Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks Cerclage Performed in Week 20–21 of Pregnancy with Cervical Incompetency Indra Perdana Kusuma, Agus Sulistyono Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya ABSTRACT Premature delivery is one of the problems in obstetric service. By the increasing knowledge on premature delivery, methods to overcome the problem are also improved. One of these methods is the use of cerclage. The use of cerclage in preventing premature delivery has rarely performed since not all premature deliveries requiring cerclage. Cervical incompetence is a condition in which cerclage can be used to prevent premature delivery. We reported cervical incompetence in 20-21 week pregnancy with cerclage. This pregnancy could finally became aterm pregnancy. Cervical length measurement using transvaginal ultrasonography, the length of the cervix was found to be 18 mm. The patient was subjected to cerclage and monitored up to the time of aterm delivery. The infant was born with caesarean secton without removing the cerclage. Male infant was born with birthweight of 3850 grams, length 52 cm, with AS 5-8. The mother was discharged on day 4 in good condition. The infant had neonatal icterus and asymptomatic hypoglycemia with satisfactory general condition, and was discharged on day 5 due to the request of the family. Keywords: Cerclage, pregnancy, cervix incompetency Correspondence: Indra Perdana Kusuma, Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Persalinan prematur merupakan salah satu masalah dalam pelayanan kebidanan. Persalinan prematur terjadi kira-kira 10% dari seluruh kehamilan.1 Kematian akibat persalinan prematur masih merupakan penyebab kematian perinatal terbesar yaitu sebesar 75% dari keseluruhan kematian perinatal.2 Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan prematur. Dengan bertambahnya pengetahuan kita tentang terjadinya persalinan prematur, bertambah pula cara mengatasinya. Salah satu cara adalah dengan penggunaan cerclage.3 Penggunaan cerclage dalam mencegah persalinan prematur belum banyak dilakukan oleh karena tidak semua persalinan prematur perlu tindakan cerclage. Inkompetensia serviks adalah keadaan dimana pemakaian cerclage dapat dipakai untuk mencegah persalinan prematur. Insidensi inkompetensia serviks belumlah jelas, diperkirakan berkisar 0,05–1,8%.4 Inkompetensia serviks ditandai dengan adanya pembukaan serviks tanpa rasa nyeri yang kemudian diikuti dengan lahirnya janin. Dengan pemakaian transvaginal ultrasonografi, diusulkan dilakukannya tindakan cerclage pada serviks yang terlihat memendek.5 Berikut ini adalah laporan inkompetensia serviks pada kehamilan 20–21 minggu yang dilakukan cerclage, yang kemudian kehamilannya dapat mencapai aterm. KASUS Terdapat satu kasus kehamilan yang dilakukan cerclage pada usia kehamilan 20–21 minggu. Penderita adalah seorang wanita berusia 30 tahun dengan riwayat perkawinan 1 x selama 15 tahun serta riwayat abortus dilanjutkan kuretase sebanyak 3 x, yaitu pada tahun 1996 dengan usia kehamilan 3 bulan, tahun 1997 pada usia kehamilan 2 bulan, dan bulan Juni 2002 pada usia kehamilan 3 bulan. Penderita memiliki riwayat menstruasi yang tidak teratur, pada saat datang untuk memeriksakan kandungan tidak diketahui HPHT-nya. Tidak didapatkan riwayat penggunaan KB. TATALAKSANA KASUS Penderita datang pertama kali di Poli Infertilitas RSU Dr. Soetomo pada tanggal 12 November 2001 karena ingin punya anak dengan riwayat 2 kali keguguran. Dari analisis sperma yang dilakukan tanggal 26 Februari 2002 didapatkan hasil oligo astheno teratozoospermia (OATZ). Dari laporan diagnostik tanggal 15 April 2002 didapatkan diagnosis AP kanan