Being, Wujūd

advertisement
An Inquiry on the Possibility of Man’s Authenticity
in Transcendent Philosophy
Husain Heriyanto
Salam,
Para aktivis ACRoSS ICAS yang selalu giat dan menggiatkan aktivitas
keilmuan-kearifan, di mana pun kalian kini ada dan mengada... Saya bersyukur
bahwa semua aktivis ACRoSS kini berkiprah di dunia keilmuan dan aktivisme
intelektual Islam, Alẖamdulillāh...
Seperti yang saya janjikan sebelumnya saya akan mengirim tulisan
hikmah sebagai hadiah kepada Ms Ista yang baru saja memperoleh amanah
dan anugerah Allah SWT berupa kehadiran seorang putri, yang mudahmudahan menambah barisan orang-orang yang mencintai hikmah dan
kearifan. Semoga hadiah hikmah ini bermanfaat..!
27 Maret lalu, dalam sebuah seminar di ICAS Jakarta, saya
mempresentasikan paper dengan judul “An Inquiry on the Possibility of Man’s
Authenticity in Transcendent Philosophy (ẖikmah muta’āliyah)”; sebuah topik
yang –sejauh saya ketahui melalui buku-buku/jurnal-jurnal dan seminarseminar nasional/internasional- belum pernah dikemukakan oleh siapapun.
Tentu saja, topik otentisitas sudah kerap dibahas khususnya dalam filsafat
eksistensialisme modern, tapi tak pernah dalam ẖikmah muta’āliyah. Hal ini
bisa dimengerti mengingat konteks kelahiran ẖikmah yang merupakan hasil
dari pengalaman dan perenungan Mullā Shadrā yang sepenuhnya metafisis
tentang makna eksistensi (wujūd, being), bukan berangkat dari problem sosial
kemanusiaan sebagaimana yang terjadi pada kemunculan eksistensialisme
modern.
Itu sebabnya, saya menggunakan kata “An Inquiry”(sebuah penyelidikan)
yang hendak menguji apakah ẖikmah bisa ditawarkan sebagai kandidat aliran
filsafat yang turut menyumbang menjawab salah satu problem akut manusia
modern hari ini, yakni kemampuan menapaki hidup dalam keotentikan sebagai
manusia, yang ternyata gagal dijawab oleh eksistensialisme modern.
Husain Heriyanto
Page 1 of 19
Meski awalnya bimbang apakah dimengerti oleh audiens, mengingat
sulitnya persoalan ini untuk dikupas dalam presentasi yang singkat,
Alhamdulillah, sejumlah hadirin termasuk beberapa presenter seminar sendiri
menyatakan bahwa mereka sungguh tercerahkan dengan presentasi saya itu.
Beberapa peserta pun meminta paper dan mengajukan sejumlah pertanyaan di
luar seminar karena tidak ada sesi tanya jawab. Nah, mungkin ada baiknya
juga ‘ketercerahan’ itu bisa ditularkan kepada kalian semua, pegiat dan
pencinta ilmu dan kearifan, insya Allah..
Quo Vadis Filsafat Islam?
Salah satu kerisauan saya terhadap status filsafat Islam hari ini adalah
adanya anggapan (dan perlakuan oleh banyak pengkajinya) bahwa ia hanya
berurusan dengan hal ihwal metafisis tanpa berkorelasi dengan kehidupan di
dunia profan yang kita huni ini. Ia fasih berbicara tentang pelik-pelik wujud tapi
bisu seribu bahasa tentang pelik-pelik kemanusiaan. Saya berpikir jika bukan
para filsuf yang berbicara manusia, lalu siapa? Ekonom? Politisi? Pengusaha?
Pengacara? Mereka ini hanya memandang manusia dari perspektif sempit
mereka sendiri. Hanya filsuf-lah yang paling layak dan mendalam mengupas
apa makna menjadi manusia. Persoalannya, mengapa filsafat Islam justru
tampak tak tertarik dengan isu ini. Apa artinya berbicara tinggi-tinggi tentang
hikmah dan empat perjalanan fanā’-baqā’-fi-l-Ḫaqq-bi-l-Ḫaqq jika fitrah
kemanusiaan kita tergerus oleh kejumudan dan tumpulnya kepekaan. Ibarat
air hujan yang esensinya adalah karunia akan menjadi sia-sia bahkan
malapetaka jika tanah tak mampu menyimpan/mengolah air, begitu pula
mutiara hikmah akan mubazir belaka bahkan menjadi beban (ẖijāb) jika
karakter kemanusiaan kita sudah tumpul karena obyektivikasi dan reifikasi.
Tesis pokok saya adalah bahwa filsafat Islam mestinya harus mampu
diarahkan untuk menjawab isu-isu aktual kemanusiaan. Ibn Sīnā, Suhrawardī,
Mullā Shadrā sudah membekali kita dengan pemikiran-pemikiran mereka yang
otentik dan cemerlang. Lalu apakah kita hanya mengulang-ulang dan
membangga-banggakan doktrin-doktrin mereka tanpa kemampuan berpikir
sendiri untuk menghadapi problema zaman? Jika dikatakan bahwa al-Asfār
ditulis Mullā Shadrā setelah mengalami kasyf dan pencerahan jiwa, dan
Husain Heriyanto
Page 2 of 19
karenanya tidak bisa dimaknai secara profan seperti isu-isu kemanusiaan,
maka saya katakan apakah al-Qur’ān tidak kurang sakral dan transendental?
Faktanya, al-Qur’ān yang jelas-jelas wahyu dan diterima oleh al-Musthafā Yang
Suci SAWW, berbicara lantang tentang isu-isu profan kemanusiaan. Nah,
apakah al-Asfār lebih sakral daripada al-Qur’ān? Apakah Mullā Shadrā lebih
suci-transendental daripada Nabi Mulia SAWW yang menangis memikirkan
umatnya?
Dalam paparan berikut banyak uraian teknis yang saya lewatkan. Melalui
milis ini saya hanya hendak menyampaikan poin-poin pokok saja, yang
terkadang perlu saya tambahkan penjelasannya atau memberi ilustrasi/contoh
untuk mempermudah pemahaman pengertian/konsep tertentu.
