37 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Mediterania timur

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Mediterania timur sebelum Perang Salib
Wallbank. Walter, Taylor. Alastair dan Baikey. Nels (1983) mengatakan,
“In the early eleventh century, however, Cristian pilgrims began to be persecuted,
and when Seljuk Turks, new an fanatical converts to Islam, came sweeping and
plundering into the Near East, the situation became especially aggravated. The
Seljuk seized Jerusalem from their fellow Muslim and then swept north into Asia
Miror” (Pada awal abad ke-XI, para peziarah Kristen mulai dianiaya, dan ketika
bangsa Turki Seljuk, mualaf fanatik Islam yang baru, datang menyingkirkan dan
merampas ke dalam Timur Tengah, situasinya mulai menjadi buruk. Kaum Seljuk
merebut Yerusalem dari umat Muslim kemudian mereka meluas ke utara dalam
Asia Kecil).
Situasi di Mediterania Timur menjadi jelas, bahwa kerajaan Islam tidak
mampu berfungsi efektif sebagai kesatuan politik. Para pejabat militer
mengendalikan kekuasaan dan mendirikan negara merdeka yang bersaing dalam
bidang militer. Keberhasilan penguasaan suatu wilayah akan terjadi perpecahan
secara terus-menerus setelah penguasaan tersebut, ketika suatu dinasti meneruskan
dinasti lainnya. “Walaupun terjadi gejolak politik agama Islam berjalan dari
kekuatan satu ke kekuatan lain” (Karen Amstrong, 2003: 97). Bentuk-bentuk
pemerintahan yang baru muncul di dunia Islam melalui sebuah proses saling
menggantikan. Bukan karena semua penguasa baru adalah para Muslim yang
saleh, tetapi sistem istana dan berbentuk otonomi kerajaan yang semua berada
dalam tingkat yang sama satu dengan lainnya. Sistem ini membuat kecenderungan
adanya keinginan penguasa untuk memperkuat wilayahnya sendiri.
1. Kondisi Kekhalifahan Abbasiyah
Sejak tahun 750 Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh pemerintahan dan
kebudayaan Persia-Islam dan ditambah oleh dukungan militer tentara-tentara
Turki. Kekhalifahan yang dikuasai oleh Bani Abbasiyah ini sangat kuat dan
37
38
berwibawa sehingga membuat kondisi umat Islam pada masa itu cukup stabil.
Para khalifah pertama dari Dinasti Abbasiyah ini adalah khalifah-khalifah yang
kuat. Pada periode pertama pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah terdapat
gangguan dari beberapa gerakan politik internal Bani Abbas maupun eksternal
yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas. Namun semuanya dapat
diatasi dengan baik. Keberhasilan pemerintah Abbasiyah dalam mengatasi
kekacauan ini semakin memantapkan posisi dan kedudukan Dinasti Abbasiyah
sebagai pemimpin yang tangguh.
Kemajuan peradaban dan kebudayaan yang dicapai oleh khalifah
Abbasiyah telah mendorong para penguasa untuk hidup bermewah-mewahan.
Kecenderungan gaya hidup mewah dan kelemahan khalifah serta faktor lain
menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Situasi ini
dimanfaatkan oleh tentara Turki untuk mengambil alih kekuasaan, sehingga
kekuasaan Bani Abbas mulai hilang dan hal ini merupakan titik awal hancurnya
kekhalifahan Abbasiyah.
Dinasti Abbasiyah mulai meminta bantuan dari tentara Turki dan tentaratentara baru Islam. Wibawa khalifah semakin merosot dan seorang khalifah hanya
dijadikan simbol, karena perannya justru tergantikan oleh para tentara Turki.
Keterlibatan Turki dalam pemerintahan menambah persaingan antar bangsa yang
berada di bawah kepemimpinan Dinasti Abbasiyah. “Since the middle of the ninth
century, the Abbasid caliphs in Baghdad had been mere puppets controlled by
military chieftains” (Sidney Painter, 1975: 200). (Sejak pertengahan abad ke-IX,
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad merupakan boneka yang dikontrol oleh
kepala kelompok militer). Tepatnya pada masa khalifah al-Mutawakkil,
merupakan khalifah yang lemah terhadap kontrol yang dilancarkan oleh bangsa
Turki terhadap kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahannya,
bangsa Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat.
Kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran pada awal
abad ke-IX, sehingga khalifah mempekerjakan tentara Turki yang justru menjadi
ancaman terhadap kekuasaan khalifah. Pengaruh ini menyebabkan orientasi
kepemimpinan lebih mengutamakan mengenai bidang militer. Hal ini karena
39
adanya pertentangan dalam kekhalifahan, ditambah dengan adanya fanatisme
kebangsaan, bahkan sejak awal periode Dinasti Abbasiyah, berupa gerakan
syu’ubiyah (anti Arab). Namun bahaya politik dari gerakan ini tidak dirasakan
oleh para khalifah.
Pada abad ke-10 Masehi, menjadi jelas bahwa kerajaan Islam tidak
mampu lagi untuk berfungsi secara efektif sebagai sebuah kesatuan politik. Secara
resmi khalifah masih menjadi pemimpin ummah dan memainkan fungsi religius
dan simbolik (Karen Amstrong, 2003: 95). Wilayah-wilayah dalam kekhalifahan
ini diperintah secara terpisah. Dinasti-dinasti yang muncul dan berusaha
melepaskan diri dari kekhalifahan Abbasiyah, antara lain:
a. Bangsa
Turki:
Tuluniyah
di
Mesir,
Ikhsiduyah
di
Turkistan,
Ghaznawiyah di Afganistan dan Dinasti Seljuk.
b. Bangsa Arab:
Idrisiyyah di Maroko, Alawiyah di Tabaristan,
Aghlabiyyah di Tunisia, Daulafiyah di Kurdistan, Hamdaniyah di Allepo
dan Mosul, Mazyadiyyah di Hillah, Ukaliyyah di Maushil dan
Mirdasiyah di Aleppo.
c. Bangsa Kurdi: Ayyubiyah, Abu Ali dan al Barzuqali.
d. Bangsa Persia: Safariyah di Fars, Samawiyah di Transoxania, Sajiyyah di
Azerbaijan, Thahiriyyah di Khurasan dan Buwaihiyyah di Baghdad.
Dinasti-dinasti di atas muncul karena adanya persaingan antara bangsa.
Hal ini memaksakan khalifah Abbasiyah memberikan otonomi kepada dinastidinasti tersebut. Selain berdiri dinasti-dinasti yang melepaskan diri dari khalifah
Abbasiyah ada yang mengakui dirinya sebagai khalifah, yaitu khalifah Fatimiyah
di Mesir dan Umawiyah di Spanyol. Kekuasaan pemerintah khalifah Abbasiyah
berada di bawah kekuasaan bangsa Turki hampir selama seratus tahun. Setelah itu
pindah ke tangan bangsa Persia, kemudian dikuasai bangsa Seljuk.
Pemerintahan baru para amir secara politis mulai diberlakukan pada masa
penguasaan dinasti Turki Seljuk. Sistem ini ternyata membuat para amir saling
berperang. Situasi ini diperparah dengan kedatangan tentara umat Kristen dan
Eropa Barat pada Juli 1099 untuk menyerang Yerusalem, menyerang
penduduknya, dan mendirikan negara di Palestina, Libanon, dan Anatolia. Para
40
amir di kawasan ini, yang berperang ketika dinasti Turki Seljuk mengalami
kemunduran, tidak bereaksi secara bersamaan, dan tampaknya tidak berdaya
melawan serbuan Barat yang agresif (Karen Armstrong, 2003: 110). Kondisi ini
yang menjadikan ketidaksiapan dalam menghadapi konflik ekstern karena masih
terhimpit masalah intern.
2. Kondisi Kekhalifahan Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah yang berdiri tahun 909-1171 semula di Afrika Utara,
kemudian meluas ke Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Syiah Ismailiyah, dan
pendirinya, yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara
menisbahkan nasabnya hingga Fatimiyah binti Rasulullah SAW, istri Ali bin Abi
Thalib. Sehingga dinamakan Dinasti Fatimiyah, walaupun kalangan Sunni
meragukan asal-usulnya. Kalangan Sunni menamakannya al-Ubaidiyyun sebagai
ganti dari Fatimiyyun. Fatimiyah memakai gelar khalifah sebagai tandingan
khalifah Abbasiyah di Baghdad.
Pada pertengahan kedua abad ke-XI, Suriah dan Palestina menjadi ajang
pertempuran antara bangsa Turki Seljuk dan Dinasti Fatimiyah. Aliran dinasti ini
dicap haram oleh kaum muslim Sunni, terutama karena ideologinya yang pada
satu titik mengancam untuk menggulingkan khalifah Abbasiyah yang beraliran
Sunni. Turki Seljuk menempatkan diri sebagai pendukung khalifah Abbasiyah dan
Islam Sunni, dan melancarkan perang berkepanjangan melawan Dinasti Fatimiyah
(Carole Hillenbrand, 2006: 23).
Perpecahan antara bangsa Turki Seljuk dengan Dinasti Fatimiyah
berpengaruh besar bagi pasukan Salib untuk menancapkan kekuasaan kaum Frank
di negara-negara Islam. Pada mulanya bangsa Fatimiyah mendukung pasukan
Salib sehingga membiarkan berkuasa di daerah Syam bagian utara dan bangsa
Fatimiyah di bagian selatan. Namun pasukan Salib mulai bergerak ke arah selatan
dan berbenturan dengan bangsa Fatimiyah, yang menimbulkan perpecahan di
antara keduanya.
