaskan mengenai neuroanatomi susunan saraf pusat.
Anatomi Susunan Saraf Pusat
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Otak
Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum, diencepahalon
dan batang otak atau brainstem.
Cerebrum atau Otak besar.
Cerebrum Atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer yaitu otak
kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu corpus calosum.
Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek serebri , jaringan masa putih
atau white matter dan ganglia basalis.
Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda, di mana otak
kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-fungsi lain.
Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping fungsi fungsi lainnya.
Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere otak yaitu otak kanan dan otak
kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu mendapatkan kontrol balik penuh baik dari
otak kanan maupun otak kiri.
8
Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut sulkus dan apabila
sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau fissura ialah untuk
memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative kecil. Di antara dua sulkus
terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai nama-nama spesifik yang
berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus presentralis, girus post sentralis
dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu sehingga disebut subtansia grisea, warna
abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak tersebut mengandung badan sel saraf
seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini disebut sebagai cortex, sedangkan bagian
dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai subtansia alba dikarenakan mengandung
serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam bangunan berwarna putih yang disebut sebagai
subtansia alba ini akan ditemukan kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai
komponen sel neuron dan disebut sebagai ganglia basalis.
Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut
dengan lobus antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lobus frontal
Lobus parietal
Lobus oksipital
Lobus temporal
Insula
Rhine-Encephalon
Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus atau
fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut sulkus
centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus paritooksipitalis.
Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain disebut sulkus lateralis .
9
Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari belakang
orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini mempunyai peran
penting sebagai pusat dari :
1. Perintah gerak
2. Pusat pergerakan
3. Pusat bicara (broka)
4. Pusat emosi
5. Pusat berfikir
6. Pusat pengatur gerak mata
7. Pusat perilaku
8. Pusat inisiatif
9. Pusat reaksi terhadap jatuh
10. Pusat untuk mengatur kondisi tubuh
11. Dan pusat-pusat lainnya
10
Lobus Parietalis
Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh sulkus
paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini yang paling
menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post sentralis yang
mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik yang meliputi untuk
perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian kecil yang bersebelah
dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara (speech)
Lobus Temporalis
Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran dalam
sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan (speech),
memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada, mengerti nama,
mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya.
Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis dari bagian
samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus temporalis media, dan
gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam akan terdapat gyrus
parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan gyrus occipito-temporal
media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus occipito-temporal dipisahkan
dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan dari gyrus parahypocampus
terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini memisahkan gyrus parahypocampus
dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus. Sedangkan bagian belakang dari gyrus
parahypocampus disebut gyrus lingual.
11
Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian media)
dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan dibagian samping
atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures (lekukan halus). Lobus
oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan analisa penglihatan dikenal
sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta warna. Dikenalsebagai area 17
sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai pusat penglihatan sekunder dan
tersier dengan peran utama sebagai pusat memori penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area
18,19 akan menimbulkan aura penglihatan dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis,
sedangkan kerusakan daerah ini akan menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan
pengenal obyek, bentuk dan ukuran benda (optical agnosia, alexia)
12
Insula
•
Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus
frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus
centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak
diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada
insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan.
13
Rhineencephalon (bulbus olfactorius)
Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam penciuman. Terdapat
sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan neuron pertama dalam sistim
penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral dan tuftel yang berada pada bulbus
olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam proses penciuman, selanjutnya axan dari sel
sel ini akan membentuk traktus olfaktorius, selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial
olfactory striae dan lateral olfactory striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat
penciuman Brodmann’s area 28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan
medial olfaktori striae akan menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai
bagian dari system limbic.
14
Kommisura (Commisura)
Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia alba dari
jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai penghubung
neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan sesuai dengan funsi
penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu:
1. Kommisura transversal.
2. Kommisura Assosiasi.
3. Kommisura proyeksi.
15
Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang menghubungkan satu
hemisphere dengan hemisphere lainnya contoh:
1. Corpus Calosum.
2. Commissura Anterior.
3. Commissura Hyppocampal .
Sedangkan kommisura assosiasi adalah kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu
bangunan dengan bangunan lainnya dalam satu hemisphere contoh:
1. Serabut intracortical.
2. Serabut subcortical.
3. Serabut assosiasi panjang.(FLS, FLI, uncinate Fasc, Arcuate Fasc, Cingulum)
FLS ( Fasiculus logitudinalis superior). Menghubungkan lobus frontal dengan lobus occipital.
FLI ( Fasiculus longitudinalis inferior). Menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal
Fasiculus Uncinate. Menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior .
Fasiculus Arcuate: Menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis.
Cingulum. Yang mengitari cortex gyrus cingulate
Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang menghubungkan satu
bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah (bawah keatas atau
sebaliknya) contoh:
1. Serabut corticipetal atau serabut affere
2. Serabut corticifugal atau serabut efferent.
16
Ganglia Basalis
Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa putih). Terdiri
dari
1. Nucleus Caudatus.
2. Nucleus Lentiformis/Lenticularis (Putamen+ Globus palidus )
3. Amygdala
Peter Duus menbagi Ganglia Basalis:
1.
2.
3.
4.
N.Caudatus.
Putamen.
Claustrum.
N.Amygdala.
Sedangkan Globus Pallidus masuk dalam diencephalon (subthalamus).
17
Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis kecuali claustrum.
Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum oleh capsula externa.
Nucleus caudatus merupakan masa kelabu yang memajang dari bagian cranial tepat disisi
lateral ventricle lateralis dan berbentuk seperti buah peer memanjang kebelakang sebagai ekor
dan berahir setinggi amygdala. Nucleus caudatus terlihat melingkari putamen dan melakukan
hubungan /commissura dengan putamen.
Nucleus lentiformis terletak diantara insula, nucleus caudatus, dan thalamus.
Nucleus lentiformis oleh Lamina medullaris externa dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Putamen.
2. Globus Pallidus.
Nucleus Lentiformis (Putamen, Globus pallidus) , N.caudatus, Subtansia nigra, dan Thalamus
saling berhubungan dengan serabut/commissura assosiasi.
Nucleus Lentiformis, Terdiri dari 2 komponen nuclei yang berbeda dalam phylogenis,struktur
maupun fungsinya.
1. Putamen berasal dari matrix disekitar ventricle lateralis ( seperti asal Nucleus
caudatum) dan merupakan neocortex.
2. Globus Pallidus atau Pallidum. Merupakan bagian diencephalon, berasal dari matrix
disekitar ventrikle III yang berhubungan dengan nucleus subthalamicus (Richter, 1965)
Striatum, terdiri dari dua bagian yaitu Neostriatum dan paleostratum.
Neostriatum terdiri dari nucleus caudatus dan putamen, sedangkan paleostriatum adalah globus
pallidus atau disebut pallidum.
18
19
William F Ganong dalam bukunya review of medical physiology membagi basal
ganglia dalam 5 bagian masing masing, Nukleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus,
subthalamic nucleus ( body of Luys ) dan subtansia Nigra.
Kepustakaan :
1. Review of Medical Physiology, William F. Gannong, 22 edition, 2005.
2. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, CP. Warlow, et. Al,
2001.
3. Topical Diagnosis in Neurology, Mathias Baehr, MD. Et all.,
4th complete revised edition.
4. Topical Diagnosis in Neurology, Peter Duus, June 1989.
20
BAB III
PEMERIKSAAN NEUROEMERGENSI
Dr. Eka Musridharta, Sp.S, KIC
Tujuan
1. Memahami pentingnya pemeriksaan neurologi
2. Memahami sistematika pemeriksaan neurologi
3. Mampu melakukan pemeriksaan neurologi pada kasus-kasus emergensi
Latar Belakang
Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran telah banyak memberikan
sumbangsih bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi.
Pemeriksaan penunjang canggih juga semakin akrab dengan para dokter. Meskipun demikian,
pemeriksaan penunjang generasi terbaru sekalipun tetap tidak dapat menggantikan posisi
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis. kursus ANLS seperti halnya kursuskursus yang lain (ATLS / ACLS), evaluasi dan pengobatan emergensi pada pasien neurologi
yang akut, riwayat penyakit sebelumnya secara rinci untuk sementara tidak perlu diketahui.
Pemeriksaan neurologis akan memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh
pemeriksaan penunjang. Meskipun kedudukannya demikian penting ternyata pemeriksaan
neurologis seringkali dikesampingkan oleh para dokter terutama pada keadaan emergensi.
Tampaknya banyak dokter yang beranggapan bahwa pemeriksaan neurologis hanyalah
menghabiskan waktu, tidak relevan dengan kondisi emergensi dan sulit dilakukan.
Sistematika pemeriksaan neurologis
Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis ada 3 hal penting yang perlu diingat dan
dilakukan yaitu: anamnesis, anamnesis dan anamnesis.
Dalam situasi emergensi terkadang anamnesis tidak dapat dilakukan dengan panjang lebar.
Lakukan anamnesis singkat sambil menilai kesadaran dan tanda vital pasien. Setelah kondisi
pasien stabil dan aman anamnesis dapat dilanjutkan kembali.
21
Dengan anamnesis informasi berikut harus didapat:

Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?)

Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap atau
membaik?)

Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai keluhan
utama?)

Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
atau pernahkah menderita sakit lainnya?)
Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan ”VITAMINS” :
V
I
T
A
: Vascular
: Infectious
: Traumatic
: Autoimmune
M
: Metabolic/Toxic
I
: Idiophatic/ Iatrogenic
N
: Neoplastic
S
: Seizure, pSychiatric,
Structural
Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak
Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome
Riwayat trauma sebelumnya
Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit
autominun lain mis SLE
Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit
metabolik
Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan
sudah berulang kali
Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat
tumor di organ lain
Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan
organ/anatomis sebelumnya
Pada pasien dengan kegawatdaruratan neurologi prinsip ”ABC” dan D dijalankan, pada
keadaan kegawatdaruratan hampir semua pasien dengan kondisi berat akan cenderung
memburuk bila tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat. sehingga pada keadaan
kegawatdaruratan neurologi tidak perlu dilakukan pemeriksaan neurologi menyeluruh.
Pada Pemeriksaan Neuroemergensi yang paling penting adalah:
1. Tingkat kesadaran.
2. Pupil dan gerakan bola mata.
3. Tanda rangsang meningeal.
4. Fungsi saraf-saraf kranial.
5. Fungsi motorik dan reflek
22
Pemeriksaan kegawatdaruratan neurologi dilakukan bersamaan, segera atau setelah dilakukan
tindakan ABC, yang bertujuan untuk mencari ada atau tidaknya defisit neurologis fokal,
mencari tanda-tanda meningitis dan menilai tingkat kesadaran dan fungsi neurologis.
Ad.1.Tingkat Kesadaran diperankan oleh 2 aspek penting:
a. Arousal suatu fungsi primitif yang diatur oleh batang otak dan medial talamus.
b. Awarenes untuk dapat berfungsi dengan baik memerlukan korteks serebri dan sebagian
besar nukleus di subkorteks yang intak.
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memeriksa kesadaran adalah menentukan derajat
kesadaran. Derajat kesadaran dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Jika derajat kesadaran
terganggu maka atensi, konsentrasi dan fungsi kognitif lainnya dapat dipastikan juga akan
terpengaruh.
Derajat kesadaran kualitatif :
-
Delirium, suatu tingkat kesadaran di mana terjadi peningkatan yang abnormal dari
aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien
tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat,
meronta-ronta.
-
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran akan pulih penuh bila dirangsang. Disebut
juga letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita
dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
-
Stupor: respon terhadap lingkungan hilang sebagian. Pasien sulit dibangunkan,
responnya lambat, tidak adekuat, mengabaikan lingkungannya dan segera kembali ke
kondisi stupornya.
-
Koma: suatu tingkat kesadaran di mana pasien tidak dapat dibuat terjaga dengan
stimulus biasa. Pasien tidak responsif terhadap lingkungannya dan dirinya sendiri.
Tidak ada gerakan volunter dan siklus tidur-bangun.
23
Derajat kesadaran lebih mudah dideskripsikan menggunakan suatu skala Kuantitatif yaitu
Skala Koma Glasgow (SKG)
Eye (E)
Membuka mata spontan
4
Membuka mata dengan stimulus verbal
3
Membuka mata dengan rangsang nyeri
2
Tidak membuka mata
1
Respon motorik (M)
Dapat mengikuti perintah
6
Dapat melokalisasi rangsang nyeri
5
Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, fleksi menjauhi rangsang nyeri
4
Dekortikasi
3
Deserebrasi
2
Tidak ada respon motorik
1
Respon verbal (V)
Orientasi tempat, waktu dan orang baik. Konversasi seperti biasa.
5
Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat.
4
Kata-kata yang tidak berarti
3
Hanya merintih atau mengerang
2
Tidak ada respon verbal
1
SKG tertinggi 15 dan terendah 3. Pasien dengan derajat kompos mentis memiliki nilai SKG 15
sedangkan pasien dengan koma SKG 3.
Langkah kedua setelah menentukan derajat kesadaran adalah menilai atensi. Tentunya pada
pasien dengan penurunan derjat kesadaran atensi akan terganggu. Pasien dengan atensi yang
normal akan melihat ke arah pemeriksa dan menjawab pertanyaan dengan cepat. Pada
gangguan atensi biasanya fiksasi visual terganggu, respon verbal lambat.
Langkah ketiga adalah menilai konsentrasi. Pasien diminta untuk menghitung mundur dari 20
ke 1 dan menyebutkan nama bulan dengan urutan terbalik. Pada gangguan konsentrasi respon
lambat, ada yang terlewatkan atau terbalik.
24
Ad.2. Pupil
Komponen utama pemeriksaan pupil adalah
 Ukuran, bentuk dan simetri pupil
 Reaktivitas pupil terhadap cahaya
 Refleks cahaya langsung dan tidak langsung
 Refleks akomodasi
Dalam menentukan etiologi kesadaran menurun, pemeriksaan pupil dapat memberikan
petunjuk sebagai berikut :

Refleks pupil yang normal dan ukurannya simetrik : keadaan ini seringkali dijumpai
pada koma metabolik. Pada intoksikasi opiat dapat dijumpai pupil yang miosis.

Ukuran pupil yang tidak sama (anisokor) : pada pasien dengan kesadaran menurun
terdapatnya tanda ini memberikan dugaan kuat telah terjadi herniasi otak. Beberapa
keadaan perkecualian dapat dijumpai, misalnya pada pasien cedera kepala dengan
trauma langsung pada mata dapat menimbulkan pupil yang anisokor tanpa herniasi
otak.

Pupil midriasis bilateral dan tidak menunjukkan refleks cahaya : keadaan ini seringkali
dijumpai pada tahap akhir herniasi otak. Perkecualian yang dapat dijumpai adalah
pasien intoksikasi amfetamin atau atropin.

