hubungan antara lingkungan kerja dan kejadian infeksi saluran

advertisement
HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KERJA DAN KEJADIAN
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
POLISI LALU-LINTAS DI POLWILTABES SEMARANG
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
HEPPY ROOSARINA RAHAYU DEWI
G0005109
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2OO9
1
2
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan antara Lingkungan Kerja dan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Polisi Lalu Lintas
di Polwiltabes Semarang
Heppy Roosarina Rahayu Dewi, G0005109, Tahun 2009
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari
, Tanggal
Pembimbing Utama
dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P
NIP. 140 150 582
(…………………….)
Pembimbing Pendamping
dr. M. Arief T.Q. MSc
NIP.130 817 795
(…………………….)
Penguji Utama
DR.dr. Eddy Surjanto, Sp.P(K)
NIP. 140 071 304
(…………………….)
Anggota Penguji
dra. Siti Utari, M. Kes
NIP.131 471 447
(…………………….)
Surakarta,…………………2009
Ketua Tim Skripsi
Dekan FK UNS
dr. Sri Wahjono, M.Kes
NIP. 030 134 646
Dr. A.A. Subijanto, dr.,MS.
NIP. 030 134 565
3
ABSTRAK
Heppy Roosarina Rahayu Dewi, G0005109, 2009. Hubungan antara
Lingkungan Kerja dan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Polisi Lalu Lintas di Polwiltabes Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Penyakit menular yang sampai saat ini kejadiannya masih tinggi dan penangannya
belum sepenuhnya berhasil adalah ISPA. Penyebaran penyakit ini sangat luas,
komplikasinya membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari kerja, bahkan
berakibat kematian (khususnya pneumonia).
Lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Tempat kerja di jalan
pada polisi lalu lintas merupakan lokasi rawan yang menjadi perantara masuknya
virus atau bakteri penyebab ISPA. Polusi udara dan banyaknya debu bertebaran di
jalan turut menunjang terjadinya ISPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara lingkungan kerja dengan kejadian ISPA.
Penelitian dilakukan di Polwiltabes Semarang dengan sampel sebanyak 62 orang
menggunakan kuesioner yang telah baku standar. Hasil yang diperoleh dianalisis
dengan uji Chi Kuadrat dan didapatkan hasil X2 hitung (0,995) < X2 tabel (2,706
maka disimpulkan tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara
lingkungan kerja dan ISPA walaupun didapatkan insiden yang tinggi.
Berdasarkan besarnya nilai RO, disimpulkan bahwa polisi lalu-lintas memiliki
risiko untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar daripada polisi bagian
administrasi.
Kata kunci : Lingkungan kerja – ISPA – Polisi Lalu-lintas
iii
4
ABSTRACT
Heppy Roosarina Rahayu Dewi, G0005109, 2009. The Relation of Occupational
Environment and The Incident of Acute Respiratory Infection (ARI) in Traffic
Police at Major City Police Department of Semarang, Script, Medical Faculty,
Sebelas Maret University, Surakarta.
Nowadays, ARI is one of infectious disease which the incidence’s number is still
high and the treatment hasn’t been done completely. The spreading of the disease
is extensive, the complication is dangerous, and it also can cause a day work lost
or even death (especially pneumonia).
Environment influenced human’s health. Street as the work place of traffic police,
is a dangerous place that become port de’ entree of viral and bacterial agent of
ARI. The air pollution and many of flying dust in the street also supporting ARI.
This research was done in Major City Police Department of Semarang, with 62
samples, using the standardized questionnaire. The result, which analyzed using
the X2 test, the X2 count (0,995) < X2 table (2,706). We can conclude that there
was no relation between the occupational environment and the incident of ARI
eventhough there was high incident of ARI.
Based on the large of OR value, we can conclude that traffic policeman has 1,97
bigger than administration policeman in the risk to experience ARI.
Key word : Occupational environment – ARI - Traffic policeman
iv
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas
segala karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Skripsi dengan judul Hubungan antara Lingkungan Kerja dan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Polisi Lalu Lintas di Polwiltabes
Semarang ini diajukan dalam rangka melengkapi persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang membantu yaitu :
1. Prof. DR. A.A. Subijanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P., selaku Pembimbing Utama yang telah
membimbing dan memberi saran-saran yang bermanfaat.
3. M. Arief T.Q., dr., MS., selaku Pembimbing Pendamping yang telah
membimbing dan memberi masukan-masukan yang bermanfaat.
4. DR. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K)., selaku Penguji Utama yang telah memberi
masukan-masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Siti Utari, dra., M.Kes, Anggota Penguji yang telah memberikan saran-saran
dan motivasi dalam setiap bimbingan akademik selama kuliah preklinik ini.
6. Kapolwiltabes Semarang, Kasat dan wakasatlantas Polwiltabes Semarang,
Kakak, Briptu Yunanto yang membantu di Lantas, Briptu Eddy, Mbak Ririn,
Inggrida yang membantu di Administrasi Bina Mitra Polwiltabes Semarang.
7. Ayah, ibu tercinta atas dukungan, senyuman, semangat dan doa yang mengalir
di setiap waktu. Engkau adalah permata pelita di hati nanda dalam dunia.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi
ini berguna untuk kita semua.
Surakarta,
April 2009
Heppy Roosarina Rahayu Dewi
6
A. Cara Kerja .....................................................................................
24
B. Teknik Analisis .............................................................................
24
C. Jadwal Penelitian ...........................................................................
26
BAB IV HASIL PENELITIAN ......................................................................
27
A. ...............................................................................................Hasil
Penelitian .......................................................................................
27
B. ...............................................................................................Anali
sis Data ..........................................................................................
27
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................
29
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
32
A. ...............................................................................................Simp
ulan.................................................................................................
32
B. ...............................................................................................Saran
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN
34
32
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara berkembang juga menghadapi masalah polusi
udara, paling sering disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan asap
pabrik. Tingkat polusi udara di kota-kota besar di Indonesia makin meningkat
sehingga masalah kesehatan terutama pernapasan juga bertambah. Bahkan
pajanan polusi udara dalam jangka lama, dapat menimbulkan perubahan atau
kerusakan histopatologi paru kesehatan (Munthe et al., 2003).
Penyakit-penyakit berbasis lingkungan merupakan penyebab utama
kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 mengungkapkan
peringkat dan besarnya kontribusi penyakit-penyakit tersebut terhadap
penyebab kematian (Singgih, 2000). Satu contoh penyakit menular yang
sampai saat ini angka kejadiannya masih tinggi dan penanganannya belum
sepenuhnya berhasil adalah ISPA (Jubaidillah et al., 2007).
Gas polutan berada dalam konsentrasi tinggi terutama terjadi di kota
besar dimana lalu lintas macet (Widjaja, 1993). Tempat kerja di jalan pada
polisi lalu lintas merupakan lokasi rawan yang menjadi perantara masuknya
virus atau bakteri penyebab ISPA (Mahmud, 2006). Dalam hal ini kesehatan
polisi lalu-lintas perlu dipikirkan (Widjaja, 1993).
Sekitar 17.600 orang dari 22.000 (sebanyak 80%) anggota Polda Metro
Jaya mengidap ISPA. Tingginya penderita ISPA tersebut dikarenakan
8
sebagian besar diantara mereka bertugas di lapangan dalam waktu cukup lama
serta terkait dengan tingginya pencemaran di Jakarta dimana 70% berasal dari
kendaraan bermotor (Ditjen PPM & PL, 2004).
