BAB VII

advertisement
TREND SUFASTAIYAH (SUBJEKTIVISME) MODERN
DAN DAMPAKNYA KEPADA ILMU DAN MORAL
Ahmad Syukri
Abstrak
Abstract: Recently, modern subjectivism has rooted and become a hegemony in the thought of mankind’s
inclination. This has been a global action where, in one hand, it drives mankind’s advancement beyond
(without) limit and free of values. On the other hand, it could lead to serious anxiety and devastation. In other
words, man could reach an advancement of science and technology in fulfilling his life’s demand, and at the
same time, he would be able to uncover a secret of natural law. However, this trend would bring about clash
of culture (civilization) and serious crisis in humans activity and their religious belief. Consequently, modern
community would run into crisis since it was established on the basis of subjectivism while Islam puts
mankind as one of God creatures and becomes a part of the universe and has been given a mandatory to
manage this world.
Keywords: Subyektivisme, modern, ilmu, moral
I. Pendahuluan
Sufastaiyah (subjektivisme) modern telah mengakar dan menjadi
hegemoni dalam kecenderungan pemikiran umat manusia pada era dewasa ini.
Sehingga dapat dikatakan hal itu telah mempengaruhi penilaian, sikap dan
perbuatan manusia. Ia tidak hanya menjadi trendnya orang Eropah atau Barat
tetapi juga mempengaruhi suku, bangsa, negara dan agama lainnya di dunia.
Trend ini telah menjadi suatu gerakan global yang pada satu sisi telah
menggerakkan kemajuan manusia tanpa batas dan bebas nilai dan di sisi lain telah
memunculkan kekhawatiran akan kehancuran. Manusia mampu mencapai
ketinggian ilmu dan teknologi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu
mengungkap dan menguasai rahasia dan hukum-hukum alam. Di sisi lain trend ini
telah mengakibatkan benturan kebudayaan dan krisis dalam perbuatan manusia
dan keyakinan keagamaan.
Trend Sufastaiyah ini telah disikapi dengan berbagai tanggapan oleh umat
Islam. Di antaranya, pertama ada kelompok yang mencoba mentransformasikannya dengan kesiapan terhadap implikasi yang ditimbulkan karena melihat sisi
positifnya. Kedua kelompok yang selektif dengan melakukan sintesis atau
mencari referensi ke dalam diri dan budayanya. Ketiga kelompok yang
menolaknya dengan curiga karena menganggap trend itu berasal dari luar diri dan
budayanya.
Munculnya berbagai sikap tersebut dibutuhkan suatu kajian dan bahasan
terhadap subjektivisme yang lahir dari gerakan sujektivitas modern yang telah
memberikan dampak terhadap perkembangan ilmu dan moral. Untuk itu perlu
dijelaskan terlebih dahulu hal yang berkaitan dengan subyektivisme modern,
subjektivisme dan hubungannya dengan masyarakat modern, serta dampak
subyektivisme terhadap ilmu dan moral dewasa ini.
Untuk melihat Subjektivisme modern dan dampaknya, diperlukan dua
pendekatan Pertama, memakai perangkat analisis sosiologi. Kedua, memakai
1
2
analisis filsafat itu sendiri. Yang pertama lebih cenderung melihat subjektivisme
modern sebagai gejala sosial di mana transformasi masyarakat bergerak maju
ditentukan oleh determinasi ekonomi dan ilmu/teknologi yang dibangun
bersamaan dengan gerakan subjektivitas modern. Yang kedua lebih melihat
subjektivisme sebagai bentuk kesadaran/pemikiran manusia. Dengan kata lain,
subjektivisme dipandang dari sisi internal yang menekankan paradigma
epistemologi.
II. Sekitar subyektivisme modern
Secara terminologi subjektifisme berasal dari bahasa Inggris subjective.
Loren Bagus (2002:1046) dalam Kamus Filsafat menjelaskan beberapa pengertian
dari subjektif yaitu: 1. mengacu ke apa yang berasal dari pikiran (kesadaran, ego,
diri, persepsi-persepsi kita, putusan pribadi kita) dan bukan dari sumber-sumber
objektif, luar. 2. Apa yang ada dalam kesadaran tetapi tidak mempunyai acuan
objektif di luar atau konfirmasi yang mungkin. 3. Yang berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman (pencerapan-pencerapan, persepsi-persepsi, reaksi-reaksi
pribadi, sejarah, keistimewaan-keistimewaan) individual yang tahu.
Sementara menurut Titus, dkk. (1984:518), Subjektif sesuatu yang
bertalian dengan subyek, dengan aku, dengan yang mengetahui; sesuatu yang
berada dalam kesadaran tetapi tidak terpisah dari kesadaran. Istilah ini berlawanan
dengan obyektif.
Sedangkan subjectivisme, menggunakan istilah Loren Bagus (2002:1046)
adalah, suatu katagori umum yang meliputi semua doktrin yang menekankan
unsur-unsur subjektif pengalaman. Hal tersebut bisa ditemukan dalam
epistemologi1, doktrin yang membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan
keadaannya sendiri, dalam metafisika idealisme subjektif, dalam estetika, doktrin
bahwa putusan estetis tidak lain dari suatu ekspresi status individual, dst.
Pembicaraan subjektivisme tidak dapat dilepaskan dari tiga gerakan yang
melahirkan masyarakat modern. Gerakan tersebut dijelaskan oleh Franz Magnis
Suseno dalam bukunya, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (1992:59) Satu dalam bidang
ekonomi sosial, dua dalam cara manusia berfikir; 1. Kapitalisme dengan teknik
modern yang memungkinkan industrialisasi. 2. Penemuan subyektivitas manusia
modern, 3. Rasionalisme.
Dalam hubungan ini dapat dikatakan subjektivisme merupakan buah dari
ketiga gerakan tersebut. Sementara ketiga gerakan tersebut dalam hal ini juga
tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dan penjelasan dari humanisme dan latar
belakangnya yang dapat dilihat dari dua sisi; sisi historis dan sisi aliran-aliran di
dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan
kesusastraan yang awalnya muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 M.
1
Subjektivisme Epistemologis memuat beberapa pengertian: 1. Teori bahwa seluruh
pengetahuan (a) Mempunyai sumber dan keabsahannya dalam keadaan mental subjektif orang
yang tahu (knower) dan (b) Pengetahuan yang apapun tentang yang objektif atau real secara
eksternal diandaikan atau didasarkan pada penyimpulan dari keadaan mental subjektif ini. 2.