Pupil pin-point bilateral : keadaan ini seringkali dijumpai pada perdarahan di pons.
Keracunan opiat dapat memperlihatkan gambaran pupil seperti ini, namun pada
keracunan opiat refleks tendon akan menurun, sebaliknya pada perdarahan di pons
dapat dijumpai peningkatan refleks tendon dan adanya tanda refleks babinski.
Ad.3. Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk (nuchal rgidity) meupakan gejala yang paling sering dijumpai pada iritasi
meningens. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut, tangan pemeriksa
diletakkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Tangan lainnya diletakkan di
dada pasien untuk mencegah badan terangkat. Kemudian leher difleksikan hingga dagu
menyentuh dada. Pemeriksa merasakan tahanan yang timbul saat melakukan gerakan
fleksi pasif ini. Bila terdapat kaku kuduk maka dagu tidak dapat menyentuh dada dan
akan dapat dirasakan tahanan saat melakukan fleksi leher. Kekakuan yang timbul dapat
25
bervarisi dari hanya tahanan ringan hingga berat di mana kepala tidak dapat ditekuk
bahkan hingga terkedik ke belakang. Selain kaku kuduk terdapat beberapa tanda
rangsang meningeal lainnya seperti kernig, lasegue dan brudzinsky I dan II.
Pada meningitis tanda rangsang meningeal yang paling sering ditemukan adalah kaku
kuduk. Lasegue dipergunakan untuk memeriksa iritasi radiks.
Pada pasien dengan HNP lumboskaral misalnya, laseguenya tidak dapat melebihi sudut
70° dan timbul nyeri saat tungkai diangkat.
Ad.4. Saraf kranialis
Berdasarkan lokasi/ topis :
Midbrain : bagian yang paling pendek dari batang otak terletak antara hemisfer serebri
dan pons, bagian atas midbrain disebut tectum, keluar nerve kranialis 3, dan 4.
Pons : bagian dari batang otak (brain stem) dimana keluar nerve kranialis 5, 6, 7, dan 8.
Medula oblongata : bagian brain stem yang menghubungkan otak dgn medula spinalis, dari
tempat ini, keluar nerve kranialis 9, 10, 11, dan 12.
Ad.5. Motorik
Pemeriksaan motorik sebenarnya sudah harus dimulai sejak pasien datang. Beberapa
aspek motorik dapat dilihat dari penampilan pasien. Pemeriksaan motorik yang harus
dilakukan meliputi kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, pemeriksaan
trofi dan tonus otot.
Kekuatan motorik
Berkurangnya kekuatan otot disebut paresis, sedangkan hilangnya kontraksi otot disebut plegi.
Sebelum menilai kekuatan otot pastikan terlebih dahulu regio otot yang akan diperiksa tidak
ada pembengkakan, nyeri, fraktur dsb yang dapat mempengaruhi kekuatan motorik. Kekuatan
motorik dinyatakan dalam suatu skala, yang sering digunakan adalah The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength. Sejatinya kekuatan motorik diperiksa pada setiap otot atau
sekelompok otot.
26
Untuk memudahkan kita perlu memperhatikan riwayat penyakit pasien. Pasien dengan
kecurigaan lesi intrakranial seperti stroke, tumor maupun meningitis pada umumnya
kelemahan ototnya akan memiliki pola hemiparesis atau hemiplegi.
Sedangkan
pada
kelainan
di
medula
spinalis
berupa
tetraparesis/plegi
ataupun
paraparesis/plegi. Pada GBS kelemahan yang timbul umumnya asending, dimulai dari otot
distal lalu menjalar ke proksimal. Sedangkan pada miastenia gravis kelemahan berfluktuasi.
Setelah diprovokasi dengan aktivitas biasanya kelemahan akan semakin jelas dan setelah
beristirahat kelemahan akan membaik Kelemahan akibat kelainan otot (miogen) akan
menimbulkan kelemahan yang tidak terdistribusi berdasarkan segmen dermatom dan umumnya
proksimal lebih lemah dibandingkan dengan distal. Gower sign adalah salah satu tanda yang
tampak pada kelainan miogen. Neuropati yang berat juga dapat mengakibatkan kelemahan
otot.
The Medical Research Council Scale of Muscle Strength
0 = tidak ada kontraksi
1 = ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan pada persendian yang seharusnya digerakkan oleh otot
Tonus
dan Trofi Otot
tersebut
2 = ada gerakan aktif tetapi tidak dapat melawan gravitasi
Perhatikan besar dan bentuk otot. Hipotrofi/atrofi lebih terlihat pada kelainan lower motor
3 = gerakan aktif dapat melawan gravitasi
neuron. Sedangkan pada kelainan upper motor neuron atrofi yang terjadi berupa disuse atrofi
4 = gerakan
aktif dapat
melawan
tahanan
ringanAtrofi biasanya lebih jelas terlihat
dan
umumnya
baru melawan
tampak gravitasi
setelah dan
jangka
waktu
tertentu.
5 = kekuatan
otottangan
normal seperti tenar, hipotenar dan otot-otot interosei. Sedangkan pada tungkai
pada
otot-otot
bawah pada tibialis anterior. Selain dengan inspeksi pemeriksaan trofi otot juga memerlukan
palpasi.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk memeriksa tonus otot. Abduksikan bahu, lalu fleksikan
lengan bawah pada siku. Pada otot hipotonia, fleksibilitas otot akan meningkat sehingga lengan
dapat ditekuk sampai sudut yang ekstrim. Sedangkan otot hipertonus kurang fleksibel. Tehnik
lain adalah dengan menilai gerakan pendulus pada tungkai (pendulousness of the legs). Pasien
diminta duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung. Kemudian dorong kedua tungkai
dengan kekuatan yang sama. Perhatikan ayunan tungkai yang timbul. Pada tonus yang normal
ayunan tungkai semakin lama semakin lambat dan akan berhenti setelah 6-7 ayunan. Ayunan
tungkai ini akan berkurang pada hipertonus dan bertambah pada hipotonus. Rigiditas dan
27
spastisitas adalah bentuk hipertonus. Rigiditas dapat berupa lead-pipe rigidity dapat pula
berupa cogwheel rigidity. Pada lead-pipe rigidity dengan gerakan pasif lengan bawah, tahanan
akan dirasakan sejak awal gerakan hingga akhir gerakan. Sedangkan cogwheel rigidity akan
terasa seolah lengan yang digerakkan pasif tersebut seperti tersangkut pada roda gigi. Untuk
mendapatkan rigiditas gerakan pasif dilakukan perlahan-lahan.
Cogwheel rigidity paling sering ditemukan pada pasien parkinson. Rigiditas dijumpai pada
kelainan di basal ganglia. Spastisitas terjadi pada lesi yang melibatkan traktus kortikospinal.
Berbeda dengan rigiditas yang umumnya mengenai semua otot dengan derajat yang sama,
derajat spastisitas umumnya berbeda antar otot.
Pemeriksaan motorik pada pasien dengan penurunan kesadaran
Memeriksan motorik pasien dengan penurunan kesadaran tidaklah mudah. Amati posisi tubuh
dan gerakan; apakah pasien baring tidak bergerak atau tubuh ada gerakan jika ada gerak tubuh;
apakah gerakan keempat angota gerak serasi? apakah pasien posisi baringnya simetris? apakah
ada gerakan abnormal? hemiparesis atau hemiplegi dapat diperiksa dengan cara berikut. Bila
kedua lengan diangkat kemudian dilepaskan maka sisi yang paresis akan jatuh lebih cepat.
Sedangkan sisi normal jatuh lebih lambat. Sedangkan pada ekstremitas bawah, dilakukan
fleksi pasif pada sendi panggul dan lutut dengan tumit pada tempat tidur kemudian dilepaskan.
Sisi paresis akan jatuh lebih cepat ke posisi ekstensi dengan rotasi eksternal panggul.
Sedangkan sisi yang sehat tetap pada posisi tersebut beberapa saat baru kemudian jatuh.
Bila derajat penurunan kesadaran tidak terlalu dalam respon terhadap stimulus dapat
memperlihatkan kemampuan motorik pasien. Dengan rangsang nyeri pasien biasanya akan
menyeringai dan dapat dinilai kesimetrisan wajahnya untuk menilai ada tidaknya paresis
nervus kranialis.
Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan refleks memiliki nilai yang penting karena dibandingkan dengan pemeriksaan lain
pemeriksaan refleks tidak terlalu bergantung pada kooperasi pasien. Karenanya dianggap
refleks lebih obyektif dari pemeriksaan lain.
Refleks terbagi menjadi refleks dalam (regang otot), refleks superfisial dan refleks
patologis.Refleks dalam (regang otot) dibangkitkan dengan memberikan stimulus regangan
28
pada tendon otot dengan mengetukkan palu refleks. Untuk dapat membangkitkan refleks ini
diperlukan alat dan tehnik yang tepat.
Respon refleks dinyatakan dalam angka. 0= tidak ada refleks (arefleksia), 1+= ada refleks
tetapi lemah, 2+= normal, 3+= meningkat tetapi belum dianggap patologis (tidak disertai tanda
patologis lainnya), 4+= meningkat, patologis kadang-kadang disertai klonus. Refleks
dinyatakan meningkat bila zona refleksnya meluas.
Refleks dalam yang lazim dilakukan pada pemeriksaan rutin adalah refleks bisep, trisep,
brakioradialis, patela dan akiles.
Refleks patologis, disebut demikian karena respon ini tidak dijumpai pada individu normal.
Refleks patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah dibangkitkan, lebih
dipercaya dan lebih relevan dengan klinis dibandingkan dengan refleks patologis pada
ekstremitas atas. Refleks patologis yang terpenting adalah tanda Babinski. Pada individu
normal stimulasi pada kulit plantar akan menghasilkan respon plantar fleksi jari-jari kaki. Lesi
pada jaras kortikospinal akan mengakibatkan respon ini berubah menjadi dorso fleksi jari-jari
kaki terutama ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari lainnya. Pemeriksaan klinis
neuroemergensi ini akan menuntun para dokter untuk mengetahui apakah sistim saraf bekerja
dengan baik atau tidak dan menentukan lokasi lesi.
29
Daftar Pustaka
1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology 6th ed. New York : Mc
Graw-Hill 1997
2. Bickerstaff ER, Spillane JA. Neurological examination in clinical practice 5thed.
Bombay : Delhi Oxford 1989
2. Bannister’s R clinical neurology. 7threv ed. Kota : Oxford, 1992
3. Brumback RA. Neurology clinics. Behavior Neurology. Kota : Philadelphia Vol.11,
Sauders 1993
4. Haerer AF. The neurologic examniation. Reved. Philadelphia : 1992
5. Devinsy O. Behavior neurology. St Louis : Mosby Yearbook, 1992
6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edin urgh : Churchill Livingstione
1993
7. Harrison MJG. Neurological skills. Kota : PG Asian Singapore economy edition 1990
8. Heilman KM, Valenstein E. Clinical neuropsychology. 3rd ed. New York : Oxford
1993
9. Hijdra A, Koudstaal PJ, Ross RAC, eds. Neurologie Wetenschappelike uitgevery.
Utrecht : Bunge, 1994
10. Lindsay KW, Bone I, Neurology and neurosurgery. Illustrated 2nd ed. Kota : Edinburgh
ELBS, 1991
11. Munro J. Edwards C. Macleod’s clinical examination. 8th ed. Kota : Edinburgh ELBS
1992
12. Rolak LA Neurology secrets. Singapore Info access & distribution, 1993
13. Strub RL, Black FW. The mental status examination in neurology. 3rd ed Philadelphia
FA Davis, 1993
14. Talley NJT, Connor SO. Clinical examination a guide to physical diagnosis, Singapore
: PG, 1988
15. Tan CK, Wong WC. Handbook of neuroanatomy. Singapore : PG, 1990
Toghill PJ. Examination patients an introduction to clinical medicine. London, ELBS 1991
30
BAB IV
GANGGUAN KESADARAN
Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K)
Pendahuluan
Mengetahui riwayat penyakit pasien dengan penurunan kesadaran sangatlah penting.
Pemeriksaan tanda vital dapat memberikan banyak informasi dalam mencari penyebab
penurunan kesadaran. Bila ditemukan tekanan darah yang sangat tinggi, perlu dipikirkan suatu
hipertensi ensefalopati dan juga stroke perdarahan. Sedangkan tekanan darah yang rendah
dapat diakibatkan oleh terganggunya perfusi ke sistim saraf pusat yang diakibatkan oleh proses
sistemik. Pasien dengan riwayat sakit kepala dan demam sebelum penurunan kesadaran
mengarahkan kita pada suatu infeksi intrakranial. Sedangkan riwayat sakit kepala dan defisit
neurologik fokal seperti hemiparesis atau paresis N. kranialis yang terjadi tiba-tiba lebih
mendukung suatu diagnosis stroke. Cedera kepala harus disingkirikan pada setiap kasus
dengan penurunan kesadaran. Anamnesis tentang riwayat trauma kepala sebelumnya sangat
diperlukan. Perhatikan juga jejas-jejas di seluruh tubuh pasien. Trauma cervical harus selalu
dipertimbangkan. Leher sebaiknya tidak dimanipulasi dan gunakan collar neck sampai fraktur
cervical dapat disingkirkan.
Definisi :
•
Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.
•
Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan
meskipun distimulasi dengan kuat.
•
Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai variasi keadaan/status gangguan
kesadaran.
•
Secara klinis derajat kesadaran dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside.
Anatomi kesadaran
Keadaan sadar ditentukan oleh 2 komponen yaitu formasio retikularis dan hemisfer serebral.
Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain (mesencephalon) dan thalamus ke
korteks serebri. Ini dinamakan ascending reticular activating system (ARAS).
31
Content (isi kesadaran) ditentukan oleh korteks serebri.
Gambar. ARAS (Ascending Reticular Activating System)
Etiologi Gangguan kesadaran
1. Proses difus dan multifokal.
Metabolik : hipo atau hiperglicemia, hepatic failure, renal failure,toxin induced infectious,
concussion etc.
2. Lesi Supratentorial:
Haemorrhage
: extradural(epidural),subdural, intracerebral.
Infarction
: embolic, thrombotic.
Tumours
: primary, secondary, abscess.
3. Lesi Infratentorial.
Haemorrhage
: cerebellar, pontine.
Infarction
: brainstem.
Tumours
: cerebellum.
Abscess
: cerebellum.
32
Diagnosis Gangguan kesadaran:

Cari riwayat penyakit sistemik & riwayat pengobatan

Kondisi neurologi sebelumnya

Seputar onset (?trauma, ?obat-obatan, ?toksin

Koma Non-trauma

Tidak ada fokal atau tanda lateralisasi

meningismus / bukan meningismus

Fokal atau tanda lateralisasi
Dengan meningismus

SAH

Meningitis

Ensefalitis
Tanpa meningismus

Kondisi anoksik iskemik

Gg metabolik

Intoksikasi

Infeksi Sistemik

Hipo/hipertermia

Epilepsi

Behavioural
Toksin atau obat-obatan:

Sedatif , Narkotika , Alkohol

Racun

Obat-obat psikotropik

Karbon monoksida (CO)

Overdosis (disengaja & kecelakaan)

Status withdrawal
Pemeriksaan Penunjang :

