BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Keanekaragaman Hayati dan Nilai Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati atau Biodiversity adalah kata yang belum lama diperkenalkan oleh pakar yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Kata ini kemudian menjadi lebih bermakna setelah diperkenalkan oleh E.O.Wilson pada tahun 1989 dalam buku dan tulisan ilmiahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini kemudian menjadi sangat popular dan dipakai bukan saja oleh ahli lingkungan, tetapi juga oleh peneliti, pemerhati lingkungan, penyandang dana, pendidik, ahli sosial, ekonomi, para pengambil kebijakan, dan banyak lagi orang yang mengenal kata tersebut tetapi tidak mengetahui artinya (Supriatna, 2008). Definisi keanekaragaman hayati cukup banyak, tetapi salah satu definisi yang lebih mudah dipahami yaitu “kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan, dan mikro organisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup”. Keanekaragaman hayati berkembang dari (1) keanekaragaman tingkat gen, (2) keanekaragaman tingkat jenis dan (3) keanekaragaman tingkat ekosistem. Keanekaragaman hayati perlu dilestarikan karena didalamnya terdapat sejumlah spesies asli sebagai bahan mentah perakitan varietasvarietas unggul. Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan. Gangguangangguan terhadap komponen-komponen ekosistem tersebut dapat menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat. Contoh adanya gangguan ekosistem, misalnya penebangan pohon di hutan secara liar dan perburuan hewan secara liar yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Dimana gangguan tersebut secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus mempengaruhi keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau letusan gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem, dan tentu juga akan memusnahkan keanekaragaman tingkat ekosistem. 12 Ketiga macam keanekaragaman tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Ketiganya dipandang sebagai satu keseluruhan atau totalitas keanekaragaman hayati, yaitu: 1. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman gen merupakan modal dasar untuk melakukan rekayasa genetika dan hibridisasi (kawin silang) untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan. 2. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman jenis kita dapat mencari alternatif dari bahan makanan, bahan sandang dan papan, juga dapat memilih hewan-hewan unggul untuk dibudidayakan. 3. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman ekosistem kita dapat mengembangkan sumber daya hayati yang cocok dengan ekosistem tertentu sehingga dapat meningkatkan hasil pertanian dan peternakan yang pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan. Keanekaragaman hayati tidak hanya bermakna sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja (aspek ekonomi) karena keanekargaman hayati juga mencakup aspek sosial, lingkungan, aspek sistem pengetahuan dan etika serta kaitan di antara berbagai aspek ini. Sebagai gudang keanekaragaman hayati, Indonesia banyak disorot oleh berbagai kalangan yang berkepentingan dengan flora dan fauna Indonesia, terutama yang bersifat endemik. Pada dasarnya, semua hayati di dunia ini memiliki nilai tertentu, yaitu nilai ekonomi langsung dan nilai ekonomi tidak langsung. 