ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN

advertisement
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini di Indonesia terdapat 129 gunung berapi yang masih aktif dan 500
gunung
yang tidak aktif. Jumlah gunung berapi ini merupakan 13 persen dari
jumlah seluruh gunung berapi di dunia dan 70 gunung diantaranya merupakan
gunung berapi aktif yang rawan meletus. Gunung berapi ini membentuk sabuk
memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada satu
rangkaian dan menerus ke arah utara sampai Laut Banda dan bagian Utara Pulau
Sulawesi sepanjang kurang lebih 7000 km dengen berbagai karakter gunung
berapi di dalamnya. Selain itu, lebih dari 10 persen penduduk Indonesia bermukim
di kawasan rawan bencana gunung berapi dan 175 ribu jiwa manusia menjadi
korban letusan gunung berapi selama seratus tahun terakhir.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui kerentanan Indonesia akan
bencana letusan gunung berapi. Oleh karenanya, pengetahuan akan gunung
berapi menjadi penting untuk diketahui, baik dari segi definisi maupun hazard
assessment-nya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang
dapat dikaji dan dibahas dalam laporan ini, yaitu:
1. Apa definisi dan jenis-jenis gunung berapi?
2. Bagaimana catatan sejarah dan jumlah korban akibat letusan gunung
berapi?
3. Bagaimana langkah-langkah hazard assessment gunung berapi?
4. Bagaimana studi kasus dalam gunung berapi?
1.3 Tujuan dan Sasaran Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui informasi dan hazard
assessment gunung berapi. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran yang
ingin dicapai antara lain:
1. Identifikasi definisi dan jenis-jenis gunung berapi,
1
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
2. Identifikasi sejarah dan jumlah korban akibat letusan gunung berapi,
3. Identifikasi langkah-langkah hazard assessment gunung berapi, dan
4. Identifikasi studi kasus yang berkaitan dengan gunung berapi.
1.4 Metodologi Penulisan
Metodologi pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah
pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari buku-buku kepustakaan atau
literature yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Literature ini diperoleh
dari internet, handbook, dan referensi lainnya.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan terdiri dari tiga bab dengan beberapa sub bab di
dalamnya.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan berisi latar belakang penulisan laporan yang bertemakan
Gunung Api ini. Selanjutnya, dijelaskan rumusan masalah yang ingin dijelaskan
serta tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Dijelaskan pula
metodologi penulisan.
BAB II ISI
Bab ini mendeskripsikan gunung api yang terdiri dari definisinya, komponennya,
klasifikasi gunung api, sejarah erupsi gunung api, serta volcanic explosivity index.
Selanjutnya, dijelaskan hazard assessment untuk gunung api yang terdiri dari latar
belakang diadakannya hazard assessment, jenis bahaya gunung api, pendekatan
analisis bahayanya, langkah dan teknik hazard assessment, serta upaya
mitigasinya. Terakhir, dijelaskan studi kasus gunung api dengan mengambil kasus
pada gunung Selamet, Krakatau, Pinatubo, dan Merapi.
BAB III PENUTUP
Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari laporan ini yang menjawab tujuan studi
kasus serta saran untuk perbaikan studi yang dilakukan selanjutnya.
2
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
BAB II
ISI
2.1 Gunung Api
2.1.1 Definisi Gunung Api
Schieferdecker (1959) mendefinisikan gunung api adalah sebuah
tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar
atau sudah keluar pada masa lampau yang biasanya membentuk suatu
gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di bagian
puncaknya. Sementara itu, Macdonald (1972) menjelaskan gunung api
adalah tempat atau bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya
keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan
batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung.
Berdasarkan dua definisi tersebut dapat dikatakan gunung api harus ada
magma berupa batuan pijar atau gas yang keluar ke permukaan bumi
melalui kawah atau dapat didefinisikan sebagai lubang kepundan atau
rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau
cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dikeluarkan ke permukaan
bumi umumnya membentuk kerucut terpancung.
2.1.2 Komponen Gunung Api
Gunung api terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
1. Magma, cairan silikat pijar bersuhu 900-1400 Celcius yang terdapat
di dalam bumi.
2. Kawah utama, lubang erupsi berdiameter 2km yang terletak di
bagian puncak gunung api sebagai hasil erupsi pusat.
3. Pipa Kawah, lubang atau rekahan yang merupakan tempat magma
menerobos ke permukaan bumi.
4. Kawah Samping, lubang erupsi berdiameter 2 km yang terletak di
bagian lereng tubuh gunung berapi
5. Kerucut parasite: kerucut yang terbentuk dari akumulasi material
hasil erupsi di luar kawah utama yang terletak di bagian tubuh
3
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
gunung api dengan ukuran yang lebih kecil dari kerucut gunung api
utamanya.
6. Leleran lava: lava yang mengalir dari lubang kawah sebagai akibat
magma yang keluar ke permukaan bumi seraca efusi.
Jika penjelasan di atas diilustrasikan, maka:
Gambar 2.1 Komponen Gunung Api
Sumber: google.com
2.1.3 Klasifikasi Gunung Api Berdasarkan Tipe Letusan
Gunung api dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya
derajat fragmentasi dan luasnya, juga kuat lemahnya letusan serta tinggi
tiang asap menjadi 7 tipe erupsi, yaitu:
1. Tipe Hawaiian, erupsi tipe ini menghasilkan lava basalistik yang
sangat encer dan sedikit gas. Erupsi secara effusive dengan
beberapa debris piroklastis yang diawali dengan pembentukan
celah (fissure), kelompok semburan lava (lava fountains) dalam
beberapa kaldera pusat. Erupsi ini diikuti oleh aliran-aliran lava tipis
secara terus menerus dan membangun tubuh gunung api tipe
perisai. Tinggi letusan kurang dari 2 km. Contoh gunung api yang
memiliki erupsi tipe Hawaiian adalah Gunung Maona Loa, Maona
Kea, dan Kilauea di Hawaii
Gambar 2.2 Erupsi Tipe Hawaiian
Sumber: wong168.wordpress.com, 2011
4
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
2. Tipe Strombolian, erupsi tipe ini hampir sama dengan Hawaiian
berupa semburan lava pijar dari magma dangkal. Letusannya
terjadi dengan interval atau tenggang waktu yang hampir sama.
Semisal pada gunung api Stromboli di Kepulauan Lipari yang
tenggang waktu letusannya ± 12 menit yang artinya setiap 12 menit
terjadi letusan yang memuntahkan material, bom, lapilli, dan abu.
