1. deteksi dini diabetes mellitus

advertisement
Panduan untuk layanan primer
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas –
Departemen Ilmu Penyakit Dalam –
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
bekerjasama dengan
PERKENI dan World Diabetes Foundation
Maret 2013
DETEKSI DINI DAN PENATALAKSANAAN
TUBERKULOSIS PARU &
DIABETES MELLITUS
TERINTEGRASI
TB -- DM
halaman 2
DETEKSI DINI DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS & DIABETES MELLITUS
PANDUAN UNTUK PELAYANAN PRIMER
2013 Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan PERKENI
Tim Penulis:
Dhanasari Vidiawati, Indah S Widyahening, Trevino Pakasi, Pamela A.Priyudha
Kontributor:
Pradana Soewondo, Ceva W.Pitoyo, Fathiyah Isbaniah, Erlina Burhan, Andra Aswar
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
Dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seijin penulis dan penerbit
ISBN
TB -- DM
halaman 3
DAFTAR ISI
Pengantar
1. Deteksi dini Diabetes Mellitus
2. Diagnosis Tuberkulosis pada Diabetes Mellitus
3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Diabetes Mellitus
4. Sarana
dan
prasarana
pelayanan
kesehatan
primer
untuk
penatalakasanaan Tuberkulosis dan DM terintegrasi
5. Rekam medik TB-DM
6. Program Jaminan Mutu penatalaksanaan TB DM pada layanan primer
7. Program Lintas Sektoral penatalaksanaan TB-DM
8. Pelatihan pendukung
9. Glossary
TB -- DM
halaman 4
PENGANTAR
Masalah Diabetes Mellitus (DM) terutama tipe 2, sudah menjadi beban di
masyarakat. Dengan adanya perubahan gaya hidup yang menurunkan
aktifitas fisik, ditambah dengan pemilihan makanan yang cenderung
berkarbohidrat dan lemak yang tinggi, maka diabetes mellitus tidak lagi
didominasi oleh pasien yang memang beriwayat keluarga DM. Semula
diperkirakan bahwa sebagian besar pasien DM berasal dari tingkat sosial
menengah ke atas, namun ternyata data menunjukkan bahwa DM mengenai
semua kelompok sosial masyarakat.
Dari 24.417 orang Indonesia terdapat 5,7% yang terdiagnosis DM pada saat
Riskesdas (riset kesehatan dasar) dan lebih dari separuhnya tidak
mengetahui sebelumnya bahwa kadar gula darahnya tinggi. Oleh karena itu
pada pedoman deteksi dini dan penatalaksanaan Diabetes Mellitus di
layanan primer, yang telah diterbitkan sebelum pedoman ini, layanan
primer memiliki peran yang sangat penting untuk mendeteksi secara dini
pasien yang ternyata mengalami DM.
Walau tidak terbukti bahwa pasien DM lebih tinggi kemungkinannya untuk
terkena infeksi Tuberkulosis (TB), namun ditengarai bahwa makin tingginya
kadar gula darah yang tidak terkontrol, makin besar pula risikonya untuk
terinfeksi tuberkulosis. Walau tidak terbukti bahwa DM meningkatkan risiko
rekurens TB dengan resisten obat, namun terbukti bahwa diabetes
mempengaruhi hasil pengobatan TB seperti: meningkatnya waktu yang
dibutuhkan untuk pengobatan sehingga hasil kultur kuman dalam sputum
negatif, meningkatkan risiko kematian serta risiko TB relaps. Menurut
beberapa penelitian menunjukkan bahwa 10-30 % pasien TB juga mempunyai
DM.
Di Indonesia, prevalensi TB paru per 100.000 penduduk adalah 281 dan
insidens 187i. Diagnosis TB dan penatalaksanaan TB di layanan primer masih
lemah. Menurut Riskesdas 2007, hampir 40 % pasien TB melaksanakan
TB -- DM
halaman 5
pengobatan di Puskesmas dan hampir 20 % di Klinik primer, sehingga peran
layanan primer untuk penatalaksanann TB sangat penting. Laporan WHO
2011 menuliskan bahwa di Indonesia terdapt 450.000 kasus baru setiap
tahunnya, dengan 64.000 orang meninggal karena TB tiap tahunnya.
Meningkatnya angka kejadian MDR di Indonesia, yang pada tahun 2011
adalah 1.9 % dari pasien TB baru dan pada pengobatan TB ulang menjadi 18
% dari pasien TB yaitu 6100 kasus TB MDR per tahun, membuktikan bahwa
pedoman penatalaksanaan TB yang komprehensif belum tersosialisasi
dengan baik.
Oleh karena itu, dipertimbangkan bahwa, perlu adanya panduan deteksi dini
DM dan sekaligus panduan deteksi dini TB, yang termasuk di dalamnya
panduan deteksi dini TB pada pasien DM, serta panduan deteksi dini DM
pada pasien TB. Berdasarkan pengalaman dari negara lain, seperti Taiwan,
bahwa dengan adanya edukasi dan skrining tambahan mengenai TB pada
pasien DM, maka walau jumlah pasien DM meningkat tiap tahunnya, tapi
pasien kombinasi DM TB lama kelamaan menurun.
Buku pedoman ini merupakan gabungan dari konsensus diagnosis dan
penatalaksanaan DM yang dikeluarkan oleh PERKENI pada tahun 2011, serta
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2011, yang diatur penulisannya untuk
memudahkan penggunaan dokter di puskesmas, maupun di pusat layanan
kesehatan primer lainnya, seperti dokter keluarga, dokter praktik swasta,
maupun dokter jaga 24 jam, atau tempat-tempat lain yang sejenis. Besar
harapan, bahwa buku ini dapat dipergunakan dengan baik dan tercapai
tujuannya untuk membantu pasien hidup berkualitas dengan kontrol DM dan
TB sembuh terobati dengan baik.
Sesuai dengan prinsip holistik dan komprehensif panduan ini sedapat
mungkin menunjang dokter untuk melaksanakan pencegahan primer,
sekunder, tersier dan kuartener bagi pasien dan keluarganya.
Jakarta, Maret 2013
Tim Penulis
TB -- DM
halaman 6
1. DETEKSI DINI DIABETES MELLITUS
Diketahui bahwa sebagian besar pasien Diabetes Mellitus tidak
menyadari bahwa kadar gula darahnya telah melewati batas aman untuk
tidak berkomplikasi. Kemungkinan komplikasi lebih tinggi akibat kadar gula
darah yang meningkat lebih dari 140 gr/dl darah vena pada saat tidak puasa
atau 126 gr/dl darah vena dalam keadaan puasa. Sehingga patokan kadar
darah di atas menjadi dasar penegakkan diagnosis DM.
Tingginya angka kejadian DM di Indonesia, dan terbukti bahwa
kemungkinan terkena DM di bawah usia 45 tahun cenderung meningkat pada
orang yang berisiko, maka deteksi dini DM dilaksanakan untuk semua orang
berusia 45 tahun, dan orang-orang yang berisiko saja pada usia di atas 17
tahun.
Diharapkan seluruh pusat layanan primer di Indonesia memiliki
fasilitas untuk pemeriksaan kadar gula darah, sehingga deteksi dini DM
dapat dilaksanakan dengan baik.
