permasalahan sosial

advertisement
PERMASALAHAN SOSIAL
DAN SOSIOLOGI
Menganalisa permasalahan sosial seringkali saling bertentangan satu sama
lainnya. Beberapa analis menyatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan
permasalahan sosial yang lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat biasa atau
masyarakat yang sederhana; namun beberapa analis lainnya tidak sependapat akan
pernyataan
tersebut.Beberapa
orang
mengatakan
bahwa
masyarakat
modern
menghasilkan lebih banyak permasalahan dibandingkan dengan solusi, namun yang
lainnya memperdebatkan bahwa kesulitan yang sebenarnya adalah pada produksi yang
berlebih akan sesuatu yang disebut dengan solusi tersebut.
Penelitian pada permasalahan sosial sebagai usaha untuk memahami bagaimana
hal itu terjadi dan bagaimana untuk mengontrolnya.Dan seringkali mereka-mereka yang
mempelajari permasalahan sosial adalah sosiolog.
Para Sosiolog telah mendominasi pembelajaran atau penelitian akan permasalahan
sosial untuk dua alasan.Pertama, sosiologi dikembangkan sekitar satu abad yang lalu,
ketika
industrialisasi
dan
urbanisasi
menggoyahkan
fondasi
dari
masyarakat
tradisional.Pada waktu itu, terdapat suatu minat yang special pada permasalahan yang
dihadapi orang-orang terhadap industrialisasi dan urbanisasi, dan sosiolog yang juga
memiliki minat tersebut mengambil suatu pembelajaran atau penelitian akan
permasalahan sosial sebagai suatu topik yang relevan dan menantang.
Kedua, sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu dapat digunakan dengan sesuai pada
pembelajaran permasalahan sosial.Sosiologi selalu berhadapan dengan hubunganhubungan sosial, situasi dimana dua orang atau lebih mengadaptasikan tindakantindakannya pada orang lain.Kebanyakan permasalahan sosial muncul pada alur atau
hasil dari hubungan-hubungan sosial.Beberapa disiplin ilmu lainnya diakhir abad ke19
juga berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang sejenis.Sehingga sebagian
karena pilihan dan sebagai lagi karena kegagalan, sosiologi muncul secara serempak guna
berhadapan dengan permasalahan dan hubungan sosial.
DEFINISI PERMASALAHAN SOSIAL
Sosiolog biasanya mempertimbangkan suatu permasalahan sosial sebagai suatu situasi
yang diduga atau dinyatakan tidak cocok dengan nilai-nilai signifikan yang dianut
sejumlah orang yang setuju bahwa diperlukan adanya tindakan guna mengubah situasi
tersebut.
Situasi yang diduga. Hal ini berarti bahwa situasi tersebut dikatakan atau dinyatakan
akan ada.Orang-orang membicarakannya, dan hal itu akan mendapatkan liputan dari
radio, TV, dan dalam press.Akan tetapi dugaan yang diperlukan tersebut belum tentu
benar.
Ketidakcocokan dengan nilai-nilai. Suatu situasi didefinisikan orang-orang sebagai
suatu permasalahan sosial dalam tinjauan nilai-nilai tertentu yang mereka pegang.
Setiap orang sangatlah berbeda dan kompleks, akan tetapi, setiap orang yang
berbeda juga akan memegang nilai yang berbeda pula, dan orang-orang yang sama akan
memegang nilai-nilai yang saling bertentangan.Berdasarkan hal tersebut, setiap orang
yang berbeda akan menganggap berbagai hal yang berbeda sebagai suatu permasalahan
sosial.
Jadi, apa yang dianggap sebagai suatu permasalahan sosial dan nilai-nilai yang
terlibat didalamnya adalah sebuah permasalahan yang kompleks.Hal tersebut adalah salah
satu aspek paling kontroversi didalam pembelajaran permasalahan sosial, dan hal tersebut
akan dihadapkan dengan lebih banyak detail lagi didalam buku ini.
Jumlah orang yang signifikan. Berapa banyak orang yang dianggap sebagai
“jumlah yang signifikan”? Pertanyaan ini tidak mempunyai jawaban yang pasti. Dan,
tentu saja, beberapa orang dianggap lebih “signifikan” dibandlingkan dengan yang
lainnya.
Sosiolog akan setuju bahwa secara general, lebih “signifikan” seseorang dalam
menentukan suatu permasalahan sosial adalah mereka yang lebih terorganisir, dan dalam
suatu posisi kepemimpinan, dan/atau lebih kuat secara ekonomi, sosial, atau politik.Jadi
hal itu tidak hanya sekedar jumlah atau angka.Akan tetapi, salah satu poin penting dalam
pembelajaran atau penelitian permasalahan sosial adalah hal berikut: ketika sosiolog
mempelajari permasalahan sosial, mereka biasanya melihat apa yang dilihat orang lain
dalam masyarakat sebagai suatu permasalahan sosial.Maka, dalam mempelajari
permasalahan sosial sosiolog biasanya hanya dihadapkan dengan suatu gangguan sosial
atau situasi yang berbahaya yang diidentifikasi publik sebagai suatu permasalahan.
Dibutuhkan Adanya Tindakan. Bahu membahu dengan definisi suatu situasi sebagai
permasalahan sosial adalah panggilan akan adanya suatu tindakan guna mengobati situasi
tersebut. Orang-orang berkata bahwa sesuatu harus dilakukan.
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI AMERIKA
Pembelajaran permasalahan sosial telah saling berkaitan satu sama lainnya
dengan bidang kajian ilmu sosiologi secara keseluruhan.Perubahan dalam pembelajaran
permasalahan sosial telah secara dekat berhubungan kedalam pengembangan yang lebih
general dalam bidang kajian ilmu sosiologi, dan perbedaan perspektif dalam
permasalahan sosial merefleksikan perbedaan perspektif dalam masyarakat secara
umumnya.Sebelum mengacu pada perbedaan-perbedaan perspektif ini, marilah kita
mengambil pandangan yang lebih umum dalam bidang kajian sosiologi.
Selama berabad-abad, orang-orang telah memikirkan dan mempelajari kehidupan
mereka dalam masyarakat.Tetapi bagi Auguste Comte aktivitas itu harus diberi suatu
nama.Dia menciptakan istilah “sosiologi”, yang berarti pembelajaran ilmiah dalam
masyarakat.Minat Comte, seperti halnya Saint-Simon, Marx, Tocqueville, Spencer, dan
sosiolog eropa lainnya, muncul dari krisis industrialisasi.Pertanyaan yang paling besar
bagi para sosiolog awal eropa ini melibatkan permasalahan dalam aturan sosial dan
integrasi pada satu sisi dan perubahan dan perkembangan sosial disisi lainnya.Pertanyaan
yang pertama ini menyatakan ,apa yang membuat suatu masyarakat bersatu dan
bekerja?dan yang kedua, kemana arah yang dituju masyarakat tersebut, dan bagaimana
cara mencapainya?.
Dengan jalan yang sama, pasca perang saudara dan bangkitnya industtrialisasi
diAmerika Serikat menghasilkan suatu minat dalam mempelajari masyarakat
tersebut.Dalam dua dekade setelah perang saudara, buku-buku mulai bermunculan pada
subjek ini.Dipertengahan tahun 1890, mata pelajaran sosiologi telah diajarkan dibeberapa
perguruan tinggi diAmerika. Ph.D pertama dibidang sosiologi diberikan pada tahun 1895,
dan masyarakat sosiologi Amerika dibentuk pada tahun 1905.
Suatu “tradisi” mengacu kepada kepercayaan, nilai, dan kebudayaan.Ketika suatu
ide baru berkembang dan kondisi berubah, kepercayaan, nilai dan kebudayaan juga
berubah.Guna memahami pembelajaran akan permasalahan sosial, dan bagaimana hal itu
berubah dari waktu ke waktu, kita harus memahami perubahan tradisi dalam
perkembangan sosiologi.
Tradisi yang bervariasi didalam perkembangan sosiologi Amerika dapat
dikelompokkan secara berbeda dalam 5 tahap: Membentuk landasan (1905 sampai
dengan
1918),
membentuk
1935);mengintegrasikan
teori,
kebijakan
penelitian,
ilmiah
dan
(1918
aplikasi
(1935
sampai
sampai
dengan
dengan
1954);mengolah spesialisasi (1954 sampai dengan 1970); kebangkitan kembali teori
makro (1970 sampai dengan 1985); dan kekuasaan konstruktisme (1985 sampai
sekarang).Perubahan perspektif dalam permasalahan sosial yang menggarisbawahi buku
ini merefleksikan perubahan mendasar dalam perkembangan sosiologi.
1. Membentuk Landasan (1905 sampai dengan 1918).
Selama tahun-tahun diantara 1905 dan 1918, suatu kelompok pioner membentuk
ilmu sosiologi didalam beberapa perguruan tinggi Amerika.Pada waktu itu, kebanyakan
sosiolog terkemuka Amerika adalah anak laki-laki pendeta yang pindah dari sebuah kota
kecil ke sebuah kota besar yang berkembang dengan cepat dan yang telah menyaksikan
perubahan yang disebabkan oleh konversi Amerika dari pertanian menjadi ekonomi
industri.Penekanan utama mereka adalah pada permasalahan dimasyarakat, dan mereka
melihat urbanisasi sebagai sumber utama dari permasalahan sosial.
Para Sosiolog Amerika ini dibimbing dengan pemikiran mereka pada filosofi dari
kemajuan atau perkembangan moral – yaitu, suatu dugaan bahwa dalam jangka yang
panjang, masyarakat akan maju dan berkembang secara kualitas.Maka, mereka akan lebih
atau kurang yakin bahwa kemajuan dan perkembangan moral akan terjadi.Pada waktu
yang sama, mereka ingin membantu dalam memecahkan beberapa permasalahan yang
mereka lihat disekeliling mereka dalam masyarakat yang berubah dengan cepat.Sosiolog
Amerika awal ini mencoba dengan sangat keras untuk mengeliminasikan beberapa
permasalahan ini.Akan tetapi cara berpikir mereka yang konservatif membawa mereka
untuk mengadvokasi reformasi dan bukannya revolusi sosial.
2. Membentuk kebijakan ilmiah (1918 sampai dengan 1935).
Selama periode ini, perang dunia pertama telah memperkecil optimisme yang
telah mengkarakterisasi periode pertama sosiolog Amerika.Secara meningkat, sosiolog
mulai menyadari bahwa jika mereka akan membimbing suatu tindakan sosial, maka
pertama-tama mereka harus mengembangkan tubuh dari ilmu sosiologi.
Keyakinan yang tumbuh diantara para sosiolog adalah bahwa ilmu pengetahuan
harus bebas dari nilai-nilai, dan bekerja untuk memecahkan permasalahan sosial akan
dianggap sebagai sesuatu yang “tidak ilmiah”.
3. Mengintegrasikan teori, penelitian, dan aplikasi (1935 sampai dengan 1954).
Jika periode pertama dapat disebut sebagai era dakwah, dan periode kedua
sebagai era akan kemunduran, maka periode ini dapat disebut sebagai era kontribusi
ilmiah.Selama periode ini, sosiolog mulai menjadi lebih professional, dan mereka mulai
melihat teori, penelitian, dan aplikasi sebagai sesuatu yang berhubungan secara
integral.Ketika mereka menjadi seperti itu, mereka juga memulai kembali untuk
menerima reformasi sosial sebagai bagian dari usaha keras sosiologi.Penelitian dasar dan
aplikasi sosiologi menjadi terlihat sebagai dua sisi dari koin yang sama, dan sikap
predominannya adalah bahwa pendekatan ilmiah akan memecahkan permasalahan sosial
dan mengembangkan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan.
4. Mengolah spesialisasi(1954 sampai dengan 1970).
setelah tahun1954 kegaduhan mulai terdengar.Banyak sosiolog yang mulai merasa
bahwa, dalam pencariannya guna menjawab pertanyaan teoritis, mereka telah
mengabaikan permasalahan dalam masyarakat.Para sosiolog ini mulai merasa bahwa
sosiologi telah mengabaikan tanggungjawab sosialnya dan menjadi instrumen dari sebuah
status quo.Serangan ini digemakan oleh generasi berikutnya dari para mahasiswa
perguruan tinggi.Maka, ketegangan yang ada diantara permasalahan sosial dan
permasalahan sosiologi menjadi relevan bagi mahasiswa sosiologi dan bagi para sosiolog.
5. kebangkitan kembali teori makro (1970 sampai dengan 1985).
Serangan pada sosiologi sebagai disiplin teoritis, yang mencapai puncaknya diawal tahun
1970an, dan Coming Crisis of Western Sosiology Gouldner, yang diterbitkan pada tahun
1970, menggemparkan tahap paling awal dari perkembangan sosiologi.Gouldner
memperdebatkan bahwa sosiologi telah mencapai jalan buntu dalam
ketidakbergunaannya dalam masyarakat yang sedang krisis.Sudut pandang kritis dilihat
sebagai suatu kebutuhan guna menghadapi permasalahan sosiologi dan sosial.Dalam
beberapa seri buku, Gouldner sendiri memperluas dan memperdalam pendekatan kritis
Marx. Dia juga membantu menemukan jurnal Theory and Society, yang akan menjadi
suara utama pendidikan dalam pandangan mayarakat pada saat ini
6. Kekuasaan konstruktisme (1985 sampai sekarang).
Pelipatgandaan perspektif, keistimewaan karakteristik masyarakat secara umum selama
bagian lainnya dari abad ke20, juga direfleksikan dalam setting akademis.Pembentukan
program spesialisasi dalam pembelajaran Afrika Amerika, Latin, perempuan,gay dan
lesbian meningkatkan adanya jalan masuk bagi perempuan dan minoritas lainnya
kedalam fakultas dan tubuh siswa, dan hal itu juga meningkatkan perbedaan dari
perspektif dalam kebanyakan kampus perguruan tinggi.
Ketika pendekatan tradisional pada pembelajaran sosiologi terus mendominasi,
berlimpahnya simbol-simbol, bahasa, ilmu pengetahuan, dan orang-orang serta kelompok
yang vocal yang makin sering dihadapi orang dengan bantuan untuk mempopulerkan
pendekatan konstruktif dalam mencapai pemahaman dari kehidupan sosial.Hal ini
melibatkan
penjelasan
sudut
pandang
orang
dalam
berbagai
macam
situasi
sosial.Bagaimana kelompok orang tertentu membangun arti dari suatu kejadian dan
situasi, menjadi pertanyaan mendasar dari semua disiplin akademis.Pendekatan
konstruktif menjadi sesuatu yang dikenali dalam antropologi, literatur kritis, psikologi,
sejarah, ilmu budaya, ilmu seks, dan sosiologi, terutama dalam studi gender, ilmu pasti
dan permasalahan sosial.
PERSPEKTIF SOSIOLOGIS PADA PERMASALAHAN SOSIAL
Suatu perspektif, dengan pernyataan secara umumnya, adalah sebuah jalan dalam
melihat sesuatu.Perspektif sosiologis terdiri dari ide orientasi dasar yang berasal dari satu
konseptualisasi dan analisis yang mengikuti, dan hal itu merefleksikan suatu set ide dan
asumsi yang mencakup sifat orang dan masyarakat.Tentunya terdapat berbagai cara yang
berbeda didalam melihat suatu permasalahan sosial, dan dalam sosiologi terdapat tujuh
perspektif yang telah dikenalkan.Dalam bagian yang lebih besar, perspektif ini
merefleksikan ketegangan yang sudah ada ketika sosiologi pertama berkembang –
ketegangan antara berkonsentrasi pada permasalahan social pada satu sisi dan pada
perkembangan sosiologi sebagai disiplin ilmu disisi lainnya.
Ketujuh perspektif tersebut adalah patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik
nilai, prilaku menyimpang, pelabelan, perspektif kritis, dan perspektif konstruksi
sosial.Setiap perspektif mengandung ide atau gagasannya sendiri pada definisi, penyebab,
kondisi, konsekuensi, dan solusi permasalahan sosial.Dalam memahami lebih baik cara
alternatif dalam melihat suatu permasalahan sosial, dalam bab-bab selanjutnya kita akan
menganalisa setiap perspektif dalam istilah kelima elemen ini.Sebelum melanjutkan,
kami mengklarifikasi apa yang terlibat dalam setiap elemen.
Definisi. Kita telah mempresentasikan satu definisi umum dari permasalahan sosial (lihat
halaman 4), dan ketujuh perspektif secara implisit menyaratkan definisi ini.Akan tetapi
sebagai tambahan, setiap perspektif memiliki definisi permasalahan sosial yang lebih
khusus didalamnya.Definisi yang lebih khusus ini bervariasi dalam terminologi aspek
mana fenomena gangguan sosial yang mereka fokuskan dalam mengdefinisikan
fenomena tersebut sebagai permasalahan sosial.
Penyebab. Setiap perspektif memasukkan bayangan kasual sendirinya– yaitu,
pemikirannya sendiri tentang tipe faktor apa yang memproduksi permasalahan sosial dan
bagaimana mereka melakukannya.
Kondisi. Setiap perspektif juga mempunyai sesuatu untuk dikatakan, secara implisit
maupun
eksplisit
tentang
kondisi
dimana
permasalahan
sosial
timbul
dan
berkembang.Hal ini bukanlah penyebab utama permasalahan sosial. Namun mereka
adalah latarbelakang yang lebih general dimana permasalahan sosial berkembang.
Akibat. Kesemua tujuh perspektif memandang permasalahan sosial berbahaya.Akan
tetapi mereka berbeda dalam bagaimana efek berbahaya permasalahan sosial
dideskripsikan.
Solusi. Terakhir, setiap perspektif melibatkan implikasi sendirinya akan bagaimana kita
dapat memecahkan permasalahan sosial.Perspektif tersebut muncul pada titik yang
berbeda
dalam
perkembangan
sosiologi.Demikian,
beberapa
secara
eksplisit
memperhatikan reformasi sosial dibandingkan dengan yang lainnya.Meskipun demikian,
ketujuh perspektif mempunyai beberapa implikasi bagi solusi permasalahan sosial, dan
karakteristik dari setiap perspektif menentukan apakah solusi tersebut fokus pada
harapan, kejahatan, atau reaksi.
RANGKUMAN DAN KESIMPULAN
Sosiologi dimulai pada tahun 1880 dengan mandat ganda untuk mempelajari
hubungan khusus pada satu sisi dan permasalahan sosial disisi lainnya.Hingga saat itu,
telah terdapat ketegangan yang berulang-ulang dalam sosiologi akan apakah hal tersebut
harus mempunyai penekanan primer.Sebagai upaya untuk memecahkan ketegangan itu,
sosiolog dari waktu ke waktu mengembangkan perspektif baru bagi pembelajaran
permasalahan sosial.
Sebuah perspektif biasanya adalah sebuah cara dalam melihat segala sesuatu, dan
mengklarifikasi
fokus
para
sosiolog
dalam
pekerjaannya.Dalam
pembelajaran
permasalahan sosial, para sosiolog telah mengeluarkan tujuh perspektif yang populer:
patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik nilai, prilaku menyimpang, pelabelan,
perspektif kritis, dan perspektif konstruksi sosial. Setiap perspektif mempunyai idenya
masing-masing terhadap definisi, penyebab, kondisi, konsekuensi, dan solusi dari
permasalahan sosial.Sekarang, kita akan melihat lebih dekat pada setiap perspektif.
FATOLOGI SOSIAL
Ide adanya masalah sosial akan muncul sama tuanya dengan keberadaan manusia. Tapi
yang sebenarnya, hal tersebut tidak terjadi pada semua kasus. Meskipun masalah dan penderitaan
tampak didalam setiap masyarakat dan setiap periode sejarah. Gagasan bahwa masalah sosial
berkenaan dengan sesuatu yang akan dilakukan saat-saat sekarang. Sebelum menguji perspektif
fatologi sosial, kami mempertimbangkan secara singkat bagaimana ide mengenai masalah sosial
muncul didalamnya.
KONSEP TENTANG MASALAH SOSIAL
Para penemu ilmu-ilmu sosiologi Amerika percaya bahwa prilaku manusia
dibentuk atau dikendalikan oleh hukum alam dan tugas dari ilmu sosiologi menemukan
hukum tersebut. Kebanyakan sosiolog-sosiolog dahulu juga percaya terhadap kemajuan.
Dalam rangkaian evolusi sosial, mereka beraanggapan, masyarakat berubah dari
sederhana ke kompleks, dan orang menjadi lebih bebas, lebih rasional, dan lebih bahagia.
Dalam waktu yang sama, ada beberapa sosiolog awal melihat industrialisasi dan
urbanisasi sebagai sumber dari kondisi yang tidak menyenangkan, dan mereka berusaha
memperbaik kondisi tersebut. Jadi sosiolog dahulu berusaha menemukan hukum alam
mengenai prilaku manusia agar mereka dapat mempengaruhi pembaharuan sosial.
Terakhir, beberapa sosiolog dahulu memiliki konsep individu mengenai kehidupan sosial.
Mereka berasumsi bahwa, walaupun orang berada dalam sebuah kelompok, tetap saja
akhirnya interes, dorongan, dan sifat orang yang menentukan prilaku seseorang.
AKAR DARI PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL
Pada pokoknya, suatu perspektif fatologi sosial berakar pada analogi organ/
tubuh. Beberapa penulis awal telah bekerja pada analogi ini kebiasaan primitif yang
relatif; sebagai contoh terlukiskan pemerintah sebagai kepala masyarakat, layanan pos
sebagai sistem sarap, polisi sebagai ‘ lengan panjang hukum.’ Herbert Spencer, membuat
model yang lebih cermat dalam penggunaan analogi organ ini. Dalam pandangannya,
masyarakat digambarkan sperti suatu organ yang memiliki masa, komplesitas struktur
meningkat sejalan dengan pertumbuhannya, bagian saling tergantung, dan kehidupan
melampaui kehidupan perbagian.4
Pada analogi organ, orang dan kondisi dipertimbangkan menjadi masalah sosial
untuk perluasan bahwa mereka terganggu pada kerja “normal” dari organ sosial. Sesuai
dengan analogi organik, gangguan tersebut dilihat sebagai kesakitan, atau fatologi
Pengaruh dari analogi organ pada ilmu sosiologi Amerika awal dapat dilihat pada
defininisi fatologi sosial berikut, yang muncul pada penggunaan buku teks sosiologi.5
Ketika masyarakat adalah individu yang dibatasi bersama dalam hubungan
sosial. Fatologi merujuk pada kegagalan penyesuaian dalam hubungan sosial.
Ungkapan tersebut didasarkan pada suatu analogi kegagalan penyesuaian fungsi
jasmani pada tubuh…jika dijaga secara hati-hati… suatu term “fatologi sosial” yang
dapat digunakan untuk menunjukan kondisi sosial yang menghasilkan (1) dari
kegagalan individu untuk menyesuaikan mereka sendiri pada kehidupan sosial dimana
mereka berfungsi sebagai anggota sosial yang self –supporting secara bebas, yang
mana kontribusi peran terbuka mereka untuk hal tersebut pada pembangunan stabilitas
dan kemajuan; dan (2) dari ketiadaan penyesuaian pada struktur sosial, termasuk caracara institusi bekerja, untuk membangun kepribadian sosial.
Kondisi fatologi dalam masyarakat boleh jadi hasil dari (1) sifat ketiadaan
kemampuan individu memelihara langkah dengan perubahan ideal dan institusi
masyarakat; atau (2) dari kegagalan sosial untuk memelihara langkah dalam fungsi
mesin tersebut dengan perubahan kondisi dalam dunia kehidupan.
PERUBAHAN DALAM PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL
Dalam bentuk sebelumnya, perspektif fatologi sosial didasarkan pada metafor
masyarakat sebagai suatu organisme. Di sebut fungsi normal dari masyarakat
diasumsikan sebagai ‘sehat” dan ahli fatologi sosial didiami oleh mereka sendiri dengan
mengklasifikasi “sakit” dari masyarakat.
Pengertian yang sederhana dan konservatif mengenai fatologi sosial ini
mengalami masa kegemilangan sebelum perang dunia I, khususnya antara tahun 1890
dan 1910. setelah perang usai, kemudian mengalami pelambatan dengan kemunduran
yang tetap. Pada tahun 1960, terdapat kebangkitan pada perspektif fatologi sosial, dengan
beberapa sosiolog yang menulis mengenai “fatologi” keberadaan kami.8 Juga, sebagian
liberal dan radikal melihat masyarakat sebagai “sakit”. Ironisnya, suatu “budaya-kounter”
orang (seperti hippies”) yang dilabeli masyarakat sebagai sakit mereka sendiri dimana
jenis-jenis orang yang lebih awal ahli fatologi sosial akan dilabeli “sakit”.
Bagaimanapun, terdapat pengaburan pada titik kontras mengenai pandangan dalam suatu
usaha untuk membuat perspektif fatologi yang lebih “objektif”
KARAKTERISTIK PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL
Karakteristik yang lebih khusus pada perspektif ini adalah sebagai berikut:
Definisi. Kondisi dan pengaturan sosial yang menyenangkan yang dilihat sebagai suatu
kesehatan, ketika orang atau situasi yang menyimpang dari harapan moral merupakan
diakui sedemikian “sakit” karena itu jelek. Jadi, dari perspektif fatologi sosial, suatu
masalah sosial merupakan pelanggaran dari harapan morel.
Penyebab. Penyebab utama dari masalah sosial adalah kegagalan dalam sosialisasi.
Masyarakat, melalui agen sosialisasi, mempunyai tanggung jawab dari pengantaran
norma moral pada setiap generasi. Kadang-kadang, bagaimanapun, usaha sosialisasi
adalah tidak efektif. Suatu klasifikasi tentang orang yang menyimpang dari perspektif
fatologi sosial dilukiskan mereka sebagai tidak sempurna, tidak bebas, atau penjahat.9
Ketidaksempurnaan
tidak
dapat
diajarkan;
ketidakbebasan
berhalangan
dalam
penerimaan perintah; dan para penjahat menolak pengajaran. Untuk ahli fatologi
selanjutnya, masalah sosial merupakan hasil mengenai kesalahan nilai yang dipelajari.
Dalam suasana perspektif “tender”, seseorang yang berkontribusi pada masalah sosial
dipandang sebagai “sakit” dalam keadaan jiwa “ penjahat”, mereka dilihat sebagai
“kejahatan”. Dibelakang kedua mood tersebut, bagaimanapun, adalah gagasan bahwa
orang atau situasi adalah, pada hati “tidak bermoral”.
Kondisi. Ahli fatologi sosial awal mempertimbangkan sebagian orang memiliki
pembawaan tidak sempurna atau cacat. Dan untuk kebanyakan bagian,suatu kelas-kelas
“ketidaksempurnaan, ketergantungan dan kejahatan” cenderung pada pelestarian mereka
sendiri melalui perkawinan antara keluarga (inbreeding). Berikutnya, bagaimanapun, ahli
fatologi sosial telah memulai untuk melihat lingkungan sosial sebagai kondisi yang
penting yang berkontribusi pada fatologi sosial. Bahkan, Smith sendiri telah menulis,
“penyakit sosial begitu merata sedemikian menciptakan masalah sosial yang jarang
ditemukan
tanpa lingkungan yang buruk mengenai beberapa hal yang sempit dan
lainnya, dan juga siswa sosial terlalu dipaksakan untuk belajar mengenai sebab dari
penyakit sosial.”11 Sedangkan ahli fatologi yang lebih awal cenderung memfokuskan
pada sifat immoral masyarakat dan memandang masalah sebagai pengembangan dari
kekuatan sosial seperti teknologi dan kepadatan penduduk.
Konsekuensi. Pada pandangan ilmu fatologi awal, gangguan sosial meningkatkan biaya
pemeliharaan legitimasi tatanan sosial. Ahli fatologi sosial percaya, bagaimanapun,
bahwa yang paling sehatlah yang akan bertahan. Ahli fatologi saat ini, begitu berbeda,
bahwa kemarahan moral mengenai kerusakan masyarakat dan merupakan kurang optimis
pada ramalan mereka. Kebanyakan kemarahan melihat fatologi sosial sebagai total,
penularan, mungkin sekali pada dehumanisasi seluruh penduduk.
Solusi. Kedua versi perspektif fatologi sosial awal dan saat ini menyarankan apakah
bentuk solusi untuk masalah sosial ini mungkin diambil. Sosilog awal yang telah
memikirkan pada gangguan-gangguan yang disebabkan oleh “genetik” individu yang
cacat, contohnya, pembelokan pada pergerakan egenika sebagai sebuah solusi. Sosiolog
yang lain berpandangan suatu solusi masalah sosial diletakan pada pendidikan pada
pembuat masalah (troublemaker) dalam moralitas kelas menengah. Suatu keragaman saat
ini, yang mana cenderung untuk menghormati masyarakat dibanding dari pada anggota
yang tidak berkompromi sebagai “sakit” merupakan akar dari pandangan Rousseau
mengenai sifat manusia. Individu adalah baik; institusi mereka, yang bertanggungjawab,
adalah buruk. Bahkan ahli fatologi sosial modern memandang mengobati institusi yang
“sakit” dapat merubah nilai orang. Jadi, menurut perspektif ini, solusi nyata pada masalah
sosial adalah pendidikan moral.12
RINGKASAN DAN KESIMPULAN.
Suatu perspeftif fatologi sosial mengorganisasi pemikiran sosiolog Amerika awal
dengan memperhatikan masalah sosial, dan itu bersinambung-sekurangnya seperempatmenjadi titik yang berpengaruh pada pandangan ini. Hal tersebut didasarkan pada analogi
organik, dan perhatian utamanya adalah dengan sakit, atau fatologi, dari masyarakat.
Dari perspektif ini, masalah sosial dilihat sebagai penyimpangan dari pengharapan
moral. Penyebabnya adalah gagasan kegagalan sosialisasi, yang ditandai pertama pada
warisan genetik dan lingkungan sosial selanjutnya. Akibat dari kegagalan sepeti ini
adalah erosi moral; solusinya adalah, pendidikan moral.
