BAB II INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL 1965 DAN JEJARING ADVOKASI INTERNASIONAL KASUS 1965 A. PROFIL IPT 165 Foundation 1. Profil dan Struktur Kelembagaan IPT 1965 Foundation International People’s Tribunal 1965 Foundation (IPT 1965) secara resmi berdiri pada 18 Maret 2014 di Belanda. Sekretariat dari IPT 1965 Foundation berlokasi di Amsterdam dengan memusatkan aktivitas di dua negara sekaligus, yaitu Indonesia dan Amsterdam. Tujuan pembentukan IPT 1965 Foundation ini adalah sebagai syarat legal-formal dalam rangka penyelenggaraan Pengadilan Publik Internasional terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 1965 di Den Haag, Belanda, dan kegiatan advokasi lainnya terkait kasus 1965. Secara struktural, IPT 1965 terdiri dari Board of the Foundation, Organizing Committee, dan International Steering Committee. Selain itu, IPT 1965 juga membentuk koordinator (country coordinator) di tiga belas negara, yaitu di Australia, Inggris, Jerman, Swedia, Prancis, Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Skotlandia, Thailand, termasuk di Belanda dan Indonesia sendiri. Country coordinator bertanggung jawab untuk membangun jejaring dengan NGO lokal dimasing-masing negara. Sementara, untuk bisa melakukan aktivitasnya secara legal di Indonesia, Yayasan IPT 1965 bekerjasama dengan APIK (Asosiasi Perempuan 36 37 Indonesia untuk Keadilan) yang bertanggung jawab untuk urusan administrasi, serta menggunakan fasilitas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) untuk keperluan ke sekretariatan . Berbeda dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan beberapa organisasi NGO lainnya, Yayasan IPT 65 tidak melakukan penyelidikan khusus dengan membentuk tim ad hoc. Yaysan IPT 1965 hanya mengumpulkan dan menganalisa hasil penyidikan dan penelitian yang sudah tersedia untuk kemudian dibawa ke pengadilan. 2. Dukungan terhadap IPT 1965 dan Pengadilan Publik Kasus 1965 Sebelum dan sesudah digelarnya pengadilan publik, IPT 1965 lebih menghimpun banyak dukungan dari organisasi dan individu dalam skala internasional, hal ini memang sejalan dengan rancangan awal dibentuknya IPT 1965 sendiri, yaitu untuk menarik atensi publik internasional terlebih dahulu, pembentukan country coordinator merupakan bagian paling penting dari beberapa strategi advokasi agar informasi mengenai penyelenggaraan pengadilan publik kasus 1965 bisa diketahui lebih luas oleh publik internasional. Selain melibatkan jejaring organisasi-non pemerintah yang fokus pada isu hak asasi manusia, IPT 65 juga mendapatkan dukungan dari para individu dari berbagai latar belakang, sarjana internasional, seniman, sampai pada pejabat atau mantan pejabat negara. 38 a) Organisasi dan Institusi Pendidikan Berbagai organisasi pro hak asasi manusia yang mendukung IPT 1965 dan gelaran pengadilan publik kasus 1965 berasal dari Indonesia dan berbagai negara, dan kebanyakan dari organisasi yang mendukung IPT 1965 memiliki jejaring internasional. Untuk organisasi dalam negeri yang mendukung IPT 1965 diantaranya : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ELSAM, KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran), KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), LPH YAPHI (Lembaga Pengabdian Hukum Yekti Angudi Piyadeging Hukum Indonesia), JPIT (Jaringan Perempuan Indonesia Timur), dan para aktivis muda progresif Nahdatul Ulama (NU) yang tergabung dalam jaringan Gur Durian.1 Sementara untuk organisasi internasional diantaranya : AJAR (Asian Justice and Rights), Amnesty Internasional (AI), Human Right Watch (HRW), Justice for Iran (JFI), Asia Pacific Solidarity Network (APSN), Europe solidaire sans frontières (ESSF), Nuhanovic Foundation, College voor de Rechten van de Mens, Lesio Basso Foundation, dan Betrand Russel Peace Foundation (BRPF), Coalition for the International Criminal Court (CICC), International Commission of Jurists (ICJ), Asian Human Rights Commission 1 Tribunal 1965, “Narrative Report of the IPT 