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting
karena penyebarannya sangat luas, komplikasinya membahayakan serta
menyebabkan hilangnya hari kerja, bahkan berakibat kematian (khususnya
pneumonia) (Tirtawidjaja, 2005). Bila penyakit ISPA dapat dideteksi lebih
dini dan diobati secara tepat, maka angka kejadian penyakit ISPA dapat
diturunkan secara drastis (Jubaidillah et al., 2007).
Berdasar uraian diatas, maka peneliti ingin mengadakan penelitian
untuk mengetahui hubungan antara lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada
polisi lalu lintas di Polwiltabes Semarang.
B. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada
polisi lalu lintas di Polwiltabes Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui bahwa ada hubungan antara lingkungan kerja dengan
kejadian ISPA pada polisi lalu lintas di Polwiltabes Semarang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
pengaruh lingkungan kerja terhadap kejadian ISPA pada polisi lalu-lintas
di Polwiltabes Semarang.
9
2. Manfaat Praktis
Apabila ternyata ada hubungan antara lingkungan kerja dengan kejadian
ISPA, dapat dilakukan usaha pencegahan/ deteksi dini dan pengobatan
yang tepat, sehingga dapat menurunkan kejadian ISPA di lingkungan kerja
polisi lalu-lintas.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Lingkungan Kerja
Masalah kesehatan adalah suatu masalah komplek yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan individu maupun kesehatan
masyarakat. Untuk hal ini, Hendrik L. Blum menggambarkan ringkas
sebagai berikut :
Keturunan
Pelayanan
Kesehatan
Status
Kesehatan
Lingkungan :
- Fisik
- Sosial ekonomi,
budaya, dsb.
Perilaku
Status kesehatan akan tercapai secara optimal bilamana keempat
faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal
pula. Salah satu faktor saja dalam keadaan terganggu (tidak optimal), maka
status kesehatan akan bergeser ke arah di bawah optimal (Notoatmodjo,
1997).
10
11
Polusi adalah kombinasi cuaca dan partikel yang dibuang ke udara
dari berbagai sumber terutama asap buang kendaraan, industri, pusat
tenaga listrik, gas buang rumah tangga (Helmi, 2004). Lebih lanjut
dijabarkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya
unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia secara
umum serta menurunkan kualitas lingkungan (Sudrajad, 2005).
Sejalan dengan kehidupan masyarakat yang makin modern, jumlah
kendaraan bermotor makin bertambah, pabrik-pabrik industri juga
meningkat (Munthe et al., 2003). Tingginya volume kendaraan berkorelasi
dengan peningkatan polusi udara (Rudatin, 2004). Hal ini menimbulkan
dampak negatif berupa masalah kesehatan (Munthe et al., 2003). Masalah
kesehatan tersebut terutama adalah kesehatan paru (Faisal, 2003).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa polusi juga dapat merusak sistem
imun orang dewasa (Helmi, 2004).
Aktivitas kendaraan bermotor berkontribusi mencapai diatas 75%
dalam pencemaran udara terutama di kawasan padat lalu lintas, khususnya
untuk partikel debu sebagai dampak dari pertumbuhan transportasi dan
kendaraan bermotor (Bapennas, 2006). Permasalahan polusi udara akibat
emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan
(Ebenzener et al., 2006). Sebagai akibatnya maka prevalensi penyakit paru
di perkotaan meningkat (Tedjapranata, 2008).
12
Sebagian besar zat-zat polutan secara langsung mempengaruhi
sistem pernafasan dan pembuluh darah. Pemaparan yang akut dapat
menyebabkan radang paru sehingga respon paru kurang permeabel, fungsi
paru menjadi berkurang (Yusad, 2003). Suma’mur menyimpulkan bahwa
pada umumnya polutan dapat menimbulkan gangguan pernapasan setelah
bekerja 5-15 tahun (Yulianti, 1998).
Dikenal enam jenis polutan udara urban utama yaitu sulfur dioksida
(SO2), nitrogen dioksida (NO dan NO2, bersama disebut NOx), karbon
monoksida (CO), timbal (Pb), ozon (O3) dan suspended particulate matter
(Susanto, 2003). Kendaraan bermotor mengandung proporsi yang
bervariasi dari CO2, H2O, CO, SO2, NOx, dan C2H4 (Anggarwulan et al,
2007). Tiga polutan dari udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru adalah SO2, NO2, O3 (Susanto et al., 2003).
Sulfur dioksida yang terdapat dalam atmosfer dapat digunakan
sebagai indikator polusi udara (Munthe, 2003). Sumber utama SO2 di jalan
raya adalah kendaraan bermotor yang berkontribusi sampai diatas 95%
(Didik, 2004). Polutan ini larut dalam air sehingga sebagian SO2 tertahan
di saluran napas atas. Sekitar 90% SO2 diabsorbsi di nasofaring (Aditama,
1994).
Udara yang tercemar SO2 menyebabkan gangguan sistem
pernapasan. Gas ini menyerang selaput lendir hidung, tenggorokan dan
saluran pernapasan sampai paru-paru serta dapat menimbulkan iritasi pada
bagain tubuh yang terkena (Suparman, 2006). Gangguan fungsi paru yang
13
terjadi disini dapat akut maupun kronik (Munthe, 2003). Pada paparan
cukup lama menimbulkan peradangan hebat selaput lendir diikuti paralisis
silia serta kerusakan epitel (Suparman, 2006).
Emisi kendaraan bermotor menyumbangkan 73% NO2 sebagai
salah satu polutan di udara (Faisal dan Priyono, 2003). Organ tubuh yang
paling peka terhadap pencemaran gas ini adalah paru-paru (Suparman,
2006). Inhalasi NO2 dapat menimbulkan penurunan fungsi paru,
meningkatkan frekuensi infeksi tergantung konsentrasi dan cara pajanan
(Faisal dan Priyono, 2003). Peningkatan kemungkinan infeksi ini
dihubungkan dengan gangguan sekresi mukus, kerusakan silia dan
gangguan imunitas humoral. (Aditama, 1994).
Ozon merupakan gas yang toksik terhadap saluran napas.
Penelitian dengan skala lebih besar pada pajanan minimal enam jam
ataupun pajanan berulang harian menunjukkan terjadinya penurunan
fungsi paru (Susanto et al., 2003). Paparan ozon 0,08-0,1 ppm pada
binatang percobaan menurunkan daya tahan terhadap kemungkinan
terjadinya infeksi (Aditama, 1994).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa ozon merusak
jaringan paru dan menimbulkan efek tidak sehat yang mungkin berlanjut
selama beberapa hari setelah pajanan (Susanto et al., 2003). Kerusakan
jaringan paru tersebut meliputi hiperplasia epitel alveolar dan gangguan
pada bronkiolus terminalis (Aditama, 1994). Pajanan ozon juga dapat
menyebabkan hiperesponsibilitas bronkus (Pohan et al., 2003).
14
Gas NO2 dan ozon dapat mencapai alveoli dan mempunyai efek
toksik langsung terhadap makrofag alveolar yaitu mengurangi daya fagosit
dan antibakterisidal sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi bakteri
(Faisal dan Priyono, 2003).
Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi
debu. Paparan debu anorganik cukup lama menimbulkan reaksi inflamasi
awal berupa pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat
melibatkan brokiolus bahkan saluran napas yang lebih besar, karena proses
ini dapat menimbulkan luka dan fibrosis unit alveolar. Fase alveolitis
secara klinik mungkin tidak diketahui. Gambaran fibrotik campuran dan
tidak beraturan terjadi pada paparan debu campuran (Yunus, 1994).
