BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan tinggi rendahnya standar hidup seseorang (Todaro,2002). Oleh karena itu, status kesehatan yang relatif baik dibutuhkan oleh manusia untuk menopang semua aktivitas hidupnya. Setiap individu akan berusaha mencapai status kesehatan tersebut dengan menginvestasikan dan atau mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa kesehatan (Grossman, 1972). Maka untuk mencapai kondisi kesehatan yang baik tersebut dibutuhkan sarana kesehatan yang baik pula. Kehidupan manusia yang semakin modern dalam berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan lambat laun seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi mampu menjelaskan secara rasional bagaimana mengoptimalkan status kesehatan, sehingga berbagai upaya dilakukan melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seperti diantaranya : menemukan cara penyembuhan berbagai penyakit, penemuan obat-obat baru, teknik kedokteran yang lebih mutakhir, pengenalan dan antisipasi penyakit yang lebih dini dan berbagai hal tentang upaya mewujudkan status kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh bagi setiap masyarakat. 1 Dilihat dari perspektif ekonomi, kesehatan merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia. Teori ekonomi mikro tentang permintaan (demand) jasa pelayanan kesehatan menyebutkan bahwa harga berbanding terbalik dengan jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan. Teori ini mengatakan bahwa jika jasa pelayanan kesehatan merupakan normal good, makin tinggi income keluarga maka makin besar demand terhadap jasa pelayanan kesehatan tersebut. Sebaliknya jika jenis jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan inferior good, meningkatnya pendapatan keluarga akan menurunkan demand terhadap jenis jasa pelayanan kesehatan tersebut (Folland et al., 2001). Faktor kesehatan bukan merupakan barang inferior, karena semakin tinggi tingkat kekayaan akan meningkatkan akses jasa pelayanan kesehatan. Faktor-faktor lain yang cenderung meningkatkan akses jasa pelayanan kesehatan adalah usia dan banyaknya gangguan kesehatan yang diderita. Faktor pendidikan cenderung menurunkan akses jasa pelayanan kesehatan adalah hal yang harus disikapi dengan bijak melalui penyuluhan kesehatan. Faktor kesehatan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia (quality of human resources) itu sendiri. Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) akan ditentukan oleh status kesehatan, pendidikan dan tingkat pendapatan per kapita (Ananta dan Hatmadji, 1985). Dalam kegiatan perekonomian, ketiga indikator kualitas sumber daya manusia tersebut secara tidak langsung juga akan berimbas pada 2 tinggi rendahnya produktifitas sumber daya manusia, dalam hal ini khususnya produktifitas tenaga kerja . Sebagai indikator kesejahteraan rakyat, tujuan jangka panjang pembangunan kesehatan Indonesia adalah peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga negara Indonesia agar terwujud derajat kesehatan masyarakat di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan masyarakat yang semaksimal mungkin. Pemerintah melalui instansi terkait telah merumuskan program jangka menengah mengenai keadaan masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan yakni melalui program “Visi Indonesia Sehat 2010”. Dalam visi Indonesia Sehat 2010, bermaterikan gambaran masyarakat, bangsa dan negara yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, dan memiliki derajat kesehatan yang optimal. Guna merealisasikan visi tersebut dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan secara khusus telah dilakukan langkah-langkah melalui beberapa program baik secara sektoral kesehatan maupun secara lintas sektor. Program- program tersebut antara lain mengenai penyediaan berbagai sarana kesehatan, tenaga kesehatan dan obat-obatan untuk seluruh lapisan penduduk (Statistik Kesehatan , 2004). 3 Jasa pelayanan kesehatan terdiri dari dua macam yaitu jasa pelayanan kesehatan modern dan tradisional. Jasa pelayanan kesehatan modern adalah jasa yang memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran yang modern, termasuk di dalamnya adalah jasa pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah. Pelayanan kesehatan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Maka pelayanan kesehatan juga harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya sesuai dengan kebutuhan pemakai jasa pelayanan dan terjamin mutunya (ascessibility, affordability, quality assurance). Ronald Andersen et al (1975), membagi faktor yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan menjadi tiga yaitu faktor predisposing yaitu kecenderungan individu dalam menggunakan pelayanan kesehatan yang di tentukan oleh serangkaian variabel seperti keadaan demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan), keadaan sosial (pendidikan, ras, jumlah keluarga, agama, etnik, pekerjaan), sikap/kepercayaan yang muncul (terhadap pelayana kesehatan, terhadap tenaga kerja, perilaku masyarakat terhadap sehat dan sakit) ; faktor pendukung yaitu faktor yang menunjukkan kemampuan individu dalam menggunakan pelayanan kesehatan, yang ditunjukkan oleh variabel sumber pendapatan keluarga (pendapatan dan tabungan keluarga, asuransi/sumber pendapatan lain, jenis pelayanan kesehatan yang tersedia serta keterjangkauan pelayanan kesehatan baik segi jarak maupun harga pelayanan), sumber daya yang ada di masyarakat yang tercermin dari ketersediaan kesehatan 4 termasuk jenis dan rasio masing-masing pelayanan dan tenaga kesehatannya dengan jumlah penduduk, kemudian harga pelayanan kesehatan yang memadai dan sesuai dengan kemampuan mereka) ; faktor kebutuhan yaitu faktor yang menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya kebutuhan karena alasan yang kuat seperti pendekatan terhadap penyakit yang dirasakan serta adanya jawaban atas penyakit tersebut dengan cara mencari pelayanan kesehatan. Pelayanan terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari kebutuhan. Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Laksono (2005) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap pelayanan kesehatan yaitu : kebutuhan berbasis fisiologis, penilaian pribadi akan status kesehatan, variabel-variabel ekonomi tariff, penghasilan masyarakat, adanya asuransi kesehatan dan dan jaminan kesehatan, variabel-variabel demografis dan umur, dan jenis kelamin. Beberapa studi atau penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan di mulai pada tahun 1980-an. Ascobat (1981) dalam Tjiptoherijanto (1990) menemukan pengeluaran per kapita mempengaruhi kecenderungan untuk memanfaatkan (berkunjung) ke fasilitas pelayanan kesehatan tradisional atau modern. Semakin tinggi pengeluaran per kapita maka semakin besar kemungkinan si individu untuk memilih dan mampu membayar pelayanan kesehatan 5 modern dibandingkan pelayanan kesehatan tradisional. Faktor harga atau biaya kunjungan juga mempengaruhi tingkat kunjungan ke fasilitas pelayanan. Data yang diperoleh dari Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah RS di Kota Makassar Tahun 2007 adalah sebanyak 15 buah dengan jumlah tempat tidur sebanyak 3.023 buah. Ini berarti bahwa rasio Rumah Sakit terhadap penduduk adalah 1,21 RS per 100.000 penduduk, sedangkan rasio tempat tidur (TT) terhadap penduduk adalah 245 TT per 100.000 penduduk. Pemanfaatan rumah sakit juga diukur dengan Bed Occupancy Rate (BOR), Length Of Stay (LOS), Turn Over Interval (TOI), Bed Turn Over (BTO), Net Death Rate (NDR) dan Gross Death Rate (GDR). Secara nasional rata-rata BOR sebesar 55%, LOS adalah 5 hari, TOI 4 hari, BTO 40 kali, NDR 18 pasien per 1.000 pasien keluar dan GDR 37 pasien per 1.000 pasien keluar. Sedangkan untuk RS yang ada di Kota Makassar pada tahun 2007, BOR sebesar 70,2 %, LOS adalah 11 hari (jika termasuk RS.Jiwa DADI yang rata-rata LOS=57,58) tanpa RS Dadi LOS= 6 hari , TOI 40.8 , NDR 9,6 % dan GDR 15,2 %. Adapun jumlah sarana kesehatan (Rumah Sakit) yang mampu memberikan pelayanan 4(empat) spesialis dasar sebanyak 14 buah RS dari 15 RS yang ada di Kota Makassar (93 %) (Profil Kesehatan Makassar, 2007). Jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap di sarana pelayanan kesehatan di Kota Makassar tahun 2009 adalah untuk rawat jalan sebanyak 1.709.083 dan rawat inap sebanyak 6.135 (Makassar Dalam Angka, 2010). 6 Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilihat sejauh mana pengaruh beberapa faktor seperti pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, pendidikan, jenis penyakit dan kualitas pelayanan dapat mempengaruhi permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Oleh karena itu penelitian ini berjudul “Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh antara pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan secara parsial dan simultan di Kota Makassar. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk menganalisis dan mengukur besarnya pengaruh pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan secara parsial dan simultan di Kota Makassar. 7 1.4 Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bagaimana perilaku dan pilihan yang dilakukan oleh individu atau keluarga untuk mencapai status kesehatan yang optimum yang tercermin pada pemanfaatan (utilization) fasilitas jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah kota Makassar. 2. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pemerintah kota Makassar setempat maupun pihak-pihak yang terkait untuk menentukan kebijakan pengembangan jasa pelayanan kesehatan. 3. Sebagai bahan informasi dan menambah literatur bagi pihak-pihak lain yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang permintaan jasa pelayanan kesehatan. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Perdebatan Teori Permintaan Seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya, pertama kali yang akan dilakukan adalah pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan. Selain itu juga dilihat apakah harganya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika harganya tidak sesuai, maka ia akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perilaku tersebut sesuai dengan hukum permintaan (Samuelson & Nordhaus, 1992), yang mengatakan bahwa bila harga suatu barang atau jasa naik, maka jumlah barang dan jasa yang diminta konsumen akan mengalami penurunan. Dan sebaliknya bila harga dari suatu barang atau jasa turun, maka jumlah barang dan jasa yang dimintai konsumen akan mengalami kenaikan (ceteris paribus). Permintaan suatu barang di pasar akan terjadi apabila konsumen mempunyai keinginan (willing) dan kemampuan (ability) untuk membeli , pada tahap konsumen hanya memiliki keinginan atau kemampuan saja maka permintaan suatu barang belum terjadi, kedua syarat willing dan ability harus ada untuk terjadinya permintaan (Turner, 1971) dalam (Salma, 2004). 9 Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu komoditas (barang dan jasa) dan juga menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta dan harga serta pembentukan kurva permintaan (Sugiarto, 2005). Dalam teori permintaan beberapa istilah perlu diketahui seperti permintaan, hukum permintaan, daftar permintaan, kurva permintaan, permintaan dan jumlah barang yang diminta dan sebagainya. Permintaan/ demand adalah sejumlah barang atau jasa yang diminta oleh konsumen pada beberapa tingkat harga pada suatu waktu tertentu dan pada tempat atau pasar tertentu (Palutturi, 2005). Menurut Lipsey (1990), demand adalah jumlah yang diminta merupakan jumlah yang diinginkan. Jumlah ini adalah berapa banyak yang akan dibeli oleh rumah tangga pada harga tertentu suatu komoditas, harga komoditas lain, pendapatan, selera, dan lain-lain. Fungsi permintaan menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhinya: harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa mendatang (Arsyad, 1991 : 22). Hubungan antara harga satuan komoditas (barang dan jasa) yang mau dibayar pembeli dengan jumlah komoditas tersebut dapat disusun dalam suatu tabel yaitu daftar permintaan. Data yang diperoleh dari daftar permintaan tersebut dapat digunakan pula untuk menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah komoditas tersebut yang diminta dalam suatu kurva permintaan. Perlu 10 dibedakan antara permintaan dan jumlah barang yang diminta. Permintaan adalah keseluruhan daripada kurva permintaan sedangkan jumlah barang yang diminta adalah banyaknya permintaan pada suatu tingkat harga tertentu (Sugiarto, 2005). Kurva permintaan dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sebagai efek faktor bukan harga. Secara umum faktor penentu permintaan yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk, dan ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang (Palutturi, 2005). Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Secara umum elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand), dan elastisitas permintaan silang (cross price elasticity of demand). Elastisitas permintaan terhadap harga, mengukur seberapa besar perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila harganya berubah. Jadi elastisitas permintaan terhadap harga adalah ukuran kepekaan perubahan jumlah komoditas yang diminta terhadap perubahan harga komoditas tersebut dengan asumsi ceteris paribus. Nilai elastisitas permintaan terhadap harga merupakan hasil bagi antara persentase perubahan harga. Nilai yang diperoleh tersebut merupakan suatu besaran yang menggambarkan sampai berapa besarkah 11 perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila dibandingkan dengan perubahan harga (Sugiarto, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi elastisitas permintaan yaitu banyaknya barang pengganti yang tersedia, jumlah penggunaan barang tersebut, besarnya persentase pendapatan yang dibelanjakan dan jangka waktu dimana permintaan itu di analisis (Tri kunawangsih & Antyo Pracoyo, 2006). Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan atas suatu komoditas sebagai akibat dari perubahan pendapatan konsumen dikenal dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Elasisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan suatu besaran yang berguna untuk menunjukkan responsivitas konsumsi suatu komoditas terhadap perubahan pendapatan (income) (Sugiarto, 2005). Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan suatu komoditas apabila terjadi perubahan harga komoditas lain dinamakan elastisitas permintaan silang. Koefisien elastisitas permintaan silang sering digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan komplemen atau substitusi diantara berbagai komoditas (Sugiarto, 2005). 