perlekatan dengan usus dan omentum, namun kedua tuba paten, penderita 78 Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 2 Mei - Agustus 2009 : 78 - 82 mendapatkan terapi konservatif. Pada tanggal 8 April 2003, dilakukan USG vaginal, dengan hasil janin intrauterin, CRL 9,6 mm sesuai dengan usia kehamilan 7–8 minggu, DJJ (+). Tanggal 13 Mei 2003 dilakukan USG vaginal lagi, dengan hasil janin BPD 19,4 mm sesuai dengan usia kehamilan 12 minggu, aktivitas jantung janin (+). Pada tanggal 9 Juni 2003 penderita datang ke Poli Hamil RSU Dr. Soetomo dengan rujukan dari Poli Infertilitas RSU Dr. Soetomo untuk kontrol kehamilannya. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, dan pernafasan 18 x/menit; DJJ (+), ball (+), his (–). Usia kehamilan penderita 15–16 minggu. USG dibatalkan oleh karena alasan teknis. Penderita disimpulkan diagnosis GIVP0-30 15/16 mgg TH + ROJ + HSVB + abortus habitualis + post work up infertil. Dilakukan KIE, pemberian roborantia, serta disarankan kontrol ulang 1 bulan kemudian untuk evaluasi USG ulang. Penderita datang kembali pada tanggal 15 Juli 2003 ke Poli Hamil RSU Dr. Soetomo dengan keluhan yang berkurang dan mulai terasa gerak janin dalam rahim. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, FU ~ pst, ball (+), DJJ (+), his (–), V/V: flux (–), flu (–). Penderita disimpulkan diagnosis GIVP0-30 20/21 mgg TH + ROJ + HSVB + abortus habitualis TBJ 400. Direncanakan USG ulang dan pemeriksaan laboratorium. Hasil USG sebelumnya Kep/T/DJJ (+), BPD 52 mm, FL 37, placenta corpus depan gr I, ketuban cukup, EDC USG 20/11/2003. Kesimpulan USG adalah kehamilan sesuai usia 21–22 minggu, penderita disarankan kontrol pro USG vaginal untuk evaluasi cervical length. Gambar 1. USG transvaginal tanggal 17 Juli 2003 Berikutnya penderita datang kembali pada tanggal 17 Juli 2003 ke Poli Hamil untuk melakukan USG transvaginal. Didapatkan hasil kehamilan intra uterin, dengan kondisi serviks: panjang endoserviks 18 mm, funneling 7,9 mm, deep 5,3 mm; Terdapat risiko prematuritas. Dari diskusi tim fetomaternal, karena sudah ada funelling + pemendekan serviks, serta risiko prematuritas 5 x normal, maka diputuskan untuk pemasangan cerclage. Penderita disimpulkan diagnosis GIVP0-30 20/21 mgg TH + ROJ + HSVB + abortus habitualis TBJ 400. Perencanaan untuk penderita adalah MRS di Ruang Bersalin I RSU Dr. Soetomo, bed-rest, Duphaston 3 x 1, asam mefenamat 3 x 1, Duvadilan 3 x 1, serta rencana cerclage di GBPT RSU Dr. Soetomo. Pada tanggal 22 Juli 2003 pukul 11.30 dilakukan cerclage di GBPT dengan teknik McDonald. Terapi yang diberikan untuk penderita ini pasca cerclage adalah injeksi Amoxiclav 1 gram, asam mefenamat 3 x 1, Duphaston 3 x 1, dan bed-rest. Pada tanggal 25 Juli 2003 penderita sudah diperbolehkan pulang, dan diminta untuk kontrol ke Poli Hamil RSU Dr. Soetomo 1 minggu kemudian. Penderita kemudian kontrol 1 minggu kemudian pada tanggal 1 Agustus 2003 di Poli Hamil, diagnosis: GIVP0-30 23/24 minggu. Kontrol selanjutnya pada tanggal 12 Agustus 2003 dengan diagnosis G IVP0-30 25/26 minggu. Penderita kontrol teratur, berikutnya tanggal 26 Agustus 2003 dengan diagnosis GIVP0-30 26/27 minggu, dan pada tanggal 11 September 2003 dengan diagnosis GIVP0-30 29/30 minggu. Pada tanggal 11 September 2003 ini dilakukan swab vagina dengan hasil Trico (–), Candida (–), GO (–), Leuko (+). Dari hasil USG yang dilakukan pada tanggal 11 September 2003, didapatkan hasil letak sungsang/tunggal/hidup, BPD 81,0 mm, FL 61,7 mm ~ 31–32 minggu; Placenta corpus depan/II/ketuban cukup. Pada tanggal 26 September 2003 penderita kembali datang ke Poli Hamil untuk kontrol, diagnosis: GIVP0-30 79 Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks 31–32 minggu. Dari hasil USG didapatkan letak sungsang/tunggal/hidup, BPD 81,5 mm, FL 62,4 mm ~ 31–32 minggu; Placenta fundus/II/ketuban cukup. Pada tanggal 10 Oktober 2003 penderita kontrol kembali ke Poli Hamil dengan diagnosis GIVP0-30 32–33 minggu. Kemudian kontrol lagi pada tanggal 24 Oktober 2003 dengan diagnosis GIVP0-30 35–36 minggu. Dari hasil USG didapatkan letak oblique kepala kanan/tunggal/hidup, FL 70,5 mm ~ 37 minggu; Placenta corpus depan/II/ketuban cukup. Diusulkan untuk terminasi pada usia kehamilan 38–39 minggu. Penderita kontrol berikutnya pada tanggal 30 Oktober 2003 dengan diagnosis GIVP0-30 36–37 minggu. Dari hasil USG didapatkan letak kepala/tunggal/hidup, BPD 93,2 mm, FL 71,7 mm ~ 37–38 minggu; Placenta fundus/III/ketuban cukup. Dilakukan pula NST dengan hasil BL ± 130, Var 6–8, FAD reaktif, dengan kesimpulan Normal NST. Diusulkan untuk segera terminasi. Pada tanggal 30 Oktober 2003 pukul 12.35 dilakukan LSCS di Kamar Operasi IRD RSU Dr. Soetomo, dan lahir bayi laki-laki/3850/52/5–8. Pada tanggal 3 November 2003 di Ruang Bersalin I RSU Dr. Soetomo, diagnosis penderita menjadi P1-31 post SC hari IV. Penderita diperbolehkan pulang. Gambar 2. Gambaran NST tanggal 30 Oktober 2003 Pada tanggal 13 November 2003 penderita kontrol ke Poli Nifas RSU Dr. Soetomo, didapatkan lochea (+) sedikit, tekanan darah 110/80 mmHg, FU 3 jari a simp, luka operasi baik, V/V lochea (+), bau (–). Diagnosis penderita menjadi P1-31 post SC hari 14. Diberikan roborantia. Pada tanggal 15 Januari 2004 penderita kembali kontrol ke Poli Nifas dengan keluhan keluar darah sedikit-sedikit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, FU 3 jari a simp, luka operasi baik, V/V dbN, lochea (±). Diagnosis penderita menjadi P1-31 post SC 2 bulan. Diberikan roborantia. Status bayi pada tanggal 30 Oktober 2003 di NICU IRD RSU Dr. Soetomo, bayi lahir laki-laki di IRD pada tanggal 30-10-2003 jam 12.35, BB 3850 g, PB 52 cm, AS 5–8, dengan gerak tangis lemah, AICD (–), HR 150 x/menit, pernafasan 48 x/menit, genitalia ♂, testis +/+, DS: 38–39 mg LS > 90%. Diagnosis: neonatus aterm + BMK + asfiksia sedang. Diberikan Dekstrostik, ASI/PASI 8 x 30 cc/24 jam, dan injeksi vitamin K 1 mg i.m. Pada tanggal 1 November 2003 di Ruang Transisi RSU Dr. Soetomo didapatkan bayi ikterus (+). Pada tanggal 2 November 2003 didapatkan ikterus (+), Dekstrostik 20–40. Pada tanggal 3 November 2003 didapatkan ikterus (+), Dekstrostik 20–40, hasil pemeriksaan laboratorium GDA 66, H v/d B 14,0. Direncanakan untuk fototerapi. Pada tanggal 4 November 2003 didapatkan ikterus (+), hasil pemeriksaan laboratorium GDA 105, H v/d B 11,8. Bayi dibawa pulang (pulang paksa) oleh keluarga. Pada tanggal 24 Agustus 2004 didapatkan keluhan penderita kadang-kadang keluar cairan vagina agak banyak. Disarankan untuk melakukan kontrasepsi dengan metode coitus interuptus. Bayi dalam keadaan sehat. PEMBAHASAN Pada laporan kasus ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana menegakkan diagnosis, penatalaksanaan, mulai tindakan cerclage, sampai persalinan, serta bagaimana untuk kehamilan berikutnya. Inkompetensia serviks merupakan salah satu penyebab terjadi persalinan dengan bayi prematur yang sulit untuk ditegakkan diagnosisnya. Bila didapatkan rekam medis yang baik dan terdapat riwayat yang khas yang menunjukkan adanya inkompetensia serviks, memanglah tidak sulit. Tetapi saat ini sulit untuk mendapatkan rekam medis yang baik. Untuk mendiagnosis perlu suatu 80 Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 17 No. 2 Mei - Agustus 2009 : 78 - 82 kriteria atau ultrasonografi yang membantu memutuskan dilakukannya cerclage. Pada penderita ini, riwayat