Ahli fatologi sosial dapat dikelompokan menurut periodenya, orientasi dan
politik. Ahli fatalogi paling awal cendeung menjadi konservatif dalam orientasi dan
politik mereka. Ahli fatologi selnjutnya cenderung menjadi liberal atau radikal dalam
orientasi dan politi mereka. Perpaduan dari beberapa pendekatan talah muncul, tapi hal
tersebut sulit untuk mengatakan bahwa arah perspektif ini akan diambil atau apakah hali
ini berpengaruh di masa yang akan datang.
ANALOGI ORGANIK
Samuel Smith
Kutipan singkat dari fatologi sosial Samuel smith menunjukan pengaruh analogi organik
yang dapat dipertimbangkan beberapa penulis pada akhir abad ini. Seperti dokter medis yang
mempelajari sakit fisisk, ahli fatologi sosial telah mengambil studi “ penyakit sosial” dari
masyarakat. Dan Smith percaya bahwa hanya dokter medis yang belajar penyakit untuk
mempelajari bagaimana memperlakukan hal ini, begitu juga dengan ahli fatologi sosial
mempelajari masalah sosial agar dapat mempelajari bagaimana “ mengobati” nya.
Fatalogi dalam ilmu sosial memiliki persamaan pada fatologi dalam ilmu
kedokteran.
Seperti halnya studi mengenai penyakit fisik adalah penting
untuk
memelihara kesehatan fisik, begitu juga dengan kesehatan sosial tidak pernahmembumi
secara aman tanpa pengetahuan yang lebih luas dan pasti mengenai penyakit sosial.
Fatologi umum dalam kedoteran mengajarkan bahwa beberapa penyakit
memiliki
keumuman dan ada proses yang tidak wajar (abnormal) yang dapat didiskusikan, sama
baiknya dengan penyakit tertentu.
Dalam fatologi sosial keterkaitan kelas-kelas abnormal merupakan satu dari
sekian banyak fakta impresif. Orang miskin sering melahirkan kejahatan; keturunan
kejahatan menjadi sakit pikiran; dan demikian mengembang pada keluarga kekurangan,
ketergantungan dan kelas-kelas kelas penjahat yang ditunjukan, itu merupakan
perkembangan samapai/ sejauh memasuki bahwa di bawah semua macam bentuk fatologi
sosial ada cakupan umum dalam kondisi nervous morbid individu.
Ilmu kedokteran mengajarkan bawa studi mengenai penyakit adalah hanya sebuah
langkah proses pembimbingan terapi atau pengobatan, atau penyembuhan penyakit, dan
malahan merupakan langkah yang terputus pada mayoritas yang luas dari sakit fisik, itu
adalah hanya dasar-dasar dari harapan. Setiap penyakit dapat diobati pada saatnya, tetapi
pencapaian pada ilmu kedokteran tidak dalam penterapian, tetapi dalam sanitasi dan
dalam pencegahan penyakit.
Fatologi sosial akan menjadi studi yang suram bahkan jika pengetahuan akurat
mengenai fakta dan prinsip tidak menunjukan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan sosial
yang membimbing untuk menemukan penyebab dari penyakit sosial dapat dirubah,
kelemahan individu menguatkan secara sosial agar berakhir, sedemikian ideal pada masa
lalu, suatu badan sosial akan eksis dalam pikiran pekerja sosial, bercahaya dengan
kesehatan, dimana tidak ada kehidupan mahluk ketika tidak ada pembagian pada
semangat umum dari keseluruhan bagian dan kekuasaan.
PENJAHAT SEBAGAIMANA LAHIRNYA JENIS KEJAHATAN
Cesare Lombroso dan William Ferrero
Dalam kutipan ini, Lombroso dan ferero menganalisa karakteristik yang terkemuka dari
duapuluh kejahatan perempuan. Pada keduapuluh muka mereka mencatat penyimpangan seperti
asimetri muka, lebar rahang, gigi yang tumpang tindih, gigi taring gigi seri, celah langit-langit
mulut, kening. Mereka menunjukan pengamatannya dalam teori lombroso-diformulasikan pada
bagian lebih awal dari karirnya-bahwa terdapat-“takdir penjahat” yang mewakili model primit
biologis pada homo sapiens. “sifat kejahatan” tersebut,” lombroso beralasan, mirip siamang pada
karakteristik fisiknya, dan tentu dapat diidentifikasi sebagai “sifat turunan” kebalinya pada tahap
evolusi yang lebih awal.
PENYELAMAT ANAK
Anthony M. Platt
Dalam kutipan ini, Platt mendiskusikan suatu evolusi tentang perspektif fatologi sosial.
Diantara beberapa pemikiran, dia mendiskusikan sumber dari gagasannya dan bagaimana ide
tersebut dirubah dengan pembangunan perspektif sosial. Salah satu sumber yang penting adalah
konsep mengenai kejahatan seperti kurang lengkapnya tubuh manusia (apakah oleh alam atau
oleh pemeliharaan). Tampilan yang lain dalam pembangunan perspektif ini meliputi pertumbuhan
profesionalisme dalam pembenahan kerja dan penerimaan model medis/ kedokteran dn suatu
“rehabilitasi ideal” istimewa untuk perlakuan dari “penjahat” muda.
Cooley telah mengambil posisi dinamis dan fleksibel memperhatikan suatu cara
dimana karakter sosial dibentuk:
Penyatuan sifat alami dan pengasuhan bukan suatu tambahan atau campuran tapi
pertumbuhan, dengan jalan elemen semuanya ditranformasi kedalam keseluruhan organ.
Salah satu tindakan seleksi alam pada lingkungan,
material asimilasi seyogyanya
terhadap dirinya sendiri; pada waktu yang sama lingkungan mencetak sifat alami, dan
kebiasaan dibentuk yang membuat kebebasan individu, dalam beberapa tingkatan,
mengenai perubahan yang lainnya…
RINGKASAN
Pengembangan penting pada kesan mengenai kejahatan pada akhir abad adalah
(1) konsep mengenai penjahat yang kurang lengkap pada manusia, apakah sifat alami
atau pengasuhan, (2) petumbuhan profesionalisme pada kerja pemasyarakatan, dan (3)
penerimaan model medis dan “rehabilitasi ideal” khususnya dengan pengakuan pada
pemasyarakatan anak-anak dan anak remaja “penjahat”.
1. Meskipun ada perbedaan pendapat yang luas pada penyebab kejahatan, secara
umum diantara para ahli menyetujui bahwa penjahat dikondisikan secara abnormal oleh
faktor biologi dan lingkungan. Teori-teori awal menekankan pada permanen, tidak dapat
diubah, dan karakter bawaan mengenai prilaku penjahat. Kesan pada kerusakan alamiah
menambahkan kesan dari korupsi urban. Pembaharu menekankan tampilan yang tidak
teroganisasi dari kehidupan urban dan menggalakan program-program perbaikan yang
diwujudkan
pada konsep kelompok reral dan utama. Kehidupan kumuh dianggap
sedemikian tak teratur, kejam dan kekurangan aturan sosial; penduduknya dijelaskan
sebagai tidak normal dan gagal dalam penyesuaian, hidup mereka dala konflik dan
chaos.25
2. Elemen fatalisme dalam teori mengenai kejahatan telah dimodifikasi dengan
kemunculan kelompok profesional administrator hukum dan pelayan sosial yang
mengangkat pandangan pengembangan mengenai prilaku manusia. Implikasi pesimistis
dari keyakinan Darwinis adalah antagonis tidak hanya pada etika protestan tapi juga
pekerja sosial yang diinginkan status profesional dari dokter, pengacara, dan jabatan
pelayanan manusia lainnya. Itu beruntung, sebagaimana John Higham telah
mengobservasi, bahwa darwinisme cukup fleksibel pada setelan kedua pandangan yaitu
filantrofi dan misan tropi mengenai kehidupan sosial
3. Disana…(adalah) suatu penggeseran …kebijakan ofisial yang memperhatikan
kejahatan. Suatu garansi…digeser pada satu penekanan sifat dasar penjahat mengenai
kelalaian kepada “humanisme baru,” yang membicarakan penyakit, kesakitan, penularan,
dan semacamnya. Kemunculan jeminan medis merupakan kenyataan yang dapat
dipertimbangkan.
Semenjak
hal
tersebut
menjadi
kekuatan
rasional
untuk
pengorganisasian tindakan sosial pada kebanyakan aspek prilaku beragam pada
masyarakat kita.
Suatu “rehabilitasi ideal” mensyaratkan bahwa kejahatan merupakan gejala dari
“fatologi” dan bahwa penjahat akan diperlakukan secara tidak bertanggungjawab, pasien
sakit. Penjahat yang lebih tua, lebih kronis dalam sakitnya ; serupa, peluang sembuhnya
lebih kecil daripada orang–orang yang muda. Penjahat dewasa, khususnya residivis,
sering disifati sebagai bukan manusia. Anak-anak, bagaimanapun, kurang suka pada
gagasan seperti bukan manusia sejak etika universalistik, khususnya etikan kristen,
membuat hal tersebut hampir tidak mungkin berfikir mengenai anak sebagai ketiadaan
keberadaan moral.
Pembaharu sosial menekankan pada sifat dasar kejahatan anak remaja yang
sementara dan dapat dikembalikan. Sebagaimana pengamatan Charles Cooley, “ketika
seorang individu benar-bena masuk kedalam karir penjahat, mari mencoba untuk
menangkapnya pada pengajuan usia, persoalannya adalah pada rasional disiplin sosial,
seperti yang telah sukses pada beberapa kasus bahwa hal tersebut dapat dikembangkan
secara luas.28 Jika penyelamat anak percaya, penjahat terkondisikan oleh warisan biologi
dan kondisi kehidupan yang kasar kemudian mengukur pencegahan penyakit yang
seharusnya diambil lebih awal dalan kehidupan. Anak-anak penjahat-penjahat generasi
selanjutnya harus dicegah dari penerusan karir kejahatannya. “ mereka lahir untuk itu,”
tulis penolog Enoch Wine pada 1889, “membawanya untuk itu. Mereka harus
diselamatkan. Beberapa pembangunan baru dalam penologi mengambil tempat pada saat
ini pada pembaharuan sistem, hal yang diharapkan, penjahat akan terselamatkan dan
dibangun kembali.
KRITERIA UNIVERSAL MENGENAI FATOLOGI
Vytautas Kavolis
C. Wright Mills mengkritik pendekatan fatologi sosial menyelubungi
nilai–nilai
konservatif pembaharu kota kecil dalam tujuan terminologi medis. Dalam kutipan ini, Kavolis
beralasan bahwa fatologi sosial, didefinisikan secara hati-hati, dapat dijadikan tujuan relatif
dan konsep yang berguna. Pengrusakan pada
diri dan orang lain, Kvolis menilai, dapat
diidentifikasi secara objektif, dan juga pengrusakan merupakan inti dari fatologi sosial. Jadi
Kavolis menyakini, studi mengenai fatologi sosial seharusnya memperhatikan pada hal tersebut
dengan prilaku merusak manusia dan kondisi yang memberikan munculnya prilaku tersebut.
Itu tidak dapat diasumsikan dengan sah bahwa pendekatan patologi sosial perlu
memasukan sebuah perlindungan bias dari kabaikan pelindung institusi luar. Apakah tipe
patologi bukan prilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau kaseimbangan sosial tetapi
hal itu yang merusak atau merusak dirinya sendiri dalam konsekuensi patologi itu.
Kapanpun berdirinya institusi (atau inovasi) memajukan tingkah laku, mereka harus
menganggap sebagai penyakit. Konflik dalam teori perspektiv, bukan dalam patologi itu
sendiri. Kekurangan konflik dalam patogenik jika menghidupkan insiden tinggi dari
prilaku buruk mereka.
Hal itu hanya dengan investigasi secara keseluruhan sebagai efek dari kondisi
sosial, dalam semua tipe prilaku patologi, bahwa patologi sosial dapat ditentukan secara
luas denagn berbagai cara suatu kondisi patologi. Sebuah kerangka teori membutuhkan
sesuatu semua kondisi sosial dapat dihubungkan kepada semua tipe dari prilaku patologi.
Dalam mengumpulkan sebuah data untuk suatu kerangka teori, suatu teori harus
dapat membantu untuk membedakan arahan tentang suatu kemunduran oleh dirinya
dengan kemunduran oleh orang lain, dan prilaku patologi yang tetap dari aturan patologi.
Kemunduran oleh diri sndiri tergantung semua bentuk dari prilaku individu dapat
membuat atau merusak hidupnya, kesehatan atau nilai perilaku kepribadian.
Prilaku Patologi yang konstan menunjukan suatu pilihan individu secara
sukarela, mengajak kedalam pendidikan destruktif atau ketika dia berkembang dengan
tidak sadar, tanpa mempunyai kemampuan untuk memilih gejala dari kemerosotan.
Pengaturan keberadaan patologi ketika masing-masing individu salah satu kewajiban
“morally” atau”politically” memaksa atau mengatur dari suatu wewenang dimana dia
komitmen merusak diri sendiri. Kasus-kasus yang muni dari patologi diemukan dalam
kamplek konsertasi dan institusi perbudakan
Dalam pembelajaran patologi sosial, kita bertujuan mendirikan karakteristik
struktul sosial dan suatu proses sebaik orientasi kebudayaan itu yang menunjukan
prilaku patologi dimanapun terjadi. Untuk mengeliminasi kejadian susunan dari
penemuan yang memegang waktu yang teliti tetapi kekurangan validitas, sisitematis studi
antar budaya dari beberapa bentuk patologi adalah diperlukan. Studi seperti itu harus
memimpin teori yang menyeluruh dari pengetahuan dalam sejarah dan akumulasi
masyarakat modern dari setengah lusin disiplin ilmu. Hal itu tidak mungkin dalam sistem
teori. Untuk memprediksi sebanyak apa tipe patologi akan terjadi jika kita membangun
masyarakat dengan karakteristik yang khusus.
PENGEJARAN DARI KELENGANGAN
Philip Slater
Kultur Amerika menitikbertakan kepada individualisme. Kepemimpinan yang saling
berkompetisi, dan kebutuhan privasi yang tinggi. Respon Amerika menganggap sebagai
peningkatan kualitas individu, tetapi hal ini hanya membuat meraka merasa terpuruk, sebab sifat
individual tidak dapat mengobati patologi yang telah mereka ciptakan.
KETIDAKTERATURAN SOSIAL
Suatu perspektif ketidakteraturan sosial muncul setelah perang dunia I sebagai respon
pada seperangkat keadaan khusus dalam masyarakat yang lebih besar dan bidang sosiologi.
Dalam bab ini kami melihat keadaan yang muncul pada perspektif fatologi sosial. Seorang
sosiolog yang telah merumuskan ini, dan suatu tampilan dasar mengenai suatu perspektif.
MASALAH-MASALAH KEMASYARAKATAN
secara bersamaan, ada tiga faktor, yaitu faktor-faktor migrasi, urbanisasi dan
industrialisasi yang membangun dasar sosial dan budaya luar untuk untuk kondisi yang
tidak diinginkan. Tumbuh beberapa kondisi seperti kejahatan, sakit mental, alkoholism,
minuman keras, dan kejahatan remaja, semuanya muncul menjadi diperlkukan pada
buku teks masalah sosial sekarang. Ketika masalah-masalah tersebut berada dalam skala
yang lebih kecil, perspektif fatologi sosial terlihat…. Sebagaimana mereka telah
meningkat, bagaimanapun, perspektif fatologi terlihat kurang berguna. Sosiologi sedang
menghadapi masalah baru sebagai suatu disipilin ilmu/ mata pelajaran sosiologi
membentuk suatu perspektif ketidakteraturan sosial.
MASALAH-MASALAH DISIPLIN ILMU
Munculnya
merefleksikan
perspektif
ketidakteraturan
sosial
selama
tahun
1920-an
usaha ini dalam membangun sosiologi sebagai suatu disiplin ilmiah.
Konsep-konsep ketidakteraturan sosial meloncat dari pengembangan jaringan gagasan
yang memusat pada konsep organisasi sosial. Pemikiran mengenai organisasi sosial
berimplikasi, pertama dari semua, bahwa terdapat keseluruhan dimana suatu bagian
berdiri pada beberapa hubungan satu dengan yang lainnya. Kedua, itu menyebabkan
konsep ketidakteraturan sosial adalah bahwa suatu keragaman bagian dapat keluar dari
fase dengan yang lainnya
Suatu perspektif ketidakteraturan sosial muncul dari pengembangan sudut
pandang ini, dan sejalan dengan waktu menjadi cara belajar masalah sosial yang paling
populer. Menjadi lebih spesifik, sosiolog mulai memandang masalah sosial sebagai
indek ketidakteraturan sosial, sebagaimana mereka telah mengembangkan kerangka
konsep sosiologis yang untuk menjelas keteraturan sosial sosial, mereka juga
mengembangkan konsep susada/ sister untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
ketidakteraturan sosial. Pada akhirnya, sosiologi mulai berkembang sebagai disiplin ilmu
dengan persoalan pokok tersendirinya, konsep miliknya. Dan cara nya menggambarkan
kenyataan.
PERBEDAAAN ANTARA FATOLOGI DAN PERSPEKTIF
KETIDAKTERATURAN
Dibandingkan dengan perspektif fatologi sosial yang lebih awal, perspektif
ketidakteraturan sosial lebih komplek, lebih nyata secara intelektual, dipertimbangkan
lebih sistematis menguntungkan, tentu saja, dari kedewasaan sosiologi yang lebih besar
sebagai disiplin pada saat dibangunnya. Itu bersifat instruksi, pada titik ini, untuk
membandingkan dua perspektif pada term persoalan pokok mereka, kosa kata, metode,
dan perhatian terhadap aplikasi praktis. Seorang ahli fatologi sosial mempelajari masalah
sosial dengan memperhatikan pada kegagalan individu dan institusi.
Perbandingan perspektif fatologi dan ketidakteraturan ini memunculkan
pembagian opini kronis dalam pengakuan sosiologi apakah sosiolog seharusnya mereka
sendiri membuat penilaian moral atau mereka seharusnya mengabaikan studi penilaian
moral yang lainnya. Ahli fatologi telah membuat penilaian moral dengan mengakui pada
institusi dan individu serupa
TEORI KETIDAKTERATURAN SOSIAL UTAMA
Cooley. merumuskan suatu batasan antara hubungan grup utama dan grup kedua.
Hubungan utama merujuk pada hubngan face-to-face pribadi dan kekal. Hubungan
kedua. Dengan kata lain, kurang sering, kontak impersonal. Memberian batasan berbeda
ini, sosiolog secara cepat melihat bahwa perpindahan dari desa ke area kota/ urban telah
diikuti dengan kemacetan pada pengawasan kelompok utama. Kedua, Cooley telah
mengkonsepkan ketidakteraturan sosial sebagai disintegrasi dari tradisi. Dia beralasan
bahwa aspek terburuk dari ketidakteraturan sosial adalah bahwa ‘kemunculan standar
sosial …lebih rendah…(orang) bidang dari pencapaian dan melontarkan daia kembali
kepada sensibilitas dan impuls primitif lainnya.”4
Thomas dan Znaniecki mendefinisikan ketidakteraturan sosial sebagai kemacetan
pengaruh aturan pada individu. Yang terbesar pada kerja mereka berisi surat yang ditulis
oleh imigran Polandia pada temannya dan relatif kembali kerumah di Polandia. Suratsurat itu semuanya memberikan kesaksian pada konflik kebudayaan, etnik sama baiknya
dengan generasi.
Ogburn. Sumbangan Ogburn yang utama adalah gagasan mengenai ketertinggalan
budaya.6 Suatu bagian yang berbeda dari kebudayaan dan saling tergantung, Ogburn
berkata, dan bahwa ketika bagian yang berbeda berubah pada tingkat yang berbeda, saatu
bagian akan keluar fase dengan yang lainnya dan menghasilkan gangguan.
KARAKTERISTIK PERSPEKTIF
KETIDAK TERATURAN SOSIAL
Elemen utama perspektif ketidakteraturan sosial adalah sebagai berikut :
Definisi. Ketidakteraturan sosial diterima sebagai kegagalan aturan. Tiga tipe utama
ketidakteraturan adalah ketiadaan norma, konflik kebudayaan, dan kemerosotan.
Penyebab. Penyebab utama ketidakteraturan sosial adalah, pembicaraan yang luas,
perubahan sosial. Sebagaimana perubahan terjadi, suatu bagian dari sistem sosial keluar
pada aturan dengan yang lainnya.
Kondisi. Suatu bagian dari sistem sosial tidak pernah sempurna dalam aturan, biasanya
terdapat keseimbangan dinamis, beberepa kondisi yang mengganggu suatu keseimbangan
mungkin menimbulkan ketidakteraturan sosial. Kondisi demikian meliputi teknik,
demografi, atau perubahan kebudayaan yang membangkitkan perubahan sosial
(perubahan dalam hubungan sosial)
Konsekuensi. Perspektif ketidakteraturan sosial memperidiksi hasil sistem dan orang.
Untuk manusia, ketidakteraturan sosial menghasilkan tekanan, yang mana menyebabkan
“ketidakteraturan sosial”. sebagai contoh, sakit mental, alkoholisme. Untuk sistem
mempunyai tiga macam konsekuensi.pertama, disana terjadi perubahan dalam sistem
(beberapa respon atau adaptasi membawa beragam bagian dari sistem kembali kedalam
keseimbangan). Kedua, suatu sistem dapat berlanjut pada fungsi apapun). Ketiga, sistem
mungkin merusak (ketidakteraturan begitu mengacaukan serta merusak sistem).
Solusi. Usaha-usaha untuk mereduksi ketidak teraturan sosial dapat menjadi dorongan
pada pengaruh suatu diagnosa yang tepat yang telah dibuat. Jadi, bagian-bagian dari
sistem yang keluar dari sistem akan membawa kembali kepada keseimbangan, sebagai
contohnya, perubahan teknik akan menurun secara perlahan.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Setelah perang dunia I, sosiolog Amerika Strove untuk membangun ilmu sosiologi
sebagai disiplin ilmiah yang independen dengan konsep tersendiri dan materi sebagai
subyeknya. Pada waktu yang sama, migrasi, pertumbuhan urban, dan perubahan
teknologi terlihat menghasilkan sejumlah masalah sosial, dan sosiolog bekerja keras
untuk seperangkat kategori bahannya untuk menjelaskan dan menerangkan masalahmasalah tersebut.
Cooley telah mengajarkan generasi sosiolog untuk mencari tanda dari gangguan
tradisi, khususnya yang direfleksikan pada penurunan kebiasaan kecil, keiintiman
anggota dalam kelompok. Thomas dan Znaniecki Denise suatu set konsep penting dan
dalam studi mereka mengenai imigran Polandia ke Amerika, menggambarkan bagaimana
perpindahan di kota asing dalam luar tanah keluarga, mempertajam konflik generasi,
meningkatkan kesempatan kejahatan dan sakit mental. Ogburn menguji pengaruh
teknologi
pada organisasi sosial, mengembangkan teori berpengaruhnya
mengenai
ketertinggalan kebudayaan, dan membantu perkembangan seluruh sekolah mengenai
pembagian teknologi.
Secara singkat, ketidakteraturan sosial ditandai kegagalan aturan. Perubahan
sosial biasanya dipandang sebagai penyebabnya, dan teknologi, demografi, dan
perubahan budaya
dipandang sebagai …kondisi. Ketidakteraturan personal dan
ketidakseimbangan dari suatu sitem sosial muncul sebagai konsekuensi dari
ketidakteraturan sosial, dan solusi untuk ketidakteraturan ini adal membawa keadaan dari
sistem sosial ini kembali kepada keseimbangan.
PERUBAHAN SOSIAL DAN
KETIDAKTERATURAN SOSIAL
Robert E. park
Dasar dari organisasi sosial, Park mengatakan bahwa tradisi merupakan adat istiadat.
Dan selama periode stabilitas, suatu kelurga, tetangga, dan komunitas
bergabung untuk
menerapkan kontrol pada banyak orang. Urbanisasi, industrialisasi, dan imigrasi mengacaukan
dan mempengaruhi stabilitas. Dengan demikian merusak otoritas dan sistem sosial tradisional.
Kecenderungan masyarakat modern menyebabkan perubahan itu, pada gilirannya menghasilkan
ketidakteraturan sosial. Contoh-contoh ketidakteraturan sosial ditemukan diantara orang-orang
migran, dan orang terlantar atau gelandangan. Dan dalam carut marutnya kehidupan di area
ditemukannya orang-orang tersebut.
EKOLOGI KETIDAKTERATURAN URBAN
Robert E. L. faris dan Warrean Dunham
Meskipun urabanisme dan ketidakteraturan sosial cenderung bersamaan, timbulnya masalah sosial beragam dalam struktur
ekologi suatu kota. Perhatian terhadap area berbeda dari suatu kota, Park, Burgess dan Mc Kenzie menemukan tingkat
ketidakteraturan sosial dan masalah sosial yang terbesar pada apay yang mereka namakan “ zona dalam transisi” suatu zona yang
dicirikan oleh perumahan sederhana dan rumah petak, usaha yang tidak kekal, dan bangunan yang bobrok. Masalah sosial
diasosiasikan dengan indek keteraturan yang meliputi perbuatan jahat, kemiskinan, alkoholisme, sakit mental, dan keluarga yang
berantakan. Faris dan Dunham percaya bahwa ketidakteraturan sosial membawa pada masalah sosial dengan menjebol kontrol grup
utama. Karenanya, tingka dari masalah sosial yang tertinggi di pusat kota, dimana ketidakteraturan sosial juga yang tertinggi;
sebaliknya, batas luar indek ketidakteraturan sosial merupak yang terendah yang muncul pada masalah sosial.
AREA-AREA
SIRKULAR
ALAMI
YANG
DIGAMBARKAN
SEBAGAI
ZONA
Karakteristik yang paling mencolok dari pola urban ini dalah sebgaiamana yang
dijelaskan oleh Profesor Burges,1 mungkin diwakili oleh
suatu sistem pada zona
konsentris, yang ditunjukan pada grafik I.
Zona I, pada pusatnya adalah pusat bisnis, area tersebut dipenuhi oleh toko, kantor usaha,
tempat hiburan, industri, dan usaha bisnis yang lainnya. Hanya sedikit tempat tinggal di
area ini kecuali untuk penduduk sementara dalam hotel besar, dan orang tunawisma,
bagian “hobohemia” yang biasanya berlokasi pada pinggiran distrik bisnis.
Zona II disebut dengan zona dalam transisi. Penunjukan ini merujuk pada fakta bahwa
perluasan kawasan industri meluas pada ujung bagian dalam. Nilai tanah tinggi karana
harapan terjual untuk tujuan industri, bangunan-bangunan tempat tinggal
tidak
diharapkan memenuhi area secara permanen, mereka tidak memelihara pada perbaikan
keadaan. Oleh karena itu, bangunan tempat tinggal dalam keadaan buruk dan
menyewakannya rendah. Pekampungan kumuh tersebut ditinggali oleh tenaga kerja yang
tidak punya keahlian dan keluarga mereka. Semua perkampungan dari penduduk sebelah
sama baiknya dengan area kamar-rumah yang terletak dalam zona ini.
Zona III, zona para pekerja rumah, adalah berpenduduk dengan populasi yang
lebih stabil dengan persentasi yang tinggi dari buruh terlatih dan beberapa…….Hal ini
ditentukan
di
dalam
kunjungan
antara
perkampungan
kumuh
dengan
area
pemukiman.Dalam lokasi ini …………atau penanganan kelompok imigran kedua,
mewakilkan generasi kedua dari keluarga itu yang mempunyai perpindahan tempat dari
zona II.
Zona IV dan V adalah zona apartemen dan para pekerja yang sibuk yaitu
mendiami keluarga kelas menengah atas. Persentasi yang tinggi dari kediaman mereka
untuk periode lama pada alamat yang sama. Pada area ini kestabilan adalah peranan dan
kekacauan sosial yang luarbiasa……
Karakteristik populasi dalam zona ini kelihatan menghasilkan secaraalami dari
kehidupan yang lebih cukup dari yang sebaliknya. Hal ini menunjukan dengan fakta yang
mencolok sebagai alur perbedaan mereka. Besarnya bagian perpindahan populasi menuj
kota akibat dari adaya arus para pekerja yang tidak ahli kedalam zona II yaitu zona
transisi. Perpindahan ini menyebabkab tersingkirnya masyarakat yang sudah ada disana,
megharuskan mereka untuk bergerak cepat ke zona selanjutnya. Pada umumnya,
gelombang populasi di kota ini adalah sebuah karakter, dari zona dalam terhadap yang
diluar. Masing-masing zona, bagaimanapun menahan karakteristik ini apakah penduduk
asli, penduduk luar atau negro. Juga Masing-masing rasial atau kelompok nasional
meubah karakter ini sebagai pergerakan suatu zona ke zona selanjutnya.
Dari sistem zona ini terdapat penyaringan dan penyortiran lebih lanjut dari sisi
ekonomi dan sosial institusi dan populasi. Kompetisi dari segi lahan di kota masingmasing mereka punya tempat untuk bertahan. Penemuan tempat itu terkadang dengan
mencoba dan gagal. Disana munsul kompetisi dari segi keuangan, pertokoan eceran, toko
spesialis, pergudangan dan lain-lain.
