BAB I PENGANTAR Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial memiliki arti bahwa manusia memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain dalam nmenjalani kehidupannya. Fenomena ini juga terjadi pada lapisan anakanak. Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan, maka seyogyanya kita juga sukarela menolong atau memberikan bantuan terhadap orang lain. Perilaku menolong ini biasanya disebut sebagai perilaku prososial. Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang mengapa ingin melakukan penelitian tentang perilaku prososial. I.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa hadirnya orang lain di lingkungan sekitarnya (Waluyo, Suwardi, Feryanto, dan Haryanto, 2008). Dalam proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga hingga sampai pada orang yang mungkin tidak kenal sama sekali, seperti contohnya orang yang bekerja di bidang jasa kebersihan, bekerja di bidang jasa transportasi, jasa makanan dan minuman, masyarakat mungkin saja tidak mengenal orang-orang yang bekerja di bidang-bidang tersebut tetapi kadang-kadang memerlukan mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya menjadi menurun. Dapat dikatakan bahwa manusia sekarang menjadi lebih menggunakan konsep hidup menyenangkan diri sendiri dahulu baru orang lain. Hal ini mengakibatkan manusia menjadi makhluk yang individual. Ada banyak faktor yang 1 mempengaruhi menurunnya kepedulian orang terhadap orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari situasi sehari-hari yang dialami, seperti pada saat seseorang membutuhkan bantuan orang lain sebagian orang akan langsung membantu orang yang membutuhkan bantuan tanpa memikirkan diri sendiri lalu ada sebagian orang tidak akan berbuat apa-apa meskipun orang tersebut mampu untuk membantu. Di dalam penelitian Sears, Freedman, dan Peplau (1994) menemukan bahwa beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun kondisi situasional menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, sedangkan yang lain tidak memberikan bantuan sama sekali meskipun berada dalam kondisi yang baik. Sebagian orang juga akan membantu tetapi terkadang individu mempertimbangkan terlebih dahulu untung rugi pada dirinya sendiri apabila ia membantu, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Foa dan Foa (dalam Törnblom dan Kazemi, 2012). Beberapa fenomena-fenomena di atas dapat dilihat bahwa manusia yang dianggap sebagai makhluk sosial telah berubah menjadi manusia sebagai makhluk individual. Hal ini menunjukkan fenomena menurunnya perilaku prososial. Fenomena menurunnya perilaku prososial dapat terjadi pada setiap lapisan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan fenomena ini terjadi juga pada siswa-siswi yang masih bersekolah di sekolah dasar. Siswa-siswi sebagai calon penerus bangsa yang sedang mengalami proses belajar dituntut oleh masyarakat untuk memiliki tanggung jawab dalam bertingkah laku sesuai dengan norma masyarakat, berintelektual tinggi, dapat memberikan contoh yang baik dalam masyarakat sejak usia yang masih dini dalam berperilaku seperti saling menolong, dan bekerja sama. Pada 2 kenyataannya muncul suatu kesenjangan antara harapan masyarakat dengan kenyataan yang terjadi pada kehidupan manusia. Hal ini terjadi pada siswa-siswi SD Negeri 2 Passo Kecamatan Baguala di Kota Ambon, fenomena menurunnya perilaku prososial pada sebagian siswa-siswi dapat dilihat dari rendahnya perilaku tolongmenolong, berbagi, dan bekerja sama antar siswa dengan penjaga sekolah, guru, dan sesama teman mereka. Berdasarkan hasil wawancara peneliti Agustus 2014 dengan seorang guru yang mengajar di SD 2 Negeri Passo dan observasi langsung dapat dikatakan bahwa sebagian siswa lebih mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan keadaan atau lingkungan di sekitar, misalnya saat ada seorang teman yang sedang kesusahan, siswa yang lain tidak ada tindakan untuk membantu karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah urusan mereka, sama seperti pada saat teman yang lupa membawa bolpoint atau pensil ke sekolah juga tidak ada tindakan apapun untuk membantu dengan alasan yang sama, siswa mau menolong orang lain jika diberikan sesuatu, jika ada pengemis maka siswa akan mengejek, ada juga beberapa siswa yang tidak suka berteman dengan teman-teman yang kurang mampu, sebaliknya mereka suka bermain dengan teman-teman yang sederajat. Contoh lain adalah perilaku menyontek ketika siswa sedang mengikuti test, berbohong ketika tidak masuk sekolah, siswa kurang bekerja sama dengan penjaga sekolah dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah. Menurut guru tersebut, menurunnya perilaku prososial terlihat setelah terjadi konflik sosial di kota Ambon. Siswa-siswi SD Negeri 2 Passo sudah tidak lagi memiliki perilaku prososial yang tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya konflik sosial di kota Ambon. 