BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks 1. Definisi Kanker

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker Serviks
1. Definisi
Kanker serviks adalah penyakit ganas pada serviks uterus yang
disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus (HPV) grup onkogenik
resiko tinggi terutama HPV 16 dan HPV18 serta filogeniknya (Himpunan
Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). Lebih dari 95% kanker serviks
adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma. Karsinoma serviks didahului dengan pertumbuhan sel
yang tidak terkontrol dan menyebar keluar dari serviks uteri ke tempat lain
dalam tubuh.
2. Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insidensi kanker serviks di Singapura
sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar
23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks
menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Di Indonesia diperkirakan
ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya. Menurut data
kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks
merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di
Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di
Jakarta1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di
antara 918 kanker pada perempuan.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker
serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien
datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB sebanyak 66,4%. Kasus
dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal,
sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus (Rasjidi, 2009).
3. Etiologi
Lebih dari 90% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas
jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. (Himpunan Obstetri
Ginekologi Indonesai, 2013). Penyebab utama kanker serviks adalah virus
HPV (human papilloma virus). Lebih dari 90 % kanker serviks jenis
skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50 % kanker serviks
berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui
hubungan seksual. (Prawirohardjo, 2010).
Beberapa tipe HPV yang ditemukan pada kanker dan lesi prakanker
yaitu kelompok HPV resiko rendah antara lain : tipe 6, 11, 42, 43 dan 44.
Sedangkan kelompok HPV resiko tinggi meliputi tipe 16, 18, 31, 33, 35,
45, 51, 52, 56 dan 58. Sebagian besar kanker serviks disebabkan oleh HPV16 atau HPV-18 (Prasetyo, 2005). Berbagai faktor yang dianggap sebagai
kofaktor (faktor penyerta) terjadinya kanker serviks antara lain multiparitas,
kebiasaan merokok, kontrasepsi hormonal, penyakit menular seksual, dan
faktor nutrisi. Jumlah paritas akan meningkatkan risiko kanker serviks.
Risiko menderita kanker serviks meningkat sesuai peningkatan jumlah
batang rokok yang dikonsumsi, tetapi tidak berhubungan dengan lamanya
merokok. Lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko
menderita kanker serviks. Penyakit menular seksual seperti infeksi HIV dan
virus herpes dapat meningkatkan risiko kanker serviks (Rasjidi, 2009).
4. Faktor Resiko
Faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :
a. Usia pertama kali menikah.
Menikah pada usia kurang dari 20 tahun berisiko terkena kanker leher
rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia >
20 tahun. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia
20 tahun ke atas. (Andrijono, 2004).
b. Usia > 35
Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim.
Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya
kanker laher rahim yang berkaitan dengan lamanya terpapar karsinogen
serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
(Andrijono, 2004).
c. Wanita yang merokok.
Wanita perokok memiliki resiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Nikotin
mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi
terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks.
(Andrijono, 2004).
d. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti
pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV) yang merupakan
penyebab terjadinya karsinoma serviks. (Andrijono, 2004).
e. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama.
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu
lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5
kali. (Andrijono, 2004).
f. Paritas (jumlah kelahiran).
Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering
melahirkan (banyak anak) termasuk golongan resiko tinggi untuk
terkena penyakit kanker leher rahim. (Andrijono, 2004).
5. Kriteria Diagnosis
Diagnosis kanker serviks ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan histopatologi spesimen biopsi serviks. Pada stadium
awal belum timbul gejala klinis yang spesifik. Sebagian mengeluh
keputihan berulang, berbau dan bercampur darah. Selain itu, perdarahan
sesudah bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk metroragi,
menoragi, dan menometroragi (Himpunan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, 2013). Pemeriksaan klinis meliputi inspeksi, palpasi, yang
kemudian dapat ditunjang dengan histopatologi, sistoskopi, rektoskopi,
IVP, foto thoraks, USG, CT-Scan, dan MRI. Hasil histopatologik
didapatkan melalui biopsi. Bila ada kecurigaan metastasis ke kandung
kemih dan rectum dapat dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi
(Himpunan
Onkologi
Ginekologi
Indonesia,
2013).
Kecepatan
pertumbuhan kanker serviks tidak sama dari satu kasus dengan kasus
lainnya. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker
serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala. (Prawiroharjo, 2010)
6. Stadium
Penetapan
stadium
dilakukan
dengan
pemeriksaan
klinik.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi
dilakukan untuk menetapkan stadium klinik. Beberapa tindakan bedah
termasuk pemeriksaan klinik meliputi konisasi, biopsi dan aspirasi
(Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, 2013).
Apabila dilakukan pembedahan, maka penemuan dari hasil
pembedahan tersebut tidak akan merubah stadium. Stadium yang
digunakan tetap stadium klinik, sedangkan penemuan saat pembedahan
menjadi catatan khusus untuk menentukan prognosis. Pada kasus-kasus
karsinoma serviks yang residif, stadium yang ditetapkan adalah stadium
pada saat penemuan pertama (sebelum pengobatan).
FIGO tahun 2009 membagi stadium kanker serviks sebagai berikut :

Stadium 0
:
karsinoma insitu, karsinoma intraepitelial

Stadium I
:
karsinoma masih terbatas di serviks

Stadium IA
:
invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali
secara mikroskopik, kedalaman
invasi kurang
dari 5 mm dan penyebaran horizontal maksimal
kurang dari 7 mm