KETIDAKTERATURAN KELUARGA
W.I. Thomas dan Florian Znaniecky
Aturan untuk mendefinisikan sesuatu pada masyarakat tradisional membutuhkan orang
untuk fokus pada apa yang terbaik bagi grup, atau suatu sikap “kami” sebagaimana Thoma dan
Znaniecky menyebutnya. Imigrasi mengungkapkan orang, khususnya anak-anak, pada
seperangkat aturan yang baru untuk mendefinisikan
situasi pada masyarakat yang lebih
moderen. Disini, orang diharapkan untuk memfokuskan lebih pada apa yang terbaik bagi pribadi
mereka, atau apa yang Thomas dan Znaniecky sebut dengan sikap “saya”. Suatu pertentangan
dari dua sikap tersebut menghasilkan kompetisi definisi dan aturan. Dan salah satu grup dapat
distinguish… antara sikap “saya” dan “kami”, suatu kemampuan dari seperangkat aturan yang
lainnya untuk mempengaruhi prilaku yang terlemah yang tidak dapat diukur. Ini adalah
essence…dari ketidakteraturan sosial sebagaiman Thomas dan Znaniecky melihatnya.
Kini kita dapat menarik kesimpulan umum dari data yang secara hipotetis akan
kita ajukan sebagai peraturan sosiologis, yang dibenarkan dari pengamatan masyarakat
lain.
1. Penyebab sebenarnya dari semua gejala kekacauan keluarga akan ditelusuri dalam
pengaruh nilai-nilai baru tertentu – baru dalam subjek ini – seperti : sumber
kepuasan hedonis baru, nilai kesombongan baru, jenis organisasi ekonomi baru
(individualistik), bentuk daya tarik seksual baru. Pengaruh anggapan ini, tentu
saja, bukan hanya persentuhan antara individu dengan dunia luar tetapi juga
keberadaan kepribadian sikap individu tertentu yang membuatnya merespon pada
nilai-nilai baru tersebut – aspirasi hedonis, hasrat pengakuan sosial, hasrat
kelanggengan ekonomi, nafsu seksual.
2. Penampilan sikap individualistik baru dapat ditandingi, seperti pengaruh dari
suatu penyebab, karena pengaruh penyebab lainnya; hasilnya adalah kombinasi
pengaruh yang mengambil bentuk penekanan dari sikap baru; sikap baru tidak
memungkinkan tetap berada dalam kesadaran penuh atau mewujudkan diri dalam
tindakan, tetapi terdorong menjadi setengah sadar. Penyebab yang menandingi
individualisasi didalam keluarga terutama adalah pengaruh komunitas primer
dimana keluarga menjadi bagian darinya.
3. Perwujudan kekacauan keluarga pada perilaku individu adalah pengaruh sikap
subjek dan kondisi sosial; kondisi sosial ini tentu harus diambil beserta makna
yang dimilikinya untuk bertindak individual sendiri, bukan untuk pengamat
diluar.
4. Terbukti sulit untuk memulihkan kembali psikologi keluarga semula setelah
terpecah belah, karena individu yang belajar secara sadar untuk membedakan dan
saling menandingi keinginannya dan para anggota keluarganya dan menganggap
keinginan-keinginan itu hanya bersifat pribadi tidak dapat melupakannya dan
kembali pada sikap “kami” semula. Maka penataan kembali keluarga adalah hal
yang mungkin, tetapi dengan dasar yang sama sekali baru – yaitu moral, kordinasi
dan harmonisasi sikap individu untuk meraih tujuan umum.
KEMUNDURAN KOMUNITAS KULIT HITAM
Elijah Anderson
Kondisi sosial manakah yang membuat suatu komunitas mulai kehilangan kontrol
terhadap para anggotanya? Anderson mengajukan dua: (1) pimpinan yang bergerak diluar
gerakan dan (2) mengurangi kontak sosial dengan sedikit model peran yang masih ada. Sebelum
ada perubahan hak-hak sipil, pimpinan Northton, baik golongan menengah dan atas,
mempertahankan persentuhan dengan semua segmen populasi di Northton. Sebagai pimpinan
dan pemegang tradisi, mereka menerapkan etika kerja keras dan menjadi agen kontrol sosial
yang kuat. Setelah kemenangan hak sipil membukakan kesempatan mereka di dunia kulit putih,
baik jumlah kaumnya di komunitas maupun persentuhan dengan dunia itu menurun jauh.
Ketiadaan pemimpin yang menerapkan baik norma kerja maupun penegakannya dalam
kehidupan sehari-hari mengarah pada keterpecahan kontrol kelompok primer pada
pelaksanaannya. Setelah itu, yang terjadi adalah peningkatan sebagian indeks-indeks kekacauan
sosial: kebandelan, narkoba, kehamilan remaja, dan mungkin yang paling memukul adalah,
kejahatan kulit hitam terhadap kulit hitam.
KONSEP KETIDAKTERATURAN
Marshall B. Clinard
Ketidakteraturan sosial bermula sebagai konsep sensitif bagi sosiolog, dan sosiolog
generasi pertama yang memakai konsep ini lebih mampu memahami perubahan di masyarakat
melalui pendapat. Tetapi generasi sosiolog berikutnya merasa gagasan ini tidak berdasar dan
membingungkan. Dalam intisari ini, Clinard meringkas permasalahan konsep. Secara subjektif,
penulis cenderung tidak jelas, keliru, atau bias dalam menggunakan gagasannya. Secara objektif,
mereka cenderung mencampuradukkan perubahan, perilaku menyimpang, sub-budaya, dan
keragaman manusia dengan ketidakteraturan sosial.
. . . Keadaan tidak teratur sering dianggap sebagai adanya “kemunduran kontrol sosial
terhadap perilaku individu” dan mundurnya persatuan kelompok dikarenakan pola
perilaku dan kontrol sosial sebelumnya tidak lagi efektif. Ada sejumlah keberatan
terhadap kerangka acuan ini. (1) Ketidakteraturan merupakan konsep yang terlalu
subjektif dan gamang dalam menganalisis masyarakat umum. Tetapi pemakaian konsep
yang efektif dapat dilakukan dalam kajian kelompok dan kelembagaan tertentu. (2)
Ketidakteraturan sosial berarti runtuhnya kondisi organisasi yang sebelumnya ada,
sebagai satu situasi dimana umumnya tidak dapat dibangun. Perubahan sosial sering
rancu dengan ketidakteraturan sosial tanpa menunjukkan sebab sebagian perubahan sosial
tidak teratur sedangkan yang lain tidak. (3) Ketidakteraturan sosial biasanya dianggap
sebagai sesuatu yang “tidak baik,” dan hal yang tidak baik menjadikan penilaian
pengamat dan anggota golongan sosialnya atau kelompok sosial lainnya. Sebagai contoh,
praktek perjudian, perilaku di bar, kebebasan hubungan seks, dan perilaku lain bukan
berarti bahwa kondisi ini secara alami “tidak baik” atau “tak teratur.” (4) Kehadiran
bentuk perilaku menyimpang tidak serta-merta memberi ancaman besar terhadap nilai
sentral di masyarakat. Adanya bunuh diri, kejahatan, atau alkoholisme mungkin saja
bukan hal serius jika nilai-nilai lain sedang dicapai. Masyarakat Amerika, misalnya,
memiliki derajat kesatuan dan integrasi yang tinggi meski tingkat perilaku menyimpang
juga tinggi, jika kita menganggap nilai tersebut sebagai nasionalisme, produksi industri
yang sangat maju, dan sasaran pemenuhan materi. (5) Hal yang nampaknya tak teratur
sebenarnya mungkin merupakan sistem yang sangat terorganisir dengan norma yang
berlainan. Banyak subkultur perilaku menyimpang, seperti geng nakal, kejahatan
terorganisir, homoseksualitas, prostitusi, dan kejahatan kerah putih, termasuk korupsi
politikus, mungkin sangat terorganisir. Seks di daerah kumuh bisa saja sama sangat
terorganisir dan sama normatifnya menyangkut hubungan pranikah di satu sisi seperti
seks golongan menengah di sisi lain. Norma dan nilai di daerah kumuh sangat
terorganisir, seperti diperlihatkan oleh Whyte dalam Street Corner Society. (6) Terakhir,
seperti dikemukakan sebagian sosiolog, dimungkinkan bahwa beragam subkultur dapat
berkontribusi, melalui keberagamannya, terhadap kesatuan atau integrasi masyarakat
bukan malah memperlemah masyarakat dengan membentuk suatu situasi ketidakteraturan
sosial.
KONFLIK NILAI
PARA TEORITISI KONFLIK DAN RUMUSAN PERSPEKTIF
KONFLIK NILAI
Perspektif konflik nilai mengembangkan suatu sintesis teori-teori konflik nilai
dari Eropa dan Amerika. Di antara para sosiolog Eropa awal, para teoritisi konflik
berlimpah (banyak).1 Karl Marx, untuk contoh, menjelaskan sejarah dalam arti sebuah
perjuangan di antara kelas-kelas, dan Georg Simmel menganalisa konflik sebagai sebuah
bentuk interaksi sosial.2 Orang-orang Amerika mempelajari para sarjana Eropa seperti hal
ini dan mengembangkan dugaan yang mereka punyai tentang konflik sosial,3 namun
hingga 1920an dan 1930an, mereka tidak menerapkan perspektif konflik untuk
mempelajari masalah-masalah sosial. Pada 1925, Lawrence K. Frank
membela
pendekatan konflik nilai untuk mempelajari masalah-masalah sosial; penerapan
perspektif ini bagi masalah-masalah rumah tangga(housing), Frank telah menunjukkan
bagaimana suatu ragam kepentingan sosial telah dilibatkan dalam pertanyaan-pertanyaan
rumah tangga (housing) dan bagaimana merubah diperkenalkan untuk memecahkan
masalah-masalah kekumuhan perkotaan yang akan melibatkan satu tuan rumah dari
kelompok-kelompok dalam konflik-konflik kepentingan tiada akhir.4
1
Untuk contoh, Ludwig Gumplowicz, Karl Marx dan Friedrich Engels, Gustav Ratzenhofer, dan
Georg Simmel.
2
Lihat, untuk contoh, Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works, 2 vols. (Moscow:
Foreign Language Publishing House, 1965), dan Georg Simmel, “The Sociology of Conflict,”
terjemahan Albion Small, American Journal of Sociology 9 (1903-04): 490-525, 672-89, 798811.
3
Di Amerika, para teoritisi konflik awal paling penting adalah Albion Small danRobert Park.
Small secara luas menjadi bertanggung jawab untuk memperkenalkan tulisan-tulisan Simmel
kepada para sosiolog Amerika. Selain itu, Small menguji konflik sebagai salah satu bentuk dasar
dari interaksi, dan dia menggunakan dugaan konflik pada bagian besar tulisan-tulisannya tentang
masyarakat (komunitas) kota dan hubungan-hubungan ras. Lihat Albion W. Small dan George E.
Vincent, An Introduction to the Study of Society (New York: American Book Company, 1894),
dan Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, Introduction to the Science of Sociology (Chicago:
University of Chicago Press, 1921).
Lawrence K. Frank, “Social Problems,” American Journal of Sociology 30 (Januari 1925): 46375
4
Konsekuensi-konsekuensi. Konflik dapat menjadi penggosok (abrasive) dan merugikan.
Beberapa kali konflik-konflik mengakibatkan pengorbanan nilai-nilai yang lebih tinggi di
atas kepentingan nilai-nilai tingkat yang lebih rendah. Lebih sering konflik-konflik
mengakibatkan jalan buntu atau kekalahan oleh pihak yang lebih lemah dalam konflik.
Konflik juga menghasilkan suatu tradisi ”perasaan buruk” di antara kelompok-kelompok.
Bagaimanapun ditambahkan, sebagaimana para pengamat lebih tekankan, konflik-konflik
dapat memiliki pengaruh positif membantu kelompok-kelompok mengklarifikasi nilainilai mereka.
Solusi-solusi. Perspektif konflik nilai mengajukan tiga cara di mana masalah-masalah
sosial memunculkan perbenturan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dapat
dipecahkan: konsensus, perdagangan, dan mengambil kekuatan. Jika pihak-pihak dapat
memecahkan konflik atas kepentingan dari seperangkat nilai yang lebih tinggi dibagi
oleh kedua belah pihak, maka akan mendapat (memenangkan) konsensus. Jika para pihak
dapat menawar (bargain), maka suatu perdagangan nilai-nilai – semua dalam semangat
proses demokratis—dapat mengambil bagian. Jika baik konsensus maupun perdagangan
telah dilakukan, maka kelompok-kelompok dengan sangat berkuasa mengambil kendali
(kontrol).
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Konflik selalu ditampilkan dalam pemikiran penting para sosiolog Eropa dan
Amerika.
Namun sebagaimana para sosiolog Amerika telah berusaha untuk
mengembangkan sosiologi sebagai sebuah ilmu, mereka telah mulai untuk memfokuskan
terhadap keteraturan sosial dan nampak melupakan tentang konflik sebagai fakta dasar
dari kehidupan sosial dan komponen utama dari banyak masalah sosial.5 Tahun-tahun
Depresi, bersama-sama dengan Perang Dunia II, telah membangkitkan kembali minat
dalam teori konflik dan membuat sosiologi lebih ”relevan” dengan masyarakat. Fuller
dan Myers telah menghasilkan rumusan pijakan dari pandangan ini, yang berlanjut untuk
menjadi populer di antara para sosiolog.
John Horton, “Order and Conflict Theories of Social Problems,” American Journal of Sociology
71 (Mei 1966): 701-13.
5
Dari perspektif ini, masalah-masalah sosial dilihat sebagai timbulnya dari konflikkonflik nilai. Kompetisi dan tipe-tipe khusus dari kontak di antara kelompok-kelompok
adalah kondisi-kondisi yang mengembangkan konflik. Konflik-konflik nilai secara teratur
mengarah kepada polarisasi kelompok-kelompok dan suatu klarifikasi nilai-nilai mereka.
”Solusi’ mengambil bentuk dari penggunaan kekuasaan, tawar-menawar, atau pencarian
sebuah konsensus.
KONFLIK NILAI-NILAI
Richard C. Fuller dan Richard R. Myers
Fuller dan Myers, dua teoritisi utama dari perspektif konflik nilai, menempatkan tiga
macam masalah sosial: fisik, amelioratif (bersifat perbaikan), dan moral. Pembedaanpembedaan berkisar di seputar apakah orang setuju atau tidak tentang sesuatu yang tidak
diharapkan dari keadaan (kondisi) dan tentang tindakan apa yang harus diambil. Dengan
masalah-masalah fisik (seperti badai tornado atau angin topan),orang setuju bahwa kondisi yang
tidak diharapkan dan tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan seputar sebab fisik dari
masalah. Mereka dapat tidak sepakat tentang bagaimana untuk setuju dengan konsekuensikonsekuensi kejadian tersebut. Dengan masalah-masalah amelioratif (seperti kejahatan atau
kemiskinan), orang setuju bahwa kondisi yang tidak diharapkan dan bahwa kondisi itu dapat
diperbaiki, namun mereka tidak setuju seputar tindakan apa yang harus diambil. Dengan
masalah-masalah moral (seperti aborsi atau perjudian), orang tidak setuju tentang apakah
kondisi yang tidak diharapkan atau seputar apa tindakan, jika ada, yang seharusnya diambil.
Sebagaimana masyarakat berubah, masalah-masalah dapat bergeser dari satu kategori ke yang
kategori lainnya. Meskipun demikian, Fuller dan Myers bertahan pada pendapat bahwa pokok
semua masalah sosial adalah ”konflik dalam skema nilai budaya.”
Kegagalan ahli ahli sosiologii untuk mengembangkan orientasi ahli sosiologii yang
berdaya guna melawan dari ketidakmampuan mereka untuk membebaskan dirinya
dari konsep tradisional “masalah sosial” yang tidak realistis, karena konsep tersebut
belum lengkap. Secara tradisional, ahli ahli sosiologii menghadapi masalah sosial
sebagai “pemberian” ketimbang sebagai fenomena yang didemonstrasikan. Mereka
memandang suatu kondisi tertentu sebagai masalah sosial yang tak terhindarkan, baik
untuk mencocokannya dengan pola nilai atau juga karena kondisi seperti itu secara
historis
Masalah sosial adalah suatu kondisi dimana sebuah penyimpangan aktual dan
terimajinasi dari beberapa norma sosial yang dipertahankan oleh sejumlah masyarakat
yang berpengaruh, tapi siapakah yang akan mengatakan sebuah kondisi adalah suatu
penyimpangan? Ahli ahli sosiologii mungkin akan mengatakan tidak. Tetapi hal itu tidak
membuat kondisi masalah sosial dari pandangan seorang Laymen. Ahli sosiologi sudah
menyamaratakan penyimpangan tanpa kekhawatiran untuk mengkonsultasikan definisi
kondisi yang Laymen buat.
Pada tingkatan yang pertama, kita memiliki apa yang disebut dengan masalah
fisik. Masalah fisik menggambarkan suatu kondisi yang dengan praktis semua
masyararakat menganggapnya sebagai ancaman terhadap kekayaan mereka. Tetapi
pertimbangan nilai tidak dapat dikatakan sebagai penyebab masalah itu sendiri. Ini
mungkin merupakan demonstrasi yang terbaik bagi masalah bencana alam seperti gempa
bumi, badai, banjir, kekeringan, wabah belalang dan sebagainya. Ini merupakan masalah
yang serius dari pendirian masyarakat yang mereka yakini. Sehingga, kita dapat
memunculkan pertanyaan apakah masalah-masalah tersebut dikategorikan sebagai
masalah sosial ataukah bukan, karena masalah-masalah tersebut tidak lagi terjadi karena
konflik dalam nilai budaya.
Pada tahapan kedua, kita memiliki masalaha melioratif. Tipe masalah ini
menggambarkan kondisi yang pada umumnya masyarakat sependapat bahwa hal tersebut
bukanlah hal yang menyenangkan di setiap situasi apapun. Inti masalah amelioratif
adalah satu solusi dan administrasi untuk membentuk daripada perjanjian orisinil yang
mana kondisi tersebut merupakan masalah sosial yang harus diberantas, kriminal dan
kejahatan yang termasuk dalam kategori ini.
Pada level ketiga kita memilki apa yang disebut masalah moral. Masalah moral
menggambarkan kondisi dimana tidak adanya kebulatan pendapat dalam masyarakat,
kondisi yang tidak diharapkan dalam setiap kesempatan. Tidak ada pendapat umum yang
menyatakan kondisi tersebut adalah sebuah masalah dan banyak orang tidak berfikir
bahwa sesuatu harus dilakukan untuk hal tersebut. Dengan masalah mental, kita memiliki
sebuah kebingungan paling dasar dalam nilai sosial yang lebih dalam dari pertanyaan
solusi yang membingungkan kita pada masalah amelioratif. Masalah amelioratiftentunya
menggambarkan kebingungan pada pola nilai dan element nyata dari konflik moral. Tapi
konflik semacam itu berpusat pada kitaran teknis dan alat pembentukan daripada berpusat
pada kesepakatan yang fundamental mengenai nilai objektif dan pokok.
Fungsi dari klasifikasi ini adalah dalam relatifitasnya. Tujunnya adalah bukan
untuk menyimpan masalah yang berbeda dengan berakhir pada sejumlah kondisi dalam
satu level. Tapi ketimbang memberikan kita perkerjaan dasar untuk mengobservasi posisi
pada setiap masalah terhadap masalah lainnya. Dan juga untuk memberikan pola nilai
pada keseluruhan masalah. Perlu dicatat, bahwa masalah akan bergerak dari satu kategori
ke kategori lainnya dengan bentuk perubahan pada hasil tulisan pengetahuan ilmiah dan
dengan pergantian pola nilai. Ketika masalah fisik berhenti menjadi masalah esensial
dalam mekanika dan pengetahuan medis serta melibatkan pertanyaan mengenai
kebijakan sosial; hal-hal tersebut berangsur mensejajarkan masalah sosial pada level
kedua. Seperti indikasi penyakit kelamin yang sudah membuat transisi, walaupun
kelumpuhan yang diakibatkan firus folio tidak termasuk di dalamnya. Ketika masalah
yang ada sekarang ini diklasifikasikan sebagai masalah moral, maka akan berakhir pada
perluasan celaan terhadap budaya bangsa kita sebagai kondisi yang harusnya dilakukan
juga bersama-sama oleh setiap instansi. Masalah tersebut akan menjadi masalah yang
esensial bagi usaha pencarian solusi daripada kesepakatan mengenai nilai dasar dan akan
berhadapan dengan masalah amelioratif. Suatu saat nanti buruh anak akan dipandang
sebagai tindakan kriminal sama seperti halnya dengan perampokan dan pembunuhan
yang saat ini juga sudah dianggap sebagai tindakan kriminal. Kemungkinan juga perang
akan didefinisikan sebagai hal yang buruk, seburuk orang mendefinisikan penyakit
kelamin.
TAHAP-TAHAP SUATU MASALAH SOSIAL
Richard C. Fuller dan Richard R. Myers
Menurut Fuller dan Myers, masalah-masalah sosial mengikuti suatu urutan pekerjaan
(“karir”) secara teratur. Keduanya berpendapat bahwa semua masalah sosial berlangsung
Melalui tiga tahap, yaitu kesadaran (awareness), penentuan kebijakan (policy determination),
dan pembaharuan (reform). Dalam tahap pertama, kelompok-kelompok mulai untuk melihat
suatu situasi khusus sebagai sebuah ancaman terhadap pentingnya nilai-nilai. Pada tahap kedua,
orang-orang memilih pihak-pihak, mengartikan ulang (mendefinisikan ulang) nilai-nilai, dan
menawarkan usulan-usulan untuk tindakan (aksi). Pada tahap ketiga, beberapa kelompok atau
kelompok-kelompok menggantikan kumpulan tindakan atas nama nilai-nilai mereka. Jadi, Fuller
dan Myers berpendapat bahwa nilai-nilai secara jelas terlibat (dilibatkan) dalam semua fase
(tahapan) dari sejarah suatu masalah sosial.
Kerangka analitikal khusus yang kita sebut “sejarah alamiah” diperoleh dari
konsep diatas mengenai apa yang menentukan sebuah masalah sosial karena
kita
memasukkan keseluruhan karekteristik umum. Karakteristik umum ini mengaplikasikan
tahapan perkembangan umum melalui warisan masalah sosial yang diperoleh yang terdiri
dari tahapan temporal pada kemunculan dan perkembangannya. Sebagaimana kita
menggunakan istilah “sejarah alamiah” yang merupakan alat konseptual untuk menguji
data yang menunjukkan masalahsosial.
KESADARAN
Asal mula masalah sosial terletak pada kesadaran masyarakat dalam sebuah pemberian
tempat untuk sebuah realisasi bahwa penghargaan tertentu dipengaruhi oleh kondisi yang
telah menjadi akut. Definisi kekhawatiran muncul hanya karena nilai-nilai kelompok
dipertimbangkan untuk dilibatkan. Tanpa kesadaran atau “masalah kesadaran” di
kelompok masyarakat tertentu
Keputusan kebijakan tetap menjadi hal yang perlu pada tahap pembentukan
kembali, namun keputusan tersebut biasanya melibatkan masalah teknis yang cukup
berhubungan untuk menyelesaikan pertanyaan tersebut oleh para ahli kekuasaan khusus.
Tentu, pertanyaan kebijakan mungkin ditangani oleh para administrator kapanpun publik
mengujinya akan kemampuan penyensoran, veto, dan referendumnya. Agen publik yang
telah berdiri mempunyai bukti yang cukup untuk dalam bidang pengadminitrasian
pembentukan kembali yang berhubungan dengan sebuah masalah komunitas baru atau
mungkin membutuhkan mendirikan para agen administrasi baru.
KESIMPULAN
Kami telah memberikan interpretasi ”kelaziman sejarah” dari masalah sosial
sebagai kerangka konsep kasar untuk pengujian masalah spesifik yang dinamis.
Nyatanya, sebelum teknik kelaziman sejarah dijadikan seabagai sebuah alat penelitian
yang akurat, banyak implikasi dari pernyataan kita harus disaring dan diselidiki dengan
analisis selanjutnya.
Dalam pengalaman kami sebagai
guru, pendekatan kelaziman sejarah
membuktikan pelajaran yang sangat berharga dalam membawa siswa untuk memberikan
mereka pelajaran akan masalah sosial. Kenyataan ini, seperti yang kita lihat, silang tujuan
yang mana orang mencari dirinya karena mereka menghargai ketidakrukunan dan
ketidakkonsistensian yang obyektif. Norma-norma organisasi yang memberikan
komunitas sebuah pekerjaan rutin cenderung untuk menghasilkan konflik nilai budaya
yang menciptakan dan menopang kondisi yang didefinisikan sebagai masalah-masalah
sosial.
Dalam rangkaian penyeledikan sementara ”menjadi” sebuah masalah sosial, siswa
tidak mengambil masalah sembarangan, sebagai obyek ”kejahatan” disebabkan oleh
”penjahat”. Dia mencari untuk menjelaskan masalah sosial sebagai kemunculan dari
organisasi budaya dalam komunitas, sebagai pelengkap dari bukti nilai-nilai masyarakat,
tidak kehadiran patologis dan abnormal dari apa yang diasumsikan menjadi layak dan
normal. Sepertiya, teknik kelaziman seharah adalah sebuah orientasi sosial daripada
sebuah orientasi kemakmuran sosial. Jika teori masalah sosial adalah berasal dari usia,
harus mennghentikan hubungan yang tidak baik dari teori sosial dan menjadi teori sosial
dalam haknya.
NILAI-NILAI, POLITIK DAN
MASALAH-MASALAH SOSIAL
Joseph R. Gusfield
Proses politik memiliki sebuah dimensi simbolik yang sama dengan dimensi instrumental.
Gusfield menunjukkan bahwa kelompok-kelompok beberapa kali mengesahkan undang-undang
yang mencerminkan pengakuan atas nilai-nilai mereka, sementara itu mendiskreditkan
kelompok-kelompok lainnya dengan nilai-nilai yang berbeda. Larangan, untuk contoh,
mengungkapkan konflik pedesaan, kelas-menengah, nilai-nilai Protestan dan mengembangkan
konflik dengan nilai-nilai imigran (pendatang), perkotaan, kelas-bawah, nilai-nilai Katholik
.Jadi, undang-undang yang
berjalan sebagai simbol-simbol penumbuhan konflik nilai dan
bangkitnya (munculnya) suatu perjuangan sosial yang telah berlangsung lama (jangka panjang).
KATA-KATA TANPA TINDAKAN
Willard Waller
Dalam pernyataan klasik tentang peranan nilai-nilai dalam masalah-masalah sosial,
Waller mendiskusikan
ketegangan pokok antara aturan-aturan (mores) humanitarian
(kemanusiaan) dan organisasional. Orang-orang membuat pertimbangan-pertimbangan nilai
atas dasar aturan-aturan (mores) humanitarian (kemanusiaan). Namun, pada saat yang sama
mereka sering dipaksa dalam penghapusan kondisi-kondisi yang problematis karena kerugian
akibat antara yang ingin hasil vis-á-vis (berhadapan) institusi-institusi yang menjadi penting
bagi mereka. Oleh sebab itu, banyak orang dapat menuju kepada suatu situasi tanpa ingin
melakukan apa yang perlu untuk merubahnya. Dalam pengertian skema Fuller dan Myers,
kesadaran dan penentuan kebijakan dapat eksis (ada) tanpa harus mengarahkan kepada
pembaharuan (reform). Jadi, Waller menyatakan bahwa ”masalah-masalah sosial tidak
dipecahkan
(diselesaikan)
karena
orang-orang
tidak
ingin
memecahkannya
(menyelesaikannya).”
Rumus sederhana prinsip kita terletak pada asumsi dua adat istiadat yang
bertentangan. Masalah sosial timbul dari interaksi dua adat istiadat tersebut, yang kita
sebut “organizational” dan “humanitarian”.
SEBUAH KRITIK DARI PERSPEKTIF NILAI
Kenneth Westhues
Westhues membuat tiga kritik utama dari perspektif konflik nilai. Pertama, ia menjadi biaskelas, baginya menerima pertimbangan-pertimbangan dari kelas-kelas sosial yang lebih
berkuasa dalam pengertian apa kondisi-kondisi menjadi masalah-masalah sosial. Kedua,
perspektif konflik nilai tidak menyumbangkan kepada suatu pemahaman teoritis dari masyarakat;
ia tidak satupun mengatakan kepada kita tentang struktur suatu masyarakat, bagaimana ia
bekerja, dan apa yang ia hasilkan dengan cara maslaha-masalah sosial. Ketiga, Westhues
mengklaim bahwa perspektif konflik nilai
tidak mengatakan kepada kita bagaimana untuk
memecahkan masalah-masalah sosial. Westhues menyarankan bahwa sosiolog dapat mengatasi
tiga kelemahan ini dengan kajian kelemahan sistemik secara lintas-kultural dari perbedaan
bentuk-bentuk organisasi sosial.
PENDEKATAN PLEBISCITARY
Saat pendekatan kekacauan masyarakat diistilahkan dengan penyakit sosial, para
ahli ahli sosiologii tidak puas akan hal tersebut. Model organik sosial yang sudah
dibentuk dan penjelasannya akan menjadi bias terhadap susunan yang ada dalam
pendekatan alternatif. “Public opinion”, “significant groups” atau “a majority of people”
dipilih sebagai pelaku yang menghargai masalah. Penganalisa ahli menganggapnya bukan
masalah sosial, namun ahli ahli sosiologii mempelajarinya sebagai masalah sosial.
Mereka lalu menerapkan alat pengetahuan sosial terhadap masalah yang ia berikan, dan
masalah sosial diproses engan cara yang sama seperti objek pendidikan, agama, keluarga,
atau sisi lain yang terdapat dalam masyarakat.
Tiga masalah dalam pendekatan plebiscitary secara garis besar. Pertama adalah
masalah tanpa teori sosial atau sejarah yang rumit. Hal ini tidak berarti bahwa sejumlah
besar hipotesa yang terkait tidak diperhitungkan, namun hanya teori dengan level mikro
atau psikologi sosial. Tidak ada gambaran secara teori dan empiris seperti apa penduduk
Amerika Serikat (atau penduduk lain). Karena itu, pendekatan plebiscitary tetap berada
dalam masyarakat dan tidak dihasilkan oleh teori kebijakan yang terkait.