1). Nilai ekonomi langsung dapat diamati dari kegiatan suatu masyarakat yang memanen dan memanfaatkan hayati secara langsung, misalnya ada hewan yang bertindak sebagai pemangsa alami hama. Burung pemangsa, burung hantu dan ular sanca mengendalikan hama tikus di daerah yang ditanami. Nilai ekonomi langsung meliputi nilai kegunaan konsumtif dan nilai kegunaan produktif. Nilai kegunaan konsumtif diberikan untuk hayati yang dikonsumsi masyarakat lokal yang tidak terlihat di pasar nasional maupun internasional. Hayati yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat tradisional di negara berkembang, yaitu untuk kayu bakar, sayur-sayuran, buah-buahan, daging, obat–obatan, tali-temali dan bahan 13 bangunan. Nilai kegunaan produktif, yaitu nilai untuk hayati yang diambil di alam dan dijual ke pasar pada tingkat nasional maupun internasional. Produk dinilai dengan metode ekonomi standar. Hayati dengan nilai kegunaan produktif digunakan untuk bahan baku obat, bahan bangunan, industri pakaian, perhiasan dan keperluan lainnya. Banyak sekali hayati khas Indonesia yang memiliki nilai kegunaan produktif, di antaranya: a. Meranti untuk bahan bangunan; b. Eboni (kayu hitam) untuk bangunan dan alat rumah tangga; c. Jati untuk bahan bangunan; d. Karet untuk bahan alat rumah tangga, industri otomotif; e. Rotan untuk alat rumah tangga; f. Buah-buahan untuk konsumsi makanan pelengkap, misalnya durian, sirsak, jambu biji, avokad, delima, kesemek, salak, sawo, nangka, rambutan, mangga, manggis, markisa, melon, pisang, pepaya, dan kenari; g. Tanaman penyegar, misalnya asam, jahe, kunir, kencur, vanili, teh, dan kopi. 2) Nilai ekonomi tidak langsung dapat dibagi menjadi nilai kegunaan non-komsumtif, nilai pilihan dan nilai eksistensi. Nilai kegunaan non-konsumtif diberikan untuk berbagai jasa lingkungan yang kita nikmati tanpa melalui penggunaan secara langsung, misalnya: a) Orang Utan untuk kebun binatang, sebagai kebutuhan rekreasi dan ekoturisme; b) Aneka jenis burung endemik, seperti Cendrawasih, Jalak Bali, Elang Jawa, dan burung Hantu untuk ekoturisme dan rekreasi serta nilai pendidikan dan ilmiah; c) Ayam Pelung, berbagai jenis ular untuk ekoturisme, rekreasi serta nilai pendidikan dan ilmiah; d) Komodo dan Maleo untuk nilai pendidikan dan ilmiah; e) Damar, Rasamala, berbagai pohon kayu lainnya sebagai perlindungan sumber air dan tanah, pengatur iklim dan monitor lingkungan; f) Anggrek, Bunga Bangkai (Amorpophalus titanum), Kantung Semar (Nepenthes), Teratai, Mawar, Melati Padma (Rafflesia arnoldi), dan bunga lainnya untuk rekreasi, tanaman hias, ekoturisme, pendidikan dan ilmiah. 14 3) Nilai Pilihan dari spesies adalah potensi suatu spesies dalam memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat pada suatu saat di masa yang akan datang. Solusi dengan adanya perubahan kebutuhan masyarakat saat ini sering kali ada pada tumbuhan atau hewan yang belum tersentuh. Penelitian yang dilakukan dengan daya guna keanekaragaman hayati, dikenal dengan istilah biodiversity prospecting, yaitu penelaahan potensi jenis tumbuhan dan satwa liar beserta gen dan produk kimiawinya yang berdaya guna, seperti, a) Eceng gondok sangat prospektif dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan alat rumah tangga, pakaian, perhiasan rumah, dan sebagainya; b) Rumput alang-alang untuk produksi pemanis pengganti gula tebu; c) Kelompok alga (Spirulina, Chlorella, Nostoc, Oscillatoria, Gloeocapsa, Anabaena) prospektif untuk memenuhi kebutuhan gizi, pupuk biologis, pembersih polutan, produksi cat dan pewarna tekstil; d) Kelompok bakteri dan jamur. Margasatwa dengan nilai ekonomi tinggi menjadi barang untuk perdagangan dalam negeri dan internasional, serta menjadi sumber pangan penting untuk masyarakat setempat. Perburuan tradisional kadang-kadang berhubungan dengan upacara adat, misalnya perburuan berbagai jenis burung dan mamalia. Burung, primata, mamalia dan reptil diketahui sebagai barang perdagangan. Primata merupakan hewan laboratorium yang penting untuk percobaan. Mamalia dan reptil digunakan di berbagai macam industri. Ikan air tawar dimanfaatkan untuk keperluan setempat dan perikanan. Banyak bakteri dan jamur yang dimanfaatkan untuk bahan bioteknologi, baik