II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut Wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah daratan dan lautan dengan karakteristik yang khas. Banyak pendapat yang berbeda dalam menetapkan batas wilayah pesisir dan laut. Pendapat yang ekstrim mengatakan, wilayah pesisir dan laut meliputi kawasan yang sangat luas, dimulai dari batas lautan terluar (zona ekonomi eksklusif, ZEE) sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pendapat ekstrim lainnya mengatakan, wilayah pesisir dan laut hanyalah sebuah kawasan yang sangat sempit, dimulai dari pasang tertinggi sampai 200 m ke arah darat; sedangkan ke arah laut sampai dengan garis pantai pada saat surut terendah. Dalam konteks interaksi daratan-lautan, Joseph dan Balchand (2000) mengatakan, bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan perluasan dataran pantai sampai bibir luar paparan benua (continental shelf), daerah yang selalu tergenang selama fluktuasi muka air laut terjadi. Untuk kepentingan pengelolaan, Dahuri et al. (2004) menyarankan batas wilayah pesisir dan laut yang dipandang dari dua pendekatan. Dari pendekatan perencanaan (planning zone), wilayah pesisir dan laut meliputi seluruh daratan (hulu) di mana terdapat kegiatan manusia yang masih menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Dari sudut pandang pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan sehari-hari (day-to-day management), wilayah pesisir dan laut ditetapkan sesuai dengan wilayah kewenangan yang disepakati bersama di antara otoritas pengelola. Wilayah pengaturan selalu lebih kecil dan berada di dalam wilayah perencanaan. Wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang kompleks; di dalamnya terjadi interaksi berbagai proses: alami (misalnya hidrologi dan geomorfologi), sosial, budaya, ekonomi, administrasi dan pemerintahan (French, 2004). Dalam perspektif ekonomi-ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang dicirikan oleh adanya interrelasi secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi (Turner, et al., 1998). Kompleksitas sistem baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun biofisik inilah yang menandai keunikan wilayah pesisir dan laut (Dahuri, 1999). Wilayah pesisir dan laut juga dikenal karena keunikan historis dan arkeologisnya (Meulen dan Haes, 1996). Karena posisinya yang berada di daerah perbatasan antara daratan dan lautan, wilayah pesisir dan laut memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam. Faktor-faktor biofisik yang menyusun keunikan wilayah ini ditunjukkan dengan sangat nyata, misalnya tingkat elevasi (rendah-sedang-tinggi), jenis air (asin-payau-tawar), tingkat pasang-surut dan jenis tanah (pasir-tanah liat). Dijumpai banyak bukit pasir (sand dunes) dan jenis tumbuhan asli (indigenous) pantai di wilayah ini. Kebanyakan dari jenis-jenis tumbuhan itu bersifat endemik. Karena keunikan ini, wilayah pesisir dan laut dinilai penting dalam konteks konservasi. Clark (1998) menilai perlindungan terhadap kekayaan sumberdaya wilayah pesisir pada sisi wetside (lautan) perlu dilakukan melalui kontrol terhadap pemanfaatan sumberdaya yang berada pada sisi dryside (daratan). Wilayah pesisir dan laut juga memiliki nilai penting dalam konteks sosialekonomi. Sekitar 70% penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir (MacDonald, 2005). Berbagai aktivitas ekonomi penting penduduk dunia seperti permukiman, industri, pertanian dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir telah memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk secara signifikan (Tol et al., 1996; Joseph dan Balchand, 2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Aktivitas industri dan permukiman yang intensif telah mendorong wilayah pesisir dan laut berkembang menjadi wilayah dengan dinamika yang semakin besar di masa yang akan datang. Wilayah pesisir dan laut memiliki tingkat kelimpahan sumberdaya yang tinggi namun sarat dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Kondisi ini cenderung menyimpan potensi konflik yang besar, yang apabila tidak dikelola dengan baik (mismanagement), akhirnya akan membawa kerugian baik secara ekonomi maupun ekologi (Aguero et al., 1996). Pengelolaan wilayah laut berkaitan erat dengan kebijakan nasional masingmasing negara. Lautan merupakan kesatuan dari permukaan, kolom air, sampai ke dasar dan bawah dasar laut. Dasar hukum yang digunakan oleh negara-negara pantai dalam menentukan batas wilayah laut adalah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982). Menurut konvensi ini, sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya (seperti minyak dan gas bumi, perikanan dan berbagai bahan tambang lainnya) yang berada di dalam zona yang diatur di dalam konvensi tersebut. 