BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks 1. Definisi Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis yang disebabkan oleh infeksi virus Human Papilloma Virus (HPV). HPV grup onkogenik resiko tinggi terutama HPV 16 dan HPV18 serta filogeniknya. Lebih dari 95% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Karsinoma serviks didahului dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan menyebar keluar dari serviks uteri ke tempat lain dalam tubuh (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). 2. Epidemiologi Kanker serviks disebabkan oleh infeksi yang terus menerus dari Human Papiloma Virus (HPV). Penularan penyakit kanker ini dapat melalui hubungan seksual, ditemukan lebih tinggi pada perempuan yang mulai berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun. Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 (Rasjidi, 2009). Kanker serviks merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita. Badan Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) menyatakan, saat ini penyakit kanker serviks menempati peringkat kedua teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia. Setiap tahun terdapat 500.000 kasus baru kanker serviks baru diseluruh dunia, 77% berada dinegara berkembang. Kurang lebih 80% kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Kanker ini menyebabkan sekitar 250.000 mengalami kematian pada tahun 2005 dan WHO memperkirakan kematian akibat kanker serviks akan meningkat sampai 25% untuk 10 tahun kedepan. Menurut WHO tahun 2007 diperkirakan 15.050 kasus baru kanker serviks muncul setiap tahunnya dan 7.566 5 6 kasus kematian terjadi akibat kanker serviks di Indonesia (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). Sampai saat ini, kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi. Di Indonesia insidensi kanker serviks belum diketahui secara pasti. Namun dari penelitian Suripto tahun 1982 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sarjadi pada tahun 1990 di Semarang diperoleh angka masingmasing sebesar 20,04 dan 24,41 per 100 ribu penduduk. Diperkirakan bahwa kanker serviks merupakan kanker terbanyak pada wanita Indonesia. Sebagai perbandingan untuk daerah ASEAN, insidensi kanker serviks di Singapura sebesar 25.0 pada ras Cina dan 17,58 pada ras Melayu dan Thailand sebesar 23,7 per seratus ribu penduduk. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus (Rasjidi, 2009). 3. Etiologi Lebih dari 90% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesai, 2013). Penyebab utama kanker ini adalah virus HPV (human papilloma virus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual (Prawirohardjo, 2010). Beberapa tipe HPV yang ditemukan pada kanker dan lesi prakanker yaitu kelompok HPV resiko rendah antara lain: tipe 6, 11, 42, 43 dan 44. Sedangkan kelompok HPV resiko tinggi meliputi tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58. Pada kasus virus HPV resiko rendah, virus akan mereda dengan sendirinya, namun untuk virus HPV resiko tinggi, akan berlanjut menjadi kanker serviks, sehingga cukup mengancam kesehatan anatomi wanita. Salah satu problema yang timbul akibat infeksi HPV ini seringkali tidak ada gejala atau tanda yang tampak 7 mata. Menurut hasil studi National Institute of Allergy and Infectious Diseases, hampir separuh wanita yang terinfeksi dengan HPV tidak memiliki gejala-gejala yang jelas. Dan diperberat oleh karena mereka yang terinfeksi juga tidak tahu bahwa mereka bisa menularkan HPV ke orang sehat lainnya. Sebagian besar kanker serviks disebabkan oleh HPV-16 atau HPV-18. Berbagai faktor yang dianggap sebagai kofaktor (faktor penyerta) terjadinya kanker serviks antara lain faktor usia, usia pertama kali menikah, aktivitas seksual tinggi dengan multipartner, penggunaan antiseptik vagina, multiparitas, kebiasaan merokok, kontrasepsi hormonal, riwayat penyakit kelamin, penggunaan kontrasepsi oral dan faktor nutrisi. Dengan usia lebih dari 35 tahun atau dengan usia seseorang bertambah tua maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker serviks merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. Usia pertama kali menikah pada usia kurang dari 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan beresiko terkena kanker serviks 10 sampai 12 kali lebih besar daripada yang menikah lebih dari 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan oleh seorang wanita matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang pada wanita berusia 20 tahun ke atas. Pada usia muda sel sel mukosa pada serviks belum matang artinya masih rentan terhadap rangsangan dan sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker . Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi dan sering berganti pasangan. Berganti pasangan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin salah satunya Human Papiloma Virus. Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa sehingga tidak terkendali dan menjadi kanker. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodorant akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. 8 Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan akan menurunkan daya tahan serviks serta mempermudah semua selaput lendir sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang. Riwayat penyakit kelamin juga sebagai faktor pendukung terjadinya kanker serviks dikarenakan imunitas yang turun sehingga memudahkan virus HPV masuk kedalam tubuh penderita. Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak dan jarak persalinan yang pendek akan berdampak pada seringnya terjadinya perlukaan di organ reproduksinya dan memudahkan timbulnya Human Papiloma Virus. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai jangka lama lebih dari 4 tahun meningkatkan risiko 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena serviks merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Nutrisi pasien yang kurang baik juga mempermudah HPV masuk dan menyebabkan terjadinya kanker serviks. Hal tersebut juga dikarenakan rendahnya imunitas pasien dikarenakan kurangnya asupan dari gizi pasien (Rasjidi, 2009). 4.Gejala dan Tanda Pada stadium awal belum timbul gejala klinis yang spesifik. Sebagian mengeluh keputihan berulang, berbau dan bercampur darah. Selain itu, perdarahan sesudah bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk metroragi, menoragi, dan menometroragi (Himpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2013). Tanda yang lebih klasik adalah perdarahan bercak yang berulang atau perdarahan bercak setelah bersetubuh atau membersihkan vagina. Perdarahan menjadi semakin banyak lebih sering dan berlangsung lebih lama juga dapat dijumpai sekret vagina yang berbau terutama dengan masa nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapatkan aliran darah yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan yang nonspesifik (Prawirohardjo, 2010). 9 Pada stadium lanjut sel kanker invasif ke parametrium dan jaringan di rongga pelvis. Hal ini dapat menimbulkan gejala perdarahan spontan dan nyeri panggul bahkan menjalar ke pinggul dan paha. Beberapa penderita mengeluh nyeri berkemih, kencing berdarah dan perdarahan dari dubur. Metastasis ke kelenjar getah bening inguinal dapat menimbulkan edema tungkai bawah. Invasi dan metastasis dapat menimbulkan penyumbatan ureter distal yang mengakibatkan gejala uremia (HOGI,2013). 