Glukose, Test fungsi hati, ginjal, analisa gas darah, hematologi dan koagulasi

EKG, Ro foto thoraks, CT scan (+/- kontras)
33
Kesadaran Menurun
Kesadaran Menurun
Tanda-Tanda Trauma Kepala (+)
 ABC
massif
o Hati-hati trauma leher
o O2 2-3 L/menit
o I.V. line, infus NaCl 0,9 %/RL
100=150 cc/jam (hindari
Dekstrosa).
 Tinggikan posisi kepala 300
 Anamnesis (allo).
 Pemeriksaan Fisik umum.
 Pemeriksaan fisik neurologi.
 Observasi Trauma Primer dan
Sekunder.
 Foley cateter (hematuria?,
urinalisis)
 Pasang NGT (hati-hati pada
perdarahan hidung masif)
 Usahakan TDS >100 mmHg,
berikan SA bila P < 45.
 Temperature usahakan <37.50
 Lab hematologi (DPL), Urinalisis,
AGD,elektrolit,
Ureum/Creatinin,GDS.
 Radiologi: Ro Schedel, CT Scan
tanpa kontras (lihat bab trauma
kepala).
Tanda-Tanda Trauma (-)
Tanda-Tanda Neurologi
Fokal (+)
1.
2.
3.
4.
Infark
Hemoragik
Neoplasma
Abscess/Infeksi
Tanda-Tanda Rangsang
Meningeal (+)
1.
2.
5.
Tanda-Tanda Neurologi
Fokal (-)
Meningitis
Meningoensefalitis
PSA.
Tanda-Tanda Rangsang
Meningeal (-)
Ensefalopati Metabolik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hipoksik-iskemik
Endokrin
(hipoglikemia,
hiperglikemia,
tiroid)
Elektrolit
(hipernatremia,
hiponatremia,
hiperkalsemia)
Toksin.
Obat-obatan.
Epilepsi
Gg. Behaviour
34
Tehnik pemeriksaan kesadaran dengan rangsang nyeri
Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri
Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri
35
Diagnosis banding koma
Penyakit
Stroke
Anoxia
Keracunan
Gangguan (disorder)
Trauma Kepala
Gangguan Metabolik
Sindrom Locked in pada
infark batang otak
Sifat dan ciri penyakit
• Onset cepat (Acute)
•
Defisit Neurologis
•
•
•
Diikuti koma
anoksia episode
Myoclonus dan atau kejang sering
terlihat
•
Tanda Multifocal sign dengan
ketidak sesuaian topis untuk anoxia
•
koma dengan hilangnya reflek
batang otak tanpa tanda fokal
•
Riwayat substance ingestion
Dapat dibedakan pada gejala klinis
• koma setelah trauma kepala dengan
atau tanpa gejala fokal
• Fluktuasi status mental
• Tanda trauma yg berlebihan
•
•
•
•
•
Pseudocoma
•
•
Persistence vegetative state
•
•
•
Gangguan metabolik jarang sebagai
penyebab koma,lebih sering
disebabkan encephalopathy
Koma dengan batang otak intak
Dapat terjadi kejang
Pasien immobile dan penampakan
seperti koma
Pasien gerak mata vertical masih ada
dan dapat dilakukan dengan kondisi
ini.
Tampilan klinis koma dengan fungsi
otak masih ada
Pasien dapat tidak mengetahui bahwa
dirinya dalam keadaan pseudocoma
Tidak ada respon intestional
Keadaan tidak sadar dengan respon
refleks masih ada
Berbeda dengan koma oleh karena
masih ada kemampuan berespon
Tampilan pasien seperti sadar/ tidur,
tapi pada pemeriksaan pasien tidak
dapat kontak dengan lingkungan,
perintah dan situasi
Penegakan diagnosis
• diagnosis klinis koma dan
ditandai oleh kerusakan otak yang
berat pada distribusi fokal
• Radiologi : infark atau
perdarahan
• Riwayat henti janting
• Atau sebab lain dari anoksia
• Gejala klinis koma dengan atau
tanpa myoclonus
•
Gambaran klinik tidak spesifik
Suspicion is key
•
Drug screen is critical
Penegakan diagnosis
• Tanda Klinis
• Riwayat trauma kepala
• radiologi : normal, contusion,
edema, perdarahan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Hasil Lab abnormal : elektrolit,
dll
Pencitraan dan hasil LAB ±
menunjukkan penyebab lainpikirkan penyebab lainnya
Dapat berkomunikasi dengan
pergerakan mata
Infark batang otak dapat terlihat
di MRI/ CTscan
Pada pemeriksaan :
Dengan diangkat melewati kepala
dan dilepas/ dijatuhkan kea rah
wajah, pada keadaan pseudocoma
lengan jatuh ke arah wajah
Normal EEG
Pemeriksaan klinis
Temuan respon batang otak thd
rangsangan masih ada
Pencitraan dan Lab menunjukkan
penyebab tidak responsif
36
Gamb. Lesi otak dan pola nafas
Gambaran pola nafas berdasarkan pada berbagai area di otak
•
Pernafasan Cheyne stokes
–
Pada pola pernafasan ini terdapat periode hiperpnoe diselingi periode apnoe
sekitar 10-20 detik.
–
Disfungsi dari hemisphere kiri dan kanan (level diencephalic ).
–
Mungkin pola pernafasan ini ditemukan pada saat selama pasien tidur , dimana
pada saat tersebut terjadi reaksi / proses inhibisi yang luas pada hemisphere oleh
karena tidur itu sendiri mencetuskan dan
memperberat mekanisme proses
penekanan pada otak.
•
Kerusakan pada kedua sisi proensephalon, bisa juga disebabkan proses gangguan
metabolic seperti uremia, gangguan fungsi hati berat, atau infark bilateral atau lesi
karena adanya massa pada proenchepalon dengan perubahan anatomi/ pergeseran pada
diencephalon, pernafasan seperti ini perlu pernanganan segera.
37
•
Mekanisme : relative hingga tidak abnormal terhadap respon pada ssp yg sensitive
CO2
•
Setelah konsentrasi CO2 turun hingga level terendah hingga sampai terjadi stimulasi
pusat pernafasan, fase apneu akan terus terjadi hingga CO2 terakumulasi dan proses
pernafasan berjalan kembali
•
Hiperventilasi pada Central neurogenic
–
Muncul dan terdapat pada disfungsi batang otak atau pons bagian atas.
–
Pernafasan cepat antara 40-50x/mnt
–
PO2 meningkat lebih dari 70-80 mmHg.
–
Jika level PO2 dibawah normal  hipoxemia
–
Penyakit jantung, paru, dan problem metabolik dapat juga menyebabkan
hiperventilasi.
•
Pernafasan Apneustic
Lokasi di lesi bagian bawah pontine, didapat fase inspirasi yang memanjang dan
berhenti pada saat inspirasi maksimal/penuh.
•
Pernafasan Cluster
Hanya signifikan pada kerusakan bagian bawah pontine, karakteristik kelainan ini
hampir sama dengan pernafasan mendekati proses apnoe
•
Pernafasan Ataxic
Kerusakan terjadi pada bagian bawah pontine atau masalah pada pusat pernafasan di
medullar Polanya adalah chaotic dan haphazard dengan ketidakteraturan pada henti
nafas  adanya petunjuk menghembuskan nafas dan akhirnya pernafasan dada.
38
Daftar Pustaka
1. Duus P : Topical Diagnosis in Neurology : anatomy, physiology, signs, symptoms, 3 rd
edition, Stuttgart, New York, Thieme, 1983
2. Lindsay. K.W., Bone I., and Callander. R : Neurology and Neurosurgery Illustrated,
Churchill Livingstone, 1st edition, Edinburg, London, 1988
3. Chusid JP : Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology, 17th edition, Maruzen
Asia, 1979
4. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT : Neurotrauma, Mc Graw Hill, 1996
Greenberg MS : Handbook of Neurosurgery, 5th edition, Thieme, 2001
39
BAB V
MANAJEMEN PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Dr. Lyna Surtidewi, Sp.S(K)
Pendahuluan
Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyai tingkat metabolisme tinggi, hanya dengan
berat kurang lebih 2% dari berat badan memerlukan 15% kardiak output, menyita 20% oksigen
yang beredar di tubuh, serta membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh. Pada
keadaan emergensi dan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan-bahan
metabolisme tersebut. Dengan demikian apabila suplai dari bahan-bahan untuk metabolisme
otak terganggu tentunya akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat
berakibat kematian dan kerusakan permanen (kecacatan).
Dua hal yang berperan dalam menjaga metabolisme otak berjalan normal adalah kecukupan
oksigen dan kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan
cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang optimal (CBF).
Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem autoregulasi pembuluh
darah serebral. Karena aliran darah ke otak (CBF) adalah hasil pembagian tekanan perfusi ke
otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem
autoregulasi CBF sangat tergantung pada CPP.
Pada keadaan normal CBF adalah 50 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan sehat
(mekanisme autoregulasi utuh), CBF 50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi
dengan rentang CPP antara 40 – 140 mmHg. Kerusakan jaringan otak irreversibel akan terjadi
apabila CBF < 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti
infeksi akan terjadi peninggian tekanan intrakranial (TIK) akibat edema otak. Oleh karena
CPP merupakan selisih antara MAP dengan TIK maka adalah sangat penting menjaga tekanan
darah optimal dan mengendalikan (menurunkan) TIK. Pada makalah ini akan difokuskan
dalam mengendalikan (manajemen) peninggian TIK.
40
Gejala peninggian TIK
-
Sakit kepala, akibat kompresi saraf kranialis, arteri dan vena, biasanya memburuk pada
pagi hari dan diperberat oleh aktivitas.
-
Muntah yang tidak didahului mual dan mungkin projektil
-
Perubahan tingkat kesadaran
-
Paling sensitif dan indikator penting, tahap awal mungkin tidak spesifik seperti gelisah,
iritabilitas, letargi.
-
Perubahan tanda-tanda vital. Cushing’s triad: peninggian tekanan darah sistolik, bradikardi
(muncul belakangan), pola nafas iregular (late sign); peningkatan suhu; ocular signs seperti
pelebaran pupil akibat tekanan pada N III dan refleks pupil melambat dan anisokor.
-
Penurunan fungsi motorik: hemiparesis atau hemiplegia; dekortikasi – gangguan pada
traktus motorik; deserebrasi – kerusakan berat pada mesensefalon dan batang otak
Manajemen peninggian TIK.
Tatalaksana umum.
Beberapa hal yang berperan besar dalam menjaga agar TIK tidak meninggi antara lain:
-
Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 300, dengan tujuan memperbaiki venous return.
-
Mengusahakan tekanan darah yang optimal.
Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan
darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan
menyebabkan edema dan peninggian TIK.
-
Mengatasi kejang.
-
Menghilangkan rasa cemas.
-
Mengatasi rasa nyeri.
-
Menjaga suhu tubuh normal < 37,50 C.
Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan akan substrat metabolism. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme
serebral, dipihak lain suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi
kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian
TIK.
41
-
Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.
Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi
edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.
-
Atasi hipoksia.
Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anarob, sehingga akan
terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa
metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat,
selanjutnya akan terjadi edema otak dan peninggian TIK.
-
Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk,
mengedan dan penyedotan lendir pernafasan berlebihan.
Tatalaksana Khusus
Mengurangi efek masa.
Pada kasus tertentu seperti hematoma epidural, subdural, maupun perdarahan intraserebral
spontan maupun traumatika serta tumor maupun abses tentunya akan menyebabkan peninggian
TIK dengan segala konsekuensinya. Sebagian dari keadaan tersebut memerlukan tindakan
pembedahan untuk mengurangi efek masa,
Mengurangi volume Cairan Serebrospinal (CSS).
Mengurangi CSS biasanya dilakukan apabila didapatkan hidrosefalus yang menjadi penyebaba
peninggian TIK seperti halnya pada infeksi kriptokokkus. Ada 3 cara yang dapat dilakukan
dalam hal ini yaitu: memasang kateter intraventrikel, lumbal punksi atau memasang kateter
lumbal.
Pemilihan metode yang dipakai tergantung dari penyebab hidrosefalus atau
ada/tidaknya masa intrakranial.
Pengaliran CSS dengan kateter lumbal dapat dikerjakan apabila diyakini pada pemeriksaan
imaging tidak didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya dipakai
kateter silastik 16 G pada intradural daerah lumbal. Dengan kateter ini disamping dapat
mengeluarkan CSS, dapat juga dipakai untuk mengukur TIK. Keuntungan lain adalah teknik
yang tidak terlalu sulit dan perawatan dapat dilakukan di luar ICU.
42
Mengurangi volume darah intravaskular.
Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratori akut, dan perubahan pH sekitar
pembuluh darah ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan tentunya akan mengurangi CBV
sehingga akan menurunkan TIK.
Efek hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam beberapa menit. Tindakan hiperventilasi
merupakan tindakan yang paling efektif dalam menangani krisis peninggian TIK namun akan
menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan dalam keadaan emergensi
saja dan dalam jangka pendek.
Hemodilusi dan anemia mempunyai efek menguntungkan terhadap CBF dan deliveri
oksigenasi serebral. Hematokrit sekitar 30% (visikositas darah yang rendah) akan lebih berefek
terhadap diameter vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen (CaO), sehingga akan terjadi
vasokonstriksi dan akan mengurangi CBV dan TIK. Namun bila hematokrit turun dibawah
30% akan berakibat menurunnya kapasitas oksigen. Hal ini akan mengakibatkan vasodilatasi
sehingga TIK akan meninggi. Dengan demikian strategi yang sangat penting dalam menjaga
TIK adalah mencegah hematokrit jangan sampai turun sampai dibawah 30%.
Manitol atau cairan osmotik lain juga mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh darah
piamater dan arteri basilar, sehingga akan mengurangi CBF.
Pemakaian barbiturat atau obat anestesi akan menekan metabolisme otak, dan menurunkan
Cerebral Metabolism Rate of Oxygen (CMRO2). Penurunan CMRO2 akan menurunkan CBF,
dan akhirnya mengurangi CBV dan TIK. Pemberian barbiturat sendiri telah terbukti akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral.
Mengurangi edema dan volume cairan interstisial.
Manitol akan mengurangi cairan otak dengan cepat, dan manitol akan diekskresikan melewati
ginjal dengan cepat pula. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah efek diuresis dari manitol
sehingga dapat berakibat dehidrasi.
Kekurangan cairan intravaskular
tentunya akan
menyebabkan penurunan tekanan darah, dan akan terjadi vasodilatasi sebagai mekanisme
autoregulasi dan akibat lanjutnya adalah kenaikan CBV dan TIK. Pemberian manitol jangan
melebihi 3 hari dan hindari drip kontinyu. Tidak ada hubungan besarnya dosis dengan efek
yang diharapkan. Selain dari manitol, dapat juga dipakai cairan salin hipertonis.
43
Glukokortikoid seperti deksametason dapat digunakan untuk menangani edema serebri
vasogenik. Obat ini efektif dalam menanggulangi edema yang menyertai tumor, meningitis dan
lesi otak lain. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10 mg Dexamethason i.v diikuti 4 mg
tiap 6 jam.
Kesimpulan
Peninggian TIK merupakan keadaan emergensi yang mengancam nyawa sehingga harus segera
ditangani. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penatalaksaan peninggian TIK
yaitu tindakan umum (mengusahakan keadaan fisologis) dan tindakan khusus seperti evakuasi
massa termasuk hematoma, mengurangi CSS (drainase CSS), menurunkan volume darah
intravaskular (“hiperventilasi”, hemodilusi, hipotermia, terapi barbiturat) dan mengurangi
cairan interstisial/edema dengan cairan hipertonis serta pemakaian glukokortikoid.
44
Daftar Pustaka
1. Ropper A.(ed). Neurological and Neurosurgical Critical Care, 3rd ed. New York, Raven
Press, 1993:11-52.
2. Marino PL. The ICU Book, Philadelphia, Lea and Febiger, 1991: 190-201.
3. Goldschlager NF, Hemodynamic monitoring. In Critical Care Medicine, Luce JM and
Pierson DJ (eds), Philadelphia, WB Saunders, 1988: 104 -114.
4. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73:23-27.
5. Williams MA. Intracranial Pressure Monitoring and Management for Neurologists.
AAN, 1998.
6. Strand T. Evaluation of Long-term Outcome and Safety after Hemodilution therapy in
Acute Ischemic Stroke. Stroke, 1992; 23: 657 – 662.
7. The Hemodilution in Stroke Study Group. Hypervolemic Hemodilution Treatment of Acute
Stroke: Results of Randomized Multicenter Trial Using Pentastarch. Stroke,1989; 20:
317 – 323.
8. Hacke W, Stingele R, Steiner T, et al. Critical Care of Acute Ischemic Stroke. Intensive
Care Med,1995;21:856 – 62.
9. Schwab S, Schwarz, Sprange M, et al. Moderate hypothermia in the Treatment of Patients
with Severe Middle Cerebral Artery Infarction. Stroke, 1998; 29:2461 – 2466.
10. Manno E.M.. When to use hyperventilation, mannitol, or cortisosteroid to reduce increased
intracranial pressure from cerberal edema. In Though call in acute neurology (Rabinstein
AA, ed). Elsevier, Philadhelpia, 2004: 107-119.
45
BAB VI
STATUS EPILEPTICUS
Dr. Fitri Octaviana, Sp.S
Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang sering dijumpai pada
komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata
frekuensi dari SE refrakter berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan
dalam mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan morbiditas dan
mortalitas yang nyata.
Definisi
SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih
ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan
selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Loweinstein dan kawan – kawan memberikan definisi “operasional” yang bertujuan
menentukan waktu pada saat pasien - pasien sebaiknya dapat diterapi seolah - olah mereka
berada dalam status epileptikus yang sedang berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan
yang berlangsung kurang dari 5 menit.
Klasifikasi dan Diagnosa
46
Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat diklasifikasikan
dengan adanya kejang motorik (status epileptikus konvulsivus) atau dari lena/absans (status
epileptikus non konvulsivus). Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan
seluruh tubuh (SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial).
Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum (SE tonik klonik),
non konvulsivus umum (contoh : lena/absans), konvulsivus parsial (kejang motorik parsial
simpel) atau non konvulsivus parsial (kejang parsial komplek).
Tabel 2. Klasifikasi status epileptikus
Umum
Konvulsi
Non konvulsi
Tonik klonik (grand mal)
Absans/Lena
Tonik
Mioklonik
Parsial
Bangkitan parsial motorik
Bangkitan parsial kompleks
SE dapat di diagnosis melalui observasi. Bangkitan ditandai dengan hilangnya kesadaran,
aktivitas tonik-klonik otot, mulut berbusa, lidah tergigit, mata yang menatap keatas, dan
inkontinensia urin. Diagnosis dari SE biasanya jelas, dengan diagnosis banding berupa distonia
umum dan pseudo- status epilepsi. Pseudo-status epilepsi terdiri dari bangkitan yang bersifat
psikogenik.
SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran, agitasi,
afasia, confusion amnesia, nistagmus. Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti
melalui pemeriksaan EEG4. Pada sebuah studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma
menunjukkan SE non konvulsi5. Gambar 2 menunjukkan gambaran EEG pada pasien SE non
konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia.
Gambar 2. EEG wanita umur 20 tahun dengan amnesia
47
International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan klasifikasi Status Epilepsi
pada anak (tabel 2).3
Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan Etiologi (1993)
Akut Simtomatik
Status Epileptikus pada anak yang sebelumnya normal
secara neurologis, dalam seminggu disertai etiologi
penyerta termasuk infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP),
kejang demam yang memanjang, ensefalopati, trauma
kepala, penyakit serebrovaskular, dan kelainan metabolik
atau toksik.
Remote symptomatic
Status Epileptikus tanpa adanya pencetus akut yang
teridentifikasi tetapi dengan riwayat abnormalitas SSP
lebih dari seminggu sebelumnya.
Terkait dengan Epilepsi Idiopatik
Status epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada
anak dengan diagnosis epilepsi idiopatik sebelumnya atau
saat terjadi episode status epileptikus adalah kali kedua
terjadinya bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah
pada diagnosis epilepsi idiopatik.
48
Terkait dengan Epilepsi Kriptogenik Status Epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada
anak dengan diagnosis epilepsi kriptogenik sebelumnya
atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali
kedua bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada
diagnosis epilepsi kriptogenik.
Tidak Terklasifikasi (unclassified)
Status epileptikus yang tidak dapat diklasifikasikan dalam
kelompok yang lain.
Etiologi
Banyak kasus SE terjadi pada pasien dengan penyakit akut ataupun penyakit neurologis akut.
Sekitar 50% kasus terjadi tanpa adanya epilepsi sebelumnya. Individu dengan riwayat epilepsi
berisiko mengalami SE. Etiologi SE dapat dibagi dalam proses akut dan kronik (disimpulkan
dalam tabel 3)
Tabel 3. Etiologi Status Epileptikus4,6
Proses Akut
Proses Kronik
Ketidakseimbangan elektrolit
Epilepsi yang sudah ada sebelumnya
Kelainan serebrovaskular
Compliance atau kepatuhan minum obat
antikejang/antikonvulsan yang buruk atau
perubahan terapi antikonvulsan.
Trauma serebral
Alkoholisme kronik
Toksisitas obat
Tumor serebri
Kerusakan anoksik-hipoksik serebral
Infeksi SSP
Sindrom sepsis
Gagal ginjal
Komplikasi Status Epileptikus
49
Berdasarkan perubahan neurofisiologi, SE dibagi menjadi dua fase. Selama Fase 1, permintaan
metabolik meningkat yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik sel serebral yang
abnormal, lalu menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial dan aktivitas autonom. Proses
ini menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial, peningkatan nilai glukosa darah,
berkeringat, hiperpireksia dan salvias/berliur. Fase 2 terjadi 30 menit setelah Fase 1. Fase 2
ditandai oleh kegagalan autoregulasi serebral, penurunan laju darah serebral, dan peningkatan
tekanan intrakranial dan hipotensi sistemik. Hal ini berdampak pada penurunan tekanan perfusi
serebral (gambar 3). Status Epileptikus yang memanjang dihubungkan dengan perubahan
sistemik yang luas, yang turut menyebabkan masalah ketersediaan oksigen otak yang
inadekuat. 4,6
Gambar 3. Perubahan Neurofisiologis pada Status Epileptikus.
Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat mempengaruhi sistem saraf pusat
(hipoksia serebri, edema serebri, perdarahan otak), sistem kardiovaskular (infark miokard,
aritmia, henti jantung), sistem pernafasan (pneumonia aspirasi, hipertensi pulmonal, emboli
paru), perubahan metabolik (dehidrasi, perubahan elektrolit, nekrosis tubular akut) 4,6
Pengobatan
Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE; cegah munculnya
kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab timbulnya SE; atasi komplikasi.4,7
50
Prinsip utama pengelolaan kegawatdaruratan adalah bantuan hidup dasar yang mencakup
menjaga jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi yang adekuat. Dalam SE, jalan
napas harus dijaga mulai dari tahap awal dan intubasi trakhea akan dibutuhkan saat bangkitan
sedang diatasi sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal dapat
dicegah.
Pemantauan harus dimulai, termasuk EKG, mengukur tekanan darah dan pulse oksimetri pada
semua pasien.
Pengukuran gula darah di samping tempat tidur harus dilakukan. Jika terdapat tanda
hipoglikemi yang signifikan, glukosa 50% 50 ml harus diberikan. Jika sebelumnya terdapat
riwayat atau curiga ke arah alkoholisme, thiamin 100 mg intravenous harus diberikan
bersamaan dengan glukosa untuk mencegah timbulnya Ensefalopati Wernicke.1,4,7
Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari keluarganya mungkin dapat
memberikan keterangan tentang faktor penyebab seperti penggantian obat antikonvulsan baru –
baru ini, alcohol withdrawal, overdosis obat, dan stroke atau infeksi susunan saraf pusat. Sken
Tomografi Komputer (CT Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) mungkin dibutuhkan
untuk mengetahui proses fokal. Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin juga diindikasikan
jika tekanan intrakranial tidak ditemukan.
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan aman dan mencegah
berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan obat untuk SE diperlihatkan pada gambar 4.
Benzodiazepin
Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABAA dan secara potensial menghambat
aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan karenanya mempunyai tempat untuk
mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat
pilihan pertama untuk penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di
Indonesia, diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di negara
kita. Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena cepat diredistribusi ke
cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan melalui rektal. Semua benzodiazepine
51
menyebabkan sedasi dan depresi pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek
akumulasi. Efek sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.4,7
Hidantoin
Apabila diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam waktu 10 menit, atau
apabila bangkitan intermiten berlangsung selama 20 menit atau lebih, maka harus ditambahkan
obat lain. Fenitoin (atau fosfofenitoin) masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk
status epileptikus yang tidak berespons terhadap diazepam. Fenitoin sangat larut dalam lemak
dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah pemberian intravena. Loading dose
fenitoin (20 mg/kg) harus diberikan berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar
untuk pemberiannya karena tingginya pH larutan. Pemberiannya harus dengan cairan garam
fisiologis dan pemberian bersama obat lain harus dihindarkan, karena adanya risiko presipitasi.
Infus fenitoin merupakan faktor risiko signifikan terjadinya hipotensi, aritmia, pemanjangan
gelombang QT. Oleh karena itu, pemantauan EKG dan tekanan darah sangat diperlukan.4,7
Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada penanganan status
refrakter,
yang mana penggunaannya masih efektif. Mekanisme kerjanya dengan
memperpanjang inhibisi potensial pascasinaps melalui kerja kanal GABA Cl. Fenobarbital
tidak memasuki otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tetapi kadar terapetik dicapai
dalam 3 menit dan dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang, Efek samping fenobarbital
adalah sedasi dalam, depresi napas, hipotensi.
Anestesi umum
Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus dilakukan di unit rawat
intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus
dipertahankan selama fase ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari
kisaran normal.
Thiopental adalah barbiturat intravena kerja cepat yang digunakan untuk menangani status
epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi. Barbiturat juga imunosupresif poten dan
52
penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Propofol dapat
digunakan sebagai alternatif. Propofol memiliki efek seperti barbiturat dan benzodiazepin pada
reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan poten pada dosis klinis. Bolus awal sebesar
1 mg/kg diberikan dalam waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat
dikendalikan. Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2-10 mg/kg/jam sampai didapatkan
kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat menekan aktivitas epileptiform pada EEG.
Penghentian tiba-tiba harus dihindarkan karena berisiko menyebabkan terjadinya presipitasi
bangkitan akibat penghentian obat.
Terapi baru
Sediaan sodium valproat intravena baru-baru ini diperkenalkan. Beberapa penelitian
membuktikan sodium valproat intravena cukup efektif dan memiliki profil efek samping yang
lebih baik. Penelitian di Eropa melaporkan 80-83% kasus status epileptikus dapat dikendalikan
dengan dosis 12-15 mg/kg.1
Hasil
Mortalitas keseluruhan kasus status epileptikus dewasa sekitar 25%. Pasien yang berusia diatas
60 tahun memiliki mortalitas yang lebih tinggi (38%). Kira-kira 89% pasien meninggal dunia
pada saat atau setelah status epileptikus karena penyebab status, dimana hanya 2% kematian
yang berhubungan langsung dengan status epileptikus.4,6
Terapi lini pertama efektif dalam mengendalikan bangkitan pada 65% kasus status epileptikus,
maka terapi dini sangatlah penting. Pasien dengan status epileptikus yang tidak terkontrol lebih
dari satu jam memiliki mortalitas 34,8% dibandingkan dengan 3,7% bila bangkitan dapat
diatasi dalam 30 menit.9
53
Tabel 4. Pengobatan pada status epileptikus 1,7
Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min
(repeat 1x if no response after 5 min)
Seizure continuing
Fosphenytoin 20mg/kg IV @ 150mg/min
Phenytoin 20mg/kg IV @ 50
mg/min Seizure continuing
Seizure continuing
Fosphenytoin 5-10mg/kg IV @ 150mg/min
Phenytoin 5-10mg/kg IV @ 50 mg/min
Seizure continuing
Consider valproate
25 mg/kg IV
Phenobarbital
20mg/kg IV at 50-75 mg/min
Proceed immediately to anaesthesia with
midazolam or poropofol if the patient develops
status epilepticus while in the intensive care unit,
has severe systemic disturbance or has seizure
that have continued for more than 60 to 90 minutes
Seizure continuing
Phenobarbital
(additional 5-10 mg/kg)
Seizure continuing
Anesthesia with midazolam or
propofol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Time (minutes)
54
Daftar Pustaka
1. Lowenstein DH. The management of refractory status epilepticus: an update. Epilepsia
2006;47(S1):35-40
2. Treiman DM. Generalized convulsive status epilepticus. In: Engel J, Pedley TA (editors).
Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008.
pp 665-73
3. Raspall-Chaure M, Chin RFM, Neville BG, Bedford H, Scott RC. The epidemiology of
convulsive status epilepticus in children: a critical review. Epilepsia 2007;48(9):1652-1663
4. Chapman MG, Smith M, Hirsch NP. Status epilepticus. Anaesthesia 2001;56:648-659
5. Towne AR, Waterhouse EJ, Coggs JG, et al. Prevalence of nonconvulsive status epilepticus
in comatose patients. Neurology 2000; 54: 340-345.
6. Shorvon SD, Pellock JM, DeLorenzo RJ. Acute physiologic changes, morbidity, and
mortality of status epilepticus. . In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a
comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 737-747
7. Alldredge BK, Treiman DM, Bleck TP, Shorvon SD. Treatment of status epilepticus. . In:
Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2008. pp 13571374
8. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY et al. A comparison of four treatments for
generalized convulsive status epilepticus. New England Journal of Medicine 1998; 339:
792-298.
9. DeLorenzo RJ, Towne AR, Pellock JM et al. Status epilepticus in children, adults and the
elderly. Epilepsia 1992; 33 (Suppl. 4): S15-25
55
BAB VII
PENATALAKSANAAN KEDARURATAN INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT
Dr. Jofizal Jannis, Sp.S
Pendahuluan
Penderita yang datang ke Instalasi/Unit Gawat Darurat dengan penurunan kesadaran, kejang
disertai demam, segra harus dicurigai infeksi SSP, apalagi bila pada pemeriksaan neurologi
ditemukan tanda-tanda iritasi meningeal. Kemungkinan lain seperti perdarahan subarakhnoid
juga dapat menyerupai keadaan ini.
Penderita seperti ini segera harus diatasi karena angka kematian yang cukup tinggi. Secara
keseluruhan di RSCM mencapai 30%. Jadi, infeksi SSP merupakan kondisi yang mengancam
hidup. Maka tindakan emergensi dan cepat menjadi prioritas pertama untuk menyelamatkan
penderita. Seluruh tindakan saat ini dilakukan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
saja, karena penunjang memerlukan waktu lama.
Akhir-akhir ini semua infeksi SSP harus dicurigai menderita HIV, karena infeksi SSP
merupakan
oportunistik
bagi
HIV.
Umumnya,
toksoplasmosis,
dapat
juga
TBC,
sitomegalovirus, kriptokokkosis, dan infeksi lainnya. Perlakuan pemeriksaan penderita ini
disesuaikan dengan cara menghadapi kasus HIV.
Awalnya, pengobatan penderita dilakukan secara empiris, setelah keadaan darurat teratasi.
Pendekatan pada penderita meningitis akut mengikuti langkah berikut:
1. Diagnosis, dan segera atasi kejang, TTIK dan kemungkinan terjadi syok septik.
2. Patofisiologi meningitis akut.
3. Membedakan bakteri, virus dan jamur.
Diagnosa Meningitis Akut
Tanda dan gejala infeksi SSP tergantung lokasi dan lamanya infeksi. Organisme penyebab juga
mempengaruhi virulensi infeksi walaupun pada awalnya, antara bakeri, virus dan fungus
memperlihatkan gejala yang sama.
56
Secara klinik tampak:
-
Gejala Dini :
o Demam
o Nyeri kepala
o Kaku kuduk
o Gangguan fungsi mental
-
Gejala Lanjut:
o Seizure
o Kelumpuhan saraf kranial
o Tuli
o Stupor dan tanda neurologi fokal
Demam timbul karena interleukin-1 dan bakterial pirogen dilepaskan
dalam cairan
serebrospinalis dan mempengaruhi hipotalamus. Sedangkan nyeri kepla terjadi sekunder
karena iritasi serabut-serabut yang iritatif nyeri pada selaput otak di daerah servikal dan radiks
servikal.
Iritasi pada radiks saraf kemungkinan juga sebagai dasar patofisiologi timbulnya tanda Kernig
dan Brudzinski. Pada penderita dengan imunocompromised, gejala-gejala klasik ini sering
tidak tampak, biasanya penderita confuse, kesadaran menurun, hipotensi, demam, dan sakit
kepala ringan.
Mengatasi Kejang akibat Infeksi SSP
Seizure paling sering terjadi pada meningitis akut yang telah melibatkan perenkim otak, dapat
fokal atau umum. Sebagian kecil timbul sebelum dirawat dan lebih sering terjadi sewaktu
perawatan. Sebenarnya seizure disebabkan oleh iritasi korteks, oleh toksin bakteri atau
inflamasi meningen vaskulitis, infark otak demam tinggi, dan hipotremia. Bila seizure terjadi
selama perawatan maka pemeriksaan neuro imajing diperlukan untuk evaluasi penyebab.
Keterlambatan membawa ke RS, manajeman di tempat yang tidak benar dan anggapan yang
tidak masuk akal, menyebabkan gejala sisa permanen pada penderita.
57
Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan bila berhadapan dengan penderita
kejang:
o Siapkan infus, cegah aspirasi dengan membuat posisi lateral dekubitus
o Diazepam 10 mg.i.v, diazepam dapat diulang setiap 5 menit, disusul pemberian O2
o Siapkan alat bantu pernafasan
o Persiapkan pemeriksaan glukosa darah, elektrolit.
Sekiranya kejang berhenti maka:
o Airway dan pernafasan harus terjamin
o Antikonvulsan siapkan, airway-breathing-circulation dilakukan segera, ikuti dengan
pemberian O2
o Bila kejang terus berulang, maka program terapi disesuaikan dengan manajemen status
konvulsivus
Diazepam diberikan i.v, kosentrasi serum dan otak bertahan selama 10-15 detik dan efek
puncak pada 8 menit kemudian. Sedanagkan pemberian oral, retkal akan bertahan antara 0,5-3
jam.
Diazepam, 90-95% diikat protein plasma dan selain di otak juga dapat memasuki jaringan
lemak. Obat ini memperlihatkan efek farmakokinetik ganda. Awalnya, waktu paruh serum
dihubungkan dengan distribusi ke tubuh dan bagian SSP. Pada fase kedua, terjadi metabolism
di hepar dan diekskresikan melalui urine dengan waktu paruh eliminasi 1-2 hari. Meskipun
waktu paruh eleminasi diazepam lama, obat ini efektif untuk waktu paruh teraupetik 15 menit
jika digunakan untuk mengontrol kejang (dosis 0,25 mg/kgBB).
Bila penderita masih kejang, diazepam dapat diulang 5 mg i.v. sampai maksimum 20 mg.
Setelah itu dianjurkan fenitoin 15-20 mg/kg BB i.v. lambat atau per-infus. Kecepatan
pemberian fenitoin tidak boleh melebihi 200mg/menit karena risiko perubahan EKG dan
aritmia. Bila terjadi kelainan ini, tetasan diperlamabat. Jika kejang masih menetap, dianjurkan
perawatan ICU dengan perlakuan sesuai dengan protocol status konvulsivus.
Syok Septik
Syok septik terjadi karena interaksi kompleks sel-sel. Produk bakteri berinteraksi dengan sel
pejamu dan serum protein timbul rangkaian ang dapat menyebabakan cedera sel dan kematian.
58
Sebenarnya yang berbahaya bukan hanya produk bakteri tetapi penyebaran dan respons pejamu
yang tidak beraturan akan menyebabkan pelepasan mediator yang merusak sel.
Hipotensi dapat terjadi pada penderita meningitis dengan sepsis. Bila syok, maka penderita
mengalami:
1. Hipotensi
2. Takhipnoe > 20 x /menit
3. Takhikardia > 140 x /menit
4. Oliguria
Terapi syok septik:
o Oksigen, infuse cairan isotonik/kristoloid
o Ventilasi makanik
o Antibiotik, dianjurkan broad spectrum

