Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan

advertisement
Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks
Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan
20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks
Cerclage Performed in Week 20–21 of Pregnancy with Cervical Incompetency
Indra Perdana Kusuma, Agus Sulistyono
Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi
FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRACT
Premature delivery is one of the problems in obstetric service. By the increasing knowledge on premature delivery,
methods to overcome the problem are also improved. One of these methods is the use of cerclage. The use of cerclage
in preventing premature delivery has rarely performed since not all premature deliveries requiring cerclage. Cervical
incompetence is a condition in which cerclage can be used to prevent premature delivery. We reported cervical
incompetence in 20-21 week pregnancy with cerclage. This pregnancy could finally became aterm pregnancy. Cervical
length measurement using transvaginal ultrasonography, the length of the cervix was found to be 18 mm. The patient
was subjected to cerclage and monitored up to the time of aterm delivery. The infant was born with caesarean secton
without removing the cerclage. Male infant was born with birthweight of 3850 grams, length 52 cm, with AS 5-8. The
mother was discharged on day 4 in good condition. The infant had neonatal icterus and asymptomatic hypoglycemia
with satisfactory general condition, and was discharged on day 5 due to the request of the family.
Keywords: Cerclage, pregnancy, cervix incompetency
Correspondence: Indra Perdana Kusuma, Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Persalinan prematur merupakan salah satu masalah
dalam pelayanan kebidanan. Persalinan prematur terjadi
kira-kira 10% dari seluruh kehamilan.1 Kematian akibat
persalinan prematur masih merupakan penyebab
kematian perinatal terbesar yaitu sebesar 75% dari
keseluruhan kematian perinatal.2
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan
prematur. Dengan bertambahnya pengetahuan kita
tentang terjadinya persalinan prematur, bertambah pula
cara mengatasinya. Salah satu cara adalah dengan
penggunaan cerclage.3
Penggunaan cerclage dalam mencegah persalinan
prematur belum banyak dilakukan oleh karena tidak
semua persalinan prematur perlu tindakan cerclage.
Inkompetensia serviks adalah keadaan dimana
pemakaian cerclage dapat dipakai untuk mencegah
persalinan prematur. Insidensi inkompetensia serviks
belumlah jelas, diperkirakan berkisar 0,05–1,8%.4
Inkompetensia serviks ditandai dengan adanya
pembukaan serviks tanpa rasa nyeri yang kemudian
diikuti dengan lahirnya janin. Dengan pemakaian
transvaginal ultrasonografi, diusulkan dilakukannya
tindakan cerclage pada serviks yang terlihat memendek.5
Berikut ini adalah laporan inkompetensia serviks pada
kehamilan 20–21 minggu yang dilakukan cerclage, yang
kemudian kehamilannya dapat mencapai aterm.
KASUS
Terdapat satu kasus kehamilan yang dilakukan cerclage
pada usia kehamilan 20–21 minggu. Penderita adalah
seorang wanita berusia 30 tahun dengan riwayat
perkawinan 1 x selama 15 tahun serta riwayat abortus
dilanjutkan kuretase sebanyak 3 x, yaitu pada tahun 1996
dengan usia kehamilan 3 bulan, tahun 1997 pada usia
kehamilan 2 bulan, dan bulan Juni 2002 pada usia
kehamilan 3 bulan. Penderita memiliki riwayat
menstruasi yang tidak teratur, pada saat datang untuk
memeriksakan kandungan tidak diketahui HPHT-nya.
Tidak didapatkan riwayat penggunaan KB.
TATALAKSANA KASUS
Penderita datang pertama kali di Poli Infertilitas RSU Dr.
Soetomo pada tanggal 12 November 2001 karena ingin
punya anak dengan riwayat 2 kali keguguran. Dari
analisis sperma yang dilakukan tanggal 26 Februari 2002
didapatkan hasil oligo astheno teratozoospermia (OATZ).
Dari laporan diagnostik tanggal 15 April 2002
didapatkan diagnosis AP kanan perlekatan dengan usus
dan omentum, namun kedua tuba paten, penderita
78
Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 2 Mei - Agustus 2009 : 78 - 82
mendapatkan terapi konservatif.
Pada tanggal 8 April 2003, dilakukan USG vaginal,
dengan hasil janin intrauterin, CRL 9,6 mm sesuai
dengan usia kehamilan 7–8 minggu, DJJ (+). Tanggal 13
Mei 2003 dilakukan USG vaginal lagi, dengan hasil
janin BPD 19,4 mm sesuai dengan usia kehamilan 12
minggu, aktivitas jantung janin (+).
