pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui

advertisement
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK
KELUARGA BINAAN SOSIAL – KELOMPOK USAHA BERSAMA
(STUDI KASUS DI DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE
KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN
PROVINSI JAWA TIMUR)
CIPTO WIBOWO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Komunitas Eks
Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan
Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS–KUBE). Studi Kasus di Dusun
Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi
Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tugas ini.
Bogor,
November 2005
CIPTO WIBOWO
NIM. A. 154040145
@ Hak cipta milik Cipto Wibowo,Tahun 2005
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK ( KBS – KUBE )
KELUARGA BINAAN SOSIAL – KELOMPOK USAHA BERSAMA
(STUDI KASUS DI DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE
KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN
PROVINSI JAWA TIMUR)
CIPTO WIBOWO
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
Judul Tugas Akhir
: Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta
Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga
Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS –
KUBE). Studi Kasus di Dusun Nganget Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten
Tuban Provinsi Jawa Timur.
Nama
: Cipto Wibowo
NIM
: A. 154040145
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Carolina Nitimihardjo, MS
Ketua
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr.
Anggota
Ketua Program Studi
Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 11 November 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya
penulis
mendapat kesempatan
untuk mengikuti Pendidikan
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor hingga dapat menyelesaikan penulisan
kajian ini. Penulisan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
dengan judul laporan Kajian
Pengembangan Masyarakat “ Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta
Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok
Usaha
Bersama
(KBS–KUBE).
Studi
Kasus
di
Dusun
Nganget
Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
Penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan moril dan materiil dalam menyelesaikan kajian pengembangan
masyarakat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. Selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi
Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB).
3. Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr. selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan tugas akhir
ini.
4. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku Penguji di luar komisi yang
telah memberikan masukan yang berarti untuk kesempurnaan kajian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat yang telah
membekali pengetahuan pengembangan masyarakat.
6. Bapak Ir. Binsar Tua Siregar, selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh
pendidikan Strata-2.
7. Bapak Drs. Palimbu Paluta, selaku Kepala Panti Rehabilitasi Sosial
Eks
Penderita Kusta Nganget Tuban, Jawa Timur dan seluruh staf yang turut
mendukung dan membantu dalam pelaksanaan penelitian.
8. Bapak Kepala Desa beserta staf Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan
yang telah memberikan ijin, membantu dan memberikan informasi yang
sangat bermanfaat kepada penulis.
9. Bapak Ketua RT di Dusun Nganget dan warga masyarakat eks penderita
kusta yang telah membantu kelancaran tugas akhir penulis.
10. Bapak – bapak Pengurus Kelompok Usaha Bersama dan Pengurus serta
anggota KBS – KUBE di Dusun Nganget Desa Kedungjambe.
11. Ibunda dan Ayahanda serta adik – adik yang tercinta yang telah memberikan
doa dan restunya selama mengikuti pendidikan hingga selesai.
12. Istri tercinta dan anakku tersayang Anissa Ayu Dewantari yang selama ini
dengan penuh pengertian memberikan dorongan dan semangat hingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
Kami menyadari bahwa penulisan kajian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu semua pihak yang membaca kajian pengembangan masyarakat ini
hendaknya dapat memberikan saran untuk kesempurnaan tulisan ini, Semoga
kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak – pihak yang akan
mengadakan penelitian lebih lanjut dan semoga dapat memberi manfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan permasalahan eks
penderita kusta khususnya dan kesejahteraan sosial pada umumnya.
Bogor,
November 2005
Cipto Wibowo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur pada
tanggal 17 Oktober 1968 dari pasangan Bapak Subijanto dan Ibu Djuwarijah.
Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Negeri I Kedungadem pada
tahun 1982, SMPK “St. Tarsisius”
Kabupaten Bojonegoro pada tahun 1984,
SMA Negeri 2 Bojonegoro pada tahun 1987, STKS Bandung Program Diploma III
pada tahun 1990 dan STIKS Manado Program Sarjana pada tahun 1994.
Pada tahun 1991 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor
Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Utara sampai tahun 1999.
Kemudian pada bulan Januari 2000 penulis pindah tugas di Panti Sosial Bina
Remaja (PSBR) “Mardi Waluyo” Bojonegoro, Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
sampai dengan sekarang.
Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Ana Sukiswati. Dari
pernikahan tersebut penulis dikaruniai seorang anak bernama Anissa Ayu
Dewantari lahir pada tanggal 2 September 1999.
Bogor,
November 2005
Cipto Wibowo
ABSTRAK
CIPTO WIBOWO, Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui
Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha
Bersama (KBS–KUBE). Studi Kasus di Dusun Nganget Desa Kedungjambe
Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh
CAROLINA NITIMIHARDJO sebagai ketua, ARYA HADI DHARMAWAN sebagai
anggota komisi pembimbing.
Salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang belakangan ini mampu
mengangkat mereka yang miskin agar menjadi berdaya dan berkembang adalah
melalui media “kelompok”. Mereka diorganisir dalam wadah kelompok dan
kelompok itu dimultifungsikan menjadi media pembelajaran anggota sekaligus
proses tukar menukar informasi dan, pengetahuan. Secara perlahan, kekuatan
individu akan muncul menjadi kekuatan kelompok dan disitulah berlangsungnya
proses penguatan atau pemberdayaan.
Kajian ini bertujuan menganalisis proses terjadinya kelompok Keluarga
Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS-KUBE), menganalisis masalah
dan akar masalah yang dihadapi kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok
Usaha Bersama (KBS-KUBE), menganalisis dan mengevaluasi program-program
pengembangan penguatan kelompok yang ada di Dusun Nganget, menyusun
program penguatan kelompok Keluarga Binaan Sosial-Kelompok Usaha
Bersama (KBS-KUBE) sehingga eks penderita kusta dapat melaksanakan fungsi
sosialnya dalam masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian
pengembangan masyarakat melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah (1) Observasi; (2) Wawancara mendalam; (3) Studi
Dokumentasi; dan (4) Diskusi Kelompok.
Hasil kajian menunjukkan bahwa program tersebut belum sepenuhnya
dapat dipergunakan sebagai media pemberdayaan, ini disebabkan kelompok
secara organisasi mempunyai berbagai permasalahan antara lain : aspek
kelembagaan yang meliputi struktural dan kultural organisasi belum bisa
menjalankan fungsinya secara optimal, aspek sosial meliputi pengembangan
dinamika kelompok belum terjadi kekompakan kelompok dan secara individu
anggota kelompok juga belum mempunyai keterampilan untuk mengembangkan
kelompok tersebut serta belum mempunyai keterampilan teknik produksi
kambing. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dirumuskan program penguatan
individu dan kelompok KBS – KUBE. Penguatan individu dengan program yang
meliputi (1) Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu anggota
kelompok KBS-KUBE; dan (2) Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota
KBS-KUBE. Penguatan Kelompok meliputi program (1) penguatan aspek
struktural dan Kultural Organisasi KBS – KUBE ; dan (2) pengembangan
Dinamika Kelompok KBS-KUBE, serta didukung oleh penguatan jejaring baik
dalam komunitas maupun di luar komunitas.
Dengan penguatan individu dan kelompok serta program – program yang
telah disusun maka eks penderita kusta menjadi berdaya. Dengan berdayanya
eks penderita kusta maka akan meningkatkan keberfungsian sosialnya dalam
masyarakat.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……………………………………………………………………………...
HAK CIPTA ……………………………………………………………………….……
JUDUL TUGAS AKHIR ………………………………………………………………
PENGESSAHAN TUGAS AKHIR …………………………………………………..
PRAKATA ……………………………………………………………………………...
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
xi
xiii
xiv
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………………………….
1.1. Latar Belakang …………………………………………….………………
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………………
1.3. Tujuan……………………………………………………….………………
1.4. Kegunaan…………………………………………………………………..
1
1
6
9
10
II.
TINJAUAN TEORITIS………………………………………………………….
2.1. Tinjauan Tentang Kemiskinan………………………………………….…
2.2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan………………………………………..
2.3. Tinjauan Tentang Kelompok dan Dinamika Kelompok………………..
2.3.1. Kelompok Dalam Artian Persepsi………………………………..
2.3.2. Kelompok Dalam Artian Organisasi……………………………..
2.3.3. Kelompok Dalam Artian Motivasi…………………………………
2.3.4. Kelompok Dalam Artian Interaksi…………………………………
2.4. Tinjauan Tentang Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan…………
2.5. Tinjauan Tentang Keberfungsian Sosial…………………………………
2.6. Tinjauan Tentang Eks Penderita Kusta………………………………….
2.7. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) …………………….………………
2.8. Kerangka Konseptual …………………………………………………….
2.9. Definisi Konseptual ……………………………………………………….
11
11
13
17
17
17
18
18
21
23
26
27
31
35
III.
METODOLOGI KAJIAN……………………………………………………….
3.1. Metode dan Pendekatan………………………………………………….
3.2. Waktu dan Lokasi………………………………………………………….
3.3. Teknik Pengumpulan Data………………………………………………..
3.4. Pengolahan Data…………………………………………………………..
3.5. Penyusunan Program……………………………………………………..
36
36
37
38
41
41
IV.
PETA SOSIAL KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA…………………
4.1. Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget…………….
4.2. Performa Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget
dan Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe…………………….
4.3. Proses Stigmatisasi Terhadap Eks Penderita Kusta…………………...
4.4. Alasan Pemilihan Lokasi………………………………………………….
4.5. Batas Dusun Nganget………………………………………….. ………..
43
43
viii
44
47
50
51
4.6. Ciri Fisik Dusun Nganget……...………………………………………….
4.7. Jarak Fisik dan Sosial……………………………………………………..
4.8. Kependudukan……………………………………………………………..
4.9. Sistem Ekonomi……………………………………………………………
4.9.1. Mata Pencaharian Pokok………………………………………….
4.9.2. Sistem Tata Niaga Input dan Output Pertanian dan Non
Pertanian…………………………………………………………….
4.9.3. Kaitan Mata Pencaharian Dengan Sumber Daya
Lokal………………………………………………………………….
4.9.4. Keterkaitan antara Ekonomi Lokal Dengan Ekonomi yang
Lebih Luas……………………………………….. …………………
4.10. Struktur Komunitas…………………………………………….…………
4.10.1. Pelapisan Sosial…………………………………………………
4.10.2. Unsur Utama Pelapisan Sosial………………………………..
4.10.3. Kepemimpinan dan Sumbernya……………………………….
4.10.4. Jejaring Sosial Dalam Komunitas……………………………..
4.11. Organisasi dan Kelembagaan………………………………………….
4.11.1. Lembaga Kemasyarakatan………………………….…………
4.11.2. Jejaring Lembaga Lokal Dengan Lembaga Lain Di Luar
Komunitas………………………………………………………..
4.11.3. Proses Sosialisasi (Pola Pengasuhan dan Sistem
Kekerabatan)……………………………………………………..
4.11.4. Kelembagaan Masyarakat Yang Sudah Mengarah
Pada Organisasi…………………………………………………
4.11.5. Hubungan Antar Kelompok………………………….…………
4.12. Sumber Daya Lokal……………………………………………………..
4.12.1. Hubungan Manusia Dengan Ekosistem……………………..
4.12.2. Sistem Penguasaan Sumber Daya Agraris………………….
4.12.3. Tekanan Penduduk Terhadap Sumberdaya…………………
4.12.4. Lembaga Yang Berhubungan Sumberdaya Alam…………..
4.13. Permasalahan-permasalahan di Komunitas ….………………………
51
52
53
55
56
V.
EVALUASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT……………….………….
5.1. Program Pendidikan TK Di Komunitas………………………………….
5.1.1. Deskripsi Kegiatan…………………………………………………
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Masyarakat…………………………..
5.1.3. Aspek Psikologi Sosial…………………………………………….
5.1.4. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial…………….
5.1.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial………………….…………..
5.1.6. Evaluasi Program Taman Kanak-Kanak…….…………………..
5.2. Pogram Bantuan Kesejahteraan Sosial KUBE…………………………
5.2.1. Deskripsi Kegiatan…………………………………………………
5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal…………………………………..
5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial…………….
5.2.4. Aspek Psikologi Sosial…………………………………………….
5.2.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial………………….…………..
5.2.5. Evaluasi Kelompok KBS-KUBE………………………………….
73
74
74
75
76
76
79
80
82
82
87
89
93
94
95
VI.
ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
6.1. Profil Kelompok KBS – KUBE…………………………………………….
6.1.1. Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia……………………………..
6.1.2. Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur…………………………
6.2. Analisis Aspek Kelembagaan Kelompok KBS – KUBE……………….
99
99
102
105
110
ix
57
58
58
59
59
59
60
61
62
63
63
67
68
68
69
69
70
71
72
72
6.2.1. Aspek Struktur Dalam Kelembagaan KBS – KUBE…………….
6.2.1.1. Pelapisan Sosial Dalam Kelompok KBS-KUBE………..
6.2.1.2. Pola Hubungan dan Komunikasi Dalam
Kelompok KBS – KUBE……... …………………………..
6.2.1.3. Kepemimpinan Dalam Kelompok………………………..
6.2.1.4. Konflik Dalam Kelompok………………………………….
6.2.1.5. Mekanisme Kerja KUBE………………………………….
6.2.2. Aspek Kultur Dalam Kelembagaan Kelompok KBS – KUBE…..
6.2.2.1. Sistem Nilai dan Norma Dalam Kelompok KBS–KUBE
6.2.2.2. Tata Perilaku Dalam Kelompok KBS –KUBE……………
6.3. Analisis Aspek Sosial Kelompok KBS – KUBE ……………………….
6.4. Analisis Aspek Ekonomi……………………………………….. ………..
6.5. Analisis Kekompakan / compactness Kelompok KBS-KUBE………..
6.5.1. Jejaring Komunitas Eks Penderita Kusta………………………
6.5.2. Integrasi Sosial …………………………………………………
6.5.3. Solidaritas Sosial,………………………………………………..
6.5.4. Kohesivitas Sosial………………………………………………..
6.6. Analisis Tipe Kelompok KBS – KUBE……………………………………
6.7. Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE……………………………
6.8. Strategi Penguatan Individu Kelompok KBS-KUBE……………………
6.9. Strategi Penguatan Jejaring………………………………………………
6.10. Ihktisar……………………………………………………………………
VII.
VIII.
111
111
116
117
118
119
120
120
122
124
126
127
127
130
133
134
137
140
140
141
142
PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
7.1. Identifikasi Potensi Komunitas Eks Penderita Kusta…………………..
7.1.1. Sumber Daya Manusia……………………………………………
7.1.2. Sumber Daya Alam………………………………………………
7.1.3. Sumber Daya Kelembagaan………………………….………….
7.2. Proses Penyusunan Perencanaan Program Secara Partisipatif…….
7.3. Identifikasi Masalah Dan Kebutuhan………………………………
7.3.1. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Kelompok KBS – KUBE..
7.3.2. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Individu……….………….
7.3.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Komunitas ……….
7.4. Penyusunan Perencanaan Program Kerja Aras Kelompok
Individu dan Komunitas………………………………………………
7.4.1.Program Penguatan Pada Aras Kelompok KBS – KUBE ……
7.4.1.1. Program Penguatan Aspek Struktural dan Kultural
Organisasi Kelompok KBS – KUBE……………………
7.4.1.2. Program Pengembangan Dinamika Kelompok
KBS – KUBE ……………………………………………..
7.4.2. Program Penguatan Kapasitas Keterampilan Individu Anggota
Kelompok KBS – KUBE dan Rencana Program Penguatan
Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota Kelompok KBS – KUBE
7.4.3. Program Penguatan Jejaring …………………………………..
7.5. Ikhtisar……………………………………………………………………….
144
144
144
145
145
146
148
148
150
152
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN……………………….
8.1. Kesimpulan………………………………………………………………….
8.2. Rekomendasi …………..…………………………………………………..
191
191
194
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
198
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..
201
x
155
156
156
167
178
182
188
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat……………..
37
2.
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Kelompok KBS-KUBE..
40
3.
Performa Komunitas Dusun Nganget dan Komunitas Dusun
Krajan Desa Kedungjambe Tahun 2005 ………………………………..
45
4.
Orbitan Waktu Tempuh dan Ongkos …………………………………….
52
5.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Matapencaharian………………….
56
6.
Peta Intervensi Lembaga Eksternal Pada Eks Penderita Kusta
Di Dusun Nganget Desa Kedungjambe …………………………………
67
7.
Nama Ketua KBS - KUBE dan Jumlah Bantuan ……………………….
85
8.
Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE …………….……………
86
9.
Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE Tahun 2005……………
100
10. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia……
103
11. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur..
107
12. Profil Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur
Tahun 2005 …………………………………………………………………
109
Pelapisan Sosial dalam Kelompok KBS – KUBE ………………………
113
14. Tata Perilaku Kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget Tahun 2005…
122
13
15. Dinamika kelompok anggota KUBE Bangkit Mulia dan
Sumber Makmur Dusun Nganget Tahun 2005…………………………
124
16. Tipe kelompok KBS – KUBE di permukiman
eks penderita kusta Dusun Nganget Tahun 2005………………………
137
17. Identifikasi permasalahan pada aras dinamika kelompok
KBS – KUBE Tahun 2005…………………………………………………
149
18. Hasil identifikasi permasalahan pada aras individu anggota pada
Dua Kelompok KBS – KUBE Tahun 2005………………………………
151
19. Hasil identifikasi permasalahan pada aras komunitas
eks penderita kusta Tahun 2005………………………………………….
153
20. Rencana program penguatan aspek struktural dan kultural organisasi
KBS – KUBE ……………………………………………………………….
162
21. Rencana program pengembangan dinamika kelompok KBS – KUBE
172
xi
Lanjutan daftar tabel ……….
22. Rencana program penguatan kapasitas keterampilan berorganisasi
Individu anggota kelompok KBS – KUBE Dan Rencana Program
Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota KBS – KUBE
Tahun 2005 …………………………………………………………………
180
23. Rencana Program penguatan jejaring hasil kajian pada
kelompok KBS-KUBE Tahun 2005……………………………………….
xii
185
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Empowerment Process (taken from Wilson, 1996 : 136)
16
2.
Tiga Dimensi Keberfungsian Sosial
23
3.
Kerangka Konseptual
34
4.
Piramida Penduduk Dusun Nganget Tahun 2005
54
5.
Keterkaitan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas
58
6.
Tingkatan Pelapisan sosial Pemukiman eks kusta
60
7.
Jaringan komunitas permukiman eks kusta dengan komunitas luar
64
8.
Struktur Organisasi KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005
9.
Bagan Alir Proses Perencanaan Program Secara Partisipatif
Di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Tahun 2005
xiii
119
147
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Sketsa Lokasi Geografis Dusun Nganget Tahun 2005
201
3.
Profil Eks Penderita Kusta
202
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan
kesejahteraan
sosial
mengupayakan
meningkatnya
taraf
kesejahteraan sosial, terjaminnya setiap warga negara untuk memperoleh hakhaknya sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dalam Pola Dasar
Kesejahteraan
Sosial
(Anonymons,
pembangunan
kesejahteraan
sosial
2003),
adalah
dijelaskan
upaya
bahwa
hakekat
peningkatan
kualitas
kesejahteraan sosial perorangan, kelompok dan komunitas masyarakat yang
memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan
menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pembangunan kesejahteraan sosial
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional
diselenggarakan sebagai upaya mewujudkan integrasi sosial melalui peningkatan
ketahanan sosial dalam tata kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia.
Pembangunan kesejahteraan sosial diselenggarakan sebagai wujud investasi
sosial, dilaksanakan bersama oleh masyarakat, dunia usaha dan masyarakat
pada umumnya dalam wujud perbaikan kualitas kehidupan yang berkeadilan
sosial.
Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah terwujudnya tata kehidupan
dan penghidupan yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha dan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, baik perorangan,
keluarga, kelompok maupun komunitas masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta nilai sosial budaya setempat. Masalah yang muncul
adalah belum semua warga negara dapat tertangani dan terjangkau dalam
pemenuhan hidupnya. Terutama bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS) yang termasuk masyarakat marjinal.
Masalah kesejahteraan sosial saat ini berkembang pesat, baik kuantitas maupun
jenisnya terutama akibat krisis ekonomi, konflik sosial, bencana alam dan
disintegrasi sosial. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin)
Departemen Sosial tahun 2003, diketahui bahwa
warga masyarakat yang
tercatat sebagai “fakir miskin” berjumlah sekitar 15,8 juta jiwa atau kurang lebih
42 % dari jumlah populasi orang miskin di Indonesia yang berjumlah sekitar 37,3
juta jiwa. Disamping 15,8 juta jiwa fakir miskin, masih terdapat pula sejumlah
warga masyarakat lainnya yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) seperti gelandangan, pengemis, bekas narapidana terlantar, anak
1
jalanan, lanjut usia terlantar, tuna susila, komunitas adat terpencil, kecacatan dan
sebagainya, jumlahnya 8,7 juta jiwa. Secara keseluruhan, jumlah PMKS yang
membutuhkan perhatian adalah sebesar 24,5 juta jiwa.
Berdasarkan estimasi Departemen Sosial RI jumlah eks penderita penyakit
kronis termasuk eks penderita kusta tahun 2002 sebanyak 1.378.135 orang
(0,65 % dari jumlah penduduk) tersebar diseluruh Provinsi. Di Provinsi Jawa
Timur eks penderita kusta berjumlah 125.277 orang sampai dengan tahun 2005
Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur bersama Departemen Sosial RI baru bisa
menangani sebanyak 4.407 orang atau 3,51 %. Departemen Kesehatan melalui
Program eliminasi kusta telah berhasil menurunkan angka pesakitan pada tingkat
tertentu. Dalam upaya tersebut, sampai dengan tahun 2002 masih terdapat 111
kabupaten pada 13 provinsi yang belum dapat mencapai eliminasi. Menurut
WHO angka prevalensi (angka pesakitan) kurang dari satu penderita per 10.000
penduduk, melalui strategi penemuan penderita secara dini dan mengobati
dengan tepat.
Dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial dan memenuhi kebutuhan
dasar
penyandang
masalah
kesejahteraan
sosial
dapat
melalui
upaya
pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata
lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat
(Kartasasmita, 1996 dalam Suharto 2004).
Paradigma baru dalam pengembangan masyarakat memberikan pemahaman
bahwa sebenarnya masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan untuk
melaksanakan pembangunan serta mewujudkan kesejahteraannya tak terkecuali
eks penderita kusta. Berbagai bentuk hubungan sosial, kepercayaan, kerjasama,
perasaan senasib, jejaring (networking), kelembagaan yang tumbuh di Dusun
Nganget merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri.
Dalam kaitan ini Departemen Sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial
telah sejak lama melaksanakan pengentasan kemiskinan. Seperti yang dilakukan
pada
REPELITA
II
yang
dikenal
dengan
Program
Usaha
Bimbingan
Kesejahteraan Keluarga (UBKK) dan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan
Anak dan Taruna (UBKAT). Pada REPELITA III program tersebut berubah
menjadi Bimbingan dan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (BPKM) serta
2
Usaha Swadaya Masyarakat (USM) dan pada REPELITA IV program tersebut
berubah lagi menjadi Program Penanggulangan Kemiskinan dikenal dengan
Proyek
Penyantunan
dan
Pengentasan
Fakir
Miskin
(PPFM).
Dalam
melaksanakan PPFM tersebut Departemen Sosial menggunakan pendekatan
kelompok yang dikenal dengan nama Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Dengan sistem KUBE (Kelompok Usaha Bersama), kegiatan usaha yang tadinya
dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian disatukan dalam kelompok, sehingga
memudahkan dalam pembinaan dan monitoring kegiatan usahanya. Disamping
itu, para anggota kelompok ini dapat saling bekerjasama secara lebih mudah
dibandingkan bila mereka saling berpencar. Ada beberapa jenis KUBE yang
dilaksanakan Departemen Sosial, yaitu KUBE Keluarga Muda Mandiri, Lanjut
Usia, Anak Terlantar, Karang Taruna, Masyarakat Terasing, Penyandang Cacat,
Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh dan KUBE fakir miskin.
Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin adalah himpunan dari keluarga yang
tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas dasar
prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal
dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas
anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan
anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah
pengembangan usaha bersama (Anonymons, 2003).
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilaksanakan Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan
Kabupaten Tuban, Jawa Timur merupakan upaya pemberdayaan penyandang
masalah kesejahteraan sosial dalam hal ini adalah eks penderita kusta. Program
tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2004 berupa ternak kambing dan usaha
simpan pinjam. Pada praktek lapangan I (PL I) yang telah dilaksanakan tanggal 9
sampai dengan 24 November 2004 berupa pemetaan sosial, kemudian
dilanjutkan dengan praktek lapangan II (PL II) yang dilaksanakan tanggal 21
Februari sampai dengan 5 Maret 2005 berupa evaluasi kegiatan-kegiatan
pengembangan masyarakat sudah teridentifikasi permasalahan-permasalahan
dan potensi – potensi eks penderita kusta.
Program evaluasi kegiatan pengembangan yang dilaksanakan pada PL II yaitu
program pendidikan taman kanak-kanak dan program bantuan kesejahteraan
sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam kajian ini yang akan dibahas
3
adalah Kelompok Usaha Bersama (KUBE) khususnya usaha ternak kambing
melalui kelompok-kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS). Pemberian bantuan
modal kepada eks penderita kusta melalui KUBE sebesar Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dibagi untuk usaha ternak kambing sebesar
Rp. Rp.28.530.000,- ( dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah ),
dan simpan pinjam sebesar Rp. 21.470.000,- ( Dua puluh satu juta empat ratus
tujuhpuluh ribu rupiah ).
Modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor untuk 5 (lima)
kelompok, masing-masing kelompok 20 ekor. Dalam perkembangannya sampai
tanggal 26 Februari 2005 (pada saat PL II dilaksanakan)
menunjukkan
pertambahan sebanyak 19 ekor kambing. Selanjutnya proses pengguliran
diserahkan
pada
pengurus/pendamping
yang
terdiri
dari
tokoh
masyarakat/agama/ketua RT sebagai muara kegiatan KUBE setelah
anak
kambing berumur enam bulan .
Pelaksanaan program KUBE tersebut tentunya belum berjalan sesuai dengan
tujuan
yang
ingin
dicapai
yaitu
KUBE
dapat
berkelanjutan
sehingga
meningkatkan kesejahteraan eks penderita kusta. Ada kendala-kendala yang
dialami oleh anggota kelompok, kelompok- kelompok (Keluarga Binaan Sosial)
KBS-KUBE, pengurus KUBE, koordinator KUBE (termasuk koordinasi antara
komponen-komponen tersebut). Adapun kendala yang berkaitan dengan anggota
kelompok
adalah
kurangnya
keterampilan
anggota
kelompok
dalam
mengembangkan kelompoknya dan terbatasnya keterampilan produksi kambing.
Kendala kelompok KBS-KUBE meliputi (1) aspek kelembagaan antara lain
srtuktural dan kultural, secara struktural pengurus belum dapat menjalankan
peranannya sedangkan secara kultural belum belum dipatuhinya peraturan dan
norma dalam kelompok ; (2) aspek sosial yaitu belum terjalinnya kerjasama,
kepedulian sosial antar anggota dalam kelompok dan anggota antar kelompok
KBS-KUBE maupun kelompok dengan kelompok, serta kelompok dengan
masyarakat ; (3) aspek ekonomi yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan eks
penderita kusta. Kendala pada pengurus/koordinator KUBE yaitu terbatasnya
pendidikan,
pengetahuan dan
keterampilan menyebabkan tidak
mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang muncul seperti pada kelompok KBSKUBE dan usaha simpan pinjam.
4
Guna menghindari kemacetan pengguliran semua komponen harus dapat
menjalankan fungsinya masing-masing. Karakteristik anggota kelompok yang
rentan terhadap sakit, kecacatan, kerjasama, tingkat kohesivitas, kepemimpinan,
mekanisme kerja dan lembaga lokal seperti Nahdatul Ulama (NU), Lembaga
Dakwah
Islam
Indonesia
(LDII)
merupakan
komponen
yang
perlu
diperhitungkan, sehingga tujuan KUBE dapat tercapai. Dengan melihat
kompleksitas permasalahan yang dialami oleh eks penderita kusta, maka
kegiatan pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan
individu dan kelompok KBS - KUBE sangat penting karena :
A. Kepentingan eks penderita kusta
1. Program
Kelompok
Usaha
Bersama
di
Dusun
Nganget
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban
wahana/proses pembelajaran
Desa
merupakan
eks penderita kusta untuk belajar tidak
menggantungkan diri kepada pihak lain.
2. Eks penderita kusta akan banyak belajar bagaimana mengenali dan
memahami serta memanfaatkan kekuatan dan kelemahan yang mereka
miliki.
3. Eks penderita kusta dapat mengembangkan potensi maupun sumber
daya alam yang dimiliki.
4. Eks penderita kusta belajar bagaimana mengembangkan kelompok baik
manajemen maupun organisasinya.
5. Untuk meningkatkan taraf penghidupan eks penderita kusta.
B. Kepentingan masyarakat di sekitar permukiman
1. Dengan keberhasilan eks penderita kusta mengembangkan Kelompok
Usaha Bersama baik simpan pinjam maupun ternak kambing, masyarakat
sekitar permukiman dapat membuka akses ekonomi seperti dapat
membeli kambing maupun hasil pertanian dengan harga yang kompetetif.
2. Dengan keberhasilan eks penderita kusta mengembangkan Kelompok
Usaha Bersama, secara tidak langsung berpengaruh pada peningkatan
pendapatan sehingga daya beli meningkat. Dengan meningkatnya daya
5
beli tersebut masyarakat disekitar bisa menjual keperluan rumah tangga
dengan lebih baik/meningkat.
C. Kepentingan Pemerintah Daerah
1. Mencegah timbulnya permasalahan sosial yang baru bagi eks penderita
kusta yaitu menjadi gelandangan dan pengemis di jalan – jalan.
2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkaitan dengan masalah
eks penderita kusta dapat berjalan dengan baik.
1.2. Perumusan Masalah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan kesejahteraan sosial
mengupayakan meningkatnya taraf kesejahteraan sosial, terjaminnya setiap
warga negara untuk memperoleh hak-haknya sesuai dengan harkat dan
martabat manusia. Dijelaskan pula dalam Keputusan Menteri Sosial RI No.
24/HUK/1996 tentang Sistem Kesejahteraan Sosial bahwa tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil
dan merata serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan
melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam
upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin.
Pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada keberfungsian sosial
manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan (Suharto, 2004).
Perlu diakui bahwa pemerintah Indonesia telah banyak melakukan serangkaian
upaya dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat.
Masalahnya belum semua warga negara dapat tertangani dan terjangkau dalam
pemenuhan
kebutuhannya.
Terutama
bagi
para
penyandang
masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) yang termasuk masyarakat marjinal, jumlah warga
PMKS yang membutuhkan perhatian sebesar 24,5 juta jiwa salah satunya adalah
eks penderita kusta.
Program bantuan kesejahteraan sosial dengan membentuk Kelompok Usaha
Bersama
(KUBE)
merupakan
salah
satu
alternatif
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut dengan tujuan meningkatkan harkat dan martabat serta
menumbuhkan
harga
diri
dalam
rangka
mewujudkan
kehidupan
dan
6
penghidupan yang lebih baik. Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
di Dusun
Nganget terdiri dari lima kelompok masing-masing kelompok 10 orang. Adapun
KBS-KUBE tersebut adalah
(1) KBS-KUBE Sumber Makmur dengan modal
awal 20 ekor, beranak tujuh ekor, mati tiga ekor dan hilang satu ekor, dijual
12 ekor, jumlah yang ada sekarang 11 ekor ; (2) KBS-KUBE Bangkit Mulia
dengan modal awal 20 ekor beranak 28 ekor, mati tiga ekor, jumlah menjadi 45
ekor ; (3) KBS-KUBE Bina Usaha dengan modal awal 20 ekor beranak 10 ekor,
mati lima ekor dan dijual dua ekor jumlah terakhir 23 ekor;
(4) KBS-KUBE
Barokah dengan modal awal 20 ekor beranak sembilan ekor, mati dua ekor,
jumlah yang ada 27 ekor dan (5) KBS-KUBE Sumber Rejeki dengan modal awal
20 ekor, beranak delapan ekor, mati dua ekor, hilang tiga ekor dijual dua ekor,
yang ada sekarang 21 ekor.
Dari modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor menunjukkan
adanya perkembangan yang positif sebanyak 27 ekor kambing. Selanjutnya
proses pengguliran diserahkan pada pengurus/pendamping yang terdiri dari
tokoh masyarakat/agama/ketua Rukun Tetangga ditunjuk enam orang sebagai
muara kegiatan KUBE setelah anak kambing berumur enam bulan . Setelah itu
dimusyawarahkan antara anggota dan pendamping serta ditetapkan siapa yang
dapat pengguliran berikutnya.
Perkembangan
kambing
sedikit
banyak
akan
berpengaruh
terhadap
keberfungsian sosial eks penderita kusta. Pertama dengan berkembangnya
kambing secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan eks penderita kusta
seperti adanya pembelian peralatan pertukangan kayu yang lebih baik (mesin)
sehingga produksi meubel akan meningkat ini adalah hasil penjualan dari
perkembangan kambing KUBE. Dengan adanya perkembangan kambing
menambah semangat eks penderita kusta untuk saling bekerja sama dan
bertukar pengalaman tentang pemeliharaan kambing dan menambah kepedulian
sosial antar eks penderita kusta terhdapat sesama anggota kelompok KBSKUBE maupun dengan masyarakat.
Dalam
perkembangannya
KUBE
tersebut
tidak
terlepas
dari
berbagai
permasalahan yang ada seperti pengorganisasian kelompok, dan individu
sebagai anggota kelompok. Secara pengorganisasian kelompok ada kelompokkelompok KUBE yang dapat berkembang dengan baik namun ada juga KUBE
yang tidak dapat berkembang, ini disebabkan adanya Adapun kendala yang
7
berkaitan dengan anggota kelompok adalah kurangnya keterampilan anggota
kelompok dalam mengembangkan kelompoknya dan terbatasnya keterampilan
produksi
kambing.
Kendala
kelompok
KBS-KUBE
meliputi
(1)
aspek
kelembagaan antara lain srtuktural dan kultural, secara struktural pengurus
belum dapat menjalankan peranannya sedangkan secara kultural belum belum
dipatuhinya peraturan dan norma dalam kelompok ; (2) aspek sosial yaitu belum
terjalinnya kerjasama, kepedulian sosial antar anggota dalam kelompok dan
anggota antar kelompok KBS-KUBE maupun kelompok dengan kelompok, serta
kelompok dengan masyarakat ; (3) aspek ekonomi yaitu masih rendahnya tingkat
pendapatan eks penderita kusta. Selain itu ada faktor (1) jejaring yaitu masih
terbatasnya jejaring antar anggota dalam kelompok KBS-KUBE maupun antar
kelompok KBS-KUBE ; (2) integrasi sosial yaitu belum terbentuk intergrasi sosial
antar anggota dalam kelompok maupun antar kelompok KBS-KUBE ; (3)
solidaritas sosial dalam kelompok masih lemah dan (4) kohesivitas sosial juga
masih lemah.
Kelompok KBS-KUBE yang akan diteliti dipilih berdasarkan tingkat progresifitas.
Pertama Kelompok KBS – KUBE yang progresif, kedua kelompok KBS – KUBE
yang pasif. Indikator progresifitas dapat dilihat dari aspek sosial (motivasi
berkelompok, peran masyarakat, partisipasi, rasa turut memiliki, kepedulian
sosial, kerjasama antar anggota kelompok),
aspek ekonomi (meningkatkan
perekonomian anggota kelompok KBS-KUBE dan aspek kelembagaan yang
meliputi struktur dan kultur (rapat/pertemuan anggota, kelengkapan organisasi,
pembagian tugas, administrasi, pendelegasian wewenang, aturan tertulis, norma
dan tata nilai). Adanya kedua kelompok yaitu progresif dan pasif yang akan dikaji
ini sangat penting artinya karena akan diketahui faktor – faktor penyebab suatu
kelompok itu progresif
atau pasif. Dengan diketahui faktor-faktor penyebab
tersebut akan dapat dijadikan wahana belajar bagi kelompok yang pasif sehingga
kelompok tersebut akan bergerak kearah progresif/maju.
Dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok KBS –
KUBE maka penulis tertarik menelaah lebih dalam mengenai bagaimana strategi
yang tepat memberdayakan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan
individu dan kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) – Kelompok Usaha
Bersama (KUBE).
8
Dari gambaran latar belakang dan permasalahan di atas dapat dirumuskan
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pembentukan kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) –
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ?
2. Bagaimana masalah dan akar masalah pengembangan kelompok yang
dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE dikembangkan oleh eks penderita
kusta ?
3. Bagaimana
analisis
dan
evaluasi
program-program
pengembangan
masyarakat melalui penguatan individu dan kelompok KBS–KUBE di Dusun
Nganget ?
4. Bagaimana
program
penguatan
individu
dan
kelompok
KBS–KUBE
seharusnya disusun sehingga komunitas eks penderita kusta dapat
melaksanakan fungsi sosialnya ?
1.3. Tujuan
Secara umum tujuan kajian ini adalah merumuskan bagaimana strategi
pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan individu dan
kelompok KBS – KUBE. Seperti diketahui bahwa perkembangan KBS-KUBE
terletak pada kerjasama, kekuatan, manajemen kelompok dalam mengatur dan
mengelola anggota kelompok untuk tetap mencapai tujuan dari kelompok
tersebut. Tujuan umum tersebut dapat didukung dengan tujuan khusus yang
lebih spesifik yaitu :
1. Mengkaji proses terjadinya kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) –
Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
2. Menganalisis masalah dan akar masalah yang dihadapi kelompok KBS –
KUBE dalam hal jejaring, solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integerasi
sosial.
3. Menganalisis
dan
mengevaluasi
program-program
pengembangan
penguatan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget.
4. Menyusun program penguatan individu dan kelompok KBS - KUBE sehingga
eks penderita kusta dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.
9
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dicapai melalui penyusunan program
secara partisipatif bersama masyarakat dengan metoda diskusi kelompok.
Melalui diskusi kelompok dengan eks penderita kusta dapat diketahui, masalah
dan akar masalah yang dihadapi oleh kelompok KBS - KUBE dan bagaimana
strategi
untuk memecahkan masalah tersebut sehingga KBS-KUBE dapat
berkembang.
1.4. Kegunaan
1. Kegunaan praktis, sebagai bahan masukan mengenai kebijakan dan program
secara partisipatif, bagi Departemen Sosial, Dinas Sosial serta instansi
pendukung pembangunan kesejahteraan sosial secara lebih aplikatif.
2. Kegunaan akademis berupa pengayaan referensi tentang teori praktek
pembangunan masyarakat secara partisipatif dan komprehensif.
3. Kegunaan strategis, berupa kontribusi terhadap
berbagai strategi upaya
pelayanan sosial dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial individu,
kelompok, organisasi dan komunitas.
10
II. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tinjauan tentang Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan
seseorang, kelompok atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Dimensi kemiskinan dapat berupa keadaan melarat dan ketidakberuntungan,
suatu keadaan minus (deprivation) dan bila dimasukan dalam konteks tertentu
kemiskinan berkaitan dengan minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik,
isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan (Chambers, 1996).
Iskandar (1993) mengutip dari Salim (1990) mengemukakan lima ciri-ciri mereka
yang
hidup di bawah garis kemiskinan yaitu : pertama, umumnya keluarga
miskin tidak memiliki faktor produksi seperti tanah, modal, ataupun keterampilan
yang cukup sehingga untuk memperoleh pendapatan sangat terbatas; kedua,
keluarga miskin tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi
dengan kekuatan sendiri ; ketiga, tingkat pendidikan rendah, tidak sampai tamat
sekolah dasar, waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah dan
mendapatkan tambahan penghasilan ; keempat, kebanyakan keluarga miskin
tinggal di pedesaan tidak memiliki tanah dan kalaupun ada sangat kecil; kelima,
keluarga miskin yang hidup di daerah kota masih berusia muda dan tidak
didukung dengan keterampilan yang memadai.
Dalam perspektif pekerjaan sosial, (Huraerah, 2003,) orang miskin adalah orang
yang mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak dapat melakukan tugas-tugas
pokoknya dengan baik. Studi tentang kemiskinan perlu mencakupi suatu asumsi
dengan jangkauan luas ketika hal tersebut digunakan untuk memahami
kelompok orang-orang miskin tertentu, yang tinggal di suatu daerah spesifik. Ini
adalah berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan adalah suatu fenomena
spesifik secara lokal dan mungkin saja
merupakan suatu masalah yang
kompleks yang dihadapi oleh komunitas tertentu (Alcock, 1997 dalam
Dharmawan, 2000).
Hemmer (1994) dan Spicker (1993 ) serta Weissberg (1999) dalam Dharmawan
(2000) mengelompokkan kategori sosial secara umum yang menyebabkan
kemiskinan di negara berkembang, dimana sistem perlindungan sosial (social
security system) dibutuhkan untuk melindungi warga negaranya dari tindakan
yang merugikan, yaitu :
11
1. Orang-orang cacat mental, lebih mengarah pada orang –orang yang memiliki
perkembangan intelektual sangat lamban. Pada kondisi tertentu tidak mampu
menangkap rangsangan (stimulus) seperti yang dilakukan orang pada
umumnya.
2. Orang-orang cacat fisik, (disable persons) lebih mengarah pada orang-orang
yang mengalami kesulitan memfungsikan fisiknya/tidak normal, oleh karena
itu mereka tidak dapat secara penuh menikmati kehidupan yang lebih baik
sebagaimana orang normal.
3. Orang – orang yang menderita penyakit kronis (chronically ill persons) lebih
mengarah pada sebuah situasi yang menyebabkan orang-orang tidak mampu
hidup secara normal setelah menderita penyakit kronis.
4. Lanjut usia (old people) lebih mengarah pada situasi yang menjadikan
mereka dikelompokkan pada kelompok tidak produktif dan orang yang di
dalam waktu dekat tidak mampu menghasilkan pendapat yang memadai.
5. Orang-orang dalam lingkungan miskin (people in poor area) lebih mengarah
pada orang – orang yang hidup di daerah kumuh. Lingkungan kumuh adalah
bagian dari lingkungan alamiah.
6. Pengangguran
permanen
atau pengangguran
sementara
(temporarily
permanently joblees people) mengarah pada orang-orang yang hidup tanpa
memiliki pekerjaan dalam berbagai keadaan menjadikan hidup tidak aman
sebagaimana mestinya.
7. Pekerja urban atau pekerja harian dari desa (rural or urban daily laborers)
mengarah pada orang-orang yang umumnya bekerja di sektor ekonomi
informal yang secara ekonomi sangat dibutuhkan.
8. Petani gurem (the peasants or smallholder), menunjuk pada orang yang
memiliki lahan sempit sebagai sumber kehidupan utamanya.
9. Petani yang tidak memiliki tanah/penggarap ( the landless or tenants )
menunjuk pada orang-orang yang tidak memiliki tanah yang mendukung
kepada
sumber
hidupnya,
ini
berarti
kehidupan
mereka
dalam
ketergantungan.
10. Pekerja ekonomi tradisional/desa (traditional rural economic workers) (wanita
yang bekerja pada industri rumah tangga mikro dan pedagang kecil) yaitu
12
mereka yang bekerja pada sektor ekonomi desa yang memperoleh
pendapatan minimum dan hanya bisa memenuhi kebutuhan minimumnya
saja.
Menurut Hammer (1994) dan Spicker (1993) serta Weissberg (1999)
bahwa
eks penderita kusta di Dusun Nganget Desa Kedungjambe dapat dikategorikan
sebagai lapisan miskin, karena berkesesuaian dengan ciri-ciri pada nomor tiga
yaitu orang – orang yang menderita penyakit kronis (chronically ill persons) lebih
mengarah pada sebuah situasi yang menyebabkan orang-orang tidak mampu
hidup secara normal setelah menderita penyakit kronis. Artinya mereka tidak
mampu hidup secara normal yaitu setelah sakit yang dideritanya ada kendalakendala sosial dan psikologis yang mereka rasakan. Seperti adanya perasaan
minder dan sulit diterima oleh masyarakat secara luas (isolasi sosial).
2.2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan
Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi
bahan diskusi dan wacana akademis yang cukup hangat pada dekade terakhir
ini. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu
masyarakat,
seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok
minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat,
umumnya adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan (Kieffer, 1984;
Tore, 1985) dalam Suharto (1997).
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal
dari kata “power” (kekuasaan dan keberdayaan) dalam arti pemberian atau
peningkatan kekuasaan (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak
beruntung (disadvantaged) seperti yang dikemukakan Ife (2002) “Empowerment
aims to increase the power of disadvantaged”. Selanjutnya Torre dalam Parsons,
Jorgensen (1994). Hernandes (1994) mengemukakan pengertian pemberdayaan
sebagai berikut :
A process through which become strong to participate within, share
in the control of and influence events and institutions affecting their
lives, (and that in part) empowerment necessitates that people gain
particular skill, knowledge and sufficient power to influence their
lives those they care about.
Pemberdayaan merupakan suatu proses dimana orang-orang menjadi cukup
berdaya untuk berpartisipasi bersama-sama mengontrol dan mempengaruhi
13
situasi
dan
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupan
mereka.
Pemberdayaan mengharuskan orang-orang untuk mendapatkan keterampilan,
pengetahuan dan kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dan
penghidupan mereka yang mereka perhatikan.
Menurut Ife (2002) pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni
kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan kekuasaan
politik, melainkan kekuasaan atau penguasaan atas pilihan-pilihan personal dan
kesempatan hidup, pendefinisian kebutuhan, ide atau gagasan, lembagalembaga, sumber-sumber, aktivitas ekonomi dan reproduksi. Sementara
kelompok lemah atau tidak beruntung meliputi kelompok lemah secara struktural,
kelompok lemah secara khusus dan kelompok lemah secara personal. Selain
pengertian pemberdayaan, juga terdapat dimensi pemberdayaan seperti
dikemukakan oleh Torre dalam Parsons, et.al (1994) yaitu :
1. A development procces that begins with individual growth and
possibly culminates in larger sosial change.
2. A psychological state marked by heightened feelings of self esteem,
efficacy and control.
3. Liberation resulting from a social movement, which begins with
education and politization of powerless people and later involves
collective attempt by the powerless o gain power and change
those structure that remain oppressive..
Pemberdayaan memiliki tiga dimensi yaitu, (1) suatu proses pengembangan
yang mengawali pertumbuhan individual dan membentuk kemungkinan dalam
perubahan sosial yang lebih besar ; (2) kondisi psikologis yang ditandai dengan
peningkatan perasaan harga diri, kemampuan diri dan pengontrolan diri ; (3)
kebebasan sebagai hasil dari suatu pergerakan sosial yang dimulai dengan
pendidikan dan pemolitikan orang yang tidak berdaya, melibatkan usaha kolektif
dari mereka untuk mendapatkan daya dan mengubah struktur yang masih
menekannya.
Definisi lain mengenai pemberdayaan menurut Wallenstein dan Berstein (1998)
dalam Suharto (1997)
“ pemberdayaan merupakan suatu proses aksi sosial
untuk meningkatkan partisipasi orang, organisasi-organisasi dan masyarakat
dalam mengendalikan kehidupan lingkungan masyarakat maupun masyarakat
yang lebih luas” sedangkan Guiterrez (1990) dalam Suharto (1997) menyebutkan
bahwa
tujuan
pemberdayaan
untuk
meningkatkan
kemampuan
warga
masyarakat sehingga mereka dapat mengatasi masalah.
14
Makna pemberdayaan dikemukakan oleh Dharmawan (2000) , sebagai “a
procces of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to
have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily
access to source of better living”. Pemahaman ini memberikan makna bahwa
pemberdayaan berkaitan dengan upaya memperoleh posisi tawar yang lebih
besar, serta kemudahan aksesibilitas kepada sumber kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan pengertian tersebut , maka pemberdayaan mengandung makna (1)
argumentation of choices ; (2) increases the degree of freedom ; (3) enhancing
the ability to comman more economic resources ; dan (4) commanding more
power at the grassroots level.
Sumaryadi (2005), menyebutkan tujuan pemberdayaan masyarakat pada
dasarnya adalah : (1) membantu pengembangan manusiawi yang otentik dan
integral dari masyarakat lemah, rentan, miskin, marjinal dan kaum kecil, seperti
petani kecil, buruh tani, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat adat yang
terbelakang, kaum muda pencari kerja, kaum cacat dan kelompok wanita yang
didiskrimir/dikesampingkan;
(2)
memberdayakan
kelompok-kelompok
masyarakat tersebut secara sosio ekonomis sehingga mereka dapat lebih
mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, namun sanggup
berperan dalam pengembangan masyarakat. Foy
(1994) menggambarkan
empat unsur utama pemberdayaan yang saling mengkait satu dengan lainnya.
Pertama, pemberdayaan itu terfokus pada kinerja (performance focus).
Masyarakat ingin melakukan pekerjaan baik. Organisasi yang memberdayakan
membantu mereka untuk mendapatkannya. Kedua adalah real teams (Foy, 1994)
Kinerja yang baik berasal dari tim yang baik. Ketiga, pemberdayaan
membutuhkan visible leadership (Foy, 1994). Memberdayakan orang/masyarakat
membutuhkan
seorang
pemimpin
yang
mempunyai
visi.
Keempat,
pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication)
(Foy, 1994).
Pemberdayaan adalah ada proses yang membantu mereka memahami diri
mereka sendiri, merencanakan penggunaan sifat dan karakteristik terbaik,
menetapkan arah bagi diri mereka sendiri.
15
Proses seperti ini diperlihatkan oleh Wilson (1996 ).
AWAKENING
USING
UNDERSTANDING
HARNESSING
Sumber : Wilson, (1996 ).
Gambar 1 : Empowerment Process (taken from Wilson, 1996 )
Tahap pertama dari proses pemberdayaan individu adalah ‘awakening’ , yang
membantu orang mengadakan penelitian terhadap situasi mereka saat ini,
pekerjaan dan posisi mereka dalam organisasi. Tahap kedua dari proses
pemberdayaan individu adalah ‘understanding’. Orang mendapat pemahaman
dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri,
pekerjaan mereka, aspirasi mereka dan keadaan umum. Tahap ketiga proses
pemberdayaan adalah ‘harnessing’, yang diakibatkan oleh awakening and
understanding phases. Individu, yang sudah memperlihatkan ketrampilan dan
sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat menggunakannya bagi
pemberdayaan. Tahap terakhir dari proses tersebut adalah menggunakan
keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan
kerja setiap hari.
Pemberdayaan
komunitas
berarti
mengembangkan
kondisi
dan
situasi
sedemikian rupa sehingga komunitas memiliki daya dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa pengembangan itu
adalaH
hasil
kekuatan
eksternal.
Memberdayakan
masyarakat
berarti
menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pengembangan komunitas.
Masyarakat berdaya memiliki ciri (1) mampu memahami diri dan potensinya ; (2)
mampu merencanakan/mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, dan
mengarahkan dirinya sendiri ; (3) memiliki kekuatan untuk berunding,
bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang
memadai ; (4) bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. (Sumardjo dan
Saharrudin, 2003)
16
2.3. Tinjauan Tentang Kelompok dan Dinamika Kelompok
Tidak ada definisi kelompok yang secara umum dapat diterima. Sebaliknya,
dapat disajikan suatu jajaran pandangan yang telah ada, dan dari berbagai
pandangan tersebut dapat dikembangkan suatu definisi bandingan tentang
kelompok.
2.3.1. Kelompok Dalam Artian Persepsi
Banyak ahli ilmu perilaku berpendapat bahwa untuk dianggap sebagai suatu
kelompok, anggota suatu kelompok harus mempersepsikan hubungan mereka
terhadap yang lainnya. Sebagai contoh :
Suatu kelompok kecil didefinisikan sebagai orang-orang yang terlibat
dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan tatap muka
atau serangkaian pertemuan semacam itu, dimana setiap anggota
menerima beberapa kesan atau persepsi yang cukup jelas tentang
anggota lainnya sehingga ia dapat, pada saat itu atau bersoal jawab
kemudian, memberikan reaksi satu sama lain sebagai seorang
individu, meskipun hal itu mungkin hanya untuk mengingat bahwa
yang lain hadir.
Pandangan
ini
menunjukkan
bahwa
anggota
suatu
kelompok
harus
mempersepsikan keberadaan (eksistensi), setiap anggota dan keberadaan
kelompok itu sendiri.
2.3.2. Kelompok dalam Artian Organisasi
Para ahli Sosiologi memandang kelompok terutama dalam hubungannya
dengan ciri-ciri keorganisasian. Misalnya menurut definisi sosiologi, kelompok
ialah :
Suatu sistem yang diorganisasikan dari dua orang atau lebih yang
saling berhubungan sehingga sistem tersebut melakukan berbagai
fungsi, mempunyai seperangkat standar hubungan, peranan para
anggotanya dan mempunyai seperangkat norma yang mengatur
fungsi kelompok dan masing-masing anggotanya.
Pandangan tersebut menekankan beberapa karakteristik kelompok yang penting,
seperti peranan dan norma.
17
2.3.3. Kelompok dalam Artian Motivasi
Kelompok yang gagal membantu anggotanya memenuhi kebutuhannya akan
mendapat
kesulitan
untuk
melangsungkan
hidupnya.
Pandangan
ini
mendefinisikan kelompok sebagai :
Sekumpulan individu yang keberadaannya sebagai suatu kumpulan
menguntungkan individu-individu.
2.3.4. Kelompok dalam Artian Interaksi
Para
ahli
teori
mengasumsikan
bahwa
interaksi
dalam
bentuk
saling
ketergantungan adalah inti “kekelompokan”. Pandangan yang menekankan
interaksi antar pribadi adalah :
Yang kita maksudkan dengan kelompok yaitu sejumlah orang yang
berkomunikasi satu sama lain dan sering melampaui rentang waktu
tertentu, serta jumlahnya cukup sedikit, sehingga setiap orang
dapat berkomunikasi satu sama lain, tidak sebagai orang kedua,
melalui orang lain, tetapi saling berhadapan.
Keempat pandangan tersebut penting, karena semuanya menunjukkan kepada
gambaran penting tentang kelompok.
Johnson & Johnson (1987) dalam Sarwono (1997) mengidentifikasi sedikitnya
tujuh jenis definisi kelompok yang penekanannya berbeda – beda yaitu :
1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi ( Bonner, 1959; Stogdill, 1959).
2. Satuan (unit) sosial terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka
sendiri sebagai bagian dari kelompok itu (Bales, 1950;Smith, 1945).
3. Sekumpulan individu yang saling tergantung (Cartwright & Zander, 1968;
friedler, 1967; Lewin, 1951).
4. Kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu
tujuan (Deutsch, 1959; Mills, 1967).
5. Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan
melalui penggabungan diri mereka (joint association) (Bass, 1960;Cattell,
1951).
6. Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan
seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari, 1968; Sherif & Sherif,
1956).
7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1976).
18
Berdasarkan kumpulan berbagai definisi itu, Johnson & Johnson (1987) dalam
Sarwono (1997) sendiri kemudian merumuskan definisinya sebagai berikut :
Sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi
tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari
keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari
keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masingmasing, menyadari saling ketergantungan secara positif dalam
mencapai tujuan bersama.
Soekanto (2002), membagi kelompok menjadi kelompok formal dan kelompok
informal. Kelompok formal adalah kelompok yang keanggotaannya terbentuk
menurut struktur resmi dan aturan yang dibuat dengan sengaja oleh anggotanya.
Sebaliknya kelompok informal merupakan kelompok yang tidak memiliki struktur
tertentu dan aturan dibuat secara tidak tegas. Berdasarkan pengertian tersebut
maka terdapat aspek dalam kelompok yaitu persepsi, organisasi dan aspek
motivasi seperti yang dijelaskan di atas.
Di dalam interaksi diantara anggota kelompok ada kekuatan atau pengaruh
(Nitimihardjo dan Iskandar, 1993). Anggota kelompok yang berinteraksi secara
tetap
mempengaruhi
Keberadaan kekuatan
dan
dipengaruhi
oleh
anggota
kelompok
lainnya.
yang saling mempengaruhi menyebabkan anggota
kelompok dapat mengajak
orang lain untuk mencapai tujuan kelompok.