2.1.2 Perdebatan Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Ilmu ekonomi merupakan suatu ilmu yang mengkaji tentang bagaimana individu disisi masyarakat melakukan pilihan. Dilihat dengan atau tanpa menggunakan sarana alat tukar (uang) guna memanfaatkan sumber daya yang langka 12 dalam menghasilkan berbagai barang dan jasa, dan mendistribusikannya diantara mereka bagi keperluan konsumsi, pada waktu sekarang atau dimasa yang akan datang, diantara berbagai individu dan kelompok – kelompok masyarakat (Samuelson, 1979). Dari penjelasan tesebut, ada 1 hal yang masalah utama yang dihadapi manusia disegala bidang yaitu memanfaatkan segalanya atau scarcity. Dari masalah utama itulah, lahir 2 alasan yang mendasari kehadiran ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Pertama, adanya keterbatasan sumber daya bagi kehidupan, masyarakat, organisasi dan setiap individu. Kedua, kenyataan bahwa kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) manusia dan masyarakat tidak dapat terpenuhi dengan sempurna. Dari kedua alasan tersebut naka proses pilihan harus dilakukan (Andhika, 2010). Grossman (1972) dalam penelitian yang sangat berpengaruh dalam khasanah ekonomi kesehatan menggunakan teori modal manusia (human capital) untuk menggambarkan demand untuk kesehatan dan demand untuk pelayanan kesehatan. Dalam teori ini disebutkan bahwa seseorang melakukan investasi untuk bekerja dan menghasilkan uang melalui pendidikan, pelatihan, dan kesehatan. Grossman menguraikan bahwa demand untuk kesehatan memiliki beberapa hal yang membedakan dengan pendekatan tradisional demand dalam sektor lain: yang diinginkan masyarakat atau konsumen adalah kesehatan, bukan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan derived demand sebagai input untuk menghasilkan kesehatan. Dengan demikian, demand untuk pelayanan rumah sakit pada umumnya 13 berbeda dengan demand untuk pelayanan hotel; masyarakat tidak membeli kesehatan dari pasar secara pasif. Masyarakat menghasilkannya, menggunakan waktu untuk usaha-usaha peningkatan kesehatan, di samping menggunakan pelayanan kesehatan; kesehatan dapat dianggap sebagai bahan investasi karena tahan lama dan tidak terdepresiasi dengan segera; kesehatan dapat dianggap sebagai bahan konsumsi sekaligus sebagai bahan investasi. Secara umum keadaan demand dan need jasa pelayanan kesehatan dapat dilukiskan dalam suatu konsep yang disebut fenomena gunung es atau ice-berg phenomenon. Konsep ini mengacu pada pengertian bahwa demand yang benar seharusnya merupakan bagian dari need. Secara konseptual, need akan jasa pelayanan kesehatan dapat berwujud suatu gunung es yang hanya sedikit puncaknya terlihat sebagai demand (Palutturi, 2005). Dalam pemikiran yang rasional semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup untuk mengembangkan keturunan. Latar belakang inilah yang membuat orang ingin menjadi sehat. Ada keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup. Tentunya demand utuk menjadi sehat tidaklah sama antarmanusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya sangat tergantung dari kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status kesehatannya (Palutturi, 2005). 14 Menurut teori Blum dalam Palutturi (2005), kesehatan dipengaruhi oleh keturunan, lingkungan hidup, perilaku dan pelayanan kesehatan. Akan tetapi konsep ini dinilai sulit untuk menerangkan hubungan antara demand terhadap kesehatan dengan demand terhadap jasa pelayanan kesehatan. Untuk menerangkan hubungan tersebut, digunakan konsep yang berasal dari prinsip ekonomi. Pendekatan ekonomi menekankan bahwa kesehatan merupakan suatu modal untuk bekerja. Jasa pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit merupakan salah satu input dalam proses menghasilkan hari-hari sehat. Dengan konsep ini, maka jasa pelayanan kesehatan merupakan salah satu input yang digunakan untuk proses produksi yang akan menghasilkan kesehatan. Demand terhadap jasa pelayanan pada rumah sakit tergantung terhadap demand akan kesehatan sendiri (Palutturi, 2005). 2.1.3 Perdebatan Teori Kebutuhan Dasar Manusia Kebutuhan manusia sangatlah beragam dari kebutuhan yang paling mendasar (fisiologis) yang lebih diarahkan pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup sampai dengan kebutuhan manusia akan keindahan. Upaya pengklasifikasian kebutuhan manusia telah banyak dilakukan oleh psikolog, antara lain oleh Abraham Maslow pada tahun 1970 dengan hipotesisnya kebutuhan diorganisir sedemikian rupa untuk menetapkan prioritas dan hierarki kepentingan. Menurut Maslow terdapat lima tingkatan kebutuhan yang berjajar dalam prioritas dari urutan terendah hingga urutan 15 yang tertinggi. Tingkatan-tingkatan ini masuk kedalam tiga tingkatan kategori dasar, yaitu (1) kelangsungan hidup dan keamanan, (2) interaksi manusia, cinta dan afilasi, (3) aktualisasi diri (kompetensi, ekspresi diri dan pengertian) (Andhika: 2010). Maslow mengidentifikasikan hierarki tujuh tingkatan kebutuhan yang disusun berjenjang dengan urutan manusia. Orang akan tetap berada dalam sebuah tingkat kebutuhannya dalam tingkat itu terpuaskan. Kemudian kebutuhan yang baru muncul pada tingkat yang lebih tinggi. Untuk kebutuhan pengetahuan dan keindahan diidentifikasikan Maslow sebagai tambahan kebutuhan kognitif bagi sejumlah orang yang memenuhi kebutuhan aktualisasi diri (Andhika: 2010). Dalam konteks kebutuhan Maslow, kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis yang paling mendasar di samping kebutuhan fisiologis lainnya seperti makan, minum dan perumahan. Menurut Mills dan Gilson (1990) kesehatan merupakan suatu kebutuhan (need) yang diartikan secara umum yang merupakan perbandingan antara situasi nyata dan standar teknis tertentu yang telah disepakati. Selain itu juga kesehatan merupakan kebutuhan yang dirasakan (felt need) yaitu kebutuhan yang dirasakan sendiri oleh individu. Sehingga keputusan untuk memanfaatkan suatu jasa pelayanan kesehatan merupakan pencerminan kombinasi normatif dan kebutuhan yang dirasakan (Andhika: 2010). 16 2.1.4 Perbedaan permintaan (demand), kebutuhan (need), dan keinginan (wants) atas kesehatan. Dalam manajemen pemasaran (Kasali, 2000) terdapat dua konsep yang sangat mendasar yaitu kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Kebutuhan adalah hal-hal yang mendasar yang dibutuhkan makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupannya. Tanaman membutuhkan air, tanah, pupuk dan udara untuk hidup. Manusia tidak hanya membutuhkan makanan dan minuman, tetapi juga cinta, penghargaan, persaudaraan, pengetahuan dan sebagainya. Kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi, mereka akan merasa tidak bahagia, ada yang dirasakan kurang dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia amat bervariasi dan kompleks. Sedangkan keinginan adalah pernyataan manusia terhadap kebutuhankebutuhannya yang dipertajam oleh budaya dan kepribadiannya. perbedaannya dengan kebutuhan terletak pada barang-barang yang dipilih untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk membahas pengertian ini, model dari Cooper (Posnett 1988) dalam Palutturi (2005) juga sangat menarik untuk dibahas. Dalam model Cooper, keinginan (wants) diartikan sebagai keinginan seseorang untuk menjadi lebih sehat dalam hidup. Keinginan ini didasarkan pada penilaian diri terhadap status kesehatannya. Permintaan (demand) merupakan keinginan untuk lebih sehat diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran. Sedangkan kebutuhan (needs) adalah keadaan kesehatan yang dinyatakan oleh tenaga kedokteran harus mendapatkan penanganan medis. 17 Persoalan kesehatan, kebutuhan (need) pelayanan kesehatan dan permintaan (demand) pelayanan kesehatan merupakan tiga konsep berbeda di dalam ekonomi kesehatan yang harus dijelaskan untuk menghindari kerancuan karena ketiga istilah tersebut kerap digunakan secara bergantian satu sama lain. Ada 3 situasi yang dapat diperhatikan atas tingkat persoalan kesehatan dan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh seorang individu. Permintaan pelayanan kesehatan timbul melalui proses perubahan persoalan kesehatan menjadi persoalan kesehatan yang dirasakan, dilanjutkan dengan merasa dibutuhkannya pelayanan kesehatan dan akhirnya dinyatakan dengan permintaan aktual. Dalam upayanya mengubah kebutuhan pelayanan yang dirasakan menjadi suatu bentuk permintaan yang efektif, konsumen harus memiliki kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan (Andhika, 2010). Dengan memahami konsep kebutuhan dan permintaan pelayanan kesehatan yang diperlukan dapat dijelaskan tentang mengapa dan bagaimanam kerap timbul kesenjangan dalam banyak hal antara penyedia (provider) dan konsumen pelayanan kesehatan. Kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan, misalnya timbul akibat kuantitas pelayanan yang diinginkan masyarakat (dalam membentuk kesediaan untuk membayar) dan kuantitas pelayanan professional yang seharusnya mereka inginkan jarang bertemu dan bersesuaian. 18 2.1.5 Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Prinsip dasar teori ekonomi menyatakan bahwa suatu barang atau jasa sebagai faktor produksi mempuyai harga dapat ditukar dengan barang lain atau mempunyai kegunaan dan bersifat langka (jumlah yang tersedia sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan). Debreu (1959) dalam Palutturi (2005) mengemukakan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai komoditas bila memiliki sifat temporary (mempunyai jangka waku penggunaan), spatially (membutuhkan tempat untuk memakainya), dan physically (mempunyai ukuran , jam kerja tertentu dalam pemakiannya). Kriteria tersebut dimiliki oleh jasa pelayanan kesehatan dan karenanya dapat dikatakan sebagai komoditas ekonomi yang dikonsumsi individu atau rumah tangga. Adanya demand terhadap jasa pelayanan kesehatan menurut Grossman (1972) karena kesehatan merupakan komoditas yang harus dibeli (consumption commodity) sebab dapat membuat pembelinya merasa dirinya lebih baik dan nyaman. Kesehatan dianggap sebagai suatu investasi (investment commodity) artinya bila keadaan sehat maka semua waktu yang tersedia dapat digunakan secara produktif sehingga secara tidak langsung merupakan investasi. Meskipun jasa pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas ekonomi, namun memiliki perbedaan dengan komoditas ekonomi pada umumnya karena adanya karakteristik tersendiri berupa demand terhadap jasa pelayanan kesehatan timbul akibat adanya permintaan kesehatan yang baik, dimana meningkatnya umur 19 seseorang bisa merupakan mulai menurunnya kondisi kesehatan yang lebih baik; demand terhadap jasa pelayanan kesehatan mempunyai faktor-faktor eksogen antara lain ketidak tahuan pasien-pasien sehingga penderita mendelegasikan keputusannya kepada petugas kesehatan (dokter/ paramedik), faktor penghasilan pemakai jasa pelayanan kesehatan dan sebagainya; dan demand terhadap jasa pelayanan kesehatan melibatkan banyak hal, antara lain penyediaan dan tingkat keterampilan petugas kesehatan yang ada, dimana peran ganda yang dimilikinya (penyedia jasa pelayanan medis dan wakil pasien) dapat menciptakan motif ekonomi berupa jasa pelayanan kesehatan yang berlebih-lebihan (unnecessary procedure) Amran Razak (2000) dalam Haeruddin (2007). Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Laksono (2005) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap pelayanan kesehatan yaitu kebutuhan berbasis fisiologis, penilaian pribadi akan status kesehatan, variabel-variabel ekonomi tariff, penghasilan masyarakat, Asuransi Kesehatan dan Jaminan Kesehatan, variabel-variabel demografis dan umur dan jenis kelamin. Disamping faktor-faktor tersebut masih ada faktor lain misalnya: pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas jasa pelayanan kesehatan, serta pengaruh inflasi. Faktor pertama dan kedua sangat erat hubungannya. Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapatkan pelayanan medik. Keputusan petugas medik ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya. Dari situasi ini 20 maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi. Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat (Palutturi: 2005). Menurut Santerre dan Neun (2000) dalam Andhika (2010), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan pemeliharaan pelayanan kesehatan (Quantity demanded) seperti harga pembayaran secara langsung oleh rumah tangga, pendapatan bersih (real income), biaya waktu (time cost), termasuk di dalamnya adalah biaya (uang) untuk perjalanan termasuk muatan bis atau bensin di tambah biaya pengganti untuk waktu, harga barang substitusi dan komplementer, selera dan preferensi, termasuk di dalamnya status pernikahan, pendidikan dan gaya hidup, fisik dan mental hidup, status kesehatan serta kualitas pelayanan (quality of care). Menurut Mills & Gilson (1990) dalam Andhika (2010), hubungan antara teori permintaan dengan jasa pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh pendapatan, sarana dan kualitas pelayanan kesehatan. Pendapatan memiliki hubungan (asosiasi) dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Sulitnya pencapaian sarana pelayanan kesehatan secara fisik akan menurunkan permintaan. Kemanjuran 21 dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk meminta pelayanan dan pemberi jasa tertentu. Ada 2 pendekatan yang lazim digunakan dalam membahas permintaan (demand) terhadap jasa pelayanan kesehatan. Pertama yaitu teori agency relationship atau yang lebih dikenal dengan supplier - induced demand model. Sedangkan pendekatan yang kedua yaitu investment model yang diajukan oleh Grossman (1972). Supplier Induced Demand menggambarkan suatu keadaan dimana seorang dokter menetapkan demand pasiennya dengan cara tidak berbasis pada need. Penetapan ini dilakukan dengan basis usaha meningkatkan demand dari tingkat yang seharusnya. Dengan demikian istilah terjemahannya adalah “dokter meningkatkan demand” pasiennya. Supplier Induced Demand terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada pada dokter dengan pasiennya (Rice 1998). Dokter meningkatkan demand pasiennya berbasis pada motivasi ekonomi untuk meningkatkan pendapatannya. Folland dkk (2001), memberikan suatu pernyataan bahwa supplier induced demand adalah penyalahgunaan hubungan dokter-pasien oleh dokter dalam usaha memperoleh keuntungan pribadi dokter. Supplier induced demand terutama terjadi pada sistem pembayaran fee-for-service. Apabila tidak terdapat etika yang kuat, maka dengan mudah akan terjadi penyimpangan profesi seperti: diperiksanya pasien dengan USG walaupun secara medis tidak memerlukan pemeriksaan tersebut. Dengan bergesernya sifat rumah sakit menjadi suatu lembaga ekonomi, maka risiko penyimpangan profesi akan semakin tinggi akibat tuntutan investasi. Pada 22 kasus diatas. Apabila pembelian USG dilakukan atas dasar pinjaman kredit bank, maka kaidah-kaidah investasi harus diperhatikan misalnya melalui pay-back period. Prinsip bahwa “bangsal rumah sakit harus diisi” dapat mendorong terjadinya Supplier Induced Demand”. Sebaliknya dapat terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai Supplier Reduced Demand. Supplier Reduced Demand mencerminkan keadaan dimana justru dokter atau rumah sakit menetapkan demand di bawah yang seharusnya. Pada kasus pasien yang seharusnya diperiksa menggunakan USG. Akan tetapi mungkin re-imburstment asuransi kesehatan yang dimiliki perusahaan tersebut memberikan ganti rugi yang di bawah unit cost pemerikasaan USG. Rumah sakit akan rugi jika menggunakan USG untuk pasien tersebut. Secara perhitungan ekonomi, tidak diperiksanya dengan USG akan menghindarkan rumah sakit dari kerugian. Dengan demikian need pasien tersebut tidak dapat terwujud sebagai demand. Contoh lain adalah pada sistem pembayaran rumah sakit yang berbasis pada anggaran. Apabila rumah sakit dapat menyelenggarakan pelayanan di bawah anggaran, misalnya 90% maka 10% sisanya dapat masuk sebagai jasa rumah sakit. Dengan konsep seperti ini rumah sakit akan mempunyai insentif untuk melakukan Supplier Reduced Demand. Perbedaan utama antara kedua pendekatan tersebut ada pada asumsinya tentang kedudukan pasien dalam model tersebut. Pada pendekatan pertama, peranan pasien begitu kecil dibandingkan pada ahli kesehatan/ dokter dalam membentuk 23 permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Sementara Grossman menyatakan bahwa konsumen (pasien) cukup memiliki informasi dan kebebasan dalam menentukan permintaannya. Perbedaan utama antara kedua pendekatan tersebut ada pada asumsinya tentang kedudukan pasien dalam model tersebut. Pada pendekatan pertama, peranan pasien begitu kecil dibandingkan pada ahli kesehatan/ dokter dalam membentuk permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Sementara Grossman menyatakan bahwa konsumen (pasien) cukup memiliki informasi dan kebebasan dalam menentukan permintaannya. 