Segala sesuatu yang diketahui adalah (a) Produk yang distruktur secara selektif dan diciptakan
oleh yang tahu itu, dan (b) Tidak dapat dikatakan bahwa ada satu dunia nyata secara eksternal
yang berkorespondensi dengan yang tahu.
3
Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern,
khususnya Eropa. Berapa tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopor
gerakan ini di antaranya, Dante, Petrarca, Michelangelo. Kebudayaan Barat
modern juga terlahir dari rahim gerakan intelektual dan kesesusastraan ini.
(Listiyono Santoso, 2003:33)
Sementara dari sisi aliran filsafat, humanisme diartikan sebagai paham
yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga
manusia menempati posisi yang sangat tinggi, sentral dan penting, baik dalam
perenungan teoretis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari.
Kedua sisi humanisme tersebut kalau dicermati sesungguhnya bermakna
mendasar berupa pengakuan atas munculnya sinyal otonomisasi manusia, sebagai
ukuran bagi setiap penilaian, dan referensi utama dari setiap kejadian di alam
semesta. Manusia adalah pusat dari realitas. Prinsip ini kemudian berhasil
membongkar segala bangunan dogma-dogma agama dan otoritas gereja abad
Pertengahan yang membelenggu manusia untuk mengembangkan fitrah
kemanusiaannya.
Belenggu otoritas gereja abad Pertengahan disadari telah mematikan
potensi kemanusiaan, otonomisasi, kreativitas dan kemerdekaan berpikir manusia.
Rasionalitas manusia menjadi tidak ada gunanya, karena gereja lah ‘memasung’
mereka ke dalam penjara dogma agama. Hal terserbut memunculkan resistensi
dan kegelisahan para filsuf/pemikir dan melakukan ‘perlawanan’ atas kondisi
yang demikian. Maka lahirlah prinsip-prinsip humanisme (modern) sebagai awal
munculnya epsitemologi rasional yang menjadi pondasi filasafat Barat modern.
Meskipun demikian tetap harus disadari bahwa prinsip-prinsip ini telah dicoba
dikembangkan oleh para filsuf awal atau filsuf sebelumnya (misalnya para filosof
muslim red.).
Gerakan ini kemudian berhasil juga membangunkan manusia dari tidur
dogmatisnya, bahwa manusia tidak sekedar objek/benda di dunia yang berfungsi
sebagai viator mundi (peziarah di muka bumi), melainkan sebagai vaber mundi
(pekerja atau pencipta dunianya) (Zainal Abidin, 2000: 26). Gerakan seperti ini
jelas merupakan gambaran gerakan Renaisans (abad ke-14 sampai abad ke-16 M)
yang diawali dari Italia kemudian secara luar biasa menyebar secara pervasive ke
segenap penjuru Eropa. Gerakan ini dijalankan melalui pengembangan pendidikan
liberal, dengan satu prinsip bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas
dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya. Maka dalam
keadaan tertentu, kekuatan-kekuatan dari luar manusia yang membelenggu
kebebasan manusia harus segera dipatahkan. Prinsip-prinsip ini kemudian
melahirkan apa yang disebut sebagai subjektivitas modern. (Listiyono, Patologi
Humanisme (Modern) yang berikutnya akan melahirkan subjektivisme yang
bermacam-macam.
Menurut Magnis Suseno prinsip subjektivitas modern pada dasarnya
mencoba meletakkan manusia dalam subjektivitasnya, dalam artian bahwa
manusia, dalam memandang alam, sesama dan Tuhan, mengacu pada dirinya
sendiri. Manusia dalam subjektivitasnya, dengan kesadarannya, dalam
keunikannya menjadi titik acuan pengertian realitas. Jadi subjektivitas di sini
bukan suatu yang negatif, melainkan keunggulan. Dalam arti ini Hegel dan Sartre
4
mempergunakan kata subjek. Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan
substansi (di sini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang
berada di dunia bagaiakan sebongkah batu di tengah-tengah sawah), melainkan
subjek (adalah pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran, pusat yang secara
kritis melawankan diri terhadap realitas, terhadap dunia) (Franz Magnis Suseno,
1998:60). Bahwa manusia adalah subjek mau mengatakan bahwa manusia tidak
sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar, dengan berfikir, dengan
berefleksi, dengan mengambil jarak, secara karitis, dengan bebas. (Franz Magnis
Suseno, 1998:61) Meski demikian kita juga tidak bisa menghindar dari ekses yang
ditimbulkannya.
Lebih lanjut dijelaskan Franz Magnis Suseno (1998:60-64), subjektivitas
modern ini mempunyai beberapa segi:
Pertama, Subjektivitas modern bertolak dari suatu perubahan perspektif
manusia yang fundamental. Cara memandang para filsuf Yunani bersifat
kosmosentris2. Dalam abad pertengahan pandangan kosmosentris disingkirkan
oleh pandangan theosentris3. Pandangan Theosentris ini mulai didesak ke samping
oleh pandangan antroposentris dalam masa Renaisance yang lahir di Italia abad
ke-14. Renaisance menemukan serta menghargai kembali kebudayaan prakristiani Yunani dan Romawi, tetapi tidak dengan masuk kembali ke alam
kosmosentris mereka. Bagi Renaisance alam Yunani dan Romawi membuka
pandangan mereka tentang manusia. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia.
Lahirlah humanisme dengan homo universale, manusia universal, sebagai citacitanya. Statika faham realitas sebagai tatanan semesta theosentris yang selaras
diganti dengan dinamika perkembangan di mana sebagai subyek mengangkat
kepalanya berhadapan dengan ciptaan lain. Manusia bukan lagi sebagai salah satu
substansi dalam dunia, melainkan sebagai subjek berhadapan dengan dunia.
Kedua, Langkah berikut dalam drama perkembangan manusia modern
dapat dipahami sebagai jawaban dialektis terhadap humanisme Renaisance. Yaitu
subyektivisme religius yang mendapatkan ungkapannya dalam reformasi Kristen
Protestan, terutama aliran Martin Luther4. Waktu ia pada tahun 1521 dihadapan
Kaisar dan para Pangeran Jerman disuruh untuk menarik kembali ajarannya, ia
menjawab dengan kata-kata termasyur: “disinilah aku berdiri dan tidak dapat
lain!”. Kata “aku” dalam ucapan ini adalah kunci bagi pengertian subyektivitas
manusia modern. Kesadaran hati religius menjadi ukuran dan dasar kepercayaan
seseorang. Manusia tidak dapat dipaksa untuk mempercayai sesuatu. Pada Luther
keyakinan itu terungkap dalam tuntutan bahwa setiap orang kristiani berhak untuk
membaca Kitab Suci serta untuk memahaminya sendiri. Tafsiran arti Kitab Suci
2
Artinya mereka mencari dasar realitas dalam unsur-unsur kosmos atau alam raya.