1965”. http://www.tribunal1965.org/narrative-report-of-the-ipt-1965/ diakses pada 20 September 2016 39 (AHRC), International Center for Transitional Justice (ICTJ), dan TAPOL,.2 Selain organisasi non-pemerintah, IPT 1965 mendapatkan dukungan dan bekerjasama dengan beberapa universitas untuk menyelenggarakan berbagi kegiatan diskusi, lokakarya, seminar, dan kegiatan serupa, beberapa universitas didalam negeri diantaranya ; Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang, Universitas Medan, Universitas Airlangga, Universitas Andalas, dan Universitas Kristen Satya Wacana.3 Dukungan bukan hanya datang dari institusi pendidikan dalam negeri, beberapa universitas di luar Indonesia pun menggelar berbagai kegiatan menjelang dilaksanakannya pengadilan publik, diantaranya ; Amsterdam University, University of Vienna, University of Bonn, Australian Institute of International Affairs (AIIA), Australian National University (ANU), Herb Feith Foundation, Monash University, dan School of Asian Studies (SOAS), University of London. Keterlibatan organisasi dan institusi pendidikan diatas tersebut beragam, mulai dari distribusi informasi, pengolah hasil penelitian, konsultasi, sampai dengan menyerahkan hasil-hasil penyeledikan yang 2 Nama-nama dari organisasi ini penulis olah melalui kegiatan-kegiatan yang di inisiasi secara mandiri oleh organisasi tersebut terkait IPT 1965 dan pengadilan publik 1965 , walapun tidak secara langsung memberikan pernyataan dukungan kepada IPT 1965. 3 Tribunal 1965, “Narrative Report of the IPT 1965”. http://www.tribunal1965.org/narrative-report-of-the-ipt-1965/ diakses pada 20 September 2016 40 telah dilakukan sebelumnya untuk dijadikan rujukan tambahan pada saat gelaran pengadilan. Namun dari beberapa organisasi tersebut diatas, Amnesty Internasional dan Human Right Watch adalah organisasi yang paling besar berkontribusi. Selain keduanya adalah organisasi pro-hak asai manusia terbesar di dunia, mereka juga terus melakukan penyelidikan dan upaya-upaya lain terkait peristiwa 1965-1966 dengan serius. Dalam gelaran pengadilan publik kasus 1965, para jaksa menggunakan laporan yang disusun oleh Amesty Internasional pada tahun 1977. Laporan itu bukan hanya mendukung bukti-bukti yang telah ada, namun juga menjadikannya sebagai dokumen utama untuk melengkapi kesaksian para korban.4 Sementara Human Right International melakukan berbagai upaya guna menekan pemerintah Amerika Serikat untuk mendeklasifikasi arsip terkait komunikasi Gedung Putih, Keduataan Besar AS di Jakarta, dan para pejabat negara yang diduga mengetahu dan terlibat dalam peristiwa 1965 dan gelombang kekerasan pada tahun-tahun setelahnya. Upaya ini pernah dilakukan Human Right Watch untuk mendesak Presiden Obama membuka dokumen penting terkait Dirty Wars di Brazil dan Argentina. Pada bulan April 2016, Human Right Watch juga melakukan pertemuan dengan beberapa 4 Pada tahun 1977, Amnesty International menerbitkan laporan terkait gelombang kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 1965 – 1966 dan tahun-tahun setelahnya, lihat Amnesty International, Indonesia: An Amnesty International report (London: Amnesty International Publications, 1977). 41 perwakilan pemerintah untuk membicarakan permintaan resmi pemerintah Indonesia kepada pemerintah AS, karena dengan adanya permintaan resmi dari pemerintah Indonesia sendiri, pemerintah AS akan dengan memberikan respon.5 Sebelumnya Komnas HAM juga telah mengirimkan permintaan secara resmi terkait deklasifikasi dokumen rahasia kepada pemerintah AS, namun belum mendapatkan tanggapan sejak dikirimkannya permintaan. b) Individu Selain para individu yang telibat secara struktural dalam IPT 1965 Foundation, dan individu-individu yang terlibat dalam gelaran persidangan. Terdapat beberapa nama yang mempunyai reputasi internasional dari beragam latar belakang, mulai dari kalangan akademisi sampai mantan pejabat dan pejabatan negara yang juga mendukung langkah IPT 65. Dukungan mereka terhadap gelaran IPT 1965 terlihat dari aktivitas mereka secara kongkrit, maupun dari publikasi yang terbit dimedia-media internasional. Sebagian besar memang berasal dari kalangan akademisi seperti : John Roosa (British Columbia University), Bennedict Anderson (Cornel University), Robert Cribb, Ariel Heryanto (Australian National University), David Reeve (University of South Wales), Tariq Ali (Oxford University), dan Noam Chomsky (MIT). 