Demi
kepraktisan, saya juga meng-‘copy and paste’ beberapa bagian presentasi saya
yg kebetulan tertulis dalam English.
Saya akui, memang untuk menulis tentang (lebih tepatnya bertutur dari)
misteri Being perlu momen ketercerahan jiwa juga, tapi biarlah saya tulis apa
adanya saja sekarang. Pengalaman saya ketika seminar riset sebulan di
Washington 2008 lalu, saya perlu 3 hari bersunyi (terpaksa minta izin tak
menghadiri sejumlah kegiatan termasuk makan kebab di restoran Arab di akhir
pekan) sebelum mempresentasikan makna Being menurut Mullā Shadrā, yang
saya bandingkan dengan gagasan linguisticality of being-nya Gadamer (dalam
Truth and Method). Alhamdulillah, usai presentasi itu, Prof. McLean berkata,
“It is amazingly unbelievable. Your presentation deeply enlightens me”. Dua
kali beliau berkomentar seperti itu. Padahal, sebagaimana rekan-rekan ACRoSS
ketahui, bahasa Inggris saya sangat minimal dan Indonesia banget.
1. Apakah Tak-Terelakkan untuk Menapaki Hidup yang bukan Pilihan
Bebas Kita?
Gugatan ini banyak digemakan oleh pemikir yang mendambakan
kebebasan dan kemuliaan manusia. Kemuakan sejumlah pemikir eksistensialis
terhadap kondisi kepengapan dan kesempitan horizon kemanusiaan yang
didera manusia modern semakin deras disuarakan dalam kehidupan sekarang
yang serba teknokratis, uniform, pragmatis, mekanis, serba terstruktur. Jika
Husain Heriyanto
Page 3 of 19
dulu teknologi menyesuaikan dengan manusia, maka kini manusialah – sang
pencipta teknologi- yang harus menyesuaikan diri. Paham-paham kapitalisme,
positivisme, sekulerisme, liberalisme, fungsionalisme, strukturalisme, dan
isme-isme lain termasuk fundamentalisme, mullahisme, puritanisme, dan
terorisme semakin menggerus kapasitas keunikan diri kita untuk mengada
secara otentik.
The current condition of the global age of the world, with many rapid
changes taking place and too much crowded news, makes more difficult for
anyone to dwell in his/her presence of self-awareness and self-determination.
Modern man, then, suffers self-alienation (alienation of a self from itself
through itself).
Hidup otentik adalah hidup dengan kehadiran keseluruhan eksistensi
kita. Apa yang kita lakukan merupakan manifestasi kesadaran kita yang
dioperasikan melalui kehendak bebas. Yang kita kerjakan adalah apa yang kita
pikirkan dan apa yang kita rasakan. Jiwa yang sadar senantiasa hadir dalam
segenap tindakan dan perjumpaan kita dengan ‘yang lain’ entah itu kawan,
pengamen, sarjana, ustad, pepohonan, langit, kerumunan orang di mall,
kerusuhan massa, sebagaimana juga melewati keheningan malam menatap
Supermoon.
Akan tetapi, menurut tokoh-tokoh eksistensialis, sebagian besar manusia
hidup dalam ke-tak-otentikan. Kebanyakan manusia menjalani hidup dalam
keterpaksaan, kepura-puraan, kepalsuan, dan penuh topeng menjaga citra.
Kita terperangkap dalam pilihan-pilihan yang bukan pilihan asli jiwa kita,
terpaksa berdamai dengan kondisi yang mengobyekkan diri, dan bahkan ikut
arus dan arah angin (tunduk pada keadaan).
Kita tidak lagi berperan sebagai subyek sepenuhnya dari pilihan-pilihan
dan tindakan-tindakan kita, melainkan cuma obyek, predikat atau pelengkap
penderita dari peristiwa-peristiwa yang melingkupi kita sedemikian sehingga
kita merasa bahwa tindakan kita bukanlah bagian dari keberadaan diri; bahwa
ucapan kita bukanlah bagian dari diri kita; bahwa pikiran kita bukanlah
eksistensi kita; semuanya mengalami reifikasi (obyektivikasi) total, yang jika
berlarut akan membuat diri kita terasing dari kedalaman eksistensi kita sendiri.
Kita tak lagi sadar apa yang dikejar dalam hidup ini. Kita menjadi lupa dengan
Husain Heriyanto
Page 4 of 19
visi dan misi hidup yang mungkin telah dicanangkan sewaktu muda dulu
dengan idealisme yang menyala atau ketika mencium ẖajar aswad yang
berikrar kepada Tuhan Wujūd Murni untuk mengisi hidup menyingkap NamanamaNya.
We live in absence with the reflective-consciousness, self-awareness, and
contemplation. Rather we behave mechanically, do anything habitually, act
pragmatically, and react impulsively without employing critical thinking,
attentive heart, and caring soul. We have been trapped in daily routine with
repetitive activities.
Ya, rutinitas dan banalitas keseharian telah menjebak keberadaan kita
sehingga tak lagi peka dengan keindahan dan keagungan Being, Wujūd. Kita tak
tersentuh oleh keindahan dedaunan yang jatuh dari pohon. Air yang bening
dan sejuk tak lagi memesona jiwa. Bintang cemerlang di ufuk hilang begitu saja
tanpa menghangatkan jiwa. Benda-benda adalah stok barang-barang, bukan
tangan-tangan sapaan Tuhan. Manusia pun telah direduksi sebagai salah satu
sumber daya yang selevel dengan flora dan fauna; atau paling tinggi
diidentifikasi sebagai anggota (member) kelompok ini, pengikut (follower)
kelompok itu, dan pendukung (supporter) partai itu.