Pencapaian tujuan kelompok dapat dilakukan dengan baik melalui koordinasi.
Kepemimpinan didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan untuk mencapai
tujuan dan memelihara kelompok. Minat-minat yang bertentangan dan konflik
tidak mungkin dapat diatur tanpa menggunakan kekuatan (kontrol). Tidak ada
komunikasi tanpa pengaruh, yang berarti tidak ada komunikasi tanpa kekuatan.
Dengan demikian kekuatan merupakan esensi bagi semua keberfungsian
kelompok.
Pengertian dinamika kelompok dapat diartikan melalui asal katanya yaitu
dinamika dan kelompok. Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara
langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Jadi, dinamika
berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu
dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota
dengan kelompok secara keseluruhan.
Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok
(group spirit)
terus menerus berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu
19
kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap kelompok yang bersangkutan
dapat berubah.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dinamika kelompok berarti suatu
kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan
psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain. Dengan kata
lain, antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung
dalam situasi yang dialami secara bersama-sama.
Pengertian dinamika kelompok yang lain yaitu kekuatan-kekuatan di dalam
kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan perilaku segala anggota
kelompok untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan kelompok sangat
ditentukan oleh tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
kelompok. Untuk dapat melakukan analisis dinamika kelompok, dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan, diantaranya adalah pendekatan sosiologis dan
pendekatan psikososial. Pendekatan psikososial seringkali dilakukan, karena
dalam psikososial dilakukan kajian terhadap perilaku anggota kelompok dalam
melaksanakan tugas atau kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok.
Unsur – unsur dinamika kelompok menurut Ruth Benedict (1972) dalam Santosa
(2004) adalah sebagai berikut :
1. Kohesi/persatuan
Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota dalam kelompok,
seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilahan, nilai
kelompok.
2. Motif/dorongan
Persoalan motif ini berkisar pada interes anggota terhadap kehidupan
kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama, orientasi diri
terhadap kelompok.
3. Struktur
Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan,
perbedaan, kedudukan antar anggota dan pembagian tugas.
4. Pimpinan
Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan berkelompok, hal
ini terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas pimpinan, sistem
kepemimpinan.
20
5. Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan kelompok dapat terlihat pada perubahan dalam
kelompok, senangnya anggota kelompok dalam kelompok, perpecahan
kelompok.
Unsur-unsur dinamika kelompok yang menjadi pertimbangan dalam kajian ini
adalah motivasi berkelompok, Kepedulian sosial , rasa turut memiliki, kerjasama
antar anggota kelompok, kontrol sosial.
2.4. Tinjauan Tentang Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan
Salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang belakangan ini mampu
mengangkat mereka yang miskin agar menjadi berdaya dan berkembang adalah
melalui media “kelompok”. Mereka diorganisir dalam wadah kelompok dan
kelompok itu dimultifungsikan menjadi media pembelajaran anggota sekaligus
proses tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Secara perlahan,
kekuatan individu akan muncul menjadi kekuatan kelompok dan disitulah
berlangsungnya proses penguatan atau pemberdayaan.
Melalui wadah kelompok, kreativitas masing-masing pihak (individu sebagai
anggota kelompok) akan mewarnai kehidupan kelompok termasuk bagaimana
mencari jawaban secara swadaya dan swadana terhadap persoalan-persoalan
yang mereka hadapi. Cara dan proses tersebut sudah tentu merupakan
gambaran mulus dari proses pemberdayaan melalui pendekatan kelompok.
Tokoh sosiologi-politik dari Universitas Gadjah Mada Prof. Sunyoto Usman
berpendapat bahwa setidaknya ada tiga aspek yang lazim dikenal dalam proses
pemberdayaan yakni : asistensi, fasilitasi, dan promosi. Pertama, apabila
sejumlah kemampuan sudah dimiliki oleh kelompok yang dibina, maka bentuk
yang lazim dilakukan adalah dengan assistance (misalnya dalam bentuk
pelatihan, konsultasi atau asistensi teknis, dana, dan sejenisnya) dan kedua
facilitation (kolaborasi kegiatan). Ketiga, apabila masyarakat binaan masih
dikategorikan ke dalam bentuk masyarakat yang berkemampuan rendah, maka
alternatif yang perlu dikembangkan
adalah model promotion (bantuan pada
bidang-bidang tertentu yang sangat dibutuhkan).
Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara bertahap dari tingkat
individu, keluarga, kelompok, komunitas sampai pada tingkat institusi atau
21
kelembagaan. Salah satu upaya membangkitkan inisiatif dan partisipasi
masyarakat lokal dapat dilakukan dengan menggunakan medium kelompok.
Pendekatan kelompok menurut Vitayala (1986) mempunyai kelebihan antara lain
proses adopsi dapat dipercepat, karena adanya interaksi sesama anggota
kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu seperti
yang dikemukakan Gaetano Mosca bahwa “manusia mempunyai naluri untuk
berkumpul dan berjuang dengan kumpulan manusia lainnya, sehingga individu
‘senasib’ saling berkumpul dalam suatu kelompok (Olson, 1975).
Dengan demikian kelompok dapat dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang
paling efektif, seperti yang dikemukakan Kurt Lewin bahwa lebih mudah untuk
mengubah pola tingkah laku individu-individu yang terikat dalam satu kelompok
daripada secara individual (Soekanto,1986). Lebih lanjut dipertegas oleh Achlis
(1983) bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih baik
daripada mekanisme-mekanisme
lainnya dan bahwa kelompok memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila digali dan dikembangkan atas nama
dan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber-sumber untuk penyembuhan
dan pengembangan anggota-anggotanya.
Kelompok sebagai gambaran kehidupan berorganisasi suatu komunitas,
merefleksikan dinamika tindakan kolektif warga dalam mengatasi masalah
bersama, termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga (safety net)
di
komunitas (Darmajanti, 2004). Karena itulah maka dalam kelompok akan
terdapat kombinasi kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Namun semua
kelompok seperti yang dinyatakan Olson (1975) mempunyai tujuan melayani
kepentingan kolektif anggotanya.
Dalam pemberdayaan masyarakat, penguatan kelompok berarti akan mencakup
pola relasi, interaksi sosial dan identifikasi yang didasari oleh tumbuhnya
kepercayaan, kerjasama dan membangun jejaring kerja. Lebih lanjut Achlis
(1983) mengemukakan bahwa proses kelompok merupakan sumber bagi
pemberdayaan anggota-anggotanya melalui : (1) Dukungan kelompok (group
support);
(2)
Pengawasan
kelompok
(group
control);
(3)
Pengakuan
(rekognetion); (4) Generalisasi dan (5) Integrasi.
22
2.5. Tinjauan tentang Keberfungsian Sosial
Keberfungsian sosial mengacu kepada cara yang dilakukan orang dalam rangka
melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan. Hal ini dinyatakan
Zastrow (1999) dalam Suharto (1997) sebagai berikut :
“Social functioning refers to the way individuals or collectivities
(families, associations, communities, and so on) behave in order to
carry out their life tasks and meet their needs” .
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa keberfungsian sosial merupakan suatu
cara (the way) yang menggambarkan perilaku orang. Cara atau perilaku tersebut
dilakukan oleh individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas maupun
masyarakat. Tujuannya untuk melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi
kebutuhan. Jadi keberfungsian sosial berkaitan dengan interaksi orang dengan
lingkungan. Interaksi tersebut merupakan perwujudan dari pelaksanaan peranan
sosial. Keberfungsian sosial menunjukkan kegiatan menampilkan beberapa
peranan sosial yang seharusnya ditampilkan orang tersebut sesuai dengan
status
sosialnya.
Penampilan
peranan
sosial
dinilai
oleh
orang
yang
bersangkutan maupun masyarakat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku.
Keberfungsian sosial merupakan hasil atau produk aktivitas orang dalam berelasi
dengan sekelilingnya. Keberfungsian sosial berkaitan dengan hasil interaksi
orang dengan lingkungannya.
Oleh
karena itu Skidmore, et,al (1994)
menggambarkan tiga dimensi keberfungsian sosial (social functioning triangl
rol
es
ela
sr
iv e
ith
n
tio
sh i
ers
oth
Sa
ith
Social
w
ps
ct i
on
w
s it
tis
fa
Po
in
lif
e
sebagai berikut :
Feeling of self worth
Sumber : Skidmore, et, al (1994 )
Gambar 2 : Tiga Dimensi Keberfungsian Sosial
23
Gambar di atas mengilustrasikan bahwa keberfungsian sosial dapat dilihat dari
tiga dimensi, yaitu : (1) Kepuasan berperan dalam kehidupan (satisfaction with
role in life) ; (2) Relasi positif dengan orang lain (Positive relationships with
others), dan (3) Perasaan menyukai atau menghargai diri (feeling of self worth).
Dubois dan Miley (1992) menyatakan ada tiga klasifikasi keberfungsian sosial
yaitu : (1) Keberfungsian sosial adaptif (adaptive social functioning); (2)
Keberfungsian sosial rentan atau populasi yang berisiko (at risk populations), dan
(3) Keberfungsian sosial tidak adaptif (maladaptive social functioning).
Tiga klasifikasi keberfungsian sosial dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Keberfungsian sosial adaptif menunjukkan adanya sistem yang mampu
memanfaatkan sumber-sumber personal, interpersonal, dan institutional
ketika dihadapkan pada kebutuhan, isu, maupun masalah. Sumber-sumber
tersebut relatif tersedia di struktur sosial dan dapat diakses. Sistem tersebut
mempunyai kemampuan untuk memecahkan.
2. Keberfungsian sosial rentan menggambarkan keberfungsian sosial yang
dialami oleh populasi yang beresiko (at risk population). Dalam masyarakat
terdapat populasi atau sistem sosial yang mempunyai resiko gagal berfungsi
sosial. Sistem yang beresiko adalah sistem yang rentan (vulnerable)
terhadap masalah keberfungsian, walaupun masalah tersebut belum
dimunculkan dipermukaan (surface). Dengan kata
lain, kondisi yang ada
diperkirakan mempunyai dampak negatif terhadap keberfungsian sosial
orang.
3. Keberfungsian
tidak
adaptif
menunjukkan
sistem
yang
mengalami
ketidakmampuan beradaptasi (maladaptive). Pada sistem seperti ini, masalah
menjadi begitu parah (exacerbated), karena kemampuan sistem berkurang
atau sistem tidak mampu menjalankan fungsinya dan tidak mampu berinisiatif
mengatasi perubahan. Dalam situasi seperti ini, sistem secara serius
mengalami masalah, sehingga tidak mampu berfungsi sosial.
Selanjutnya Dubois dan Milley (1992) menyatakan bahwa keberfungsian sosial
berhubungan
dengan
pemenuhan
tanggung
jawab
seseorang
kepada
masyarakat secara umum, terhadap mereka yang berada di lingkungan yang
terdekat
dan
terhadap
diri
sendiri.
Tanggungjawab
tersebut
termasuk
24
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, bagi mereka yang tergantung kepada
seseorang dan memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Kebutuhan manusia yang dimaksud terdiri dari aspek fisik (pangan, tempat
tinggal, keamanan, perawatan kesehatan, dan perlindungan) ; pemenuhan
kebutuhan personal (pendidikan, rekreasi, nilai-nilai, estetika, agama) ;
kebutuhan-kebutuhan emosional (rasa memiliki, saling peduli dan persahabatan)
; serta konsep diri yang memadai (percaya diri, harga diri dan identitas).
Siporin (1975 ) mengemukakan bahwa :
Social functioning, refers to the way individuals or collectivities (families,
associations, communities, and so on) behave in order to carry out their
life tasks and meet their needs, because people function in term of their
social role, social functioning. “Designates those activities considered
essential for the perfomance of the several roles which each individual,
by virtue of this membership in social group, is called upon to carry out”.
Keberfungsian sosial berhubungan dengan cara-cara berperilaku invidu-individu
dan kolektif-kolektif (keluarga, perkumpulan, masyarakat dan sebagainya) dalam
rangka melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu orang-orang berfungsi dalam kaitannya dengan peranan-peranan
sosial mereka, maka keberungsian sosial merupakan kegiatan-kegiatan yang
dianggap penting untuk menampilkan peranan yang harus dilaksanakan karena
keanggotaannya dalam kelompok sosial. Dengan demikian, keberfungsian sosial
menggambarkan pertukaran yang seimbang, cocok, tepat dan adaptasi timbal
balik diantara orang-orang, individu atau kolektif dengan lingkungannya baik
dilakukan secara individu maupun secara kolektif atau kelompok.
Suatu kelompok dikatakan memiliki keberfungsian sosial apabila : sejumlah
anggotanya telah mencapai kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama;
transmisi gagasan-gagasan sesama anggota berlangsung transparan dan tidak
kabur; individu-individu saling menolong atas dasar kesetaraan untuk memenuhi
kebutuhan mereka; aktivitas-aktivitasnya didukung berdasarkan prinsip-prinsip
hidup kesetiakawanan sosial dengan mendayagunakan sumber dan kesempatan
yang tersedia; pengaruh luar yang negatif yang menyebabkan disorganisasi,
secara efektif mampu diwaspadai dan ditangani hingga minimal.
Menurut Sukoco (1991) keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi
yaitu:
25
1. Keberfungsian
sosial
dipandang
sebagai
kemampuan
melaksanakan
peranan sosial, yaitu sebagai penampilan pelaksanaan peranan yang
diharapkan sebagai anggota suatu kolektifitas.
2. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan, yaitu mengacu pada cara-cara yang digunakan oleh individu,
maupun kolektifitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
3. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan
permasalahan sosial yang dialaminya.
Keberfungsian sosial mempunyai arti dan makna yang banyak sesuai dengan
dengan pendapat beberapa ahli. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan
keberfungsian sosial yaitu interaksi eks penderita kusta yang tergabung dalam
kelompok Keluarga Binaan Sosial - Kelompok Usaha Bersama dalam (1)
menampilkan peranan sosial sesuai dengan status yang dimiliki seperti sebagai
anggota,
pengurus
bagaimana
peranannya
dalam
kelompok
maupun
lingkungannya; (2) meningkatkan kemampuan anggota kelompok di dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
meningkatnya
pendapatnya
hidup
keluarga
dan
sehari-hari,
kesehatan;
ditandai
(3)
dengan
meningkatnya
kemampuan anggota kelompok dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada
baik dalam keluarga, kelompok maupun lingkungan sosialnya yang ditandai
dengan adanya kebersamaan dari kesepakatan dalam pengambilan keputusan
dalam keluarga, kelompok dan lingkungan sosialnya.
2.6. Tinjauan Tentang Eks Penderita Kusta
Penderita kusta adalah seseorang yang mengalami penyakit menular yang
menahun disebabkan oleh kuman kusta (mycrobacterium leprae) yang
menyerang syaraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Eks penderita kusta
adalah penderita penyakit kusta yang telah disembuhkan dari penyakit kusta.
Dengan demikian eks penderita kusta adalah seseorang penderita yang secara
medik telah dinyatakan sembuh dari suatu penyakit yang dinilainya memerlukan
pengobatan yang sangat lama (menahun) dan telah sembuh dengan atau tanpa
menimbulkan kecacatan pada tubuh yang dapat mengganggu pelaksanaan
fungsi sosialnya. (Anonymons, 2002 ).
26
Eks penderita kusta sebagai individu masih memiliki potensi yang dapat
dikembangkan sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan mereka
berhak mendapatkan kesejahteraan sosial yang sama dengan masyarakat pada
umumnya. Eks penderita kusta adalah mereka yang dulunya menderita penyakit
menular yang sifatnya kronis dan menyerang syaraf-syaraf (syaraf motorik,
sensorik, dan otonom) dan kulit dimana mereka sudah mendapatkan rehabilitasi
secara medis dan sosial (Anonymons, 1994).
2.7. Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Keluarga Binaan Sosial adalah keluarga yang terpilih melalui seleksi yang
tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Program KUBE yang
merupakan bagian penting dari program pembangunan kesejahteraan sosial
bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan sosial anggotanya ke arah
kehidupan yang lebih layak. KUBE diharapkan menjadi media pemberdayaan
bagi eks penderita kusta untuk berwirausaha, meningkatkan rasa percaya diri,
harga diri dan tekad kemandirian serta mengurangi ketersisihan eks penderita
kusta dalam masyarakat. Kelompok Usaha Bersama adalah himpunan dari
keluarga yang tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang
atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan
tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan
meningkatkan produktifitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang
harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang
dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Anonymons,
2003).
Tujuan Kelompok Usaha Bersama adalah (1) meningkatkan kemampuan
anggota kelompok KUBE dalam menampilkan peranan-peranan sosialnya, baik
dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan semakin
meningkatnya kepedulian dan rasa tanggungjawab dan keikutsertaan anggota
dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial di lingkungannya, semakin terbukanya
pilihan bagi anggota kelompok dalam pengembangan usaha yang lebih
menguntungkan, terbukanya kesempatan dalam memanfaatkan sumber dan
potensi
kesejahteraan
sosial
yang
tersedia
dalam
lingkungannya;
(2)
meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUBE di dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, ditandai dengan meningkatnya pendapatan
27
keluarga, meningkatnya kualitas pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat
pendidikan, dapat melaksanakan kegiatan keagamaan dan meningkatnya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya; (3) meningkatnya kemampuan
anggota kelompok KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin
terjadi dalam keluarganya maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan
adanya kebersamaan dari kesepakatan dalam pengambilan keputusan di dalam
keluarga, dalam lingkungan sosialnya, adanya penerimaan terhadap penerimaan
pendapat yang mungkin timbul di antara keluarga dan lingkungan, semakin
minimnya perselisihan yang mungkin timbul atau antara orang tua dan anak, dan
lain-lain.
Kehadiran KUBE merupakan media untuk meningkatkan motivasi warga miskin
untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan
kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial
ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses
pasar dan menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang
terkait. Melalui KUBE diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
wawasan berpikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan
manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan berupaya
menggali dan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dilingkungan untuk
keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan dapat menumbuhkembangkan
sikap berorganisasi dan pengendalian emosi yang semakin baik. Diharapkan
dengan
kelompok
KUBE,
dapat
menumbuhkan
rasa
kebersamaan,
kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial,
baik diantara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat yang lebih luas.
Melalui kelompok keluarga binaan sosial dapat saling berbagi pengalaman,
saling berkomunikasi, saling mengenal, dapat menyelesaikan berbagai masalah
dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan sistem KUBE, kegiatan usaha atau
beternak yang tadinya dilakukan sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam
kelompok, sehingga setiap anggota dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan
dalam
usaha
kesejahateraan
sosial
serta
kemampuan
berorganisasi.
Kegiatan
yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat berupa
pengelolaan santunan hidup, iuran kesejahteraan sosial (IKS), arisan, pengajian,
perkumpulan kematian, usaha simpan pinjam, pelayanan koperasi, usaha tolong
28
menolong atau gotong royong, usaha pelayanan sosial untuk orang tidak
mampu, usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial di
lingkungannya dan usaha-usaha kesejahteraan sosial lainnya. Kegiatan yang
dengan usaha ekonomis produktif dapat berupa usaha dagang, jasa, pertanian,
peternakan
dan
lain-lain,
sedangkan
kegiatan
yang
bersifat
penataan
kelembagaan seperti : pengelolaan keuangan, pencatatan dan pelapoaran.
Dengan
kelompok
KUBE
dapat
menumbuhkan
rasa
kebersamaan,
kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial
secara luas karena mereka hidup dalam kelompok. Pengelolaan KUBE dilakukan
melalui pendekatan kelompok dengan pertimbangan (1) warga masyarakat lebih
dinamis dalam mengembangkan kegiatan; (2) adanya proses saling asah, asuh
dan asih sesama warga/anggota kelompok, sehingga setiap anggota bisa saling
berbagi baik dalam ilmu maupun keterampilan ; (3) adanya konsep saling
menolong dan konsolidasi kekuatan bersama antara yang kuat dan yang lemah.
KUBE dibentuk dilandasi oleh nilai filosofi “dari”, “oleh”, dan “untuk” masyarakat.
Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUBE dimanapun adalah berasal
dari
dan
berada
di
tengah-tengah
masyarakat.
Pembentukannya
oleh
masyarakat setempat dan peruntukannya juga adalah untuk anggota dan
masyarakat setempat. Karena konsep yang demikian maka pembentukan dan
pengembangan KUBE harus bercirikan nilai dan potensi yang tersedia di
lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM (anggota
KUBE ) yang ada.
Pengembangan KUBE dapat dilakukan antara lain
dengan (1) penambahan
modal usaha bisa diperoleh dengan cara kerjasama kemitraan dengan koperasi,
Bank
Pemerintah
setempat
atau
bantuan
pengembangan
KUBE;
(2)
penambahan/pengembangan jenis usaha. Dalam penambahan/pengembangan
jenis usaha didasarkan pada kebutuhan pasar; (3) penambahan jumlah anggota.
Penambahan jumlah anggota dapat dilakukan apabila usaha KUBE memerlukan
jumlah tenaga yang lebih banyak, dana iuran kesetiakawanan sosial yang
dihimpun sudah cukup jumlahnya untuk digulirkan kepada warga setempat yang
memerlukan modal usaha; (3) pembentukan kelompok baru.
29
Indikator keberhasilan Kelompok Usaha Bersama yaitu :
1. Bidang Kegiatan Kelembagaan
a. Kepengurusan dan pembagian tugas sudah ada dan sudah dijalankan
sebagaimana mestinya.
b. Administrasi kelompok, yang meliputi: buku daftar anggota kelompok,
buku tamu, buku kegiatan/agenda kelompok, buku kas/keuangan, buku
inventaris, buku simpan pinjam, sudah ada dan sudah diterapkan dengan
baik.
c. Proses pengambilan keputusan sudah didasarkan atas musyawarah
anggota.
d. Pertemuan sudah berlangsung secara rutin dan dilakukan pencatatan
serta ditindaklanjuti.
2. Bidang Kegiatan Sosial
a. Motivasi kelompok sudah baik ditunjukkan dengan minimal 2/3 kehadiran
anggota pada setiap pertemuan yang diadakan.
b. Kerjasama kelompok sudah baik yang dilihat dari koordinasi dan
kekompakan kelompok.
c. Kepedulian sosial sudah baik yang ditunjukkan dengan kesediaan
membantu anggota dan tetangga yang mengalami kesulitan.
d. Usaha simpan pinjam KUBE sudah dapat dimanfaatkan oleh keluarga.
e. Anggota keluarga taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan rukun
keagamaan.
3. Bidang Kegiatan Ekonomi
a. Meningkatnya pendapatan keluarga.
b. Simpan pinjam sudah berkembang dengan baik.
c. Kemitraan, sudah terjalin dengan baik dengan berbagai kelompok
masyarakat bisnis.
Secara spesifik keberhasilan KUBE dalam kajian ini dapat dilihat dari 3 aspek
yaitu aspek sosial meliputi motivasi berkelompok, peran masyarakat, rasa turut
memiliki, kepedulian sosial, dan kerjasama, aspek ekonomi meliputi peningkatan
30
perekonomian anggota kelompok KBS-KUBE dan aspek kelembagaan yang
meliputi struktur dan kultur. Secara struktur meliputi pelapisan kelompok, pola
hubungan dan komunikasi, kepemimpinan, konflik dalam kelompok dan
mekanisme kerja sedangkan secara kultur meliputi nilai dan norma serta tata
perilaku dalam kelompok.
2.8. Kerangka Konseptual
Pengembangan program pemberdayaan masyarakat didasarkan pada kenyataan
bahwa setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat digerakkan untuk
mengatasi masalah kebutuhan mereka dengan prinsip dari, oleh dan untuk
masyarakat. Agar masyarakat mau dan mampu untuk mengembangkan dan
mendayagunakan berbagai potensi secara optimal, maka mereka perlu diberikan
bimbingan, bantuan stimulan dan pemberian lainnya (Anonymons, 1998).
Strategi
pengembangan
masyarakat
dengan
pendekatan
pemberdayaan
(empowerment) yang integral dan holistik dengan menempatkan komunitas
sebagai subyek pembangunan. Pemberdayaan pada hakikatnya adalah
pendelegasian tanggung jawab dan pembuatan keputusan kepada tingkat
kewenangan yang paling rendah di dalam organisasi masyarakat.
Langkah-langkah penerapan strategi pemberdayaan komunitas dapat secara
efektif dan efisien dilaksanakan melalui kelompok-kelompok yang ada dalam
komunitas.
Pemberdayaan
kelompok
merupakan
upaya
peningkatan
kemandirian dan kemampuan kelompok agar mampu menjadi wahana
peningkatan kesejahteraan anggota kelompok.
Salah satu pendekatan untuk mengembangkan dan membangun kemandirian
masyarakat adalah pengembangan komunitas melalui pendekatan kelompok
dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE). Melalui kelompok proses
adopsi terhadap upaya-upaya pembangunan dapat dipercepat melalui interaksi
sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain
(Vitalaya, 1996).
Untuk melihat suatu kelompok maka diperlukan analisis kelompok yang meliputi
jejaring sosial, integrasi sosial, solidaritas sosial dan kohesivitas sosial.
Keberadaan kelompok KBS-KUBE dalam suatu komunitas eks penderita kusta
tidak berdiri sendiri melainkan banyak juga kelompok-kelompok lain dalam
31
komunitas. Untuk memahami masalah dan akar masalah kelompok KBS-KUBE
maka diperlukan konsep-konsep jejaring sosial, integrasi sosial, solidaritas sosial
dan kohesivitas sosial. Suatu komunitas pada dasarnya tidak akan bisa
menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Begitu juga
dengan
eks penderita
kusta
memerlukan
pihak
lain
untuk membantu
memecahkan permasalahan yang ada. Untuk memecahkan permasalahan
tersebut diperlukan jejaring (network) antar lembaga secara kolaboratif yaitu
suatu jejaring yang bersifat informal, transparan, menampilkan kesetaraan,
mengandalkan
komitmen,
mensinergikan
upaya
dan
mengembangkan
kesadaran kritis serta berfungsi pula sebaga kontrol sosial. Dengan prinsipprinsip tersebut jejaring akan mampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang
diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas melalui pertukaran informasi,
pengalaman dan pengetahuan serta penyediaan sumber daya di tingkat
komunitas (Tonny, 2004).
Di dalam komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget terdapat kelompok
antara lain kelompok KBS-KUBE, kelompok Nahdatul Ulama (NU), Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Agar kelompok – kelompok tersebut saling
mendukung dan menguatkan integrasi sosial dapat mulai dengan melihat
kelompok-kelompok tersebut sebagai komponen-komponen dari suatu sistem.
Artinya perlu diciptakan adanya komunikasi antar kelompok agar mereka saling
berinteraksi dan berhubungan untuk selanjutnya saling membutuhkan dan
menciptakan komitmen mencapai tujuan yang sama (Nitimihardjo, 2003).
Suatu kelompok yang mempunyai tingkat kohesivitas tinggi adalah kelompok
dimana anggota-anggotanya memiliki tingkat keterikatan pada kelompok cukup
tinggi. Konsekuensi dari kohesivitas tinggi adalah para anggota akan tetap
berada dalam kelompok bekerja bersama-sama mencapai tujuan kelompok. Hal
tersebut dimungkinkan karena mereka memandang bahwa dengan tetap berada
dalam kelompok dapat memperoleh apa yang mereka harapkan. Menurut
Ivancevich (1977) faktor – faktor yang dapat meningkatkan kohesivitas kelompok
adalah : kesepakatan anggota terhadap tujuan kelompok, tingkat keseringan
berinteraksi, adanya keterikatan pribadi, adanya persaingan antar kelompok,
adanya evaluasi yang menyenangkan dan adanya perlakuan antar anggota
dalam kelompok sebagai manusia bukan sebagai mesin.
32
Suatu masyarakat memiliki tingkat integrasi sosial tinggi apabila masyarakat
tersebut memiliki solidaritas sosial yang mencerminkan adanya ikatan sosial
berupa kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral atau adanya saling
hubungan
dan
ketergantungan
fungsional
yang
mencerminkan
adanya
kesadaran kolektif (Nitimihardjo. 2003)
Pembentukan KUBE dengan jumlah anggota sepuluh orang dimaksudkan agar
setiap anggota saling mengenal, kontak lebih sering yang pada gilirannya akan
memperlancar pengelolaan KUBE. KUBE dimaksudkan untuk mewujudkan
keberfungsian sosial para anggota KUBE dan keluarganya, yang meliputi
meningkatnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seharihari dan berubahnya sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahanpermasalahan
yang
dihadapi
serta
meningkatnya
kemampuan
dalam
menjalankan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat serta meningkatkan
rasa percaya diri.
Melalui kelompok, setiap anggota kelompok dapat saling berbagi pengalaman,
saling berkomunikasi, saling mengenal, sehingga dapat menyelesaikan berbagai
masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Keberadaan usaha-usaha ekonomis
produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUBE hanya sebagai sarana
bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa aspek ekonomi atau
UEP (Usaha Ekonomi Produksi) dalam KUBE sebagai tujuan dan sering
dijadikan ukuran keberhasilan KUBE. Ini adalah suatu hal yang keliru
(Anonymons, 2003).
Setelah dilaksanakan evaluasi terhadap Kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget
maka ada permasalahan yang menyangkut aspek individu dan kelompok. Aspek
individu
berkaitan
dengan
terbatasnya
keterampilan
individu
dalam
berorganisasi, dan terbatasnya kemampuan individu dalam produksi kambing.
Adapun secara kelompok meliputi keterbatasan berinteraksi antar anggota
kelompok baik di dalam kelompok KBS-KUBE maupun di luar. Dengan adanya
permasalahan tersebut maka
diperlukan penguatan individu dan kelompok
supaya eks penderita kusta dapat berdaya dan akhirnya dapat meningkatkan
keberfungsian sosialnya.
33
Sosial
Masalah
Eks
Penderita
Kusta
Psikologi
Solusi
Melalui
KUBE
Ekonomi
Keberfungsian
sosial
meningkat
Ideal
Evaluasi
KUBE
Sosial –
Organisasi
Permasalahan
- Kelompok
- Individu
Ekonomi
Produksi
Kelompok
Keberfungsian
sosial tercapai
Kelembagaan
KBS -KUBE
Permasalahan
Individu
Gagasan pemecahan masalah
Gambar 3. Kerangka Konseptual Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta
Melalui Penguatan Individu dan Kelompok
33
2.9. Definisi Konseptual
1. Masalah eks penderita kusta adalah sesuatu yang dirasakan oleh eks
penderita kusta sebagai yang tidak mengenakan baik masalah sosial,
psikologi maupun ekonomi.
2. Masalah sosial eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan dengan
belum bisa diterima sepenuhnya eks penderita kusta dalam kehidupan
masyarakat di luar komunitasnya.
3. Masalah psikologi eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan
dengan rasa minder dan kurang percaya diri yang dialami oleh eks penderita
kusta.
4. Masalah ekonomi eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan
dengan rendahnya tingkat pendapatan anggota kelompok KBS-KUBE.
5. KBS-KUBE
adalah
penerima
bantuan
stimulan
program
Bantuan
Kesejahteraan Sosial yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama.
6. Kelompok Usaha Bersama adalah suatu program yang dilaksanakan oleh
Departemen sosial untuk mengatasi permasalahan sosial, psikologi dan
ekonomi eks penderita kusta dalam bentuk kelompok.
7. Sosial – Organisasi adalah bentuk interaksi sosial yang dialami oleh antar
anggota dalam suatu kelompok sebagai sebuah organisasi.
8. Ekonomi produksi adalah jumlah produksi kambing yang dihasilkan oleh eks
penderita kusta sebagai anggota KBS-KUBE.
9. Kelembagaan KBS – KUBE adalah berkaitan dengan struktur dan kultur
kelompok KBS-KUBE (infra sturktur KBS-KUBE).
10. Kelompok adalah kelompok sebagai organisasi kelompok Keluarga Binaan
Sosial – Kelompok Usaha Bersama.
11. Individu adalah
anggota kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok
Usaha Bersama.
12. Keberfungsian sosial adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup
ditandai dengan meningkatnya kualitas pangan dan kesehatan, mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi baik permasalahan kelompok,
keluarga dan lingkungan sosialnya ditandai dengan minimnya perselisihan
yang mungkin timbul , menampilkan peranan-peranan sosialnya ditandai
dengan semakin meningkatnya kepedulian sosial.
35
III. METODOLOGI KAJIAN
3.1. Metode dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan partisipatif. Pendekatan
kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya,
berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka
tentang dunia sekitarnya (Nasution, 2003). Metode kajian yang digunakan adalah
non survey, untuk menggali informasi pada tataran tineliti dengan menggunakan
instrumen diskusi kelompok, wawancara mendalam, observasi lapangan dan
studi kasus. Semua hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok dan observasi
lapangan didokumentasikan dalam bentuk catatan harian (seperti terlihat dalam
lampiran), semua data disajikan dalam bentuk kutipan langsung, ataupun dalam
bentuk tabel. Dalam kajian ini dari lima Kelompok KBS-KUBE yang ada di Dusun
Nganget Desa Kedungjambe diambil dua Kelompok KBS-KUBE, yaitu Kelompok
KBS-KUBE Bangkit Mulia sebagai kelompok KBS-KUBE yang progresif dan
kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sebagai kelompok KBS-KUBE yang pasif.
Pendekatan partisipatif yaitu sejumlah metode dan teknik serta persiapan yang
diperlukan untuk melakukan kajian potensi, identifikasi dan disain masalah,
menyusun rancangan kegiatan dan implementasinya pada suatu program/proyek
yang memungkinkan berbagai pihak terlibat. Tujuannya adalah menjaring
aspirasi
dan
partisipasi
masyarakat/stakeholder
dalam
suatu
program
pembangunan seefektif mungkin.
Melalui pendekatan partisipatif diharapkan dapat memperoleh informasi yang
mendalam mengenai proses pembentukan kelompok KBS – KUBE, masalah dan
akar masalah KBS –KUBE. Pendekatan partisipatif dilakukan
bersama-sama
dengan eks penderita kusta melalui diskusi kelompok untuk dapat memahami
peranan kelompok dalam memberdayakan anggotanya sehingga anggota
kelompok dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban atau peranan-peranannya.
Tipe kajian ini menggunakan pendekatan subyektif mikro (Sitorus dan Agusta
2004), yaitu dalam upaya memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh
mengenai pola perilaku, tindakan dan interaksi anggota kelompok KBS – KUBE.
Aras analisis yaitu kelompok KBS – KUBE dan individu sebagai anggota
kelompok.
36
3.2. Lokasi dan Waktu
Lokasi kajian adalah permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
Lokasi tersebut adalah merupakan satu-satunya permukiman eks penderita kusta
di Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini adalah sebagai kelanjutan dari Praktek
Lapangan I dan Praktek Lapangan II. Dusun Nganget ini letaknya yang sangat
strategis yaitu antara jalur Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban.
Dengan jalur tersebut akan memudahkan eks penderita kusta untuk menjangkau
berbagai pelayanan pengobatan. Dusun Nganget juga tidak terlalu jauh dengan
pasar hewan Desa Kedungjambe sehingga bagi eks penderita kusta akan
mudah mengakses bila ingin menjual dan membeli kambing.
Kajian ini, sudah dimulai dengan Praktek Lapangan I tanggal 9 sampai dengan
24 November 2004 berupa pemetaan sosial, kemudian dilanjutkan Prakek
Lapangan II tanggal 21 Februari sampai dengan 5 Maret 2005 berupa evaluasi
kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Kemudian dilanjutkan Praktek
Lapangan III bulan Juni sampai Juli 2005 dengan fokus merancang program
pengembangan masyarakat berupa pemberdayaan komunitas eks penderita
kusta melalui penguatan individu dan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget
Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa
Timur. Berikut ini rencana kajian pengembangan masyarakat.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan kajian pengembangan masyarakat di Dusun
Nganget Desa Kedungjambe Tahun 2005.
2004
No
1
2
3
Kegiatan
Pemetaan Sosial (PL-1)
Evaluasi kegiatan
Pengembangan masyarakat
(PL –2)
Pembuatan rencana kerja
Lapangan (proposal)
4
Pengumpulan data kajian(PL-3)
5
Pengolahan, analisis data dan
Penyusunan laporan KPM
11
12
2005
1
2
3
V
V
4
5
V
V
6
7
V
V
8
9
V
V
V
37
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam kajian yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer, adalah data yang bersumber dari kelompok subyek dan informan
diperoleh melalui metode partisipatif. Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari data statistik, laporan, literatur dan data desa yang diperoleh melalui
kegiatan studi dokumentasi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) Observasi langsung; (2)
Wawancara mendalam ; (3) Studi Dokumentasi; (4) Diskusi Kelompok. Teknik ini
berkenaan dengan proses pelibatan partisipan dalam penggalian data, baik
secara individual, kelompok, dan komunitas yaitu :
1. Observasi lapangan yaitu bahwa peneliti datang ke lapangan mengadakan
observasi langsung ke Dusun Nganget ditemani oleh seorang informan. Data
yang akan diperoleh yaitu mengenai potensi sumber daya alam seperti padang
pengembalaan, aktifitas keseharian eks penderita dan sebagainya.
2. Studi dokumentasi ini peneliti lakukan ke berbagai stakeholder yang
mempunyai hubungan
dengan eks penderita kusta seperti Dinas Sosial,
Kantor Desa, Panti dan sampai pada tingkat RT serta pengurus KUBE dan
Kelompok KBS–KUBE. Data yang akan diperoleh yaitu mekanisme kerja
Kelompok Usaha Bersama (KUBE), jumlah eks kusta yang menerima KUBE,
perkembangan KUBE, administrasi pelaksanaan KUBE.
3. Wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses temu muka
berulang antara peneliti dan subyek peneliti. Melalui cara ini peneliti hendak
memahami pandangan subyek tentang hidupnya, pengalamannya dan situasi
sosial. Wawancara mendalam berlangsung dalam suasana kesetaraan, akrab
dan informal. Wawancara ini dapat diwakili beberapa kelompok atau lembaga
yang ada di permukiman eks penderita kusta. Seperti kyai Ysf wakil dari
kelompok Nadhatul Ulama (NU) sekaligus ketua KUBE , Pak Rsln wakil dari
kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) wakil ketua KUBE dan Pak
Ykp wakil dari kelompok Kristen (pegawai panti/), dan Kepala Panti sebagai
tokoh formal. Data yang ingin diperoleh adalah mengenai dampak kegiatan
KUBE terhadap anggota, permasalahan dan kendala perkembangan KUBE,
kelembagaan yang dapat mendukung perkembangan KUBE.
38
Dalam komunitas eks penderita kusta di Dusun Nganget tokoh agama dan
pegawai masih sangat dihormati. Hal
ini disebabkan pada awalnya mereka
adalah kelayan dalam rumah sakit kusta Nganget. Kyai Jsf sebagai tokoh
Nahdatul
Ulama
(NU)
merupakan
tokoh
panutan
warga
NU
karena
pengetahuannya tentang agama melebihi warga lainnya, pengetahuan ini
diperoleh
melalui
pendidikan
pesantren
serta
tujuan
hidupnya
yang
diperuntukkan untuk menolong warga NU dalam memperoleh kepercayaan diri
serta bisa membangun masjid dan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ). Selain itu
hubungan dengan kelompok KBS – KUBE yaitu bahwa Kyai Jsf adalah Ketua
Pengurus KUBE.
Pak Rsln adalah seorang Amir dalam kelompok warga Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) yang segala perilakunya dianut dan dipatuhi oleh warganya, ini
diperoleh karena pengetahuan agamanya yang melebihi warga yang lain dan
sebagai tokoh pertama yang membawa LDII ke komunitas eks penderita kusta
Dusun Nganget. Selain sebagai Amir Pak Rsln juga ketua RT.05 sekaligus wakil
ketua Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sehingga mempunyai pengaruh dalam
pengelolaan KUBE.
Sedangkan Pak Ykp adalah tokoh Kristen dan Pegawai senior yang dulu
merawat eks penderita kusta yang dulunya menjadi kelayan di rumah sakit kusta
sehingga masih mempunyai pengaruh terhadap eks penderita kusta yang
sekarang menjadi anggota KBS-KUBE. Dengan pengaruh Pak Ykp maka
diharapkan bisa memotivasi eks penderita kusta untuk
mengembangkan KBS-
KUBE.
4. Diskusi kelompok. Diskusi kelompok lebih merupakan proses komunikasi dua
arah antara kelompok dengan peneliti. Peneliti mengadakan diskusi dengan
pengurus KUBE dan kelompok – kelompok KBS, koordinator (panti), Pemerintah
Desa, kelompok –kelompok yang ada di permukiman (LDII, NU dan Umat
Kristiani), serta Ketua Rukun Tetangga (RT), dilakukan melalui diskusi kelompok
dengan kelompok-kelompok KBS – KUBE. Data yang ingin diperoleh adalah
performa kelompok KBS-KUBE, masalah dan akar masalah serta potensi dan
sumber lokal.
39
Tabel 2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Kelompok KBS-KUBE di
Dusun Nganget Tahun 2005
Teknik Pengumpulan Data
Tujuan
Untuk
mengetahui
profil kelompok
Jenis Data
Profil KBS
KUBE
Sumber Data
–
• Pengurus
Observasi
Wawancara
Studi
Dokumentasi
Diskusi
Kelompok
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
KUBE
• Hasil PL 2
• Koordinator
KUBE
(Pegawai
panti).
Untuk
mengetahui
proses
pembentukan
kelompok
Proses
pembentukan
kelompok
• Pengurus
KUBE
• Hasil PL 2
• Koordinator
KUBE
(Pegawai
panti)
-
• Anggota Klpk
KBS-KUBE
Untuk
mengetahui
dinamika internal
dan eksternal
KBS –KUBE
Dinamika
internal dan
eksternal KBSKUBE
a. Jejaring
b. Solidaritas
• Kelompok
KBS-KUBE
• Pengurus
KUBE
• Koordinator
KUBE
c. Integritas
d. Kohesivitas
• Kelompok
KBS-KUBE
Untuk
mengetahui
masalah dan
akar masalah
keberhasilan
perkembangan
kelompok KBSKUBE
Permasalahan
KBS – KUBE
Untuk
mengetahui
potensi dan
sumber
• Organisasi
lokal
• Tokoh
masyarakat
• Pasar
• Tokoh
Agama
• Pengurus
KUBE
• Koordinator
KUBE
• SDA
• Kepala Panti
40
3.4. Pengolahan Data
Dalam menganalisis data penulis menggunakan tiga alur : reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman dalam Sitorus
dan Agusta, 2004). Reduksi data dalam proses pengumpulan data meliputi
kegiatan meringkas data, mengkode, menelusur tema, membuat gugus,
membuat
partisi
dan
menulis
memo.
Kegiatan
ini
berlangsung
sejak
pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan.
1. Reduksi data
Data yang diperoleh dari lapangan yang jumlahnya tidak terbatas, maka
peneliti harus melakukan reduksi, yaitu hanya memilih hal-hal yang pokok
dan tema-tema yang relevan dengan fokus kajian.
2. Penyajian data
Penyajian data bisa dalam bentuk matriks, network, dan lain-lain yang
memungkinkan data hasil kajian tidak tercampur dengan data yang belum
diolah.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Suatu upaya untuk mencari model, tema atau hal – hal yang sering muncul
sehingga didapat suatu kesimpulan yang semakin lama semakin jelas seiring
dengan semakin banyak data yang diperoleh.
3.5. Penyusunan program
Program pemberdayaan eks penderita kusta yang akan disusun menempatkan
partisipasi sebagai proses utamanya. Program disusun bersama masyarakat
secara partisipatif sedangkan penulis hanya sebagai pendamping dalam proses
perencanaan, yang dilakukan oleh masyarakat. Hasil Praktek Lapangan l dan
Praktek Lapangan II hanya sebagai pendukung. Pada saat PL I dan II telah ada
kontak dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam permasalahan KBS-KUBE,
seperti panti sebagai koordinator/pendamping KUBE, pengurus KUBE dan
kelompok KBS-KUBE
pihak-pihak tersebut kemudian diikutsertakan dalam
kegiatan
program.
penyusunan
Pada
tahap
pertama
diskusi
kelompok
dilaksanakan dengan pengurus dan anggota kelompok KBS-KUBE, tahap kedua
41
diskusi kelompok dilaksanakan dengan pengurus KUBE, tahap ketiga diskusi
kelompok dilaksanakan dengan koordinator/pendamping KUBE dan pada tahap
kelima diskusi kelompok melibatkan semua unsur baik kelompok KBS-KUBE,
pengurus KUBE mapun koordinator/pendaping KUBE. Teknik yang akan
digunakan dalam penyusunan program adalah diskusi kelompok. Teknik ini
digunakan untuk menganalisis situasi, masalah-masalah dan kebutuhan yang
terjadi dalam kelompok, kiat-kiat mendayagunakan potensi yang ada, dan
penciptaan interaksi dengan kelembagaan yang ada, baik di dalam permukiman
atau di luar.
42
IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE KECAMATAN SINGGAHAN
KABUPATEN TUBAN
Peta sosial suatu komunitas menjadi sangat penting artinya bagi pelaksanaan
pengembangan masyarakat. Dengan peta sosial akan diketahui potensi, sumber
dan
permasalahan-permasalahan
yang
ada
serta
peluang
yang
dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat melalui potensi lokal
yang dimiliki oleh suatu komunitas. Pemetaan sosial juga dilaksanakan sebagai
bahan masukan
dan
analisis
aspek-aspek kehidupan
suatu komunitas
khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pemberdayaan eks penderita kusta
melalui penguatan kelompok KBS –KUBE.
Peta sosial meliputi sejarah permukiman komunitas eks penderita kusta,
performa Dusun Nganget dan Dusun Krajan, data kependudukan, pendidikan,
sistem ekonomi, struktur komunitas, organisasi dan kelembagaan, sumber daya
lokal, masalah sosial dan potensi alam. Berdasarkan laporan praktek lapangan I
yang telah dilaksanakan, peta sosial yang akan dikemukakan di bawah ini adalah
berlokasi di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget Desa Kedungjambe
Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
4.1. Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget
Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget terjadi kira-kira pada
jaman Belanda I. Pada waktu itu sudah ada beberapa warga yang menempati
dusun tersebut dan bahkan sudah ada kepala Dusun yaitu Pak Nydd sebagai
Kepala Dusun pertama, Pak Trj sebagai Kepala Dusun kedua dan Pak Mrd
Kepala Dusun Ketiga. Pada Tahun 1935 Dusun Nganget oleh Kolonial Belanda
dijadikan perkampungan leproseri (perkampungan kusta/lepra) sampai dengan
tahun 1946.
Pada saat itu yang menjadi Mantri Kesehatan Kusta Pertama
adalah Pak Yhn S dan Kepala Dusun Nganget dijabat oleh Pak Mrd, sedangkan
penduduk yang sebelumnya menempati dusun tersebut diberi ganti rugi oleh
Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya keluar dari dusun dan menyebar di
Desa Kedungjambe dan sekitarnya.
43
Setelah sebelas tahun sebagai perkampungan leproseri (perkampungan kusta)
maka pada tahun 1947 dibangun Rumah Sakit Kusta Nganget Tuban di bawah
dokter Karesidenan Bojonegoro sampai dengan tahun 1968.
Dokter yang
memimpin Rumah Sakit Kusta tersebut adalah dokter Stl yang berkedudukan di
Jakarta. Setelah tahun 1969 diserahkan ke Provinsi Jawa Timur dengan nama
Rumah Sakit Kusta Tingkat I dibawah Dinas Kesehatan Tingkat I, pimpinan
Rumah Sakit dijabat
kembali oleh Pak Yhn S (mantri kesehatan) dengan
penghuni pasien kusta sebanyak 221 orang, ini berlangsung sampai dengan
tahun 1985.
Pada tahun 1985 bagi pasien kusta yang sudah dinyatakan sembuh oleh Rumah
Sakit selanjutnya
dibuatkan rumah oleh Departemen Sosial melalui Kantor
Wilayah Departemen Sosial Provinsi Jawa Timur pada waktu itu sebanyak 55
buah melalui tiga tahap. Pada tahap pertama berjumlah 25 buah, tahap kedua
sebanyak 15 buah dan tahap ketiga sebanyak 15 buah. Tonggak sejarah adanya
pemukiman eks kusta yaitu tahun 1985 dan sampai sekarang dengan jumlah
penduduk sebanyak 464 jiwa. Daerah dimana eks kusta membuat permukiman
ada dua desa yaitu sebagian Desa Mulyorejo dan Desa Kedungjambe namun
masih dalam wilayah Kecamatan Singgahan. Eks penderita kusta secara wilayah
menempati dua desa tapi secara kependudukan masuk dalam Dusun Nganget
Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan.
4.2. Performa Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget dan
Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe.
Komunitas Dusun Nganget merupakan komunitas campuran artinya bahwa yang
menjadi warga dusun adalah orang yang sehat (bukan eks penderita) yaitu
keluarga dari eks penderita kusta seperti anak, istri, suami ataupun keluarga
yang lain serta pegawai beserta keluarganya. Mereka menempati Dusun
Nganget baru sekitar tahun 1935 sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda
menangani para penderita kusta.
Sedangkan warga pada Dusun Krajan merupakan penduduk yang sudah sangat
lama menempati dusun tersebut. Secara geofrafis Dusun Krajan berada di jalan
raya yang menghubungkan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Performa kedua
dusun tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
44
Tabel 3. Performa Komunitas Dusun Nganget dan Komunitas Dusun Krajan
Desa Kedungjambe Tahun 2005.
Performa Komunitas
Sumber Nilai dan
Norma
Dusun Nganget
Dusun Krajan
ƒ
Bagi tamu yang baru
datang tidak akan
diajak berjabat tangan
ƒ
Bagi tamu yang baru
datang diajak
berjabat tangan.
ƒ
Pemberian makanan
selalu yang
terbungkus / dalam
kemasan (seperti
pisang, aqua, permen)
ƒ
Pemberian makanan
sifatnya bisa terbuka
dan tertutup.
Norma lokal
Mobilitas sosial
Mobilitas sosial hanya
terbatas pada
komunitasnya atau orangorang yang sudah dikenal,
bila keluar komunitas atau
belum dikenal ada rasa
minder dan kurang
percaya diri.
Mobiltas sosial tidak
terbatas bisa keluar
komunitas tanpa
perasaan minder dan
kurang percaya diri.
Lapisan Sosial
Pegawai Negeri
menempati lapisan
teratas. Ini disebabkan
bahwa pegawai negeri
adalah sebagai orang
yang menolong mereka
pada saat mereka di
rumah sakit kusta
Nganget.
Kyai menempati lapisan
teratas. Ini disebabkan
karena kyai mempunyai
kepedulian terhadap
permasalahan warga.
Kyai mempunyai
kelebihan secara
keilmuan baik agama
maupun ilmu yang lain
seperti pengobatan.
Pola Hubungan Sosial
Ketetanggaan dan
pertemanan, organisasi
hanya di bidang
keagamaan
Melalui organisasi seperti
PKK, Arisan, Tahlilan,
Remaja Masjid, NU,LDII.
Sumber : Wawancara masyarakat di Dusun Nganget dan Dusun Krajan tahun
2005
Pola hubungan yang dimaksud disini adalah bahwa komunitas di Dusun Nganget
dalam melakukan suatu aktifitas tidak menggunakan organisasi yang sifatnya
formal sehingga di Dusun Nganget tidak banyak organisasi yang
Dusun Nganget hanya ada
formal. Di
lembaga keagamaan dan sebuah yayasan yaitu
45
yayasan Bina Putra yang beberapa tahun yang lalu digunakan oleh warga
Nganget untuk mencari bantuan pembangunan Masjid dan Gereja. Namun untuk
sebuah kelompok informal yang tidak memiliki kepengurusan lebih banyak
seperti kelompok-kelompok sosial, kulon kali, pucung, ataupun kelompokkelompok yang sifatnya spontan.
Di Dusun Krajan pola hubungan bersifat formal ini ditandai dengan tumbuhnya
organisasi – organisasi formal seperti arisan, PKK, kelompok tani, Karang
Taruna, kelompok tahlilan baik bapak-bapak maupun ibu-ibu yang memerlukan
kepengurusan. Interaksi sosial yang terjadi di Dusun Nganget antara warga
terjadi pada sela-sela pekerjaan sampai dengan sore hari sedang pada malam
hari komunitas Nganget khususnya eks penderita kusta lebih banyak tinggal di
dalam rumah, sedangkan di Dusun Krajan interakasi sosial bisa sampai dengan
malam hari di warung-warung atau ogek (tempat duduk yang dibuat untuk
ngobrol di halaman rumah/pinggir jalan).
Nilai dan norma yang berlaku pada dusun Nganget yaitu berasal dari Agama
/Pemerintah dan norma lokal. Nilai dan norma yang bersumber dari agama
berupa larangan dan anjuran dari kitab suci agama yang dianutnya, dari
pemerintah yaitu peraturan-peraturan pemerintah seperti pembayaran pajak bumi
dan bangunan sedangkan normal lokal adalah norma-norma yang berkembang
di tingkat lokal, hanya berlaku ditempat tertentu dan tidak berlaku di tempat lain.
Perbedaan pada kedua komunitas hanya terletak pada norma lokal, bila dusun
Nganget ada kekhususan bagi para tamu yang datang atau yang berkunjung ke
permukiman yaitu warga tidak akan memberi makanan yang sifatnya terbuka tapi
tertutup seperti pisang, permen, air kemasan dan tidak pernah mengajak jabat
tangan pada orang yang baru dikenalnya.
Mobilitas sosial
komunitas Dusun Nganget sangat terbatas ini disebabkan
stigma yang diberikan masyarakat kepada eks penderita kusta sehingga
komunitas hanya berinteraksi di kelompoknya atau disekitar lingkungan yang
sudah mengenalnya. Masyarakat pada umumnya mempunyai anggapan yang
keliru terhadap eks penderita kusta seperti (1) merupakan penyakit kutukan
Tuhan atau pengaruh kekuatan ilmu gaib ; (2) merupakan penyakit menular dan
turunan maka penderita harus diasingkan ditempat terpencil ; (3) merasa ngeri
dan jijik yang amat sangat apabila bersinggungan dengan penderita. Pengertian
46
yang salah dan sudah berakar di masyarakat ini dipandang dari kesehatan dan
sosial sangat merugikan.
Lapisan sosial yang terjadi di Dusun Nganget bersumber pada struktural dan
agama sedangkan di Dusun Krajan bersumber pada agama dan kekayaan.
Di
Dusun Nganget lapisan sosial paling tinggi adalah kelompok pegawai karena
secara struktur semua warga eks penderita kusta adalah di sebagian besar
berasal dari Rumah Sakit atau panti. Di Dusun Krajan lapisan sosial yang tinggi
adalah tokoh agama.
Bila dilihat dari semangat kerja di komunitas Dusun Nganget yaitu semangat
atau motivasi kerja yang tinggi dibanding Dusun Krajan. Warga Komunitas Dusun
Nganget walaupun mereka tidak mempunyai jari atau tidak mempunyai kaki
mereka tetap mencangkul di sawah dan hampir seharian berada di sawah atau
ladang, sehingga pada malam harinya lebih banyak di dalam rumah.
Solidaritas kedua dusun juga berbeda ini disebabkan masing-masing dusun
mempunyai latar belakang yang berbeda. Di Dusun Nganget solidaritas sosial
terbentuk karena mereka mempunyai perasaan senasib, mengalami kesulitan
secara bersama-sama dan secara terus menerus. Dengan demikian apabila
kepentingan kelompok terancam, maka dengan segera mereka akan bertindak
progresif bisa menimbulkan perilaku anarkis.
4.3. Proses Stigmatisasi Terhadap Eks Penderita Kusta
Stigmatisasi biasanya didefinisikan sebagai penggunaan stereotipe atau
penanda untuk memberikan suatu penegasan pada kelompok atau seseorang.