Stadium I A1
:
invasi ke stroma dengan kedalaman invasi kurang
dari 3 mm

Stadium I A 2 :
invasi ke stroma dengan kedalaman invasi 3-5
mm

Stadium I B
:
lesi lokal lanjut namun terbatas pada serviks

Stadium I B1
:
batas lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm

Stadium I B2
:
batas lesi secara klinis lebih dari 4 cm

Stadium II
:
lesi keluar melewati uterus namun belum
mencapai dinding pelvis atau mencapai 2/3
proximal vagina

Stadium II A
:
telah melibatkan vagina tetapi belum melibatkan
parametrium

Stadium II A1 :
lesi yang tampak kurang atau sama dengan 4 cm

Stadium II A2 :
lesi yang tampak lebih dari 4 cm

Stadium II B
infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai
:
dinding panggul

Stadium III
:
tumor menyebar sampai dinding panggul dan atau
mencapai
1/3
bawah
vagina
dan
atau
menyebabkan hidronefrosis / kerusakan ginjal

Stadium III A :
tumor mencapai 1/3 distal dinding vagina namun
belum mencapai dinding panggul

Stadium III B
:
penyebaran sampai dinding panggul dan atau
terdapat hidronefrosis dan kerusakan ginjal

Stadium IV A :
penyebaran ke organ sekitar seperti rektum,
kandung kemih.