3
Semuanya dilihat dari segi Allah. Manusia memahami diri sebagai salah satu unsur,
meskipun yang tertinggi, dalam ordo atau tatanan hirarkis alam semesta yang diciptakan Allah.
4
Luther adalah seorang bekas biarawan dan teolog dari Jerman Tengah. Melawan
pimpinan Gereja dan para penguasa Luther mempermaklumkan “kebebasan orang Kristen”,
artinya hak untuk tidak mempercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara hatinya.
5
bukan lagi hak para pemimpin gereja, melainkan setiap orang kristiani berhak
untuk membaca, merenungkan, mengartikan Kitab Suci sendiri.
Apa yang dicetuskan oleh martin Luther masih membutuhkan dua ratus
tahun sampai betul-betul menjadi milik “manusia Barat”. Baru sesudah Enersi
Eropa seakan-akan habis, pada akhir perang 30 tahun yang menghancurkan
sebagian besar Eropa Tengah (1648) disebabkan perang antar agama yang
bermuatan politis, implikasi prinsip subjektivitas religius Luther mulai disadari.
Yaitu bahwa apa yang menjadi kepercayaan dan agama seseorang bukan urusan
penguasa politiknya. Politik dilihat sebagai urusan duniawi dan sebagai suatu
urusan duniawi jangan dimutlakkan oleh orang yang percaya bahwa
keselamatannya terletak dalam tangan Tuhan. Keyakinan itu mendapat segala
macam ungkapan, misalnya dalam ajaran toleransi John Locke, dalam Pietisme
Protestan dan dalam perpisahan antara Gereja dan Negara di Amerika Serikat
yang justeru berdasarkan keyakinan religius (dan bukan sekularistik). Sebagai
salah satu contoh dari kutipan yang dipermaklumkan oleh raja Friedrich II
(Friedrich Agung) (1740-1786) sesuadah ia menjadi raja di Prusia: “Semua agama
adalah sama dan baik asal saja mereka yang mengakui agama-agama itu adalah
orang yang jujur. Dan andaikata ada orang Turki atau orang kafir datang dan ingin
menetap di negara kami, kami akan membangun masjid-masjid dan gereja-gereja
bagi mereka. Pada saya setiap orang dapat mempercayai apa yang dikehendakinya
asal saja ia jujur.”
Ketiga, Keyakinan akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang
diyakininya, ditampung dan diuniversalisasikan secara etis oleh Immanuel Kant
(1724-1804). Kant membedakan antara moralitas dan legalitas. Sikap moral yang
sebenarnya tidak lagi dapat diukur dari apakan seseorang melakukan tindakan
yang menurut norma moral harus dilakukannya, melainkan tergantung dari
motivasinya. Seseorang dapat bertindak sesuai dengan kewajibannya semata-mata
karena hal ini menguntungkan, misalnya karena ia akan dipuji dan dipercayai dan
dianggap orang baik. Sikap ini tidak lebih dari legalitas semata-mata, suatu
kesesuaian lahiriah antra tindakan dan hukum. Moralitas, atau sikap moral terpuji
mesti terletak dalam hati. Orang hanya bersikap baik dalam arti moral apabila ia
bertindah sesuai dengan kewajibannya karena ia mau menghormati kewajibannya,
jadi lepas dari segala pertimbangan untukng rugi.
Dengan demikian Kant menempatkan moralitas ke dalam hati manusia.
Tidak mungkin lagi untuk melihat dari luar apakah seseorang baik atau buruk.
Yang melihat hanyalah Allah yang dpat melihat ke dalam lubuk hati. Kalau ajaran
Martin Luther membawa konsekuensi (yang belum ditariknya sendiri) bahwa
keagamaan seseorang bukan urusan negara dan masyarakat. Maka dari Kant
ditarik kesimpulan yang tidak kalah pentingnya bahwa moralitas seseorang bukan
urusan negara dan masyarakat. Perpisahan yang semakin tajam antara hukum
sebagai aturan masyarakat yang akan dipaksakan kepada semua anggota, dan
sikap-sikap moral yang menetukan nilai seseorang sebagai manusia merupakan
ciri yang khas bagi kesadaran manusia modern.
6
Keempat, dalam bidang filsafat politik perhatian pada subyektivitas
manusia menghasilkan individualisme dan penghargaan tinggi terhadap kebebasan
individu. Paham hak-hak asasi manusia, terutama yang bersifat kebebasankebebasan liberal dan hak-hak demokratis, mengungkapkan kesadaran itu terujud
dalam teori tentang perjanjian negara. Itulah anggapan bahwa negara berasal dari
suatu perjanjian antara individu-individu yang sebelumnya belum bernegara.
Mereka bersama-sama menciptakan negara agar dapat memecahkan masalahmasalah di antara mereka dengan lebih baik. Kiranya jelas bahwa bahwa ajaran
perjanjian negara melawan semua paham yang menempatkan nilai manusia
konkret di bawah kepentingan negara. Negara adalah demi manusia dan bukan
manusia demi negara. Dalam filsafat pada umumnya subjektivitas modern
menempatkan AKU manusia pada pusat perhatiannya. (Toety Heraty Noerhadi,
1984)
III. Subjektivisme dan masyarakat modern
A. Perspektif Sosiologis
Dari sudut sosiologis, subjektifitas modern yang melahirkan subjektivisme
merupakan di antara dasar pemikiran Barat yang turut membentuk masyarakat
modern. Hal ini terlihat hampir di segenap bangunan peradaban modern.
Termasuk peradaban lainnya, ia selalu meletakkan ‘manusia’ sebagai subjek
otonom, pusat kesadaran dunia yang mempunyai ‘hak’ penuh secara bebas
mengembangkan kreativitasnya tanpa belenggu otoritas apapun, termasuk otoritas
agama.
