BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks 1. Definisi Kanker serviks adalah penyakit ganas pada serviks uterus yang disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus (HPV) grup onkogenik resiko tinggi terutama HPV 16 dan HPV18 serta filogeniknya (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2013). Lebih dari 95% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Karsinoma serviks didahului dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan menyebar keluar dari serviks uteri ke tempat lain dalam tubuh. 2. Epidemiologi Untuk wilayah ASEAN, insidensi kanker serviks di Singapura sebesar 25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus (Rasjidi, 2009). 3. Etiologi Lebih dari 90% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. (Himpunan Obstetri Ginekologi Indonesai, 2013). Penyebab utama kanker serviks adalah virus HPV (human papilloma virus). Lebih dari 90 % kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50 % kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual. (Prawirohardjo, 2010). Beberapa tipe HPV yang ditemukan pada kanker dan lesi prakanker yaitu kelompok HPV resiko rendah antara lain : tipe 6, 11, 42, 43 dan 44. Sedangkan kelompok HPV resiko tinggi meliputi tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58. Sebagian besar kanker serviks disebabkan oleh HPV16 atau HPV-18 (Prasetyo, 2005). Berbagai faktor yang dianggap sebagai kofaktor (faktor penyerta) terjadinya kanker serviks antara lain multiparitas, kebiasaan merokok, kontrasepsi hormonal, penyakit menular seksual, dan faktor nutrisi. Jumlah paritas akan meningkatkan risiko kanker serviks. Risiko menderita kanker serviks meningkat sesuai peningkatan jumlah batang rokok yang dikonsumsi, tetapi tidak berhubungan dengan lamanya merokok. Lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko menderita kanker serviks. Penyakit menular seksual seperti infeksi HIV dan virus herpes dapat meningkatkan risiko kanker serviks (Rasjidi, 2009). 4. Faktor Resiko Faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu : a. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang dari 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. (Andrijono, 2004). b. Usia > 35 Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim yang berkaitan dengan lamanya terpapar karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. (Andrijono, 2004). c. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki resiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Nikotin mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. (Andrijono, 2004). d. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV) yang merupakan penyebab terjadinya karsinoma serviks. (Andrijono, 2004). e. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. (Andrijono, 2004). f. Paritas (jumlah kelahiran). Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan resiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. (Andrijono, 2004). 5. Kriteria Diagnosis Diagnosis kanker serviks ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan histopatologi spesimen biopsi serviks. Pada stadium awal belum timbul gejala klinis yang spesifik. Sebagian mengeluh keputihan berulang, berbau dan bercampur darah. Selain itu, perdarahan sesudah bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk metroragi, menoragi, dan menometroragi (Himpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2013). Pemeriksaan klinis meliputi inspeksi, palpasi, yang kemudian dapat ditunjang dengan histopatologi, sistoskopi, rektoskopi, IVP, foto thoraks, USG, CT-Scan, dan MRI. Hasil histopatologik didapatkan melalui biopsi. Bila ada kecurigaan metastasis ke kandung kemih dan rectum dapat dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi (Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, 2013). Kecepatan pertumbuhan kanker serviks tidak sama dari satu kasus dengan kasus lainnya. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala. (Prawiroharjo, 2010) 6. Stadium Penetapan stadium dilakukan dengan pemeriksaan klinik. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi dilakukan untuk menetapkan stadium klinik. Beberapa tindakan bedah termasuk pemeriksaan klinik meliputi konisasi, biopsi dan aspirasi (Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, 2013). Apabila dilakukan pembedahan, maka penemuan dari hasil pembedahan tersebut tidak akan merubah stadium. Stadium yang digunakan tetap stadium klinik, sedangkan penemuan saat pembedahan menjadi catatan khusus untuk menentukan prognosis. Pada kasus-kasus karsinoma serviks yang residif, stadium yang ditetapkan adalah stadium pada saat penemuan pertama (sebelum pengobatan). FIGO tahun 2009 membagi stadium kanker serviks sebagai berikut : Stadium 0 : karsinoma insitu, karsinoma intraepitelial Stadium I : karsinoma masih terbatas di serviks Stadium IA : invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, kedalaman invasi kurang dari 5 mm dan penyebaran horizontal maksimal kurang dari 7 mm Stadium I A1 : invasi ke stroma