ETNIS DAN SENI ARSITEKTUR CINA DI JAKARTA Parlindungan Siregar1 A. Kedatangan Etnis Cina Kedatangan orang Cina di Jakarta tidak bisa dipisahkan dari kedatangannya ke Asia Tenggara yang sudah dimulai sejak abad-abad awal masehi, sehingga mengalami diversitas komunitas yang beragam, di antaranya diversitas agama dan suku. Pada masa kolonial mereka lebih sering disebut Cina keturunan dan Cina peranakan,2 walaupun masing-masingnya memiliki nama suku, misalnya Hokkien dan Singkeh. Sementara agama yang mereka anut sangat beragam di antaranya Islam. Menurut Prof. Suryadinata, bahwa sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho ke nusantara di abad ke- 15 orang-orang Cina Muslim sudah aktif di Indonesia. Ma Huan, seorang penterjemah Cheng Ho mencatat adanya orang-orang asing di Jawa Timur yang nonMuslim maupun orang asing dan Cina yang beragama Islam. Sekalipun masih bersifat controversial, The Malay Annals of Semarang and Cirebon menyebutkan bahwa penyebar Islam di Jawa adalah Wali Songo yang nenek moyang mereka adalah orang Cina, bahkan kronik Banten menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Demak adalah seorang Cina Muslim. Asia Tenggara yang terletak di sebelah selatan daratan Cina dikenal orang Cina sejak Dinasti Shang sebagai Nanyang. Wilayah yang berdampingan dengan Laut Cina Selatan ini memiliki beragam produk pertanian, hasil tambang, produk hewani, kerajinan, dan sebagainya. Beberapa kerajaan di wilayah ini; Sriwijaya, Angkor, Majapahit, Khmer, Campa, Ayuttaya, dan lain-lain berdiri dengan megah karena didukung produk-produk pertanian, kehutanan, dan kelautan yang diperdagangkan di pelabuhan-pelabuhannya. Dua buah kekaisaran besar yang memiliki peradaban tinggi, satu terletak di sebelah baratnya yaitu India dan satu lagi adalah Cina sangat mempengaruhi negeri-negeri di Nanyang. Kekaisaran mana yang lebih dulu dan lebih kuat memberi pengaruh pada wilayah Nanyang ini beberapa penelitian telah menjelaskannya. Berangkat dari Martin Stuart-Fox, ia menjelaskan bahwa suatu saat 1 Dosen Sejarah pada Jurusan Sejarah an Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Istilah peranakan digunakan secara resmi hingga akhir abad kesembilan belas untuk menyebut Cina Muslim. Masjid Pecinan Banten dan Masjid Kebon Jeruk adalah dua buah masjid yang dibangun Cina peranakan. terjadi “The failure of Chinese to take to the sea left the way open for Indian influence to dominate state formation in Soetheast Asia”.3 Sejauhmana kekuatan asumsi Martin dengan menyebut kegagalan Cina tentu ia punya dalil, namun pada saat bersamaan perdagangan Cina dengan Asia Tengah dan Asia Barat melalui Silk Route sedang booming, sehingga bisa saja Asia Tenggara kurang dikenal dan menarik bagi dinastidinasti Cina pada dekade-dekade tertentu. Sementara pada zaman Dinasti Mongol kemudian Dinasti Ming sangat banyak produk-produk Cina yang memasuki pelabuhanpelabuhan di Asia Tenggara, khususnya Nusantara. Bangsa Mongol memiliki sifat ekspansionistis yang sangat kuat, suku yang berasal dari bagian utara daratan Cina ini menguasai daratan Cina, lantas tercinakan. Kemudian ekspansi Bangsa Mongol berlanjut ke kawasan Asia Tenggara dengan menjadikan Yunnan sebagai basis ekspansinya ke kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Dampak lebih jauh adalah terjadinya hubungan yang intens antara Asia Tenggara dan Cina. Pengaruh Cina di kawasan Asia Tenggara bertambah besar dan kuat, bahkan Yunnan menjadi rute utama hubungan dari Asia Tenggara ke Cina dan sebaliknya, terjadi pula tekanan dan imigrasi penduduk Cina di Asia Tenggara. Berbagai faktor migrasi ini di antaranya adalah perdagangan. Produk-produk kehutanan Asia Tenggara diperdagangkan di ibukota kekaisaran Cina oleh para pedagang yang mampu melalui jalur-jalur rawan di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena banyak orang-orang Mongol adalah Muslim, maka Islam pun ikut dikembangkan dan disebarluaskan di kawasan Asian Tenggara melalui Yunnan yang hingga saat ini merupakan daerah dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar kedua di Cina setelah Xinjiang. 