PDF - stikes harapan ibu jambi

advertisement
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
Usia pasien kaitannya dengan klinikopatologi Squamous Cell Carcinoma (SCC)
rongga mulut
1
2
3
4
Siti Hamidatul ‘Aliyah , Nelsiani To’bungan , Jajah Fachiroh , Nastiti Wijayanti
1
Program Studi Farmasi, STIKES Harapan Ibu Jambi
2
Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
3
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
4
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Latar Belakang : Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut merupakan neoplasma maglina yang
berkembang dari keratinosit suprabasal maglina. Karsinoma sel skuamosa rongga mulut disebabkan
oleh rokok, konsumsi alkohol, faktor genetik (mutasi p53) maupun infeksi human papillomavirus.
Penelitian mengenai Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di Indonesia masih sangat
terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia pasien dengan gambaran
klinikopatologi Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data penelitian diperoleh berupa data demografi
yaitu usia pasien, serta gambaran klinikopatologi yang berupa data stadium dan diferensiasi dari pasien
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Data dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Berdasarkan data demografi 22 orang pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut
sebanyak 59,09% berjenis kelamin laki-laki dan 40,91% adalah perempuan dengan rentang usia kurang
dari sama dengan 60 tahun yaitu sebesar 81,82% sedangkan sisanya adalah berusia lebih dari 60
tahun. Gambaran klinikopatologi pasien SCC dengan usia ≤60 tahun, sebanyak 59,09% stadium III,
13,64% stadium II dan 27,27% stadium I dengan 44,44% memiliki derajat diferensiasi yang baik, 11%
sedang, 27,78% pasien buruk dan sisanya tidak teridentifikasi. Pasien dengan usia >60 tahun
sebanyak 50% ditemukan pada stadium II dan 50% stadium III dengan 50% memiliki derajat diferensiasi
baik, dan 50% buruk.
Kesimpulan : Tidak ada kaitan antara usia pasien dengan stadium dengan gambaran klinikopatologi
pada Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut. Hal ini dikarenakan kondisi internal dalam tubuh
dari setiap orang yang berbeda-beda.
Kata Kunci
: Squamous Cell Carcinoma, Usia, klinikopatologi, stadium.
PENDAHULUAN
Data dari World Health Organization
(WHO) yang diterbitkan pada tahun 2008
menyebutkan bahwa sebanyak 7,6 juta jiwa
penduduk dunia meninggal karena kanker,
70% kasus kematian karena kanker ini
terjadi pada negara-negara berkembang dan
hanya 30% yang berhasil ditangani1.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Rikesda) tahun 2007 yang diterbitkan oleh
Depkes (2008) menyatakan bahwa pevalensi
kanker kepala dan leher di Indonesia cukup
tinggi, yaitu menduduki urutan keempat dari
seluruh keganasan kanker yang terdapat
pada pria maupun wanita2. Salah satu
contoh bentuk kanker kepala dan leher yaitu
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga
mulut.
Squamous Cell Carcinoma (SCC)
merupakan
perubahan
aktivitas
dari
epitelium mukosa yang menjadi ganas baik
membentuk sel keratinosit maupun tidak 3.
Neoplasma ini merupakan neoplasma jenis
maglina non melanoma terbanyak setelah
karsinoma sel basal. Squamous Cell
Carcinoma (SCC) rongga mulut disebabkan
oleh banyak faktor diantaranya karena
merokok, konsumsi minuman beralkohol,
infeksi virus dan faktor genetis 4,5,6,7,8.
Penggunaan tembakau dan alkohol yang
berlebihan menyebabkan terjadinya tumortumor yang berasal dari sel skuamosa.
Perubahan pada p53 baik karena mutasi,
metilasi atau sekuestrasi pada sitoplasma
dan inaktivasi pada TP53 merupakan
penyebab terjadinya sejumlah kasus kanker
pada manusia9. Sejumlah peneliti telah
menganalisis
secara
molekular
dan
melaporkan bahwa 50-70% tumor pada
manusia karena adanya mutasi p539.
Disamping penggunaan tembakau dan
alkohol yang belebihan, Squamous Cell
Carcinoma (SCC) rongga mulut disebabkan
infeksi human papillomavirus (HPV)10.