dengan kedalaman invasi kurang dari 3 mm Stadium I A 2 : invasi ke stroma dengan kedalaman invasi 3-5 mm Stadium I B : lesi lokal lanjut namun terbatas pada serviks Stadium I B1 : batas lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm Stadium I B2 : batas lesi secara klinis lebih dari 4 cm Stadium II : lesi keluar melewati uterus namun belum mencapai dinding pelvis atau mencapai 2/3 proximal vagina Stadium II A : telah melibatkan vagina tetapi belum melibatkan parametrium Stadium II A1 : lesi yang tampak kurang atau sama dengan 4 cm Stadium II A2 : lesi yang tampak lebih dari 4 cm Stadium II B infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai : dinding panggul Stadium III : tumor menyebar sampai dinding panggul dan atau mencapai 1/3 bawah vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis / kerusakan ginjal Stadium III A : tumor mencapai 1/3 distal dinding vagina namun belum mencapai dinding panggul Stadium III B : penyebaran sampai dinding panggul dan atau terdapat hidronefrosis dan kerusakan ginjal Stadium IV A : penyebaran ke organ sekitar seperti rektum, kandung kemih. Stadium IV B : penyebaran jauh 7. Terapi Berdasarkan Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia, 2013 penatalaksanaan kanker serviks adalah sebagai berikut: a. Stadium 0/ Karsinoma insitu Konisasi (Cold and hot knife). Bila margin free, konisasi sudah adekuat pada pasien yang masih memerlukan fungsi fertilitas. Bila tidak margin free dilakukan re-konisasi. Bila fertilitas tidak diperlukan, dapat dilakukan histerektomi total. Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif. b. Stadium I A1 (Lymphovascular Space Invasion negatif) Konisasi (cold knife) bila free margin (terapi adekuat) masih menginginkan fertilitas dipertahankan (tingkat evidens B). Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi total apabila fertilitas tidak diperlukan. c. Stadium IA-1(Lymphovascular Space Invasionpositif) Operatif; Trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan radiasi. d. Stadium IA-2, Ib-1, IIA-1 1) Operatif Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik (Tingkat evidens 1/ Rekomendasi A). Radioterapi (RT)/ kemoradiasi ajuvan kalau terdapat faktor risiko yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor, deep stromal invasion, Lymphovascular Space Invasion, dan faktor risiko lainnya. Apabila hanya metastasis kelenjar getah bening saja, radiasi ajuvan hanya EBRT. Bila tepi sayatan tidak bebas tumor (closed margin), pasca radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakiterapi ovoid 2x10Gy. 2) Non Operatif Radiasi (EBRT dan brakiterapi). Kemoradiasi (radiasi : EBRT plus kemoterapi konkuren dan brakiterapi). e. Stadium IB2 dan IIA2 1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi. IB2 dan IIA2 yang direncanakan operasi tanpa kontraindikasi dilakukan kemoterapi neoajuvan terlebih dahulu dan dilakukan nilai ulang pasca kemoterapi neoajuvan untuk operabilitasnya. 2) Operatif Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Pemberian radioterapi (RT) atau kemoradiasi ajuvan kalau terdapat faktor resiko yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium, batas sayatan, tidak bebas tumor, deep stromal invasion, Lymphovascular Space Invasiondan faktor risiko lainnya. Pasien yang menolak operasi dilakukan radiasi atau kemoradiasi definitif yaitu radiasi atau kemoradiasi dengan cisplatin mingguan atau kemoradiasi cisplatinifosfamide 3 mingguan. f. Stadium IIB 1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi. 2) Radiasi atau kemoradiasi. g. Stadium IIIA-IIIB Kemoradiasi, Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi. Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent/nefrostomi dan hemodialisa. h. Stadium IV A Radiasi dan atau kemoradiasi mingguan / 3 mingguan dengan radiasi 4000cGY. Bila didapatkan respon maka dilakukan radiasi eksterna dilanjutkan sampai 50 Gy ditambah BT 2x850cGy / 3x700cGy. Bila tidak didapatkan respon maka terapi dihentikan. Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent atau nefrostomi dan hemodialisa. i. Stadium IV B Terapi paliatif (radiasi pelvik/kemoterapi dapat dipertimbangkan) 1) Tumor primer dilakukan evaluasi keluhan dan gejala. 2) Metastasis jauh, Terapi nyeri (analgetik step ladder, neural block), nutrisi, spiritual, pendidikan keluarga. Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent/nefrostomi dan hemodialisa. Bila terdapat efusi pleura dilakukan punksi atau pemasangan WSD. Bila terdapat ascites dilakukan punksi ascites. Pasien dengan stadium lebih dari 4 dan usia muda kurang dari 40 tahun sebaiknya dilakukan transposisi ovarium. B. Stres, Stresor dan Coping 1. Stres Hingga saat ini stres masih sulit didefinisikan dan sulit di ukur. Istilah modulasi ini dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan respon imun meningkat atau menurun. (Suhartono, 2011). Dengan melihat istilah stres dari 3 konsep yaitu : a. Konsep enginering Stres merupakan karekteristik suatu lingkungan yang merusak atau mengancam, sehingga individu yang hidup dalam lingkungan tersebut akan sakit. b. Konsep psikologis Stres merupakan kondisi psikologis sebagai hasil interaksi antara individu dan lingkungan hidupnya, dengan melibatkan proses kognitif dan emosional. c. Konsep medikofisiologis Stres merupakan respon biologis individu terhadap stresor, yang dapat diukur secara objektif dan tepat. 