Tinggi letusannya kurang dari 10 km. Biasa terjadi pada gunung api
aktif di tepi benua atau tengah benua. Contoh: Gunung Vesuvius
dan Gunung Raung
3. Tipe Volkanian, letusan tipe ini mengeluarkan material padat
seperti bom, abu, lapilli, serta bahan-bahan padat dan cair atau
lava. Kekentalan magmanya dibentuk oleh konsentrasi gas yang
tinggi, membentuk tekanan letusan tinggi, sehingga bersifat
eksplosif. Konsentrasi gas berasal dari pemanasan air meteorik
oleh magma atau interaksi air dan magma membentuk erupsi
eksplosif dan non-eksplosif. Ketinggian letusannya mencapai
kurang dari 20 km. Contoh: Gunung Semeru dan Gunung Etna
(Italia).
4. Tipe Plinian, merupakan erupsi yang sangat eksplosif dari magma
berviskositas tinggi atau magma asam. Komposisi magma bersifat
andesitic sampai riolitik. Material yang dierupsikan berupa batu
apung dalam jumlah besar. Letusan ini ditandai dengan semburan
gas vulkanik dan abu vulkanik yang menyembur tinggi hingga
stratosfer. Komposisi kolom berupa tefra (abulapili pumis) yang
dibentuk oleh kolom letusan dengan sebaran yang sangat luas
berbentuk asimetris yang dipengaruhi arah angin. Durasi erupsinya
tinggi dari hitungan jam sampai harian, bahkan bulanan. Contoh:
Gunung Krakatau dan Gunung Tambora.
5
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.3 Erupsi Tipe Plinian
Sumber: wong168.wordpress.com, 2011
5. Tipe Sub Plinian, erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik dari
gunung api strato. Tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah
lava riolitik dan dapat menghasilkan pembentukan ignimbrit. Tinggi
letusannya kurang dari 30 km.
6. Tipe Ultra Plinian, erupsi tipe ini sangat eksplosif dan menghasilkan
endapan batu apung yang lebih banyak dan lebih luas daripada
tipe erupsi plinian biasa. Tinggi letusannya kurang dari 55 km.
7. Tipe Surtseyan dan Freatoplinian, erupsi ini terjadi pada pulau
gunung api, gunung api bawah laut, atau gunung api yang
berdanau kawah. Tinggi letusannya kurang dari 20 km.
Jika diilustrasikan, tipe erupsi gunung api dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.4 Tipe Erupsi Gunung Api
Sumber: Atlas Indonesia, 2010
6
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
2.1.4 Klasifikasi Gunung Api di Indonesia
Selain
diklasifikasikan
berdasarkan
tipe
erupsinya,
Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi membagi klasifikasi gunung api di
Indonesia untuk pemantauan dan pengamatan. Klasifikasi ini didasarkan
pada tingkat kegiatan dari gunung api, yakni:
1. Tipe A: gunung api yang meletus atau menunjukkan kegiatannya
sejak tahun 1600, berjumlah sebanyak 70 buah. Gunung tipe A
dipantau secara terus menerus kegiatannya dari pos Pengamatan
Gunung Api.
2. Tipe B: gunung api yang pernah meletus, tetapi sejak tahun 1600
tidak pernah menunjukkan peningkatan kegiatannya. Gunung tipe
ini berjumlah 29 buah di Indonesia.
3. Tipe C: gunung api yang dianggap sudah padam atau istirahat
lama. Pada daerah ini hanya terdapat jejak gunung api berupa sol
fatara, furmarola. Di Indonesia, terdapat 21 gunung pada tipe ini.
Klasifikasi ini hanya merupakan klasifikasi prioritas dalam pemantauan
karena dapat terjadi perubahan atau terjadi peningkatan kegiatan pada tipe
gunung api yang sudah lama beristirahat. Semisal Gunung Pinatubo di
Filipina yang meletus tahun 1990, padahal sudah beristirahat lebih dari 500
tahun.
2.1.5 Sejarah Erupsi Gunung Api
Pada bagian ini akan menjelaskan mengenai sejarah erupsi gunung
api yang terjadi di dunia. Setidaknya terdapat 12 letusan terbesar di dunia
yang didasarkan pada tingkat letusannya yang berdampak besar bagi umat
manusia, yaitu:
7
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Tabel 2.1 Dua Belas Letusan Terbesar Di Dunia
Sumber: Volcano World
Tiga letusan gunung api terbesar di dunia terdapat di Indonesia yang
dapat dibandingkan letusannya sebagai berikut:
Tabel 2.2 Tiga Letusan Terbesar Di Indonesia
Sumber: www.iwantolet.wordpress.com
Tabel perbandingan di atas menunjukkan bahwa gunung api yang ada
di Indonesia berperan dalam perkembangan sejarah manusia karena
dampak yang disebabkan oleh salah satu erupsinya hampir menyebabkan
kepunahan manusia, perubahan suhu global, dan berubahnya salah satu
bentuk muka bumi.
Berikut adalah tabel yang menjelaskan 25 letusan gunung api yang
terjadi di dunia serta jumlah korban tewas:
8
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Tabel 2.3 25 Letusan Gunung Api dan Korban Tewasnya
Volcano
Year Deaths Major cause of deaths
Tambora, Indonesia
1815
92,000 Starvation
Krakatau, Indonesia
1883
36,417 Tsunami
Mount Pelee, Martinique
1902
29,025 Ash flows
Ruiz, Colombia
1985
25,000 Mudflows
Unzen, Japan
1792
14,300 Volcano collapse, tsunami
Laki, Iceland
1783
9,350 Starvation
Kelut, Indonesia
1919
5,110 Mudflows
Galunggung, Indonesia
1882
4,011 Mudflows
Vesuvius, Italy
1631
3,500 Mudflows, lava flows
Vesuvius, Italy
79
3,360 Ash flows, falls
Papandayan, Indonesia
1772
2,957 Ash flows
Lamington, Papua New Guinea
1951
2,942 Ash flows
El Chichon, Mexico
1982
2,000 Ash flows
Soufriere, St. Vincent
1902
1,680 Ash flows
Oshima, Japan
1741
1,475 Tsunami
Asama, Japan
1783
1,377 Ash flows, mudflows
Taal, Philippines
1911
1,335 Ash flows
Mayon, Philippines
1814
1,200 Mudflows
Agung, Indonesia
1963
1,184 Ash flows
Cotopaxi, Ecuador
1877
1,000 Mudflows
Pinatubo, Philippines
1991
800 Disease
Komagatake, Japan
1640
700 Tsunami
Ruiz, Colombia
1845
700 Mudflows
Hibok-Hibok, Philippines
1951
500 Ash flows
NOTE: All eruptions with more than 500 known human fatalities. Based on data in Volcanic Hazards: A
Sourcebook on the Effects of Eruptions by Russell J. Blong (Academic Press, 1984).