5.Kriteria Diagnosis Penegakan diagnosis pada jenis kanker ini adalah berdasarkan dari hasil pemeriksaan histopatologi spesimen biopsi. Pada anamnesis akan didapatkan beberapa gejala diatas. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi. Untuk pemeriksaan penunjang meliputi sistoskopi, rektoskopi, IVP, foto thorak, USG, CT Scan dan MRI. Untuk kecurigaan metastase ke kandung kemih dan rektum akan dilanjutkan dengan pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi. Histopatologi didapatkan dari biopsi atau temuan saat operasi yang sekaligus merupakan surgical staging (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). Kecepatan pertumbuhan kanker serviks tidak sama dari satu kasus dengan kasus lainnya.Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala (Prawiroharjo, 2010). 6. Stadium Penetapan stadium dilakukan dengan pemeriksaan klinik. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi dilakukan untuk menetapkan stadium klinik. Beberapa tindakan bedah termasuk pemeriksaan klinik meliputi konisasi, biopsi dan aspirasi (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). Apabila dilakukan pembedahan, maka penemuan dari hasil pembedahan tersebut tidak akan merubah stadium. Stadium yang digunakan tetap stadium klinik, sedangkan penemuan saat pembedahan menjadi catatan khusus untuk menentukan prognosis. Pada kasus-kasus karsinoma serviks yang residif, stadium yang ditetapkan adalah stadium pada saat penemuan pertama (sebelum pengobatan). 10 FIGO tahun 2009 membagi stadium kanker serviks sebagai berikut : Stadium 0: karsinoma insitu, karsinoma intraepitelial Stadium I: karsinoma masih terbatas di serviks Stadium IA: invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, kedalaman invasi kurang dari 5 mm dan penyebaran horizontal maksimal kurang dari 7 mm Stadium I A1: invasi ke stroma dengan kedalaman invasi kurang dari 3 mm Stadium I A2: invasi ke stroma dengan kedalaman invasi 3-5 mm Stadium I B: lesi lokal lanjut namun terbatas pada serviks Stadium I B1 : batas lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm Stadium I B2 : batas lesi secara klinis lebih dari 4 cm Stadium II: lesi keluar melewati uterus namun belum mencapai dinding pelvis atau mencapai 2/3 proximal vagina Stadium II A: telah melibatkan vagina tetapi belum melibatkan parametrium Stadium II A1: lesi yang tampak kurang atau sama dengan 4 cm Stadium II A2: lesi yang tampak lebih dari 4 cm Stadium II B: infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding panggul Stadium III: tumor menyebar sampai dinding panggul dan atau mencapai 1/3 bawah vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis / kerusakan ginjal Stadium III A: tumor mencapai 1/3 distal dinding vagina namun belum mencapai dinding panggul Stadium III B: penyebaran sampai dinding panggul dan atau terdapat hidronefrosis dan kerusakan ginjal Stadium IV A: penyebaran ke organ sekitar seperti rektum, kandung kemih. Stadium IV B: penyebaran jauh 11 7. Terapi Berdasarkan Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia pada tahun 2013 penatalaksanaan kanker serviks adalah sebagai berikut: a. Stadium 0 / Karsinoma insitu Konisasi (Cold and hot knife) bila margin free, konisasi sudah adekuat pada pasien yang masih memerlukan fungsi fertilitas. Bila tidak margin free dilakukan rekonisasi. Bila fertilitas tidak diperlukan, dapat dilakukan histerektomi total. Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif. b. Stadium I A1 (Lymphovascular Space Invasion negatif) Konisasi (cold knife) bila free margin (terapi adekuat) masih menginginkan fertilitas dipertahankan (tingkat evidens B). Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi total apabila fertilitas tidak diperlukan. c. Stadium IA-1 (Lymphovascular Space Invasionpositif) Operatif: Trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan radiasi. d. Stadium IA-2, Ib-1, IIA-1 1.Operatif Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik (Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A). Radioterapi (RT) / kemoradiasi ajuvan kalau terdapat faktor risiko yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor, deep stromal invasion, Lymphovascular Space Invasion, dan faktor risiko lainnya. Apabila hanya metastasis kelenjar getah bening saja, radiasi ajuvan hanya EBRT. Bila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, pasca radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakiterapi ovoid 2x10Gy. 2.Non operatif Radiasi (EBRT dan brakiterapi). Kemoradiasi (radiasi : EBRT plus kemoterapi konkuren dan brakiterapi). 12 e. Stadium IB2 dan IIA2 1.Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi. IB2 dan IIA2 yang direncanakan operasi tanpa kontraindikasi dilakukan kemoterapi neoajuvan terlebih dahulu dan dilakukan nilai ulang pasca kemoterapi neoajuvan untuk operabilitasnya. 2.Operatif: Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Pemberian radioterapi (RT) / kemoradiasi ajuvan kalau terdapat faktor resiko yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium, batas sayatan, tidak bebas tumor, deep stromal invasion, lymphovascular space invasion dan faktor risiko lainnya. Pasien yang menolak operasi dilakukan radiasi/ kemoradiasi definitif yaitu radiasi atau kemoradiasi dengan cisplatin mingguan atau kemoradiasi cisplatin-ifosfamide 3 mingguan. f. Stadium IIB 1.Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi. 2.Radiasi atau kemoradiasi. g. Stadium IIIA-IIIB Kemoradiasi, Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi. Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent / nefrostomi dan hemodialisa. h. Stadium IV A Radiasi dan atau kemoradiasi mingguan / 3 mingguan dengan radiasi 4000cGY. Bila didapatkan respon maka dilakukanradiasi eksterna dilanjutkan sampai 50 Gy ditambah BT 2x850cGy / 3x700cGy. Bila tidak didapatkan respon makaterapi dihentikan. Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent / nefrostomi dan hemodialisa. i. Stadium IV B Terapi paliatif (radiasi pelvik / kemoterapi dapat dipertimbangkan): 1.Tumor primer dilakukan evaluasi keluhan dan gejala. 2.Metastasis jauh, terapi nyeri (analgetik step ladder, neural block), nutrisi, spiritual, pendidikan keluarga. Bila terdapat obstruksi ureter 13 dilakukan pemasangan DJ stent / nefrostomi dan hemodialisa. Bila terdapat efusi pleura dilakukan punksi atau pemasangan WSD. Bila terdapat ascites dilakukan pungsi ascites. Pasien dengan stadium kurang dari 4 dan usia muda kurang dari 40 tahun sebaiknya dilakukan transposisi ovarium (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). B. Depresi dan Psikoterapi 1. Stres Definisi stres sampai saat ini masih sangat sulit untuk dijabarkan oleh para ilmuwan, karena itu merupakan sensasi subjektif yang berhubungan dengan gejala-gejala yang bervariasi, dimana masing-masing ahli memiliki pendapat yang berbeda. Dalam tingkatan yang rendah stres mungkin berguna bagi tubuh, tetapi jika stres tersebut menjadi berat dan berkepanjangan akan mempengaruhi fungsi fisik dan mental, hal ini akan menjadi masalah besar yang perlu penanganan lebih lanjut. Jika keadaan stres pada seseorang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan. Istilah stres menurut beberapa penulis: 1. Goleman : Stres pada manusia dan hewan melibatkan amigdala dan hipokampus, yang merupakan struktur bagian dari sistem limbik. 