Kesadaran petugas kesehatan yang berada pada lini terdepan sangat
diharapkan untuk selalu menganjurkan setiap pasien yang berusia 45 tahun
keatas untuk memeriksakan gula darah sewaktu, walau dengan keluhan yang
tidak berhubungan dengan DM. Petugas kesehatan diharapkan pula
menimbang semua pasien yang berusia 17 tahun ke atas yang tampak gemuk
untuk diukur indeks masa tubuhnya. Bila indeks masa tubuh lebih dari 25
kg/m2, maka petugas kesehatan wajib menggali riwayat kesehatan yang
berkaitan dengan DM. Bila terdapat salah satu faktor risiko tersebut, maka
pasien yang berusia diantara 17-45 thn dengan IMT>25 kg/m2, dianjurkan
untuk memeriksakan kadar gula darahnya.
Untuk lebih jelasnya, deteksi dini Diabetes Mellitus tipe 2 pada layanan
primer menggunakan formulir seperti di bawah ini.
TB -- DM
halaman 7
Setelah pasien setuju untuk diperiksa kadar gula darahnya, dan dilakukan
pemeriksaan kadar gula darah, maka digunakan lembar sebagai berikut:
TB -- DM
halaman 8
Kerangka penegakkan diagnosis DM yang telah disederhanakan dari
Konsensus Penatalaksanaan DM oleh Perkeni adalah sebagai berikut:
Usia > 45 tahun, atau
Usia > 17 tahun dengan IMT > 25 kg/m2 dengan satu atau lebih faktor risiko
GDS
140 - 199
< 140
> 200
Keluhan
Keluhan
Keluhan
Keluhan
klasik (-)
klasik (+)
klasik (-)
klasik
(+)
Ulang
GDS/GDP
GDS < 200
GDS > 200
atau
atau
GDP < 126
GDP > 126
TTGO
Diabetes Mellitus
< 140
Tidak
Diabetes
Mellitus Konseling
pencegahan
1.
2.
3.
4.
5.
140 - 199
TGT
> 200
Identifikasi
penyakit penyerta
termasuk TB (lihat
algoritma 2)
Ukur lingkar perut
Penjelasan mengenai sindrom metabolik
Pengaturan pola makan
Anjuran meningkatkan aktifitas fisik
Anjuran pemeriksaan ulang 1-3 tahun lagi atau lebih cepat bila timbul
faktor risiko
Diagram 1. Skrining dan penegakkan Diabetes Mellitus Tipe 2
TB -- DM
halaman 9
Dianjurkan
pemeriksaan kadar
gula darah:
Atau seluruh pasien
berusia di antara 17-45
kg/mm2
tahun dengan BMI > 25
dan memiliki satu atau lebih faktor
risiko -->
seluruh pasien berusia 45 tahun ke atas
hipertensi
atau
riwayat
sakit KVS
aktifitas
fisik
kurang
HDL < 35
atau
Trigliserid >
250
atau
Riw
TGT/GDPT
riwayat
keluarga
DM
PENYAKIT PENYERTA PADA PASIEN DIABETES
Terbukti bahwa pasien DM akan lebih rentan untuk terkena penyakit infeksi
dan penyakit penyerta lainnya, maka pemeriksaan yang seksama untuk
pasien DM perlu dilakukan sedini mungkin. Penatalaksanaan yang cepat dan
tepat terhadap penyakit penyerta menurunkan kemungkinan tingginya kadar
gula darah yang tak terkendali.
Penyakit penyerta yang sering terjadi pada pasien DM adalah:
1. Diare
2. Infeksi/ ulkus kaki
3. Gastroparesis
4. Hiperlipidemia
5. Hipertensi
6. Hipoglikemia
7. Impotensi
8. Penyakit Jantung iskemik
9. Neuropati / gagal ginjal
10. Retinopati
11. HIV
12. Tuberkulosis
pernah
melahirkan
bayi > 4 kg
atau
DM
Gestasional
atau PCOS
TB -- DM
halaman 10
Untuk Indonesia, Tuberkulosis sebagai penyakit penyerta pada DM menjadi
sangat penting karena TB merupakan salah satu masalah kesehatan utama
pada masyarakat. Setelah sanggup turun menjadi peringkat ke 4, pada tahun
2012, Indonesia kembali menduduki peringkat ke 3 dunia setelah India dan
Cina dengan perkiraan jumlah pasien di Indonesia adalah 10 % jumlah total
pasien TB di dunia. Prevalensi kasus TB dengan sekitar 0,7 % penduduk
(Profil Kesehatan Indonesia 2009) dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)
positif dari suspek TB paru berkisar antata 10,5 – 13,01 %.
Menurut kepustakaan, dalam studi penapisan, prevalensi dan indidens TB
pada penyandang diabetes secara konsisten lebih tinggi dibanding populasi
umum atau populasi kontrol yang tidak diabetik. Beban adanya TB lebih
tinggi pada penyandang diabetes yang tergantung insulin, dibanding
diabetes yang tidak tergantung insulin.
Prevalensi diabetes pun terbukti lebih tinggi pada pasien TB dibanding
populasi umum atau populasi kontrol orang sehat.
Oleh karena itu, buku ini menyuguhkan pembaca, terutama kelompok
petugas
kesehatan
layanan
primer,
agar
sigap,
percaya
diri
dan
menyuguhkan pelayanan berkualitas tinggi dalam menghadapi pasien DM
yang siapa tau juga mengidap Tuberkulosis, dan sebaliknya pasien
Tuberkulosis diperiksa untuk kemungkinannya mengalami DM.
Pada saat seseorang didiagnosis sebagai DM, maka kemungkinan adanya
penyakit penyerta harus diselusuri dengan seksama termasuk Tuberkulosis
(TB).
TB -- DM
halaman 11
2. PENEGAKKAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
TUBERKULOSIS
Rekomendasi penatalaksanaan infeksi tuberkulosis secara internasional
(International Standrad of Tuberculosis Care / ISTC) adalah:
1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih
yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk
tuberkulosis
2. Semua pasien yang diduga menderita TB paru (dewasa, remaja dan
anak anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani
pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali
dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan
berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga menderita TB ekstra paru (dewasa, remaja
dan anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari
kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga
harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB
harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut:
negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1
kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB,
tidak ada respon terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.TB
sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasilitas, pada
kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien
dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada
anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan
TB -- DM
halaman 12
TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon
gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasilitas
harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari
batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan
fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan
obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat
sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen
pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan
paduan
obat
lini
pertama
yang
disepakati
secara
internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui.
Fase awal terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin, Pirazinamid dan
Ethambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan
adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan
Ethambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase
lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi
terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan
dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien
HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi
internasional. Fixed dose combination (dosis kombinasi tetap dalam 1
kapsul) yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan Rifampisin, yang terdiri
dari 3 obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan yang terdiri dari 4
obat yaitu INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol sangat
dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat
menelan obat
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien
berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai
antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus
TB -- DM
halaman 13
memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan
sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan
yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama
pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan
dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan.
Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing masing individu
dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung
minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem
kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru
penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x)
paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke
lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke
lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat
dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian
respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling
baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak
diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan,
respons bakteriologik dan efek samping, harus ada untuk semua
pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi
dengan kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing
HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari
penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang
rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB
dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan
HIV dan pada pasien TB dengan riwayat berisiko tinggi terpajan HIV.