Source: Volcano World. Web: volcano.und.edu/vw.html .
Tabel di atas menjelaskan waktu terjadinya erupsi gunung api di dunia serta
korbannya. Yang dapat diamati dari tabel ini adalah pada beberapa kejadian
gunung berapi, sebagian besar korban akibat secondary disaster dari erupsi
gunung api, seperti tsunami serta kelaparan. Artinya, bahaya gunung api
9
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
tidak terbatas pada lahar panas dan dingin atau pun abu, tapi juga pada
bencana sekunder yang terjadi akibat letusannya.
2.1.6 Volcanic Explosivity Index
Volcanic Explosivity Index (VEI) dikemukakan oleh Chris Newhall dari
U.S.Geological Survey dan Steve Self dari Universitas Hawaii tahun 1982
untuk menyediakan pengukuran relative dari besarnya kekuatan letusan
gunung berapi. Pengukuran VEI tidak hanya didasarkan pada data
kuantitatif, tapi juga kualitatif. Faktor-faktor yang dpertimbangkan termasuk
gambaran umum gunung berapi, volume tephra (bahan yang dikeluarkan
dari gunung berapi), kolom tinggi, deskripsi kualitatif, tipe letusan, jangka
waktu, Explosivity maksimum, dan injeksi tropospheric.
Kriteria gambaran umum VEI mengacu pada ukuran letusan dengan
katagori penilaian: non ledakan (0), kecil (1), sedang (2), sedang besar (3),
besar (4), sangat besar (5), super dahsyat (6), humongous (7), dan tak
terlukiskan (8). Ukuran dari VEI sangat tergantung pada titik pandang
pengalaman dan pengamat. Kriteria VEI ditunjukkan dalam tabel di bahwah
ini:
Tabel 2.4 Kriteria Volcanic Explocivity Index
Jika diilustrasikan, VEI dapat dijelaskan sebagai berikut:
10
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.5 Ilustrasi Volcanic Explocivity Index
Sumber: Global Volcanism Program
2.2 Hazard Assesment Gunung Api
2.2.1 Latar Belakang Hazard Assesment
Indonesia merupakan zona pertemuan antara lempeng Austalian dan
lempeng Eurasia dimana pada pertemuan lempeng tersebut, lempeng
Australian menyusup ke dalam zona Eurasian lalu membentuk zona
subduksi di sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur
dan melingkar di Banda. Hal tersebut menyebabkan banyaknya jumlah
gunung api di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 500 gunung api
dengan 129 di antaranya aktif. Gunung-gunung api aktif itu tersebar di
seluruh pulau dan merupakan 13% dari sebaran gunung api aktif dunia.
Gunung-gunung tersebut memiliki potensi bahaya yang cukup tinggi. Untuk
itu, diperlukan adanya hazard assessment untuk melakukan perencanaan
yang baik terhadap bahaya yang terjadi.
2.2.2 Jenis Bahaya Gunung Api
Jenis bahaya gunung api dibagi menjadi dua macam yaitu primary
hazard dan secondary hazard. Adapun penjelasan mengenai primary hazard
dan secondary hazard adalah sebagai berikut:
11
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN

Primary Hazard
Primary Hazard adalah bahaya yang muncul secara lansung. Primary
hazard dari gunung api antara lain:
a.
Aliran Lava
Aliran lava berbentuk pekat dan panas dapat merusak segala
infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari
kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka makin jauh
jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800o1200o C. Pada umumnya di Indonesia, aliran lava yang dierupsikan
gunungapi
memiliki
komposisi
magma
yang
menengah
sehingga
pergerakannya cukup lambat dan manusia dapat menghindarkan diri dari
terjangannya.
Gambar 2.6 Aliran Lava
Sumber: Foto Macdonald
b.
Abu dan Awan Panas
Abu dan awan Panas terjadi akibat runtuhan tiang asap erupsi plinian,
letusan langsung ke satu arah, guguran kubah lava atau lidah lava dan aliran
pada permukaan tanah (surge). Abu dan awan panas ini sangat dikontrol
oleh gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah atau lembah.
Mobilitas tinggi aliran ini dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau
lava atau dari udara yang terpanaskan pada saat mengalir. Kecepatan aliran
dapat mencapai 150 250 km/jam dan jangkauan alirandapat mencapai
puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.
12
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.7 Awan Panas
Sumber: Foto Macdonald
c.
Lahar
Lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau kawah.
Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman
langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.
d.
Gas gunung berapi
Gas ini muncul pada gunung api aktif dan biasanya mengandung
racun berupa CO, CO2,HCN, H2S, SO2 dan lain-lain, Jika konsentrasinya di
atas ambang batas, maka dapat membunuh makhluk hidup.
e.
Hujan Abu
Hujan abu terjadi dari letusan yang membentuk tiang asap cukup
tinggi. Pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai arah angina
kemudian jatuh lagi ke muka bumi. Hujan abu ini bukan merupakan bahaya
langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan merontokkan daundaun dan pepohonan kecil sehingga merusak agro dan pada ketebalan
tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat
menggelapkan bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur
penerbangan.
13
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.8 Hujan Abu
Sumber:Foto Krafft
f.
Tsunami
Tsunami dapat terjadi akibat aktifitas gunung berapi di dasar laut.
Aktifitas ini merupakan akibat dari pergeseran lempeng bumi yang
menyebabkan guguran lava maupun batuan gunung. Bila guguran lava ini
terjadi dalam volume yang cukup besar, maka dapat menyebabkan
terganggunya kondisi air laut. Air laut yang mendesak dapat mendorong dan
memunculkan gelombang tsunami.

Secondary Hazard
Secondary Hazard adalah bahaya yang muncul secara tidak langsung
sebagai
akibat
terjadinya
interaksi
antara
komponen-komponen
sumber primary hazard. Secondary hazard dari gunung api antara lain:
a.
Lahar Hujan
Lahar hujan terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi
gunungapi yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut olehhujan
atau air permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yangsangat pekat
sehingga dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu
besar berdiameter lebih dari 5 m dapat mengapung pada aliran lumpur ini.
Lahar juga dapat merubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak
infrastruktur.
14
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
b.