2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
a. Pengertian ISPA
Istilah ISPA mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas
dalam Lokakarya Nasional ISPA di Cipanas, istilah ini merupakan
padanan istilah bahasa inggris Acute Respiratory infection (ARI)
(Menkes, 2002). ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus
maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Amin,
1989).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA
Faktor utama adalah karena adanya polusi, sanitasi lingkungan
yang buruk, kurangnya imunisasi dan lainnya (Dinkes, 2005).
15
1) Cuaca dan Iklim
Di negara tropis yang mempunyai dua musim, penyakit
ISPA terjadi dua atau tiga kali lebih sering pada musim hujan. Saat
musim kemarau dimana kekeringan meluas dengan banyaknya
debu yang bertebaran di jalan akan meningkatkan penyakit ISPA.
2) Kepadatan penduduk
Kepadatan penghuni di dalam atau di luar rumah adalah
yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya ISPA
3) Umur
Anak berusia di bawah 2 tahun berisiko lebih besar
daripada anak yang lebih tua. Keadaan ini mungkin karena pada
anak di bawah usia 2 tahun imunitas belum sempuma dan lumen
saluran nafas relatif sempit.
4) Jenis Kelamin
5) Perilaku hidup bersih dan sehat
6) Geografi
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah
endemik beberapa penyakit infeksi. Pengaruh geografis mendorong
terjadinya peningkatan kasus maupun kematian penderita akibat
ISPA.
7) Lingkungan
16
Pencemaran lingkungan seperti asap gas buang sarana
transportasi, polusi udara dan kebakaran hutan merupakan ancaman
terjadinya ISPA.
8) Kondisi ekonomi
Peningkatan
penduduk
miskin
disertai
menurunnya
kemampuan penyediakan lingkungan pemukiman yang sehat
mendorong meningkatnya penyakit.
(Amin, 1989; Menkes, 2002; Dinkes, 2005).
c. Penggolongan ISPA
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.
Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis,
laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas
bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis,
bronkhiolitis, pneumonia (Depkes RI, 2005).
Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat
berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran
nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya penanganan
dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan
adalah otitis, sinusitis, dan faringitis (Depkes RI, 2005).
d. Etiologi
Penyebab terbanyak adalah virus. Beberapa penyakit dapat
disebabkan oleh bakteri baik infeksi primer maupun super infeksi
17
(Purnamawari, 2008). Bakteri penyebabnya antara lain dari genus
Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan
Korinebakterium (Silalahi, 2008).
e. Patogenesis
Saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia
luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan
efisien dari sistem saluran pernapasan ini (Amin, 1989).
Sistem pertahanan paru terhadap inhalasi debu dan zat yang
dapat merusak, secara umum terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Bentuk, struktur dan kaliber saluran napas yang berbeda-beda
merupakan saringan mekanik progresif terhadap udara yang
dihirup. Iritasi mekanik dan kimia merangsang reseptor di saluran
napas dan mengakibatkan bronkokonstriksi sehingga mengurangi
penetrasi gas toksik dan partikel debu ke dalam saluran napas.
2) Lapisan cairan yang melapisi saluran napas dengan mekanisme
fisik mengeluarkan benda asing di permukaan saluran napas.
Dengan gerakan silia, cairan itu bergerak ke arah luar dikenal
sebagai mucosiliary escalator. Cairan ini mengandung zat yang
bersifat detoksifikasi dan bakterisid. Di bagian perifer, eksudasi
lambat dan terus membersihkan alveoli dan bronkiolus. Selain itu
makrofag alveolar memfagosit partikel di permukaan alveoli.
3) Mekanisme pertahanan spesifik, yaitu sistem imunitas di paru yang
berperan terhadap partikel aktif biokimia yang tertumpuk di
18
saluran napas. Sistem ini terdiri dari dua golongan yaitu imunitas
humoral dan imunitas seluler (Yunus, 1994).
Mode penularan adalah suatu mekanisme dimana agen
penyebab penyakit tersebut ditularkan dari orang ke orang lain, atau
dari reservoir kepada induk semang baru. Penularan ini melalui
berbagai cara antara lain:
1) Kontak (contact)
Terjadi kontak langsung maupun tak langsung melalui
benda-benda terkontaminasi. Penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup
berjubel, cenderung terjadi di kota daripada di desa yang
penduduknya masih jarang.
2) Inhalasi (inhalation)
Inhalasi yaitu penularan melalui udara atau pernapasan oleh
karena itu, ventilasi rumah yang kurang, berjejalan dan tempattempat umum adalah faktor yang sangat penting di dalam
epidemiologi penyakit. Penyakit yang ditularkan melalui udara ini
sering disebut “air borne infection” (penyakit yang ditularkan
melalui udara).
3) Infeksi
4) Penularan melalui tangan, makaman, minuman
(Notoatmojo, 1997).
19
Virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih banyak dalam mukosa
hidung daripada mukosa laring. Penyebaran virus, terutama melalui
bahan sekresi hidung (Amin, 1989). Transmisi organisme melalui
penyegar udara, droplet, dan melalui tangan menjadi jalan masuk bagi
virus yang dapat menyebabkan ISPA. Hal ini dapat terjadi pada kondisi
yang penuh sesak (Mansjoer, 2004).
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa terjadinya infeksi
bakterial mudah terjadi pada saluran napas yang telah rusak sel-sel
epitel mukosanya yang disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu
(Amin, 1989).
Keutuhan gerak lapisan mukosa dan silia dapat terganggu oleh
karena :
1) Asap rokok dan gas SO2, polutan utama adalah pencemaran udara.
Asap rokok atau polutan udara merangsang sel makrofag
dan neutrofil di paru menjadi aktif dan memproduksi elastase dan
kolagenase, yaitu enzim yang dapat merusak serat-serat elastin dan
kolagen. Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim
perusak (protease) dan enzim pelindung (alfa 1 antitripsin). Bila
kadar protease lebih banyak akan terjadi kerusakan elastin
sedangkan serat-serat ini merupakan kerangka dari alveoli dan
asinus kehilangan bentuknya. Asap rokok juga menghambat kerja
proteksi alfa 1 antitripsin. Yang jelas merokok jangka lama dapat
20
menyebabkan obstruksi
saluran napas sehingga faal paru
terganggu.
Pengaruh asap rokok mengakibatkan rusaknya epitel
bronkus yang kehilangan silia dan gangguan transpor mukosilier.
Hipertrofi dan hipersekresi sel-sel goblet terjadi pada kelenjar jalan
napas. Sel-sel epitel erosi sehingga mempengaruhi infeksi. Pada
jaringan paru terjadi penurunan kadar surfaktan sehingga alveoli
mudah kolaps dan mudah terjadi infeksi.
2) Sindrom Imotil
3) Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
(Widjaja, 1993; Witono, 1993; Amin, 1989).
Gambaran klinik radang oleh karena infeksi sangat tergantung
pada :
1) Karakteristik inokulum
2) Besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan banyaknya
(jumlah) jasad renik yang masuk.
3) Daya tahan tubuh
Daya tahan tubuh terdiri dari utuhnya sel epitel mukosa dan
gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan IgA. Antibodi setempat
pada saluran napas adalah IgA,yang banyak terdapat di mukosa.
Kurangnya antibodi ini memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernapasan.
(Amin, 1989).