TB -- DM
halaman 14
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah
mempunyai indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa
pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat
antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan
antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan
untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum
pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa
yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan
sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol
sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada
semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten
dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
sensitifity terhadap INH, Rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri
atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang
diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang
18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang
berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR
harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa
individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi
(terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan
ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan
kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten
maupun yang aktif
TB -- DM
halaman 15
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus
pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas
kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan
yang berlaku
Yang terbaru ada 21 standar
Skema Skrining dan Penegakkan Diagnosis Tuberkulosis dapat lebih
mudah dilihat pada bagan di bawah ini:
TB -- DM
halaman 16
Semua usia dengan keluhan batuk berdahak lebih dari 2 minggu*
anamnesi
s
Faktor
Faktor risiko (+) terkena TB:
risiko
Ada serumah atau setempat kerja dengan TB
Undernutrisi
Penyakit sistemik kronik mis: DM, HIV, dll
Kondisi kesehatan lain: gagal ginjal, merokok,
pengguna imunosupresan, gastrektomi,
silikosis, pengguna narkoba
Memiliki riwayat TB sebelumnya, baik telah,
pernah, atau belum
diobati
Anamnes
-
(-)
BTA
is
sputum
(SPS)
Risiko MDR (-)
BTA
BTA
BTA
(+3)
(+1)
(-)
lanjutan
Risiko MDR (+)
Tes
atau
(+2)
(+)
kultur &
Foto
(-)
sensitifit
Torax dan
RESISTEN
pertimban
g an
Antibiotik non
dokter
OAT dan
as dahak
RESISTEN
(-)
(+)
RUJU
K
bukan
Tidak flurokuinolon
ada
Ada
perbaikan
BTA
(+3)
(+2),
(+1)
BTA
n
sputu
m
(SPS)
perbaikan
BTA
(-)
n
Bukan
TB
Penatalaksanaan TB di
Diagnosis
Identifikasi apakah
tingkat primer dengan
TB
ada DM (lihat algoritma
pencatatan dan pelaporan
ditegakka
1)
yang baik
n
Diagram 2. Skrining dan penegakkan diagnosis tuberkulosis paru di
layanan primer
TB -- DM
halaman 17
Pada saat TB Paru akan ditegakkan, dokter layanan primer wajib
mengidentifikasi apakah pasien merupakan TB paru dengen resistensi obat
ganda (multiple drug resistance = MDR)
dengan melakukan serangkaian
anamnesis.
Pasien berisiko MDR bila memiliki riwayat sebagai:
(1). Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
(2). Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
(3). Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
(4). Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
(5). Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
(6). Pasien TB kambuh.
(7). Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
(8). Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
(9). ODHA dengan gejala TB-HIV.
Bila pasien berisiko MDR, maka dahak harus dilakukan kultur dan tes
sensitifitas. Bila memang telah terjadi resistensi, pasien perlu di rujuk ke
pusat terdekat yang telah ditunjuk pemerintah sebagai pusat pengobatan
MDR. Bila di sekitar tempat pelayanan tidak ada fasilitas laboratorium kultur
dan tes sensitifitas dahak, maka pasien harus dirujuk ke fasilitas
pemeriksaan tersebut secepatnya. Sebagaimana yang direncanakan oleh
pemerintah RI bahwa geneXpert akan didistribusikan ke banyak RSUD,
sehingga dalam 2 jam hasil MDR TB dapat diidentifikasi.
Pasien TB paru tanpa adanya risiko MDR diperiksa sebagaimana biasa dengan
pemeriksaan dahak tiga kali yaitu, sewaktu datang pertama kali, dahak pagi
hari
yang
dikumpulkan
mengumpulkan dahak pagi.
di
tempat
tinggal,
serta
sewaktu
datang
TB -- DM
halaman 18
Beberapa skema pada lampiran adalah skema penegakkan diagnosis
tuberkulosis ekstra paru, tuberkulosis pada anak, dan tuberkulosis pada
pasien yang berasal dari daerah endemis HIV dan AIDS, atau terucigai telah
terinfeksi HIV.
Setelah penegakkan diagnosis TB, pasien hendaknya langsung menuju
perencanaan
penatalaksanaan.
Perlu
diingat
bahwa
bagaimana
menyampaikan diagnosis yang telah ditegakkan kepada pasien, merupakan
salah satu titik penting keberhasilan pengobatan.
Selain cara penyampaian, juga sangat penting adalah isi konsultasi
pengobatan yang lengkap dan diperlukan oleh pasien. Perlu diidentifikasi
kekhawatiran, perasaan, harapan pasien mengenai pengobatan Tuberkulosis
ini. Perlu diketahui taraf pengetahuan pasien selama ini. Perlu pula
diketahui mitos, kepercayaan, sumber daya yang ada pada pasien dan
keluarganya agar tidak terjadi miskomunikasi dokter-pasien.
Untuk lebih jelasnya, berikut diagram penatalaksanaan TB yang diadopsi dan
dimodifikasi dari International Standrad of Tuberculosis Care:
Diagnosis TB telah
Breaking
bad news
ditegakkan
& konseling
Musyawarah
dengan pasien dan
pengobatan
TB
keluarga
untuk
menentukan
Identifikasi
pengaruh
sosial,
Pengawas
Minum
Obat
(PMO)
ekonomi,
budaya,
spiritual
2 bulan
pengobatan
isoniazid,
padapyrazinamide
rencana pengobatan
rifampicin,
& ethambutol
periksa pendekatan
setiap hari, dengan
sputum berobatBTA
BTA personal dan pemantauan
(+)
yang
Sisipan 28
dengan
SP/
PS
ketat
pada
3 bulan Periksa
paket isoniazid
akhir
150/75/400/2
Lanjutkan (-)
pengobatan
& rifampicin
setiap 2 BTA
sputum
Lanjutkan pengobatan
1 dengan (+)
hari sekali
SP/PS
SP/PS
SEMBU
pendekatan
personal dan
(+)
pada berobat
H pemantauan
akhir
yang
ketat
periksa
bulan ke BTA (-)
bulan paket pendekatan
isoniazidpada
& personal
Periksa
rifampicin
setiap
hari ke
dan2bulan
pemantauan
sputum
sekalidengan
berobatBTA
yang
ketat
5
hari RHZE
2
sputum
75
BTA (+)
setelah
GAGAL
SP/ PS
28 hari PENGOBATA
periksa 1
N kategori
Pengobatank
GAGAL
ategori 2
sputum
PENGOBATA
56 hari + 28
BTA
SP/
PS
N kategori 1
hari +m20
(+)
setiap
minggu
tahap
GAG
AL?
MDR
?)
TB -- DM
halaman 19
Diagram 3. Penatalaksanaan Tuberkulosis di layanan primer
TB -- DM
halaman 20
3. DETEKSI & PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS
PADA DIABETES MELLITUS
Terbukti tingginya kemungkinan pasien Diabetes Mellitus yang terpicu
kenaikkan kadar gula darahnya pada saat terinfeksi oleh Tuberkulosis, dan
sebaliknya Tuberkulosis kerap menginfeksi orang dengan kadar gula darah
yang tinggi, maka pada saat skrining untuk deteksi dini adanya kenaikkan
kadar gula darah, pada saat itu pula dilakukan skrining terhadap infeksi
tuberkulosis. Berikut pula pada saat dilakukan skrining tuberkulosis pada
pasien, sekaligus dilakukan skrining terhadap diabetes mellitus.
