BAB I - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENGANTAR
a. Latar Belakang
Kanker merupakan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol diikuti dengan
proses invasi ke jaringan sekitar dan penyebaran (metastasis) ke bagian tubuh
yang lain ditandai dengan hilangnya kontrol pertumbuhan dan perkembangan sel
kanker (King, 2000). Salah satu kanker yang menduduki peringkat ketiga di
seluruh dunia setelah kanker paru-paru dan kanker payudara adalah kanker
kolorektal (Brown & DuBois, 2005; Parkin, 2001).
Berdasarkan pada data World Health Organization (WHO), diperkirakan
700.000 orang meninggal disebabkan oleh kanker kolorektal tiap tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa sekitar 2.000 orang meninggal setiap hari. Kanker kolorektal
merupakan kanker yang dapat menyerang pria ataupun wanita dengan frekuensi
kejadian yang hampir sama, yaitu 9,5% pada pria dan 9,3% pada wanita dengan
perkiraan kasus baru di dunia sebanyak 401.000 pada pria per tahun dan 381.000
pada wanita per tahun. Sejak tahun 1975, jumlah kasus baru di dunia cenderung
meningkat secara cepat (Amaliafitri, 2010).
Sekitar 10 tahun yang lalu,
diperkirakan 9,4% kasus baru kanker kolorektal dapat menyebabkan kematian
sekitar 7,9% dari total penduduk dunia (Parkin, 2001).
Di Eropa, pada tahun 2004 terdapat 2.886.800 insidensi dan 1.711.000
kematian yang disebabkan oleh kanker. Kanker kolorektal berada pada peringkat
kedua dari angka insidensi dan mortalitas yang terjadi di Eropa dan Amerika
(Fahlevi, 2008; Longley et al., 2006).
1
Di Indonesia, insidensi kanker kolorektal cukup tinggi demikian halnya
dengan angka kematiannya. Walaupun belum terdapat data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan
terjadi kenaikan jumlah kasus di Indonesia terkena kanker
kolorektal yaitu 1,8% per 100.000 penduduk (Fahlevi, 2008).
Letak geografis yang berbeda-beda pada insidensi kebanyakan kasus
kanker menunjukkan adanya perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk
antara negara maju dan berkembang. Di Indonesia, kejadian kanker kolorektal
ditemukan sebanding antara pria dan wanita, banyak terjadi pada seseorang yang
berusia muda; dan ditemukan sekitar 75% pada kolon rektosigmoid. Di Negara
Barat frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada
wanita, banyak terjadi pada seseorang yang berusia lanjut; dan ditemukan hanya
sekitar 50% yang terjadi pada kolon rektosigmoid. Di Negara Barat, kanker
kolorektal secara global menempati peringkat ketiga pada kasus kanker yang
terjadi pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menempati peringkat
keempat dari semua kasus kanker (Fahlevi, 2008; Lee & Marks, 2010; Anonim,
2008).
Masalah kanker umumnya dapat ditangani berdasarkan pada upaya
pengangkatan jaringan kanker atau dengan mematikan sel kanker tersebut serta
meminimalkan efek yang tidak diinginkan terhadap sel-sel normal. Hal ini harus
diimbangi dengan pemberian obat-obatan berupa kemoterapi atau penyinaran
dengan sinar X untuk mengatasi kemungkinan sel telah mengalami metastasi dan
untuk menghambat proliferasi sel kanker yang mungkin masih tertinggal (King,
2000).
2
Kurkumin merupakan senyawa polifenol yang terdapat dalam rimpang
kunyit (Curcuma longa L.) dengan aktivitas biologi sebagai antioksidan,
antiinflamasi, kemopreventif dan kemoterapi (Hatcher et al., 2008; Cen et al.,
2009).
Kurkumin juga memiliki aktivitas sebagai antikanker, antimutagenik,
antikoagulan, antifertilitas, antidiabetes, antibakteri, antijamur, antiprotozoa,
antivirus, dan antifibrosis (Chattopadhyay et al., 2004).
Di India, Cina, dan
negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, memanfaatkan zat warna kuning
dari kurkuma sebagai bahan tambahan makanan, bumbu, maupun obat-obatan,
yang tidak berakibat toksik (Meiyanto, 1999).
Penelitian tentang kurkumin sebagai bahan aktif untuk mengobati
beberapa penyakit telah banyak dilakukan.
Kurkumin (1,7-bis(4-hidroksi-3-
metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion) dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan
(Rao, 1997), antiinflamasi (van der Goot, 1997; Sardjiman et al., 1997),
antikolesterol (Bourne et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal et al., 1998), antikanker
(Singletary et al., 1998), dan antiviral (Mazumder et al., 1997; Barthelemy et al.,
1998). Kurkumin juga dilaporkan dapat menghambat proliferasi sel kanker paru in
vivo dan sel kanker kolon in vitro, apabila diberikan selama fase inisiasi dan
metastasis (Meiyanto, 1999).
Aktivitas
antikanker
kurkumin
dilaporkan
berhubungan
dengan
aktivitasnya sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas (radical scavenger)
(Majeed et al., 2007a; Venkateswarlu et al., 2005). Penelitian yang lain juga
menunjukkan bahwa kurkumin dapat menghambat proses karsinogenesis pada
tahap inisiasi, progresi, dan metastasis (Hatcher et al., 2008; Cen et al., 2009).
3
Kurkumin juga dapat menghambat pembentukan metabolit reaktif
senyawa
karsinogen yang menginduksi pembentukan tumor pada mencit.
Aktivitas
kemopreventif
kurkumin ditunjukkan selama proses promosi/progresi pada
kanker kolon (Bhaumik et al., 1999).
Kurkumin juga menghambat siklus sel dan memacu apoptosis pada sel
kanker kolorektal melalui regulasi beberapa jalur sinyal sel dan biomarker seperti
nuclear factor-B, peroxisome proliferator-activated receptor-, early growth
response-1, -catenin, mitogen-activated protein kinases, cyclin D1, epidermal
growth factor receptor, N-acetyltransferase, cyclooxygenase-2, 5-lipoxygenase,
GADD153, p53, B-cell lymphoma 2, basal cell lymphoma-extra large, dan
ceramide (Chaudhary & Hruska, 2003; Narayan, 2004; Cen et al., 2009;
Kunnumakkara et al., 2009). Hanif et al. (1997) melaporkan bahwa kurkumin
memiliki efek antiproliferatif pada adenocarcinoma cell lines. Uji klinik
menunjukkan bahwa kurkumin memiliki aktivitas menghambat terjadinya familial
adenomatus polyposis, inflammation bowel disease, irritable bowel syndrome,
dan kanker kolon (Kunnumakkara et al., 2009).
Berdasarkan analisis struktur kurkumin diketahui bahwa aktivitas
farmakologi kurkumin berhubungan dengan gugus-gugus fungsionalnya seperti
ikatan rangkap pada rantai tengah, gugus -diketon, dan gugus hidroksi fenolik
(Majeed et al., 2007).
Kurkumin merupakan molekul lipofilik yang secara luas dimetabolisme
dalam saluran pencernaan dan hati setelah pemberian oral. Metabolisme fase I
melalui reaksi reduksi membentuk tetrahidrokurkumin, heksahidrokurkumin, dan
4
heksahidrokurkuminol.
Metabolisme fase II terdiri dari glukuronidasi dan
sulfatasi oleh O-conjugation membentuk kurkumin glukuronida dan kurkumin
sulfat yang dengan cepat diekskresikan (Basu et. al., 2004; Johnson & Mukhtar,
2007). Kurkumin glukuronida diidentifikasi dalam mikrosom saluran pencernaan
dan
hati,
sedangkan
kurkumin
sulfat,
tetrahidrokurkumin,
dan
heksahidrokurkumin ditemukan sebagai metabolit dalam sitosol saluran
pencernaan dan hati pada manusia dan tikus (Ireson et al., 2002).
Profil farmakokinetik kurkumin menunjukkan bahwa kurkumin dengan
dosis oral 30 – 180 mg tidak terdeteksi dalam darah (Sharma et al., 2001).
Setelah dosis ditingkatkan sampai 3600 mg menunjukkan bahwa kadar kurkumin
ditemukan hanya sedikit di dalam darah, tetapi ditemukan kadar tertinggi di dalam
feses (Garcea et al., 2005).
Kurkumin dengan dosis 1 sampai 5 g/kg yang
diberikan secara oral pada tikus tidak menyebabkan efek samping dan 75%
diekskresikan melalui feses dalam bentuk kurkumin glukuronida dan sulfat.
Kadar kurkumin sangat kecil ditemukan dalam urin (Anand et al., 2007;
Wahlstrom & Blennow, 1978).
Dilaporkan absorpsi kurkumin pada saluran
pencernaan tikus sekitar 60%.
Kurkumin dan metabolitnya terbentuk dalam
saluran pencernaan dan hati, kebanyakan diekskresikan dalam feses. Kolon yang
terpapar oleh kurkumin dan metabolitnya memungkinkan sebagai target aktivitas
antikanker. Selain itu, fakta bahwa manusia mampu mengkonsumsi hingga 8 g
per hari tanpa efek toksik membuat kurkumin sangat menarik sebagai bahan
kemopreventif (van Erk et al., 2004).
5
Dalam rangka mendukung pengembangan obat baru yang lebih poten dan
spesifik,
Rumpel
(1955)
telah
melakukan
sintesis
siklovalon
atau
heksagamavunon-0 (HGV-0) yaitu suatu senyawa yang dibuat berdasarkan
struktur kurkumin dengan melakukan variasi gugus metilen aktif. Sintesis derivat
siklovalon juga telah dilakukan dengan penggantian gugus fungsional pada kedua
inti benzen atau dengan mengubah struktur sikloheksanon menjadi struktur bentuk
lain (Sardjiman, 1993). Siklovalon dan derivatnya telah diketahui mempunyai
efek antioksidan (Sardjiman et al., 1997a) dan mampu menghambat kerja
siklooksigenase (COX) (Nurrochmad, 1998).
Profil farmakokinetik analog kurkumin (PGV-0), seperti halnya kurkumin
menunjukkan bahwa kadar PGV-0 dalam darah sangat eratik (Kustaniah, 2001),
cepat hilang dari peredaran darah (hanya 5 menit) dan profil kadarnya dalam
darah mengalami fluktuasi pada pemberian oral (Amalia, 2001).
