EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN SEL-SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS SECARA IN VITRO YUNITA ARDINI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT YUNITA ARDINI. The Effect of Curcuma xanthorrhiza Roxb. Rhizome Extracts on the Newborn Rat Cerebrum Cells In Vitro Growth. Under direction of ITA DJUWITA and MIN RAHMINIWATI. Research has been conducted on in vitro culture of newborn rat (Sprague Dawley) cerebrum cells in DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) containing 10% NBCS (Newborn Calf Serum) and 50 µg/mL gentamycin (mDMEM), with and without Curcuma xanthorrhiza Roxb. rhizome extracts (CZ). There are five groups of treatment, consisted of positive control (mDMEM+30 µg/mL asiaticoside (AC)), negative control (mDMEM), CZ 100 ppm (mDMEM+100 ppm CZ), CZ 200 ppm (mDMEM+200 ppm CZ), and CZ 400 ppm (mDMEM+400 ppm CZ). Culture was done in 5% CO2 incubator at 37°C for 6 days. The parameters observed were Population Doubling Time (PDT), neuron and glia composition, and the length of axon and dendrite, were done based on calculation using hemocytometer, Hematoxylin Eosin (HE) staining, and measured using micrometer, respectively. Data were analyzed using statistical ANOVA and Duncan. The results showed that Curcuma xanthorrhiza Roxb. rhizome extracts concentration 100 ppm inhibited the neuronal cells proliferation (P<0,05). However, at concentration 400 ppm increased axon and dendrite length growth. Keywords: cell culture, Curcuma xanthorrhiza Roxb. rhizome extract, neuron RINGKASAN YUNITA ARDINI. Efek Pemberian Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) terhadap Pertumbuhan Sel-Sel Otak Besar Anak Tikus secara In Vitro. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan MIN RAHMINIWATI. Penyakit neurodegenerasi menyebabkan disfungsi sistem saraf pada otak. Disfungsi sistem saraf sulit disembuhkan karena sel saraf memiliki keterbatasan kemampuan dalam beregenerasi. Penyakit neurodegenerasi juga disebabkan oleh penurunan neurotransmiter seperti asetilkolin yang berperan dalam proses penyimpanan memori. Temulawak merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki banyak khasiat, seperti menurunkan kadar kolesterol, sebagai antiinflamasi, antibakteri, memiliki antioksidan yang tinggi, dan antitumor. Efek ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel otak besar belum diketahui sehingga dilakukan penelitian untuk mengevaluasi efek ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel-sel otak besar. Penelitian ini dilakukan secara in vitro menggunakan sel-sel otak besar anak tikus (Sprague Dawley) umur tiga hari dalam medium dasar DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium) yang mengandung NBCS (Newborn Calf Serum) 10% and gentamisin 50 µg/mL (mDMEM) dengan dan tanpa ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb. (CZ)). Terdapat lima kelompok perlakuan yang terdiri dari kontrol positif (mDMEM+asiaticoside (AC) 30 µg/mL), kontrol negatif (mDMEM), CZ 100 ppm (mDMEM+CZ 100 ppm), CZ 200 ppm (mDMEM+CZ 200 ppm), dan CZ 400 ppm (mDMEM+CZ 400 ppm). Kultur dilakukan dalam inkubator CO2 5% dan suhu 37°C selama enam hari. Parameter yang diamati yaitu tingkat proliferasi berdasarkan Population Doubling Time (PDT), komposisi sel saraf dan sel glia, serta pertumbuhan panjang akson dan dendrit masing-masing berdasarkan penghitungan menggunakan hemositometer, pewarnaan HE, dan pengukuran sel saraf menggunakan mikrometer. Data PDT, panjang akson dan dendrit dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA dan Duncan. Hasil penelitian menunjukkan nilai PDT pada medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm berturut-turut adalah 4,39 ± 0,52 hari, 5,15 ± 0,99 hari, dan 6,62 ± 0,57 hari sedangkan nilai PDT pada kontrol positif dan kontrol negatif adalah 3,27 ± 0,26 hari, dan 3,78 ± 0,51 hari. Pemberian ekstrak rimpang temulawak memiliki nilai PDT yang tinggi dibandingkan kontrol positif dan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rimpang temulawak pada medium kultur sel saraf menghambat proliferasi sel saraf. Medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm memiliki akson dan dendrit yang paling panjang yaitu 20,90 ± 0,01 µm, dan 13,81 ± 0,64 µm. Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak rimpang temulawak dapat menghambat proliferasi sel saraf, namun mampu meningkatkan pertumbuhan panjang akson dan dendrit pada CZ 400 ppm. Kata kunci : ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb), kultur sel, sel saraf EFEK PEMBERIAN EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN SEL-SEL OTAK BESAR ANAK TIKUS SECARA IN VITRO YUNITA ARDINI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efek Pemberian Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Pertumbuhan Sel-Sel Otak Besar Anak Tikus secara In Vitro adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Yunita Ardini B04070076 © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. Judul Skripsi Nama NIM : Efek Pemberian Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Pertumbuhan Sel-Sel Otak Besar Anak Tikus secara In Vitro : Yunita Ardini : B04070076 Disetujui Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil Pembimbing I Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Juni 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Gerhat, S.Si dan Ibu Rina Yuliana. Penulis mengawali sekolah dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri Cinagara 3 dan diselesaikan pada tahun 2001. Tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cigombong sampai tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas 3 Bogor pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Sinergis (2008-2009) dan Kabinet Katalis (2009-2010), Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB (2009-2010) sebagai Ketua Divisi Satwa Akuatik dan Eksotik, dan Komunitas Seni dan Teatrikal (STERIL) FKH IPB. PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Efek Pemberian Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Pertumbuhan Sel-Sel Otak Besar Anak Tikus secara In Vitro”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil dan Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan pendampingan sejak persiapan penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, seminar, sampai penulisan skripsi ini selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas semua bimbingan dan arahannya; Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB; Seluruh dosen dan staf Laboratorium Embriologi FKH IPB; Kak Devi, Kak Yeni, Bu Eka, Pak Wahyu atas bantuan selama pelaksanaan penelitian; teman-teman satu penelitian (Ani, Disa, dan Irma) atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Gerhat, S.Si (Ayah), Rina Yuliana (Ibu), dan Gerri Setia Darmawan (Adik) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada hentinya. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada Shandy Maha Putra atas dukungan, semangat, dan doa yang telah diberikan. Terakhir teman-teman Gianuzzi Angkatan 44 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang sama-sama berjuang menempuh pendidikan di FKH IPB. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Oktober 2011 Yunita Ardini DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan ..................................................................................................... Manfaat .................................................................................................. 