41
Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian
kepada urusan agama non Islam. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir
diperlakukan secara bijaksana. Bahkan pada masa al-Azis umat Kristen lebih
diuntungkan dengan ditunjuk untuk menduduki jabatan tinggi di istana. Demikian
juga pada masa al-Mutansir dan khalifah-khalifah selanjutnya. Umat Kristen
hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Namun, pada khalifah ke-VI Dinasti
Fatimiyah, al-Hakim, terjadi penyiksaan terhadap umat Kristen yang tinggal di
wilayah kerajaannya, yang membentang hingga Suriah dan Palestina, mencapai
puncaknya dengan penghancuran Gereja Makam Suci di Yerusalem pada 10091010 (Carole Hillenbrand, 2006: 21). Tindakan al-Hakim inilah yang biasanya
dianggap sebagai faktor yang mendorong meningkatnya keinginan umat Kristen
Eropa untuk melancarkan Perang Salib Pertama dan menyelamatkan apa yang
dianggap sebagai tempat-tempat suci umat Kristen yang sedang dalam bahaya.
Pada masa kekuasaan khalifah al-Mustansir terjadi kekacauan di manamana antara bangsa Turki, suku Barbar, dan pasukan Sudan. Sepeninggal alMustansir tahun 1095, dinasti Fatimiyah dilanda konflik dan permusuhan. Tahuntahun terakhir kekuasaan dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya
perseteruan terus-menerus antara para wazir dan kelompok tentaranya masingmasing. Kehidupan masyarakat sangat sulit, semakin parah dengan adanya
bencana kelaparan dan wabah penyakit. Hal ini berakibat tingginya pajak dan
pemerasan yang terjadi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan tentaranya.
Keadaan semakin rumit dengan datangnya pasukan Salib dan serangan balasan
dari Almaric, raja Yerusalem.
Di Mesir Dinasti Fatimiyah tidak lagi memiliki supremasi seperti pada
separuh pertama abad ke-XI. Para pemimpin Dinasti Fatimiyah lebih memikirkan
diri sendiri dan sibuk bertikai. Pada masa ini dunia Islam tidak siap menangkis
serangan yang tak terduga dan tidak diperkirakan dari kaum Eropa barat yang
akan terjadi. Dekade terakhir abad ke-XI menunjukkan adanya kelemahan,
ketidakstabilan, dan perpecahan politik umat Islam paling besar yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Kematian beruntun dan dalam waktu yang singkat
dimulai oleh menteri utama bangsa Turki Seljuk (wazir) Nizham al-Mulk dan
42
Sultan Seljuk Maliksyah pada tahun 1092, disusul oleh Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi dan Khalifah Fatimiyah al-Mustanshir pada tahun 1094, menimbulkan
kekosongan kekuasaan yang sangat besar. Pertikaian internal dan perebutan
kekuasaan di dunia Islam timur dan Mesir terjadi. Perebutan kekuasaan di antara
bangsa Seljuk telah menghilangkan efektifnya kepemimpinan muslim Sunni dan
mendorong desentralisasi berikutnya di Suriah dan munculnya negara-negara kota
kecil yang saling bermusuhan.
Selain itu adanya perpecahan agama dalam kehidupan umat Islam, yaitu
antara bangsa Turki Seljuk yang memiliki paham Sunni dengan khalifah
Fatimiyah yang beraliran Syiah. Pertentangan ideologi dan politik antar kedua
dinasti ini sudah sangat tajam dan praktis hampir tak terbayangkan untuk
membentuk front Islam bersatu dalam melawan musuh dari luar, yaitu pasukan
Perang Salib (Carole Hillenbrand, 2006: 44). Konflik internal pada umat Islam
menjadikan lupa akan bahaya asing yang akan datang.
Kedatangan pasukan
perang Salib ke Mediterania timur sangat mengejutkan para pemimpin Islam,
namun dengan perpecahan yang terjadi keadaan semakin sangat tidak
menguntungkan.
Perbedaan antara Islam Sunni dan Syiah menurut Ahmad Abdul Aziz
(2006)
Syiah
atau
Shi‟ism
adalah
sekte
pendukung
Ali
r.a.
hanya
mengembangkan dasar doktrinya secara berlahan-lahan. Doktrin yang mendasar
dari aliran Syi‟ah adalah hak khusus kekhalifahan oleh para anggota keluarga Ali
(ahl al-bayt), dengan menyatakan bahwa tiga khalifah pertama Sunni sebagai
penyabot kekuasaan, sedangkan Sunni atau Sunnites dinamakan muslim ortodoks.
Sunni mengakui empat khalifah pertama sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw
yang sah dan menerima keabsahan Dinasti Ummayah dan kekhalifahan
Abbasiyah. Pengikut Sunni dan pengikut aliran Syiah menerima Al-Quran sebagai
kitab suci agama Islam.
43
B. Terjadinya Perang Salib
1. Sebab-Sebab Terjadinya Perang Salib
Perang Salib merupakan gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi
umat Muslim di Palestina sejak abad ke-11 sampai abad ke-13 untuk merebut
Tanah Suci yang dikuasai oleh umat Muslim serta untuk mendirikan gereja dan
kerajaan Latin di Timur. Adapun sebab-sebab yang memicu timbulnya Perang
Salib antara lain seperti yang dinyatakan oleh al-„Azhimi dalam Carole
Hillenbrand (2006: 66) adalah “Bahwa para peziarah Kristen dihalang-halangi
untuk
mengunjungi
Yerusalem
pada
486
H./1093-1094
M.
dan
ia
menghubungkan peristiwa ini dengan kedatangan para Tentara Salib ke kawasan
Mediterania Timur”.
M. Yahya Harun (1987: 4) menyatakan bahwa sebab lain terjadinya
Perang Salib antara lain: (1) Hilangnya kemerdekaan kaum Kristen untuk
berziarah ke Yerusalem. (2) Adanya keinginan Paus (Gereja-gereja Barat) untuk
menguasai seluruh alam Masehi. (3) Adanya cita-cita kaum Kristen Eropa untuk
mendirikan kerajaan di seluruh daerah Timur, yang kemudian menyebabkan
terjadinya banyak peperangan dan pemberontakan.
Hal ini terlihat pada gerakan di masa Paus Gregory VII dan Paus
Innocent III yang mengerahkan seluruh tenaga dan menyusun kekuatan supaya
alam Masehi atau seluruh dunia tunduk dalam satu pemerintahan agama yang
dikepalai oleh Paus. Maka Paus menganjurkan agar kaum gereja berperang untuk
menyingkirkan umat Muslim dari tanah suci Palestina dan menundukkan gerejagereja di Timur.
2. Perang Salib Pertama (1096-1102)
Pada 27 November 1096 pengumuman mengenai Perang Salib I oleh
Paus Urbanus II di Konsili Clemont, kaum bangsawan, dan para intelektual secara
bersama-sama menyusun kekuatan untuk diterjunkan ke Mediterania Timur untuk
merebut Yerusalem. “Tentara Perang Salib rombongan pertama dipimpin oleh
Raymond dari Toulouse, Godfrey dari Bouillon dan Bohemond dari Sisilia”
(Carole Hillendbrand, 2006: 27). Masing-masing mempunyai pengikut yang
44
jumlahnya 150.000 orang Eropa, sebagian besar berasal dari bangsa Prancis dan
Norman. Tiap-tiap jenderal beserta pengiringnya maju ke timur dengan
mengambil jalan secara terpisah-pisah, sesudah diadakan perjanjian bahwa
pasukan Perang Salib berkumpul bersama-sama di Konstantin lebih dahulu
sebelum menyerbu ke Palestina. Para pemimpin pasukan mengambil kesimpulan
dan keputusan seperti ini mengingat ongkos perjalanan menuju ke Konstantin
relatif mahal jika dilakukan secara bersama-sama (M. Yahya Harun, 1987: 9).
Penaklukan kota-kota penting di Mediterania timur oleh Pasukan Tentara
Salib:
a. Penaklukan Inzik
Kaum Frank kembali melakukan penyerangan ke kota-kota penting di
Mediterania Timur setelah berkumpul di Bizantium. Kota yang pertama di kuasai
adalah Inzik pada tahun 1097 yang merupakan ibu kota bangsa Turki Seljuk, dan
membuat pasukan Turki Seljuk yang berada di bawah pimpinan Sultan Qilij
Arslan mengalami kekalahan besar-besaran dalam pertempuran Dorylaeum pada
Juli di tahun yang sama.
b. Penaklukan Edessa
Kelompok lain yang dipimpin oleh Balwin dari Boulogno menyeberang
ke kota Edessa. Pada tanggal 20 Februari 1098, Balwin tiba di Edessa dan
disambut amat hangat oleh Raja Toros dari Armenia. Setelah Raja Toros dibunuh
pada tanggal 10 Maret, Balwin menjadi kepala negara (Karen Amstrong, 2007:
262). Di kota inilah pasukan Perang Salib mendirikan kerajaan Latin yang
pertama kali di Mediterania Timur dan menghimpun kekuatan untuk merebut
Yerusalem.
c. Penaklukan Antiokhia
Pada Oktober 1097 Tentara Salib tiba di Antiokhia Suriah utara dan
mengepung kota itu. Pada tahun yang sama Antiokhia jatuh ke tangan Tentara
Salib, padahal kota ini jauh lebih besar dan memiliki arti yang jauh lebih strategis
dibanding Edessa. Kota ini dikepung dalam waktu yang cukup lama dari Oktober
45
1097 hingga Juni 1098. Gubernurnya, Yaghisiyah, terbunuh dalam pertempuran
tersebut, kemudian pasukan bantuan yang dipimpin oleh Kirbogha dari Mosul
juga gagal membendung Tentara Salib.
Menurut Ibn Al-Azhimi dikutip oleh Carole Hillenbrand (2006: 74)
bahwa “Kaum Frank keluar ke arah mereka. Mereka [kaum Frank] sangat lemah
dan pasukan Islam sangat kuat. Umat Islam kalah akibat niat buruk mereka”.