Banjir Bandang
Banjir bandang terjadi akibat longsoran material vulkanik lama pada
lereng gunun gapi karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran
Lumpur disini tidak begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan
bagi penduduk yang bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.
c.
Longsoran Vulkanik
Longsoran vulkanik dapat terjadi akibat letusan gunung api, eksplosi
uap air, alterasi batuan pada tubuh gunung api sehingga menjadi rapuh, atau
terkena gempa bumi berintensitas kuat. Longsoran vulkanik ini jarang terjadi
di gunung api secara umum sehingga dalam peta kawasan rawan bencana
tidak mencantumkan bahaya akibat longsoran vulkanik.
Berikut adalah ilustrasi yang menjelaskan bahaya dari gunung api:
Gambar 2.9 Bahaya Gunung Api
Sumber: Hendra Grandis, 2008
2.2.3 Pendekatan Analisis Bahaya Gunung Api
Dalam menganalisis bahaya gunung api, terdapat dua pendekatan
utama yang saling melengkapi, yaitu dengan analisis pendekatan sebagai
berikut:
15
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
1.
Analisis jangka menengah-panjang
Analisis ini mempelajari sejarah erupsi gunung berapi, peta rawan
bahaya gunung berapi, dan pemodelan. Yang paling utama dalam analisis
ini adalah mengkarakterisasi aktivitas keseluruhan gunung api dan bahaya
yang berpotensi di dalamnya.
2.
Analisis jangka pendek
Yang dilakukan dalam analisis ini adalah pengawasan singkat manusia
terhadap gunung berapi.
2.2.4
Langkah Hazard Assesment
Kajian terhadap resiko bencana alam terhadap suatu wilayah
dilakukan dengan meninjau terlebih dahulu potensi bahaya dan kerentanan
terhadap bencana di wilayah tersebut.
Risk = Vulnerability x Hazard
Persamaan di atas menyatakan bahwa potensi resiko bencana suatu
wilayah merupakan penggabungan dari hasil analisis terhadap bahaya
(Hazard) dan kerentanan (Vulnerability) wilayah tersebut terhadap bencana
alam, dimana potensi bahaya dan kerentanan suatu wilayah terhadap
bencana alam tentunya memerlukan suatu kajian secara menyeluruh, tepat,
dan akurat sehingga hasil pemetaan resiko bencana yang dihasilkan juga
akurat dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga muncul apa yang disebut
dengan Hazard Assesment dan Vulnerabilty Assesment. Dalam laporan
penelitian kali ini, jenis assessment yang akan dibahas adalah jenis Hazard
Assesment yang merupakan suatu kegiatan atau proses identifikasi,
penelitian, dan monitoring berbagai potensi bahaya untuk mengetahui
potensi, asal, karakter, dan sifat potensi bencana alam itu sendiri. Adapun
lingkup pembahasan Hazard Assesment yang akan dibahas dalam laporan
penlitian ini adalah meliputi langkah dan teknik dalam melakukan
assessment tersebut.
2.2.4.1 Langkah
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan
Hazard Assesment bencana alam letusan gunung api, antara lain:
16
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
1. Penentuan Zonasi Gunung Api Berdasarkan Tingkat Bahaya
Zonasi merupakan pembagian pemanfaatan ruang yang dibagi ke
dalam zona-zona tertentu yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan
yang spesifik. Dalam hazar assement gunung api, pembagian zona
pemanfaatan ruang dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu:
a. Zona Terlarang
Merupakan wilayah yang terletak dalam radius tedekat dengan pusat
letusan dan dimungkinkan akan terkena dampak bahaya primer (Primary
Hazard) paling besar. Biasanya zona terlarang merupakan wilayah yang
dilalui oleh lahar dan awan panas yang muncul pasca letusan gunung api.
Wilayah ini seharusnya dilarang untuk menjadi tempat bermukim
penduduk karena akan membahayakn jiwa mereka apabila terjadi
bencana.
b. Zona Bahaya I
Merupakan wilayah yang berpotensi terkena dampak dari bencana
sekunder (secondary hazard) dari letusan gunung berapi, seperti banjir
lahat, hujan abu panas, dan lain-lain. Zona ini biasanya terleta di bawah
daerah terlarang atau di sepanjang aliran sungai yang airnya bersumber
dari mata air di gunung berapi terdekat. Berbeda dengan zona terlarang,
di wilaya ini penduduk boleh tetap bermukim dan menjalankan
kegiatannya, namun tetap dituntut untuk waspada .
c. Zona Bahaya II
Merupakan daerah yan berpotensi terkena bencana apabila terjadi
letusan besar saja sehingga masyarakat dibebaskan untuk bermukim dan
menjalankan kegiatannya di wilayah tersebut.
Berikut merupakan contoh dari peta zonasi bencana letusan gunung
api yang ada di Indonesia:
17
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.10
Peta Zonasi Bahaya Gunung Merapi
Sumber: daerahistimewayogyakarta.com
Peta di atas menunjukkan pembagian zonasi bahaya letusan Gunung
Merapi Yogyakarta. Pembagian zonasi dilakukan hingga radius 20 Kilometer
dari puncak gunung yang merupakan sumber letusan. Zona yang berwarna
coklat merupakan Zona Terlarang I dengan radius 0-5 Km, sedangkan Zona
Terlarang II merupakan zona yang berwarna merah dengan radius 6-10 Km.
Di zona ini, terdapat bahaya primer dari letusan gunung api, seperti awan
panas, lontaran batu gunung, lahar panas, dan guguran lava. Wilayah yang
berwarna kuning tua merupakan Zona Bahaya I dengan radius 11-15 Km
yang berpotensi juga terkena aliran lahar, sedangkan wilayah dengan radius
16-20 Km merupakan wilayah yang termasuk ke dalam Zona Bahaya II
dimana memiliki potensi bahaya hujan abu yang cukup lebat dan sisa aliran
lahar.
2. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Gunung Api
Pemetaan kawasan rawan bencana gunung api bertujuan untuk
menggambarkan letak potensi bahaya akibat letusan gunung api secara
spasial sehingga dapat memudahkan proses perencanaan dan pengambilan
18
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
keputusan. Hasil dari kegiatan ini berupa sebuah Peta Rawan Bencana
Gunung Api yang dapat menjelaskan:
a. Jenis dan sifat bahaya gunung api
b. Daerah rawan bencana
c. Arah penyelamatan diri apabila terjadi bencana
d. Lokasi pengungsian yang ditetapkan
e. Lokasi pos penanggulangan bencana
Selama ini, sering terjadi kesalahan persepsi tentang istilah “Rawan
Bencana” dan “Resiko bencana”. Banyak pihak yang menganggap bahwa
Peta Rawan Bencana merupakan Peta Resiko Bencana sehingga sering
keliru dalam mengintepretasikan peta dan proses penyusunan rencana,
padahal Peta Rawan Bencana hanya menggambarkan jenis potensi dan sifat
bahaya dari bencana serta tidak menggambarkan tingkat kerentanan wilayah
terhadap bencana tersebut.