Masalah kedua adalah bahwa definisi masalah sosial yang diberikan masyarakat
masihlah luas (kritikan ini dikembangkan oleh Liazos, 1972). Jika ‘kelompok utama’
percaya pada masalah sosial tertentu, maka kelompok yang memiliki kekuatan berada
dalam posisi status quo. Dalam upaya menjadikan lebih demokratis (lihat Finnigan,
1971)- sampel yang mewakili populasi tinggi diminta untuk menentukan apa arti masalah
sosial, dan jawabannya ditentukan oleh tingkah media masa akhir-akhir ini yang
dipengaruhi oleh pembuat opini publik. Dalam kasus lain, seperti yang diungkapkan oleh
Liazos, masalah yang dipelajari dihasilkan oleh bentuk-bentuk yang sudah ada. Maka,
pendekatan plebiscitary terletak pada akar praduga yang sama sebagai pendekatan
kekacauan masyarakat.
Masalah ketiga adalah bahwa siswa sering tidak merasa puas melihat masalh
sosial yang didefinisi ulang sebagai area subtantif, apakah itu merupakan kumpulan
tingkah laku atau penyimpangan. Siswa memperkirakan bahwa masalah sosial akan
dilengkapi dengan kebijakan terkait; karena mereka ingin mengatasi masalah sosial
dengan pengetahuan yang mereka miliki.
SISTEM HARGA
Sebuah pendekatan alternatif terhadap masalah sosial bisa diistilahkan dengan
pendekatan sistem harga, dimana permasalahan ditentukan sebagai harga dari bentuk
organisasi sosiokultur perwujudan masyarakat kecil. Pendekatan ini serupa dengan
pendekatan kekacauan masyarakat yang menggambarkan masyarakat kecil sebagai
sebuah struktur atau sistem. Tetapi, selain penentuan fenomena masalah tersebut yang
tidak sesuai, permasalahan didefinisikan sebagai kualitas atau aspek yang tidak sesuai
dengan kriteria luar. Secara garis besar, pertanyaan yang muncul dalam pendekatan ini
kurang memuaskan. Pertanyaan dan pendekatan tersebut bukanlah sesuatu yang
menyimpang dan disfungsional dalam masyarakat, namun merupakan pertanyaan
terhadap masyarakat itu sendiri.
Pendekatan perbandingan terhadap masalah sosial belum diketahui. Eisenstadt
(1964:v) menyatakan kegunaan pendekatan perbandingan:
Kedua, pengakuan bahwa masyarakat sosial melekat dalam sistem sosial dan dalam
organisasi sosial manapun, akan meningkatkan pentingnya mempelajari keluasan
perwujudan masalah sosial diberbagai lapisan masyarakat-menjadikan mereka primitif,
bersejarah, atau modern-dan menganalisanya dalam struktur sosial.
Implikasi politik dalam pendekatan sistem harga merupakan sebuah perubahan
sosial. Melalui analisa perbandingan teoritis, siswa memahami bagaimana keragaman
budaya dan struktur sosial dicatat dalam berbagai masalah sosial. Teori tersebut memiliki
dasar empiris, serta memberikan fungsi sosial yang efektif dalam memanipulasi variabel
kultural dan struktural yang dipelajari. Bagi siswa, teori tersebut memberikan mereka
kekuatan. Bahkan jika posisi sosial mereka kekurangan kekuatan untuk memanipulasi
variabel yang menyebabkan masalah sosial tertentu, setidaknya mereka mengetahui
bahwa permasalahan tidak dapat dihindarkan dan diatasi hanya dengan memanipulasi
variabel individu. Pengetahuan itu sendiri merupakan bentuk kekuatan, dan penolakan
proses sosial adalah bentuk ketidakberdayaan.
KESIMPULAN
Satu atau dua bulan sebelum awal semester, ribuan ahli sosiologi harus memilih
apa yang akan mereka ajarkan di kelas mereka....
Pilihan itu dibuat berdasarkan bagaimana pandangan seseorang terhadap
masyarakat kecil masa kini dan peranan ahli ahli sosiologii didalamnya. Jika masyarakat
kecil terlihat baik, dan jika ahli ahli sosiologii melihatnya seperti pendapat yang
diungkapkan Nisbet (1966:16) sebagai satu ketertarikan dalam perlindungan masyarakat,
maka pendekatan kekacauan masyarakat akan dipilih. Jika evaluasi pada masyarakat
kecil dan peranan ahli ahli sosiologii dilihat sebagai sesuatu yang dipindahkan dari
kebijakan publik, maka pendekatan plebiscitary bisa diambil. Jika akhirnya masyarakat
dilihat sebagai perubahan struktur, dan ahli ahli sosiologii sebgai ahli profesional bisa
digunakan untuk tujuan tersebut, maka pendekatan sistematis sesuai.
Banyak ahli ahli sosiologii kritis memiliki sedikit ketertarikan terhadap penelitian
perbandingan, khususnya di Amerika Serikat. Bisakah pengujian mereka menggunakan
ukuran model utopian atau subkultur yang menyimpang atau pernyataan ideologi sosial
yang dihasilkan dari pemikiran maju dan berorientasi pada perubahan? Jawabannya jelas
iya. Model utopian terlalu beresiko untuk dipraktekan karena bersifat menindas.
Ahli sosiologi Amerika pada khusus dan umumnya cenderung membatasi
lingkungan mereka dan memasukkan nilai kedalam lingkungan dan mempelajarinya
sebagai suatu hal yang biasa. Tugas yang tertinggal tidak hanya tuntutan pertumbuhan
pribadi, tapi juga ilmu sosiologi yang akan membawa kita pada perubahan struktur. Bagi
para ahli sosiologi Amerika, hal tersebut merupakan masalah besar, karena hampir
sebagian besar karir mereka berkembang sejak masa kekuasaan Amerika Serikat dalam
komunitas internasional. Budaya Amerika berkembang seiring dengan berdirinya majalah
Fortune pada tahun 1940, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara
terbesar di muka bumi. Dengan pernyataan tersebut, ahli sosiologi Amerika hampir tidak
membutuhkan analisa silang budaya yang mempertanyakan: kemungkinan apa yang bisa
dipelajari? Kini pengetahuan cenderung lebih umum, bahkan di negara Amerika serikat,
dan mungkin sebuah perbandingan, serta pendekatan sistem harga pada masalah sosial
akan memperoleh ketenaran.
KARAKTERISTIK DARI PERSPEKTIF
PERILAKU/KEBIASAAN MENYIMPANG
Konsep utama/karakteristik kunci dari perspektif perilaku menyimpang adalah:
Definisi. Permasalahan-permasalahan sosial merupakan refleksi dari pelanggaran
terhadap norma yang berlaku / diharapkan. Tindakan tersebut dianggap menyimpang.
Causes. Penyebab perilaku menyimpang karena ketidaksesuaian pelaku dalam
bersosialisasi. Ada kegagalan dalam bersosialisasi. Sosialisasi berperan penting dalam
kelompok primer.
Condition. Pembatasan kesempatan untuk belajar, termasuk mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan perilaku menyimpang, keterbatasan dalam mencapai tujuan, perasaan
tertekan,
dan akses yang terbatas menjadi penyebab munculnya pola perilaku
menyimpang.
Consequences. Postulat perspektif perilaku menyimpang bervariasi. Beberapa macam
perilaku menyimpang merugikan masyarakat. Adanya kesenjangan dalam kehidupan
sosial. Atau perilaku menyimpang yang tak mendapatkan hukuman menimbulkan
perilaku menyimpang yang stabil.
Solutions. Pemecahan masalah perilaku menyimpang dilakukan dengan resosialisasi /
pemasyarakatan., dan cara terbaik dari hal itu, menyesuaikan tindakan pelaku dengan
norma yang dianut oleh kelompok primer. Tindakan ini pun untuk menyesuaikan pola
perilaku yang tidak sesuai dengan acuan norma kelompok primer. Struktur sosial pun
harus terbuka, sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam hal apa
pun. Jika demikian, perilaku menyimpang dapat dikurangi.
ROBERT MERTON : ANOMI
DAN STRUKTUR SOSIAL
Marshall B. Clinnard
… Dalam essay yang berjudul, “ Social Structure and Anomie”, yang diterbitkan
tahun 1938, dan direvisi tahun 1949, Robert Merton menjelaskan setting yang terkait
dengan penjelasan secara sosial dan budaya dari perilaku menyimpang dengan pengertian
anomi. Merton menulis: “ Tanpa keraguan sedikit pun, ide utama ini, dikenal dengan
teori anomi, telah menjadi satu pengaruh besar dalam sosiologi selama 25 tahun, dan
tulisan Merton, dalam tulisan asli dan revisinya, merupakan tulisan satu-satunya dalam
sosiologi modern.
Stress dapat disebabkan oleh adanya situasi sosial yang berbeda, seperti; kelas
sosial, etnik dan status suku, dan berbagai macam karakteristik lainnya. Untuk
menghindari hal tersebut perlu adanya kesesuaian antara perkembangan struktur sosial
dan budaya dengan stabilitas sistem budaya dan sosial. Hal ini dapat diskemakan sebagai
berikut:
1. Exposure. Tujuan budaya dan norma mengatur perilaku untuk mencapai
tujuan.
2. Acceptance. Tujuan atau norma merupakan moral yang dipahami dan
diterima.
3. Relative accessibility to the goal. Kesempatan hidup dalam keterbukaan
struktur.
4. The degree of discrepancy between ketercapaian tujuan dan kesempatan yang
ada.
5. The degree of anomie.
6. The rates of deviant behavior bergantung kepada perbedaan dalam
beradaptasi.
ADAPTASI
Model Tipologi Adaptasi Individu
Model of adaptation
Cultural goals
Institutionalized means
1. Conformity
+
+
2. Innovation
+
-
3. Ritualism
-
-
4. Retreatism
-
-
5. Rebellion
-+
-+
+ =menerima ; - = menolak ; -+ rejection of prevailing values and substitution of new values.
Penyesuaian (Conformity). Penyesuaian antara tujuan institusi dan budaya selalu
menjadi hal yang biasa dalam proses adaptasi, namun kita tidak akan melupakan hal yang
sebaliknya (non-conformity). Konformitas merupakan wujud keterikatan terhadap norma
tujuan budaya dan institusi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat, bagaimana pun,
hal tersebut menciptakan kondisi masyarakat yang positif.
Ritualisme (Ritualism). Menolak atau tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan
puncak (hedonis- materialistis) dan mobilitas sosial yang tinggi untuk mencapai tujuan
merupakan sesuatu yang memuaskan sebagai ritualisme. Tetapi memikirkan satu
penolakan kewajiban kultural untuk mencoba mendahului dunia. Sebenarnya
penyesuaian ini sepertinya juga memiliki hubungan kecil menjadi perilaku menyimpang,
kecuali dalam bentuk perilaku kompulsif, dan Merton menyatakan sendiri bahwa perilaku
demikian tak termasuk kategori menyimpang. Sampai, dia merasa nyaman, dengan
permainan birokrasi, hal ini dihindari dengan perasaan ambisi yang tinggi dan prustasi
untuk membuktikan mobilitas vertical dan horizontal yang terdapat dalam masyarakat.
Pemberontakan (Rebbelion). Bentuk penyesuaian ini wujud penolakan individu yang
berasal struktur sosial lama dan sangat lemah terhadap sesuatu yang baru dalam rangka
mempertahankan struktur sosial yang mapan. Hal tersebut saat,” sistem institusi
menghormati hambatan / rintangan untuk mencapai kepuasan sebagai tujuan yang sah.”
Demikian, mengenai tinjauan perilaku menyimpang dengan menggunakan sudut
pandang teori anomi Durkheim, Merton, Sutherland, dan Albert Clinnard. Perlu menjadi
catatan bersama, para sosiolog tersebut merupakan mengemukakan pendapat mereka
berdasarkan hasil penelitian masyarakat yang terjadi di Eropa. Pertanyaan kita adalah,
adakah teori-teori perilaku menyimpang tersebut akan sangat pas atau perlu penyesuaian
saat kita meneropong realitas perilaku menyimpang masyarakat kita.
BELAJAR MENJADI PENJAHAT
Edwin H.H. Sutherland dan Donald R.R. Cressey
Walaupun Durkheim tetap berpandapat bahwa kejahatan itu adalah normal di
masyarakat apapun, banyak sarjana sosiologi tetap peduli terhadap perilaku deviant sebagai
hasil dari ilmu penyakit individu. Merton dan Sutherland, bagaimanapun, dibantu untuk
memulihkan kembali pemahaman Durkheimian tentang perilaku deviant sebagai kejadian yang
normal. Pada tingkatan struktur sosial, Merton menunjukkan perilaku deviant itu dapat dilihat
sebagai tanggapan yang normal bagi suatu situasi sosial yang abnormal. Pada tingkatan
interaksi sosial, orang-orang Sutherland yang berargumentasi bahwa belajar untuk penjahat
dengan cara yang sama seperti mereka belajar untuk taat terhadap hukum. Dengan demikian,
Sutherland dapat disimpulkan, perilaku deviant sebaiknya diterangkan dengan prinsip pelajaran
sosial dibandingkan dengan prinsip kelianan psikologi.
Ada dua yang prosedur yang melengkapi yang biasanya digunakan untuk disusun
ke dalam pengetahuan tentang ilmu kriminologi, untuk megembangkan suatu teori yang
penyebab dari perilaku jahat. Yang pertama adalah logika yang abstrak. Orang negro,
penduduk pedesaan, dan orang dewasa yang muda adalah semua mempunyai angka
kejahatan yang agak tinggi. Apa yang mereka lakukan bersama-sama yang
mengakibatkan angka kejahatan yang tinggi ini?
Prosedur yang kedua untuk menyususn pengetahuan tentang kejahatan adalah
pemisahkan tingkat analisa. Ini berarti bahwa masalah dibatasi pada bagian tertentu dari
situasi keseluruhan, khususnya dalam hal kronologi. Analisa penyebab harus tempatkan
pada tingkatan tertentu.
DUA JENIS PENJELASAN TENTANG PERILAKU KRIMINAL
Penjelasan ilmiah tentang perilaku jahat dapat dinyatakan salah satu dalam hal
proses kejadian sedang berlangsung pada saat kejadian dari kejahatan itu terjadi atau
dalam hal proses kejadian terjadi pada awal sejarah dari penjahat itu. Di kasus yang
pertama, penjelasan disebut " mekanistis", " situational," atau " dinamis";"; kedua, "
historis" atau " genetis (turunan)". Kedua jenis penjelasan memadai. Yang mekanistis
jenis penjelasan disenangi oleh ilmuwan biologi dan phisik, mungkin bisa menjadi jenis
penjelasan yang lebih efisien tentang perilaku jahat.
PENJELASAN GENETIK DARI PERILAKU KRIMINAL
Penjelasan berikut ini mengacu pada proses oleh orang tertentu yang masuk terlibat ke
dalam perilaku jahat.
1. Perilaku jahat yang dipelajari. Secara negatif, ini berarti perilaku penjahat itu
bukanlah warisan, demikian itu; juga, orang yang tidak dilatih penuh dalam kejahatan
tidak akan berperilaku jahat, halnya seseorang yang tidak otomatis melakukan perbuatan
kecuali jika ia dilatih untuk berbuat.
2. Perilaku jahat dipelajari ketika berinteraksi dengan orang lain dalam proses
berkomunikasi. Komunikasi ini adalah lisan dalam banyak perhatian tetapi meliputi juga
" komunikasi isyarat."
3. Bagian utama dari pelajaran perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok teman
pribadi yang akrab. Secara negatif, ini berarti bahwa bukanlah komunikasi antara
perseorangan, seperti surat kabar dan film, peranannya yang secara relatif bukanlah
bagian penting pada genesis perilaku kriminal.
4. Apabila perilaku kriminal dipelajari, pelajaran meliputi (a) teknik melakukan
kejahatan, yang terkadang sangat rumit, kadang-kadang sangat sederhana; (b)
pengarahan yang spesifik dalam motivasi, pengendalian, rasionalisasi, dan sikap.
5. Arahan yang spesifik tentang motivasi dan pengendalian dipelajari definisi medan
dari ketentuan yang sah baik yang terkenal atau yang tidak terkenal.
6. Seseorang menjadi pelanggar oleh karena kelebihan dari definisi favorit melanggar
hukum melebihi definisi yang tidak favorit yang melanggar hukum. Ini adalah prinsip dari
pemisahan asosiasi. Hal itu mengacu kepada kedua asosiasi kriminal dan anti kriminal
dan bertalian dengan kekuatan yang bertentangan. Bila orang menjadi l penjahat, mereka
melakukannya oleh karena kontak dengan pola penjahat dan juga oleh karena
pengasingan dari pola anti-penjahat. Siapapun tidak bisa mengabaikan berasimilasi
dengan kultur dilingkungannya atau akan terjadi konflik deengan kultur yang lain; suatu
Southerner tidak melafalkan "r" sebab Southerners yang lain tidak melafalkan "r." Secara
negatif, dalil dari asosiasi diferensial ini berarti yang asosiasi itu adalah netral sepanjang
kejahatan adalah terkait hanya mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada genetik dari
perilaku jahat.
7. Pemisahan Asosiasi mungkin bervariasi dalam frekwensi, janga waktu, prioritas, dan
intensitas. Ini berarti asosiasi itu dengan perilaku yang jahat dan juga asosiasi dengan
perilaku antikejahatan bervariasi dalam pengakuan itu. " Frekwensi" dan " janga waktu"
sebagai modal cara sesuatu dilakukan dari asosiasi adalah jelas nyata dan tidak
memerlukan penjelasan. " Prioritas" diasumsikan menjadi penting dalam pemahaman
perkembangan perilaku yang sesuai hukum di awal masa kanak-kanak dapat tetap
berlangsung sepanjang hidupnya, dan juga perilaku pelanggar yang berkembang di awal
masa kanak-kanak dapat tetap berlangsung sepanjang hidupnya.
8. Proses terpelajar perilaku jahat oleh asosiasi dengan pola penjahat dan anti-penjahati
melibatkan semua mekanisme yang menyangkut kepada pelajaran yang lainnya. Secara
negatif, ini berarti bahwa pelajaran dari perilaku jahat tidaklah terbatas ke proses
peniruan.
9 Selagi perilaku jahat adalah suatu ungkapan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, hal
itu tidak dapat diterangkan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut karena
perilaku noncriminal adalah suatu ungkapan dari kebutuhan dan nilai-nilai yang sama
juga.
THEORY KEJAHATAN KERAH PUTIH
Edwin H. Sutherland
Sutherland berpendapat bahwa orang mempelajari perilaku kriminal sama
caranya dengan orang mempelajari perilaku yang lainnya, melalui interaksi pada
kelompok terdekatnya. Apabila ketentuan yang disenangi bagi perilaku kriminal melebihi
ketentuan ketentuan perilaku yang benar menurut hukum , maka orang dalam situasi ini akan
cenderung untuk melanmggar hukum. Ketentuan Sutherland ini dikenal dengan prinsip asosiasi
diferensial . Ia mengembangkan teorinya dalam beberapa edisi yang berlanjut dalam tulisan
klasiknya Kriminoloi dan pada tahun 1937 sejarah-hidup Chic Conwel, Pencuri Profesional.
Ia menemukan istilah “Kejahatan Kerah Putih” pada tahun 1937 ditujukan secara khusus
kepada Perkumpulan Sosiologi Amerika ("White Collar Criminality." American Sociological
Review 5 (1940) 1-12). Pada tahun 1949 ia mempublikasikan buku Kejahatan Kerah Putih
(New York: Dryden Press)yang menyebar luaskan konsep tentang kriminal dengan studinya
tentang beberapa pelanggaran hukum oleh lembaga.
(pada tahun 1983 “”Versi tak terpotong” dari buku ini, ia memasukan semua nama-nama
lembaga yang telah di hapus pada versi tahun 1949. Ia berhasil menyebar luaskan ketetapan
kriminal dengan memasukannya kedalam pelajaran dari kegiatan bisnis. Ia memperluas prinsip
perkumpulan terpisah dalam pelanggaran hukum dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Pada
babnya dalam teori kriminal kerah putih seperti yang dikutip di bawah ini.
DISORGANISASI SOSIAL
Aasosiasi differential adalah suatu penjelasan yang hipotetis tentang kejahatan
dari segi pandangan dari proses dengan mana seseorang diaktipkan ke dalam kejahatan.
Disorganisasi sosial adalah suatu penjelasan yang hipotetis tentang kejahatan dari segi
pandangan dari masyarakat itu. Dua hipotesis ini adalah konsisten satu sama lain dan
satu adalah rekan pendamping dari lain itu.. Kedua-Duanya berlaku bagi kejahatan yang
biasa seperti halnya ke kejahatan krah putih.
Disorganisasi sosial mungkin dari jenis: anomie8 atau ketiadaan yang yang baku
mengarahkan perilaku dari anggota dari suatu masyarakat di dalam atau umum di area
yang spesifik tentang perilaku; atau organisasi di dalam suatu masyarakat dari yang
kelompok adalah tidak sesuai dengan acuan ke praktek yang spesifik. dengan singkat
dinyatakan,, Disorganisasi sosial boleh nampak dalam wujud ketiadaan konflik atau
standard dari standard.
Dua kondisi-kondisi adalah baik ke disorganisasi dari masyarakat kita di kendali
dari perilaku bisnis: dulu, fakta bahwa perilaku adalah kompleks, teknis,, dan tidak siap
yang tampak oleh warganegara yang kurang pengalaman; kedua, fakta bahwa masyarakat
sedang mengubah dengan cepat
dalam praktek bisnis nya. Di periode apapun dari
perubahan yang cepat, standard yang tua cenderung untuk pecah; rinci dan masa waktu
diperlukan untuk pengembangan dari standar baru.
Konflik standard adalah format yang kedua dari disorganisasi sosial. Ini adalah
serupa dengan asosiasi yang diferensial oleh karena itu melibatkan suatu perbandingan
antara organisasi baik ke pelanggaran dari organisasi dan hukum kurang baik ke
pelanggaran dari hukum. Karena alasan ini mungkin saja disebut dengan ketepatan yang
lebih besar, organisasi sosial yang diferensial dibanding disorganisasi sosial. Bisnis
mempunyai suatu organisasi agak ketat untuk dari pelanggaran dari peraturan bisnis,
selagi masyarakat yang politis tidaklah dengan cara yang sama di/terorganisir melawan
terhadap pelanggaran dari peraturan bisnis.
Penjelasan tentang kejahatan di dalam dalam hal umum dari disorganisasi sosial
telah sampai di fokus dari perhatian dari banyak ahli ilmu mengenai kejahatan untuk
sedikitnya suatu generasi. Ini belum membuktikan untuk menjadi hipotesis yang sangat
bermanfaat sampai ke waktu yang saat ini. Suatu definisi yang tepat tentang disorganisasi
sosial tengah kekurangan, dan konsep telah sering mencakup yang implikasi etis sudah
bertentangan dengan kegunaan nya sebagai suatu konsep analitis. Juga, hipotesis ini
tidak bisa diuji untuk kebenaran. Akhirnya, hal itu tidak menjelaskan isi dari perilaku
yang jahat atau pertimbangan untuk konflik dari standard; hipotesis menunjuk ke dan
menguraikan konflik standard tetapi bukan penjelasan yang memuaskan asal usul dari
konflik itu.
ANOMI: TEORI DAN FAKTA
Oleh: Marshall B. Clinard
Teori-teori yang sangat berpengaruh banyak sekali menghasilkan kritik. Kritik tersebut
biasanya berfokus pada kejelasan dan konsistensi konsep-konsep dan pada sejauh mana teori
berkesesuaian dengan fakta-fakta. Dalam artikel ini, Clinard merangkum kritik-kritik terhadap
teori anomi yang dibuat oleh enam sosiolog saat mereka mengikuti simposium khusus yang
membahas teori ini. Kritik-kritik utama yang dihasilkan adalah sebagai berikut: keseragaman
nilai-nilai nampaknya tidak mungkin ada dalam sebuah masyarakat yang kompleks; tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa tingkat penyimpangan perilaku lebih tinggi dalam masyarakat
sosial kelas bawah; ketidakpuasan status tidak mendorong terjadinya penyimpangan perilaku;
yang disebut sebagai peran orang berperilaku menyimpang dalam memilih jenis penyimpangan
sifatnya lebih kompleks dari teori yang ada; dan kontrol sosial, baik sebagai penyebab atau
pencegah terjadinya penyimpangan perilaku, benar-benar diabaikan oleh teori anomi.
KESERAGAMAN NILAI-NILAI BUDAYA
Teori anomi Merton cenderung menganggap struktur sosial terdiri dari nilai-nilai
yang lebih seragam dibandingkan dengan penelitian empiris terhadap beragam sifat yang
ditunjukkan oleh masyarakat, menurut Lemert. Kritik Lemert terhadap teori anomi
diarahkan pada sulitnya mengidentifikasi seperangkat nilai yang bisa dianggap bersifat
universal dalam sebagian besar masyarakat saat ini. Tidak terlalu banyak masyarakat,
bahkan masyarakat yag masih buta huruf, dimana “nilai-nilai dipelajari saat masih kanakkanak, diajarkan sebagai suatu pola, dan dikuatkan oleh kontrol sosial, berfungsi untuk
memprediksi banyaknya perilaku sehari-hari anggota masyarakat dan untuk melaporkan
usaha dalam menjaga kesesuaian nilai-nilai”. Dia juga menambahkan bahwa untuk
memastikan masyarakat kontemporer, sekular, berbasis kota dan teknologi, semacam
Amerika, “memiliki hirarki nilai yang seragam, baik yang ditransfer secara kultural
ataupun yang diproduksi secara struktural, untuk menyaring nilai-nilai secara mudah”.
Dalam masyarakat yang memiliki keberagaman etnis atau kelompok pendatang baru, atau
dimana seperangkat nilai-nilai asing telah dipaksakan, sebagaimana dalam penjajahan,
perilaku kriminal, misalnya, bisa dijelaskan dengan cara yang sama yang dipakai dalam
menjelaskan kesesuaian nilai-nilai diantara para anggota kelompok dominan yaitu,
dengan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang terpola secara tradisional dimana
tidak ada batasan struktural dalam metode.
BUKTI ADANYA KEBERAGAMAN
PENYIMPANGAN PERILAKU
KELAS
SOSIAL
DALAM
Dalam pembahasannya, Lemert mengklaim bahwa Merton terlalu menekankan
satu aspek struktur sosial dalam menjelaskan penyimpangan perilaku. Dia mengajukan
pertanyaan apakah kita memiliki bukti empiris yang memadai untuk mendukung
pendapat bahwa penyimpangan perilaku lebih umum terjadi dalam kelas sosial yang lebih
rendah. Oleh karena itu, konsep-konsep yang lebih selektif seharusnya digunakan untuk
menjelaskan bagaimana struktur sosial mempengaruhi penyimpangan perilaku. Terlebih,
ada bukti yang cukup untuk mendukung pandangan bahwa penyimpangan perilaku
adalah hasil dari adaptasi individu.
DORONGAN-DORONGAN
DILAKUKANNYA
PENYIMPANGAN
PERILAKU BERGANTUNG PADA POSISI DALAM KELAS SOSIAL
Penemuan yang kontradiktif ini bagi Short telah menunjukkan sulitnya melakukan
melakukan riset teori anomi. “Cita-cita pendidikan dan pekerjaan yang tinggi..” nampak
jelas tidak mendorong anak-anak tadi untuk melakukan penyimpangan perilaku,
walaupun ada batasan, pemahaman, dan tujuan dalam kesempatan-kesempatan untuk
meraih cita-cita mereka”. Dia kemudian mengajukan sebuah hipotesis yang menyatakan
bahwa “cita-cita yang tinggi adalah indikasi dilakukannya indentifikasi nilai-nilai dan
institusi-institusi konvensional. Kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
akan melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam perilaku menyimpang.
Short tetap berpendapat bahwa walau pertimbangan status adalah hal penting
dalam menjelaskan perilaku gang anak-anak, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak
perlu dicari dalam institusi-institusi kelas menengah dan kriteria kesuksesan.
Ketidakpuasan status juga bisa bersifat penting dalam konteks yang lebih instan,
misalnya status anak tersebut sebagai laki-laki atau sebagai anggota gang tertentu. Oleh
karena itu sebagai kesimpulan sementara, mari kita berpendapat bahwa “perilaku gang
anak laki-laki bisa dipahami sebagai sebuah usaha yang mereka lakukan untuk mencari
dan menciptakan sistem status alternatif dengan bentuk gang, dan penyimpangan perilaku
tersebut terkadang muncul sebagai hasil dan terkadang sebagai produk langsung dari
usaha ini”.
PERANAN PELAKU
Lemert sangat keberatan dengan pandangan Merton akan pilihan dan tindakan
yang dilakukan oleh individu-individu dalam tipe masyarakat kita. Dia merasa bahwa
Merton menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya cukup kompleks. Individu tidak
bebas dalam menentukan pilihan. Mereka dibatasi oleh klaim-klaim kelompoknya
masing-masing. Dorongan-dorongan individu untuk melakukan penyimpangan perilaku
berasal dari klaim-klaim yang saling bertentangan, bukan berasal dari tekanan kultural
pada tujuan-tujuan. Kelompok dengan kepentingan khusus dalam masyarakat kita
berusaha untuk memajukan atau melindungi perangkat nilai-nilai mereka…Sebagaimana
yang dikatakan oleh Lemert, ..”penekanan pada cara-cara normatif ditentukan oleh
biayanya, yaitu, nilai-nilai tertentu yang harus dikorbankan untuk mengadopsi metodemetode”.