2. Stresor Paparan stresor yang menyebabkan stres maka otak akan memberikan dua macam bentuk respons, yaitu respon cepat dan lambat. Respon cepat dari otak berupa pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH) yang merupakan motor sistem simpatis melalui CRH -1 reseptor (CRHR-1) yang akan mengakibatkan respon fight-flight. CRHR – 1 akan merangsang HPA aksis yang nantinya akan menghasilkan mineralokortikoid. Sedangkan pada respon lambat ini dapat terjadi mekanisme coping dan adaptasi melalui perangsangan CRHR-2 yang nantinya akan merangsang pelepasan glucocorticoid. (Suhartono, 2011). 3. Coping Coping adalah proses pengelolaan stresor, yang terdiri dari: a. Coping mechanism Menurut Lazarus (1980), Coping mechanism merupakan respon terhadap stresor yang memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama memecahkan masalah yang menyebabkan stresor psikologis. Fungsi kedua, coping mechanism memungkinkan pasien berpikir lebih baik, sehingga pasien dapat menjaga moral dan terus berfungsi dengan baik. b. Coping Model Dimulai psychophysiological dari perception, response, response psyological management defenses, (coping capabilities), illnes behaviour dan illnes measure. Perception adalah kesadaran menimbulkan persepsi dan interpretasi kejadian dalam kehidupan dirasakan sebagai stresor yang menmbulkan perilaku tertentu pada sistem imun. Psikofisiologis dimasukkan dalam model coping yang ketiga oleh Rahe (1993), model tersebut disebut sebagai respon psikofisiologis, yang berarti respon biologis terhadap stresor. c. Coping style (Gaya coping) Terdiri atas positive coping style dan negative coping style. Positive coping style, individu dapat memecahkan persoalan sendiri dengan menggunakan kekuatan yang ada pada individu itu. Negative coping style, individu penuh keinginan untuk menghindari kesalahan (Dalono, 2001). C. Depresi a. Gambaran Umum Depresi Gangguan Depresi Mayor (GDM) secara mendasar merupakan gangguan suasana perasaan (mood) atau afek yang depresi dengan atau tanpa disertai anxietas. Perubahan suasana perasaan ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas. Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stresor pendidikan yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013). Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stresor pendidikan yang bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013). Episode depresi yang khas terdiri dari tiga variasi yaitu ringan, sedang, dan berat. Individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazim lainnya adalah konsentrasi dan perhatian menurun, harga diri, dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang. Gejala depresi merupakan penyulit penyakit medis kronis yang paling sering dijumpai. Depresi berpengaruh buruk terhadap adherensi terapi medis, kualitas hidup, dan hasil terapi. Meskipun memiliki makna penting, namun depresi sering luput dikenali, tidak terdiagnosis, dan tidak diterapi di klinik medis (Sadock et al. 2007). Menurut DSM-V, Major Depressive Disorder (MDD) merupakan gangguan tersendiri, di bawah kelompok Gangguan Depresi (Depressive Disorder), terpisah dari kelompok Gangguan Bipolar. Gangguan depresi meliputi gangguan disregulasi mood disruptif, gangguan depresi mayor, distimia, gangguan disforik pre-menstruasi, gangguan depresi yang diinduksi substansi atau medikasi, gangguan depresi karena kondisi medis lainnya, gangguan depresif spesifik lain, dan gangguan depresif tidak spesifik. Gambaran utama dari semua gangguan ini adalah adanya rasa sedih (sad), kosong (empty), atau mood irritabel, disertai perubahan kognitif dan somatik yang secara bermakna mempengaruhi kapasitas fungsi individu (American Psychiatric Association, 2013). Gangguan depresi mayor merupakan kondisi klasik dalam kelompok ini, ditandai oleh episode jelas selama sedikitnya 2 minggu (umumnya berlangsung lebih lama) termasuk perubahan afek, kognisi, fungsi neurovegetatif dan ada remisi inter episode yang jelas (American Psychiatric Association, 2013). b. Diagnosis Gangguan Depresi Mayor Menurut DSM-V, kriteria diagnosis gangguan depresi mayor adalah minimal 5 gejala berikut telah timbul dalam periode 2 minggu dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya: 1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari. 2. Hilangnya ketertarikan atau kesenangan pada seluruh, atau hampir seluruh aktifitas. 3. Kehilangan berat badan yang signifikan ketika tidak menjalani diet atau peningkatan berat badan, atau berkurangnya atau meningkatnya selera makan hampir setiap hari. 4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. 