Berikut adalah lembar skrining awal DM sekaligus TB:
TB -- DM
halaman 21
Lembar skrining tersebut menunjukkan secara jelas, bahwa skrining DM
dilakukan dengan atau tanpa gejala yang sedang dirasakan pasien.
Berdasarkan risiko yang ada pada pasien, maka skrining DM ditawarkan
untuk dilaksanakan. Sedangkan skrining TB ditawarkan berdasarkan gejala
batuk-batuk
berdahak
yang
lebih
dari
2
minggu
tanpa
diketahui
penyebabnya.
Penting diingat oleh petugas kesehatan bahwa, pasien yang diperiksa pada
suspek TB, sekaligus ditelusuri ada tidaknya risiko DM, sehingga pada saat
yang sama akan ditegakkan diagnosis atas kedua masalah kesehatan
tersebut.
Penemuan kasus dua masalah kesehatan ini sebaiknya dilakukan secara
intensif, baik pada masyarakat umum, pelayanan kesehatan pekerja,
maupun pada pasien yang dilayani di pusat pelayanan kesehatan primer
maupun sekunder.
Pusat pelayanan kesehatan primer, termasuk klinik yang menyelenggarakan
pelayanan diabetes, yang terletak pada daerah endemis TB, seperti di
Indonesia, wajib waspada dan meningkatkan kualitas fasilitas pelayanannya
dengan memiliki ruang terbuka, berventilasi baik, dengan sinar matahari
yang masuk ke dalam setiap ruangan, serta ruang tunggu yang terbuka,
atau bila tidak memungkinkan memiliki ruang terbuka, maka ruang tertutup
tersebut harus berventilasi udara baik yang secara berkala dilakukan
upaya perawatan dengan baik .
Walau banyak pendapat yang mengatakan bahwa pengobatan tuberkulosis
pada pasien DM harus diperpanjang dibanding pada pasien non DM, serta
adanya pendapat untuk memberikan INH sebagai preventif untuk mencegah
relaps TB yang sering terjadi pada pasien DM, namun rekomendasi pada
Buku Collaborative framework for care and control of tuberculosis and
diabetes
mellitus
yang
dikeluarkan
oleh
WHO
pada
tahun
2011
TB -- DM
halaman 22
merekomendasikan dengan tegas bahwa pengobatan regimen anti TB pada
pasien DM adalah sama seperti pada pasien tanpa DM.
Sebagaimana
disadari
bahwa
keadaan
infeksi,
termasuk
TB,
dapat
meningkatkan kadar gula darah. Adanya pendapat bahwa kadar gula darah
tinggi pada saat infeksi dapat menyebabkan kesalahan diagnosis DM,
sehingga pemeriksaan kadar gula darah dilakukan pada saat infeksi
terkontrol. Namun terbukti dari penelitian, bahwa kadar gula darah yang
tinggi menyebabkan buruknya hasil pengobatan TB. Oleh karena itu, baik
pasien TB paru dengan atau tanpa BTA (+), maupun pasien TB di luar paru,
skrining terhadap Diabetes Mellitus wajib dilakukan bersamaan dengan
dimulainya pengobatan TB, selayaknya menjadi satu dalam paket
penatalaksanaan.
Belum terdapat penelitian yang memberi bukti bahwa dengan dilakukannya
skrining DM maka morbiditas dan mortalitas TB menurun, namun dengan
adanya fakta bahwa prevalensi DM pada pasien TB 2-3 kali lebih tinggi
dibanding pada populasi umum, maka di setiap pusat pelayanan kesehatan
primer yang dapat mendeteksi dan mengelola DM, wajib melakukan
skrining DM pada setiap pasien TB.
Beberapa indikator yang dapat dilaporkan dari suatu pusat pelayanan
kesehatan primer, untuk menunjukkan kegiatan kolaborasi TB-DM adalah:
1. Ada tidaknya penyelenggaraan kolaborasi penatalaksanaan TB-DM
2. Jumlah dan proporsi pasien terdiagnosis DM yang melakukan skrining
untuk batuk kronik
3. Jumlah
dan
proporsi
pasien
terdiagnosis
DM
yang
melakukan
pemeriksaan untuk TB (sputum BTA, rontgen thorax, kultur & resistensi
tes, dsb)
4. Prevalensi TB diantara pasien DM
5. Jumlah dan proporsi pasien terdiagnosis TB yang melakukan skrining DM
6. Prevalensi DM diantara pasien TB
7. Penatalaksanaan TB diantara pasien DM
TB -- DM
halaman 23
4. Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
primer untuk penatalakasanaan TB dan DM
terintegrasi
Pelayanan terintegrasi TB-DM merupakan gabungan pelayanan infeksi kronik
spesifik dengan pelayanan metabolik endokrin yang sebagian besar
merupakan pasien lansia.
Fasilitas pelayanan yang dipersiapkan haruslah fasilitas yang memenuhi
kriteria efektif efisien dan patient safety.
Oleh karena itu sarana prasarana yang harus disiapkan oleh pusat pelayanan
kesehatan adalah:
1. Sumber Daya Manusia
Standar/ Minimal
1. Seorang dokter keluarga atau dokter layanan primer yang terlatih
2. Seorang perawat merangkap manajer kasus yang terlatih
3. Seorang petugas laboratorium yang terlatih untuk pemeriksaan
gula darah sekaligus pemeriksaan mikroskopis sputum pewarnaan
gram
Optimum
Selain SDM minimum di atas, untuk dapat berjalan optimal, pusat
pelayanan kesehatan memiliki:
1. Penanggung jawab klinik
2. Petugas jaminan mutu terlatih
TB -- DM
halaman 24
3. Dokter keluarga atau dokter layanan primer paralel yang bukan
pelayanan TB-DM
4. Perawat yang bukan pelayanan TB-DM
5. Petugas
pendaftaran
dan
administrasi
yang
tersosialisasi
pelayanan TB-DM
6. Petugas depo obat yang tersosialisasi pelayanan TB-DM
7. Petugas rekam medik
8. Penjaga kebersihan yang tersosialisasi pelayanan TB-DM
Ketika program TB-DM terintegrasi akan dilaksanakan, setidaknya tim
minimum dilatih secara khusus, kemudian tim tersebut membuat
program sosialisasi pada petugas lain yang bekerja pada pusat
pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Tugas perawat yang terlatih TB-DM adalah sebagai care provider,
konselor dan pendidik. Sebagai care provider misalnya dalam
monitoring pengobatan, melakukan deteksi dini adanya efek samping
obat dan melacak dan mengembalikan kasus mangkir. Sebagai
pendidik, perawat dapat memberikan edukasi pada masyarakat
tentang gejala-gejala TB agar meningkatkan penemuan suspek TB.
Dalam fungsinya sebagai konselor, perawat dapat memberikan
alternatif solusi yang dihadapi mulai diagnosis sampai pengobatan.
Dalam hal ini perawat yang terlatih disebut sebagai manajer kasus.
