Artikel Memberdayakan Anak Nelayan dan Mengembangkan Ekonomi Daerah Terpencil melalui Lembaga Pendidikan Kelautan dan Perikanan 21/03/2011 - Kategori : Artikel Memberdayakan Anak Nelayan dan Mengembangkan Ekonomi Daerah Terpencil melalui Lembaga Pendidikan Kelautan dan Perikanan Oleh : Nuridin, S.Pi )* Tidak dipungkiri bahwa wilayah laut Indonesia mencapai 75,3 % dari total wilayah NKRI. Di dalam wilayah laut ini terkandung potensi sumberdaya yang sangat bervariasi baik hayati maupun nir-hayati. Potensi sumberdaya kelautan secara utuh meliputi sumberdaya perikanan, minyak bumi dan gas, jasa lingkungan (pariwisata bahari) dan transportasi laut. Jika semua potensi kelautan ini di kelola dengan baik maka diperkirakan 85 % perekonomian Indonesia sangat bergantung pada sumber daya kelautan. Namun sangat disayangkan bahwa paradigma pembangunan ekonomi Indonesia selama ini masih berbasis daratan. Padahal fakta sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya adalah kejayaan Negara (kerajaan) Maritim yang mengandalkan ketahanan ekonomi nasional melalui sentra pelabuhan dan jalur perdagangan laut yang implikasinya rakyat mampu mengembangkan potensi pangan secara mandiri untuk kesejahteraan mereka. Tragedi pemahaman daratan inilah yang sangat dimungkinkan menyebabkan kemiskinan, pengangguran dan krisis pangan meningkat di berbagai daerah terpencil khususnya masyarakat pesisir (nelayan). Visi membangun ekonomi Indonesia berbasis kelautan untuk mengembalikan kejayaan negara maritim ini yang menjadi filosofi berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dibawah mandat Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dalam perkembangannya selama kurun waktu 11 tahun, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan cikal bakal lokomotif pembangunan ekonomi Indonesia tetap konsisten dan menggandeng gerbong (sektor) lain dalam sebuah gerakan “Revolusi Biru” yakni merubah pardigma pembangunan berbasis daratan menuju paradigma pembangunan berbasis kelautan. Gerakan Revolusi Biru ini telah mengeluarkan petisi bersama yang menjadi platform gerakan perubahan yakni memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi; mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; meningkatkan produktifitas dan daya saing berbasis pengetahuan; dan memperluas akses pasar domestik dan internasional. Platform gerakan revolusi Biru ini yang menjadi trade mark (visi dan misi) Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2010 – 2014 dibawah Nakhkoda Dr. Fadel Muhammad melalui visinya “menjadi negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015 dengan misi untuk “mensejahterakan Masyarakat kelautan dan perikanan”. Merubah cara berfikir (paradigma) bangsa Indonesia dari daratan menuju laut layaknya merubah budaya atau kebiasaan masyarakat sehingga dibutuhkan sebuah sistem peradaban dan ini membutuhkan waktu dalam jangka panjang. Sangat beralasan mengapa platform pertama pada Gerakan Revolusi Biru berbunyi “memperkuat kelembagaan dan SDM secara terintegrasi”, maknanya orientasi pendidikan dan kebudayaan menjadi lokomotif pembangunan kelautan Indonesia, dengan kata lain pendidikan kelautan dan perikanan dianggap prioritas gerakan sekarang sekaligus investasi jangka panjang untuk mewujudkan “budaya bahari” yang tujuan utamanya untuk kesejateraan masyarakat kelautan dan perikanan (nelayan). Merupakan tugas mulia jika suatu lembaga pendidikan kelautan dan perikanan ingin mewujudkan sebuah peradaban bangsa yang berbudaya bahari. Sehingga perlu diciptakan sistem pendidikan khusus yang pro-rakyat miskin, pro-fesional dan pro-usaha. Sistem ini yang sedang dikembangkan unit kerja Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang memiliki 12 satuan pendidikan kelautan dan perikanan tersebar di seluruh wilayah kepulauan NKRI dari Ladong–Aceh sampai dengan Sorong-Papua. Salah satu sample kajian sistem pendidikan Pro dalam tulisan ini adalah Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Pariaman. Sebuah manajemen yang baik tidak lepas dari faktor input, process dan output. Demikian halnya dengan manajemen pendidikan di SUPM Negeri Pariaman, tiga faktor tersebut menjadi titik nadir keberhasilan proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan ini. Faktor input merupakan penerimaan (penyeleksian) calon siswa yang diprioritaskan bagi anak pelaku utama perikanan (nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan) yang berprestasi dan sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu (Pro-rakyat miskin). Keluarga nelayan dapat langsung mendaftar ke sekolah atau dapat diusulkan lembaga masyarakat perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) atau juga melalui Dinas Perikanan setempat sebagai putera daerah yang akan dididik dengan biaya subsidi APBN melalui SUPM Negeri Pariaman. Selama proses pendidikan siswa mendapatkan bantuan atau beasiswa pendidikan. Proses Input ini pada hakekatnya adalah setiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran yang layak, sehingga ketika mereka lulus akan tumbuh kesadaran kembali ke daerahnya