5 Human Rights Watch and KontraS Press Conference, Indonesia: Remarks by Kenneth Roth, Executive Director, https://www.hrw.org/news/2016/04/13/indonesia-remarks-kenneth-rothexecutive-director diakes pada 30 Juli 2016 42 Selain para akademisi, dukungan pun datang dari pejabat dan mantan pejabatat negara. Beberapa diantara adalah Peter Dale Scott, mantan Diplomat Kanada yang juga Professor di University of California, Barkley. Ia menulis beberapa artikel penting tekait peristiwa 1965. Kemudian Gareth Evans, mantan Menteri Luar Negeri Australia, dan Tom Udall, anggota senat AS yang menerbitkan resolusi untuk mendorong pemerintah AS mendklasifikasikan dokumen terkait peristiwa 1965. 3. Pendanaan Dalam melalukan kegiatannya, IPT 1965 menghimpun pendanaan melalui penggalangan dana (crowd-funding) serta sumbangan pribadi dari individu dan organisasi.6 Dalam narrative report IPT 1965, hanya mencantumkan Solidariteit en Weerbaarheid Foundation sebagai donatur, beberapa organisasi dan individu menolak untuk mencantumkan namanya sebagai donatur karena alasan politik.7 6 Informasi mengenai crowd-funding IPT 1965 https://www.pifworld.com/en/nonprofits/oim10shI2oc/ipt1965/about diakses pada 20 September 2016 7 Tribunal 1965, “Narrative Report of the IPT 1965”. http://www.tribunal1965.org/narrative-report-of-the-ipt-1965/ diakses pada 20 September 2016 43 B. Gelaran Pengadilan Publik Internasional untuk Kasus 1965/1966 1. Rangkaian Sesi Testimoni Para Korban dan Tim Ahli Pengadilan Publik Internasional nuntuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia tahun 1965/1966 digelar selama tiga hari, dari tanggal 10 sampai 13 November 2015 dengan bertempat di Kota Den Haag, Sidang dibuka oleh Koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana, Kepala jaksa, Todung Mulya Lubis, kemudian diikuti dengan pembacaan pernyataan pembukaan dan pengantar surat dakwaan. Dalam setiap sesi, panitera mengundang perwakilan dari pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Inggis, dan Australia. Namun sampai pada sesi terakhir di hari ke-empat, tidak ada perwakilan dari pemerintah negara-negara tersebut yang hadir dalam persidangan. Enam dari tujuh Tim Jaksa dalam pengadilan ini sendiri merupakan advokat berkewarganegaan Indonesia, yaitu : Todung Mulya Lubis, Antarini Arna, Sri Suparyati, Bahrein van Halen, Uli Parulian Sihombing, serta Silke Studzinsky, advokat yang juga merupakan ahli Kekerasan Seksual berkebangsaan Jerman. Sedangkan yang bertugas sebagai panitera dalam persidangan ini adalah Szilvia Csevár, ahli Hukum Publik Internasional dengan pengalaman yang luas dalam hukum pidana internasional, hukum humaniter dan standar hak asasi manusia. Szilvia Csevár juga merupakan Legal Officer dalam International Lawyers for West Papua (ILWP). 44 Kemudian, terdapat tujuh nama yang sudah tidak asing lagi dalam jajaran hakim yang bertugas dalam pengadilan ini, yaitu : Frantz Fanon, ahli hukum internasional berkebangsaan Prancis ini merupakan anggota dari Permanent People’s Tribunal, terlibat dalam beberapa pengadilan public, dan menjabat sebagai ketua UN Working Group of Experts on People of African Descent. Cees Flinterman, mantan anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Flinterman juga pernah menjadi anggota Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), saat ini ia menjadi Profesor Kehormatan Hukum Internasional Hak Asasi Manusia di Maastricht University, Belanda. John Gittings, seorang ahli China modern, Perang Dingin dan studi perdamaian. Saat ini Gittings menjabat sebagai research associate di School of Oriental and African Studies (SOAS), China Institute. Helen Jarvis, Wakil Presiden Permanent People’s Tribunal (PTT) dan anggota Komite Penasehat Internasional di UNESCO’s Memory of the World program. Jarvis juga pernah menjadi kepala seksi dukungan korban dalam Extraordinary CHAMbers in the Courts of Cambodia (ECCC). 