bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.
Teori
2. 1. 1. Norma Sosial (Social Norm)
Norma sosial merupakan peraturan tidak tertulis tentang bagaimana untuk
berperilaku, peraturan yang digunakan oleh suatu kelompok sosial atau budaya
tentang nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku yang dapat atau tidak dapat diterima
(McLeod, 2008). Peraturan tersebut mungkin saja tertulis atau dinyatakan secara
terbuka (explicit), atau tidak tertulis juga tidak dinyatakan secara terbuka
(implicit). Kegagalan dalam mengikuti peraturan tersebut akan berakibat pada
sejumlah hukuman yang mungkin diterima, salah satunya dikucilkan dari
kelompok (Deutch & Gerard, 1955; Perkins & Berkowitz, 1986).
Dalam ilmu sosial, norma sosial didefinisikan sebagai sebuah sikap yang
disetujui dan ditegakkan bersama, sikap tentang apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan dalam situasi tertentu (Elster, 1990; Sunstein, 1977).
Norma sosial serupa dengan hukum, hanya saja kurang formal. Standar yang di
harapkan tidak tercatat secara objektif, dan penegakkannya juga tidak formal,
biasanya melalui hukuman sosial dari kelompok dan komunitas internal. Norma
sosial juga serupa dengan pasar (markets), hanya saja yang menjadi insentif bukan
material tapi sosial, yang lebih dipertaruhkan adalah penerimaan dan persetujuan
dari teman atau anggota kelompok. Karena itu norma menjadi pembatas agar tetap
berperilaku ke arah tertentu dan mencegah berperilaku ke arah lain. Selain itu,
karena manusia merupakan makhluk sosial, sehingga menjadi peka terhadap
perilaku orang lain di sekitar, juga cenderung untuk mengabaikan kesejahteraan
material bahkan fisik demi mencapai penerimaan atau persetujuan sosial (Miller &
Prentice, 1994).
Sudut pandang psikologi memberikan penjelasan yang lebih luas dan lebih
abstrak tentang norma sosial, norma sosial merupakan representasi dari sebuah
kelompok tentang bagaimana perilaku dari sebuah kelompok atau bagaimana
seharusnya perilaku kelompok tersebut (Miller & Prentice, 1996). Representasi
tersebut biasanya disetujui secara bersama, sikap dan perilaku yang ditentukan
11
12
biasanya juga ditegakkan secara bersama. Selain itu, norma tidak hanya
menentukan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, namun juga
menentukan apa yang sebenarnya dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan.
Norma sosial merepresentasikan sebuah kelompok karena berperan
sebagai karakteristik yang menggambarkan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan,
dan dilakukan oleh sebuah kelompok. Dengan demikian, untuk membentuk
norma, harus ada kelompok yang menggambarkan karakteristik norma tersebut.
Kekuatan norma sosial dalam membentuk perilaku terdapat dalam dinamika
psikologi sosial yang muncul dalam sebuah kelompok, seperti kecenderungan
anggota kelompok untuk melihat satu sama lain untuk mendapat panduan,
penegasan, dan persetujuan, dan juga tekanan untuk mencapai keseragaman yang
dihasilkan oleh kelompok (Turner, 1991). Kelompok yang dimaksud dapat berupa
klub, organisasi, komunitas, lingkungan sosial, atau jaringan, dapat berupa
kelompok formal atau informal, face-to-face atau virtual. Yang terpenting adalah
anggota kelompok mempertimbangkan dirinya sebagai peers, setara, serupa dalam
kepentingan tertentu, dan menganggap pendapat dan perilaku dari anggota
kelompok lain relevan dengan dirinya.
Teori norma sosial berpendapat bahwa perilaku individu sering kali
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota lain dalam suatu kelompok
berpikir dan bertindak (Berkowitz, 2004). Pendekatan norma sosial awalnya
dikembangkan oleh Perkins & Berkowitz (1986) dalam analisis terhadap pola
penggunaan alkohol pada pelajar. Dalam studi nya mereka menjelaskan bahwa
kebanyakan pelajar menganggap teman-teman mereka memberikan dukungan
terhadap perilaku minum alkohol, dan mereka menemukan bahwa anggapan
tersebut dapat memprediksi seberapa banyak seseorang minum alkohol. Mereka
merekomendasikan bahwa usaha pencegahan yang berfokus pada informasi yang
akurat mengenai sikap dan perilaku peer terhadap alkohol dapat menjadi
pengganti yang efektif dari strategi pencegahan tradisional yang berfokus pada
informasi penyalahgunaan, konsekuensi negatif, dan biasanya berfokus pada
penyembuhan terhadap pengguna yang bermasalah (Perkins & Berkowitz, 1986).
Jika program pencegahan penyalahgunaan narkoba atau alkohol hanya
menekankan pada masalah perilaku tanpa menyertakan norma kesehatan yang
13
sebenarnya, maka hal itu dapat menumbuhkan keyakinan yang keliru bagi banyak
orang bahwa perilaku penyalahgunaan narkoba atau alkohol lebih buruk dari yang
sebenarnya terjadi, sehingga secara tidak sengaja dapat berkontribusi dalam
mempengaruhi permasalahan yang ingin dipecahkan. Sebaliknya, program
pencegahan yang didasarkan pada teori norma sosial berfokus pada peningkatan
sikap dan perilaku sehat dari mayoritas orang, serta menggunakan informasi
tersebut untuk membimbing program pencegahan terhadap orang yang
menyalahgunakan. Teori yang mendasari pendekatan norma sosial diuraikan oleh
Berkowitz (1997, 2004) dan Perkins (1997, 2003). Pada banyak kasus, strategi
pencegahan yang menggunakan pendekatan norma sosial telah banyak berhasil
saat dikombinasikan dengan strategi pencegahan penyalahgunaan narkoba dan
atau alkohol seperti perubahan kebijakan dan strategi lingkungan lainnya.
Teori norma sosial dapat menjadi model untuk memahami perilaku
manusia terkait dengan masalah pencegahan atau promosi kesehatan. Norma
sosial menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh persepsi tentang
bagaimana anggota kelompok lainnya berpikir dan bertindak. Sebagai contoh,
seseorang mungkin menganggap sepele larangan menggunakan alkohol, narkoba,
atau rokok karena sikap orang-orang di sekitarnya yang menghargai pengguna
alkohol, narkoba, atau rokok. Asumsi tersebut telah dibuktikan oleh banyak
penelitian tentang perilaku minum alhokol dan merokok pada remaja dan dewasa
muda, dan dengan intervensi untuk mempromosikan safe drinking (minum
alkohol secara aman) dan penghentian penggunaan tembakau di sekolah dan
universitas (Berkowitz & Perkins, 1986).