Studi hubungan struktur
dan aktivitas kurkumin telah dilakukan oleh
Sardjiman (1997), Liang et al. (2008), dan Robinson et al. (2003) pada cell lines.
Hasil studi dari Sardjiman (1997) diperoleh senyawa analog kurkumin yaitu
Gamavuton-0 (GVT-0) [1,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)1,4-pentadien-3-on],
Pentagamavunon-0
(PGV-0)
siklopentanon],
Heksagamavunon-0
dan
[2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksibenzilidin)(HGV-0)
[2,6-bis(4'-hidroksi-3'-
metoksilbenzilidin)sikloheksanon]. Ketiga analog kurkumin tersebut di atas telah
diuji secara in vitro untuk mengetahui aktivitas antioksidan, antiinflamasi (dosis
20, 40, dan 80 mg/kg bobot badan pada tikus jantan Wistar) dan antibakteri.
Namun demikian, ketiga analog tersebut belum pernah diuji aktivitasnya secara in
6
vivo sebagai antikanker. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan
untuk melihat aktivitas analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) sebagai
kemoprevensi pada model kanker kolorektal.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Apakah analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) bersifat sebagai
kemoprevensif terhadap model kanker kolorektal secara in vivo dibandingkan
dengan kurkumin sendiri?
2. Apakah analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) pada dosis 20, 40,
dan 80 mg/kg BB dapat digunakan sebagai bahan kemoprevensif terhadap
kanker kolorektal secara in vivo dibandingkan dengan kurkumin sendiri?
3. Bagaimana mekanisme kemoprevensif dari analog kurkumin
(GVT-0,
PGV-0, dan HGV-0) dengan dosis 20, 40, dan 80 mg/kg BB terhadap kanker
kolorektal secara in vivo?
3. Keaslian Penelitian
Kurkumin diketahui memiliki potensi sebagai bahan chemopreventive
secara in vitro maupun in vivo. Penggunaan kurkumin 1 M yang dikombinasi
dengan oxaloplatin 5 M dapat menghambat proliferasi pada cell line HT-29 (p53
mutant adenocarcinoma) (Howells et al., 2007).
Kurkumin dapat digunakan pada kemoprevensi malignan pada usus
manusia yang termutasi Adenomatus Polyposis Coli (APC) menggunakan model
adenoma pada tikus C57Bl/6J. Konversi dosis manusia ke tikus C57B1/6J dengan
7
konsentrasi 1,6 g per hari memiliki potensi kemoprevensi pada saluran usus
(Perkins et al., 2002). Kombinasi antara kurkumin dan katekin memberikan efek
sinergis terhadap kemoprevensi kanker kolon yang diinduksi 1,2-dimetilhidrazin
(DMH) dosis 20 mg/kg BB pada tikus jantan Wistar.
Efek kombinasi ini
dilaporkan lebih poten dibandingkan pemberian tunggal kurkumin maupun
katekin (Xu et al., 2009).
Kurkumin terbukti memiliki efek antiinflamasi dan kemoterapi kanker
yang diduga melalui efek penghambatan neurotensin pada ekspresi IL-8 dan
sekresi protein. Kurkumin telah dilaporkan dapat menghambat induksi gen IL-8
terstimulasi neurotensin dan sekresi protein, dan pada konsentrasi rendah
(10 mol/L) menghambat migrasi human colorectal cancer (HCT116)
terstimulasi neurotensin (Wang et al., 2006).
Kurkumin juga diketahui dapat menginduksi apoptosis pada tahap G2/M
dari siklus sel yang terderegulasi pada siklin D1 yang terekspresi pada epitel
human breast cancer cells (MCF-7, T47D, MDA-MB-468, MDA-MB-231) dan
human colon cancer cell lines (HT-29, HCT-15, dan Caco-2).
Di sisi lain,
kurkumin menghambat secara reversibel progresi siklus sel dari sel epitel
payudara normal (NME) dengan mengurangi ekspresi siklin D1 dan menghambat
kerjasamanya dengan Cdk4/Cdk6 sebaik penghambatan fosforilasi dan inaktivasi
protein retinoblstoma (Choudhuri et al., 2005; Hanif et al., 1997; van Erk et al.,
2004). Selain itu, kurkumin dapat menginduksi apoptosis pada human colon
cancer cell (HCT-116) tidak tergantung pada status p21 (Watson et al., 2008).
8
Lev-Ari et al. (2005) menyatakan bahwa kurkumin yang diberikan
bersama-sama dengan Celecoxib memberikan efek sinergis menghambat
pertumbuhan human colorectal cell lines (HT-29, SW-480, Caco-2) dengan
mekanisme melibatkan jalur Siklooksigenase-2 (COX-2) dan non-COX-2. Rao
et al. (1995), Kawamori et al. (1999), dan Huang et al. (1994) memperlihatkan
bahwa pemberian kurkumin pada tikus jantan F344 dan mencit betina CF1 yang
diinduksi azoxymethane (AOM) dapat mencegah terjadinya kanker kolon melalui
mekanisme
modulasi
metabolisme
asam
arakhidonat.
Kurkumin
juga
menghambat transkripsi COX-2 yang diuji pada beberapa gastrointestinal cell
lines (SK-GT-4, SCC450, IEC-18 dan HCA-7) (Zhang et al., 1999).
Limtrakul et al. (2001) dan Huang et al. (1988;1991) menyatakan bahwa
kurkumin yang diberikan secara oral 0,2 – 1% secara signifikan dapat
menghambat ekspresi gen ras, c-fos, c-jun, dan c-myc pada kulit tikus yang
diinduksi 7,12-dimetilbenz(a)antrasen (DMBA) dan 12-O-tetradekanolforbol-13asetat (TPA).
Analog kurkumin (Dimetoksikurkumin) dilaporkan lebih poten terhadap
human colorectal cell line (HCT-116) melalui kemampuan memacu apoptosis
secara in vitro (Tamvakopoulos et al., 2007). Tiga analog kurkumin lainnya [GOY030, FLLL-11 (GVT-0), FLLL12 (GVT-1)] dilaporkan juga lebih poten
menghambat proliferasi tiga human colorectal cell lines (HCT-116, HT29,
SW480) melalui mekanisme apoptosis (Cen et al., 2009).
Demetoksikurkumin dan Bisdemetoksikurkumin menunjukkan potensi
antioksidan dan antimetastasis lebih tinggi dibanding kurkumin, melalui
9
mekanisme menghambat degradasi enzim matriks ekstraselular pada cell lines
(human fibrosarcoma HT1080, fibroblast NIH3T3, dan Dalton’ lymphoma)
(Yodkeere et al., 2008; Venkateswarlu et al., 2005).
Analog bisdemetoksikurkumin (BDMC-A) dan kurkumin memiliki
aktivitas yang hampir sama dalam menghambat pertumbuhan tumor kolon pada
tikus jantan Wistar yang diinduksi 1,2-dimetilhidrazin (DMH) 20 mg/kg BB. Hal
tersebut menunjukkan bahwa gugus fenolik dan ikatan rangkap terkonyugasi
dalam tujuh karbon inti berperan penting memberikan efek sebagai antikanker
(Devasena et al., 2003). Bisdemetoksikurkumin (bDMC) dilaporkan menginduksi
dengan cepat kerusakan DNA untai ganda
pada human colon cancer cell
(HCT116) sehingga dapat dikembangkan sebagai antikanker pada kolon (Basile
et al., 2009).
Liang et al. (2008) telah mensintesis sembilan mono karbonil dengan lima
cincin karbon berdasarkan struktur dasar kurkumin dengan tujuh karbon.
Bioaktivitasnya terhadap lipopolisakarida terinduksi sekresi TNF- dan IL-6
yang diujikan kepada makrofag tikus J774 menunjukkan bahwa 3'-metoksil yang
berperan penting dalam bioaktivitas dan analog yang mengandung sikloheksanon
menunjukkan penghambatan inflamasi lebih kuat daripada analog aseton dan
siklopentanon.
Gafner et al. (2004) menyatakan bahwa diantara 22 derivat
kurkumin yang memiliki aktivitas kemopreventif yang potensial terdapat tiga
analog
[2,6-bis(4-hidroksi-3-metoksibenzilidin)sikloheksanon
(HGV-0);
2,6-bis(4-hidroksi-3-dimetoksibenzilidin)sikloheksanon; dan 2,5-bis(4-hidroksi3,5-dimetoksibenzilidin)siklopentanon] yang lebih poten dalam menghambat lesi
10
preneoplastik kanker payudara tikus yang diinduksi 7,12-dimetilbenz(a)anrasen
(DMBA) dibandingkan kurkumin.
Sebanyak 33 analog kurkumin yaitu 2,6-dibenzilidinsikloheksanon (seri
A), 2,5 dibenzilidinsiklopentanon (seri B), dan 1,4-pentadien-3-on (seri C)
memiliki potensi penghambatan terhadap rekombinan manusia CYP1A2,
CYP3A4, CYP2B6, CYP2C9 dan CYP2D6 yang seluruhnya berperanan penting
dalam metabolisme obat secara in vitro (Appiah-Opong et al., 2007). Hal yang
sama juga dilaporkan oleh Liang et al. (2008a), bahwa analog kurkumin yang
dapat digunakan sebagai antibakteri baik bakteri Gram positif maupun bakteri
Gram negatif.
Analog kurkumin baru (1,5-diarilpentadienon simetris) dengan cincin
aromatik memiliki substitusi alkoksi masing-masing pada posisi 3 dan 5
menunjukkan aktivitas penekan pertumbuhan 30 kali dari kurkumin dan obat
antikanker lainnya yaitu menginduksi -catenin, Ki-ras, cyclin D1, c-Myc, dan
ErbB-2 (Ohori et al., 2006).
Aromatik enon dan aromatik dienon merupakan analog kurkumin yang
disintesis berdasarkan model farmakofor dari kurkumin yang digunakan sebagai
penghambat angiogenesis pada sel SVR (Robinson et al., 2003).