Akibatnya Antiokhia dijadikan kerajaan Latin kedua di timur dan dipimpin oleh
Bohemond dari Sisilia sebagai raja. Hal ini menjadikan kekuatan bangsa Seljuk
semakin terpuruk setelah berdiri dua kerajaan Latin di Mediterania Timur.
d. Penaklukan Yerusalem
Keberhasilan
dalam
menguasai
Edessa dan Antiokhia semakin
memberikan semangat bagi kaum Frank untuk menaklukkan Baitul Maqdis atau
Yerusalem. “Pada tanggal 15 Juli 1099, Tentara Salib mendesak masuk kota dan
menaklukannya. Selama dua hari mereka menyerang para penduduk muslim dan
Yahudi di Yerusalem” (Karen Amstrong, 2007: 289). Ketika memasuki kota
Yerusalem dijanjikan bahwa apabila Tentara Salib dibiarkan masuk maka tidak
akan mengganggu penduduk kota. Tetapi setelah masuk terjadilah pembantaian
besar-besaran lebih dari 70.000 orang penduduk yang mati dibunuh (Hamka,
1975: 218). Namun pasca penaklukan Yerusalem oleh Tentara Salib masih datang
perlawanan dari umat muslim, di antaranya perlawanan dari Dinasti Fatimiyah
Mesir pada 12 Agustus 1099 yang dikenal dengan pertempuran Askelon mengirim
pasukannya tetapi kalah dari Tentara Salib. Perlawanan paling hebat justru
muncul dari Imaduddin Zengi yang merupakan penguasa Mosul membawa
pasukannya menuju Yerusalem tetapi belum bisa mengalahkan Tentara Salib yang
telah berada di dalam benteng kota Yerusalem.
Pada saat penaklukan itu Godfrey diangkat menjadi raja Baitul Maqdis.
Tetapi bangsawan yang shaleh itu tidak senang dengan gelar raja; Godfrey lebih
suka memakai sebutan: “Pemelihara Makam Yang Suci”. Sesudah mangkat,
kedudukan raja digantikan oleh saudaranya, Boudwijn. Sejak itu kaum Salib
dengan mudah dapat menaklukan seluruh kota yang ada di Palestina. (M. Yahya
46
Harun, 1987: 11). Keberhasilan menguasai Yerusalem, membuat kaum Frank
kembali mengincar kota yang sekiranya penting untuk menjaga eksistensinya di
kawasan Mediterania Timur, kemudian penaklukan berikutnya yaitu kota Tripoli.
e. Penaklukan Tripoli
Kota ini letaknya startegis merupakan kota pelabuhan penting di Libanon
untuk akses bantuan dan perdagangan dari Eropa melalui jalur laut. “Pada tahun
1109, Tentara Salib merebut Tripoli. Di tahun berikutnya mereka merebut Berut
dan Sidon: kini mereka memiliki negara Salib keempat di Timur Dekat, yang
mereka sebut dengan negara bagian Tripoli” (Karen Amstrong, 2007: 308).
Tripoli kemudian dipimpin oleh Raymond yang merupakan salah satu tentara
Salib yang mempunyai wajah seperti orang Arab dan lancar berbahasa Arab.
Tripoli kemudian dijadikan sebagai pangkalan militer laut di Mediterania Timur.
Pada waktu bersamaan seorang pemimpin Arab muncul bernama
Imaduddin Zengi, yang diangkat menjadi raja Mosul dan Irak pada tahun 1127.
Keberadaan Zengi pada masa pemerintahannya lebih memilih untuk tetap berada
di daerah agar tidak menjadi target penyerangan pasukan Perang Salib.
Menurut James Reston, Jr. (2007: 5) yang dilakukan pada awal
kekuasaannya adalah:
Zangi baru saja berkuasa dan sedang berusaha keras menyatukan Islam
yang tercerai-berai, di mana Mesopotamia secara tradisional dipisahkan
Suriah, Antiokhia berperang melawan Aleppo, Tripoli dengan Homs,
Yerusalem dengan Damaskus, aliran Sunni berperang melawan Syi‟ah.
Dalam perjuangannya mengatasi keterpecahbelahan dunia Islam, Zangi
memanggil kedua Kurdi bersaudara untuk membantunya. Najm ad-Din
diangkat menjadi komandan benteng Zangi di Baalbek di Lembah Bekaa,
sementara Shirkuh menjadi komandan berpengaruh pasukan barisan
depan.
Pada November 1144, pasukan Zengi berhasil merebut Edessa di utara
Mesopotamia, kemudian menundukkan provinsi-provinsi baru pendukung Tentara
Salib. Hal ini menjadikan keterkejutan bangsa Eropa karena baru saja dapat
menguasai kawasan Mediterania Timur. “Tapi pada tanggal 31 Maret 1146,
Bernard, Kepala Biara dari Clairvaux, berpidato bahwa kejatuhan Edessa
bukanlah suatu bencana, tetapi bagian dari rencana Tuhan” (Karen Amstrong,
47
2007: 319). Bernard Chairvaux dari Perancis seorang raja yang tangkas dan sangat
besar pengaruhnya di Eropa Barat akhirnya bisa membangkitkan semangat Perang
Salib periode berikutnya.
3. Perang Salib II (1147-1149)
Perang Salib ke-II dilakukan karena terjadi penaklukan kaum muslim
terhadap Edessa dan karena pengaruh Bernard Chairvaux dari Perancis yang
mempengaruhi para raja di Eropa Barat untuk melakukan Perang Salib fase kedua.
Untuk menghentikan hal yang lebih besar setelah penguasaan Edessa dan wilayah
lain di Mediterania Timur, maka dilakukan pengiriman pasukan Tentara Salib
yang dipimpin oleh Conrad III kaisar Jerman dan Louis VII raja Perancis.
“Kejatuhan Edessa adalah bencana teritorial dan juga bencana kosmis karena kini
kesucian negeri itu menjadi kehilangan yang tak akan pernah terpulihkan” (Karen
Amstrong, 2007: 322).
Penyusunan rencana keberangkatan mulai dilakukan dan seperti biasanya
pasukan Perang Salib berangkat tidak secara bersamaan. “Sebelum itu bangsa
Jerman terlebih dahulu berangkat ke medan perang (1147) di bawah pimpinannya
sendiri. Karena terburu-buru, mereka tidak menanti kedatangan Louis VII dan
langsung menyeberangi lautan menuju Asia Kecil” (M. Yahya Harun, 1987: 15).
Namun mengalami kegagalan karena kelaparan yang disebabkan serangan Turki
Seljuk. Hanya sisa-sisa pasukan Jerman yang dapat bergabung dengan pasukan
dari Perancis serta pasukan dari Kerajaan Yerusalem. Pasukan Perang Salib ke-II
ini diarahkan untuk menguasai Damaskus yang pada waktu itu berada di bawah
pimpinan gubernur Unur dan gagal.
C. Warren Hollister (1974: 166) menyatakan bahwa
Rather than moving on Edessa, the Crusaders decided to besiege the
great inland caravan center of Damascus. It was a wise plan, in theory,
for possession of Damascus would have added much to the strategic and
commercial stability of the Crusader States, but Damascus proved
impregnable and the siege failed. The Crusaders returned to Europe
emptyhanded, prompting St. Bernard to describe the campaign as “an
abyss so deep that I must call him blessed who is not scandalized
thereby”.
(Daripada bergerak menuju Edessa, pasukan Perang Salib memutuskan
untuk mengepung daerah luas pusat kafilah di Damaskus. Hal itu adalah
rencana yang bijaksana, secara teori, untuk kepemilikan Damaskus akan
48
lebih strategis dan stabil bagi keuangan negara-negara Perang Salib,
tetapi Damaskus terbukti dapat menahan serangan dan serangannya
gagal. Pasukan Perang Salib kembali ke kekuasaan kosong Eropa,
mendesak St. Bernard untuk mendeskripsikan kampanye sebagai “sebuah
jurang yang sangat dalam sehingga aku harus menyebutnya sebagai yang
terberkati yang tidak melanggar peraturan”).
Kegagalan pasukan Perang Salib juga terjadi pada saat akan merebut
kembali Edessa yang telah dikuasai oleh Nuruddin putra dari Zengi penguasa
Seljuk. Nuruddin terus melakukan perluasan wilayah di kawasan Mediterania
Timur untuk kembali membangun kekuatan baru untuk menghadapi Kaum Frank.
“Nuruddin menaklukkan Damaskus pada 1154 dan mengangkat dirinya sendiri
sebagai penguasa kaum muslim tertinggi di Suriah” (Carole Hillendbrand, 2006:
30).
Pada 1163, Nuruddin melihat adanya peluang untuk mengambil langkah
selanjutnya guna menyatukan dunia Arab melawan pendudukan Eropa. Di Mesir,
kekhalifahan Fatimiyah yang cenderung menerapkan prinsip ajaran Syi‟ah
daripada Sunni tengah dalam kekacauan, dan ini memberikan kesempatan kepada
penguasa Suriah ini untuk beraksi. Nuruddin memerintahkan Shirkuh yang
kharismatik, untuk melakukan serangkaian invasi ke selatan.
Saat Shirkuh melakukan invasi ke Mesir, Nuruddin juga melaksanakan
penyerangan ke wilayah lain. “Ketika Shirkuh dan Salahuddin bergerak ke
selatan, Nuruddin melancarkan serangan ke istana terhebat Tentara Salib, Krak
des Chevaliers, di pusat negeri Suriah. Namun, benteng Krak des Chevaliers itu
tak tergoyahkan sehingga pasukan Muslim terpaksa mundur” (James Reston Jr,
2007: 7). Kekalahan Nuruddin di Suriah memberikan pengaruh terhadap pasukan
yang dipimpin Shirkuh saat menyerang ibu kota Dinasti Fatimiyah di Kairo.
Shirkuh berperang ditemani keponakannya yang bernama Yusuf, namun nantinya
lebih dikenal dengan nama Salahudin atau Saladin.
Pada 1164, Shirkuh berhasil menguasai Kairo, akan tetapi beberapa
minggu kemudian terdesak untuk mundur kembali menuju Damaskus.