21
f. Tanda-tanda klinis
Dikatakan ISPA ringan yaitu bila didapat satu atau lebih gejala
batuk, pilek, suara serak dan demam. Pada ISPA sedang terdapat gejala
ISPA ringan ditambah satu atau lebih tanda dan gejala berupa
frekuensi pernapasan lebih dari 50/menit, wheezing, suhu 39oC atau
lebih. Kategori ISPA berat yakni bila terdapat gejala ISPA ringan atau
sedang ditambah satu atau lebih gejala berupa retraksi sela iga dan
fossa suprasternal waktu inspirasi, stridor, sianosis, napas cuping
hidung, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, terdapat membran
difteri (Suryatenggara, 1988).
g. Diagnosis
Diagnosis ISPA ditetapkan berdasar gambaran klinik (Hartono,
1988). Diagnosis etiologik tidak begitu penting karena sebagian besar
disebabkan oleh virus (Suryatenggara, 1988). Pemeriksaan penunjang
umumnya tidak diperlukan (Purnamawari, 2008).
h. Pengobatan
Sebagian besar dari ISPA hanya bersifat ringan seperti batuk
pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik (Ramadhan,
2007). Untuk semua infeksi saluran pernapasan atas, pengobatan yang
utama adalah istirahat dan meningkatkan cairan tubuh (Mansjoer,
2004).
Prinsip pengobatan tidak berdasarkan etiologi tetapi pada
beratnya penyakit. Pengobatan ISPA ringan secara simptomatik dan
22
perawatan oleh keluarga. ISPA sedang biasanya memerlukan
antimikroba. ISPA berat perlu dirawat di rumah sakit dan ditangani
secara seksama karena angka kematian cukup besar (Suryatenggara,
1988).
Penyebab ISPA yang terbanyak adalah infeksi virus maka
pemberian antibiotika pada infeksi ini tidaklah rasional kecuali pada
sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang telinga
tengah (Daulay, 1992).
i. Antisipasi dan Penanganan
Untuk menangani suatu penyakit dibutuhkan pendekatan yang
menyeluruh. Suatu penyakit tidak akan pernah benar-benar bisa
dihilangkan dengan hanya pendekatan parsial, apalagi dengan
paradigma sakit. Untuk membentuk suatu masyarakat yang sehat dan
seimbang dengan lingkungannya, dibutuhkan paradigma sehat
(Ramadhan, 2007).
Penyakit ISPA masih bisa diantisipasi dengan menjaga sanitasi
lingkungan dan daya tahan tubuh (Dinkes, 2005). Saat daya tahan
tubuh lemah, mudah sekali terserang penyakit. Berikut adalah langkahlangkah untuk mengantisipasi datangnya penyakit selama musim
kemarau:
1) Pertinggi daya tahan tubuh diri dengan memperhatikan asupan gizi
berkomposisi 4 sehat 5 sempurna. Atau bisa juga dengan minum
suplemen bila perlu, agar tubuh tetap bugar.
23
2) Pastikan kebersihan makanan, diri dan lingkungan. Upaya ini
terbukti efektif untuk memberantas virus, bakteri, dan kuman.
3) Hindari tempat-tempat berpolusi. Bila tidak memungkinkan,
tutuplah hidung dengan tisu atau sapu tangan saat melewati tempat
tersebut.
4) Bila batuk-pilek tak kunjung sembuh dalam 1-2 hari, segera
berobat untuk menghindari penyakit lanjutan.(Rohandi, 2008).
3. Hubungan antara Lingkungan Kerja dan Kejadian ISPA
Lingkungan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kesehatan.
Kondisi lingkungan yang tertata baik membuat masyarakat hidup sehat,
sebaliknya kondisi lingkungan yang buruk membuat masyarakat rentan
terhadap berbagai macam penyakit baik penyakit infeksi maupun penyakit
non infeksi, contohnya yaitu tingginya penyakit ISPA (Suparman, 2006).
Banyaknya debu yang bertebaran di jalan merupakan salah satu
penyebab ISPA (Dinkes, 2005). Cuaca panas yang disertai tiupan angin
menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan bakteri, kuman,
dan virus penyebab berbagai penyakit (Rohandi, 2008).
Menurut Sharma et al., dalam Nindya dan Sulistyorini (2005), host,
lingkungan dan sosiokultural merupakan beberapa variabel yang dapat
mempengaruhi insiden dan keparahan penyakit ISPA.
Setiap hari polisi lalu lintas menghirup polusi di jalan raya dari
asap kendaraan bermotor (Rachmadi, 2005). Berdasar dari data Dinas
Kesehatan Kota Semarang, jenis penyakit yang salah satu penyebabnya
24
polusi udara adalah ISPA (Bapennas, 2006). Hal ini menyebabkan angka
kejadian ISPA tinggi (Zein, 2008). Kondisi lingkungan yang masih kurang
dalam hal sanitasi menyebabkan tingginya penularan ISPA (Jubaidillah et
al., 2007).
25
B. Kerangka Pemikiran
Asap kendaraan bermotor, asap pabrik, pencemaran
lainnya
Lingkungan
Kerja Polisi
Lalu Lintas
Debu / partikel di udara terbuka
Mikroorganisme-mikroorganisme (kuman, virus,
riketsia) infeksius dan berpotensi menimbulkan ISPA
Faktor
Endogen :
a. usia
b.imunitas
c. genetik
d, gizi
Subjek
Mekanisme pertahanan saluran napas:
a. Gerak mukosilia dan mukosa
b. Makrofag alveoli.
c. Antibodi setempat.
Faktor
eksogen :
a.merokok
b. masa
kerja ≥ 5
tahun
Kerusakan epitel
saluran napas
Terjadi peradangan saluran napas
ISPA
Paparan Polusi Udara
Tinggi
Paparan Polusi Udara
Rendah
Perbandingan angka kejadian ISPA
C. Hipotesis
Lingkungan kerja polisi lalu-lintas menurunkan angka kejadian ISPA.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional (potong lintang).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Polwiltabes Semarang.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah polisi lalu lintas dan polisi bagian
administrasi di Polwiltabes Semarang yang memenuhi semua kriteria
penelitian yang telah ditentukan.
1. Kriteria inklusi :
a. Polisi
b. Masa kerja lebih dari atau sama dengan lima tahun
c. Usia produktif : 20-50 tahun
d. Jenis kelamin : laki-laki
e. Menandatangani surat persetujuan (informed consent) penelitian.
2. Kriteria eksklusi :
a. Riwayat penyakit paru (PPOK, radang paru-paru, asma, TBC)
b. Perokok aktif
20
21
D. Sampel Penelitian
Besar sampel : n =
Zα2 . p .q
d2
Keterangan
p
: perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti pada populasi. p=34,8%
q
: 1-p
Zα2 : nilai statistik Zα pada kurve normal standart pada tingkat
kemaknaan α = 10 % (0.01), sehingga Zα2 = 1, 64.
d
: presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi
populasi, misalnya +/- 10%.
(Taufiqurrohman, 2004).
Sehingga berdasarkan hasil survei di tempat lain, yakni sebesar 34,8
%, dimana presisi yang diinginkan +/- 10%, tingkat keyakinan 90% (α=10%)
akan diperlukan sampel sebanyak :
n=
1,64 . 1,64 . 0.34 . 0,652
0,1 . 0,1
n = 61,025 (Pada penelitian ini akan diambil sampel sebanyak 62 orang).
E. Teknik Sampling :
Pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan accidental sampling.
