Timor Leste - Negara termuda dunia tetap berada di bawah

advertisement
Timor Leste –
Negara Termuda Dunia Tetap Dibawah
Pengawasan internasional
Erwin Schweisshelm, FES Jakarta, April 2006
•
•
•
•
•
•
Sejak Mei 2006 kerusuhan dan eskalasi kekerasan mengguncang negara muda
Timor Leste. Khususnya di Dili pemberontakan yang bermula dalam tubuh Militer
merambat jadi perang saudara.
Intervensi kuat pihak asing terutama militer Australia hanya meredam dan namun
tidak menghentikan kerusuhan secara menyeluruh.
Perdana Menteri Alkatiri dituding penanggung jawab atas kerusuhan dan krisis
politik. Alkatiri didesak untuk mengundurkan diri yang digantikan oleh Menteri
Luar Negeri dan penerima hadiah Nobel, Jose Ramos Horta.
Insiden Mei 2006 turut menjatuhkan pamor PBB. PBB sejak 1999 mengelola dan
turut aktif dalam pembangunan negeri yang merdeka sejak Mei 2001. Akibat
konflik, masa tugas Misi PBB UNMIT diperpanjang setengah tahun.
Penyebab konflik tidak dapat dipastikan. Masyarakat umum menjelaskan dengan
pertikaian antara penduduk dari wilayah timur dan barat Timor Leste Penduduk
wilayah barat Timor Leste dikenal dekat dengan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan tercapainya
perdamaian di negara termiskin Asia ini. Pendapatan negara dari hasil bumi
migas yang digarap bersama Australia sangat berpotensi.
Mei 2006, empat tahun setelah kemerdekaannya, ketertiban umum di Timor Leste,
khususnya di ibukota Dili menghadapi cobaan berat akibat eskalasi kekerasan.
Pertikaian internal dalam tubuh militer dan kepolisian beradu dengan aksi anarkis geng
pemuda yang saling bersaing. Eskalasi kekerasan berupa pembakaran rumah,
penjarahan toko bahkan pembunuhan menggunakan senjata tajam, senjata ringan
berpeluru dan katapel kian meluas. Jumlah senjata peluru ringan yang beredar bahkan
terlihat lebih banyak daripada masa perjuangan kemerdekaan.
Demi mengamankan situasi dan menjamin evakuasi penduduk warga negara asing,
pemerintah Timor Leste terdesak untuk minta bantuan dari pasukan keamanan asing.
Jumlah korban meninggal selama insiden diperkirakan mencapai 30 jiwa.
Pemberontakan dalam tubuh militer
merambat ke eskalasi kekerasan
Pemicu insiden dilatarbelakangi oleh
protes 400-an tentara yang mayoritas
berasal dari wilayah barat Timor. Selain
kesan perlakuan tidak adil dalam
penempatan jabatan mereka juga
mempermasalahkan fasilitas kurang
memadai yang diberikan negara pada
1500 tentaranya. Ketidaktanggapan
pemerintah telah mendorong tentara
untuk membelok dari kesatuannya.
Situasi semakin memanas setelah
pertengahan Februari 2006 terjadi
pemecatan terhadap sekitar 600
tentara. Kehadiran Perdana Menteri
Mari Alkatiri serta Presiden Xanana
Gusmao dalam beberapa perundingan
juga tidak berhasil mempertemukan
para pihak yang bertikai.
Aksi protes yang dilakukan akhir April
2006
menjadi
semakin
tidak
terkendalikan,
sehingga
memakan
korban jiwa serta luka-luka. Sementara
polisi kehilangan kendali atas situasi,
arah loyalitas berbagai kelompok
tentara pun semakin tidak jelas. Setelah
20 Mei 2006, hari ulang tahun
kemerdekaan ke-4, berbagai protes
semakin tidak terarah. Pertikaian mulai
merambat ke masyarakat sipil, yaitu
geng pemuda yang melakukan aksi
pembakaran
gedung-gedung
dan
pelemparan batu. Anggota tentara dan
kepolisian terlihat saling baku tembak.
Kekerasan
baru
berakhir
saat
pasukan bantuan dari luar negeri tiba
Pemerintah Timor Leste dibawah
pimpinan Perdana Menteri Mari Alkatiri,
dengan persetujuan dari Presiden
Xanana Gusmao dan Menteri Luar
Negeri
Ramos
Horta,
terdesak
memohon pertolongan internasional.
Terhitung sampai saat ini lebih dari
2000
personil
keamanan
telah
didatangkan. Bantuan satuan keamanan
sebagian besar dari Australia, juga dari
Selandia Baru dan polisi dari Malaysia
dan Portugal. Secara bertahap mereka
berhasil melucuti senjata dari tangan
geng-geng pemuda. Selain katapel
mereka juga menyita ratusan senjata
peluru dan granat.