Sesuai dengan protokol penatalaksanaan DM pada layanan primer,
maka tugas dan cara kerja manajer kasus dirinci sebagai berikut.
Tugas manajer kasus:
1.
Memastikan kepuasan pasien dan keluarga terhadap pelayanan
klinik
2.
Mendampingi dokter praktik dalam melakukan pemeriksaan awal
agar mengenal masalah yang ada pada setiap pasien TB- DM
TB -- DM
halaman 25
3.
Mengkoordinir alur penatalaksanaan setiap pasien agar
memperoleh pelayanan yang seharusnya didapat saat kunjungan
4.
Memantau kemajuan pasien dan melaporkan kepada dokter
pelaksana dan dokter penanggung jawab bila ditemukan kasuskasus yang perlu diperhatikan
5.
Mengingatkan pasien untuk kontrol melalui telepon atau alat
komunikasi lainnya
6.
Memastikan pencatatan bersinambung dan terpadu dalam rekam
medik
7.
Mendampingi pasien pada saat penapisan
Cara manajer kasus bekerja:
1. Dokter akan memanggil manajer kasus begitu terdiagnosisnya
pasien DM baru atau TB baru, atau keduanya,
dan menyetujui
untuk masuk dalam program penatalaksanaan terpadu TB-DM
2. Manajer kasus akan mendampingi dokter dan mencatat hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap pada pertemuan
pertama setelah didiagnosis
3. Manajer kasus akan menerima paspor pasien dari dokter dan
membawa rekam medik pasien, mengajak pasien untuk menemui
bagian-bagian lain dari pelayanan
4. Manajer kasus akan menjelaskan secara rinci apa saja yang
sebaiknya diperiksa lebih lanjut, dan perawatan apa yang
sebaiknya dilakukan. Pasien DM juga dijelaskan perlunya olahraga
dan pertemuan kelompok DM. Pasien TB akan dijelaskan mengenai
cara minum obat, efek samping yang sering ditemui, konsekuensi
putus obat, dan langkah monitoring setelah minum obat bulan ke
2, 5 dan 6.
TB -- DM
halaman 26
5. Manajer kasus akan mengantar pasien ke masing-masing bagian
pemeriksaan sesuai dengan situasi dan kondisi klinik.
6. Manajer kasus memastikan pencatatan yang dilakukan oleh semua
bagian pada paspor pasien sebelum pasien meninggalkan klinik
7. Manajer kasus memastikan pencatatan yang dilakukan semua
bagian di rekam medik sebelum rekam medik disimpan
8. Manajer kasus adalah orang yang dihubungi oleh pasien bila ada
pertanyaan-pertanyaan, membuat perjanjian pemeriksaan/kontrol
9. Pada saat penapisan, manajer kasus melakukan pendampingan
pasien hingga proses penapisan selesai.
Bila pasien terdiagnosis
sebagai DM atau TB atau keduanya, manajer kasus harus
mendampingi hingga pasien mendapatkan seluruh pelayanan yang
dibutuhkan pada hari itu. Bila pasien tidak terdiagnosis sebagai DM
atau TB, manajer kasus mengantarkan pasien kembali untuk
mendapatkan pelayanan sesuai yang diinginkannya semula
2. Ruangan
Perhatian terhadap pembagian dan keadaan ruangan pada program
TB-DM ini menjadi penting terkait masalah penyakit infeksi yang
membutuhkan sinar matahari untuk penumpasannya.
Minimum:
1. Loket pendaftaran dengan tempat tunggu di teras dengan udara
terbuka
2. Ruang tunggu yang cukup dan berventilasi baik, yang memungkinkan
untuk sekaligus digunakan sebagai ruang edukasi kelompok, sekaligus
pemeriksaan anthropometri
3. Ruang administrasi dan rekam medik
4. Ruang konsultasi dokter dan sekaligus ruang konsultasi gizi
TB -- DM
halaman 27
5. Ruang tindakan (pemeriksaan & pemeliharaan kaki) yang sekaligus
merupakan ruang pengambilan sediaan laboratorium (darah &
sputum)
Optimum:
1. Loket pendaftaran khusus pasien TB-DM yang terpisah dengan loket
pendaftaran lainnya, sehingga pasien tidak mengantri lama
2. Ruang tunggu khusus pasien TB-DM, sedapat mungkin ruangan
terbuka, bila tidak memungkinkan maka ruang berventilasi baik dan
terawat
3. Pojok triage yang dapat memeriksa antropometri dan gula darah
sewaktu
4. Ruang administrasi dan rekam medik
5. Ruang konsultasi dokter khusus pelayanan TB-DM
6. Ruang konsultasi gizi
7. Ruang pengambilan sample darah dan sputum, sedapat mungkin
memiliki jendela yang dapat dibuka lebar dan memungkinkan sinar
matahari masuk
8. Ruang tindakan untuk pemeriksaan dan pemeliharaan kaki diabetik
9. Ruang pesawat rontgen
10. Halaman untuk berolahraga bersama secara teratur
3. Perlengkapan
Dibawah
disediakan
ini
pada
merupakan
pusat
daftar
pelayanan
perlengkapan
kesehatan
yang
yang
harus
melaksanakan
pelayanan TB-DM. Tanda bintang adalah perlengkapan yang di tambah
untuk standar optimum. Daftar perlengkapan ini merupakan daftar
perlengkapan yang tercantum pada buku pedoman penatalaksanaan
TB -- DM
halaman 28
Diabetes Mellitus di layanan primer yang digabung dengan daftar
perlengkapan untuk pelayanan tuberkulosis.
Perlengkapan Umum
Tempat cuci tangan dengan air yang mengalir
Timbangan
Pita pengukur
Pengukur tinggi badan
Tensimeter
Sarung tangan disposable
Kotak penampung benda tajam habis pakai
Tabel konversi BB & TB menjadi BMI*
Sterilisator peralatan medis
Perlengkapan skrining dan monitoring
Glukosa dan albumin
Alat ukur (meter) glukosa darah beserta stripnya
Alat ukur albumin darah beserta stripnya
Bola kapas untuk mengeringkan jari pasca pengambilan darah
Strip pemeriksaan glukosa
Strip pemeriksaan protein
Strip pemeriksaan keton
Lancet disposable
Glukosa 75 g untuk TTGO (atau bisa juga diresepkan bila di apotik
setempat tersedia)*
Mikroskop dengan pembesaran 500x
Obyek glass dan penutup sebanyak 3 buah untuk setiap pasien
Pot penyimpanan dahak untuk di tempat dan di bawa pulang untuk
pemeriksaan pagi
TB -- DM
halaman 29
Pewarnaan gram dan tempat pewarnaan
Mesin rontgen*
Perlengkapan perawatan kaki
Kursi yang memungkinkan pasien menyodorkan kakinya dengan
nyaman
Bangku pendek untuk duduk perawat
Pedicure set termasuk cuticle cutter for foot nail
Under pad disposable atau dapat diganti handuk
Sikat dan batu apung gosok
Cairan NaCl, H2O2 dan Abothyl
Kasa steril, cotton buds
Sarung tangan dan apron untuk APD perawat
Handuk berwarna terang atau putih
Lampu
Kaca pembesar
Cermin untuk memperlihatkan bagian bawah kaki ke pasien
Perlengkapan Edukasi
Poster
Leaflet
Buku harian untuk monitoring
Food model gizi*
Video edukasi*
Perlengkapan Formulir
Status pasien
Register pasien
TB -- DM
halaman 30
Kartu pasien dengan informasi mengenai hari dan jam praktik serta
nomor telpon klinik
Buku perjanjian (appointment)
Surat undangan untuk pasien yang baru teridentifikasi
Perlengkapan kantor
Ruang penerimaan pasien
Meja tulis dan kursi
Lemari arsip
Ruang tunggu
Kursi tunggu
Televisi*
Komputer tersambung internet, printer*
VCD/DVD player*
Ruang konsultasi dokter
Tempat tidur periksa
Meja tulis dan kursi
Lemari obat dan peralatan
Rak buku
Ruang edukasi gizi*
Meja tulis dan kursi*
Lemari penyimpan alat peraga dan materi edukasi*
TB -- DM
halaman 31
5. REKAM MEDIK PASIEN TB-DM
Selain
sebagai
penunjang
pelayanan
yang
komprehensif
dan
bersinambung, peran rekam medik dalam pelayanan TB-DM juga harus
dapat menunjang kegiatan pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari
program penanggulangan TB nasional.