Stigma yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda' merujuk pada pola karakteristik
untuk menyudutkan mereka yang menyandang ‘tanda' ini. Stigma inilah yang
kemudian menyelubungi berbagai ketidakpahaman yang membatasi segala
sudut pandang dan tentunya memunculkan suatu penilaian yang buruk. Hal-hal
ini
terwujud
dalam
pemahaman
yang
kabur,
ketidakpercayaan,
pola
penyeragaman, penyebaran ketakutan, suatu hal yang memalukan, kebencian,
dan sikap-sikap peminggiran. Stigmatization (Goffman, 1963) dalam Panjaitan,
Nitimihardjo , Fahruddin (2004) adalah proses dimana suatu atribut yang dinilai
negatif menyebabkan identitas seseorang menjadi tercemar atau rusak.
Beberapa stigma yang ada dalam masyarakat menyangkut epilepsi, cacat , buta,
47
pencandu, narkoba, HIV/AIDS, sakit mental dan eks penderita kusta. Identitas ini
dianggap sebagai status utama orang yang bersangkutan dan orang lain
cenderung mengkaitkannya dengan begitu banyak ketidaksempurnaan. Labeling
theory ( Wiggins, 1997) dalam Panjaitan, Nitimihardjo , Fahruddin (2004)
mengatakan dengan memberikan seseorang label menyangkut identitas
stigmatis akan membangkitkan skema kepercayaan orang lain tentang
bagaimana orang yang terstigma itu akan bertingkah laku.
Dalam kajian ini eks penderita kusta adalah salah satu korban dari dampak
stigma yang diberikan oleh masyarakat. Proses stigmatisasi terhadap eks
penderita kusta dapat dilihat dari aspek klinis, psikologi dan sosial.
1. Aspek Klinis
Perkembangan klinis berdasarkan pemeriksaan histopa tologik dan tanda
yang timbul kusta dibagi menjadi 4 tipe :
a. Tipe I atau disebut indeferent -------- indeterminate
Merupakan tanda-tanda permulaan dari kusta yang menyerang pada
jaringan kulit dan saraf dengan tanda-tanda : (1) bercak keputihan/noda
seperti panu sebesar uang logam, kadang bercak datar merah ; (2)
perasaan kulit pada bercak mulai berkurang terhadap suhu sakit dan tidak
sakit/anastese gejala ini disebut reaksi lepromin.
Pada tipe ini masyarakat yang berdekatan (teman, keluarga, tetangga )
sedikit – demi sedikit sudah mulai bertanya-tanya tentang bercak putih
tersebut, karena dirasa aneh, tidak sama dengan orang lain dari sini
proses stigmatisasi sudah mulai terjadi. Teman, tetangga bahkan
keluarga sedikit – demi sedikit sudah mulai menjauh.
b. Tipe II atau disebut T. Tuberkuloid
Pada tipe II ini tanda-tanda fisik sudah mulai nampak agak jelas seperti
rambut mulai rontok, kulit tak berkeringat tidak ada minyak sehingga
terjadi penebalan kulit yang terdiri dari lapisan tanduk, kadang
menimbulkan penbengkakan pada jari-jari tangan dan kaki.
Pada tipe ini orang-orang di sekeliling (teman, tetangga dan keluarga)
sudah mulai mengetahui bahwa itu sakit kusta orang sudah mulai takut
berdekatan dengan orang yang terkena kusta.
48
c. Tipe III atau disebut B. Border Line
Pada tipe III akan memberikan tanda-tanda yang sudah sangat nyata
seperti kulit tidak menerima rangsangan menimbulkan kematian jaringan
terjadilah luka /ukus. Pada tingkat ini terjadi mutilasi = ujuang 3 ruas jari
kaki atau tangan terlepas.
Pada tipe ini orang – orang (teman, tetangga dan keluarga) sudah mulai
mengucilkan, membenci, menjauhi bahkan mengasingkan.
d. Tipe IV disebut sebagai Lepromatous
Pada tipe ini memberikan tanda-tanda leproma lebih banyak pada daun
telinga kiri dan kanan, bulu alis rontok, pipi kiri dan kanan menebal jari-jari
kaki kanan dan kiri membengkak. Terjadi luka-luka terutama pada kaki
dan tangan.
Pada tipe ini sudah menderita kecacatan baik di wajah, kaki dan tangan
sehingga menimbulkan rasa kengerian yang amat sangat. Pada tipe ini
orang yang mendengar saja sudah menimbulkan kengerian sehingga bila
mendengar kusta mereka sudah takut dan membentengi diri untuk tidak
bergaul dengan kusta.
Walaupun penyakit kusta sudah dinyatakan sembuh tetapi kadang-kadang
bekas penyakit tersebut masih nampak jelas sehingga orang masih takut bila
berhubungan atau bersentuhan dengan eks penyandang kusta. Takut bila
dirinya mengalami hal yang serupa, dikucilkan masyarakat itu akhirnya
mempengaruhi jiwa sehingga akan terus menjauhi eks penderita kusta.
Secara klinis orang juga tidak mengetahui cara penuluran kusta sehingga
orang selalu takut bila berdekatan dengan eks penderita kusta karena secara
fisik orang kusta sulit dikenali apa sudah sembuh atau belum.
2. Aspek Psikologi
Aspek psikologi ini berkaitan dengan bagaimana orang kusta melihat
keberadaan dirinya sendiri setelah melalui beberapa proses penyakit yang
dialaminya. Dengan keberadaannya yang berbeda dengan orang lain dan
mulai dijauhi oleh teman, tetangga bahkan keluarga membuat mereka
merasa lebih rendah dari orang lain sehingga sifat minder, kurang percaya
diri dan menarik diri dari lingkungannya.
49
Aspek psikologi bagi masyarakat di luar eks penderita kusta yaitu dengan
pengalaman diri sendiri dan cerita-cerita dari orang lain dengan segala
macam kengeriannya akhirnya terpatri dalam jiwanya. Bila mendengar eks
penderita kusta maka dalam pikirannya sudah terbayang hal-hal yang
mengerikan dan akan membentengi dirinya untuk tidak bergaul bahkan
bertemu sekalipun dengan eks penderita kusta.
3. Aspek Sosial
Aspek sosial ini berkaitan dengan cerita dari individu – individu tersebut
akhirnya berkembang dalam masyarakat. Dari cerita-cerita tersebut akhirnya
proses
stigmatisasi
berkembang
dalam
masyarakat
sehingga
akan
berpengaruh pada pola pikir masyarakat tentang eks penderita kusta. Karena
hanya berdasarkan cerita dan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat
menganggap penyakit kusta merupakan penyakit menular dan turunan maka
penderita harus disingkirkan dan diasingkan di tempat terpencil. Merasa ngeri
dan jijik yang amat sangat bila bersinggungan dengan penderita misalnya
berjabat tangan.
Proses tersebut secara terus menerus mempengaruhi pola pikir masyarakat
sehingga akhirnya menimbulkan identitas sosial eks pederita kusta, yang
apabila orang menyebut eks penderita kusta dalam pikirannya sudah terpatri
kengerian dan penyakit menular dan harus dihindari. Identitas sosial adalah
konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan disimpan di dalam
memori sebagai hasil pengalaman kita. Identitas sosial diasosiasikan dengan
sejumlah kenyakinan (belief) dan perasaan (feelings) yang disebut sikap
sosial. (social
attitude). Adanya kenyakinan dari orang luar bahwa kalau
berdekatan dengan eks kusta akan menular. Dengan kenyakinan tersebut
maka akan timbul sikap sosial untuk menjauhi eks penderita kusta
4.4. Alasan Pemilihan Lokasi
Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan :
1. Di permukiman eks kusta sedang dilaksanakan program fakir miskin yaitu
Kelompok Usaha Bersama berupa ternak kambing dan simpan pinjam bahan
pertanian.
50
2. Populasi eks penderita kusta semakin bertambah sedangkan lahan pertanian
dan ladang tetap, lapangan kerja terbatas sehingga harus dicari alternatif
usaha yang lain.
3. Berhasilnya program Kelompok Usaha Bersama diharapkan akan mampu
menarik masyarakat di sekitar permukiman untuk datang ke lokasi
permukiman sehingga sedikit demi sedikit akan terjadi penerimaan eks
penderita kusta oleh masyarakat umum.
4.5. Batas Dusun Nganget / Komunitas Eks Penderita Kusta
Letak Dusun Nganget / komunitas eks penderita kusta, dari jalan raya jurusan
Tuban – Bojonegoro
kurang lebih 3 km, pemukiman eks penderita kusta terdiri
dari tiga RT yaitu RT 04 dan RT 06 masuk wilayah dusun Nganget, sedangkan
RT 05 sebagian masuk sebagian wilayah masuk desa Mulyorejo Kecamatan
Singgahan.
Batas Dusun Nganget / permukiman desa eks penderita kusta dikelilingi oleh
hutan dan perbukitan. Tanah atau lahan yang ditempati eks penderita kusta
adalah milik Dinas Sosial seluas 105.695 M2. Tanah tersebut dulunya adalah
milik Rumah Sakit kusta dan pada tahun 1997 sudah diserahkan ke Dinas Sosial
Provinsi Jatim, sebagian milik Aryodiningrat (hak pakai) seluas 9.904 M2 untuk
lapangan Sepak Bola dan sebagian lagi milik perhutani. (Sumber : Panti
Rehabilitasi Sosial Nganget, Tuban Tahun 2004).
4.6. Ciri Fisik Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget
1. Permukiman dikelilingi oleh hutan dan bukit
2. Pemukiman dikelilingi oleh aliran sungai belerang.
3. Jauh dari pemukiman penduduk ± 3 km.
4. Ada sumber air yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga desa
Kedungjambe.
51
4.7. Jarak Fisik dan Sosial
Adapun jarak fisik dan sosial permukiman eks penderita kusta dapat
dilihat pada tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4. Orbitan waktu tempuh dan ongkos Dusun Nganget Tahun 2004.
No Orbitasi dan jarak tempuh
Jumlah
Ongkos (Rp)
1
Jarak ke Desa
4 Km
3.000
2
Jarak ke Kecamatan
6 Km
6.000
3
Jarak ke Kabupaten
35 Km
17.000
4
Jarak ke Provinsi
145 Km
30.000
5
Jarak ke Pasar
5 Km
5.000
6
Jarak ke Puskesmas
8 Km
6.000
7
Jarak ke RSU Bojonegoro
25 Km
14.000
8
Jarak ke RS Glagah Kusta Mojokerto
145 Km
350.000
9
Waktu tempuh ke desa
10 menit
10
Waktu tempuh ke Kecamatan
15 menit
11
Waktu tempuh ke Kabupaten
60 menit
12
Waktu tempuh ke Provinsi
13
Waktu tempuh ke Pasar
13 menit
14
Waktu tempuh ke Puskesmas
15 menit
15
Waktu tempuh ke RSU
45 menit
16
Waktu tempuh ke RS Kusta Glagah
Mojokerto
180 menit
180 menit
Sumber. Ketua RT Dusun Nganget Tahun 2004
Catatan : Diukur dengan menggunakan alat transportasi yang digunakan
masyarakat umum di dusun Nganget.
Pada umumnya jarak tersebut dapat dicapai dengan menggunakan sarana
angkutan umum, motor/ojeg atau carter mobil dan setiap hari ada, tidak ada
kendala dalam mobilitas, namun kalau naik angkutan biasanya hanya untuk eks
penderita kusta yang masih utuh secara fisik, sedangkan bagi eks penderita
kusta yang mempunyai kendala secara fisik
carteran
bila
pergi
jauh,namun
ini
cenderung menggunakan mobil
jarang
dilakukan.
Kecuali
yang
bermatapencaharian pedagang/warung/toko dan pengusaha meubel tingkat
mobilitas eks kusta cukup rendah. Bagi mereka yang tani atupun buruh tani
52
jarang melakukan aktifitas di luar pemukiman, kebutuhan sehari-hari disamping
sudah ada toko/kios/warung juga ada penjual sayuran keliling.
4.8. Kependudukan
Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah
pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses demografi yaitu fertilitas,
mortalitas dan migrasi. Diantara beragam komposisi penduduk yang dapat
disusun, komposisi penduduk menurut jenis kelamin merupakan hal yang
terpenting. Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin bagi suatu
masyarakat penting baik dalam kerangka biologis, ekonomis, maupun sosial.
Jumlah penduduk di permukiman eks kusta berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Ketua Rukun Tetangga masing – masing
berjumlah 464 jiwa (Agustus
2005) yang terbagi yaitu laki-laki sebanyak 234 jiwa dan perempuan sebanyak
230 jiwa. Di permukiman tersebut terdapat eks penderita kusta sebanyak 152
Jiwa dan bukan kusta sebanyak 312 Jiwa (keturunan dan warga waras/kampung
yang kawin dengan eks kusta).
Fertilitas merupakan performan reproduksi aktual dari seorang wanita atau
sekelompok individu, yang pada umumnya dikenakan pada seorang wanita atau
sekelompok wanita, sedangkan paritas berarti jumlah anak yang telah dipunyai
oleh wanita. Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau
berpatisipasi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas.
Tinggi rendahnya angka mortalitas penduduk berhubungan dengan
beragam
faktor seperti keadaan persediaan pangan penduduk, kemiskinan, dan keadaan
fasilitas kesehatan. Faktor-faktor tersebut di satu pihak dapat meningkatkan reit
mortalitas penduduk, namun di pihak lain dapat menurunkannya. Tanpa kecuali
setiap daerah termasuk permukiman eks kusta menginginkan menurunnya reit
kematian penduduk di tingkat yang rendah.
Komposisi penduduk pemukiman eks kusta berdasarkan usia dan jenis kelamin
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
53
Gambar 4. Piramida penduduk Dusun Nganget berdasarkan usia dan jenis
kelamin Tahun 2005.
65 +
60 - 64
♂
♀
55 - 59
50 - 54
45 - 49
40 - 44
35 - 39
30 - 34
25 - 29
20 - 24
15 - 19
10 - 14
5- 9
0-4
45
40
35
30
25
20
15
10
0
10
15
20
25
30
35
40
45
Sumber : Ketua RT Tahun 2005
Komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin mempunyai arti yang
penting sebagai data analisis kependudukan karena berbagai fenomena dalam
kehidupan terkait dengan umur dan jenis kelamin, seperti fenomena biologis,
ekonomi sosial dan politik. Bila disimak piramida penduduk pada tabel tersebut
bahwa pada umur 20 – 24 tahun berjumlah 22 orang atau 4,74 %. Dengan
perincian
remaja laki-laki berjumlah 10 orang atau 2,15 % dan perempuan
berjumlah 12 orang atau 2,58 %. Ini menandakan bahwa pada usia tersebut
banyak penduduk Dusun Nganget yang mengadakan migrasi keluar. Pada usia
tersebut kebanyakan mereka mencari pekerjaan di luar kota dan secara biologis
mereka akan menikah sehingga setelah menikah mereka tidak kembali lagi.
Jumlah penduduk pada usia 45 – 49 berjumlah 60 orang atau 12,93 % dengan
perincian laki-laki berjumlah 35 orang atau 7,54 % dan perempuan berjumlah 25
54
orang atau 5,39 % dan pada usia 50 – 59 berjumlah 45 orang atau 9,70 %
dengan perincian laki-laki 25 atau 5,39 % dan perempuan berjumlah 20 orang
atau 4,31 %. Jumlah laki-laki yang mengalami penurunan pada usia 45 – 49 ke
usia 50 – 59 tahun sampai dengan 10 orang ini disebabkan ada 10 pasang
suami istri yang laki-laki eks penderita kusta dan yang perempuan orang sehat.
Dengan sakit yang dideritanya itu menyebabkan lebih banyak laki-laki yang
meninggal lebih dulu dibanding perempuan.
Banyaknya laki – laki eks penderita kusta yang meninggal dunia ini disebabkan
pada saat mereka sakit membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan mereka tidak
bisa membiayai pengobatan tersebut selain jarak yang ditempuh antara
permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget dengan Rumah Sakit Kusta di
Mojokerto relatif jauh dengan biaya sekali jalan mencapai Rp. 350.000,- (Tiga
ratus lima puluh ribu rupiah) dengan menggunakan mobil carteran belum biaya
rumah sakit yang harus dikeluarkan oleh eks penderita kusta.
4.9. Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi dalam hal ini adalah konsep ekonomi lokal yang mengandung
dua dimensi yaitu dimensi fenomena ekonomi dan dimensi lokal. Fenomena
ekonomi menunjuk pada gejala bagaimana cara orang atau masyarakat
memenuhi kebutuhan hidupnya terhadap jasa dan barang langka. Cara yang
dimaksud disini berkait dengan semua aktifitas yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi jasa-jasa dan barang-barang
langka (Damsar, 1997). Sedangkan dimensi lokal menunjuk tidak hanya pada
kesatuan wilayah geografis, namun juga kesatuan entitas basis sosial untuk
tindakan kolektif.
55
4.9.1. Mata Pencaharian Pokok
Menurut informasi yang di dapat, bahwa matapencaharian eks penderita kusta
adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Komposisi penduduk berdasarkan matapencaharian Dusun Nganget
Tahun 2005.
No
Mata Pencaharian
Jumlah
%
1.
PNS
8
1,72
2.
Petani Penggarap
86
18,53
3.
Penggarap Persil
64
13,79
4.
Tukang Kayu
30
6,46
5.
Pengusaha meubel
26
5,60
6.
Pedagang
28
6,03
7.
Pengemis
23
4,95
8.
Lain-lain serabutan, sopir, ojek, jahit, guru
73
15,73
338
100
ngaji, pemulung, tukang batu, dukun bayi,
tukang becak, dan pengamen.
Jumlah
Sumber : ketua RT 2005
Mata pencaharian eks kusta sangatlah tergantung pada sumber daya lokal yang
ada, khususnya pertanian yang meliputi tanah persawahan yang ditanami padi
selama setahun dengan panen sebanyak tiga kali, sedangkan ladang/tegalan,
ditanami jagung, kedelai dan sayuran serta kayu jati yang ada disekitar
permukiman. Bila dilihat dari tabel tersebut diatas maka petani penggarap
menempati urutan paling banyak 18,53 % atau 86 orang, ini disebabkan
komunitas eks penderita kusta bekerja pada tanah pertanian milik Dinas Sosial
dan Perhutani. Sedangkan terkecil adalah Pegawai Negeri Sipil sebanyak
delapan orang atau 1,72 % mereka bekerja sebagai Pegawai Panti Rehabilitasi
Sosial Eks Penderita Kusta yang menempati rumah dinas.
56
4.9.2. Sistem Tata Niaga Input dan Output Hasil Pertanian dan Non
Pertanian
Tata niaga input dan output hasil pertanian dan non petanian di pemukiman eks
penderita kusta, hasil dari temuan lapangan menggambarkan bahwa hasil
pertanian warga eks penderita kusta tiap kali panen, langsung dibeli oleh
tengkulak yang datang ke permukiman. Sedangkan untuk sayur-sayuran di bawa
ke pasar desa Kedungjambe sekitar 5 Km dari permukiman. Hari pasaran di
desa Kedung jambe Kliwon dan Pahing. Hari-hari pasaran tersebut biasanya
banyak eks penderita kusta yang datang ke pasar membawa sayuran ataupun
hasil pertukangan kayu seperti tempat tidur dan kursi serta meja. Selain mereka
menjual sayur ke pasar juga ada pedagang sayur yang keliling permukiman.
Selain sayur mayur juga ada pasar kambing yang letaknya bersebelahan dengan
pasar tradisional. Di pasar inilah biasanya eks penderita kusta menjual dan
membeli kambing. Maka terjadilah transaksi dan interaksi sosial antara eks kusta
dengan masyarakat luas.
Bagi warga masyarakat di sekitar dusun Nganget seperti pasar desa
Kedungjambe dan para penjual sayur yang selama ini berinteraksi dengan eks
penderita kusta mereka tidak takut ketularan ini disebabkan seringnya mereka
berinteraksi dan selama ini tidak menimbulkan dampak apapun terhadap diri
mereka. Pada awalnya mereka takut juga tapi itu proses awal bagi semua orang
yang akan mengadakan interaksi dengan eks penderita kusta. Namun bila eks
penderita kusta mempunyai kepercayaan diri maka orang disekitar permukiman
lama-lama menjadi biasa bergaul dengan mereka bahkan ada yang menjadi
tukang kayu di rumah eks penderita kusta di permukiman eks penderita kusta
Dusun Nganget. Selain hal tersebut di atas di permukiman eks penderita kusta
pernah ada kegiatan ekonomi berskala kecil / home industry namun mengalami
kesulitan pemasaran dan akhirnya sekarang sudah tidak berkembang lagi/tidak
ada lagi. Adapun kegiatan ekonomi tersebut antara lain :
1. Pembuatan kipas
2. Pembuatan tas
3. Pembuatan asbak
4. Pembuatan geblok kasur
5. Pembuatan cikrah
6. Pembuatan batu bata
57
4.9.3. Kaitan Mata Pencaharian Dengan Sumber Daya Lokal
Di pedesaan lahan adalah aset produktif penting untuk mempertahankan mata
pencaharian. Akses lahan sangat penting, baik bagi kesejahteraan rumah
tangga, pertumbuhan agregat ekonomi, maupun bagi penurunan kemiskinan
secara berkelanjutan
Kaitan antara mata pencaharian eks penderita kusta
dengan sumber daya lokal adalah sangat tinggi, ini dikarenakan :
1. Keterbatasan mobilitas sosial eks kusta
2. Letak permukiman eks kusta dipinggiran hutan sehingga sangat tergantung
pada sawah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Ladang milik
Perhutani.
Ada sebagian kecil yang mengemis di luar seperti Semarang, Jakarta, namun
istri di permukiman menjadi buruh tani, selain itu yang muda menjadi TKI di
Malaysia dan Brunei ( khusus untuk keturunan eks kusta).
4.9.4. Keterkaitan Antara Ekonomi Lokal Dengan Ekonomi yang lebih Luas
Sudah terbentuk jaringan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas, seperti
dengan pasar Kedungjambe, tengkulak, dan konsumen meubel, maupun kayu
jati serta tukang sayur. Pasar Kedungjambe merupakan jaringan yang baik bagi
eks kusta untuk memenuhi kebutuhan baik pertanian maupun non pertanian.
Pasar sebagai tempat transaksi dan interaksi eks kusta untuk membeli maupun
menjual hasil pertanian atau non pertanian. Bagi yang bergerak di bidang usaha
meubel sudah mempunyai jaringan konsumen tersendiri yaitu yang pesan pintu,
kusen
maupun perkakas rumah tangga seperti tempat tidur, bufet dan lain
sebagainya
jaringan mereka sudah sampai Jakarta, Surabaya, Malang dan
bebarapa daerah di Jawa Timur.
Gambar 5. Keterkaitan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas Dusun
Nganget .
Konsumen
Meubel
Tengkulak
Permukiman Eks Kusta
• Kebutuhan Rumah Tangga
(Pertanian dan non
Pertanian
• Toko/Kios/warung
• Pengusaha meubel
Penjual
Sayur
Pedagang Pasar
Kedungjambe
Sumber Praktek Lapangan II Tahun 2004
58
4.10. Struktur Komunitas
4.10.1. Pelapisan Sosial
Pelapisan komunitas dalam komunitas yang perlu dicermati adalah gejala
pelapisan itu sendiri. Apakah terjadinya pelapisan tersebut secara alamiah atau
non alamiah, hal tersebut merupakan fenomena yang penting untuk mengetahui
bagaimana komunitas lokal membangun suatu ikatan atau komunikasi satu
dengan lainnya.
4.10.2. Unsur Utama Pelapisan Sosial
Pada umumnya terjadinya pelapisan sosial karena hal-hal sebagai berikut:
a. Kondisi tempat tinggal
b. Pekerjaan
c. Idiologi / Agama
d. Suku / ras
e. Politik / Partai
f. Usia
g. Jenis kelamin
Pelapisan
seperti tersebut di atas juga dialami oleh pemukiman eks kusta.
Adapun pelapisan sosial tersebut yaitu lapisan sosial yang pertama adalah
pegawai panti / bekas Rumah Sakit Swasta yang bertempat tinggal di
permukiman eks kusta. Pada lapisan ini suara dan ajakan masih berpengaruh
dalam kehidupan eks kusta. Pengaruh ini terkait dengan sejarah bahwa pada
waktu masih berbentuk rumah sakit, masih banyak eks kusta yang tergantung
pengobatan kesehatan kepada rumah sakit, dan ini berlanjut sampai sekarang.
Selain itu juga berkaitan dengan bantuan yang diberikan pada eks kusta sering
melalui panti sehingga pegawai mempunyai kelas tersendiri.
Lapisan sosial yang kedua tokoh agama, suara kelompok ini juga sangat
berpengaruh khususnya terhadap hal yang berkaitan dengan agama. Lapisan
sosial ini juga berpengaruh terhadap pembinaan mental para eks kusta serta
menangani berbagai permasalahan sosial yang terjadi di pemukiman. Tokoh
59
informal yang ada di permukiman juga menjadi pimpinan formal seperti ketua
Rukun Tetangga.
Lapisan sosial yang ketiga adalah pengusaha meubel, kelompok ini dalam
pemukiman juga berpengaruh namun tidak sebesar tokoh agama, pengaruh
mereka ini hanya didasari oleh ekonomi yang lebih baik. Lapisan sosial yang
selanjutnya yaitu petani penggarap, yang sebagian besar menghuni permukiman
eks kusta.
Namun yang perlu dicermati bukan saja pelapisan sosial tersebut, pelapisan
sosial itu juga mempengaruhi kehidupan komunitas, tapi yang lebih menonjol
yaitu adanya 3 kelompok yang ada di permukiman eks kusta antara lain,
kelompok NU (Nahdatul Ulama) yang dipimpin oleh Mbah Kyai Ysf dan kelompok
LDII ( Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Bapak Rsl ( ketua
RT) sedangkan kelompok Kristen yang dipimpin oleh Ykb Salatnaya. ketiga
kelompok inilah yang mewarnai kehidupan eks kusta di permukiman. Disamping
kelompok keagamaan juga ada kelompok lokal seperti kelompok sosial, kulon
kali dan pucung.
Gambar 6. Tingkatan pelapisan sosial di Dusun Nganget Tahun 2005.
I
Pegawai Negeri Sipil
II
Tokoh Agama
III
Pengusaha meubel/kayu
IV
Petani Penggarap
4.10.3. Kepemimpinan dan Sumbernya
Kepemipinan adalah proses mempengaruhi aktifitas orang lain atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam situasi apapun
dimana seorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok,
maka saat itu berlangsung kegiatan kepemimpinan.
60
Keberfungsian kepemimpinan formal dan informal dapat dilihat dari aktifitasnya
dalam penanganan permasalahan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan
serta keagamaan. Seperti dijelaskan diatas, hal yang paling berpengaruh dalam
kehidupan eks penderita kusta adalah tiga kelompok yaitu Nahdatul Ulama (NU),
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Kristen serta kelompok lokal
seperti kelompok sosial, kulon kali dan pucung. Kepemimpinan itu lahir karena
seseorang memiliki pengetahuan agama dan kelebihan lainnya dibanding yang
lain serta kharismatik.
Pondok Pesantren yang berada di desa Bakalan ± 15 Km dari pemukiman eks
kusta khususnya warga Nahdatul Ulama sering datang ke pondok tersebut yang
dipimpin oleh Kyai Nsr. Mbah Kyai Ysf selain sebagai tokoh agama juga sebagai
pengusaha meubel / kayu sehingga secara ekonomi lebih mapan. Mbah Kyai
Ysf ini juga mendirikan Taman Pengajian Qur’an / Taman Pengajian Anak yang
berada di permukiman, beliau juga mengelolanya. Karena mempunyai kelebihan
tersebut di atas maka warga eks kusta khususnya warga Nahdatul Ulama
sangat patuh pada Kyai Ysf.
Begitu juga dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin oleh Pak
Rsl (Ketua RT 05). Sumber kepemimpinan juga diperoleh dari kepandaiannya di
bidang agama, sehingga beliau diangkat memjadi Amir di kelompok Lembaga
Dakwah Islam Indonesia ini. Warga eks penderita kusta juga sangat patuh
khususnya warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia terhadap amirnya.
Bagi warga Kristiani, pemimpin jemaahnya adalah Pak Ykp, (Pegawai Panti) di
samping beliau mempunyai kelebihan di bidang agama, beliau juga pegawai
panti sekaligus putra Pendiiri
Perkampungan eks penderita kusta sehingga
beliau cukup disegani oleh warga Kristiani maupun warga eks penderita kusta.
4.10.4. Jejaring Sosial Dalam Komunitas
Berdasarkan hasil wawancara dengan eks penderita kusta, Pegawai Panti serta
Aparat Desa dan mempelajari berbagai laporan serta berbagai permasalahan
yang terjadi, maka ada jejaring sosial dalam komunitas namun tidak secara
formal dibentuk oleh warga eks kusta antara lain :
1. Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget
2. Balai Pengobatan/Unit Rawat Jalan Nganget
61
3. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
4. Nahdatul Ulama (NU)
5. Umat Kristiani
6. Kelompok Tahlilan Ibu-Ibu Al Hikmah
Secara formal tidak terbentuk suatu organisasi namum secara non formal
lembaga tersebut sudah membentuk jaringan. Panti Rehabilitasi Sosial Eks
Penderita Kusta yang dulunya rumah sakit kusta mempunyai ikatan yang kuat
dengan eks penderita kusta karena dulu mereka di rawat di rumah sakit tersebut.
Eks penderita kusta dalam kehidupan sehari-hari masih tetap memerlukan
pengobatan secara rutin maka Balai Pengobatan sangat diperlukan untuk
memberi pertolongan pertama yang kemudian dikirim ke Rumah Sakit Kusta
Sumber Glagah Mojokerto. Balai Pengobatan secara struktural merupakan Unit
Pelaksana Teknis Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Mojokerto. Eks penderita
kusta merupakan sebagian merupakan warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(LDII), Nahdatul Ulama (NU) dan umat Kristiani dan bagi eks penderita kusta
yang perempuan mengikuti Tahlilan ibu-ibu Al Hikmah. Dengan demikian dalam
penanganan eks penderita kusta dapat melalui lembaga tersebut diatas.
4.11. Organisasi Dan kelembagaan
Organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu
tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan. Orang mendirikan
organisasi karena alasan, bahwa organisasi dapat mencapai sesuatu yang tidak
dapat kita capai secara perorangan. Organisasi dicirikan oleh “perilakunya yang
terarah pada tujuan” . Tujuan dan sasaran organisasi dapat dicapai lebih efisien
dan
efektif
melalui
tindakan-tindakan
individu
dan
kelompok
yang
diselenggarakan dengan persetujuan bersama.
Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma atau pola hubungan
dan
segala tindakan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Sistem norma
yang dibangun di pemukiman eks penderita kusta merupakan kebiasaan yang
turun temurun. Pola perilaku yang standar adalah pola perilaku yang menurut
kebanyakan orang tidak menyimpang karena norma yang ada di pemukiman eks
penderita kusta / masyarakat pada umumnya. Namun demikian ada norma
khusus yang berlaku di pemukiman eks penderita kusta yaitu bila ada tamu yang
62
berasal dari luar komunitas yaitu : (1) tidak akan diajak berjabat tangan; (2) tidak
akan diberi minuman atau makanan yang sifatnya terbuka.
4.11.1. Lembaga Kemasyarakatan
Di pemukiman eks penderita kusta belum banyak lembaga kemasyarakatan,
lembaga yang ada hanya bersifat kelembagaan agama, seperti NU (Nahdatul
Ulama), Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII ) dan Lembaga Gereja. Di
dalam organisasi Nahdatul Ulama (NU) itu ada kelompok tahlilan Ibu-ibu
beranggotakan 80 orang. Tahlil dilaksanakan setiap
dapat dikumpulkan tiap minggunya mencapai
yang
hari Jum’at. Dana yang
Rp. 12.000,- sampai dengan
Rp.14.000,- Tahlilan untuk Bapak-bapak dilaksanakan tiap hari Kamis malam
Jum’at, namun sifatnya hanya mempunyai nilai ibadah saja.
Di organisasi NU juga ada lembaga Taman Pendidikan Anak (TPA) dan Taman
Pendidikan Qur’an (TPQ) ini di bangun atas inisiatif lokal dan remaja masjid
sedangkan di Umat Kristiani ada pemuda gereja. Namun dalam hal kerukunan
seperti yang dikemukakan P. Markum “bahwa kebiasaan yang ada di pemukiman
eks kusta tiap hari hanya Idul Fitri ataupun Natal mereka saling mengunjungi dan
bahkan bila umat Kristiani mengadakan Natal Cup maka panitia juga berasal dari
muslim begitu juga sebaliknya kalau umat Islam merayakan hari besar yang
mengiringi
musiknya dari umat Kristiani. Sistem mekanisme kontrol sosial
terhadap warga secara khusus tidak ada. Hanya
sistem kontrol sosial lebih
dilandasi oleh faktor religi (agama) dan sebagian ketetanggaan.
4.11.2. Jejaring Lembaga Lokal Dengan Lembaga Lain Di Luar Komunitas
Pengembangan usaha-usaha produktif yang berbasiskan pada komunitas
diharapkan dapat melibatkan stakeholder yang lain (kelembagaan kolaboratif),
seperti organisasi pemerintah dan berbagai organisasi lokal. Dalam hal ini
penguatan kelembagaan merupakan hal yang penting dalam pemberdayaan
komunitas. Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip
partisipatori, maka hasil pemikiran stakeholders ditingkat lokal atau nasional
perlu dikembalikan pada jejaring tingkat komunitas lokal, sehingga rumusanrumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat.
Jejaring kelembagan berbasis komunitas tidak harus diformalkan.
63
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai unsur di permukiman eks
penderita kusta, Pegawai Panti serta Aparat Desa dan mempelajari berbagai
laporan serta berbagai permasalahan yang terjadi, maka ada beberapa
stakeholders baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal, yaitu : (1) Dinas
Sosial Provinsi Jawa Timur; (2) Rumah Sakit Kusta Glagah Mojokerto; (3) Panti
Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget; (4) Balai Pengobatan/Unit Rawat Jalan
Nganget; (5) Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tuban; (6) Perhutani; (7)
Pasar; (8) Puskesmas; (9) Kepala Desa dan Perangkatnya; (10) Rumah Sakit
Kabupaten Bojonegoro; (11) Pondok Pesantren/Kyai Nasro’; (12) LDII Cabang
Desa Kedungjambe; (13) Lembaga Swadaya Masyarakat. Adapun jejaring sosial
tersebut seperti digambarkan di bawah ini :
Gambar 7. Jaringan komunitas permukiman eks kusta dengan komunitas
luar.
Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur
Rumah Sakit
Kusta Mojokerto
Balai
Pengobatan
RS
Bojonegoro
Panti
Rehabilitasi
Kantor Sosial
Kab. Tuban
LDDI Desa
Komunitas Eks
Penderita kusta
PUSKESMAS
LSM
LDII
NU
KRIS
TEN
PERHUTANI
Kyai Nso’/
NU Desa
Pendeta
Desa
Keterangan :
Garis koordinasi
APARAT
DESA
Garis Komando
Hubungan timbal balik
Sumber : Praktek Lapangan II Tahun 2004
64
Mencermati gambar di atas, maka begitu banyak stakeholders yang terlibat
dalam jejaring dengan pemukiman eks kusta.
Adapun masing - masing
stakeholders yang mempunyai hubungan dan peranan adalah sebagai berikut :
1. Dinas Sosial
Eks penderita kusta adalah salah satu sasaran garapan dari pada Dinas
Sosial, maka Dinas Sosial mempunyai kewenangan untuk membantu
permasalahan yang dihadapi oleh eks penderita kusta. Dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan eks kusta Dinas Sosial memberikan bantuan
fakir miskin berupa bantuan modal sebesar Rp. 50.000.000,- berupa ternak
kambing dan simpan pinjam pupuk pertanian. Dalam memberikan bantuan
tersebut langsung melalui Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget.
2. Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget.
Tugas Pokok dan Fungsi Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget
sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial mempunyai baik di dalam
maupun diluar panti, disamping secara struktural sebagai
namun secara
kultural eks kusta yang diluar panti mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengan panti yaitu pada waktu rumah sakit dulu dan ada sebagian penghuni
panti yang mempunyai ikatan keluarga (suami, istri, orang tua, anak) dengan
warga eks kusta di luar panti.
3. Balai Pengobatan / Unit Rawat Jalan Nganget.
Balai Pengobatan atau Unit Rawat Jalan adalah kepanjangan tangan dari
Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Mojokerto yang menangani secara rutin
kesehatan eks kusta baik yang berada di dalam panti maupun luar panti.
4. Perhutani
Perhutani adalah lembaga yang memberi pinjaman lahan untuk warga eks
penderita kusta baik dipergunakan untuk sebagian permukiman maupun
ladang/persil.
5. Pondok Pesantren
Kyai Nsr adalah pemimpin pondok pesantren yang mempunyai peranan
cukup penting khususnya bagi warga Nahdatul Ulama (NU). Karena
kepeduliannya terhadap eks penderita kusta, pernah suatu kali seperti yang
65
dikemukakan oleh Pak Rsd “bahwa kalau eks penderita kusta mau, akan
diberikan tanah untuk di tempati tidak jauh dari pondok pesantrennya”.
6. RSU Bojonegoro / Puskesmas
Penderita eks kusta walaupun sudah dinyatakan sembuh secara medis,
namun sebagai manusia pernah juga mengalami sakit. Dengan sakitnya itu
mereka berobat ke Rumah Sakit Umum Bojonegoro karena dianggap lebih
dekat di banding ke Rumah Sakit Umum Tuban. Rumah Sakit yang ada
sekarang belum dilengkapi dengan perawatan khusus bagi eks penderita
kusta.
7. Pasar
Pasar mempunyai arti yang sangat penting bagi eks penderita kusta. Karena
di pasar tersebut terjadi interaksi dan transaksi dengan masyarakat di luar
pemukiman. Dengan adanya pasar yang bisa menerima dirinya eks penderita
kusta dapat memenuhi kebutuhannya.
8.
Kantor
Kesejahteraan
Sosial
Kabupaten
Tuban
dan
Aparat
Desa
Kedungjambe.
Secara administrasi kependudukan eks kusta adalah merupakan warga desa
Kedungjambe sekaligus berada dalam wilayah kerja Kantor Kesejahteraan
Sosial Kabupaten Tuban, sehingga permasalahan yang terjadi di komunitas
eks penderita kusta secara tidak langsung ikut bertanggungjawb. Namun
secara wilayah bahwa lahan yang ditempati eks penderita kusta tersebut
adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Perhutani.
9.
Tiga orang anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), desa Kedungjambe
berasal dari pemukiman eks kusta, sehingga bila ada aspirasi warga yang
berhubungan dengan pemerintahan atau permasalahan yang ada maka bisa
langsung menyampaikan aspirasinya lewat anggota Badan Perwakilan Desa
tersebut.
10. Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Kusta Indonesia yang peduli
terhadap pengembangan masyarakat dan Yayasan BRE juga memberi
bantuan berupa peralatan sekolah dan bahan makanan.
66
Dari 10 lembaga eksternal yang memberi kontribusi langsung adalah Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII), Nahdatul Ulama (NU), LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) , Panti dan Balai Pengobatan, seperti terlihat dalam tabel 6.
Tabel 6. Peta Intervensi Lembaga Eksternal Pada Eks Penderita Kusta di Dusun
Nganget Desa Kedungjambe. Tahun 2005.
Elemen
Perhatian
LSM
LDII
NU
Panti
YKI
BRE
Balai
Pengobatan
Fokus
Program
yang
ditawarkan
Pembina
an mental
agama
Pembina
an mental
agama
Pengembang
an Usaha
pertukangan
kayu
Bantuan
peralatan
sekolah dan
bahan
makanan
Pembina
an lanjut
Pengobatan
Aspek yang
ditonjolkan
Mental/
agama
Mental/
agama
ekonomi
Sosial /
charity
Sosial
Psikologi
Kesehatan
Pola
Pendekatan
Pengembang
an Program
Pengajian
Pengajian
/ Tahlilan
Pinjaman
modal tanpa
bunga
Bantuan
sosial
Pendam
pingan
Sosial
sistim
konsulta
si
Bila sakit
datang ke
Balai
Pengobatan
.
Tingkat
Keberhasilan
80 %
80 %
30 %
70 %
50 %
50 %
Faktor Utama
Kendala
Program
Proses
yang lama
Proses
yang lama
Tidak pernah
dilaksanakan
monitoring
dan evaluasi.
Banyaknya
bantuan
tidak sama
dengan jml
orang.
Terbatas
nya dana
penbina
an lanjut
Keterbatas
an obatobatan
ringan
Sumber : Hasil wawancara Tahun 2005
4.11.3. Proses Sosialisasi (Pola Pengasuhan dan Sistem Kekerabatan).
Pola pengasuhan yang ada di pemukiman eks kusta ada dua hal yang pertama
bahwa pola pengasuh anak diasuh oleh orang tua, yang kedua yaitu pola
pengasuhan dititipkan di Panti Asuhan. Pola pengasuhan dan sistem
kekerabatan di pemukiman eks kusta, seperti hasil
wawancara dengan tiga
tokoh masyarakat yang tidak mempunyai anak, mereka cenderung mengasuh
anak dari keluarga. Sistem kekerabatan yang ada masih cukup kuat khususnya
bagi sesama penderita / eks penderita kusta . Ini dapat diamati bahwa pola
pemberian bantuan yang ada di pemukiman eks penderita kusta bukan
berdasarkan pelapisan sosial seperti kaya dan miskin , tapi perasaan senasib
mempunyai peranan yang cukup kuat, satu dapat bantuan semua harus dapat
67
bantuan . Jadi sistem kekerabatan yang berlaku di permukiman eks kusta adalah
berdasar pada senasib sepenanggungan.
4.11.4. Kelembagaan Masyarakat yang Sudah Mengarah pada Organisasi.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa di pemukiman eks penderita kusta belum
ada kelembagaan yang mengarah pada organisasi sosial kemasyarakatan,
namun berdasarkan agama / religi. Lembaga tersebut hanya bergerak di bidang
keagamaan.
4.11.5. Hubungan Antar Kelompok
Di pemukiman eks penderita kusta dalam hubungan tata kemasyarakatan ada
tiga kelompok yaitu Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonesia
(LDII) dan Umat Kristiani. Ketiga lembaga itulah yang paling menonjol yang
mendasari kehidupan mereka. Hubungan antara ketiga kelompok tersebut juga
mengalami proses asosiatif, namun pernah terjadi juga proses dissosiatif.
Proses assosiatif
ini adalah adanya kerjasama antara berbagai lembaga
tersebut walaupun bersifat formal, sedangkan proses dissosiatif terjadi antara
penganut Nahdatul Ulama (NU) dan Lembaga Da’wah Islam Indonesia (LDII).
Proses dissosiatif ini terjadi karena ada penganut Nahdatul Ulama (NU) yang
masuk ke LDII. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah
antara tokoh agama yang ada, dengan melibatkan perangkat keamanan Desa
Kedungjambe.
Di komunitas eks penderita kusta disamping tiga kelompok dalam tata
kemasyarakat terbagi juga dalam tiga kelompok lagi dalam bidang penerimaaan
bantuan yaitu kelompok sosial, kelompok kulon kali dan kelompok puncung.
Kelompok sosial adalah kelompok yang secara resmi tercatat identitasnya di
instansi - instansi pemerintah sedangkan yang lain belum semuanya, disinilah
kadang-kadang sering menimbulkan konflik antar warga berkaitan dengan
pemberian bantuan.
68
4.12. Sumber Daya Lokal
4.12.1. Hubungan Manusia dengan Ekosistem
Hubungan warga dengan ekosistem adalah bahwa mereka sangat bergantung
dengan alam sebagai sumber kehidupan dan kesehatan. Adapun hubungan
warga eks kusta dengan ekosistem antara lain :
1. Sumber air panas belerang
Pemukiman eks kusta dikelilingi oleh sungai air panas (belerang). Fungsi dari
air panas (belereng) tersebut adalah untuk membersihkan diri / mandi,
menghilangkan kesemutan serta gatal-gatal yang dialaminya. Walaupun
mereka sudah dinyatakan sembuh dari baksil kusta namun bekas luka,
biasanya kambuh bila dibuat bekerja, mereka merasa nyaman kalau sudah
berendam di air panas. Bagi para eks penderita kusta mereka dibuatkan
tempat khusus berupa jendingan. (tempat mandi eks penderita kusta berupa
bak
mandi yang besar dan dikelilingi tembok yang khusus dipergunakan
mandi eks penderita kusta yang ada di permukiman eks penderita kusta
Dusun Nganget).
2. Hutan
Lokasi pemukiman eks kusta berada di pinggiran hutan oleh sebab itu alam
menjadi tempat menyadarkan kehidupannya. Kayu khususnya jati sebagai
komoditi yang sangat menggiurkan bagi mereka, maka ada sebagian eks
kusta yang mengandalkan hidup dengan menjadi pengusaha meubel ataupun
pedagang kayu baik yang ilegal maupun legal, mereka itulah yang secara
ekonomi lebih mapan. Selain mereka mengandalkan kayu jati juga sebagai
penggarap ladang / tegalan milik Perhutani,belum ada aturan yang mengikat,
berapa luas mereka membuka lahan / tegalan. Sesuai yang dikemukakan oleh
Pak Rsl (ketua RT 05) “bahwa tanah perhutani yang dikerjakan oleh eks kusta
kurang lebih 6 Ha untuk ladang dan 4,5 Ha untuk perumahan atas izin ADM /
sinder ataupun Muspika”. Antara pihak perhutani dan warga penggarap ladang
terjamin kerjasama seperti apabila perhutani membuat jalan di hutan,
menanam kembali jati / reboisasi maka eks kusta yang mengerjakan.
69
3. Sawah
Sawah, ladang dan hutan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan eks kusta.
Sawah yang dikerjakan oleh eks kusta adalah milik Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur, luas tanah pertanian yang dikelola eks kusta yaitu 2,5 Ha di bagi
dalam 44 petak dikerjakan oleh 44 KK dengan kriteria eks penderita kusta
yang masih potensial artinya secara fisik masih mampu mengerjakan
pekerjaan pertanian. Kesepakatan yang terjadi antara Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur yang dalam hal ini diwakili Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta
Nganget, yaitu bahwa pihak eks kusta hanya mampu membayar sewa
sebesar sepuluh ribu rupiah setiap kali panen. Dalam setahun tiga kali panen.
4.12.2. Sistem Penguasaan Sumber Daya Agraris
Sistem penguasaan sumber daya agraris di pemukiman eks kusta adalah
sebagai berikut :
1. Tanah milik Aryodiningrat
Tanah
milik
Aryodiningrat
ini
seluas
9904
M2
digunakan
untuk
lapangan/padang pengembalaan merupakan hak pakai.
2. Tanah milik Negara
a. Milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
Tanah Milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur ini seluas 132.795 M2 yang
terbagi dalam :
ƒ Kantor dan Perumahan, tanah bangunan seluas 27.100 M2
ƒ Pertanian tanah ladang 20.700 M2
ƒ Pertanian tanah sawah 15.270 M2
ƒ Pemukiman eks penderita kusta dan pertanian, tanah tegalan seluas
69.720 M2.
b. Milik Perhutani digunakan untuk berladang bagi 64 orang eks penderita
kusta dan sebagian lagi untuk permukiman.
70
4.12.3. Tekanan Penduduk Terhadap Sumber Daya
Luasan tanah dalam suatu wilayah tidak akan berubah, sementara jumlah
penduduk terus bertambah. Akibatnya dengan meningkatkan jumlah penduduk
maka besarnya rasio manusia – lahan yaitu perbandingan antara jumlah manusia
dan luas lahan di suatu daerah, semakin meningkat, meskipun nilai suatu lahan
sangat dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan masyarakat yang mendiami (Rusli
1996 ).
Menurut Erlich dan Erlich ( 1990) dalam Rusli (1996) kelebihan penduduk akan
terjadi jika suatu daerah sudah tidak mampu lagi mendukung penduduknya tanpa
merusak secara cepat menguras sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan
tanpa menurunkan kualitas lingkungan. Kondisi hutan yang ada di sekitar
permukiman eks kusta seperti fenomena yang terjadi di hampir seluruh Indonesia
bahwa terjadi penebangan yang tidak terkendali sehingga hutan habis dan
merusak lingkungan.
Ini berakibat pada kehidupan yang semakin sulit bagi
warga eks penderita kusta dan keturunannya.
Adapun cara eks penderita kusta dalam mengatasi permasalahan
tersebut
adalah dengan :
1. Menitipkan anak di panti asuhan atau di keluarga.
Eks penderita kusta dalam kehidupan sehari-harinya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sangat minim bahkan kadang-kadang kurang maka untuk
mengurangi beban kehidupan anak dititipkan ke panti asuhan. Dari segi
sosial maka untuk menghindari stigma maka anak dititipkan pada panti
asuhan atau keluarga.
2.
Seleksi yang cukup ketat migrasi masuk. Tugas Ketua Rukun Tetangga
/Rukun Warga disamping membantu pemerintah dan juga menyeleksi orang
yang masuk di pemukiman tersebut.
3.
Banyak keturunan eks kusta yang mencari pekerjaan diluar pemukiman
bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia.
71
4.12.4. Lembaga yang Berhubungan Dengan Sumber Daya Alam
Di Pemukiman Eks Kusta Dusun Nganget belum ada lembaga yang mengurusi
masalah pengolahan sumber daya alam masih bersifat individu, bahkan hutan
yang dulu masih lebat sekarang sudah gundul.
4.13. Permasalahan-permasalahan di Komunitas.
Permasalahan - permasalahan yang dirasakan oleh komunitas eks penderita
kusta di permukiman antara lain :
1. Masalah sosial/psikologi
Masalah pembinaan mental karena adanya sifat minder yang dialami oleh
eks penderita kusta bila harus bergaul dengan masyarakat luas, ini akibat
stigma yang diberikan masyarakat kepada eks penderita kusta.
2. Masalah kesehatan
Masalah kesehatan juga merupakan permasalahan yang sangat krusial
karena sarana dan prasarana kesehatan sangat terbatas. Balai Pengobatan
yang berada di panti kurang memadahi untuk melayani eks penderita kusta
baik di dalam panti maupun diluar panti.
3. Masalah Perekonomian
Masalah perekonomian berkaitan dengan banyak faktor antara lain belum
terbukanya akses (jejaring) bagi warga eks penderita kusta, keuletan, mental,
ini berakibat pada tingkat pendapatan yang rendah sehingga dalam
pemberian bantuan harus selektif mana bantuan yang sifatnya bergulir dan
tidak, sehingga program dapat berkelanjutan.
4 Masalah Pendidikan
Masalah pendidikan juga dirasakan menjadi permasalahan di permukiman
eks penderita kusta baik pendidikan formal maupun non formal karena
sebagian besar komunitas berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak sekolah
serta kurangnya mengikuti pendidikan non formal sehingga berpengaruh
pada perkermbangan komunitas tersebut.
72
V. EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan/proyek adalah
adanya keberhasilan dari suatu kegiatan/proyek yang telah atau sedang
dilakukan. Demikian halnya dalam upaya pengembangan masyarakat, untuk
mengetahui berhasil dan tidaknya suatu kegiatan, maka memerlukan evaluasi.
Evaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat diperlukan untuk :
1.
Mengukur
perubahan
ataupun
kemajuan
yang
dicapai
oleh
suatu
program/proyek. Perubahan tersebut dapat diamati pengaruhnya terhadap
peningkatan
kesejahteraan
anggota
baik
individu,
kelompok
atau
masyarakat.
2.
Meningkatkan pemahaman mengenai faktor positif dan negatif yang
memberikan
kontribusi
bagi
keberhasilan
atau
kegagalan
suatu
program/proyek. Sebagai contoh kondisi sumber daya alam, kebutuhan
masyarakat, sikap dan perilaku individu/kelompok dalam memandang suatu
program/proyek.
3.
Memahami
kendala-kendala
program/proyek.
Bagaimana
yang
dialami
suatu
pelaksanaan
individu/kelompok/komunitas
lokal
memecahkan permasalahan tersebut. Apakah ada saluran-saluran informal
untuk memecahkan permasalahan tersebut.
4.
Sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat bagi tindakan yang akan
dilaksanakan pada masa yang akan datang yang didasarkan pada analisis
dan pembahasan suatu program/proyek.
Kegiatan
pengembangan
masyarakat
di
Dusun
Nganget
Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan, yang dievaluasi dalam praktek lapangan II
adalah (1) program pendidikan Taman Kanak-Kanak ; (2) Program bantuan
kesejahteraan sosial Kelompok Usaha Bersama
73
5.1. Program Pendidikan Taman Kanak- Kanak di Dusun Nganget.
5.1.1. Deskripsi Kegiatan
Pogram Pendidikan Taman Kanak-Kanak yang berada di Dusun Nganget adalah
atas inisiatif warga masyarakat itu sendiri. Latar belakang didirikan Taman
Kanak-Kanak tersebut adalah bahwa tempat pendidikan untuk anak- anak yang
selama ini adalah di luar Dusun yaitu di desa Kedungjambe dengan jarak tempuh
kira-kira 4 Km.
Seperti diketahui bahwa warga eks penderita kusta karena
penyakit yang dideritanya banyak yang mengalami kecacatan fisik. Dengan
keberadaan yang dialaminya menyebabkan orang tua kesulitan untuk mengantar
anaknya ke sekolah yang berada di luar dusun. Disamping itu masyarakat desa
Kedungjambe juga belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan warga eks
penderita kusta, walaupun anak-anak
mereka tidak mengalami sakit seperti
yang dialami oleh orang tuanya. Jumlah anak usia sekolah Taman Kanak –
Kanak di Dusun Nganget mencapai 22 anak atau 4,74 % dari jumlah penduduk.
Kondisi tersebut memunculkan inisiatif lokal untuk mendirikan Taman Kanak –
Kanak. Beberapa kendala yang dihadapi tokoh masyarakat/agama/ketua RT
membicarakan dan masyarakat berkenaan dengan pendirian Taman KanakKanak antara lain : (1) Siapa kira-kira yang mau mengajar di Permukiman ? (2)
Dimana akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar ? (3) Apa kira-kira warga
masyarakat mampu untuk membayar guru ? (4) Bagaimana untuk biaya
operasionalnya dan macam –macam kebutuhan yang lain.
Berbagai
pertanyaan
yang
ada
tersebut
akhirnya
masing-masing
RT
membicarakan melalui musyawarah. Dalam pembicaraan tersebut wali murid
hanya sanggup membayar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) setiap bulannya. Dengan
kesanggupan tersebut akhirnya tokoh masyarakat/agama/Ketua RT masingmasing mencari guru yang mau mengajar di Taman Kanak – Kanak tersebut.
Dengan kegigihan para tokoh tersebut akhirnya menemukan guru yang mau
mengabdi walaupun dengan gaji Rp. 40.000,- termasuk biaya operasional, nama
guru tersebut adalah Ibu Rmh (37) yang bertempat tinggal di desa Kedungjambe
kira-kira 5 km dari lokasi permukiman. Setelah menemukan guru yang tanpa
pamrih dan peduli terhadap nasib pendidikan eks penderita kusta tersebut,
akhirnya warga dihadapkan pada permasalahan yang lain seperti dimana
kegiatan belajar mengajar akan dilaksanakan, akhirnya warga yang diwakili oleh
74
beberapa tokoh masyarakat (Rsl, Kyai Ysf, Rso, Ryd dan Mkn ) memberanikan
diri untuk menghadap Kepala Panti Rehabilitasi Eks Penderita Kusta. Di
lingkungan panti ada bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan panti,
karena untuk kepentingan pendidikan maka kepala panti
memperbolehkan,
namun dengan syarat bahwa bangunan tersebut harus dipelihara, untuk biaya
perawatan dan operasional harus ditanggung oleh warga masyarakat sendiri.
Dari beberapa permasalahan atau kendala sudah teratasi maka untuk biaya
operasional kegiatan sekolah serta sarana dan prasarana dimusyawarahkan lagi
di tingkat RT.