2.2 Karakteristik Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Konteks Ekonomi Pokok bahasan dalam ilmu ekonomi akan selalu mengarah pada demand, supply dan distribusi komoditi, dimana komoditinya adalah pelayanan kesehatan bukan kesehatan itu sendiri Dari sudut pandang demand, masyarakat ingin memperbaiki status kesehatannya, sehingga mereka membutuhkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu cara untuk mencapai status kesehatan yang lebih tinggi. Sedangkan dari sudut pandang supply / produksi utama dari pelayanan kesehatan adalah kesehatan dan sekaligus menghasilkan outpun lainnya. Kesehatan sendiri tidak dapat diperjualbelikan, dalam pengertian bahwa kesehatan itu tidak dapat secara langsung dibeli atau dijual di pasar kesehatan merupakan salah satu ciri komoditi. 24 Singkatnya kesehatan tidak dapat dipertukarkan. Kesehatan hanya memiliki value in use dan bukannya value in exchange (Tjiptoherijanto, 1990 dalam Andhika, 2010). Hubungan antara keinginan kesehatan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya kelihatannya saja yang sederhana, namun sebenarnya sangat kompleks. Penyebab utamanya karena persoalan kesenjangan informasi. Menterjemahkan keinginan sehat menjadi konsumsi pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi tentang berbagai hal, antara lain : aspek status kesehatan saat ini, informasi status kesehatan yang lebih baik informasi tentang macam pelayanan yang tersedia,tentang kesesuaian pelayanan tersebut, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena permintaan pelayanan kesehatan mengandung masalah uncertainty (ketidakpastian), sakit sebagai ciri-ciri persoalan kesehatan merupakan suatu ketidakpastian. Keduanya, imperfect information dan uncertainty merupakan karakteristik umum dari permintaan pelayanan kesehatan dan kesehatan. Jasa pelayanan kesehatan berbeda dengan barang dan jasa pelayanan ekonomi lainnya. Jasa pelayanan kesehatan atau jasa pelayanan medis sangat heterogen, terdiri atas banyak sekali barang dan pelayanan yang bertujuan memelihara, memperbaiki, memulihkan kesehatan fisik dan jiwa seorang. Karena sifatnya yang sangat heterogen, jasa pelayanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Beberapa karakteristik khusus jasa pelayanan kesehatan yaitu intangibility, inseparability, inventory, dan inkonsistensi (Santerre dan Neun, 2000) dalam Andhika (2010). Intangibility merupakan karakteristik jasa pelayanan kesehatan yang tidak bisa dinilai oleh panca indera. Konsumen (pasien) tidak bisa melihat, mendengar, 25 membau, merasakan, atau mengecap jasa pelayanan kesehatan. Inseparability yaitu karakteristik dimana produksi dan konsumsi jasa pelayanan kesehatan terjadi secara simultan (bersama). Makanan bisa dibuat dulu, untuk dikonsumsi kemudian. Tindakan operatif yang dilakukan dokter bedah pada saat yang sama digunakan oleh pasien. Inventory merupakan karakteristik dimana jasa pelayanan kesehatan tidak bisa disimpan untuk digunakan pada saat dibutuhkan oleh pasien nantinya. Inkonsistensi merupakan karakteristik jasa pelayanan kesehatan dimana komposisi dan kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterima pasien dari seorang dokter dari waktu ke waktu, maupun jasa pelayanan kesehatan yang digunakan antar pasien, bervariasi. Jadi jasa pelayanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Biasanya jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan ketersediaaan (jumlah dokter atau tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk) atau penggunaan (jumlah konsultasi atau pembedahan per kapita) (Palutturi: 2005). 2.3 Hubungan antara Pendapatan, Biaya atau Harga Kunjungan, Jarak, Biaya atau Harga Obat Alternatif, Pendidikan, Jenis Penyakit dan Kualitas Layanan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan 2.3.1 Pengaruh Pendapatan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai barang. Perubahan pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan 26 modern. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000 dalam Andhika 2010; Mills & Gilson,1990). Sebagian besar jasa pelayanan kesehatan merupakan barang normal di mana kenaikan pendapatan keluarga akan meningkatkan demand untuk jasa pelayanan kesehatan. Akan tetapi ada kecenderungan mereka yang berpendapatan tinggi tidak menyukai jasa pelayanan kesehatan yang menghabiskan banyak waktu. Hal ini diantisipasi oleh rumah sakit-rumah sakit yang menginginkan pasien dari golongan mampu. Masa tunggu dan antrean untuk mendapatkan jasa pelayanan medis harus dikurangi (Palutturi, 2005). Kerangka teori yang mendasari penelitian ini adalah teori konsumsi dan ekonomi kesejahteraan merurut Pindyck dan Rubinfeld (1998). Untuk mecapai kesejahteraan tertentu individu akan mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa, yang dalam hal ini konsumsi jasa ditekankan dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan. Kurva kepuasan konsumsi barang dan kesehatan menjelaskan bahwa kepuasan seseorang ditentukan oleh konsumsi kesehatan dan konsumsi barang yang dibatasi oleh garis pendapatan (Joko: 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan dan biaya jasa pelayanan kesehatan akan juga berpengaruh terhadap jumlah jasa pelayanan kesehatan yang diminta. Jika pendapatan meningkat, maka garis pendapatan akan 27 bergeser ke kanan sehingga jumlah barang dan kesehatan meningkat. Meningkatnya konsumsi barang dan kesehatan berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan individu tersebut. Jadi dalam hal ini konsumsi kesehatan ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan. Oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan juga akan mempengaruhi konsumsi kesehatan. Faktor tersebut antara lain biaya jasa kesehatan dan jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan serta jumlah tanggungan keluarga (Joko: 2005). Faktor lainnya yang mempengaruhi konsumsi kesehatan sangat banyak, terutama yang berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi, dan budaya seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan. Besar kecilnya kekayaan dapat mempengaruhi konsumsi kesehatan. Misalnya pada masyarakat yang berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang lebih dulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan, misalnya biaya yang terkait dengan jasa pelayanan kesehatan, menjadikan biaya jasa pelayanan kesehatan naik. Keadaan ini menurunkan konsumsi kesehatan, karena dengan naiknya biaya kesehatan akan menurukan pendapatan relatif, yaitu pendapatan tetap sementara biaya kesehatan naik (Joko: 2005). Menurut Miler dan Meineres (1997) dalam Andhika (2010), Engel sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. 28 Keempat butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil, persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan, persentase pengeluaran untuk konsumsi keperluan rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan dan jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat. Menurut Scheiber (1990) dalam Essential of health economics karangan Diane M. Dewar (2009) menyebutkan bahwa permintaan untuk pelayanan kesehatan bergantung pada status usia, pendapatan, pendidikan dan kesehatan itu sendiri. Permintaan untuk kesehatan sangat sensitif terhadap harga dan pendapatan. Hubungan antara pendapatan dan jumlah permintaan penggunaan jasa pelayanan kesehatan dapat menjadi barang normal ketika penelitian di dasarkan kepada respon individu. Namun data makroekonomi yang membandingkan agregat pendapatan dan pengeluaran kesehatan secara luas menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan barang yang superior. Hal ini berlaku baik pada Negara-negara industri maupun Negara berkembang. 2.3.2 Pengaruh Biaya atau Harga Kunjungan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap jasa pemeliharaan kesehatan. Biaya atau harga pelayanan kesehatan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan berpengaruh negatif. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi 29 permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi (Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson, 1990). Sangat penting untuk dicatat bahwa hubungan negatif ini secara khusus terlihat pada keadaan pasien mempunyai pilihan. Pada pelayanan rumah sakit, tingkat demand pasien sangat dipengaruhi oleh dokter. Keputusan dari dokter sangat mempengaruhi dalam length of stay, jenis pemeriksaan, keharusan untuk operasi, dan lain-lain. Pada keadaan yang membutuhkan penanganan medis segera maka faktor biaya mungkin tidak berperan dalam mempengaruhi demand. Hubungan biaya dengan demand yang bersifat negatif pada pelayanan rumah sakit terutama pada pelayanan yang bersifat efektif (Sukri : 2005). 2.3.3 Pengaruh Jarak terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori permintaan yang dikemukakan oleh Nicholson (2003), yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al,1975; Mills & Gilson,1990). Jarak membatasi kemampuan dan kemauan wanita untuk mencari pelayanan, terutama jika sarana transportasi yang tersedia terbatas, komunikasi sulit dan di daerah tersebut tidak tersedia tempat pelayanan. 30 2.3.4 Pengaruh Biaya atau Harga Obat Alternatif terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Obat alternatif merupakan komoditas yang dapat menggantikan fungsi dari biaya atau harga kunjungan ke rumah sakit sehingga harga komoditas pengganti dapat mempengaruhi permintaan komoditas yang dapat digantikannya. Pada umumnya bila harga komoditas pengganti bertambah murah maka komoditas yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan. Adanya barang pengganti (subsitusi) dari suatu barang/jasa dapat mengubah jumlah permintaan, kemudian berpengaruh pada harga dan penawaran. Munculnya barang pengganti yang lebih murah, kemungkinan besar akan mendorong sebagian besar konsumen untuk memilih barang subsitusi tersebut (Sugiarto: 2005). 2.3.5 Pengaruh Pendidikan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Faktor sosial dan budaya akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Sebagai contoh faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan kesadaran status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan, sehingga akan mengkonsumsi jasa kesehatan lebih banyak dibandingkan masyarakat yang pendidikan dan pengetahuannya lebih rendah. Faktor budaya setempat juga sangat menentukan konsumsi kesehatan (Joko: 2005). 31 Grossman mengembangkan model dimana kesehatan dipandang sebagai stok modal yang menghasilkan output kehidupan yang sehat. Individu dapat mengadakan investasi pada kesehatan yang dikombinasikan dengan waktu (kunjungan dokter) dengan membeli input (jasa medis). Model Grossman menghipotesiskan bahwa permintaan terhadap modal kesehatan berhubungan negatif terhadap umur, positif terhadap tingkat upah dan pendidikan. Grossman percaya pula bahwa umur, pendapatan dan pendidikan memiliki efek pada permintaan jasa pelayanan kesehatan baik sebagai modal kesehatan maupun sebagai derived demand dalam rangka untuk menjaga tingkat kesehatan tertentu (Rahmatia: 2004). Status pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, karena status pendidikan mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan seseorang tentang kesehatan. Hal yang sering menjadi penghambat bagi pemanfaatan jasa pelayanan tersebut adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kesehatan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan seseorang sangat bervariasi, mulai dari tidak mengetahui tempat jasa pelayanan kesehatan yang tersedia hingga kurangnya pemahaman tentang manfaat pelayanan, tanda-tanda bahaya atau kegawatan yang memerlukan pelayanan. (Joko: 2005). 2.3.6 Pengaruh Jenis Penyakit terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Tingkat kekayaan secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan. Ini terjadi karena variasi kekayaan petani di desa 32 sangat kecil. Namun ada kecenderungan bahwa keluarga yang lebih kaya lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bukanlah barang inferior karena meningkatnya tingkat kekayaan suatu rumah tangga tidak menyebabkan permintaan pelayanan kesehatan turun. Masyarakat pedesaan telah menempatkan faktor kesehatan sebagai jasa yang penting. Demikian juga faktor-faktor yang lain, secara statistik tidak berpengaruh terhadap permintaan pelayanan kesehatan di desa karena variasinya kecil. Usia dan penyakit cenderung meningkatkan pelayanan kesehatan. Gejala ini wajar karena semakin tua seseorang, kondisi kesehatannya semakin menurun sehingga cenderung lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Demikian juga semakin banyak jenis penyakit/gangguan kesehatan yang diderita oleh masyarakat, akan meningkat pula akses pelayanan kesehatan (Joko : 2005). 