Untuk penatalaksanaan pasien DM, titik berat kegunaan rekam medik
adalah mempersingkat waktu dalam mengidentifikasi:
-
keadaan umum dan khusus pasien sejak awal terdiagnosis hingga saat
ini
-
respon penyakit terhadap penatalaksanaan yang telah dilakukan
-
penekanan pemeriksaan klinis yang harus dilakukan pada saat
kunjungan ini
-
penekanan anamnesis, konseling dan re-edukasi yang harus dilakukan
pada saat ini
-
kesulitan, keluhan, kekhawatiran, harapan dan persepsi pasien saat
ini
-
agenda kedatangan berikutnya
Untuk penatalaksanaan pasien TB, selain sama dengan pasien DM, rekam
medik juga dibutuhkan untuk mengidentifikasi secara efektif dan efisien:
-
tahap pengobatan pada saat ini
-
respon penyakit terhadap obatnya
-
memperoleh angka surveilans pasien di pusat pelayanan kesehatan ini
-
pengecekan stok obat dan kebutuhan ketersediaan obat selanjutnya
-
data rujukan dan rujukan balik
TB -- DM
halaman 32
Rekam Medik dianjurkan menggunakan sistim komputerisasi, walaupun
sistim manual tetap dapat dilakukan, sesuai dengan sistim rekam medik
yang berlaku di pusat pelayanan kesehatan primer yang bersangkutan.
Pelayanan rekam medik merupakan bagian yang sangat penting untuk
menunjang keberhasilan dan jaminan mutu program penatalaksanaan TBDM.
Lembar Rekam Medik khusus yang disiapkan adalah:
1. Lembar rekam medik pasien TB-DM
2. Lembar tindak lanjut pasien TB-DM
3. Lembar pemeriksaan kaki pasien DM
Dengan memperhatikan bahwa pelayanan TB-DM sangat memerlukan
dukungan keluarga dan sekitarnya, maka terdapat beberapa tambahan
lembar rekam medik yang dapat dilampirkan pada rekam medik pasien TBDM, yaitu:
1. Catatan Pertemuan Keluarga
2. Buku paspor TB-DM
3. Lembar laporan kunjungan rumah
Contoh rekam medik TB-DM terdapat pada lampiran 1.
TB -- DM
halaman 33
6. Program Jaminan Mutu pada pelayanan TB-DM
Program Jaminan Mutu (Quality Assurance) pada layanan kesehatan adalah
penerapan konsep profesional dalam praktik keseharian. Dalam program ini
akan tergambar rekapitulasi hasil pelayanan yang dapat dibandingkan
dengan kriteria yang telah ditentukan dan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Program jaminan mutu juga dapat sekaligus memastikan bahwa kegiatan
praktik dokter dan pelayanan kesehatan lainnya dilakukan secara sistimatis.
Pada buku panduan ini telah tercantum beberapa diagram, daftar, dan
sebagainya,
yang
kesemuanya
dapat
menjadi
tolok
ukur
dalam
melaksanakan program jaminan mutu.
Program jaminan mutu dalapat dilaksanakan oleh unsur internal maupun
eksternal.
Subyek yang akan dilakukan program jaminan mutu program TB-DM dapat
merupakan individu dokter dan petugas kesehatan dalam melaksanakan
praktik , atau jaminan mutu pelayanan program TB-DM di satu pusat
pelayanan kesehatan, atau dapat merupakan program jaminan mutu
pelayanan TB-DM di suatu daerah.
Walaupun jaminan mutu merupakan kewajiban dan tanggung jawab moral
sebagai praktisi, namun dibutuhkan ijin sukarela dari praktisi untuk dapat
dilaksanakan program jaminan mutu ini, baik oleh dirinya sendiri (auto),
atau program yang dilakukan oleh pihak ketiga dari dalam klinik, maupun
dari luar klinik.
Proses jaminan mutu yang sederhana dan seringkali dilaksanakan adalah:
1. Identifikasi dan seleksi masalah kualitas yang akan dilaksanakan
programnya
2. Identifikasi indikator
3. Susun kriteria
4. Siapkan alat bantu pengumpulan data
TB -- DM
halaman 34
5. Lakukan pengumpulan data
6. Analisa dan tentukan masalah kualitas berdasarkan data yang
terkumpul
7. Bandingkan hasil penilaian dengan kriteria
8. Lakukan langkah-langkah intervensi untuk meningkatkan kualitas
berdasarkan hasil analisa data yang terkumpul
9. Periksa hasil intervensi dengan menggunakan kriteria yang sama
apakah terdapat peningkatan kualitas
10. Tentukan masalah kualitas berikutnya berdasarkan hasil kegiatan
program di atas
TB -- DM
halaman 35
7. Program Lintas Sektoral penatalaksanaan TB-DM
Buku
Pedoman
ini
merupakan
buku
pedoman
yang
akan
disebarluaskan ke pelayanan kesehatan primer baik dalam struktur
Kementerian Kesehatan (puskesmas) maupun non struktur Kementerian
Kesehatan, baik pemerintah maupun swasta.
Pusat pelayanan kesehatan yang bukan puskesmas, seringkali tidak
merasa untuk bertanggung jawab melaporkan pelayanannya pada lintas
sektoral. Pusat pelayanan kesehatan yang berada di bawah suatu institusi
yang lebih besar, seperti pusat pelayanan kesehatan sebagai fasilitas
kesehatan TNI, Polri, PT Askes, PT Jamsostek, dan Perusahaan besar
lainnya, akan melaporkan pelayanannya hanya ke pada kantor pusat, dalam
rangka pemenuhan stok obat dan prasarana sarana lainnya. Pusat pelayanan
kesehatan primer yang mandiri, sangat jarang melaporkan pelayanannya ke
puskesmas terdekat, karena tidak adanya sistim yang jelas selama ini.
Mempertimbangkan bahwa TB dan DM, keduanya merupakan masalah
yang besar di Indonesia, dan upaya penanggulangannya merupakan upaya
penanggulangan global, maka pada penatalaksanaan TB-DM diperlukan suatu
program lintas sektoral yang jelas dan terstruktur.