inkompetensia serviks tidak khas, tetapi dengan ultrasonografi didiagnosis sebagai inkompetensia serviks. Pada tanggal 15 Juli 2003 diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan panjang serviks. Pada penderita yang diduga terdapat kecurigaan inkompetensia serviks pemeriksaan panjang serviks dengan transvaginal untrasonografi merupakan cara yang baik untuk menilai serviks. Dengan mengukur panjang serviks diharapkan dapat mengenali adanya risiko terjadinya persalinan prematur.6,7 Pengukuran panjang serviks dengan menggunakan transvaginal ultrasonografi telah dipakai sebagai patokan untuk menilai kemampuan serviks cerclage. Dibanding dengan transabdominal, pengukuran panjang serviks menggunakan transvaginal ultrasonografi lebih akurat, oleh karena pada transvaginal ultrasonografi tidak tergantung pada pengisian kandung kemih.8 Pada pemeriksaan transvaginal ultrasonografi pada tanggal 17 Juli 2003 didapatkan panjang serviks 18 mm dengan funelling 79 mm. Althuisius menggunakan batasan 25 mm pada kehamilan < 27 minggu sebagai batas dimana dilakukan cerclage. Dengan panjang serviks kurang dari 25 mm, kemungkinan terjadinya persalinan prematur meningkat 3,3 kali.9 Dengan panjang serviks kurang dari 22 mm mempunyai kemungkinan terjadi persalinan prematur kira-kira 9,5 kali.6 Bila kita menemukan panjang serviks antara 25–35 mm dapat dilakukan pemeriksaan ulang panjang serviks selang 1 bulan. Bila dalam pemeriksaan ulang selang satu bulan panjang serviks berkurang 1 cm dari panjang maka kemungkinan terjadinya persalinan prematur meningkat menjadi 6,8 kali.10 Pada penderita ini dilakukan cerclage pada kehamilan 20–21 minggu di kamar operasi. Teknik yang dipakai pada penderita ini menggunakan teknik McDonald. Pertimbangan pemakaian suatu teknik tergantung dari operator, dimana teknik McDonald ini lebih sederhana, cepat, dan tidak perlu menyisihkan kandung kemih.11 Pada penderita ini diberikan antibiotik profilaksis dengan amoxicillin-asam clavulanat 1 g intravena diulang 6 jam kemudian. Juga diberikan duphaston 3 x 1 dan asam mefenamat 3 x 500 mg. Pemakaian obat-obatan ini tidak berlebihan bila merujuk pada Althuisius yang memberikan antibiotik amoxicillin-asam clavulanat 1 g intravena diulang tiap 6 jam dan metronidazole intravena tiap 8 jam selama 24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan amoxicillin-asam clavulanat 500 mg oral tiap 8 jam dan metronidazole 500 mg oral tiap 8 jam. Selain itu penderita juga mendapat indometacin supp 100 mg pada 2 jam menjelang tindakan dan 6 jam setelah tindakan.12,13 Setelah dilakukan cerclage akan didapatkan pemanjangan serviks. Pemanjangan serviks setelah cerclage akan meningkat dari rata-rata 21 mm menjadi 34 mm diukur dari puncak funelling sampai ostium eksterna.7 Sedangkan keseluruhan panjang serviks yaitu dari dasar funelling sampai ostium eksterna tetap sama. Cerclage juga mengurangi lebar ostium interna yang mengalami funelling.14 Pada penderita ini selama pasca tindakan cerclage tidak didapatkan keluhan adanya tanda infeksi, keluarnya air ketuban, perdarahan, maupun munculnya kontraksi uterus. Yang perlu dihindari setelah tindakan cerclage elektif pada kehamilan adalah hubungan seks, berdiri lama (lebih 90 menit), dan mengangkat berat. Sedangkan pada penderita yang dilakukan cerclage segera dan emergensi perlu tirah baring yang lebih lama dan bila perlu dirawat di rumah sakit.15 Persalinan pada penderita ini dilakukan dengan operasi. Cerclage pada penderita ini tidak dilepas. Persalinan dengan elektif operasi sesar kira-kira terjadi pada 3–18% kasus kehamilan dengan cerclage.11 Pada penderita yang masih menginginkan anak lagi tidak harus melepas cerclage. Namun