Difenil difluoroketon (EF 24) merupakan analog kurkumin yang poten
sebagai antitumor dengan menginduksi caspase yang memediasi apoptosis selama
mitosis dan memiliki potensi terapeutik untuk kanker saluran pencernaan (HCT116, HT-29 dan AGS) (Subramaniam et al., 2008). Perkembangan sintesis keton
klorometil fenilalanin-fenilalanin-arginin (FFRck) yang dikopling dengan
11
sitotoksin EF24 dan fVIIa membentuk EF-24-FFRmkfVIIa yang diberikan pada
sel kanker payudara (MDA-MB-231) dan sel melanoma manusia (RPMI-7951)
memberikan aktivitas lebih besar dibandingkan penggunaan EF-24 sendiri (Sun et
al. 2006).
Analog fluoro kurkumin lainnya yaitu CDF dapat menghambat
proteosom dan pertumbuhan sel kanker kolon (HCT116) dan sel kanker pankreas
(BxPC-3), serta menginduksi apoptosis lebih baik dibanding kurkumin (Padhye et
al., 2009).
Analog kurkumin lainnya yaitu (1E,6E)-1,7-di-(2,3,4-trimetoksifenil)-1,6heptadien-3,5-dion dan (1E,6E)-metil 4-[7-(4-metoksikarbonil)fenil]-3,5-diokso1,6-heptadienil]benzoat menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi
terhadap COX-1 dengan IC50 masing-masing 0,06 M dan 0,05 M jika
dibandingkan dengan IC50 kurkumin sendiri 50 M (Handler et al., 2007).
Sintesis analog kurkumin lainnya yaitu 1,5-difenil-1,4- pentadien-3-on dan
siklik dengan gugus –OH pada posisi para di cincin fenil dan substitusi meta
menunjukkan bahwa analog tersebut dapat digunakan sebagai antioksidan dan
aktivitasnya meningkat dengan adanya substitusi gugus metoksi pada posisi meta
(Sardjiman et al., 1997).
Youssef & El-Sherbeny (2005) telah mensintesis
[3,5bis(4-hidroksi-3-metoksi-5-metilsinamil)N-metilpiperidon]
dan
[3,5bis(4-
hidroksi-3-metoksi-5-metilsinamil)N-etilpiperidon] menunjukkan bahwa rantai
gugus alkil dari metil ke etil yang tersubstitusi N-alkil piperidon meningkatkan
aktivitasnya sebagai antioksidan dan antitumor.
Kurkumin 4'-O-β-glikosida
menekan pembentukan antibodi IgE dan efek histamine dari sel mast peritonium
tikus sehingga dapat digunakan sebagai antialergi (Shimoda & Hamada, 2010).
12
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat
aktivitas analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) pada dosis 20, 40, dan
80 mg/kg BB sebagai kemoprevensi pada model kanker kolorektal yang akan
dilakukan
secara
in
vivo
pada
tikus
Wistar
yang
diinduksi
1,2-
dimetilhidrazin.2HCl (DMH) dan akan diamati jumlah nodul kanker, volume
nodul kanker, derajat kerusakan jaringan dan ekspresi protein tertentu yang
berhubungan dengan metastasis, proliferasi, dan apoptosis.
4. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
penelitian dari analog kurkumin yaitu GVT-0, PGV-0, HGV-0 sebagai antikanker
secara in vivo. Penelitian aktivitas dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan
HGV-0) diharapkan dapat dikembangkan sebagai bahan kemopreventif baru
dalam pencegahan kanker kolorektal yang lebih poten dan aman. Penelitian ini
dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam penemuan
senyawa obat baru.
b. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) dapat digunakan
sebagai bahan kemoprevensi terhadap model kanker kolorektal secara in vivo
yang dibandingkan dengan kurkumin.
2. Mengetahui dosis dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) yang
dapat digunakan sebagai bahan kemoprevensi terhadap kanker kolorektal
secara in vivo yang dibandingkan dengan kurkumin.
13
3. Mengetahui mekanisme kemoprevensi dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0,
dan HGV-0) terhadap kanker kolorektal secara in vivo.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Kurkumin
Kurkumin merupakan salah satu isolat yang diperoleh dari tanaman
Curcuma sp. (Masuda et al., 1993; van der Goot, 1997) yang pertama kali
diisolasi oleh Vogel dan Pelletier pada tahun 1815 (van der Goot, 1997; Aggarwal
et al., 2006). Selanjutnya kurkumin dikristalisasi pertama kali oleh Daube pada
tahun 1870 dan elusidasi struktur kimia dilakukan oleh Lampe pada tahun 1910.
Sintesis kurkumin dilakukan pada tahun 1913 oleh Lampe dan Milobedzka.
Kurkumin
[1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)hepta-1,6-diena-3,5-dion)
memiliki berat molekul 368,37 g/mol dengan struktur kimia seperti pada gambar 1
(Aggarwal et al., 2006).
O
O
H3 CO
OCH3
HO
OH
Gambar 1. Struktur Kurkumin (Aggarwal et al., 2006)
Kurkumin merupakan molekul lipofilik yang secara luas dimetabolisme
dalam saluran pencernaan dan hati setelah pemberian oral. Metabolisme fase I
melalui reaksi reduksi membentuk tetrahidrokurkumin, heksahidrokurkumin, dan
heksahidrokurkuminol.
Metabolisme fase II terdiri dari glukuronidasi dan
sulfatasi oleh O-conjugation membentuk kurkumin glukuronida dan kurkumin
sulfat yang dengan cepat diekskresikan (Basu et. al., 2004; Johnson & Mukhtar,
15
2007). Kurkumin glukuronida diidentifikasi dalam mikrosom saluran pencernaan
dan
hati,
sedangkan
kurkumin
sulfat,
tetrahidrokurkumin,
dan
heksahidrokurkumin ditemukan sebagai metabolit dalam sitosol saluran
pencernaan dan hati pada manusia dan tikus (Ireson et al., 2002; Pan et al., 1998).
Kurkumin tidak stabil pada pH netral dan basa, dan terdegradasi menjadi
asam ferulat (4-hidroksi-3-asam metoksisinamat) dan metana feruloil (4-hidroksi3-metoksisinamol-metana). Lebih dari 90% kurkumin terdekomposisi dengan
cepat dalam sistem buffer pada kondisi pH basa. Kurkumin harus stabil dalam
perut dan usus kecil karena pH-nya antara 1 dan 6, dan degradasi kurkumin
berlangsung sangat lambat dalam kondisi ini (Wang et al., 1997; Pan et al., 1998).
Pemakaian rimpang dari Curcuma sp. secara tradisional pada awalnya
digunakan untuk pengobatan anorexia, flu, diabetes, kerusakan hepar, reumatik,
dan sinusitis (van der Goot, 1997).
Penelitian selanjutnya diarahkan pada
aktivitas kurkumin untuk antiinflamasi, trombosis rematik, dan sebagai antikanker
(Rao et al., 1995).
Kurkumin dilaporkan dapat menghambat aktivitas lipooksigenase dan
penghambat spesifik ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2).
Kurkumin juga
menghambat pada tahap inisiasi dan promosi/progresi dari karsinogenesis. Pada
tahap inisiasi dari karsinogenesis, kurkumin dilaporkan menghambat aktivitas
enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan glutation-S-transferase. Efek antitumor
kurkumin berperan pada cell cycle arrest pada fase S, fase G2/M dan memicu
apoptosis.
Kurkumin menghambat proliferasi sel kanker kolon dengan cara
memperbaiki DNA yang rusak. Antikanker kurkumin telah ditunjukkan secara in
16
vitro pada cell cultur dan in vivo pada hewan uji (Chauhan, 2002; Hatcher et al.,
2008; Cen et al., 2009; Bhaumik et al., 1999).
Sharma et al. (2001a)
memperlihatkan bahwa mekanisme kemoprevensi kurkumin in vivo pada kanker
kolorektal melalui aktivitasnya dalam meningkatkan glutathione S-transferase
(GST), dan menurunkan malondialdehid (MDA), serta ekspresi siklooksigenase-2
(COX-2). Malondialdehid merupakan produk alami lipid peroksidasi, yang juga
terbentuk selama biosintesis prostaglandin melalui COX, dua proses enzimatik
yang terlibat dalam patogenesis kanker, khususnya kanker kolon. Prostaglandin
E2 (PGE2) merupakan produk COX-2, isoenzim COX diinduksi selama infeksi,
inflamasi, dan transformasi malignan.
Penghambatan COX-2 merupakan
mekanisme penting kemoprevensi, dan ditunjukkan dalam obat-obat antiinflamasi
non-steroid seperti kurkumin.
Metabolit kurkumin terdeteksi dalam plasma setelah 2 minggu pemberian
intragastrik dengan dosis 1,2 g/kg BB pada tikus F344. Pemberian intragastrik
dengan dosis yang sama, kurkumin dapat terdeteksi pada mukosa kolon, hati, dan
feses dengan masing-masing konsentrasi sebagai berikut 1,8 ± 0,3 mol/g; 0,8 ±
0,3 nmol/g; dan 8,6 ± 0,6 mol/g (Sharma et al., 2001a).
Penelitian yang
dilakukan oleh Wahlstrom & Blennow (1978) melaporkan juga bahwa pemberian
oral kurkumin 1 g/kg BB pada tikus galur Sprague-Dawley diekskresikan 75%
dalam feses. Sharma et al. (2001a) melaporkan bahwa kurkumin glukuronida dan
kurkumin sulfat tidak terdeteksi dalam plasma, jaringan atau feses. Garcea et al.
(2004) melaporkan bahwa kurkumin sulfat dan kurkumin glukuronida
teridentifikasi pada jaringan kolorektal dari pasien kanker kolorektal bermetastasi
17
di hati yang mengkonsumsi kapsul kurkumin dengan dosis 450 – 3600 mg.
Aplikasi
intravena
atau
intraperitoneal
akan
menghasilkan
metabolit
tetrahidrokurkumin dengan konsentrasi 1% ditemukan dalam plasma (Anand et
al., 2007; Sharma et al., 2001a).
Kurkumin dilaporkan meningkatkan kadar GST dalam hati, mengurangi
kadar malondialdehid yang terikat dengan DNA (malondialdehid-deoksiguanosin
adduct = M1G) dalam mukosa kolon, dan menurunkan kadar M1G yang
ditimbulkan oleh stimulus yang kuat dari lipid peroksidasi pada hati dan mukosa
kolon. Hal ini membuktikan bahwa kurkumin dapat meningkatkan aktivitas GST
dan kadar M1G adduct in vivo (Sharma et al., 2001a; Pan et al., 1998).