Pada tanggal 9 Juni 2003 penderita datang ke Poli Hamil
RSU Dr. Soetomo dengan rujukan dari Poli Infertilitas
RSU Dr. Soetomo untuk kontrol kehamilannya. Setelah
dilakukan pemeriksaan, didapatkan hasil tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, dan pernafasan 18
x/menit; DJJ (+), ball (+), his (–). Usia kehamilan
penderita 15–16 minggu. USG dibatalkan oleh karena
alasan teknis. Penderita disimpulkan diagnosis GIVP0-30
15/16 mgg TH + ROJ + HSVB + abortus habitualis +
post work up infertil. Dilakukan KIE, pemberian
roborantia, serta disarankan kontrol ulang 1 bulan
kemudian untuk evaluasi USG ulang.
Penderita datang kembali pada tanggal 15 Juli 2003 ke
Poli Hamil RSU Dr. Soetomo dengan keluhan yang
berkurang dan mulai terasa gerak janin dalam rahim.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, FU ~
pst, ball (+), DJJ (+), his (–), V/V: flux (–), flu (–).
Penderita disimpulkan diagnosis GIVP0-30 20/21 mgg TH
+ ROJ + HSVB + abortus habitualis TBJ 400.
Direncanakan USG ulang dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil USG sebelumnya Kep/T/DJJ (+), BPD 52 mm, FL
37, placenta corpus depan gr I, ketuban cukup, EDC
USG 20/11/2003. Kesimpulan USG adalah kehamilan
sesuai usia 21–22 minggu, penderita disarankan kontrol
pro USG vaginal untuk evaluasi cervical length.
Gambar 1. USG transvaginal tanggal 17 Juli 2003
Berikutnya penderita datang kembali pada tanggal 17
Juli 2003 ke Poli Hamil untuk melakukan USG
transvaginal. Didapatkan hasil kehamilan intra uterin,
dengan kondisi serviks: panjang endoserviks 18 mm,
funneling 7,9 mm, deep 5,3 mm; Terdapat risiko
prematuritas. Dari diskusi tim fetomaternal, karena
sudah ada funelling + pemendekan serviks, serta risiko
prematuritas 5 x normal, maka diputuskan untuk
pemasangan cerclage. Penderita disimpulkan diagnosis
GIVP0-30 20/21 mgg TH + ROJ + HSVB + abortus
habitualis TBJ 400. Perencanaan untuk penderita adalah
MRS di Ruang Bersalin I RSU Dr. Soetomo, bed-rest,
Duphaston 3 x 1, asam mefenamat 3 x 1, Duvadilan 3 x
1, serta rencana cerclage di GBPT RSU Dr. Soetomo.
Pada tanggal 22 Juli 2003 pukul 11.30 dilakukan
cerclage di GBPT dengan teknik McDonald. Terapi
yang diberikan untuk penderita ini pasca cerclage adalah
injeksi Amoxiclav 1 gram, asam mefenamat 3 x 1,
Duphaston 3 x 1, dan bed-rest.
Pada tanggal 25 Juli 2003 penderita sudah diperbolehkan
pulang, dan diminta untuk kontrol ke Poli Hamil RSU Dr.
Soetomo 1 minggu kemudian.
Penderita kemudian kontrol 1 minggu kemudian pada
tanggal 1 Agustus 2003 di Poli Hamil, diagnosis:
GIVP0-30 23/24 minggu. Kontrol selanjutnya pada tanggal
12 Agustus 2003 dengan diagnosis G IVP0-30 25/26
minggu. Penderita kontrol teratur, berikutnya tanggal 26
Agustus 2003 dengan diagnosis GIVP0-30 26/27 minggu,
dan pada tanggal 11 September 2003 dengan diagnosis
GIVP0-30 29/30 minggu.
Pada tanggal 11 September 2003 ini dilakukan swab
vagina dengan hasil Trico (–), Candida (–), GO (–),
Leuko (+). Dari hasil USG yang dilakukan pada tanggal
11 September 2003, didapatkan hasil letak
sungsang/tunggal/hidup, BPD 81,0 mm, FL 61,7 mm ~
31–32 minggu; Placenta corpus depan/II/ketuban cukup.
Pada tanggal 26 September 2003 penderita kembali
datang ke Poli Hamil untuk kontrol, diagnosis: GIVP0-30
79
Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks
31–32 minggu. Dari hasil USG didapatkan letak
sungsang/tunggal/hidup, BPD 81,5 mm, FL 62,4 mm ~
31–32 minggu; Placenta fundus/II/ketuban cukup.