F. Desain Penelitian :
Populasi (Sampel)
Lingkungan kerja
Polisi lalu-lintas (luar
ruangan)
ISPA (+)
ISPA (-)
Lingkungan kerja
Polisi bagian administrasi
(dalam ruangan)
ISPA (+)
ISPA (-)
22
G. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : lingkungan kerja polisi
2. Variabel terikat : kejadian ISPA di saat dilakukan penelitian.
3. Variabel luar
a. Terkendali : jenis kelamin, usia, lama kerja, merokok.
b. Tak terkendali : imunitas, genetik, sosial ekonomi, kepadatan
penduduk, geografi, cuaca, perilaku atau gaya hidup.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Lingkungan kerja
a. Definisi :
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar
pekerja pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik,
langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan
pekerjaanya saat bekerja (Intanghina, 2008). Polisi lalu lintas adalah
polisi yang bekerja di lingkungan kerja luar ruangan yaitu pada pospos polisi di jalan raya.
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Hasil : lingkungan kerja polisi lalu lintas (tepi jalan raya) dan
lingkungan kerja polisi bagian administrasi (dalam ruangan).
d. Skala pengukuran : nominal dikotomi.
2. ISPA
a. Definisi : Pengertian ISPA yaitu sebagai berikut: radang akut saluran
pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad
23
renik bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai radang
parenkim paru (Amin, 1989).
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Hasil : menderita ISPA dan tidak menderita ISPA.
d. Skala pengukuran : nominal dikotomi.
3. Jenis kelamin
a. Definisi : Jenis kelamin adalah jenis kelamin sampel dibedakan
menjadi laki-laki dan perempuan (Bektilestari, 2008).
Pada penelitian ini memakai sampel berjenis kelamin pria.
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Hasil : laki-laki dan wanita.
d. Skala pengukuran : Nominal.
4. Usia
a. Definisi : Usia sampel adalah umur dalam tahun yang dihitung
berdasarkan selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran
(Bektilestari, 2008).
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Skala pengukuran : rasio.
5. Lama kerja
a. Definisi : Lama kerja adalah lama seseorang bekerja dihitung semenjak
mulai bekerja di bagian tersebut, dalam satuan tahun.
Dalam penelitian ini sampel penelitian telah bekerja minimal lima
tahun di bagian lalu lintas (Yulianti, 1998).
24
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Skala pengukuran : rasio
6. Merokok:
a. Definisi : Perokok aktif adalah merokok lebih dari 100 sigaret
sepanjang hidupnya dan pada saat ini masih merokok atau telah
berhenti merokok kurang dari satu tahun (Kang et al., 2003).
Penelitian ini menggunakan sampel yang tidak merokok aktif.
b. Alat ukur : kuesioner.
c. Hasil : Merokok aktif dan tidak merokok aktif.
d. Skala pengukuran : nominal.
I. Cara Kerja
Memberikan kuesioner yang telah memenuhi standar baku untuk
penelitian ISPA kepada polisi yang dijadikan subjek penelitian, untuk diisi,
sehingga memperoleh data yang digunakan dalam penelitian
J. Teknik Analisis
Analisis data secara statistik dengan menggunakan uji Chi kuadrat
(X2) dengan rumus sebagai berikut :
N.(ad-bc)2
2
X =
(a+b).(b+d).(a+c).(b+d)
Keterangan :
X2 = Chi Square
N = Jumlah sampel
(Murti, 1994)
25
No. Kriteria
ISPA (+)
ISPA (-)
1
a
b
a+b
c
d
c+d
a+c
b+d
N
Lingkungan kerja di ruangan
terbuka /pos-pos polisi di pinggir
jalan (paparan debu tinggi)
2
Lingkungan kerja di dalam
ruangan (paparan debu rendah)
p = 0, 1
Keterangan :
a : Jumlah polisi di lingkungan kerja terbuka (polisi lalu lintas) dengan
ISPA.
b : Jumlah polisi di lingkungan kerja terbuka (polisi lalu lintas) yang tidak
terkena ISPA.
c : Jumlah polisi di dalam ruangan (polisi bagian administrasi) dengan
ISPA.
d : Jumlah polisi di dalam ruangan (polisi bagian adminitrasi) yang tidak
terkena ISPA.
Interpretasinya :
1. Bila harga X2 hitung ³ harga X2 pada tabel maka Ho ditolak, H1
diterima.
2. Bila harga X2 hitung < harga X2 pada tabel maka Ho diterima.
Ho : tidak ada hubungan antara lingkungan kerja dengan angka kejadian
ISPA pada polisi lalu lintas.
26
H1 : ada hubungan antara lingkungan kerja dengan angka kejadian ISPA
pada polisi lalu lintas.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Hasil Penelitian
Pada penelitian ini diambil subjek penelitian di bagian lalu lintas sebanyak
31 orang dan 31 orang lagi yang bekerja di bagian administarsi Polwiltabes
Semarang.
Tabel 1. Hasil Penelitian Tentang Faktor Risiko dan Efek
No
1
Kriteria
Polisi di bagian
ISPA (+)
ISPA (-)
Frekuensi (%)
Frekuensi (%)
27 (87,10%)
4 (12,90%)
lalu lintas
2
Polisi di bagian
31
(100%)
24 (77,42%)
7 (22,58%)
administrasi
Jumlah
Jumlah
31
(100%)
51 (82,26%)
11 (17,74%)
62
(100%)
Dari data tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa dari 62 polisi yang
dijadikan sampel penelitian, sebanyak 27 polisi bagian lalu lintas dan 24 polisi
bagian administrasi yang terkena ISPA.
B. Analisis Data
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara lingkungan kerja dan
kejadian ISPA pada polisi lalu-lintas di Polwiltabes Semarang, maka digunakan
27
28
analisis dengan uji Chi Kuadrat. Ratio odds (RO) digunakan untuk menilai
kekuatan hubungan (measure of association).
Harga X2 tabel pada db = 1 dengan taraf signifikasi 0,1 didapatkan 2,706.
No Kriteria
1
ISPA (+)
Polisi di bagian lalu lintas (faktor risiko 27 (a)
ISPA (-)
Jumlah
4 (b)
31
7 (d)
31
11
62
positif)
2
Polisi di bagian administrasi (faktor 24 (c)
risiko negatif)
Jumlah
51
X2 hitung = 0,995
X2 tabel
= 2,706
Jadi harga X2 hitung < X2 tabel sehingga Ho diterima, berarti tidak ada
hubungan bermakna antara lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada polisi lalulintas di Polwiltabes Semarang. Rasio Prevalensi (RP) didapatkan 1,125 dan RO
sebesar 1,96.
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam diagnosis hubungan sebab akibat, perlu diperhatikan beberapa hal
dari pengembangan postulat Koch. Hal-hal tersebut meliputi:
1. Hubungan waktu benar
Sesuatu dapat disebut hubungan sebab akibat bila telah diyakini bahwa sebab
mendahului akibat. Dalam konteks hubungan antarvariabel maka variabel
bebas (penyebab, risiko) harus mendahului variabel terikat (efek, penyakit).
2. Asosiasi kuat
Hubungan yang kuat antara dua variabel akan lebih menyokong terdapatnya
hubungan sebab akibat.
3. Ada hubungan dosis (Dose dependent)
Bila besarnya asosiasi berubah dengan berubahnya dosis pajanan atau faktor
risiko, maka asosiasi sebab akibat.
4. Konsistensi
Bila terdapat hasil yang konsisten, baik dalam kelompok –kelompok dalam
subjek dalam penelitian lain, maka asosiasi kausal menjadi lebih mungkin.
5. Koherensi
Asosiasi disebut koheren bila sesuai dengan gambaran umum distribusi faktor
risiko dan efek pada populasi tertentu.
6. Biological plausibility
29
30
Agar dapat disebut hubungan kausal, hubungan antara variabel bebas dan
terhantung harus dapat diterangkan dengan teori yang ada sekarang.