124
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
Paradigma baru menjelaskan bahwa pasien
kanker kepala dan leher pada laki-laki yang
bukan perokok dan tidak mengkonsumsi
alkohol dengan rentang usia antara 40
hingga 60 tahun adalah positif
HPV.
Sebanyak 70% HPV 16 ditemukan di
orofarings pada kanker kepala dan leher.
Pada saluran sinonasal, HPV 16 ditemukan
20% pada Squamosa-Cell Carsinoma
(SCC)11.
Stadium karsinoma merupakan hal
yang
esensial
dalam
menentukan
penanganan maupun prognosis. Banyak
pendapat pembagian stadium, tergantung
pada aspek yang dinilai. Keterlambatan
penanganan menjadi salah satu penyebab
besarnya kasus kematian pada penyakit
kanker. Squamous Cell Carcinoma (SCC)
rongga mulut sering kali terdeteksi setelah
memasuki stadium yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena minimnya gejala serta
masih kurangnya kesadaran masyarakat
untuk melakukan pemerikasaan kanker sejak
dini. Stadium kanker yang digunakan yaitu
stadium TNM merupakan metode penentuan
stadium tumor yang ditemukan oleh Pierre
Denoix pada 1940. Stadium ini menyangkut
ukuran tumor (T), pembesaran nodus limfa
terdekat (N) dan metastasis kanker (M).
Penentuan stadium kanker meliputi 3
parameter tersebut12.
Gambaran
klinikopatologis
yang
menentukan tingkat keparahan Squamous
Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut selain
stadium yaitu derajat diferensiasi. Diagnosis
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga
mulut yang telah ditegakkan berdasarkan
penentuan derajat diferensiasi diferensiasi
akan
berguna
untuk
perencanaan
pengobatan, dan sebagai sarana pertukaran
informasi antar berbagai pusat pengobatan
karsinoma. Diagnosis berdasarkan tingkat
keganasan atau stadium didasari oleh angka
kesembuhan penderita karsinoma. Angka
kesembuhan pasien karsinoma lebih besar
pada
stadium
dini
daripada
angka
kesembuhan pada stadium lanjut karena
tumor telah bermetastasis18.
Semakin lanjut usia terkena Squamous
Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut,
semakin tinggi stadium dan diferensiasi
karsinoma se sehingga pengobatan jauh
lebih sulit. Lebih dari separuh penderita
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga
mulut datang berobat di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta sudah dalam stadium
lanjut sehingga hasil pengobatan tidak
seperti yang diharapkan. Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
maka
dilakukan
penelitian mengenai usia pasien kaitannya
dengan gambaran klinikopatologi Squamous
Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit
Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker
Nasional pada Januari 2014. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif. Data hasil
penelitian berupa data demografi pasien dan
gambaran klinikopatologi. Data demografi
berupa data usia pasien sedangkan
gambaran klinikopatologi pasien berupa data
stadium dan derajat diferensiasi pasien
Squamous Cell Carsinoma (SCC) rongga
mulut. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara deskriptif.
HASIL
Berdasarkan data demografi 22 orang
pasien Squamous Cell Carcinoma (SCC)
rongga mulut di rumah sakit Dharmais pada
Oktober 2013 - Januari 2014 sebanyak
59,1% berjenis kelamin laki-laki dan 40,9%
adalah perempuan dan sebagian besar
respoden memiliki usia < 60 tahun yaitu 18
(81,82%) (Tabel 1).
Data stadium menunjukkan bahwa
59,9% pasien SCC rongga mulut yang
berobat dideteksi berada pada stadium III,
13,6% stadium II, dan 27,3% stadium I.
Dapat diketahui 45,5% SCC rongga mulut
memiliki derajat diferensiasi baik, 9,09%
sedang, 31,8% buruk sedangkan sebanyak
13,6%
tidak
teridentifikasi
derajat
diferensiasinya (Tabel 1). Klinikopatologi
SCC rongga mulut disajikan pada Tabel 2.