Pada tanggal 10 Oktober 2003 penderita kontrol kembali
ke Poli Hamil dengan diagnosis GIVP0-30 32–33 minggu.
Kemudian kontrol lagi pada tanggal 24 Oktober 2003
dengan diagnosis GIVP0-30 35–36 minggu. Dari hasil
USG
didapatkan
letak
oblique
kepala
kanan/tunggal/hidup, FL 70,5 mm ~ 37 minggu; Placenta
corpus depan/II/ketuban cukup. Diusulkan untuk
terminasi pada usia kehamilan 38–39 minggu.
Penderita kontrol berikutnya pada tanggal 30 Oktober
2003 dengan diagnosis GIVP0-30 36–37 minggu. Dari
hasil USG didapatkan letak kepala/tunggal/hidup, BPD
93,2 mm, FL 71,7 mm ~ 37–38 minggu; Placenta
fundus/III/ketuban cukup. Dilakukan pula NST dengan
hasil BL ± 130, Var 6–8, FAD reaktif, dengan
kesimpulan Normal NST. Diusulkan untuk segera
terminasi.
Pada tanggal 30 Oktober 2003 pukul 12.35 dilakukan
LSCS di Kamar Operasi IRD RSU Dr. Soetomo, dan
lahir bayi laki-laki/3850/52/5–8. Pada tanggal 3
November 2003 di Ruang Bersalin I RSU Dr. Soetomo,
diagnosis penderita menjadi P1-31 post SC hari IV.
Penderita diperbolehkan pulang.
Gambar 2. Gambaran NST tanggal 30 Oktober 2003
Pada tanggal 13 November 2003 penderita kontrol ke
Poli Nifas RSU Dr. Soetomo, didapatkan lochea (+)
sedikit, tekanan darah 110/80 mmHg, FU 3 jari a simp,
luka operasi baik, V/V lochea (+), bau (–). Diagnosis
penderita menjadi P1-31 post SC hari 14. Diberikan
roborantia.
Pada tanggal 15 Januari 2004 penderita kembali kontrol
ke Poli Nifas dengan keluhan keluar darah
sedikit-sedikit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 110/70 mmHg, FU 3 jari a simp, luka
operasi baik, V/V dbN, lochea (±). Diagnosis penderita
menjadi P1-31 post SC 2 bulan. Diberikan roborantia.
Status bayi pada tanggal 30 Oktober 2003 di NICU IRD
RSU Dr. Soetomo, bayi lahir laki-laki di IRD pada
tanggal 30-10-2003 jam 12.35, BB 3850 g, PB 52 cm,
AS 5–8, dengan gerak tangis lemah, AICD (–), HR 150
x/menit, pernafasan 48 x/menit, genitalia ♂, testis +/+,
DS: 38–39 mg LS > 90%. Diagnosis: neonatus aterm +
BMK + asfiksia sedang. Diberikan Dekstrostik,
ASI/PASI 8 x 30 cc/24 jam, dan injeksi vitamin K 1 mg
i.m.
Pada tanggal 1 November 2003 di Ruang Transisi RSU
Dr. Soetomo didapatkan bayi ikterus (+). Pada tanggal 2
November 2003 didapatkan ikterus (+), Dekstrostik 
20–40. Pada tanggal 3 November 2003 didapatkan
ikterus (+), Dekstrostik  20–40, hasil pemeriksaan
laboratorium GDA 66, H v/d B 14,0. Direncanakan
untuk fototerapi.
Pada tanggal 4 November 2003 didapatkan ikterus (+),
hasil pemeriksaan laboratorium GDA 105, H v/d B 11,8.
Bayi dibawa pulang (pulang paksa) oleh keluarga.
Pada tanggal 24 Agustus 2004 didapatkan keluhan
penderita kadang-kadang keluar cairan vagina agak
banyak. Disarankan untuk melakukan kontrasepsi
dengan metode coitus interuptus. Bayi dalam keadaan
sehat.
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini yang menjadi permasalahan
adalah
bagaimana
menegakkan
diagnosis,
penatalaksanaan, mulai tindakan cerclage, sampai
persalinan, serta bagaimana untuk kehamilan berikutnya.
