BAB I OVERVIEW ANLS Dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC Latar belakang Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan maka terjadi pula pergeseran pola penyakit. Dahulu penyakit infeksi merupakan keadaan yang menjadi stau masalah besar di bjdang kesehatan, pada saat sekarang penyakit degeneratif merupakan masalah utama. Di bidang neurologi terjadi juga hal yang sama walaupun masalah infeksi susunan saraf pusat akhir-akhir ini mengalami peningkatan jumlah kasus (dengan banyaknya penyandang HIV). Sebagaimana di negara berkembang lainnya stroke merupakan penyebab kematian utama ke 3 setelah kasus trauma dan jantung serta penyebab kecaactan utama. Bahkan dari data Depkes (Riskesdas) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah sakit di Indonesia. Selain itu kejadian trauma kepala dan trauma medula spinalis dengan segala akibatnya memperlihatkan kecenderungan peningkatan, hal ini sejalan dengan semnakin tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas. Otak yang hanya dengan berat 2% dari berat badan merupakan organ tubuh yang terpenting dengan tingkat metabolisme yang sangat tinggi. Metabolisme otak dangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan glukosa, dan otak tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan cadangan oksigen da glukosa tersebut. Sehingga sewaktu terjadi gangguan terhadap suplai maka dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas kerusakan saraf sangatlah singkat. Sampai saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan regenerasi jaringan saraf sangat minimal dan apabila terjadi gangguan. Gangguan pada otak bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat terjadinya kerusakan permanen yang berakhir dengan kematian atau kecacatan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya penanganan yang cepat dan segera. Sebagai contoh pada pasien trauma otak berat tingkat kematian akan meningkat melebihi 3 kali lipat dan tingkat kecacatan yang berat akan meningkat melebihi dari 10 kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60% dibanding >90%. Untuk itu tentunya 1 diperlukan ketepatan penanganan khususnya penanganan emergensi dan penegakkan diagnosis yang tepat, atau paling tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel saraf. Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Pada hal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan kecacatan. Tujuan Tujuan umum ANLS Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan kasus neuroemergensi. Tujuan khusus ANLS Setelah selesai mengikuti program ini diharapkan para peserta (dokter) mempunyai kemampuan untuk : 1. Memahami konsep kegawatdaruratan primer dalam tatalaksana pasien neurologi. 2. Menguasai tatalaksana yang diprioritaskan pada kondisi emergensi pasien neurologi. 3. Mengetahui strategi awal selama jam-jam pertama pelayanan pasien akut neuro- emergensi. 4. Mengetahui dan mampu melakukan tindakan terhadap pasien dengan kasus neurologi yang memerlukan tindakan segera. 5. Merencanakan, memutuskan dan melakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai. 2 Konsep penting dalam ANLS 1. Keadaan yang sangat mengancam nyawa dan mengancam terhadap kecacatan neurologi merupakan prioritas utama. 2. Pada kasus emergensi kegagalan dalam menegakkan diagnosis definitif jangan sampai menghalangi penanganan awal. 3. Pada kasus emergensi keinginan untuk memperoleh riwayat penyakit yang rinci jangan sampai menunda tindakan emergensi terhadap pasien dengan gangguan neurologi akut. Ruang lingkup ANLS Semua keadaan atau kondisi manifestasi klinis neurologi yang mengancam terjadinya kecacatan atau kematian bila tidak segera diobati/ diatasi. Manifestasi klinis tersebut dapat berupa : Gangguan kesadaran dan pendekatannya. Kejang dan status epileptikus Peningkatan TIK Kedaruratan stroke Kedaruratan trauma kapitis Kedaruratan neuro infeksi Nyeri akut. Vertigo dan sakit kepala emergensi. Kegawatan neuromuskular. Neruoimaging pada kedaruratan neurologi. Metode kursus Dilakukan dengan kuliah dan diskusi tatap muka dan dilanjutkan dengan skill station berupa pembahasan kasus. Sasaran Dokter umum yang berkecimpung di bidang emergensi terutama kedaruratan neurologi. 3 Assesment Neurologi Objektif • Tinjauan prinsip-prinsip injuri serebral primer dan sekunder dan mekanisme terjadinya injuri sel-sel saraf tersebut. • Penerapan konsep umum dalam manajemen injuri serebral. • Penatalaksanaan umum injuri otak. Latar belakang Jaringan otak merupakan jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi, meskipun pada area dengan densitas kapiler yang rendah. Otak dengan berat hanya 2% dari berat badan membutuhkan sekitar 15% dari seluruh kardiak out put, 20% dari oksigen yang beredar serta 25% glukosa digunakan untuk metabolisme otak. Fungsi metabolisme sel otak sangat tergantung pada ketersediaan secara terus menerus oksigen dan glukosa sebagai sumber energi. Otak tidak dapat menyimpan cadangan oksigen dan glukosa sehingga kekurangan oksigen akan terjadi metabolisme anaerob, sedangkan bila kekurangan glukosa akan terjadi kegagalan metabolisme serebral. Pada stroke akut, trauma kepala, kejang, infeksi SSP, hipoksik-iskemik akan terjadi gangguan metabolisme otak berupa ketidakseimbangan antara suplai & kebutuhan (demand). Injuri primer dan injuri sekunder. Injuri serebral dapat terjadi secara primer yaitu injuri yang terjadi kejadian (insult), pada injuri primer ini pada umumnya hanya sedikit saja yang masih bisa diperbuat. Beberapa mekanisme injuri primer ini adalah trauma kepala dan medulla spinalis, iskemia baik umum seperti pada gagal jantung atau regional seperti pada stroke, inflamasi (meningitis, ensefalitis), kompressi (tumor otak, perdarahan epidural, subdural) dan metabolisme seperti hipoglikemia. Sedangkan injuri sekunder merupakan injuri yang terjadi sebagai akibat lanjut dari proses injuri primer. Injuri sekunder meliputi hipoperfusi baik global seperti syok, gagal jantung maupun regional pada perdarahan subarachnoid; hipoksia seperti gagal nafas, anemia; perubahan elektrolit seperti hipo-hiper-natremia atau perubahan asam basa sepeti asidosis 4 berat. Selain itu injuri otak sekunder dapat terjadi akibat injuri reperfusi dengan dilepasnya asam radikal bebas. Aliran darah otak Agar otak dapat berfungsi dengan baik diperlukan aliran darah otak yang optimal, dalam keadaan normal 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Otak akan mengalami kerusakan permanen apabila ADO turun sampai dengan dibawah 10 mmHg. Pada keadaan normal aliran darah otak (ADO) yang optimal ini diperlihara oleh tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan rentang 40 – 140 mmHg. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya sistem autoregulasi serebral. Namun pada kadaan patologi serebral, akan terjadi kegagalan mekanisme autoregulasi sehingga ADO semata-mata tergantung dari CPP. Pada umumnya pada kondisi ini dibutuhkan CPP > 70mmHg. CPP merupakan selisih dari tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan intracranial (TIK). Untuk menjaga ADO yang normal diperlukan keadaan MAP yang optimal dan TIK yang rendah. Dengan demikian focus untuk menjaga agar metabolisme otak tetap berjalan dengan baik diperlukan segala upaya untuk menjamin perfusi serebral yang optimal dan menjaga tidak terjadi peninggian tekanan intrakranial. Selain itu yang penting juga dijaga adalah deliveri oksigen kejaringan khususnya jaringan otak. Deliveri oksigen tergantung dari kemampuan jantung (output kardiak) dan kandungan oksigen dalam arteri yang ditentukan oleh kadar hemoglobin dan saturasi oksigen (kemampuan paru). Prinsip dalam menjaga keseimbangan metabolism otak adalah menjaga balans oksigen yaitu keseimbangan pemakaian (demand) dan suplai (delivery). Dalam kondisi patologi hendaknya diusahakan menekan pemakaian oksigen yang tidak normal dan menjaga suplai tetap baik. Beberapa upaya dalam menekan pemakaian oksigen di otak yang tidak normal antara lain mengatasi kejang, menjaga tidak terjadi hipertermia, mengatasi nyeri, cemas dan agitasi, mengatasi menggigil dan jangan lakukan stimulasi yang berlebihan seperti penyedotan lendir pernafasan berlebihan. Upaya dalam rangka menjaga suplai oksigen tetap optimal dapat dilakukan antara lain menjaga transport oksigen sistemik, mejaga tekanan darah optimal, mencegah hiperventilasi rutin, mengupayakan cairan tubuh dalam kondisi euvolemia. 5 Assessment Dalam menghadapi kasus neuro-emergensi yang pertama harus diketahui apakah pasien dalam keadaan injuri primer atau sekunder. Untuk itu diperlukan pemeriksaan neurologi yang tepat dan seperlunya dalam rangka mengambil keputusan yang tepat. Pemeriksaan tingkat kesadaran, saraf kranialis dan pemeriksaan motrik serta sensorik yang diperlukan daalm kondisi emergensi santalah diperlukan. Adakalanya diperlukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan CT Scan pada stroke, trauma kepala atau lesi desak ruang, punksi lumbal untuk analisa cairan serebrospinal dalam kasus infeksi susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus tertentu mungkin memerlukan konsultasi ke bedah saraf segera seperti pada kasus perdarahan epidural atau subdural dengan derajat tertentu, fraktur terbuka atau impressi tulang cranium, hidrosefalus akut, perdarahan serebelum atau adanya kebocoran cairan serebrospinal. Setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan awal, maka selanjutnya diperlukan pemantauan dan pemeriksaan neurologi lengkap yang mengarah ke terapi definitif. Kesimpulan Injuri susunan saraf pusat meliputi injuri primer dan injuri sekunder. Dengan penanganan yang tepat dan segera akan mencegah terjadinya kerusakan otak yang lebih berat. Upaya utama dalam penanganan injuri serebral ini adalah menjaga agar tidak terjadi hipoksia dan hipotensi. Selain dari itu juga penting mengontrol konsumsi oksigen serebral dan mengoptimalkan deliveri oksigen ke jaringan khususnya serebral dan medulla spinalis. 6 BAB II Anatomi dan Fisiologi Susunan Saraf Pusat Dr. Salim Harris SpS, (K) Pendahuluan Dalam melakukan diagnosa penyakit susunan saraf diperlukan penetapan topis kelainan yang ada. Penentuan topis didasarkan atas temuan-temuan baik secara anamnesis maupun dalam pemeriksaan fisik. Dengan mengetahui fungsi anatomi dan susunan saraf akan memudahkan dalam diagnosis dan dapat melakukan satu anjuran dalam menentukan pola pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan selanjutnya. Pengetahuan topografis ini di samping untuk menentukan diagnosis juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis kasus yang bersangkutan. Kemampuan menentukan letak topis suatu penyakit saraf harus didasarkan pengetahuan tentang neuroanatomi dan neurofisiologi yang tepat. Susunan saraf terdiri dari 3 bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan otonom. Ketiga susunan saraf ini saling terkaitan satu dengan yang lain nya. Adanya gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan tetapi keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan manifestasi klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan bermanifestasi lebih dari satu topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan manifestasi klinik yang berbeda-beda dari satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit yang topisnya berbeda sehingga ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan yang berbeda pula atau memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena nya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya dalam melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf. Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex, peningkatan tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang menurun dan reflex yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis penyakit secara bersamaan misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya seorang penderita polineuropati diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka akan ditemukan manifestasi kelainan yang bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu kita dalam menegakkan diagnose apabila pengetahuan mengenai neuroanatomi dan neurofisiologi. Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan neurotransmitter sebagai mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls tersebut. Diketahui neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam susunan saraf ada kalanya neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang sama pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah norepineprin, tetapi untuk produksi 7 keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian keberadaan neurotransmitter mempunyai peran yang sangat penting untuk dapat diketahui dengan jelas sehingga gangguan manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat mungkin. Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui suatu sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak merupakan suatu sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan strukturnya dengan pembuluh darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia. Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif yang merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi kerja berlebih sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik, sensorik maupun otonom yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik yang memberikan respon kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik, motorik maupun otonom. Untuk mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan mengenai neuroanatomi tersebut selanjutnya akan dijelaskan mengenai neuroanatomi susunan saraf pusat. Anatomi Susunan Saraf Pusat Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Otak Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum, diencepahalon dan batang otak atau brainstem. Cerebrum atau Otak besar. Cerebrum Atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer yaitu otak kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu corpus calosum. Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek serebri , jaringan masa putih atau white matter dan ganglia basalis. Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda, di mana otak kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-fungsi lain. Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping fungsi fungsi lainnya. Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere otak yaitu otak kanan dan otak kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu mendapatkan kontrol balik penuh baik dari otak kanan maupun otak kiri. 8 Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut sulkus dan apabila sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau fissura ialah untuk memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative kecil. Di antara dua sulkus terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai nama-nama spesifik yang berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus presentralis, girus post sentralis dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu sehingga disebut subtansia grisea, warna abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak tersebut mengandung badan sel saraf seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini disebut sebagai cortex, sedangkan bagian dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai subtansia alba dikarenakan mengandung serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam bangunan berwarna putih yang disebut sebagai subtansia alba ini akan ditemukan kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai komponen sel neuron dan disebut sebagai ganglia basalis. Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut dengan lobus antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lobus frontal Lobus parietal Lobus oksipital Lobus temporal Insula Rhine-Encephalon Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus atau fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut sulkus centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus paritooksipitalis. Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain disebut sulkus lateralis . 9 Lobus frontalis Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari belakang orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini mempunyai peran penting sebagai pusat dari : 1. Perintah gerak 2. Pusat pergerakan 3. Pusat bicara (broka) 4. Pusat emosi 5. Pusat berfikir 6. Pusat pengatur gerak mata 7. Pusat perilaku 8. Pusat inisiatif 9. Pusat reaksi terhadap jatuh 10. Pusat untuk mengatur kondisi tubuh 11. Dan pusat-pusat lainnya 10 Lobus Parietalis Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh sulkus paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini yang paling menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post sentralis yang mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik yang meliputi untuk perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian kecil yang bersebelah dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara (speech) Lobus Temporalis Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran dalam sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan (speech), memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada, mengerti nama, mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya. Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis dari bagian samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus temporalis media, dan gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam akan terdapat gyrus parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan gyrus occipito-temporal media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus occipito-temporal dipisahkan dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan dari gyrus parahypocampus terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini memisahkan gyrus parahypocampus dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus. Sedangkan bagian belakang dari gyrus parahypocampus disebut gyrus lingual. 11 Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian media) dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan dibagian samping atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures (lekukan halus). Lobus oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan analisa penglihatan dikenal sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta warna. Dikenalsebagai area 17 sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai pusat penglihatan sekunder dan tersier dengan peran utama sebagai pusat memori penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area 18,19 akan menimbulkan aura penglihatan dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis, sedangkan kerusakan daerah ini akan menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan pengenal obyek, bentuk dan ukuran benda (optical agnosia, alexia) 12 Insula • Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan. 13 Rhineencephalon (bulbus olfactorius) Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam penciuman. Terdapat sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan neuron pertama dalam sistim penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral dan tuftel yang berada pada bulbus olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam proses penciuman, selanjutnya axan dari sel sel ini akan membentuk traktus olfaktorius, selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial olfactory striae dan lateral olfactory striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat penciuman Brodmann’s area 28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan medial olfaktori striae akan menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai bagian dari system limbic. 14 Kommisura (Commisura) Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia alba dari jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai penghubung neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan sesuai dengan funsi penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu: 1. Kommisura transversal. 