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA Temulawak ............................................................................................. Otak Besar (Cerebrum) ........................................................................... Sel Saraf .................................................................................................. Kultur In Vitro ......................................................................................... Kultur Sel Saraf ....................................................................................... 3 6 7 9 10 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat .................................................................................. Alat dan Bahan ........................................................................................ Metode .................................................................................................. Ekstrak Rimpang Temulawak ........................................................... Persiapan Kultur Sel Saraf Otak Besar ............................................. Isolasi dan Kultur Sel Saraf Otak Besar ............................................ Evaluasi Hasil Kultur Sel Saraf......................................................... Tingkat Proliferasi Berdasarkan PDT ...................................... Diferensial Sel untuk Menentukan Sel Saraf dan Sel Glia ...... Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit ............................... Rancangan Percobaan ............................................................................. 12 12 12 12 12 13 13 13 14 14 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT)....... Komposisi Jumlah Sel Saraf dan Sel Glia ............................................. Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit .............................................. 16 17 19 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. Saran ........................................................................................................ 22 22 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23 LAMPIRAN ..................................................................................................... 27 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 Halaman Komposisi kandungan kimia temulawak dan manfaatnya....................... 4 Tingkat proliferasi sel saraf pada masing-masing perlakuan ................. 16 Persentase sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan ........... 18 Panjang akson dan dendrit pada masing-masing perlakuan ................... 20 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 Halaman Tanaman temulawak ................................................................................ 4 Struktur sel saraf ...................................................................................... 7 Berbagai tipe sel saraf dan sel glia ........................................................... 8 Morfologi sel glia dan sel saraf dengan pewarnaan HE ........................... 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 Halaman Hasil analisis ANOVA dan Duncan PDT ............................................... 28 Hasil analisis ANOVA dan Duncan persentase sel saraf dan sel glia .... 30 Hasil analisis ANOVA dan Duncan panjang akson .............................. 32 Hasil analisis ANOVA dan Duncan panjang dendrit ............................. 33 PENDAHULUAN Latar Belakang Otak merupakan organ yang sangat kompleks bagi manusia dan hewan. Menurut Kuntarti (2007), otak dibagi menjadi 6 divisi utama yaitu cerebum, diensefalon, cerebelum, midbrain, pons, dan medula oblongata. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian otak yang paling besar. Permukaan otak besar menjadi sangat luas karena banyaknya lipatan-lipatan yang disebut gyri dan dipisahkan oleh lekukan (sulcus) dan lekukan dalam (fisura) (Frandson 1992). Otak besar tersusun atas jaringan saraf yang terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel glia. Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan impuls dari sel saraf ke sel saraf lainnya dan sel glia berfungsi untuk melindungi dan mendukung sel saraf. Penyakit neurodegenerasi disebabkan oleh berkurangnya sel-sel saraf pada struktur saraf pusat maupun saraf tepi sehingga menyebabkan disfungsi sistem saraf. Sel saraf memiliki keterbatasan kemampuan dalam beregenerasi jika terjadi kerusakan (Kuntarti 2007). Ketidakmampuan sel saraf untuk melakukan regenerasi menjadi faktor penyebab timbulnya penyakit Alzheimer, Parkinson, dan Huntington (Eriksson et al. 1998). Selain ketidakmampuan sel saraf dalam melakukan regenerasi, penyakit neurodegenerasi juga disebabkan oleh penurunan neurotransmiter yaitu asetilkolin yang berperan dalam proses penyimpanan memori (Japardi 2002). Untuk mempertahankan asetilkolin tetap tinggi maka penguraian asetilkolin menjadi asetil dan kolin oleh enzim asetilkolinesterase harus dihambat (Japardi 2002). Dewasa ini pengobatan menggunakan obat herbal sangat diminati oleh masyarakat. Temulawak adalah tanaman obat yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Bagian tanaman temulawak yang digunakan sebagai obat adalah rimpang atau umbi akar. Rimpang temulawak memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor atau mencegah penyakit hati, menambah nafsu makan, antioksidan, antiinflamasi, antitumor, dan antibakteri (Mangan 2008). Ekstrak rimpang temulawak menghasilkan metabolit sekunder yaitu kurkumin dan xanthorrhizol. Kurkumin dapat menghambat penyebaran kanker, pertumbuhan sel tumor, dan menghambat penurunan fungsi otak dengan menghambat enzim asetilkolinesterase agar asetilkolin tidak diurai (Syukur & Fatimah 2008). Menurut Zhu et al. (2004), kurkumin juga dapat melindungi sel saraf yang mengalami stress oksidatif. Selain terdapat kurkumin, ekstrak rimpang temulawak juga menghasilkan xanthorrhizol. Berdasarkan penelitian Cheah et al. (2006), xanthorrhizol dapat memberikan efek antiploriferasi pada sel kanker payudara. Efek pemberian ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel saraf normal belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel saraf normal pada otak besar. Asiaticoside merupakan senyawa aktif yang terkandung dalam pegagan (Centella asiatica). Asiaticoside dilaporkan dapat melindungi neuron dari stress oksidatif (Jana et al. 2010) dan berpotensi sebagai neuroprotektif (Heleagrahara & Ponnusamy 2010). Dosis optimum pemberian asiaticoside pada kultur sel saraf adalah ≤ 100 µg/mL. Bila dosis asiaticoside yang diberikan lebih dari 100 µg/mL, maka akan bersifat neurotoksik (Musalmah et al. 2006). Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, asiaticoside digunakan sebagai kontrol positif dengan dosis 30 µg/mL. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan sel otak besar anak tikus yang ditumbuhkan secara in vitro pada beberapa tingkatan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kemampuan proliferasi secara in vitro sel otak besar anak tikus dalam medium dengan dan tanpa ekstrak rimpang temulawak yang dapat berguna untuk perbaikan memori. TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman asli Indonesia yang berkhasiat untuk menjaga kesehatan dari berbagai penyakit (Hembing 2010). Temulawak dikenal dengan nama Koneng Gede (Jawa Barat), temolabak (Jawa Tengah), tetemulawak (Sumatera) (Mangan 2008). Menurut Soesilo (1989), sistematika temulawak yaitu : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. Tanaman temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun dengan batang semu dan tingginya dapat mencapai 2-2,5 meter (Mahendra 2005). Tiap rumpun tanaman ini terdiri atas beberapa anakan dan tiap anakan memiliki 29 helai daun. Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar, berwarna hijau tua dengan garis-garis coklat (Mangan 2008). Panjang daun sekitar 50–55 cm dan lebar ±18 cm (Rukmana 1995). Bunga temulawak biasanya muncul dari batang semunya setelah tanaman cukup dewasa. Bunga berukuran pendek dan lebar, berwarna putih kekuningan bercampur merah (Gambar 1). Temulawak menghasilkan rimpang temulawak (umbi akar) yang bentuknya bulat seperti telur (silinder dengan pusatnya berwarna kuning tua dan kulitnya berwarna kuning muda) (Gambar 1). Jika rimpang dibelah akan beraroma khas dan jika dimakan akan terasa pahit (Mangan 2008). Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah umbi akar atau rimpangnya. A B Gambar 1 Tanaman temulawak. Bunga (A). Rimpang (B) (Rukmana 1995) Rimpang temulawak mempunyai efek farmakologi yaitu hepatoprotektor, menurunkan kadar kolestrol, antiinflamasi, laxative, diuretik, meningkatkan produksi ASI, tonikum, dan menghilangkan nyeri sendi (Mahendra 2005). Rimpang temulawak mempunyai berbagai khasiat yaitu sebagai analgesik, antibakteri, antijamur, antidiabetik, antidiare, antiinflamasi, antihepatotoksik, antioksidan, antitumor, depresan, diuretik, hipolipidemik, dan insektisida (Purnomowati 2008). Komposisi kimia rimpang temulawak tersusun atas pati 2930%, kurkumin 2-2,81% per berat kering (Kiswanto 2005), dan minyak atsiri 610% (Sidik et al. 1993). Komposisi kandungan kimia pada rimpang temulawak dan khasiat untuk kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 No. Komposisi kandungan kimia temulawak dan manfaatnya Kandungan kimia Khasiat untuk kesehatan 1. Zat tepung meningkatkan kerja ginjal 2. Kurkumin Antiinflamasi 3. Minyak atsiri antiinflamasi, antihepatotoksik 4. Kurkuminoid antikeracunan empedu, antikolestrol 5. Fellandrean anemia, antioksidan, dan antikanker 6. Turmerol antimikroba, sakit limpa, dan asma 7. Kamfer meningkatkan produksi ASI dan nafsu makan 8. Glukosida obat jerawat, sakit pinggang 9. Foluymetik sakit kepala, cacar 10. Karbinol sariawan, asma, dan nyeri haid. (Sumber : Istafid 2006) Kurkuminoid pada rimpang temulawak merupakan turunan dari diferuloilmetan terdiri atas senyawa dimetoksi diferuloilmetan (kurkumin) dan monodesmetoksi diferuloilmetan (desmetoksikurkumin). Kurkumin berwarna kuning, rasa sedikit pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida. Manfaat kurkumin antara lain sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikroba (Purnomowati 2008). Zat warna kurkumin dimanfaatkan sebagai pewarna untuk makanan manusia dan ternak. Hasil penelitian Liang et al. 1985 menyatakan bahwa kurkumin rimpang temulawak berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah pembentukan lemak dalam sel hati dan sebagai antioksidan. Jumlah kurkumin yang aman dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur & Vermeulen 1996). Berdasarkan penelitiaan Zhu et al. (2004), kurkumin dapat melindungi sel saraf dari kerusakan oksidatif setelah sel diiinduksi tert-butyl hydroperoxide (tBHP). T-BHP merupakan zat yang dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel saraf tikus. Perlakuan kultur sel saraf tikus dewasa menggunakan kurkumin dapat melindungi sel saraf dari kerusakan dan kematian sel sehingga kurkumin dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit neurodegenerasi (Kim et al. 2008). Minyak atsiri merupakan senyawa yang dapat meningkatkan produksi getah empedu dan sebagai antiinflamasi. Kandungan kimia minyak atsiri antara lain feladren, kamfer, tumerol, tolil-metilkarbinol, arkurkumen, zingiberen, kuzerenon, germakron, β-tumeron serta xanthorrhizol yang dihasilkan hingga 40% (Rahardjo & Rostiana 2004). Menurut Ozaki (1990), efek antiinflamasi pada temulawak disebabkan oleh adanya germakron. Senyawa fenol yang terdapat pada temulawak bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya mennghilangkan radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif dalam menghambat oksidasi lipida (Kinsella et al. 1993). Xanthorrhizol merupakan senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri. Xanthorrhizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit manusia. Xanthorrhizol secara efisien dapat menghambat infeksi pada gigi dan penyakit kulit, dapat dimanfaatkan pada berbagai produk misalnya digunakan sebagai agen antibakteri, pasta gigi, sabun, pembersih mulut, permen karet, dan kosmetik yang memerlukan aktivitas antibakteri (Hwang 2004). Xanthorrhizol memberikan efek antiproliferasi pada sel kanker payudara (Cheah et al. 2006). xanthorrhizol bersifat toksik terhadap sel normal ginjal sapi (Norzilla et al. 2005). Otak Besar (Cerebrum) Otak hewan dewasa secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu cerebrum, cerebelum, dan batang otak (Frandson 1992). Cerebrum merupakan bagian terbesar dari otak mamalia. Cerebrum bertugas menerima dan menginterpretasikan informasi sensoris, menginisiasi rangsangan pada otot rangka, dan mengintegrasikan aktivitas sel saraf yang secara normal berhubungan dengan komunikasi, ekspresi respon emosional, belajar, memori, daya ingat, dan kebiasaan lainnya yang dilakukan secara sadar (Colville & Bassert 2002). Cerebrum tersusun atas substansia abu-abu sebagai lapisan terluar dari otak dan substansia putih yang berada di bawah cortek cerebri (Colville & Bassert 2002). Permukaan otak besar menjadi sangat luas karena banyaknya lipatanlipatan yang disebut gyri dan dipisahkan oleh lekukan (sulcus) dan lekukan dalam (fisura) (Frandson 1992). Cerebrum terdiri atas dua bagian yang disebut hemisphere yang simetris. Tiap hemisphere dibagi menjadi empat lobus yaitu lobus frontal (pusat fungsi intelektual), lobus parietal (pusat kesadaran sensorik), lobus oksipital (pusat penglihatan), dan lobus temporal (pusat pendengaran) (Kuntarti 2007). Hippocampus merupakan bagian otak besar yang terletak di lobus temporal yang berhubungan dengan fungsi memori. Jika suatu bagian dari cerebrum mengalami kerusakan dan tidak berfungsi karena kekurangan oksigen, keracunan, stroke, hewan akan mengalami kegagalan untuk menyimpan atau mengingat informasi (Colville & Bassert 2002). Berdasarkan fungsi otak besar yang berperan dalam memori, maka penelitian ini menggunakan otak besar untuk melihat efek ekstrak rimpang temulawak terhadap sel-sel otak besar yang berpengaruh terhadap fungsi memori. Sel Saraf Sistem saraf merupakan salah satu sistem organ yang ada di tubuh kita. Setiap jaringan saraf terdiri atas sel saraf dan sel glia (sel penunjang) (Frandson 1992). Sel saraf adalah unit anatomis dan fungsional sistem saraf. Menurut Kuntarti (2007), sel saraf terdiri atas tiga bagian yaitu badan sel, dendrit, dan akson (Gambar 2). Badan sel terdiri atas suatu massa sitoplasma yang berukuran relatif besar, sebuah nukleus, dengan satu atau lebih nukleoli. Sitoplasma sering disebut neuroplasma. Diantara bagian-bagian neuroplasma terdapat organelorganel penting meliputi mitokondria, fibril, badan golgi, dan sentrosom (Frandson 1992). Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju badan sel. Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel disebut akson (Feriyawati 2006). Gambar 2 Struktur sel saraf (Anonim 2000a) Sel saraf dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur dan fungsinya. Sel saraf berdasarkan strukturnya dibagi menjadi tiga tipe, yaitu sel saraf multipolar, sel saraf bipolar, sel saraf unipolar (Gambar 3). Sel saraf unipolar hanya mempunyai satu serabut yang dibagi menjadi satu cabang sentral yang berfungsi sebagai akson dan satu cabang perifer yang berfungsi sebagai dendrit. Jenis sel saraf ini merupakan sel saraf sensorik saraf perifer seperti sel-sel ganglion cerebrospinalis. Sel saraf bipolar mempunyai dua serabut yaitu satu akson dan satu dendrit. Jenis sel saraf ini dijumpai dalam epitel olfaktiorus, retina, dan telinga. Sel saraf multipolar mempunyai beberapa dendrit dan satu akson. Jenis neuron ini paling sering dijumpai pada sel-sel motoris pada medulla spinalis dan sel ganglion otonom (Chung 1993). Sel glia merupakan sel penunjang yang berfungsi melindungi, merawat, dan sumber nutrisi sel saraf. Sel glia terdiri atas astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal (Gambar 3). Astrosit merupakan sel glia terbesar, badan sel berbentuk bintang dengan banyak tonjolan. Fungsi astrosit adalah mempertahankan sirkulasi darah di otak, mengatur kadar ion dan nutrien, memperbaiki dan mencegah jaringan saraf dari kerusakan (Kuntarti 2007). Oligodendrosit merupakan sel glia yang melapisi akson dengan menghasilkan myelin. Mikroglia melindungi susunan saraf pusat dengan menghilangkan debris yang berasal dari sel-sel otak yang mati, bakteri, dan lain-lain dengan mekanisme fagositosis. Sel ependim merupakan sel yang melapisi rongga atau ruang yang terdapat pada otak yang disebut ventrikel dan kanalis sentralis pada medulla spinalis. Ependimal berperan dalam produksi cairan cerebrospinal (Feriyawati 2006). Menurut Junqueira & Carneiro (2005) seluruh otak memiliki jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan sel saraf pada keadaan in vivo. Pada kondisi in vitro, astrosit menunjang fungsi sel saraf dengan perbandingan 1:4 (Woehrling et al. 2010). Pada tikus dan mencit, perbandingan jumlah astrosit dengan sel saraf di korteks serebri pada keadaan in vitro yaitu 1:3 (Nedergaard et al. 2003). Gambar 3 Berbagai tipe sel saraf dan sel glia (Anonim 2000b) Kultur In Vitro Teknik kultur jaringan pertama kali dilakukan oleh Ross Harirson (1907) (Malole 1990). Kultur in vivo merupakan pencangkokan bagian jaringan atau organ ke dalam tubuh dari host dewasa atau embrio, atau ke dalam jaringan aksesori embrio (Thomas 1970). Kebalikan dengan in vivo, in vitro berasal dari bahasa latin yang berarti ”di dalam kaca”. In vitro merupakan semua proses yang berjalan di luar tubuh dimana sebagai pengganti habitat aslinya diperankan oleh unsur yaitu medium sebagai tempat tumbuh, dan keadaan lainnya seperti suhu, substrat, dan udara. Kultur in vitro merupakan pengambilan bagian dari jaringan makhluk hidup yang kemudian ditanam pada suatu lingkungan yang menyerupai kondisi fisiologis untuk diamati pertumbuhan dari sel tersebut (Freshney 2005). Menurut Paul (1970), metode kultur dibagi menjadi tiga kultur utama yaitu kultur organ, kultur jaringan, dan kultur sel. Diantara kultur organ dan jaringan terdapat sedikit perbedaan pada media dan perkembangannya. Kultur Organ merupakan kultur dari sebagian organ atau seluruh organ secara in vitro dengan sifat jaringan dan fungsi organ masih dapat dipertahankan seperti keadaaan in vivo. Kultur organ tetap mempertahankan sifat-sifat jaringan yaitu adanya interaksi antar sel dan perbedaan histologi dan biokimia antar sel dalam waktu yang lama sampai beberapa minggu (Malole 1990). Kultur jaringan merupakan pembiakan jaringan atau potongan organ berdiferensiasi menjadi jaringan tertentu. Sedangkan kultur sel merupakan kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel dibiakkan menjadi satu lapis jaringan (monolayer) diatas permukaan keras (tabung, botol, dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Kultur sel membutukan medium dan lingkungan yang sesuai dengan kondisi in vivo. Kondisi ini diciptakan dengan pengaturan temperatur, pH, oksigen, CO2, tekanan osmosis, permukaan untuk melekat sel, nutrien, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan faktor pertumbuhan yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel (Malole 1990). Temperatur yang ideal untuk pertumbuhan sel adalah pada 37°C dengan pH optimum 7,4 (Paul 1970; Malole 1990). Selama kultur diusahakan pH tidak lebih rendah dari 7,0 karena akan memperlambat pertumbuhan sel. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan menambahkan NaHCO3 pada medium dan inkubasi pada CO2 5% (Malole 1990). Substrat merupakan tempat melekat sel agar dapat tumbuh. Substrat yang digunakan umumnya plastik polystyrene yang sudah mengalami perlakuan khusus sehingga lembab dan bermuatan negatif. Gelatin, kolagen, laminin, atau fibronectin merupakan bahan yang digunakan untuk melapisi substrat sehingga daya lekat sel pada substrat lebih kuat (Freshney 2005). Pada kultur sel saraf, substrat dilapisi oleh gelatin atau kolagen untuk memberikan muatan positif (Malole 1990). Medium pada kultur in vitro sangat dibutuhkan karena sel atau jaringan tidak dapat mensintesa nutrisi sendiri (Paul 1970). Medium dasar untuk kultur sel adalah larutan garam seimbang. Larutan ini berfungsi sebagai pengatur pH, tekanan osmosis dalam medium, dan sumber ion inorganik yang esensial (Malole 1990). Medium pertumbuhan yang sering digunakan untuk kultur sel mamalia adalah Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM). DMEM mengandung konsentrasi asam amino dua kali lipat lebih banyak dari Eagle’s Minimal Essential Medium (MEM), empat kali vitamin, dan mengatur konsentrasi HCO3 dan CO2 (Freshney 2005). Kebutuhan nutrisi untuk pemeliharaan sel tidak hanya terdapat pada medium. Penambahan serum pada medium dapat mendukung daya hidup dan pertumbuhan berbagi sel hewan mamalia dalam kultur. Serum yang digunakan dapat diperoleh dari berbagai hewan seperti sapi (Fetal Calf Serum (FCS), Newborne Calf Serum (NBCS)), kuda, dan manusia. Jumlah serum yang ditambahkan biasanya 5-20% (Malole 1990). Serum berfungsi sebagai penyedia faktor pertumbuhan, faktor hormonal, dan faktor pelekat dan penyebar sel (Malole 1990). Penggunaan antibiotik pada kultur sel dapat mencegah risiko kontaminasi bakteri (Jakoby & Pastan 1979). Kultur Sel Saraf Kultur sel merupakan teknik menumbuhkan dan mengembangbiakan tipe sel yang berbeda-beda. Sel yang langsung diperoleh dari organ lalu ditumbuhkan secara in vitro disebut kultur primer (Malole 1990). Kultur sel berguna untuk menyelidiki karakteristik fisiologi dan metabolisme sel dan menguji efek zat tertentu terhadap suatu sel (Malole 1990). Kultur primer sel saraf didapatkan dari jaringan saraf pada masa embrionik (Butler 2004). Penggunaan jaringan embrional lebih baik karena dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal dan dalam keadaan tertentu dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, sel saraf, dan sel hati sehingga dapat dipakai untuk mengganti jaringan yang rusak (Trenggono 2009). Sel glia yang berasal dari mencit dan manusia dalam kultur in vitro tumbuh seperti fibroblast yang multipolar (Trenggono 2009). Sel glia mampu menjalankan serangkaian pembelahan mitosis sehingga jumlah sel glia dalam kultur bertambah dan jumlah sel glia lebih banyak dari jumlah sel saraf. Ukuran sel menjadi semakin kecil pada setiap pembelahan sehingga mencapai suatu konfluenitas sel pada cawan petri. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Juli 2011 di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan antara lain cawan petri steril, peralatan bedah steril, pinset, mikropipet, tip, biosafety cabinet, gelas beker, gelas ukur, tabung konikal, tabung mikro, mikrofilter, spuid 1 cc, sentrifuge, object glass, cover glass, hemositometer, inkubator, mikroskop, spatula, dan timbangan digital. Bahan yang digunakan antara lain otak besar dari tikus putih (Rattus norvegicus) strain Sprague Dawley umur tiga hari (newborn); gelatin 0,1%; larutan pencuci phosphate buffered saline (PBS) yang ditambahkan gentamisin 50 µg/mL dan newborn calf serum (NBCS) 0,1% (mPBS); medium kultur mDMEM yaitu DMEM (Dulbecco’s Modiļ¬ed Eagle’s Medium) yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE) 10%, gentamisin 50 µg/mL, sodium bikarbonat 3,7 µg/mL, dan newborn calf serum (NBCS) 10%; asiaticoside (AC) 30 µg/mL; ekstrak rimpang temulawak (CZ); dan pewarna Hematoksilin Eosin (HE). Metode Ekstrak Rimpang Temulawak Ekstrak rimpang temulawak yang dipakai pada penelitian ini merupakan ekstrak siap pakai yang berasal dari Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Ekstrak ini dibuat dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 30%. Persiapan Kultur Sel Saraf Otak Besar Sebelum digunakan, cawan petri (Corning®) dilapisi dengan 1 mL gelatin 0,1% dan didiamkan pada suhu kamar selama 1 jam. Setelah satu jam, gelatin dibuang dan dicuci dengan PBS kemudian didiamkan selama 5 menit. Cawan petri diisi dengan mDMEM dan perlakuan (asiaticoside 30 µg/mL, ekstrak rimpang temulawak (CZ) konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm) sebanyak 2 mL kemudian diinkubasi selama minimal satu jam ke dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C. Isolasi dan Kultur Sel Saraf Otak Besar Sel saraf diisolasi dari otak besar tikus (Rattus norvegicus) umur 3 hari. Otak besar dipotong kecil-kecil dan disuspensi menggunakan spuid 1 cc di dalam larutan mPBS. Suspensi otak besar disentrifugasi dengan kecepatan 210 g selama 10 menit, pencucian ini dilakukan dengan mPBS sebanyak empat kali dan mDMEM sebanyak satu kali. Sebelum dikultur, jumlah sel saraf dihitung menggunakan hemositometer. Sel dengan konsentrasi 6,5x104 sel/mL dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi mDMEM dan perlakuan sebanyak 2 mL. Setiap kultur dilakukan duplo, terdiri atas cawan yang dilapisi dan tidak dilapisi cover glass. Cawan yang dilapisi cover glass digunakan untuk pewarnaan HE. Kultur diinkubasi di dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C. Medium mDMEM dan perlakuan diganti setiap 2 hari sekali sebanyak 2 mL setiap penggantian. Kultur dilakukan sampai hari keenam. Evaluasi Hasil Kultur Sel Saraf Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Tingkat proliferasi ditentukan dengan menghitung jumlah sel saraf pada saat sebelum dikultur dan setelah kultur hari keenam. Sel tersebut dibuang mediumnya lalu dicuci dengan PBS kemudian dimasukkan larutan tripsin 0,1% dalam mPBS sebanyak 1 mL. Sel diinkubasi selama 5 menit sampai sel terlihat soliter dan diamati di bawah mikroskop. Pemipetan berulang dapat dilakukan untuk mempermudah disosiasi sel. Sel yang telah terdisosiasi disentrifugasi di dalam mPBS, selanjutnya sel dihitung menggunakan hemositometer Improved Neubauer dengan perhitungan : Total sel (sel/mL) = jumlah sel pada 5 kotak x faktor pengenceran x 104 Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan rumus: 1 PDT (hari) = (log jumlah sel akhir-log jumlah sel awal) x 3,32 Waktu Diferensial Sel untuk Menentukan Sel Saraf dan Sel Glia Jumlah sel dihitung dengan metode pewarnaan HE. Kultur sel yang ditumbuhkan di atas cover glass dicuci dengan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehid 4% selama 24 jam. Kultur yang telah difiksasi disimpan dalam alkohol 70% sampai dilakukan pewarnaan HE. Pewarnaan dimulai dengan merendam hasil kultur sel saraf ke dalam alkohol 50% selama 3 menit. Setelah itu direndam dalam aquades selama 5 menit, hematoksilin 10 menit, dan dibilas dengan aquades selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam eosin selama 5 menit, dibilas dengan aquades selama 5 menit, dan dilakukan dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, 100% (absolut) tiga kali, masing-masing selama 10 menit dan dilanjutkan dalam xylol dua kali ulangan masing-masing selama 10 menit, kemudian cover glass ditempelkan dengan object glass menggunakan entelan dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x10 untuk menghitung jumlah sel-sel saraf dan sel-sel glia. Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit Pengamatan pertumbuhan panjang akson dan dendrit melalui pengamatan natif pada hari keenam. Kultur sel saraf difoto sebanyak 4 lapang pandang dengan pembesaran 10x10. Panjang akson dan dendrit diukur dengan menggunakan perangkat lunak imageJ. Rancangan Percobaan Terdapat lima kelompok perlakuan yang terdiri dari kontrol positif (mDMEM+asiaticoside 30 µg/mL), kontrol negatif (mDMEM), CZ 100 ppm (mDMEM+CZ 100 ppm), CZ 200 ppm (mDMEM+CZ 200 ppm), CZ 400 ppm (mDMEM+CZ 400 ppm). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas satu cawan yang dilapisi cover glass untuk pewarnaan HE dan satu cawan tanpa cover glass untuk menghitung Population Doubling Time (PDT). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu PDT, jumlah sel saraf dan sel glia, serta panjang akson dan dendrit. Data PDT serta panjang akson dan dendrit dianalisis menggunakan uji statistik ANOVA dan Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua kali dari jumlah semula. Menurut Martin (1994), sel saraf memiliki PDT sekitar 3-4 hari. Proliferasi sel yang cepat ditunjukkan dengan PDT yang rendah. Hasil PDT kultur sel saraf yang diberi perlakuan ekstrak rimpang temulawak dibandingkan dengan kontrol disampaikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat PDT sel saraf yang tumbuh pada masing-masing perlakuan Kontrol Kontrol Konsentrasi CZ positif negatif 100 ppm 200 ppm 400 ppm 3,27 ± 0,26a 3,78 ± 0,51a 4,39 ± 0,52b 5,15 ± 0,99b 6,62 ± 0,57c Ket: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,05). Kontrol positif (mDMEM+asiaticoside (AC) 30µg/mL); kontrol negatif (mDMEM); ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (CZ)100 ppm (mDMEM+CZ 100 ppm); CZ 200 ppm (mDMEM+CZ 200 ppm); CZ 400 ppm(mDMEM+CZ 400 ppm) Pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kultur sel saraf pada konsentrasi CZ 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm menunjukkan hasil berbeda nyata dengan kontrol positif dan negatif (P<0,05). Nilai PDT pada medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 100 ppm, 200 ppm, dan 400 ppm berturut-turut adalah 4,39 ± 0,52 hari, 5,15 ± 0,99 hari, dan 6,62 ± 0,57 hari sedangkan nilai PDT pada kontrol positif dan kontrol negatif adalah 3,27 ± 0,26 hari, dan 3,78 ± 0,51 hari. Pemberian ekstrak rimpang temulawak memiliki nilai PDT yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rimpang temulawak pada medium kultur sel saraf dapat menghambat proliferasi sel saraf. Komponen kimiawi ekstrak rimpang temulawak adalah kurkumin dan xanthorrhizol. Kurkumin memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiyah 1991). Zat ini berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, dan sebagai antioksidan (Liang et al. 1985). Kurkumin dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan seperti superoxidase dismutase, catalase, dan gluthatione peroxidase (Reddy & Lokesh 2004). Menurut Kim et al. (2008), dosis kurkumin paling efektif untuk meningkatkan proliferasi sel saraf adalah 92,1 ppm. Semakin tinggi dosis kurkumin yang diberikan maka akan semakin lambat proliferasi sel saraf. Hal ini disebabkan dosis kurkumin dalam jumlah besar dapat merusak sel saraf (Kim et al. 2008). Selain terdapat kurkumin, ekstrak rimpang temulawak menghasilkan metabolit yaitu xanthorrhizol. Menurut Handayani (2008), xanthorrhizol mempunyai aktivitas antiproliferasi terhadap sel normal hati dan sel normal ginjal monyet. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa xanthorrhizol bersifat toksik terhadap sel normal ginjal sapi (Norzilla et al. 2005). Dengan adanya xanthorrhizol dalam ekstrak rimpang temulawak maka akan terjadi penghambatan proliferasi sel saraf. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDT yang tinggi pada medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak dibandingkan dengan medium yang ditambahkan asiaticoside ataupun medium tanpa penambahan ekstrak rimpang temulawak. Komposisi Jumlah Sel Saraf dan Sel Glia Sel glia merupakan sel-sel yang berfungsi untuk menjaga, memelihara, mendukung dan sumber nutrisi sel saraf. Sel glia menyusun 40% volume otak dan medulla spinalis (Feriyawati 2006). Empat macam sel glia di sistem saraf pusat yaitu astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal. Astrosit berfungsi memberikan nutrisi pada sel saraf, mempertahankan sawar darah otak, serta memperbaiki dan mencegah jaringan saraf dari kerusakan. Badan sel astrosit berbentuk bintang. Oligodendrosit merupakan sel glia yang melapisi akson dengan myelin. Mikroglia mempunyai sifat-sifat fagosit yang dapat menyingkirkan debris-debris yang dapat berasal dari sel otak yang mati, bakteri, dan lain-lain (Feriyawati 2006). Sel ependimal merupakan sel epitel yang melapisi dinding ventrikel, membentuk, memonitor, dan membantu sirkulasi cairan cerebrospinal (Kuntarti 2007). Sel glia yang ditemukan pada kultur sel saraf adalah astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia. Astrosit memiliki inti yang paling besar dan bulat. Oligodendrosit memiliki ukuran inti yang lebih kecil dibandingkan dengan inti astrosit dan memiliki penjuluran lebih sedikit dan kecil. Mikroglia memiliki inti sel kecil, bulat, dan dikelilingi dengan banyak penjuluran kecil (Junqueira & Carnerio 2005). Sel ependimal tidak ditemukan pada kultur ini karena sel melapisi dinding ventrikel otak. Morfologi ketiga sel glia tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 3 2 3 2 1 3 A B 4 5 3 C D Gambar 4 Morfologi sel glia dan sel saraf. Sel glia (A, B, C). Astrosit (1), oligodendrosit (2), mikroglia (3). Sel saraf (D). Sel saraf bipolar (4), sel saraf multipolar (5) Pewarnaan HE. Bar: 5µm. Menurut Junqueira & Carneiro (2005) seluruh otak memiliki jumlah sel glia 10 kali lebih banyak dibandingkan sel saraf pada keadaan in vivo. Persentase jumlah sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis sel Sel saraf Sel glia Persentase sel saraf dan sel glia pada masing-masing perlakuan Kontrol positif 69,03 ± 3,47c Kontrol negatif 47,20 ± 9,96b 100 ppm 45,11 ± 2,44ab Konsentrasi CZ 200 ppm 36,18 ± 0,20a 400 ppm 37,25 ± 4,43a 30,97 ± 3,47a 52,80 ± 9,96b 54,88 ± 2,44bc 63,81 ± 0,20c 62,75 ± 4,43c Jumlah sel glia lebih banyak daripada sel saraf pada medium yang diberikan ekstrak rimpang temulawak. Peningkatan persentase sel glia tertinggi adalah pada perlakuan CZ 400 ppm sebanyak 62,75%. Peningkatan jumlah sel glia pada medium yang diberikan ekstrak rimpang temulawak dikarenakan sel glia berfungsi sebagai sel pendukung sel saraf. Menurut Le Roux dan Reh (1994), astrosit memiliki kemampuan untuk mendukung pertumbuhan dendrit. Kurkumin yang terdapat dalam ekstrak rimpang temulawak bekerja pada sel glia dengan cara meningkatkan jumlah oligodendrosit (Surendra et al. 2003). Pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kultur sel saraf dapat menurunkan jumlah sel saraf. Hal ini dikarenakan kurkumin dapat menghambat aktivitas tirosin kinase (Hong et al. 1999). Enzim tirosin kinase adalah enzim yang berperan penting dalam mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mekanisme penghambatan enzim tirosin kinase oleh kurkumin terjadi melalui dua cara, yaitu menghambat aktivitas enzimatik dari protein tersebut dan menurunkan kadar enzim tirosin kinase. Aktivitas ganda yang ditujukkan oleh kurkumin tersebut sangat efektif untuk mencegah proliferasi sel saraf dan mencegah penyebarannya. Pemberian asiaticoside pada kultur sel saraf menunjukkan persentase sel saraf yang tinggi. Menurut Sushma et al. (2010), asiaticoside yang terkandung dalam Centella asiatica secara in vitro dapat mempercepat regenerasi sel saraf dengan meningkatkan elongasi akson. Persentase sel saraf dan sel glia pada kontrol negatif adalah 47,20% dan 52,80%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Riyacumala (2010) yang memberikan hasil komposisi sel saraf dengan sel glia pada mDMEM adalah 48,50% dan 51,50%. Pertumbuhan Panjang Akson dan Dendrit Akson dan dendrit merupakan penjuluran sel saraf yang berfungsi untuk menghantarkan impuls (Kuntarti 2007). Akson umumnya memiliki ukuran lebih panjang daripada dendrit. Pertumbuhan panjang akson dan dendrit pada masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Panjang akson dan dendrit pada masing-masing perlakuan (µm) Kontrol Positif Kontrol negatif Konsentrasi CZ 100 ppm 200 ppm 400 ppm Akson 19,78 ± 4,25ab 18,44 ± 2,99a 18,72 ± 1,50 a 17,78 ± 1,79 a 20,90 ± 0,01b Dendrit 10,07 ± 2,04 a 10,93 ± 1,04a 10,35 ± 2,25a 11,66 ± 4,07 b 13,81 ± 0,64b Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05). Medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm memiliki akson dan dendrit yang panjang. Medium yang ditambahkan ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm memiliki nilai PDT yang tinggi sebesar 6,62 ± 0,57 hari. Nilai PDT yang tinggi mengindikasikan penghambatan proliferasi sel saraf. Proliferasi yang lambat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan panjang akson dan dendrit. Hal ini dikarenakan semua energi terpusat pada pertumbuhan panjang akson dan dendrit. Pernyimpanan memori bergantung pada jumlah percabangan dendrit dan ukuran badan sel saraf (Putranto 2009). Semakin banyak percabangan dendrit makin besar kemungkinan untuk melakukan sinaps dengan sel saraf lain. Sinaps merupakan titik temu antara sel saraf satu dengan sel saraf lainnya. Semakin banyak sinaps antar sel saraf maka kemampuan otak untuk menampung infromasi yang masuk menjadi lebih banyak pula (Affari 2011). Pemberian ekstrak rimpang temulawak CZ 400 ppm pada kultur sel otak besar memiliki dendrit yang panjang. Semakin panjang dendrit akan dapat menjangkau daerah yang lebih luas sehingga semakin banyak sinaps antar sel saraf. Banyaknya sinaps antar sel mengakibatkan meningkatnya kemampuan otak untuk menampung informasi lebih besar. Neural Progenitor Cell (NPC) merupakan sumber perkembangan sel saraf dan sel glia yang membentuk semua bagian otak pada perkembangan embrio. NPC bersifat mampu membelah, migrasi, dan berdiferensiasi menjadi neuron (Kim et al. 2007). Menurut Kalverbour et al. (1999), progenitor sel saraf akan berkembang menjadi sel saraf dan penjulurannya akan membentuk akson dan dendrit. Ukuran panjang akson dan dendrit pada medium dasar (mDMEM) berdasarkan penelitian