Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 Usia pasien kaitannya dengan klinikopatologi Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut 1 2 3 4 Siti Hamidatul ‘Aliyah , Nelsiani To’bungan , Jajah Fachiroh , Nastiti Wijayanti 1 Program Studi Farmasi, STIKES Harapan Ibu Jambi 2 Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada 4 Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Latar Belakang : Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut merupakan neoplasma maglina yang berkembang dari keratinosit suprabasal maglina. Karsinoma sel skuamosa rongga mulut disebabkan oleh rokok, konsumsi alkohol, faktor genetik (mutasi p53) maupun infeksi human papillomavirus. Penelitian mengenai Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia pasien dengan gambaran klinikopatologi Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data penelitian diperoleh berupa data demografi yaitu usia pasien, serta gambaran klinikopatologi yang berupa data stadium dan diferensiasi dari pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil: Berdasarkan data demografi 22 orang pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut sebanyak 59,09% berjenis kelamin laki-laki dan 40,91% adalah perempuan dengan rentang usia kurang dari sama dengan 60 tahun yaitu sebesar 81,82% sedangkan sisanya adalah berusia lebih dari 60 tahun. Gambaran klinikopatologi pasien SCC dengan usia ≤60 tahun, sebanyak 59,09% stadium III, 13,64% stadium II dan 27,27% stadium I dengan 44,44% memiliki derajat diferensiasi yang baik, 11% sedang, 27,78% pasien buruk dan sisanya tidak teridentifikasi. Pasien dengan usia >60 tahun sebanyak 50% ditemukan pada stadium II dan 50% stadium III dengan 50% memiliki derajat diferensiasi baik, dan 50% buruk. Kesimpulan : Tidak ada kaitan antara usia pasien dengan stadium dengan gambaran klinikopatologi pada Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Hal ini dikarenakan kondisi internal dalam tubuh dari setiap orang yang berbeda-beda. Kata Kunci : Squamous Cell Carcinoma, Usia, klinikopatologi, stadium. PENDAHULUAN Data dari World Health Organization (WHO) yang diterbitkan pada tahun 2008 menyebutkan bahwa sebanyak 7,6 juta jiwa penduduk dunia meninggal karena kanker, 70% kasus kematian karena kanker ini terjadi pada negara-negara berkembang dan hanya 30% yang berhasil ditangani1. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) tahun 2007 yang diterbitkan oleh Depkes (2008) menyatakan bahwa pevalensi kanker kepala dan leher di Indonesia cukup tinggi, yaitu menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan kanker yang terdapat pada pria maupun wanita2. Salah satu contoh bentuk kanker kepala dan leher yaitu Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Squamous Cell Carcinoma (SCC) merupakan perubahan aktivitas dari epitelium mukosa yang menjadi ganas baik membentuk sel keratinosit maupun tidak 3. Neoplasma ini merupakan neoplasma jenis maglina non melanoma terbanyak setelah karsinoma sel basal. Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena merokok, konsumsi minuman beralkohol, infeksi virus dan faktor genetis 4,5,6,7,8. Penggunaan tembakau dan alkohol yang berlebihan menyebabkan terjadinya tumortumor yang berasal dari sel skuamosa. Perubahan pada p53 baik karena mutasi, metilasi atau sekuestrasi pada sitoplasma dan inaktivasi pada TP53 merupakan penyebab terjadinya sejumlah kasus kanker pada manusia9. Sejumlah peneliti telah menganalisis secara molekular dan melaporkan bahwa 50-70% tumor pada manusia karena adanya mutasi p539. Disamping penggunaan tembakau dan alkohol yang belebihan, Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut disebabkan infeksi human papillomavirus (HPV)10. 124 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 Paradigma baru menjelaskan bahwa pasien kanker kepala dan leher pada laki-laki yang bukan perokok dan tidak mengkonsumsi alkohol dengan rentang usia antara 40 hingga 60 tahun adalah positif HPV. Sebanyak 70% HPV 16 ditemukan di orofarings pada kanker kepala dan leher. Pada saluran sinonasal, HPV 16 ditemukan 20% pada Squamosa-Cell Carsinoma (SCC)11. Stadium karsinoma merupakan hal yang esensial dalam menentukan penanganan maupun prognosis. Banyak pendapat pembagian stadium, tergantung pada aspek yang dinilai. Keterlambatan penanganan menjadi salah satu penyebab besarnya kasus kematian pada penyakit kanker. Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut sering kali terdeteksi setelah memasuki stadium yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena minimnya gejala serta masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemerikasaan kanker sejak dini. Stadium kanker yang digunakan yaitu stadium TNM merupakan metode penentuan stadium tumor yang ditemukan oleh Pierre Denoix pada 1940. Stadium ini menyangkut ukuran tumor (T), pembesaran nodus limfa terdekat (N) dan metastasis kanker (M). Penentuan stadium kanker meliputi 3 parameter tersebut12. Gambaran klinikopatologis yang menentukan tingkat keparahan Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut selain stadium yaitu derajat diferensiasi. Diagnosis Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut yang telah ditegakkan berdasarkan penentuan derajat diferensiasi diferensiasi akan berguna untuk perencanaan pengobatan, dan sebagai sarana pertukaran informasi antar berbagai pusat pengobatan karsinoma. Diagnosis berdasarkan tingkat keganasan atau stadium didasari oleh angka kesembuhan penderita karsinoma. Angka kesembuhan pasien karsinoma lebih besar pada stadium dini daripada angka kesembuhan pada stadium lanjut karena tumor telah bermetastasis18. Semakin lanjut usia terkena Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut, semakin tinggi stadium dan diferensiasi karsinoma se sehingga pengobatan jauh lebih sulit. Lebih dari separuh penderita Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut datang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta sudah dalam stadium lanjut sehingga hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai usia pasien kaitannya dengan gambaran klinikopatologi Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker Nasional pada Januari 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data hasil penelitian berupa data demografi pasien dan gambaran klinikopatologi. Data demografi berupa data usia pasien sedangkan gambaran klinikopatologi pasien berupa data stadium dan derajat diferensiasi pasien Squamous Cell Carsinoma (SCC) rongga mulut. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif. HASIL Berdasarkan data demografi 22 orang pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di rumah sakit Dharmais pada Oktober 2013 - Januari 2014 sebanyak 59,1% berjenis kelamin laki-laki dan 40,9% adalah perempuan dan sebagian besar respoden memiliki usia < 60 tahun yaitu 18 (81,82%) (Tabel 1). Data stadium menunjukkan bahwa 59,9% pasien SCC rongga mulut yang berobat dideteksi berada pada stadium III, 13,6% stadium II, dan 27,3% stadium I. Dapat diketahui 45,5% SCC rongga mulut memiliki derajat diferensiasi baik, 9,09% sedang, 31,8% buruk sedangkan sebanyak 13,6% tidak teridentifikasi derajat diferensiasinya (Tabel 1). Klinikopatologi SCC rongga mulut disajikan pada Tabel 2. Dari 22 pasien SCC rongga mulut, 18 pasien berusia ≤ 60 tahun. Sebanyak 61,1% pasien SCC rongga mulut dengan usia ≤ 60 tahun berada pada stadium III, 5,6% stadium II dan 33,3% stadium I. 125 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 Tabel 1. Distribusi jenis kelamin, usia, stadium dan differensiasi sel pasien SCC rongga mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker Nasional, Januari Tahun 2014 (n=22) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Variabel 13 9 59,1 40,9 Usia < 60 tahun > 60 tahun 18 4 81,8 18,2 Stadium I II III 6 3 13 27,3 13,6 59,1 Differensiasi sel Baik Sedang Buruk Tidak teridentifikasi 10 2 7 3 45,5 9,1 31,8 13,6 Tabel 2. Distribusi usia pasien dengan stadium dan derajat differensiasi pasien SCC rongga mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker Nasional, Januari Tahun 2014 Derajat Differensiasi No 1 2 Usia Pasien Stadium ≤ 60 III √ > 60 Baik Sedang Buruk Tdk teridentifikasi Frekuensi % I √ √ √ √ 6 33,3 II √ 1 5,6 11 61,1 IV 0 0,0 I 0 0,0 2 50,0 2 50,0 0 0,0 √ √ √ II III √ √ IV Derajat differensiasi dari pemeriksaan pasien SCC rongga mulut dengan usia < 60 tahun diketahui 4 orang dengan derajat diferensiasi baik, 