Inkompetensia serviks merupakan salah satu penyebab
terjadi persalinan dengan bayi prematur yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya. Bila didapatkan rekam medis
yang baik dan terdapat riwayat yang khas yang
menunjukkan adanya inkompetensia serviks, memanglah
tidak sulit. Tetapi saat ini sulit untuk mendapatkan
rekam medis yang baik. Untuk mendiagnosis perlu suatu
80
Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 2 Mei - Agustus 2009 : 78 - 82
kriteria atau ultrasonografi yang membantu memutuskan
dilakukannya cerclage.
Pada penderita ini, riwayat inkompetensia serviks tidak
khas, tetapi dengan ultrasonografi didiagnosis sebagai
inkompetensia serviks. Pada tanggal 15 Juli 2003
diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan panjang serviks.
Pada penderita yang diduga terdapat kecurigaan
inkompetensia serviks pemeriksaan panjang serviks
dengan transvaginal untrasonografi merupakan cara yang
baik untuk menilai serviks. Dengan mengukur panjang
serviks diharapkan dapat mengenali adanya risiko
terjadinya persalinan prematur.6,7
Pengukuran panjang serviks dengan menggunakan
transvaginal ultrasonografi telah dipakai sebagai patokan
untuk menilai kemampuan serviks cerclage. Dibanding
dengan transabdominal, pengukuran panjang serviks
menggunakan transvaginal ultrasonografi lebih akurat,
oleh karena pada transvaginal ultrasonografi tidak
tergantung pada pengisian kandung kemih.8
Pada pemeriksaan transvaginal ultrasonografi pada
tanggal 17 Juli 2003 didapatkan panjang serviks 18 mm
dengan funelling 79 mm. Althuisius menggunakan
batasan 25 mm pada kehamilan < 27 minggu sebagai
batas dimana dilakukan cerclage. Dengan panjang
serviks kurang dari 25 mm, kemungkinan terjadinya
persalinan prematur meningkat 3,3 kali.9 Dengan
panjang serviks kurang dari 22 mm mempunyai
kemungkinan terjadi persalinan prematur kira-kira 9,5
kali.6 Bila kita menemukan panjang serviks antara 25–35
mm dapat dilakukan pemeriksaan ulang panjang serviks
selang 1 bulan. Bila dalam pemeriksaan ulang selang
satu bulan panjang serviks berkurang 1 cm dari panjang
maka kemungkinan terjadinya persalinan prematur
meningkat menjadi 6,8 kali.10
Pada penderita ini dilakukan cerclage pada kehamilan
20–21 minggu di kamar operasi. Teknik yang dipakai
pada penderita ini menggunakan teknik McDonald.
Pertimbangan pemakaian suatu teknik tergantung dari
operator, dimana teknik McDonald ini lebih sederhana,
cepat, dan tidak perlu menyisihkan kandung kemih.11
Pada penderita ini diberikan antibiotik profilaksis dengan
amoxicillin-asam clavulanat 1 g intravena diulang 6 jam
kemudian. Juga diberikan duphaston 3 x 1 dan asam
mefenamat 3 x 500 mg. Pemakaian obat-obatan ini tidak
berlebihan bila merujuk pada Althuisius yang
memberikan antibiotik amoxicillin-asam clavulanat 1 g
intravena diulang tiap 6 jam dan metronidazole intravena
tiap 8 jam selama 24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan
amoxicillin-asam clavulanat 500 mg oral tiap 8 jam dan
metronidazole 500 mg oral tiap 8 jam. Selain itu
penderita juga mendapat indometacin supp 100 mg pada
2 jam menjelang tindakan dan 6 jam setelah
tindakan.12,13
Setelah
dilakukan
cerclage
akan
didapatkan
pemanjangan serviks. Pemanjangan serviks setelah
cerclage akan meningkat dari rata-rata 21 mm menjadi
34 mm diukur dari puncak funelling sampai ostium
eksterna.7 Sedangkan keseluruhan panjang serviks yaitu
dari dasar funelling sampai ostium eksterna tetap sama.
Cerclage juga mengurangi lebar ostium interna yang
mengalami funelling.14
Pada penderita ini selama pasca tindakan cerclage tidak
didapatkan keluhan adanya tanda infeksi, keluarnya air
ketuban, perdarahan, maupun munculnya kontraksi
uterus. Yang perlu dihindari setelah tindakan cerclage
elektif pada kehamilan adalah hubungan seks, berdiri
lama (lebih 90 menit), dan mengangkat berat. Sedangkan
pada penderita yang dilakukan cerclage segera dan
emergensi perlu tirah baring yang lebih lama dan bila
perlu dirawat di rumah sakit.15
Persalinan pada penderita ini dilakukan dengan operasi.