Kemunduran Shirkuh dan Yusuf beserta pasukannya karena Raja Almaric dari
Yerusalem melakukan ekspedisi ke Mesir, kedatangan Tentara Salib ke Kairo
49
untuk menghadang pasukan Muslim yang dipimpin oleh Shirkuh. Kemenangan
Tentara Salib itu dibantu oleh para penduduk Kairo yang tidak suka kepada
tentara muslim karena perbedaan aliran Islam Sunni dan Syi‟ah. Tiga tahun
kemudian invasi Shirkuh gagal karena bala bantuan Tentara Salib dari Yerusalem
ke Mesir. Tentara Salib benar-benar tidak menginginkan adanya persatuan antara
Suriah dan Mesir, percobaan penyerangan ketiga dan keempat masih menemukan
jalan buntu untuk menguasai Mesir. Pada percobaan kelima 8 Januari 1169
Shirkuh berhasil menguasai Kairo dengan penuh kemenangan. Dengan gembira,
Shirkuh memproklamasikan diri sebagai raja baru Mesir. Namun dua bulan
kemudian Shirkuh mendadak mati diduga diracuni orang, sehingga komando
pasukan Suriah di Mesir diambil alih oleh Salahuddin. Pada saat yang bersamaan
dengan mangkatnya khalifah Fatimiyah al-Adid, Salahuddin menghancurkan
Dinasti Fatimiyah dan mengembalikan Mesir kepada Dinasti Abbasiyah.
Penunjukan Salahuddin oleh Nuruddin sebagai pengganti pamannya
Shirkuh, dipilih bukan karena kekuatannya. Pemilihan ini dikarenakan saat itu
Salahuddin masih bocah yang lemah dan belum berpengalaman. Faktanya,
Nuruddin tidak ingin memiliki saingan yang kuat di Kairo dan yakin bisa
mengontrol anak asuhnya yang lembek dan sopan itu. Kelak Nuruddin akan
menyesali keputusannya (James Reston, Jr. 2007:7).
Pada mulanya, Salahuddin memang bawahan yang patuh. Tanpa kecuali,
Salahuddin mengikuti perintah Nuruddin untuk menghilangkan cara hidup Islam
ala Syi‟ah di Mesir dan menggantinya dengan cara hidup Sunni. Salahuddin
meminta pada tuannya Nuruddin agar ayahnya, Najm ad-Din, diijinkan datang ke
Kairo. Nuruddin memberikan ijin kepada Salahuddin, namun setelah dua tahun
kedatangannya di Mesir, ayah Salahuddin meninggal dunia karena kecelakaan
terjatuh dari kuda.
Kedudukan yang diberikan Nuruddin kepada Salahuddin yaitu sebagai
Wazir atau Vizier. Wazir mempunyai arti seseorang yang membawa muatan,
wazir dalam pemerintahan Islam sebagai perdana menteri yang memiliki posisi
kekuasaan kedua setelah sultan. Menurut al-Ghazali dalam Ahmad Abdul Aziz
(2006: 366), raja harus mengamati tiga prinsip dalam memperlakukan wazirnya:
50
(1) tidak menghukumnya secara terburu-buru ketika berselisih dengannya, (2)
tidak menuntut kekayaannya ketika wazir menjadi kaya, dan (3) tidak menolak
permintaannya (kalau diperlukan) ketika wazir mengajukannya. Begitu diangkat
sebagai wazir, Salahuddin berubah. Salahuddin mengalami sikap keagamaan dan
mulai menjalani hidup penuh pengabdian terhadap Tuhan.
Keyakinan bahwa Tuhan memilihnya untuk sebuah tugas khusus yaitu
setelah Tuhan memberi Salahuddin Mesir maka Tuhan akan memberikan
Palestina. Salahuddin ditunjuk untuk memimpin jihad melawan Tentara Salib,
maka Salahuddin mengabdikan dirinya pada agama untuk melakukan jihad.
Perubahan kepribadiannya yang bersifat religius, Salahuddin seorang pemuda
yang lembek dan penakut menjadi seorang lelaki yang kuat dan perkasa.
Antusiasme Salahuddin terhadap jihad membawanya pada konflik langsung dan
tuannya. Konflik ini tampak pada dua peristiwa terpisah pada tahun 1171 dan
1173, peristiwa ini kaitannya dengan pengepungan di benteng Kristen di Shawbak
di timur Yordania. Dalam kedua kejadian ini Nuruddin berangkat dari Suriah
untuk bergabung dengan pasukan Salahuddin dalam usaha perang suci ini dan
begitu saja Saladin menghentikan pengepungan itu dan
kembali ke Mesir.
Salahuddin sungguh sangat ingin menghentikan konfrontasi dengan Sultan yang
mungkin takut jika rasa percaya dirinya yang baru ditemukan itu akan lenyap
ketika berhadapan muka dengan Nuruddin (Karen Amstrong, 2007: 377).
Nuruddin sendiri amat curiga atas Salahuddin, setiap kali Salahuddin
mundur dari Shawbak Nurudin mengirim pesan marah pada Wazir muda itu
menuntut kepatuhan dan kesetiaan. Nuruddin dengan jelas memutuskan bahwa
keadaan sudah terlalu jauh menyimpang dan segera menyiapkan tentara untuk
berbaris menuju Mesir dan menundukkan Wazir keras kepala ini. Salahuddin
sendiri merasa pasti kariernya akan berakhir, tetapi secara dramatis sekali lagi
nasib seakan tiba-tiba ikut campur dalam hidupnya. Pada tanggal 15 Mei 1174, di
tengah persiapannya menyerbu Mesir, Nuruddin tiba-tiba meninggal karena
serangan jantung pada usia enam puluh tahun. Tak mengejutkan jika Salahuddin
memandang hal ini sebagai penegasan Tuhan mengenai jihad untuk melawan
Tentara Salib.
51
Mangkatnya Nuruddin menjadi terjadi kekosongan kekuasaan di
Damaskus, kemudian Salahuddin mempromosikan diri agar bisa menjadi Sultan
pengganti Nuruddin. Di Suriah, kebanyakan Amir mendukung kepemimpinan alShalih, putra Nuruddin yang baru berusia sebelas tahun. Menurut Ahmad Abdul
Aziz (2006: 59), Amir atau Emir berasal dari bahasa Arab amara, yang berarti
“memerintah”, kata ini merupakan gelar untuk pimpinan militer, bangsawan,
ketua, pangeran, penguasa. Dukungan Amir yang berada di Damaskus lebih
mendukung al-Shalih, karena pembelotan yang dilakukan Salahuddin terhadap
Nuruddin dan menjaga keutuhan keturunan dinasti Zengi agar terus memerintah
Damaskus. Namun Salahuddin mengklaim bahwa dirinya sebagai wali dari alShalih. Pada waktu Nuruddin menjadi sultan, Salahuddin diangkat sebagai wasir
yang merupakan wakil dari sultan.
Salahuddin tidak menyerah atas pernyataan yang para Amir di Damaskus
yang menolak menolak Salahuddin menjadi wali. Jalur untuk mendapatkan
kedudukan Sultan, Salahuddin melakukan kampanye panjang dan penuh dengan
kesabaran untuk memenangkan dukungan rakyat Damaskus. Pada masa
sebelumnya kampanye juga dilakukan Nuruddin. Salahuddin menggunakan
metode yang sama dan secara bertahap. Betapapun ini paradoks, Salahuddin
dipandang sebagai seorang pewaris yang paling pantas dari seorang Sultan
Nuriddin yang telah menganggapnya sebagai seorang pengkhianat.
Fokus utama Salahuddin adalah mendapatkan kredibilitas bahwa dirinya
adalah penerus Nuruddin, untuk menghadapi permusuhan dari kalangan Nuruddin
yang berusaha menguasai wilayah-wilayahnya (Carole Hillenbrand, 2006: 207).
Senjata Salahuddin untuk melawan para amir yang mendukung kepemimpinan
putra Nuruddin, yaitu dengan menarik perhatian rakyat. Strategi yang dilakukan
Salahuddin ternyata mengalami keberhasilan, ditambah kepercayaan yang
diberikan rakyat karena telah menguasai Aleppo. Perjuangan penyatuan Mesir dan
Suriah sudah lengkap hanya Yerusalem yang belum dapat dikuasai.
Salahuddin terus memanfaatkan berbagai propaganda yang dilakukan
pada masa Nuruddin yang telah terbukti sangat berhasil. Karya al-Rabai tentang
kemuliaan Kota Yerusalem dibacakan di depan umum pada April 1187,
52
bersamaan ketika pasukan Salahuddin tengah menyiapkan serangan yang untuk
membebaskan Yerusalem dari kaum Frank. Ini merupakan petunjuk yang jelas
tentang dampak emosional dari karya-karya tentang Kemuliaan Kota Yerusalem
itu terdapat para pendengarnya (Carole Hillenbrand, 2006: 201).
Pada tahun yang sama saat Salahuddin mengambil alih Mosul yaitu 1186,
Raja Yerusalem Balwin IV meninggal dunia karena lepra. Balwin IV menpunyai
wasiat mengenai penggantinya yaitu Balwin V yang baru berumur tujuh tahun,
untuk mewarisi tahtanya dan Raymund sebagai walinya. Perpindahan kekuasaan
inilah yang menyebabkan Raymund dan para baron yang lain sepakat untuk
meminta Salahuddin untuk melakukan genjatan senjata. Salahuddin menyetujui
untuk genjatan senjata untuk jangka waktu empat tahun. “Namun pada bulan
Agustus 1186, Balwin V meninggal di Acre. Sesudah upacara, Joscelin
menasehati Raymund untuk kembali ke Tiberias dan mengadakan dewan para
baron untuk mendiskusikan pemberlakuan wasiat Balwin IV, yang akan
menyiapkan suksesi” (Karen Amstrong, 2007: 392).