4 Rute dagang dari Cina ke Asia Tenggara dan khususnya Nusantara semakin terbuka sesudah Kubilai Khan tidak hanya mengekspansi Kerajaan-kerajaan Burma, Vietnam, Champa, dan Thai, tetapi pada 1293 Kubilai Khan menyerang Raja Jawa Kertanegara dan membunuhnya. Kemudian, armada Mongol sampai di Tuban, pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Pangeran Wijaya yang ditunjuk sebagai pewaris kerajaan setuju membayar upeti kepada Mongol. Hubungan dagang Majapahit dengan Cina terus 3 Martin Stuart – Fox. A Short History of China and Southeast Asia Tribute, Trde, and Influence. Australia:Allen&Unwin.2003. Hlm. 25 4 Martin Stuart – Fox. A Short History of China and Southeast Asia Tribute, Trde, and Influence… Hlm. 57 berlangsung pada masa Dinasti Ming hingga keruntuhan Majapahit di abad kelima belas. Hubungan Cina dengan Asia Tenggara pada masa dinasti Ming bertambah kuat, pertama untuk mensosialisasikan terjadinya peralihan kekuasaan dari Yuan (Mongol) ke Ming kepada negeri-negeri yang selama ini memberikan upeti dan kedua adalah peningkatan hubungan perdagangan. Hal inilah yang dilakukan Hongwu (1368 – 1398), disamping adanya utusan-utusan dari kaisar Vietnam, Champa, Kamboja, Ayuttaya, Majapahit, dan beberapa raja-raja di pantai Jawa, Sumatra, dan Kalimantan ke Cina. Sistem pembayaran upeti yang diterapkan Ming berlaku juga dalam bidang perdagangan dimana hubungan dagang hanya dapat dilakukan di antara negeri-negeri yang mengakui kekuasaan dinasti Ming. Pedagang-pedagang swasta Cina dilarang keluar negeri dan hanya dapat berhubungan dengan pedagang yang datang bersama missi penyerahan upeti. Beberapa kerajaan di Asia Tenggara mengirim banyak missi penyerahan upeti agar transaksi dagang lebih sering dilakukan dan barang-barang bertambah untuk diekspor ke Cina. Pada awal abad kelima belas hingga pertengahan abad ketujuh belas dinasti Ming semakin tertarik ke Malaka, sebab posisi penting dan strategisnya dalam perdagangan, maka Martin Stuart menyebut zaman ini sebagai “the age of commerce” di Asia Tenggara. Misi muhibah Laksamana Cheng Ho ke Asia Tenggara, khususnya, ke Malaka adalah untuk memperkuat hubungan Cina dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Malaka, sebab Brunei maupun Malaka sedang dalam keadan khawatir terhadap ancaman kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Misi inipun sangat mempengaruhi lajunya pertumbuhan perekonomian. 5 Dinasti Ming menjadikan dirinya sebagai hakim dan pelindung bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan dengan imbalan upeti. Kedatangan etnis Cina melalui jalur dagang dan saluran politik bertambah intens ketika dinasti Qing (1616 M. – 1912 M.) bertahta di Cina. Bahkan pandangan menguasai dunia dari kekaisaran Cina tetap mendorong terjadinya migrasi bangsa Cina ke Asia Tenggara dimasa dinasti Qing yang saat ini berhadapan dengan pandangan menguasai dunia bangsa-bangsa Eropa. Kebijakan yang diambil dinasti Ming sebagian diubah oleh dinasti Qing karena berhadapan dengan kekuatan Eropa. Di antara kebijakan itu adalah dihapuskannya sistem pajak perdagangan yang melakukan 5 Martin Stuart – Fox. A Short History of China and Southeast Asia Tribute, Trde, and Influence… Hlm. 92 hubungan dagang dengan Cina. Dengan demikian perdagangan lebih bebas dan leluasa dilakukan oleh para pedagang Cina. Pada akhir abad ketujuh belas perdagangan lebih banyak dikuasai oleh orang-orang Cina di Asia Tenggara yang terorganisir secara baik oleh jaringan perdagangan Cina di negeri-negeri Asia Tenggara dan barang-barang diangkut dengan junk-junk Cina. Yang masuk dalam kategori daerah yang tidak terkena sistem bayar pajak adalah Jawa (Batavia), Luzon, Aceh, dan beberapa pelabuhan di Malaysia termasuk Johor. Banyak informasi tentang Eropa yang beraktivitas di Nanyang masuk ke Cina melalui para pedagang Cina. Kebijakan dinasti Qing ini ternyata merangsang orang-orang Cina berimigrasi dalam jumlah besar ke Asia Tenggara. Bahkan di Jawa saja migrasi Cina bertambah secara signifikan setelah kebijakan dinasti Qing. Di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 1739 penduduk Cina mencapai 15.000 orang. B. Etnis Cina Di Jakarta Sejak Islam berkuasa di Jakarta (Sunda Kelapa, Batavia) hingga VOC, penduduknya