Awal lahirnya dasar pemikiran ini ditegaskan oleh Franz Magnis
(1998:59): zaman yang memutuskan untuk kemajuan ilmu zaman sekarang dan
demikian juga untuk kebudayaan modern adalah perkembangan ilmu sejak abad
ke-17 dan 18. Abad tersebut adalah abad peletakan dasar-dasar spiritual gerakan
modernisme. Dijelaskannya juga sebelum diletakkan dasar-dasar spiritual gerakan
modernisme dan terbentuk dan berkembangnya masyarakat modern setidaknya
ada tiga penemuan di Eropa abad ke-15 yang boleh dikatakan merupakan
prasyarat bagi berkembangnya masyarakat modern, yaitu pemakaian mesiu, mesin
cetak, dan kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasaan feodal yang
dipusatkan dalam benteng-benteng feodalisme yang mulai tidak aman lagi.
Penemuan mesin cetak berarti bahwa pengetahuan tidak lagi milik eksklusif suatu
elite kecil melainkan terbuka untuk banyak orang. Penemuan kompas berarti
bahwa navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan-perjalanan jauh
yang membuka suatu dunia baru, tiba-tiba horison manusia Barat jauh lebih luas.
Lebih lanjut dijelaskan Oleh Magnis (1998:59) Tiga penemuan itu
memungkinkan suatu perkembangan dinamis dan menjadi kenyataan berhubungan
dengan tiga gerakan. Satu dalam bidang ekonomi sosial, dua dalam cara manusia
berfikir; 1. Kapitalisme dengan teknik modern yang memungkinkan
industrialisasi. 2. Penemuan subyektivitas manusia modern, 3. Rasionalisme.
Ketiga gerakan sekaligus juga merupakan sumber-sumber etika masyarakat
modern yang kalau dilihat melalui teori nilai Takdir (nilai ilmu/teori, ekonomi,
7
solidaritas, politik, seni dan agama), sumber-sumber masyarakat modern itu
didominasi oleh nilai teori ilmu dan ekonomi atau dalam filsafat kebudayaannya
adalah kebudayaan progresif (seni dan agama: budaya ekspresif, solidaritas dan
politik: budaya organisatoris). Dalam hal ini dapatlah dikatakan nilai teori ilmu
dan ekonomi yang telah melahirkan kemajuan teknologi dan industri serta tiga
gerakan tersebut telah menjadi dasar etika bagi masyarakat modern.
Etika masyarkat modern yang dipengeruhi subyektifitas modern dewasa
ini merupakan perluasan dari etika masyarakat Eropa setelah renaisance dan telah
memberikan perubahan yang sangat besar bagi dunia global. Modernisasi yang
dibawanya merupakan proses raksasa yang menyeluruh. Tak ada bangsa atau
masyarakat yang dapat menolak atau menghindar dari padanya. Ia merupakan
proses yang selalu berjalan terus entah kita menyetujui atau tidak yang dalam
perkembangannya telah memunculkan masyarakat dan kebudayaan industri atau
masyarakat dan kebudayaan teknokratis yang selanjutnya menciptakan masarakat
informasi atau global.
Untuk melihat subyektifisme modern dalam masyarakat modern dalam
perspektif sosiologi, berikut ini perlu dipaparkan masyarakat mana yang disebut
modern? Berikut ini disebutkan beberapa ciri-ciri sesuai dengan
perkembangannya dan dianggap khas sebagaimana dikemukakan oleh Franz
Magnis Suseno (1998:56-58)
Pertama, Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat yang
berdasarkan industrialisasi. Hal itu menjadi darah daging masyarakat modern. Ia
bukan hanya menentukan bidang ekonomi, melainkan kehidupan seluruh
masyarakat, termasuk way of life-nya. Di antara akibat industrialisasi tenaga kerja
manusia dilipatgandakan. Manusia berhasil mengabdikan enersi-enersi alam bagi
kepentingannya. Sekian banyak pekerjaan manusia dapat diserahkan kepada
mesin, robot, otomat dst.
Kedua, Industrialisasi dengan demikian menghasilkan suatu perubahan
total dan amat mendalam dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut
semua bidang kehidupan. Yang paling mencolok ialah penciptaan jalur-jalur
komunikasi lokal, regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu
lintas mengalami perkembangan yang revolusioner.
Ketiga, Industrialisasi tingkat pertama sudah dilalui oleh negara-negara
industri. Teknologi menjadi ilmu baru, yaitu ilmu yang secara khusus meneliti
kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk dimanfaatkan untuk produksi
industri. Gelombang pasca industri kiranya akan menciptakan masyarakat
informasi.
Keempat, Masyarakat modern adalah masyarakat yang –kecuali dalam
keadaan darurat dan luar biasa—tidak mengalami lagi ketergantungan dari alam.
Hal itu merupakan perubahan yang sangat besar dari semua bentuk kebudayaan
dulu. Terjadi kesan bahwa apa saja dapat diciptakan manusia, bahwa semua
masalah dapat dipecahkan. Kesadaran akan batas eksistensi manusia seakan-akan
hilang. Bahwa cara berfikir ini sebenarnya malah membahayakan masa depan
umat manusia, baru mulai disadari sejak 20 tahun terakhir. Baru akahir-akahir ini
8
kita memperhatikan tetapan fundamaental bahwa manusia termasuk biosistem
bumi yang oleh industrialisasi semakin dibahayakan.
Kelima, Masyarakat modern menghasilkan perubahan mendalam dalam
cara manusia berfikir. Perubahan itu dicirikan oleh diferensiasi. Lingkaran
masing-masing fungsi melepaskan diri dari kaitan keseluruhan dan berkembang
menurut logika dan fungsi khas masing-masing. Masyarakat, alam dan realitas
transenden dihayati oleh manusia sebagai tiga bidang yang tidak ada sangkut
pautnya satu sama yang lain. Masing-masing didekati dengan metode-metode dan
ilmu-ilmu sendiri. Begitu pula terjadi pergeseran dalam perhatian. Manusia
modern lebih terarah pada yang indrawi, langsung, duniawi daripada yang rohani,
tak langsung, adiduniawi. Bidang yang didekati menurut kriteria moral terdesak
oleh bidang yang dilihat menurut kriteria manfaat. Keyakinan pribadi menyatakan
diri terhadap adat istiadat dan norma-norma sosial. Pola kehidupan sosial,
kesadaran moral dan penghayatan keagamaan sangat berubah.
Itulah beberapa ciri khas masyarakat modern. Proses perubahan-perubahan
masyarakat tradisional ke arah pola masyarakat modern itu kelihatan dalam semua
kota di seluruh dunia dan sering sudah menjalar sampai ke desa-desa.
Dari ciri-ciri masyarakat modern tersebut mengandung domonasi
subjektifitas yang mengukuhkan subjektifisme. Ciri pertama meski bersifat
teknologi tapi kegiatan tersebut telah memunculkan rasa super manusia.