2. Black : Mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan disharmoni atau gangguan hemeostatis yang terancam, yang di definisikan oleh stresor, fisik, psikologis dan lingkungan. Istilah stres dapat dipahami melalui 3 pendekatan yaitu secara pendekatan engineering, psikologis, dan medikofisiologis. Diantara para peneliti muncul banyak perbedaan pandangan yang masing-masing memberikan definisi stres menurut orientasinya sendiri. Lindeman dan Kaplan menerangkan stres sebagai respon psikologis. Lazarus menyatakan pemahaman istilah stres diartikan 14 sebagai penilaian kognitif seseorang terhadap ketidakmampuan dirinya menghadapi berbagai peristiwa atau stresor. a. Konsep enginerring Stres merupakan karekteristik suatu lingkungan yang merusak atau mengancam, sehingga individu yang hidup dalam lingkungan tersebut akan sakit. Istilah stres respon dalam konsep enginerring ini yang dimaksud adalah stres yang timbul sebagai jawaban terhadap lingkungan yang merusak atau mengancam. b. Konsep psikologis Stres merupakan kondisi psikologis sebagai hasil interaksi antara individu dan lingkungan hidupnya, dengan melibatkan proses kognitif dan emosional. Konsep ini di ilustrasikan sebagai kondisi psikologis seseorang mempunyai tautan yang melebihi kemampuannya. Berdasarkan konsep ini stres merupakan reaksi seseorang terhadap stresor. c. Konsep medikofisiologis Stres merupakan respon biologis individu terhadap stresor, yang dapat diukur secara objektif dan tepat. Konsep stres inilah yang dimaksud dalam paradigma psikoneuroimunologi. Istilah stres respon juga tidak di pakai pada konsep ini karena rancu dengan stressor (Marx, 2008). Kehidupan penuh dengan stress yaitu stress akut (short term) dan stress kronis (long term). Stress akut adalah reaksi yang segera terhadap ancaman yang diketahui sebagai fight or fight. Ancaman (stressor) terhadap dalam berbagai situasi misalnya kegaduhan dan bising. Stressor psikologis meliputi masalah hubungan keluarga, kesepian dan sebagainya dan biasanya disebut stress kronik (Soetrisno, 2009). 2. Stresor (Ancaman) Paparan stresor yang menyebabkan stress maka otak akan memberikan dua macam bentuk respons, yaitu respon cepat dan lambat. Jika tubuh bertemu dengan stressor, tubuh akan mengaktifkan respon saraf dan hormon untuk melaksanakan tindakan-tindakan pertahanan untuk mengatasi keadaan darurat 15 (Reiche, 2004). Respon cepat dari otak berupa pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH) yang merupakan motor sistem simpatis melalui CRH -1 reseptor (CRHR-1) yang akan mengakibatkan respon fight-flight.CRHR – 1 akan merangsang HPA aksis yang nantinya akan menghasilkan mineralokortikoid. Sedangkan pada respon lambat ini dapat terjadi mekanisme coping dan adaptasi melalui perangsangan CRHR-2 yang nantinya akan merangsang pelepasan glucocorticoid. Dari beberapa studi sudah banyak membuktikan bahwa stresor berkaitan dengan disregulasi dari sistem imun. Khususnya penurunan proliferasi limfosit dan pengurangan Natural Killer (NK) cell. Reichie dalam penelitiannya tahun 2004 menyebutkan Natural Killer cell memiliki peranan yang penting pada fungsi imun, termasuk mekanisme pertahanan pada infeksi virus dan sel tumor. Natural Killer cell berkurang pada keadaan stres melalui mekanisme neuroendokrine. Sitokin termasuk interferon ɣ dan interleukin 2 akan menghambat NK-cell dan Limfosit Activated Killer (LAK). Stres memodulasi penambahan interferon ɣ dan interleukin 2 pade leukosit darah perifer. Penambahan dari interferon ɣ dan inteleukin 2 menyebabkan NK-cell, makrofag, sitokin menurun (IL 12, Tumor Necrosing Factor / TNF, Interferon / IFN ), IL 10, Tumor Growth Factor / TGF meningkat. Mekanisme ini menyebabkan supresi imun sehingga menyebabkan kemungkinan metastasis berkembang dan resiko terjadi infeksi meningkat (Suhartono, 2011). Faktor-faktor yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik, psikologis, atau dapat keduanya. Stres fisik disebabkan oleh exposure stressor yang berbahaya bagi jaringan tubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi oksigen, infeksi, luka / injuries, latihan fisik yang berat dan lama, dll. Sedangkan pada stres psikologis misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah, takut, depresi dll (Marx, 2008). 16 3. Coping Coping adalah proses pengelolaan stresor, yang terdiri dari: a. Coping mechanism Coping mechanism merupakan respon terhadap stresor yang memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama memecahkan masalah yang menyebabkan stresor psikologis. Lingkungan dapat diubah dengan berbagai cara atau mengubah aktivitas atau tingkah laku individu sendiri. Fungsi kedua, coping mechanism memungkinkan pasien berpkir lebih baik, sehingga pasien dapat menjaga moral dan terus berfungsi dengan baik. Pasien melakukan melalui berbagai cara tertentu, seperti melauli mekanisme pertahanan diri. Meskipun tidak semua efektif, teknik tersebut merupakan usaha menghadapi stresor. b. Coping Model Dimulai dari perception, psyological defenses, psychophysiological response, response management (coping 16 capabilities), illnes behaviour dan illnes measure. Perception adalah kesadaran menimbulkan persepsi dan interpretasi kejadian dalam kehidupan dirasakan sebagai stresor yang menmbulkan perilaku tertentu pada sistem imun psikofisiologis, model tersebut disebut sebagai respon psikofisiologis, yang berarti respon biologis terhadap stresor. c. Coping style (gaya coping) Terdiri atas positive coping style dan negative coping style. Positive coping style, individu dapat memecahkan persoalan sendiri dengan menggunakan kekuatan yang ada pada individu itu. Negative coping style, individu penuh keinginan untuk menghindari kesalahan (Suhartono, 2011). 4. Depresi Depresi merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi tubuh, pikiran, dan perasaan serta mempengaruhi pola makan, tidur, dan mood individu. Kejadian depresi pada penyakit terminal dan kronik mencapai 20% hingga 50% dan dari angka tersebut dialami oleh pasien kanker (50%), HIV (41%), diabetes (9%-27%), dan penyakit stroke (20%-30%). 17 Episode depresi yang khas terdiri dari tiga variasi yaitu ringan, sedang, dan berat. Individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazim lainnya adalah konsentrasi dan perhatian menurun, harga diri, dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang. Gejala depresi merupakan penyulit penyakit medis kronis yang paling sering dijumpai. Depresi berpengaruh buruk terhadap adherensi terapi medis, kualitas hidup, dan hasil terapi. Meskipun memiliki makna penting, namun depresi sering luput dikenali, tidak terdiagnosis, dan tidak diterapi di klinik medis (Sadock et al. 2007). a. Gambaran Umum Depresi Gangguan psikiatri yang paling sering dijumpai adalah depresi unipolar. Gangguan ini jarang terdiagnosis dan jarang mendapat perawatan. Paramedis seharusnya mempertimbangkan adanya depresi pada pasien-pasien yang mereka kelola. Diduga adanya prevalensi yang tinggi pada gangguan afektif pada pasien yang datang ke praktek-praktek klinik. Gangguan Depresi Mayor (GDM) secara mendasar merupakan gangguan suasana perasaan (mood) atau afek yang depresi dengan atau tanpa disertai anxietas. Perubahan suasana perasaan ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas. Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stresor pendidikan yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013). Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stresor pendidikan yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013). Menurut DSM-V , Major Depressive Disorder (MDD) merupakan gangguan tersendiri, di bawah kelompok Gangguan Depresi (Depressive Disorder), terpisah dari kelompok gangguan bipolar. Gangguan depresi meliputi 18 gangguan disregulasi mood disruptif, gangguan depresi mayor, distimia, gangguan disforik pre-menstruasi, gangguan depresi yang diinduksi substansi / medikasi, gangguan depresi karena kondisi medis lainnya, gangguan depresif spesifik lain, dan gangguan depresif tidak spesifik. Gambaran utama dari semua gangguan ini adalah adanya rasa sedih (sad), kosong (empty), atau mood irritabel, disertai perubahan kognitif dan somatik yang secara bermakna mempengaruhi kapasitas fungsi individu. Gangguan depresi mayor merupakan kondisi klasik dalam kelompok ini, ditandai oleh episode jelas selama sedikitnya 2 minggu (umumnya berlangsung lebih lama) termasuk perubahan afek, kognisi, fungsi neurovegetatif dan ada remisi interepisode yang jelas (American Psychiatric Association, 2013). b. Diagnosis Menurut DSM-V, kriteria diagnosis gangguan depresi mayor adalah minimal 5 gejala berikut telah timbul dalam periode 2 minggu dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya: 1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari. 2. Hilangnya ketertarikan atau kesenangan pada seluruh, atau hampir seluruh aktifitas. 3. Kehilangan berat badan yang signifikan ketika tidak menjalani diet atau peningkatan berat badan, atau berkurangnya atau meningkatnya selera makan hampir setiap hari. 4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. 5. Agitasi psikomotorik atau retardasi hampir setiap hari. 6. Lesu atau hilangnya energi hampir setiap hari. 7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan. 8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, munculnya ide kematian yang berulang, ide bunuh diri yang berulang, atau percobaan bunuh diri atau rencana spesifik untuk percobaan bunuh diri (American Psychiatric Association, 2013). 19 5. Intervensi Psikoterapi pada Pasien Kanker Psikoterapi merupakan bentuk pengobatan yang direkomendasikan pertama kali untuk depresi. Selama psikoterapi, seseorang yang menderita depresi berbicara pada ahli psikoterapi agar membantu penderita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu depresi. Beberapa faktor ini bekerja secara kombinasi dengan faktor herediter dan ketidakseimbangan kimia di dalam otak yang dapat memicu depresi. Psikoterapi membantu pasien depresi dengan memahami tingkah laku, emosi, dan ide yang berperan pada keadaan depresinya. Dengan memahami dan mengidentifikasi masalah-masalah atau peristiwa dalam hidup yang berperan di dalam depresi penderita dan membantu penderita memahami aspek-aspek dari masalah ini sehingga mereka dapat menyelesaikan dan memperbaikinya Dengan ditemukannya hubungan antara stres psikososial dan perubahan fungsi imunitas maupun endokrin serta dampaknya pada perkembangan penyakit, bermunculan pula berbagai bukti bahwa intervensi untuk menurunkan stres mungkin dapat meningkatkan fungsi imunitas tubuh endokrin. Secara arti harafi psikoterapi berarti “pengobatan jiwa” (psyche = jiwa, therapy = pengobatan), oleh karenanya istilah ini bisa diterapkan sebagai segala bentuk pengobatan yang disusun untuk menyembuhkan gangguan jiwa. Istilah ini dimaksudkan sebagai suatu metode terapi yang ditujukan untuk mendapatkan pengaruh terhadap perubahan pikiran dan perasaan antara pasien dan terapis. Tujuan terapi ini ialah untuk mempengaruhi perasaan dan tingkah laku pasien dalam menyembuhkan ketegangan, menaikkan keefektifan fungsi jiwa dan memperbaiki adaptasi pasien dalam kelompok di mana ia hidup untuk keuntungan bersama. American Cancer Society telah mengidentifikasi empat faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker dan keluarganya, yaitu faktor sosial, psikologis, fisik, dan spiritual. Diagnosis dan pengobatan kanker dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup termasuk fisik, psikologi dan kelangsungan sosial. Aspek psikososial meliputi perubahan pola hidup, ketakutan, serta ketidaknyamanan psikososial. Ketidaknyamanan psikososial termasuk kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, dan depresi. Hal-hal tersebut dapat 20 menetap dan berubah seiring waktu tergantung dari tingkat keparahan penyakit (Holland and Aichi, 2009). 6. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) a. Definisi dan Konsep Pada akhir abad ke 19, penelitian tentang faktor- faktor penyebab gangguan jiwa dan bentuk- bentuknya mulai dikerjakan secara ilmiah. Martin Charcoat (1825- 1926), berhasil menjelaskan histeri dan mendemonstrasikan penyembuhannya dengan hipnosis. Emil Kraepelin (1855-1926), menulis buku pelajaran ilmu kedokteran jiwa tahun 1883. Selanjutnya melalui penelitianpenelitian ilmiah diketahui penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial, dapat berasal dari penyebab psikologis, biologis, dan lingkungan. Sekarang pengobatan terhadap gangguan jiwa meliputi psikoterapi, farmakoterapi (dengan obat), dan terapi somatik (terapi elektro konvulsi dan pembedahan) (Sudiyanto, 2007). Cognitive Behavioural Therapy (CBT) adalah terapi berbica yang ditemukan pada tahun 1952, tetapi baru pada tahun 2002 direkomendasikan sebagai pengobatan rutin. CBT mendorong orang untuk membahas secara terbuka keyakinan mereka, emosi dan pengalaman dengan terapis (secara individu atau dalam kelompok) dalam menilai gejala, gangguan emosi dan perilaku mereka. Diskusi tersebut bertujuan untuk membantu mengembangkan, mengatasi, mengelola pikiran dan merubah perilaku seseorang dari negatif menjadi suatu yang positif. (Jones, 2012) Cognitive Behavioural Therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan psikoterapi yang paling banyak diterapkan dan telah terbukti efektif dalam mengatasi berbagai gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang mendasari Cognitive Behavioural Therapy (CBT) berorientasi pada pemecahan masalah dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “disini dan sekarang”, yang memandang individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi. Dengan cara tersebut, pasien sebagai mitra kerja terapis dalam mengatasi masalahnya dan dengan pemahaman yang memadai tentang teknik yang digunakan untuk mengatasi masalahnya. 21 Cognitif Behavioural Therapy (CBT) juga diartikan sebagai suatu psikoterapi yang didasarkan atas kognisi, asumsi, kepercayaan dan perilaku dengan tujuan mempengaruhi emosi yang terganggu. Dimana terapi ini menggunakan tehnik pengkondisian untuk mempelajari perilaku baru, dimana stimulus yang menyebabkan kecemasan digantikan dengan yang menyenangkan. Harapannya dengan penerapan metode psikososial ini, stress yang ada bisa berkurang sehingga diharapkan five year survival rate meningkat. Prinsip Dasar Cognitive Behaviour Therapy adalah : Kognisi merupakan proses yang memperantarai dalam proses belajar manusia. Pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kausalaktivitas kognitif seperti expectation, self statement, merupakan hal yang penting dalam memahami dan memprediksikan psikopatologi dan perubahan terapi. Proses kognitif dapat diinterpretasikan ke dalam paradigma perilakuan dan teknik kognitif dapat dikombinasikan dengan prosedur perilakuan. Terapis bekerjasama dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognisi yang terganggu dan merencanakan pengalaman belajar baru untuk memperbaiki kognisi, perilaku dan pola afektif. Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioural Therapy (CBT) adalah : 1. Membangkitkan pikiran pikiran negatif / berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (swelf-talk), dan interpretasi terhadap kejadian kejadian yang dialami. Pikiran pikiran negative tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran pasien, apabila menghadapi situasi stress atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptif yang menambah berat masalahnya. 2. Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomastis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka program Cognitive Behavioural Therapy (CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih mengenali pikiranya, dan 22 mendorong untuk menggunakan ketrampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif. 3. Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan unjtuk diskusi di dalam proses terapi (Frankl, 2006) Sesuai dengan aliran kognitif dan perilaku (behaviour), CBT menganggap bahwa pola pemikiran terbentuk melalui rangkaian proses Stimulus- KognisiRespon (SKR), yang saling berkaitan membentuk semacam jaringan dalam otak. Proses kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran, perasaan, dan perbuatan (perilaku). Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat dipersepsi secara positif (rasional) maupun negatif (irasional). Isi pikiran yang positif akan mempengaruhi perasaan dan perilaku yang positif (normal), sedangkan isi pikiran yang negatif mengakibatkan gangguan emosi (perasaan). Selanjutnya menurut konsep dasar ini emosi atau perasaan akan mempengaruhi tingkah laku atau perbuatan, baik secara positif atau negatif. Dengan CBT, dilakukan modifikasi fungsi pikiran, perasaan, dan perbuatan (perilaku), dengan cara menekankan fungsi kognitif (otak) dalam menganalisis, memutuskan, bertanya, berkehendak, dan memutuskan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaan, diharapkan pasien dapat merubah perilakunya dari negatif menjadi positif. Semua kejadian yang dialami dapat berlaku sebagai activating event (A) dan akan dipersepsi dan diinterpretasi, selanjutnya kumpulan dari persepsi dan interpretasi tersebut akan membentuk suatu sistem keyakinan atau belief (B) yang akan mempengaruhi reaksi fisiologis (somatik) dan perilaku sebagai consequences (C). Dengan CBT, dilakukan intervensi sehingga dapat menggoyahkan dan menyusun kembali sistem keyakinan pasien (B) dari negatif (irasional atau mengalami penyimpangan / distorsi) ke positif (rasional atau realistik) dengan demikian dapat menghambat atau menghilangkan dampak negatif pada perilaku dan reaksi somatik sebagai konsekuensinya (C). 23 Dalam CBT, terapis berperan sebagai guru dan pasien sebagai murid dan dalam hubungan ini diharapkan terapis dapat secara efektif mengajarkan kepada pasien mekanisme SKR baru yang lebih positif dan rasional, mengganti struktur kognitif lama yang negatif, irasional, atau mengalami distorsi (Sudiyanto, 2007). Keuntungan dari CBT adalah: 1. Dapat mengobati beberapa gangguan kesehatan mental dan dapat membantu dalam kasus-kasus dimana dengan terapi pengobatan saja tidak berhasil. 2. Dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan terapi berbicara lain. 3. Bersifat terstruktur sehingga dapat diberikan dalam format yang berbeda, termasuk dalam kelompok, buku self-help dan program komputer. 4. Keterampilan pada CBT sangat berguna, praktis dan membantu strategi yang dapat dimasukkan ke dalam kehidupan sehari-hari juga membantu untuk mengatasi tekanan dan kesulitan dimasa depan menjadi lebih baik, bahkan setelah pengobatan selesai Pun CBT memiliki kekurangan seperti: 1. Untuk mendapatkan manfaat dari CBT, harus berkomitmen dan bekerja sama yang baik antara pasien dan terapis. 2. Menghadiri sesi CBT reguler yang dapat menyita waktu pasien. 3. Karena bersifat terstruktur sehingga tidak cocok untuk pasien dengan kebutuhan kesehatan mental yang kompleks. 4. Berfokus pada kemampuan individu untuk mengubah diri (pikiran, perasaan dan perilaku), dan tidak membahas masalah yang lebih luas atau keluarga yang sering memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan pasien (NHS, 2014) Pada beberapa penelitian, tidak ada perbedaan yang ditemukan pada pasien dengan terapi CBT atau dengan terapi psikoterapi lain. Namun CBT memiliki kualitas hidup dan dalam mengembangkan keterampilan sosial atau pekerjaan yang lebih baik dibandingkan psikoterapi lain dikaenakan pada CBT 24 memeiliki beberapa keuntungan jangka panjang untuk menangani emosi dan perasaan yang menyedihkan. Beberapa temuan awal juga menunjukkan bahwa CBT bermanfaat yang lebih besar untuk terapi dibandingkan pasien dengan psikoterapi lainnya. (Jones, 2012) b. Teknik CBT Ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT, antara lain: 1. Cognitive Restructuring Methods Konsep dasar Cognitive Restructuring Methods yaitu untuk membantu klien mengidentifikasi pikiran-pikiran buruknya, kemudian menggantinya dengan pikiran-pikiran yang lebih rasional dan realistis. Ada dua jenis Cognitive Restructuring Methods : a. Ellis ‘s Rational-Emotive (Behaviour) Therapy - Masalah emosi berasal dari pernyataan irasional ketika menghadapi kejadian yang tidak sesuai dengan harapannya. - Mengajarkan klien mengubah pikiran irasional menjadi pikiran rasional yang lebih positif dan realistis. - Menantang pikiran irasional dengan memberikan interpretasi rasional terhadap kejadian buruk yang menimpa klien. - Memberikan tugas rumah. b. Beck’s Cognitive Therapy - Gangguan emosi karena adanya disfungsi berpikir (dichotomous thinking, overgeneralization, magnification). - Mengidentifikasi disfungsi berpikir dan asumsi maladaptif yang menjelaskan emosi yang tidak menyenangkan. 2. - Menetralisir disfungsi berpikir→ testing realitas. - Memberikan tugas rumah. Self Instructional Coping Methods (Meichenbaum) Konsep Self Instructional Coping Methods yaitu mengganti pikiran negatif menjadi positif. Self instruction → untuk mengubah perilaku Langkah-langkah dalam Self Instructional Coping Methods: 25 - Mengidentifikasi stimulus yang menyebabkan stres → negative self statement. - Melalui modelling atau behaviour rehearsal → klien belajar self talk untuk menetralisir negative self statement ketika situasi yang menimbulkan stress muncul. 3. - Mengajarkan klien self instruction (misalnya menarik napas panjang). - Mengajarkan klien self reinforcing setelah berhasil menguasai situasi. Problem – Solving Methods (Dzurilla & Golfried) Asumsi dasar problem solving mengandung proses perilakuan, baik overt (tampak), atau kognitif yang menyediakan berbagai alternatif respon efektif untuk menyelesaikan situasi problematis, dan meningkatkan kemungkinan memilih respon-respon yang paling efektif dari berbagai alternatif tersebut. Selama lebih dari 50 tahun, Cognitive Behavioural Therapy (CBT) telah menjadi pola utama terapi psikososial yang efektif untuk beragam masalah emosional dan perilaku. Pendekatan terapi behavioural dikembangkan pertama kali pada tahun 1950 saat prinsip berdasarkan penelitian dari perilaku diterapkan untuk memodifikasi perilaku maladaptif manusia. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) adalah bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang kita lakukan. Ada beberapa pendekatan terhadap CBT, meliputi Rational Emotive Behavioral Therapy, Rational Behavioral Therapy, Rational living Therapy, Cognitive Therapy dan Dialectic Behavioural Therapy (Frankl, 2006). c. Pemilihan Metode CBT Pada beberapa penelitian didapatkan hubungan antara stres dan imunitas tubuh pada pasien kanker. Tekanan psikologis yang dapat mengganggu kemampuan memperbaiki DNA seluler yang rusak pada sel kanker dan hambatan pada proses apoptosis. Diagnosis serta penatalaksanaan kanker serviks stadium lanjut dalam jangka waktu yang panjang merupakan stressor akut dan kronis tersendiri yang bisa berakibat pada penurunan kualitas hidup penderita. Hal tersebut akan mempengaruhi regulasi neuroimun yang mempromosikan proses 26 inflamasi yang berperan pada gejala dan proses metastase (Antoni et al.,2006). Stres yang berkepanjangan yang disertai dengan afek negatif dan gangguan kehidupan sosial akan berpengaruh pada perubahan behavioral (peningkatan signalisasi sistem saraf simpatis, disregulasi aksis HPA, inflamasi dan penurunan imunitas seluler). Terdapat beberapa penelitian yang mempelajari pengaruh psikoterapi pada penderita kanker, khususnya kanker payudara. Mc.Gregor et al pada tahun 2004, telah meneliti pengaruh intervensi Cognitive Behavioural Stress Management (CBSM) selama 10 minggu terhadap fungsi psikososial dan imunitas pada wanita dengan kanker payudara tahap awal. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa perempuan yang menerima intervensi CBSM menunjukkan peningkatan proliferasi limfosit yang signifikan dibandingkan dengan perempuan sebagai kontrol dalam penelitian tersebut. Cruess et al pada tahun 2000 juga meneliti efek dari intervensi CBSM selama 10 minggu pada perempuan dengan kanker payudara tahap awal. Dari laporan tersebut didapatkan bahwa perempuan yang mendapat intervensi menunjukkan penurunan serotonin serum dibandingkan dengan perempuan sebagai kontrol dalam penelitian tersebut. Disamping itu, intervensi psikososial pada perempuan dengan kanker payudara terbukti dapat menormalkan responsifitas serotonin terhadap stres akut. Untuk neurosis psikogenik yang bersumber dari hambatan emosional dikembangkan teknik paradoxical intention dan dereflection. Selanjutnya untuk neurosis noogenik yakni gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna, dikembangkan teknik existential analysis. Sedangkan Untuk neurosis somatogenik, yakni gangguan-gangguan perasaan yang berkaitan dengan tubuh, CBT mengembangkan metode medical ministry. Pasien kanker serviks mengalami gangguan neurosis somatogenik akibat penyakit kanker itu sendiri, beban fisik dan sosial akibat terapi serta berbagai kekhawatiran terkait prognosis dan dampak sosial. Oleh karena itu, dalam studi ini digunakan metode CBT berupa medical ministry. Dengan pendekatan medical ministry ini diharapkan pasien kanker serviks akan mampu memanfatkan 27 kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi dan lingkungan yang tidak mungkin dirubah lagi (Bastaman2007). C. Serotonin Distres dan berbagai gangguan jiwa berkaitan erat dengan malfungsi proses neurotransmisi, baik tunggal maupun secara kombinasi dari beberapa sistem neurotransmisi (multimalfungsi). Malfungsi serotonergik paling sering berkaitan dengan gangguan jiwa, sehingga berguna sebagai petanda gangguan jiwa (Suparno, 2007). Pada kondisi distres terjadi perubahan fungsional berupa perubahan hormonal dan neurotransmisi, meliputi peningkatan aktivitas noradrenergik dan kadar serotonin, jika kronis akan mengakibatkan perubahan struktural, berupa atrofi sel-sel piramidal dan penurunan volume hipokampus, meningkatan aktivitas aksis hipotalamo-pituitariadrenal (aksis HPA) yang mengakibatkan perubahan kadar Interleukin-6 (IL–6) ( Suparno, 2007). Kondisi distres berkaitan dengan konsentrasi serotonin darah dan konsentrasi IL–6 plasma maupun distribusinya di susunan saraf pusat. Pajanan stresor kejiwaan (paparan predator) merangsang hipotalamus, pituitari dan kelenjar adrenal, yang membentuk aksis HPA terkait dengan dampak stres, seperti peningkatan kadar kortisol dan katekolamin yang berhubungan erat dengan kadar serotonin dan dopamin dalam otak. Serotonin tersebar di seluruh tubuh, terutama di saluran cerna, trombosit dan otak. Bebagai organ tersebut mempunyai reseptor serotonin, dengan subtipe yang berbeda-beda tergantung organ tempat ia berada dan fungsi organ tersebut. Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin perifer merupakan produksi sel enterokromafin dinding usus. Sebagian di antaranya bekerja sebagai neurotransmiter di sistem saraf usus, sedangkan sebagian lepas ke dalam darah. Di dalam darah, sebagian besar diambil oleh trombosit menjadi platelet serotonin sedangkan sisanya beredar bebas dalam plasma disebut sebagai free-serotonin . Sel enterokromafin dapat memantau kadar serotonin dalam darah dan melepaskan serotonin sesuai kebutuhan, kemungkinan melalui mekanisme transporter 28 serotonin. Neurotransmiter serotonin disintesis oleh sel saraf serotonergik presinaps, disimpan dalam vesikel, kemudian dilepaskan melalui celah sinaps. Pada membran post-sinaps, serotonin berikatan dengan reseptor yang spesifik. Setelah digunakan sebagai neurotransmiter, serotonin dalam sinaps diambil kembali oleh suatu sistem transpor membran yang spesifik, dan disimpan kembali dalam vesikel saraf pre-sinaps (Hardiono, 2007). Komposisi multimalfungsi neurotransmisi sentral, dapat diperkirakan dari besar derajat malfungsi neurotransmisi serotonergik, yang tercermin dari transporter serotonin trombosit (Suparno, 2007). Transporter-serotonin adalah protein transporter berafinitas tinggi, terletak di membran plasma dari ujung saraf pre-sinaptik. Transporter serotonin mengkatalisir pergerakan serotonin (5-HT) melewati membran seluler. Di dalam otak, transporter serotonin membersihkan serotonin dari ruang ekstra seluler, memodulasi kekuatan dan durasi pensinyalan serotonergik (Suparno,2007). Gangguan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dan serotonin berinteraksi secara luas dan berhubungan dalam berbagai cara. Hippokampus, dan nukleus paraventrikular hipotalamus (PVN), khususnya, adalah regio anatomi yang paling mewakili aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dan sistem 5-HT. Regio ini juga bagian dari sistem limbik, yaitu bagian yang mengatur beberapa fungsi vegetasi (bangun, tidur, selera makan, dan kesenangan) dan juga kontrol mood. Hippokampus juga telah dilibatkan dalam fungsi memori dan kognitif. 1.Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Stres LHPA adalah sistem neuroendokrin klasik yang berespon terhadap stres. Persepsi stres oleh manusia menyebabkan rangkaian kejadian, dengan hasil akhir berupa sekresi glukokortikoid (serotonin) dari korteks adrenal. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan pentingnya hipokampus untuk mekanisme umpan balik LHPA. Hipokampus terdiri dari berlimpahnya dua tipe reseptor glukokortikoid yang diperkirakan mengontrol umpan balik negatif: tipe I (juga dikenal sebagai reseptor mineralokortikoid, atau MR) dan tipe II (juga dikenal sebagai reseptor glukokortikoid atau GR). Afinitas paling tinggi adalah glukokortikoid sintetis 29 poten, seperti deksametason. Karakteristik reseptor ini saling melengkapi dan meletakkan MR dan GR dalam posisi untuk memodulasi respon LHPA. Reseptor MR bekerja pada konsentrasi kortikosteron yang rendah dan menimbulkan inhibisi kuat pada aksis pada saat titik terendah ritme sirkadian. Ketika konsentrasi kortikosteron tinggi, reseptor MR mengalami saturasi, dan reseptor GR menjamin kembalinya homeostasis. Telah dijelaskan dengan baik bahwa hipokampus adalah komponen sentral limbik, dan merupakan dasar dalam mengontrol aspek fungsi kognitif dan tingkah laku, meletakkan reseptor-reseptor tersebut dalam posisi untuk memodulasi respon neuroendokrin dan kognitif secara simultan pada manusia terhadap stress (Juan, 2002). Hal utama untuk adaptasi adalah aktivasi dan terminasi respon stres adrenokortikal. Inhibisi respon stress dicapai sebagian melalui pengikatan glukokortikoid yang bersirkulasi terhadap reseptor sitoplasmik spesifik pada hipotalamus, di mana mereka menghambat hormon pelepas kortikotropin (CRH) dan sekresi adrenokortikotropin (ACTH) oleh pituitari. Modulasi sistem tambahan tercapai dalam struktur limbik, terutama hipokampus, yaitu struktur yang berhubungan dengan hipotalamus melalui koneksi neuron yang bertemu di nukleus paraventrikular hipotalamus (PVN), di mana terletak CRH dan neuron vasopressin (AVP) yang responsif terhadap stres (Juan, 2002). 2. Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal pada Depresi Adanya overaktivitas LHPA pada pasien dengan depresi dipercaya sebagai femonena “sekunder” penyakit, menunjukkan gangguan monoaminergik sentral, stress penyakit, atau keduanya. Keabnormalan LHPA pada MDD distimulasi oleh peningkatan glukokortikoid, produk akhir aksis LHPA telah memiliki efek yang sangat besar pada mood dan tingkah laku (Juan, 2002). Disregulasi ini termanifestasi antara lain, oleh hipersekresi serotonin, kegagalan menekan sekresi serotonin setelah pemberian deksametason, respon adrenal yang berlebihan terhadap perubahan endokrin, dan mengurangi respon ACTH terhadap pemberian CRH. Hal ini telah diinterpretasikan sebagai bukti pengaturan pituitari terhadap reseptor CRH sekunder terhadap peningkatan sekresi CRH. 30 Studi post mortem telah menemukan bukti aktivasi LHPA kronik pada pasien bunuh diri, seperti hyperplasia adrenal, penurunan regulasi reseptor CRH, dan peningkatan proopiomelanokortin mRNA, precursor untuk ACTH, di pituitari (Juan, 2002). Hal ini membuktikan peningkatan laju sentral, berdasarkan pada peningkatan aktifitas pada titik rendah ritme sirkadian, peningkatan CRH pada CSF pada pasien depresi, dan peningkatan imunoreaktivitas CRH dan nilai mRNA pada PVN (Juan, 2002). 3. Reseptor Serotonin dan Depresi Sistem 5-HT (serotonin) memiliki banyak komponen, tiga molekul 5-HT yang diyakini paling berhubungan dengan neurobiologi mood adalah transporter serotonin (5-HTt), reseptor serotonin 1a (5-HT1a), dan reseptor serotonin 2a (5HT2a, dulunya 5-HT2). Sistem serotonin telah diinvestigasi secara luas sebagai elemen kunci dalam patofisiologi depresi dan bunuh diri, dan sebagai mediator kerja terapetik antidepresan Penelitian pada subjek dengan riwayat MDD yang meninggal secara alami mengalami peningkatan pengikatan 5-HT2a pada korteks prefrontal. Penemuan ini telah mengarahkan beberapa peneliti untuk mengajukan hipotesis bahwa 5-HT1a post sinapsis dan reseptor 5-HT2a memiliki efek yang berlawanan secara fungsional, sehingga keseimbangan yang terganggu pada reseptor tersebut dapat memberikan kontribusi pada patofisiologi depresi, dan mengembalikan keseimbangan ini diperlukan untuk kerja psikoterapi (Juan, 2002). 4. Interaksi antara Aksis LHPA dan Serotonin Diketahui bahwa beberapa neuron 5-HT yang berasal dari nukleus raphe dorsal dan nukleus raphe magnus mengarah pada PVN dan sinapsis ke dalam neuron CRH. Neuron 5-HT juga mengarah pada area otak lain, seperti amigdala dan nukleus suprakiasma, yang diperkirakan memodulasi fungsi PVN. Tingkat kompleksitas lain ditambah melalui fakta bahwa 5-HT dan aksis LHPA bekerja pada berbagai tingkat stimulasi farmakologi dengan agen 5-HT dapat mengaktivasi ACTH dan melepaskan serotonin. Banyak area otak yang menunjukkan reseptor 5-HT juga memiliki konsentrasi reseptor kortikosteroid 31 yang tinggi. Khususnya dalam sistem limbik , hippokampus memiliki konsentrasi 5-HT1a yang tinggi pada neuron yang sama yang mengandung reseptor GR dan MR dalam jumlah yang banyak, dan korteks prefrontal kaya akan reseptor 5-HT2a dan reseptor GR. Lokalisasi MR dan GR pada korteks prefrontal menunjukkan bahwa kedua reseptor tersebut mampu memodulasi fungsi otak yang lebih tinggi, seperti mood, tingkah laku sosial, dan proses kognitif, kemungkinan melalui interaksi dengan reseptor 5-HT. Reseptor serotonin dan kortikosteroid tidak hanya berinteraksi secara anatomis, namun juga secara fungsional. Pemberian serotonin dapat mengatur kenaikan GR pada hipokampus, dan sebaliknya, penghancuran farmakologi pengarahan serotonergik mengurangi nilai mRNA GR dan MR di hipokampus. Reseptor 5-HT2a juga sensitif terhadap perubahan nilai glukokortikoid peripheral (Juan, 2002). 5. Stres, Serotonin, dan Aksis LHPA Dalam penjelasan literatur klinis, fisiologi, dan biologi mengenai penyakit depresi, satu faktor yang paling dihubungkan dengan depresi adalah stres. Stres dan depresi telah dihubungkan dalam berbagai cara. Kedua stresor fisik dan psikologis telah ditunjukkan berhubungan sementara terhadap onset episode depresi. Untuk depresi berulang, kejadian hidup yang berat lebih umum pada “depresi non endogen” (Juan, 2002). Hubungan penting lain antara depresi dan stress adalah fakta bahwa kedua sistem LHPA dan 5-HT, selain terlibat dalam patofisiologi depresi, juga merupakan kontributor penting terhadap neurobiologi stres. Oleh karena itu, mempelajari neurobiologi stres dengan fokus pada kedua sistem tersebut telah memberi kita petunjuk penting ke dalam patofisiologi penyakit yang berpengaruh, membuka jalan terhadap kerja antidepresan, dan mulai membuka bagaimana stres dan gangguan mood berhubungan (Juan, 2002). 32 D. Kualitas Hidup Saat ini fokus penilaian kesehatan tidak hanya berupa indikator tradisional seperti angka mortalitas dan morbiditas, namun juga telah diperluas dengan pengukuran dampak penyakit dan kemampuan dalam melakukan kegiatan seharihari. Indikator tradisional itu dikenal dengan istilah status kesehatan yang terdiri dari penilaian gejala-gejala fisik dan psikologis. Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang mempengaruhi seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah digunakan sebuah istilah Kualitas Hidup Terkait Kesehatan bidang kesehatan (Fayers and Machin, 2007). Dengan meningkatnya Ilmu Kedokteran yaitu dengan semakin banyaknya promosi eradikasi penyakit dan gejala, maka usia harapan hidup semakin meningkat. Oleh karena itu, maka ebutuhan untuk mengikutsertakan unsur humanistik dalam pelayanan kesehatan akan semakin meningkat. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai penilaian kualitas hidup pada pelayanan kesehatan. Fokus perhatiannya ditujukan pada aspek kesehatan dan intervensinya ditujukan pada aspek kesejahteraan pasien. Kualitas hidup merupakan pengalaman internal yang dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luar dirinya, tetapi hal tersebut juga diwarnai oleh pengalaman subjektif yang pernah dialami sebelumnya, kondisi mental, kepribadian dan harapan-harapannya. Pasien dengan penyakit kronis berat dengan komplikasi dan lamanya pengobatan mengakibatkan turunnya kualitas hidup dibanding pasien yang baru saja sakit tanpa komplikasi (Schrag et al, 2000). Pengertian kualitas hidup terkait kesehatan juga sangat bervariasi antar banyak peneliti. Dalam definisi WHO, sehat bukan hanya terbebas dari penyakit, akan tetapi juga berarti sehat secara fisik, mental, maupun sosial. Seseorang yang sehat akan mempunyai kualitas hidup yang baik, begitu pula kualitas hidup yang baik tentu saja akan menunjang kesehatan (Wardhani, 2006). Kualitas hidup menurut WHO adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan sesuai dengan sistem budaya dan nilai- nilai tempat mereka 33 hidup dalam kaitannya dengan kepentingan, tujuan hidup, harapan dan standar yang ingin dicapainya (Woffshohn, Cochrone, Watt, 2000). Konsep dasar kualitas hidup atau Quality of Life (QOL) merupakan subjektivitas pasien dalam hal penghargaan diri terhadap kepuasan pribadinya. Ini menunjukkan bahwa nilai yang subjektif tersebut berfungsi untuk membandingkan harapan pribadi yang didefinisikan dari pengalaman subjektif, keadaan dan persepsi pasien. Kualitas hidup pada dasarnya bersifat istimewa pada masing-masing individu. Kualitas hidup ini dapat mencerminkan perspektif biopsikososial pasien terhadap penyakit mereka dan berhubungan secara paralel terhadap intervensi multidisiplin yang dilakukan dalam sebuah pengobatan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut World Health Organization berinisiatif mengembangkan instrumen penilaian kualitas hidup (WHO-QOL) yang bersifat Internasional serta sebagai komitmennya untuk terus mempromosikan pendekatan holistik pada kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hal yang penting adalah, penilaian kualitas hidup juga merefleksikan perhatian yang lebih serius pada definisi kesehatan menurut WHO: “Suatu keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang bukan hanya terbebas dari adanya penyakit”. Penilaian kualitas hidup memberikan satu langkah ke depan untuk mencapai tujuan tersebut. Kuesioner kualitas hidup versi singkat WHOQOL-100 atau yang lebih dikenal sebagai (WHO-QOL BREF) yang terdiri dari 4 domain. Domain Faset I. Physical Health 1. Pain and discomfort 2. Energy and fatique 3. Sleep and rest 4. Mobility 5. Activities of daily living 6. Dependence on medication or treatment 7. Working capacity II. Psychological 8. Positive feelings 9. Thinking, learning, memory and concentration 10. Self-esteem 11. Bodily image and appearance 34 12. Negative feelings 13. Spirituality/religion/personal beliefs III. Social Relationships 14. Personal relationships 15. Social support 16. Sexual activity IV. Environment 17. Physical safety and security 18. Home environment 19. Financial resources 20. Health and social care 21. Opportunities for acquiring new information and skills 22. Participation in and new opportunities for recreation/leisure 23. Physical environment (pollution/noise/traffic/climate) 24. Transport Kuesioner versi Indonesia ini, telah diuji validitas dan realibilitasnya.Dari hasil analisis diskriminan skor domain WHOQOL-BREF menunjukkan nilai koefisien fungsi diskriminan sebagai berikut: Z = 0,61 (D1) – 0,143 (D2) + 0,01 (D3) – 0,164 (D4) Sehingga dapat dicari fungsi group centroid sebagai berikut: 1,107 – 0,264 = 0,4215 2 Jika nilai: Z ≥ 0,4215 mempunyai arti sebagai kualitas hidup (QOL) baik Z < 0,4215 mempunyai arti sebagai kualitas hidup (QOL) buruk (Skevington,2004). Pengukuran kualitas hidup adalah penting dalam menentukan dampak penyakit pada fungsi keseharian pasien dan untuk penanganan selanjutnya (Gee et al, 2000). 35 E. Kerangka Konsep 2.1 Kerangka Konsep Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut Tanpa intervensi CBT VMPFC C Dengan intervensi CBT AMYGDALA VMPFC C AMYGDALA DRVL DRVL 5-HT Transporter 5-HT Transporter DRV DRD Serotonin HPA axis Kortikosteroid Inhibisi sistem imun Perkembangan dan metastasis kanker Fungsi fisik, fungsional, psikologis, sosial ↓ Kualitas hidup DRV DRD Serotonin normal HPA axis Kortikosteroid Inhibisi sistem imun Perkembangan dan metastasis kanker Fungsi fisik, fungsional, psikologis, sosial ↑ Kualitas hidup 36 Keterangan Kerangka Konsep Pada pasien kanker serviks stadium lanjut , terjadi stres baik berupa stres biologis (progresifitas penyakit dan terapi), stres psikologis (kecemasan terkait diagnosis, prognosis, biaya terapi medis, takut kematian), serta stres sosial (dukungan keluarga, tekanan ekonomi, dan lingkungan). Akibat paparan stresor yang berlangsung lama dapat terjadi depresi. Sinyal kognitif persepsi stres / depresi berjalan ke otak melewati jalur sensorik, auditorik dan visual, mencapai thalamus, kemudian ke korteks sensoris dan terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif. Setelah proses di korteks selesai, selanjutnya sinyal tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diproyeksikan ke amigdala, ventromedial prefrontal korteks (VMPFC). Selanjutnya VMPFC dan amigdala akan menginduksi interaksi dorsal raphe. Rangsangan terhadap dorsal raphe nukleus ventrolateral menyebabkan aktivitas DRVL meningkat menyebabkan inhibisi sekresi serotonin oleh dorsal raphe dorsal (DRD) dan dorsal raphe ventral (DRV). Dorsal Raphe Nukleus Ventrolateral (DRVL) juga menyebabkan sekresi serotonin transporter meningkat sehingga reuptake serotonin ekstrasellular meningkat menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Adanya depresi akan menyebabkan overaktivitas pada sistem limbikhipotalamus-pituitari-adrenal sehingga memicu hipotalamus untuk mensekresi CRH. CRH akan merangsang peningkatan sekresi ACTH oleh hipofisis anterior. Selanjutnya peningkatan ACTH tersebut akan merangsang korteks adrenal untuk mensekresi serotonin. Sistem serotonin dan aksis LHPA bekerja pada berbagai tingkat. Kadar kortikosteroid (glukokortikoid) yang tinggi pada penderita depresi berhubungan dengan rendahnya kadar serotonin pada hipokampus. Pemberian psikoterapi CBT disamping terapi standar diharapkan akan memberikan coping yang baik pada penderita kanker serviks stadium lanjut yang pada umumnya dapat berdampak positif memperbaiki kualitas hidup termasuk meningkatkan five years survival ratependerita kanker serviks.. Stres yang terjadi pada penderita kanker serviks aakan menyebabkan terjadinya rangsangan pada Hipotalamus Hipofisis Adrenal Axis (HPA axis) 37 Peningkatan kadar interleukin 6 berhubungan dengan diagnosis depresi pada pasien kanker. Toksisitas NK cell berkurang pada keadaan stres melalui mekanisme neuroendokrin. Stres memodulasi pembentukan interferonɣ (IFN-ɣ) dan interleukin-2 (IL-2) pada leukosit darah perifer. IFN-ɣ dan IL-2 akan menghambat NK cell dan Limphocyte Activated Killer (LAK). Jika pasien kanker dalam keadaan stres, maka akan mempercepat perkembangan sel kankernya. Perkembangan metastasis kanker berhubungan dengan prognosis selanjutnya, dikarenakan pengaruh metastasis kanker terhadap pasien yang melibatkan fungsi fisik, fungsional, psikologis dan sosial. Hal ini mendukung pendapat bahwa pemberian terapi untuk mengatasi stres akan menghambat perkembangan sel kanker dan memperbaiki regulasi sistem imun sehingga angka harapan hidup meningkat (Frankl, 2007). F. Hipotesis 1. Psikoterapi CBT meningkatkan kadar serotonin serum pasien kanker serviks stadium lanjut. 2. Psikoterapi CBT meningkatkan kualitas hidup pasien kanker serviks stadium lanjut.