PERMASALAHAN SOSIAL DAN SOSIOLOGI Menganalisa permasalahan sosial seringkali saling bertentangan satu sama lainnya. Beberapa analis menyatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan permasalahan sosial yang lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat biasa atau masyarakat yang sederhana; namun beberapa analis lainnya tidak sependapat akan pernyataan tersebut.Beberapa orang mengatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan lebih banyak permasalahan dibandingkan dengan solusi, namun yang lainnya memperdebatkan bahwa kesulitan yang sebenarnya adalah pada produksi yang berlebih akan sesuatu yang disebut dengan solusi tersebut. Penelitian pada permasalahan sosial sebagai usaha untuk memahami bagaimana hal itu terjadi dan bagaimana untuk mengontrolnya.Dan seringkali mereka-mereka yang mempelajari permasalahan sosial adalah sosiolog. Para Sosiolog telah mendominasi pembelajaran atau penelitian akan permasalahan sosial untuk dua alasan.Pertama, sosiologi dikembangkan sekitar satu abad yang lalu, ketika industrialisasi dan urbanisasi menggoyahkan fondasi dari masyarakat tradisional.Pada waktu itu, terdapat suatu minat yang special pada permasalahan yang dihadapi orang-orang terhadap industrialisasi dan urbanisasi, dan sosiolog yang juga memiliki minat tersebut mengambil suatu pembelajaran atau penelitian akan permasalahan sosial sebagai suatu topik yang relevan dan menantang. Kedua, sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu dapat digunakan dengan sesuai pada pembelajaran permasalahan sosial.Sosiologi selalu berhadapan dengan hubunganhubungan sosial, situasi dimana dua orang atau lebih mengadaptasikan tindakantindakannya pada orang lain.Kebanyakan permasalahan sosial muncul pada alur atau hasil dari hubungan-hubungan sosial.Beberapa disiplin ilmu lainnya diakhir abad ke19 juga berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang sejenis.Sehingga sebagian karena pilihan dan sebagai lagi karena kegagalan, sosiologi muncul secara serempak guna berhadapan dengan permasalahan dan hubungan sosial. DEFINISI PERMASALAHAN SOSIAL Sosiolog biasanya mempertimbangkan suatu permasalahan sosial sebagai suatu situasi yang diduga atau dinyatakan tidak cocok dengan nilai-nilai signifikan yang dianut sejumlah orang yang setuju bahwa diperlukan adanya tindakan guna mengubah situasi tersebut. Situasi yang diduga. Hal ini berarti bahwa situasi tersebut dikatakan atau dinyatakan akan ada.Orang-orang membicarakannya, dan hal itu akan mendapatkan liputan dari radio, TV, dan dalam press.Akan tetapi dugaan yang diperlukan tersebut belum tentu benar. Ketidakcocokan dengan nilai-nilai. Suatu situasi didefinisikan orang-orang sebagai suatu permasalahan sosial dalam tinjauan nilai-nilai tertentu yang mereka pegang. Setiap orang sangatlah berbeda dan kompleks, akan tetapi, setiap orang yang berbeda juga akan memegang nilai yang berbeda pula, dan orang-orang yang sama akan memegang nilai-nilai yang saling bertentangan.Berdasarkan hal tersebut, setiap orang yang berbeda akan menganggap berbagai hal yang berbeda sebagai suatu permasalahan sosial. Jadi, apa yang dianggap sebagai suatu permasalahan sosial dan nilai-nilai yang terlibat didalamnya adalah sebuah permasalahan yang kompleks.Hal tersebut adalah salah satu aspek paling kontroversi didalam pembelajaran permasalahan sosial, dan hal tersebut akan dihadapkan dengan lebih banyak detail lagi didalam buku ini. Jumlah orang yang signifikan. Berapa banyak orang yang dianggap sebagai “jumlah yang signifikan”? Pertanyaan ini tidak mempunyai jawaban yang pasti. Dan, tentu saja, beberapa orang dianggap lebih “signifikan” dibandlingkan dengan yang lainnya. Sosiolog akan setuju bahwa secara general, lebih “signifikan” seseorang dalam menentukan suatu permasalahan sosial adalah mereka yang lebih terorganisir, dan dalam suatu posisi kepemimpinan, dan/atau lebih kuat secara ekonomi, sosial, atau politik.Jadi hal itu tidak hanya sekedar jumlah atau angka.Akan tetapi, salah satu poin penting dalam pembelajaran atau penelitian permasalahan sosial adalah hal berikut: ketika sosiolog mempelajari permasalahan sosial, mereka biasanya melihat apa yang dilihat orang lain dalam masyarakat sebagai suatu permasalahan sosial.Maka, dalam mempelajari permasalahan sosial sosiolog biasanya hanya dihadapkan dengan suatu gangguan sosial atau situasi yang berbahaya yang diidentifikasi publik sebagai suatu permasalahan. Dibutuhkan Adanya Tindakan. Bahu membahu dengan definisi suatu situasi sebagai permasalahan sosial adalah panggilan akan adanya suatu tindakan guna mengobati situasi tersebut. Orang-orang berkata bahwa sesuatu harus dilakukan. PERKEMBANGAN SOSIOLOGI AMERIKA Pembelajaran permasalahan sosial telah saling berkaitan satu sama lainnya dengan bidang kajian ilmu sosiologi secara keseluruhan.Perubahan dalam pembelajaran permasalahan sosial telah secara dekat berhubungan kedalam pengembangan yang lebih general dalam bidang kajian ilmu sosiologi, dan perbedaan perspektif dalam permasalahan sosial merefleksikan perbedaan perspektif dalam masyarakat secara umumnya.Sebelum mengacu pada perbedaan-perbedaan perspektif ini, marilah kita mengambil pandangan yang lebih umum dalam bidang kajian sosiologi. Selama berabad-abad, orang-orang telah memikirkan dan mempelajari kehidupan mereka dalam masyarakat.Tetapi bagi Auguste Comte aktivitas itu harus diberi suatu nama.Dia menciptakan istilah “sosiologi”, yang berarti pembelajaran ilmiah dalam masyarakat.Minat Comte, seperti halnya Saint-Simon, Marx, Tocqueville, Spencer, dan sosiolog eropa lainnya, muncul dari krisis industrialisasi.Pertanyaan yang paling besar bagi para sosiolog awal eropa ini melibatkan permasalahan dalam aturan sosial dan integrasi pada satu sisi dan perubahan dan perkembangan sosial disisi lainnya.Pertanyaan yang pertama ini menyatakan ,apa yang membuat suatu masyarakat bersatu dan bekerja?dan yang kedua, kemana arah yang dituju masyarakat tersebut, dan bagaimana cara mencapainya?. Dengan jalan yang sama, pasca perang saudara dan bangkitnya industtrialisasi diAmerika Serikat menghasilkan suatu minat dalam mempelajari masyarakat tersebut.Dalam dua dekade setelah perang saudara, buku-buku mulai bermunculan pada subjek ini.Dipertengahan tahun 1890, mata pelajaran sosiologi telah diajarkan dibeberapa perguruan tinggi diAmerika. Ph.D pertama dibidang sosiologi diberikan pada tahun 1895, dan masyarakat sosiologi Amerika dibentuk pada tahun 1905. Suatu “tradisi” mengacu kepada kepercayaan, nilai, dan kebudayaan.Ketika suatu ide baru berkembang dan kondisi berubah, kepercayaan, nilai dan kebudayaan juga berubah.Guna memahami pembelajaran akan permasalahan sosial, dan bagaimana hal itu berubah dari waktu ke waktu, kita harus memahami perubahan tradisi dalam perkembangan sosiologi. Tradisi yang bervariasi didalam perkembangan sosiologi Amerika dapat dikelompokkan secara berbeda dalam 5 tahap: Membentuk landasan (1905 sampai dengan 1918), membentuk 1935);mengintegrasikan teori, kebijakan penelitian, ilmiah dan (1918 aplikasi (1935 sampai sampai dengan dengan 1954);mengolah spesialisasi (1954 sampai dengan 1970); kebangkitan kembali teori makro (1970 sampai dengan 1985); dan kekuasaan konstruktisme (1985 sampai sekarang).Perubahan perspektif dalam permasalahan sosial yang menggarisbawahi buku ini merefleksikan perubahan mendasar dalam perkembangan sosiologi. 1. Membentuk Landasan (1905 sampai dengan 1918). Selama tahun-tahun diantara 1905 dan 1918, suatu kelompok pioner membentuk ilmu sosiologi didalam beberapa perguruan tinggi Amerika.Pada waktu itu, kebanyakan sosiolog terkemuka Amerika adalah anak laki-laki pendeta yang pindah dari sebuah kota kecil ke sebuah kota besar yang berkembang dengan cepat dan yang telah menyaksikan perubahan yang disebabkan oleh konversi Amerika dari pertanian menjadi ekonomi industri.Penekanan utama mereka adalah pada permasalahan dimasyarakat, dan mereka melihat urbanisasi sebagai sumber utama dari permasalahan sosial. Para Sosiolog Amerika ini dibimbing dengan pemikiran mereka pada filosofi dari kemajuan atau perkembangan moral – yaitu, suatu dugaan bahwa dalam jangka yang panjang, masyarakat akan maju dan berkembang secara kualitas.Maka, mereka akan lebih atau kurang yakin bahwa kemajuan dan perkembangan moral akan terjadi.Pada waktu yang sama, mereka ingin membantu dalam memecahkan beberapa permasalahan yang mereka lihat disekeliling mereka dalam masyarakat yang berubah dengan cepat.Sosiolog Amerika awal ini mencoba dengan sangat keras untuk mengeliminasikan beberapa permasalahan ini.Akan tetapi cara berpikir mereka yang konservatif membawa mereka untuk mengadvokasi reformasi dan bukannya revolusi sosial. 2. Membentuk kebijakan ilmiah (1918 sampai dengan 1935). Selama periode ini, perang dunia pertama telah memperkecil optimisme yang telah mengkarakterisasi periode pertama sosiolog Amerika.Secara meningkat, sosiolog mulai menyadari bahwa jika mereka akan membimbing suatu tindakan sosial, maka pertama-tama mereka harus mengembangkan tubuh dari ilmu sosiologi. Keyakinan yang tumbuh diantara para sosiolog adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai-nilai, dan bekerja untuk memecahkan permasalahan sosial akan dianggap sebagai sesuatu yang “tidak ilmiah”. 3. Mengintegrasikan teori, penelitian, dan aplikasi (1935 sampai dengan 1954). Jika periode pertama dapat disebut sebagai era dakwah, dan periode kedua sebagai era akan kemunduran, maka periode ini dapat disebut sebagai era kontribusi ilmiah.Selama periode ini, sosiolog mulai menjadi lebih professional, dan mereka mulai melihat teori, penelitian, dan aplikasi sebagai sesuatu yang berhubungan secara integral.Ketika mereka menjadi seperti itu, mereka juga memulai kembali untuk menerima reformasi sosial sebagai bagian dari usaha keras sosiologi.Penelitian dasar dan aplikasi sosiologi menjadi terlihat sebagai dua sisi dari koin yang sama, dan sikap predominannya adalah bahwa pendekatan ilmiah akan memecahkan permasalahan sosial dan mengembangkan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan. 4. Mengolah spesialisasi(1954 sampai dengan 1970). setelah tahun1954 kegaduhan mulai terdengar.Banyak sosiolog yang mulai merasa bahwa, dalam pencariannya guna menjawab pertanyaan teoritis, mereka telah mengabaikan permasalahan dalam masyarakat.Para sosiolog ini mulai merasa bahwa sosiologi telah mengabaikan tanggungjawab sosialnya dan menjadi instrumen dari sebuah status quo.Serangan ini digemakan oleh generasi berikutnya dari para mahasiswa perguruan tinggi.Maka, ketegangan yang ada diantara permasalahan sosial dan permasalahan sosiologi menjadi relevan bagi mahasiswa sosiologi dan bagi para sosiolog. 5. kebangkitan kembali teori makro (1970 sampai dengan 1985). Serangan pada sosiologi sebagai disiplin teoritis, yang mencapai puncaknya diawal tahun 1970an, dan Coming Crisis of Western Sosiology Gouldner, yang diterbitkan pada tahun 1970, menggemparkan tahap paling awal dari perkembangan sosiologi.Gouldner memperdebatkan bahwa sosiologi telah mencapai jalan buntu dalam ketidakbergunaannya dalam masyarakat yang sedang krisis.Sudut pandang kritis dilihat sebagai suatu kebutuhan guna menghadapi permasalahan sosiologi dan sosial.Dalam beberapa seri buku, Gouldner sendiri memperluas dan memperdalam pendekatan kritis Marx. Dia juga membantu menemukan jurnal Theory and Society, yang akan menjadi suara utama pendidikan dalam pandangan mayarakat pada saat ini 6. Kekuasaan konstruktisme (1985 sampai sekarang). Pelipatgandaan perspektif, keistimewaan karakteristik masyarakat secara umum selama bagian lainnya dari abad ke20, juga direfleksikan dalam setting akademis.Pembentukan program spesialisasi dalam pembelajaran Afrika Amerika, Latin, perempuan,gay dan lesbian meningkatkan adanya jalan masuk bagi perempuan dan minoritas lainnya kedalam fakultas dan tubuh siswa, dan hal itu juga meningkatkan perbedaan dari perspektif dalam kebanyakan kampus perguruan tinggi. Ketika pendekatan tradisional pada pembelajaran sosiologi terus mendominasi, berlimpahnya simbol-simbol, bahasa, ilmu pengetahuan, dan orang-orang serta kelompok yang vocal yang makin sering dihadapi orang dengan bantuan untuk mempopulerkan pendekatan konstruktif dalam mencapai pemahaman dari kehidupan sosial.Hal ini melibatkan penjelasan sudut pandang orang dalam berbagai macam situasi sosial.Bagaimana kelompok orang tertentu membangun arti dari suatu kejadian dan situasi, menjadi pertanyaan mendasar dari semua disiplin akademis.Pendekatan konstruktif menjadi sesuatu yang dikenali dalam antropologi, literatur kritis, psikologi, sejarah, ilmu budaya, ilmu seks, dan sosiologi, terutama dalam studi gender, ilmu pasti dan permasalahan sosial. PERSPEKTIF SOSIOLOGIS PADA PERMASALAHAN SOSIAL Suatu perspektif, dengan pernyataan secara umumnya, adalah sebuah jalan dalam melihat sesuatu.Perspektif sosiologis terdiri dari ide orientasi dasar yang berasal dari satu konseptualisasi dan analisis yang mengikuti, dan hal itu merefleksikan suatu set ide dan asumsi yang mencakup sifat orang dan masyarakat.Tentunya terdapat berbagai cara yang berbeda didalam melihat suatu permasalahan sosial, dan dalam sosiologi terdapat tujuh perspektif yang telah dikenalkan.Dalam bagian yang lebih besar, perspektif ini merefleksikan ketegangan yang sudah ada ketika sosiologi pertama berkembang – ketegangan antara berkonsentrasi pada permasalahan social pada satu sisi dan pada perkembangan sosiologi sebagai disiplin ilmu disisi lainnya. Ketujuh perspektif tersebut adalah patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik nilai, prilaku menyimpang, pelabelan, perspektif kritis, dan perspektif konstruksi sosial.Setiap perspektif mengandung ide atau gagasannya sendiri pada definisi, penyebab, kondisi, konsekuensi, dan solusi permasalahan sosial.Dalam memahami lebih baik cara alternatif dalam melihat suatu permasalahan sosial, dalam bab-bab selanjutnya kita akan menganalisa setiap perspektif dalam istilah kelima elemen ini.Sebelum melanjutkan, kami mengklarifikasi apa yang terlibat dalam setiap elemen. Definisi. Kita telah mempresentasikan satu definisi umum dari permasalahan sosial (lihat halaman 4), dan ketujuh perspektif secara implisit menyaratkan definisi ini.Akan tetapi sebagai tambahan, setiap perspektif memiliki definisi permasalahan sosial yang lebih khusus didalamnya.Definisi yang lebih khusus ini bervariasi dalam terminologi aspek mana fenomena gangguan sosial yang mereka fokuskan dalam mengdefinisikan fenomena tersebut sebagai permasalahan sosial. Penyebab. Setiap perspektif memasukkan bayangan kasual sendirinya– yaitu, pemikirannya sendiri tentang tipe faktor apa yang memproduksi permasalahan sosial dan bagaimana mereka melakukannya. Kondisi. Setiap perspektif juga mempunyai sesuatu untuk dikatakan, secara implisit maupun eksplisit tentang kondisi dimana permasalahan sosial timbul dan berkembang.Hal ini bukanlah penyebab utama permasalahan sosial. Namun mereka adalah latarbelakang yang lebih general dimana permasalahan sosial berkembang. Akibat. Kesemua tujuh perspektif memandang permasalahan sosial berbahaya.Akan tetapi mereka berbeda dalam bagaimana efek berbahaya permasalahan sosial dideskripsikan. Solusi. Terakhir, setiap perspektif melibatkan implikasi sendirinya akan bagaimana kita dapat memecahkan permasalahan sosial.Perspektif tersebut muncul pada titik yang berbeda dalam perkembangan sosiologi.Demikian, beberapa secara eksplisit memperhatikan reformasi sosial dibandingkan dengan yang lainnya.Meskipun demikian, ketujuh perspektif mempunyai beberapa implikasi bagi solusi permasalahan sosial, dan karakteristik dari setiap perspektif menentukan apakah solusi tersebut fokus pada harapan, kejahatan, atau reaksi. RANGKUMAN DAN KESIMPULAN Sosiologi dimulai pada tahun 1880 dengan mandat ganda untuk mempelajari hubungan khusus pada satu sisi dan permasalahan sosial disisi lainnya.Hingga saat itu, telah terdapat ketegangan yang berulang-ulang dalam sosiologi akan apakah hal tersebut harus mempunyai penekanan primer.Sebagai upaya untuk memecahkan ketegangan itu, sosiolog dari waktu ke waktu mengembangkan perspektif baru bagi pembelajaran permasalahan sosial. Sebuah perspektif biasanya adalah sebuah cara dalam melihat segala sesuatu, dan mengklarifikasi fokus para sosiolog dalam pekerjaannya.Dalam pembelajaran permasalahan sosial, para sosiolog telah mengeluarkan tujuh perspektif yang populer: patologi sosial, disorganisasi sosial, konflik nilai, prilaku menyimpang, pelabelan, perspektif kritis, dan perspektif konstruksi sosial. Setiap perspektif mempunyai idenya masing-masing terhadap definisi, penyebab, kondisi, konsekuensi, dan solusi dari permasalahan sosial.Sekarang, kita akan melihat lebih dekat pada setiap perspektif. FATOLOGI SOSIAL Ide adanya masalah sosial akan muncul sama tuanya dengan keberadaan manusia. Tapi yang sebenarnya, hal tersebut tidak terjadi pada semua kasus. Meskipun masalah dan penderitaan tampak didalam setiap masyarakat dan setiap periode sejarah. Gagasan bahwa masalah sosial berkenaan dengan sesuatu yang akan dilakukan saat-saat sekarang. Sebelum menguji perspektif fatologi sosial, kami mempertimbangkan secara singkat bagaimana ide mengenai masalah sosial muncul didalamnya. KONSEP TENTANG MASALAH SOSIAL Para penemu ilmu-ilmu sosiologi Amerika percaya bahwa prilaku manusia dibentuk atau dikendalikan oleh hukum alam dan tugas dari ilmu sosiologi menemukan hukum tersebut. Kebanyakan sosiolog-sosiolog dahulu juga percaya terhadap kemajuan. Dalam rangkaian evolusi sosial, mereka beraanggapan, masyarakat berubah dari sederhana ke kompleks, dan orang menjadi lebih bebas, lebih rasional, dan lebih bahagia. Dalam waktu yang sama, ada beberapa sosiolog awal melihat industrialisasi dan urbanisasi sebagai sumber dari kondisi yang tidak menyenangkan, dan mereka berusaha memperbaik kondisi tersebut. Jadi sosiolog dahulu berusaha menemukan hukum alam mengenai prilaku manusia agar mereka dapat mempengaruhi pembaharuan sosial. Terakhir, beberapa sosiolog dahulu memiliki konsep individu mengenai kehidupan sosial. Mereka berasumsi bahwa, walaupun orang berada dalam sebuah kelompok, tetap saja akhirnya interes, dorongan, dan sifat orang yang menentukan prilaku seseorang. AKAR DARI PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL Pada pokoknya, suatu perspektif fatologi sosial berakar pada analogi organ/ tubuh. Beberapa penulis awal telah bekerja pada analogi ini kebiasaan primitif yang relatif; sebagai contoh terlukiskan pemerintah sebagai kepala masyarakat, layanan pos sebagai sistem sarap, polisi sebagai ‘ lengan panjang hukum.’ Herbert Spencer, membuat model yang lebih cermat dalam penggunaan analogi organ ini. Dalam pandangannya, masyarakat digambarkan sperti suatu organ yang memiliki masa, komplesitas struktur meningkat sejalan dengan pertumbuhannya, bagian saling tergantung, dan kehidupan melampaui kehidupan perbagian.4 Pada analogi organ, orang dan kondisi dipertimbangkan menjadi masalah sosial untuk perluasan bahwa mereka terganggu pada kerja “normal” dari organ sosial. Sesuai dengan analogi organik, gangguan tersebut dilihat sebagai kesakitan, atau fatologi Pengaruh dari analogi organ pada ilmu sosiologi Amerika awal dapat dilihat pada defininisi fatologi sosial berikut, yang muncul pada penggunaan buku teks sosiologi.5 Ketika masyarakat adalah individu yang dibatasi bersama dalam hubungan sosial. Fatologi merujuk pada kegagalan penyesuaian dalam hubungan sosial. Ungkapan tersebut didasarkan pada suatu analogi kegagalan penyesuaian fungsi jasmani pada tubuh…jika dijaga secara hati-hati… suatu term “fatologi sosial” yang dapat digunakan untuk menunjukan kondisi sosial yang menghasilkan (1) dari kegagalan individu untuk menyesuaikan mereka sendiri pada kehidupan sosial dimana mereka berfungsi sebagai anggota sosial yang self –supporting secara bebas, yang mana kontribusi peran terbuka mereka untuk hal tersebut pada pembangunan stabilitas dan kemajuan; dan (2) dari ketiadaan penyesuaian pada struktur sosial, termasuk caracara institusi bekerja, untuk membangun kepribadian sosial. Kondisi fatologi dalam masyarakat boleh jadi hasil dari (1) sifat ketiadaan kemampuan individu memelihara langkah dengan perubahan ideal dan institusi masyarakat; atau (2) dari kegagalan sosial untuk memelihara langkah dalam fungsi mesin tersebut dengan perubahan kondisi dalam dunia kehidupan. PERUBAHAN DALAM PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL Dalam bentuk sebelumnya, perspektif fatologi sosial didasarkan pada metafor masyarakat sebagai suatu organisme. Di sebut fungsi normal dari masyarakat diasumsikan sebagai ‘sehat” dan ahli fatologi sosial didiami oleh mereka sendiri dengan mengklasifikasi “sakit” dari masyarakat. Pengertian yang sederhana dan konservatif mengenai fatologi sosial ini mengalami masa kegemilangan sebelum perang dunia I, khususnya antara tahun 1890 dan 1910. setelah perang usai, kemudian mengalami pelambatan dengan kemunduran yang tetap. Pada tahun 1960, terdapat kebangkitan pada perspektif fatologi sosial, dengan beberapa sosiolog yang menulis mengenai “fatologi” keberadaan kami.8 Juga, sebagian liberal dan radikal melihat masyarakat sebagai “sakit”. Ironisnya, suatu “budaya-kounter” orang (seperti hippies”) yang dilabeli masyarakat sebagai sakit mereka sendiri dimana jenis-jenis orang yang lebih awal ahli fatologi sosial akan dilabeli “sakit”. Bagaimanapun, terdapat pengaburan pada titik kontras mengenai pandangan dalam suatu usaha untuk membuat perspektif fatologi yang lebih “objektif” KARAKTERISTIK PERSPEKTIF FATOLOGI SOSIAL Karakteristik yang lebih khusus pada perspektif ini adalah sebagai berikut: Definisi. Kondisi dan pengaturan sosial yang menyenangkan yang dilihat sebagai suatu kesehatan, ketika orang atau situasi yang menyimpang dari harapan moral merupakan diakui sedemikian “sakit” karena itu jelek. Jadi, dari perspektif fatologi sosial, suatu masalah sosial merupakan pelanggaran dari harapan morel. Penyebab. Penyebab utama dari masalah sosial adalah kegagalan dalam sosialisasi. Masyarakat, melalui agen sosialisasi, mempunyai tanggung jawab dari pengantaran norma moral pada setiap generasi. Kadang-kadang, bagaimanapun, usaha sosialisasi adalah tidak efektif. Suatu klasifikasi tentang orang yang menyimpang dari perspektif fatologi sosial dilukiskan mereka sebagai tidak sempurna, tidak bebas, atau penjahat.9 Ketidaksempurnaan tidak dapat diajarkan; ketidakbebasan berhalangan dalam penerimaan perintah; dan para penjahat menolak pengajaran. Untuk ahli fatologi selanjutnya, masalah sosial merupakan hasil mengenai kesalahan nilai yang dipelajari. Dalam suasana perspektif “tender”, seseorang yang berkontribusi pada masalah sosial dipandang sebagai “sakit” dalam keadaan jiwa “ penjahat”, mereka dilihat sebagai “kejahatan”. Dibelakang kedua mood tersebut, bagaimanapun, adalah gagasan bahwa orang atau situasi adalah, pada hati “tidak bermoral”. Kondisi. Ahli fatologi sosial awal mempertimbangkan sebagian orang memiliki pembawaan tidak sempurna atau cacat. Dan untuk kebanyakan bagian,suatu kelas-kelas “ketidaksempurnaan, ketergantungan dan kejahatan” cenderung pada pelestarian mereka sendiri melalui perkawinan antara keluarga (inbreeding). Berikutnya, bagaimanapun, ahli fatologi sosial telah memulai untuk melihat lingkungan sosial sebagai kondisi yang penting yang berkontribusi pada fatologi sosial. Bahkan, Smith sendiri telah menulis, “penyakit sosial begitu merata sedemikian menciptakan masalah sosial yang jarang ditemukan tanpa lingkungan yang buruk mengenai beberapa hal yang sempit dan lainnya, dan juga siswa sosial terlalu dipaksakan untuk belajar mengenai sebab dari penyakit sosial.”11 Sedangkan ahli fatologi yang lebih awal cenderung memfokuskan pada sifat immoral masyarakat dan memandang masalah sebagai pengembangan dari kekuatan sosial seperti teknologi dan kepadatan penduduk. Konsekuensi. Pada pandangan ilmu fatologi awal, gangguan sosial meningkatkan biaya pemeliharaan legitimasi tatanan sosial. Ahli fatologi sosial percaya, bagaimanapun, bahwa yang paling sehatlah yang akan bertahan. Ahli fatologi saat ini, begitu berbeda, bahwa kemarahan moral mengenai kerusakan masyarakat dan merupakan kurang optimis pada ramalan mereka. Kebanyakan kemarahan melihat fatologi sosial sebagai total, penularan, mungkin sekali pada dehumanisasi seluruh penduduk. Solusi. Kedua versi perspektif fatologi sosial awal dan saat ini menyarankan apakah bentuk solusi untuk masalah sosial ini mungkin diambil. Sosilog awal yang telah memikirkan pada gangguan-gangguan yang disebabkan oleh “genetik” individu yang cacat, contohnya, pembelokan pada pergerakan egenika sebagai sebuah solusi. Sosiolog yang lain berpandangan suatu solusi masalah sosial diletakan pada pendidikan pada pembuat masalah (troublemaker) dalam moralitas kelas menengah. Suatu keragaman saat ini, yang mana cenderung untuk menghormati masyarakat dibanding dari pada anggota yang tidak berkompromi sebagai “sakit” merupakan akar dari pandangan Rousseau mengenai sifat manusia. Individu adalah baik; institusi mereka, yang bertanggungjawab, adalah buruk. Bahkan ahli fatologi sosial modern memandang mengobati institusi yang “sakit” dapat merubah nilai orang. Jadi, menurut perspektif ini, solusi nyata pada masalah sosial adalah pendidikan moral.12 RINGKASAN DAN KESIMPULAN. Suatu perspeftif fatologi sosial mengorganisasi pemikiran sosiolog Amerika awal dengan memperhatikan masalah sosial, dan itu bersinambung-sekurangnya seperempatmenjadi titik yang berpengaruh pada pandangan ini. Hal tersebut didasarkan pada analogi organik, dan perhatian utamanya adalah dengan sakit, atau fatologi, dari masyarakat. Dari perspektif ini, masalah sosial dilihat sebagai penyimpangan dari pengharapan moral. Penyebabnya adalah gagasan kegagalan sosialisasi, yang ditandai pertama pada warisan genetik dan lingkungan sosial selanjutnya. Akibat dari kegagalan sepeti ini adalah erosi moral; solusinya adalah, pendidikan moral. Ahli fatologi sosial dapat dikelompokan