2. Kommisura Assosiasi. 3. Kommisura proyeksi. 15 Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang menghubungkan satu hemisphere dengan hemisphere lainnya contoh: 1. Corpus Calosum. 2. Commissura Anterior. 3. Commissura Hyppocampal . Sedangkan kommisura assosiasi adalah kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya dalam satu hemisphere contoh: 1. Serabut intracortical. 2. Serabut subcortical. 3. Serabut assosiasi panjang.(FLS, FLI, uncinate Fasc, Arcuate Fasc, Cingulum) FLS ( Fasiculus logitudinalis superior). Menghubungkan lobus frontal dengan lobus occipital. FLI ( Fasiculus longitudinalis inferior). Menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal Fasiculus Uncinate. Menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior . Fasiculus Arcuate: Menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis. Cingulum. Yang mengitari cortex gyrus cingulate Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang menghubungkan satu bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah (bawah keatas atau sebaliknya) contoh: 1. Serabut corticipetal atau serabut affere 2. Serabut corticifugal atau serabut efferent. 16 Ganglia Basalis Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa putih). Terdiri dari 1. Nucleus Caudatus. 2. Nucleus Lentiformis/Lenticularis (Putamen+ Globus palidus ) 3. Amygdala Peter Duus menbagi Ganglia Basalis: 1. 2. 3. 4. N.Caudatus. Putamen. Claustrum. N.Amygdala. Sedangkan Globus Pallidus masuk dalam diencephalon (subthalamus). 17 Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis kecuali claustrum. Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum oleh capsula externa. Nucleus caudatus merupakan masa kelabu yang memajang dari bagian cranial tepat disisi lateral ventricle lateralis dan berbentuk seperti buah peer memanjang kebelakang sebagai ekor dan berahir setinggi amygdala. Nucleus caudatus terlihat melingkari putamen dan melakukan hubungan /commissura dengan putamen. Nucleus lentiformis terletak diantara insula, nucleus caudatus, dan thalamus. Nucleus lentiformis oleh Lamina medullaris externa dibagi menjadi 2 bagian yaitu: 1. Putamen. 2. Globus Pallidus. Nucleus Lentiformis (Putamen, Globus pallidus) , N.caudatus, Subtansia nigra, dan Thalamus saling berhubungan dengan serabut/commissura assosiasi. Nucleus Lentiformis, Terdiri dari 2 komponen nuclei yang berbeda dalam phylogenis,struktur maupun fungsinya. 1. Putamen berasal dari matrix disekitar ventricle lateralis ( seperti asal Nucleus caudatum) dan merupakan neocortex. 2. Globus Pallidus atau Pallidum. Merupakan bagian diencephalon, berasal dari matrix disekitar ventrikle III yang berhubungan dengan nucleus subthalamicus (Richter, 1965) Striatum, terdiri dari dua bagian yaitu Neostriatum dan paleostratum. Neostriatum terdiri dari nucleus caudatus dan putamen, sedangkan paleostriatum adalah globus pallidus atau disebut pallidum. 18 19 William F Ganong dalam bukunya review of medical physiology membagi basal ganglia dalam 5 bagian masing masing, Nukleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, subthalamic nucleus ( body of Luys ) dan subtansia Nigra. Kepustakaan : 1. Review of Medical Physiology, William F. Gannong, 22 edition, 2005. 2. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, CP. Warlow, et. Al, 2001. 3. Topical Diagnosis in Neurology, Mathias Baehr, MD. Et all., 4th complete revised edition. 4. Topical Diagnosis in Neurology, Peter Duus, June 1989. 20 BAB III PEMERIKSAAN NEUROEMERGENSI Dr. Eka Musridharta, Sp.S, KIC Tujuan 1. Memahami pentingnya pemeriksaan neurologi 2. Memahami sistematika pemeriksaan neurologi 3. Mampu melakukan pemeriksaan neurologi pada kasus-kasus emergensi Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran telah banyak memberikan sumbangsih bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Pemeriksaan penunjang canggih juga semakin akrab dengan para dokter. Meskipun demikian, pemeriksaan penunjang generasi terbaru sekalipun tetap tidak dapat menggantikan posisi pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis. kursus ANLS seperti halnya kursuskursus yang lain (ATLS / ACLS), evaluasi dan pengobatan emergensi pada pasien neurologi yang akut, riwayat penyakit sebelumnya secara rinci untuk sementara tidak perlu diketahui. Pemeriksaan neurologis akan memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh pemeriksaan penunjang. Meskipun kedudukannya demikian penting ternyata pemeriksaan neurologis seringkali dikesampingkan oleh para dokter terutama pada keadaan emergensi. Tampaknya banyak dokter yang beranggapan bahwa pemeriksaan neurologis hanyalah menghabiskan waktu, tidak relevan dengan kondisi emergensi dan sulit dilakukan. Sistematika pemeriksaan neurologis Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis ada 3 hal penting yang perlu diingat dan dilakukan yaitu: anamnesis, anamnesis dan anamnesis. Dalam situasi emergensi terkadang anamnesis tidak dapat dilakukan dengan panjang lebar. Lakukan anamnesis singkat sambil menilai kesadaran dan tanda vital pasien. Setelah kondisi pasien stabil dan aman anamnesis dapat dilanjutkan kembali. 21 Dengan anamnesis informasi berikut harus didapat: Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?) Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap atau membaik?) Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai keluhan utama?) Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya atau pernahkah menderita sakit lainnya?) Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan ”VITAMINS” : V I T A : Vascular : Infectious : Traumatic : Autoimmune M : Metabolic/Toxic I : Idiophatic/ Iatrogenic N : Neoplastic S : Seizure, pSychiatric, Structural Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome Riwayat trauma sebelumnya Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit autominun lain mis SLE Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit metabolik Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan sudah berulang kali Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat tumor di organ lain Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan organ/anatomis sebelumnya Pada pasien dengan kegawatdaruratan neurologi prinsip ”ABC” dan D dijalankan, pada keadaan kegawatdaruratan hampir semua pasien dengan kondisi berat akan cenderung memburuk bila tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat. sehingga pada keadaan kegawatdaruratan neurologi tidak perlu dilakukan pemeriksaan neurologi menyeluruh. Pada Pemeriksaan Neuroemergensi yang paling penting adalah: 1. Tingkat kesadaran. 2. Pupil dan gerakan bola mata. 3. Tanda rangsang meningeal. 4. Fungsi saraf-saraf kranial. 5. Fungsi motorik dan reflek 22 Pemeriksaan kegawatdaruratan neurologi dilakukan bersamaan, segera atau setelah dilakukan tindakan ABC, yang bertujuan untuk mencari ada atau tidaknya defisit neurologis fokal, mencari tanda-tanda meningitis dan menilai tingkat kesadaran dan fungsi neurologis. Ad.1.Tingkat Kesadaran diperankan oleh 2 aspek penting: a. Arousal suatu fungsi primitif yang diatur oleh batang otak dan medial talamus. b. Awarenes untuk dapat berfungsi dengan baik memerlukan korteks serebri dan sebagian besar nukleus di subkorteks yang intak. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memeriksa kesadaran adalah menentukan derajat kesadaran. Derajat kesadaran dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Jika derajat kesadaran terganggu maka atensi, konsentrasi dan fungsi kognitif lainnya dapat dipastikan juga akan terpengaruh. Derajat kesadaran kualitatif : - Delirium, suatu tingkat kesadaran di mana terjadi peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta. - Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran akan pulih penuh bila dirangsang. Disebut juga letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri. - Stupor: respon terhadap lingkungan hilang sebagian. Pasien sulit dibangunkan, responnya lambat, tidak adekuat, mengabaikan lingkungannya dan segera kembali ke kondisi stupornya. - Koma: suatu tingkat kesadaran di mana pasien tidak dapat dibuat terjaga dengan stimulus biasa. Pasien tidak responsif terhadap lingkungannya dan dirinya sendiri. Tidak ada gerakan volunter dan siklus tidur-bangun. 23 Derajat kesadaran lebih mudah dideskripsikan menggunakan suatu skala Kuantitatif yaitu Skala Koma Glasgow (SKG) Eye (E) Membuka mata spontan 4 Membuka mata dengan stimulus verbal 3 Membuka mata dengan rangsang nyeri 2 Tidak membuka mata 1 Respon motorik (M) Dapat mengikuti perintah 6 Dapat melokalisasi rangsang nyeri 5 Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, fleksi menjauhi rangsang nyeri 4 Dekortikasi 3 Deserebrasi 2 Tidak ada respon motorik 1 Respon verbal (V) Orientasi tempat, waktu dan orang baik. Konversasi seperti biasa. 5 Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat. 4 Kata-kata yang tidak berarti 3 Hanya merintih atau mengerang 2 Tidak ada respon verbal 1 SKG tertinggi 15 dan terendah 3. Pasien dengan derajat kompos mentis memiliki nilai SKG 15 sedangkan pasien dengan koma SKG 3. Langkah kedua setelah menentukan derajat kesadaran adalah menilai atensi. Tentunya pada pasien dengan penurunan derjat kesadaran atensi akan terganggu. Pasien dengan atensi yang normal akan melihat ke arah pemeriksa dan menjawab pertanyaan dengan cepat. Pada gangguan atensi biasanya fiksasi visual terganggu, respon verbal lambat. Langkah ketiga adalah menilai konsentrasi. Pasien diminta untuk menghitung mundur dari 20 ke 1 dan menyebutkan nama bulan dengan urutan terbalik. Pada gangguan konsentrasi respon lambat, ada yang terlewatkan atau terbalik. 24 Ad.2. Pupil Komponen utama pemeriksaan pupil adalah Ukuran, bentuk dan simetri pupil Reaktivitas pupil terhadap cahaya Refleks cahaya langsung dan tidak langsung Refleks akomodasi Dalam menentukan etiologi kesadaran menurun, pemeriksaan pupil dapat memberikan petunjuk sebagai berikut : Refleks pupil yang normal dan ukurannya simetrik : keadaan ini seringkali dijumpai pada koma metabolik. Pada intoksikasi opiat dapat dijumpai pupil yang miosis. Ukuran pupil yang tidak sama (anisokor) : pada pasien dengan kesadaran menurun terdapatnya tanda ini memberikan dugaan kuat telah terjadi herniasi otak. Beberapa keadaan perkecualian dapat dijumpai, misalnya pada pasien cedera kepala dengan trauma langsung pada mata dapat menimbulkan pupil yang anisokor tanpa herniasi otak. Pupil midriasis bilateral dan tidak menunjukkan refleks cahaya : keadaan ini seringkali dijumpai pada tahap akhir herniasi otak. Perkecualian yang dapat dijumpai adalah pasien intoksikasi amfetamin atau atropin. Pupil pin-point bilateral : keadaan ini seringkali dijumpai pada perdarahan di pons. Keracunan opiat dapat memperlihatkan gambaran pupil seperti ini, namun pada keracunan opiat refleks tendon akan menurun, sebaliknya pada perdarahan di pons dapat dijumpai peningkatan refleks tendon dan adanya tanda refleks babinski. Ad.3. Tanda rangsang meningeal Kaku kuduk (nuchal rgidity) meupakan gejala yang paling sering dijumpai pada iritasi meningens. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut, tangan pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Tangan lainnya diletakkan di dada pasien untuk mencegah badan terangkat. Kemudian leher difleksikan hingga dagu menyentuh dada. Pemeriksa merasakan tahanan yang timbul saat melakukan gerakan fleksi pasif ini. Bila terdapat kaku kuduk maka dagu tidak dapat menyentuh dada dan akan dapat dirasakan tahanan saat melakukan fleksi leher. Kekakuan yang timbul dapat 25 bervarisi dari hanya tahanan ringan hingga berat di mana kepala tidak dapat ditekuk bahkan hingga terkedik ke belakang. Selain kaku kuduk terdapat beberapa tanda rangsang meningeal lainnya seperti kernig, lasegue dan brudzinsky I dan II. Pada meningitis tanda rangsang meningeal yang paling sering ditemukan adalah kaku kuduk. Lasegue dipergunakan untuk memeriksa iritasi radiks. Pada pasien dengan HNP lumboskaral misalnya, laseguenya tidak dapat melebihi sudut 70° dan timbul nyeri saat tungkai diangkat. Ad.4. Saraf kranialis Berdasarkan lokasi/ topis : Midbrain : bagian yang paling pendek dari batang otak terletak antara hemisfer serebri dan pons, bagian atas midbrain disebut tectum, keluar nerve kranialis 3, dan 4. Pons : bagian dari batang otak (brain stem) dimana keluar nerve kranialis 5, 6, 7, dan 8. Medula oblongata : bagian brain stem yang menghubungkan otak dgn medula spinalis, dari tempat ini, keluar nerve kranialis 9, 10, 11, dan 12. Ad.5. Motorik Pemeriksaan motorik sebenarnya sudah harus dimulai sejak pasien datang. Beberapa aspek motorik dapat dilihat dari penampilan pasien. Pemeriksaan motorik yang harus dilakukan meliputi kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, pemeriksaan trofi dan tonus otot. Kekuatan motorik Berkurangnya kekuatan otot disebut paresis, sedangkan hilangnya kontraksi otot disebut plegi. Sebelum menilai kekuatan otot pastikan terlebih dahulu regio otot yang akan diperiksa tidak ada pembengkakan, nyeri, fraktur dsb yang dapat mempengaruhi kekuatan motorik. Kekuatan motorik dinyatakan dalam suatu skala, yang sering digunakan adalah The Medical Research Council Scale of Muscle Strength. Sejatinya kekuatan motorik diperiksa pada setiap otot atau sekelompok otot. 26 Untuk memudahkan kita perlu memperhatikan riwayat penyakit pasien. Pasien dengan kecurigaan lesi intrakranial seperti stroke, tumor maupun meningitis pada umumnya kelemahan ototnya akan memiliki pola hemiparesis atau hemiplegi. Sedangkan pada kelainan di medula spinalis berupa tetraparesis/plegi ataupun paraparesis/plegi. Pada GBS kelemahan yang timbul umumnya asending, dimulai dari otot distal lalu menjalar ke proksimal. Sedangkan pada miastenia gravis kelemahan berfluktuasi. Setelah diprovokasi dengan aktivitas biasanya kelemahan akan semakin jelas dan setelah beristirahat kelemahan akan membaik Kelemahan akibat kelainan otot (miogen) akan menimbulkan kelemahan yang tidak terdistribusi berdasarkan segmen dermatom dan umumnya proksimal lebih lemah dibandingkan dengan distal. Gower sign adalah salah satu tanda yang tampak pada kelainan miogen. Neuropati yang berat juga dapat mengakibatkan kelemahan otot. The Medical Research Council Scale of Muscle Strength 0 = tidak ada kontraksi 1 = ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan pada persendian yang seharusnya digerakkan oleh otot Tonus dan Trofi Otot tersebut 2 = ada gerakan aktif tetapi tidak dapat melawan gravitasi Perhatikan besar dan bentuk otot. Hipotrofi/atrofi lebih terlihat pada kelainan lower motor 3 = gerakan aktif dapat melawan gravitasi neuron. Sedangkan pada kelainan upper motor neuron atrofi yang terjadi berupa disuse atrofi 4 = gerakan aktif dapat melawan tahanan ringanAtrofi biasanya lebih jelas terlihat dan umumnya baru melawan tampak gravitasi setelah dan jangka waktu tertentu. 5 = kekuatan otottangan normal seperti tenar, hipotenar dan otot-otot interosei. Sedangkan pada tungkai pada otot-otot bawah pada tibialis anterior. Selain dengan inspeksi pemeriksaan trofi otot juga memerlukan palpasi. Beberapa cara dapat dilakukan untuk memeriksa tonus otot. Abduksikan bahu, lalu fleksikan lengan bawah pada siku. Pada otot hipotonia, fleksibilitas otot akan meningkat sehingga lengan dapat ditekuk sampai sudut yang ekstrim. Sedangkan otot hipertonus kurang fleksibel. Tehnik lain adalah dengan menilai gerakan pendulus pada tungkai (pendulousness of the legs). Pasien diminta duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung. Kemudian dorong kedua tungkai dengan kekuatan yang sama. Perhatikan ayunan tungkai yang timbul. Pada tonus yang normal ayunan tungkai semakin lama semakin lambat dan akan berhenti setelah 6-7 ayunan. Ayunan tungkai ini akan berkurang pada hipertonus dan bertambah pada hipotonus. Rigiditas dan 27 spastisitas adalah bentuk hipertonus. Rigiditas dapat berupa lead-pipe rigidity dapat pula berupa cogwheel rigidity. Pada lead-pipe rigidity dengan gerakan pasif lengan bawah, tahanan akan dirasakan sejak awal gerakan hingga akhir gerakan. Sedangkan cogwheel rigidity akan terasa seolah lengan yang digerakkan pasif tersebut seperti tersangkut pada roda gigi. Untuk mendapatkan rigiditas gerakan pasif dilakukan perlahan-lahan. Cogwheel rigidity paling sering ditemukan pada pasien parkinson. Rigiditas dijumpai pada kelainan di basal ganglia. Spastisitas terjadi pada lesi yang melibatkan traktus kortikospinal. Berbeda dengan rigiditas yang umumnya mengenai semua otot dengan derajat yang sama, derajat spastisitas umumnya berbeda antar otot. Pemeriksaan motorik pada pasien dengan penurunan kesadaran Memeriksan motorik pasien dengan penurunan kesadaran tidaklah mudah. Amati posisi tubuh dan gerakan; apakah pasien baring tidak bergerak atau tubuh ada gerakan jika ada gerak tubuh; apakah gerakan keempat angota gerak serasi? apakah pasien posisi baringnya simetris? apakah ada gerakan abnormal? hemiparesis atau hemiplegi dapat diperiksa dengan cara berikut. Bila kedua lengan diangkat kemudian dilepaskan maka sisi yang paresis akan jatuh lebih cepat. Sedangkan sisi normal jatuh lebih lambat. Sedangkan pada ekstremitas bawah, dilakukan fleksi pasif pada sendi panggul dan lutut dengan tumit pada tempat tidur kemudian dilepaskan. Sisi paresis akan jatuh lebih cepat ke posisi ekstensi dengan rotasi eksternal panggul. Sedangkan sisi yang sehat tetap pada posisi tersebut beberapa saat baru kemudian jatuh. Bila derajat penurunan kesadaran tidak terlalu dalam respon terhadap stimulus dapat memperlihatkan kemampuan motorik pasien. Dengan rangsang nyeri pasien biasanya akan menyeringai dan dapat dinilai kesimetrisan wajahnya untuk menilai ada tidaknya paresis nervus kranialis. Pemeriksaan Refleks Pemeriksaan refleks memiliki nilai yang penting karena dibandingkan dengan pemeriksaan lain pemeriksaan refleks tidak terlalu bergantung pada kooperasi pasien. Karenanya dianggap refleks lebih obyektif dari pemeriksaan lain. Refleks terbagi menjadi refleks dalam (regang otot), refleks superfisial dan refleks patologis.Refleks dalam (regang otot) dibangkitkan dengan memberikan stimulus regangan 28 pada tendon otot dengan mengetukkan palu refleks. Untuk dapat membangkitkan refleks ini diperlukan alat dan tehnik yang tepat. Respon refleks dinyatakan dalam angka. 0= tidak ada refleks (arefleksia), 1+= ada refleks tetapi lemah, 2+= normal, 3+= meningkat tetapi belum dianggap patologis (tidak disertai tanda patologis lainnya), 4+= meningkat, patologis kadang-kadang disertai klonus. Refleks dinyatakan meningkat bila zona refleksnya meluas. Refleks dalam yang lazim dilakukan pada pemeriksaan rutin adalah refleks bisep, trisep, brakioradialis, patela dan akiles. Refleks patologis, disebut demikian karena respon ini tidak dijumpai pada individu normal. Refleks patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah dibangkitkan, lebih dipercaya dan lebih relevan dengan klinis dibandingkan dengan refleks patologis pada ekstremitas atas. Refleks patologis yang terpenting adalah tanda Babinski. Pada individu normal stimulasi pada kulit plantar akan menghasilkan respon plantar fleksi jari-jari kaki. Lesi pada jaras kortikospinal akan mengakibatkan respon ini berubah menjadi dorso fleksi jari-jari kaki terutama ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari lainnya. Pemeriksaan klinis neuroemergensi ini akan menuntun para dokter untuk mengetahui apakah sistim saraf bekerja dengan baik atau tidak dan menentukan lokasi lesi. 29 Daftar Pustaka 1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology 6th ed. New York : Mc Graw-Hill 1997 2. Bickerstaff ER, Spillane JA. Neurological examination in clinical practice 5thed. Bombay : Delhi Oxford 1989 2. Bannister’s R clinical neurology. 