Adapun intervensi lain yang menggunakan pendekatan norma sosial
adalah untuk mencegah kekerasan seksual, peningkatan akademis, mengurangi
perilaku prasangka. Intervensi norma sosial difokuskan pada pengaruh peer,
karena memiliki dampak lebih besar terhadap perilaku individu dibandingkan
dengan faktor biologis, kepribadian, keluarga, agama, kebudayaan, dan pengaruh
lainnya. Pengaruh peer tersebut lebih berdasarkan pada apa yang seseorang
pikirkan tentang perilaku orang disekitarnya (percieved/descriptive norm),
daripada apa yang sebenarnya diyakini oleh orang tersebut (actual/injunctive
norm) (Perkins, 2002).
14
Ketika mempertimbangkan pengaruh norma terhadap perilaku, penting
untuk membedakan antara norma sosial yang tertanam, diyakini, atau dipercaya
oleh seseorang (injunctive) dan norma sosial yang tergambarkan atau yang telah
dilakukan oleh banyak orang (descriptive). Keduanya menjelaskan motivasi
manusia dalam berperilaku (Deutsch & Gerard, 1955).
Norma descriptive menggambarkan apa yang umum, apa yang dilakukan
kebanyakan orang terhadap suatu hal, dan didukung oleh bukti-bukti seperti
tindakan-tindakan orang lain yang paling umum dan sesuai untuk suatu situasi:
“Jika kebanyakan orang melakukan hal tersebut, maka hal tersebut adalah
bijaksana untuk dilakukan juga”. Menurut Cialdini (1988), praduga seperti itu
memberikan informasi dan pengambilan keputusan secara cepat untuk seseorang
menentukan bagaimana berperilaku pada situasi tertentu. Hanya dengan
memperhatikan apa yang kebanyakan orang lakukan, biasanya seseorang dapat
menentukan dengan baik dan efisien. Para peneliti berulang kali menemukan
bahwa persepsi tentang apa yang kebanyakan orang lakukan dapat mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku serupa, bahkan pada perilaku yang tidak berkaitan
dengan moral, seperti memilih sebuah produk konsumsi (Venkatesan, 1966), atau
perilaku melihat ke arah langit (Milgram, Bickman, & Berkowitz, 1969).
Norma sosial injunctive mengacu pada peraturan atau keyakinan tentang
perilaku apa yang secara moral diterima dan ditolak. Berbeda dengan norma
descriptive yang berdasarkan pada perilaku yang sudah muncul dan telah
dilakukan, norma injunctive berdasarkan pada apa yang seharusnya dilakukan.
Artinya norma injunctive lebih berperan melalui peraturan dan sanksi sosial pada
umumnya daripada melalui perilaku umum yang muncul. Maksud dari kedua
norma diatas cukup serupa antara keduanya karena perilaku yang dapat diterima
adalah perilaku yang biasanya dilakukan oleh banyak orang. Namun, dua norma
terbut berbeda secara konseptual dan motivasi, sehingga penting untuk memahami
secara tepat agar dapat membedakan keduanya, khususnya dalam situasi yang
memunculkan kedua norma diatas secara bersamaan (Cialdini, Reno, Kallgren,
1991).
Penelitian menunjukkan bahwa mengaktifkan norma sosial tentang
littering dapat secara substansial mengurangi atau meningkatkan keputusan
15
seseorang untuk littering. Situasi seperti itu mengaktifkan keyakinan norma
seseorang, kemudian menghasilkan perasaan malu (shame) karena melanggar
norma sosial, dan perasaan bersalah (guilt) karena melanggar norma pribadi.
(Cialdini, 2003; Cialdini et al., 2005).
2. 1. 2. Perilaku Membuang Sampah Sembarangan (Littering Behavior)
Menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang pengelolaan sampah, pada
BAB I tentang ketentuan umum, pasal 1, (11) sampah adalah sisa kegiatan seharihari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. (12) Sampah rumah
tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga
yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. (14) Sampah spesifik adalah
sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan
pengelolaan khusus. (16) Sumber sampah adalah setiap orang, badan usaha
dan/atau kegiatan yang menghasilkan timbulan sampah. (17) Penghasil sampah
adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan
sampah. Membuang sampah sembarangan berarti memasukan, menyimpan,
menumpuk, dan/atau membuang sampah di jalan, jalur hijau, taman, tempat
umum, sungai/kali/kanal, waduk, saluran air, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
tempat lainnya yang sejenis atau di luar tempat/lokasi yang telah ditetapkan
(Perda DKI Jakarta nomor 3 tentang Pengelolaan Sampah, 2013).
Membuang sampah sembarangan (littering behavior) adalah perilaku yang
meletakkan benda berupa kertas, plastik, atau benda lain yang sudah tidak
diinginkan atau diperlukan ke tempat yang tidak pantas, atau tidak pada tempatnya
(tempat sampah). Littering merupakan masalah sosial dan lingkungan, hal tersebut
dianggap tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang karena dapat
membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Dalam tulisan ini
pengertian littering akan didefinisikan sebagai ‘sebuah benda yang dengan
sengaja dilempar atau ditinggalkan seseorang karena benda tersebut dianggap
sudah tidak berfungsi, dibuang ke tempat yang tidak seharusnya, atau benda
tersebut hinggap di suatu tempat yang tidak seharusnya karena tindakan manusia
secara langsung atau tidak langsung’ (Terpstra, Hotchkis, Scheffer, 1979). KAB
(Keep America Beautiful) dalam penelitian tentang Littering Behavior in America
16
tahun 2009, menunjukkan jawaban mengapa orang membuang sampah
sembarangan:
a. Keputusan Pribadi: perilaku individu, yang mana secara sadar atau
tidak sadar membuang sampah sembarangan, yang berarti memilih
untuk membuang sampah sembarangan.
b. Sampah melahirkan sampah: individu akan cenderung membuang
sampah pada tempat yang sudah kotor, dan ketika sampah dibuang
ditempat itu, maka akan menarik sampah lainnya.
c. “Itu bukan tanggung jawab ku”: sebagian orang tidak memiliki rasa
kepemilikan atas tempat parkir, trotoar, pantai, dan tempat publik
lainnya. Mereka percaya akan ada orang lain yang membersihkan
sampahnya, yang mana itu dianggap bukan tanggung jawab
mereka.
Karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, dan pekerjaan dikatakan
berhubungan dengan perilaku littering. Survei yang dilakukan oleh organisasi
Keep America Beautiful (KAB) mengungkapkan orang-orang muda paling banyak
melakukan litter, menurut KAB (2009), dewasa dengan usia 21-35 melakukan
perilaku littering tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan usia 50 ke atas, dan
hampir dua kali lebih banyak daripada usia 35 hingga 49. Finnie (1973)
melaporkan bahwa usia 18 atau kurang dari 18 memiliki rataan perilaku
membuang sampah sembarangan lebih besar daripada yang berusia 18 tahun atau
lebih. Namun pada penelitian lain McCool dan Merriam (1970), menemukan
bahwa variabel usia tidak berhubungan dengan perilaku menaati regulasi
mengenai littering, seperti yang ditunjukkan oleh pengguna kano, yang
kebanyakan tidak mengindahkan peraturan untuk membawa sampah yang tidak
dapat dibakar (non-burnable trash) keluar dari area camping.