Teknologi telah berhasil melipatgandakan kekuatan manusia yang kalau kita amati
secara fisik manusia adalah makhluk yang paling lemah dari makhluk lainnya
misalnya lemah dari harimau dan kalah dari burung. Dengan teknologi dan
industrialisasi manusia mampu menaklukkan alam dan memanjakan dirinya
dengan menciptakan robot-robot.
Kemampuan tersebut telah melahirkan subjektifitas manusia, dan
meletakkan persoalan pada manusia. Manusia menjadi hal yang sentral, yang
lainnya dipinggirkan bahkan disingkirkan. Dalam kehidupan sosial semuanya
diabdikan untuk kepentingan manusia dan kesejahteraan manusia. Tuhan
ditundukkan kepada kepentingan manusia, begitu juga alam. Manusia adalah
penguasa alam, manusia berbeda dari alam. Agama yang yang tidak memenuhi
kehendak manusia adalah agama yang salah sehingga muncul penolakan terhadap
agama atau kalaupun mau diterima agama tersebut harus direformasi.
Subjektivisme terlihat kental pada ciri ke lima masyarakat modern
menghasilkan perubahan mendalam dalam cara manusia berfikir. Perubahan itu
dicirikan oleh diferensiasi. Diferensiasi terjadi secara tajam dalam berbagai
bidang. Lembaga-lembaga politik di Barat misalnya melepaskan diri dari segala
penguasaan oleh gereja dan mengorganisasikan diri secara otonom menurut
kepentingan sendiri. Bidang ekonomi dibiarkan mengurus diri menurut hukum
pasar. Begitu juga kebudayaan di Barat, melepaskan diri dari pandangan Kristiani.
Orang dapat berpartisipasi di dalamnya dengan tidak perlu melibatkan diri pada
keagamaan tertentu. Program budaya modern adalah “pencerahan”, rasionalaitas
perkembangan semua bidang kemanusiaan menurut ke khasan sendiri.
B. Perspektif Philosofis
9
Karakter khas dalam filsafat modern adalah memasukkan kesadaran bukan
sebagai agenda tambahan, melainkan sebagai proyek utama. Ada tiga hal yang
memperlihatkan hal ini, yaitu: subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Dengan
subjektivitas dimaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum,
yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Hardiman
memberikan satu ilustrasi dalam konteks apa subjektivitas modern itu lahir.
Sembari mengutip karya Jacob Burckhart (1859), seorang sejarawan Swiss, Eropa
pada abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai,
keluarga, atau kolektif. Lewat modernisasi yang dimulai di Italia di zaman
Renaisans manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. Menjelang akhir
abad ke-13, kata Jacob, sekonyong-konyong Italia dipenuhi pribadi-pribadi;
penghalang individualisme telah dibobol; ribuan wajah individual
menspesialisasikan dirinya tanpa batas. (Faiz Manshur, 2005)
Menyimak sejarah filsafat modern, terasa bahwa proses dalam pemikiran
manusia tidak mengenal terminal. Setiap lahir satu pemikiran yang baru, di masa
kemudian akan lahir kritik sebagai paham pemikiran yang baru. Ragam pemikiran
silih berganti tanpa mengenal kebenaran tunggal. Oleh karena itu kita hendaklah
tidak berpuas diri atas satu aliran pemikiran, sebab sebuah pemikiran hanya
relevan untuk masa tertentu. (Faiz Manshur, 2005)
Selanjutnya dari sudut filosofis, kaitan subyektifitas modern dan
masyarakat modern dapat dilihat dari Sisi ‘mentalitas modern’. Hal itu perlu
dilihat secara khusus dan mendetail, sebab sains, teknik, ekonomi kapitalis, negara
hukum, dan demokrasi modern berpangkal dari sebuah pemahaman filosofis yang
lalu menjadi elemen modernitas, yakni: subjektivitas dan rasionalitas, yang
mendorong lahirnya ide kemajuan (the idea of progress), dan kritik yang telah
melahirkan banyak aliran pemikiran mulai dari humanisme renaisans,
rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme, sampai dengan
vitalisme.
IV. Pengaruh subyektivisme modern terhadap ilmu dan moral
A. Terhadap Ilmu
Dalam sejarah filsafat Barat penemuan subjektivitas dari prinsip
humanistis oleh Descartes sekaligus merupakan awal filsafat modern, yang
menggugah perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan serta gejolak perkembangan
teknologi. Sehingga dikatakan, pada dataran epistemologis, mega-proyek
modernisme didirikan di atas pondasi rasionalisme Cartesian yang berpijak pada
subjektivisme. Hal tersebut pada urutannya mengajak masyarakat modern untuk
melihat realitas dunia ini, tidak ubahnya bagaikan sebuah mesin jam raksasa tanpa
elemen spiritual yang terlihat menggerakkan. Epistemologi adalah cara pandang
untuk memahami dan menangkap realitas. Epistemologi rasionalisme Cartesian
yang sangat memuja subjek ‘aku’ yaitu I am the thinking thing, telah melahirkan
semacam keangkuhan epistemologi bahwa realitas itu bisa ditaklukkan melalui
pendefinisian secara positif. Tatkala rasionalitas positivisme diproklamirkan
sebagai satu-satunya cara pandang terhadap realitas, yang muncul kemudian
adalah mistifikasi terhadap validitas paham Cartesian, dan di luar itu tidak benar.
10
Maka sejak itu terjadilan imperalisme cultural epistemologis (Komarudin Hidayat,
dalam Suyoto, dkk, (ed), 1994: 62). Kekejaman perang, perusakan lingkungan,
dan sebagainya dapat dikatakan diawali oleh penerapan paradigma epistemologi
rasional tersebut.
Pengaruh subyektivisme modern terhadap ilmu dapat dilihat dari asumsi
paradigma Cartesian-Newtonian yakni:
1. Subjektivisme-Antroposentristik
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai pusat dunia. Descartes melalui
pernyataanya cogito ergo sum, mencetuskan kesadaran subjek yang terarah pada
dirinya sendiri, dan ini adalah basis ontologis terhadap eksistensi realitas eksternal
di luar diri si subjek. Selain itu, subjektivisme ini juga tampak pada pandangan
Francis Bacon mengenai dominasi manusia terhadap alam. Letak subjektivisme
Newton ada pada ambisi manusia untuk menjelaskan seluruh fenomena alam raya
melalui mekanika yang dirumuskan dalam formula matematika. Hal tersebut telah
menghasilkan ekspolorasi besar-besaran terhadap alam dan manusia. Bahkan
Tuhan pun ditaklukkan di bawah subjektivisme manusia
2. Dualisme
Pandangan mengenai dualisme ini tampak pada pemikiran Descartes.