sudah sangat heterogen. Heterogenitas sosial ditandai oleh beragamnya suku-suku yang menghuni Jakarta serta status sosial dan budayanya; 1) orang EropaAsia “Indo”. Mereka adalah anak-anak bapak Eropa atau campuran antara berbagai suku-suku Indonesia dan Eropa-Asia; 2) orang Jepang. Orang Jepang dibawa oleh VOC ke Jakarta dan diberi izin menjadi petani, pedagang, dan eksportir. Salah seorang di antaranya berkedudukan sebagai Syahbandar; 6 3) orang Mardijkers dan Papanger. Orang India campuran Portugis, berbahasa Portugis dari India Selatan daerah Coromandel, Arakan, Malabar, dan Bengal; 4) orang Papanger atau Pampangos. Orang Filiphina dari Luzon, bagian Pampanga pelabuhan Manila; 5) orang Afrika; 6) orang Arab. Orang yang berasal dari Hadramaut bekerja di sektor perdagangan; 7) orang India yang berasal dari suku Tamil di Pantai Coromadel; 8) orang Melayu; 9) orang Bali; dan 10) orang Cina. Orang Cina hidup secara berkelompok di Batavia. Sebagian besar berasal dari Cina bagian Selatan sebagiannya menjadi kaya dan mempertahankan budayanya di Batavia. Sejak lama mereka merupakan penduduk terpenting di kota-kota seperti Sunda Kelapa dan Banten. Mereka merupakan mayoritas orang asing dari Asia di Batavia. Jumlah 6 Purnadi Purbatjaraka. Shahbandar in the Archipelago. JSEAH. II. 2 Juli 1961. Hal. 7 mereka adalah 5000 orang di antara 45000 penduduk Batavia antara tahun1730 dan 1740. Diperkirakan jumlah mereka di Batavia mencapai 10.000 orang, pada saat terjadi pembantaian Cina oleh Bdanda pada tahun 1740. Sejarah menunjukkan bahwa ketika pertama-tama orang Cina masuk ke Batavia sangat miskin, namun dalam waktu singkat menjadi kaya. Pada tahun 1812 menurut Statistika mereka merupakan 25 % dari seluruh penduduk Batavia; bahkan jumlah mereka jauh lehih besar dari penghitungan pemerintah. Secara budaya Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok: Singkeh, orang Cina yang lahir di Cina, dan kelompok kelompok kedua peranakan Tionghoa, orang Cina yang lahir di Indonesia. Singkeh adalah istilah dari Hokkian yang berarti "tamu baru". Dalam bahasa Indonesia Singkeh disebut "Totok" orang Cina asli kelahiran Cina. Cina Singkeh mempertahankan budaya asli mereka. lstilah bahasa Indonesia "peranakan " berarti seorang anak yang Iahir dari ibu Indonesia. Istilah "Baba" juga dipergunakan di Batavia untuk orang Cina yang lahir di Indonesia. Kelompok Singkeh yang datang ke Jawa sebelum abad ke-17 adalah orang Cina yang berbahasa Hokkien, kelompok kedua adalah orang Cina yang berbahasa hakka dan Cantonese. Budaya peranakan Cina, terbesar adalah Hokkien-Indonesia di Jawa pada abad ke-18 dan 19. Di Batavia terdapat Cina peranakan, Singkeh, dan Cina Cantonese. Cina Hokkien adalah mayoritas. Di Batavia Cina Cantonese dibutuhkan untuk berbagai keahlian dan pertukangan, dan Cina Hokkien dibutuhkan untuk perdagangan. Belanda Mendirikan pos perdagangan di Taiwan (Formosa) yang menarik perhatian orang Hokkien untuk berdagang dan imigrasi ke Indonesia. Sejak abad ke-17 Sampai 1830 banyak kapal dari Canton dan Amoy berkunjung ke Batavia dan membawa sebagian besar imigran dari sana. Belanda membawa orang Cina untuk membangun kota Batavia. Ketika orang Belanda pertama-tama datang ke Jayakarta mereka tinggal di daerah orang Cina dan mdihat berbagai keahlian dan keterampilan mereka, maka ketika J.P. Coen menjadi penguasa di Batavia dia membangun Batavia dengan tenaga orang Cina. Orang Cina jauh sebelum kekuasan VOC Belanda telah berdagang dan rnenetap di Jayakarta. VOC rnempunyai hubungan baik dengan Orang Cina. J.P.Coen menyukai usaha mereka di bidang industri gula dan distilasi arak, dan senang sekali dengan para pemimpin Cina di Batavia. Dia akrab sekali dengan Kapiten Cina, So Bing Kong, dan memanggilnya Kapten Bencon. Coen sering jalan kaki pada malam hari dan minum-minuman keras bersama Bencon, dan dia sangat percaya tidak ada orang lebih baik daripada orang Cina yang bisa membantu dalam pembangunan di Batavia, maka dia ingin membawa banyak orang Cina ke Batavia, dan pada tahun 1822 penguasa kolonial mengirim kapal-kapal laut ke pantai-pantai negeri Cina untuk menangkap dan membawa orang Cina ke Batavia. Orang