Kemudian variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan yang tidak
konsisten terhadap littering. KAB (1968) melaporkan bahwa laki-laki lebih
banyak melakukan littering daripada perempuan, sedangkan Finnie (1973)
menemukan bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin terhadap littering. Dalam
studi yang sama Finnie juga melakukan observasi terhadap pekerja, dilaporkan
bahwa pekerja kerah biru (konstruksi, mekanik, pemadam) melakukan littering
17
sama banyaknya dengan pekerja kerah putih (pekerja kantor, manajerial,
administratif), namun dalam studi McCool dan Merriam (1970) melihat operator,
craftsmen, dan salesman melakukan litter lebih sering daripada manajer,
profesional, dan pelajar. Mereka juga mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan
antara littering behavior dan tingkat pendidikan.
Perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior) juga
berkaitan dengan faktor kognitif, penelitian yang dikembangkan Harris (1970)
yang mengangkat variabel kognitif terhadap littering behavior berfokus pada
aspek kesadaran, kepedulian, dan kemauan untuk bertindak melawan littering
behavior. Ia melakukan wawancara terhadap 3000 subjek penelitian, memberikan
pertanyaan mengenai dua atau tiga hal yang saat ini menjadi masalah paling
mendesak di tempat mereka tinggal. Polusi menjadi masalah yang paling sering
disebutkan, kemudian kejahatan, dan narkoba. Lalu survei berikutnya
menunjukkan bahwa 9 persen dari partisipan menunjuk pembersihan sampah di
jalanan sebagai masalah paling penting, dan 68 persen menyatakan bahwa polusi
visual (sampah, pemukiman kumuh, tunawisma) menjadi masalah paling serius,
diikuti dengan 16 persen dari itu menyatakan polusi visual harus diatasi lebih
dulu. Pada area tercemar polusi, publik tidak hanya menginginkan pemerintah
turun tangan namun mereka juga menyatakan ingin terlibat dalam menciptakan
solusinya (Harris, 1970).
Gallup (1972) juga menemukan hasil serupa mengenai sikap terhadap
polusi. Ia membuktikan bahwa variabel pendidikan berkorelasi positif dengan
kepedulian terhadap lingkungan. Kepedulian ini juga ditemukan lebih tinggi pada
daerah kota besar dibandingkan dengan kota kecil dan daerah pedesaan.
Kebanyakan orang yang diwawancara oleh Gallup tidak diberikan informasi
tentang kerusakan yang diakibatkan oleh polusi, dan hanya 1 dari 3 orang yang
sadar bahwa mereka juga melakukan polusi.
Temuan lain mengindikasikan 3 dari 4 orang dewasa menyatakan mau
untuk membayar pajak tambahan guna meningkatkan kualitas lingkungan. Tidak
sedikit juga orang yang lebih memilih hidup yang lebih sederhana sebagai
alternatif daripada membayar untuk membersihkan polusi. Partisipan yang lebih
peduli terhadap kualitas lingkungan memiliki kemauan yang lebih besar untuk
18
membayar biaya kebersihan dibandingkan mereka yang kurang peduli terhadap
kualitas lingkungan. Ketika dianalisis lebih lanjut, temuan itu menunjukkan
bahwa diantara lulusan sarjana 52 persen menyatakan mereka mau membayar 50
hingga 100 dollar atau lebih. Di antara partisipan yang lulus SMA, hanya 28
persen yang mau membayar sebanyak itu, dan di antara lulusan sekolah dasar, satu
dari sepuluh orang yang mau membayar sebanyak itu. Partisipan orang tua,
perempuan, orang-orang dengan pendapatan lebih rendah, dan orang yang tinggal
di kota kecil lebih memilih gaya hidup yang lebih sederhana. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa kebanyakan orang sangat peduli terhadap polusi, hampir
setengah dari jumlah partisipan bersedia mengubah gaya hidup mereka demi
meningkatkan kualitas lingkungan, lebih banyak orang yang bersedia membayar
untuk masalah kebersihan lingkungan (Gallup, 1972).
2. 1. 3. Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Pengelolaan Sampah
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 3 tahun
2013 menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta yang sehat dan bersih dari sampah yang kecenderungan bertambah
volume dan jenis serta karakteristik yang semakin beragam, sehingga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan mencemari lingkungan, maka
perlu dilakukan pengelolaan sampah secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke
hilir. Dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tugas dan
wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban masyarakat/pelaku usaha
sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien.
Pada Bab II pasal 3 tentang tujuan pengelolaan sampah tertulis bahwa tujuan
pengelolaan sampah adalah untuk:
a. Mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pelaku usaha untuk
secara aktif mengurangi dan/atau menangani sampah yang
berwawasan lingkungan
c. Menjadikan sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai
ekonomis
d. Mewujudkan pelayanan prima
19
Kemudian pada Bab IV tentang hak dan kewajiban tertulis dalam pasal 10
bahwa masyarakat berhak untuk: (a) mendapatkan lingkungan yang bersih, indah,
nyaman, dan sehat; (b) mendapatkan pelayanan kebersihan secara baik dan
berwawasan lingkungan dari pemerintah daerah dan/atau pengelola kawasan
pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan khusus; (c)
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan pengelolaan sampah; (d) memperoleh data dan informasi yang benar
dan akurat serta tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; (e)
mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan
pengolahan sampah di TPA; (f) memperoleh pembinaan pengelolaan sampah yang
baik dan berwawasan lingkungan.
Pada pasal 11 ayat 1, menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban untuk
memelihara kebersihan di lingkungannya, mengurangi dan menangani sampah,
membuang sampah pada tempatnya menurut jenis pewadahannya dan sesuai
jadwal yang ditentukan, dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan dengan cara berwawasan lingkungan, mematuhi dan menerapkan
ketentuan, kaidah, baku mutu, standar serta prosedur pengelolaan sampah.
Perda tentang pengelolaan sampah juga mengatur mengenai pengurangan
sampah, pada Bab V tentang penyelenggaraan pengelolaan sampah, pasal 19
menjelaskan tentang pengurangan sampah yang dimaksud adalah dilakukan
dengan kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan/atau
pemanfaatan kembali sampah. Dilanjutkan dengan pasal 20 yang mengatur bahwa
setiap orang wajib melaksanakan pengurangan sampah dengan cara menggunakan
sedikit mungkin kemasan dan/atau produk yang menimbulkan sampah,
menggunakan kemasan dan/atau produk yang dapat dimanfaatkan kembali
dan/atau mudah terurai secara alami, menggunakan kemasan dan/atau produk
yang ramah lingkungan, dan memanfaatkan kembali sampah secara aman bagi
kesehatan dan lingkungan.