Dunia hari ini adalah pasaraya raksasa, yang semuanya dikategorikan
dalam laci-laci komoditas yang siap ditransaksikan. Semua peristiwa menjadi
transaksional. Pun ibadah dan praktek-praktek keagamaan. Penderitaan orang
dikemas dalam kalkulasi, yang mungkin bisa dijadikan bahan proposal
pengajuan dana pendirian LSM. Persahabatan antar manusia- yang demikian
indah dideskripsikan oleh Plato- hilang dan diganti dengan interaksi yang
transaksional. Relasi yang terjadi adalah “Saya” dan “Ia” (I-It), bukan “Saya”
dan “Engkau” (I-Thou), atau dalam rumusan lain “Subyek-Obyek”, bukan
“Subyek-Subyek”. Di dunia kerja, relasi yang terjadi adalah “Tuan-Budak”,
bukan hubungan “Pekerja-Pekerja” sebagaimana Imām ‘Alī ajarkan atau Khalil
Gibran lukiskan; sedang di dunia politik terjadi transaksi “Pembeli SuaraPenjual Suara”, bukan relasi “Warga-Warga”.
Nah, dalam konteks inilah, Heidegger menukas, “We are inevitably
caught up and dragged into everyday banalities (fallennes and inauthenticity);
the self-awareness is lost.” Tapi, dia juga menandaskan, “Authentic existence is
Husain Heriyanto
Page 5 of 19
aware of the meaning of being whereas the inauthentic (they-self) is not.” Ini
artinya, di satu sisi, Heidegger mengafirmasi adanya eksistensi yang autentik
dengan syarat harus ‘sadar tentang makna Being’. Tetapi, di lain sisi, dia
mengeluh bahwa kita tak terelakkan terperangkap dalam banalitas keseharian
yang tak-otentik di mana ‘kesadaran-diri hilang’.
Kenapa demikian? Karena Heidegger memiliki prinsip ‘Being-in’ dan
‘Being-with’ (Mitsein). Nah, karena ‘Being-in’ (hidup di dalam dunia/horison
tertentu) dan ‘Being-with’ (hidup bersama pengada-pengada lain) ini
merupakan modus dasar eksistensi manusia (Dasein), maka menurutnya
manusia tak bisa melepaskan diri dari ke-tak-otentikan. Dengan kata lain,
manusia sudah dikutuk untuk menjadi pengada yang tak-otentik.
Eksistensialis Sartre lebih radikal lagi. Baginya, “hell is other people”.
Sartre berpandangan bahwa satu-satunya cara mengada yang otentik adalah
dalam kesendirian total di mana tak satupun orang melihat, menilai, dan
memosisikan saya sebagai obyek. Menurutnya, ketika orang lain
memperhatikan dan menyapa saya, maka saya telah mengalami obyektivikasi
dan saya tak lagi menjad subyek. Dengan demikian, manusia otentik menjadi
hal yang mustahil ditemukan dalam kehidupan nyata kecuali hidup sendirian di
planet Saturnus nun jauh di sana.
Walhasil, tokoh-tokoh utama eksistensialis modern pun seperti
Heidegger dan Sartre akhirnya tiba pada pesimisme akan kemungkinan kita
bisa menapaki hidup secara otentik. Padahal eksistensialisme modern sebagai
gerakan filsafat, yang dirintis oleh Kierkegaard, lahir dari pemberontakan
terhadap aliran-aliran/isme-isme di muka yang dianggap telah menjatuhkan
manusia menjadi mesin, robot, dan zombie.
Nah, bagaimana halnya dengan ẖikmah muta’āliyah? Apakah aliran yang
dibangun oleh Mullā Shadrā ini bisa meniupkan angin optimisme kita terhadap
kemungkinan menjadi manusia yang otentik? Ataukah ia hanya hidup dalam
kelas-kelas metafisika atau sorogan al-Asfār al-Arba’ah dan karya-karya Shadrā
lain tanpa mampu berkontribusi dalam kehidupan nyata? Apakah ẖikmah bisa
mencerahkan kehidupan konkret kita ataukah cuma dijadikan komoditas yang
ditransaksikan melalui kelas-kelas dan seminar-seminar filsafat, yang berguna
untuk memoles citra, menyerap dana dan memproduksi penghasilan?
Husain Heriyanto
Page 6 of 19
Termasuk dengan institusi ICAS Jakarta kita ini, yang saya turut
membangunnya sejak awal from some of things to be something, from
unknown to be known, apakah diarahkan untuk membangun kultur ilmiah yang
ikut mencerahkan masyarakat lokal berdasarkan ẖikmah, ataukah hanya
berguna untuk mengkaryakan elemen-elemen akademisi tertentu dan
memproduksi sarjana yang gagap memahami dan merespons tantangan
zaman?
2. Filsafat Mullā Shadrā tentang Being (Wujūd)
• The foundation of Sadrā’s existential philosophy is his doctrine of Being
(Wujūd)
• The univocal meaning of being (ishtirāk ma’nawī)
• Nothing but being is real
• Principiality of existence (aṣālat al-wujūd)
• The gradation of being (tashkīk al-wujūd).
Saya kira Anda semua, aktivis ACRoSS, sudah mempelajari prinsip-prinsip
filsafat Mullā Shadrā di kelas-kelas ICAS lalu, sehingga saya tak perlu
menguraikannya lagi karena terlalu banyak waktu dan tempat menjelaskannya.
Saya hanya hendak mengingatkan Anda semua tentang prinsip-prinsip ini dan
keterkaitannya dengan uraian saya secara bebas di bawah ini, khususnya yang
berhubungan dengan topik yang kita bicarakan.
Mari kita mulai dengan proposisi sederhana berikut:
I exist (Saya ada).
Dalam logika formal, subyek kalimat itu adalah ‘I’, dan predikatnya
adalah “existence’. Tetapi, dalam perspektif ashālat al-wujūd, yang
berimplikasi pada waẖdat al-wujūd (Oneness of Being: OB1), subyek yang real
adalah eksistensi sementara ‘saya’ adalah predikat, atribut atau secara umum
disebut sebagai sebuah modus eksistensi. Diri kita sesungguhnya adalah
manifestasi Being. Eksistensi kita adalah bagian dari lautan eksistensi.
Husain Heriyanto
Page 7 of 19
Digabung dengan prinsip tasykik al-wujūd (ini transliterasi ArabIndonesia ya..), kesadaran ini menyingkap kesadaran lainnya, yakni, kesadaran
akan ‘turut menjadi bagian dalam semesta Being’, apa yang saya sebut sebagai
Ocean of Being (OB2). Saya teringat sebuah petikan doa, yang menggetarkan
kesadaran eksistensial kita semua, di kitab Mafātīh al-Jinān,
Allāhumma adkhilnī fī lujjati baẖri aẖadiyyatik
(“Ya Allah, masukkan aku ke dalam kedalaman samudera ketunggalanMu”).