7threv ed. Kota : Oxford, 1992 3. Brumback RA. Neurology clinics. Behavior Neurology. Kota : Philadelphia Vol.11, Sauders 1993 4. Haerer AF. The neurologic examniation. Reved. Philadelphia : 1992 5. Devinsy O. Behavior neurology. St Louis : Mosby Yearbook, 1992 6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edin urgh : Churchill Livingstione 1993 7. Harrison MJG. Neurological skills. Kota : PG Asian Singapore economy edition 1990 8. Heilman KM, Valenstein E. Clinical neuropsychology. 3rd ed. New York : Oxford 1993 9. Hijdra A, Koudstaal PJ, Ross RAC, eds. Neurologie Wetenschappelike uitgevery. Utrecht : Bunge, 1994 10. Lindsay KW, Bone I, Neurology and neurosurgery. Illustrated 2nd ed. Kota : Edinburgh ELBS, 1991 11. Munro J. Edwards C. Macleod’s clinical examination. 8th ed. Kota : Edinburgh ELBS 1992 12. Rolak LA Neurology secrets. Singapore Info access & distribution, 1993 13. Strub RL, Black FW. The mental status examination in neurology. 3rd ed Philadelphia FA Davis, 1993 14. Talley NJT, Connor SO. Clinical examination a guide to physical diagnosis, Singapore : PG, 1988 15. Tan CK, Wong WC. Handbook of neuroanatomy. Singapore : PG, 1990 Toghill PJ. Examination patients an introduction to clinical medicine. London, ELBS 1991 30 BAB IV GANGGUAN KESADARAN Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K) Pendahuluan Mengetahui riwayat penyakit pasien dengan penurunan kesadaran sangatlah penting. Pemeriksaan tanda vital dapat memberikan banyak informasi dalam mencari penyebab penurunan kesadaran. Bila ditemukan tekanan darah yang sangat tinggi, perlu dipikirkan suatu hipertensi ensefalopati dan juga stroke perdarahan. Sedangkan tekanan darah yang rendah dapat diakibatkan oleh terganggunya perfusi ke sistim saraf pusat yang diakibatkan oleh proses sistemik. Pasien dengan riwayat sakit kepala dan demam sebelum penurunan kesadaran mengarahkan kita pada suatu infeksi intrakranial. Sedangkan riwayat sakit kepala dan defisit neurologik fokal seperti hemiparesis atau paresis N. kranialis yang terjadi tiba-tiba lebih mendukung suatu diagnosis stroke. Cedera kepala harus disingkirikan pada setiap kasus dengan penurunan kesadaran. Anamnesis tentang riwayat trauma kepala sebelumnya sangat diperlukan. Perhatikan juga jejas-jejas di seluruh tubuh pasien. Trauma cervical harus selalu dipertimbangkan. Leher sebaiknya tidak dimanipulasi dan gunakan collar neck sampai fraktur cervical dapat disingkirkan. Definisi : • Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan. • Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi dengan kuat. • Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai variasi keadaan/status gangguan kesadaran. • Secara klinis derajat kesadaran dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside. Anatomi kesadaran Keadaan sadar ditentukan oleh 2 komponen yaitu formasio retikularis dan hemisfer serebral. Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain (mesencephalon) dan thalamus ke korteks serebri. Ini dinamakan ascending reticular activating system (ARAS). 31 Content (isi kesadaran) ditentukan oleh korteks serebri. Gambar. ARAS (Ascending Reticular Activating System) Etiologi Gangguan kesadaran 1. Proses difus dan multifokal. Metabolik : hipo atau hiperglicemia, hepatic failure, renal failure,toxin induced infectious, concussion etc. 2. Lesi Supratentorial: Haemorrhage : extradural(epidural),subdural, intracerebral. Infarction : embolic, thrombotic. Tumours : primary, secondary, abscess. 3. Lesi Infratentorial. Haemorrhage : cerebellar, pontine. Infarction : brainstem. Tumours : cerebellum. Abscess : cerebellum. 32 Diagnosis Gangguan kesadaran: Cari riwayat penyakit sistemik & riwayat pengobatan Kondisi neurologi sebelumnya Seputar onset (?trauma, ?obat-obatan, ?toksin Koma Non-trauma Tidak ada fokal atau tanda lateralisasi meningismus / bukan meningismus Fokal atau tanda lateralisasi Dengan meningismus SAH Meningitis Ensefalitis Tanpa meningismus Kondisi anoksik iskemik Gg metabolik Intoksikasi Infeksi Sistemik Hipo/hipertermia Epilepsi Behavioural Toksin atau obat-obatan: Sedatif , Narkotika , Alkohol Racun Obat-obat psikotropik Karbon monoksida (CO) Overdosis (disengaja & kecelakaan) Status withdrawal Pemeriksaan Penunjang : Glukose, Test fungsi hati, ginjal, analisa gas darah, hematologi dan koagulasi EKG, Ro foto thoraks, CT scan (+/- kontras) 33 Kesadaran Menurun Kesadaran Menurun Tanda-Tanda Trauma Kepala (+) ABC massif o Hati-hati trauma leher o O2 2-3 L/menit o I.V. line, infus NaCl 0,9 %/RL 100=150 cc/jam (hindari Dekstrosa). Tinggikan posisi kepala 300 Anamnesis (allo). Pemeriksaan Fisik umum. Pemeriksaan fisik neurologi. Observasi Trauma Primer dan Sekunder. Foley cateter (hematuria?, urinalisis) Pasang NGT (hati-hati pada perdarahan hidung masif) Usahakan TDS >100 mmHg, berikan SA bila P < 45. Temperature usahakan <37.50 Lab hematologi (DPL), Urinalisis, AGD,elektrolit, Ureum/Creatinin,GDS. Radiologi: Ro Schedel, CT Scan tanpa kontras (lihat bab trauma kepala). Tanda-Tanda Trauma (-) Tanda-Tanda Neurologi Fokal (+) 1. 2. 3. 4. Infark Hemoragik Neoplasma Abscess/Infeksi Tanda-Tanda Rangsang Meningeal (+) 1. 2. 5. Tanda-Tanda Neurologi Fokal (-) Meningitis Meningoensefalitis PSA. Tanda-Tanda Rangsang Meningeal (-) Ensefalopati Metabolik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Hipoksik-iskemik Endokrin (hipoglikemia, hiperglikemia, tiroid) Elektrolit (hipernatremia, hiponatremia, hiperkalsemia) Toksin. Obat-obatan. Epilepsi Gg. Behaviour 34 Tehnik pemeriksaan kesadaran dengan rangsang nyeri Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri 35 Diagnosis banding koma Penyakit Stroke Anoxia Keracunan Gangguan (disorder) Trauma Kepala Gangguan Metabolik Sindrom Locked in pada infark batang otak Sifat dan ciri penyakit • Onset cepat (Acute) • Defisit Neurologis • • • Diikuti koma anoksia episode Myoclonus dan atau kejang sering terlihat • Tanda Multifocal sign dengan ketidak sesuaian topis untuk anoxia • koma dengan hilangnya reflek batang otak tanpa tanda fokal • Riwayat substance ingestion Dapat dibedakan pada gejala klinis • koma setelah trauma kepala dengan atau tanpa gejala fokal • Fluktuasi status mental • Tanda trauma yg berlebihan • • • • • Pseudocoma • • Persistence vegetative state • • • Gangguan metabolik jarang sebagai penyebab koma,lebih sering disebabkan encephalopathy Koma dengan batang otak intak Dapat terjadi kejang Pasien immobile dan penampakan seperti koma Pasien gerak mata vertical masih ada dan dapat dilakukan dengan kondisi ini. Tampilan klinis koma dengan fungsi otak masih ada Pasien dapat tidak mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan pseudocoma Tidak ada respon intestional Keadaan tidak sadar dengan respon refleks masih ada Berbeda dengan koma oleh karena masih ada kemampuan berespon Tampilan pasien seperti sadar/ tidur, tapi pada pemeriksaan pasien tidak dapat kontak dengan lingkungan, perintah dan situasi Penegakan diagnosis • diagnosis klinis koma dan ditandai oleh kerusakan otak yang berat pada distribusi fokal • Radiologi : infark atau perdarahan • Riwayat henti janting • Atau sebab lain dari anoksia • Gejala klinis koma dengan atau tanpa myoclonus • Gambaran klinik tidak spesifik Suspicion is key • Drug screen is critical Penegakan diagnosis • Tanda Klinis • Riwayat trauma kepala • radiologi : normal, contusion, edema, perdarahan • • • • • • • • • • Hasil Lab abnormal : elektrolit, dll Pencitraan dan hasil LAB ± menunjukkan penyebab lainpikirkan penyebab lainnya Dapat berkomunikasi dengan pergerakan mata Infark batang otak dapat terlihat di MRI/ CTscan Pada pemeriksaan : Dengan diangkat melewati kepala dan dilepas/ dijatuhkan kea rah wajah, pada keadaan pseudocoma lengan jatuh ke arah wajah Normal EEG Pemeriksaan klinis Temuan respon batang otak thd rangsangan masih ada Pencitraan dan Lab menunjukkan penyebab tidak responsif 36 Gamb. Lesi otak dan pola nafas Gambaran pola nafas berdasarkan pada berbagai area di otak • Pernafasan Cheyne stokes – Pada pola pernafasan ini terdapat periode hiperpnoe diselingi periode apnoe sekitar 10-20 detik. – Disfungsi dari hemisphere kiri dan kanan (level diencephalic ). – Mungkin pola pernafasan ini ditemukan pada saat selama pasien tidur , dimana pada saat tersebut terjadi reaksi / proses inhibisi yang luas pada hemisphere oleh karena tidur itu sendiri mencetuskan dan memperberat mekanisme proses penekanan pada otak. • Kerusakan pada kedua sisi proensephalon, bisa juga disebabkan proses gangguan metabolic seperti uremia, gangguan fungsi hati berat, atau infark bilateral atau lesi karena adanya massa pada proenchepalon dengan perubahan anatomi/ pergeseran pada diencephalon, pernafasan seperti ini perlu pernanganan segera. 37 • Mekanisme : relative hingga tidak abnormal terhadap respon pada ssp yg sensitive CO2 • Setelah konsentrasi CO2 turun hingga level terendah hingga sampai terjadi stimulasi pusat pernafasan, fase apneu akan terus terjadi hingga CO2 terakumulasi dan proses pernafasan berjalan kembali • Hiperventilasi pada Central neurogenic – Muncul dan terdapat pada disfungsi batang otak atau pons bagian atas. – Pernafasan cepat antara 40-50x/mnt – PO2 meningkat lebih dari 70-80 mmHg. – Jika level PO2 dibawah normal hipoxemia – Penyakit jantung, paru, dan problem metabolik dapat juga menyebabkan hiperventilasi. • Pernafasan Apneustic Lokasi di lesi bagian bawah pontine, didapat fase inspirasi yang memanjang dan berhenti pada saat inspirasi maksimal/penuh. • Pernafasan Cluster Hanya signifikan pada kerusakan bagian bawah pontine, karakteristik kelainan ini hampir sama dengan pernafasan mendekati proses apnoe • Pernafasan Ataxic Kerusakan terjadi pada bagian bawah pontine atau masalah pada pusat pernafasan di medullar Polanya adalah chaotic dan haphazard dengan ketidakteraturan pada henti nafas adanya petunjuk menghembuskan nafas dan akhirnya pernafasan dada. 38 Daftar Pustaka 1. Duus P : Topical Diagnosis in Neurology : anatomy, physiology, signs, symptoms, 3 rd edition, Stuttgart, New York, Thieme, 1983 2. Lindsay. K.W., Bone I., and Callander. R : Neurology and Neurosurgery Illustrated, Churchill Livingstone, 1st edition, Edinburg, London, 1988 3. Chusid JP : Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology, 17th edition, Maruzen Asia, 1979 4. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT : Neurotrauma, Mc Graw Hill, 1996 Greenberg MS : Handbook of Neurosurgery, 5th edition, Thieme, 2001 39 BAB V MANAJEMEN PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL Dr. Lyna Surtidewi, Sp.S(K) Pendahuluan Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyai tingkat metabolisme tinggi, hanya dengan berat kurang lebih 2% dari berat badan memerlukan 15% kardiak output, menyita 20% oksigen yang beredar di tubuh, serta membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh. Pada keadaan emergensi dan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan-bahan metabolisme tersebut. Dengan demikian apabila suplai dari bahan-bahan untuk metabolisme otak terganggu tentunya akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat berakibat kematian dan kerusakan permanen (kecacatan). Dua hal yang berperan dalam menjaga metabolisme otak berjalan normal adalah kecukupan oksigen dan kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang optimal (CBF). Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem autoregulasi pembuluh darah serebral. Karena aliran darah ke otak (CBF) adalah hasil pembagian tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem autoregulasi CBF sangat tergantung pada CPP. Pada keadaan normal CBF adalah 50 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan sehat (mekanisme autoregulasi utuh), CBF 50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP antara 40 – 140 mmHg. Kerusakan jaringan otak irreversibel akan terjadi apabila CBF < 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti infeksi akan terjadi peninggian tekanan intrakranial (TIK) akibat edema otak. Oleh karena CPP merupakan selisih antara MAP dengan TIK maka adalah sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan (menurunkan) TIK. Pada makalah ini akan difokuskan dalam mengendalikan (manajemen) peninggian TIK. 40 Gejala peninggian TIK - Sakit kepala, akibat kompresi saraf kranialis, arteri dan vena, biasanya memburuk pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas. - Muntah yang tidak didahului mual dan mungkin projektil - Perubahan tingkat kesadaran - Paling sensitif dan indikator penting, tahap awal mungkin tidak spesifik seperti gelisah, iritabilitas, letargi. - Perubahan tanda-tanda vital. Cushing’s triad: peninggian tekanan darah sistolik, bradikardi (muncul belakangan), pola nafas iregular (late sign); peningkatan suhu; ocular signs seperti pelebaran pupil akibat tekanan pada N III dan refleks pupil melambat dan anisokor. - Penurunan fungsi motorik: hemiparesis atau hemiplegia; dekortikasi – gangguan pada traktus motorik; deserebrasi – kerusakan berat pada mesensefalon dan batang otak Manajemen peninggian TIK. Tatalaksana umum. Beberapa hal yang berperan besar dalam menjaga agar TIK tidak meninggi antara lain: - Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 300, dengan tujuan memperbaiki venous return. - Mengusahakan tekanan darah yang optimal. Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan edema dan peninggian TIK. - Mengatasi kejang. - Menghilangkan rasa cemas. - Mengatasi rasa nyeri. - Menjaga suhu tubuh normal < 37,50 C. Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat metabolism. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, dipihak lain suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian TIK. 41 - Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit. Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron. - Atasi hipoksia. Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anarob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema otak dan peninggian TIK. - Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan berlebihan. Tatalaksana Khusus Mengurangi efek masa. Pada kasus tertentu seperti hematoma epidural, subdural, maupun perdarahan intraserebral spontan maupun traumatika serta tumor maupun abses tentunya akan menyebabkan peninggian TIK dengan segala konsekuensinya. Sebagian dari keadaan tersebut memerlukan tindakan pembedahan untuk mengurangi efek masa, Mengurangi volume Cairan Serebrospinal (CSS). Mengurangi CSS biasanya dilakukan apabila didapatkan hidrosefalus yang menjadi penyebaba peninggian TIK seperti halnya pada infeksi kriptokokkus. Ada 3 cara yang dapat dilakukan dalam hal ini yaitu: memasang kateter intraventrikel, lumbal punksi atau memasang kateter lumbal. Pemilihan metode yang dipakai tergantung dari penyebab hidrosefalus atau ada/tidaknya masa intrakranial. Pengaliran CSS dengan kateter lumbal dapat dikerjakan apabila diyakini pada pemeriksaan imaging tidak didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya dipakai kateter silastik 16 G pada intradural daerah lumbal. Dengan kateter ini disamping dapat mengeluarkan CSS, dapat juga dipakai untuk mengukur TIK. Keuntungan lain adalah teknik yang tidak terlalu sulit dan perawatan dapat dilakukan di luar ICU. 42 Mengurangi volume darah intravaskular. Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratori akut, dan perubahan pH sekitar pembuluh darah ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan tentunya akan mengurangi CBV sehingga akan menurunkan TIK. Efek hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam beberapa menit. Tindakan hiperventilasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam menangani krisis peninggian TIK namun akan menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan dalam keadaan emergensi saja dan dalam jangka pendek. Hemodilusi dan anemia mempunyai efek menguntungkan terhadap CBF dan deliveri oksigenasi serebral. Hematokrit sekitar 30% (visikositas darah yang rendah) akan lebih berefek terhadap diameter vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen (CaO), sehingga akan terjadi vasokonstriksi dan akan mengurangi CBV dan TIK. Namun bila hematokrit turun dibawah 30% akan berakibat menurunnya kapasitas oksigen. Hal ini akan mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK akan meninggi. Dengan demikian strategi yang sangat penting dalam menjaga TIK adalah mencegah hematokrit jangan sampai turun sampai dibawah 30%. Manitol atau cairan osmotik lain juga mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh darah piamater dan arteri basilar, sehingga akan mengurangi CBF. Pemakaian barbiturat atau obat anestesi akan menekan metabolisme otak, dan menurunkan Cerebral Metabolism Rate of Oxygen (CMRO2). Penurunan CMRO2 akan menurunkan CBF, dan akhirnya mengurangi CBV dan TIK. Pemberian barbiturat sendiri telah terbukti akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral. Mengurangi edema dan volume cairan interstisial. Manitol akan mengurangi cairan otak dengan cepat, dan manitol akan diekskresikan melewati ginjal dengan cepat pula. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah efek diuresis dari manitol sehingga dapat berakibat dehidrasi. Kekurangan cairan intravaskular tentunya akan menyebabkan penurunan tekanan darah, dan akan terjadi vasodilatasi sebagai mekanisme autoregulasi dan akibat lanjutnya adalah kenaikan CBV dan TIK. Pemberian manitol jangan melebihi 3 hari dan hindari drip kontinyu. Tidak ada hubungan besarnya dosis dengan efek yang diharapkan. Selain dari manitol, dapat juga dipakai cairan salin hipertonis. 43 Glukokortikoid seperti deksametason dapat digunakan untuk menangani edema serebri vasogenik. Obat ini efektif dalam menanggulangi edema yang menyertai tumor, meningitis dan lesi otak lain. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10 mg Dexamethason i.v diikuti 4 mg tiap 6 jam. Kesimpulan Peninggian TIK merupakan keadaan emergensi yang mengancam nyawa sehingga harus segera ditangani. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penatalaksaan peninggian TIK yaitu tindakan umum (mengusahakan keadaan fisologis) dan tindakan khusus seperti evakuasi massa termasuk hematoma, mengurangi CSS (drainase CSS), menurunkan volume darah intravaskular (“hiperventilasi”, hemodilusi, hipotermia, terapi barbiturat) dan mengurangi cairan interstisial/edema dengan cairan hipertonis serta pemakaian glukokortikoid. 44 Daftar Pustaka 1. Ropper A.(ed). Neurological and Neurosurgical Critical Care, 3rd ed. New York, Raven Press, 1993:11-52. 2. Marino PL. The ICU Book, Philadelphia, Lea and Febiger, 1991: 190-201. 3. Goldschlager NF, Hemodynamic monitoring. In Critical Care Medicine, Luce JM and Pierson DJ (eds), Philadelphia, WB Saunders, 1988: 104 -114. 4. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73:23-27. 5. Williams MA. Intracranial Pressure Monitoring and Management for Neurologists. AAN, 1998. 6. Strand T. Evaluation of Long-term Outcome and Safety after Hemodilution therapy in Acute Ischemic Stroke. Stroke, 1992; 23: 657 – 662. 7. The Hemodilution in Stroke Study Group. Hypervolemic Hemodilution Treatment of Acute Stroke: Results of Randomized Multicenter Trial Using Pentastarch. Stroke,1989; 20: 317 – 323. 8. Hacke W, Stingele R, Steiner T, et al. Critical Care of Acute Ischemic Stroke. Intensive Care Med,1995;21:856 – 62. 9. Schwab S, Schwarz, Sprange M, et al. Moderate hypothermia in the Treatment of Patients with Severe Middle Cerebral Artery Infarction. Stroke, 1998; 29:2461 – 2466. 10. Manno E.M.. When to use hyperventilation, mannitol, or cortisosteroid to reduce increased intracranial pressure from cerberal edema. In Though call in acute neurology (Rabinstein AA, ed). Elsevier, Philadhelpia, 2004: 107-119. 