Dalam hal ini, realitas dibagi menjadi subjek dan objek. Subjek ditempatkan
sebagai yang superiortas atas objek. Dengan ini, manusia (subjek) dapat
memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia.
Subjek pun dapat mengukur objek tanpa mempengaruhi dan tanpa dipengaruhi
oleh objek. Paham dualisme ini kemudian mempunyai konsekuensi alamiah
dimana seolah-olah “menghidupkan” subjek dan “mematikan” objek. Hal
didasarkan pada pemahaman bahwa subjek itu hidup dan sadar, sedangkan objek
itu berada secara diametral dengan subjek, sehingga objek haruslah mati dan tidak
berkesadaran.
3. Mekanistik-deterministik
Alam raya dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang mati, tidak
bernyawa dan statis. Malahan, segala sesuatu yang di luar kesadaran subjek lalu
dianggap sebagai mesin yang bekerja menurut hukum matematika yang
kuantitatif, termasuk tubuh manusia.
Dalam pandangan mekanistik ini, realitas dianggap dapat dipahami dengan
menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu
dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil dari penyelidikan terhadap
bagian-bagian yang kecil itu lalu digeneralisir untuk keseluruhan. Dengan
demikian, keseluruhan itu berarti sama atau identik dengan penjumlahan atas
bagian-bagiannya.
Pandangan yang deterministik juga tampak pada sikap dimana alam
sepenuhnya itu dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol berdasarkan hukumhukum yang deterministic (pasti) sedemikan rupa sehingga memperoleh kepastian
yang setara dengan kepastian matematis. Dengan kata lain, masa depan suatu
11
system, pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat terhadap
kondisi system itu sekarang. Prinsip kausalitas pada dasarnya merupakan prinsip
metafisis tentang hukum-hukum wujud. Determinisme ini juga didukung oleh
Laplace. Ia mengatakan bahwa jika kita mengetahui posisi dan kecepatan setiap
partikel di alam semesta, kita akan dapat/sanggup memprediksi semua kejadian
pada masa depan.
4. Reduksionis
Dalam hal ini, alam semesta hanya dipandang sebagai mesin yang mati,
tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis.
Paradigma ini memandang alam raya (termasuk di dalamnya realitas keseluruhan)
tersusun/terbangun dari balok-balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atomatom. Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya hanyalah soal beda
kuantitas dan bobot. Selain itu, pandangan reduksionis ini berasumsi bahwa
perilaku semua entitas ditentukan sepenuhnya oleh perilaku komponen-komponen
terkecilnya. Pada jaman phytagoras maupun Plato, matematika itu mempunyai
symbol kualitatif. Namun pada masa modern ini, matematika hanya dibatasi pada
soal numeric-kuantitatif, unsure-sunsur simbolik ditiadakan.
5. Instrumentalisme
Fokus pertanyaan di sini adalah menjawab soal ‘bagaimana’ dan bukan
“mengapa”. Newton bersikukuh dengan teori gravitasi karena ia sudah dapat
merumuskannya secara matematis meskipun ia tidak tahu mengapa dan apa
penyebab gravitasi itu. Yang lebih penting menurutnya adalah dapat
mengukurnya, mengobservasinya, membuat prediksi-prediksi berdasarkan konsep
itu, daripada soal menjelaskan gravitasi.
Modus berpikir yang instrumentalistik ini tampak pada kecondongan
bahwa kebenaran suatu pengetahuan atau sains itu diukur dari sejauh mana hal itu
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan material dan praktis.
Semuanya diarahkan pada penguasaan dan dominasi subjek manusia terhadap
alam.
6. Materialisme-saintisme
Saintisme adalah pandangan yang menempatkan metode ilmiah
eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal
sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode tersebut
dianggap tidak bermakna. Pada Descartes, Tuhan itu bersifat instrumentalistik
karena sebagai penjamin kesahihan pengetahuan subjek terhadap realitas
eksternal. Pada Newton, Tuhan hanya diperlukan pada saat awal pencitpaan.
Tuhan menciptakan partikel-partikel benda, kekuatan antar partikel, hukum gerak
dasar, dan sesudah tercipta lalu alam ini terus bergerak seperti sebuah mesin ayng
diatur oleh hukum-hukum deterministic.
Bagi kaum materialis, pada prinsipnya setiap fenomena mental manusia
dapat ditinjau dengan menggunakan hukum-hukum fisikal dan bahan-bahan
mentah yang sama, yang mampu menjelaskan fotosintesis, nutrisi, dan
pertumbuhan.
12
Dari uraian berlalu dapat dikatakan lahirnya ilmu-ilmu modern masa
Renaisans merupakan suatu kondisi yang merupakan prinsip humanistis; yang
merupakan titik tolak subyektivisme modern yang sekaligus sebagai suatu
konsekuensi logis atas ‘dibebaskannya’ manusia untuk berpikir, merasakan dan
bertindak.
Doktrin tersebut telah berkembang pada masa Renaisans dengan
memberikan keleluasaan bagi manusia untuk bereksperementasi, lepas dari
doktrin dan pengaruh gereja memungkinkan berkembangnya ‘nuansa’ humanisme
yang dikedepankan. Melalui dua aspek dasar manusia; yaitu bertubuh dengan
panca indranya dan berjiwa dengan akal budinya, manusia kemudian sanggup
menemukan ilmu pengetahuan yang sifatnya empiris dan rasional.
Kenyataan ini jelas semakin memberikan bukti betapa ‘manusia’ dengan
segala nilai kemanusiaannya merupakan titik sentral pemunculan ilmu modern,
dan juga pusat dari pemahaman atas realitas yang telah menunculkan krisis
epistemologis manusia modern. Ilmu telah diabdikan untuk manusia demikian
juga alam dan Tuhan. Cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada) telah
menghapuskan keberadaan Tuhan yang seharusnya dalam kehidupan manusia
”Tuhan ada maka saya ada”. Manusia sebagai bahagian dari alam telah menjadi
manusia penakluk dan penguasa alam. Manusia mengambil jarak dari alam
sehingga manusia teralineasi dari alam.