7. Kesamaan dengan hasil penelitian lain
Bila hasil penelitian menyokong hal-hal yang ditemukan dalam penelitian lain
maka hubungan kausal menjadi lebih besar.
Pada penelitian ini variabel bebasnya (lingkungan kerja polisi lalu-lintas di
Polwiltabes Semarang) dianggap mendahului terjadinya variabel terikat (kejadian
ISPA saat dilakukan penelitian).
Lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan (Suparman,
2006). Banyaknya debu bertebaran di jalan merupakan salah satu penyebab ISPA
(Dinkes, 2005). Cuaca panas disertai tiupan angin menciptakan kondisi yang
kondusif bagi perkembangan bakteri dan virus penyebab berbagai penyakit
(Rohandi, 2008). Setiap hari polisi lalu-lintas menghirup polusi di jalan raya dari
asap kendaraan bermotor (Rachmadi, 2005). Berdasar dari data Dinas Kesehatan
Kota Semarang, jenis penyakit yang salah satu penyebabnya polusi udara adalah
ISPA (Bapennas, 2006). Hal ini menyebabkan angka kejadian ISPA tinggi (Zein,
2008).
Hasil penelitian terhadap polisi lalu-lintas di Polwiltabes Semarang yang
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, didapatkan data-data yang kemudian
data tersebut digunakan sebagai bahan analisis Chi Kuadrat.
Dari hasil penelitian pada tabel 1 yang dijadikan sebagai dasar untuk
dilakukan analisis data, dapat diamati bahwa terdapat perbedaan yaitu kejadian
ISPA antara polisi lalu-lintas sebanyak 27 orang (87,1%) lebih besar daripada
31
polisi bagian administrasi sebanyak 24 orang (77,4%). Tingginya insiden ISPA
bersesuaian dengan yang dikemukakan oleh Windarwati dan Nuri (2006) yaitu
bahwa polisi lalu-lintas sangat besar risikonya terkena ISPA. Aktivitas kendaraan
bermotor berkontribusi diatas 75% dalam pencemaran udara kota Semarang
terutama di kawasan padat lalu lintas, khususnya untuk partikel debu (Bapennas,
2006).
Hasil senada didapatkan pada sebuah penelitian serupa yang menyatakan
bahwa sekitar 17.600 orang dari 22.000 (sebanyak 80%) anggota Polda Metro
Jaya mengidap ISPA. Tingginya penderita ISPA tersebut dikarenakan sebagian
besar diantara mereka bertugas di lapangan dalam waktu cukup lama serta terkait
dengan tingginya pencemaran di Jakarta dimana 70% berasal dari kendaraan
bermotor (Ditjen PPM & PL, 2004). Tempat kerja di jalan misalnya pada polisi
lalu lintas merupakan lokasi rawan yang menjadi perantara masuknya virus atau
bakteri penyebab ISPA (Mahmud, 2006).
Dalam penelitian ini didapatkan hasil X2 hitung (0,995) < X2 tabel (2,706)
yang berarti tidak terdapat hubungan secara bermakna secara statistik antara
lingkungan kerja dan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Polisi Lalu-lintas di Polwiltabes Semarang walaupun didapatkan insiden ISPA
yang tinggi.
Angka Rasio Prevalensi (RP) didapatkan 1,125 berarti lingkungan kerja
polisi lalu-lintas memberikan risiko terjadinya ISPA. Berdasarkan besar RO yang
didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa polisi lalu-lintas memiliki risiko
untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar daripada polisi bagian administrasi.
32
Penolakan terhadap H1 dimungkinkan oleh beberapa sebab :
1. Adanya kemungkinan polisi lalu-lintas berhubungan dengan polisi bagian
administrasi pada apel pagi, jam istirahat ataupun di luar jam kerja, serta tiap
senam di hari jumat sehingga kemungkinan terjadi penularan cukup tinggi.
Saat dilakukan penelitian ini, anggota-anggota kepolisian dari berbagai bagian
sering bercampur-baur mengadakan simulasi dan lokakarya bersama
menjelang pemilu.
2. Kondisi lingkungan pada polisi dalam ruangan (bagian administrasi) yang
kurang kondusif untuk kesehatan dimana adanya polisi lain yang merokok
dalam ruangan ber-AC.
3. Polusi udara yang tinggi secara umum dimana selain tingginya emisi
kendaraan bermotor, banyak berdiri pabrik-pabrik di kota Semarang.
4. Adanya faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap ISPA selain paparan
polusi udara yaitu seperti imunitas dan genetik yang tidak dapat diketahui.
5. Jumlah sampel yang terbatas dikarenakan terbatasnya dana, waktu dan tenaga.
6. Pada penelitian ini digunakan studi cross sectional dimana dalam pembuktian
hubungan sebab akibat termasuk cara yang lemah.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Dari responden polisi bagian lalu-lintas yang terkena ISPA sebanyak 27
orang (87,1%), sedangkan dari responden polisi bagian administrasi yang
terkena ISPA sebanyak 24 orang (77,4%).
2. Dari hasil analisis statistic dengan uji Chi Kuadrat, didapatkan X2 hitung
(0,995) lebih kecil dari X2 tabel (2,706) sehingga Ho diterima.
Berdasarkan RO, berarti angka kejadian ISPA pada polisi-lalu-lintas 1,96
kali lebih tinggi, namun setelah diuji ternyata tidak signifikan.
3. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada polisi lalu-lintas di Polwiltabes
Semarang.
B. Saran
1. Pemeriksaan kesehatan berkala bagi polisi lalu-lintas harus lebih
diintensifkan, agar diagnosis dini terhadap polisi yang terkena ISPA dapat
segera ditegakkan, sehingga tidak berlanjut ke penyakit kronis saluran
pernafasan.
2. Diharapkan pihak Polwiltabes Semarang dapat mengintensifkan tindakan
pencegahan terhadap polusi udara dengan jalan penggunaan alat pengaman
(masker) dengan disiplin dengan maksud agar risiko terpapar oleh debu
33
34
beserta polutan udara lainnya dapat dikurangi sehingga angka kejadian
ISPA dapat diminimalkan.
3. Disiplin dalam meminimalkan pola merokok di lingkungan kerja dalam
ruangan yang tertutup (ber-AC).
4. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap lingkungan kerja polisi
lalu-lintas dan disempurnakan dengan pengukuran polutan di lingkungan
kerja polisi lalu-lintas hubungannya dengan ISPA serta dengan sampel
yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama T.Y., Mangunnegoro H., Tugaswati T. 1994. Polusi SO2, NO2 dan
Ozon. Majalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Volume 14 Nomor 3,
pp: 15-7
Amin M, Alsagaff H, Saleh T. 1989. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press, pp: 37-42.
Andra.
2007. Profil Penyakit Pada Masa Tanggap Darurat Banjir.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=437. (14
September 2008).
Anggarwulan E., Solichatun. 2007. Kajian klorofil dan Karotenoid Plantago
major L. dan Phaseolus vulgaris L. sebagai Bioindikator Kualitas Udara.
Biodiversitas Volume 8 Nomor 4, pp: 279-82.
Bapennas. 2006. Atlas Kualitas Udara Kota Semarang. http://udarakota.
bappenas.go.id/detail_uaqi.php?file=ATLAS%20Semarang%2022%20No
pember%202006-resize.pdf. (17 April 2009).
Bektilestari, P. 2008. Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) karyawan
industri mebel Ngoresan dengan Masyarakat Sekitar. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret
Daulay R.M. 1992. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA). Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_KendalaPenangananInfeksiSalur
anPernapasanAkut.pdf/16_KendalaPenangananInfeksiSaluranPernapasan
Akut.html (14 September 2008).