45 BAB VI STATUS EPILEPTICUS Dr. Fitri Octaviana, Sp.S Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang sering dijumpai pada komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata frekuensi dari SE refrakter berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan dalam mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang nyata. Definisi SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran. Loweinstein dan kawan – kawan memberikan definisi “operasional” yang bertujuan menentukan waktu pada saat pasien - pasien sebaiknya dapat diterapi seolah - olah mereka berada dalam status epileptikus yang sedang berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan yang berlangsung kurang dari 5 menit. Klasifikasi dan Diagnosa 46 Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat diklasifikasikan dengan adanya kejang motorik (status epileptikus konvulsivus) atau dari lena/absans (status epileptikus non konvulsivus). Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan seluruh tubuh (SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial). Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum (SE tonik klonik), non konvulsivus umum (contoh : lena/absans), konvulsivus parsial (kejang motorik parsial simpel) atau non konvulsivus parsial (kejang parsial komplek). Tabel 2. Klasifikasi status epileptikus Umum Konvulsi Non konvulsi Tonik klonik (grand mal) Absans/Lena Tonik Mioklonik Parsial Bangkitan parsial motorik Bangkitan parsial kompleks SE dapat di diagnosis melalui observasi. Bangkitan ditandai dengan hilangnya kesadaran, aktivitas tonik-klonik otot, mulut berbusa, lidah tergigit, mata yang menatap keatas, dan inkontinensia urin. Diagnosis dari SE biasanya jelas, dengan diagnosis banding berupa distonia umum dan pseudo- status epilepsi. Pseudo-status epilepsi terdiri dari bangkitan yang bersifat psikogenik. SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran, agitasi, afasia, confusion amnesia, nistagmus. Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti melalui pemeriksaan EEG4. Pada sebuah studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma menunjukkan SE non konvulsi5. Gambar 2 menunjukkan gambaran EEG pada pasien SE non konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia. Gambar 2. EEG wanita umur 20 tahun dengan amnesia 47 International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan klasifikasi Status Epilepsi pada anak (tabel 2).3 Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan Etiologi (1993) Akut Simtomatik Status Epileptikus pada anak yang sebelumnya normal secara neurologis, dalam seminggu disertai etiologi penyerta termasuk infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP), kejang demam yang memanjang, ensefalopati, trauma kepala, penyakit serebrovaskular, dan kelainan metabolik atau toksik. Remote symptomatic Status Epileptikus tanpa adanya pencetus akut yang teridentifikasi tetapi dengan riwayat abnormalitas SSP lebih dari seminggu sebelumnya. Terkait dengan Epilepsi Idiopatik Status epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada anak dengan diagnosis epilepsi idiopatik sebelumnya atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali kedua terjadinya bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada diagnosis epilepsi idiopatik. 48 Terkait dengan Epilepsi Kriptogenik Status Epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada anak dengan diagnosis epilepsi kriptogenik sebelumnya atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali kedua bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada diagnosis epilepsi kriptogenik. Tidak Terklasifikasi (unclassified) Status epileptikus yang tidak dapat diklasifikasikan dalam kelompok yang lain. Etiologi Banyak kasus SE terjadi pada pasien dengan penyakit akut ataupun penyakit neurologis akut. Sekitar 50% kasus terjadi tanpa adanya epilepsi sebelumnya. Individu dengan riwayat epilepsi berisiko mengalami SE. Etiologi SE dapat dibagi dalam proses akut dan kronik (disimpulkan dalam tabel 3) Tabel 3. Etiologi Status Epileptikus4,6 Proses Akut Proses Kronik Ketidakseimbangan elektrolit Epilepsi yang sudah ada sebelumnya Kelainan serebrovaskular Compliance atau kepatuhan minum obat antikejang/antikonvulsan yang buruk atau perubahan terapi antikonvulsan. Trauma serebral Alkoholisme kronik Toksisitas obat Tumor serebri Kerusakan anoksik-hipoksik serebral Infeksi SSP Sindrom sepsis Gagal ginjal Komplikasi Status Epileptikus 49 Berdasarkan perubahan neurofisiologi, SE dibagi menjadi dua fase. Selama Fase 1, permintaan metabolik meningkat yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik sel serebral yang abnormal, lalu menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial dan aktivitas autonom. Proses ini menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial, peningkatan nilai glukosa darah, berkeringat, hiperpireksia dan salvias/berliur. Fase 2 terjadi 30 menit setelah Fase 1. Fase 2 ditandai oleh kegagalan autoregulasi serebral, penurunan laju darah serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial dan hipotensi sistemik. Hal ini berdampak pada penurunan tekanan perfusi serebral (gambar 3). Status Epileptikus yang memanjang dihubungkan dengan perubahan sistemik yang luas, yang turut menyebabkan masalah ketersediaan oksigen otak yang inadekuat. 4,6 Gambar 3. Perubahan Neurofisiologis pada Status Epileptikus. Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat mempengaruhi sistem saraf pusat (hipoksia serebri, edema serebri, perdarahan otak), sistem kardiovaskular (infark miokard, aritmia, henti jantung), sistem pernafasan (pneumonia aspirasi, hipertensi pulmonal, emboli paru), perubahan metabolik (dehidrasi, perubahan elektrolit, nekrosis tubular akut) 4,6 Pengobatan Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE; cegah munculnya kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab timbulnya SE; atasi komplikasi.4,7 50 Prinsip utama pengelolaan kegawatdaruratan adalah bantuan hidup dasar yang mencakup menjaga jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi yang adekuat. Dalam SE, jalan napas harus dijaga mulai dari tahap awal dan intubasi trakhea akan dibutuhkan saat bangkitan sedang diatasi sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal dapat dicegah. Pemantauan harus dimulai, termasuk EKG, mengukur tekanan darah dan pulse oksimetri pada semua pasien. Pengukuran gula darah di samping tempat tidur harus dilakukan. Jika terdapat tanda hipoglikemi yang signifikan, glukosa 50% 50 ml harus diberikan. Jika sebelumnya terdapat riwayat atau curiga ke arah alkoholisme, thiamin 100 mg intravenous harus diberikan bersamaan dengan glukosa untuk mencegah timbulnya Ensefalopati Wernicke.1,4,7 Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari keluarganya mungkin dapat memberikan keterangan tentang faktor penyebab seperti penggantian obat antikonvulsan baru – baru ini, alcohol withdrawal, overdosis obat, dan stroke atau infeksi susunan saraf pusat. Sken Tomografi Komputer (CT Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) mungkin dibutuhkan untuk mengetahui proses fokal. Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin juga diindikasikan jika tekanan intrakranial tidak ditemukan. Terapi Farmakologi Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan aman dan mencegah berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan obat untuk SE diperlihatkan pada gambar 4. Benzodiazepin Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABAA dan secara potensial menghambat aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan karenanya mempunyai tempat untuk mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat pilihan pertama untuk penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di Indonesia, diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di negara kita. Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena cepat diredistribusi ke cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan melalui rektal. Semua benzodiazepine 51 menyebabkan sedasi dan depresi pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek akumulasi. Efek sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.4,7 Hidantoin Apabila diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam waktu 10 menit, atau apabila bangkitan intermiten berlangsung selama 20 menit atau lebih, maka harus ditambahkan obat lain. Fenitoin (atau fosfofenitoin) masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk status epileptikus yang tidak berespons terhadap diazepam. Fenitoin sangat larut dalam lemak dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah pemberian intravena. Loading dose fenitoin (20 mg/kg) harus diberikan berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar untuk pemberiannya karena tingginya pH larutan. Pemberiannya harus dengan cairan garam fisiologis dan pemberian bersama obat lain harus dihindarkan, karena adanya risiko presipitasi. Infus fenitoin merupakan faktor risiko signifikan terjadinya hipotensi, aritmia, pemanjangan gelombang QT. Oleh karena itu, pemantauan EKG dan tekanan darah sangat diperlukan.4,7 Fenobarbital Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada penanganan status refrakter, yang mana penggunaannya masih efektif. Mekanisme kerjanya dengan memperpanjang inhibisi potensial pascasinaps melalui kerja kanal GABA Cl. Fenobarbital tidak memasuki otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tetapi kadar terapetik dicapai dalam 3 menit dan dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang, Efek samping fenobarbital adalah sedasi dalam, depresi napas, hipotensi. Anestesi umum Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus dilakukan di unit rawat intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus dipertahankan selama fase ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari kisaran normal. Thiopental adalah barbiturat intravena kerja cepat yang digunakan untuk menangani status epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi. Barbiturat juga imunosupresif poten dan 52 penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Propofol dapat digunakan sebagai alternatif. Propofol memiliki efek seperti barbiturat dan benzodiazepin pada reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan poten pada dosis klinis. Bolus awal sebesar 1 mg/kg diberikan dalam waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat dikendalikan. Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2-10 mg/kg/jam sampai didapatkan kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat menekan aktivitas epileptiform pada EEG. Penghentian tiba-tiba harus dihindarkan karena berisiko menyebabkan terjadinya presipitasi bangkitan akibat penghentian obat. Terapi baru Sediaan sodium valproat intravena baru-baru ini diperkenalkan. Beberapa penelitian membuktikan sodium valproat intravena cukup efektif dan memiliki profil efek samping yang lebih baik. Penelitian di Eropa melaporkan 80-83% kasus status epileptikus dapat dikendalikan dengan dosis 12-15 mg/kg.1 Hasil Mortalitas keseluruhan kasus status epileptikus dewasa sekitar 25%. Pasien yang berusia diatas 60 tahun memiliki mortalitas yang lebih tinggi (38%). Kira-kira 89% pasien meninggal dunia pada saat atau setelah status epileptikus karena penyebab status, dimana hanya 2% kematian yang berhubungan langsung dengan status epileptikus.4,6 Terapi lini pertama efektif dalam mengendalikan bangkitan pada 65% kasus status epileptikus, maka terapi dini sangatlah penting. Pasien dengan status epileptikus yang tidak terkontrol lebih dari satu jam memiliki mortalitas 34,8% dibandingkan dengan 3,7% bila bangkitan dapat diatasi dalam 30 menit.9 53 Tabel 4. Pengobatan pada status epileptikus 1,7 Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min (repeat 1x if no response after 5 min) Seizure continuing Fosphenytoin 20mg/kg IV @ 150mg/min Phenytoin 20mg/kg IV @ 50 mg/min Seizure continuing Seizure continuing Fosphenytoin 5-10mg/kg IV @ 150mg/min Phenytoin 5-10mg/kg IV @ 50 mg/min Seizure continuing Consider valproate 25 mg/kg IV Phenobarbital 20mg/kg IV at 50-75 mg/min Proceed immediately to anaesthesia with midazolam or poropofol if the patient develops status epilepticus while in the intensive care unit, has severe systemic disturbance or has seizure that have continued for more than 60 to 90 minutes Seizure continuing Phenobarbital (additional 5-10 mg/kg) Seizure continuing Anesthesia with midazolam or propofol 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Time (minutes) 54 Daftar Pustaka 1. Lowenstein DH. The management of refractory status epilepticus: an update. Epilepsia 2006;47(S1):35-40 2. Treiman DM. Generalized convulsive status epilepticus. In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 665-73 3. Raspall-Chaure M, Chin RFM, Neville BG, Bedford H, Scott RC. The epidemiology of convulsive status epilepticus in children: a critical review. Epilepsia 2007;48(9):1652-1663 4. Chapman MG, Smith M, Hirsch NP. Status epilepticus. Anaesthesia 2001;56:648-659 5. Towne AR, Waterhouse EJ, Coggs JG, et al. Prevalence of nonconvulsive status epilepticus in comatose patients. Neurology 2000; 54: 340-345. 6. Shorvon SD, Pellock JM, DeLorenzo RJ. Acute physiologic changes, morbidity, and mortality of status epilepticus. . In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 737-747 7. Alldredge BK, Treiman DM, Bleck TP, Shorvon SD. Treatment of status epilepticus. . In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 13571374 8. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY et al. A comparison of four treatments for generalized convulsive status epilepticus. New England Journal of Medicine 1998; 339: 792-298. 9. DeLorenzo RJ, Towne AR, Pellock JM et al. Status epilepticus in children, adults and the elderly. Epilepsia 1992; 33 (Suppl. 4): S15-25 55 BAB VII PENATALAKSANAAN KEDARURATAN INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT Dr. Jofizal Jannis, Sp.S Pendahuluan Penderita yang datang ke Instalasi/Unit Gawat Darurat dengan penurunan kesadaran, kejang disertai demam, segra harus dicurigai infeksi SSP, apalagi bila pada pemeriksaan neurologi ditemukan tanda-tanda iritasi meningeal. Kemungkinan lain seperti perdarahan subarakhnoid juga dapat menyerupai keadaan ini. Penderita seperti ini segera harus diatasi karena angka kematian yang cukup tinggi. Secara keseluruhan di RSCM mencapai 30%. Jadi, infeksi SSP merupakan kondisi yang mengancam hidup. Maka tindakan emergensi dan cepat menjadi prioritas pertama untuk menyelamatkan penderita. Seluruh tindakan saat ini dilakukan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan saja, karena penunjang memerlukan waktu lama. Akhir-akhir ini semua infeksi SSP harus dicurigai menderita HIV, karena infeksi SSP merupakan oportunistik bagi HIV. Umumnya, toksoplasmosis, dapat juga TBC, sitomegalovirus, kriptokokkosis, dan infeksi lainnya. Perlakuan pemeriksaan penderita ini disesuaikan dengan cara menghadapi kasus HIV. Awalnya, pengobatan penderita dilakukan secara empiris, setelah keadaan darurat teratasi. Pendekatan pada penderita meningitis akut mengikuti langkah berikut: 1. Diagnosis, dan segera atasi kejang, TTIK dan kemungkinan terjadi syok septik. 2. Patofisiologi meningitis akut. 3. Membedakan bakteri, virus dan jamur. Diagnosa Meningitis Akut Tanda dan gejala infeksi SSP tergantung lokasi dan lamanya infeksi. Organisme penyebab juga mempengaruhi virulensi infeksi walaupun pada awalnya, antara bakeri, virus dan fungus memperlihatkan gejala yang sama. 56 Secara klinik tampak: - Gejala Dini : o Demam o Nyeri kepala o Kaku kuduk o Gangguan fungsi mental - Gejala Lanjut: o Seizure o Kelumpuhan saraf kranial o Tuli o Stupor dan tanda neurologi fokal Demam timbul karena interleukin-1 dan bakterial pirogen dilepaskan dalam cairan serebrospinalis dan mempengaruhi hipotalamus. Sedangkan nyeri kepla terjadi sekunder karena iritasi serabut-serabut yang iritatif nyeri pada selaput otak di daerah servikal dan radiks servikal. Iritasi pada radiks saraf kemungkinan juga sebagai dasar patofisiologi timbulnya tanda Kernig dan Brudzinski. Pada penderita dengan imunocompromised, gejala-gejala klasik ini sering tidak tampak, biasanya penderita confuse, kesadaran menurun, hipotensi, demam, dan sakit kepala ringan. Mengatasi Kejang akibat Infeksi SSP Seizure paling sering terjadi pada meningitis akut yang telah melibatkan perenkim otak, dapat fokal atau umum. Sebagian kecil timbul sebelum dirawat dan lebih sering terjadi sewaktu perawatan. Sebenarnya seizure disebabkan oleh iritasi korteks, oleh toksin bakteri atau inflamasi meningen vaskulitis, infark otak demam tinggi, dan hipotremia. Bila seizure terjadi selama perawatan maka pemeriksaan neuro imajing diperlukan untuk evaluasi penyebab. Keterlambatan membawa ke RS, manajeman di tempat yang tidak benar dan anggapan yang tidak masuk akal, menyebabkan gejala sisa permanen pada penderita. 57 Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan bila berhadapan dengan penderita kejang: o Siapkan infus, cegah aspirasi dengan membuat posisi lateral dekubitus o Diazepam 10 mg.i.v, diazepam dapat diulang setiap 5 menit, disusul pemberian O2 o Siapkan alat bantu pernafasan o Persiapkan pemeriksaan glukosa darah, elektrolit. Sekiranya kejang berhenti maka: o Airway dan pernafasan harus terjamin o Antikonvulsan siapkan, airway-breathing-circulation dilakukan segera, ikuti dengan pemberian O2 o Bila kejang terus berulang, maka program terapi disesuaikan dengan manajemen status konvulsivus Diazepam diberikan i.v, kosentrasi serum dan otak bertahan selama 10-15 detik dan efek puncak pada 8 menit kemudian. Sedanagkan pemberian oral, retkal akan bertahan antara 0,5-3 jam. Diazepam, 90-95% diikat protein plasma dan selain di otak juga dapat memasuki jaringan lemak. Obat ini memperlihatkan efek farmakokinetik ganda. Awalnya, waktu paruh serum dihubungkan dengan distribusi ke tubuh dan bagian SSP. Pada fase kedua, terjadi metabolism di hepar dan diekskresikan melalui urine dengan waktu paruh eliminasi 1-2 hari. Meskipun waktu paruh eleminasi diazepam lama, obat ini efektif untuk waktu paruh teraupetik 15 menit jika digunakan untuk mengontrol kejang (dosis 0,25 mg/kgBB). Bila penderita masih kejang, diazepam dapat diulang 5 mg i.v. sampai maksimum 20 mg. Setelah itu dianjurkan fenitoin 15-20 mg/kg BB i.v. lambat atau per-infus. Kecepatan pemberian fenitoin tidak boleh melebihi 200mg/menit karena risiko perubahan EKG dan aritmia. Bila terjadi kelainan ini, tetasan diperlamabat. Jika kejang masih menetap, dianjurkan perawatan ICU dengan perlakuan sesuai dengan protocol status konvulsivus. Syok Septik Syok septik terjadi karena interaksi kompleks sel-sel. Produk bakteri berinteraksi dengan sel pejamu dan serum protein timbul rangkaian ang dapat menyebabakan cedera sel dan kematian. 58 Sebenarnya yang berbahaya bukan hanya produk bakteri tetapi penyebaran dan respons pejamu yang tidak beraturan akan menyebabkan pelepasan mediator yang merusak sel. Hipotensi dapat terjadi pada penderita meningitis dengan sepsis. Bila syok, maka penderita mengalami: 1. Hipotensi 2. Takhipnoe > 20 x /menit 3. Takhikardia > 140 x /menit 4. Oliguria Terapi syok septik: o Oksigen, infuse cairan isotonik/kristoloid o Ventilasi makanik o Antibiotik, dianjurkan broad spectrum Bila pasien tidak ada respons dengan guyuran cairan isotonik/kristaloid, berikan dopamin (5-10) mcg/kg/menit/iv. Infuse diatur sesuai dengan tekanan darah seringkali pasien memerlukan dosisi dopamin diatas 20 mcg/kg/menit Kortiko steroid dosis besar pada penelitian tidak terbukti bermanfaat Di luar negeri diberikan terapi anti-endotoksin antibodi Syok septis dengan disfungsi end organ perlu perawatan intensif di ICU Prognosis syok septik : Tergantung kondisi penjamu, organism, antibiotic awal dan kompleks Kegagalan end organ meningkatkan mortalitas pada sepsis dengan syok septik o Perubahan fungsi mental dengan manifestasi agitasi sampai koma. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi perubahan metabolism asam amino salah satu penyebab enesefalopati. o Hiperventilasi dengan alkalosis respirasi tampak pada sepsis stimulasi pusat ventilasi meduler oleh endotoksin dan mediator radang merupakan penyebab hiperventilasi. o Terdapat tanda-tanda iritasi selaput meningen. 