Somasundaram et al. (2002), melaporkan bahwa kurkumin dapat menghambat
apoptosis sel kanker payudara yang diinduksi kemoterapi secara in vitro dan in
vivo. Kurkumin mempunyai kandungan keton , tidak jenuh yang berikatan
secara kovalen dengan NF-B dengan mengganggu degradasi I-B dan
berikatan dengan p50 dalam kompleks NF-B (Brennan & O’Neill, 1998; Moos
et al., 2004). Karbon reaktif  dalam beberapa bahan kimia dilaporkan juga dapat
menghambat secara tidak langsung tumor supresor p53 (Moos et al., 2000).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perlu kiranya dipertimbangkan penggunaan
kurkumin bersama-sama dengan agen kemoterapi yang lainnya.
18
b. Gamavuton-0 (GVT-0)
Senyawa gamavuton-0 (GVT-0) adalah senyawa analog kurkumin yang
disintesis dengan mengubah
gugus -diketon pada kurkumin menjadi gugus
keton. Gamavuton 0 memiliki struktur dasar dienon yang simetris pada bagian
tengah yang menghubungkan dua cincin aromatis dan merupakan derivat aseton
yang telah diuji aktivitasnya dalam menghambat proliferasi sel endothelial yaitu
pada kadar 3 g/mL menunjukkan persen inhibisi 96,6% dan kadar 6 g/mL
menunjukkan persen inhibisi 97,7% (Robinson et al., 2003).
Gamavuton-0
merupakan
derivat
1,5-difenil-1,4-pentadien-3-on
mempunyai aktivitas sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri terhadap
bakteri Gram-positif, antifungi, dan menghambat aktivitas COX yang sama
dengan kurkumin (Sardjiman, 2000).
Selain itu, GVT-0 memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih kuat dibandingkan kurkumin (Masuda et al., 1993).
Senyawa ini juga dilaporkan memiliki aktivitas antitumor (Youssef & ElSherbeny, 2005).
Senyawa enon aromatik dan dienon aromatik yang merupakan analog
kurkumin yang memiliki aktivitas yang sama sebagai antiangiogenesis atau
bahkan lebih baik dibanding senyawa induknya di alam (Robinson et al., 2003).
O
H3 CO
OCH 3
HO
OH
Gambar 2. Struktur GVT-0 (Sardjiman, 2000)
19
c. Pentagamavunon-0 (PGV-0)
Pentagamavunon-0
(PGV-0)
dikenal
dengan
nama
kimia
2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksibenzilidin)-siklopentanon yang strukturnya terlihat
pada gambar 3, merupakan salah satu modifikasi struktur pada rantai tengah
senyawa kurkumin: gugus astil-aseton diganti dengan siklopentanon (Sardjiman,
1993). Senyawa ini merupakan hasil sintesis antara vanilin dengan siklopentanon
dengan katalisator HCl pekat (Sardjiman et al., 1997).
O
H 3 CO
OCH 3
HO
OH
Gambar 3. Struktur PGV-0 (Sardjiman, 1993)
Pentagamavunon-0 diharapkan masih tetap memberikan aktivitas dengan
spektrum yang sama dengan aktivitas kurkumin dengan modifikasi tersebut, tetapi
dengan kualitas yang lebih baik, yaitu berefek lebih besar dan aman.
Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
PGV-0 memiliki aktivitas antioksidan (Sardjiman et al., 1997 dan 1997a; Rianto,
1998), antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase pada tikus jantan
Wistar (Sardjiman, 2000), dan sitotoksik pada sel mieloma (Nurrochmad, 2001).
Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa PGV-0 memiliki potensi yang
besar untuk dikembangkan sebagai senyawa obat baru.
20
d. Heksagamavunon-0 (HGV-0)
Senyawa analog kurkumin yaitu siklovalon [2,6-bis(4'-hidroksi-3'metoksilbenzilidin)sikloheksanon] atau HGV-0 (gambar 4).
Perbedaannya
dengan kurkumin hanya pada bagian tengah strukturnya. Kurkumin mengandung
-diketon sedangkan HGV-0 memiliki posisi yang sama sebagian aseton yang
tergabung dalam cincin sikloheksanon. Studi sebelumnya telah dilakukan pada
aktivitas biologis HGV-0 terutama pada efek koleretiknya terhadap tikus dan
marmut (Hayun, 1995; Sardjiman, 2000).
Pemberian per oral HGV-0 dosis 300 – 500 mg per hari dapat
memperbaiki fungsi hepar.
Kombinasi obat ini dengan bakterisida terbukti
bermanfaat mengobati penyakit kandung empedu, ikterus, dan pasca hepatitis dan
kolesistektomi. Namun obat ini tidak diindikasikan untuk mengeluarkan batu
empedu dari saluran empedu karena aktivitas koleretik HGV-0 relatif lemah
(Hayun, 1995).
Heksagamavunon-0
juga
memiliki
aktivitas
antiinflamasi
melalui
penghambatan siklooksigenase (Nurrochmad et al., 1998; Gafner et al., 2004).
Aktivitas
antiinflamasi
prostaglandin
dengan
yang
diarahkan
menghambat
pada
penghambatan
siklooksigenase
dengan
biosintesis
Inhibition
Concentration 50% (IC50) sebesar 8,15 M (Wibowo, 1998) dan 8,02 M
(Sardjiman, 2000).
21
O
OCH3
CH3O
HO
OH
Gambar 4. Struktur HGV-0 (Sardjiman, 1993)
e. Hubungan Antara Struktur dan Aktivitas Kurkumin serta Analognya
Keberadaan gugus hidroksi pada posisi para dan gugus -diketon
memberikan sumbangan aktivitas yang besar pada kurkumin sebagai penginduksi
enzim-enzim fase dua seperti epoksida hidrolase, glutation S-transferase (GST),
NAD(P)H quinon reduktase (QR) yang berfungsi untuk proteksi terjadinya
karsinogenesis (Dinkova-Kostova & Talalay, 1999).
Hubungan struktur dan
aktivitas kurkumin sebelumnya dikemukakan oleh Majeed et al. (2007) terkait
dengan gugus-gugus fungsional senyawa tersebut yaitu gugus parahidroksil
memiliki efek sebagai antioksidan, sedangkan gugus keto dan ikatan rangkap pada
rantai tengah sebagai antiinflamasi, antikanker, dan antimutagen. Modifikasi
gugus pada cincin aromatik terminal kurkumin menunjukkan bahwa gugus donor
elektron meningkatkan aktivitas antiinflamasi (Nurfina et al., 1997).
Ikatan
hidrogen dalam struktur kurkumin terbentuk antara 4'-hidroksi dan 3'-metoksi
menurunkan polaritas molekulernya. Hal ini menunjukkan bahwa 3'-metoksi dan
analog sikloheksanon berperan penting sebagai antiinflamasi yang lebih tinggi
dibanding analog aseton dan siklopentanon (Liang et al., 2008). Substitusi ortho
oleh gugus donor elektron seperti gugus ortho metoksi, meningkatkan kestabilan
22
radikal bebas fenoksi, meningkatkan efek penangkal radikal bebas dan antitumor
(Youssef & El-Sherbeny, 2005).
Kurkumin stabil pada pH di bawah 6,5. Ketidakstabilan kurkumin pada
pH di atas 6,5 disebabkan oleh gugus metilen aktif. Hilangnya gugus metilen
aktif dan satu gugus karbonil pada 1,4-pentadien-3-on dapat menghasilkan
senyawa yang lebih stabil dan masih memiliki aktivitas antioksidan. Seri analog
sikloheksanon dan siklopentanon menunjukkan aktivitas antioksidan, ditunjukkan
dengan adanya faktor
1997a).
sterik pada gugus hidroksi fenolik (Sardjiman et al.,
Adanya gugus keto dan ikatan rangkap pada rantai tengah kurkumin dan
analognya (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) diduga berperan dalam aktivitasnya
sebagai kemoprevensi terhadap kanker kolorektal.
f. Kanker Kolorektal
Kanker pada dasarnya merupakan penyakit sel yang ditandai oleh
pergeseran mekanisme kontrol yang menentukan proliferasi dan diferensiasi sel.
Sel tersebut berproliferasi berlebihan dan membentuk tumor lokal yang dapat
menekan atau menginvasi struktur normal berdekatan.
sel-sel dalam tumor ini
Sub populasi kecil dari
dapat disebut sebagai induk sel tumor yang
mempertahankan kesanggupan menjalani siklus proliferasi berulang-ulang
maupun berimigrasi ke tempat yang jauh dalam tubuh untuk mengkolonisasi
berbagai organ dalam proses yang dinamai metastasis (Katzung, 1982). Sel-sel
demikian ini disebut kanker karena tumbuhnya bercabang-cabang menginvasi
jaringan sehat di sekitarnya, menyerupai kepiting (kanker) (Yuswanto & Sinaradi,
23
2000). Kanker atau tumor ganas dibedakan dari tumor jinak karena kecepatan
pertumbuhan sel kanker tinggi, aktivitas mitotiknya tinggi, pertumbuhan bersifat
infiltratif dan mampu membentuk metastasis, biasanya tidak teratur dan
diferensiasinya rendah (Bosman et al., 1999).
Sel kanker memperlihatkan ciri yang berbeda dengan sel normal, yaitu:
1. Sel normal memerlukan kontak dengan permukaan lingkungan ekstraseluler
agar dapat tumbuh, sedangkan sel kanker tumbuh dengan bebas.
2. Sel normal memberikan tanggapan terhadap adanya sel-sel lain dan dalam
biakan akan membentuk lapisan pelindung terhadap kontak dengan
penghambat, sedangkan sel kanker tidak.
3. Sel kanker bersifat kurang melekat dibanding sel normal, artinya pertautan
antar sel pada sel-sel penyusun kanker kurang terikat erat satu dengan yang
lain dibanding sel normal.
4. Sel normal menghentikan perkembangannya pada saat mencapai kerapatan
tertentu, tetapi sel kanker terus berkembang biak (Yuswanto & Sinaradi,
2000).
5. Sel kanker mempunyai kemampuan invasi ke jaringan lain dan masuk ke
peredaran darah karena didukung oleh kemampuan melepaskan diri dari sel
lain dan menempel pada jaringan lain, sehingga dapat membentuk koloni di
jaringan tersebut (Hanahan & Weinberg, 2000).