3. Penentuan Fase Bahaya Gunung Api
Penentuan fase bahaya gunung api merupakan suatu kegiatan
penentuan status bahaya berdasarkan tingkat isyarat yang diberikan oleh
gunung berapi melalui proses monitoring. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mengklasifikasikan status gunung api menjadi 4 jenis, yaitu
Awas, Siaga, Waspada, dan Normal. Adapun makna dan tindakan yang
harus dilakukan pada masing-masing jenis status tersebut akan dijelaskan
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.5
Tingkat Isyarat Gunung Berapi di Indonesia
Status
AWAS
Makna
Tindakan
 Menandakan gunung berapi yang  Wilayah yang
segera atua sedang meletus atau
terancam bahaya
ada
direkomendasikan
keadaan
menimbulkan bencana
kritis
yang
untuk dikosongkan
 Letusan pembukaan dimulai dengan  Koordinasi dilakukan
abu dan asap
secara harian
 Letusan berpeluang terjadi dalam  Piket penuh 24 jam
19
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
waktu 24 jam
 Menandakan gunung berapi yang  Sosialisasi di wilayah
SIAGA
sedang bergerak kea rah letusan
 Penyiapan Sarana
atau menimbulkan bencana
 Peningkatan
intensif
kegiatan
Darurat
 Koordinasi harian
seismik
 Semua
terancam
data
menunjukkan
bawa  Piket penuh 24 jam
aktivitas dapat segera berlanjut ke
letusan atau menuju pada keadaan
yang dapat menimbulkan bencana
 Jika
tren
terus
berlanjut,
maka
letusan dapat terjadi dalam waktu 2
minggu
WASPADA
 Ada aktivitas, apapun bentuknya
 Penyuluhan/sosialisasi
 Terdapat kenaikan aktivitas di atas  Penilaian bahaya
 Pengecekan sarana
level normal
 Peningkatan aktivitas seismik dan  Pelaksanaan piket
vulkanis lainnya
 Sedikit
perubahan
terbatas
aktivitas
yang
diakibatkan oleh aktivitas magma,
tektonik, dan hidrotermal
NORMAL
 Tidak ada gejala aktivitas tekanan  Pengamatan rutin
magma
 Level aktivitas dasar
 Survei dan
penyelidikan
Sumber: BNPB, 2008
Penentuan level/Fase Bahaya Gunung Api di Indonesia melibatkan
dua badan resmi, yaitu Direktorat Vulkanologi, Meteorologi, dan Geofisika
(DVMG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. DVMG berupaya
untuk selalu melakukan proses monitoring terhadap segala aktivitas gunung
berapi melalui teknik-teknik saintifik khusus (yang akan dijelaskan pada
bagian berikutnya), sedangkan BNPB merupakan badan yang berwenang
menentukan status gunung api tersebut, tentunya dengan berdasarkan pada
data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan DVMG.
20
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
2.2.4.2 Teknik Hazard Assesment
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai teknik-teknik yang
dilakukan
diantaranya
dalam
proses
adalah
hazard
volcano
assessment.
monitoring,
Teknik-teknik
tinjauan
aktivitas
tersebut
seismik,
deformation monitoring, dan gas monitoring.
A.
Volcano Monitoring
Volcano monitoring adalah pemantauan aktivitas gunung berapi.
Kegiatan pemantauan artinya adalah memperhatikan gerak-gerik gunung
berapi dan mencoba mengidentifikasi tanda peningkatan dari suatu kejadian.
Data pemantauan sangat penting karena dapat digunakan untuk menentukan
kapan kira-kira gunung berapi akan meletus. Ketika gunung berapi mulai
menunjukkan tanda-tanda baru atau tidak biasa, data pemantauan akan
membantu untuk menjawab pertanyaan kritis yang diperlukan untuk menilai
dan menginformasikan waktu bahaya vulkanik. Hal-hal yang diperhatikan
dalam
pemantauan
gunung
berapi
adalah
sensing
(penginderaan),
seismisitas, deformasi dataran, ukuran geofisik, gas, dan hydrology.
B.
Tinjauan Aktivitas Seismik
Teknik ini adalah salah satu metoda eksplorasi yang didasarkan pada
pengukuran respon gelombang seismik (suara) yang dimasukkan ke dalam
tanah dan kemudian direfraksikan sepanjang perbedaan lapisan tanah atau
batas-batas batuan. Respon gelombang seismik dapat dibaca oleh alat yang
disebut seismograf. Seismograf atau seismometer adalah alat atau sensor
getaran yang dipergunakan untuk mendeteksi gempa bumi atau getaran
pada permukaan tanah. Hasil rekaman dari seismograf disebut seismogram.
Getaran yang direkam dalam seismogram menunjukkan pergerakkan dalam
dapur magma atau kawah gunung berapi. Frekuensi getaran menunjukkan
tingkat kegiatan gunung berapi.
C.
Deformation Monitoring
Pemantauan deformasi adalah pengukuran sistematis dan pelacakan
perubahan bentuk atau dimensi dari sebuah objek sebagai akibat dari
tegangan. Tegangan tersebut dapat membuat bentuk lereng berubah menjadi
21
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
membenjol atau melekuk. Pemantaun deformasi dilakukan karena perubahan
batuan dasar, peningkatan atau penurunan beban, dan perubahan sifat
materi. Penggunaan alat ukur untuk monitoring deformasi bermacam-macam
bergantung pada aplikasi, metode yang dipilih, dan regularitas yang
dibutuhkan. Dalam konteks hazard assessment gunung berapi, biasanya
yang diukur adalah kemiringan menggunakan tiltmeter.
Gambar 2.11 Contoh Kasus Deformasi
Sumber: Bristol University
D.
Gas Monitoring
Gas monitoring adalah pemantauan intensitas gas yang keluar dari
gunung api ke atmosfer. Bila kegiatan gunung berapi makin bertambah,
beberapa jenis gas akan menunjukkan kenaikan konsentrasi. Gas yang
dimaksud misalnya CO2 dan H2S. Perubahan intensitas gas dan informasi
pemantauan lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan peringatan
letusan.