Dari 22 pasien SCC rongga mulut, 18 pasien
berusia ≤ 60 tahun. Sebanyak 61,1% pasien
SCC rongga mulut dengan usia ≤ 60 tahun
berada pada stadium III, 5,6% stadium II dan
33,3% stadium I.
125
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
Tabel 1. Distribusi jenis kelamin, usia, stadium dan differensiasi sel pasien SCC rongga
mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker Nasional, Januari Tahun
2014
(n=22)
Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Variabel
13
9
59,1
40,9
Usia
< 60 tahun
> 60 tahun
18
4
81,8
18,2
Stadium
I
II
III
6
3
13
27,3
13,6
59,1
Differensiasi sel
Baik
Sedang
Buruk
Tidak teridentifikasi
10
2
7
3
45,5
9,1
31,8
13,6
Tabel 2. Distribusi usia pasien dengan stadium dan derajat differensiasi pasien SCC
rongga mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta-Pusat Kanker Nasional, Januari
Tahun 2014
Derajat Differensiasi
No
1
2
Usia
Pasien
Stadium
≤ 60
III
√
> 60
Baik
Sedang
Buruk
Tdk
teridentifikasi
Frekuensi
%
I
√
√
√
√
6
33,3
II
√
1
5,6
11
61,1
IV
0
0,0
I
0
0,0
2
50,0
2
50,0
0
0,0
√
√
√
II
III
√
√
IV
Derajat differensiasi dari pemeriksaan
pasien SCC rongga mulut dengan usia < 60
tahun diketahui 4 orang dengan derajat
diferensiasi baik, 1 orang sedang, 4 orang
buruk
dan
2
dtidak
teridentifikasi.
Sedangkan stadium II, 1 orang pasien
dengan derajat diferensiasi baik, stadium I
sebanyak 3 orang pasien dengan derajat
diferensiasi baik, 1 sedang, 1 buruk dan 1
tidak teridentifikasi. Pada pasien dengan
usia >60 tahun diketahui 50% berada pada
stadium III dengan diferensiasi baik dan
50% berada pada stadium II dengan
diferensiasi yang buruk (Tabel 2).
PEMBAHASAN
Persentase pasien Squamous Cell
Carcinoma (SCC) rongga mulut pada lakilaki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan meskipun perbedaannya tidak
terlalu jauh. Hal ini disebabkan karena
tingkat konsumsi rokok dan alkohol di
Indonesia pada laki-laki jauh lebih banyak
dari pada perempuan. Berdasarkan data
WHO (2013), prevalensi penduduk usia
dewasa yang merokok setiap hari di
Indonesia sebesar 29% yang menempati
urutan pertama se-Asia Tenggara. Sejalan
dengan data hasil survei Global Adults
126
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
Tobacco Survey (GATS) tahun 2011,
Indonesia memiliki jumlah perokok aktif
terbanyak dengan prevalensi perokok lakilaki sebesar 67% (57,6 juta) dan prevalensi
perokok wanita sebesar 2,7% (2,3 juta).
Pasien Squamous Cell Carcinoma
(SCC) rongga mulut di rumah sakit
Dharmais didominasi oleh pasien dengan
rentang usia relatif muda, kurang dari sama
dengan 60 tahun yaitu sebesar 81,82%
sedangkan sisanya adalah berusia lebih dari
60 tahun (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan
penelitian Leemans et al (2011), bahwa
pasien kanker kepala dan leher pada lakilaki yang bukan perokok dan tidak
mengkonsumsi alkohol dengan rentang usia
antara 40 hingga 60 tahun karena positif
HPV.
Infeksi HPV pada Squamous Cell
Carcinoma
(SCC)
rongga
mulut
membuktikan bahwa HPV berperan dalam
pada perubahan epitelium rongga mulut.
Meskipun sebagian besar kasus Squamous
Cell Carcinoma (SCC) rongga mulut di
seluruh dunia disebabkan karena konsumsi
tembakau dan alkohol tetapi di negaranegara bagian Barat yang sudah berhasil
mengontrol konsumsi tembakau dan
alkohol, dilaporkan ada peningkatan jumlah
penderita oropharyngeal squamous cell
carcinoma (OPSCC) yang masih berusia
relatif muda, hingga 60% dikarenakan
infeksi HPV yang disebabkan oleh
perubahan perilaku seksual. Penelitian yang
lain menyebutkan bahwa HPV 16 positif
frekuensinya lebih tinggi dibanding HPV 16
negatif pada pasien Squamous Cell
Carcinoma (SCC) rongga mulut yang bukan
perokok dan bukan pengkonsumsi alkohol13.