2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut 2.2.1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources) Dunia yang kini berada dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat, perlu mengimbangi diri dengan melakukan konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang masih tersisa. Perlindungan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan kini menjadi issue penting yang mendapat perhatian besar para ilmuwan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin pesat (Joseph dan Balchand, 2000). Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga kelestariannya, di antaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998). Ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground) (Supriharyono, 2002). Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove berlokasi di daerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengatakan, bahwa mangrove memiliki peranan penting baik secara ekonomi maupun ekologi. Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksplotasi secara ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udang/ikan yang masih muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi, perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik. Ekosistem ini dijumpai di daerah tropik, di perairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) dan suhu di atas 20ºC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang berperan penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses sedimentasi (Dahuri et al., 2004). Seperti terumbu karang, ekosistem padang lamun juga dijumpai hanya di laut dangkal. Tumbuhan lamun dinilai unik bila dibandingkan dengan tumbuhan laut lainnya, karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem (Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting dalam memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan. Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Supriharyono, 2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di daerah itu. Hewan yang hidup di dalam ekosistem estuaria terdiri dari jenis hewan laut (kemampuan mentolerir perubahan kadar garam terbatas), hewan air tawar (tidak mampu mentolerir perubahan kadar garam), dan hewan air payau (tidak ditemukan hidup di air laut maupun air tawar) (Widiati, 2000). Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria memungkinkan tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di wilayah tersebut. Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil (small scale fisheries) yang diusahakan oleh masyarakat (artisanal) mendominasi jenis perikanan tangkap di Indonesia. Perikanan rakyat ini biasanya berlokasi di pantai utara Jawa, Selat Malaka, Selat Bali dan Selat Makassar (Supriharyono, 2002). Tingginya aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya permasalahan sosial. 2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources) Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B (mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri; misalnya granit dan pasir). Potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir. Cadangan minyak dan gas Indonesia tersebar di 60 cekungan (basins), yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor (Dahuri et al., 2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara. Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin. 2.2.3 Pencemaran Pencemaran wilayah pesisir dan laut terjadi karena adanya konsentrasi permukiman, pertanian, pariwisata dan industri. Berbagai aktivitas tersebut sering menimbulkan gangguan baik secara langsung maupun tidak terhadap ekosistem pesisir dan laut melalui limbah yang dihasilkannya. Penduduk pesisir memberikan 90% sumbangan pencemaran di wilayah ini, berupa bahan-bahan pencemar dari daratan (land-based pollutants) seperti limbah rumah tangga, limbah industri dan bahan-bahan toksik lainnya (Joseph dan Balchand, 2000). Menurut Supriharyono (2002), ada tiga tipe bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di lingkungan laut; yaitu tipe patogenik, estetik dan ekomorfik. Bahan pencemar tipe patogenik (pathogenic pollutants) adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bahan pencemar tipe estetik (aesthetic pollutants) yaitu bahan pencemar yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak nyaman untuk indera mata, telinga dan hidung. Bahan pencemar tipe ekomorfik (ecomorphic pollutants) adalah bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik lingkungan. Dilihat dari asal bahan pencemarnya, diketahui ada dua macam bahan pencemar (limbah) yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah domestik adalah limbah yang berasal dari aktivitas masyarakat urban yang biasanya mengandung sampah padat (berupa tinja) dan cair yang berasal dari sampah rumah tangga. Limbah domestik memiliki lima karakteristik, yaitu mengandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus dalam jumlah banyak; serta mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi sehingga nilai biological oxygen demand (BOD)-nya tinggi. Selain itu juga mengandung padatan (organik dan anorganik) yang mengendap di dasar