B. Terhadap Moral
Subjektivisme juga memberikan pengaruh yang besar terhadap moral. Hal
ini terlihat dari modernitas sebagai salah satu keberhasilan ‘proyek’ humanisme
(dibaca subjektivitas). Ia mempunyai kontribusi yang besar terhadap
pengalienasian nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah budaya modernitas, agama
sebagai contoh terpojok antara ideologi-ideologi besar produk kemodernan yang
hanya menghasilkan kondisi-kondisi kemanusiaan yang terkooptasi oleh aspekaspek material yang berdampak pada nilai-nilai negatif yang dihasilkan oleh sains
dan teknologi dan mendewakannya. Hal tersebut terlihat nyata dengan lahirnya
hedonisme, materialisme, individualisme, bahkan sosialisme dan kapitalisme yang
munculnya dibidani oleh kesanggupan manusia, termasuk tafsiran manusia dalam
memaknai kemanusiaannya.
Masalah subjektivisme modern dan pengaruhnya terhadap moral dapat
dilihat dari hubungan subjek dalam lingkungan objek, yaitu tiga bentuk hubungan:
pertama hubungan aku mitik, dimaksudkan aku pada sikap manusia yang merasa
dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatran gaib di sekitarnya. Suatu aku melebur
dengan kekuatan mencekam di luar dan di dalam dirinya. Manusia menyadari
keterbatasan, kelemahan dan kekhilafan. Kedua, hubungan aku ontologik
dijumpai pada sikap manusia yang mampu mengambil jarak dari lingkungan serta
secara bebas meneliti hakekat hal ihwal di sekitarnya. Ketiga, hubungan aku
fungsional terdapat pada sikap yang sadar mengadakan relasi-relasi baru, suatu
kebertautan tampa terkurung lagi oleh pesona lingkungan, tetapi tidak pula dingin
mengambil jarak dari lingkungan. (Toeti Heraty, 1984: 20-21)
13
Subjektivisme modern dapat dilihat sebagai dominasi subjek dalam tiap
hubungan tersebut. Misal aku mitik yang merupakan sikap manusia yang merasa
dirinya terkepung oleh suatu kekuatan gaib di sekitarnya yang menjadikan
manusia menyadari keterbatasan, kelemahan dan kekhilafan. Dalam masyarakat
modern hubungan ini terliahat dalam superioritas subjek yang mencoba
menaklukkan semua misteri yang melahirkan keberanian-keberanian yang gila
dalam eksperimen dan dalam bentuk lain adalah keputusasaan manusia yang
mengarah kepada nihilisme seperti tergambanr dalam karya sastra kelompok
eksistensialisme misalnya dalam karya ”Pintu Tertutup” karya Sartre yang melihat
akhir kehidupan manusia adalah kesiasiaan, kematian dst.
Ekses tersebut telah menjadikan manusia dalam bentuk kepribadian yang
terpecah. Subjektivisme telah melahirkan manusia paradok, keberanian luar biasa
dari subjek sebagai supermen, penolakan realitas di luar subjek (Tuhan),
relativisme suatu kebenaran (yang ada hanya kebenaran subjek),
terfragmentasinya kehidupan.
Dominasi subjek dalam hubungan aku ontologik dapat dilihat dari historis,
pemunculan humanisme (modern) sebagai gerakan pemikiran yang bersumberkan
pada keinginan manusia untuk mengembalikan fitrah dasar kemanusian, sebagai
makhluk yang otonom dengan kemampuan rasionalitasnya dan kemerdekaan
berpikirnya. Gerakan ini bisa jadi juga lahir sebagai sebuah semangat perlawanan
terhadap setiap kekuatan yang ‘memasung’ kemampuan dasar alami manusia.
Humanisme –kemudian- pada dasarnya terlahir dari keinginan untuk
memanusiakan manusia sebagai manusia, sebagai subjek dengan kesadarannya,
bukan sebagai objek tanpa kesadaran.
Persoalannya adalah bangunan peradaban yang meletakkan manusia
sebagai pusat dan ukuran semua ‘ada’ (beings) (Levin, 1988: 3) telah
memunculkan sejumlah problem serius justru terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang selama ini diperjuangkan oleh humanisme itu sendiri. Epistemologi
humanisme yang bersandarkan diri pada kemampuan rasionalitas manusia dengan
segala otoritasnya –utamanya di abad modern ini- melahirkan problem akut
kemanusiaan; seperti penindasan, keterbelakangan, masalah lingkungan, politik
apartheid, tirani, peperangan yang berkepanjangan, bahkan kasus genocide,
sebagai pembunuhan total suatu bangsa oleh Nazisme Hitler terhadap orang-orang
Yahudi, oleh Loytard disebut sebagai “Auschwitz’ (lambang pembantaian) dalam
banyak hal lahir dari rahim ‘keangkuhan’ epistemologi rasional-humanis.
Keangkuhan epistemologi rasional ini pada perkembangan selanjutnya
memunculkan ‘keangkuhan’ manusia untuk bebas menawarkan dan menebarkan
prinsip-prinsip rasionalisme ke dalam seluruh realitas. Manusia sebagai subjek
otonom atas rasionalitas itu justru mengalami alienasi, keterasingan dan
keterbelengguan oleh paradigma yang dicoba dikembangkannya.
Subjektivisme sebagai pemahaman atas manusia sebagai individu yang
‘berhak’ untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk membuat sejarahnya sendiri
berimplikasi positif bagi tumbuh kembangnya filsafat Barat modern yang
memberikan perubahan secara revolusioner bagi wajah peradaban umat manusia.
Implikasi positif tersebut tentu saja terletak pada aspek humanisasi atas diri
14
manusia; untuk secara sadar menemukan potensi kemanusiaannya, sehingga
kualitas homo faber dapat dimunculkan.
Namun demikian, dari sejumlah implikasi positif tersebut, dalam
perkembangan selanjutnya, subjektivisme juga menghadirkan sejumlah problema
terutama berkaitan dengan problem epistemologik atas bangunan filsafat Barat
modern yang masih tetap ‘angkuh’ untuk mengedepankan epsitemologi rasional
yang justru menjadi sebuah imperialisme kultural epistemologis. Pendasaran atas
rasional dan juga ilmiah pada akhirnya ‘mematikan’ munculnya situasi-situasi
kemanusiaan yang dianggap tidak rasional dan tidak ilmiah. Segala peristiwa yang
anomali dan menyimpang dari ‘tatanan’ misalnya, akan dianggap wajar apabila
dilegitimasi dengan rasionalitas dan ilmiah tersebut. Keadaan ini yang tidak
disadari, betapa setiap kebudayaan mempunyai language game (permainan
bahasanya) sendiri-sendiri, yang tidak mungkin dipaksakan kepada pihak lain.