Bila pasien tidak ada respons dengan guyuran cairan isotonik/kristaloid, berikan dopamin
(5-10) mcg/kg/menit/iv.

Infuse diatur sesuai dengan tekanan darah seringkali pasien memerlukan dosisi dopamin
diatas 20 mcg/kg/menit

Kortiko steroid dosis besar pada penelitian tidak terbukti bermanfaat

Di luar negeri diberikan terapi anti-endotoksin antibodi

Syok septis dengan disfungsi end organ perlu perawatan intensif di ICU
Prognosis syok septik :

Tergantung kondisi penjamu, organism, antibiotic awal dan kompleks

Kegagalan end organ meningkatkan mortalitas pada sepsis dengan syok septik
o Perubahan fungsi mental dengan manifestasi agitasi sampai koma. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi perubahan metabolism asam amino salah satu penyebab enesefalopati.
o Hiperventilasi dengan alkalosis respirasi tampak pada sepsis stimulasi pusat ventilasi
meduler oleh endotoksin dan mediator radang merupakan penyebab hiperventilasi.
o Terdapat tanda-tanda iritasi selaput meningen.
59
Beberapa istilah yang perlu diketahui:
o Bakterimia
: terdapat bakteri viable dalam cairan
o Sepsis
:
o Sepsis
: Bila terdapat sepsis bersama disfungsi end organ atau hipoperfusi
o Syok septik
:
respons pejamu (host) terdapat infeksi disertai dengan sistemik
inflammatory respons syndrome (SIRS)
Sepsis dan hipotensi, meskipun sudah diresisitasi cairan, masih saja
terdapat perfusi jaraingan yang tidak adekuat.
Patofisiologi Meningitis Akut
Terjadi invansi kuman pathogen melebihi mekanisme pertahanan dan sampai dirongga
subarachnoid. Setelah itu terjadi replikasi dan pelepasan sitokin proinflamatori dan toksin
seluler lain. Patogenitas ditentukan oleh kapsul bakteri. Kolonisasi nasofaringeal menjadi
sumber untuk invasi local di sepanjang epitel nasofaring pada orang tanpa antibodi. Invasi ini
mengakibatkan bakteremia disertai perlengketan pada epitel pleksus khoroideus diikuti oleh
infeksi meningeal dan menyebar ke rongga subarachnoid.
Infeksi H. Influenza misalnya dapat mengakibatkan ventrikulitis dengan hasil thrombosis dari
vena piamater, arteriole kortikal dan sinus venosus dengan pembentukan efusi subdural.
Umumnya kematian karena meningitis akut (bakteri) terjadi karena TTIK akibat edema serebri
vasogenik yg meningkatkan permeabilitas sawar darah otak dan pembengkakan sitotoksik
dengan lisis sel dari toksin yang dilepaskan oleh PMN dan bakteri menyebabkan hidrochepalus
obstruktif. Terapi meningitis akut/bakteri langsung terhadap inhibisi dan replica invasi kuman
pathogen, pencegahanedema serebri dan pada kasus kasus tertentu mencegah efek sekunder
dari sitokin pro inflamatori dalam rongga subarachnoid.
Membedakan antara bakteri, virus dan fungus
Setelah diagnosis dibuat, segera dibedakan antara bakteri,virus dan fungus. Umumnya
meningitis bakteri lebih berat dan kecenderungan memburuk pada bakteri. Secara sistemik
gejala infeksi pernafasan akut atau otogenik terjadi pada bakteri sedangkan parotitis dan diare
sering mendahului meningitis virus. Kecurigaan pada parasit dan fungus sering terjadi pada
infeksi HIV. Walaupun pada meningitis ada demam disertai menggigil tetapi tanda-tanda
tersebut lebih nyata pada bakteri. Punksi lumbal merupakan penunjang yang lebih jelas untuk
membedakan jenis meningitis ini.
60
Meningitis
fungus/parasit
mempunyai
onset
subakut,sedangkan
pemeriksaan
cairan
serebrospinalis biasanya memperlihatkan gambaran limfosit dan sedikit PMN. Protein
meningkat dan glukosa sedikit menurun < 40 mg/L.
Laboratorium

Metode yang paling sederhana ialah dengan menggunakan pewarnaan gram pada liquor.
Cairan di sentrifuse dan sedimen dibuat pewarnaan. Test ini sangat cepat, yaitu < 15’
dengan sensitifitas 25% dan spesifisitas 95%. Kemungkinan untuk menemukan bakteri bila
jumlah organism 103 CFU/ml; 25% dan 103-105 CFU/ml; 60% - 97% bila > 105.

Test antigen bakteri
Diagnostik cepat juga adalah dengan menentukan antigen bakteri dalam likuor. Merupakan
test imunologis untuk menentukan antigen larut dalam bakteri. Keuntungan test antigen ini
cepat (0,5-1 jam) dan dapat mendiagnosis bakteri yang dikenal, sedangkan kerugian test ini
tidak dapat menentukan bakteri yang jarang dan tidak dapat digunakan untuk sensitivitas
antibiotik.

Kultur bakteri
CSF diokulasikan ke plat agar darah dan plat agar cokelat. Kultur lambat, tapi dapat
menentukan sensitivitas bakteri.