perairan; memiliki kandungan unsur hara (terutama fosfor dan nitrogen) yang tinggi; serta mengandung bahan-bahan terapung (organik dan anorganik) di permukaan air atau berada dalam bentuk tersuspensi. Dalam beberapa kasus, limbah industri sulit larut dalam air. Limbah industri cenderung mengapung di permukaan air. Beberapa jenis limbah industri ada yang secara langsung meracuni kehidupan perairan seperti sianida, fenol dan sodium pentaklorofenat. Ada juga yang tidak secara langsung meracuni kehidupan perairan, tetapi merubah kualitas lingkungan dengan turunnya oksigen terlarut untuk perombakan bahan-bahan organik. Beberapa jenis limbah mungkin mengalami bioakumulasi sehingga permasalahannya menjadi sangat lama. Limbah industri merupakan land-based pollutants yang telah terbukti menimbulkan kerusakan lingkungan laut secara signifikan (MacDonald, 2005). Limbah industri berpotensi menyebabkan terjadinya eutrofikasi, sebuah fenomena di mana perairan menerima kelebihan nutrient dan ditandai oleh adanya algal blooms (red tides). Berbagai jenis logam berat yang terdapat di dalam limbah industri (misalnya arsen, kadmium, kobalt, kromium, merkuri dan seng) berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan kronis pada manusia. 2.2.4 Degradasi dan Deplesi Sumberdaya Alam Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang kini tengah mengalami permasalahan berat yang mengancam daya lenting (resilience) ekosistem tersebut (Turner et al., 1998). Permasalahan tersebut terutama menyangkut trade-off pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu antara kepentingan ekonomi dan preservasi ekologi. Worm (1998) mengatakan, bahwa pada umumnya permasalahan yang dihadapi wilayah ini berupa pencemaran, reklamasi pantai serta pembangunan perkotaan dan infrastruktur terkait lainnya. Ekspansi coastal aquaculture secara massive telah menimbulkan dampak sosial ekonomi dan biofisik yang besar. Kondisi itu terkait dengan hilangnya lahan basah pantai, tingginya tingkat keasaman, salinisasi air tanah dan lahan pertanian serta hilangnya produk dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem alami (Chua, 1992). Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, terdapat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya pesisir dan laut) demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004, kecenderungan tersebut justru nampak semakin besar. Nelson dan Geoghegan (2002), bahkan mengatakan bahwa para pengambil keputusan di negara-negara sedang berkembang selalu dihadapkan pada persoalan klasik eksploitasi sumberdaya secara berlebih manakala pertumbuhan ekonomi atau konservasi ekologi menjadi pilihan. Persepsi yang mengatakan bahwa sumberdaya alam dapat dijadikan andalan bagi peningkatan PAD, sering menimbulkan fenomena pengurasan sehingga timbul bahaya lingkungan yang mengakibatkan biaya sosial yang tinggi. UU No. 32 Tahun 2004 pada hakekatnya memberikan peluang kepada daerah untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam yang ada bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan jaminan keseimbangan fungsi lingkungan. Menurut Fauzi dan Anna (2005) degradasi dan deplesi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut lebih banyak bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia) baik berupa aktivitas produksi (penangkapan/eksploitasi) maupun aktivitas non-produksi (pencemaran limbah domestik dan industri). Degradasi mengacu pada terjadinya penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarui (renewable resourcres). Deplesi mengacu pada terjadinya pengurangan cadangan sumberdaya alam tak dapat diperbarui (non-renewable resources). Depresiasi digunakan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam (pengukuran tingkat degradasi dan deplesi yang dirupiahkan). 2.3 Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut 2.3.1 Dasar Pengembangan Wilayah Banyak teori pengembangan wilayah yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Teoriteori tersebut dibangun atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda. Kelompok pertama adalah teori-teori yang memberi penekanan pada kesejahteraan wilayah (regional prosperity). Kelompok kedua memberi penekanan pada sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem produksi (sustainable production). Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok yang peduli pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kelompok ketiga memberi penekanan pada institusi (kelembagaan) dan proses pengambilan keputusan (decision making) di tingkat lokal sehingga kajian terfokus pada governance yang bertanggung jawab (responsible) dan berkinerja baik (good). Ketiga kelompok teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam fokus pengembangan wilayah. Penerapan teori ini didasarkan pada perhatian terhadap masalah utama yang dihadapi masyarakat/wilayah dengan sasaran pada 3 aspek, yaitu perekonomian yang baik (good economy), masyarakat yang baik (good society) dan proses politik yang baik (good political process)(Akil, 2001). Sejalan dengan sasaran tersebut, Haeruman (2001) mengatakan, bahwa dalam perkembangannya, konsep pengembangan wilayah sejalan dengan penetapan prioritas pembangunan ekonomi. Pada mulanya, pembangunan dilakukan untuk tujuan efisiensi (efficiency objective). Pengalaman kemudian membawa pada berkembangnya pemikiran untuk juga memberikan prioritas bagi tujuan pemerataan (equity objective). Dengan adanya pergeseran orientasi tersebut, kebijakan pembangunan tidak dapat hanya memaksimalkan efisiensi saja, tetapi harus ada trade-off antara keduanya. Pengalaman menunjukkan, bahwa dimensi wilayah dengan karakteristik masing-masing bersifat komplementer dan berperan dalam meningkatkan efisiensi. Pembangunan yang berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan, kemudian meningkatkan pemahaman akan pentingnya tujuan keberlanjutan (sustainability objectives) yang memasukkan wawasan lingkungan sebagai prinsip dasar pembangunan. Aktualisasi konsep pengembangan wilayah secara terpadu dapat diwujudkan melalui strategi pengembangan potensi ekonomi wilayah. Dalam kaitan ini Haeruman (2001), melihat adanya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh perkembangan demokrasi dan kecenderungan global yang pada dasarnya mencakup hal-hal berikut: a. Pergeseran dari functional integration yang memberi tekanan pada pendekatan sektoral menuju territorial integration yang memberi tekanan pada pemberdayaan masyarakat lokal. b. Pergeseran dari national development menuju ke local development. Pembangunan nasional di masa datang merupakan kerangka tindakan dari pembangunan masyarakat lokal yang bercirikan karakteristik wilayah. c. Pergeseran dari rural and urban dichotomy menuju ke rural-urban linkages. Pengembangan wilayah di masa datang harus melihat keterkaitan antara desa dan kota sebagai suatu mata rantai pengembangan ekonomi wilayah yang saling mempengaruhi. d. Pergeseran dari orientasi daratan menuju ke orientasi daratan dan kepulauan. Pengembangan wilayah di masa datang perlu mempertimbangkan akses dari simpul ke simpul, sumberdaya alam di laut yang bersifat dinamis, serta keterkaitan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan kewenangan masyarakat lokal. 2.3.2 Perencanaan Penggunaan Lahan Lahan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Sedemikian pentingnya nilai lahan, hingga seringkali muncul konflik di antara berbagai stakeholders yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pemanfaatan lahan. Potensi penggunaan lahan sangat beragam, mulai dari pertanian, pertambangan, kehutanan dan perlindungan alam serta industri dan perkotaan. Pengambilan keputusan yang tepat dalam pemanfaatan lahan seringkali menjadi persoalan penting dalam masyarakat modern (Verheye, 1997). Perencanaan penggunaan lahan (land-use planning) merupakan proses penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan, alternatif penggunaan lahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam rangka menetapkan opsi penggunaan lahan terbaik. Perencanaan penggunaan lahan selalu berhubungan dengan beberapa aktivitas seperti penetapan penggunaan lahan untuk masa yang akan datang (physical planning), peningkatan kondisi fisik lahan (land development) dan penetapan metode pengelolaan lahan (land management) (van Lier, 1998). Aktivitas ini menurut Johnsons dan Cramb (1996) membutuhkan informasi yang tepat yang terkait dengan aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Tanpa dukungan data yang akurat, perencanaan tidak akan berhasil mencapai tujuan (societal goals) yang diinginkan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, perencanaan penggunaan lahan menempati posisi yang sangat sentral. Perencanaan penggunaan lahan selalu dihadapkan pada dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu konservasi ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Keberlanjutan (sustainability) sebagai tujuan utama perencanaan penggunaan lahan sering kali menjadi dilema manakala kedua kepentingan yang saling bertentangan ini harus disatukan. Menanggapi hal tersebut, van Lier (1998) optimis akan tetap bisa dilaksanakan apabila para pelaku ekonomi merasa diri sebagai bagian dari lingkungan sehingga kesejahteraan ekonomi tidak akan pernah bisa dicapai tanpa langkah-langkah nyata perlindungan terhadap lingkungan dan basis sumberdaya yang ada. Demikian juga perlunya penanaman kesadaran bahwa keuntungan ekonomi jangka panjang hanya dapat diraih apabila tercipta keseimbangan lingkungan dan sumberdaya secara dinamik. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan juga diperlukan sebagai prasyarat bagi terciptanya keseimbangan lingkungan dan sumberdaya. Van Lier (1998) mengusulkan konsep spasial untuk menjembatani kesenjangan antara kepentingan konservasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mencapai tujuan keberlanjutan. Konsep ini didekati dari 3 subkonsep, yaitu konsep integrasi vs segregasi (integration vs segregation concept); konsep kerangka kerja (framework concept); dan konsep jaringan ekologi (ecological network concept). Konsep integrasi berbasis landscape ecology. Beberapa tipe penggunaan lahan (misalnya pertanian, infrastruktur, outdoor recreation dan lalu lintas) direncanakan dan dikembangkan dengan tetap menjaga fungsi ekologi wilayah. Konsep kerangka kerja didasarkan pada pemahaman tentang adanya perbedaan antara bagian wilayah yang berdinamika tinggi (misalnya pertanian, rekreasi, permukiman dan transportasi) dengan bagian wilayah yang berdinamika rendah (misalnya ekosistem alami). Konsep ini melakukan koreksi melalui segregasi spasial terhadap lahan dengan penggunaan intensif (intensively-used lands) yang memerlukan lay-out dan pemanfaatan yang fleksibel pada satu sisi, dan lahan dengan penggunaan ekstensif yang memerlukan stabilitas pada sisi lain. Konsep jaringan ekologi merupakan sebuah konstelasi elemen-elemen landscape yang bersifat fungsional dalam konteks dispersi spesies di dalam landscape yang bersangkutan. Jaringan ekologi membuat hubungan antara wilayah inti (core regions), wilayah pengembangan (nature development regions), dan wilayahwilayah penghubung (connecting areas). 2.4 Kecenderungan Pergeseran Basis Pemanfaatan Sumberdaya Alam Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Di antara berbagai tantangan itu adalah tingginya jumlah penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan distribusi pembangunan antar wilayah yang tidak merata. Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada saat ini kita dihadapkan pada kenyataan semakin berkurangnya minyak dan bahan tambang yang di masa lalu merupakan komoditas ekspor andalan; juga semakin langkanya sumberdaya terrestrial sehingga semakin sulit untuk dikembangkan. Menghadapi AFTA (ASEAN free trade area) yang diimplementasikan mulai tahun 2003 dan APEC (Asia Pacific economic cooperation) yang akan diimplementasikan mulai tahun 2020, tantangan yang dihadapi Bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks dan perlu penyelesaian serius. Pengalaman pembangunan selama ini menunjukkan lemahnya infrastruktur perekonomian Indonesia. Kondisi ini memperkuat kesadaran perlunya membangun fundamental ekonomi yang kokoh seiring dengan semakin intensifnya pemanfaatan sumberdaya alam sebagai raw input pembangunan. Segala upaya untuk mencari alternatif baru pertumbuhan ekonomi perlu semakin digalakkan sementara sumber-sumber pertumbuhan yang telah ada tetap dipelihara keberlanjutannya. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,8% pada tahun 2004), Indonesia ibarat sebuah bus dengan penumpang yang berjejal. Dengan angka pertumbuhan sebesar itu, pada tahun 2020 Indonesia akan dipadati oleh sekitar 267 juta jiwa. Disamping peningkatan potensi dampak lingkungan (Holder, 2003), jumlah penduduk yang besar berarti peningkatan kebutuhan yang signifikan terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Turner, et al., 1998). Ironisnya, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan itu kini telah semakin tipis akibat perilaku hedonik manusia dari waktu ke waktu. Illegal logging telah menghabiskan jutaan hektar hutan dan mengubahnya menjadi lahan kritis yang memilukan. Perilaku bertani yang salah telah mengubah jutaan hektar lahan subur menjadi lahan kritis yang menyisakan penderitaan yang berkepanjangan. Sumberdaya terrestrial kini dipandang tidak lagi mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah. Oleh karena itu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan kini menjadi alternatif yang tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai sumber pertumbuhan baru untuk kepentingan pembangunan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (63% wilayah kedaulatan Indonesia berupa laut), upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan itu menjadi sebuah keniscayaan. Hal tersebut mengingat sampai saat ini, potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan Indonesia yang sangat beragam, belum seluruhnya dimanfaaatkaan secara optimal. Menurut Dahuri (2000), nilai strategis wilayah pesisir dan laut akan menjadi semakin nyata, seiring dengan terjadinya pergeseran pusat kegiatan ekonomi global dari poros Atlantik ke poros Pasifik. Dalam periode 2001-2010 dan periode 2011-2015, Onishi (2001) memproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi global tahunan rata-rata mencapai 3,0% dan 3,1%. Dalam periode itu pula, wilayah Asia-Pasifik diproyeksikan memiliki laju pertumbuhan ekonomi tahunan di atas rata-rata global, mencapai 4,0% dan 3,8%. Dalam kondisi ini, apabila negara-negara sedang berkembang di wilayah Asia-Pasifik mampu mengatasi persoalan ekonominya melalui kerja sama internasional, maka wilayah Asia-Pasifik diproyeksikan menjadi pusat pertumbuhan utama menyongsong abad 21. Sektor ekonomi kelautan seperti transportasi laut, perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata, pertambangan dan energi serta industri kelautan di wilayah Asia-Pasifik diperkirakan akan menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi pada dekade-dekade mendatang. 