Dalam artikelnya yang membahas penyimpangan perilaku, Short mengatakan
bahwa anomi adalah teori yang bersifat terlalu mekanik dan mengabaikan pelaku. “Apa
yang tidak ada dalam penelitian perilaku gang anak muda merupakan tindakan Meadian,
dimana perilaku dilihat sebagai sebuah proses penyesuaian yang terus dilakukan oleh
para pelaku satu sama lain, bukannya reaksi mekanik terhadap satu atau kombinasi faktor
yang ada dalam situasi, apakah faktor –faktor tersebut adalah karakteristik para pelaku,
atau subkultur, atau bentuk-bentuk lain. Konsepsi inilah yang kurang dalam teori anomi”.
Yang disebut “dorongan penyimpangan perilaku” dalam teori anomi memerlukan
spesifikasi teori dan percobaan.
PELARIAN SEBAGAI BENTUK ADAPTASI METODE DAN TUJUAN
Tiga karakteristik jenis pelarian yang biasanya dibahas dalam teori anomi adalah
ketergantungan obat, ketergantungan alkohol, dan kerusakan mental. Lindesmith dan
Gagnon mengatakan bahwa para pemakai obat-obatan bukanlah orang yang melarikan
diri dari kenyataan. Mereka mengklaim bahwa kesulitan dalam menjaga obat-obatan
yang membuat mereka menjadi pecandu. Snyder merasa bahwa ada bukti yang bisa
mendukung pendapat yang menyatakan bahwa alkoholik bersifat anomik bahkan sebelum
kecanduan seseorang dimulai.
Hipotesis “kegagalan ganda” kecanduan obat-obatan yang diajukan oleh Cloward
dan Ohlin, dan secara implisit juga dibahas oleh Merton, bahwa pecandu tidak bisa
meraih tujuan dengan sukses baik dengan cara yang sah atau yang tidak sah, menjadi
poin kritik oleh Lindesmith dan Gagnon. Mereka mengatakan: (1) tidak jelas apakah ada
kegagalan kinerja obyektif sebenarnya atau apakah individu cenderung hanya merasa
frustasi oleh adanya rintangan menuju kesuksesan. (2) Hipotesis ini tidak bisa diterapkan
pada pecandu dokter. (3) orang yang kecanduan bukanlah sebuah kriminalitas. (4)
Seseorang tidak bisa menilai bahwa masa remaja awal sebagai kegagalan ganda yang
disebabkan oleh faktor usia. (5) Sementara bisa diakui bahwa banyak pecandu yang gagal
dalam dunia kriminal dan dunia non kriminal, bisa dikatakan bahwa kecanduan mungkin
lebih merupakan penyebab kegagalan daripada kegagalan disebabkan oleh kecanduan.
Dalam paradigma analitis, hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan invarian
antara anomi, penyimpangan perilaku, pelarian, dan kecanduan obat-obatan. Tidak semua
kasus kecanduan obat-obatan diakibatkan oleh anomi atau pelarian dan penyimpangan,
dan kecanduan obat-obatan bisa mengakibatkan anomia. Oleh karena itu, kecanduan bisa
diakibatkan oleh ketiga faktor tersebut, dan juga bisa terjadi saat ketiga faktor tersebut
tidak ada. Anomi, penyimpangan, dan pelarian juga bisa terjadi sendiri-sendiri atau
kombinasi saat kecanduan tidak terjadi. Oleh karena itu, anomi sebagai sebuah teori tidak
“menspesifikasi kondisi-kondisi apa yang bisa membuat fenomena diatas terjadi dan
dalam kondisi apa fenomena diatas tidak akan terjadi”.
Kesimpulannya adalah: “karena teori anomi diajukan sebagai teori penyimpangan
perilaku, dan karena sejumlah pengguna obat-obatan bukanlah orang menyimpang, teori
menjadi tidak relevan bagi sejumlah pengguna obat-obatan yang tidak menyimpang. Jika
teori anomi diterapkan pada pengguna obat-obatan yang tidak menyimpang, atau jika
teori ini dibatasi bagi “pengguna obat-obatan yang menyimpang”, teori anomi akan
menghadapi kesulitan-kesulitan yang mendasar.
EVALUASI TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL
Oleh: Donald R. Cressey
Teori asosiasi diferensial Sutherland sudah berumur 50 tahun. Teori ini sangat
berpengaruh dan telah mendorong dilakukannya sejumlah besar penelitian. Namun, teori ini
juga dipahami dengan keliru dan dikritik dengan luas. Dalam artikel ini, Cressey menjawab
sejumlah kritik dan mengevaluasi statusnya sekarang sebagai teori kejahatan. Dia menunjukkan
bahwa Sutherland membuat teori asosiasi diferensial dari prinsip konflik normatif dan
menunjukkan bagaimana memahami data tingkat kejahatan. Namun, dengan statemen
bagaimana orang menjadi kriminal, teori ini tidak komplit dan akurat, dan
kurangnya
keakuratan membuat teori ini sulit untuk diuji. Di saat yang sama, karena alat pembuat prediksi
perilaku kriminal yang akurat bisa disimpulkan dari teori asosiasi diferensial, Cressey
menyimpulkan bahwa, teori ini lebih maju dari teori yang ada sekarang ini dalam menjelaskan
bagaimana orang-orang menjadi kriminal.
Dia mengajukan tiga pertanyaan bagi para penyokong gagasan bahwa sifat
bawaan kepribadian adalah pelengkap teori asosiasi diferensial: (1) Sifat bawaan
kepribadian mana yang harus dianggap sebagai sifat yang penting? (2) Apakah ada sifat
bawaan pribadi yang dignakan sebagai pelengkap asosiasi diferensial? (3) Bisakah
asosiasi diferensial, yang esensinya adalah proses pembelajaran, dikombinasikan dengan
sifat bawaan kepribadian, yang esensinya adalah produk pembelajaran?
Yang berhubungan erat dengan kritik “sifat bawaan kepribadian” adalah statemen
bahwa teori asosiasi diferensial tidak membahas pola-pola “respon”, “penerimaan, dan
“reseptivitas” berbagai individu dengan memuaskan. Gagasan intinya adalah bahwa
asosiasi diferensial menekankan proses transmisi sosial tapi meminimalkan proses
penerimaan individu. Dengan kata lain, teori ini haya membahas varibel-variabel
eksternal dan tidak membahas makna bagi persepsi penerima berbagai pola perilaku yang
ada dalam situasi-situasi yang secara obyektif cukup mirip namun merupakan variabel,
berdasarkan persepsi penerima. Satu jenis kritik ini ada dalam bentuk pernyataan bahwa
kriminal dan non kriminal terkadang dipandang dalam ‘lingkup yang sama” –pola
perilaku kriminal ditunjukkan oleh dua orang, namun hanya salah satu dari mereka yang
menjadi kriminal.
Teori asosiasi diferensial tidak secara khusus berkonsentrasi pada kriminalitas
individu. Teori ini juga terfokus untuk memahami fakta-fakta kasar mengenai
penyimpangan perilaku dan kejahatan. Penelitian pada tulisan-tulisan Sutherland dengan
jelas menunjukkan bahwa saat dia memformulasikan teori ini, dia sangat berkonsentrasi
pada pengaturan dan pengintegrasian informasi faktual mengenai tingkat kejahatan.
Dalam laporannya mengenai bagaimana teori asosiasi diferensial dikembangkan, dia
membuat tiga poin relevan berikut ini:
Konsepsi saya lah yang menyatakan bahwa teori umum seharusnya membhas semua
informasi faktual yang berkaitan dengan penyebab kejahatan. Hal ini bisa dilakukan
dengan mengatur berbagai faktor yang berhubungan satu sama lain atau dengan
mengabstraksi faktor-faktor tersebut dari elemen-elemen umum tertentu. Hal tersebut
tidak, atau seharusnya tidak, mengabaikan atau mengurangi faktor-faktor yang termasuk
dalam teori multi faktor.
Hipotesis asosiasi diferensial bagi saya nampaknya konsisten dengan temuan-temuan
utama yang masih kasar dalam kriminologi. Hal ini menjelaskan penyebab mengapa
anak-anak Mollacca menjadi semakin berperilaku menyimpang seiring dengan
bertambahnya pemukiman di daerah kumuh Los Angeles, mengapa kejahatan di kota
lebih tinggi dari tingkat kejahatan di kota kecil, mengapa pria lebih berperilaku
menyimpang dibandingkan dengan wanita, mengapa tingkat kejahatan secara konsisten
tetap tinggi di daerah kumuh di perkotaan, mengapa tingkat kenakalan remaja tinggi
dalam kelompok penduduk pekerja asing saat kelompok tersebut tinggal di daerah kumuh
dan tingkat kenakalan remaja menurun saat mereka pergi dari daerah tersebut, mengapa
keluarga Itali generasi kedua tidak memiliki tingkat kejahatan yang tinggi sebagaimana
yang dimiliki oleh pendahulunya, mengapa anak-anak keturunan Jepang yang tinggal di
daerah kumuh di Seattle memiliki tingkat kejahatan yang rendah padahal mereka hidup
dalam kemiskinan, mengapa kejahatan tidak meningkat dengan signifikan pada masa
depresi. Semua fakta statistik umum nampaknya cocok dengan hipotesis ini.
Sutherland menemukan prinsip konflik normatif untuk membahas penyebaran tingkat
kejahatan tinggi dan tingkat kejahatan rendah. Dia kemudian berusaha untuk
menspesifikasikan mekanisme yang digunakan oleh orang-orang untuk menghasilkan
kasus-kasus kriminalitas individu. Mekanisme yang diajukan adalah asosiasi diferensial:
Konsep kedua, asosiasi diferensial, adalah statemen konflik [normatif] dari sudut
pandang orang yang melakukan kejahatan. Dua jenis kultur yang menimpa dirinya atau dia
memiliki asosiasi dengan dua jenis kultur dan inilah asosiasi diferensial.
LABELING (PENAMAAN)
Perspektif berbeda-beda pada pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang dihasilkan.
Contohnya, sosiologi perilaku menyimpang pada awalnya mengajukan pertanyaan mengapa
orang melakukan kejahatan atau tindakan menyimpang lainnya. Sosiolog dalam tradisi ini
berusaha untuk menentukan kondisi yang harus ada dan yang memenuhi dihasilkannya tindakan
menyimpang. Sebaliknya, perspektif labeling meneliti definisi penyimpangan secara sosial.
Sosiolog dalam tradisi ini ingin mengetahui bagaimana orang mengkategorikan situasi-situasi,
orang-orang, proses, dan peristiwa-peristiwa sebagai hal yang bermasalah.
FOKUS DAN PERHATIAN PERSPEKTIF LABELING
Yang termasuk dalam perspektif labeling adalah seperangkat asumsi mengenai
bagaimana orang-orang mendefinisikan situasi. Mungkin, asumsi utamanya adalah bahwa
orang-orang mendefinisikan seluruh situasi yang berulang kali terjadi pada diri mereka
dimana situasi tersebut melibatkan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka anut. Jika
demikian, tentunya semua definisi berhubungan dengan posisi orang-orang dalam situasi
yang ada, nilai-nilai yang mereka anut, dan kepentingan-kepentingan yang ingin mereka
raih.
Salah satu sasaran pendekatan perspektif labeling adalah memandang dunia dari
sudut pandang orang yang secara sosial dinilai menyimpang, dan juga dari sudut pandang
orang yang melakukan penilaian. Sasaran lainnya adalah mempelajari pembuatan aturan
sosial (undang-undang, definisi organisasi, dll) dan praktek-praktek pelaksanaan aturanaturan sosial tersebut. Kedua sasaran tersebut telah mengarah pada sejumlah penemuan
penelitian yang sangat penting. Namun, kedua sasaran ini juga telah membuat para
sosiolog menganggap bahwa pendekatan perspektif labeling memiliki kepentingan
pribadi yang tersembunyi, hampir hingga pada poin bahwa perspektif labeling menerima
pandangan realitas sosial yang terdistorsi.
Perluasan Konsep.
Dorongan untuk memperbaharui dan memperluas konsep
mewarnai sejarah sebagian besar ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha
para ilmuwan untuk menjelaskan sejumlah besar fenomena dengan menggunakan konsep
yang hanya sedikit. Selama periode keempat sosiologi, para ahli teori bekerja untuk
memperbaiki konsep-konsep, sementara itu para peneliti memperluas konsep-konsep
tersebut ke dalam area-area yang baru. Kombinasi kerja ini berkontribusi pada
perkembangan ilmu pengetahuan sosiologi. Saat tradisi interaksionisme simbolik
berkembang, para peneliti mulai memperluas konsep-konsepnya ke dalam studi masalahmasalah sosial dan perspektif labeling berkembang dari proses perluasan konsep ini.
(Peran tradisi interaksionisme dalam perkembangan perkspektif labeling dibahas lebih
lanjut pada bagian sumber-sumber filosofis.)
Konflik antar Aliran Pemikiran. Persaingan antara sosiologi Chicago dan sosiologi
Harvard menghasilkan konsepsi-konsepsi yang berbeda dalam ranah ilmu pengetahuan
sosiologi. Sosiologi Harvard menekankan pada struktur, dan banyak pengikutnya yang
mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas konsep-konsep fungsionalisme
struktural. Sebaliknya, sosiologi Chicago menekankan pada proses sosial, dan
mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas konsep-konsep interaksionisme
simbolik. Tentunya, perbedaan-perbedaan kedua aliran pemikiran ini seringkali dilebihlebihkan dan dijadikan karikatur. Terlepas dari hal tersebut, pertentangan antara kedua
aliran pemikiran ini hampir mengharuskan sebagian sosiolog untuk meneliti prosesproses yang terjadi dalam masalah-masalah sosial, sementara sebagian sosiolog yang lain
mencari sumber-sumber masalah sosial dalam struktur sosial Oleh karena itu, politik
sosiologi mendorong para sosiolog yang bersahabat untuk bergabung dengan kubu
labeling milik sosiologi Chicago dan pengikut-pengikutnya ke Harvard untuk
menentangnya.
Pertanyaan yang Tak Terjawab. Ada batasan-batasan dalam perspektif perilaku
menyimpang dalam hubungannya dengan sifat masyarakat yang khusus dan kompleks.
Dalam masyarakat multi kelompok, penyesuaian diri dengan aturan-aturan kelompok
tertentu terkadang mengharuskan terjadinya pelanggaran terhadap aturan kelompok lain,
baik itu aturan legal, moral, ataupun sosial. Dalam kasus yang sama, tidak semua
pelanggar aturan ditangkap atau dihukum, walaupun pelanggaran yang mereka lakukan
diketahui secara umum. Akhirnya, para pelanggar yang secara hukum ditangkap tidak
semuanya diklasifikasikan dan diperlakukan dengan cara yang sama.
Aspek masalah sosial ini nampaknya tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan
perspektif perilaku menyimpang. Akibatnya, hal ini mendorong sejumlah sosiolog untuk
mengajukan jenis pertanyaan yang berbeda, misalnya: Kapan pelanggaran diberikan
sangsi, oleh siapa, menyangkut siapa, dan dengan konsekuensi sosial macam apa? Dari
pertanyaan-pertanyaan macam inilah, perspektif labeling muncul.
Bagi para sosiolog yang menganut tradisi perspektif perilaku menyimpang,
perspektif
labeling
menstereotipkan
dan
terlalu
menyederhanakan
fenomena
penyimpangan. Bagi mereka yang menganut tradisi perspektif labeling, perspektif
labeling menandakan adanya perluasan konsep-konsep interaksionisme yang logis.
Sejumlah perbedaan kepentingan antar kedua aliran pemikiran tersebut dirangkum
dibawah ini.
Etiologi. Saat penyebab yang mendasari penyimpangan perilaku (misalnya, perceraian,
kelas sosial, anomie, penyakit mental) merupakan pusat perhatian perspektif perilaku
menyimpang, perspektif labeling tidak banyak membahas hal tersebut.
Faktor Penyebab.
Faktor penyebab cukup diperhatikan oleh penganut perspektif
perilaku menyimpang, namun hal ini tidak menjadi perhatian penganut perspektif
labeling.
Reaksi-Reaksi Sosial. Reaksi-reaksi sosial pada hal-hal yang dianggap menyimpang
merupakan pusat perhatian penganut perspektif labeling, tapi tidak bagi penganut
perspektif perilaku menyimpang.
Catatan-catatan pihak berwenang.
Penganut perspektif perilaku menyimpang
mengandalkan catatan-catatan pihak berwenang dan menggunakannya sebagai indikator
penyimpangan perilaku. Perspektif labeling
menganggap catatan-catatan pihak
berwenang menarik. Tindakan-tindakan yang dicatat, bagaimana tindakan-tindakan
tersebut diklasifikasikan, dan dimana, kapan, dan konsekuensi apa yang dihasilkan,
menjadi fokus perhatian. Perspektif labeling berasumsi bahwa catatan-catatan pihak
berwenang pada intinya menggambarkan proses-proses regulasi pengumpulan data
tersebut. Sehingga, catatan-catatan tersebut tidak dianggap menghadirkan deskripsi
perilaku-perilaku yang seharusnya tercatat.
Kesimpulannya, perspektif labeling terfokus pada proses bukan pada struktur,
pada subyektifitas bukan pada obyektifitas, dan pada reaksi-reaksi terhadap
penyimpangan bukan pada penyebab-penyebab penyimpangan.
SUMBER-SUMBER FILOSOFIS PERSPEKTIF LABELING
Pendekatan perspektif labeling adalah hasil pemikiran filsafat sosial George Herbert
Mead dan Alfred Schutz. Walaupun mereka berdua adalah ahli filsafat, keduanya
memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi para sosiolog. Pengaruh Mead telah
dirasakan oleh sejumlah besar sosiolog, sementara pengaruh Schutz baru dirasakan dan
terbatas. Mead dan Schutz secara bersama-sama menyusun sumber-sumber latar belakang
utama perspektif labeling.
PENDIRI PERSPEKTIF LABELING
Pendiri teori labeling adalah Edwin Lemert. Pada tahun 1951, Lemert
menerbitkan buku yang berjudul Patologi Sosial. Dalam buku ini, dia mengajukan teori
sistematik mengenai perilaku menyimpang yang didasarkan pada ide bahwa
penyimpangan didefinisikan oleh reaksi sosial, frekuensi dan karakter penyimpangan
perilaku. Hal tersebut bersama dengan peran orang yang berperilaku menyimpang
sebagian besar dibentuk oleh reaksi sosial.
Namun, perspektif labeling ditemukan namanya dalam buku Howard Becker yang
berjudul “Outsider ” (Orang Luar), yang muncul pada tahun 1963. Pernyataan yang
membantu memberikan nama bagi pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
Kelompok sosial menciptakan adanya perilaku menyimpang dengan cara membuat
peraturan yang pelanggarannya dikategorikan sebagai suatu penyimpangan, dan juga
dengan menerapkan aturan-aturan tersebut pada orang-orang tertentu dan melabeli
mereka sebagai orang luar. Dari sudut pandang ini, penyimpangan dinilai bukan
berdasarkan kualitas tindakan yang dilakukan seseorang, tapi merupakan konsekuensi
dari diterapkannya aturan-aturan dan sangsi-sangsi oleh kelompok tertentu kepada
pelanggarnya. Orang berperilaku menyimpang adalah orang yang telah diberikan label
menyimpang; dan penyimpangan perilaku adalah perilaku yang telah diberi label
menyimpang.
KARAKTERISTIK PERSPEKTIF LABELING
Hal yang bersifat sentral dalam perspektif labeling adalah pemikiran bahwa masalahmasalah sosial dan penyimpangan perilaku ada dalam pandangan penganutnya. Perspektif
labeling berusaha meneliti proses-proses dan respon-respon diferensiasi sosial. Elemenelemen utama dalam perspektif labeling adalah sebagai berikut:
Definisi. Masalah sosial atau penyimpangan sosial didefinisikan oleh reaksi-reaksi sosial
terhadap dugaan adanya pelanggaran aturan. Perspektif ini terfokus pada kondisi-kondisi
dimana situasi atau perilaku tertentu didefinisikan sebagai penyimpangan.
Sebab-sebab. Penyebab masalah sosial sesungguhnya adalah perhatian yang diterimanya
dari masyarakat atau agen kontrol sosial, karena reaksi-reaksi sosial tidak akan terjadi
bila perilaku atau situasi yang dianggap menyimpang tidak diketahui masyarakat.
Kondisi-kondisi.
Saat seseorang atau situasi dilabeli bermasalah atau menyimpang,
pemberi label biasanya berada pada posisi berwenang untuk memberikan label semacam
itu. Pemberi label harus memiliki label negatif dan kewenangan untuk menerapkannya.
Seringkali, pemberian label dilakukan oleh orang yang bekerja sebagai agen kontrol
sosial dan jurnalis, dan pemberian label pada orang tertentu sering dianggap sebagai
kesuksesan kerja. Kadang-kadang, orang memberikan label tertentu pada diri mereka,
dan saat melakukannya mereka mungkin mendapatkan sejumlah keuntungan (misalnya,
orang-orang telah melaporkan dia sebagai homoseksual sehingga dia dibebaskan dari
wajib militer).
Konsekuensi-konsekuensi. Orang-orang atau situasi yang secara sosial didefinisikan
sebagai masalah atau penyimpangan mungkin menyebabkan adanya pengaturan kembali
hubungan antar manusia dengan cara yang mempromosikan “penyimpangan” sekunder.
Misalnya, setelah seseorang dilabeli “orang berperilaku menyimpang”, sebagian besar
orang mengharapkan dia untuk terus melanggar norma-norma perilaku konvensional. Hal
ini mungkin membatasi kesempatan hidup orang yang telah diberi label dan mendorong
dia untuk terus berperilaku menyimpang; misalnya, seorang mantan kriminal mungkin
tidak bisa mendapatkan pekerjaan konvensional dan kemudian kembali bertindak
kriminal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Diteruskannya peran kriminal ini
disebabkan oleh reaksi-reaksi orang lain yang disebut sebagai “penyimpangan sekunder”.
Solusi. Perspektif labeling menyajikan dua jalan keluar yaitu, definisi bisa diubah dan
pengambilan keuntungan bisa dihilangkan dari pemberian label. Pengubahan definisi bisa
berarti bersikap lebih toleran, sehingga orang-orang akan berhenti menilai orang lain dan
situasi tertentu sebagai sesuatu yang bermasalah. Menghilangkan pengambilan
keuntungan dari pemberian label bisa berarti berkurangnya konsekuensi yang harus
dialami oleh orang-orang yang memberikan label tertentu pada diri mereka sendiri dan
orang-orang yang melabeli orang lain sebagai orang yang menyimpang, dan juga
berkurangnya masalah-masalah yang dihasilkan dari pemberian label tersebut.
RANGKUMAN DAN KESIMPULAN
Pada periode setelah 1954, sosiologi digambarkan sebagai proses pengembangan
bidang keahlian khusus. Pada awal periode ini, perspektif perilaku menyimpang dikenal
luas. Namun, masalah-masalah tertentu tetap tidak bisa dijelaskan oleh perspektif
tersebut, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab tersebut menghasilkan
perspektif labeling. Perspektif labeling berakar dari interaksionisme simbolik yang
dirumuskan oleh Mead dan kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Schutz. Karena
interaksionisme simbolik diperluas untuk meneliti proses-proses sosial disekitar
penyimpangan perilaku, gap antara pandangan struktur dan proses dalam sosiologi
diperluas.
Perspektif labeling meneliti aspek-aspek masalah sosial yang dianggap biasa. Para
sosiolog yang bekerja dalam perspektif ini terfokus pada orang-orang yang
mendefinisikan masalah-masalah, kondisi-kondisi dimana orang atau situasi dianggap
bermasalah, dan konsekuensi dari pemberian label. Oleh karena itu, masalah sosial dan
penyimpangan perilaku didefinisikan oleh reaksi sosial pada pelanggaran-pelanggaran
aturan-aturan sosial. Penyebabnya adalah diketahuinya pelanggaran yang dilakukan, dan
kondisi yang mempengaruhi proses pemberian label adalah relasi kekuasaan dan hasil
yang diperoleh dari pemberian label. Konsekuensi utama dari pemberian label adalah
terus dilakukannya penyimpangan perilaku (penyimpangan sekunder) dan harapanharapan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut akan terus dilakukan. Solusi yang
ditawarkan oleh perspektif labeling adalah perubahan pendefinisian dan pengurangan
pengambilan keuntungan dari pemberian label pada orang tertentu.
ORANG LUAR
Howard S. Becker
Secara tradisional, para sosiolog mempelajari penyimpangan perilaku dengan meneliti
atribut-atribut yang diberikan pada orang-orang yang melanggar peraturan, penyebab mereka
melakukan pelanggaran, apa yang membedakan pelanggar dan orang yang patuh pada
peraturan, dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Kutipan dari Becker
memberikan contoh tren yang lebih baru, yang mana penyimpangan perilaku dipelajari dalam
lingkup dimana label-label tersebut berhasil diberikan pada orang tertentu. Dengan
rekonseptualisasi ini, banyak sosiolog yang telah mengalihkan fokus perhatian mereka dari
mempelajari penyimpangan perilaku ke mempelajari definisi sosial mengenai penyimpangan
perilaku dan konsekuensi dari definisi semacam itu.
PENYIMPANGAN PRIMER DAN SEKUNDER
Oleh: Edwin M. Lemert
Lemert mengklaim bahwa penyebab-penyebab tindakan menyimpang harus dibedakan dari
penyebab-penyebab peran-peran menyimpang. Fenomena peran yang menyimpang, yang dia
sebut sebagai “penyimpangan sekunder”, muncul dari interaksi sosial antara orang
berperilaku menyimpang dan komunitasnya. Jika penyimpangan perilaku tersebut
berlangsung lama dan masyarakat meresponnya dengan hukuman-hukuman sosial yang
semakin berat, rangkaian kejadian tersebut berpuncak pada stigmatisasi orang berperilaku
menyimpang tersebut dalam bentuk labeling atau stereotipisasi dan menghasilkan karakter
menyimpang. Namun, jika tidak ada reaksi sosial yang berat, peran menyimpang mungkin
tidak akan ada karena orang yang berperilaku menyimpang tersebut tidak diberikan
pandangan buruk yang akan mendorong dia untuk melakukan tindakan membela diri
terhadap hukuman sosial.
Seringkali ada hubungan resiprokal yang progresif antara penyimpangan individu dan
reaksi masyarakat, dengan berbagai reaksi masyarakat terhadap pertambahan perilaku
menyimpang, hingga mereka membentuk kelompok masing-masing. Pada titik ini
stigmatisasi yang dilakukan terhadap orang yang berperilaku menyimpang terjadi
dalam bentuk ejekan, pemberian label, atau stereotipisasi.
Rangkaian interaksi yang mengarah ke penyimpangan sekunder adalah sebagai
berikut: (1) Penyimpangan primer; (2) Hukuman-hukuman sosial; (3) Penyimpangan
primer lanjutan; (4) Penolakan dan hukuman yang lebih kuat; (5) Penyimpangan
lanjutan, kemungkinan disertai dengan sikap kasar dan dendam kepada orang-orang
yang memberikan hukuman; (6) Krisis sikap toleransi, yang diekspresikan oleh
masyarakat dalam bentuk stigmatisasi terhadap orang berperilaku menyimpang
tersebut; (7) Menguatnya tindakan menyimpang sebagai reaksi terhadap stigmatisasi
dan hukuman; (8) Diterimanya status sosial sebagai orang berperilaku menyimpang
dan dilakukannya usaha-usaha penyesuaikan diri berdasarkan peran yang sesuai
dengan status sosial tersebut.
DEVALUASI WANITA
Oleh: Edwin M. Schur
Kekuasaan, kemakmuran, penghormatan, dan pengetahuan adalah nilai-nilai langka yang
orang cari. Karena wanita cenderung diberi label status inferior berdasarkan gender, hal ini
mengurangi kesempatan yang mereka miliki untuk meraih nilai-nilai langka tadi saat
berkompetisi dengan laki-laki. Status gender yang disandang wanita juga meningkatkan
kemungkinan-kemungkinan bagi wanita untuk menjadi korban berbagai masalah sosial.
Schur berpendapat bahwa wanita pantas menjadi anggota kelompok minoritas yang kerap
kali mengalami perlakuan tidak hormat dalam hubungan interpersonalnya. Mereka juga
nampaknya sering menjadi obyek diskriminasi dalam politik, perusahaan, dan berbagai
pekerjaan. Tidak perduli apakah wanita tersebut memiliki keahlian atau tidak.
Nampaknya jelas bahwa devaluasi wanita tidaklah bersifat total. Di sisi lain, ada
banyak bukti yang menunjukkan bahwa devaluasi wanita bersifat substansial, dan
manifestasinya dalam kehidupangan sangat tersebar luas. Untuk rujukan yang lebih
lengkap mengenai ketidaksetaraan gender dalam masyarakat kita, pembaca harus
membaca sumber-sumber lain (misalnya, lihat Laws, 1979; Stockhard dan Johnson,
1980; Oakley, 1981). Namun, kita bisa setidaknya mencatat secara singkat disini, ada
empat landasan utama untuk menerima pemikiran bahwa kewanitaan adalah status
yang tidak terhormat. Yang pertama adalah adanya ketidaksetaraan gender yang
tercatat dengan baik dalam sistem ekonomi dan masyarakat kita. Komponen evaluatif
dihubungkan dengan penempatan dalam skema stratifikasi. Orang yang sangat
dihormati secara sistematis tidak diturunkan ke tingkat sosioekonomi dan prestise
pekerjaan yang lebih rendah (sebagaimana dialami oleh wanita). Dimilikinya posisi
semacam itu, pada gilirannya, cenderung menjadi dasar untuk menilai seseorang
secara tidak berimbang.