Deteksi asam nukleat bakteri
Dilakukan dengan PCR dengan 2 langkah, pertama menentukan bakteri dan kemudian
menentukan reseptor RNA kuman-kuman. Juga tidak dapat menentukan sensitifitas
antibiotik.
Kesimpulan
1. Penderita infeksi SSP mempunyai prognosis buruk bila tidak segera diterapi.
2. Kejang, tekanan tinggi intrakranial, dan syok septik merupakan keadaan yang segera harus
diatasi.
3. Pengobatan pada penyakit SSP harus segera dilakukan secara empiris. Perkiraan penyebab
dicari setelah penderita teratasi kegawatannya dan setelah mendapat obat.
61
Daftar Pustaka
1. Marshall RS, Masyer SA. On call neurology: increased intracranial pressure. 1997:p.15464.
2. Cruz J. Neurologic and neurosurgical emergencies. 1998:p.1-34.
3. Lindsay KW, Bone I, Callender R. Neurosurgery and illustrated 2nd ed. 1991:p.72-100.
4. Becker K. Management of increased intracranial pressure. American academy of neurology
8AC 006-1, 2000.
5. Stapczynski JS. Shock septic. In: medicine journal vol. 2, no. 5, May 2001.
62
BAB VIII
KEDARURATAN NEUROLOGI PADA STROKE
Dr. Salim Harris SpS(K)
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pendahuluan
Stroke merupakan satu gangguan aliran darah ke otak, baik bersifat regional maupun global
yang berlangsung begitu cepat, yang dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan manifestasi
yang ditimbulkannya berupa kecacatan baik anggota gerak maupun fungsi-fungsi lainnya.
Proses stroke berlangsungnya begitu cepat dengan manifestasi gangguan klinis yang sangat
bervariasi sehingga WHO menekankan gejala stroke harus bertahan dalam 24 jam pertama.
Keberadaan dari kedaruratan stroke akan mengancam kehidupan sel otak yang diketahui tidak
mempunyai cadangan energi sehingga menimbulkan kecacatan menetap dan hal ini telah
terbukti, kecacatan akibat stroke memegang rangking tertinggi di dunia.
Ancaman kedaruratan ini juga dapat mengancam kehidupan penderita stroke itu sendiri karena
dengan terjadinya gangguan aliran darah otak, maupun kejadian pecahnya pembuluh darah,
dalam kurun waktu 24 jam akan diikuti oleh edema serebri, edema serebri merupakan beban
yang begitu hebat kepada otak yang berada dalam ruang yang relatif sempit dan daya kembang
yang minimal sehingga dapat terjadi penonjolan atau pendorongan bagian otak ketempat yang
tidak semestinya ada dan hal ini disebut herniasi. Herniasi akan mengakibatkan terjadinya
penekanan pada parenkim otak yang masing-masing menjadi pusat vital baik pusat kesadaran,
pusat pernafasan, pusat pergerakan jantung dan lainnya yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi pusat pusat vital tersebut. Gangguan pusat pusat vital
di otak akibat herniasi pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Sehingga secara umum
dikatakan kematian akibat stroke menduduki rangking ke 3 sesudah kanker dan penyakit
kardiovaskular.
63
Faktor Resiko Stroke
Stroke iskemik maupun hemoragik merupakan manifestasi hasil akhir dari suatu proses kronik
akibat suatu penyakit maupun kebiasaan/pola hidup dan dapat didasari akibat faktor genetik,
keberadaan hal tersebut pada akihrnya akan mengakibat gangguan pada sistem pembuluh darah
besar, menengah maupun kecil yang apabila keadaan ini terjadi di sistem peredaran odarah tak
maka akan bermanifestasi sebagai stroke.
Hipertensi merupakan penyakit kronis di mana terjadinya peningkatan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik atau keduanya, baik yang mempunyai penyebab (sekunder) ataupun
yang tidak diketahui penyebabnya (primer). Kondisi tekanan darah yang tinggi ini yang
berlangsung lama akan menimbulkan kondisi patologi pada
pembuluh darah seperti
lipohialinosis maupun terjadi mikroaneurisma. Tekanan darah yang berlangsung lama di
samping dapat menimbulkan aneurisma juga dapat memicu terjadinya arterosklerosis. Peran
beta-amyloid pada dinding pembuluh darah telah lama diketahui, pada hipertensi akan
mengakibatkan menumpuknya beta-amiloid pada pembuluh darah kecil dan media terutama
pada daerah kortikal selanjutnya terjadilah penebalan membrane basalis pembuluh darah dan
terjadilah stenosis dari lumen seperti halnya yang terjadi proses lipohialinosis yang berasal dari
permukaan pembuluh darah kecil. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya stroke iskemik.
Nekrosis amyloid dan mikro aneurisma terjadi akibat proses fragmentasi elastin lamina internal
yang akan berakhir dengan terjadinya proses perdarahan otak.
Kelainan Jantung
Kelainan jantung baik kelainan irama seperti pada fibrilasi atrial, kelainan otot jantung seperti
yang terjadi pada daerah imobilisasi setelah mengalami infark dan kelainan katup jantung serta
gagalnya fungsi jantung dapat menimbulkan bekuan-bekuan darah kecil terlepas dan mengalir
ke aliran darah yang akhirnya akan mencapai pembuluh darah di otak, bekuan atau emboli ini
akan akan berhenti pada pembuluh darah yang berdiameter lebih kecil dari bekuan darah
(emboli) keadaan ini menimbulkan stroke iskemik. Gangguan irama jantung terutama fibrilasi
atrium merupakan penyebab yang utama pada orang-orang lanjut usia mengalami stroke
64
iskemik. Gangguan katup jantung baik sebagai stenosis maupun insufisiensi akan
mengakibatkan terjadinya gangguan turbulensi keadaan ini akan menimbulkan lepasnya
bekuan-bekuan darah kecil selanjutnya akan masuk ke adalam aliran darah untuk berakhir pada
pembuluh darah yang lebih kecil
Di samping itu kerusakan pada katup janntung akan mengakibatkan timbulnya bekuan darah
yang menempel pada katup jantung sehingga terbentuklah trombus dan trombus ini akan
berisiko stroke iskemik apabila terlepas (kardio emboli stroke). Daerah infark jantung dengan
spesifikasi adanya gelombang Q pada EKG merupakan daerah yang tidak/kurang mempunyai
kemampuan berkontraksi sehingga berisiko untuk menjadi tempat terbentuknya bekuan darah
di dalam jantung.
Dengan demikian penyakit jantung merupakan faktor risiko terjadinya stroke.
Gangguan Kadar Lemak Darah dan Homosystein
Adanya peningkatan LDL kolesterol maupun homosistein baik tersendiri maupun bersamaan
dengan terbentuknya LDL tiolakton akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dari endotel
pembuluh darah baik pembuluh darah besar, sedang maupun kecil. Keadaan ini akan memicu
timbulnya respon dari trombosit sebagai repair maupun tumpukan daripada LDL di dalam
endotel yang selanjutnya akan terbentuk plak maupun trombus, yang pada ahirnya kedua
proses ini akan menimbulkan penyumbatan pada pembuluh darah.
Diabetes Mellitus (Kencing Manis)
Keberadaan gula darah yang meningkatan tidak saja mengakibatkan gangguan pada viskositas
dengan segala aspeknya, tetapi juga akan mempengaruhi mitokondria yang semula berperan
dalam memproduksi ATP kini mitokondria juga menghasilkan ROS yang bersifat toksin baik
terhadap sel maupun menimbulkan injury pada endotel. Keadaan ini semua akan menimbulkan
kerusakan pada beberapa target organ yang salah satunya adalah otak dengan manifestasi
berupa stroke.
65
Fibrinogen
Fibrinogen merupakan protein dengan berat molekul besar yang merupakan suatu reaktif
protein,
apabila terjadi peningkatan kadarnya didalam darah
akan berisiko
terjadinya
peningkatan viskositas darah.
Fibrinogen yang juga merupakan faktor 1 dari elemen pembekuan darah apabila terjadi
peningkatan kadarnya akan menimbulkan keadaan hipercoagulable state, sehingga darah
mudah membeku.
Sel darah merah
Sel darah merah mempunyai kemampuan merubah bentuk (deformabilitas), kemampuan ini
ditentukan oleh kandungan muatan negatif yang berada dipermukaan sel tersebut. Adanya
potensial aksi negatif ini dikenal sebagai zeta potensial. Apabila terjadi peningkatan kadar
fibrinogen yang merupakan protein bermuatan positif maka kelebihan fibronogen ini akan
melakukan ikatan dengan muatan negatif yang berada di permukaan Sel darah merah
selanjutnya akan menimbulkan gangguan pada kemampuan merubah bentuk ( deformability )
daripada sel darah merah, gagalnya eritrosit melakukan perubahan bentuk ini akan
mengakibatkan terjadinya kesulitan sewaktu melewati pembuluh darah kecil di otak yang
berdiameter relatif lebih kecil dari eritrosit. Hal ini mengakibatkan terjadinya slugging dan
pada akhirnya menimbulkan lakunar infark di otak.
Polisitemia
Keadaan meningkatnya jumlah sel darah merah yang beredar di dalam aliran darah disebabkan
karena penyakit primer polisitemia maupun sebagai suatu reaktif dari kondisi-kondisi tertentu
seperti pada mereka yang mengkonsumsi karbondioksida (perokok) yang mempunyai ikatan
lebih kuat terhadap oksigen, kondisi ini akan mengakibatkan bertambahnya sel darah yang
berada pada aliran secara otomatis akan mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah pada
tingkat arteri di otak. Kondisi dehidrasi akan menimbulkan dampak peningkatan viskositas
66
yang berakibat serupa dengan terjadinya gangguan aliran pembuluh darah kecil di otak akibat
polisitemia.
Penyakit-penyakit kronis lainnya maupun kebiasaan-kebiasaan buruk, kurangnya berolah raga
serta malformasi pembuluh darah dan lanjut usia juga akan menjadi faktor risiko terhadap
stroke baik stroke hemoragik maupun stroke iskemik.
Patogenesis dan Patofisiologi Stroke
Terdapat perbedaan yang mendasar pada stroke hemoragik/subaraknoid dengan stroke iskemik.
Kedua tipe stroke ini berbeda dalam proses terjadinya stroke, di mana pada stroke hemoragik
terjadinya diskontuinitas pembuluh darah berakibat keluarnya darah dari pembuluh darah dan
akan mengisi parenkim otak maupun rongga-rongga di dalam otak. Sedangkan pada stroke
iskemik/sumbatan mengakibatkan terputusnya aliran darah di dalam pembuluh darah. Akibat
adanya sumbatan ini maka terjadinya gangguan suplai energi yang pada akhirnya menimbulkan
kematian pada jaringan otak.
Otak yang beratnya sekitar 2 % dari berat badan menerima 15-20 % curahan darah dari jantung
di mana cerebral blood flow (CBF)/aliran darah ke otak di pertahakan konstan pada hitungan
50-60 cc/gram otak per menit. Atau dapat dikatakan konsumsi otak sekitar 20 % dari total
oksigen tubuh dalam kondisi istirahat. Apabila terjadi gangguan aliran darah ini apapun
sebabnya dengan nilai di bawah 20 % dari nilai CBF atau sama dengan 10-15 cc akan
mengakibatkan kematian jaringan yang menetap. Adanya aliran darah ke otak di antara 20 cc –
di bawah 50 cc / gram otak per menit, otak akan mengalami gangguan perfusi tetapi belum
menimbulkan kematian sel otak secara permanen. Kondisi ini dikenal sebagai daerah
penumbra. Adanya autoregulasi semata-mata bertujuan untuk mempertahankan sel otak dari
kematian. Cerebral Perfusi Pressure (CPP) merupakan kelanjutan dari tekanan darah sistemik
yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan suplai energi ke otak secara konstan,
apabila terjadi penurunan tekanan darah yang berakibat penurunan CPP maka pembuluh darah
otak akan mengalami vasodilatasi sehingga memungkinkan peningkatan cerebral blood volume
(CBV). Hal ini akan mampu mempertahankan CBF dalam kondisi konstan sehingga
keberadaan sel otak tetap normal, apabila penurunan tekanan darah berkelanjutan yang
67
berakibat terjadinya penurunan CPP berkelanjutan dan otak sudah tidak mampu meningkatkan
cerebral blood volume, kondisi ini memungkinkan sel otak tetap hidup walaupun sudah terjadi
kegagalan perfusi, hal ini disebabkan peningkatan daripada efisiensi otak yaitu dengan
meningkatnya oksigen ekstration fraction (OEF). Walaupun demikian pada kondisi ini
cerebral blood flow mengalami penurunan tetapi cerebral metabolisme rate for oxyigen
(CMRO2) masih dalam batas normal.
Apabila tekanan perfusi terus menurun, CBV tidak mampu meningkat lagi, CBF terus menurun
dan OEF tidak mampu meningkat lagi, maka CMRO2 menurun maka terjadilah iskemia otak
dan secara klinis ditandai dengan adanya defisit neurologi.
Proses biomolekuler kerusakan sel otak diawali akibat gagalnya pompa natrium kalium
sehingga natrium di dalam sel tidak mampu dikeluarkan mengakibatkan terjadi depolarisasi
membran presinaptik dengan keluarnya neurotransmitter glutamat dan hal ini akan
mengakibatkan terbukanya reseptor NMDA dan hal ini mengakibatkan masuknya kalsium ke
dalam sel, dengan masuknya kalsium kedalam sel akan terjadi pengeluaran kalsium oleh
organel sel lainnya seperti mitokondria dan lisosom, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
penumpukkan kalsium yang bertambah banyak di dalam sitoplasma sel. Kemudian kondisi ini
akan memicu terbukanya voltage channel calsium receptor (VSCC) maka dengan leluasa
kalsium masuk ke dalam sel, tingginya kadar kalsium di dalam sel akan mengaktifkan enzimenzim posfolifase, protease, dan radikal bebas lainnya, enzim posfolifase ini akan melakukan
hidrolisa dari membran lipid sehingga terbentuk asam lemak bebas dan terbentuklah asam
arakidonat dan terjadilah pembentukkan peroksida sehingga timbul kerusakan membran sel
yang disebut sebagai nekrosis. Sedangkan daerah penumbra proses kematian sel melalui proses
apoptosis yaitu dengan terbentuknya cytoplasmic bud kemudian menjadi apoptotic bud,
selanjutnya apoptocic bud ini ini akan ditangkap oleh makrofag, sebagian dari apoptotic bud
yang tidak tertangkap oleh makrofag akan mengalami lisis disebut sebagai nekrosis sekunder.
Kedaruratan Kehidupan
Stroke tidak saja mengancam kematian sel tetapi juga dapat menimbulkan kematian pada
individu yang menderita. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya kegagalan fungsi otak,
68
fungsi pernafasan, fungsi jantung, dan organ-organ lainnya. Adanya edema serebri yang terjadi
pada 24 jam pertama, akan menimbulkan peningkatan tekanan di dalam kepala yang berisiko
terjadinya herniasi, di mana bagian otak akan keluar mencari bagian-bagian atau ronggarongga yang longgar untuk menempatkan dirinya sehingga menimbulkan kegagalan dari kedua
sistem otak baik kanan maupun kiri atau terjadinya kegagalan sistem batang otak. Pengaruh
daripada stroke terhadap sistem kardiovaskular atau jantung dapat dilihat dari aspek pengaruh
sistem sentral yaitu peran sentral dalam mengontrol fungsi jantung seperti kerusakan dari
insula dan bagian-bagian dari batang otak sehingga menimbulkan kegagalan aktifitas jantung
di lain pihak adanya stroke akan berdampak pada sistim hemodinamik maupun berdampak
pada viskositas darah yang pada akhirnya akan berisiko pada gangguan koroner. Gangguan
pernafasan, seperti di ketahui adanya peran batang otak dalam mengatur ritme pernafasan, bila
terjadi gangguan pada batang otak maka akan menimbulkan gangguan pada sistim pernapasan.
Seperti terjadinya pernafasan biot atau cheynestoke. Keadaan edema serebri akan meningkat
tekanan intrakranial, hal ini akan mengakibakan peningkatan frekuensi pernafasan sehingga
terjadinya hipokapnia, keadaan ini tidak saja dapat menimbulkan gagal nafas tetapi juga dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak akibat vasokontriksi umum.
Kedaruratan Fungsional
Yang dimaksud dengan kedaruratan fungsional adalah kegagalan dalam menyelamatkan sel
otak akibat terjadinya stroke. Akibat kedaruratan fungsional ini akan terlihat meningkatnya
nilai kecacatan sehingga penderita akan
selamat dari kematian tetapi mengalami
ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain (dependent). Nilai ketergantungan ini dapat
dilihat dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari seperti makan, berjalan, mandi,
membersihkan diri dari najis, menyisir rambut dan sebagainya. Kedaruratan fungsional ini
dapat dikurangi sedemikian rupa sehingga penderita stroke setidak-tidaknya mampu menolong
dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pengobatan yang cepat tepat dan akurat
seperti pemberian trombolisis pada penderita stroke iskemik yang sesuai dengan waktunya,
akan dapat menyelamatkan kematian sel sehingga keluaran fungsional (functional outcome)
akan didapatkan lebih baik dibandingkan tanpa penggunan trombolisis. Hal-hal yang dapat
meringankan risiko terjadinya kerusakan sel dapat dilakukan dari sejak pertama kali penderita
69
mengalami serangan stroke di mana penderita yang mengalami serangan stroke akan
mengalami gangguan hemodinamik intraserebral sehingga sebaik-baiknya penderita diletakkan
dalam posisi tidur dengan posisi kepala maksimal 30o yang terangkat dari bahu sampai ke
kepala dengan tujuan memperbaiki venous return (bed rest).
Keberadaan penderita stroke yang tidak melakukan posisi tirah baring akan berisiko terhadap
regional perfusion pada daerah stroke yang akan bertambah parah, hal ini akan berakibat
terjadinya perluasan daerah infark yang semula merupakan daerah penumbra. Pemberian obatobat anti hipertensi selayaknya ditinggalkan apabila tekanan darah rerata (MABP) dibawah 130
mmHg. Hal ini didasarkan atas peningkatan tekanan darah yang terjadi merupakan reaksi
normal akibat terjadinya suatu gangguan hemodinamik di otak. Apabila diperlukan penurunan
tekanan darah sebelum memberikan obat-obat tekanan darah haruslah dipastikan tidak ada
nyeri, tidak ada demam, tidak ada retensi urin dan sebagainya yang mungkin berpengaruh
terhadap tekanan darah. Adanya demam tidak semata-mata berisiko terjadinya vasodilatasi
yang akan berdampak terjadinya steal syndrome, tetapi akan berpengaruh terhadap peningkatan
metabolisme otak yang sebanding dengan peningkatan suhu yang terjadi. Adanya kejang
haruslah dihindari demikian juga adanya peningkatan kadar gula darah karena akan berakibat
terjadinya lonjakan asam laktat di daerah serebral yang berakibat timbulnya regional asidosis
akhirnya akan diikuti oleh kematian sel, demikian pula halnya pada kondisi gula darah yang
rendah akan berpengaruh negatif kepada metabolisme sel otak yang sedang mengalami sekarat.
Pemberian oksigen dalam jumlah besar akan mengakibatkan PaO2 meningkat , apabila terjadi
peningkatan berlebih maka akan diikuti oleh kondisi hiperkapnia yang akan berisiko terjadinya
vasodilatasi di luar daerah penumbra yang pada akhirnya akan menimbulkan steal syndrome
pula. Sehingga dengan pengetahuan patofisiologi dan patogenesis stroke tidak saja dapat
menurunkan angka kematian tetapi juga dapat meminimalisasi kecacatan pada penderita stroke.
Penutup
Penatalaksanaan penderita stroke sudah dilakukan sejak penderita berada di rumah sehingga
pengetahuan mengenai stroke sebaiknya dimasyarakatkan tidak saja di kalangan medis tetapi
juga di kalangan awam dengan modalitas yang berbeda. Hal ini akan sangat menolong baik
70
bagi penderita stroke maupun bagi dokter sehingga penatalaksanaan stroke dapat terlaksana
dengan cepat, tepat dan akurat yang pada akhirnya akan memberikan keluaran pengobatan
dengan menurunnya angka kematian dan meminimalisasi kecacatan penderita stroke sehingga
ketergantungan menjadi sangat kecil dan pada akhirnya dapat terlaksana efisiensi baik dalam
hal finansial, lama rawat,dan penderitaan psikososial penderita dan keluarga.
Kepustakaan :
1. Stroke Practical Management, Third Edition, C.P. Warlow et. All, 2008.
2. Review of Medical Physiology, 22 Edition, William F. Ganong, 2005.
3. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, C.P. Warlow, 2001.
4. Principal of Neurology, Adam and Victor, Eight Edition, 2005.
5. Trombolitic Therapy of Acute Stroke, Patric De laden, Second Edition, 2005.
71
BAB IX
VERTIGO AND EMERGENCY HEADACHE
Dr. Eva Dewati, Sp.S(K)
Bagian Neurologi FKUI/RSCM
PENDAHULUAN
Vertigo dan sakit kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan pasien untuk mencari
pertolongan medis. Bermacam-macam istilah digunakan pasien dalam mendeskripsikan vertigo
seperti pusing, puyeng, oyong, melayang dan sebagainya. Seringkali pasien menggunakan
istilah sakit kepala dan vertigo dengan istilah pusing.
Vertigo adalah suatu ilusi dimana seseorang merasa tubuhnya bergerak terhadap lingkungannya atau lingkungan yang bergerak tehadap dirinya.1 Sakit kepala adalah rasa nyeri pada
kepala yang bersifat unilateral atau menyeluruh.2
Pada kasus vertigo 5 - 10% pasien berobat ke dokter umum dan 10 - 20 % berobat ke dokter
saaraf dan THT.3 Berdasarkan data dari Amerika didapatkan 2,2 % penderita sakit kepala
yang bersifat akut mencari pertolongan medis ke unit gawat darurat.
VERTIGO
Fungsi keseimbangan tubuh kita terdiri dari 3 sistem yaitu : sistem vestibular, sistem visual dan
sisrtem somatosensorik. Apabila terjadi gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem
tersebut maka akan timbul gejala vertigo.4
Vertigo yang mengenai sistem vestibular disebut vertigo vestibular sedangkan vertigo yang
timbul pada kelainan somatosensorik dan visual disebut vertigo non vestibular
Pada vertigo vestibular : sifat vertigo seperti berputar, serangan bersifat episodik, diserrtai
gejala otonom, kadang kadang dijumpai gangguan pendengaran dan dicetuskan oleh gerakan
kepala.5
Dalam menghadapi kasus vertigo vestibular kita harus membedakan apakah lesinya di perifer
(pada labirin dan n. vestibularis) atau pada lesi sentral (pada batang otak sampai korteks).6
Secara klinis vertigo vestibular tipe perifer timbulnya lebih mendadak, keluhan vertigo lebih
berat, lebih sering diperburuk dengan gerakan kepala, gejala otonom lebih dominan dan
disertai dengan tinnitus. Pada vertigo vestibular tipe sentral gejala ini lebih ringan dan disertai
dengan defisit neurologi.7
72
Penyebab vertigo vestibular perifer : benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tumor
N.VIII, infeksi, oklusi a.labirin, autoimun, trauma. Sedangkan penyebab vertigo vestibular
sentral : vaskular, tumor, epilepsi, trauma, demielinisasi, degeneratif, sindroma paraneoplastik,
migren vestibular.3,4,6