Stadium IV B :
penyebaran jauh
7. Terapi
Berdasarkan
Himpunan
Onkologi
Ginekologi
Indonesia,
2013
penatalaksanaan kanker serviks adalah sebagai berikut:
a.
Stadium 0/ Karsinoma insitu
Konisasi (Cold and hot knife). Bila margin free, konisasi sudah adekuat
pada pasien yang masih memerlukan fungsi fertilitas. Bila tidak margin
free dilakukan re-konisasi. Bila fertilitas tidak diperlukan, dapat dilakukan
histerektomi total. Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai
tatalaksana kanker invasif.
b.
Stadium I A1 (Lymphovascular Space Invasion negatif)
Konisasi (cold knife) bila free margin (terapi adekuat) masih
menginginkan fertilitas dipertahankan (tingkat evidens B). Bila tidak free
margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi total
apabila fertilitas tidak diperlukan.
c.
Stadium IA-1(Lymphovascular Space Invasionpositif)
Operatif; Trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi
medik dapat dilakukan radiasi.
d.
Stadium IA-2, Ib-1, IIA-1
1) Operatif
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik (Tingkat evidens
1/ Rekomendasi A). Radioterapi (RT)/ kemoradiasi ajuvan kalau
terdapat faktor risiko yaitu metastasis kelenjar getah bening,
metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor, deep
stromal invasion, Lymphovascular Space Invasion, dan faktor risiko
lainnya. Apabila hanya metastasis kelenjar getah bening saja, radiasi
ajuvan hanya EBRT. Bila tepi sayatan tidak bebas tumor (closed
margin), pasca radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakiterapi ovoid
2x10Gy.
2) Non Operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi). Kemoradiasi (radiasi : EBRT plus
kemoterapi konkuren dan brakiterapi).
e.
Stadium IB2 dan IIA2
1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan
pelvik limfadenektomi. IB2 dan IIA2 yang direncanakan operasi tanpa
kontraindikasi dilakukan kemoterapi neoajuvan terlebih dahulu dan
dilakukan
nilai
ulang
pasca
kemoterapi
neoajuvan
untuk
operabilitasnya.
2) Operatif Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Pemberian
radioterapi (RT) atau kemoradiasi ajuvan kalau terdapat faktor resiko
yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium, batas
sayatan, tidak bebas tumor, deep stromal invasion, Lymphovascular
Space Invasiondan faktor risiko lainnya. Pasien yang menolak operasi
dilakukan radiasi atau kemoradiasi
definitif
yaitu radiasi atau
kemoradiasi dengan cisplatin mingguan atau kemoradiasi cisplatinifosfamide 3 mingguan.
f.
Stadium IIB
1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan
pelvik limfadenektomi.
2) Radiasi atau kemoradiasi.
g.
Stadium IIIA-IIIB
Kemoradiasi, Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi. Bila terdapat
obstruksi
ureter
dilakukan
pemasangan
DJ
stent/nefrostomi
dan
hemodialisa.
h.
Stadium IV A
Radiasi dan atau kemoradiasi mingguan / 3 mingguan dengan radiasi
4000cGY. Bila didapatkan respon maka dilakukan radiasi eksterna
dilanjutkan sampai 50 Gy ditambah BT 2x850cGy / 3x700cGy. Bila tidak
didapatkan respon maka terapi dihentikan. Bila terdapat obstruksi ureter
dilakukan pemasangan DJ stent atau nefrostomi dan hemodialisa.
i.
Stadium IV B
Terapi paliatif (radiasi pelvik/kemoterapi dapat dipertimbangkan)
1) Tumor primer dilakukan evaluasi keluhan dan gejala.
2) Metastasis jauh, Terapi nyeri (analgetik step ladder, neural block),
nutrisi, spiritual, pendidikan keluarga. Bila terdapat obstruksi ureter
dilakukan pemasangan DJ stent/nefrostomi dan hemodialisa. Bila
terdapat efusi pleura dilakukan punksi atau pemasangan WSD. Bila
terdapat ascites dilakukan punksi ascites.
Pasien dengan stadium lebih dari 4 dan usia muda kurang dari 40 tahun
sebaiknya dilakukan transposisi ovarium.
B. Stres, Stresor dan Coping
1. Stres
Hingga saat ini stres masih sulit didefinisikan dan sulit di ukur.
Istilah modulasi ini dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan respon
imun meningkat atau menurun. (Suhartono, 2011).
Dengan melihat istilah stres dari 3 konsep yaitu :
a. Konsep enginering
Stres merupakan karekteristik suatu lingkungan yang merusak atau
mengancam, sehingga individu yang hidup dalam lingkungan tersebut
akan sakit.
b. Konsep psikologis
Stres merupakan kondisi psikologis sebagai hasil interaksi antara
individu dan lingkungan hidupnya, dengan melibatkan proses kognitif
dan emosional.
c. Konsep medikofisiologis
Stres merupakan respon biologis individu terhadap stresor, yang dapat
diukur secara objektif dan tepat.
2. Stresor
Paparan stresor yang menyebabkan stres maka otak akan
memberikan dua macam bentuk respons, yaitu respon cepat dan lambat.
Respon cepat dari otak berupa pelepasan corticotropin-releasing hormone
(CRH) yang merupakan motor sistem simpatis melalui CRH -1 reseptor
(CRHR-1) yang akan mengakibatkan respon fight-flight. CRHR – 1 akan
merangsang
HPA
aksis
yang
nantinya
akan
menghasilkan
mineralokortikoid. Sedangkan pada respon lambat ini dapat terjadi
mekanisme coping dan adaptasi melalui perangsangan CRHR-2 yang
nantinya akan merangsang pelepasan glucocorticoid. (Suhartono, 2011).
3. Coping
Coping adalah proses pengelolaan stresor, yang terdiri dari:
a. Coping mechanism
Menurut Lazarus (1980), Coping mechanism merupakan respon
terhadap stresor yang memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama
memecahkan masalah yang menyebabkan stresor psikologis. Fungsi
kedua, coping mechanism memungkinkan pasien berpikir lebih baik,
sehingga pasien dapat menjaga moral dan terus berfungsi dengan baik.
b. Coping Model
Dimulai
psychophysiological
dari
perception,
response,
response
psyological
management
defenses,
(coping
capabilities), illnes behaviour dan illnes measure. Perception adalah
kesadaran menimbulkan persepsi dan interpretasi kejadian dalam
kehidupan dirasakan sebagai stresor yang menmbulkan perilaku tertentu
pada sistem imun. Psikofisiologis dimasukkan dalam model coping yang