Keangkuhan epistemologik inilah yang kemudian menjadi ‘malapetaka’ bagi
nilai-nilai kemanusiaan, bagi munculnya dehumanisasi, peperangan, pembunuhan,
hedonisme, politik aparthaeid, perang antar agama dan baru-baru ini dengan
stigmatisasi fundamentalisme dan terorisme secara tidak adil.
V. Simpulan
Subjektivisme meletakkan pendasaran epsitemologinya pada rasionalitas
‘manusia’ sebagai ukurannya, atau minimal menjadikan manusia (subjek) sebagai
awal dari setiap penjelasan atas objek (realitas) secara otonom. (manusia subjek
dan objek). Ciri mendasarnya yang mengedepankan; kebebasan berpikir,
skeptisisme, rasionalisme naturalistik dan pemenuhan diri sendiri.
Prinsip subjektivisme ini telah memunculkan paham-paham tentang
manusia yang sempit dan terfragmentasi yang membawa krisis kemanusiaan
seperti Marxisme dalam bentuk otoritarianisme, telah memunculkan pertentangan
klas dan pemaksaan manusia ke dalam masyarakat tanpa klas. Begitu juga dengan
aliran pragmatisme dan eksistensialisme, yang tetap memberikan ‘ruang’ bagi
manusia sebagai subjek atau individu kongkret serta ukuran bagi segala-galanya.
Subjektivisme telah menampilkan dirinya sebagai sebuah kebebasan (sains
dan pengetahuan serta logika) tanpa kendali yang mereduksi nilai-nilai
kemanusiaan pada tingkatan paling akut. Manusia yang dicoba diangkat dari
keterasingannya hal ini terlihat pada humanisme-Marxisistis justru semakin
terasing oleh produksi-produksi dan kerja yang membelenggu, sementara
humanisme liberal yang mencoba membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh
institusi birokrasi dan dominasi gereja misalnya, justru menampilkan dirinya
sebagai kekuatan tiranik baru yang bersembunyi di balik terminologi ‘liberalisasi’.
Subjektivisme sarat dengan kekaburan dan paradoks, oleh karena, di satu
pihak, penyanjungan kemampuan akal budi manusia, yang menjadikan manusia
sebagai subjek yang merdeka, self-determination dan self affirmation merupakan
awal dari keterputusan manusia dari Tuhan. Manusia kemudian hanya dihargai
sebagai pengedepanan nilai-nilai rasionalitas, padahal sisi ini hanya satu bagian
dari bagian lain nilai kemanusiaan. Akhirnya, dominasi rasionalitas ini
‘mematikan’ aspek spiritualitas kemanusiaan, bahkan nilai kemanusiaan itu
sendiri.
15
Subjektivisme telah munculnya bangunan peradaban yang memandang
manusia sebagai subjek, yang menentukan landasan nilai dan kriteria-kriteria
dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak lagi memerlukan landasan
nilai, kebenaran atau legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri, sebab
manusia modern bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Bagi Hegel (1988:9)
tidak ada landasan lain yang menopangi subjek yang merdeka selain dari 'akal
budi; sang subjek itu sendiri, akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu
pengetahuan. Baginya, ilmu pengetahuan menjadi mahkota dari apa yang
disebutnya ‘Kebenaran Ideal’ (spirit), menggantikan mitos, legenda atau wahyu.
Perkembangan sains dan teknologi sebagai bagian integral dari proyek
Subjektivisme modern, untuk menunjukkan keunggulan manusia, semakin hari
kian menakutkan. Perlombaan senjata, kompetisi yang tidak pernah berhenti,
media komunikasi yang hegemonik, pada akhirnya adalah cerminan dari ‘ruang’
kebebasan yang diberikan terhadap manusia; untuk bereksperimentasi tiada henti.
Pada titik selanjutnya, terjadilah proses penghancuran martabat kemanusian justru
oleh manusia itu sendiri. Subjektivisme justru melahirkan anti manusia; dan
epistemologi rasional yang menjunjung kebebasan dan kemerdekaan berpikir
manusia justru menjadi ‘penjara’ baru, bahkan menjadi kekuatan ideologis baru
yang ‘mengukung’ kebebasan manusia. Akhirnya, justru gerak subjektivitas
modern melahirkan sejumlah ketidakpastian eksistensial manusia; untuk
menemukan jati dirinya sebagai manusia, bahkan untuk menjadi manusia.
Krisis manusia akibat dari subjektivisme yang yang melupakan posisi
manusia sebagai hamba Tuhan, bahagian dari alam yang mendapat mandat dari
Tuhan untuk mengelola alam.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, 2001, Filsafat Manusia, Rosdakarya, Bandung
Alisjahbana, Sutan Takdir, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan
Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992)
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta
Gandhy, Leela , 1998, Postcolonial Theory; A Critical Introduction, Allen &
unwin, Sidney
Hegel, GWF, 1988, Phenomenology of Spirit, Oxford University Press, London
Hidayat, Komaruddin, 1994, Postmodernisme dan Keangkuhan Epistemologi
Rasional, dalam Sutoyo, dkk, (ed), Postmodernisme dan Masa
DepanPeradaban, Aditya Media, Yogyakarta
Lash, Scott, 2000, Posmodernisme sebagai Humanisme ? Wilayah Urban dan
Teori Sosial, dalam Bryan Turner, Teori-Teori Sosial Modernitas dan
Postmodernitas, terj. Imam Baehaqi dan Ahmad Baidlowi, Pustaka
Pelajar,Yogyakarta
Levin, David Michel, 1988, The Opening of Vision: Nihilism and the
Postmodernism Situation, Routledge, London
Manshur, Faiz, Harian Media Indonesia 14 Mei 2005
Noerhadi, Toety Heraty: Aku dalam Budaya, Suatu Telaah Filsafat Mengenai
Hubungan Subyek Obyek. Jakarta: Pustaka Jaya
Piliang, Yasraf Amir Piliang, 1999, Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS,
Yogyakarta
Santoso, Listiyono, Jurnal Filsafat, April 2003, jilid 33. No. 1
Sartre, Jean Paul, 1948, Existensialis and Humanism, terj. Philip Mairet; Methuen,
London
Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat Kanisius,
Yogyakarta
Suseno, Frans Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta.
Syariati, Ali, 1996, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif
Muhammad, Pustaka Hidayah, Bandung
Tim Penulis Rosda, 1999, Kamus Filsafat, Rosdakarya, Bandung
Download