4 TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi. Pengertian Anemia Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume plasma darah terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2 sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan (Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003). Klasifikasi anemia Menurut Wirakusumah (1998), anemia secara morfologis dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia non megaloblastik disebabkan oleh peningkatan luas permukaan membran. eritropoiesis yang dipercepat dan 5 Anemia mikrositik adalah anemia yang disebabkan oleh mengecilnya ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia mikrositik. Penyebabnya adalah defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin, dan heme, serta gangguan metabolisme besi lainnya. Sedangkan pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit, penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati. Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut Anemia Gizi Besi. Anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita (Wirakusumah 1998). Anemia defisiensi gizi besi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. WHO (2001) memperkirakan sekitar 40.0% penduduk dunia terkena anemia defisiensi zat besi. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu hamil secara global tahun 2000 sebesar 51.0% (Aritonang 2010), di Indonesia sebesar 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat sebesar 51.7% pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta prevalensi anemia ibu hamil di Kota Bogor tahun 2002 sebesar 40.4.0% (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001) menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyebab Umum Anemia Gizi Besi Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia gizi besi adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi dibanding defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin, dan trace elements lainnya. Itulah sebabnya anemia gizi sering diidentikkan dengan anemia gizi besi. Wirakusumah (1998) menyatakan secara umum, faktor utama yang menyebabkan anemia gizi besi adalah; 1. Kurangnya konsumsi zat besi dan zat gizi lainnya yang berasal dari makanan terkait proses pembentukan sel darah merah. Apabila zat-zat gizi tersebut tidak terpenuhi kecukupannya berdampak terhadap kurangnya prosuksi sel darah merah dalam tubuh sehingga mengakibatkan anemia. 6 2. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat besi selama masa kehamilan sebab rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan ke dalam tubuh. Pangan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme memiliki penyerapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pangan protein hewani sebagi sumber zat besi heme. Zat besi non heme harus dibantu penyerapannya dengan vitamin C. Oleh karena itu tingkat kecukupan vitamin C harus terpenuhi tingkat kecukupannya agar penyerapannya optimal dan terhindar dari anemia. 3. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah. Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak yang bisa disebut pendarahan ekternal dan terjadi pada waktu kecelakaan. Selain itu, pendarahan kronis juga dapat mengakibatkan kehilangan sel darah merah dalam jumlah banyak. Yang dimaksud pendarahan kronis adalah pendarahan yang sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus menerus. Pendarahan jenis ini dapat disebabkan oleh kanker saluran pencernaan, wasir, atau peptik ulser. 4. Investasi cacing tambang pada masyarakat di daerah tertentu menyebabkan banyak darah yang keluar, karena cacing tambang menghisap darah. Selain itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa, kehilangan darah dalam jumlah banyak bisa terjadi akibat menstruasi. Faktor lain yang berpengaruh pada kadar hemoglobin ibu hamil selain dari konsumsi yaitu karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002). Berdasarkan Laporan SKRT (1985-1986) dalam Wijianto (2002) bahwa semakin rendah jumlah paritas, maka semakin rendah angka prevalensi anemia. Selain itu, usia ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur <20.0 tahun dan >35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur <20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur >35 tahun terkait dengan 7 kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Apabila zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi maka akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya (Wijianto 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) dalam Permatahati (2012) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga. Tristiyanti (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan nyata dengan prilaku gizi dari makanan yang dikonsumsinya. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya. Menurut Junadi (1998) dalam Permatahati (2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006) status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar dibanding dengan yang bekerja. Hal ini kemungkinan disebabkan pada ibu yang bekerja akan dapat menyediakan makanan terutama yang mengandung sumber zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Biasanya dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadi perubahanperubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin konsumsi pangan akan lebih beragam. Terkadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama 8 (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Dampak Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Wirakusumah (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat berakibat fatal bagi ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk melahirkan. Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungannya. Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir rendah, atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia gizi besi. Selain itu Depkes (1998) menyakatan anemia dalam kehamilan yang tidak diterapi dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan janin. Pengaruh buruk bagi ibu antara lain (1) timbulnya gejala umum anemia yaitu lesu, lemah, letih, lalai dan lunglai (5L), (2) pendarahan saat melahirkan, (3) preeklampsi, (4) abortus, (5) kematian ibu dan (6) hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit (Depkes 1998). Muslimatun et.al (2000) menyatakan bahwa anemia pada masa kehamilah berdampak ibu berisiko melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), atau bayi lahir dalam keadaan meninggal Allen et al. (2000) juga menyatakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin yang terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Penilaian Status Gizi Besi Perkembangan defisiensi besi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan defisiensi besi ini umumnya digunakan untuk menetapkan status besi di dalam tubuh seseorang dan menunjukkan tingkatan defisiensi besi yang terjadi (Briawan 2008). Tiga tahapan tersebut adalah perubahan besi pada simpanan, defisiensi besi tanpa anemia, dan defisiensi besi dengan anemia (Gibson 2005). Tahap pertama terjadi ketika terjadi penurunan yang bersifat progresif simpanan besi di hati. Pada tahap ini, suplai besi ke dalam setiap bagian fungsional tubuh tidak terpengaruh dan hemoglobin dalam keadaan normal. Pada tahap ini, konsentrasi serum feritin menurun. Oleh karena itu, pengukuran serum feritin dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya defisiensi besi tahap pertama (Gibson 2005). 9 Defisiensi tahap kedua ditunjukkan dengan habisnya cadangan besi dan adanya penurunan suplai besi ke dalam sumsum tulang sehingga produksi sel darah merah terganggu. Pada tahap ini juga terjadi penurunan kejenuhan transferin, dan kenaikan konsentrasi eritrosit protoporfirin (Gibson 2005), serta tingginya serum transferin reseptor (STfR) (WHO 2004 dalam Briawan 2008). Kadar hemoglobin mungkin mulai menurun, tetapi umumnya tidak jauh dari rentang normal (Gibson 2005). Tahap ketiga merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tahap ini ditandai dengan habisnya simpanan besi, penurunan kadar besi dalam sirkulasi, serta terjadi penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat dari ukuran sel darah yang lebih kecil dari normal (mikrositik) dan warnanya lebih pucat (hipokromik). Kondisi ini disebut sebagai anemia defisiensi besi dan sering disertai gejala-gejala terkait anemia (Gibson 2005). Indikator yang dapat digunakan untuk menilai status besi yaitu kadar hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), dan mean cell volume (MCV). Kombinasi antara pengukuran Hb dan serum feritin (SF) akan meningkatkan ketepatan dalam pengukuran status besi. Jika kedua indikator ini menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb normal kemungkinan pada individu simpanan besinya berkurang (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Penggunaan indikator serum feritin tidak dianjurkan pada populasi dengan kemungkinan infeksi tinggi karena keadaan infeksi mempengaruhi kadar serum feritin (WHO & CDC 2004 dalam Briawan 2008). Jika biaya menjadi kendala dalam penelitian maka Indikator Hb dapat digunakan tanpa pengukuran SF dan STfR (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Hemoglobin dapat digunakan untuk mengukur status besi pada beberapa populasi. Pemilihan indikator hemoglobin dengan alasan lebih sederhana dan membutuhkan biaya lebih rendah dibandingkan indikator lain (Gibson 2005). Berdasarkan WHO dan CDC (2004) dalam Briawan (2008), pengukuran kadar hemoglobin sangat penting untuk mengetahui tingkat keparahan dari defisiensi besi. Salah satu metode pengukuran kadar hemoglobin yang biasa dilakukan yaitu untuk metode Cyanmethemoglobin. mengukur kadar hemoglobin Merupakan salah menggunakan satu metode spektrofotometer dengan prinsip hemoglobin yang ada pada sel darah merah diubah menjadi 10 cyanmenthemoglobin dengan larutan drabkin yang diukur pada panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin berperan sebagai pengubah semua derivat hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin yang berwarna merah. Tinggi rendahnya nilai absorbansi atau intensitas warna merah akan menentukan kadar hemoglobin dari sampel. (Kee 2007). Tabel 1 berikut adalah cut off point kadar hemoglobin sebagai indikator anemia. Tabel 1 Nilai Cutoff Hemoglobin Umur (tahun) Nilai Cut off Hemoglobin untuk anemia (g/L) Pria dan Wanita Pria Wanita 0,5-5 < 110 5-11 < 115 12-13 < 120 >14 (Pria) 130 >14 (Wanita) <110 (hamil) <120 (tidak hamil) Sumber : Gibson (2005) WHO (2005) menggolongkan tingkatan anemia ibu hamil dengan kategori normal, anemia ringan dan anemia berat. Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun 2005 yang ditetapkan dalam tiga kategori dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia ibu hamil Tingkatan Anemia Kadar Hemoglobin (g/dL) ≥ 11 8-10 g/dL < 8 g/dL Normal Ringan Berat Sumber : WHO 2005 Status Gizi Ibu Hamil Kelompok ibu hamil merupakan kelompok yang memerlukan pengukuran khusus dalam penentuan status gizinya. Penentuan status gizi menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak berlaku pada kondisi fisiologis hamil. Oleh karena itu, status gizi ibu hamil ditetapkan dengan menggunakan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) (Anggraeni 2012). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001 yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pascapersalinan yang sulit 11 karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Konsumsi Pangan Ibu Hamil Konsumsi pangan ibu hamil adalah jenis pangan yang dimakan oleh ibu hamil dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial (Baliwati et.al 2004). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian. Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010). Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam, metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record), metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history). Sedangkan untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ). Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang pola konsumsi pangan (Gibson 2005). Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, sosial dan budaya (Sanjur 1982). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi anatar beberapa peubah yang terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982), kebiasaan makan mencakup empat komponen : konsumsi pangan, preferensi terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial budaya pangan. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006), kebiasaan makan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan segi gizi, yaitu kebiasaan makan yang baik dan kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah kebiasaan makan yang mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi. Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang 12 menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi. Kebiasaan makan bahan makanan dari sumber protein dan zat besi berpengaruh terhadap proses pembentukan sel darah merah terkait dengan komponen pembentuk hemoglobin (Sayogo 2007). Pangan Sumber Protein, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, neurotransmmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan (Sayogo 2007). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002). Sayogo (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati. Pangan protein hewani sebagai sumber zat besi heme yang penyerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme. Pangan Sumber Zat Besi, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi terutama oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh (Wirakusumah 1998). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2002). Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non heme dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh makanan. Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25% sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier 2002). Konsumsi pangan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi, mampu memberikan 13 kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia. Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et.al (1978) dalam Permatahati (2012) menyatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan zat besi. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Achadi 2007). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut (Alsuhendra 2005) menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik. Metabolisme Zat Besi (penyerapan, transportasi, penyimpanan) Di dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Ferritin dan hemosiderin merupakan simpanan zat besi ada di hati dan sumsum tulang. Simpanan zat besi sebagai feritin dan hemosiderin sebanyak 30% dalam hati, sumsum tulang sebanyak 30% dan sisanya berada dalam limfa dan otot. Simpanan zat besi yang dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh berkisar 50 mg sehari (IOM-FNB 2001; Almatsier 2002) Ferritin bersikulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran ferritin dalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi antara 0-1000 mg dimana jumlahnya pada wanita lebih rendah dari pria. Simpanan besi pada pria dewasa berkisar antara 500-1000 mg sedangkan pada wanita dewasa lebih rendah lagi dan jarang melebihi 500 mg. Wanita di negara berkembang banyak yang tidak mempunyai cadangan besi karena keterbatasan biologis rendah dan 14 sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’Brien et al. 1999). Total besi pada manusia dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin, jumlah kompartemen, simpanan besi, dan konsentrasi Hb. Hemoglobin merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe++. Diperkirakan bahwa hemoglobin berisi lebih dari 65% zat besi tubuh. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah tersebut dapat mengangkut 0.03 gram oksigen. Perhitungan perkiraan penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu penyerapan zat besi tinggi (15%), penyerapan zat besi sedang (10%), dan penyerapan besi rendah (5%) (Gibson 2005). Banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukkan hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang, hati dan limfa. Eksresi zat besi sebanyak 0.5- 1.0 mg per hari yang dikeluarkan bersama-sama urin, keringat dan feses. Zat besi dalam hemoglobin dapat pula keluar dari tubuh melalui pendarahan, menstruasi, dan saluran urin. Siasanya dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan sedangkan kelebihan besi dapat mencapai 200-1500 mg disimpan sebagai protein ferritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), dan selebihnya di dalam limfa dan otot (Mahan et.al 2004). Pangan Sumber Vitamin A, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Vitamin A dalam bentuk retinol terdapa pada makanan hewani seperti hati, kuning telur, krim, mentega, dan susu difortifikasi. Sedangkan dalam bentuk karoten terdapat pada makanan nabati yaitu sayuran berwarna hijau dan jingga, serta buah-buahan. Vitamin A berfungsi pada siklus penglihatan yaitu penyesuaian terhadap terang dan gelap serta berguna untuk pertumbuhan jaringan terutama kulit (Almatsier 2009). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat mensintesa Hb. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi pada proses erythropoesis (Setiyobroto et.al 2004) dalam (Andriani 2012). 15 Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Vitamin C banyak ditemukan pada cabe hijau, buah sitrus (jeruk lemon), strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau dan sayuran hijau lainnya serta semangka. Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu proses penyerapan zat besi non heme dari bahan pangan ke dalam tubuh dengan mereduksi bentuk besi ferro menjadi ferri agar lebih mudah diserap usus halus (Sayogo 2007). Apabila terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap tidak akan optimal sehingga persediaan zat besi dalam tubuh akan berkurang dan lambat laun menurunkan kadar hemoglobin darah sebagai salah satu indikator status anemia (Khomsan 2002). Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Asam folat banyak ditemukan pada sayuran berdaun hijau, hati ayam atau sapi, kacang merah, dan kedelai (Almatsier 2009). Asam folat berfungsi sebagai salah satu komponen pembentuk hemoglobin dalam proses pembentukan sel dalrah merah (Khomsan 2002). Ketika makanan sumber asam folat dimakan, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hari menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang. Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah merah (Khomsan 2002). Apabila terjadi kekurangan asam folat maka akan menghambat proses pembentukan sel darah merah yang berdampak terhadap penurunan kadar hemoglobin sebagai salah satu indikator anemia. Pangan Sumber Seng (Zn), Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia Seng banyak ditemukan pada daging, makanan laut seperti lobster, kerang, ikan, dan daging kepiting, kacang-kacangan dan produk olahan susu seperti yougurt dan keju (Almatsier 2009). Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng memiliki peran dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi reproduksi (Almatsier 2004). 16 Berdasarkan Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012) seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan, kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung porsi besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng. Angka dan Tingkat Kecukupan Gizi pada Ibu Hamil Gizi pada ibu hamil merupakan hal penting yang harus dipenuhi selama kehamilan berlangsung. Risiko akan kesehatan janin yang sedang dikandung dan ibu yang mengandung akan berkurang jika ibu hamil mendapatkan gizi yang seimbang. Bersama dengan usia kehamilan yang terus bertambah, makan bertambah pula kebutuhan gizi ibu hamil, khususnya ketika usia kehamilan memasuki trimester kedua. Pada saat trimester kedua, janin tumbuh dengan sangat pesat, khususnya mengenai pertumbuhan otak dan sistem syarafnya (Sayogo 2007). Selama kehamilan, angka kecukupan zat gizi yang terkait dengan proses pembentukan hemoglobin seperti energi, protein, vitamin C, asam folat, zat besi dan seng pun meningkat berdasarkan acuan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester ke II. Angka kecukupan gizi energi, protein, vitamin C, vitamin A asam folat, zat besi dan seng masing-masing sebesar 2100.0 kkal, 67.0 g, 85.0 mg, 800 RE, 600.0 µg, 26.0 mg dan 11.5 mg. Perhitungan asupan zat gizi seseorang dapat menggunakan Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994). Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat (Almatsier 2009). Namun, angka kecukupan ini 17 digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier 2002). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar asupan zat gizi aktual (nyata) dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut menurut Hardinsyah & Briawan 1994: Tingkat kecukupan zat gizi = x 100% Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menurut Depkes (1996) menjadi (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG, (4) normal jika 90-119% AKG dan (5) kelebihan jika ≥120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu kurang jika <77% AKG dan cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).