Dalam musyawarah tersebut akhirnya disetujui bahwa yang akan memyumbang
sarana yang prasarana adalah warga masyarakat yang mempunyai usaha
meubel, adapun barang-barang yang diperlukan
seperti bangku, kursi dan
papan tulis. Dengan kesepakatan tersebut akhirnya sampai sekarang di Taman
Kanak-Kanak tersebut tersedia sarana: meja 10 buah, kursi 20 buah, alat
bermain satu buah dan alat peraga tiga buah. Disamping swadaya komunitas
lokal juga ada bantuan dari Sekretaris Desa berupa kusrsi sebanyak 10 buah.
Akhirnya dengan keberadaan yang sangat sederhana, tepatnya tanggal 13 April
2004 memberanikan diri membuat edaran mulai tahun anggaran 2004-2005 akan
dibuka
pendaftaran
“TK
BHAKTI
HUSADA
DUSUN
NGANGET
DESA
KEDUNGJAMBE, SINGGAHAN, TUBAN”. Dengan jumlah murid sebanyak 20
orang. Karena sudah beroperasional secara formal maka perlu adanya
pengesahan dari Dinas Pendidikan, maka oleh warga didaftarkan ke Cabang
Dinas Pendidikan Kecamatan Singgahan melalui Yayasan Bina Putra yang
sudah dibentuk oleh warga eks penderita kusta sejak tahun 1989. Melalui
yayasan tersebut akhirnya TK BHAKTI HUSADA
bergerak untuk mencari
donatur. Dengan demikian bahwa berdirinya Taman Kanak-Kanak tersebut
merupakan swadaya warga masyarakat.
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Program pendidikan Taman Kanak-Kanak tidak berhubungan langsung dengan
pertumbuhan
ekonomi,
namun
untuk jangka
panjang
diharapkan
akan
berpengaruh pada peningkatan Sumber Daya Manusia, dengan meningkatnya
Sumber Daya Manusia akan meningkatkan daya saing bagi pertumbuhan
ekonomi di masa yang akan datang. Manfaat yang dirasakan oleh warga
75
permukiman secara ekonomi justru akan menambah pengeluaran rumah tangga.
Namun untuk investasi jangka panjang akan sangat menguntungkan dengan
meningkatnya Sumber Daya Manusia.
5.1.3. Aspek Psikologi Sosial
Dalam pengembangan modal dan gerakan sosial yaitu dengan adanya identitas
sosial dan akhirnya menimbulkan sikap sosial. Dalam sikap sosial tersebut ada
dua komponen yaitu keyakinan dan perasaan, dan kedua komponen ini muncul
bersama-sama. Aspek perasaan yang sering dipelajari adalah evaluasi. Evaluasi
kita menyangkut apakah suatu identitas sosial tertentu baik atau jahat,
menyenangkan atau tidak menyenangkan suatu kelompok menjadi disukai atau
tidak disukai. Evaluasi dapat dibedakan menjadi direction dan intensity . Direction
atau arah menyangkut apakah sikap kita positif atau negatif terhadap identitas
sosial tertentu. Arah positif disebut sosial esteem atau penghargaan sosial,
sedangkan arah negatif disebut prejudice atau prasangka. Bila dikaitkan dengan
eks penderita kusta maka keberadaannya dalam masyarakat yang lebih luas
masuk dalam kategori prejudice atau prasangka. Seperti yang dialami oleh salah
salah eks penderita kusta saat mengantar anaknya sekolah di Taman KanakKanak di desa Kedungjambe Pak Tyo (54) mengemukakan bahwa :
” … saat saya mengantarkan anak di TK desa Kedungjambe
banyak orang tua murid yang lain melihat saya dengan perasaan
aneh, dan sangat menyakitkan sekali saat anak saya mau duduk
dengan murid yang lain, tapi orang tua murid tersebut tidak
mengijinkan, katanya takut ketuluaran penyakit …..“.
Dengan adanya akumulasi dari berbagai pengalaman yang dialaminya akhirnya
muncullah gerakan sosial yang dikoordinir oleh beberapa orang antara lain tokoh
masyarakat/agama.
5.1.4. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial
Social Capital Menurut Bank Dunia (1999) dalam Tonny (2004) merujuk pada
institusi, relasi dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas
interaksi sosial di dalam masyarakat. Sedangkan modal sosial (sosial capital)
menurut Fukuyama (2000), dalam Tonny (2004) diartikan sebagai seperangkat
76
nilai-nilai internal atau norma-norma yang disebarkan di antara anggota-anggota
suatu kelompok yang mengijinkan mereka untuk bekerjasama antara satu
dengan yang lain. Ia menambahkan bahwa prasyarat penting munculnya modal
sosial adalah adanya kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), dan timbal bailk
(resiprocity). Modal sosial memiliki empat dimensi antara lain (1) Integrasi yaitu
ikatan yang kuat antar anggota masyarakat; (2) Linkage (pertalian) yaitu ikatan
dengan komunitas lain di luar komunitas asal; (3) Integritas organisasional yaitu
keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya; dan
(4) Sinergi yaitu relasi antara pemimpin dengan institusi pemerintahan (Colletta
& Cullen ; 2000) dalam Tonny (2004)
Bila penulis telaah secara sederhana dalam konteks program berdirinya Taman
Kanak-Kanak ditinjau dari modal sosial yang dikemukan oleh Bank Dunia dan
Fukuyama serta empat dimensi modal sosial maka dalam masyarakat yang
sangat sederhana pun sedikit banyak sudah menggunakan atau memanfaatkan
modal sosial dalam mengembangkan komunitasnya. Seperti yang dikemukakan
oleh Bank Dunia bahwa ternyata komunitas eks penderita kusta memanfaatkan
institusi RT (Rukun Tetangga) dan interaksi sosial warga yang tergambung
dalam kumpulan RT (Rukun Tetangga) sebagai media mencetuskan suatu
gagasan. Begitu juga seperti yang dikemukakan Fukuyama (2000) dalam Tonny
(2004) dalam mewujudkan inisiatifnya mereka memanfaatkan kerjasama antar
warga dalam menyediakan sarana dan prasarana Taman Kanak-Kanak juga
antar anggota masyarakat saling percaya, jujur serta adanya timbal balik dalam
mewujdkan berdirinya Taman Kanak-Kanak.
Ditinjau dari dimensi modal sosial secara sangat sederhana komunitas eks
penderita kusta juga masuk pada dimensi keempat yaitu sinergi. Secara integrasi
mereka
mempunyai
ikatan
sangat
kuat
karena
faktor
senasib
dan
sepenanggungan, secara linkage (pertalian) mereka bisa membangun relasi
dengan orang luar komunitas yaitu ibu guru Taman Kanak-Kanak dan
mendudukan ketua yayasan Bina Putra juga berasal dari luar komunitas.
Integrasi ini bisa dijalankan panti sebagai institusi negara dapat memberikan
fasilitas milik panti untuk kegiatan masyarakat di sekitar panti. Sedangkan secara
sinergi dapat dijalankan oleh masing-masing ketua RT, tokoh masyarakat/agama
dengan institusi pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh panti.
77
Gerakan sosial dalam program ini sudah dijelaskan dengan adanya Taman
Kanak-kanak akan membawa perubahan nilai, norma, sistem kepercayaan dan
budaya ke arah yang lebih baik seperti yang dikemukakann oleh Ibu Rmh (37)
(Guru TK) bahwa:
“….waktu saya baru masuk pertama kali di Taman Kanak-kanak ini,
pembicaraan anak-anak disini sangat kasar dan tidak mengenal
etika, tidak seperti kampung – kampung lain, pada saat saya
menganjar di TK sebelumnya, namun setelah saya mengajar kurang
lebih satu tahun sudah ada perubahan dalam cara bicara dan
pergaulan……..”.
Seperti dijelaskan di atas bahwa Gerakan sosial ( social movement ) menurut
Baldridge (1986 ) dalam Tonny dan Utomo (2004) yaitu :
“….. suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan
sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau
sebaliknya menolak suatu perubahan sosial”.
Perilaku kolektif menurut Sunarto (1993 ) dalam Tonny dan Utomo (2004)
….. “ perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak
bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan
tertentu “.
Bahwa untuk mengadakan perubahan di permukiman eks penderita kusta maka
dalam diri masyarakat sendiri sudah ada gerakan sosial ini akbiat dari
ketertindasan sosial seperti yang dikemukakan oleh Engels & Marx (1989) dalam
Tonny dan Utomo (2004) dengan teori asal mula gerakan sosial menggariskan
bahwa kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk menjadi alasan untuk
seseorang memutuskan bahwa tidak ada ruginya bergabung dalam suatu
gerakan sosial revolusioner. Seperti dijelaskan pula oleh Giddens, (1990);
Komblum, (1988); Light, Keller dan Calhoun (1989), dalam Tonny dan Utomo
(2004) bahwa mereka mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan
sosial. Menurut penjelasan ini orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena
menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan, penderitaan), misalnya dibidang
ekonomi (seperti hilangnya peluang untuk dapat memenuhi kebutuhankebutuhan pokoknya: pangan, sadang, papan).
Bila ditelaah lebih mendalam bahwa gerakan sosial yang diaktualisasikan eks
penderita kusta melalui pendidikan seperti Taman Kanak-Kanak adalah bisa
dikatakan akibat kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk dan adanya deprivasi
ekonomi dan sosial . Secara ekonomi eks penderita kusta sangat sulit untuk
mengakses sumber-sumber ekonomi ini disebabkan mereka tidak mempunyai
78
aset untuk dianggunkan atau kalau ada modal akan kesulitan untuk pemasaran
karena masih ada ketakutan dari masyarakat bila harus membeli produk-produk
eks penderita kusta. Untuk mengoptimalkan gerakan tersebut akhirnya mereka
bermusyawarah bahwa pengelolaan Taman Kanak-Kanak dimasukan dalam
Yayasan Bina Putra yang sudah sejak lama didirikan oleh warga permukiman
eks penderita kusta. Bahkan supaya dapat bergerak dengan leluasa mereka
memilih ketua yang berasal dari orang luar permukiman dengan harapan dapat
memperjuangkan aspirasi mereka warga eks penderita kusta yang berada di
Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban
Provinsi Jawa Timur.
5.1.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial
Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja
(framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang
dirancang untuk menterjemahkan visi politis ‘lembaga pelayanan publik ‘ ke
dalam program dan tindakan untuk tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial
(sosial welfare). Istilah publik umumnya dikaitkan dengan urusan pemerintah
(government). Namun, belakangan ini makna publik merujuk pada ‘urusan orang
banyak ‘ dalam konteks ‘kepemerintahan’ atau ‘tatakelola’ (governance). Dengan
demikian, kebijakan sosial adalah kebijakan publik yang tidak lagi merupakan
domain pemerintah, melainkan pula badan – badan swasta sejauh berurusan
dengan kepentingan orang banyak.
Perencanaan (planning) adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih
alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan
tertentu. Secara singkat perencanaan adalah ‘proses membuat rencana (plan).
Dengan demikian perencanaan sosial adalah proses membuat ‘rencana sosial’.
Sebagaimana tercermin dalam pernyataan Conyers (1984) dalam Suharto (2004)
perencanaan sebaiknya tidak dipandang sebagai aktifitas yang terpisah dari
kebijakan, tetapi sesuatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat
kompleks yang dimulai dari perumusan tujuan kebijakan serta sasaran yang lebih
luas kemudian dikembangkan melalui tahapan-tahapan dimana tujuan kebijakan
ini diterjemahkan ke dalam bentuk rencana (plan) yang lebih rinci bagi program
dan proyek khusus yang selanjutnya dilaksanakan secara nyata.
79
Bila ditelaah secara sederhana apa yang dilaksanakan oleh warga komunitas eks
penderita kusta
merupakan
dengan didirikannya pendidikan Taman Kanak-Kanak
proses
kebijakan
dan
perencanaan
sosial.
Kebijakan
dan
perencanaan sosial yang lahir dari masyarakat, dimana setelah masyarakat
tersebut mengalami berbagai tekanan dari berbagai pihak. Dengan tekanan
tersebut akhirnya masyarakat membuat perencanaan dengan melakukan
berbagai kegiatan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternaif
yang baik bagaimana supaya Taman Kanak-Kanak berjalan dengan kondisi
komunitas yang serba terbatas. Seperti dimana lokasi yang dapat dipakai untuk
melaksanakan kegiatan belajar mengajar, apakah tempat tersebut di tengahtengah permukiman dengan resiko
semua biaya operasional dan gaji guru,
sarana dan prasarana ditanggung oleh masyarakat atau bekerjasama dengan
panti dengan meminjam sarana milik panti dan lain sebagaimana yang berkaitan
dengan pelaksanaan keberlangsungan Taman Kanak-Kanak tersebut. Dengan
berdirinya Taman Kanak – Kanak tersebut bukan hanya masalah pendidikan
tetapi juga menyangkut permasalahan kesejahteraan sosial yang dialami oleh
eks penderita kusta sedikit demi sedikit bisa diselesaikan oleh masyarakat itu
sendiri.
5.1.6. Evaluasi Program Taman Kanak-Kanak
Pengembangan
masyarakat
mempunyai
tujuan
mengembangkan
tingkat
kehidupan dan mempunyai cakupan seluruh komunitas. Pendekatan komunitas
biasanya memecahkan permasalahan dan menjadi kepentingan dan kebutuhan
hampir semua warga.
Pengembangan masyarakat diartikan sebagai :
“Community development is a movement designed to promote better
living for the whole community with the active participation and the
intiative of the community”. (Brokensha dan Hodge, 1969, dalam Adi
2001).
(Pengembangan
masyarakat
adalah
gerakan
yang
dirancang
untuk
meningkatkan kehidupan seluruh komunitas dengan partisipasi aktif dan atas
prakarsa komunitas).
Disebutkan juga pengembangan masyarakat menurut Brokensha dan Hodge
(1969)
dalam Adi (2001). Bersumber dari disiplin pendidikan juga, terutama
80
perluasan pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program). Sedang
bagi
daerah
perkotaan
mereka
mengembangkan
organisasi
komunitas
(community organization) yang bersumber dari Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan
diawali pada tahun 1873.
Bila ditelaah secara sederhana maka apa yang dilakukan oleh eks penderita
kusta merupakan pengembangan masyarakat dimana mereka membuat gerakan
untuk merancang bagaimana meningkatkan kehidupannya dengan gerakan
mendirikan Taman Kanak-Kanak yang diorganisasi melalui kumpulan Rukun
Tetangga (RT) sampai dengan Yayasan Bina Putra yang didirikan oleh eks
penderita kusta itu sendiri. Dan juga seperti yang dikemukakan oleh Brokensha
dan Hodge yang bersumber dari disiplin pendidikan terutama perluasan
pendidikan di tingkat pendesaan (rural extension program). Namun demikian
dalam pelaksanaanya masih perlu pengorganisasian yang lebih baik melalui
kerjasama yang kuat dari berbagai kelembagaan yang ada di Dusun Nganget
maupun luar dusun.
Berdirinya Taman Kanak-Kanak di Dusun Nganget merupakan kebutuhan dari
seluruh warga dusun. Ditinjau dari dimensi modal sosial menurut Woolcock
(1997) dalam Tonny (2004) secara sangat sederhana komunitas eks penderita
kusta juga masuk pada dimensi keempat yaitu sinergi. Secara integrasi mereka
mempunyai ikatan sangat kuat karena faktor senasib dan sepenanggungan,
secara linkage (pertalian) mereka bisa membangun relasi dengan orang luar
komunitas yaitu ibu guru Taman Kanak-Kanak dan mendudukan ketua yayasan
Bina Putra juga berasal dari luar komunitas. Integrasi ini bisa dijalankan panti
sebagai institusi negara dapat memberikan fasilitas milik panti untuk kegiatan
masyarakat di sekitar panti. Sedangkan secara sinergi dapat dijalankan oleh
masing-masing ketua Rukun Tetangga, tokoh masyarakat/agama dengan
institusi pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh panti. Dengan demikian
dapat diyakini bahwa program Taman Kanak-Kanak yang berada di Dusun
Nganget Kecamatan Kedungjambe akan dapat berkelanjutan.
81
5.2. Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama
Di Nganget Kecamatan Singgahan
5.2.1. Deskripsi Kegiatan
Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah suatu kelompok yang dibentuk oleh
warga-warga /keluarga-keluarga binaan sosial yang terdiri dari orang-orang /
keluarga kurang mampu (pra sejahtera) yang menerima pelayanan sosial melalui
kegiatan Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial (Prokesos). Penerima
bantuan stimulan pemberdayaan adalah para Keluarga Binaan Sosial (KBS)
yang tergabung dalam KUBE, namun kondisi usaha ekonomi produktifnya
mengalami hambatan dan/atau kegagalan dan memerlukan bantuan tambahan
modal usaha.
Kelompok Usaha Bersama terdiri atas sepuluh orang fakir miskin yang telah
terpilih melalui seleksi sebagai Keluarga Binaan Sosial (KBS). Adanya kemauan
anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) untuk bekerja secara kelompok.
Adanya kelompok minat dari anggota untuk melaksanakan suatu jenis usaha
(UEP/KUBE) melalui kegiatan kelompok. Proses Pembentukan Kelompok yaitu
melalui : (1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dibentuk berdasarkan
musyawarah bersama antar anggota
(hasil seleksi) Keluarga Binaan Sosial
(KBS) Program Bantuan Kesejahteraan Sosial; (2) Penentuan jenis usaha
kelompok dilakukan atau dilaksanakan oleh anggota kelompok sesuai dengan
potensi alam yang ada; (3) Terhadap kelompok yang sudah terbentuk diberikan
latihan keterampilan sesuai dengan jenis usaha yang akan dilaksanakan; (4)
Pemberian bantuan sarana dan prasarana.
Mekanisme pengembangan bantuan stimulan dikembangkan menjadi tiga bagian
yaitu:
(1) Pengelolaan Usaha Ekonomis Produktif.
Bantuan stimulan berupa bahan dan peralatan yang diserahkan kepada masingmasing kelompok merupakan hak milik kelompok. Oleh karena itu pengelolaan
dan pengembangannya menjadi tanggungjawab bersama. Beberapa cara
pengelolaan bantuanyang dapat dilakukan (sesuai kesepakatan kelompok)
antara lain :
82
(a) Pengelolaan Bantuan Secara Kolektif.
Bahan dan peralatan yang diterima dikelola secara bersama-sama oleh seluruh
anggota kelompok dengan mengutamakan azas kebersamaan dengan cara
mengadakan pembagian kerja secara adil dan merata. Didalam kegiatan ini,tidak
dibenarkan anggota (Keluarga Binaan Sosial) diperlakukan sebagai buruh.
(b) Pengelolaan Bantuan Secara Perorangan
Karena berbagai pertimbangan tertentu tidak dapat dikelola secara kolektif
(misalnya tempat tinggal saling berjauhan, jenis usaha yang beraneka ragam)
maka bantuan stimulus dapat dikelola secara perorangan dengan catatan bahwa
kegiatan tersebut masih terkait dengan kepemilkan kelompok, sehingga kepada
yang bersangkutan (pengelola) tetap dikenakan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi sesuai dengan kesepakatan kelompok.
(2) Pengguliran IKS ( melalui dana Iuran Kesetiakawanan Sosial)
Setiap Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang mendapatkan bantuan
diwajibkan melaksanakan pengguliran kepada warga lain yang membutuhkan
disekitarnya secara perorangan maupun secara kelompok (KUBE lain yang telah
atau akan dibentuk). Mengingat bantuan yang diterima adalah bahan dan
peralatan usaha ekonomis produktif, maka penggulirannya adalah berupa uang
yang dikumpulkan melalui Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS). Besarnya nilai IKS
dan kapan mulai mengumpulkannya ditentukan berdasarkan kesepakatan
kelompok dengan mempertimbangkan kondisi dan hasil usaha serta rasa
kesetiakawanan sosial seluruh anggota kelompok. Disamping untuk memberi
bantuan keluarga yang belum mendapat bantuan (melalui penguliran) dan IKS
yang terkumpul dapat juga dipergunakan untuk : (a) Apabila sangat diperlukan
dapat dipergunakan untuk penambahan madal usaha ekonomis produktif atau
penganekaragaman usaha ; (b) Sebagai modal kegiatan Jaminan Kesejahteraan
Sosial (JKS).
(3) Pembagian Keuntungan.
Setelah usaha ekonomis produktif yang dikelola dapat berjalan dengan lancar
dan memiliki keuntungan maka seluruh Keluarga Binaan Sosial dapat
meninkmati hasil keuntungan usaha tersebut. Pembagian hasil keuntungan
usaha
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
kelompok
dengan
83
mempertimbangkan keaktifan dan prestasi kerja dalam pengelolaan usaha baik
secara kolektif maupun perorangan.
Pelaksanaan Program di lapangan
Kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang berada di permukiman eks
penderita kusta di dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan
Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur dimulai pada bulan Oktober 2004.
Sumber pembiayaan berasal dari APBN yang dialirkan melalui Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur dengan Bagian Proyek Bantuan Kesejahteraan Sosial
Tahun 2004. Dalam mekanisme pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur untuk menangani KUBE yang berada di Dusun Nganget
Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban berbeda dengan
daerah lain .
Proses pembinaan KUBE di Dusun Nganget mekanismenya adalah : Pembina
Tingkat I / Provinsi adalah Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, langsung
kepada Kepala Panti Rehabilitasi Penderita Eks Kusta seterusnya ke
Pendamping Sosial yang terdiri dari tiga
pejabat eselon empat selanjutnya
dibentuk pengurus KUBE sebanyak enam orang yang berasal dari tokoh – tokoh
masyarakat/agama/ketua RT di lingkungan komunitas
eks penderita kusta
selanjutnya Kelompok KBS-KUBE. Ini dimaksudkan secara kultur eks penderita
kusta yang berada di Dusun Nganget masih mempunyai ikatan kekeluargaan
/kekerabatan sehingga nilai-nilai kepercayaan diantara keduanya yaitu eks
penderita kusta yang bermukim disekitar panti dan institusi panti sendiri masih
begitu kuat ini bisa dijadikan modal sosial untuk keberlangsungan suatu program.
Pendekatan yang digunakan dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan
Simpan Pinjam adalah secara partisipatif . Hal ini dikemukakan oleh salah satu
pengurus KUBE Pak Rsl (60) yang menyatakan bahwa :
“ ….walaupun program KUBE itu dari Dinas Sosial/Pemerintah namun
yang menentukan kebutuhan adalah warga masyarakat sendiri
melalui musyawarah pengurus KUBE. Hasil musyawarah dilaporkan
pada Kepala Panti …”
Pemberian bantuan modal melalui Bagian Proyek Bantuan Sosial Fakir Miskin
tahun 2004 kepada 50 KK (lima kelompok usaha bersama/KUBE) sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang diwujudkan dalam bentuk kambing
84
gibas masing-masing kelompok 20 ekor dan sisa uang dijadikan modal simpan
pinjam,. Sebelum bantuan turun tidak pernah diadakan penyuluhan dan
bimbingan sosial oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
Seleksi dilaksanakan oleh tokoh masyarakat/agama/ketua RT yang terbentuk
dalam pengurus KUBE, selanjutnya nama-nama tersebut diserahkan kepada
panti. Dari panti selanjutnya diteruskan ke Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
selanjutnya ditetapkan sebagai penerima bantuan Program Kesejahteraan Sosial
Tahun 2004. Wujud dari Program Bantuan tersebut berupa KUBE Usaha Ternak
Kambing dan Usaha Simpan Pinjam sebagai hasil musyawarah dari anggota
kelompok dan pengurus.
1. Usaha Ternak Kambing
Sesuai dengan musyawarah penerima KUBE dan Pendamping pada tahap
awal dana bantuan dari anggaran bagian proyek bantuan sosial fakir miskin
tahun 2004 dibelikan kambing gibas betina 100 ekor yang masing–masing
kelompok mendapatkan 20 ekor kambing gibas dengan dana Rp.28.530.000,(dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah).
Adapun lima kelompok KUBE yang masing – masing kelompok berjumlah 10
orang yang terdiri dari satu orang ketua, satu orang sekretaris, satu orang
bendahara dan tujuh orang anggota, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 7. Nama Ketua KBS - KUBE dan Jumlah Bantuan KUBE Dusun
Nganget Tahun 2005
Nama KBS-KUBE
Ketua
Bantuan Awal
.Sumber Makmur
Khoirul
20 ekor
.Bangkit Mulia
Bakri
20 ekor
. Bina Usaha
Nurhadi
20 ekor
. Barokah
Untung Alex
20 ekor
.Sumber Rejeki
Suwarji
20 ekor
Total
100 ekor
Sumber : Laporan KUBE 2005
85
Bantuan kambing gibas ini akan digulirkan kepada masyarakat yang belum
mendapat bantuan, dengan ketentuan semua penerima bantuan wajib
mengembalikan dua ekor kambing dari hasil (anak) kambing bantuan yang
diterima dan seterusnya sampai semua kepala keluarga dapat bantuan ;
sedangkan penerima terakhir tetap mengembalikan dua ekor kambing untuk
dijadikan tambahan modal simpan pinjam.
a. Perkembangan
Sejak digulirkannya bantuan modal usaha untuk kegiatan usaha ternak
kambing dan simpan pinjam dari Bagian Proyek Bantuan Sosial Fakir
Miskin tahun 2004 Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada bulan Oktober
2004, perkembangannya dapat dilihat pada tabelsebagai berikut :
Tabel 8. Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget
Tahun 2005.
Nama Kube
Data Awal
Beranak
.Sumber Makmur
20 ekor
7 ekor
3 ekor
.Bangkit Mulia
20 ekor
28 ekor
3 ekor
. Bina Usaha
20 ekor
10 ekor
5 ekor
. Barokah
20 ekor
9 ekor
2 ekor
.Sumber Rejeki
20 ekor
8 ekor
2 ekor
Total
100 ekor
62 ekor
Mati
15 ekor
Hilang
1 ekor
Dijual
Jumlah
12 ekor
11 ekor
45 ekor
2 ekor
23 ekor
27 ekor
3 ekor
4 ekor
2 ekor
21 ekor
16 ekor
127 ekor
Sumber : Laporan Kelompok KBS - KUBE 2005
Dari modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor hingga
tanggal Agustus 2005 menunjukkan perkembangan yang positif sebanyak 27
ekor
kambing.
Selanjutnya
proses
pengguliran
diserahkan
pada
pengurus/pendamping yang terdiri dari tokoh masyarakat/agama/ketua RT
ditunjuk enam orang sebagai muara kegiatan KUBE setelah anak kambing
berumur enam bulan . Setelah itu dimusyawarahkan antara anggota dan
pendamping serta ditetapkan siapa yang dapat pengguliran berikutnya.
86
2. Usaha Simpan Pinjam
Modal usaha simpan pinjam secara keseluruhan adalah Rp. 21.470.000,(dua puluh satu juta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang berasal dari
sisa pembelian kambing gibas.Kegiatan simpan pinjam ini penyalurannya
dalam bentuk pupuk pertanian dan bahan bangunan dengan sistem
pengembalian setiap panen dengan bunga 7,9 % per tiga bulan. Namun
kendala yang umum dalam pengelolaan usaha simpan pinjam adalah
kejujuran dan rasa tanggungjawab, terutama dalam pengguliran. Sering
mereka beranggapan bahwa dana tersebut adalah hibah sehingga tidak perlu
harus dikembalikan.
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal
Komunitas eks penderita kusta berlokasi di Dusun Nganget, Desa Kedungjambe,
Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban terbagi menjadi tiga RT (Rukun
Tetangga) dengan jumlah penduduk 464 jiwa. Sebagian besar eks penderita
kusta mata pencahariannya adalah sebagai petani penggarap, berladang, tukang
kayu dan sebagian kecil menjadi pengemis diluar Jawa Timur.
Maka Program Bantuan Kesejahteraan Sosial dalam bentuk Kelompok Usaha
Bersama (KUBE) yang dialokasikan di Dusun Nganget Desa Kedungjambe
Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur berupa : (1) Usaha
Ternak Kambing; (2) Usaha Simpan Pinjam. Bantuan usaha tersebut sebesar
Rp.
50.000.000,-
dibagi
untuk
usaha
ternak
kambing
sebesar
Rp.
Rp.28.530.000,- ( dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah ). Dan
simpan pinjam sebesar Rp. 21.470.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus
tujuhpuluh ribu rupiah).
1. Usaha Ternak Kambing
Dengan adanya bantuan KUBE berupa usaha ternak kambing secara
ekonomi
belumlah
berdampak
secara
langsung
pada
peningkatan
kesejahteraan keluarga. Namun dengan dengan usaha ternak kambing ini
memberikan proses pembelajaran pada eks penderita kusta untuk berusaha,
bagaimana bertangungjawab terhadap diri, keluarga, dan masyarakat yang
akan
menerima
pengguliran
kambing
tersebut.
Usaha
ini
juga
mencegah/mengurangi timbulnya permasalahan sosial yang baru yaitu eks
87
penderita kusta untuk mengemis di kota-kota, serta melatih eks penderita
kusta untuk mandiri.
Dampak terhadap Usaha Kecil Menengah secara langsung belum terasa,
begitu juga dengan manfaat yang dirasakan masyarakat secara langsung,
namun untuk jangka panjang akan membantu eks penderita kusta untuk
menopang perekonomian keluarga bila dibutuhkan sewaktu-waktu. Program
usaha ternak kambing ini juga berusaha mengembangkan aspek lokalitas
dengan mempertimbangkan potensi yang ada di komunitas local baik sumber
daya manusia maupun sumber daya alam seperti : sebagian besar eks
penderita kusta adalah petani penggarap yang sudah terbiasa memelihara
ternak, dan potensi alam dengan luasnya padang pengembalaan yang ada di
permukiman. Keterkaitan program dengan ekonomi lokal dengan pasar yang
lebih luas belum ada dampak secara langsung.
2. Usaha Simpan Pinjam
Modal usaha simpan pinjam secara keseluruhan adalah Rp. 21.470.000,(dua puluh satu juta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang berasal dari
sisa pembelian kambing gibas dan diperuntukan untuk semua warga
permukiman eks penderita kusta siapa yang membutuhkan. Kegiatan simpan
pinjam ini penyalurannya dalam bentuk pupuk pertanian dan bahan
bangunan dengan sistem pengembalian setiap habis panen dengan bunga
7,9 % per tiga bulan. Sistem pemasaran yang berada di lokasi permukiman
eks penderita kusta adalah sebagian hasil panen di bawa ke pasar tradisional
yang berjarak 5 Km dan sebagian besar adalah di datangi oleh para
tengkulak.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Rkm (48) :
“…….bahwa hasil panen jagung ini nanti sudah ada orang yang mau
membeli, hanya selisih Rp. 200,-bila dijual sendiri ke pasar, jadi
masyarakat lebih senang bila ada orang yang datang membeli di sini
daripada harus ke pasar, belum tambahan ongkos angkutnya…..”.
Dengan hasil panen yang baik akan mendorong para tengkulak untuk datang
ke permukiman eks penderita kusta, dengan demikian ini akan sedikit demi
sedikit
menumbuhkan,
membangkitkan
dan
menggerakan
ekonomi
88
masyarakat lokal. Dengan adanya tambahan bantuan simpan pinjam ini
sangat menolong para petani atau masyarakat eks penderita kusta dan
tentunya akan dapat menggerakan dan membangkitkan pertumbuhan
ekonomi masyarakat lokal. Modal usaha simpan pinjam tersebut mempunyai
arti yang sangat besar bagi eks penderita kusta, ini dikarenakan eks
penderita kusta baik secara fisik, sosial maupun ekonomi sangat sulit untuk
mengakses lembaga-lembaga atau sumber-sumber ekonomi seperti Bank,
Koperasi dll. Disamping itu Lembaga-lembaga tersebut juga
harus
menggunakan anggunan/jaminan dan persyaratan yang bermacam-macam
padahal itu sama sekali tidak dipunyai oleh eks penderita kusta.
Usaha simpan pinjam ini tidak terlepas dari aspek lokalitas dengan bertumpu
pada kondisi komunitas yang sebagian besar adalah bermatapencaharian
petani penggarap ( 18,53 %) dan kondisi ekonomi komunitas yang kesulitan
mengakses lembaga atau sumber ekonomi.
5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial
Social Capital Menurut Bank Dunia (1999) dalam Tonny (2004) merujuk pada
institusi, relasi dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas
interaksi sosial di dalam masyarakat. Sedangkan modal sosial (social capital)
menurut Fukuyama (2000), dalam Tonny dan Utomo (2004) diartikan sebagai
seperangkat nilai-nilai internal atau norma-norma yang disebarkan di antara
anggota-anggota suatu kelompok yang mengijinkan mereka untuk bekerjasama
antara satu dengan yang lain. Ia menambahkan bahwa prasyarat penting
munculnya modal sosial adalah adanya kepercayaan (trust), kejujuran (honesty),
dan timbal bailk (resiprocity).
Turner (1991) dalam Tonny (2004) mendefinisikan social capital lebih
menekankan pada hubungan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang
diciptakan untuk memperoleh kekuatan yang potensial untuk perkembangan
ekonomi. Ia mengaitkan modal sosial (social capital) dengan analisis mikro, meso
dan makro, sehingga modal sosial (social capital) tidak bisa dijelaskan dengan
istilah modal (investasi) sebagaimana yang kita kenal dengan kehidupan seharihari. Pada tataran makro (negara) modal sosial meliputi institusi seperti
89
pemerintah, aturan hukum, kebebasan sipil dan politik. Pada tataran mikro
(individu dan keluarga) dan juga meso (komunitas). Modal sosial berkenaan
dengan nilai dan norma yang mengatur interaksi di antara individu, keluarga dan
komunitas yang dapat mengejawantahkan dalam berbagai tradisi, kebiasaan
dengan rasionalistas masing-masing.
Lebih lanjut Woolcock (1997) dalam Tonny (2004) menambahkan bahwa social
capital ini memiliki 4 perspektif yaitu : (1) The communitarian view; (2)
Networking view; (3) Institutional view dan ( 4) synergy view. Dalam
pengembagan modal sosial tidak bisa terlepas dari pembentukan Jejaring
(networking) antar lembaga secara kolaboratif , yaitu suatu jejaring yang bersifat
informal,
transparan
menampilkan
kesetaraan,
mengandalkan
komitmen,
mensinergikan upaya dan mengembangkan kesadaran kritis serta berfungsi
sebagai kontrol sosial. Dengan prinsip-prinsip tersebut jejaring akan mampu
mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaian masalah
komunitas melalui pertukaran informasi, pengalaman dan pengetahuan serta
penyediaan sumber daya yang berasal dari komunitas. Gerakan sosial ( social
movement ) menurut Baldridge (1986 ) dalam Tonny dan Utomo (2004),
“….. suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan
sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau
sebaliknya menolak suatu perubahan sosial”.
Perilaku kolektif menurut Sunarto (1993 ) dalam Tonny dan Utomo (2004)
….. “ perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak
bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan
tertentu “.
Gerakan sosial dapat dibedakan menurut dua segi, yaitu dari segi orientasi
perubahan
dan dari segi lingkup perubahan yang dikehendaki. Berdasar
orientasi perubahan yang dikendaki Baldridge (1986 ) dalam Tonny (2004)
membedakan gerakan sosial ke dalam empat tipe utama yaitu : (1) orientasi
kekuasaan; perubahan melalui kekuasaan dan pengaruh politik; melalui jalan
reformasi atau revolusi; (2) orientasi nilai; perubahan dalam nilai – nilai budaya,
norma dan system kepercayaan, melalui jalan persuasi, propaganda, pendidikan;
(3) orientasi ekspresi-personal: perbaikan pribadi-pribadi warga pengikut
gerakan, selain juga mendorong perubahan dalam masyarakat lebih luas; dan (4)
orientasi resistensi: penghentian perubahan sosial sekaligus promosi status quo;
merupakan
reaksikonservatif
terhdap
perubahan
sosial
cepat
(gerakan
90
konservatif); kerap kali membangun kembali kondisi terdahulu (gerakan
reaksioner).
Tipologi gerakan sosial dapat juga dibuat menurut lingkup perubahan yang
dikehendaki,
dalam
arti
pada
skala
(sebagian/menyeluruh)
dan
aras
(individu/sosial) mana perubahan dikehendaki (Aberle dalam Sunarto, 1993).
Menurut lingkup perubahan gerakan sosial dapat dibedakan menjadi empat tipe
yaitu : (1) Gerakan alternatif perubahan sebagian pada perilaku individu; (2)
Gerakan Redemtif: perubahan menyeluruh pada perilaku individu; (3) Gerakan
reformatif: perubahan sebagian fungsi/nilai sosial dalam masyarakat; dan (4)
Gerakan reformatif perubahan menyeluruh pada masyarakat.
Bertitik tolak dari beberapa konsep di atas dan deskripsi mengenai kegiatan
Kelompok Usaha Bersama maka penulis akan menggunakan kerangka evaluasi
bagaimana sebuah kegiatan membangun jejaring (networking) antar lembaga
yang bersifat kolaboratif
serta bagaimana sebuah gerakan masyarakat eks
penderita kusta bila ditinjau dari tipologi gerakan sosial. Dalam pelaksanaan
kegiatan Kelompok Usaha Bersama setelah ditetapkan sebagai penerima
bantuan kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan KUBE tahun 2004
di
permukiman eks kusta semua tokoh masyarakat dipanggil oleh kepala panti
untuk membicarakan masalah pembentukan kelompok karena bantuan akan
diserahkan melalui kelompok. Dari lima kelompok tersebut diangkat juga
pengurus yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dengan tugas dan fungsi
sebagai kontrol dari lima kelompok tersebut sekaligus yang memfasilitasi
bagaimana suatu kelompok tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan dan
sanksi – sanksi bila ada yang melanggar serta berfungsi sebagai pengurus
simpan pinjam. Kelima pengurus tersebut dipantau dari panti sampai seberapa
jauh pelaksanaan kegiatan tersebut. Kepala panti disini berfungsi sebagai
pengendali karena beberapa pengalaman mengenai beberapa bantuan yang
sama tidak pernah berhasil ini disebabkan karena pandangan komunitas
terhadap bantuan tersebut bila bantuan sudah diberikan maka itu adalah milik
pribadi, seperti yang dikemukan Pak Dmt (54) bahwa :
“Mendho meniko sampun disukaake kula, kalih pemerintah, dados
terserah kulo bade kulo napaake “.
( Artinya bahwa kambing ini sudah diberikan saya, oleh pemerintah
jadi terserah mau saya apakan ).
91
Dalam pemanfaatan kelompok, KUBE menggunakan kelompok-kelompok Rukun
Tetangga dari
tiga
RT yang ada di permukiman eks penderita kusta. Dari
masing-masing RT di ambil orang-orang yang memenuhi persyaratan penerima
bantuan selanjtunya membentuk KBS.
Dalam pelaksanaan pengorganisasiannya, kegiatan ini belum sepenuhnya
memanfaatkan modal sosial yang ada di permukiman. Bila mengacu pada
pendapat Woolcock (1997) dalam Tonny (2004) yang salah satu perspektifnya
adalah networking view maka dalam pelaksanaan kegiatan KUBE dalam
membentuk jaringan tersebut hanya memanfaatkan Rukun Tetangga dan Panti
sebagai bentuk kolaborasi. Bila mengacu pada PL –1 sebenarnya selain RT dan
Panti ada beberapa stakeholder yang dapat digunakan sebagai mitra kolaborasi
yang berfungsi sebagai pengawasan maupun pengelolaan kegiatan serta tidak
harus membentuk kelompok baru yang rentan terhadap terjadinya konflik karena
nilai dan norma yang ada masih lemah, lain bila kelompok tersebut sudah mapan
seperti: Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Nahdatul Ulama, Kelompok Kristen.
Dalam lembaga tersebut pengaruh kyai, pendeta dan amir cukup disengani
selain itu norma dan nilai yang ada sudah melembaga dan cenderung untuk
dipatuhi.
Bila dilihat dari prasyarat modal sosial yang dikemukakan oleh
Fukuyama (2000) dalam Tonny (2004) seperti kepercayaan (trust), kejujuran
(honesty), dan timbal balik (resiprocity) maka kegiatan yang ada di permukiman
eks penderita eks juga belum sepenuhnya memenuhi persyaratan tersebut baik
antara panti sendiri dengan komunitas ataupun antar anggota masyarakat
penerima bantuan maupun masyarakat yang tidak mnerima bantuan. Seperti
yang dikemukan oleh salah satu warga yaitu Ibu Amh (35) (tidak menerima
bantuan) bahwa :
“….bantuan kambing itu akan dijual bila penerima butuh uang
untuk kebutuhan hidupnya, apalagi bila penerima bantuan sakit
karena tidak bisa memelihara lagi……i”.
Memang eks penderita kusta sangat rawan terhadap sakit, apalagi bila musim
dingin bekas luka akibat penyakit kustanya itu akan kambuh. Walaupun secara
medis bakteri kusta sudah dinyatakan sembuh namun penyakit lainnya akan
mudah menyerang. Begitu juga seperti yang yang dikemukakan oleh Pak Drs.
AY (Kepala Seksi Penyaluran dan Pembinaan Lanjut) sebagai penanggungjawab
KUBE bahwa :
92
“……ada penerima bantuan yang menukarkan kambing gibas dua
ekor menjadi kambing jawa satu ekor, namun ia berjanji akan
menggulirkan dua ekor, namun setelah kambing jawa itu gemuk
dijual pada saat bulan haji sehingga dia mendapat untung, lantas
dibelikan lagi kambing gibas dua ekor itupun sangat kecil,
sehingga memerlukan waktu yang lama untuk beranak ini akan
berakibat tertundanya proses pengguliran……”.
Dengan berbagai wawancara tersebut jelas bahwa belum sepenuhnya ada
kepercayaan, kejujuran maupun timbal balik baik dari masyarakat penerima
bantuan, masyarakat lainnya ataupun pihak panti sendiri.
Modal sosial di Dusun Nganget dapat dilihat dari empat dimenasi modal sosial
yang dikemukakan oleh Colletta & Cullen (2000) dalam Tonny (2004). Adapun
dimensi modal sosial tersebut antara lain (1) Integrasi yaitu ikatan yang kuat
antar anggota masyarakat; (2) Linkage (pertalian) yaitu ikatan dengan komunitas
lain di luar komunitas asal; (3) Integritas organisasional yaitu keefektifan dan
kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya; dan (4) Sinergi yaitu
relasi antara pemimpin dengan institusi pemerintahan. Perasaan senasib adalah
merupakan dimensi integrasi yang kuat antar anggota eks penderita kusta.
Lingkage (pertalian) dalam Dusun Nganget dapat dilihat dengan terjalinnya
berbagai stakeholders seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pesantren,
Rumah Sakit Kusta seperti terlihat dalam sub bab jejaring. Sedangkan intergritas
organisasional dapat dilihat dengan adanya peran Panti Rehabilitasi Eks
Penderita Kusta dalam mengembangkan komunitas eks penderita kusta dan
hubungan yang baik antara tokoh masyarakat/agama dan ketua Rukun Tetangga
dengan pemerintah desa dan panti.
5.2.4. Aspek Psikologi Sosial
Dalam pengembangan modal dan gerakan sosial ini berkaitan bila eks penderita
kusta akan membentuk jejaring yang sifatnya ke luar permukiman. Adanya
identitas sosial dan sikap sosial yang diberikan oleh masyarakat diluar
permukiman yang kurang baik sehingga akan menghambat eks pendeirta kusta
dalam mengadakan interkasi dan menjalin relasi dengan dunia luar.
Identitas sosial adalah konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan
disimpan di dalam memori sebagai hasil pengalaman kita. Identitas sosial
diasosiasikan dengan sejumlah kenyakinan (belief) dan perasaan (feelings) yang
disebut sikap sosial. (social attitude). Adanya kenyakinan dari orang luar bahwa
93
kalau berdekatan dengan eks kusta akan menular. Dengan kenyakinan tersebut
maka akan timbul sikap sosial untuk menjauhi eks penderita kusta. Dengan
demikian eks penderita kusta akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan
dirinya ke luar permukiman termasuk dalam menbangun jejaring dengan orang
luar permukiman. Adanya pandangan bahwa bantuan KUBE adalah merupakan
hibah dan pandangan bahwa bila warga eks penderita kusta mendapat bantuan
maka semua harus mendapatkan bantuan pemahaman ini harus dirubah dengan
menggunakan teori representasi sosial.
5.2.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial.
Departemen Sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial sudah sejak lama
melaksanakan pengentasan kemiskinan. Seperti yang dilakukan pada REPELITA
II yang dikenal dengan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan Keluarga
(UBKK) dan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan Anak dan Taruna
(UBKAT). Pada REPELITA III program tersebut berubah menjadi Bimbingan dan
Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (BPKM) serta Usaha Swadaya
Masyarakat (USSM) dan Dalam REPELITA IV program tersebut berubah lagi
menjadi
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
dikenal
dengan
Proyek
Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (PPFM). Dalam melaksanakan
PPFM tersebut Departemen Sosial juga menggunakan pendekatan kelompok
yang dikenal dengan nama Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Dalam mendukung kebijakan Pemerintah / Departemen Sosial, Provinsi Jawa
Timur melalui Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun
2001 – 2005 juga dijelaskan mengenai arah kebijakan pada point pengelolaan
pembangunan daerah bidang kesejahteraan sosial yang berisi antara lain bahwa
dengan masih banyaknya kalangan masyarakat yang hidupnya kurang beruntung
seperti fakir miskin, orang jompo dan lanjut usia, eks penderita kusta dan tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka sebagai konsekuensi dari
konstitusi kita maka pembangunan daerah haruslah memperhatikan sistem yang
lebih adil bagi masyarakat yang kurang beuntung. Untuk itu perlu adanya
peningkatan dan pengembangan peran serta partisipasi masyarakat dalam
mendukung penciptaan sistem sosial, ekonomi dan kemasyarakatan yang adil
sehingga mereka dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dengan cara lebih
memperhatikan
dan
menciptakan
peluang
kerja
melalui
pelatihan
dan
94
ketrampilan serta bantuan kesejahteraan untuk mengangkat kepercayaan diri
mereka sebagai manusia yang berharga dan bermartabat.
Kebijakan dan perencanaan program bantuan kesejahteraan sosial dalam
penyelenggaraannya berupa KUBE dari pemerintah pusat dalam hal ini
Departemen Sosial mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dalam operasional pelaksanaan kegiatan diserahkan kepada Dinas Sosial
Provinsi JawaTimur. Seperti dijelaskan di atas bahwa kebijakan Dinas Sosial
dalam melalui mekanisme pemberian bantuan tidak melalui pemerintah
kabupaten sampai desa namun melalui panti ini dikarenakan warga permukiman
masih mempunyai kepercayaan dan ikatan kekerabatan dengan panti, sehingga
dalam pendampingan lebih mudah. Dalam hal seleksi bila di daerah lain melalui
pendataan oleh Petugas Sosial Kecamatan, namun bila di permukiman eks
penderita kusta oleh panti diserahkan pada tokoh masyarakat/agama untuk
mengadakan seleksi, siapa yang berhak menerima bantuan dan dalam bentuk
apa bantuan tersebut.
5.2.6. Evaluasi Kelompok KBS-KUBE
Dalam evaluasi program bantuan kesejahteraan sosial dalam hal ini Kelompok
KBS-KUBE di permukiman eks penderita kusta yaitu mulai dari : (1) Proses
Pembentukan kelompok; (2) Kepengurusan KUBE; (3) Pengguliran; (4)
Administrasi, secara global sudah sesuai dengan perencanaan. Namun ada
sedikit kebijakan dari masyarakat yang tidak sesuai dengan proses perencanaan,
kebijakan itu atas kesepakatan warga eks penderita kusta. Adapun kebijakan
tersebut adalah mengenai simpan pinjam. Sesuai dengan pedoman seharusnya
yang memperoleh bantuan KUBE adalah lima kelompok atau 50 orang hasil
seleksi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh Kepala Panti.
Namun untuk usaha simpan pinjam diperuntukan bagi semua warga yang
membutuhkan. Disinilah muncul bahwa dalam pelaksanaan di lapangan
masyarakat
mempunyai
peranan
dalam
mengatur
dan
menentukan
kebutuhannya sendiri.
Dalam hal pengawasan kegiatan Kelompok KBS - KUBE masyarakat hendaknya
diberi kepercayaan yang lebih besar dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan
seperti dibentuk kelompok bayangan yang akan menerima pengguliran atau
masyarakat lainnya karena Kelompok KBS - KUBE ini untuk kesejahteraan
95
semua warga melalui sistem pengguliran tersebut. Ini akan memudahkan pihak
panti atau Dinas Sosial
dalam monitoring dan evaluasi. Seleksi adalah salah
satu faktor yang sangat menentukan suatu program, bila seleksi tepat, maka satu
keberhasilan sudah diraih. Seperti yang terjadi di permukiman eks penderita
kusta, salah satu faktor yang menyebabkan terjadi kendala untuk pengguliran
karena ketidakmampuan anggota KBS - KUBE baik dalam segi keterbatasan fisik
atau secara ekonomi sulit untuk menggulirkan bantuan tersebut. Untuk program
yang sifatnya pengguliran hendaknya dipilih/diseleksi orang yang mempunyai
kemampuan secara fisik, mau dan mampu untuk mengkuti proses pengguliran
tersebut. Untuk mereka yang benar-benar tidak mampu baik secara fisik maupun
ekonomi hendaknya proses pertolongan bukan melalui proses pengguliran.
Namun yang perlu dicermati lebih mendalam adalah kelemahan dan kendala
program Kelompok Usaha Bersama itu sendiri dalam pelaksanaannya di Dusun
Nganget Desa Kedungjambe yaitu terjadinya pembentukan kelompok adalah
penunjukan dari Pengurus KUBE atas perintah Kepala Panti artinya bahwa
masalah pembentukan kelompok masih bersifat top down. Sebelum bantuan
modal usaha turun maka terlebih dahulu sudah dibentuk Kelompok KBS-KUBE.
Karena yang berhak mengambil dana adalah masing-masing ketua kelompok.
Dalam pelaksanaan kemudian yang berhak mengelola uang tersebut bukan
masing-masing kelompok KBS – KUBE tapi setelah uang diambil semua
diserahkan pada pengurus KUBE yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat untuk
mengelolanya.
Dengan demikian kelompok KBS – KUBE tidak diberi otoritas untuk pengelolaan
keuangan yang sebenarnya diperuntukan kepada kelompok, ini menyebabkan
timbulnya sikap apatis pada masing-masing kelompok. Bila dikaitkan dengan
konsep yang dikemukakan oleh Ife (2002)
yang menyatakan bahwa
pemberdayaan adalah pemberian kekuasaan kepada masyarakat yang lemah
atau kurang beruntung, maka pada kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget
tidak diberi kekuasaan untuk membentuk kelompoknya sendiri sesuai dengan
kebutuhan, ide atau gagasan dari masing-masing anggota kelompok, sehingga
kelompok
KBS-KUBE
tidak
mempunyai
semangat
kelompok
untuk
mengembangkan kelompoknya. Akibatnya kelompok menjadi pasif dan hanya
menunggu perintah atau petunjuk dari panti, dengan demikian kelompok akan
sulit berkembang dan berkelanjutan.
96
Sesuai dengan teori keberfungsian sosial yang dikemukakan oleh Sukoco (1991)
yang menyatakan (1) keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan
melaksanakan peranan sosial, yaitu sebagai penampilan pelaksanaan peranan
yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektifitas; (2) keberfungsian sosial
dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, yaitu mengacu
pada cara-cara yang digunakan oleh individu, maupun kolektifitas dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka; (3) Keberfungsian sosial dipandang
sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya.
Bahwa kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget belum menunjukan peningkatan
keberfungsian anggota kelompok dapat dilihat bahwa pengurus kelompok belum
mampu
melaksanakan
peranan-peranannya sesuai dengan status yang
disandangnya, dengan program KUBE di Dusun Nganget justru banyak kambing
yang dijual untuk memenuhi kebutuhannya hidupnya sehingga pengguliran tidak
berjalan, dan kelompok yang dibentuk sebagai media pemecahan masalah juga
tidak berjalan karena tidak pernah dilaksanakan pertemuan kelompok.
Untuk melihat kelemahan dan kelebihan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget
Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban maka dapat dicari perbandingan
dengan KUBE yang lain. Adapun KUBE tersebut adalah KUBE Keluarga Muda
Mandiri yang berada di Desa Cikeusal Kecamatan Talaga Kabupaten
Majalengka, KUBE ini dipilih karena mempunyai persamaan yaitu sama-sama
beternak kambing hanya di Kabupaten Majalengka di tambah dengan sapi.
Bila ditelaah mengenai proses pembentukan kelompok pada kedua KUBE yaitu
pada kelompok KBS-KUBE yang berada di Dusun Nganget proses pembentukan
kelompok karena akan ada bantuan modal dari Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur. Pada KUBE KMM di Desa Cikeusal pada awalnya ada permasalahan
yang dirasakan oleh warga desa setelah adanya berbagai pertemuan yang
dilaksanakan di rumah Kepala Desa maka ada kesepakatan dari warga desa
untuk mengajukan bantuan permodalan kepada Dinas Sosial Kabupaten
Majalengka. Gayung bersambut maka oleh Dinas Sosial Kabupaten Majalengka
ditindaklanjuti dengan pembentukan KUBE Keluarga Muda Mandiri (KUBE
KMM). Nama dan pembentukan kelompok dilakukan oleh Kepala Desa Cikesual.
(Anonymons, 2003).
Menyimak proses pembentukan kelompok kedua KUBE tersebut maka dapat
dijelaskan bahwa pada KUBE KMM di Desa Cikesual proses pembentukan
97
kelompok berawal dari permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan oleh warga
desa tersebut baru kemudian kepala desa mencoba mencari program atau
bantuan
permodalan
untuk
Kelompok KBS-KUBE di
menangani
permasalahan
sedangkan
pada
Dusun Nganget ada program dulu baru dibentuk
kelompok, sehingga warga dusun kurang antusias dalam mengembangkan
bantuan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan baik dari aspek
sosial, kelembagaan maupun ekonomi.
Dari ketiga program yang ada yaitu Pendidikan Taman Kanak – Kanak,
kelompok KBS-KUBE yang ada di Dusun Nganget dan KUBE KMM di Desa
Cikesual Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka dapat dikaji bahwa untuk
keberlangsungan sebuah program pengembangan masyarakat maka (1)
program pengembangan masyarakat harus disusun berdasarkan kebutuhan
yang dirasakan oleh masyarakat ; (2) pemberian kekuasaan kepada masyarakat
lokal untuk mengelola program itu sendiri berdasarkan potensi lokal yang
dimilikinya. Dengan berbagai permasalahan yang ada khususnya kelompok KBSKUBE
yang
berada
di
Dusun
Nganget
maka
langkah–langkah
untuk
memperbaiki keadaan tersebut adalah dengan mengubah pola pikir anggota
kelompok dari kebutuhan yang riil
(real need)
menjadi kebutuhan yang
dirasakan (felt need). Dengan demikian maka program KUBE yang ada menjadi
sangat dirasakan kalau itu memang benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan
permasalahan bersama dan memenuhi dan meningkatkan kebutuhan keluarga
serta dapat meningkatkan peranan eks penderita kusta dalam kelompok dan
masyarakat.
98
VI. ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK KBS - KUBE
Berdasarkan permasalahan yang ada dalam kelompok KBS – KUBE komunitas
eks penderita kusta dan sesuai dengan kerangka konseptual maka performa
KBS - KUBE dapat dianalisis berbagai aspek antara lain (1) aspek kelembagaan
yang meliputi struktur dan kultur ; (2) aspek sosial dan (3) aspek ekonomi ; (4)
jejaring sosial ; (5) solidaritas sosial; (6) integrasi sosial dan (7) kohesifitas sosial.
Sebelum pada analisis ketiga aspek tersebut maka akan dikemukakan profil
KBS-KUBE sesuai dengan hasil diskusi kelompok. Dari lima KBS – KUBE yang
ada di komunitas eks penderita kusta diambil dua kelompok yang
dianggap
mewakili kelompok KBS – KUBE yang progresif dan pasif. Kelompok KBS –
KUBE dimaksud adalah kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan kelompok
KBS – KUBE Sumber Makmur.