1 orang sedang, 4 orang buruk dan 2 dtidak teridentifikasi. Sedangkan stadium II, 1 orang pasien dengan derajat diferensiasi baik, stadium I sebanyak 3 orang pasien dengan derajat diferensiasi baik, 1 sedang, 1 buruk dan 1 tidak teridentifikasi. Pada pasien dengan usia >60 tahun diketahui 50% berada pada stadium III dengan diferensiasi baik dan 50% berada pada stadium II dengan diferensiasi yang buruk (Tabel 2). PEMBAHASAN Persentase pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut pada lakilaki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan meskipun perbedaannya tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan karena tingkat konsumsi rokok dan alkohol di Indonesia pada laki-laki jauh lebih banyak dari pada perempuan. Berdasarkan data WHO (2013), prevalensi penduduk usia dewasa yang merokok setiap hari di Indonesia sebesar 29% yang menempati urutan pertama se-Asia Tenggara. Sejalan dengan data hasil survei Global Adults 126 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, Indonesia memiliki jumlah perokok aktif terbanyak dengan prevalensi perokok lakilaki sebesar 67% (57,6 juta) dan prevalensi perokok wanita sebesar 2,7% (2,3 juta). Pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di rumah sakit Dharmais didominasi oleh pasien dengan rentang usia relatif muda, kurang dari sama dengan 60 tahun yaitu sebesar 81,82% sedangkan sisanya adalah berusia lebih dari 60 tahun (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian Leemans et al (2011), bahwa pasien kanker kepala dan leher pada lakilaki yang bukan perokok dan tidak mengkonsumsi alkohol dengan rentang usia antara 40 hingga 60 tahun karena positif HPV. Infeksi HPV pada Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut membuktikan bahwa HPV berperan dalam pada perubahan epitelium rongga mulut. Meskipun sebagian besar kasus Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di seluruh dunia disebabkan karena konsumsi tembakau dan alkohol tetapi di negaranegara bagian Barat yang sudah berhasil mengontrol konsumsi tembakau dan alkohol, dilaporkan ada peningkatan jumlah penderita oropharyngeal squamous cell carcinoma (OPSCC) yang masih berusia relatif muda, hingga 60% dikarenakan infeksi HPV yang disebabkan oleh perubahan perilaku seksual. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa HPV 16 positif frekuensinya lebih tinggi dibanding HPV 16 negatif pada pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut yang bukan perokok dan bukan pengkonsumsi alkohol13. Perilaku seks berhubungan erat dengan Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut HPV positif seperti yang dilaporkan oleh D’Souza et al (2007) bahwa 100 individu penderita kanker oropharing sebagian besar karena perilaku oral seks maupun oral-vaginal seks14, selain itu Gillison et al (2008) melaporkan bahwa 240 individu penderita kanker oropharing dengan HPV 16 positif karena peningkatan perilaku oral seks dan oral-anal15. Gambaran klinikopatologi pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut meliputi data stadium dan derajat diferensiasi. Data stadium disajikan pada Tabel 3. Data stadium menunjukkan bahwa 59,09% pasien SCC rongga mulut yang berobat dideteksi berada pada stadium III, 13, 64% stadium II, dan 27,27% stadium I. Semakin tinggi stadium kanker, semakin tinggi pula tingkat keparahannya 18. Beberapa faktor yang mempengaruhi keterlambatan seorang seorang saat terdiagnosis SCC rongga mulut diantaranya pengetahuan, tingkat pendidikan, dan sikap. Diagnosis berdasarkan stadium akan mempengaruhi angka kesembuhan pasien. Angka kesembuhan pasien karsinoma lebih besar pada stadium dini daripada angka kesembuhan pada stadium lanjut karena tumor telah bermetastasis17. Prognosis SCC rongga mulut seperti pada kanker lainnya bergantung pada penegakkan diagnosis secara dini, semakin awal diagnosis ditegakkan maka semakin baik prognosisnya. Selain data stadium, derajat diferensiasi yang juga penting untuk menetukan tindakan terapi yang akan diberikan kepada pasien. Penanganan pasien kanker meliputi pembedahan, radiasi ataupun kemoterapi19. Derajat diferensiasi Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut juga diperoleh melalui pemeriksaan patologi anatomi