45 Sir Geoffrey Nice, Mantan jaksa dalam kasus Slobodan Milosevic di Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia (ICTY) dan jaksa kasus ICTY lainnya. Shadi Sadr, Pengacara hak asasi manusia berkebangsaan Iran, dan Direktur organisasi non-pemerintah Justice for Iran. Zak Yacoob, Mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, yang juga pernah menjabat sebagai Mantan Universitas Durban-Westville. Pemilihan tujuh hakim ini adalah hasil dari rekomendasi yang diberikan dewan penasihan IPT 1965 Foundation yang sudah berkonsultasi dengan para ahli dan praktisi pengadilan public internasional. Semua hakim yang terlibat dalam pengadilan ini juga pernah setidaknya satu kali terlibat dalam pengadilan publik internasional terkait pelanggaran HAM berat. Pada hari pertama, sidang digelar untuk mendengarkan kesaksian dari korban terkait tuntutan Pembunuhan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dalam sesi pertama, dihadiri oleh dua saksi ahli, yaitu Dr. Leslie Dwyer, Associate Professor di The School for Conflict Anlysis & Resolution (S-CAR), Amerika Serikat. Dalam sesi ke-dua adalah tuntutat Perbudakan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan, saksi ahli dalam sesi ini adalah Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 46 Sesi Ke-tiga dimulai dengan kesaksian dua korban terkait tuntutan Pemenjaraan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dr. Saskia Weiringa, yang menjabat sebagai Profesor di Universitas Amsterdam. Sesi ke-empat sastrawan Martin Aleida menjadi saksi langsung atau korban terkait tuntutan Penyiksan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dalam sesi kelima, Dr. Saskia Weiringa kembali menjadi saksi ahli dalam tuntutan Kekerasan Seksual sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Sesi ke-enam adalah tuntutan terkait Persekusi (Persecution)8, khususnya dalam kasus pencabutan passport sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dengan Penghilangan Paksa menghadirkan sebagai dua Kejahatan saksi/korban. terhadap Tuntutan Kemanusiaan dilaksanakan dalam sesi ke-tujuh dengan menghadirkan dua saksi/korban. Sesi ke-delapan adalah tuntutan terkait Persekusi melalui Propaganda Kebencian dengan menghadirkan dua saksi ahli, yaitu Dr. Saskia Weiringa dan Dr. Wijaya Herlambang. Pada akhir sesi ke-delapan, hadir Komisioner Komnas HAM, Dr. Dianto Bachriadi, dan Mariana Amirudin, Komisioner Komnas Perempuan untuk memberikan keterangan terkait penyelidikan pro-justicia yang dilakukan dua lembaga negara itu. Namun keduanya bukan hadir sebagai wakil dari pemerintah Indonesia, namun secara pribadi. 8 Persecution (Persekusi) adalah penganiayaan sistematis individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain. Dalam hal ini, bentuk persekusi adalah persekusi berlatar belakang motif politik. 47 Pada terakhir, 13 November 2016, dilakukan audiensi dengan dua saksi ahli terkait Keterlibatan Negara-Negara Lain dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dua saksi ahli yang memberikan keterangan adalah Dr. Bradly Simpson, Associate Professor di University of Connecticut, AS. Bradly Simpon juga telah menulis banyak buku terkait kebijakan luar negari Amerika Serikat dan Indonesia. Sementara Dr. Wijaya Herlambang menyusun thesis Ph.D nya dengan meniliti kekerasan budaya dan propaganda yang dilakukan pemerintah orde baru, serta keterlibatan lembaga kebudayaan internasional yang berada dibawah komando CIA dengan kejadian 1965-1966. 