Depkes RI. 2005. Pharmacheutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan.http://125.160.76.194/bidang/yanmed/farmasi/Pharmaceutical
/ISPA.pdf (14 Nopember 2008).
Dinkes. 2005. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005. http://72.14.235
.104/serch?q=cache:kJOd9P-YLTEJ:www.dinkes kotasemarang.go.id/sta
ticfiles/dokumen/analisa_profil_DKK_2005_ok.pdf+angka+kejadian+ISP
A +di+Semarang&hl=id&ct=clnk&cd=30&gl=id (14 September 2008).
Ditjen PPM & PL. 2004. 17.600 Polisi Jakarta Derita ISPA. http://209.85.173.
132/search?q=cache:85OqpTl6aIAJ:www.penyakitmenular.info/detil.asp
%3Fm%3D6%26s%3D2%26i%3D242+ISPA+pada+polisi+lalu+lintas&c
d=15&hl=id&ct=clnk&gl=id (17 April 2009).
35
36
Ebenezer L.T., Sinaga F.M., Kuron M. 2006. Pengaruh Bahan Bakar
Transportasi terhadap Pencemaran Udara dan Solusinya. http://elisa.
ugm.ac.id/files/rachmawan/LWiCSne0/Paper_TKK_I_Kel_2.pdf
(16
Nopember 2008).
Faisal D.H., Priyono W.H. 2003. Pengaruh inhalasi NO2 tehadap Kesehatan paru.
Cermin Dunia Kedokteran Nomor 138, pp: 17-22.
Hartono T.E., Wibisono M.Y., Rai I.B., Idajadi A. 1988. Pola Bakteriologis
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Buku
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V
Ikatan Dokter Paru Indonesia, pp: 28-31.
Helmi. 2004. Peran Reaksi Alergi Akibat Polusi Gas Buang kendaraan pada
Rhinosinusitis. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 54 Nomor 5, pp:
181-4.
Intanghina. 2008. Pengaruh Budaya Perusahaan dan Lingkungan terhadap Kinerja
Karyawan. http://209.85.173.132/search?q=cache:oyp7Gs86NtQJ: intangh
ina.wordpress.com/2008/04/28/pengaruh-budaya-perusahaan-dan-lingku
ngan-kerja-terhadap-kinerja-karyawan/+definisi+lingkungan+kerja&cd=4
& hl=id&ct=clnk&gl=id ((15 April 2009).
Jubaidillah, Julianda E, Dhannyella A.E. 2007. Pengetahuan dan Perilaku
Masyarkat tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Dusun Karang Ploso, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
http://bem.fkm.uad.ac.id/?download=PKMI%202008.pdf (14 September
2008).
Kang M.J., Mok-Oh Y., Lee J.C., Kim D.G., Park M.J., Lee M.G., Hyun I.G et al.
2003. Lung Matrix Metalloproteinase-9 Correlated with Smoking and
Obstruction of Airflow. http://jkms.org/fulltext/pdf/jkms-18-821.pdf. (29
Oktober 2008).
Mahmud T. 2006. Musim Kemarau Tiba, Awas ISPA. http://www.persi.or.id/?
show=detailnews&kode=862&tbl=kesling (17 April 2009).
Mansjoer A. 2004. Infeksi Saluran Pernapasan Atas. http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=1130&page=Catur%20Nila%20Pra
tiwi. (17 Nopember 2008).
Menkes. 2002. Lampiran I Keputusan Menteri KesehatanNomor : 1537.A /
MENKES/ SK/XII/
2002 Tanggal : 5 Desember 2002.
http://bankdata.depkes.go.id/data%20intranet/Regulasi/Kepmenkes/Lamp
%20Kepmenkes%201537.A-MENKES-SK-XII-2002.pdf (14 Nopember
2008).
37
Munthe E., Yunus F., Ikhsan W.M., 2003. Pengaruh Inhalasi Sulfur dioksida
terhadap kesehatan paru. Cermin Dunia Kedokteran Nomor 138, pp: 2932.
Murti B. 1994. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, p: 44.
Nindya T.S., Sulistyorini L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian
ISPA. Jurnal Kesehatan Lingkungan Volume 2 Nomor 1, pp: 43-52.
Notoatmojo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
pp: 35-179.
Pohan M.Y.H., Yunus F., Priyono W.H. 2003. Asma dan polusi udara. Cermin
Dunia Kedokteran Nomor 141, pp: 27-2
Purnamawari. 2008. Infeksi Saluran Napas Akut Bagian Atas Untuk Dokter.
http://keluargasehat.wordpress.com/2008/10/28/infeksi-saluran-napas-akut
-bagian-atas-untuk-dokter/#more-1633 (16 Nopember 2008).
Rachmadi R. 2005. Polisi Rawan Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/23/brk,20050323-24,
id.html (24 September 2008).
Ramadhan T.R. 2007. Penyakit Berbasis Lingkungan di Situbondo.
http://tegarrezavie.multiply.com/journal/item/5 (14 September 2008).
Rohandi H. 2008. Penyakit Angin dan Cuaca. http://www.tabloidnakita.com/artikel.php3?edisi=05230&rubrik=sehat (14 September 2008).
Rudatin. 2004. Polusi di Karangayu-Penggaron Melebihi Ambang Batas
http://air.bappenas.go.id/doc/pdf/kliping/Polusi%20di%20KarangayuPenggaron%20Melebihi%20Ambang%20Batas.pdf (15 April 2009).
Sarudji D. 2004. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi sulfur
dioksida (SO2) udara ambient di atas jalan-jalan raya di kota Surabaya.
Jurnal Kedokteran YARSI Nomor 12, pp: 60-5.
Silalahi L. 2008. Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan Pneumonia.
http://www.tempo.co.id/hg/narasi/2004/03/26/nrs,20040326-07,id.html
(14 Nopember 2008).
Singgih. 2000. Mewaspadai Gangguan ISPA pada Pedagang Asongan.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=177003 (24 September
2008).
38
Sudrajad A. 2005. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan. http://io.ppijepang.org/article.php?id=111 (15 April 2009).
Suparman. 2006. Interaksi Manusia dengan Lingkungan Dampaknya terhadap
Kesehatan Masyarakat. Enviro Volume 1 Nomor 1, Maret 2006, pp: 33-6.
Susanto A.D., Yunus F., Wiyono W.H., Ikhsan M. 2003. Pengaruh Inhalasi Ozon
terhadap Kesehatan Paru. Cermin Dunia Kedokteran Nomer 138, pp:11-4.
Suryatenggara W. 1988. Program Pendekatan ISPA ditinjau dari Aspek
Diagnostik dan Terapi. Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Konperensi Kerja Nasional V Ikatan Dokter Paru Indonesia, pp: 64-9.
Taufiqurrohman M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu
Kesehatan. Klaten : CSGF (the Community of Self Help Group Forum), p:
129.
Tedjapranata M. 2008. Ibadah Puasa Ditengah Global Warming.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=926 (16
Nopember 2008).
Tirtawidjaja M.K. 2005. Pharmacheutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. http://125.160.76.194/bidang/yanmed/farmasi/Pharmaceuti
cal /ISPA.pdf (14 Nopember 2008).
Widjaja A. 1993. Penelitian Epidemiologi Pengaruh Lingkungan pada Penyakit
Paru Obstruktif Menahun (PPOM) di 37 Puskesmas, Mewakili Semua
Kabupaten di Jawa Timur. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI
Persatuan Dokter Paru Indonesia, pp: 144-60.