ketiga oleh Rahe (1993), model tersebut disebut sebagai respon
psikofisiologis, yang berarti respon biologis terhadap stresor.
c. Coping style (Gaya coping)
Terdiri atas positive coping style dan negative coping style.
Positive coping style, individu dapat memecahkan persoalan sendiri
dengan menggunakan kekuatan yang ada pada individu itu. Negative
coping style, individu penuh keinginan untuk menghindari kesalahan
(Dalono, 2001).
C. Depresi
a. Gambaran Umum Depresi
Gangguan Depresi Mayor (GDM) secara mendasar merupakan
gangguan suasana perasaan (mood) atau afek yang depresi dengan atau
tanpa disertai anxietas. Perubahan suasana perasaan ini biasanya disertai
dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas. Sebagian
besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode
tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stresor pendidikan
yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia, 2013). Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang
dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau
stresor pendidikan yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013).
Episode depresi yang khas terdiri dari tiga variasi yaitu ringan,
sedang, dan berat. Individu biasanya menderita suasana perasaan (mood)
depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas. Gejala lazim lainnya adalah konsentrasi dan perhatian
menurun, harga diri, dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang
perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan
pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,
tidur terganggu dan nafsu makan berkurang. Gejala depresi merupakan
penyulit penyakit medis kronis yang paling sering dijumpai. Depresi
berpengaruh buruk terhadap adherensi terapi medis, kualitas hidup, dan
hasil terapi. Meskipun memiliki makna penting, namun depresi sering
luput dikenali, tidak terdiagnosis, dan tidak diterapi di klinik medis
(Sadock et al. 2007).
Menurut DSM-V, Major Depressive Disorder (MDD) merupakan
gangguan tersendiri, di bawah kelompok Gangguan Depresi (Depressive
Disorder), terpisah dari kelompok Gangguan Bipolar. Gangguan depresi
meliputi gangguan disregulasi mood disruptif, gangguan depresi mayor,
distimia, gangguan disforik pre-menstruasi, gangguan depresi yang
diinduksi substansi atau medikasi, gangguan depresi karena kondisi
medis lainnya, gangguan depresif spesifik lain, dan gangguan depresif
tidak spesifik. Gambaran utama dari semua gangguan ini adalah adanya
rasa sedih (sad), kosong (empty), atau mood irritabel, disertai perubahan
kognitif dan somatik yang secara bermakna mempengaruhi kapasitas
fungsi individu (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan depresi mayor merupakan kondisi klasik dalam
kelompok ini, ditandai oleh episode jelas selama sedikitnya 2 minggu
(umumnya berlangsung lebih lama) termasuk perubahan afek, kognisi,
fungsi neurovegetatif dan ada remisi inter episode yang jelas (American
Psychiatric Association, 2013).
b. Diagnosis Gangguan Depresi Mayor
Menurut DSM-V, kriteria diagnosis gangguan depresi mayor
adalah minimal 5 gejala berikut telah timbul dalam periode 2 minggu
dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya:
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari.
2. Hilangnya ketertarikan atau kesenangan pada seluruh, atau hampir
seluruh aktifitas.
3. Kehilangan berat badan yang signifikan ketika tidak menjalani diet
atau peningkatan berat badan, atau berkurangnya atau meningkatnya
selera makan hampir setiap hari.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi psikomotorik atau retardasi hampir setiap hari.
6. Lesu atau hilangnya energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan.
8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, munculnya
ide kematian yang berulang, ide bunuh diri yang berulang, atau
percobaan bunuh diri atau rencana spesifik untuk percobaan bunuh
diri (American Psychiatric Association, 2013).
D. Serotonin
Serotonin tersebar di seluruh tubuh, terutama di saluran cerna,
trombosit dan otak. Bebagai organ tersebut mempunyai reseptor serotonin,
dengan subtipe yang berbeda-beda tergantung organ tempat ia berada dan
fungsi organ tersebut. Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin
perifer merupakan produksi sel enterokromafin dinding usus. Sebagian di
antaranya bekerja sebagai neurotransmiter di sistem saraf usus, sedangkan
sebagian lepas ke dalam darah. Di dalam darah, sebagian besar diambil oleh
trombosit menjadi platelet serotonin sedangkan sisanya beredar bebas dalam
plasma disebut sebagai free-serotonin. Sel enterokromafin dapat memantau
kadar serotonin dalam darah dan melepaskan serotonin sesuai kebutuhan,
kemungkinan melalui mekanisme transporter serotonin. Neurotransmiter
serotonin disintesis oleh sel saraf serotonergik presinaps, disimpan dalam
vesikel, kemudian dilepaskan melalui celah sinaps. Pada membran postsinaps, serotonin berikatan dengan reseptor yang spesifik. Setelah digunakan
sebagai neurotransmiter, serotonin dalam sinaps diambil kembali oleh suatu
sistem transpor membran yang spesifik, dan disimpan kembali dalam vesikel
saraf pre-sinaps (Hardiono, 2007). Komposisi multimalfungsi neurotransmisi
sentral dapat diperkirakan dari besar derajat malfungsi neurotransmisi
serotonergik, yang tercermin dari transporter serotonin trombosit (Suparno,
2007).
Transporter-serotonin adalah protein transporter berafinitas tinggi,
terletak di membran plasma dari ujung saraf pre-sinaptik. Transporter
serotonin mengkatalisir pergerakan serotonin (5-HT) melewati membran
seluler. Di dalam otak, transporter serotonin membersihkan serotonin dari
ruang ekstra seluler, memodulasi kekuatan dan durasi pensinyalan
serotonergik (Suparno, 2007).
Pada kondisi distres terjadi perubahan fungsional berupa perubahan
hormonal dan neurotransmisi, meliputi peningkatan aktivitas noradrenergik
dan kadar kortisol, jika kronis akan mengakibatkan perubahan struktural,