Perilaku seks berhubungan erat dengan
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga
mulut HPV positif seperti yang dilaporkan
oleh D’Souza et al (2007) bahwa 100
individu penderita kanker oropharing
sebagian besar karena perilaku oral seks
maupun oral-vaginal seks14, selain itu
Gillison et al (2008) melaporkan bahwa 240
individu penderita kanker oropharing
dengan HPV 16 positif karena peningkatan
perilaku oral seks dan oral-anal15.
Gambaran
klinikopatologi
pasien
Squamous Cell Carcinoma (SCC) rongga
mulut meliputi data stadium dan derajat
diferensiasi. Data stadium disajikan pada
Tabel 3. Data stadium menunjukkan bahwa
59,09% pasien SCC rongga mulut yang
berobat dideteksi berada pada stadium III,
13, 64% stadium II, dan 27,27% stadium I.
Semakin tinggi stadium kanker, semakin
tinggi
pula
tingkat
keparahannya 18.
Beberapa faktor
yang mempengaruhi
keterlambatan seorang seorang saat
terdiagnosis SCC rongga mulut diantaranya
pengetahuan, tingkat pendidikan, dan sikap.
Diagnosis berdasarkan stadium akan
mempengaruhi angka kesembuhan pasien.
Angka kesembuhan pasien karsinoma lebih
besar pada stadium dini daripada angka
kesembuhan pada stadium lanjut karena
tumor telah bermetastasis17. Prognosis SCC
rongga mulut seperti pada kanker lainnya
bergantung pada penegakkan diagnosis
secara dini, semakin awal diagnosis
ditegakkan
maka
semakin
baik
prognosisnya. Selain data stadium, derajat
diferensiasi yang juga penting untuk
menetukan tindakan terapi yang akan
diberikan kepada pasien. Penanganan
pasien kanker meliputi pembedahan, radiasi
ataupun kemoterapi19.
Derajat diferensiasi Squamous Cell
Carcinoma (SCC) rongga mulut juga
diperoleh melalui pemeriksaan patologi
anatomi melalui pemeriksaan mikroskopis.
Derajat diferensiasi memberikan gambaran
jumlah sel yang mengalami mitosis,
perbedaan antara sel normal dengan sel
ganas serta susunan homogenitas sel.
derajat diferensiasi ini menentukan sejauh
mana karsinoma tersebut menginvasi tubuh
penderita, atau tingkat keganasan dari
krsinoma yang menyerang. Sel dikatakan
semakin ganas apabila perubahan bentuk
menjadi tak terkendali dan kemiripan
dengan sel normal semakin kecil18,12.
Derajat diferensiasi baik artinya jumlah
sel yang bermitosis sedikit sehingga dapat
dikatakan prognosis baik. Sementara
derajat diferensiasi buruk mempunyai
prognosis yang lebih buruk, sel yang
bermitosis sangat mudah ditemukan karena
127
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
diferensiasi sel karsinoma buruk atau
bahkan tidak berdiferensiasi17.
Hubungan
antara
usia
dengan
gambaran Pasien berusia muda dengan
tingkat stadium yang tinggi dan derajat
diferensiasi yang buruk menggambarkan
keganasan
sel
karsinoma
tersebut,
sehingga
prognosisnya
juga
buruk.
Beberapa penelitian terkait dengan SCC
rongga mulut menyatakan bahwa derajat
diferensiasi yang buruk berhubungan
dengan infeksi HPV20,21,22.
Beberapa
literatur mengemukakan kecendrungan SCC
rongga mulut dengan HPV positif terjadi
pada usia yang lebih muda 5 tahun dari
SCC rongga mulut HPV negatif. Namun,
dalam
penelitian
ini
belum
dapat
menunjukkan hubungan antara usia pasien
dengan gambaran klinikopatologi rongga
mulut23.