Pada diskusi dengan para baron, ternyata ada sebuah rencana di Makam
Suci Uskup Agung Heraclius menobatkan Guy dan Sibylla sebagai Raja dan Ratu
Yerusalem. Ada dua orang baron Baldwin dari Ibelin dan Raymund dari Tripoli
yang tidak menyetujui penobatan tersebut dan keduanya memilih kembali ke
kastinya masing-masing. Tidak lama setelah penobatan tersebut Reynauld dari
Chatillon melanggar genjatan senjata dengan menyerang jemaah haji yang menuju
Mekah, membunuh semua lelaki dan menggiring lainnya ke kastilnya dan salah
satu seorang tawanannya adalah saudara perempuan Salahuddin. Sebelumnya
Reynauld dari Chatillon pernah menyusun rencana barisan kuat untuk menyerang
kota Mekah dan Madinah namun gagal. Inilah kedua kalinya Reynauld melanggar
dan benar-benar membuat Salahuddin marah. Kabar itu sampai ke Salahuddin,
saat itu juga dia menyerukan jihad total melawan kaum Frank. Ribuan kavaleri
dan infanteri mulai membanjiri Damaskus dari seluruh penjuru kerajaan
Salahuddin.
53
a. Perang Hittin
Perang ini terjadi pada tanggal 4 Juli 1187. Salahuddin membawa 12.000
tentara yang terdiri dari pasukan kavaleri dan infanteri dari seluruh penjuru
kerajaan Salahuddin. Sedangkan Kaum Frank membawa 63.000 pasukan, dari
tentara para baron, Kesatria Kuil dan Ordo Hospitaler. Kedua belah pihak
melakukan mobilisasi untuk perang suci berskala penuh. “Perang besar akhirnya
terjadi pada Juli 1187 di Bukit Hitti, dan tak lama Bait al-Maqdis jatuh ke tangan
Islam (Hamka, 1975: 222).
Perjalanan Salahuddin dari Damaskus dengan menyeberangi sungai
Yordania dan membuka wilayah Tiberias. Kedua kubu mulai berperang hari
Jumat dan dilanjutkan di hari Sabtu. Kaum Frank sebenarnya sudah mengalami
kekalahan strategi, mental dan fisik sebelum berperang. Menurut Karen Amstrong
(2007: 397)
Tentara Kristen berjalan menyeberangi lembah Galilea dalam musim
panas yang terik, terbebani pakaian dan perlengkapan tempur mereka.
Perjalanan yang harusnya memakan waktu beberapa jam jadi
berlangsung sepanjang hari. Saladin juga mengirim pemanah-pemanah
jitu untuk mengikuti barisan belakang tentara Kristen dan mengincar
tentara yang terpisah sendirian. Saladin membendung persediaan air
mereka dan banyak sumur dikeringkan, sehingga para prajurit Kristen
setengah gila karena kehausan. Akhirnya mereka tiba di laut Galilea
dalam keadaan kelelahan dan kemudian menyadari bahwa perkemahan
Saladin telah menghadang mereka dari air.
Penderitaan tentara Kristen, kebanyakan karena mengalami dehidrasi
yang membahayakan dan keputusasaan akan peperangan ini. Pada malam hari itu
bertepatan dengan malam 26/27 Ramadhan, malam tersuci dalam kalender
muslim, karena itulah malam ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu
pertama dari Allah SWT. Seperti yang tertulis pada kitab suci Al Quran,
lailatulkadar atau malam Qadr (takdir) ini lebih baik dari pada seribu bulan.
Pasukan Salahuddin menunggu fajar tiba, para pasukan Islam menyebar
untuk mengepung perkemahan kaum Kristen. Setelah fajar mengakhiri kedamaian
lailatulkadar, serangan tentara muslim dimulai. Infanteri Kristen hanya
memikirkan air dan bergegas menuruni lembah menuju laut galilea yang
berkilauan mengundang para pasukan Kristen. Pasukan Kristen dihalau kembali
54
ke lembah dan dibunuh atau ditawan. Ratusan lelaki berbaring di pinggir lembah,
terluka dengan bibir bengkak dan mulut menghitam. Namun, pasukan kavaleri
bertempur dengan gagah berani. Raymund dari Tripoli memimpin serangan yang
berhasil mendobrak kepungan tentara muslim, tapi kemudian tentara muslim
langsung menutupi kembali kepungan itu di belakang pasukan Kristen yang tidak
dapat bergabung lagi dengan rekan-rekan mereka. Raymund berhasil lolos tapi tak
lama kemudian meninggal karena kedukaanya atas kekalahan pada perang Hittin,
Balian dari Ibelin yang memimpin Ordo Templar juga berjuang keras untuk keluar
dan menjadi orang Kristen terakhir yang dapat lolos dalam perang Hittin. Dalam
jam terakhir peperangan, kekuatan Kristen telah sedemikian berkurang hingga
tinggal tenda merah Raja Guy yang tersisa di selatan tanduk Hittin. Ketika tenda
raja roboh ke tanah, perang usai. Kepala biara Makam Suci terbunuh dan Salib
Sejati disita. Raja Guy, Chatillon, dan para pimpinan Templar dan Hospitaler
ditangkap. Hari itu berakhir dengan kekalahan (James Reston Jr., 2007: 78).
Berakhirnya perangan ini Reynauld penguasa Kerak dibunuh dengan
tangan Salahuddin di tendanya, sedangkan Raja Guy tidak dibunuh karena prinsip
Salahuddin yaitu sesama raja tidak akan saling membunuh. Reynauld dibunuh
karena dia berulang kali mengusik umat muslim, pertama merencanakan
penyerangan Makah dan Madinah, membunuh jamaah haji yang melintasi
daerahnya padahal saat itu masih ada genjatan senjata.
Seluruh tentara Kristen telah hancur di pertempuran Hitti, hanya ada
sebagian sisa-sisa pasukan yang berhasil lolos. Para kesatria yang meloloskan diri
dari perang berkumpul di Tirus, dari situ tentara Salib menyusun kembali pasukan
yang dipimpin oleh Cornad dari Montferrat. Dari Tirus pasukan tersebut menuju
Yerusalem untuk mempertahankan kota ini dari pasukan Saladin.
Kemenangan
atas
perang
Hittin
membuat
pasukan
Salahuddin
melanjutkan merebut wilayah di Mediterania Timur yang dikuasai kaum Frank.
Dalam hitungan hari tentara Salahuddin berhasil menguasai beberapa daerah.
Pada 10 Juli 1187 daerah yang direbut Nashira, Shafuriyah, Kaisariah, Haifa,
Arsuf, Nablus, Faulah, Daburiah, Janin, Za‟in, Thur, Lajun, Bisan. Selanjutnya
Shaida pada 19 Juli, Beirut dan Jabil pada 6 Agustus, Ghaza dan Darum 4
55
September. Sebelum menyerang Yerusalem maka Salahuddin merebut daerahdaerah di sekitarnya Ramlah, Yabna, Bethlehem, Hebron, Asqalan. Perebutan
daerah ini membuat kerajaan Yerusalem benar-benar terisolasi karena semua
daerah di luar kota telah dikuasai oleh Salahuddin dan para umat Muslim. Ketika
semua daerah di luar Yerusalem telah dikuasai, maka Yerusalem yang menjadi
target untuk dibebaskan dari kaum Frank.
b. Pembebasan Yerusalem
Pada tanggal 19 September 1187, Salahuddin beserta pasukannya
membongkar tenda untuk melanjutkan perjalanan mereka. Satu hari berikutnya
pada 20 September 1187, Salahuddin dan para pasukannya sampai di Yerusalem.
Pada 25 September 1187, Salahuddin selesai menginspeksi kota itu. Pada 26
September Salahuddin memulai penyerangan. Kekuatan Kristen diperkirakan
berjumlah sekitar sepuluh ribu orang dengan sangat riuh. Pertama-tama
Salahuddin memerintahkan pasukan pemanah untuk menghujani Tentara Salib
yang berada di benteng-benteng Yerusalem, namun ini hanya sedikit
membuahkan hasil.” Dalam waktu berapa hari saja, Salahuddin merubah
taktiknya. Dari tembok, para pembela kota menyaksikan bagaimana tenda-tenda
di bongkar dari Gunung Zaitun, Gunung Koy, dan Lembah Jehoshaphat” ( James
Reston Jr., 2007:105).
Tentara Salib melihat Salahuddin benar-benar mundur, padahal Sang
Sultan hanya memindahkan pasukannya ke tempat yang lebih tinggi, dari Menara
Daud sampai tembok utara yang ada di sekeliling Gerbang St. Stephen.
Menghadapi tembok utara, Salahuddin mengeluarkan mesin pengepungannya.
Pasukan artileri terus menyerang dengan alat-alat pelontar untuk meruntuhkan
dinding, sedangkan yang lain menggali lubang dan membakar Gerbang St.
Stephen. Setelah dua hari berperang, tembok mulai goyah. Para pasukan muslim
menggali untuk merobohkan bagian menara di Gerbang St. Stephen, pembela kota
mulai kehilangan keberanian dan melarikan diri.
Dengan adanya Petriark Yerusalem, Eraclius, sebagai penasehat spiritual
kaum Kristen, komando pertahanan pasukan Kristen diberikan kepada Balian dari
56
Ibelin. Sebenarnya di Yerusalem, hanya dua kesatria sejati yang tersisa dan Orde
Templar yang mengambil alih komando. Akan tetapi rakyat Yerusalem lebih
memilih Balian yang memegang komando, karena terlalu banyak aturan dari Orde
Templar. Namun Salahuddin malah meminta kaum Frank untuk menyerahkan diri
dan menyerahkan kota tersebut tanpa peperangan, pada awalnya kaum Kristen
menolak. Tetapi kaum Kristen berhadapan dengan pasukan yang sangat kuat,
maka Balian dari Ibelin melakukan sebuah perjanjian mengenai penyerahan
kekuasan Yerusalem. Perjanjian ini sebenarnya lebih merugikan Salahuddin, akan
tetapi dengan pertimbangan dampak yang akan terjadi apabila terjadi perebutan
dengan kekerasan
maka Salahuddin menyetujui permintaan dari Balian dari
Ibelin.