Alasan kedua untuk menerima klaim bahwa kefemininan adalah status yang tidak
terhormat berhubungan dengan persepsi pengelompokan yang diterima secara luas
dan kecenderungan obyektifikasi. Harusnya nampak bahwa sejumlah ukuran
devaluasi selalu ada dalam cara menerima dan merespon wanita. Kadang-kadang
elemen ini hanya bersifat implisit, namun pada waktu lain elemen ini menjadi cukup
eksplisit, bahkan menyolok. Wanita secara rutin diperlakukan dengan cara yang
merendahkan diri mereka sendiri.
Alasan ketiga adalah devaluasi wanita yang ada dalam “simbolisme kultural”
(Stockhard dan Johnson, 1980, bab 1, lihat juga, Firestone, 1971; Gornick dan Moran,
eds., 1972; dan Goffman, 1979). Penggunaan bahasa umum juga sering kali
merendahkan, menganggap remeh, mencaci, atau menjadikan wanita bahan
eksploitasi seksual (lihat Lakoff, 1975; Adams dan Ware, 1979; Richardson, 1981,
bab 2; juga Thorne dan Henley, eds., 1975). Hal yang sama juga terjadi pada imej
wanita dalam media massa dan iklan – sejumlah aspek khusus mengenai hal tersebut
akan kita bahas. Pengeksposan secara umum yang tersebar luas melalui pornografi
sekarang ini menambah simbol-simbol kultural yang menggambarkan wanita secara
seksual.
Alasan keempat, dan mungkin yang paling utama, untuk memandang kefemininan
sebagai status yang rendah ditunjukkan dalam fokus utama teks ini yaitu, hubungan
wanita dengan definisi penyimpangan perilaku. Sejumlah besar “penyimpangan
perilaku” khusus yang dilekatkan pada wanita dalam sistem gender masyarakat kita,
dan kegagalan dalam mengutuk keras penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh
laki-laki terhadap perempuan, menggambarkan rendahnya posisi yang diberikan
kepada perempuan. Karena seringnya fenomena ini dieksplorasi, teori mengenai
devaluasi sekali lagi dikaji ulang.
Berdasarkan keempat alasan diatas, pernyataan para pria yang mengklaim bahwa
mereka tidak merendahkan wanita sebaliknya memuja wanita, nampaknya tidak jujur.
Memperlakukan wanita secara “khusus” menyiratkan bahwa perlakuan tersebut
adalah penyangkalan terhadap sifat kemanusiaan mereka secara umum. Dan sikap
“sopan-santun” kecil (misalnya: membukakan pintu, membantu menyalakan rokok,
dll) yang seringkali dikaitkan dengan pemujaan terhadap wanita, merendahkan
hubungan antara pria dan wanita, dan juga nampaknya menyangkal kapasitas mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Komentar Kate Millett (1971, hal.37) terhadap sikap
kesatria laki-laki sangat kuat. Dia mendeskripsikannya sebagai “sejenis usaha yang
ditujukan bagi wanita agar mereka dapat menyelamatkan muka. Sementara obat bagi
ketidakadilan yang dialami oleh wanita dalam hal posisi di masyarakat, sikap kesatria
juga merupakan teknik untuk menyamarkannya”.
MENGALAMI STIGMA
Wanita menghadapi stigmatisasi dalam sejumlah bidang. Sebagaimana kita lihat,
pada tingkat tertentu devaluasi dilekatkan hanya karena pada kenyataannya mereka
adalah wanita. Puncaknya, wanita akan lebih distigmatisasi dan dihukum karena
berbagai ‘penyimpangan’ khusus. Definisi-definisi khusus ini pada kenyataannya
sangat sering terjadi sehingga nyata-nyata wanita dianggap pelanggar aturan. Saat
fakta-fakta ini dipertimbangkan, bersama dengan devaluasi implisit dalam
subordinasi sosial dan ekonomi wanita secara umum, jelas bahwa beban stigma yang
mungkin dihadapi oleh wanita sangat berat.
Hingga tingkat dimana kefemininan mengandung stigma, penghindaran dari
digunakannya label tertentu itu sendiri bukanlah suatu pilihan bagi wanita.
Sebagaimana yang Helen Hacker (1951) katakan dalam pembahasan awalnya
mengenai persamaan yang dialami oleh wanita dan orang-orang kulit hitam, yang
mana keduanya mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh “visibilitas sosial yang
tinggi”.
ANAK BAIK DAN ANAK NAKAL
Oleh: William J. Chambliss
Becker telah berargumen dalam Outsider (Orang luar) bahwa salah satu penyebab labeling
adalah kelas sosial. Dia mengatakan bahwa hal ini benar terjadi dalam kasus kenakalan remaja,
dimana pihak berwenang menunjukkan sikap yang lebih toleran kepada para remaja nakal yang
berasal dari kelas sosial menengah atas, dan sikap toleransi itu sangat kurang bila berhadapan
dengan remaja nakal dari kelas sosial bawah. Chambliss dalam studi ini mencatat bagaimana
latar belakang kelas sosial dapat membuat perbedaan yang besar saat berhubungan dengan
kenakalan remaja. “Anak baik” dan “anak nakal” terlibat dalam kenakalan remaja yang sama
banyaknya. Namun karena kelas sosial, visibilitas tindakan menyimpang, dan perilaku saat
berhadapan dengan pihak berwenang, “anak nakal” disebut sebagai para pembuat masalah,
sekumpulan anak muda yang masa depannya tidak lebih dari menjadi orang berperilaku
menyimpang. Sebaliknya, masyarakat mengharapkan “anak baik” sukses di masa depan. Enam
dari delapan “anak baik” melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, sedangkan lima dari tujuh
“anak nakal” hidup sebagaimana yang dituduhkan masyarakat kepada mereka dan tidak
seorangpun dari mereka yang kehidupannya berakhir baik. Sebagaimana yang dicatat oleh
Chambliss: “Masyarakat merespon “anak nakal” sebagai anak-anak bermasalah, dan anakanak tersebut setuju dengan persepsi tersebut”.
KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF LABELING
Oleh: Gwynn Nettler
Perspektif labeling pada hakikatnya lebih tertarik pada definisi penyimpangan perilaku daripada
perilaku menyimpang itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif labeling kurang tertarik untuk
membahas apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang berperilaku menyimpang daripada
bagaimana orang bereaksi terhadap penyimpangan perilaku. Nettler mengatakan bahwa
kelebihan perspektif labeling adalah bahwa perspektif ini membantu kita untuk melihat bahwa
dalam kasus tertentu orang-orang lebih merespon label yang diberikan pada orang-orang
tertentu, dan dengan melakukan hal tersebut mereka terkadang menyebabkan terjadinya
penyimpangan perilaku yang mereka kutuk. Namun, Nettler tidak berpendapat bahwa perspektif
labeling sangat berguna untuk menjelaskan kejahatan. Khususnya, perspektif ini gagal
memprediksi atau menjelaskan tindakan kriminal. Perspektif ini menggunakan cara berpikir yang
tidak berdasar dalam menganggap respon-respon terhadap kejahatan sebagai penyebab
kejahatan. Perspektif ini juga tidak bisa menjelaskan pada kita bagaimana cara mengurangi
kejahatan.
LEBIH PENTINGNYA PERAN DIBANDINGKAN DENGAN PERILAKU
Teori labeling menekankan pada proses-proses interaksi manusia yang menghasilkan
pemberian dan penerimaan karakter tertentu. Ditekankannya konstruksi peran menarik
perhatian kita pada bagaimana perilaku mungkin dibentuk oleh harapan-harapan orangorang yang berinteraksi dengan kita dan bagaimana persepsi kita masing-masing
dikuatkan oleh pemberian label pada salah satu tindakan yang pernah kita lakukan. Sekali
satu peran didefinisikan, sekelompok kecil atribut diberikan pada peran tersebut..
Pengambilan kesimpulan seperti itu mendorong adanya persepsi tertentu yang
menghubungkan beragam tindakan menjadi sejumlah label yang bermakna (Turner,
1972, hal.310).
MENAFSIRKAN “KRIMINALITAS” MENJADI “PENYIMPANGAN”
Para pembuat teori labeling lebih nyaman berdiskusi mengenai “penyimpangan” daripada
“kriminalitas”. Penafsiran ini mengarahkan perhatian kita pada fakta bahwa pihak
mayoritas bereaksi terhadap pihak minoritas dan hal ini memiliki makna yang berbeda
karena orang minoritas tidak memiliki hak untuk menangkap, mengkritik, dan
menghukum.
Para pendukung perspektif labeling membedakan “penyimpangan primer” yaitu,
sejumlah tindakan ofensif, dan “penyimpangan sekunder” (Lemert, 1951)
Apa yang ingin dijelaskan bukanlah banyaknya orang berperilaku menyimpang, tapi
orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memberikan label dan menegaskan
penyimpangan tertentu. Para ahli teori labeling memandang respon-respon peradilan
terhadap kejahatan sebagai “dramatisasi kejahatan” (Tannenbaum, 1936).
IMPLIKASI BAGI METODOLOGI
Metode penelitian yang dipromosikan oleh para ahli teori labeling adalah observasi
intensif terhadap orang yang memberikan label dan korban-korbannya. Bidang kerjanya
lebih menggunakan kumpulan statistik. Hasil penelitian berupa penjelasan bagaimana
pemberi label mengenali dan mendefinisikan orang yang berperilaku menyimpang, dan
bagaimana orang yang berperilaku menyimpang beraksi dan menafsirkan dunianya
sendiri. Uji kemampuan penjelasan semacam itu adalah berupa pemahaman dan
wawasan, bukan prediksi ataupun kontrol.
KELEBIHAN HIPOTESIS LABELING
Kelebihan perspektif labeling ada pada perhatiannya terhadap kemungkinan bahwa (1)
orang-orang mungkin lebih merespon definisi-definisi orang lain, daripada perilakuperilaku mereka dan (2) definisi yang berstigma akan menghasilkan perilaku buruk yang
tidak disukai oleh mereka.
Hipotesis labeling bertanya apakah masyarakat bereaksi pada perilaku yang dilakukan
oleh orang berperilaku menyimpang atau pada definisi perilaku menyimpang itu sendiri.
Ide bahwa penyimpangan perilaku dihasilkan melalui sejumlah proses interaksi yang
mengakibatkan label yang kita berikan pada orang lain mungkin tidak tepat. Mengatakan
bahwa “penyimpangan” dihasilkan oleh pemberian label menunjukkan bahwa label-label
yang diberikan para orang lain tidak tepat, dan mengajukan pertanyaan apakah kita lebih
merespon pada perilaku yang benar-benar dilakukan oleh orang lain, atau kita lebih
merespon imej yang dibentuk oleh label yang kita berikan pada orang lain.
KEKURANGAN PERSPEKTIF LABELING
(1) Teori labeling telah dikritisi karena mengabaikan perbedaan perilaku yang
dideskripsikan oleh label. Skema labeling mengalihkan perhatian dari perilaku ke definisi
publik mengenai perilaku-perilaku tersebut. Perbedaan semacam itu menunjukkan bahwa
(2) teori labeling tidak meningkatkan, atau mungkin menurunkan, kemampuan kita untuk
memprediksi perilaku individu. Kemampuan memprediksinya tidak hanya merupakan
hasil dari pengabaian perbedaan individu, tapi juga dipengaruhi oleh fakta bahwa (3)
teori ini terdiri dari model penyebab yang defektif. Pada gilirannya, hal ini menunjukkan
bahwa (4) relevansi teori ini dengan kebijakan sosial berkurang. Setiap poin ini akan
dijelaskan lebih lanjut.
PERSPEKTIF KRITIK
Semua masyarakat dan budayanya mengalami perubahan. Sebagai bagian dari budaya
sudut pandang terhadap persoalan sosial juga berubah. Seperti yang kita lihat, sense of crisis di
masyarakat mempengaruhi para pemikir yang mencoba mengembangkan pemahaman
menyeluruh dari masyarakat dan permasalahannya. Demikian pula, sense of crisis dalam disiplin
ilmu sosiologi mendorong pengembangan perspektif baru terhadap persoalan sosial. Maka,
bermunculannya perspektif baru umumnya menyiratkan bahwa perspektif yang ada kini tidak
dapat menjawab persoalan sosial secara keseluruhan atau secara konsisten. Situasi seperti ini
mengarah pada pengembangan perspektif kritik.
Perspektif kritik berasal dari tradisi Marxis. Selama masa hidupnya, Karl Marx
(1919-1883) menghasilkan karya induk yang tidak mudah untuk digolong-golongkan. Ia
menulis tentang filosofi, sejarah sosial dan politik, dan tiga volume magnum opus (karya
besar) mengenai ekonomi yang berjudul Das Kapital. Sepanjang hidupnya, ia menjadi
ahli teori maupun aktivis politik, yang mencurahkan hampir seluruh energinya untuk
menggugat kapitalis dan mengangkat golongan pekerja menjadi kekuatan politik di Eropa
Barat. Karyanya memberi pengaruh yang luas di Barat selama masa hidupnya. Sejak
kematiannya, pengaruhnya semakin meluas dan memperdalam hingga masa dimana ia
menjadi dasar pemikiran politik revolusioner di Asia dan Dunia Ketiga. Selain itu,
pemikiran Marxis terus mempengaruhi karya ilmuwan di bidang filosofi, ekonomi,
politik, dan sosiologi.
KARAKTERISTIK PERSPEKTIF KRITIK
Holisme, sebagai asumsi utama dari perspektif kritik, menuntut para analis untuk
mengamati sistem sosial secara keseluruhan, bukan dari bagian-bagiannya. Permasalahan
sosial saling berkaitan dengan sejumlah kejadian, perubahan, dan tekanan yang terjadi di
semua lembaga sosial. Unsur-unsur utama dari perspektif kritik adalah sebagai berikut :
Definisi. Masalah sosial adalah suatu situasi yang berkembang diluar eksploitasi
golongan pekerja.
Penyebab. Secara luas, bentuk organisasi sosial yang dibentuk masyarakat kapitalis
menyebabkan rentang permasalahan sosial tertentu yang luas. Menyangkut masalah
sosial kejahatan, bentuk ini adalah sistem dominasi kelas yang menciptakan dan
mempertahankannya. Misalnya, kapitalis mempertahankan kemiskinan dan membentuk
serta mendorong aturan menurut kepentingan mereka sendiri.
Kondisi. Kondisi penting permasalahan sosial adalah jangkauan dan tingkat dominasi
golongan serta konflik, kesadaran golongan pekerja, dan fluktuasi siklus bisnis. Jika
dominasi dan konflik kurang terlihat atau kecil kekuatannya, jika segmen golongan
pekerja yang besar tidak menyadari kepentingan mereka, dan jika ada gejala siklus bisnis
yang naik-turun, kesadaran akan permasalahan sosial akan lemah dibalik kondisi
sebenarnya.
Akibat. Meski masyarakat kapitalis mengalami masa siklus, permasalahan sosial
berbanding dengan kemajuan tahap perkembangan kapitalisme. Maka, para penulis yang
menggunakan perspektif kritik memprediksi, misalnya, bahwa tingkat kejahatan akan
naik seiring kemajuan perkembangan kapitalisme.
Solusi. Hanya aktivisme politik yang bisa menanggulangi dampak sistem kapitalis. Baik
melalui reformasi maupun revolusi, pergerakan kaum pekerja harus berupaya untuk
mencapai masyarakat tanpa kelas, sehingga dapat melenyapkan pokok permasalahan
sosial yang menetap dalam sistem sosial yang didasari atas ketimpangan sosial.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Krisis, kekacauan, dan gejolak nampaknya menjadi keadaan umum di masyarakat
modern, urban, industri. Perioda krisis ini menuntut tanggapan dari anggota masyarakat.
Krisis ini bergaung pula dalam disiplin ilmu sosiologi dan mempengaruhi perspektif yang
ada terhadap permasalahan sosial. Maka, sosiolog Jerman, Britania, dan AS menemukan
bahwa krisis yang dialami oleh masyarakatnya meragukan kepatutan perspektif
permasalahan sosial dominan yang ada saat ini.
Di ketiga negara diatas, batang tubuh pemikiran tentang permasalahan sosial
membuatnya muncul dalam berbagai nama. Ia berkembang menjadi kritik mendalam
terhadap masyarakat dan budaya kapitalis yang melihat persoalan sosial sebagai hal yang
menetap dalam masyarakat kapitalistik. Maka, penyebab utama dari permasalahan sosial
terletak pada dominasi dan konflik golongan: kaum kaya (have) berpegang pada apa yang
mereka punyai dan mempertahankan hak miliknya dengan kerugian berlanjut dari kaum
miskin (have-not). Konflik golongan timbul dari sistem dominasi kelas yang
mempertahankan ketimpangan sosial. Terakhir, yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin. Satu-satunya solusi terhadap pemilahan permasalahan sosial yang
menjadi hal umum di masyarakat kapitalis maju adalah kaum pekerja harus
memenangkan perjuangan kaumnya dan bergerak ke arah sosialisme murni, yang akan
mengarah pada masyarakat tanpa kelas.
KEJAHATAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME
Richard Quinney
“Kejahatan,” kata Quinney, “tak tercegah dalam kondisi kapitalis.” Kapitalis memiliki
dan mengontrol produksi kerja, hukum, dan budaya. Golongan pekerja, sebaliknya, tidak
punya apapun untuk dijual hanya tenaganya. Ketimpangan ekonomi, politik, dan budaya
ini memberi dinamika dan dampak sistem kapitalis. Konsekuensi itu hanya meningkatkan
kebutuhan kaum kapitalis untuk mendominasi dan dari kaum pekerja untuk beradaptasi.
Tanggapan dari kedua golongan itu terhadap situasi ini menimbulkan berbagai macam
kejahatan. Kaum kapitalis melakukan kejahatan dominasi, pemerintahan, dan kontrol
yang menghasilkan luka-luka sosial seperti korupsi, sexisme, rasisme, dan eksploitasi
ekonomi. Golongan pekerja melakukan kejahatan akomodasi dan resistensi. Satu-satunya
solusi terhadap tingkat kejahatan yang meluas dan meningkat, kata Quinney, akan
muncul jika kaum pekerja mengubah dari kejahatan akomodasi sendiri-sendiri menjadi
kejahatan resistensi secara kolektif. Kesadaran seperti itu terwujud dalam upaya
diantara golongan yang akhirnya akan mengubah sistem dari kapitalis menjadi sosialis,
sehingga mengurangi, jika tidak bisa menghilangkan, banyak jenis kejahatan yang
muncul dari sistem kapitalis.
AKOMODASI DAN RESISTENSI
Kontradiksi kapitalisme yang berkembang meningkatkan kadar pergelutan
golongan, sehingga meningkatkan (1) kebutuhan golongan kapitalis untuk mendominasi
dan (2) kebutuhan golongan yang tereksploitasi oleh kapitalisme untuk mengakomodir
dan menolak, terutama golongan pekerja. Sebagian besar tindakan respon terhadap
dominasi, termasuk tindakan kekerasan yang disebut sebagai kejahatan oleh golongan
kapitalis, adalah produk dari sistem produksi kapitalis . . .
MENUJU POLITIK EKONOMI KEJAHATAN
William J. Chambliss
Dalam wacana ini Chambliss menunjukkan bahwa golongan dominan melanggar
peraturan kriminal tetapi hanya sedikit yang dihukum atas kejahatan besar yang dilakukannya
dibandingkan dengan penjahat kriminal dari golongan bawah. Chambliss menguraikan situasi
ini di Ibados, Nigeria, dan Seattle, Washington. Ia menyimpulkan bahwa kajiannya umumnya
mendukung “pernyataan Marxian dimana tindak kriminal yang melayani kepentingan golongan
penguasa tidak akan diberi sangsi sedang mereka yang tidak akan dihukum.”
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Seperti dikemukakan Gouldner dan Friedrichs, ilmu sosial pada umumnya, dan
sosiologi khususnya, mengalami revolusi paradigma. Kemungkinan, kriminologi
merupakan refleksi dan kekuatan dibalik revolusi ini.
Paradigma yang muncul dalam kriminologi adalah paradigma yang menekankan
konflik sosial – terutama konflik kepentingan dan nilai golongan sosial. Paradigma yang
digantikan adalah paradigma dimana penekanan utama berada pada konsensus, dan
dimana penyimpangan atau kejahatan dianggap sebagai penyimpangan yang dilakukan
sebagian kecil masyarakat. Kelompok ini tak mampu bersosialisasi dengan baik dan
berintegrasi dengan masyarakat atau, secara umum, mengalami disorganisasi sosial.
Perubahan paradigma bermakna lebih dari sekedar perubahan penjelasan fakta
yang sama dengan model sebab-akibat yang baru. Ini berarti, kita mengembangkan
kerangka konsep dan melihat berbagai sisi pengalaman sosial. Secara spesifik, bukan
mengarah pada sistem normatif, pada budaya atau pada pengalaman sosio-psikologis
individu, tetapi pada hubungan sosial yang dibentuk oleh struktur politik dan ekonomi.
Bukan memperlakukan masyarakat sebagai realitas yang mengemuka, tetapi kita
berusaha memahami kondisi ini sebagai cerminan sejarah ekonomi dan politik yang telah
membentuk hubungan sosial yang mendominasi masa yang kita pilih untuk diteliti.
Perubahan ini berarti bahwa kejahatan menjadi tanggapan rasional dari sebagian
golongan sosial terhadap realitas hidup. Negara menjadi instrumen golongan penguasa,
yang menegakkan hukum disini tetapi tidak disana, menurut realitas kekuatan politik dan
kondisi ekonomi.
Banyak yang bisa diperoleh dari pengarahan kembali pertanyaan kriminologis dan
sosiologis. Tetapi jika revolusi paradigma lebih dari sekedar antusiasme, kita harus dapat
menunjukkan paradigma baru sebenarnya lebih mampu dari pendahulunya. Dalam
makalah ini saya mencoba mengembangkan implikasi teoritis dari model kejahatan dan
hukum kriminal Marxis, dan menilai manfaat dari paradigma ini dengan melihat pada
beberapa data empiris. Kesimpulan umumnya adalah paradigma Marxian memberi
pendekatan yang telah lama diabaikan tetapi bermanfaat bagi kajian kriminal dan hukum
kriminal.
PENINDASAN DAN PENGADILAN KRIMINAL
DI KAPITALIS AMERIKA
Raymond J. Michalowski dan
Edward W. Bohlander
Dalam intisari ini, penulis memberi penjelasan perspektif kritik tentang sebab banyaknya
orang yang meyakini bahwa kejahatan adalah permasalahan sosial. Lembaga kontrol sosial
resmi menerapkan sangsi hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran atas hak
kepemilikan. Dengan terus mempelajari sangsi ini, kebanyakan orang memiliki kesamaan
pandangan dimana tindakan ini adalah kriminal, melawan nilai budaya umum, dan
permasalahan sosial. Penulis berpendapat, bisa saja sebaliknya. Golongan kapitalis mengontrol
definisi kejahatan. Dan kepentingan mereka menekankan bahwa kerusakan yang ditimbulkan
oleh kaum lemah, lebih sering dari yang dilakukan kaum berada, dipandang sebagai kejahatan.
Di AS tatanan hukum melayani kepentingan kaum kapitalis penguasa dengan (1)
memfasilitasi pencapaian tujuan kapitalis, (2) mengesahkan penindasan golongan yang
lemah secara ekonomi dan politik yang harus ada untuk mempertahankan distribusi
kekayaan kapitalis dan yang mengancam kepentingan kapitalis melalui aktivitas kriminal,
dan (3) menciptakan dan mempertahankan definisi kejahatan yang menjamin
berlanjutnya nikmat yang diperoleh dari dua keuntungan pertama diatas oleh golongan
penguasa. Tabel 1 menguraikan pengaruh tatanan hukum kapitalis baik terhadap kaum
penguasa maupun kaum lemah, dan keseluruhan distribusi pengaruh ini terhadap definisi
kejahatan. Pembahasan berikut mengamati masing-masing pengaruh secara terperinci.
Tabel 1. Pengaruh tatanan hukum kapitalis
Komponen
Dampak bagi kaum
penguasa
Dampak bagi kaum
lemah
Peraturan
kriminal
substantif
a. menjamin monopoli
kekuasaan
a. mencakup semua
perilaku merusak
(kejahatan umum)
Sangsi
formal
Peraturan
prosedural
b. kecuali mayoritas
perilaku merusak
(kejahatan perusahaan)
c. secara kualitatif dan
kuantitatif minimal
untuk kejahatan yang
mudah dilakukan
d. bisa menghindari
tuduhan
e. bisa menghindari
hukuman
Lembaga
penerjemah
f. sedikit perhatian pada
kejahatan yang mudah
dilakukan
Tindak
kebijakan
g. mengurangi
kemungkinan tuduhan
h. mengurangi
kemungkinan hukuman
b. Secara kualitatif dan
kuantitatif buruk untuk
kejahatan yang mudah
dilakukan
c. sulit menghindari
tuduhan
d. sulit menghindari
hukuman
Dampak terhadap
persepsi persoalan
kriminal
a. Kejahatan dianggap
sebagai pelanggaran
umum
b. pelanggaran umum
jauh lebih serius dari
kejahatan perusahaan
c. Mayoritas tertuduh
dan terhukum adalah
kaum lemah yang
melakukan kejahatan
umum, yang
menimbulkan anggapan
kaum lemah berbahaya
e. mencurahkan semua
perhatian kepada
kejahatan yang mudah
dilakukan
f. meningkatkan
kemungkinan tuduhan
g. meningkatkan
kemungkinan hukuman
Pengaruhnya terhadap kelompok berkuasa ada dua. Pertama, tingginya prioritas
yang diberikan jaminan kejahatan hukum-umum bahwa kerusakan yang menyangkut
korban perorangan akan dianggap sebagai penyerangan terhadap negara bukan tindakan
balasan pribadi. Dengan mengidentifikasi konflik-konflik sebagai ancaman terhadap
tatanan hukum, negara dapat memajukan hak untuk menangkap dan menghukum para
pelanggar (Schafer, 1968). Hak ini didefinikan oleh kelompok penengah agar menjamin
kelompok penguasa “yang memonopoli kekuatan yang menandai negara yang dewasa”
(Diamond, 1971).
Kedua, dengan pengecualian atau tidak menggolongkan kerusakan yang muncul
dari penelusuran keuntungan perusahaan, peraturan kriminal substantif memberi ruang
yang relatif bebas bagi para pemilik dan para manajer untuk meraih tujuan kapitalis.
Pengecualian ini pun berlaku bahkan jika kerusakan yang ditimbulkan dari penelusuran
keuntungan perusahaan secara sosial lebih merusak dibanding pelanggaran hukumumum.
SANGSI FORMAL
Sangsi statuta yang diuraikan mengenai kejahatan hukum-umum umumnya jauh
lebih parah dibanding sangsi yang diterapkan pada kejahatan perusahaan. Perbedaan ini
bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
PROSEDURAL HUKUM
Komponen prosedural hukum dari proses pengadilan kriminal menjamin bahwa
kelompok individu yang dituntut dan dibuktikan bersalah adalah golongan lemah.
Peraturan ini melayani kepentingan golongan penguasa dengan jaminan bahwa mereka
kecil kemungkinannya untuk menjadi tertuduh, dan jika dituntut, golongan dominan
menikmati keuntungan maksimum untuk melakukan pembelaan terhadap tuntutan
tersebut.
LEMBAGA PENERJEMAH
Lembaga menginterpretasi dari proses pengadilan kriminal adalah subsistem dari
polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Subsistem polisi terdiri dari agen yang
harus mengidentifikasi pelanggaran hukum dan menggiring pelanggarnya kepada
tuntutan sebelum pengadilan. Organisasi dari upaya pengaturan ini diarahkan pada
pengendalian kejahatan hukum-umum dari golongan lemah. Sebagian agen yang
mengatur aktivitas kriminal perusahaan, dan meski ada mereka seringkali kekurangan
staf dan anggaran. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa Dinas Perpajakan jarang melakukan
audit terperinci terhadap perolehan pajak perusahaan karena umumnya kekurangan staf
yang memiliki keahlian cukup untuk memahami kerumitannya (Charlotte Observer, 14
April 1974). Selain itu, kebanyakan agen yang dirancang untuk mengatur aktivitas
perusahaan ini diisi oleh perwakilan dari agen-agen dimaksud yang sedang diatur. Para
perwakilan ini lebih berperan dalam kapasitas sebagai juru bicara yang menguntungkan
komunitas perusahaan dibanding sebagai agen kontrol masyarakat yang jujur. Maka tidak
mungkin kita dapat menyuruh penjahat untuk mengatur penjahat lain.
Peraturan substantif dan sangsi formal menentukan perilaku apa yang
disebut sebagai kriminal dan keseriusan tindakan yang kita lekatkan pada perilaku
tersebut. Peraturan prosedural, lembaga penerjemah dan tindak kebijakan menjamin
pengawasan sosial terhadap individu dan kemelorotan publik yang disebut sebagai
kriminal, adalah para anggota dari golongan lemah.
UNIVERSALISASI PERMASALAHAN SOSIAL
David Wagner
Sejak tahun 1960-an, di media banyak pembuat klaim (claim-makers) yang membantah
bahwa semua orang dalam masyarakat dalam hal usia, gender, atau ras mempunyai resiko yang
sama untuk menjadi korban permasalahan sosial (social problems) di mana hal tersebut dapat
“terjadi pada siapapun.”
Akan tetapi, Wagner menyatakan bahwa penemuan dari banyak
peneliti sosial menunjukkan permasalahan sosial umumnya terkonsentrasi pada masyarakat
kelas rendah. Dia membantah bahwa ide universalisasi permasalahan sosial datang secara
langsung dari kepentingan dan nilai kapitalisme.