59 Beberapa istilah yang perlu diketahui: o Bakterimia : terdapat bakteri viable dalam cairan o Sepsis : o Sepsis : Bila terdapat sepsis bersama disfungsi end organ atau hipoperfusi o Syok septik : respons pejamu (host) terdapat infeksi disertai dengan sistemik inflammatory respons syndrome (SIRS) Sepsis dan hipotensi, meskipun sudah diresisitasi cairan, masih saja terdapat perfusi jaraingan yang tidak adekuat. Patofisiologi Meningitis Akut Terjadi invansi kuman pathogen melebihi mekanisme pertahanan dan sampai dirongga subarachnoid. Setelah itu terjadi replikasi dan pelepasan sitokin proinflamatori dan toksin seluler lain. Patogenitas ditentukan oleh kapsul bakteri. Kolonisasi nasofaringeal menjadi sumber untuk invasi local di sepanjang epitel nasofaring pada orang tanpa antibodi. Invasi ini mengakibatkan bakteremia disertai perlengketan pada epitel pleksus khoroideus diikuti oleh infeksi meningeal dan menyebar ke rongga subarachnoid. Infeksi H. Influenza misalnya dapat mengakibatkan ventrikulitis dengan hasil thrombosis dari vena piamater, arteriole kortikal dan sinus venosus dengan pembentukan efusi subdural. Umumnya kematian karena meningitis akut (bakteri) terjadi karena TTIK akibat edema serebri vasogenik yg meningkatkan permeabilitas sawar darah otak dan pembengkakan sitotoksik dengan lisis sel dari toksin yang dilepaskan oleh PMN dan bakteri menyebabkan hidrochepalus obstruktif. Terapi meningitis akut/bakteri langsung terhadap inhibisi dan replica invasi kuman pathogen, pencegahanedema serebri dan pada kasus kasus tertentu mencegah efek sekunder dari sitokin pro inflamatori dalam rongga subarachnoid. Membedakan antara bakteri, virus dan fungus Setelah diagnosis dibuat, segera dibedakan antara bakteri,virus dan fungus. Umumnya meningitis bakteri lebih berat dan kecenderungan memburuk pada bakteri. Secara sistemik gejala infeksi pernafasan akut atau otogenik terjadi pada bakteri sedangkan parotitis dan diare sering mendahului meningitis virus. Kecurigaan pada parasit dan fungus sering terjadi pada infeksi HIV. Walaupun pada meningitis ada demam disertai menggigil tetapi tanda-tanda tersebut lebih nyata pada bakteri. Punksi lumbal merupakan penunjang yang lebih jelas untuk membedakan jenis meningitis ini. 60 Meningitis fungus/parasit mempunyai onset subakut,sedangkan pemeriksaan cairan serebrospinalis biasanya memperlihatkan gambaran limfosit dan sedikit PMN. Protein meningkat dan glukosa sedikit menurun < 40 mg/L. Laboratorium Metode yang paling sederhana ialah dengan menggunakan pewarnaan gram pada liquor. Cairan di sentrifuse dan sedimen dibuat pewarnaan. Test ini sangat cepat, yaitu < 15’ dengan sensitifitas 25% dan spesifisitas 95%. Kemungkinan untuk menemukan bakteri bila jumlah organism 103 CFU/ml; 25% dan 103-105 CFU/ml; 60% - 97% bila > 105. Test antigen bakteri Diagnostik cepat juga adalah dengan menentukan antigen bakteri dalam likuor. Merupakan test imunologis untuk menentukan antigen larut dalam bakteri. Keuntungan test antigen ini cepat (0,5-1 jam) dan dapat mendiagnosis bakteri yang dikenal, sedangkan kerugian test ini tidak dapat menentukan bakteri yang jarang dan tidak dapat digunakan untuk sensitivitas antibiotik. Kultur bakteri CSF diokulasikan ke plat agar darah dan plat agar cokelat. Kultur lambat, tapi dapat menentukan sensitivitas bakteri. Deteksi asam nukleat bakteri Dilakukan dengan PCR dengan 2 langkah, pertama menentukan bakteri dan kemudian menentukan reseptor RNA kuman-kuman. Juga tidak dapat menentukan sensitifitas antibiotik. Kesimpulan 1. Penderita infeksi SSP mempunyai prognosis buruk bila tidak segera diterapi. 2. Kejang, tekanan tinggi intrakranial, dan syok septik merupakan keadaan yang segera harus diatasi. 3. Pengobatan pada penyakit SSP harus segera dilakukan secara empiris. Perkiraan penyebab dicari setelah penderita teratasi kegawatannya dan setelah mendapat obat. 61 Daftar Pustaka 1. Marshall RS, Masyer SA. On call neurology: increased intracranial pressure. 1997:p.15464. 2. Cruz J. Neurologic and neurosurgical emergencies. 1998:p.1-34. 3. Lindsay KW, Bone I, Callender R. Neurosurgery and illustrated 2nd ed. 1991:p.72-100. 4. Becker K. Management of increased intracranial pressure. American academy of neurology 8AC 006-1, 2000. 5. Stapczynski JS. Shock septic. In: medicine journal vol. 2, no. 5, May 2001. 62 BAB VIII KEDARURATAN NEUROLOGI PADA STROKE Dr. Salim Harris SpS(K) Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pendahuluan Stroke merupakan satu gangguan aliran darah ke otak, baik bersifat regional maupun global yang berlangsung begitu cepat, yang dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan manifestasi yang ditimbulkannya berupa kecacatan baik anggota gerak maupun fungsi-fungsi lainnya. Proses stroke berlangsungnya begitu cepat dengan manifestasi gangguan klinis yang sangat bervariasi sehingga WHO menekankan gejala stroke harus bertahan dalam 24 jam pertama. Keberadaan dari kedaruratan stroke akan mengancam kehidupan sel otak yang diketahui tidak mempunyai cadangan energi sehingga menimbulkan kecacatan menetap dan hal ini telah terbukti, kecacatan akibat stroke memegang rangking tertinggi di dunia. Ancaman kedaruratan ini juga dapat mengancam kehidupan penderita stroke itu sendiri karena dengan terjadinya gangguan aliran darah otak, maupun kejadian pecahnya pembuluh darah, dalam kurun waktu 24 jam akan diikuti oleh edema serebri, edema serebri merupakan beban yang begitu hebat kepada otak yang berada dalam ruang yang relatif sempit dan daya kembang yang minimal sehingga dapat terjadi penonjolan atau pendorongan bagian otak ketempat yang tidak semestinya ada dan hal ini disebut herniasi. Herniasi akan mengakibatkan terjadinya penekanan pada parenkim otak yang masing-masing menjadi pusat vital baik pusat kesadaran, pusat pernafasan, pusat pergerakan jantung dan lainnya yang selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi pusat pusat vital tersebut. Gangguan pusat pusat vital di otak akibat herniasi pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian. Sehingga secara umum dikatakan kematian akibat stroke menduduki rangking ke 3 sesudah kanker dan penyakit kardiovaskular. 63 Faktor Resiko Stroke Stroke iskemik maupun hemoragik merupakan manifestasi hasil akhir dari suatu proses kronik akibat suatu penyakit maupun kebiasaan/pola hidup dan dapat didasari akibat faktor genetik, keberadaan hal tersebut pada akihrnya akan mengakibat gangguan pada sistem pembuluh darah besar, menengah maupun kecil yang apabila keadaan ini terjadi di sistem peredaran odarah tak maka akan bermanifestasi sebagai stroke. Hipertensi merupakan penyakit kronis di mana terjadinya peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik atau keduanya, baik yang mempunyai penyebab (sekunder) ataupun yang tidak diketahui penyebabnya (primer). Kondisi tekanan darah yang tinggi ini yang berlangsung lama akan menimbulkan kondisi patologi pada pembuluh darah seperti lipohialinosis maupun terjadi mikroaneurisma. Tekanan darah yang berlangsung lama di samping dapat menimbulkan aneurisma juga dapat memicu terjadinya arterosklerosis. Peran beta-amyloid pada dinding pembuluh darah telah lama diketahui, pada hipertensi akan mengakibatkan menumpuknya beta-amiloid pada pembuluh darah kecil dan media terutama pada daerah kortikal selanjutnya terjadilah penebalan membrane basalis pembuluh darah dan terjadilah stenosis dari lumen seperti halnya yang terjadi proses lipohialinosis yang berasal dari permukaan pembuluh darah kecil. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya stroke iskemik. Nekrosis amyloid dan mikro aneurisma terjadi akibat proses fragmentasi elastin lamina internal yang akan berakhir dengan terjadinya proses perdarahan otak. Kelainan Jantung Kelainan jantung baik kelainan irama seperti pada fibrilasi atrial, kelainan otot jantung seperti yang terjadi pada daerah imobilisasi setelah mengalami infark dan kelainan katup jantung serta gagalnya fungsi jantung dapat menimbulkan bekuan-bekuan darah kecil terlepas dan mengalir ke aliran darah yang akhirnya akan mencapai pembuluh darah di otak, bekuan atau emboli ini akan akan berhenti pada pembuluh darah yang berdiameter lebih kecil dari bekuan darah (emboli) keadaan ini menimbulkan stroke iskemik. Gangguan irama jantung terutama fibrilasi atrium merupakan penyebab yang utama pada orang-orang lanjut usia mengalami stroke 64 iskemik. Gangguan katup jantung baik sebagai stenosis maupun insufisiensi akan mengakibatkan terjadinya gangguan turbulensi keadaan ini akan menimbulkan lepasnya bekuan-bekuan darah kecil selanjutnya akan masuk ke adalam aliran darah untuk berakhir pada pembuluh darah yang lebih kecil Di samping itu kerusakan pada katup janntung akan mengakibatkan timbulnya bekuan darah yang menempel pada katup jantung sehingga terbentuklah trombus dan trombus ini akan berisiko stroke iskemik apabila terlepas (kardio emboli stroke). Daerah infark jantung dengan spesifikasi adanya gelombang Q pada EKG merupakan daerah yang tidak/kurang mempunyai kemampuan berkontraksi sehingga berisiko untuk menjadi tempat terbentuknya bekuan darah di dalam jantung. Dengan demikian penyakit jantung merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Gangguan Kadar Lemak Darah dan Homosystein Adanya peningkatan LDL kolesterol maupun homosistein baik tersendiri maupun bersamaan dengan terbentuknya LDL tiolakton akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dari endotel pembuluh darah baik pembuluh darah besar, sedang maupun kecil. Keadaan ini akan memicu timbulnya respon dari trombosit sebagai repair maupun tumpukan daripada LDL di dalam endotel yang selanjutnya akan terbentuk plak maupun trombus, yang pada ahirnya kedua proses ini akan menimbulkan penyumbatan pada pembuluh darah. Diabetes Mellitus (Kencing Manis) Keberadaan gula darah yang meningkatan tidak saja mengakibatkan gangguan pada viskositas dengan segala aspeknya, tetapi juga akan mempengaruhi mitokondria yang semula berperan dalam memproduksi ATP kini mitokondria juga menghasilkan ROS yang bersifat toksin baik terhadap sel maupun menimbulkan injury pada endotel. Keadaan ini semua akan menimbulkan kerusakan pada beberapa target organ yang salah satunya adalah otak dengan manifestasi berupa stroke. 65 Fibrinogen Fibrinogen merupakan protein dengan berat molekul besar yang merupakan suatu reaktif protein, apabila terjadi peningkatan kadarnya didalam darah akan berisiko terjadinya peningkatan viskositas darah. Fibrinogen yang juga merupakan faktor 1 dari elemen pembekuan darah apabila terjadi peningkatan kadarnya akan menimbulkan keadaan hipercoagulable state, sehingga darah mudah membeku. Sel darah merah Sel darah merah mempunyai kemampuan merubah bentuk (deformabilitas), kemampuan ini ditentukan oleh kandungan muatan negatif yang berada dipermukaan sel tersebut. Adanya potensial aksi negatif ini dikenal sebagai zeta potensial. Apabila terjadi peningkatan kadar fibrinogen yang merupakan protein bermuatan positif maka kelebihan fibronogen ini akan melakukan ikatan dengan muatan negatif yang berada di permukaan Sel darah merah selanjutnya akan menimbulkan gangguan pada kemampuan merubah bentuk ( deformability ) daripada sel darah merah, gagalnya eritrosit melakukan perubahan bentuk ini akan mengakibatkan terjadinya kesulitan sewaktu melewati pembuluh darah kecil di otak yang berdiameter relatif lebih kecil dari eritrosit. Hal ini mengakibatkan terjadinya slugging dan pada akhirnya menimbulkan lakunar infark di otak. Polisitemia Keadaan meningkatnya jumlah sel darah merah yang beredar di dalam aliran darah disebabkan karena penyakit primer polisitemia maupun sebagai suatu reaktif dari kondisi-kondisi tertentu seperti pada mereka yang mengkonsumsi karbondioksida (perokok) yang mempunyai ikatan lebih kuat terhadap oksigen, kondisi ini akan mengakibatkan bertambahnya sel darah yang berada pada aliran secara otomatis akan mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah pada tingkat arteri di otak. Kondisi dehidrasi akan menimbulkan dampak peningkatan viskositas 66 yang berakibat serupa dengan terjadinya gangguan aliran pembuluh darah kecil di otak akibat polisitemia. Penyakit-penyakit kronis lainnya maupun kebiasaan-kebiasaan buruk, kurangnya berolah raga serta malformasi pembuluh darah dan lanjut usia juga akan menjadi faktor risiko terhadap stroke baik stroke hemoragik maupun stroke iskemik. Patogenesis dan Patofisiologi Stroke Terdapat perbedaan yang mendasar pada stroke hemoragik/subaraknoid dengan stroke iskemik. Kedua tipe stroke ini berbeda dalam proses terjadinya stroke, di mana pada stroke hemoragik terjadinya diskontuinitas pembuluh darah berakibat keluarnya darah dari pembuluh darah dan akan mengisi parenkim otak maupun rongga-rongga di dalam otak. Sedangkan pada stroke iskemik/sumbatan mengakibatkan terputusnya aliran darah di dalam pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan ini maka terjadinya gangguan suplai energi yang pada akhirnya menimbulkan kematian pada jaringan otak. Otak yang beratnya sekitar 2 % dari berat badan menerima 15-20 % curahan darah dari jantung di mana cerebral blood flow (CBF)/aliran darah ke otak di pertahakan konstan pada hitungan 50-60 cc/gram otak per menit. Atau dapat dikatakan konsumsi otak sekitar 20 % dari total oksigen tubuh dalam kondisi istirahat. Apabila terjadi gangguan aliran darah ini apapun sebabnya dengan nilai di bawah 20 % dari nilai CBF atau sama dengan 10-15 cc akan mengakibatkan kematian jaringan yang menetap. Adanya aliran darah ke otak di antara 20 cc – di bawah 50 cc / gram otak per menit, otak akan mengalami gangguan perfusi tetapi belum menimbulkan kematian sel otak secara permanen. Kondisi ini dikenal sebagai daerah penumbra. Adanya autoregulasi semata-mata bertujuan untuk mempertahankan sel otak dari kematian. Cerebral Perfusi Pressure (CPP) merupakan kelanjutan dari tekanan darah sistemik yang digunakan untuk mempertahankan kelangsungan suplai energi ke otak secara konstan, apabila terjadi penurunan tekanan darah yang berakibat penurunan CPP maka pembuluh darah otak akan mengalami vasodilatasi sehingga memungkinkan peningkatan cerebral blood volume (CBV). Hal ini akan mampu mempertahankan CBF dalam kondisi konstan sehingga keberadaan sel otak tetap normal, apabila penurunan tekanan darah berkelanjutan yang 67 berakibat terjadinya penurunan CPP berkelanjutan dan otak sudah tidak mampu meningkatkan cerebral blood volume, kondisi ini memungkinkan sel otak tetap hidup walaupun sudah terjadi kegagalan perfusi, hal ini disebabkan peningkatan daripada efisiensi otak yaitu dengan meningkatnya oksigen ekstration fraction (OEF). Walaupun demikian pada kondisi ini cerebral blood flow mengalami penurunan tetapi cerebral metabolisme rate for oxyigen (CMRO2) masih dalam batas normal. Apabila tekanan perfusi terus menurun, CBV tidak mampu meningkat lagi, CBF terus menurun dan OEF tidak mampu meningkat lagi, maka CMRO2 menurun maka terjadilah iskemia otak dan secara klinis ditandai dengan adanya defisit neurologi. Proses biomolekuler kerusakan sel otak diawali akibat gagalnya pompa natrium kalium sehingga natrium di dalam sel tidak mampu dikeluarkan mengakibatkan terjadi depolarisasi membran presinaptik dengan keluarnya neurotransmitter glutamat dan hal ini akan mengakibatkan terbukanya reseptor NMDA dan hal ini mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam sel, dengan masuknya kalsium kedalam sel akan terjadi pengeluaran kalsium oleh organel sel lainnya seperti mitokondria dan lisosom, hal ini akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kalsium yang bertambah banyak di dalam sitoplasma sel. Kemudian kondisi ini akan memicu terbukanya voltage channel calsium receptor (VSCC) maka dengan leluasa kalsium masuk ke dalam sel, tingginya kadar kalsium di dalam sel akan mengaktifkan enzimenzim posfolifase, protease, dan radikal bebas lainnya, enzim posfolifase ini akan melakukan hidrolisa dari membran lipid sehingga terbentuk asam lemak bebas dan terbentuklah asam arakidonat dan terjadilah pembentukkan peroksida sehingga timbul kerusakan membran sel yang disebut sebagai nekrosis. Sedangkan daerah penumbra proses kematian sel melalui proses apoptosis yaitu dengan terbentuknya cytoplasmic bud kemudian menjadi apoptotic bud, selanjutnya apoptocic bud ini ini akan ditangkap oleh makrofag, sebagian dari apoptotic bud yang tidak tertangkap oleh makrofag akan mengalami lisis disebut sebagai nekrosis sekunder. Kedaruratan Kehidupan Stroke tidak saja mengancam kematian sel tetapi juga dapat menimbulkan kematian pada individu yang menderita. Hal ini umumnya disebabkan karena adanya kegagalan fungsi otak, 68 fungsi pernafasan, fungsi jantung, dan organ-organ lainnya. Adanya edema serebri yang terjadi pada 24 jam pertama, akan menimbulkan peningkatan tekanan di dalam kepala yang berisiko terjadinya herniasi, di mana bagian otak akan keluar mencari bagian-bagian atau ronggarongga yang longgar untuk menempatkan dirinya sehingga menimbulkan kegagalan dari kedua sistem otak baik kanan maupun kiri atau terjadinya kegagalan sistem batang otak. Pengaruh daripada stroke terhadap sistem kardiovaskular atau jantung dapat dilihat dari aspek pengaruh sistem sentral yaitu peran sentral dalam mengontrol fungsi jantung seperti kerusakan dari insula dan bagian-bagian dari batang otak sehingga menimbulkan kegagalan aktifitas jantung di lain pihak adanya stroke akan berdampak pada sistim hemodinamik maupun berdampak pada viskositas darah yang pada akhirnya akan berisiko pada gangguan koroner. Gangguan pernafasan, seperti di ketahui adanya peran batang otak dalam mengatur ritme pernafasan, bila terjadi gangguan pada batang otak maka akan menimbulkan gangguan pada sistim pernapasan. Seperti terjadinya pernafasan biot atau cheynestoke. Keadaan edema serebri akan meningkat tekanan intrakranial, hal ini akan mengakibakan peningkatan frekuensi pernafasan sehingga terjadinya hipokapnia, keadaan ini tidak saja dapat menimbulkan gagal nafas tetapi juga dapat menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak akibat vasokontriksi umum. Kedaruratan Fungsional Yang dimaksud dengan kedaruratan fungsional adalah kegagalan dalam menyelamatkan sel otak akibat terjadinya stroke. Akibat kedaruratan fungsional ini akan terlihat meningkatnya nilai kecacatan sehingga penderita akan selamat dari kematian tetapi mengalami ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain (dependent). Nilai ketergantungan ini dapat dilihat dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari seperti makan, berjalan, mandi, membersihkan diri dari najis, menyisir rambut dan sebagainya. Kedaruratan fungsional ini dapat dikurangi sedemikian rupa sehingga penderita stroke setidak-tidaknya mampu menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pengobatan yang cepat tepat dan akurat seperti pemberian trombolisis pada penderita stroke iskemik yang sesuai dengan waktunya, akan dapat menyelamatkan kematian sel sehingga keluaran fungsional (functional outcome) akan didapatkan lebih baik dibandingkan tanpa penggunan trombolisis. Hal-hal yang dapat meringankan risiko terjadinya kerusakan sel dapat dilakukan dari sejak pertama kali penderita 69 mengalami serangan stroke di mana penderita yang mengalami serangan stroke akan mengalami gangguan hemodinamik intraserebral sehingga sebaik-baiknya penderita diletakkan dalam posisi tidur dengan posisi kepala maksimal 30o yang terangkat dari bahu sampai ke kepala dengan tujuan memperbaiki venous return (bed rest). Keberadaan penderita stroke yang tidak melakukan posisi tirah baring akan berisiko terhadap regional perfusion pada daerah stroke yang akan bertambah parah, hal ini akan berakibat terjadinya perluasan daerah infark yang semula merupakan daerah penumbra. Pemberian obatobat anti hipertensi selayaknya ditinggalkan apabila tekanan darah rerata (MABP) dibawah 130 mmHg. Hal ini didasarkan atas peningkatan tekanan darah yang terjadi merupakan reaksi normal akibat terjadinya suatu gangguan hemodinamik di otak. Apabila diperlukan penurunan tekanan darah sebelum memberikan obat-obat tekanan darah haruslah dipastikan tidak ada nyeri, tidak ada demam, tidak ada retensi urin dan sebagainya yang mungkin berpengaruh terhadap tekanan darah. Adanya demam tidak semata-mata berisiko terjadinya vasodilatasi yang akan berdampak terjadinya steal syndrome, tetapi akan berpengaruh terhadap peningkatan metabolisme otak yang sebanding dengan peningkatan suhu yang terjadi. Adanya kejang haruslah dihindari demikian juga adanya peningkatan kadar gula darah karena akan berakibat terjadinya lonjakan asam laktat di daerah serebral yang berakibat timbulnya regional asidosis akhirnya akan diikuti oleh kematian sel, demikian pula halnya pada kondisi gula darah yang rendah akan berpengaruh negatif kepada metabolisme sel otak yang sedang mengalami sekarat. Pemberian oksigen dalam jumlah besar akan mengakibatkan PaO2 meningkat , apabila terjadi peningkatan berlebih maka akan diikuti oleh kondisi hiperkapnia yang akan berisiko terjadinya vasodilatasi di luar daerah penumbra yang pada akhirnya akan menimbulkan steal syndrome pula. Sehingga dengan pengetahuan patofisiologi dan patogenesis stroke tidak saja dapat menurunkan angka kematian tetapi juga dapat meminimalisasi kecacatan pada penderita stroke. Penutup Penatalaksanaan penderita stroke sudah dilakukan sejak penderita berada di rumah sehingga pengetahuan mengenai stroke sebaiknya dimasyarakatkan tidak saja di kalangan medis tetapi juga di kalangan awam dengan modalitas yang berbeda. Hal ini akan sangat menolong baik 70 bagi penderita stroke maupun bagi dokter sehingga penatalaksanaan stroke dapat terlaksana dengan cepat, tepat dan akurat yang pada akhirnya akan memberikan keluaran pengobatan dengan menurunnya angka kematian dan meminimalisasi kecacatan penderita stroke sehingga ketergantungan menjadi sangat kecil dan pada akhirnya dapat terlaksana efisiensi baik dalam hal finansial, lama rawat,dan penderitaan psikososial penderita dan keluarga. Kepustakaan : 1. Stroke Practical Management, Third Edition, C.P. Warlow et. All, 2008. 