Cerclage pada penderita ini tidak dilepas. Persalinan
dengan elektif operasi sesar kira-kira terjadi pada 3–18%
kasus kehamilan dengan cerclage.11 Pada penderita yang
masih menginginkan anak lagi tidak harus melepas
cerclage. Namun bila sudah tidak menginginkan anak
lagi, cerclage seharusnya dilepas.16,17
Pada penderita ini kehamilannya mencapai aterm dengan
berat lahir 3850 gram. Dalam menyikapi keberhasilan ini
kita harus berhati-hati. Beberapa studi meta-analisis
menunjukkan bahwa cerclage yang dilakukan pada
penderita dengan panjang serviks yang pendek, tidak
mencegah terjadinya persalinan prematur.2,18 Hal ini
menjadikan kita bertanya apakah benar cerclage dapat
menurunkan kejadian persalinan prematur. Ini bisa
terjadi oleh karena dipakainya berbagai penelitian yang
berbeda dengan cara dan metode penelitian yang
berbeda.
Pada
kedua
meta-analisis
tersebut
menggunakan patokan penelitian yang melibatkan
panjang serviks yang pendek sebagai indikasi dilakukan
cerclage. Ada hal mendasar yang membuat hasil
penelitian tersebut terpolarisasi pada bermanfaat dan
tidak bermanfaatnya cerclage dalam mencegah
terjadinya persalinan prematur, yaitu adanya riwayat
yang mengarah ke risiko tinggi terjadinya inkompetensia
serviks. Pada penelitian yang mengambil sampel dengan
riwayat risiko tinggi terjadinya inkompetensia serviks,
hasil penelitian akan menunjukkan bahwa cerclage
menurunkan terjadinya persalinan prematur seperti
ditunjukkan oleh Althuisius.12,13 Sedangkan bila
penelitian tersebut hanya mempertimbangkan panjang
serviks saja pada transvaginal ultrasonografi, akan
menunjukkan bahwa cerclage tidak menurunkan
terjadinya persalinanan prematur seperti yang
ditunjukkan oleh penelitian Rust, dkk. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Rust, dkk, skrining dilakukan pada
penderita baik itu risiko tinggi terjadinya persalinan
prematur maupun pada penderita dengan risiko rendah.19
Oleh karena itu, adanya riwayat yang mengarah ke
81
Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks
inkompetensia serviks merupakan hal yang harus
dipertimbangkan sebelum kita melakukan cerclage,
sehingga tindakan tersebut bermanfaat dan tidak
berlebihan.
Pada bayi, pada hari kedua didapatkan ikterus
neonatorum, kemudian pada hari keempat didapatkan
kadar bilirubin 14,7 mg/dl. Hal ini mungkin terjadi
ikterus yang fisiologis dimana terjadi peningkatan
bilirubin yang membebani hati dimana hati mengalami
kesulitan dalam membersihkan bilirubin dalam plasma.
Fungsi hati mengikat bilirubin bebas dalam plasma, dan
kemudian diekskresi melalui ginjal bayi. Bahkan pada
bayi prematur kadar bilirubin dapat meningkat diatas 15
mg/dl. Pada ikterus neonatorum yang nonfisiologis
terjadi peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl
perhari dan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl pada bayi
aterm.20 Kemudian pada hari keempat dilakukan
fototerapi. Pada hari kelima kadar bilirubin turun
menjadi 11,8 mg/dl. Kemudian pada hari keempat
penderita ini didapatkan hipoglikemia asimtomatik dari
pemeriksaan dengan dekstrostik (20–40 mg/dl) yang
kemudian dievaluasi ulang menggunakan kimia darah
ternyata menunjukkan kadar 66 mg/dl. Kemudian pada
hari kelima didapatkan kadar gula darah 105 mg/dl. Pada
hari kelima bayi diminta untuk pulang oleh keluarganya.
Untuk kehamilan berikutnya sepenuhnya tergantung dari
rencana pasangan tersebut. Pada penderita tersebut
dimana cerclage tidak dilepas, menjadikan penderita
tersebut tidak perlu menjalani pemasangan cerclage lagi.
Pelepasan cerclage dilakukan bila pasangan tersebut
sudah tidak menginginkan lagi tambahan anak.16,17
KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus kehamilan yang dilakukan
cerclage pada kehamilan 20–21 minggu dengan riwayat
abortus sebanyak tiga kali. Pada pengukuran panjang
serviks dengan transvaginal ultrasonografi didapatkan
panjang serviks 18 mm. Kemudian pada penderita ini
dilakukan cerclage dan dilakukan pemantauan sampai
kehamilan tersebut mencapai aterm. Bayi dilahirkan
dengan operasi sesar dengan tanpa melepaskan cerclage.