5. Agitasi psikomotorik atau retardasi hampir setiap hari. 6. Lesu atau hilangnya energi hampir setiap hari. 7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan. 8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, munculnya ide kematian yang berulang, ide bunuh diri yang berulang, atau percobaan bunuh diri atau rencana spesifik untuk percobaan bunuh diri (American Psychiatric Association, 2013). D. Serotonin Serotonin tersebar di seluruh tubuh, terutama di saluran cerna, trombosit dan otak. Bebagai organ tersebut mempunyai reseptor serotonin, dengan subtipe yang berbeda-beda tergantung organ tempat ia berada dan fungsi organ tersebut. Serotonin dalam darah yang disebut sebagai serotonin perifer merupakan produksi sel enterokromafin dinding usus. Sebagian di antaranya bekerja sebagai neurotransmiter di sistem saraf usus, sedangkan sebagian lepas ke dalam darah. Di dalam darah, sebagian besar diambil oleh trombosit menjadi platelet serotonin sedangkan sisanya beredar bebas dalam plasma disebut sebagai free-serotonin. Sel enterokromafin dapat memantau kadar serotonin dalam darah dan melepaskan serotonin sesuai kebutuhan, kemungkinan melalui mekanisme transporter serotonin. Neurotransmiter serotonin disintesis oleh sel saraf serotonergik presinaps, disimpan dalam vesikel, kemudian dilepaskan melalui celah sinaps. Pada membran postsinaps, serotonin berikatan dengan reseptor yang spesifik. Setelah digunakan sebagai neurotransmiter, serotonin dalam sinaps diambil kembali oleh suatu sistem transpor membran yang spesifik, dan disimpan kembali dalam vesikel saraf pre-sinaps (Hardiono, 2007). Komposisi multimalfungsi neurotransmisi sentral dapat diperkirakan dari besar derajat malfungsi neurotransmisi serotonergik, yang tercermin dari transporter serotonin trombosit (Suparno, 2007). Transporter-serotonin adalah protein transporter berafinitas tinggi, terletak di membran plasma dari ujung saraf pre-sinaptik. Transporter serotonin mengkatalisir pergerakan serotonin (5-HT) melewati membran seluler. Di dalam otak, transporter serotonin membersihkan serotonin dari ruang ekstra seluler, memodulasi kekuatan dan durasi pensinyalan serotonergik (Suparno, 2007). Pada kondisi distres terjadi perubahan fungsional berupa perubahan hormonal dan neurotransmisi, meliputi peningkatan aktivitas noradrenergik dan kadar kortisol, jika kronis akan mengakibatkan perubahan struktural, berupa atrofi sel-sel piramidal dan penurunan volume hipokampus, meningkatan aktivitas aksis hipotalamo-pituitariadrenal (aksis HPA) yang mengakibatkan perubahan kadar Interleukin-6 (IL–6) (Suparno, 2007). Hubungan penting lain antara depresi dan stres adalah fakta bahwa kedua sistem LHPA dan serotonin, selain terlibat dalam patofisiologi depresi, juga merupakan kontributor penting terhadap neurobiologi stres. Oleh karena itu, mempelajari neurobiologi stres dengan fokus pada kedua sistem tersebut telah memberi kita petunjuk penting ke dalam patofisiologi penyakit yang berpengaruh, membuka jalan terhadap kerja antidepresan, dan mulai membuka bagaimana stres dan gangguan mood berhubungan (Juan, 2002). 1. Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Stres LHPA adalah sistem neuroendokrin klasik yang berespon terhadap stres. Persepsi stres oleh manusia menyebabkan rangkaian kejadian, dengan hasil akhir berupa sekresi glukokortikoid (kortisol) dari korteks adrenal. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan pentingnya hipokampus untuk mekanisme umpan balik LHPA. Hipokampus terdiri dari berlimpahnya dua tipe reseptor glukokortikoid yang diperkirakan mengontrol umpan balik negatif: tipe I (juga dikenal sebagai reseptor mineralokortikoid, atau MR) dan tipe II (juga dikenal sebagai reseptor glukokortikoid atau GR). Afinitas paling tinggi adalah glukokortikoid sintetis poten, seperti deksametason. Karakteristik reseptor ini saling melengkapi dan meletakkan MR dan GR dalam posisi untuk memodulasi respon LHPA. Reseptor MR bekerja pada konsentrasi kortikosteron yang rendah dan menimbulkan inhibisi kuat pada aksis pada saat titik terendah ritme sirkadian. Ketika konsentrasi kortikosteron tinggi, reseptor MR mengalami saturasi, dan reseptor GR menjamin kembalinya homeostasis. Seperti yang dinyatakan di atas, telah dijelaskan dengan baik bahwa hipokampus adalah komponen sentral limbik dan merupakan dasar dalam mengontrol aspek fungsi kognitif dan tingkah laku, meletakkan reseptor-reseptor tersebut dalam posisi untuk memodulasi respon neuroendokrin dan kognitif secara simultan pada manusia terhadap stres (Juan, 2002). Aktivasi dan terminasi respon stres adrenokortikal adalah hal utama untuk adaptasi. Inhibisi respon stres dicapai sebagian melalui pengikatan glukokortikoid yang bersirkulasi terhadap reseptor sitoplasmik spesifik pada hipotalamus, di mana mereka menghambat hormon pelepas kortikotropin (CRH) dan sekresi adrenokortikotropin (ACTH) oleh pituitari. Modulasi sistem tambahan tercapai dalam struktur limbik, terutama hipokampus, yaitu struktur yang berhubungan dengan hipotalamus melalui koneksi neuron yang bertemu di nukleus paraventrikular hipotalamus (PVN), di mana terletak CRH dan neuron vasopressin (AVP) yang responsif terhadap stres (Juan, 2002). 