untuk membangkitkan potensi ekonomi kelautan dan perikanan. Faktor kedua adalah process. Fase ini merupakan cara bagaimana menciptakan lulusan yang terampil, siap pakai dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang berbudi pekerti luhur. SUPM Negeri Pariaman merupakan sekolah vocational (kejuruan) dengan sistem boarding school (pendidikan asrama). Sistem boarding school inilah yang membedakannya dengan sekolah kejuruan lain, dimana terdapat pendidikan kedisiplinan, pembinaan mental, dan kepemimpinan. Dari segi vocational SUPM Negeri Pariaman tidak hanya mengandalkan prinsip link and macth (pendekatan pendidikan dengan dunia industri) saja namun juga tingkat keahlian siswa distandarisasi melalui Standart Kompetensi Kinerja Nasional Indonesia (SKKNI) oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Standart Training Certification and Watchkeeping (STCW) hasil konvensi International Maritime Organisation (IMO) 1978 telah diamandemen 1995. Dengan standarisasi, siswa yang lulus tidak hanya dibekali ijazah kelulusan tetapi juga mendapatkan sertifikat keahlian seperti Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (ANKAPIN) dan Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN) Tingkat II serta sertifikat keterampilan Basic Safety Training (BST) bagi calon perwira kapal ikan domestik maupun internasional. Bagi calon pembudidaya ikan para siswa dipersiapkan sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB). Disamping itu siswa juga belajar kewirausahaan melalui kegiatan praktek swakarya dan unit produksi unggulan pada sarana dan prasarana kapal dan tambak latih di SUPM Negeri Pariaman. Kegiatan ini bertujuan mempersiapkan siswa pada praktek kerja lapangan (PKL) di perusahaan swasta perikanan nasional. Proses inilah dinamakan pendidikan Pro-Fesional yang menjadi jawaban menyiapkan lulusan yang terampil, siap pakai dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang berbudi pekerti luhur. Terakhir faktor output, dimana sistem pendidikan di SUPM Negeri Pariaman akan berhasil manakala tujuan lulusan yang siap pakai menjadi fokus pengembangan sekolah ini. Penekanan faktor output ini dipertegas dengan deklarasi “Pencanangan Gerakan Nasional Masyarakat Minapolitan” pada tanggal 21 Desember 2010 di SUPM Pariaman dengan Deklarator Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Dr. Fadel Muhammad, Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal ini mewakili Menteri Komunikasi dan Informatika RI dan jajaran Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota se-Sumatera Barat. Deklarasi ini bukan hanya acara ceremonial belaka, melainkan momentum pengakuan bahwa pendidikan adalah investasi kader masyarakat di kawasan minapolitan, merupakan kawasan yang mempunyai potensi ekonomi kelautan (perikanan) untuk dikembangkan sebagai sentra produksi perikanan yang dalam perkembangannya dijadikan lokomotif (leading sector) pembangunan ekonomi daerah terpencil. Dari sini jelas bahwa siswa sebagai calon kader pembangunan (agent of change) dan calon masyarakat yang akan kembali ke daerah dengan kondisi sudah siap bekerja atau berwirausaha. Sebagai contoh alumni SUPM Negeri siap bekerja di Kapal Penangkap Ikan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Cermin alumni yang bekerja di kapal luar negeri sangat berbanding terbalik dengan wacana dan realita kekerasan yang terjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Alumni SUPM yang dibekali sertifikat keahlian (ANKAPIN/ATKAPIN) dan sertifikat keterampilan (BST) standart Internasional telah tersebar di Kapal berbendera Jepang, Kanada, Hawai, Spanyol dan negara-negara lain adalah sejarah sukses mereka bekerja yang menghidupi atau meningkatkan taraf hidup keluarga nelayan menjadi keluarga yang mampu. Implikasinya keluarga nelayan sekarang telah mempunyai modal yang cukup untuk mengembangkan usaha perikanan di kampung-kampung minapolitan. Contoh lain alumni yang berkiprah sebagai wirausaha budidaya perikanan, sangat banyak profile alumni yang sukses di bidang budidaya seperti ikan lele, nila, bandeng, kerapu, lobster dan udang vanamae. Kedua contoh tersebut adalah upaya menikmati hasil investasi pendidikan kelautan dan perikanan baik secara langsung ataupun tidak langsung meningkatkan produksi kelautan dan perikanan di berbagai daerah khususnya terpencil yang implikasi langsung meningkatkan kesejahteraan (pendapatan) nelayan. Output pendidikan ini yang dikenal dengan sebutan Pro-Usaha. Jika gerakan ini dilaksanakan di seluruh pelosok nusantara, maka tentunya produksi kelautan dan perikanan dalam skala nasional akan meningkat. Sehingga cita-cita “menjadi negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia” bukanlah sebuah angan-angan belaka melainkan menjadi cita-cita luhur yang patut diperjuangkan bersama karena ini merupakan amanat konsitutusi yakni setiap daerah berhak atas pemerataan pembangunan yang sama guna “Mensejahterakan Masyarakatnya” khususnya masyarakat kelautan dan perikanan yang mayoritas tinggal di 75,3 % wilayah NKRI. )* Penulis adalah guru di SUPM Negeri Pariaman