bila sudah tidak menginginkan anak lagi, cerclage seharusnya dilepas.16,17 Pada penderita ini kehamilannya mencapai aterm dengan berat lahir 3850 gram. Dalam menyikapi keberhasilan ini kita harus berhati-hati. Beberapa studi meta-analisis menunjukkan bahwa cerclage yang dilakukan pada penderita dengan panjang serviks yang pendek, tidak mencegah terjadinya persalinan prematur.2,18 Hal ini menjadikan kita bertanya apakah benar cerclage dapat menurunkan kejadian persalinan prematur. Ini bisa terjadi oleh karena dipakainya berbagai penelitian yang berbeda dengan cara dan metode penelitian yang berbeda. Pada kedua meta-analisis tersebut menggunakan patokan penelitian yang melibatkan panjang serviks yang pendek sebagai indikasi dilakukan cerclage. Ada hal mendasar yang membuat hasil penelitian tersebut terpolarisasi pada bermanfaat dan tidak bermanfaatnya cerclage dalam mencegah terjadinya persalinan prematur, yaitu adanya riwayat yang mengarah ke risiko tinggi terjadinya inkompetensia serviks. Pada penelitian yang mengambil sampel dengan riwayat risiko tinggi terjadinya inkompetensia serviks, hasil penelitian akan menunjukkan bahwa cerclage menurunkan terjadinya persalinan prematur seperti ditunjukkan oleh Althuisius.12,13 Sedangkan bila penelitian tersebut hanya mempertimbangkan panjang serviks saja pada transvaginal ultrasonografi, akan menunjukkan bahwa cerclage tidak menurunkan terjadinya persalinanan prematur seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Rust, dkk. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rust, dkk, skrining dilakukan pada penderita baik itu risiko tinggi terjadinya persalinan prematur maupun pada penderita dengan risiko rendah.19 Oleh karena itu, adanya riwayat yang mengarah ke 81 Kusuma dan Sulistyono : Tindakan Cerclage yang Dilakukan pada Kehamilan 20–21 Minggu dengan Inkompetensia Serviks inkompetensia serviks merupakan hal yang harus dipertimbangkan sebelum kita melakukan cerclage, sehingga tindakan tersebut bermanfaat dan tidak berlebihan. Pada bayi, pada hari kedua didapatkan ikterus neonatorum, kemudian pada hari keempat didapatkan kadar bilirubin 14,7 mg/dl. Hal ini mungkin terjadi ikterus yang fisiologis dimana terjadi peningkatan bilirubin yang membebani hati dimana hati mengalami kesulitan dalam membersihkan bilirubin dalam plasma. Fungsi hati mengikat bilirubin bebas dalam plasma, dan kemudian diekskresi melalui ginjal bayi. Bahkan pada bayi prematur kadar bilirubin dapat meningkat diatas 15 mg/dl. Pada ikterus neonatorum yang nonfisiologis terjadi peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari dan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl pada bayi aterm.20 Kemudian pada hari keempat dilakukan fototerapi. Pada hari kelima kadar bilirubin turun menjadi 11,8 mg/dl. Kemudian pada hari keempat penderita ini didapatkan hipoglikemia asimtomatik dari pemeriksaan dengan dekstrostik (20–40 mg/dl) yang kemudian dievaluasi ulang menggunakan kimia darah ternyata menunjukkan kadar 66 mg/dl. Kemudian pada hari kelima didapatkan kadar gula darah 105 mg/dl. Pada hari kelima bayi diminta untuk pulang oleh keluarganya. Untuk kehamilan berikutnya sepenuhnya tergantung dari rencana pasangan tersebut. Pada penderita tersebut dimana cerclage tidak dilepas, menjadikan penderita tersebut tidak perlu menjalani pemasangan cerclage lagi. Pelepasan cerclage dilakukan bila pasangan tersebut sudah tidak menginginkan lagi tambahan anak.16,17 KESIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus kehamilan yang dilakukan cerclage pada kehamilan 20–21 minggu dengan riwayat abortus sebanyak tiga kali. Pada pengukuran panjang serviks dengan transvaginal ultrasonografi