Penatalaksaan kasus vertigo secara garis besar adalah :
1. Terapi kausal
2. Terapi simtomatik
3. Latihan vestibular
Terapi simtomatik ditujukan pada dua gejala utama yaitu vertigo dan gejala otonom. Jenis –
jenis obat anti vertigo yang banyak digunakan :
a. Golongan Ca-channel blocker
: flunarisin
b. Golongan antihistamin
: sinarisin, prometasin, difenhidrinat
c. Golongan fenotiazin
: prokloperazin, klorpromazin
d. Golongan histaminic
: betahistin
Terapi rehabilitatif/latihan vestibular bertujuan untuk menimbulkan dan meningkatkan
kompensasi sentral dan habituasi. Pada penderita BPPV latihan ini juga berfungsi untuk
reposisi otolit.8,9,10
SAKIT KEPALA
Dalam menghadapi pasien dengan sakit kepala diperlukan anamnesis yang sangat teliti.
Riwayat sakit kepala sebelumnya harus dianalisa seperti usia mulai timbul serangan, frekwensi,
durasi dan gejala penyerta ketika sakit kepala timbul. Sakit kepala primer yang sering
dijumpai : sakit kepala tipe tegang (tension type headache) dan migren. Dalam menghadapi
kasus sakit kepala juga harus dipikirkan adanya kemungkinan sakit kepala yang disebabkan
penyakit lain yang disebut sebagai sakit kepala sekunder. Seringkali sakit kepala sekunder
tidak terdiagnosis ketika menghadapi pasien dengan serangan sakit kepala, untuk itu ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi pasien dengan keluhan sakit kepala :
11,12
1. Sakit kepala yang sangat berat/ pertama kali dialami oleh pasien
2.
Frekwensi yang semakin sering dan rasa sakit yang semakin berat
3.
Timbul mendadak pada usia muda atau usia > 50 tahun
73
4. Bersifat progresif
5. Sakit kepala yang meningkat dengan valsava manuver
6. Adanya gejala sistemik seperti : demam, berat badan menurun, riwayat keganasan,
infeksi dan imunosupresi
7. Disertai defisit neurologis
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat dalam bidang neurologi :
perdarahan subarakhnoid, ensefalopati hipertensif, meningitis, ensefalitis, penyakit
serebrovaskular (stroke hemoragik, iskemik), tumor, abses serebri.13,14
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan etiologi seperti : hematologi, CT Scan
atau MRI kepala, pungsi lumbal.
Terapi migren lini pertama : aspirin, ibuprofen, naproxen sodium, acetaminofen + aspirin +
caffeine. Jika tidak ada respon dengan terapi lini pertama dapat diberikan golongan triptan.
Penatalaksanaan sakit kepala sekunder yang terpenting adalah menangani penyebabnya
KESIMPULAN
1. Vertigo dan sakit kepala merupakan gejala subyektif dari pasien dan disebabkan oleh
berbagai kausal
2. Prinsip terapi pada vertigo : terapi kausal, terapi simptomatik dan terapi rehabilitatif
3. Sakit kepala yang disebabkan oleh kelainan struktural pada otak memerlukan
penanganan yang cepat dan tepat
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Pritcard TC, Alloway KP. Medical Neuroscience. Fence Creek Publishing, 1999 : 39 - 47
2. The International Classification of Headache Disorders, 2nd edition. Chephalalgia 2004;42
Suplement.
3. Brandt T. Vertigo, Its Multisensory syndromes. Springer-Verlag. London, 2nd ed. 2000; 3-47
4. Melvil-Jones G. The Peripheral Vestibular Message. In J.A Sharpe and H.O barber (eds) :
The Vestibulo-ocular Reflex and Vertigo. Raven Press. New York, 1993: 1 -14
5. Uemura T, Suzuki J, Hozawa J. Et al. Neurotological Examination. Igaku Shoinltd, tokyo,
1991 : 32 – 46
6. Fife TD. Common Central Causes of Dizziness and Vertigo. AAN. Annual Meeting, 2007
7. Jacobson GP, Newman CW, Kartush JM. Handbook of Balance Function Testing. Mosby
year Book. Toronto 1982 : 156 – 187
8. Brandt T. Vertigo. Springer-Verlag. London.2003: 251 – 283
9. Hain TC. Vertigo. In RT Johnson(ed): Current Therapy in Neurologic Disease. BC Decker
Inc, 1999 : 8 – 12
10 Hain TC. Canalith Repositioning for Benign Paroxysmal Positional Vertigo. AAN annual
meeting 2008
11 Black DF, Swanson JW. Headache in the Emergency Department. AAN annual meeting
2007
12 Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. Overview, Diagnosis and Classifcation of
Headache. In Wolf’s Headache and Other Head Pain. Oxford University Press, Inc, 2001 :
3 - 26
13 Wijdicks FM. Catastrophc Neurologic Disorders in the Emergency Departemen. Oxford
University Press, 2004 : 36 -42
14 Saper JR. Headache : Urgent Consideratons in Diagnosis and Treatment. In Emergent and
Urgent Neurology. Lippincott Williams & Wilkins, 1999 : 289 -314
75
BAB X
KEGAWATDARURATAN PENYAKIT NEUROMUSKULAR
Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K)
Pendahuluan
Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak terlalu sering
dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit ini.
Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup luas. Mulai dari
kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan yang dapat mengancam nyawa. Oleh
karenanya mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting.
Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau bisa juga
keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron.
Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah pertama
tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor neuron.
Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb:
UMN
Bentuk kelumpuhan
LMN
Hemiparesis, quadriparesis, Kelemahan
paraparesis.
tertentu
pada
sesuai
otot
distribusi
radiks atau pleksus
Atrofi
Disuse
atrophy
belakangan
dan
(muncul Atrophy akibat denervase
tidak (muncul lebih cepat dan
terlalu jelas)
lebih jelas)
Fasikulasi dan fibrilasi
-
+
Refleks fisiologis
Meningkat
Menurun atau hilang
Klonus
+
-
Tonus
Hipertonus
Hipotonus
Refleks patologis
+
-
76
Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui:
Letak lesi
Pola kelainan
Motor Neuron
Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak ada Amyotrophic
Radiks
Contoh
lateral
gangguan sensorik.
sclerosis (ALS), spinal
Pada ALS, gejala LMN disertai UMN
muscular
Polio: kelemahan asimetrik, riw. Infeksi
polio
atrophy,
Kelemahan dan gangguan sensorik sesuai Kompresi
dengan inervasi radiks yang terkena
radiks
ec
HNP
Sindrom Kauda ekuina
Pleksus (Plexopathy)
Sesuai inervasi pleksus yang terkena
Trauma pleksus
Neuritis brakialis akut
Saraf perifer
Mononeuropati
Kelainan sesuai distribusi saraf perifer Sindrom
yang terkena
terowongan
carpal/tarsal
Mononeuropati
Proses multifokal yang hanya mengenai Kelainan
saraf
multiplex
bagian tertentu dari saraf perifer
Polineuropati
Difus, simetris, stocking-glove pattern, Neuropati DM
tepi
pada Morbus Hansen
distal hyporefleksia
Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi GBS
(GIT atau ISPA), refleks patela menurun
Neuromuscular
Kelemahan berfluktuatif terutama setelah Myastenia Gravis
Junction
aktivitas, tidak ada gangguan sensorik, Botulism
refleks fisiologis normal
Otot
Kelemahan otot proksimal yang difus, Polimiositis, muscular
tidak ada defisit sensorik
distrofi.
Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus motorik
atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan kelainan LMN
dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot.
77
Eksplorasi riwayat penyakit pasien akan sangat membantu menegakkan diagnosis.
1. Selalu tanyakan ada tidaknya riwayat trauma baik pada ekstremitas, leher maupun
pinggang. (ingat VITAMINS)
2. Pastikan pola kelemahannya.
3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan neurogen
seperti polineruopati di distal.
4. Adakah gejala sensorik?
5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya.
6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram?
7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen.
8. Adakah nyeri?
9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti HNP,
trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik.
10. Adakah gejala otonom?
11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik
dizziness.
Kegawatdaruratan yang mungkin dijumpai pada penyakit neuromuskular.
Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi pada
seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf-otot
(Neuromuscular Junction), atau otot (Tabel 1). Walaupun mula-mula penyebab gangguan
neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan diagnosa pasti juga belum dapat
ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan
bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi
kardiopulmonal stabil, harus dilakukan pemeriksaan serum, likuor, EMG (elektromiografi),
kecepatan hantar saraf (KHS/ NCV = nerve conduction velocity), biopsy otot atau saraf dapat
dilakukan agar dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan
yang lebih optimal.
Umumnya kegawatdaruratan neuromuscular berkembang sebagai suatu problema sekunder
pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuscular atau sistemik (Tabel 2).
Hal ini penting sekali untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi.
78
Table 1. Penyebab kelemahan yang akut pada penderita yang sebelumnya sehat1
Sel kornu anterior :
Poliomyelitis/ enterovirus yang lain
Motor Neuron Disease (MND) (subakut)
Saraf perifer :
AIDP (Sindroma Guillain Barre)
Paralisis oleh gigitan serangga
Difteri
Intoksikasi logam berat
Paut saraf – otot :
Miastenia gravis
Miastenia yang disebabkan oleh obat-obatan
Eaton Lambert (myasthenic) syndrome (ELS)
Botulism
Keracunan organofosfat
Otot :
Poliomyelitis
Paralysis periodic (PP)
Miopati toksik
Mioglobinuri/ rabdomiolisis
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS)
Kelemahan akut akibat gangguan saraf perifer
Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP atau Guillan Barre Syndrome/
GBS) mengenai kira-kira 0.75-2.00% per 100.000 penduduk setahun. Semua golongan umur di
berbagai daerah geografis rentan terhadap terjadinya serangan system imun pada selaput
myelin perifer yang tidak bersifat keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu
autoreactive limfosit T yang spesifik untuk antigen dan antibody myelin, dan juga untuk
berbagai macam glikoprotein dan glikolipid. Biasanya ada suatu infeksi pada saluran nafas atau
gastrointestinal yang mendahuluinya, juga bisa terjadi setelah imunisasi, kehamilan, atau
setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya AIDP yang menjadi pencetus terjadinya
penyakit ini. Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah Campylobacter
jejuni, dan pada beberapa pasien ini bisa didefinisikan sebagai suatu subgroup yang berbeda
secara klinis dan merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat.
79
Table 2. Keadaan emergensi pada penderita penyakit neuromuskulaer yang diketahui1
Kegagalan respiratorik atau disfungsi bulber
Gangguan neuromuskuler yang reversible :
Miastenia gravis
AIDP
Poliomiositis
Gangguan neuromuskuler yang irreversible :
Motor Neuron Disease (MND)
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Spinal muscular atrophies (SMA)
Distrofi muskuler
Duchenne’s/ Becker’s (X-linked)
Miotonik
Gelang bahu/ gelang panggul
Defisiensi asam maltase
Defisiensi karnitin
Komplikasi pada jantung :
Gangguan konduksi
Distrofi miotonik
Polimiositis
Sindroma Kearns-Sayre
Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif
Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss
Disfungsi otonomik
AIDP
Gangguan elektrolit
Paralysis periodik
Yang khas pada AIDP adalah bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti
dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relative simetris yang mengenai otot-otot bagian
distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernafasan
bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan dapat
terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah yang fluktuatif.
Seringkali, mula-mula pasien mengeluh nyeri pada otot-otot disertai “cramps”, dan dapat
terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus.
Paresis n. facialis bisa terjadi pada 50% pasien.
80
Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan otot-otot yang dipersarafi saraf
cranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi (Tabel 3).
Table 3 Pertimbangan adanya emergensi pada AIDP
Klinik
Arefleksia/ atau refleks yang menurun sekali
Kelemahan yang relative simetris dan progresif
Pemeriksaan straight leg raising ynag positif
Gangguan sensorik obyektif yang minimal
Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi
Laboratoris
CSF dengan peningkatan protein disertai sel kurang dari 10 (mononuclear) (disosiasi
sito-albuminik)
EMG dengan F-wave yang memanjang
KHS/ NCV yang menurun atau
Adanya conduction block
Pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV
Penatalaksanaan
Rawat di rumah sakit
Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg
Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu
monitor aritmia kardial dan hipotensi
Tetapkan progresivitas penyakit
Berikan dorongan/ support yang adekuat dengan perawawtan kulit dan respiratory toilet
Infeksi yang rekuren harus diobati
Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk melihat
peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleiositosis. Walaupun disosiasi sitoalbuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil
likuor yang normal pada 72 - 96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar
saraf (KHS = Nerve Conduction Velocity/ NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam
mengkonfirmasi diagnosa AIDP.
Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan
hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau disperse temporal, dan gelombang F (Fwave) yang hilang atau memanjang.
81
Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terdiri dari F-wave yang
melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang
cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction
block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan
hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95% kasus adalah monofasik dengan kelemahan yang
progresif selama 4-6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateau in
strength), lalu perlahan-lahan mengalami perbaikan. Derajat kelemahan sangat bervariasi,
dimana sekitar ¼ dari jumlah pasien memerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya
digunakan bila kapasitas vital menurun kurang dari 800 ml. Karena sistim otonom umumnya
terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya. Prognosis untuk
penyembuhan sangat baik, lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan tanpa meninggalkan
defisit yang bermakna, namun pada 3-5% pasien bisa berkembang menjadi kronis (CIDP =
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy) atau gejala-gejala berulang (CRPN =
Chronic Recurrent Polyneuropathy). Alat untuk menentukan prognosa yang paling bermakna
dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan
dengan adanya Low Amplitude Compound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV).
Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresivitas
penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otototot pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmaferesis atau immunoglobulin
secara intravena (IVIg). Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L
(200-250 ml/ kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya
disability pada AIDP, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan
dari IVIg. Suatu tim The Dutch Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan
dengan IVIg (0.4 g/kg selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan plasma
exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan mengemukakan
kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pengobatan IVIg disbanding plasma
exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan
lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat
mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak
82
selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari IVIg. Tidak ada
studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange sehingga
hanya salah satu saja terapi yang direkomendasikan.
Kelemahan akut akibat kerusakan paut saraf (Neuromuscular Junction)
Myastehenia gravis adalah suatu gangguan pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang
biasanya menyebabkan suatu kelemahan yang subakut dan fluktuatif tanpa gejala-gejala
gangguan sensorik.
Terdapat antibody terhadap reseptor asetilkolin (Acethylcholine receptor Antibody = AChR
Ab) yang menyebabkan terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot (neuromuscular
junction) Karena mencegah asetilkolin menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi.
Peningkatan titer AChR Ab terlihat pada 90% penderita Myasthenia gravis yang umum
(generalized) tapi dalam evaluasi kasus-kasus kegawatdaruratan kegunaannya terbatas karena
waktu dan hasil pemeriksaan yang lama.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitive dengan frekuensi 3/detik pada
suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan amplitude CMAP
yang melebihi 10% adalah positif. Kekuatan (dan amplitude CMAP) seharusnya mengalami
perbaikan yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon) iv. (Edrofonium adalah suatu
inhibitor asetilkholinesterase yang secara transient membuat lebih banyak asetilkolin tersedia
untuk menstimulasi reseptor post-sinaps).
Umumnya gejala Myasthenia gravis adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai ptosis. Selain
disfungsi ocular, yang terjadi pada lebih banyak dari 80% pada penderita yang menderita
myasthenia gravis, dapat terjadi juga gangguan mengunyah, berbicara dan menelan, kelemahan
otot-otot leher serta otot-otot proksimal. Jarang terjadi disfungsi bulbar yang bisa
menyebabkan suatu dyspnoe atau suatu pneumonia aspirasi. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita usia 15 - 30 tahun dan pria > 40 tahun.
Bisa ditegakkan diagnosa bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya fatique. Pada
pemeriksaan penderita dengan gejala-gejala ocular, pasien disuruh melihat ke atas terus selama
1 menit (persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan terjadinya ptosis yang progresif.
Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor kholinesterase. Bila
keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique), suatu
83
pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan menyebabkan
kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks tetap ada pada pasien
dengan Myasthenia gravis (Tabel 4).
Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency, tapi
interpretasi secara subjektif dari suatu respon ringan sampai sedang dapat mengarah ke suatu
misdiagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon, di observasi efek kholinergik yang
tidak dikehendaki (takikardi, sinkop) disusul dengan pemberian 8 mg untuk mengobservasi
perbaikan klinis.
Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu yang normal.
Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AChR Ab) dan aminogikosid
akan berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan tertentu juga
dapat memperberat gejala-gejala myasthenia gravis (Tabel 5).
Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre eklamsi atau eklamsi terutamaa bisa
mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan bisa mengakibatkan
perburukan klinis yang mendadak.
Penatalaksanaan myasthenia gravis pada penderita yang baru di diagnosa sebagai myasthenia
gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya.
Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya
aspirasi bila fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian
piridostigmin (Mestinon) dosis rendah, 30-60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi perbaikan
simptomatik, sambil mengevaluasi secara keseluruhan.
Diperlukan suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve
stimulation), mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu
timoma dan persiapan timektomi dan juga tes fungsi tiroid.
Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek timoma dan memberikan
keuntungan/ benefit pada semua penderita miastenia yang sedang dan berat. Timektomi
sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan
sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency.
Imunosupresan dengan prednisone atau azatioprin, atau dua-duanya efektif pada penyakit
autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah secara alternating, peningkatan dosis prednisone
perlahan-lahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi pada 10 hari pertama
84
akibat efek steroid-induced blockade. Azathioprin lebih baik diberikan pada penderita yang
berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek samping steroid, atau terdapat suatu
kontraindikasi terhadap penggunaan steroid. Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi,
banyak penderita akhirnya tidak perlu melanjutkan terapi dengan pyridostigmin.
Penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang terlalu lama dengan
dosis tinggi, pyridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps (dowm
regulation) yang membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh pyridostigmin tidak efektif lagi.
Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang cepat
dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan
plasmaferesis atau IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah menguntungkan.
Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang memburuk
sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang mempresipitasi seperti
suatu infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid atau pemberian obat-obat yang
