Penelitian Infus S-Ketamin Dosis Rendah Sebagai Terapi Nyeri Preventif Untuk Sectio Sesaria dengan Anestesi Spinal: Manfaat Dan Efek Samping A Study of Low-dose S-Ketamine Infusion as “Preventive” Pain Treatment for Cesarean Section with Spinal Anesthesia: Benefits and Side Effects Latar belakang : Penurunan pada pusat sensitasi dengan obat NMDA-active seperti SKetamine memiliki peran dalam meredakan nyeri post operasi dan pencegahan nyeri neuropatic. Namun, selama operasi sectio cesarean dengan neuraxial block, S-Ketamine mungkin mempunyai efek merugikan untuk ibu dan anak, termasuk menyusui. Metode : Wanita yang dilakukan operasi sectio cesaren dengan anestesi subarachnoid (hyperbaric bupivacain 8-10 mg dan sulfentanil 5 g) penelitian dilakukan dengan metode double-blind, dan diacak. Kelompok pasien S-Ketamine (N=28) medapat midazolam i.v 0.02 mg/kg dan S-Ketamine i.m 0.5 mg/kg bolus 10 menit setelah bayi lahir diikuti dengan 2g/kg/menit i.v dilanjutkan infus selama 12 jam. Kelompok kontrol (N=28) dengan placebo. Parecetamol dan pasien yang dikontrol dengan analgesik dengan morfin intravena diberikan setelah operasi. Filamen Von Frey digunakan untuk menilai ambang batas nyeri pada lengan bagian dalam dan dermatom T10-T11 (area hyperalgesi). Hasil : S-Ketamine mengurangi konsumsi morfin pada jam ke 4-8, 8-12, dan 12-24 setelah pembedahan (total 31%), bahkan setelah efeknya terhenti, menunjukan reaksi antihyperalgesic. Efek samping ringan diamati pada kelompok S-Ketemine 1 jam setelah bayi lahir. Semua efek samping yang dinilai tidak ada efek samping yang serius. Ambang batas nyeri menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antar kelompok. Pasien dengan pemberian S-Ketamine menunjukkan berkurangnya sensitivitas nyeri pada dermatom T10, yang dicetuskan oleh kerusakan bedah. Setelah tiga tahun, pasien melaporkan tidak ada sisa nyeri, gejala dysesthetic, atau lama menyusui. Kesimpulan : pencegahan dengan S-Ketemine infus 12 jam aman dan mempunyai efek antihyperalgesic setelah sectio cesarean. Key words : Ketamine - Sectio cesarean - Anesthesia, Nyeri spinal, Post operasi Hyperalgesia. Nyeri persisten setelah operasi diakui menjadi masalah kesehatan umum dengan kejadian berkisar antara 10% sampai 80% tergantung pada prosedur bedah, dan antara 5,9% dan 18% setelah operasi caesar, yang merupakan salah satu prosedur bedah yang paling umum di dunia. Kurangnya pengawasan nyeri pasca operasi dapat berkontribusi pada nyeri persisten. Hal ini diketahui bahwa kerusakan jaringan dapat memicu perubahan dari rangsangan berbahaya sehingga persepsi nyeri tetap ada bahkan setelah penghentian rangsangan nosiseptif. Hal ini disebut sebagai sensitisasi pusat dan merupakan mekanisme amplifikasi nyeri persepsi. Rentetan rangsangan berbahaya yang efektif melalui obat anestesi regional dan pemberian obat perioperatif dari analgesik dan anti-hyperalgesic memainkan peran penting dalam pelemahan dari sensitisasi sentral dan pencegahan nyeri neuropatik. Karena peran sentral yang dimainkan oleh reseptor NMDA di sensitisasi sentral, NMDA antagonis ketamin dan S-ketamin dapat berguna untuk analgesik dan antihyperalgesic. Dalam banyak uji isomer ketamine menunjukkan dapat mengurangi konsumsi analgesik bila digunakan sebagai adjuvant untuk pengobatan nyeri pasca operasi melalui berbagai cara pemberian, terutama pada pasien dalam anestesi umum. Informasi yang terbatas tentang isomer ketamine dalam penggunaanya untuk wanita yang menjalani operasi caesar dengan blok neuraksial, khususnya ketika mereka diberikan tidak hanya sebagai preemptive (sebelum operasi), tetapi sebagai terapi pencegahan (perioperatif). Khasiat obat ini dalam konteks ini perlu diteliti lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji manfaat dan efek samping dari pemberian preventif SKetamine dosis rendah di operasi caesar dengan blok neuraksial, serta pengaruhnya terhadap menyusui, dan nyeri menetap setelahnya. Bahan dan metode Subyek Dengan persetujuan Komite Etik rumah sakit dan persetujuan tertulis dari peserta penelitian, 56 perempuan dijadwalkan untuk operasi caesar berulang elektif dengan anestesi subarachnoid yang terdaftar dalam peneltiian yang double-blind, dan acak. Kriteria eksklusi adalah: usia <18 tahun atau> 40 tahun, status ASA III-IV, terdepat penyakit neurologi atau kejiwaan sebelumnya, kehamilan patologis, usia kehamilan <37 minggu, dan kesulitan dalam kerja sama antara dokter dan pasien. Kami juga tidak memasukkan pasien dengan riwayat nyeri kronis, dengan asumsi kecanduan NSAID atau opioid atau opioid. Mengingat pengalaman sebelumnya menghitung bahwa 23 pasien per kelompok akan diperlukan untuk mendeteksi penurunan 25% dalam rata-rata 24 jam konsumsi morfin, dengan asumsi alpha = 5% dan kesalahan beta = 20%. Dengan penggunaan tabel pengacakan yang dihasilkan komputer, 28 pasien per kelompok yang terdaftar dikeluarkan dalam penelitian. Prosedur pra operasi dan intraoperatif Tiga puluh menit sebelum masuk ruang operasi, semua pasien menerima normal saline 1000 ml melalui kanula intravena dan antibiotik profilaksis. Tusukan tulang belakang dilakukan dalam posisi duduk di L3-L4 atau sela L4-L5 dengan jarum spinal Whitacre 25gauge. Teknik steril dilakukan dan 2% lidokain 3-5 mL digunakan untuk anestesi lokal. Blok subarachnoid dilakukan dengan 0,5% bupivacaine hiperbarik 8-10 mg dan sufentanil 5 ug. Pasien kemudian ditempatkan dalam posisi terlentang dengan 15 derajat miring uterus kiri. Penyebaran blok sensorik dinilai dengan tusukan jarum setiap menit setelah blok hingga mencapai dermatom T4 dan blok motorik dievaluasi menurut skala Bromage. Tekanan arteri sistolik dan diastolik non-invasif ibu dicatat setiap tiga menit dan denyut jantung dan saturasi oksigen perifer (SpO2) dipantau terus-menerus sepanjang operasi. Enam puluh persen oksigen diberikan melalui masker hidung sampai kelahiran dan setelah kelahiran apabila SpO2 <90%. Efedrin 5 mg diberikan apabila tekanan sistolik <100 mmHg atau tekanan diastolik <60 mmHg dan atropin 0,04 mg iv apabila denyut jantung ibu <50 bpm. Segera setelah penjepitan tali pusat, diberikan infus oksitosin 20 UI dalam500 mL infus larutan glukosa 5% dimulai pada tingkat 100 mL / jam. Seseorang yang tidak terlibat dalam penelitian ini diberikan 50 mL jarum suntik yang mengandung obat penelitian, baik S-Ketamine diencerkan dengan 1 mg / mL atau normal saline. Pasien dalam kelompok S-Ketamine menerima 0,5 mg / kg im. S-Ketamine bolus 10 menit setelah lahir diikuti oleh 2 mg / kg / menit iv dilanjutkan dalam infus selama 12 jam melalui pompa infusional (Fresenius Kabi AG Bad Homburg, Jerman). Pasien dalam kelompok kontrol menerima plasebo dengan cara yang sama. Pada semua pasien midazolam 0,02 mg / kg iv diberikan sebelum im bolus. Obat dosis studi dihitung menggunakan berat badan pada jangka dikurangi 41% dari peningkatan Ponderal. Dosis untuk S-Ketamine infus dihitung dengan menggunakan variabel farmakokinetik untuk mencapai konsentrasi plasma secara teoritis 150 mg / mL intraoperatif 19 dan 60mg / mL pasca operasi. Konsentrasi ini berada di kisaran untuk mengurangi hiperalgesia ddan menimbulkan efek samping yang minimal. Ketika terdapat mual dan muntah setelah lahir dan pada periode pasca operasi diberikan dengan ondansetron iv 8 mg. Analgesia