Bayi lahir laki-laki dengan berat lahir 3850 gram,
panjang 52 cm, dengan AS 5–8. Ibu pulang pada hari
keempat dengan keadaan baik. Sedangkan bayi
mengalami ikterus neonatorum dan hipoglikemi
asimtomatik dengan keadaan umum yang baik,
kemudian diminta pulang oleh keluarga pada hari
kelima.
DAFTAR PUSTAKA
1. Craigo SD. Cervical incompetence and preterm delivery. N
Engl J Med. 1996; 334:595–6.
2. Belej-Rak T, Okun N, Windrim R, et al. Effectiveness of
cervical cerclage for sonographically shortened cervix: a
systematic review and meta analysis. Am J Obstet Gynecol.
2003; 189:1679–87.
3. Cunningham FG, Gant NF, et al. Abortion. In: Williams
obstetrics. 21st ed. The McGraw-Hill Companies. 2001;
862–5.
4. Althuisius SM, Dekker GA, Hummel P, et al. Final results
of the cervical incompetence prevention randomized
cerclage trial (CIPRACT): therapeutic cerclage with bed
rest versus bed rest alone. Am J Obstet Gynecol. 2001;
185:1106–12.
5. Kurup M, Goldkrand JW. Cervical incompetent: elective,
emergent, or urgent cerclage. Am J Obstet Gynecol. 1999;
181:240.
6. Iams JD, Goldenberg RL, Meis PJ, et al. The length of the
cervix and the risk of spontaneous premature delivery. N
Engl J Med. 1996; 334:567–72.
7. Althuisius SM, Dekker GA, Geijn HP, Hummel P. The
effect of therapeutic McDonald cerclage oc cervical length
as assessed by transvaginal ultrasonography. Am J Obstet
Gynecol. 1999; 180:366–70.
8. Brown JE, Thieme GA, Shah DM, et al. Transabdominal
and transvaginal endosonography: evaluation of the cervix
and lower uterine segment in pregnancy. Am J Obstet
Gynecol. 1986; 155:721–6.
9. Owen J, Yost N, Berghella V, et al. Mid-trimester
endovaginal sonography in women at high risk for
spontaneous preterm birth. JAMA. 2001; 286:1340–8.
10.Naim A, Haberman S, Burgess T, et al. Changes in cervical
length and the risk of preterm labor. Am J Obstet Gynecol.
2002; 186:887–9.
11.Harger JH. Cerclage and cervical insufficiency: an
evidence-based
analysis.
Obstet
Gynecol.
2002;
100:1313–27.
12.Althuisius SM, Dekker GA, Geijn HP, et al. Cervical
incompetence prevention randomized cerclage trial
(CIPRACT): study design and preeliminary results. Am J
Obstet Gynecol. 2000; 183:823–9.
13.Althuisius SM. General introduction. In: Cervical
incompetence, you better believe it. Amsterdam. 2001.
11–14.
14.Rust OA, Atlas RO, Meyn J, et al. Does cerclage location
influence perinatal outcome? Am J Obstet Gynecol. 2003;
189:1688–91.
15.Iams JD. Cervical incompetence. In: Creasy R.
Fetal-maternal medicine. 4th ed. WB Saunders. 1999;
445–64.
16.Barth WH Jr. Operative procedures on the cervix. In:
Hankins GDV, Clark SL, Cunningham FG, Gilstrap III LC
(ed). Operative obstetrics. Connecticut: Appleton & Lange.
1995; 573–96.
17.Scott JR. Early pregnancy loss. In: Scott JR, DiSaia PJ,
Hammond CB, Spellacy WN. Danforth’s obstetrics and
gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 1999; 143–53.
18.Drakeley AJ, Roberts D, Alfirefic Z. Cervical cerclage for
prevention of preterm delivery: Meta-analysis of
randomized trials. Obstet Gynecol. 2003; 102:621–7.
19.Rust OA, Atlas RO, Jones KJ, et al. A randomized trial of
cerclage versus no cerclage among patients with
ultrasonographycally detected second-trimester preterm
dilatation of the internal os. Am J Obstet Gynecol. 2000;
183:830–5.
20.Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Stark AR (ed). Manual of neonatal care. Little, Brown and
Company. 1991; 298–334.
82
Download