perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pattidana berasal dari dua kata yaitu patti “jasa”, dan dana “ pelimpahan” atau “memberi”. Pattidana adalah berdana dengan cara pelimpahan jasa. Pattidana juga diartikan sebagai memberikan inspirasi kebajikan/kebahagiaan bagi makhluk lain. Pattidana sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan tidak ada sesuatu yang dilimpahkan. Tradisi Pattidana merupakan proses mengkondisikan dan menginspirasi pikiran leluhur atau orang tua yang telah meninggal untuk berbuat baik dengan ikut berbahagia atas jasa kebajikan yang telah diperbuat oleh orang lain, dalam hal ini keluarga (Widiyanto, 2011: 28-29). Setelah melakukan jasa atau perbuatan baik, maka seseorang bersama sanak keluarga biasanya menyatakan bahwa perbuatan baik ini dilakukan atas nama leluhur yang telah meninggal agar mereka turut berbahagia. Harapannya adalah para leluhur mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh dalam pikirannya ikut berbahagia dalam batin sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Pattidana dalam tradisi agama Buddha dapat disebut sebagai pelimpahan jasa yang diperuntukkan untuk para leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal. Melalui pattidana lehuhur atau orang tua yang telah meninggal diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia. commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id Pelimpahan jasa dapat dilakukan tanpa harus melakukan ritual-ritual tertentu terkait waktu dan tempat. Poin pentingnya adalah bahwa sebelum melakukan pelimpahan harus ada perbuatan baik yang dilakukan. Pelaku mengarahkan pikirannya kepada orang yang telah meninggal dan mengajak agar keluarga yang telah meninggal ikut berbahagia atas perbuatan baik yang telah dilakukan. Pelimpahan jasa ini selain dilakukan pada waktu-waktu tertentu dengan upacara ritual keagamaan, juga dapat dilakukan setiap hari. Pelimpahan jasa setiap hari dapat dilakukan pada malam hari sebelum beristirahat. Misalnya melakukan suatu kebajikan dengan cara membaca paritta “doa” dan bermeditasi. Renungan doa selama melakukan meditasi antara lain adalah, “Semoga dengan kebajikan yang telah dilakukan sampai saat ini akan memberikan kebahagiaan untuk para leluhur di kehidupan yang sekarang. Semoga leluhur bahagia. Semua semua mahluk bahagia” (Uttamo, 2005: 38). Bhakti adalah wujud sikap hormat dan patuh. Bhakti dalam Bahasa Pali berarti kesetiaan atau dalam bahasa ingrisnya devotion/faithful (Panjika, 2004: 341). Penelitian ini berfokus terhadap bhakti anak terhadap orang tua dan leluhur. Sikap hormat dan patuh terhadap orang tua dapat diwujudkan dalam berbagai tindakan. Menuruti nasehat orang tua dan menjalankan perintah orang tuanya merupakan sedikit contoh dalam mewujudkan sikap bhakti terhadap orang tua. Apabila orang tua telah meninggal, anak juga masih dapat menunjukkan sikap bhaktinya dengan cara memberi doa agar orang tuanya dapat terlahir di alam yang berbahagia. Rasa bhakti terhadap orang tua telah menjadi kewajiban bagi anak, tetapi pada prakteknya anak-anak sering lupa dengan budi yang dan bimbingan yang commit to user 3 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diberikan oleh orang tua. Anak-anak justru sering melupakan segala budi luhur yang telah diberikan oleh orang tua. Orang tua merupakan sosok yang sangat penting dalam kehidupan setiap anak. Setiap orang tua selalu bersyukur jika mereka dikarunia seorang anak. Orang tua bersyukur karena mereka mampu meneruskan garis keturunan keluarga serta memiliki generasi yang diharapkan menjadi lebih baik. Anak yang baik selalu bersyukur karena orang tuanya telah memberikan cinta kasih dan perhatian yang penuh kepada mereka. Mereka hendaknya selalu bersyukur karena dengan kasih sayang serta perhatiannya, mereka menjadi anak yang tumbuh sehat dan pintar. Sebaliknya, seorang anak hendaknya dapat menjaga serta merawat orang tuanya setelah anak tersebut sudah dewasa dan mampu mencari nafkah sendiri. Dalam U.U. No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan di Pasal 46 ayat 