menyebabkan terjadinya neuromuscular blocking (Tabel 4-5). Krisis miastenia yang terjadi
pada penderita yang diketahui menderita penyakit miastenia ditandai dengan adanya
kelemahan yang akut dan progresif yang jika tidak diobati, menghasilkan suatu kuadriparesis,
disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan kegagalan ventilasi. Sebelum ditemukannya terapi
imunosupresan, krisis kholinergik sekunder sebagai akibat dari overdosis pemberian inhibitor
kholinesterase dan juga depolarisasi dari motor end plate merupakan penjelasan yang lain
mengapa terjadi perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan pengobatan yang beragam akhirakhir ini, krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya, seperti diare, kejang perut,
keringat dan salvias berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan inhibitor
kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropine untuk meredakan efek
samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satusatunya adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong membedakan
apakah suatu kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik; pada krisi miastenik,
gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisis kholinergik gejala-gejala menjadi lebih
buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan kholinergik.
85
Tabel 4. Pertimbangan emergency pada miastenia gravis.
Klinis :
Kelemahan yang fluktuatif, ptosis atau diplopia
Gejala-gejala yang bilateral
Gangguan bulbar (disfagia/ disartri) dengan respons pupil yang normal
Kelemahan proksimal lebih dari distal
Aktivitas yang terus menerus akan memperberat gejala
Refleks dan sensibilitas normal
Laboratories :
Tes tensilon (edrofonium) yang positif
Penurunan amplitude (decrement) pada stimulasi repetitive
AchR Ab yang positif
Penatalaksanaan akut :
Monitoring fungsi pernafasan dan menelan
Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan gangguan pada tiroid
Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg
Tabel 5. Obat-obatan yang memperburuk miastenia gravis.
Antibiotika : Neomisin
Antikonvulsan :
Streptomisin
fenitoin
Kanamisin
Trimetadon
Gentamisin
Obat-obatan psikotropik
Tobramisin
Garam litium
Polimiksin B
Khlorpromasin
Kolistiin
Hormon :
Oksi tetrasiklin
Kortikosteroid (pada permulaan)
Linkomisin
ACTH
Klndamisin
Hormon tiroid
Obat-obatan antireumatik :
Obat-obatan lain :
d-penisilamin
Garam magnesium
khloroquin
Narkotika
Obat-obatan kardiovaskuler :
Barbiturat
Lidokain
Kinin
Kuinidin
Prokainamid
Propanolol
Oksprenolol
86
Plasma exchange (55 ml/ kg/ hr selama 5 hari) adalah pilihan terapi untuk pengobatan
kelemahan yang membahayakan hidup. Perbaikan biasanya tampak pada pemberian ke-3 dan
seharusnya menetap dalam 2-4 minggu. Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang
menguntungkan dalam pengobatan krisis miastenik dibandingkan dengan plasmaferesis,
namun penyelidikan-penyelidikan yang lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan isu
tersebut. Dosis tinggi kortikosteroid (prednisone, 40-60 mg/ hr) atau Azatioprine (2-4
mg/kg/hr), atau dua-duany diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari
suatu krisis yang berulang bila efek perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang.
Gejala dari Botulism secara superficial bisa menyerupai myasthenia gravis. Bagaimanapun,
onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala gastrointestinal.
Toksin botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membrane presinaptik. Bila dosis toksin
rendah, akan terjadi suatu kelemahan yang ringan dan disfagia.
Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur, nausea dan
vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin. Reaksi pupil yang menghilang membantu
membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang lain.
Bantuan ventilatior untuk otot-otot pernafasan sering kali diperlukan. Serum dan feses
seharusnya diperiksa untuk menemukan toksin botulinum dan C.botulinum. sebagai tambahan,
makanan yang dicurigai sebagai penyebab seharusnya juga diperiksa.
Pada stimulasi repetitive dengan frekuensi 3x/detik, tampak suatu penurunan amplitude
(decrement) CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik dengan stimulasi dengan
frekuensi cepat 50x/detik mendukung suatu diagnosis botulism.
Bila dicurigai suatu botulism, iv infuse 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism (10.000 IU
dari setiap antitoksin dalam setiap vial) harus diberikan segera.
Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis karena
derivat antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin yang
mengikat reseptor tapi efektif sebagai antidote terhadap toksin sebelum ia mengikat reseptor
tersebut; dengan demikian, gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami perbaikan segera.
Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya
diberikan, juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar.
87
Kelemahan akut akibat gangguan otot
Miopati inflamasi (polimiositis dan dermatomiositis) dapat menghasilkan kelemahan yang
nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak di proksimal,
termasuk otot-otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai bulan, dan bisa
berhubungan dengan disfagia, mialgia, artralgia dan kemerahan pada kulit.
Tabel 6 Pertimbangan emergency pada polimiositis1
Klinis :
Kelemahan yang proksimal dan non fluktuatif
Rash atau penyakit jaringan ikat yang berhubungan
Muscle tenderness
Refleks seringkali masih ada
Laboratories :
Peningkatan CK
EMG dan biopsy yang abnormal
Penatalaksanaan :
Evaluasi penyakit autoimun yang berhubungan dan malignancy
Terapi imunosupresif
Follow-up klinis dan laboratories yang ketat
Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (Prednison 50-100mg).
Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian makanan secara
parenteral, monitoring jantung dan kadang kala alat Bantu pernafasan. Follow-up klinis yang
ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK diperlukan untuk menentukan
lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan. Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap
steroid lebih baik menggunakan imunosupresan yang lain seperti azathioprine, siklofosfamid
dan metotreksat. Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan.
Komplikasi paru akibat gangguan neuromuskular
Pasien-pasien dengan penyakit neuromuscular mempunyai resiko mendapatkan komplikasi
paru-paru yang membahayakan hidup pada setiap tingkatan penyakitnya, apakah saat sdar atau
sedang tidur. Dokter yang tidak waspada, dan tidak mengenal gejala-gejala non spesifik dari
respiratory distress akan terperanjat dan tidak siap bila seorang pasien dengan suatu
“kelemahan yang ringan” tiba-tiba berkembang menjadi suatu kegagalan respirasi (respiratory
failure). Meskipun beberapa penderita gangguan neuromuscular dengan kegagalan respirasi
88
akan mengalami tanda-tanda klinis dari respiratory distress, termasuk retraksi interkostal dan
suprasternal, pernafasan cuping hidung, sianosis, namun ada juga penderita-penderita yang
lain, dimana kelemahannya menutupi gejala-gejala tersebut, hanya tampak confused, agitasi,
atau penurunan kesadaran (drowsy) atau mungkin mengeluh sakit kepala. Dengan gejala-gejala
yang non spesifik ini, semua pasien dengan kelemahan akut seharusnya di monitor di ICU
dengan analisis gas darah serial dan tes fungsi paru. Suatu tim medis dan keperawatan yang
siap mengantisipasi intubasi tracheal bila terjadi suatu kasus emergency.
Penderita dengan penyakit neuromuscular progresif yang kronis, seperti penyakit cornu
anterior (Amyotropic Lateral Sclerosis/ ALS, Spinal Muscular Atrophies/ SMA) dan miopati
dengan kelainan genetic (Duchene, Becker, miopati pada gelang bahu dan panggul dan distrofi
otot miotonik) sering meninggal akibat kegagalan otot-otot respirasi. Pada kelemahan
diafragma dan otot-otot interkostal dan otot-otot pendukung fungsi respirasi dibutuhkan
ventilator. Disfungsi bulbar menyebabkan sukar batuk dan meningkatkan resiko terjadinya
pneumonia karena aspirasi. Selain itu, gerakan ekstremitas pasien yang terbatas dapat
menyebabkan deep venous thrombosis (DVT), dan emboli paru. Pneumonia seringkali tak
terlihat pada pasien dengan kelumpuhan dan yang menggunakan kursi roda. Pada penderitapenderita demikian ini yang mempunyai reserve pulmonair yang hanya sedikit, maka suatu
infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan kesukaran bernafas menjadi suatu emergency.
Imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus sebagai profilaksis dianjurkan untuk semua
pasien-pasien ini.
Kegagalan pernafasan telah dilaporkan pada berbagai penyakit neuromuskuler seperti distrofi
miotonik, miopati congenital, miopati okuler, defisiensi acid maltase dan poliomyelitis, dimana
sebetulnya kelemahan tidak begitu berat untuk menyebabkan kegagalan pernafasan tersebut.
Respons ventilator yang berkurang terhadap tekanan oksigen yang berkurang atau peninggian
tekanan CO2 yang meninggi dianggap sebagai penyebabnya sehingga sebetulnya kekuatan otot
untuk bernafas masih ada namun respons khemoreseptor sentral yang kurang.
Hiporespons terhadap hipoksemi atau hiperkapnia menerangkan mengapa pada penderita
penyakit neuromuskuler terjadi kegagalan pernafasan pada anestesi umum atau sebagai akibat
dari obat-obat yang menekan pernafasan.
Pada semua penderita penyakit neuromuskuler harus di antisipasi akan terjadinya komplikasi
respiratoir dan harus ditindaklanjuti untuk mengembalikannya pada keadaan-keadaan yang
89
reversibel. Rontgen paru-paru harus dibuat untuk menyingkirkan adanya infiltrate paru dan
suatu EKG/ elektrokardiogram perlu dibuat untuk mengevaluasi adanya cor-pulmonale dan
aritmia kardial. Bila terjadi kegagalan pernafasan yang diakibatkan oleh kelemahan otot
pernafasan adalah ireversibel, maka penggunaan ventilator perlu dipertimbangkan dengan
pembicaraan terlebih dahulu dengan penderita maupun keluarganya mengenai pembiayaannya.
Komplikasi Jantung akibat gangguan neuromuskular
Komplikasi jantung pada penyakit neuromuscular termasuk congestive heart failure dan
disfungsi pada sistim konduksi, disritmia atau blok jantung. Disfungsi jantung sebagai akibat
ketidakstabilan otonom pada AIDP, gangguan kalium pada periodic paralysis dan inflamasi
miokard pada miopati inflamasi sudah dijelaskan di bagian depan.
Lebih dari 2/3 dari pasien dengan myotonic dystrophy (MYD) mempunyai gambaran EKG
yang abnormal, termasuk blok pada konduksi dan aritmia. Kegagalan jantung tidak terlihat
hingga akhir dari penyakit ini, tetapi terjadinya sinkop dan kematian mendadak merupakan
gambaran adanya suatu blok jantung yang komplit atau takikardi ventrikuler. Perlu
dipertimbangkan penggunaan suatu pacemaker bila terdapat gangguan konduksi yang progresif
pada EKG serial, dan juga pada sinus bradikardi yang simptomatik.
Obat-obatan yang umumnya digunakan pada otot-otot myotonia (quinin, prokainamid,
fenitoin) bisa menekan konduksi jantung dan sebaiknya dihindari pada pasien dengan interval
konduksi yang memanjang pada gambaran EKGnya.
Keterlibatan miokard dapat terjadi pada Duchenne’s muscular dystrophy (DMD) tapi biasanya
tidak terdeteksi hingga stadium lanjut. Takiaritmia umumnya terjadi, dan kematian mendadak
pernah dilaporkan, namun congestive heart failure biasanya tidak terjadi, mungkin karena
aktivitas pada penderita-penderita ini terbatas sekali. Digitalis dapat digunakan dengan
keberhasilan terbatas pada pengobatan takiaritmia dan gagal jantung pada DMD.
Cor pulmonale kadang-kadang dapat terjadi pada stadium akhir pada berbagai penyakit
neuromuskuler yang progresivitasnya lambat (spinal muscular atrophies, distrofi) sebagai
akibat dari hipoksia kronik yang tak terdeteksi. Oleh sebab itu, maka oksigen per nasal harus
diberikan bila terjadi hipoksia.
90
Daftar Pustaka
1. Foley PA & Ringel SP. Neuromuscular disorders In : “Emergent and Urgent Neurology”, 2
ed., Weiner & Shulman eds, Lippincott Williams & Wilkins, Philladhelphia, 1999, 83-98.
2. Ropper AH. The Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med 1992; 326 : 1130.
3. Hartung HP, Pollard JD, Harvey GK, Toyka KV. Immunopathogenesis and treatment of
the Guillain Barre Syndrome. Muscle Nerve 1995; 18 : 137.
4. Gutmann L, Critical Illness Neuropathy and Myopathy. Arch Neurol. 1999; 56 : 527-528.
5. Bolton CF, Gilbert JJ, Hahn AF, Sibbald WJ. Polineuropathy in critically ill patients. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 1984; 47 : 1223-1231.
6. Kokontis L and Gutmann Ludwig, “Current Treatment of Neuromuscular Diseases”, Arch
Neurol, vol 57, Jul 2000, 939-943.
7. Raine JM. Drug Safety Information.
http://www.mca.gov.uk/ourwork/monitorsafequalmed/safetymessages/ceri.pdf2001;August
91
BAB XI
CEDERA KRANIOSEREBRAL DAN MEDULLA SPINALIS
Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K)
CEDERA KRANIOSEREBRAL
Pendahuluan
Cedera Kranioserebral (CK) ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder). Cedera
kranioserebral tersering ialah CK tertutup yang sebagian besar disebabkan karena kecelakaan
lalu-lintas, terjatuh dari ketinggian, olahraga (tinju) dan lain-lain. Faktor risiko CK yang paling
sering ialah; usia muda, minum minuman keras atau obat-obatan, sistem penunjang lalu-lintas
yang kurang baik dan sistem pengaman kendaraan tidak ada atau kurang baik.
Di Amerika CK penyebab kematian nomor satu pada usia anak-anak dan remaja, diperkirakan
tiap tahun ada 1.500.000 kasus CK, dan 230.000 dirawat dan selamat, angka
kematian
50.000/tahun, dan lebih dari 90.000 menderita cacat kronis, 10% penderita dari jumlah diatas
meninggal sebelum tiba di rumah sakit, CK berat 50% fatal. Di Indonesia CK yang terjadi
sebagian besar adalah CK tertutup akibat kekerasan (rudapaksa), karena kecelakaan lalulintas,
dan sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya sebanyak 16%
membutuhkan tindakan operatif. CK merupakan keadaan yang serius, karena itu setiap dokter
dan tenaga medis diharapkan mempunyai ketrampilan dan pengetahuan praktis untuk
melakukan pertolongan pertama kepada penderita sebelum ahli saraf tiba di rumah sakit atau
melakukan rujukan ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf. Tindakan pemberian
oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat
penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sistem triase bagi penderita CK tergantung
pada beratnya cedera dan tersedianya fasilitas yang ada ditempat pertolongan pertama. Untuk
CK berat ahli bedah saraf harus dilibatkan sedini mungkin, jika tidak ada fasilitas bedah saraf
penderita harus dirujuk ke RS yang ada fasilitas bedah sarafnya.
92
Gejala dan Tanda-tanda Klinis
Cedera kranioserebral (CK) akan menyebabkan kerusakan kranioserebral primer dan sekunder.
CK primer ialah cedera karioserbral yang timbul pada saat rudapaksa, sedang CK sekunder
terjadi setelah rudapaksa akan timbul edema serebri, rusaknya blood brain barrier, nekrosis
jaringan, hipertermi, dan lain-lain.
Cedera kepala primer dapat menimbulkan kerusakan pada,
1. kulit kepala : laserasi, luka robek atau hematoma.
2. tulang tengkorak : fraktur linier, kompresi atau fraktur basis kranii.
fraktur basis kranii – gejala klinisnya didapati; perdarahan telinga (otorrhoe),
perdarahan hidung (rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi liang telinga luar.
Rhinorrhoe
Otorrhoe
Poss-auricular ecchymoses
(Battle’s sign)
Peri-orbital ecchymoses
(Raccoon’s sign)
93
post-auricular ecchymoses (Battle’s sign), peri-orbital ecchymoses (Raccoon’s eyes),
dan ditemukan cedera saraf kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi
basis cranii atau CT scan kepala.
3. wajah : fraktur os nasi, fraktur mandibula atau fraktur multipel.
4. jaringan otak : bisa timbul cedera fokal atau diffus (lihat gambar).
a. fokal; pada tempat cedera atau counter coup timbul edema, laserasi, perdarahan
atau kontusio, sering
pada lobus temporal dan frontal, biasanya multipel
mungkin bilateral.
b. Diffuse; biasanya DAI (Diffus Axonal Injury) lesi terutama di daerah
subcortical. Strich (1961) menyatakan ada hubungan antara koma yang
berlangsung lama dan gangguan respon motorik dengan degenerasi DAI.
Diffus Axonal Injury (DAI)
Lesi fokal : kontusio
5. selaput otak (duramater): akibat cedera kranioserebral dapat timbul perdarahan pada
epidural, subdural, ataupun sub-arachnoid.
94
SDH terjadi karena robeknya vena
vena jembatan, sinus venosus, duramater atau robeknya arachnoidea,
sehingga
darah cedera
terkumpul
diantara
Berat ringannya
kranioserebral
duramater dan arachnoid.
Perdarahan epidural terjadi karena robek-nya a.
meningea media dengan atau tanpa fraktur os
temporalis, 70% perdarahan ter jadi di daerah
temporal/parietal. Darah ter kumpul antara
duramater-tengkorak.
ditentukan berdasarkan penurunan tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran dapat dinilai
secara kwalitatif (kompos mentis, apatis, somnolen, soporous, dan koma), dan dengan cara
kwantitatif menggunakan skala koma Glasgow (GCS) menilai respon motorik nilai tertinggi 6
nilai terrendah 1, respon verbal nilai tertinggi 5 dan nilai terrendah 1, dan respon visual
mempunyai nilai tertinggi 4. dan nilai terrendah 1, jadi nilai GCS tertinggi 15, dan nilai GCS
terendah 3.
Secara klinis berat ringannya cedera kepala dapat dibagi menjadi (lihat tabel 1)
Table 1: Klasifikasi Cedera Kranioserebral
No
Tipe CK
Kriteria
1
Minimal (SHI)
GCS = 15, LOC (-), amnesia (-)
2
Ringan (CKR)
GCS = 14 atau 15, LOC < 10 menit, amnesia pasca
CK < 24 jam, dapat disertai gejala klinik lain; mual,
muntah, nyeri kepala atau vertigo.
3
Sedang
GCS = 9 – 13, LOC ≥ 10 menit tetapi kurang dari 6
jam, dapat atau tidak ditemukan defisit neurologis
fokal, atau amnesia pasca CK < 7 hari .
4
Berat (CKB)
GCS = 5 – 8, LOC > 6 jam, defisit neurologi +, ada
amnesia pasca CK > hari.
95
5
GCS = 3 – 4, LOC > 6 jam, ditemukan defisit
neurologis.
Kritis
Penatalaksanaan
A.Tatalaksana Cedera Kepala dengan kesadaran baik (SKG = 15) yaitu,
1. simple head injury
-
deficit neurologis (-)
-
jika ada luka, lakukan perawatan luka
-
pemeriksaan rontgen hanya atas indikasi
-
pasien dipulangkan dan keluarga diminta mengobsevasi kesadaran
-
bila dicurigai adanya kesadaran menurun saat observasi, pasien segera dibawa
kembali ke RS
2. kesadaran terganggu sesaat
-
pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat, pada saat diperiksa pasien
sudah sadar kembali.
-
Buat foto kepala
-
Lakukan perawatan luka
-
Pasien dipulangkan, keluarga diminta mengawasi kesadaran
-
Bila dicurigai adanya penurunan kesadaran, pasien dibawa kembali ke RS
B. Tatalaksana CK dengan kesadaran menurun
1. Cedera kranioserebral ringan (GCS 13-15)
-
perubahan orientasi atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
neurologis.
-
Lakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala, istirahat baring,
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien, beri terapi simptomatis.
-
Observasi minimal 24 jam di RS, nilai tanda-tanda ICH apakah ada :
b. interval lusid : masa sadar antara siuman dari pingsan setelah kecelakaan dan menurunnya kembali kesadaran.
c. tanda-tanda ICH :
-
sakit kepala, muntah-muntah
-
kesadaran menurun
96
-
gejala lateralisasi : pupil anisokor, reflek patologis (+)
-
curiga ICH buat CT. Scan
Tatalaksana tergantung dari derajat cedera kepala, yaitu :
Cedera Kepala Ringan (Komosio Serebri)
a. Tirah baring boleh pakai bantal, lamanya disesuaikan dengan keluhan (vertigo,
sefalgia), bila tidak ada keluhan boleh mobilisasi.
b. Simptomatis : anti vertigo, anti emetik, analgetika.
c. Antibiotika jika ada luka.
Cedera kranioserebral sedang (GCS 9-12)
pada keadaan ini pasien dapat mengalami gangguan kardiopulmoner, urutan
penatalaksanaan sebagai berikut;
a. periksa dan atasi gangguan jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation)
b. nilai tingkat kesadaran, pupil, gejala fokal neurologis, dan cedera organ lain.
c. bila curiga fraktur leher, pasang collar cervical
d. foto kepala/leher, CT. Scan jika curiga ICH
e. observasi fungsi vital, kesadaran, pupil dan defisit neurologisnya lainnya
Cedera kranioserebral berat (GCS 3-8)
pasien biasanya disertai cedera multipel
biasanya disertai juga kelainan sistemik
pasien sering dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapnia akibat gangguan
kardio-pulmonal, urutan tindakan menurut proritas sbb:
Resusitasi Jantung Paru dengan tindakan ABC, yaitu;
A (Airways)
bebaskan jalan nafas, pasang pipa orofaring/endotracheal, bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu, pasang NGT kosongkan lambung untuk mencegah aspirasi
muntahan.
97
B (Breathing)
gangguan pernafasan dapat disebabkan karena kelainan sentral, atau perifer, yaitu
* kelainan sentral; menyebabkan depresi pernafasan yang ditandai dengan
pola pernafasan cheynes stoeks, hiperventilasi neurogenik atau ataksik.
* kelainan perifer; karena aspirasi, taruma dada, edema paru, emboli paru atau
infeksi. Tindakan beri O2, cari dan atasi penyebab, bila perlu pasang ventilator.
C (Circulation)
hipotensi dapat karena cedera otak, tapi terbanyak karena faktor extrakranial.
Hipovolemia biasanya karena perdarahan luar atau ruptura alat dalam, trauma dada
disertai dengan tamponade jantung/pneu-motorak, septik syok.
D (Disability)
setelah resusitasi ABC, lakukan pemeriksaan fisik meliputi; kesadaran, tensi, nadi,
bentuk dan frekuensi pernafasan, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit
neurologis dan cedera extrakranial.
Pemeriksaan penunjang