Bab XXI pasal 126 memuat tentang larangan kepada setiap orang untuk:
a. Membuang sampah ke TPST dan TPA di luar jam 06.00 WIB
sampai dengan jam 21.00 WIB;
20
b. Membuang sampah ke sungai/kali/kanal, waduk, situ dan saluran
air limbah;
c. Membuang sampah di jalan, taman dan tempat umum;
d. Membuang sampah ke TPST atau TPA tanpa izin;
e. Membakar sampah yang mencemari lingkungan;
f. Memasukkan dan/atau membuang sampah ke daerah;
g. membuang, menumpuk, menyimpan sampah atau bangkai binatang
di jalan, jalur hijau, taman, sungai, kali, kanal, saluran air, fasilitas
umum, fasilitas sosial dan tempat lainnya yang sejenis;
h. Membuang sampah dari kendaraan;
i. Membuang sampah ke TPS menggunakan kendaraan bermotor;
j. Mengeruk atau mengais sampah di TPS kecuali oleh Petugas
Kebersihan untuk kepentingan dinas;
k. Membuang sampah diluar tempat/lokasi pembuangan yang telah
ditetapkan;
l. Mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan;
m. Mengangkut sampah dengan alat pengangkutan bukan peruntukan
angkut sampah; dan/atau
n. Menggunakan badan jalan sebagai TPS.
Pada pasal 130 yang menyatakan mengenai sanksi, ayat 1 tertulis bahwa
Gubernur dapat memberikan sanksi administratif berupa uang paksa kepada:
a. Setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang sampah di
luar jadwal yang ditentukan, dikenakan uang paksa paling banyak
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah);
b. Setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang, menumpuk
sampah dan/atau bangkai binatang ke sungai/kali/kanal, waduk,
situ, saluran air limbah, di jalan, taman, atau tempat umum,
dikenakan uang paksa paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah);
21
c. Setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang sampah dari
kendaraan, dikenakan uang paksa paling banyak Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah); dan
d. Setiap orang dengan sengaja atau terbukti mengeruk atau mengais
sampah di TPS yang berakibat sampah menjadi berserakan,
membuang sampah diluar tempat/lokasi pembuangan yang telah
ditetapkan, dikenakan uang paksa paling banyak Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah).
Ayat 2 menyatakan sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada
ayat 1, secara operasional ditetapkan oleh pengawas kebersihan dan dapat di
dampingi aparat penegak hukum. Kemudian ayat 3 menjelaskan uang paksa
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, wajib disetorkan ke kas daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun ketentuan pidana yang dibahas pada Bab XXIV tentang ketentuan
pidana, pasal 135 mengatur pada ayat 1 bahwa setiap orang yang lalai atau dengan
sengaja membakar sampah yang mencemari lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 126 huruf e dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ayat 2 menyatakan setiap orang yang lalai atau dengan sengaja
memasukan dan/atau membuang sampah ke daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 126 huruf (f) dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ayat 3, setiap orang yang lalai atau dengan sengaja
mengangkut sampah tidak menggunakan pengangkutan sampah khusus sebagaimana
dimaksud pada Pasal 126 huruf (m) dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dan ayat 4, setiap orang, pelaku usaha, badan usaha
dan/atau badan hukum yang lalai atau dengan sengaja menggunakan badan jalan
sebagai TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf (n) dikenakan sanksi
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. 1. 4. Field Theory
Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dan kondisi sekelilingnya sangat
bergantung satu sama lain. Menurut Lewin (1946), untuk memahami atau
memprediksi perilaku, individu dan lingkungannya harus dipertimbangkan
sebagai kesatuan atau faktor yang saling bergantung. Istilah ‘Field’ mengacu
22
kepada, segala aspek dari individu dalam hubungannya dengan kondisi
sekelilingnya yang tampak mempengaruhi perilaku tertentu dan peningkatan
kesadarannya pada waktu tertentu. Ia menekankan pentingnya karakteristik
atmosfir (iklim emosional) dan tingkat kebebasan yang terdapat pada situasi
tertentu (Lewin, 1946).
Lewin (1943;1952) menjelaskan bahwa setiap individu hidup dalam
hubungan yang tanpa akhir dengan lingkungan sekitarnya. Ia mengusulkan suatu
formula yang sangat terkenal, yaitu, B=f (P, E), berarti perilaku individu (B)
adalah fungsi dari kepribadian (P) dan representasi mental dari lingkungan (E).
Penekanan teori Lewin pada faktor lingkungan menghadirkan alat yang
konseptual untuk mempertimbangkan secara sistematis dari faktor lingkungan,
termasuk aspek ruang fisik dari lingkungan.
Field theory menurut Lewin adalah metode untuk menganalisa hubungan
kausal dan mengembangkan konstruk yang ilmiah, bertujuan untuk menjelaskan
perilaku dalam hubungannya dengan situasi tempat perilaku tersebut muncul.
Karakteristik situasi pada waktu tertentu juga dijelaskan sebagai properti dari
psychological field, sehingga menjadi krusial untuk dipertimbangkan untuk
memahami fenomena psikologis (Lewin, 1951).
Kemudian Lewin melanjutkan dengan pertimbangan yang disebut
psychological ecology yang diformulasikan untuk mendukung penelitian psikologi
lingkungan dalam pendekatan yang kontekstual. Ia menjelaskan bahwa semua
jenis kelompok hidup pada seting dengan batasan-batasan tertentu terhadap apa
yang mungkin dan tidak mungkin terjadi. Faktor non-psikologis seperti iklim,
komunikasi, dan hukum negara atau organisasi merupakan bagian dari batasan
tersebut. Analisis pertama yang harus diselesaikan dari sudut pandang
psychological ecology adalah harus mempelajari data non-psikologis untuk
mencari tahu apakah faktor tersebut menjadi kondisi pembatas bagi kehidupan
individu atau kelompok. Hanya setelah data tersebut diketahui barulah sebuah
studi dapat dimulai untuk meneliti faktor yang terlihat signifikan dalam
menentukan perilaku atau tindakan dari kelompok atau individu (Stokols dan
Altman, 1987).
23
Dalam penafsiran yang lebih lanjut dari field theory, Bandura (1978)
memperkenalkan model Doctrine of Reciprocal Determinism (DRD). Ia
menjelaskan bahwa individu, lingkungan, dan perilaku tidak hanya saling terikat,
namun hubungan ketiganya adalah bi-directional. Kihlstrom (2014)
menggambarkan hubungan tersebut dalam bentuk yang lebih rinci. Pertama,
proses, keadaan, dan disposisi psikologis dari individu (sifat, sikap, nilai,
keyakinan, mood, dorongan, kebutuhan, dll.) dapat mempengaruhi perilaku
individu tersebut. Di sisi lain, perilaku itu juga mempengaruhi keadaan mental
individu tersebut, sebagai contoh, setelah seseorang berperilaku dengan cara
tertentu terhadap lingkungan, ia akan mengalami suatu perasaan emosi tertentu.
Kedua, seting fisik dan sosial yang objektif dapat mempengaruhi perilaku
(misalnya situasi sosial tertentu mungkin saja memicu perilaku agresi atau
altruisme). Di sisi lain, dapat terlihat dengan jelas bahwa perilaku dapat
mempengaruhi atau mengubah lingkungan. Ketiga, seseorang dapat
mempengaruhi lingkungan sebagaimana lingkungan dapat mempengaruhi
seseorang.