2 “jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya”. Hal ini menuntut anak-anak yang telah dewasa untuk selalu menjaga keluarganya, khususnya orang tuanya. Anak yang berbhakti kepada orang tua tidak hanya dibuktikan dengan limpahan materi yang diberikan kepada orang tuanya sebagai imbalan karena telah merawat dan membesarkan anak. Anak yang benar-benar berbhakti akan selalu memberikan kenyamanan dan ketenangan serta kasih sayang yang tulus kepada kedua orang tuanya. Dalam agama Islam, berbakti kepada kedua orang tua merupakan hal yang sangat penting. Khususnya berbakti kepada seorang ibu. Dalam hadits yang berbunyi “surga itu di bawah telapak kaki ibu....” (Silsilah alcommit to user perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Ahadits adh-Dha’ifah, no 593). Hal ini mencerminkan betapa besarnya jasa orang tua kepada anaknya baik itu ibu ataupun ayahnya Dalam Kitab Suci Tripitaka bagian Anguttara Nikaya II, 4. diterangkan bahwa terdapat empat ladang yang subur untuk menanam kebajikan, yaitu: (1) Buddha, (2) orang yang suci, (3) Ibu, (4) Ayah. Ibu yang penyayang dan ayah yang baik menjadi tempat untuk anak-anak berbuat baik. Walaupun sedikit perbuatan baik yang dilakukan pasti akan sangat bernilai harganya. Dengan mencegah orang tua untuk berbuat jahat, menganjurkan berbuat baik dan menjadi teladan untuk hidup yang baik dan mulia merupakan wujud bhakti atau sikap hormat yang perlu dilakukan (Tejanando, 2006:26). Nilai luhur dari kutipan di atas jika diterapkan dalam kehidupan manusia pasti akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Relevansi antara orang tua dan anak serta komunikasi yang terjalin dengan baik setidaknya menjadi beberapa contoh positif yang dapat diambil dalam kutipan tersebut. Khusus bagi orang tua yang telah meninggal, dalam agama Buddha memiliki tradisi yang tujuannya agar orang yang telah meninggal dapat terlahir ke alam yang berbahagia. Banyak cara untuk memberikan bhakti kepada orang tua khususnya bagi orang tua yang telah meninggal. Setiap suku di Indonesia memiliki cara sendirisendiri dalam mewujudkan bhakti mereka kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Contohnya di Bali yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Masyarakat di Bali mengadakan tradisi ngaben dengan tujuan: 1) dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Athanam), 2) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian tradisi untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalanan Atma ke Sunia Loka, 3) bagi pihak keluarga merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas dan merelakan kepergian anggota keluarganya. Tradisi ngaben di Bali merupakan wujud bhakti terhadap sanak keluarga yang telah meninggal. Dengan memperlakukan orang yang telah meninggal dengan baik, maka secara tidak langsung keluarga telah berbuat baik untuk kehidupan kedepannya. Tradisi ngaben banyak menyita perhatian banyak masyarakat, tidak terkecuali turis mancanaegara. Hal ini selain mewujudkan sikap bhakti terhadap leluhur juga dapat menunjukkan sikap gotong royong kepada dunia lewat mata para turis mancanegara. Masyarakat Toraja percaya bahwa tradisi pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang maka biaya tradisi pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama Aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Selain itu juga dilakukan tradisi penyembelihan hewan kerbau yang dipercaya sebagai hewan untuk mengantarkan perjalanan ke alam Puya. Contoh dari tradisi pemakaman sebagai simbol bhakti atau hormat terhadap orang tua yang telah meninggal seperti di masyarakat Bali dan Toraja juga dilaksanakan di daerah-daerah lain. Tetapi, setiap daerah memiliki cara yang berbeda dalam memperlakukan jenazah yang telah meninggal. Setiap tradisi atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id 6 digilib.uns.ac.id upacara yang dilaksanakan disetiap daerah dalam memperlakukan orang yang telah meninggal bertujuan agar orang yang telah meninggal tersebut dapat hidup bahagia atau tenang di alamnya. Secara khusus dalam penelitian ini akan mengadakan penelitian kepada masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari, Kec. Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Agama Buddha mulai masuk ke daerah Wonogiri sekitar tahun 1965. Hal ini dimulai dengan adanya ketentuan dari pemerintah bahwa setiap Warga Negara Indonesia wajib memiliki agama. Pada saat itu masyarakat sangat antusias dalam belajar agama Buddha yang terbukti dengan pelaksanaan puja bhakti atau pertemuan-pertemuan yang membahas tentang agama Buddha (Tarno, 2013: 4). Pelaku sejarah perkembangan agama Buddha di Wonogiri yaitu bapak Tugimin menyatakan bahwa: “Penyebaran agama Buddha di Wonogiri terjadi hampir di setiap kecamatan, namun yang dapat bertahan hanya beberapa wilayah, seperti Kecamatan Slogohimo, Jatisrono, Manyaran, Giriwoyo, Wuryantoro, Girimarto, Ngadirojo, dan Wonogiri kota. Umat Buddha antar wilayah di Wonogiri tersebut sering mengadakan pertemuan dengan saling mengunjungai antar Vihara. Hal tersebut bertujuan untuk memperkuat keyakinan dan persaudaraan antar umat Buddha di Kabupaten Wonogiri.” (wawancara bapak Tugimin, 23-11-2014). Pada awal masuknya agama Buddha di Wonogiri, masyarakat agama Buddha belum banyak mengerti tentang tradisi-tradisi yang ada dalam agama Buddha. Dalam setiap pertemuan yang dilakukan, masyarakat agama Buddha selalu membaca doa untuk tradisi umum. Dalam perkembangannya, masyarakat agama Buddha mengalami perubahan. Menurut Bapak Timan, seorang tokoh agama Buddha di Desa Jatisari, masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari yang menjadi to user tempat penelitian telah mengalami commit perubahan dalam hal bhakti terhadap orang tua. perpustakaan.uns.ac.id 7 digilib.uns.ac.id Dimulai pada sekitar tahun 1996, dimana para generasi agama Buddha mulai meninggalkan tradisi bhakti dalam agama Buddha yang tertulis dalam Sigalovada Sutta yaitu menjelaskan tentang cara memperlakukan orang tua yaitu: (1) Dahulu anak ditunjang orang tua, sekarang anak akan menunjang orang tuanya, (2) Anak akan menjalankan kewajiban terhadap orang tua, (3) Anak akan menjaga kehormatan keluarga, (4) Anak akan mengurus warisan dengan baik, (5) Anak akan mengatur pemberian sesaji kepada sanak keluarga yang telah meninggal (Rashid, 1997: 110-111). Bapak Timan menyatakan gambaran tradisi pattidana yang dilaksanakan umat Buddha di Desa Jatisari yaitu: “Khusus bagi anak-anak yang orang tuanya telah meninggal pada saat itu, mereka sering meninggalkan tradisi pattidana yang dianjurkan dalam Agama Buddha karena belum mengerti tentang tradisi pattidana” (wawancara bapak Timan 29-11-2014). Kegiatan semacam ini tidak lepas dari pengetahuan yang kurang tentang tradisi pattidana dalam agama Buddha yang dimiliki masyarakat Desa Jatisari. Hal tersebut dikarenakan masyarakat di Desa Jatisari sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani dan buruh yang dikatakan sebagai sebuah alasan kurang mengertinya tradisi yang dimiliki oleh agamanya. Selain itu, kurangnya penyuluh agama Buddha yang memberikan pengetahuan tentang tradisi-tradisi dalam agama Buddha juga menjadi sebab bahwa masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari belum mengerti tentang tradisi pattidana. Kesibukan sebagai petani tentu telah menyita banyak tenaga sehingga untuk mengadakan sebuah acara seperti pelimpahan jasa yang bertujuan untuk membantu orang tua atau leluhur yang telah meninggal hanya dipasrahkan kepada pengurus Vihara. Bapak Tugimin selaku ketua Vihara di Desa Jatisari, masyarakat agama commit user Buddha di Desa Jatisari masih sebatas ritualtodan belum mengerti tentang makna dan perpustakaan.uns.ac.id 8 digilib.uns.ac.id tujuannya. Belum banyak yang mereka ketahui tentang inti ajaran agama Buddha. Sehingga dalam mengadakan upacara keagamaan Buddha banyak yang tidak mengerti dan lebih sering hanya dipercayakan kepada pengurus Vihara. “Dalam tradisi pelimpahan jasa/pattidana contohnya masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari sebagian besar mengadakan genduren yang tidak lepas dari makan-makan dan pada akhir acara memberikan semacam oleholeh kepada yang hadir dalam acara tersebut” (wawancara bapak Tugimin,23-11-2014). Tradisi pattidana merupakan wujud bhakti kepada orang tua khususnya orang tua yang telah meninggal. Pattidana yang dilaksanakan bertujuan untuk membebaskan sanak keluarga dari penderitaan. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari banyak yang belum mengerti tentang makna dan tujuan dari tradisi pattidana tersebut. “Sebagian besar umat hanya mempercayakan kepada tokoh umat Buddha di Desa Jatisari saja dalam melaksanakan tradisi pattidana. Umat merasa sudah cukup dengan menyediakan tempat dan makanan dalam mengadakan tradisi pattidana tanpa mengetahui maksud dan tujuan tradisi pattidana yang dilaksanakan.” (wawancara Bapak Tugimin, 23-11-2014). Tradisi pattidana dalam pelaksanaannya hendaknya melibatkan keluarga yang ditinggalkan, karena pattidana bertujuan untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal agar dapat berbahagia di alamnya sekarang. Selain hal tersebut umat yang mengadakan tradisi pattidana juga harus mengerti atau setidaknya mengetahui paritta/doa apa saja yang dibacakan dalam melaksanakan tradisi pattidana. Dalam kenyataannya, umat Buddha di Desa Jatisari banyak yang tidak mengetahui atau mengerti paritta/doa yang dibacakan pada saat melaksanakan tradisi pattidana. Wujud tradisi pattidana yang telah berubah ini maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dalam sebuah penelitian agar dapat memperoleh commit to user pengetahuan yang jelas tentang konsep tradisi pattidana dalam masyarakat agama perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id Buddha di Desa Jatisari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini menarik karena dalam penelitian ini membahas tentang sebuah tradisi yang dimiliki oleh salah satu agama di Indonesia yaitu agama Buddha, khususnya dalam bhakti terhadap orang tua yaitu tradisi pattidana. Penelitian yang berhubungan dengan tradisi pattidana sangat sulit didapatkan sehingga ini merupakan langkah untuk memberikan konsep dari tradisi pattidana itu sendiri. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan hermeneutika. Sejarah, hukum, agama, filsafat, seni, kesusastraan, maupun linguistik atau semua yang termasuk dalam Geisteswissenschafren atau ilmu-ilmu pengetahuan kemanusiaan atau ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences) sebagai dinyatakan oleh Wilhekm Dilthey memerlukan hermeneutik. Jika pengalaman manusia yang diungkapkannya dalam bentuk bahasa tampak asing bagi pembaca berikutnya maka perlulah untuk ditafsirkan secara benar. Disiplin ilmu yang pertama banyak menggunakan hermeneutic adalah ilmu tafsir kitab suci (Sumaryono, 1999:28). Alasan tersebut yang membuat penulis memilih menggunakan pendekatan hermeneutika karena dalam penelitian ini penulis membahas tentang doktrin-doktrin yang berhubungan dengan agama tertentu yaitu agama Buddha. Pada dasarnya semua objek itu netral. Sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi pakaian arti pada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu, arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna commit to user perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id sama sekali. Hussrel dalam buku yang ditulis oleh Sumaryono menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi subjek, semua adalah sama saja. Dari sinilah kita melihat keunggulan hermeneutik (Sumaryono, 1999:30). Penelitian yang akan diteliti oleh penulis sangat erat kaitannya dengan proses pemberian arti atau makna. Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan perubahan sosial. Penelitian tersebut juga menggunakan pendekatan perubahan sosial karena dalam subjek penelitian terjadi perubahan sebuah tradisi yang dimungkinkan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yang nantinya dapat meyebabkan perubahan bentuk, fungsi dan makna dalam tradisi pattidana yang dilaksanakan oleh umat Buddha di Desa Jatisari. Penelitian tentang tradisi pattidana yang dilaksanakan oleh umat Buddha di Desa Jatisari dalam sudut pandang kajian budaya mendapatkan tempat dalam hal identitas. Identitas yang dimaksud adalah identitas budaya yang merupakan ciri muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti, kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain. Pada tataran teknis, pengertian epistimologo diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “identik”, misalnya menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain (Liliweri, 2007: 69). Dalam arti sederhana Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, filosofi atau visiatau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Unsur umum identitas antara lain adalah: (1) Nama, logo, slogan dan mascot, (2) Sistem grafis dan elemen visual yang standar: warna, gambar, bentuk huruf dan tata letak.(3) Aplikasi pada media resmi (official) dan media komunikasi, publikasi dan promosi (komersial). Identitas masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari yang di maksud dalam penelitian ini adalah identitas yang itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. Agama yang dianut oleh sebagian masyarakat di Desa Jatisari adalah agama Buddha. Dalam perkembangannya agama Buddha memiliki sebuah tradisi untuk mendoakan leluhurnya yang disebut dengan tradisi pattidana. Pelaksanaan tradisi pattidana di Desa Jatisari telah mengalami akulturasi budaya yaitu antara tradisi Jawa dan agama Buddha. Tradisi pattidana yang dilaksanakan oleh masyrakat agama Buddha di Desa Jatisari telah mengalami perubahan dalam hal bentuk, fungsi dan maknanya. Perubahan yang terjadi dari segi pelaksanaan tradisi pattidana dan dari pesan dari agama Buddha tetang tujuan dari pattidana tersebut. Dalam hal ini peneliti menyimpulkan untuk menulis penelitian dengan judul perubahan bentuk, fungsi dan makna tradisi pattidana dalam masyarakat agama Buddha Theravada di Desa Jatisari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah asal-usul dan proses terbentuknya tradisi pattidana? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna dari tradisi patttidana yang dilaksanakan oleh masyarakat agama Buddha Theravada di Desa Jatisari? 3. Bagaimanakah perubahan bentuk, fungsi, dan makna dari tradisi patttidana yang dilaksanakan oleh masyarakat agama Buddha Theravada di Desa Jatisari? 4. Bagaimanakah reaksi masyarakat agama Buddha Theravada terhadap perubahan bentuk, fungsi, dan makna dalam tradisi pattidana? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, penelitian dengan arah kajian budaya (culture stadies) ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mendeskripsikan asal-usul dan proses terbentuknya tradisi pattidana. b. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna dari tradisi Patttidana. c. Untuk mendeskripsikan perubahan bentuk, fungsi dan makna dari tradisi patttidana yang dilaksanakan oleh masyarakat agama Buddha Theravada di Desa Jatisari. commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. Untuk mengungkap reaksi masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari terhadap perubahan bentuk, fungsi dan makna dalam tradisi pattidana. 2. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami tradisi pattidana sebagai wujud bhakti terhadap orang tua. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk dapat memberikan konsep tradisi pattidana yang benar kepada masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek, yakni aspek teoristis dan aspek praktis. 1. Aspek Teoretis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya tentang tradisi pattidana sebagai wujud bhakti terhadap orang tua. Hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat agama Buddha di Desa Jatisari, Kec. Jatisrono, Kab. Wonogiri. Hasil penelitian juga diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan tentang agama di Indonesia. 2. Aspek Praktis Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi masyarakat dan keluarga agar lebih dapat memahami tentang tradisi pattidana sebagai wujud bhakti kepada orang tua. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain yang memiliki tema yang sejenis. commit to user