6. Sel kanker kehilangan kemampuan melakukan apoptosis (program bunuh diri
sel), sehingga sel tersebut terus bertambah.
Kehilangan kemampuan ini
dihubungkan dengan mutasi gen p53 (Sofyan, 2000).
24
7. Sel kanker memiliki kemampuan untuk membentuk saluran darah sendiri
(angiogenesis), sehingga suplai oksigen dan nutriea tetap terpenuhi.
Kemampuan ini dihubungkan dengan adanya sinyal inisiasi Vascular
Endothelial Factor (VEGF) (Hanahan & Weinberg, 2000).
Kanker kolorektal yang juga dikenal dengan nama kanker kolon
merupakan kanker yang tumbuh di kolon, rektum dan usus buntu. Kanker kolon
merupakan bentuk kanker yang ketiga dan penyebab kematian kedua di antara
penyakit kanker lainnya di dunia bagian barat.
Kanker kolon menyebabkan
655.000 kematian di dunia per tahun (WHO, 2006). Kanker kolorektal umumnya
terjadi pada individu usia 50 tahun atau lebih. Etiologi untuk kebanyakan kasus
kanker usus besar tampaknya berhubungan dengan faktor lingkungan. Penyakit
terjadi lebih sering pada populasi dengan sosial ekonomi yang tinggi yang hidup
di daerah perkotaan (Isselbacher et al., 1999).
Kira-kira 60% kejadian dari semua kanker usus terjadi pada bagian
rektosigmoid, sehingga tidak dapat teraba pada pemeriksaan rektum atau terlihat
pada sigmoidoskopi. Sekum dan kolon asendens merupakan tempat berikutnya
yang paling sering diserang. Kolon transversa dan fleksura merupakan bagian
yang memiliki kemungkinan terserang yang paling kecil (Price & Wilson, 1995).
Kanker kolorektal ditemukan dua pertiga pada kolon kiri dan sepertiganya
pada kolon kanan (gambar 5). Sebagian besar kanker kolorektal ditemukan pada
rektum sebesar 51,6%, selanjutnya diikuti oleh kolon sigmoid 18,8%, kolon
descendens 8,6%, kolon transversum 8,06%, kolon ascendens 7,8%, dan
multifokal 0,28%.
Berdasarkan data kanker statistik Amerika Serikat
25
menunjukkan bahwa sekitar 60% dari kanker kolorektal ditemukan pada rektum,
hal ini juga terlihat di Cina sekitar 80% kanker kolorektal terdeteksi di rektum
(Fahlevi, 2008).
Gambar 5. Letak Kanker Kolorektal (Fahlevi, 2008)
Kanker kolon banyak timbul dari polip adenomatus di dalam kolon. Polip
ini tumbuh ke dalam lumen dan dengan cepat meluas ke sekitar usus sebagai
cincin anular.
Lesi anular lebih sering terjadi pada bagian rektosigmoid,
sedangkan polip/polipoid atau lesi yang datar sering terdapat pada sekum dan
kolon asendens.
Secara histologis, hampir semua kanker usus besar adalah
adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang
jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar secara infiltratif langsung ke
struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh
limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon dan melalui aliran darah,
biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal. Prognosis
relatif baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseksi
26
dilakukan, dan jauh lebih jelek bila terjadi metastasis ke kelenjar limfe (Price &
Wilson, 1995; King, 2000).
Gejala-gejala paling sering kanker usus besar adalah perubahan kebiasaan
defekasi, perdarahan, nyeri, anemia, anoreksia, dan penurunan berat badan.
Tanda dan gejalanya berbeda-beda menurut tempat kanker dan sering dibagi
menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar (Price & Wilson,
1995).
Penyakit inflamasi segmen kolon (kolitis, divertikulitis) atau tumor kolon
menyebabkan nyeri yang bisa dirasakan pada bagian bawah abdomen di antara
umbilikus dan pubis, pada daerah midlumbal, atau pada keduanya. Jika sangat
hebat, nyeri bisa mempunyai suatu distribusi seperti sabuk mengelilingi tubuh.
Suatu lesi kolon transversum atau bagian pertama kolon desendens bisa sentral
atau di sisi kiri, dan batas penjalarannya ke bagian belakang tubuh adalah pada
vertebra lumbal kedua sampai ketiga. Jika kolon sigmoid terkena, nyeri terasa
lebih rendah, pada daerah sakral atas dan pada bagian depan pada garis tengah
daerah suprapubik atau kuadran kiri bawah abdomen (Isselbacher et al., 1999).
Karsinoma kolon kiri dan rektum cenderung menyebabkan perubahan
defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks.
Diare, nyeri kejang, dan
kembung sering terjadi karena lesi kolon kiri cenderung melingkar, sering timbul
gangguan obstruksi. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita. Baik mukus
maupun darah segar sering terlihat pada feses, dapat terjadi anemia akibat
kehilangan darah kronik. Pertumbuhan pada sigmoid atau rektum dapat mengenai
radiks saraf, pembuluh limfe, atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai
27
atau perineum. Hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau
sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut (Price
& Wilson, 1995).
Karsinoma kolon kanan, isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar
hingga lanjut. Sedikit kecenderungan menimbulkan obstruksi, karena lumen usus
lebih besar dan feses masih encer. Anemia akibat perdarahan sering terjadi, dan
darah bersifat samar dan hanya dapat dideteksi dengan tes guaiak. Mukus jarang
terlihat karena tercampur dalam feses (Price &Wilson, 1995).
Sebanyak 25% pasien dengan kanker kolorektal dapat mempunyai riwayat
keluarga penyakit tersebut menunjukkan predisposisi herediter.
Kanker usus
besar yang diturunkan ini dapat dibagi dalam dua kelompok utama: sindroma
poliposis dan sindroma nonpoliposis (Isselbacher et al., 1999).
Poliposis koli (yaitu poliposis kolon familial) merupakan keadaan yang
jarang yang ditandai dengan munculnya ribuan polip adenomatosa di seluruh usus
besar. Keadaan ini diturunkan dengan cara dominan autosomal; pasien tertentu
tanpa riwayat keluarga diperkirakan mengembangkan poliposis akibat mutasi
spontan. Penelitian molekuler telah menghubungkan poliposis koli dengan delesi
lengan panjang kromosom 5 (gen APC). Hilangnya materi genetik ini (yaitu
kehilangan alele) menyebabkan tidak adanya gen penekan tumor yang
memproduksi protein yang secara normal akan menghambat
neoplastik (Isselbacher et al., 1999).
pertumbuhan
Demikian pula dengan sindroma
nonpoliposis yang berhubungan dengan mutasi gen dalam memperbaiki gen DNA
seperti hMSH2 dan hMLH1 (McPhee et al., 2000).
28
Gambar 6. Familial Adenomatus Polyposis (FAP) pada wanita 18 tahun dengan permukaan
mukosa dipenuhi oleh polip adenoma yang sangat banyak (Fahlevi, 2008)
1. Perubahan Genetik dari Karsinogenesis Kolorektal
Perubahan gen dihubungkan dengan karsinogenesis kolon termasuk satu
gen yang disebut deleted in colon cancer (DCC), kadang-kadang disebut mutated
in colon cancer (MCC). Awalnya digambarkan sebagai penanda untuk suatu
molekul sel adhesi (N-CAM) dan kemudian suatu reseptor membran polipeptida
(netrins) bertanggung jawab untuk mengarahkan perpindahan sel.
Kesalahan
penempatan lokasi kromosom DCC jelas terlihat, kesalahan yang nyata adalah gen
terdekat, SMAD4, yang terlibat dalam jalur penanda untuk pembentukan faktor
pertumbuhan (TGF-). Tumour Growth Factor  (TGF-) merupakan suatu
penghambat pertumbuhan, menyebabkan perbedaan sitokin jadi hilangnya signal
transduksi dari faktor ini dapat menyebabkan promosi tumor.
Pada tikus APC
deletion dengan satu allele dihilangkan, menyebabkan efek invasi adenoma,
sedangkan DCC deletions tidak memiliki efek invasi adenoma (King, 2000).
29
2. Model Kanker Kolorektal
Usus dari tikus yang dibagi ke bagian sebagai berikut yaitu duodenum,
jejunum dan ileum, yang disebut usus kecil; dan sekum, asendens, transversum,
kolon desendens, dan rektum merupakan bagian dari usus besar. Duodenum
memiliki mesenterium pendek dan diatur sebagai loop berbentuk S. Panjang
jejunum dan ileum tikus adalah 70 – 90 cm. Mukosa usus kecil seperti beludru
dan tidak pernah membentuk lipatan Kerckring. Usus kecil memiliki panjang
mesenterium 2 – 6 cm dan membentuk loop pada berbagai bentuk dan ukuran.
Panjang sekum 6 – 9 cm, dan kolon 16 – 20 cm. Vili mukosa tikus terletak
sepanjang usus kecil. Seperti hewan lainnya, epitel usus tikus terdiri dari dua tipe
sel yaitu sel border dan sel goblet. Pada usus kecil juga terdapat sel Paneth dan
Kultchitsky, yang terdiri dari sel Paneth diisolasi pada bagian bawah crypt, yang
dilapisi sel border dengan sitoplasma basofilik. Sel Goblet yang memproduksi
mukus dapat dilihat tersebar diantara sel border (Pozharisski, 1973).
Model hewan merupakan langkah penting dalam kemajuan evaluasi bahan
kemoprevensi.
Bahan kimia karsinogenesis pada epitel usus tikus bertindak
sebagai inisiator atau kombinasi dua bahan kimia bertindak sebagai inisiatorpromotor. Model ini telah banyak digunakan dalam tahap pra-klinik in vivo untuk
menguji keberhasilan dari bahan kemoprevensi. Dalam beberapa tahun terakhir
model
eksperimental
hewan
telah
dikembangkan
untuk
mempelajari
karsinogenesis kolon dengan induksi 1,2-dimetilhidrazin (DMH), azoxymethane
(AOM), metoksimetan (MAM) dan N-metil-N'-nitro-N-nitrosoguanidin (MNNG)
(Reddy et al., 1975; Gustin & Brenner, 2002).