2. Review of Medical Physiology, 22 Edition, William F. Ganong, 2005. 3. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, C.P. Warlow, 2001. 4. Principal of Neurology, Adam and Victor, Eight Edition, 2005. 5. Trombolitic Therapy of Acute Stroke, Patric De laden, Second Edition, 2005. 71 BAB IX VERTIGO AND EMERGENCY HEADACHE Dr. Eva Dewati, Sp.S(K) Bagian Neurologi FKUI/RSCM PENDAHULUAN Vertigo dan sakit kepala merupakan keluhan yang sering dikeluhkan pasien untuk mencari pertolongan medis. Bermacam-macam istilah digunakan pasien dalam mendeskripsikan vertigo seperti pusing, puyeng, oyong, melayang dan sebagainya. Seringkali pasien menggunakan istilah sakit kepala dan vertigo dengan istilah pusing. Vertigo adalah suatu ilusi dimana seseorang merasa tubuhnya bergerak terhadap lingkungannya atau lingkungan yang bergerak tehadap dirinya.1 Sakit kepala adalah rasa nyeri pada kepala yang bersifat unilateral atau menyeluruh.2 Pada kasus vertigo 5 - 10% pasien berobat ke dokter umum dan 10 - 20 % berobat ke dokter saaraf dan THT.3 Berdasarkan data dari Amerika didapatkan 2,2 % penderita sakit kepala yang bersifat akut mencari pertolongan medis ke unit gawat darurat. VERTIGO Fungsi keseimbangan tubuh kita terdiri dari 3 sistem yaitu : sistem vestibular, sistem visual dan sisrtem somatosensorik. Apabila terjadi gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem tersebut maka akan timbul gejala vertigo.4 Vertigo yang mengenai sistem vestibular disebut vertigo vestibular sedangkan vertigo yang timbul pada kelainan somatosensorik dan visual disebut vertigo non vestibular Pada vertigo vestibular : sifat vertigo seperti berputar, serangan bersifat episodik, diserrtai gejala otonom, kadang kadang dijumpai gangguan pendengaran dan dicetuskan oleh gerakan kepala.5 Dalam menghadapi kasus vertigo vestibular kita harus membedakan apakah lesinya di perifer (pada labirin dan n. vestibularis) atau pada lesi sentral (pada batang otak sampai korteks).6 Secara klinis vertigo vestibular tipe perifer timbulnya lebih mendadak, keluhan vertigo lebih berat, lebih sering diperburuk dengan gerakan kepala, gejala otonom lebih dominan dan disertai dengan tinnitus. Pada vertigo vestibular tipe sentral gejala ini lebih ringan dan disertai dengan defisit neurologi.7 72 Penyebab vertigo vestibular perifer : benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tumor N.VIII, infeksi, oklusi a.labirin, autoimun, trauma. Sedangkan penyebab vertigo vestibular sentral : vaskular, tumor, epilepsi, trauma, demielinisasi, degeneratif, sindroma paraneoplastik, migren vestibular.3,4,6 Penatalaksaan kasus vertigo secara garis besar adalah : 1. Terapi kausal 2. Terapi simtomatik 3. Latihan vestibular Terapi simtomatik ditujukan pada dua gejala utama yaitu vertigo dan gejala otonom. Jenis – jenis obat anti vertigo yang banyak digunakan : a. Golongan Ca-channel blocker : flunarisin b. Golongan antihistamin : sinarisin, prometasin, difenhidrinat c. Golongan fenotiazin : prokloperazin, klorpromazin d. Golongan histaminic : betahistin Terapi rehabilitatif/latihan vestibular bertujuan untuk menimbulkan dan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi. Pada penderita BPPV latihan ini juga berfungsi untuk reposisi otolit.8,9,10 SAKIT KEPALA Dalam menghadapi pasien dengan sakit kepala diperlukan anamnesis yang sangat teliti. Riwayat sakit kepala sebelumnya harus dianalisa seperti usia mulai timbul serangan, frekwensi, durasi dan gejala penyerta ketika sakit kepala timbul. Sakit kepala primer yang sering dijumpai : sakit kepala tipe tegang (tension type headache) dan migren. Dalam menghadapi kasus sakit kepala juga harus dipikirkan adanya kemungkinan sakit kepala yang disebabkan penyakit lain yang disebut sebagai sakit kepala sekunder. Seringkali sakit kepala sekunder tidak terdiagnosis ketika menghadapi pasien dengan serangan sakit kepala, untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi pasien dengan keluhan sakit kepala : 11,12 1. Sakit kepala yang sangat berat/ pertama kali dialami oleh pasien 2. Frekwensi yang semakin sering dan rasa sakit yang semakin berat 3. Timbul mendadak pada usia muda atau usia > 50 tahun 73 4. Bersifat progresif 5. Sakit kepala yang meningkat dengan valsava manuver 6. Adanya gejala sistemik seperti : demam, berat badan menurun, riwayat keganasan, infeksi dan imunosupresi 7. Disertai defisit neurologis Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat dalam bidang neurologi : perdarahan subarakhnoid, ensefalopati hipertensif, meningitis, ensefalitis, penyakit serebrovaskular (stroke hemoragik, iskemik), tumor, abses serebri.13,14 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan etiologi seperti : hematologi, CT Scan atau MRI kepala, pungsi lumbal. Terapi migren lini pertama : aspirin, ibuprofen, naproxen sodium, acetaminofen + aspirin + caffeine. Jika tidak ada respon dengan terapi lini pertama dapat diberikan golongan triptan. Penatalaksanaan sakit kepala sekunder yang terpenting adalah menangani penyebabnya KESIMPULAN 1. Vertigo dan sakit kepala merupakan gejala subyektif dari pasien dan disebabkan oleh berbagai kausal 2. Prinsip terapi pada vertigo : terapi kausal, terapi simptomatik dan terapi rehabilitatif 3. Sakit kepala yang disebabkan oleh kelainan struktural pada otak memerlukan penanganan yang cepat dan tepat 74 DAFTAR PUSTAKA 1. Pritcard TC, Alloway KP. Medical Neuroscience. Fence Creek Publishing, 1999 : 39 - 47 2. The International Classification of Headache Disorders, 2nd edition. Chephalalgia 2004;42 Suplement. 3. Brandt T. Vertigo, Its Multisensory syndromes. Springer-Verlag. London, 2nd ed. 2000; 3-47 4. Melvil-Jones G. The Peripheral Vestibular Message. In J.A Sharpe and H.O barber (eds) : The Vestibulo-ocular Reflex and Vertigo. Raven Press. New York, 1993: 1 -14 5. Uemura T, Suzuki J, Hozawa J. Et al. Neurotological Examination. Igaku Shoinltd, tokyo, 1991 : 32 – 46 6. Fife TD. Common Central Causes of Dizziness and Vertigo. AAN. Annual Meeting, 2007 7. Jacobson GP, Newman CW, Kartush JM. Handbook of Balance Function Testing. Mosby year Book. Toronto 1982 : 156 – 187 8. Brandt T. Vertigo. Springer-Verlag. London.2003: 251 – 283 9. Hain TC. Vertigo. In RT Johnson(ed): Current Therapy in Neurologic Disease. BC Decker Inc, 1999 : 8 – 12 10 Hain TC. Canalith Repositioning for Benign Paroxysmal Positional Vertigo. AAN annual meeting 2008 11 Black DF, Swanson JW. Headache in the Emergency Department. AAN annual meeting 2007 12 Silberstein SD, Lipton RB, Dalessio DJ. Overview, Diagnosis and Classifcation of Headache. In Wolf’s Headache and Other Head Pain. Oxford University Press, Inc, 2001 : 3 - 26 13 Wijdicks FM. Catastrophc Neurologic Disorders in the Emergency Departemen. Oxford University Press, 2004 : 36 -42 14 Saper JR. Headache : Urgent Consideratons in Diagnosis and Treatment. In Emergent and Urgent Neurology. Lippincott Williams & Wilkins, 1999 : 289 -314 75 BAB X KEGAWATDARURATAN PENYAKIT NEUROMUSKULAR Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K) Pendahuluan Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak terlalu sering dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit ini. Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup luas. Mulai dari kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan yang dapat mengancam nyawa. Oleh karenanya mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting. Umumnya gejala penyakit neuromuskular berupa kelemahan ataupun kesemutan atau bisa juga keduanya bersamaan, maka penyakit ini mengenai lower motor neuron. Dengan demikian bila kita mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular langkah pertama tentunya memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor neuron. Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb: UMN Bentuk kelumpuhan LMN Hemiparesis, quadriparesis, Kelemahan paraparesis. tertentu pada sesuai otot distribusi radiks atau pleksus Atrofi Disuse atrophy belakangan dan (muncul Atrophy akibat denervase tidak (muncul lebih cepat dan terlalu jelas) lebih jelas) Fasikulasi dan fibrilasi - + Refleks fisiologis Meningkat Menurun atau hilang Klonus + - Tonus Hipertonus Hipotonus Refleks patologis + - 76 Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui: Letak lesi Pola kelainan Motor Neuron Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak ada Amyotrophic Radiks Contoh lateral gangguan sensorik. sclerosis (ALS), spinal Pada ALS, gejala LMN disertai UMN muscular Polio: kelemahan asimetrik, riw. Infeksi polio atrophy, Kelemahan dan gangguan sensorik sesuai Kompresi dengan inervasi radiks yang terkena radiks ec HNP Sindrom Kauda ekuina Pleksus (Plexopathy) Sesuai inervasi pleksus yang terkena Trauma pleksus Neuritis brakialis akut Saraf perifer Mononeuropati Kelainan sesuai distribusi saraf perifer Sindrom yang terkena terowongan carpal/tarsal Mononeuropati Proses multifokal yang hanya mengenai Kelainan saraf multiplex bagian tertentu dari saraf perifer Polineuropati Difus, simetris, stocking-glove pattern, Neuropati DM tepi pada Morbus Hansen distal hyporefleksia Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi GBS (GIT atau ISPA), refleks patela menurun Neuromuscular Kelemahan berfluktuatif terutama setelah Myastenia Gravis Junction aktivitas, tidak ada gangguan sensorik, Botulism refleks fisiologis normal Otot Kelemahan otot proksimal yang difus, Polimiositis, muscular tidak ada defisit sensorik distrofi. Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus motorik atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan kelainan LMN dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot. 77 Eksplorasi riwayat penyakit pasien akan sangat membantu menegakkan diagnosis. 1. Selalu tanyakan ada tidaknya riwayat trauma baik pada ekstremitas, leher maupun pinggang. (ingat VITAMINS) 2. Pastikan pola kelemahannya. 3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan neurogen seperti polineruopati di distal. 4. Adakah gejala sensorik? 5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya. 6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram? 7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen. 8. Adakah nyeri? 9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti HNP, trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik. 10. Adakah gejala otonom? 11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik dizziness. Kegawatdaruratan yang mungkin dijumpai pada penyakit neuromuskular. Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf-otot (Neuromuscular Junction), atau otot (Tabel 1). Walaupun mula-mula penyebab gangguan neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan diagnosa pasti juga belum dapat ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi kardiopulmonal stabil, harus dilakukan pemeriksaan serum, likuor, EMG (elektromiografi), kecepatan hantar saraf (KHS/ NCV = nerve conduction velocity), biopsy otot atau saraf dapat dilakukan agar dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang lebih optimal. Umumnya kegawatdaruratan neuromuscular berkembang sebagai suatu problema sekunder pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuscular atau sistemik (Tabel 2). Hal ini penting sekali untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi. 78 Table 1. Penyebab kelemahan yang akut pada penderita yang sebelumnya sehat1 Sel kornu anterior : Poliomyelitis/ enterovirus yang lain Motor Neuron Disease (MND) (subakut) Saraf perifer : AIDP (Sindroma Guillain Barre) Paralisis oleh gigitan serangga Difteri Intoksikasi logam berat Paut saraf – otot : Miastenia gravis Miastenia yang disebabkan oleh obat-obatan Eaton Lambert (myasthenic) syndrome (ELS) Botulism Keracunan organofosfat Otot : Poliomyelitis Paralysis periodic (PP) Miopati toksik Mioglobinuri/ rabdomiolisis Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) Kelemahan akut akibat gangguan saraf perifer Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP atau Guillan Barre Syndrome/ GBS) mengenai kira-kira 0.75-2.00% per 100.000 penduduk setahun. Semua golongan umur di berbagai daerah geografis rentan terhadap terjadinya serangan system imun pada selaput myelin perifer yang tidak bersifat keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu autoreactive limfosit T yang spesifik untuk antigen dan antibody myelin, dan juga untuk berbagai macam glikoprotein dan glikolipid. Biasanya ada suatu infeksi pada saluran nafas atau gastrointestinal yang mendahuluinya, juga bisa terjadi setelah imunisasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya AIDP yang menjadi pencetus terjadinya penyakit ini. Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah Campylobacter jejuni, dan pada beberapa pasien ini bisa didefinisikan sebagai suatu subgroup yang berbeda secara klinis dan merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat. 79 Table 2. Keadaan emergensi pada penderita penyakit neuromuskulaer yang diketahui1 Kegagalan respiratorik atau disfungsi bulber Gangguan neuromuskuler yang reversible : Miastenia gravis AIDP Poliomiositis Gangguan neuromuskuler yang irreversible : Motor Neuron Disease (MND) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) Spinal muscular atrophies (SMA) Distrofi muskuler Duchenne’s/ Becker’s (X-linked) Miotonik Gelang bahu/ gelang panggul Defisiensi asam maltase Defisiensi karnitin Komplikasi pada jantung : Gangguan konduksi Distrofi miotonik Polimiositis Sindroma Kearns-Sayre Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss Disfungsi otonomik AIDP Gangguan elektrolit Paralysis periodik Yang khas pada AIDP adalah bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relative simetris yang mengenai otot-otot bagian distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernafasan bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah yang fluktuatif. Seringkali, mula-mula pasien mengeluh nyeri pada otot-otot disertai “cramps”, dan dapat terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus. Paresis n. facialis bisa terjadi pada 50% pasien. 80 Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan otot-otot yang dipersarafi saraf cranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi (Tabel 3). Table 3 Pertimbangan adanya emergensi pada AIDP Klinik Arefleksia/ atau refleks yang menurun sekali Kelemahan yang relative simetris dan progresif Pemeriksaan straight leg raising ynag positif Gangguan sensorik obyektif yang minimal Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi Laboratoris CSF dengan peningkatan protein disertai sel kurang dari 10 (mononuclear) (disosiasi sito-albuminik) EMG dengan F-wave yang memanjang KHS/ NCV yang menurun atau Adanya conduction block Pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV Penatalaksanaan Rawat di rumah sakit Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu monitor aritmia kardial dan hipotensi Tetapkan progresivitas penyakit Berikan dorongan/ support yang adekuat dengan perawawtan kulit dan respiratory toilet Infeksi yang rekuren harus diobati Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk melihat peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleiositosis. Walaupun disosiasi sitoalbuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil likuor yang normal pada 72 - 96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = Nerve Conduction Velocity/ NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam mengkonfirmasi diagnosa AIDP. Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau disperse temporal, dan gelombang F (Fwave) yang hilang atau memanjang. 81 Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi. Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95% kasus adalah monofasik dengan kelemahan yang progresif selama 4-6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateau in strength), lalu perlahan-lahan mengalami perbaikan. Derajat kelemahan sangat bervariasi, dimana sekitar ¼ dari jumlah pasien memerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya digunakan bila kapasitas vital menurun kurang dari 800 ml. Karena sistim otonom umumnya terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya. Prognosis untuk penyembuhan sangat baik, lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan tanpa meninggalkan defisit yang bermakna, namun pada 3-5% pasien bisa berkembang menjadi kronis (CIDP = Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy) atau gejala-gejala berulang (CRPN = Chronic Recurrent Polyneuropathy). Alat untuk menentukan prognosa yang paling bermakna dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan dengan adanya Low Amplitude Compound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV). Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresivitas penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otototot pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmaferesis atau immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200-250 ml/ kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada AIDP, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. Suatu tim The Dutch Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg (0.4 g/kg selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pengobatan IVIg disbanding plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak 82 selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange sehingga hanya salah satu saja terapi yang direkomendasikan. Kelemahan akut akibat kerusakan paut saraf (Neuromuscular Junction) Myastehenia gravis adalah suatu gangguan pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang biasanya menyebabkan suatu kelemahan yang subakut dan fluktuatif tanpa gejala-gejala gangguan sensorik. Terdapat antibody terhadap reseptor asetilkolin (Acethylcholine receptor Antibody = AChR Ab) yang menyebabkan terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) Karena mencegah asetilkolin menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi. Peningkatan titer AChR Ab terlihat pada 90% penderita Myasthenia gravis yang umum (generalized) tapi dalam evaluasi kasus-kasus kegawatdaruratan kegunaannya terbatas karena waktu dan hasil pemeriksaan yang lama. Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitive dengan frekuensi 3/detik pada suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan amplitude CMAP yang melebihi 10% adalah positif. Kekuatan (dan amplitude CMAP) seharusnya mengalami perbaikan yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon) iv. (Edrofonium adalah suatu inhibitor asetilkholinesterase yang secara transient membuat lebih banyak asetilkolin tersedia untuk menstimulasi reseptor post-sinaps). Umumnya gejala Myasthenia gravis adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai ptosis. Selain disfungsi ocular, yang terjadi pada lebih banyak dari 80% pada penderita yang menderita myasthenia gravis, dapat terjadi juga gangguan mengunyah, berbicara dan menelan, kelemahan otot-otot leher serta otot-otot proksimal. Jarang terjadi disfungsi bulbar yang bisa menyebabkan suatu dyspnoe atau suatu pneumonia aspirasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita usia 15 - 30 tahun dan pria > 40 tahun. Bisa ditegakkan diagnosa bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya fatique. Pada pemeriksaan penderita dengan gejala-gejala ocular, pasien disuruh melihat ke atas terus selama 1 menit (persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan terjadinya ptosis yang progresif. Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor kholinesterase. Bila keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique), suatu 83 pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan menyebabkan kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks tetap ada pada pasien dengan Myasthenia gravis (Tabel 4). Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency, tapi interpretasi secara subjektif dari suatu respon ringan sampai sedang dapat mengarah ke suatu misdiagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon, di observasi efek kholinergik yang tidak dikehendaki (takikardi, sinkop) disusul dengan pemberian 8 mg untuk mengobservasi perbaikan klinis. Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu yang normal. Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AChR Ab) dan aminogikosid akan berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan tertentu juga dapat memperberat gejala-gejala myasthenia gravis (Tabel 5). Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre eklamsi atau eklamsi terutamaa bisa mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan bisa mengakibatkan perburukan klinis yang mendadak. Penatalaksanaan myasthenia gravis pada penderita yang baru di diagnosa sebagai myasthenia gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya. Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya aspirasi bila fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian piridostigmin (Mestinon) dosis rendah, 30-60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi perbaikan simptomatik, sambil mengevaluasi secara keseluruhan. Diperlukan suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation), mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu timoma dan persiapan timektomi dan juga tes fungsi tiroid. Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek timoma dan memberikan keuntungan/ benefit pada semua penderita miastenia yang sedang dan berat. Timektomi sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency. Imunosupresan dengan prednisone atau azatioprin, atau dua-duanya efektif pada penyakit autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah secara alternating, peningkatan dosis prednisone perlahan-lahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi pada 10 hari pertama 84 akibat efek steroid-induced blockade. Azathioprin lebih baik diberikan pada penderita yang berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek samping steroid, atau terdapat suatu kontraindikasi terhadap penggunaan steroid. Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi, banyak penderita akhirnya tidak perlu melanjutkan terapi dengan pyridostigmin. Penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang terlalu lama dengan dosis tinggi, pyridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps (dowm regulation) yang membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh pyridostigmin tidak efektif lagi. Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang cepat dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan plasmaferesis atau IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah menguntungkan. Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang memburuk sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang mempresipitasi seperti suatu infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid atau pemberian obat-obat yang menyebabkan terjadinya neuromuscular blocking (Tabel 4-5). Krisis miastenia yang terjadi pada penderita yang diketahui menderita penyakit miastenia ditandai dengan adanya kelemahan yang akut dan progresif yang jika tidak diobati, menghasilkan suatu kuadriparesis, disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan kegagalan ventilasi. Sebelum ditemukannya terapi imunosupresan, krisis kholinergik sekunder sebagai akibat dari overdosis pemberian inhibitor kholinesterase dan juga depolarisasi dari motor end plate merupakan penjelasan yang lain mengapa terjadi perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan pengobatan yang beragam akhirakhir ini, krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya, seperti diare, kejang perut, keringat dan salvias berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan inhibitor kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropine untuk meredakan efek samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satusatunya adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong membedakan apakah suatu kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik; pada krisi miastenik, gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisis kholinergik gejala-gejala menjadi lebih buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan kholinergik. 85 Tabel 4. Pertimbangan emergency pada miastenia gravis. Klinis : Kelemahan yang fluktuatif, ptosis atau diplopia Gejala-gejala yang bilateral Gangguan bulbar (disfagia/ disartri) dengan respons pupil yang normal Kelemahan proksimal lebih dari distal Aktivitas yang terus menerus akan memperberat gejala Refleks dan sensibilitas normal Laboratories : Tes tensilon (edrofonium) yang positif Penurunan amplitude (decrement) pada stimulasi repetitive AchR Ab yang positif Penatalaksanaan akut : Monitoring fungsi pernafasan dan menelan Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan gangguan pada tiroid Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg Tabel 5. Obat-obatan yang memperburuk miastenia gravis. Antibiotika : Neomisin Antikonvulsan : Streptomisin fenitoin Kanamisin Trimetadon Gentamisin Obat-obatan psikotropik Tobramisin Garam litium Polimiksin B Khlorpromasin Kolistiin Hormon : Oksi tetrasiklin Kortikosteroid (pada permulaan) Linkomisin ACTH Klndamisin Hormon tiroid Obat-obatan antireumatik : Obat-obatan lain : d-penisilamin Garam magnesium khloroquin Narkotika Obat-obatan kardiovaskuler : Barbiturat Lidokain Kinin Kuinidin Prokainamid Propanolol Oksprenolol 86 Plasma exchange (55 ml/ kg/ hr selama 5 hari) adalah pilihan terapi untuk pengobatan kelemahan yang membahayakan hidup. Perbaikan biasanya tampak pada pemberian ke-3 dan seharusnya menetap dalam 2-4 minggu. Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang menguntungkan dalam pengobatan krisis miastenik dibandingkan dengan plasmaferesis, namun penyelidikan-penyelidikan yang lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan isu tersebut. Dosis tinggi kortikosteroid (prednisone, 40-60 mg/ hr) atau Azatioprine (2-4 mg/kg/hr), atau dua-duany diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari suatu krisis yang berulang bila efek perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang. Gejala dari Botulism secara superficial bisa menyerupai myasthenia gravis. Bagaimanapun, onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala gastrointestinal. Toksin botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membrane presinaptik. Bila dosis toksin rendah, akan terjadi suatu kelemahan yang ringan dan disfagia. Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur, nausea dan vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin. Reaksi pupil yang menghilang membantu membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang lain. Bantuan ventilatior untuk otot-otot pernafasan sering kali diperlukan. Serum dan feses seharusnya diperiksa untuk menemukan toksin botulinum dan C.botulinum. sebagai tambahan, makanan yang dicurigai sebagai penyebab seharusnya juga diperiksa. Pada stimulasi repetitive dengan frekuensi 3x/detik, tampak suatu penurunan amplitude (decrement) CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik dengan stimulasi dengan frekuensi cepat 50x/detik mendukung suatu diagnosis botulism. Bila dicurigai suatu botulism, iv infuse 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism (10.000 IU dari setiap antitoksin dalam setiap vial) harus diberikan segera. Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis karena derivat antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin yang mengikat reseptor tapi efektif sebagai antidote terhadap toksin sebelum ia mengikat reseptor tersebut; dengan demikian, gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami perbaikan segera. Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya diberikan, juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar. 87 Kelemahan akut akibat gangguan otot Miopati inflamasi (polimiositis dan dermatomiositis) dapat menghasilkan kelemahan yang nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak di proksimal, termasuk otot-otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai bulan, dan bisa berhubungan dengan disfagia, mialgia, artralgia dan kemerahan pada kulit. Tabel 6 Pertimbangan emergency pada polimiositis1 Klinis : Kelemahan yang proksimal dan non fluktuatif Rash atau penyakit jaringan ikat yang berhubungan Muscle tenderness Refleks seringkali masih ada Laboratories : Peningkatan CK EMG dan biopsy yang abnormal Penatalaksanaan : Evaluasi penyakit autoimun yang berhubungan dan malignancy Terapi imunosupresif Follow-up klinis dan laboratories yang ketat Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (Prednison 50-100mg). Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian makanan secara parenteral, monitoring jantung dan kadang kala alat Bantu pernafasan. Follow-up klinis yang ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK diperlukan untuk menentukan lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan. Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap steroid lebih baik menggunakan imunosupresan yang lain seperti azathioprine, siklofosfamid dan metotreksat. Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan. Komplikasi paru akibat gangguan neuromuskular Pasien-pasien dengan penyakit neuromuscular mempunyai resiko mendapatkan komplikasi paru-paru yang membahayakan hidup pada setiap tingkatan penyakitnya, apakah saat sdar atau sedang tidur. Dokter yang tidak waspada, dan tidak mengenal gejala-gejala non spesifik dari respiratory distress akan terperanjat dan tidak siap bila seorang pasien dengan suatu “kelemahan yang ringan” tiba-tiba berkembang menjadi suatu kegagalan respirasi (respiratory failure). Meskipun beberapa penderita gangguan neuromuscular dengan kegagalan respirasi 88 akan mengalami tanda-tanda klinis dari respiratory distress, termasuk retraksi interkostal dan suprasternal, pernafasan cuping hidung, sianosis, namun ada juga penderita-penderita yang lain, dimana kelemahannya menutupi gejala-gejala tersebut, hanya tampak confused, agitasi, atau penurunan kesadaran (drowsy) atau mungkin mengeluh sakit kepala. Dengan gejala-gejala yang non spesifik ini, semua pasien dengan kelemahan akut seharusnya di monitor di ICU dengan analisis gas darah serial dan tes fungsi paru. Suatu tim medis dan keperawatan yang siap mengantisipasi intubasi tracheal bila terjadi suatu kasus emergency. Penderita dengan penyakit neuromuscular progresif yang kronis, seperti penyakit cornu anterior (Amyotropic Lateral Sclerosis/ ALS, Spinal Muscular Atrophies/ SMA) dan miopati dengan kelainan genetic (Duchene, Becker, miopati pada gelang bahu dan panggul dan distrofi otot miotonik) sering meninggal akibat kegagalan otot-otot respirasi. Pada kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal dan otot-otot pendukung fungsi respirasi dibutuhkan ventilator. Disfungsi bulbar menyebabkan sukar batuk dan meningkatkan resiko terjadinya pneumonia karena aspirasi. Selain itu, gerakan ekstremitas pasien yang terbatas dapat menyebabkan deep venous thrombosis (DVT), dan emboli paru. Pneumonia seringkali tak terlihat pada pasien dengan kelumpuhan dan yang menggunakan kursi roda. Pada penderitapenderita demikian ini yang mempunyai reserve pulmonair yang hanya sedikit, maka suatu infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan kesukaran bernafas menjadi suatu emergency. Imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus sebagai profilaksis dianjurkan untuk semua pasien-pasien ini. Kegagalan pernafasan telah dilaporkan pada berbagai penyakit neuromuskuler seperti distrofi miotonik, miopati congenital, miopati okuler, defisiensi acid maltase dan poliomyelitis, dimana sebetulnya kelemahan tidak begitu berat untuk menyebabkan kegagalan pernafasan tersebut. Respons ventilator yang berkurang terhadap tekanan oksigen yang berkurang atau peninggian tekanan CO2 yang meninggi dianggap sebagai penyebabnya sehingga sebetulnya kekuatan otot untuk bernafas masih ada namun respons khemoreseptor sentral yang kurang. Hiporespons terhadap hipoksemi atau hiperkapnia menerangkan mengapa pada penderita penyakit neuromuskuler terjadi kegagalan pernafasan pada anestesi umum atau sebagai akibat dari obat-obat yang menekan pernafasan. Pada semua penderita penyakit neuromuskuler harus di antisipasi akan terjadinya komplikasi respiratoir dan harus ditindaklanjuti untuk mengembalikannya pada keadaan-keadaan yang 89 reversibel. Rontgen paru-paru harus dibuat untuk menyingkirkan adanya infiltrate paru dan suatu EKG/ elektrokardiogram perlu dibuat untuk mengevaluasi adanya cor-pulmonale dan aritmia kardial. Bila terjadi kegagalan pernafasan yang diakibatkan oleh kelemahan otot pernafasan adalah ireversibel, maka penggunaan ventilator perlu dipertimbangkan dengan pembicaraan terlebih dahulu dengan penderita maupun keluarganya mengenai pembiayaannya. Komplikasi Jantung akibat gangguan neuromuskular Komplikasi jantung pada penyakit neuromuscular termasuk congestive heart failure dan disfungsi pada sistim konduksi, disritmia atau blok jantung. Disfungsi jantung sebagai akibat ketidakstabilan otonom pada AIDP, gangguan kalium pada periodic paralysis dan inflamasi miokard pada miopati inflamasi sudah dijelaskan di bagian depan. Lebih dari 2/3 dari pasien dengan myotonic dystrophy (MYD) mempunyai gambaran EKG yang abnormal, termasuk blok pada konduksi dan aritmia. Kegagalan jantung tidak terlihat hingga akhir dari penyakit ini, tetapi terjadinya sinkop dan kematian mendadak merupakan gambaran adanya suatu blok jantung yang komplit atau takikardi ventrikuler. Perlu dipertimbangkan penggunaan suatu pacemaker bila terdapat gangguan konduksi yang progresif pada EKG serial, dan juga pada sinus bradikardi yang simptomatik. Obat-obatan yang umumnya digunakan pada otot-otot myotonia (quinin, prokainamid, fenitoin) bisa menekan konduksi jantung dan sebaiknya dihindari pada pasien dengan interval konduksi yang memanjang pada gambaran EKGnya. Keterlibatan miokard dapat terjadi pada Duchenne’s muscular dystrophy (DMD) tapi biasanya tidak terdeteksi hingga stadium lanjut. Takiaritmia umumnya terjadi, dan kematian mendadak pernah dilaporkan, namun congestive heart failure biasanya tidak terjadi, mungkin karena aktivitas pada penderita-penderita ini terbatas sekali. Digitalis dapat digunakan dengan keberhasilan terbatas pada pengobatan takiaritmia dan gagal jantung pada DMD. Cor pulmonale kadang-kadang dapat terjadi pada stadium akhir pada berbagai penyakit neuromuskuler yang progresivitasnya lambat (spinal muscular atrophies, distrofi) sebagai akibat dari hipoksia kronik yang tak terdeteksi. Oleh sebab itu, maka oksigen per nasal harus diberikan bila terjadi hipoksia. 90 Daftar Pustaka 1. Foley PA & Ringel SP. Neuromuscular disorders In : “Emergent and Urgent Neurology”, 2 ed., Weiner & Shulman eds, Lippincott Williams & Wilkins, Philladhelphia, 1999, 83-98. 2. Ropper AH. The Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med 1992; 326 : 1130. 3. Hartung HP, Pollard JD, Harvey GK, Toyka KV. Immunopathogenesis and treatment of the Guillain Barre Syndrome. Muscle Nerve 1995; 18 : 137. 4. Gutmann L, Critical Illness Neuropathy and Myopathy. Arch Neurol. 1999; 56 : 527-528. 5. Bolton CF, Gilbert JJ, Hahn AF, Sibbald WJ. Polineuropathy in critically ill patients. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1984; 47 : 1223-1231. 6. Kokontis L and Gutmann Ludwig, “Current Treatment of Neuromuscular Diseases”, Arch Neurol, vol 57, Jul 2000, 939-943. 7. Raine JM. Drug Safety Information. http://www.mca.gov.uk/ourwork/monitorsafequalmed/safetymessages/ceri.pdf2001;August 91 BAB XI CEDERA KRANIOSEREBRAL DAN MEDULLA SPINALIS Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K) CEDERA KRANIOSEREBRAL Pendahuluan Cedera Kranioserebral (CK) ialah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder). Cedera kranioserebral tersering ialah CK tertutup yang sebagian besar disebabkan karena kecelakaan lalu-lintas, terjatuh dari ketinggian, olahraga (tinju) dan lain-lain. Faktor risiko CK yang paling sering ialah; usia muda, minum minuman keras atau obat-obatan, sistem penunjang lalu-lintas yang kurang baik dan sistem pengaman kendaraan tidak ada atau kurang baik. Di Amerika CK penyebab kematian nomor satu pada usia anak-anak dan remaja, diperkirakan tiap tahun ada 1.500.000 kasus CK, dan 230.000 dirawat dan selamat, angka kematian 50.000/tahun, dan lebih dari 90.000 menderita cacat kronis, 10% penderita dari jumlah diatas meninggal sebelum tiba di rumah sakit, CK berat 50% fatal. Di Indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup akibat kekerasan (rudapaksa), karena kecelakaan lalulintas, dan sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya sebanyak 16% membutuhkan tindakan operatif. CK merupakan keadaan yang serius, karena itu setiap dokter dan tenaga medis diharapkan mempunyai ketrampilan dan pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama kepada penderita sebelum ahli saraf tiba di rumah sakit atau melakukan rujukan ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas bedah saraf. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sistem triase bagi penderita CK tergantung pada beratnya cedera dan tersedianya fasilitas yang ada ditempat pertolongan pertama. Untuk CK berat ahli bedah saraf harus dilibatkan sedini mungkin, jika tidak ada fasilitas bedah saraf penderita harus dirujuk ke RS yang ada fasilitas bedah sarafnya. 