menurut periodenya, orientasi dan politik. Ahli fatalogi paling awal cendeung menjadi konservatif dalam orientasi dan politik mereka. Ahli fatologi selnjutnya cenderung menjadi liberal atau radikal dalam orientasi dan politi mereka. Perpaduan dari beberapa pendekatan talah muncul, tapi hal tersebut sulit untuk mengatakan bahwa arah perspektif ini akan diambil atau apakah hali ini berpengaruh di masa yang akan datang. ANALOGI ORGANIK Samuel Smith Kutipan singkat dari fatologi sosial Samuel smith menunjukan pengaruh analogi organik yang dapat dipertimbangkan beberapa penulis pada akhir abad ini. Seperti dokter medis yang mempelajari sakit fisisk, ahli fatologi sosial telah mengambil studi “ penyakit sosial” dari masyarakat. Dan Smith percaya bahwa hanya dokter medis yang belajar penyakit untuk mempelajari bagaimana memperlakukan hal ini, begitu juga dengan ahli fatologi sosial mempelajari masalah sosial agar dapat mempelajari bagaimana “ mengobati” nya. Fatalogi dalam ilmu sosial memiliki persamaan pada fatologi dalam ilmu kedokteran. Seperti halnya studi mengenai penyakit fisik adalah penting untuk memelihara kesehatan fisik, begitu juga dengan kesehatan sosial tidak pernahmembumi secara aman tanpa pengetahuan yang lebih luas dan pasti mengenai penyakit sosial. Fatologi umum dalam kedoteran mengajarkan bahwa beberapa penyakit memiliki keumuman dan ada proses yang tidak wajar (abnormal) yang dapat didiskusikan, sama baiknya dengan penyakit tertentu. Dalam fatologi sosial keterkaitan kelas-kelas abnormal merupakan satu dari sekian banyak fakta impresif. Orang miskin sering melahirkan kejahatan; keturunan kejahatan menjadi sakit pikiran; dan demikian mengembang pada keluarga kekurangan, ketergantungan dan kelas-kelas kelas penjahat yang ditunjukan, itu merupakan perkembangan samapai/ sejauh memasuki bahwa di bawah semua macam bentuk fatologi sosial ada cakupan umum dalam kondisi nervous morbid individu. Ilmu kedokteran mengajarkan bawa studi mengenai penyakit adalah hanya sebuah langkah proses pembimbingan terapi atau pengobatan, atau penyembuhan penyakit, dan malahan merupakan langkah yang terputus pada mayoritas yang luas dari sakit fisik, itu adalah hanya dasar-dasar dari harapan. Setiap penyakit dapat diobati pada saatnya, tetapi pencapaian pada ilmu kedokteran tidak dalam penterapian, tetapi dalam sanitasi dan dalam pencegahan penyakit. Fatologi sosial akan menjadi studi yang suram bahkan jika pengetahuan akurat mengenai fakta dan prinsip tidak menunjukan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan sosial yang membimbing untuk menemukan penyebab dari penyakit sosial dapat dirubah, kelemahan individu menguatkan secara sosial agar berakhir, sedemikian ideal pada masa lalu, suatu badan sosial akan eksis dalam pikiran pekerja sosial, bercahaya dengan kesehatan, dimana tidak ada kehidupan mahluk ketika tidak ada pembagian pada semangat umum dari keseluruhan bagian dan kekuasaan. PENJAHAT SEBAGAIMANA LAHIRNYA JENIS KEJAHATAN Cesare Lombroso dan William Ferrero Dalam kutipan ini, Lombroso dan ferero menganalisa karakteristik yang terkemuka dari duapuluh kejahatan perempuan. Pada keduapuluh muka mereka mencatat penyimpangan seperti asimetri muka, lebar rahang, gigi yang tumpang tindih, gigi taring gigi seri, celah langit-langit mulut, kening. Mereka menunjukan pengamatannya dalam teori lombroso-diformulasikan pada bagian lebih awal dari karirnya-bahwa terdapat-“takdir penjahat” yang mewakili model primit biologis pada homo sapiens. “sifat kejahatan” tersebut,” lombroso beralasan, mirip siamang pada karakteristik fisiknya, dan tentu dapat diidentifikasi sebagai “sifat turunan” kebalinya pada tahap evolusi yang lebih awal. PENYELAMAT ANAK Anthony M. Platt Dalam kutipan ini, Platt mendiskusikan suatu evolusi tentang perspektif fatologi sosial. Diantara beberapa pemikiran, dia mendiskusikan sumber dari gagasannya dan bagaimana ide tersebut dirubah dengan pembangunan perspektif sosial. Salah satu sumber yang penting adalah konsep mengenai kejahatan seperti kurang lengkapnya tubuh manusia (apakah oleh alam atau oleh pemeliharaan). Tampilan yang lain dalam pembangunan perspektif ini meliputi pertumbuhan profesionalisme dalam pembenahan kerja dan penerimaan model medis/ kedokteran dn suatu “rehabilitasi ideal” istimewa untuk perlakuan dari “penjahat” muda. Cooley telah mengambil posisi dinamis dan fleksibel memperhatikan suatu cara dimana karakter sosial dibentuk: Penyatuan sifat alami dan pengasuhan bukan suatu tambahan atau campuran tapi pertumbuhan, dengan jalan elemen semuanya ditranformasi kedalam keseluruhan organ. Salah satu tindakan seleksi alam pada lingkungan, material asimilasi seyogyanya terhadap dirinya sendiri; pada waktu yang sama lingkungan mencetak sifat alami, dan kebiasaan dibentuk yang membuat kebebasan individu, dalam beberapa tingkatan, mengenai perubahan yang lainnya… RINGKASAN Pengembangan penting pada kesan mengenai kejahatan pada akhir abad adalah (1) konsep mengenai penjahat yang kurang lengkap pada manusia, apakah sifat alami atau pengasuhan, (2) petumbuhan profesionalisme pada kerja pemasyarakatan, dan (3) penerimaan model medis dan “rehabilitasi ideal” khususnya dengan pengakuan pada pemasyarakatan anak-anak dan anak remaja “penjahat”. 1. Meskipun ada perbedaan pendapat yang luas pada penyebab kejahatan, secara umum diantara para ahli menyetujui bahwa penjahat dikondisikan secara abnormal oleh faktor biologi dan lingkungan. Teori-teori awal menekankan pada permanen, tidak dapat diubah, dan karakter bawaan mengenai prilaku penjahat. Kesan pada kerusakan alamiah menambahkan kesan dari korupsi urban. Pembaharu menekankan tampilan yang tidak teroganisasi dari kehidupan urban dan menggalakan program-program perbaikan yang diwujudkan pada konsep kelompok reral dan utama. Kehidupan kumuh dianggap sedemikian tak teratur, kejam dan kekurangan aturan sosial; penduduknya dijelaskan sebagai tidak normal dan gagal dalam penyesuaian, hidup mereka dala konflik dan chaos.25 2. Elemen fatalisme dalam teori mengenai kejahatan telah dimodifikasi dengan kemunculan kelompok profesional administrator hukum dan pelayan sosial yang mengangkat pandangan pengembangan mengenai prilaku manusia. Implikasi pesimistis dari keyakinan Darwinis adalah antagonis tidak hanya pada etika protestan tapi juga pekerja sosial yang diinginkan status profesional dari dokter, pengacara, dan jabatan pelayanan manusia lainnya. Itu beruntung, sebagaimana John Higham telah mengobservasi, bahwa darwinisme cukup fleksibel pada setelan kedua pandangan yaitu filantrofi dan misan tropi mengenai kehidupan sosial 3. Disana…(adalah) suatu penggeseran …kebijakan ofisial yang memperhatikan kejahatan. Suatu garansi…digeser pada satu penekanan sifat dasar penjahat mengenai kelalaian kepada “humanisme baru,” yang membicarakan penyakit, kesakitan, penularan, dan semacamnya. Kemunculan jeminan medis merupakan kenyataan yang dapat dipertimbangkan. Semenjak hal tersebut menjadi kekuatan rasional untuk pengorganisasian tindakan sosial pada kebanyakan aspek prilaku beragam pada masyarakat kita. Suatu “rehabilitasi ideal” mensyaratkan bahwa kejahatan merupakan gejala dari “fatologi” dan bahwa penjahat akan diperlakukan secara tidak bertanggungjawab, pasien sakit. Penjahat yang lebih tua, lebih kronis dalam sakitnya ; serupa, peluang sembuhnya lebih kecil daripada orang–orang yang muda. Penjahat dewasa, khususnya residivis, sering disifati sebagai bukan manusia. Anak-anak, bagaimanapun, kurang suka pada gagasan seperti bukan manusia sejak etika universalistik, khususnya etikan kristen, membuat hal tersebut hampir tidak mungkin berfikir mengenai anak sebagai ketiadaan keberadaan moral. Pembaharu sosial menekankan pada sifat dasar kejahatan anak remaja yang sementara dan dapat dikembalikan. Sebagaimana pengamatan Charles Cooley, “ketika seorang individu benar-bena masuk kedalam karir penjahat, mari mencoba untuk menangkapnya pada pengajuan usia, persoalannya adalah pada rasional disiplin sosial, seperti yang telah sukses pada beberapa kasus bahwa hal tersebut dapat dikembangkan secara luas.28 Jika penyelamat anak percaya, penjahat terkondisikan oleh warisan biologi dan kondisi kehidupan yang kasar kemudian mengukur pencegahan penyakit yang seharusnya diambil lebih awal dalan kehidupan. Anak-anak penjahat-penjahat generasi selanjutnya harus dicegah dari penerusan karir kejahatannya. “ mereka lahir untuk itu,” tulis penolog Enoch Wine pada 1889, “membawanya untuk itu. Mereka harus diselamatkan. Beberapa pembangunan baru dalam penologi mengambil tempat pada saat ini pada pembaharuan sistem, hal yang diharapkan, penjahat akan terselamatkan dan dibangun kembali. KRITERIA UNIVERSAL MENGENAI FATOLOGI Vytautas Kavolis C. Wright Mills mengkritik pendekatan fatologi sosial menyelubungi nilai–nilai konservatif pembaharu kota kecil dalam tujuan terminologi medis. Dalam kutipan ini, Kavolis beralasan bahwa fatologi sosial, didefinisikan secara hati-hati, dapat dijadikan tujuan relatif dan konsep yang berguna. Pengrusakan pada diri dan orang lain, Kvolis menilai, dapat diidentifikasi secara objektif, dan juga pengrusakan merupakan inti dari fatologi sosial. Jadi Kavolis menyakini, studi mengenai fatologi sosial seharusnya memperhatikan pada hal tersebut dengan prilaku merusak manusia dan kondisi yang memberikan munculnya prilaku tersebut. Itu tidak dapat diasumsikan dengan sah bahwa pendekatan patologi sosial perlu memasukan sebuah perlindungan bias dari kabaikan pelindung institusi luar. Apakah tipe patologi bukan prilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau kaseimbangan sosial tetapi hal itu yang merusak atau merusak dirinya sendiri dalam konsekuensi patologi itu. Kapanpun berdirinya institusi (atau inovasi) memajukan tingkah laku, mereka harus menganggap sebagai penyakit. Konflik dalam teori perspektiv, bukan dalam patologi itu sendiri. Kekurangan konflik dalam patogenik jika menghidupkan insiden tinggi dari prilaku buruk mereka. Hal itu hanya dengan investigasi secara keseluruhan sebagai efek dari kondisi sosial, dalam semua tipe prilaku patologi, bahwa patologi sosial dapat ditentukan secara luas denagn berbagai cara suatu kondisi patologi. Sebuah kerangka teori membutuhkan sesuatu semua kondisi sosial dapat dihubungkan kepada semua tipe dari prilaku patologi. Dalam mengumpulkan sebuah data untuk suatu kerangka teori, suatu teori harus dapat membantu untuk membedakan arahan tentang suatu kemunduran oleh dirinya dengan kemunduran oleh orang lain, dan prilaku patologi yang tetap dari aturan patologi. Kemunduran oleh diri sndiri tergantung semua bentuk dari prilaku individu dapat membuat atau merusak hidupnya, kesehatan atau nilai perilaku kepribadian. Prilaku Patologi yang konstan menunjukan suatu pilihan individu secara sukarela, mengajak kedalam pendidikan destruktif atau ketika dia berkembang dengan tidak sadar, tanpa mempunyai kemampuan untuk memilih gejala dari kemerosotan. Pengaturan keberadaan patologi ketika masing-masing individu salah satu kewajiban “morally” atau”politically” memaksa atau mengatur dari suatu wewenang dimana dia komitmen merusak diri sendiri. Kasus-kasus yang muni dari patologi diemukan dalam kamplek konsertasi dan institusi perbudakan Dalam pembelajaran patologi sosial, kita bertujuan mendirikan karakteristik struktul sosial dan suatu proses sebaik orientasi kebudayaan itu yang menunjukan prilaku patologi dimanapun terjadi. Untuk mengeliminasi kejadian susunan dari penemuan yang memegang waktu yang teliti tetapi kekurangan validitas, sisitematis studi antar budaya dari beberapa bentuk patologi adalah diperlukan. Studi seperti itu harus memimpin teori yang menyeluruh dari pengetahuan dalam sejarah dan akumulasi masyarakat modern dari setengah lusin disiplin ilmu. Hal itu tidak mungkin dalam sistem teori. Untuk memprediksi sebanyak apa tipe patologi akan terjadi jika kita membangun masyarakat dengan karakteristik yang khusus. PENGEJARAN DARI KELENGANGAN Philip Slater Kultur Amerika menitikbertakan kepada individualisme. Kepemimpinan yang saling berkompetisi, dan kebutuhan privasi yang tinggi. Respon Amerika menganggap sebagai peningkatan kualitas individu, tetapi hal ini hanya membuat meraka merasa terpuruk, sebab sifat individual tidak dapat mengobati patologi yang telah mereka ciptakan. KETIDAKTERATURAN SOSIAL Suatu perspektif ketidakteraturan sosial muncul setelah perang dunia I sebagai respon pada seperangkat keadaan khusus dalam masyarakat yang lebih besar dan bidang sosiologi. Dalam bab ini kami melihat keadaan yang muncul pada perspektif fatologi sosial. Seorang sosiolog yang telah merumuskan ini, dan suatu tampilan dasar mengenai suatu perspektif. MASALAH-MASALAH KEMASYARAKATAN secara bersamaan, ada tiga faktor, yaitu faktor-faktor migrasi, urbanisasi dan industrialisasi yang membangun dasar sosial dan budaya luar untuk untuk kondisi yang tidak diinginkan. Tumbuh beberapa kondisi seperti kejahatan, sakit mental, alkoholism, minuman keras, dan kejahatan remaja, semuanya muncul menjadi diperlkukan pada buku teks masalah sosial sekarang. Ketika masalah-masalah tersebut berada dalam skala yang lebih kecil, perspektif fatologi sosial terlihat…. Sebagaimana mereka telah meningkat, bagaimanapun, perspektif fatologi terlihat kurang berguna. Sosiologi sedang menghadapi masalah baru sebagai suatu disipilin ilmu/ mata pelajaran sosiologi membentuk suatu perspektif ketidakteraturan sosial. MASALAH-MASALAH DISIPLIN ILMU Munculnya merefleksikan perspektif ketidakteraturan sosial selama tahun 1920-an usaha ini dalam membangun sosiologi sebagai suatu disiplin ilmiah. Konsep-konsep ketidakteraturan sosial meloncat dari pengembangan jaringan gagasan yang memusat pada konsep organisasi sosial. Pemikiran mengenai organisasi sosial berimplikasi, pertama dari semua, bahwa terdapat keseluruhan dimana suatu bagian berdiri pada beberapa hubungan satu dengan yang lainnya. Kedua, itu menyebabkan konsep ketidakteraturan sosial adalah bahwa suatu keragaman bagian dapat keluar dari fase dengan yang lainnya Suatu perspektif ketidakteraturan sosial muncul dari pengembangan sudut pandang ini, dan sejalan dengan waktu menjadi cara belajar masalah sosial yang paling populer. Menjadi lebih spesifik, sosiolog mulai memandang masalah sosial sebagai indek ketidakteraturan sosial, sebagaimana mereka telah mengembangkan kerangka konsep sosiologis yang untuk menjelas keteraturan sosial sosial, mereka juga mengembangkan konsep susada/ sister untuk mendeskripsikan dan menjelaskan ketidakteraturan sosial. Pada akhirnya, sosiologi mulai berkembang sebagai disiplin ilmu dengan persoalan pokok tersendirinya, konsep miliknya. Dan cara nya menggambarkan kenyataan. PERBEDAAAN ANTARA FATOLOGI DAN PERSPEKTIF KETIDAKTERATURAN Dibandingkan dengan perspektif fatologi sosial yang lebih awal, perspektif ketidakteraturan sosial lebih komplek, lebih nyata secara intelektual, dipertimbangkan lebih sistematis menguntungkan, tentu saja, dari kedewasaan sosiologi yang lebih besar sebagai disiplin pada saat dibangunnya. Itu bersifat instruksi, pada titik ini, untuk membandingkan dua perspektif pada term persoalan pokok mereka, kosa kata, metode, dan perhatian terhadap aplikasi praktis. Seorang ahli fatologi sosial mempelajari masalah sosial dengan memperhatikan pada kegagalan individu dan institusi. Perbandingan perspektif fatologi dan ketidakteraturan ini memunculkan pembagian opini kronis dalam pengakuan sosiologi apakah sosiolog seharusnya mereka sendiri membuat penilaian moral atau mereka seharusnya mengabaikan studi penilaian moral yang lainnya. Ahli fatologi telah membuat penilaian moral dengan mengakui pada institusi dan individu serupa TEORI KETIDAKTERATURAN SOSIAL UTAMA Cooley. merumuskan suatu batasan antara hubungan grup utama dan grup kedua. Hubungan utama merujuk pada hubngan face-to-face pribadi dan kekal. Hubungan kedua. Dengan kata lain, kurang sering, kontak impersonal. Memberian batasan berbeda ini, sosiolog secara cepat melihat bahwa perpindahan dari desa ke area kota/ urban telah diikuti dengan kemacetan pada pengawasan kelompok utama. Kedua, Cooley telah mengkonsepkan ketidakteraturan sosial sebagai disintegrasi dari tradisi. Dia beralasan bahwa aspek terburuk dari ketidakteraturan sosial adalah bahwa ‘kemunculan standar sosial …lebih rendah…(orang) bidang dari pencapaian dan melontarkan daia kembali kepada sensibilitas dan impuls primitif lainnya.”4 Thomas dan Znaniecki mendefinisikan ketidakteraturan sosial sebagai kemacetan pengaruh aturan pada individu. Yang terbesar pada kerja mereka berisi surat yang ditulis oleh imigran Polandia pada temannya dan relatif kembali kerumah di Polandia. Suratsurat itu semuanya memberikan kesaksian pada konflik kebudayaan, etnik sama baiknya dengan generasi. Ogburn. Sumbangan Ogburn yang utama adalah gagasan mengenai ketertinggalan budaya.6 Suatu bagian yang berbeda dari kebudayaan dan saling tergantung, Ogburn berkata, dan bahwa ketika bagian yang berbeda berubah pada tingkat yang berbeda, saatu bagian akan keluar fase dengan yang lainnya dan menghasilkan gangguan. KARAKTERISTIK PERSPEKTIF KETIDAK TERATURAN SOSIAL Elemen utama perspektif ketidakteraturan sosial adalah sebagai berikut : Definisi. Ketidakteraturan sosial diterima sebagai kegagalan aturan. Tiga tipe utama ketidakteraturan adalah ketiadaan norma, konflik kebudayaan, dan kemerosotan. Penyebab. Penyebab utama ketidakteraturan sosial adalah, pembicaraan yang luas, perubahan sosial. Sebagaimana perubahan terjadi, suatu bagian dari sistem sosial keluar pada aturan dengan yang lainnya. Kondisi. Suatu bagian dari sistem sosial tidak pernah sempurna dalam aturan, biasanya terdapat keseimbangan dinamis, beberepa kondisi yang mengganggu suatu keseimbangan mungkin menimbulkan ketidakteraturan sosial. Kondisi demikian meliputi teknik, demografi, atau perubahan kebudayaan yang membangkitkan perubahan sosial (perubahan dalam hubungan sosial) Konsekuensi. Perspektif ketidakteraturan sosial memperidiksi hasil sistem dan orang. Untuk manusia, ketidakteraturan sosial menghasilkan tekanan, yang mana menyebabkan “ketidakteraturan sosial”. sebagai contoh, sakit mental, alkoholisme. Untuk sistem mempunyai tiga macam konsekuensi.pertama, disana terjadi perubahan dalam sistem (beberapa respon atau adaptasi membawa beragam bagian dari sistem kembali kedalam keseimbangan). Kedua, suatu sistem dapat berlanjut pada fungsi apapun). Ketiga, sistem mungkin merusak (ketidakteraturan begitu mengacaukan serta merusak sistem). Solusi. Usaha-usaha untuk mereduksi ketidak teraturan sosial dapat menjadi dorongan pada pengaruh suatu diagnosa yang tepat yang telah dibuat. Jadi, bagian-bagian dari sistem yang keluar dari sistem akan membawa kembali kepada keseimbangan, sebagai contohnya, perubahan teknik akan menurun secara perlahan. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Setelah perang dunia I, sosiolog Amerika Strove untuk membangun ilmu sosiologi sebagai disiplin ilmiah yang independen dengan konsep tersendiri dan materi sebagai subyeknya. Pada waktu yang sama, migrasi, pertumbuhan urban, dan perubahan teknologi terlihat menghasilkan sejumlah masalah sosial, dan sosiolog bekerja keras untuk seperangkat kategori bahannya untuk menjelaskan dan menerangkan masalahmasalah tersebut. Cooley telah mengajarkan generasi sosiolog untuk mencari tanda dari gangguan tradisi, khususnya yang direfleksikan pada penurunan kebiasaan kecil, keiintiman anggota dalam kelompok. Thomas dan Znaniecki Denise suatu set konsep penting dan dalam studi mereka mengenai imigran Polandia ke Amerika, menggambarkan bagaimana perpindahan di kota asing dalam luar tanah keluarga, mempertajam konflik generasi, meningkatkan kesempatan kejahatan dan sakit mental. Ogburn menguji pengaruh teknologi pada organisasi sosial, mengembangkan teori berpengaruhnya mengenai ketertinggalan kebudayaan, dan membantu perkembangan seluruh sekolah mengenai pembagian teknologi. Secara singkat, ketidakteraturan sosial ditandai kegagalan aturan. Perubahan sosial biasanya dipandang sebagai penyebabnya, dan teknologi, demografi, dan perubahan budaya dipandang sebagai …kondisi. Ketidakteraturan personal dan ketidakseimbangan dari suatu sitem sosial muncul sebagai konsekuensi dari ketidakteraturan sosial, dan solusi untuk ketidakteraturan ini adal membawa keadaan dari sistem sosial ini kembali kepada keseimbangan. PERUBAHAN SOSIAL DAN KETIDAKTERATURAN SOSIAL Robert E. park Dasar dari organisasi sosial, Park mengatakan bahwa tradisi merupakan adat istiadat. Dan selama periode stabilitas, suatu kelurga, tetangga, dan komunitas bergabung untuk menerapkan kontrol pada banyak orang. Urbanisasi, industrialisasi, dan imigrasi mengacaukan dan mempengaruhi stabilitas. Dengan demikian merusak otoritas dan sistem sosial tradisional. Kecenderungan masyarakat modern menyebabkan perubahan itu, pada gilirannya menghasilkan ketidakteraturan sosial. Contoh-contoh ketidakteraturan sosial ditemukan diantara orang-orang migran, dan orang terlantar atau gelandangan. Dan dalam carut marutnya kehidupan di area ditemukannya orang-orang tersebut. EKOLOGI KETIDAKTERATURAN URBAN Robert E. L. faris dan Warrean Dunham Meskipun urabanisme dan ketidakteraturan sosial cenderung bersamaan, timbulnya masalah sosial beragam dalam struktur ekologi suatu kota. Perhatian terhadap area berbeda dari suatu kota, Park, Burgess dan Mc Kenzie menemukan tingkat ketidakteraturan sosial dan masalah sosial yang terbesar pada apay yang mereka namakan “ zona dalam transisi” suatu zona yang dicirikan oleh perumahan sederhana dan rumah petak, usaha yang tidak kekal, dan bangunan yang bobrok. Masalah sosial diasosiasikan dengan indek keteraturan yang meliputi perbuatan jahat, kemiskinan, alkoholisme, sakit mental, dan keluarga yang berantakan. Faris dan Dunham percaya bahwa ketidakteraturan sosial membawa pada masalah sosial dengan menjebol kontrol grup utama. Karenanya, tingka dari masalah sosial yang tertinggi di pusat kota, dimana ketidakteraturan sosial juga yang tertinggi; sebaliknya, batas luar indek ketidakteraturan sosial merupak yang terendah yang muncul pada masalah sosial. AREA-AREA SIRKULAR ALAMI YANG DIGAMBARKAN SEBAGAI ZONA Karakteristik yang paling mencolok dari pola urban ini dalah sebgaiamana yang dijelaskan oleh Profesor Burges,1 mungkin diwakili oleh suatu sistem pada zona konsentris, yang ditunjukan pada grafik I. Zona I, pada pusatnya adalah pusat bisnis, area tersebut dipenuhi oleh toko, kantor usaha, tempat hiburan, industri, dan usaha bisnis yang lainnya. Hanya sedikit tempat tinggal di area ini kecuali untuk penduduk sementara dalam hotel besar, dan orang tunawisma, bagian “hobohemia” yang biasanya berlokasi pada pinggiran distrik bisnis. Zona II disebut dengan zona dalam transisi. Penunjukan ini merujuk pada fakta bahwa perluasan kawasan industri meluas pada ujung bagian dalam. Nilai tanah tinggi karana harapan terjual untuk tujuan industri, bangunan-bangunan tempat tinggal tidak diharapkan memenuhi area secara permanen, mereka tidak memelihara pada perbaikan keadaan. Oleh karena itu, bangunan tempat tinggal dalam keadaan buruk dan menyewakannya rendah. Pekampungan kumuh tersebut ditinggali oleh tenaga kerja yang tidak punya keahlian dan keluarga mereka. Semua perkampungan dari penduduk sebelah sama baiknya dengan area kamar-rumah yang terletak dalam zona ini. Zona III, zona para pekerja rumah, adalah berpenduduk dengan populasi yang lebih stabil dengan persentasi yang tinggi dari buruh terlatih dan beberapa…….Hal ini ditentukan di dalam kunjungan antara perkampungan kumuh dengan area pemukiman.Dalam lokasi ini …………atau penanganan kelompok imigran kedua, mewakilkan generasi kedua dari keluarga itu yang mempunyai perpindahan tempat dari zona II. Zona IV dan V adalah zona apartemen dan para pekerja yang sibuk yaitu mendiami keluarga kelas menengah atas. Persentasi yang tinggi dari kediaman mereka untuk periode lama pada alamat yang sama. Pada area ini kestabilan adalah peranan dan kekacauan sosial yang luarbiasa…… Karakteristik populasi dalam zona ini kelihatan menghasilkan secaraalami dari kehidupan yang lebih cukup dari yang sebaliknya. Hal ini menunjukan dengan fakta yang mencolok sebagai alur perbedaan mereka. Besarnya bagian perpindahan populasi menuj kota akibat dari adaya arus para pekerja yang tidak ahli kedalam zona II yaitu zona transisi. Perpindahan ini menyebabkab tersingkirnya masyarakat yang sudah ada disana, megharuskan mereka untuk bergerak cepat ke zona selanjutnya. Pada umumnya, gelombang populasi di kota ini adalah sebuah karakter, dari zona dalam terhadap yang diluar. Masing-masing zona, bagaimanapun menahan karakteristik ini apakah penduduk asli, penduduk luar atau negro. Juga Masing-masing rasial atau kelompok nasional meubah karakter ini sebagai pergerakan suatu zona ke zona selanjutnya. Dari sistem zona ini terdapat penyaringan dan penyortiran lebih lanjut dari sisi ekonomi dan sosial institusi dan populasi. Kompetisi dari segi lahan di kota masingmasing mereka punya tempat untuk bertahan. Penemuan tempat itu terkadang dengan mencoba dan gagal. Disana munsul kompetisi dari segi keuangan, pertokoan eceran, toko spesialis, pergudangan dan lain-lain. KETIDAKTERATURAN KELUARGA W.I. Thomas dan Florian Znaniecky Aturan untuk mendefinisikan sesuatu pada masyarakat tradisional membutuhkan orang untuk fokus pada apa yang terbaik bagi grup, atau suatu sikap “kami” sebagaimana Thoma dan Znaniecky menyebutnya. Imigrasi mengungkapkan orang, khususnya anak-anak, pada seperangkat aturan yang baru untuk mendefinisikan situasi pada masyarakat yang lebih moderen. Disini, orang diharapkan untuk memfokuskan lebih pada apa yang terbaik bagi pribadi mereka, atau apa yang Thomas dan Znaniecky sebut dengan sikap “saya”. Suatu pertentangan dari dua sikap tersebut menghasilkan kompetisi definisi dan aturan. Dan salah satu grup dapat distinguish… antara sikap “saya” dan “kami”, suatu kemampuan dari seperangkat aturan yang lainnya untuk mempengaruhi prilaku yang terlemah yang tidak dapat diukur. Ini adalah essence…dari ketidakteraturan sosial sebagaiman Thomas dan Znaniecky melihatnya. Kini kita dapat menarik kesimpulan umum dari data yang secara hipotetis akan kita ajukan sebagai peraturan sosiologis, yang dibenarkan dari pengamatan masyarakat lain. 1. Penyebab sebenarnya dari semua gejala kekacauan keluarga akan ditelusuri dalam pengaruh nilai-nilai baru tertentu – baru dalam subjek ini – seperti : sumber kepuasan hedonis baru, nilai kesombongan baru, jenis organisasi ekonomi baru (individualistik), bentuk daya tarik seksual baru. Pengaruh anggapan ini, tentu saja, bukan hanya persentuhan antara individu dengan dunia luar tetapi juga keberadaan kepribadian sikap individu tertentu yang membuatnya merespon pada nilai-nilai baru tersebut – aspirasi hedonis, hasrat pengakuan sosial, hasrat kelanggengan ekonomi, nafsu seksual. 