2. 1. 5. Teori Jendela Pecah (Broken Window Theory)
Pada tahun 1982, James Q. Wilson dan George Kelling menulis sebuah
tulisan di artikel Atlantic Monthly, New York mengenai Broken Window Theory
(BWT) yang menyatakan bahwa mengatasi masalah-masalah penyimpangan kecil
dapat mencegah munculnya penyimpangan yang lebih besar. Dalam teorinya
mereka menjelaskan bahwa jika di suatu gedung terdapat sebuah jendela pecah
dan tidak segera diperbaiki, orang-orang yang melihat kaca jendela tersebut pecah
akan berasumsi bahwa tidak ada yang peduli terhadap gedung tersebut maka akan
ada lebih banyak jendela yang kemudian pecah, lalu tidak lama lagi gedung
tersebut tidak akan memiliki jendela (Wilson & Kelling, 1982). Setelah 20 tahun
kemudian gagasan tersebut diadopsi sebagai dasar penegakan hukum oleh kotakota besar di Amerika Serikat seperti New York, Chicago, dan Los Angeles. Hal
itu dilakukan kebanyakan dengan cara melakukan penegakan hukum yang lebih
agresif terhadap penyimpangan atau pidana yang ringan (Harcourt & Ludwig,
2006).
24
Teori tersebut didasarkan pada asumsinya yang menyatakan bahwa
fenomena yang tidak berbahaya seperti mengotori jalanan, mencoret-coret atau
menyemprotkan cat ke dinding (graffiti), atau melihat bangkai kendaraan yang
ditinggalkan, dapat membawa fenomena yang lebih berbahaya lainnya seperti
peningkatan kekerasan, pencurian, dan kejahatan properti lainnya. Faktor
lingkungan seperti banyaknya puntung rokok di jalan, trotoar yang terdapat
banyak kantong sampah, graffiti di tembok, atau pagar rumah yang rusak dan
tidak diperbaiki dapat menjadi sinyal bahwa lingkungan tersebut tidak terurus.
BWT berpendapat bahwa lingkungan yang tidak terurus dapat merangsang
perilaku anti sosial dan perilaku yang tidak diinginkan di lingkungan tersebut, dan
dengan mengendalikan penyimpangan yang relatif ringan tersebut dapat
mengurangi penyimpangan kecil hingga masalah kriminal yang lebih serius
(Wilson & Kelling, 1982).
Beberapa penelitian dilakukan untuk menguji teori tersebut, salah satunya
yang paling terkenal adalah penelitian yang dilakukan oleh profesor psikologi
Unviersitas Stanford, Philip Zimbardo. Dalam eksperimennya, ia meletakkan
sebuah mobil tanpa lisensi plat kendaraan disertai sarung mobil, dan diparkirkan
di jalan Bronx kota New York, dan sebagai pembanding, ia juga meletakkan
sebuah mobil dengan kondisi sama di jalan Palo Alto, California. Di daerah
pertama Bronx, New York, diketahui sebagai kota dengan masalah pengangguran
dan sampah yang besar, sedangkan di daerah Palo Alto, California, kepemilikan
atas properti pribadi sangat diperhatikan. Hasilnya mobil yang diletakkan di
Bronx dijarah hanya dalam waktu 10 menit setelah mobil tersebut diparkirkan.
Lalu dalam 24 jam berikutnya, hampir semua bagian mobil yang dapat dijual telah
hilang, kemudian dilanjutkan dengan pengrusakan mobil. Sedangkan mobil yang
diletakkan di Palo Alto sama sekali tidak tersentuh dan tidak ada tanda-tanda
pengrusakan dalam 24 jam pertama. Namun setelah mobil di Palo Alto dengan
sengaja dirusak sebagian oleh eksperimenter, ternyata mobil tersebut juga dijarah.
(Zimbardo, 1969).
Secara umum dapat dikatakan bahwa keamanan sebuah lingkungan kurang
lebih tergantung pada keputusan tentang bagaimana sikap orang-orang di
lingkungan tersebut terhadap kejadian yang menyimpang di lingkungan mereka,
25
seperti jalanan yang kotor, dan lainnya. Hasil dari penelitian Philip Zimbardo
menunjukkan efek yang cukup dramatis dari BWT, dapat disimpulkan bahwa
tanda-tanda kerusakan lingkungan akan membuat penduduk lingkungan menarik
diri dari tempat-tempat umum di lingkungan tersebut dan mengakibatkan
kurangnya kontrol sosial, kemudian hal tersebut akan meninggalkan ruang yang
lebih untuk perilaku kriminal (Wilson & Kelling, 1982).
Akan tetapi model BWT dari Wilson dan Kelling juga mendapat berbagai
kritikan. Bukti dari penelitian yang dilakukan di kota New York dan lima kota
berbeda lainnya membuktikan tidak ada hubungan langsung secara kausalitas
antara penyimpangan dan kriminal seperti yang diasumsikan oleh Wilson dan
Kelling (Harcourt & Ludwig, 2006). Dari semua kota yang dilaporkan tingkat
kejahatannya menurun secara signifikan, diduga hal tersebut dikarenakan pihak
otoritas setempat menggunakan cara yang lebih intensif ketika berurusan dengan
kejahatan ringan dengan kata lain menggunakan strategi kebijakan tanpa toleransi
(zero-tolerance). Namun di samping itu, menurunnya tingkat kejahatan bisa juga
dikarenakan oleh keadaan ekonomi setempat dan faktor demografis. Penjelasan
utama karena perkembangan ekonomi memberikan tempat bagi jutaan anak muda
untuk bekerja dan melakukan sesuatu (Bowling, 1999).
2. 1. 6. Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Membandingkan diri dengan orang lain atau (social comparison)
merupakan mekanisme psikologis yang fundamental dalam mempengaruhi
penilaian, pengalaman, dan perilaku orang lain. Orang terlibat dalam
perbandingan sosial (social comparison) secara terus menerus. Ketika seseorang
dihadapkan pada informasi tentang bagaimana orang-orang disekitarnya, apa yang
dapat atau tidak dapat dilakukan oleh orang lain, atau apa yang gagal dan berhasil
dicapai oleh orang lain, mereka akan menghubungkan informasi tersebut dengan
diri mereka sendiri (Dunning & Hayes, 1996). Pada umumnya individu memiliki
kebutuhan untuk mengevaluasi perilaku mereka (reaksi, pendapat, dan keahlian)
terhadap orang lain ketika tidak ada standar objektif yang dapat dijadikan acuan.
Kebutuhan untuk melakukan social comparison merupakan salah satu faktor yang
menjadi motivasi dari berbagai macam perilaku, seperti berbaur dengan orang
26
lain, berpartisipasi dalam diskusi, situasi kompetitif, mengikuti ujian sekolah,
serta menjawab kuis-kuis (Robinson, 1975).