Untuk program pelayanan TB, WHO menggaris bawahi adanya
kegiatan PPM yaitu Public-Private Mix, yaitu program penanggulangan TB
nasional diselenggarakan oleh semua jajaran pelayanan kesehatan dengan
cara yang sama, baik di RS pemerintah maupun swasta, Pusat pelayanan
kesehatan primer baik pemerintah maupun swasta.
Public-Private Mix
menggunakan model komprehensif 6 pilar yang terdiri atas:
1. Diagnosis
TB yang berkualitas
o Penguatan jejaring dan jaminan mutu laboratorium
TB -- DM
halaman 36
o Pemimpin: Dit BPPM, Sarana Layanan Kesehatan
2. Penguatan
sistim komunitas
o Pendanaan, komitmen, awareness masyarakat, mobilisasi
sosial, layanan pada komunitas spesifik (lapas, pesantren,
dsb)
o Pemimpin: LSM, NGO, dll
3. Distribusi
dan penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang rasional
o Penegakkan hukum dan peraturan obat
o Pemimpin: Ikatan Apotek Indonesia, Dirjen Binfar, BPOM
4. Pelayanan
DOTS oleh dokter praktik umum dan spesialis yang bekerja
mandiri
o Termasuk dalam sistim pengembangan profesi
o Pemimpin: IDI
5. Pelayanan
DOTS dasari di Puskesmas
o Penguatan sistim surveilans dan MIFA, peningkatan kualitas
layanan, meningkatkan cakupan TB-HIV, meningkatkan
cakupan TB-DM, menjangkau masyarakat di wilayah DTPK,
meningkatkan rujukan ke layanan DOTS berkualitas
o Pemimpin: Dinas Kesehatan
6. Pelayanan
DOTS di Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah
o Akreditasi rumah sakit (penerapan SPMRS TB-DOTS dan
mekanisme rujukan layanan DOTS berkualitas)
o Pemimpin: Dirjen BUK
Berikut diagram untuk menjelaskan peran masing-masing dalam PublicPrivate Mix yang diambil dari slide KNCV (salah satu NGO untuk
penanggulangan TB di Indonesia):
TB -- DM
halaman 37
PP
PB
KEMEN
IAI
IAI
IDI
IDI
KES
Daer
IAI
ah
Cab
Wila
Labang
.
swa
sta
Apo
DinKes
Provinsi
Dinas
IDI Cabang
yah
Kesehatan
DPS,
Kab/Kota
Umu
m’
Klini
PK
k
alis
M
Spesi
tek
Prat
Swa
ama
sta
/uta
Diagram 4. Jejaring
mapembinaan program
PPM TB
Asur
ansi,
WP,
NGO
RS,
B/B
Lap
Pub
KP
as/
lik,
M
Rut
TNI-
BL
K
an
POL
RI, profesi lintas sektoral pada
dan
Swa
sta
TB -- DM
halaman 38
Laporan
jumlah
kasus
yang
terdiagnosis,
ditatalaksana
dan
terkontrol
Hampir semua dokter puskesmas dan tim kesehatan di puskesmas
telah memperoleh pelatihan DOTS dan sosialisasi ISTC, serta melaporkan
temuan kasus dan penatalaksanaan ke suku dinas kesehatan, sehingga angka
TB dan DM dari layanan primer yang tertera pada Profil Kesehatan Indonesia
secara berkala dapat di lakukan.
Namun berdasarkan laporan task force TB antara Subdit TB, Kemenkes RI
dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 2009, dari 7000 orang
dokter anggota IDI yang telah ikut sosialisasi ISTC, hanya 1342 dokter yang
melaporkan temuan kasus TB nya.
Oleh karena itu, pada buku pedoman ini sekaligus akan diperlihatkan
tatacara pelaporan dan apa saja yang tercantum dalam laporan TB-DM. Akan
memudahkan bagi pusat pelayanan yang telah memiliki sistim komputerisasi
rekam medik untuk dapat mengakses laporan jumlah kasus secara otomatis.
Contoh format laporan ada pada lampiran 2.
Angka yang harus dilaporkan setiap bulannya secara berkala adalah:

Jumlah pasien TB baru

Jumlah pasien TB yang telah didiagnosis di tempat lain

Jumlah pasien DM baru

Jumlah pasien DM yang telah didiagnosis di tempat lain

Jumlah diagnosis TB yang ditemukan pada pasien DM

Jumlah diagnosis DM yang ditemukan pada pasien TB

Jumlah pasien TB yang sedang melaksanakan pengobatan

Jumlah pasien DM yang datang untuk kontrol

Jumlah pasien TB yang dinyatakan sembuh

Jumlah pasien TB yang dirujuk dan alasan rujuk

Jumlah pasien DM yang dirujuk dan alasan rujuk

Jumlah pasien TB-DM yang dirujuk dan alasan rujuk
TB -- DM
halaman 39
Berikut adalah kerangka kolaborasi DM-TB yang dirancang untuk jejaring
kerjasama:
Diagram 5. Jejaring kerjasama lintas sektoral penatalaksanaan TB-DM
TB -- DM
halaman 40
8. PELATIHAN PENATALAKSANAAN TB-DM
Pelatihan untuk pelatih perlu dilaksanakan untuk setidaknya tim minimalis
mengikuti pelatihan khusus untuk dapat melaksanakan TB-DM yang aktif dan
terintegrasi.
Dokter dilatih untuk dapat menjadi pemimpin penatalaksanaan medik TB-DM
serta koordinator hubungan lintas sektoral TB-DM.
Perawat atau bidan dilatih untuk menjadi manajer kasus di klinik dan
bertanggung jawab atas rekam medik dan paspor pasien.
Analis laboratorium dilatih untuk dapat menyelenggarakan pelayanan
terintegrasi sebagai penyelenggara pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu penegakkan diagnosis dan tindak lanjut baik pemeriksaan
mikroskopis sputum maupun kadar gula darah.
Sertifikasi dokter penatalaksana TB-DM
Dengan bekerjasama antara Dinas Kesehatan setempat, cabang Perhimpunan
Dokter Keluarga Setempat atau Perhimpunan Dokter Umum cabang
setempat atau Ikatan Dokter Keluarga provinsi setempat, dan Fakultas
Kedokteran (FK) terdekat, maka dokter yang bekerja di layanan primer
dapat memperoleh sertifikat Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan dalam
bidang TB-DM setelah mengikuti rangkaian pelatihan yang disusun.
Pelatihan ini merupakan pelatihan yang bukan hanya memperoleh SKP IDI,
tetapi sekaligus memperoleh SKS dari FK untuk di konversi pada saat dokter
terlatih berminat untuk memperoleh Program Diploma Dokter Keluarga.
Pelatihan yang dilaksanakan dalam lingkup wilayah dapat sekaligus
meningkatkan hubungan lintas sektoral dan meluaskan wawasan dokter
TB -- DM
halaman 41
praktik mengenai ketersediaan laboratorium penunjang, apotek dan rumah
sakit yang dapat dijadikan rujukan pada saat diperlukan.
Penyelenggara pelatihan dapat membuat sistim pendidikan kedokteran
berkelanjutan yang dapat memelihara hubungan dengan dokter-dokter yang
dilatih, untuk kemudian memperoleh laporan kasus yang dikelola oleh
masing-masing pusat pelayanan kesehatan.