buat foto kepala dan leher

foto lain atas indikasi

skaning otak dibuat bila ada fraktur tulang kranial
pemeriksaan laboratorium

darah perifer; Hb, leukosit, Ht, diff count

gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine

gas darah dan elektrolit

hematologist; trombosit, PT, PTT, fibrinoger dan D-dimer untuk deteksi DIC.
98
Tekanan intracranial (TIK), normal 0-15 mmH2O, bila didapatkan peningkatan TIK diatas 20
mmH2O harus diturunkan dengan cara :
1. hiperventilasi
2. terapi diuretic
-
diuretic osmotic (mannitol 20%), dosis 0,5-1g/KgBB, diberikan dalam waktu
30 menit untuk mencegah rebound diulangi setelah 6 jam dengan dosis 0,250,5g/Kg BB dalam waktu 30 menit, monitor osmolality < 310 mOsm.
-
Loop diuretic (furosemid) dosis 40mg/hr, iv diberikan bersama-sama
mannitol, karena mempunyai efek sinergi & memperpanjang efek osmotic
mannitol.
3. posisi tidur
bagian kepala ditinggikan 20-30° dengan kepala dan dada pada satu bidang.
Cairan dan nutrisi
-
hari I, cairan NaCl 0.9% atau RL 1500-2000ml
-
hari II dapat dimulai makan per oral melalui NGT (bising usus positip) beri glucosa 10%,
100 cc/2jam
-
hari ke-3 diberikan susu dengan dosis spt glukosa
-
hari ke-4 dst diberikan makanan cair 2000-3000 kalori dengan imbangan sebagai berikut
(infus stop) :

protien 1,5-2 g/KgBB/hari.

Lipid 10-40% dari jumlah kalori/hari

Zinc 12 mg/hari
Tatalaksana CK dengan kesadaran menurun
Terapi kortikosteroid masih kontroversi, kortikosteroid yang terbaru cukup menjanjikan ialah
21-aminosteroid (lazaroid), pemberian kortikosteroid pada cedera kepala berat (CKB) saat ini
antara lain dengan :

methylprednisolon dosis 3 x 250mg, iv selama 5 hari
99
Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring dirubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase torak, dan geakan extrimitas secara pasif
untuk mencegah pneumonia ortostatik dan dekubitus.
a. Terapi khusus :

mengatasi
peninggian
tekanan
intracranial
berikan
manitol
20%
hiperventilasi.

antibiotika jika perlu misalnya pada luka robek, otorhoe, dll.
b. Rehabilitasi :

mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah keadaan klinik stabil.

latihan otot diberikan bila ada kelumpuhan.

terapi wicara bila ada gangguan bicara.

terapi okupasi.
Daftar Pustaka
1. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In Neurological Emergencies ed. By Hughes R, 3 rd
ed, BMJ Books, 2000
2. Teasdale and Jennett B. Management of head injuries. Davis Company, Philadelphia, 1981
3. Zeidman SM, The Role of Surgical Intervention in Management of The Patient with
Traumatic Spinal Cord Injury, American Academy of Neurology 2000, 3 PC 004-1
4. Verma A, Neuroprotective issuls in traumatic spinal cord injury, American Academy of
Neurology 2000, 3 PC. 004-15
5. National Institute of Neurological Disorders and Stroke Spinal Cord Injury, Emerging
Concepts, July 1, 2001
6. Tintinally JE, Keley GD, Stapezynski JS, Emergency Medicine, A Comprehensive study
guide 2000, page 1645-1660
100
BAB XII
MANAJEMEN NYERI AKUT
Dr. Tiara Aninditha, Sp.S
Mengapa tentang Nyeri?
Pengenalan terhadap nyeri merupakan salah satu tujuan utama pengobatan, oleh karena nyeri
termasuk gejala yang penting pada berbagai penyakit dan menyebabkan penderitaan bagi
pasien. Begitu banyaknya variasi nyeri dan pasti pernah dialami oleh hampir seluruh orang di
dunia, menjadikan nyeri sebagai ‘tanda vital kelima’ yang harus ditinjau secara rutin dalam
pemeriksaan fisik sehari-hari. 1
Pada dasarnya, nyeri adalah mekanisme proteksi terhadap rangsangan yang bersifat merusak
jaringan, dan nyeri ini akan menghilang segera setelah rangsangan tersebut berakhir dengan
bantuan analgesik endogen. Pada keadaan tertentu, nyeri akut harus segera ditangani dengan
tepat, oleh karena dapat berlangsung menjadi nyeri kronik akibat sensitisasi di sentral yang
justru akan semakin menyulitkan pengobatan dan mengganggu kualitas hidup pasien.1, 2
Berdasarkan durasinya, nyeri terdiri dari nyeri akut jika berlangsung kurang dari 1 bulan dan
nyeri kronik jika lebih dari 3 bulan setelah injury. Penyebabnya bisa akibat trauma, pasca
operatif, menjelang melahirkan, atau nyeri muskuloskeletal yang menyebabkan rangsangan di
reseptor nyeri sehingga disebut nyeri nosiseptif, atau akibat perangsangan langsung di sistem
saraf yang disebut nyeri neuropatik.3
Apa yang terjadi?
Nyeri didefinisikan sebagai suatu sensasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan atau potensi untuk mengalami kerusakan jaringan. Persepsi nyeri ini
baru akan dirasakan oleh penderitanya jika jalur nyeri berlangsung mulai dari stimulus injury
atau inflamasi yang merangsang reseptor nyeri ditransmisikan dalam sistem aferen sampai ke
korteks sensorik. Transmisi sinyal ini difasilitasi oleh berbagai zat endogen yang dilepaskan
saat terjadi kerusakan jaringan. Pada sinaps-sinaps tertentu di sepanjang jalur aferen tersebut
terdapat pula mekanisme inhibisi dari pusat berupa pelepasan analgesik endogen. Oleh karena
101
itu, pengetahuan yang baik tentang mekanisme nyeri dan modulasi daerah tertentu di sepanjang
jarasnya akan sangat membantu pemilihan terapi nyeri yang tepat dan adekuat.
Gambar 1. Jaras transmisi nyeri dan lokasi modulasinya
Kerusakan jaringan menyebabkan lepasnya mdiator inflamasi seperti bradikinin, histamin,
prostaglandin, dan sebagainya yang menyebabkan Rangsangan pada reseptor nyeri (nosiseptor)
menyebabkan transmisi sinyal ke medulla spinalis. Disitu dilepaskan lagi substansi P,
kolesistokinin, dan peptida yang bersifat eksitasi yang akan melanjutkan impuls ke talamus lalu
berakhir di korteks sensorik sebagai pusat persepsi nyeri. Di otak sendiri, stimulus nyeri
diproyeksikan ke daerah batang otak, hal ini yang menyebabkan pemberian nyeri dapat
merangsang pusat kesadaran pada pasien dengan penurunan kesadaran. Selain itu, nyeri juga
diteruskan ke sistem limbik (pusat emosi dan memori), sehingga nyeri dapat mempengaruhi
emosi seseorang dan menyebabkan trauma/ketakutan pada nyeri yang hebat. Namun otak juga
mempunyai mekanisme inhibisi dengan mensekresikan analgesik endogen seperti opiat
102
(enkefalin dan dinorfin), serotonin, dan norepinefrin yang dapat menghambat transmisi sinyal
di medula spinalis. 4
Oleh karena itu, terapi nyeri dapat dilakukan pada beberapa tempat:
1. Di sekitar lokasi injury, berupa pemberian golongan obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) untuk menekan mediator inflamasi yang merangsang reseptor nyeri. Penelitian
terakhir juga menunjukkan bahwa salah satu golongan OAINS yang menghambat
siklooksigenase – 2 (COX-2 inhibitor) di medula spinalis.1
2. Pemberian opiat oleh karena adanya reseptor opiat di medulla spinalis dan batang otak.
3. Pemberian antikonvulsan untuk menghambat transmisi sinyal sampai ke korteks.
4. Modalitas nonfarmakologis seperti transcutaneus nerve stimulator (TENS) atau
akupunktur.
5. Behaviour terapi, memodulasi nyeri melalui upaya psikodinamik.
Apa yang harus dilakukan?
Nyeri adalah suatu gejala, dari berbagai penyebab. Maka pada prinsipnya, penanganan nyeri
harus sekaligus menangani penyebabnya. Seberapa besar analgesik yang harus diberikan
bergantung pada beratnya nyeri, yang akan dilaporkan oleh pasien sendiri. Agar lebih obyektif
dapat digunakan skala nyeri, antara lain Visual Analog Scale (VAS), sebagai patokan beratnya
nyeri dan pemantauan efektivitas obat yang diberikan.5 Ada pedoman nyeri dari WHO dalam
menentukan golongan obat sesuai dengan derajat nyeri (WHO stepladder), seperti pada
gambar 1.
103
Gambar 2. WHO stepladder
Terapi nyeri dimulai dengan OAINS. Sebuah metaanalisis yang membandingkan beberapa
analgesik dari golongan AINS dan opiat mendapatkan bahwa OAINS memberikan hasil yang
baik. Dapat dimulai dengan paracetamol saja atau dikombinasi dengan OAINS. Namun
pertimbangan utama pada nyeri akut adalah ada tidaknya gangguan ginjal dan koagulasi. Pada
pasien dengan kelainan jantung atau ginjal sebelumnya, pemberian OAINS dapat
menyebabkan gagal ginjal akut (acute renal failure). Selain itu, OAINS menyebabkan
pemanjangan waktu perdarahan (bleeding time) yang signifikan hingga 30%, namun biasanya
masih dalam batas normal. Hal ini dapat berlangsung selama beberapa hari pada aspirin dan
hanya beberapa jam pada non aspirin. Efek samping tersering dari penggunaan OAINS jangka
panjang adalah perdarahan lambung, maka yang paling aman adalah Ibuprofen.6
Pada pasien yang masih bisa menelan, pemberian per rektal atau intravena tidak terbukti lebih
baik dari pada per oral. Pemberian topikal akan efektif pada nyeri akibat cedera
muskuloskeletal akut.
Golongan obat yang utama menangani nyeri yang berat adalah opioid. Pemberian morfin
intravena (IV) secara intermiten sangat efektif untuk nyeri akut. Namun pemakaiannya sering
tidak adekuat akibat adanya paradigma yang salah dan kekhawatiran akan adiksi dan depresi
napas. Adiksi tidak akan terjadi pada pemberian jangka pendek. Suatu systematic review pada
11.000 pasien yang diberikan morfin untuk nyeri akut, setelah setahun kemudian hanya 4 orang
yang mengalami adiksi (0,04%). Depresi napas dapat terjadi pada pemberian opioid untuk
104
orang yang tidak nyeri atau dosis opioid yang lebih besar dari pada yang dibutuhkan. Oleh
karena itu, prinsip utama adalah peningkatan dosis secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
dengan efek samping yang paling minimal. Sangat dianjurkan juga hanya 1 jenis agar dapat
dinilai dosis dan efeknya, serta tidak ada jeda waktu dengan waktu pemberian yang
seharusnya.
Jika pasien masih mengeluh nyeri setelah pemberian 1 jenis opioid dan diyakini sudah
diabsorbsi dengan baik, maka dapat ditambah lagi jenis yang sama dengan dosis yang lebih
kecil dalam waktu 5 menit setelah pemberian IV, 1 jam setelah intramuskular atau subkutan,
atau 90 menit setelah pemberian oral. Jika dosis kedua masih belum efektif, maka prosesnya
dapat diulang atau ubah cara pemberian untuk mendapatkan kontrol yang lebih cepat.
Pemberian obat lepas lambat, oral, atau transdermal tidak disarankan pada nyeri akut, oleh
karena perlambatan onset dan perbaikannya justru akan memberikan hasil yang lebih buruk.
Pilihan utama opioid adalah morfin. Namun morfin dan turunannya (diamorfin dan codein)
mempunyai metabolit aktif, sehingga pada pasien dengan gangguan ginjal dapat terjadi
akumulasi metabolit yang justru lebih aktif dari pada morfin itu sendiri sehingga efeknya
berlebihan.
Golongan opioid tidak disarankan tunggal pada nyeri neuropatik dan nyeri kronik. Golongan
ini menyebabkan toleransi sehingga perlu dosis yang semakin tinggi, dengan efek samping
dapat berupa sedasi, mual, muntah, konstipasi, atau depresi napas. Dengan adanya mekanisme
nyeri yang berbeda, diperlukan kombinasi dengan golongan lain untuk mendapatkan efek
analgesik yang lebih kuat serta efek samping yang minimal.7
Pemberian antikonvulsan telah terbukti efektif dapat mengurangi dosis opioid, terutama pada
nyeri neuropatik, seperti gabapentin, pregabalin, karbamazepin, dan levetiracetam. Golongan
antidepresan trisiklik juga digunakan untuk meningkatkan kadar serotonin sebagai analgesik
endogen serta efek depresi akibat nyeri.4, 7
Analgesik intervensi dapat berupa inhalasi Nitrous Oxyde (NO) pada kasus obstetrik dan
pembersihan luka (wound dressing), kortikosteroid untuk mengurangi edema akibat tumor dan
nyeri pasca operasi daerah kepala dan leher, serta ketamin dan klonidin pada nyeri dalam
keadaan gawat darurat (emergency analgesia).
105
Analgesia lokal dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri secara total dengan menghambat
transmisi nyeri yag terlokalisir tanpa menimbulkan efek samping sistemik, seperti blok pada
pleksus atau saraf perifer untuk nyeri operasi atau trauma daerah tungkai, serta analgesia
epidural atau intratekal pada operasi besar (torakoabdominal atau tungkai). TENS, akupunktur,
dan terapi perilaku terutama pada nyeri kronik, tidak terlalu berperan pada nyeri akut.
Kesimpulan
Penanganan nyeri akut harus dilakukan dengan segera. Pemilihan tatalaksana yang tidak tepat
tidak hanya akan membuat pasien menderita, namun akan berlanjut menjadi nyeri kronik yang
lebih mengganggu kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pemahaman mekanisme nyeri dan
modulasi yang dapat dilakukan di sepanjang jaras nyeri akan sangat membantu manajemen
yang lebih baik.
Daftar Pustaka
1.
Katz WA. Cyclooxygenase-2–selective inhibitors in the management of acute and
perioperative pain. Cleveland Clin J of Med. 2002;69.
2.
Bingel U TI. Imaging CNS Modulation of Pain in Humans. Physiology. 2008;23:371-80.
3.
Raj PP. Pain Mechanism. In: Raj PP, editor. Pain medicine, a comprehensive review. St.
Louis: Mosby Company; 1996.
4.
Carns P GK, Jablonski K, Raymond J, Chick K, et.el. Assessment and Management of
Acute Pain. http://wwwicsiorg. 2008.
5.
McQuay HJ PK, Derry S, Moore RA. Acute pain: combination treatments and how we
measure their efficacy. British J of Anaesthesia. 2008;101(1):69-76.
6.
Unknown.
Acute
Pain.
Available
from:
http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/painres/acpnconc/ac.
7.
Eckhardt K AS, Hofmann U, Riebe A, Gugeler N, et.al. Gabapentin Enhances the
Analgesic Effect of Morphine in Healthy Volunteers. Anesth Analg. 2000;91(185-91).
106
Download