Kita adalah tetes-tetes air di samudera luas nan tak terbatas ..... .... ... .. .
3. Cara Menjumpai Being
• Related to the way of perceiving (meeting) Being, i.e., through unveiling
(kashf), by experience, it comes to the next OB (Opennes of Being)
• Beings cannot be encountered, experienced and known as beings unless
they are unconcealed, disclosed, unveiled.
Oleh karena cara/jalan yang kita tempuh dalam ‘menjumpai’ Being
melalui proses penyaksian dan penyingkapan (kasyf)- topik ini akan saya kupas
sedikit nanti-, maka kesadaran uniter tadi meingimplikasikan karakter
keterbukaan Being (Openness of Being; OB3). Being tidak di depan dan juga
tidak di belakang, tapi selalu hadir membuka diri bersama kita. Sebaliknya, dari
perspektif ‘kepengadaan’ kita, keterbukaan adalah sebuah kemungkinan;
mungkin kita membuka diri untuk disapa Being dan mungkin juga tidak. Nah,
penyingkapan itu sebetulnya adalah momen keterbukaan diri kita untuk
menjumpai Being. Jadi, keterbukaan tersebut memiliki dua arah, yaitu
Openness of Being dan Openness to Being (OB4).
Keempat modus kesadaran uniter tadi (OB1, OB2, OB3, OB4) pernah
saya presentasikan dalam pertemuan perpisahan (farewell meeting) dengan
sejumlah akademisi dan pastor Catholic University of America di Washington
2008 lalu. Salah seorang pastor yang juga profesor, kalau tak salah namanya
John Hogan, menyatakan ‘ketercerahannya’ dengan mengatakan (seingat
saya), “Your words resonate me to remind the words of Santo Agustinus saying
‘To hear the truth, we dwell in’. Excellent, thanks.” Ucapan Santo Agustinus itu
juga sempat saya baca dalam kaligrafi yang terpahat di dinding gedung utama
Husain Heriyanto
Page 8 of 19
kampus CUA. Lalu, pastor Hogan ini menjelaskan bahwa kita terlalu banyak
mengkhutbahkan tentang kebenaran tapi tidak peduli dengan bagaimana
‘mendengar kebenaran’.
Nah, bagaimana ‘mendengar kebenaran’ inilah yang dimaksudkan oleh
para filsuf-sufi Islam tentang kasyf (penyingkapan). Term kasyf ini merupakan
salah satu karakter khas epistemologi Islam sebagai metode ‘perjumpaan’
dengan Being. Hanya saja istilah ini lalu dipopulerkan sehingga terkadang
mengalami distorsi atau pendangkalan makna. Bahkan sering term kasyf ini
dipakai untuk pengalaman mistis yang aneh-aneh, yang tak dapat
dipertanggungjawabkan.
Sekali lagi, kasyf adalah metode untuk ‘mendengar kebenaran’,
‘menghayati kebenaran’. Banyak orang yang terlalu sibuk berbicara tentang
kebenaran tapi mereka kehilangan kepekaan untuk disapa oleh Being. Kisah
nyata berikut mudah-mudahan mempermudah apa yang saya maksud.
Kisah Nyata: Kita Hidup dalam Ke-tak-hadiran
Ada seorang pengamen yang pintar memainkan biola. Dia bermain
di sebuah sudut stasiun KA Metro di Washington pada Januari 2007. Dia
memainkan 6 aransemen Bach selama 45 menit. Sekitar 2000 orang
melewatinya. Setelah 3 menit dia mulai bermain biola, ada seorang
separuh baya memperhatikannya namun lalu meninggalkannya. Pada
menit ke-4, seorang wanita melemparkan 1 dolar tanpa
memperhatikannya; ini adalah dolar pertama yang dia terima. Pada menit
ke-6 ada anak muda yang bersandar pada dinding untuk
memperhatikannya, tapi lalu pergi. Pada menit ke-10 anak kecil 3 tahun
berhenti mendengarnya tetapi ibu anak itu segera menarik tangan
anaknya untuk bergegas; dan peristiwa seperti ini beberapa kali terjadi,
setiap orang tua mendesak anaknya untuk terus berlalu meski sang anak
tertarik untuk mendengar biola.
Setelah 45 menit berlalu, hanya 6 orang (dari 2000 orang) yang
tertarik mendengar musik biolanya. Dan pada menit ke-60, dia berhenti
bermain biola dan keheningan menyergap dirinya. Tidak ada seorangpun
yang memperhatikannya; tidak ada applaus, tidak ada pengakuan.
Husain Heriyanto
Page 9 of 19
Padahal kenyataannya adalah: pengamen itu adalah Joshua Bell, salah
seorang musisi terbesar di dunia. Dia memainkan salah satu aransemen
musik yang tersulit dan tercanggih dengan biola yang berharga 3,5 juta
dollar (sekitar Rp 35 milyar). Dua hari sebelumnya, tiket pertunjukannya
terjual habis dengan harga tiket rata-rata 200 dolar (Rp 2 juta).
Kisah di atas adalah sebuah eksperimen untuk menguji sejauh manakah
kesadaran dan kepekaan orang dalam menapaki kehidupan sehari-hari. Narasi
yang saya peroleh dari sebuah milis ini ([email protected])
tak hanya menggambarkan kelemahan persepsi kita akan keindahan (cita rasa
estetis) tapi juga mengungkapkan bahwa kita hidup dalam ke-tak-hadiran jiwa
dan kesadaran. Oleh milis ini, kisah yang profan dengan konteks banalitas
keseharian itu diangkat menjadi sebuah kisah kehidupan manusia modern
umumnya, yang ditandai oleh ke-tak-hadiran jiwa, ke-tak-sadaran, ke-takotentikan, ke-tak-pedulian dengan ‘yang lain’ di luar dirinya. Di akhir
refleksinya, penulis milis itu bertanya kepada kita,
“Jika kita tidak memiliki momen untuk berhenti dan mendengar salah
seorang musisi terbaik di dunia, yang memainkan aransemen musik
terbaik yang pernah ditulis, dengan menggunakan salah satu instrumen
musik terbaik di dunia, maka betapa banyak hal yang lain yang hilang
dalam sepanjang kesibukan hidup kita?” (.... how many other things are
we missing as we rush through life?...)