sebagai fermenter maupun jasa rekayasa genetik, contohnya yoghurt, anggur, keju dan antibiotik. Nilai eksistensi merupakan nilai keberadaan suatu spesies. Saat ini di seluruh dunia, orang peduli terhadap kehidupan liar dan sangat prihatin atas perlindungannya, contoh: Komodo, Maleo, Anoa, Cendrawasih, Kakaktua, Orang Utan, Harimau, Tapir, Coelacanth, Tarsius, Elang Jawa, Jalak Bali, Badak, Duyung, Lumba-Lumba, Pesut, Meranti, Eboni, Matoa, Rafflesia Arnoldi, Amorpophalus Tianum, Edelweiss (Anaphalis javanica), Anggrek dan masih banyak lagi. Khusus untuk Coelacanth, masyarakat dunia mengira bahwa ikan tersebut merupakan ikan purba yang telah lama punah, namun ternyata ikan ini masih eksis di perairan Bunaken, diburu dan 15 dijadikan sumber makanan oleh nelayan dan penduduk sekitar. Selain di Bunaken, Coelancanth hanya ditemukan di Madagaskar. Agar nilai-nilai biodiversitas tetap terjaga, kita perlu mengetahui ancaman apa saja yang membahayakan kelestarian biodiversitas. Berdasarkan uraian tersebut setidaknya ada 6 nilai keanekaragaman hayati yang bisa diuraikan: a) Nilai eksistensi, nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Ehrenfeld, 1991). Nilai ini tidak berkaitan dengan potensi suatu organisme tertentu, tetapi berkaitan dengan beberapa faktor berikut: (1) Faktor hak hidupnya sebagai salah satu bagian dari alam; (2) Faktor yang dikaitkan dengan etika, misalnya nilainya dari segi etika agama. Berbagai agama dunia menganjurkan manusia untuk memelihara alam ciptaan Tuhan; dan (3) Faktor estetika bagi manusia, misalnya, banyak kalangan, baik pecinta alam maupun wisatawan, bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk mengunjungi taman-taman nasional guna melihat satwa di habitat aslinya, meskipun mereka tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut. b) Nilai jasa lingkungan, nilai jasa lingkungan yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati ialah dalam bentuk jasa ekologis bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh jasa ekologis, misalnya hutan yang merupakan salah satu bentuk dari ekosistem keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi lingkungan sebagai: (1) Pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan; (2) Penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari serasah hutan; (3) Pencegah erosi dan pengendali iklim mikro. Keanekaragaman hayati bisa memberikan manfaat jasa nilai lingkungan jika keanekaragaman hayati dipandang sebagai satu kesatuan, dimana ada saling ketergantungan antara komponen yang terdapat di dalamnya. c) sebagai nilai warisan, nilai warisan adalah nilai yang berkaitan dengan keinginan untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang. Nilai ini seringkali terkait dengan nilai sosial-budaya dan juga nilai pilihan. Spesies atau kawasan tertentu sengaja dipertahankan dan diwariskan turun temurun untuk menjaga identitas budaya dan spiritual kelompok etnis tertentu atau sebagai cadangan pemenuhan kebutuhan mereka di masa datang. d) sebagai nilai pilihan, 16 keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau belum dapat dimanfaatkan oleh manusia; namun seiring dengan perubahan permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa depan. Potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa datang ini merupakan nilai pilihan (Primack et al,1998). e) Nilai konsumtif, manfaat langsung yang dapat diperoleh dari keanekaragaman hayati disebut nilai konsumtif dari keanekaragaman hayati. Contoh dari nilai komsumtif ini adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan maupun papan. f) Nilai produktif, nilai produktif adalah nilai pasar yang didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Persepsi dan pengetahuan mengenai nilai pasar ditingkat lokal dan global berbeda. Pada umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati pada tingkat global (Vermeulen dan Koziell, 2002). Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu akan terjadi keragaman nilai dari suatu sumberdaya atau nilai dari keanekaragaman hayati berdasarkan pada persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai keanekaragaman hayati hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai keanekragaman hayati, dan hal tersebut dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai keanekaragaman hayati tersebut. Ada beberapa nilai dari keanekaragaman hayati bagi kepentingan makluk hidup; (1) Nilai ekologis, dimana setiap sumberdaya alam merupakan unsur dari ekosistem alam. Sebagai contoh, suatu tumbuhan dapat berfungsi sebagai pelindung tata air dan kesuburan tanah, atau suatu jenis satwa dapat menjadi kunci spesies yang penting dari keseimbangan alam. (2) Nilai keanekaragaman hayati sebagai nilai komersial, secara umum telah dipahami bahwa kehidupan manusia tergantung mutlak kepada sumberdaya alam hayati. Dimana keanekaragaman hayati mempunyai nilai komersial yang sangat 17 tinggi, sebagai gambaran, sebagian besar penerimaan devisa negara maupun pendapatan asli daerah dihasilkan dari penjualan kayu dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi hutan. (3) Nilai keanekaragaman hayati sebagai nilai sosial dan nilai budaya, keanekaragaman hayati mempunyai nilai sosial dan nilai budaya yang sangat besar. Secara umum peran masyarakat secara sosial dalam menjaga keanekaragaman hayati ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, sejauh mana pengetahuan lokal dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sebuah sistem pengelolaan yang baik dari keanekaragaman hayati tersebut. Kedua, seberapa besar kepedulian warga dari komunitas lokal terhadap alam yang berada di sekitarnya, sehingga mampu mendorong kearah upaya-upaya untuk menjaga dan mengelola keanekaragaman hayati baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi. Ketiga, seberapa besar manfaat (material dan non-material) yang bisa diterima oleh masyarakat dari kawasan konservasi sehingga keberadaan dari keanekaragaman hayati tersebut memiliki nilai yang menguntungkan secara terus menerus. Nilai budaya bagi nilai keanekaragaman hayati merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena bagi masyarakat yang memilikinya nilai keanekaragaman hayati merupakan warisan yang diwariskan secara turun temurun, sehingga faktor budaya merupakan hal terpenting dalam menilai suatu keanekaragaman hayati. (4) Nilai keanekaragaman hayati dari nilai rekreasi, dimana suatu keindahan dari sumberdaya alam hayati dapat memberikan nilai untuk menjernihkan pikiran dan melahirkan gagasan-gagasan baru bagi yang menikmatinya. Misalnya saja, kita sering kali pergi berlibur ke alam, apakah itu gunung, gua atau laut dan lain sebagainya, dengan maksud untuk merasakan keindahan alamnya. (5) Nilai keanekaragaman hayati dari nilai penelitian dan pendidikan, jika dilihat fungsi dan peran dari keanekragaman hayati itu sendiri, akan menimbulkan gagasan dan ide cemerlang bagi manusia. Nilai ini akan memberikan suatu dorongan untuk mengamati fenomena-fenomena alam dalam bentuk suatu tulisan atau penelitian. Selain itu alam juga dapat menjadi media pendidikan untuk ilmu pengetahuan alam, maka sangat diperlukan bahan untuk penelitian maupun penghayatan berbagai pengertian dan suatu konsep ilmu pengetahuan. 18 2.2. Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Papua Dalam hal kekayaan keanekaragaman hayati, Indonesia tidak kalah dengan Brazil, negara yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Misalnya, Brazil memiliki jumlah keanekaragaman hayati ikan air tawar dan jumlah organisme darat yang sangat banyak tapi keanekaragaman organisme laut di Indonesia jauh lebih banyak. Seperti Meksiko, posisi geografis Indonesia termasuk negara yang terletak pada dua kawasan dari enam kawasan biogeografi terpenting di dunia, yaitu Australasian dan Indo-Malaya. Hal yang juga menarik, di Indonesia terdapat wilayah pertemuan dua kawasan tersebut, yaitu Wallacea yang di dalamnya terkandung endemisitas dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi. Kawasan biogeografi Indonesia dan sebarannya yang meliputi 17.000 pulau, termasuk pulau terbesar kedua dan ketiga di dunia (Kalimantan dan Papua), bisa dikatakan telah berhasil menandingi Brazil dalam hal kekayaan jenis. Beberapa data statistik yang berkaitan dengan jumlah keanekaragaman jenis, dimana Indonesia selalu menempati urutan teratas, yakni : a. Urutan kedua setelah Brazil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515 jenis, yang 39 % di antaranya merupakan endemik; b. Urutan keempat untuk keanekaragaman reptile (511 jenis, 150 endemik); c. Urutan kelima untuk keanekaragaman burung (1.531 jenis, 397 endemik); bahkan khusus untuk keanekaragaman burung parung Bangkok, Indonesia menempati urutan pertama (75 jenis, 38 endemik); d. Urutan keenam untuk keanekaragaman amfibi (270 jenis, 100 endemik); e. Urutan keempat dunia untuk keanekaragaman primate ( 35 jenis); f. Lima besar untuk keanekaragaman dunia tumbuhan (38.000 jenis); g. Urutan pertama untuk Tumbuhan Palmae (477 jenis, 225 endemik), dan memiliki setengah dari 350 Spesies Dipterocarpaceae yang bernilai tinggi, (155 jenis endemik Kalimantan); h. Urutan ketiga untuk keanekaragaman ikan tawar (1.400 jenis) setelah Brazil dan Colombia (Supriatna, 2008). 19 Dengan luas daratan, sekitar 1.919.443 km2, Indonesia menempati urutan ke15, antara Libya dan Mexico. Namun bila digabungkan dengan luas daratan yang tertutup laut, maka angka itu akan menjadi jauh lebih besar. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari total luas daratan dunia, di dalamnya terkandung 12% jenis mamalia, 7,3% jenis reptile dan amfibi, dan 17% jenis burung. Seiring dengan banyaknya informasi tentang keanekaragaman hayati yang baru, maka jumlah jenis tumbuhan, ikan, reptile, amfibi dan avertebrata pun akan terus bertambah, juga dengan jenis-jenis mamalia dan burung. Meskipun termasuk negara megadiversitas, saat ini di Indonesia terdapat dua kawasan penting (hotspot) keanekaragaman hayati yang teracam, yakni Sunda Barat dan Wallacea, juga kawasan hutan tropis utama, yaitu Melanesia, termasuk Papua. Keanekaragaman ekosistem Indonesia, meliputi kawasan sepanjang 5.000 km, yang terbentang dari timur ke barat (lebih panjang dari benua Amerika Serikat), merupakan fenomena yang luar biasa. Topografinya, dengan berbagai ketinggian dan keragaman menghasilkan ekosistem mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, kawasan pesisir dan lautnya, gua yang sangat panjang, dari daerah yang kering hingga puncak gunung es. Setidaknya tercatat 47 jenis ekosistem terlengkap, jauh menandingi negara-negara yang terkenal dengan keanekaragaman biogeografinya, seperti Peru, Kolombia, Meksiko, Cina, India dan Amerika Serikat. Dalam tingkat keragaman budaya, Indonesia pun berada di urutan teratas, dengan memiliki paling sedikit 336 suku budaya, yang mana sekitar 250 suku di antaranya berada di Papua. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi tiga besar untuk kategori keragaman budaya. Papua Nugini dan India juga memiliki tingkat keragaman budaya yang tinggi tetapi tidak dalam hal perbedaan tingkat budaya yang ada. Vegetasi Papua merupakan perpaduan vegetasi Asia dan Australia. Keanekaragaman tumbuhannya mencapai lebih dari 25.000 jenis, dengan sedikitnya 24 marga endemik, dan sepertiga dari jumlah tumbuhannya merupakan jenis anggrek. Menarik untuk diperhatikan dari Papua adalah wilayah pegunungan tingginya, yang mencapai tinggi lebih dari 3.000 meter dan merupakan tempat bagi beragam jenis 20 Anggrek Rhododendron yang bernilai tinggi, yang beberapa diantaranya merupakan jenis favorit untuk dibudidaya. Disepanjang pesisir selatan Papua, terbentang rawa-rawa yang sangat luas. Kawasan serupa juga dapat ditemui di pantai utara Papua, tepatnya di sekitar delta Sungai Mamberamo. Kayu Putih yang kulit kayunya tahan api merupakan vegetasi dominan di sepanjang daerah aliran sungai. Komposisi mangrov Papua, yang melimpah dan luas di sepanjang garis pantai Papua, mirip dengan komposisi hutan mangrov di India dan pasifik. Kawasan tenggara Papua sangat mirip dengan Australia dengan ciri vegetasi; rumput lebih dominan dari pada pohon. Komposisi itu menandakan adanya musim kering di kawasan ini. Hutan savana kering juga merupakan habitat berbagai jenis pohon seperti Melaleuca, Eucalyptus, Casuarina, dan Acacia (Supriatna, 2008). Keanekaragaman hayati mamalia darat Papua mencapai 174 jenis (sekitar 100 jenis endemik), yang mana sepertiganya merupakan hewan berkantung, hewan pengerat, dan sepertiganya kelelawar. Selain itu ada representasi dari mamalia bertelur, yaitu Echidna. Bila di kawasan barat Indonesia, spesies flagshipnya adalah primata, spesies flagship di Papua adalah kanguru pohon. Spesies flagship mamalia ini terdiri dari beberapa spesies yang diketahui hidup di dataran rendah, seperti kanguru pohon abu-abu, yang hidup di dataran rendah, hutan hujan di ketinggian tengah dari kawasan Doberai, dan di semenanjung Fakfak (Papua Barat). Sedangkan kangguru pohon seri hanya terdapat di hutan tropis pegunungan pada ketinggian 2.600 - 3.200 m dpl, di sepanjang rantai pegunungan tengah dan barat Papua, yang berbatasan dengan padang rumput sub-alpin. Saat ini, setidaknya, tercatat sekitar 643 jenis burung di Papua, dan sekitar 269 jenis di antaranya merupakan endemik Papua. Di Pegunungan Papua, setidaknya hidup 11 jenis burung yang keindahannya menyerupai burung Cenderawasih. Untuk keanekaragaman reptil dan amfibi juga sama tingginya dengan keanekaragaman fauna lainnya. Ada sekitar 100 jenis ular dan 200 jenis kadal, yang sebagian besar merupakan endemik. Papua juga kaya dengan hewan avertebrata, dengan paling sedikit 5.000 jenis, yang sebagian besar merupakan Kupu-Kupu. Kupu-Kupu sayap 21 burung merupakan jenis yang paling popular, Kupu-Kupu raksasa yang merupakan jenis Kupu-Kupu terbesar di Asia Tenggara dengan lebar sayap mencapai 33 cm. 2.3. Kawasan Konservasi Cagar Alam Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990, cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Muntasib (2003) menjelaskan bahwa kegiatan yang diperolehkan di cagar alam hanyalah kegiatan-kegiatan untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya. Selain itu kegiatan lain seperti rekreasi, pengelolaan yang intensif (campur tangan manusia) tidak diperkenankan karena akan merubah perkembangan alami dari kawasan itu. Prinsip pengelolaan cagar alam adalah alam dibiarkan berkembang secara alami, tetapi juga tidak diganggu serta tidak diperbolehkan memberikan perlakuan apapun kecuali mencatatnya (Muntasib, 2003). Sasaran pengelolaan cagar alam antara lain adalah: 1) melindungi flora dan fauna, 2) habitat terbina dan tidak terganggu, 3) plasma nuftah dimanfaatkan untuk riset (penelitian dan pendidikan), 4) plasma nuftah dimanfaatkan secara lestari melalui upaya budidaya oleh masyarakat di daerah, 5) penyangga untuk meningkatkan kesejahteraan. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai (1) kawasan pengawetan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan (2) berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (UU No.5 Tahun 1990 pasal 15). 2.4. Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa nilai keanekaragaman hayati dapat dinilai dengan penilaian ekonomi dengan menggunakan pendekatan penilaian ekonomi. Menurut K.N. Ninan et al, (2009) dalam studies establish the economic values of biodiversity, habitats and ecosystem services melakukan penilaian terhadap suatu nilai keanekaragaman hayati bermanfaat bagi kehidupan manusia seperti produk obat-obatan alami. Dari 150 obat berdasarkan resep yang digunakan di 22 Amerika Serikat, 118 berasal dari sumber alami: dimana 74 persen bersumber dari tanaman, 18 persen dari jamur, 5 persen dari bakteri dan 3 persen dari spesies ular. Untuk memberikan ilustrasi lain, lebih dari 100.000 spesies yang berbeda termasuk kelelawar, lebah, lalat, kumbang, burung dan kupu-kupu memberikan manfaat bagi penyerbukan. Sepertiga dari makanan manusia berasal dari tanaman yang diserbuki oleh penyerbuk liar. Nilai jasa penyerbukan dari penyerbuk liar di Amerika Serikat saja diperkirakan sebesar US $ 4 - 6 milliar per tahun. Beberapa penelitian menetapkan nilai ekonomi keanekaragaman hayati, habitat dan jasa ekosistem akan bernilai tinggi. Hasil penelitian lain yang di kemukakan oleh Ninan et al (2007), Economic values of tropical forests: regional and cross-country estimates mengatakan bahwa sekitar 80–90 persen dari nilai ekonomi total dari hutan tropis didapatkan dari nilai guna tidak langsung seperti perlindungan daerah aliran sungai, penyerapan karbon dan nilai-nilai nilai guna tidak langsung. Penilaian ekonomi telah memungkinkan kita untuk menilai manfaat non-pasar keanekaragaman hayati dan ekosistem. Lebih lanjut lagi nilai intrinsik dari keanekaragaman hayati dan hak yang melekat pada semua spesies yang tidak terikat dari nilai material mereka untuk manusia, merupakan suatu nilai sendiri dari nilai konservasi keanekaragaman hayati. Hasil lain dari penelitian Ninan et al (2007), Existence valuations of endangered species and prized habitats mengungkapkan bahwa nilai ekonomi saat ini dari 17 jasa ekosistem bagi 16 biomassa sebesar US $ 16 – 54 miliar per tahun, dengan nilai ratarata lebih dari US $ 33 triliun per tahun. Hasil studi yang dilakukan oleh Tood L. Cherry at al (1994), dalam valuing wildlife at risk from exotic in Yellowstone Lake dimana dengan menggunakan Contingent Valuation Methode di danau Yellowstone, Taman Nasional Yellowstone, Wyoming. Melakukan penilaian terhadap nilai resiko akibat berkurangnya spesies yang hampir punah pada kawasan ini, dimana spesies yang terancam punah yakni Beruang Grizzly dan burung pemangsa pada area dangkal, dari beberapa pilihan harga yang diberikan untuk melihat kesedian para responden yakni ($ 5, $ 15 dan $ 30) dimana 60 % responden mau membayar untuk perlindungan Taman Nasional ini. 23 Hasil penelitian dari Sri Wilujeng (2008), Pengaruh Pembakaran dan Penebangan Hutan Terhadap Kondisi Populasi Tumbuhan Sowang (Xanthosthemon Novaguineense Valet) Di Pegunungan Cycloops Jayapura, Papua. Mengatakan bahwa pada sisi selatan dan timur pada Pegunungan Cycloops merupakan daerah perambahan, pemukiman dan peladangan masyarakat pendatang serta area perluasan pembangunan oleh pemerintah daerah Kabupaten dan Kotamadya Jayapura sehingga jika dilihat bahwa di daerah selatan hingga ke timur Pegunungan Cycloops sudah sangat sulit untuk menemukan Tumbuhan Sowang terutama pada tingkat tiang dan pohon, sedangkan peluang untuk regenerasi dari Tumbuhan Sowang ini sangat kecil sehingga kondisi demikian yang mendukung kepuhanan dari Tumbuhan Sowang. Victoria Melania Jamlean (1999), Indentifikasi dan Pemanfaatan Kayu Sowang (Xanthosthemon spp) pada masyarakat asli sentani dan masyarakat pendatang pada kabupaten Dati II Jayapura. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sentani Timur desa Nendali, Kecamatan Sentani Tengah desa Ajaw / Ifale, Kecamatan Sentani Barat desa Doyo Lama dan Kecamatan Jayapura Utara desa Bhayangkara, dimana ditemukan dua jenis kayu Sowang yaitu Xanthosthemon Novaguineense Fal (Howang Maleuw) dan Xanthosthemon sp (Howang hele). Kedua jenis Sowang ini dimanfaatkan oleh masyarakat asli Sentani dan masyarakat pendatang yang umumnya dari suku Dani untuk keperluan konstruksi (tiang rumah, pagar dan jembatan), peralatan (perkakas dan seni) dan energi (bahan bakar dan arang). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan kayu Sowang oleh masyarakat suku Sentani dilakukan dengan arif dan bijak melalui ketentuan adat yang secara tidak langsung telah mengarah pada usaha untuk melestarikan kayu Sowang tersebut sedangkan masyarakat pendatang terutama suku Dani tidak melestarikan atau tidak menggunakan dengan arif dan bijak karena tidak dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan dalam pengambilan dari kayu ini yang dapat mengakibatkan punahnya kayu Sowang tersebut. Moshe D.P.Siagian (2005), Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sowang (Xanthosthemon sp) Terhadap Serangan Penggerek Kayu di Laut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik observasi dan 24 dianalisis secara enumerasi dengan menggunakan skala kategori untuk melihat intensitas serangan sedangkan untuk melihat ketahanan kayu digunakan uji ChiSquare. Contoh uji diambil dari bagian kayu teras dan dibuat berbentuk balok dengan ukuran 5 cm x 2,5 cm x 45 cm, jumlah satuan contoh uji untuk tiap lokasi sebanyak 45 satuan contoh uji, sehingga untuk kedua lokasi pengamatan didapatkan contoh uji sebanyak 90 satuan contoh uji untuk kayu Sowang dan 45 satuan contoh uji untuk kayu pulai direndam pada dermaga TNI – AL. Pengamatan dilakukan dengan melihat tanda-tanda serangan penggerek kayu di laut pada contoh uji. Selain itu dilakukan pula pengukuran suhu dan salinitas pada kedua lokasi penelitian, sebagai pembanding digunakan kayu pulai, kayu merbau dan kayu ulin. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kayu Sowang digolongkan sebagai jenis kayu yang tahan dengan tingkat serangan yang ringan, dan keawetan alaminya berada diatas keawetan alami kayu pulai, kayu merbau, dan ulin. Setyawan L.F (2004), Uji Ketahanan Alami Kayu Sowang (Xanthostemon Sp) Terhadap Serangan Rayap Tanah (Odontotermes Montanus) Secara Uji Laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu Sowang dapat digolongkan sebagai kayu yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan rayap tanah dan intensitas serangannya sangat ringan dengan rata-rata persentase kehilangan berat sebesar 4,95%. Rata-rata mortalitas rayap tanah yang menyerang kayu Sowang pada pengamatan pertama (1,5 bulan) sebesar 49,35% dan pengamatan kedua (3 bulan) sebesar 95,55%. Penelitian ini juga menyatakan bahwa keanekaragaman hayati dari populasi Tumbuhan Sowang hanya terdapat di Pegunungan Cycloops dan merupakan tumbuhan endemik Papua. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini untuk menganalisis seberapa besar nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang, karena saat ini belum ada nilai ekonomi yang pantas. Tumbuhan Sowang merupakan tumbuhan endemik yang hanya terdapat di Pegunungan Cycloops. Akan tetapi saat ini tumbuhan Sowang sudah sulit ditemukan di sekitar kawasan Pegunungan Cycloops sehingga diperlukan kebijakan yang baik guna mendukung perlindungan dan pengelolaan Tumbuhan Sowang dari kepunahan dan juga melindungi kawasan 25 cagar alam Pegunungan Cycloops dari pengrusakan yang lebih besar lagi. Penelitian ini merupakan studi yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya dimana dalam penelitian ini peneliti hendak meneliti tentang Tumbuhan Sowang dengan pendekatan nilai ekonomi. 26