Eropa sangat bergantung pada orang Cina di Batavia. Mereka dibawa ke Batavia untuk bekerja sebagai tukang bangunan, memperbaiki kapal, dan sebagian dijual sebagai budak untuk Cina kaya di Batavia. Cina lokal dari Banten, Cirebon dan Jepara juga datang ke Batavia sebagai tukang bangunan. Pada pertengahan abad ke-17 banyak kuli dari Cina dibawa untuk bekerja di Pabrik-pabrik gula dan arak di Batavia. Kedatangan secara besar-besaran tenaga kerja Cina terjadi pada permulaan abad ke-18, hingga banyak tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan di Batavia. Kemudian orang Cina mulai membentuk kelompok-kelompok (gangs) di Ommenlanden. Dari tempat-tempat persembunyian mereka mulai merampok, dan melakukan pembunuhan dan penyelundupan di Batavia. Para penguasa Belanda mulai cemas dan meningkatkan pemeriksaan terhadap orang Cina. Orang Cina yang tidak memiliki tanda tinggal di Batavia, ditangkap dan dibuang ke Ceylon (Srilanka) selama duapuluh lima tahun, atau dikirim ke pulau Banda dan Cape koloni Belanda di Afrika Selatan. Polisi Belanda mulai memeras dan minta uang dari orang Cina dengan paksa, kalau tldak diberikan yang bersangkutan akan diusir dan Batavia. Melihat ancaman ini orang mulai mempersenjatai diri di Batavia. Pada tahun 1740 tersiar pernberontakan Cina di Batavia. Ketika terjadi kebakaran secara alamiah di salah satu rumah orang Cina Belanda menganggap bahwa orang Cina telah membuat makar untuk tujuan menguasai Batavia. Maka pecah perang antara dua kelompok ini. Selama seminggu terjadi pembunuhan orang Cina.Tahanan Cina di penjara juga dibunuh. Setahun kemudian orang Cina mulai datang berbondonghondong ke Batavia lagi. Sebagian orang Cina juga terlibat dalam perdagangan candu (opium) di Batavia. Pada masa Raffles Iebih dari seribu orang Cina datang ke Indonesia dan sebagian besar tinggal di Batavia dan lainnya di Semarang dan Surabaya. Para Singkeh pada abad ke-17 dan ke- 18 merupakan pedagang kaya di Batavia. mereka sering pulang ke tanah air mereka dan membawa uang keuntungan dari Batavia. Sebagian membawa mayat-mayat keluarga mereka kembali ke Cina. Pertama kali seorang mandur Cina membawa istrinya ke Batavia pada tahun 1699 dia disenangi oleh masyarakat Batavia karena kecantikan dan gaya pakaiannya yang menawan hati orang Batavia. Kelas Cina ini sangat kaya dan memelihara adat-istiadat mereka di Batavia . seperti bahasa Cina, tulisan, pemujaan terhadap nenek moyang, dan agama Konfusian. Sebagian Cina Singkeh mempunyai isteri lndonesia. Sebagian besar wanitawanita itu adalah dari Bali, karena wanita Bali cantik dan tidak mempesoalkan perbedaan makanan Cina dan daging babi, sedangkan wanita Islam tidak suka hal-hal sepeti itu. Peranakan Cina melahirkan sebuah dialek campuran Hokkien dan bahasa Melayu Betawi, yang dinamakan "Dialek Cina-Melayu". Budaya peranakan cina juga terpengaruhi oteh budaya Indonesia, khususnya sihir (magic power), tabbo, serta selamatan (kenduri), minum jamu, serta mengunjungi dukun pada saat sakit. Sebagian peranakan menjadi mundur dan terpengaruh budaya Barat. Istilah peranakan 'Tionghoa’ mengacu kepada orang Cina laki-laki yang masuk Islam, mencukur rambut panjangnya dan memakai nama Indonesia dan pakaian Indonesia. Mencukur rambut juga terjadi ketika orang Cina terhina atau kalah main judi, sebagai sangsi. Di Batavia pada abad ke-17 dan ke- 18 banyak peranakan Cina masuk Islam untuk menghindari pajak kepala yang disebut "pajak konde" (topknot money), suatu gaya rambut zaman Dinasti Ming, suatu kebanggaan di Cina. Satu pihak orang Cina mulai menghindari dari konde di pihak lain Belanda memaksa mereka untuk memdihara konde supaya medapatkan pajak. Belanda memaksa para peranakan untuk memelihara konde selama 50 tahun, sampai Dinasti Mancu di Cina memperkenalkan gaya baru memlihara rambut sebagai tanda kemenangan atas Cina. Para Singkeh yang datang ke Batavia setelah kemenangan Mancu di Cina pada lahun 1644, membawa gaya baru rambut seperti mencukur kepala dan pakai ekor (pigtail). Sekitar 1779 semua orang Cina di Batavia mencukur kepala dan memlihara ekor rambut, dan mengikuti budaya ini sampai runtuhnya Dinasti Mancu di Cina pada tahun 