2. Temuan dan Putusan Pengadilan Publik Putusan dari hasil persidangan dibacakan pada 20 Juni 2016, selang Sembilan bulan pasca-gelaran persidangan. Laporan keputusan final IPT 1965 ini memuat temuan dan 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dimana Indonesia harus bertanggung jawab dan dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, 10 tindakan kejahatan kemanusiaan itu adalah : 1. Pembunuhan. Jumlah orang yang terbunuh kemungkinan besar diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 orang. Namun, mengingat bahwa kasus ini masih dirahasiakan, jumlah korban sebenarnya bisa lebih tinggi atau mungkin saja lebih rendah. Pembunuhan brutal yang terjadi menyeluruh merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atau hukum Indonesia, termasuk UU KUHP pasal 138 dan 140, 48 khususnya UU No20/2000. Pembunuhan yang terjadi merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 2. Hukuman Penjara. Data statistik yang ada tidak cukup untuk menunjukkan berapa jumlah sebenarnya orang ditahan, termasuk tahanan buruh paksa dan budak virtual, namun diperkirakan jumlahnya sekitar 600.000 orang dan mungkin saja lebih besar dari itu. Tindakan pemenjaraan yang tidak melalui proses hukum adalah sebuah bentuk kejahatan di Indonesia dan di sebagian besar banyak negara pada waktu itu. Tindakan pemenjaraan tanpa pengadilan juga merupakan sebuah tindakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan pelanggaran UU No. 26/2000. Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 3. Perbudakan. Ada bukti cukup yang menunjukkan bahwa orangorang yang ditahan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930 juga juga pelanggaran atas hukum Indonesia, terutama UU No.26/2000. Tindakan tersebut juga merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 49 4. Penyiksaan. Adanya bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyiksaan dalam skala besar yang dilakukan terhadap tahanan pada masa terjadinya pembunuhan massal dan pemenjaraan. Banyak kejadian penyiksaaan direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan dan pada kasuskasus individual yang digambarkan dalam pernyataan saksi dan bukti tertulis. Ada peraturan ekplisit di sistim perundangundangan Indonesia yang menentang penyiksaan, kemudian ada larangan total terhadap tindakan penyiksaan dalam hukum internasional. Tindakan penyiksaan ini merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 5. Penghilangan secara paksa. Adanya bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya tindakan penghilangan secara paksa dalam skala besar, yang terkadang dilakukan sebelum memenjarakan atau menyiksa korban, sementara pada kasus-kasus lainnya, nasib para korban tidak pernah diketahui. Bukti-bukti ini terdapat dalam laporan Komnas HAM dan diberikan oleh saksi dan studi kasus yang di hadapan sidang Tribunal. Penghilangan secara paksa dilarang dalam hukum internasional. Tindakan penghilangan secara paksa ini merupakan bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 50 6. Kekerasan seksual. Bukti adanya kekerasan seksual yang tercatat pada laporan Komnas perempuan dan diserahkan baik secara lisan maupun tulisan terbukti menyakinkan. Bukti-bukti detil yang diberikan pada sidang Tribunal semua saling mendukung fakta dan memberikan gambaran akan adanya tindakan kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan yang diduga terlibat dengan PKI. Tindakan kekerasan ini meliputi pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Bentuk-bentuk kekerasan ini telah dan masih dinyatakan sebagai tindakan kejahatan, khususnya Undang-undang No. 26/2000, dan juga termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari serangan sistematik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. 7. Pengasingan. Para warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya. Aturan atas tindakan pengasingan yang dipaksa atau terjadi secara sukarela, selain merupakan tindakan tidak manusiawi, adalah merupakan bentuk serangan menyeluruh sebuah negara terhadap warga negaranya sendiri dan mungkin merupakan sebuah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. 