92 Gejala dan Tanda-tanda Klinis Cedera kranioserebral (CK) akan menyebabkan kerusakan kranioserebral primer dan sekunder. CK primer ialah cedera karioserbral yang timbul pada saat rudapaksa, sedang CK sekunder terjadi setelah rudapaksa akan timbul edema serebri, rusaknya blood brain barrier, nekrosis jaringan, hipertermi, dan lain-lain. Cedera kepala primer dapat menimbulkan kerusakan pada, 1. kulit kepala : laserasi, luka robek atau hematoma. 2. tulang tengkorak : fraktur linier, kompresi atau fraktur basis kranii. fraktur basis kranii – gejala klinisnya didapati; perdarahan telinga (otorrhoe), perdarahan hidung (rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi liang telinga luar. Rhinorrhoe Otorrhoe Poss-auricular ecchymoses (Battle’s sign) Peri-orbital ecchymoses (Raccoon’s sign) 93 post-auricular ecchymoses (Battle’s sign), peri-orbital ecchymoses (Raccoon’s eyes), dan ditemukan cedera saraf kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi basis cranii atau CT scan kepala. 3. wajah : fraktur os nasi, fraktur mandibula atau fraktur multipel. 4. jaringan otak : bisa timbul cedera fokal atau diffus (lihat gambar). a. fokal; pada tempat cedera atau counter coup timbul edema, laserasi, perdarahan atau kontusio, sering pada lobus temporal dan frontal, biasanya multipel mungkin bilateral. b. Diffuse; biasanya DAI (Diffus Axonal Injury) lesi terutama di daerah subcortical. Strich (1961) menyatakan ada hubungan antara koma yang berlangsung lama dan gangguan respon motorik dengan degenerasi DAI. Diffus Axonal Injury (DAI) Lesi fokal : kontusio 5. selaput otak (duramater): akibat cedera kranioserebral dapat timbul perdarahan pada epidural, subdural, ataupun sub-arachnoid. 94 SDH terjadi karena robeknya vena vena jembatan, sinus venosus, duramater atau robeknya arachnoidea, sehingga darah cedera terkumpul diantara Berat ringannya kranioserebral duramater dan arachnoid. Perdarahan epidural terjadi karena robek-nya a. meningea media dengan atau tanpa fraktur os temporalis, 70% perdarahan ter jadi di daerah temporal/parietal. Darah ter kumpul antara duramater-tengkorak. ditentukan berdasarkan penurunan tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran dapat dinilai secara kwalitatif (kompos mentis, apatis, somnolen, soporous, dan koma), dan dengan cara kwantitatif menggunakan skala koma Glasgow (GCS) menilai respon motorik nilai tertinggi 6 nilai terrendah 1, respon verbal nilai tertinggi 5 dan nilai terrendah 1, dan respon visual mempunyai nilai tertinggi 4. dan nilai terrendah 1, jadi nilai GCS tertinggi 15, dan nilai GCS terendah 3. Secara klinis berat ringannya cedera kepala dapat dibagi menjadi (lihat tabel 1) Table 1: Klasifikasi Cedera Kranioserebral No Tipe CK Kriteria 1 Minimal (SHI) GCS = 15, LOC (-), amnesia (-) 2 Ringan (CKR) GCS = 14 atau 15, LOC < 10 menit, amnesia pasca CK < 24 jam, dapat disertai gejala klinik lain; mual, muntah, nyeri kepala atau vertigo. 3 Sedang GCS = 9 – 13, LOC ≥ 10 menit tetapi kurang dari 6 jam, dapat atau tidak ditemukan defisit neurologis fokal, atau amnesia pasca CK < 7 hari . 4 Berat (CKB) GCS = 5 – 8, LOC > 6 jam, defisit neurologi +, ada amnesia pasca CK > hari. 95 5 GCS = 3 – 4, LOC > 6 jam, ditemukan defisit neurologis. Kritis Penatalaksanaan A.Tatalaksana Cedera Kepala dengan kesadaran baik (SKG = 15) yaitu, 1. simple head injury - deficit neurologis (-) - jika ada luka, lakukan perawatan luka - pemeriksaan rontgen hanya atas indikasi - pasien dipulangkan dan keluarga diminta mengobsevasi kesadaran - bila dicurigai adanya kesadaran menurun saat observasi, pasien segera dibawa kembali ke RS 2. kesadaran terganggu sesaat - pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat, pada saat diperiksa pasien sudah sadar kembali. - Buat foto kepala - Lakukan perawatan luka - Pasien dipulangkan, keluarga diminta mengawasi kesadaran - Bila dicurigai adanya penurunan kesadaran, pasien dibawa kembali ke RS B. Tatalaksana CK dengan kesadaran menurun 1. Cedera kranioserebral ringan (GCS 13-15) - perubahan orientasi atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal neurologis. - Lakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala, istirahat baring, mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien, beri terapi simptomatis. - Observasi minimal 24 jam di RS, nilai tanda-tanda ICH apakah ada : b. interval lusid : masa sadar antara siuman dari pingsan setelah kecelakaan dan menurunnya kembali kesadaran. c. tanda-tanda ICH : - sakit kepala, muntah-muntah - kesadaran menurun 96 - gejala lateralisasi : pupil anisokor, reflek patologis (+) - curiga ICH buat CT. Scan Tatalaksana tergantung dari derajat cedera kepala, yaitu : Cedera Kepala Ringan (Komosio Serebri) a. Tirah baring boleh pakai bantal, lamanya disesuaikan dengan keluhan (vertigo, sefalgia), bila tidak ada keluhan boleh mobilisasi. b. Simptomatis : anti vertigo, anti emetik, analgetika. c. Antibiotika jika ada luka. Cedera kranioserebral sedang (GCS 9-12) pada keadaan ini pasien dapat mengalami gangguan kardiopulmoner, urutan penatalaksanaan sebagai berikut; a. periksa dan atasi gangguan jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) b. nilai tingkat kesadaran, pupil, gejala fokal neurologis, dan cedera organ lain. c. bila curiga fraktur leher, pasang collar cervical d. foto kepala/leher, CT. Scan jika curiga ICH e. observasi fungsi vital, kesadaran, pupil dan defisit neurologisnya lainnya Cedera kranioserebral berat (GCS 3-8) pasien biasanya disertai cedera multipel biasanya disertai juga kelainan sistemik pasien sering dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapnia akibat gangguan kardio-pulmonal, urutan tindakan menurut proritas sbb: Resusitasi Jantung Paru dengan tindakan ABC, yaitu; A (Airways) bebaskan jalan nafas, pasang pipa orofaring/endotracheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu, pasang NGT kosongkan lambung untuk mencegah aspirasi muntahan. 97 B (Breathing) gangguan pernafasan dapat disebabkan karena kelainan sentral, atau perifer, yaitu * kelainan sentral; menyebabkan depresi pernafasan yang ditandai dengan pola pernafasan cheynes stoeks, hiperventilasi neurogenik atau ataksik. * kelainan perifer; karena aspirasi, taruma dada, edema paru, emboli paru atau infeksi. Tindakan beri O2, cari dan atasi penyebab, bila perlu pasang ventilator. C (Circulation) hipotensi dapat karena cedera otak, tapi terbanyak karena faktor extrakranial. Hipovolemia biasanya karena perdarahan luar atau ruptura alat dalam, trauma dada disertai dengan tamponade jantung/pneu-motorak, septik syok. D (Disability) setelah resusitasi ABC, lakukan pemeriksaan fisik meliputi; kesadaran, tensi, nadi, bentuk dan frekuensi pernafasan, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit neurologis dan cedera extrakranial. Pemeriksaan penunjang buat foto kepala dan leher foto lain atas indikasi skaning otak dibuat bila ada fraktur tulang kranial pemeriksaan laboratorium darah perifer; Hb, leukosit, Ht, diff count gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine gas darah dan elektrolit hematologist; trombosit, PT, PTT, fibrinoger dan D-dimer untuk deteksi DIC. 98 Tekanan intracranial (TIK), normal 0-15 mmH2O, bila didapatkan peningkatan TIK diatas 20 mmH2O harus diturunkan dengan cara : 1. hiperventilasi 2. terapi diuretic - diuretic osmotic (mannitol 20%), dosis 0,5-1g/KgBB, diberikan dalam waktu 30 menit untuk mencegah rebound diulangi setelah 6 jam dengan dosis 0,250,5g/Kg BB dalam waktu 30 menit, monitor osmolality < 310 mOsm. - Loop diuretic (furosemid) dosis 40mg/hr, iv diberikan bersama-sama mannitol, karena mempunyai efek sinergi & memperpanjang efek osmotic mannitol. 3. posisi tidur bagian kepala ditinggikan 20-30° dengan kepala dan dada pada satu bidang. Cairan dan nutrisi - hari I, cairan NaCl 0.9% atau RL 1500-2000ml - hari II dapat dimulai makan per oral melalui NGT (bising usus positip) beri glucosa 10%, 100 cc/2jam - hari ke-3 diberikan susu dengan dosis spt glukosa - hari ke-4 dst diberikan makanan cair 2000-3000 kalori dengan imbangan sebagai berikut (infus stop) : protien 1,5-2 g/KgBB/hari. Lipid 10-40% dari jumlah kalori/hari Zinc 12 mg/hari Tatalaksana CK dengan kesadaran menurun Terapi kortikosteroid masih kontroversi, kortikosteroid yang terbaru cukup menjanjikan ialah 21-aminosteroid (lazaroid), pemberian kortikosteroid pada cedera kepala berat (CKB) saat ini antara lain dengan : methylprednisolon dosis 3 x 250mg, iv selama 5 hari 99 Neurorestorasi/rehabilitasi Posisi baring dirubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase torak, dan geakan extrimitas secara pasif untuk mencegah pneumonia ortostatik dan dekubitus. a. Terapi khusus : mengatasi peninggian tekanan intracranial berikan manitol 20% hiperventilasi. antibiotika jika perlu misalnya pada luka robek, otorhoe, dll. b. Rehabilitasi : mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah keadaan klinik stabil. latihan otot diberikan bila ada kelumpuhan. terapi wicara bila ada gangguan bicara. terapi okupasi. Daftar Pustaka 1. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In Neurological Emergencies ed. By Hughes R, 3 rd ed, BMJ Books, 2000 2. Teasdale and Jennett B. Management of head injuries. Davis Company, Philadelphia, 1981 3. Zeidman SM, The Role of Surgical Intervention in Management of The Patient with Traumatic Spinal Cord Injury, American Academy of Neurology 2000, 3 PC 004-1 4. Verma A, Neuroprotective issuls in traumatic spinal cord injury, American Academy of Neurology 2000, 3 PC. 004-15 5. National Institute of Neurological Disorders and Stroke Spinal Cord Injury, Emerging Concepts, July 1, 2001 6. Tintinally JE, Keley GD, Stapezynski JS, Emergency Medicine, A Comprehensive study guide 2000, page 1645-1660 100 BAB XII MANAJEMEN NYERI AKUT Dr. Tiara Aninditha, Sp.S Mengapa tentang Nyeri? Pengenalan terhadap nyeri merupakan salah satu tujuan utama pengobatan, oleh karena nyeri termasuk gejala yang penting pada berbagai penyakit dan menyebabkan penderitaan bagi pasien. Begitu banyaknya variasi nyeri dan pasti pernah dialami oleh hampir seluruh orang di dunia, menjadikan nyeri sebagai ‘tanda vital kelima’ yang harus ditinjau secara rutin dalam pemeriksaan fisik sehari-hari. 1 Pada dasarnya, nyeri adalah mekanisme proteksi terhadap rangsangan yang bersifat merusak jaringan, dan nyeri ini akan menghilang segera setelah rangsangan tersebut berakhir dengan bantuan analgesik endogen. Pada keadaan tertentu, nyeri akut harus segera ditangani dengan tepat, oleh karena dapat berlangsung menjadi nyeri kronik akibat sensitisasi di sentral yang justru akan semakin menyulitkan pengobatan dan mengganggu kualitas hidup pasien.1, 2 Berdasarkan durasinya, nyeri terdiri dari nyeri akut jika berlangsung kurang dari 1 bulan dan nyeri kronik jika lebih dari 3 bulan setelah injury. Penyebabnya bisa akibat trauma, pasca operatif, menjelang melahirkan, atau nyeri muskuloskeletal yang menyebabkan rangsangan di reseptor nyeri sehingga disebut nyeri nosiseptif, atau akibat perangsangan langsung di sistem saraf yang disebut nyeri neuropatik.3 Apa yang terjadi? Nyeri didefinisikan sebagai suatu sensasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan atau potensi untuk mengalami kerusakan jaringan. Persepsi nyeri ini baru akan dirasakan oleh penderitanya jika jalur nyeri berlangsung mulai dari stimulus injury atau inflamasi yang merangsang reseptor nyeri ditransmisikan dalam sistem aferen sampai ke korteks sensorik. Transmisi sinyal ini difasilitasi oleh berbagai zat endogen yang dilepaskan saat terjadi kerusakan jaringan. Pada sinaps-sinaps tertentu di sepanjang jalur aferen tersebut terdapat pula mekanisme inhibisi dari pusat berupa pelepasan analgesik endogen. Oleh karena 101 itu, pengetahuan yang baik tentang mekanisme nyeri dan modulasi daerah tertentu di sepanjang jarasnya akan sangat membantu pemilihan terapi nyeri yang tepat dan adekuat. Gambar 1. Jaras transmisi nyeri dan lokasi modulasinya Kerusakan jaringan menyebabkan lepasnya mdiator inflamasi seperti bradikinin, histamin, prostaglandin, dan sebagainya yang menyebabkan Rangsangan pada reseptor nyeri (nosiseptor) menyebabkan transmisi sinyal ke medulla spinalis. Disitu dilepaskan lagi substansi P, kolesistokinin, dan peptida yang bersifat eksitasi yang akan melanjutkan impuls ke talamus lalu berakhir di korteks sensorik sebagai pusat persepsi nyeri. Di otak sendiri, stimulus nyeri diproyeksikan ke daerah batang otak, hal ini yang menyebabkan pemberian nyeri dapat merangsang pusat kesadaran pada pasien dengan penurunan kesadaran. Selain itu, nyeri juga diteruskan ke sistem limbik (pusat emosi dan memori), sehingga nyeri dapat mempengaruhi emosi seseorang dan menyebabkan trauma/ketakutan pada nyeri yang hebat. Namun otak juga mempunyai mekanisme inhibisi dengan mensekresikan analgesik endogen seperti opiat 102 (enkefalin dan dinorfin), serotonin, dan norepinefrin yang dapat menghambat transmisi sinyal di medula spinalis. 4 Oleh karena itu, terapi nyeri dapat dilakukan pada beberapa tempat: 1. Di sekitar lokasi injury, berupa pemberian golongan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) untuk menekan mediator inflamasi yang merangsang reseptor nyeri. Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa salah satu golongan OAINS yang menghambat siklooksigenase – 2 (COX-2 inhibitor) di medula spinalis.1 2. Pemberian opiat oleh karena adanya reseptor opiat di medulla spinalis dan batang otak. 3. Pemberian antikonvulsan untuk menghambat transmisi sinyal sampai ke korteks. 4. Modalitas nonfarmakologis seperti transcutaneus nerve stimulator (TENS) atau akupunktur. 5. Behaviour terapi, memodulasi nyeri melalui upaya psikodinamik. Apa yang harus dilakukan? Nyeri adalah suatu gejala, dari berbagai penyebab. Maka pada prinsipnya, penanganan nyeri harus sekaligus menangani penyebabnya. Seberapa besar analgesik yang harus diberikan bergantung pada beratnya nyeri, yang akan dilaporkan oleh pasien sendiri. Agar lebih obyektif dapat digunakan skala nyeri, antara lain Visual Analog Scale (VAS), sebagai patokan beratnya nyeri dan pemantauan efektivitas obat yang diberikan.5 Ada pedoman nyeri dari WHO dalam menentukan golongan obat sesuai dengan derajat nyeri (WHO stepladder), seperti pada gambar 1. 103 Gambar 2. WHO stepladder Terapi nyeri dimulai dengan OAINS. Sebuah metaanalisis yang membandingkan beberapa analgesik dari golongan AINS dan opiat mendapatkan bahwa OAINS memberikan hasil yang baik. Dapat dimulai dengan paracetamol saja atau dikombinasi dengan OAINS. Namun pertimbangan utama pada nyeri akut adalah ada tidaknya gangguan ginjal dan koagulasi. Pada pasien dengan kelainan jantung atau ginjal sebelumnya, pemberian OAINS dapat menyebabkan gagal ginjal akut (acute renal failure). Selain itu, OAINS menyebabkan pemanjangan waktu perdarahan (bleeding time) yang signifikan hingga 30%, namun biasanya masih dalam batas normal. Hal ini dapat berlangsung selama beberapa hari pada aspirin dan hanya beberapa jam pada non aspirin. Efek samping tersering dari penggunaan OAINS jangka panjang adalah perdarahan lambung, maka yang paling aman adalah Ibuprofen.6 Pada pasien yang masih bisa menelan, pemberian per rektal atau intravena tidak terbukti lebih baik dari pada per oral. Pemberian topikal akan efektif pada nyeri akibat cedera muskuloskeletal akut. Golongan obat yang utama menangani nyeri yang berat adalah opioid. Pemberian morfin intravena (IV) secara intermiten sangat efektif untuk nyeri akut. Namun pemakaiannya sering tidak adekuat akibat adanya paradigma yang salah dan kekhawatiran akan adiksi dan depresi napas. Adiksi tidak akan terjadi pada pemberian jangka pendek. Suatu systematic review pada 11.000 pasien yang diberikan morfin untuk nyeri akut, setelah setahun kemudian hanya 4 orang yang mengalami adiksi (0,04%). Depresi napas dapat terjadi pada pemberian opioid untuk 104 orang yang tidak nyeri atau dosis opioid yang lebih besar dari pada yang dibutuhkan. Oleh karena itu, prinsip utama adalah peningkatan dosis secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dengan efek samping yang paling minimal. Sangat dianjurkan juga hanya 1 jenis agar dapat dinilai dosis dan efeknya, serta tidak ada jeda waktu dengan waktu pemberian yang seharusnya. Jika pasien masih mengeluh nyeri setelah pemberian 1 jenis opioid dan diyakini sudah diabsorbsi dengan baik, maka dapat ditambah lagi jenis yang sama dengan dosis yang lebih kecil dalam waktu 5 menit setelah pemberian IV, 1 jam setelah intramuskular atau subkutan, atau 90 menit setelah pemberian oral. Jika dosis kedua masih belum efektif, maka prosesnya dapat diulang atau ubah cara pemberian untuk mendapatkan kontrol yang lebih cepat. Pemberian obat lepas lambat, oral, atau transdermal tidak disarankan pada nyeri akut, oleh karena perlambatan onset dan perbaikannya justru akan memberikan hasil yang lebih buruk. Pilihan utama opioid adalah morfin. Namun morfin dan turunannya (diamorfin dan codein) mempunyai metabolit aktif, sehingga pada pasien dengan gangguan ginjal dapat terjadi akumulasi metabolit yang justru lebih aktif dari pada morfin itu sendiri sehingga efeknya berlebihan. Golongan opioid tidak disarankan tunggal pada nyeri neuropatik dan nyeri kronik. Golongan ini menyebabkan toleransi sehingga perlu dosis yang semakin tinggi, dengan efek samping dapat berupa sedasi, mual, muntah, konstipasi, atau depresi napas. Dengan adanya mekanisme nyeri yang berbeda, diperlukan kombinasi dengan golongan lain untuk mendapatkan efek analgesik yang lebih kuat serta efek samping yang minimal.7 Pemberian antikonvulsan telah terbukti efektif dapat mengurangi dosis opioid, terutama pada nyeri neuropatik, seperti gabapentin, pregabalin, karbamazepin, dan levetiracetam. Golongan antidepresan trisiklik juga digunakan untuk meningkatkan kadar serotonin sebagai analgesik endogen serta efek depresi akibat nyeri.4, 7 Analgesik intervensi dapat berupa inhalasi Nitrous Oxyde (NO) pada kasus obstetrik dan pembersihan luka (wound dressing), kortikosteroid untuk mengurangi edema akibat tumor dan nyeri pasca operasi daerah kepala dan leher, serta ketamin dan klonidin pada nyeri dalam keadaan gawat darurat (emergency analgesia). 105 Analgesia lokal dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri secara total dengan menghambat transmisi nyeri yag terlokalisir tanpa menimbulkan efek samping sistemik, seperti blok pada pleksus atau saraf perifer untuk nyeri operasi atau trauma daerah tungkai, serta analgesia epidural atau intratekal pada operasi besar (torakoabdominal atau tungkai). TENS, akupunktur, dan terapi perilaku terutama pada nyeri kronik, tidak terlalu berperan pada nyeri akut. Kesimpulan Penanganan nyeri akut harus dilakukan dengan segera. Pemilihan tatalaksana yang tidak tepat tidak hanya akan membuat pasien menderita, namun akan berlanjut menjadi nyeri kronik yang lebih mengganggu kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pemahaman mekanisme nyeri dan modulasi yang dapat dilakukan di sepanjang jaras nyeri akan sangat membantu manajemen yang lebih baik. Daftar Pustaka 1. Katz WA. Cyclooxygenase-2–selective inhibitors in the management of acute and perioperative pain. Cleveland Clin J of Med. 2002;69. 2. Bingel U TI. Imaging CNS Modulation of Pain in Humans. Physiology. 2008;23:371-80. 3. Raj PP. Pain Mechanism. In: Raj PP, editor. Pain medicine, a comprehensive review. St. Louis: Mosby Company; 1996. 4. Carns P GK, Jablonski K, Raymond J, Chick K, et.el. Assessment and Management of Acute Pain. http://wwwicsiorg. 2008. 5. McQuay HJ PK, Derry S, Moore RA. Acute pain: combination treatments and how we measure their efficacy. British J of Anaesthesia. 2008;101(1):69-76. 6. Unknown. Acute Pain. Available from: http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/painres/acpnconc/ac. 7. Eckhardt K AS, Hofmann U, Riebe A, Gugeler N, et.al. Gabapentin Enhances the Analgesic Effect of Morphine in Healthy Volunteers. Anesth Analg. 2000;91(185-91). 106