2. Aksis Limbik-Hipotalamus-Pituitari-Adrenal pada Depresi Adanya overaktivitas LHPA pada pasien dengan depresi dipercaya sebagai femonena “sekunder” penyakit, menunjukkan gangguan monoaminergik sentral, stres penyakit, atau keduanya. Keabnormalan LHPA pada MDD distimulasi oleh peningkatan glukokortikoid, produk akhir aksis LHPA telah memiliki efek yang sangat besar pada mood dan tingkah laku (Juan, 2002). Disregulasi ini termanifestasi antara lain, oleh hipersekresi kortisol, kegagalan menekan sekresi kortisol setelah pemberian deksametason, respon adrenal yang berlebihan terhadap perubahan endokrin, dan mengurangi respon ACTH terhadap pemberian CRH. Hal ini telah diinterpretasikan sebagai bukti pengaturan pituitari terhadap reseptor CRH sekunder terhadap peningkatan sekresi CRH. Studi post mortem telah menemukan bukti aktivasi LHPA kronik pada pasien bunuh diri, seperti hyperplasia adrenal, penurunan regulasi reseptor CRH, dan peningkatan proopiomelanokortin mRNA, precursor untuk ACTH, di pituitari (Juan, 2002). Hal ini membuktikan peningkatan laju sentral, berdasarkan pada peningkatan aktifitas pada titik rendah ritme sirkadian, peningkatan CRH pada CSF pada pasien depresi, dan peningkatan imunoreaktivitas CRH dan nilai mRNA pada PVN. 3. Reseptor Serotonin dan Depresi Sistem 5-HT (serotonin) memiliki banyak komponen, tiga molekul 5-HT yang diyakini paling berhubungan dengan neurobiologi mood adalah transporter serotonin (5-HTt), reseptor serotonin 1a (5-HT1a) dan reseptor serotonin 2a (5-HT2a, dulunya 5-HT2). Sistem serotonin telah diinvestigasi secara luas sebagai elemen kunci dalam patofisiologi depresi dan bunuh diri, dan sebagai mediator kerja terapetik antidepresan. Penelitian pada subjek dengan riwayat MDD yang meninggal secara alami mengalami peningkatan pengikatan 5-HT2a pada korteks prefrontal. (Juan, 2002). Penemuan ini telah mengarahkan beberapa peneliti untuk mengajukan hipotesis bahwa 5-HT1a post sinapsis dan reseptor 5-HT2a memiliki efek yang berlawanan secara fungsional, sehingga keseimbangan yang terganggu pada reseptor tersebut dapat memberikan kontribusi pada patofisiologi depresi, dan mengembalikan keseimbangan ini diperlukan untuk kerja psikoterapi (Juan, 2002). 4. Interaksi antara Aksis LHPA dan Serotonin Diketahui bahwa beberapa neuron 5-HT yang berasal dari nukleus raphe dorsal dan nukleus raphe magnus mengarah pada PVN dan sinapsis ke dalam neuron CRH. Neuron 5-HT juga mengarah pada area otak lain, seperti amigdala dan nukleus suprakiasma, yang diperkirakan memodulasi fungsi PVN. Tingkat kompleksitas lain ditambah melalui fakta bahwa 5-HT dan aksis LHPA bekerja pada berbagai tingkat Stimulasi farmakologi dengan agen 5-HT dapat mengaktivasi ACTH dan melepaskan kortisol. Banyak area otak yang menunjukkan reseptor 5-HT juga memiliki konsentrasi reseptor kortikosteroid yang tinggi. Khususnya dalam sistem limbik , hippocampus memiliki konsentrasi 5-HT1a yang tinggi pada neuron yang sama yang mengandung reseptor GR dan MR dalam jumlah yang banyak, dan korteks prefrontal kaya akan reseptor 5-HT2a dan reseptor GR. (Juan, 2002). Lokalisasi MR dan GR pada korteks prefrontal menunjukkan bahwa kedua reseptor tersebut mampu memodulasi fungsi otak yang lebih tinggi, seperti mood, tingkah laku sosial, dan proses kognitif, kemungkinan melalui interaksi dengan reseptor 5-HT. Reseptor serotonin dan kortikosteroid tidak hanya berinteraksi secara anatomis, namun juga secara fungsional. Pemberian serotonin dapat mengatur kenaikan GR pada hipokampus, dan sebaliknya, penghancuran farmakologi pengarahan serotonergik mengurangi nilai mRNA GR dan MR di hipokampus. Reseptor 5-HT2a juga sensitif terhadap perubahan nilai glukokortikoid peripheral (Juan, 2002). 5. Stres, Serotonin, dan Aksis LHPA Sebuah studi menemukan bahwa kejadian hidup yang berat secara signifikan berhubungan bahkan dengan episode pertama psikotik/depresi endogen. Ini tidak mengatakan bahwan stres “menyebabkan” depresi pada orang. Namun, stres sangat berinteraksi dengan predisposisi gen endogen, sehingga pada orang yang rentan, stresor dapat menciptakan gangguan mood (rentan + stres = depresi). Studi pada saudara kembar yang dilakukan oleh Kendler menunjukkan interaksi yang jelas antara faktor genetik dan kejadian hidup yang berat dalam kemunculan episode depresi: semakin banyak “muatan” genetik untuk depresi, semakin besar kecenderungan kejadian hidup yang berat akan memunculkan episode. Ada beberapa kasus di mana “muatan” genetik atau predisposisi tinggi, sehingga episode depresi dapat terjadi tanpa adanya faktor pencetus lainnya. Dalam penjelasan literatur klinis, fisiologi, dan biologi mengenai penyakit depresi, satu faktor yang paling dihubungkan dengan depresi adalah stres. Stres dan depresi telah dihubungkan dalam berbagai cara. Kedua stresor fisik dan psikologis telah ditunjukkan berhubungan sementara terhadap onset episode depresi. Untuk depresi