8. Propaganda. Versi resmi atas apa yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya sepenuhnya tidak benar. Fakta yang sebenarnya terjadi diketahui oleh para pimpinan militer di 51 bawah Jendral Suharto dari sejak awal namun kemudian sengaja dipelintir untuk kepentingan propaganda. Kampanye propaganda yang disebar terkait orang-orang yang terlibat dengan PKI membenarkan tindakan penuntutan hukum, penahahan dan pembunuhan para tersangka dan melegitimasi kekerasan seksual dan segala tindakan tidak manusiawi yang dilakukan. Propaganda yang bertahan selama 3 dekade ini memberikan kontribusi tidak hanya pada penolakan terpenuhinya hak sipil para penyintas dan juga pemberhentian tuntutan atas mereka. Menyebarkan propaganda sesat untuk tujuan melakukan tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan kekerasan itu sendiri. Tindakan mempersiapkan sebuah kejahatan tidak bisa dipisahkan dari kejahatan itu sendiri. Bentuk persiapan semacam ini memberikan jalan dan merupakan bagian awal dari serangan sesungguhnya. 9. Keterlibatan negara lain. Amerika, Inggris dan Australia semua terlibat atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda. Amerika memberi dukungan cukup kepada militer Indonesia, dengan mengetahui bahwa mereka akan melakukan sebuah pembunuhan massal, tindakan kejahatan atas dugaan keterlibatan negaranegara lain dalam kejahatan terhadap kejahatan dengan demikian dijustifikasi. Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI dimana ada dugaan bahwa akan adanya 52 penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut. Inggris dan Australia melakukan kampanye propaganda yang menyesatkan berulang-ulang dari pihak militer dan mereka melanjutkannya dengan peraturan, bahkan setelah terbukti bahwa tindakan pembunuhan dan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan benar-benar terjadi secara massal dan tidak pandang bulu. Hal ini membenarkan dugaan akan adanya keterlibatan negara-negara lain dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah di negara-negara yang disebutkan di atas menyadari dan mengetahui penuh apa yang sedang terjadi di Indonesia melalui laporan diplomatik dari kontak yang berada di lapangan atau dari media barat. 10. Genosida. Fakta-fakta yang dihadirkan di Sidang Tribunal oleh penuntut termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Tindakan-tindakan tersebut dilakuan untuk melawan bagian substansif negara Indonesia atau kelompok nasional, sebuah kelompok yang dilindungi dalam konvensi genosida. Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina. 53 Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.9 Laporan ini menghimbau pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa pengecualian: 1. Minta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara dalam kaitanya dengan peristiwa 1965. 2. Menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. 3. Memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas. Selain himbauan kepada pemerintah Indonesia, laporan ini juga mendesak semua otoritas terkait untuk ikut menagih pada pemerintah Indonesia. Secara khusus pada Jaksa Agung agar untuk segera menindaklanjuti laporan penyelidikan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan 1965 oleh Komnas HAM. Hakim IPT juga meminta pemerintah agar dilakukan rehabilitasi untuk korban dan penyintas serta menghentikan pengejaran (persekusi) yang masih dilakukan oleh pihak berwajib, atau menghilangkan pembatasan-pembatasan bagi para korban 9 Tribunal 1965, “Ringkasan Temuan dan Rekomendasi Sidang IPT 1965”. http://www.tribunal1965.org/id/ringkasan-temuan-dan-rekomendasi-sidang-ipt-1965/ diakses pada 01 Juli 2016 54 dan penyintas, sehingga mereka dapat menikmati sepenuhnya hak asasi manusia seperti yang dijamin oleh hukum Indonesia dan internasional. 