Salahuddin memutuskan untuk berdamai dan memberi jaminan
keamanan kepada kaum Kristen, yaitu: penduduk Yerusalem membayar tebusan
tawanan sesuai dengan kesepakatan, orang yang tidak mampu membayar tetap
menjadi tawanan perang, semua bumi, senjata dan rumah menjadi hak kaum
Muslim, bagi yang tidak menaati peraturan dalam lima puluh hari maka menjadi
tawanan perang.
“Pada tanggal 2 Oktober 1187, Saladin dan tentaranya memasuki
Yerusalem sebagai penakluk dan selama delapan ratus tahun kemudian Yerusalem
tetap menjadi kota Muslim” (Karen Amstrong. 2007: 409). Salahuddin tetap
menepati janjinya mengenai penebusan tawanan, meskipun Salahuddin melihat
orang kaya pergi meninggalkan Yerusalem dengan hartanya. Bangunan-bangunan
umat Kristen tetap dibiarkan berdiri, karena menurut Salahuddin jika bangunan
suci di hancurkan maka kebencian umat Kristen terhadap Islam semakin
meningkat. Sementara itu, di seberang alun-alun tidak lepas dari perlindungan
Salahuddin. Masjid al-Aqsa telah menjadi markas besar pasukan Templar beserta
kandang kuda mereka. Masjid inipun kini dibersihkan dan disucikan dengan air
mawar, yang dibawa khusus oleh saudara perempuan Salahuddin dari Damaskus
dan tengah dipersiapkan sebagai tempat penyelenggaraan khutbah pertama.
Mihrabnya, yang merupakan tempat imam untuk memimpin sholat, didapati telah
57
berubah menjadi kakus itu digosok dan disucikan sampai bersih (James Reston
Jr., 2007: 115).
Yerusalem kembali diperintah oleh penguasa Islam setelah 88 tahun
lamanya dikuasai oleh kaum Frank, suara adzan kembali dikumandangkan di
Yerusalem yang sempat digantikan oleh bunyi lonceng gereja. Setelah
kemenangan besar ini Salahuddin tidak terlena dan tetap berusaha untuk
membuka kota dan benteng kaum Frank yang berada di kawasan Mediterania
Timur. Daerah Jablah, Latakia, dan benteng Zion. Selajutnya benteng Bakas,
Syaghar, Sarminiay, Birziah, Darb Salik Baghras, Karak dan Syaubik, wilayahwilayah ini takluk setelah pengepungan yang panjang dan dengan cara damai.
Para kaum Frank memilih untuk pergi ke daerah yang belum diduduki pasukan
Islam.
Menurut M. Yahya Harun (1987: 23) sebab-sebab kelemahan kaum Salib
antara lain:
1) Karena matinya Raja Almarice yang digantikan oleh orang yang
kurang ahli dalam mengatur pemerintahan.
2) Terjadinya perselisihan antara sesama mereka, seperti perselisihan
yang terjadi antara kaum Salib di Antiochea dengan yang ada di
Baitul Makdis.
3) Terpecah-belahnya kerajaan menjadi beberapa propinsi kecil-kecil
yang satu sama lain saling berselisih.
4) Karena perdagangan dimonopoli oleh bangsa Itali, Venesia,
sedangkan kaum Kristen tak sedikitpun mendapat keuntungan dari
perniagaan itu sebagai modal untuk mengokohkan kerajaan.
Selama perang Salib kedua kaum Frank tidak mendapatkan kemenangan
yang pernah diraih pada perang Salib pertama. Sebagai puncak kegagalannya
yaitu kekalahan perang Hittin dan jatuhnya Yerusalem. Namun kaum Frank tetap
menganggap bahwa ini bukanlah akhir dari perang suci. Kaum Frank menilai
masih banyak kesempatan untuk merebut kembali daerah yang didapat pada
Perang Salib pertama.
58
4. Perang Salib III (1189-1192)
Pada 29 Oktober 1187 Paus Gregorius VII menguamandangkan Perang
Salib III. “Pada tanggal 27 Maret 1188, Kaisar Romawi Suci Frederick Barbarosa
mengambil Salib, tapi setahun sesudah ia mengambil sumpahnya. Akhirnya ia
berangkat pada awal bulan Mei 1189, mengambil rute daratan yang berbahaya
menuju Tanah Suci” (Karen Amstrong, 2007: 417). Tentara ini merupakan
kekuatan militer terbesar yang pernah berangkat meninggalkan Eropa. Pasukan
terdiri atas 50.000 kavaleri dan 100.000 infanteri. Frederick adalah kaisar pertama
dari barat yang mengambil Salib. Rute daratan yang dipilih raja Frederick tetap
menjadi rute maut, banyak para Tentara Salib yang meninggal. Pada10 Juni 1190,
pasukan tiba di sungai Calycadnus di daratan Seleucia. Dengan baju besi lengkap
Barbarossa melompat ke arus sungai yang menggila, entah untuk mendinginkan
tubuhnya atau untuk memamerkan keberaniannya sebagai seorang Tentara Salib.
Tetapi kejutan arus sungai yang kuat dan dinginnya air membuat Frederick
Barbarosa wafat. Ribuan pasukan memilih meninggalkan pasukan dan sisanya
melanjutkan perjalanan menuju Antiokhia.
Pada Juli 1190 Richard dan Philip berangkat menuju Mediterania Timur
dengan membawa 25 kapal yang membawa pasukan beserta senjata. Sesampainya
di Acre, Tentara Salib mengepung kota tersebut selama satu tahun. Pada 12 Juli
1191 Acre jatuh ke tangan Tentara Salib. Namun sesudah Salahuddin mengalami
kekalahan di Acre, Shalahuddin membakar Haifa yang letaknya berdekatan
dengan kota tersebut. Hal ini dilakukan untuk membuat kaum Frank
meninggalkan kota yang sudah tidak berarti, yang ada hanya sisa reruntuhan kota
yang telah hancur. Peperangan berakhir dengan ditaklukkannya Accon oleh
pasukan Salib dan tercapai perjanjian damai di kota Ramlah antara Richard
dengan Salahuddin.
Menurut M. Yahya Harun (1987:26) perjanjian berlaku 3 tahun 8 bulan
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Baitul Makdis tetap di bawah kekuasaan kaum Muslimin, tetapi kaum
Kristen diijinkan untuk mengerjakan amal ibadahnya di sana.
59
b. Pantai negeri Syam dari Qur sampai Yaffa tetap di bawah kekuasaan
kaum Salib.
c. Permasalahan masalah agama dilenyapkan.
Pada tahun 1192 Richard pulang ke Inggris. Richard mendengar bahwa
adiknya John berusaha berkhianat kepada dirinya. “Tidak mengherankan bahwa ia
telah merencanakan perebutan tahta dari kakaknya”(Samekto, 1982: 55). Richard
memimpin Inggris hanya enam bulan sebelum keikutsertaannya dalam Perang
Salib, karena selama mengikuti perang masalah pemerintahan diurus oleh John.
Adik Richard mulai terhanyut dengan kekuasaan, bahkan John juga meminta
bantuan baron lain untuk menghadang agar Richard tidak sampai ke Inggris. Di
perjalanan Richard ditangkap oleh Hertog Leopold yang pernah berselisih di
Akka. Kemudian Richard diserahkan pada raja Jerman Hendrik I, namun Richard
akhirnya dibebaskan setelah ditebus rakyat Inggris.
Setelah kepergian Richard, untuk sementara waktu Salahuddin tetap di
Yerusalem. Kemudian dia kembali ke Damaskus di mana menghabiskan
sisa hidupnya. Kelelahan karena perang yang lam telah melemahkan
kesehatannya, dan penyakit demam telah merenggut nyawanya enam
bulan setelah perjanjian damai itu (1193) (K. Ali, 1995: 306).
Kepemimpinan dilanjutkan sampai 117 tahun lamanya dengan nama
Daulah Salahijah. Sebagai hasil dari Perang Salib III Baitul Makdis tidak dapat
ditaklukan kaum Kristen dan kedudukan pemerintahannya berpindah ke Akka
selama satu Abad. Tetapi harapan kaum Kristen untuk mengembalikan Baitul
Makdis tidak berhasil.
C. Pengaruh Perang Salib terhadap Perkembangan Islam
Perang Salib pada periode 1169 sampai 1193 di Mediterania Timur
ternyata memberikan pengaruh terhadap perkembangan Islam di kawasan
tersebut.
1. Perluasaan Kekuasaan di Mediterania Timur
Perkembangan di bidang kekuasaan ini membahas mengenai wilayahwilayah yang dikuasai maupun direbut kembali oleh umat Islam dari tentara Salib
selama terjadinya Perang Salib pada tahun 1169-1193. Adapun beberapa daerah
60
yang telah dikuasai oleh Islam dipimpin oleh Imaduddin Zengi atas Kaum Frank,
yaitu kota Edessa dan Aleppo.
a. Damaskus
Damaskus adalah kota terbesar di Syam, yang dahulu dijadikan sebagai
ibukota kekhalifahan Ummayah. Namun setelah kekhalifahan Ummayah diserang
oleh kekhalifahan Abbasiyah dan para pengikutnya yang masih tersisa berpindah
ke Spanyol, maka di Damaskus terjadi kekosongan kekuasaan. Kekhalifahan
Abbasiyah lebih memilih untuk memerintah di Baghdad. Kemudian pada masa
Perang Salib, Damaskus dikuasai oleh Imaduddin Zengi (penguasa Mosul).