6.1. Profil KBS – KUBE
Perkembangan kelompok KBS – KUBE sangat penting artinya untuk mengetahui
sejauhmana perkembangan dan kendala yang dialami oleh masing-masing
kelompok KBS-KUBE. Perkembangan KBS - KUBE yang ada di Dusun Nganget
sebenarnya belum dapat dikatakan mencapai tujuan Kelompok Usaha Bersama
yaitu antara lain (1) meningkatkatnya kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE
di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari ; (2) meningkatkan
kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE dalam mengatasi permasalahan
sosial; dan (3) meningkatkan kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE dalam
menampilkan peranan-peranan sosialnya. Salah satu perkembangan Kelompok
KBS-KUBE dapat dilihat dari berkembangnya ternak kambing yang dipelihara
oleh eks penderita kusta. Dengan semakin banyaknya kambing maka dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan eks penderita kusta, mengatasi masalah
dan menampilkan peranan sosialnya.
Hasil penelitian perkembangan KBS-KUBE ternak kambing yang ada di
komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan
Singgahan adalah sebagai berikut :
99
Tabel 9.
Daftar Perkembangan Kelompok KBS –KUBE
Tahun 2005
di Dusun Nganget
Nama
KBSKUBE
Data
Awal
Beranak
Mati
Hilang
Dijual
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
Peng
guliran
8
Sumber
Makmur
20 ekor
7 ekor
3 ekor
1 ekor
12 ekor
11 ekor
-
Bangkit
20 ekor
28 ekor
3 ekor
-
-
45 ekor
1 klp
20 ekor
10 ekor
5 ekor
-
23 ekor
-
Barokah
20 ekor
9 ekor
2 ekor
-
27 ekor
-
Sumber
20 ekor
8 ekor
2 ekor
3 ekor
2 ekor
21 ekor
-
100 ekor
62 ekor
15 ekor
4 ekor
16 ekor
127 ekor
Mulia
Bina
2 ekor
Usaha
-
Rejeki
Total
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005
Tabel 10. Menunjukkan bahwa dari jumlah bantuan kambing yang diberikan
kepada eks penderita kusta sebanyak 100 ekor mulai bulan Oktober 2004
sampai Juli 2005 selama sembilan bulan ada 62 % berkembang dan 48 %
belum dapat berkembang, ini menunjukkan bahwa pada saat pembelian bibit
kambing secara kualitas tidak sama. Sebagaimana penuturan Pak Mkn ( 48 )
sebagai berikut :
“ …… pada saat pengurus mau membeli induk kambing yang akan
diberikan pada anggota kelompok Keluarga Binaan Sosial Kelompok Usaha Bersama mengalami kesulitan karena sekaligus
dalam jumlah yang besar yaitu 100 ekor sehingga kualitas kambing
tidak sama ada yang induknya bagus, ada yang kurang bagus dan
ada juga yang sudah tua, atau masih muda semua itu diundi oleh
pendamping/koordinator Kelompok Usaha Bersama yang berada di
panti …… “
Sedangkan bantuan kambing yang mati mecapai 15 % ini menunjukkan bahwa
penerima bantuan yaitu eks penderita kusta mengalami kesulitan dalam
pemeliharaannya, seperti yang diungkapkan oleh P. Mkm (42) yaitu :
100
“ …….. bahwa tidak semua eks penderita kusta mempunyai
keterampilan memelihara kambing, karena latar belakang mereka
sebelum bertempat tinggal di Nganget beraneka ragam …….”
Menyimak pernyataan tersebut bahwa tidak semua warga mempunyai
keterampilan memelihara kambing, dengan demikian mereka tidak tahu
mengenai penyakit-penyakit yang menyebabkan kambing mati, dan bila kambing
sakit apa yang harus dilakukan. Di lain pihak dalam proses seleksi tidak
mempertimbangkan apakah si penerima bantuan punya pengalaman atau
keterampilan memelihara kambing. Disamping hal tersebut dalam kegiatan
bantuan tidak dilaksanakan penyuluhan dan bimbingan sosial untuk membekali
penerima bantuan dalam hal ini eks penderita kusta baik secara teknis tentang
pemeliharaan/perawatan kambing maupun apa esensi daripada Kelompok
Usaha Bersama. Seperti pernyataan Pemimpin Proyek Ibu Dw A ( 42) yaitu :
“ …….. bahwa bantuan yang diberikan kepada eks penderita kusta
adalah bantuan modal jadi tidak ada pos untuk penyuluhan dan
bimbingan Sosial ………”
Dengan tidak dilaksanakan kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial akan
berpengaruh banyak terhadap perkembangan Kelompok Usaha Bersama baik
perkembangan kambing maupun perkembangan organisasinya itu sendiri. Di
dalam tabel 9 juga dapat diketahui bahwa 4 % atau 4 ekor kambing dinyatakan
hilang. Hilangnya kambing disebabkan belum ada kesiapan warga untuk
menempatkan kambing pada satu kadang besar karena keterbatasan sarana.
Disamping itu untuk penjagaan diperlukan kesadaran yang tinggi dari warga.
Seperti diungkapkan oleh P. Mkn (48) yaitu :
“………… bahwa setiap kelompok pada mulanya dijadikan satu
kandang supaya mudah untuk mengontrol namun banyak kendala
yang kemudian muncul yaitu sarana kadang besar sangat terbatas
disamping itu untuk menjaga diperlukan kesadaran dan tidak semua
eks penderita kusta mampu untuk menjaga kambing pada malam
hari ………”
Melihat kendala tersebut akhirnya disepakati untuk diambil masing-masing
supaya yang mempunyai kambing merasa tenang dan lebih dekat dengan
kambing peiharaannya. Dengan diambilnya kambing dari kadang besar juga
membawa dampak makin sulitnya mengadakan pengawasan sehingga tanpa
101
sepengetahuan pengurus banyak kambing yang dijual sampai mencapai 16 %
atau 16 ekor. Seperti diungkapkan oleh P. Ynt (34) yaitu :
“……… bahwa sebenarnya sudah banyak bantuan yang diberikan
kepada warga Nganget ini baik berupa sapi maupun kambing, namun
banyak yang dijual dengan alasan untuk makan atau tidak bisa
merawat lagi karena sakit yang dideritanya kambuh ataupun dijual
untuk berobat……..”
Dari berbagai pandangan yang diungkapkan seperti itu maka dalam upaya
mengembangkan Kelompok Usaha Bersama supaya dapat meningkatkan
keberfungsian sosial perlu telaah yang lebih mendalam lagi terhadap berbagai
hal yang menyangkut perkembangan Kelompok KBS-KUBE itu sendiri. Untuk
kajian yang lebih mendalam dari lima kelompok KBS-KUBE yang ada dipilih dua
kelompok yang progresif dan pasif dengan demikian dapat diketahui kendala
yang dialami dan dan faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan Kelompok
KBS-KUBE.
6.1.1. Kelompok KBS – KUBE “Bangkit Mulia”
Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia didirikan pada tahun 2004 karena akan ada
bantuan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
melalui Program Bantuan
Kesejahteraan Sosial tahun 2004. Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia terdiri dari
10 orang, sembilan orang diantaranya bertempat tinggal di RT. 06 dengan ketua
RT Bapak Mkn dan satu orang tinggal di RT. 04. Adapun susunan pengurus
Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah :
1. Ketua
: Bakri
: T.Tuberkuloid
2. Sekretaris
: Eko Wahyu
: Indeferent - Indeterminate
3. Bendahara
: Gapar
: T.Tuberkuloid
4. Anggota
: 1. Darmi
: T.Tuberkuloid
2. Satimin
: T. Tuberkuloid
3. Suminah
: Indeferent - Indeterminate
4. Sajid
: T. Tuberkuloid
5. Lasmin
: B. Border Line
6. Asan
: T. Tuberkuloid
7. Romly
: T. Tuberkuloid
Sumber : Balai Pengobatan Dusun Nganget Tahun 2005.
102
Dari daftar susunan Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia semua anggotanya
adalah eks penderita kusta terdiri dari 10 orang dua orang perempuan dan
delapan orang laki-laki. Adapun satu orang yang berasal dari RT. 04 karena ada
kelebihan dari RT, 04 yang tidak tertampung di RT-nya, sehingga digabungkan
dengan RT. 06.
Sesuai dengan pernyataan Pak Rsd ( 65 ) yaitu :
“………. Kolo rumiyin sampun dados keputusanipun pengurus KUBE
menawi Pak Lsm meniko nderek kelompok Bangkit Mulia RT nipun
Pak Mkn amargo dateng RT kulo sampun ngluwihi bantuan ingkang
dipun sukaake kalih panti lan mboten klebet dateng kelompok
sanesipun ……”
(Artinya bahwa sejak dulu sudah jadi keputusan pengurus Kelompok
Usaha Bersama bahwa Pak Lsm ini diikutkan kelompok Bangkit Mulia
RT -nya pak Mkn karena di RT saya ada kelebihan orang yang
menerima bantuan yang diberikan oleh panti dan tidak tertampung oleh
kelompok lain).
Adapun tingkat pendidikan anggota kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yaitu
sebagian besar adalah Tamat Sekolah Dasar, Tidak Sekolah dan Sekolah
Menengah Pertama, seperti tabel di bawah ini :
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia Di
Dusun Nganget Tahun 2005.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Nama Anggota KUBE
Bakri
Eko Wahyu
Gapar
Darmi
Satimin
Suminah
Sajid
Asan
Romly
Lasmin
Pendidikan
Tamat SD
Taman SMP
Tamat SD
Tidak Sekolah
Tamat SD
Tidak Sekolah
Tamat SD
Tamat SD
Tidak Sekolah
Tamat SD
Keterangan
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 10 anggota Kelompok KBS-KUBE
Bangkit Mulia yang berpendidikan Tidak Tamat Sekolah Dasar ada tiga orang
atau 30 %, Tamat Sekolah Dasar enam orang atau 60 % dan satu orang Tamat
SMP atau 1 %. Dengan 60 % anggota yang hanya berpendidikan SD akan
mempengaruhi perkembangan organisasi Kelompok Usaha Bersama. Secara
organasasi kelompok bangkit mulia belum berfungsi ini dapat dilihat dari
103
aktivitasnya seperti pertemuan anggota tidak pernah ada, pembagian tugas dan
pedelegasian wewenang tidak berjalan hanya ada kelengkapan organisasi saja,
administrasi hanya ada buku perkembangan KUBE namun perkembangan
kambing tidak pernah dicatat oleh sekretaris tapi tercatat di Pak RT (Mkn), aturan
tertulis tidak ada, yang ada hanya aturan tidak tertulis yang berlaku untuk semua
Kelompok Usaha Bersama.
Ini sesuai dengan pernyataan Pak Bkr (55) yaitu :
“……… bahwa saya selaku ketua kelompok tidak tahu masalah
perkembangan kambing Kelompok Usaha Bersama, yang tahu
adalah Pak RT karena warga kalau ada apa-apa selalu melapor
kepada Pak RT, waktu saya menjadi ketua kelompok atas
penunjukan pak RT karena dalam kelompok tersebut tidak ada yang
mau …….”
Dalam kepengurusan selanjutnya setiap anggota maupun pengurus di tingkat
Kelompok Usaha Bersama tidak pernah berpikiran untuk menumbuhkan atau
mengembangkan organisasi KBS - KUBE, yang ada hanya bagaimana supaya
kambing bantuannya dapat berkembang banyak dan bisa segera dapat
menggulirkan. Adapun karakteristik lain yang mendukung semangat anggota
KBS-KUBE Bangkit Mulia yaitu bahwa mereka adalah homongen dan hampir
semua berasal dari eks pasien Rumah Sakit Kusta Nganget. Sesuai dengan
pernyataan Pak Sbr (48) yaitu :
“………. bahwa di RT 06 itu atau orang biasa menyebut sosial
memang dipersiapkan oleh Departemen Sosial pada waktu itu, jadi
sebelum mereka keluar dari Rumah Sakit Kusta mereka diberi
Pendidikan dan Latihan Ketrampilan selama 2 bulan, diberi rumah
sebanyak 55 rumah setelah selesai pendidikan mereka diberi modal
yaitu berupa sapi dan diperbolehkan mengerjakan sawah milik Dinas
Sosial …….”
Dari pernyataan tersebut dapat ditelaah bahwa anggota KBS - KUBE Bangkit
Mulia secara kultur mempunyai hubungan psikologis dengan panti, jadi segala
sesuatu yang diprogramkan melalui panti sedikit banyak akan berpengaruh pada
tindakan mereka. Artinya bahwa apabila program lewat panti akan mempunyai
kecenderungan lebih besar kemungkinan untuk
berhasil, apabila pihak panti
juga komitmen untuk mengembangkan eks penderita kusta di luar panti yaitu di
Dusun Nganget.
104
Sesuai dengan uraian di atas bahwa kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat
dikatakan masuk pada kelompok dalam artian interaksi. Kelompok dalam artian
ini adalah sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dan sering
melampaui rentang waktu tertentu, serta jumlahnya cukup sedikit, sehingga
setiap orang dapat berkomunikasi satu sama lain, tidak sebagai orang kedua,
melalui orang lain, tetapi saling berhadapan (Gibson, Ivancevich, Donnelly,
1996). Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat dikategorikan pada kelompok
dalam artian interaksi, ini dapat dilihat pada seringnya anggota kelompok
mengembala kambing secara bersama sehingga setiap anggota dapat
berkomunikasi dan berinteraksi langsung tanpa ada perantara, sehingga sedikit
demi sedikit dapat menimbulkan saling ketergantungan antar anggota kelompok.
6.1.2. Kelompok KBS – KUBE “Sumber Makmur”
Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur didirikan pada tahun 2004 karena akan
ada bantuan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur melalui Program Bantuan
Kesejahteraan Sosial tahun 2004. Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur terdiri
dari 10 orang, dan semuanya bertempat tinggal dalam satu Rukun Tetangga
yaitu RT. 04. Adapun susunan pengurus Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
adalah :
1. Ketua
: Khoirul
: T. Tuberkuloid
2. Sekretaris
: Amir
: T. Tuberkuloid
3. Bendahara
: Kamjani
: B. Border Line
4. Anggota
: 1. Sableg
: Indeferent - indeterminate
2. Suwoto
: B. Border Line
3. Darmi
: Indeferent - indeterminate
4. Matsai
: B. Border Line
5. Sarmi
: B. Border Line
6. Ngademo
: B. Border Line
7. Kadari
: T. Tuberkuloid
Sumber : Balai Pengobatan Dusun Nganget Tahun 2005.
Dari daftar susunan anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur semua
adalah eks penderita kusta yang terdiri dari tiga orang perempuan dan tujuh
orang laki-laki. Anggota KBS-KUBE Sumber Makmur kebanyakan adalah
pendatang yang berobat ke Nganget dan sudah dinyatakan sembuh oleh Mantri
105
Kesehatan (Balai Pengobatan). Di Dusun Nganget seperti dijelaskan di depan
bahwa ada sungai belereng sebagai tempat berobat untuk orang yang
mempunyai penyakit kusta. Dari berobat inilah banyak pendatang yang akhirnya
menjadi warga Nganget. Seperti diungkapkan oleh Pak Rsd (65) yaitu :
“…….. bahwa warga RT. 04 kebanyakan adalah pendatang yang
berobat ke Nganget, karena merasa senasib maka mereka akhirnya
membuat rumah disini, saya tidak bisa melarang karena mau
kembali kerumah juga mereka dikucikan oleh warga di sekitar
rumahnya……”
Dengan pernyataan tersebut maka banyak warga di RT. 04 yang pendatang
sehingga tingkat kesembuhan penyakit yang dideritanya masih perlu untuk
diadakan pemeriksaan kembali. Bagi anggota kelompok KBS - KUBE Sumber
Makmur secara kultural tidak mempunyai ikatan psikologis dengan panti ataupun
Rumah Sakit Kusta Nganget. Ini juga mempunyai mempunyai pengaruh terhadap
perilaku yang berbeda dengan anggota kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia
seperti yang diungkapkan oleh Pak Wdn (44) tahun yaitu :
“……..bahwa warga di RT 04 ini adalah liar karena mereka datang
begitu saja sehingga kadang-kadang mereka susah diatur, sebelum
kesini mereka itu sudah kemana-mana,seperti minta-minta di jalan..”
Menelaah pernyataan tersebut bahwa dalam Kelompok KBS-KUBE Sumber
Makmur anggotanya adalah para pendatang yang karakteristiknya berbeda
dengan kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yang seluruhnya berasal dari
Rumah Sakit Kusta Nganget. Pada Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda artinya sebelumnya tidak
saling mengenal antar anggota kelompok dengan demikian akan berpengaruh
terhadap perkembangan Kelompok KBS-KUBE selanjutnya terutama mengenai
kekompakan antar anggota kelompok.
Adapun tingkat pendidikan anggota kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur yaitu
sebagian besar adalah, Tidak Sekolah, Tamat Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama, sesuai dengan tabel di bawah ini :
106
Tabel 11. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
Dusun Nganget Tahun 2005
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Nama Anggota KUBE
Khoirul
Amir
Kamjani
Sableg
Suwoto
Darmi
Matsai
Sarmi
Ngademo
Kadari
Pendidikan
Tamat SD
Tamat SMP
Tidak Sekolah
Tidak Sekolah
Tidak Sekolah
Tidak Sekolah
Tamat SD
Tidak Sekolah
Tidak Sekolah
Tidak Sekolah
Keterangan
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 10 angota kelompok KBS-KUBE
yang Tidak Sekolah mencapai tujuh orang atau 70 %, dua orang atau 20 %
Tamat Sekolah Dasar dan satu orang atau 10 %, Tamat Sekolah Menengah
Pertama.
Dengan
70
%
anggota
tidak
sekolah
akan
mempengaruhi
perkembangan organisasi Kelompok KBS-KUBE. Secara organasasi kelompok
Sumber Makmur belum berfungsi ini dapat dilihat dari aktivitasnya seperti
pertemuan anggota tidak pernah ada, pembagian tugas dan pedelegasian
wewenang tidak berjalan hanya ada kelengkapan organisasi saja, administrasi
hanya ada buku perkembangan kelompok KBS-KUBE namun perkembangan
kambing tidak pernah dicatat oleh sekretaris tapi tercatat di Pak RT (Rsd), aturan
tertulis tidak ada, yang ada hanya aturan tidak tertulis yang berlaku untuk semua
Kelompok Usaha Bersama.
Ini sesuai dengan pernyataan Pak Amr (45) yaitu :
“……… bahwa selama ini kepengurusan di KBS-KUBE Sumber
Makmur tidak berjalan saya sebagai sekretaris tidak pernah
mencatat apa-apa semua buku-buku dibawa oleh ketua dan selama
ini memang tidak ada petunjuk untuk mengadakan pertemuan …….”
Dalam kepengurusan selanjutnya setiap anggota maupun pengurus di tingkat
Kelompok Usaha Bersama tidak pernah berpikiran untuk menumbuhkan atau
mengembangkan organisasi KBS-KUBE. Adapun karakteristik anggota kelompok
KBS-KUBE Sumber Makmur yaitu bahwa mereka adalah heterogen berasal dari
berbagai daerah. Di permukiman tersebut mereka berusaha sendiri untuk
membangun rumah dan kebersamaan dibangun tidak secara bersamaan.
107
Sesuai dengan pernyataan Pak Rsd (65) yaitu :
“………. Bahwa sebagian besar warga di RT saya adalah pendatang
adanya perumahan dibangun atas inisiatif sendiri-sendiri …….”
Dari pernyataan tersebut dapat ditelaah bahwa anggota kelompok KBS - KUBE
Sumber Makmur secara kultur kurang mempunyai hubungan psikologis dengan
panti, jadi segala sesuatu yang diprogramkan melalui panti sedikit berpengaruh
pada tindakan mereka..Seperti terlihat pada tabel 9 bahwa 12 kambing atau12 %
kambing KUBE dijual dua diantaranya ditukar dengan kambing jawa karena
mereka menganggap memelihara kambing gibas tidak jodoh/sinung seperti
pernyataan Pak Kdr (49) yaitu :
“……… setelah saya mendapat bantuan kambing gibas beberapa hari
kemudian sakit-sakitan sebelum kambing mati, saya melapor Pak RT
untuk menjual kambing bantuan dan akan saya tukarkan dengan
kambing jawa ………”
Walaupun mereka menjual kambing bantuan mereka tetap melapor kepada RT
setempat, bukannya melapor kepada ketua kelompok. Ketua RT mempunyai
kedudukan yang baik di mata mereka karena Ketua RT juga menjabat sebagai
wakil sekretaris pada kepengurusan Kelompok Usaha Bersama yang lebih besar
dan kepanjangan tangan dari panti dan selama ini kalau ada permasalahan
selalu melapor kepada Ketua RT.
Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur bila dikaitkan dengan teori kelompok
maka masuk dalam kelompok sebagai artian persepsi yaitu suatu kelompok kecil
didefinisikan sebagai orang-orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain
dalam suatu pertemuan tatap muka atau serangkaian pertemuan semacam itu,
dimana setiap anggota menerima beberapa kesan atau persepsi yang cukup
jelas tentang anggota lainnya sehingga ia dapat, pada saat itu atau bersoal
jawab kemudian, memberikan reaksi satu sama lain sebagai seorang individu,
meskipun hal itu mungkin hanya untuk mengingat bahwa yang lain hadir (Gibson,
Ivancevich, Donnelly, 1996).
Artinya bahwa dalam kelompok KBS-KUBE
Sumber Makmur antar anggota kelompok hanya menunjukkan yang lain hadir
pada saat terjadinya pertemuan seperti yang terjadi pada diskusi kelompok.
Dalam kelompok tersebut belum terjalin hubungan antar anggota yang saling
menguntungkan dan saling ketergantungan.
108
Dari uraian profil kedua kelompok KBS-KUBE
tersebut di atas dapat dibuat
dalam tabel sebagai berikut : seperti terlihat dalam tabel 12.
Tabel 12. Profil Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur
Dusun Nganget Tahun 2005.
Aspek Kajian
Tahun dibentuk
kelompok
Kelompok Bangkit Mulia
Kelompok Sumber Makmur
Bulan Oktober 2004
Bulan Oktober 2004
Tidak tamat SD
3 orang atau 30 %
7 orang atau 70 %
Tamat SD
6 orang atau 60 %
2 orang atau 20 %
Tamat SMP
1 orang atau 10 %
1 orang atau 10 %
Belum pernah
Belum pernah
Struktur organisasi
Ada, tetapi ketua,
sekretaris dan bendahara
belum menjalankan
fungsinya.
Ada, tetapi ketua, sekretaris
dan bendahara belum
menjalankan fungsinya.
Pembukuan
Ada, tetapi tidak pernah
diisi.
Ada, tetapi tidak pernah diisi.
Kepatuhan pada
peraturan
Belum pernah menerima
sanksi
Pernah menerima sanksi
karena menjual kambing
bantuan. (sanksi harus
mengganti kambing).
Afiliasi lembaga
keagamaan
NU dan LDII
NU
Asal anggota
kelompok KBS-KUBE
Semua mantan pasien
Rumah Sakit Kusta
Nganget / kelompok sosial
Pendatang (RS Kusta Kediri,
Sumber Glagah Mojokerto)
Kelompok kulon kali.
Pendidikan Formal
Diklat yang pernah
diikuti berkaitan
dengan KUBE
Kepengurusan
109
Eks Penderita Kusta
pada stadium / tipe
Dua orang pada tipe I
atau disebut indeferent ---indeterminate. (bercak
keputihan). Daya tahan
tubuh kuat tidak menular.
2 orang pada tipe I atau
disebut indeferent ---indeterminate. (bercak
keputihan). Daya tahan tubuh
kuat tidak menular.
Tujuh orang pada tipe 2
atau disebut T.
Tuberkoloid rambut rontok,
penebalan kulit,
pembengkakan pada
tangan dan kaki. (lepra
kering).
3 orang pada tipe 2 atau
disebut T. Tuberkoloid
rambut rontok, penebalan
kulit, pembengkakan pada
tangan dan kaki. (lepra
kering).
Satu orang pada tipe 3
B. Border Line terjadi luka
dan mutilasai = ujung ruas
jari kaki
5 orang pada tipe 3
B. Border Line terjadi luka
dan mutilasai = ujung ruas
jari kaki.
Derajat kesembuhan
Derajat kesembuhan
100 % sudah dinyatakan
sembuh.
100 % sudah dinyatakan
sembuh.
Sumber : wawancara dengan anggota kelompok KBS-KUBE Tahun 2005.
6.2. Analisis Aspek Kelembagaan Kelompok KBS - KUBE
Bertrand (1974) sebagaimana dikutip Tonny (2004) mengemukakan bahwa
kelembagaan sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi
dan sistem sosial lainnya. Setiap kelembagaan mempunyai tujuan tertentu dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu yang
berpedoman pada nilai–nilai dan norma yang sifatnya khas. Perihal sistem norma
yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu, apabila diwujudkan
dalam hubungan antar manusia
dinamakan organisasi
sosial
(social
organization). Dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut dapat
dikategorikan ke dalam berbagai kebutuhan pokok kehidupan manusia.
Selanjutnya, setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok
yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial.
Kelembagaan itu bersifat konsepsi, dan bukan suatu yang kongkrit. Suatu
kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan
sosial. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural.
110
Segi kultural memiliki norma-norma dan nilai-nilai dari segi struktural berupa
pelbagai peranan sosial.
6.2.1. Aspek Struktural dalam kelembagaan Kelompok KBS - KUBE
Struktur kelompok ialah suatu sistem yang cukup tegas mengenai hubunganhubungan antara anggota-anggota kelompok berdasarkan peranan-peranan dan
status-status mereka sesuai dengan sumbangan masing-masing dalam interaksi
kelompok menuju ketujuannya. (Gerungan : 2002) Jadi struktur dalam kelompok
itu terdiri dari susunan kedudukan-kedudukan fungsional anggota kelompok
dalam kerjasamanya kearah tujuannya. Dengan kata lain, struktur itu adalah
susunan hirarkis antar anggota kelompok disertai pengharapan-pengharapannya
bahwa tugas dan kewajiban yang diserahkan kepada anggota-anggota itu akan
diselesaikan dengan sewajarnya.
Oleh karena itu tujuan kelompok adalah khas bagi kelompok yang bersangkutan,
demikian pula ciri-ciri pribadi dan kecakapan-kecakapan anggota serta interaksi
kelompok kearah tujuannya adalah khas. Maka oleh karena struktur kelompok
yang bersangkutan adalah khas pula, sesuai dengan keadaan di dalam dan di
luar kelompok. Berkenaan dengan struktur kelembagaan KUBE maka faktorfaktor yang diamati meliputi : pelapisan sosial dalam kelompok, pola hubungan
dan komunikasi dalam kelompok, kepemimpinan dalam kelompok dan konflik
dalam kelompok serta mekanisme kerja Kelompok Usaha Bersama.
6.2.1.1. Pelapisan Sosial dalam Kelompok KBS – KUBE
Dalam peta sosial di jelasakan bahwa pelapisan sosial di permukiman eks
penderita kusta dusun Nganget kekayaan bukanlah hal yang menjadi prioritas
tetapi senioritas, keahlian ilmu pengetahuan terutama di bidang agama dan yang
lebih khusus lagi adalah pegawai panti terlebih lagi didukung peranannya dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Untuk mengamati pelapisan sosial dalam
kelompok dapat diamati dari jenis kelamin, pendidikan anggota, usia anggota,
pembagian kerja, pengambilan keputusan dalam kelompok, paham idiologi,
pendapatan per bulan dan asal eks penderita kusta.
Pada umumnya anggota kelompok KBS - KUBE baik Bangkit Mulia maupun
Sumber Makmur adalah laki-laki namun ada juga perempuan. Baik laki-laki
111
maupun perempuan mereka semua adalah pencari nafkah, mereka saling
bergantian dalam pemeliharaan kambing tetapi ada juga yang sebagai pencari
nafkah utama karena suaminya meninggal dunia atau sakit tidak tidak bisa
bekerja lagi seperti yang diungkapkan oleh Ibu Gpr (55) yaitu :
“……… menawi bapake kerja dateng tiang sanes biasanipun
dikengken macul utawi kerja nopo mawon ingkang angen nggih kulo
niki ……..”
(artinya bahwa kalau suaminya disuruh orang untuk kerja mencangkul
ataupun kerja yang lain maka yang mengembala kambing adalah
istrinya).
Hal ini diungkapkan juga oleh pernyataan Ibu Drm (44) yaitu “
“…….. Ingkang pados penggesangan saben dintene nggih kulo wong
bapakipun sampun mboten saget menopo-menepo amargi sakit, kulo
nggih kadang-kadang bakdho nyencang mendho niku merman
dikengkeni tiang-tiang dateng persil, sabin utowo menopo ke
mawon…….”
( Artinya bahwa yang mencari penghidupan setiap harinya adalah
perempuan karena suami sudah tidak bisa apa-apa karena sakit,
kadang-kadang setelah mengembala kambing saya disuruh orang
membantu di persil, sawah atau apa saja ……..”).
Dengan pernyataan tersebut bahwa peranan laki-laki dan perempuan dalam
pengembalaan kambing adalah saling melengkapi. Bahkan yang sering
mengembala kambing adalah perempuan karena tempat pengembalaan dekat
dengan permukiman warga sedangkan yang laki-laki cenderung mencari
penghasilan lain. Berikut ini adalah hasil wawancara terhadap dua kelompok
KBS - KUBE sebagai terdapat dalam tabel 13.
112
Tabel 13. Pelapisan sosial dua kelompok KBS – KUBE di Dusun Nganget Tahun
2005
Pelapisan Sosial
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Usia Anggota
a. 20 – 30 Tahun
b. 31 – 40 Tahun
c. 41 – 50 Tahun
d. > 51
Pembagian Kerja
a. Ada
b. Tidak ada
Pengambilan Keputusan
a. Anggota/Pribadi
b. Ketua Kelompok
c. Musyawarah anggota
d. Pihak lain (Ketua RT)
Afiliasi Lembaga Keagamaan
a. NU
b. LDII
Asal Eks Penderita Kusta
a. Pendatang
b. Bekas RS Kusta Nganget
Pendapatan Per Bulan
a. < 100.000,b. 100.000 – 300.000,c. 301.000 – 600.000,d. 601.000 – 900.000,
Pekerjaan
Petani Penggarap
Tukang Kayu
Swasta
Tidak Bekerja
Kelompok Usaha Bersama
Bangkit Mulia
Sumber Makmur
Jumlah
% Jumlah
%
Anggota
Anggota
10
100
100
10
7
8
80
70
3
2
20
30
10
100
100
10
1
1
10
10
2
20
5
4
40
50
2
5
50
20
10
100
100
10
10
10
100
100
10
100
100
10
6
60
4
10
100
40
10
100
100
10
10
7
70
100
3
30
100
100
10
10
10
100
10
100
10
100
100
10
1
10
7
4
40
70
2
5
50
20
1
10
100
100
10
10
7
8
80
70
2
1
10
20
1
10
1
10
Sumber : Wawancara dengan anggota kelompok KBS-KUBE
Usia anggota Kelompok Usaha Bersama rata-rata di atas usia 41 tahun
mencapai 90 %, untuk KBS - KUBE Bangkit Mulia 50 % anggotanya di atas 51
Tahun sedangkan KBS - KUBE Sumber Makmur hanya 20 %. Dengan usia yang
sudah semakin tua untuk anggota KBS-KUBE Bangkit Mulia lebih rajin dan sabar
dalam pemeliharaan kambing bahkan setiap hari kambing dicombor (makan
dedeg/katul campur air dan garam sedikit) supaya cepat gemuk karena mereka
113
berprinsip bahwa memelihara kambing disamping untuk kegiatan ekonomis juga
untuk hiburan sehingga kambing dipelihara dengan baik dan bahkan sangat
disayangi seperti yang diungkapkan oleh Pak Gpr (49) yaitu :
“ …….. bahwa sebenarnya secara ekonomi dan jangka pendek
memelihara kambing itu rugi, karena tiap hari mengeluarkan uang
untuk membeli katul/dedeg setiap minggu kambing 7 ekor ini
menghabiskan dedeg/katul sampai 10 kg per Minggu, harga per
kilonya sampai di permukiman Rp. 1.000,- jadi setiap minggunya
saya mengelurkan uang sebesar Rp. 10.000,- Namun saya ikhlas
dan senang karena kambing-kambing saya menjadi gemuk itu jadi
hati saya sudah terhibur dan kalau sewaktu-waktu saya butuh uang
tinggal menjual……”
Kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur rata-rata anggotanya masih berusia
produktif yaitu mencapai 50 %, dengan usia yang produktif maka tingkat
mobilisasi sosial lebih tinggi dibanding dengan kelompok KBS – KUBE Bangkit
Mulia sehingga banyak kambing yang tidak terpelihara dengan baik.
Seperti yang diungkapkan oleh Pak Krl (23) yaitu :
“ ………. Bahwa pekerjaan saya adalah tukang kayu sehingga saya
sering dipanggil orang kesana-kemari dan saya juga belum berumah
tangga sehingga kambing tidak terurus dan akhirnya saya jual ……..”
Pendidikan formal anggota Kelompok Usaha Bersama baik kelompok KBS KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur sebagian besar tidak tamat
Sekolah Dasar sampai tamat Sekolah Dasar hanya dua orang yang tamat
Sekolah Menengah Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan waktu
itu mereka dari kecil penyakit yang dideritanya sudah mulai nampak dan
kebanyakan dari keluarga yang tidak mampu. Seperti diungkapkan oleh Pak Amr
(45) yaitu :
“……..bahwa dari kecil sampai Sekolah Dasar penyakit saya ini belum
kelihatan menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama mulai
kelihatan, saya mulai dijauhi oleh teman-teman dan saya mulai
minder namun tetap saya tahan sampai akhirnya saya lulus dari
SMP ……”
Untuk melanjutkan sekolah orang yang mempunyai penyakit kusta sangat sulit
karena masih ada stigma dari masyarakat yang selalu melekat padanya yaitu
masyarakat menyebut penyakit tersebut akibat kutukan atau kalau berdekatan
bisa menular sehingga sangat sulit untuk bergaul dengan masyarakat pada
umumnya.
114
Pembagian tugas dalam kelompok KBS - KUBE disusun secara sederhana terdiri
atas ketua, sekretaris dan bendahara. Kepengurusan ini hanya sekedar
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari program bantuan
kesejahteraan sosial tanpa diketahui tugasnya dengan jelas. Karena di atas lima
kelompok KBS - KUBE yang ada ini ada kepengurusannya lagi yang menaungi
yaitu Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Kepengurusan inilah yang aktif dan
jelas
pembagian
tugasnya.
Kepengurusan
ini
terdiri
dari
tokoh
agama/masyarakat dan masing-masing ketua RT. Masing-masing ketua RT
diberi wewenang untuk mengatur, mengawasi dan mengontrol KBS - KUBE di
RT –nya masing-masing.
Dengan pemberian wewenang tersebut akhirnya pengambilan keputusan selalui
diserahkan kepada ketua RT. Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia ketua RTnya cukup aktif dan kebetulan dia tidak ada pekerjaan yang pasti karena
kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh anaknya, sehingga mempunyai waktu untuk
selalu memonitor KBS - KUBE yang berada dalam kewenangannya. Dalam
KUBE Bangkit Mulia 100 % keputusan diambil oleh ketua RT yang sekaligus
sebagai sekretaris pengurus KUBE.
Di permukiman eks penderita Nganget tidak bisa lepas dengan kelompokkelompok masyarakat yang ada. Pada Kelompok KBS - KUBE Bangkit mulia
anggota cukup beragam 70 % warga Nahdatul Ulama dan 30 % warga LDII,
namun mereka dipersatukan kelompok sosial, karena mereka berangkat ke
permukiman dengan gerbong yang sama yaitu bantuan dari Departemen Sosial.
Berbeda dengan KUBE Sumber Makmur 100 % warga Nahdatul Ulama yang
sangat rutin mengikuti tahlilan setiap satu minggu sekali walaupun pada awalnya
mereka tidak mengenal satu dengan yang lain.
Pendapatan diantara dua KUBE hampir sama yaitu KUBE Bangkit Mulia 50 %
berpendapatan tiap bulan antara Rp. 301.000
- 600.000 sedangkan KUBE
Sumber Makmur 70 % pendapatan per bulan anggotanya sebesar Rp. 100.000 –
300.000,- . Ada yang lebih menonjol diantara dua KUBE yaitu masing-masing 10
% ada anggota yang berpenghasilan tertinggi dan terendah. Ini disebabkan
karena anggota dari KBS – KUBE Bangkit Mulia ada yang bekerja di luar
permukiman sehingga pendapatan lebih tinggi sedangkan di KUBE Sumber
Makmur juga penderita namun usia sudah sangat tua dan tidak berpenghasilan.
115
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang tidak mencukupi
kebutuhan dan ditambah dengan persoalan-persoalan yang lain sehingga
peranan individu dalam kelompok sangat kurang. Seperti yang dikemukakan oleh
Soekanto (2005) bahwa peranan dapat dikatakan sebagai perilaku yang penting
bagi struktur sosial masyarakat. Kurang adanya spesialisasi tugas menjadikan
individu kurang berperan dalam setiap aktifitas kelompok sehingga struktur
kelompok akan tampak statis, apalagi jika kemampuan sumber daya yang
dimilikinya sangat lemah maka intervensi dari luar akan sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan sebuah kelompok.
6.2.1.2. Pola Hubungan dan Komunikasi Dalam Kelompok
Pola hubungan dan komunikasi dalam kelompok yang berkaitan dengan aspek
struktur diamati dari derajat kedekatan anggota dalam kelompok serta bentuk
bentuk hubungan dan ikatan dalam kelompok. Sedangkan pola komunikasi
dalam kelompok diamati dari intensitas komunikasi dalam kelompok dan antar
kelompok baik horizontal maupun vertikal serta sarana komunikasi yang
digunakan. Hubungan yang dinamis dalam kelompok dengan komunikasi yang
baik dan lancar akan memperkuat tingkat kohesivitas kelompok tersebut.
Derajat kedekatan anggota dalam kelompok untuk kedua kelompok KBS - KUBE
hampir sama perasaan senasib membawa dampak adanya ikatan emosional
yang kuat. Perasaan senasib akan muncul apabila kelompok – kelompok
tersebut mempunyai kepentingan yang sama dalam menghadapi sesuatu.
Namun dalam kelompok KBS - KUBE mereka juga bisa bersifat egois bila antar
anggota kBS - KUBE mempunyai kepentingan yang tidak sama. Seperti yang
muncul dalam diskusi kelompok yang diungkapkan oleh Ibu Drm (44) yaitu :
“……….. bahwa kambing yang sakit itu adalah urusan mereka
masing-masing mau memanggil mantri atau tidak, kalau disuruh
membantu maka saya tidak mau karena tidak punya uang …….”
Ketidakmauan mereka membantu sesama anggota kelompok dapat disebabkan
susahnya mencari penghasilan karena keterbatasan pekerjaan, mereka hanya
bisa mencari penghasilan di permukiman saja atau di sekitarnya yang sudah
terbiasa menerima mereka.
Hubungan
atau
komuikasi
anggota
dalam
kelompok
pada
umumnya
menggunakan media lisan atau tatap muka antar personal. Pranadji (2003)
116
menyatakan bahwa hubungan atau komunikasi menggunakan media lisan dan
tatap
muka
personal
menjadi
ciri
umum
yang
mendasari
solidaritas
ketetanggaan. Masing-masing kelompok KBS - KUBE selama ini tidak pernah
mengadakan pertemuan.
Pertemuan hanya dilakukan oleh pendamping KUBE
yang berkedudukan di dalam panti selama ini pertemuan baru dilaksanakan
sebanyak 4 kali. Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu :
“……..Bahwa pertemuan masing-masing kelompok memang tidak
pernah ada namun kalau pertemuan seluruh KUBE yang ada kira-kira
sudah 4 (empat) kali dan dilaksanakan di panti yang pertama pada
saat akan ada bantuan; kedua pada saat akan menerima bantuan;
ketiga pada saat pembagian kelompok dan yang keempat pada saat
pembagian bantuan kambing setelah itu tidak pernah ada lagi ……..”
Pertemuan yang diadakan hanya pada tingkat pengurus KUBE yang menaungi
kelompok-kelompok KBS - KUBE. Pertemuan itu dilaksanakan setiap 4 bulan
sekali itu diadakan untuk membahas perkembangan simpan pinjam dan
permasalahan-permasalahan yang ada pada masing-masing kelompok KBS KUBE. Dengan jarangnya pertemuan yang dilaksanakan di permukiman ini juga
berkaitan dengan keterbasatan fisik yang ada pada eks penderita kusta itu
sendiri. Setelah seharian bekerja mereka cukup lelah sehingga frekwensi
pertemuan dengan tetangga juga terbatas hanya pada sore hari setelah pulang
dari sawah atau persil. Dan pada malam hari mereka beristirahat dalam rumah.
6.2.1.3. Kepemimpinan Dalam Kelompok KBS - KUBE
Poinsioen (1969) sebagaimana dikutip Pranadji (2003) menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah salah satu penggerak utama perubahan masyarakat,
leadership as a prime mover of social changes. Aspek kepemimpinan sangat
menentukan kemajuan masyarakat. Kemajuan suatu kelompok sangat ditentukan
oleh ciri kepemimpinan yang melekat pada para pemimpinnya.
Berdasarkan hasil wawancara anggota kelompok bahwa pada kedua kelompok
KBS - KUBE baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur pemilihan ketua
masing – masing KBS - KUBE berdasarkan penunjukkan ketua RT masingmasing melalui musyawarah pengurus KUBE yang menaungi masing-masing
kelompok KBS - KUBE. Sesuai dengan pernyataan Pak Rls (65) yaitu :
“………bahwa pada siang hari kami dipanggil oleh kepala panti dan
kami diberi tugas untuk membentuk 5 kelompok yang terdiri dari
masing –masing kelompok 10 orang karena akan ada bantuan, maka
117
pada malam harinya kami berkumpul di rumah Pak Rks untuk
membicarakan masalah tersebut dan kami selesaikan tugas
membentuk kelompok sekaligus pengurusnya dan pagi harinya kami
serahkan kepada kepala panti……..”.
Kepemimpinan dalam kedua kelompok KBS-KUBE tersebut tidak berfungsi ini
disebabkan ketua kelompok adalah hasil penunjukkan dari pengurus Kelompok
Usaha Bersama.
6.1.2.4. Konflik Dalam Kelompok KBS - KUBE
Konflik adalah pertentangan antara sua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi
antar individu, antar kelompok kecil atau besar. Dalam mengelola sebuah
kelompok seperti KBS - KUBE tentunya konflik sering terjadi terutama berkaitan
dengan keragaman kebutuhan dan kepentingan anggota dalam kelompok.
Semakin beragamnya tujuan setiap anggota semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik. Konflik dalam kelompok KBS - KUBE pada umumnya
merupakan suatu dinamika yang ada dalam perkembangan kelompok.
Pola konflik yang terjadi dalam kelompok KBS - KUBE umumnya bersifat
interpersonal, namun tidak menutup kemungkinan bisa meluas pada kelompok
yang lain. Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu :
“…….. sampun dados keputusanipun pengurus menawi mendho
bantuan niku mboten saget dipun sadhe, niku medhonipun Bu Rks
kok dipun sadhe malah ditumbasake kalung, pengurus KUBE sampun
mangertos nanging mendhel mawon ……..”
( Artinya sudah menjadi keputusan pengurus bahwa kambing bantuan
tidak boleh dijual, tapi kambingnya bu Rks di jual dan dibelikan
perhiasan, pengurus KUBE sudah mengetahuinya tetapi diam saja )
Konflik akan terjadi bila pengurus KUBE sendiri tidak konsisten dengan peraturan
yang dibuatnya sendiri, walaupun peraturan itu sifatnya tidak tertulis. Penyebab
lain bisa terjadi karena faktor kurangnya komunikasi maupun lemahnya
kepemimpinan dalam kelompok. Lemahnya komunikasi ini bisa disebabkan
karena kurang adanya pertemuan baik internal kelompok maupun antar
kelompok KBS - KUBE yang ada. Konflik juga mempunyai aspek – aspek positif
seperti memperkuat identitas kelompok, meningkatkan prestasi kelompok (Jehn,
1995) dalam Sarwono (2001) memberi peluang untuk belajar, dan meningkatkan
konsensus (Franz & Jin, 1995) dalam Sarwono (2001).
118
6.2.1.5. Mekanisme Kerja KUBE
Mekanisme KUBE yang ada di permukiman eks penderita kusta barangkali
berbeda dengan KUBE di daerah lain. Mekanisme kerja KUBE di permukiman
eks penderita kusta yaitu bantuan disaluran melalui panti. Didalam panti ada
koordinator KUBE yang dijabat oleh eselon IV dan mereka mempunyai staf yang
disebut sebagai pendamping. Jumlah pendamping ada lima
orang sesuai
dengan jumlah kelompok KBS - KUBE yang ada. Dibawah Koordinator dan
pendamping ada pengurus yang yang berjumlah enam orang terdiri dari tokoh
masyarakat, tokoh agama dan Ketua RT disebut sebagai Pengurus KUBE ,
dalam kepengurusan KUBE mempunyai kegiatan usaha simpan pinjam dan
kelompok KBS - KUBE yang berjumlah lima kelompok.
Struktur Organisasi Kerja KUBE dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 8. Struktur Organisasi KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005
Dinas Sosial
Panti
Koordinator I
Koordinator Umum
Pendamping
Pendamping
Usaha Simpan
Pinjam
KBS – KUBE
Sumber
Rejeki
Ket. : =
Koordinator II
Pendamping
Pendamping
Pengurus KUBE
(Tokoh Masyarakat)
KBS – KUBE
Bina Usaha
Garis Komando,
KBS – KUBE
Sumber
Makmur
Pendamping
KBS - KUBE
KBS – KUBE
Bangkit
Mulia
= Garis Koordinasi, = Garis Pendamping,
KBS – KUBE
Barokah
=Grs Kegiatan
Sumber : Koordinator KUBE Tahun 2005
119
Dalam pengelolaannya dilaksanakan secara hirarkis mulai Pembina yang dijabat
oleh Kepala Panti, dibawahnya koordinator lalu pendamping, pengurus KUBE
dan yang paling bawah pengurus kelompok KBS - KUBE. Secara struktural
pengurus KBS – KUBE akan melaporkan permasalahan kelompok kepada
Pengurus KUBE selanjutnya pengurus KUBE melanjutkan kepada Koordinator
KUBE dan seterusnya sampai kepada Pembina KUBE.
Namun yang terjadi pengurus KBS – KUBE baik kelompok KBS – KUBE Bangkit
Mulia maupun Sumber Makmur tidak berfungsi sehingga diambil alih oleh ketua
RT masing-masing yang secara langsung juga menjadi pengurus KUBE. Bagi
kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yang mempunyai Ketua RT rajin dan sering
mengadakan monitoring maka KBS – KUBE dapat berkembang namun untuk
kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sedikit mengalami hambatan dalam
perkembagannya. Ketua RT tidak bisa selalu memonitor perkembangan KBS –
KUBE akhirnya anggota KBS – KUBE bertindak sesuai dengan kebutuhan yang
dia rasakan seperti menjual kambing untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bila
ditelaah
lebih
dalam
mekanisme
kerja
KUBE
secara
hirarkis
petanggungjawaban antar unit organisasi tidak jelas adanya jabatan rangkap
yang disandang oleh pengurus KUBE. Selain sebagai pengurus KUBE mereka
juga menjadi ketua RT yang bertanggungjawab terhadap perkembangan KUBE.
Kelemahan dari mekanisme kerja KUBE karena masing-masing unit tidak
mengetahui siapa bertanggungjawab kepada siapa, karena tidak ada penjelasan
secara tertulis dan mekenisme tersebut hanya diketahui orang-orang yang
berada dalam panti tanpa melibatkan pengurus dan anggota KBS-KUBE yang
ada.
6.2.2. Aspek Kultur dalam kelembagaan KBS - KUBE
Banyaknya unsur-unsur kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat maka
untuk memahami kelompok KBS - KUBE, pengamatan dibatasi pada nilai dan
norma kelompok, dan tata perilaku dalam kelompok.
6.2.2.1. Sistem Nilai dan Norma dalam Kelompok KBS - KUBE
Sistem tata nilai yang diperankan oleh anggota-anggota kelompok dalam
masyarakat mencerminkan tata nilai dari masyarakat itu sendiri, begitu juga
120
sebaliknya tata nilai masyarakat itu mencerminkan tata nilai dari anggotaanggota masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada anggota – anggota kelompok
KBS - KUBE dalam komunitas eks penderita kusta. Sistem tata nilai dan norma
yang dianut oleh kedua kelompok KBS – yaitu pada KBS-KUBE Bangkit Mulia
kepatuhan pada peraturan lebih baik dibanding dengan KBS – KUBE Sumber
Makmur ini dapat dilihat pada perilaku penjualan kambing yang dilakukan oleh
anggota kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur lebih banyak dibanding
kelompok
Bangkit
Mulia.
Disamping
penjualan
kambing
juga
masalah
pengguliran Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia lebih banyak jumlah kambing
yang digulirkan bahkan sudah membentuk kelompok baru.
Penjualan yang terjadi pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur ini
disebabkan karena tingkat ekonomi kelompok sumber Makmur sangat rendah
dan sering sakit – sakitan sehingga kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan dipakai untuk pengobatan. Dalam kehidupan sehari-hari Eks
penderita kusta mempunyai semangat hidup dan semangat kerja yang lebih
tinggi dibanding dengan masyarakat di dusun sekitar permukiman Dusun
Nganget ini sesuai dengan pernyataan Pak Mstr (55) yaitu :
“………..bahwa yang membedakan eks penderita kusta dengan
warga di Dusun lainnya adalah semangat kerja dan keinginannya
untuk tetap hidup lebih besar dibanding dengan
warga dusun
lainnya……….”
Hakekat hidup dan hakekat kerja ini dapat diamati melalui pola kerja atau waktu
lamanya mereka bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rph (42) yaitu :
“……….Kulo niku pak nyambut dhamel milai injing ngantos suruf,
tangi jam 04.00 terus sholat subuh, masak, umbah-umbah bakdho
niku angen dateng saben kulo sambi nburuh tandur ngantos bade
dhuhur manthuk sekedap, mangke jam 13,00 berangkat malih
dateng saben nerusake mburuh ngantos jam 16.00, saksampune
niku mendhet mendho kalih pados suket kangge nedo medho
menawi dhalu ngantos jam 17,30 ……..”
(artinya saya ini pak mulai bekerja dari pagi sampai metahari tenggelam,
mulai bangun jam 04.00 pagi terus menjalankan sholat subuh, masak,
mencuci setelah itu pergi mengembala kambing sambil menjadi buruh tani
sampai hampir dhuhur, pulang sebentar sampai pukul 13.00 lalu berangkat
lagi melanjutkan bekerja sebagai buruh tani sampai pukul 16.00, sesudah
itu pergi mengambil kambing sekalian mencari rumput untuk makan
kambing pada waktu malam hari selesai sampai pukul 17.30)
Para eks penderita kusta bekerja selama 12 jam setiap harinya dengan kualitas
pekerjaan yang berat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
121
6.2.2.2. Tata Perilaku Dalam Kelompok KBS - KUBE
Tata perilaku dalam kelompok juga merupakan perwujudan dari perilaku yang
ditujukkan oleh suatu masyarakat. Tata perilaku tersebut merupakan wujud
sistem norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat di permukiman eks
penderita kusta Dusun Nganget. Jadi baik buruhnya suatu perilaku suatu
kelompok tergantung pada seberapa kuat nilai dan sistem norma yang dijalankan
oleh kelompok tersebut. Untuk mengamati perilaku individu dalam kelompok KBS
- KUBE di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget ada tiga hal yang
pokok yaitu perilaku kerjasama, perilaku persaingan dan disiplin kerja.
Kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika tujuan anggota kelompok
yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota yang lain atau tujuan kelompok
yang lain secara keseluruhan sehingga setiap individu hanya dapat mencapai
tujuan apabila individu yang lain juga mecapai tujuan. Persaingan suatu bentuk
interaksi sosial ketika seorang individu dapat mencapai tujuan sehingga individu
lain akan terpengaruh dalam mencapai tujuan tersebut atau suatu proses sosial
ketika individu/kelompok saling berusaha dan berebut untuk mencapai
keuntungan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan disiplin kerja merupakan
perilaku untuk mentaati suatu aturan baik itu aturan tertulis maupun tidak tertulis.
Ketiga faktor tersebut dipandang sangat berkaitan dengan tata nilai dan norma
yang berlaku dalam dalam kelompok KBS - KUBE di permukiman eks penderita
kusta. Untuk memahami lebih dalam tentang hal tersebut dapat diuraikan melalui
tabel 14.
Tabel 14. Tata perilaku kelompok KBS - KUBE Dusun Nganget Tahun 2005.
Tata Perilaku Dalam
Kelompok
Perilaku Kerjasama
Perilaku Persaingan
Pengguliran
Disiplin kerja
Kelompok KUBE
Bangkit Mulia
Sumber Makmur
Bila ada anggota lain
Bila ada anggota lain yang
tidak bisa mengembalakan yang tidak bisa
mengembalakan
kambing maka dapat
kambing maka bisa
dititipkan kepada anggota
dititipkan orang dengan
lain tanpa pamrih.
jalan memberi upah.
Ada kebanggaan bila
Belum ada kebanggan
sudah menggulirkan
bila sudah menggulirkan
Dalam mengembala dan
Dalam mengembala dan
pemberian makanan
pemberian makanan
tambahan tepat waktu
tambahan
Tidak tepat waktu
Sumber : Wawancara dengan anggota kelompok tahun 2005
122
Perilaku kerjasama di antara kedua kelompok ini mempunyai perbedaan yang
sangat menyolok. Bila pada kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia apabila ada
teman yang sedang bepergian maka teman yang lain dapat diminta untuk
sementara mengembalakan kambing yang dimilikinya ini.
Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu :
“……….Menawi wonten konco ingkang bade tindak an mendhonipun
dititip kalih kulo, natos pak Stm tindak Griyo Sakit Sumber Glagah
Mojokerto mresakaken gerahipun pinten-pinten ndinten mendhonipun
dititip kulo, nggih kulo ngen sareng kalih mendho kulo ……..”
(artinya bahwa kalau ada teman yang akan pergi kambing dititipkan
kepada saya pernah pak Stm pergi ke Rumah Sakit Sumber Glagah
Mojokerto memeriksakan sakitnya, beberapa hari kambingnya
dititipkan saya,
ya saya mengembalakan bersamaan dengan
kambing saya).
Bila ditelaah lebih dalam bahwa perilaku kerjasama yang ditunjukkan oleh
anggota kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia adalah berkat kebersamaannya
selama mereka berada di rumah sakit kusta Nganget sampai beberapa tahun
bahkan bertempat tinggal pun bertetangga sehingga diantara mereka timbul
solidaritas.
Sedangkan perilaku kerjasama di dalam kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur
sudah didasari oleh sikap yang agak komersial seperti pernyataan Pak Swt (50)
yaitu :
“………..bahwa pada saat saya sakit dan berobat ke Rumah Sakit
Sumber Glagah Mojokerto beberapa hari, saya minta tolong pada
seseorang untuk sementara menggembalakan kambing, tetapi orang
tersebut minta upah dan saya beri Rp. 60.000,- karena tidak punya
uang maka kambing saya jual untuk berobat dan memberi upah
orang tersebut……..”
Dari pernyataan tersebut apabila ditelaah maka sifat solidaritas kelompok KBS –
KUBE Sumber Makmur sangat rendah ini disebabkan karena mereka
dipertemukan di permukiman dan pada awalnya tidak mengetahui latar belakang
masing-masing. Perilaku persaingan yang terjadi pada kedua kelompok KBS KUBE hampir sama namun frekwensi anggota yang berbeda artinya persaingan
antar anggota KBS - KUBE Bangkit Mulia terjadi apabila sudah bisa
menggulirkan itu adalah merupakan kebanggaan karena mereka menganggap
kewajiban sudah selesai dari 10 anggota hampir semua merasa senang kalau
sudah menggulirkan ini berakibat bahwa kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia
123
jumlah pengguliran lebih banyak dibanding kelompok KBS - KUBE Sumber
Makmur dan bahkan sudah terbentuk kelompok KBS - KUBE baru.