2. Penampilan sikap individualistik baru dapat ditandingi, seperti pengaruh dari suatu penyebab, karena pengaruh penyebab lainnya; hasilnya adalah kombinasi pengaruh yang mengambil bentuk penekanan dari sikap baru; sikap baru tidak memungkinkan tetap berada dalam kesadaran penuh atau mewujudkan diri dalam tindakan, tetapi terdorong menjadi setengah sadar. Penyebab yang menandingi individualisasi didalam keluarga terutama adalah pengaruh komunitas primer dimana keluarga menjadi bagian darinya. 3. Perwujudan kekacauan keluarga pada perilaku individu adalah pengaruh sikap subjek dan kondisi sosial; kondisi sosial ini tentu harus diambil beserta makna yang dimilikinya untuk bertindak individual sendiri, bukan untuk pengamat diluar. 4. Terbukti sulit untuk memulihkan kembali psikologi keluarga semula setelah terpecah belah, karena individu yang belajar secara sadar untuk membedakan dan saling menandingi keinginannya dan para anggota keluarganya dan menganggap keinginan-keinginan itu hanya bersifat pribadi tidak dapat melupakannya dan kembali pada sikap “kami” semula. Maka penataan kembali keluarga adalah hal yang mungkin, tetapi dengan dasar yang sama sekali baru – yaitu moral, kordinasi dan harmonisasi sikap individu untuk meraih tujuan umum. KEMUNDURAN KOMUNITAS KULIT HITAM Elijah Anderson Kondisi sosial manakah yang membuat suatu komunitas mulai kehilangan kontrol terhadap para anggotanya? Anderson mengajukan dua: (1) pimpinan yang bergerak diluar gerakan dan (2) mengurangi kontak sosial dengan sedikit model peran yang masih ada. Sebelum ada perubahan hak-hak sipil, pimpinan Northton, baik golongan menengah dan atas, mempertahankan persentuhan dengan semua segmen populasi di Northton. Sebagai pimpinan dan pemegang tradisi, mereka menerapkan etika kerja keras dan menjadi agen kontrol sosial yang kuat. Setelah kemenangan hak sipil membukakan kesempatan mereka di dunia kulit putih, baik jumlah kaumnya di komunitas maupun persentuhan dengan dunia itu menurun jauh. Ketiadaan pemimpin yang menerapkan baik norma kerja maupun penegakannya dalam kehidupan sehari-hari mengarah pada keterpecahan kontrol kelompok primer pada pelaksanaannya. Setelah itu, yang terjadi adalah peningkatan sebagian indeks-indeks kekacauan sosial: kebandelan, narkoba, kehamilan remaja, dan mungkin yang paling memukul adalah, kejahatan kulit hitam terhadap kulit hitam. KONSEP KETIDAKTERATURAN Marshall B. Clinard Ketidakteraturan sosial bermula sebagai konsep sensitif bagi sosiolog, dan sosiolog generasi pertama yang memakai konsep ini lebih mampu memahami perubahan di masyarakat melalui pendapat. Tetapi generasi sosiolog berikutnya merasa gagasan ini tidak berdasar dan membingungkan. Dalam intisari ini, Clinard meringkas permasalahan konsep. Secara subjektif, penulis cenderung tidak jelas, keliru, atau bias dalam menggunakan gagasannya. Secara objektif, mereka cenderung mencampuradukkan perubahan, perilaku menyimpang, sub-budaya, dan keragaman manusia dengan ketidakteraturan sosial. . . . Keadaan tidak teratur sering dianggap sebagai adanya “kemunduran kontrol sosial terhadap perilaku individu” dan mundurnya persatuan kelompok dikarenakan pola perilaku dan kontrol sosial sebelumnya tidak lagi efektif. Ada sejumlah keberatan terhadap kerangka acuan ini. (1) Ketidakteraturan merupakan konsep yang terlalu subjektif dan gamang dalam menganalisis masyarakat umum. Tetapi pemakaian konsep yang efektif dapat dilakukan dalam kajian kelompok dan kelembagaan tertentu. (2) Ketidakteraturan sosial berarti runtuhnya kondisi organisasi yang sebelumnya ada, sebagai satu situasi dimana umumnya tidak dapat dibangun. Perubahan sosial sering rancu dengan ketidakteraturan sosial tanpa menunjukkan sebab sebagian perubahan sosial tidak teratur sedangkan yang lain tidak. (3) Ketidakteraturan sosial biasanya dianggap sebagai sesuatu yang “tidak baik,” dan hal yang tidak baik menjadikan penilaian pengamat dan anggota golongan sosialnya atau kelompok sosial lainnya. Sebagai contoh, praktek perjudian, perilaku di bar, kebebasan hubungan seks, dan perilaku lain bukan berarti bahwa kondisi ini secara alami “tidak baik” atau “tak teratur.” (4) Kehadiran bentuk perilaku menyimpang tidak serta-merta memberi ancaman besar terhadap nilai sentral di masyarakat. Adanya bunuh diri, kejahatan, atau alkoholisme mungkin saja bukan hal serius jika nilai-nilai lain sedang dicapai. Masyarakat Amerika, misalnya, memiliki derajat kesatuan dan integrasi yang tinggi meski tingkat perilaku menyimpang juga tinggi, jika kita menganggap nilai tersebut sebagai nasionalisme, produksi industri yang sangat maju, dan sasaran pemenuhan materi. (5) Hal yang nampaknya tak teratur sebenarnya mungkin merupakan sistem yang sangat terorganisir dengan norma yang berlainan. Banyak subkultur perilaku menyimpang, seperti geng nakal, kejahatan terorganisir, homoseksualitas, prostitusi, dan kejahatan kerah putih, termasuk korupsi politikus, mungkin sangat terorganisir. Seks di daerah kumuh bisa saja sama sangat terorganisir dan sama normatifnya menyangkut hubungan pranikah di satu sisi seperti seks golongan menengah di sisi lain. Norma dan nilai di daerah kumuh sangat terorganisir, seperti diperlihatkan oleh Whyte dalam Street Corner Society. (6) Terakhir, seperti dikemukakan sebagian sosiolog, dimungkinkan bahwa beragam subkultur dapat berkontribusi, melalui keberagamannya, terhadap kesatuan atau integrasi masyarakat bukan malah memperlemah masyarakat dengan membentuk suatu situasi ketidakteraturan sosial. KONFLIK NILAI PARA TEORITISI KONFLIK DAN RUMUSAN PERSPEKTIF KONFLIK NILAI Perspektif konflik nilai mengembangkan suatu sintesis teori-teori konflik nilai dari Eropa dan Amerika. Di antara para sosiolog Eropa awal, para teoritisi konflik berlimpah (banyak).1 Karl Marx, untuk contoh, menjelaskan sejarah dalam arti sebuah perjuangan di antara kelas-kelas, dan Georg Simmel menganalisa konflik sebagai sebuah bentuk interaksi sosial.2 Orang-orang Amerika mempelajari para sarjana Eropa seperti hal ini dan mengembangkan dugaan yang mereka punyai tentang konflik sosial,3 namun hingga 1920an dan 1930an, mereka tidak menerapkan perspektif konflik untuk mempelajari masalah-masalah sosial. Pada 1925, Lawrence K. Frank membela pendekatan konflik nilai untuk mempelajari masalah-masalah sosial; penerapan perspektif ini bagi masalah-masalah rumah tangga(housing), Frank telah menunjukkan bagaimana suatu ragam kepentingan sosial telah dilibatkan dalam pertanyaan-pertanyaan rumah tangga (housing) dan bagaimana merubah diperkenalkan untuk memecahkan masalah-masalah kekumuhan perkotaan yang akan melibatkan satu tuan rumah dari kelompok-kelompok dalam konflik-konflik kepentingan tiada akhir.4 1 Untuk contoh, Ludwig Gumplowicz, Karl Marx dan Friedrich Engels, Gustav Ratzenhofer, dan Georg Simmel. 2 Lihat, untuk contoh, Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works, 2 vols. (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1965), dan Georg Simmel, “The Sociology of Conflict,” terjemahan Albion Small, American Journal of Sociology 9 (1903-04): 490-525, 672-89, 798811. 3 Di Amerika, para teoritisi konflik awal paling penting adalah Albion Small danRobert Park. Small secara luas menjadi bertanggung jawab untuk memperkenalkan tulisan-tulisan Simmel kepada para sosiolog Amerika. Selain itu, Small menguji konflik sebagai salah satu bentuk dasar dari interaksi, dan dia menggunakan dugaan konflik pada bagian besar tulisan-tulisannya tentang masyarakat (komunitas) kota dan hubungan-hubungan ras. Lihat Albion W. Small dan George E. Vincent, An Introduction to the Study of Society (New York: American Book Company, 1894), dan Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, Introduction to the Science of Sociology (Chicago: University of Chicago Press, 1921). Lawrence K. Frank, “Social Problems,” American Journal of Sociology 30 (Januari 1925): 46375 4 Konsekuensi-konsekuensi. Konflik dapat menjadi penggosok (abrasive) dan merugikan. Beberapa kali konflik-konflik mengakibatkan pengorbanan nilai-nilai yang lebih tinggi di atas kepentingan nilai-nilai tingkat yang lebih rendah. Lebih sering konflik-konflik mengakibatkan jalan buntu atau kekalahan oleh pihak yang lebih lemah dalam konflik. Konflik juga menghasilkan suatu tradisi ”perasaan buruk” di antara kelompok-kelompok. Bagaimanapun ditambahkan, sebagaimana para pengamat lebih tekankan, konflik-konflik dapat memiliki pengaruh positif membantu kelompok-kelompok mengklarifikasi nilainilai mereka. Solusi-solusi. Perspektif konflik nilai mengajukan tiga cara di mana masalah-masalah sosial memunculkan perbenturan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dapat dipecahkan: konsensus, perdagangan, dan mengambil kekuatan. Jika pihak-pihak dapat memecahkan konflik atas kepentingan dari seperangkat nilai yang lebih tinggi dibagi oleh kedua belah pihak, maka akan mendapat (memenangkan) konsensus. Jika para pihak dapat menawar (bargain), maka suatu perdagangan nilai-nilai – semua dalam semangat proses demokratis—dapat mengambil bagian. Jika baik konsensus maupun perdagangan telah dilakukan, maka kelompok-kelompok dengan sangat berkuasa mengambil kendali (kontrol). RINGKASAN DAN KESIMPULAN Konflik selalu ditampilkan dalam pemikiran penting para sosiolog Eropa dan Amerika. Namun sebagaimana para sosiolog Amerika telah berusaha untuk mengembangkan sosiologi sebagai sebuah ilmu, mereka telah mulai untuk memfokuskan terhadap keteraturan sosial dan nampak melupakan tentang konflik sebagai fakta dasar dari kehidupan sosial dan komponen utama dari banyak masalah sosial.5 Tahun-tahun Depresi, bersama-sama dengan Perang Dunia II, telah membangkitkan kembali minat dalam teori konflik dan membuat sosiologi lebih ”relevan” dengan masyarakat. Fuller dan Myers telah menghasilkan rumusan pijakan dari pandangan ini, yang berlanjut untuk menjadi populer di antara para sosiolog. John Horton, “Order and Conflict Theories of Social Problems,” American Journal of Sociology 71 (Mei 1966): 701-13. 5 Dari perspektif ini, masalah-masalah sosial dilihat sebagai timbulnya dari konflikkonflik nilai. Kompetisi dan tipe-tipe khusus dari kontak di antara kelompok-kelompok adalah kondisi-kondisi yang mengembangkan konflik. Konflik-konflik nilai secara teratur mengarah kepada polarisasi kelompok-kelompok dan suatu klarifikasi nilai-nilai mereka. ”Solusi’ mengambil bentuk dari penggunaan kekuasaan, tawar-menawar, atau pencarian sebuah konsensus. KONFLIK NILAI-NILAI Richard C. Fuller dan Richard R. Myers Fuller dan Myers, dua teoritisi utama dari perspektif konflik nilai, menempatkan tiga macam masalah sosial: fisik, amelioratif (bersifat perbaikan), dan moral. Pembedaanpembedaan berkisar di seputar apakah orang setuju atau tidak tentang sesuatu yang tidak diharapkan dari keadaan (kondisi) dan tentang tindakan apa yang harus diambil. Dengan masalah-masalah fisik (seperti badai tornado atau angin topan),orang setuju bahwa kondisi yang tidak diharapkan dan tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan seputar sebab fisik dari masalah. Mereka dapat tidak sepakat tentang bagaimana untuk setuju dengan konsekuensikonsekuensi kejadian tersebut. Dengan masalah-masalah amelioratif (seperti kejahatan atau kemiskinan), orang setuju bahwa kondisi yang tidak diharapkan dan bahwa kondisi itu dapat diperbaiki, namun mereka tidak setuju seputar tindakan apa yang harus diambil. Dengan masalah-masalah moral (seperti aborsi atau perjudian), orang tidak setuju tentang apakah kondisi yang tidak diharapkan atau seputar apa tindakan, jika ada, yang seharusnya diambil. Sebagaimana masyarakat berubah, masalah-masalah dapat bergeser dari satu kategori ke yang kategori lainnya. Meskipun demikian, Fuller dan Myers bertahan pada pendapat bahwa pokok semua masalah sosial adalah ”konflik dalam skema nilai budaya.” Kegagalan ahli ahli sosiologii untuk mengembangkan orientasi ahli sosiologii yang berdaya guna melawan dari ketidakmampuan mereka untuk membebaskan dirinya dari konsep tradisional “masalah sosial” yang tidak realistis, karena konsep tersebut belum lengkap. Secara tradisional, ahli ahli sosiologii menghadapi masalah sosial sebagai “pemberian” ketimbang sebagai fenomena yang didemonstrasikan. Mereka memandang suatu kondisi tertentu sebagai masalah sosial yang tak terhindarkan, baik untuk mencocokannya dengan pola nilai atau juga karena kondisi seperti itu secara historis Masalah sosial adalah suatu kondisi dimana sebuah penyimpangan aktual dan terimajinasi dari beberapa norma sosial yang dipertahankan oleh sejumlah masyarakat yang berpengaruh, tapi siapakah yang akan mengatakan sebuah kondisi adalah suatu penyimpangan? Ahli ahli sosiologii mungkin akan mengatakan tidak. Tetapi hal itu tidak membuat kondisi masalah sosial dari pandangan seorang Laymen. Ahli sosiologi sudah menyamaratakan penyimpangan tanpa kekhawatiran untuk mengkonsultasikan definisi kondisi yang Laymen buat. Pada tingkatan yang pertama, kita memiliki apa yang disebut dengan masalah fisik. Masalah fisik menggambarkan suatu kondisi yang dengan praktis semua masyararakat menganggapnya sebagai ancaman terhadap kekayaan mereka. Tetapi pertimbangan nilai tidak dapat dikatakan sebagai penyebab masalah itu sendiri. Ini mungkin merupakan demonstrasi yang terbaik bagi masalah bencana alam seperti gempa bumi, badai, banjir, kekeringan, wabah belalang dan sebagainya. Ini merupakan masalah yang serius dari pendirian masyarakat yang mereka yakini. Sehingga, kita dapat memunculkan pertanyaan apakah masalah-masalah tersebut dikategorikan sebagai masalah sosial ataukah bukan, karena masalah-masalah tersebut tidak lagi terjadi karena konflik dalam nilai budaya. Pada tahapan kedua, kita memiliki masalaha melioratif. Tipe masalah ini menggambarkan kondisi yang pada umumnya masyarakat sependapat bahwa hal tersebut bukanlah hal yang menyenangkan di setiap situasi apapun. Inti masalah amelioratif adalah satu solusi dan administrasi untuk membentuk daripada perjanjian orisinil yang mana kondisi tersebut merupakan masalah sosial yang harus diberantas, kriminal dan kejahatan yang termasuk dalam kategori ini. Pada level ketiga kita memilki apa yang disebut masalah moral. Masalah moral menggambarkan kondisi dimana tidak adanya kebulatan pendapat dalam masyarakat, kondisi yang tidak diharapkan dalam setiap kesempatan. Tidak ada pendapat umum yang menyatakan kondisi tersebut adalah sebuah masalah dan banyak orang tidak berfikir bahwa sesuatu harus dilakukan untuk hal tersebut. Dengan masalah mental, kita memiliki sebuah kebingungan paling dasar dalam nilai sosial yang lebih dalam dari pertanyaan solusi yang membingungkan kita pada masalah amelioratif. Masalah amelioratiftentunya menggambarkan kebingungan pada pola nilai dan element nyata dari konflik moral. Tapi konflik semacam itu berpusat pada kitaran teknis dan alat pembentukan daripada berpusat pada kesepakatan yang fundamental mengenai nilai objektif dan pokok. Fungsi dari klasifikasi ini adalah dalam relatifitasnya. Tujunnya adalah bukan untuk menyimpan masalah yang berbeda dengan berakhir pada sejumlah kondisi dalam satu level. Tapi ketimbang memberikan kita perkerjaan dasar untuk mengobservasi posisi pada setiap masalah terhadap masalah lainnya. Dan juga untuk memberikan pola nilai pada keseluruhan masalah. Perlu dicatat, bahwa masalah akan bergerak dari satu kategori ke kategori lainnya dengan bentuk perubahan pada hasil tulisan pengetahuan ilmiah dan dengan pergantian pola nilai. Ketika masalah fisik berhenti menjadi masalah esensial dalam mekanika dan pengetahuan medis serta melibatkan pertanyaan mengenai kebijakan sosial; hal-hal tersebut berangsur mensejajarkan masalah sosial pada level kedua. Seperti indikasi penyakit kelamin yang sudah membuat transisi, walaupun kelumpuhan yang diakibatkan firus folio tidak termasuk di dalamnya. Ketika masalah yang ada sekarang ini diklasifikasikan sebagai masalah moral, maka akan berakhir pada perluasan celaan terhadap budaya bangsa kita sebagai kondisi yang harusnya dilakukan juga bersama-sama oleh setiap instansi. Masalah tersebut akan menjadi masalah yang esensial bagi usaha pencarian solusi daripada kesepakatan mengenai nilai dasar dan akan berhadapan dengan masalah amelioratif. Suatu saat nanti buruh anak akan dipandang sebagai tindakan kriminal sama seperti halnya dengan perampokan dan pembunuhan yang saat ini juga sudah dianggap sebagai tindakan kriminal. Kemungkinan juga perang akan didefinisikan sebagai hal yang buruk, seburuk orang mendefinisikan penyakit kelamin. TAHAP-TAHAP SUATU MASALAH SOSIAL Richard C. Fuller dan Richard R. Myers Menurut Fuller dan Myers, masalah-masalah sosial mengikuti suatu urutan pekerjaan (“karir”) secara teratur. Keduanya berpendapat bahwa semua masalah sosial berlangsung Melalui tiga tahap, yaitu kesadaran (awareness), penentuan kebijakan (policy determination), dan pembaharuan (reform). Dalam tahap pertama, kelompok-kelompok mulai untuk melihat suatu situasi khusus sebagai sebuah ancaman terhadap pentingnya nilai-nilai. Pada tahap kedua, orang-orang memilih pihak-pihak, mengartikan ulang (mendefinisikan ulang) nilai-nilai, dan menawarkan usulan-usulan untuk tindakan (aksi). Pada tahap ketiga, beberapa kelompok atau kelompok-kelompok menggantikan kumpulan tindakan atas nama nilai-nilai mereka. Jadi, Fuller dan Myers berpendapat bahwa nilai-nilai secara jelas terlibat (dilibatkan) dalam semua fase (tahapan) dari sejarah suatu masalah sosial. Kerangka analitikal khusus yang kita sebut “sejarah alamiah” diperoleh dari konsep diatas mengenai apa yang menentukan sebuah masalah sosial karena kita memasukkan keseluruhan karekteristik umum. Karakteristik umum ini mengaplikasikan tahapan perkembangan umum melalui warisan masalah sosial yang diperoleh yang terdiri dari tahapan temporal pada kemunculan dan perkembangannya. Sebagaimana kita menggunakan istilah “sejarah alamiah” yang merupakan alat konseptual untuk menguji data yang menunjukkan masalahsosial. KESADARAN Asal mula masalah sosial terletak pada kesadaran masyarakat dalam sebuah pemberian tempat untuk sebuah realisasi bahwa penghargaan tertentu dipengaruhi oleh kondisi yang telah menjadi akut. Definisi kekhawatiran muncul hanya karena nilai-nilai kelompok dipertimbangkan untuk dilibatkan. Tanpa kesadaran atau “masalah kesadaran” di kelompok masyarakat tertentu Keputusan kebijakan tetap menjadi hal yang perlu pada tahap pembentukan kembali, namun keputusan tersebut biasanya melibatkan masalah teknis yang cukup berhubungan untuk menyelesaikan pertanyaan tersebut oleh para ahli kekuasaan khusus. Tentu, pertanyaan kebijakan mungkin ditangani oleh para administrator kapanpun publik mengujinya akan kemampuan penyensoran, veto, dan referendumnya. Agen publik yang telah berdiri mempunyai bukti yang cukup untuk dalam bidang pengadminitrasian pembentukan kembali yang berhubungan dengan sebuah masalah komunitas baru atau mungkin membutuhkan mendirikan para agen administrasi baru. KESIMPULAN Kami telah memberikan interpretasi ”kelaziman sejarah” dari masalah sosial sebagai kerangka konsep kasar untuk pengujian masalah spesifik yang dinamis. Nyatanya, sebelum teknik kelaziman sejarah dijadikan seabagai sebuah alat penelitian yang akurat, banyak implikasi dari pernyataan kita harus disaring dan diselidiki dengan analisis selanjutnya. Dalam pengalaman kami sebagai guru, pendekatan kelaziman sejarah membuktikan pelajaran yang sangat berharga dalam membawa siswa untuk memberikan mereka pelajaran akan masalah sosial. Kenyataan ini, seperti yang kita lihat, silang tujuan yang mana orang mencari dirinya karena mereka menghargai ketidakrukunan dan ketidakkonsistensian yang obyektif. Norma-norma organisasi yang memberikan komunitas sebuah pekerjaan rutin cenderung untuk menghasilkan konflik nilai budaya yang menciptakan dan menopang kondisi yang didefinisikan sebagai masalah-masalah sosial. Dalam rangkaian penyeledikan sementara ”menjadi” sebuah masalah sosial, siswa tidak mengambil masalah sembarangan, sebagai obyek ”kejahatan” disebabkan oleh ”penjahat”. Dia mencari untuk menjelaskan masalah sosial sebagai kemunculan dari organisasi budaya dalam komunitas, sebagai pelengkap dari bukti nilai-nilai masyarakat, tidak kehadiran patologis dan abnormal dari apa yang diasumsikan menjadi layak dan normal. Sepertiya, teknik kelaziman seharah adalah sebuah orientasi sosial daripada sebuah orientasi kemakmuran sosial. Jika teori masalah sosial adalah berasal dari usia, harus mennghentikan hubungan yang tidak baik dari teori sosial dan menjadi teori sosial dalam haknya. NILAI-NILAI, POLITIK DAN MASALAH-MASALAH SOSIAL Joseph R. Gusfield Proses politik memiliki sebuah dimensi simbolik yang sama dengan dimensi instrumental. Gusfield menunjukkan bahwa kelompok-kelompok beberapa kali mengesahkan undang-undang yang mencerminkan pengakuan atas nilai-nilai mereka, sementara itu mendiskreditkan kelompok-kelompok lainnya dengan nilai-nilai yang berbeda. Larangan, untuk contoh, mengungkapkan konflik pedesaan, kelas-menengah, nilai-nilai Protestan dan mengembangkan konflik dengan nilai-nilai imigran (pendatang), perkotaan, kelas-bawah, nilai-nilai Katholik .Jadi, undang-undang yang berjalan sebagai simbol-simbol penumbuhan konflik nilai dan bangkitnya (munculnya) suatu perjuangan sosial yang telah berlangsung lama (jangka panjang). KATA-KATA TANPA TINDAKAN Willard Waller Dalam pernyataan klasik tentang peranan nilai-nilai dalam masalah-masalah sosial, Waller mendiskusikan ketegangan pokok antara aturan-aturan (mores) humanitarian (kemanusiaan) dan organisasional. Orang-orang membuat pertimbangan-pertimbangan nilai atas dasar aturan-aturan (mores) humanitarian (kemanusiaan). Namun, pada saat yang sama mereka sering dipaksa dalam penghapusan kondisi-kondisi yang problematis karena kerugian akibat antara yang ingin hasil vis-á-vis (berhadapan) institusi-institusi yang menjadi penting bagi mereka. Oleh sebab itu, banyak orang dapat menuju kepada suatu situasi tanpa ingin melakukan apa yang perlu untuk merubahnya. Dalam pengertian skema Fuller dan Myers, kesadaran dan penentuan kebijakan dapat eksis (ada) tanpa harus mengarahkan kepada pembaharuan (reform). Jadi, Waller menyatakan bahwa ”masalah-masalah sosial tidak dipecahkan (diselesaikan) karena orang-orang tidak ingin memecahkannya (menyelesaikannya).” Rumus sederhana prinsip kita terletak pada asumsi dua adat istiadat yang bertentangan. Masalah sosial timbul dari interaksi dua adat istiadat tersebut, yang kita sebut “organizational” dan “humanitarian”. SEBUAH KRITIK DARI PERSPEKTIF NILAI Kenneth Westhues Westhues membuat tiga kritik utama dari perspektif konflik nilai. Pertama, ia menjadi biaskelas, baginya menerima pertimbangan-pertimbangan dari kelas-kelas sosial yang lebih berkuasa dalam pengertian apa kondisi-kondisi menjadi masalah-masalah sosial. Kedua, perspektif konflik nilai tidak menyumbangkan kepada suatu pemahaman teoritis dari masyarakat; ia tidak satupun mengatakan kepada kita tentang struktur suatu masyarakat, bagaimana ia bekerja, dan apa yang ia hasilkan dengan cara maslaha-masalah sosial. Ketiga, Westhues mengklaim bahwa perspektif konflik nilai tidak mengatakan kepada kita bagaimana untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Westhues menyarankan bahwa sosiolog dapat mengatasi tiga kelemahan ini dengan kajian kelemahan sistemik secara lintas-kultural dari perbedaan bentuk-bentuk organisasi sosial. PENDEKATAN PLEBISCITARY Saat pendekatan kekacauan masyarakat diistilahkan dengan penyakit sosial, para ahli ahli sosiologii tidak puas akan hal tersebut. Model organik sosial yang sudah dibentuk dan penjelasannya akan menjadi bias terhadap susunan yang ada dalam pendekatan alternatif. “Public opinion”, “significant groups” atau “a majority of people” dipilih sebagai pelaku yang menghargai masalah. Penganalisa ahli menganggapnya bukan masalah sosial, namun ahli ahli sosiologii mempelajarinya sebagai masalah sosial. Mereka lalu menerapkan alat pengetahuan sosial terhadap masalah yang ia berikan, dan masalah sosial diproses engan cara yang sama seperti objek pendidikan, agama, keluarga, atau sisi lain yang terdapat dalam masyarakat. Tiga masalah dalam pendekatan plebiscitary secara garis besar. Pertama adalah masalah tanpa teori sosial atau sejarah yang rumit. Hal ini tidak berarti bahwa sejumlah besar hipotesa yang terkait tidak diperhitungkan, namun hanya teori dengan level mikro atau psikologi sosial. Tidak ada gambaran secara teori dan empiris seperti apa penduduk Amerika Serikat (atau penduduk lain). Karena itu, pendekatan plebiscitary tetap berada dalam masyarakat dan tidak dihasilkan oleh teori kebijakan yang terkait. Masalah kedua adalah bahwa definisi masalah sosial yang diberikan masyarakat masihlah luas (kritikan ini dikembangkan oleh Liazos, 1972). Jika ‘kelompok utama’ percaya pada masalah sosial tertentu, maka kelompok yang memiliki kekuatan berada dalam posisi status quo. Dalam upaya menjadikan lebih demokratis (lihat Finnigan, 1971)- sampel yang mewakili populasi tinggi diminta untuk menentukan apa arti masalah sosial, dan jawabannya ditentukan oleh tingkah media masa akhir-akhir ini yang dipengaruhi oleh pembuat opini