Riyacumala (2010) adalah berkisar 167,7µm dan 102,5µm, sedangkan pada penelitian ini panjang akson dan dendrit hanya berkisar 20,90 µm dan 13,81 µm. Ukuran panjang akson dan dendrit yang lebih pendek disebabkan karena sel saraf yang tumbuh yaitu progenitor sel saraf. Progenitor sel saraf memiliki penjuluran yang pendek. Selain itu, pengukuran pada penelitian Riyacumala (2010) dilakukan pada hari kesebelas sedangkan pada penelitian ini pengukuran dilakukan pada hari keenam sehingga mempengaruhi panjang akson dan dendrit yang terbentuk. Berdasarkan data-data yang diperoleh, pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kultur sel otak besar memberikan efek antiproliferasi terhadap sel saraf. Namun, pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kultur sel otak besar mampu meningkatkan pertumbuhan panjang akson dan dendrit. Pada otak terdapat sawar darah otak atau disebut blood brain barrier. Blood brain barrier berfungsi untuk melindungi sistem saraf pusat dari perubahan konsentrasi ion yang terjadi secara tiba-tiba di cairan ekstraselular dan menahan atau membatasi masuk molekul-molekul yang terlarut dalam darah dan keluarnya bahan-bahan kimia dari jaringan otak (Kuntarti 2007). Dengan adanya blood brain barrier ini, zat kimia sulit masuk ke dalam jaringan otak sehingga jika ekstrak rimpang temulawak ini diberikan secara in vivo sedikit kemungkinan terjadinya efek antiproliferasi terhadap sel saraf. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak rimpang temulawak memiliki efek antiproliferasi terhadap sel-sel otak besar secara nyata pada konsentrasi 100 ppm, tetapi ekstrak rimpang temulawak mampu meningkatkan pertumbuhan panjang akson dan dendrit pada konsentrasi 400 ppm. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek ekstrak rimpang temulawak pada sel otak besar secara in vivo agar dapat diketahui efek pemakaiannya dalam perbaikan fungsi memori. Selain itu, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak rimpang temulawak yang dapat meningkatkan kemampuan proliferasi sel-sel saraf otak besar. DAFTAR PUSTAKA Affari L. 2011. Otak tambah pintar dengan bersepeda. http://b2windonesia.or.id/bacanote/otak_tambah_pintar_dgn_bersepeda_tinjauan_sci enties [08 Oktober 2011]. [Anonim]. 2000a. Morphology neuron. http://www.sciencephoto.com/enlarge [07 Juli 2011]. [Anonim]. 2000b. Brain region-specific neuronal networks in vitro. http://www.neuroproof.com/eng/Technology/NeuronalNetworks.html [07 Juli 2011]. Butler M. 2004. Animal Cell Culture & Technology. Cornwall UK: Bios Scientific Publishers. Cheah YH, Azimahtol HLP, Abdullah NR. 2006. Xanthorrhizol exhibits antiproliferative activity on MCF-7 Breast cancer cell via apoptosis induction. Anticancer Research 26: 4527-4534. Chung KW. 1993. Gross Anatomy. Jakarta: Binarupa Aksara. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technicians. United States of America: Mosby Inc. Commandeur JN, Vermeulen NP. 1996. Cytotoxicity and cytoprotective activities of natural compounds. The case of curcumin. Xenobiotica 26: 667-680. Eriksson PS et al. 1998. Neurogenesis in the adult human hippocampus. Nature Medicine 4(11): 1313-1317. Feriyawati L. 2006. Anatomi sistem saraf dan peranannya dalam regulasi kontraksi otot rangka [Tesis]. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed Ke-4. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Freshney RI. 2005. Culture of Animal Cells, a Manual of Basic Technique. Ed Ke-5. Hoboken NJ, John Wiley & Sons, Inc. Handayani T. 2008. Pengaruh xanthorrhizol terhadap sel hepatoma HepG2. Jurnal Kedokteran Maranatha 8(1): 29-35. Heleagrahara N, Ponnusamy K. 2010. Neuroprotective effect of Centella assiatica extract (CAE) on experimentally induced parkinsonism in aged spraguedawley rats. Journal Toxicological Sciences 35(1): 41-47. Hembing W. 2010. Curcuma xanthorrhiza rhizoma, diabetes. http://blog.ub.ac.id/vani23d/temulawak-curcuma-xanthorrhiza-roxb.html [12 April 2011]. Hong R, Spohn WH, Hung M. 1999. Curcumin inhibit tyrosine kinase activity of P185neu and depletes P185neu. Clinical Cancer Research 5: 1884-1891. Hwang JK. 2004. Xanthorrhizol: a potential antibacterial agent from Curcuma xanthorrhiza against Streptococcus mutans. Planta Medica 66: 196-197. Istafid W. 2006. Visibility studi minuman instan ekstrak temulawak dan ekstrak mengkudu sebagai minuman kesehatan [Skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Jakoby WB, Pastan IH, editor. 1979. Cell Culture. USA: Academic Press Inc. Jana U, Sur TK, Maity LN, Debnath PK, Bhattacharyya D. 2010. A clinical study on the management of generalized anxiety disorder with Centella asiatica. Nepal Medicine College Journal 12(1): 8-11. Japardi I. 2002. Penyakit Alzheimer. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Junqueira LC, Carnerio J. 2005. Basic Histology. Ed ke-11. USA: The McGrawHill Companies Inc. Kalverbour AF, Genta ML, Hopkins JB.1999. Current Issues in Developmental Psychology. Neteherlands: Kluwer Academic Publisher. Kim SJ et al. 2008. Curcumin stimulates proliferation of embryonic neural progenitor cells and neurogenesis in the adult hippocampus. The Journal of Biological Chemistry 283 (21): 14497-14505. Kinsella JE, Frankel E, German B, Kanmer J. 1993. Possible mechanism for the protective role of antioxidants in wine and plant foods. Journal Food Technology 4:5-89. Kiswanto. 2005. Perubahan kadar senyawa bioaktif rimpang temulawak dalam penyimpanan (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Tesis]. Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Kuntarti. 2007. Anatomi sistem saraf. http:// staff.ui.ac.id/internal/ 1308050290/material/anatomisaraf.pdf. [16 Maret 2011]. Le Roux PD, Reh TA. 1994. Regional differences in glial-derived factors that promote dendritic outgrowth from mouse cortical neurons in vitro. The Journal of Neuroscience 14(8):4639-4655. Liang OB, Widjaya Y, Asparton Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi, identifikasi, dan penggunaan komponen-komponen Curcuma xanthorriza Roxb. dan Curcuma domestika Val. Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya. Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antaruniversitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Mangan Y. 2008. Cara Bijak Menaklukkan Kanker. Jakarta: Agromedia Pustaka. Martin BM. 1994. Tissue Culture Technique. USA: Birkhauser Boston. Musalmah M, Then SM, Mat TG, Wan NWZ. 2006. Comparative effects of αtocopherol and γ-tocotrienol against hydrogen peroxide induced apoptosis on primary-cultured astrocytes. Journal Neurological Sciences 243: 5-12. Nedergaard M, Ransom B, Goldman SA. 2003. New roles for astrocytes: Redefining the functional architecture of the brain. Neurosciences 26: 523-529. Norzila I, Azimahtol HLP, Meenakshi N. 2005. Xanthorrhizol induces apoptosis via the up-regulation of bax and p53 in HeLa cells. Anticancer Research 25(3B): 2221-2227. Ozaki Y. 1990. Antiinflammatory effect of Curcuma xanthorrhiza Roxb. and its active principles. Chemical Pharmaceutical Bulletin 38(4): 1045-1048. Paul J. 1970. Cell and Tissue Culture. Edinburg and London: E.