Induksi 1,2-dimetilhidrazin
30
(DMH) dan 2-asetilaminofluran selama 6 bulan dapat memunculkan tumor pada
kolon desendens. Tumor pada usus kecil terjadi pada sebagian hewan; tumor pada
sekum jarang terjadi. Cycasin dan 3,2'-dimetil-4-aminodifenil berefek pada usus
besar (Pozharisski, 1973).
Kebanyakan senyawa-senyawa tersebut beraksi
melalui metilasi nukleotida DNA terutama guanin yang akhirnya menghasilkan
mutasi DNA (Gustin & Brenner, 2002).
Terdapat beberapa keuntungan penggunaan DMH/AOM pada model
karsinogenesis
kolon
untuk
studi
kemoprevensi.
Pertama,
percobaan
sampai saat ini menunjukkan bahwa efek promosi dan perlindungan eksperimental
dapat dibedakan dalam model.
Kedua, evolusi tumor kolon dalam model
DMH/AOM mirip yang terjadi pada manusia, termasuk progresi Abberant Crypt
Foci (ACF) ke adenoma (polip), dan akhirnya terbentuk karsinoma.
Ketiga,
gambaran histopatologi pada tumor kolon yang diinduksi dengan DMH/AOM
mirip yang terjadi pada manusia, dan 30 – 60% induksi tumor kolon dengan
DMH/AOM memiliki mutasi K-ras seperti yang terlihat pada tumor kolon
manusia. Selain itu, tidak seperti tumor kolon manusia, induksi tumor dengan
DMH/AOM jarang memperlihatkan mutasi pada Apc (kira-kira 8%) atau p53.
Induksi kanker kolon dengan DMH/AOM menyebabkan mutasi pada -catenin
(Wong et al., 2007).
Secara morfologis dan perilaku, induksi tumor usus pada tikus menyerupai
tumor yang terjadi pada manusia. Hampir semua jenis tumor yang terjadi pada
manusia dapat direproduksi secara eksperimen. Studi menggunakan mikroskop
elektron dari polip dan karsinoma pada kolon yang diinduksi 3-2-dimetil-4-
31
aminodifenill pada tikus menunjukkan kemiripan antara tumor kolon pada
manusia dengan tikus (Spjut & Smith, 1967).
Demikian pula karakteristik
histologis dari neoplasma epitel yang diinduksi secara kimia pada tikus, mirip
dengan manusia dan anjing (Lingeman & Garner, 1972). Perkembangan tumor
dalam duodenum dan usus kecil jarang terjadi pada manusia, tetapi pada hewan
menunjukkan frekuensi kejadian tinggi pada bagian ini (Pozharisski, 1973).
3. Karsinogenesis Kolorektal
Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner yang dapat
berlangsung beberapa bulan atau beberapa tahun (Albert et al., 1994). Proses
pertumbuhan ini dinamakan karsinogenesis, dimulai dari satu sel kanker yang
memperbanyak diri dan membentuk satu koloni kecil dalam jaringan yang sama.
Selanjutnya perubahan genetik (misalnya aktivasi onkogen) terjadi dalam koloni
sel yang abnormal dan menjadi tumor ganas (Schneider, 1997).
Proses karsinogenesis terjadi melalui beberapa fase yang meliputi fase
inisiasi, fase promosi, fase progresi, dan metastasis.
Inisiasi merupakan fase
pertama dan merupakan akibat adanya perubahan genetik yang menyebabkan
adanya proliferasi abnormal dari satu sel. Promosi merupakan kelanjutan inisiasi,
yaitu adanya pacuan dari faktor promosi tumor yang menyebabkan pertumbuhan
yang cepat dan pembentukan tumor benigna. Progresi merupakan perubahan
genetik semakin bertambah banyak sehingga akan menambah koloni sel tumor.
Tumor pada stadium ini bersifat invasif dan seringkali diikuti dengan proses
pembentukan pembuluh darah baru yang dinamakan angiogenesis.
Fase
berikutnya adalah metastasis, yaitu perkembangan tumor yang bersifat malignan
32
dan terjadinya pelepasan sel-sel tumor ganas dari koloni primernya. Sel-sel tumor
ganas ini dapat memasuki saluran limfatik, sehingga dapat menyebar ke seluruh
tubuh dan berkembang di tempat yang jauh (Schneider, 1997).
Kemampuan
invasi sel kanker dihubungkan dengan banyaknya produksi protease pada sel
kanker ini.
Protease akan mempengaruhi interaksi sel dan memfasilitasi
pergerakan sel kanker melalui matriks ekstraseluler. Tahap metastasis merupakan
tahap yang paling kritis yang menyebabkan gejala klinis dan bahkan kematian
(King, 2000).
Karsinogenesis kolorektal memerlukan sel normal sebelumnya untuk
mengakumulasikan genetik ganda dan menentukan klonnya berturut-turut.
Kebanyakan kanker membutuhkan antara 6 – 10 klon untuk mencapai akhir
fenotip
malignan,
yang
membutuhkan
(Rajagopalan & Lengauer, 2004).
tambahan
sifat
metastasis
juga
Proses ini menunjukkan ketidakstabilan
genomik, strategi mutasi berikutnya adalah terjadinya peningkatan mutasi.
Ketidakstabilan genomik merupakan tujuan karsinogenesis yang paling kritis
(Loeb, 1991).
Tanpa ketidakstabilan genomik pencapaian mutasi baru akan
terjadi sangat lambat untuk perkembangan kanker pada manusia. Siklus sel dan
kumparan checkpoint mitosis adalah kritikal dalam proses ini untuk memastikan
bahwa proliferasi sel hanya mengikuti replikasi yang tepat dan mengatur materi
genetik (Worthley et al., 2007).
Terdapat dua kategori utama dari ketidakstabilan genomik dalam kanker
kolorektal. Ketidakstabilan kromosomal [chromosomal instability (CIN)] yang
banyak terjadi pada kanker kolorektal, perubahan genetik ini terjadi melalui
33
akumulasi jumlah atau struktur ketidaknormalan kromosomal (aneuploid)
(Rajagopalan & Lengauer, 2004). Tipe ketidakstabilan genomik lainnya adalah
ketidakstabilan
mikrosatelit
[microsatellite
instability
(MSI)],
yang
mengakibatkan kerusakan pengenalan dan perbaikan kesalahan basa dalam
daughter strand DNA selama replikasi DNA (Jass et al., 2002). Mikrosatelit
merupakan nukleotida yang mengulang seluruh urutan genom dan MSI
menunjukkan ketidaksesuaian dalam pengulangan jumlah nukleotida yang
ditemukan dalam daerah mikrosatelit tumor terhadap germline DNA. Jalur yang
berhubungan dengan CIN atau MSI menunjukkan bahwa ketidakstabilan genomik
diperlukan dan jalur tersebut juga berpengaruh terhadap karsinogenesis kolorektal
(Rajagopalan & Lengauer, 2004; Worthley et al., 2007).
Umumnya sekitar 70 – 85% kanker kolorektal berkembang melalui jalur
’tradisional’, yaitu CIN, atau jalur ’penekan’ (Grady, 2004). Identifikasi lesi
tercepat pada jalur ini adalah displasia aberrant crypt focus (ACF). Mikroskopik
dan ACF ditandai dengan lesi mukosa yang diawali oleh perkembangan polip
makroskopik (Takayama et al., 2001). Jalur CIN dihubungkan dengan mutasi
adenomatous polyposis coli (APC) atau kehilangan 5q (gen APC), mutasi K-ras,
hilangnya 18q, dan akhirnya penghilangan 17p yang mengandung gen penekan
tumor penting p53 (Grady, 2004). Perkembangan kanker kolorektal melalui jalur
CIN dapat dilihat pada gambar 7.
34
Gambar 7. Tradisional sporadic/CIN/jalur penekan: perubahan patologis dan molekuler
(Worthley, 2007)
4. Ekspresi Gen pada Kanker Kolorektal
a. APC (5q21)
Gen adenomatus polyposis coli (APC) adalah besar, mengadung 15 ekson
dan merupakan target utama mutagenesis.
Mutasi patogen gen APC sering
memotong protein APC, yang menghambat dengan mengikat -katenin untuk
menurunkan jalur signal Wnt.
Secara normal signal Wnt membantu dalam
mengatur pertumbuhan, apoptosis, dan diferensiasi. (Kuhnert et al., 2004). Jadi
mutasi APC yang menghambat ikatan APC--katenin merusak degradasi normal
-katenin dan mengakibatkan jalur signal Wnt aktif. Kadang-kadang mutasi -katenin membuat protein APC resisten terhadap degradasi, sehingga dapat
bertindak sebagai alternatif mutasi APC, sehingga jalur signal Wnt berperan
penting dalam perkembangan kanker kolorektal (Gregorieff & Clevers, 2005).
35
Kehilangan fungsi APC dapat pula mengganggu pengaturan normal
mitosis.
Selama metafase, pengaturan kromatid
saudara untuk memastikan
kesuksesan distribusi untuk sel anakan (daughter cells). Beberapa komponen
seluler termasuk kinetokor mengatur kromatin untuk memastikan pengiriman
yang tepat selama pembagian sel. Adenomatus polyposis coli (APC) adalah
kinetokor terikat protein mikrotubuli, dan bersama dengan EB1 mempromosikan
urutan kromosom yang tepat dan selanjutnya pemisahan kromosom (Green et al.,
2005). Sel APC tidak mampu mendeteksi kelainan kromosom selama metafase,
namun masih dapat dilanjutkan ke anafase (pemisahan pada fase mitosis) untuk
menghasilkan CIN (Draviam et al., 2006). Mutasi APC ditemukan sekitar 60%
pada kanker di kolon dan 82% pada kanker rektum (Jass et al., 2002).
b. K-ras (12p)
Proto-onkogen K-ras mengkode protein GTP dan ketika bermutasi dapat
menyebabkan hilangnya aktivitas GTPase.
Dengan demikian, hidrolisis GTP
aktif menjadi GDP tidak aktif terhambat, menyebabkan signal konstitutif melalui
jalur downstream.
Aktivasi mutasi K-ras ditemukan 35 – 42% pada kanker
kolorektal manusia dan terjadi melalui jalur RAS-RAF-MAPK yang penting
dalam transisi adenoma/karsinoma (Leslie et al., 2002).