berupa atrofi sel-sel piramidal dan penurunan volume hipokampus,
meningkatan aktivitas aksis hipotalamo-pituitariadrenal (aksis HPA) yang
mengakibatkan perubahan kadar Interleukin-6 (IL–6) (Suparno, 2007).
Hubungan penting lain antara depresi dan stres adalah fakta bahwa
kedua sistem LHPA dan serotonin, selain terlibat dalam patofisiologi depresi,
juga merupakan kontributor penting terhadap neurobiologi stres. Oleh karena
itu, mempelajari neurobiologi stres dengan fokus pada kedua sistem tersebut
telah memberi kita petunjuk penting ke dalam patofisiologi penyakit yang
berpengaruh, membuka jalan terhadap kerja antidepresan, dan mulai membuka
bagaimana stres dan gangguan mood berhubungan (Juan, 2002).
1. Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Stres
LHPA adalah sistem neuroendokrin klasik yang berespon terhadap
stres. Persepsi stres oleh manusia menyebabkan rangkaian kejadian, dengan
hasil akhir berupa sekresi glukokortikoid (kortisol) dari korteks adrenal.
Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan pentingnya hipokampus untuk
mekanisme umpan balik LHPA.
Hipokampus
terdiri
dari
berlimpahnya
dua
tipe
reseptor
glukokortikoid yang diperkirakan mengontrol umpan balik negatif: tipe I
(juga dikenal sebagai reseptor mineralokortikoid, atau MR) dan tipe II (juga
dikenal sebagai reseptor glukokortikoid atau GR). Afinitas paling tinggi
adalah glukokortikoid sintetis poten, seperti deksametason. Karakteristik
reseptor ini saling melengkapi dan meletakkan MR dan GR dalam posisi
untuk memodulasi respon LHPA. Reseptor MR bekerja pada konsentrasi
kortikosteron yang rendah dan menimbulkan inhibisi kuat pada aksis pada
saat titik terendah ritme sirkadian. Ketika konsentrasi kortikosteron tinggi,
reseptor MR mengalami saturasi, dan reseptor GR menjamin kembalinya
homeostasis.
Seperti yang dinyatakan di atas, telah dijelaskan dengan baik
bahwa hipokampus adalah komponen sentral limbik dan merupakan dasar
dalam mengontrol aspek fungsi kognitif dan tingkah laku, meletakkan
reseptor-reseptor tersebut dalam posisi untuk memodulasi respon
neuroendokrin dan kognitif secara simultan pada manusia terhadap stres
(Juan, 2002).
Aktivasi dan terminasi respon stres adrenokortikal adalah hal utama
untuk adaptasi. Inhibisi respon stres dicapai sebagian melalui pengikatan
glukokortikoid yang bersirkulasi terhadap reseptor sitoplasmik spesifik
pada hipotalamus, di mana mereka menghambat hormon pelepas
kortikotropin (CRH) dan sekresi adrenokortikotropin (ACTH) oleh
pituitari. Modulasi sistem tambahan tercapai dalam struktur limbik,
terutama hipokampus, yaitu struktur yang berhubungan dengan hipotalamus
melalui koneksi neuron yang bertemu di nukleus paraventrikular
hipotalamus (PVN), di mana terletak CRH dan neuron vasopressin (AVP)
yang responsif terhadap stres (Juan, 2002).
2. Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal pada Depresi
Adanya overaktivitas LHPA pada pasien dengan depresi dipercaya
sebagai
femonena
“sekunder”
penyakit,
menunjukkan
gangguan
monoaminergik sentral, stres penyakit, atau keduanya. Keabnormalan
LHPA pada MDD distimulasi oleh peningkatan glukokortikoid, produk
akhir aksis LHPA telah memiliki efek yang sangat besar pada mood dan
tingkah laku (Juan, 2002). Disregulasi ini termanifestasi antara lain, oleh
hipersekresi kortisol, kegagalan menekan sekresi kortisol setelah pemberian
deksametason, respon adrenal yang berlebihan terhadap perubahan
endokrin, dan mengurangi respon ACTH terhadap pemberian CRH. Hal ini
telah diinterpretasikan sebagai bukti pengaturan pituitari terhadap reseptor
CRH sekunder terhadap peningkatan sekresi CRH.
Studi post mortem telah menemukan bukti aktivasi LHPA kronik
pada pasien bunuh diri, seperti hyperplasia adrenal, penurunan regulasi
reseptor CRH, dan peningkatan proopiomelanokortin mRNA, precursor
untuk ACTH, di pituitari (Juan, 2002). Hal ini membuktikan peningkatan
laju sentral, berdasarkan pada peningkatan aktifitas pada titik rendah ritme
sirkadian, peningkatan CRH pada CSF pada pasien depresi, dan
peningkatan imunoreaktivitas CRH dan nilai mRNA pada PVN.
3. Reseptor Serotonin dan Depresi
Sistem 5-HT (serotonin) memiliki banyak komponen, tiga molekul
5-HT yang diyakini paling berhubungan dengan neurobiologi mood adalah
transporter serotonin (5-HTt), reseptor serotonin 1a (5-HT1a) dan reseptor
serotonin 2a (5-HT2a, dulunya 5-HT2). Sistem serotonin telah diinvestigasi
secara luas sebagai elemen kunci dalam patofisiologi depresi dan bunuh
diri, dan sebagai mediator kerja terapetik antidepresan. Penelitian pada
subjek dengan riwayat MDD yang meninggal secara alami mengalami
peningkatan pengikatan 5-HT2a pada korteks prefrontal. (Juan, 2002).
Penemuan ini telah mengarahkan beberapa peneliti untuk
mengajukan hipotesis bahwa 5-HT1a post sinapsis dan reseptor 5-HT2a
memiliki efek yang berlawanan secara fungsional, sehingga keseimbangan
yang terganggu pada reseptor tersebut dapat memberikan kontribusi pada
patofisiologi depresi, dan mengembalikan keseimbangan ini diperlukan
untuk kerja psikoterapi (Juan, 2002).
4. Interaksi antara Aksis LHPA dan Serotonin
Diketahui bahwa beberapa neuron 5-HT yang berasal dari nukleus
raphe dorsal dan nukleus raphe magnus mengarah pada PVN dan sinapsis
ke dalam neuron CRH. Neuron 5-HT juga mengarah pada area otak lain,
seperti amigdala dan nukleus suprakiasma, yang diperkirakan memodulasi
fungsi PVN. Tingkat kompleksitas lain ditambah melalui fakta bahwa 5-HT
dan aksis LHPA bekerja pada berbagai tingkat Stimulasi farmakologi
dengan agen 5-HT dapat mengaktivasi ACTH dan melepaskan kortisol.
Banyak area otak yang menunjukkan reseptor 5-HT juga memiliki
konsentrasi reseptor kortikosteroid yang tinggi. Khususnya dalam sistem
limbik , hippocampus memiliki konsentrasi 5-HT1a yang tinggi
pada
neuron yang sama yang mengandung reseptor GR dan MR dalam jumlah