pascaoperasi Segera setelah operasi pasien yang terhubung dengan analgesia yang dikontrol pasien (PCA) perangkat ini diatur untuk memberikan 1 mg morfin sebagai bolus intravena dengan mengunci keluarnya dalam interval 8-min dan volume maksimal yang diizinkan 30 mg / 4 jam. Infus kontinu tidak diizinkan. PCA dilanjutkan selama 24 jam setelah operasi. Setelah ini, parasetamol oral 4 g / hari dan Ketorolac 30-90 mg / hari diberikan untuk nyeri sesuai dengan kebutuhan pasien. Pengukuran dan penilaian nyeri Karakteristik demografi pasien (usia, berat badan, tinggi badan, usia kehamilan), durasi operasi, tekanan darah (BP) dan denyut jantung (HR) selama operasi pada interval berikut dicatat (waktu basal, sayatan bedah, 20 menit setelah sayatan, akhir prosedur). Waktu untuk pemberian analgesia pertama dicatat. Pada 4, 8, 12, dan 24 jam dari operasi parameter berikut dikumpulkan: - Nyeri saat istirahat dan selama batuk menggunakan skala analog visual untuk nyeri - 100-mm (VAS) (0 = tidak ada rasa sakit untuk 10 = nyeri terburuk); Efek samping yang merugikan termasuk mengantuk, diplopia, nistagmus, pusing, pusing ringan, bermimpi, halusinasi, disforia negatif dan positif, mual, muntah, - pruritus (dinilai oleh pasien 0-3: 0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat); Sedasi menggunakan Skala Ramsay Sedasi; Konsumsi morfin kumulatif; Terjadinya peristiwa serius yang merugikan, seperti yang didefinisikan: kegagalan respirator membutuhkan pemberian oksigen atau ventilator, ketidakstabilan hemodinamik berat (TD <80 mmHg, HR <45 kali/min atau henti jantung), gangguan neurologis berat (kejang, koma). Kriteria Von Frey digunakan untuk menilai ambang batas rasa sakit untuk rangsangan statis mekanik. Dua tempat yang dianalisis: area 2 cm 2 pada lengan bagian dalam (tempat FA: C6-C7 dermatom, ada seharusnya daerah hiperalgesik), dan area 2 cm 2 pada baris umbilikal garis pubis, 5 cm di bawah umbilikus (situs T10: T10 dermatom -T11, yang seharusnya daerah hyperalgesic). Kriteria yang diterapkan pada daerah yang dipilih untuk sekitar 1 s, diterapkan hanya dengan stimulus tekanan tanpa menggosok kulit. Kriteria Von Frey yang diterapkan dari tipis ke tebal (0,057-0,178 g / mm 2), masingmasing untuk tiga kali, yang dipisahkan oleh 30 detik untuk mengurangi kemungkinan respon antisipatif. Pasien diinstruksikan untuk menggambarkan setiap sensasi dengan cara berikut: tidak ada sentuhan (skor 1), sentuhan ringan (skor 2), sentuhan kuat (skor 3), sentuhan tajam dengan tidak ada rasa sakit (skor 4), tusukan ringan (skor 5), tusukan kuat (skor 6). Rata-rata dari tiga kali penentuan kemudian dihitung. Kekuatan pertama (g/mm2) yang cukup untuk memperoleh rasa sakit (berarti skor 5) adalah nyeri taktil . Pengukuran dilakukan sebelum operasi (waktu basal) dan pada 4, 12, dan 24 jam setelah operasi. Untuk mengurangi pengaruh variabilitas intra-individu dan antar-individu dalam persepsi rasa sakit dan memaksimalkan sensitivitas studi, metodologi berikut diadopsi. Pada setiap waktu, ambang batas rasa sakit di FA dan T10 dibandingkan pada setiap pasien dan perubahannya mereka disebut FA-T10. Dalam setiap pasien, FA-T10 diperoleh pada 4, 12, dan 24 jam setelah operasi dibandingkan dengan FA-T10 pada saat basal. Perbedaan masingmasing disebut Δ4, Δ12, dan Δ24 (yaitu Δ4 = [FA-T10] 4h- [FA-T10] basal). Nilai Δ positif menunjukkan peningkatan relatif dalam sensitivitas nyeri di tempat T10 masing masing ke FA. Nilai Δ negatif menunjukkan penurunan relatif dalam sensitivitas nyeri pada T10 masing masing ke FA. Nilai Δ dibandingkan antara pasien yang diobati Ketamine dan kontrol. Insiden nyeri sisa pasca operasi dievaluasi pada bulan ke 6 dan 36 setelah operasi menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Apakah Anda merasa sakit di daerah bekas luka? Apakah Anda minum obat untuk mengurangi itu? Apakah Anda memiliki sensasi dari daerah bekas luka (gatal, terbakar, sensitivitas, dll)? 