Namun demikian,
aktivasi ras pada model tikus tidak menyebabkan kanker kolorektal (Watson,
2008).
c. p53 (17p)
Kehilangan
p53, biasanya melalui kehilangan alelik dari 17p dan membawa
transisi dari pre-invasif ke invasif. Beberapa studi menunjukkan bahwa frekuensi
36
ketidaknormalan p53, baik mutasi maupun hilangnya heterozigositas, relatif
meningkat ke tahap histologis dari lesi adenokarsinoma kolorektal.
demikian, kelainan
Dengan
yang ditemukan pada 4 – 26% adenoma, 50% adenoma
dengan foki invasif, dan 50 – 75% pada kanker kolorektal (Leslie et al., 2002).
Mills (2005), menyatakan bahwa protein p53 fungsional menstabilkan kerusakan
DNA yang merupakan faktor transkripsi pada kanker kolorektal.
Hal ini
bertindak untuk meningkatkan ekspresi gen penghambat siklus sel, memperlambat
siklus sel dan memberi waktu yang cukup untuk perbaikan DNA.
Ketika
kerusakan genetik terlalu besar untuk diperbaiki, p53 menginduksi gen proapoptosis.
d. Siklooksigenase (COX)
Dua jenis COX yang merupakan isoform yang ditemukan hingga saat ini
yaitu COX-1 dan COX-2 yang keduanya memiliki aktivitas yang sama sebagai
katalase sintesis prostanoid dari asam arakidonat.
COX-1 secara konstitutif
diekspresi secara nyata oleh hampir seluruh jaringan tubuh mamalia, sedangkan
COX-2 hanya sebagian saja dan dalam level yang rendah atau tidak terdeteksi.
Level ekspresi COX-1 pada umumnya konstan dan hanya akan ada kenaikan
sedikit bila ada stimulasi dari faktor pertumbuhan atau selama masa deferensiasi.
Ekspresi COX-2 biasanya akan lebih banyak karena adanya rangsangan dari
mitogen, sitokin, dan tumor promoter yang bisa diakibatkan oleh adanya
kerusakan sel atau bentuk stres sel lainnya (DeWitt, 1991; Dubois et al., 1998).
Perbedaan fungsi COX-1 dan COX-2 dapat dilihat pada gambar 8.
37
COX-1 memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga prosesproses fisiologis pada berbagai jaringan atau organ. Misalnya pada ginjal, COX-1
berfungsi untuk menjaga elastisitas pembuluh darah sehingga proses filtrasi dapat
berlangsung dengan baik, sedangkan pada lambung berfungsi untuk merawat
integritas mukosa lambung dengan cara mengatur vasodilatasi pembuluh darah.
COX-2 yang diekspresi karena adanya rangsangan tertentu berfungsi sebagai
pendukung fungsi COX-1 atau sesuai dengan kebutuhan (Dubois et al., 1998).
Ekspresi COX-2 menunjukkan adanya peningkatan yang nyata pada beberapa sel
kanker (Crofford, 1997), bahkan pada kanker kolon ekspresi COX-2 menunjukkan
adanya peningkatan yang sangat tinggi dibanding pada keadaan normalnya
(Kutchera et al., 1996; Sano et al. , 1995).
Penelitian Sano et al. (1995) memperlihatkan bahwa ekspresi COX-2
terlihat di dalam sel-sel kanker, sel-sel inflamasi, endotelium vaskular, dan
fibroblast dari jaringan yang luka, dibandingkan dengan jaringan yang tidak luka
dan jaringan kolon yang normal. Tingkat dan intensitas dari immunoreaktif
COX-2 dalam sel kanker lebih baik dibanding tipe-tipe sel lainnya. Sebaliknya,
ekspresi COX-1 lemah dalam spesimen normal dan kanker. Oleh karena itu,
peningkatan ekpresi COX-2 dalam jaringan kanker kolon kemungkinan juga
meningkatkan sintesis prostaglandin E2. Peningkatan ekspresi COX-2 berperan
dalam patogenesis kanker kolon.
Selanjutnya, inhibisi selektif dari COX-2
kemungkinan lebih berkhasiat dalam menghambat perkembangan kanker kolon.
Pada sel-sel kanker overekspresi COX-2 yang berakibat pada overproduksi
prostanoid akan menyebabkan peningkatan proliferasi (Kinoshita et al., 1999) dan
38
mencegah apoptosis (Battum et al., 1998). Peningkatan proliferasi sel terjadi
karena adanya aktivasi beberapa onkogen yang terlibat dalam signal mitogenik
seperti Ras, sedangkan inhibisi terhadap proses apoptosis merupakan akibat dari
adanya overekspresi bcl2 (Sheng et al., 1998), di samping itu overekspresi COX-2
pada sel-sel kanker kolon juga ikut memacu proses angiogenesis sehingga akan
mempermudah berkembangnya kanker (King, 2000). Peristiwa ini disebabkan
karena produk katalisis COX -2 akan memacu aktivasi faktor angiogenik (Chan et
al., 1998).
Gambar 8. Perbedaan Fungsi COX-1 dan COX-2 (Surh & Kundu, 2005)
39
Percobaan menggunakan tikus betina defisiensi gen APC menyebabkan
terjadinya polip kolon. Hilangnya gen COX-2 mengurangi ukuran dan jumlah
polip tersebut (Tuynman et al., 2004). Penghambat COX memiliki efek yang
serupa pada kanker kolon yang diinduksi secara kimiawi. Pada kultur sel kanker
kolon, transfeksi dari gen COX-2 meningkatkan sintesis prostaglandin,
menigkatkan adhesi sel, dan menurunkan apoptosis, selanjutnya efek ini diblok
oleh penghambat COX (King, 2000; Isselbacher et al., 1999).
g. Landasan Teori
Kurkumin merupakan antioksidan yang poten sebagai penangkal berbagai
radikal terhadap radikal hidroksil, nitrogen, superoksida, dan oksigen dari proses
biologis yang terjadi di dalam tubuh, serta inhibitor lipid peroksidasi yang
terinduksi berbagai agen selular atau asing (Rao, 1997). Selain itu, kurkumin
juga memiliki aktivitas antiinflamasi dan berpotensi sebagai antikanker karena
kemampuannya menghambat COX.
Reaktivitas molekul kurkumin dan
analognya akan menentukan kemampuannya berinteraksi dengan komponen
selular (DNA, protein, lipid membran, dan sebagainya), sehingga akan
mempengaruhi proses biologi sel seperti daur sel, metabolisme, dan lain
sebagainya yang berakhir pada kematian sel (apoptosis). Kurkumin diketahui
hanya stabil pada pH di bawah 6,5, hal ini disebabkan oleh adanya gugus metilen
aktif. Penghilangan gugus metilen aktif dan satu gugus karbonil menjadi 1,4pentadien-3-on dapat menghasilkan molekul yang lebih stabil dengan masih
memiliki aktivitas antioksidannya (Sardjiman, 2000).
40
Berdasarkan informasi tersebut, maka pada kesempatan ini akan dilakukan
penelitian tentang pengaruh gugus–gugus penting kurkumin dengan cara menguji
aktivitas kemoprevensi hasil modifikasi struktur kurkumin terhadap kanker
kolorektal. Modifikasi dengan penghilangan metilen dan perubahan gugus diketon menjadi monoketon dalam bentuk siklopentanon dan sikloheksanon
secara teoritis akan meningkatkan reaktivitas molekul yang juga akan
meningkatkan aktivitas kemoprevensinya terhadap kanker kolorektal.
Dengan
demikian perubahan gugus -diketon kurkumin menjadi siklopentanon dan
sikloheksanon
pada
GVT-0,
PGV-0,
dan
HGV-0
kemungkinan
akan
meningkatkan reaktivitas molekul, sehingga akan meningkatkan potensi
kemoprevensinya terhadap kanker kolorektal.
Sebagai analog kurkumin, GVT-0, PGV-0, dan HGV-0, diduga memiliki
bioaktivitas yang mirip atau bahkan lebih baik dari kurkumin. Senyawa yang
memiliki struktur kimia yang mirip biasanya juga memiliki bioaktivias yang
hampir sama. Oleh karena itu, GVT-0, PGV-0, dan HGV-0 sangat perlu diteliti
dan dikembangkan guna mengetahui potensi dan mekanisme molekuler senyawa
tersebut sebagai kemoprevensi kanker kolorektal.
Penggunaan bahan penginduksi kimia kanker kolorektal yaitu 1,2dimetilhidrazin.2HCl (DMH). Penggunaan DMH ini didasarkan pada evolusi
tumor pada model kanker kolorektal mirip yang terjadi pada manusia.
Penggunaan hewan coba tikus sebagai model kanker kolorektal karena
secara morfologis dan prilaku, induksi tumor kolorektal pada tikus menyerupai
tumor yang terjadi pada manusia.
41
h. Hipotesis
Berdasarkan
uraian
rumusan
masalah
dan
landasan
teori
yang
dikembangkan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
1. Analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) dapat digunakan sebagai
bahan kemoprevensi terhadap model kanker kolorektal secara in vivo yang
dibandingkan dengan kurkumin.
2. Adanya pengaruh dosis dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan
HGV-0) terhadap aktivitas kemoprevensi kanker kolorektal secara in vivo
yang dibandingkan dengan kurkumin.
3. Mekanisme kemoprevensi dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan
HGV-0) terhadap kanker kolorektal secara in vivo.
42
- genetika
- diet
- epidemiologi
Kurkumin (in vitro):
- Antoksidan
- Antiiinflamasi
- Antibakteri
- Antikanker
Kanker Kolorektal
Analog Kurkumin:
- aktivitas lebih bagus
- in vitro :
Antioksidan, antiinflamasi,
antibakteri, antifungi,
antiangiogenesis
Molekular Genetik:
APC
K-ras
P53
COX-2
Epitel normal dari kolon
Displasia
Adenoma
Gambar 9. Kerangka Konsep Berpikir
Kanker
Kolorektal
43
BAB III
CARA PENELITIAN
a. Bahan
1. Sintesis GVT-0, PGV-0, dan HGV-0
Aseton, siklopentanon, sikloheksanon, tributilborat, vanilin (p.s. E.Merck);
asam asetat glasial, asam klorida, etanol, etil asetat, heksan, kloroform, metanol
(p.a. Merck, Germany), dan akuades.