yang banyak, dan korteks prefrontal kaya akan reseptor 5-HT2a dan
reseptor GR. (Juan, 2002).
Lokalisasi MR dan GR pada korteks prefrontal menunjukkan
bahwa kedua reseptor tersebut mampu memodulasi fungsi otak yang lebih
tinggi, seperti mood, tingkah laku sosial, dan proses kognitif, kemungkinan
melalui interaksi dengan reseptor 5-HT. Reseptor serotonin dan
kortikosteroid tidak hanya berinteraksi secara anatomis, namun juga secara
fungsional. Pemberian serotonin dapat mengatur kenaikan GR pada
hipokampus, dan sebaliknya, penghancuran farmakologi pengarahan
serotonergik mengurangi nilai mRNA GR dan MR di hipokampus.
Reseptor 5-HT2a juga sensitif terhadap perubahan nilai glukokortikoid
peripheral (Juan, 2002).
5. Stres, Serotonin, dan Aksis LHPA
Sebuah studi menemukan bahwa kejadian hidup yang berat secara
signifikan berhubungan bahkan dengan episode pertama psikotik/depresi
endogen. Ini tidak mengatakan bahwan stres “menyebabkan” depresi pada
orang. Namun, stres sangat berinteraksi dengan predisposisi gen endogen,
sehingga pada orang yang rentan, stresor dapat menciptakan gangguan
mood (rentan + stres = depresi). Studi pada saudara kembar yang dilakukan
oleh Kendler menunjukkan interaksi yang jelas antara faktor genetik dan
kejadian hidup yang berat dalam kemunculan episode depresi: semakin
banyak “muatan” genetik untuk depresi, semakin besar kecenderungan
kejadian hidup yang berat akan memunculkan episode. Ada beberapa kasus
di mana “muatan” genetik atau predisposisi tinggi, sehingga episode
depresi dapat terjadi tanpa adanya faktor pencetus lainnya. Dalam
penjelasan literatur klinis, fisiologi, dan biologi mengenai penyakit depresi,
satu faktor yang paling dihubungkan dengan depresi adalah stres. Stres dan
depresi telah dihubungkan dalam berbagai cara. Kedua stresor fisik dan
psikologis telah ditunjukkan berhubungan sementara terhadap onset
episode depresi. Untuk depresi berulang, kejadian hidup yang berat lebih
umum pada “depresi non endogen”. (Juan, 2002).
Hubungan penting lain antara depresi dan stres adalah fakta bahwa
kedua sistem LHPA dan 5-HT, selain terlibat dalam patofisiologi depresi,
juga merupakan kontributor penting terhadap neurobiologi stres. Oleh
karena itu, mempelajari neurobiologi stres dengan fokus pada kedua sistem
tersebut telah memberi kita petunjuk penting ke dalam patofisiologi
penyakit yang berpengaruh, membuka jalan terhadap kerja antidepresan,
dan mulai membuka bagaimana stres dan gangguan mood berhubungan
(Juan, 2002).
E. Nyeri pada Kanker
Berdasar pengertian menurut International Association for the Study of
Pain (IASP), nyeri adalah sensor yang tidak menyenangkan dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan, yang menyertai kerusakan jaringan.
Kerusakan jaringan tersebut menyebabkan rangsangan inpuls pada neuron
sehingga dapat menyebabkan berbagai macam gangguan fungsi dan fisologis
organ tubuh termasuk sikap tubuh terhadap nyeri, selain itu nyeri juga dapat
menyebabkan perngsangan produksi leukosit dengan lympopenia dan dapat
mendepresi system retikuloendotelial yang pada akhirnya menyebabkan pasien
beresiko mudah terkena infeksi. (Schiff , 2003)
Survei dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center menunjukkan
bahwa nyeri pada penderita kanker biasanya merupakan akibat langsung dari
tumor (75-80% kasus) dan sisanya disebabkan baik oleh karena pengobatan
antikanker (15-19)%) maupun nyeri yang tidak berhubungan dengan
kankernya atau dengan pengobatannya (3-5%). Tiga faktor utama yang
berperan pada patogenesis nyeri pada penderita kanker ialah mekanisme
nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis. Istilah nyeri idiopatik
pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat diterangkan secara
adekuat dengan proses patologis, diperkirakan disebabkan oleh proses organik
tersembunyi atau yang lebih jarang lagi oleh proses psikologis. Nyeri
nosiseptif didefinisikan sebagai hasil dari aktivasi nosiseptif pada struktur
somatik atau visceral. Biasanya berhubungan erat dengan luasnya kerusakan
jaringan dan lokasi. Nyeri somatik nosiseptif sering dilukiskan sebagai nyeri
yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan, sedang nyeri visceral
nosiseptif sulit dilokalisir dan bisa terasa perih atau kram. ( schiff, 2003).
Nyeri neuropati adalah akibat dari fungsi yang abnormal dari sistem
somatosensor sentral atau perifer. Diagnosa berdasarkan penemuan lesi
neurologi dan kelainan sensoris seperti disestesia atau hiperalgesia. Persepsi
subyektif seringkali digambarkan sebagai nyeri terbakar atau menusuk. Lesi
nervus perifer oleh karena tumor, pembedahan atau kemoterapi merupakan
tipe yang paling sering dari nyeri neuropati pada penderita kanker ( Schiff,
2003).
Pada tubuh seseorang yang sehat, terjadi keseimbangan regulasi sistem
saraf yang akan menghasilkan gelombang otak yang baik. Nyeri dipengaruhi
oleh neurotransmitter, termasuk serotonin. Serotonin dan norepinephrine
dikenal sebagai mediator utama dari mekanisme analgetik endogen pada
penurunan nyeri. Dibutuhkan kadar serotonin yang cukup untuk menghambat
persepsi nyeri. Pelepasan serotonin akan memodulasi transmisi dari nyeri
dengan menghambat aktivitas sensor yang datang (Schiff, 2003).
F. Intervensi Psikoterapi pada Pasien Kanker
Psikoterapi merupakan bentuk pengobatan yang direkomendasikan
pertama kali untuk depresi. Selama psikoterapi, seseorang yang menderita
depresi berbicara pada ahli psikoterapi agar membantu penderita untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu depresi. Beberapa faktor ini
bekerja secara kombinasi dengan faktor herediter dan ketidakseimbangan
kimia di dalam otak yang dapat memicu depresi. Psikoterapi membantu pasien
depresi dengan memahami tingkah laku, emosi, dan ide yang berperan pada
keadaan depresinya. Dengan memahami dan mengidentifikasi masalahmasalah atau peristiwa dalam hidup yang berperan di dalam depresi penderita