1911. Konversi peranakan Cina ke Islam juga meningkat setelah pembunuhan Cina secara massal pada tahun 1740. Orang Belanda melarang orang Cina masuk di kota Batavia yang dikelilingi tembok. Ketika mereka menjadi Muslim, mereka masuk ke kota Batavia sebagai orang Islam, karena orang Islam tidak dilarang berdagang di kota Batavia pada masa ilu. Peranakan Tionghoa Islam dikontrol oleh mandur-mandur Muslim Indonesia. Mereka hidup dalam komunitas Islam Batavia dengan mandur mereka sendiri sejak 1776 sampai 1828. Pada tahun 1828 sistem kelompok dihapus, maka Cina peranakan Islam dikontrol oleh pegawai sipil di daerah orang Cina di Batavia. Pajak "konde" dihapus, dan sejak itu masuknya peranakan Cina ke agama Islam menurun. Setelah tahun 1828 peranakan Cina Islam berbalik ke kebudayaan asimilasi, budaya non-lslam. Pada abad ke-19 para pegawai pemerintah keturunan Cina mengenakan pakaian Barat dan seragam militer. Para Singkeh kaya merupakan pegawai Belanda dan juga kelas bisnis yang kuat. Jika pada pertengahan abad ke-18 para Singkeh merupakan kelas buruh di Batavia, namun lama-kelamaan mereka menyimpan uang dan menginvestasikannya di Batavia dan menjadi orang kaya. Cina peranakan pada umumnya bekeja di kantor-kantor Belanda di Batavia sebagai juru tulis, penghitung, dan mereka memiliki usaha sendiri, serta jual beli valuta asing. Dua kelompok Cina; peranakan dan Singkeh juga terlibat dalam perjudian, prostitusi, isap morfin (opium), candu, yang merupakan suatu gaya hidup di Batavia pada masa itu. Pada abad ke-19 peranakan Cina yang merupakan para petani pembayar pajak di Batavia, diberikan hak, lisensi, dan monopoli oleh pemerintah Belanda untuk operasi dan mengumpulkan pajak atas pertokoan, tempat penyembelihan hewan, kapal feri, pasar-pasar, penjualan candu, tempat-tempat judi, dan pajak. Ekspor-impor burung dan sangkar burung (walit) ke Cina menimbulkan permusuhan di kalangan orang asli Indonesia, karena segala keuntungan mengalir ke kelompok Cina sebagai kaki tangan kolonial Belanda. Pemerintah Belanda membenkan kredit untuk berusaha kepada orang Cina, maka di Batavia mereka menguasai segala bidang usaha. Di Batavia mereka terjun ke bidang pertanian secara besar-besaran dan menanam tebu untuk perusahaanperusahaan gula. Sejak 1741 mereka harus tinggal di luar kota di kampung Cina yang didirikan di luar pagar kota yang kini disebut Glodok. Mereka dipaksa tinggal di daerah tersebut hingga tahun 1911. Sebelum matahari terbenam mereka harus masuk di kampung halaman mereka di Glodok. Sekitar tahun 1780, peranakan Cina lslam tinggal di luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk, diantara kota lama dan kota baru Weltevreden. Toko-toko mereka tersebar di daerah pasar lama Tanah Abang, Pasar Senen, dan Pasar Baru yang dibangun pada tahun 1821. C. Bangunan Berarsitektur Cina di Jakarta Arsitektur Cina kuno berdasar pada aturan dan keseimbangan; Kayu balok persegi dan kemudian tanah liat (bata) merupakan komponen utama. Tiang-tiangnya menopang atap yang berbentuk bujur sangkar (limasan) bertumpang dua atau lebih. Konstruksi atap inilah yang paling banyak mendapat perhatian para peneliti. Bangunan berarsitektur Cina yang terdapat di Jakarta dan masuk dalam BCB (Benda Cagar Budaya); 1.Bangunan Langggam Cina di Jalan Balongan No. 10, 16, s.d. 20 Kecamatan Tamansari. Bangunan yang memiliki gaya arsitektur Cina ini didirikan pada tahun 1779- an hingga abad ke- 19.7 2. Masjid al-Mansur, Masjid al-Mansur terletak di Jalan Sawah Lio II, Jembatan Lima, Jakarta Barat. Masjid dirintis dan dibangun oleh Abdul Muhit dari Kerajaan Mataram yang berperang di Jakarta pada tahun 1717.8 Hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan perubahan konstruksi, mulai dari perbaikan mihrab oleh Muhammad Arsyad alBanjari, pembetulan arah kiblat, perluasan bangunan, pemasangan pagar tembok. Saat ini, di bagian selatan merapat ke jalan, di bagian utara dan timur berdampingan dengan pemukiman penduduk. Ruang utama, bangunan tertuanya, bersegi empat yang ditopang pula dengan empat sokoguru. Bagian bawah tiap-tiap tiang bersegi delapan dan di atasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata. Batang utama (di bagian utama) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas berbentuk persegi empat dan dibatasi pelipit. Bangunan asli masjid berukuran 10 x 10 M2 (mungkin juga 12 x 14.40 M2). Nama K.H. Muhammad Mansur diabadikan sebagai nama masjid sejak tahun 1967, karena beliau mengibarkan bendera merah putih di menara masjid saat perang melawan NICA pada tahun 1947. 