2. Uji Antikanker in vivo
Alkohol 70%, analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) yang
disintesis sesuai prosedur (Sardjiman, 2000), akuades, 1,2-dimetilhidrazin.2HCl
(ABCR, Germany), formalin 10%, kurkumin (Merck, Germany), tikus jantan
galur Wistar dengan bobot badan 150 – 200 g dan umur 2 bulan, dan phosphate
buffered-saline (PBS)
b. Alat
1. Sintesis, identifikasi, dan uji hasil sintesis
Alat pemeriksaan titik lebur (Buchi Melting Point B-540), beker gelas,
bunsen, cawan porselin, corong Buchner, Erlenmeyer, kertas saring (Whatman
40), labu hisap, lempeng kromatografi lapis tipis (KLT) dengan fase diam GF254,
pipet ukur, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu A1601), spektrofotometer IR
(Perkin Elmer Spectrum 100), spektrometer massa (Mariner Mass Spectrometer),
spektrometer resonansi magnet inti (Varian XL-400), termopan (Reichert Austria;
Nr. 340579), timbangan elektrik (Sartorius).
2. Uji Kemoprevensi in vivo
44
Alat suntik, eppendorf, kandang hewan, kannula, timbangan hewan
c. Jalannya Penelitian
Tahapan penelitian yang akan dikerjakan adalah : (1) Sintesis GVT-0,
PGV-0, dan HGV-0; (2) Uji kemurnian dan identifikasi hasil sintesis kurkumin,
GVT-0, PGV-0, dan
HGV-0 dengan elusidasi struktur; (3) Pengujian
kemoprevensi in vivo hasil sintesis GVT-0, PGV-0, dan HGV-0 dengan model
kanker kolorektal pada tikus.
1. Sintesis GVT-0, PGV-0 dan HGV-0 (Sardjiman, 2000)
1.1. Sintesis GVT-0
Vanilin (38,5 g;0,25 mol), (27,75 ml;0,38 mol) aseton, 3,5 ml HCl pekat.
Aduk pada suhu -10oC (dalam lemari pendingin) selama 1 jam, kemudian pada
suhu kamar selama 2 jam. Setelah didiamkan selama 8 hari (warna menjadi
coklat), campuran tersebut dicuci dengan air:etanol (1:0,57) sampai terbentuk
warna jingga.
Campuran dicuci dengan air dingin sampai bebas asam lalu
dikeringkan.
1.2. Sintesis PGV-0
Vanilin (15,4 g; 0,1 mol) dalam Erlenmeyer ditambah siklopentanon (4,4
ml; 0,05 mol) diaduk sampai homogen pada suhu 25 – 30 oC. Ditambahkan 2,0 ml
HCl pekat bertetes-tetes, kemudian pengadukan dilanjutkan selama 1 jam (sampai
memadat). Hasil didiamkan selama 2 hari pada suhu kamar, kemudian diisolasi
dengan maserasi campuran asam asetat glasial – air (1:1), kemudian disaring
dengan cepat dalam keadaan dingin dan dilanjutkan dengan campuran asam asetat
45
glasial – air sampai warna hijau tua hilang. Dicuci dengan air panas sampai bebas
asam dan dikeringkan.
1.3. Sintesis HGV-0
Vanilin (15,4 g; 0,1 mol) dalam Erlenmeyer ditambah sikloheksanon (4,4
ml; 0,05 mol) diaduk sampai homogen pada suhu 25 – 30 oC. Ditambahkan 2,0 ml
HCl pekat bertetes-tetes, kemudian pengadukan dilanjutkan selama 1 jam (sampai
memadat). Hasil didiamkan selama 2 hari pada suhu kamar, kemudian diisolasi
dengan maserasi campuran asam asetat glasial – air (1:1), kemudian disaring
dengan cepat dalam keadaan dingin dan dilanjutkan dengan campuran asam asetat
glasial – air sampai warna hitam kemerahan hilang. Dicuci dengan air panas
sampai bebas asam dan dikeringkan.
2. Uji kemurnian dan identifikasi hasil sintesis GVT-0, PGV-0, dan HGV-0
2.1. Pengujian kemurnian dengan penentuan jarak lebur
Senyawa hasil sintesis dan hasil pemurnian diuji jarak leburnya dengan
alat Buchi Melting Point B-540.
2.2. Pengujian kemurnian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Senyawa dilarutkan dalam metanol, kemudian ditotolkan sebanyak 2 l
pada lempeng silica gel GF254 dari aluminium, dengan fase gerak campuran
heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol dengan perbandingan bervariasi untuk
menghasilkan pemisahan yang sempurna. Spot kromatogram diamati pada UV
254 dan 366 nm.
2.3. Elusidasi Struktur
46
Elusidasi struktur dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-VIS,
spektrofotometer inframerah, spektroskopi massa, dan spektrometer NMR yang
analisis hasilnya digunakan untuk menginterpretasikan rumus struktur dari
senyawa hasil sintesis.
3. Uji kemoprevensi kolorektal
3.1. Penimbangan Bobot Badan pada Hewan Coba
Tikus Wistar ditimbang 1 kali dalam seminggu dan dilakukan selama 2
minggu pada tahap adaptasi hewan.
Selanjutnya penimbangan berat
badan
hewan coba dilakukan sehari sebelum dilakukan induksi untuk menghitung
jumlah dosis yang akan digunakan. Keesokan harinya, hewan coba ditimbang lagi
lalu diinduksi.
3.2. Induksi Kanker Kolorektal
Tikus Wistar yang telah diadaptasikan selama 1 minggu, bobot badannya
ditimbang sehari sebelum induksi dengan 1,2-dimetilhidrazin.2HCl sebanyak 1
ml. Penginduksian dilakukan sebanyak 1 kali seminggu secara injeksi subkutan
(s.c) selama 15 minggu. Setelah diinduksi selama 15 minggu, tikus dibiarkan
selama 10 minggu lalu dibedah dan diamati kanker yang terjadi (Ravnik-Glavac et
al., 2000).
3.3. Pengamatan Morfologi
Saat otopsi, semua organ dalam diperiksa kecuali sistem saraf pusat.
Perhatian khusus kemungkinan adanya tumor pada saluran pendengaran bagian
luar.
Bagian perut dibuka melalui lengkungan utama sedangkan usus secara
47
longitudinal pada sisi antimesenterial; setelah dibuka, organ-organ tersebut dicuci
dengan air. Bagian akhir ileum, usus besar, anus dan neoplasma dalam usus kecil
disebar di atas papan polystirene dengan mukosa usus menghadap ke atas. Semua
jaringan disimpan dalam buffer formalin 10%. Seluruh lesi pada usus dinilai
berdasarkan kriteria makroskopik dan histologis yang digunakan pada patologi
manusia (Ravnik-Glavac et al., 2000).
3.4. Pewarnaan untuk Ekspresi Protein p53, K-ras, APC, dan COX-2
Empat m bagian blok parafin dipotong.
Bagian yang tidak berparafin,
diteteskan larutan H2O2 3% dalam metanol untuk memblokir aktivitas peroksidase
endogen. Teteskan antibodi monoklonal primer untuk protein yang ingin diamati,
diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar.
Kompleks antigen-antibodi
divisualisasikan menggunakan teknik pewarnaan biotin-streptavidinperoksidase.
Warna dikembangkan dengan larutan diaminobenzidin (DAB) dan ditambahkan
hematoxylin.
Slide kemudian dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop
(Ghavam-Nasiri et al., 2007).
.
3.5. Perlakuan dengan Senyawa Kurkumin dan Analognya
Tikus Wistar (130 ekor) dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok 1 (kontrol
positif) yang diberikan injeksi DMH.2HCl. Kelompok 2, 3, 4, dan 5 dilakukan
hal yang sama dengan kelompok 1 dengan pemberian senyawa kurkumin dan
analognya (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) sebanyak 20, 40, 60 mg/kg bobot badan
48
yang dibuat suspensi dengan Na CMC 0,5% diberikan per oral dan dibuat segar
setiap perlakuan. Kelompok 5 (kontrol negatif) yang diinjeksi subkutan (s.c)
dengan larutan fisiologis 1 ml. Tikus pada kelompok 1 dan 5diberikan akuades
secara per oral. Bobot badan seluruh hewan ditimbang satu kali seminggu sampai
akhir pemberian injeksi DMH, dan setiap minggu sampai akhir perlakuan pada
minggu ke-5. Hewan dibedah pada minggu ke-25. Kolon dikeluarkan dan dibuka
secara longitudinal, dibersihkan dengan PBS, dimasukkan dalam formalin 10%,
dikeringkan dan ditanam dalam parafin, bagian dengan ketebalan 5 m diproses
untuk analisis histopatologi.
Skema/alur kerja pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 10.
d. Analisis Data

Hasil penelitian in vivo meliputi jumlah nodul, area (diameter PxL) dianalisis
secara non-parametrik.

Derajat kerusakan jaringan dianalisis secara deskriptif
49

Ekspresi protein yang berkaitan dengan progresi/pertumbuhan kanker
kolorektal dianalisis dengan one way ANOVA diikuti dengan Poshoc Test
(Tukey Test)

Berat badan analisisnya dengan multi factor random design (Split Splot)
50
Tikus Wistar Jantan
Sintesis analog
kurkumin
Induksi 1,2dimetilhidrazin.2HCl
Injeksi subkutan pada
daerah pinggang/hip
Kelompok 1
DMH
Kelompok 2*
20 mg/kg BB
Kelompok 3*
40 mg/kg BB
-
Kelompok 4*
60 mg/kg BB
Uji kemurnian
KLT
Elusidasi struktur
Kelompok 5
Larutan NaCl
fisiologis
1 hari kemudian
Analog
kurkumin
Diberikan 2xseminggu
p.o selama 25 minggu
Makroskopik
- jumlah nodul
- area (PxL)
Mikroskopik
- derajat kerusakan jaringan
- ekspresi protein
Gambar 10. Skema/Alur Kerja
* Dosis yang digunakan adalah dosis antiinflamasi (Sardjiman, 2000)
51
Jadwal Penelitian
KEGIATAN
Waktu (Bulan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
Persiapan
penelitian:
Alat
dan
Bahan
Sintesis
dan
pengukuran
perhitungan
tetapan kimiafisika
Uji
aktivitas
antikanker
kolorektal (in
vivo)
Analisis Data
52
Download