publik. Dalam kasus lain, seperti yang diungkapkan oleh Liazos, masalah yang dipelajari dihasilkan oleh bentuk-bentuk yang sudah ada. Maka, pendekatan plebiscitary terletak pada akar praduga yang sama sebagai pendekatan kekacauan masyarakat. Masalah ketiga adalah bahwa siswa sering tidak merasa puas melihat masalh sosial yang didefinisi ulang sebagai area subtantif, apakah itu merupakan kumpulan tingkah laku atau penyimpangan. Siswa memperkirakan bahwa masalah sosial akan dilengkapi dengan kebijakan terkait; karena mereka ingin mengatasi masalah sosial dengan pengetahuan yang mereka miliki. SISTEM HARGA Sebuah pendekatan alternatif terhadap masalah sosial bisa diistilahkan dengan pendekatan sistem harga, dimana permasalahan ditentukan sebagai harga dari bentuk organisasi sosiokultur perwujudan masyarakat kecil. Pendekatan ini serupa dengan pendekatan kekacauan masyarakat yang menggambarkan masyarakat kecil sebagai sebuah struktur atau sistem. Tetapi, selain penentuan fenomena masalah tersebut yang tidak sesuai, permasalahan didefinisikan sebagai kualitas atau aspek yang tidak sesuai dengan kriteria luar. Secara garis besar, pertanyaan yang muncul dalam pendekatan ini kurang memuaskan. Pertanyaan dan pendekatan tersebut bukanlah sesuatu yang menyimpang dan disfungsional dalam masyarakat, namun merupakan pertanyaan terhadap masyarakat itu sendiri. Pendekatan perbandingan terhadap masalah sosial belum diketahui. Eisenstadt (1964:v) menyatakan kegunaan pendekatan perbandingan: Kedua, pengakuan bahwa masyarakat sosial melekat dalam sistem sosial dan dalam organisasi sosial manapun, akan meningkatkan pentingnya mempelajari keluasan perwujudan masalah sosial diberbagai lapisan masyarakat-menjadikan mereka primitif, bersejarah, atau modern-dan menganalisanya dalam struktur sosial. Implikasi politik dalam pendekatan sistem harga merupakan sebuah perubahan sosial. Melalui analisa perbandingan teoritis, siswa memahami bagaimana keragaman budaya dan struktur sosial dicatat dalam berbagai masalah sosial. Teori tersebut memiliki dasar empiris, serta memberikan fungsi sosial yang efektif dalam memanipulasi variabel kultural dan struktural yang dipelajari. Bagi siswa, teori tersebut memberikan mereka kekuatan. Bahkan jika posisi sosial mereka kekurangan kekuatan untuk memanipulasi variabel yang menyebabkan masalah sosial tertentu, setidaknya mereka mengetahui bahwa permasalahan tidak dapat dihindarkan dan diatasi hanya dengan memanipulasi variabel individu. Pengetahuan itu sendiri merupakan bentuk kekuatan, dan penolakan proses sosial adalah bentuk ketidakberdayaan. KESIMPULAN Satu atau dua bulan sebelum awal semester, ribuan ahli sosiologi harus memilih apa yang akan mereka ajarkan di kelas mereka.... Pilihan itu dibuat berdasarkan bagaimana pandangan seseorang terhadap masyarakat kecil masa kini dan peranan ahli ahli sosiologii didalamnya. Jika masyarakat kecil terlihat baik, dan jika ahli ahli sosiologii melihatnya seperti pendapat yang diungkapkan Nisbet (1966:16) sebagai satu ketertarikan dalam perlindungan masyarakat, maka pendekatan kekacauan masyarakat akan dipilih. Jika evaluasi pada masyarakat kecil dan peranan ahli ahli sosiologii dilihat sebagai sesuatu yang dipindahkan dari kebijakan publik, maka pendekatan plebiscitary bisa diambil. Jika akhirnya masyarakat dilihat sebagai perubahan struktur, dan ahli ahli sosiologii sebgai ahli profesional bisa digunakan untuk tujuan tersebut, maka pendekatan sistematis sesuai. Banyak ahli ahli sosiologii kritis memiliki sedikit ketertarikan terhadap penelitian perbandingan, khususnya di Amerika Serikat. Bisakah pengujian mereka menggunakan ukuran model utopian atau subkultur yang menyimpang atau pernyataan ideologi sosial yang dihasilkan dari pemikiran maju dan berorientasi pada perubahan? Jawabannya jelas iya. Model utopian terlalu beresiko untuk dipraktekan karena bersifat menindas. Ahli sosiologi Amerika pada khusus dan umumnya cenderung membatasi lingkungan mereka dan memasukkan nilai kedalam lingkungan dan mempelajarinya sebagai suatu hal yang biasa. Tugas yang tertinggal tidak hanya tuntutan pertumbuhan pribadi, tapi juga ilmu sosiologi yang akan membawa kita pada perubahan struktur. Bagi para ahli sosiologi Amerika, hal tersebut merupakan masalah besar, karena hampir sebagian besar karir mereka berkembang sejak masa kekuasaan Amerika Serikat dalam komunitas internasional. Budaya Amerika berkembang seiring dengan berdirinya majalah Fortune pada tahun 1940, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara terbesar di muka bumi. Dengan pernyataan tersebut, ahli sosiologi Amerika hampir tidak membutuhkan analisa silang budaya yang mempertanyakan: kemungkinan apa yang bisa dipelajari? Kini pengetahuan cenderung lebih umum, bahkan di negara Amerika serikat, dan mungkin sebuah perbandingan, serta pendekatan sistem harga pada masalah sosial akan memperoleh ketenaran. KARAKTERISTIK DARI PERSPEKTIF PERILAKU/KEBIASAAN MENYIMPANG Konsep utama/karakteristik kunci dari perspektif perilaku menyimpang adalah: Definisi. Permasalahan-permasalahan sosial merupakan refleksi dari pelanggaran terhadap norma yang berlaku / diharapkan. Tindakan tersebut dianggap menyimpang. Causes. Penyebab perilaku menyimpang karena ketidaksesuaian pelaku dalam bersosialisasi. Ada kegagalan dalam bersosialisasi. Sosialisasi berperan penting dalam kelompok primer. Condition. Pembatasan kesempatan untuk belajar, termasuk mengenai hal-hal yang berkenaan dengan perilaku menyimpang, keterbatasan dalam mencapai tujuan, perasaan tertekan, dan akses yang terbatas menjadi penyebab munculnya pola perilaku menyimpang. Consequences. Postulat perspektif perilaku menyimpang bervariasi. Beberapa macam perilaku menyimpang merugikan masyarakat. Adanya kesenjangan dalam kehidupan sosial. Atau perilaku menyimpang yang tak mendapatkan hukuman menimbulkan perilaku menyimpang yang stabil. Solutions. Pemecahan masalah perilaku menyimpang dilakukan dengan resosialisasi / pemasyarakatan., dan cara terbaik dari hal itu, menyesuaikan tindakan pelaku dengan norma yang dianut oleh kelompok primer. Tindakan ini pun untuk menyesuaikan pola perilaku yang tidak sesuai dengan acuan norma kelompok primer. Struktur sosial pun harus terbuka, sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam hal apa pun. Jika demikian, perilaku menyimpang dapat dikurangi. ROBERT MERTON : ANOMI DAN STRUKTUR SOSIAL Marshall B. Clinnard … Dalam essay yang berjudul, “ Social Structure and Anomie”, yang diterbitkan tahun 1938, dan direvisi tahun 1949, Robert Merton menjelaskan setting yang terkait dengan penjelasan secara sosial dan budaya dari perilaku menyimpang dengan pengertian anomi. Merton menulis: “ Tanpa keraguan sedikit pun, ide utama ini, dikenal dengan teori anomi, telah menjadi satu pengaruh besar dalam sosiologi selama 25 tahun, dan tulisan Merton, dalam tulisan asli dan revisinya, merupakan tulisan satu-satunya dalam sosiologi modern. Stress dapat disebabkan oleh adanya situasi sosial yang berbeda, seperti; kelas sosial, etnik dan status suku, dan berbagai macam karakteristik lainnya. Untuk menghindari hal tersebut perlu adanya kesesuaian antara perkembangan struktur sosial dan budaya dengan stabilitas sistem budaya dan sosial. Hal ini dapat diskemakan sebagai berikut: 1. Exposure. Tujuan budaya dan norma mengatur perilaku untuk mencapai tujuan. 2. Acceptance. Tujuan atau norma merupakan moral yang dipahami dan diterima. 3. Relative accessibility to the goal. Kesempatan hidup dalam keterbukaan struktur. 4. The degree of discrepancy between ketercapaian tujuan dan kesempatan yang ada. 5. The degree of anomie. 6. The rates of deviant behavior bergantung kepada perbedaan dalam beradaptasi. ADAPTASI Model Tipologi Adaptasi Individu Model of adaptation Cultural goals Institutionalized means 1. Conformity + + 2. Innovation + - 3. Ritualism - - 4. Retreatism - - 5. Rebellion -+ -+ + =menerima ; - = menolak ; -+ rejection of prevailing values and substitution of new values. Penyesuaian (Conformity). Penyesuaian antara tujuan institusi dan budaya selalu menjadi hal yang biasa dalam proses adaptasi, namun kita tidak akan melupakan hal yang sebaliknya (non-conformity). Konformitas merupakan wujud keterikatan terhadap norma tujuan budaya dan institusi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat, bagaimana pun, hal tersebut menciptakan kondisi masyarakat yang positif. Ritualisme (Ritualism). Menolak atau tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan puncak (hedonis- materialistis) dan mobilitas sosial yang tinggi untuk mencapai tujuan merupakan sesuatu yang memuaskan sebagai ritualisme. Tetapi memikirkan satu penolakan kewajiban kultural untuk mencoba mendahului dunia. Sebenarnya penyesuaian ini sepertinya juga memiliki hubungan kecil menjadi perilaku menyimpang, kecuali dalam bentuk perilaku kompulsif, dan Merton menyatakan sendiri bahwa perilaku demikian tak termasuk kategori menyimpang. Sampai, dia merasa nyaman, dengan permainan birokrasi, hal ini dihindari dengan perasaan ambisi yang tinggi dan prustasi untuk membuktikan mobilitas vertical dan horizontal yang terdapat dalam masyarakat. Pemberontakan (Rebbelion). Bentuk penyesuaian ini wujud penolakan individu yang berasal struktur sosial lama dan sangat lemah terhadap sesuatu yang baru dalam rangka mempertahankan struktur sosial yang mapan. Hal tersebut saat,” sistem institusi menghormati hambatan / rintangan untuk mencapai kepuasan sebagai tujuan yang sah.” Demikian, mengenai tinjauan perilaku menyimpang dengan menggunakan sudut pandang teori anomi Durkheim, Merton, Sutherland, dan Albert Clinnard. Perlu menjadi catatan bersama, para sosiolog tersebut merupakan mengemukakan pendapat mereka berdasarkan hasil penelitian masyarakat yang terjadi di Eropa. Pertanyaan kita adalah, adakah teori-teori perilaku menyimpang tersebut akan sangat pas atau perlu penyesuaian saat kita meneropong realitas perilaku menyimpang masyarakat kita. BELAJAR MENJADI PENJAHAT Edwin H.H. Sutherland dan Donald R.R. Cressey Walaupun Durkheim tetap berpandapat bahwa kejahatan itu adalah normal di masyarakat apapun, banyak sarjana sosiologi tetap peduli terhadap perilaku deviant sebagai hasil dari ilmu penyakit individu. Merton dan Sutherland, bagaimanapun, dibantu untuk memulihkan kembali pemahaman Durkheimian tentang perilaku deviant sebagai kejadian yang normal. Pada tingkatan struktur sosial, Merton menunjukkan perilaku deviant itu dapat dilihat sebagai tanggapan yang normal bagi suatu situasi sosial yang abnormal. Pada tingkatan interaksi sosial, orang-orang Sutherland yang berargumentasi bahwa belajar untuk penjahat dengan cara yang sama seperti mereka belajar untuk taat terhadap hukum. Dengan demikian, Sutherland dapat disimpulkan, perilaku deviant sebaiknya diterangkan dengan prinsip pelajaran sosial dibandingkan dengan prinsip kelianan psikologi. Ada dua yang prosedur yang melengkapi yang biasanya digunakan untuk disusun ke dalam pengetahuan tentang ilmu kriminologi, untuk megembangkan suatu teori yang penyebab dari perilaku jahat. Yang pertama adalah logika yang abstrak. Orang negro, penduduk pedesaan, dan orang dewasa yang muda adalah semua mempunyai angka kejahatan yang agak tinggi. Apa yang mereka lakukan bersama-sama yang mengakibatkan angka kejahatan yang tinggi ini? Prosedur yang kedua untuk menyususn pengetahuan tentang kejahatan adalah pemisahkan tingkat analisa. Ini berarti bahwa masalah dibatasi pada bagian tertentu dari situasi keseluruhan, khususnya dalam hal kronologi. Analisa penyebab harus tempatkan pada tingkatan tertentu. DUA JENIS PENJELASAN TENTANG PERILAKU KRIMINAL Penjelasan ilmiah tentang perilaku jahat dapat dinyatakan salah satu dalam hal proses kejadian sedang berlangsung pada saat kejadian dari kejahatan itu terjadi atau dalam hal proses kejadian terjadi pada awal sejarah dari penjahat itu. Di kasus yang pertama, penjelasan disebut " mekanistis", " situational," atau " dinamis";"; kedua, " historis" atau " genetis (turunan)". Kedua jenis penjelasan memadai. Yang mekanistis jenis penjelasan disenangi oleh ilmuwan biologi dan phisik, mungkin bisa menjadi jenis penjelasan yang lebih efisien tentang perilaku jahat. PENJELASAN GENETIK DARI PERILAKU KRIMINAL Penjelasan berikut ini mengacu pada proses oleh orang tertentu yang masuk terlibat ke dalam perilaku jahat. 1. Perilaku jahat yang dipelajari. Secara negatif, ini berarti perilaku penjahat itu bukanlah warisan, demikian itu; juga, orang yang tidak dilatih penuh dalam kejahatan tidak akan berperilaku jahat, halnya seseorang yang tidak otomatis melakukan perbuatan kecuali jika ia dilatih untuk berbuat. 2. Perilaku jahat dipelajari ketika berinteraksi dengan orang lain dalam proses berkomunikasi. Komunikasi ini adalah lisan dalam banyak perhatian tetapi meliputi juga " komunikasi isyarat." 3. Bagian utama dari pelajaran perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok teman pribadi yang akrab. Secara negatif, ini berarti bahwa bukanlah komunikasi antara perseorangan, seperti surat kabar dan film, peranannya yang secara relatif bukanlah bagian penting pada genesis perilaku kriminal. 4. Apabila perilaku kriminal dipelajari, pelajaran meliputi (a) teknik melakukan kejahatan, yang terkadang sangat rumit, kadang-kadang sangat sederhana; (b) pengarahan yang spesifik dalam motivasi, pengendalian, rasionalisasi, dan sikap. 5. Arahan yang spesifik tentang motivasi dan pengendalian dipelajari definisi medan dari ketentuan yang sah baik yang terkenal atau yang tidak terkenal. 6. Seseorang menjadi pelanggar oleh karena kelebihan dari definisi favorit melanggar hukum melebihi definisi yang tidak favorit yang melanggar hukum. Ini adalah prinsip dari pemisahan asosiasi. Hal itu mengacu kepada kedua asosiasi kriminal dan anti kriminal dan bertalian dengan kekuatan yang bertentangan. Bila orang menjadi l penjahat, mereka melakukannya oleh karena kontak dengan pola penjahat dan juga oleh karena pengasingan dari pola anti-penjahat. Siapapun tidak bisa mengabaikan berasimilasi dengan kultur dilingkungannya atau akan terjadi konflik deengan kultur yang lain; suatu Southerner tidak melafalkan "r" sebab Southerners yang lain tidak melafalkan "r." Secara negatif, dalil dari asosiasi diferensial ini berarti yang asosiasi itu adalah netral sepanjang kejahatan adalah terkait hanya mempunyai sedikit atau tidak ada efek pada genetik dari perilaku jahat. 7. Pemisahan Asosiasi mungkin bervariasi dalam frekwensi, janga waktu, prioritas, dan intensitas. Ini berarti asosiasi itu dengan perilaku yang jahat dan juga asosiasi dengan perilaku antikejahatan bervariasi dalam pengakuan itu. " Frekwensi" dan " janga waktu" sebagai modal cara sesuatu dilakukan dari asosiasi adalah jelas nyata dan tidak memerlukan penjelasan. " Prioritas" diasumsikan menjadi penting dalam pemahaman perkembangan perilaku yang sesuai hukum di awal masa kanak-kanak dapat tetap berlangsung sepanjang hidupnya, dan juga perilaku pelanggar yang berkembang di awal masa kanak-kanak dapat tetap berlangsung sepanjang hidupnya. 8. Proses terpelajar perilaku jahat oleh asosiasi dengan pola penjahat dan anti-penjahati melibatkan semua mekanisme yang menyangkut kepada pelajaran yang lainnya. Secara negatif, ini berarti bahwa pelajaran dari perilaku jahat tidaklah terbatas ke proses peniruan. 9 Selagi perilaku jahat adalah suatu ungkapan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, hal itu tidak dapat diterangkan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut karena perilaku noncriminal adalah suatu ungkapan dari kebutuhan dan nilai-nilai yang sama juga. THEORY KEJAHATAN KERAH PUTIH Edwin H. Sutherland Sutherland berpendapat bahwa orang mempelajari perilaku kriminal sama caranya dengan orang mempelajari perilaku yang lainnya, melalui interaksi pada kelompok terdekatnya. Apabila ketentuan yang disenangi bagi perilaku kriminal melebihi ketentuan ketentuan perilaku yang benar menurut hukum , maka orang dalam situasi ini akan cenderung untuk melanmggar hukum. Ketentuan Sutherland ini dikenal dengan prinsip asosiasi diferensial . Ia mengembangkan teorinya dalam beberapa edisi yang berlanjut dalam tulisan klasiknya Kriminoloi dan pada tahun 1937 sejarah-hidup Chic Conwel, Pencuri Profesional. Ia menemukan istilah “Kejahatan Kerah Putih” pada tahun 1937 ditujukan secara khusus kepada Perkumpulan Sosiologi Amerika ("White Collar Criminality." American Sociological Review 5 (1940) 1-12). Pada tahun 1949 ia mempublikasikan buku Kejahatan Kerah Putih (New York: Dryden Press)yang menyebar luaskan konsep tentang kriminal dengan studinya tentang beberapa pelanggaran hukum oleh lembaga. (pada tahun 1983 “”Versi tak terpotong” dari buku ini, ia memasukan semua nama-nama lembaga yang telah di hapus pada versi tahun 1949. Ia berhasil menyebar luaskan ketetapan kriminal dengan memasukannya kedalam pelajaran dari kegiatan bisnis. Ia memperluas prinsip perkumpulan terpisah dalam pelanggaran hukum dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Pada babnya dalam teori kriminal kerah putih seperti yang dikutip di bawah ini. DISORGANISASI SOSIAL Aasosiasi differential adalah suatu penjelasan yang hipotetis tentang kejahatan dari segi pandangan dari proses dengan mana seseorang diaktipkan ke dalam kejahatan. Disorganisasi sosial adalah suatu penjelasan yang hipotetis tentang kejahatan dari segi pandangan dari masyarakat itu. Dua hipotesis ini adalah konsisten satu sama lain dan satu adalah rekan pendamping dari lain itu.. Kedua-Duanya berlaku bagi kejahatan yang biasa seperti halnya ke kejahatan krah putih. Disorganisasi sosial mungkin dari jenis: anomie8 atau ketiadaan yang yang baku mengarahkan perilaku dari anggota dari suatu masyarakat di dalam atau umum di area yang spesifik tentang perilaku; atau organisasi di dalam suatu masyarakat dari yang kelompok adalah tidak sesuai dengan acuan ke praktek yang spesifik. dengan singkat dinyatakan,, Disorganisasi sosial boleh nampak dalam wujud ketiadaan konflik atau standard dari standard. Dua kondisi-kondisi adalah baik ke disorganisasi dari masyarakat kita di kendali dari perilaku bisnis: dulu, fakta bahwa perilaku adalah kompleks, teknis,, dan tidak siap yang tampak oleh warganegara yang kurang pengalaman; kedua, fakta bahwa masyarakat sedang mengubah dengan cepat dalam praktek bisnis nya. Di periode apapun dari perubahan yang cepat, standard yang tua cenderung untuk pecah; rinci dan masa waktu diperlukan untuk pengembangan dari standar baru. Konflik standard adalah format yang kedua dari disorganisasi sosial. Ini adalah serupa dengan asosiasi yang diferensial oleh karena itu melibatkan suatu perbandingan antara organisasi baik ke pelanggaran dari organisasi dan hukum kurang baik ke pelanggaran dari hukum. Karena alasan ini mungkin saja disebut dengan ketepatan yang lebih besar, organisasi sosial yang diferensial dibanding disorganisasi sosial. Bisnis mempunyai suatu organisasi agak ketat untuk dari pelanggaran dari peraturan bisnis, selagi masyarakat yang politis tidaklah dengan cara yang sama di/terorganisir melawan terhadap pelanggaran dari peraturan bisnis. Penjelasan tentang kejahatan di dalam dalam hal umum dari disorganisasi sosial telah sampai di fokus dari perhatian dari banyak ahli ilmu mengenai kejahatan untuk sedikitnya suatu generasi. Ini belum membuktikan untuk menjadi hipotesis yang sangat bermanfaat sampai ke waktu yang saat ini. Suatu definisi yang tepat tentang disorganisasi sosial tengah kekurangan, dan konsep telah sering mencakup yang implikasi etis sudah bertentangan dengan kegunaan nya sebagai suatu konsep analitis. Juga, hipotesis ini tidak bisa diuji untuk kebenaran. Akhirnya, hal itu tidak menjelaskan isi dari perilaku yang jahat atau pertimbangan untuk konflik dari standard; hipotesis menunjuk ke dan menguraikan konflik standard tetapi bukan penjelasan yang memuaskan asal usul dari konflik itu. ANOMI: TEORI DAN FAKTA Oleh: Marshall B. Clinard Teori-teori yang sangat berpengaruh banyak sekali menghasilkan kritik. Kritik tersebut biasanya berfokus pada kejelasan dan konsistensi konsep-konsep dan pada sejauh mana teori berkesesuaian dengan fakta-fakta. Dalam artikel ini, Clinard merangkum kritik-kritik terhadap teori anomi yang dibuat oleh enam sosiolog saat mereka mengikuti simposium khusus yang membahas teori ini. Kritik-kritik utama yang dihasilkan adalah sebagai berikut: keseragaman nilai-nilai nampaknya tidak mungkin ada dalam sebuah masyarakat yang kompleks; tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tingkat penyimpangan perilaku lebih tinggi dalam masyarakat sosial kelas bawah; ketidakpuasan status tidak mendorong terjadinya penyimpangan perilaku; yang disebut sebagai peran orang berperilaku menyimpang dalam memilih jenis penyimpangan sifatnya lebih kompleks dari teori yang ada; dan kontrol sosial, baik sebagai penyebab atau pencegah terjadinya penyimpangan perilaku, benar-benar diabaikan oleh teori anomi. KESERAGAMAN NILAI-NILAI BUDAYA Teori anomi Merton cenderung menganggap struktur sosial terdiri dari nilai-nilai yang lebih seragam dibandingkan dengan penelitian empiris terhadap beragam sifat yang ditunjukkan oleh masyarakat, menurut Lemert. Kritik Lemert terhadap teori anomi diarahkan pada sulitnya mengidentifikasi seperangkat nilai yang bisa dianggap bersifat universal dalam sebagian besar masyarakat saat ini. Tidak terlalu banyak masyarakat, bahkan masyarakat yag masih buta huruf, dimana “nilai-nilai dipelajari saat masih kanakkanak, diajarkan sebagai suatu pola, dan dikuatkan oleh kontrol sosial, berfungsi untuk memprediksi banyaknya perilaku sehari-hari anggota masyarakat dan untuk melaporkan usaha dalam menjaga kesesuaian nilai-nilai”. Dia juga menambahkan bahwa untuk memastikan masyarakat kontemporer, sekular, berbasis kota dan teknologi, semacam Amerika, “memiliki hirarki nilai yang seragam, baik yang ditransfer secara kultural ataupun yang diproduksi secara struktural, untuk menyaring nilai-nilai secara mudah”. Dalam masyarakat yang memiliki keberagaman etnis atau kelompok pendatang baru, atau dimana seperangkat nilai-nilai asing telah dipaksakan, sebagaimana dalam penjajahan, perilaku kriminal, misalnya, bisa dijelaskan dengan cara yang sama yang dipakai dalam menjelaskan kesesuaian nilai-nilai diantara para anggota kelompok dominan yaitu, dengan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang terpola secara tradisional dimana tidak ada batasan struktural dalam metode. BUKTI ADANYA KEBERAGAMAN PENYIMPANGAN PERILAKU KELAS SOSIAL DALAM Dalam pembahasannya, Lemert mengklaim bahwa Merton terlalu menekankan satu aspek struktur sosial dalam menjelaskan penyimpangan perilaku. Dia mengajukan pertanyaan apakah kita memiliki bukti empiris yang memadai untuk mendukung pendapat bahwa penyimpangan perilaku lebih umum terjadi dalam kelas sosial yang lebih rendah. Oleh karena itu, konsep-konsep yang lebih selektif seharusnya digunakan untuk menjelaskan bagaimana struktur sosial mempengaruhi penyimpangan perilaku. Terlebih, ada bukti yang cukup untuk mendukung pandangan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari adaptasi individu. DORONGAN-DORONGAN DILAKUKANNYA PENYIMPANGAN PERILAKU BERGANTUNG PADA POSISI DALAM KELAS SOSIAL Penemuan yang kontradiktif ini bagi Short telah menunjukkan sulitnya melakukan melakukan riset teori anomi. “Cita-cita pendidikan dan pekerjaan yang tinggi..” nampak jelas tidak mendorong anak-anak tadi untuk melakukan penyimpangan perilaku, walaupun ada batasan, pemahaman, dan tujuan dalam kesempatan-kesempatan untuk meraih cita-cita mereka”. Dia kemudian mengajukan sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa “cita-cita yang tinggi adalah indikasi dilakukannya indentifikasi nilai-nilai dan institusi-institusi konvensional. Kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai akan melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam perilaku menyimpang. Short tetap berpendapat bahwa walau pertimbangan status adalah hal penting dalam menjelaskan perilaku gang anak-anak, pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak perlu dicari dalam institusi-institusi kelas menengah dan kriteria kesuksesan. Ketidakpuasan status juga bisa bersifat penting dalam konteks yang lebih instan, misalnya status anak tersebut sebagai laki-laki atau sebagai anggota gang tertentu. Oleh karena itu sebagai kesimpulan sementara, mari kita berpendapat bahwa “perilaku gang anak laki-laki bisa dipahami sebagai sebuah usaha yang mereka lakukan untuk mencari dan menciptakan sistem status alternatif dengan bentuk gang, dan penyimpangan perilaku tersebut terkadang muncul sebagai hasil dan terkadang sebagai produk langsung dari usaha ini”. PERANAN PELAKU Lemert sangat keberatan dengan pandangan Merton akan pilihan dan tindakan yang dilakukan oleh individu-individu dalam tipe masyarakat kita. Dia merasa bahwa Merton menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya cukup kompleks. Individu tidak bebas dalam menentukan pilihan. Mereka dibatasi oleh klaim-klaim kelompoknya masing-masing. Dorongan-dorongan individu untuk melakukan penyimpangan perilaku berasal dari klaim-klaim yang saling bertentangan, bukan berasal dari tekanan kultural pada tujuan-tujuan. Kelompok dengan kepentingan khusus dalam masyarakat kita berusaha untuk memajukan atau melindungi perangkat nilai-nilai mereka…Sebagaimana yang dikatakan oleh Lemert, ..”penekanan pada cara-cara normatif ditentukan oleh biayanya, yaitu, nilai-nilai tertentu yang harus dikorbankan untuk mengadopsi metodemetode”. Dalam artikelnya yang membahas penyimpangan perilaku, Short mengatakan bahwa anomi adalah teori yang bersifat terlalu mekanik dan mengabaikan pelaku. “Apa yang tidak ada dalam penelitian perilaku gang anak muda merupakan tindakan Meadian, dimana perilaku dilihat sebagai sebuah proses penyesuaian yang terus dilakukan oleh para pelaku satu sama lain, bukannya reaksi mekanik terhadap satu atau kombinasi faktor yang ada dalam situasi, apakah faktor –faktor tersebut adalah karakteristik para pelaku, atau subkultur, atau