Yang diacu oleh penulis milis itu adalah kita kehilangan banyak momen
yang bermakna sepanjang hidup yang kita lalui. Mengapa demikian? Karena
kita hari ini hidup dalam situasi yang Anthony Giddens sebutkan sebagai
‘ketakpastian yang terindustrialisasikan’ (manufactured uncertainty) yang
ditandai oleh hadirnya kecemasan yang tak bertujuan atau tak-transformatif,
sikap dan tujuan yang tertawan oleh siklus stimulus-respons sehingga
cenderung bertindak reaktif, alih-alih kreatif. Berkat teknologi modern yang
telah berhasil memampatkan ruang-waktu sedemikian singkat-flat dalam
ruang bumi yang tetap, kita kehilangan kesadaran bahwa kita sesungguhnya
telah melalui terowongan ruang-waktu yang panjang-multidimensi. Arus
Husain Heriyanto
Page 10 of 19
informasi yang sedemikian deras menerjang kita setiap saat juga memperkecil
ruang otonomi kita untuk memaknai dunia dan peristiwa.
Kita berkubang dalam beragam kesibukan yang tak ada habis-habisnya
karena berkejaran dengan waktu dan target; lebih celaka lagi target itu adalah
sesuatu yang didesain, dipatok dan didesakkan oleh orang lain kepada kita,
entah mereka itu bos, rekan bisnis, debt collector, customer, penagih janji,
koalisi partai, pimpinan parpol, simpatisan, jama’ah/pengikut, muballigh,
ustadz pimpinan pengajian, rektor, dosen, aktivis mahasiswa, LSM, dan
sebagainya, dan sebagainya.
Karena target bisnis, kita harus memalsukan barang atau menipu orang.
Karena target politik, kita harus mencampakkan komitmen dan persahabatan.
Karena mengejar karier, kita memalsukan dokumen. Karena hendak mencari
muka, kita harus memproduksi kebohongan dan bersikap palsu. Karena
kelemahan diri, kita mencari-cari kesalahan orang lain dan bahkan merekayasa
fitnah. Karena kebutuhan mendesak, kita melacurkan pengetahuan dan harga
diri. Karena dorongan emosi, sebagian orang membakar tempat-tempat ibadah
kelompok lain. Karena ini,...karena itu,.. kita terperangkap dalam hidup yang
senantiasa mengobyekkan orang lain sekaligus jati diri kita yang bening.
Dalam kehidupan seperti itu, akal pikiran kita hampir tak pernah
berkesempatan ‘menarik napas panjang’ mengambil pelajaran sedemikian
sehingga jiwa kita tak lagi peka dengan kemuliaan dan keindahan Being, yang
sesungguhnya selalu hadir bersama dan menaungi kehidupan kita. Hidup yang
kita lakoni tidak lagi menyingkap makna Being tapi justru kian menghindari dan
melupakan Being. Nah, dalam model kehidupan seperti ini, tentu saja banyak
momen hidup yang bermakna hilang begitu saja lewat di hadapan kita. Karena,
kekuatan jiwa untuk mempersepsi ‘keagungan dan keindahan’ Being sudah
luruh dan mungkin punah.
Imām ‘Alī pernah berkata, “Seandainya ditawarkan kepadaku langit dan
bumi beserta isinya tetapi dengan cara merampas pelepah daun makanan
seekor semut, aku menolaknya”. Menurut Murtadha Muthahhari, pernyataan
sahabat yang dijuluki oleh Nabi Suci SAWW sebagai ‘si pintu kota ilmu’ ini
bukanlah ekspresi remeh atau rasa keprihatinan tertentu sebagaimana yang
mungkin juga disuarakan kalangan aktivis sosial (atau dalam konteks terkini
aktivis lingkungan). Pernyataan Imām ‘Alī itu merupakan sebuah ekspresi
mendalam dari kesadarannya tentang keindahan dan keagungan Tuhan berikut
Husain Heriyanto
Page 11 of 19
segenap manifestasiNya, Nama-namaNya. Kita dan semut adalah sama-sama
pengada yang mengambil bagian dari semesta Being; semut adalah manifestasi
indah Being; menzalimi semut berarti memutuskan hubungan dengan semesta
Being.
Bandingkan dengan kondisi kita? Jangankan makanan semut, harta
orang lain bahkan harga diri dan jiwa orang lain pun siap kita korbankan demi
sesuatu yang kita anggap sebagai ‘eksistensi diri’, padahal yang sesungguhnya
adalah, dengan melakukan hal itu, kita telah mengkhianati Diri sendiri yang
bening dan otentik.
Sekali Lagi: Being dialami, bukan dibicarakan
Kita tidak bisa mengenal Being melalui abstraksi rasional-diskursif
apalagi persepsi indrawi. Being hanya bisa kita jumpai melalui pengalaman,
penghayatan, penderitaan, kepedulian, tanggung jawab, keotentikan jiwa, dan
cinta kasih yang tulus. Being sebagai konsep, ya, tentu saja merupakan subyek
pemikiran, namun realitas hakiki Being itu sendiri tidak mungkin
dikonseptualisasikan atau diobyektivikasi. Apapun pemahaman, bayangan dan
pengertian tentang Being bukanlah Being itu sendiri; itu adalah konsep tentang
Being, bukan realitas Being. Bagaimana mungkin kita memahami
(mengonsepsi) Being sementara eksistensi kita adalah tetes pengada yang
mengambil bagian samudera Being yang tak-terbatas?