2.3.7 Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Kualitas layanan kesehatan berpengaruh positif terhadap permintaan layanan kesehatan, kualitas layanan meliputi penilaian mengenai keputusan dokter, penanganan medis yang dilakukan, tingkat kemanjuran dll. Semakin tinggi kualitas layanan yang diberikan maka semakin tinggi permintaan terhadap pelayanan kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990). 2.4 Studi Empiris Untuk menunjang penelitian ini, telah dilakukan beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dimulai pada tahun 1980-an. Ascobat (1981) dalam 33 Andhika (2010) membuktikan adanya pengaruh-pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel tertentu terhadap permintaan pelayanan kesehatan tertentu. Pengeluaran per kapita, misalnya mempengaruhi kecenderungan untuk memanfaatkan (berkunjung) ke fasilitas pelayanan kesehatan tradisional atau modern. Semakin tinggi pengeluaran per kapita maka semakin besar kemungkinan si individu untuk memilih dan mampu membayar pelayanan kesehatan modern dibandingkan pelayanan kesehatan tradisional. Faktor harga atau biaya kunjungan juga mempengaruhi tingkat kunjungan ke fasilitas pelayanan. Fasilitas modern umumnya menetapkan biaya yang relatif lebih tinggi dibandingkan fasilitas tradisonal didalam kelompok fasilitas modern sendiri ada perbedaan biaya antara fasilitas kesehatan swasta yang relatif lebih tinggi biayanya dibandingkan fasilitas kesehatan publik milik pemerintah. Perbedaan harga tersebut terjadi karena pada fasiltas kesehatan permerintah umumnya terdapat sejumlah subsidi kesehatan. Deolikar (1992) dalam Andhika (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan pada anak-anak, yaitu faktor umur, pendidikan orang tua (ayah dan ibu), urutan anak dalam keluarga, ada tidaknya akte kelahiran, jumlah anggota keluarga, serta akses menuju pelayanan kesehatan. Andhika Widyatama Putra (2010) dalam penelitiannya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan khususnya di Kabupaten Semarang. Beberapa faktor tersebut adalah pendapatan keluarga, biaya kunjungan, tingkat pendidikan, jarak dan kualitas layanan kesehatan. Dengan metode analisis 34 regresi linier berganda, beberapa faktor tersebut dicari pengaruhnya terhadap frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, jarak dan kualitas layanan berpengaruh secara signifikan terhadap frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan. Pembenahan infrastruktur sektor kesehatan disertai dengan upaya aktif dari pemerintah menjadi suatu solusi yang dianggap tepat atas permasalahan yang ada. Serta didukung oleh peningkatan kesadaran dan kemauan pola konsumsi masyarakat terhadap layanan kesehatan yang ada, sehingga terjadi pola permintaan dan penawaran kesahatan yang dinamis. Berdasarkan penelitian Haeruddin (2007) mengenai analisis permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah syekh yusuf di Kabupaten Gowa menyimpulkan bahwa faktor pendapatan, pendidikan, umur mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dalam hubungannya dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah syekh yusuf sungguminasa. Faktor jarak mempunyai pengaruh yang signifikan dan konsumsi terhadap pelayanan kesehatan tidak dipengaruhi oleh naik turunnya pendapatan (fixed). Jadi, meskipun pendapatan berubah (bertambah atau berkurang), maka pengeluaran terhadap pelayanan kesehatan tidak berubah. Berdasarkan hasil penelitian Musfira Nur (2011) mengenai permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di kota Makassar diperoleh bahwa biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan masyarakat, jarak layanan kesehatan ataupun aksesibilitas dan umur berpengaruh secara signifikan terhadap penggunaan 35 jasa pelayanan kesehatan, sedangkan pendapatan keluarga dan biaya atau harga obat alternatif tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Joko et al (2005) mengenai permintaan pelayanan kesehatan rumah tangga petani di Jawa Tengah menyebutkan bahwa jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Tingkat kekayaan secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan. Ini terjadi karena variasi kekayaan petani di desa sangat kecil. Namun ada kecenderungan bahwa keluarga yang lebih kaya lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bukanlah barang inferior karena meningkatnya tingkat kekayaan suatu rumah tangga tidak menyebabkan permintaan pelayanan kesehatan turun. Masyarakat pedesaan telah menempatkan factor kesehatan sebagai jasa yang penting (Joko: 2005). Demikian juga faktor-faktor yang lain, secara statistik tidak berpengaruh terhadap permintaan pelayanan kesehatan di desa karena variasinya kecil. Usia dan penyakit cenderung meningkatkan pelayanan kesehatan. Gejala ini wajar karena semakin tua seseorang, kondisi kesehatannya semakin menurun sehingga cenderung lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Demikian juga semakin banyak jenis penyakit/ gangguan kesehatan yang diderita oleh masyarakat, akan 36 meningkat pula akses pelayanan kesehatan. Ada satu hal yang mungkin agak kurang masuk akal, yaitu tingkat pendidikan cenderung menurunkan akses pelayanan kesehatan. Secara normatif, semakin tinggi tingkat pendidikannya, seharusnya masyarakat lebih menganggap penting faktor kesehatan. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah rata-rata tingkat pendidikan di pedesaan masih rendah, sehinga dengan tingkat pendidikan tersebut masyarakat belum tergugah bahwa faktor kesehatan adalah penting. Untuk mengantisipasi gejala tersebut, diperlukan penyuluhan khusus di bidang kesehatan masyarakat (Joko: 2005). Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah wanita lebih cenderung banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Pengamatan di lapangan memang menunjukkan bahwa yang mengunjungi tempat pelayanan kesehatan adalah kaum wanita. Ada dua hal yang menjadi penyebab. Pertama, gangguan kesehatan kaum wanita lebih banyak dari pada pria, terutama yang berhubungan dengan masalah kewanitaan. Kedua, wanita biasanya mengunjungi tempat pelayanan kesehatan karena mengantar anaknya, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sekaligus mendapatkan pelayanan kesehatan. Keadaan ini yang menyebabkan, mengapa wanita lebih banyak mengakses tempat pelayanan kesehatan (Joko: 2005). Astati dalam penelitiannya menyebutkan bahwa umur, tingkat pendidikan, biaya pengobatan berpengaruh positif dan nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun tingkat pendapatan berpengaruh negatif dan nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 37 sedangkan waktu kunjungan tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dan pada beban pekerjaan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara pekerjaan ringan dan pekerjaan berat dalam mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sedangkan jenis penyakit memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara penyakit ringan dan penyakit berat dalam mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Yuli Eko Sarwono (2011) dalam penelitiannya mengenai Analisis Permintaan Masyarakat Akan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Di Kota Semarang menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga, umur, tingkat pendidikan, kualitas layanan berpengaruh secara signifikan terhadap frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan. Peningkatan layanan di Puskesmas merupakan hal yang perlu dilakukan agar meningkatkan frekuensi kunjungan ke puskesmas Kota Semarang. Tahan P. Hutapea (2009) dalam penelitiannya mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemilihan Kelas Perawatan Pada Rumah Sakit Dr.Syaiful Malang, Jawa Timur menyimpulkan bahwa factor yang berpengaruh secara signifikan berdasarkan uji regresi logistik adalah ability (penghasilan), availability (kelengkapan sarana atau fasilitas kelas) dan willingness (biaya yang dikeluarkan untuk membayar perawatan). Faktor acceptability (kepuasan terhadap pelayanan) dan accessibility (jarak tempat tinggal dengan Rumah Sakit) tidak berpengaruh. 38 2.5 Kerangka Pikir Berangkat dari apa yang telah diungkapkan Grossman bahwa ada sejumlah stok kesehatan disetiap invidu, maka seorang individu pasti akan berusaha menjaga stok kesehatannya dengan mengkonsumsi (atau investasi) sejumlah pelayanan kesehatan. Namun, mengingat karakteristik pelayanan kesehatan yang heterogen, maka konsumen harus menentukan pilihan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkannya. Pilihan konsumen atas suatu pelayanan kesehatan tidak berdiri sendiri. Pilihan tesebut dipengaruhi oleh sederet faktor penentu. Dengan mengetahui pengaruh faktorfaktor penentu yang ada sedianya dapat diketahui bagaimana proses pilihan si konsumen dalam memilih pelayanan kesehatan. Setiap individu akan berusaha mencapai status kesehatan tertentu dengan menginvestasikan dan atau mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa kesehatan (Grossman, 1972). Dalam hal ini investasi dianggap sebagai jumlah permintaan individu terhadap pelayanan kesehatan, dengan unit analisis yaitu jumlah atau frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan dalam kurun waktu tertentu. Jadi, investasi inilah yang akan menjadi variabel bebas (dependent variable) dalam analisis ini. Diasumsikan bahwa jumlah atau frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan merupakan kuantitas permintaan individu terhadap pelayanan kesehatan atas permasalahan kesehatan yang dimiliki individu tersebut. Ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan 39 modern. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Fuchs et al dalam Laksono, 2005; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990). Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan. Biaya atau harga pelayanan kesehatan dengan permintaan pelayanan kesehatan berpengaruh negatif. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. (Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson, 1990). Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Hal ini sesuai dengan teori permintaan yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al,1975; Mills & Gilson,1990). Obat alternatif merupakan komoditas yang dapat menggantikan fungsi dari biaya atau harga kunjungan ke rumah sakit sehingga harga komoditas pengganti dapat mempengaruhi permintaan komoditas yang dapat digantikannya. Pada umumnya bila harga komoditas pengganti bertambah murah maka komoditas yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan (Sugiarto: 2005). 40 Tingkat pendidikan seseorang dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan berpikir, daya tangkap dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Tingkat pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikannnya, masyarakat lebih menganggap penting faktor kesehatan (Andersen et al, 1975; Fuchs et al dalam Laksono, 2005; Santerre & Neun, 2000). Jenis penyakit mempengaruhi permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Semakin berat jenis penyakit seseorang, akan lebih meningkatkan permintaannya terhadap jasa pelayanan kesehatan. Sebab semakin kompleks penyakit yang dideritanya berarti semakin tinggi pula penanganan yang harus dilakukan yang berarti akan meningkatkan permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Kualitas layanan kesehatan berpengaruh terhadap permintaan layanan kesehatan, kualitas layanan meliputi penilaian mengenai keputusan dokter, penanganan medis yang dilakukan, tingkat kemanjuran dll. Semakin tinggi kualitas layanan yang diberikan maka semakin tinggi permintaan terhadap pelayanan kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990). Adapun kerangka pemikiran yang ingin dipaparkan dalam penulisan ini dapat divisualisasikan dalam Gambar 1. Gambar 1 menguraikan tentang bagaimana pengaruh dari faktor tingkat pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, lama 41 pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan terhadap besarnya permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Pendapatan Biaya atau Harga Kunjungan Jarak Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar Biaya atau Harga Obat Alternatif Pendidikan Jenis Penyakit Kualitas Layanan Gambar 1. Kerangka Pikir Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar. Berdasarkan permasalahan pokok di atas kemudian dikemukakan tujuan dan kegunaan serta hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang dikemukakan. Kemudian untuk membuktikan hipotesis, maka digunakan model analisis regresi berganda yang akan menunjukkan pengaruh dari faktor-faktor yang telah diajukan terhadap besarnya jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. 42 2.6 Hipotesis Hipotesis adalah pendapat sementara dan pedoman serta arah dalam penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menguhubungkan dua variabel atau lebih (J. Supranto, 1997). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : Diduga bahwa secara parsial pendapatan, biaya atau harga obat alternatif, pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan biaya atau harga kunjungan dan jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Diduga pula bahwa secara simultan pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan berpengaruh terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. 43 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, ibukota dari provinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki tempat pelayanan kesehatan yang sudah cukup baik dan maju di bandingkan dengan Kota dan Kabupaten lainnya di provinsi Sulawesi Selatan. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi yaitu sekelompok orang, kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu (Indriantoro dan Supamo, 1999). Masalah populasi timbul terutama pada penelitian yang menggunakan metode survey sebagai teknik pengumpulan data. Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna fasilitas kesehatan di Kota Makassar, dalam hal ini fasilitas kesehatan dapat berupa rumah sakit umum milik pemerintah maupun swasta, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium, puskesmas, jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi, bidan, jasa dokter: umum, spesialis, gigi, maupun pengobatan alternatif seperti jasa pengobatan herbal, tabib, dukun yang ada di Kota Makassar. Sampel adalah bagian yang menjadi objek sesungguhnya dari suatu penelitian, dan metodologi untuk memilih dan mengambil individu-individu masuk ke dalam sampel yang representatif disebut sampling (Soeratno dan Arsyad, 1999). Sampel 44 dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode accidental sampling yaitu pengambilan sampel secara acak. Adapun jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 100 responden. Accidental sampling adalah cara pengambilan sampel dengan cara mengambil sampel dimana pun didapatkan tanpa syarat pengambilan tertentu. Hasil dari sampling tersebut memiliki sifat yang objektif. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data penelitian merupakan faktor yang penting yang menjadi pertimbangan yang menentukan metode pengumpulan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis berdasarkan pada pengelompokannya yaitu : a. Data Primer Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian (Indriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diambil berdasarkan kuesioner yang diwawancarakan kepada responden. Data primer tersebut meliputi identitas responden, jumlah kunjungan untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan di lingkup Kota Makassar, pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan ke fasilitas kesehatan, jarak tempat tinggal terhadap 45 fasilitas kesehatan, umur responden, biaya atau harga obat alternatif yang dikeluarkan, tingkat pendidikan dan jenis penyakit. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Indriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, literatur-literatur lain yang membahas mengenai materi penelitian berupa data jumlah pengunjung dan data pendukung lainnya yang dianggap dapat mendukung penelitian ini. Adapun yang termasuk dalam data sekunder berupa data jumlah pemanfaatan Rumah Sakit dan jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap di sarana pelayanan kesehatan di Kota Makassar. 3.4 Metode Pengumpulan Data 1. Penelitian Lapangan Yaitu pengambilan data di daerah/ lokasi penelitian dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut: Observasi Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang keadaan lapangan dengan pengamatan yang dilakukan terhadap masyarakat yang senantiasa bersifat obyektif faktual. Tujuannya untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai keadaan lokasi penelitian. 46 Interview Untuk mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai masyarakat, maka dilakukan wawancara terhadap narasumber dan responden yaitu masyarakat. Kuisioner Kuisioner digunakan untuk merekam data tentang kegiatan masyarakat. Pengisian kuisioner dilakukan secara terstruktur dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. 2. Penelitian Kepustakaan Yaitu penelitian melalui beberapa buku bacaan, literatur atau keteranganketerangan ilmiah untuk memperoleh teori yang melandasi dalam menganalisa data yang diperoleh dari lokasi penelitian. 3.5 Metode Analisis Model analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis inferensial, yaitu analisis regresi berganda untuk mengetahui pengaruh pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, tingkat pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan terhadap jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar yang dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7) ………………………………………(1) 47 Secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas berikut: Y = β0 X1 β1 X2 β2 X3 β3 X4 β4 e β5X5 + β6X6+ β7X7 + μ ………………………………..(2) Untuk mengestimasi koefisien regresi, Feldstein (1988) mengadakan transformasi ke bentuk linear dengan menggunakan logaritma natural (ln) ke dalam model sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: LnY = Ln β0 + β1Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 X5 + β6 X6+ β7 X7 + 𝛍i ……………………..……………….(3) dimana: Y : Permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan Β0 : Konstanta β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7 : Parameter X1 : Pendapatan keluarga X2 : Biaya atau harga kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan X3 : Jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan X4 : Biaya atau harga obat alternatif yang menunjang kesehatan pengguna jasa pelayanan kesehatan X5 : Tingkat Pendidikan pasien X6 : Jenis Penyakit X7 : Kualitas Layanan μi : Error term 48 3.6 Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik pada model regresi digunakan untuk menunjukkan apakah hubungan antara variabel bebas memiliki hubungan yang valid atau tidak terhadap variabel terikat. Adapun asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain: a. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah tidak adanya hubungan linear antar variabel independen dalam suatu model regresi. Untuk mengetahui atau mendeketsi ada tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel bebas (Correlation Matrix) dimana apabila kurang dari 0,80 maka tidak terdapat multikolinearitas dan sebaliknya apabila hubungan variabel di atas 0.80 maka terdapat multikolinearitas. Selain itu, untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan cara lain, yakni dengan membandingkan nilai koefisien determinasi parsial (r2) dengan nilai koefisien determinasi majemuk (R2), jika r2 lebih kecil dari nilai R2 maka tidak terdapat multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah- ubah atau keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Untuk mendeteksi heteroskedasitas pada model persamaan regresi dilakukan dengan Uji White Test menggunakan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance. 49 Selain itu, pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan Uji White Test menggunakan cross term, yaitu dengan cara meregresi residual kuadrat (Ui2) dengan variabel bebas, variabel bebas kuadrat dan perkalian variabel bebas. Pedoman dalam penggunaan model white test adalah jika nilai Chi-Square hitung (nilai R2 untuk menghitung χ2, di mana χ2 = Obs*R-square) lebih besar dari nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan tertentu, maka ada heterokedasitisitas dan sebaliknya jika ChiSquare hitung lebih kecil dari nilai X2 tabel menunjukan tidak adanya heterokedasitisitas. c. Uji Autokolerasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat adanya autokorelasi antara variabel bebas yang diurutkan berdasarkan waktu. Hal ini dapat dilihat dalam pengujian terhadap nilai Durbin Watson (Uji DW). Nilai DW kemudian dibandingkan dengan nilai d-tabel. Hasil perbandingan akan menghasilkan kesimpulan seperti kriteria sebagai berikut: 1. Jika d < dl, berarti terdapat autokorelasi positif 2. Jika d > (4 - dl), berarti terdapat autokorelasi negatif 3. Jika du < d < (4 - dl), berarti tidak terdapat autokorelasi 4. Jika dl < d < du atau (4 - du), berarti tidak dapat disimpulkan Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi dari masing-masing koefisien regresi variabel independen terhadap variabel dependen maka dapat menggunakan uji statistik diantaranya : 50 1. Analisis koefisien determinasi (R2) Analisis koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar pengaruh variabel independen (pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, tingkat pendidikan, jarak, biaya atau harga obat alternatif, jenis penyakit dan kualitas layanan) terhadap variabel dependen (pemintaan jasa pelayanan kesehatan). Koefisien Determinan (R2) pada intinya mengukur kebenaran model analisis regresi. Dimana analisisnya adalah apabila nilai R2 mendekati angka 1, maka variabel independen semakin mendekati hubungan dengan variabel dependen sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan model tersebut dapat dibenarkan. Model yang baik adalah model yang meminimumkan residual berarti variasi variabel independen dapat menerangkan variabel dependennya dengan α sebesar diatas 0,75 (Gujarati, 2003), sehingga diperoleh korelasi yang tinggi antara variabel dependen dan variabel independen. Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias terhadap satu variabel indipenden yang dimasukkan dalam model. Setiap tambahan satu variabel indipenden akan menyebabkan peningkatan R2, tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara siginifikan terhadap varibel dependen (memiliki nilai t yang signifikan). 51 2. Uji Statistik F Uji ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara signifikan terhadap variabel dependen. Dimana jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima atau variabel independen secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (tidak signifikan) dengan kata lain perubahan yang terjadi pada variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh perubahan variabel independen, dimana tingkat signifikansi yang digunakan yaitu 5%. 3. Uji Statistik t Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada variabel dependen secara nyata. Untuk mengkaji pengaruh variabel independen terhadap dependen secara individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : ß1 = 0 tidak berpengaruh, H1 : ß1 > 0 berpengaruh positif, H1 : ß1 < 0 berpengaruh negatif. Dimana ß1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilaiparameter hipotesis. Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X1 terhadap Y. Bila thitung > ttabel maka Ho diterima (signifikan) dan jika thitung < ttabel Ho diterima (tidak signifikan). Uji t 52 digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak, dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5%. 3.7 Batasan Variabel Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis memberikan batasan variabel yang meliputi: 1) Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan (Y) adalah banyaknya kunjungan yang dilakukan pengguna jasa layanan kesehatan selama 3 bulan terakhir yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan di lingkungan Kota Makassar, dalam hal ini fasilitas kesehatan dapat berupa rumah sakit umum milik pemerintah maupun swasta, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium, puskesmas, jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi, bidan, jasa dokter: umum, spesialis, gigi, maupun pengobatan alternatif seperti jasa pengobatan herbal, dukun, tabib yang ada di Kota Makassar. Skala pengukuran variabel ini adalah dalam frekuensi kunjungan. 2) Pendapatan (X1) adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan baik dari pendapatan utama, sampingan dan lainnya, variabel ini diukur dengan rata-rata jumlah total semua pendapatan yang diterima keluarga konsumen dengan satuan rupiah tiap bulannya. 3) Biaya atau harga kunjungan (X2) merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pengunjung selama menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan meliputi biaya 53 rawat jalan, biaya rawat inap, dan biaya konsultasi yang diukur dengan satuan rupiah dalam setahun terakhir. 4) Jarak (X3) merupakan jarak lokasi tempat tinggal pengunjung dengan fasilitas kesehatan yang digunakan, yang diukur dengan satuan kilometer (km). 5) Biaya atau harga obat alternatif (X4) merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna jasa pelayanan kesehatan selain dari biaya kunjungan seperti biaya ke bidan, tabib, dukun atau pengobatan herbal, atau beli di apotik atau toko obat secara langsung yang diukur dengan satuan rupiah. 6) Tingkat pendidikan (X5) merupakan latar belakang pendidikan pengunjung atau pendidikan terakhir yang sudah diluluskan, yang diukur dengan jumlah tahun pendidikan yang sudah ditempuh. 0 = lulusan SMA ke bawah atau 1 = lulusan D1 ke atas. 7) Jenis penyakit (X6) merupakan jenis penyakit yang diderita oleh pengguna jasa pelayanan kesehatan. 0 = penyakit ringan atau 1 = penyakit berat. 8) Kualitas layanan (X7) merupakan penilaian pengunjung mengenai baik atau tidaknya layanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang digunakan dengan skala pengukuran yaitu 0 = tidak memuaskan atau 1 = sangat memuaskan. 54 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Kota Makassar Kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan juga merupakan pintu gerbang dan pusat perdagangan Kawasan Timur Indonesia. Secara geografis Kota Makassar terletak di Pesisir Pantai Barat bagian selatan Sulawesi Selatan, pada titik koordinat 119°, 18’, 27’, 97” Bujur Timur dan 5’. 8’, 6’, 19” Lintang Selatan. Secara administratif Kota Makassar mempunyai batas-batas wilayah yaitu Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa, Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Topografi pada umumnya berupa daerah pantai. Letak ketinggian Kota Makassar berkisar 0,5 – 10 meter dari permukaan laut. Kota Makassar memiliki luas wilayah 175,77 km2 yang terbagi kedalam 14 Kecamatan dan 143 Kelurahan. Selain memiliki wilayah daratan, Kota makassar juga memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai Kota makassar. Adapun pulau-pulau di wilayahnya merupakan bagian dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah. Pulau-pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau karang sebanyak 12 pulau, bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang, 55 atau disebut juga Pulau-pulau Pabbiring atau lebih dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde. Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Lanjukang (terjauh), pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone Tambung, Pulau Kodingareng, pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, pulau Kodingareng Keke, Pulau Samalona, Pulau Lae-Lae, Pulau Gusung, dan Pulau Kayangan (terdekat). Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin Rasio jenis kelamin penduduk Kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki. Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen), dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 persen). Ditinjau dari kepadatan penduduk kecamatan Makassar adalah terpadat yaitu 33.390 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (30.457 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.872 jiwa per km persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.709 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan Tamalanrea 2.841 jiwa per km persegi), Manggala (4.163 jiwa 56 per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (8.266 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang 8.009 jiwa per km persegi. Wilayah-wilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah tersebut masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di 3 (tiga) kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala. 4.1.2 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Makassar Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan bisa dilihat dari 2 aspek kesehatan yaitu sarana kesehatan dan sumber daya manusia. Pada tahun 2009 di Kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2009, dari 121 unit puskesmas dapat dikategorikan menjadi 37 puskesmas, 47 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah. Di samping sarana kesehatan, ada sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter praktek sebanyak 3.551 orang dan bidan praktek sebanyak 117 orang. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar pada tahun 2009 tercatat ada 37 buah rumah sakit, 13 buah rumah sakit bersalin, dan 16 buah puskesmas. Sarana kesehatan di Kota Makassar dapat dirinci pada Tabel 4.1. 4.2 Hubungan Antar Variabel yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan bahwa sebagian besar responden menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan yang ada di kota Makassar sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya 57 pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak tempat tinggal terhadap sarana kesehatan, biaya atau harga obat alternatif, tingkat pendidikan, dan jenis penyakit. Selain itu, faktor kualitas dari jasa pelayanan kesehatan di lingkungan kota Makassar juga sangat mempengaruhi frekuensi kunjungan responden. Tabel 4.1 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Makassar No. Sarana Pemilikan /Pengelolaan Kesehatan Pem. Pem. Pem. TNI/ Pusat Prop. Kota Polri 1 2 1 3 Swasta 1 Rumah Sakit Umum 2 Rumah Sakit Jiwa 1 3 Rumah Sakit Bersalin 2 4 RS.Khusus lainnya 1 5 Puskesmas 37 6 Puskesmas Pembantu 47 7 Puskesmas Keliling 37 8 Balai Pengobatan 9 Apotik 291 10 Toko Obat 46 11 Dokter Praktek 2176 2 8 10 2 Sumber : Makassar Dalam Angka, 2010 58 4.2.1 Hubungan Antara Pendapatan Keluarga dengan Frekuensi Kunjungan Tabel 4.2 ini adalah distribusi reponden dilihat dari pendapatan keluarga dengan jumlah kunjungannya ke tempat pelayanan kesehatan selama tiga bulan terakhir dalam hal ini masyarakat yang menggunakan fasilitas jasa pelayanan kesehatan di lingkungan Kota Makassar. Pada umumnya masyarakat menggunakan jasa pelayanan kesehatan yang ada di Kota Makassar tingkat keseringannya di bawah 8 kali. Hal ini dikarenakan responden cenderung menggunakan jasa pelayanan kesehatan tersebut hanya pada saat mereka membutuhkannya. Berdasarkan pada Tabel 4.2 diketahui bahwa dari 100 responden (100 persen) yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp 500.000,00 sampai Rp 999.999,00 per bulan sebanyak 7 responden (7 persen) dengan frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali selama satu tahun terakhir. Kemudian dari 31 responden (31 persen) yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 2.499.999,00 per bulan, sebanyak 19 persen (19 responden) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali dan 12 persen (12 responden) memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali. Adapun dari 42 responden (42 persen) yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp 2.500.000,00 sampai Rp 5.000.000,00 per bulan sebanyak 16 persen (16 responden) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali kunjungan, 19 persen (19 responden) memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali, dan 7 persen (7 responden) memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Kemudian dari 20 responden (20 persen) yang memiliki pendapatan keluarga di atas Rp 5.000.000,00 per bulan, 59 sebanyak 2 persen (2 responden) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, hanya 5 persen (5 responden) yang memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali, dan 13 persen (13 persen) memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Pendapatan Keluarga dengan Frekuensi Kunjungan Pendapatan Frekuensi Kunjungan Total (Ribu Rupiah) 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali 500 - 999,999 7 0 0 7 1000 - 2499,999 19 12 0 31 2500 - 5000 16 19 7 42 >5000 2 5 13 20 Total 44 36 20 100 Sumber : Data Primer, 2012 Hal itu menunjukkan bahwa mayoritas pengguna jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar adalah kalangan yang berpenghasilan di atas Rp 2.500.000,00 atau bisa dikategorikan kalangan menengah ke atas/ mampu jika di bandingkan dengan pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan yang sebesar Rp. 5.890.286,00 per tahun atau Rp. 490.857,16667 per bulan pada tahun 2010 (BPS Kota Makassar, 2011). 60 4.2.2 Hubungan Antara Biaya atau Harga Kunjungan dengan Frekuensi Kunjungan Distribusi besarnya biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap responden dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada tempat pelayanan kesehatan yang ada di kota Makassar, dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan pada Tabel 4.3 diketahui bahwa dari 38 responden (38 persen) yang memiliki biaya atau harga kunjungan di bawah Rp 150.000,00 sebanyak 31 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali dan 7 responden memiliki frekuensi kunjungan sebanyak 3 sampai 4 kali. Adapun pada level biaya atau harga kunjungan antara Rp 150.000,00 sampai Rp. 499.999,00 yang memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali sebanyak 9 responden, 14 responden memiliki frekuensi sebanyak 3 sampai 4 kali dan 4 responden yang memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4. Kemudian dari 100 responden 28 responden di antaranya memiliki biaya atau harga kunjungan antara Rp 500.000,00 sampai Rp 1.000.000,00 yang terdiri dari frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali sebanyak 3 responden, frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali sebanyak 13 responden dan 12 responden yang frekuensi kunjungannya lebih dari 4 kali. Sisanya dari 7 responden yang memiliki biaya atau harga kunjungan lebih dari Rp 1.000.000,00, sebanyak 1 responden yang memiliki frekuensi kunjungannya 1 sampai 2 kali dan 6 responden yang frekuensi kunjungannya lebih dari 4 kali. 61 Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Biaya atau Harga Kunjungan dengan Frekuensi Kunjungan Biaya atau Harga Frekuensi Kunjungan Kunjungan Total (Ribu Rupiah) 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali <150 31 7 0 38 150 - 499,999 9 14 4 27 500 - 1000 3 13 12 28 >1000 1 0 6 7 Total 44 34 22 100 Sumber : Data Primer, 2012 Dari pengamatan yang telah dilakukan variasi biaya kunjungan yang dikeluarkan oleh responden tergantung pada keperluan menggunakan jasa pelayanan kesehatan, jenis konsultasi, lama atau tidaknya perawatan dan beberapa faktor lain yang mempengaruhinya. Dari Tabel tersebut menunjukkan biaya kunjungan responden terbanyak berada pada kisaran di bawah Rp 150.000,00. 4.2.3 Hubungan Antara Jarak Tempat Tinggal dengan Frekuensi Kunjungan Gambaran jarak tempat tinggal responden terhadap jasa pelayanan kesehatan dalam penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.4. 62 Tabel 4.4 Distribusi Responden Jarak Tempat Tinggal dengan Frekuensi Kunjungan Jarak Frekuensi Kunjungan Total (kilometer) 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali <3 11 9 8 28 3 - 5,9 14 11 8 33 6–9 8 14 4 26 >9 11 2 0 13 Total 44 36 20 100 Sumber : Data Primer, 2012 Sebagian besar responden yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada tempat pelayanan yang ada di Kota Makassar mempunyai tempat tinggal yang jaraknya 3 sampai 5,9 kilometer terlihat dari tabel di atas, 33 responden memiliki tempat tinggal 3 sampai 5,9 kilometer dan 28 responden memiliki tempat tinggal yang jaraknya dibawah 3 kilometer, 26 responden bertempat tinggal 6 sampai 9 kilometer dan 13 responden memiliki tempat tinggal lebih dari 9 meter. Berdasarkan Tabel 4.4, terdapat 28 responden yang memiliki jarak tempat tinggal kurang dari 3 kilometer dengan 11 responden yang frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 9 responden dengan frekuensi 3 sampai 4 kali dan 8 responden dengan frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Adapun dari 33 responden yang memiliki tempat tinggal yang jaraknya 3 sampai 5,9 kilometer, sebanyak 14 responden 63 memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 11 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali, dan 8 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Kemudian dari 26 responden yang memiliki tempat tinggal yang jaraknya 6 sampai 9 kilometer, sebanyak 8 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 14 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali, dan 4 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Dan sisanya sebanyak 13 responden memiliki tempat tinggal yang jaraknya lebih dari 9 kilometer, 11 diantaranya memiliki frekuensi kunjungan sebanyak 1 sampai 2 kali, dan 2 responden yang memiliki kunjungan sebanyak 3 sampai 4 kali. 4.2.4 Hubungan Antara Biaya atau Harga Obat Alternatif dengan Frekuensi Kunjungan Distribusi besarnya biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap responden selain dari biaya kunjungan, dapat dilihat pada Tabel 4.5. Dari observasi yang telah dilakukan, besarnya biaya atau harga obat alternatif yang dikeluarkan berkisar di bawah Rp 50.000,00. Terdapat 38 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif kurang dari Rp. 50.000,00 dengan 30 responden yang frekuensi kunjungannya 1 sampai 2 kali dan 8 responden yang frekuensi kunjungannya 3 sampai 4 kali. Dari 34 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif antara Rp. 50.000,00 sampai Rp 99.999,00 sebanyak 12 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 18 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali dan 4 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Kemudian dari 19 responden yang 64 memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif antara Rp 100.000,00 sampai Rp. 200.000,00 sebanyak 2 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 6 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali dan 11 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Sisanya dari 9 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif lebih dari Rp 200.000,00 sebanyak 3 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali dan 6 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Tabel 4.5 Distribusi Responden Menurut Biaya atau Harga Obat Alternatif dengan Frekuensi Kunjungan Biaya atau Harga Frekuensi Kunjungan Total Obat Alternatif 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali < 50.000 30 8 0 38 50.000 - 99.999 12 18 4 34 100.000 - 200.000 2 6 11 19 > 200.000 0 3 6 9 Total 44 35 21 100 Sumber : Data Primer, 2012 65 4.2.5 Hubungan Antara Pendidikan dengan Frekuensi Kunjungan Pendidikan ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang telah ditempuh responden. Gambaran mengenai pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini. Tabel 4.6 Distribusi Responden Menurut Pendidikan dengan Frekuensi Kunjungan Frekuensi Kunjungan Pendidikan Total 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali ≤ SMA 33 14 3 50 ≥ D1 11 21 18 50 Total 44 35 21 100 Sumber : Data Primer, 2012 Berdasarkan pada Tabel 4.6 diketahui bahwa dari 50 responden (50 persen) yang pendidikannya SMA ke bawah, sebanyak 33 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 14 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali dan 3 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Adapun 50 reponden lainnya yang telah menempu pendidikan D1 ke atas, 11 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 21 responden memiliki frekuensi sebanyak 3 sampai 4 kali dan 18 responden yang memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesadaran akan kesehatan seperti penanganan penyakit, pemeriksaan kesehatan yang tepat, dan lainnya. Untuk 66 mengantisipasi hal tersebut peran pemerintah dalam menggalakkan pentingnya kesehatan bagi masyarakat dengan sosialisasi juga harus lebih terarah dan tepat sasaran. 4.2.6 Hubungan Antara Jenis Penyakit dengan Frekuensi Kunjungan Jenis penyakit ditentukan berdasarkan jenis penyakit yang di derita oleh responden. Gambaran mengenai jenis penyakit responden dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Distribusi Responden Menurut Jenis Penyakit dengan Frekuensi Kunjungan Frekuensi Kunjungan Pendidikan Total 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali Ringan 39 18 3 60 Berat 5 15 20 40 Total 44 33 23 100 Sumber : Data Primer, 2012 Berdasarkan pada Tabel 4.7 diketahui bahwa dari 60 responden (60 persen) yang menderita jenis penyakit ringan, sebanyak 39 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 18 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali dan 3 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Adapun 40 reponden lainnya yang menderita jenis penyakit berat, 5 responden memiliki 67 frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 15 responden memiliki frekuensi sebanyak 3 sampai 4 kali dan 20 responden yang memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. 4.2.7 Hubungan Antara Kualitas Layanan dengan Frekuensi Kunjungan Kualitas layanan kesehatan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan, berikut ini adalah penilaian responden terhadap kualitas layanan kesehatan yang ada di kota Makassar. Tabel 4.8 Distribusi Responden Menurut Kualitas Layanan dengan Frekuensi Kunjungan Frekuensi Kunjungan Kualitas Layanan Total 1-2 kali 3-4 kali > 4 kali Tidak memuaskan 7 2 0 9 Sangat memuaskan 37 33 21 91 Total 44 35 21 100 Sumber : Data Primer, 2012 Berdasarkan pada Tabel 4.8 diketahui bahwa dari 100 responden hanya 9 responden (9 persen) yang tidak puas terhadap kualitas layanan pada tempat pelayanan kesehatan yang ada di kota Makassar, sebanyak 7 responden yang memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali dan 2 responden memiliki frekuensi kunjungan 3 sampai 4 kali. Sisanya sebanyak 91 reponden menilai kualitas layanan kesehatan yang ada di kota Makassar sudah sangat memuaskan yang, 37 responden 68 memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 2 kali, 33 responden memiliki frekuensi sebanyak 3 sampai 4 kali dan 21 responden yang memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 4 kali. Berikut ini adalah gambaran mengenai profil sosial ekonomi responden agar mempermudah dalam membaca karakteristik responden yang menjadi obyek penelitian yang akan dianalisis. 1. Jenis Kelamin Dari hasil penelitian di temukan bahwa diantara 100 responden, 74 diantaranya berjenis kelamin perempuan, sedangkan sisanya sebanyak 26 dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa reponden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak menggunakan layanan kesehatan dibandingkan laki-laki. Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Laksono (2005) menyebutkan bahwa penggunaan pelayanan kesehatan oleh wanita ternyata lebih tinggi dari pada laki-laki karena wanita mempunyai insidensi terhadap penyakit yang lebih besar dan angka kerja wanita lebih kecil dari laki-laki sehingga kesediaan meluangkan waktu untuk pelayanan kesehatan juga lebih besar. 