bentuk-bentuk lain. Konsepsi inilah yang kurang dalam teori anomi”. Yang disebut “dorongan penyimpangan perilaku” dalam teori anomi memerlukan spesifikasi teori dan percobaan. PELARIAN SEBAGAI BENTUK ADAPTASI METODE DAN TUJUAN Tiga karakteristik jenis pelarian yang biasanya dibahas dalam teori anomi adalah ketergantungan obat, ketergantungan alkohol, dan kerusakan mental. Lindesmith dan Gagnon mengatakan bahwa para pemakai obat-obatan bukanlah orang yang melarikan diri dari kenyataan. Mereka mengklaim bahwa kesulitan dalam menjaga obat-obatan yang membuat mereka menjadi pecandu. Snyder merasa bahwa ada bukti yang bisa mendukung pendapat yang menyatakan bahwa alkoholik bersifat anomik bahkan sebelum kecanduan seseorang dimulai. Hipotesis “kegagalan ganda” kecanduan obat-obatan yang diajukan oleh Cloward dan Ohlin, dan secara implisit juga dibahas oleh Merton, bahwa pecandu tidak bisa meraih tujuan dengan sukses baik dengan cara yang sah atau yang tidak sah, menjadi poin kritik oleh Lindesmith dan Gagnon. Mereka mengatakan: (1) tidak jelas apakah ada kegagalan kinerja obyektif sebenarnya atau apakah individu cenderung hanya merasa frustasi oleh adanya rintangan menuju kesuksesan. (2) Hipotesis ini tidak bisa diterapkan pada pecandu dokter. (3) orang yang kecanduan bukanlah sebuah kriminalitas. (4) Seseorang tidak bisa menilai bahwa masa remaja awal sebagai kegagalan ganda yang disebabkan oleh faktor usia. (5) Sementara bisa diakui bahwa banyak pecandu yang gagal dalam dunia kriminal dan dunia non kriminal, bisa dikatakan bahwa kecanduan mungkin lebih merupakan penyebab kegagalan daripada kegagalan disebabkan oleh kecanduan. Dalam paradigma analitis, hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan invarian antara anomi, penyimpangan perilaku, pelarian, dan kecanduan obat-obatan. Tidak semua kasus kecanduan obat-obatan diakibatkan oleh anomi atau pelarian dan penyimpangan, dan kecanduan obat-obatan bisa mengakibatkan anomia. Oleh karena itu, kecanduan bisa diakibatkan oleh ketiga faktor tersebut, dan juga bisa terjadi saat ketiga faktor tersebut tidak ada. Anomi, penyimpangan, dan pelarian juga bisa terjadi sendiri-sendiri atau kombinasi saat kecanduan tidak terjadi. Oleh karena itu, anomi sebagai sebuah teori tidak “menspesifikasi kondisi-kondisi apa yang bisa membuat fenomena diatas terjadi dan dalam kondisi apa fenomena diatas tidak akan terjadi”. Kesimpulannya adalah: “karena teori anomi diajukan sebagai teori penyimpangan perilaku, dan karena sejumlah pengguna obat-obatan bukanlah orang menyimpang, teori menjadi tidak relevan bagi sejumlah pengguna obat-obatan yang tidak menyimpang. Jika teori anomi diterapkan pada pengguna obat-obatan yang tidak menyimpang, atau jika teori ini dibatasi bagi “pengguna obat-obatan yang menyimpang”, teori anomi akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang mendasar. EVALUASI TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL Oleh: Donald R. Cressey Teori asosiasi diferensial Sutherland sudah berumur 50 tahun. Teori ini sangat berpengaruh dan telah mendorong dilakukannya sejumlah besar penelitian. Namun, teori ini juga dipahami dengan keliru dan dikritik dengan luas. Dalam artikel ini, Cressey menjawab sejumlah kritik dan mengevaluasi statusnya sekarang sebagai teori kejahatan. Dia menunjukkan bahwa Sutherland membuat teori asosiasi diferensial dari prinsip konflik normatif dan menunjukkan bagaimana memahami data tingkat kejahatan. Namun, dengan statemen bagaimana orang menjadi kriminal, teori ini tidak komplit dan akurat, dan kurangnya keakuratan membuat teori ini sulit untuk diuji. Di saat yang sama, karena alat pembuat prediksi perilaku kriminal yang akurat bisa disimpulkan dari teori asosiasi diferensial, Cressey menyimpulkan bahwa, teori ini lebih maju dari teori yang ada sekarang ini dalam menjelaskan bagaimana orang-orang menjadi kriminal. Dia mengajukan tiga pertanyaan bagi para penyokong gagasan bahwa sifat bawaan kepribadian adalah pelengkap teori asosiasi diferensial: (1) Sifat bawaan kepribadian mana yang harus dianggap sebagai sifat yang penting? (2) Apakah ada sifat bawaan pribadi yang dignakan sebagai pelengkap asosiasi diferensial? (3) Bisakah asosiasi diferensial, yang esensinya adalah proses pembelajaran, dikombinasikan dengan sifat bawaan kepribadian, yang esensinya adalah produk pembelajaran? Yang berhubungan erat dengan kritik “sifat bawaan kepribadian” adalah statemen bahwa teori asosiasi diferensial tidak membahas pola-pola “respon”, “penerimaan, dan “reseptivitas” berbagai individu dengan memuaskan. Gagasan intinya adalah bahwa asosiasi diferensial menekankan proses transmisi sosial tapi meminimalkan proses penerimaan individu. Dengan kata lain, teori ini haya membahas varibel-variabel eksternal dan tidak membahas makna bagi persepsi penerima berbagai pola perilaku yang ada dalam situasi-situasi yang secara obyektif cukup mirip namun merupakan variabel, berdasarkan persepsi penerima. Satu jenis kritik ini ada dalam bentuk pernyataan bahwa kriminal dan non kriminal terkadang dipandang dalam ‘lingkup yang sama” –pola perilaku kriminal ditunjukkan oleh dua orang, namun hanya salah satu dari mereka yang menjadi kriminal. Teori asosiasi diferensial tidak secara khusus berkonsentrasi pada kriminalitas individu. Teori ini juga terfokus untuk memahami fakta-fakta kasar mengenai penyimpangan perilaku dan kejahatan. Penelitian pada tulisan-tulisan Sutherland dengan jelas menunjukkan bahwa saat dia memformulasikan teori ini, dia sangat berkonsentrasi pada pengaturan dan pengintegrasian informasi faktual mengenai tingkat kejahatan. Dalam laporannya mengenai bagaimana teori asosiasi diferensial dikembangkan, dia membuat tiga poin relevan berikut ini: Konsepsi saya lah yang menyatakan bahwa teori umum seharusnya membhas semua informasi faktual yang berkaitan dengan penyebab kejahatan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur berbagai faktor yang berhubungan satu sama lain atau dengan mengabstraksi faktor-faktor tersebut dari elemen-elemen umum tertentu. Hal tersebut tidak, atau seharusnya tidak, mengabaikan atau mengurangi faktor-faktor yang termasuk dalam teori multi faktor. Hipotesis asosiasi diferensial bagi saya nampaknya konsisten dengan temuan-temuan utama yang masih kasar dalam kriminologi. Hal ini menjelaskan penyebab mengapa anak-anak Mollacca menjadi semakin berperilaku menyimpang seiring dengan bertambahnya pemukiman di daerah kumuh Los Angeles, mengapa kejahatan di kota lebih tinggi dari tingkat kejahatan di kota kecil, mengapa pria lebih berperilaku menyimpang dibandingkan dengan wanita, mengapa tingkat kejahatan secara konsisten tetap tinggi di daerah kumuh di perkotaan, mengapa tingkat kenakalan remaja tinggi dalam kelompok penduduk pekerja asing saat kelompok tersebut tinggal di daerah kumuh dan tingkat kenakalan remaja menurun saat mereka pergi dari daerah tersebut, mengapa keluarga Itali generasi kedua tidak memiliki tingkat kejahatan yang tinggi sebagaimana yang dimiliki oleh pendahulunya, mengapa anak-anak keturunan Jepang yang tinggal di daerah kumuh di Seattle memiliki tingkat kejahatan yang rendah padahal mereka hidup dalam kemiskinan, mengapa kejahatan tidak meningkat dengan signifikan pada masa depresi. Semua fakta statistik umum nampaknya cocok dengan hipotesis ini. Sutherland menemukan prinsip konflik normatif untuk membahas penyebaran tingkat kejahatan tinggi dan tingkat kejahatan rendah. Dia kemudian berusaha untuk menspesifikasikan mekanisme yang digunakan oleh orang-orang untuk menghasilkan kasus-kasus kriminalitas individu. Mekanisme yang diajukan adalah asosiasi diferensial: Konsep kedua, asosiasi diferensial, adalah statemen konflik [normatif] dari sudut pandang orang yang melakukan kejahatan. Dua jenis kultur yang menimpa dirinya atau dia memiliki asosiasi dengan dua jenis kultur dan inilah asosiasi diferensial. LABELING (PENAMAAN) Perspektif berbeda-beda pada pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang dihasilkan. Contohnya, sosiologi perilaku menyimpang pada awalnya mengajukan pertanyaan mengapa orang melakukan kejahatan atau tindakan menyimpang lainnya. Sosiolog dalam tradisi ini berusaha untuk menentukan kondisi yang harus ada dan yang memenuhi dihasilkannya tindakan menyimpang. Sebaliknya, perspektif labeling meneliti definisi penyimpangan secara sosial. Sosiolog dalam tradisi ini ingin mengetahui bagaimana orang mengkategorikan situasi-situasi, orang-orang, proses, dan peristiwa-peristiwa sebagai hal yang bermasalah. FOKUS DAN PERHATIAN PERSPEKTIF LABELING Yang termasuk dalam perspektif labeling adalah seperangkat asumsi mengenai bagaimana orang-orang mendefinisikan situasi. Mungkin, asumsi utamanya adalah bahwa orang-orang mendefinisikan seluruh situasi yang berulang kali terjadi pada diri mereka dimana situasi tersebut melibatkan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka anut. Jika demikian, tentunya semua definisi berhubungan dengan posisi orang-orang dalam situasi yang ada, nilai-nilai yang mereka anut, dan kepentingan-kepentingan yang ingin mereka raih. Salah satu sasaran pendekatan perspektif labeling adalah memandang dunia dari sudut pandang orang yang secara sosial dinilai menyimpang, dan juga dari sudut pandang orang yang melakukan penilaian. Sasaran lainnya adalah mempelajari pembuatan aturan sosial (undang-undang, definisi organisasi, dll) dan praktek-praktek pelaksanaan aturanaturan sosial tersebut. Kedua sasaran tersebut telah mengarah pada sejumlah penemuan penelitian yang sangat penting. Namun, kedua sasaran ini juga telah membuat para sosiolog menganggap bahwa pendekatan perspektif labeling memiliki kepentingan pribadi yang tersembunyi, hampir hingga pada poin bahwa perspektif labeling menerima pandangan realitas sosial yang terdistorsi. Perluasan Konsep. Dorongan untuk memperbaharui dan memperluas konsep mewarnai sejarah sebagian besar ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh usaha-usaha para ilmuwan untuk menjelaskan sejumlah besar fenomena dengan menggunakan konsep yang hanya sedikit. Selama periode keempat sosiologi, para ahli teori bekerja untuk memperbaiki konsep-konsep, sementara itu para peneliti memperluas konsep-konsep tersebut ke dalam area-area yang baru. Kombinasi kerja ini berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan sosiologi. Saat tradisi interaksionisme simbolik berkembang, para peneliti mulai memperluas konsep-konsepnya ke dalam studi masalahmasalah sosial dan perspektif labeling berkembang dari proses perluasan konsep ini. (Peran tradisi interaksionisme dalam perkembangan perkspektif labeling dibahas lebih lanjut pada bagian sumber-sumber filosofis.) Konflik antar Aliran Pemikiran. Persaingan antara sosiologi Chicago dan sosiologi Harvard menghasilkan konsepsi-konsepsi yang berbeda dalam ranah ilmu pengetahuan sosiologi. Sosiologi Harvard menekankan pada struktur, dan banyak pengikutnya yang mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas konsep-konsep fungsionalisme struktural. Sebaliknya, sosiologi Chicago menekankan pada proses sosial, dan mengembangkan, memperbaiki, dan memperluas konsep-konsep interaksionisme simbolik. Tentunya, perbedaan-perbedaan kedua aliran pemikiran ini seringkali dilebihlebihkan dan dijadikan karikatur. Terlepas dari hal tersebut, pertentangan antara kedua aliran pemikiran ini hampir mengharuskan sebagian sosiolog untuk meneliti prosesproses yang terjadi dalam masalah-masalah sosial, sementara sebagian sosiolog yang lain mencari sumber-sumber masalah sosial dalam struktur sosial Oleh karena itu, politik sosiologi mendorong para sosiolog yang bersahabat untuk bergabung dengan kubu labeling milik sosiologi Chicago dan pengikut-pengikutnya ke Harvard untuk menentangnya. Pertanyaan yang Tak Terjawab. Ada batasan-batasan dalam perspektif perilaku menyimpang dalam hubungannya dengan sifat masyarakat yang khusus dan kompleks. Dalam masyarakat multi kelompok, penyesuaian diri dengan aturan-aturan kelompok tertentu terkadang mengharuskan terjadinya pelanggaran terhadap aturan kelompok lain, baik itu aturan legal, moral, ataupun sosial. Dalam kasus yang sama, tidak semua pelanggar aturan ditangkap atau dihukum, walaupun pelanggaran yang mereka lakukan diketahui secara umum. Akhirnya, para pelanggar yang secara hukum ditangkap tidak semuanya diklasifikasikan dan diperlakukan dengan cara yang sama. Aspek masalah sosial ini nampaknya tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan perspektif perilaku menyimpang. Akibatnya, hal ini mendorong sejumlah sosiolog untuk mengajukan jenis pertanyaan yang berbeda, misalnya: Kapan pelanggaran diberikan sangsi, oleh siapa, menyangkut siapa, dan dengan konsekuensi sosial macam apa? Dari pertanyaan-pertanyaan macam inilah, perspektif labeling muncul. Bagi para sosiolog yang menganut tradisi perspektif perilaku menyimpang, perspektif labeling menstereotipkan dan terlalu menyederhanakan fenomena penyimpangan. Bagi mereka yang menganut tradisi perspektif labeling, perspektif labeling menandakan adanya perluasan konsep-konsep interaksionisme yang logis. Sejumlah perbedaan kepentingan antar kedua aliran pemikiran tersebut dirangkum dibawah ini. Etiologi. Saat penyebab yang mendasari penyimpangan perilaku (misalnya, perceraian, kelas sosial, anomie, penyakit mental) merupakan pusat perhatian perspektif perilaku menyimpang, perspektif labeling tidak banyak membahas hal tersebut. Faktor Penyebab. Faktor penyebab cukup diperhatikan oleh penganut perspektif perilaku menyimpang, namun hal ini tidak menjadi perhatian penganut perspektif labeling. Reaksi-Reaksi Sosial. Reaksi-reaksi sosial pada hal-hal yang dianggap menyimpang merupakan pusat perhatian penganut perspektif labeling, tapi tidak bagi penganut perspektif perilaku menyimpang. Catatan-catatan pihak berwenang. Penganut perspektif perilaku menyimpang mengandalkan catatan-catatan pihak berwenang dan menggunakannya sebagai indikator penyimpangan perilaku. Perspektif labeling menganggap catatan-catatan pihak berwenang menarik. Tindakan-tindakan yang dicatat, bagaimana tindakan-tindakan tersebut diklasifikasikan, dan dimana, kapan, dan konsekuensi apa yang dihasilkan, menjadi fokus perhatian. Perspektif labeling berasumsi bahwa catatan-catatan pihak berwenang pada intinya menggambarkan proses-proses regulasi pengumpulan data tersebut. Sehingga, catatan-catatan tersebut tidak dianggap menghadirkan deskripsi perilaku-perilaku yang seharusnya tercatat. Kesimpulannya, perspektif labeling terfokus pada proses bukan pada struktur, pada subyektifitas bukan pada obyektifitas, dan pada reaksi-reaksi terhadap penyimpangan bukan pada penyebab-penyebab penyimpangan. SUMBER-SUMBER FILOSOFIS PERSPEKTIF LABELING Pendekatan perspektif labeling adalah hasil pemikiran filsafat sosial George Herbert Mead dan Alfred Schutz. Walaupun mereka berdua adalah ahli filsafat, keduanya memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi para sosiolog. Pengaruh Mead telah dirasakan oleh sejumlah besar sosiolog, sementara pengaruh Schutz baru dirasakan dan terbatas. Mead dan Schutz secara bersama-sama menyusun sumber-sumber latar belakang utama perspektif labeling. PENDIRI PERSPEKTIF LABELING Pendiri teori labeling adalah Edwin Lemert. Pada tahun 1951, Lemert menerbitkan buku yang berjudul Patologi Sosial. Dalam buku ini, dia mengajukan teori sistematik mengenai perilaku menyimpang yang didasarkan pada ide bahwa penyimpangan didefinisikan oleh reaksi sosial, frekuensi dan karakter penyimpangan perilaku. Hal tersebut bersama dengan peran orang yang berperilaku menyimpang sebagian besar dibentuk oleh reaksi sosial. Namun, perspektif labeling ditemukan namanya dalam buku Howard Becker yang berjudul “Outsider ” (Orang Luar), yang muncul pada tahun 1963. Pernyataan yang membantu memberikan nama bagi pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: Kelompok sosial menciptakan adanya perilaku menyimpang dengan cara membuat peraturan yang pelanggarannya dikategorikan sebagai suatu penyimpangan, dan juga dengan menerapkan aturan-aturan tersebut pada orang-orang tertentu dan melabeli mereka sebagai orang luar. Dari sudut pandang ini, penyimpangan dinilai bukan berdasarkan kualitas tindakan yang dilakukan seseorang, tapi merupakan konsekuensi dari diterapkannya aturan-aturan dan sangsi-sangsi oleh kelompok tertentu kepada pelanggarnya. Orang berperilaku menyimpang adalah orang yang telah diberikan label menyimpang; dan penyimpangan perilaku adalah perilaku yang telah diberi label menyimpang. KARAKTERISTIK PERSPEKTIF LABELING Hal yang bersifat sentral dalam perspektif labeling adalah pemikiran bahwa masalahmasalah sosial dan penyimpangan perilaku ada dalam pandangan penganutnya. Perspektif labeling berusaha meneliti proses-proses dan respon-respon diferensiasi sosial. Elemenelemen utama dalam perspektif labeling adalah sebagai berikut: Definisi. Masalah sosial atau penyimpangan sosial didefinisikan oleh reaksi-reaksi sosial terhadap dugaan adanya pelanggaran aturan. Perspektif ini terfokus pada kondisi-kondisi dimana situasi atau perilaku tertentu didefinisikan sebagai penyimpangan. Sebab-sebab. Penyebab masalah sosial sesungguhnya adalah perhatian yang diterimanya dari masyarakat atau agen kontrol sosial, karena reaksi-reaksi sosial tidak akan terjadi bila perilaku atau situasi yang dianggap menyimpang tidak diketahui masyarakat. Kondisi-kondisi. Saat seseorang atau situasi dilabeli bermasalah atau menyimpang, pemberi label biasanya berada pada posisi berwenang untuk memberikan label semacam itu. Pemberi label harus memiliki label negatif dan kewenangan untuk menerapkannya. Seringkali, pemberian label dilakukan oleh orang yang bekerja sebagai agen kontrol sosial dan jurnalis, dan pemberian label pada orang tertentu sering dianggap sebagai kesuksesan kerja. Kadang-kadang, orang memberikan label tertentu pada diri mereka, dan saat melakukannya mereka mungkin mendapatkan sejumlah keuntungan (misalnya, orang-orang telah melaporkan dia sebagai homoseksual sehingga dia dibebaskan dari wajib militer). Konsekuensi-konsekuensi. Orang-orang atau situasi yang secara sosial didefinisikan sebagai masalah atau penyimpangan mungkin menyebabkan adanya pengaturan kembali hubungan antar manusia dengan cara yang mempromosikan “penyimpangan” sekunder. Misalnya, setelah seseorang dilabeli “orang berperilaku menyimpang”, sebagian besar orang mengharapkan dia untuk terus melanggar norma-norma perilaku konvensional. Hal ini mungkin membatasi kesempatan hidup orang yang telah diberi label dan mendorong dia untuk terus berperilaku menyimpang; misalnya, seorang mantan kriminal mungkin tidak bisa mendapatkan pekerjaan konvensional dan kemudian kembali bertindak kriminal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Diteruskannya peran kriminal ini disebabkan oleh reaksi-reaksi orang lain yang disebut sebagai “penyimpangan sekunder”. Solusi. Perspektif labeling menyajikan dua jalan keluar yaitu, definisi bisa diubah dan pengambilan keuntungan bisa dihilangkan dari pemberian label. Pengubahan definisi bisa berarti bersikap lebih toleran, sehingga orang-orang akan berhenti menilai orang lain dan situasi tertentu sebagai sesuatu yang bermasalah. Menghilangkan pengambilan keuntungan dari pemberian label bisa berarti berkurangnya konsekuensi yang harus dialami oleh orang-orang yang memberikan label tertentu pada diri mereka sendiri dan orang-orang yang melabeli orang lain sebagai orang yang menyimpang, dan juga berkurangnya masalah-masalah yang dihasilkan dari pemberian label tersebut. RANGKUMAN DAN KESIMPULAN Pada periode setelah 1954, sosiologi digambarkan sebagai proses pengembangan bidang keahlian khusus. Pada awal periode ini, perspektif perilaku menyimpang dikenal luas. Namun, masalah-masalah tertentu tetap tidak bisa dijelaskan oleh perspektif tersebut, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab tersebut menghasilkan perspektif labeling. Perspektif labeling berakar dari interaksionisme simbolik yang dirumuskan oleh Mead dan kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Schutz. Karena interaksionisme simbolik diperluas untuk meneliti proses-proses sosial disekitar penyimpangan perilaku, gap antara pandangan struktur dan proses dalam sosiologi diperluas. Perspektif labeling meneliti aspek-aspek masalah sosial yang dianggap biasa. Para sosiolog yang bekerja dalam perspektif ini terfokus pada orang-orang yang mendefinisikan masalah-masalah, kondisi-kondisi dimana orang atau situasi dianggap bermasalah, dan konsekuensi dari pemberian label. Oleh karena itu, masalah sosial dan penyimpangan perilaku didefinisikan oleh reaksi sosial pada pelanggaran-pelanggaran aturan-aturan sosial. Penyebabnya adalah diketahuinya pelanggaran yang dilakukan, dan kondisi yang mempengaruhi proses pemberian label adalah relasi kekuasaan dan hasil yang diperoleh dari pemberian label. Konsekuensi utama dari pemberian label adalah terus dilakukannya penyimpangan perilaku (penyimpangan sekunder) dan harapanharapan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut akan terus dilakukan. Solusi yang ditawarkan oleh perspektif labeling adalah perubahan pendefinisian dan pengurangan pengambilan keuntungan dari pemberian label pada orang tertentu. ORANG LUAR Howard S. Becker Secara tradisional, para sosiolog mempelajari penyimpangan perilaku dengan meneliti atribut-atribut yang diberikan pada orang-orang yang melanggar peraturan, penyebab mereka melakukan pelanggaran, apa yang membedakan pelanggar dan orang yang patuh pada peraturan, dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Kutipan dari Becker memberikan contoh tren yang lebih baru, yang mana penyimpangan perilaku dipelajari dalam lingkup dimana label-label tersebut berhasil diberikan pada orang tertentu. Dengan rekonseptualisasi ini, banyak sosiolog yang telah mengalihkan fokus perhatian mereka dari mempelajari penyimpangan perilaku ke mempelajari definisi sosial mengenai penyimpangan perilaku dan konsekuensi dari definisi semacam itu. PENYIMPANGAN PRIMER DAN SEKUNDER Oleh: Edwin M. Lemert Lemert mengklaim bahwa penyebab-penyebab tindakan menyimpang harus dibedakan dari penyebab-penyebab peran-peran menyimpang. Fenomena peran yang menyimpang, yang dia sebut sebagai “penyimpangan sekunder”, muncul dari interaksi sosial antara orang berperilaku menyimpang dan komunitasnya. Jika penyimpangan perilaku tersebut berlangsung lama dan masyarakat meresponnya dengan hukuman-hukuman sosial yang semakin berat, rangkaian kejadian tersebut berpuncak pada stigmatisasi orang berperilaku menyimpang tersebut dalam bentuk labeling atau stereotipisasi dan menghasilkan karakter menyimpang. Namun, jika tidak ada reaksi sosial yang berat, peran menyimpang mungkin tidak akan ada karena orang yang berperilaku menyimpang tersebut tidak diberikan pandangan buruk yang akan mendorong dia untuk melakukan tindakan membela diri terhadap hukuman sosial. Seringkali ada hubungan resiprokal yang progresif antara penyimpangan individu dan reaksi masyarakat, dengan berbagai reaksi masyarakat terhadap pertambahan perilaku menyimpang, hingga mereka membentuk kelompok masing-masing. Pada titik ini stigmatisasi yang dilakukan terhadap orang yang berperilaku menyimpang terjadi dalam bentuk ejekan, pemberian label, atau stereotipisasi. Rangkaian interaksi yang mengarah ke penyimpangan sekunder adalah sebagai berikut: (1) Penyimpangan primer; (2) Hukuman-hukuman sosial; (3) Penyimpangan primer lanjutan; (4) Penolakan dan hukuman yang lebih kuat; (5) Penyimpangan lanjutan, kemungkinan disertai dengan sikap kasar dan dendam kepada orang-orang yang memberikan hukuman; (6) Krisis sikap toleransi, yang diekspresikan oleh masyarakat dalam bentuk stigmatisasi terhadap orang berperilaku menyimpang tersebut; (7) Menguatnya tindakan menyimpang sebagai reaksi terhadap stigmatisasi dan hukuman; (8) Diterimanya status sosial sebagai orang berperilaku menyimpang dan dilakukannya usaha-usaha penyesuaikan diri berdasarkan peran yang sesuai dengan status sosial tersebut. DEVALUASI WANITA Oleh: Edwin M. Schur Kekuasaan, kemakmuran, penghormatan, dan pengetahuan adalah nilai-nilai langka yang orang cari. Karena wanita cenderung diberi label status inferior berdasarkan gender, hal ini mengurangi kesempatan yang mereka miliki untuk meraih nilai-nilai langka tadi saat berkompetisi dengan laki-laki. Status gender yang disandang wanita juga meningkatkan kemungkinan-kemungkinan bagi wanita untuk menjadi korban berbagai masalah sosial. Schur berpendapat bahwa wanita pantas menjadi anggota kelompok minoritas yang kerap kali mengalami perlakuan tidak hormat dalam hubungan interpersonalnya. Mereka juga nampaknya sering menjadi obyek diskriminasi dalam politik, perusahaan, dan berbagai pekerjaan. Tidak perduli apakah wanita tersebut memiliki keahlian atau tidak. Nampaknya jelas bahwa devaluasi wanita tidaklah bersifat total. Di sisi lain, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa devaluasi wanita bersifat substansial, dan manifestasinya dalam kehidupangan sangat tersebar luas. Untuk rujukan yang lebih lengkap mengenai ketidaksetaraan gender dalam masyarakat kita, pembaca harus membaca sumber-sumber lain (misalnya, lihat Laws, 1979; Stockhard dan Johnson, 1980; Oakley, 1981). Namun, kita bisa setidaknya mencatat secara singkat disini, ada empat landasan utama untuk menerima pemikiran bahwa kewanitaan adalah status yang tidak terhormat. Yang pertama adalah adanya ketidaksetaraan gender yang tercatat dengan baik dalam sistem ekonomi dan masyarakat kita. Komponen evaluatif dihubungkan dengan penempatan dalam skema stratifikasi. Orang yang sangat dihormati secara sistematis tidak diturunkan ke tingkat sosioekonomi dan prestise pekerjaan yang lebih rendah (sebagaimana dialami oleh wanita). Dimilikinya posisi semacam itu, pada gilirannya, cenderung menjadi dasar untuk menilai seseorang secara tidak berimbang. Alasan kedua untuk menerima klaim bahwa kefemininan adalah status yang tidak terhormat berhubungan dengan persepsi pengelompokan yang diterima secara luas