Teori perbandingan sosial (social comparison) digagaskan oleh Festinger
(1954), yang merupakan keberhasilan dari teori terdahulunya mengenai informal
social communication di tahun 1950. Dalam teorinya tersebut Festinger bertujuan
untuk menjawab mengapa orang berbicara satu sama lain, kepada siapa orang
bicara, dan apa hasil dari pembicaraan mereka. Ia berasumsi bahwa tujuan utama
dari komunikasi adalah untuk mencapai sebuah persetujuan dalam sebuah
kelompok, dan tekanan untuk mencapai keseragaman opini tersebut didasarkan
pada dua alasan, pertama, sebuah kelompok membutuhkan kekuatan sebagai
tenaga penggerak kelompok, sehingga penting bagi seluruh anggota kelompok
untuk memiliki opini yang sama, dan kedua, terdapat kebutuhan untuk setuju
terhadap realitas sosial, karena hal tersebut berperan untuk melakukan penilaian
terhadap ketepatan opini seseorang (Festinger, 1950). Dalam teorinya tentang
informal social communication, Festinger menekankan tentang pentingnya peran
orang lain dalam membentuk opini seseorang.
Pada teori social comparison processes, Festinger (1954) menjelaskan
bagaimana individu memanfaatkan orang lain untuk memperoleh pengetahuan
tentang diri sendiri. Festinger mengusulkan bahwa orang memiliki keinginan
untuk menjadi benar dan apa yang dianggap benar kebanyakan ditentukan melalui
social comparison. Festinger meyakini bahwa baik ilmuwan maupun orang awam
akan lebih memilih tes objektif ketika terdapat standar objektif. Namun ketika
terdapat standar yang ambigu, orang akan cenderung mengevaluasi kebenaran dari
opini, sikap, dan perilaku mereka dengan cara membandingkan opini, sikap, dan
perilaku dengan orang lain.
Festinger dalam tulisannya ‘A theory of social comparison procceses’
mendasarkan teorinya pada sembilan hipotesis, yaitu:
1. Manusia memiliki dorongan untuk mengevaluasi opini dan keahlian
mereka.
2. Untuk mencapai tujuan tersebut, orang-orang melakukan evaluasi
terhadap opini dan keahlian mereka dengan cara perbandingan dengan
opini dan keahlian orang lain.
27
3. Kecenderungan individu untuk melakukan perbandingan dengan
individu lain akan menurun jika perbedaan diantara keduanya
meningkat.
4. Terdapat hubungan searah keatas dalam hal keahlian, namun tidak
dalam hal opini.
5. Terdapat faktor non-sosial yang membatasi sehingga menyulitkan atau
bahkan tidak mungkin untuk mengubah keahlian seseorang, namun
faktor non-sosial ini tidak terdapat dalam hal opini.
6. Penghentian dalam melakukan perbandingan terhadap orang lain akan
disertai dengan permusuhan atau penghinaan, karena melakukan
perbandingan terhadap orang tersebut menyiratkan konsekuensi yang
tidak menyenangkan.
7. Faktor-faktor yang dapat menjadikan sebuah kelompok sebagai
kelompok pembanding juga akan meningkatkan tekanan kelompok
tersebut untuk menuntut keseragaman opini atau keahlian.
8. Jika seseorang memiliki opini dan keahlian yang sangat berbeda
dengan yang lainnya, maka kecenderungan untuk mempersempit
perbandingan semakin kuat.
9. Tekanan untuk keseragaman opini dan pendapat dalam sebuah
kelompok berbeda-beda tergantung pada jarak perbedaan tiap anggota
kelompoknya. Kelompok yang anggotanya memiliki banyak
persamaan akan cenderung lebih kuat dalam mengubah opini dan
pendapat orang lain, dan kelompok yang memiliki anggota dengan
perbedaan yang cukup besar akan cenderung lebih lemah dalam
mengubah opini dan pendapat orang lain.
Dalam hipotesis 1 dan 2 membahas tentang mengapa orang terlibat dalam
perbandingan sosial (social comparison). Festinger menyatakan bahwa jika
seseorang memegang sebuah opini yang tidak tepat, dan penilaian yang tidak tepat
terhadap suatu keahlian, maka hal tersebut dapat bersifat menghukum pada
banyak situasi. Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengetahui opini dan keahlian
diri sendiri mendorong orang untuk membandingkan dirinya dengan orang lain.
28
Hipotesis 3, 4, dan 8 menyimpulkan pemahaman Festinger mengenai
terhadap siapa orang akan melakukan perbandingan. Ia mengemukakan bahwa
orang akan mencari orang lain yang memiliki kesamaan untuk dijadikan
perbandingan, dan dalam hal keahlian, orang akan merujuk kepada orang yang
lebih ahli. Festinger berargumen bahwa melakukan perbandingan terhadap orang
yang opini dan keahliannya sangat berbeda tidak memberikan informasi yang
berguna untuk mengukur ketepatan opini dan keahlian diri sendiri.
Kemudian pada hipotesis 5, 6, 7, dan 9 menunjuk pada konsekuensi social
comparison terhadap diri. Social comparison dapat menyebabkan perubahan
dalam opini dan keahlian seseorang, dan kebanyakan perubahan terjadi ke arah
yang menyerupai (misalnya asimilasi). Besarnya perubahan sangat tergantung
pada kepentingan, keterkaitan, dan ketertarikan terhadap suatu kelompok yang
dijadikan perbandingan, lalu ketidakmampuan untuk mencapai keseragaman
dengan kelompok tersebut dipersepsikan sebagai hal yang tidak menyenangkan
(Festinger, 1954).
Dalam teorinya social comparison, Festinger (1954), menjelaskan alasan
orang terlibat dalam social comparison, ia menekankan pada dorongan manusia
untuk mengetahui diri sendiri. Festinger mengemukakan bahwa manusia memiliki
kebutuhan dasar untuk mempertahankan kestabilan dan keakuratan tentang
pandangan terhadap diri (self-view). Karena itu, orang akan mencari informasi
mengenai karakteristik dan keahlian diri mereka. Dari sudut pandang Festinger,
kebanyakan orang akan lebih memilih standar yang objektif untuk dijadikan
evaluasi. Namun, standar objektif tidak selalu terdapat di semua situasi, situasi
seperti itu akan membuat kebanyakan orang melakukan perbandingan dengan
orang lain dalam situasi tersebut.
2. 1. 7. Strategi Komunikasi/Informasi
Dalam literatur yang terkait dengan strategi komunikasi, pembahasan
mengenai persuasi dijelaskan oleh Petty dan Cacioppo (1986), menurut mereka,
kita cenderung berfikir secara mendalam tentang isu-isu yang relevan dan penting
bagi kita. Namun terkadang, walaupun isu yang dimaksud penting, kita mungkin
saja tidak dapat memproses argumen atau informasi yang tersedia secara cermat
29
karena perhatian terganggu atau lelah. Petty dan Cacioppo berargumen bahwa
terdapat 2 cara untuk melakukan persuasi, centrally atau peripherally. Centrally
melibatkan penekanan argumen dan mempertimbangkan fakta atau figur yang
relevan, berpikir mengenai isu yang dimaksud dalam bentuk yang sistematis.