2. Waktu Tunggu Dalam Memperoleh Layanan Kesehatan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara 100 responden, 15 reponden menjawab waktu tunggu untuk mendapatkan layanan kurang dari 30 menit, 24 reponden menjawab 30 sampai 59 menit, 32 menjawab 69 60 sampai 119 menit dan sebanyak 29 responden mendapatkan layanan lebih dari 120 menit. 3. Jenis Layanan Kesehatan Dalam menggunakan layanan kesehatan, ada beberapa jenis layanan kesehatan yang digunakan masyarakat, berikut ini adalah gambaran mengenai jenis layanan kesehatan berdasarkan responden. Diantara 100 reponden, 23 reponden memilih menggunakan jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium, 16 reponden menggunakan puskesmas, 5 reponden menggunakan jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, fisioterapi, 25 reponden menggunakan jasa dokter umum, 26 reponden menggunakan jasa dokter spesialis, 3 reponden menggunakan jasa dokter gigi dan sebanyak 2 reponden menggunakan jasa lainnya berupa klinik kecantikan. 4. Alternatif Layanan Kesehatan Lain (Substitusi) Dalam menggunakan layanan kesehatan, ada beberapa alternatif layanan kesehatan lain yang digunakan masyarakat berikut ini adalah gambaran mengenai alternatif layanan kesehatan berdasarkan responden. Diantara 100 reponden, 52 reponden memilih membeli di Apotik atau toko obat secara langsung, 2 reponden menggunakan jasa bidan, 12 reponden memilih pengobatan tradisional(jamu), 33 reponden menggunakan jasa pengobatan tradisional (dukun, tabib) dan hanya 1 reponden menggunakan jasa alternatif lainnya yaitu tukang gigi. 70 4.3 Analisis Statistik Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan pada Tempat Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda yaitu persamaan regresi yang melibatkan 2 (dua) variabel atau lebih (Gujarati, 2003). Regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari suatu variabel dependen terhadap variabel independen. Perhitungan data dalam penelitian ini menggunakan program Eviews-3 dan SPSS-16.0. Program Eviews-3 dan SPSS-16.0 membantu dalam melakukan pengujian model yang telah ditentukan, mencari nilai koefisien dari tiap-tiap variabel, serta pengujian hipotesis secara parsial maupun bersama-sama. 4.3.1 Uji Asumsi Klasik 4.3.1.1 Uji Multikolineritas Multikolinieritas adalah hubungan yang terjadi diantara variabel independen atau variabel independen yang satu fungsi dari variabel independen yang lain. Untuk mendeteksi multikolinearitas dengan menggunakan E-Views dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel bebas (Correlation Matrix). Pada tabel 4.9 Correlation Matrix memperlihatkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada model persamaan ini karena semua variabel bebas memiliki korelasi yang lemah di bawah 0,80. 71 Tabel 4.9 Correlation Matrix obs Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y 1.000000 0.422033 0.636295 -0.063462 0.621108 0.495795 0.627261 0.325283 X1 X2 0.422033 1.000000 0.565640 -0.161843 0.558950 0.281822 0.363330 0.144776 0.636295 0.565640 1.000000 -0.037296 0.787008 0.471067 0.558832 0.101293 X3 -0.063462 -0.161843 -0.037296 1.000000 -0.010616 -0.091557 0.005261 0.022040 X4 0.621108 0.558950 0.787008 -0.010616 1.000000 0.586933 0.534380 0.192005 X5 0.495795 0.281822 0.471067 -0.091557 0.586933 1.000000 0.426974 0.104828 X6 X7 0.627261 0.363330 0.558832 0.005261 0.534380 0.426974 1.000000 0.262160 0.325283 0.144776 0.101293 0.022040 0.192005 0.104828 0.262160 1.000000 Dimana: Y : Permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan X1 : Pendapatan keluarga X2 : Biaya atau harga kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan X3 : Jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan X4 : Biaya atau harga obat alternatif yang menunjang kesehatan pengguna jasa pelayanan kesehatan X5 : Tingkat Pendidikan pasien X6 : Jenis Penyakit X7 : Kualitas Layanan 4.3.1.2 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah. Untuk mendeteksi heteroskedasitas pada model persamaan regresi maka digunakan 72 White Heteroskedasticity Test. Pada model regresi penelitian ini akan dibandingkan Estimation Output sebelum dan sesudah dilakukan koreksi dengan cross term. Dari hasil uji heterokedasitisitas dengan menggunakan uji white test yang menggunakan cross term, maka dapat disimpulkan bahwa nilai (Obs*R-Squared = X2-hitung) = 55,36677 < 116,51105 (X2-tabel), dengan df = 93 dan α = 0.05, dengan demikian hasil uji heterokedasitisitas (cross term) tidak terdapat adanya penyakit asumsi klasik (heterokedasitisitas), yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Hasil Estimasi dengan Uji White Test yang Menggunakan Cross Term White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared 2.721059 55.36677 Probability Probability 0.000299 0.004560 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 02/04/12 Time: 23:58 Sample: 1 100 Included observations: 100 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PENDAPATAN PENDAPATAN^2 PENDAPATAN*BIAYA PENDAPATAN*JARAK PENDAPATAN*ALTERNATIF PENDAPATAN*PENDIDIKAN PENDAPATAN*PENYAKIT PENDAPATAN*KUALITAS BIAYA BIAYA^2 BIAYA*JARAK BIAYA*ALTERNATIF BIAYA*PENDIDIKAN BIAYA*PENYAKIT BIAYA*KUALITAS JARAK 9.655109 -1.047668 0.067798 -0.067935 0.000632 -0.034517 0.123785 -0.000511 0.225559 -0.638687 0.042126 0.001047 0.080720 -0.204138 -0.028976 -0.183733 1.252020 6.202334 0.750544 0.035117 0.045851 0.043985 0.067359 0.094090 0.091154 0.154299 0.837525 0.029603 0.044297 0.061468 0.095215 0.096792 0.118195 0.662321 1.556690 -1.395879 1.930642 -1.481664 0.014373 -0.512428 1.315598 -0.005608 1.461833 -0.762588 1.423020 0.023629 1.313200 -2.143965 -0.299369 -1.554498 1.890351 0.1242 0.1673 0.0577 0.1430 0.9886 0.6100 0.1927 0.9955 0.1484 0.4483 0.1593 0.9812 0.1935 0.0356 0.7656 0.1247 0.0630 73 JARAK^2 JARAK*ALTERNATIF JARAK*PENDIDIKAN JARAK*PENYAKIT JARAK*KUALITAS ALTERNATIF ALTERNATIF^2 ALTERNATIF*PENDIDIKAN ALTERNATIF*PENYAKIT ALTERNATIF*KUALITAS PENDIDIKAN PENDIDIKAN*PENYAKIT PENDIDIKAN*KUALITAS PENYAKIT KUALITAS 0.001037 -0.118718 0.002112 0.211769 -0.120273 0.394144 -0.038333 -0.039714 -0.054526 0.114562 1.101720 0.241504 -0.054374 0.476838 -2.117101 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.553668 0.350193 0.161209 1.767211 59.89454 2.098936 0.041840 0.058921 0.080829 0.074299 0.127952 0.931657 0.050681 0.140536 0.099822 0.139270 1.531550 0.116617 0.183252 1.492532 1.556306 0.024790 -2.014882 0.026124 2.850210 -0.939987 0.423057 -0.756354 -0.282593 -0.546231 0.822592 0.719350 2.070924 -0.296717 0.319483 -1.360337 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.9803 0.0479 0.9792 0.0058 0.3506 0.6736 0.4520 0.7783 0.5867 0.4136 0.4744 0.0422 0.7676 0.7503 0.1782 0.153129 0.199985 -0.557891 0.275764 2.721059 0.000299 4.3.2.3Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat adanya autokorelasi antara variabel bebas yang diurutkan berdasarkan waktu. Hal ini dapat dilihat dalam pengujian terhadap nilai Durbin Watson (Uji DW) yang di bandingkan dengan nilai d-tabel. Berdasarkan Tabel 4.11 memperlihatkan bahwa uji DW sebesar 1,855708, dengan dl sebesar 1,5279 dan du sebesar 1,8262 maka dapat di simpulkan bahwa du = 1,8262 < 1,855708 < (4 – dl = 1,5279 = 2,4721) berarti tidak terdapat autokorelasi pada model. 74 Tabel 4.11 Hasil Estimasi Pengaruh Pendapatan, Biaya atau Harga Kunjungan, Jarak Tempat Tinggal, Biaya atau Harga Obat Alternatif, Pendidikan, Jenis Penyakit dan Kualitas Layanan Terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Di Kota Makassar Dependent Variable: PERMINTAAN Method: Least Squares Date: 01/25/12 Time: 23:24 Sample: 1 100 Included observations: 100 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PENDAPATAN BIAYA JARAK ALTERNATIF PENDIDIKAN PENYAKIT KUALITAS -2.346829 0.013695 0.149452 -0.035433 0.065752 0.172667 0.356854 0.382094 0.861732 0.064494 0.060685 0.060548 0.079050 0.103505 0.106164 0.149993 -2.723387 0.212346 2.462727 -0.585202 0.831779 1.668207 3.361330 2.547410 0.0077 0.8323 0.0156 0.5598 0.4077 0.0987 0.0011 0.0125 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 4.3.2 0.575326 0.543014 0.407976 15.31289 -48.07009 1.855708 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.942253 0.603508 1.121402 1.329815 17.80525 0.000000 Pengujian Hipotesis 4.3.2.1 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang 75 mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Dari hasil regresi pengaruh variabel pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak tempat tinggal, biaya atau harga obat alternatif , pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan (Y) diperoleh nilai R2 sebesar 0,575326. Hal ini berarti variasi variabel independen (bebas) menjelaskan variasi permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar sebesar 57,53 persen. Adapun sisanya variasi variabel lain dijelaskan diluar model sebesar 42,47 persen. Untuk R2 sebesar 0,575326 ini dinyatakan bahwa model valid sebab data yang digunakan adalah data primer. Dimana model yang valid apabila menggunakan data primer lebih dari 0,25 (R2 > 0,25). Secara terperinci hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 4.12. 4.3.2.2 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dari regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif , pendidikan, jenis penyakit, dan kualitas layanan terhadap frekuensi kunjungan pada tempat pelayanan kesehatan di Kota Makassar , maka diperoleh Ftabel sebesar 2,197679 (α:5% dan df :100-7=93) sedangkan F-statistik / F-hitung 76 sebesar 17,80525. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung > F-tabel). Tabel 4.12 Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda Variabel Penelitian Konstanta (c) Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. -2.346829 0.861732 -2.723387 0.0077 0.013695 0.064494 0.212346 0.8323 Biaya atau Harga Kunjungan 0.149452* 0.060685 2.462727 0.0156 Jarak Tempat Tinggal -0.035433 0.060548 -0.585202 0.5598 Biaya atau Harga Obat Alternatif 0.065752 0.079050 0.831779 0.4077 Pendidikan 0.172667 0.103505 1.668207 0.0987 Jenis Penyakit 0.356854* 0.106164 3.361330 0.0011 Kualitas layanan 0.382094* 0.149993 2.547410 0.0125 Pendapatan Keluarga R-squared 0.575326 R 0.76 Adjusted R-squared 0.543014 S.E. of regression 0.407976 F-statistic 17.80525 F-tabel (0,05:6:93) 2.197679 n 100 Df 93 t tabel (0,05:93) 1.985802 * Signifikansi pada level 5% Sumber : Lampiran, data diolah, 2012 77 4.3.1.3 Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik T) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh masingmasing variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dalam regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif , pendidikan, jenis penyakit, dan kualitas layanan terhadap frekuensi kunjungan pada tempat pelayanan kesehatan di Kota Makassar, dengan α:5% dan df = 93 (n-k =100-7), maka diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,985802. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel biaya atau harga biaya kunjungan, jenis penyakit dan kualitas layanan berpengaruh signifikan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Sedangkan pendapatan keluarga, jarak tempat tinggal, biaya atau harga obat alternatif dan pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan. Biaya atau harga kunjungan dengan koefisien 0,149452 dengan nilai t-statistic 2,462727 menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan biaya atau harga kunjungan jasa pelayanan kesehatan sebesar 1% maka permintaan kunjungan akan meningkat sebesar 0,149252%, hal ini menunjukkan bahwa jasa pelayanan kesehatan tidak termasuk barang normal sesuai yang dikemukakan oleh Scheiber (1990) dalam essential of health economics (Diane M. Dewar, 2008) yang mengatakan bahwa layanan kesehatan merupakan barang superior. Hal ini berlaku baik bagi Negara industry maupun Negara berkembang. 78 Untuk variabel jenis penyakit menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara penyakit berat dan penyakit ringan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Penyakit berat mempunyai pengaruh yang lebih besar di bandingkan penyakit ringan. Adapun variabel kualitas layanan menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara responden yang puas terhadap pelayanan kesehatan yang ada di Kota Makassar di bandingkan responden yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang ada di Kota Makassar. Variabel biaya atau harga kunjungan signifikan dengan t-hitung sebesar 2,462727, jenis penyakit dengan t-hitung sebesar 3,361330 dan kualitas layanan dengan t-hitung sebesar 2,547410. 4.4 Interpretasi Hasil Dalam regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif , pendidikan, jenis penyakit, dan kualitas layanan terhadap frekuensi kunjungan pada tempat pelayanan kesehatan di Kota Makassar, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), diperoleh nilai seperti pada Tabel 4.12. 1. Pendapatan Keluarga Dari hasil regresi ditemukan bahwa besarnya pendapatan keluarga tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada tempat pelayanan kesehatan di kota Makassar. Hasil yang didapatkan tidak signifikan yang berarti variabel pendapatan keluarga tidak mempengaruhi 79 besarnya permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. Hal ini sejalan dengan Haeruddin (2007) mengenai analisis permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah syekh yusuf di Kabupaten Gowa menyimpulkan bahwa faktor pendapatan, pendidikan, umur mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dalam hubungannya dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah syekh yusuf sungguminasa. Jika di asumsikan variabel lain tetap maka kenaikan 1% pendapatan akan meningkatkan 0,013695% frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama tiga bulan terakhir. 