Beberapa
penelitian
menyatakan
bahwa SCC rongga mulut yang positif HPV,
mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan SCC rongga mulut
yang
diakibatkan oleh faktor risiko utama seperti
tembakau dan alkohol. Selain gambaran
klinis yang berbeda, tumor ini juga berbeda
dalam derajat histopatologis serta biologi
molekuler yang berdampak pada respon
terapi dan prognosis20,21. Terkait dengan
prognosis, sebagian besar penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan SCC
rongga mulut yang positif mengandung HPV
mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan dengan SCC rongga mulut
yang tidak mengandung HPV. Pasien
tersebut mempunyai risiko kematian 60%
sampai 80%
lebih kecil dibandingkan
dengan pasien penderita SCC rongga mulut
HPV negatif24.
Stadium tidak selalu berbanding lurus
dengan derajat diferensiasi. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan imunitas pada
masing-masing pasien. Faktor imunitas
yang lemah menyebabkan karsinoma dapat
terus tumbuh dan terhindar dari serangan
sistem imun25.
Sel yang mengalami transformasi
maligna dapat mengalami perubahan
fenotip dari sel normal dan hilangnya
komponen antigen permukaan. Perubahan
tersebut akan menimbulkan respon imun.
perubahan pada antigen sel sehingga
pejamu tidak memberikan respon imun yang
diharapkan26,27,28.
Imunitas seluler pada kanker lebih
banyak berperan dibanding imunitas
humoral. Namun tubuh juga membentuk
antibodi terhadap antigen kanker. Efektor
imun humoral terhadap sel kanker adalah
melalui lisis oleh antibodi dan komplemen,
opsonisasi melalui antibodi dan komplemen,
serta hilangnya adhesi oleh antibodi.
Sedangkan mekanisme seluler terhadap sel
kanker adalah destruksi oleh sel T
sitotoksik, destruksi oleh sel NK (Natural
Killer) dan destruksi oleh makrofag. Sel
kanker yang mengekspresikan antigen
dapat memacu sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel kanker29. Untuk melihat
kembali hubungan antara usia pasien
dengan gambaran klinikopatologi SCC
rongga mulut dapat dilakukan penambahan
sampel penelitian. Sampel yang lebih
banyak dapat menghasilkan keluaran yang
lebih bermakna.
KESIMPULAN
Tidak ada kaitan antara usia pasien
dengan stadium dan derajat diferensiasi
pada Squamous Cell Carcinoma (SCC)
rongga mulut. Hal ini dikarenakan kondisi
internal dalam tubuh dari setiap orang yang
berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. IARC TP53 Data Base. WHO;
2013. http://p53.iarc.fr/.aspx. Diakses
tanggal 2 Juni 2013.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Dep Kes RD 2008. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.
Laporan Nasional Kemenkes; 2007.
3. Barnes L, Eveson JW, Reichart P,
Sidransky D. Pathology and Genetics of
Head and Neck Tumours [Internet].
WHO Classification of Tumour. 2005.
163-175 p. Available from: Available
from:http://www.iarc.fr/en/publications/p
dfs-online/pat-gen/bb9/index.php
4. Shen H, Zheng Y, Sturgis EM, Spitz
MR,
Wei
Q.
P53
codon
72
128
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
polymorphism and risk of squamous cell
carcinoma of the head and neck: A
case-control study. Cancer Lett. 2002;
183(2):123–30.
Kabat GC, Chang CJ, Wynder EL. The
role of tobacco, alcohol use, and body
mass index in oral and pharyngeal
cancer. Int J Epidemiol. 1994;
23(6):1137–44.
Blot WJ, McLaughlin JK, Winn DM,
Austin DF, Greenberg RS, PrestonMartin S, et al. Smoking and drinking in
relation to oral and pharyngeal cancer.
Cancer Res. 1988; 48(11):3282–7.
Sankaranarayanan R, Nair MK, Mathew
B, Balaram P, Sebastian P, Dutt SC.
Recent results of oral cancer research
in Kerala, India. Head Neck. 1992;
14(2):107–12.
McKaig RG, Baric RS, Olshan AF.
Human papillomavirus and head and
neck
cancer:
epidemiology
and
molecular biology. Head Neck. 1998;
20(3):250–65.