3. Petisi Untuk Mendeklasifikasikan Dokumen Diplomatik dan Intejen AS terkait Peristiwa 1965/1966 Keterlibatan Amerika Serikat dan sekutunya dalam peritiwa 1965 yang terjadi di Indonesia sangat terkait dengan kepentingan geopolitik blok Barat pada masa perang dingin. Presiden Soekarno pada saat itu lebih memilih untuk menunjukan keberpihakannya pada poros Peking-Hanoi setalah AS terbukti mendukung pemberontakan yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi tahun 1958. Bagi blok Barat, Indonesia adalah kawasan strategis untuk menjaga negara-negara lain yang berada dikawasan Asia-Pasifik agar tidak jatuh ke tangan blok Timur. Berbagai aktivitas militer dan politik blok barat untuk mengintervensi Indonesia dipusatkan di Singapura dan Malaysia. Peristiwa malam 30 September 1965 merupakan kesempatan baik bagi AS untuk menjatuhkan Soekarno, PKI dan para pendukungnya secara bertahap. Bennedict Anderson dan Ruth McVey adalah akademisi yang pertama melakukan analisa mengenai ketelibatan AS dalam peristiwa 1965, dokumen akademik yang dikenal dengan sebutan Cornell Paper tersebut dipublikasikan pada 1971. Sejak pertama kali diterbitkan, Cornell Paper dilarang beredar di Indonesia karena merupakan versi yang sangat berbeda dengan versi yang ditulis oleh pemerintah Indonesia. Karena 55 menolak tawaran revisi dari pemerintah Indonesia terkait analisis kudeta 30 September 1965, George McTurnan Kahin, direktur dari Project Modern Indonesia Cornell University, dan Bennedict Anderson dilarang untuk mengunjungi Indonesia.10 Kahin diijinkan untuk mengunjungi Indonesia lagi pada tahun 1991,11 sementara Ben Anderson baru diijinkan untuk mengunjungi Indonesia pada tahun 1999, setelah Soeharto lengser.12 Sampai saat ini, Cornell Paper masih menjadi salah-satu rujukan utama mengenai kudeta 30 September 1965, sekaligus berkontribusi pada pengembangan penelitian-penelitian lain mengenai keterlibatan AS dalam pembersihan anggota PKI pada 1965/1966. Selain didukung oleh publikasi akademik, keterlibatan AS dalam kudeta dan pembersihan PKI diakui sendiri oleh para diplomat dan pejabat intelejen yang pernah bekerja di Indonesia pada periode 1960-an. Konsensus ini menjadikan AS tidak bisa dipisahkan dari peristiwa 1965, dunia internasional mulai menaruh perhatian pada tanggung jawab moral AS untuk bertanggung jawab pada salah-satu tragedi kemanusiaan terbesar di abad ke 20 ini. Berbagai tuntutan muncul, baik dari masyarakat maupun para pejabat beberapa negara terkait. Dalam kurun waktu tiga tahun (2014 – 2016) muncul beberapa desakan kepada pemerintah AS untuk mendeklasifikasikan dokumen diplomatik dan arsip intelejen (CIA) yang berkaitan dengan peristiwa 10 Euan Hague, "Chapter 1: Benedict Anderson". Dalam Hubbard, Phil; Kitchin, Rob; Valentine, Gill. Key Thinkers on Space and Place. (London: SAGE. 2004). Hlm. 16 11 George McT Kahin. (2003). "Chapter 8: Cornell and the coup". Southeast Asia: A testament. Critical Asian Scholarship. (London: Routledge Curzon, 2003). Hlm. 181 12 Euan Hague, "Chapter 1: Benedict Anderson". Hlm. 16 56 1965/1966, dua diantaranya berupa petisi yang ditujukan kepada Presiden Barrack Obama dan Kongres AS. Petisi pertama di inisiasi oleh East Timor Action Network (ETAN) yang bekerjasama dengan Amnesty International, TAPOL, dan Watch Indoneisa pada Oktober 2014. Petisi ini ditandatangani oleh 2.800 orang.13 Kemudian, petisi kedua di inisiasi oleh Human Right Watch pada Desember 2015, sampai pada waktu penelitian ini dilakukan, petisi yang digagas oleh Human Right Watch telah ditandatangani oleh lebih dari 24.000 orang.14 Sementara itu, Tom Udall, Anggota Senar AS dari Komite Hubungan Luar Negeri mengajukan resolusi mengenai pendeklasifikasian dokumen diplomatik dan arsip intelejen yang berkaitan dengan peristiwa 1965/1966, resolusi tersebut dibawa kedalam sidang paripurna senat ke 113 pada Desember 2014, dan sidang paripurna senat ke 114 pada Oktober 2015.15 13 Petisi Pertama https://www.change.org/p/sign-now-u-s-release-the-records-acknowledge-u-srole-in-1965-66-mass-violence-in-indonesia 14 Petisi Kedua http://thelookofsilence.com/participate 15 Resolusi dapat diakses di https://www.scribd.com/document/249795193/Sense-of-the-SenateResolution-Regarding-Indonesia dan https://www.scribd.com/document/283345376/UdallIntroduces-Resolution-to-Promote-Reconciliation-on-50th-Anniversary-of-Indonesian-Massacres