2. Biaya atau Harga Kunjungan Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa biaya kunjungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan layanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian Andhika (2010) mengenai analisis permintaan penggunaan pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum milik pemerintah di kabupaten Semarang yang menyebutkan bahwa biaya atau harga kunjungan berpengaruh postif terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan layanan kesehatan. Samuelson & Nordhaus (1992) menyebutkan bahwa seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya, pertama kali yang akan dilakukan adalah pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan, selain itu juga dilihat apakah harganya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika harganya tidak sesuai, maka ia akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Konsep choice dan opportunity cost (Mills & Gilson 1990) berkaitan 80 dengan beberapa pilihan atas layanan kesehatan yang ada, yang berakibat pada biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing pilihan dengan tingkat kepuasan tertentu pula di masing-masing pilihan. Karena menurut Grossman (1972) permintaan kesehatan yang efektif akan terjadi ketika konsumen memiliki kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan. Jika di asumsikan variabel lain tetap maka kenaikan 1% biaya atau harga kunjungan akan meningkatkan 0,149452% frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama tiga bulan terakhir. 3. Jarak Tempat Tinggal Berdasarkan hipotesis penelitian jarak tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap frekuensi penggunaan jasa pelayanan kesehatan pada tempat pelayanan kesehatan di Kota Makassar, hal itu sejalan dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Jika diasumsikan dengan fungsi log maka kenaikan 1% jarak tempat tinggal seseorang terhadap lokasi jasa pelayanan kesehatan akan menurunkan 0.035433% frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama tiga bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andhika (2010) yang menyebutkan bahwa permintaan penggunaan jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh variabel jarak tempat tinggal terhadap lokasi daripada jasa pelayanan kesehatan. 81 Berdasarkan hasil penelitian mengenai jarak yang tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan, hal yang sama juga di dapatkan oleh Tahan P. Hutapea pada penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan (demand) masyarakat terhadap pemilihan kelas perawatan pada Rumah Sakit Umum Dr.Syaiful Anwar Malang, Jawa Timur. Hal ini dapat dijelaskan karena faktor jarak ini hanya menjadi bahan pertimbangan pada pemilihan tempat pelayanan kesehatan di kota Makassar. Jarak hanya berpengaruh pada pemilihan tempat pelayanan kesehatan karena responden tentu akan memikirkan kedekatan tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan. 4. Biaya atau Harga Obat Alternatif Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa biaya atau harga obat alternatif berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Samuelson & Nordhaus (1992) menyebutkan bahwa seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya, pertama kali yang akan dilakukan adalah pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan, selain itu juga dilihat apakah harganya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika harganya tidak sesuai, maka ia akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Konsep choice dan opportunity cost (Mills & Gilson 1990) berkaitan dengan beberapa pilihan atas layanan kesehatan yang ada, yang berakibat pada biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing pilihan dengan tingkat kepuasan tertentu pula di masing-masing pilihan. Karena menurut Grossman (1972) permintaan kesehatan yang 82 efektif akan terjadi ketika konsumen memiliki kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian mengenai biaya atau harga obat alternatif yang tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan, dapat dijelaskan bahwa kesediaan (willingness) tidak pada kondisi yang sama. Kurang spesifiknya variabel biaya atau harga obat alternatif menjadi kelemahan dalam proses pengukuran variabel ini. Jika di asumsikan variabel lain tetap maka kenaikan 1% biaya atau harga obat alternatif akan meningkatkan 0,065752 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama tiga bulan terakhir. 5. Pendidikan Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada perbedaan permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar berdasarkan tingkat pendidikan. Dari hasil regresi ditemukan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu Andhika (2010) dan Sugiarti (2005) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan. 6. Jenis Penyakit Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa ada perbedaan permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar berdasarkan tingkat jenis penyakit. Perbedaan permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar antara penyakit 83 berat dan penyakit ringan adalah sebesar 0,356754%. Permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar untuk penyakit berat lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit ringan.Hasil ini sejalan dengan penelitian Astati yang menyebutkan bahwa jenis penyakit memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara penyakit ringan dan penyakit berat dalam mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan pekerja usaha industri pakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. 7. Kualitas Pelayanan Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa ada perbedaan permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar berdasarkan tingkat kualitas layanan. Perbedaan permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar antara kualitas yang sangat memuaskan dan kualitas yang tidak memuaskan adalah sebesar 0,382094%. Permintaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar dengankualitas yang sangat memuaskan lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas yang tidak memuaskan. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu Andhika (2010) dan Sugiarti (2005) yang menyebutkan bahwa kualitas layanan kesehatan berpengaruh positif terhadap penggunaan layanan kesehatan, sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan, sehingga hipotesis penelitian dapat diterima. Keterangan : (*) Variabel pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan kesehatan menggunakan data kualitatif yang dikuantitatifkan maka interpretasi hanya sebatas pengaruhnya saja, karena koefisien variabel tidak bisa dijelaskan. 84 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kecenderungan permintaan yang terjadi di Kota Makassar terhadap jasa pelayanan kesehatan pada dasarnya berjalan cukup maksimal. Ada beberapa aspek yang menyangkut hal tersebut seperti pengetahuan masyarakat terhadap penggunaan layanan kesehatan, kesadaran atas kondisi kesehatan,serta kepuasan masyarakat dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan, dan faktor-faktor lainnya. 2. Penggunaan dan pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar dipengaruhi oleh beberapa variabel diantaranya biaya atau harga kunjungan, jenis penyakit dan kualitas layanan sedangkan pendapatan keluarga, pendidikan masyarakat, jarak atau aksesibilitas dan biaya atau harga obat alternatif tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan berdasarkan tingkat signifikansi variabel dan uji t yang diukur pada α=5%. 3. Hasil uji koefisien determinasi (R2) pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak, biaya atau harga obat alternatif , pendidikan, jenis penyakit, dan kualitas layanan terhadap frekuensi kunjungan pada tempat pelayanan kesehatan di Kota Makassar menunjukkan bahwa 85 besarnya nilai R-squared sedang yaitu 0.575326. Nilai ini berarti bahwa hanya 57,53 % variabel independen dapat dijelaskan oleh model. 4. Uji F-statistik menunjukkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi yaitu pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, jarak tempat tinggal, biaya atau harga obat alternatif, tingkat pendidikan, jenis penyakit dan kualitas layanan berpengaruh secara bersama-sama mempengaruhi variabel frekuensi kunjungan dalam penggunaan jasa pelayanan kesehatan di Kota Makassar. 4.2 Keterbatasan Kelemahan dalam analisis penelitian ini adalah tidak signifikannya pengaruh pendapatan keluarga, jarak tempat tinggal, biaya atau harga obat alternatif dan tingkat pendidikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan padahal beberapa teori menyebutkan bahwa variabel tersebut berpengaruh terhadap penggunaan layanan kesehatan, di sisi lain ada teori yang menyebutkan bahwa permintaan harus berdasarkan kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan, tidak samanya kesediaan dari semua responden menjadikan variabel ini tidak signifikan dan seharusnya lebih spesifik lagi dalam proses pengukurannya. 4.3 Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka pada bagian ini dikemukakan beberapa saran dan rekomendasi sebagai berikut: 86 a. Berkaitan dengan adanya pengaruh positif tingkat pendidikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan yang berarti perlu dilakukannya upaya peningkatan kesadaran terhadap status kesehatan yang dimiliki masyarakat terutama yang berpendidikan rendah, sedangkan implikasi kebijakan yang berkaitan dengan pengaruh jarak terhadap penggunaan layanan kesehatan adalah dengan cara mendirikan atau merencanakan program kesehatan oleh pemerintah daerah setempat yang bertujuan memeratakan dan memudahkan masyarakat terutama bagi masyarakat yang sulit mengakses layanan kesehatan dengan kualitas yang sama di setiap fasilitas layanan kesehatan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas layanan kesehatan sudah seharusnya ditingkatkan kaitannya dengan pengaruh kualitas layanan kesehatan dengan tingkat penggunaannya / permintaannya. b. Dilihat dari sisi permintaan, maka rekomendasi yang diberikan adalah dengan meningkatkan permintaan masyarakat terhadap layanan kesehatan dengan peran serta masyarakat yang kooperatif terhadap kebijakan pemerintah yang dilakukan, sehingga kedepanya bisa tercipta penawaran dan permintaan yang seimbang supaya tercipta kondisi tingkat kesehatan yang lebih baik. Tingkat kesehatan yang baik bisa menjadi tolak ukur kualitas SDM dan daya saing tiap-tiap daerah. c. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini masih terbatas pada lingkup layanan kesehatan yang berupa tempat pelayanan yang ada di Kota 87 Makassar. Oleh karena itu, lingkup penelitian bisa diperluas lagi untuk mendapatkan analisis yang lebih menyeluruh. Berkaitan dengan variabel dan metode penelitan yang digunakan perlu dikaji lagi pengukurannya terutama terutama variabel pendapatan keluarga, jarak, biaya atau harga obat alternatif dan pendidikan. Oleh karena itu, studi lanjutan perlu dilakukan sehubungan dengan saran tersebut sehingga hasilnya bisa lebih baik lagi. 88 DAFTAR PUSTAKA Ananta dan Hatmadi. 1985. Mutu Modal Manusia : Suatu Analisis Pendahuluan. Jakarta: LPFE UI. Andersen, Ronald et al.. 1975. Equity In Health : Empirical Analysis in Social Policy. London : Cambridge Mall Bailinger Publishing. Andhika. 2010. Analisis Permintaan Penggunaan Layanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Milik Pemerintah Di Kabupaten Semarang. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Arsyad, Lincolin (1991). Ikhtisar teori dan Soal Jawab Ekonomi Mikro, Edisi 1. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Azwar, azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kesehatan 2004-2008. Makassar. Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar. Departemen Kesehatan. 1997. Dewar, Diane M., 2009. The Essential Of Health Economics. First Edition. USA: Jones & Bartlett Publishers. Folland Sherman, Allen C. Goodman and Miron Stano. 2001. The Economics of Health and Health Care. Third Edition. New Jersey: Prentis Hall Inc. Grossman, Michael. 1972. On The Concept of Health Capital and Demand for Health. Journal of Political Economic. Vol. 80. Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan : Sumarno Zain. Haeruddin. 2007. Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Syekh Yusuf Kabupaten Gowa. Makassar: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Hutapea, Tahan P., 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemilihan Kelas Perawatan Pada Rumah sakit Umum Dr.Syaiful Malang, Jawa Timur. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol 12: 94-101. 89 Indriantoro dan Supomo. 1999. Metodologi Untuk Aplikasi dan Bisnis. Yogyakarta : BPFE. Joko Mariyono et al.. 2005. “Ketimpangan Jender dalam akses Pelayanan Kesehatan Rumah Tangga Petani Pedesaan : Kasus Dua Desa di Kabupaten Tegal, Jawa tengah. Kasali, Rhenald. 2000. Membidik Pasar Indonesia Segmentasi, Targeting, Positioning. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Kunawangsih, Tri dan Antyo Pracoyo. 2006. Aspek Dasar Ekonomi Mikro. Jakarta: PT Grasindo. Laksono Trisnantoro. 2005. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Lipsey, Richard, Peter O. Steiner, Douglas D.Purvis, Paul N. Courant (1990), Microeconomics. Ninth edition. New York: Harper Collins Publishers. Maslow, A. 1970. Motivation and Personality 2nd Edition. New York : Harper and Row. Mills, Anne and Lucy Gilson. 1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-Negara Berkembang (Terjemahan). Jakarta : Dian Rakyat. Nicholson, W., 2003. Microeconomics: Basic Principle and Extenssion. The Dryden Press, Chicago. Nur, Musfira. 2011. Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Bersalin di Kota Makassar. Makassar : Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Pallutturi, Sukri. 2005. Ekonomi Kesehatan. Penerbit : Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UNHAS Pindycs, Robert S, Daniel L. Rubinfeld (1992) Microeconomics. Second edition. New York: MacMillan Publishing Company. Profil Kesehatan Makassar 2007. Rahmatia. 2004. Pola dan Efisiensi Konsumsi Wanita Perkotaan Sul Sel : Suatu Aplikasi Model Ekonomi RumahTangga untuk Efek Human Capital dan Social Capital. Disertasi PPS UH. Makasar. Sadono Sukirno. 2003. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 90 Salma, J. 1962. Health as An Investment. Journal of Political Economy. Vol.70 Samuelson, Paul A. 1997. Economics 11th Edition. New York : Mc Graw Hill. Santere, Rexford E and Neun Stephen P. 2000. Health Economics (Theories, Insight, and Indistry Studies) Revised Edition. USA : Harcourt College Publisher. Sarwono, Yuli Eko. 2011. Analisis Permintaan Masyarakat Akan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Di Kota Semarang. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Soeratno dan Arsyad. 2003. Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. Sugiarto, dkk. 2005. Ekonomi Mikro. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Supranto, J. 2001. Statistik : Teori dan Aplikasi Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Tjiptoherijanto. 1990. Ekonomi Kesehatan. Jakarta : Pusat Antar Universitas Indonesia. Todaro P Michael. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ke-3 Jilid 1. Jakarta PenerbitErlangga. Varian, Hal R. 1992. Microeconomics Analysis. Third Edtion. New York : Norton and Company. 91