Partridge M, Costea DE, Huang X. The
changing face of p53 in head and neck
cancer. International Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery. 2007; p. 1123–38.
Van de Velde N, Brisson M, Boily M-C.
Modeling human papillomavirus vaccine
effectiveness: quantifying the impact of
parameter uncertainty. Am J Epidemiol.
2007; 165(7):762–75.
Leemans
CR,
Braakhuis
BJM,
Brakenhoff RH. The molecular biology
of head and neck cancer. Nat Rev
Cancer. 2010;11(1):9–22.
Patel SG, Shah JP. TNM staging of
cancers of the head and neck: striving
for uniformity among diversity. CA
Cancer J Clin. 2005; 55(4):242–58; quiz
261–2, 264.
Hafkamp HC, Manni JJ, Speel EJ. Role
of Human Papillomavirus in the
Development of Head and Neck
Squamous Cell Carcinomas. Acta
Otolaryngol. 2004; 124(4):520–6.
D’Souza G, Kreimer AR, Viscidi R,
Pawlita M, Fakhry C, Koch WM, et al.
Case-control
study
of
human
papillomavirus
and
oropharyngeal
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
129
cancer. N Engl J Med. 2007;
356(19):1944–56.
Gillison ML, Shah K V. Human
papillomavirus-associated head and
neck
squamous
cell
carcinoma:
mounting evidence for an etiologic role
for human papillomavirus in a subset of
head and neck cancers. Curr Opin
Oncol. 2001; 13(3):183–8.
Muñoz N, Castellsagué X, de González
AB, Gissmann L. Chapter 1: HPV in the
etiology of human cancer. Vaccine.
2006; 24(SUPPL. 3).
Pringgoutomo S, Himawan S, &
Tjarta A. Buku Ajar Patologi I (Umum)
(1 ed.). Jakarta: Sagung Seto; 2006.
Kusuma R, Miranti IP. 2009. Derajat
Diferensiasi
Histopatologik
pada
Kejadian Rekurensi Kanker Serviks.
Semarang: Universitas Diponegoro;
2009
Chamim.
Buku
Acuan
Nasional
Onkologi Ginekologi. In: M Farid Aziz,
Adrijojo, Abdul Bari Saifuddin, editors.
Penentuan
stadium
klinik
dan
pembedahan
kanker
ginekologi.
Jakarta:
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2006.
Chocolatewala NM, Chaturvedi P. Role
of human papilloma virus in the oral
carcinogenesis: an Indian perspective.
J Cancer Res Ther. 2013; 5(2):71–7.
Fakhry C, Gillison ML. Clinical
implications of human papillomavirus in
head and neck cancers. J Clin Oncol.
2006; 24(17):2606–11.
Strome SE, Savva A, Brissett AE,
Gostout BS, Lewis J, Clayton AC, et al.
Squamous cell carcinoma of the tonsils:
a
molecular
analysis
of
HPV
associations.
Clin
Cancer
Res.
2002;8(4):1093–100.
Rebhan M. p-53 tumor suppressor in.
[email protected]
Mulyani H, Yanwirasati, Agus S.
Hubungan
Ekspresi
E6
Human
Papillomavirus 16/18 dengan Derajat
Differensiasi Karsinoma Sel Skuamosa
pada
Kepala
dan
Leher
serta
Korelasinya dengan Ekspresi Ki-67.
Majalah Patologi. 2011;20(1): 37-41
Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2
Juni 2015
25. To’bungan, N., Aliyah, S.H., Wijayanti,
N., Fachiroh, J. Epidemiologi, Stadium,
dan Derajat Diferensiasi Kanker Kepala
dan Leher. Biogenesis. 2015; 3(1): 4752.
26. Kresno SB. Imunologi Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium. Ed.3. Jakarta:
FKUI; 1996.
27. Robbins dan Kumar. Buku Ajar Patologi
II. Ed.4. Jakarta: EGC; 1995.
28. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS.
Cellular and Molecular Immunology. 4th
ed. USA: WB Saunders; 2000.
29. Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar.
Ed.7. Jakarta: FKUI; 2006
130
Download