berulang, kejadian hidup yang berat lebih umum pada “depresi non endogen”. (Juan, 2002). Hubungan penting lain antara depresi dan stres adalah fakta bahwa kedua sistem LHPA dan 5-HT, selain terlibat dalam patofisiologi depresi, juga merupakan kontributor penting terhadap neurobiologi stres. Oleh karena itu, mempelajari neurobiologi stres dengan fokus pada kedua sistem tersebut telah memberi kita petunjuk penting ke dalam patofisiologi penyakit yang berpengaruh, membuka jalan terhadap kerja antidepresan, dan mulai membuka bagaimana stres dan gangguan mood berhubungan (Juan, 2002). E. Nyeri pada Kanker Berdasar pengertian menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensor yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, yang menyertai kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan tersebut menyebabkan rangsangan inpuls pada neuron sehingga dapat menyebabkan berbagai macam gangguan fungsi dan fisologis organ tubuh termasuk sikap tubuh terhadap nyeri, selain itu nyeri juga dapat menyebabkan perngsangan produksi leukosit dengan lympopenia dan dapat mendepresi system retikuloendotelial yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko mudah terkena infeksi. (Schiff , 2003) Survei dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center menunjukkan bahwa nyeri pada penderita kanker biasanya merupakan akibat langsung dari tumor (75-80% kasus) dan sisanya disebabkan baik oleh karena pengobatan antikanker (15-19)%) maupun nyeri yang tidak berhubungan dengan kankernya atau dengan pengobatannya (3-5%). Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita kanker ialah mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis. Istilah nyeri idiopatik pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat diterangkan secara adekuat dengan proses patologis, diperkirakan disebabkan oleh proses organik tersembunyi atau yang lebih jarang lagi oleh proses psikologis. Nyeri nosiseptif didefinisikan sebagai hasil dari aktivasi nosiseptif pada struktur somatik atau visceral. Biasanya berhubungan erat dengan luasnya kerusakan jaringan dan lokasi. Nyeri somatik nosiseptif sering dilukiskan sebagai nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan, sedang nyeri visceral nosiseptif sulit dilokalisir dan bisa terasa perih atau kram. ( schiff, 2003). Nyeri neuropati adalah akibat dari fungsi yang abnormal dari sistem somatosensor sentral atau perifer. Diagnosa berdasarkan penemuan lesi neurologi dan kelainan sensoris seperti disestesia atau hiperalgesia. Persepsi subyektif seringkali digambarkan sebagai nyeri terbakar atau menusuk. Lesi nervus perifer oleh karena tumor, pembedahan atau kemoterapi merupakan tipe yang paling sering dari nyeri neuropati pada penderita kanker ( Schiff, 2003). Pada tubuh seseorang yang sehat, terjadi keseimbangan regulasi sistem saraf yang akan menghasilkan gelombang otak yang baik. Nyeri dipengaruhi oleh neurotransmitter, termasuk serotonin. Serotonin dan norepinephrine dikenal sebagai mediator utama dari mekanisme analgetik endogen pada penurunan nyeri. Dibutuhkan kadar serotonin yang cukup untuk menghambat persepsi nyeri. Pelepasan serotonin akan memodulasi transmisi dari nyeri dengan menghambat aktivitas sensor yang datang (Schiff, 2003). F. Intervensi Psikoterapi pada Pasien Kanker Psikoterapi merupakan bentuk pengobatan yang direkomendasikan pertama kali untuk depresi. Selama psikoterapi, seseorang yang menderita depresi berbicara pada ahli psikoterapi agar membantu penderita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu depresi. Beberapa faktor ini bekerja secara kombinasi dengan faktor herediter dan ketidakseimbangan kimia di dalam otak yang dapat memicu depresi. Psikoterapi membantu pasien depresi dengan memahami tingkah laku, emosi, dan ide yang berperan pada keadaan depresinya. Dengan memahami dan mengidentifikasi masalahmasalah atau peristiwa dalam hidup yang berperan di dalam depresi penderita dan membantu penderita memahami aspek-aspek dari masalah ini sehingga mereka dapat menyelesaikan dan memperbaikinya (Holland and Aichi, 2009). Dengan ditemukannya hubungan antara stres psikososial dan perubahan fungsi imunitas maupun endokrin serta dampaknya pada perkembangan penyakit, bermunculan pula berbagai bukti bahwa intervensi untuk menurunkan stres mungkin dapat meningkatkan fungsi imunitas tubuh endokrin. Secara arti harafi psikoterapi berarti “pengobatan jiwa” (psyche = jiwa, therapy = pengobatan); oleh karenanya istilah ini bisa diterapkan sebagai segala bentuk pengobatan yang disusun untuk menyembuhkan gangguan jiwa. Istilah ini dimaksudkan sebagai suatu metode terapi yang ditujukan untuk mendapatkan pengaruh terhadap perubahan pikiran dan perasaan antara pasien dan terapis. Tujuan terapi ini ialah untuk mempengaruhi perasaan dan tingkah laku pasien dalam menyembuhkan ketegangan, menaikkan keefektifan fungsi jiwa dan memperbaiki adaptasi pasien dalam kelompok di mana ia hidup untuk keuntungan bersama (Nuhriawangsa, 2004). American Cancer Society telah mengidentifikasi