2.2.5 Upaya Mitigasi
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk
mengurangi resiko bencana, baik berupa pembangunan fisik sarana maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Mitigasi
merupakan salah satu fungsi pemerintah bekerjasama dengan unsur
masyarakat dan swasta dengan mengoptimalkan sarana prasarana yang
tersedia.
Terdapat beberapa upaya mitigasi dalam menghadapi gunung api.
22
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
1. Sistem peringatan dini (early warning system). Penyediaan informasi yang
efektif dan tepat waktu, melalui institusi yang telah diidentifikasi, dan
memungkinkan individu yang terancam bahaya agar mengambil tindakan
untuk menghindari atau mengurangi risiko dan bersiap-siap untuk
menanggapi secara efektif. SPD meliputi serangkaian hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: pemahaman dan pemetaan bahaya, pemantauan dan
peramalan peristiwa yang akan terjadi, pemrosesan dan sosialisasi
peringatan yang dapat dipahami kepada pihak yang secara politis
berwenang dan kepada masyarakat, dan melakukan tindakan yang tepat
dan pada waktunya sebagai respon terhadap peringatan tersebut
(UN/ISDR, 2007).
2. Manajemen darurat dan rencana evakuasi, tindakan yang dilakukan oleh
DVMBG ketika terjadi peningkatan aktivitas gunung berapi, antara lain
mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim Tanggap Darurat,
mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan secara terpadu.
3. Menciptakan kesadaran dan program edukasi untuk orang yang tinggal di
area gunung api. Caranya adalah dengan melakukan sosialisasi. Petugas
melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat
terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi. Bentuk sosialisasi dapat
berupa pengiriman informasi kepada Pemda dan penyuluhan langsung
kepada masyarakat.
4. Land use planning, tata guna lahan yang digunakan di sekitar gunung api
diklasifikasikan sesuai zonasi bahaya. Hal ini memudahkan dalam
pengurangan resiko bencana.
5. Kontrol dari segi lingkungan (Environmental Control) untuk mengontrol
aliran lava. Aliran lava merupakan bahaya gunung api yang paling
berbahaya secara fisik. Untuk mengontrol aliran lava dilakukan berbagai
cara seperti penggunaan ledakan (Etna, Hawai), Pembatas buatan
(Hawai, Iceland) dan Semprotan air (Hawai, Iceland).
2.3 Studi Kasus
2.3.1 Gunung Selamet
Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah
dan merupakan gunung api yang sangat aktif. Terdapat empat kawah aktif di
puncak gunungnya. Karakter letusannya eksplosif yang diselingi dengan
beberapa ledakan effusive. Letusannya termasuk dalam tipe erupsi volcano
23
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
dan stromboli karena dua jenis letusan in terjadi secara bergantian. Aktivitas
terakhir gunung Selamet terjadi di Bulan Mei-Juni 2009. Berikut adalah daftar
sejarah letusan yang terjadi di Gunung Selamet:
•
Tahun 1969 : Letusan Abu
•
Tahun 1973 : Semburan Lava Pijar
•
Tahun 1988 : Letusan abu dan lelehan lava
•
Tahun 1989 : Kenaikan Kegiatan vulkanis
•
Tahun 1991 dan 1992 : Letusan kecil
•
Tahun 1995-2007 : Hembusan solfatar dan fumarol
•
Tahun 2009 : Peningkatan aktivitas vulkanik, dengan indikasi :
–
Letusan kecil yang mengeluarkan material piroklastik, asap dan debu
vulkanik
–
Peningkatan gempa permukaan dan gempa tremor vulkanik
–
Peningkatan temperatur air di Taman Wisata Pemandian Guci
Menurut data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Kawasan Rawan Bencana letusan gunung Selamet, terbagi menjadi tiga
kawasan, yakni:
1. KRB I, terletak pada radius 8 km dari kawah aktif. Terdapat di alur
sundai dan lembah yang berhulu di Gunung Selamet. Merupakan
daerah yang berpotensi terjadi aliran lahan atau bahan rombakan.
Selain itu, KRB I juga berpotensi terjadinya hujan abu lebat jika
letusan besar.
2. KRB II, terletak pada radius hingga 4 km dari kawah aktif dan
berpotensi terjadi perluasan luncuran awan panas, lontaran
material pijar, dan hujan abu lebat.
3. KRB III, terletak pada radius 2 km dari pusat kawah yang terdiri
daeri endapan piroklastik batu dan pasir. Berpotensi terjadi
peluncuran awan panas sejauh 6 km dari kawah aktif bila latusan
besar dan berpotensi terkena lontara material pijar, hukan abu
lebat, aliran lava, dan sebaran gas beracun.
Pada observasi gunung Selamet pada tahun 2009, kondisi gunung
Selamet adalah terjadinya peningkatan aktivitas gunung api dan mulai
terjadinya letusan Stromboli. Status yang ditetapkan pada Gunung Selamet
adalah siaga. Selain itu, tidak terjadi hujan abu. Daerah yantg terancam
24
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
adalah Kabupaten Tegal (Kecamatan Bojong dan Bumijaya) dengan total
penduduk 83.793 jiwa serta Kabupaten Pemalang (Kecamatan Pulosari)
dengan total penduduk 13.147 jiwa.
Pada hasil pengamatan tipe permukiman di kawasan rawan bencana
1, yakni Desa Karangsari dan Desa Sima, kepadatan penduduknya lebih
rendah daripada Desa Guci. Tipe bangunan tidak seluruhnya permanen dan
sebagian semi permanen, perbandingan bangunan permanen dan semi
permanen sekitar 20:1. Bangunan tersebut meliputi rumah tinggal, sekolah,
kantor, rumah ibadah, dan puskesmas. Untuk kawasan rawan bencana 2,
yakni Desa Guci di Kabupaten Pemalang, terdapat Taman Wisata
Pemandian Guci. Selain itu, terdapat permukiman cukup padat yang hampir
seluruhnya merupakan bangunan permanen. Bangunan yang ada pada
kawasan ini mencakup rumah tinggal, sekolah, kantor, dan tempat ibadah.
Terakhir, pada kawasan rawan bencana 3 yang merupakan kawasan paling
rawan bencana, tidak ada permukiman di zona ini, sehingga kerentanan
pada kawasan ini rendah.
2.3.2 Gunung Krakatau
Gunung api Anak Krakatau merupakan salah satu gunung api aktif di
Indonesia yang terletak di Selat Sunda dan sejak lahir pada tahun 1929
sampai sekarang telah meletus sekurang-kurangnya 80 kali atau terjadi
letusan setiap tahun. Gunung ini terbentuk sebagai sisa pembentukan
kaldera dari letusan Gunung Krakatau purba yang terjadi pada tahun 1883.