Protes masyarakat sipil terhadap
kelalaian pemerintah yang didukung
pihak
pemberontak
masih
terus
berlanjut.
Tudingan
sebagai
penanggung jawab semakin kuat
diarahkan ke Perdana Menteri Mari
Alkatiri yang dituntut untuk lepas
jabatan. Pamor Alkatiri, yang berdarah
Jemen dan mewakili kelompok minoritas
Islam di negara itu, semakin jatuh.
Selama masa pendudukan Indonesia,
Alkatiri mendapat suaka politik di
Mozambik, dimana ia terpengaruh
secara politis. Diberitakan pula bahwa
sifat Alkatiri yang dikenal arogan sering
menyinggung perasaan warga Timor.
Alkatiri juga dikabarkan menggunakan
milisi bersenjata untuk menghadang
lawan-lawan politiknya. Menteri dalam
negeri telah ditangkap atas dakwaan
tersebut. Selain itu, Alkatiri juga diduga
telah memberikan lisensi legal kepada
saudara lelakinya untuk mengimpor
senjata.
Akhir krisis politik – Alkatiri undur
jabatan digantikan oleh penerima
Nobel Ramos-Horta
Alkatiri juga dikenal sebagai “Si Keras
Kepala”. Khususnya dalam negosiasi
soal pembagian penghasilan eksplorasi
minyak dengan Australia, Alkatiri dapat
mempertahankan
posisi
menguntungkan Timor Leste dengan
aturan bahwa Timor Leste berhak atas
50% penghasilan minyak. Dukungan
politik dari Partai Fretilin dimana ia
menjabat sekretaris jendral dikenal
sangat
kuat.
Partai
FRETELIN
menduduki mayoritas parlemen dan
tidak setuju untuk melepaskan Alkatiri.
Alkatiri akhirnya mundur saat Presiden
Xanana Gusmao ikut menekannya.
Sebagai tokoh pejuang kemerdekaan
melawan Indonesia dan Portugal serta
ujung tombak perjuangan FRETELIN,
Presiden Gusmao dipercaya penuh oleh
rakyat Timor Leste. Tokoh utama
pejuang kemerdekaaan Gusmao sangat
dikenal dunia internasional khususnya
setelah tahun 1992 ditangkap, diadili
dan dijatuhi hukuman tahanan seumur
hidup di Indonesia. Setelah dibebaskan
tahun 1999 Gusmao aktif mendukung
proses rekonsiliasi dan penyelesaian
konflik. Tahun 2001 Gusmao terpilih
menjadi Presiden Timor Leste.
Tidak lama setelah pengunduran diri
Alkatiri, Menteri Luar Negeri RamosHorta
dikabarkan
akan
menjadi
pengganti, dan nyatanya tanggal 26
Juni 2006 Ramos Horta dilantik menjadi
Perdana Menteri. Langkah ini dipercaya
didahului perundingan sengit dengan
FRETELIN.
Namun Jose Ramos Horta adalah
seorang
figur
pemersatu
yang
dibutuhkan
Timor
Leste
untuk
mengatasi krisis. Berbeda dengan
Alkatiri, beberapa bulan sebelumnya
Ramos Horta melakukan dialog dengan
semua pihak terkait dalam konflik
sehingga menambah pamor penerima
Nobel ini. Ramos Horta sempat
menjabat Menteri Luar Negeri selama
kemerdekaan singkat Timor tahun 1975.
Saat itu ia baru berumur 25 tahun. Pada
masa invasi Indonesia, ia melarikan diri
ke New York dari mana ia menggalang
gerakan perlawanan terhadap invasi
Indonesia. Tahun 1988 Ramos Horta
bersama Xanana Gusmao mendirikan
ikatan
perlawanan
nasional
dan
meninggalkan FRETELIN yang turut ia
dirikan. Setelah kemerdekaan Ramos
Horta terpilih menjadi Menteri Luar
Negeri Timor Leste.
Berbeda dari Mari Alkatiri, pandangan
Ramos Horta lebih dikenal pro-barat.
Hal ini pula menjelaskan dukungan yang
diterima Ramos Horta dari Australia
yang berkepentingan dalam pembagian
hasil minyak di selat Timor. Hal sama
juga berlaku untuk Amerika Serikat.
Kegagalan “Nation Building” oleh
PBB
Insiden Mei 2006 juga berarti kegagalan
PBB. Setelah referendum 1999 PBB
bertugas mengepalai pemerintahan
sementara Timor Leste selama dua
setengah tahun hingga Mai 2002.