empat faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker dan keluarganya, yaitu faktor sosial, psikologis, fisik, dan spiritual. Diagnosis dan pengobatan kanker dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup termasuk fisik, psikologi dan kelangsungan sosial. Aspek psikososial meliputi perubahan pola hidup, ketakutan serta ketidaknyamanan psikososial. Ketidaknyamanan psikososial termasuk kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, dan depresi. Hal-hal tersebut dapat menetap dan berubah seiring waktu tergantung dari tingkat keparahan penyakit (Akechi, 2013). G. Psikoterapi Logoterapi a. Definisi dan Konsep Logoterapi Logoterapi dalam klasifikasi psikoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology (Bastaman, 2007; Frankl, 2006). Mcleod menyatakan bahwa (Mcleod, 2006): 1. Manusia eksis dalam waktu, yang maksudnya adalah kejadian yang terjadi pada masa kini akibat adanya suatu sumber dimasa lalu dan akan membentang hingga masa yang akan datang dengan berbagai kemungkinan. 2. Manusia berusaha untuk eksis, yang maksudnya adalah eksistensi manusia dalam dunia diungkapkan melalui dirinya sendiri (pikiran, perasaan, tingkah laku, kesadaran) dalam hubungannya dengan organisasi ruang yang ada di sekitarnya. 3. Kecemasan, ketakutan, dan perhatian yang terpusatkan pada suatu kejadian merupakan konsekuensi dari sikap menyayangi terhadap seseorang dan dunia disekitarnya. Frankl memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata “logos‟ yang berarti “meaning‟ (makna) dan “Spirituality‟ (kerohanian). Frankl menyebutkan tiga asumsi yaitu asumsi pertama, kehidupan memiliki meaning yang sangat luas, termasuk hal yang paling menyakitkan atau tidak ada harapan (kebebasan berkehendak) “freedom of will”. Asumsi kedua, bahwa orang yang dilengkapi “will to meaning” sejak lahir , yang tidak mengejar kekuasaan atau kesenangan, tetapi untuk menemukan meaning dan tujuan hidupnya (motivation for living atau kehendak untuk hidup bermakna). Asumsi ketiga, Frankl mempercayai bahwa orang memiliki kebebasan untuk menemukan personal meaning dalam berbagai situasi (makna hidup), entah melalui aktivitas, pengalaman atau sikap yang bermakna (“meaning of life”) (Bastaman, 2007; Frankl, 2006). Frankl berpendapat bahwa manusia dapat memperoleh makna hidup yang bersumber dari (Bastaman, 2007): 1. Nilai-nilai kreatif (creatif values), yaitu: berkarya, bekerja, mencipta, dan melaksanakan satu kegiatan dengan baik karena mencintai kegiatan itu. 2. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu: meyakini dan menghayati kebenaran, keyakinan, keindahan, cinta kasih, dan keimanan. 3. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values), yaitu: mengambil sikap tepat atas pengalaman tragis yang tidak terhindarkan. Frankl berpendapat bahwa seseorang masih dapat menemukan makna hidup dengan cara “mengatasi penderitaannya‟ (attitudinal values). “Attitudinal values‟ inilah yang merupakan ajaran mendasar dari Frankl dalam logoterapi, tujuannya adalah melihat makna positif dari satu penderitaan. Logoterapis mendorong klien untuk melihat sisi baik dari suatu penderitaan dengan cara menerima penderitaan tersebut. Dengan demikian, akan memungkinkan klien untuk merealisasikan makna hidup yang tertinggi dan terbaik. Jadi, inti dari ajaran logoterapi adalah semua orang mendapat kesempatan untuk merealisasikan “attitudinal values‟, yaitu menemukan makna hidup dengan menghadapi penderitaan sampai nafas terakhir (Bastaman, 2007). Dengan logoterapi, klien yang sedang menghadapi ketakutan atau berada dalam kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan berkreativitas dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaimana ia menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia mengatasi penderitaannya.Logoterapi juga mengajarkan kepada klien untuk melihat nilai positif dari penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya. Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya (Bastaman, 2007). b. Metode Logoterapi Ada beberapa metode yang digunakan dalam logoterapi, antara lain: 1. Existential Analysis Dengan teknik ini terapis membantu mereka yang mengalami kehampaan hidup untuk menemukan sendiri makna hidupnya dan mampu menetapkan tujuan hidup secara lebih jelas. 2. Paradoxical Intention Teknik paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan. Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka pendek pasien fobia (ketakutan irrasional) ataupun gangguan konversi dengan teknik paradoxical intention, mereka diajak untuk “berhenti melawan‟, dan diajak untuk melihat sisi humor tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan berkurang dan menghilang. (Bastaman, 2007). 3. Socratic Dialogue Teknik ini menggunakan metode berpikir kritis dan reflektif, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan jalan mengembalikan pertanyaan-pertanyaan itu kepada si penanya untuk dijawabnya sendiri dengan memfungsikan kemampuan berpikir sehat sehingga akhirnya ia benar-benar dapat memahami sendiri. (Bastaman, 2007). 