9 Masjid Jami’ Al-Mansyur dijadikan BCB (Benda Cagar Budaya) yang dilindungi undang-undang oleh Pemda DKI pada tahun 1972.10 7 Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Benda Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta: DINAS MUSEUM DAN SEJARAH DKI JAKARTA. Hlm. 94 8 Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Hlm. 88 – 89. Lihat juga http://www.Jakarta.go.id/jak.1/encyclopedia/detail/771. Download pada 9-8-2011 9 SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 43. Lihat juga www.al-Shia.org. didownload pada jam 12.54, 15 September 2010. 10 Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Hlm. 88 – 89 Atap masjid al-Mansyur berbentuk limasan segi empat bertumpang dua. Atap paling atas menjulang ke atas berbentuk pyramid. Di puncak atap terdapat mustaka (mahkota) terbuat dari keramik. Di ujung atap tidak dibuat melengkung ke atas, tapi sejajar. Atap masjid berbahan genteng. Di antara atap tumpang paling atas dan atap di bawahnya dibuatkan jendela yang terbuat dari kayu yang berfungsi menerima cahaya matahari dan angin untuk menerangi ruang utama. Masjid al-Mansyur mempunyai empat tiang utama yang menopang atap yang dihiasi pelipit di bagian bahwahnya dan persegi delapan (lihat gambar di atas). Di atas tiang ini diletakkan kaso. Pada awalnya tiang ini terbuat dari kayu pilihan sedang pada saat ini sudah diganti dengan tiang konstruksi beton. Empat buah tiang ini secara vertikal memanjang sampai ke atap piramid dan dilubangi untuk menempatkan balok penyangga atap piramid dan atap di bawahnya. Balok penyangga atap masjid al- Mansyur tidak berbentuk berlapis-lapis, tapi hanya dengan menempatkan balok kayu di antara empat tiang. Desain balok penyangga atap menyerap konstruksi gaya lokal. Empat tiang utama masjid al-Mansyur berada di ruang utama tempat shalat. Fungsi utama tiang ini adalah untuk menopang kekuatan fondasi masjid dan kekuatan atap. Masjid al-Mansyur memiliki fondasi dasar yang berbentuk segi empat dan masuk ke dalam tanah yang di masing-masing sudut 450 berdiri tiang utama. Empat tiang utama berdiri tegak lurus sampai menopang atap pyramid yang paling atas. Fondasi tertimbun lantai di bawah ruang utama masjid. Untuk menempatkan fondasi tanah lebih dulu digali. Serambi adalah tempat para jama’ah masjid beristirahat atau berbincang-bincang sebelum atau sesudah melaksanakan shalat. Seranbi masjid al-Mansyur terdapat di sebelah utara, timur, dan selatan masjid. Di bagian barat terdapat mihrab. Serambi masjid lebar dan panjang di bagian timurnya, Serambi, mihrab, dan ruang utama shalat sejajar tingginya. Bangunan masjid al-Mansyur menghadap ke barat (qiblat), sebab ini merupakan kewajiban menghadapkan masjid dari timur ke arah ini. Pelaksanaan shalat mengarahkan ke Mekkah dimana terdapat Ka’bah. Di Jakarta arah qiblat berkisar 75o. Dengan kewajiban mengarahkan masjid ke barat, maka struktur bangunan terpengaruh karenanya. Menempatkan mihrab sebagai tempat imam memimpin shalat berjama’ah juga harus di bagian barat masjid. Masjid al-Mansyur tidak memiliki daun jendela. Jendelanya persegi panjang berupa kisi. 3. Masjid Angke Masjid Angke, sekarang dikenal sebagai Masjid al-Anwar, sejak dibangun pada 1761 sudah beberapa kali dipugar khususnya oleh Pemda DKI mulai dari lantai dalam, kasokaso bagian atap susun, dan langit-langit (plafon), tempat wudhu, tempat bedug, dan pintu masuk. Sekalipun demikian, masih terlihat gaya arsitekturnya yang asli yakni campuran Arab, Jawa, Cina, Belanda, dan sedikit Bali. Ditambah di sebelah barat masjid terdapat makam-makam dengan bentuk nisan-nisan kuno,11 nisan Nyonya Chen men Wang shi zhi mu – nisan Ny. Chen yang lahir sebagai Wang seorang wanita Cina Muslim.12 Bentuk Masjid Angke adalah bujur sangkar yang memperlihatkan adanya pengaruh Jawa. Ujung-ujung atap Masjid Angke yang sedikit melengkung ke atas menunjuk pada punggel rumah Bali. Lima anak tangga di depan, daun pintu ganda, lubang angin di atas pintu yang dihiasi ukiran bagus sama seperti kusen pintu dan (bekas) pot batu alam di pucuk atap yang yang semuanya bercirikan rumah-rumah Belanda. 