dan kecenderungan obyektifikasi. Harusnya nampak bahwa sejumlah ukuran devaluasi selalu ada dalam cara menerima dan merespon wanita. Kadang-kadang elemen ini hanya bersifat implisit, namun pada waktu lain elemen ini menjadi cukup eksplisit, bahkan menyolok. Wanita secara rutin diperlakukan dengan cara yang merendahkan diri mereka sendiri. Alasan ketiga adalah devaluasi wanita yang ada dalam “simbolisme kultural” (Stockhard dan Johnson, 1980, bab 1, lihat juga, Firestone, 1971; Gornick dan Moran, eds., 1972; dan Goffman, 1979). Penggunaan bahasa umum juga sering kali merendahkan, menganggap remeh, mencaci, atau menjadikan wanita bahan eksploitasi seksual (lihat Lakoff, 1975; Adams dan Ware, 1979; Richardson, 1981, bab 2; juga Thorne dan Henley, eds., 1975). Hal yang sama juga terjadi pada imej wanita dalam media massa dan iklan – sejumlah aspek khusus mengenai hal tersebut akan kita bahas. Pengeksposan secara umum yang tersebar luas melalui pornografi sekarang ini menambah simbol-simbol kultural yang menggambarkan wanita secara seksual. Alasan keempat, dan mungkin yang paling utama, untuk memandang kefemininan sebagai status yang rendah ditunjukkan dalam fokus utama teks ini yaitu, hubungan wanita dengan definisi penyimpangan perilaku. Sejumlah besar “penyimpangan perilaku” khusus yang dilekatkan pada wanita dalam sistem gender masyarakat kita, dan kegagalan dalam mengutuk keras penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, menggambarkan rendahnya posisi yang diberikan kepada perempuan. Karena seringnya fenomena ini dieksplorasi, teori mengenai devaluasi sekali lagi dikaji ulang. Berdasarkan keempat alasan diatas, pernyataan para pria yang mengklaim bahwa mereka tidak merendahkan wanita sebaliknya memuja wanita, nampaknya tidak jujur. Memperlakukan wanita secara “khusus” menyiratkan bahwa perlakuan tersebut adalah penyangkalan terhadap sifat kemanusiaan mereka secara umum. Dan sikap “sopan-santun” kecil (misalnya: membukakan pintu, membantu menyalakan rokok, dll) yang seringkali dikaitkan dengan pemujaan terhadap wanita, merendahkan hubungan antara pria dan wanita, dan juga nampaknya menyangkal kapasitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Komentar Kate Millett (1971, hal.37) terhadap sikap kesatria laki-laki sangat kuat. Dia mendeskripsikannya sebagai “sejenis usaha yang ditujukan bagi wanita agar mereka dapat menyelamatkan muka. Sementara obat bagi ketidakadilan yang dialami oleh wanita dalam hal posisi di masyarakat, sikap kesatria juga merupakan teknik untuk menyamarkannya”. MENGALAMI STIGMA Wanita menghadapi stigmatisasi dalam sejumlah bidang. Sebagaimana kita lihat, pada tingkat tertentu devaluasi dilekatkan hanya karena pada kenyataannya mereka adalah wanita. Puncaknya, wanita akan lebih distigmatisasi dan dihukum karena berbagai ‘penyimpangan’ khusus. Definisi-definisi khusus ini pada kenyataannya sangat sering terjadi sehingga nyata-nyata wanita dianggap pelanggar aturan. Saat fakta-fakta ini dipertimbangkan, bersama dengan devaluasi implisit dalam subordinasi sosial dan ekonomi wanita secara umum, jelas bahwa beban stigma yang mungkin dihadapi oleh wanita sangat berat. Hingga tingkat dimana kefemininan mengandung stigma, penghindaran dari digunakannya label tertentu itu sendiri bukanlah suatu pilihan bagi wanita. Sebagaimana yang Helen Hacker (1951) katakan dalam pembahasan awalnya mengenai persamaan yang dialami oleh wanita dan orang-orang kulit hitam, yang mana keduanya mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh “visibilitas sosial yang tinggi”. ANAK BAIK DAN ANAK NAKAL Oleh: William J. Chambliss Becker telah berargumen dalam Outsider (Orang luar) bahwa salah satu penyebab labeling adalah kelas sosial. Dia mengatakan bahwa hal ini benar terjadi dalam kasus kenakalan remaja, dimana pihak berwenang menunjukkan sikap yang lebih toleran kepada para remaja nakal yang berasal dari kelas sosial menengah atas, dan sikap toleransi itu sangat kurang bila berhadapan dengan remaja nakal dari kelas sosial bawah. Chambliss dalam studi ini mencatat bagaimana latar belakang kelas sosial dapat membuat perbedaan yang besar saat berhubungan dengan kenakalan remaja. “Anak baik” dan “anak nakal” terlibat dalam kenakalan remaja yang sama banyaknya. Namun karena kelas sosial, visibilitas tindakan menyimpang, dan perilaku saat berhadapan dengan pihak berwenang, “anak nakal” disebut sebagai para pembuat masalah, sekumpulan anak muda yang masa depannya tidak lebih dari menjadi orang berperilaku menyimpang. Sebaliknya, masyarakat mengharapkan “anak baik” sukses di masa depan. Enam dari delapan “anak baik” melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, sedangkan lima dari tujuh “anak nakal” hidup sebagaimana yang dituduhkan masyarakat kepada mereka dan tidak seorangpun dari mereka yang kehidupannya berakhir baik. Sebagaimana yang dicatat oleh Chambliss: “Masyarakat merespon “anak nakal” sebagai anak-anak bermasalah, dan anakanak tersebut setuju dengan persepsi tersebut”. KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF LABELING Oleh: Gwynn Nettler Perspektif labeling pada hakikatnya lebih tertarik pada definisi penyimpangan perilaku daripada perilaku menyimpang itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif labeling kurang tertarik untuk membahas apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang berperilaku menyimpang daripada bagaimana orang bereaksi terhadap penyimpangan perilaku. Nettler mengatakan bahwa kelebihan perspektif labeling adalah bahwa perspektif ini membantu kita untuk melihat bahwa dalam kasus tertentu orang-orang lebih merespon label yang diberikan pada orang-orang tertentu, dan dengan melakukan hal tersebut mereka terkadang menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku yang mereka kutuk. Namun, Nettler tidak berpendapat bahwa perspektif labeling sangat berguna untuk menjelaskan kejahatan. Khususnya, perspektif ini gagal memprediksi atau menjelaskan tindakan kriminal. Perspektif ini menggunakan cara berpikir yang tidak berdasar dalam menganggap respon-respon terhadap kejahatan sebagai penyebab kejahatan. Perspektif ini juga tidak bisa menjelaskan pada kita bagaimana cara mengurangi kejahatan. LEBIH PENTINGNYA PERAN DIBANDINGKAN DENGAN PERILAKU Teori labeling menekankan pada proses-proses interaksi manusia yang menghasilkan pemberian dan penerimaan karakter tertentu. Ditekankannya konstruksi peran menarik perhatian kita pada bagaimana perilaku mungkin dibentuk oleh harapan-harapan orangorang yang berinteraksi dengan kita dan bagaimana persepsi kita masing-masing dikuatkan oleh pemberian label pada salah satu tindakan yang pernah kita lakukan. Sekali satu peran didefinisikan, sekelompok kecil atribut diberikan pada peran tersebut.. Pengambilan kesimpulan seperti itu mendorong adanya persepsi tertentu yang menghubungkan beragam tindakan menjadi sejumlah label yang bermakna (Turner, 1972, hal.310). MENAFSIRKAN “KRIMINALITAS” MENJADI “PENYIMPANGAN” Para pembuat teori labeling lebih nyaman berdiskusi mengenai “penyimpangan” daripada “kriminalitas”. Penafsiran ini mengarahkan perhatian kita pada fakta bahwa pihak mayoritas bereaksi terhadap pihak minoritas dan hal ini memiliki makna yang berbeda karena orang minoritas tidak memiliki hak untuk menangkap, mengkritik, dan menghukum. Para pendukung perspektif labeling membedakan “penyimpangan primer” yaitu, sejumlah tindakan ofensif, dan “penyimpangan sekunder” (Lemert, 1951) Apa yang ingin dijelaskan bukanlah banyaknya orang berperilaku menyimpang, tapi orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memberikan label dan menegaskan penyimpangan tertentu. Para ahli teori labeling memandang respon-respon peradilan terhadap kejahatan sebagai “dramatisasi kejahatan” (Tannenbaum, 1936). IMPLIKASI BAGI METODOLOGI Metode penelitian yang dipromosikan oleh para ahli teori labeling adalah observasi intensif terhadap orang yang memberikan label dan korban-korbannya. Bidang kerjanya lebih menggunakan kumpulan statistik. Hasil penelitian berupa penjelasan bagaimana pemberi label mengenali dan mendefinisikan orang yang berperilaku menyimpang, dan bagaimana orang yang berperilaku menyimpang beraksi dan menafsirkan dunianya sendiri. Uji kemampuan penjelasan semacam itu adalah berupa pemahaman dan wawasan, bukan prediksi ataupun kontrol. KELEBIHAN HIPOTESIS LABELING Kelebihan perspektif labeling ada pada perhatiannya terhadap kemungkinan bahwa (1) orang-orang mungkin lebih merespon definisi-definisi orang lain, daripada perilakuperilaku mereka dan (2) definisi yang berstigma akan menghasilkan perilaku buruk yang tidak disukai oleh mereka. Hipotesis labeling bertanya apakah masyarakat bereaksi pada perilaku yang dilakukan oleh orang berperilaku menyimpang atau pada definisi perilaku menyimpang itu sendiri. Ide bahwa penyimpangan perilaku dihasilkan melalui sejumlah proses interaksi yang mengakibatkan label yang kita berikan pada orang lain mungkin tidak tepat. Mengatakan bahwa “penyimpangan” dihasilkan oleh pemberian label menunjukkan bahwa label-label yang diberikan para orang lain tidak tepat, dan mengajukan pertanyaan apakah kita lebih merespon pada perilaku yang benar-benar dilakukan oleh orang lain, atau kita lebih merespon imej yang dibentuk oleh label yang kita berikan pada orang lain. KEKURANGAN PERSPEKTIF LABELING (1) Teori labeling telah dikritisi karena mengabaikan perbedaan perilaku yang dideskripsikan oleh label. Skema labeling mengalihkan perhatian dari perilaku ke definisi publik mengenai perilaku-perilaku tersebut. Perbedaan semacam itu menunjukkan bahwa (2) teori labeling tidak meningkatkan, atau mungkin menurunkan, kemampuan kita untuk memprediksi perilaku individu. Kemampuan memprediksinya tidak hanya merupakan hasil dari pengabaian perbedaan individu, tapi juga dipengaruhi oleh fakta bahwa (3) teori ini terdiri dari model penyebab yang defektif. Pada gilirannya, hal ini menunjukkan bahwa (4) relevansi teori ini dengan kebijakan sosial berkurang. Setiap poin ini akan dijelaskan lebih lanjut. PERSPEKTIF KRITIK Semua masyarakat dan budayanya mengalami perubahan. Sebagai bagian dari budaya sudut pandang terhadap persoalan sosial juga berubah. Seperti yang kita lihat, sense of crisis di masyarakat mempengaruhi para pemikir yang mencoba mengembangkan pemahaman menyeluruh dari masyarakat dan permasalahannya. Demikian pula, sense of crisis dalam disiplin ilmu sosiologi mendorong pengembangan perspektif baru terhadap persoalan sosial. Maka, bermunculannya perspektif baru umumnya menyiratkan bahwa perspektif yang ada kini tidak dapat menjawab persoalan sosial secara keseluruhan atau secara konsisten. Situasi seperti ini mengarah pada pengembangan perspektif kritik. Perspektif kritik berasal dari tradisi Marxis. Selama masa hidupnya, Karl Marx (1919-1883) menghasilkan karya induk yang tidak mudah untuk digolong-golongkan. Ia menulis tentang filosofi, sejarah sosial dan politik, dan tiga volume magnum opus (karya besar) mengenai ekonomi yang berjudul Das Kapital. Sepanjang hidupnya, ia menjadi ahli teori maupun aktivis politik, yang mencurahkan hampir seluruh energinya untuk menggugat kapitalis dan mengangkat golongan pekerja menjadi kekuatan politik di Eropa Barat. Karyanya memberi pengaruh yang luas di Barat selama masa hidupnya. Sejak kematiannya, pengaruhnya semakin meluas dan memperdalam hingga masa dimana ia menjadi dasar pemikiran politik revolusioner di Asia dan Dunia Ketiga. Selain itu, pemikiran Marxis terus mempengaruhi karya ilmuwan di bidang filosofi, ekonomi, politik, dan sosiologi. KARAKTERISTIK PERSPEKTIF KRITIK Holisme, sebagai asumsi utama dari perspektif kritik, menuntut para analis untuk mengamati sistem sosial secara keseluruhan, bukan dari bagian-bagiannya. Permasalahan sosial saling berkaitan dengan sejumlah kejadian, perubahan, dan tekanan yang terjadi di semua lembaga sosial. Unsur-unsur utama dari perspektif kritik adalah sebagai berikut : Definisi. Masalah sosial adalah suatu situasi yang berkembang diluar eksploitasi golongan pekerja. Penyebab. Secara luas, bentuk organisasi sosial yang dibentuk masyarakat kapitalis menyebabkan rentang permasalahan sosial tertentu yang luas. Menyangkut masalah sosial kejahatan, bentuk ini adalah sistem dominasi kelas yang menciptakan dan mempertahankannya. Misalnya, kapitalis mempertahankan kemiskinan dan membentuk serta mendorong aturan menurut kepentingan mereka sendiri. Kondisi. Kondisi penting permasalahan sosial adalah jangkauan dan tingkat dominasi golongan serta konflik, kesadaran golongan pekerja, dan fluktuasi siklus bisnis. Jika dominasi dan konflik kurang terlihat atau kecil kekuatannya, jika segmen golongan pekerja yang besar tidak menyadari kepentingan mereka, dan jika ada gejala siklus bisnis yang naik-turun, kesadaran akan permasalahan sosial akan lemah dibalik kondisi sebenarnya. Akibat. Meski masyarakat kapitalis mengalami masa siklus, permasalahan sosial berbanding dengan kemajuan tahap perkembangan kapitalisme. Maka, para penulis yang menggunakan perspektif kritik memprediksi, misalnya, bahwa tingkat kejahatan akan naik seiring kemajuan perkembangan kapitalisme. Solusi. Hanya aktivisme politik yang bisa menanggulangi dampak sistem kapitalis. Baik melalui reformasi maupun revolusi, pergerakan kaum pekerja harus berupaya untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, sehingga dapat melenyapkan pokok permasalahan sosial yang menetap dalam sistem sosial yang didasari atas ketimpangan sosial. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Krisis, kekacauan, dan gejolak nampaknya menjadi keadaan umum di masyarakat modern, urban, industri. Perioda krisis ini menuntut tanggapan dari anggota masyarakat. Krisis ini bergaung pula dalam disiplin ilmu sosiologi dan mempengaruhi perspektif yang ada terhadap permasalahan sosial. Maka, sosiolog Jerman, Britania, dan AS menemukan bahwa krisis yang dialami oleh masyarakatnya meragukan kepatutan perspektif permasalahan sosial dominan yang ada saat ini. Di ketiga negara diatas, batang tubuh pemikiran tentang permasalahan sosial membuatnya muncul dalam berbagai nama. Ia berkembang menjadi kritik mendalam terhadap masyarakat dan budaya kapitalis yang melihat persoalan sosial sebagai hal yang menetap dalam masyarakat kapitalistik. Maka, penyebab utama dari permasalahan sosial terletak pada dominasi dan konflik golongan: kaum kaya (have) berpegang pada apa yang mereka punyai dan mempertahankan hak miliknya dengan kerugian berlanjut dari kaum miskin (have-not). Konflik golongan timbul dari sistem dominasi kelas yang mempertahankan ketimpangan sosial. Terakhir, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Satu-satunya solusi terhadap pemilahan permasalahan sosial yang menjadi hal umum di masyarakat kapitalis maju adalah kaum pekerja harus memenangkan perjuangan kaumnya dan bergerak ke arah sosialisme murni, yang akan mengarah pada masyarakat tanpa kelas. KEJAHATAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME Richard Quinney “Kejahatan,” kata Quinney, “tak tercegah dalam kondisi kapitalis.” Kapitalis memiliki dan mengontrol produksi kerja, hukum, dan budaya. Golongan pekerja, sebaliknya, tidak punya apapun untuk dijual hanya tenaganya. Ketimpangan ekonomi, politik, dan budaya ini memberi dinamika dan dampak sistem kapitalis. Konsekuensi itu hanya meningkatkan kebutuhan kaum kapitalis untuk mendominasi dan dari kaum pekerja untuk beradaptasi. Tanggapan dari kedua golongan itu terhadap situasi ini menimbulkan berbagai macam kejahatan. Kaum kapitalis melakukan kejahatan dominasi, pemerintahan, dan kontrol yang menghasilkan luka-luka sosial seperti korupsi, sexisme, rasisme, dan eksploitasi ekonomi. Golongan pekerja melakukan kejahatan akomodasi dan resistensi. Satu-satunya solusi terhadap tingkat kejahatan yang meluas dan meningkat, kata Quinney, akan muncul jika kaum pekerja mengubah dari kejahatan akomodasi sendiri-sendiri menjadi kejahatan resistensi secara kolektif. Kesadaran seperti itu terwujud dalam upaya diantara golongan yang akhirnya akan mengubah sistem dari kapitalis menjadi sosialis, sehingga mengurangi, jika tidak bisa menghilangkan, banyak jenis kejahatan yang muncul dari sistem kapitalis. AKOMODASI DAN RESISTENSI Kontradiksi kapitalisme yang berkembang meningkatkan kadar pergelutan golongan, sehingga meningkatkan (1) kebutuhan golongan kapitalis untuk mendominasi dan (2) kebutuhan golongan yang tereksploitasi oleh kapitalisme untuk mengakomodir dan menolak, terutama golongan pekerja. Sebagian besar tindakan respon terhadap dominasi, termasuk tindakan kekerasan yang disebut sebagai kejahatan oleh golongan kapitalis, adalah produk dari sistem produksi kapitalis . . . MENUJU POLITIK EKONOMI KEJAHATAN William J. Chambliss Dalam wacana ini Chambliss menunjukkan bahwa golongan dominan melanggar peraturan kriminal tetapi hanya sedikit yang dihukum atas kejahatan besar yang dilakukannya dibandingkan dengan penjahat kriminal dari golongan bawah. Chambliss menguraikan situasi ini di Ibados, Nigeria, dan Seattle, Washington. Ia menyimpulkan bahwa kajiannya umumnya mendukung “pernyataan Marxian dimana tindak kriminal yang melayani kepentingan golongan penguasa tidak akan diberi sangsi sedang mereka yang tidak akan dihukum.” RINGKASAN DAN KESIMPULAN Seperti dikemukakan Gouldner dan Friedrichs, ilmu sosial pada umumnya, dan sosiologi khususnya, mengalami revolusi paradigma. Kemungkinan, kriminologi merupakan refleksi dan kekuatan dibalik revolusi ini. Paradigma yang muncul dalam kriminologi adalah paradigma yang menekankan konflik sosial – terutama konflik kepentingan dan nilai golongan sosial. Paradigma yang digantikan adalah paradigma dimana penekanan utama berada pada konsensus, dan dimana penyimpangan atau kejahatan dianggap sebagai penyimpangan yang dilakukan sebagian kecil masyarakat. Kelompok ini tak mampu bersosialisasi dengan baik dan berintegrasi dengan masyarakat atau, secara umum, mengalami disorganisasi sosial. Perubahan paradigma bermakna lebih dari sekedar perubahan penjelasan fakta yang sama dengan model sebab-akibat yang baru. Ini berarti, kita mengembangkan kerangka konsep dan melihat berbagai sisi pengalaman sosial. Secara spesifik, bukan mengarah pada sistem normatif, pada budaya atau pada pengalaman sosio-psikologis individu, tetapi pada hubungan sosial yang dibentuk oleh struktur politik dan ekonomi. Bukan memperlakukan masyarakat sebagai realitas yang mengemuka, tetapi kita berusaha memahami kondisi ini sebagai cerminan sejarah ekonomi dan politik yang telah membentuk hubungan sosial yang mendominasi masa yang kita pilih untuk diteliti. Perubahan ini berarti bahwa kejahatan menjadi tanggapan rasional dari sebagian golongan sosial terhadap realitas hidup. Negara menjadi instrumen golongan penguasa, yang menegakkan hukum disini tetapi tidak disana, menurut realitas kekuatan politik dan kondisi ekonomi. Banyak yang bisa diperoleh dari pengarahan kembali pertanyaan kriminologis dan sosiologis. Tetapi jika revolusi paradigma lebih dari sekedar antusiasme, kita harus dapat menunjukkan paradigma baru sebenarnya lebih mampu dari pendahulunya. Dalam makalah ini saya mencoba mengembangkan implikasi teoritis dari model kejahatan dan hukum kriminal Marxis, dan menilai manfaat dari paradigma ini dengan melihat pada beberapa data empiris. Kesimpulan umumnya adalah paradigma Marxian memberi pendekatan yang telah lama diabaikan tetapi bermanfaat bagi kajian kriminal dan hukum kriminal. PENINDASAN DAN PENGADILAN KRIMINAL DI KAPITALIS AMERIKA Raymond J. Michalowski dan Edward W. Bohlander Dalam intisari ini, penulis memberi penjelasan perspektif kritik tentang sebab banyaknya orang yang meyakini bahwa kejahatan adalah permasalahan sosial. Lembaga kontrol sosial resmi menerapkan sangsi hukum terhadap mereka yang melakukan pelanggaran atas hak kepemilikan. Dengan terus mempelajari sangsi ini, kebanyakan orang memiliki kesamaan pandangan dimana tindakan ini adalah kriminal, melawan nilai budaya umum, dan permasalahan sosial. Penulis berpendapat, bisa saja sebaliknya. Golongan kapitalis mengontrol definisi kejahatan. Dan kepentingan mereka menekankan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh kaum lemah, lebih sering dari yang dilakukan kaum berada, dipandang sebagai kejahatan. Di AS tatanan hukum melayani kepentingan kaum kapitalis penguasa dengan (1) memfasilitasi pencapaian tujuan kapitalis, (2) mengesahkan penindasan golongan yang lemah secara ekonomi dan politik yang harus ada untuk mempertahankan distribusi kekayaan kapitalis dan yang mengancam kepentingan kapitalis melalui aktivitas kriminal, dan (3) menciptakan dan mempertahankan definisi kejahatan yang menjamin berlanjutnya nikmat yang diperoleh dari dua keuntungan pertama diatas oleh golongan penguasa. Tabel 1 menguraikan pengaruh tatanan hukum kapitalis baik terhadap kaum penguasa maupun kaum lemah, dan keseluruhan distribusi pengaruh ini terhadap definisi kejahatan. Pembahasan berikut mengamati masing-masing pengaruh secara terperinci. Tabel 1. Pengaruh tatanan hukum kapitalis Komponen Dampak bagi kaum penguasa Dampak bagi kaum lemah Peraturan kriminal substantif a. menjamin monopoli kekuasaan a. mencakup semua perilaku merusak (kejahatan umum) Sangsi formal Peraturan prosedural b. kecuali mayoritas perilaku merusak (kejahatan perusahaan) c. secara kualitatif dan kuantitatif minimal untuk kejahatan yang mudah dilakukan d. bisa menghindari tuduhan e. bisa menghindari hukuman Lembaga penerjemah f. sedikit perhatian pada kejahatan yang mudah dilakukan Tindak kebijakan g. mengurangi kemungkinan tuduhan h. mengurangi kemungkinan hukuman b. Secara kualitatif dan kuantitatif buruk untuk kejahatan yang mudah dilakukan c. sulit menghindari tuduhan d. sulit menghindari hukuman Dampak terhadap persepsi persoalan kriminal a. Kejahatan dianggap sebagai pelanggaran umum b. pelanggaran umum jauh lebih serius dari kejahatan perusahaan c. Mayoritas tertuduh dan terhukum adalah kaum lemah yang melakukan kejahatan umum, yang menimbulkan anggapan kaum lemah berbahaya e. mencurahkan semua perhatian kepada kejahatan yang mudah dilakukan f. meningkatkan kemungkinan tuduhan g. meningkatkan kemungkinan hukuman Pengaruhnya terhadap kelompok berkuasa ada dua. Pertama, tingginya prioritas yang diberikan jaminan kejahatan hukum-umum bahwa kerusakan yang menyangkut korban perorangan akan dianggap sebagai penyerangan terhadap negara bukan tindakan balasan pribadi. Dengan mengidentifikasi konflik-konflik sebagai ancaman terhadap tatanan hukum, negara dapat memajukan hak untuk menangkap dan menghukum para pelanggar (Schafer, 1968). Hak ini didefinikan oleh kelompok penengah agar menjamin kelompok penguasa “yang memonopoli kekuatan yang menandai negara yang dewasa” (Diamond, 1971). Kedua, dengan pengecualian atau tidak menggolongkan kerusakan yang muncul dari penelusuran keuntungan perusahaan, peraturan kriminal substantif memberi ruang yang relatif bebas bagi para pemilik dan para manajer untuk meraih tujuan kapitalis. Pengecualian ini pun berlaku bahkan jika kerusakan yang ditimbulkan dari penelusuran keuntungan perusahaan secara sosial lebih merusak dibanding pelanggaran hukumumum. SANGSI FORMAL Sangsi statuta yang diuraikan mengenai kejahatan hukum-umum umumnya jauh lebih parah dibanding sangsi yang diterapkan pada kejahatan perusahaan. Perbedaan ini bersifat kualitatif maupun kuantitatif. PROSEDURAL HUKUM Komponen prosedural hukum dari proses pengadilan kriminal menjamin bahwa kelompok individu yang dituntut dan dibuktikan bersalah adalah golongan lemah. Peraturan ini melayani kepentingan golongan penguasa dengan jaminan bahwa mereka kecil kemungkinannya untuk menjadi tertuduh, dan jika dituntut, golongan dominan menikmati keuntungan maksimum untuk melakukan pembelaan terhadap tuntutan tersebut. LEMBAGA PENERJEMAH Lembaga menginterpretasi dari proses pengadilan kriminal adalah subsistem dari polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Subsistem polisi terdiri dari agen yang harus mengidentifikasi pelanggaran hukum dan menggiring pelanggarnya kepada tuntutan sebelum pengadilan. Organisasi dari upaya pengaturan ini diarahkan pada pengendalian kejahatan hukum-umum dari golongan lemah. Sebagian agen yang mengatur aktivitas kriminal perusahaan, dan meski ada mereka seringkali kekurangan staf dan anggaran. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa Dinas Perpajakan jarang melakukan audit terperinci terhadap perolehan pajak perusahaan karena umumnya kekurangan staf yang memiliki keahlian cukup untuk memahami kerumitannya (Charlotte Observer, 14 April 1974). Selain itu, kebanyakan agen yang dirancang untuk mengatur aktivitas perusahaan ini diisi oleh perwakilan dari agen-agen dimaksud yang sedang diatur. Para perwakilan ini lebih berperan dalam kapasitas sebagai juru bicara yang menguntungkan komunitas perusahaan dibanding sebagai agen kontrol masyarakat yang jujur. Maka tidak mungkin kita dapat menyuruh penjahat untuk mengatur penjahat lain. Peraturan substantif dan sangsi formal menentukan perilaku apa yang disebut sebagai kriminal dan keseriusan tindakan yang kita lekatkan pada perilaku tersebut. Peraturan prosedural, lembaga penerjemah dan tindak kebijakan menjamin pengawasan sosial terhadap individu dan kemelorotan publik yang disebut sebagai kriminal, adalah para anggota dari golongan lemah. UNIVERSALISASI PERMASALAHAN SOSIAL David Wagner Sejak tahun 1960-an, di media banyak pembuat klaim (claim-makers) yang membantah bahwa semua orang dalam masyarakat dalam hal usia, gender, atau ras mempunyai resiko yang sama untuk menjadi korban permasalahan sosial (social problems) di mana hal tersebut dapat “terjadi pada siapapun.” Akan tetapi, Wagner menyatakan bahwa penemuan dari banyak peneliti sosial menunjukkan permasalahan sosial umumnya terkonsentrasi pada masyarakat kelas rendah. Dia membantah bahwa ide universalisasi permasalahan sosial datang secara langsung dari kepentingan dan nilai kapitalisme. Hal ini dalam masyarakat kapital untuk menyokong solusi permasalahan sosial yang memperlakukan individu, dengan demikian menciptakan sebuah pasar untuk perlakuan industri yang mengecilkan solusi perubahan sosial radikal dalam struktur sosial. Hal tersebut menjadi cara yang biasa bagi media, layanan sosial, dan ahli ilmu sosial untuk mendiskusikan masalah sosial sebagai masalah umum yang mempengaruhi semua orang. Sebuah retorika permasalahan sosial menjadi wajib yang dapat menjelaskan sejumlah isu sebagai kelas ”potongan menyilang,” ras, usia, gender, dan lain-lain. Pernyataan demikian merupakan penemuan luas dalam literatur mengenai sejumlah permasalaan sosial fungsi sosial dan politik laten yang bekerja. Pertama, sejak hal itu menjadi bukti diri yang secara potensial dapat terjadi pada setiap orang, ini menarik di mana pengumuman layanan masyarakat, kesehatan umum dan pimpinan politik, dan layanan sosial profesional lainnya merasa perlu untuk mengulang slogan ini secara terus menerus. Bisa jadi protes mereka “terlalu berlebihan,” di mana para pimpinan politik dan profesional menyadari publik mengetahui bahwa permasalahan tersebut secara sering tersebar ke dalam populasi. Kedua, setidaknya yang berkaitan dengan topik yang dieksplorasi dalam makalah ini (kahamilan remaja, kejahatan, kekerasan domestik, penggunaan zat kimia dalam jangka panjang, kekurangan makanan, dan kegemukan), merupakan bukti empirik yang sering menempatkan kelompok bermasalah berada pada kelas sosial yang lebih rendah. PROBLEM-PROBLEM DENGAN MENDISKUSIKAN KEBIASAAN MASALAH SOSIAL Pertama, permasalahan yang sifatnya personal, terstigma atau ilegal - sebagai contohnya, penggunaan obat terlarang atau kekerasan pada anak- menghadirkan tantangan unik untuk ilmuwan sosial dalam mengumpulkan data yang baik karena hal ini berkaitan dengan ketakutan akan mendapatkan rasa keadilan terhadap subjek. Kedua, sejak tahun 1960 kriminolog, sosiolog, dan ahli permasalahan sosial lainnya telah menunjukan bahwa permasalahan perilaku terstigma mengarahkan mereka ke diskriminasi melawan kemiskinan, minoritas ras, dan penghilangan hak lainnya. “Perilaku menyimpang,” dari kekerasan pada anak hingga ke penyakit mental telah banyak terjadi di kelas yang lebih rendah di banding di kelas lainnya. Agen kontrol sosial biasanya menjaga ketertiban di wilayah yang lebih miskin, dan setidaknya beberapa permasalahan pribadi sulit untuk dihilangkan dalam ketidakhadiran hak privacy di rumah-rumah kelas menengah. Ketiga, kita mengetahui bahwa struktur sosial seringkali memaksa orang untuk mengambil jalan berlainan yang disebabkan oleh perbedaan kelas, ras, atau gender. Wanita muda yang hamil di kota menemukan dirinya tidak mampu untuk melakukan aborsi, bukan karena tidak terjangkau, saat pasangan kaya memiliki kemudahan untuk melakukan aborsi. Orang kelas menengah dengan permasalahan minuman keras dan obat-obatan lebih mudah diterima ke dalam fasilitas orang bermasalah, program lainnya, dan memiliki asuransi kesehatan. Lagi pula, kompleksitas lainnya definisional. Apakah orang miskin atau orang kaya, Afrika-Amerika, orang kulit putih, tua-muda, selalu mengartikan hal yang sama dengan ketika mereka memiliki permasalahan, seperti minum alkohol berlebihan. Stanton Peele, seorang kritikus kecanduan (adiktif), mencatat bahwa orang-orang kelas menengah telah dibombardir dengan pengumuman pelayanan sosial dan “peringatan atas bahaya bahwa alkoholisme akan muncul pada banyak orang tanpa mereka sadari” di mana seringkali apa yang orang kelas menengah sebut teradiksi (kecanduan) dengan “jenis baru Betty Ford, yang ditandai oleh sebuah rasa tidak enak badan (general dull malaise),” yaitu perasaan di saat seseorang meminum alkohol secara berlebihan” atau “seperti Kitty Dukakis, (di mana mereka) mengandalkan resep obat untuk hidup yang lebih baik” (Peele, 1989:2, 123). Lebih luas lagi, berdasarkan permaslaahan yang telah didiskusikan sebelumnya, asosiasi yang sekali lagi perilakunya terstigma dengan kaum miskin bisa jadi terbalik ke orang-orang kelas menengah atau kelas yang lebih mapan, melalui kelompok recovery dan pergerakan lainnya, datang untuk melihat diri mereka sebagai korban penyakit atau sindrom khusus. Permasalahan ilmuwan sosial adalah apakah keterulangan permasalahan pribadi pada masyarakat kelas menengah harus selalu diterima sebagai nilai permukaan. Berdasar seluruh kondisi tersebut, ini membuat sedikit pengertian yang secara lengkap meninggalkan semua bukti empiris tentang kelaziman permasalahan sosial. Pertama, beberapa permasalahan sosial yang utama adalah sulit untuk dihilangkan atau disamarkan. Pembunuhan atau penodaan jarang diperhatikan oleh polisi, petugas kesehatan, dan agen sosial lainnya. Kedua, pokok koleksi data dapat dipertimbangkan berdasar pada pelaporan pribadi. Meskipun secara sempurna susah, data jenis ini menyediakan hasil yang dapat dipercaya (reliable). Sehingga meskipun perlu untuk peringatan, penggunaan data sebagai pelaporan pribadi (self-report) dalam hal pelaporan petugas (official reports), etnografis, longitudinal, dan data observasi partisipan, mengenai data kuantitatif, dan data lintas nasional (cross-national) sebaik data Amerika, menyarankan bahwa perilaku di mana subjek klaim universalist dapat diuji dan disarankan untuk dijadikan gambaran demografis yang secara fair stabil dan dapat diprediksi. EVALUASI PERSPEKSTIF KRITIS Marshall B. Clinard dan Robert F. Meier Perspektif kritis menganggap penyimpangan sebagai konflik, umumnya sebagai peraturan rasional terhadap kontradiksi kapitalis sosialis dan sistem ekonomi. Clinard dan Meier menandai kekuatan perspektif yang memfokuskan perhatian pada bagaimana politik, ekonomi, dan struktur sosial membentuk definisi kejahatan dan penyimpangan secara legal. Mereka mengklaim bahwa penjelasan skema lebih banyak mengatakan tentang bagaimana sebuah kelompok membuat peraturan dan memperkuatnya daripada tentang bagaimana seorang individu melanggar peraturan tersebut. Dengan sama, kebalikan hubungan antara kekuatan dan hukuman “mereka yang melakukan kejahatan konvensional (umumnya warga negara kelas rendah) lebih suka untuk ditangkap, dijadikan narapidana, dan dipenjarakan lebih lama dibanding mereka yang melakukan kejahatan kerah putih dan kejahatan perusahaan” sebagai tambahan validitas perspektif kritis. Mereka mengatakan kelemahan ini berkaitan dengan fakta, yaitu; 1. terdapat lebih banyak sumber-sumber konflik dibanding politik atau ekonomi, 2. hukum menguntungkan semua kelas (tidak hanya berlaku untuk kelas yang kuat) dan bukan penyebab kriminal atau perilaku menyimpang, 3. sedikit studi empiris mendukung klaim perspektif kritis, dan 4. perspektif lebih terkesan sebagai ideologi dibanding teori. BUKTI EMPIRIS Sedikitnya studi riset yang didesain dan dioperasikan dengan baik telah membuat perspektif konflik. Kenyataannya, hal itu hanya didesain untuk menunjang ideologi perspektif ini yang terkadang mengabaikan bukti negatif. Terdapat tiga contoh. 1. Pertama, banyak bukti diambil dari sebuah analisis kapitalis masyarakat AS secara keseluruhan, dengan sedikit pengakuan variasi yang dinyatakan atau perbedaan antara negara AS dan beberapa negara Eropa. 2. Kedua, saat kebenaran di mana hukum kejahatan konvensional diarahkan secara umum pada perilaku kelas bawah, ini tidak berarti bahwa agen kontrol sosial selalu refresif, contohnya; polisi (mereka juga menghentikan pertikaian keluarga) atau perusahaan besar yang tidak memberi sangsi untuk pelanggaran. Hukuman dijatuhkan pemerintah kepada bisnis yang tidak menjalankan bisnisnya secara tidak seimbang yang memojokkan kriminal kelas rendah. Tetapi ini juga harus disadari bahwa setiap perusahaan besar di negara AS merupakan subjek yang mengontrol negara. 3. Ketiga, variasi dalam vonis terhadap pelanggar konvensional seringkali menyandarkan pada faktor yang lainnya dibanding bias kelas dan kekuatan politik kelompok elit. ALIRAN KONSTRUKSIONISME SOSIAL Pergolakan tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, setelah perang Vietnam berakhir. Kalangan Akademik kembali ke dunia “Bisnis Sebagai Kebiasaan” sebagai solusi pemecahan masalah sosial, gagasan ahli konstruksionisme menjadi bagian dari perubahan ini. Gerakan ini meradIKal dalam sosiologi, terutama terhadap permasalahan (praktek-praktek) sosial. KARAKTERISTIK-KARAKTERISTIK PERSPEKTIF KONSTRUKSIONISME Spector dan Kitsuse mengungkapkan bahwa problem-problem sosial adalah apa yang sedang mereka pikirkan. Kondisi objektif yang mungkin atau tidak mungkin terjadi, itu juga merupakan landasan dasar konsep problematika sosial. Mengadopsi dari subjektivisme radikal, mereka terpokus perhatian pada proses penentuan problem. Hasil dari interaksi antara yang komplek dan yang merespon yaitu : Definisi : Problem sosial adalah kondisi-kondisi yang menjadi ketetapan budaya seperti hal-hal yang menyusahkan, tersebar luas, perubahan dan sesuatu yang diperlukan dalam proses perubahan. Penyebab : Aktivitas-aktivitas masyarakat yang menyebabkan timbulnya problem. Kondisi : Proses interaksi antara pengadu dan perespon untuk sebuah perbaikan. Konsekuensi : Akibat-akibat yang terjadi dari sebuah perbuatan. Hanya penelitian empiris yang dapat menawarkan jawaban-jawaban sementara untuk pertanyaan dari konsekuensi. Solusi : Upaya tertentu untuk memberikan keterangan terhadap problema sosial dengan melalui riset dalam proses kehidupan. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Di tahun 1960-an muncul istilah pelabelan perspektif. Pandangan tersebut muncul dari penyimpangan yang masyarakat kemukakan. Hal ini secara cepat dijadikan sebagai stimulasi penelitian, tulisan dan kritik. Pada pertengahan tahun 1978, sejumlah risecer aliran objecturisme mempertanyakan apa yang mereka lihat sebagai dalil dasar dari perspektif baik yang menopang atau mengembangkan perilaku menyimpang. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, nampak kemunculan suatu keradikalan dari pelabelan perspektif konstruksionisme sosial, sebagai suatu pendekatan studi problem-problem sosial. Pada tahun 1980, pemikiran konstruksionisme berkembang dengan mengembangkan sekolah-sekolah yang menjadi sentral seluruh penelitian mereka mengenai problem-problem sosial sekaligus pencarian solusinya. DEFINISI PROBLEM-PROBLEM SOSIAL John I. Kitsuse and Malcolm Spector Dalam kutipan ini, Kitsuse dan Spector mengungkapkan bahwa sosial problem adalah proses yang didalamnya ditemukan situasi tertentu sebagai problem sosial yang menjadi pokus para ahli sosiologi. Masyarakat keberatan dengan definisi mengenai sosial problem tentang moral interest, moral wrong, karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Fuller dan Myers menggunakan istilah value (nilai) membingungkan yaitu value pertimbangan (keputusan) dan value konflik. Mereka menggunakan konsep nilai (value) itu diantaranya : ï‚· Nilai-nilai pertimbangan (judgement), mengajak masyarakat untuk melaporkan kondisi yang tidak diinginkan oleh mereka dan ditentukan sebagai sosial problem, dengan kata lain bahwa nilai-nilai merupakan kunci utama yang menentukan sosial problem. ï‚· Value judgement tidak hanya menolong mengembangkan kondisi, tetapi juga mencari solusinya. SOSIAL PROBLEMS SEBAGAI PROSES Kita tahu bahwa arah dari “subjective element” sosia problems adalah proses yang dilakukan oleh anggota-anggota suatu kelompok atau masyarakat tertulis yang menimbulkan permasalahan sosial yang merupakan kajian sosiologi mengenai problem sosial. Dengan kata lain, bahwa sosial problem merupakan aktivitas-aktivitas anggota kelompok yang melakukan tuntutan-tuntutan berupa keluhan dan klaim secara respek sehingga menimbulkan kondisi yang tidak kondusif. Kondisi sosial problem itu akan senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan proses perkembangan masyarakat itu sendiri, dengan kata lain problem sosial itu sebagai proses. Macam-macam interest atau minat dan kelompok sebagai sosial problem antara lain : 1. Nilai kelompok yang berkembang menjadi kondisi penyebab sosial problem diantaranya adanya kecemburuan terhadap posisi di antara mereka. 2. Terjadi debat tertulis antar kelompok yang menimbulkan tuntutan-tuntutan satu sama lain. 3. Adanya protes-protes dari masyarakat terhadap nilai-nilai yang berkembang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. 4. Terdapat kepentingan orang-orang yang kuat yang melakukan interpensi atau penekanan terhadap orang-orang yang lemah. Itulah beberapa hal yang mengakibatkan timbulnya konflik dan pada akhirnya solusinya dengan melalui pendekatan-pendekatan yang relevan yang disesuaikan dengan proses perkembangan masyarakat. KESIMPULAN Sosial Problem adalah proses yang didalamnya ditemukan situasi-situasi tertentu sebagai problem sosial yang dilakukan oleh anggota-anggota suatu kelompok atau masyarakat, atau merupakan aktivitas-aktivitas anggota kelompok yang melakukan tuntutan-tuntutan berupa keluhan dan klaim secara respek, sehingga menimbulkan kondisi yang tidak kondusif. Sosial problem senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan proses perkembangan masyarakat itu atau dengan kata lain problem sosial itu sebagai proses. BAGAIMANA SECARA SUKSES MENGONSEPKAN MASALAH SOSIAL Donileen R.Loseke Masyarakat kontemporer memunculkan banyak kondisi yang dapat kita klaim sebagai masalah-masalah sosial. Tetapi dari banyak kondisi yang berkompetisi untuk status masalah sosial, mengapa hanya beberapa yang mencapai status tersebut? Sementara penelitian sistematis telah membuat perbedaan antara klaim yang berhasil dan tidak berhasil, Loseke, setelah mempelajari literatur yang relevan, telah menyarankan resepnya mengenai bagaimana secara efektif mengonsepkan masalah sosial. Elemen utamanya memfokuskan pada bentuk dan isi klaim-klaim yang meningkatkan kemungkinan diterimanya sebagai masalah sosial. Loseke berhubungan dengan elemen-elemen tersebut seperti bagaimana kompleknya klaim-klaim itu seharusnya, apa yang harus ditekannya, bagaimana luasnya seharusnya, dan apa jenis cerita yang harus ada didalamnya. Jika klaim-klaim memunculkan cukup rasa takut dan kemarahan moral, audiens kemungkinan menyerukan agar “sesuatu dilakukan untuknya.” RINGKASAN CARA SUKSES MENGONSEPKAN MASALAH SOSIAL Masyarakat kontenporer memunculkan banyak kondisi yang dapat kita klaim sebagai masalah-masalah sosial. Donileen R.Loseke telah menyarankan resepnya mengenai bagaimana secara efektif mengonsepkan masalah sosial. Menurutnya berhubungan dengan elemen-elemen tersebut seperti bagaimana kompleknya klaim-klaim itu seharusnya, apa yang harus ditekanya, bagaimana luasnya seharusnya, dan apa jenis cerita yang harus ada di dalamnya. 1. Mengonsepkan Kerangka yang Populer Setiap masalah sosial harus dikonsepkan sebagai jenis masalah tertentu dengan jenis penyebab tertentu. Ada dua strategi untuk mengonsep kerangka tersebut yang berhubungan dengan keberhasilan. a) Pertama adalah strategi mengonsep perbedaan dalam kesamaan. Mengonsepkan perbedaan penting karena terdapat premi pada hal baru dalam permainan masalah sosial. Perhatian audiens yang baru dan berbeda karena orang-orang Amerika cendrung menjadi bosan dengan masalah-masalah sosial tertentu. Istilah disini adalah kejenuhan dimana audien menjadi jenuh dengan klaim-klaim, ketika klaim menjadi membosankan, audien berhenti mendengarkan. Tetapi ketika membuat sesuatu yang berbeda adalah penting, tampaknya juga perbedaan ini adalah yang terbaik ketika tidak secara total baru. Sebagai contoh; Teknologi kedokteran, seperti pengkloningan manusia, percobaan bayi tabung. Secara keseluruhan, klaim-klaim baru dapat menjadi berhasil jika audiens tidak memiliki kategori untuk memahaminya. Pembuatan klaim-klaim yang berhasil oleh karena itu merubah klaim lama dan cara-cara baru. Dalam dua cara, klaim-klaim dapat membuat perbedaan dalam kesamaan. Stategi pertama adalah piggybacking. Piggybacking dilakukan ketika masalah baru dibuat sebagai contoh yang berbeda deari masalah yang telah ada. Sebagai contoh, secara histories, gerakan hak-hak sipil untuk memperoleh hak-hak yang setara bagi penduduk Amerika-Afrika adalah gerakan kesetaraan pertama setelah PD II di AS. Kesetaraan adalah suatu kata dalam konstitusiAS, namun masyarakat Amerika secara umum tidak cendrung berpikir mengenai moralitas penting dalam kehidupan sehari-hari. b) Strategi kedua yaitu perluasan domain, dalam perluasan domain, isi dari kategori dimasukkan lebih banyak lebih banyak dibandingkan konsep-konsep sebelumnya. Sebagai contoh” perbudakan” dimulai ketika kategori sangat sempit digunakan untuk kondisi dimana orang-orang secara fisik dilarang untuk meninggalkan kondisi. Tetapi klaim-klaim baru ini telah meluaskan kategori ini. 2. Mengonsepkan Kondisi Yang Sangat Umum. Permaian masalah sosial menggunakan hukum jumlah-jumlah angka besar, semakin besar jumlah korban yang diciptakan oleh suatu kondisi, maka semakin besar kemungkinan audiens ingin mengevaluasi suatu kondisi sebagi masalah sosial.Sebagai contoh; - Penyalah gunaan obat-obatan,orang yang menyalahgunakan obat-obatan dianggap sebagai korban kemiskinan atau rasisme menurut beberapa klaim. Tetapi menurut audiens menganggap orang-orang yang menyalahgunakan obatobatan adalah sebagai penjahat. - Korban perkosaan , semua hubungan heteroseksual adalah perkosaan. - Masalah nutrisi, selama beberapa tahun yang lalu audien-audien di AS telah diberi tahu untuk tidak makan lemak, mengenai kolesterol dan makanan Cina dan juga efek popcorn. Dalam batasan ini, strategi menekankan pentingnya ukuran kondisi dan jumlah korban karena mendorong anggota-anggota audiens untuk mengevaluasi apakah suatu kondisi cukup untuk disebut sebagai masalah sosial. Strategi menekankan ukuran ini juga penting karena dapat membantu menyakinkan audiens bahwa masalah sosial dekat denganya. Sementara moralitas kemanusiaan menganggap pentingnya membantu orang–orang karena ini merupakan hal moral yang dilakukan, karakteristik audiens-audiens Amerika secara tidak lansung mempengaruhi kita. - Mengonsepkan korban-korban kelas menengah dan orang-orang jahat, juga merupakan jenis hal baru yang memunculkan ketertarikan audiens. Korbankorban dan orang jahat dan yang tak terduga lebih tertarik disbanding yang kita duga sebelumnya.Seperti O.J.Simpson adalah seorang jahat yang sangat baik. Siapa yang menyangka seorang yang kaya dan memiliki kekuasaan menjadi seorang yang melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya. Begitu juga, JonBenetRamsey, seorang anak yang terbunuh yang secara umum dianggap sebagai ratu kecantikan berumur enam tahun, telah mempesona masyarakat selama hampir dua tahun. Dia adalah anak yang cantik, orang tuanya kaya. Ceritanya membuat suatu klaim yang efektif karena dia adalah korban yang tak terduga. Komentar-komentar seperti itu kita tidak pernah menduga hal itu dapat terjadi disini, menekankan bagaimana kondisi mempengaruhi seseorang. Semua anggota audiens, terutama mereka dalam kelas menengah yang kuat secara sosial dan ekonomi, dianggap memiliki pancang dalam hasil permainan masalah sosial. 3. Mengonsepkan Konsekuensi Yang Menakutkan. Masalah sosial bukan semata-mata ‘ ‘masalah, masalah sosial sering kali dikonsepkan dalam bahasa yang sangat kuat adalah suatu “krisi’ suatu ‘epidemik’, suatu bencana.Klaim-klaim membuat konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan untuk masalah-masalah sosial. Klaim-kl;aim tentang ‘mengemudi sembari mabuk’ contohnya,menekankan pada konsekoensi yang paling ekstrim, ketika pengemudi tersebut dapat membunuh orang lain. Ini merupakan strategiefektif dalam permainan masalah sosial, yaitu menyakinkan anggota-anggota audiens bahwa suatu kondisi secara moral menyusahkan, menekankan titik ektsrim kondisi yang menun tun pada konsekuensi yang paling ekstrim. Kita semua mengetahui ,berdasarkan kekomplekkan kehidupan sosial, konsekuensi-konsekuensi objektif dari kondisi masalah sosial tertentu akan berkisar dari’tidak menyenangkan’ hingga ‘sangat buruk’ hingga ‘menakutkan’. Sebagai contoh mengenai kondisi ‘anak yang hilang’ seringkali adeganya menakutkan’ dari seorang anak yang secara brutal dibunuh oleh orang asing. Aturan umumnya adalah semakin menderita korban, maka semakin efektif suatu klaim itu. 4. Mempersonalisasikan Kondisi Dan Orang-Orang. Strategi pengonsepan klaim yang penting adalah mempersonalisasikan masalah. Sementara para audiens masyarakat Amerika secara umum ingin mengetahui berapa banyak orang-orang dipengaruhi oleh kondisi masalah sosial. Mempersonalisasikan cerita adalah rute untuk menyelamatkan audiens. Cerita adalah cara untuk mendorong audiens merasakan simpati terhadap korban, untuk merasakan kemarahan moral terhadap orang yang berbuat jahat. Strategi mempersonalisasikan kondisi-kondisi masalah sosial juga bekerja dengan baik ketika menggunakan cerita-cerita selebritis yang dikenal dengan baik. Cerita-cerita selebritis dapat juga berfungsi untuk menekankan bagaimana seseorang dapat menjadi korban kondisi masalah sosial. Sebagai contoh, Rock Husson, Magic Jhonson, dan Greg Louganis telah menjadi contoh efektif untuk membuat klaim tentang masalah sosial yaitu AIDS. Kematian bintang bola basket Len Bias pada tahun 1986 karena overdosis kokain. Audiens umum untuk klaim masalah-masalah sosial cenderung tidak menilai klaim semata-mata pada dasar logika bukti ilmiah, kita menilainya berdasarkan apa yang kita rasakan. 5. Mengonsepkan penyederhanaan. Strategi pembuatan klaim yang efektif adalah untuk melupakan tentang kekomplekan kehidupan nyata dan membuat kondisi-kondisi masalah sosial dan orang-orang di dalamnya mudah untuk dipahami. Salah satu cara yang dapat ddilakukan adalah dengan membuat imej-imej kondisi untuk hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi yang mengejutkan. Sebagai contoh; - Masalah sekolah yang buruk / yang tidak teratur. - Masalah kondisi orang tua yang masih remaja. - Masalah kekerasan suami terhadap istri. Secara pasti klaim-klaim yang efektif adalah klaim-klaim yang hanya mengonsepkan karakteristik kondisi yang menuntun pada imej-imej kondisi sebagai masalah mengonsepnya menekankan sosial, sebagai kemurnian hanya korban. korban. memiliki karakteristik Penyerderhanaan Bahwa banyak juga korban dibuat audiens yang dengan tidak akan mengevaluasi seseorang sebagai korban kecuali jika mereka yakin orang tersebut tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialaminya., seperti masalah AIDS. Kategori-kategori orang-orang tersebut secara jelas tidak bertanggung jawab akan kerugian ini. Maka kita memiliki klaim untuk menganggap tidak hanya”ketidaktanggung jawaban” tetapi juga untuk mengganggap apa yang sering kali tampak menjadi kemurnian mutlak korban. 