melalui pemeriksaan mikroskopis. Derajat diferensiasi memberikan gambaran jumlah sel yang mengalami mitosis, perbedaan antara sel normal dengan sel ganas serta susunan homogenitas sel. derajat diferensiasi ini menentukan sejauh mana karsinoma tersebut menginvasi tubuh penderita, atau tingkat keganasan dari krsinoma yang menyerang. Sel dikatakan semakin ganas apabila perubahan bentuk menjadi tak terkendali dan kemiripan dengan sel normal semakin kecil18,12. Derajat diferensiasi baik artinya jumlah sel yang bermitosis sedikit sehingga dapat dikatakan prognosis baik. Sementara derajat diferensiasi buruk mempunyai prognosis yang lebih buruk, sel yang bermitosis sangat mudah ditemukan karena 127 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 diferensiasi sel karsinoma buruk atau bahkan tidak berdiferensiasi17. Hubungan antara usia dengan gambaran Pasien berusia muda dengan tingkat stadium yang tinggi dan derajat diferensiasi yang buruk menggambarkan keganasan sel karsinoma tersebut, sehingga prognosisnya juga buruk. Beberapa penelitian terkait dengan SCC rongga mulut menyatakan bahwa derajat diferensiasi yang buruk berhubungan dengan infeksi HPV20,21,22. Beberapa literatur mengemukakan kecendrungan SCC rongga mulut dengan HPV positif terjadi pada usia yang lebih muda 5 tahun dari SCC rongga mulut HPV negatif. Namun, dalam penelitian ini belum dapat menunjukkan hubungan antara usia pasien dengan gambaran klinikopatologi rongga mulut23. Beberapa penelitian menyatakan bahwa SCC rongga mulut yang positif HPV, mempunyai karakteristik yang berbeda dengan SCC rongga mulut yang diakibatkan oleh faktor risiko utama seperti tembakau dan alkohol. Selain gambaran klinis yang berbeda, tumor ini juga berbeda dalam derajat histopatologis serta biologi molekuler yang berdampak pada respon terapi dan prognosis20,21. Terkait dengan prognosis, sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan SCC rongga mulut yang positif mengandung HPV mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan SCC rongga mulut yang tidak mengandung HPV. Pasien tersebut mempunyai risiko kematian 60% sampai 80% lebih kecil dibandingkan dengan pasien penderita SCC rongga mulut HPV negatif24. Stadium tidak selalu berbanding lurus dengan derajat diferensiasi. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan imunitas pada masing-masing pasien. Faktor imunitas yang lemah menyebabkan karsinoma dapat terus tumbuh dan terhindar dari serangan sistem imun25. Sel yang mengalami transformasi maligna dapat mengalami perubahan fenotip dari sel normal dan hilangnya komponen antigen permukaan. Perubahan tersebut akan menimbulkan respon imun. perubahan pada antigen sel sehingga pejamu tidak memberikan respon imun yang diharapkan26,27,28. Imunitas seluler pada kanker lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral. Namun tubuh juga membentuk antibodi terhadap antigen kanker. Efektor imun humoral terhadap sel kanker adalah melalui lisis oleh antibodi dan komplemen, opsonisasi melalui antibodi dan komplemen, serta hilangnya adhesi oleh antibodi. Sedangkan mekanisme seluler terhadap sel kanker adalah destruksi oleh sel T sitotoksik, destruksi oleh sel NK (Natural Killer) dan destruksi oleh makrofag. Sel kanker yang mengekspresikan antigen dapat memacu sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel kanker29. Untuk melihat kembali hubungan antara usia pasien dengan gambaran klinikopatologi SCC rongga mulut dapat dilakukan penambahan sampel penelitian. Sampel yang lebih banyak dapat menghasilkan keluaran yang lebih bermakna. KESIMPULAN Tidak ada kaitan antara usia pasien dengan stadium dan derajat diferensiasi pada Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Hal ini dikarenakan kondisi internal dalam tubuh dari setiap orang yang berbeda-beda. DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. IARC TP53 Data Base. WHO; 2013. http://p53.iarc.fr/.aspx. Diakses tanggal 2 Juni 2013. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep Kes RD 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Laporan Nasional Kemenkes; 2007. 3. Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D. Pathology and Genetics of Head and Neck Tumours [Internet]. WHO Classification of Tumour. 