Izinkan saya mengutip kembali kisah Imām ‘Alī. Saya gagal menemukan
contoh lain dalam sejarah Islam yang mengaitkan persoalan tentang makna
Wujud dengan kehidupan konkrit kecuali pada tokoh ini, yang dijuluki para sufi
sebagai tāj-l ‘ārifīn (puncak mahkota orang-orang bijak). Alkisah, suatu ketika
seseorang mengantarkan surat Mu’awiyah kepada Imām ‘Alī. Dalam surat
tersebut ada sebuah pertanyaan ‘apakah itu wujud?’. Ketika itu, Imām ‘Alī
langsung menukas, “Orang semacam Mu’awiyah tidak akan mungkin
mengajukan pertanyaan ini.” Setelah diselidiki, ternyata memang itu bukan
berasal dari Mu’wiyah tetapi dia menyelipkan saja pertanyaan itu yang dikutip
dari percakapan orang Syam (ketika itu Syam memang merupakan wilayah
peradaban tua seperti di Nedessa dan Harran, yang banyak dikunjungi sarjana
filsuf Yunani yang diusir dan dikejar-kejar oleh kerajaan Romawi yang melarang
filsafat).
Husain Heriyanto
Page 12 of 19
Nah, pertanyaannya, mengapa Imām ‘Alī berkata demikian? Dari mana
dan bagaimana dia tahu bahwa pertanyaan itu tidak mungkin terlontar dari
kesadaran Mu’awiyah (kalau dilafazkan mungkin saja karena dia telah
menuliskannya). Seraya meminta maaf kepada rekan-rekan ACRoSS yang
mungkin masih memuliakan Mu’awiyah, saya harus menyatakan bahwa Imām
‘Alī tiba pada pernyataan tadi berdasarkan pemahamannya yang mendalam
tentang Wujūd, Being bahwa orang yang berperilaku seperti Mu’awiyah (suka
ingkar janji, berbohong, memfitnah, membunuh tanpa alasan kecuali karena
hasrat kekuasaan, mengadu domba kaum Muslimin, dan sejenisnya) tidak akan
mungkin muncul pada dirinya kesadaran tentang Wujūd.
Cukup panjang untuk menjelaskan hal ini; mungkin perlu seminar khusus
untuk mempresentasikan argumen dengan pendekatan fenomenologis dan
hermeneutika-eksistensial. Tetapi, secara ringkas, bisa saya jelaskan bahwa
cara berada Mu’awiyah itu sendirilah yang membuatnya terisolasi dari
kesadaran tentang Being. Tidak mungkin orang yang zhalim seperti Mu’awiyah
itu bisa hadir dalam dirinya persepsi tentang Wujūd sebagaimana juga tidak
mungkin kehadiran persepsi Wujūd dalam diri seseorang bisa melahirkan
kezhaliman seperti Mu’awiyah itu (yang telah lama direncanakan secara
sistematis).
Kisah ini – yang diriwiyatkan oleh sejumlah buku- mengajarkan kita
bahwa kezhaliman sebagai keburukan etis berkorelasi eksistensial dengan
praktek obyektivikasi secara ontologis. Maksud saya, kezhaliman itu tidak
hanya berada pada wilayah praktis dan etis sebagaimana diduga banyak orang,
melainkan ia juga terkait dengan cara berada yang bersifat ontologis.
Kezhaliman merupakan bentuk obyektivikasi sosial yang kasar; memaksa dan
memperlakukan orang lain sebagai obyek. Kezhaliman merupakan selubung
atau hijab yang membuat diri kita tak lagi mengenal Being bahkan Diri kita
yang otentik. Saya akan jelaskan argumennya dalam uraian “The Relationality
is a mode of Being” nanti.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar dan otentik tentang Being
harus diverifikasi oleh sebuah transformasi diri secara eksistensial yang
holistik. Pemahaman yang benar tentang Wujūd pastilah berimplikasi
(implikasi ontologis, bukan implikasi logis) kepada pembentukan diri yang
mengarah pada penyingkapan makna Being, atau dalam bahasa teologiHusain Heriyanto
Page 13 of 19
filosofis, menyingkap Nama-Nama Tuhan; atau dalam bahasa Nabi Suci SAWW
“takhalluq bi akhlāqillāh” (berkarakter dengan Nama-nama Allah SWT).
Kembali pada sub-topik kita di muka, Being memang harus dialami dan
dihayati. Satu-satunya cara mengenal Being adalah dengan menyelami dan
menyingkap maknanya, bukan memperlakukannya sebagai obyek pemikiran
apalagi obyek tindakan. Ketika kita mengobyekkannya, kita berarti telah
mengambil jarak. Dan dengan mengambil jarak dari Being, kita tak lagi
mengenalnya. Yang dimaksud menyelami Being itu adalah ‘mendengar,
menyaksikan, dan merasakannya’. Saya ingin mengulang apa yang ditulis
sebelumnya, “... Being hanya bisa kita jumpai melalui pengalaman,
penghayatan, penderitaan, kepedulian, tanggung jawab, keotentikan jiwa, dan
cinta kasih yang tulus...”
Jadi, tugas kita adalah ‘mendengar Being’. Sebagaimana pendengaran
fisik bahwa telinga kita akan lebih peka mendengar bebunyian dalam
keheningan dan jauh dari kebisingan, maka jiwa kita pun akan lebih
berkemampuan mendengar Being dalam kebeningan dan keotentikan jiwa dan
jauh dari desakan-desakan eksternal yang mengintervensi kebebasan
eksistensial kita. Kita harus menjumpai Being dalam lautan kehidupan yang
real; itulah makna denotatif dari penyingkapan (kasyf). Being menghadirkan
makna kepada Hidup dan pada saat yang sama Hidup menyingkap makna
Being. Kita harus bergelut dengan kisah kehidupan dan bergulat dengan pelikpelik persoalan kehidupan.
Saya tidak hendak melanjutkan pembahasan ini; Anda baca saja karya
Toshihiko Izutsu mengenai perjumpaan Being dalam bukunya The Concept and
Reality of Existence dengan bahasa uraiannya yang mengalir dan fasih. Seyyed
Mohammed Khamenei, ketua SIPRIn (Sadra Islamic Philosophy Research
Institute) dan juga kakak pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei,
pernah memuji Izutsu dalam pembukaan Konperensi Filsafat Islam di Teheran
2009 lalu, sebagai sarjana yang pemahamannya mendalam tentang filsafat
Mullā Shadrā.