Kegiatan erupsi Krakatau dimulai pada bulan Mei 1883 dan erupsi
Plinian yang terjadi selama 3 hari pada tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883.
Ledakan ini menyemburkan jutaan meter kubik material batu apung yang
menghempaskan air laut sehingga menimbulkan gelombang pasang
(tsunami) dengan ketinggian lebih dari 30 meter dan merusak pulau-pulau di
Selat Sunda dan sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat.
Pengaruh letusan Krakatau terhadap atmosfer adalah munculnya
bahan piroklastika sebanyak 18 km3 yang sebagian berupa abu halus yang
dilemparkan setinggi 50-90 km. Awan abu tertiup angin ke arah barat
dengan kecepatan 121 km/jam sehingga dalam waktu 2 minggu awan
tersebut sudah mengelilingi daerah yang luas sepanjang khatulistiwa dan
dalam waktu 6 minggu penyebaran abu mencapai garis lintang 30o utara
25
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
dan 45o selatan (Winchister, 2003). Material yang dihamburkan mencapai
Srilanka, India, Pakistan, Selandia Baru, hingga Kanada.
Selain itu, letusan Krakatau juga mengakibatkan gelombang suara
yang terdengar pada seperempat permukaan bumi juga terjadi gelombang
tekanan udara selama 5 hari yang dapat mengelilingi bumi 3,5 kali.
Fenomena lainnya adalah batu apung setebal 3 meter tercatat ada di Selat
Sunda dan bahan piroklastik lainnya mengendap dengan ketebalan sekitar
20m.
Letusan Krakatau pada 1883 menelan korban jiwa sebesar 36.417 jiwa
dan menghancurkan kehidupan dan harga benda sepanjang pantai. Jumlah
korban yang banyak ini diakibatkan oleh tsunami yang terjadi akibat letusan
Krakatau. Berdasarkan berita yang dihimpun dari laporan di seluruh dunia,
Verbeek (1885) memperhitungkan penyebaran tsunami tertinggi memiliki
kecepatan 540 sampai 810 km/jam, mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah
barat dan timur kemudia dipantulkan kembali sebanyak 6 kali. Gelombang
tsunami tertinggi terdapat di Merak 36 meter, Telik Betung 24 meter, dan
pantai selatan Bengkulu 15 meter. Efek resonansi dan kembalinya tsunami
mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar laut secara
bergantian.
Akibat letusan dahsyat ini, Gunung Krakatau merosot ke dalam laut.
Kemudian muncul pulau baru di lokasi yang sama dan sesekali
mengeluarkan semburan lava dan disebut Gunung Anak Krakatau. Gunung
baru ini terus tumbuh dengan cukup cepat akibat seringnya letusan yang
terjadi tiap tahun dengan pertumbuhan rata-rata 4 meter per tahun.
26
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
Gambar 2.12 Perubahan Topografi Gunung Anak Krakatau Sejak
1930-2000
Sumber: www.bgl.esdm.go.id
2.3.3 Gunung Pinatubo
Gunung Pinatubo merupakan sebuah gunung api aktif yang terletak di
pulau Luzon, Filipina di perbatasan provinsi Zambales, Tarlac, dan
Pampanga. Gunung ini merupakan bagian dari rangkaian gunung berapi
yang terletak pada bagian barat pulau Luzon yang menjadi zona subduksi
akibat penunjaman lempeng Filipina ke bawah lempeng Eurasia di
sepanjang Palung Manila.
Dari segi morfologinya, Gunung Pinatubo masuk dalam katagori
stratovolcanik karena adanya zona subduksi akibat penunjaman lempeng
Filipina ke bawah lempeng Eurasian, eksplosif, serta adanya akumulasi lava
dan debu vulkanik yang membentuk gunung tersebut. Selain morfologi
stratovolcanik, Pinatubo juga memiliki karakteristik kaldera yang terbentuk
saat pelepasan material vulkanik dalam jumlah besar saat terjadinya erupsi
dan magmanya bersifat andesitic atau sifat pertengahan antara asam dan
basa dengna kandungan silica dioksida kira-kira 60%.
Gunung Pinatubo memiliki dua fase hidup besar yakni era Pinatubo
kuno dan Pinatubo modern. Pada Pinatubo kuno, rata-rata letusannya jauh
lebih rendah dibandingkan aktivitas saat ini. Selanjutnya, pada era Pinatubo
modern, gunung ini pernah meletus hebat pada tanggal 9 Juni 1991. Letusan
ini didahului oleh gempa sebesar 7,8 Skala Richter. Erupsi yang terjadi pada
27
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
letusan ini mencapai ketinggian 21 km di udara dan merupakan erupsi
terbesar setelah erupsi Krakatau. Pada letusan ini jutaan sulfur oksida
terbuang ke atmosfer. Hal ini menyebabkan terhalangnya sinar matahari ke
bumi sehingga terjadilah penurunan suhu permukaan bumi selama beberapa
tahun sebesar 0,4 derajat Celcius. Sementara itu, molekul SO2 yang berupa
gas dalam atmosfor berinteraksi secara kimiawi dengan uap air dan
menghasilkan H2SO4 yang turun ke permukaan bumi dalam bentuk hujan
asam. Selain itu, kandungan ozon di belahan bumi selatan pada musim
dingin 1992 mencapai level terendah sepanjang masa.
Bencana letusan gunung Pinatubo ini menyebabkan 847 orang tewas,
184 orang terluka, 23 orang hilang, dan lebih dari 1 juta orang direlokasi.
Kerugian ekonomi terhitung mencapai 8 miliar peso atau hampir 2 trilyun
rupiah. Lalu, 2,1 juta penduduk Filipina mengalami kehilangan tempat tinggal
dan mata pencaharian. Hutan-hutan seluas 150 km persegi mengalami
kerusakan parah dan sekitar 800 km persegi lahan pertanian gagal panen.
2.3.4 Gunung Merapi
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api dengan tingkat
keaktivan yang cukup tinggi, dimana letusan-letusan kecil terjadi setiap 2-3
tahun, dan untuk letusan besar terjadi sekitar 10-15 tahun sekali. Pada
sejarahnya, letusan gunung merapi adalah pertumbuhan kubah lava yang
gugur dan menghasilkan guguran awan panas yang dikenal dengan Tipe
Merapi. Kejadiannya adalah kubah lava tumbuh di puncak dalam suatu
waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam
dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume besar akan
berubah menjadi awan panas atau wedhus gembel yang berupa campuran
material debu hingga blok bersuhu tinggi (>700 oC) dalam terjangan
turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100km/jam) ke dalam lembah.