2005. 163-175 p. Available from: Available from:http://www.iarc.fr/en/publications/p dfs-online/pat-gen/bb9/index.php 4. Shen H, Zheng Y, Sturgis EM, Spitz MR, Wei Q. P53 codon 72 128 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. polymorphism and risk of squamous cell carcinoma of the head and neck: A case-control study. Cancer Lett. 2002; 183(2):123–30. Kabat GC, Chang CJ, Wynder EL. The role of tobacco, alcohol use, and body mass index in oral and pharyngeal cancer. Int J Epidemiol. 1994; 23(6):1137–44. Blot WJ, McLaughlin JK, Winn DM, Austin DF, Greenberg RS, PrestonMartin S, et al. Smoking and drinking in relation to oral and pharyngeal cancer. Cancer Res. 1988; 48(11):3282–7. Sankaranarayanan R, Nair MK, Mathew B, Balaram P, Sebastian P, Dutt SC. Recent results of oral cancer research in Kerala, India. Head Neck. 1992; 14(2):107–12. McKaig RG, Baric RS, Olshan AF. Human papillomavirus and head and neck cancer: epidemiology and molecular biology. Head Neck. 1998; 20(3):250–65. Partridge M, Costea DE, Huang X. The changing face of p53 in head and neck cancer. International Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. 2007; p. 1123–38. Van de Velde N, Brisson M, Boily M-C. Modeling human papillomavirus vaccine effectiveness: quantifying the impact of parameter uncertainty. Am J Epidemiol. 2007; 165(7):762–75. Leemans CR, Braakhuis BJM, Brakenhoff RH. The molecular biology of head and neck cancer. Nat Rev Cancer. 2010;11(1):9–22. Patel SG, Shah JP. TNM staging of cancers of the head and neck: striving for uniformity among diversity. CA Cancer J Clin. 2005; 55(4):242–58; quiz 261–2, 264. Hafkamp HC, Manni JJ, Speel EJ. Role of Human Papillomavirus in the Development of Head and Neck Squamous Cell Carcinomas. Acta Otolaryngol. 2004; 124(4):520–6. D’Souza G, Kreimer AR, Viscidi R, Pawlita M, Fakhry C, Koch WM, et al. Case-control study of human papillomavirus and oropharyngeal 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 129 cancer. N Engl J Med. 2007; 356(19):1944–56. Gillison ML, Shah K V. Human papillomavirus-associated head and neck squamous cell carcinoma: mounting evidence for an etiologic role for human papillomavirus in a subset of head and neck cancers. Curr Opin Oncol. 2001; 13(3):183–8. Muñoz N, Castellsagué X, de González AB, Gissmann L. Chapter 1: HPV in the etiology of human cancer. Vaccine. 2006; 24(SUPPL. 3). Pringgoutomo S, Himawan S, & Tjarta A. Buku Ajar Patologi I (Umum) (1 ed.). Jakarta: Sagung Seto; 2006. Kusuma R, Miranti IP. 2009. Derajat Diferensiasi Histopatologik pada Kejadian Rekurensi Kanker Serviks. Semarang: Universitas Diponegoro; 2009 Chamim. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. In: M Farid Aziz, Adrijojo, Abdul Bari Saifuddin, editors. Penentuan stadium klinik dan pembedahan kanker ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. Chocolatewala NM, Chaturvedi P. Role of human papilloma virus in the oral carcinogenesis: an Indian perspective. J Cancer Res Ther. 2013; 5(2):71–7. Fakhry C, Gillison ML. Clinical implications of human papillomavirus in head and neck cancers. J Clin Oncol. 2006; 24(17):2606–11. Strome SE, Savva A, Brissett AE, Gostout BS, Lewis J, Clayton AC, et al. Squamous cell carcinoma of the tonsils: a molecular analysis of HPV associations. Clin Cancer Res. 2002;8(4):1093–100. Rebhan M. p-53 tumor suppressor in. [email protected] Mulyani H, Yanwirasati, Agus S. Hubungan Ekspresi E6 Human Papillomavirus 16/18 dengan Derajat Differensiasi Karsinoma Sel Skuamosa pada Kepala dan Leher serta Korelasinya dengan Ekspresi Ki-67. Majalah Patologi. 2011;20(1): 37-41 Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni 2015 25. To’bungan, N., Aliyah, S.H., Wijayanti, N., Fachiroh, J. Epidemiologi, Stadium, dan Derajat Diferensiasi Kanker Kepala dan Leher. Biogenesis. 2015; 3(1): 4752. 26. Kresno SB. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed.3. Jakarta: FKUI; 1996. 27. Robbins dan Kumar. Buku Ajar Patologi II. Ed.4. Jakarta: EGC; 1995. 28. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology. 4th ed. USA: WB Saunders; 2000. 29. Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar. Ed.7. Jakarta: FKUI; 2006 130