Sedangkan peripherally yaitu persuasi dengan cara yang kurang bijaksana, tidak
mengacu pada proses yang mempertimbangkan kekuatan argumen, lebih
mengharapkan respon karena kesederhanaan argumen, sering juga dengan sinyalsinyal yang tidak relevan yang menyarankan kebenaran, kesalahan, atau
keatraktifan sebuah argumen tanpa melibatkan banyak pemikiran.
Sebagai contoh, ketika seseorang memutuskan untuk membeli komputer
tertentu karena iklan komputer yang menggambarkan kemudahan, kecepatan
proses, kapasitas memori dan penyimpanan yang dibutuhkan, maka orang tersebut
tergerak oleh argumen logis yang dipaparkan, inilah persuasi centrally. Namun
jika orang tersebut memutuskan untuk membeli komputer karena bintang film
favoritnya yang menjadi model untuk komputer tersebut, maka ia tergerak oleh isu
yang tidak relevan dengan produk, hal ini yang dimaksud persuasi peripherally.
Strategi komunikasi dalam littering behavior termasuk ke dalam strategi
antecedent. Pada umumnya, strategi ini merupakan yang paling luas di pelajari
dalam literatur tentang perilaku membuang sampah sembarangan. Hansmann dan
Schoolz (2003) memberikan ulasan penelitian mengenai desain yang efektif
tentang pesan eksplisit anti-mengotori (anti-litter). Mereka menemukan bahwa
frase himbauan yang berbentuk permohonan atau permintaan berfungsi lebih baik
dibandingkan dengan frase himbauan yang berbentuk sebagai perintah. Selain itu,
himbauan akan lebih efektif jika terdapat deskripsi yang lebih spesifik tentang
perilaku yang diharapkan. Mereka menyimpulkan pada akhir studinya, bahwa
pemahaman secara ilmiah belum tercapai, karena pengalaman personal dan intuisi
harus menjadi faktor yang membimbing dalam proses pengembangan kampaye
anti-litter. (Hansmann & Schoolz, 2003).
Durdan, Reeder, dan Hecht (1985) meneliti spesifikasi himbauan dengan
membandingkan dua bentuk himbauan anti-litter. Himbauan itu berisi bentuk
frase yang tertulis secara positif dan negatif, untuk himbauan dengan bentuk
negatif tertulis “Please don’t litter! Clear your own table”, sedangkan bentuk
30
positif tertulis “Please be helpful! Clear your own table”. Penurunan signifikan
dalam littering ditemukan dalam kedua kondisi. Namun, himbauan dengan bentuk
positif ditemukan lebih efektif daripada himbauan yang berbentuk negatif. Selain
itu, perilaku littering meningkat secara signifikan ketika himbauan tersebut
dihilangkan (Durdan, Reeder, & Hecht, 1985).
Dalam penelitian serupa, Reiter dan Samuel (1980) mengukur efek dari 3
kondisi himbauan yang berbentuk mengancam, kooperatif, dan tanpa himbauan.
Hipotesisnya adalah bahwa himbauan dengan bentuk pesan yang mengancam
(misalnya, “Membuang sampah sembarangan melanggar hukum dan akan didenda
$10”) akan menyebabkan perlawanan secara psikologis (psychological reactance)
sehingga akan menjadi kurang efektif dibandingkan dengan himbauan yang
menekankan bentuk kooperatif (misalnya, “mari turun tangan”). Hasilnya
menunjukkan bahwa kedua bentuk himbauan efektif dalam mengurangi littering
dibandingkan dengan kondisi tanpa himbauan, namun tidak ditemukan bahwa
himbauan dengan bentuk kooperatif lebih efektif daripada himbauan dengan
bentuk yang mengancam. Hal itu karena satu himbauan memperlihatkan adanya
konsekuensi (“Littering is unlawful and subject to a $10 fine”), sedangkan
himbauan berikutnya tidak memperlihatkan konsekuensi yang spesifik (“Pitch
In!”), argumentasinya adalah jika menggunakan metode yang memperlihatkan
konsekuensi untuk kedua bentuk himbauan dalam studi ini mungkin hasilnya akan
cukup berbeda (Reiter & Samuel, 1980).
2. 2.
Keterkaitan Antar Variabel
Penelitian menunjukkan terdapat kaitan erat antara norma sosial dan
perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior). Berbagai studi
membuktikan bahwa littering behavior akan meningkat seiring dengan jumlah
sampah yang meningkat di suatu area (Finnie, 1973; Krauss, Freedman, &
Whitcup, 1978; Reiter & Samuel, 1980). Penjelasan untuk fenomena di atas
adalah jumlah sampah yang terdapat pada suatu area mengaktifkan norma tentang
littering behavior di area tersebut.
Analisis lebih rinci tentang hubungan antara norma dan littering behavior
dilakukan oleh Cialdini, Reno, & Kallgren (1990), dan Reno, Cialdini, Kallgren
31
(1993). Dalam analisisnya mereka membedakan 2 jenis norma sosial, yaitu: (1)
descriptive norms, menggambarkan hal-hal yang secara umum dilakukan di suatu
tempat tertentu, dan (2) injunctive norms, yang menentukan hal apa saja yang
secara sosial dapat diterima di suatu tempat. Mereka mengembangkan Focus
Theory of Normative Conduct (Cialdini et. al., 1990), yang menyatakan bahwa
fokus kognitif dari seseorang dapat menjadi penghubung sebuah norma terhadap
suatu perilaku, fokus tersebut tergantung pada ciri khas dari berbagai jenis norma.
Kemudian mereka mengaplikasikan teori tersebut ke sebuah penelitian
eksperimen, hasil observasi menunjukkan bahwa orang yang melakukan littering
di lingkungan yang bersih tidak meningkatkan perilaku littering dari orang lain.
Hasil tersebut mengejutkan karena bertentangan dengan penjelasan dari Social
Learning Theory (Bandura, 1979), yang berpendapat seharusnya terjadi
peningkatan dalam perilaku littering karena kecenderungan orang yang melihat
akan meniru (imitate) perilaku dari model. Reno et. al. (1993) menjelaskan hasil
di atas dengan argumen bahwa melihat perilaku littering di lingkungan yang
norma sosialnya menggambarkan (descriptive) tidak setuju terhadap littering,
dapat membuat norma tersebut menjadi lebih khas dan hal itu membuat orang
yang melihat memenuhi norma tersebut.
Serupa dengan Cialdini et. al. (1990), menunjukkan bahwa jika satu
sampah diletakkan di suatu lingkungan yang tidak terdapat sampah, maka hal itu
juga membuat orang yang melihat lebih berfokus kepada norma yang tidak setuju
terhadap littering (anti-littering norm), sehingga mengurangi perilaku littering
dari orang yang melihat, begitu juga yang terjadi pada kondisi kontrol, saat tidak
terdapat sampah sama sekali. Hasil di atas merupakan kondisi pengecualian
karena hanya ada satu sampah, namun jika suatu lingkungan sudah tercemar dan
terdapat banyak sampah, maka orang lain juga akan cenderung mencemari
lingkungan tersebut (Cialdini et. al., 1990).