Puncak letusannya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan
letusan eksplosif disertai dengan guguran awan panas akibat hancurnya
kubah. Selanjutnya, secara bertahap akan terbentuk kubah baru.
Letusan besar
Merapi yang terjadi belakangan ini terjadi pada 26
Oktober 2010. Semburan awan panas yang terjadi mencapai 1.5 meter
mengarah ke Kaliadem, Kepuharjo.
Letusan ini menyemburkan material
vulkanik setinggi kurang lebih 1.5 km. Letusan ini menyebabkan 151 korban
jiwa dan 320090 orang direlokasi.
28
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:

Gunung api di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan sejarah erupsinya, yaitu:
1. Tipe A
gunungapi yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu
kali sesudah tahun 1600
2. Tipe B
gunungapi yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsimagmatik,
namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara
3. Tipe C
gunungapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia,namun masih
terdapat
tanda-tanda
kegiatan
masa
lampau
berupa
lapangan
solfatara/fumarola pada tingkah lemah

Indonesia merupakan pertemuan lempeng besar dunia yang memiliki lebih dari
500 gunungapi dengan 129 di antaranya aktif yang mengakibatkan Indonesia
menjadi kawasan yang rawan bencana letusan gunung api, sehingga
diperlukanlah Hazard Assesment.

Ada 3 (tiga) langkah hazard assessment, yaitu penentuan zonasi, pemetaan
kawasan rawan bencana, dan penentuan fase gunung api.

Terdapat 4 (empat) teknik analisis hazard assessment, yaitu volcano
monitoring, tinjauan aktivitas seismic, gas monitoring, dan deformation
monitoring.

Terdapat beberapa jenis mitigasi bencana gunung api, yaitu:
1. Sistem peringatan dini
2. Manajemen darurat dan rencana evakuasi
29
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
3. Menciptakan kesadaran dan program edukasi untuk orang yang tinggal di
area gunung api
4. Land use planning (berdasarkan zonasi bahaya)
5. Struktur bangunan, contoh: membangun tanggul
6. Pembangunan Bunker
7. Pembuatan saluran aliran lava
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan kesimpulan yang
telah dipaparkan sebelumnya, penulis dapat memberikan saran-saran yang
berkaitan dengan hasil studi mengenai gunung api.
Untuk pemerintah, diharapkan dapat menyediakan mitigasi bencana yang
benar untuk meminimalisasi resiko yang dapat terjadi. Diantara mitigasi bencana
yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah sistem peringatan dini, manajemen
darurat dan rencana evakuasi, membuat kebijakan tata guna lahan yang sesuai
dengan zonasi bahaya, pembuatan saluran aliran lava, pembangunan bunker,
penyesuaian struktur bangunan, dan menciptakan kesadaran dan program edukasi
bagi orang yang tinggal di area gunung api.
Untuk masyarakat yang berada di sekitar kawasan gunung api, diharapkan
dapat lebih memperhatikan aktivitas yang dilakukan oleh gunung api tersebut agar
dapat lebih waspada jika sewaktu-waktu terjadi letusan gunung api. Selain itu,
diharapkan masyarakat dapat mengikuti program edukasi yang diadakan
pemerintah mengenai bencana gunung api agar lebih siap.
30
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
LAMPIRAN 1
PEMBAGIAN KERJA
Tiara Anggita
15408052: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Langkah Hazard Assesment‟
Valentina Diajeng P. 15408066: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Definisi, Komponen, dan Klasifikasi‟
Siti Alifah Dina
15409007: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Langkah Hazard Assesment‟
Marcellina Ragatrisni 15409025: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Studi Kasus Gunung Selamet‟
Uly Faoziyah
15409032: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Pendahuluan, Klasifikasi, Sejarah, VEI‟
Annisa Nanda N.
15409037: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Studi Kasus Gunung Merapi dan Pinatubo‟
Nusaiba Adzilla
15409054: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Pendekatan Analisis dan Upaya Mitigasi‟
Rama Aimansyah
15409065: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Definisi, Klasifikasi, Kesimpulan, Saran‟
Yuresdia Sabrina
15409076: Pembuatan slide presentasi dan pembuatan laporan
„Latar Belakang Hazard Assesment, Jenis Bahaya Gunung Api‟
31
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
LAMPIRAN 2
DAFTAR PERTANYAAN
1. Perbedaan Teknik dan Langkah Hazard Assesment
2. Apa itu solfatar?
3. Kenapa bisa timbul tsunami pasca letusan?
4. Apakah pembagian zona bahaya hanya karena faktor aliran lahar saja?
Bagaimana dengan abu, dll?
5. Penurunan suhu global akibat letusan itu kenapa penyebabnya?
32
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, 2010
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi. Kreasi Wacana.
Yogyakarta
Laporan Tahunan Badan Geologi, 2008
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
Atlas
Nasional
Bakosurtanal,2010
(http://atlasnasional.bakosurtanal.go.id/fisik_lingkungan/gunung_api_detail.php?id=
9&judul=umum#)
Exploring the Environment : Volcano, 2010
(http://davem2.cotf.edu)
http://www.bgl.esdm.go.id/dmdocuments/jurnal20060303.pdf diakses pada tanggal
3 November 2011 pukul 19.00
http://science-teknologi.blogspot.com/2009/04/erupsi-pinatubo-1991.html
diakses
pada tanggal 3 November 2011 pukul 19.35
http://arthagrahapeduli.org/index.php?option=com_content&view=article&id=657:se
jarah-letusan-merapi&catid=40:umum&Itemid=54&lang=in
http://vulcanologi.blogspot.com/2008/12/definisi-gunung-api.html
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2010/11/08/volcanic-explosivity-index-veiapa-itu/
http://rovicky.wordpress.com/2010/10/26/sejarah-gunung-merapi-sejak-700-000tahun-yang-lalu/
http://iwantolet.wordpress.com/2009/09/30/3-letusan-gunungapi-terbesar-diindonesia/
http://www.infoplease.com/toptens/volcanoes.html
33
ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
http://widsumowijoyo.multiply.com/journal/item/13
http://www.buzzle.com/articles/worst-volcanic-eruptions.html
http://rovicky.wordpress.com/2011/06/19/seluk-dan-beluknya-gunungapi/
34
Download