2) Apakah Anda merasa sakit di tempat lain? Jika ya: di mana? Apakah Anda menerima analgesik? 3) Manifestasi lain yang tidak menyenangkan yang anda alami sejak operasi Anda? 4) Berapa lama Anda menyusui anak Anda? 5) Berapa lama Anda menyusui setelah operasi caesar sebelumnya? Apa jenis anestesi yang Anda terima saat itu? Pertanyaan ini diberikan oleh peneliti melalui telepon dan dipastikan melalui surat. Analisis Statistik Uji T untuk data kontinu dengan metode Satterthwaite untuk kesetaraan varians diaplikasikan untuk membandingkan kelompok untuk konsumsi morfin pada 24 jam pertama dan di 12 jam kedua dan untuk durasi menyusui. Kelompok dibandingkan dengan uji T untuk variabel demografis, waktu untuk permintaan morfin bolus pertama, basal FA-T10, Δ4, Δ12, dan Δ24. Uji chi square digunakan untuk analisis efek samping. Pengukuran beruulang juga digunakan untuk menggambarkan konsumsi morfin dalam kaitannya dengan waktu dan diameter Von Frey, menggunakan model MANOVA dengan empat indeks klasik (Wilks, Pillai, Hotelling, dan Roy) untuk menghitung F dengan Fischer untuk digunakan sebagai evaluasi. Sebuah analisis logistik digunakan untuk membandingkan kelompok untuk data tindak lanjut. Hasil Tidak ada perbedaan dalam kelompok demografi pasien (usia, berat badan, jumlah kehamilan, dan jumlah bagian sesar sebelumnya) (Tabel I). Kebetulan, kami menemukan sedikit perbedaan signifikan di usia kehamilan (P = 0,004). Tidak ada perbedaan hemodinamik antara kelompok setelah diamati keseluruhan prosedur. Skor VAS saat istirahat dan selama batuk secara statistik tidak berbeda di kelompok pasien S-ketamin dan kontrol pada interval apapun. Tidak ada perbedaan antara kelompok-kelompok yang berkaitan dengan penggunaan obat lain (ondansetron, parasetamol, ketorolac). Konsumsi morfin berkurang secara signifikan pada kelompok S-Ketamine di 4-8, 8-12, dan 12-24 jam setelah operasi (Gambar 1). Selain itu, pasien yang diobati S-Ketamine menunjukkan penurunan sekitar 31% total konsumsi morfin (P = 0,0005) (Tabel II). Analisis MANOVA menegaskan bahwa peningkatan konsumsi morfin dikaitkan baik ke waktu (nilai P <0,001) dan tidak adanya paparan S-Ketamine (nilai P = 0,019). Selain itu, waktu untuk pemberian bolus morfin pertama secara signifikan lebih lama pada pasien diobati S-Ketamine (190 menit ± 81,48 SD vs 268 menit ± 158 SD, P = 0,013). Beberapa efek samping yang diamati pada kelompok S-Ketamine dan tidak di kontrol: mengantuk, diplopia, nistagmus, pusing, pusing ringan, dysphoria positif, dan muntah. (P <0,05); bermimpi, dysphoria negatif, halusinasi (P = NS) (Tabel III). Tak satu pun dari tersebut yang dianggap buruk (Peringkat 1). Semua efek samping berjangka waktu pendek dan waktu resolusi kurang dari 1 jam setelah akhir operasi. Pengecualian adalah: 1 pasien dengan diplopia berlangsung 8 jam, 1 pasien dengan pusing yang berlangsung 4 jam, dan 1 pasien dengan muntah 4 jam setelah operasi. Mual dan pruritus diamati pada kedua kelompok tanpa perbedaan yang signifikan (Tael III). Tidak ada efek samping serius yang diamati. Pada 3 tahun follow-up, 13 wanita per kelompok (46%) menyelesaikan survei melalui telepon. Kelompok ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal residu nyeri dan gejala disesthetic lainnya (pruritus, ketegangan, hypoesthesia, lainnya), sindrom nyeri lainnya, memori nyeri pasca operasi