Wafatnya Imaduddin Zengi menyebabkan kekuasaan Damaskus diberikan kepada
putranya, Nuruddin. Sultan menyadari bahwa selama Damaskus dikuasai oleh
pangeran yang merdeka, maka akan sulit baginya untuk melawan tentara Salib.
Ketika rakyat Damaskus meminta bantuannya untuk melawan penguasa
Damaskus, Nuruddin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan dengan cepat
merebut Damaskus. Penaklukan Damaskus ini membuat Nuruddin memperoleh
gelar al-Malikul Adil (K. Ali, 1995: 300-301). Sejak pemerintahannya di
Damaskus ini, Nuruddin memulai menyusun peta kekuatan untuk menghadapi
pasukan Perang Salib yang telah menguasai sebagian daerah Mediterania timur.
Padahal pada saat itu masih banyak wilayah yang ingin bediri sendiri, bahkan ada
yang justru meminta bantuan Tentara Salib dari kerajaan Yerusalem.
Periode berikutnya terjadi beberapa pertempuran antara pasukan
Nuruddin dan pasukan Perang Salib II Eropa, yang tujuan menguasai Damaskus.
Sebelum kaum Salib itu sampai menyerang kota Damaskus, kepala pasukan
Perang Salib Louis dan Conrad, terpaksa angkat kaki kembali ke Eropa, karena
terkejut dan takut melihat kekuatan Nuruddin yang sangat mengagumkan itu.
Perang Salib II membawa kerugian bagi kaum Salib, bahkan kekuasaan kaum
Salib yang berada di Syam dapat ditumpas oleh Nuruddin. Kegagalan ini paling
besar mempengaruhi mental dari para bangsawan dan pasukan kaum Salib di
Eropa dan Yerusalem untuk bertempur melawan kaum Islam di Mediterania
61
Timur. Penguasaan terhadap Syam ternyata memberikan pengaruh terhadap
penguasaan wilayah lain di Mediterania timur.
b. Mesir
Penaklukan selanjutnya adalah Mesir, kota tempat Dinasti Fatimiyah
yang beraliran Syi‟ah. Dinasti ini sedang mengalami kekacauan akibat konflik
internal. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Nuruddin dengan
memerintah Syirkuh untuk mencegah Tentara Salib menaklukkan Mesir. Pada
penyerangan pertama sampai keempat masih gagal dan pada percobaan kelima
yang membuahkan hasil. Pada 8 Januari 1169 Shirkuh berhasil menguasai Kairo
dengan penuh kemenangan. Dengan kemenangan ini Shirkuh memproklamasikan
diri sebagai raja baru Mesir. Namun dua bulan kemudian Shirkuh mendadak mati,
diduga diracuni orang. Ketika Shirkuh tewas pada 564 H./1169 M., keponakannya
yang bernama Salahuddin mengambil alih komando pasukan Suriah di Mesir dan
terus
maju
mengendalikan
negara
Fatimiyah
dengan
merencanakan
penunjukannya sebagai wasir oleh khalifah Fatimiyah al-Adid. Ketika khalifah
wafat pada 565 H./1171 M., Saladin mengambil suatu langkah paling penting,
yaitu menghancurkan Dinasti Fatimiyah dan mengembalikan Mesir kepada
Dinasti Abbasiyah yang Sunni di Bagdad. Saladin melakukan semua tindakannya
ini masih atas nama pemimpinnya, Nuruddin, di Suriah (Carole Hillenbrand,
2006: 148).
Salahuddin dalam memimpin Mesir memberikan kelegaan rakyat, karena
tidak adanya pemaksaan aliran Sunni di kalangan masyarakat Mesir. Menurut
Salahuddin perbedaan antara Syi‟ah dan Sunni hanya perbedaan politis bukan
bersifat teologis. Penduduk Mesir sebenarnya sangat siap untuk menerima
keimanan Sunni, asalkan adanya jaminan keamanan dari pemimpinnya. “Saladin
tiba-tiba mendapati dirinya diberi gelar al-Malik al-Nashir (Raja yang Menang)”
(Karen Amstrong, 2007: 374).
Bagi Salahuddin penguasaan terhadap Mesir memberikan kembali
kekuatan Islam dalam menghadapi kaum Frank. Keberhasilan ini memberikan
hanya sedikit ruang bagi kaum Frank yang berada di Yerusalem. Kedekatan antara
62
Salahuddin
dan
rakyatnya,
memberikan
kekuatan
untuk
melaksanakan
penguasaan selanjutnya yaitu membebaskan kota suci Yerusalem. Pembebasan
Yerusalem adalah tujuan utama yang dilakukan oleh Nuruddin dan Salahuddin
untuk melengkapi penguasaan Islam penuh di Mediterania timur.
c. Yerusalem
Pada 1175 Salahuddin memegang tampuk kekuasaan di Damaskus dan
Kairo. Perpecahan yang berlangsung berabad-abad menghilang. Dengan demikian
aliran Sunni dari utara memiliki kesempatan untuk menggantikan aliran Syi‟ah
yang dianut oleh kekhalifahan Fatimiyah, di sepanjang sungai Nil. Musim semi
1175 Salahudin diumumkan menjadi Raja Suriah dan diakui sebagai Kaisar
Suriah dan Mesir oleh pimpinan tituler di Timur Tengah, Sang Khalifah di
Bagdad (James Reston Jr., 2007: 9).
Sultan mempunyai satu tugas lagi yang perlu diselesaikan
dalam
kerajaannya sendiri, sebelum melakukan serangan terakhir untuk menaklukkan
Yerusalem. Salahuddin perlu menundukan kerajaan-kerajaan kecil yang masih
berdiri. Pada 1183 di bulan Safar (Juni) Salahuddin merebut Aleppo. Selain
memiliki arti penting bagi penguatan pasukan militernya, kota itu pun memiliki
arti penting yang bersifat simbolis. Aleppo dikenal sebagai kastil abu-abu, dan di
tengah masyarakat Arab beredar ramalan tentang akan diraihnya kemenangankemenangan yang lebih besar pada masa mendatang. Pada tahun 1186, Sultan
mengambil alih Mosul di dataran tinggi Mesopotamia. Salahuddin tetap menahan
diri untuk menyerang Yerusalem.
Kemenangan pada perang Hittin memberikan kekuatan berlebih untuk
melakukan penyerangan ke Yerusalem. Sebelum Yerusalem Salahuddin
menguasai daerah-daerah seperti Acre, Naplus, Jericho, Ramla, Caesarea, Arsuf,
Jaffa, Beirut, dan beberapa kota lainnya, Salahuddin mengarahkan perhatiannya
ke Yerusalem dengan merebut benteng-benteng di Suriah. Kota tempat jutaan
orang dibunuh secara massal oleh orang Kristen pada saat kedatangannya pada
akhir abad ke-XI. Salahuddin berangkat menuju kota suci tersebut dan, setelah
sampai di tujuan Sultan menyuruh kaum Frank menyerah. Tidak lama kemudian
63
Yerusalem dikepung, tentara Salib menjadi takut dan memohon ampun kepada
Salahuddin. Hatinya menjadi lunak dan Salahuddin tidak dapat melaksanakan
pembalasannya. Salahuddin mengizinkan orang Yunani dan orang Kristen Siria
tinggal di Yerusalem dengan memperoleh hak kewarganegaraan penuh.
Yerusalem sangat mungkin menjadi klimaks psikologis bagi karier Salahuddin.
Penaklukan kembali Yerusalem merupakan bukti keberhasilan dan kesungguhan
Salahuddin dalam merealisasikan ambisi pribadinya. Pembebasan Yerusalem dari
kaum Frank menyempurnakan penyatuan penguasaan Islam di kawasan
Mediterania Timur. Penguasaan ini merupakan puncak keberhasilan umat Islam
selama puluhan tahun dalam upaya menguasai kembali wilayahnya dari kaum
Frank.
2. Persatuan Islam di Mediterania Timur
Persatuan Islam ini kaitannya dengan kepemimpinan penguasa Islam
pada masa itu. Seorang pemimpin harus bisa mempersatukan rakyatnya untuk
menjaga wilayahnya agar tidak lepasnya daerah yang dikuasai. Penyatuan ini pada
masa Perang Salib dimulai oleh Imaduddin Zengi, penguasa Mosul, setelah
penaklukan kota suci Yerusalem oleh Kaum Frank, mereka tidak melanjutkan
untuk menguasai daerah-daerah pedalaman. Kesempatan inilah yang kemudian
diambil oleh Imaduddin Zengi, pendiri Dinasti Zengi, untuk merebut kembali
daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh Kaum Frank. Jatuhnya salah satu negara
Salib ke tangan umat Islam yaitu Edessa oleh Imaduddin Zengi pada tahun 1144
menjadi titik balik yang menentukan nasib umat Islam. “Kemenangannya itu
mendorong meletusnya Perang Salib Kedua” (Carole Hillenbrand, 2006, 139).
Namun Imaduddin terbunuh pada 1146 M, sehingga keberlangsungan Dinasti
Zengi dan perjuangan melawan kaum Frank dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin,
dan kemudian akan diteruskan oleh Salahuddin. Kedua tokoh terakhir inilah yang
banyak memberi pengaruh kepemimpinan pada masa Perang Salib Kedua dan
Ketiga.