13 Masjid terletak di Jalan Tubagus Angke, gang Masjid, Rt 01/05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat yang dulunya merupakan perkampungan orang Bali Muslim. Didirikan pada tahun 1761 oleh seorang bangsa Cina dari Tartar yang menikah dengan putri Banten. Kontraktor bangunan adalah seorang Cina. Sejak 1931 telah dilindungi Undang-Undang Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 serta diperkuat SK Gubernur KDKI tanggal 10 Januari 1972. 14 4. Masjid Tambora 11 Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 87 - 88 12 SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 69 SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 67 – 68. Marco Kusumawijaya. “Membaca Arsitektur, Membaca Umat”. Tempo. 28 Juli 2003. Lihat http://www.majalah.tempointeraktif.com., 14 http://Jakarta.go.id, download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010. Dr. F. de Haan dalam bukunya “Out Batavia” yang didasarkan dari cerita-cerita masyarakat di sekitar bahwa masjid ini mulai dibangun pada Kamis, 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. http://www.al-shia.org, didownload pukul 13.19, tanggal 21 Sept. 2010. 13 Formatted: Justified, Indent: First line: 0.5", Line spacing: 1.5 lines Masjid Tambora merupakan BCB (Benda Cagar Budaya) mulai tahun 1994 yang dilindungi Undang-Undang. Terletak di Jalan Tambora No. 4 Kelurahan Tambora, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Dibangun oleh K. H. Mustoyib ki Daeng dan kawan-kawan pada tahun 1761 (abad ke- 18). Meskipun sudah mengalami pemugaran pada tahun 1979 dan tahun 1980 ciri-ciri keasliannya masih terlihat. Arsitektur Masjid Tambora bergaya paduan Arab, Cina, dan Belanda, juga dipengaruhi kebudayaan Hindu.15 Menurut Lombard bangunan kecil di atas makam memperlihatkan unsure gaya bangunan Cina dan Belanda. Tampak juga pada penyangkka siku pengaruh Cina yang disebut tou-kung. Atap masjid tumpang dua berbentuk limasan dari genteng dan pada puncaknya terdapat mustaka berbentuk buah nanas. Di halaman depan masjid di sudut tenggara terdapat bangunan makam bercungkup yang merupakan makam pendiri masjid wafat tahun 1836.16 Bangunan asli (10 x 10 m) kini membentuk bangunan inti masjid yang diperluas (1971). 5. Masjid Krukut Masjid Krukut merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta yang dibangun sejak abad ke- 18 (1785). Abad ke- 19 dan ke- 20 mengalami perubahan dan perbaikan besar.Masjid Krukut adalah salah satu masjid yang didirikan dan dibangun Cina Muslim dari tiga masjid tua di Jakarta; 1) Masjid Tambora, 2) Masjid Krukut, dan 3) Masjid Kebon Jeruk. Masjid Krukut memiliki ciri khasnya tersendiri yakni di dalamnya terdapat sebuah mimbar asli , namun sudah dicat. Mimbar ini diukir oleh orang Cina yang masuk Islam. Bagian luar masjid pun tidak menyisakan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu masjid ini. Masyarakat dan pengurus masjid telah memoderenkan bentuk masjid di abad ke- 19 dan ke- 2017. 6. Masjid Kebon Jeruk Masjid Kebon Jeruk terletak di pinggiran Jalan Hayam Wuruk, No. 85, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. 18 Persisnya di bagian Timur kali Ciliwung. Daerah ini merupakan daerah padat penduduk, sehingga aktivitas warganya tak pernah berhenti sejak dulu. Masjid ini dapat dijangkau dengan kendaraan umum dari 15 Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 90 http://Jakarta.go.id, download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010. 17 Ihsan Tanggok dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hlm 18 Nomenklatur kelurahan, RT, RW, dan bahkan nomor alamat masjid ini sudah beberapa kali berubah sejalan dengan perkembangan lingkungan sekitarnya. 