yang dirasakan sehubungan dengan operasi caesar lain, atau durasi menyusui (Tabel IV). Pasien yang diobati S-Ketamine menunjukkan nilai Δ negatif dan kelompok kontrol menunjukkan nilai Δ positif pada setiap interval (Gambar 2). Δ4, Δ12, dan Δ24 tidak berbeda signifikan antara kelompok. Diskusi Hasil utama dari penelitian ini adalah bahwa dosis rendah untuk nyeri preventif Sketamin 12 jam infus mengurangi total konsumsi morfin sekitar 31% dan memperpanjang lama waktu untuk permintaan pertama analgesia tanpa efek samping yang berbahaya atau pengaruh terhadap menyusui pada pasien obstetrik yang menjalani operasi caesar dengan anestesi subarachnoid. Dalam penelitian sebelumnya, Ketamine setelah operasi caesar memberi analgesia berkepanjangan dan mengurangi konsumsi analgesik bila diberikan secara intravena segera setelah memulai anestesi spinal dan bukan ketika diberikan secara intravena tetapi dalam hubungan dengan anestesi umum atau intratekal. Jalur sistemik menjadi yang paling efektif untuk pemberian S-Ketamine sebagai adjuvan terapi analgesia perioperatif dan penurunan hyperalgesia. Hal ini bisa disebabkan oleh efek perifer dan supraspinal predominan. Juga, kejadian nyeri terus-menerus setelah operasi caesar ditemukan lebih tinggi dengan anestesi umum daripada dengan anestesi spinal dan pada pasien dengan periode rasa sakit yang parah pasca operasi harus segera dipertimbangkan bahwa sesar dengan anestesi umum dilakukan untuk kondisi mendesak dan ini dapat dikaitkan dengan skor nyeri yang tinggi, dapat dikatakan bahwa kombinasi dari blok regional dan obat anti-hyperalgesic sistemik (Ketamine) memungkinkan analgesia yang lebih baik dan mengurangi terjadinya rasa sakit terus-menerus, yang bekerja di tingkat perifer dan sentral. Bahkan, jika input berbahaya dihilangkan, mungkin mengaktifkan penundaan dan aktivasi berulang dari neuro pertama dan kedua(oleh kerusakan jaringan dan infammation), yang dapat menggambarkan patofisiologi dasar untuk perubahan rangsangan berbahaya dari sensitisasi perifer dan sentral, masing-masing. Berbeda dari penelitian sebelumnya, di mana ketamin diberikan sebagai dosis tunggal, kita mengadopsi pemberian perioperatif dari S-ketamin dalam rangka untuk lebih mencegah sensitisasi terhadap rasa sakit. Bahkan, baik waktu dan durasi pengobatan analgesik dapat menjadi penting dalam modulasi ini. Sebagai hipersensitivitas nyeri awalnya dipicu oleh mekanisme neurofisiologis karena jejas pada insisi tapi didukung oleh fenomena infammasi, pengobatan ditujukan untuk mencegah sensitisasi tidak hanya mulai sebelum operasi (perawatan pre operatif) tetapi harus mencakup seluruh periode perioperatif (pengobatan pencegahan). Dalam penelitian kami rangsangan nosiseptif yang disebabkan oleh trauma bedah awalnya diblok oleh anestesi spinal. Selain itu, pemberian S-Ketamine sistemik dilakukan untuk mengambil keuntungan dari efek NMDA dan non-NMDA di tempat tempat supraspinal dan perifer. Pemberian S-Ketamine bolus ditunda dahulu setelah melahirkan untuk menghindari paparan janin terhadap obat aktif di sistem saraf pusat. Pengurangan konsumsi morfin menegaskan opioid ini hemat efek ketamin, ekspresi aktivitas analgesik. Efect ini bertahan bahkan setelah S-Ketamine infus telah berhenti dan aksinya dapat dianggap berhenti yaitu, dalam periode 12 jam kedua setelah operasi (Gambar 1). Sebagai S-Ketamine konteks-sensitif dengan waktu paruh kurang dari 2 jam, hal ini mungkin konsisten dengan sifat anti-hyperalgesic obat, bukan efek analgesik aditif sederhana. Dalam rangka untuk mencari S-Ketamine utilitas anti-hyperalgesic, evaluasi ambang nyeri neurofisiologis subjektif dilakukan