&S. Living Stone. Purnomowati Sri. 2008. Khasiat temulawak: tinjauan literatur tahun 19801997.http://www.indofarma.co.id/index.php?option=comcontent&task=vie w&id=21&Itemid=125. [ 12 April 2011]. Putranto PL. 2009. Pengaruh senam otak terhadap fungsi memori jangka pendek anak dari keluarga status ekonomi rendah [Tesis]. Semarang: Universitas Dipenogoro. Rahardjo M, Rostiana O, 2004. Standar Prosedur Operasional Budidaya Kunyit dalam Standar Prosedur Operasional Jahe, Kencur, Kunyit dan Temulawak. Bogor: Badan Litbang Pertanian. Rahmasari M. 2006. Pengaruh ekstrak air daun pegagan (Centella asiatica L) terhadap kemampuan belajar dan mengingat, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit pada tikus jantan galur wistar (Rattus novergicus L) dewasa [Skripsi]. Bandung: Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH)-ITB. Reddy ACP, Lokesh BR. 1994. Studies on the inhibitory effects of curcumin and euganol on the formation of reactive oxygen species and the oxidation species and the oxidation of ferrous iron. Molecular Cellular Biochemistry 137: 1-8. Riyacumala V. 2010. Kultur in vitro sel-sel otak besar (cerebrum) anak tikus [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Rukmana R. 1995. Temulawak: Tanaman rempah dan obat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sidik, Mulyono, Muhtadi A. 1993. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Jakarta: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica. Soesilo S. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Surendra S et al. 2003. Curcumin inhibits dose-dependently and time-dependently neuroglial cell proliferation and growth. Neuroendocrinology Letters (24): 469-473. Sushma T, Sangeeta G, Gambhir IS. 2010. Centella asiatica: A concise drug review with probable clinical uses. Journal of Stress Physiology and Biochemistry (7): 38-44. Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan pada pembuatan temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) instan terhadap rendemen dan mutunya. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Syukur C, Fatimah S. 2008. Manfaat kunyit sebagai penguat daya ingat (antialzheimer). Warta Puslitbangbun 13. Thomas JA. 1970. Organ Culture. New York: Academic Press Inc. Trenggono BS. 2009. Metode Dasar Kultur Jaringan Hewan. Jakarta: Universitas Trisakti. Woehrling EK, Hill EJ, Coleman ED. 2010. Evaluation of the importance of astrocytes when screening for acute toxicity in neuronal cell systems. Neurotoxicity Research 17:103-113. Zhu YG et al. 2004. Curcumin protects mitochondria from oxidative damage and attenuates apoptosis in cortical neuron. Acta Pharmacologica Sinica 25(12): 1606-1612. LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis ANOVA dan Duncan (PDT) Oneway [DataSet1] D:\Penelitian Otak Besar 2\foto2 kultur otak besar 1\data\data yg fix\ data pdt kolom.sav Descriptives PDT 95% Confidence Interval for Mean Perlaku an N Std. Deviation Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 1 3 3,7800 ,51029 ,29462 2,5124 5,0476 3,40 4,36 2 3 3,2767 ,26274 ,15169 2,6240 3,9294 3,12 3,58 3 3 4,3933 ,52653 ,30399 3,0854 5,7013 3,79 4,76 4 3 5,1567 ,99847 ,57646 2,6763 7,6370 4,05 5,99 5 3 6,6267 ,57012 ,32916 5,2104 8,0429 5,99 7,09 15 4,6467 1,32221 ,34139 3,9145 5,3789 3,12 7,09 Total Ket: Perlakuan 1(kontrol negatif); perlakuan 2 (kontrol positif); perlakuan 3 (mDMEM+CZ 100 ppm); perlakuan 4 (mDMEM+CZ 200 ppm); perlakuan 5 (mDMEM+CZ 400ppm) ANOVA PDT Between Groups Within Groups Total Sum of Squares Df Mean Square 20,618 4 5,155 3,857 10 ,386 24,475 14 F 13,363 Sig. ,001 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PDT Duncan Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N 1 2 2 3 3,2767 1 3 3,7800 3 3 4,3933 4 3 5 3 Sig. 3 4,3933 5,1567 6,6267 .061 .163 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. 1.000 Lampiran 2 Hasil analisis ANOVA dan Duncan persentase sel saraf dan sel glia Oneway [DataSet0] C:\Documents and Settings\User\My Documents\data persentase sel sa raf n glia.sav Descriptives 95% Confidence N Saraf 1 Glia 2 3 4 5 Total 1 Ket: Mean 3 69,0300 3 3 3 3 15 47,2000 45,1133 36,1833 37,2467 46,9547 3 30,9700 Std. Std. Deviation Error Interval for Mean Lower Bound 3,46743 2,00192 Minimu Maximu Upper Bound m m 60,4164 77,6436 65,28 72,12 5,75007 1,41064 ,11566 2,55599 3,36421 22,4594 39,0438 35,6857 26,2491 39,7392 71,9406 51,1828 36,6810 48,2442 54,1702 41,40 42,60 36,03 33,33 33,33 58,70 47,48 36,41 42,05 72,12 3,46743 2,00192 22,3564 39,5836 27,88 34,72 9,95942 2,44330 ,20033 4,42710 13,02952 2 3 52,8000 9,95942 5,75007 28,0594 77,5406 41,30 58,60 3 3 54,8833 2,44815 1,41344 48,8018 60,9649 52,51 57,40 4 3 63,8133 ,20599 ,11893 63,3016 64,3250 63,58 63,97 5 3 62,7500 4,42610 2,55541 51,7549 73,7451 57,95 66,67 Total 15 53,0433 13,02839 3,36392 45,8285 60,2582 27,88 66,67 Perlakuan 1 (kontrol positif); perlakuan 2 (kontrol negatif); perlakuan 3 (mDMEM+CZ 100 ppm); perlakuan 4 (mDMEM+CZ 200 ppm); perlakuan 5 (mDMEM+CZ 400 ppm) ANOVA Sum of Squares df Mean Square Saraf Between Groups 2103,114 4 525,778 273,644 2376,758 10 14 27,364 Glia Within Groups Total Between Groups 2102,667 4 525,667 Within Groups Total 273,679 2376,346 10 14 27,368 F Sig. 19,214 ,000 19,207 ,000 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Saraf Duncan Subset for alpha = 0.05 Perlaku an N 1 2 3 4 3 36,1833 5 3 37,2467 3 3 45,1133 45,1133 2 3 47,2000 1 3 69,0300 Sig. ,073 ,636 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Glia Duncan Subset for alpha = 0.05 Perlaku an N 1 2 3 1 3 30,9700 2 3 52,8000 3 3 54,8833 54,8833 5 3 62,7500 4 3 63,8133 Sig. 1,000 ,636 ,073 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 3 Oneway [DataSet0] Hasil analisis ANOVA dan Duncan panjang akson Descriptives Akson 95% Confidence Interval for Mean Perlaku an N Std. Deviation Std. Error Mean Lower Bound Upper Bound Minimu Maximu m m 1 3 19,7867 4,24995 2,45371 9,2292 30,3441 15,66 24,15 2 3 18,4433 2,99560 1,72951 11,0018 25,8848 15,00 20,45 3 3 18,7167 1,50048 ,86630 14,9893 22,4441 17,05 19,96 4 3 17,7867 1,79984 1,03914 13,3156 22,2577 15,77 19,23 5 2 20,9000 ,01414 ,01000 20,7729 21,0271 20,89 20,91 14 19,0000 2,47630 ,66182 17,5702 20,4298 15,00 24,15 Total Ket: Perlakuan 1 (kontrol positif); perlakuan 2 (kontrol negatif); perlakuan 3 (mDMEM+CZ 100 ppm) ; perlakuan 4 (mDMEM+CZ 200 ppm); perlakuan 5 (mDMEM+CZ 400 ppm) ANOVA Akson Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 14,664 4 3,666 Within Groups 65,053 9 7,228 Total 79,717 13 ,507 ,732 Post Hoc Test Homogeneous Subsets Akson Duncan Perlakuan 4 Subset for alpha = 0.05 1 N 3 17,7867 2 3 18,4433 3 3 18,7167 1 3 19,7867 5 2 20,9000 Sig. ,242 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 4 Oneway Hasil analisis ANOVA dan Duncan panjang dendrit [DataSet0] Descriptives Dendrit 95% Confidence Interval for Mean Perla kuan N Mean Std. Deviation Lower Bound Std. Error Upper Bound Minimu Maximu m m 1 3 10,0767 2,04588 1,18119 4,9944 15,1589 7,92 11,99 2 3 10,9367 1,04165 ,60140 8,3491 13,5243 9,74 11,64 3 3 10,3533 2,25764 1,30345 4,7450 15,9616 7,92 12,38 4 3 11,6567 4,07041 2,35005 1,5452 21,7681 7,62 15,76 5 3 13,8100 ,63553 ,36692 12,2313 15,3887 13,16 14,43 Total Ket: 15 11,3667 2,41230 ,62285 10,0308 12,7026 7,62 15,76 Perlakuan 1 (kontrol positif); perlakuan 2 (kontrol negatif); perlakuan 3 (mDMEM+CZ 100 ppm); perlakuan 4 (mDMEM+CZ 200 ppm); perlakuan 5 (mDMEM+CZ 400 ppm) ANOVA Dendrit Sum of Squares Df Mean Square Between Groups 26,789 4 6,697 Within Groups 54,679 10 5,468 Total 81,469 14 F 1,225 Sig. ,360 Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Dendrit Duncan Perlakuan 1 Subset for alpha = 0.05 1 N 3 10,0767 3 3 10,3533 2 3 10,9367 4 3 11,6567 5 3 13,8100 Sig. ,102 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.