6. Strategi-Strategi Dalam Mengonsepkan Seseorang Yang Jahat Ketika mengonsep moralitas dan kemurnian hampir selalu merupakan strategi efektif dalam mengonsep korban, situasi menjadi lebih komplek ketika beralih pada strategi untuk mengonsep orang-orang yang jahat. Ada 3 yaitu; a). Strategi seorang pembunuh, klaim-klaim menganggab seorang pembunuh sebagai seorang dibawah tekanan tertentu, ketika criminal-kriminal sebagai pasien-pasien mental sebagai orang-orang yang tidak pernah benar-benar memiliki kesempatan dalam kehidupan. Strategi ini efektif ketika secara emosional melekat pada audiens. Ini memungkinkan kita untuk membenci dosa dan mencintai orang yang berbuat dosa. b) Kalim dapat menolak untuk menganggab orang jahat sebagai jenis orang tertentu. Maka bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang itu seorang “pelaku kekerasan pada anak?” Kita tidak mengetahuinya: Siapa saja dapat menjadi jenis orang ini. Strategi ini dapat menjadi efektif karena tidak bersifat mengrakteristikan. Karena tidak mengarekteristikan, maka tidak memiliki resiko mendorong audiens untuk berpikir tentang kekomplekan orang-orang nyata, yang mungkin menuntun pada klaim-klaim yang menantang pengklarifikasikan. c) Orang jahat sesungguhnya yang layak disalahkan dapat dikonsepkan, dalam hal ini strategi pertama-tama dalah mengonsep kerugian yang tidak dapat dipikirkan yang dilakukan terhadap korban. Seseorang yang jahat harus begitu ekstrim dikonsep. Tidak ada yang baik mengenai orang-orang ini, pengonsepan tidak harus memiliki apapun tetapi apa yang secara masuk akal dapat didefenisikan sebagai kejahatan murni. Ini akan menjadi suatu imej dari kondisi yang sangat umum dengan konsekoensi-konsekoensi yang sangat menakutkan yang mempengaruhi penduduk Amerika kelas menengah. Hal ini akan mencerminkan pemahaman rakyat Amerika yang tipikal akan melekat secara emosional audiens akan didorong untuk merasakan iba terhadap korban sementara mereka didorong untuk menyalahkan orang-orang jahat yang murni benar-benar jahat 7. Mengonsepkan jenis-jenis masalah dan orang-orang untuk presentasi media massa. Katika jaringan televisi merupakan satu-satunya dari banyak bentuk media massa, televisi terutama penting untuk dua alas an: a) Televisi memiliki kekuatan untuk mencapai hampir semua penduduk Amerika, sehingga menawarkan audiens terbesar untuk klaim masalah-masalah sosial. Strategi untuk mendapat cakupan media adalah dengan membuat klaim-klaim ketika dunia menawarkan contoh kehidupan nyata dari kondisi. Mengklaim pada waktu yang tepat merupakan strategi yang efektif untuk memperoleh ketertarikan audiens secara umum, perhatian media secara khusus. b) Bahwa kebanyakan media adalah mengenai hiburan. Tayangan-tayangan televise, termasuk berita-berita malam dan beragam acara yang bersipat menghibur, jika tidak maka pemirsa akan mematikan televisi. Bertanyalah pada diri anda sendiri, apa yang mendorong anda untuk menonton televise dari pada membaca, atau berjalan-jalan? Jawabannya, dapat membawa kita kembali pada strategi-strategi untuk mengonsep jenis-jenis kondisi orang-orang dari media massa. KEJAHATAN DAN INDUSTRI KORBAN Joel Best Pada tahun 1941, Fuller mengatakan “dengan demikian, setiap masalah sosial terdiri dari kondisi obyektif dan definisi subyektif.” Kemudian ia pun mengatakan bahwa “…masalah sosial adalah sesuatu yang orang anggap sebagai masalah sosial [pusat perhatian kita]” (American Sociology Review, 6 [Juni 1941]: 320-28). Pada tahun 1973, dalam penyelesaian kasus pertama dengan menggunakan pendekatan kaum konstruksionis dalam kajian masalah sosial, Spector dan Kitsuse mendefinisikan masalah sosial sebagai proses sosial dimana kelompok-kelompok menyatakan tuntutan mengenai “dugaan” tentang kondisi di dalamnya (Social Problem, 20 [Spring 1973]: 145-59). Menurut mereka, seharusnya satu-satunya fokus dalam kajian sosiologis adalah proses pernyataan tuntutan. Dalam kritiknya pada tahun 1989, Joel Best menyebut sudut pandang Spector dan Kitsuse sebagai “konstruksionisme sempit” karena kurangnya perhatian pada kondisi obyektif. Best menyebut posisi dirinya dan banyak kaum konstruksionis lainnya sebagai “konstruksionisme kontekstual” yang berpendapat bahwa dalam setiap teori masalah sosial, sifat saling mempengaruhi antara definisi subyektif dengan kondisi obyektif perlu dipertimbangkan. Tulisannya mengenai “industri korban” menguraikan pernyataannya tentang kondisi obyektif yang mempengaruhi perkembangan tuntutan. Ia menunjukkan bagaimana pergerakan hak sipil menyebabkan munculnya gerakan kejahatan, dan bagaimana sekumpulan kelompok, organisasi, dan individu akhirnya menemukan, mengambil, dan memanfaatkan kejahatan. BUDAYA DAN KASUS PENGANIAYAAN SEKSUAL PADA ANAK Katherine Beckett Beckett mempelajari tahap-tahap perkembangan media sehubungan dengan penganiayaan seksual pada anak. Ia menganalisa artikel-artikel yang dimuat di surat kabar mengenai penganiayaan seksual pada anak yang telah muncul lebih dari tiga periode lima tahun yang berbeda. Ia mengemukakan bahwa kelompok- kelompok yang berbeda muncul sebagai pihak penuntut pada tiap periode dan juga memiliki tema yang berbeda tentang siapa yang menjadi “korban” dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Ia menemukan bahwa pelaku dalam”industri penganiayaan anak” merupkan penuntut dominan pada periode lima tahun pertama, yang menggambarkan anak- anak sebagai korban dan menyatakan keinginan untuk mengakhiri adanya penyangkalan terhadap masalah ini di masyarakat. Dalam periode lima tahun kedua, para ahli dan golongan akademis menjadi penuntut utama serta lebih sering menyerang pimpinan konstruksi dari pihak- pihak yang bersalah- menuduh bahwa si korbanlah pihak yang sesungguhnya bersalah (dikarenakan ajaran saudara- saudara mereka yang lebih tua dan tuduhan- tuduhan keliru). Pada periode lima tahun ketiga, penuntut dominannya adalah para korban dewasa yang bertahan serta para selebriti yang mengungkapkan pengalaman pahitnya di masa kecil dan mendorong orang- orang untuk berani mengeluarkan pendapat. Beckett juga menjelaskan hal apa yang menyebabkan beberapa penuntut lebih berhasil dalam mempromosikan masalahnya dibandingkan yang lain. Rangkuman Hasil dari analisa ini menyatakan bahwa kerangka pemberitaan media mengenai kasus penganiayaan seksual anak telah berubah drastis selama lebih dari 15 tahun yang lalu. Sementara Penyangkalan Kolektif mendominasi pemberitaan awal mengenai topik ini, Tuduhan- tuduhan keliru yang lebih baru lagi yaitu munculnya memori- memori yang keliru, telah menjadi cara dominan untuk menginterpretasikan tuntutan- tuntutan mengenai kasus penganiayaan. Paket- paket permasalahan ini kita mengalihkan perhatian dari soal Penyangkalan Kolektif dan Korban Penganiayaan yang Angkat Bicara. Bagaimana cara untuk menjelaskan kemunculan hilangnya beragam paket permasalahan? Menurut Gamson (1988) ada tiga faktor utama yang dapat menjelaskan pergantian fokus perbincangan mengenai penganiayaan seksual anak adalah sebagai berikut. Faktor- faktor ini melibatkan aktivitas dari paket penuntut maupun pendukung dari paket yang berlainan, praktisi media dan resonansi kultural. Lebih lanjut lagi, juga melibatkan analisa terhadap kapasitas dari aktor sosial untuk menciptakan dan mengungkapkan paket permasalahan yang baru. KONSTRUKSIONISME DALAM KONTEKS Joel Best Best menguji kritik konstruksionisme, tipe para konstruksionis, dan penggunaan praktis sebaik teoretis di mana konstruksionisme diposisikan. Kritikus yang berseberangan paham mengatakan bahwa tidak ada manfaatnya mengabaikan “kondisi-kondisi objektif” yang mendasari inti permasalahan sosial [social problems] dan bahwa para konstruksionis mengabaikan penyebab kejahatan dan penderitaan permasalahan sosial. Kritikus simpatik memberikan jawaban bahwa selama bertahun-tahun studi objektif aspek permasalahan telah mengurangi penderitaan dan menghasilkan sebuah teori sosiologis permasalahan sosial yang asli; lagipula, jika seseorang tidak menunjukkan kejahatan, situasi tak tergambarkan atau permasalahan sosial akan muncul. Meski demikian para kritikus simpatik yang lain membantah bahwa para konstruksionis lainnya membuat asumsi kondisi objektif, lebih buruk lagi, mempercayai mereka mengetahui ketika kondisi-kondisi objektif telah berubah atau tidak. Jika demikian, para kritikus simpatik tidak mampu memenuhi desakan konstruksionis, di mana mereka memerlukan informasi atas keyakinan orang-orang yang terlibat dalam proses permasalahan sosial dibanding keyakinan para sosiolog. Sebagai hasilnya, dua pemikiran telah memunculkan pengembangan tradisi konstruksionis: menegaskan para konstruksionis sosial yaitu mereka yang hanya belajar proses pembuatan klaim [claims making process] dan menegaskan para konstruksionis kontekstual yaitu mereka yang mempertimbangkan apa yang diketahui dengan kondisi objektif. Orang bijak mengatakan siapa yang ingin memecahkan permasalahan akan bekerja dengan baik untuk mempelajari kesuksesan pembuatan klaim [claims-making] yang lainnya. Pendekatan konstruksionis mempelajari permasalahan sosial yang muncul dari ketidakpuasan sosiolog yang dominan, pendirian objectivist. Para konstruksionis berargumentasi bahwa pendefinisian permasalahan sosial dalam batasan kondisi objektif di masyarakat mempunyai dua kekurangan: mengabaikan fakta pengidentifikasian kondisi sosial sebagai permasalahan sosial yang memerlukan pertimbangan subjektif; dan, dengan kondisi labelisasi permasalahan sosial, objektifisme tidak bisa dijadikan sebagai pondasi teori permasalahan sosial. Kebalikannya, para konstruksionis menggambarkan permasalahan sosial berkaitan dengan pembuatan klaim; mereka memusatkan pada pertimbangan subjektif, mengklaim bahwa X sebagai masalah sosial di mana para objectivist melalaikannya. Dan seperti yang diungkapkan dalam bab buku ini, pendekatan konstruksionis menawarkan basis pengembangan teori baru tentang klaim, pembuat klaim, koneksi antar kampanye pembuatan klaim, dan kebijakan sosial. KRITIKUS KONSTRUKSIONISME: MENYERANG DARI LUAR Konstruksionisme menawarkan perubahan dramatis dari pendekatan objectivist yang tradisional hingga pembelajaran permasalahan sosial. Bahkan istilah “permasalahan sosial” mempunyai maksud berbeda ketika digunakan para konstruksionis. Saat perspektif konstruksionis diilhami pokok penelitian [body of research] yang besar, selanjutnya hal ini dikritik oleh para sosiolog yang menetapkan tradisi objectivist. Kebanyakan kritik objectivist terhadap konstruksionisme dapat dirangkum dalam empat argumentasi umum. 1. Konstruksionisme dan Objektivisme adalah Komplementer (Saling Melengkapi). Beberapa sosiolog yang menetapkan perspektif objectivist menyangkal bahwa konstruksionisme merepresentasikan sebuah pendekatan yang berbeda. Mereka membantah bahwa objektifisme dan konstruksionisme merupakan “dua sisi koin yang sama,” dimana dua perspektif teori dapat dengan mudah direkonsiliasi. Paling sering, usaha untuk memperkecil perbedaan antara objektifisme dan konstruksionisme hanya lips service saja. Sebagai contoh, banyak definisi buku ajar tentang permasalahan sosial yang menyebutkan peran pertimbangan subjektif dalam pengidentifikasian permasalahan, tetapi isu konstruksionis tidak memberi perhatian lebih lanjut di dalam buku ini. Beberapa kesalahpahaman sifat alami konstruksionisme, yang melibatkan lebih dari pengakuan di mana definisi permasalahan sosial merupakan subjektif. Berkaitan dengan pendefinisian permasalahan sosial tentang pembuatan klaim, para konstruksionis meneliti pengalamatan satu set pertanyaan berbeda tentang sifat alami klaim, mereka yang membuat klaim, dan seterusnya. Kemudian, pendekatan objectivist ke ketunawismaan memusatkan pada pengukuran populasi tuna wisma, belajar mengapa sebagian orang menjadi tuna wisma, atau menyelidiki ketunawismaan sebagai sebuah kondisi sosial. Saat seorang analis konstruksionis menanyakan siapa yang membawa klaim ketunawismaan hingga menjadi perhatian publik, bagaimana klaim itu melambangkan tunawisma, bagaimana publik dan para pembuat kebijakan menjawab klaim tersebut, dan seterusnya. 2.Subjek Konstruksionisme Secara Relatif Tidak Penting. Sosiolog objektivist lainnya mengakui bahwa konstruksionisme mempunyai pendekatan yang unik - yang mereka sesalkan. Mereka membantah bahwa para konstruksionis memfokuskan pada pengabaian pembuatan klaim lebih jauh dibanding pada subjek: kondisi sosial berbahaya yang menjadi masalah sosial yang “nyata.” Kemudian, sebuah artikel mengkritik analisis konstruksionis dalam karya sosial yang berjudul “Realitas ada. O.K?” [Speed 1991]. Konstruksionis menjawabnya dengan meminta analis untuk kembali ke subjek tradisional menjadi dua hal: 1) tidak ada salahnya mempelajari kondisi sosial tertentu, selama puluhan tahun riset objektivist atas kondisi sosial telah gagal untuk meletakkan sebuah pondasi teori umum permasalahan sosial; dan 2) penting untuk diingat bahwa kita mengenali kondisi sosial ketika “benar-benar” berbahaya hanya karena seseorang membuat klaim persuasif untuk efek itu. Lagi pula, objektivisme dan konstruksionisme menanyakan pertanyaan berbeda; nilai relatif dari dua set pertanyaan tergantung pada apa yang ingin kita ketahui. 3.Konstruksionisme Mempunyai Bias Moral atau Politis. Banyak sosiolog membawa komitmen moral atau politis dalam pekerjaannya; seringkali mereka memperhatikan isu sosial yang mengarahkannya ke studi sosiologi. Secara khas, sosiolog mempunyai simpati-liberal kekirian, dan mereka menyukai perubahan sosial yang egaliter [penganut paham persamaan]. Beberapa kritik -termasuk beberapa sosiolog yang mengidentifikasi pendekatan konstruksionis mereka– khawatir konstruksionisme menumbangkan tujuannya. Umumnya, kritik ini membantah orang-orang dengan kekuasaan lebih sedikit mempunyai waktu lebih keras agar terdengar, konstruksionis memusatkan pada pembuatan klaim berkenaan dengan suara, pembuatan klaim yang visible akan menarik perhatian anggota masyarakat yang invisible – yang sukar berbicara, teralienasi, atau tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan klaim. 4. Konstruksionisme Membuktikan Ketidakbenaran Belaka. Konstruksionisme menggeser fokus analis dari kondisi-kondisi sosial ke klaim anggota tentang kondisi-kondisi tersebut. Ini merupakan klaim, bukan kondisi atas isu; kenyataannya beberapa konstruksionis secara hati-hati berbicara tentang “kondisi-kondisi putatif [yang bereputasi baik]” yang boleh atau tidak boleh ada. Ini telah mengarahkan beberapa kritikus untuk menyamakan konstruksionisme dengan bukti ketidakbenaran sedemikian rupa sehingga mereka menanyakan apakah masalah sosial tertentu merupakan sebuah kondisi sosial yang objektif, atau “hanya” sebuah konstruksi sosial. Ini menyamakan konstruksi sosial dengan kesalahan, dan menggambarkan analisis konstruksionis sebagai metoda pembongkar kesalahan atau distorsi klaim. Sebagai contoh, Forsyth dan Oliver [1990:285] menyatakan: “Pada dasarnya argumen konstruksionis tidak memiliki perubahan signifikan dalam aktivitas yang dipermasalahkan, tetapi aktivitas yang tidak digambarkan sebelumnya - problematik, digambarkan sebagai sebuah masalah.” Beberapa konstruksionis strict menjawab pengenalan ini dengan pindah dari studi kasus. Tulisan Petrus R. Ibarra dan Kitsuse mengusulkan tentang studi kasus yang secara analitis menyusahkan: Posisi kita adalah di mana proyek pengembangan sebuah teori wacana permasalahan sosial yang merupakan suatu cara yang lebih koheren dibanding dengan konstruksionisme, sebagai contoh, pengembangan satu rangkaian teori diskrit atas konstruksi sosial X, Y, dan Z. Untuk mengembangkan sebuah teori tentang kondisi X saat status ontologis X ditangguhkan menghasilkan “manipulasi ontologis di mana dapat disebut teori yang cacat. (Ibarra dan Kitsuse 1993:33, penekanan sesuai aslinya). mereka berbicara tentang keinginan logis dari konstruksionisme strict. [Mereka menyamakan pendekatan konstruksionis strict dengan apa yang mereka sebut “kontekstualisme” -”bercerita tentang fenomena dalam konteks alami mereka” [Sarbin dan Kitsuse 1994:7].]. Akan tetapi mereka mengakui: Tidak satupun bab dalam volume ini merupakan sebuah contoh konstruksionisme strict. Ini dapat dipertanyakan apakah para peneliti dapat menopang metoda apapun yang akan menjadi konsisten dengan kebutuhan kontekstualisme strict. penyelidik dan analis tidak dapat membantu Para tetapi memasukkan kepentingan mereka, jika bukan agenda profesionalitas mereka, ke dalam interaksi-interaksi melalui informan mereka [Sarbin dan Kitsuse 1994:14].5 KONSTRUKSIONISME KONTEKSTUAL Selagi debat konstruksionisme strict mengambil perhatian beberapa ahli teori permasalahan sosial, banyak pula sosiolog lainnya mencoba untuk menggunakan perspektif konstruksionis untuk melakukan riset. Tahun berikutnya Woolgar dan Pawluch mengkritik manipulasi ontologis yang melihat banyaknya studi konstruksionis, mencakup bagian dalam jurnal bergengsi Tinjauan Ulang Kemasyarakatan Amerika [Block dan Burns1986], Jurnal Sosiologi Amerika [Gamson dan Modigliani 1989; Hilgartner dan Bosk 1988], dan Tinjauan Ulang Ilmu Pengetahuan Politik Amerika [A.Schneider dan Ingram 1993]. Kebanyakan riset sederhana ini mengabaikan kritik konstruksionis strict. Tetapi mayoritas riset konstruksionis jatuh di sebuah tempat antara dua fenomena konstruksionis strict yang ekstrem, dengannya mustahil para analisis menghindari semua asumsi tentang kondisi sosial, dan bukti ketidakbenaran [debunking] konstruksionis vulgar, yang menghilangkan penglihatan pembuatan klaim sebagai fokus analisis permasalahan sosial. Konstruksionis bekerja menduduki landasan pertengahan ini -bab di volume ini merupakan contohnya– yang disebut dengan konstruksionisme kontekstual. TINJAUAN SOSIOLOGIS DARI PERSPEKTIF-PERSPEKTIF Tujuan dari buku ini telah menunjukkan cara-cara berbeda dimana para ahli sosiologi [atau kemasyarakatan] Amerika telah memandang masalah-masalah sosial dari awal abad keduapuluh sampai sekarang. Dalam bab ini, kita akan meninjau secara singkat tema sentral dari perspektif-perspektif, kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan relatifnya, dan bagaimana mereka menggambarkan cara-cara yang berbeda dari memisahkan dwi mandat. (“Dwi mandat,” ini akan diingatkan kembali, merujuk pada dwi sasaran sosiologi untuk pemecahan masalahmasalah sosial dan untuk memperkembangkan sosiologi sebagai sebuah disiplin.) Social Pathology [Pathologi/Ilmu Penyakit Sosial]. Di tahun-tahun awal dari sosiologi di Amerika, semangat optimistis memikat para pendirinya. Melakukan perluasan filsafat sosial, mereka melihat tugas mereka sebagai demonstrasi dari bagaimana masyarakat dapat berkembang untuk memenuhi skema dari hukum alam dan kemajuan. Para ahli sosiologi ini menjadi para pembuat perubahan sosial, dan sebagaimana mereka memfokuskan pada masalah-masalah sosial, pekerjaan mereka telah ditanamkan dengan kemarahan moral. Mereka merumuskan kemarahan ini dalam istilah-istilah dari model kedokteran, berkenaan dengan seperangkat masalah-masalah sosial sebagai perkerjaan dari orang-orang yang “sakit” itu adalah, defective (tidak sempurna/cacad), delinquent (jahat yang sifatnya delik), atau dependent (tidak mandiri). Pada waktu yang sama, para ahli sosiologi permulaan ini, juga marah secara moral pada yang menduduki jabatanjabatan pimpinan dalam bisnis, industri, pemerintahan, menghubungkannya pada banyak tindakan-tindakan mereka dengan sifat buruk, ketamakan, korupsi, dan kekuasaan. Social Disorganization [Kekacauan Sosial]. Dalam tahap kedua dari sosiologi di Amerika, pembaharuan mulai memberikan jalan pada sebuah konsepsi dari ahli sosiologi sebagai seorang ahli ilmu pengetahuan membangun sebuah disiplin akademis baru. Para ahli sosiologi dalam periode ini mengatur upaya-upaya mereka kearah merencanakan konsep-konsep, mengembangkan teori-teori, dan menghasilan penelitian-penelitian empiris daripada membuat moral, kefilsafatan, pernyataan yang mengupas secara kritis. Tabel 1 Periode-periode Utama dari Perspektif-perspektif Periode 1: Menetapkan dasar (1905 sampai 1918) Pathologi sosial Periode 2: Membentuk kebijaksanaan ilmiah (1918 sampai 1935) Periode 3: Mengintegrasikan teori, penelitian dan applikasi (1935 sampai 1954) Periode 4: Mengusahakan bidang /keahlian khusus (1954 sampai 1970) Periode 5: Pemunculan kembali teori makro (1970 sampai 1985) Kekacauan sosial Pertentangan nilai Tingkah laku Kekritisan yang menyimpang Memberikan nama Periode 6: Pengaruh yang menguasai konstruksiisme social (1985 sedang berlangsung) Konstruksiisme social Value Conflict [Pertentangan Nilai]. Selama periode ketiga dari sosiologi di Amerika, sangat banyak ahli sosilogi melanjutkan mengusulkan pembangunan teori sosiologi. Meskipun demikian, kumpulan ahli sosiologi yang secara relatif kecil mulai mengusulkan untuk mengikuti perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan bebas-nilai. Malahan, mereka dianjurkan bekerja untuk kebaikan masyarakat. Sebagaimana kekritisan kelompok ini diuji masalah-masalah sosial, banyak dari mereka merasakan bahwa masalah-masalah seperti itu tak dapat dihindarkan karena orang-orang tidak dapat menyetujui kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial. Dan biasanya alasan orang-orang tidak setuju adalah bukan karena mereka tidak tahu peraturan, tetapi karena mereka memegang nilai-nilai yang berbeda atau mengejar kepentingan mereka sendiri. Memperlihatkan kerusuhan dari Depresi yang Besar dan Perang Dunia II, perspektif pertentangan nilai membuat pengertian. Sebaliknya perspektif kekacauan sosial menganjurkan para ahli sosiologi tetap menjauhkan diri dari perjuangan didalam masyarakat, posisi pertentangan nilai menganjurkan mereka mempersatukan teori, penelitian dan aplikasi, dan menyertai nilai-nilai dan berpihak pada persoalan-persoalan sosial. Devian Behaviour [Tingkah laku yang menyimpang]. Sejak permulaan periode keempat dari sosiologi di Amerika, perspektif tingkah laku yang menyimpang terjadi. Dibangun di atas perspektif kekacauan sosial, ini melanjutkan orentasi sosiologi sebagai, pertama dan terutama, sebuah ilmu pengetahuan. Ini diasumsikan bahwa pekerjaan ahli sosiologi adalah mengetes pengertian dari teori, daripada memecahkan masalah-masalah masyarakat yang banyak. Meskipun orang-orang sejak itu dipindahkan pada perspektif tingkah laku yang menyimpang dalam upaya-upaya untuk memecahkan masalah-masalah dari kejahatan [crime] dan pelanggaran [deliquency], para ahli sosiologi dalam tradisi ini mempelajari terutama masalah-masalah sosial karena mereka mempunyai pertalian untuk teori yang berhubungan dengan sosiologi. Dalam bagian spesialisasi, bagaimanapun, para ahli sosiologi ini membatasi perhatian mereka hampir secara ekslusif pada studi dari tingkah laku yang menyimpang, didefinisikan sebagai pelanggaran dari harapan-harapan normatif. Jadi, perspektif yang mempengaruhi ini pada masalah-masalah sosial memusatkan perhatian pada sebab dari penyimpangan, dalam sistem-sistem tingkah laku yang menyimpang, dan dalam kontrol sosial. Labelling [Memberikan Nama]. Di akhir-akhir periode keempat dari sosiologi di Amerika, perspektif labelling berkembang, dalam bagian yang luas dari pertanyaanpertanyaan tertinggal yang belum terjawab oleh perspektif tingkah laku yang menyimpang. Untuk contoh: Bagaimana orang-orang dan situasi-situasi didefinisikan sebagai permasalahan atau penyimpangan? Dengan efek-efek apa? Dan bagaimana banyak orang mampu menghindari menjadi dinamakan demikian meskipun mereka mungkin melakukan sesuatu “deviant”? Jadi, sementara perspektif tingkah laku yang menyimpang mendefinisikan masalah-masalah sosial sebagai pelanggaran-pelanggaran obyektif dari harapan-harapan normatif, perspektif memberikan nama melihat masalahmasalah sosial sebagai apa saja yang orang-orang katakan siapa mereka (itu adalah, sebagai dirancang secara subyektif). Seperti perspektif tingkah laku yang menyimpang, perspektif memberikan nama berspesialisasi, terutama memfokuskan pada definisidefinisi sosial dan reaksi-reaksi sosial pada masalah-masalah sosial, dengan sedikit kepentingan dalam segi-segi masalah-masalah sosial Critical Perspective [perspektif kekritisan]. Sifat dasar yang berhubungan dengan politik dari pergolakan pada tahun 1970-an membawa pada sebuah fokus dalam masalahmasalah sosial sebagaimana diciptakan oleh putusan golongan. Fokus ini dimuat dalam sosiologi. Beberapa ahli sosiologi dalam periode ini mulai menanyakan apakah berbagai perspektif yang ada menjelaskan masalah-masalah sosial kebanyakan menjadi diidentifikasi atau menyarankan solusi-solusi yang dapat dikerjakan untuk mereka. Gagasan lain-lainnya bahwa perspektif-perspektif mengabaikan teoritis dalam perhatian mereka untuk permasalahan-permasalahan secara sosial. Jadi mengangkat perluasan, makro, pandangan yang lebih holistik, beberapa penulis mulai melihat pada bagaimana berbagai masalah-masalah sosial dihubungkan pada struktur ekonomis-politik dari masyarakat. Menarik helaian tradisi Marxist Eropa yang banyak dan kompleks, mereka mengarahkan perhatian mereka pada hubungan golongan. Individu-individu, secara berbeda disituasikan dengan respek pada pasar ekonomis, sampai pada membagi kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai. Upaya mereka untuk menjaga, melindungi dan memajukan kepentingan ini menuju perjuangan golongan, yang mana Marx memandang sebagai sumber dasar dari masalah-masalah sosial dan, pada akhirnya, solusi mereka. Social Constructionism [Konstruksi-isme social]. Meskipun bertahun-tahun mempelajari masalah-masalah sosial, para ahli sosiologi masih mengembangkan teori dari masalah-masalah sosial. Spector dan Kitsuse mengatakan kolega-kolega mereka gagal karena salah satunya mereka menerima definisi-definisi pengertian umum dari masalah-masalah sosial (“apa yang diketahui setiap orang”) atau mereka sebagai “ahli” memutuskan situasi-situasi apa yang diduga keras sebagai masalah-masalah sosial. Kupasan mereka memberikan peningkatan pada perspektif pembangun. Banyaknya situasi-situasi yang ada dimana kondisi-kondisi obyektif telah ada, tetapi definisi subyektif dari “masalah sosial” tidak ada. Keadaan ini memberikan peningkatan pada pertanyaan pembangun, apakah yang orang-orang lakukan untuk membuat situasi yang diduga keras sebuah “masalah sosial”? Spector dan Kitsuse menjawab: orang-orang bekerja pada itu. Dalam kata-kata mereka, beberapa orang tampil kedepan dan “membuat tuntutan.” Jadi, masalah-masalah sosial adalah proses-proses sosial, mereka mempunyai sejarah alamiah, dan kecuali semua kondisi, yang penting dan mencukupi ada, masalah tidak “terjadi”. Kondisi yang penting adalah definisi subyektif sementara kondisi yang mencukupi terdiri dari tindakan-tindakan orang lain dalam memberikan tanggapan pada definisi “pembuat-tuntutan” dari situasi. Jadi masing-masing dari ketujuh perspektif mempunyai perhatiannya sendiri. Perspektif pathologi sosial memfokuskan pada orang; perspektif kekacauan sosial menekankan peraturan; perspektif pertentangan-nilai melihat pada nilai-nilai dan kepentingankepentingan; perspektif tingkah laku yang menyimpang menegaskan peran-peran; perspektif labelling menguji reaksi sosial; perspektif kekritisan memfokuskan pada hubungan golongan; dan perspektif constructionist memusatkan pada proses-proses membuat-tuntutan. Sebagai tambahan, masing-masing perspektif menyatakan secara tidak langsung rantai sederhana-nya sendiri dengan mana unsur-unsur ini (orang, peraturan, nilai dan kepentingan, peranan, reaksi sosial, hubungan golongan, dan membuat-tuntutan) dihubungkan. Untuk contoh, perspektif labelling dan deviant behaviour, keduanya berurusan dengan peran-peran penyimpangan dan reaksi-reaksi sosial. Dalam persepektif deviant behaviour, bagaimanapun, peran-peran penyimpangan menimbulkan reaksireaksi sosial, sementara perspektif labelling memandang peran-peran penyimpangan sebagai konsekuensi dari reaksi-reaksi sosial. Dengan cara yang sama, dalam perspektif value-conflict, nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan menghasilkan peran-peran; dalam perspektif critical peran-peran menghasilkan nilai-nilai dan kepentingankepentingan. Dan, akhirnya, dalam perspektif constructionist social reaksi-reaksi sosial menghasilkan peran-peran membuat-tuntutan. Konstruksi-isme membuat lebih jelas perbedaan diantara penentuan perspektif dan yang memfokuskan pada human agency. Dengan respek pada studi masalah-masalah sosial, tabel dibawah mengklasifikasikan perbedaan dari sudut pandang dari empat peran yang telah kita gambarkan. Fokus Peran Penentuan Pembuat Teori Peneliti Pemakai Pengeritik Teori-teori umum tentang keseluruhan masyarakat Melakukan studi pada orang-orang sebagai yang dipengaruhi oleh kekuatan eksternal Rekaman dasar resmi Mengupas total sistem sosial yang lebih mengena Perantara Manusia Teori-teori lokal tentang masalah-masalah sosial spesifik Melakukan studi pada orang-orang sebagai pembentukan kekuatan eksternal Segi pendapat perantara yang menghasilkan rekaman yang lebih dasar Mengupas kebijaksanaan sosial spesifik yang lebih mengena Pengaruh yang menguasai konstruksi-isme dalam studi masalah-masalah sosial menunjukkan dengan jelas konsepsi yang lebih lengkap dari persoalan-persoalan diantara fokus penentuan dan perantara manusia. Tetapi ini tidak mungkin bahwa fokus perantara manusia murni akan mengalahkan penentuan murni. Beberapa sintesa dari dua perspektif adalah lebih mungkin. Dan sebagaimana itu terjadi, perspektif lain pada masalah-masalah sosial masih akan timbul.