Nah, sampai di sini, pandangan eksistensial Mullā Shadrā dan kaum
eksistensialis modern, khususnya Heidegger, sama-sama memiliki perhatian
yang mendalam tentang Being. Mereka juga sepakat bahwa metode yang
Husain Heriyanto
Page 14 of 19
sesuai untuk mengenal Being adalah melalui keterlibatan eksistensial; yang
dalam istilah Heidegger sebagai fenomenologi-eksistensial melalui Denken.
Berkaitaan dengan isu otentisitas, Heidegger secara eksplisist mengatakan,
“kesadaran tentang makna Being merupakan karakter kehidupan yang
otentik”.
Namun, mereka berpisah dalam penerapannya di kehidupan sosial.
Sejalan dengan prinsip Being-in dan Being-with yang dia gagas, maka menurut
Heidegger manusia tak terelakkan hidup dalam ke-tak-otentikan. Heidegger
pesimistik terhadap kemungkinan kemunculan manusia yang otentik, meski dia
sesungguhnya concern sekali dengan keotentikan eksistensial Dasein
(manusia).
Nah, bagaimana halnya dengan Mulla Shadra, yang sepengetahuan saya,
tak pernah berbicara dalam konteks problem eksistensial kemanusiaan ini?
Dia mengulas banyak tentang wujūd dalam perspektif murni metafisika.
Riwayat menyebutkan Shadra mengalami pencerahan dan perjumpaan Being
melalui penyingkapan yang mendorongnya melakukan sistematisasi
pengalamannya itu dalam karya-karyanyanya seperti al-Asfār al-Arba’ah, alShawāhid al-Rubūbiyyah, dan al-Ḫikmah al-‘Arshiyyah.
4. The relationality is a mode of being
Sejauh yang saya pahami, dalam pandangan eksistensialis Mullā Shadrā,
relasionalitas adalah modus Being. Kalau boleh menulisnya dengan ungkapan
saya sendiri, tesis itu bisa berbunyi “to exist is to relate”, ‘mengada adalah
berkorelasi’. Prinsip interrelasi, interkoneksi dan interdependensi, yang kini
disuarakan oleh pemikir global, memperoleh basis filosofisnya dalam
pandangan Shadrā.
Setidaknya, ada 2 argumen untuk membuktikan tesis ini, yaitu melalui
pendekatan analitis dan pendekatan fenomenologis. Keduanya saya uraikan
secara singkat.
Kita mulai dengan proposisi berikut:
“Kertas itu (adalah) putih”
Husain Heriyanto
Page 15 of 19
Melalui proposisi ini, kita hendak merelasikan dua konsep, yaitu ‘kertas’
(sebagai subyek) dan ‘putih’ (sebagai predikat). Sedangkan kata ‘adalah’
berfungsi sebagai penghubung, yang tanpanya tidak ada proposisi. Bahkan,
esensi proposisi sebetulnya terletak pada kopula ‘adalah’ itu karena esensi
proposisi adalah menghubungkan kedua pengertian (quiddity). Kertas adalah
satu hal, sedang putih adalah lain hal. Nah, dengan kalimat “Kertas itu adalah
putih” kita menghubungkan dua pengertian tersebut. Padahal, dalam
kenyataannya di realitas eksternal, apa yang di depan kita adalah satu
kesatuan (satu instanta), yaitu sebuah benda yang ringan dan tipis yang bisa
dipakai untuk menulis dan berwarna putih. Pikiran kitalah yang membuatnya
menjadi konsep-konsep ‘kertas’, ‘putih’, ‘ringan’, ‘mudah terbakar’, ‘tipis’ dan
sebagainya.
Nah, proposisi “Kertas itu adalah putih” itu merupakan ungkapan
tindakan jiwa; itu sebabnya proposisi diterjemahkan dengan ‘putusan’ dalam
bahasa Indonesia. Jiwa kita menyingkap sebuah hubungan yang ditandai
dengan kopula ‘adalah’. Memang kita sering menulisnya dengan “Kertas itu
putih” tanpa kopula ‘adalah’. Akan tetapi, meski tanpa kopula itu, kita
memahami kalimat itu sebagai sebuah putusan/penilaian bahwa kertas itu
bersifat putih.
Satu lagi yang menarik adalah penggunaan kata ‘adalah’ itu sendiri. Kata
dasar ‘adalah’ adalah ‘ada’, yang merupakan terjemahan dari Being atau
Wujud. Secara tak semena-mena, penggunaan kata yang terkait dengan
eksistensi sebagai kopula juga terjadi dalam bahasa Inggris. Kalimat itu menjadi
“The paper is white”. Kopula ‘is’ berfungsi sebagai relasi antara subyek dan
predikat. Bahkan dalam bahasa Inggris, kopula ‘is’ bersifat niscaya harus hadir
dalam kalimat kategoris seperti itu. Dan kata ‘is’ termasuk ke dalam kelompok
‘to be’, yang berarti ‘adalah’, ‘mengada’.
Memang ada jenis bahasa yang menyembunyikan relasi tersebut. Dalam
bahasa Arab, misalnya, proposisi itu adalah “Al-qirthas-l-abyadh”. Di sini tidak
ada kata khusus yang berfungsi sebagai kopula. Tetapi, penutur dan petutur
memahami bahwa proposisi itu terdiri dari subyek dan predikat di mana ‘putih’
merupakan atribut dari ‘kertas’.
Husain Heriyanto
Page 16 of 19
Dalam bahasa Persia, relasi itu dieksplisitkan dengan term ‘ast’,
bentukan dari kata ‘hasti’ (eksistensi). Jadi, proposisi di atas menjadi “On
qaghaz safid ast”. Uniknya, kopula dalam bahasa Persia baik yang afirmatif
(ast) maupun negatif (nis), ditulis belakangan setelah subyek dan predikat.
Boleh jadi, perbedaan penggunaan kopula dalam kalimat dalam
beberapa bahasa ada hubungannya juga dengan corak pikir dan kebudayaan
pengguna bahasa tersebut. Jika makna ‘ada’ bagi orang Inggris terlalu jelas dan
eksak sehingga ‘saking jelasnya’ orang Inggris cenderung memahami yang jelas
secara indrawi sebagai ‘ada’ yang pokok. Sedang dalam bahasa Arab, kopula
tersembunyi sehingga memerlukan refleksi lebih lanjut untuk menemukan
‘ada’. Dan bahasa kita, bahasa Indonesia, kopula itu kadang tampak dan
kadang tersembunyi; jadi, posisi bahasa kita berada di tengah antara bahasa
Arab dan bahasa Inggris.