didapatkan panjang serviks 18 mm. Kemudian pada penderita ini dilakukan cerclage dan dilakukan pemantauan sampai kehamilan tersebut mencapai aterm. Bayi dilahirkan dengan operasi sesar dengan tanpa melepaskan cerclage. Bayi lahir laki-laki dengan berat lahir 3850 gram, panjang 52 cm, dengan AS 5–8. Ibu pulang pada hari keempat dengan keadaan baik. Sedangkan bayi mengalami ikterus neonatorum dan hipoglikemi asimtomatik dengan keadaan umum yang baik, kemudian diminta pulang oleh keluarga pada hari kelima. DAFTAR PUSTAKA 1. Craigo SD. Cervical incompetence and preterm delivery. N Engl J Med. 1996; 334:595–6. 2. Belej-Rak T, Okun N, Windrim R, et al. Effectiveness of cervical cerclage for sonographically shortened cervix: a systematic review and meta analysis. Am J Obstet Gynecol. 2003; 189:1679–87. 3. Cunningham FG, Gant NF, et al. Abortion. In: Williams obstetrics. 21st ed. The McGraw-Hill Companies. 2001; 862–5. 4. Althuisius SM, Dekker GA, Hummel P, et al. Final results of the cervical incompetence prevention randomized cerclage trial (CIPRACT): therapeutic cerclage with bed rest versus bed rest alone. Am J Obstet Gynecol. 2001; 185:1106–12. 5. Kurup M, Goldkrand JW. Cervical incompetent: elective, emergent, or urgent cerclage. Am J Obstet Gynecol. 1999; 181:240. 6. Iams JD, Goldenberg RL, Meis PJ, et al. The length of the cervix and the risk of spontaneous premature delivery. N Engl J Med. 1996; 334:567–72. 7. Althuisius SM, Dekker GA, Geijn HP, Hummel P. The effect of therapeutic McDonald cerclage oc cervical length as assessed by transvaginal ultrasonography. Am J Obstet Gynecol. 1999; 180:366–70. 8. Brown JE, Thieme GA, Shah DM, et al. Transabdominal and transvaginal endosonography: evaluation of the cervix and lower uterine segment in pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 1986; 155:721–6. 9. Owen J, Yost N, Berghella V, et al. Mid-trimester endovaginal sonography in women at high risk for spontaneous preterm birth. JAMA. 2001; 286:1340–8. 10.Naim A, Haberman S, Burgess T, et al. Changes in cervical length and the risk of preterm labor. Am J Obstet Gynecol. 2002; 186:887–9. 11.Harger JH. Cerclage and cervical insufficiency: an evidence-based analysis. Obstet Gynecol. 2002; 100:1313–27. 12.Althuisius SM, Dekker GA, Geijn HP, et al. Cervical incompetence prevention randomized cerclage trial (CIPRACT): study design and preeliminary results. Am J Obstet Gynecol. 2000; 183:823–9. 13.Althuisius SM. General introduction. In: Cervical incompetence, you better believe it. Amsterdam. 2001. 11–14. 14.Rust OA, Atlas RO, Meyn J, et al. Does cerclage location influence perinatal outcome? Am J Obstet Gynecol. 2003; 189:1688–91. 15.Iams JD. Cervical incompetence. In: Creasy R. Fetal-maternal medicine. 4th ed. WB Saunders. 1999; 445–64. 16.Barth WH Jr. Operative procedures on the cervix. In: Hankins GDV, Clark SL, Cunningham FG, Gilstrap III LC (ed). Operative obstetrics. Connecticut: Appleton & Lange. 1995; 573–96. 17.Scott JR. Early pregnancy loss. In: Scott JR, DiSaia PJ, Hammond CB, Spellacy WN. Danforth’s obstetrics and gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 1999; 143–53. 18.Drakeley AJ, Roberts D, Alfirefic Z. Cervical cerclage for prevention of preterm delivery: Meta-analysis of randomized trials. Obstet Gynecol. 2003; 102:621–7. 19.Rust OA, Atlas RO, Jones KJ, et al. A randomized trial of cerclage versus no cerclage among patients with ultrasonographycally detected second-trimester preterm dilatation of the internal os. Am J Obstet Gynecol. 2000; 183:830–5. 20.Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Stark AR (ed). Manual of neonatal care. Little, Brown and Company. 1991; 298–334. 82