Pada disiplin kerja anggota kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur masih
kurang dibanding dengan kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia. Ini disebabkan
tingkat mobilitas pada kelompok Sumber Makmur lebih tinggi sehingga kadang –
kadang berpengaruh pada pemeiliharaan kambingnya. Sedangkan pada
kelompok Bangkit mulia ada saling bekerjasama atau saling membantu antara
suami dan istri dalam pemeliharaan kambing, sehingga kambing tetap terpelihara
dengan baik.
6.3. Analisis Aspek Sosial Kelompok KBS - KUBE
Dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau
lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang
satu dengan anggota yang lain. Dengan kata lain antar anggota kelompok
mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami
secara bersama-sama.
Untuk menganalisis aspek sosial baik anggota kelompok KBS - KUBE Sumber
Makmur dan KBS - KUBE Bangkit Mulia dalam kajian ini di fokuskan kepada
yaitu motivasi berkelompok, peran masyarakat, interaksi dalam kelompok dan
kepedulian sosial, rasa turut memiliki dan perkembangan kelompok.
Seperti
dapat dilihat dalam tabel 15.
Tabel 15. Dinamika kelompok anggota KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur
Dusun Nganget Tahun 2005.
Dinamika Kelompok
Kelompok KUBE
Bangkit Mulia
Sumber Makmur
Motivasi berkelompok
Mulai tumbuh, ditandai
dengan adanya
mengembala secara
bersama
Belum tumbuh
Peran Masyarakat
Melalui
Melalui Lembaga
keagamaan
ketetanggaan
Kepedulian Sosial
Bila ada anggota sakit
maka anggota yang
lain menolong.
Belum ada dalam
kelompok
124
Perkembangan kelompok
Muncul kelompok baru
Belum tumbuh
kelompok baru
Rasa Turut Memiliki
Ditunjukkan dengan
pemeliharaan kambing
dengan baik sehingga
kambing dapat
berkembang.
Belum tumbuh
Kerjasama
Kerjasama ditunjukkan
dengan saling
menolong dalam
mengembala kambing
Kerjasama tidak ada
melainkan bila ada
anggota yang tidak bisa
mengembalakan
kambing maka
membayar orang untuk
mengembalakannya,
Sumber : Hasil wawancara dengan Anggota KBS – KUBE Tahun2005.
Analisis motivasi berkelompok pada kedua KSB - KUBE baik kelompok KBS KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur bahwa motivasi berkelompok
bukan inisiatif masing-masing anggota kelompok KUBE tapi berasal dari pihak
luar yaitu Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Nganget karena akan
ada bantuan turun. Analisis peran masyarakat untuk kedua kelompok KUBE
adalah bila pada kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia peran masyarakat
dilakukan melalui ketetanggaan artinya bahwa anggota masyarakat yang dalam
hal ini tetangga ikut mengawasi perkembangan kelompok KBS KUBE khususnya mengenai pemeliharaan kambing. Seperti yang diungkapkan
oleh Pak Ksbl (49) yaitu :
“…….. bahwa bila ada anggota kelompok KUBE yang ketahuan
menjual kambing, maka oleh tetangga akan ditegur supaya tidak
dijual karena itu adalah bantuan dari pemerintah tidak boleh dijual,
saya sendiri beberapa kali menegur anggota KUBE yang mau
menjual kambing dengan alasan tidak bisa merawat lagi ………..”
Bila pada kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur peran masyarakat
ditunjukkan melalui lembaga keagamaan yaitu melalui Jum’atan dan Tahlilan.
Seperti yang diungkapan oleh Kyai Jsf (65) yaitu :
“………. Bahwa untuk mendidik orang sakit itu perlu waktu yang
sangat lama, seperti yang saya lakukan melalui Jum’atan dan Tahlilan
baik bapak-bapaknya maupun ibu-ibu itupun tidak mudah kadangkadang mereka itu seenaknya sendiri……..”
125
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompokkelompok manusia, atau antara orang perorangan dengan kelompok. Seperti
dijelaskan di depan bahwa kelompok-kelompok KBS - KUBE tidak pernah
mengadakan pertemuan, maka interaksi yang terjadi tidak dibatasi oleh
kelompok KBS - KUBE yang ada. Secara umum kepedulian sosial eks penderita
kusta terhadap sesama adalah
rendah apabila berkaitan dengan bantuan
karena mereka berprinsip bila ada bantuan maka semua eks penderita kusta di
permukiman harus mendapat bantuan semua dapat tidak peduli kaya atau miskin
karena semua adalah eks penderita kusta.
Bila dikaitkan dengan bantuan maka eks penderita kusta mempunyai rasa
memiliki yang juga rendah apabila yang sifatnya bantuan.
Seperti yang diungkapkan oleh Kyai Jsf (65) yaitu :
“………. bahwa orang sakit itu kurang mempunyai rasa memiliki
karena mereka berpikiran bantuan itu adalah kepunyaan negara
apalagi yang bertempat tinggal di sekitar rumah saya ini karena
sebelumnya mereka tidak pernah menjalani/mengikuti pendidikan
agak berbeda sedikit dengan yang berada di sosial karena mereka
dulu waktu di rumah sakit selain berobat juga diberi pendidikan
………”
6.4. Analisis Aspek Ekonomi Kelompok KBS – KUBE
Seperti dijelaskan di depan bahwa pendapatan anggota kelompok KBS - KUBE
baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur sangatlah rendah. Oleh sebab itu
dengan adanya bantuan kambing membawa dampak positif dan negatif. Bila
pada anggota KBS - KUBE Bangkit Mulia kambing lebih berkembang daripada
Sumber Makmur maka dengan perkembangan tersebut sedikit banyak
memperngaruhi pendapatannya.
Seperti yang diungkapkan oleh Pak Mkn (48) yaitu :
“………. Bahwa setelah kambing KUBE itu berkembang dan sudah
menggulirkan, ada beberapa anggota KUBE bangkit mulia yang
menjual kambing dan dibelikan alat pertukangan sehingga usahanya
mengalami kemajuan …….”
Namun disisi lain seperti yang terjadi pada KBS - KUBE Sumber Makmur karena
tingkat perekonomiannya lebih rendah daripada kelompok KBS - KUBE Bangkit
Mulia maka kambing bantuan banyak yang dijual untuk memenuhi kebutuhannya
126
disamping untuk berobat bila sakit yang dideritanya kambuh. Pada aspek
ekonomi di dalam KBS-KUBE tidak ada usaha secara kelompok namun secara
individu masih diperlukan peningkatkan pendapatan individu dalam kelompok
melalui peningkatan jumlah produksi kambing.
6.5. Analisis Kekompakan (Compactness) kelompok KBS-KUBE.
Selain aspek kelembagaan, sosial dan ekonomi maka analisis kelompok KBS –
KUBE di Dusun Nganget juga menyangkut permasalahan jejaring sosial,
integrasi sosial , solidaritas sosial dan kohesivitas sosial.
6.5.1. Jejaring Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta
Dalam suatu komunitas masih sangat jarang yang mempu menyelesaikan
masalahnya
sendiri.
Sebagian
masyarakat
ternyata
masih
memerlukan
keterlibatan pihak lain, bahkan ada yang memerlukan sejak perumusan
masalahnya, termasuk dalam pengumpulan informasi yang diperlukan untuk
merumuskan suatu masalah. Dengan demikian, bila fungsi-fungsi yang
diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas yang bersangkutan maka
dalam hal ini diperlukan keteribatan pihak lain yang fungsinya diperlukan. Atau
dengan kata lain, perlu melibatkan seluruh komponen stakeholders.
Dalam menganalisis jejaring dibagi menjadi
tiga yaitu (1) jejaring intra KBS-
KUBE ; (2) jejaring antar kelompok KBS – KUBE ; (3) jejaring kelompok KBSKUBE dengan dengan masyarakat yang lebih Luas.
1. Jejaring intra KBS – KUBE
Jejaring intra kelompok KBS – KUBE yang terbentuk baik kelompok KBSKUBE Sumber Makmur maupun kelompok Bangkit Mulia belum tampak ini
disebabkan proses pembentukan KUBE adalah bentukan panti akibat akan
ada bantuan modal usaha dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan waktu
terbentuk kelompok KBS – KUBE baru
dua tahun. Dengan proses
terbentuknya KBS – KUBE yang dibentuk karena akan ada bantuan dan
ditambah dengan waktu yang antar anggota kelompok KBS-KUBE belum ada
perasaan saling ketergantungan ditambah lagi kambing ternak dipelihara
secara sendiri – sendiri sehingga seakan-akan sudah menjadi milik pribadi
127
dan bila terjadi sakit dengan kambing tersebut maka secara pribadi pula akan
mengobati tanpa campur tangan dari kelompok. Jejaring terjadi bila antara
anggota yang satu dengan yang lain saling membutuhkan seperti yang terjadi
dalam kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia bila ada salah satu yang sakit dan
harus dirawat di rumah sakit maka anggota yang lain membantu dengan jalan
mengembalakan kambingnya. Jejaring juga terjadi secara informal melalui
pengembalaan kambing secara bersamaan.
2. Jejaring antara kelompok KBS – KUBE
Jejaring antar kelompok KBS – KUBE yang ada di komunitas eks penderita
kusta terjadi pada saat kandang kambing menjadi satu. Pada saat pertama
kali menerima bantuan kambing lima kelompok dengan kambing berjumlah
100 ekor tersebut dijadikan dua kadang. Kandang pertama di RT.06 yang
berisi 40 kambing dengan dua kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan
Barokah. Kadang kedua berada di RT. 04. yang berisi 60 ekor kambing
dengan 3 kelompok KBS-KUBE yaitu Bina Usaha, Sumber Rejeki dan
Sumber Makmur.
Pada saat kambing dijadikan satu kandang dibuatlah jadual yang melibatkan
masing-masing anggota kelompok KBS – KUBE. Tiap malam dua kelompok
orang yang menjaga kadang untuk kelompok Bangkit mula dan Barokah
sedangkan yang tiga orang untuk kelompok Sumber Rejeki, Bina Usaha dan
Sumber Makmur. Pada saat mereka berjaga itu sebenarnya sudah timbulnya
jejaring antar kelompok KBS-KUBE, namun kedekatan tersebut hanya
berlangsung selama dua minggu sehingga belum sampai pada tahap saling
membutuhkan. Ini disebabkan karena (1) rumah yang dipakai untuk kandang
kambing dibutuhkan oleh yang punya rumah; (2)
pada saat orang sibuk
menghadapi hari raya idul fitri kandang tidak ada yang menjaga maka pada
malam terjadi pencurian kambing KBS – KUBE sebanyak empat ekor; (3)
setelah eks penderita kusta pada malam harinya menjaga kambing keesokan
harinya badan terasa tidak nyaman/sakit. Dengan kejadian tersebut maka
anggota mulai merasa kuatir, maka diadakan rapat di aula panti yang
dipimpin oleh Kepala Panti dihadiri oleh Pegurus KUBE, diputuskan untuk
memelihara kambing di rumah masing-masing.
128
3. Jejaring anggota kelompok KBS – KUBE dengan Masyarakat yang lebih
Luas.
Jejaring anggota kelompok KBS – KUBE dengan pihak lain terjadi karena
bantuan kambing yang diberikan semuanya kambing betina jadi jejaring
terbangun dengan pihak lain /tetangga yang mempunyai kambing jantan.
Jejaring dengan pihak lain juga terjadi dengan warga Dusun Krajan yang
berbatasan dengan Dusun Nganget, eks penderita kusta yang mendapat
bantuan kambing dan merasa tidak mampu memelihara menitipkan kambing
di Dusun Krajan dengan sistem paron.
Jejaring yang terbangun baik kelompok KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber
Makmur sudah ada namun terbatas yaitu hanya mantri hewan dan blantik
kambing (orang yang berprofesi sebagai pembeli dan penjual kambing).
Bertitik tolak dari penjelasan jejaring tersebut di atas maka dapat dianalisis
jaringan sosial yang ada di komunitas eks penderita kusta yaitu :
1. Kedalaman jejaring
Kedalaman jejaring pada tingkat antar anggota KBS - KUBE masih pada
tataran pertolongan belum saling membutuhkan antar anggota kelompok,
karena kebutuhan pribadi bisa dipenuhi tanpa membutuhkan kelompok.
Kedalaman jejaring intra KBS-KUBE, terjadinya pencurian kambing
menyebabkan masing-masing anggota kelompok intra KBS – KUBE
sudah tidak mempunyai wadah lagi untuk saling bertemu. Karena selama
ini tidak pernah diadakan pertemuan baik di tingkat kelompok KBS-KUBE
atau semua KBS – KUBE yang ada di komuitas eks penderita kusta.
Dengan tidak pernah diadakan pertemuan maka jejaring tidak pernah
terbangun.
Kedalamam jejaring dengan masyarakat yang lebih luas, sudah
terbangun sebelum adanya bantuan KUBE turun yaitu pembelian
kambing baik di pasar Kedungjambe maupun dengan blantik kambing
(orang yang pekerjaannya menjual dan membeli kambing), mantri hewan,
penduduk Dusun Krajan dan Tetangga yang mempunyai kambing jantan.
Kedalaman jejaring didasari oleh kepentingan kedua belah pihak
sehingga jejaring ini dapat bertahan.
129
2. Faktor perekat jaringan
Pada saat keputusan rapat mengijinkan masing-masing penerima
bantuan sebenarnya perekat jaringan yang sudah mulai tumbuh memudar
lagi, karena anggota – anggota kelompok bisa memelihara kambing dan
berkembang tanpa harus bergantung pada anggota kelompok atau
kelompok secara organisasai.
Perekat jaringan yang ada di komunitas adalah (1) perasaan senasib; (2)
satu
paham ideologi; (3) sentimen kelompok tempat tinggal (ada
kelompok sosial, kulon kali atau pucung). Perasaaan senasib dan
sentimen kelompok harus dimunculkan untuk memacu perkembangan
kelompok tetapi tidak boleh sampai terjadi konflik, peran tokoh
masyarakat diperlukan untuk mengatisipasi terjadinya konflik antar
kelompok. Paham idiologi juga mempunyai kekuatan untuk menyatukan
anggota
kelompok
karena
mereka
mempunyai
pandangan
dan
pemahaman yang sama.
3. Kendala dan hambatan
Kendala dan hambatan dalam membangun jejaring yaitu : (1) kurang
pengetahuan dan pemahaman terhadap hakekat KUBE. Kepala panti,
kordinator KUBE, pendamping, pengurus KUBE sampai dengan anggota
KBS-KUBE tidak mengetahui makna program KUBE sehingga fokus
pemekiran hanya terbatas pada perkembangan kambing saja; (2)
perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang pernah
dideritanya bila harus memulai membuat jejaring dengan pihak lain di luar
komunitas; (3) ketakutan dari masyarakat di luar komunitas bila
berhubungan dengan eks penderita kusta.
6.5.2. Integrasi Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta
Integrasi sosial di komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget dapat dianalisis
melalui (1) integrasi sosial dalam kelompok KBS – KUBE ; (2) integrasi sosial
antar kelompok KBS-KUBE ; (3) integrasi sosial dengan lingkungan sosialnya.
130
1. Integrasi Sosial intra Kelompok KBS-KUBE.
Integrasi sosial dalam kelompok KBS-KUBE terjadi karena ada ikatan yang
mendasarinya. Pada Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia memiliki ikatan
yang kuat berdasarkan proses awal masuk dari rumah sakit kusta,
berinteraksi di dalam rumah sakit sampai membentuk Rukun Tetangga
tersendiri, bahkan yang menjadi ketua RT dulunya di rumah sakit juga sudah
menjadi tokoh. Dengan ikatan tersebut membawa dampak terhadap
perkembangan kelompok KBS-KUBE seperti bila ada anggota kelompok
yang lain tidak bisa mengembalakan kambing karena sakit maka anggota
yang lain dengan sukarela menolongnya.
Intergrasi sosial yang terjadi pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
adalah melalui lembaga keagamaan. Anggota kelompok pada KBS-KUBE
Sumber Makmur kedatangan ke permukiman tidak sama jadi ikatan asal usul
tidak mempengaruhi ikatan dalam kelompok KBS-KUBE. Sifat ikatan dalam
kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sudah mengandung nilai komersial.
Faktor-faktor perekat integrasi sosial kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia
adalah dari sejarah bertemu dalam panti sampai pada permukiman
sedangkan pada kelompok Sumber Makmur melalui faham ideologi yang
sama yaitu sebagai warga Nahdatul Ulama. Kendala dan hambatan integrasi
sosial pada kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah faham ideologi tidak
sama ini menyebabkan dalam memahami sesuatu tidak sama dan cenderung
menimbulkan perbedaan seperti ada usaha simpan pinjam anggota yang
berpaham LDII tidak memperbolehkan anggotanya untuk mengadakan
pinjam, sebaliknya warga NU memperbolehkan adanya simpan pinjam.
Sedangkan pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur kendala dan
hambatan yang dialami yaitu kebanyakan anggota kelompok KBS-KUBE
adalah pendatang dengan latar belakang yang berbeda dan kedatangan di
permukiman tidak sama menyebakan rendahnya ikatan emosional antar
anggota kelompok.
2. Integrasi Sosial Antar Kelompok KBS – KUBE
Integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia terjalin dengan
kelompok KBS-KUBE Barokah dalam hal jadual menjaga bantuan kambing
pada saat kambing masih dalam satu kadang dan itu berjalan hanya dua
minggu karena banyak kambing yang hilang. Berdasarkan musyawarah
131
seluruh anggota KBS-KUBE, Pengurus KUBE, Pendamping dan koordinator
diputusakan untuk dibawa ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan
kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur mempunyai ikatan dengan kelompok
KBS-KUBE Bina Usaha, Sumber Rejeki. Yang mendasari ikatan tersebut
adalah kedekatan tempat tinggal.
Faktor-faktor perekat integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE adalah
bahwa kelompok tersebut masih dalam struktur panti sehingga sewaktuwaktu dapat dipertemukan dan dibuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya
melibatkan semua kelompok KBS-KUBE dan jenis bantuan yang sama yaitu
kambing dan adanya perasaan yang sama sehingga memiliki permasalahan
yang sama. Hambatan dan kendala integrasi sosial antar KBS-KUBE adalah
adanya sentimen kelompok bila kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah
kelompok Sosial sedangkan kelompok Sumber Makmur adalah kelompok
kulon kali dan perbedaan ideologi.
3. Integrasi Sosial Kelompok KBS-KUBE dengan Lingkungan Sosialnya
Integrasi sosial yang terjadi antara KBS-KUBE dengan lingkungan sosial
adalah bila pada kelompok KBS-KUBE Bangkit mulia terjadi ikatan dengan
sesama pengembala kambing atau tetangga yang mempunyai kambing
jantan dan bukan merupakan anggota kelompok KBS-KUBE. Ikatan juga
terjadi dengan blantik kambing yang sering datang ataupun diundang bila ada
kambing anggota kelompok yang sakit, ditukar ataupun dijual. Ikatan juga
terjadi dengan penduduk disekitar Dusun Nganget yang menitipkan kambing
pada penduduk dengan sistim paron.
Faktor-fator yang mempererat integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE
dengan
lingkungan
sosialnya
yaitu
adanya
hubungan
yang
saling
menguntungkan antara blantik kambing dengan anggota kelompok dan
antara penduduk dengan anggota kelompok juga. Hambatan dan kendala
yang menghambat integrasi sosial adalah banyaknya kelompok-kelompok
yang ada di komunitas eks penderita kusta seperti dari lembaga agama
Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonnesia (LDII), dan Kristen
sementara kelompok lokal ada kelompok sosial, pucung dan kulon kali.
132
6.5.3.Solidaritas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta
Solidaritas sosial komunitas eks penderita dapat dianalisis melalui beberapa hal
antara lain : (1) solidaritas ditingkat kelompok KBS-KUBE ; (2) ditingkat KUBE ;
dan (3) tingkat komunitas. Analisis ketiga tingkat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Solidaritas sosial ditingkat KBS-KUBE
Pada tingkat kelompok – kelompok KBS - KUBE yang ada di permukiman
belum terjadi solidaritas kelompok ini disebabkan pembentukan kelompok
untuk kepentingan program bantuan kesejahteraan sosial bukan terjadi atas
inisiatif anggota. Solidaritas di dalam kelompok KBS – KUBE akan muncul
bila ada tekanan dari kelompok KBS – KUBE yang lain artinya diciptakan
persaingan antara kelompok KBS – KUBE seperti diadakan lomba KBS –
KUBE terbaik.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya solidaritas dalam kelompok KBSKUBE antara lain adanya pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh kelompok,
menciptakan simbol-simbol kelompok seperti kelompok sosial, pucung dan
kulon kali, permasalahan yang dialami sama yaitu banyaknya kambing yang
sakit dan mati dan permasalahan pada segi ekonomi dengan tekanan
kemiskinan dan tersingkir secara sosial.
Kendala dan hambatan untuk
mewujudkan solidaritas sosial ditingkat KBS-KUBE yaitu adanya tekanan
kemiskinan sehingga untuk membantu anggota kelompok yang lain sedikit
sulit seperti adanya kambing sakit untuk memanggil mantri hewan diperlukan
biaya untuk iuran saja mereka keberatan.
2. Solidaritas sosial ditingkat KUBE
Kelompok Usaha Bersama di Dusun Nganget mempunyai kegiatan beternak
kambing yang diorganisir melalui kelompok KBS-KUBE dan Usaha Simpan
Pinjam. Dalam kepengurusan KUBE tersebut yang rutin melaksanakan
pertemuan adalah mereka yang menpunyai pinjaman di KUBE tersebut.
Faktor yang mendukung solidaritas ditingkat KUBE adalah masih ada
ketergantungan anggota KUBE dengan pengurus KUBE, dengan adanya
usaha simpan pinjam anggota merasa mendapat manfaat dari KUBE
tersebut. Hambatan dan kendala adalah bahwa ada rasa kurang percaya
anggota kelompok KUBE terhadap pengurus KUBE terutama masalah
133
laporan keuangan begitu juga pengurus KUBE ada rasa curiga kalau anggota
yang diberi pinjaman tidak bisa mengembalikan pinjaman.
3. Solidaritas sosial ditingkat komunitas
Namun bila ditarik ke komunitas eks penderita kusta
maka akan timbul
solidaritas kelompok-kelompok yang ada di permukiman. Seperti kelompok
sosial, kelompok Nganget/kulon kali , kelompok pucung ada juga kelompok
yang berlandaskan keagamaan seperti Nahdatul Ulama, LDII dan Kristen.
Solidaritas sosial akan meluas lagi apabila mereka seluruh permukiman mulai
terancam, artinya bahwa apabila sumber kehidupan dan kebutuhan mereka
terganggu oleh pihak di luar komunitas eks penderita kusta misalnya panti,
perhutani maka mereka serentak bersatu. Dan apabila itu terjadi mereka
akan agresif sekali untuk bertindak seperti melakukan demo dan bisa sampai
pada sikap anarkis.
Faktor – faktor yang menghambat terjadi solidaritas ditingkat KUBE adalah
banyak kelompok-kelompok dan paham idelogi yang ada di tingkat KUBE.
Dalam kepengurusan KUBE saja ada tiga macam paham ideologi Kristen,
NU dan LDII serta berbagai kelompok pucung, sosial dan kulon kali yang
sangat rawan terjadinya konflik. Karena konflik pernah terjadi antara warga
NU dan LDII tentang perekrutmen anggota masyarakat menjadi penganut
salah satu paham tersebut. Faktor – faktor yang mendukung terjadinya
solidaritas sosial adalah mereka sama – sama eks penderita kusta yang
mempunyai permasalahan yang sama.
6.5.4. Kohesivitas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta.
Sigmund Freud berpendapat bahwa dalam setiap kelompok perlu adanya
cohesiveness / kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat bertahan lama
dan berkembang. Selanjutnya kesatuan kelompok hanya dapat diwujudkan
apabila tiap-tiap kelompok melaksanakan identifikasi bersama antara anggota
satu dengan yang lain.
Kohesivitas sosial komunitas eks penderita kusta dapat dianalisis melalui tiga hal
yaitu (1) kohesivitas sosial intra kelompok KBS-KUBE ; (3) kohesivitas antara
kelompok KBS-KUBE ; dan kohesivitas komunitas eks penderita kusta. Adapun
kohesivitas sosial tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
134
1. Kohesivitas Sosial Intra Kelompok KBS – KUBE
Kohesivitas sosial intra kelompok KBS-KUBE baik kelompok KBS-KUBE
Bangkit Mulia dan Sumber Makmur sama – sama belum mempunyai
kesatuan yang kuat ini disebabkan karena antar anggota kelompok tidak
mempunyai
saling
ketergantungan
satu
sama
lain,
mereka
tanpa
kelompokpun bisa memelihara kambing dan memecahkan permasalahan
keluarga bisa melalui tetangga ataupun orang lain di luar kelompok KBS KUBE. Kelompok – kelompok tersebut tidak mempunyai aturan dan norma,
simbol yang menyatukan antar anggota kelompok. Tujuan kelompok tidak
dirumuskan dan dibuat bersama bahkan kelompok tersebut tidak mempunyai
tujuan kecuali hanya tujuan-tujuan masing-masing anggota kelompok yaitu
memelihara kambing secara pribadi dan cepat menggulirkan itu yang terjadi
pada kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia sedangkan kelompok KBS-KUBE
Sumber Makmur cenderun dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
mengobati penyakit yang dialaminya.
Faktor-faktor yang menghambat kohesivitas sosial intra kelompok yaitu antar
anggota kelompok tidak mempunyai rasa saling ketergantungan, kelompok
belum bisa memberi manfaat bagi anggota dan anggota merasa tidak
dibutuhkan dalam kelompok. Faktor-faktor yang mendukung yaitu masingmasing anggota kelompok bertempat tinggal berdekatan satu sama lain dan
mempunyai permasalahan yang homogen pada pemeliharaan kambing dan
permasalahan sosial serta ekonomi.
2. Kohesivitas Sosial Antar Kelompok KBS – KUBE
Kohesivitas sosial antar kelompok KBS-KUBE yang terjadi di komunitas eks
penderita kusta adalah mempunyai tingkat kohesivitas yang rendah ini
ditandai dengan tidak ada hubungan yang mengikat antara kelompokkelompok KBS-KUBE yang ada seperti pertemuan rutin atau acara yang
bersifat kebersamaan yang tumbuh dari inisiatif kelompok. Pertemuan yang
terjadi selama ini atas inisitaif koordinator KUBE atau Kepala Panti dengan
munculnya berbagai permasalahan yang ada seperti banyak kambing yang
dijual atau mati maka seluruh anggota kelompok dipanggil di panti untuk
mengadakan rapat guna menyelesaikan permasalahan tersebut sehabis itu
sudah tidak mempunyai ikatan atau hubungan lagi.
135
Faktor – faktor yang mendukung kohensivitas kelompok KBS-KUBE adalah
adanya srtuktur organisasi yang mengikat semua komponen yang ada. Dan
struktur tersebut ada pada koordinator KUBE sekaligus sebagai pegawai
panti. Disamping hal tersebut masih ada sifat kepatuhan anggota kelompok
KBS-KUBE terhadap panti. Faktor-faktor yang menghambat kohesivitas
kelompok KBS-KUBE tempat tinggal yang berjauhan antar kelompok, tidak
mempunyai tujuan di tingkat pengurus KUBE, tidak mempunyai motivasi yang
kuat untuk mengembangkan KUBE, karena mereka berpikir tidak mendapat
apa-apa di dalam kelompok.
3. Kohesivitas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta
Kohesivitas sosial komunitas eks penderita kusta terjadi bila mereka
mempunyai keinginan komunitas seperti ingin mempertahankan tanah
pertanian yang selama ini sudah dikerjakan selama bertahun-tahun atau
menginginkan sesuatu dari pemerintah misalnya adanya listrik masuk Dusun
Nganget atau pembuatan jalan dan sebagainya. Namun secara formal
komunitas eks penderita kusta tidak mempunyai organisasi yang menyatukan
anggota komunitas. Faktor – faktor yang mendukung kohesivitas komunitas
adalah adanya perasaan senasib yang begitu kuat diantara anggota
komunitas sedangkan faktor – faktor yang menghambat adalah banyaknya
kelompok – kelompok dalam komunitas seperti diuraikan di atas.
Menyimak dan menelaah penjelasan di atas bahwa pemberdayaan komunitas
eks penderita dapat dikaitkan dengan pendapat Foy (1994) menggambarkan
empat unsur utama pemberdayaan yang saling mengkait satu dengan lainnya.
Pertama, pemberdayaan itu terfokus pada kinerja (performance focus).
Masyarakat ingin melakukan pekerjaan baik. Organisasi yang memberdayakan
membantu mereka untuk mendapatkannya. Kedua adalah real teams (Foy, 1994)
Kinerja yang baik berasal dari tim yang baik. Ketiga, pemberdayaan
membutuhkan visible leadership (Foy, 1994). Memberdayakan orang/masyarakat
membutuhkan
seorang
pemimpin
yang
mempunyai
visi.
Keempat,
pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication)
(Foy, 1994). Organisasi kelompok KBS-KUBE merupakan wadah yang tepat
untuk memberdayakan eks penderita kusta . Dengan organisasi kelompok KBSKUBE yang baik akan dapat membantu memberdayakan eks penderita kusta
ditunjang dengan komunikasi dan seorang pemimpin yang mempunyai visi.
136
6.6. Analisis Tipe Kelompok KBS – KUBE
Tipe kelompok KBS – KUBE dipelajari berdasarkan dinamika yang terjadi dalam
kelompok-kelompok tersebut. Tipe kelompok-kelompok KBS-KUBE ini dapat
dilihat dari berbagai apek seperti aspek kelembagaan yang meliputi strukturak
dan kulturan, aspek sosial dan aspek ekonomi. Hasil analisis tipe kelompok ini
dapat dijelaskan sebagaimana dalam tabel 16.
Tabel 16 . Tipe kelompok KBS – KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005.
Aspek yang diamati
Kelompok KBS - KUBE
Bangkit Mulia
Sumber Makmur
1. Kelembagaan
a. Struktural
¾ Struktur organisasi ada
tetapi masing-masing belum
berfungsi.
¾ Struktur organisasi ada
tetapi masing-masing
belum berfungsi
¾ Pola pengambilan
keputusan semua dilakukan
oleh ketua RT.
¾ Anggota mengambil
keputusan sendirisendiri, Pak RT tidak
aktif.
¾ Komunikasi antar anggota
KBS-KUBE melalui aktifitas
mengembala kambing.
¾ Ketua RT aktif memonitor
perkembangan kambing.
¾ Ikatan psikologis dengan
panti kuat.
¾ Perempuan tidak dilibatkan
dalam kepengurusan
kelompok KBS-KUBE.
¾ Komunikasi antar
anggota KBS-KUBE
pengajian / tahlilan.
¾ Ketua RT kurang aktif
memonitor
perkembangan kambing.
¾ Ikatan psikologis
berdasarkan
keaagaamaan
¾ Perempuan tidak
dilibatkan dalam
kepengurusan kelompok
KBS-KUBE.
b. Kultural
¾ Buku perkembangan
kelompok ada, tapi tidak
pernah dipergunakan untuk
mencatat perkembangan
kelompok.
¾ Aturan dibuat secara tidak
tertulis
¾ Kerjasama dilakukan tanpa
pamrih
¾ Pengguliran berjalan lancar
¾ Buku perkembangan
kelompok ada, tapi tidak
digunakan untuk
mencatat perkembangan
kelompok.
¾ Aturan dibuat secara
tidak tertulis
¾ Kerjasama dilaksanakan
dengan imbalan/upah
¾ Pengguliran mengalami
kemacetan
137
¾ Waktu pengembalaan dan
pemberian makanan
tambahan ajeg
¾ Waktu pengembalaan
dan pemberian makanan
tambahan tidak ajeg
¾ Kepatuhan pada ketua RT
tinggi
¾ Kepatuhan pada ketua
RT rendah
¾ Tingkat solidaritas sesama
anggota ditunjukkan dengan
menolong anggota yang lain
yang tidak bisa
mengembala kambing.
¾ Tingkat solidaritas
sesama anggota belum
nampak.
¾ satu paham idiologi yaitu
NU.
¾ Terdiri dari berbagai paham
idiologi (NU dan LDII).
2. Aspek Sosial
¾ Motivasi kelompok mulai
tumbuh
¾ Motivasi kelompok
belum tumbuh
¾ Peran masyarakat melalui
ketetanggaan
¾ Peran masyarakat
melalui lembaga
keagamaan
¾ Interaksi dalam kelompok
melalui pengembalaan
kambing secara bersama
¾ Mulai tumbuh kepedulian
sosial dalam kelompok.
¾ Sudah melahirkan
kelompok KBS-KUBE baru
¾ Ada rasa memiliki
¾ Interaksi dalam
kelompok melalui
pengajian
¾ Belum tumbuh
kepedulian sosial dalam
kelompok
¾ Belum melahirkan
kelompok KBS-KUBE
baru
¾ Belum ada rasa memiliki
3. Aspek Ekonomi
¾ Bantuan kambing
berkembang.
¾ Pendapatan anggota KBSKUBE 50 % antara ( Rp.
301.000 – Rp. 600.000).
¾ Bantuan kambing dijual
untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
¾ Pendapat anggota KBSKUBE 70 % antara (Rp.
100.000 – Rp. 300.000)
4. Tipe kelompok Tipe kelompok KBS-KUBE Bangkit mulia lebih progresif
KBS-KUBE
daripada KBS-KUBE Sumber Makmur.
Sumber : Hasil wawancara dengan anggota KBS-KUBE
Analisis tipe kelompok KBS – KUBE yang berada di permukiman eks penderita
kusta secara umum hampir sama namun ada beberapa hal yang menunjukkan
perbedaan. KBS – KUBE Bangkit Mulia bila dilihat dari aspek kelembagaan yaitu
secara struktur pengambilan keputusan berada ditangan ketua RT dengan gaya
138
kepemimpinan semi otoriter, dan secara psikogis mempunyai ikatan yang kuat
dengan panti ini disebabkan mereka sebelumnya mendapat pelayanan dari panti
dan masih banyak keluarga (suami, istri, atau orang tua) yang sampai sekarang
dirawat dalam panti. Secara kultur kerjasama masih dilandasi dengan semangat
kegotongroyongan tanpa pamrih dan dalam pekerjaan khususnya mengembala
kambing keluarga ikut bertanggungjawab artinya ada pembagian kerja yang baik
antara laki-laki dan perempuan.
Bila ditinjau dari aspek sosial maka kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia peran
masyarakat dalam mendukung program KUBE melalui ketetanggaan sedangkan
Sumber Makmur melalui lembaga keagamaan. Ini menandakan kepeduliaan
sosial antar tetangga masih terjalin dengan baik. Sedangkan secara ekonomi
khususnya anggota kelompok KUBE tingkat ekonomi anggota kelompok Bangkit
Mulia lebih tinggi dibanding KBS-KUBE Sumber Makmur ini bisa dilihat dalam
tabel 13.
Bila ditelaah lebih dalam maka pada tabel 16 dan analisis kekompakan yang
meliputi: jejaring sosial, slidaritas sosial, integrasi sosial dan kohesivitas sosial
dapat diketahui bahwa diantara dua kelompok KBS-KUBE yang mendekati
keberfungsian sosial adalah kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat dilihat
dari beberapa aspek antara lain (1) aspek kelembagaan yaitu kerjasama
dilakukan tanpa pamrih, pengguliran berjalan lancar, waktu pengembalaan dan
pemberian makanan tambahan, tingkat solidaritas sesama anggota tinggi; (2)
aspek sosial yaitu motivasi kelompok mulai tumbuh, interaksi dalam kelompok
melalui pengembalaan kambing secara bersamam mulai tumbuh kepedulian
sosial dalam kelompok, Sudah melahirkan kelompok KBS-KUBE baru, dan
sudah tumbuh rasa memiliki bantuan ternak kambing; (3) aspek ekonomi sudah
bisa meningkatkan pendapatan keluarga ini ditandai dengan hasil beternak
kambing sudah bisa dibelikan peralatan pertukangan sehingga memperlancar
pembuatan meubel, bisa untuk membeli TV, menambah uang saku anak
sekolah. Dengan keberadaan masing-masing KBS-KUBE yang ada maka dapat
disusun berbagai alternatif strategi dalam pemberdayaan eks penderita kusta
melalui penguatan kelompok KBS-KUBE sehingga dapat berperan dalam
pengembangan KBS-KUBE dan masyarakat yang lebih luas.
139
6.7. Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE
Berdasarkan uraian diatas dan tipe kelompok KBS – KUBE yang meliputi aspek
kelembagaan, aspek sosial dan aspek ekonomi maka dapat disusun strategi
penguatan kelompok KBS - KUBE. Dengan melihat beragamnya pendekatan
maka pemberdayaan eks penderita kusta tidak hanya dilihat dari satu aspek saja
melainkan secara komprehensif dan terpadu dengan melibatkan berbagai
stakeholders yang selama ini sudah turut berpartisipasi.
Alternatif strategi pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan
kelompok KBS - KUBE
yang dapat dilakukan berdasarkan penelitian dalam
kajian ini adalah :
1. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur kelompok,
merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki struktur dan
kultur dari kelompok KBS – KUBE. Aspek Struktur meliputi struktur
organisasi,
pola
kepemimpinan,
kelompok, pola komunikasi,
pengambilan
keputusan,
manajemen
administrasi dan mekanisme kerja dari pada
KUBE dan keterlibatan perempuan dalam kepengurusan KBS-KUBE.
Sedangkan secara kultur meliputi : tata nilai, norma, peraturan dalam
kelompok, dan mekanisme pengguliran.
2. Strategi penguatan sosial, yaitu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki
aspek sosial yang meliputi penumbuhan motivasi berkelompok, peran
masyarakat guna mendukung pengembangan KBS – KUBE, mempererat
interaksi dalam kelompok, meningkatkan kepedulian sosial antar anggota
kelompok, dan memantapkan sikap atau rasa memiliki, menumbuhkan
solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integrasi sosial sehingga bantuan
dianggap sebagi amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara sosial.
6.8. Strategi Penguatan Individu Sebagai Anggota Kelompok KBS-KUBE
1. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota
kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk
memperkuat individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus
kelompok KBS-KUBE.
140
2. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE,
strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota
kelompok KBS – KUBE.
6.9. Strategi Penguatan Jejaring
Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBSKUBE, intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di
komunitas serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam
dan di luar komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha
Bersama.
Berdasarkan profil umum kelompok KBS – KUBE baik Bangkit Mulia maupun
Sumber Makmur mempunyai sejarah pembentukan yang sama yaitu secara top
down karena akan ada program yang masuk di permukiman.
Pembentukan
kelompok diserahkan kepada masyarakat namun yang membentuk kelompokkelompok tersebut adalah pengurus KUBE tanpa melibatkan masyarakat
penerima bantuan.
Pembentukan kelompok KBS-KUBE dibentuk berdasarkan kelompok RT
walaupun ada yang lintas RT namun itu sebagian kecil saja karena di RT yang
bersangkutan tidak bisa menampung lagi. Seperti diuraikan di atas bahwa
masing-masing RT mempunyai karakteristik yang berbeda ini disebabkan sejarah
permukiman yang berbeda. Kelompok KUBE Bangkit Mulia hampir seluruhnya
anggotanya adalah warga RT. 06 hanya 1 (satu) orang dari RT. 04. RT. 06 ini
juga disebut kelompok sosial artinya warganya semua adalah bekas pasien
Rumah Sakit Kusta Nganget. Setelah dinyatakan sembuh mereka ditangani oleh
Departemen Sosial dan sebelum mereka keluar dari Rumah Sakit Kusta sudah
disiapkan rumah, diberi paket bantuan, diadakan bimbingan sosial dan
ketrampilan sebagai persiapan mereka keluar dari Rumah Sakit. Dengan proses
tersebut secara struktur dan kultur mempunyai ikatan psikologis yang kuat maka
sebagai alternatif pendekatan pemberdayaan melalui Kelembagaan Panti.
Berbeda dengan kelompok Sumber Makmur yang semua anggotanya berada di
RT. 04, permukiman terjadi tidak secara kolosal tetapi bertahap karena mereka
membagun sendiri permukiman tersebut, sehingga secara psikologis ikatan
dengan panti tidak begitu kuat. Mereka datang dari berbagai tempat secara
141
kekeluargaan tidak sekuat kelompok Bangkit Mulia. Namun mereka masih
mempunyai ikatan lain yang bisa dipergunakan untuk forum pemberdayaan yaitu
lembaga keagamaan. Dalam kelompok Sumber Makmur semua anggotanya
adalah warga Nahdatul Ulama yang sering bertemu melalui forum tahlilan.
Dengan uraian tersebut maka alternatif pemberdayaan kelompok KUBE Sumber
Makmur dapat melalui Lembaga Keagamaan.
6.10. Ikhtisar
Profil Kelompok Usaha Bersama di permukiman eks penderita kusta sesuai
dengan proses terbentuknya adalah bersifat top down. Kelompok Usaha
Bersama tersebut adalah merupakan program bantuan kesejahteraan sosial
dalam bentuk bantuan modal usaha yang diberikan dalam bentuk uang sebesar
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Mekanisme kerja Kelompok Usaha Bersama yang berada di Dusun Nganget
penyalurannya melalui Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Maka
dalam mekanisme kerjanya adalah Kepala Panti sebagai Pembina KUBE,
dibawahnya ada koordiantor/pendamping
yang dijabat oleh pegawai panti,
selanjutnya ada pengurus KUBE yang terdiri dari tokoh masyarakat/agama
selanjutnya ada kelompok-kelompok KBS – KUBE.
Dalam rangka memahami secara mendalam analisis kelompok KBS – KUBE
maka dapat dilihat dari berbagai aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan
kultur, aspek sosial dan aspek ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing
kelompok KBS – KUBE. Bila ditelaah lebih dalam maka antara kelompok KBS –
KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur secara kelembagaan struktur maka
bila kelompok Bangkit Mulia pengambilan keputusan sepenuhnya oleh ketua RT,
tetapi justru perkembangan kelompok semakin baik khususnya mengenai
pemeliharaan/pengguliran
kambing.
pengambilan
ketua
keputusan
RT
Pada
hanya
kelompok
Sumber
kadang-kadang
tapi
Makmur
justru
perkembangannya tidak sebaik kelompok Bangkit Mulia ini disebabkan
keputusan yang diambil oleh anggota hanya untuk kepentingan pribadi tanpa
harus dimusyawarahnya dengan ketua RT.
walupun norma dan aturan sama
Pada kultur ada perbeadaan
yang ditetapkan secara musyawarah dari
ketiga komponen yang ada (koordinator/pendamping, pengurus KUBE dan
142
anggota kelompok KBS – KUBE) namun kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia
lebih mematuhinya.
Bila ditelaah dari aspek sosial maka dinamika sosial kelompok KBS-KUBE
Bangkit Mulia lebih dinamis dibanding dengan kelompok KBS – KUBE Sumber
Makmur, ini disebabkan pada kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia sudah mulai
tumbuh motivasi kelompok, rasa kepedulian sosial, rasa turut memiliki serta
interaksi sosial juga terjadi sesama anggota kelompok walaupun masih bersifat
informal. Sedangkan dari aspek ekonomi maka kelompok KBS – KUBE Bangkit
Mulia lebih tinggi tingkat pendapatan dibanding kelompok KBS – KUBE Sumber
Makmur akibat pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur banyak kambing
bantuan yang dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan berbagai analisis yang disebutkan di atas maka pendekatan Kelompok
Usaha Bersama Ternak Kambing yang berada di Dusun Nganget belum dapat
meningkatkan keberfungsian sosial. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan (1)
aspek kelembagaan belum berfungsinya pengurus KUBE ditandai dengan tidak
berjalannya fungsi ketua, sekretaris dan bendahara serta adanya aturan yang
tidak tertulis belum dilaksanakan secara tegas dan sanksi-sanksinya ; (2) aspek
sosial dalam dinamika kelompok yaitu masih lemahnya motivasi berkelompok,
kepedulian sosial dan rasa turut memiliki mengingat proses terjadinya kelompok
adalah merupakan bentukkan dari panti, tidak adanya perekat dalam kelompok;
(3) aspek ekonomi dengan pendapatan yang rata-rata mecapai Rp. 100.000 –
Rp. 300.000,- per bulan menyebabkan banyak anggota yag menjual kambing
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melihat berbagai aspek yang ada pada kelompok KBS – KUBE komunitas eks
penderita kusta maka strategi pengembangannya dapat melalui penguatan
kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur, penguatan ekonomi, dan
penguatan sosial, penguatan kapasitas individu dan komunitas eks penderita
kusta. Dengan berbagai penguatan yang ada tersebut diharapkan kelompok KBS
– KUBE dapat berkembang. Dengan perkembangan KBS-KUBE
terjadi pemberdayaan komunitas eks penderita kusta.
maka akan
Pemberdayaan
akan
mengakibatkan peningkatan peranan sosial, pemenuhan kebutuhan serta dapat
mengatasi permasalahan sosial yang ada di lingkungan sosialnya sehingga
keberfungsian sosial eks penderita kusta akan meningkat.
143
VII. PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA
MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK KBS-KUBE
7.1. Identifikasi Potensi Komunitas Eks Penderita Kusta
Dalam rangka penyusunan program kegiatan yang partisipatif dan berbasis pada
potensi lokal, maka hasil penelitian dalam kajian yang sudah dijabarkan di babbab sebelumnya dijadikan dasar untuk menyusun rencana program kegiatan.
Dalam praktek lapangan l dan II juga telah teridentifikasi kondisi sosial, ekonomi,
budaya, ekologi, dan demografi penduduk eks penderita kusta. Pada praktek
lapangan lll melalui kegiatan diskusi kelompok dibahas pula mengenai masalah
dan akar masalah yang dialami oleh kelompok KBS – KUBE serta potensi yang
dapat dikembangkan dalam upaya penguatan kelompok KBS – KUBE sehingga
pemberdayaan komunitas eks penderita kusta dapat dicapai.
Potensi tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
(1) Sumber Daya Manusia
(Human Asset); (2) Sumber Daya Alam (Natural Resources); dan Sumber Daya
Kelembagaan ( Sosial and Institutional Asset).
7.1.1. Sumber Daya Manusia ( Human Asset )
Sumber Daya Manusia selalu berkaiatan dengan jumlah penduduk dan tingkat
pendidikan. Namun demikian untuk komunitas eks penderita kusta semangat
hidup dan semangat bekerja menjadi variabel yang mendukung peningkatan
Sumber Daya Manusia.
Jumlah penduduk Dusun Nganget adalah berjumlah 464 jiwa (Agustus 2005)
terdiri dari laki-laki sebanyak 230 jiwa dan perempuan sebayak 234 jiwa. Jumlah
eks penderita kusta sebanyak 152 jiwa dan yang bukan eks penderita kusta
sebanyak 312 jiwa ( keturunan, orang sehat yang kawin dengan eks penderita
kusta dan keluarga pegawai panti).
Tingkat pendidikan komunitas eks penderita kusta yaitu (1) tidak sekolah
sebanyak 113 orang atau 24,35 % ; (2) belum sekolah sebanyak 20 orang atau
4, 31 % ; (3) Taman Kanan-Kanak sebanyak 22 orang atau 4,74 % ; (4) Sekolah
Dasar sebanyak 178 orang atau 38, 36 % ; (5)
Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama sebanyak 91 orang atau 19,61 % ; (6) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
144
sebanyak 35 orang atau 7,54 % dan Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang atau
1,07 %. Bila di telaah dari segi pendidikan formal saja tidaklah cukup
menyakinkan namun yang perlu mendapat perhatian adalah semangat kerja
yang cukup tinggi inilah modal dasar untuk memberdayakan komunitas eks
penderita kusta di Dusun Nganget.
7.1.2. Sumber Daya Alam (Natural Resources)
Sawah, ladang dan hutan tidak bisa terlepas dari kehidupan komunitas eks
penderita kusta. Lokasi permukiman eks penderita kusta adalah berupa
perbukitan yang terpisah dari permukiman penduduk dalam satu desa. Luas
wilayah milik Dinas Sosial yaitu 132.795 M2 dipergunakan untuk bangunan
gedung panti seluas 27.100 M2, ladang seluas 20.700 M2 dan sawah seluas
15.275 M2 dan tegalan seluas 69.720 M2 di pergunakan untuk permukiman eks
penderita kusta dan pertanian.
Disamping milik Dinas Sosial mereka juga
menempati tanah milik Perhutani seluas kurang lebih 80.00 M2 dipergunakan
untuk ladang seluas 40.000 M2 dan sisanya dipergunakan untuk permukiman.
Diantara tanah-tanah tersebut banyak terdapat padang pengembalaan yang
sangat potensial untuk mengembala kambing. Disamping tanah tersebut
komunitas eks penderita kusta juga memanfaatkan tanah perhutani untuk
permukiman dan persil seluas 50.500 M2. Selain itu masih ada tanah milik Arya
Diningrat seluas 9.904 M2 yang tidak ditanami dan setiap harinya dipergunakan
sebagai tempat pengembalaan kambing karena letaknya bersebelahan dengan
permukiman.
7.1.3. Sumber Daya Kelembagaan (Social and Institutional Asset)
Sumber Daya Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan yang berada di
dalam komunitas maupun di luar komunitas baik formal maupun non formal yang
mendukung perkembangan komunitas seperti lembaga pemerintahan, lembaga
pendidikan, dan lembaga keagamaan. Lembaga – lembaga di dalam komunitas
yang langsung berkaitan dengan kelompok KBS – KUBE yaitu kelembagaan
keagamaan, Kelembagaan panti, kelembagaan RT dan kelembagaan KUBE itu
sendiri. Sedangkan kelembagaan yang berada di luar komunitas yaitu Lembaga
Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Kusta Indonesia, Yayasan BREA yang
145
berdomisili di Suarabaya, juga ikut membantu dalam pengembangan komunitas
eks penderita kusta.
Potensi kelembagaan lain yang mendukung perkembangan KBS – KUBE di
Dusun Nganget adalah pasar sebagai tempat transaksi sekaligus interaksi
komunitas eks penderita kusta dengan masyarakat luas. Jarak pasar dengan
Dusun Nganget tidak terlalu jauh kira-kiran 5 km dan dapat ditempuh dengan
sepeda atau motor. Di pasar tersebut selain pasar tradisional juga ada pasar
hewan dengan waktu dua kali dalam lima hari yaitu Pahing dan Kliwon (Hari
pasaran).
7.2. Proses Penyusunan Perencanaan Program Secara Partisipatif
Sebelum pada penyusunan rancangan program kerja untuk memecahkan
permasalahan pada kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget Desa Kedungjambe
maka terlebih dulu ada proses perencanaan secara partisipatif yang melibatkan
anggota kelompok KBS-KUBE, pengurus KUBE dan pendamping KUBE serta
koordinator KUBE. Perencanaan tersebut dilaksanakan melalui diskusi kelompok
yang terbagi dalam beberapa tahapan yaitu (1) diskusi kelompok dilaksanakan
pada tingkat kelompok KBS-KUBE baik kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan
kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur dengan tujuan untuk mengetahui
permasalahan dan kebutuhan pada aras individu dan kelompok KBS-KUBE ; (2)
pada tingkat pengurus KUBE dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan
yang dihadapi oleh pengurus KUBE dalam menangani permasalahan kelompok
KBS-KUBE ; (3)
pada tingkat koordinator/pendamping KUBE dengan tujuan
untuk mengetahui apa yang sudah dilaksanakan oleh koordinator KUBE dalam
mengembangkan kelompok KBS-KUBE dan kendala-kendala yang dialami ; dan
(4) diskusi kelompok yang melibatkan semua unsur yaitu dua kelompok KBSKUBE yaitu kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia, kelompok KBS-KUBE Sumber
Makmur, pengurus KUBE (enam orang tokoh masyarakat/agama) dan
koordinator/pendamping KUBE (pegawai panti terdiri tiga orang koordinator, lima
orang
pendamping)
tujuan
dari
diskusi
kelompok
ini
adalah
untuk
mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan serta menyusun program untuk
memecahakan permasalahan tersebut. Adapun proses perencanaan program
secara partisipatif dapat digambarkan pada bagan alir seperti pada gambar 9.
146
Gambar 9. Bagan alir proses perencanaan program secara partisipatif pada
kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget Tahun 2005.
Diskusi Kelompok I
Peserta : Pengurus dan anggota kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur
Hasil Diskusi Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia
Masalah
¾ Pengurus tidak berfungsi
¾ Administrasi tidak berjalan
¾ Mekanisme kerja KUBE tidak berjalan
¾ Pengambilan keputusan oleh Ketua RT
¾ Rendahnya pendidikan dan keterampilan
¾ Tidak pernah diadakan bimbingan sosial
¾ Pertemuan tidak pernah dilaksanakan
Program/kegiatan/kebutuhan
¾ Pelatihan pengurus dan administrasi
¾ Dilaksanakan pertemuan rutin
¾ Pelatihan kepemimpinan
Hasil Diskusi Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
Masalah
¾ Pengurus tidak berfungsi
¾ Administrasi tidak berjalan
¾ Mekanisme kerja KUBE tidak berjalan
¾ Banyak kambing yang mati dan dijual
¾ Tidak ada kerjasama antar anggota kelompok
¾ Tidak ada kepedulian sosial
¾ Pengambilan keputusan tanpa musyawarah
¾ Tidak pernah dilaksanakan bimbingan sosial
¾ Pendidikan rendah
¾ Pendapatan rendah
¾ Pertemuan tidak pernah dilaksanakan
V
e
r
i
f
i
k
a
s
i
Program/kegiatan/kebutuhan
¾ Pelatihan pengurus dan administrasi
¾ Bimbingan sosial
¾ Pelatihan Teknik Produksi Kambing
Diskusi Kelompok II
Peserta : Pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Hasil
¾ Terbatasanya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan pada pengurus KUBE sehingga tidak mampu
untuk mengatasi berbagai permasalahan baik usaha simpan pinjam maupun kelompok KBS-KUBE.
¾ Kesibukan pengurus KUBE sebagai kepala keluarga dan mengurusi usaha simpan pinjam sehingga
kelompok KBS-KUBE kdang-kadang terabaikan.
¾ Belum adanya insentif yang memadai sehingga ada sifat malas untuk mengadakan kunjungan ke
pengurus KBS-KUBE.
V
e
r
i
f
i
k
a
s
i
Diskusi kelompok III
Peserta : Koordinator / Pendamping KUBE
Hasil :
Koordinator :
Menampung berbagai permasalahan kelompok KBS-KUBE dan merumuskan pemecahan masalahnya.
Pendamping :
Melaksanakan pendampingan dengan memonitor perkembangan kambing serta permasalahan yang
dihadapi oleh kelompok KBS-KUBE.
Kendala :
Belum semua pendamping memahami hakekat KUBE sehingga kadang-kadang hanya mementingkan
perkembangan kambing
V
e
r
i
f
i
k
a
s
i
Diskusi kelompok IV (Rumusan akhir)
KBS-KUBE (Bangkit Mulia dan Sumber Makmur), Pengurus KUBE dan Koordinator/Pendamping KUBE
Hasil :
¾ Pada diskusi kelompok yang melibatkan semua unsur yang terkait dengan kelompok KBS-KUBE dari
masing-masing kelompok KBS-KUBE menyampaikan aspirasinya sesuai dengan hasil diskusi pada
kelompok KBS-KUBE.
¾ Masing-masing kelompok memberikan tanggapan dan solusi untuk memecahkan berbagai
permasalahan yang dihadapi kelompok KBS-KUBE dalam bentuk program dan kegiatan.
¾ Identifikasi permasalahan dan kebutuhan serta Program untuk memecahkan permasalahan tersebut
dapat dijabarkan dalam sub bab selanjutnya dalam kajian ini.