Setelah kemerdekaan Timor Leste pun
PBB tetap aktif menyalurkan bantuan
kemanusiaan
serta
pembangunan
teknis di negara muda ini. Batas waktu
kerja misi PBB sampai Mei 2006
terkesan terlalu singkat. Dan peristiwa
kerusuhan Mei tahun ini juga telah
memaksa PBB untuk mempepanjang
misi kerja hingga pertengahan Agustus
2006. Atas usulan Sekjen PBB Kofi
Annan, Dewan Keamanan PBB telah
memutuskan
untuk
mengirimkan
sebuah misi baru, UN Integrated Mision
in Timor Leste (UNMIT), dengan mandat
sementara setengah tahun. Diperkuat
oleh sekitar 1600 polisi dan 350 tentara
UNMIT diharapkan dapat menjamin
keamanan umum, stabilitas politik dan
terutama
mengamankan
Pemilu
Presiden dan Parlemen tahun 2007.
Selain itu juga ada rencana menambah
kerterlibatan PBB di misi kemanusiaan.
Kofi Annan juga telah membentuk
sebuah komisi penyelidik insiden Mei
2006 yang terdiri dari 3 orang dan akan
menyerahkan laporan 7 Oktober 2006.
Besarnya jumlah pasukan asing di
Timor Leste memang telah dapat
meredakan situasi; namun sampai
tulisan ini selesai setiap harinya masih
terjadi pertikaian antar pemuda-pemuda
yang disertai aksi pembakaran rumah.
Sampai hari ini di Timor Leste
diperkirakan sekitar 150.000 pengungsi
tinggal di tenda kamp pengungsian.
Mereka enggan kembali ke rumah yang
telah hancur apalagi sadar bahwa
setidaknya kebutuhan hidup di tempat
pengungsian dijamin oleh PBB.
Alasan terjadinya konflik sulit untuk
dimengerti…
Penyebab terjadinya konflik sulit untuk
dimengerti. Sejumlah besar pengamat
menjelaskan konflik kepentingan politik
antara penduduk wilayah timur dan
barat Timor Leste sebagai penyebab.
Penduduk wilayah barat dituduh pro
Indonesia baik di masa lalu maupun
masa kini. Pada kenyataannya, ada
perbedaan
perlakuan
berdasar
penguasaan bahasa. Orang Timor yang
berbahasa Portugis, yaitu bahasa resmi
Timor Leste, akan lebih diutamakan,
sebaliknya terjadi jika seseorang
dianggap dekat Indonesia. Rumitnya
situasi ini juga ditambah dengan
ketidakjelasan
perihal
kepemilikan
barang dan tanah di Dili yang masih
menjadi
pusat
migrasi
domestik.
Beberapa pengamat asal Jerman juga
melihat adanya masalah etnis yang
lebih berperan daripada masalah
ideologi.
Pendapat
lain
bahkan
sebaliknya
berpendapat
bahwa
perbedaan etnis antara kedua pihak,
barat dan timur, sesungguhnya tidak
ada. Dan juga tidak membenarkan
bahwa pandangan mengenai penduduk
di wilayah barat sebagai kolaborator.
Penjelasan
lain
yang
beredar
mempertanyakan kepentingan Australia.
Tidak luput terlihat bahwa krisis
membuka peluang baru bagi Australia
untuk intervensi. Hal ini jelas terlihat
pada konstelasi kepentingan politik di
Timor Lesta yang pro-barat. Australia
semakin menempatkan dirinya sebagai
pemegang kekuasaan di kawasan
Selatan Pasifik yang mendukung
kebijakan “penempatan tentara diluar
wilayah negara”. Keputusan mengirim
angkatan bersenjata Australia ke Timor
Leste mendukung penjelasan ini.
Australia menyetujui untuk mengirim
130 polisi. Australia dengan dukungan
Amerika Serikat dan Jepang sudah
meyakinkan Dewan Keamanan PBB
untuk
menempatkan
pasukan
keamanan
multinasional
dibawah
komando Australia
di Timor Leste
sampai 25 Oktober 2006. Setelahnya
Kofi Annan akan meninjau ulang
kesepakatan tersebut. Ada dugaan,
mayoritas pasukan Australia setelah
Oktober tidak akan meninggalkan Timor
Leste.
Teori
kedua
lebih
mengedepankan kepentingan PBB.
Teori yang melihat bahwa krisis
didalangi kekuatan-kekuatan di Timor
guna menahan keberadaan PBB di
negara tersebut tidak dapat dianggap
serius karena terkesan dicari-cari.