2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau perairan. Untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang disebut dengan integrated coastal zone management (ICZM) (Clark, 1998) atau integrated marine and coastal area management (IMCAM) (Klaus et al., 2003). ICZM didisain untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut dalam rangka mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi ekologi (Jorge, 1997). ICZM adalah sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan pemerintah pada level lokal/regional (Holder, 2003; French, 2004) dengan bantuan pemerintah pusat (Clark, 1998). ICZM berkolaborasi dengan berbagai stakeholders, mulai dari masyarakat pesisir, para pelaku dari berbagai sektor ekonomi (misalnya perikanan, pertanian, perindustrian dan pariwisata), para konservasionist dan pemerintah pusat (Jorge, 1997). ICZM berfokus pada pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan dan penanggulangan bencana alam di wilayah pesisir dan laut. Konsep ICZM diarahkan untuk mewarnai pembangunan wilayah pesisir dan laut melalui pendidikan, pengelolaan sumberdaya dan penilaian lingkungan. Di antara instrumen utama ICZM adalah peraturan pemerintah tentang perlindungan biodiversitas dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya; serta penilaian lingkungan yang dapat memprediksi dampak dari berbagai kegiatan pembangunan (Clark, 1998). ICZM mengembangkan keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan sektor swasta serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisir dan laut. Pada tataran perencanaan, ICZM melakukan penilaian terhadap berbagai rencana kegiatan, menyiapkan rencana penanggulangan dampak dan alternatif kegiatan yang menjamin berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Pada tataran pengelolaan, ICZM memberikan guide pada proses pembangunan wilayah pesisir dan laut untuk meningkatkan konservasi sumberdaya dan perlindungan biodiversitas dengan menggunakan berbagai pendekatan. Di antara beberapa pendekatan dasar yang digunakan, Joseph dan Balchand (2000) menekankan pentingnya zoning sebagai pendekatan utama ICZM. Dalam konteks zoning, wilayah pesisir dan laut mengenal beberapa subdivisi zona, yaitu preservation zone, scientific research zone, wilderness zone, national park zone, recreational zone dan general use zone. Zoning telah banyak digunakan oleh negara-negara pantai untuk mengimplementasikan ketentuan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara efektif. Prosedur ini meliputi perizinan, penguasaan lahan serta rehabilitasi dan revisi periodik baik secara administratif maupun ilmiah. Program konservasi wilayah pesisir dan laut yang kaya akan berbagai sumberdaya dipandang penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin cepat. Wilayah pesisir sarat akan berbagai pemanfaatan, seperti permukiman, perdagangan, rekreasi, militer dan industri. Di berbagai belahan dunia, pertumbuhan ekonomi yang unsustainable dan pertumbuhan penduduk yang pesat merupakan faktor penekan utama wilayah pesisir dan laut (Tol et al., 1996). Konversi lahan di wilayah pesisir dan laut untuk berbagai kepentingan berlangsung begitu massive dan berdampak pada terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam dan pencemaran. Beberapa program ICZM yang penting di antaranya adalah meningkatkan produktivitas perikanan dan pendapatan dari sektor wisata, mempertahankan fungsi hutan mangrove, serta melindungi kehidupan dan sumberdaya lainnya dari kerusakan. ICZM menjamin keberlanjutan ekonomi berbasis sumberdaya dalam jangka panjang. Menurut Worm (1998), pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus didasarkan pada kesadaran tentang potensi sumberdaya yang unik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masa depan dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Berkaitan dengan berbagai persoalan yang dihadapi ICZM, Clark (1998) mengemukakan beberapa persoalan penting sebagai berikut: a. Degradasi sumberdaya. Demand terhadap sumberdaya pesisir dan laut sampai saat ini dinilai telah melampaui supply yang tersedia. ICZM menawarkan konsep sustainable use management yang menjamin ketersediaan sumberdaya terbarukan (renewable) untuk saat ini dan masa depan. b. Pencemaran. Pencemaran menyebabkan terjadinya penurunan dayadukung dan kualitas sumberdaya. Pencemaran bersumber dari daratan dan terbawa ke laut melalui sungai. c. Biodiversitas/keanekaragaman hayati. Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi adalah tekanan terhadap spesies yang memiliki nilai etis dan ekonomis tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi spesies yang terancam punah. d. Bencana alam. ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pesisir dan laut dari bencana alam (misalnya banjir, siklon dan amblesan tanah) ke dalam perencanaan pembangunan. e. Kenaikan permukaan air laut (Giles, 2002). Kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer berpotensi menimbulkan banjir yang mengancam kehidupan masyarakat. f. Abrasi pantai. Abrasi merupakan masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal di dekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-struktural seperti penataan kembali garis pantai dan pemeliharaan jarak aman dari garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan. g. Penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak terkendali berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir (misalnya terjadinya penurunan biodiversitas karena pencemaran). ICZM mengantisipasi hal semacam itu dan merekomendasikan solusinya. h. Hinterlands. ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir dan laut. i. Landscape. Landscape wilayah pesisir dan laut bersifat unik, sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan landscape. j. Konflik pemanfaatan sumberdaya. Wilayah pesisir dan laut menyimpan potensi konflik di antara para stakeholders. ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik secara formal. 2.6 Pembangunan Berkelanjutan Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable development) semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun internasional. Saat ini, keberlanjutan (sustainability) telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya (Ekins dan Simon, 2001). The World Commission on Environment and Development (WCED) mendefinisikan pembangunan keberlanjutan sebagai meeting the needs of current generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs (World Commission on Environment and Development, 1987). Selain berorientasi masa depan, secara etis definisi ini juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan hidup antar generasi. Menurut Khanna et al. (1999), pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi dan sosial, sustainability bukanlah endpoint dari sebuah proses, tetapi justru merupakan representasi dari proses itu sendiri. Menurut Cornelissen et al. (2001), sustainability memiliki implikasi pada dinamika pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang berbagai kemungkinan di masa depan. Untuk memulai dan memantau pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, diperlukan kerangka kerja terstandardisasi (standardized framework) yang terbagi dalam 4 tahap (Cornelissen et al., 2001): 1. Mendeskripsikan permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi dan sosial; 3. Menterjemahkan permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh. Menurut Khanna et al. (1999), perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep dayadukung (carrying capacity), peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan bila pola dan level produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung (carrying capacity-based planning process), kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. (1999) me nambahkan, bahwa ekonomi dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas dayadukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan, perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya, aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan. 2.7 Kebijakan Publik di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Permasalahan kebijakan publik di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seringkali muncul pada saat terjadi kesenjangan (diskrepansi) antara kualitas lingkungan pada level aktual dengan level yang dipersyaratkan. Dalam mengatasi persoalan ini, diperlukan kebijakan publik untuk mengendalikan perilaku produksi dan konsumsi masyarakat sehingga kesenjangan di antara kedua level tersebut dapat semakin didekati. Kelemahan institusional dalam implementasi kebijakan, kesalahan dalam perencanaan, prosedur dan penerapan pendekatan berpotensi menimbulkan dampak berupa konflik sosial yang mahal (Masalu, 2000; French, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, Fraser et al. (2006) menyarankan diimplementasikannya multi-stakeholder processes agar tujuan pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan baik. Diperlukan kriteria yang tepat dalam mengevaluasi kebijakan dan untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan terbaik dalam mengatasi permasalahan. Menurut Field dan Field (2002), sejumlah kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan publik di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di antaranya adalah efficiency dan cost-effectiveness, equity, incentives for long-run innovations, enforceability dan agreement with moral precepts. Kebijakan publik yang efficient merupakan kebijakan yang mendorong perilaku masyarakat (konsumen) bergerak ke arah keseimbangan