Sumber : Diskusi kelompok KBS-KUBE Tahun 2005
147
7.3. Identifikasi Masalah Dan Kebutuhan
Berdasarkan kajian secara komprehensif tentang potensi-potensi yang ada di
dalam permukiman dan hasil evaluasi terhadap program pengembangan
masyarakat yang telah dilaksanakan pada praktek lapangan l dan II ternyata
belum mampu berkembang sesuai dengan pedoman yang ada. Hasil analisis
terhadap kelompok KBS – KUBE dapat diketahui bahwa masih lemahnya
kapasitas kelompok baik dari aspek kelembagaan, sosial maupun ekonomi
merupakan penyebab ketidakberdayaan kelompok dalam mengembangkan
kelompok KBS – KUBE.
Permasalahan kelompok KBS – KUBE permasalahan juga terjadi pada anggota
kelompok sebagai individu. Kapasitas individu dalam kelompok yang rendah
menyebabkan pengelolaan kelompok KBS - KUBE belum bisa berkembang
dengan baik.
Dengan permasalahan yang dialami baik anggota kelompok sebagai individu
,dan kelompok KBS – KUBE maka dalam penyusunan program pemberdayaan
dapat dilihat dari dua aras yaitu peningkatan kapasitas individu dan kelompok
KBS - KUBE. Dengan penyusunan program tersebut diharapkan komunitas eks
penderita kusta dapat diberdayakan melalui penguatan individu dan kelompok
sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya.
7.3.1. Identifikasi masalah dan kebutuhan kelompok KBS – KUBE
Ada tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE yaitu
lemahnya kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur, lemahnya aspek sosial
dan aspek kemampuan ekonomi. Upaya untuk mengidentifikasi permasalahan
dan kebutuhan tersebut dilaksanakan dengan wawancara mendalam dan diskusi
kelompok. Hasil identifikasi tersebut adalah dapat dilihat pada tabel 17 sebagai
berikut :
148
Tabel 17. Identifikasi permasalahan pada aras dinamika kelompok Tahun 2005.
Masalah Utama
Lemahnya aspek
kelembagaan (struktur )
kelompok KBS-KUBE
(Kasus Kelompok Bangkit
Mulia dan Sumber Makmur)
Lemahnya aspek
kelembagaan (kultur)
kelompok KBS-KUBE
(Kasus kelompok Sumber
Makmur)
Penyebab
¾ Lemahnya manajemen
kelompok dalam hal ini
tidak berfungsinya
pengurus KBS-KUBE,
komunikasi, dan pola
kepemimpinan.
¾ Lemahnya mekanisme
kerja KUBE, lemahnya
kontrol sosial,
administrasi KUBE,
lemahnya keikutsertaan
perempuan dalam
kepengurusan KBS KUBE
Alternatif Pemecahan
¾ Pelatihan Tugas
Pokok dan Fungsi
Pengurus (Ketua,
Sekretaris dan
Bendahara),
¾ Pelatihan
Administrasi
Pengurus
¾ Pelibatan
perempuan dalam
kegiatan.
¾ Perlunya
menyelenggarakan
pertemuan rutin
¾ Lemahnya kelompok
¾ Pembuatan aturan
dalam menerapkan norma
tertulis,
dan aturan yang berlaku
dalam KUBE.
¾ Permainan
¾ Lemahnya kepercayaan
Dinamika kelompok
dan kerjasama antar
dan musyawarah.
anggota kelompok dalam
melakukan kegiatan.
¾ Belum ada kontrol sosial
antara anggota/tetangga
Lemahnya aspek Sosial
Kelompok KBS-KUBE
(Kasus kelompok Sumber
Makmur.
¾ Lemahnya motivasi
kelompok.
¾ Lemahnya kepedulian
sosial antar anggota
kelompok.
¾ Lemahnya rasa turut
memiliki
Lemahnya aspek ekonomi
Kelompok KBS
KUBE(Kasus kelompok
Sumber Makmur)
Lemahnya pendapatan KBS – Diklat Teknik
KUBE
Produksi Kambing
Lemahnya integrasi,
solidaritas dan kohesivitas
(Kasus Kelompok Sumber
Makmur)
Tidak ada saling
ketergantungan antar
anggota kelompok.
Pendampingan sosial
(Sistim konsultasi)
Lomba kelompok
KBS-KUBE.
Sumber : Hasil resume wawancara dan diskusi kelompok
149
Permasalahan pertama yang dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE adalah
lemahnya aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur. Aspek ini sangat
penting karena tumbuh dan berkembangnya kelompok berkaitan dengan aspek
tersebut. Penyebab lemahnya apek kelembagaan yang bersifat struktur adalah
lemahnya manajemen kelompok dalam hal ini tidak berfungsinya pengurus KBSKUBE,
komunikasi,
tujuan
dan
pola
kepemimpinan,
dan
pengelolaan
administrasi. Sedangkan secara kultur adalah lemahnya kelompok dalam
menerapkan norma dan aturan yang berlaku dalam KUBE serta lemahnya
kepercayaan dan kerjasama antar anggota kelompok dalam melakukan kegiatan
serta belum ada kontrol sosial antara anggota/tetangga.
Kedua, aspek sosial ini disebabkan lemahnya motivasi kelompok, lemahnya
kepedulian sosial antar anggota kelompok dan lemahnya rasa turut memiliki.
Ketiga aspek ekonomi lemahnya tingkat ekonomi penerima bantuan ini
menyebabkan sedikit mempunyai permasalahan yang menyangkut pemenuhan
kebutuhan maka kambing akan dijual. Keempat lemahnya integrasi, solidaritas
dan kehesivitas kelompok.
Kelemahan itu tidak saja muncul begitu saja tetapi melalui proses dari awal
pembentukan KBS – KUBE sampai pada perkembangannya sekarang.
Kelemahan ketiga aspek tersebut disebabkan karena (1) Proses pembentukan
KBS - KUBE bersifat top down ; (2) tidak ada bimbingan sosial sebagai bekal
kelompok dalam mengelola KUBE ; (3) penguasaan pendamping dalam
pengelolaan KUBE sangat terbatas (belum pernah mengikuti pendidikan dan
latihan KUBE) ini berakibat bahwa dalam memberi penjelasan terhadap
kelompok hanya berkisar masalah pengguliran dan administrasi saja.
Dengan keberadaan komunitas eks penderita kusta baik segi pendidikan maupun
psikologis, maka peran pendamping diharapkan intensif dalam melaksanakan
pendampingan. Berdasarkan wawancara dan diskusi kelompok dengan anggota
kelompok KBS – KUBE pada umumnya mereka membutuhkan pendidikan dan
latihan supaya dapat mengelola KUBE dengan baik terutama mengenai aspek
kelembagaan struktural, kultur maupun aspek sosial dan ekonomi..
150
7.3.2. Identifikasi masalah dan kebutuhan individu
Walaupun penelitian kajian ini terfokus pada pendekatan kelompok KBS – KUBE
namun peningkatan kapasitas individu sebagai anggota KBS – KUBE perlu
mendapat perhatian karena kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Berdasarkan hasil wawancara dapat diperoleh beberapa permasalahan berkaitan
dengan individu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kelompok KBS –
KUBE.
Tabel 18. Hasil identifikasi permasalahan pada aras individu/anggota pada dua
kelompok KBS – KUBE Tahun 2005
Masalah Utama
Tidak ada keterlibatan
individu dalam
pengambilan keputusan.
(Kasus kelompok Bangkit
Mulia)
Penyebab
¾ Terbatasnya pendidikan
dan keterampilan
individu dalam
pemecahan masalah
yang dihadapi.
Alternatif pemecahan
Pendampingan /
Konseling
¾ Masih dominannya
peran tokoh dalam
proses pengambilan
keputusan.
¾ Masih ada rasa
kepatuhan dengan
tokoh
Pengambilan keputusan
dilaksanakan secara
individu tanpa
musyawarah.
¾ Kurang dominan tokoh
dalam proses
pengambilan keputusan
dalam kelompok.
(Kasus Kelompok
Sumber Makmur).
¾ Kepatuhan terhadap
tokoh sudah berkurang.
Lemahnya peran
pemimpin (ketua) dalam
memimpin kelompok.
(Kelompok Bangkit Mulia)
Belum pernah mengikuti
latihan kepemimpinan
Latihan
kepemimpinan
(Permainan Dinamika
Kelompok)
Belum pernah ada
Pendidikan dan Latihan
mengenai teknik produksi
kambing.
Pendidikan dan
Latihan Teknik
Produksi Kambing.
Kurangnya pengetahuan
dan keterampilan teknik
produksi kambing.
(Kelompok Sumber
Makmur)
Pendampingan /
Konseling
Sumber : Hasil wawncara dengan anggota kelompok KBS – KUBE.
151
Permasalahan pertama adalah tidak adanya keterlibatan individu dalam
pengambilan keputusan. Penyebab utamanya dalah rendahnya pendidikan dan
ketrampilan individu dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta masih
dominannya tokoh dalam pengambilan keputusan serta sifat kepatuhan individu
terhadap tokoh tersebut.
Bila ditengok ke belakang mengapa terjadi demikian maka seperti dijelaskan di
depan bahwa kelompok KBS-KUBE Bangkit mulai adalah semua anggotannya
berasal dari Rumah Sakit Nganget dan dalam jangka waktu yang lama dan yang
menjadi tokoh sekarang, adalah tokoh juga di rumah sakit sehingga sifat-sifat
kepatuhan sangat menonjol di kelompak KBS-KUBE Bangkit Mulia.
Berbeda dengan anggota kelompok Sumber Makmur karena datangnya tidak
bersama maka ikatan emosional sangat rendah ini ditandai dengan tidak adanya
kerjasama antara anggota kelompok dan pengambilan keputusan dilaksanakan
tanpa minta ijin kepada Ketua RT. Dengan demikian kepatuhan kepala Ketua RT
di kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur sangat rendah. Ini berpengaruh pada
sikap berani mengambil keputusan sendiri namun cenderung tidak sesuai
dengan aturan yang ada.
Komunitas eks penderita kusta setiap warganya adalah merupakan pendatang,
dengan berbagai latar belakang yang berbeda ada yang dulunya memang
seorang yang sudah biasa memelihara kambing dan ada yang tidak. Dengan
kondisi itu maka pemeliharaan kambing yang ada sekarang tentunya tidak
semua berkembang dengan baik, maka diperlukan pendidikan dan latihan
produksi kambing supaya kambing dapat berkembang banyak. Dengan
perkembangan tersebut secara ekonomi kondisi eks penderita kusta akan
meningkat dan dari sisi psikologis ada perasaan tenang karena bila terjadi sakit
mendadak atau memperlukan sesuatu masih mempunyai kambing yang
sewaktu-waktu bisa dijual.
7.3.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Komunitas
Kebutuhan untuk mengembangkan jejaring sangat mutlak diperlukan untuk
membangun suatu komunitas. Seperti yang dialami oleh komunitas eks penderita
kusta disamping penguatan kelompok dan peningkatan kapasitas individu juga
dibutuhkan
jejaring
untuk
membantu
merumuskan
dan
memecahkan
152
permasalahan yang ada, dengan melibatkan berbagai stakeholders yang ada
sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di komunitas eks penderita kusta
banyak stakeholders
yang berada di dalam maupun diluar baik itu bersifat
horizntal maupun vertikal, nanum keterilbatannya dalam mengembangkan
komunitas eks penderita kusta belum optimal. Hasil wawancara dan diskusi
kelompok dapat dilihat pada tabel 19.
Tebel 19. Hasil identifikasi permasalahan pada aras komunitas Tahun 2005.
Masalah Utama
Penyebab
Alternatif Pemecahan
Banyaknya kelompokkelompok dalam
komunitas.
Pembentukan Forum
Komunikasi Informal Antar
Tokoh Agama.
Belum adanya wadah
sebagai sumber
informasi yang
berkaitan dengan
pengembangan eks
penderita kusta.
Forum Komunikasi Antar
LSM
Labilnya kondisi mental
eks penderita kusta
Merasa tidak berguna
dalam menjalani
kehidupan.
Pengajian/tahlilan dari luar
komunitas.
Perasaan minder, kurang
percaya diri akibat sakit
yang pernah diderita
Perasaan tidak
diterima oleh
masyarakat di luar
komunitas eks
penderita kusta.
Konseling dengan
psikolog/pekerja sosial.
Ada rasa kekuatiran pihak
luar bila bekerjasama
dengan eks penderita
kusta
Ketidaktahuan
masyarakat di luar
komunitas eks
penderita kusta
bahwa eks penderita
kusta sudah tidak
menular lagi.
Penyuluhan terpadu
(kesehatan dan sosial)
Ada sebagian eks
penderita kusta yang
belum diketahui tingkat
kesembuhannya
Tidak dilaksanakan
deteksi dini tentang
penderita kusta di
Dusun Nganget.
Konseling / klinis.
Dilaksanakan Dinas
Kesehatan/Rumah Sakit
Kusta Mojokerto/Balai
Pengobatan.
Lemahnya kelompok
dalam membangun
jejaring antar kelompok
dalam komunitas.
Lemahnya koordinasi
antar LSM dan Dinas
Sosial Provinsi Jawa
Timur
Sumber : Hasil wawancara dan diskusi kelompok.
153
Permasalahan
pertama
adalah
lemahnya
kelompok
KBS-KUBE
dalam
membangun jejaring antar kelompok dalam komunitas ini disebabkan banyaknya
kelompok-kelompok yang ada di dalam komunitas yang sudah terbentuk lama
dan mempunyai kepentingan masing-masing, seperti lembaga keagamaan
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) ingin menambah jumlah anggota
sementara
kelompok
Nahdatul
Ulama
(NU)
juga
menginginkan
jumlah
anggotanya bertambah.
Permasalahan kedua adalah lemahnya koordinasi antara LSM dan Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur dalam membangun jejaring sehingga pelaksanaan programprogram di komunitas eks penderita kusta dilaksanakan sendiri-sendiri tanpa
koordinasi satu sama lain sehingga tidak ada keterpaduan program akibatnya
program tidak bisa berkelanjutan. Permasalahan ketiga adalah labilnya kondisi
mental eks penderita kusta ini disebabkan adanya sikap hidup yang memandang
dirinya tidak berguna dan selalu membuat keluarga menjadi malu dengan adanya
pengajian secara rutin diharapkan akan memperkuat mental dan sikap eks
penderita dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya di tengah-tengah
masyarakat yang lain.
Permasalahan keempat yaitu adanya sikap minder dan kurang percaya diri yang
dialami eks penderita kuata akibat sakit yang pernah dideritanya ini disebabkan
adanya perasaan tidak diterima oleh masyarakat di luar komunitas eks penderita
kusta maka pemberian motivasi sangat penting untuk memberi dorongan kepada
eks penderita kusta supaya mempnyai kepercayaan diri. Permasalahan kelima
adalah adanya rasa kekuatiran yang berlebihan dari pihak luar komunitas bila
akan bekerjasama dengan komunitas eks penderita kusta. Baik dari segi
kesehatan takut ketuluran penyakitnya, ataupun sikap skeptis dari beberapa
pihak terhadap komunitas eks penderita kusta karena ketidaktahuan mereka
tentang eks penderita kusta.
Permasalahan keenam adalah bahwa setelah diadakan penelitian maka
ditemukan khususnya di RT.04 ada beberapa orang yang masih belum sembuh
benar dari penyakit kusta dengan demikian perlu diadakan pemeriksaan kembali
supaya bisa dipastikan bahwa yang berada di Dusun Nganget adalah semua eks
penderita kusta. Kebutuhan yang dirasakan oleh komunitas eks penderita kusta
adalah mereka sangat membutuhkan jejaring dan pemeiksaan kembali/ulang
terhadap warga Dusun sehingga bisa dipastikan semua sudah sembuh sehingga
154
tidak ada rasa kuatir pihak luar untuk menjalin kerjasama. Bila jejaring dapat
terbangun maka dapat meningkatkan keeratan anggota kelompok-kelompok
dalam komunitas dengan kelompok KBS-KUBE atau antar kelompok KBS-KUBE
yang ada di Dusun Nganget. Dengan jejaring yang terbangun dengan kuat maka
anggota kelompok KBS-KUBE dapat mengatasi berbagai
permasalahan-
permasalahan yang mereka alami baik masalah individu, keluaarga, kelompok
maupun lingkungan sosialnya sehngga bisa meningkatkan keberfungsian
sosialnya.
7.4. Penyusunan Perencanaan Program Kerja Aras Kelompok, Individu dan
Komunitas.
Penyusunan rancangan program pemberdayaan komunitas eks penderita kusta
melalui penguatan kelompok KBS – KUBE meliputi baik aras kelompok maupun
individu di dasarkan pada permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan oleh
kelompok dan individu eks penderita kusta. Untuk menyusun rancangan tersebut
dilaksanakan secara bersama-sama antara kelompok KBS–KUBE, pengurus
KUBE dan koordinator/pendamping KBS – KUBE melaksanakan diskusi
kelompok.
Hasil diskusi kelompok dalam penguatan individu dan kelompok KBS – KUBE
dikategorikan sebagai berikut
pada aras kelompok, aras individu dan aras
komunitas .
1. Strategi Penguatan Kelompok KBS - KUBE
a. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur
kelompok, merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki
struktur dan kultur dari kelompok KBS – KUBE. Aspek Struktur meliputi
struktur
organisasi,
pola
kepemimpinan,
manajemen kelompok, pola komunikasi,
pengambilan
keputusan,
administrasi dan mekanisme
kerja dari pada KUBE dan keterlibatan perempuan dalam kepengurusan
KBS-KUBE. Sedangkan secara kultur meliputi : tata nilai, norma, peraturan
dalam kelompok, dan mekanisme kerja KUBE.
b. Strategi
penguatan
sosial,
yaitu
strategi
yang
diarahkan
untuk
pengembangan dinamika kelompok yang meliputi penumbuhan motivasi
berkelompok, peran masyarakat guna mendukung pengembangan KBS –
155
KUBE, mempererat interaksi dalam kelompok, meningkatkan kepedulian
sosial antar anggota kelompok, dan memantapkan sikap atau rasa
memiliki, menumbuhkan solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integrasi
sosial
sehingga
bantuan
dianggap
sebagi
amanah
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara sosial.
2. Strategi Penguatan Individu Sebagai Anggota Kelompok KBS-KUBE.
a. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota
kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk
memperkuat individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus
kelompok KBS-KUBE.
b. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE,
strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota
kelompok KBS – KUBE.
3. Strategi Penguatan Jejaring.
Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBS-KUBE,
intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di komunitas
serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam dan di luar
komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha Bersama.
7.4.1. Perencanaan Program Penguatan Pada Aras Kelompok KBS - KUBE
7.4.1.1. Perencanaan Program Penguatan aspek Struktural dan Kultural
Organsisasi Kelompok KBS – KUBE
Dalam mengimplementasi rencana program penguatan aspek struktural maupun
kultural organisasi kelompok KBS – KUBE maka akan dilaksanakan kegiatan
sesuai dengan akar masalah antara lain:
1. Pelaksanaan pendidikan kejar paket B
Tujuan pelaksanaan pendidikan kejar paket B adalah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan pengurus ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
pengurus hanya 2 orang yang berpendidikan SMP sisanya tamat SD dan
tidak tamat SD. Pelaksan kegiatan ini adalah pengurus Kelompok Usaha
Bersama. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur, Dinas Pendidikan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
156
Waktu pelaksanaan adalah pada bulan Juli tahun 2006 dilaksanakan di aula
panti dengan peserta pengurus KBS-KUBE yang terdiri dari ketua, sekretaris
dan bendahara. Sumber dana adalah anggaran dari Dinas Pendidikan.
2. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (pemantapan pengurus
kelompok).
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberi pemahaman tentang hasil
penunjukkan eks penderita kusta sebagai pengurus KBS-KUBE oleh
pengurus
KUBE.
Pelaksana
kegiatan
ini
adalah
pengurus
KUBE,
pendamping dan koordinator KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah
Dinas Sosial Provinsi dan Panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah bulan Oktober 2005 di rumah
pengurus KBS-KUBE. Mekanisme pelaksanaan kegiatan ini adalah pengurus
KUBE, pendamping dan koordinator KUBE melaksanakan kunjungan rumah
(home visit)
ke rumah pengurus secara bergantingan untuk memberi
pemahaman tentang pentingnya pengurus melaksanakan tugas-tugas
sebagai pengurus KBS-KUBE. Sumber dana adalah Panti Rehabilitasi Sosial
Eks Penderita Kusta.
3. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (penguatan pengurus melalui
motivasi)
Tujuan kegiatan ini adalah memberi pemahaman dan motivasi tentang
pentingnya pengurus dan pemberian insentif bagi pengurus KBS-KUBE,
kegiatan ini ada karena pengurus beranggapan bahwa menjadi pengurus
tidak memberi keuntungan secara metari bahkan sering mendapatkan
umpatan dari anggota. Pelaksana kegiatan ini adalah pengurus KUBE,
pendamping dan koordinator KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah
Dinas Sosial Provinsi dan Panti.
Waktu pelakanaan setiap bulan sesuai dengan kebutuhan tempat di rumah
pengurus
secara
bergantingan
untuk
memberi
pemahaman
tentang
pentingnya pengurus melaksanakan tugas-tugas sebagai pengurus KBSKUBE. Sumber dana adalah Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
157
4. Pelatihan tentang tugas-tugas pengurus serta kewenangannya (Ketua,
sekretaris dan bendahara)
Tujuan kegiatan ini adalah untuk emberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang tugas-tugas pengurus karena pengurus tidak mengetahui apa yang
harus dikerjakan dan kewenangan yang dimiliki. Dengan kegiatan ini
diharapkan pengurus akan mengetahui tugas – tugas apa yang harus
dikerjakan dan kewenangan apa saja yang dimiliki untuk memajukan
perkembangan kelompok KBS-KUBE.
Pelaksana kegiatan ini adalah
Pengurus KUBE, Pendamping dan
Koordinator KUBE. Instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan
Panti. Pelaksanaan kegiatan pada Juli 2006 selama 3 hari di aula panti.
Mekanisme pelaksanaan kegiatan ini adalah Identifikasi kebutuhan dan
permasalahan pengurus kemudian menyusun materi dan melaksanakan
pelatihan dengan metode ceramah diskusi kelompok dan praktek. Sumber
dana adalah dari Dinas Sosial dan Panti.
5. Pendampingan sosial (pentingnya mencatat perkembangan kelompok)
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan penjelasan tentang cara penulisan
buku-buku administrasi ini disebabkan karena pencatatan tidak dilaksanakan
setiap bulan dan setiap ada pekembangan kambing, sehingga pembukuan
tidak jelas dan tidak dapat dipakai untuk mengetahui pekermbangan
kelompok KBS-KUBE. Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Sebagai
instansi pendukung adalah waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah setiap
bulan namun bila sudah menunjukkan perkembangan baik sedikit demi
sedikit akan dikurangi bisa sampai 3 bulan baru di monitor kembali. Tempat
pelaksnaan kegiatan di rumah pengurus KBS-KUBE. Sumber dana dari
Panti.
6. Rapat/Musyawarah
Tujuan dari kegiatan ini adalah menyederhanakan buku-buku KUBE untuk
disesuaikan dengan kemampuan fisik dan pendidikan eks pendeita kusta ini
disebabkan banyaknya buku yang harus dikerjakan oleh pengurus KBSKUBE. Pelaksana kegiatan adalah koordinator KUBE, Pengurus KUBE dan
Pengurus KBS-KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial
Provinsi dan Panti.
158
Waktu pelaksanaan kegiatan adalah bulan Nopember 2005 / satu hari tempat
aula panti. Mekanisme kegiatan adalah mengundang pengurus KBS-KUBE,
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE untuk membahas
penyederhanaan buku-buku KUBE. Sumber dana adalah
Panti dan
Pengurus KUBE.
7. Sosialisasi gender
Tujuan kegiatan ini adalah memberi pengertian tentang peran gender dalam
kepengurusan KBS-KUBE karena selama ini perempuan dianggap tidak bisa
melaskanakan tugas-tugas pengurus dan menganggap tugas perempuan
hanya mengembala kambing dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Pelaksana kegiatan ini adalah koordinator KUBE.
Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti. Waktu
pelaksanaan kegiatan pada bulan Desember 2006 /satu hari dilaksanakan di
aula panti mekanisme kegiatan yaitu mengundang seluruh pengurus dan
anggota KBS-KUBE, Pengurus KUBE untuk mendengarkan ceramah tentang
peran gender dalam kepengurusan KBS-KUBE. Sumber dana dari Panti
Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
8. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (penjelasan tentang peran
gender)
Tujuan kegiatan ini adalah memberi pemahaman terhadap peran gender
dalam pengambilan keputusan kegiatan ini penting karena perempuan
selama ini dianggap tidak tahu apa-apa. Sebagai pelaksana kegiatan adalah
Pendamping/ Koordinator KUBE dan instansi pendukung adalah Panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan Setiap bulan / sesuai dengan kebutuhan bila
sudah mengerti dan memahami maka kegiatan dihentikan pelaksanaan
kegiatan dirumah pada malam hari. Mekanisme kegiatan adalah pendamping
memberi penjelasan tentang peran gender kepada kelompok KBS-KUBE.
Sumber dana adalah Panti.
9. Pertemuan rutin
Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yaitu lemahnya pola hubungan
dan komunikasi karena tidak pernah dilaksanakan pertemuan rutin. Tujuan
159
kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan hubungan dan komunikasi
antar anggota kelompok KBS-KUBE.
Dengan
pertemuan
merupakan
metode
untuk
bertukar
pikiran
dan
pengalaman sekaligus sebagai proses belajar memecahkan permasalahan
kelompok
dan
permasalahan-permasalahan
keluarga
dan
lingkungan
sosialnya secara bersama. Pertemuan juga ada dapat meningkatkan
kemampuan anggota kelompok KBS – KUBE dalam menampilkan perananperanan sosialnya, baik dalam keluarga, kelompok maupun lingkungan
sosialnya baik perempuan maupun laki-laki.
Pertemuan rutin juga dihadiri oleh pengurus KUBE, pendamping dan
koordinator KUBE. Kehadiran mereka diharapkan memberi masukan dan
mengetahui permasalahan yang dialami oleh kelompok KBS-KUBE dan dari
koordinator bisa melaksanakan pendampingan
dan monitoring ,evaluasi
terhadap perkembangan KUBE.
Pelaksana kegiatan adalah pengurus kelompok KBS - KUBE waktu
pelaksanaan setiap bulan dan dilaksanakan secara bergiliran. Tempat
pelaksanaan
di
rumah
pengurus
kelompok
KBS-KUBE
atau
atas
kesepakatan kelompok. Anggaran berasal dari pengurus KUBE
10. Pertemuan informal
Tujuan kegiatan adalah membangun hubungan dan komunikasi antar
kelompok KBS-KUBE, kegiatan ini sangat penting karena waktu habis
dipergunakan eks pederita kusta untuk bekerja, malam hari untuk istirahat.
Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Instansi pendukung adalah Panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan minimal 3 bulan sekali, tempat dilaksanakan
pertemuan kelompok KBS-KUBE yang disepakati bersama antara kelompok
dengan pendamping bisa di sawah/padang pengembalaan didampingi oleh
pendamping. Sumber anggaran kelompok KBS-KUBE dan Panti.
11. Perumusan pembuatan peraturan tertulis pada masing-masing KBS-KUBE
Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan dan menyepakati peraturan yang
sudah dibuat di kelompok KBS-KUBE ini disebabkan karena selama ini
peraturan kelompok tidak dibuat oleh kelompok KBS-KUBE itu sendiri
melainkan dibuat secara bersama oleh Kepala Panti di Aula panti. Pelaksana
160
kegiatan ini adalah pengurus dan anggota KBS-KUBE, Instansi pendukung
kegiatan adalah panti.
Mekanisme kegiatan adalah pengurus kelompok KBS-KUBE mengundang
anggota kelompok untuk mengadakan rapat dan membuat peraturan tertulis
secara bersama dan disepakati secara bersama pula. Waktu pelaksanaan
kegiatan adalah pada bulan Desember 2005 / satu hari tempat kesepakatan
Kelompok KBS-KUBE. Sumber dana adalah dari anggran kelompok KBSKUBE.
12. Sosialisai hasil perumusan dan pembuatan peraturan kepada seluruh
anggota.
Tujuan kegiatan ini adalah menyebarluaskan hasil keputusan rapat kepada
seluruh anggota ini disebabkan karena tidak semua anggota kelompok hadir
pada saat pembuatan peraturan. Pelaksana kegiatan adalan pengurus KBSKUBE, Pengurus KUBE. Instansi pendukung adalah panti.
Mekanisne kegiatan ini adalah memberikan pengertian kepada suluruh
anggota kelompok tentang pentingmya mematuhi peraturan yang sudah
ditetapkan secara bersama. Waktu pelaksanaan yaitu Bersamaan dengan
pertemuan kelompok KBS-KUBE. Sumber dana adalah Kelompok KBSKUBE.
161
7.4.1.2.
Perencanaan
Program
Pengembangan
Dinamika
Kelompok
KBS - KUBE
.Dalam
mengimplementasi
rencana
program
pengembangan
dinamika
Kelompok KBS – KUBE maka akan dilaksanakan kegiatan sesuai dengan akar
masalah antara lain :
1. Pendampingan sosial/permainan dinamika kelompok.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperkuat ikatan kelompok Kelompok dan
anggota
ini disebabkan karena masing-masing anggota kelompok belum
bisa saling memberi dan menerima manfaat dibentuknya kelompok.
Pelaksana adalah Pendamping / Pekerja Sosial Panti. Sebagai instansi
pendukung adalah Panti.
Waktu pelaksanaan setiap 3 bulan sekali selama satu tahun kemudian
melihat perkembangan dari hasil permainan dinamika kelompok tersebut
masih diperlukan atau tidak pelaksanaan kegiatan di gedung TK Dusun
Nganget. Metode permainan dinamika kelompok yaitu komunikasi satu arah
dan dua arah.Setelah permainan selesai dijelaskan tujuan dari permainan
tersebut. Sumber dana adalah Panti dan KUBE.
2. Pertemuan rutin
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperkuat ikatan kelompok sebab
kelompok KBS-KUBE dibentuk karena akan ada proyek sehingga tingkat
kohesivitas antar anggota dalam kelompok sangat lemah. Pelaksana
kegiatan adalah anggota dan pengurus kelompok KBS-KUBE. Sebagai
instansi pendukung adalah panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan tiap bulan di rumah pengurus dan anggota
kelompok KBS-KUBE. Mekanisme pelaksanaan kegiatan adalah pengurus
KBS-KUBE membuat undangan untuk mengundang seluruh anggota dan
pengurus.
Dan
pertemuan
rutin
dilaksanakan
untuk
membahas
permasalahan yang dialami baik anggota sebagai individu, kelompok ataupun
permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungannya. Anggaran
untuk pelaksanaan kegiatan ini adalah dibebankan kepada kelompok KBSKUBE.
167
3. Pendampingan mengenai potensi dan sumber yang dimiliki anggota
kelompok.
Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah untuk menggali dan memanfaatkan
potensi dan sumber yang dimiliki oleh anggota kelompok. Ini sangat penting
karena dengan keberadaannya eks penderita kusta seakan-akan dia
memandang dirinya tidak mempunyai apa-apa yang bisa dimanfaatkan untuk
menolong orang lain.
Pelaksana kegiatan ini adalah pendamping dan pekerja sosial panti. Instansi
pendukung adalah Dinas Sosial dan Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan
adalah setiap bulan sesuai dengan pertemuan rutin yang ada namun disesuai
dengan materi yang ada. Mekanisme kegiatan adalah dilaksanakan secara
individu melalui home visit
(kunjungan rumah). Anggaran dibebankan
kepada panti melalui dana pembinaan lanjut.
4. Pendampingan (motivasi kelompok)
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengadakan perubahan sikap dan cara
berpikir tentang bantuan dari pemerintah ini disebabkan eks penderita kusta
bila menerima bantuan ada rasa tidak ikut memiliki sehingga dalam
pemeliharaannya
tidak
begitu
baik.
Pelaksana
kegiatan
ini
adalah
pendamping/pekerja sosial panti. Instansi pendukung adalah panti. Waktu
pelaksanaan setiap bulan disesuaikan dengan materi yang ada melalui
pertemuan rutin. Anggaran dari panti melalui dana pembinaan lanjut.
Mekanisme kegiatan adalah Pendampimgan dilaksanakan dengan cara
berkelompok dengan metode brainstorming/curah pendapat mengenai
perasaan-perasaan anggota kelompok saat menerima bantuan dan bila tidak
menerima bantuan. Setelah anggota kelompok selesai mengungkapkan
perasaannya maka saat itu perlu dijelaskan tentang pentingnya rasa memiliki
bantuan tersebut.
5. Pendampingan sosial melalui permainan dinamika kelompok
Tujuan dari kegiatan ini adalah memberi pengertian dan pemahaman tentang
pentingnya manfaat dari kerjasama, ini disebabkan karena anggota kelompok
belum mengetahui dan memahami manfaat dari kerjasama. Pelaksana
kegiatan ini adalah pendamping. Sebagai instansi pendukung adalah Panti.
168
Waktu pelaksanaan setiap bulan disesuikan dengan jadual pertemuan rutin
anggota kelompok KBS-KUBE.
Mekanisme kegiatan adalah dengan menggunakan metode persuasif dan
permainan dinamika kelompok. Anggaran dari panti melalui kegiatan
pembinaan lanjut.
6. Pendampingan sosial (pemberian motivasi secara kelompok)
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk merubah anggapan yang salah menjadi
hal yang bermanfaat ini disebabkan karena ada anggapan dari anggota
kelompok bahwa
kalau kita akan melaksanakan kerjasama berarti
mengeluarkan uang. Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Sebagai
instansi pendukung adalah panti. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan
melalui
pertemuan
kelompok
dengan
metode
persuasif.
Anggaran
dibebankan melalui panti dengan dana pembinaan lanjut.
7. Peringatan Hari Besar Agama .
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang
perbedaan dan kebersamaan, ini disebabkan karena dalam komunitas eks
penderita kusta terdapat kelompok-kelompok dan berbagai perbedaan
paham idiologi seperti NU, LDII. Pelaksana kegiatan adalah tokoh agama /
panitia. Instansi pendukung kegiatan ini adalah panti.
Waktu pelaksanaan disesuaikan dengan hari-hari besar agama. Metode yang
dilakukan adalah melalui ceramah. Anggaran dibebankan pada masyarakat
yang beragama Islam.
8. Pembentukan Kelompok KBS-KUBE Bayangan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memonitor perkembangan kelompok
KBS-KUBE yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Ini dibentuk
karena lemahnya kontrol sosial yang dilaksanakan oleh anggota masyarakat,
ada rasa segan untuk memperingatkan orang lain. Pelaksana kegiatan ini
adalah pengurus KUBE, pendamping dan koordinator KUBE. Instansi
pendukung adalah panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan adalah pada bulan Desember 2005 di gedung
Taman Kanak – Kanak Dusun Nganget. Mekanisme kegiatan diadakan
seleksi bagi masyarakat yang akan menerima pengguliran berikutnya dan
169
diseleksi per RT setelah berjumlah sepuluh orang maka tugas kelompok ini
selanjutnya mengawasai kelompok yang akan memberikan pengguliran
tersebut. Anggaran dari pengurus KUBE.
9. Pangajian / Tahlilan
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan ikatan emosional kelompok
sehingga kelompok mempunyai ikatan yang kuat karena latar belakang yang
berbeda sehingga perlu untuk menyatukan dalam suatu kegiatan. Pelaksana
kegiatan tersebut adalah kelompok KBS-KUBE. Sebagai instansi pendukung
adalah panti.
Waktu pelaksanaan kegiatan setiap malam Jum’at dilaksanakan di masjid.
Mekanisme kegiatan adalah setelah tahlilan dilanjutkan dengan ceramah baik
yang berhubungan dengan agama maupun dengan kemasyarakatan.
Anggaran di bebankan pada kelompok KBS-KUBE.
10. Rekreasi Bersama
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan ikatan emosional kelompok
KBS-KUBE karena banyak berbagai paham idiologi. Pelaksana kegiatan ini
adalah Kelompok KBS-KUBE. Instansi pendukung adalah panti. Waktu
pelaksanaan ditentukan bersama oleh kelompok (setelah panen). Mekanisme
kegiatan adalah rekreasi dilaksanakan ditempat yang terjangkau dan
didampingi oleh pendamping.
Dalam rekreasi tersebut ada acara untuk saling mengungkapkan perasaan
dan permasalahan yang dihadapi oleh semua anggota dan yang lain
mendengarkan setelah itu dicari pemecahan masalah secara bersama-sama.
Anggaran dibebankan pada kelompok KBS-KUBE.
11. Pertemuan kelompok sambil mengembala kambing
Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah antar anggota kelompok saling
membuka diri untuk saling mengenal lebih dekat. Ini sangat penting karena di
antara anggota kelompok belum terjadi identifikasi pribadi sehingga
solidaritas yang lemah. Kegiatan ini sudah terpola di komunitas eks penderita
kusta.
Pelaksana kegiatan ini adalah kelompok KBS-KUBE dan pendamping
kelompok. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan dua
170
minggu sekali. Mekanisme kegiatan adalah pendamping menjelaskan
pentingnya anggota kelompok mengungkapkan identititas diri masing-masing
di mulai dengan pendamping kelompok. Setelah itu bebas mengungkapkan
apa saja sesuai dengan yang dirasakan.
12. Pertemuan kelompok dengan Kyai
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mempererat tali silaturohim dengan kyai
pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan oleh kelompok KBS – KUBE. Sebagai
instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan biasanya dilaksanakan
pada waktu selapanan. Mekanisme kegiatan ini adalah Setelah mengadakan
silaturrohim dengan Kyai Nas’ro maka kelompok melaksanakan pertemuan
sendiri dan mengundang Kyai untuk memberi wejangan petingnya antar
anggota untuk saling menerima sehingga akan timbul kohesivitas kelompok.
13. Lomba Kelompok KBS-KUBE.
Lemahnya integrasi sosial, solidaritas dan kohesivitas kelompok karena
masing-masing individu tidak mempunyai rasa saling ketergantungan satu
dengan yang lain. Kelompok KBS-KUBE tidak mampu memberi manfaat
kepada angota kelompok begitu juga sebaliknya individu
belum bisa
memberi manfaat kepada kelompok. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
meningkatkan rasa solidaritas, integrasi sosial dan kohesivitas kelompok
KBS-KUBE. Dengan diadakan lomba
maka kelompok akan bersaing,
dengan persaingan tersebut maka di dalam kelompok akan tumbuh perasaan
untuk menjadi yang terbaik, disinilah akan muncul kohesitas kelompok,
integrasi dan solidaritas.
Pelaksana
kegiatan
ini
adalah,
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator KUBE. Tempat pelaksanaan kegiatan adalah di Dusun Nganget.
Waktu pelaksanaan setiap tahun pada bulan Desember bersamaan dengan
Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Dengan anggaran dari Panti
Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Tuban dan Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur.
171
Tabel 20. Rencana Program penguatan Aspek Struktural dan Kultural Organiasai KBS-KUBE Tahun 2005
Masalah
Belum
berfungsinya
pengurus
KBS-KUBE
(Ketua,
Sekretaris
dan
Bendahara
Akar
Masalah
Rendahnya
tingkat
pendidikan
pengurus
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendukung
Dinas Sosial
Propinsi dan
Panti
Dinas
Pendidikan
Waktu,
Tempat
Tahun
2006
Aula
panti
(jangka
panjang)
Mekanisame /
Metode
Peserta
pengurus KBSKUBE
Metode
pendidikan
paket B
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
melaksanakan
home visit
Pelaksanaan
pendidikan
kejar paket B
Meningkatkan
kualitas
pendidikan
pengurus
Pengurus
KUBE
Pengurus
atas
penunjukkan
Pengurus
KUBE
Pendampingan
Sosial dengan
konsultasi
(pemantapan
pengurus
kelompok)
Memberi
pemahaman
tentang
penunjukkannya
sebagai
pengurus
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
Dinas Sosial
Propinsi dan
Panti
Oktober
2005
rumah
pengurus
(jangka
pendek)
Menjadi
pengurus
tidak
memberi
keuntungan
secara
materi
Pendampingan
sosial dengan
konsultasi
(penguatan
pengurus
melaui
motivasi)
Memberi
pemahaman dan
motivasi
tentang
pentingnya
pengurus dan
pemberian
insentif / honor
pengurus
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
Dinas Sosial
Propinsi dan
Panti
Setiap
bulan
Rumah
pengurus
(jangka
pendek)
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
melaksanakan
home visit
Anggaran
Dinas
Pendidikan
Prioritas
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur.
Panti
Rehabilitasi
Sosial Eks
Penderita
Kusta
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur.
KUBE dan
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
171
Tabel 20 :Lanjutan…………
Masalah
Lemahnya
administrasi
pembukuan
pengurus
kelompok
KBS-KUBE
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Tidak
mengetahui
apa yang
harus
dikerjakan
dan
kewenangan
yang dimiliki
Pelatihan
tentang tugastugas pengurus
serta
kewenangannya
(ketua,sekretaris
dan bendahara)
Memberikan
pengetahuan
dan
pemahaman
tentang
tugas-tugas
pengurus
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
Pencatatan
tidak
dilaksanakan
setiap bulan
dan setiap
ada
pekembangan
kambing,
Pendampingan
sosial
(pentingnya
mencatat
perkembangan
kelompok)
Memberikan Pendamping
penjelasan
tentang cara
penulisan
buku-buku
administrasi
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Dinas Sosial
Propinsi dan
Panti
Juli 2006
/3 hari
Di panti
(jangka
panjang)
Peserta
pengurus KBSKUBE
Identifikasi
kebutuhan dan
permasalahan
pengurus.
Menyusun
materi dan
melaksanakan
pelatihan
dengan metode
ceramah diskusi
kelompok dan
praktek.
Dinas
Sosial dan
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Panti
Setiap
bulan
(jangka
pendek)
1 tahun
Pengurus KUBE Panti
dan pendamping
setiap bulannya
harus
memeriksa
pembukuan
kelompok KBSKUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
172
Masalah
Belum
dilibatkannya
perempuan
dalam
kepengurusan
KBS-KUBE
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Banyaknya
buku yang
harus
dikerjakan
oleh pengurus
Rapat /
musyawarah
Menyederhanakan
buku-buku KUBE
untuk disesuaikan
dengan
kemampuan eks
pendeita kusta.
Koordinator
KUBE,
Pengurus
KUBE dan
Pengurus
KBSKUBE
Dinas
Sosial
Propinsi
dan Panti
Nopember
2005 /
satu hari
Aula panti
(jangka
pendek)
Memberi
pengertian
tentang peran
gender dalam
kepengurusan
KBS-KUBE
Koordinator
KUBE
Dinas
Sosial
Propinsi
dan Panti
Desember
2006 /satu
hari
Aula panti
(jangka
pendek)
Sosialisasi
Perempuan
dianggap
gender
tidak bisa
melaskanakan
tugas-tugas
pengurus.
Menganggap
tugas
perempuan
hanya
mengembala
kambing dan
mengerjakan
pekerjaan
rumah.
Tabel 20 : Lanjutan……………
Mekanisame /
Anggaran
Prioritas
Metode
Kelompok
Mengundang
pengurus KBSKUBE,
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE untuk
membahas
penyederhanaan
buku-buku
KUBE
Mengundang
seluruh
pengurus dan
anggota KBSKUBE,
Pengurus
KUBE untuk
mendengarkan
ceramah
tentang peran
gender dalam
kepengurusan
KBS-KUBE.
Panti dan
KUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
173
Akar
Masalah
Masalah
Perempuan
Belum
dilibatkannya dianggap
tidak tahu
perempuan
apa-apa
dalam
pengambilan
keputusan
Lemahnya
pola
hubungan
dan
komunikasi
kelompok
KBS-KUBE
Instansi
Pelaksana
Pendukung
Pendamping/ Panti
Koordinator
KUBE
Kegiatan
Tujuan
Pendampingan
sosial, dengan
sistim
konsultasi
(penjelasan
tentang peran
gender)
Memberi
pemahaman
terhadap
peran
gender dan
pengambilan
keputusan
Tidak pernah
dilaksanakan
pertemuan
rutin
Pertemuan
rutin
Membangun
hubungan
dan
komunikasi
antar
kelompok
KBS-KUBE
Panti
Kelompok
KBS-KUBE,
Pendamping/
Koordinator
KUBE
Waktu habis
dipergunakan
eks pederita
kusta untuk
bekerja,
malam hari
untuk
istirahat
Pertemuan
informal
Membangun
hubungan
dan
komunikasi
antar
kelompok
KBS-KUBE
Pendamping
Panti
Tabel 20 : Lanjutan…
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Waktu,
Tempat
Setiap
bulan /
dirumah
pada
malam
hari
(jangka
pendek)
Setiap
bulan / di
rumah
anggota
Kelompok
KBSKUBE
(j.panjang)
Mekanisame /
Metode
Pendamping
memberi
penjelasan
tentang peran
gender kepada
kelompok
KBS-KUBE.
Dilaksanakan
peretmuan rutin
kelompok
KBS-KUBE
secara
bergiliran dari
rumah ke
rumah
Kelompok
KBSKUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Minimal 3
bulan
sekali
(jangka
menengah)
Dilaksanakan
pertemuan
kelompok
KBS-KUBE
ditempat yang
disepaktai
bersama bisa di
sawah/padang
pengembalaan
didampingi
oleh
pendamping.
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
174
Tabel 20 : Lanjutan…………
Masalah
Lemahnya
kelompok
KBS-KUBE
dalam
menerapkan
peraturan
Akar
Masalah
Peraturan
kelompok
tidak dibuat
oleh
kelompok
KBS-KUBE
itu sendiri.
Tidak semua
anggota
kelompok
hadir pada
saat
pembuatan
peraturan.
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Perumusan
dan
pembuatan
peraturan
secara tertulis
di masingmasing
kelompok
KBS –KUBE
Menyepakati
peraturan
yang sudah
dibuat di
kelompok
KBS-KUBE
Pengurus
dan anggota
KBS-KUBE
Didampingi
Pengurus
KUBE dan
Pendamping
Menyebarluas
kan hasil
keputusan
rapat kepada
seluruh
anggota.
Pengurus
KBSKUBE,
Pengurus
KUBE
Sosialisasi
hasil
perumusan
dan
pembuatan
peraturan
kepada
seluruh
anggota
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Panti
Desember
2005 / satu
hari tempat
kesepakatan
kelompok.
(jangka
pendek)
Pengurus KBSKUBE
mengundang
anggota
kelompok untuk
mengadakan
rapat dan
membuat
peraturan
tertulis secara
bersama dan
disepakati
secara bersama
pula.
Kelompok
KBSKUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Panti
Bersamaan
dengan
pertemuan
kelompok
KBSKUBE
(jangka
pendek)
Memberikan
pengertian
kepada suluruh
anggota
kelompok
tentang
pentingmya
mematuhi
peraturan yang
sudah
ditetapkan
secara bersama.
Kelompok
KBSKUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
175
Tabel 21. Rencana Program Pengembangan Dinamika Kelompok KBS-KUBE Tahun 2005
Masalah
Lemahnya
motivasi
berkelompok
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Kelompok
dan anggota
belum bisa
saling
memberi
dan
menerima
manfaat
dibentuknya
kelompok.
Pendampingan Memperkuat Pendamping/
Pekerja
sosial
ikatan
Sosial Panti
/permainan
kelompok
dinamika
kelompok dan
arisan
kelompok.
Kelompok
dibentuk
atas dasar
proyek
Pertemuan
rutin
Memperkuat Anggota/
pengurus
ikatan
kelompok
kelompok
KBS KUBE
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Panti
Mulai
bulan Des’
05
5 minggu
sekali,
di gedung
TK Dusun
Nganget.
(jangka
pendek)
Permainan
dinamika
kelompok yaitu
komunikasi satu
arah dan dua
arah.Setelah
permainan
selesai
dijelaskan
tujuan dari
permainan
tersebut.
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Panti
Tiap bulan
di rumah
pengurus
dan
anggota
kelompok
KBSKUBE.
(jangka
panjang).
Waktu
disesuaikan
dengan
pertemuan rutin
yang lain
dengan materi
yang berbeda.
Rumah secara
bergiliran.
Kelompok
KBSKUBE
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
176
Tabel 21 : Lanjutan………
Masalah
Lemahnya
kepedulian
sosial antar
anggota
kelompok
KBSKUBE
Lemahnya
rasa turut
memiliki
Akar
Masalah
Anggota
kelompok
merasa
tidak
memiliki
apa-apa .
Merasa
tidak ikut
memiliki
baik
bantuan
maupun
kelompok
dan
Seringnya
dapat
bantuan
dari
Pemerintah
Kegiatan
Pendampingan
mengenai
potensi dan
sumber yang
dimiliki
anggota
kelompok
Tujuan
Pelaksana
Menggali dan Pendamping
memanfaatkan dan Pekerja
sosial panti.
potensi dan
sumber yang
dimiliki oleh
anggota
kelompok
Pendampingan Mengadakan
perubahan
(motivasi
sikap dan cara
kelompok)
berpikir
tentang
bantuan dari
pemerintah.
Pendamping
/Pekerja
Sosial Panti.
Instansi
Pendukung
Dinas
Sosial dan
Panti
Waktu,
Tempat
Setiap
bulan
minggu ke
2, di
rumah
anggota
kelompok
(j.panjang)
Mekanisame /
Metode
Pendampingan
dilaksanakan secara
individu melalui
home visit.
Anggaran
Dinas
Sosial dan
Panti
Setiap
bulan
Di rumah
anggota
kelompok
(jangka
panjang)
Pendampimgan
dilaksanakan dengan
cara berkelompok
dengan metode
brainstorming/curah
pendapat mengenai
perasaan-perasaan
anggota kelompok
saat menerima
bantuan dan bila
tidak menerima
bantuan. Setelah
anggota kelompok
selesai
mengungkapkan
perasaannya maka
saat itu perlu
dijelaskan tentang
pentingnya rasa
memiliki.
Panti
Panti
Prioritas
Kelompok
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
177
Tabel 21: Lanjutan…………
Masalah
Lemahnya
kerjasama
antar
anggota
kelompok
Akar Masalah
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Anggota
kelompok
belum
mengetahui
dan
memahami
manfaat
kerjasama
Pendampingan
sosial
Melalui
permainan
dinamika
kelompok
Memberi
pengertian
dan
pemahaman
pentingnya
manfaat
kerjasama
Pendamping/
Pekerja
Sosial Panti
Panti
Setiap bulan
di rumah
anggota
kelompok
KBSKUBE.
(jangka
pendek)
Ada
anggapan dari
anggota
bahwa kalau
kerjasama
berarti
mengeluarkan
uang.
Pendampingan
(pemberian
motivasi
secara
kelompok).
Merubah
anggapan
yang salah
tersebut
menjadi hal
yang
bermanfaat.
Pendamping
Panti
Setiap bulan
di rumah
anggota
kelompok
KBSKUBE.
(Jangka
pendek)
Perbedaan
paham
idiologi
Peringatan
Hari Besar
Agama
Panti
Memberikan Tokoh
pemahaman agama/panitia
tentang
perbedaan
dan
kebersamaan
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Metode yang
digunakan
persuasif, dan
permaina
dinamika
kelompok.
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Metode adalah
persuasif
melalui
pertemuan rutin
kelompok
KBS-KUBE.
Panti
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
KUBE
/Panti/
Anggota
kelompok
KBSKUBE
KBS –
KUBE
Bangkit
Mulia.
Disesuaikan Metode
dengan hari ceramah
besar agama
Islam
Di Dusun
Nganget (j.
panjang)
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
178
Tabel 21: lanjutan……………
Masalah
Lemahnya
integrasi
sosial
kelompok
KBS KUBE
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Latar
belakang
yang
berbeda
dan datang
di Dusun
tidak
bersamaan
Pengajian /
Tahlilan
Meningkatkan
ikatan
emosional
kelompok.
Kelompok
KBS –
KUBE
Panti
Setiap
minggu
malam
Jum’at
sehabis
Maghrib
Di Masjid
(jangka
panjang)
Pelaksanaan yaitu
Tahlilan dilanjutkan
ceramah dan tanya
jawab mengenai
agama dan
kemasyarakatan
Kelompok Kelompok
KBS –
KBSKUBE
KUBE
Sumber
Makmur
Anggota
kelompok
berbagai
paham
idiologi
Rekreasi
bersama
Meningkatkan
ikatan
emosional
kelompok
Kelompok
KBS KUBE
Panti
Ditentukan
secara
bersama
oleh
kelompok
(jangka
panjang)
Pelaksanaan
rekreasi ada
pendamping
dilakukan ditempat
yang dapat
dijangkau dan ada
acara untuk
mengungkapkan
perasan dan
permasalahan yang
dihadapi oleh semua
anggota kelompok
serta yang lain
mendengarkan
difasilitasi oleh
pendamping
kelompok.
Kelompok Kelompok
KBS –
KBSKUBE
KUBE
Bangkit
Mulia.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
179
Masalah
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Tabel 21 : Lanjutan…………
Mekanisame /
Anggaran
Prioritas
Metode
Kelompok
Lemahnya
solidaritas
kelompok
KBS KUBE
Belum
terjadi
identifikasi
pribadi
antar
anggota
dalam
kelompok
Pertemuan
kelompok
sambil
mengembala
kambing
Agar antar
anggota
kelompok
saling
membuka
diri untuk
mengenal
anggota
yang lain
secara apa
adanya.
Kelompok
KBS –
KUBE
Dan
Pendamping
Panti
Padang
pengembalaan
Dusun
Nganget,
pelaksaan
setiap 2
minggu sekali
(Jangka
menengah)
Pendamping
menjelaskan
pentingnya
anggota kelompok
mengungkapkan
identititas diri
masing-masing di
mulai dengan
pendamping
kelompok. Setelah
itu bebas
mengung kapkan
apa saja.
Kelompok Kelompok
KBSKBS –
KUBE
KUBE
Bangkit
Mulia
Lemahnya
kohesivitas
kelompok
(keterpaduan
kelompok)
Belum
terjalin
penerimaan
diri antara
anggota
kelompok
Pertemuan
keompok
melalui
silaraturrohim
dengan Kyai
NU
Mempererat
tali
silaturrohim
dengan Kyai
NU dan
antar
anggota
kelompok
Kelompok
KBS-KUBE
Panti
Selapanan di
Pondok
Pesantren
Kyai Nso
(jangka
menengah)
Setelah
mengadakan
silaturrohim
dengan Kyai
Nas’ro maka
kelompok
melaksanakan
pertemuan sendiri
dan mengundang
Kyai untuk
memberi
wejangan
petingnya antar
anggota untuk
saling menerima.
Kelompok Kelompok
KBSKBS –
KUBE
KUBE
Sumber
Makmur.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
180
Masalah
Lemahnya
integrasi,
solidaritas,
dan
kohesivitas
kelompok
KBSKUBE
Akar
Masalah
Belum
terjadi
identifikasi
diri
anggota
kelompok.
Belum
adanya
saling
penerimaan
antar
anggota
kelompok.
Anggota
kelompok
heterogen
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Lomba
kelompok
KBS-KUBE
Meningkatkan
integrasi
sosial,
solidaritas dan
kohesivitas
kelompok
Koordianator
KUBE /
Pendamping
dan
Pengurus
KUBE
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Dinas
Sosial
Propinsi
dan Panti
Rehabilitasi
Sosial Eks
Penderita
Kusta
Tiap tahun
Bulan
Desember/
HKSN
Dusun
Nganget
(jangka
panjang)
Tabel 21 : lanjutan……………
Mekanisame /
Anggaran
Prioritas
Metode
Kelompok
1. Peserta 5
kelompok
KBS-KUBE.
2. Dari 5
kelompok
diseleksi satu
yang menjadi
juara dan ada
piala bergilir
yang
diperebutkan.
3. Penilaian di
dasarkan pada
keberhasilan
kelompok
dalam
mengatasi
permasalahan
yang ada.