dan membantu penderita memahami aspek-aspek dari masalah ini sehingga
mereka dapat menyelesaikan dan memperbaikinya (Holland and Aichi, 2009).
Dengan ditemukannya hubungan antara stres psikososial dan
perubahan fungsi imunitas maupun endokrin serta dampaknya pada
perkembangan penyakit, bermunculan pula berbagai bukti bahwa intervensi
untuk menurunkan stres mungkin dapat meningkatkan fungsi imunitas tubuh
endokrin. Secara arti harafi psikoterapi berarti “pengobatan jiwa” (psyche =
jiwa, therapy = pengobatan); oleh karenanya istilah ini bisa diterapkan sebagai
segala bentuk pengobatan yang disusun untuk menyembuhkan gangguan jiwa.
Istilah ini dimaksudkan sebagai suatu metode terapi yang ditujukan untuk
mendapatkan pengaruh terhadap perubahan pikiran dan perasaan antara pasien
dan terapis. Tujuan terapi ini ialah untuk mempengaruhi perasaan dan tingkah
laku pasien dalam menyembuhkan ketegangan, menaikkan keefektifan fungsi
jiwa dan memperbaiki adaptasi pasien dalam kelompok di mana ia hidup untuk
keuntungan bersama (Nuhriawangsa, 2004).
American Cancer Society telah mengidentifikasi empat faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker dan keluarganya,
yaitu faktor sosial, psikologis, fisik, dan spiritual. Diagnosis dan pengobatan
kanker dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup termasuk fisik, psikologi
dan kelangsungan sosial. Aspek psikososial meliputi perubahan pola hidup,
ketakutan serta ketidaknyamanan psikososial. Ketidaknyamanan psikososial
termasuk kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, dan depresi. Hal-hal
tersebut dapat menetap dan berubah seiring waktu tergantung dari tingkat
keparahan penyakit (Akechi, 2013).
G. Psikoterapi Logoterapi
a. Definisi dan Konsep Logoterapi
Logoterapi dalam klasifikasi psikoterapi digolongkan pada
Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology (Bastaman, 2007;
Frankl, 2006). Mcleod menyatakan bahwa (Mcleod, 2006):
1. Manusia eksis dalam waktu, yang maksudnya adalah kejadian yang
terjadi pada masa kini akibat adanya suatu sumber dimasa lalu dan
akan membentang hingga masa yang akan datang dengan berbagai
kemungkinan.
2. Manusia berusaha untuk eksis, yang maksudnya adalah eksistensi
manusia dalam dunia diungkapkan melalui dirinya sendiri (pikiran,
perasaan, tingkah laku, kesadaran) dalam hubungannya dengan
organisasi ruang yang ada di sekitarnya.
3. Kecemasan, ketakutan, dan perhatian yang terpusatkan pada suatu
kejadian merupakan konsekuensi dari sikap menyayangi terhadap
seseorang dan dunia disekitarnya.
Frankl memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi
spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna
(therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata
“logos‟ yang berarti “meaning‟ (makna) dan “Spirituality‟ (kerohanian).
Frankl menyebutkan tiga asumsi yaitu asumsi pertama, kehidupan
memiliki meaning yang sangat luas, termasuk hal yang paling
menyakitkan atau tidak ada harapan (kebebasan berkehendak) “freedom of
will”. Asumsi kedua, bahwa orang yang dilengkapi “will to meaning”
sejak lahir , yang tidak mengejar kekuasaan atau kesenangan, tetapi untuk
menemukan meaning dan tujuan hidupnya (motivation for living atau
kehendak untuk hidup bermakna). Asumsi ketiga, Frankl mempercayai
bahwa orang memiliki kebebasan untuk menemukan personal meaning
dalam berbagai situasi (makna hidup), entah melalui aktivitas, pengalaman
atau sikap yang bermakna (“meaning of life”) (Bastaman, 2007; Frankl,
2006).
Frankl berpendapat bahwa manusia dapat memperoleh makna
hidup yang bersumber dari (Bastaman, 2007):
1. Nilai-nilai kreatif (creatif values), yaitu: berkarya, bekerja, mencipta,
dan melaksanakan satu kegiatan dengan baik karena mencintai
kegiatan itu.
2. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu: meyakini dan
menghayati kebenaran, keyakinan, keindahan, cinta kasih, dan
keimanan.
3. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values), yaitu: mengambil sikap tepat
atas pengalaman tragis yang tidak terhindarkan.
Frankl berpendapat bahwa seseorang masih dapat menemukan
makna hidup dengan cara “mengatasi penderitaannya‟ (attitudinal values).
“Attitudinal values‟ inilah yang merupakan ajaran mendasar dari Frankl
dalam logoterapi, tujuannya adalah melihat makna positif dari satu
penderitaan. Logoterapis mendorong klien untuk melihat sisi baik dari
suatu penderitaan dengan cara menerima penderitaan tersebut. Dengan
demikian, akan memungkinkan klien untuk merealisasikan makna hidup
yang tertinggi dan terbaik. Jadi, inti dari ajaran logoterapi adalah semua
orang mendapat kesempatan untuk merealisasikan “attitudinal values‟,
yaitu menemukan makna hidup dengan menghadapi penderitaan sampai
nafas terakhir (Bastaman, 2007).
Dengan logoterapi, klien yang sedang menghadapi ketakutan atau
berada dalam kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan
berkreativitas dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara
bagaimana ia menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia mengatasi
penderitaannya.Logoterapi juga mengajarkan kepada klien untuk melihat
nilai positif dari penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa
bangga terhadap penderitaannya. Salah satu teknik yang digunakan dalam
logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk
mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya
(Bastaman, 2007).
b. Metode Logoterapi
Ada beberapa metode yang digunakan dalam logoterapi, antara lain:
1. Existential Analysis
Dengan teknik ini terapis membantu mereka yang mengalami
kehampaan hidup untuk menemukan sendiri makna hidupnya dan
mampu menetapkan tujuan hidup secara lebih jelas.
2. Paradoxical Intention
Teknik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan
kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan
mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan.
Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka
pendek pasien fobia (ketakutan irrasional) ataupun gangguan konversi
dengan teknik paradoxical intention, mereka diajak untuk “berhenti
melawan‟, dan diajak untuk melihat sisi humor tentang gejala yang
ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan
berkurang dan menghilang. (Bastaman, 2007).
3. Socratic Dialogue
Teknik ini menggunakan metode berpikir kritis dan reflektif,
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan jalan
mengembalikan pertanyaan-pertanyaan itu kepada si penanya untuk
dijawabnya sendiri dengan memfungsikan kemampuan berpikir sehat
sehingga
akhirnya
ia
benar-benar
dapat
memahami
sendiri.
(Bastaman, 2007).
4. Dereflection
Teknik ini memanfaatkan kemampuan yang ada pada setiap
manusia dewasa yaitu kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak
memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk lebih
mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan
bermanfaat. Selain itu, diharapkan akan terjadi perubahan sikap, yaitu
dari yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri menjadi komitmen
terhadap sesuatu yang penting baginya.(Bastaman, 2007). Indikasi
utama logoterapi ini adalah terhadap orang-orang yang mengalami
penderitaan akibat kehilangan makna dalam hidupnya (Bastaman,
2007).
5. Medical Ministry
Metode ini adalah metode logoterapi yang sering diterapkan di
kalangan
medis,
khususnya
gangguan-gangguan
somatogenik
(misalnya depresi pasca amputasi). Pendekatan ini memanfaatkan
kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap kondisi
diri dan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Tujuan utama
metode medical ministry adalah membantu seseorang menemukan
makna dari penderitaannya (meaning in suffering. (Bastaman, 2007).
c. Pemilihan Metode Logoterapi
Logoterapi mengembangkan metode dan teknik terapi untuk
mengatasi gangguan neurosis somatogenik, neurosis psikogenik, dan
neurosis noogenik selain mengemukakan asas-asas dan filsafat yang
bertemakan humanistik eksistensial. Untuk neurosis psikogenik yang
bersumber dari hambatan emosional dikembangkan teknik paradoxical
intention dan dereflection. Selanjutnya untuk neurosis noogenik yakni
gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup
bermakna, dikembangkan teknik existential analysis. Sedangkan untuk
neurosis somatogenik, yakni gangguan – gangguan perasaan yang
berkaitan dengan tubuh, logoterapi mengembangkan metode medical
ministry (Bastaman, 2007).
Pasien kanker serviks mengalami gangguan neurosis somatogenik
akibat penyakit kanker itu sendiri, beban fisik dan sosial akibat terapi serta
berbagai kekhawatiran terkait prognosis dan dampak sosial.Oleh karena
itu, dalam studi ini digunakan metode logoterapi berupa medical ministry.
Dengan pendekatan medical ministry ini diharapkan pasien kanker serviks
akan mampu memanfatkan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi
dan lingkungan yang tidak mungkin dirubah lagi.
H. Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka konsep
Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut
Stres Biologis
Stres Sosial
Stres Psikologis
Depresi
VMPFC
AMYGDALA
DRVL
5-HT Transporter
DRD
DRV
Serotonin
Psikoterapi Logoterapi
VMPFC
AMYGDALA
DRVL
5-HT Transporter
Keterangan :
DRD
aktifitas :
DRV
kadar :
Serotonin
yang diukur
Nor
mal
Persepsi Nyeri
Keterangan Kerangka Konsep
Pada pasien kanker serviks stadium lanjut, terjadi stres baik berupa
stres biologis (progresifitas penyakit dan terapi), stres psikologis (kecemasan
terkait diagnosis, prognosis, biaya terapi medis, takut kematian), serta stress
sosial (dukungan keluarga, tekanan ekonomi, dan lingkungan). Akibat
paparan stresor yang berlangsung lama dapat terjadi depresi.
Sinyal kognitif persepsi stres atau depresi berjalan ke otak melewati
jalur sensorik, auditorik dan visual, mencapai thalamus, kemudian ke korteks
sensoris dan terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol
kognitif. Setelah proses di korteks selesai, selanjutnya sinyal tersebut
diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu
sinyal tersebut juga diproyeksikan ke amigdala, ventromedial prefrontal
korteks (VMPFC). Selanjutnya VMPFC dan amigdala akan menginduksi
interaksi dorsal raphe. Rangsangan terhadap dorsal raphe nukleus
ventrolateral menyebabkan aktivitas DRVL meningkat menyebabkan inhibisi
sekresi serotonin oleh dorsal raphe dorsal (DRD) dan dorsal raphe ventral
(DRV). Dorsal Raphe Nukleus Ventrolateral (DRVL) juga menyebabkan
sekresi serotonin transporter meningkat sehingga reuptake serotonin
ekstrasellular meningkat menyebabkan menurunnya kadar serotonin.
Adanya depresi akan menyebabkan overaktivitas pada sistem limbikhipotalamus-pituitari-adrenal
sehingga
memicu
hipotalamus
untuk
mensekresi CRH. CRH akan merangsang peningkatan sekresi ACTH oleh
hipofisis anterior. Selanjutnya peningkatan ACTH tersebut akanmerangsang
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Sistem serotonin dan aksis LHPA
bekerja pada berbagai tingkat. Kadar kortikosteroid (glukokortikoid) yang
tinggi pada penderita depresi berhubungan dengan rendahnya kadar serotonin
pada hipokampus.
Pemberian
psikoterapi
logoterapi
disamping
terapi
standar
diharapkan akan memberikan coping yang baik pada penderita kanker
serviks stadium lanjut yang dapat memperbaiki keadaan depresi pada pasien
sehingga akan menghambat pengeluaran transporter serotonin yang
berlebihan pada sistem limbik-hipotalamus-pituitari-adrenal terutama pada
daerah Dorsal Raphe Nukleus Ventrolateral (DRVL) sehingga kadar
serotonin di dalam darah akan meningkat dan menurunkan persepsi nyeri
pasien kanker servik stadium lanjut.
I. Hipotesis
1. Terdapat pengaruh psikoterapi logoterapi terhadap peningkatan kadar
serotonin serum pada pasien kanker serviks stadium lanjut.
2. Terdapat pengaruh psikoterapi logoterapi terhadap penurunan skor nyeri
pada pasien kanker serviks stadium lanjut.
Download