antara marginal abatement cost dan marginal damages. Dengan biaya yang serendah-rendahnya, kebijakan publik yang cost-effective akan menghasilkan peningkatan kualitas lingkungan yang setinggi-tingginya. Kriteria equity (fairness) dalam sebuah kebijakan publik ditunjukkan oleh adanya concern moralitas untuk mendistribusikan benefits dan costs secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Incentives for long-run innovations digunakan untuk mengevaluasi apakah sebuah kebijakan publik mampu memberikan insentif yang kuat bagi individu atau kelompok masyarakat untuk menemukan cara-cara baru yang inovatif untuk mengurangi dampak lingkungan. Kriteria enforceability dalam sebuah kebijakan publik dimaksudkan sebagai penguatan hukum dan dilakukan melalui dua langkah yakni monitoring dan sanctioning. Agreement with moral precepts dimaksudkan agar setiap kebijakan publik dijalankan sepenuhnya dengan tanggung jawab moral yang tinggi. Menurut Sterner (2003) serta Field dan Field (2002), beberapa alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, yaitu decentralized polices, command and control polices dan incentives-based polices. Decentralized polices dimaksudkan sebagai kebijakan publik yang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengelola masalah sendiri. Hal ini bisa ditempuh baik melalui negosiasi informal maupun interaksi yang lebih formal di pengadilan. Sistem desentralisasi pada proses pengambilan keputusan dalam perencanaan wilayah pesisir dan laut terbukti mampu meningkatkan kompatibilitas dan keseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya, penilaian lingkungan dan partisipasi publik (Worm, 1998). Command and control polices merupakan kebijakan publik yang menuntut perilaku masyarakat agar mematuhi standard pengelolaan yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Kebijakan ini mensyaratkan aturan hukum sebagai dasar pengelolaan untuk mencapai level kualitas lingkungan yang diinginkan. Incentives-based polices merupakan kebijakan publik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan melalui mekanisme charges and subsidies. Selain itu juga untuk memperjualbelikan property right yang berupa ijin untuk mengemisikan polutan (discharge permits) kepada pihak lain. 2.8 Sistem Dinamik Menurut Anderson dan Johnson (1997), sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen yang saling berinteraksi, interrelasi atau interdependensi (Kirkwood, 1998) dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek fisik yang dapat disentuh dengan indera (misalnya berbagai spare parts yang menyusun sebuah mobil). Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat intangible seperti aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang seperti feeling, values dan beliefs. Anderson dan Johnson (1997) mengatakan, bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Dynamic systems memiliki mekanisme internal untuk selalu mengalami perubahan sepanjang waktu (Ottosson dan Bjorg, 2003). Dynamic systems digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan di dalam dynamic systems untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara sosial atau individual dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau lingkungan di sekitar pengambil keputusan berada. Model-model sistem dinamik dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagrams) yang saling berhubungan satu sama lain. Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafis dari pemahaman tentang struktur yang sistemik. Diagram ini sangat penting karena memberi panduan tentang bagaimana sistem itu dibangun dan bagaimana sistem itu berperilaku (Kim dan Anderson, 1998). Diagram ini pada dasarnya menggambarkan sistem tertutup. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik dan berupa variabel endogenous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut dipertimbangkan sebagai variabel eksogenous di dalam model. Diagram simpal kausal memainkan peranan penting dalam studi tentang dynamic systems. Selama pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu, diagram simpal kausal juga dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980). Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram; stock and flow diagram) sangat penting untuk memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem. Diagram alir tersusun dari elemen rate, level dan auxiliary (Kirkwood, 1998) yang diorganisasikan dalam sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stock) material atau informasi. Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan atau perubahan di dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari level. Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing feedback loop) dan simpal negatif (balancing feedback loop)(Bellinger, 2004). Simpal positif cenderung untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna dynamic systems merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.