Hal ini dalam masyarakat kapital untuk
menyokong solusi permasalahan sosial yang memperlakukan individu, dengan demikian
menciptakan sebuah pasar untuk perlakuan industri yang mengecilkan solusi perubahan sosial
radikal dalam struktur sosial.
Hal tersebut menjadi cara yang biasa bagi media, layanan sosial, dan ahli ilmu
sosial untuk mendiskusikan masalah sosial sebagai masalah umum yang mempengaruhi
semua orang. Sebuah retorika permasalahan sosial menjadi wajib yang dapat
menjelaskan sejumlah isu sebagai kelas ”potongan menyilang,” ras, usia, gender, dan
lain-lain. Pernyataan demikian merupakan penemuan luas dalam literatur mengenai
sejumlah permasalaan sosial
fungsi sosial dan politik laten yang bekerja. Pertama, sejak hal itu menjadi bukti
diri yang secara potensial dapat terjadi pada setiap orang, ini menarik di mana
pengumuman layanan masyarakat, kesehatan umum dan pimpinan politik, dan layanan
sosial profesional lainnya merasa perlu untuk mengulang slogan ini secara terus menerus.
Bisa jadi protes mereka “terlalu berlebihan,” di mana para pimpinan politik dan
profesional menyadari publik mengetahui bahwa permasalahan tersebut secara sering
tersebar ke dalam populasi.
Kedua, setidaknya yang berkaitan dengan topik yang
dieksplorasi dalam makalah ini (kahamilan remaja, kejahatan, kekerasan domestik,
penggunaan zat kimia dalam jangka panjang, kekurangan makanan, dan kegemukan),
merupakan bukti empirik yang sering menempatkan kelompok bermasalah berada pada
kelas sosial yang lebih rendah.
PROBLEM-PROBLEM DENGAN MENDISKUSIKAN KEBIASAAN MASALAH
SOSIAL
Pertama, permasalahan yang sifatnya personal, terstigma atau ilegal - sebagai contohnya,
penggunaan obat terlarang atau kekerasan pada anak- menghadirkan tantangan unik
untuk ilmuwan sosial dalam mengumpulkan data yang baik karena hal ini berkaitan
dengan ketakutan akan mendapatkan rasa keadilan terhadap subjek. Kedua, sejak tahun
1960 kriminolog, sosiolog, dan ahli permasalahan sosial lainnya telah menunjukan bahwa
permasalahan perilaku terstigma mengarahkan mereka ke diskriminasi melawan
kemiskinan, minoritas ras, dan penghilangan hak lainnya. “Perilaku menyimpang,” dari
kekerasan pada anak hingga ke penyakit mental telah banyak terjadi di kelas yang lebih
rendah di banding di kelas lainnya. Agen kontrol sosial biasanya menjaga ketertiban di
wilayah yang lebih miskin, dan setidaknya beberapa permasalahan pribadi sulit untuk
dihilangkan dalam ketidakhadiran hak privacy di rumah-rumah kelas menengah.
Ketiga, kita mengetahui bahwa struktur sosial seringkali memaksa orang untuk
mengambil jalan berlainan yang disebabkan oleh perbedaan kelas, ras, atau gender.
Wanita muda yang hamil di kota menemukan dirinya tidak mampu untuk melakukan
aborsi, bukan karena tidak terjangkau, saat pasangan kaya memiliki kemudahan untuk
melakukan aborsi. Orang kelas menengah dengan permasalahan minuman keras dan
obat-obatan lebih mudah diterima ke dalam fasilitas orang bermasalah, program
lainnya, dan memiliki asuransi kesehatan. Lagi pula, kompleksitas lainnya
definisional. Apakah orang miskin atau orang kaya, Afrika-Amerika, orang kulit
putih, tua-muda, selalu mengartikan hal yang sama dengan ketika mereka memiliki
permasalahan, seperti minum alkohol berlebihan. Stanton Peele, seorang kritikus
kecanduan (adiktif), mencatat bahwa orang-orang kelas menengah telah dibombardir
dengan pengumuman pelayanan sosial dan “peringatan atas bahaya bahwa
alkoholisme akan muncul pada banyak orang tanpa mereka sadari” di mana seringkali
apa yang orang kelas menengah sebut teradiksi (kecanduan) dengan “jenis baru Betty
Ford, yang ditandai oleh sebuah rasa tidak enak badan (general dull malaise),” yaitu
perasaan di saat seseorang meminum alkohol secara berlebihan” atau “seperti Kitty
Dukakis, (di mana mereka) mengandalkan resep obat untuk hidup yang lebih baik”
(Peele, 1989:2, 123). Lebih luas lagi, berdasarkan permaslaahan yang telah
didiskusikan sebelumnya, asosiasi yang sekali lagi perilakunya terstigma dengan
kaum miskin bisa jadi terbalik ke orang-orang kelas menengah atau kelas yang lebih
mapan, melalui kelompok recovery dan pergerakan lainnya, datang untuk melihat diri
mereka sebagai korban penyakit atau sindrom khusus. Permasalahan ilmuwan sosial
adalah apakah keterulangan permasalahan pribadi pada masyarakat kelas menengah
harus selalu diterima sebagai nilai permukaan.
Berdasar seluruh kondisi tersebut, ini membuat sedikit pengertian yang secara lengkap
meninggalkan semua bukti empiris tentang kelaziman permasalahan sosial. Pertama,
beberapa permasalahan sosial yang utama adalah sulit untuk dihilangkan atau
disamarkan. Pembunuhan atau penodaan jarang diperhatikan oleh polisi, petugas
kesehatan, dan agen sosial lainnya.
Kedua, pokok koleksi data dapat dipertimbangkan berdasar pada pelaporan pribadi.
Meskipun secara sempurna susah, data jenis ini menyediakan hasil yang dapat dipercaya
(reliable).
Sehingga meskipun perlu untuk peringatan, penggunaan data sebagai pelaporan
pribadi (self-report) dalam hal pelaporan petugas (official reports), etnografis,
longitudinal, dan data observasi partisipan, mengenai data kuantitatif, dan data lintas
nasional (cross-national) sebaik data Amerika, menyarankan bahwa perilaku di mana
subjek klaim universalist dapat diuji dan disarankan untuk dijadikan gambaran
demografis yang secara fair stabil dan dapat diprediksi.
EVALUASI PERSPEKSTIF KRITIS
Marshall B. Clinard dan Robert F. Meier
Perspektif kritis menganggap penyimpangan sebagai konflik, umumnya sebagai
peraturan rasional terhadap kontradiksi kapitalis sosialis dan sistem ekonomi. Clinard dan
Meier menandai kekuatan perspektif yang memfokuskan perhatian pada bagaimana politik,
ekonomi, dan struktur sosial membentuk definisi kejahatan dan penyimpangan secara legal.
Mereka mengklaim bahwa penjelasan skema lebih banyak mengatakan tentang bagaimana
sebuah kelompok membuat peraturan dan memperkuatnya daripada tentang bagaimana seorang
individu melanggar peraturan tersebut. Dengan sama, kebalikan hubungan antara kekuatan dan
hukuman “mereka yang melakukan kejahatan konvensional (umumnya warga negara kelas
rendah) lebih suka untuk ditangkap, dijadikan narapidana, dan dipenjarakan lebih lama
dibanding mereka yang melakukan kejahatan kerah putih dan kejahatan perusahaan” sebagai
tambahan validitas perspektif kritis. Mereka mengatakan kelemahan ini berkaitan dengan fakta,
yaitu;
1. terdapat lebih banyak sumber-sumber konflik dibanding politik atau ekonomi,
2. hukum menguntungkan semua kelas (tidak hanya berlaku untuk kelas yang kuat) dan
bukan penyebab kriminal atau perilaku menyimpang,
3. sedikit studi empiris mendukung klaim perspektif kritis, dan
4. perspektif lebih terkesan sebagai ideologi dibanding teori.
BUKTI EMPIRIS
Sedikitnya studi riset yang didesain dan dioperasikan dengan baik telah membuat
perspektif konflik. Kenyataannya, hal itu hanya didesain untuk menunjang ideologi
perspektif ini yang terkadang mengabaikan bukti negatif. Terdapat tiga contoh.
1. Pertama, banyak bukti diambil dari sebuah analisis kapitalis masyarakat AS
secara keseluruhan, dengan sedikit pengakuan variasi yang dinyatakan atau
perbedaan antara negara AS dan beberapa negara Eropa.
2. Kedua, saat kebenaran di mana hukum kejahatan konvensional diarahkan secara
umum pada perilaku kelas bawah, ini tidak berarti bahwa agen kontrol sosial
selalu refresif, contohnya; polisi (mereka juga menghentikan pertikaian keluarga)
atau perusahaan besar yang tidak memberi sangsi untuk pelanggaran. Hukuman
dijatuhkan pemerintah kepada bisnis yang tidak menjalankan bisnisnya secara
tidak seimbang yang memojokkan kriminal kelas rendah. Tetapi ini juga harus
disadari bahwa setiap perusahaan besar di negara AS merupakan subjek yang
mengontrol negara.
3. Ketiga, variasi dalam vonis terhadap pelanggar konvensional seringkali
menyandarkan pada faktor yang lainnya dibanding bias kelas dan kekuatan politik
kelompok elit.
ALIRAN KONSTRUKSIONISME SOSIAL
Pergolakan tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, setelah perang Vietnam berakhir.
Kalangan Akademik kembali ke dunia “Bisnis Sebagai Kebiasaan” sebagai solusi pemecahan
masalah sosial, gagasan ahli konstruksionisme menjadi bagian dari perubahan ini. Gerakan
ini meradIKal dalam sosiologi, terutama terhadap permasalahan (praktek-praktek) sosial.
KARAKTERISTIK-KARAKTERISTIK PERSPEKTIF
KONSTRUKSIONISME
Spector dan Kitsuse mengungkapkan bahwa problem-problem sosial adalah apa
yang sedang mereka pikirkan. Kondisi objektif yang mungkin atau tidak mungkin
terjadi, itu juga merupakan landasan dasar konsep problematika sosial. Mengadopsi
dari subjektivisme radikal, mereka terpokus perhatian pada proses penentuan
problem. Hasil dari interaksi antara yang komplek dan yang merespon yaitu :
Definisi
: Problem sosial adalah kondisi-kondisi yang menjadi ketetapan budaya
seperti hal-hal yang menyusahkan, tersebar luas, perubahan dan
sesuatu yang diperlukan dalam proses perubahan.
Penyebab
: Aktivitas-aktivitas masyarakat yang menyebabkan timbulnya
problem.
Kondisi
: Proses interaksi antara pengadu dan perespon untuk sebuah perbaikan.
Konsekuensi : Akibat-akibat yang terjadi dari sebuah perbuatan. Hanya penelitian
empiris yang dapat menawarkan jawaban-jawaban sementara untuk
pertanyaan dari konsekuensi.
Solusi
: Upaya tertentu untuk memberikan keterangan terhadap problema
sosial dengan melalui riset dalam proses kehidupan.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Di tahun 1960-an muncul istilah pelabelan perspektif. Pandangan tersebut
muncul dari penyimpangan yang masyarakat kemukakan. Hal ini secara cepat
dijadikan sebagai stimulasi penelitian, tulisan dan kritik. Pada pertengahan tahun
1978, sejumlah risecer aliran objecturisme mempertanyakan apa yang mereka lihat
sebagai dalil dasar dari perspektif baik yang menopang atau mengembangkan
perilaku menyimpang.
Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, nampak kemunculan suatu keradikalan
dari pelabelan perspektif konstruksionisme sosial, sebagai suatu pendekatan studi
problem-problem sosial.
Pada tahun 1980, pemikiran konstruksionisme berkembang dengan
mengembangkan sekolah-sekolah yang menjadi sentral seluruh penelitian mereka
mengenai problem-problem sosial sekaligus pencarian solusinya.
DEFINISI PROBLEM-PROBLEM SOSIAL
John I. Kitsuse and Malcolm Spector
Dalam kutipan ini, Kitsuse dan Spector mengungkapkan bahwa sosial problem
adalah proses yang didalamnya ditemukan situasi tertentu sebagai problem sosial
yang menjadi pokus para ahli sosiologi. Masyarakat keberatan dengan definisi
mengenai sosial problem tentang moral interest, moral wrong, karena tidak sesuai
dengan fakta yang sebenarnya.
Fuller dan Myers menggunakan istilah value (nilai) membingungkan yaitu
value pertimbangan (keputusan) dan value konflik. Mereka menggunakan konsep
nilai (value) itu diantaranya :

Nilai-nilai pertimbangan (judgement), mengajak masyarakat untuk melaporkan
kondisi yang tidak diinginkan oleh mereka dan ditentukan sebagai sosial problem,
dengan kata lain bahwa nilai-nilai merupakan kunci utama yang menentukan sosial
problem.

Value judgement tidak hanya menolong mengembangkan kondisi, tetapi juga mencari
solusinya.
SOSIAL PROBLEMS SEBAGAI PROSES
Kita tahu bahwa arah dari “subjective element” sosia problems adalah proses
yang dilakukan oleh anggota-anggota suatu kelompok atau masyarakat tertulis yang
menimbulkan permasalahan sosial yang merupakan kajian sosiologi mengenai
problem sosial. Dengan kata lain, bahwa sosial problem merupakan aktivitas-aktivitas
anggota kelompok yang melakukan tuntutan-tuntutan berupa keluhan dan klaim
secara respek sehingga menimbulkan kondisi yang tidak kondusif.
Kondisi sosial problem itu akan senantiasa berubah dan berkembang sesuai
dengan proses perkembangan masyarakat itu sendiri, dengan kata lain problem sosial
itu sebagai proses.
Macam-macam interest atau minat dan kelompok sebagai sosial problem antara
lain :
1. Nilai kelompok yang berkembang menjadi kondisi penyebab sosial problem
diantaranya adanya kecemburuan terhadap posisi di antara mereka.
2. Terjadi debat tertulis antar kelompok yang menimbulkan tuntutan-tuntutan satu sama
lain.
3. Adanya protes-protes dari masyarakat terhadap nilai-nilai yang berkembang yang
sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
4. Terdapat kepentingan orang-orang yang kuat yang melakukan interpensi atau
penekanan terhadap orang-orang yang lemah.
Itulah beberapa hal yang mengakibatkan timbulnya konflik dan pada akhirnya
solusinya dengan melalui pendekatan-pendekatan yang relevan yang disesuaikan
dengan proses perkembangan masyarakat.
KESIMPULAN
Sosial Problem adalah proses yang didalamnya ditemukan situasi-situasi
tertentu sebagai problem sosial yang dilakukan oleh anggota-anggota suatu kelompok
atau masyarakat, atau merupakan aktivitas-aktivitas anggota kelompok yang
melakukan tuntutan-tuntutan berupa keluhan dan klaim secara respek, sehingga
menimbulkan kondisi yang tidak kondusif.
Sosial problem senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan proses
perkembangan masyarakat itu atau dengan kata lain problem sosial itu sebagai proses.
BAGAIMANA SECARA SUKSES
MENGONSEPKAN MASALAH SOSIAL
Donileen R.Loseke
Masyarakat kontemporer memunculkan banyak kondisi yang dapat kita klaim
sebagai masalah-masalah sosial. Tetapi dari banyak kondisi yang berkompetisi untuk
status masalah sosial, mengapa hanya beberapa yang mencapai status tersebut?
Sementara penelitian sistematis telah membuat perbedaan antara klaim yang berhasil
dan tidak berhasil, Loseke, setelah mempelajari literatur yang relevan, telah
menyarankan resepnya mengenai bagaimana secara efektif mengonsepkan masalah
sosial. Elemen utamanya memfokuskan pada bentuk dan isi klaim-klaim yang
meningkatkan kemungkinan diterimanya sebagai masalah sosial. Loseke berhubungan
dengan elemen-elemen tersebut seperti bagaimana kompleknya klaim-klaim itu
seharusnya, apa yang harus ditekannya, bagaimana luasnya seharusnya, dan apa jenis
cerita yang harus ada didalamnya. Jika klaim-klaim memunculkan cukup rasa takut dan
kemarahan moral, audiens kemungkinan menyerukan agar “sesuatu dilakukan
untuknya.”
RINGKASAN CARA SUKSES MENGONSEPKAN MASALAH SOSIAL
Masyarakat kontenporer memunculkan banyak kondisi yang dapat kita klaim sebagai
masalah-masalah sosial. Donileen R.Loseke telah menyarankan resepnya mengenai
bagaimana secara efektif mengonsepkan masalah sosial.
Menurutnya berhubungan
dengan elemen-elemen tersebut seperti bagaimana kompleknya klaim-klaim itu
seharusnya, apa yang harus ditekanya, bagaimana luasnya seharusnya, dan apa jenis
cerita yang harus ada di dalamnya.
1. Mengonsepkan Kerangka yang Populer
Setiap
masalah sosial harus dikonsepkan sebagai jenis masalah tertentu dengan
jenis penyebab tertentu. Ada dua strategi untuk mengonsep kerangka tersebut
yang berhubungan dengan keberhasilan.
a) Pertama adalah strategi mengonsep perbedaan dalam kesamaan. Mengonsepkan
perbedaan penting karena terdapat premi pada hal baru dalam permainan masalah
sosial. Perhatian audiens yang baru dan berbeda karena orang-orang Amerika
cendrung menjadi bosan dengan masalah-masalah sosial tertentu. Istilah disini
adalah kejenuhan
dimana audien menjadi jenuh dengan klaim-klaim, ketika
klaim menjadi membosankan, audien berhenti mendengarkan.
Tetapi ketika
membuat sesuatu yang berbeda adalah penting, tampaknya juga perbedaan ini
adalah yang terbaik ketika tidak secara total baru. Sebagai contoh; Teknologi
kedokteran, seperti pengkloningan manusia, percobaan bayi tabung. Secara
keseluruhan, klaim-klaim baru dapat menjadi berhasil jika audiens tidak memiliki
kategori untuk memahaminya. Pembuatan klaim-klaim yang berhasil oleh karena
itu merubah klaim lama dan cara-cara baru. Dalam dua cara, klaim-klaim dapat
membuat perbedaan dalam kesamaan.
Stategi pertama adalah piggybacking. Piggybacking dilakukan ketika masalah
baru dibuat sebagai contoh yang berbeda deari masalah yang telah ada. Sebagai
contoh, secara histories, gerakan hak-hak sipil untuk memperoleh hak-hak yang
setara bagi penduduk Amerika-Afrika adalah gerakan kesetaraan pertama setelah
PD II di AS. Kesetaraan adalah suatu kata dalam konstitusiAS, namun
masyarakat Amerika secara umum tidak cendrung berpikir mengenai moralitas
penting dalam kehidupan sehari-hari.
b) Strategi kedua yaitu perluasan domain, dalam perluasan domain, isi dari kategori
dimasukkan lebih banyak lebih banyak dibandingkan konsep-konsep sebelumnya.
Sebagai contoh” perbudakan” dimulai ketika kategori sangat sempit digunakan
untuk kondisi dimana orang-orang secara fisik dilarang untuk meninggalkan
kondisi. Tetapi klaim-klaim baru ini telah meluaskan kategori ini.
2. Mengonsepkan Kondisi Yang Sangat Umum.
Permaian masalah sosial menggunakan hukum jumlah-jumlah angka besar,
semakin besar jumlah korban yang diciptakan oleh suatu kondisi, maka semakin
besar kemungkinan audiens ingin mengevaluasi suatu kondisi sebagi masalah
sosial.Sebagai contoh;
- Penyalah gunaan obat-obatan,orang yang menyalahgunakan obat-obatan
dianggap sebagai korban
kemiskinan atau rasisme menurut beberapa klaim.
Tetapi menurut audiens menganggap orang-orang yang menyalahgunakan obatobatan adalah sebagai penjahat.
- Korban perkosaan , semua hubungan heteroseksual adalah perkosaan.
- Masalah nutrisi, selama beberapa tahun yang lalu audien-audien di AS telah
diberi tahu untuk tidak makan lemak, mengenai kolesterol dan makanan Cina dan
juga efek popcorn. Dalam batasan ini, strategi menekankan pentingnya ukuran
kondisi dan jumlah korban karena mendorong anggota-anggota audiens untuk
mengevaluasi apakah suatu kondisi cukup untuk disebut sebagai masalah sosial.
Strategi menekankan ukuran ini juga penting karena dapat membantu
menyakinkan audiens bahwa masalah sosial dekat denganya. Sementara moralitas
kemanusiaan menganggap pentingnya membantu orang–orang karena ini
merupakan hal moral yang dilakukan, karakteristik audiens-audiens Amerika
secara tidak lansung mempengaruhi kita.
- Mengonsepkan korban-korban kelas menengah dan orang-orang jahat, juga
merupakan jenis hal baru yang memunculkan ketertarikan audiens. Korbankorban dan orang jahat dan yang tak terduga lebih tertarik disbanding yang kita
duga sebelumnya.Seperti O.J.Simpson adalah seorang jahat yang sangat baik.
Siapa yang menyangka seorang yang kaya dan memiliki kekuasaan menjadi
seorang yang melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya. Begitu juga,
JonBenetRamsey, seorang anak yang terbunuh yang secara umum dianggap
sebagai ratu kecantikan berumur enam tahun, telah mempesona masyarakat
selama hampir dua tahun. Dia adalah anak yang cantik, orang tuanya kaya.
Ceritanya membuat suatu klaim yang efektif karena dia adalah korban yang tak
terduga. Komentar-komentar seperti itu kita tidak pernah menduga hal itu dapat
terjadi disini, menekankan bagaimana kondisi mempengaruhi seseorang. Semua
anggota audiens, terutama mereka dalam kelas menengah yang kuat secara sosial
dan ekonomi, dianggap memiliki pancang dalam hasil permainan masalah sosial.
3. Mengonsepkan Konsekuensi Yang Menakutkan.
Masalah sosial bukan semata-mata ‘ ‘masalah, masalah sosial sering kali
dikonsepkan dalam bahasa yang sangat kuat adalah suatu “krisi’ suatu ‘epidemik’,
suatu bencana.Klaim-klaim membuat konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan
untuk masalah-masalah sosial. Klaim-kl;aim tentang ‘mengemudi sembari mabuk’
contohnya,menekankan pada konsekoensi yang paling ekstrim, ketika pengemudi
tersebut dapat membunuh orang lain. Ini merupakan strategiefektif dalam
permainan masalah sosial, yaitu menyakinkan anggota-anggota audiens bahwa
suatu kondisi secara moral menyusahkan, menekankan titik ektsrim kondisi yang
menun tun pada konsekuensi yang paling ekstrim. Kita semua mengetahui
,berdasarkan kekomplekkan kehidupan sosial, konsekuensi-konsekuensi objektif
dari kondisi masalah sosial tertentu akan berkisar dari’tidak menyenangkan’ hingga
‘sangat buruk’ hingga ‘menakutkan’. Sebagai contoh mengenai kondisi ‘anak yang
hilang’ seringkali adeganya menakutkan’ dari seorang anak yang secara brutal
dibunuh oleh orang asing. Aturan umumnya adalah semakin menderita korban,
maka semakin efektif suatu klaim itu.
4. Mempersonalisasikan Kondisi Dan Orang-Orang.
Strategi pengonsepan klaim yang penting adalah mempersonalisasikan masalah.
Sementara para audiens masyarakat Amerika secara umum ingin mengetahui
berapa
banyak
orang-orang
dipengaruhi
oleh
kondisi
masalah
sosial.
Mempersonalisasikan cerita adalah rute untuk menyelamatkan audiens. Cerita
adalah cara untuk mendorong audiens merasakan simpati terhadap korban, untuk
merasakan kemarahan moral terhadap orang yang berbuat jahat. Strategi
mempersonalisasikan kondisi-kondisi masalah sosial
juga bekerja dengan baik
ketika menggunakan cerita-cerita selebritis yang dikenal dengan baik. Cerita-cerita
selebritis dapat juga berfungsi untuk menekankan bagaimana seseorang dapat
menjadi korban kondisi masalah sosial. Sebagai contoh, Rock Husson, Magic
Jhonson, dan Greg Louganis telah menjadi contoh efektif untuk membuat klaim
tentang masalah sosial yaitu AIDS. Kematian bintang bola basket Len Bias pada
tahun 1986 karena overdosis kokain. Audiens umum untuk klaim masalah-masalah
sosial cenderung tidak menilai klaim semata-mata pada dasar logika bukti ilmiah,
kita menilainya berdasarkan apa yang kita rasakan.
5. Mengonsepkan penyederhanaan.
Strategi pembuatan klaim yang efektif adalah untuk melupakan tentang
kekomplekan kehidupan nyata dan membuat kondisi-kondisi masalah sosial dan
orang-orang di dalamnya mudah untuk dipahami. Salah satu cara yang dapat
ddilakukan adalah dengan membuat imej-imej kondisi untuk hanya memiliki
konsekuensi-konsekuensi yang mengejutkan. Sebagai contoh;
-
Masalah sekolah yang buruk / yang tidak teratur.
-
Masalah kondisi orang tua yang masih remaja.
-
Masalah kekerasan suami terhadap istri.
Secara pasti klaim-klaim yang efektif adalah klaim-klaim yang hanya
mengonsepkan karakteristik kondisi yang menuntun pada imej-imej kondisi
sebagai
masalah
mengonsepnya
menekankan
sosial,
sebagai
kemurnian
hanya
korban.
korban.
memiliki
karakteristik
Penyerderhanaan
Bahwa
banyak
juga
korban
dibuat
audiens
yang
dengan
tidak
akan
mengevaluasi seseorang sebagai korban kecuali jika mereka yakin orang
tersebut tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialaminya., seperti
masalah AIDS. Kategori-kategori orang-orang tersebut secara jelas tidak
bertanggung jawab akan kerugian ini. Maka kita memiliki klaim untuk
menganggap tidak hanya”ketidaktanggung jawaban” tetapi juga untuk
mengganggap apa yang sering kali tampak menjadi kemurnian mutlak korban.
6. Strategi-Strategi Dalam Mengonsepkan Seseorang Yang Jahat
Ketika mengonsep moralitas dan kemurnian hampir selalu merupakan strategi
efektif dalam mengonsep korban, situasi menjadi lebih komplek ketika beralih pada
strategi untuk mengonsep orang-orang yang jahat. Ada 3 yaitu;
a). Strategi seorang pembunuh, klaim-klaim menganggab seorang pembunuh sebagai
seorang dibawah tekanan tertentu, ketika criminal-kriminal sebagai pasien-pasien
mental sebagai orang-orang yang tidak pernah benar-benar memiliki kesempatan
dalam kehidupan. Strategi ini efektif ketika secara emosional melekat pada
audiens. Ini memungkinkan kita untuk membenci dosa dan mencintai orang yang
berbuat dosa.
b) Kalim dapat menolak untuk menganggab orang jahat sebagai jenis orang tertentu.
Maka bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang itu seorang “pelaku kekerasan
pada anak?” Kita tidak mengetahuinya: Siapa saja dapat menjadi jenis orang ini.
Strategi ini dapat menjadi efektif karena tidak bersifat mengrakteristikan.
Karena tidak mengarekteristikan, maka tidak memiliki resiko mendorong audiens
untuk berpikir tentang kekomplekan orang-orang nyata, yang mungkin menuntun
pada klaim-klaim yang menantang pengklarifikasikan.
c) Orang jahat sesungguhnya yang layak disalahkan dapat dikonsepkan, dalam hal
ini strategi pertama-tama dalah mengonsep kerugian yang tidak dapat dipikirkan
yang dilakukan terhadap korban. Seseorang yang jahat harus begitu ekstrim
dikonsep. Tidak ada yang baik mengenai orang-orang ini, pengonsepan tidak
harus memiliki apapun tetapi apa yang secara masuk akal dapat didefenisikan
sebagai kejahatan murni. Ini akan menjadi suatu imej dari kondisi yang sangat
umum dengan konsekoensi-konsekoensi
yang sangat menakutkan yang
mempengaruhi penduduk Amerika kelas menengah. Hal ini akan mencerminkan
pemahaman rakyat Amerika yang tipikal akan melekat secara emosional audiens
akan didorong untuk merasakan iba terhadap korban sementara mereka didorong
untuk menyalahkan orang-orang jahat yang murni benar-benar jahat
7. Mengonsepkan jenis-jenis masalah dan orang-orang untuk presentasi media massa.
Katika jaringan televisi merupakan satu-satunya dari banyak bentuk media
massa, televisi terutama penting untuk dua alas an:
a) Televisi memiliki kekuatan untuk mencapai hampir semua penduduk Amerika,
sehingga menawarkan audiens terbesar untuk klaim masalah-masalah sosial.
Strategi untuk mendapat cakupan media adalah dengan membuat klaim-klaim
ketika dunia menawarkan contoh kehidupan nyata dari kondisi. Mengklaim pada
waktu yang tepat merupakan strategi yang efektif untuk memperoleh ketertarikan
audiens secara umum, perhatian media secara khusus.
b) Bahwa kebanyakan media adalah mengenai hiburan. Tayangan-tayangan
televise, termasuk berita-berita malam dan beragam acara yang bersipat
menghibur, jika tidak maka pemirsa akan mematikan televisi. Bertanyalah pada
diri anda sendiri, apa yang mendorong anda untuk menonton televise dari pada
membaca, atau berjalan-jalan? Jawabannya, dapat membawa kita kembali pada
strategi-strategi untuk mengonsep jenis-jenis kondisi orang-orang dari media
massa.