16 arah jalan Merdeka Barat menuju kota melewati Jalan Gajah Mada atau sebaliknya melewati jalan Hayam Wuruk yang kedua jalan ini dipisahkan oleh Kali Ciliwung. Di sebelah kanan masjid adalah bangunan-bangunan perkantoran, sedan di sebelah kiri berbatasan langsung dengan Jalan Kebon Jeruk. Di bagian Timur masjid terdapat pemukiman warga Tionghoa yang padat, mayoritas beragama non-Muslim. Penduduk muslim berada di sebelah timur pemukiman Cina non-muslim tersebut. Masjid Jami Kebon Jeruk adalah masjid pertama yang dibangun di kawasan pinggir Jalan Hayam Wuruk saat ini dengan kubah bergaya arsiterktur Cina. Masjid ini dibangun tahun 1786 Masehi oleh seorang saudagar dari daerah Sin Kiang, negeri Tiongkok, Tamien Dosol Seeng .19 Sekarang masjid ini berbatasan langsung dengan kompleks pertokoan di sebelah selatan dan utara. Sedangkan di bagian timur, terdapat pemukiman penduduk yang cukup padat. Bagian barat masjid adalah Jalan Harmoni dan Kali Ciliwung. Bangunan masjid Kebon Jeruk dikelilingi pagar tembok pada bagian utara dan timur. Sedangkan sisi barat dan selatan dilengkapi pagar besi setinggi hampir 2 meter. Tembok dan pagar besi. 19 Uka Tjandrasasmita.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia. Hlm. 156. Menurut Heuken pendapat yang menyebutkan bahwa pendiri masjid ini adalah orang yang bernama Chau Tsien Hwu agak baru yang sulit dibuktikan berdasar data-data sejarah. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 71 DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Rxplorations. Vol. 7. Nomor 2. Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Siregar. 2005. “Sejarah Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta Ambary, Hasan Muarif. 1983. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta:Departemen P dan K. Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta Berg, LWC Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta:INIS Book Bolaffi, Guido dkk.(Ed.). 2003. Dictionary of Race, Ethnicity & Culture.London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka Kamus Besar Bahasa Emot Rahmat Taendiftia dkk. Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya.Jakarta:Grasindo. Fijper, G.F. 1992. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta:UI-Press. Frishman, Martin dan Hasanuddin Khan (Ed.). The Mosque, History, Architectural Development & Regional Diversity. London:Thames and Hudson Ltd. 1994 Gazalba, Sidi. 1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Djakarta:Pustaka Antara Handinoto dan Samuel Hartono.2007. “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad ke- 15 – 16.” Dimensi Teknik Aristektur. Vol. 38 No. 1, Juli 2007 Haris, Tawalinuddin. “Masjid-masjid di Dunia Melayu – Nusantara.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat, 2 Juni 2010 -----------,. “Masjid-masjid di Dunia Melayu-Nusantara”. Makalah tidak diterbitkan ------------. 2007. .Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta:Wedatama Widya Sastra. Heuken SJ, A.. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka’ Hidayatin, Titin. 1997. “Unsur-Unsur Cina Pada Masjid Kebon Jeruk”. Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Juliadi. 2007. Yogyakarta:Ombak Masjid Agung Banten Nafas Sejarah dan Budaya. Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. (Ph.D. Thesis), University of California Nasution, Isman Pratama. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture”. Dalam PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL.2008. Untuk Bapak Guru. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Shahab, Alwi. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Skinner, G. William. 1963. The Chinese Minority in Indonesia. New Heaven:Yale University Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3.Jakarta:Kanisius. Tanggok, Ihsan dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia’ ----------. “Masjid-Masjid Di Indonesia”. Dalam Nafas Islam Kebudayaan Indonesia. Festifal Istiqlal, 1991 Winoto, Soeryo. “The Old Mosque Was Built By Chinese Convert”. The Jakarta Post. Saturday, 22 Juni 1985. Wiryoprawiro, M. Zein. 1985. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya:Bina Ilmu. Zein, Abdul Baqir.1999. Jakarta:Gema Insani Press Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”. Surat Kabar/Jurnal: Kompas. Jurnal Ilmu Dakwah Dimensi Teknik Arsitektur