64
a. Nuruddin (1146-1174 M)
Wafatnya Imaduddin Zengi, Nuruddin mengambil alih Edessa dan
Aleppo. Kariernya dimulai dengan memperoleh kemenangan atas kaum Frank di
Inab pada 1149 M sampai pada penghancuran Dinasti Fatimiyah dan
pengembalian Mesir kepada Dinasti Abbasiyah pada tahun 1172. Bahkan dengan
penaklukan atas Damaskus membuat Nuruddin memperoleh gelar al-Malikul Adli
(Adang Affandi, 1995: 301). Di sepanjang kariernya, Nuruddin harus berperang
melawan musuh-musuhnya yang tersebar luas: rival politik kaum muslim Sunni di
Suriah, Syiah Ismailiyah, dan faksi-faksi lain di Mesir, Bizantium, serta Kaum
Frank. Upaya Nuruddin dalam mempersatukan Suriah dan Mesir di bawah
penguasa Sunni untuk pertama kalinya sejak abad ke-X merupakan langkah yang
tepat untuk mengepung kaum Frank (Carole Hillenbrand, 2006: 149). Kritik atas
Nuruddin dihubungkan dengan 28 tahun masa kariernya yang sebagian besar
upaya-upaya militernya ditujukan untuk memerangi sesama muslim sendiri dan
bukan kaum Frank, serta pandangannya bahwa kesepakatan perjanjian damai
merupakan suatu tindakan yang tepat.
Para penulis sejarah dari kalangan muslim menunjukkan ungkapan
kebanggaan atas Nuruddin pada aspek religiusnya, tidak hanya pada prestasi
militernya. Aspek penting dari citra Nuruddin adalah dukungan yang diberikan
kepada kelompok-kelompok agama di Suriah dan hubungannya yang semakin
erat. Hubungan ini membantu membentuk citra Nuruddin yang lebih dari sekedar
oportunis militer. Pada masa kekuasaannya, konsep jihad sebagai seruan
penggerak kaum muslim mendapatkan momentum yang sebenarnya dan aliansi
antara kelompok-kelompok agama dan pemimpin militer menjadi sangat penting.
Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, Nuruddin lebih memusatkan
perhatiannya untuk mempersatukan Suriah. Setelah tujuannya ini berhasil, ia baru
mengalihkan sasarannya kepada Tentara Salib. Hal ini yang membuat aktivitasaktivitas militernya mendapat interpretasi yang baik serta menunjukkan bahwa ia
memiliki strategi yang menyeluruh, yaitu mempersatukan umat Islam yang
dilanjutkan dengan jihad melawan kaum Frank.
65
Penaklukan Damaskus pada 1154 M, Nuruddin melakukan setiap
usahanya “atas nama jihad melawan para Tentara Salib dan membantu
kebangkitan Islam Sunni”. Menurut Ahmad Abdul Aziz (2006:202) jihad artinya
berjuang keras, satu upaya untuk berjuang dijalan Allah SWT. Nuruddin
terdorong untuk mempertimbangkan dimensi religius dalam aktivitas politik dan
sekaligus sebagai jalan penyelamatan melawan Kaum Frank dalam pertempuran
di al-Buqayah tahun 1163 menimbulkan pengaruh dalam terhadap kehidupan
pribadi dan kebijakan Nuruddin. Imaduddin al-Ishfahani, sahabat sekaligus
penasihat Salahudin, tiba di Damaskus dan bergabung dengan Nuruddin pada
tahun 1167, menggambarkan Nuruddin sebagai “raja yang paling suci, saleh,
cerdas, bersih, dan bijaksana”. Menurut Abu Syamah, penulis sejarah kaum
Muslim, mendeskripsikan Nuruddin sebagai orang yang paling bersemangat
dalam memerangi pasukan Salib. Ia juga menegaskan ketaatan Nuruddin pada
ajaran agama, keadilannya, pengabdiannya untuk berjihad, dan kesalehan
pribadinya.
Menurut Kohler, ilmuwan Jerman, pada paruh pertama kariernya,
Nuruddin mendapat kecaman dari Tala‟i ibn Ruzzik, wazir Fatimiyah, karena
tidak memerangi kaum Frank yang terus berkuasa di Palestina. Selain itu
Nuruddin tidak memulai seruan jihadnya untuk melawan kaum Frank hingga
merebut Damaskus, serta memilih untuk lebih memperkuat kekuasaannya di
Suriah. Namun dalam pertempurannya dengan kaum Frank di Mesir, Nuruddin
menggunakan propaganda jihad hanya sebagai alat untuk kepentingan politik
kekuasaannya. Akan tetapi dari hasil yang telah dicapainya, suasana religius di
Suriah, dan gedung-gedung serta inskripsi-inskripsi religius yang didirikan atas
namanya, dapat disimpulkan bahwa umat Islam pada masa itu menganggap
Nuruddin sebagai seorang pejuang jihad dalam gerakan propaganda yang lambat
laun semakin meyakinkan dan meraih keberhasilan (Carole Hillenbrand, 2006:
174).
66
b. Salahuddin (1174-1193 M)
Salahuddin lahir di Tikrit, Tigris pada tahun 1138, dengan nama Yusuf di
bawah asuhan suku Kurdi. Ayahnya yang bernama Ayyub adalah bagian dari
pasukan Imanududdin Zanki, yang merupakan pemimpin Baklabak. Saat kecil ia
memperoleh pendidikan di Suriah. Nama Yusuf memang baru dikenal setelah ia
membantu pamannya untuk menyerang Mesir. Salahuddin memiliki dua ambisi
besar dalam hidupnya, yaitu menggantikan Islam Syiah di Mesir dengan Sunni
serta memerangi orang Franka dalam Perang Suci (Phillip K. Hitti, 2005: 824).
Karier jihad Salahuddin dimulai pada masa kekuasaan Nuruddin, yaitu
ketika Salahuddin berjuang untuk mendapatkan kekuasaan di Mesir, sebagai
pembantu Nuruddin. Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, seperti halnya
Nuruddin, Salahuddin juga memerangi musuhnya sesama muslim dan membuat
kesepakatan damai dengan kaum Frank. Dengan direbutnya Aleppo, pada tahun
1183, Salahuddin telah menyatukan Mesir dan Suriah dalam kekuasaannya. Pada
masa inilah Salahuddin memberi perhatian serius kepada kaum Frank. Diawali
dengan penyerangannya terhadap benteng al-Karak miliki Reynald dari Chatillon
pada tahun 1184 yang terbukti gagal. Kaum Frank di Hattin, Acre, Gaza hingga
Jubayl kecuali Tirus dan Antiokhia telah dikuasai oleh Salahuddin. Penaklukan ini
diakhiri dengan kesepakatan damai antara Salahuddin dengan kaum Frank pada
tahun 1192.
Pada saat Salahuddin menggantikan Nuruddin, memanfaatkan berbagai
propaganda yang digunakan pada masa Nuruddin yang terbukti sangat berhasil.
Para penyair di masa Salahuddin menekankan aspek-aspek religius dalam karier
Salahuddin, dengan menekankan pelaksanaan jihad dan peranannya sebagai
penguasa Sunni yang ideal. Ada berbagai peristiwa penting dalam karier
Salahuddin yang menjadi tonggak penting dalam evolusi spiritual Salahuddin
sebagai mujahid teladan. Setelah Salahuddin berkuasa di Mesir, menyusul
kematian pamannya, Syirkuh, Salahuddin membentuk kembali Islam Sunni di
Mesir dan siap memerangi kaum Frank.
Dalam kehidupan pribadinya, Salahuddin ditunjukkan sebagai orang
yang alim dan takut kepada Allah. Peran Salahuddin sebagai seorang panglima
67
dan mujahid agung mendapat tempat yang membanggakan. Ia dikenal oleh para
prajurit biasa di dalam pasukannya bukan sebagai Sultan, menciptakan ikatanikatan kesetiaan dan solidaritas, serta memperbaiki moral hukum (Carole
Hillenbrand, 2006: 219).
Di Yerusalem, Salahuddin menyuruh penduduk untuk menyerah, tetapi
menolak. Sehingga Salahuddin bersumpah membalas pembunuhan massal atas
orang Islam yang dilakukan oleh pasukan Salib. Tidak lama kemudian Yerusalem
dikepung, tentara Salib menjadi kecut dan memohon ampun kepada Salahuddin.
Hatinya menjadi lunak dan Salahuddin tidak bisa melaksanakan sumpahnya.
Salahuddin mengizinkan orang Yunani dan orang Kristen Siria tinggal di
Yerusalem. Orang Frank dan orang Latin diizinkan tinggal di Palestina dengan
tebusan yang telah ditetapkan. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan dengan ketat.
Salahuddin mengizinkan beberapa ribu orang dibebaskan tanpa tebusan.
Penaklukan kembali Yerusalem ini dapat dikatakan sebagai puncak karier
Salahuddin.
Perlakuannya terhadap umat Kristen juga tidak kalah baiknya.
Salahuddin membagikan sejumlah uang kepada orang miskin dari kaum Kristen
untuk biaya perjalanan meninggalkan Yerusalem. Dia juga menegakkan
persaudaraan antara orang Kristen dan orang Islam dengan mengizinkan orang
Kristen menikmati hak yang sama dengan umat Islam di Yerusalem, sehingga
malah menarik perhatian umat Kristen dari negeri lain yang ingin datang ke
wilayah kekuasaannya.
Perang Salib Ketiga berakhir, Salahuddin kembali ke Damaskus.
Kelelahan karena perang dan penyakit demam merenggut nyawanya pada tahun
1193. Kematiannya bagi Islam dan umat Islam merupakan suatu kemalangan,
karena ummat Islam belum pernah menderita seperti itu sejak kehilangan empat
orang Khalifah pertama. Istana, kerajaan, dan dunia diliputi duka cita yang sangat
mendalam dari rakyatnya, seluruh kota diliputi kesedihan dan mengikuti
jenazahnya diiringi dengan tangisan. Karena Salahuddin adalah seorang yang
murah hati, sangat sopan, lemah lembut, simpati, hati dan hidupnya suci, giat,
sederhana, dakyan taat beribadah, tepatlah kiranya bila disebut sebagai salah
68
seorang raja yang paling besar dan paling sopan yang pernah dihasilkan dunia
(Adang Affandi, 1995: 306). Dedikasinya terhadap Perang Salib menjadikan
Salahuddin menjadi salah satu Sultan yang dikenang oleh masyarakat Eropa.
Masyarakat
Perang Salib.
Eropa menyebut Salahuddin sebagai Saladin seorang pahlawan
Download