Selain itu, Cialdini et. al. (1990) dan Reno et. al. (1993) juga menunjukkan
bahwa menstimulasi fokus kognitif norma injunctive anti-littering dapat
mengurangi perilaku littering baik di lingkungan yang bersih maupun di
lingkungan yang tercemar polusi, sedangkan pada fokus kognitif descriptive norm
hanya mengurangi perilaku littering di lingkungan yang bersih. Norma injunctive
32
anti-littering bisa berbentuk slogan, gambar, atau papan himbauan yang
menyerukan norma anti-littering.
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menguji efektivitas dari
strategi komunikasi, yang diarahkan untuk membentuk perilaku anti-littering.
Dalam eksperimen lapangan yang dilakukan oleh Reich dan Robertson (1979),
yang dilakukan di kolam renang umum, pesan seperti “Tolong jaga kolam renang
anda tetap bersih” atau “Kebersihan kolam renang tergantung pada anda” terbukti
efektif untuk mengurangi littering, sedangkan himbauan yang lebih tegas seperti
“Jangan membuang sampah sembarangan” dan “Jangan berani coba-coba untuk
membuang sampah sembarangan” tidak efektif. Studi oleh Reich dan Robertson
menunjukkan bahwa norma yang bersifat perintah dan diikuti dengan tekanan
eksternal membuat norma tersebut kontraproduktif karena hal itu dapat
menyebabkan perlawanan secara psikologis (Brehm, 1966, 1972), sedangkan
pesan atau norma yang bersifat memohon atau meminta tolong efektif untuk
mengurangi littering.
Hasil dari berbagai studi menjelaskan bahwa jika seseorang mendapati
bahwa orang lain melakukan littering, maka keinginan orang tersebut untuk
melakukan littering juga meningkat, hal itu juga mengurangi tekanan moral yang
biasanya akan memaksa mereka untuk berperilaku dengan cara yang dapat
diterima secara sosial. Perilaku individu tersebut dipengaruhi oleh pandangan
orang lain mengenai perilaku yang umum di tempat tersebut. Efek ini dapat
dijelaskan bahwa melihat orang lain membuang sampah sembarangan di tempat
tertentu akan memberikan informasi norma yang berkaitan dengan perilaku
membuang sampah pada tempat tersebut. (Cialdini, Kallgren, & Reno, 1990;
Cialdini, Kallgren, & Reno, 1991).
Keterkaitan itu didukung oleh studi yang dilakukan oleh Torgler, Frey, &
Wilson (2009), yang melibatkan lebih dari 32,000 partisipan untuk diobservasi,
hasilnya menunjukkan bahwa jika individu meyakini bahwa membuang sampah di
suatu tempat umum adalah perilaku biasa, maka kecenderungan individu tersebut
membuang sampah sembarangan akan meningkat, namun jika individu tersebut
meyakini bahwa orang lain di sekitarnya tidak membuang sampah sembarangan,
maka kecenderungan perilaku tersebut menurun. Dengan meningkatnya sangsi
33
sosial terhadap littering, penelitian menunjukkan bahwa mengaktifkan norma
tentang littering dapat secara substansial mengurangi atau meningkatkan
keputusan seseorang untuk littering. Situasi seperti itu mengaktifkan keyakinan
norma seseorang, kemudian menghasilkan perasaan malu (shame) karena
melanggar norma sosial, dan perasaan bersalah (guilt) karena melanggar norma
pribadi. (Cialdini, 2003; Cialdini et al., 2005).
Dalam penelitian ini variabel perilaku membuang sampah sembarangan
(littering behavior) akan dijelaskan melalui konsep social injunctive norms yang
merupakan pandangan mayoritas mengenai perilaku tertentu yang dianggap pantas
atau tidak, dan social descriptive norms yang merupakan perilaku tertentu yang
umum pada suatu tempat (Cialdini, 1993). Variabel injunctive norm akan diukur
dengan alat papan himbauan larangan membuang sampah, adanya papan
himbauan menjelaskan tentang norma sosial bahwa membuang sampah
sembarangan adalah perilaku yang tidak pantas, sehingga orang seharusnya
membuang sampah di tempat sampah. Injunctive norms dapat mempengaruhi
perilaku karena hal itu menghadirkan informasi mengenai perilaku mana yang
dapat diterima pada situasi tertentu (Chaiken, Giner-Sorolla, & Chen, 1996).
Sebagai contoh, norma antilitter akan lebih tertanam pada seseorang jika melihat
orang lain membersihkan sampah (menunjukkan ketidaksetujuan terhadap
littering) (Cialdini, Reno, & Kallgren, 1991), atau hanya dengan melihat papan
himbauan larangan membuang sampah sembarangan (Winter, Sagarin, Rhoads,
Barrett, & Cialdini, 2000; Cialdini, 2003).
Selanjutnya variabel descriptive norm diukur dengan mempertimbangkan
sejumlah orang berperilaku membuang sampah sembarangan dan membuang
sampah di tempat sampah, atau berperan sebagai model, perilaku membuang
sampah dari sejumlah model akan memberikan informasi mengenai perilaku
umum tentang membuang sampah di lingkungan tersebut. Descriptive norms
dapat mempengaruhi perilaku karena hal tersebut menghadirkan informasi
mengenai perilaku mana yang paling umum pada situasi tertentu (Krauss,
Freedman, & Whitcup, 1996). Sebagai contoh, melihat orang lain mengotori
lingkungan menunjukkan bahwa perilaku littering adalah perilaku umum di
34
tempat tersebut, hal itu akan mendorong lebih banyak perilaku littering (Cialdini,
1990; Krauss, Freedman, & Whitcup, 1978; Finnie, 1973).
2. 3.
Kerangka Berpikir
Social Norm
Behavior
Injunctive
Descriptive
Littering
social norm
social norm
Behavior
Gambar 2. 1. Kerangka Berpikir
2. 4.
Hipotesis
Hipotesis penelitian merupakan pernyataan yang dibuat oleh peneliti yang
berupa spekulasi hasil penelitian (Shuttleworth, 2008). Hipotesis adalah
pernyataan sementara tentang hubungan antar dua variabel atau lebih, prediksi
yang spesifik dan dapat diuji tentang apa yang peneliti harapkan dari hasil
studinya (Nevid, 2013).
Berdasarkan pada tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis penelitian yang
dirumuskan oleh penulis adalah:
Ho:
a. Tidak ada hubungan social injunctive norm dengan littering
behavior pada mahasiswa di Jakarta Barat.
b. Tidak ada hubungan social descriptive norm dengan littering
behavior pada mahasiswa di Jakarta Barat.
Ha:
a. Ada hubungan social injunctive norm dengan littering behavior
pada mahasiswa di Jakarta Barat.
b. Ada hubungan social descriptive norm dengan littering behavior
pada mahasiswa di Jakarta Barat.
Download