KEJAHATAN DAN INDUSTRI KORBAN
Joel Best
Pada tahun 1941, Fuller mengatakan “dengan demikian, setiap masalah sosial terdiri
dari kondisi obyektif dan definisi subyektif.” Kemudian ia pun mengatakan bahwa “…masalah
sosial adalah sesuatu yang orang anggap sebagai masalah sosial [pusat perhatian kita]”
(American Sociology Review, 6 [Juni 1941]: 320-28). Pada tahun 1973, dalam penyelesaian
kasus pertama dengan menggunakan pendekatan kaum konstruksionis dalam kajian masalah
sosial, Spector dan Kitsuse mendefinisikan masalah sosial sebagai proses sosial dimana
kelompok-kelompok menyatakan tuntutan mengenai “dugaan” tentang kondisi di dalamnya
(Social Problem, 20 [Spring 1973]: 145-59). Menurut mereka, seharusnya satu-satunya fokus
dalam kajian sosiologis adalah proses pernyataan tuntutan. Dalam kritiknya pada tahun 1989,
Joel Best menyebut sudut pandang Spector dan Kitsuse sebagai “konstruksionisme sempit”
karena kurangnya perhatian pada kondisi obyektif. Best menyebut posisi dirinya dan banyak
kaum konstruksionis lainnya sebagai “konstruksionisme kontekstual” yang berpendapat bahwa
dalam setiap teori masalah sosial, sifat saling mempengaruhi antara definisi subyektif dengan
kondisi obyektif perlu dipertimbangkan. Tulisannya mengenai “industri korban” menguraikan
pernyataannya tentang kondisi obyektif yang mempengaruhi perkembangan tuntutan. Ia
menunjukkan bagaimana pergerakan hak sipil menyebabkan munculnya gerakan kejahatan, dan
bagaimana sekumpulan kelompok, organisasi, dan individu akhirnya menemukan, mengambil,
dan memanfaatkan kejahatan.
BUDAYA DAN KASUS PENGANIAYAAN
SEKSUAL PADA ANAK
Katherine Beckett
Beckett
mempelajari
tahap-tahap
perkembangan
media
sehubungan
dengan
penganiayaan seksual pada anak. Ia menganalisa artikel-artikel yang dimuat di surat kabar
mengenai penganiayaan seksual pada anak yang telah muncul lebih dari tiga periode lima tahun
yang berbeda. Ia mengemukakan bahwa kelompok- kelompok yang berbeda muncul sebagai
pihak penuntut pada tiap periode dan juga memiliki tema yang berbeda tentang siapa yang
menjadi “korban” dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Ia
menemukan bahwa pelaku dalam”industri penganiayaan anak” merupkan penuntut dominan
pada periode lima tahun pertama, yang menggambarkan anak- anak sebagai korban dan
menyatakan keinginan untuk mengakhiri adanya penyangkalan terhadap masalah ini di
masyarakat. Dalam periode lima tahun kedua, para ahli dan golongan akademis menjadi
penuntut utama serta lebih sering menyerang pimpinan konstruksi dari pihak- pihak yang
bersalah- menuduh bahwa si korbanlah pihak yang sesungguhnya bersalah (dikarenakan ajaran
saudara- saudara mereka yang lebih tua dan tuduhan- tuduhan keliru). Pada periode lima tahun
ketiga, penuntut dominannya adalah para korban dewasa yang bertahan serta para selebriti
yang mengungkapkan pengalaman pahitnya di masa kecil dan mendorong orang- orang untuk
berani mengeluarkan pendapat. Beckett juga menjelaskan hal apa yang menyebabkan beberapa
penuntut lebih berhasil dalam mempromosikan masalahnya dibandingkan yang lain.
Rangkuman
Hasil dari analisa ini menyatakan bahwa kerangka pemberitaan media mengenai
kasus penganiayaan seksual anak telah berubah drastis selama lebih dari 15 tahun yang
lalu. Sementara Penyangkalan Kolektif mendominasi pemberitaan awal mengenai topik
ini, Tuduhan- tuduhan keliru yang lebih baru lagi yaitu munculnya memori- memori yang
keliru, telah menjadi cara dominan untuk menginterpretasikan tuntutan- tuntutan
mengenai kasus penganiayaan. Paket- paket permasalahan ini kita mengalihkan perhatian
dari soal Penyangkalan Kolektif dan Korban Penganiayaan yang Angkat Bicara.
Bagaimana cara untuk menjelaskan kemunculan hilangnya beragam paket permasalahan?
Menurut Gamson (1988) ada tiga faktor utama yang dapat menjelaskan pergantian fokus
perbincangan mengenai penganiayaan seksual anak adalah sebagai berikut. Faktor- faktor
ini melibatkan aktivitas dari paket penuntut maupun pendukung dari paket yang
berlainan, praktisi media dan resonansi kultural. Lebih lanjut lagi, juga melibatkan
analisa terhadap kapasitas dari aktor sosial untuk menciptakan dan mengungkapkan paket
permasalahan yang baru.
KONSTRUKSIONISME DALAM KONTEKS
Joel Best
Best menguji kritik konstruksionisme, tipe para konstruksionis, dan penggunaan praktis
sebaik teoretis di mana konstruksionisme diposisikan. Kritikus yang berseberangan paham
mengatakan bahwa tidak ada manfaatnya mengabaikan “kondisi-kondisi objektif” yang
mendasari inti permasalahan sosial [social problems] dan bahwa para konstruksionis
mengabaikan penyebab kejahatan dan penderitaan permasalahan sosial.
Kritikus simpatik
memberikan jawaban bahwa selama bertahun-tahun studi objektif aspek permasalahan telah
mengurangi penderitaan dan menghasilkan sebuah teori sosiologis permasalahan sosial yang
asli; lagipula, jika seseorang tidak menunjukkan kejahatan, situasi tak tergambarkan atau
permasalahan sosial akan muncul.
Meski demikian para kritikus simpatik yang lain membantah bahwa para konstruksionis
lainnya membuat asumsi kondisi objektif, lebih buruk lagi, mempercayai mereka mengetahui
ketika kondisi-kondisi objektif telah berubah atau tidak. Jika demikian, para kritikus simpatik
tidak mampu memenuhi desakan konstruksionis, di mana mereka memerlukan informasi atas
keyakinan orang-orang yang terlibat dalam proses permasalahan sosial dibanding keyakinan
para sosiolog.
Sebagai
hasilnya,
dua
pemikiran
telah
memunculkan
pengembangan
tradisi
konstruksionis: menegaskan para konstruksionis sosial yaitu mereka yang hanya belajar proses
pembuatan klaim [claims making process] dan menegaskan para konstruksionis kontekstual yaitu
mereka yang mempertimbangkan apa yang diketahui dengan kondisi objektif.
Orang bijak
mengatakan siapa yang ingin memecahkan permasalahan akan bekerja dengan baik untuk
mempelajari kesuksesan pembuatan klaim [claims-making] yang lainnya.
Pendekatan konstruksionis mempelajari permasalahan sosial yang muncul dari
ketidakpuasan sosiolog yang dominan, pendirian objectivist.
Para konstruksionis
berargumentasi bahwa pendefinisian permasalahan sosial dalam batasan kondisi objektif
di masyarakat mempunyai dua kekurangan: mengabaikan fakta pengidentifikasian
kondisi sosial sebagai permasalahan sosial yang memerlukan pertimbangan subjektif;
dan, dengan kondisi labelisasi permasalahan sosial, objektifisme tidak bisa dijadikan
sebagai pondasi teori permasalahan sosial.
Kebalikannya,
para
konstruksionis
menggambarkan
permasalahan
sosial
berkaitan dengan pembuatan klaim; mereka memusatkan pada pertimbangan subjektif,
mengklaim bahwa X sebagai masalah sosial di mana para objectivist melalaikannya. Dan
seperti yang diungkapkan dalam bab buku ini, pendekatan konstruksionis menawarkan
basis pengembangan teori baru tentang klaim, pembuat klaim, koneksi antar kampanye
pembuatan klaim, dan kebijakan sosial.
KRITIKUS KONSTRUKSIONISME: MENYERANG DARI LUAR
Konstruksionisme menawarkan perubahan dramatis dari pendekatan objectivist
yang tradisional hingga pembelajaran permasalahan sosial. Bahkan istilah “permasalahan
sosial” mempunyai maksud berbeda ketika digunakan para konstruksionis.
Saat
perspektif konstruksionis diilhami pokok penelitian [body of research] yang besar,
selanjutnya hal ini dikritik oleh para sosiolog yang menetapkan tradisi objectivist.
Kebanyakan kritik objectivist terhadap konstruksionisme dapat dirangkum dalam empat
argumentasi umum.
1. Konstruksionisme dan Objektivisme adalah Komplementer (Saling Melengkapi).
Beberapa sosiolog yang menetapkan perspektif objectivist menyangkal bahwa
konstruksionisme merepresentasikan sebuah pendekatan yang berbeda.
Mereka
membantah bahwa objektifisme dan konstruksionisme merupakan “dua sisi koin yang
sama,” dimana dua perspektif teori dapat dengan mudah direkonsiliasi. Paling sering,
usaha untuk memperkecil perbedaan antara objektifisme dan konstruksionisme hanya lips
service saja. Sebagai contoh, banyak definisi buku ajar tentang permasalahan sosial yang
menyebutkan peran pertimbangan subjektif dalam pengidentifikasian permasalahan,
tetapi isu konstruksionis tidak memberi perhatian lebih lanjut di dalam buku ini.
Beberapa kesalahpahaman sifat alami konstruksionisme, yang melibatkan lebih dari
pengakuan di mana definisi permasalahan sosial merupakan subjektif. Berkaitan dengan
pendefinisian permasalahan sosial tentang pembuatan klaim, para konstruksionis meneliti
pengalamatan satu set pertanyaan berbeda tentang sifat alami klaim, mereka yang
membuat klaim, dan seterusnya. Kemudian, pendekatan objectivist ke ketunawismaan
memusatkan pada pengukuran populasi tuna wisma, belajar mengapa sebagian orang
menjadi tuna wisma, atau menyelidiki ketunawismaan sebagai sebuah kondisi sosial.
Saat seorang analis konstruksionis menanyakan siapa yang membawa klaim
ketunawismaan hingga menjadi perhatian publik, bagaimana klaim itu melambangkan
tunawisma, bagaimana publik dan para pembuat kebijakan menjawab klaim tersebut, dan
seterusnya.
2.Subjek Konstruksionisme Secara Relatif Tidak Penting.
Sosiolog objektivist lainnya mengakui bahwa konstruksionisme mempunyai
pendekatan yang unik - yang mereka sesalkan.
Mereka membantah bahwa para
konstruksionis memfokuskan pada pengabaian pembuatan klaim lebih jauh dibanding
pada subjek: kondisi sosial berbahaya yang menjadi masalah sosial yang “nyata.”
Kemudian, sebuah artikel mengkritik analisis konstruksionis dalam karya sosial yang
berjudul “Realitas ada. O.K?” [Speed 1991].
Konstruksionis menjawabnya dengan
meminta analis untuk kembali ke subjek tradisional menjadi dua hal:
1)
tidak ada salahnya mempelajari kondisi sosial tertentu, selama puluhan tahun riset
objektivist atas kondisi sosial telah gagal untuk meletakkan sebuah pondasi teori
umum permasalahan sosial; dan
2)
penting untuk diingat bahwa kita mengenali kondisi sosial ketika “benar-benar”
berbahaya hanya karena seseorang membuat klaim persuasif untuk efek itu. Lagi
pula, objektivisme dan konstruksionisme menanyakan pertanyaan berbeda; nilai
relatif dari dua set pertanyaan tergantung pada apa yang ingin kita ketahui.
3.Konstruksionisme Mempunyai Bias Moral atau Politis.
Banyak sosiolog membawa komitmen moral atau politis dalam pekerjaannya; seringkali
mereka memperhatikan isu sosial yang mengarahkannya ke studi sosiologi. Secara khas,
sosiolog mempunyai simpati-liberal kekirian, dan mereka menyukai perubahan sosial
yang egaliter [penganut paham persamaan]. Beberapa kritik -termasuk beberapa sosiolog
yang mengidentifikasi pendekatan konstruksionis mereka– khawatir konstruksionisme
menumbangkan tujuannya. Umumnya, kritik ini membantah orang-orang dengan
kekuasaan lebih sedikit mempunyai waktu lebih keras agar terdengar, konstruksionis
memusatkan pada pembuatan klaim berkenaan dengan suara, pembuatan klaim yang
visible akan menarik perhatian anggota masyarakat yang invisible – yang sukar berbicara,
teralienasi, atau tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan klaim.
4. Konstruksionisme Membuktikan Ketidakbenaran Belaka.
Konstruksionisme menggeser fokus analis dari kondisi-kondisi sosial ke klaim
anggota tentang kondisi-kondisi tersebut. Ini merupakan klaim, bukan kondisi atas isu;
kenyataannya beberapa konstruksionis secara hati-hati berbicara tentang “kondisi-kondisi
putatif [yang bereputasi baik]” yang boleh atau tidak boleh ada. Ini telah mengarahkan
beberapa kritikus untuk menyamakan konstruksionisme dengan bukti ketidakbenaran
sedemikian rupa sehingga mereka menanyakan apakah masalah sosial tertentu
merupakan sebuah kondisi sosial yang objektif, atau “hanya” sebuah konstruksi sosial.
Ini menyamakan konstruksi sosial dengan kesalahan, dan menggambarkan analisis
konstruksionis sebagai metoda pembongkar kesalahan atau distorsi klaim.
Sebagai
contoh, Forsyth dan Oliver [1990:285] menyatakan: “Pada dasarnya argumen
konstruksionis
tidak
memiliki
perubahan
signifikan
dalam
aktivitas
yang
dipermasalahkan, tetapi aktivitas yang tidak digambarkan sebelumnya - problematik,
digambarkan sebagai sebuah masalah.”
Beberapa konstruksionis strict menjawab pengenalan ini dengan pindah dari studi
kasus. Tulisan Petrus R. Ibarra dan Kitsuse mengusulkan tentang studi kasus yang secara
analitis menyusahkan:
Posisi kita adalah di mana proyek pengembangan sebuah teori wacana permasalahan
sosial
yang
merupakan
suatu
cara
yang
lebih
koheren
dibanding
dengan
konstruksionisme, sebagai contoh, pengembangan satu rangkaian teori diskrit atas
konstruksi sosial X, Y, dan Z. Untuk mengembangkan sebuah teori tentang kondisi X
saat status ontologis X ditangguhkan menghasilkan “manipulasi ontologis di mana dapat
disebut teori yang cacat. (Ibarra dan Kitsuse 1993:33, penekanan sesuai aslinya).
mereka berbicara tentang keinginan logis dari konstruksionisme strict. [Mereka
menyamakan pendekatan konstruksionis strict dengan apa yang mereka sebut
“kontekstualisme” -”bercerita tentang fenomena dalam konteks alami mereka” [Sarbin
dan Kitsuse 1994:7].]. Akan tetapi mereka mengakui:
Tidak satupun bab dalam volume ini merupakan sebuah contoh konstruksionisme
strict. Ini dapat dipertanyakan apakah para peneliti dapat menopang metoda apapun
yang akan menjadi konsisten dengan kebutuhan kontekstualisme strict.
penyelidik dan analis tidak dapat membantu
Para
tetapi memasukkan kepentingan
mereka, jika bukan agenda profesionalitas mereka, ke dalam interaksi-interaksi
melalui informan mereka [Sarbin dan Kitsuse 1994:14].5
KONSTRUKSIONISME KONTEKSTUAL
Selagi debat konstruksionisme strict mengambil perhatian beberapa ahli teori
permasalahan sosial, banyak pula sosiolog lainnya mencoba untuk menggunakan
perspektif konstruksionis untuk melakukan riset.
Tahun berikutnya Woolgar dan
Pawluch mengkritik manipulasi ontologis yang melihat banyaknya studi konstruksionis,
mencakup bagian dalam jurnal bergengsi Tinjauan Ulang Kemasyarakatan Amerika
[Block dan Burns1986], Jurnal Sosiologi Amerika [Gamson dan Modigliani 1989;
Hilgartner dan Bosk 1988], dan Tinjauan Ulang Ilmu Pengetahuan Politik Amerika
[A.Schneider dan Ingram 1993]. Kebanyakan
riset sederhana ini mengabaikan kritik
konstruksionis strict.
Tetapi mayoritas riset konstruksionis jatuh di sebuah tempat antara dua fenomena
konstruksionis strict yang ekstrem, dengannya mustahil para analisis menghindari semua
asumsi tentang kondisi sosial, dan bukti ketidakbenaran [debunking] konstruksionis
vulgar, yang menghilangkan penglihatan pembuatan klaim sebagai fokus analisis
permasalahan sosial. Konstruksionis bekerja menduduki landasan pertengahan ini -bab
di volume ini merupakan contohnya– yang disebut dengan konstruksionisme kontekstual.
TINJAUAN SOSIOLOGIS DARI
PERSPEKTIF-PERSPEKTIF
Tujuan dari buku ini telah menunjukkan cara-cara berbeda dimana para ahli sosiologi
[atau kemasyarakatan] Amerika telah memandang masalah-masalah sosial dari awal abad keduapuluh sampai sekarang. Dalam bab ini, kita akan meninjau secara singkat tema sentral dari
perspektif-perspektif, kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan relatifnya, dan bagaimana
mereka menggambarkan cara-cara yang berbeda dari memisahkan dwi mandat. (“Dwi mandat,”
ini akan diingatkan kembali, merujuk pada dwi sasaran sosiologi untuk pemecahan masalahmasalah sosial dan untuk memperkembangkan sosiologi sebagai sebuah disiplin.)
Social Pathology [Pathologi/Ilmu Penyakit Sosial]. Di tahun-tahun awal dari sosiologi
di Amerika, semangat optimistis memikat para pendirinya. Melakukan perluasan filsafat
sosial, mereka melihat tugas mereka sebagai demonstrasi dari bagaimana masyarakat
dapat berkembang untuk memenuhi skema dari hukum alam dan kemajuan. Para ahli
sosiologi ini menjadi para pembuat perubahan sosial, dan sebagaimana mereka
memfokuskan pada masalah-masalah sosial, pekerjaan mereka telah ditanamkan dengan
kemarahan moral. Mereka merumuskan kemarahan ini dalam istilah-istilah dari model
kedokteran, berkenaan dengan seperangkat masalah-masalah sosial sebagai perkerjaan
dari orang-orang yang “sakit” itu adalah, defective (tidak sempurna/cacad), delinquent
(jahat yang sifatnya delik), atau dependent (tidak mandiri). Pada waktu yang sama, para
ahli sosiologi permulaan ini, juga marah secara moral pada yang menduduki jabatanjabatan pimpinan dalam bisnis, industri, pemerintahan, menghubungkannya pada banyak
tindakan-tindakan mereka dengan sifat buruk, ketamakan, korupsi, dan kekuasaan.
Social Disorganization [Kekacauan Sosial]. Dalam tahap kedua dari sosiologi di
Amerika, pembaharuan mulai memberikan jalan pada sebuah konsepsi dari ahli sosiologi
sebagai seorang ahli ilmu pengetahuan membangun sebuah disiplin akademis baru. Para
ahli sosiologi dalam periode ini mengatur upaya-upaya mereka kearah merencanakan
konsep-konsep, mengembangkan teori-teori, dan menghasilan penelitian-penelitian
empiris daripada membuat moral, kefilsafatan, pernyataan yang mengupas secara kritis.
Tabel 1 Periode-periode Utama dari Perspektif-perspektif
Periode 1:
Menetapkan
dasar (1905
sampai
1918)
Pathologi
sosial
Periode 2:
Membentuk
kebijaksanaan ilmiah
(1918
sampai
1935)
Periode 3:
Mengintegrasikan
teori,
penelitian
dan applikasi
(1935
sampai
1954)
Periode 4:
Mengusahakan bidang
/keahlian
khusus
(1954
sampai
1970)
Periode 5:
Pemunculan
kembali teori
makro (1970
sampai
1985)
Kekacauan
sosial
Pertentangan
nilai
Tingkah laku Kekritisan
yang
menyimpang
Memberikan
nama
Periode 6:
Pengaruh
yang
menguasai
konstruksiisme social
(1985 sedang
berlangsung)
Konstruksiisme social
Value Conflict [Pertentangan Nilai]. Selama periode ketiga dari sosiologi di Amerika,
sangat banyak ahli sosilogi melanjutkan mengusulkan pembangunan teori sosiologi.
Meskipun demikian, kumpulan ahli sosiologi yang secara relatif kecil mulai mengusulkan
untuk mengikuti perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan bebas-nilai.
Malahan, mereka dianjurkan bekerja untuk kebaikan masyarakat. Sebagaimana kekritisan
kelompok ini diuji masalah-masalah sosial, banyak dari mereka merasakan bahwa
masalah-masalah seperti itu tak dapat dihindarkan karena orang-orang tidak dapat
menyetujui kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial. Dan biasanya alasan orang-orang tidak
setuju adalah bukan karena mereka tidak tahu peraturan, tetapi karena mereka memegang
nilai-nilai yang berbeda atau mengejar kepentingan mereka sendiri. Memperlihatkan
kerusuhan dari Depresi yang Besar dan Perang Dunia II, perspektif pertentangan nilai
membuat pengertian. Sebaliknya perspektif kekacauan sosial menganjurkan para ahli
sosiologi tetap menjauhkan diri dari perjuangan didalam masyarakat, posisi pertentangan
nilai menganjurkan mereka mempersatukan teori, penelitian dan aplikasi, dan menyertai
nilai-nilai dan berpihak pada persoalan-persoalan sosial.
Devian Behaviour [Tingkah laku yang menyimpang].
Sejak
permulaan periode
keempat dari sosiologi di Amerika, perspektif tingkah laku yang menyimpang terjadi.
Dibangun di atas perspektif kekacauan sosial, ini melanjutkan orentasi sosiologi sebagai,
pertama dan terutama, sebuah ilmu pengetahuan. Ini diasumsikan bahwa pekerjaan ahli
sosiologi adalah mengetes pengertian dari teori, daripada memecahkan masalah-masalah
masyarakat yang banyak. Meskipun orang-orang sejak itu dipindahkan pada perspektif
tingkah laku yang menyimpang dalam upaya-upaya untuk memecahkan masalah-masalah
dari kejahatan [crime] dan pelanggaran [deliquency], para ahli sosiologi dalam tradisi ini
mempelajari terutama masalah-masalah sosial karena mereka mempunyai pertalian untuk
teori yang berhubungan dengan sosiologi. Dalam bagian spesialisasi, bagaimanapun, para
ahli sosiologi ini membatasi perhatian mereka hampir secara ekslusif pada studi dari
tingkah laku yang menyimpang, didefinisikan sebagai pelanggaran dari harapan-harapan
normatif. Jadi, perspektif yang mempengaruhi ini pada masalah-masalah sosial
memusatkan perhatian pada sebab dari penyimpangan, dalam sistem-sistem tingkah laku
yang menyimpang, dan dalam kontrol sosial.
Labelling [Memberikan Nama].
Di akhir-akhir periode keempat dari sosiologi di
Amerika, perspektif labelling berkembang, dalam bagian yang luas dari pertanyaanpertanyaan tertinggal yang belum terjawab oleh perspektif
tingkah laku yang
menyimpang. Untuk contoh: Bagaimana orang-orang dan situasi-situasi didefinisikan
sebagai permasalahan atau penyimpangan? Dengan efek-efek apa? Dan bagaimana
banyak orang mampu menghindari menjadi dinamakan demikian meskipun mereka
mungkin melakukan sesuatu “deviant”? Jadi, sementara perspektif tingkah laku yang
menyimpang mendefinisikan masalah-masalah sosial sebagai pelanggaran-pelanggaran
obyektif dari harapan-harapan normatif, perspektif memberikan nama melihat masalahmasalah sosial sebagai apa saja yang orang-orang katakan siapa mereka (itu adalah,
sebagai dirancang secara subyektif). Seperti perspektif tingkah laku yang menyimpang,
perspektif memberikan nama berspesialisasi, terutama memfokuskan pada definisidefinisi sosial dan reaksi-reaksi sosial pada masalah-masalah sosial, dengan sedikit
kepentingan dalam segi-segi masalah-masalah sosial
Critical Perspective [perspektif kekritisan].
Sifat dasar yang berhubungan dengan
politik dari pergolakan pada tahun 1970-an membawa pada sebuah fokus dalam masalahmasalah sosial sebagaimana diciptakan oleh putusan golongan. Fokus ini dimuat dalam
sosiologi. Beberapa ahli sosiologi dalam periode ini mulai menanyakan apakah berbagai
perspektif yang ada menjelaskan masalah-masalah sosial kebanyakan menjadi
diidentifikasi atau menyarankan solusi-solusi yang
dapat dikerjakan untuk mereka.
Gagasan lain-lainnya bahwa perspektif-perspektif mengabaikan teoritis dalam perhatian
mereka untuk permasalahan-permasalahan secara sosial. Jadi mengangkat perluasan,
makro, pandangan yang lebih holistik, beberapa penulis mulai melihat pada bagaimana
berbagai masalah-masalah sosial dihubungkan pada struktur ekonomis-politik dari
masyarakat. Menarik helaian tradisi Marxist Eropa yang banyak dan kompleks, mereka
mengarahkan perhatian mereka pada hubungan golongan. Individu-individu, secara
berbeda disituasikan dengan respek pada pasar ekonomis, sampai pada membagi
kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai. Upaya mereka untuk menjaga, melindungi dan
memajukan kepentingan ini menuju perjuangan golongan, yang mana Marx memandang
sebagai sumber dasar dari masalah-masalah sosial dan, pada akhirnya, solusi mereka.
Social Constructionism [Konstruksi-isme social].
Meskipun bertahun-tahun
mempelajari masalah-masalah sosial, para ahli sosiologi masih mengembangkan teori
dari masalah-masalah sosial. Spector dan Kitsuse mengatakan kolega-kolega mereka
gagal karena salah satunya mereka menerima definisi-definisi pengertian umum dari
masalah-masalah sosial (“apa yang diketahui setiap orang”) atau mereka sebagai “ahli”
memutuskan situasi-situasi apa yang diduga keras sebagai masalah-masalah sosial.
Kupasan mereka memberikan peningkatan pada perspektif pembangun. Banyaknya
situasi-situasi yang ada dimana kondisi-kondisi obyektif telah ada, tetapi definisi
subyektif dari “masalah sosial” tidak ada. Keadaan ini memberikan peningkatan pada
pertanyaan pembangun, apakah yang orang-orang lakukan untuk membuat situasi yang
diduga keras sebuah “masalah sosial”? Spector dan Kitsuse menjawab: orang-orang
bekerja pada itu. Dalam kata-kata mereka, beberapa orang tampil kedepan dan “membuat
tuntutan.” Jadi, masalah-masalah sosial adalah proses-proses sosial, mereka mempunyai
sejarah alamiah, dan kecuali semua kondisi, yang penting dan mencukupi ada, masalah
tidak “terjadi”. Kondisi yang penting adalah definisi subyektif sementara kondisi yang
mencukupi terdiri dari tindakan-tindakan orang lain dalam memberikan tanggapan pada
definisi “pembuat-tuntutan” dari situasi.
Jadi masing-masing dari ketujuh perspektif mempunyai perhatiannya sendiri. Perspektif
pathologi sosial memfokuskan pada orang; perspektif kekacauan sosial menekankan
peraturan; perspektif pertentangan-nilai melihat pada nilai-nilai dan kepentingankepentingan; perspektif tingkah laku yang menyimpang menegaskan peran-peran;
perspektif labelling menguji reaksi sosial; perspektif kekritisan memfokuskan pada
hubungan golongan; dan perspektif constructionist memusatkan pada proses-proses
membuat-tuntutan.
Sebagai tambahan, masing-masing perspektif menyatakan secara tidak langsung
rantai sederhana-nya sendiri dengan mana unsur-unsur ini (orang, peraturan, nilai dan
kepentingan, peranan, reaksi sosial, hubungan golongan, dan membuat-tuntutan)
dihubungkan. Untuk contoh, perspektif labelling dan deviant behaviour, keduanya
berurusan dengan peran-peran penyimpangan dan reaksi-reaksi sosial. Dalam persepektif
deviant behaviour, bagaimanapun, peran-peran penyimpangan menimbulkan reaksireaksi sosial, sementara perspektif labelling memandang peran-peran penyimpangan
sebagai konsekuensi dari reaksi-reaksi sosial. Dengan cara yang sama, dalam perspektif
value-conflict, nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan menghasilkan peran-peran;
dalam perspektif critical peran-peran menghasilkan nilai-nilai dan kepentingankepentingan. Dan, akhirnya, dalam perspektif constructionist social reaksi-reaksi sosial
menghasilkan peran-peran membuat-tuntutan.
Konstruksi-isme membuat lebih jelas perbedaan diantara penentuan perspektif
dan yang memfokuskan pada human agency. Dengan respek pada studi masalah-masalah
sosial, tabel dibawah mengklasifikasikan perbedaan dari sudut pandang dari empat peran
yang telah kita gambarkan.
Fokus
Peran
Penentuan
Pembuat Teori
Peneliti
Pemakai
Pengeritik
Teori-teori umum
tentang keseluruhan
masyarakat
Melakukan studi pada
orang-orang sebagai
yang dipengaruhi oleh
kekuatan eksternal
Rekaman dasar resmi
Mengupas total sistem
sosial yang lebih
mengena
Perantara Manusia
Teori-teori lokal tentang
masalah-masalah sosial
spesifik
Melakukan studi pada
orang-orang sebagai
pembentukan kekuatan
eksternal
Segi pendapat perantara
yang menghasilkan
rekaman yang lebih dasar
Mengupas kebijaksanaan
sosial spesifik yang lebih
mengena
Pengaruh yang menguasai konstruksi-isme dalam studi masalah-masalah sosial
menunjukkan dengan jelas konsepsi yang lebih lengkap dari persoalan-persoalan diantara
fokus penentuan dan perantara manusia. Tetapi ini tidak mungkin bahwa fokus perantara
manusia murni akan mengalahkan penentuan murni. Beberapa sintesa dari dua perspektif
adalah lebih mungkin. Dan sebagaimana itu terjadi, perspektif lain pada masalah-masalah
sosial masih akan timbul.
Download