Sebetulnya masih ada penyingkapan-penyingkapan kognitif (kasyf ‘ilmī)
lain yang lebih dalam melalui refleksi dari proposisi sederhana di atas, tetapi
saya harus berhenti di sini untuk masuk langsung ke pokok pembahasan kita.
Analisis proposisi –sebagai ekspresi putusan jiwa yang sadar- di atas
menunjukkan bahwa ‘ada’ (is, ast) merupakan penghubung kedua
pengertian/konsep. Kata ‘adalah’ atau ‘is’ atau ‘ast’ merupakan eskplisitasi dari
kesadaran bahwa eksistensi berkarakter merelasikan kuiditas-kuiditas atau
apa-apa yang dipahami sebagai sesuatu. Eksistensi adalah menghubungkan.
Secara fenomenologis, prinsip relasionalitas sebagai modus Being ini bisa
dipaparkan ringkas sebagai berikut. Kita semua mungkin pernah kehilangan
barang, katakanlah sebuah pena. Pertanyaan yang muncul adalah “Di mana
pena itu?” Mungkin ada sejumlah pertanyaan lain yang menyertainya, seperti
“Kapan kira-kira ia hilang?”, “Siapa yang mengambilnya?”, “Bagaimana ia bisa
hilang?”, dan seterusnya. Semua pertanyaan ini berangkat dari kesadaran
intuitif bahwa ‘pena itu ada’. Kesadaran ‘pena itu ada’ bersumber dari
keyakinan ‘ada sesuatu yang bernama pena’, yang pada gilirannya juga berasal
dari kesadaran priomordial ‘ada sesuatu’, dan akhirnya berakhir pada
kesadaran transendental ‘ada’.
Mari kita refleksikan fenomena keseharian itu dalam bingkai
epistemologi eksistensial Mullā Shadrā. Berbagai pertanyaan tadi merupakan
Husain Heriyanto
Page 17 of 19
ekspresi pencarian ‘sesuatu yang ada’, sebuah kehendak (volition) untuk
mengungkap ‘realitas ada’: ia ada tapi tak ada (tak hadir) atau ia tidak ada tapi
sesungguhnya ia ada. Terdapat relasi intensionalitas antara kesadaran
transendental akan ‘ada’ dan kehendak mengungkap ‘ada’. Dalam teori
pengetahuan Mullā Shadrā yang mengupas pengetahuan hudhuri sebagai basis
semua pengetahuan manusia termasuk tindakan intensional, pengetahuan dan
kehendak adalah satu dan hal yang sama. Oleh karena itu, perhatian jiwa
intensional (iltifat al-nafs) terhadap sesuatu (realitas eksternal) merupakan
sebab memadai (sufficient cause) kehadiran bentuknya (form) dalam pikiran.
Dengan demikian, terdapat relasi intensional antara pengetahuan/kehendak
jiwa (subyek) dan realitas eksternal (obyek). Dan relasi ini hanya terjadi karena
kesadaran transendental ‘ada’.
Dengan demikian, relasionalitas itu sejatinya memang karakter Being.
Oleh karena itu, penggunaan term Being-in dan Being-with oleh Heidegger,
yang makna referensialnya adalah Dasein (manusia), akan lebih sesuai dalam
filsafat wujud Mullā Shadrā; atau –meminjam istilah Henry Corbin- prinsip
Heidegger itu bisa
menjadi ulasan tambahan (catatan kaki) bagi
eksistensialisme Mullā Shadrā.
Nah, oleh karena relasionalitas itu adalah modus Being, maka prinsip
Being-in dan Being-with tidak mesti menjadi alasan untuk menepis
kemungkinan manusia untuk mengada secara otentik sebagaimana yang
dikeluhkan Heidegger. Dia sendiri adalah pendamba manusia otentik tapi
karena pemikirannya seperti itu maka tampak bagi kita terjadi kesenjangan
antara pemikiran dasariahnya dengan prinsip-prinsip lain yang dia ajukan.
Dengan kata lain, terdapat lubang yang menganga antara premis mayor
dengan konklusi karena premis minornya yang tidak ‘nyambung’ (dalam istilah
logika, argumen Heidegger tidak memiliki term tengah).
5. Implikasi Praktis
The Implication in Practice
• The way of unveiling of Being is not an instrument, rather it is the
ontological route, existential means
Husain Heriyanto
Page 18 of 19
•
•
•
•
•
Care
Responsibility
Suffering in self-determination
Respect
Freedom in interdependence
Berdasar uraian tadi mengenai ‘relasionalitas sebagai modus Being’;
bahwa Being berkarakter relasional, maka kita bisa lebih memahami latar
belakang mengapa Imām ‘Alī berkata, “Orang semacam Mu’awiyah tidak akan
mungkin mengajukan pertanyaan ini (tentang wujud).” Dalam pandangan
Imām ‘Alī, perilaku Mu’awiyah yang penuh dengan keculasan, kemunafikan,
dan kebohongan telah membuat dirinya terasing dari Being karena kezhaliman
merupakan tindakan yang memutuskan hubungan dengan Being. Pelbagai
bentuk kezhaliman terutama kepada sesama manusia merupakan obyektivikasi
kasar terhadap Being.
Human relationship
• To be authentic, we should apply the sense of respect each other
• We must establish co-existence relationship, interdependence relation,
free interconnectedness
• Hence, humiliation and oppression of human being and any existent in
the world destroy the relation and veil Being
Epilog
Kembali ke pertanyaan awal yang mendorong penyelidikan ini: Apakah
ẖikmah muta’āliyyah dapat menawarkan pencerahan bagi manusia modern
untuk berkemampuan mengada menjadi manusia yang merdeka, asli, dan
otentik?
Silakan Anda semua menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu
kepada apa yang telah saya sampaikan tadi. Saya telah cukup banyak
‘berbicara tentang’ Being, saatnya kini ‘mendengar’ Being ...
Husain Heriyanto
Page 19 of 19
Download