dengan kriteria Von Frey. Dengan teknik ini, tidak ada perubahannya statistik signifikan antara kelompok yang ditemukan. Namun, dibandingkan dengan kontrol, pasien yang diobati S-Ketamine menunjukkan tren penurunan relatif dalam sensitivitas nyeri pada dermatom T10, yang terlibat oleh kerusakan bedah (Gambar 2). Evaluasi nyeri ambang mudah didapatkan dengan kriteria Von Frey yang subjektif, tetapi metode yang lebih baru, evaluasi ambang pasif dingin-panas seperti, membangkitkan potensi laser, atau membangkitkan potensi dingin-panas (CHEPS) kurang tergantung operator-dan bisa memberikan sensitivitas yang lebih besar dalam menunjukkan variasi fenomena biologis, yang sulit untuk merealisasikan. Pemberian S-Ketamine terjaga ibu bisa meningkatkan kekhawatiran keamanan. Efek samping ringan neurologis yang berhubungan dengan S-Ketamine, sementara ketidaknyamanan akibat mual, pruritus, halusinasi, atau dysphoria negatif tidak lebih sering pada kelompok studi daripada kelompok kontrol. Kami menyimpulkan bahwa tidak ada yang serius (atau sangat tidak nyaman mengancam jiwa) efek samping diamati pada ibu dan bayi baru lahir dengan dosis yang digunakan dalam penelitian ini. Nyeri berikut operasi caesar memiliki beberapa keanehan. Pertama, sebagai operasi caesar adalah salah satu prosedur bedah yang paling umum dilakukan, pengembangan nyeri persisten setelah operasi caesar mungkin mewakili problem. Oleh karena itu, pencegahan yang bisa ktia lakukan adalah perbaikan kesehatan perempuan secara signifikan. Beberapa penelitian yang dilakukan nyeri setelah seksio sesaria ditemukan merupakan masalah seharihari dan berpengaruh signifikan 5,9% dari semua wanita yang menjalani bedah caesar section. Skor nyeri tinggi setelah operasi telah terbukti menjadi faktor risiko independen. Dalam penelitian ini, tindak lanjut evaluasi setelah 36 bulan tidak menunjukkan perubahannya sangat signifikan sakit atau gejala sisa dysesthetic antara pasien kelompok ketamine dan kelompok kontrol. Hal ini sulit untuk menarik kesimpulan karena hanya 46% dari populasi penelitian menjawab kuesioner. Kebergaman kelompok dihitung untuk hasil akhir primer konsumsi morfin yang lebih besar, studi yang tepat terutama dilakukan untuk evaluasi nyeri kronis. Juga, infus ketamine Syang lebih lama (yaitu, 12 sampai 24 atau 48 jam pasca operasi) bisa lebih efektif tetapi dihindari dalam populasi obstetri kami, di mana mobilisasi dini lebih dianjurkan. Aspek paling aneh kedua dari pasien obstetri bahwa paparan dari bayi yang baru lahir untuk obat analgesik terbatas pada fungsional ibu terkait dengan ketidaknyamanan pasca operasi dan rasa sakit atau pengobatannya dapat mengganggu hubungan anak ibu dan menyusui. S-Ketamine yang diinduksi memberikan efek samping kecil tetapi tidak pernah menghasilkan risiko yang signifikan untuk keselamatan pasien atau untuk pemulihan pasca operasi (makan, kesejahteraan global) (Tabel III) juga tidak efek yang dianggap tidak menyenangkan. Paparan S-Ketamine tidak mengurangi kemampuan wanita untuk menyusui atau durasi menyusui, yang sangat penting bagi kesehatan anak dan perkembangannya. Kesimpulan Pemberian S-Ketamine sebagai preventif, melalui bolus i.m. dan i.v. berkelanjutan melalui infus, meningkatkan efek analgesik morfin bahkan setelah efek Ketamine telah berhenti, dan menunjukkan efek anti hyperalgesic dari obat. Pemberian S-Ketamine pada pasien obstetri setelah operasi caesar aman dan tidak mempengaruhi ASI. Manfaat dari S-Ketamine pada pencegahan hiperalgesia pasca operasi masih harus dibuktikan, mungkin melalui studi pada populasi yang lebih besar dengan metode penilaian nyeri dan hiperalgesia.