3 Hal tersebut mencerminkan kurangnya perilaku berbagi antar sesama, tolong menolong, dan bekerja sama pada siswa terhadap orangorang di sekitarnya. Beberapa kejadian di atas apabila tidak diatasi sedini mungkin akan berakibat sikap ketidakpedulian dan sikap tidak menghargai siswa terhadap usaha atau hasil kerja serta keberadaan orang lain di lingkungan sekitar. Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan untuk menolong tanpa mempedulikan motif-motif si penolong. Tindakan menolong sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Tindakan prososial lebih menuntut pada pengorbanan tinggi dari si pelaku dan bersifat sukarela atau lebih ditunjukkan untuk menguntungkan orang lain daripada untuk mendapatkan imbalan materi maupun sosial. Menurut Sears dkk., (1994) perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu untuk diri si penolong itu sendiri. Psikolog biasanya menggunakan istilah tingkah laku yang mementingkan orang lain adalah istilah tindakan membantu tanpa mengharapkan keinginan-keinginan untuk diri sendiri (Watson, 1984). Perilaku prososial ini pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Menurut Bal-Tal (1976) para psikolog menggunakan teori belajar sosial dalam mempelajari tingkah laku prososial yaitu melalui modelling dan reinforcement. Modelling adalah proses saat individu belajar tingkah laku, khususnya tingkah laku prososial dengan mengamati dan meniru tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sekitar. Reinforcement adalah proses penguatan yang bertujuan untuk memperkuat tingkah laku prososial tersebut. 4 Adapun perilaku prososial yang muncul didasari beberapa faktor yang penting. Faktor-faktor yang memengaruhi seseorang melakukan prososial diantaranya: pertama, Self-Gain (pemerolehan diri) yang merupakan harapan seseorang untuk memeroleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya: ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan; kedua Personal value and norms (norma-norma) di mana merupakan nilai-nilai dan norma-norma sosial pada individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik; dan yang ketiga empathy (empati), suatu kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Menurut penelitian sebelumnya terbukti berpengaruh terhadap perilaku prososial adalah kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosi penting dimiliki oleh setiap individu dalam menyikapi berbagai situasi yang terjadi, serta kepedulian terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di sekeliling, seperti pemberian pertolongan kepada setiap orang yang mengalami kesulitan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakuakan oleh Marquez, Martin, dan Brackett (2006) menunjukkan bahwa siswa dengan kecerdasan emosi yang tinggi, lebih menunjukkan sikap prososial dan memiliki performasi yang lebih baik di sekolah. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabiq dan Djalali (2012) kecerdasan emosi, berhubungan signifikan dengan perilaku prososial para santri. Hal senada juga diungkapkan oleh Husada (2013) dalam tulisannya yang menunjukkan variabel kecerdasan emosi dan 5 perilaku prososial remaja berkorelasi sangat signifikan dengan perilaku prososial. Berbeda dengan penelitian Afolabi (2013) dimana bila kecerdasan emosi dipasangkan dengan keseluruhan variabel maka bernilai positif signifikan, tetapi bila diukur secara parsial dengan perilaku prososial maka tidak signifikan. Melihat sumbangan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial masih bervariasi dan relevan dengan fenomena yang terjadi di SD Negeri 2 Passo yang dulunya merasakan konflik sosial di Kota Ambon maka penulis tertarik untuk kembali meneliti hal ini dengan subyek anak-anak usia 9 – 11 tahun di SD Negeri 2 Passo. Faktor lain yang juga berpengaruh dalam perilaku prososial pada siswa adalah faktor keluarga dalam hal ini hubungan antara anak dan orang tua, karena faktor penentu utama dalam keberhasilan anak berperilaku prososial adalah ketika anak berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Keluarga yang merupakan kelompok primer bagi anak memiliki peran penting dalam pembentukkan dan arahan perilaku anak. Mengingat orang tua merupakan faktor penting dalam pembentukkan pribadi anak maka cara yang digunakan dalam mengasuh dan membimbing anak-anak tergantung pada sikap, pribadi dan kemampuan yang dimiliki orang tua anak tersebut. Selain itu, terdapat cara untuk mengembangkan perilaku moral anak yang mengarah pada perilaku prososial, yaitu dengan orang tua berperan strategis untuk memberikan pola asuh yang terbaik bagi perkembangan moral anak. Salah satunya melalui pola asuh otoritatif dimana anak boleh mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pendangan-pandangan mereka kepada orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dan bimbingan dalam hal mengambil keputusan terakhir bila diperlukan persetujuan orang tua. Dalam 6 hal ini, peran orang tua dalam pengasuhan yang bersifat bimbingan, dialogis, pemberian alasan terhadap aturan sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian. Dengan pola asuh ini diasumsikan mendukung berkembangan kemampuan anak dalam perilaku prososial mereka. Demikian pula dikatakan oleh Staub (1978) bahwa hubungan afeksi antara anak dengan orang tua merupakan dasar bagi perkembangan kecenderungan perilaku prososial. Hubungan afeksi antara anak dan orang tua dapat tercermin dalam bentuk pola asuh yang diterapkan dalam keluarga. Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain tidak terlepas dari peranan pola asuh dalam keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Diana Baumrind (1991) ditemukan bahwa pola asuh otoritatif memberikan kontrol perilaku pada anak tetapi juga menekankan pada kebebasan berpendapat, individualitas anak, dan mengembangkan tanggung jawab dan kompetensi sosial. Sementara ini kompetensi sosial meliputi perilaku berbagi dengan teman sebaya, menawarkan bantuan, melakukan pujian dan penghargaan kepada teman sebaya. Menurut Grusec (dalam Mahmud, 2003) juga dikatakan bahwa pola asuh otoritatif menghasilkan anak mampu bersosialisasi, yaitu anak yang mampu bekerjasama, ramah, stabil secara emosional, dan bahagia. Penelitian yang juga dilakukan oleh Grusec (dalam Mahmud, 2003) menunjukkan bahwa ada bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau menunjukkan perhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial, nonkonformitas dan bertujuan) termasuk di dalamnya penggunaan perilaku menolong yang dilakukan oleh orang tuanya. 7 Penelitian yang dilakukan oleh Nurhaidah (dalam Mahmud, 2003) tentang hubungan orang tua dan anak yang otoritatif (taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatannya dalam keluarga bahwa dalam hubungan interpersonal) berpengaruh pada perilaku prososial pada anak. Penelitian dari Lestari (1999) dengan hasil penelitiannya yang menyimpulkan bahwa secara simultan terapan informasi media massa televisi, pola asuh orang tua, dan afiliasi kelompok teman sebaya mempengaruhi perilaku prososial remaja. Sejalan dengan itu, Husada (2013) tentang hubungan pola asuh demokratis dengan perilaku prososial pada remaja ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan perilaku prososial pada remaja, yang artinya semakin tinggi pola asuh demokratis yang diterapkan oleh orang tua maka semakin tinggi pula perilaku prososial yang dimiliki remaja. Dari hasil-hasil penelitian yang ada esensi hubungan orang tua dengan anak sangat ditentukan oleh sikap orang tua dalam mengasuh anak, bagaimana perasaan dan apa yang dilakukan orang tua. Hal ini bercermin pada pola asuh orang tua, yakni suatu kecenderungan cara-cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Meichati (dalam Dayakisni, 1988) mengemukakan bahwa pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat sangat besar dalam membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif, dan berperilaku prososial. Kepribadian tersebut dapat dikembangkan dalam keluarga. 8 Pola asuh yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian, dan menerapan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak cenderung menghalangi perkembangan perilaku prososial anak (Hastings, Zahn–Waxler, Robinson, Usher dan Bridges, 2000). Dengan adanya patokan-patokan yang jelas dan peluang untuk berlatih peran, maka anak akan mengerti suatu respon atau tindakan yang afektif sehingga tidak menduga-duga apa yang sebaiknya dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa anak mempunyai kecenderungan untuk meniru, terutama perilaku orang tua atau guru harus memberikan contoh yang mencerminkan perilaku prososial pula. Tidak kalah penting, hasil penelitian Lehdonvirta, Lehdonvirta dan Baba (2011) yang mengatakan bahwa gender mempengaruhi seseorang memberikan bantuan dengan cara-cara yang menyimpang dari peran-peran gender yang diharapkan. Menurut Lehdonvirta dkk., (2011) perempuan lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk memberikan bantuan dalam bentuk dukungan material dan tenaga kerja dibandingkan laki-laki untuk memberikan dukungan emosional. Perempuan lebih mungkin untuk memberikan dukungan emosional kepada laki-laki ketika mereka memiliki emosi yang stabil dari pada perempuan lainnya. Caprara, Allesandri, Giunta, Penerai, Einsenberg (2010) mengemukakan perilaku prososial, sifat ramah, dan rasa empati perempuan dinilai lebih tinggi dari laki-laki. Caprara dan Steca (2007) juga berhasil mengungkapkan hal yang sama dalam penelitiannya bahwa perempuan lebih berorientasi prososial dari pada laki-laki. Penelitian juga dilakukan oleh Trommsdorff, Friedlmeier, dan Mayer (2007) untuk 212 anak juga menghasilkan perbedaan yang sama, bahwa anak laki-laki menunjukkan perilaku prososial yang rendah di 9 banding anak perempuan. Sedikit berbeda dengan Carlo dan Randall (2002) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk terlibat dalam bentuk umum dari perilaku prososial dibandingkan perempuan. Dayakisni dan Hudaniah (2009) menyatakan dalam beberapa penelitian, laki-laki lebih mungkin dari wanita untuk menawarkan bantuan dalam situasi darurat yang memerlukan pertolongan dan bahaya. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tentang perbedaan gender terhadap perilaku prososial yang masih bertolak belakang, maka penulis tertarik untuk melihat kembali pengaruh gender terhadap perilaku prososial pada siswa laki-laki dan perempuan SD Negeri 2 Passo. Sama halnya dengan gender, usia juga mempengaruhi perilaku prososial seseorang. Caprara dan Steca (2007) dalam penelitiannya selain melihat sisi gender, mereka juga melihat sisi usia dengan hasil bahwa orangorang muda memiliki perilaku prososial yang tinggi dibandingkan orang dewasa. Berbeda dengan Schwartz (dalam Caprara dkk., 2010) mengatakan bahwa orang yang lebih tua lebih mungkin untuk membantu orang lain dari pada orang-orang muda. Beberapa alasan menyebutkan, bahwa dengan bertambahnya usia individu akan dapar memahami atau menerima normanorma, lebih empati dan lebih dapat memahami nilai ataupun makna dari tindakan prososial yang ditunjukkan (Peterson, 1983; Staub, 1978 dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang masih bervariasi tentang perilaku prososial berdasarkan usia, maka penulis pun ingin melihat sisi usia siswa SD Negeri 2 Passo terhadap perilaku prorosial mereka. Melihat berbagai fenomena dan hasil penelitian yang ada, maka penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh 10 kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif terhadap perilaku prososial anak usia 9 – 11 tahun pada siswa SD Negeri 2 Passo Kecamatan Baguala di Kota Ambon. Meskipun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini memiliki sejumlah kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi yang membedakannya adalah subjek penelitian yang diteliti dalam penelitian ini adalah anak sekolah usia 9 – 11 tahun yang semuanya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) yang dulunya pernah mengalami konflik sosial di Kota Ambon serta masih memiliki orang tua yang mengasuh dan tinggal bersama orang tuanya. Selain itu, menurut Einsenberg (dalam Dunfield, Kuhelmeir, O’Conell, dan Kelley, 2011) bahwa masih sedikitnya penelitian tentang perilaku prososial terhadap anak-anak dan balita atau bayi, karena sejauh ini penelitian tentang perilaku prososial lebih banyak terpusat bagi para remaja. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas timbul pertanyaan penelitian yaitu: apakah terdapat pengaruh kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif secara simultan terhadap perilaku prososial anak usia 9 – 11 tahun pada siswa SD Negeri 2 Passo Kecamatan Baguala di Kota Ambon? I.3. Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif secara simultan terhadap perilaku prososial anak usia 9 – 11 tahun pada siswa SD Negeri 2 Passo Kecamatan Baguala di Kota Ambon. 11 I.4. Manfaat Penelitian I.4.1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Sosial mengenai perilaku prososial siswa dilihat dari kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif terhadap anak. b) Diharapkan dapat dijadikan bahan acuan penelitian yang akan datang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. I.4.2. Manfaat Praksis Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dimanfaatkan sebagai berikut: a) Bagi orang tua, agar mampu memberikan model atau teladan untuk berperilaku prososial melalui pola asuh otoritatif yang diterapkan di dalam keluarga. b) Bagi anak, agar lebih mengelola kecerdasan emosi dalam berperilaku prososial dan mampu terbiasa mempraktekan dalam hidup sehari-hari. c) Bagi peneliti, agar dapat menambah wawasan Ilmu Psikologi. I.5. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun tulisan ini kedalam beberapa bab, anatara lain: Bab I, dalam bab ini penulis mengurai pendahuluan yang di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II, dalam bab ini penulis menguraikan landasan teori yang melatar belakangi penelitian yang terdiri dari pengertian, teori, aspek-aspek, factor-faktor yang mempengaruhi masing-masing variabel, kemudian 12 mengemukakan hasil-hasil penelitian yang mendukung, dinamika hubungan antar variabel sehingga model dan hipotesis penelitian dapat diambil. Bab III, dalam bab ini penulis menguraikan tentang variabel penelitian, defenisi operasional, populasi, sampel dan teknik sampling dalam penelitian, kemudian aspek dan indikator sehingga dapat dikembangkan skala penelitian yang dibangun dari teori yang digunakan, bagaimana validitas dan reliabilitas alat ukur, serta teknik analisis data. Bab IV, dalam bab ini penulis menguraikan tentang deskripsi tempat penelitian, prosedur penelitian, hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil pengukuran variabel, hasil uji statistik, serta diskusi. Bab V, dalam bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian. 13