Dinas
Sosial/Panti
Belum ada
tujuan
kelompok
yang perlu
diperjuang
kan
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
181
Tabel 22. Rencana Program Penguatan Kapasitas Keterampilan berorganisasi Individu anggota Kelompok KBS – KUBE
dan Rencana Program Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota KBS-KUBE Tahun 2005
Masalah
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Rendahnya
tingkat
partisipasi
anggota
kelompok
dalam
pengambilan
keputusan
Konseling
Rendahnya
pengetahuan
dan
keterampilan
sosial
individu
dalam
memecahkan
permasalahan
kelompok
Meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan
sosial individu
dalam
memecahkan
permasalahan
kelompok
Pekerja
Sosial Panti
Rehabilitasi
Sosial Eks
Penderita
Kusta
Dinas
Sosial/Panti
3 bulan
sekali
rumah
anggota
kelompok
KBS-KUBE
(jangka
menengah)
1. Menggali
masalah
secara
mendalam.
2. Menggali
solusi
alternatif
pemecahan
masalah
Panti
Kelompok
KBS –
KUBE
Bangkit
Mulia.
Rendahnya
kemampuan
individu
menjadi
pemimpin
kelompok
KBSKUBE.
Belum
pernah
menjadi
pemimpin
Pekerja
Memberi
Sosial Panti
keterampilan
tentang
kepemimpinan
kepada ketua
kelompok
KBS-KUBE
Panti
Rehabilitasi
Sosial Eks
Penderita
Kusta
Bulan
Nopember
/satu hari
Gedung
Taman
kanakKanak
Dusun
Nganget
(jangka
pendek)
Mengundang
semua ketua
kelompok KBSKUBE untuk
mengikuti
permainan
dinamika
kelompok
dengan
permainan
peran. (role
playing).
Panti
Kelompok
KBS –
KUBE
Bangkit
Mulia
Pendampingan
melalui
permainan
dinamika
kelompok
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
182
Tabel 22 : Lanjutan………
Masalah
Kurangnya
pengetahuan
dan
keterampilan
produksi
kambing
Akar
Masalah
Belum
pernah ada
Pendidikan
dan Latihan
mengenai
teknik
produksi
kambing
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Pendidikan
dan Latihan
Teknik
Produksi
Kambing
Meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan
mengenai
teknik
produksi
kambing.
Anggota
kelompok
KBSKUBE.
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator
KUBE
Instansi
Pendukung
Dinas
Sosial dan
Panti
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
September
2006 /2 hari
jangka
panjang).
1. Peserta adalah
anggota
kelompok KBSKUBE.
2. Mengidentifikasi
jenis kambing
dan metode yang
cocok dengan
kondisi alam dan
potensi Dusun
Nganget.
3. Metode yang
digunakan
ceramah, studi
kasus, diskusi
dan studi
banding
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Dinas
Sosial
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
183
Tabel 23. Rencana Program Penguatan Jejaring Kelompok KBS-KUBE Tahun 2005
Masalah
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendu
kung
Waktu,
Tempat
Mekanisame / Metode
Angga
ran
Prioritas
Kelompok
Lemahnya
kelompok
dalam
membangun
jejaring
antar
kelompok
dalam
komunitas
Banyaknya
kelompok
dalam
komunitas
Pembentukan
Forum
Komunikasi
Informal
Antar Tokoh
Agama
Mempererat
dan
meningkatkan
kohesivitas
kelompok
keagamaan di
Dusun
Nganget.
Tokoh
Agama
yang ada di
Dusun
Nganget
(LDII, NU
dan Kristen)
Panti
Rehabili
tasi Eks
Penderita
Kusta
Juli 2005 di
rumah Kyai
Ysf (NU)
(jangka
panjang)
Kyai Jsf mengundang
tokoh-tokoh agama
untuk membentuk
forum komunikasi
melalui rapat.
Tokoh
-tokoh
agama
Prioritas
kelompok
KBSKUBE
Sumber
Makmur
Lemahnya
koordinasi
antar LSM
dan Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa Timur
Belum
adanya
wadah
sebagai
sumber
informasi
yang
berkaitan
dengan eks
penderita
kusta.
Forum
Komunakasi
antar LSM
dan Dinas
Sosial
Untuk
mempermudah
komunkasi
dan
mengakses
informasi
sehingga
program
pengembangan
bisa
dipadukan.
Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa Timur
Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa
Timur
Desember
2006 di
Dinas
Sosial Jawa
Timur
(Jangka
Panjang)
Dinas Sosial
mengundang LSM yang
bergerak di bidang
pengembangan
komunitas eks penderita
kusta untuk memadukan
program sekaligus
membentuk forum
komunikasi sehingga
program tersebut dapat
berkelanjutan.
Dinas
Sosial
Prioritas
kelompok
KBSKUBE
Bangkit
Mulia
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
184
Tabel 23 : Lanjutan……
Masalah
Akar
Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi
Pendukung
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Anggaran
Prioritas
Kelompok
Labilnya
kondisi
mental eks
penderita
Merasa
tidak
berguna
dalam
menjalani
kehidupan
Pengajian/tahlilan
dari luar
komunitas Dusun
Nganget.
Membangun
jejaring
dengan tokoh
agama dari
luar
komunitas
dan memberi
motivasi
kepada eks
penderita
kusta dalam
menjalani
kehidupan.
Tokoh
agama di
Dusun
Nganget
khsusnya
NU
Panti
Tiap hari
Jum’at
dilaksanakan
setiap
minggu
tempat
bergiliran.
(jangka
panjang)
Kelompok
Tahlilan NU
mengundang
penceramah dari
luar komunitas
atau ada
program dari
lembaga agama
kecamatan
untuk
mengadakan
pengajian di
Dusun Nganget.
Pengurus
kelompok
tahlilan/
organisasi
Keagamaan
tingkat
kecamatan.
Prioritas
kelompok
KBSKUBE
Sumber
Makmur
Perasaan
minder,
kurang
percaya
diri akibat
sakit yang
pernah
diderita
Perasaan
tidak
diterima
oleh
masyarakat
di luar
komunitas
eks
penderita
kusta
Konseling
dengan psikolog
/pekerja sosial
Untuk
meningkat
rasa percaya
diri sehingga
dapat
menyakinkan
masyarakat
umum untuk
menerima
keberadaanya.
Psikolog /
Pekerja
sosial
Dinas
Sosial
/Panti
1 tahun 2
kali bula Juli
dan
Nopember
2006 (jangka
panjang)
Pelaksanaan
konseling di
rumah atau
tempat yang
ditentukan
secara bersama
Panti /
Dinas
Sosial
Prioritas
kelompok
KBSKUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
185
Tabel 23 : Lanjutan………
Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Adanya
perasaan
takut dari
masyarakat
di luar
komunitas
bila
berhubungan
dengan eks
penderita
kusta.
Ketidaktahuan Penyuluh
masyarakat
an sosial
luas tentang
terpadu
keberadaan
eks penderita
kusta
Ada
sebagian eks
penderita
kusta yang
belum
diketahui
tingkat
kesembuhan
nya
Tidak
dilaksanakan
deteksi dini
tentang
penderita
kusta di
Dusun
Nganget.
Konse
ling /
klinis..
Tujuan
Pelaksana
Memberi
pemahaman
kepada
masyarakat
tentang
penyakit kusta
dan eks
penderita kusta
serta
permasalahan
yang dihadapi
Dinas
Sosial,
Dinas
Kesehatan
dan Panti
Rehabilitasi
Sosial Eks
Penderita
Kusta
Memperoleh
kepastian
tentang apakah
warga Dusun
Nganget
semua sudah
sembuh dari
penyakit kusta.
Dinas
Kesehatan/
Rumah
Sakit Kusta
Mojokerto/
Balai
Pengobatan
Waktu,
Tempat
Mekanisame /
Metode
Dinas
Sosial,
Dinas
Kesehat
an dan
Panti
Rehabili
tasi Sosial
Eks
Penderita
Kusta
Juli – Nop.
2006.
Penyuluhan
sosial terpadu
2 kali
setahun.
diadakan di
Kec.Singgahan
dengan
mengundang
warga dan
pengusaha
lokal. (jangka
panjang)
Meminta ijin
Camat kalau akan
ada penyuluhan
sosial terpadu 2 kali
Dinas
Sosial/
Dinas
Kesehatan/
Rumah
Sakit
Kusta
Mojokerto
/Balai
Pengobat
an
Dilaksanakan
setiap tahun
dan bila ada
warga baru
yang masuk ke
Dusun
Nganget
(jangka
panjang)
Balai
Pengobatan/Dinas
Kesehatan dan
Rumah Sakit
Kusta Mojokerto
bekerjasama
dengan Kepala
Desa
Kedungjambe dan
Panti
melaksanakan
konseling/klinis
Instansi
Pendukung
Penyuluhan I
Camat
mengundang
warga .
Penyuluhan
kedua Camat
mengundang
pengusaha lokal
untuk menghadiri
kegiatan tersebut.
Angga
ran
Prioritas
Kelompok
Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa
Timur
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Dinas
Sosial
Propinsi
Jawa
Timur /
Panti
Kelompok
KBS –
KUBE
Sumber
Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
186
7.4.2. Perencanaan Program Penguatan Kapasitas Keterampilan Individu
anggota kelompok KBS-KUBE dan Rencana Program Penguatan Kapasitas
usaha Ekonomi Anggota KBS-KUBE.
Program ini untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota
kelompok KBS-KUBE. Program ini sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia untuk merubah pola pikir, sikap
dan perilaku eks
penderita kusta sehingga mampu mengetahui dan memahami potensi alam yang
ada dan kemampuan sumberdaya manusia supaya dapat memecahkan
permasalahan baik individu, keluarga, kelompok dan lingkungan sosialnya.
Implementasi dari program tersebut adalah sebagai berikut :
1. Konseling
Konseling
dalam perspektif pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui tiga
phase yaitu membangun relasi, menggali masalah secara mendalam dan
menggali solusi alternatif. Tujuan konseling yaitu meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan individu eks penderita kusta dalam memecahkan
permasalahan
individu,
keluarga,
kelompok
dan
lingkungan
sosial.
Permasalahan yang dihadapi anggota kelompok KBS-KUBE yaitu rendahnya
tingkat partisipasi anggota kelompok dalam pengambilan setiap keputusan.
Pelaksana kegiatan ini adalah Pekerja Sosial Panti Rehabilitasi Sosial Eks
Penderita Kusta. Instansi pendukung kegiatan ini adalah Panti Rehabilitasi
Sosial Eks Penderita Kusta dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Waktu
pelaksanaan
kegiatan
Disesuaikan
dengan
kondisi
individu
anggota
kelompok KBS – KUBE atau 3 (tiga) bulan sekali setelah melihat
perkembangan saat ada pertemuan kelompok pelaksanaan konseling di
rumah anggota kelompok KBS-KUBE atau tempat-tempat yang disepakati
antara anggota kelompok dengan Pekerja Sosial.
2. Pendampingan Melalui Permainan Dinamika Kelompok
Tujuan
kegiatan
ini
adalah
untuk
memberi
keterampilan
tentang
kepemimpinan kepada ketua kelompok KBS-KUBE. Kegiatan ini muncul
karena rendahnya kemampuan individu dalam memimpin kelompok karena
belum pernah mengikuti latihan kepemimpinan.
Pelaksana kegiatan ini adalah Pendamping dan Pekerja Sosial Panti.
Sebagai Instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan
178
adalah bulan Nopember kegiatan dilaksanakan selama satu hari di gedung
Taman Kanak-Kanak Dusun Nganget. Mekanisme kegiatan yaitu dengan
menggunakan metode role playing. Anggaran dibebankan pada panti.
3. Pendidikan dan Latihan Teknik Produksi Kambing
Tujuan
kegiatan
ini
adalah
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan mengenai teknik produksi kambing. Kegiatan ini muncul karena
kurangnya
pengetahuan
dan
keterampilan
produksi
kambing
yang
disebabkan karena belum pernah diadakan pendidikan dan latihan mengenai
produksi kambing.
Pelaksana kegiatan adalah koordinator KUBE, pendamping pengurus KUBE
dan pengurus kelompok KBS-KUBE. Instansi pendukung kegiatan ini adalah
Dinas Peternakan Kabupaten Tuban dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
serta Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
Waktu pelaksanaan kegiatan pada bulan September 2006, Anggaran yang
digunakan untuk kegiatan tersebut adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
atau serta Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
Mekanisme
kegiatan
adalah peserta anggota kelompok KBS-KUBE.
Mengidentifikasi jenis kambing dan metode yang cocok dengan kondisi alam
dan potensi Dusun Nganget. Metode yang digunakan ceramah, studi kasus,
diskusi dan studi banding.
179
7.4.3. Perencanaan Program Penguatan Jejaring
Program penguatan jejaring ini sangat penting dan mempunyai nilai strategis.
Mengingat keberadaan eks penderita kusta yang selama ini terminggirkan dari
kehidupan ditengah-tengah masyarakat pada umumnya. Penguatan jejaring ini
bertujuan supaya kelompok dapat mengoptimalkan jejaring antar anggota
kelompok KBS-KUBE, intra kelompok KBS-KUBE dan masyarakat di luar Dusun
Nganget / Permukiman Eks Penderita Kusta. Melalui jejaring yang kuat,
komunitas eks penderita kusta akan bisa mengembangkan kelompok KBS –
KUBE.
Kegiatan pokok dalam program penguatan jejaring adalah (1) Pembentukan
Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama; (2) Forum Komunikasi Antar
LSM dan Dinas Sosial ; (3) Pengajian/Tahlilan dari Luar Komunitas ; (4)
Konseling Dengan Psikolog/Pekerja Sosial ; (5) Penyuluhan Sosial Terpadu.
Untuk mengetahui lebih jauh maka dapat dijelaskan senagai berikut :
1. Pembentukan Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mempererat dan meningkatkan kohesivitas
kelompok-kelompok keagamaan yang berada di Dusun Nganget. Kegiatan ini
berangkat dari banyaknya kelompok-kelompok yang ada di Dusun Nganget.
Pelaksana kegiatan ini adalah Tokoh Agama yang ada di Dusun Nganget
(LDII, NU dan Kristen).
Sebagai instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan pada bulan
Juli 2005 di rumah Kyai Jsf. Sumber dana berasal dari tokoh-tokoh agama.
2. Forum Komunikasi Antar LSM dan Dinas Sosial
Tujuan kegiatan adalah untuk mempermudah komunikasi dan mengakses
informasi sehingga program dapat dipadukan antara program LSM dengan
LSM ataupun dengan Dinas Sosial. Munculnya kegiatan ini karena selama ini
tidak terjalin koordinasi antara LSM dengan Dinas Sosial program-program
yang ada di komunitas eks penderita kusta berjalan sendiri-sendiri.
Pelaksana kegiatan adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Sebagai
instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Waktu
pelaksanaan pada bulan Agustus 2006.di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
Mekanisme kegiatan adalah Dinas Sosial mengundang beberapa LSM yang
182
bergerak
di
bidang
pengembangan
komunitas
eks
penderita
kusta
memadukan program dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi
sekaligus membentuk forum komunikasi sehingga program tersebut dapat
berkelanjutan. Sumber dana dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
3. Pengajian/Tahlilan dari Luar Komunitas Eks Penderita Kusta.
Tujuan kegiatan ini adalah membangun jejaring dengan tokoh-tokoh agama
dari luar komunitas dan memberi motivasi kepada eks penderita kusta dalam
menjalani kehidupan. Pelaksana kegiatan ini adalah tokoh agama di dusun
Nganget khususnya warga Nahdatul Ulama.
Instansi pendukung kegiatan adalah
Panti dan Pemerintah Desa
Kedungjambe. Waktu pelaksanaan kegiatan setiap hari Jum’at sore di rumah
warga secara bergiliran. Sumber dana Organisasi Tahlilan. Mekanisme
kegiatan adalah Kelompok Tahlilan NU mengundang penceramah dari luar
komunitas atau ada program dari lembaga agama kecamatan untuk
mengadakan pengajian di Dusun Nganget.
4. Konseling Dengan Psikolog / Pekerja Sosial
Konseling
dalam perspektif pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui tiga
phase yaitu membangun relasi, menggali masalah secara mendalam dan
menggali solusi alternatif. Permasalahan yang dihadapi anggota kelompok
KBS-KUBE yaitu perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang
pernah diderita dalam membangun jejaring .Tujuan konseling yaitu
meningkatkan rasa percaya diri eks penderita kusta dalam membangun
jejaring.
Pelaksana kegiatan ini adalah Pekerja Sosial Panti Rehabilitasi Sosial Eks
Penderita Kusta atau Psikolog. Instansi pendukung kegiatan ini adalah Panti
Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta dan Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur. Waktu pelaksanaan kegiatan setiap 6 bulan sekali selama satu tahun.
Tempat di rumah Eks Penderita Kusta hasil kesepakatan antara konselor
dan eks penderita kusta. Anggaran dibebankan pada Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur.
5. Penyuluhan Sosial Terpadu
Penyuluhan sosial terpadu adalah penyuluhan sosial yang dilaksanakan
secara terpadu disesuaikan dengan permasalahan yang ada di lokasi tempat
183
akan dilaksanakan penyuluhan tersebut. Permasalahannya yaitu
adanya
perasaan takut dari masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta bila
berhubungan dengan eks penderita kusta. Tujuan dari penyuluhan sosial
terpadu adalah menjelaskan tentang penyakit kusta bagaimana proses,cara
penuluraan dan bagaimana menghindarinya serta tentang keberadaan eks
penderita kusta dalam pergaulannya dengan masyarakat di luar Dusun
Nganget.
Pelaksana kegiatan yaitu Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Panti
Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Instansi pendukung yaitu Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
Waktu pelaksanaan kegiatan tersebut adalah pada bulan Juli 2006, dengan
jumlah kegiatan dua kali setahun. Tahap pertama dilaksanakan di Kantor
Kecamatan Singgahan dan peserta yang diundang adalah warga disekitar
Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan. Tahap Kedua yang diundang
adalah pengusaha lokal yang ada di Kecamatan dengan maksud supaya ada
investasi yang bisa diarahkan ke Dusun Nganget. Anggaran dari Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur.
6. Konseling Klinis
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh kepastian tentang apakah
warga yang berada di Dusun Nganget semua sudah sembuh dari penyakit
kusta. Kegiatan ini didasari oleh adanya sebagian warga Dusun Nganget
yang belum diketahui tingkat kesembuhannya.
Pelaksana kegiatan ini adalah Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Kusta
Mojokerto, Balai Pengobatan yang berada di Dusun Nganget dan Pekerja
Sosial. iIstansi pendukung kegiatan adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur,
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Rumah Sakit Kusta Mojokerto dan
Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Tuban.
Waktu pelaksnaaan kegiatan setiap tahun atau bila ada pendatang baru yang
akan bermukim di Dusun Nganget. Mekanisme pelaksanaan kegiatan adalah
Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
untuk mengadakan konseling klinis atau panti dengan data yang ada bisa
mengusulkan diadakannya konseling klinis. Sumber dana berasan dari Dinas
Sosial dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
184
7.5. Ikhtisar
Program penguatan kelompok KBS – KUBE dalam upaya memberdayakan
komunitas eks penderita kusta disusun secara partisipatif dengan tahapan
identifikasi potensi yang meliputi Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam dan
Sumber Daya kelembagaan, identifikasi permasalahan dan kebutuhan dan
penyusunan rancangan program secara partisipatif. Sumber Daya Manusia
meliputi jumlah penduduk dan
tingkat pendidikan. Jumlah penduduk Dusun
Nganget adalah sebagai 464 jiwa (Agustus 2005) terdiri dari laki-laki sebanyak
230 jiwa dan perempuan sebayak 234 jiwa. Jumlah eks penderita kusta
sebanyak 152 jiwa dan yang bukan eks penderita kusta sebanyak 312 jiwa
(keturunan, orang waras yang kawin dengan eks penderita kusta dan keluarga
pegawai panti).
Tingkat
pendidikan
warga
Dusun
Nganget
yaitu
yang
paling
berpendidikan Sekolah Dasar mencapai178 orang atau 38, 36 %
banyak
dan yang
paling sedikit jumlahnya adalah Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang atau 1,07 %.
Sumberdaya alam yang dimiliki adalah tanah pertanian berupa sawah dan persil.
Sawah adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur sedangkan persil / ladang
adalah milik Perhutani, jadi eks penderita kusta hanya sebagai penggarap saja.
Namun untuk padang pengembalaan cukup untuk mengembala kambing karena
daerah yang berbukit, tanah lapangan yang sudah tidak dipakai lagi sehingga
dimanfaatkan untuk mengembala serta di pinggiran-pinggiran sawah sangat
potensial untuk pemeliharaan kambing.
Potensi kelembagaan yang ada di Dusun Nganget yaitu Lembaga Dakwah Islam
Indonesia
,
Nahdatul
Ulama
serta
Umat
Kristiani
sangat
mendukung
perkembangan KUBE. Dengan potensi alam yang ada dan didukung dengan
pengorganisasian kelompok KBS – KUBE yang baik maka KUBE kambing akan
dapat berkembang dengan baik. Namun demikian dalam pengorganisasiannya
perlu mendapat penguatan agar dapat berfungsi dengan baik. Berdasarkan
strategi yang disusun yaitu :
188
Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE
Alternatif strategi pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan
kelompok KBS - KUBE
yang dapat dilakukan berdasarkan penelitian dalam
kajian ini adalah :
1. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur kelompok,
merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki struktur dan
kultur dengan kegiatan (1) pendidikan kerjar paket B; (2) pendampingan
sosial
dengan
konsultasi
(pemantapan
pengurus
kelompok);
(3)
pendampingan sosial dengan konsultasi (penguatan pengurus melalui
motivasi) ; (4) pelatihan tentang tugas-tugas pengurus serta kewenangannya;
(5) Pendampingan sosial (pentingnya mencatat perkembangan kelompok) ;
(6) Rapat / musyawarah ; (7) sosialisasi gender ; (8) pendampingan sosial
sistem konsultasi ; (9) pertemuan rutin ; (10) Pertemuan informal ; (11)
Perumusan dan pembuatan peraturan secara tertulis ; (12) Sosialisasi hasil
perumusan.
2.
Strategi
penguatan
sosial,
yaitu
strategi
yang
diarahkan
untuk
mengembangkan dinamika kelompok. yang meliputi kegiatan antara lain (1)
pendampingan sosial / permainan dinamika kelompok ; (2) pertemuan rutin ;
(3) pendampingan mengenai potensi dan sumber ; (4) pendampingan
(motivasi kelompok) ; (5) pendampingan sosial /permainan dinamika
kelompok ; (6) pendampingan sosial (motivasi secara berkelompok) ; (7)
Peringatan Hari Besar Agama ; (8) Membentuk kelompok KBS-KUBE
Bayangan ; (9) Pengajian / Tahlilan ; (10) rekreasi bersama ; (11) pertemuan
kelompok sambil mengembala ; (12) Pertemuan dengan Kyai NU ; (13)
Lomba kelompok KBS-KUBE.
Strategi Penguatan Individu sebagai anggota Kelompok KBS-KUBE.
1. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota
kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk memperkuat
individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus kelompok KBS-KUBE
dengan kegiatan (1) Konseling ; (2) pendampingan melalui permainan
dinamika kelompok.
189
2. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE,
strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota kelompok
KBS – KUBE dengan kegiatan pendidikan dan latihan teknik produksi
kambing.
Strategi Penguatan Jejaring.
Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBSKUBE, intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di
komunitas serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam
dan di luar komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha
Bersama.
190
DAFTAR PUSTAKA
Achlis, 1983, Bimbingan Sosial Kelompok, Kopma STKS Bandung.
Anonymons, 1994, Buku Pedoman Pembinaan Para Penyandang Cacat, Suatu
Upaya Dalam Meningkatkan Kegiatan RBM, Manado.
Anonymons, 1998. Petunjuk Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Rangka Menanggulangi Rawan Pangan dan Kemiskinan
sebagai Dampak Sosial Akibat Bencana dan Krisis Ekonomi.
Departemen Sosial RI, Jakarta
Adi, Isbandi Rukminto, 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan Pendekatan
Praktis). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Jakarta.
Anonymons, 2002. Panduan Penyelenggaraan Kelompok Usaha Bersama
Penyandang Cacat (KUBE PENCA), Departemen Sosial RI, Jakarta
Anonymons, 2003, Pola Dasar Pembangunan
Departemen Sosial RI, Jakarta
Kesejahteraan
Sosial,
Anonymons, 2003. KELOMPOK USAHA BERSAMA Proses Penumbuhan dan
Pengembangan, Departemen Sosial RI, Jakarta.
Anonymons, 2003, Mewujudkan Kemandirian Keluarga Melallui KUBE KMM,
Departemen Sosial RI, Jakarta.
Anonymons, 2003, Diagnosis, Klasifikasi dan Pengobatan Penyakit Kusta,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry, 2003, Participatory Research
Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora
Utama Press, Bandung
Chambers, Robert, 1996, Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara
Partisipatif, Yayasan Obor, Yogyakarta.
Damsar, 1997, Sosiologi Ekonomi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Damarjanti, 2002. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas,
Artikel Jurnal Masyarakat No. 11 Tahun 2002, hal 62 – 88, Jakarta.
Dubois, B dan Milley K.K 1992, Sosial Work An Empowering Profession, Allyn
and Bacon. Boston.
Dharmawan, Arya Hadi, 2000, Poverty, Powerlessness, and Poor People
Empowerment: A Conceptual Analysis with Special Reference to the
Case of Indonesia, Makalah Workshop on Rural Institutional
Empowerment held in the Indonesian Consulate General of the
Republic of Indonesia in Frankfurt am Main Germany.
Dharmawan, Arya Hadi, 2002, Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust),
Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial, Makalah Seminar dan
Kongres nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia.
198
Dharmawan, Arya Hadi dan Adiwibowo, Suryo, 2004, Ekologi Manusia. Jurusan
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi dan Nasdian Fredian Tonny, 2003, Sosiologi
Perkembangan Komunitas. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
F. Netting Ellen, Peter M. Kettner, Steven L. McMurtry, 2001, Praktek Makro
Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.
Gerungan, 2002, Psikologi Sosial, Bandung, Refika Aditama.
Hikmat, Harry dan Adimihardja, Kusnaka, 2001, Strategi Pemberdayaan
Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama Press.
Huraerah, Abu, 2003, Isu Kesejahteraan Sosial Di Tengah Ketidakpastian
Indonesia , Bandung, CEPLAS, Fisipol Unpas.
Iskandar, Jusman, 1993, Strategi Dasar Membangun Kekuatan masyarakat,
Kopma STKS, Bandung
Ibrahim Jabal Tarik, 2002, Sosiologi Pedesaan, Universitas Muhammadiyah
Malang.
Jamasy,
Owin, 2004, Keadilan, Pemberdayaan,
Kemiskinan, Belantika, Bandung.
dan
Penanggulangan
Kusuma, Sutara Hendra dan Syaukat, Yusman. 2004, Pengembangan Ekonomi
Lokal, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor
Nasution S, 2003, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Nasdian, Fredian Tonny dan Utomo, S, Bambang, 2004, Pengembangan
Kelembagaan dan Modal Sosial, Bahan Perkuliahan Program Pasca
Sarjana Pembangunan Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung.
Nitimihardjo, Carolina et. Al, 1993, Dinamika Kelompok Dan Beberapa Catatan
Tentang Organisasi, Kepemimpinan dan Komunikasi Dalam
Pekerjaan Sosial, Bandung, Kopma STKS.
Olson, Mancur, 1975, The Logic of Collective action. Harvard University Press.
London.
Panjaitan, Nurmala K, Nitimihardjo, Carolina dan Fahrudin, Adi .2004, Perilaku
Manusia dan Lingkungan Sosial, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Parsons, Ruth J. James D. Joregensen, Santos H. Hernandez. 1994 The
Integration Of Sosial Work Practice. California : Pacipic Grove..
Pranadji T. 2003, Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. Puslitbang Sosek Departemen Pertanian
Bogor.
199
Rusli, Said, Wahyuni Ekawati Sri, dan Sunito, Melani A. 2004, Kependudukan,
Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Rusli, Said, 1995, Pengantar Ilmu Kependudukan, LP3ES, Jakarta.
Sarwono, Sarlito Wirawan, 2001, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan
Psikologi Terapan, Balai Pustaka, Jakarta
Saharudin, 2003, Metode-Metode Partisipatif Dalam Pengembangan Masyarakat,
Bahan Perkuliahan Program Pasca Sarjana Pembangunan
Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung
Santosa, Slamet, 2004, Dinamika Kelompok, Buma Aksara, Jakarta.
Sukoco, Dwi Heru, 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya,
Kopma STKS. Bandung
Supriatna, Tjahya, 1997, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan,
Humaniora Utama Press, Bandung
Suharto Edi, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial, Dan Pekerjaan Sosial
Spektrum Pemikiran, Lembaga Studi Pembangunan (Institute For
Development Studies) LSP-STKS, Bandung.
Suharto, Edi. et.al, 2004, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial : Konsepsi dan
Strategi, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Departemen
Sosial RI.
Sumarti Titik , dan Syaukat Yusman. 2004, Analisis Ekonomi Lokal, Jurusan
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sumardjo
dan Saharudin, 2005, Metode-Metode Partisipatif Dalam
Pengembangan Masyarakat, Bahan Perkuliahan Program Pasca
Sarjana Pembangunan Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung
Sumaryadi, I. Nyoman, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonomi dan
Pemberdayaan Masyarakat, Citra Utama, Jakarta.
Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Mac Millan Publishing
Co. Inc. New York.
Sitorus M.T. Felix, Agusta Ivanovich, 2004, Metodologi Kajian Komunitas,
Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soetarto , Endriatmo. 2004, Analisis Sosial, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta.
Skidmore, Rex A. dan Milton G. Trckeray, 1982, Introduction to Social Work.
Printice Hall Inc. Englewood Cliff. New Jersey.
Vitalaya, Aida, 1996, Menuju Masyarakat Lewat Penyuluhan. LPPM IPB. Bogor
200
SKETSA LOKASI GEOGRAFIS DUSUN NGANGET
Perbukitan
Perbukitan
Ladang
Padang
Pengembalaan
P
e
rs
Pad
ang
a
Pen
w
gem
bal
a
aan
h
Makam
a
n
Perbukitan
P
a
d
a
n
g
P
n
e
m
b
a
la
a
LADANG
PERSAWAHAN
Perbukitan
Keterangan
= Rumah Pegawai Panti
= Rumah Eks Penderita Kusta
= Gereja
= Masjid
= Jalan
= Sungai belerang
= Tempat mandi eks penderita
kusta
201
HASIL WAWANCARA DENGAN ANGGOTA KELOMPOK KBS –KUBE
MENGENAI PERMASALAHAN YANG DIALAMI DAN PANDANGANNYA
TERHADAP PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA
1. Nama resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Amr
: Petani Penggarap
: 45 tahun
: Kabupaten Lamongan
: Sekretaris kelompok KBS-KUBE
Sumber Makmur
Menurut penuturan Pak Amr bahwa penyakit kusta yang diderita mulai terasa
pada waktu duduk di kelas dua SMP, pada waktu itu hanya tampak bintik – bintik
seperti panu atau kadas di kulit. Dan waktu itu saya juga tidak mengetahui kalau
itu gejala sakit kusta. Sebenarnya dengan bintik-bintik di kulit itu saya sudah
mulai malu dengan teman – teman, dan sedikit banyak teman-teman yang
dulunya akrab mulai mejauh saya menjadi minder dan menarik diri dari
pergaulan. Karena sudah kelas dua SMP saya coba bertahan dan berkat
dukungan adik dan keluarga saya akhirnya saya lulus SMP.
Begitu lulus SMP bintik – bintik yang di kulit itu sudah mulai tampak nyata bahwa
itu penyakit kusta. Melihat gejala tersebut saya sudah tidak berani keluar rumah.
Teman – teman dan tetangga yang mengetahui hal tersebut semakin menjauhi
aku dan keluarganya saat itu rasanya aku ingin mati saja. Itu saya alami sampai
bertahun – tahun. Sampai pada akhirnya tahun 1987 saya ketemu orang yang
mempunyai penyakit yang sama dengan aku yaitu Pak Jm dari Dusun Nganget.
Pak Jm menyarankan supaya sakit saya ini dibawa saja ke Nganget karena
disana ada obatnya. Saya mengikuti saran Pak Jm akhirnya kami sama-sama
berangkat ke Nganget, tapi pada saat saya sampai Nganget Rumah Sakit
tersebut sudah penuh dan tidak bisa menampung aku. Dengan penuhnya Rumah
Sakit Nganget tersebut saya disarankan supaya ke Rumah Sakit Kediri sama
juga dengan di Nganget ini.
Maka pada tahun itu juga saya pergi ke Rumah Sakit Kusta Kediri, saya di rumah
sakit itu selama tiga tahun. Dari Rumah Sakit Kediri itulah saya dinyatakan
sembuh dari sakit kusta. Dari Rumah Sakit Kusta Kediri saya langsung ke
Nganget karena saya lihat sebelumnya banyak juga teman-teman senasib yang
hidup di Nganget.
Sebelum saya ke Nganget saya sempatkan pulang ke Lamongan menjenguk
orang tua. Setelah beberapa tahun tidak bertemu dan ditambah keadaan saya
yang sudah berubah ada beberapa luka di kaki baik yang kiri maupun yang
kanan. Mereka terperangah dan kaget ada perubahan diraut wajahnya.
Dengan perubahan tersebut ada rasa nggak enak dan jijik tapi saya pura – pura
202
tidak melihatnya. Saya hanya sehari di rumah orang tua dan pamitan kalau mau
menetap di Nganget. Selama sehari saya kuatkan diri untuk mencoba keluar
rumah tapi teman dan tetangga memandang dengan perasaan aneh dan segera
menjauhi saya. Namun ada satu orang tua yang saya dekati dan saya tanya
mengapa mereka menjauhi saya, orang tua itu bilang katanya takut ketularan
dan itu penyakit kutukan Tuhan makanya mereka begitu melihat kamu langsung
menjauh.
Dengan kejadian tersebut membuat saya berpikir bahwa semakin cepat
meninggalkan rumah semakin baik bagi saya dan keluarga. Pada sore hari itu
pula saya pamit untuk pergi ke Nganget. Pada saat saya pergi ke Nganget saya
ikut pada keluarga Pak Jm selama beberapa bulan sambil belajar bekerja pada
Pak Jm. Setelah ada penghasilan sendiri walaupun sedikit saya memutuskan
untuk menikah dengan Samining yang masih keluarga Pak Jm.
Dengan sedikit penghasilan dibantu dengan istri yang jualan jajan untuk anakanak akhirnya saya bisa mendirikan rumah. Setelah beberapa tahun membina
rumah tangga akhirnya saya dikaruniai seorang anak laki – laki dan sekarang
sedang kuliah di Malang. Semua biaya kuliah ditanggung oleh adik saya yaitu
Pak KM yang menjadi dosen di Surabaya. Hubungan saya dengan Pak KM itu
cukup baik, bila perlu apa–apa saya disuruh datang ke Surabaya. Istri dan
anaknya juga memandang saya dengan baik.
Pada tahun 2004 bulan Oktober saya mendapat bantuan kambing gibas
sebanyak dua ekor. Setelah saya pelihara beberapa bulan kambing itu sakit –
sakitan akhirnya saya jual dan saya belikan kambing jawa hanya mendapat satu
ekor. Menurut penjelasan Pak Amr sebenarnya pemerintan itu sudah baik
memberikan bantuan kambing kepada kami, tapi sayangnya hanya diberikan
begitu saja tidak pernah diberi tahu bagaimana pemeliharaan kambing itu yang
baik sehingga kambing banyak yang sakit dan mati.
Selanjutnya Pak Amr meneruskan ceritanya bahwa penunjukkan sekretaris
kepada dirinya selama itu juga dia tidak mengetahuinya, dan tugas – tugas
sekretaris itu apa saja karena selama ini saya juga tidak mengetahui apa yang
harus saya perbuat. Buku–buku juga saya tidak pernah melihat katanya Pak RT.
ada di Ketua Kelompok tapi oleh ketua kelompok tidak pernah diberikan kepada
saya.
Menurut Pak Amr bahwa pada saat ada pertemuan di panti penjelasan yang dia
terima dari Kepala Panti pada waktu itu bahwa kambing bantuan itu hanya
diperintahkan untuk dipelihara saja supaya menjadi banyak dan kalau sudah
banyak dibelikan sapi selanjutnya Kepala Panti menjelaskan kalau kambing
sudah beranak dan anaknya sudah disetor ke orang lain maka kambing itu sudah
menjadi milik nya sendiri.
203
2 Nama resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Ngdm
: Petani Penggarap
: 42 tahun
: Kabupaten Jombang
: Anggota kelompok KB-KUBE
Sumber Makmur.
Pak Ngdm dilahirkan 42 tahun lalu di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Beliau
tidak pernah sekolah, dari umur yang 42 tahun hampir separuh umurnya
dijalaninya dengan sakit . Sakit kusta yang dialami oleh Pak Ngdm kurang lebih
25 tahun lamanya. Selama Pak Ngdm sakit kusta di rumah orang tuanya di
Jombang oleh keluarganya sendiri masih diterima dengan baik. Sakit kusta Pak
Ngdm mulai kelihatan flag putih pada umur 17 tahun kira-kira kalau saya sekolah
ya SMA, namun orang tua miskin jadi saya SD pun tidak tamat. Selama di rumah
saya hanya membantu orang tua yang bekerja sebagai buruh tani. Selama saya
sakit tidak pernah keluar rumah, karena tetangga saya kurang senang bila saya
datang bermain ke rumah atau bila saya pergi ke warung seakan-akan bila saya
membeli di warungnya tidak boleh, tetapi saya beruntung masih ada teman yang
mau saya ajak untuk mengobrol sehingga ada sedikit hiburan.
Dengan kondisi tetangga yang kurang senang melihat keberadaan saya di rumah
maka saya mengajak teman pergi keluar desa supaya keluarga juga merasa
tidak dipandang kurang baik sama tetangga. Maka kami berdua pada tahun 1993
berangkat di Tangerang mencari pekerjaan apa saja yang penting bisa untuk
makan, setelah beberapa minggu kami berdua hampir putus asa, maka ada
orang yang menawari bekerja di perkebunan slada. Kami bekerja hampir tiga
tahun disana namun gajinya sangat kecil sehingga kami tidak kuat membayar
kontrakan rumah disamping itu sakit saya sudah mulai sering sakit-sakitan.
Dengan sakit itu saya memutuskan untuk pulang ke Jombang dan akhirnya
berdasarkan informasi dari teman saya berobat ke Rumah Sakit Sumber Glagah
Mojokerto. Di Rumah Sakit Sumber Glagah saya bertemu dengan teman-teman
Nganget yang berobat di Sumber Glagah maka pada tahun 1997 saya
memutuskan berangkat ke Nganget pada mulanya saya ikut kerja sama Pak Kyai
Jsf. Lama kelamaan saya kenalan sama Ik yang sekarang menjadi istri saya dan
sampai sekarang belum dikaruniai anak.
Saya bekerja sedikit demi sedikit akhirnya dapat mendirikan rumah dan
bersebelahan dengan Kyai Jsf. Pada tahun lalu saya diberi kambing oleh Pak
Rsd katanya kambing bantuan dari pemerintah, dengan syarat dipelihara dengan
baik setelah beranak digulirkan sama tetangga yang belum mendapatkan
bantuan dan saya menyetujuinya. Sebelum saya mendapat bantuan kambing
saya bekerja di persil atau bekerja apa saja kadang-kadang disuruh Pak Kyai ya
saya jalani yang penting dapat uang. Setelah saya mendapat kambing saya
memeliharanya dengan sungguh-sungguh sehingga kambing saya sehat-sehat
dan dapat berkembang dengan baik dari dua ekor sudah bisa berkembang
menjadi tujuh ekor dan yang dua sudah saya gulirkan tinggal lima ekor dan
sudah menjadi milik saya.
Sebenarnya begini pak saya kan sudah menggulirkan buat apa dicatat-catat lagi
itu kan sudah menjadi milik pribadi masak masih dicatat. Kalau ada kambing
yang sakit itu karena yang punya tidak sungguh-sungguh merawat. Kalau saya
disuruh urunan untuk mengobati kambing orang yang sakit ya tidak mau pak
wong kambing saya sehat itu salahnya sendiri tidak dipelihara dengan baik.
204
3. Nama resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Mkn
: Petani Penggarap/tidak tetap
: 47 tahun
: Kabupaten Lamongan
: Ketua RT/Sekretaris KUBE
Pak Mkn dilahirkan 47 tahun yang lalu di Desa Sukodadi Kecamatan Sukodadi
Kabupaten Lamongan. Penyakit kusta ini mulai kelihatan sekitar tahun 1979
waktu itu masih duduk di bangku SMP. Pada mulanya hanya kelihatan berupa
flag putih dan akhirnya menjadi kusta. Mengetahui anaknya terkena penyakit
kusta maka orang tua saya mulai panik dan mencari pengobatan dengan
harapan penyakit tersebut bisa disembuhkan. Dalam pengobatan itu orang tua
saya menempuh jalan apa saja seperti dukun sampai menghabiskan banyak
biaya. Bahkan sempat dibawa ke Yogyakarta karena mendengar bahwa ada
dukun yang bisa menyembuhkan penyakit saya ini tapi setelah tiga bulan
berobat tidak sembuh juga, akhirnya pulang kembali ke Lamongan.
Karena tidak sembuh-sembuh maka saya dibawa ke rumah sakit di Kecamatan
Sukodadi dengan rawat jalan selama enam bulan setiap kali saya disuntik
langsung pingsan. Setelah enam bulan lamanya tidak ada perubahan, ada orang
yang memberitahu supaya dibawa ke Sumberrejo. Pada saat di Sumberrejo
itulah ketemu dengan orang dan diberi tahu supaya di bawa saja ke Nganget
disana ada Rumah Sakit yang khusus menangani pernyakit seperti yang saya
derita.
Pada waktu saya masuk Rumah Sakit Nganget orang masih sedikit tidak
sebanyak sekarang dan saya cukup lama Rumah Sakit Nganget sehingga
banyak kenal dengan teman-teman yang bahkan saya dipanggil Pak Lurah,
karena pada waktu itu saya sering memimpin teman-teman bila di rumah sakit
kami diperlakukan kurang baik. Akhirnya setelah keluar dari Rumah Sakit dan
menempati rumah yang diberikan oleh Departemen Sosial saya dijadikan Ketua
RT.sampai sekarang itu belum pernah diganti. Saya mejandi Ketua RT kurang
lebih sudah 20 tahun sejak pertama kali dipilih langsung oleh warga disini.
Setelah keluar rumah sakit saya sempatkan pulang untuk menengok keluarga
dan orang tua di Lamongan. Pada waktu itu orang tua saya menangis melihat
keberadaan saya karena penyakit kusta itu menyerang kaki dan sebagian wajah
saya. Sebenarnya keluarga saya bisa menerima saya namun pandangan
masyarakat terhadap dan keluarga mengharuskan saya untuk kembali ke
Nganget dan menetap sampai sekarang ini.
Begitu keluar dari rumah sakit kami semua di beri latihan oleh Departemen Sosial
selama dua bulan, setelah latihan kami diberi modal seperti sapi, beras ada juga
yang mendapat mesin jahit dan kami diperbolehkan mengerjakan sawah yang
pada waktu itu masih milik Dinas Kesehatan Tingkat I. Saya mengerjakan sawah
yang luasnya kira-kira hanya 15 x 20 m kami tanami kacang dan padi. Pada
waktu itu hasil kebun kami jual di rumah sakit. Namun pada tahun 1985 sampai
1987 saya mencoba beralih profesi menjadi penjual kayu berupa papan karena
pada waktu itu sangat murah saya beli di Nganget papan seharga Rp. 1.500,dan saya jual ke Lamongan seharga Rp. 3.500. saya untung banyak, sehingga
saya bisa membeli sawah di Lamongan.
205
Namun usaha yang mulai kurintis dengan baik tersebut akhirnya habis karena
untuk pengobatan istri saya yang sedang dirawat di rumah sakit di Bojonegoro.
Pada tahun 1994 istri saya meninggal dunia. Saya berpikir mungkin usaha saya
ini tidak diridhoi Allah karena yang saya jual adalah kayu hasil curian karena
pada waktu itu di Nganget ini hutannya masih rimbun, sekarang sudah habis.
Pada waktu istri saya meninggal tersebut kami dikaruniai satu orang anak yaitu
E.W yang sekarang bekerja di Surabaya.
Tidak terlalu lama setelah istri saya meninggal dunia saya kawin lagi dengan
sesama eks penderita kusta dan mempunyai anak tiga orang dan sekarang
menunggui orang tuanya yang sakit di Nganjuk sehingga saya sering balak –
balik Bojonegoro Nganjuk maka dari itu kambing bantuan yang diberikan E oleh
panti saya titipkan kepada penduduk di Dusun sebelah. Dengan adanya bantuan
tersebut sangatlah menolong warga yang ada disini khususnya warga di RT.
saya ini. Maka warga disini sangat tekun dalam memelihara kambing tersebut
walaupun ada yang sakit saya cepat mengambil keputusan ditukar dengan yang
lain walaupun dapat kecil tapi sehat.
Bahkan dengan bantuan kambing yang ada, maka warga saya sudah dapat
membeli alat pertukangan yang pakai mesin sehingga pesanan meubelnya
semakin cepat dikerjakan tidak seperti dulu yang pesan sampai capek
menunggu. Terus gini Pak Cip pada saat menerima kambing itu kita tidak diberi
penjelasan mengenai tugas-tugas kelompok yang ada sehingga banyak
pengurus yang tidak tahu, sehingga semuanya diserahkan sama saya.
Sebenarnya buku-buku sudah saya serahkan kepada ketua kelompok namun
tidak pernah dikerjakan sehingga saya ambil lagi dan sekarang setiap warga
kalau ada permasalahan dengan kambingnya selalu melapor kepada saya. Ya
kebetulan saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap sehingga saya sering
melihat – lihat kambing maka kalau ada yang sakit dengan cepat saya tukar
dengan kambing yang lain yang sehat.
206
4. Nama Resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Gpr
: Petani Penggarap
: 63 tahun
: Kabupaten Tulungagung
: Sekretaris Kelompok KBS - KUBE
Bangkit Mulia.
Pak Gpr dilahirkan di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur 63 tahun yang lalu,
mulai merasakan sakit pada saat di Sekolah Rakyat. Sebelum Pak Gpr berobat
di rumah sakit kusta Nganget sebenarnya sudah berkeluarga dan mempunyai
anak perempuan namun ditinggalkan di Tulungagung. Pak Gpr meninggalkan
rumah di Tulungagung yaitu pada tahun 1982 dan langsung berobat ke
Sumberglagah tidak lama di sana dipindahkan di Rumah sakit Nganget.
Pengobatan yang dijalani Pak Gpr selama di Rumah Sakit Nganget selama 15
tahun.
Selama Pak Gpr meninggalkan rumah belum pernah satu kalipun pulang ke
Tulungagung dengan alasan ingin menjaga nama baik keluarga karena selama
ini saya di rumah menambah beban keluarga. Keluarga merasa malu karena
saya sakit, dan pengalaman yang pernah tidak saya lupakan yaitu anak saya
perempuan pada waktu itu pacaran dan mau dilamar namun melihat keadaan
saya begini sehingga membatalkan lamaran tersebut. Sejak itu saya keluar
rumah berobat dan belum pernah kembali sampai saya sekarang sudah
mempunyai istri lagi. Istri pertama dan kedua saya tidak sakit mereka duaduanya sehat.
Saya ketemu istri saya yang kedua ini pada saat bekerja di Semarang, istri saya
ini jualan nasi ya dipinggir jalan itu mungkin melihat keadaan saya yang begini
dia meresa kasihan dan mau saya ajak kawin. Istri saya itu seorang janda yang
mempunyai dua orang anak laki – laki dan perempuan.
Pada mau menikah semua keluarganya menentang pernikahan itu dengan
alasan yang tidak jelas, saya pikir mungkin karena saya sakit begini. Dengan
permasalahan tersebut
saya pantang menyerah akhirnya pernikahan itu
berlangsung juga di Kudus rumah orang tuanya dan pada saat itu tinggal ibunya
saja. Namun pernikahan itu membawa dampak yang besar anak laki – lakinya
tidak pernah mengakui saya dan ibunya dan sampai sekarang tidak pernah
komunikasi lagi, dimana sekarang kami juga tidak tahu.
Setelah menikah akhirnya istri saya yang kedua saya ajak hidup di Nganget.
Dengan istri yang kedua ini saya tidak mempunyai anak. Saya merasa bahwa di
Nganget ini adalah tempat yang sangat cocok untuk kami tinggal dan mungkin
sampai akhir hayat. Walaupun pada musim paceklik kadang-kadang kami hanya
makan seadanya seperti gabplek, karena harga gaplek tersebut yang bisa saya
beli.
Namun dengan adanya bantuan kambing dari Pemerintah itu kami merasa
bersyukur, karena ada hiburan selain untuk tabungan kambing itu juga
merupakan hiburan bagi kami. Hati ini menjadi ayem kalau ada kambing di
rumah makanya kambing itu saya pelihara dengan baik bukan hanya saya beri
makan saja tetapi juga saya mandikan tiap pagi sehingga kambing – kambing
saya menjadi sehat.
207
5. Nama Resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Smh
: Pengembala kambing
: 49 tahun
: Kabupaten Jember
: Anggota Kelompok KBS - KUBE
Bangkit Mulia.
Bu Smh dilahirkan 49 tahun yang lalu di Kabupaten Jember Jawa Timur. Ibu
Smh mulai hidup di Nganget tahun 1967 yaitu Ibu Smh mengikuti kedua orang
tuanya yang kedua – duanya menderita kusta dan berobat ke Rumah Sakit
Nganget. Ayah Ibu Smh sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu sedangkan
ibunya tinggal dalam panti.
Ibu Smh sejak berusia 11 tahun sudah hidup di lingkungan eks penderita kusta
mengikuti orang tuanya berobat. Pada umur 17 tahun gejala sakit kusta Ibu Smh
sudah mulai terdeteksi oleh pihak rumah sakit sehingga bisa segera diobati. Ibu
Smh sekarang hidup dengan keempat anaknya dan suami yang keduanya. Pada
perkawinan pertama Ibu Smh mempunyai satu anak perempuan dan sekarang di
pondok pesantren di Jombang. Suami yang pertama adalah juga eks penderita
kusta dan sudah meninggal dunia. Pada perkawinan keduanya Bu Smh
mempunyai tiga orang anak, suami kedua juga adalah eks penderita kusta,
namun anak-anaknya sampai sekarang tidak menunjukkan adanya gejala sakit
kusta. Anak kedua Ibu Smh adalah laki-laki yang sudah berumur 21 tahun dan
masih menganggur menurut penuturannya mereka kesulitan mencari pekerjaan
karena pendidikan rendah
dan tidak keterampilan. Anak ketiga adalah
perempuan sudah berumur 17 tahun dan pekerjaannya hanya membantu orang
tua dan yang terakhir masih kelas dua Sekolah Dasar. Pekerjaan suami
sekarang adalah buruh tani dengan panen tiga kali dalam setahun. Bu Smh
sendiri pekerjaannya hanya mengembala kambing bantuan Kelompok Usaha
Bersama yang sekarang sudah dapat berkembang dan kadang-kadang
membantu suami di sawah.
Saya bersyukur karena pemerintah sudah memberikan kambing. Selama ini
memang kami sekeluarga ingin membeli kambing namun belum bisa dengan
pemberian itu maka kambing saya pelihara dengan baik sehingga dapat
berkembang. Dengan semakin berkembangnya kambing yang saya pelihara
maka kami sekeluarga mempunyai tabungan, maka begitu kambing beranak
setelah enam bulan saya gulirkan sehingga kewajiban saya sudah selesai dan
kambing itu menjadi milik saya. Dalam pemeliharaan kambing tersebut kami
banyak mengalami kendala-kendala, seperti banyak kambing tiba – tiba mencret,
perutnya kembung sampai kami kebingungan. Namun kami masih beruntung
sering mengembala kambing secara bersama dengan anggota yang lain
sehingga kami sering berdiskusi dengan permasalahan tersebut. Dari hasil
diskusi tersebut ada yang menyarankan bila ada kambing yang sakit perut diberi
entrostop ini berdasarkan pengalaman dari teman-teman sesama pengembala,
akhirnya kambing itu sembuh juga itulah enaknya kalau mengembala secara
bersama banyak pengalaman dari teman-teman yang bisa ditularkan pada yang
lain.
Begini Pak kalau saya mempunyai kambing dan ada sedikit gabah di rumah biar
cuma ada dua sak maka perasaan kami sudah senang. Dengan tabungan itu bila
dari keluarga kami ada yang memerlukan dan itu mendesak maka kambing itu
bisa kami jual tidak perlu menghutang pada orang lain.
208
6. Nama Resnponden
Pekerjaan
Umur
Asal
Jabatan dalam kelompok
: Rsd
: Petani Penggarap
: 60 tahun
: Kabupaten Lamongan
: Ketua RT 04/Wakil Sekretaris KUBE
Pak Rsd dilahirkan di Kabupaten Lamongan pada tahun 1939. Pendidikan yang
Beliau tempuh adalah SMP namun tidak sempat lulus. Pada tahun 1952 bercak –
bercak putih mulai kelihatan di wajah dan tangan saya. Padahal pada saat itu
sudah kelas tiga SMP dan sebentar lagi mau ujian. Dengan bercak-bercak putih
yang tampak begitu jelas itu membuat saya menjadi minder, karena banyak
teman-teman yang selalu melihat saya, seperti melihat orang asing. Dengan
perlakuan yang demikian saya menarik diri dari pergaulan dan akhirnya tidak
mengikuti ujian akhir.
Selama saya sakit itu sudah dibawa kemana-mana oleh orang tua saya pernah
ke Rumah Sakit di Karangmenjengan Surabaya berobat jalan dan berlangsung
selama tiga tahun yaitu mulai tahun 1963 sampai tahun 1966. Selama tiga tahun
itu saya menetap di Surabaya sambil bekerja di penggilingan karet. Pada tahun
1967 saya kembali ke Lamongan karena selama di Surabaya tidak ada
perubahan dengan penyakit saya itu. Saya memutuskan untuk berobat di
Lamongan saja sampai tahun 1977, selama itu pula tidak ada perubahan dan
disela-sela saya berobat di Lamongan itu ketemu teman dan akhirnya mengajak
saya berobat ke Nganget.
Selama di Nganget saya tidak masuk rumah sakit saya hanya berobat di sungai
yang ada di Nganget yang mengandung belerang dan ada orang rumah sakit
yang selalu memberi obat kepada saya. Saya di Nganget bekerja mengambil
kayu karena pada waktu itu kayu jati masih banyak. Saya ambil dan sudah ada
yang membeli sampai saya bisa membangun rumah ini dan akhirnya saya kawin
dengan eks penderita kusta juga tapi tidak dikaruniai anak. Karena saya tidak
mempunyai anak maka saya mengajak keponakan ke Nganget ini. Sampai anak
itu besar akhirnya kawin juga dengan anak eks penderita kusta dan menetap di
Nganget juga.
Sebenarnya program Kelompok Usaha Bersama itu sangat bagus dan cocok di
Nganget ini tapi ya karena waktu itu Pak Plb minta supaya yang mendapat
bantuan adalah mereka yang sangat miskin, saya tidak bisa menolak permintaan
tersebut sehingga sampai sekarang banyak kambing yang dijual untuk makan
sehari – hari dan kebutuhan berobat. Sebenarnya yang mendapat kambing itu
seharusnya yang setengah mampu dan yang sudah biasa memelihara kambing
sehingga sudah berpengalaman. Tapi sekarang kan tidak pokoknya yang tidak
mampu dapat bantuan sehingga ada yang bisa memelihara dan ada juga yang
tidak akibatnya banyak kambing yang sakit dan mati. Seharusnya sebelum
menerima kambing ada sejenis pendidikan dan latihan tentang apa sebenarnya
Kelompok Usaha Bersama itu, sampai sekarang saya tidak tahu. Sepengetahuan
saya hanya pemerintah memberikan bantuan kambing supaya kalau beranak
bisa digulirkan pada tetangga yang belum menerima bantuan.
209
Download