…namun pembangunan ekonomi
adalah dasar penyelesaian masalah
Mungkin konflik disebabkan oleh alasan
yang lebih mendalam, yaitu situasi
perekonomian. Sampai saat inipun,
Timor Leste termasuk dalam kelompok
negara termiskin di Asia. 45% dari
penduduknya hidup di bawah garis
kemiskinan. Kelaparan terlihat dimanamana. Hanya separuh dari jumlah
penduduknya ada akses ke sumber air
minum, dan sepersepuluhnya punya
akses ke listrik. Siapapun yang kenal
situasi di bekas penjara Comarca di
Balide - kini kantor Komisi Kebenaran
dan Perdamaian - , atau kenal sejarah
pendudukan Indonesia akan mengerti
hasil referendum tahun 1999 yang
mendukung pilihan lepas dari Indonesia.
Disayangkan, membandingkan dengan
masa pendudukan Indonesia, situasi di
ibukota Dili tidak memberikan kesan
bahwa empat tahun kemerdekaan dan
bantuan penuh dari luar negeri telah
menyentuh perbaikan kesejahteraan
masyarakat luas di Timor Leste. Yang
berlaku disini adalah ekonomi negara
pemberi. Di satu sisi kota Dili dibanjiri
supermarket yang lengkap produkproduk mahal bagi ekspatriat dan staf
lokal organisasi internasional. Di sisi lain
sebagian besar penduduk bergantung
hidupnya di sektor ekonomi informal
atau sektor pertanian, yang didukung
hanya seperlima dari pendapatan
negara.
Tidak adanya perkembangan ekonomi
dan kegagalan pemerintah secara politik
maupun
sosial
mungkin
turut
menyebabkan perang saudara di Timor
Leste,
yang
juga
memperjelas
kegagalan program Nation Building oleh
PBB. Keterpurukan perekonomian dan
ketidakadilan sangat mudah memicu
kekerasan. Pelakunya khususnya genggeng pemuda. Sebagian besar pemuda
di Dili menganggur. Tidak ada perspektif
untuk kerja dan berpenghasilan tetap
guna membina keluarga. Tidaklah
mengejutkan jika mereka kemudian
menjadi
pelaku
kekerasan.
Aksi
kekerasan ditujukan ke arah pemerintah
dan Alkatiri yang memang tidak disukai.
Setelah Alkatiri mundur, sosok musuh
lain pun mulai direkayasa, yaitu
penduduk dari wilayah bagian lain.
Walaupun demikian, hingga saat ini –
selain terhadap tentara dan polisi
Australia – orang asing sipil di Dili belum
pernah menjadi sasaran penyerangan.
Tugas utama pemerintah adalah
memanfaatkan persedian gas dan
minyak secara efektif dan efisien
Dapat disimpulkan bahwa memajukan
perekonomian adalah salah satu kunci
keberhasilan jangka panjang untuk
penyelesaian konflik. Timor Leste yang
kaya akan persediaan minyak dan gas,
bekerjasama dengan Australia, memiliki
potensi mengurangi angka kemiskinan
di negara itu. UNDP memperkirakan
bahwa untuk mencapai tujuan Millenium
Development Goals (MDGs) hingga
tahun 2015, Timor Leste
secara
maksimal perlu mengeluarkan 200 Juta
Dollar Amerika. Mengingat luasnya
ladang minyak dengan pendapatan
tahunan stabil sekitar 160 Mio USD
disamping kesepakatan bantuan luar
negeri, tujuan ini termasuk realistis.
Sebagian dari pendapatan gas dan
minyak akan disimpan sampai saatnya
ladang migas kosong. Pendapatan dari
dana perminyakan ini hanya akan
digunakan untuk investasi di bidang
kesehatan,
penyediaan
air
dan
infrastruktur. Memantau pelaksanaan
hal tersebut merupakan tugas penting
masyarakat sipil di Timor Leste, namun
juga PBB.
Tugas-tugas terpenting Perdana Menteri
Ramos Horta antara lain meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan
penyebaran investasi, pengurangan
angka
kemiskinan,
merealisasikan
kekayaan minyak melalui proses
pengolahannya dan mereformasi sektor
keamanan. Tugas berikutnya di tahun
depan adalah menjamin pelaksanaan
PEMILU.
Tantangan-tantangan
ini
sudah semestinya turut menentukan
agenda-agenda perdana menteri yang
baru.
Naskah asli: Timor Leste – Der juengste
Staat
der
Welt
bleibt
unter
internationaler
Kontrolle,
Erwin
Schweisshelm, FES Jakarta, August
2006.
...
Penanggung Jawab: Dr. Beate Bartoldus, Pimpinan Referat Asia dan Pasifik kantor pusat
Friedrich Ebert Stiftung (E-Mail: [email protected], Tel. 0228-883516/7)
Kontak: Julia Mueller, Referat Asia dan Pasifik kantor pusat Friedrich Ebert Stiftung (E-Mail:
[email protected], Tel. 0228-883-536)
Download