Pada saat pelatihan, dokter mempelajari dan mendiskusikan panduan praktis
klinis TB-DM, mempresentasikan langkah persiapan pelayanan terintegrasi
TB-DM pada puskesmas/kliniknya masing-masing, dan rencana diagnosis
komunitas di daerahnya.
Pelatihan Paramedis untuk menjadi Manajer Kasus TB-DM
Paramedis yang bekerja sebagai tim penatalaksana TB-DM di layanan
kesehatan
primer
terutama
bertugas
sebagai
Manajer
Kasus
serta
bertanggung jawab atas rekam medik, monitoring & evaluasi, serta
pelaksana jaminan mutu pelayanan. Pelatihan ini merupakan salah satu
pelatihan yang merupakan pendidikan keperawatan berkelanjutan. Perawat
yang telah mengikuti pelatihan untuk pelatih dapat menjadi pelatih untuk
perawat lain di daerahnya agar terlatih banyak perawat untuk berkualifikasi
sebagai manajer kasus TB-DM.
Pelatihan Analis Laboratorium TB-DM
Analis laboratorium merupakan pegawai puskesmas minimum D3 sebagai
analis laoratorium atau orang yang terlatih khusus dalam membuat sediaan
dan memeriksakan mikroskopis pemeriksaan sputum BTA (basil tahan asam),
serta terlatih khusus untuk memeriksa kadar gula darah. Pelatihan untuk
pelatih
analis
laboratorium
TB-DM
diselenggarakan
mempersiapkan pelayanan TB-DM yang terintegrasi.
dalam
rangka
TB -- DM
halaman 42
LAMPIRAN 1. REKAM MEDIK TB-DM
TB -- DM
halaman 43
Nama pasien :
Umur:
Nama keluarga:
Tanggal lahir:
Rekam Medik TB-DM
Alamat & no.telpon:
Perusahaan
Asuransi kesehatan
Pelayanan tujuan pertama
Rujukan
Riwayat alergi
 ada  tidak ada  tidak tau
Bila ada,alergi terhadap:
Riwayat operasi & tahun
Tinggi & berat badan
cm
kg
Lingkar perut, pinggul,
cm
cm
Anamnesis
Riwayat sakit & tahun
IMT:
Tekanan darah
mmHg
Lingkar leher & aktivitas
cm
Nama dokter
Auto/aloanamnesis:
Keluhan utama saat ke pusat pelayanan
Harapan
Kekhawatiran
Keluhan tambahan:
Sesuai DM: lemah badan  kesemutan  gatal  mata kabur  disfungsi ereksi pada pria  serta pruritus
vagina pada wanita  poliuria  polidipsi  polifagi  penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya 
Sesuai TB: dahak berdarah  dahak berwarna hijau  demam malam hari  berkeringat malam tanpa sebab yang
jelas
Riwayat penyakit /keluarga dengan DM, bagaimana hubungannya:
Riwayat orang sekitar dengan TB, bagaimana pertemuannya:
Faktor risiko yang dimiliki/dialami pasien ,kapan diketahui serta intervensi apa yang telah dilakukan
- Hipertensi
tidak , ya  ………………………………
- HDL < 30 mg/dl
tidak , ya  ………………………………
- Trigliserida >250 mg/dl
tidak , ya  ………………………………
- Riwayat melahirkan > 4kg
tidak , ya  ………………………………
- Riwayat Diabetes Mellitus Gestsional
tidak , ya  ………………………………
TB -- DM
halaman 44
- Riwayat PCOS (polycystic ovary syndrome)
tidak , ya  ………………………………
- Riwayat TGT (toleransi glukosa terganggu)
tidak , ya  ………………………………
- GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)
tidak , ya  ………………………………
- Riwayat Sakit Kardiovaskuler
tidak , ya  …………….……………….
- Bekerja/hidup di rumah sakit, penjara, daerah kumuh, penampungan,dll,
tidak , ya  ……………………….……
- Riwayat narkoba
tidak , ya  ……………………………
- Penyakit sistemik lain, HIV, dll
tidak , ya  ……………………………
- Kondisi kesehatan lain: (Gagal ginjal, merokok, pengguna imunosupresan, gastrektomi, silikosis, malnutrisi)
tidak , ya  …………………………………..
- Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS. tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB kambuh.
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
tidak , ya  …………………………………..
- Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
tidak , ya  …………………………………..
- ODHA dengan gejala TB-HIV
tidak , ya  …………………………………..
Pemeriksaan
Fisik
Keadaan umum:
Tingkat kesadaran:  compos mentis
 kesadaran menurun
TB -- DM
halaman 45
Tampak kesakitan
Tekanan darah:
 ya  tidak
mmHg Nadi:
Gangguan berjalan:  ya  tidak
x/menit
Pernafasan:
x/menit
Suhu:
C
Pembesaran Kelenjar getah bening:  leher  submandibula  ketiak  mandibula  ukuran,nyeri,jumlah,lekat
Mata:
Telinga:
Hidung:
Tenggorokan:
Gigi geligi & gusi:
Leher:
Dada: paru & jantung:
Abdomen
Ekstremitas atas:
Ekstremitas bawah:
Rincian temuan dalam pemeriksaan fisik (status lokalis)
organ yang diperhatikan:
Diagnosis Holistik
Aspek personal :
Aspek klinik (+ kode ICPC)
TB -- DM
halaman 46
Aspek risiko internal
Aspek psikososial dan lingkungan:
Derajat fungsional: 1
2
3
4
5
TB -- DM
halaman 47
Rencana Penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang:
 kadar gula darah puasa
…………
 kadar gula darah 2 jam pp
…………
 dahak sewaktu 1
…………
 dahak pagi
…………
 dahak sewaktu 2
………….
 Rontgen Thorax
………….
Rincian pemeriksaan penunjang lainnya
Hasil pemeriksaan penunjang: dilakukan pada tanggal :
Diagnosis setelah pemeriksaan penunjang:
Kode ICPC:
Faktor internal pada pasien:
Faktor eksternal pada keluarga, pekerjaan, lingkungan, dsb:
Rencana intervensi
1
Medikamentosa
Indikator keberhasilan dan dalam berapa lama
2
Edukasi gaya hidup, cara minum obat dll
Penerimaan dan tanggapan pasien
3
Rencana tindak lanjut
Komitmen pasien:
TB -- DM
halaman 48
Tanggal untuk kembali:
Alasan pemeriksaan fisik/penunjang pada saat
kembali:
Catatan konseling
Yang menerima konseling:
Informed consent: tandatangan pasien dan nama jelas
Tgl dan jam dilaksanakan:
Laporan konseling
(
)
Catatan obat dan pemeliharaan yg harus diperhatikan pasien:
Catatan pertemuan keluarga
Hadir dalam pertemuan keluarga
Informed consent: tandatangan pasien dan nama jelas
Tgl dan jam dilaksanakan:
Laporan pertemuan keluarga:
Edukasi yang diberikan:
(
Catatan yg harus diperhatikan keluarga:
Pertanyaan keluarga yang perlu dicatat:
)
TB -- DM
halaman 49
Kesepakatan hasil pertemuan keluarga:
Download