4. Dereflection Teknik ini memanfaatkan kemampuan yang ada pada setiap manusia dewasa yaitu kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Selain itu, diharapkan akan terjadi perubahan sikap, yaitu dari yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri menjadi komitmen terhadap sesuatu yang penting baginya.(Bastaman, 2007). Indikasi utama logoterapi ini adalah terhadap orang-orang yang mengalami penderitaan akibat kehilangan makna dalam hidupnya (Bastaman, 2007). 5. Medical Ministry Metode ini adalah metode logoterapi yang sering diterapkan di kalangan medis, khususnya gangguan-gangguan somatogenik (misalnya depresi pasca amputasi). Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap kondisi diri dan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Tujuan utama metode medical ministry adalah membantu seseorang menemukan makna dari penderitaannya (meaning in suffering. (Bastaman, 2007). c. Pemilihan Metode Logoterapi Logoterapi mengembangkan metode dan teknik terapi untuk mengatasi gangguan neurosis somatogenik, neurosis psikogenik, dan neurosis noogenik selain mengemukakan asas-asas dan filsafat yang bertemakan humanistik eksistensial. Untuk neurosis psikogenik yang bersumber dari hambatan emosional dikembangkan teknik paradoxical intention dan dereflection. Selanjutnya untuk neurosis noogenik yakni gangguan neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna, dikembangkan teknik existential analysis. Sedangkan untuk neurosis somatogenik, yakni gangguan – gangguan perasaan yang berkaitan dengan tubuh, logoterapi mengembangkan metode medical ministry (Bastaman, 2007). Pasien kanker serviks mengalami gangguan neurosis somatogenik akibat penyakit kanker itu sendiri, beban fisik dan sosial akibat terapi serta berbagai kekhawatiran terkait prognosis dan dampak sosial.Oleh karena itu, dalam studi ini digunakan metode logoterapi berupa medical ministry. Dengan pendekatan medical ministry ini diharapkan pasien kanker serviks akan mampu memanfatkan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi dan lingkungan yang tidak mungkin dirubah lagi. H. Kerangka Konsep Gambar 2.1. Kerangka konsep Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut Stres Biologis Stres Sosial Stres Psikologis Depresi VMPFC AMYGDALA DRVL 5-HT Transporter DRD DRV Serotonin Psikoterapi Logoterapi VMPFC AMYGDALA DRVL 5-HT Transporter Keterangan : DRD aktifitas : DRV kadar : Serotonin yang diukur Nor mal Persepsi Nyeri Keterangan Kerangka Konsep Pada pasien kanker serviks stadium lanjut, terjadi stres baik berupa stres biologis (progresifitas penyakit dan terapi), stres psikologis (kecemasan terkait diagnosis, prognosis, biaya terapi medis, takut kematian), serta stress sosial (dukungan keluarga, tekanan ekonomi, dan lingkungan). Akibat paparan stresor yang berlangsung lama dapat terjadi depresi. Sinyal kognitif persepsi stres atau depresi berjalan ke otak melewati jalur sensorik, auditorik dan visual, mencapai thalamus, kemudian ke korteks sensoris dan terus berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif. Setelah proses di korteks selesai, selanjutnya sinyal tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diproyeksikan ke amigdala, ventromedial prefrontal korteks (VMPFC). Selanjutnya VMPFC dan amigdala akan menginduksi interaksi dorsal raphe. Rangsangan terhadap dorsal raphe nukleus ventrolateral menyebabkan aktivitas DRVL meningkat menyebabkan inhibisi sekresi serotonin oleh dorsal raphe dorsal (DRD) dan dorsal raphe ventral (DRV). Dorsal Raphe Nukleus Ventrolateral (DRVL) juga menyebabkan sekresi serotonin transporter meningkat sehingga reuptake serotonin ekstrasellular meningkat menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Adanya depresi akan menyebabkan overaktivitas pada sistem limbikhipotalamus-pituitari-adrenal sehingga memicu hipotalamus untuk mensekresi CRH. CRH akan merangsang peningkatan sekresi ACTH oleh hipofisis anterior. Selanjutnya peningkatan ACTH tersebut akanmerangsang korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Sistem serotonin dan aksis LHPA bekerja pada berbagai tingkat. Kadar kortikosteroid (glukokortikoid) yang tinggi pada penderita depresi berhubungan dengan rendahnya kadar serotonin pada hipokampus. Pemberian psikoterapi logoterapi disamping terapi standar diharapkan akan memberikan coping yang baik pada penderita kanker serviks stadium lanjut yang dapat memperbaiki keadaan depresi pada pasien sehingga akan menghambat pengeluaran transporter serotonin yang berlebihan pada sistem limbik-hipotalamus-pituitari-adrenal terutama pada daerah Dorsal Raphe Nukleus Ventrolateral (DRVL) sehingga kadar serotonin di dalam darah akan meningkat dan menurunkan persepsi nyeri pasien kanker servik stadium lanjut. I. Hipotesis 1. Terdapat pengaruh psikoterapi logoterapi terhadap peningkatan kadar serotonin serum pada pasien kanker serviks stadium lanjut. 2. Terdapat pengaruh psikoterapi logoterapi terhadap penurunan skor nyeri pada pasien kanker serviks stadium lanjut.