Windarwati dan Nuri. 2006. Perbedaan Risiko Terkena ISPA pada Polisi Lalulintas di Polres Gresik menurut Tingkat Kepadatan Lalu-lintas.
http://209.85.173.132/search?q=cache:FP42sdB4jTQJ:www.adln.lib.unair.
ac.id/go.php%3Fid%3Dgdlhub-gdl-s1-2006-windarwati-2609%26PHP
SESSID%3Dd04f06708a81033bcd34c3ce3bd2d2eb+ISPA+pada+polisi+l
alu+lintas+UNAIR&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
Witono R. 1993. Faal Paru pada Laki-Laki Perokok, Bekas Perokok dan Bukan
Perokok. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI Persatuan Dokter Paru
Indonesia, pp: 279-80.
Yulianti A. 1998. Hubungan antara Lingkungan Kerja Batik dengan Angka
Kejadian ISPA. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, p: 9.
39
Yunus F. 1994. Pneumokoniasis. Majalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Volume 14 Nomor 3, pp: 22-3
Yusad Y. 2003. Polusi Udara di Kota-Kota Besar Dunia. http://libra
ry.usu.ac.id/download/fkm/fkm-yusniwarti.pdf (16 Nopember 2008).
Zein U. 2008. Bersepeda Kurangi Polusi Udara. http://209.85.175.104/search
?q=cache:b7J8FzynbEQJ:bppi-medan.depkominfo.go.id/index.php%3F
get%3Dmodules%26mod%3Dkajian%2520media%2520lokal%26view%3
D47%26pageID%3D3+jurnal+ISPA&hl=id&ct=clnk&cd=16&gl=id (16
Nopember 2008).
40
KUISIONER PENELITIAN
Hubungan antara Lingkungan Kerja dan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut pada Polisi Lalu Lintas di Polwiltabes Semarang
Nama
:
Jenis Kelamin :
Umur
:
Pekerjaan
:
Bagian
:
Tanda Tangan :
LINGKARILAH JAWABAN ANDA !
(Ya = Y, Tidak = T )
1.
Apakah Anda sudah bekerja di Polwiltabes Semarang sekurang-kurangnya
lima tahun?
Y/T
2. Apakah Anda pernah merokok ?
Y/T
3. Apakah Anda seorang perokok?
Y/T
4. Pernahkah Anda merokok100 batang/lebih selama hidup Anda?
Y/T
5. Pernahkah saat ini Anda merasakan?
a. Badan panas
Y/T
b. Batuk
Y /T
c. Pilek
Y/T
d. Nyeri Tenggorokan
Y/T
41
6. Selama ini, pernahkah Anda menderita infeksi saluran pernapasan yang
berlangsung selama 14 hari / kurang dan itu dengan gejala :
a. Batuk
b. Pilek
c. Sesak napas
d. Nyeri Tenggorokan
e. Demam (Panas Sekali)
( Jawaban boleh lebih dari satu atau tidak sama sekali )
7. Apa Anda pernah atau sedang menderita penyakit yang dipastikan dokter
berupa :
a. Bronkitis kronis
Y/T
b. Radang paru-paru
Y/T
c. TBC
Y/T
d. Asma
Y/T
8. Apa dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja Anda terpapar oleh asap
kendaraan bermotor / polusi udara yang lain ?
Y/T
9. Apa Anda sehari-hari terpapar oleh asap kendaraan bermotor / polusi udara
yang lain di tempat kerja Anda ?
Y/T
10. Berapa lamakah Anda terpapar asap dan debu kendaraan bermotor (polusi
udara) dalam satu hari?
a. 1-2 jam
b. 3-4 jam
c. 5-6 jam
d. …… jam
42
10. Apa Anda menggunakan pengaman (penutup hidung atau yang sejenisnya )
Y/T
11. Apa Anda menggunakan pengaman dengan disiplin ?
a. Kadang-kadang
b. Selalu
12. Apa rumah Anda terlalu sumpek- sempit dan padat ?
Y/T
13. Apa keluarga Anda memasak memakai :
a. Kayu
Y/T
b. Kompor minyak
Y/ T
c. Kompor gas
Y/T
14. Sudah berapa lama Anda bekerja di Polwiltabes Semarang ? …….
Kriteria ISPA diambil dari kriteria ISPA ringan yaitu bila didapat satu atau lebih
gejala batuk, pilek, suara serak dan demam (Suryatenggara, 1988).
43
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Missing
Percent
Polisi * ISPA
62
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent
62
100.0%
Polisi * ISPA Crosstabulation
Count
ISPA
Positif
Polisi
Total
Negatif
Lalu-lintas
27
4
31
Administrasi
24
7
31
51
11
62
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.319
.442
1
.506
1.005
1
.316
.995
b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.508
Linear-by-Linear
.979
Association
b
N of Valid Cases
1
.323
62
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Approx. Sig.
.254
44
Nominal by Nominal
N of Valid Cases
Contingency Coefficient
.126
62
.319
45
Lampiran 5
Penghitungan Uji Chi Kuadrat
Tabel yang digunakan adalah 2x2, maka derajat kebebasannya yaitu :
Derajat bebas= (r-1).(c-1)
Dengan r = jumlah baris
c = jumlah kolom
Db = (2-1).(2-1)
=1
Harga X2 tabel pada db = 1 dengan taraf signifikasi 0,1 didapatkan 2,706.
Tabel 3. Hubungan antara lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada polisi lalulintas di Polwiltabes Semarang
No
1
Kriteria
ISPA (+)
ISPA (-)
Jumlah
Polisi di bagian lalu lintas (faktor risiko
27 (a)
4 (b)
31
24 (c)
7 (d)
31
51
11
62
positif)
2
Polisi di bagian administrasi (faktor
risiko negatif)
Jumlah
N.(ad-bc)2
2
X =
(a+b).(c+d).(a+c).(b+d)
62 [(27x7)-(4x24)] 2
=
(27+4).(24+7).(27+24).(4+7)
62 (189-96)]2
=
31 x 31 x 51 x 11
=
0,995
2
X hitung = 0,995
X2 tabel
= 2,706
Jadi harga X2 hitung < X2 tabel sehingga Ho diterima, berarti tidak ada
hubungan bermakna antara lingkungan kerja dan kejadian ISPA pada polisi lalulintas di Polwiltabes Semarang.
46
a
c
:
Rasio Prevalensi =
a+b
c+d
27
=
24
:
27+4
24+7
= 1,125
Lampiran 6
DATA
Polisi Bagian Lalu-lintas
No.
Nama
ISPA
1
Drs
+
Polisi Bagian Administrasi
No.
Nama
ISPA
1
Tryd
+
2
Mirw
+
3
Nryn
+
4
Spry
+
5
Srjk
+
6
Sprd
+
7
Ynrt
+
8
Edks
+
9
Fshd
+
10
Wdhs
+
11
Abtg
+
12
Pwt
+
13
Elmh
+
14
Ksmn
+
15
Afz
+
16
Dnn
+
17
Wgy
+
18
Rsdy
+
19
Swrm
20
Ands
21
Abrr
22
Hrwn
23
Kswn
24
Dyn
25
Agdh
26
Znd
+
27
Jkbd
+
28
And
+
29
Emts
+
30
Smyd
+
31
Bdmn
+
47
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jkbs
Adss
Imsf
Pn
Djkt
Sgnr
Rhmb
Ddgs
Jwrs
Kkhh
Sslh
Kkhw
Arft
Stnt
Srjn
Skrj
Rhmd
Ttsw
Skwr
Flxt
Sprm
Strn
Snrd
Hrmk
Strt
Rswn
Srln
Jhns
Alsk
Ednh
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Download